JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
IDENTIFIKASI DAN DISTRIBUSI NYAMUK Aedes VEKTOR PENYEBAB DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DALAM KAMPUS UNIVERSITAS SYIAH KUALA Identification and Distribution of Aedes Mosquito Vector of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Syiah Kuala University Farida Athaillah1, Siti Prawitasari Br. Hasibuan2, Eliawardani1 Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Corespondent:
[email protected] 1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengetahui distribusi dan kelimpahan nyamuk Aedes sebagai vektor penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD) di dalam ruangan (indoor) dan di luar ruangan (outdoor) di dalam Kampus Universitas Syiah Kuala. Penelitian dilakukan pada 5 lokasi yaitu Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan dan Fakultas Kedokteran berdasarkan peletakan ovitrap pada tiap-tiap lokasi. Data diperoleh melalui koleksi telur dan larva nyamuk Aedes menggunakan perangkap telur nyamuk (ovitrap). Hasil pengamatan terhadap total rata-rata telur nyamuk Aedes di lima lokasi baik indoor maupun outdoor, tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Demikian juga pada pengamatan terhadap rata-rata larva Ae. aegypti indoor dan outdoor (P>0,05) serta rata-rata larva Ae. albopictus indoor dan outdoor (P>0,05). Tetapi pada pengamatan terhadap ratarata larva Ae. aegypti dibandingkan dengan rata-rata larva Ae. albopictus di dalam ruangan (indoor) sangat berbeda nyata (P<0,05) dimana Ae. aegypti lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan larva Ae. albopictus. Sebaliknya di luar ruangan larva Ae. albopictus sangat dominan dan berbeda nyata dibandingkan dengan Ae. aegypti (P<0,05). Kata Kunci: Ovitrap, Indoor, Outdoor, Ae. aegypti, Ae. albopictus, Dengue ABSTRACT This study aims to identify and to understand the distribution and abundance of Aedes mosquitoes as vectors that caused dengue indoor and outdoor at the Syiah Kuala University. The study was conducted in five locations: Faculty of Veterinary Medicine, Eastern Sector, Faculty of Law, South Sector and the Faculty of Medicine by laying ovitrap at each location. The data obtained through the collection of eggs and larvae of Aedes mosquitoes using mosquito egg’s trap (ovitrap). The observation of the average of Aedes’ eggs in five locations both indoors and outdoors, did not show significant differences (P>0,05). Likewise, in observation of the average of Ae. aegypti larvae indoor and outdoor (P>0,05) and the average of larvae of Ae. albopictus indoor and outdoor (P>0,05). But, the observation of the average of Ae. aegypti larvae in comparison to the average of Ae. albopictus indoor were significantly different (P<0,05), where Ae. aegypti more common than the larvae of Ae. albopictus. Otherwise in the outdoors, larvae of Ae. albopictus was dominant and significantly different with larvae of Ae. aegypti (P<0,05). Keywords : ovitrap, indoor, outdoor, Ae. aegypti, Ae. albopictus, Dengue
PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang beriklim tropis terbesar di dunia dan terletak di 6°LU-11°LS dan antara 95°BT-141°BT. Iklim tropis merupakan faktor yang baik untuk perkembangbiakan nyamuk sehingga populasi nyamuk di Indonesia sulit untuk dikendalikan (Lailatul dkk., 2010). Nyamuk merupakan salah satu vektor utama dalam penyebaran penyakit (Suwito, 2008). Terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk diseluruh dunia dan terbagi menjadi 2 subfamili yaitu Culicinae dan Anophelinae. Jenis-jenis nyamuk yang menjadi vektor utama dalam penyebaran penyakit dari subfamili Culicinae adalah Culex spp, Aedes spp, Mansonia spp, sedangkan dari subfamili Anophelinae adalah Anopheles spp (Harbach,
136
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
2008). Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk adalah demam berdarah dengue (DBD), filariasis (kaki gajah), malaria, chikungunya dan encephalitis (Islamiyah dkk., 2013). Penyakit DBD banyak dijumpai terutama di daerah tropis, yang merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes. Kasus DBD pada tahun 2015 di Indonesia pada 34 provinsi sebanyak 129.650 orang dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014 sebanyak 100.347 orang (Kemenkes RI, 2016). Pada provinsi Aceh laporan kasus DBD pada tahun 2015 sebanyak 1.510 orang (Dinkes Aceh, 2015) dan berdasarkan data dari Rumah Sakit Prince Nayef Bin Abdul Aziz yang terletak di sekitaran Kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), jumlah kasus DBD dari Januari 2013-September 2016 berjumlah 133 orang (Laporan kasus RS Prince Nayef, 2016). Menurut penelitan Sari dkk. (2008), wilayah Kampus Unsyiah merupakan kawasan yang sangat potensial terjadi penularan DBD dikarenakan kondisi lingkungan yang memiliki