Jalan Lurus WISRAN HADI
BAGIAN PERTAMA
DI TENGAH HALAMAN YANG LUAS BERDIRI SEBUAH TIANG LISTRIK. PADA PUNCAKNYA DUDUK LAKON YANG DAPAT MEMERANKAN APA SAJA SESUAI DENGAN APA YANG DIPERINTAHKAN BAPAK, KEPALA ATAU ATASAN KEPADANYA. DI BAWAH TEMPAT DUDUKNYA BERGANTUNGAN TAS BANYAK SEKALI DARI BERBAGAI WARNA DAN UKURAN. BEBERAPA KALI LAKON MEMBAKAR PETASAN BESAR DAN MELEMPARKAN KE UDARA, TERDENGAR LEDAKAN-LEDAKAN DAN PIJARAN API.
KEMUDIAN... LAKON BERDIRI DENGAN TENANG.
LAKON: Saudara-saudara Suara-suara ledakan yang dilemparkan dari sini tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang dimaksudkan. Ditegaskan lagi, tidak ada hubungannya. Juga tidak untuk menakuti-nakuti saudara-saudara yang sedang berada di bawah. Semua ini dilakukan berdasarkan anjuran bapak kepala, bahwa ledakan-ledakan yang mirip dengan ledakan meriam pasti lebih menarik perhatian. Sekali lagi ditegaskan, untuk menarik perhatian. (MEMBAKAR PETASAN LAGI DAN MELEMPARKANNYA) Saudara-saudara Dalam rangka meluruskan serangkaian jalan lurus, menurut bapak kepala, perlu kiranya dipersembahkan jalan lurus, guna dirangkai dengan cerita JALAN LURUS yang benar-benar dianggap diluruskan oleh orang-orang lurus. (MEMBAKAR PETASAN LAGI DAN MELEMPARKANNYA) TIBA-TIBA SEROMBONGAN LELAKI DATANG. MEREKA MENCARI-CARI SUMBER LEDAKAN DAN INGIN MENGETAHUI APA YANG SEDANG TERJADI. MEREKA MENCARI DAN SALING BERTANYA . AKHIRNYA YANG MEREKA TEMUKAN HANYA SEBUAH TIANG. MEREKA TIDAK DAPAT MELIHAT SAMPAI KE PUNCAK TIANG. KARENA CAHAYA TERLANJUR GELAP DI ATAS SANA. LELAKI VIII: Tiang! LELAKI III:
Ya, tiang! LELAKI II: Memang tiang. Tiang listrik. LELAKI IV: Yang jelas tiang ini tiang besi. LELAKI VII: Kalau jenisnya begini, namanya batangan besi. LELAKI IV: Ini pasti tiang listrik. LELAKI V: Mungkin tiang, mungkin batang. Segala kemungkinan bisa terjadi. LELAKI VIII: Kalau pohon tentu punya daun. Kalau tidak berdaun namanya batang. Seperti juga batang hidung atau batang tubuh. Sedangkan Batang Hari saja tidak satu pun punya daun. LELAKI IV: Kalau tiang ini dianggap tiang listrik, nanti kita bisa kena setrum. Supaya kita selamat sebaiknya dianggap saja batang. Batang pinang! LELAKI VI: Ya, batang. Kalau dianggap pohon pinang atau pohon beringin, tentu anggapan tadi tidak benar, karena pohon ini tidak punya daun. LELAKI IV: Dengan menganggap tiang ini bukan tiang listrik, kita dapat terbebas dari ancaman hukuman mati. LELAKI VIII: Dan dengan menganggapnya batang pinang, maka tiang listrik ini tentu tidak punya setrum lagi. Yaya, anggapan ini penting. Setidak-tidaknya untuk melenyapkan arus listrik yang mungkin mengalir sepanjang tiang ini. LELAKI V: Mau dianggap batang pinang, batang kayu atau Perpatih Nan Sabatang1 tidak jadi persoalan. Asal sepakat, apa pun juga kita namakan, tiang tetap sebagai tiang. LELAKI VII: 1
Nama tokoh legendaris yang dipercaya masyarakat Minangkabau sebagai pendiri sistem adat Bodi Caniago; duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Langkah pertama kita adalah menyepakati tiang ini sebagai batang pinang. Bagaimana? Bisa sepakat? LELAKI VIII: Agar kita tidak membicarakan tiang listrik terus menerus, saya setuju menganggapnya batang pinang. Artinya kita tidak perlu lagi membicarakan tiang listrik. LELAKI VI: Sebagai anggapan saya terima. LELAKI V: Jangan hanya sebagai anggapan. Ayo, kita maju selangkah lagi. Konsensus! Konsensus kita adalah, tiang listrik ini bukan tiang listrik. Tapi batang! Batang pinang! LELAKI VI: Yang lain bagaimana? Setuju? LELAKI II: Buat apa tiang ini dianggap batang pinang? LELAKI V: Untuk menguji apakah kita bisa sepakat atau tidak. Apakah kita masih mampu membuat konsensus atau tidak. Soal untuk apa tiang ini disepakati jadi batang pinang, itu persoalan lain. Pokoknya, kita harus bisa sepakat. LELAKI VI: Ayo, setuju saja. Daripada persoalan batang ini menjadi batangka2. LELAKI II: Pada dasarnya batang ini tidak batangka! LELAKI III: Setuju. LELAKI II: Setuju. SEMUA: Setuju. MEREKA PUN BERGEMBIRA KARENA TELAH MENDAPAT KATA SEPAKAT. TIANG ITU MEREKA KELILINGI BERSAMA-SAMA SAMBIL MENARI DAN BERNYANYI. “Konsen” “Sensus” 2
Batangka (Min) = bertengkar
“Kon” “Konsen” “Sensus” “Batang” “Sensus” “Pinang” “Konsen” DAN SETERUSNYA... LAKON YANG DUDUK DI PUNCANG TIANG MENGIKUTI IRAMA DENGAN MENGGOYANGGOYANGKAN TALI GANTUNGAN. TAS BERGOYANG-GOYANG DI UDARA. SALAH SEORANG SECARA TIDAK SENGAJA MELIHAT KE ATAS. DIA TERKEJUT SEKALI DAN SEGERA BERTERIAK-TERIAK. LELAKI V: Tas! Tas! Tas di atas! MEREKA BERHENTI MENARI DAN SEMUANYA MEMANDANG TAS YANG BERGOYANGGOYANG. LELAKI II: Isinya pasti uang! Uang! LELAKI III: Wah. Uang bergoyang-goyang! LELAKI VIII: Uang tergantung di batang pinang! LELAKI III: Uang! Wah. Uang, wah. Wah uang! LELAKI II: Tergantung di batang pinang! LELAKI IV: Batang pinang digantungi uang. LELAKI VI: Tunggu dulu. Tas itu berada di atas, tergantung dan tertutup sambil bergoyang-goyang. Kita tidak tahu apa isinya. Mungkin saja isinya bahan peledak, bom, atau ganja. Mungkin juga berisi kuitansi-kuitansi, surat pengangkatan, surat perintah atau barang bukti pengadilan. Yang tertutup tidak dapat diperkirakan.
LELAKI V: Karena kita belum dapat mengambill tas, sebaiknya kita ambil kata sepakat. Kita sepakati dulu apa isinya. Menurut saya isinya mungkin takdir atau nasib. LELAKI II: Takdir tidak bisa disepakati. Harapan lebih memungkinkan. LELAKI VI: Ya, boleh. Boleh. Kita sepakati isinya harapan. LELAKI V: Harapan. Yaya. Bagaimana yang lain? Setuju? LELAKI VI: Kalau sudah dijadikan konsesus, ya, bagaimana pun harus setuju. Kekuatan kita kan di situ. Cepat mengambil kata sepakat. LELAKI V: Setuju sajalah. Daripada tidak aman. SEBAGIAN: Setuju. Setuju. LELAKI III: Tapi siapa yang punya tas begitu banyak? LELAKI V: Selagi masih tergantung tidak seorang pun yang punya. Asal cepat kita mendapat kata sepakat bahwa semua itu adalah milik kita, orang lain tidak akan berani mengambilnya. LELAKI III: Kalau sudah berada di tangan, boleh jadi milik pribadi, ya kan. LELAKI IV: Untuk siapa? LELAKI VII: Entah untuk siapa, itu soal lain lagi. LELAKI VIII: Aku harus tahu benar, apakah isinya memang harapan. LELAKI III: Tujuh kuperlukan untuk tujuh turunanku. MEREKA BERSIAP-SIAP MEMANJAT TAPI SEBAGIAN BERUSAHA PULA MENCEGAH.
LELAKI II: Jangan langsung dipanjat. Kuasai dulu masalahnya. Perhatikan sikon3 Sikon! Setelah dibakar kemenyan, baru boleh dipanjat. LELAKI III: Huh! Dukun saja belum ditanya, kalian malah mau memanjatnya. Ayo, panggil dulu dukunnya. E, dukun! Dukun! LELAKI VI: Jika tiang listrik itu benar-benar tiang listrik, bisa disengat arus kalian! LELAKI VI: Arus listrik tidak akan terhalang walau dijaga dukun satu batalyon! LELAKI III: Kalau tiangnya tinggi, tegangannya pasti tinggi. LELAKI III: Konsensus, bung! Konsensus! LELAKI II: Ini batang pinang, bung! Jangan batangka! TAPI AKHIRNYA MEREKA BEREBUTAN JUGA MEMANJAT TIANG ITU. YANG DI ATAS MENGINJAK YANG DI BAWAH. YANG DI BAWAH MERENGGUTKAN YANG DI ATAS. MEREKA TERUS BERTENGKAR. “Biar aku di atas” “E, e, e, kepalaku jangan diduduki” “Bahuku jangan diinjak! Pangkat letaknya di situ, he!” “E, e, jangan seenaknya. Mentang-mentang aku sedang berada di bawah, jangan berbuat semaumu!” “Celanaku. Celanaku jangan ditarik! Ah, bisa telanjang aku sampai di atas!” “Telur puyuhku! Telur puyuhku! Bisa pecah!” “Payah! Payah!” “E, puyuh! Celanamu robek! Turun! Ganti cepat!” DAN SETERUSNYA... MEREKA LETIH DAN TERUS BERTAHAN SAMBIL MENGUMPULKAN TENAGA.
3
Sikon = akronim situasi dan kondisi
LELAKI I DAN LELAKI X DATANG: YANG SATU MEMERANKAN SUAMI DAN SATU LAGI MEMERANKAN SEBAGAI ISTRI. TETAPI KEDUA LELAKI ITU TETAP SAJA BERPAKAIAN LAKI-LAKI DAN SESUNGGUHNYA. LELAKI I: Aku harus ikut! Bila tas yang merah itu kudapatkan, kehidupan kita akan berwarna cerah. Nasib kita akan berubah. LELAKI X: Jangan Mas, jangan. Itu batang pinang. Mereka selalu saling tarik untuk sampai ke atas. LELAKI I: Pokoknya kita berusaha. Kalau saya ditarik ke bawah, kau harus menarik orang itu secepatnya. LELAKI X: Bagaimana kau bisa ikut dalam permainan kaum lelaki yang begitu keras. Tunggu saja mereka sampai letih. Jika mereka telah turun baru Mas memanjatnya. LELAKI I: Takkan pernah ada keletihan mengejar harapan. Kalau kau tidak sanggup, tunggu saja di sini. LELAKI I: MENUJU ARAH BATANG PINANG DAN SIAP MEMANJATNYA. LELAKI X: Mas, Mas, jangan ikut. Memanjat batang pinang sudah usang. Tidak semua tradisi itu baik, Mas. LELAKI I: Kebudayaan milik orang-orang berbudaya, tahu! Kita harus menghormati sejarah, tradisi dan nenek moyang. LELAKI X: Tetapi yang rusak-rusak tidak perlu dilestarikan. LELAKI I: Memanjat batang pinang seperti itu gunanya untuk latihan! Latihan bertahan bila direnggutkan kawan dari bawah, dan latihan merenggutkan teman yang sedang berada di atas. Ini latihan dasar politik, tahu! LELAKI X: Aku tidak suka. LELAKI I: Hidup harus bervariasi. Aku juga harus memanjat yang lain, tidak hanya istri. LELAKI X:
Jangan berbuat serong Mas. Aku istrimu. Jika kau ingin sekali memanjat batang pinang itu, aku rela kembali jadi batang pinangmu. Ingat Mas, konsensus. Aku istrimu. LELAKI I: Apa? Kau istriku? Kata siapa? LELAKI X: Kata mupakat! Juga disepakati, perananku kini perempuan. Aku tetap setia pada konsensus. LELAKI I: Selamat tinggal konsensus, batang pinang menantiku! (MEMANJAT BATANG PINANG) LELAKI X: Baru mulai main sudah melanggar konsensus! Iii, geram aku. Memang tidak enak memerankan perempuan. LELAKI I MENARIK ORANG YANG BERADA DI BATANG PINANG ITU. SEMUA KEMBALI BANGKIT DAN BERSEMANGAT LAGI. TANPA SETAHU MEREKA, LAKON YANG DUDUK DI PUNCAK TIANG MENUANGKAN MINYAK ATAU OLI KE BATANG PINANG. TIANG MENJADI LICIN. MEREKA BERTENGKAR. “E, e, e, jangan memberati yang di bawah”. “Gila. Kau malah memberati yang di atas”. “Aku tidak tahan begini. Batang pinang ini semakin licin”. “Wah, tubuhmu berat sekali. Bagaimana bisa aku menahannya”. “Kalau sedang di atas jangan menekan yang di bawah!”. “Tahan terus! Tahan! Ini namanya resesi! Dan semua akan melorot ke bawah! Tahan! Resesi!” “Harus tetap berada pasa posisi awal. Kelicinan ini sebentar lagi juga akan lewat!” “Apa yang harus ditahan. Semuanya saling menekan”. “Bertahan sampai pertahanan terakhir!” “Ini bukan perjuangan kemerdekaan, bung!” “Ini kan hanya keinginan untuk saling menekan” “Kalau sungguhan tentu bentuknya tidak seperti ini, bodoh!” “Resesi! Resesi! Tahan. Tahan.” DAN SEMUANYA MELUNCUR KE BAWAH DAN SALING BERHIMPITAN. MEREKA KESAL KARENA GAGAL. LELAKI II: Tiba-tiba jadi licin! LELAKI III:
Mungkin diberi pelincir. LELAKI IV: Ya, pasti ada yang memberinya. LELAKI II: Padahal selama ini pelincirlah yang membuat segala urusan cepat selesai. LELAKI III: Tapi sekarang lain. Pelincir itulah yang menggagalkan usaha kita. LELAKI V: Ternyata pelincir tidak diperlukan dalam mengejar harapan. LELAKI VI: Bahkan dapat membahayakan. LELAKI III: Bagaimanapun kita harus berhasil. Tidak boleh patah semangat, patah hati, patah arang atau patah arang atau patah-patah! Kita harus patah tumbuh! Mungkin saja pelincir ini merupakan cobaan. Ya, cobaan. Ayo, kita coba lagi. LELAKI III: Asal tidak ada pelincir, setidak-tidaknya untuk bertahan kita mampu. Biar kucoba dulu. (MEMANJAT). LELAKI II: E, e, e, harus aku. Aku sudah biasa di mana-mana lebih dulu. (MEMANJAT) LELAKI IV: O, kalau di sini, harus aku lebih dulu. (MEMANJAT) LELAKI V: Biar aku dulu. Yang lain cari kata sepakat. (MEMANJAT). LELAKI VII: (MERENGGUTKAN SEMUANYA). Sekali sekali aku duluan kan boleh. Kita sepakat, kan. MEREKA KEMBALI SALING TARIK DAN BEREBUTAN MEMANJAT TIANG. LELAKI X SEMAKIN KESAL MELIHAT LELAKI I TIDAK LAGI MENGACUHKANNYA. DITARIKNYA LELAKI I DARI ORANG-ORANG YANG SEDANG BEREBUTAN ITU DAN MEMBAWANYA KE TEMPAT TERPISAH. LELAKI X: Percayalah Mas. Sampai kiamat pun tidak akan ada yang sampai ke atas sana, kalai caranya tarik-tarikan begitu.
LELAKI I: Kalau perananmu memang memerankan peran seorang istri, semestinya kau harus memberi dorongan pada peran suami. Memberi semangat. Memberi api. Tidak menyeretku terpisah dari mereka. LELAKI X: Aku harus mencegah kesia-sian suami. Memanjat batang pinang itu kebiasaan orang Minang yang sudah lama mereka tinggalkan. Kenapa Mas mengikutinya lagi. LELAKI I: Permainan seperti ini sudah menjadi populer. Sudah umum dalam kegiatan apa pun. Bahkan di masjid pun antara sesama khatib dan sesama pengurus juga memanjat batang pinang. LELAKI X: Orang-orang Minang tidak mau lagi memanjat batang pinang. Mereka sadar, karena hal itu tidak akan menjadikan seseorang menjadi besar. LELAKI I: Ah, mana tahu kau orang Minang. Jangan berlagak Minang dari orang Minang. Kalau sempat mereka tahu, kau akan digantungnya tanpa tali. LELAKI X: Baik. Jika digantung aku tinggi. Jika dibuang aku jauh4 LELAKI I: Sudahlah. Nanti kau bisa dikurungnya. LELAKI X: Mereka mengurungku? Baik. Jika dikurung aku di luar, jika dihimpit aku di atas5. Jika mereka menekanku, aku kemenakannya. LELAKI I: Istriku. Sudah kukatakan berkali-kali, permainan seperti ini latihan untuk menjadi orang besar, untuk menjadi tokoh-tokoh ternama. Orang Minang itu tidak pernah ada lagi yang besar sekarang, karena mereka meninggalkan permainan ini. Latihan politik, kataku. Merenggutkan sambil bertahan. LELAKI X: Tapi kita sudah dapat sepakat tidak membicarakan politik. LELAKI I: Memang. Taraf pembicaraan sudah selesai. Sekarang pelaksanaannya.
