JALUR TREM SOLO-BOYOLALI DAN PERANANNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT SEKITARNYA 1883-1914 Dwi Mudalsih1
Abstract Solo-Boyolali tramline which had 29 km of full length was built by Firma de Lange & Co after having concession in 1884. The construction was conducted gradually and accomplished in 1895. Firma de Lange & Co. established Solosche Tramweg Maatschappij (STM) operating the tram from 1895 to 1914. Due to financial difficulties, in 1914 the tramline was taken over by Nederlandsch Indie Spoorweg Maatschapijj (NISM) which then extended the tramline to Wonogiri. Initially the endeavor of the construction and operation of Solo-Boyolali tramline was to fulfill the needs of plantation transportation, but in the fact it was also applied for passenger’s transportation. Operation of trams by STM seemed having a significant role for the socio-economic life of the surrounding community. There are seven measurements to find out that role which are passangers, migration, labor and their movement, social status changes, commodity, the flow of goods, interrelation of trade, and economy development. Keywords: Tram, Trading Interrelation, social-economy development
A. Pendahuluan Pada awal abad XXI, Pemerintah Kota Solo merupakan salah satu pemerintah daerah yang giat menggali nilai-nilai sejarah dan merevitalisasi berbagai infrastruktur yang telah dibangun pada masa kolonial. Revitalisasi infrastruktur peninggalan pemerintah kolonial tersebut tentunya harus dilakukan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesejarahan yang menjadi roh dari keberadaan benda bersejarah karena benda bersejarah tersebut tercipta dalam suatu peristiwa sejarah. Jalur trem Solo-Boyolali sepanjang lebih kurang 29 km yang dibangun pada akhir abad XIX merupakan bagian dari proses modernisasi perekonomian Hindia Belanda di Keresidenan Surakarta.2 Makalah ini merupakan hasil penelitian sejarah yang diharapkan dapat mengungkapkan peranan jalur trem Solo-Boyolali bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya pada 1883-1914. Terdapat dua persoalan pokok ingin diuraukan dalam makalah ini yaitu faktor-faktor apa yang memotivasi pembangunan dan pengoperasian trem Solo-Boyolali serta bagaimana peranan jalur trem itu bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Persoalan pertama berhubungan dengan proses pembangunan jalur trem Solo-Boyolali, sedangkan persoalan yang kedua berhubungan dengan 1
Arsiparis Arsip Nasional RI, e-mail:
[email protected] Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Kajian Sosial-Ekonomi (Yogyakarta: Aditya Media, 1991), hlm. 80-81. 2
bagaimana peranan trem Solo-Boyolali bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya yang dianalisis didasarkan atas tujuh tolok ukur, yaitu penumpang, migrasi, buruh dan gerakannya, perubahan status sosial, komoditi yang diangkut, arus barang dan interrelasi perdagangan, serta peningkatan ekonomi. Jalur trem Solo-Boyolali berada di Keresidenan Surakarta, oleh karena itu aspek spasial yang makalah ini adalah wilayah Surakarta, khususnya daerah yang dilalui oleh jalur trem tersebut. Batasan temporal makalah ini adalah tahun 1883-1914. Tahun 1883 tepatnya tanggal 1 Januari 1883 merupakan tanggal surat pengajuan konsesi pembangunan jalur trem Solo-Boyolali yang dilakukan oleh Firma de Lange & Co.3 Pada tahun 1895 firma ini mendirikan sebuah perusahaan transportasi yang diberi nama Solosche Tramweg Maatchappij (STM) yang bidang usahanya mengoperasikan trem Solo-Boyolali. Tahun 1914 pengoperasian jalur trem oleh STM berakhir karena diambilalih oleh NV. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).4 Tahun 1896-1899 STM mengoperasikan trem kuda, namun pada tahun 1899-1914 trem kuda secara bertahap diganti dengan trem mesin uap.5 Bagaimana pengoperasian trem Solo-Boyolali oleh STM pada tahun 1896-1914 adalah topik yang menarik dikaji. Demikian pula pertanyaan tentang apa dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya juga merupakan topik yang tidak kalah menariknya. B. Gambaran Umum Wilayah Surakarta Secara administratif Pemerintah Kolonial Belanda menyebutkan wilayah ini sebagai sebuah keresidenan dengan nama Keresidenan Surakarta. Keresidenan ini sejak abad XIX membawahi daerah Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri. Solo kecuali sebagai ibu kota Kerajaan Surakarta juga merupakan ibu kota Keresidenan Surakarta. Keresidenan ini berbatasan dengan Keresidenan Semarang di sebelah utara. Di sebelah timur dan tenggara berbatasan dengan Keresidenan Madiun. Di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Di sebelah barat berbatasan dengan Keresidenan Yogyakarta dan Keresidenan Kedu. Kecuali batas yang bersifat administratif, daerah Surakarta juga memiliki batas alam berupa gunung dan pegunungan. Di sebelah timur daerah Surakarta terdapat Gunung Lawu, di sebelah barat
3
Kolonial Verslaag 1883 (Jakarta: ANRI). Lihat juga J.J. Oegema, De Stoomtractie of Java en Sumatra (Antwerpen: Kluwer Technische Boeken B.V. Deventer, 1982), hlm. 30. 4 D.G. Stibbe, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, vierde deel, tweede druk („s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921), hlm. 80. 5 Besluit tanggal 18 November 1899 nomor 8 (Jakarta: ANRI).
83
terdapat Gunung Merapi dan Merbabu, di sebelah utara terdapat Gunung Kendeng, dan di sebelah selatan terdapat pegunungan selatan.6 Keresidenan Surakarta dengan kondisi geografis seperti di atas pada tahun 1880 dihuni oleh penduduk pribumi sebanyak 958.634 orang.7 Tahun 1885 jumlah penduduk pribumi meningkat menjadi 1.043.432 orang, pada 1895 menjadi sebanyak 1.199.913 orang, pada 1915 menjadi 1.911.864 orang.8 Peningkatan jumlah penduduk yang cukup pesat ini tampaknya memiliki korelasi yang cukup erat dengan kesuburan tanah di wilayah Surakarta. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk per kilo meter persegi. Luas wilayah Keresidenan Surakarta yang mencapai 6.217 km2 pada tahun 1890 dihuni penduduk sebanyak 1.149.238 orang. Perbandingan antara luas wilayah dengan jumlah penduduk di Surakarta menghasilkan tingkat kepadatan sekitar 183 orang/km2. Pada 1917 jumlah penduduk Surakarta meningkat menjadi 2.060.000 orang, sehingga kepadatan penduduknya meningkat menjadi sekitar 331 orang/km2.9 Gambaran tentang aspek sosial ekonomi Keresidenan Surakarta tidak dapat dilepaskan dari masalah tanah. Tanah di wilayah Kerajaan Surakarta adalah milik raja, yaitu Sunan dan Mangkunegara. Demikian pula penduduk yang menempati wilayah tersebut juga menjadi rakyat (kawula) kedua raja tersebut. Baik tanah maupun penduduknya merupakan potensi ekonomi atau aset kerajaan yang pemanfaatannya harus seizin raja. Penggunaan tanah oleh pihak lain dilaksanakan dengan cara sewa.10 Gambaran sosial ekonomi masyarakat Surakarta pada waktu itu juga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat agraris. Penguasa pribumi menguasai tanah dan penduduk sebagai tenaga kerja, sementara Bangsa Eropa memiliki modal dan kemampuan manajemen. Kedua unsur tersebut berinteraksi dan mewarnai dinamika perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat Hindia Belanda. Industri perkebunan besar telah memainkan peranan penting dalam perekonomian di Hindia Belanda.11 Pada awal abad XIX persewaan tanah untuk perkebunan di Surakarta meningkat, baik di wilayah Kasunanan maupun Mangkunegaran. Tanah-tanah yang disewakan pada umumnya adalah
6
T.J. Bezemer, Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch Indie („s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921), hlm.
