40
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH,WANPRESTASI DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
2.1 Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Kontrak Perkembangan era globalisasi saat ini memberikan pengaruh salah satunya dalam pelaksanaan kerjasama bisnis. Dalam kerjasama yang dilakukan oleh pelaku bisnis banyak dilakukan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis atau kontrak. Kontrak dapat digunakan sebagai dasar bagi para pihak untuk dapat melakukan penuntutan apabila ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan dalam kontrak atau perjanjian.1 Ewan Macintyre, menyatakan bahwa “a contract is a legally binding aggreement. In order for a contract to be created, one of parties must make an offer to the other party and the other party must accept this offer.2 Dapat diartikan bahwa kontrak adalah kesepakan yang mengikat secara hukum. Agar kontrak yang akan
h. 29
1
Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.1.
2
Ewan Macintyre, 2007, Essentials of Business Law, Pearson Longman, Inggris,
41
dibuat, salah satu pihak harus membuat penawaran ke pihak lain dan pihak lain harus menerima tawaran ini. Istilah kontrak atau perjanjian seringkali dipahami memiliki pengertian yang berbeda, namun dalam KUHPerdata kedua istilah tersebut tidak memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Agus Yudha Hernoko, dalam perspektif KUHPerdata istilah perjanjian mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak. 3 Kontrak diatur dalam KUHPerdata pada Buku III tentang perikatan.
Pengertian
kontrak
dimuat
dalam
Pasal
1313
KUHPerdata, yaitu “suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pengertian tersebut tidak lengkap, karena hanya mencakup kontrak sepihak, yaitu satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih, sedangkan orang lainnya atau lebih tidak diharuskan mengikatkan dirinya kepada pihak pertama. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa pengertian kontrak dalam KUHPerdata tidak mengatur kontrak yang dalam kontrak tersebut kedua pihak saling mempunyai prestasi secara timbal balik. Selain itu pengertian kontrak tersebut memiliki makna yang terlalu luas dan tidak memberikan pengertian yang tegas dan konkret. Menurut Charless L. Knapp & Nathan M. Crystal, contract is an agreement between two or more person not merely a shared
3
Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.15.
42
belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them.4 Hal ini berarti bahwa kontrak merupakan perjanjian antara dua atau lebih orang tidak hanya tentang keyakinan bersama, tetapi juga pemahaman bersama sebagai sesuatu yang harus dilakukan di masa depan oleh salah satu atau kedua belah pihak. Trietel menyatakan bahwa, “contract is an agreement giving rise to obligations which are enforced or recognized by law.”5 Yang berarti bahwa kontrak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban yang diberlakukan atau diakui oleh hukum.
Sedangkan menurut Clive turner menyatakan bahwa
“contract is an agreement made between two or more parties, whereby legal rights and obligations are created which the law will enforced.”
6
Menurut Clive berarti kontrak adalah perjanjian yang
dibuat antara dua pihak atau lebih, dengan ini hak dan kewajiban hukum yang diciptakan akan ditegakkan. Menurut Herlin Budiono, kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak atau menimbulkan suatu hubungan hukum dengan cara demikian, kontrak atau perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Apabila suatu perbuatan hukum 4 Charless L. Knapp & Nathan M. Crystal, 1993, Problems in Contract Law : Case and Materials, Little Brown and Company, Boston/Toronto/London, p.2 5 6
G.H Treitel, 1995, Law Of Contract, Sweet & Maxwell, London, p.1.
Clive Turner, 1995, Australian Commercial Law, The Law Book Company Limited, Sydney, p.2.
43
adalah kontrak, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.7 Selanjutnya menurut H. Salim, kontrak atau perjanjian adalah hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.8 Dalam kegiatan bisnis, baik yang dilakukan orang perorangan maupun pemerintah senantiasa membuat kontrak sebagai dasar untuk pelaksanakan kewajiban mereka masing-masing. Dengan melibatkan diri dalam suatu transaksi komersial, pemerintah mengikatkan diri dalam suatu hubungan kontraktual. Jenis hubungan kontraktual yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan kegiatan pengadaan barang/jasa dalam rangka untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan negara. Kontrak ini pada dasarnya merupakan kontrak komersial sekalipun mengandung unsur hukum publik, yang pada akhirnya memberikan dampak bahwa disatu sisi hubungan hukum yang terjalin karena adanya kontrak, tetapi disisi lain hubungan teresbeut sarat dengan aturan bagi penyedia barang/jasa. Dalam Perpres No. 4 Tahun 2015 Pasal
7
Herlin Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.67. 8
H. Salim,dkk, 2007, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, h.9.
44
1 angka 22, bahwa Kontrak pengadaan barang/jasa yang selanjutnya disebut dengan kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. 2.1.2 Syarat Sah dan Jenis-jenis Kontrak Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian, yaitu :9 a.
Unsur esensialia Unsur ini dalam perjanjian mewakili ketentuanketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan salah satu atau lebih pihak, sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur
esensialia ini seharusnya
menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya. b.
Unsur naturalia Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.
c.
Unsur aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak,
9
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, op.cit, h.84.
45
sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersamasama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.
