[Type text] SEKELUMIT TENTANG POKOK-POKOK HUKUM DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Oleh: Abu Samman Lubis* I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Instansi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dilakukan oleh instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Instansi/institusi yang melakukan pengadaan barang/jasa yang menggunakan APBN/APBD adalah para pihak yang terkait dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan (ULP/PP), Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) dan Penyedia Barang/Jasa. Apabila kita mengikuti perkembangan baik melalui media elektorik, koran dan media massa lainnya, membuat kita “miris” karena banyak para pejabat, atau sudah mantan pejabat tersandung kasus baik masih menjalani proses hukumnya maupun sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach). Dari berbagai kasus yang menimpa dari pejabat dimaksud ada sebagai pejabat Pengguna Anggaran (PA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau sebagai Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan (ULP/PP). Mereka telah/diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkembangan saat ini baik dana yang bersumber APBN maupun APBD dari tahun ke tahun selalu bertambah, dan bertambah pula dana yang diperlukan untuk pengadaan barang/jasa baik yang bersumber dari penerimaan dalam negeri maupun hibah. Hal ini memerlukan penanganan yang sungguhsungguh dari pengguna barang/jasa. Sehingga, apabila dalam pelaksanaannya kurang baik yang akan mengakibatkan kerugian bagi negara seperti diperolehnya barang yang kualitasnya kurang baik, kuantitasnya kurang sesuai, kurang terpenuhinya persyaratan teknis lainnya, terlambatnya penyerahan barang sehingga tertundanya pemanfaatan barang/jasa yang diperlukan, satu dan lain hal dapat menimbulkan kerugian bagi negara dan ini harus dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, yang mengindikasikan adanya kesenjangan yang memunculkan suatu pertanyaan, bagaimana mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan, yaitu barang yang berkualitas untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, perlu ditelusuri untuk memetakan bagian-bagian mana saja aspek hukum yang menjadi dasar pijakan yang menagtur mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penyerahan sampai dengan pelaporan dan pertanggung jawaban
pelaksanaan kegiatan pengadaan
barang/jasa, sehingga dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1
1.2 landasan hukum Landasan hukum sebagai kerangka acuan pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 3) Undang-Undang 52 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 4) Kitab-Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi. 7) Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan hukum adalah adanya asas hukum yang mengatakan bahwa “Lex superior derogate legi inferiori”, undang yang lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya. Di samping itu, Peraturan tersebuat di atas mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan sehingga berlakunya aturan tersebut dapat dipertahankan. Dengan dikenakannya sanksi bagi mereka yang melanggar peraturan (undang-undang) maka hukum itu bersifat memaksa.
1.3 Pejabat-pejabat Pengadaan barang/Jasa Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa mulai dari perencanaan/persiapan, pelaksanaan sampai dengan pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan pengadaan tersebut memerlukan pengendalian secara konsisten yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pengadaan yaitu: 1) Pengguna Anggaran (PA) adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi Pengguna APBN/APBD. 2) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang ditetapkan PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. 3) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. 4) Unit
Layanan
Pengadaan
(ULP)
adalah
unit
organisasi
Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdisi sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. 5) Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan barang/Jasa. 6) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia atau pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.
2
[Type text] 7) Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Kontruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya. II. Beberapa Pengertian Pokok-Pokok Hukum dalam Pengadaan Barang/Jasa
2.1
Melawan Hukum Di dalam referensi hukum sering dijumpai penggunaan istilah “melawan hukum” dan “melanggar
hukum”. Istilah “melanggar hukum” lazim dipergunakan dalam ranah hukum perdata, sedangkan “melawan hukum” lazim dipergunakan dalam ranah hukum pidana. Di dalam pengadaan barang/jasa melekat tiga aspek hukum, yaitu hukum tata usaha negara, hukum pidana, dan hukum perdata. Ditinjau dari isinya hukum dapat dibagi menjadi hukum privat/sipil, dan hukum publik. Hukum privat/sipil adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain sebagai anggota masyarakat, dan menitikberatkan
pada kepentingan perorangan yang
bersifat pribadi. yang termasuk dalam sipil/privat adalah hukum perdata, hukum dagang. Sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang dan negara antara badan atau lembaga negara yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat atau negara. Yang termasuk dalam hukum publik antara lain hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum tata negara. Melanggar hukum dalam konsep hukum perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian”. Sedangkan konsep melanggar hukum menurut hukum pidana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Untuk menciptakan kepastian hukum dalam menerapkan aturan hukum dapat digali dari sumber hukum yaitu segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum berupa aturan-aturan yang mengikat dan memaksa. Sumber hukum pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber hukum formil, dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber dengan bentuk tertentu (tertulis) yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal, sehingga melawan hukum menurut formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum tertulis. Sedangkan sumber hukum materiil adalah tidak saja tertulis tetapi juga tidak tertulis – faktor kemasyarakatan yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada aturanaturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup dalam masyarakat. sehingga melawan hukum secara materiil tidak saja memenuhi unsur formil (delik), tetapi perbuatan tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan.