4 5
Ungkapan yang populer untuk orang Minangkabau bila mereka merendahkan diri Pepatah Minangkabau yang sekaligus sebagai ungkapan suatu kelicikan
LELAKI X: Mas. Kalau direnggutkan teman sendiri, lalu kau juga merenggutkan yang lain, hidup kita tidak akan menjadi tenteram. Aku tidak suka keributan. Istri harus diberi ketenangan, ya kan Mas? LELAKI I: Ingat. Dalam permainan ini perempuan hanyalah sebuah peran! Ah, jangan merasa dirimu perempuan dari perempuan yang sebenarnya. Pura-pura saja, biar pas. Kepura-puraanmu dalam peranan ini dapat menjadikan diriku tenteram. LELAKI X: Tapi Mas sendiri berperan sebagai suami sungguhan. LELAKI I: Aku menjiwai, itu soalnya. LELAKI X: Aku juga berusaha. LELAKI I: Tapi tampangmu mau dikemanakan? Kau tetap laki-laki. LELAKI X: Bukan salah bunda mengandung tapi salah membagi peran. LELAKI I: Jadi, kau menyalahkan sutradara? LELAKI X: Juga penata rias dan kostum. Mereka merasa berdosa kalau aku diberi pakaian dan rias perempuan. Kata ulama, masuk neraka kalau ada usaha menjadikan laki-laki menyerupai perempuan. Tapi kata sutradara, kalau laki-laki memerankan peran perempuan belum ada hukum agamanya. LELAKI I: Tidak perlu membawa permainan ini ke neraka. Memanjat batang pinang ini saja sudah neraka. LELAKI X: Tapi ini permainan sungguhan, karenanya aku jadi sungguh-sungguh. Keselarasan, kan begitu ya Mas. LELAKI I: Apalagi aku. Aku sungguh-sungguh ingin mendapatkan tas itu. Dijual ke loak saja sudah berapa. Tetaplah kau jadi istriku, tunggu saja di sini dan aku akan memanjat batang pinang kembali. LELAKI X:
Cepat pulang ya Mas. LELAKI I: Ya! LELAKI X: Tidak dicium dulu. LELAKI I: Mampus kau! (KEMBALI MEMANJAT BATANG PINANG) ORANG-ORANG BEREBUTAN DAN SALING TARIK. LAKON MENUANGKAN LAGI MINYAK ATAU OLI KE BATANG PINANG. BATANG ITU MENJADI SEMAKIN LICIN. ORANG-ORANG TIDAK DAPAT BERTAHAN DAN AKHIRNYA MELUNCUR BERHIMPITAN SAMPAI KE TANAH. MEREKA SEMAKIN KESAL DAN MULAI SALING MENCURIGAI. LELAKI II: Pasti ada yang berkhianat. LELAKI III: Ya. Pengkhianat itu tidak mau melihat perjuangan kita berhasil. Mereka tidak suka melihat nasib kita berubah. LELAKI IV: Coba sekali lagi. Jika batang pinang itu kembali licin, pasti di antara kita ada yang memberi pelincir. LELAKI V: Ya. Memanjat batang pinag sekaligus untuk dapat menemukan pengkhianat. LELAKI VII: Sebaiknya sebelum memulai memanjat, kantong-kantong diperiksa dulu. Siapa tahu ada bahan pelincir di dalamnya. LELAKI V: Bagaimana? Sepakat untuk dicurigai? SEMUA: Ya. Sepakat. Setuju. LELAKI V: Dan sepakat untuk diperiksa? SEMUA: Setuju. Setuju.
LELAKI V: Bila kedapatan, hartanya sepakat untuk disita? SEMUA: Setuju. Setuju. MEREKA SALING MEMERIKSA PAKAIAN DAN KANTONG TEMANNYA SENDIRI. LELAKI III MENEMUKAN BUNGKUS PLASTIK KECIL DALAM KANTONG LELAKI V. LELAKI III: Nah, ini dia! Lihat ke sini! Dialah rupanya yang mengantongi! SEMUA MENELITI APA YANG DITEMUKAN LELAKI III LELAKI II: Ah, itu kan hanya nasi sisa yang dibungkus plastik. LELAKI IV: Sisa nasi goreng. Uh, apa perlu dikantongi. LELAKI IV: Ini nasi biasa. Tidak mungkin bisa dijadikan pelincir. LELAKI I: Coba letakkan di tanah. Nasi begini mungkin bisa berubah. KANTONG PLASTIK ITU DILETAKKAN DI TANAH. LELAKI I: Nah, berubahkan. LELAKI VIII: Ah, itu kan masih tetap nasi. LELAKI I: Uh, buta matamu? Lihat yang benar. Cepat sekali prosesnya. LELAKI II: Tetap nasi sisa kan? LELAKI I: Ah, lihatlah. Nasi sisa itu telah menjadi nasihat. LELAKI VI: Nasihat? Buang saja! (MELEMPARKAN PLASTIK ITU JAUH JAUH)
LELAKI V: E, jangan dibuang. Itu nasi... (TERUS MENCARI PLASTIK ITU) LELAKI VI: Tidak perlu dicari lagi. LELAKI V: Nasi ini penting sekali. Jangan sampai hilang. LELAKI VI: Nasi apa? Nasi kunyit atau nasi keramat? LELAKI V: Kalau nasi itu sampai hilang, kita pasti berantam. LELAKI VI: Kalau cuma nasihat kau sajalah yang mencarinya. LELAKI V: (MENEMUKAN KEMBALI) Nah, akhirnya kita bisa selamat. LELAKI VIII: Katakan. Nasi apa? LELAKI V: Lihat ini. Nasional. SEMUANYA MELIHAT PENUH KEHERANAN. “Ini nasional? MasyaAllah!”. “Masalah! Itu nasional?”. “Masalah Nasional?”. “Masyarakat. Itu nasional?”. “Masa bodoh. Nasional dibungkus plastik”. “Masa kini. Jangan dikantongi”. DAN SETERUSNYA... LELAKI VIII: Sudah! Diam! Semuanya mau dikembangkan! Akhirnya jadi mengambang! Disebut nasi sisa terus dikembangkan jadi nasional. Disebut MasyaAllah dikembangkan menjadi masa bodoh. Jangan terlalu tergesa mengembangkan sesuatu. Hanya burung yang paling pandai mengembangkan sayap. Ah, belum sampai setengah jalan, perjuangan kita sudah mengambang.
LELAKI V: Kalau sudah jadi nasional, kita harus sepakat. LELAKI III: Sepakat ya sepakat. Tapi nasionalnya jangan dikantongi sendiri. LELAKI I: Keributannya selesai! Cukup! Kita tidak perlu lagi saling bercuriga. Mari kita lanjutkan perjuangan! Ayo, kembali memanjat batang pinang! SEMUA: Lanjutkan perjuangan! MEREKA KEMBALI BEREBUTAN DAN BERTENGKAR MEMANJAT BATANG PINANG ITU. TAPI LELAKI VIII TIDAK IKUT. DIA MEMISAHKAN DIRI. YANG LAIN SEGERA CURIGA DAN MENGELILINGI. LELAKI II: E, bung! Kenapa tidak ikut berjuang. LELAKI III: Semua harus ambil bagian dalam perjuangan. Sikapmu yang antikebersamaan ini bisa dicurigai. LELAKI VIII: Justru aku yang paling dicurigai sekarang. Apakah tas tas di atas itu mungkin dapat kita miliki atau tidak. Beberapa kali diusahakan tapi hasilnya tetap nol. Mungkin Tuhan tidak meredhai perjuangan kita ini. LELAKI II: Tuhan jangan dibawa-bawa memanjat batang pinang! LELAKI III: Kalau kau tidak ikut tentu tidak ada lagi pelincir yang kau tebarkan diam-diam pada batang pinang. Terima kasih atas ketidak ikutsertaanmu. LELAKI VIII: Jangan mencurigai teman! Kalau kalian mau panjat, panjat saja. LELAKI III: Ayo, tinggalkan saja pembangkang ini. LELAKI VI: Tunggu. Yang itu juga tidak ikut sejak tadi. LELAKI X:
Aku? Aku istri! Perempuan. Bagaimana bisa ikut? Dalam hal memanjat batang pinang, istilah emansipasi otomatis bisa hilang, ya kan? LELAKI II: O, jadi bung ini perempuan? Perempuan? LELAKI X: Aneh kalau aku memerankan peran perempuan? LELAKI III: Kalau ada perempuan seperti kau, tentu saja semua laki-laki lebih suka memanjat batang pinang. Ayo. LELAKI X: E, bung! Kau kira aku main-main! LELAKI III: Ayo, panjat lagi. SEMUA KEMBALI MEMANJAT BATANG PINANG. LELAKI VIII DAN LELAKI X MEMISAHKAN DIRI. LELAKI VIII: E, bung. Orang gila mana yang menyuruhmu memerankan peran perempuan. LELAKI X: Konsekuensi dari emansipasi, Bung! LELAKI VIII: Kok bisa jadi ekstrim begini. LELAKI X: Tenang saja. Ini namanya permainan. Kau sendiri sekarang memerankan orang bawahan dan kau kembangkan jadi pembangkang. Itu hanya peran. LELAKI VIII: Sebaiknya tidak usah pakai otak kalau mau mengikuti peristiwa seperti ini. LELAKI X: Memang. Agar kita tidak dituduh gila, saat ini jangan memakai otak. Zaman sudah meninggalkan kepastian-kepastian. Segalanya kini bisa dimungkinkan berdasarkan kesepakatan. Ini era globalisasi, bung! LELAKI I: (TIDAK IKUT LAGI MEMANJAT BATANG PINANG DAN SEGERA MENDEKATI LELAKI X) Aku sedang berjuang sampai titik darah penghabisan, sementara itu kau bercumbu dengan lelaki buaya ini sampai ke titik puncak.
LELAKI X: Terus berjuang Mas. Terus. Berakit-rakit ke hulu daripada dituduh berkhianat. Kita dijadikan kambing hitam. Kita akan jadi kambing. LELAKI I: Jadi harimau pun aku mau asal tidak ikut memanjat batang pinang. LELAKI X: Belum apa-apa sudah menyerah. Dari dulu sudah kukatakan, Mas tidak akan berhasil. LELAKI I: AH, kau hanya bisa bicara. Coba kalau sanggup. LELAKI X: Aku kan perempuan. Perempuan kan Mas? LELAKI I: Kalau kau tidak ingin jadi kambing, kita harus ganti peran. Ganti peranmu jadi laki-laki. Pnajat batang pinang itu. LELAKI X: Kalau ditantang begitu, baik. Aku sekarang jadi suami. (MENGUMUMKAN) Pengumuman! Pengumuman! Ada pergantian peran! MEREKA YANG SEDANG MEMANJAT BATANG PINANG MENGOMENTARI PERGANTIAN PERAN ITU; “Tukar kelamin saja kita setuju, apalagi ganti peran”. “Perannya berganti, tapi dia tetap juga laki-laki”. “Ganti peran kok diumumkan. Ganti saja sendiri”. “Dikiranya seperti main bola kaki. Pakai ganti pemain segala”. “Memang susah kalau terbiasa di lapangan bola kaki memasuki lapangan seni”. “Seni apa? Memanjat batang pinang ini seni? Malah air seni yang keluar”. “Ganti peran seenaknya. Ongkos administrasinya kan juga harus ke luar”. DAN SETERUSNYA... LELAKI I: Jangan dengarkan mereka. Ayo, mulailah. LELAKI X: Baik. Istriku. Kupanjat batang pinang ini demi menghindari diri jadi kambing hitam. Tas itu tak kuperlukan. Buat apa punya tas coklat misalnya, tapi selalu dituduh pengkhianat. Tinggallah kau di rumah, aku berjuang.
LELAKI I: Uda. Uda. Uda takkan berhasil. Percayalah. LELAKI X: Sejak dari tadi datukku permainan seperti ini sudah berlangsung. Belum aku lahir ayahku sudah memanjat batang pinang. Aku suamimu. Kau harus yakini kemampuanku. LELAKI I: Uda, uda. (MERATAP SEPERTI ORANG MINANG MERATAP DALAM PANTUN PANTUNNYA) LELAKI X: MULAI MEMANJAT BATANG PIANG DAN MENARIK SEMUA ORANG. ORANG-ORANG JADI KESAL. LELAKI II: Tidak ada urusan perempuan di sini. Pergi! LELAKI X: Sudah disepakati Bung. Aku kini laki-laki. Bahkan sejak lahir aku sudah laki-laki. LELAKI III: Kalau datang terlambat jangan langsung ke atas. LELAKI VI: Datang terlambat mau ke depan. Kau kira masuk masjid. Hanya ustad dan kiyai yang boleh ke depan kalau datang terlambat, tahu! LELAKI X: Aku ingin di atas, Bung! LELAKI VII: Setiap laki-laki ingin di atas, masa kau lupa. LELAKI X BERUSAHA TERUS UNTUK BISA SAMPAI KE ATAS. LELAKI I DAN LELAKI VIII BERTERIAK TERIAK MENCEGAH. LELAKI VIII: Bodoh kalian! Jangan suka dibodoh-bodohi! Tas itu bukan harapan. Kalau bikin konsensus harus masuk akal, bung! LELAKI I: Uda. Uda. Itu bukan batang pinang. Jangan terjebak lambang-lambang. LELAKI VIII:
Uda. Sampai kiamat pun Uda takkan sampai ke atas dana. Turun saja sebelum kualat. Ini masalah status. Status kita di bawah. Di bawah. LAKON KEMBALI MENUANGKAN MINYAK DAN BATANG PINANG ITU KEMBALI LICIN. MEREKA YANG MEMANJAT TIDAK DAPAT BERTAHAN DAN MELUNCUR KE BAWAH. MEREKA SEMAKIN KESAL DAN SEMUANYA MELAMPIASKAN KEKESALANNYA PADA LELAKI I DAN LELAKI VIII YANG TIDAK IKUT MEMANJAT BATANG PINANG. LELAKI II: Pengkhianat! LELAKI III: Tikus busuk! LELAKI IV: Subersip! Ular! LELAKI VI: Angkat kaki dari sini! LELAKI VII: Kalau tidak, keduanya kubunuh! LELAKI VIII: Tunggu. Aku tidak berkhianat. Percayalah. LELAKI V: Atas nama seluruh pejuang batang pinang, kalian berdua harus pergi dari sini. LELAKI I: Apa kesalahan saya. LELAKI III: Kalian berteriak-teriak tak karuan sementara kami berjuang memanjat batang pinang. Teriakan-terikanmu tidak penting, tapi kalimatnya itu. LELAKI II: Pokoknya berangkat. Batang pinang tidak memerlukan orang-orang seperti kalian. LELAKI V: Jangan bertengkar. Kita harus sepakat dulu. Nah, kalian berdua harus pergi. Bisa sepakat? LELAKI II: Harus sepakat! Kalau kau merasa terpaksa, itu kan hanya perasaanmu saja. Pokoknya sepakat, kan! LELAKI VIII:
Sepakat. LELAKI I: Dan kami, akan diberangkatkan ke mana? LELAKI V: Yang penting sepakat dulu. LELAKI I: Bagaimana dengan suamiku? LELAKI VI: Urusan rumah tangga tidak di sini. LELAKI X: Tapi dia istriku, bung! LELAKI II: Kita telah sepakat mengusirnya, apalagi. Kau sepakat, kan! (MEREMAS LEHER BAJU LELAKI X) LELAKI X: Baik. Bai. Aku sepakat. LELAKI I: Jadi uda tidak sedih berpisah dengan istri? LELAKI X: Dengan ya sedih. Tapi dengan kau apa urusan. Peran bisa berganti-ganti. Begitu kata sepakat. Nah, selamat jalan. LELAKI I: Tidak bertanggung jawab. LELAKI III: Ayo berangkat! Kalau tidak kami akan naik pitam! LELAKI VIII: Baik. Baik. Ke mana? LELAKI V: Ke Munduran. LELAKI VIII: Kemunduran? Bukan kemajuan?
LELAKI V: Kau sudah pernah lihat peta atau belum! LELAKI VIII: Peta? Aku dulu jadi komandan Peta6, tahu! LELAKI V: Dengar aku. Dalam peta buta. Munduran itu nama sebuah desa di kelurahan Mundur dalam kecamatan Unduran yang berbatas dengan kali Undur-undur. LELAKI I: O, desa Munduran? Ya ya. Tapi kalau naik pitam lewatnya ke mana? LELAKI V: Ambil jurusan ke Majuan, kemudian turun di pertigaan jalan ke Makmuran. LELAKI VI: Terlalu jauh. Lebih baik ambil jurusan Publisistik atau jurusan Sosial Politik. LELAKI VII: Sebaiknya ambil jurusan Tanah di Fakultas Pertanian, lalu sekalian ke Balik Papan. Mati! LELAKI V: Kacau. Kacau. Sekarang masuk gua saja. LELAKI I: Masuk gua? Mana ada gua di sini? LELAKI VIII: Guanya, gua apa? LELAKI V: Gua apa saja. LELAKI I: Gua Selarong? LELAKI III: Lebih baik masuk gua Kahfi. Gua Kahfi itu adalah gua sejarah. LELAKI VIII: Bagaimana mencarinya. LELAKI V:
6
Kependekan dari Pembela Tanah Air. Barisan Pemuda semasa pendudukan Jepang.