penatalaksanaan sampah dan sanitasi yang kurang baik dan sebahagian besar mahasiswa berasal dari berbagai daerah sehingga memungkinkan untuk terjadinya penularan DBD. Berdasarkan rata-rata jumlah kasus DBD yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti distribusi nyamuk Aedes vektor penyebab DBD di dalam Kampus Unsyiah dan kelimpahan jumlah nyamuk Aedes dalam ruangan (indoor) dan luar ruangan (outdoor) menggunakan perangkap nyamuk (ovitrap). MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lima lokasi di dalam Kampus Unsyiah yaitu Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan dan Fakultas Kedokteran selama 10 minggu. Perhitungan sampel dilakukan di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah Banda Aceh. Sampel Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur dan larva nyamuk. Telur nyamuk diperangkap menggunakan ovitrap yang diambil secara acak dari ke lima lokasi di atas. Larva didapat dengan cara merendam paddle yang menempel telur-telur nyamuk di atasnya selama 3-4 hari (WHO, 2005). Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan adalah ovitrap yang terbuat dari kaleng yang dicat hitam, paddle, jerigen, talam plastik, pipet tetes, cover glass, object glass, mikroskop binokuler, mikroskop stereo dan counter. Bahan yang digunakan adalah air sumur atau air kran yang sudah diendapkan ± 24 jam untuk menghilangkan chlor yang ada di dalam air tersebut, dan hati ayam yang telah direbus dan digerus sampai halus sebagai makanan bagi larva-larva yang sedang diteliti. Cara pengumpulan telur nyamuk Aedes Telur nyamuk di dapat dengan cara menggunakan perangkap telur (ovitrap). Ovitrap yang digunakan terbuat dari kaleng yang berukuran (10,5 cm x 7,2 cm).
137
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
Selanjutnya kaleng-kaleng tersebut dicat hitam mengkilap dibagian dalam dan luar kaleng. Sebuah lubang dibuat sekitar satu cm dari bagian tepi kanan dan kiri, untuk memungkinkan air yang berlebihan bisa terbuang dari lubang tersebut (Heppy, 2011). Di dalam ovitrap diisi air tiga per empat bagian (Polson dkk., 2002) dan dimasukkan kedalam ovitrap tersebut sebuah paddle yang berukuran sekitar 2,0 cm x 12,5 cm. Paddle dapat terbuat dari bilah kayu, lapisan kertas atau bambu (WHO, 2005). Paddle diletakkan dalam posisi miring atau bagian kasar menghadap ke atas yang bertujuan agar nyamuk meletakkan telurnya pada paddle tersebut di masing-masing ovitrap (Kemenkes RI, 2012). Koleksi telur dilakukan di dalam Kampus Unsyiah dengan menggunakan ovitrap, yang diletakkan selama 5 hari pada 5 lokasi yaitu Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Kedokteran, Sektor Selatan dan Fakultas Hukum. Pada masing-masing lokasi diletakkan secara acak 14 buah ovitrap, dimana 7 buah diletakkan di dalam ruangan (indoor) dan 7 di luar ruangan (outdoor) dan diletakkan terpisah dengan jarak paling dekat adalah 10 m antara satu ovitrap dan ovitrap lainnya pada semua lokasi penelitian (Heppy, 2011). Penelitian ini dilakukan selama 10 minggu. Ovitrap indoor diletakkan di dalam ruangan yang intensitas cahaya rendah dan lembab, sedangkan ovitrap outdoor diletakkan di bawah pohon, di dekat pagar atau ditempat-tempat yang terlindung dan gelap. Setelah lima hari ovitrap dikumpulkan dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengamatan kemudian diletakkan kembali ovitrap baru pada hari dan waktu yang sama di lokasi yang sama di setiap lokasi penelitian. Pengamatan telur Semua paddle yang diambil setelah pemasangan selama 5 hari, dikering anginkan di bawah suhu ruangan (26˚C) selama minimal 48 jam, lalu dihitung jumlah telur yang ada pada paddle dibawah mikroskop stereo dengan bantuan counter, setelah telur-telur di hitung, semua paddle direndam (rearing) di dalam baki rendaman selama 3-4 hari agar telur menetas menjadi larva dan selanjutnya larva-larva tersebut diidentifikasi di bawah mikroskop binokuler (Hornby dkk., 1994). Identifikasi telur Aedes dengan menemukan telur yang berbentuk elips, permukaan yang polygonal dan berwarna hitam mengkilap (Palgunadi, 2011). Pengamatan larva Larva yang didapatkan dari hasil rearing diidentifikasi di bawah mikroskop dan dihitung menggunakan counter. Identifikasi larva dengan melihat sisik sisir, gigi pekten pada siphon dan sikat ventral yang terletak pada segmen ke-8 dari larva seperti yang dijelaskan oleh Ditjen PP&PL (2008). Larva yang digunakan pada pengamatan adalah larva instar III (Kristiana dkk., 2015). Analisis Data Data jumlah telur Aedes, serta jumlah larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus indoor dan outdoor, dicatat dan ditabulasikan menurut ruang yaitu di dalam ruangan (indoor) dan di luar ruangan (outdoor). Kemudian dilakukan analisis data menggunakan uji rancangan acak kelompok (RAK). Data diolah dengan bantuan SPSS versi 21.