3
2.2
Kerugian Negara Pengertian kerugian negara, dalam
Undang-Undang Perbendaharaan Nomor 1 Tahun 2004,
berbunyi “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti rugi untuk jumlah yang lebih besar daripada kerugian sesungguhnya. Selain itu, frase “kekurangan nyata dan pasti jumlahnya” memudahkan bagi yang diperiksa dan yang memeriksa dalam mencapai kesepakatan tentang frase tersebut. Ukurannya yang objektif atau hampir tidak ada unsur penafsiran yang subjektif. Oleh karena itu, pada dasarnya kerugian negara tidak boleh ditetapkan dengan kira-kira atau taksiran. Sedangkan pengertian kerugian negara menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dikatakan “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Untuk memenuhi unsur dapat merugikan atau perekonomian negara berarti kerugian negara bisa sudah terjadi. Dalam petunjuk Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merumuskan bahwa kerugian keuangan/kekayaan negara adalah “suatu kerugian yang tidak hanya bersifat riil yaitu yang benar-benar terjadi namun juga yang bersifat potensial yaitu yang belum terjadi seperti adanya pendapatan negara yang akan diterima dan sebagainya. Terlihatlah perbedaan pengertian antara hukum administrasi negara dan UU PTPK dalam menilai kerugian negara. Menurut Hukum Administrasi Negara nilai kerugian yang dituntut sebesar kerugian yang terjadi tidak boleh lebih atau kurang. Sifat kerugiannya adalah nyata, pasti, dan telah terjadi. Sedangkan UU PTPK, nilai kerugian yang dituntut maksimum sebesar kerugian yang terjadi. Sifat kerugiannya adalah yang terjadi dan berpotensi terjadi. 2.3
Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung
segala sesuatu. Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yakni liability dan reponsibility. Liability diartikan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang. Sedangkan Responsibility
adalah kewajiban bertanggung jawab atas undang-
undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya – memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan responsibility menunjuk pada tanggung jawab politik atau pemerintahan. Setiap subjek hukum baik manusia (warga negara) maupun badan hukum (publik atau privat) yang melanggar hukum atau subjek hukum yang tindakannya menimbulkan akibat hukum (hak dan kewajiban atau akibat hukum positif maupun negatif) maka subjek hukum itu harus mengembalikan pada keadaan semula.
4
[Type text] Dalam kaitannya dengan tanggung jawab subjek hukum dalam KUH Perdata terdapat beberapa pasal seperti berikut ini: Pasal 1365 seperti disebutkan di atas “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1366 “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan
karena kelalaian atau kurang hati-
hatinya”. Pasal 1367 “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Di samping itu, berdasarkan UU Perbendaharaan Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 18 ayat 2c berbunyi “Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas yaitu bersumber dari hukum privat (KUH Perdata) dan hukum publik (Undang-undang Perbendaharaan)
pemerintah dibebani tanggung jawab
yang sama
sebagaimana seseorang atau badan hukum perdata pada umumnya dan juga pertanggungjawaban dalam hukum publik. 2.4
Wewenang Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan, yang secara
yuridis dilekati dengan kewenangan. Wewenang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Pejabat yang berwenang dalam artikel ini adalah PA/KPA, PPK, Tim Pendukung, Tim Teknis.
Sebaliknya
penyalahgunaan wewenang adalah
menggunakan wewenang untuk tujuan lain daripada tujuan diberikan wewenang itu, atau mengeluarkan keputsan yang melebihi kewenangannya merupakan penyalahgunaan wewenang. Misalnya, keputusan pemenang kepada usaha non kecil yang seharusnya pengadaan barang/jasa diklasifikasikan/dipergunakan kepada pengusaha kecil.. Dalam
perspektif
hukum,
adanya
kewenangan
inilah
yang
memunculkan
adanya
pertanggungjawaban. Pemberian wewenang tertentu untuk melakukan tindakan hukum tertentu, menimbulkan pertanggungjawaban atas wewenang tersebut. Tidak seorangpun dapat melaksanakan kewenangan tanpa memikul kewajiban tanggung jawab .