Pokoknya sepakat. Kalau kita sudah sepakat, apa pun bisa dapat. Jangankan gua Kahfi, semua gua dapat dipindahkan ke sini. Dengan semau gua7. LELAKI VI: Sekarang apa lagi yang harus kita sepakati. LELAKI V: Masuk gua. Masuk gua sama artinya masuk ke kegelapan tanpa gelagapan. Sama halnya dengan tidur dan tidak dapat melihat apa-apa lagi. Karena di sini gua tidak disediakan, kita masukkan saja mereka ke kegelapan. LELAKI VII: Setuju. Sepakat, kan? Nah sekarang caranya. Bagaimana? LELAKI V: Yang penting kita harus memahami hakikat gua Kahfi atau hakikat kegelapan itu. Tutup matanya dengan saputangan atau kain hitam, selesai. LELAKI III: Ini saputangan. Mereka harus masuk sekarang. LELAKI X: Tunggu dulu. LELAKI III: Tunggu apa lagi. Kita sudah sepakat, kan? LELAKI X: Menurut sejarah, gua Kahfi dimasuki tujuh orang. Kalau tidak tujuh, gua Kahfinya tidak punya rujukan yang jelas. LELAKI V: Baik. Harus dicari lima orang lagi. LELAKI VI: Buat pengumuman. Umumkan secara umu kepada umum, siapa yang masuk gua Kahfi, gratis! LELAKI III: Biar aku yang mengumumkan. (BERTERIAK KE SANA KEMARI) Dibuka lagi! Dibuka lagi kesempatan kepada mereka yang ingin terkenal! Bisa dicatat sejarah! Jaminannya masuk sorga! Lima orang! Syarat-syaratnya laki-laki dewasa, waras dan dalam permainan mau terlibat! Golongan kaya atau miskin, golongan gaji atau golongan darah tidak diperlukan!
7
Bahasa Betawi yang maksudnya: sesuka hati.
PENGUMUMAN INI DIBUAT SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA BENAR BENAR MENARIK. PAKAI ` MUSIK, IRING-IRINGAN DAN SEBAGAINYA. LELAKI IV: Nah, penonton? Bagaimana? SEORANG PENONTON BERJALAN KE TENGAH LELAKI IV: Tepuk tangan! Seratus buat penonton dari Barat. Ayo bung ke sini. Jangan malu-malu kalau mau jadi orang terkenal. LELAKI III: Ya ya. Siapa menyusul? DUA PENONTON DATANG LELAKI III: Dua ratus untuk penonton Timur! Tepuk tangan. Tinggal dua orang lagi. Ayo. Ayo. DUA ORANG WANITA HAMIL DATANG LELAKI IV: Begini nyonya. Emansipasi kita setuju. Tapi kalau keadaan nyonya begini, bagaimana mungkin bisa berperan? Silakan nyonya kembali ke tempatnya. Kasihan generasi yang akan dilahirkan nanti. Bisa rusak kalau nyonya ikut permainan gila ini. (KEDUA NYONYA KEMBALI KE TEMPATNYA) Nah, kurangi angka penonton dua ratus! LELAKI III: Ayo, siapa lagi? Bagaimana, pemain? LELAKI I DAN LELAKI IX BERGABUNG DENGAN KELIMA LELAKI TOKOH-TOKOH ITU LELAKI V: Nah, sekarang sudah tujuh orang. Silakan masuk gua Kahfi. LELAKI I: Tunggu. Selain tujuh orang, juga harus ada seekor anjing. Begitu menurut sejarah. LELAKI V: Anjing? Ah, kalau begitu harus dibuka kesempatan kepada anjing. LELAKI III:
Iklan susulan! Iklan susu, lan! Iklan Anjing! Kesempatan terbaik bagi kalian daripada menggonggong sewaktu kafilah berlalu! Kesempatan untuk terkenal bersama tujuh tokoh sejarah! LELAKI VII: Ini penghinaan bung! Aku tidak suka menghina siapa pun apalagi surat kabar yang akan memuat iklan anjing itu. Sebaiknya anjing itu diganti saja dengan yang lain. LELAKI V: Asal kita sepakat, tidak soal. Jangankan anjing, buaya pun jadi, kalai kita sepakat sesuatu itu adalah buaya. SEMUA: Setuju. Setuju. LELAKI III: Ya ya. Kini waktunya sudah tiba masuk gua. (BERTERIAK-TERIAK) Masuki sejarah, Caligula! LELAKI V: Caligula? Itu kan belum kita sepakati. Jangan melantur sampai ke luar negeri. KETUJUH LELAKI ITU DITUTUP MATANYA DENGAN SAPU TANGAN. LELAKI V MENGIKAT SEBUAH BATU DENGAN SAPU TANGAN. LELAKI II: Batu ini juga diikat? LELAKI V: Ini anjing. Sepakat kan? LELAKI II: O, itu. Anjing rupanya. LELAKI V: Anjing kecil ini kan juga harus masuk gua. Nah, beres. Beres semua? SEMUA: Beres. Siap. LELAKI V: Nah. Masuklah ke gua Kahfi. KETUJUH LELAKI ITU MENUTUP MATA LELAKI III: Tiga ratus tahun lagi kalian pasti akan dibangunkan. KETUJUH LELAKI:
Tiga ratus tahun? LELAKI III: Nah sekarang giliran kita memanjat batang pinang. Saingan sudah berkurang. LELAKI YANG TIDAK MASUK GUA KAHFI BEREBUTAN MEMANJAT BATANG PINANG. MEREKA BERTENGKAR LAGI SEBAGAIMANA KEBIASAAN SETIAP MEMANJAT BATANG PINANG. LELAKI II: Keterlaluan! Apa hubungannya gua Kahfi dengan kejadian ini. Kalau mau membungkam mereka sejarah jangan dikambinghitamkan. Bungkam saja mulutnya. LELAKI V: Kalau dibungkam begitu saja rasanya kurang bersahabat, padahal kita sama-sama teman seperjuangan. Tapi kalau mereka fanatik pada sejarah dan cerita agama, ya kita beri peluang. Kita beri apa yang mereka inginkan dan kita tetap dalam permupakatan. Pokoknya, sepakat. Ya kan. KEDUA LELAKI INI MENYUSUL TEMAN-TEMANNYA YANG TELAH LEBIH DULU MEMANJAT BATANG PINANG. SEDANGKAN KETUJUH LELAKI YANG TERTUTUP MATANYA MERABA-RABA KE SANA KEMARI. LELAKI I: Gelap sekali. LELAKI X: Mungkin kita sudah terlalu jauh masuk ke dalam gua. LELAKI XI: Apa benar kita baru bangun tiga ratus tahun lagi? LELAKI IX: Tiga ratus taun? Gila! Tiga jam saja seperti ini rasanya sudah tidak tahan. LELAKI I: Kalai mau terkenal harus tahan terhadap segala keadaan. Masuk gua begini masih lumayan daripada mulut dibungkam. LELAKI X: Ya. Kita bisa bicara semaunya, tapi kita tidak dapat melihat apa yang sedang mereka kerjakan. LELAKI VIII: Kita harus bangga. Kitalah yang terbebas dari permainan memanjat batang pinang. LELAKI I: Kita dijamin masuk surga dan mereka yang memanjat batang pinang pasti masuk neraka.
LELAKI X: Tunggu. Anjing kita tadi mana? LELAKI VIII: Jangankan anjing, kita pun kalau gelap suka keluyuran juga. LELAKI X: Ayo. Cari anjing! Tanpa anjing kecil itu, kejadian ini tidak sah sebagai peristiwa sejarah. Ayo. Semua! Cari anjing! KETUJUH LELAKI MERABA KIAN KEMARI DAN MEMANGGIL-MANGGIL “Anjing”. “Anjing”. “Anjing”. DAN SETERUSNYA... BEBERAPA ORANG DARI MEREKA MENEMUKAN BENDA ATAU SESUATU. MEREKA GEMBIRA KARENA MENGANGGAP TELAH MENEMUKAN ANJING YANG HILANG TADI. LELAKI X: Ini anjing. (MEMBUKA PENUTUP MATA. TERNYATA KANTONG PLASTIK, LALU MENUTUP MATA KEMBALI). LELAKI VIII: Nah, ini baru anjing. (MEMBUKA PENUTUP MATA; TERNYATA YANG DIPEGANGNYA SEPATU PENONTON). O, maaf. Sepatu. Sepatu belum disepakati sebagai anjing. Maaf. Maaf. (KEMBALI MENUTUP MATA) LELAKI I: Ini pasti anjing! (MEMBUKA PENUTUP MATA, TERNYATA LUTUT SEORANG PEMANJAT BATANG PINANG YANG LAGI ISTIRAHAT). O, kau. Kukira kau anjing. LELAKI V: Anjing! Kau kira aku anjing! LELAKI I: (SAMBIL MENUTUP MATA DAN BERLALU) Asal kita sepakat, tidak soal bukan? LELAKI V: Tapi aku tidak akan sepakat sampai kapan pun kalau diriku dianggap anjing! Persetan dengan kata sepakat, kalau hanya untuk menghinaku! LELAKI I: Ya sudah. Kok emosi sendiri?
BEGITULAH KEADAANNYA. SETIAP ORANG MERASA MENDAPATKAN ANJING. SEMENTARA ITU PARA LELAKI YANG MEMANJAT BATANG PINANG MELUNCUR KE BAWAH KARENA BATANG ITU SEMAKIN LICIN. LELAKI V KEBETULAN MELIHAT LAKON SEDANG MENUANGKAN OLI KE BATANG PINANG. LELAKI V: Dia di atas! Dia! LELAKI II: Di atas tas? LELAKI V: Ya. Dia di atas tas. LELAKI IV: Dia, dia tas? LELAKI V: Dia dia, tas tas! LELAKI III: Keterlaluan! Rupanya selama ini dialah yang memberi pelincir. LELAKI IV: Pasti pengkhianat! LELAKI V: Ssst! Dia di atas. Dia atasan. Dia mungkin kepala. LELAKI VII: O, tentu. Kepala pasti di atas. Kepala kita memang di atas. LELAKI VI: Dan kita? LELAKI V: Karena kita berada di bawah, ya bawahan. LELAKI II: Bisa disepakati, bahwa kita ini bawahan? LELAKI V: Sepakat atau tidak, kita tetap berada di bawah. Bawahan. Ini masalah tempat, level, status, bukan hanya akhiran an! LELAKI III:
Bahkan lebih bawah lagi daripada tas. LELAKI IV: Kalau dia atasan, tidak mungkin memberi pelincir pada bawahan. Masa pelincir dari atas, ya kan? LELAKI VII: Kalau begitu, atasan harus diberi tahu agar dia tidak perlu memberi pelincir pada kita. LELAKI III: Sebaiknya diturunkan saja, agar dia tidak menghalangi perjuangan kita. LELAKI VI: Diturunkan? Naik saja begitu susah, apalagi menyuruhnya turun. Siapa yang mau turun kalau sudah berada di atas? LELAKI IV: Kalau tidak begitu, pasti apa yang kita perjuangkan tidak akan berhasil. LELAKI III: Harus diturunkan! Harus. LELAKI II: Tapi caranya bagaimana? LELAKI VII: Bagaimana kalu kita berteriak-teriak? LELAKI III: Pernahkah kita mendengar suara semut atau suara cacing? Tidak kan? Soalnya kita berada di atas semut atau cacing itu. Kita tidak mampu mendengar suara dari bawah, bukannya karena tidak mau. Nah, apalagi dia yang begitu jauh di atas kita. Suara apa pun tidak akan didengarnya selain suaranya sendiri. LELAKI V: Asal kita sepakat, dia bisa diturunkan, bagaimana pun juga tinggi tempatnya. LELAKI IV: Apalagi yang harus kita sepakati? LELAKI V: Kita pukul bersama-sama tiang listrik ini. LELAKI VI: Sepakati dulu, bahwa batang piang itu bukan batang pinang lagi. Tapi sudah kembali menjadi tiang listrik.
SEMUA: Ya ya. Setuju. Tiang listrik. SEMUA MENCARI BATU DAN MENCOBA MEMUKUL-MUKUL TIANG LISTRIK. MEREKA MULAI YAKIN BAHWA YANG DIPUKUL ITU BENAR-BENAR TIANG LISTRIK. LELAKI III: Sah ini sah tiang listrik! LELAKI II: Ya ya. Baru bisa disetujui tiang ini tiang listrik. LELAKI V: Makannya! Bila kita sepakat, apa pun bisa kita dapat. Mau ingin tiang listrik, kita tinggal ambil kata sepakat. Coba pukul lagi. (BEBERAPA ORANG MEMUKUL). Benar kan? Tiang listrik kan? SEMUA: Ya ya. Ini benar-benar tiang listrik. LELAKI V: Nah, mari kita pukul. Mulai. SEMUA MEMUKUL TIANG LISTRIK DAN SANGAT MEMEKAKKAN. PARA LELAKI DI DALAM GUA TERSENTAK. LELAKI I: Sudah tiga ratus tahun? LELAKI X: Seperempat jam saja mungkin belum. LELAKI I: Lalu siapa yang memukul lonceng jam istirahat? LELAKI VIII: Mungkin guru-guru mogok. Itu kan bunyi lonceng libur panjang. LELAKI I: Ah, lebih baik cari lagi anjing itu. Tanpa anjing kita bisa batal jadi bahan sejarah. LELAKI X: Ayo, cari lagi. KETUJUH LELAKI ITU KEMBALI MENCARI ANJING DAN MEMANGGIL-MANGGIL. SEBUAH TANGGA TALI DIJATUHKAN LAKON. PARA LELAKI PEMANJAT BATANG PINANG KETAKUTAN. LAKON LAMBAT-LAMBAT TURUN MENURUNI TANGGA TALI.
LELAKI II: Atasan datang! LELAKI III: Kepala turun! LELAKI V: Benar kan? Suara pukulan tiang listrik ini lebih kedengaran sampai ke atas daripada suara kita sendiri. LELAKI VI: Atasan datang, apa yang harus kita berikan. LELAKI IV: Kita tidak diwajibkan memberikan apa pun, karena kita tidak meminta apa pun. LELAKI VI: Tapi kewajiban bawahan harus memberi dan atasan harus menerima. LELAKI II: Apa yang akan kita berikan? LELAKI V: Penghormatan. Itu sudah lebih dari segalanya. Pokoknya kita sepakat menghormatinya. Bagaimana? SEMUA: Sepakat. Setuju. LELAKI III: Mana pagar betis! Mana penari gelombang! Datuk dan Penghulunga mana? Carano? Payung kebesaran? Ayo, siapkan cepat! LELAKI IV: E, kalian yang menutup mata! Buka! Buka! Kepala mau turun! LELAKI I: Tiga jam saja belum, apalagi tiga ratus tahun. LELAKI IV: Urusan gua Kahfi nanti dilanjutkan! Semua harus menyam but atasan. LELAKI I: Memangnya atasan itu jatuh? Kalau dia jatuh baru disambut, ya kan? LELAKI X:
Apa perjuangan memanjat batang pinang masih diteruskan? LELAKI III: Saat ini tidak ada urusan dengan perjuangan! Apalagi dengan batang pinang! Sekarang atasan datang. Semua harus menyambut! MEREKA SIBUK SEKALI MEMPERSIAPKAN UPACARA ITU. KETUJUH LELAKI MEMBUKA KEMBALI PENUTUP MATA. LELAKI VII: Penari harus dijemput begitu juga pemusik. Pagar betis tidak mau dibawa dengan truk. LELAKI VI: Yang penting sikap kita menghormati atasan, bukan upacaranya. LELAKI V: Ya ya. Sikap. Ayo, sebaiknya mengambil sikap. Ayo! SEMUA SIBUK MENGAMBIL SIKAP. ADA YANG MENGANGGAP SIKAP ITU SIKAP BERBARIS, SIKAP JONGKOK, SIKAP HORMAT DAN LAIN-LAIN. TAPI SETIAP MEREKA MENCOBA BERTAHAN TERHADAP SIKAP YANG DIPILIHNYA, MEREKA MERASA DALAH DAN MENGUBAHNYA LAGI. AKHIRNYA PENGERTIAN SIKAP ITU PUN BERUBAH PULA PADA DIRI MEREKA. ***
BAGIAN KEDUA
LAKON YANG SELAMA INI DUDUK DAN MENUANGKAN MINYAK ATAU OLI DARI PUNCAK TIANG, KINI MENURUNI TANGGA TALI YANG SEBELUMNYA SALAH SATU UJUNGNYA TELAH DIJATUHKAN. SETELAH SAMPAI DI TANAH, DILIHATNYA ORANG-ORANG MEBERIKAN PENGHORMATAN DENGAN BERBAGAI SIKAP. LAKON HERAN, KARENA MENURUT INFORMASI YANG DITERIMANYA, PENYAMBUTANPENYAMBUTAN TIDAK PERNAH DILAKUKAN SEPERTI INI. LAKON: Terimakasih atas sambutan sauara-saudara. SEMUA: Terima kasih, pak. LAKON: Menurut keterangan Bapak Kepala, atasan yang datang ke daerah ini selalu disambut meriah dengan tari gelombang, musik tradisi, payung kebesaran dan carano. Tapi sekarang ini, kenapa sepi aja. Apa yang telah terjadi. LELAKI V: Begini pak. Soalnya begini, Pak. LAKON: Jangan panggil bapak. Peran saya istri atasan! LELAKI III: Istri? Laki-laki? LAKON: Sekarang saya memerankan istri atasan saudara. Kalau saya laki-laki, itu kan hanya bentuk fisiknya saja. Paham! LELAKI III: Paham. LELAKI V: Asal bisa disepakati, ya kan? LELAKI III: Bagaimana yang lain? Sepakat? SEMUA: Sepakat. LELAKI VI:
Sekarang kita panggil dia ibu. SEMUA: Baik. Ibu. LELAKI V: Begini persoalannya bu. Upacara memang tidak semeriah dulu. Sekarang lebih ditekankan pada penghormatannya. Keadaan mengalami perubahan menurut jumlahnya banjir. Di sini, sekali air bah datang sekali tepian berubah.8 LAKON: Sesuai dengan pepatah adatnyam ya? LELAKI V: Ya bu. Sekarang petani tidak lagi turun ke sawah, tapi sudah pergi jadi pesuruh. Begitu juga penari. LAKON: Nah, bagaimana pula dengan penari? LELAKI V: Penari telah menjadi peniru. Mereka tidak lagi mencipta, tapi hanya meniru apa yang ada. Pemusik telah menjadi pemasak. Memasak nada-nada untuk meladeni semua lapisan telinga. Payung kebesaran sudah menjadi payung kekecilan. Carano diartikan cara no! Maksudnya tanpa tata cara lagi. LAKON: O, itu namanya masyarakat yang kreatif. LELAKI V: Ya bu. Bahkan sudah makin reaktif. LAKON: Kata Bapak juga, tamu-tamu yang datang ke sini selalu disambut para pemangku adat, datuk dan penghulu yang ramah berwibawa. Sekarang di mana mereka menunggu? LELAKI V: Jumlah penghulu memang sudah semakin meningkat, tapi yang mau menjadi kemenakannya semakin berkurang. Kalau dulu penghulu berdiri di hulu segala persoalan, sekarang semuanya sudah jadi penghilir. Selalu dihanyutkan ke hilir, bahkan sudah ada yang sampai ke muara. LELAKI II:
8
Pepatah Minangkabau yang aslinya sbb.: Sekali aie gadang, sakali tapian barubah. Maksudnya; tidak berpendirian, tidak punya prinsip yang jelas. Suka terrbawa arus.
