Kiat BISNIS Volume 5 No. 1 Desember 2012
Jasa, Harapan Dan Pengalaman
Abstrak Pembentukan perilaku konsumen khususnya terhadap produk jasa, setidaknya melalui tiga tahap, yaitu tahap sebelum pembelian (the prepurchase stage), tahap konsumsi (the consumption stage), tahap evaluasi setelah pembelian (postpurchase evaluation). Pada seorang konsumen baru, harapan konsumen dianggap sebagai suatu prediksi terhadap berbagai kemungkinan kejadian selama transaksi di masa mendatang. Pengalaman berikutnya adalah hasil evaluasi yang didasarkan pada perbandingan antara harapan dengan kenyataan kinerja sebenarnya dari pelayanan tersebut. Keywords
Jarot Prasetyo
Jasa, kualitas jasa, harapan konsumen jasa, perilaku konsumen jasa, pengalaman konsumen produk jasa.
Staf Pengajar Universitas Widya Dharma Klaten
35
Kiat BISNIS Volume 5 No. 1 Desember 2012
manusia yang selalu mengejar kemudahan, kesenangan dan berbagai ragam implementasi hedonistik prinsip-prinsip ekonomi yang melekat, yang tanpa disadari juga telah secara eksesif merubah perilaku manusia sebagai konsumen ke luar wilayah perilaku ekonomis normatifnya.
Pendahuluan Kecenderungan setiap orang untuk membelanjakan lebih banyak uangnya terhadap produk jasa, sebagai cerminan peningkatan kemakmuran akibat pertumbuhan ekonomi dunia serta didukung adanya pertumbuhan teknologi baru dalam setiap bidang, secara umum telah memacu pertumbuhan industri sektor jasa. Peningkatan kemakmuran dan teknologi baru membuka kemungkinan setiap orang untuk lebih sering memanfaatkan kekuatan jasa sebagai cara memudahkan kehidupannya, sekali pun dengan konsekuensi dana lebih besar.
Pembahasan ini memang tidak membicarakan secara khusus posisi perubahan hedonistik eksesif perilaku konsumtif para konsumen terhadap jasa, tetapi sedikit latar belakang yang menyinggung sifat dasar manusia dalam kaitannya dengan perilaku konsumtifnya akan memberikan nuansa kesadaran relatif bahwa pembahasan mengenai apa pun dalam setiap momennya seharusnya tidak terlepas sama sekali dengan kenyataan bahwa arus besarnya adalah berujung pada upaya menghindari dehumanisasi.
Faktanya memang menunjukkan bahwa dalam setiap aspek kehidupan seseorang tidak pernah terlepas dari ketersinggungan, untuk tidak mengatakan ketergantungan (kondisi tertentu yang secara spesifik dialami seseorang tidak menyebabkannya sampai pada taraf ketergantungan terhadap jasa tertentu), terhadap produk yang disebut jasa tersebut.
Dengan demikian implisit ada beberapa asumsi pendahuluan yang menjadi pengarah pembahasan ini. Pertama, produk jasa yang ditawarkan adalah bersifat standar artinya secara umum orang bisa menikmatinya tanpa melalui persyaratan khusus dan banyak ditawarkan oleh penyedia jasa sehingga posisi persaingan antar satu perusahaan jasa dengan perusahaan lain berimbang. Kedua, konsep tentang jasa bisa berlaku di negara maju mau pun negara sedang berkembang kendati berbagai konsep tentang jasa sering kali berasal dari negara barat makmur (misal, Amerika Serikat).
Jasa transportasi, restauran, hotel, listrik, telepon, pos, perawatan kesehatan, bantuan hukum dan sebagainya merupakan bentuk-bentuk jasa yang membuat hidup seseorang semakin mudah dan potensial menciptakan perubahan tertentu pada perilaku konsumsinya. Kalau sebelum itu hampir semua kegiatan dilakukan sendiri, maka sekarang dengan tersedianya berbagai macam produk jasa, orang akan semakin mengandalkan pihak lain (penyedia jasa) untuk memenuhi hajat hidupnya, harapanharapannya terhadap ketersediaan jasa, kualitas jasa dan sebagainya, bahkan sampai pada efek yang diciptakannya, seperti kesediaan seseorang membelanjakan sebagian besar uangnya demi segenggam gengsi untuk menaikkan citra diri; sampai pada batas kemampuannya menyediakan dana untuk jasa tersebut karena jasa yang dikonsumsi tidak gratis.