Suatu perjanjian dianggap sah maka harus memenuhi syaratsyarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata. Adapun syaratsyarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan,dan siapa yang harus melaksanakannya.10 Suatu perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung salah satu dari 3 (tiga), yaitu: (a) Unsur paksaan (dwang), (b) Unsur kekeliruan (dwaling), (c) Unsur penipuan (bedrog).11 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
10
11
ibid, h.95.
H. Purwosusilo, 2014, Prenadamedia Group, Jakarta, h.83
Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa,
46
Setiap subyek hukum yang wenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum, termasuk dalam hukum kontrak. Siapa yang dapat atau boleh melakukan perbuatan hukum dan mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual adalah mereka yang cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum berupa membuat kontrak yang menimbulkan akibat hukum kontraktual.12 3. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata “hanya barang-barang yang dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan”. Penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya. 4. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian, di mana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata). Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan: “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah 12
Muhammad Syaifuddin,Op.cit, h.123.
47
dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum.
Syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau orangnya. Sedangkan untuk syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya. Menurut Salim H.S bahwa jenis kontrak atau perjanjian terdiri dari : 13 a.
Kontrak Menurut Sumber Hukumnya Kontrak
berdasarkan
sumber
hukumnya
merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Menurut Sudikno Mertokusumo Dalam Buku H. Salim HS menggolongkan perjanjian dari sumber hukumnya, yang dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:14 1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan; 13
H.Salim, dkk, op.cit, h.18
14
Ibid.
48
2) Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik; 3) Perjanjian
obligatoir,
yaitu
perjanjian
yang
menimbulkan kewajiban; 4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara; 5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik b. Kontrak Menurut Namanya Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan untuk kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat
49
adalah leasing, beli sewa, franchise, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. c. Kontrak Menurut Bentuknya Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Melalui konsensus maka perjanjian dianggap telah terjadi. Termasuk dalam jenis ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah
50
tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Selain itu juga dikenal pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir. d. Perjanjian dari Aspek Larangannya Bentuk perjanjian ini berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
Ini
disebabkan
perjanjian
itu
mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (yang selanjutnya disebut UU Larangan Praktik Monopoli), bahwa terdapat 13 (tiga belas) perjanjian yang dilarang, yaitu : perjanjian oligopoli, perjanjian penetapan harga, perjanjian dengan harga berbeda,perjanjian dengan harga dibawah harga pasar, perjanjian yang memuat persyaratan, perjanjian pembagian wilayah, perjanjian pemboikotan, perjanjian
51
kartel, perjanjian trust, perjanjian oligopsoni, perjanjian intergasi vertikal, perjanjian tertutup, perjanjian dengan pihak luar negeri.
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah mengikatkan diri dengan pihak dengan pihak ketiga dalam hubungan kontrak. Jenis kontrak pemerintahan terdiri dari :15 a) Kontrak pengadaan barang/jasa Kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa pemerintah, baik melalui proses tender atau lelang ataukah melalui penunjukan langsung kepada pihak penyedia
dan
kontrak
ini
menimbulkan
beban
pembayaran ; b) Kontrak nonpengadaan barang/jasa Kontrak ini lebih ditujukan kepada peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik yang dilakukan
oleh
pemerintah
dan
menghasilkan
pemasukan. Untuk kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, maka pemahaman mengenai jenis kontrak dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa perlu dilakukan untuk mengetahui jenis hubungan
15
Yogar Simamora, op.cit, h.47.
52
hukum yang mengikat para pihak dan aturan hukum yang berlaku.16
Prinsip
kebebasan
berkontrak
memungkinkan
pemerintah secara bebas untuk mengatur standarisasi syarat dan ketentuan dalam hubungan hukum itu. Standarisasi ini menjadi hal yang penting selain untuk tujuan efisiensi tetapi juga memudahkan kontrol terhadap praktek pelaksanaan kontrak pengadaan oleh berbagai lembaga pemerintahan. Adapun jenis Kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Perpres No. 4 Tahun 2015, meliputi : 1) Kontrak berdasarkan cara pembayarannya, terdiri atas : a) Kontrak Lump Sum b) Kontrak Harga Satuan c) Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan ; d) Kontrak Presentase e) Kontrak Terima Jadi 2) Kontrak berdasarkan pembebanan tahun anggaran ; a) Kontrak Tahun Tunggal b) Kontrak Tahun Jamak 3) Kontrak berdasarkan sumber pendanaan ; a) Kontrak Pengadaan Tunggal b) Kontrak Pengadaan Bersama c) Kontrak Payung
16
Ibid., h. 211.