Jangan percaya, bu. Tidak benar begitu. E bung! Kalau jadi juru bicara jangan memutar balikkan keadaan. LELAKI V: Yang kulaporkan kenyataan yang akan datang. Tenang saja. LAKON: Dan kenapa para wanita tidak seorang pun yang menyambut kedatangan istri atasan suaminya? Bahkan kata Bapak, di sini kita selalu disambut oleh Bundo Kanduang9 LELAKI V: Maaf pak, e, maaf bu. Semua wanita sekarang sedang melahirkan. LAKON: Kelahiran massal? Tidak ikut keluarga berencana? LELAKI V: Mereka melahirkan impian. Sedangkan dulu mereka sering terlihat bersamanya kenyataan. LELAKI II: Jangan percaya bu. Tidak benar begitu. LAKON: Lalu, apa sebabnya? LELAKI II: Emansipasi! Emansipasi yang menyebabkan mereka berubah wajah menjadi laki-laki. LELAKI V: Kau pun sangat berlebihan! LELAKI II: Tenang saja. Dari pada kurang, lebih baik lebih. Mupakat adalah kelebihan kita, ya kan? LAKON: Dan kata Bapak lagi, di negeri ini banyak sekali rumah berhias ukiran, bergonjong dan megah. Kenyataannya tidak begitu. Apa Bapak membohongi saya? LELAKI V: Memang gonjong rumah gadang sudah banyak yang dipindahkan menjadi atap perkantoran dan kompleks pasar. Bahkan ada yang memperkecilnya untuk dijadikan atap kandang ayam dan gerbang kuburan. Tapi hal begitu sudah biasa, bu. Promosi, he, he. Seperti juga kopiah10 di kepala, juga dapat dipindah-pindahkan ke kepala yang lain.
9
Dalam cerita rakyat Minangkabau, Bundo Kanduang adalah wanita yang tidak jelas suaminya, tetapi berhasil mempunyai anak. Namun kejadian ini bukan merupakan saduran dari kisah Siti Maryam (Maria) yang melahirkan Isa. 10 peci
LAKON: Hasil dari mupakat kalian? LELAKI V: Pariwisata, bu. He, he. SEMUA: (IKUT TERTAWA, DIBUAT-BUAT) LELAKI II: Dan sawah serta ladang sudah lama dibagi-bagikan, bahkan banyak yang dijual kepada tuantuan dari kota. Namun begitu, padi kami tetap menguning bu, daunnya, karena kemarau panjang. LELAKI III: Dan lagi bu, kami sudah memasuki era palapa. Semua sepakat menatap masa depan di balik layar kaca. LAKON: Menatap masa depan? O, luar biasa! LELAKI III: Menoleh ke belakang terasa sulit sekarang, apalagi kalau dikatakan kuno. LELAKI II: Ya, ya bu. Leher ini seakan mau patah bila menoreh pada sejarah. LAKON: Saudara-saudara. Kata Bapak, di sini banyak perkebunan. Kebun kelapa, kebun cengkeh, kebun jeruk, kebun kopi, kebun, ... ya ya, sekarang masih ada? LELAKI V: Masih bu. LAKON: Kebun apa? LELAKI V: Kebun tuan. LAKON: Kebuntuan? Wah saya bisa pusing kalau begini. LELAKI II: Dan lahan untuk ladang-ladang kami sudah beralih tempat. Kami telah sepakat untuk berladang di punggung kawan11
11
Maksudnya; mempergunakan orang lain untuk kepentingan diri sendiri.
LAKON: Berladang di punggung kawan? Tidak keliru? SEMUA: Sudah menjadi kenyataan. LAKON: Kata Bapak, negeri ini gemah ripah loh jenawi. Kaya dan makmur. LELAKI V: Tapi kami kaya bukan karena kekayaan. LAKON: Ha? Lalu kaya apa namanya? LELAKI V: Ya, orang kaya! Kami menyebutnya di sini -rangkayo-12 LELAKI II: Tidak benar! Di sini tidak ada orang kaya. Di sini semua orang kaya hantu! Paranormal! Bikin laporan jangan terbalik bung! LAKON: Kaya hantu? O, seperti hantu? Tuyul maksudnya? LELAKI III: Ya, sebangsa itu, bu. LAKON: Gawat. Tapi baiklah. Lalu apa yang masih ada. LELAKI III: Masih banyak bu. Banyak sekali. LAKON: Apa? LELAKI III: Pepatah, petitih, lambang, sampiran, juga ungkapan dan sindiran. Sedangkan puji-pujian telah disepakati hanya untuk Tuhan. LAKON: Wah, tambah kacau. LELAKI II:
12
Panggilan untuk menghormati seseorang di daerah Kerinci
Bahkan juga masih ada tali. Talibun! Juga katali13. Tali kata. LAKON: Katalisator, begitu? LELAKI II: Katanya yang penting bu, kata. Ada kata Tuhan. Ada kata Bapak. Lalu kata penghulu, kemudian kata sebenar kata. LELAKI V: Jadi begini maksudnya, bu. Sekarang kata itulah yang telah hilang. Dan bila kata itu didapatkan kembali, sekaligus kita menemukan arti. Sebab, pengertian kata, tali kata, katali arti, bisa diubah asal didapatkan dulu kata sepakat. LELAKI II: Bermula kata penghulu, lalu katamu, kataku, kemudian kata-katai14. Ya kan? Bermula kata Tuhan, lalu kata jadi, katajadi, kemudian kata tak jadi, tak jadi kata. Nah dari sekian banyak kata-katai tadi, yang sering hilang adalah kata sepakat itu tadi. Paham kan bu? LAKON: Kurasa, aku sudah gila. SEMUA: Ya, perasaan kita sama, bu. LAKON: Baiklah. Lalu, kenapa kata itu hilang. LELAKI V: Ya, kata itu tidak bisa ditertibkan. Yang berada di belakang sering menyerobot ke depan. Mereka tidak mau antri seperti kita. Akibatnya parah sekali. Tuhan jadi hantu. Kami jadi mika. Kelapa gading jadi kepala daging. LELAKI II: Bahkan kata sepakat sering diartikan sepak takraw. LAKON: O, begitu ya. Pusing! Pusing aku. Ini, pusing. LELAKI V: Memang memusingkan bu. Coba perhatikan bu. Kata kejujuran saja misalnya. Bagi orang tua diartikan kejujuran itu keju juragan. Lips servise! Dan bagi gadis-gadis diartikan keguguran. Sedangkan bagi pejalan kaki diartikan pergi ke Jujuran. LELAKI II:
13 14
Untuk dijadikan tali (Min.) Bicara tak karuan, asal bunyi (Min.)
Adat istiadat diartikan sebagai wisata budaya. Agama disamakan artinya dengan anti kebersamaan. LELAKI V: Begitulah, bu. Setiap orang punya arti sendiri-sendiri terhadap kata dan bunyi yang sama. LAKON: Pusing aku. Pusing. LELAKI V: Ya, memang memusingkan. Lebih jelasnya begini bu. Ibu masih punya rasa malu kan? LAKON: O, tentu. Apalagi sebagai istri atasan saudara. LELAKI V: Dulu memang kami punya rasa malu seperti itu. Dulu bu, dulu sekali. Kami dulu sangat pemalu. Gadis kami kemalu-maluan perjuma dengan perjaka. Adik laki-laki kami kemaluan kawin lebih dulu bila kakak wanitanya belum kawin. Mamak dan penghulu kami kemaluan jika kemenakannya tidak mendapat jodoh sepadan. Tapi sekarang, malu, kemalu-maluan, kemaluan, diartikan sebagai identitas apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. LELAKI VII: Semakin lama kau bicara semakin mengacau. Sekarang aku jadi juru bicara. LELAKI V: Asal disepakati. SEMUA: Sepakat. LELAKI VII: Jadi bagaimana rencana ibu selanjutnya. LAKON: Susudara15. Saya datang untuk mencegah kesalahpahaman antara atasan dan bawahan. Juga untuk menghilangkan jarak antara keduanya. Sausaudara16 telah memukul-mukul tiang listrik dan menimbulkan keributan dimana-mana. Kalau saudara tidak puas dengan status sebagai bawahan, tidak perlu membuat keributan. Bapak minta17, carilah kepuasan dengan cara yang tidak merusak keamanan lingkungan. Menurut Bapak lagi, ketenangan adalah bentuk kepuasan tertinggi.
15
Karena terlalu pasang aksi atau terlalu cepat bicara sering terjadi kesalahan pengucapan. Saudara-saudara diucapkan susudara. Artinya pun berubah menjadi buah dada. Sipengucap biasanya tidak menyadari apa yang diucapkan. Jika pendengar tertawa, sipengucap senang karena dianggap pendengar suka padanya, padahal pendengar tertawa karena kesalahan pengucapan yang menyebabkan perubahan arti. 16 Sama seperti susudara tadi. 17 Maksudnya; Bapak memerintahkan!
LELAKI III: Mencari kepuasan sendiri? Onani maksudnya? SEMUA: Husy! Itu kan soal biasa. LAKON: Bapak minta lagi, agar saudara terus bekerja dan berjalan di jalan lurus. Sebab, berjalan di jalan lurus dapat memberi kemungkinan bagi saudara untuk naik sampai ke atas. Budi yang luhur! LELAKI VI: Jalan lurus yang mana, bu? LAKON: Itu (MENUNJUK KE ARAH TIANG LISTRIK). Tiang listrik yang telah kalian sepakati sebagai batang pinang itu sebenarnya adalah jalan lurus yang dimaksudnya Bapak. Lurus, kan? Kita semua harus berjalan di jalan lurus. Jalan lurus itu kan tidak hanya mendatar saja, tapi naik ke atas. Lurus! LELAKI VI: Dan setiap dipanjat semakin licin. LAKON: Tentu saja licin karena diberi pelincir. Bapak selalu menuangkan minyak di jalan lurus itu agar saudara-saudara lebih cepat berhasil naik ke atas. Ditinggikan martabatnya, dipertebal takwanya. Tapi sayang, saudara-saudara salah sangka. Dikira Bapak memberi pelincir untuk menggagalkan usaha saudara. Coba, bagaimana mungkin Bapak membiarkan saudarasaudara tetap berada di bawah. LELAKI III: Semakin licin, semakin cepat kami meluncur ke tanah. LAKON: Menurut Bapak, semua rintangan harus dapat diatasi. Dunia sekarang dihantui kecurigaankecurigaan. Saudara. Lihatlah tas yang tergantung itu. Di dalamnya tersimpul kehidupan abadi. Kita harus mendapatkannya sebelum orang lain mencurigainya. SEMUA: Harus! Harus! LAKON: Begitulah saudara-saudara. Bapak minta, agar saudara-saudara jangan salah sangka terhadap perlakuan atasan. Percayalah, apa pun yang dilakukan pihak atas di dorong oleh niat baik semata. LELAKI V: Kalau Bapak yang minta tentu kami beri. Jangankan Bapak, orang lain pun tidak kami ladeni.
LAKON: Jadi saudara bisa sepakat berjalan di jalan lurus itu bukan? Sepakat dong, sepakat. Itu kan kebudayaan kita. SEMUA: Ya sudah, sepakat. Sepakat! LAKON: Terima kasih. Nah, sebelum saya kembali ke atas, adakah yang perlu saya resmikan? LELAKI V: Semuanya sudah resmi, bu. Bahkan perceraian Rendra dengan Sitoresmi. LAKON: Kalau tidak, pengguntingan pita, ada kan? LELAKI V: Bu. Di sini tidak hanya tukang cukur saja yang punya gunting, tapi semua orang. Segala sesuatunya sudah mereka gunting sendiri-sendiri. LELAKI VII: Tidak hanya surat kabar yang digunting-gunting, tapi berita-berita juga digunting semaunya. LELAKI V: Bahkan kami dapat menggunting dalam lipatan.18 LAKON: O, kerajinan tangan? SEMUA: Ha? Tidak salah? LAKON: Baiklah. O, ya. Apakah saya harus memukul gong? Ya, kalau tidak untuk peresmian, untuk bunyi-bunyian pun jadi. LELAKI VII: Jangankan gong, geng mau pun gang kamu tidak punya lagi. LAKON: O, tidak ada gong? Tidak satu pun? LELAKI V: He he. Gong gongan masih ada bu. LAKON:
18
Ungkapan bagi seseorang yang berkhianat.
Hanya gonggongan? LELAKI V: Gonggongan? Ya, ya ... gonggongan. Dan anjingnya entah lari ke mana. LAKON: O, gonggongan. Gonggongan anjing? Anjing menggong-gong dan kalian punya gong-gongan. Wah, wah. Bisa pusing lagi kalau begini. Sebaiknya saya kembali saja. (MENUJU TANGGA TALI) SEMUA: Terima kasih, bu. LAKON: (BERBALIK MENEMUI ORANG-ORANG ITU) Jangan ucapkan terima kasih dulu. Tas saya tadi di mana ya? SEMUA: Tas? Ibu juga punya tas? LELAKI V: Kami mau ibu tes, dengan mengatakan kehilangan tas? LAKON: Tes? Tas! LELAKI III: Itu bu, di atas. Tergantung. LAKON: O iya, ya. Perempuan kok bisa lupa tasnya. LELAKI III: Karena terlalu banyak, bu. LAKON: Ah, Cuma seberapa. Itu pun hanya buatan luar negeri. LELAKI VII: Bu. Kenapa Bapak tidak ikut turun bertatap muka dengan kami. LAKON: (DI TANGGA TALI) Gila kamu! Jika dua orang sekali turun, tangga tali ini bisa putus. LELAKI V: Asal dapat kata sepakat, tentu tidak bu. LAKON: Sepakat ya sepakat, tapi kalau saya jatuh dan mati lebih dulu, bagaimana bisa saya sepakat? (BERGEGAS MENAIKI TANGGA TALI)
LELAKI I: Pantas tidak bisa kita jangkau. LELAKI X: Apa? LELAKI I: Tas-tas itu. LELAKI X: Tas itu milik atasan. Dulu sudah kubilang, kita tidak akan pernah berhasil mendapatkannya. Ini masalah status, bung! LAKON: (DI TANGGA TALI SEPERTI KELASI) Pada prinsipnya tas-tas itu memang milikku. Tapi sudah ketinggalan mode, silakan kalian sepakati jadi lambang. Lambang apa saja! Lambang nasib, lambang harapan, lambang kehidupan abadi, boleh saja. Tapi jangan lupa, seperti yang Bapak minta, kita harus berjalan di jalan lurus. (NAIK LAGI DAN KEMBALI DUDUK DI PUNCAK TIANG) PARA LELAKI MELONGO MELIHAT BEGITU ENAKNYA LAKON NAIK KE PUNCAK TIANG. LELAKI II: Kita disuruh memanjat tiang listrik yang dilumuri oli, dia sendiri naik tangga tali. LELAKI III: Bawahan harus berjalan di jalan lurus dan atasan boleh berjalan di jalan lain. LELAKI IV: Semua bisa disepakati kecuali status. LELAKI VII: Kalau begitu, kata sepakat yang selalu kita bangga-banggakan ternyata punya kekurangan yang sangat prinsipil, ya kan? LELAKI V: Kata sepakat kan terbatas pada kata, bukan pada perbuatan. Ini yang belum kita sadari sepenuhnya. LELAKI VII: Tapi dengan mendapatkan tas itu, status kita pasti berubah. Bila kita punya satu tas saja, artinya kita telah menjadi pemilik tas. Pemilik! Itu yang penting. Selama ini kita selalu menjadi yang dimiliki bukan yang memiliki. Ini juga status kan? LELAKI III: Atasan meminta pada kita supaya berjalan di jalan lurus. Jangan salah sangka atau saling mencurigai. LELAKI I:
Ya, itulah yang ada pada kita. Keinginan berjalan di jalan lurus dan tidak salah sangka. LELAKI III: Artinya keduanya itu ada pada kita, pada diri kita. Ya kan? Jika atasan meminta ya, kita harus memberi. Ya itu tadi, karena kita adalah tas. Tas milik atasan. LELAKI V: Bagaimana sekarang? Supaya kita dapat memberikan kedua hal itu, disepakati dulu bahwa kita adalah tas? LELAKI VI: Tas atasan? LELAKI III: Sepakat atau tidak begitulah kenyataannya. Ini masalah status kataku, status. Sejak dari sono19 nya sudah begitu. LELAKI I: Aku tidak mau jadi tas. LELAKI III: Artinya kau tidak mau memberi apa yang diminta pemilik tas? E, bung. Kita tidak mungkin dapat memungkiri kenyataan. LELAKI I: Aku bukan tas. LELAKI III: Demi keamanan. Aku biarlah jadi tas. LELAKI I: Kita manusia, bukan tas. Manusia! LELAKI III: Semua status kita adalah tas! Kita ini tas, kataku. LELAKI I: Manusia! LELAKI III: Tas! LELAKI V: Manusia tidak boleh bertengkar dengan tas. Kita sepakati dulu bahwa kita manusia tas. Memanjat batang pinang untuk mendapatkan tas. Kita merindukan tas. Kita manusia tas. LELAKI III:
19
Dari nenek moyangnya.
