ISSN 1858-4969
jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan Volume 12, Nomor 1, Mei 2016
*
BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
ISSN 1858-4969
jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan
Volume 12, Nomor 1, Mei 2016 Penanggung Jawab Drs. Pardi, M.Hum. Redaksi: Drs. Suryo Handono, M.Pd. Agus Sudono, S.S., M.Hum. Dr. Dwi Atmawati, S.S., M.Hum. Penyunting: Enita Istriwati, S.Pd. Kahar Dwi Prihantono, S.S. Endro Nugroho Wasono Aji, S.S. Mitra Bestari Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U. (Universitas Gadjah Mada) Dr. Herudjati Purwoko (Universitas Diponegoro) Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. (Universitas Negeri Semarang) Dr. Dwi Purnanto, M.Hum. (Universitas Sebelas Maret) Dr. Yulia Esti Katrini, M.Hum. (Universitas Negeri Tidar Magelang) Prof. Dr. Rusdi Mochtar (LIPI) Kesekretariatan Lely Siti Fatimah, S.E., M.Si. Sri Wiyono, S.Sos. Takarina Indrianta, S.E. Desain Grafis: Andy Rahmadi S., S.Kom. Penerbit: BALAI BAHASA JAWA TENGAH Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Terbit Pertama 2005 Alamat Redaksi: BALAI BAHASA JAWA TENGAH Jalan Elang Raya No. 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah Telepon (024) 76744357, Faksimile (024) 76744358 Posel:
[email protected] Laman: www.balaibahasajateng.web.id
ISSN 1858-4969
jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan Volume 12, Nomor 1, Mei 2016
DAFTAR ISI Halaman 1.
Daftar Isi ..............................................................................................
iii
2.
Prakata Redaksi ...................................................................................
iv
3.
Lembar Abstrak ...................................................................................
v
4.
Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Report melalui Writing Process pada Siswa Kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati –– oleh Rusmi ...............
1
Komparatif Keigo Bahasa Jepang dengan Krama Bahasa Jawa dalam Media Sosial –– oleh Anastasia Dewi Wulandari ..............................
13
Penerjemahan Nama Tokoh Karya Sastra Anak ke dalam Bahasa Indonesia –– oleh Singgih Daru Kuncara ..........................................
23
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika oleh Taufik Ismail –– oleh Retno Hendrastuti ...................................................................
33
Penggunaan Bahasa Mahasiswa Multietnik dalam Media Sosial –– oleh Emma Maemunah ..................................................................
49
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang –– oleh Suryo Handono ....................................................................................
61
10. Sapaan Dalam Rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng (Kajian Sosiolinguistik) –– oleh Rini Esti Utami ...........................................
81
5. 6. 7. 8. 9.
iii
PRAKATA REDAKSI
Alhamdulillah, segala puji kami panjatkan ke hadirat Allah Swt. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jurnal Jalabahasa Volume 11, Nomor 1, Mei 2015 dapat terbit sesuai jadwal. Jurnal edisi kali ini menampilkan delapan artikel dengan tema yang berbeda-beda. Tema-tema tersebut dapat dikategorikan ke dalam bidang pragmatik, penerjemahan, semantik, dan wacana. Jalabahasa nomor ini dapat terwujud berkat bantuan dari pelbagai pihak. Untuk itu, redaksi pada kesempatan yang baik ini mengucapkan terima kasih yang tulus kepada para penulis yang telah menyumbangkan naskah karya tulis ilmiahnya untuk penerbitan kali ini. Selain itu, penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada mitra bestari yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan yang luar biasa untuk memeriksa ulang naskah-naskah yang telah masuk ke meja redaksi. Akhir kata, kami berharap kehadiran jurnal Jalabahasa ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu bahasa terlepas dari pelbagai kekurangan yang ada. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa kami harapkan. Semarang, Mei 2016 Redaksi
iv
jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan
ISSN 1858-4969
Volume 12, Nomor 1, Mei 2016
Rusmi SMP Negeri 1 Pati Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Report melalui Writing Process pada Siswa Kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati jalabahasa, Volume 12, Nomor 1, Mei 2016: 1—12 Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran menulis dan kemampuan menulis teks report pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati melalui writing process. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus melalui writing process yang terdiri atas 5 tahapan proses menulis, yaitu: pre-writing, drafting, revising, editing dan publishing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran menulis teks report melalui writing process mengalami peningkatan rata-rata skor dari 1,88 pada siklus I menjadi 2,70 pada siklus II. Sementara itu, hasil belajar menulis teks report menunjukkan peningkatan rata-rata nilai dari 71,96 pada kondisi awal menjadi 75,00 pada siklus I dan 81,07 pada siklus II. Hal nni menunjukkan bahwa proses pembelajaran dan kemampuan menulis teks report melalui writing process pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati meningkat. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran melalui writing process dapat berjalan efektif dengan kategori B (baik) dan kemampuan menulis teks report pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati dapat ditingkatkan melalui writing process. Kata kunci: kemampuan menulis, teks report, writing process Anastasia Dewi Wulandari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Komparatif Keigo Bahasa Jepang dengan Krama Bahasa Jawa dalam Media Sosial jalabahasa, Volume 12, Nomor 1, Mei 2016: 13—21 Penelitian yang berjudul Komparatif Keigo Bahasa Jepang dengan Krama Bahasa Jawa dalam media sosial ini merupakan sebuah kajian sintaksis dan semantik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keigo bahasa Jepang dengan krama bahasa Jawa. Berdasarkan hasil analisis, penulis menyimpulkan bahwa sonkeigo dengan krama inggil merupakan ragam bahasa yang digunakan untuk meninggikan orang lain, kenjougo dengan krama-andhap merupakan ragam bahasa yang digunakan untuk menghormati orang lain dengan merendahkan diri sendiri, dan teineigo dengan krama lugu merupakan ragam bahasa yang digunakan tanpa meninggikan atau merendahkan orang lain. Perbedaannya adalah bahwa di Jepang terdapat dua konsep yang dikenal dengan uchi dan soto. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa Jepang memerhatikan kepada siapa penutur itu berbicara. Kata kunci: komparatif, keigo, dan krama Singgih Daru Kuncara Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman Penerjemahan Nama Tokoh Karya Sastra Anak ke dalam Bahasa Indonesia jalabahasa, Volume 12, Nomor 1, Mei 2016: 23—32 Makalah ini mendiskusikan penerjemahan nama dalam karya sastra anak. Keunikan penerjemahan untuk anak-anak adalah penerjemah fokus pada pembaca sasaran. Objek penelitian pada tulisan ini adalah nama karakter dalam cerita Walt Disney. Teknik penerjemahan nama yang digunakan adalah peminjaman murni, peminjaman alamiah, harfiah, dan adaptasi. Penerapan teknik adaptasi sebaiknya diminimalkan karena cenderung melanggar keinginan penulis karya sastra untuk memberikan nama yang bermakna pada karakter tertentu. Selain itu, pengurangan teknik adaptasi dapat membantu anakanak agar memahami budaya lain. Kata kunci: nama, penerjemahan, anak-anak, budaya
v
jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan
ISSN 1858-4969
Volume 12, Nomor 1, Mei 2016
Retno Hendrastuti Balai Bahasa Jawa Tengah Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika oleh Taufik Ismail jalabahasa, Volume 12, Nomor 1, Mei 2016: 33—48 Salah satu indikasi berhasilnya penerjemahan puisi adalah dapat dialihkannya rima dan makna BSu dalam BSa. Namun demikian, pergeseran rima tak dapat dihindari untuk mempertahankan makna BSu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan menggali pergeseran rima dan pengaruhnya terhadap keakuratan makna terjemahan. Data penelitian ini berupa pasangan rima BSu-BSa yang bersumber dari delapan puisi Amerika yang diterjemahkan oleh Taufik Ismail. Hasil analisis menunjukkan adanya pergeseran rima yang meliputi rima tetap, bergeser sebagian, dan bergeser penuh. Pengalihan rima tetap yang dominan dibarengi pengalihan makna secara akurat. Begitu juga pergeseran rima tetap menghasilkan makna akurat. Secara keseluruhan hal tersebut merupakan bentuk upaya pemertahanan makna terjemahan puisi. Kata kunci: keakuratan, penerjemahan puisi, pergeseran rima Emma Maemunah Balai Bahasa Jawa Tengah Penggunaan Bahasa Mahasiswa Multietnik dalam Media Sosial jalabahasa, Volume 12, Nomor 1, Mei 2016: 49—59 Keberagaman etnik dalam komunitas mahasiswa memunculkan suatu nuansa dan fenomena yang khas dan berbeda dalam penggunaan bahasa. Masyarakat multietnik cenderung menggunakan bahasa yang berbeda-beda ketika berkomunikasi dengan etnik satu dan etnik lainnya. Keberagaman etnik dan bahasa tersebut memungkinkan seseorang menjadi mampu menggunakan lebih dari satu bahasa. Komunikasi saat ini dapat dilakukan melalui berbagai media, salah satunya adalah media sosial. Banyak sekali media sosial yang dapat digunakan untuk berkomunikasi, seperti facebook, tweeter, bbm (blackberry messenger), line, dan whatsapp. Penelitian dengan ancangan sosiolinguistik dan metode kualitatif deskriptif ini bertujuan mendeskripsikan bahasa yang digunakan dalam komunitas mahasiswa multietnik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh mahasiswa multietnik di Kota Semarang dalam media sosial adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Kemultietnikan mahasiswa dengan bahasa yang berbeda mengakibatkan penggunaan campur kode. Faktor penyebab penggunaan bahasa tertentu antarmahasiswa multietnik adalah stimulus atau inisiasi yang disampaikan oleh penutur pertama. Selain itu, faktor latar atau situasi bahasa tertentu digunakan, faktor penutur dan petutur yang melakukan percakapan, maksud dan tujuan yang diinginkan oleh penutur dan petutur, bentuk pesan dan isi pesan yang dipilih oleh penutur dan petutur turut memengaruhi bahasa yang digunakan. Kata kunci: campur kode, media sosial, multietnik
vi
jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan
ISSN 1858-4969
Volume 12, Nomor 1, Mei 2016
Suryo Handono Balai Bahasa Jawa Tengah Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang jalabahasa, Volume 12, Nomor 1, Mei 2016: 61—80 Tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa peran faktor sosial, budaya, dan situasional dalam penggunaan bahasa komunitas pedagang di Kota Semarang belum terungkap secara empiris. Selain itu, interaksi verbal pada ranah tersebut yang melibatkan berbagai partisipan dengan topik yang bervariasi akan memunculkan penggunaan bahasa yang bervariasi. Tulisan ini mendeskripsi kosabahasa, variasi bahasa, dan faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa. Untuk mengungkap permasalahan tersebut, digunakan pendekatan linguistik, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial, tetapi tetap bertumpu pada permasalahan bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat. Data tulisan ini adalah tuturan warga komunitas pedagang di Kota Semarang yang dikumpulkan melaui pengamatan langsung dengan menggunakan teknik simak, baik simak libat cakap maupun simak bebas libat cakap, dan metode wawancara yang disertai dengan teknik rekam dan catat. Melalui analisis kontekstual ditemukan bahwa kosabahasa terdiri atas bahasa Indonesia ragam formal, bahasa Indonesia ragam nonformal, bahasa Jawa ragam krama, dan bahasa Jawa ragam ngoko. Variasi berwujud tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Pilihan tunggal bahasa meliputi pengunaan bahasa Indonesia ragam formal, bahasa Indonesia ragam nonformal, bahasa Jawa ragam krama, dan bahasa Jawa ragam ngoko. Alih kode terdiri atas alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa krama, bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa krama ke bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa ngoko ke bahasa Indonesia. Campur kode terdiri atas campur kode bahasa Jawa ragam krama dalam bahasa Indonesia, bahasa Jawa ragam ngoko dalam bahasa Indonesia, bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ragam krama, bahasa Jawa ragam ngoko dalam bahasa Jawa ragam krama, bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ragam ngoko, dan bahasa Jawa ragam krama dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Campur kode tersebut berbentuk kata, frasa, baster, perulangan, dan ungkapan. Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa adalah status sosial, jarak sosial, usia, situasi tutur, dan tujuan tutur. Kata kunci: penggunaan bahasa, kosabahasa, variasi, faktor, dan komunitas pedagang Rini Esti Utami Balai Bahasa Jawa Tengah Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!”di Harian Tribun Jateng (Kajian Sosiolinguistik) jalabahasa, Volume 12, Nomor 1, Mei 2016: 81—94 Bahasa adalah sarana untuk melakukan kontak sosial dengan orang lain. Pilihan kata yang baik dan tepat akan memperlancar terjadinya komunikasi. Begitu pula dengan penggunaan sapaan dalam berkomunikasi. Sapaan yang digunakan penyapa merupakan gambaran hubungan dengan pesapanya. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat kepada pemimpinnya akan mencerminkan hubungan antara masyarakat dan pimpinannya atau sebaliknya. Penelitian ini mengkaji sapaan dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng. Penelitian ini bertujuan mendeskripsi sapaan yang digunakan oleh masyarakat dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, serta tujuan penggunaan sapaan tersebut. Dalam penelitian ini digunakan teori sosiolinguistik dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa gubernurnya adalah sapaan nama diri, nama kekerabatan, nama jabatan, sapaan lainnya, dan gabungan dari sapaan tersebut. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa diri sendiri, yaitu kata ganti orang pertama tunggal dan jamak. Sapaan yang digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah kepada masyarakat adalah sapaan kata ganti orang kedua tunggal dan sapaan kata ganti orang pertama jamak. Sapaan yang digunakan oleh gubernur untuk menyapa diri sendiri adalah kata ganti orang pertama tunggal dan sapaan kata ganti orang pertama jamak. Adapun tujuan penggunaan sapaan tersebut adalah untuk kepraktisan, mengormati mitra tutur, menciptakan keakraban, dan menarik perhatian mitra tutur. Kata kunci: bahasa, sapaan, pemimpin, masyarakat, dan komunikasi
vii
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS TEKS REPORT MELALUI WRITING PROCESS PADA SISWA KELAS IX-G SMP NEGERI 1 PATI (Enhancing Students’ Ability to Write A Report Text through Writing Process in Class IX-G SMP Negeri 1 Pati) oleh/by Rusmi SMP Negeri 1 Pati Jalan Pemuda 287 Pati Posel
[email protected] *) Diterima: 2 Maret 2016, Disetujui: 20 Maret 2016
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran menulis dan kemampuan menulis teks report pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati melalui writing process. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus melalui writing process yang terdiri atas 5 tahapan proses menulis, yaitu: pre-writing, drafting, revising, editing dan publishing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran menulis teks report melalui writing process mengalami peningkatan rata-rata skor dari 1,88 pada siklus I menjadi 2,70 pada siklus II. Sementara itu, hasil belajar menulis teks report menunjukkan peningkatan rata-rata nilai dari 71,96 pada kondisi awal menjadi 75,00 pada siklus I dan 81,07 pada siklus II. Hal nni menunjukkan bahwa proses pembelajaran dan kemampuan menulis teks report melalui writing process pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati meningkat. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran melalui writing process dapat berjalan efektif dengan kategori B (baik) dan kemampuan menulis teks report pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati dapat ditingkatkan melalui writing process. Kata kunci: kemampuan menulis, teks report, writing process
ABSTRACT This study aims to improve the learning process of writing and the ability to write a report text in class IX-G SMP Negeri 1 Pati through writing process. The study was conducted in two cycles through the writing process which consists of 5 stages of the writing process, namely: pre-writing, drafting, revising, editing and publishing. The observation of the learning process showed that the process of learning to write report text through writing process increased with an average score of 1.88 in the first cycle to 2.70 in the second cycle. While the learning outcomes in learning to write a report text showed an increasing in the average value of 71.96 in the initial conditions into 75.00 in the first cycle and 81.07 in the second cycle. It showed that the learning process and writing skills through the writing process of report text in class IX-G SMP Negeri 1 Pati increased. Based on these results, it was concluded that the learning process through the writing process could run effectively with the category B (good) and the ability to write a report text in class IX-G SMP Negeri 1 Pati could be enhanced through writing process. Keywords: writing ability, report text, writing process
1
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 1—12
PENDAHULUAN Keterampilan menulis merupakan salah satu aspek yang sulit bagi siswa karena mereka harus menggunakan sejumlah kata, menguasai tata bahasa dengan baik, mengembangkan ide, dan sebagainya. Selain itu, mereka harus menguasai tanda baca, pemilihan kosakata, struktur penggunaan kalimat yang benar, dan juga pengorganisasian gagasan. Kesulitan seperti ini dialami oleh siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 tahun pelajaran 2012/2013. Terbukti nilai keterampilan menulis mereka yang masih rendah, yaitu 71,96 yang masih di bawah KKM yang ditetapkan, yaitu 78. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa banyak siswa yang kurang sistematis dan kurang padu dalam menggunakan kalimat. Ketidaksistematisan dan ketidakpaduan dilihat dari tidak sinkronnya antara kalimat utama dan kalimat pendukung, serta tidak adanya kesinambungan antara paragraf yang satu dengan paragraf yang lain. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang tepatnya metode mengajar guru yang hanya melatih siswa menulis terfokus pada hasilnya tanpa memperhatikan proses. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membekali siswa dengan suatu proses menulis yang baik dengan harapan menghasilkan tulisan yang baik pula. Harmer (2001) mengatakan bahwa”In the teaching of writing we can focus on the product of that writing or on writing process itself”. Jadi, dalam pembelajaran menulis kita dapat memfokuskan pada produk dari menulis atau pada proses menulis itu sendiri. penulis menginginkan pembelajaran tidak berfokus pada produk saja maka dalam penelitian ini difokuskan pada
proses menulis dengan menggunakan “Writing Process” dalam pembelajaran menulis. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah(1) bagaimana pelaksanaan writing process untuk meningkatkan kemampuan menulis teks report dan (2) apakah kemampuan menulis teks report pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati dapat ditingkatkan melalui writing process? Sedangkan tujuannya adalah (1) mendeskripsikan pelaksanaan writing process dan (2) meningkatkan kemampuan menulis teks report siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati melalui writing process. Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Pati Jalan Pemuda No. 287 Pati mulai Januari sampai dengan Maret 2013 pada kelas IX-G yang terdiri atas 28 siswa. Siswa kelas IX-G dijadikan subjek penelitian dengan pertimbangan keterampilan menulis siswa kelas ini paling rendah dibandingkan kelas yang lain karena sebagian besar siswa kurang mampu dalam menulis teks report. Data penelitian diperoleh dari guru berdasarkan hasil pengamatan proses pembelajaran melalui writing process dan dari siswa berdasarkan penilaian terhadap hasil karya siswa dalam menulis teks report. Teknik pengumpulan data menggunakan dua teknik, yaitu tes (ulangan harian) dan non tes (pengamatan). Data yang diperoleh berbentuk kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif untuk menggambarkan proses pelaksanaan proses tindakan, sedangkan data kuantitatif untuk menggambarkan peningkatan kemampuan dalam menulis teks report. Untuk menganalisis data prosess pembelajaran dilakukan dengan cara:
proof
2
Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Report ... (Rusmi)
a. Memberikan skor semua aspek pengamatan dengan skala 1—4. Skor maksimal adalah 21 aspek x 4 = 84. b. Menghitung jumlah skor dari setiap aspek dan nilai dengan formula: Nilai proses Jumlah skor diperoleh X 4 pembelajaran = Jumlah skor maksimal (84)
c. Mengkonversi hasil penilaian dengan kriteria dan kategori sebagai berikut: Kriteria
Kategori
3,26—4,00 2,51—3,25 1,76—2,50 1,00—1,75
A (Amat Baik) B (Baik) C (Cukup) D (Kurang)
besarnya peningkatan yang diperoleh atau nilai perolehan. Penelitian ini berupa PTK dengan 4 tahapan, yaitu: perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi yang dilakukan dalam dua siklus masing-masing 2 pertemuan (4 x 40 menit). Dengan tema, yaitu nature tentang disaster untuk siklus I dan tentang plant untuk siklus II. Setiap pertemuan ke 1, kegiatan difokuskan pada pre-writing dan drafting dan pertemuan ke 2 difokuskan pada revising, editing dan publishing. Menurut Tabroni (2007:12), menulis merupakan upaya mengkomunikasikan gagasan, ide, pikiran, pendapat, opini, dan sebagainya melalui media tulis. Yang dimaksud media tulis dapat berbentuk apa saja, di antaranya artikel ilmiah, laporan, karya tulis dan lain sebagainya. Tarigan (1986:3) menyatakan berbeda bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang kompleks yang perlu dipelajari dan diajarkan. Dan menulis juga merupakan suatu sarana yang penting untuk mengekspresikan diri pribadi, untuk berkomunikasi, dan untuk menemukan makna. Oleh karena itu, praktik dan latihan menulis merupakan bagian yang penting dari kurikulum sekolah dan menjadi bagian sentral dalam pembelajaran bahasa Inggris. Kemampuan menulis merupakan kemampuan untuk mengolah pengetahuan, pengalaman, pikiran serta ide atau gagasan ke dalam tulisan. Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan
proof
Sedangkan untuk menganalisis data hasil belajar dilakukan dengan cara: a. Memberikan skor keempat aspek penilaian: spelling and punctuation, vocabulary, grammar dan organization dengan skala 1– 4 (skor maks. 20) b. Menghitung jumlah skor dan memberi nilai setiap siswa pada keempat aspek tersebut dengan formula sebagai berikut: Nilai siswa =
Jumlah skor diperoleh X 100 Jumlah skor maksimal (20)
c. Menghitung nilai rata-rata masingmasing aspek untuk mengetahui tingkat perkembangan setiap siklus. Nilai rata-rata =
Jumlah skor X 100 Jumlah siswa
d. Menghitung selisih nilai rata-rata antarsiklus untuk mengetahui
3
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 1—12
keterampilan yang berkaitan dengan aspek berbahasa yakni penggunaan tanda baca dan ejaan, pemilihan diksi atau kosakata, penggunaan tata bahasa atau struktur kalimat, pengembangan paragraf, serta pengolahan gagasan. (http://larungdjenar.blogspot. com/2009/09/) Teks report adalah teks yang berfungsi mendeskripsikan sesuatu secara umum. Objek yang digambarkan dalam teks report adalah sesuatu yang ada di sekitar kita, misalnya binatang, tumbuhan, perayaan, dan benda-benda. Teks report memiliki tujuan komunikatif untuk menyampaikan informasi tentang sesuatu secara apa adanya sebagai hasil pengamatan sistematis atau analisis. Di samping memiliki tujuan, teks report juga memiliki struktur umum, yaitu: 1. General Classification (klasifikasi umum), yang berisikan pernyataan umum yang menjelaskan keterangan subjek laporan, keterangan dan klasifikasinya atau menggambarkan sesuatu baik benda, makhluk hidup atau fenomena-fenomena umum. 2. Description, yang umumnya memberikan gambaran fenomena atau situasi yang terjadi, baik bagian-bagiannya, sifat, kebiasaan ataupun tingkah lakunya atau menjabarkan klasifikasi yang disajikan secara ilmiah.