Setiap tindakan pejabat tidak terkecuali dalam pengadaan barang
dan jasa harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Kewenangan itu hanya diberikan oleh undang-undang artinya bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang (peraturan perundang-undangan) 5
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya disebut kewenangan yang ditetapkan oleh undang-undang. Pasal Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara merumuskan bahwa wewenang atribut adalah kewenangan yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan. Dengan kata lain pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Kewenangan delegasi bersumber dari pelimpahan, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Sedangkan kewenangan mandat bersumber dari penugasan, yaitu terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan wewenangnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.. Keduanya (delegasi dan mandat) dalam UU ASN telah dibedakan secara jelas sebagaimana tergambar pada matrik berikut Mandat a. Prosedur Pelimpahan
Dalam hubungan rutin atasan bawahan: hal biasa kecuali dilarang tegas Tetap pada pemberi mandat
Delegasi Dari suatu organ pemerintahan kepada orang lain: dengan peraturan perundang-undangan Beralih kepada delegataris
b. Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat c. Kemungkinan si Setiap saat dapat Tidak dapat menggunakan pemberi menggunakan sendiri wewenang itu lagi kecuali setelah menggunakan wewenang yang dilimpahkan ada pencabutan dengan berpegang wewenang itu lagi itu pada asas “contrarius actus” d. Tata Naskah Dinas a.n., u.b., a.p. Tanpa a.n., dll. (langsung) Sumber: Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, hal 98. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa setiap penggunaan kewenangan di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun demikian harus pula dikemukakan tentang cara-cara memperoleh dan menjalankan kewenangan. Sebab tidak semua yang menjalankan kewenangan pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan ketetapan atas dasar kewenangan yang diperoleh secara atribut dan delegasi adalah sebagai pihak yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan badan atau pejabat tata usaha negara yang melaksanakan tugas dan pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum, yang memikul tanggung jawab adalah pemberi mandat. Pengkajian masalah tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan
barang/jasa adalah dalam rangka memberikan pembeda yang spesifik, kapan
seorang pejabat yang terbukti melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa menjadi tanggung jawab jabatan dan kapan ia menjadi tanggung jawab pribadi. Dalam kamus istilah hukum “aansprakelijk” artinya tanggung jawab menurut hukum atas kesalahan atau akibat suatu perbuatan. Dengan demikian, “tanggung jawab jabatan” adalah tanggung jawab menurut hukum yang dibebankan kepada negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari tindakan jabatan.
6
[Type text] Sedangkan “tanggung jawab pidana” adalah tanggung jawab menurut hukum yang dibebankan kepada seseorang atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi. Pengertian yang terakhir ini tidak berbeda dengan pengertian “tanggung jawab pribadi”, karena tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi” Perbedaan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN). Dalam hukum administrasi, parameter tanggung jawab jabatan adalah asas legalitas (keabsahan) tindakan pejabat. Dalam hukum administrasi, persoalan legalitas tindakan pejabat berkaitan dengan pendekatan kekuasaan. Sedangkan tanggung jawab pribadi adalah tanggung jawab pidana, maka hal itu berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan perilaku. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun “public service”. Dalam hukum pidana, parameter tanggung jawab pidana adalah asas kesalahan. Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dalam doktrin, untuk adanya kesalahan harus melakukan perbuatan melawan hukum, mampu bertanggung jawab, perbuatan itu dilakukan dengan sengaja atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam praktek khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pengadaan barang/jasa, parameter ini tidak mutlak harus terpenuhi semua, seperti unsur mampu bertanggung jawab. Oleh sebab itu, maka yang menjadi parameter untuk adanya tanggung jawab pidana dalam pengadaan barang/jasa adalah melakukan perbuatan melawan hukum dan melakukan penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang hanya dapat dilakukan oleh pejabat atau badan pemerintah. III. PENUTUP Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah penting diketahui oleh pengguna dan penyedia barang/jasa pemerintah tentang pengertian dasar dari pokok-pokok hukum (positif) yang berlaku, dimaksudkan untuk mengetahui posisi masing-masing dalam melakukan tindakan atau perbuatan hukum. Pemahaman terhadap pengertian dasar pokok-pokok hukum dimaksud pada gilirannya akan mengetahui hak dan kewajiban hukum bagi para pihak dan menjadi pedoman dalam bersikap dan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa terdapat tiga bidang hukum yang melekat, yaitu hukum administrasi negara, hukum pidana, dan hukum perdata. Hukum Pidana dan administrasi negara sebagai hukum publik yang mengatur huhungan hukum antara orang dengan negara (terkait kepentingan negara), sedangkan
hukum perdata sebagai hukum privat terkait dengan hubungan hukum antara
orang/subjek hukum dengan subjek hukum lainnya di bidang keperdataan. Hak, wewenang dan kewajiban yang melekat para pihak akan berimplikasi pada hakikat pengadaan untuk mendapatkan barang/jasa kualitas dan kuantitas yang tepat, serta tempat, harga dan waktu yang tepat, mulai dari proses perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
7
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentng Perbendaharaan Negara. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Amiruddin. 2010. Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Yogyakarta: Genta Publishing. Laila, Kholis Efi. 2010. Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi. Depok:Solusi Publishing. Lubis, Abu Samman. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: Lembaga Pengembangan Insani Indonesia. Ridwan, HR. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. Subekti, R. 1989. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
*Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Malang
8