138
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan sampel telur dan larva nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dalam penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengetahui tingkat kepadatan dan penyebaran populasi kedua spesies tersebut di suatu wilayah. Pengetahuan mengenai persebaran vektor virus dengue sangat penting untuk memahami transmisi penyakit DBD antar populasi manusia karena pengaruhnya terhadap transfer patogen tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total rata-rata telur nyamuk Aedes dari semua lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah yang dilakukan menggunakan ovitrap yang diletakkan indoor adalah (41,71 ± 65,14) sedangkan pada ovitrap yang diletakkan outdoor adalah (50,25 ± 78,95). Hasil dapat dilihat pada Gambar 1.
Rata-rata Telur Aedes
Indoor 60 50
Outdoor 50,25 ± 78,95
41,71 ± 65,14
40 30 20 10 0
Indoor
Outdoor Lokasi
Gambar 1. Total rata-rata telur Aedes yang dikoleksi indoor dan outdoor di kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata telur yang dikoleksi dari ovitrap indoor tidak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan ovitrap outdoor (Lampiran 5). Tidak ada perbedaan yang nyata di ovitrap indoor maupun ovitrap outdoor disebabkan oleh kebiasaan yang sama dari nyamuk Aedes dalam cara peletakan telur, seperti pada tempat-tempat penampungan air bersih atau genangan air bersih yang dapat menampung air (Chahaya, 2003). Ovitrap dalam penelitian ini ditempatkan secara indoor dan outdoor. Ovitrap indoor ditempatkan di ruang kamar tidur, dapur, ruang kamar mandi dan tempat-tempat yang memiliki atap, sedangkan ovitrap outdoor ditempatkan di sekitar halaman rumah seperti di atas pot bunga, di bawah pohon rimbun, dekat pagar dan tempat lainnya yang tidak terlindungi oleh atap atau sejenisnya. Jumlah telur nyamuk yang terdapat pada ovitrap merefleksikan kepadatan nyamuk Aedes dewasa sebagai vektor dan menggambarkan infestasi nyamuk di suatu daerah (Morato dkk., 2005). Tinggi rendahnya rata-rata telur nyamuk Aedes bisa juga disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu : temperatur, kelembaban udara dan curah hujan. Rata-rata curah hujan yang baik untuk perkembangan nyamuk Aedes adalah curah hujan yang lebih dari 500 mm pertahun dengan temperatur ruang antara 32ºC-34ºC dan temperatur air sekitar 25ºC30ºC, pH air sekitar 7 dan kelembaban udara sekitar 70% (Purbowarsito, 2011). Curah
139
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
FKH
Sektor Timur
FH
Sektor Selatan
53,40 ± 73,04
34,95 ± 45,97
48,65 ± 67,53
40,55 ± 52,89
41,25 ± 83,30
Outdoor
38,30 ± 67,54
43,75 ± 67,27
Indoor
50,60 ± 71,97
44,15 ± 85,49
Rata-rata Telur Aedes
64,20 ± 103,77
hujan berperan penting untuk tersedianya air sebagai tempat perindukan nyamuk (Ishak dkk., 2014) sehingga akumulasi telur yang menempel di dinding bejana selama musim panas akan berubah menjadi larva dan berkembang menjadi nyamuk sehingga mengakibatkan populasi nyamuk meningkat (Regis dkk., 2008). Gambar 2 menunjukkan total rata-rata telur nyamuk indoor dan outdoor di kelima lokasi. Rata-rata telur yang dikoleksi pada ovitrap indoor paling tinggi ditemukan di Sektor Timur (50,60 ± 71,97) sedangkan yang paling rendah ditemukan di Fakultas Kedokteran (34,95 ± 45,97).