menjelaskan ciri, (3) menggunakan action verbs dalam menjelaskan perilaku, (4) menggunakan present tense untuk menyatakan suatu yang umum; dan (5) mengguanakan istilah teknis/ ilmiah. Writing process merupakan suatu metode pembelajaran yang lebih menggunakan pendekatan proses dari pada produk. Namun dalam penelitian ini untuk menentukan kemampuan menulis siswa ditentukan oleh produk menulis yang dihasilkan melalui writing process. Harmer (2001:257) mengatakan bahwa: In the teaching of writing we can focus on the product of that writing or on writing process itself. When concentrating on the product we are only interesed in the aim of a task and in the end product. Those who advocate a process approach to writing, however, pay attention to the various stages that piece of writing goes through.
proof
Teks report memiliki ciri-ciri kebahasaan (language features), yaitu (1) menggunakan general nouns; (2) menggunakan relating verbs untuk
Pre-wriƟng
DraŌing
Artinya bahwa dalam pembelajaran menulis, kita dapat memfokuskan pada produk dari menulis atau pada proses menulis itu sendiri. Ketika mengonsentrasikan pada produk, kita hanya tertarik pada tujuan dari sebuah tugas dan pada produk akhir, tetapi bagi yang menganjurkan suatu pendekatan proses menulis, perlu memperhatikan berbagai macam tahapan menulis seperti writing process. Writing process adalah suatu proses persiapan menulis dengan alur seperti pada Gambar 1.
Revising
Gambar 1: Alur Writing Process
4
EdiƟng
Publishing
Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Report ... (Rusmi) Pre-writing, meliputi pengumpulan gagasan dan informasi, mencoba penemuan gagasan, dan akhirnya pembuatan rencana yang akan ditulis. Pada tahap kesiapan, penemuan ide melibatkan baik persiapan maupun refleksi pada saat siswa menghubunghubungkan gagasan, pikiran, dan pengetahuan baru yang didapat. Kegiatan yang relevan pada tahap ini yaitu: brainstorming, listing, dan clustering. Suyanto (2007:96) menyatakan brainstorming merupakan strategi yang dapat dipakai untuk mengaktifkan siswa. Bila guru meminta seluruh kelas memberikan ide atau menyebutkan contoh sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat, guru tersebut berarti melakukan tahap brainstorming. Adapun, tahap listing atau membuat daftar adalah suatu teknik mencari ideide baru atau ide lainnya yang ditulis berhubungan erat dengan topik tertentu yang diberikan. Sebagai contoh siswa diberikan tugas dengan topik library (perpustakaan). Siswa diminta untuk menuliskan kata-kata benda yang ada kaitannya dengan perpustakaan dan lain sebagainya. Peha (2002:3) menyatakan “making lists of things to write about is one of the best pre-writing activities you can do”. Hal ini dimaksudkan bahwa membuat daftar barang-barang atau sesuatu merupakan salah satu kegiatan pre-writing yang paling baik. Selanjutnya tahap clustering atau pengelompokkan adalah suatu cara memilah pemikiran-pemikiran yang saling berkaitan dan menuangkannya di atas kertas secepatnya, tanpa mempertimbangkan kebenaran atau nilainya (Porter & Hemacki, 2002:180). Dalam penelitian ini teknik clustering
adalah teknik menulis dengan cara mengelompokkan kosa-kata yang acak ke dalam kelompoknya sesuai dengan topiknya. Steve Graham dan Dolores Perin (2007:4) menyatakan bahwa: Pre-writing which engages students in activities designed to help them generate or organize ideas for their composition. Most of these prewriting activities can be successfully taught at all school levels. The most effective way to do this is to guide students through each of the activities in the classroom rather than just lecturing or telling them about the activities.
Ini diartikan bahwa pre-writing mendorong siswa pada kegiatan-kegiatan yang didesain untuk membantu mereka menyusun ide-ide untuk karangan mereka. Kebanyakan dari kegiatan pre-writing dapat berhasil diajarkan di tingkat sekolah. Kegiatan pre-writing mengajarkan siswa untuk menuliskan ideanya secara cepat dalam bentuk apa adanya dan membantu melancarkan siswa karena siswa dapat berpikir dan menulis bersamaan dari pada berpikir dahulu baru menulis. Tahap kedua adalah drafting, maksudnya bahwa siswa harus menulis sesuatu meskipun dalam bentuk draft kasar. Boardman dan Frydenberg (2002:15) menyatakan “Once you have ideas generated and an organizational pattern to follow, you can write your first draft.” Maksudnya setelah menemukan atau memiliki ide dan pola tertentu, kita dapat menuliskan draft kasar. Drafting merupakan tahapan untuk mulai menelusuri dan mengembangkan gagasan-gagasan (Porter dan Hemacki,
proof
5
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 1—12
2002:194). Dalam kegiatan ini, setelah diberikan berbagai contoh siswa diharapkan mulai menulis kalimatkalimat dengan bahasa mereka sendiri dan guru harus membantu siswa yang mengalami kesulitan dengan melakukan conference terhadap siswa dengan bertanya mengenai apa yang sedang mereka tulis. Revising merupakan tahap perbaikan. Revisi bukan penyempurnaan tulisan Revisi adalah mempertemukan kebutuhan pembaca dengan menambah, mengganti, menghilangkan, dan menyusun kembali bahan tulisan. Yang dilakukan siswa pada tahap revising adalah (a) berbagi tulisan dengan teman-teman, (b) berpartisipasi konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas, (c) mengubah tulisan dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari guru maupun siswa lainnya, dan (d) membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya, sehingga menghasilkan draft akhir. Editing adalah memperhatikan dan memperbaiki semua kesalahan yang berkaitan dengan aturan-aturan menulis seperti spelling, punctuation, grammar, dan penggunaannya untuk memastikan semua transisi berjalan mulus, penggunaan kata kerjanya tepat, dan kalimat-kalimatnya lengkap (Porter dan Hemacki, 2002:198). Siswa dan guru melakukan perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan siswa. Biasanya, hasil kerja siswa dalam bentuk tulisan harus diperbaki dan disempurnakan. Siswa harus membaca ulang dengan teliti untuk menilai apakah tulisan mereka sudah betul dari segi isi dan bahasanya.
Publishing adalah proses menulis untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan hasil tulisannya kepada audience, biasanya dengan teman sekelas. Peha (2002) mengatakan bahwa publishing is preparing a piece of writing so that it can be read, understood, and enjoyed by the public. Artinya publikasi, yaitu menyiapkan suatu tulisan atau karangan sehingga dapat dibaca, dipahami dan dinikmati oleh kalayak umum. Akan tapi secara praktis adalah orang-orang yang ada di dalam kelas, guru, dan siapa saja kepadanya tulisan itu akan ditunjukkan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah: (a) membacakan hasil karya yang telah ditulis untuk didengar oleh guru dan siswa lain sehingga mereka dapat memahami, (b) menuliskan di papan tulis sehingga siswa lain dapat membacanya dan, (c) memajangkan di papan pajangan atau menempel di dinding agar dibaca orang lain untuk mendapatkan tanggapan. Penelitian tentang writing process telah dilakukan oleh banyak kalangan. Trang (2008:184–197) meneliti tentang writing process terhadap para siswa di Vietnam yang sedang belajar di Australia. Ia menyatakan bahwa writing process dapat membantu para siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas menulis. Sebelumnya mereka merasa kesulitan menyelesaikan tugas menulis. Hasil penelitiannya sangat bermanfaat bagi guru-guru terutama yang mengajar keterampilan menulis. Chow (2007) dalam tesisnya menyatakan bahwa pengajaran menulis dengan pendekatan produk telah gagal dalam memberikan kontribusi tentang proses menulis yang merupakan aspek yang sangat penting untuk mengembangkan kemampuan menulis.
proof
6
Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Report ... (Rusmi) Namun, penelitian yang dilakukan dengan pendekatan proses terhadap pengajaran menulis pada sekolah menengah di Malaysia menunjukkan bahwa pendekatan proses mendorong siswa lebih peka terhadap strategi penulisan konseptual dan meningkatkan kemampuan mereka menggunakan strategi penulisan untuk mengarang. Penelitian tindakan yang dilakukan Cavkaytar dan Yasar (2008) terhadap siswa kelas 5 sekolah dasar di salah satu kota besar di Turki menunjukkan bahwa penggunaan writing process dalam pembelajaran keterampilan menulis dapat meningkatkan perkembangan kemampuan menulis siswa dengan hasil yang sangat positif. Dari data juga diperoleh hasil bahwa penggunaan model writing process sangat efektif untuk mengembangkan kemampuan menulis siswa dalam teks narasi dan ekspositori.
keterampilan menulis pada aspek tersebut, yaitu 71,96 yang masih jauh di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan yaitu 78. Tabel 1 Rata-Rata Nilai Tiap Aspek pada Kondisi Awal
Rata-Rata No. Aspek yang Dinilai Nilai Tiap Aspek 1 Spelling and punctuation 81,43 2 Vocabulary 67,86 3 Grammar 74,29 4 Organization 64,29 Rata-Rata 71,96
Data Tabel 1 menunjukkan bahwa tiga aspek memeroleh rata-rata nilai rendah, yaitu vocabulary 67,86, grammar 74,29, dan organization 64,29 dengan rata-rata 71,96 padahal nilai yang diharapkan minimal 78,00. Selain itu, proses pembelajaran menulis teks menunjukkan hasil yang masih belum memuaskan dan perlu mendapatkan perhatian dari guru. Salah satu cara agar pelaksanaan pembelajaran lebih mudah dipahami dan dilakukan siswa, diperlukan suatu proses pembelajaran menulis agar alur berpikirnya lebih sistematis dengan penerapan writing process.
proof
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kondisi Awal Sebelum dilaksanakan penelitian, keterampilan menulis tidak pernah diajarkan melalui proses yang jelas. Guru hanya memberikan latihan-latihan dengan menyuruh siswa mengerjakan soal-soal latihan yang ada pada buku pegangan siswa. Tanpa adanya metode atau teknik tertentu yang digunakan, tentu saja pencapaian kemampuan siswa dalam menulis tidak akan maksimal. Siswa mengalami kesulitan dalam menulis teks report karena siswa harus menguasai aspek-aspek menulis, seperti ejaan, tanda baca, kosakata, tata bahasa, dan pengorganisasian gagasan. Kondisi ini ditunjukkkan oleh rendahnya nilai
Deskripsi Siklus I Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan tahapan: pre-writing, drafting, revising, editing dan publishing. Pada tahap pre-writing, dilakukan bertanya jawab (brainstorming) untuk menggali informasi tentang gambar-gambar yang ditunjukkan guru, menulis beberapa kosakata (listing) terkait materi yang
7
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 1—12
diajarkan dan mengelompokkan kosakata tersebut (clustering) sesuai dengan jenis kata, yaitu kata kerja, kata benda, kata sifat, dan lain-lain. Pada tahap drafting, siswa melakukan kegiatan menulis. Secara berpasangan siswa membuat frase kata benda (noun phrase) dan kalimat dengan bimbingan guru dan secara berkelompok siswa membuat paragraf yang berisi general classification dan description. Siswa melakukan conference dengan guru tentang ide- ide yang dituangkan di dalam paragraf. Kegiatan akhir dari tahapan drafting adalah menulis teks, yaitu menulis teks report secara individu. Pada tahap revising, kegiatan diawali dengan penayangan sebuah teks report tentang bencana alam oleh guru. Siswa diajak mencermati ide-ide yang ada di dalam teks report tersebut. Kemudian, siswa diminta menukar hasil karyanya masing–masing. Siswa mencermati konstruksi teks dan ide–ide yang dituangkan dalam teks hasil karyanya untuk melakukan perbaikan. Setelah selesai, hasil karya siswa dikembalikan kepada pemiliknyasehingga siswa yang memilikinya dapat melihat beberapa hal yang mungkin perlu dikoreksi sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk melatih siswa agar terbiasa dalam menulis dan tidak menganggap sekali menulis langsung selesai. Pada tahap editing, difokuskan pada penggunaan ejaan dan tanda baca, kosakata yang baru, tata bahasa khususnya penggunaan simple present tense, dan pengorganisasian penyusunan hubungan antarkalimat dan antarparagraf agar menjadi padu. Kemudian, tahap publishing bertujuan untuk mengomunikasikan hasil karya siswa dengan memajangkan hasil
karyanya masing-masing. Para siswa berkeliling di dalam kelas untuk melihat pajangan temannya untuk perbandingan. Pengamatan difokuskan terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar siswa dengan hasil sebagai berikut: a. Proses pembelajaran Pembelajaran secara umum berjalan baik dan lancar. Namun demikian, masih terjadi beberapa hambatan yang dialami siswa, yaitu pada tahapan drafting. Untuk memulai menulis siswa tampak bingung untuk mengawali, seperti tidak mengetahui apa yang harus ditulis. Hasil pengamatan proses pembelajaran melalui writing process disajikan dalam Tabel 2.
proof
8
Tabel 2 Hasil Pengamatan Proses Pembelajaran Siklus I
No. 1 2 3 4 5
Tahapan Pre-writing Drafting Revising Editing Publishing
Rata-Rata Skor 2,33 1,33 1,50 2,25 2,00
Rata-Rata
1,88
Kategori
Baik
Data Tabel 2 menunjukkan bahwa proses pembelajaran menulis teks report di kelas IX-G pada SMP Negeri 1 Pati melalui writing process mengalami peningkatan dengan pencapaian ratarata 1,88 dengan kategori Baik. Namun demikian, meskipun telah mengalami peningkatan, proses pembelajaran masih belum optimal karena adanya aspek yang masih rendah yaitu drafting.
Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Report ... (Rusmi)
b. Hasil belajar siswa Dalam penelitian ini diterapkan ketuntasan belajar secara individual dengan kriteria minimal dan rata–rata nilai kelas minimal 78. Data hasil belajar yang diperoleh dari nilai siswa pada pembelajaran siklus I tampak pada Tabel 3. Tabel 3 Rata-Rata Nilai Tiap Aspek pada Siklus I
No.
Aspek yang Dinilai
RataRata
1 2 3 4
Spelling and punctuation Vocabulary Grammar Organization Rata-Rata
83,57 71,43 78,57 78,57 75,71
Tabel 3 menunjukkan bahwa ratarata nilai vocabulary, yaitu 71,43, masih di bawah rata-rata nilai yang diharapkan, disusul grammar dan organization masing-masing 78,57sehingga perlu dilakukan perbaikan pembelajaran dalam hal kosakata atau vocabulary. Pada aspek spelling dan pronunciation, para siswa tampaknya tidak merasa kesulitan meskipun terdapat beberapa siswa yang masih perlu mendapatkan perbaikan. Aspek ini memeroleh nilai 83,57 yang menunjukkan bahwa siswa tidak mengalami kesulitan yang terlalu serius terkait ejaan dan tanda baca. Berdasarkan hasil pengamatan dan penilaian direfleksikan bahwa (1) siswa masih mengalami kesulitan pada tahapan drafting. Oleh karena itu, perlu perbaikan dengan melakukan pembimbingan secara optimal pada siklus selanjutnya terhadap siswa yang kurang mampu dalam penguasaan vocabulary, (2) hasil penilaian menunjukkan bahwa aspek vocabulary
menempati nilai terendah, yaitu 71,43. Hal inilah yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam tahapan drafting atau menulissehingga perlu adanya perbaikan dalam tahapan prewriting sebelum siswa melanjutkan pada tahap drafting. Deskripsi Siklus II Pembelajaran siklus II dilaksanakan melalui tahapan writing process, seperti siklus sebelumnya dengan materi berbeda tentang plant (tumbuhan). Namun, pada tahap publishing ini berbeda, yaitu dua atau tiga siswa diminta membacakan hasil karyanya di depan kelas, kemudian guru membahasnya bersama siswa secara klasikal. Adapun hasil pengamatannya adalah sebagai berikut:
proof
a. Proses Pembelajaran Proses pembelajaran siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran secara umum berjalan lancar dan sudah terdapat perbaikan dibandingkan dengan pembelajaran pada siklus I. Hasil pengamatan proses pembelajaran pada siklus II disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil Pengamatan Proses Pembelajaran Siklus II
No. 1 2 3 4 5
Tahapan Pre-writing Drafting Revising Editing Publishing Rata-Rata Kategori
Rata-Rata Skor Tiap Aspek 2,67 2,33 2,25 3,25 3,00 2,70 B (Baik)
9
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 1—12
Data Tabel 4 menunjukkan bahwa tahapan revising dan drafting masih menjadi kendala bagi siswa. Kesulitan siswa pada tahapan revising adalah dalam hal memunculkan ide-ide tambahan terhadap tulisan yang sudah ada, sedangkan kesulitan dalam tahapan drafting adalah mengawali untuk menulis karena penguasaan kosakata atau vocabulary siswa masih perlu ditingkatkan. b. Hasil belajar siswa Data hasil belajar diperoleh dari nilai siswa pada pembelajaran siklus II. Berdasarkan penilaian hasil karya siswa dan hasil tampak pada Tabel 5. Tabel 5 Rata-Rata Nilai Tiap Aspek pada Siklus II
proof
RataRata Nilai 1 Spelling and punctuation 86,43 2 Vocabulary 75,71 3 Grammar 87,14 4 Organization 75,00 Rata-Rata 81,07
No.
Aspek yang Dinilai
Tabel 5 menunjukkan bahwa ratarata nilai pada siklus II masih ada yang rendah, yaitu organization 75,00 dan vocabulary 75,71. Pembelajaran pada siklus II direfleksikan bahwa (1) siswa masih mengalami kesulitan pada tahap drafting dan revising. Kegiatan pada tahapan ini adalah menulis dan merevisi. Setelah siswa menghasilkan tulisan berupa teks report, mereka diminta untuk melakukan revisi. Kesulitan terjadi ketika mereka diminta untuk memberikan masukan terhadap tulisan siswa lainnya, dan (2) hasil penilaian
10
terhadap tulisan siswa menunjukkan bahwa aspek organization menempati posisi terendah, yaitu 75,00. Meskipun terdapat nilai-rata-rata pada aspek tertentu yang masih rendah, nilai ratarata keseluruhan telah mencapai nilai minimal 78. Berdasarkan data, nilai kondisi awal siswa masih sangat rendah dengan rata-rata 71,96. Dari nilai rata-rata 71,96 ini, siswa yang telah mencapai (KKM) hanya 13 siswa (46,43%), artinya siswa yang memperoleh nilai >78 baru 46,43%. Untuk mencapai ketuntasan belajar klasikal diharapkan 85% siswa telah mencapai KKM. Ketidaktuntasan ini diduga terjadi karena siswa masih belum terlatih dan bahkan tidak pernah belajar menulis dengan tahapan seperti writing process. Tabel 6 Peningkatan Proses Pembelajaran Writing Process
Skor
Nilai Perolehan No. Tahapan Siklus Siklus Pe ningI II katan 1 Pre-writ- 2,33 2,67 0,34 ing 2 Drafting 1,33 2,33 1,00 3 Revising
1,50
2,25
0,75
4 Editing
2,25
3,25
1,00
5 Publishing RataRata
2,00
3,00
1,00
1,88
2,70
0,82
B C Kategori (Cukup) (Baik)
Namun, setelah dilakukan tindakan, hasilnya menunjukkan bahwa proses pembelajaran melalui writing process berjalan efektif dalam meningkatkan
Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Report ... (Rusmi) kemampuan menulis teks report. Berdasarkan data hasil pengamatan proses pembelajaran, diperoleh peningkatan seperti tersaji pada Tabel 6. Data tabel tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran menulis teks report melalui writing process menunjukkan peningkatan rata-rata skor dari 1,88 pada siklus I menjadi 2,70 pada siklus II atau dengan kata lain meningkat 0,82 atau 20,5%. Proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan menulis yang semula sulit meningkat ternyata sudah mengalami perubahan yang sangat menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari indikator meningkatnya nilai rata-rata yang semula 71,96 menjadi 75,71 pada siklus I, seperti disajikan dalam Tabel 7.
tuntas dari 53,57% menjadi 35,71%. Di samping itu, tercapainya nilai perolehan yaitu 3,75. Melihat hasil belajar pada siklus I yang cukup meningkat, pada siklus II perlu adanya peningkatan, baik pada proses pembelajaran maupun pada hasil belajarnya. Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada siklus I telah teratasi pada siklus II sehingga kemampuan menulis teks report siswa semakin meningkat sebagaimana disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Perbandingan Nilai Hasil Belajar Siklus I dan Siklus II dan Nilai Perolehan
No. 1
Nilai Rata-Rata Siklus Siklus I II Spelling and 83,57 86,34 punctuation Vocabulary 71,43 75,71 78,57 87,14 Grammar Organization 78,57 75,00 Uraian
proof
Tabel 7 Perbandingan Nilai Rata-Rata Kondisi Awal, Siklus I dan Nilai Perolehan
No. 1 2 3 4
Nilai Rata-Rata Uraian Kondisi Siklus Awal I Spelling and 81,43 83,57 punctuation Vocabulary 67,86 71,43 74,29 78,57 Grammar Organization 64,29 78,57 Rata-Rata
71,96
Nilai Perolehan 2,14 3,57 4,28 14,28
75,71 3,75
Meskipun terjadi peningkatan ratarata nilai dari 71,96 menjadi 75,71, tetapi masih terdapat 10 siswa (35,71%) yang belum mencapai ketuntasan dan yang sudah mencapai ketuntasan baru 18 siswa (64,29%). Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan ketuntasan dari kondisi awal 46,43% menjadi 64,29% pada siklus I dan sebaliknya terjadi penurunan jumlah siswa yang tidak
2 3 4
Rata-Rata
75,71
81,07
Nilai Perolehan 1,03 1,06 1,11 0,95 1,04
Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pada siklus II mencapai 81,07 dengan nilai perolehan 1,04. Dengan diperolehnya peningkatan nilai juga diikuti meningkatnya jumlah siswa yang mencapai ketuntasan belajar, yaitu terdapat 24 (85,71%) siswa yang telah tuntas dan 4 (14,29%) siswa yang belum tuntas. Jumlah ini meningkat enam siswa dari delapan belas siswa menjadi 24 siswa yang mengalami ketuntasan belajar.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, baik dari segi proses pembelajaran maupun dari hasil belajar siswa dapat
11
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 1—12
disimpulkan bahwa: (1) pelaksanaan writing process untuk meningkatkan kemampuan menulis teks report pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati semester II Tahun Pelajaran 2012/2013 dapat berjalan efektif dengan kategori B (baik) dalam meningkatkan kemampuan menulis siswa, dan (2) kemampuan menulis teks report pada siswa kelas IX-G SMP Negeri 1 Pati semester II tahun pelajaran 2012/2013 dapat ditingkatkan melalui writing process. Berdasarkan simpulan tersebut, disarankan bahwa (1) dengan diperolehnya karya siswa berupa tulisan, sekolah hendaknya menyediakan tempat pajangan sebagai ajang kreativitas siswa untuk mengkomunikasikan hasil karyanya dan untuk memotivasi siswa agar selalu berkarya, dan (2) untuk meningkatkan kemampuan menulis hendaknya guru mengenalkan kepada siswa tentang proses menulis yang baik dan benar.
Expository Essays of ESL Students in Malaysian Secondary School”. Thesis for Doctor of philosophy De Porter, Bobbi dan Hemacki, Mike. 2002. (Penerjemah Alwiyah Abdurrahman) Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa Graham, S., & Perin, D. (2007). Writing Next: Effective Strategies to Improve Writing of Adolescents in Middle and High Schools – A report to Carnegie Corporation of New York. Washington, DC: Alliance for Excellent Education. Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching. Edinburgh: Pearson Education Limited Peha, Steve. 2002. The Writing Process Notebook. Dari: http://www.ttms. org tgl. 1 Juli 2007. Suyanto, Kasihani K.E. 2007. English For Young Leaners: Melejitkan Potensi Anak Melalui English Class yang Fun, Asyik, dan Menarik. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Tabroni, R. 2007. Melejitkan Potensi Mengasah Kreativitas Menulis Artikel (Cetakan pertama). Bandung: Nuansa Tarigan, HG. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Trang, Luong Quynh. 2008. Students writing process, perception, problems, and strategies in writing academic essays in a secong language: A case study. VNU Journal of Science, Foreign Languages 24 (2008). http://larungdjenar.blogspot. com/2009/09/
proof
Daftar Pustaka Boardman, Cynthia A. dan Frydenberg, Jia. 2002. Writing To Communicate: Paragraphs and Essays, Second Edition. New York: Pearson Education. Inc. Cavkaytar, Serap dan Yasar, Sefik. 2008. Using Writing Process in Teaching Composition Skills: An Action Reseach. Journal: International Conference “ICT for Language learning” 3rd edition. Department of primary Education, Colledge od education, Anadolu University, Turkey. Chow VF., Thomas. 2007. “The Effect of Process-Genre Approach to Writing Instruction on The
12
KOMPARATIF KEIGO BAHASA JEPANG DENGAN KRAMA BAHASA JAWA DALAM MEDIA SOSIAL (The Comparative of Keigo in Japanese And of Krama in Javanese) oleh/by Anastasia Dewi Wulandari Fakultas Ilmu Budaya Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung Jalan Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 45363 Telepon: (022) 7796482 Faksimile: (022) 7796482 Pos-el:
[email protected] Diterima: 7 November 2015, Disetujui: 11 Januari 2016
ABSTRAK Penelitian yang berjudul Komparatif Keigo Bahasa Jepang dengan Krama Bahasa Jawa dalam media sosial ini merupakan sebuah kajian sintaksis dan semantik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keigo bahasa Jepang dengan krama bahasa Jawa. Berdasarkan hasil analisis, penulis menyimpulkan bahwa sonkeigo dengan krama inggil merupakan ragam bahasa yang digunakan untuk meninggikan orang lain, kenjougo dengan krama-andhap merupakan ragam bahasa yang digunakan untuk menghormati orang lain dengan merendahkan diri sendiri, dan teineigo dengan krama lugu merupakan ragam bahasa yang digunakan tanpa meninggikan atau merendahkan orang lain. Perbedaannya adalah bahwa di Jepang terdapat dua konsep yang dikenal dengan uchi dan soto. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa Jepang memerhatikan kepada siapa penutur itu berbicara. Kata kunci: komparatif, keigo, dan krama
ABSTRACT The paper entitled the Comparative of Keigo in Japanese and of Krama in Javanese in Social Media is a study of both syntactics and semantics. The descriptive comparative method is used in this study. The purpose of this study is to analyze keigo in Japanese language compared with krama in Javanese language. According to the result, the writer conclude that sonkeigo with krama inggil is used for the same perspective to polite, kenjougo with krama andhap is used for the same perspective to honor people, and teineigo with krama lugu is used for the same perspective to humble polite. The difference is that in Japanese there are two concepts known as uchi and soto. This means that Japanese pay attention to whom a speaker is talking to. Keywords: comparative, keigo, and krama
PENDAHULUAN Tingkat tutur kesopanan seringkali dipakai dalam kehidupan sehari-hari,
13
terutama di dalam media sosial. Bahasa Jepang memiliki tingkat tutur dan struktur masyarakat dengan hubungan
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 13—21
vertikal yang disebut dengan jougekankei ( ). Jougekankei adalah salah satu faktor yang mengakibatkan adanya tingkat tutur kata dalam bahasa Jepang ) yang dikenal dengan istilah keigo ( yang mempunyai arti bahasa sopan atau bahasa halus. Keigo atau tingkat tutur hormat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan cara pemakaiannya, yaitu sonkeigo ) merupakan ragam hormat ( yang dipakai untuk meninggikan orang ) merupakan lain, kenjougo ( ragam hormat untuk orang lain dengan cara merendahkan diri sendiri, dan ) merupakan bentuk teineigo ( hormat tanpa meninggikan orang lain dan merendahkan orang lain. Tingkat tutur krama bahasa Jawa juga terbagi menjadi tiga jenis, yaitu krama inggil merupakan ragam hormat yang dipakai untuk orang lebih tua, krama andhap merupakan ragam hormat yang dipakai dengan cara merendahkan diri sendiri, krama lugu merupakan ragam hormat yang dipakai tanpa meninggikan atau merendahkan orang lain. Penelitian yang diberi judul “Komparatif Keigo Bahasa Jepang dengan Krama Bahasa Jawa” akan dikaji secara sintaksis dan semantik. Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Noni Rahmaniah dalam skripsi yang berjudul Analisis Kontrastif-Komparatif Sonkeigo Bahasa Jepang dengan Basa Krama Alus Bahasa Jawa. Dalam skripsi tersebut Noni memaparkan berbagai masalah yang timbul dalam penggunaan sonkeigo bahasa Jepang dengan basa krama alus bahasa Jawa dengan menggunakan metode tinjauan sosiolinguistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keigo Bahasa Jepang Pembentukan Verba pada Sonkeigo
1. Pola Khusus 1.
Ame ga furi sou desu kara, kasa o motte irasshatta hou ga ii deshouka. ‘Karena kelihatannya hujan akan turun, tidakkah lebih baik kalau (Anda) pergi membawa payung.’ Penggunaan verba sebagai penanda leksikal pada kalimat di atas tidak menimbulkan perubahan struktur apapun dan tidak mengalami perubahan arti, tetapi mengalami peningkatan nilai rasa hormat.
proof
14
2. Pola
(o/go~ni naru)
2.
Ojisama kondo no oai ni nattara, kitto kare ga byouin de chiryou o ukeru. ‘Seandainya Anda bertemu dia, barangkali Anda dapat memengaruhi dia supaya mau dirawat di rumah sakit.’ Kata oai ni natta ( ) pada kalimat di atas untuk menunjukkan rasa hormat pada topik yang dibicarakan yang lebih tua dan dihormati.
Komparatif Keigo Keigo Bahasa Jepang ... ( Anastasia Dewi Wulandari)
3. Pola o/go~desu (
6. Pola o/go~kudasaru/kudasai ( )
)
3.
6. Shorui no kopi- wa mou osumi desu. ‘Fotokopi dokumen sudah selesai.’
Mamoku supi-kakara, kokusaisen no joukyaku wa kinai ohairi kudasai to shirase ga atta. ‘Sebentar kemudian pengeras suara menyerukan pengumuman agar penumpang penerbangan internasional naik ke pesawat.’
Bentuk pola o/go~desu ( ) pada verba sumu ( ), yang ) dilekati mana verba sumu, sumi ( dengan awalan o ( ) dan verba desu ) sehingga menjadi osumidesu ( ( ).
4. Pola ~reru/ ~rareru ( )
Ohairi kudasai berasal dari verba ) yang diperhalus. Bentuk hairu ( ini termasuk ke dalam sonkeigo dengan pola o+renyoukei+kudasai.
4.
proof
Shachou wa 3ji ni kochira e koraremasu. ‘Bapak direktur akan datang ke sini jam 3.’
Verba koraremasu berasal dari ) ~ru ( ) verba korareru ( dihilangkan dan ditambahkan dengan ) sehingga menjadi akhiran masu ( koraremasu.
5. Pola o/go~nasaru (
)
5.
Pembentukan Verba pada Teineigo
7.