Setuju. LELAKI I: Tidak. DAN MEREKA PUN BERTENGKAR ANTARA YANG SETUJU DENGAN YANG TIDAK. AKHIRNYA MENJADI DUA KELOMPOK YANG BERTENTANGAN. LELAKI V MENANGIS KARENA SEMUA ORANG TIDAK DAPAT LAGI MENGAMBIL KATA SEPAKAT. LELAKI V: Hilang lagi! Hilang. LELAKI X: Apa yang hilang? LELAKI V: Kata sepakat. SEMUA: Kata sepakat? LELAKI V: (MERATAP) O, kata! Tas telah kami jadikan tes Mentes permupakatan Di siang siang hari. Ketika lah jadi koteka Bulan, bulan bulanan Malam berganti mesum Seekor kumbang jadi kembang Kambing jadi kembung Gundik gunjing di gonjong Pinang meminang tak jadi Minang Junjungan jadi jinjingan Salam jadi salon Anting anting, untung-untungan Masa silam jadi sulaman Di sela sel selatan Selamat selamatan
Istri hangat, istirahat Malam semalam malaman Dan sumpah jadi sampah SEMUA: Amin. Aman. Iman. LELAKI V: Diam kalian. Tidak punya perasaan! Semuanya sudah diubah dan berubah! Sebentar lagi semuanya akan punah! Kata hilang, kita pecah! Sebentar lagi saudaraku, sebentar lagi, bahasa ini akan punah! Kita akan musnah! LELAKI III: Tenang. Tenang. Kita masih punya bahasa ibu. Dan harus pula diingat, kita belum sepakat memberimu peran penyair yang melankolik, ya kan? LELAKI V: O, ya. Tapi aku telah terlanjur menangis. LELAKI III: Salahmu sendiri. Jangan melompati adegan. Percayalah penonton akan tetap tenang. LELAKI V: Baik. Biarlah kuhapus air mata yang terlanjur ini. Apa adegan selanjutnya? LELAKI I: (MENUNJUK KE ARAH PUNCAK TIANG DAN BERTERIAK) Seperti pohon jeruk layu! Dipukulpukul batangnya, tidak hanya satu jatuh buahnya, tapi dua! Lihat itu! Ada lagi yang turun! SEMUA MENGADAH MELIHAT LAKON MENURUNI TANGGA TALI. LAKON KELIHATAN GUSAR SEKALI. DIA MENCARI SESEORANG DI ANTARA PARA LELAKI. LAKON: Gawat! Gawat! Ah, buka dia. Ini? Juga bukan? LELAKI I: Pak. Pak. Siapa yang dicari? LAKON: Bapak sudah marah-marah. LELAKI I: Lalu, bapak ini siapa? LAKON:
Ajudan. Ajudan Bapak, bukan bapak ajudan. Ibu sedang ditunggu untuk meresmikan Kontes Pakaian Resmi Wanita. Ibu tadi ke sini? LELAKI I: Ibu yang mana pak? LAKON: Ibu! Ibu bapak! Istri atasan! LELAKI I: Tapi tadi bapak sendiri yang memerankan istri atasan, bukan? LAKON: Iya. Sekarang saya ajudan. Yang tadi sudah selesai. Siaran kemarin jangan dijadikan patokan hari ini. Saya ini ajudan, tahu! LELAKI V: O, begitu? Bagaimana saudara-saudara. Kita sepakat dia memerankan ajudan? SEMUA: Setuju. Sepakat. LAKON: Setuju atau tidak saya ini ajudan! Tugas saya mencari ibu bapak! Mengerti! LELAKI VI: Kalau sudah mengerti dengan memelototkan mata begitu, ya jawab kami tentu saja mengerti. LELAKI IV: Ibu bapak itu mestinya dua orang, kan? LAKON: Pertanyaanku tadi belum dijawab. Ibu tadi ke sini? LELAKI I: Sudah naik ke atas, pak. LAKON: Tidak bohong? Benar? LELAKI I: O, jadi bapak ajudan mencurigai kami? LAKON: Menurut Bapak, sejak terjadi keributan tidak pernah aman lagi di sini. LELAKI I: Bapak mengira keributan kami telah membuat orang lain juga ribut?
LELAKI II: Keributan di sini lain, pak. Tidak ada sangkut pautnya dengan keamanan. Ribut ya ribut. Aman ya aman. LELAKI III: Kami baru bisa merasa aman kalau kami bisa ribut. LELAKI IV: Bagaimana kita bisa ribut kalau tidak aman, ya kan? LAKON: Menurut Bapak lagi, kalau tidak hati-hati di sini, semuanya bisa diamankan. Jangankan istri, harga diri pun bisa diamankan di sini. LELAKI V: Belum pernah kami mengamankan istri siapa pun, apalagi ibu bapak mau pun istri atasan. Perempuan di sini lebih atas dari istri atasan. Mereka bahkan bisa memerankan apa saja. Menjadi ibu, menjadi ayah, menjadi istri, sekaligus menjadi anak. Semuanya bisa diperankan secara serempak. Lain kan dengan istri atasan? LAKON: Tapi Bapak minta agar saudara perlu waspada. Misalnya saudara bisa menjamin keamanan, saudara juga pengamanan. Keamanan itu penting. Barang vital kita20! Menurut Bapak, di sini perlu ada beberapa petugas keamanan. Petugas yang selalu dapat memberikan laporan perkembangan keamanan. LELAKI I: Petugas itu diberi gaji? LAKON: Cukup lumayan. LELAKI II: Diberi pangkat? LAKON: Cukup tinggi. LELAKI III: Diberi rumah? LAKON: Cukup besar. LELAKI I: Diberi apalagi?
20
Maksudnya bukan kemaluan.
LAKON: Diberi kecukupan. LELAKI I: Maaf pak. Segalanya di sini sudah cukup-cukupan. LAKON: Saudara jangan main-main! Saya ajudan! Di sini harus ada petugas monitoring! LELAKI I: Maaf pak. Saya harus marah. (MARAH SEKALI) Saya tidak bermain-main. Semua orang di sini bersedia dimonitor dan memonitor, tanpa diberi gaji atau pangkat sekali pun. Negeri ini ibarat sebuah buku tambo21 yang bisa dibaca setiap halamannya kapan saja. Di sini alam dijadikan guru22. Selama kapas tetap putih, selama itu pula hati bersih. Kalau Bapak memerlukan dua, tiga orang petugas, semua kami di sini akan bertugas jadi petugas, mengerti! LELAKI V: Soalnya sekarang, pembagian tugasnya bagaimana? LAKON: Jangan marah pak. Maafkan saya. Saya ini hanya ajudan. Penyampai pesan atasan. LELAKI I: Baik. Pesan sudah diterima. Kembali! LAKON: Baik pak, baik. Tapi menurut Bapak lagi, semua ini hanya mengharapkan keikhlasan saudarasaudara di sini. Bapak minta bantuan sedikit. Minyak pelincir yang selalu dituang selama ini di jalan lurus itu, adalah untuk kepentingan bersama. Dan sekarang minyak itu sudah habis. Mohon dibantulah. LELAKI II: Bapak minta pelincir23? LAKON: Terserah saudara-saudara di sini. LELAKI II: Tapi kami tidak punya uang. Selain uang, bagaimana? LAKON: Pokoknya ada. Tanda partisipasi, ya kan?
21
Buku yang menceritakan tentang asal usul orang Minangkabau. Semacam Babat Tanah Jawa dllnya. “Alam takambang jadi guru” merupakan adagium adat bagi masyarakat Minangkabau. Mereka memberangkatkan sistem adatnya dari apa yang ada di alam sekitarnya. Suatu ajaran materialisme yang kemudian diperluas setelah Islam datang. 23 Uang sogok atau uang semir 22
SEMUA: (SALING BERPIKIR DAN BICARA SENDIRI) Apa lagi yang harus diberikan ya? Pantasnya apa ya? DAN SETERUSNYA LELAKI V: Kami punya kera, pak ajudan. LAKON: Kera? Ya ya. Bapak suka sekali. Dulu pernah dibeli tapi lari lagi ke hutan. Kera? Ya ya. Mana? LELAKI V: Jenis kera banyak di sini pak. Bapak mau kera apa? LAKON: Kera apa ya? LELAKI V: Kera Tuan? Kera Wanan? Kera Mahan? Kera Cunan? atau Kera Kusan? LAKON: Ha? Ini rahasia kan pak? LELAKI V: Maaf pak. Di sini tidak ada Kera Hasiaan. LELAKI I: Semua persoalan di sini terbuka. LAKON: Kalau tidak yang lain saja. LELAKI V: Yang lain? Apa ya? O, ya pak. Penyu bagaimana? LAKON: Ya ya. Telurnya bermutu tinggi. LELAKI V: Penyu yang mana pak? Penyu Sutan? Penyu Lingan? Atau Penyu Apan? LAKON: Nah itu. Penyu Apan. Telurnya tentu lebih enak. LELAKI I:
Tapi pak, penyuapan tidak pernah kami lakukan kepada siapa pun. Maaf. LELAKI V: Soal suap-menyuap hanya kami lakukan dalam acara perkawinan tradisional, pak. Siang hari penganten menyuapi mempelai. Malamnya laki-laki menyuapi perempuan24. LAKON: Jadi tidak ada satu pun yang bisa dibawa untuk Bapak? LELAKI I: Apa saja yang ada di sini boleh Bapak bawa. Silakan. Kalau berat sama-sama kita pikul dan bila ringan sama-sama kita jinjing. LAKON: Ah, semua sudah diputar balik! Negeri apa ini! LELAKI VII: Negeri Melayu, pak. LAKON: O, semuanya telah telah jadi layu, begitu? LELAKI V: Benar pak. Ranting dipatah, buah melayu25. Daun dipatah, bunga melayu. Dahan dipotong, pucuk melayu. Batang digergaji Orang Melayu26. LELAKI III: Dan kami cukup malang juga pak. Sejak dulu di sini, tanah melayu. Gadis melayu. Rumah melayu. Bahkan orang-orangnya juga Melayu. LAKON: Jadi orang-orang Melayu itu ke mana? LELAKI III: Ke tanah Jawa. LAKON: Ke tanah Jawa? Tidak transmigran budaya, kan? LELAKI III: Setelah Melayu sampai di sana, baru orang Jawa melayu ke tempat lain. LELAKI VII: Sebab, selama ini, orang sudah melayu mereka tetap saja berjalan kaki.
24
Malam penganten/malam pertama atau dalam ungkapan Minangkabau -mambukak tapaiMenjadi layu. 26 Orang yang bersuku bangsa Melayu. 25
LAKON: Melayu itu maksudnya berlari, kan? Setan kalian! Jangan menyinggung suku lain, nanti mereka marah. Saudara-saudara dilarang membuat sara. LELAKI V: Syara’? o, di sini syara’basandi kitabullah.27 LAKON: Kuingatkan! Jangan suka main-main. Nanti kalian bisa kutangkap! LELAKI III: Kutang Kap? LAKON: Iya. Kutangkap. LELAKI III: Maaf pak. Saya terpaksa marah lagi. (MARAH SEKALI) Kutang Kap kata Bapak! Bapak kira kami di sini mengadakan permainan atau lomba ukuran kutang-kutang! Kalau Bapak mau kapkapan banyak yang lain. Aflukap, hondakap. Dan banyak lagi kap kap lain yang dapat Bapak adakan. LAKON: Ha? Kutangkap? Kutang Kap? Maaf pak, maaf. Jadi ajudan bisa berbahaya kalau tidak mengerti kutang. Ternyata saya harus belajar bahasa lagi. Maaf, maaf. Saya permisi. (MENAIKI TANGGA TALI) pak. Pak. Bila nanti Bapak memonitor dari atas tolong dibalas ya. (NAIK TANGGA TALI DAN KEMBALI DUDUK DI PUNCAK TIANG). PARA LELAKI KESAL SEKALI MELIHAT AJUDAN NAIK TANGGA BEGITU ENAKNYA. KEKESALAN ITU MEREKA LAMPIASKAN PADA MANGKUK-MANGKUK KOPI YANG TELAH TERSEDIA SEJAK TADI. MEREKA MINUM KOPI DAN DUDUK DI MANA-MANA. LELAKI IV: Ajudan itu keterlaluan. Kita dicurigai kemudian minta bawaan pula untuk atasan. LELAKI I: Mereka lebih mementingkan pengamanan sedangkan kita menomorsatukan keamanan. LELAKI II: Semuanya mau aman, itu boleh. Tapi status awalan ke dan pe serta akhiran annya harus jelas dulu. Ini masalah bahasa, sekaligus masalah cara. Cara berbahasa. LELAKI VIII: Tunggu dulu. Ini urusan apa? Urusan bahasa? Urusan arti kata? Ingat pesan Bapak. Ingat! Kembali ke jalan lurus.
27
Basis dari kehidupan kemasyarakatan di Minangkabau yang maksudnya; adat berpuncak atau bersendikan hukum-hukum Islam dan hukum-hukum itu bersendi kepada Al-Quran. Padahal pengertian -Kitabullah- atau kitab yang diturunkan Allah SWT kepada nabi-nabinya ada empat; Taurat, Zabur, Injil, dan Quran
LELAKI III: Kembali ke jalan lurus artinya kembali memanjat batang pinang. Dan kita sudah terlanjur menyepakati batang pinang itu menjadi tiang listrik. Itu sebabnya kita pukul-pukul kan? LELAKI VII: Sementara kita membuktikan tiang itu benar-benar telah menjadi tiang listrik, mereka yang di atas sana malah menganggap kita membikin keributan. LELAKI V: Tragis! Kita sedang melakukan pembuktian tapi dituduh tanpa bukti. LELAKI I: Coba saudara-saudara. Semuanya sudah memberikan arti semaunya terhadap satu peristiwa yang sama. Bahkan keseriusan kita dianggap main-main. Kita sudah aman, tapi mereka merasa tidak aman karena kita aman. LELAKI II: Itu apa? Agitasi atau penjelasan? LELAKI X: Keadaan mulai tidak aman. Atasan harus segera mengetahui keadaan. LELAKI IX: Ya tentang keadaan tidak aman. LELAKI I: Atasan maunya aman. Harus dikirim laporan. Tapi, apakah laporan kita dapat mengamankan atasan? Ini juga harus dipertanyakan. LELAKI II: Kalau begini gejalanya, bisa terjadi perang-perangan. LELAKI III: Jangan diberi kap lagi. Perang Kap! LELAKI IX: Ayo kirim laporan. Keadaan mulai tidak aman. LELAKI X: Baik. Baik. (BERTERIAK-TERIAK KE ARAH PUNCAK TIANG) Laporan! Laporan! Keadaan tidak aman. LELAKI III: Rojer. Rojer. Di sini telah terjadi keresahan. Persoalan utama adalah kerancuan bahasa, bukan sara! Ganti. LAKON: Romeo Yuliet di sini! Ya ya. Adat memang harus basandi syara’. Ganti!