53
4) Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan; a) Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal b) Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik antara Kontrak Pada Umumnya dengan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah : No
Substansi
1
Dasar hukumnya
Kontrak pada umumnya KUHPerdata
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa a) KUHPerdata b) Perpres No. 4 Tahun 2015 c) Peraturan LKPP No. 14 Tahun 2012
2
Berdasarkan Subyek
Para
pihak
baik
orang Pemerintah
Hukumnya
perorangan/badan hukum privat
sebagai
badan
hukum
publik dengan orang perorangan/badan usaha
3
Berdasarkan
Barang-barang
Obyeknya
diperdagangkan
yang saja
dapat Barang,
pekerjaan
konstruksi,
yang konsultasi dan jasa lainnya
menjadi pokok perjanjian 4
Kewajiban
Bersumber
dari
para
pihak Bersumber dari dana APBN/APBD
Pembayaran
orang perorangan/badan hukum
jasa
Keterangan
55
5
Mekanisme kontrak
a) Pemilihan para pihak yang a) Dimulai diajak
berkontrak
bebas
sesuai dengan keinginan dari
dari
tahap
pemilihan Dalam
penyedia sesuai dengan ketentuan kontrak Perpres No. 4 Tahun 2015
pengadaan
para pihak, namun tetap b) Penetapan pemenang penyedia
pemerintah
berpedoman
pada c) penyusunan kontrak
tunduk
KUHPerdata
d) pelaksanaan kontrak
dalam
e) penyerahan pekerjaan dari penyedia ketentuan kepada pemberi kerja
hukum privat
6
Penyelesaian sengketa
a) Diawali dengan musyawarah a) Diawali mufakat,
apabila
dengan
musyawarah Dalam
tidak
mufakat, apabila tidak mencapai
mencapai kesepakatan maka
kesepakatan maka menempuh ADR
menempuh
dan
penyelesaian sengketa
ADR
dan
terakhir menempuh proses
terakhir menempuh
litigasi
kontrak
proses pengadaan barang/jasa pemerintah
litigasi
b) Kewenangan mengadili :
dapat dipilih melalui
56
b) Kewenangan
mengadili
berada pada peradilan umum
1. Peradilan Tata Usaha Negara konsultasi apabila
pokok
sengketa
berkaitan
dengan
perbuatan
dengan LKPP
pemerintah dalam ranah hukum publik
seperti
prosedur
administrasi dan teknis dalam proses pengadaan ; 2. Peradilan umum apabila pokok sengketa perbuatan pemerintah dalam ranah hukum privat, seperti
perbuatan
kontrak pengadaan
dalam
57
2.1.3 Subyek dan Obyek Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pengadaan barang/jasapemerintah adalah kegiatan pengadaan barang /jasa yang dibiayai dengan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa. Menurut pengertian tersebut ada dua unsur penting yang juga
merupakan subyek dalam
kegiatan
pengadaan barang/jasa pemerintah, baik perorangan maupun lembaga, yaitu pemerintah dan penyedia barang/jasa. Berikut ini subyek dalam kontrak pengadaan barang/jasa, yaitu : Subyek dalam kontrak pengadaan barang/jasa terdiri dari pemerintah yang merupakan pihak pemberi kerja dan pihak penyedeia barang/jasa. Dalam Pasal 1 angka 2 Perpres No. 4 Tahun 2015 dirumuskan bahwa Kementerian/Lembaga Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi,
yang
selanjutnya
disebut
K/L/D/I
adalah
instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan “pemerintah” dalam pengadaan barang/jasa adalah K/L/D/I. Namun, dalam hal penandatangan kontrak pengadaan, pemerintah yang dalam hal ini K/L/D/I diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen (yang selanjutnya disebut PPK).
58
Berikut ini organisasi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, meliputi : 1. Pengguna Barang/Jasa Pemerintah selaku pihak pengguna barang/jasa dalam struktur
organisasi
Anggaran/Kuasa
pengadaan
Pengguna
diwakili
Anggaran
oleh
Pengguna
(PA/KPA),
Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK), Panitia Pengadaan/ULP (Unit Layanan Pengadaan), Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan dan APIP. a. Pengguna Anggaran (PA) Pengertian Pengguna Anggaran dalam UU Keuangan Negara tidak disebutkan secara jelas. Pengertian dari istilah tersebut
baru
ditemukan
pada
Pasal
1
Angka
12
Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Pejabat yang ditunjuk sebagai PA tersebut adalah: (a) Menteri/pimpinan
lembaga;
(b)
Gubenur/bupati/walikota
selaku kepala pemerintahan daerah; dan (c) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya. Dengan demikian, PA merupakan pejabat tertinggi yang mewakili pemerintah pada K/L/D/I yang dipimpinnya dalam
59
pengelolaan keuangan negara yang dibantu oleh beberapa perangkat
dibawahnya.