Jasa Sesungguhnya sangat sulit untuk menentukan apakah suatu produk sepenuhnya disebut barang (goods) atau jasa (services). Sebab, produk barang belum tentu terbebas dari peranan elemen jasa dalam proses produksinya maupun dalam proses pemasarannya. Demikian juga dalam pelayanan jasa, tidak mungkin tidak memanfaatkan peranan barang dalam proses produksi dan pemasarannya. Bahkan perusahaan jasa yang ingin tampil beda, sering memanfaatkan fungsi tertentu dari
Hal itu semata-mata semakin mencerminkan bahwa jasa sebagai produk industri yang kapitalistik intensif bersifat ekonomis serta kukuhnya naluri purba
36
Kiat BISNIS Volume 5 No. 1 Desember 2012
suatu barang sebagai tambahan pelayanan jasanya.
jasa diterima atau diserahkan, dimulai sejak konsumen menyadari adanya suatu kebutuhan atau adanya masalah. Jalan keluar untuk mengatasi kebutuhan atau masalah tersebut potensial menimbulkan tindakan pembelian. Konsumen kemudian mencari informasi yang relevan dari sumber internal maupun eksternal sampai ditemukan jalan keluarnya dan akhirnya melakukan pemilihan cara penyelesaian yang paling memuaskan. Konsumen biasanya jarang sekali menggunakan setiap alternatif keputusan yang ada pada saat pengambilan keputusannya, karena pilihan yang ada terbatas hanya pada pilihan yang pernah mereka lakukan di masa lalu berdasarkan pengalaman, kebiasaan dan pengetahuannya.
Menurut pendapat Mills dan Moberg (1982), ada dua faktor acuan yang membedakan barang dan jasa, yaitu perbedaan prosesnya dan perbedaan outputnya. Sementara itu John L. Schorr, wakil presiden pemasaran Holiday Inns, menjelaskan ada garis pemisah antara barang dan jasa, tergantung kepada tempatnya dan jenis perusahaannya. Lebih jauh dikatakan bahwa produk adalah sesuatu yang dibeli dan kemudian dibawa untuk dikonsumsi atau untuk digunakan oleh konsumen. Jika produk tersebut tidak bersifat fisik, atau bukan sesuatu yang bisa dibawa atau dikonsumsi, maka produk tersebut disebut jasa (Gary Knisely, 1979).
Pada tahap ini bentuk harapan konsumen adalah apa yang akan mereka terima dan apa yang akan mereka rasakan secara nyata dari jasa yang dikonsumsi (Sasser, Olsen, Wyckoff 1978; Gronroos 1982; Lehtinen and Lehtinen 1982; Parasuraman, Zeithaml, and Berry 1985, 1988; Brown and Swartz 1989 dalam John E. Bateson, Managing Services Marketing, hal. 47). Pada tahap ini pula perusahaan jasa memainkan peranan penting dalam kegiatan konsumsi seorang konsumen sebab jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Dengan kata lain, kualitas jasa yang dirasakan dipandang sebagai tingkat dan arah ketidaksesuaian di antara persepsi dan keinginan para konsumen.
Contoh dikotomistis antara pengertian barang dan jasa dapat diwakili oleh Pizza Hut yang menjual pizza sekaligus mengantarkannya ke rumah atau tempat pemesan berada. Pertanyaannya adalah apakah konsumen membeli jasa (pengiriman pizza) atau barang (pizza)? Konsep pemasaran harus mempertimbangkan kenyataan bahwa ternyata setiap pelayanan jasa merupakan campuran antara produk jasa dan produk barang (John E. Bateson). Pembicaraan selanjutnya tentang jasa menggunakan pengertian bahwa suatu produk disebut jasa jika manfaat yang diterima dari konsumen lebih dirasakan sebagai jasa dari pada sebagai barang (John E. Bateson).