LELAKI III: Dikopi. Dikopi. Lain laporan lain jawaban. Cuaca mungkin telah melakukan penyadapan, ganti! LAKON: Oke, oke. Kemiskinan dapat diatasi. Uang segera dioper. Oper, ganti, ganti. LELAKI III: Kopi. Kopi. Dikopi. Perintah mendirikan koperasi sudah diterima. Tinggal lagi waktu per ... resmian ... nya. Peresmian, ganti. LAKON: Ya ya. Soal per ... resmian. Per, kan? Itu masalah kecil. Ini. (MENJATUHKAN SEBUAH BENDA KECIL SEKALI) PARA LELAKI MENCARI PER YANG DIJATUHKAN ITU. SETELAH DITEMUKAN, MEREKA KECEWA SEKALI. LELAKI III: Kita minta waktu peresmian, yang diberi malah per. LELAKI II: Lihat ke sini. O, ini. Spiral atau per? LELAKI III: Ini per. Spiral masa sekecil ini. Mungkin maksudnya kita harus kabe28 kecil-kecilan. LELAKI V: Coba letakkan di tanah. Kita lihat sama-sama, kemudian kita sepakati. Ayo. PER KECIL ITU DILETAKKAN DI TANAH DAN MEREKA MENGELILINGI. MASING-MASING MENELITI DAN MEMASTIKAN APA YANG DILIHATNYA. “Ini kan per mainan”. “Bukan. Ini perumpamaan”. “Ah, hanya per peran!”. “Ini pasti peraturan”. “Tidak. Inilah yang dinamakan persekongkolan”. “Permupakatan, kukira”. “Ya ya. Artinya kita sudah punya per sejak dulu”. “Maksudmu punya perempuan, kan?” LELAKI X MEMUKUL-MUKUL TIANG LISTRIK DAN SEMUANYA JADI TERGANGGU. LELAKI X:
28
Kabe (KB) = Keluarga Berencana
Saudara-saudara. Terlalu lama membiarkan saudara-saudara bicara akan semakin mengacau! Sekarang dengan saya! Dengar! SEMUA HENING Sebuah per jatuh. Kita menganggap persekongkolan dan dikembangkan menjadi perempuan. Ingat saudara. Jangan mempermain-mainkan bahasa. Bahasa itu selalu didukung oleh segerombolan kata. Kalau kita bermain-main dengan gerombolan, nanti kita sendiri akan jadi gerombolan. Ekstremist! Oposisi! Kiri! Atau, kanan! Anti bahasa! Tidak loyal pada makna! Kata inilah yang akan memusnahkan kita. LELAKI V: Perlu disepakati dulu, bahwa kau ini sakit? LELAKI X: Tunggu, bung! Kita tidak hanya mempermainkan peran, mempermainkan bahasa, mempermainkan penonton bahkan mempermainkan permainan itu sendiri. Kini kita berteater, tetapi tidak untuk mempermainkan teater. Kita harus berjalan di jalan lurus. Tidak untuk melurus-luruskan jalan. LELAKI V: Memang perlu disepakati, apakah sekarang kita bermain teater atau teater itu sendiri sedang mempermainkan kita. LELAKI X: Baik. Kita sepakati bahwa kita sekarang sedang berteater. LELAKI V: Bagaimana yang lain? Sepakat? SEMUA: Sepakat. Setuju. LELAKI V: Kalau begitu lanjutkan adegan ini. LELAKI X: (BERTERIAK KE ARAH PUNCAK TIANG) Lanjut Romeo! Ganti! LAKON: Lanjut! SEMUANYA KEMBALI MEMPERSIAPKAN LANJUTAN ADEGAN ***
BAGIAN KETIGA
BAGIAN INI DIBUKA SEPERTI LAYAKNYA PEMBUKAAN SEBUAH PERTUNJUKKAN. MUNGKIN DENGAN BUNYI-BUNYIAN, TARI-TARIAN ATAU NYANYIAN. SEMENTARA ITU, TAS YANG TERGANTUNG TERUS BERGOYANG-GOYANG. KEMUDIAN, LELAKI V MENGHADAP KE ARAH PENONTON DENGAN HORMAT SEKALI. LELAKI V: Bapak penonton, ibu penonton, saudara serta anak penonton. Kedatangan Ibu Bapak kami tadi, atau jelasnya istri atasan, telah memaksa kami menggunting bagian cerita, terutama bahagian mereka yang berada dalam gua Kahfi. Oleh karena istri atasan telah pergi, kami akan melanjutkan kembali pertunjukan ini dan kepada penonton diharapkan dapat menarik kembali perhatiannya pada bahagian di gua itu. Sementara itu para penonton pun dalam waktu yang sama dapat memperhatikan lanjutan cerita. Persoalan seperti ini hanyalah persoalan jarum jam semata. Membalik mundur jarum jam sedikit. Mundur. Hanya jam-jaman29 memang tidak mau dimundur majukan. Tetapi jam teater, selalu mundur maju dalam waktu bersamaan sesuai dengan apa yang diinginkan. Para penonton, lihatlah ke atas! Selagi tas-tas masih bergoyang, kita akan tetap mundur maju. KEPADA SEMUA LELAKI Pemain siap! Pemeran Gua Kahfi! Saputangan! O ya ya, anjing. Siap anjing! Nah, pemeran Padang Kerbala! Hasan! Husin! Kata! Kita! Kota! Kote! Kite! Kutu! Siap! SEMUANYA BERSIAP DAN PARA PEMERAN YANG TADI MASUK GUA KAHFI, KINI KEMBALI MENGENAKAN SAPUTANGAN KECUALI LELAKI I DAN LELAKI X. LELAKI V: E, bung! Ayo! Saputangannya mana? Tutup matamu. Masuk gua. Masuk kegelapan. LELAKI X: Wah, bagaimana bisa berperan kalau kita sudah mati. LELAKI I: Maaf, bung! Saputangan saya dibawa oleh istri atasan. Bagaimana kalau tidak pakai saputangan. LELAKI V: Culas! Kalau begitu caranya pantas kita selalu dicurigai ajudan! Sudahlah! Manfaatkan saja apa yang ada. LELAKI X:
29
Dapat juga diartikan -jam mainan- tapi bukan tidak mungkin berarti zaman karena sering kata zaman diucapkan jaman.
Ya apa? LELAKI V: Manfaatkan kelopak matamu. LELAKI I: Sepakat begitu? LELAKI V: Sepakat. LELAKI I: Baik. LELAKI X: Ya, begitu lebih maju. LELAKI I DAN LELAKI X SELAMA PERMAINAN BERLANGSUNG DALAM GUA HANYA MEMEJAMKAN MATA. LELAKI I: E, kawan-kawan! Aku terlambat! Bagaimana kalian? Masih dalam gua Kahfi? LELAKI X: Masih. Masih. Al Masih. LELAKI I: Lanjutkan terus kegelapan ini! Tiga ratus tahun lagi kita akan bangun! Membangun bahasa baru. KETUJUH PEMUDA ITU MERABA-RABA KE MANA-MANA, SEMENTARA PARA LELAKI LAINNYA MENATAP TAS-TAS YANG BERGOYANG. LELAKI X: Nanti kita akan membangun sebuah Balai Bahasa untuk bahasa balai30. Menyusun kata demi kata supaya tak seorang pun kata-katai. LELAKI IX: Jika tiga ratus tahun lagi kita bangun, batang pinang itu tentu sudah lapuk. LELAKI I: Ya. Kita bangun sampai batang pinang itu lapuk. LELAKI IX: Kapak lapuknya. Itu kan besi. LELAKI XII:
30
Bahasa balai maksudnya bahasa pasar. Seperti orang Melayu atau Cina berbahasa Inggris di kedai-kedai Singapura
Sebaiknya aku tidur saja dalam kegelapan ini. Baru aku terjaga nanti bila datang cahaya. LELAKI VIII: Ya ya, kita harus berjaga-jaga jangan cahaya lewat begitu saja. LELAKI X: Kita harus berjaga sampai yang lain terjaga. LELAKI VIII: Bagaimana kalau jaga31 saya yang terjaga? LELAKI I: Husy ... ! Kalau mau berjaga lebih baik di sana. Biar saya jaga di sini. TIBA-TIBA LAKON BERTERIAK DAN SEMUA ORANG TERKEJUT. LAKON: Saudara! Atasan sudah meninggal! Dia meninggalkan kita! LELAKI II: Apa yang ditinggalkannya? LAKON: Harimau mati meninggalkan belang. LELAKI IV: O, jadi ketahuan belangnya sesudah dia meninggal. LAKON: Ah, jangan main-main. Semua harus sedih. LELAKI VII: Baik. Berapa luas kuburnya? LAKON: Harus segera dicarikan gantinya. LELAKI V: Apa mungkin kita menggantikan kuburannya? LAKON: Ajudannya kini telah jadi pengganti! LELAKI II: Berapa gantinya? LAKON:
31
Jaga (Min.) = kemaluan
Hanya satu yang disumpah. LELAKI VI: Yang lain memaki-maki? LAKON: Semuanya memuji-muji. LELAKI III: Ya, kita di sini juga memuji-muji, karena memaki-maki saat ini tidak sopan. LAKON: Ya. Dia memang sangat sopan. Santunnya sangat tinggi. LELAKI V: Jangan ditinggikan lagi, nanti naiknya payah sekali. LELAKI IV: Saudara-saudara! Pembicaraan apa yang barusan kita lakukan. Kok tidak nyambung! LELAKI VI: Pembicaraan resmi. LELAKI VII: Yang bicara di atas itu siapa? LAKON: Saya Humas! LELAKI III: Setan yang satu itu banyak sekali perannya. Kalau dibiarkan, peranan kita juga bisa diambilnya. LELAKI II: Membahayakan. LELAKI IV: Uh, seenaknya memakai peran! MEREKA KESAL SEKALI DAN TERDENGAR GERUTUNYA; “Enaknya memakai peran”. “Peranannya enak sekali”. “Peranan enak”. “Peran enak”. SEMENTARA KETUJUH PEMUDA TERBANGUN DAN MERENTANG TANGAN KE SANA KEMARI: “Aku terjaga”.
“Aku juga terjaga”. “Aku malah terjaga”. “Kita semua terjaga”. “Yang berjaga juga jaga”. “Semua kita kan punya jaga”. “Nah ini jaga siapa”. DAN SETERUSNYA DAN DALAM GEBALAU ITU. LAKON TURUN DENGAN SEDIH. LAKON: Kematian itu sangat mengharukan. Banjir dan petir berganti datang. Air mata dan hujan bersama jatuh, menyentuh pangkuan dan bumbungan. Dia tersenyum getir karena mati muda. Semua menangis dalam acara pelepasannya. Semua meratapi pelepasan32nya. Aku pun menangisi pelepasannya. (MENANGIS HABIS-HABISAN) Mudah-mudahan arwahnya mendapat peran, peranan yang selalu diidamkan di hadapan Tuhan. Aku berdoa siang malam. Mudah-mudahan dia..mudahan-dahan..mudahandahan.. LELAKI III: E, bung. Berdoa itu mudah. Persoalan sekarang adalah peran. Perananmu apa? LAKON: Aku sedih. LELAKI III: Sedih, bersedih, bersedih-sedihan, kesedihan atau menyedihkan bukan peran, tahu! LELAKI II: Kalau tidak punya peranan jangan di sini. LAKON: Peranan? Aku sedih. Kali lihat tadi aku menangis kan? Aku lupa perananku. LELAKI III: Peranan bukan perasaan! LELAKI II: Perasaan tidak boleh memegang peranan. Pergi! LAKON:
32
Pelepasan = dubur
Baik. Baik. (MENAIKI TANGGA TALI) Awas kalian! Kalau Bapak anti memberi saya peran Satpam, kalian bisa dimasam! (NAIK TANGGA TALI DAN KEMBALI DUDUK DI PUNCAK TIANG) LELAKI II: Mentang-mentang dari atas, dikira kita bisa menerimanya begitu saja tanpa peranan? Ah, dikiranya kita ini siapa, ya kan? LELAKI III: Soal atasan mati atau tidak, peranan setiap orang kan tidak pernah dibawa ke kuburan. LELAKI II: Mereka menyangka apa yang datang dari atas tidak akan kita koreksi? Kita ini korektor, ya kan? LELAKI III: Saudara-saudara. Apabila ada seseorang yang tidak punya peranan dari mana pun datangnya, harus segera kita usir. Yang tidak jelas peranannya sama dengan pemain haram, penyelundup. Jika tidak seorang pun yang berani mengusirnya, saudara sendiri akan kuusir! LELAKI V: Jika sudah sepakat, juga akan kuusir! LELAKI VII: Juga kuusir! LELAKI VI: Kuusir! LELAKI IV: Kusir! SEMUA: Kusir! MEREKA YANG DALAM GAU TERTAWA LELAKI I: Kalau tidak ada kuda jangan jadi kusir. LELAKI II: Kusir? Ah, baik. E, bung! Bagaimana kau tahu bahwa di sini tidak ada kuda. LELAKI III: Ini kan kuda. Tapi kalian tidak melihatnya. LELAKI I: O, yang itu. Ya ya. Itu kan kuda hitam.
LELAKI III: Tidak. Ini kuda putih, bung! LELAKI X: Pasti kuda hitam. LELAKI IV: Putih! LELAKI XI: Hitam! LELAKI V: Tunggu dulu. Sebaiknya disepakati apakah kuda itu benar-benar ada dan warnanya putih atau hitam. LELAKI I: (MEMBUKA MATA) Mana kuda? Siapa kuda? Kuda putih itu apa? LELAKI X: (MEMBUKA MATA) Ah, kalian. Kalian bisa melihat segalanya tapi tega menipu teman sendiri. LELAKI III: (MELIHAT KE PUNCAK TIANG) Nah, ada lagi yang turun! LELAKI VIII: (MEMBUKA PENUTUP MATA) Siapa yang turun? Kuda? SEMUA MELIHAT KE ATAS, LAKON TURUN DENGAN TANGKAS. LAKON: E, bung! Perananku sekarang turis. SEMUA: Turis? LAKON: Iya, turis. LELAKI III: Luar atau dalam? LAKON: Luar dalam. All in! LELAKI II: Bawa mark? Yen? Riyal? Atau, dolar? LAKON:
Bawa angin! SEMUA: Angin? LELAKI II: Angin surga33 atau angin neraka? LAKON: Ha? Ya ya, angin-anginan. SEMUA: O, turis angin-anginan. LAKON: Bagaimana? Boleh turun? LELAKI V: Tunggu. Kami sepakati dulu daerah wisatanya. LAKON: Tidak bisa ditunggu lagi. Setiap detik saya harus mengeluarkan uang di sini. LELAKI V: Jangan turun! LAKON: Semua surat menyurat sudah selesai. LELAKI V: Salah alamat. Daerah kebudayaan bukan di sini. LAKON: Di mana? LELAKI V: Di sana saja? Ke lapangan bola kaki. LAKON: O, jadi di sini bukan lapangan seni? Baik. Saya kembali. E, tunggu. Di sini ada telepon? LELAKI II: Telescope yang ada. Pandangan berjauhan. LELAKI III: Kalau mau bertele-tele jangan di sini bung! Malu kan sama turis?
33
Janji-janji
LAKON MENAIKI TANGGA TALI DAN TERGESA TURUN. DIA MENEMUI PARA LELAKI YANG MASIH KEBINGUNGAN. LAKON: Sekarang saya hadir di sini dengan peran yang sangat jelas. Saudara. Peran saya sekarang, Penasihat Utama Bapak, sekaligus menangani bidang Ekubang dan Sosekbud serta Hankamnasrata. Juga merangkap Puspenmas, Kabag Dodiklat Dispenda, Kabulog, Kasub Roh Jahril Adjen Dam, Setwilda Dati Satu, Puskesma, Pusri, Klompencapir, Kalitbangdeskasgamizunkondescaleg! SEMUA: Ha? LAKON: Bingung kan? LELAKI II: Masih dalam rangka bahasa? LAKON: Tentu. Makannya, kalau peranan yang ditanyakan bisa membingungkan. Karenanya peranan tidak penting, tapi yang penting adalah persoalannya. LELAKI V: Untuk hal ini kita sepakati saja. Nah, lalu persoalannya apa sekarang? LELAKI III: Kembali kepada kesepakatan semula. Setiap orang harus jelas peranannya. LELAKI V: Lalu apa peranan orang dari atas itu? LELAKI III: Dengar bung! Kau tahu perananku sekarang? LAKON: Apa perananmu? LELAKI III: Marawa basa tangan labuah – payung panji kapanehan – rumah gadang ilang gonjong – katik lalu katik mati – anak bin Cacak anak bin Cacau – Anggang lalu rantiang patah – mati tatimpo anak rajo. LAKON: Anak rajo? LELAKI III: Bingung kan? Makannya kalau menjelaskan peran harus lengkap dengan bahasa yang bisa dipahami semua orang.
LELAKI II: Disangkanya bahasa tidak bisa membingungkan! Uh, lebih bingung bisa kubuat kau dengan bahasa! Itu sebabnya orang-orang dan ahli bahasa kebingungan sekarang, tahu! LELAKI V: Sudah. Sudah. Pokoknya sama-sama bingung. Ayo, langsung saja pada persoalan. LAKON: Begini saudara. Kita pantas berbangga karena telah mempunyai sebuah jalan lurus. Walau sulit didaki, tapi sebagai bukti bahwa kita ingin berjalan di jalan yang lurus sudah ada. Saudara. Selain jalan lurus dari bawah ke atas, sudah saatnya kita membuat jalan lurus berikutnya. Yang diperlukan saat ini adalah jalan lurus dari sana ke sini. Kita memerlukannya karena kita harus mengalirkan kebijakan-kebijakan yang ada di sana ke sini. Dalam waktu yang tidak lama lagi, bijaksana sudah harus bijaksini. LELAKI V: Mengalihkan kebijakan-kebijakan itu selain memerlukan kebijaksanaan, juga bijaksini punya risiko tidak bisa dimengerti. LAKON: Memang, kita harus menembus ketidak mengertian itu. Jalan lurus yang kita buat akan menembus kegelapan dan menembus gua. Dan bisakah disepekati untuk menembus gua itu? LELAKI II: Gua itu gua sejarah. Gua Kahfi. Tempat tujuh orang pemuda tidur selama tiga ratus tahun. LELAKI III: Sehari saja mereka belum tidur. LAKON: Apakah harus ditunggu tiga ratus tahub, baru kita memulai membuat jalan lurus? LELAKI V: Tergantung kesepakatan. LAKON: Lalu, apakah rencana atasan ini terancam batal? SEMUA: O, semua tergantung atasan. Dia yang menggantungkan tas. Dia punya tas. Kita ini hanya tas. LAKON: Jadi bagaimana?
SEMUA: Ya, kita tergantung ... LAKON: Terimakasih. Langsung saja dimulai. LELAKI II: Panitianya? Pimpro? LAKON: Sudah lama disusun, tinggal lagi tugas saudara mengerjakannya. MEREKA MULAI MEMBUAT JALAN LURUS DENGAN MELURUSKAN BARISAN. NAMUN BARISAN ITU TIDAK PERNAH JADI LURUS KARENA SETIAP ORANG BERUSAHA MELURUSKAN ORANG LAIN; “Lurus!” “Luruskan!” “Diluruskan!” “Selurus-lurusnya”. “Pelurusan!”. “Melurusi”. “Rus! Lu Rus!”. DAN SETERUSNYA. KETUJUH PEMUDA YANG BERADA DALAM GUA MERASA MENEMUKAN CAHAYA. MEREKA BERTERIAK-TERIAK GEMBIRA DI ANTARA ORANG-ORANG YANG SIBUK MELURUSKAN BARISAN ITU; “Cahaya!” “Petunjuk!” “Nur!” “Semakin terang”. “Sinar Matahari”. “Lihat dulu. Lihat dulu”. MEREKA MENGINTIP DARI BALIK SAPU TANGANNYA. “Dinding gua tembus”. “Gua kita dirusak”. “Sejarah dikacaukan”. “kekhusukan kita diganggu”. “Ini pasti perbuatan setan!”