512. 7
Peter Boomgaard and A.J. Gooszen, Changing Economy in Indonesia, A Selection of Statistical Source Material from early 19th Century up to 1940, Volume 11, Population Trends 1795-1942 (Amsterdam: Royal Tropical Institute (KIT), Amsterdam, 1991), hlm. 13-14. 8 Ibid., hlm. 110-137. 9 T.J.Bezemer, op.cit., hlm. 512. 10 Wasino, Kapitalisme Bumi Putra Perubahan Masyarakat Mangkunegaran (Yogyakarta: LKis, 2008), hlm.22. 11 Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm. 4.
84
daerah yang subur dan cocok untuk tanaman perkebunan. Misalnya tanah di wilayah Karang Pandan, Malang Jiwan, dan beberapa wilayah yang termasuk dalam Afdeeling Sragen.12 Kondisi perekonomian daerah perkotaan di Surakarta pada umumnya diwarnai dengan kehidupan industri dan perniagaan, sedangkan kehidupan di pedesaan diwarnai dengan kegiatan pertanian. Kehidupan daerah perkotaan memiliki ikatan erat dengan wilayah yang mengelilinginya yaitu daerah perdesaan. Penduduk kota yang terdiri dari kaum pedagang, pegawai pemerintah, tukang, seniman, guru dan lain-lain memerlukan kebutuhan pangan yang dihasilkan dari para petani. Sebaliknya penduduk kota menghasilkan barang-barang produksi peralatan pertanian, sandang, transportasi, dan barang lain yang dibutuhkan oleh masyarakat desa atau petani.13 Kondisi sosial ekonomi di wilayah Kerajaan Surakarta yang semula terikat kuat pada nilainilai adat dan tradisi, perlahan-lahan mulai memudar akibat pengaruh sistem Pemerintahan Hindia Belanda yang semakin kuat. Secara politis, kekuasaan Raja Surakarta menjadi semakin lemah. Sunan Pakubuwono penobatannya.
X
diharuskan
menandatangani
verklaring
(keterangan/pernyataan)
sebelum
14
C. Jalur Trem Solo-Boyolali Masuknya pengaruh liberalisme pada tahun 1870 meningkatkan kemampuan negeri Belanda menarik keuntungan yang lebih besar dalam usahanya di tanah-tanah koloni, khususnya di Hindia Belanda.15 Perkembangan perusahaan perkebunan pada tahun 1870-1920 meningkat sangat cepat termasuk di Vorstenlanden, khususnya Surakarta. Kondisi ini diantaranya didorong oleh adanya penambahan modal dari perbankan Belanda dan besarnya permintaan pasar internasional.16 Jumlah produksi pertanian dan perkebunan pada waktu itu meningkat dengan pesat. Menjelang abad XX Kota Solo sudah berkembang menjadi kota multiras yang dihuni oleh orang Jawa, Melayu, Eropa, Cina, dan Arab dengan jumlah yang meningkat pesat pula. Peningkatan produksi pertanian dan perkebunan serta penambahan jumlah penduduk yang semakin banyak menuntut tersedianya sarana transportasi yang lebih memadai.17 Perbaikan sarana transportasi di wilayah Jawa Tengah diantaranya dilaksanakan dengan pembangunan jalur kereta api dan trem. Misalnya pembangunan jalur kereta api Semarang12
Regeerings Almanak 1873, hlm 272-277. N. Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa (Bandung: Alumni, 1998), hlm.76. 14 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta: Taman Siswa, 1989), hlm.12. 15 J.S.Furnivall, Hindia Belanda Studi Tentang Ekonomi Majemuk, Terjemahan Samsudin Berlian (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 187. 16 Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vorstenlandens Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency on The Peasent Economy and Society: 1860-1960 (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), hlm. 3-4. 17 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, loc.cit. 13
85
Vorstenlanden 1864 yang dimaksudkan untuk memperbaiki fasilitas transportasi produksi pertanian dan perkebunan dari daerah pedalaman ke Pelabuhan Semarang atau membawa barang-barang impor dari pelabuhan ke pedalaman di daerah Vorstenlanden.18 Pembangunan jalur trem Solo-Boyolali dimulai dengan proses pengajuan konsesi oleh Firma de Lange & Co pada 1 Januari 1883. Proses pengajuan konsesi itu baru dikabulkan pemerintah kolonial pada 14 April 1884.19 Setelah permohonan konsesi dikabulkan, Firma de Lange & Co melaksanakan pembangunan jalur trem Solo-Boyolali secara bertahap. Jalur trem dibangun mengikuti jalur jalan raya yang telah ada. Jalur trem dipasang pada sisi sebelah kiri jalan dari arah Jebres sampai Purwosari, kemudian memotong jalan raya di Purwosari untuk selanjutnya jalur trem berada di sisi kanan jalan dari Purwosari menuju Kartosura dan Boyolali. Jalan akan dibangun itu memiliki panjang lebih kurang 29 km.20 Pembangunan jalur trem dimulai dari stasiun Jebres menuju ke arah barat melewati Pasar Gedhe, belok ke selatan sampai di Benteng Vastenburg di sisi kiri dan kantor residen di sisi kanan jalan, komplek kasunanan berada di selatan jalan dan komplek Mangkunegaran ada di sebelah utara barat jalan trem namun agak jauh dari jalan. Jalur trem terus ke arah barat sampai di stasiun Purwosari, Kleco, sampai di pasar Kartosuro. Di daerah Kartosuro jalur trem dibuat bercabang menuju Pabrik Gula Colomadu. Pada tahap selanjutnya pembangunan jalur trem dimulai dari Pasar Kartosuro terus ke arah utara menuju Assem, Bangak, Banyudono, Kebondalem, Teras, Randusari/ Mojosongo, dan Boyolali.21 Konstruksi jalan tram STM terhubung dengan jalan kereta milik NISM dan Staatsspoorwegen (SS). Jalur trem STM sebagai angkutan jarak pendek di dalam kota dihubungkan dengan jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (milik NISM) di persimpangan Purwosasi dan dihubungkan dengan jalur kereta api Semarang-Surabaya (milik SS) di persimpangan Jebres.22 Kecuali stasiun Jebres dan Purwosari, di sepanjang jalur trem Solo-Boyolali dibangun halte setiap 4 km sebagai tempat menaikkan dan menurunkan penumpang atau tempat pergantian kuda. Dari arah Jebres terdapat Halte Pasar Gede, Halte Benteng Vastenburg, Halte Kauman, Halte Derpoyudan, Halte Pasar Pon, Halte Sriwedari/Bendo, Stasiun Purwosari, Halte Kleco, Halte Kartosuro, Halte Bangak, Halte Banyudono, Halte Mojosongo, Halte Pasar Boyolali, dan Halte Pasar Sunggingan.23 18
Mutiah Amini, “Industrialisasi dan Perubahan Gaya Hidup: Semarang pada Awal Abad ke Dua Puluh” (Yogyakarta: Jantra Vol. IV No. 8, Jurnal Sejarah dan Budaya, 2009), hlm. 626. 19 Jangka waktu konsesi berlaku sepuluh tahun dan setiap tiga tahun harus diperpanjang. Lihat Besluit tanggal 19 April 1884 nomor 37. 20 Stibbe, op.cit., hlm 83-84. 21 R.M. Sajid, Babad Solo (Solo: Reksopustoko, 1984), hlm. 68-70. 22 Besluit tanggal 18 Agustus 1891 nomor 14 (Jakarta: ANRI). 23 R.M. Sajid, loc.cit.