2. Tahap Konsumsi
Tiga Tahap Model Perilaku Konsumen Jasa
Tahap ini terdiri dari kegiatan pembelian, penggunaan dan "pembuangan" (disposing) yang disertai dengan adanya seperangkat harapan terhadap kinerja produk. Ke tiga aktivitas itu disebut the consumption process. Terhadap produk jasa, tahap ini merupakan tahap yang lebih kompleks sebab manfaat jasa yang dibeli konsumen mengandung unsur pengalaman yang diperoleh melalui proses interaksi personal sebelumnya antara konsumen, penyedia jasa serta fasilitas pendukungnya.
John E. Bateson dalam bukunya Managing Services Marketing (1995) menyebutkan tiga tahap model perilaku konsumen jasa, yaitu tahap sebelum pembelian (the prepurchase stage), tahap konsumsi (the consumption stage), tahap evaluasi setelah pembelian (postpurchase evaluation). 1. Tahap Sebelum Pembelian
Tahap ini merupakan tahap dimana seluruh kegiatan konsumen terjadi sebelum
3. Tahap Evaluasi Setelah Konsumsi
37
Kiat BISNIS Volume 5 No. 1 Desember 2012
Pada tahap ini konsumen mengevaluasi jasa dengan cara membandingkan jasa yang telah dirasakan dengan harapan yang terbentuk sebelumnya. Jika jasa yang dirasakan sama atau bahkan lebih baik dari pada harapannya, maka mereka merasa puas. Tahap ini merupakan akhir dari proses pemanfaatan suatu jasa oleh seorang konsumen dan potensial menjadi sumber penularan pengalaman seorang konsumen terhadap calon konsumen lainnya (word-ofmouth recommendation) sehingga merangsang keinginan pembelian selanjutnya.
memiliki pengalaman mengkonsumsi jasa? Apakah mungkin harapan konsumen timbul terlebih dahulu sebelum jasa dikonsumsi ataukah terbentuknya harapan konsumen timbul setelah konsumen mengalami pengalaman menggunakan jasa yang ditawarkan. Bias ini, akan mempengaruhi implementasi selanjutnya dalam strategi pemasaran produk jasa, terutama bagi perusahaan jasa yang baru berdiri atau perusahaan jasa yang akan mencari pasar baru. Saya menggunakan asumsi bahwa jasa yang dimaksudkan adalah jasa standar yang baru ditawarkan (produk baru) sedangkan konsumen dalam hal ini adalah konsumen baru yaitu konsumen yang baru pertama kali mengkonsumsi jasa standar yang ditawarkan dan tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman sama sekali mengenai jasa tersebut. Jasa standar adalah kualitas jasa yang secara minimum seharusnya dirasakan oleh konsumen. Walaupun konsumen berharap memperoleh kualitas jasa seperti yang mereka inginkan, mereka menyadari bahwa hal tersebut tidak selalu tercapai. Maka mereka memasang tingkat harapannya pada tingkat yang lebih rendah sebagai patokan kualitas jasa minimum yang harus mereka peroleh. Zeithaml, Berry and Parasuraman menyebutnya sebagai adequate service.
Harapan Dan Pengalaman Berbagai literatur mengenai produk jasa sering membahas hubungan antara harapan konsumen terhadap kualitas jasa yang ingin diterimanya dengan pengalaman konsumen. Di antaranya adalah Olson dan Dover (1979) dalam buku John E. Bateson, Managing Services Marketing, hal. 47 mengatakan: "Customer expectation are pretrial beliefs about a product that serve as standards or reference points againts which product performance is judged". Dalam buku yang sama disebutkan oleh Parasuraman, Zeithaml, and Berry (1985, 1988) mengenai Gaps Model of service quality:"Customer assessments of service quality result from a comparison of service expectations with actual performance".