:
Gakusei : Sensei, kyou no shinbun o yomimashitaka. Murid : ‘Guru, apakah sudah membaca koran hari ini?’ :
Kachou ga ashita kuji ni kochira o gohoumon nasaru sou desu. ‘Ketua perkumpulan katanya akan melakukan kunjungan ke sini besok pukul 9.’
Sensei : Iie, kesa wa chotto isogashikute. Nani ka arimashitaka. Guru :’Belum, tadi pagi saya sibuk. Ada apakah?’
Verba houmon ( ) dilekati awalan go ( ) dengan verba bantu ) sehingga menjadi nasaru ( ). gohoumonnasaru (
Dari percakapan tersebut, murid menggunakan yomimashita ( ) yang memiliki arti ‘membaca’ dan guru menggunakan arimashita
15
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 13—21
karena dalam pemakaian teineigo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikan atau menurunkan derajat orang atau topik yang sedang dibicarakan. Pembentukan Verba pada Kenjougo
Bentuk pola o/go~itasu ( ) pada verba todokeru ( ), dengan verba todokeru dalam bentuk renyoukei. Todoke ( ) dilekati dengan awalan o ( ) dan verba itasu sehingga menjadi otodoke itasu ( ).
1. Pola Khusus 8.
:
3. Pola o/go~moushiageru ( ) 10.
:M o u s h i w a k e gozaimasen. Sugu gijutsu no mono o yonde mairimasu. Pegawai hotel : ‘Maaf, segera kami panggil ahlinya untuk datang.’ : Okyakusama : Hai. Onegaishimasu. Tamu : ‘Ya, tolong.’ Furonto
Kyou wa daibu otsukare no you ni desu kara, ukagai no wa goenryo moushiageta hou ga iin janai ka to omoimasu. ‘Hari ini karena tampaknya cukup melelahkan, bukankah kunjungannya sebaiknya ditiadakan?’
proof
Kata mairimasu ( ) yang menunjukkan percakapan seorang pegawai hotel dengan tamu. Dalam percakapan tersebut pegawai hotel menggunakan kata mairimasu ( ) yang merupakan bentuk halus dari verba kimasu ( ) sebagai bentuk penghormatan kepada lawan bicara yaitu tamu.
2. Pola o/go~ suru/masu ( ) atau Pola o/go~itasu ( )
Bentuk pola o/go~moushiageru pada verba enryo suru ( ), dengan verba enryo suru, enryo dilekati dengan awalan go ( ) dan verba moushiageru sehingga menjadi goenryomoushiageru ( ).
4. Pola o/go~itadaku ( 11.
)
: Okyakusama : Ka-do de onegaishimasu. Tamu : ‘Dengan kartu kredit.’ :
9. Nimotsu wa watashi ga otodoke itashimasu. ‘Barang bawaan biar saya yang antarkan.’
16
Furonto
:Kashikomarimashita. Shoshou omachi itadakemasu.
Komparatif Keigo Keigo Bahasa Jepang ... ( Anastasia Dewi Wulandari)
Pegawai hotel : Baiklah, silakan tunggu sebentar. Percakapan pada contoh 4 terjadi antara pegawai hotel sebagai penutur dan tamu sebagai petutur atau lawan bicara. Karena hubungannya tidak akrab maka penutur menggunakan kata matsu ( ) yang telah diubah ke dalam bentuk o+machi+itadaku sesuai dengan aturan untuk menghormati lawan tutur.
5. Pola o/go~negau (
)
12.
Myochou gozen nana ji kara juu ji made, denki kouji no tame teiden shimasukara, gochuuinegaishimasu. ‘Karena akan nada pemadaman listrik untuk pembangunan listrik besok pagi dari jam 7 sampai jam 10 pagi, saya mohon perhatiannya.’
okikinasai yang digunakan menunjukan tingkat keakraban dan sikap menghargai untuk merendahkan diri dari orang yang setara kedudukannya dan sebagai kata suruh yang lebih sopan. Krama Bahasa Jawa Kramainggil
Perubahan Verba pada Kramainggil 14. Eyang kakung Suryadi mundhut menda. ‘Kakek Suryadi membeli kambing. Verba mundhut dan kata eyang kakung termasuk kosakata krama inggil. Krama Lugu
proof
Ragam
Perubahan Verba pada Krama Lugu 15. Gumilar boten tumbas menda. ‘Gumilar tidak membeli kambing.’
sonkeigo menggunakan . Verba chui pola telah diubah ke dalam bentuk gochui negaishimasu sesuai dengan aturan yang memiliki arti ‘mohon perhatian’.
Kata boten dan kata menda termasuk kosakata krama lugu. Terdapat kosakata krama lugu karena terdapat kata menda yang berarti ‘kambing’
6. Pola o/go~nasai (
Kramaandhap
)
13.
Perubahan Verba pada Kramaandhap Kare no hanashi o yoku okakinasai! ‘Dengarkan ceritanya baikbaik!’
Kata okikinasai digunakan untuk menggantikan kiite kudasai yang terasa kurang akrab jika digunakan, kata
16. Kula badhe nderekekaken eyang putri teng Sala. ‘Saya mau mengantar nenek ke Solo.’ Verba nderekeaken merupakan kosakata krama andhap yang berarti ‘mengantar’. Verba nderekeaken berasal dari verba ngoko, yaitu ngeterke.
17
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 13—21
Tabel 1
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Leksikon Sonkeigo Irassharu Irassharu Ossharu Goran ni naru Meshiagaru
Leksikon Kramainggil
Arti Pergi Datang Berkata Melihat Minum
Tindak Rawuh Ngendika Mriksani Ngunjuk
tingkat tutur bahasa Jawa. Pertama, tingkat tutur bahasa Jepang mengenal adanya sistem uchi dan soto. Yang dimaksud dengan uchi soto adalah sebagai berikut.Uchi adalah kelompok di dalam lingkungan sendiri, seperti keluarga atau kantor sendiri sebagai tempat bekerja, sedangkan soto adalah lingkungan di luar lingkungan uchi. Pada saat orang pertama berbicara tentang uchi no hito ‘orang-orang di lingkungannya sendiri’ kepada soto no hito ‘orang-orang di luar uchi no hito’maka ia harus memperlakukan uchi no hito sama seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu, meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, orang pertama tidak
Persamaan Verba Sonkeigo dengan Verba Kramainggil Tabel 1 dan 2 memuat persamaan Verba Sonkeigo dengan Verba Kramainggil. Persamaan Kenjougo dengan Kramaandhap Persamaan Kenjougo dengan Kramaandhap dapat disimak melalui Tabel 3.
proof
Perbedaan Keigo Bahasa Jepang dengan Krama Bahasa Jawa Terdapat beberapa perbedaan antara tingkat tutur bahasa Jepang dengan
Tabel 2
18
No.
Sonkeigo
1. 2. 3.
Irassharu Oide ni naru Meshiagaru
Arti 1. pergi 2. datang 3. berada 1. pergi 2. datang 3. berada 1. makan 2. minum
No. 1. 2. 3.
Kramainggil Mundhut Ngasta Tindak
Arti 1. beli 2. ambil 3. minta 4. memiliki 1. membawa 2. bekerja 3. memegang 4. mengerjakan 1. berjalan 2. pergi
Komparatif Keigo Keigo Bahasa Jepang ... ( Anastasia Dewi Wulandari)
Tabel 3
No.
Leksikon Kenjougo
Leksikon Kramaandhap
Arti
1.
Onegai shimasu
Nyuwun
Minta
2.
Sashi agemasu
Nyaosi
Memberi
3.
Moushimasu, moushi agemasu
Matur
Berkata
Nyuwun priksa
Bertanya
4.
Berkunjung, menghadap
5.
menggunakan bentuk hormat sonkeigo melainkan bentuk kenjougo. Sementara itu, dalam tuturan bahasa Jawa tidak seperti itu. Jika seseorang bekerja di suatu perusahaan dalam lingkungan Jawa, is akan tetap menghormati dan menjunjung tinggi atasannya apalagi setingkat direktur. Kedua, tingkat tutur bahasa Jepang merupakan variasi bentuk hormat dan sopan. Bahasa yang menunjukan keakraban tidak termasuk dalam keigo. Sedangkan pada tingkat tutur bahasa Jawa, bahasa yang menunjukkan keakraban termasuk di dalam kaidah tingkat tutur bahasa Jawa. Ketiga, leksikon pembentuk tingkat tutur bahasa Jepang lebih banyak yang beraturannya daripada yang tidak.. Leksikon pembentuk tingkat tutur bahasa Jawa lebih banyak yang tidak beraturannya daripada yang beraturan.
a. Keigo bahasa Jepang Bahasa hormat dalam bahasa Jepang dikenal dengan keigo. Keigo dibagi menjadi tiga jenis yakni sonkeigo yang merupakan bahasa hormat yang digunakan untuk orang lain, teineigo yang merupakan bahasa hormat tanpa meninggikan orang lain dan merendahkan orang lain, serta kenjougo yang merupakan bahasa hormat untuk orang lain dengan cara merendahkan diri sendiri. Secara umum, sonkeigo ditandai dengan pola o/go~ni naru, jodoushi ~reru/~rareru, dan beberapa bentuk perubahan khusus pada verba. Teineigo ini biasanya ditandai dengan akhiran bentuk masu pada verba, bentuk desu pada nomina dan adjektiva. Kenjougo ini ditandai dengan penggunaan pola o/go~suru/ itasu dan verba-verba yang mengalami perubahan secara khusus.
proof
SIMPULAN Dari hasil pembahasan diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Penggunaan keigo bahasa Jepang dengan krama bahasa Jawa
19
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 13—21
Tabel 4
Kelas Kata Verba Verba Verba Verba Nomina
Sonkeigo
Kramainggil
Pergi Datang Berkata Minum Rumah
Tindak Rawuh Ngendika Ngunjuk Dalem
Irassharu Irassharu Ossharu Meshiagaru Otaku
Arti
Tabel 5
Kelas Kata Verba Verba Verba Pronomina Nomina
Teineigo Ikimasu Kimasu Imasu Watashi Otaku desu
Krama Lugu
Arti Pergi Datang Ada Saya Rumah
Kesah Dhateng Wonten Kula Griya
proof Tabel 6
Kelas Kata Verba Verba Verba Verba Verba
Kenjougo
Onegaishimasu Okariitasu Moushiagemasu Ukagaimasu Ukagaimasu
b. Krama bahasa Jawa Bahasa hormat dalam bahasa Jawa dikenal dengan krama. Krama dibagi menjadi krama lugu dan krama halus, pembagian krama halus itu sendiri masih terbagi lagi yaitu kramainggil dan kramaandhap. 2.
20
Perbandingan keigo bahasa Jepang dengan krama bahasa Jawa
Kramaandhap
Nyuwun Ampil Matur Nyuwun priksa Sowan
Arti
Minta Pinjam Berkata Bertanya Berkunjung
a. Persamaan keigo bahasa Jepang dengan krama bahasa Jawa (Lihat Tabel 4, 5, dan 6). b. Perbedaan keigo bahasa Jepang dengan krama bahasa Jawa Pertama, keigo bahasa Jepang mengenal adanya sistem uchi dan soto, sedangkan krama bahasa Jawa tidak ada.
Komparatif Keigo Keigo Bahasa Jepang ... ( Anastasia Dewi Wulandari)
Kedua, tingkat tutur bahasa Jepang merupakan variasi bentuk hormat dan sopan. Bahasa yang menunjukkan keakraban tidak termasuk ke dalam keigo. Pada ingkat tutur bahasa Jawa, bahasa yang menunjukan keakraban atau yang sering dikenal dengan ngoko termasuk ke dalam kaidah tingkat tutur bahasa Jawa. Ketiga, leksikon pembentuk tingkat tutur bahasa Jepang lebih banyak yang bearturan daripada yang tidak, sedangkan tingkat tutur bahasa Jawa sebaliknya. Daftar Pustaka
proof
Kikuchi, Yasuto. 1994. Keigo. Tokyo: Kadogawa Shoten. Poedjosudarma Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rahmaniah, Noni. 2003. “Analisis Kontrastif Sonkeigo Bahasa Jepang dengan Basa Krama Alus Bahasa Jawa”. Skrispsi. Bandung: Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.
21
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016
22
PENERJEMAHAN NAMA TOKOH KARYA SASTRA ANAK KE DALAM BAHASA INDONESIA (The Translation of Character’s Name in Children’s Literature into Indonesian) oleh/by: Singgih Daru Kuncara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Jalan Flores No.1 Samarinda 75112 Telp (0541) 734582 Pos-el:
[email protected] Diterima: 7 Juni 2015, Disetujui: 13 Januari 2016
ABSTRAK Makalah ini mendiskusikan penerjemahan nama dalam karya sastra anak. Keunikan penerjemahan untuk anak-anak adalah penerjemah fokus pada pembaca sasaran. Objek penelitian pada tulisan ini adalah nama karakter dalam cerita Walt Disney. Teknik penerjemahan nama yang digunakan adalah peminjaman murni, peminjaman alamiah, harfiah, dan adaptasi. Penerapan teknik adaptasi sebaiknya diminimalkan karena cenderung melanggar keinginan penulis karya sastra untuk memberikan nama yang bermakna pada karakter tertentu. Selain itu, pengurangan teknik adaptasi dapat membantu anak-anak agar memahami budaya lain. Kata kunci: nama, penerjemahan, anak-anak, budaya
ABSTRACT This paper discusses translation of personal name in children’s literature. The uniqueness of translating for children is that the translator is concerned with the target readers. The object of this paper is character’s name in Walt Disney stories. Techniques in translating names are pure borrowing, naturalized borrowing, literal translation, and adaptation. Adaptation technique should be minimized because it tends to violate the author’s intention to give a meaningful name to a certain character name. Reducing adaptation technique also helps the children to respect and know about other cultures. Keywords: name, translation, children, culture
PENDAHULUAN Setahap ini kuantitas terjemahan buku-buku asing ke dalam Bahasa Indonesia terus meningkat. Hal itu membuka jalur informasi yang begitu lebar sehingga berdampak positif pada pertukaran informasi, pengetahuan, dan kebudayaan antarnegara. Karya-karya sastra baik karya klasik, karya populer ataupun karya sastra anak, menjadi
23
bahan penerjemahan yang populer, hal ini bisa dilihat dari maraknya karya sastra terjemahan yang ditawarkan di berbagai toko buku. Namun demikian, kualitas terjemahannya masih perlu mendapat perhatian khusus karena penerjemahan bukanlah proses yang mudah, terlebih karya sastra anak, yang pembaca sasarannya adalah anak-anak dengan segala keunikannya. Tentunya
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 23—32
kualitas terjemahannya pun harus disesuaikan dengan kemampuan anakanak agar mudah memahaminya. Penerjemahan karya sastra anak menjadi sesuatu yang penting. Karya sastra anak merupakan sarana yang baik untuk membantu anak-anak menggunakan imajinasi mereka, menambah perbendaharaan kosa kata, memahami kebudayaan baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan dari luar, seperti yang dimaksud dalam kutipan berikut ini. And, if the titles reflect the diverse groups of people in the world around them, children can learn to respect not only their own cultural groups, but also the cultural of others. Children’s literature serves as both a mirror to children and as a window to the world around them by showing people from diverse groups playing and working together, solving problems and overcoming obstacles. At its best, multicultural children’s literature helps children understand that despite our many differences, all people share common feelings and aspirations. (www.partnersagainsthate.org)
menyatakan bahwa penerjemah karya sastra anak dapat melakukan manipulasi teks dengan mengubah, memperbesar, meringkas dengan cara menghapus atau menambahkan. Unlike contemporary translators of adult books, the translator of children’s literature can permit himself great liberties regarding the text, as a result of the peripheral position of children’s literature within the literary polysystem. That is, the translator is permitted to manipulate the text in various ways by changing, enlarging, or abridging it or by deleting or adding to it. (Shavit, 1986)
Hal itu akan berlawanan dengan prinsip dasar sebuah penerjemahan, yaitu dalam pengalihan makna haruslah sepadan atau sama, tidak ditambahi ataupun dikurangi. Apabila A diterjemahkan menjadi A tidak perlu dilebih-lebihkan. Walaupun lebih lanjut Shavit menjelaskan hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar lebih mudah dipahami oleh anakanak. Penerjemahan karya sastra anak, memang harus difokuskan pada pembaca sasaran, yaitu anak-anak. Akan tetapi, hal tersebut tentunya harus tetap dalam kaidah-kaidah penerjemahan itu sendiri. Dalam hal inilah letak keunikan penerjemahan karya sastra anak, penerjemah dituntut untuk menghasilkan terjemahan yang mudah dipahami oleh anak-anak sekaligus tetap menjaga kualitas terjemahannya.