86
Penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengoperasian trem Solo-Boyolali dapat dikatakan hampir tidak menemui kendala karena dibangun di atas jalan raya. Pihak Kasunanan maupun Mangkunegaran memberi dukungan yang baik terhadap pembangunan jalur trem itu dengan memberi ijin penggunaan tanah-tanah kerajaan secara gratis. Penggunaan tanah-tanah Sunan untuk kepentingan pembangunan dan operasionalisasi jalur trem STM berada di Kota Solo, Kartosuro, dan Boyolali, sedangkan penggunaan tanah-tanah Mangkunegara berada di daerah Purwosari dan Colomadu. Proses pengajuan izin penggunaan tanah-tanah Sunan atau Mangkunegara rupanya membutuhkan waktu yang relatif lama, karena baru pada 1895 tanah-tanah tersebut dapat digunakan oleh STM.24 Pembangunan jalur trem Solo-Boyolali membutuhkan bahan dan material pokok berupa tanah, pasir, kerikil, kayu jati sebagai bantalan, rel, dan paku keling. Peralatan yang dipakai pada umumnya peralatan sederhana seperti cangkul, kampak/ganco, linggis, gerobag, keranjang, dan peralatan sederhana lainnya.25 Penggunaan tanah, pasir, dan kerikil sebagai lapisan pondasi tampaknya tidak terlalu banyak, karena jalur trem dibangun di atas jalan raya. Berbeda dengan pembangunan jalur kereta api dari Semarang-Vorstenlanden yang membutuhkan sekitar 6.400.000 meter kubik.26 Tanah, pasir, dan kerikil diperlukan untuk menimbun sisi-sisi jalan raya untuk memperkuat pondasi. Bahan yang perlu banyak disediakan adalah bantalan rel yang terbuat dari kayu. Bantalan rel memiliki ukuran panjang 2,60 meter dan lebar 0,26 meter dengan ketebalan 0,13 meter. Jarak antar bantalan 1.435 meter.27 Panjang jalur tram Solo-Boyolali adalah 29 km. Dengan demikian sepanjang jalur itu dipasang sebanyak lebih kurang 20.209 bantalan. Bahan pokok yang paling penting dalam pembangunan jalan trem adalah rel. Bila rel yang digunakan tipe R2/R25 yang memiliki panjang 10,20 meter per batang,28 maka jalur trem STM menghabiskan lebih kurang 2.843 batang rel. Berbeda dengan pekerjaan pembangunan jalan raya yang dikerjakan dengan kerja wajib umum, pembangunan jalan rel kereta api atau trem pada umumnya dikerjakan dengan upah harian atau atas dasar satuan kerja.29 Pembangunan jalan rel trem Solo-Boyolali tentunya membutuhkan jumlah tenaga kerja yang banyak. Tenaga-tenaga kerja tersebut didatangkan dari distrik-distrik di
24
Besluit 6 April 1895 nomor 26 (Jakarta: ANRI). Bandingkan dengan bahan dan peralatan pembangunan jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden. Lihat Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989), hlm. 113-114. 26 Ibid., hlm. 114. 27 Ibid., hlm. 115. 28 Ukuran rel memiliki beberapa jenis. Lihat Sri Agus P. Rosyidi, Prasarana Transportasi Jalan Rel (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2004), hlm. 43. 29 Upah harian disesuaikan dengan tingkat keahlian tenaga kerja sedangkan upah atas dasar satuan kerja misalnya per meter kubik tanah, pasir, kerikil yang digunakan untuk pembangunan jalan rel. Lihat Djoko Suryo, loc.cit. 25
87
daerah sekitar jalur rel yang dibangun.30 Sebagai gambaran jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk membangun rel kereta api dari Semarang-Vorstenlanden sepanjang lebih kurang 100 km diperkirakan melibatkan lebih dari satu atau hampir dua juta tenaga kerja, setiap hari rata-rata dikerjakan oleh 5000 orang.31 Panjang jalan rel Solo-Boyolali (29 km) atau kurang dari sepertiga panjang jalan Semarang-Vorstenlanden, tentunya melibatkan tenaga kerja ratusan orang. Jumlah tersebut memang bukanlah jumlah yang akurat, namun setidaknya memberi gambaran bahwa pembangunan jalur trem itu telah melibatkan banyak tenaga kerja yang pada umumnya merupakan petani yang tinggal di distrik-distrik sekitarnya. Biasanya mereka bekerja dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri dari seorang kepala tukang, enam tukang batu, dan 18 kuli. Setiap tukang batu mengawasi tiga kuli.32 Pembangunan jalur trem Solo-Boyolali diperkirakan menghabiskan biaya ƒ 1.049.742 (ƒ36.198 per km).33 Biaya sebesar itu diperoleh melalui pinjaman dari beberapa bank seperti Bataviaasche Handelblad dengan bunga rata-rata 4% per tahun. Hal tersebut dapat dimengerti karena ketika STM didirikan hanya memiliki modal awal ƒ 200.000.34
Gb. 1. Jalan Trem di Kota Solo, 1885 – 1920 Sumber: www.kitlv.nl
C. Peranan Jalur Trem Solo-Boyolali bagi Kehidupan Sosial-Ekonomi di Sekitarnya 30
Dalam pembangunan rel kereta dari Semarang-Vorstenlanden 1864-1870 sepanjang lebih kurang 100 km dikerahkan tenaga kerja sekitar 1.921.202 orang yang bekerja secara bergiliran. Tiap bulan melibatkan puluhan ribu orang dan tiap hari rata-rata dikerjakan oleh sekitar 4901 orang. Lihat Ibid., hlm. 118. 31 Ibid. 32 Ibid., hlm. 116. 33 Stibbe, op.cit., hlm. 81-82. 34 S.A. Reitsma, Indische Spoorweg-Politiek, deel II, nomor 1 (Batavia: G.Kolff en Co, 1919), hlm. 7.