pimpinan
K/L/D/I
Dalam
selaku
prakteknya
Pengguna
kewenangan
Anggaran
dapat
didelegasikan kepada pejabat di bawahnya. b. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) KPA adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. KPA pada K/L/D/I pusat lainnya merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul PA/KPA untuk dana dekonsentrasi dan tugas pebantuan ditetapkan oleh PA pada Kementerian/ Lembaga/Institusi pusat lainnya atas usul Kepala Daerah. Sedangkan KPA, memiliki kewenangan sesuai pelimpahan oleh PA. c. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PPK
adalah
pejabat
yang
bertanggungjawab
atas
pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
d. ULP/Pejabat Pengadaan Dalam organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah ditetapkan adanya ULP/Pejabat Pengadaan yang dapat memberikan
pelayanan
pembinaan
dibidang
barang/ jasa. e. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)
pengadaan
60
Dalam rangka melakukan pemeriksaan, menerima dan membuat berita acara penerimaan hasil pekerjaan, PA/KPA menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan yang anggotanya berasal dari pegawai negeri, baik dari instansi sendiri maupun instansi lainnya. f. Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) Aparat Pengawas Intern Pemerintah atau pengawas intern pada institusi yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, peman-tauan
dan
kegiatan
pengawasan
lain
terhadap
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi. 2. Penyedia Barang/Jasa Pihak kedua yang merupakan bagian penting setelah pihak pemerintah dalam pengadaan barang/ jasa adalah penyedia barang/jasa. Penyedia dalam hal ini adalah badan usaha atau orang
perseorangan
yang
menyediakan
barang/pekerjaan
konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya. Dalam pengadaan barang/jasa yang menjadi obyek dalam kontrak tersebut adalah barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultasi dan jasa lainya. Dalam Pasal 1 angka 14 Perpres No. 4 Tahun 2015 dirumuskan bahwa barang adalah setiap benda baik yang berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangankan, dipakai dipergunakan
61
atau dimanfaatkan oleh pengguna barang. Untuk pekerjaan konstruksi yang dirumuskan dalam Perpres tersebut, pekerjaan
konstruksi
adalah
keseluruhan
pekerjaan
bahwa yang
berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Sedangkan untuk jasa konsultasi dirumuskan bahwa jasa konsultasi adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya oleh pikir (brainware). Obyek yang terakhir dari kontrak ini adalah jasa lainnya yang dirumuskan sebagai jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola
yang
telah
dikenal
luas
di
dunia
usaha
untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan atau segala pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa konsultasi, pelaksanaan pekerjaan konstuksi dan pengadaan barang. 2.1.4 Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Istilah pengadaan barang dan jasa atau procurement diartikan secara luas, mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau adminstrasi tender untuk pengadaan barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa juga tak hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian (purchasing)atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perijinan, penentuan
62
pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi keuangan, jasa konsultasi hukum atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Agar hakekat atau esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan penyedia haruslah selalu berpatokan kepada filosofi pengadaan barang dan jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan barangdan jasa yang berlaku, mengikuti prinsip-prinsip, metoda dan proses pengadaan barang dan jasa yang baku. Di
Indonesia
untuk
pelaksanaan
kegiatan
pengadaan
barang/jasa pemerintah diatur melalui Peraturan Presiden, yang secara teknis diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 1 angka 1 Perpres No. 4 Tahun 2015 bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa
oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan
63
sampai
diselesaikannya
seluruh
kegiatan
untuk
memperoleh
barang/jasa. Pengadaan barang dan jasa harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan dengan menerapkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan, keterbukaan, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses Pengadaan Barang/Jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 Perpres No. 4 Tahun 2015 sebagai berikut: a. Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. b. Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
64
d. Terbuka, berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua
Penyedia
Barang/Jasa
yang
memenuhi
persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. e. Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara sebanyak mungkin Penyedia Barang/ Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/Jasa. f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 2.2 Wanprestasi 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah obyek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai dengan jaminan harta
65
kekayaan debitur. Berdasarkan rumusan Pasal 1234 KUHPerdata menerangkan bahwa prestasi atau cara pelaksanaan kewajiban berupa : 1) memberikan sesuatu; 2) berbuat sesuatu; dan 3) tidak berbuat sesuatu. Berdasarkan tiga cara pelaksanaan kewajiban tersebut, maka dapat diketahui wujud dari prestasi yaitu berupa barang/jasa (tenaga atau keahlian) dan tidak berbuat sesuatu. Apabila para pihak tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan apa yang diperjanjiakan maka dapat dianggap wanprestasi. Wanprestasi merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Belanda “Wanprestatie” yang mempunyai arti tidak terpenuhinya kewajiban yang telah ditetapkan dalam suatu perikatan, baik perikatan yang ditimbulkan dari Undang-Undang maupun dari perjanjian.
Tidak
terpenuhinya kewajiban tersebut ada dua macam kemungkinan yang dapat digunakan sebagai alasan yaitu : a. Karena kesalahan debitur, baik kesengajaan maupun kelalaian. b. Karena
keadaan
memaksa
(force
majeur),
yaitu
diluar
kemampuan debitur dalam arti debitur tidak bersalah. Dari rumusan tersebut diatas, maka wanprestasi dikatakan merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi kewajiban untuk melaksanakan isi dari perjanjian yang disepakati sebelumnya
66
yang telah dibuat secara patut dan benar, sehingga ia dapat dikatakan telah memiliki perestasi yang buruk. Menurut Kamus Hukum, Wanprestasi adalah kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam kontrak. Wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan dengan mana seorang debitor tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht).17 Sedangkan menurut Munir Fuady, wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajibannya sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu yang disebutkan dalam kontrak, yang merupakan pembelokan pelaksanaan kontrak, sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan oleh salah satu atau para pihak.18 Dalam Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa “Debitur adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa debitur akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Rumusan pasal ini menerangkan tentang kapan seseorang dianggap wanprestasi dalam suatu perjanjian.
17
P.N.H Simanjuntak, 2007, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.340 18
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.87.