FK
LOKASI
Gambar 2. Total rata-rata telur Aedes yang dikoleksi indoor dan outdoor di kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah Rata-rata telur yang dikoleksi pada ovitrap outdoor paling tinggi ditemukan pada Fakultas Kedokteran Hewan (64,20 ± 103,77) sedangkan yang paling rendah ditemukan di Fakultas Hukum (41,25 ± 83.30). Dari hasil analisis statistik ditemukan bahwa ratarata telur nyamuk indoor dan outdoor tidak berbeda nyata (P>0,05) baik di Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan, maupun Fakultas Kedokteran (Lampiran 5). Tidak berbedanya total rata-rata telur nyamuk indoor di kelima lokasi di dalam Kampus Unsyiah, kemungkinan disebabkan nyamuk Aedes pada umumnya menyukai genangan air yang bersih. Nyamuk Aedes banyak terdistribusi di Sektor Timur dikarenakan kawasan Sektor Timur merupakan tempat pemukiman, sesuai pernyataan Hasyimi dan Soekirno (2004) bahwa salah satu faktor berlimpahnya nyamuk Aedes dikarenakan penggunaan tempat penampungan air yang berlebihan, hal ini disebabkan karena penduduk banyak menyimpan air pada bejana-bejana penampungan air untuk keperluan sehari-hari, karena mereka khawatir suatu waktu air yang disalurkan oleh pemerintah tidak tersedia secara kontinyu, sehingga dengan banyaknya tempat-tempat penyimpanan air maka akan terakumulasinya tempat perindukan nyamuk. Selain itu 140
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
kebiasaan masyarakat pada umumnya suka menampung air untuk kebutuhan sehari-hari dengan bejana-bejana tanpa penutup menyebabkan nyamuk Aedes dapat bertelur di dalam bejana tersebut, terutama bejana yang berwarna gelap dan terlindung dari cahaya matahari secara langsung (Nadesul, 2004). Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Suyanto dkk. (2011), nyamuk Aedes lebih menyukai tempat-tempat penampungan air di dalam atau di sekitar rumah yang berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana yang tidak berhubungan langsung dengan tanah seperti drum, tempayan, ember, bak mandi, pelepah pisang, potongan bambu, tempurung kelapa dan vas bunga. Kepadatan penduduk seperti jarak antar rumah satu dan rumah lainnya merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap tinggi rendahnya kepadatan nyamuk di suatu lokasi yang saling berdekatan akan mempengaruhi penyebaran nyamuk Aedes, semakin dekat jarak antar suatu rumah maka semakin mudah nyamuk menyebar dari rumah ke rumah karena nyamuk Aedes dapat terbang 40-50 meter (Ramadhani dan Astuty, 2013). Pengamatan terhadap kawasan Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran yang memiliki data terendah terdistribusinya nyamuk Aedes dibandingkan lokasi lainnya dikarenakan kedua wilayah di atas bukan merupakan kawasan penduduk dengan pemukiman yang padat. Kawasan Fakultas Kedokteran Hewan memiliki rata-rata telur nyamuk Aedes tertinggi pada peletakan ovitrap outdoor, dilihat dari kondisi lapangan wilayah Fakultas Kedokteran Hewan yang banyak ditemukan gudang-gudang penyimpanan, kandang hewan, ruang inap hewan klinik interna dan kandang-kandang penyimpanan hewan coba sehingga nyamuk Aedes dapat secara mudah menemukan sumber makanan (darah). Menurut Fathi dkk. (2005), tempat penampungan air yang berada di dalam dan di luar kandang dapat berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk. Tempat perindukan yang disukai nyamuk Aedes adalah genangan air bersih yang terdapat dalam wadah seperti tempat minum hewan, botol bekas, drum, kontainer, ember, vas bunga dan ban bekas (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2001).