proof
Mengingat pentingnya karya sastra anak, proses penerjemahannya harus lebih sensitif. Dalam penerjemahan karya sastra anak, seorang penerjemah dituntut untuk lebih fokus pada anak-anak sebagai pembaca sasaran dengan segala keterbatasannya dalam memahami suatu nilai kebudayaan tertentu. Hal tersebut dimaksudkan pula agar penerjemah tidak hanya fokus pada faktor linguistik saja, namun juga faktor budaya termasuk karakteristik anak sebagai pembaca sasaran. Sejalan dengan itu, penulis tidak sependapat dengan Shavit (1986), yang
24
Kerangka Teori Kerangka teori berisi rujukan pustaka dari teori-teori yang digunakan dalam makalah ini. Teori penerjemahan
Penerjemahan Nama Tokoh Karya Sastra Anak ... (Singgih Daru Kuncara) yang digunakan meliputi pengertian dari penerjemahan, teknik penerjemahan dan penerjemahan nama. Definisi Penerjemahan Setiap pakar memiliki definisi yang berbeda mengenai penerjemahan, terutama dalam penggunaan istilah. Akan tetapi, setiap definisi tersebut memiliki maksud yang cenderung sama. Definisi penerjemahan yang diambil dari pendapat beberapa ahli penerjemahan digunakan sebagai bahan acuan untuk memahami arti penerjemahan. Menurut Nida (1969:12) “Translation consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.” Penerjemahan adalah mereproduksi padanan yang wajar dan paling dekat dengan pesan pada Bahasa Sumber (BSu). Pertama, yang berhubungan dengan makna, lalu yang berhubungan dengan gaya. Dalam definisi ini, makna dan gaya pada BSu harus tersampaikan secara wajar dalam Bahasa sasaran (BSa). Definisi yang kedua berasal dari Catford (1978:20), penerjemahan adalah penempatan kembali suatu teks dalam BSu ke dalam teks BSa. Yang ditempatkan kembali adalah materi teks dalam BSu ke dalam BSa dan tetap sepadan. Bukan mengganti materi teks dengan teks lain. Jadi menurut Catford, dalam penerjemahan seorang penerjemah harus mampu mengganti atau menempatkan kembali suatu materi teks ke BSa yang sepadan. Dapat dipahami pula dari pengertian ini, bahwa penerjemahan adalah proses pencarian padanan teks BSu untuk ditempatkan sebagai teks BSa. Sementara itu, Larson (1984:3) mengemukakan “Translation
is transferring the meaning of the source language into the receptor language. This is done by going form the form of the first language to the form of a second language by way of semantic structure.”, yaitu penerjemahan adalah transfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Lebih lanjut diterangkan, proses transfer dilakukan pada bentuk dan struktur semantiknya. Newmark (1988:5), “Translation is rendering the meaning of e text into another language in the way that the author intended the text.” Yang menarik dari konsep penerjemahan dari Newmark adalah adanya maksud pengarang teks yang harus diperhatikan oleh seorang penerjemah. Jadi dalam penerjemahan, maksud pengarang dalam BSu dijadikan tolok ukur dari sesuai atau tidak makna yang ada pada BSa. Berdasarkan empat pengertian penerjemahan tersebut, ditemukan bahwa penerjemahan melibatkan dua bahasa, yaitu bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa). Kedua bahasa tersebut diikat dengan kesamaan makna. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa penerjemahan adalah pengalihan makna dari BSu ke BSa sesuai dengan isi pesan, gagasan, dan ide yang ada dalam BSu, kemudian ditempatkan secara wajar pada BSa. Dalam penerjemahan yang dialihkan bukan sekadar bentuk bahasa, tetapi juga makna yang terkandung bahkan nilai-nilai budaya pun perlu disampaikan secara jelas agar dihasilkan terjemahan yang akurat, berterima, dan mudah dipahami.
proof
Penerjemahan Nama Istilah nama secara keilmuan dikaji dalam suatu kajian tertentu yang disebut onomastics, yang berasal dari bahasa
25
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 23—32
Yunani onomastikos dari anoma yang berarti nama. Lebih lanjut, onomastics dibagi lagi kedalam nama persona (anthroponomastics dari anthropos yang berarti human being) nama yang mengacu pada penamaan seseorang; dan nama tempat (toponomastics dari topos yang berarti tempat) nama yang mengacu pada penamaan sebuah tempat. Konsep tersebut dikritik oleh Fernandes (2006), yang mengemukakan bahwa ada kekaburan mengenai istilah nama orang dan tempat, bisa saja nama sebuah tempat diambil dari nama seseorang seperti nama tempat Alberta di Kanada yang merupakan nama seorang putri. Dalam hal ini sebetulnya bukanlah masalah, Alberta ketika mengacu pada penamaan sebuah tempat tetap disebut nama tempat, namun ketika dalam konteks nama seorang putri dimasukkan ke dalam nama persona. Sejalan dengan hal ini, objek yang diteliti dalam makalah ini ialah yang termasuk dalam nama persona. Kemudian, nama tersebut diterapkan dalam sebuah karya sastra anak menjadi nama yang ada dalam tokoh atau karakter dalam karya tersebut. Menurut Nord (2003) pengertian ‘nama’ ialah kata atau sekumpulan kata yang berfungsi sebagai identifikasi pada nama individu, binatang, tempat ataupun benda. Lebih lanjut Nord menambahkan “directly to a single, concrete referent”, jadi sebuah nama hanya mengacu pada satu referen saja. Dalam makalah ini, yang dimaksud nama karakter ialah nama suatu karakter tokoh yang hanya mengacu pada tokoh tersebut saja tidak ke karakter yang lain. Salah satu unsur penting dalam menerjemahkan suatu karya sastra adalah pada penamaannya. Penerjemahan nama menjadi sesuatu
yang mencolok dan langsung terlihat oleh pembaca sehingga perlu mendapat perhatian khusus, seperti menurut Nord (2003:182) dalam Fernandes (2006). “Just a quick glance at translated texts can reveal that translators do all sorts of things with names; such as substitute, transcribe and omit them.” Nama dalam suatu karya sastra anak memiliki peranan yang penting dalam menggambarkan suatu karakter tertentu, untuk membantu pembaca anak-anak dalam memahami sebuah cerita. Menurut Nord (2003) “in fictional texts there is no name that has no informative function at all”, setiap nama selalu memiliki fungsi tersendiri dalam satu keutuhan plot cerita. Names in a literary work are specific: it may be guessed that behind most names there was an author’s intention. Proper names in literature fulfill identifying, fictionalizing and characterizing functions (Debus, 2002:73—90)
proof
26
Menurut Debus dalam Fornalczyk (2007), pemilihan nama suatu karakter oleh si pengarang tentunya memiliki maksud dan tujuan tertentu, bukanlah sesuatu yang asal-asalan. Untuk itu, penerjemah haruslah menghormati pemilihan nama tersebut. Salah satu penghormatan yang dapat dilakukan seorang penerjemah ialah dengan tidak menghilangkan sama sekali penamaan suatu karakter dalam suatu karya sastra. Teknik Penerjemahan Nama Teknik penerjemahan adalah cara yang digunakan untuk mengalihkan pesan dari BSu ke BSa. Pengalihan itu diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat. Molina dan Albir
Penerjemahan Nama Tokoh Karya Sastra Anak ... (Singgih Daru Kuncara) (2002) menyatakan teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik: 1) teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan; 2) teknik diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks BSu; 3) teknik berada di tataran mikro; 4) teknik tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu; 5) teknik bersifat fungsional. Teknik penerjemahan nama telah banyak ditulis oleh para pakar penerjemahan. Namun, secara umum teknik tersebut sama antara satu dan lainnya. Teknik penerjemahan nama menurut Hermans adalah sebagai berikut. They can be copied, i.e. reproduced in the target text exactly as they were in the source text. They can be transcribed, i.e. transliterated or adapted on the level of spelling, phonology, etc. A formally unrelated name can be substituted in the target text for any given name in the source text (…). And insofar as a (…) name in a source text is enmeshed in the lexicon of that language and acquires ‘meaning’, it can be translated (Hermans, 1988:13)
hal ini penerjemahan dilakukan tanpa melakukan perubahan (Molina dan Albir 2002:509— 511). Contohnya, karakter Donald Duck diterjemahkan tetap menjadi Donald Duck. 2) They can be transcribed, i.e. transliterated or adapted on the level of spelling, phonology, etc. Teknik kedua ialah dengan mengubah pengucapan dalam fonologinya. Hal ini sama dengan konsep teknik penerjemahan naturalized borrowing yaitu peminjaman alamiah. Dalam hal ini penerjemahan dilakukan dengan peminjaman tetapi lafalnya disesuaikan (Molina dan Albir 2002:509—511). Contohnya, karakter Donald Duck diterjemahkan menjadi Donal Dak. 3) A formally unrelated name can be substituted in the target text for any given name in the source text (…). Teknik ketiga ialah dengan mengganti nama dalam teks BSa dengan istilah nama yang tidak berhubungan sama sekali, baik maknanya ataupun pelafalannya. Menurut Vinay dan Darbelnet dalam Fawcett (1997), teknik ini dikenal dengan istilah adaptation (adaptasi), Contohnya, karakter Donald Duck diterjemahkan menjadi Joko Bebek. 4) And insofar as a (…) name in a source text is enmeshed in the lexicon of that language and acquires ‘meaning’, it can be translated. Teknik keempat ialah penerjemahan dilakukan dengan mengartikan nama karakter tersebut sesuai makna
proof
Teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut: 1) They can be copied, i.e. reproduced in the target text exactly as they were in the source text. Teknik pertama yang digunakan ialah dengan mengopi nama karakter sama persis seperti nama karakter pada teks Bahasa Sumber (BSu). Teknik ini dikenal dengan teknik pure borrowing, yaitu peminjaman murni dalam
27
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 23—32
semantiknya. Teknik ini dikenal dengan teknik literal translation (penerjemahan harfiah). Contoh, Granma Duck yang diterjemahkan menjadi Nenek Bebek. Salah satu teknik yang disebutkan dalam artikel tersebut ialah teknik adaptasi. Teknik tersebut dapat menghilangkan maksud asli pengarang terhadap sebuah nama. Oleh karena itu, teknik adaptasi dalam menerjemahkan nama karakter dalam karya sastra hendaknya diminimalisasi. Hal itu berkaitan dengan penghormatan terhadap seorang pengarang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dasar bidang penerjemahan, terpancang, bersifat deskriptif kualitatif dan berkasus tunggal. Penelitian bidang penerjemahan ini berorientasi pada produk atau hasil karya terjemahan. Penelitian dilakukan dengan mengkaji nama karakter Walt Disney ke dalam bahasa Indonesia. Kajian penerjemahannya adalah mengenai teknik penerjemahan yang digunakan dalam proses penerjemahan. Penulis hanya ingin memahami suatu masalah secara individual untuk kepentingan akademis dan untuk mendeskripsikan secara rinci mengenai pokok permasalahan (Sutopo, 2006:135—136). Oleh karena ini, penelitian ini dikategorikan sebagai jenis penelitian dasar. Penelitian dasar ini dikategorikan sebagai penelitian terpancang karena penulis telah menentukan pokok permasalahan dan fokus penelitian sebelumnya seperti yang tercantum dalam rumusan masalah.
Penelitian ini tergolong pada penelitian deskriptif kualitatif. Seperti ditegaskan Maleong (2000:18) penelitian deskriptif bersandarkan pada data berupa kalimat bukan data numerik atau statistik untuk mendeskripsikan analisis. Metode dengan menggunakan teknik mencari data, mengumpulkan, menganalisis dan menggeneralisasinya berdasarkan fenomena yang terjadi. Data tersebut dibandingkan dengan kriteria yang sudah ditetapkan berdasarkan parameter yang menjadi tujuan penelitian. Selanjutnya, penelitian ini termasuk studi kasus tunggal karena sasaran atau subyeknya memiliki karakteristik yang sama. Penelitian ini hanya menggunakan kasus penerjemahan pada nama karakter Walt Disney dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Penelitian bidang penerjemahan seperti ini disebut Neubert (2004:10) sebagai limited case study atau case studies focusing on particular aspects of ST and TT.
proof
28
Data dan Sumber Data Yang termasuk data adalah data linguistik sebagai objek kajian, yaitu nama karakter yang ada pada karya Walt Disney. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data. Menurut Sutopo (2006:56—61) sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia dan tingkah lakunya, peristiwa, dokumen, arsip dan bendabenda lainnya. Moleong (2000:113) mengatakan bahwa data yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Berdasarkan penjelasan di atas, dalam penelitian ini sumber datanya adalah karya Walt Disney dalam
Penerjemahan Nama Tokoh Karya Sastra Anak ... (Singgih Daru Kuncara) versi bahasa Inggris dan versi bahasa Indonesia. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi. Teknik ini dilakukan melalui teknik baca dan catat. Yin dalam Sutopo (2006:81) menyebutkan bahwa teknik mencatat dokumen merupakan cara untuk menemukan beragam hal sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitiannya. Teknik ini diterapkan untuk mengumpulkan data yang terkait penerjemahan nama karakter.
PEMBAHASAN Penerjemahan Nama Karakter Walt Disney ke dalam Bahasa Indonesia
Peminjaman alamiah dan harfiah Dari 36 data, sebanyak 4 data menerapkan kombinasi dari dua teknik penerjemahan, yaitu peminjaman alamiah dan harfiah. Berikut keempat data tersebut.
1) Donald Duck menjadi Donal Bebek 2) Daisy Duck menjadi Desi Bebek 3) Mickey Mouse menjadi Miki Tikus 4) Minnie Mouse menjadi Mini Tikus Pada kasus ini, penerjemah menggunakan penerjemahan alamiah, yaitu nama Donald, Daisy, Mickey dan Minnie disesuaikan dengan pengucapan pada bahasa Indonesia menjadi Donal, Desi, Miki dan Mini. Kemudian, pada kata duck, dan mouse diterjemahkan secara harfiah menjadi bebek dan tikus.
proof
Temuan Kasus pada Terjemahan Walt Disney Dalam sebuah seminar penerjemahan, Prof. Harry Aveling menyampaikan bahwa karya yang paling banyak diterjemahkan di seluruh dunia ialah karya Walt Disney, termasuk di Indonesia. Walt Disney adalah nama seorang pengarang karya sastra anak yang sangat popular. Karakter penokohan yang diciptakannya sangat banyak dan dikenal anak-anak. Makalah ini akan mengkaji teknik penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan nama karakter karya Walt Disney ke dalam bahasa Indonesia. Adapun namanama karakter tersebut yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari situs resmi Disney (http://disney.go.com/ index).
Peminjaman alamiah Sebanyak dua data menerapkan teknik penerjemahan peminjaman alamiah. Penggunakan teknik peminjaman alamiah diterapkan dengan penyesuaian pelafalan dan ejaan dalam BSa. Berikut temuan dua data tersebut.
5) Goofy menjadi Gufi 6) Clarabelle menjadi Klarabela Pada contoh Goofy menjadi Gufi, cara mengucapkan dua huruf [oo] dilafalkan menjadi /u/. Kemudian, pada contoh Clarabelle menjadi Klarabela, huruf /c/ dilafalkan menjadi /k/. Selain itu, huruf ganda /l/ dilesapkan menjadi satu huruf saja.
29
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 23—32
Penerjemahan Harfiah Pada penelitian ini, ada satu data yang menerapkan teknik penerjemahan harfiah. Teknik yang dilakukan adalah dengan cara menerjemahkan kata demi kata. Pada teknik ini penerjemah tidak mengaitkan dengan konteks yang menaungi suatu teks. Berikut contoh temuan data yang menerapkan teknik tersebut.
7) Grandma Duck menjadi Nenek Bebek Pada kasus ini, karakter Grandma Duck diterjemahkan menjadi Nenek Bebek. Kata Grandma diterjemahkan menjadi Nenek dan kata Duck diterjemahkan menjadi Bebek. Peminjaman murni Sebanyak dua data dalam penelitian ini menerapkan teknik peminjaman murni. Teknik penerjemahan yang dilakukan adalah dengan meminjam kata atau ungkapan dari BSu. Pada temuan ini, peminjaman bersifat murni (pure borrowing), yaitu tanpa penyesuaian ataupun perubahan. Berikut temuan data yang menerapkan teknik tersebut.
baik maknanya ataupun pelafalannya. Hal tersebut dilakukan karena unsur budaya dalam BSu tidak ditemukan dalam BSa, ataupun unsur budaya pada BSa tersebut lebih akrab bagi pembaca sasaran. Sebanyak 27 data menggunakan teknik tersebut. Berikut temuan data pada penelitian ini.
10) Neighbor Pokijan
J.
Jones
11) Gus Goose menjadi Agus Angsa 12) Magica De Spell menjadi Mimi Hitam 13) Junior Woodchuck Pramuka Siaga
9) Brigitta menjadi Brigitta Adaptasi Teknik adaptasi merupakan teknik yang dominan digunakan dalam penerjemahan karakter nama dalam karya Walt Disney ke dalam bahasa Indonesia. Teknik ini dikenal dengan teknik adaptasi budaya. Teknik ini dilakukan dengan mengganti nama dalam teks BSa dengan istilah nama yang tidak berhubungan sama sekali,
30
menjadi
14) April, May, June Duck menjadi Titi, Tita dan Tati Bebek 15) Huey Duck menjadi Kwik
proof
8) Pluto menjadi Pluto
menjadi
16) Duey Duck menjadi Kwek 17) Louie Duck menjadi Kwak 18) Gladstone Gander Untung Angsa
menjadi
19) Fethry Duck menjadi Didi bebek 20) Chip n Dale menjadi Kiki & Koko 21) Princess Oona menjadi Una 22) Gyro Gearloose menjadi Lang Ling Lung 23) Emily Quackfaster Nona Ketik
menjadi
24) Horace Horsecollar Karel Kuda
menjadi
25) The Beagle Boys Gerombolan Siberat
menjadi
26) Ludwig von Drake menjadi Profesor Otto 27) Black Pete menjadi Boris
Penerjemahan Nama Tokoh Karya Sastra Anak ... (Singgih Daru Kuncara)
28) Zeke Wolf / Big Bad Wolf menjadi Midas Serigala / Serigala Jahat 29) Lil Bad Wolf menjadi Serigala kecil 30) Practical Pig menjadi Snor 31) Fiddler Pig menjadi Snir 32) Fifer Pig menjadi Snar 33) Scrooge McDuck menjadi Gober Bebek 34) Bolivar menjadi Lubas 35) Cornelis Coot menjadi Kornelis Prul 36) Madam Mim menjadi Madam Mik Mak Dari 27 data temuan teknik adaptasi, sebanyak 20 data (data no. 10—29) menggunakan hasil terjemahan yang dekat dengan budaya pembaca sasaran. Penerjemah menggunakan nama-nama yang cenderung lebih mudah dipahami bagi anak-anak Indonesia, seperti Agus, Didi, Koko, Titi, dll. Sementara itu, sebanyak 7 data (data no. 30—36) diterjemahkan dengan mengganti nama yang tidak berkaitan dengan BSu seperti Practical Pig diterjemahkan menjadi Snor, dll. Dominasi teknik adaptasi dalam penerjemahan nama karakter dapat diidentifikasi sebagai usaha untuk lebih dekat dengan budaya Indonesia. Pemilihan tersebut dimaksudkan agar karya terjemahan dapat diterima oleh mayoritas masyarakat Indoensia. Namanama karakter yang dipilih cenderung merupakan nama-nama lokal Indonesia seperti Pokijan, Untung, Agus, Didi, Kiki, Koko, Titi, Tita, dan Tati. Nama yang dekat dengan pembaca diharapkan
mempermudah masuknya suatu karya sastra ke negara tertentu, terlebih karya sastra untuk anak-anak. Anak-anak dengan tingkat pemahaman tertentu lebih mudah mengingat nama-nama yang biasa mereka dengar. Bentuk lain dari penerapan teknik adaptasi ialah dengan penyeruan bunyi bebek di lidah orang Indonesia sehingga muncul penamaan Kwak, Kwik dan Kwek. Bunyi bebek diucapkan dengan ‘kwekkwek’. Penerapan teknik adaptasi memang menghasilkan teks terjemahan yang sangat dekat dengan bahasa sasaran dibanding dengan bahasa sumber. Sementara itu, teknik peminjaman dan harfiah dilakukan pada nama-nama karakter Walt Disney yang tidak terlalu sulit bagi pembaca anak-anak Indonesia seperti Pluto, Brigita dan Nenek bebek.