67
2.2.2
Unsur-unsur Wanprestasi Dalam KUHPerdata tidak menerangkan kapan seseorang dianggap wanprestasi. Melalui rumusan Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
prestasi adalah seseorang yang menyerahkan
sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila seseorang :19 1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2.
Melaksanakan
apa
yang
dijanjikannya,
tetapi
tidak
sebagaimana dijanjikan. 3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Menentukan saat terjadinya wanprestasi dalam wujud tidak dilaksanakannya prestasi dan melaksanakan prestasi tetapi tidak tepat waktunya, karena para pihak umunya tidak menentukan secara tegas waktu untuk melaksanakan prestasi yang dijanjikan dalam kontrak yang disepakati para pihak. Selain itu, untuk menentukan terjadinya wanprestasi dalam wujud melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya, apabila para pihak tidak menentukan secara konkrit prestasi yang seharusnya dilaksanakan dalam kontrak yang mereka buat.
19
Abdul R. Saliman, 2010, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori Dan Contoh Kasus, Prenada media Group, Jakarta, h.48.
68
Wanprestasi akan lebih mudah ditentukan saat melaksanakan perbuatan yang dilarang oleh kontrak tersebut, karena apabila seorang debitor atau pihak yang memiliki kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak itu melaksanakan perbuatan yang dilarang oleh kontrak, maka pihak tersebut tidak melaksanakan prestasinya.20 Wanprestasi dapat terjadi dengan dua cara, yakni :21 a) Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasinya debitur, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur
tersebut
tentang
kelalaiannya
atau
wanprestasinya. b) Sesuai dengan perjanjian, apabila dalam perjanjian tersebut ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah wanprestasi. 2.2.3
Akibat Hukum Dari Wanprestasi Akibat wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi, dapat
20 21
Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.339.
Ahmadi Miru & Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai Pasal 1465 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.8.
69
menimbulkan kerugian bagi pihak yang mempunyai hak menerima prestasi. Dalam hal
debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban
melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi, kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dapat memilih dan mengajukan tuntutan hak berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata, ada lima kemungkinan sebagai berikut: 1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian; 2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi; 3. Membayar ganti rugi; 4. Membatalkan perjanjian; dan 5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Penggantian kerugian bagi pihak yang melakukan wanprestasi harus sesuai dengna kesepakatan yang telah tertuang dalam perjanjian. Perjanjian merupakan bentuk persetujuan dari dua pihak atau lebih, yang saling berjanji untuk mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu. Oleh karenanya perjanjian ini sangat penting, sehingga dalam pelaksanaannya hendaknya selalu di buat dalam bentuk tertulis agar memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum. Menurut KUHPerdata pengertian rugi, adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan oleh para pihak pada saat mereka membuat kontrak, yang timbul sebagai akibat dari wanprestasi. Keharusan adanya
70
hubungan sebab akibat yang langsung dan konkrit antara kerugian nyata dan wanprestasi ditegaskan dalam Pasal 1248 KUHPerdata bahwa jika hal tidak dipenuhinya kontrak itu disebabkan karena tipu daya debitor, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditor dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya kontrak. Ganti rugi sebagai upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsidair. Hal ini memiliki makna bahwa apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi, maka ganti rugi merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh kreditor. Ganti kerugian terdiri dari :22 1. Ganti rugi pengganti adalah ganti rugi yang diakibatkan oleh tidak adanya prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditor 2. Ganti rugi pelengkap adalah ganti rugi sebagai akibat terlambat atau tidak dipenuhinya prestasi debitor sebagaimana mestinya atau karena adanya pemutusan kontrak Dalam Pasal 1246 KUHPerdata, ada tiga komponen ganti kerugian, yaitu : a) Biaya (konsten), yakni segala pengeluaran atau ongkos yang nyatanyata telah dikeluarkan; b) Rugi (schaden), yakni kerugian karena kerusakan barang-barang milik kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi, yang 22
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h.236.
71
disebabkan oleh kelalaian debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak; c) Bunga (interessen), yakni keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak ternyata lalai melaksanakan prestasi yang dijanjikan dalam kontrak tersebut.
Tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Kerugian yang dapat dibayarkan sebagai akibat wanprestasi, adalah : a) Kerugian yang dapat diduga pada saat kontrak dibuat Berdasarkan Pasal 1247 KUHPerdata, debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak hanya diwajibkan membayar ganti kerugia yang nyata telah atau seharusnya dapat diduganya pada saat kontrak dibuat, kecuali jika hal tidak dilaksanakannya kontrak itu karena tipu daya olehnya. b) Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi Dalam Pasal 1248 KUHPerdata memiliki makna bahwa jika tidak dilaksanakannya kontrak karena tipu daya debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, maka pembayaran ganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dan keuntungan yang hilang baginya, hanya terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dilaksanakannya kontrak.
72
2.3 Penyelesaian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2.3.1 Pengertian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pengadaan
barang/jasa
pembelian/penjualan
dimulai
barang/jasa.