Artikel ini merupakan suatu tinjauan teoritis mengenai pengertian dan pembentukan harapan konsumen, dilanjutkan pengertian teoritis tentang pengalaman konsumen jasa. Di akhir artikel saya mencoba menggabungkan kedua pengertian tersebut untuk menjawab pertanyaan apakah harapan konsumen timbul terlebih dahulu sebelum jasa dikonsumsi ataukah terbentuknya harapan konsumen timbul setelah konsumen mengalami pengalaman menggunakan jasa yang ditawarkan. Serta sedikit disinggung implementasinya bagi perusaahan jasa baru mau pun lama. Sebagian besar sumber bacaan adalah artikel hasil penelitian Zeithaml, Berry and Parasuraman (1993): The Nature and Determinants of Customer Expectations of Service, yang dimuat dalam
Kedua pernyataan tersebut sebagai bagian dari banyak pernyataan lain yang intinya menghubungkan pengalaman konsumen mengkonsumsi suatu produk jasa dengan harapan konsumen terhadap kualitas jasa yang ditawarkan. Hubungan yang terjadi dalam hal ini adalah hubungan sebab akibat, yaitu pengalaman digunakan sebagai dasar pembentukan harapan konsumen. Tetapi tidak pernah dijelaskan bahwa adanya variabel pengalaman berarti konsumen tersebut adalah konsumen yang pernah mengkonsumsi jasa yang ditawarkan. Bagaimana dengan pembentukan harapan bagi konsumen baru yang belum
38
Kiat BISNIS Volume 5 No. 1 Desember 2012
buku John E. Bateson, Managing Services Marketing (1995) halaman 43-56.
dan pengalaman yang memadai untuk menentukan tingkat harapannya (asumsi). Alasan tersebut menjadi dasar bagi saya untuk membuat kesimpulan sementara bahwa pengertian prediksi dan estimasi lebih tepat sebagai gambaran untuk menunjukkan harapan konsumen baru terhadap produk jasa standar. Artinya bahwa pembentukan tingkat harapan konsumen jasa standar timbul setelah konsumen memiliki pengetahuan dan pengalaman mengkonsumsi jasa yang sama.
Harapan Konsumen Sebagai Standar Prediksi Harapan konsumen dianggap sebagai suatu prediksi terhadap berbagai kemungkinan kejadian selama transaksi di masa mendatang. Menurut pendapat Oliver (1981)"...expectations are consumerdefined probabilities of the occurrence of positive and negative events if the consumers engages in some behaviour". Miller (1977) menyebutnya sebagai standar yang diharapkan (expected standard), yaitu suatu perhitungan obyektif mengenai kemungkinan kinerja (kualitas jasa). Swan dan Trawick (1980) serta Prakash (1984) menyebutnya sebagai predictive expectations, yaitu estimasi terhadap tingkat kinerja (kualitas jasa) yang sudah diantisipasi.
Sementara itu, jika yang dimaksudkan adalah jasa customized, maka pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki konsumen tidak relevan sebagai dasar penentuan tingkat harapannya sebab jasa customized bersifat berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi yang ada atau pesanan konsumen. Konsumen hanya bisa berharap sesuai dengan yang diinginkannya dan ini bisa tercapai dalam batas-batas tertentu yaitu jasa standar (menurut pemahaman , jasa yang bersifat customized terdiri dari jasa standar dan jasa yang disesuaikan dengan pesanan atau jasa khusus atau mungkin bisa disebut jasa tambahan). Sehingga harapan konsumen terhadap kualitas jasa customized tidak bisa diperoleh secara tepat. Maka pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki konsumen jasa ini tidak relevan sebagai dasar penentuan tingkat harapan konsumen terhadap kualitas jasa customized. Kesimpulan sementara adalah pengetahuan dan pengalaman konsumen bukan sebagai sumber pembentukan tingkat harapan konsumen terhadap jasa customized.