PARA PEMUDA GUA ITU MEMBUKA SAPUTANGAN DAN MARAH-MARAH PADA SEMUA ORANG. LELAKI I: E, bung! Jangan main gusur begini! Mentang-mentang kami sedikit, kalian banyak lalu mau berbuat seenaknya! LELAKI X: Target kami tiga ratus tahun di dalamnya, tahu! LELAKI VIII: Apa tidak boleh orang jadi saleh? LELAKI IX: Jangan merusak sejarah! Orang lagi beribadah jangan diganggu! LELAKI II: Kami sedang membuat jalan lurus, bung! LELAKI III: Ini persoalan kebijaksanaan! LELAKI IV: Ini perintah atasan! Atasan! LELAKI I: Tidak. Ini persoalan agama. LELAKI VI: Jalan lurus harus menembus kegelapan. LELAKI I: Kalian kira kami berada dalam kegelapan? Keterasingan? Ketertutupan? Kefanatikan? Lalu kalian babat dengan jalan lurus yang tidak dapat kalian luruskan sendiri? LELAKI X: Kebijaksanaan, katamu! Kebijaksanaan bukan jalan lurus, tahu! LELAKI VIII: Dalam gelapnya gua itulah kami dapat melihat diri sendiri. Intropeksi, bung! Merenungi apa yang telah dilalui selama ini. LELAKI I: Sekali-sekali kita perlu merenung. Gua ini diperlukan bagi siapa saja dan kapan saja! LELAKI X: Ini gua perenungan sejarah! LELAKI II:
Kalau merenung selama tiga ratus tahun, kapan lagi mau membuat jalan lurus? LELAKI I: Tiga ratus tahun itu hanyalah jumlah angka. Maksudnya waktu yang cukup lama! Merenung lebih lama memudahkan kita mengetahui kesalahan. Ah, kalian hanya paham bahasa tulis saja. LELAKI V: Sudahlah. Semuanya kita perlukan. Kebijaksanaan perlu, juga intropeksi. Kebijaksanian itu urusan lain lagi. LELAKI X: Makannya jangan digusur begitu saja. Kita harus sepakat dulu, ya kan? LAKON: Jadi bagaimana? Bisa teruskan? LELAKI I: Jalan lurus itu perlu, tapi tidak perlu membuatnya dengan menggusur keyakinan orang lain. LELAKI X: Apalagi dengan membuyarkan keinginan untuk selalu mupakat. Mupakat tidak hanya sepihak saja, ya kan? LELAKI VIII: Jalan lurus itu bukan jalan biasa atau seperti jalan tol. Atau seperti batang pinang, tiang listrik! Jalan lurus itu adalah jalan lurus. Sirratalmustaqim! LAKON: Apa pula itu? LELAKI VIII: Jalan yang pernah dilalui orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang. Jalan taqwa menuju keridhaan Allah Subhannahuwata’ala. LELAKI V: Semua orang tahu akan hal itu tapi tak pernah mereka tempuh. Itu sebabnya dibuat kembali jalan lurus. LELAKI VIII: Jalan lurus itu sudah ada, tapi karena kalian hanya paham bahasa tulisan, diartikan jalan tol atau tiang listrik. LELAKI I: Kalian tahu siapa yang tidak mau berjalan di jalan lurus? Itulah mereka yang selalu turun naik di tangga tali, sementara kita dianjurkan memanjat batang pinang! LAKON: E, e, e lancang!
LELAKI V: Ingat saudaraku. Mereka yang turun naik dengan tangga tali adalah atasan. Atasan tentu memilih cara termudah dan tidak terlalu banyak risiko. LELAKI IV: E, bung! Jangan macam-macam. Dari atas sana sesuatu bisa ditimpakan ke kepala tanpa kita ketahui sebelumnya. LELAKI I: Kalau kau tahu di atas apa yang akan kau timpakan ke kepalaku. LAKON: Macam-macam. Bisa juga malaikat maut. LELAKI I: Malaikat maut? LELAKI V: Daripada mati percuma, lebih baik ikuti apa yang telah terencana. LELAKI I: Tapi, katanya mati, hidup, peran apa pun, tergantung dari kesepakatan kita. LELAKI X: Sejuta malaikat pun dijatuhkan dari atas sana, kalau kita sepakat tidak mati, kita tidak akan mati. Urusan mati bukan urusan atasan, tapi urusan Tuhan! LELAKI V: Baiklah saudara-saudara. Mana yang harus disepakati? Membuat jalan lurus? Mengalihkan kebajikan dari sana sampai bijaksini? Mempertahankan ketakwaan? Mempertahankan sejarah? Atau, menyepakati tidak akan mati? Man yang harus didahulukan? Bagaimana? Bingung? Nah, saudara-saudara. Umur kita tidak akan cukup untuk menyepakati segala hal. Apalagi selama waktu permainan ini berlangsung. Cuma berapa lamalah? Paling-paling sampai penonton kita pulang. LAKON: Jangan mengalihkan persoalan! Jika pembuatan jalan ini gagal, artinya saudara-saudara tidak punya partisipasi pada niat baik atasan. Artinya lagi saudara anti jalan lurus dan saudara kelak akan dituduh bukan orang lurus. Orang tidak lurus tidak perlu dipercaya. Nah, silakan saudara berpikir emapat kali lipat. Apakah pembangkang-pembangkang dapat hidup lama di negeri ini? Saudara harus mengarifi keadaan selama ini. Permisi. LAKON MENAIKI TANGGA TALI DAN DUDUK DI PUNCAK TIANG. LELAKI V:
Dia mulai memakai bahasa politik! Isisnya ancaman dan intrik! Padahal dulu, akulah yang selalu membelanya sampai dia bisa berada di puncak sana. Tapi tidak apa. Bila peranannya nanti habis, baru dia tahu siapa dirinya yang sebenarnya. LELAKI VI: Padahal dia tahu, mupakat lebih dari segalanya. LELAKI VII: Kita harus memahaminya, tapi dia sendiri tidak mau memahami permupakatan kita. LELAKI X: Itu namanya berat sebelah. LELAKI I: Lalu apa yang bisa kita lakukan? LELAKI III: Tunggu. Ada gagasan baru. Ke sini semua. MEREKA BERKUMPUL DAN BERBISIK. TAPI TAMPAKNYA MEREKA TIDAK MENDAPAT KATA SEPAKAT. LELAKI III: Tutup matamu dengan saputangan itu. LELAKI V: Walau telah disepakati tiang listrik itu sebagai jalan lurus, saya tidak akan memanjatnya dengan mata tertutup. LELAKI III: Tapi begitulah kenyataan yang ada sekarang. LELAKI V: Keterbukaan kita dianggap tertutup sehingga mereka mencurigai kita. Dia datang dari atas menganggap dirinya terbuka, tetapi tertutup menerima keterbukaan orang lain. LELAKI I: Bahkan dia merasa dirinya lebih baik dari Bapak daripada Bapak Kepala! LELAKI V: Ya, jalan lurus apa yang mau dibuatnya! LELAKI I: Apa pun juga bentuk ketertutupannya, kita harus terbuka dengan keterbukaan kita. LELAKI II: Iya. Kalau terbuka, mata jangan tertutup. LELAKI I:
Mata boleh tertutup tapi sikap harus terbuka. LELAKI X: Gua kita sendiri kita buka, tapi masih dianggap tertutup. Apa kita harus membuka celana bersama-sama dihadapannya membuktikan keterbukaan kita? LELAKI II: Tapi wanita-wanita yang ada di sana nanti akan menutup mata. Akhirnya juga tidak semua orang yang mau membuka matanya dengan keterbukaan orang lain. LAKON MEMONITOR DARI ATAS LAKON: Rojer! Rojer! Di sini asisten! Asisten! Apakah jalan lurus bisa dilanjutkan, ganti. LELAKI I: Siapa yang harus menjawab? LELAKI II: Dia. Dia. LELAKI V: Baik. Saya akan menjawab. Dikopi! Bisa, ganti. LAKON: Dan persoalan gua sudah aman? LELAKI V: Apa jawabannya? LELAKI X: Aman. LELAKI V: Aman, ganti. LAKON: Sudah bisa dibuka? LELAKI V: Buka saja, ganti. LAKON: Tunggu. Bapak Kepala mau bicara. LELAKI V: Saudara-saudara. Bapak Kepala mau bicara. LELAKI III:
Bapak Kepala? Apa suaranya sampai ke sini? LELAKI IV: Tapi apakah suara kita juga bisa didengar Bapak? Bisa saja operator itu menggantikan suara kita dengan suaranya sendiri. LELAKI V: Jangan mencurigai siapa pun. LAKON: Rojer! Pembicaraan jarak jauh akan dimulai. Siap. LELAKI V: Ya, kami siap. LAKON: Matikan dulu pesawat anda, ganti. LELAKI V: Tidak ada pesawat di sini, ganti. LAKON: Pejamkan matamu, bodoh! LELAKI V: Pejamkan mata! SEMUANYA MEMEJAMKAN MATA LAKON: Nah, lihat ke arah utara. Bicaralah secara terbuka. Dengan rasa kekeluargaan. Jangan seperti atasan dengan bawahan. Karena bagi Bapak, ke atas lagi atau ke bawah sama sulitnya. Dialah Bapak Kepala kita. Mulai. SEMUANYA MELIHAT KE ARAH UTARA. DI SANA LELAKI VII SUDAH SIAP BERPERAN SEBAGAI BAPAK KEPALA. DIA BERDIRI DENGAN GAGAH DAN SENYUM DIKULUM. SEMUA KAGUM. SEMUA: Selamat malam, pak. LAKON: Tunggu dulu! Belum boleh bicara! Gambar kalian masih kabur dalam pandangan Bapak. Gambar kalian masih berada di luar garis edar. LELAKI III: Pantas wajah kita selalu pudar. LELAKI I: Tapi wajah Bapak jelas sekali. Seperti wajah kita juga, ya.
LELAKI II: Iya, seperti teman kita sendiri. LELAKI III: Ah, itu kan benar-benar teman kita. LELAKI IV: Kok, tiba-tiba wajahnya bisa berubah jadi Bapak Kepala. LELAKI VI: (MERABA WAJAH LELAKI VII) Kita dulu kan sama-sama memanjat batang pinang, ya kan? Tibatiba kok jadi angker! LAKON: Jangan diutak atik dulu! Biar disetel dari sini. LELAKI I: Wajah Bapak Kepala apa benar seperti ini? LELAKI X: Kenapa harus diragukan kalau kita tidak pernah melihat sebelumnya. LELAKI I: Kok seram sekali. LAKON: Tunggu! Tunggu! Disetel lagi! Ada gangguan. Wajah Bapak yang sampai ke sana memang sedikit berubah. Tapi jangan gusar. Itu hanya gambar. LELAKI VII: Apa? Hanya gambar? Stand-in? LAKON: Ya, suara Bapak Kepala sudah terdengar. Saudara-saudara bisa mulai pembicaraan jarak jauh. Tiga, dua satu, yak! SEMUA: Selamat malam, pak. LELAKI VII: Malam juga, nak. Tatap muka jarak jauh ini membuktikan bahwa kita benar-benar tidak mempunyai jarak lagi. Dan dalam hal ini (TERUS BICARA TANPA SUARA) BEBERAPA SAAT PARA LELAKI BINGUNG LELAKI V: Suara Bapak hilang! LELAKI III:
Tentu. Antara kita dengan Bapak kan sudah menyatu. Seperti diri kita sendiri dan hati kita sendiri. Siapa yang dapat mendengar suara hatinya sendiri, ya kan? Tidak seorang pun. LELAKI X: Suara Bapak kepala pun diambilnya! Ini pasti pekerjaan operator! LELAKI III: (MELIHAT LAKON SEPERTI TERTIDUR DI PUNCAK TIANG) Uh, dia malah tidur! LELAKI I: Bangunkan cepat! Suara Bapak harus segera dikembalikan! SEMUA BERTERIAK-TERIAK, SEMENTARA LELAKI VII TETAP SAJA BICARA KOMAT KAMIT TANPA SUARA. LELAKI I: E, bangun! Bangun! Suara Bapak hilang! LELAKI II: Ada gangguan cuaca. Bangun! Bangun! LELAKI III: Bangun! Sampaikan suara Bapak pada kami! LELAKI IV: E, bangun! Jangan menyabot hubungan kami dengan Bapak. LELAKI V: Tunggu dulu. Mungkin nama operator bukan si Bangun! LELAKI II: Kita menyuruh dia bangun. LELAKI V: O, membangunkannya. Gampang. Begini. LELAKI V MENGAMBIL BATU BEGITU PUN YANG LAIN. MEREKA MEMUKUL-MUKUL TIANG LISTRIK SAMBIL BERTERIAK-TERIAK; “Bangun!” “Suara Bapak, suara kami”. “Gambar Bapak, gambar kami”. “Bangun! Bapak adalah kami”. “Kamilah Bapak!” DAN SETERUSNYA LAKON TURUN DENGAN PERANAN SEBAGAI ISTRI BAPAK. PARA LELAKI MASIH MEMUKULMUKUL TIANG LISTRIK, JUGA DIIKUTI LELAKI VII.
LAKON: Tiang listrik jangan dipukul-pukul. Kalian tahu sekarang sudah pukul berapa? Nanti kalian bisa berurusan dengan tukang pukul. Coba, apa malam ini ada rencana main pukul-pukulan? LELAKI V: Hah! Apalagi perananmu, bung? LAKON: Istri Bapak yang muda. LELAKI V: Istri yang muda dari Bapak atau istri dari Bapak yang muda? LAKON: Pokoknya muda! Istri! Hati-hati kalian! LELAKI V: Panggilanmu? LAKON: Ibu. Tapi bukan ibumu! LELAKI V: Baik bu. Karena ibu turun tergesa sehingga lupa membawa tas? LAKON: Tas itu akan tetap kugantungkan sebelum dia memberiku surat kawin! Apa gunanya membawa tas ke sana ke mari kalau tidak ada surat kawin di dalamnya. LELAKI I: Jadi, ibu bukan ibu resmi Bapak? LAKON: Sudah resmi, bung! LELAKI I: Lalu, kenapa surat kawin belum ada? LAKON: Selalu dikatakannya blangko surat nikah habis, padahal setiap hari orang kawin. LELAKI II: Jadi, berapa banyak surat kawin yang ibu perlukan, kalau tasnya sebanyak yang tergantung itu? LAKON: Baru tasnya, surat kawinnya belum! LELAKI II:
Mungkin ibu memerlukan surat kawin dari saya. LAKON: E, e, e, siapa kamu! Kamu atasan? Uh, jelek-jelek begini aku istri atasan, bung! LELAKI II: Maaf bu. Maksud saya apa yang bisa saya bantu. LAKON: Bagus. Saya mau mengasingkan diri ke dalam gua. Bertapa. Semedi. Minta kekuatan gaib. Katanya di sini ada gua sejarah. Di mana gua itu. LELAKI X: Ibu mau masuk gua. Masuk ke kegelapan, ehm! LAKON: Saya ingin bergabung dengan ketujuh pemuda yang saleh itu. Biar aku tidur bersama mereka tiga ratus tahun. Baru saya bangun setelah blangko surat kawin itu dicetak ulang! Ayo, beri aku gua! PARA LELAKI BINGUNG LAKON: Kenapa diam? Kenapa bingung? Masa kalian tidak tahu gua? Mulut gua itu kecil dan sekelilingnya ditumbuhi rumput liar dan semak belukar. Gelap di dalamnya tapi ketenangan dan kenikmatan tersuruk di lerungnya. LELAKI I: Bu, di sini yang ada gua Kahfi dan sudah ditembus sewaktu membuat jalan lurus. LAKON: Jadi, gua itu telah di tembus jalan lurus? LELAKI V: Mulanya gua itu telah kami sepakati sebagai gua Kahfi, gua sejarah, tapi digusur juga. Sebenarnya, yang tergusur adalah kesepakatan kami. LAKON: O, begitu. Jujurnya kalian. Kejujuran itu pula yang membuat aku harus membuka rahasiaku di sini. Saudara-saudara. Menurut ibuku, sebenarnya kamilah pemilik gua. Gua warisan nenek moyang itu akhirnya dibiarkan karena keterpaksaan di luar diri kami. Aku merasa, sesaat nanti guaku pasti ditembus jalan lurus. Menangis aku sewaktu guaku ditembus jalan lurus Bapak Kepala. Tapi begitulah hidup. Kita sering mendapatkan kenikmatan dalam keterpaksaan. Saudara-saudara. Sekarang aku datang ke guaku yang telah porak poranda. Kalau kalian tidak mau memberi tahu di mana tempatnya, tidak soal. Yang jelas, gua itu milik seluruh wanita! Aku tahu pasti tempatnya! LELAKI II:
Kami tidak pernah menyentuh gua seperti itu. LELAKI I: Kalau kami masuk ke dalam gua, semua berdasarkan mupakat bersama. LELAKI VIII: Dan kami tidak menanyakan siapa pemiliknya. LELAKI X: Kami pengagum sejarah. Segala yang ada kami sepakati sebagai sejarah dan merasa bagian darinya. LELAKI IX: Sebagai bawahan tentu kami ingin juga dikagumi. Itu sebabnya kami masuki sejarah dengan harapan dikagumi orang-orang kemudian. LELAKI I: Ternyata gua itu tidak dapat dipertahankan, karena orang-orang secara membabi buta membuat jalan lurus. LELAKI III: Soalnya kita terpaksa sepakat. LELAKI V: Itu pun masih dituduh pembangkang. LAKON: Ingat. Gua itu adalah guaku. Namanya tidak penting. Tapi asal ada gua, itulah guaku. Aku akan datang lagi. LAKON NAIK TANGGA TALI DAN KEMBALI DUDUK DI PUNCAK TIANG. LELAKI I: Gila! Memesan gua seperti memesan kamar hotel saja. LELAKI III: Heran. Istri-istri atasan selalu kita lihat cantik. Apa mataku yang salah atau kecantikan itu sendiri. LELAKI VI: Sst! Pikiran begitu bila diteruskan semuanya bisa susah. LELAKI V: Jangan takut. Apa pun bisa dibuat asal sepakat. Tapi kalau hanya ikut arus, kita bisa hanyut. LELAKI II: Makannya, kita harus berakit-rakit ke hulu supaya jangan sampai hanyut ke muara. LELAKI VIII:
Persoalan sekarang bukan merakit, tapi membuat gua. Kalau gua itu tidak siap sebelum ibu datang, kita akan dituduh macam-macam. LELAKI I: Ya, gua itu perlu dibuat untuk keselamatan kita bersama. LELAKI V: Baik. Gua apalagi yang harus kita sepakati? LELAKI I: Bagaimana kalau Gua Hira34. LELAKI III: Sebaiknya tetap gua Kahfi. Tapi sekarang Kahfi kreasi baru. LELAKI V: Bagaimana? Setuju kreasi baru? SEMUA: Setuju. Sepakat. LELAKI III: Kalau istri Bapak yang cantik itu masuk gua, biarlah aku korbankan diriku jadi pemuda salehnya. LELAKI I: Soal gua menggua aku lebih berpengalaman. Yang tepat calonnya adalah aku. LELAKI X: Siapa pun boleh mencalonkan diri, tapi yang akan terpilih harus aku. Bisa sepakat? LELAKI V: Cukup! Aku tahu arah pembicaraan kalian! Nanti kita akan bertengkar soal calon tunggal. Ingat saudara-saudara, masuk gua tidak sama dengan pemilihan umum. LELAKI VI: Karena setiap orang ingin terpilih sebaiknya semua orang masuk gua. LELAKI III: Ramai-ramai masuk gua? Uh! Yang penting kan hanya tujuh orang! LELAKI II: Gua Kahfi kreasi baru boleh dimasuki siapa saja. Kreasi baru, bung! LELAKI I:
34
Gua Hira’ yang sebenarnya adalah tempat turunnya malaikat Jibril mengantarkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw. sedangkan Gua Hira’ yang ada pada naskah ini hanyalah kebetulannya sama. Atau sengaja dipakai namanya itu karena sudah terkenal sekali.