Pada
dari
adanya
dasarnya
transaksi pengadaan
barang/jasa adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatam harga, waktu dan kesepakata lainnya. Proses pengadaan barang dan jasa merupakan wilayah hukum perdata jika tidak mengandung unsur kesengajaan kerugian negara. Kegiatan pengadaan barang dan jasa dikategorikan perdata karena berupa perjanjian antara pemerintah selaku pemberi pekerjaan dengan pihak yang menjadi penyedia barang dan jasa. Dalam suatu perjanjian, salah satu bentuk konsensualisme suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dan atau kontrak adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak yang terlibat perjanjian dimaksud. Tanda tangan selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan/persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian, juga berhubungan dengan, kesengajaan para pihak untuk membuat kontrak sebagai bukti atas suatu peristiwa.23 Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 22 Perpres No. 4 Tahun 2015 menunjukkan bahwa kontrak pengadaan barang/jasa oleh pemerintah harus dituangkan dalam bentuk kontrak tertulis. Isi dari
23
Adrian Sutedi, op.cit, h.72.
73
kontrak merupakan bagian penting yang merupakan pokok dari suatu kontrak/perjanjian
itu
sendiri.
Pada
bagian
isi,
para
pihak
mencantumkan segala hal atau pokok-pokok yang dianggap perlu dan merupakan kehendak para pihak sebagai pernyataan tertulis yang sah. Sebagai pokok perjanjian, hal ini diharapkan dapat mencakup dan mengandung semua isi perjanjian yang harus dipenuhi para pihak dan memuat secara mendetail mengenai objek perjanjian, hak dan kewajiban, serta uraian secara lengkap mengenai prestasi. Kontrak pengadaan barang dan jasa sekurang-kurangnya memuat ketentuan sebagai berikut:24 1.
para pihak yang menandatangani kontrak meliputi nama, jabatan, dan alamat;
2.
pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang yang diperjanjikan;
3.
hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian;
4.
nilai/harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran;
5.
persyaratan serta spesifikasi teknis yang jelas dan terperinci;
6.
tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadwal waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya;
7.
24
jaminan teknis/hasil pekerjaan yang dilaksanakan;
Ibid, h.73.
74
8.
ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya;
9.
ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak;
10. ketentuan mengenai keadaan memaksa; 11. ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan; 12. ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja; 13. ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan; 14. ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan.
Dalam suatu kontrak yang telah disepakati oleh para pihak, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perselisihan/sengketa dalam perjalanan pekerjaan yang telah diperjanjikan antara para pihak. Sengketa yang terjadi dapat karena perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja. Sengketa timbul berawal dari situasi dan kondisi yang menjadikan pihak yang satu merasa dirugikan oleh pihak yang lain.25 Pada umumnya suatu sengketa dimulai dari perasaan tidak puas yang dialami oleh perorangan atau kelompok. Jika perasaan tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama, maka selesailah konflik tersebut. Namun, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berlanjut, maka 25
Suyud Margono, 2001, Perlembagaan Alternative Dispute Resolution (ADR) Dalam Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesiai, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.21.
75
akan terjadi sengketa.26 Sengketa dalam pengertian sehari-hari adalah suatu keadaan di mana pihak-pihak yang melakukan perniagaan mempunyai masalah, yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak dibuat sesuatu, tetapi pihak lainnya menolak.27 Sengketa ialah adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompokkelompok yang mengadakan hubungan, karena hak satu di antara dua pihak terganggu atau langgar. Apabila dihubungkan antara sengketa hukum dengan kontrak, maka pengertian sengketa hukum kontrak adalah suatu kondisi terjadinya ketidaksepakatan atau perbedaan pendapat di antara para pihak yang membuat kontrak mengenai hukum dan fakta terkait dengan tidak dipenuhinya hak atau tidak dilaksanakannya kewajiban yang ditentukan dalam kontrak dan/atau berubahan isi (prestasi) yang ditentukan dalam kontrak dan/atau pemutusan hubungan hukum kontraktual yang dilakukan oleh satu pihak tanpa persetujuan dari pihak lainnya.28 Dalam memenuhi kewajiban yang telah dituangkan dalam surat perjanjian atau kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, sering kali para pihak dihadapkan pada berbagai situasi dan kondisi yang kurang mendukung dan menimbulkan hambatan dalam memenuhi kewajiban
26
Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.369.
27
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR di Indonesia Dalam Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 37. Muhammad Syaifuddin, op.cit, h.370.
76
yang telah diatur dalam kontrak. Hambatan yang terjadi menyebabkan suatu sengketa dalam kegiatan pengadaan barang/jasa. Sengketa dalam pengadaan barang/jasa salah satunya dapat terjadi karena perbuatan wanprestasi dari salah satu pihak.
