Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
KONSEP PENGUPAHAN KARYAWAN PERUSAHAAN DALAM MANAJEMEN ISLAM Oleh: Syaparuddin ABSTRAK This study is aimed to discuss about the regulations for remunerating of company employees, which has been taught in Islam. According to Islam, wage is a reward which someone gets for his/her work in the form of material in here (just and proper), and in the form of merit in here after (a better reward). Thereby, the remunerating concepts in Islam are: First, remunerating in Islam is bearing with moral very much. Second, remunerating in Islam is not only limited to materials (materialism or mundane) but also to here after dimension (merit). Third, remunerating in Islam is given basely on justice principle. Fourth, remunerating in Islam is given basely on eligibility principle. Based on these remunerating concepts, remunerating regulations in Islam which are able to be concluded are just and proper. Just means: (1) transparent and clear, (2) proportional. While proper means (1) enough food, clothing and housing, (2) marketable. Keywords: Remunerating, management, Islam, Just, Proper. PENDAHULUAN Masalah
pengupahan
adalah
masalah
yang
tidak
pernah
selesai
diperdebatkan oleh pihak manajemen, apapun bentuk organisasinya. 1 Upah seolaholah kata-kata yang selalu membuat pihak manajemen perusahaan berpikir ulang dari waktu ke waktu untuk menetapkan kebijakan tentang upah. Upah juga yang selalu memicu konflik antara pihak manajemen dengan karyawan seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini.2 Hal yang juga tidak kalah pentingnya dari pengupahan adalah perbedaan tingkat besar upah yang diterima. Banyak terjadi kasus di mana seorang karyawan yang protes kepada pihak manajemen akibat gajinya lebih kecil daripada pegawai baru, padahal pekerjaannya sama. Di antaranya adalah seperti yang terjadi di salah
Dosen Tetap pada Jurusan Syari'ah Prodi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. 1 Naceur Jabnoun, Islam and Management (Kuala Lumpur: Institut Kajian Dasar (IKD), 1994), h. 12. 2 Irfan Syauqi Beik, "Pengupahan dan Penggajian", Opini, Dikutip dari www.republika.com, Diakses pada tanggal 5 Desember 2010.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
satu perusahaan di Jakarta pada beberapa waktu yang lalu. Perusahaan tersebut menerapkan kebijakan bagi pegawai baru, bahwa penentuan gaji pegawai baru didasarkan atas bargaining (tawar menawar) pada saat masuk kerja. Pengalaman bekerja dan imbalan yang diterima di tempat lain menjadi pertimbangan untuk penentuan gaji pegawai baru tersebut.3 Namun fakta yang terjadi akibat kebijakan baru itu adalah timbulnya keresahan
pada
pegawai
lama
yang
merasa
tidak
dihargai perusahaan karena gajinya lebih kecil daripada pegawai baru, padahal pekerjaannya
sama.