proof
SIMPULAN Nama karakter dalam suatu karya sastra memiliki peranan penting sebagai unsur pembentuk. Begitu pula dalam penerjemahannya, nama karakter merupakan hal yang mencolok yang langsung menjadi perhatian para pembaca. Untuk itu, penerjemahan sebuah nama karakter dalam karya sastra perlu mendapatkan perhatian khusus penerjemah. Dari 36 karakter yang dikaji, ditemukan 27 karakter diterjemahkan dengan teknik adaptasi, 2 dengan penerjamahan murni, 1 harfiah, 2 peminjaman alamiah, dan 4 menggunakan kombinasi peminjaman alamiah dan harfiah. Proses penerjemahan merupakan kuasa penerjemah. Penerjemah memiliki kuasa penuh menentukan teknik penerjemahan yang digunakan terhadap teks terjemahan. Pilihan
31
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 23—32
teknik terjemahan tentu saja disertai pertimbangan-pertimbangan seperti kemampuan si penerjemah itu sendiri, dan intuisi penerjemah yang berkaitan dengan ketertarikannya terhadap suatu hal. Selain itu, tujuan penerjemahan dan pembaca sasaran juga menjadi bagian penting dari suatu proses penerjemahan. Teknik adaptasi dapat dipandang sebagai suatu teknik yang sedikit mengabaikan penulis asli teks terjemahan. Namun, jika diidentifikasi tujuan penerjemah untuk memudahkan pembaca sasaran hal ini menjadi sesuatu yang wajar dan dapat diterima. Daftar Pustaka Albir, H.A. & Molina, L. 2002. “Translation Technique Revisited: A Dynamic And Functional Approach”. META, vol. 47, 4. Spain: Universitat Autonoma Barcelona. Catford, J.C. 1978. A Linguistics Theory of Translation. Oxford: Oxford University Press. Fawcett, P. 1997. Translation and Language. UK: St. Jerome Publishing. Fernandes, Lincoln. 2006. “Translation of Names in Children’s Fantasy Literature: Bringing the Young Reader”. New Voices in Translation Studies 2 (2006), 44—57. Brazil: Pós-Graduação em Estudos da Tradução. Fornalczyk, Anna. 2007. “Anthroponym Translation in Children’s Literature Early 20th And 21st Centuries”. Kalbotyra, 2007.57(3). Warsawa: Warsawa University. Hermans, T. 1988. On translating proper names, with reference to De Witte and Max Havelaar. In M. J. Wintle
(ed.) Modern Dutch Studies. Essays in Honour of Professor Peter King on the Occasion of his Retirement. London/Atlantic Highlands: The Athlone Press. Larson, M.L. 1984. Meaning-based Translation: A Guide to Cross Language Equivalence. Lanham: University of America. Moleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda. Neubert, A. 2004. Case Studies in Translation: The Study of Translation. A Paper Presented on Across Language and Culture 5(1):5—21. Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. UK: Prentice Hall International Ltd. Nida, Eugine A. dan Taber, Charles R. 1969. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Nord, Christiane. 2003. “Proper Names in Translations for Children Alice in Wonderland as a Case in Point”. Meta. Volume 48, No 1-2, Mei 2003, p. 182—196. Montreal: Les Presses de l’Université de Montréal. Oittinen, Riitta. 2000. Translating for Children. New York: Garland. Shavit, Zohar. 1986. Poetics of Children’s Literature. London: The University of Georgia Press. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. www.partnersagainsthate.0rg. The Importance of Multicultural Children’s Book. (diunduh tanggal 15 Januari 2011). http://disney.go.com/index. diunduh tanggal 6 Januari 2011.
proof
32
PERGESERAN RIMA DALAM PENERJEMAHAN PUISI AMERIKA OLEH TAUFIK ISMAIL (Rhyme Swicth in American Poetry Translation by Taufik Ismail) oleh/by Retno Hendrastuti Balai Bahasa Jawa Tengah Jalan Elang Raya No. 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang Pos-el:
[email protected] *) Diterima: 3 Maret 2016, Disetujui: 21 Maret 2016
ABSTRAK Salah satu indikasi berhasilnya penerjemahan puisi adalah dapat dialihkannya rima dan makna BSu dalam BSa. Namun demikian, pergeseran rima tak dapat dihindari untuk mempertahankan makna BSu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan menggali pergeseran rima dan pengaruhnya terhadap keakuratan makna terjemahan. Data penelitian ini berupa pasangan rima BSu-BSa yang bersumber dari delapan puisi Amerika yang diterjemahkan oleh Taufik Ismail. Hasil analisis menunjukkan adanya pergeseran rima yang meliputi rima tetap, bergeser sebagian, dan bergeser penuh. Pengalihan rima tetap yang dominan dibarengi pengalihan makna secara akurat. Begitu juga pergeseran rima tetap menghasilkan makna akurat. Secara keseluruhan hal tersebut merupakan bentuk upaya pemertahanan makna terjemahan puisi. Kata kunci: keakuratan, penerjemahan puisi, pergeseran rima
ABSTRACT One indication of the successfull poetry translation is the transferable rhyme and meaning of SL in the TL. However, the rhyme shift is unavoidable to maintain the meaning of SL. This qualitative descriptive research aims to explore the shift rhyme and its influence on the accuracy of meaning. This research data in the form of a rhyme pair of SL-TL taken from eight American poems translated by Taufik Ismail. Results of the analysis indicated that the rhyme shift includes fixed, partial, and a full shift. Dominant fixed rhyme diversion were accompanied by accurate transfers of meaning. Likewise rhyme shift, it still produced accurate meaning. Overall, those stategies belonged to meaning preservation efforts. Keywords: accuracy, translating poetry, rhyme shift
PENDAHULUAN Fenomena penerjemahan puisi asing ke bahasa Indonesia dan sebaliknya marak terjadi. Hal ini terjadi beriringan dengan perkembangan era keterbukaan yang menuntut semua bangsa di dunia untuk saling memahami budaya satu
33
dengan yang lain. Seperti disampaikan Aiwei (2005) bahwa puisi merupakan sekumpulan kata-kata yang musikal dan menawarkan sebuah cara untuk melihat dan menafsirkan dunia dan pengalaman pengarangnya. Artinya, penerjemahan puisi menjadi salah satu cara untuk
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
mengatasi kendala bahasa serta budaya. Selain itu, penerjemahan puisi juga menjadi jembatan penghubung antara penyair bahasa sumber (BSu) dan pembaca bahasa sasaran (BSa). Penerjemahan puisi memerlukan pendekatan khusus karena ada aspek makna dan efek-efek keindahan yang mengikat. Bahkan, Newmark (1988:162) menyatakan bahwa penerjemahan puisi menguji kemampuan penerjemah karena setiap kata sama pentingnya dengan baris serta antara kata, baris, dan keseluruhan teks harus ada kepaduan dan kesinambungan. Seperti halnya Suryawinata & Hariyanto (2003) menyebutkan setidaknya ada tiga faktor yang dihadapi dalam penerjemahan puisi, yaitu faktor kebahasaan, kesastraaan dan estetika, serta sosial budaya. Lebih lanjut Nababan (2003:35—36) menambahkan bahwa penerjemahan puisi tidak hanya melibatkan penyampaian informasi, melainkan juga memperhatikan kesan, emosi, dan perasaan dengan mempertimbangkan keindahan BSa. Rima atau persamaan bunyi merupakan salah satu unsur penting dalam penciptaan keindahan puisi. Rima merupakan salah satu unsur pembentuk irama yang berhubungan dengan pengulangan bunyi. Bunyi yang berima tersebut dapat ditampilkan oleh tekanan, nada tinggi, atau perpanjangan suara. Oleh karena itu, melalui rima keindahan suatu puisi dapat tercipta karena rima dapat menciptakan efek musikalisasi pada puisi sehingga puisi menjadi lebih enak didengar meskipun tanpa dilagukan. Rima adalah pengulangan bunyi berselang, baik yang terletak dalam larik maupun pada akhir puisi yang
berdekatan. Artinya, rima tidak selalu berada di akhir baris dalam satu bait. Rima juga dapat ditemukan dalam satu baris. Berdasarkan letak persamaan bunyi kata-kata dalam baris puisi, rima dibedakan menjadi lima jenis, yaitu (1) rima awal, yaitu kata-kata yang mengandung persamaan bunyi terdapat pada awal baris, (2) rima tengah, yaitu kata-kata yang mengandung persamaan bunyi terletak di tengah baris, (3) rima akhir, yaitu kata-kata yang mengandung persamaan bunyi pada akhir baris, yang terdiri atas lima jenis, yaitu (a) rima silang [a-b-a-b], (b) rima terus [a-a-a-a], (c) rima pasang [a-a-b-b], (d) rima patah [a-a-a-b/a-b-a-a/a-a-b-a], (e) rima peluk [a-b-b-a]; (4) Rima datar atau rima internal, yaitu persamaan bunyi terjadi pada tiap-tiap larik puisi, yang terdiri atas dua jenis, yaitu (a) rima asonansi, yaitu pengulangan bunyi vokal, (b) rima aliterasi, yaitu pengulangan bunyi konsonan; (5) rima merdeka atau rima bebas, yaitu tidak ada persamaan bunyi dalam puisi (Perrine, 1990; Waluyo, 2003). Penelitian ini merupakan penelitian penerjemahan puisi yang mengali pergeseran rima dan pengaruhnya terhadap keakuratan makna terjemahan. Adapun jenis rima yang digunakan sebagai pendekatan adalah berdasarkan letak persamaan bunyi kata-kata dalam baris puisi. Di sini, analisis pergeseran rima puisi berdasarkan bentuk rima tidak dilakukan karena adanya perbedaan karakteristik BSu, yaitu bahasa Inggris dengan BSa, yaitu bahasa Indonesia, yang menyebabkan analisis bentuk rima kurang memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahdan (2010) yang berjudul “Analisis Perubahan Makna
proof
34
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika ... (Retno Hendrastuti)
pada Penerjemahan dua Buah Puisi Indonesia ke dalam Bhahasa Inggris” yang hanya mengkaji perubahan makna terjemahan puisi. Begitu juga Mastuti (2005) dalam “Penggunaan Majas pada Puisi” hanya mengkaji penggunaan majas pada puisi terjemahan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan puisi Amerika yang diterjemahkan Taufik Ismail. Puisi-puisi yang dimaksud adalah THEY ASK: IS GOD, TOO, LONELY ‘Mereka bertanya: Apakah Tuhan juga Kesepian? dan Soup ‘Sup’, GOVERMENT ‘Pemerintah’ karya Carl Sandburg, Concord Hymn ‘Lagu Puja Concord’ karya Ralp Waldo Emerson, The Arrow and the Song ‘Panah dan Lagu’ karya Henry Wadsworth Longfellow, I Hear America Singing ‘Aku Dengar Amerika Bernyanyi, When I Heard the Learn’d Astronomer ‘Ketika aku mendengar ahli ilmu bintang yang terpelajar’, dan Mother and Babe karya Walt Whitman. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena sumber data yang digunakan berupa dokumen (Sutopo, 2006:50—54). Penelitian ini bersifat deskriptif dengan data berupa kata, frasa, serta kalimat (Moleong, 2007:11). Dalam penelitian ini analisis pergeseran rima dan keakuratan makna dilakukan persatuan data yang berupa kelompok-kelompok rima yang terdapat dalam baris atau bait secara rinci. Selain itu, analisis juga dilakukan pada setiap kata pada setiap baris BSa dan BSa.
internal. Sebelum analisis pergeseran terjemahan rima dilakukan, jenis rima yang digunakan dalam baris-baris data ditentukan terlebih dahulu. Seperti telah diketahui ada 8 puisi yang dijadikan data dalam penelitian ini. Berdasarkan data yang diambil, terdapat 52 data pergeseran rima yang meliputi rima tetap, bergeser sebagian, dan bergeser penuh. Ditemukan juga 28 data yang tidak mengalami pergeseran atau tetap, 8 data mengalami pergeseran sebagian, dan 16 data mengalami pergeseran penuh. Artinya, pada penelitian ini, pengalihan rima secara akurat atau tanpa mengalami pergeseran jenis rima terjadi sebanyak 54% dari keseluruhan data. Sementara itu, pergeseran jenis rima sebagian terjadi sebanyak 15,3% data. Kemudian, pergeseran jenis rima penuh terjadi sebanyak 30,66% data. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana pergeseran tersebut terjadi diuraikan sebagai berikut.
proof
HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian pegeseran rima puisi ini dikategorisasikan berdasarkan lima posisi rima, yaitu rima awal, rima tengah, rima akhir, dan rima
Rima Tidak Bergeser/Tetap
Pada penerjemahan puisi salah satu indikasi keakuratan terjemahan adalah tidak mengalami pergeseran rima. Pada penelitian ini ada 54% data yang tidak mengalami pergeseran jenis rima. Artinya, pengalihan rima dari BSu ke BSa dilakukan secara akurat. Agar lebih jelas keakuratan pengalihan rima dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu berima dan tidak berima. Selanjutnya, keakuratan pengalihan rima terealisasi dalam rima awal, tengah, akhir, dan internal. Gambaran sebaran keakuratan pengalihan rima dapat dilihat pada data Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa hampir semua puisi baris-barisnya ada
35
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
Tabel 1 Pergeseran Rima Tetap
Tidak Berima 1/I/TSU/1/ TSA/1 7/I/TSU/4/ TSA/5 17/II/TSU/7/ TSA/7 18/II/TSU/8/ TSA/8 19/II/TSU/9/ TSA/9 39/VI/TSU/8/ TSA/12 41/VI/TSU/1314/TSA/19-20 45/VII/TSU/5/ TSA/7 49/VII/TSU/8/ TSA/10 9 (32%) 28 (53,8%)
Rima Awal 8/I/TSU/5-6/ TSA/6-7 11/I/TSU/9-11/ TSA/11-13 15/II/TSU/1-2/ TSA/1-2 22/III/TSU/415/TSA/3-13 43/VII/TSU/14/TSA/1-6
Berima Rima Tengah Rima Akhir 3/I/TSU/2-3/ 9/I/TSU/5-6/ TSA/2-4 TSA/6-7 21/III/TSU/412/I/TSU/9-11/ 14/TSA/3-13 TSA/11-13 36/VI/ TSU/1- 33/V/TSU/5-8/ 12/TSA/1-18 TSA/5-8 34/V/TSU/912/TSA/9-12
proof
5 (18%)
3 (11%)
yang tidak mengalami perubahan rima dalam terjemahannya. Rima yang tetap tersebut dapat dikategorisasikan lagi menjadi lima, yaitu tidak berima (9 data), rima awal (5 data), rima tengah (3 data), rima akhir (4 data), dan rima internal (7 data). Adapun penjelasan masing-masing kategori beserta contohcontohnya adalah sebagai berikut. Tidak Berima
Keakuratan pengalihan rima juga ditunjukkan dengan tetap dialihkannya BSu yang tidak berima dalam BSa. Pada penelitian ini data tidak berima pada BSu yang tetap diterjemahkan tidak berima pada BSa berjumlah sembilan data.
36
4 (14%)
Rima Internal 6/I/TSU/3/ TSA/3 20/III/TSU/1/ TSA/1 26/III/TSU/20/ TSA/18 27/III/TSU/2629/TSA/22-24 37/VI/TSU/4/ TSA/1 48/VII/TSU/7/ TSA/9 50/VIII/TSU/1/ TSA/1
7 (25%)
Untuk mempermudah analisis satuan data yang diambil berupa baris puisi. Pada setiap baris masing-masing kata memunyai bunyi yang berbeda dengan kata-kata yang lain. Selain itu, baris tersebut juga tidak memiliki kesamaan bunyi dengan baris yang lain. Berikut beberapa contoh data tidak berima yang tetap diterjemahkan tidak berima. Contoh 1: When God scooped up a handful of dust ‘Ketika Tuhan menyendok segenggam debu’ (data 1) Data 1 merupakan penerjemahan yang akurat. Pada data yang diambil
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika ... (Retno Hendrastuti)
dari baris pertama teks puisi pertama tersebut terlihat bahwa baris tersebut tidak memiliki rima apapun. Pada BSu (When God scooped up a handful of dust) baris tersebut tidak berima. Kemudian, dalam BSa pun (‘Ketika Tuhan menyendok segenggam debu’) baris tersebut juga tidak diterjemahkan berima. Tidak ada kesamaan bunyi baik di dalam baris maupun dengan baris yang lain. Contoh 2: When I saw him ‘Ketika aku melihatnya’ (data 17) Data 17 yang juga terjemahan akurat merupakan contoh data yang tak berima, baik dalam BSu maupun dalam BSa. Terlihat bahwa baris BSu When I saw him tidak memiliki rima antarkata (rima internal). Begitupun dalam baris BSa ‘Ketika aku melihatnya’ tidak ada pengulangan bunyi atau kata yang menunjukkan rima internal. Selain itu, ketika dikorespondensi dengan baris-baris yang lain, keduanya tidak memiliki kesamaan bunyi juga. Artinya, memang ada kesamaan antara BSu dan BSa, yaitu keduanya sama-sama tidak berima, baik secara intenal maupun dengan baris-baris yang lain.
pada puisi ketiga, dan satu dalam puisi keempat. Berikut data-data berima awal yang tidak mengalami perubahan dalam BSu dan BSa. Contoh: And did God do this because he was lonely? Did God say to himself he must have company ‘Apakah Tuhan melakukannya karena Dia kesepian?’ ‘Bersabdakah Tuhan pada diriNya Dia perlu teman’ (data 8) Penerjemahan pada data 8 adalah akurat. Pada data tersebut terjadi pengulangan bunyi pada awal baris BSu dan BSa. Pengulangan bunyi masingmasing terjadi pada satu suku kata, yaitu did pada BSu dan partikel –kah pada BSa. Selain itu, ada kata God yang diterjemahkan menjadi ‘Tuhan’ menyertainya yang juga diulang pada baris-baris tersebut. Contoh:
proof
Berima Rima Awal Salah satu kategori pengalihan rima dari BSu ke BSa secara akurat ditunjukkan dengan tetap dialihkannya rima BSu ke BSa. Salah satu bentuk rima yang tetap dialihkan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah rima awal. Ada lima buah rima awal yang ditemukan, yaitu dua pada puisi pertama, satu pada puisi kedua, satu
I saw a famous man eating soup. I say he was lifting a fat broth ‘Aku menyaksikan seorang terkenal makan sup’ ‘Aku katakan dia sedang mengangkat sendok ke mulutnya’ (data 15) Data 15 akurat mempertahankan makna dan rima BSu. Pengulangan bunyi pada kedua baris pada data 15 ditunjukkan melalui kata I saw/I say pada BSu dan kemudian diterjemahkan ‘Aku menyaksikan’/’Aku katakan’ pada BSa. Pengulangan bunyi tersebut digunakan di awal baris secara konsisten.