88
Setelah pembangunan dan penyiapan fasilitas jalan trem selesai dilaksanakan, Firma de Lange & Co mendirikan perusahaan STM untuk menjalankan usaha trem Solo-Boyolali 17 Oktober 1895.35 Sampai dengan 1899 STM mengoperasikan trem kuda yang berfungsi khusus sebagai angkutan perkebunan, sedangkan mulai 1899 trem kuda mulai diganti dengan trem mesin uap.
Gb. 2. Sebuah trem kuda di Solo 1885-1925 Sumber: www.kitlv.nl
Pengoperasian jalur trem Solo-Boyolali mempermudah hubungan penduduk desa di sekitar perkebunan daerah Boyolali dan Kartosura dengan penduduk di Kota Solo. Pengoperasian trem mesin uap yang semakin lancar pada tahun 1899 diperkirakan memiliki peranan penting untuk mengembangkan kehidupan sosial ekonomi di wilayah sekitarnya.36 Perkembangan ekonomi di Vorstenlanden telah mendorong munculnya berbagai macam mata pencaharian baru di luar sektor pertanian dan perkebunan, seperti perdagangan dan jasa. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat pribumi pada umumnya mulai berubah dari ekonomi agraris yang pas-pasan (subsistensi) menuju masyarakat pra kapitalis.37
35
Kolonial Verslaag 1901, bijlage V, hlm.6. Besluit 17 Juli 1899 Nomor 1570. 37 Soegijanto Padmo, (1994), op.cit., hlm. 36. 36
89
Gb. 3. Trem Uap di Kota Solo, 1905 Sumber: www.kitlv.nl
Pembahasan tentang peran jalur trem Solo-Boyolali terhadap kehidupan sosial-ekonomi di wilayah Surakarta meliputi penumpang yang diangkut, perpindahan penduduk (migrasi), buruh dan gerakannya, perubahan sosial, komoditi yang diangkut, arus barang, dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar jalur trem Solo-Boyolali. 1. Penumpang Ketika
pengoperasian
trem
kuda
pada
1896-1899,
penumpang
yang
mula-mula
menggunakannya adalah para pegawai perkebunan yang pada umumnya tinggal di tengah Kota Solo. Pada masa itu trem kuda jalur Solo-Boyolali belum resmi menjadi angkutan umum. Para pedagang atau rakyat pribumi pada umumnya tidak menggunakan trem. Mereka lebih memilih berjalan kaki atau menggunakan transportasi lain seperti andong atau cikar.38 Para bangsawan pada umumnya memperoleh fasilitas gratis, sedangkan pedagang Cina harus membayar sejumlah uang untuk dapat naik trem.39 Sunan Solo atau Mangkunegara sering menggunakan trem kuda jika bepergian ke Kartosuro atau Boyolali.40 Penggantian trem kuda menjadi trem mesin uap membawa keuntungan bagi rakyat biasa karena tarif trem menjadi lebih murah dibanding sebelumnya yang hanya mampu menarik warga
38
R.M. Sajid, loc.cit. Keluarga Sunan atau Mangkunegara memiliki fasilitas naik tram secara gratis karena kedua keluarga kerajaan itu memiliki andil dalam pengusahaan tram, yaitu dalam memberikan ijin penggunaan tanah kerajaan untuk kepentingan pembangunan jalur tram. Lihat Besluit tanggal 9 Desember 1891 nomor 22 tentang andil keluarga Kasunanan dan Besluit tanggal 18 Desember 1891 nomor 24779 tentang andil keluarga Mangkunegaran. 40 Pada 1891 diatur tentang ketentuan pengangkutan keluarga Kasunanan dan Mangkunegaran menggunakan kereta api atau tram. Lihar besluit 25 Agustus 1891 nomor 32. 39
90
asing, para priyayi, dan pedagang besar.41 Pada 1908 sampai 1913 jumlah penumpang trem SoloBoyolali memiliki kecenderungan peningkatan yang cukup tinggi. Pada 1913 penumpang trem mencapai jumlah 1.056.814 orang. Jumlah penumpang secara rinci dari 1908 sampai 1913, lihat Table 1. Tabel 1 Jumlah Penumpang Trem Kuda Jalur Solo-Boyolali 1908-1913 Tahun 1908 1909 1910 1911 1912 1913
Jumlah Penumpang 584.837 orang 702.747 orang 634.789 orang 699.512 orang 825.686 orang 1.056.814 orang
Sumber: Statistiek van het Vervoer op de Spoorwegen en Tram-wegen met Machinale in Nederlandsch Indie (Batavia: Landsdrukkerij, 1908-1913).