Ada
juga fakta
di
mana bonus yang
dibagikan
kepada karyawan menimbulkan protes karyawan. Seharusnya jika perusahaan memberikan bonus kepada karyawan karena perusahaan untung, maka karyawan bersyukur dan berterimakasih kepada perusahaan. Tetapi yang terjadi di salah satu perusahaan di Jakarta itu adalah sebaliknya, karyawan protes terhadap kebijakan pembagian bonus. Perusahaan menetapkan kebijakan bahwa sebesar 80% laba perusahaan dikembalikan kepada karyawan. Jika laba operasional sebesar satu milyar rupiah, dikembalikan 800 juta rupiah dalam bentuk bonus. Beberapa karyawan protes karena bonus yang diterimanya lebih kecil dari yang diharapkannya. Sebagian lagi protes karena karyawan yang pekerjaan dan tugasnya sama, bonus yang diberikan berbeda-beda.4 Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan di atas, maka pengupahan karyawan perusahaan menjadi penting untuk dibahas, bagaimana sebenarnya Islam menggariskan aturan tentang pengupahan tersebut. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa ruang lingkup tulisan ini dibatasi hanya pada pengupahan karyawan perusahaan. Tulisan ini tidak membahas pengupahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
3
Zalahuddin, "Menilik Sistem Penggajian", Metropolitan, Dikutip dari www.kompas.com, Diakses pada tanggal 7 Desember 2010. 4 Ibid.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
PEMBAHASAN Pengertian Upah dan Gaji Upah menurut pengertian konvensional adalah pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. 5 Sementara menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undangundang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.6 Sedangkan pengertian gaji adalah imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali.7 Adapun pengertian gaji yang dikemukakan oleh Afzalurahman adalah harga yang dibayarkan pada pekerja atas pelayanannya dalam memproduksi kekayaan. Tenaga kerja seperti halnya faktor produksi lainnya, dibayar dengan suatu imbalan atas jasa-jasanya yang disebut gaji.8 Dengan kata lain, gaji adalah harga tenaga kerja yang dibayarkan atas jasa-jasanya dalam produksi.9 Sementara menurut Benham gaji adalah sejumlah
5
Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 9. 6 Ishak Arep dan Hendri Tanjung, Manajemen Sumber Daya Manusia. Cet. II, Jakarta: Universitas Trisakti, 2003), h. 45. 7 Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian..., h. 11. 8 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid Pertama, Terj. Soeroyo dan Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti wakaf, 1995), h. 248. 9 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Terj. Dewi Nurjulianti dkk. (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997), h. 295.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
uang yang dibayarkan berdasarkan perjanjian atau kontrak oleh seorang majikan kepada seorang pekerja karena jasa yang ia berikan.10 Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan upah dan gaji itu terletak pada jenis karyawannya (tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak). Artinya, titik berat antara upah dan gaji terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak, upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja. Konsep Pengupahan dalam Islam Dalam hal pengertian upah dan gaji sebagaimana yang dikemukakan di atas, Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif. Allah menegaskan tentang hal ini dalam QS. al-Taubah (9): 105:
َوقُ ِل اعْ َملُوا َف َس َي َرى ه ب ِ ون إِلَى َعال ِِم ْال َغ ْي َ ون َو َس ُت َر ُّد َ َّللاُ َع َملَ ُك ْم َو َرسُولُ ُه َو ْالم ُْؤ ِم ُن ون َ َُوال هش َها َد ِة َف ُي َن ِّب ُئ ُك ْم ِب َما ُك ْن ُت ْم َتعْ َمل Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.11 Quraish Shihab menjelaskan bahwa bekerjalah kamu demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu.12 Tafsir kata ”Melihat” dalam keterangan di atas adalah
10
Michael Armstrong and Helen Murlis, Salary Administration: A Practical Guide for The Small and Medium-sized Organization (England: British Institute of Management Foundation, 1980), h. 295. 11 Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, Cet. ke 10 (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2003), h. 162. 12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Vol 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 670.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu. Sebutan lain dari pada ganjaran tersebut adalah imbalan atau upah atau kompensasi. Dalam ayat selanjutnya, yaitu QS. al-Nahl (16): 97:
صالِحً ا ِمنْ َذ َك ٍر أَ ْو أ ُ ْن َثى َوه َُو م ُْؤ ِمنٌ َفلَ ُنحْ ِي َي هن ُه َح َيا ًة َط ِّي َب ًة َولَ َنجْ ِز َي هن ُه ْم أَجْ َر ُه ْم َ َمنْ َع ِم َل ون َ ُِبأَحْ َس ِن َما َكا ُنوا َيعْ َمل Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.13 Quraish Shihab menjelaskan bahwa barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia
dan di akherat dengan pahala yang
lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan.14 Tafsir kata ”Balasan” dalam keterangan di atas adalah balasan di dunia dan di akherat. Ayat ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal saleh menurut Muhammad Abduh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.15 Sementara menurut al-Zamakhsari, amal saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau hadits.16 Menurut defenisi Muhammad Abduh dan al-Zamakhsari di atas, orang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-
13
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 222. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…., Vol. 7, h. 342. 15 Rodney Wilson, Bisnis menurut Islam: Teori dan Praktik, Terj. Akhmad Didin (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), h. 32. 16 ,Syeikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Muamalah al-Maliyah (Kairo, Mesir: Dar al-Salam, 2003), h. 73. 14
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