Ketiga definisi tersebut mengandung suatu dimensi pengertian bahwa konsumen belum mengetahui secara persis seberapa tinggi kualitas jasa yang akan diperolehnya sehingga konsumen belum memiliki dasar untuk menetapkan tingkat harapannya. Hal ini bersumber dari penggunaan kata-kata probabilitas, prediksi dan estimasi yang bersifat pendugaan kemungkinan yang akan terjadi. Apabila dalam hal ini jasa yang dimaksud adalah jasa yang bersifat standar, maka jasa dan konsumen yang dimaksudkan adalah jasa dan konsumen baru. Seorang konsumen yang baru pertama kali merasakan jasa standar belum memiliki pengetahuan dan pengalaman mengkonsumsinya. Tetapi jika pada masa berikutnya konsumen tersebut mengkonsumsi jasa yang sama (standar) maka ia telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sama dengan yang sebelumnya sehingga harapannya terhadap kualitas jasa tersebut sudah terbentuk secara tepat, bukan lagi bersifat prediksi atau estimasi. Demikian pula halnya terhadap jasa sebagai produk baru, konsumen belum memiliki pengetahuan
Harapan Konsumen Sebagai Standar Ideal Miller (1977) mengajukan pendapatnya bahwa harapan ideal (ideal expectations) merupakan tingkat kinerja (kualitas) jasa yang diinginkan atau diharapkan (wished for). Swan dan Trawick (1980) menawarkan suatu standar yang disebut harapan yang diinginkan (desired expectations) sebagai suatu tingkat kinerja
39
Kiat BISNIS Volume 5 No. 1 Desember 2012
(kualitas jasa) yang diharapkan dari suatu produk. Prakash (1984) merumuskan harapan normatif (normative expectations) yaitu bagaimana seharusnya suatu jasa dilaksanakan sehingga konsumen terpuaskan. Peneliti lain juga menawarkan pengertian yang memiliki arti yang sama dengan pengertian tentang jasa di atas. Semuanya mengarah kepada suatu bayangan harapan tertentu suatu tingkat kualitas jasa yang seharusnya diterima oleh konsumen.
saat itu. Sehingga untuk sementara dapat disimpulkan bahwa harapan yang timbul pada seorang konsumen baru adalah bukan didasarkan pada pengalaman tetapi lebih kepada kebutuhan dan keinginannya agar masalahnya segera terpecahkan. Faktor lainnya mungkin adalah usaha perusahaan jasa membentuk kesan tertentu yang menempel dalam produknya sehingga menimbulkan tingkat harapan tertentu akan kualitas jasa yang diinginkan konsumen. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin seorang konsumen yang belum pernah mengkonsumsi jasa tersebut memiliki bayangan tingkat tertentu kualitas jasa yang seharusnya diterimanya? Semestinya harapan tentang jasa yang diinginkannya bersumber dari pengalaman yang pernah dialaminya berkaitan dengan konsumsi jasa tersebut.
Karena, seperti asumsi yang diajukan di bagian pendahuluan, produk jasa disini adalah produk baru dan konsumen adalah konsumen baru maka dalam pandangan semua rumusan tersebut menyiratkan adanya suatu dimensi pengertian bahwa pembentukan harapan konsumen bukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan konsumen terhadap jasa tersebut, tetapi lebih karena faktor lain. Hal ini dikarenakan konsumen baru belum memiliki pengalaman mengkonsumsi produk yang ditawarkan atau jika yang ditawarkan adalah produk baru maka atribut-atribut yang ada pada produk baru tersebut belum dikenal oleh calon konsumen.
Kesimpulan Setidaknya ada tiga tahap pembentukan perilaku konsumen, khususnya terhadap produk jasa yang meliputi harapan, konsumsi dan akhirnya evaluasi. Dari ketiga tahap pembentukan itu disimpulkan bahwa pengalaman konsumen perupakan sebentuk keyakinan awal terhadap manfaat yang diberikan sebuah produk jasa yang kemudian akan dianggap sebagai standar atau titik referensi untuk menilai manfaat produk jasa itu sendiri di masa mendatang. Pada tahap berikutnya pengukuran yang dilakukan oleh seorang konsumen terhadap kualitas pelayanan suatu produk jasa dihasilkan dari perbandingan antara harapan terhadap kualitas pelayanan suatu produk jasa dengan kinerja sebenarnya dari pelayanan tersebut.