FKH
35,30 ± 18,22
Sektor Timur
FH
64,20 ± 47,28 5,70 ± 18,02
5,90 ± 10,33
45,80 ± 74,25
70,70 ± 84,80
Ae. albopictus
35,30 ± 36,99
65,90 ± 95,11 13,20 ± 27,54
Rata-rata Larva Aedes
75,10 ± 111,99
Ae. aegypti
Sektor Selatan
FK
LOKASI
Gambar 3. Rata-rata larva Ae. aegypti dan larva Ae. albopictus yang dikoleksi indoor di kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah
141
FKH
ISSN : 2540-9492
Sektor Timur
Sektor Selatan
0
97,30 ± 66,09
0
82,50 ± 104,24
0 FH
106,80 ± 70,19
Ae. albopictus
87,50 ± 72,81
Ae. aegypti
0
0
Rata-rata Larva Aedes
128,40 ± 116,51
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
FK
LOKASI
Gambar 4. Rata-rata larva Ae. aegypti dan larva Ae. albopictus yang dikoleksi outdoor di kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata larva di kelima lokasi memiliki perbedaan yang sangat nyata, dimana larva Ae. aegypti hanya ditemukan di dalam ruangan (indoor) tetapi tidak ditemukan sama sekali di luar ruangan (outdoor) (Gambar 3 dan 4). Larva Ae. aegypti yang ditemukan di dalam ruangan (indoor) memiliki jumlah rata-rata yang bervariasi, jumlah rata-rata larva yang paling banyak ditemukan yaitu di Fakultas Kedokteran Hewan (75,10 ± 111,99) sedangkan yang paling rendah ditemukan di Sektor Selatan (35,30 ± 18,22). Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata larva Ae. aegypti diantara kelima lokasi pada ovitrap indoor tidak berbeda nyata (P>0,05) baik di Fakultas Kedokteran Hewan, Sektor Timur, Fakultas Hukum, Sektor Selatan, maupun Fakultas Kedokteran (Lampiran 6). Menurut Fadilla dkk. (2015), penyebaran nyamuk Ae. aegypti dapat dipengaruhi salah satunya oleh jarak bangunan, semakin dekat jarak antar bangunan maka akan semakin mudah nyamuk menyebar. Perabot dan perlengkapan bangunan juga mempengaruhi penyebaran nyamuk seperti konstruksi bangunan, bahanbahan pembuat bangunan, pengaturan barang dan warna dinding bangunan (Widiyanto, 2007). Hasil pengamatan menunjukkan pula bahwa larva Ae. aegypti tidak ditemukan sama sekali pada lingkungan outdoor di semua lokasi penelitian dalam Kampus Unsyiah, hal ini disebabkan karena nyamuk Ae. aegypti kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan luar (Sari dkk., 2008), pernyataan ini didukung pula oleh Budiyanto (2012) yang melakukan penelitian pada Sekolah Dasar di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan bahwa nyamuk Ae. aegypti 100 % ditemukan di dalam gedung, sesuai dengan perilaku hidup nyamuk Ae. aegypti yang lebih suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam bangunan dan perilaku makan Ae. aegypti yang bersifat antropofilik (menyukai darah manusia). Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai genangan air yang berada di dalam rumah seperti bak mandi, licin kasarnya dinding
142
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
kontainer juga berpengaruh terhadap peletakkan telur dan larva nyamuk Ae. aegypti (Ramadhani dan Astuty, 2013). Larva Ae. aegypti yang ditemukan ada hubungannya juga dengan makanan larva yang tersedia, karena ketersediaan makanan berkaitan dengan tempat-tempat penampungan air (TPA) yang ada di dalam rumah. Mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih mudah tumbuh pada dinding TPA yang kasar, seperti sumur dan kayu dan sulit tumbuh pada TPA yang licin (Suroso dkk., 1986). Pada Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa rata-rata larva Ae. albopictus yang ditemukan di dalam ruangan (indoor) dan di luar ruangan (outdoor) di kelima lokasi berbeda antara lokasi satu dengan lokasi lainnya. Rata-rata larva yang dikoleksi di dalam ruangan (indoor) paling tinggi ditemukan di Sektor Selatan (45,80 ± 74,25) sedangkan yang paling rendah ditemukan di Fakultas Kedokteran (5,70 ± 18,02). Rata-rata larva yang dikoleksi pada ovitrap outdoor paling tinggi ditemukan pada Fakultas Kedokteran Hewan (128,40 ± 116,51) sedangkan yang paling rendah ditemukan di Fakultas Hukum (82,50 ± 104,24). Dari hasil analisis statistik ditemukan rata-rata larva Ae. albopictus yang dikoleksi di dalam ruangan (indoor) dan di luar ruangan (outdoor) tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara kelima lokasi (Lampiran 6). Pada penelitian ini, larva nyamuk Ae. albopictus ditemukan juga di dalam ruangan (indoor) selain di luar ruangan (outdoor) di kelima lokasi, menurut penelitian Rezza (2012), bahwa nyamuk Ae. albopictus lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk kehidupan dan perkembangannya dibandingkan Ae. aegypti. Habitat asli nyamuk Ae. albopictus dapat terganggu karena pemanasan global dan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali (Utina, 2015) dan dikatakan pula bahwa serangga-serangga yang dapat beradaptasi dengan lingkungan akan lebih memiliki tingkat ketahanan hidup yang tinggi dan dapat tersebar luas di berbagai tempat (Sari dkk., 2008). Jumlah rata-rata larva Ae. albopictus tertinggi yang didapat di dalam ruangan (indoor) adalah di kawasan Sektor Selatan, hal ini dimungkinkan karena kawasan tersebut terdapat banyak perumahan dan rumah-rumah kontrak yang ditempati oleh banyak mahasiswa-mahasiswa Unsyiah sehingga jumlah kepadatan penduduk menjadi bertambah, pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Hakim dan Kusnandar (2010) di Ciamis, bahwa kepadatan jumlah penghuni di suatu rumah dan kebiasaan aktivitas manusia juga mempengaruhi banyaknya nyamuk Aedes di lokasi tersebut. Secara tidak langsung, banyaknya pemukiman baru berdampak terhadap habitat perindukan nyamuk (man made breeding place) khususnya nyamuk Aedes, karena banyak masyarakat masih memiliki kebiasaan menyimpan air bersih untuk keperluan sehari-hari mereka di dalam kontainer-kontainer yang tidak tertutup (Nugroho, 2011). Pada penelitian ini, larva Ae. albopictus yang ditemukan di luar ruangan (outdoor) dijumpai diseluruh lokasi penelitian, dan pada Fakultas Kedokteran Hewan merupakan lokasi terbanyak ditemukannya larva Ae. albopictus. Menurut Fadilla dkk. (2015), Budiyanto (2012) dan Wongkoon dkk. (2007) bahwa nyamuk Ae. albopictus banyak ditemukan di luar rumah, karena pada dasarnya nyamuk Ae. albopictus adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan lingkungan manusia, nyamuk Ae. albopictus lebih menyukai bertelur pada wadah di luar rumah dibandingkan di dalam rumah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa larva Ae. aegypti lebih banyak tertangkap di dalam ruangan (indoor) dibandingkan Ae. albopictus di kelima lokasi penelitian (Gambar 3). Berdasarkan hasil analisis statistik terlihat adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antara rata-rata larva Ae. aegypti dan larva Ae. albopictus yang terperangkap di dalam ruangan (indoor) (Lampiran 7).
143
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
Banyaknya larva Ae. aegypti yang ditemukan kemungkinan karena nyamuk Ae. aegypti bersifat domestik, menyukai tempat penampungan air (TPA) yang bersih dan tenang seperti drum, tempayan, bak mandi, ember, yang berada di dalam rumah. Selain itu jenis wadah, licin dan kasarnya permukaan wadah dari TPA juga berpengaruh seperti yang dilaporkan oleh Hadi dkk. (2009) bahwa tangki air, bak mandi dan bak WC termasuk wadah yang potensial untuk memfasilitasi perkembangbiakan larva Aedes menjadi dewasa. Ukuran wadah yang besar dan air yang jarang digunakan dan dibersihkan merupakan tempat yang potensial untuk perkembangan nyamuk Ae. aegypti. Diketahui pula Ae. aegypti banyak ditemukan di rumah yang padat penghuni, karena dengan demikian ada banyak kemungkinan nyamuk-nyamuk ini bisa mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan, seperti darah manusia (Fatmawati dkk., 2014 ; Budiyanto dkk., 2005). Pada pengamatan di luar ruangan (outdoor), ditemukan hal yang sebaliknya dimana terdapat banyak larva Ae. albopictus tetapi tidak ditemukan sama sekali larva Ae. aegypti di kelima lokasi penelitian di dalam Kampus Unsyiah. Gambar 4 memperlihatkan bahwa larva Ae. albopictus 100 % tertangkap di luar ruangan (outdoor) dibandingkan Ae. aegypti di dalam Kampus Unsyiah. Berdasarkan analisis statistik terlihat adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antara rata-rata larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus yang terperangkap di luar ruangan (outdoor) (Lampiran 7). Adanya perbedaan jumlah rata-rata larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus yang ditemukan di luar ruangan (outdoor), disebabkan karena nyamuk Ae. albopictus lebih menyukai dan merupakan spesies nyamuk yang sering ditemui di daerah perkebunan atau hutan. Karena hidup di daerah perkebunan, nyamuk ini cenderung memilih tempat perkembangbiakan pada air yang tergenang dengan bahan dasar alam seperti potongan bambu, pangkal daun, atau lubang-lubang bebatuan yang terisi air bersih. Hal iniah