barang yang haram. Dengan demikian, seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat. Hal ini lebih ditegaskan lagi pada ayat lain, yaitu: QS. al-Kahfi (18) : 30:
ت إِ هنا ال ُنضِ ي ُع أَجْ َر َمنْ أَحْ َس َن َع َمال ِ ِين آ َم ُنوا َو َعمِلُوا الصهال َِحا َ إِنه الهذ Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.17 Berdasarkan tiga ayat (QS. al-Taubah: 105, QS. al-Nahl: 97 dan QS. alKahfi: 30) di atas, bahwa imbalan (pengupahan) dalam Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat itu lebih penting daripada penekanan terhadap dunia (dalam hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa QS. al-Taubah: 105, bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah, bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan. Lebih jauh dalam QS. al-Nahl: 97 dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam menerima upah/balasan dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala). Sementara itu, QS. al-Kahfi: 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah
17
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 237.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.18 Selain ayat-ayat al-Qur’an, upah juga dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi Saw., di antaranya diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah Saw bersabda (terjemahannya): Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya). (HR. Muslim).19 Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan, “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)", bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah. Dalam hadits yang lain, diriwayatkan Mustawrid bin Syadad bahwa Rasulullah Saw bersabda (terjemahannya): Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri. (HR. Abu Daud).20 Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini 18
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktek (Jakarta: Gema Insani Press. 2003), h. 10. 19 Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif alKutub al-Sittah, Shahih Muslim, Kitab al-Aiman, Bab 10 (Riyad: Dar al-Salam, 2000), h. 969. 20 Ibid., Sunan Abu Daud Kitab al-Kharaj, Bab 9 No. 2940, h. 1443.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
ditegaskan lagi oleh Abdul Wahab Abdul Aziz al-Syaisyani bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para karyawan.21 Dari penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits tersebut di atas, dapat diketahui bahwa upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik). Dengan demikian konsep pengupahan dalam Islam adalah: Pertama, pengupahan dalam Islam sangat besar kaitannya dengan moral. Kedua, pengupahan dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan pahala. Ketiga, pengupahan dalam Islam diberikan berdasarkan prinsip keadilan. Keempat, pengupahan dalam Islam diberikan berdasarkan prinsip kelayakan. Jika konsepnya digambarkan, maka akan nampak seperti di bawah ini.
Dimensi Akherat Pahala
Manajemen Pengupahan
ADIL - Jelas dan transparan - Proposional
21
Dimensi Dunia
Konsep Moral
LAYAK - Cukup pangan, sandang, papan - Sesuai dengan pasaran
Abdul Wahhab Abdul Aziz al-Syaisyani, Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyyah fi alNidzomil Islami wa Nudzumi al- Ma’asyiroti (Makkah: Maktabah al-Jam’iyyah, 1980), h. 464.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsep pengupahan dalam Islam memiliki dua dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. Untuk menerapkan upah dalam dimensi dunia, maka konsep moral merupakan hal yang sangat penting agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah tersebut. Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh karena itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral diperlukan untuk menerapkan upah dimensi dunia agar upah dimensi akherat dapat tercapai. Dimensi upah di dunia dicirikan oleh dua hal, yaitu adil dan layak. Adil bermakna bahwa upah yang diberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen pengupahan ini perlu didudukkan pada posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen Islam terkait dengan pengupahan kepada karyawan mereka di perusahaan. Rambu-rambu Pengupahan dalam Islam Bedasarkan uraian konsep pengupahan dalam Islam tersebut di atas, maka rambu-rambu pengupahan dalam Islam yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: Adil Organisasi
yang
menerapkan
prinsip
keadilan
dalam
pengupahan
mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa. Konsep adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Hal ini ditegaskan dalam QS. alMaidah (5): 8 (terjemahannya): Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa.22 a. Adil bermakna Jelas dan Transparan 22
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, hal. 86.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
Allah Swt berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 282 (terjemahannya): Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bemua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksisaksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.23 Pada tempat lain, Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 1 (terjemahannya): Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya.24 Selanjutnya Nabi Muhammad Saw. bersabda (terjemahannya): Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan. (HR. Baihaqi).25 23
Ibid., h. 37. Ibid., h. 84. 25 Al-Sayyid Ahmad Al-Hasyimy, Tarjamah Mukhtarul Ahaadits (Bandung: PT. Ma’arif, 1996). h. 552. 24
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
Dari dua ayat al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah. Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah Saw bersabda (terjemahannya): Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).26 Dalam
menjelaskan
hadits
ini,
Yusuf
al-Qaradhawi
mengatakan,
sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban.