Pembahasan tentang penumpang trem dari sudut sosial-ekonomi paling tidak ada dua hal yang menarik yaitu kelas sosial penumpang dan cara menumpang trem. Berdasarkan perkembangan trem yang semula diperuntukkan sebagai angkutan perkebunan kemudian menjadi angkutan umum menunjukkan adanya perubahan kelas sosial penumpang. Pada masa awal pengoperasiannya, penumpang trem pada umumnya para bangsawan, pegawai perkebunan, dan para pedagang Cina. Kelompok bangsawan memiliki hak khusus menggunakan trem secara gratis, demikian pula dengan pegawai perkebunan. Para pedagang Cina menggunakan trem dengan cara membayar kepada pegawai trem dengan tarif yang relatif mahal. Setelah pergantian trem kuda menjadi trem uap selesai dan dapat dioperasikan secara keseluruhan pada 1908, maka tarif penumpang trem menjadi murah, yaitu 49 sen untuk jarak tempuh Solo-Boyolali.42 Tarif trem yang murah tentunya menarik bagi para pedagang atau penduduk pribumi yang ingin bepergian. Dengan demikian penumpang trem menjadi berkembang yang semula hanya dari kalangan terbatas kemudian meluas pada kalangan rakyat biasa atau masyarakat umum, yang pada umumnya membeli tiket kelas tiga yang murah.43
41
M. Sajid, op.cit., hlm. 69. Statistiek van het Vervoer op de Spoorwegen en Tramwegen met Machinale in Nederlandsch Indie (Batavia: Landsdrukkerij, 1908, hlm. 42-43. 43 Kelas penumpang dibagi menjadi beberapa kelas, seperti kelas 1, kelas 2, kelas 3, dan kelas 3 murah. Lihat Special Retourkaarten NISM (Surakarta: Reksapustaka, Mangkunegaran, kode arsip P.2446). 42
91
Ketergantungan masyarakat umum pada angkutan trem tampaknya mulai meningkat sejak 1908.44 Sistem abonemen pada trem Solo-Boyolali yang mulai diterapkan pada 1908 menunjukkan adanya perubahan pola perilaku penumpang yang semula bersifat nonreguler menjadi penumpang regular yang terikat pada satu jenis angkutan, yaitu trem. Pola perilaku penumpang regular juga menunjukkan adanya peningkatan mobilitas yang semakin tinggi. Peningkatan mobilitas tersebut di antaranya disebabkan karena semakin terbukanya akses penggunaan trem Solo-Boyolali bagi masyarakat umum.45 2. Migrasi Pengaruh industrialisasi perkebunan dan perkembangan transportasi yang relatif cepat di Solo dan sekitarnya tampaknya memberi rangsangan yang cukup siginifikan terhadap munculnya urbanisasi.46 Perpindahan penduduk dari desa ke kota pada awalnya terjadi ketika pembangunan jalur trem tahun 1885. Urbanisasi khususnya terjadi karena petani didatangkan dari distrik-distrik di daerah sekitar jalur trem yang dibangun atau dari daerah-daerah lain yang jumlahnya mencapai ratusan orang.47 Migrasi penduduk dari daerah-daerah miskin ke daerah-daerah yang lebih makmur di daerah Jawa pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi ekonomi. Penduduk migran mencari pekerjaan sebagai buruh pada proyek pembangunan irigasi, pembangunan rel kereta api atau trem, perkebunan dan lain-lain.48 Pada saat pengoperasian trem kuda dibutuhkan tenaga kerja yang merawat kuda baik yang berada di setiap stasiun, halte, atau kandang-kandang kuda lainnya milik STM. Diperkirakan dibutuhkan puluhan tenaga kerja yang merawat kuda-kuda penarik trem. Ketika pengoperasian tram uap mulai dilaksanakan pada tahun 1906 semakin banyak dibutuhkan tenaga kerja baik untuk kepentingan pemeliharaan rel, lokomotif atau gerbong di bengkel-bengkel, maupun tenaga kerja lainnya yang berhubungan dengan pengoperasian trem. Selain itu, terdapat banyak jenis pekerjaan
44
Statistiek van het Vervoer op de Spoorwegen en Tramwegen met Machinale in Nederlandsch Indie (Batavia: Landsdrukkerij, 1908), hlm 46-47. 45 Mobilitas dan aksesibilitas dalam konteks sistem transportasi merupakan dua hal yang saling berpengaruh satu sama lain. Lihat Sigurd Grava, Urban Transportation Systems (Philadelphia: Open University Press McGraw-Hill Education, 2004), hlm. 1. 46 Industrialisasi termasuk di bidang pertanian dan perkebunan yang terjadi di suatu wilayah memicu terjadinya urbanisasi dan mengubah jenis pekerjaan penduduk, organisasi kemasyarakatan, dan hubungan sosial. Hubungan sosial antara pendudukan kota asli dengan pendatang yang biasanya merupakan kaum pekerja sering memunculkan kesenjangan sosial dan konflik. Lihat Deborah Stevenson, Cities and Urban Cultures (Philadelphia: Open University Press McGrawHill Education, 2003), hlm. 13. 47 Dalam pembangunan rel kereta dari Semarang-Vorstenlanden 1864-1870 sepanjang lebih kurang 100 km dikerahkan tenaga kerja sekitar 1.921.202 orang yang bekerja secara bergiliran. Tiap bulan melibatkan puluhan ribu orang dan tiap hari rata-rata dikerjakan oleh sekitar 4901 orang. Lihat Djoko Suryo, op.cit., hlm. 118. 48 J.S.Furnivall, op.cit., hlm. 375.
92
yang muncul akibat dioperasikannya trem Solo-Boyolali. Usaha perdagangan dan industri rakyat seperti warung, kerajinan, hingga penjual kayu bakar untuk lokomotif dan rumput untuk makanan kuda penarik trem adalah beberapa jenis usaha yang banyak membutuhkan tenaga kerja. Hal inilah yang tampaknya menjadi pemicu urbanisasi. Para petani yang berada di kampung-kampung berdatangan ke kota untuk mencari pekerjaan di Solo, kota yang semakin berkembang. 3. Buruh dan Gerakannya Pada masa pembangunan dan pengoperasian trem Solo-Boyolali, kesempatan kerja bagi penduduk pribumi di Surakarta semakin bertambah. Tenaga buruh dibutuhkan untuk pemasangan relrel trem yang menghubungkan jalur utama dengan pusat-pusat perkebunan di perdesaan.49 Demikian pula pada saat pengoperasian jalur trem Solo-Boyolali. Tenaga kerja dibutuhkan untuk mengoperasikan trem tersebut mulai dari level menengah sampai terendah. Diperkirakan para pegawai trem Solo-Boyolali yang terlibat dalam organisasi buruh perkeretaapian masuk dalam cabang NISM.50 Pembentukan Vereeniging van Spoor en Tram Personeel (VSTP) pada 14 November 1908 di Semarang dilakukan oleh 63 buruh Eropa dari tiga perusahaan kereta api dan trem swasta. VSTP secara agresif merekrut anggota baik pegawai dari perusahaan kereta api negara maupun swasta dari kalangan pribumi. Pengaruh NISM sebagai perusahaan kereta api dan trem swasta terbesar di Jawa Tengah membuat ketergantungan bagi STM yang mengelola jalur trem Solo-Boyolali hingga tahun 1914. Sejak 1906 STM telah bekerjasama dengan NISM dalam mengelola jalur tersebut dan pada 1914 jalur trem itu diambilalih oleh NISM.51 Kondisi yang demikian kiranya menyebabkan para pegawai trem Solo-Boyolali memiliki ikatan moral yang kuat dengan pegawai NISM. Berdasarkan keterlibatan pegawai NISM dalam organisasi VSTP yang sangat erat, kiranya patut diduga bahwa para pegawai trem Solo-Boyolali pun memiliki keterkaitan dengan organisasi buruh tersebut.52 4. Perubahan Sosial Pada perusahaan trem jabatan kondektur, masinis, montir, kepala bengkel, dan jabatan lain seperti petugas loket, juru tulis, dan pegawai stasiun lainnya dijabat oleh pribumi.53 Sekalipun tidak 49
Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930 (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hlm.113. 50 Shadily, op.cit., hlm. 3288. 51 Special Retourkaarten NISM (Surakarta: Reksapustaka, Mangkunegaran), kode arsip P.2446. 52 Berdasarkan sumber yang ditemukan tidak menyebutkan asal pengurus atau anggota VSTP yang berasal dari STM. Sumber yang ada hanya menyebutkan NISM, SJS, dan SCS. Lihat John Ingleson, op.cit., hlm. 38. 53 John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat Dinamika Buruh, Sarekat Kerja, dan Perkotaan Masa Kolonial, Editor Iskandar P. Nugraha (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004), hlm. 44.