37
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
Seluruh pengulangan frasa tersebut menghasilkan rima pada bagian awal. Kemudian, pada BSa seluruh frasa tersebut dialihkan dengan akurat tanpa mengubah posisinya. Rima Tengah Pada penelitian ini kekonsistenan rima pada BSu dan BSa juga dapat dilihat pada pengalihan rima tengah. Pengalihan rima tengah dari BSu ke BSa ini ditemukan dalam tiga buah data dan berikut ini adalah data yang dimaksud. Contoh:
And spit on it, and molded the shape of man and blew a breath into it, and told it to walk Meludahinya, dan menciptakan bentuk manusia, Dan mengembuskan nafas kedalamnya dan memerintahkannya berjalan (data 4)
Ibu dan bayi yang sama tertidurnya -- ssst lama dan lama aku mempelajari mereka. (data 51) Pengalihan makna pada data 51 adalah akurat. Pengalihan rima tengah pada data tersebut ditandai dengan pengulangan bunyi pada bagian tengah yang ditunjukkan oleh kata babe pada BSu dan kata ‘bayi’ pada BSa. Baik dalam BSu maupun dalam BSa pengulangan bunyi dari kedua kata tersebut dipertahankan pada bagian tengah baris sehingga menghasilkan rima tengah. Artinya, ada kesamaan bunyi yang dihasilkan oleh kedua baris tersebut akibat adanya pengulangan penggunaan kata-kata tersebut. Rima Akhir Pengalihan bunyi yang tetap dari BSu ke BSa juga dapat ditemukan pada pengalihan rima akhir. Ada empat data dengan rima akhir yang ditemukan tetap dialihkan ke BSa dalam penelitian ini. Berikut ini adalah data yang dimaksud. Contoh:
proof
Terjemahan pada data 4 adalah akurat. Pada data tersebut permainan bunyi di tengah baris ditandai dengan pengulangan dua kata. Kata yang dimaksud adalah pronomina it dan and dalam BSu serta pronomina ‘-nya’ dan ‘dan’ dalam BSa. Artinya, rima tengah dalam BSu secara akurat dialihkan dalam BSa. Contoh: I SEE the sleeping babe, nestling the breast of its mother The sleeping mother and babehush’d, I study them long and long Kulihat bayi terlelap mengisap susu ibunya
38
And did God do this because he was lonely? Did God say to himself he must have company Apakah Tuhan melakukannya karena Dia kesepian? Bersabdakah Tuhan pada diriNya Dia perlu teman (data 9) Pada baris tersebut penggunaan rima tidak hanya ditemukan pada awal kalimat. Rima akhir juga ditemukan, yaitu pada bunyi [i] pada BSu dan bunyi [an] pada BSa. Bunyi [i] pada BSu ditemukan dalam akhir kata
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika ... (Retno Hendrastuti)
lonely dan company. Pada BSa bunyi [an] ditemukan pada kata ‘kesepian’ dan ‘teman’. Hal ini didukung dengan pengalihan makna secara akurat juga. Contoh: I breathed a song into the air, It fell to earth, I knew not where; For who has sight so keen and strong, That it can follow the flight of song? Kutiupkan sebuah lagu ke atas sana Laguku mengembang ke bumi, tak tahu aku di mana Karena siapa punya pandangan tajam dan jitu Sehingga mampu melacak jejak sang lagu? (data 33)
tetap dialihkan ke BSa dalam penelitian ini. Data tersebut adalah sebagai berikut. Contoh: THE Government-I heard about the Government and Pemerintah – aku pernah mendengar tentang Pemerintah dan (data 20) Pada data tersebut terdapat pengulangan kata yang menghasilkan pengulangan bunyi pada baris yang sama. Pada BSu pengulangan bunyi terjadi karena adanya pengulangan penggunaan kata government pada baris tersebut. Kemudian, pada BSa pengulangan bunyi terdapat pada pengulangan kata ‘pemerintah’ yang merupakan terjemahan dari kata government. Katakata tersebut digunakan dua kali dalam baris yang sama sehingga menyebabkan pengulangan bunyi pada baris BSu dan BSa tersebut. Hal ini mendukung keakuratan dalam pengalihan makna. Contoh:
proof
Keakuratan pengalihan makna juga ditemukan pada pengalihan rima. Rima akhir pada kumpulan baris puisi tersebut juga menggunakan pola aabb. Pola yang sama juga digunakan dalam versi terjemahannya. Rima akhir yang tetap dialihkan pada BSu dan BSa terlihat pada data V/TSU/5-8/TSA/58 tersebut. Rima akhir dengan pola aabb pada BSu juga dialihkan dengan pola yang sama pada BSU. Adapun kata-kata pada BSa yang menunjukkan rima tersebut adalah air/where/strong/ song. Kemudian, kata-kata pada BSa yang menunjukkan rima tersebut adalah ‘sana’/’mana’/’jitu’/’lagu’.
Rima Internal Pengalihan bunyi yang tetap dari BSu ke BSa juga dapat ditemukan pada pengalihan rima internal. Ada tujuh data dengan rima internal yang ditemukan
The mason singing his as he makes ready for work, or leaves off work. Tukang batu menyanyikan lagunya ketika akan pergi bekerja atau seusai bekerja. (data 37) Pengulangan bunyi pada data tersebut terlihat pada kalimat yang sama dalam BSu dan BSa. Rima internal yang dimaksud terjadi pada pengulangan kata work dalam BSu yang diterjemahkan dengan kata ‘bekerja’ pada BSa. Artinya, ada pengulangan bunyi yang disebabkan oleh adanya pengulangan kata baik dalam BSu maupun dalam BSa. Artinya, pada data tersebut ada keakuratan dalam pengalihan rima dan makna.
39
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
Tabel 2 Pergeseran Rima Sebagian
Rima Awal 4/I/TSU/2-3/TSA/2-4
1 (12,5%)
Rima Akhir
Rima Internal
16/II/TSU/1-3/TSA/1-3 28/IV/TSU/1-4/TSA/1-4 29/IV/TSU/5-8/TSA/58IV/6-12
3 (37,5%) 8 (15,3%)
Bergeser Sebagian
Pada penelitian ini pergeseran rima sebagian ditunjukkan dengan tidak dialihkannya pola dan jenis rima BSu ke BSa. Artinya, pengalihan rima dari BSu ke BSa dilakukan secara kurang akurat. Perubahan rima sebagian dalam penelitian ini ditemukan pada delapan data atau 26% data yang berupa baris atau kelompok baris yang mengalami pergeseran menjadi rima lain. Sebaran data rima yang bergeser sebagian tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut terdeteksi bahwa pergeseran terjadi pada pengalihan rima awal (1 data), rima akhir (3 data), dan rima internal (4 data). Berikut ini adalah penjelasan masingmasing kategori data yang mengalami pergeseran rima tersebut.
23/III/TSU/11-14/TSA/10-13 24/III/TSU/15-19/TSA/1417(1) 25/III/TSU/15-19/TSA/1417(2) 52/VIII/TSU/2/TSA/2-3 4 (50%)
Contoh: And spit on it, and molded the shape of man and blew a breath into it, and told it to walk Meludahinya, dan menciptakan bentuk manusia, Dan mengembuskan nafas ke dalamnya dan memerintahkannya berjalan (data 4)
proof
Rima Awal Perubahan sebagian rima awal ditandai dengan adanya rima BSu yang dialihkan dan sebagian lagi tidak dilahkan ke dalam BSa. Pada penelitian ini ada sebuah data yang mengalami pergeseran sebagian, yaitu data I/ TSU/2-3/TSA/2-4. Berikut ini adalah penjelasan dari pergeseran data tersebut.
40
Pergeseran rima sebagian pada data tersebut terlihat hanya diterjemahkannya satu rima awal BSu. Terlihat dalam data tersebut adanya empat buah bunyi [èn] pada kata and dalam kalimat BSu. Namun, bunyi [èn] yang berada pada awal dua baris dalam BSu hanya diterjemahkan tiga kali saja menjadi kata ‘dan’ pada awal baris kedua BSa. Artinya, ada sebagian rima yang dihilangkan dalam kelompok baris puisi tersebut. Namun demikian, keakuratan makna dapat dipertahankan dalam terjemahan. Rima Akhir Pada penelitian ini ada tiga data yang mengalami pergeseran rima
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika ... (Retno Hendrastuti)
sebagian karena adanya penghilangan sebagian rima akhir. Berikut data yang dimaksud. Contoh: I saw a famous man eating soup. I say he was lifting a fat broth Into his mouth with a spoon. Aku menyaksikan seorang terkenal makan sup Aku katakan dia sedang mengangkat sendok ke mulutnya kaldu ayam yang gemuk. (data 16) Pada data tersebut pergeseran rima terlihat dari tidak dialihkannya pola rima BSu secara sempurna dalam BSa. Bunyi [u] dalam kata soup, broth, dan spoon pada bagian akhir BSu menghasilkan pola a-a-a. Namun, bunyi tersebut dialihkan menjadi kata ‘sup’, ‘sendok’, dan ‘gemuk’ pada bagian akhir BSa yang menghasilkan pola rima a-b-a. Artinya, ada perubahan satu bunyi pada BSa, yaitu pada bagian kedua. Oleh karena hanya satu rima yang berubah, perubahan ini dianggap sebagai perubahan rima sebagian. Namun, keakuratan makna tetap dapat teralihkan. Seperti pada data 33 berikut ini. Contoh:
Dan jambatan rusak oleh Sang Waktu telah disapu Mengalir lewat semak gelap menuju laut biru (data 33) Pada data 33 pengalihan makna secara akurat tidak dibarengi pengalihan rima akhir dengan tidak akurat, yaitu melalui variasi bunyi. Pada BSu rima akhir diperoleh dari bunyi [è] yang dikombinasikan dengan konsonan mati [p] (slept, sleeps, swept, dan creeps). Pada BSa rima akhir tersebut dialihkan dengan dengan bunyi vokal yang sama [u] dengan variasi bunyi konsonan pada dua baris pertama [r]. Rima pada BSu ditandai dengan penggunaan kata-kata ‘tertidur’, ‘mendengkur’, ‘disapu’, dan ‘biru’. Artinya, ada sedikit perubahan bunyi rima karena adanya penambahan bunyi mati [r] di akhir dua baris pertama.
proof
Rima Internal Pengalihan rima sebagian juga ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini ditandai dengan tidak dialihkannya seluruh rima internal dalam BSu ke BSa. Ada tiga rima internal yang bergeser sebagian dalam penelitia ini. Berikut penjelasan atas ketiga data yang dimaksud. Contoh:
The foe long since in silence slept; Alike the conqueror silent sleeps; And Time the ruined bridge has swept Down the dark stream which seaward creeps.
I saw militiamen level their rifles at a crowd of workingmen who were trying to get other workingmen to stay away from a shop where there was a strike on. Government in action.
Musuh yang dahulu sudah lama tertidur Seperti juga si pemenang kini lena mendengkur
Kulihat pasukan bersenjata membidikkan senapan pada serombongan pekerja yang tengah mencegah rombongan pekerja
41
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
teman mereka masuk pabrik Tatkala ada pemogokan. Pemerintah sedang beraksi. (data 23) Pada data 23 keakuratan makna dibarengi dengan pengalihan rima sebagian. Pada BSu rima intenal ditandai dengan pengulangan bunyi –men yang ditemukan pada kata militiamen dan dua buah kata workingmen. Dalam BSa kata militiamen tidak dialihkan rimanya. Namun, untuk dua kata workingmen diterjemahkan dengan dua frasa ‘(se) rombongan pekerja’ sehingga tetap ada pengulangan rima dalam baris-baris tersebut. Artinya, rima dalam BSa tetap ada (rima internal) meskipun berkurang atau hanya diterjemahkan sebagian. Contoh: The sleeping mother and babehush’d, I study them long and long
diletakkan di bagian tengah baris. Perubahan ini terjadi karena pada BSu dan BSa keduanya mempunyai fungsi sebagai keterangan waktu yang letaknya bersifat fleksibel. Bergeser Penuh
Salah satu kategori pengalihan rima dari BSu ke BSa secara tidak akurat ditunjukkan dengan dialihkannya pola dan jenis rima BSu secara berbeda ke BSa. Pada penelitian ini ada enam belas baris atau kelompok baris (30,66% data) yang mengalami pengalihan rima secara tidak akurat. Artinya, rima dari BSu dialihkan ke BSa yang menyebabkan perubahan rima. Agar lebih jelas ketidakakuratan pengalihan rima dibagi lagi menjadi tiga kategori, yaitu tidak berima menjadi berima, berima menjadi tidak berima, dan menjadi rima lain. Pergeseran penerjemahan dari tidak berima menjadi berima ditemukan dalam lima data, pengalihan dari berima menjadi tidak berima ditemukan dalam delapan data, sedangkan pengalihan menjadi rima lain ada dalam 3 data (5,76%).
proof
Ibu dan bayi yang sama tertidurnya - ssst lama dan lama aku mempelajari mereka. (data 52)
Pada data 52 keakuratan makna beriring dengan pergeseran rima sebagian juga. Pada BSu rima ditemukan pengulangan kata long pada bagian akhir baris. Namun, pada BSa, rima internal tersebut diterjemahkan secara literal dengan lema ‘lama’ yang
Tidak Berima menjadi Berima
Salah satu kategori pengalihan rima dari BSu ke BSa secara tidak akurat
Tabel 3 Pergeseran Tidak Berima Menjadi Berima
Rima Akhir
Rima Internal
5/I/TSU/2&4/TSA/2&5 44/VII/TSU/4/TSA/5-6 35/VI/TSU/1/TSA/1 42/VII/TSU/1-2/TSA/1-2 47/VII/TSU/6-8/TSA/810 4 (80%) 1 (20%) 5 (9,6%)
42
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika ... (Retno Hendrastuti)
ditunjukkan dengan dialihkannya bait atau baris yang tidak berima menjadi berima ke BSa. Sebaran data-data tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3. Dari tersebut terlihat terjadi pergeseran terjemahan dari tidak berima menjadi berima tersebar dalam tiga jenis rima. Rima-rima yang dimunculkan tersebut adalah rima awal, rima akhir, dan rima internal. Ada lima buah data yang menunjukkan perubahan menjadi berima yang terdiri atas empat rima akhir dan satu rima internal. Berikut ini adalah penjelasan data-data tidak berima yang mengalami perubahan menjadi berima. Rima Akhir Ada empat buah data yang menunjukkan perubahan menjadi berima pada rima akhir. Berikut ini adalah contoh data yang dimaksud. Contoh:
When the proofs, the figures, were ranged in columns before me, Ketika aku mendengar ahli ilmu bintang yang terpelajar Ketika sejumlah bukti dan angka di depanku dalam kolom berjajar (data 42) Pergeseran rima juga terlihat dalam rima akhir pada data tersebut. BSu yang tidak berima akhir pada BSa dialihkan menjadi berima akhir. Pengalihan ini terlihat dari pengalihan kata-kata akhir astronomer dan me dalam BSu menjadi ‘terpelajar’ dan ‘berjajar’ dalam BSa. Namun, hal tersebut menghasilkan makna yang akurat Rima Internal Pada penelitian ini ada satu data yang mengalami perubahan menjadi berima pada rima internal. Adapun data yang dimaksud adalah sebagai berikut. Contoh:
proof
I hear America singing, the varied carols I hear, Aku dengar Amerika bernyanyi, aku dengar beragam lagu puji (data 35)
Keakuratan makna pada data (35) tidak dibarengi dengan keakuratan rima. Bunyi rima akhir yang ditemukan dalam BSa tidak dapat ditemukan dalam BSunya. Meskipun keduanya disusun dalam satu baris, ada dua klausa didalamnya. Rima akhir dalam BSa tersebut ditandai dengan penggunaan dua kata dengan bunyi [i] dalam akhir klausa pada puisi tersebut. Kata yang dimaksud adalah kata ‘bernyanyi’ dan ‘puji’. Contoh: When I heard astronomer,
the
learn’d
When I sitting heard the astronomer where he lectured with much applause in the lecture-room Ketika seraya duduk kudengar ahli ilmu bintang itu memberi ceramah disambut tepukan tangan meriah di ruang kuliah (data 44) Pada data 44 terlihat keakuratan makna dibarengi dengan pengalihan BSu yang tidak mempunyai kesamaan bunyi internal menjadi berima internal di BSa-nya. Pada terjemahan barisbaris tersebut kata-kata BSu seperti lectured, much applause, dan lectureroom diterjemahkan menjadi ‘memberi ceramah’, ‘tepuk tangan meriah’, dan ‘ruang kuliah’. Ketiga frasa
43
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
Tabel 4 Pergeseran Berima Menjadi Tidak Berima
Rima Awal
Tengah
Rima Akhir
10/I/TSU/5,7,8/ TSA/6,8-10 13/I/TSU/9-11/ TSA/11-13
51/VIII/TSU/1-2/ TSA/1-3
2 (25%)
1 (12,5%)
14/I/TSU/12-13/ TSA/14-15
1 (12,5%) 8 (15,3%)
tersebut memiliki kesamaan bunyi pada bagian akhirnya, yaitu bunyi [i] yang berkorespondensi dengan bunyi konsonan [h].