Selama ia mendapatkan
upah
secara penuh, maka
kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja" yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.27 Dari penjelasan al-Qaradhawi di atas, dapat diketahui bahwa upah atau gaji merupakan hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh al-Qaradhawi dengan bolos tanpa alasan yang jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menunjukan bahwa selain hak karyawan memperoleh upah atas apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari 26
Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif alKutubu al-Sittah, Ibnu Majah, Kitab al-Ruhun, Bab 4, h. 2623. 27 Yusuf al-Qaradhawi, Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Terj. Muhammad Hanafi, (Jakarta: Robbnai Press, 1997), h. 405.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
karyawan dengan baik. Bahkan al-Qaradhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain (terjemahannya) yang menjelaskan tentang pembayaran upah adalah : Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya. (HR. Bukhari).28 Hadits-hadits di atas menegaskan tentang keseriusan dengan sungguhsungguh
untuk
memperhatikan
waktu
pembayaran
upah.
Keterlambatan
pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi Saw. pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh). b. Adil Bermakna Proporsional Allah
Swt.
berfirman
pada
beberapa
tempat
dalam
al-Qur'an
(terjemahannya), yaitu: Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaanpekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan (QS. al-Ahqaf [46]: 19).29
28
Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif alKutubu al-Sittah, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’, Hadits ke 106, h. 173 29 Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 402.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan (QS. Yaasin [36]: 54).30 Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. al-Najm [53]: 39).31 Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu. Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama.32 Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka mesti sama. Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 100. 33 Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering disebut dengan Hay System, telah menerapkan konsep ini.34 Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda, berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka akan dibayar dengan upah yang sama. Layak Jika adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka layak berhubungan dengan besaran yang diterima. a. Layak Bermakna Cukup Pangan, Sandang dan Papan Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah Saw bersabda (terjemahannya): Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu 30
Ibid., h. 354. Ibid., h. 421. 32 Michael Armstrong and Helen Murlis, Salary Administration…, h. 205. 33 Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian.., h. 9. 34 Rodney Wilson, Bisnis menurut Islam…, h. 34. 31
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya). (HR. Muslim).35 Pada hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda (terjemahannya): Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda: Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda: Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri (HR Abu Daud).36 Dari dua hadits di atas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari tiga aspek yaitu: pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya. Artinya, hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah dicetuskan. Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, di mana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson berkata, walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat.37 Konsep inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari konsep moral. Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang pegawai di Barat sangat 35
kecil karena pekerjaannya sangat remeh (misalnya
Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif alKutubu al-Sittah, Shahih Muslim, Kitab al-Aiman, Bab 10, h. 969. 36 Ibid., Sunan Abu Daud, Kitab al-Kharaj, Bab 9, No. 2940, h. 1443. 37 Rodney Wilson, Bisnis Menurut Islam…, h. 111.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
cleaning service). Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor layak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan berapa upah yang akan diberikan. b.
Layak Bermakna Sesuai dengan Pasaran Allah Swt berfirman dalam QS. al-Syu'ara (26): 183 (terjemahannya): Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.38 Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain,
dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya. Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-. Tetapi di perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-. Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan. Jika hal ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak bagi si pekerja tersebut. Oleh karena itu, agar tercipta suatu hubungan kerja yang baik antara perusahaan dan karyawan, maka perlu diadakan perjanjian kerja untuk menetapkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak yang mengadakan akad (kontrak) perjanjian kerja.39 Hal ini mengandung pengertian bahwa hak yang diberikan kepada pekerja harus disesuaikan dengan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.