93
dalam jumlah yang banyak, beberapa orang pribumi yang menduduki jabatan tersebut adalah kelompok kelas menengah baru yang cukup terpelajar dan dapat berbicara dalam bahasa Melayu dan Belanda.54 Pada saat pengoperasian trem Solo-Boyolali sebagai angkutan umum menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah penumpang yang cukup signifikan. Pada 1913 jumlah penumpang mencapai lebih dari satu juta orang.55 Peningkatan jumlah penumpang tersebut kiranya dapat dijadikan indikasi adanya peningkatan status sosial ekonomi. Pada 1908 diterapkan sistem abonemen untuk penumpang trem.56 Penerapan sistem ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat Surakarta dan sekitarnya telah memiliki tingkat mobilitas yang tinggi dan keberadaan
kelas
menengah menjadi semakin banyak. Kebiasaan kelas menengah pada umumnya berhubungan dengan kemampuan berbahasa tulis dan berkomunikasi dengan berbagai pihak. Komunikasi antar penduduk menggunakan surat tampaknya juga semakin meningkat. Sejak 1 Agustus 1895 angkutan pos dari Solo-Boyolali menggunakan trem karena dipandang lebih cepat sampai ke tujuan. Pengoperasian pos keliling (looperpost) di daerah Solo sampai Boyolali juga menjadi indikasi meningkatnya komunikasi melalui surat.57 Perubahan sosial tampaknya juga terjadi pada masyarakat yang mampu memanfaatkan peluang usaha di sektor perdagangan. Beberapa stasiun atau halte pada umumnya berada di dekat pasar, baik pasar lama maupun pasar baru. Pasar baru tersebut muncul justru karena keberadaan halte. Perkembangan industri batik pada akhir abad XIX telah menumbuhkan kelas menengah dan pekerja baru. Para pengusaha baik orang pribumi, orang Cina atau Arab adalah kelompok kelas menengah yang menikmati berkah kemajuan ekonomi perdagangan. Produksi batik dan tekstil yang melimpah dan transportasi yang relatif baik menyebabkan keuntungan para pengusaha itu menjadi lebih berlipat. 5. Komoditi yang Diangkut Komoditas penting yang dihasilkan daerah Surakarta tahun 1885-1895 yaitu pada waktu trem Solo-Boyolali belum dioperasikan menunjukkan angka-angka yang tidak terlalu tinggi. Produksi gula per tahun rata-rata mencapai 400.000 pikul/tahun. Produksi indigo rata-rata sekitar 300.000 54
Ibid. Statistiek van het Vervoer op de Spoorwegen en Tramwegen met Machinale in Nederlandsch Indie (Batavia: Landsdrukkerij, 1913), hlm 45.. 56 Statistiek van het Vervoer op de Spoorwegen en Tramwegen met Machinale in Nederlandsch Indie (Batavia: Landsdrukkerij, 1908), hlm 46. 57 Besluit tanggal 2 Desember 1895 Nomor 8. 55
94
kg/tahun.58 Produksi kopi megalami kemerosotan, produksi cacao hanya mengalami sedikit kenaikan. Hanya produksi tembakau yang naik secara tajam mencapai 2.550.863 kg pada 1895. Data produksi perkebunan di daerah Surakarta sebelum trem Solo-Boyolali beroperasi (1885-1895) secara rinci lihat tabel 2. Tabel 2 Jumlah Produksi Perkebunan di Surakarta 1885-1895 Tahun 1885 1891 1892 1895
Gula (Pikul) 410.310 397.546 392.996 496.189
Indigo Tembakau (kg) (kg) 307.668 581.500 320.914 1.184.653 279.480 1.385.592 316.524 2.550.863
Kopi (pikul) 36.721 27.569 12.895 17.938
Cacao (kg) 34.187 64.852 487.545
Sumber: Kolonial Verslaag 1890 dan 1896, hlm. 207.
Setelah pengoperasian trem Solo-Boyolali komoditas penting yang dihasilkan daerah Surakarta menunjukkan kecenderungan peningkatan yang cukup besar khususnya gula dan tembakau. Produksi gula pada 1898 mencapai 678.555 pikul, sedangkan produksi tembakau mencapai 4.633.498 kg. Produksi gula dan tembakau mengalami peningkatan sangat besar pada 1907 yaitu 1.147.610 pikul gula dan 7.397.042 kg tembakau. Data tentang produksi perkebunan penting di Surakarta ketika trem Solo-Boyolali telah dioperasikan, lihat Tabel 3. Tabel 3 Jumlah Produksi Perkebunan Penting di Surakarta Tahun 1898-1907 Tahun 1898 1903 1907
Gula (Pikul) 678.555 905.632 1.147.610
Kopi (Pikul) 20.767 13.088 11.703
Indigo (Kg) 365.747 302.789 94.822
Tembakau (Kg) 4.633.498 5.559.253 7.397.042
Sumber: Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vorstenlanden Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Residency and its Impact on the Peasant Ekonomy and Society (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), hlm. 56.
Perbedaan data produksi hasil perkebunan sebelum dan sesudah pengoperasian trem SoloBoyolali tampaknya memiliki korelasi dengan lancarnya pengangkutan hasil perkebunan. Perusahaan perkebunan dipacu untuk berproduksi lebih banyak agar keuntungan yang didapat semakin meningkat. Di samping jenis produksi perkebunan seperti di atas, tampaknya trem Solo-Boyolali juga 58
Kolonial Verslaag 1894, hlm. 207.