Pihak yang merasa
dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau pengenaan denda/meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga atau denda sebagaimana disebutkan dalam klausul kontrak. Pada wanprestasi bisa saja orang yang dituduhkan melakukan wanprestasi tidak memiliki niat untuk melakukan wanprestasi. Hal ini mungkin terjadi karena ia tidak bisa melaksanakan perjanjian karena hal-hal di luar kemampuannya. Dalam kontrak pengadaan maka pihak pemerintah merupakan kreditur dan penyedia barang/jasa sebagai debitur. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang merupakan salah satu akibat dari wanprestasi adalah debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur. Dalam pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata, terhadap debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya pasal 1237 mengatakan, bahwa sejak
77
debitur lalai, maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur. Atas dasar pada ketentuan KUHPerdata, apabila penyedia barang terbukti melakukan wanprestasi maka penyedia barang wajib memberikan penggantian kerugian bagi pihak pemberi kerja. Dalam pengadaan barang/jasa dasar dari penggantian kerugian adalah Perpres No. 4 Tahun 2015 j.o Peraturan LKPP No. 14 Tahun 2012. Penggantian kerugian
yang wajib dipenuhi oleh penyedia barang
sesuai dengan ketentuan Pasal 120 Perpres No. 4 Tahun 2015 berupa penjatuhan denda keterlambatan untuk setiap hari keterlambatannya. Keterlambatan menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam kontrak karena kesalahan penyedia barang/jasa, dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai kontak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Bab II ketentuan tentang Penandatanganan dan Pelaksanaan Kontrak/SPK Peraturan Pelaksana LKPP No. 14 Tahun 2012 dalam huruf n menyatatakan bahwa : 1) Denda merupakan sanksi finansial yang dikenakan kepada Penyedia barang/jasa sedangkan ganti rugi merupakan sanksi finansial yang dikenakan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (yang selanjutnya
disebut
PPK),
karena
terjadinya
janji/wanprestasi yang tercantum dalam Kontrak
cidera
78
2) Besarnya denda kepada Penyedia atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan adalah : a) 1/1000 (satu perseribu) dari harga bagian Kontrak yang tercantum dalam Kontrak dan belum dikerjakan, apabila bagian pekerjaan dimaksud sudah dilaksanakan dan dapat berfungsi; atau b) 1/1000 (satu perseribu) dari harga Kontrak, apabila bagian barang yang sudah dilaksanakan belum berfungsi. 2.3.2 Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan : 1.
UU No. 30 Tahun 1999, yang mengatur tentang bentuk dan mekanisme hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan baik melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli serta melalui arbitrase;
2.
Dalam pengadaan barang/jasa dasar dari penyelesaian sengketa adalah Perpres No. 4 Tahun 2015 j.o Peraturan LKPP No. 14 Tahun 2012.
2.3.3 Tata Cara Penyelesain Sengketa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam suatu kesepakatan yang telah disepakati para pihak dalam sebuah perjanjian tidak menutup kemungkinan terjadi konflik/sengketa. Konflik terjadi bila pihak-pihak yang berbeda pandangan atau sikap
79
menghendaki perubahan terjadi dengan cara yang berbeda, atau bila mereka mencegah agar perubahan itu tidak terjadi.29 Timbulnya sengketa berawal dari situasi dan kondisi yang menjadikan pihak yang satu merasa dirugikan oleh pihak yang lain.3 Sengketa ialah adanya ketidakserasian antara pribadipribadi atau kelompok-kelompok yang engadakan hubungan, karena hak satu di antara dua pihak terganggu.30 Selanjutnya menurut H. Salim HS bahwa konflik adalah pertentangan, perselisihan, atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang satu dengan yang pihak yang lainnya atau antara pihak yang satu dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik berupa uang maupun benda.31 Menurut F.X. Suhardana, sengketa hukum kontrak dapat timbul apabila kontrak tersebut bermasalah karena hal-hal sebagai berikut:32 a.
Adanya alasan orang yang mengelak untuk melaksanakan kontrak, karena: (1) rumusan kesepakatan dalam kontrak tidak tergambar karena terdapat kesalahan, salah penafsiran karena kecurangan, paksaan oleh satu pihak di antara dua pihak; dan (2) kontrak tidak memenuhi persyaratan undang-undang yang mengharuskan kontrak dalam bentuk tertentu (merupakan kontrak formal);
b.
Adanya beberapa kesalahan yang kerap terjadi dalam praktik hukum kontrak, baik bersifat sepihak atau bersama satu sama lain, yaitu:
29
I Made Widnyana, loc.cit.
30
Muhammad Syaifuddin, loc.cit.
31
H. Salim, op.cit, h.83.
32
FX.Suhardana, 2009, Contract Drafting : Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.61.
80
1) Satu pihak membuat kesalahan tentang suatu fakta dan pihak lainnya mengetahui atau setidak-tidaknya patut mengetahui bahwa telah terjadi suatu kesalahan; 2) suatu kesalahan terjadi karena kekeliruan administratif atau matematis; dan 3) kesalahan sangat fatal, sehingga dijalankannya kontrak akan menyimpang dari rasa keadilan karena ada pihak yang dirugikan. Sengketa hukum yang timbul dari kontrak berawal dari adanya perasaan tidak puas dari satu pihak, karena ada pihak lain yang tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah dijanjikan dalam kontrak atau dengan kata lain ada satu pihak yang melakukan wanprestasi . Terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh satu pihak, menimbulkan hak bagi pihak lain dalam kontrak
untuk menuntut ganti rugi dengan atau tanpa
pemutusan kontrak kepada pihak yang melakukan wanprestasi. Hal ini juga yang terjadi dalam pemberian denda bagi pihak penyedia yang lewat waktu penyelesaian pekerjaan. Pihak pemberi kerja merasa tidak puasa kepada penyedia yang tidak memenuhi prestasi sesuai waktu yang disepakati, sehingga pihak pemberi kerja memberikan sanksi berupa denda yang dalam pelaksanaanya sering menimbulkan perselisihan. Untuk dapat meyelesaikan sengketa pada kontrak termasuk kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, para pihak dapat menempuh tata cara penyelesaian sengketa melalui upaya hukum litigasi dan non litigasi.