38
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 299. Dengan kata lain penetapan upah (gaji) pekerja harus dengan prinsip keadilan, yaitu memperlakukan manusia secara sama yang merupakan prasyarat kesetaraan dan keadilan. Taha Jabir Al-Alwani (ed), Bisnis Islam, Terj. Suharsono (Yogyakarta: AK Group, 2005), h. 23. 39
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
PENUTUP Kesimpulan Upah dalam Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik). Dengan demikian konsep pengupahan dalam Islam adalah: Pertama, pengupahan dalam Islam sangat besar kaitannya dengan moral. Kedua, pengupahan dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan pahala. Ketiga, pengupahan dalam Islam diberikan berdasarkan prinsip keadilan. Keempat, pengupahan dalam Islam diberikan berdasarkan prinsip kelayakan. Bedasarkan konsep pengupahan Islam di atas, maka rambu-rambu pengupahan dalam Islam yang dapat ditarik, yaitu: adil dan layak. Adil bermakna dua hal, yaitu: (1) jelas dan transparan, (2) proporsional. Sedangkan layak bermakna dua hal pula, yaitu: (1) cukup pangan, sandang dan papan, (2) sesuai dengan pasaran. Saran-saran Berhubung tulisan ini tidak membahas teori-teori pengupahan yang selama ini dikenal, maka untuk tulisan lanjutan, perlu dilakukan penelitian tentang teoriteori itu apakah sudah sesuai dengan syari'ah atau belum. Jika belum sesuai dengan syari'ah, maka perlu dimodifikasi agar sesuai dengan syari'ah.
Al-Iqtishad, Jurnal Ekonomi
Vol.IV/No.1/Jan-Juni 2012: 55-74
DAFTAR PUSTAKA Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid Pertama, Terj. Soeroyo dan Nastangin, Jakarta: Dana Bhakti wakaf, 1995. _________, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Terj. Dewi Nurjulianti Dkk, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997. Al-Alwani, Taha Jabir (ed), Bisnis Islam, Terj. Suharsono, Yogyakarta: AK Group, 2005. Arep, Ishak dan Hendri Tanjung, Manajemen Sumber Daya Manusia. Cet. II, Jakarta: Universitas Trisakti, 2003 Armstrong, Michael and Helen Murlis, Salary Administration: A Practical Guide for The Small and Medium-sized Organization, England: British Institute of Management Foundation, 1980. Ayyub, Syeikh Hasan, Fiqh Al-Muamalah Al-Maliyah, Kairo, Mesir: Dar al-Salam, 2003. Beik, Irfan Syauqi, "Pengupahan dan Penggajian", Opini, Dikutip dari www.republika.com, Diakses pada tanggal 5 Desember 2010. Bin Ibrohim, Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutubu al-Sittah, Riyad: Dar al-Salam, 2000. Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya, Cet. ke 10, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2003. Hafidhuddin, Didin, dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktek, Jakarta: Gema Insani Press. 2003. Al-Hasyimy, Al-Sayyid Ahmad, Tarjamah Mukhtarul Ahaadits, Bandung: PT. Ma’arif, 1996. Jabnoun, Naceur, Islam and Management, Kuala Lumpur: Institut Kajian Dasar (IKD), 1994. Al-Qaradhawi, Yusuf, Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj. Muhammad Hanafi, Jakarta: Robbnai Press, 1997. Ruky, Ahmad S., Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Al-Syaisyani, Abdul Wahhab Abdul Aziz, Huququl Insan wa Hurriyyatul Asasiyyah fii al-Nidzomil Islami wa Nudzumi al-Ma’asyiroti, Makkah: Maktabah alJam’iyyah, 1980. Wilson, Rodney , Bisnis menurut Islam: Teori dan Praktik, Terj. Akhmad Didin, Jakarta: PT. Intermasa, 1985. Zalahuddin, "Menilik Sistem Penggajian", Metropolitan, Dikutip dari www.kompas.com, Diakses pada tanggal 7 Desember 2010.