95
mengangkut berbagai jenis komoditi atau barang yang lain seperti padi/beras, garam, batik, dan lainlain. Pengangkutan padi tidak hanya milik pedagang biasa tetapi juga milik Mangkunegaran, misalnya pengangkutan padi dari Sukoharjo ke Ampel melalui Boyolali. 59 Pengangkutan batik atau tekstil diperkirakan banyak dilakukan oleh para pengusaha batik yang usahanya mengalami perkembangan pesat mulai akhir abad XIX.60 Selama tahun 1908-1913 dilaporkan bahwa pengangkutan barang mengalami peningkatan yang signifikan dan diperkirakan memiliki korelasi dengan peningkatan jumlah produksi perkebunan. Pada tahun 1908 dilaporkan bahwa tram Solo-Boyolali telah mengangkut barang sejumlah 22.913 ton. Tahun 1913 jumlah barang yang diangkut mengalami kenaikan mencapai 26.022 ton. 6. Arus Barang dan Interrelasi Perdagangan Interrelasi perdagangan antar wilayah menjadi baik karena di Surakarta terdapat tiga jaringan kereta api dan trem yang masing-masing dikelola oleh SS, NISM, dan STM. Kota Solo yang terletak di lokasi yang strategis karena berada di persimpangan jalur kereta api Jakarta-Surabaya yang dikelola SS dan Semarang-Yogyakarta yang dikelola oleh NISM membawa dampak positif bagi perkembangan kota tersebut sebagai kota dagang.61 Peran jalur trem Solo-Boyolali dalam perkembangan perekonomian di wilayah sekitarnya menjadi semakin jelas ketika pembahasan tentang arus barang dan interrelasi perdagangan ditempatkan dalam kerangka Kota Solo sebagai tempat transit perdagangan dan sebagai kota dagang yang berkembang secara global. Jaringan transportasi trem tersebut tidak hanya melayani kebutuhan transportasi perdagangan lokal, tetapi merupakan satu kesatuan jaringan transportasi perdagangan yang terhubung dengan Pelabuhan Semarang melalui jalur kereta api NISM dan Pelabuhan Surabaya yang terhubung dengan jalur kereta api SS. Kedua pelabuhan tersebut terhubung dalam jaringan perdagangan global. Hasil-hasil produksi perkebunan dari daerah Klaten yang berada di sebelah barat, Wonogiri yang berada di sebelah selatan, Sragen dan Ngawi yang berada di sebelah timur, dan Ampel yang berada di sebelah utara Kota Solo dapat diangkut menggunakan gerobag atau pedati menuju ke stasiun atau halte-halte trem yang berada di sepanjang jalur Solo-Boyolali. Arus barang untuk kepentingan konsumsi lokal cukup dapat dilayani oleh trem, namun untuk kepentingan ekspor
59
Pihak Mangkunegaran secara aktif menggunakan tram untuk mengangkut barang-barang termasuk padi. Lihat besluit 20 Desember 1897 nomor 1. 60 Susanto, “Jatidiri Kota Solo: Problem Sebuah Kota di Jawa”, dalam Kota-kota di Jawa Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, editor Sri Margana dan M. Nusrsam (Yogyakarta: Ombak, 2010), hlm. 40. 61 Susanto, op.cit., hlm. 39.
96
barang-barang yang berasal dari daerah di sekitar Solo harus menggunakan angkutan kereta api baik milik SS maupun NISM. 7. Peningkatan Ekonomi Perkembangan perusahaan kereta api atau trem dapat menjadi barometer kesehatan ekonomi Hindia Belanda karena keuntungan yang diperoleh dari pengangkutan barang hasil perkebunan dan industri yang melimpah menunjukkan perkembangan ekonomi yang meningkat pula.62 Sebagian masyarakat pribumi ikut menikmati peningkatan ekonomi tersebut karena mereka bekerja sebagai pegawai perusahaan perkebunan atau perusahaan transportasi.63 Peningkatan ekonomi yang dirasakan masyarakat pribumi kiranya lebih berkaitan dengan perkembangan di sektor industri dan kerajinan tangan. Perkembangan industri batik menjadi semakin pesat setelah digunakan canting sebagai alat untuk membatik pada abad XIX. Sejak saat itu banyak bermunculan industri rumah tangga di bidang batik.64 Demikian pula pada waktu itu juga terjadi perkembangan industri pedesaan. Pada tahun 1890 mulai berkembang industri kerajinan yang hasilnya dijual di pasar-pasar yang berada di sekitar perkebunan maupun di luar daerah Surakarta. Kerajinan bambu, rotan, dan anyaman dipasarkan di pasar lokal. Kerajinan kuningan seperti bokor, talam, dan pendhok keris berkembang di Solo. Alat pertanian dan rumah tangga dari bahan besi dan tembaga dijual di pasar di daerah kerajaan. Payung yang menjadi status simbol sosial merupakan kerajinan rumah tangga yang cukup lama berkembang seperti di Desa Juwiring. Demikian pula kerajinan gerabah di Bayat, Klaten. Selain barang dari kulit, banyak pula beredar minuman keras, ciu, dan rokok wangen di pasar-pasar. Orang Cina banyak yang membuat soya, taoco, dan kecap dari kedelai yang dijual di warung-warung.65 Pada 1898 di daerah Surakarta terdapat sekitar 274 pasar, 1890 terdapat 277 pasar, 1903 terdapat 286 pasar, dan 1904 terdapat 270 pasar, baik pasar besar maupun kecil. Berubah-ubahnya jumlah pasar diperkirakan karena adanya pasar tiban, yang keberadaannya hanya sekali-sekali, misalnya pada waktu panen.66 Demikian pula dengan jumlah warung yang pada 1898 berjumlah 62
John Ingleson, op.cit., hlm. 55.
63
Upah buruh di perusahaan perkebunan maupun di perusahaan kereta api atau tram pada waktu itu rata-rata 2040 sen per hari. Lihat Nico Dros, Changing Economy in Indonesia A Selection of Statistical Source Material from the Early 19th Century up to 1940, Wages 1820-1940, Volume 13, edited by Peter Boomgaard (Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1992), hlm. 75-88. 64 65
66
Susanto, op.cit., hlm. 40. Algemene Verslaag 1897. Kolonial Verslaag 1901, hlm. 14 dan Kolonial Verslaag 1905, hlm. 20.
97
3522, meningkat menjadi 3640 warung.67 Keberadaan pasar dan warung sebagai tempat aktivitas perdagangan juga merupakan tolok ukur perkembangan ekonomi. Peningkatan jumlah pasar dan warung menunjukkan aktivitas ekonomi yang meningkat pula. D. Penutup Pembangunan dan pengoperasian jalur trem Solo-Boyolali pada akhir abad XIX hingga awal abad XX didorong oleh kebutuhan transportasi yang mampu mengatasi masalah pengangkutan baik pengangkutan barang maupun penumpang. Berdasarkan dua permasalahan yang diangkat dalam makalah ini maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan dan pengoperasian trem Solo-Boyolali memiliki motivasi ekonomi yaitu dalam rangka memperoleh keuntungan dari pengangkutan hasil perkebunan yang melimpah dan pengangkutan penumpang. Selain itu, peranan jalur trem SoloBoyolali bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Surakarta dan sekitarnya tahun 1883-1914 dapat diketahui berdasarkan analisis terhadap tujuh tolok ukur, yaitu penumpang, perpindahan penduduk (migrasi), buruh dan gerakannya, perubahan sosial, komoditi yang diangkut, arus barang, dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar jalur trem Solo Boyolali.