Ya ya. Semua harus masuk. LELAKI II: Ya. Semua harus kebagian tidur. LELAKI III: Semua harus dapat bagian! LELAKI IV: Semua harus sama. LELAKI V: Tidak bisa! Sama rata sama rasa bukan tujuan kita! Kita masih punya sopan santun, normanorma dan agama! Kalau semua masuk gua, silakan saja! LELAKI VIII: Lalu dasarnya apa? LELAKI V: Setiap orang punya impian-impian. Perempuan cantik. Itu baru impian dalam taraf yang paling rendah. LELAKI VIII: E, bung! Sekarang permupakatan tidak diperlukan. Siapa yang mau masuk, masuk! Kalau kau mau tinggal di luar, silakan! Ini baru demokratis! LELAKI III: Ayo tutup mata kembali. Kreasi baru tidak memerlukan saputangan untuk mendapatkan kegelapan. LELAKI V: Kalau tidak ada sapu tangan, bisa diganti dengan sapu jagad! LELAKI III: Biar kehujanan sendiri kau di luar sana! SEMUA MENUTUP MATA DENGAN APA SAJA KECUALI LELAKI V LAKON III: Bagaimana saudara-saudara? Semua sudah dalam gua? SEMUA: Ya. Gelap. Bukan main-main. Kedap cahaya! Istri atasannya mana? LELAKI II: Kalau istri Bapak datang, dia harus melapor dulu padaku. Aku akan menghormatinya sebagaimana aku menghormati Bapak. Menyayanginya sebagaimana Bapak menyayanginya. LELAKI III:
Aku akan menyediakan segala keperluannya. Kehangatan, kegairahan, kenikmatan. Kusuguhkan secara bergantian tanpa membosankan. LELAKI I: Bila tidak masuk gua, aku akan segera masuk guanya! LELAKI III: Setan gaek! MEREKA MERABA-RABA KE SANA KEMARI LELAKI X: Ah, lama sekali datangnya. LELAKI I: Mungkin dia tersesat dalam kegelapan ini. LELAKI VI: Sebaiknya dicari. LELAKI III: Biar aku. LELAKI VII: E, bung! Semua orang pun ingin mencarinya! MEREKA DIRASUKI NAFSU. APA PUN YANG DIJUMPAI SELALU DIANGGAP ISTRI BAPAK. “Istri Bapak, ya?”. “O, bukan istri Bapak?” “Istrinya?” “Istri? Mau?” “Mumpung gelap, ayolah jadi istri.” DAN SETERUSNYA AKHIRNYA MEREKA MENEMUKAN TIANG LISTRIK LELAKI III: Ini dia! (LANGSUNG MEMANJATNYA) LELAKI II: O, ini. Setan! Sudah ada yang lebih dulu! (MENARIK LELAKI III DAN MEMANJAT TIANG) LELAKI IX: O, ini, tinggi juga ya? (LANGSUNG MEMANJAT) DAN SEMUA ORANG PUN MEMANJAT TIANG LISTRIK PENUH NAFSU DENGAN MATA TERTUTUP. MEREKA SALING TARIK DAN BERTENGKAR.
LELAKI V TIDAK TEGA MELIHAT KEADAAN ITU. DIA BERUSAHA MENARIK BEBERAPA ORANG, TAPI ORANG-ORANG TELAH TERLANJUR KALAP DAN TERUS MEMANJATI IMPIAN-IMPIAN MEREKA. LELAKI V MERASA MALU KEPADA PENONTON LELAKI V: Para penonton, maafkan saudara-saudaraku ini. Mereka mengira dengan merangkul istri Bapak akan dapat pula merangkul Bapak. Mereka main rangkul-rangkulan. Mereka ingin tidur dekat Bapak sebagaimana Bapak tidur dekat istrinya. Mereka ingin mendapatkan tempat yang layak dalam pandangan Bapak, sebagaimana Bapak memberikan cinta kasih pada istrinya. Bagaimana mungkin, ya kan? Tapi begitulah. Saudara-saudaraku itu sudah terkuras rasa malunya karena keinginannya yang tinggi untuk dapat naik ke puncak tiang. Permainan seperti sudah seharusnya dicegah, ya kan? LELAKI V MENARIK MEREKA YANG SEDANG MEMANJAT TIANG LISTRIK ITU. TERJADI PERGUMULAN SEPERTI HARIMAU LAPAR, ORANG-ORANG MENGAUM MEMUKUL LELAKI V; “Kutu busuk! Aku baru mendapat kehangatan!” “Lagi nikmat aku, kau renggutkan!” “Apa kau tidak senang orang lain senang, ha!” “Jangan suka mengganggu kesenangan orang lain!” “Mampus! Kau kira aku bisa direnggutkan begitu saja!” SEMENTARA LELAKI V BERTERIAK-TERIAK DIPUKULI. LELAKI V: Aku saudaramu. Jangan main hakim bersama35! Kita bersaudara. Tidak perlu lagi perang saudara, apa pun alasannya! Rangkullah istri Bapakmu tapi jangan pukuli aku. Rangkullah Bapakmu, tapi jangan injak tubuhku. Rangkullah impianmu, tapi jangan panjat tiang listrik itu! Saudaraku, itu tiang listrik. Saudaraku, itu tiang listrik. Saudaraku, tiang... TERKAPAR DI TANAH. DIAM. LAKON SEGERA TURUN TANGGA TALI DAN MENIUP SEMPRITAN BEBERAPA KALI. PARA LELAKI MEMBUKA MENUTUP MATA. LAKON: Sepakat atau tidak, demi keamanan, perananku sekarang ini polisi! Awas, jangan ada yang lari! Ayo katakan! Siapa yang membunuh laki-laki ini. LELAKI II: Pembunuhnya mata gelap, pak polisi. LAKON: Harus nama asli, tidak samaran!
35
Sebuah tindakan kriminal dari sekelompok masyarakat biasanya disebut main hakim sendiri. Padahal pelakunya banyak. Karenanya lebih tepat dikatakan main hakim bersama.
LELAKI III: Begini pak polisi. Seseorang baru boleh dikatakan mati bila telah disepakati. Sepakat para dokter dibuktikan dengan surat keterangan. Berdasarkan surat itu baru polisi menyepakati kematiannya. Dan saudara kami ini belum disepakati matinya. LELAKI IV: Dan kami tidak sepakat mengatakannya mati. LAKON: Mati juga harus disepakati? LELAKI III: Ya, seperti juga sepakat para dokter dan polisi. LAKON: Ah, kalian semakin tak bekeruncingan36. LELAKI I: Tenang saja pak polisi. Ini namanya permainan hidup. Ada yang dihidupkan dan ada yang dimatikan. LAKON: Alasan begitu tidak sesuai dengan hukum. Ini masalahnya kriminal! Pembunuhan! LELAKI VI: Tapi tidak ada darah di sini. LAKON: Benar. Ini namanya pembunuhan tak berdarah! LELAKI III: (PADA LELAKI V) E, bung! Daripada kita berurusan dengan polisi, lebih baik jangan mati! LELAKI VII: Ya ya. Buat apa memancing perasaan penonton karena yang terpancing justru polisi. LELAKI VIII: Ayo, bangun. Untuk sekedar istirahat kan sudah cukup! LELAKI V BANGUN SEPERTI TIDAK TERJADI APA-APA. LAKON: Tuyul kami! Tuyul! Sudah terbunuh bisa hidup lagi! E, bung! Apa kau tidak merasa terbunuh? LELAKI V:
36
Majalah Tempo pernah memuat kata ini, yang dalam bahasa Minangkabau artinya -tidak karuan, tidak berketentuan, tidak beraturan- dan lain sebagainya. Bukan berarti tidak mempunyai sesuatu yang -runcing-.
Tidak. LAKON: Atau geger otak karena dipukuli? Asuransinya cukup mahal, lho? LELAKI V: Tidak. LAKON: Ah! E, bung! Apa dompetmu hilang karena dikerubuti orang banyak tadi? LELAKI V: Bawa dompet pun tidak. LAKON: Atau pernah bermimpi dibunuh orang? LELAKI V: Yang kuimpikan justru yang akan lahir. LAKON: Ah! bagaimana kau ini! Bagaimana membuat proses verbalnya, bodoh! LELAKI III: Bagaimana pak? LAKON: Ah, terlanjur aku berperan sebagai polisi. Ternyata peran ini tidak mudah dikuasai. (NAIK TANGGA TALI) Awas kalian! Jika nanti benar-benar ada yang terbunuh, aku tidak mau lagi mengusutnya. Ingat! Jangan main-main dengan pembunuhan! LAKON KEMBALI DUDUK DI PUNCAK TIANG. LELAKI III: Yang ditunggu perempuan cantik yang datang malah polisi! LELAKI I: Memang begitu adanya. Kenyataan dan harapan tidak pernah seiring sejalan. LELAKI II: Kukira istri Bapak itu tidak akan datang lagi. Dan polisi itu tentu telah melaporkan apa yang terjadi di sini. LELAKI VIII: Lebih baik begitu. Kalau istri Bapak datang, kita tidak perlu membuat gua jadi-jadian itu! LELAKI VII: Ya, kita pun akan terhindar dari segala kecurigaan. LELAKI V:
Kecurigaan itulah yang membuat kita seperti ini. LELAKI X: Ya, karena kita sering kecurian. LELAKI I: Kecurian? Kita tidak pernah kehilangan. LELAKI V: Pernah. LELAKI I: Apa? LELAKI V: Sangka baik. Segala yang baik dalam diri kita, telah kita lenyapkan. Yang tinggal hanyalah prasangka buruk saja. Dan yang mencurinya adalah diri kita sendiri. LELAKI VIII: Sebaiknya kita jadi pencuri supaya tidak ada yang tercuri. LELAKI V: Yang kita perlukan saat ini sebenarnya adalah pedang. SEMUA: Pedang? Samurai? LELAKI V: Untuk membabat sangka buruk itu. LELAKI I: Ah, pedang itu tumpul punggungnya walau tajam matanya. Tajam memandang masa lalu, tumpul melihat masa depan. Tajam berkata-kata tapi tumpul memberi makna. Tajam melihat bahasa surat, tumpul pada yang tersirat! LELAKI V: Tapi pedang kita harus tajam timpal balik. LELAKI I: Kalau itu bukan pedang namanya, tapi padang! LELAKI VIII: Padang? Padang bengkong?37 LELAKI V:
37
Bukan berarti pedang yang bengkok, tetapi ungkapan untuk memperjelas tentang sifat orang Minangkabau (Padang) yang licik itu. Sebab, orang Minang sangat marah sekali kalau mereka dikatakan licik. Tapi kalau dikatakan Padang Bengkok, dia merasa senang dan malah bangga.
Saudara-saudara. (MELIHAT LAKON TURUN) Ah, polisi itu datang lagi! SEMUA MELIHAT LAKON TURUN. LELAKI III: Bukan polisi! LELAKI V: Lalu siapa? Impiannya? LELAKI III: Yang selama ini kita tunggu. LELAKI V: Iya, siapa? Atasan? Bapak Kepala? LAKON TURUN DENGAN LETIH DAN KESAL LELAKI III: Istrinya, kan? LAKON: Jangan tanya dulu perananku. Melelahkan sekali turun naik tangga tali itu dengan peran yang tidak pernah pasti. Mula-mula aku berperan sebagai istri Bapak, kemudian ajudan, asisten, operator, turis, istri muda, dan tidak pernah berperan sebagai Bapak. LELAKI V: Selain peranannya yang berbagai-bagai itu, sebenarnya kau tidak sebagai38. LELAKI IV: Kau termasuk dan sebagainya, itu soalnya. LELAKI VI: Bagaimana sekarang? Apalagi perananmu? LAKON: Semuanya telah kutanggalkan dan kutinggalkan di atas sana. LELAKI V: Kenapa tidak kau serahkan saja pada yang lain? LAKON: Aku takut kalau-kalau orang lain berperan sebagai algojo! Dia tidak hanya membunuh kita tapi bisa juga menjegal yang lain. LELAKI V:
38
Tidak ada apa-apanya
Setelah perananmu habis, ternyata kau jadi pengecut. Kau takut terbunuh sementara kau sendiri telah jadi korban. LAKON: Aku tidak pernah merasa terbunuh. LELAKI II: Peranan-peranan yang tidak pasti itulah yang telah membunuhmu. LELAKI III: Sayang sekali. Hidupmu hanya untuk memerankan peran orang lain. SEMUA: Rangka berjalan! LAKON: Jangan tuding aku, itu mengganggu perasaan. LELAKI V: Sudah waktunya kau memastikan perananmu saat ini. LAKON: Peranan apa yang dapat kupastikan untuk diriku? Sebagai pemain sandiwara? Itu sudah kulakukan di mana-mana. LELAKI V: Tapi pernah kau memerankan dirimu sebagai manusia? LAKON: Apa selama ini aku bukan manusia? LELAKI V: Jangan marah dulu. Pernah kau memerankan manusia yang tidak merusak kehidupan? Kehidupanmu sendiri dan kehidupan orang lain? Sayangnya kan mau enak sendiri saja. Berperan sebagai ini sebagai itu upaya selamat dan mengecap sedikit kenikmatan. LAKON: Jangan lancang, bung! Mentang-mentang aku tidak berperan lagi, lalu kalian bisa bicara semaunya terhadapku! Peran apa pun aku bisa! Ah, jangan coba-coba memasukkan aku ke dalam perangkap pikiranmu! LELAKI V: Baiklah aku akan ke sana sebentar. LELAKI V PERGI DIIKUTI SEMUA LELAKI. LAKON KEBINGUNGAN TERPISAH SENDIRI. LAKON: E, bung! Ke mana kalian! Ke mana? LELAKI V:
Berganti peran! Kini aku sebagai penonton! Menonton kau sebagai manusia. LAKON: Apa aku harus bermain sendirian? Apa yang harus kumainkan bung! Apa? LELAKI V: Ya, manusia. Kau kenal manusia, kan? Nah, mulailah dari dirimu sendiri! LAKON: (BINGUNG) Wah, bagaimana ini! Para penonton. Kini akan mencoba memerankan manusia. Manusia itu ... manusia itu ... manusia itu... LELAKI V: Tidak terlalu sulit kalau kau benar-benar memerankan dirimu. Ayo, coba lagi. Itulah sebenarnya jalan lurus, bung! LAKON: Maaf, aku lupa naskahnya. LELAKI V: Bukan naskah, tapi yang kau lupakan manusia! LAKON: Kalau begitu aku ke atas lagi. Biar kuperankan apa saja! Jika perlu, jadi algojo! (NAIK TANGGA TALI) LELAKI V: Cegah tengkorak berjalan itu pergi! PARA LELAKI SEGERA MENGAMBIL UJUNG TANGGA TALI YANG BERADA DI TANAH DAN MENGANGKATNYA TINGGI-TINGGI. LAKON: Biarkan aku! Biarkan! TAPI PARA LELAKI SEMAKIN MENARIK TANGGA TALI SEJAUH -JAUHNYA DAN SETINGGITINGINYA. LAKON SEAKAN BERJALAN DI JEMBATAN TALI. LAKON: Biarkan aku! Biarkan aku. LELAKI V: Kami hanya meluruskan jalan yang kau tempuh. LAKON GUGUP DAN TAKUT KARENA TANGGA TALI BERGOYANG-GOYANG . SEMUA: Terus! Naik terus! LELAKI V:
Hati-hati bung! Kalau tidak kuat berpegang di jalan lurus, perananmu sebagai manusia bisa berhenti. LAKON: Wah, gamang sekali? Tunjukkan, mana yang harus kupilih. LELAKI V: Terserah, kau bebas memilih apa saja. LAKON: Aku minta kesepakatanmu. LELAKI V: Bodoh! Ini bukan pemilihan umum! Soalnya kau mau memilih manusia atau tidak? LAKON: Iya, aku paham. Tapi manusia yang mana? LELAKI V: Yang menjadi wakil Tuhan di bumi ini. SEMUA: Khalifatullah! LAKON: Ha? LELAKI V: Kau mengerti bahasa atau tidak? LAKON: Ha? Bahasa? (GUGUP DAN JATUH KE TANAH) PARA LELAKI MENGELILINGI LAKON LELAKI V: Bagaimana? Perlu disepakati dia tetap hidup? LELAKI V: Nah, bagaimana penonton? Lakon kita ini mau dimatikan atau dihidupkan? Semuanya tergantung kesepakatan kita. Setidak-tidaknya untuk tes apakah ada kesepakatan antara pemain dengan penonton. Bagaimana? Sepakat? ***
Padang, Januari 1986 Wisran Hadi