yang menyebabkan nyamuk Ae. albopictus cenderung mencari inang di luar rumah (Exophagic) (Dellatte dkk., 2010). Nyamuk Aedes, khususnya Ae. aegypti dan Ae. albopictus merupakan serangga penular (vektor) penyakit DBD di Indonesia yang terdistribusi di lingkungan pemukiman khususnya perkotaan (Wahyuningsih, 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian Sunoto (2009) bahwa Ae. aegypti dan Ae. albopictus dapat hidup di perairan bersih dikarenakan nyamuk Aedes tertarik terhadap kondisi perairan bersih yang mengandung senyawa-senyawa kimia yang baik dan senyawa organik (tumbuhan air) yang dapat dijadikan sebagai makanan. Penyebaran penyakit DBD di suatu kawasan harus dikontrol dan dengan penanganan yang tepat. Sampai sekarang obat dan vaksin belum ditemukan sehingga pencegahan penularan penyakit DBD yaitu melakukan pemutusan rantai penularan dengan pemetaan vektor, dan mengendalikan populasi vektor DBD (Fathi dkk., 2005). Pemetaan (survei) vektor nyamuk Aedes merupakan dasar untuk mengendalikan populasi vektor DBD. Survei vektor berguna untuk menentukan distribusi, habitat utama vektor, densitas populasi dan tingkat kerentanan vektor terhadap insektisida (WHO, 2005). KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa nyamuk Aedes vektor penyebab DBD banyak terdistribusi di dalam Kampus Unsyiah baik di dalam ruangan (indoor) maupun diluar ruangan (outdoor). Ditemukan telur-telur nyamuk Aedes di kelima lokasi dengan jumlah yang sama banyak di dalam ruangan (indoor)
144
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
ataupun di luar ruangan (outdoor) (P>0,05). Ditemukan larva Aedes aegypti lebih banyak di dalam ruangan dibandingkan Aedes albopictus (P<0,05). Larva Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di luar ruangan (outdoor) dibandingkan larva Aedes aegypti (P<0,05). UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kepada ketua dan staf Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala atas kebaikan yang diberikan kepada penulis untuk menggunakan fasilitas alat-alat selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Budiyanto, A., S. Santoso, D. Purnama, dan R. I. Pahlepi. 2005. Studi indeks larva nyamuk Aedes aegypti dan hubungannya dengan PSP masyarakat tentang penyakit DBD di Kota Palembang Sumatera Selatan tahun 2005. Buletin Loka Litbang P2B2 Baturaja. 1(1). Budiyanto, A. 2012. Perbedaan warna kontainer berkaitan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Sekolah Dasar. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 1(2) : 6571. Chahaya, I. 2003. Pemberantasan vektor demam berdarah di Indonesia. USU digital library, Sumatera Utara. Delatte., Helene, A. Desvars, A. Bouétard, S. Bord, G. Gimonneau, G. Vourc'h, and D. Fontenille. 2010. Blood-feeding behavior of Aedes albopictus, a vector of Chikungunya on La Réunion. Vector-Borne and Zoonotic Diseases. 10 (3): 249-258. Dinas Kesehatan Propinsi Aceh. 2015. Profil Kesehatan Propinsi Aceh Tahun 2015, Banda Aceh. Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 2001. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Demam Berdarah, Jakarta. Ditjen PP&PL. 2008. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes, Jakarta. Fadilla, Z., U. K. Hadi, dan S. Setiyaningsih. 2015. Bioekologi vektor demam berdarah dengue (DBD) serta deteksi virus Dengue pada Aedes aegypti (Linnaeus) dan Ae. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae) di kelurahan endemik DBD Bantarjati, Kota Bogor. Jurnal Entomologi Indonesia. 12 (1) : 31-38. Fathi., S. Keman, dan C. U. Wahyuni. 2005. Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan demam berdarah dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (1) : 1–10. Fatmawati, T., S. Ngabekti, dan B. Priyono. 2014. Distribusi dan kelimpahan populasi Aedes spp di kelurahan Sukorejo Gunungpati Semarang berdasarkan peletakan ovitrap. Unnes Journal of Life Science. 3(2). Hadi, U. K., E. Agustina dan H. S. Singgih. 2009. Sebaran jentik nyamuk Aedes aegypti (Diptera : Culicidae) di desa Cikarawang, Kabupaten Bogor. Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk 2009. Bogor. Hakim, L. dan A. J. Kusnandar. 2010. Hubungan jumlah dan kepadatan penghuni rumah serta keberadaan nyamuk dengan frekuensi menggigit nyamuk Aedes aegypti saat mencari darah di kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Jurnal Aspirator. 2(2) ; 92-98.