DAFTAR PUSTAKA “Nota Over het Gebruik van Concessiegronden door de NIS Alsmede het Onderhout van Binnen de Concessive Terreinen Gelegen Wegen”, bundel nomor P. 1173, Surakarta: Rekso Pustaka Mangkunegaran. Anonim, “De Javasche Spoorwegzaak”, dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1870, volume I. Anonim, “De Tarieven voor het Vervoer van Suiker op de Lijn Semarang-Vorstenlanden en het Overnemen van Dien Spoorweg Door den Staat” , De Indische Gids, 1891, Vol. I. Algemeen Verslaag 1897, Jakarta: ANRI. Besluit tanggal 19 April 1884 nomor 37, 18 Agustus 1891 nomor 14, Besluit tanggal 8 Januari 1895 nomor 8, 6 April 1895 nomor 26, 17 Juli 1899 nomor 1570, dan 18 November 1899 nomor 8, Jakarta: ANRI. Bezemer, T.J., Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, „s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921.
67
Kolonial Verslaag 1901, hlm. 14.
98
Boomgaard, Peter dan Gooszen, A.J., Changing Economy in Indonesia a Selection of Statistitcal Source Material from the Early 19th Century up to 1940, Volume 11, Population Trends 17951942, Amsterdam: Royal Tropical Institute (KIT), 1991. Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003. Daldjoeni, N., Geografi Kota dan Desa, Bandung: Alumni, 1998. Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta, 1830-1939, Yogyakarta: Taman Siswa, 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991. Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989. Dros, Nico, Changing Economy in Indonesia A Selection of Statistical Source Material from the Early 19th Century up to 1940, Wages 1820-1940, Volume 13, edited by Peter Boomgaard, Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1992. Dwi Ratna Nurhajarini, dkk., Sejarah Kerajaan Tradisionil Surakarta (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999. Furnivall, J.S., Hindia Belanda Studi Tentang Ekonomi Majemuk, Terjemahan Samsudin Berlian, Jakarta: Freedom Institute, 2009. Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1983. Grava, Sigurd, Urban Transportation Systems, Philadelphia: Open University Press McGraw-Hill Education, 2004. Hasan Sadely, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980. Hoeben, Vincen J.H. Kraton dan Kumpeni, Surakarta dan Yogyakarta, Leiden: KITLV Press, 1994. Ingleson, John, Tangan dan Kaki Terikat Dinamika Buruh, Sarekat Kerja, dan Perkotaan Masa Kolonial, Editor Iskandar P. Nugraha, Jakarta: Komunitas Bambu, 2004. Kementrian Perhubungan R.I., Perkembangan Transportasi di Indonesia, dari Masa ke Masa, Jakarta: Kementerian Perhubungan RI, 2010. Kolonial Verslaag 1883-1905, Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. 99
_________, Metodologi Sejarah, edisi ke dua, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003. _________, “Making An Old City A Pleasant Place to Stay for Meneer and Mevrouw: Solo, 19001915”, dalam FX. Nadar (ed), Lenses: Thoughts on Culture, Literature and Linguistics, Yogyakarta: Faculty of Cultural Science UGM, 2009. Larson, George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990. Oegema, J.J.G. , De Stoomtractie op Java en Soematra, Antwerpen: Kluwer Technische Boeken B.V. Deventer, 1982. Pemda Kodya Tingkat II Surakarta, Kenangan Emas 50 Tahun Surakarta (Surakarta: Murni Grafika dan STSI, 1997. Poerwodarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Pringgodigdo, A.K., Geschedenis der Ondernemingen van het Mangkunegarosche Rijk ( „s Gravenhage: Nijhoff, 1950. Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke empat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Reitsma, S.A., Indische Spoorweg Politiek, Deel II No. 1, Batavia: G.Kolff en Co, 1919. ________, Korte Geschiedenis der Nederlandsch Indische Spoor en Tramwegen, Weltevreden: G.Kolff en Co, 1928. Sajid, R.M., Babad Solo, Solo: Reksopustoko, 1984. Regeerings Almanak 1883-1930, Jakarta: ANRI. Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiograsi Indonesia Suatu Alternatif, Jakarta: PT. Gramedia, 1982. _______, dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1991. Shiraisi, Takashi, An Age in Motien, Popular Radicalism in Java 1912-1926, Itacha dan London: Cornell University Press, 1990. Special Retourkaarten NISM, bundel nomor P.1760, Surakarta: Rekso Pustaka Mangkunegaran. Soegijanto Padmo, The Cultivation of Vorstenlandens Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency on The Peasent Economy and Society: 1860-1960, Yogyakarta: Aditya Media, 1994. 100
________, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,Yogyakarta: Aditya Media, 2004. Sri Agus P. Rosyidi, Prasarana Transportasi Jalan Rel (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2004. Statistiek van het Vervoer op de Spoorwegen en Tramwegen met Machinale in Nederlandsch Indie 1908-1913, Batavia: Landsdrukkerij, Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Stibbe, D.G., Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, vierde deel, tweede druk, „s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921. Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1930, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991. Surat Residen Surakarta 31 Januari 1883 Nomor 28 dalam Besluit 17 April 1883 Nomor 25. Surat Residen Surakarta tanggal 28 Maret 1884 nomor 795 dalam Besluit tanggal 19 April 1884 nomor 37, Jakarta: ANRI. Surat Residen Surakarta kepada Gubenur Jenderal 16 September 1893 dalam Algemene Secretarie, bundel nomor 2877, Jakarta: ANRI. Surat Residen Surakarta 22 Agustus 1893 kepada Susuhunan Surakarta dalam Algemene Secretarie, bundel nomor 4624/47, Jakarta: ANRI. Surat dari Direktur Departement van Burgerlijke Openbare Werken kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 7451/ss tanggal 10 Mei 1899 dalam Besluit 17 Juli 1899 nomor 1570. Susanto, “Jatidiri Kota Solo: Problem sebuah Kota di Jawa”, Sri Margana dan M. Nursam, Kota-kota di Jawa Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: Ombak, 2010. Weijerman, A.W.E., Mededeelingen van Dienst der Staatspoorwegen op Java Nomor 11, 1916.Verslaag Solosche Tramweg Maatchappij 1895, Jakarta: ANRI. Veth, P.J., Aardrijkundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsh Indie, Deel 1, Amsterdam: P.N. van Kampen, 1961. _______, Aardrijkundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie Deel 2, Amsterdam: P.N.van Kampen, 1961. _______, Aardrijkundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie, deel 3, Amsterdam: P.N.van Kampen, 1961. Wasino, Kapitalisme Bumi Putra Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2008. 101
102