Faktor lain tersebut mungkin adalah kebutuhan dan keinginan (needs dan wants) konsumen terhadap jasa yang timbul pada saat konsumen menghadapi masalah tertentu. Seorang konsumen baru yang sedang menghadapi masalah dengan kebutuhannya membayangkan suatu kinerja jasa pada tingkat tertentu yang mampu membantu mengatasi masalahnya. Pada tahap ini timbul suatu harapan terhadap suatu jasa. Karena ia seorang konsumen baru yang belum mempunyai pengalaman apapun maka harapan yang timbul adalah sangat mendasar yaitu sesuai dengan tingkat kebutuhan dan keinginannya pada
40
Kiat BISNIS Volume 5 No. 1 Desember 2012
Daftar Pustaka Bateson, John E.G., 1995, Managing Services Marketing, The Dryden Press.
Expectations Paradigm as a Determinant of Consumer Satifaction,” Journal of the Academy of Marketing Science, 12 (Fall): 63-76.
Brown, Stephen W. and Teresa A. Swartz, 1989, “A Dyadic Evaluation of the Professional Services Encounter,” Journal of Marketing, 53 (April): 9298.
Sasser, W. Earl, Jr., R. Paul Olsen, and D. Daryl Wickoff, 1978, “Management of Service Operations: Text and Cases,” Boston: Allyn & Bacon.
Gary Knisely, interviewing James L. Schorr in Advertising Age, January 15, 1979.
Swan, John E. and I. Frederick Trawik, 1980, “Satisfaction Related to Predictive vs. Desired Expectations,” in Refining Concepts and Measures of Consumer Satisfaction and Complaining Behaviour. Eds., H. Keith Hunt and Ralp L. Day. Bloomington: School of Business, Indiana University, 7-12.
Gronroos, Christian,1982, Strategic Management and Marketing in the Service Sector. Helsingfors: Swedish School of Economics and Business Administration. Lehtinen, Uolevi, and Jarmo R. Lehtinen, 1982, “Service Quality: A Study of Quality Dimensions,” Unpublished working paper. Helsinki, Finland OY: Service Management Institute.
Zeithaml, Valerie A., Leonard L. Berry, A. Parasuraman, 1993, “The Nature and Determinants of Customer Expectations of Service,” Journal of the Academy of Marketing Science, Volume 21, Number 1, pages 1-12.
Miller, John A., 1977, “Studying Satisfaction, Modifying Models, Eliciting Expectations, Posing Problems, and Making Meaningful Measurements,” in Conceptualization and Measurements of Consumer Satisfaction and Dissatisfaction. Ed., H. Keith Hunt. Bloomington: School of Business, Indiana University, 72-91.
Zeithaml, Valerie A., Leonard L. Berry, A. Parasuraman, 1988, “Communication and Control Processes in the Delivery of Service Quality,” Journal of Marketing, 52 (April): 35-48. Zeithaml, Valerie A., Leonard L. Berry, A. Parasuraman, 1985, “Problems and Strategies in Service Marketing,” Journal
Mills, Peter K., Dennis J. Moberg, 1982, ”Perspectives on the Technology of Services Operations,” Academy of Management Review, Vol. 7, no. 3: 467-478.
of Marketing, 49 (Spring): 33-46.
Olson, Jerry C. and Philip Dover, 1979, “Disconfirmation of Consumer Expectations through Product Trial,” Journal of Applied Psychology, 64 (April); 179-189. Oliver, Richard L., 1981, “What is Consumer Satisfaction?” The Wharton Magazine, 5 (Spring): 36-41. Prakash, Ved, 1984, “Validity and Reliability of the Confirmation of
41