81
Upaya hukum melalui litigasi yaitu proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sedangkan penyelesaian sengketa non litigasi yang lazim disebut Alternatif Disputes Resolution (yang selanjutnya disebut ADR) menurut Takdir Rahmadi dalam buku I Made Widnyana, adalah sebuah konsep yang mecakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain daripada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus atau tidak beradasarkan pendekatan konsensus.33 Penyelesaian sengketa melalui litigasi tunduk pada sistem peradilan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman serta hukum acara, sedangkan untuk penyelesaian sengketa non litigasi didasarkan pada undang-undang tentang Arbitrase dan APS yang memiliki tatacara penyelesaian tersendiri dan khusus. Tata penyelesaian sengketa ini juga berlaku dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dengan merujuk pada ketentuan Pasal 94 Perpres No. 4 Tahun 2015, dinyatakan dalam ayat (1) bahwa “Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam penyediaan barang/jasa pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat.” Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa “Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelsaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengeketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
33
Ibid, h. 11.
82
Dewasa ini, untuk sengketa yang terjadi dalam kontrak termasuk dalam kontrak pengadaan barang/jasa tata cara penyesaian sengeketa yang terlebih dahulu ditempuh adalah musyawarah, namun apabila musyawarah tidak menemukan kesepakatan akan ditempuh melalaui ADR. Melalui ADR dipilih, karena penyelesaian sengketa melalui litigasi yang formal memerlukan biaya yang mahal, yang prosesnya panjang dan dapat menimbulkan hubungan yang tidak baik antara para pihak. Proses ADR dipilih karena prosesnya yang lebih cepat, biaya yang lebih murah, sifatnya informal karena segala sesuatunya ditentukan oleh pihak yang bersengketa, kerahasiaan yang terjamin, serta dapat menjaga hubungan baik dengan para pihak. 34 Penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang melalui alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengeketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Konsultasi adalah proses penyelesaian sengeketa antara pihak atau lebih dengan mengadakan pertemuan-pertemuan membahas masalah-masalah yang dianggap penting dengan tujuan dapat dicarikan jalan keluar dan pemecahan masalah yang dihadapi secara bersamasama.35 Negosiasi adalah proses penyelesaian sengketa yang berlangsung secara suka rela antara pihak-pihak yang mempunyai masalah atau kasus
34
I Made Widnyana,op.cit, h.15.
35
Ibid, h,72.
83
dengan cara melakukan tatap muka secara langsung untuk memperoleh kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak.36 Sedangkan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilaukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan tidak memihak sebagai fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri, tidak oleh mediator.37 Untuk konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yang netral, dengan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang berbeda pendapat secara terpisah, dengan tujuan untuk mengurangi atau meminimalisir ketegangan-ketegangan yang terjadi dan berusaha agar diantara pihak-pihak yang bersengketa tersebut dapat mencapai suatu kesepakatan bersama.38 Selanjutnya
penilaian ahli adalah proses
penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh ahli yang ditunjuk untuk melakukan penilaian terhadap masalah atau kasus yang timbul antara para pihak sesuai dengan keahliannya dan kemudian membuat suatu keputusan yang mengikat para pihak. Selain kelima cara penyelesaian alternatif sengketa tersebut, cara penyelesaian sengketa lainnya yang diluar pengadilan melalui arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
36
Ibid, h.77.
37
Ibid, h.111.
38
Ibid, h.73.
84
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan pilihan terakhir dalam menyelesaikan suatu sengketa setelah sebelumnya dilakukan perundingan di antara para pihak yang bersengketa, baik secara langsung maupun dengan menunjuk kuasa hukumnya guna menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui jalur litigasi maka penyelesaian sengketa melalui proses beracara melalui badan peradilan. Sistem peradilan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam Pasal 25 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman terdapat empat lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara. Ruang lingkup kewenangan
masing-masing peradilan terdiri dari : 1. Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
85
4. Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Beberapa alasan yang menyebabkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak dijadikan pilihan utama adalah lamanya proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara yang disebabkan oleh panjangnya tahapan penyelesaian sengketa, yakni proses beracara di Pengadilan Negeri, kemudian masih dapat banding ke Pengadilan Tinggi, dan kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan proses dapat lebih panjang jika diajukan peninjauan kembali; tingginya biaya yang diperlukan dan bersifat permusuham. Selain kelemahannya, proses litigasi juga memliki keunggulan utama yaitu bahwa putusan pengadilan, yang disebut putusan hakim, menunjukkan kekuasaan dari negara dan mempunyai kekuatan eksekutorial.39
39
Ibid, h.71.