145
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
Harbach. 2008. Famili Culicidae Meigen, Mosquito Taxonomic Inventory. http://mosquito taxonomic-inventory.info/famili-culicidae-meigen-1818 (diakses 25 Mei 2016). Hasyimi, H. dan M. Soekirno. 2004. Pengamatan tempat perindukan Aedes aegypti pada tempat penampungan air rumah tangga pada masyarakat pengguna air olahan. Jurnal Ekologi Kesehatan. 3(1). Heppy, D. 2011. Studi Kelimpahan Telur Nyamuk Aedes spp Menggunakan Ovitrap di Daerah Berawa Bekas Tsunami. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Hornby, J. A., D. E Moore, T. W Miller Jr. 1994. Aedes albopictus distribution, abundance and colonization in lee country, Florida, and its effect on Aedes aegypti. Journal of American Mosquito Control Association. 10(3) : 397- 402. Ishak, H., Nurzidah, dan M. Selomo. 2014. Identifikasi nyamuk Anopheles sp. dewasa di wilayah endemis dan non endemis malaria kecamatan Bonto Bahari Bulukumbia Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian. Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar. Islamiyah, M., A. S. Laksono, dan Z. P. Gama. 2013. Distribusi dan komposisi nyamuk di wilayah Mojokerto. Jurnal Biotropika. 1(2) : 80-85. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta. Kristiana, I. D., E. Ratnasari, dan T. Haryono. 2015. Pengaruh ekstrak daun bintaro (Cerbera odollam) terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti. LenteraBio. 4(2) :131-135. Lailatul, K., L. A. Kadarohman, dan R. N. Eko. 2010. Efektivitas bioloarvasida ekstrak etanol limbah penyulingan minyak akar wangi (Vetiveria zizanoides) terhadap larva nyamuk Aedes aegypti, Culex sp., dan Anopheles sundaicus. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia. ISSN 2087-7412. 1(1): 59-65. Morato, V. C. G., M. G. Teixera, A. C. Gomes, D. P. Bergamaschi, and M. L. Barreto. 2005. Infestation of Aedes aegypti estimated by oviposition trap in Brazil. Rev Sauda Publica. 39(4) : 553-558. Nadesul, H. 2004. Seratus Pertanyaan dan Jawaban Demam Berdarah Dengue. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Nugroho, A. D. 2011. Kematian larva Aedes aegypti setelah pemberian abate dibandingkan dengan pemberian serbuk serai. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1) : 9-96. Palgunadi, B.U. dan A. Rahayu. 2011. Aedes aegypti Sebagai Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Surabaya. Polson, K. A., C. Curtis. C. M. Seng, J. G. Olson, N. Chanta, and S. C. Rawlins. 2002. The use of ovitrap baited with hay infusion as a surveillance tool for Aedes aegypti mosquitoes in Cambodia. Dengue Bulletin. 26: 178-184. Purbowarsito, H. 2011. Uji bakteriologis air sumur di Kecamatan Semampir Surabaya. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya. Ramadhani, M. dan H. Astuty. 2013. Kepadatan dan penyebaran Aedes aegypti setelah penyuluhan DBD di Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat. eJurnal Kedokteran Indonesia. 1(1) : 10-14. Regis, L., A. M. Monteiro, M. A.V. D. M. Santos, J. C. Silveira Jr, A. F. Furtado, R.V.Acioli, and G. M. Santos. 2008. Developing new approaches for detecting
146
JIMVET. 01(2): 136-147 (2017)
ISSN : 2540-9492
and preventing Aedes aegypti population outbreaks : basis for surveillance, alert and control system. Memorian do Instituto Oswaldo Cruz. 103(1) : 50-59. Sari, W. T., M. Zanaria, dan E. Agust ina. 2008. Kajian tempat perindukan nyamuk Aedes di kawasan kampus Darusalam Banda Aceh. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Sunoto., Suyono, dan R. Amalia. 2009. Kemampuan adaptasi nyamuk Aedes aegypti terhadap kondisi air. FKM Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang. Suroso., Thomas, A. Kadir, Pranoto, A. Izhar, Gunawan, F. Noor, Bahtiar dan Yusuf. 1986. Knowledge-attitude practice of the community in prevention of DHF in Pontianak, Indonesia. Dengue Lcite. 12. Suwito, A. 2008. Nyamuk (Diptera:Culicidae) Taman Nasional Boganinani Warta Bone, Sulawesi Utara : keragaman, status dan habitatnya. Zoo Indonesia 17(1): 27-34. Suyanto., S. Darnoto, dan D. Astuti. 2011. Hubungan pengetahuan dan sikap dengan praktek pengendalian nyamuk Aedes aegypti di kelurahan Sangkrah kecamatan Pasar Kliwon kota Surakarta. Jurnal Kesehatan. 4(1) : 1-132. Utina, R. 2015. Pemanasan global : dampak dan upaya meminimalisasinya. Artikel, Gorontalo. Wahyuningsih, N., E. M. Rahardjo, dan T. Hidayat. 2008. Keefektifan penggunaan dua jenis ovitrap untuk pengambilan contoh telur Aedes spp Di lapangan. J. Entomol. Indon. 6(2): 95-102. Widiyanto, T. 2007. Kajian manajemen lingkungan terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di kota Purwokerto Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Wongkoon, S., M. Jaroensutasinee, K. Jaroensutasinee, and W. Preechaporn. 2007. Development sites of Aedes aegypti and Ae. albopictus in Nakhon si Thammarat, Thailand. Dengue Bulletin. 31: 141– 152. World Health Organization. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
147