Rima Internal 2/I/TSU/2/TSA/2 38/VI/TSU/5-6/ TSA/4-5 40/VI/TSU/10-11/ TSA/15-16 46/VII/TSU/6/ TSA/8 4 (50%)
And therefore he would make man to walk to earth And set apart churches for speech and song with God? Apakah Tuhan melakukannya karena Dia kesepian? Jadi diciptakannya orang yang berjalan di atas bumi Dan gereja tersendiri untuk pidato dan lagu dengan Tuhan? (data 10)
proof
Berima Menjadi Tidak Berima
Ketidakakuratan pengalihan rima dari BSu ke BSa ditunjukkan dengan dialihkannya bait atau baris yang berima menjadi tidak berima ke BSa. Dalam penelitian ini delapan buah pergeseran terjemahan dari berima menjadi tidak berima terdeteksi ditemukan dalam dua rima awal, satu rima tengah, satu rima akhir dan empat rima internal. Tabel 4 memuat penjelasan masingmasing kategori data yang mengalami perubahan rima tersebut. Rima Awal Pergeseran rima penuh ditemukan pada rima awal pada dua buah data (data 10 dan 13) dengan pergeseran sebagai berikut. Contoh:
And did God do this because he was lonely?
44
Data 10 menunjukkan pengalihan makna yang akurat. Namun, ada perubahan rima awal pada BSu yang bergeser pada BSa. Kesamaan bunyi pada awal BSu yang ditandai dengan penggunaan kata and pada ketiga baris tidak dialihkan secara tidak akurat dalam BSa. Terjemahan kata and hanya muncul pada baris ketiga yang menyebabkan hilangnya kesamaan rima awal pada ketiga baris. Contoh: These are questions. They are scrawled in old caves They are painted in tall cathedrals Ini adalah sejumlah pertanyaan.
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika ... (Retno Hendrastuti)
Yang diguratkan di dinding guha purbakala. Dilukis di dinding katedral tinggi. (data 13) Data tersebut juga merupakan contoh data yang maknanya akurat namun mengalami pergeseran rima, yaitu dari berima menjadi tidak berima. Rima awal yang ada baris-baris BSu ditandai dengan kata-kata these/they/they tidak akurat dialihkan dalam BSa. Hilangnya rima ini disebabkan diterjemahkannya kata-kata awal BSu tersebut menjadi ‘ini’, ‘yang’, dan ‘dilukis’. Rima Tengah Pada penelitian ini pergeseran rima penuh juga ditemukan pada rima tengah. Terdapat hanya ada satu data yang menunjukkan pergeseran tersebut. Berikut ini adalah data yang dimaksud. Contoh:
diterjemahkan berbeda, yaitu menjadi ‘terlelap’ dan ‘tertidur’ sehingga persamaan bunyi hilang. Rima Akhir Pada penelitian ini pergeseran rima penuh juga ditemukan pada rima akhir. Hanya ada satu data berikut yang menunjukkan pergeseran tersebut. Contoh:
There are men and women so lonely they believe God, too, is lonely. Ada lelaki dan perempuan yang begitu kesepian Mereka sangka Tuhan kesepian pula. (data 14) Pada data 14 terjadi perubahan letak bunyi yang sama. Dalam BSu bunyi yang sama ditandai dengan pengulangan penggunaan kata lonely pada akhir kedua baris tersebut. Pada BSa terjemahan kata lonely juga diterjemahkan dua kali, yaitu menjadi ‘kesepian’, tetapi pada baris kedua diletakkan tidak di bagian akhir baris. Artinya, rima akhir dalam BSu tidak dialihkan dengan akurat dalam BSa. Namun, makna tetap dapat teralihkan dengan akurat
proof
I SEE the sleeping babe, nestling the breast of its mother; The sleeping mother and babehush’d, I study them long and long Kulihat bayi terlelap mengisap susu ibunya. Ibu dan bayi yang sama tertidurnya – ssst lama dan lama aku mempelajari mereka. (data 51) Keakuratan makna pada data 51 dibarengi dengan pergeseran rima penuh. Pergeseran rima penuh ditunjukkan dengan tidak dipertahankannya rima yang ada di BSu ke dalam BSa. Bunyi berulang dari pengulangan kata sleeping di bagian tengah kedua baris tersebut menandai eksistensi rima tengah BSu. Namun, dalam BSa kedua kata tersebut
Rima Internal Pergeseran rima penuh ditemukan pula pada rima internal. Ada empat data yang menunjukkan pergeseran tersebut dan berikut ini adalah data dengan perubahan pada rima akhir yang dimaksud. Contoh:
And spit on it, and molded the shape of man
45
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
Meludahinya, dan menciptakan bentuk manusia (data 2) Data 2 menunjukkan hilangnya rima internal dalam terjemahan baris puisi. Rima internal dalam BSu ditunjukkan dengan pengulangan kata and dalam BSa ternyata tidak diterjemahkan atau dihilangkan. Namun, pada data ini makna tetap teralihkan dengan akurat. Fenomena yang sama juga terjadi pada data berikut ini. Contoh: The boatman singing what belongs to him in his boat, the deckhand singing on the steamboat deck, Tukang kayu menyanyikan lagunya seraya mengukur papan atau baloknya, (data 38)
akhir dari berima menjadi berima lain. Berikut ini adalah data yang mengalami perubahan rima tersebut. Tabel 5 Pergeseran menjadi Rima Lain
Rima Akhir 30/IV/TSU/9-12/TSA/9-12 31/IV/TSU/13-16/TSA/13-16 32/V/TSU/1-4/TSA/1-4 3 (5,76%)
Penjelasan data-data yang berupa pasangan bait dengan perubahan rima akhir dapat dilihat berikut ini. Contoh 1: Spirit, that made those heroes dare To die, and leave their children free, Bid Time and Nature gently spare The shaft we raise to them and thee.
proof
Penghilangan rima dalam BSa juga terlihat dalam data tersebut. Rima internal dalam BSu terlihat dari pengulangan bunyi dari kata boat dan kata deck. Kedua kata tersebut dalam BSu digunakan untuk menggambarkan dua buah profesi (boatman dan deckhand) dan tempat mereka bekerja (‘papan’ dan ‘balok’). Dalam BSa keduanya diterjemahkan dengan menghilangkan beberapa hal seperti terjemahan boat, deckhand, dan deck sehingga pengulangan bunyi hilang juga.
Berima Lain Ketidakakuratan pengalihan rima dari BSu ke BSa juga ditunjukkan dengan dialihkannya bait atau baris yang berima menjadi berima lain ke BSa. Dalam penelitian ini ditemukan tiga buah pergeseran terjemahan rima
46
Semangat itulah yang mendorong pejuang jadi perkasa Melepas nyawa agar anak-anak bisa merdeka Semoga Waktu dan Semesta ramah menjaga Apa yang telah tegak ini bagi mereka dan anda. (data 31)
Seperti data sebelumnya, data 31) juga mengalami perubahan pola rima yang sama. Artinya, pima akhir dengan pola a-b-a-b pada keempat bait BSu dialihkan menjadi pola a-a-a-a pada BSa. Kata-kata dare, free, spare, dan thee menandai rima akhir pada BSu. Kemudian, kesamaan bunyi dengan pola a-a-a-a pada BSa ditandai dengan penggunaan kata ‘perkasa’, ‘merdeka’, ‘menjaga’, dan ‘anda’.
Pergeseran Rima dalam Penerjemahan Puisi Amerika ... (Retno Hendrastuti)
Contoh: I shot an arrow into the air, It fell to earth, I knew not where; For, so swiftly it flew, the sight Could not follow it in its flight. Aku melepas sepucuk panah ke udara Dia jatuh ke bumi, tak tahu aku di mana Karena begitu kencangnya melesat sehingga Tak dapat pandangan mengejarnya (data 32) Perubahan rima akhir juga ditemukan pada data di atas, yaitu dari a-a-b-b menjadi a-a-a-a. Pada BSu rima a-a-b-b dapat dilihat dari penggunaan bunyi akhir dari kata-kata air, where, sight, dan flight. Kemudian, pada BSa ima a-a-a-a dapat diidentifikasi melalui penggunaan bunyi vokal [a] pada bagian akhir baris-baris tersebut, yaitu dari kata-kata ‘udara’, ‘mana’, ‘sehingga’, dan ‘mengejarnya’. Berdasarkan temuan penerjemahan rima puisi di atas, terlihat adanya upaya minimalisasi pergeseran rima. Hal ini terlihat dari lebih banyak dipertahankannya rima dari BSu ke BSa. Separo lebih data tidak mengalami pergeseran atau tetap. Bahkan, ada total 9 kelompok baris puisi yang tetap diterjemahkan tidak berima. Namun demikian, penerjemahan rima pada penelitian ini tetap menunjukkan adanya pergeseran rima. Pada beberapa puisi ditemukan juga yang rimanya tidak ada yang teralihkan dengan akurat. Misalnya, pada puisi 8 hanya ada satu rima yang dialihkan dengan akurat. Selain itu, dari data di atas terlihat juga
bahwa pada puisi 4 rimanya tidak ada yang teralihkan dengan akurat. Secara garis besar, fenomena pergeseran rima yang ditemukan dalam penelitian ini tidak memengaruhi keakuratan makna. Disini, keakuratan dan ketidakakuratan pengalihan rima tetap menghasilkan terjemahan yang akurat maknanya. Artinya, tetap ada upaya pemertahanan makna terjemahan puisi yang dilakukan baik melalui pemertahanan rima maupun melalui pergeseran rima.
SIMPULAN Analisis terhadap pergeseran rima puisi terjemahan Taufik Ismail menunjukkan adanya pergeseran rima yang meliputi rima tetap, bergeser sebagian, dan bergeser penuh. Namun demikian, pengalihan rima secara akurat atau tanpa mengalami pergeseran jenis rima terjadi pada separoh dari keseluruhan data. Pergeseran rima yang ditemukan dalam penelitian ini tidak memengaruhi keakuratan makna. Bahkan, ini merupakan bentuk upaya pemertahanan makna terjemahan puisi. Kajian ini hanya sebatas penggalian data pergeseran rima puisi dari produk penerjemahan. Sebaiknya ada pula penggalian lebih lanjut pada proses penerjemahan, terutama dengan mengkroscek secara langsung bagaimana dan alasan diterapkan pergeseran rima yang mempengaruhi kualitas makna kepada penerjemah puisi.
proof
Daftar Pustaka
Aiwei, S. 2005. “Translatability and Poetic Translation.” Dalam
47
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 33—48
Translatum: The Greek Translation Vortal. No. 5. Mastuti. 2005. Penggunaan Majas pada Puisi Psalm 19, terjemahan Versi The Holy Bible New International Version, dalam Pendewasaan dan Pengembangan Cara Berpikir Dialektik (Kajian berdasarkan Teori Semiotika Metode Hermeneutika, dan Dialektika). Tesis. Surakarta: Universitas Diponegoro. Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Newmark, P. 1988. A Textbook Translation. UK: Prentice Hall International Ltd. Perrine, L. 1990. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Syahdan, S. 2010. Analisis Perubahan Makna pada Penerjemahan Dua Buah Puisi Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Sripsi. Jakarta: UI. Suryawinata, Z. & Hariyanto, S. 2003. Translation: Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius. Sutopo, H.B. 2006. Penelitian kualitatif: Dasar teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Waluyo, H.J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
proof
48
PENGGUNAAN BAHASA MAHASISWA MULTIETNIK DALAM MEDIA SOSIAL (The Use of Language of University Students in Social Media) oleh//by: Emma Maemunah Balai Bahasa Jawa Tengah Jalan Elang Raya Nomor 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang 50272 Telepon (024) 76744357, Faksimile (024) 76744358 Pos-el:
[email protected] Diterima: 1 Februari 2016, Disetujui: 14 Maret 2016
ABSTRAK Keberagaman etnik dalam komunitas mahasiswa memunculkan suatu nuansa dan fenomena yang khas dan berbeda dalam penggunaan bahasa. Masyarakat multietnik cenderung menggunakan bahasa yang berbeda-beda ketika berkomunikasi dengan etnik satu dan etnik lainnya. Keberagaman etnik dan bahasa tersebut memungkinkan seseorang menjadi mampu menggunakan lebih dari satu bahasa. Komunikasi saat ini dapat dilakukan melalui berbagai media, salah satunya adalah media sosial. Banyak sekali media sosial yang dapat digunakan untuk berkomunikasi, seperti facebook, tweeter, bbm (blackberry messenger), line, dan whatsapp. Penelitian dengan ancangan sosiolinguistik dan metode kualitatif deskriptif ini bertujuan mendeskripsikan bahasa yang digunakan dalam komunitas mahasiswa multietnik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh mahasiswa multietnik di Kota Semarang dalam media sosial adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Kemultietnikan mahasiswa dengan bahasa yang berbeda mengakibatkan penggunaan campur kode. Faktor penyebab penggunaan bahasa tertentu antarmahasiswa multietnik adalah stimulus atau inisiasi yang disampaikan oleh penutur pertama. Selain itu, faktor latar atau situasi bahasa tertentu digunakan, faktor penutur dan petutur yang melakukan percakapan, maksud dan tujuan yang diinginkan oleh penutur dan petutur, bentuk pesan dan isi pesan yang dipilih oleh penutur dan petutur turut memengaruhi bahasa yang digunakan. Kata Kunci: campur kode, media sosial, multietnik
ABSTRACT The ethnical variety in the university student community has brought a unique phenomena and different nuance in their language use. The students in the multiethnic community tend to use various languages to communicate to each other. Those various ethnics and languages would encourage the member of the community to use more than one language. In the other hand, people could communicate nowadays through all sorts of media. One of them is social media. Some of the social medias such as facebook, tweeter, bbm (blackberry messenger), line, and whatsapp could be used as mean of communication. This research uses approach in sociolinguistics and qualitative-descriptive method. The aim of this research is describing the language use in students’ multiethnic community. The result shows that the language used in multiethnic students in Semarang in social media is Indonesian, local, and foreign languages. The students in different language multiethnic community used the code-mixing. The factor that causes a certain language use in multiethnic students is the stimulus or the initiation uttered by
49
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 49—59
the first speaker. The other factor such as setting or situation where a certain language used, speaker, and hearer that are involved in the conversation, form and contain of the message chosen by the speaker and the hearer, have also influence the language used. Keywords: code mixing, social media, multiethnic
PENDAHULUAN Keberagaman etnik dalam satu komunitas memunculkan suatu nuansa dan fenomena yang khas dan berbeda dalam penggunaan bahasa. Masyarakat multietnik cenderung menggunakan bahasa yang berbeda-beda ketika berkomunikasi dengan etnik satu dan etnik lainnya. Nuansa dan fenomena berbahasa yang berbeda tersebut terjadi tidak hanya karena perbedaan bahasanya, tetapi juga topik pembicaraan dan mitra tuturnya. Keberagaman etnik dan bahasa tersebut memungkinkan seseorang menjadi mampu menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan bahasa daerah di luar wilayah penutur aslinya menyebabkan terciptanya beberapa bentuk dwibahasawan atau multibahasawan. Pada masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa terdapat pola kedwibahasaan yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat di dalam repertoar bahasa masyarakat tersebut. Di Indonesia, repertoar bahasa ini biasanya terdiri atas bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Siregar, 1981:1 dalam Karsana, 2009:133). Para ahli bahasa mengartikan dwibahasawan secara beragam. Bloomfield (1933) mengartikan dwibahasawan sebagai seseorang yang menguasai dua bahasa seperti penutur asli atau bahasa kedua yang dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama. Sementara itu, Mackey (1972,
dalam Chaer dan Agustina, 2010:87) menggambarkan kedwibahasaan sebagai praktik penggunaan bahasa secara bergantian dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Haugen (1966, dalam Mutmainah, 2008:40) mengartikan dwibahasawan sebagai seseorang yang mampu memberikan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain. Wardhaugh (1986:99) mengatakan bahwa masyarakat dwibahasa atau multibahasa dihadapkan pada masalah untuk memilih kode. Kode adalah sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau lebih yang berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu. Pada saat bertutur, seorang dwibahasawan mungkin harus memutuskan untuk berganti dari satu kode ke kode lain atau mencampur kode-kode tersebut. Kondisi kedwibahasaan dengan segala bentuk fenomena yang mengiringinya mungkin terjadi dalam konteks lisan atau percakapan langsung. Sementara itu, komunikasi saat ini dapat dilakukan melalui berbagai media, salah satunya adalah media sosial. Banyak sekali media sosial yang dapat digunakan untuk berkomunikasi, seperti facebook, tweeter, bbm (blackberry messenger), line, dan whats app. Facebook merupakan salah satu jejaring sosial yang terkenal di dunia maya. Facebook dapat menghubungkan ratusan juta manusia di dunia tanpa mengenal batas wilayah.
proof
50
Penggunaan Bahasa Mahasiswa Multietnik ... (Emma Maemunah)
Whatsapp adalah layanan pesan multiplatform yang menggunakan sambungan internet telepon. Penggunanya dapat bercakap-cakap (chatting) dan melakukan panggilan (menelepon) dengan pengguna whatsapp lainnya. Whatsapp ini hampir sama dengan line, yaitu suatu aplikasi yang digunakan untuk kegiatan berkirim pesan (messenger/chatting) dengan menggunakan nomor telepon. Twiteer adalah jejaring sosial yang terdiri atas 140 karakter yang disebut tweet. Melalui tweet ini berita, informasi, dan teman baru dapat ditemukan. BlackBerry Messenger adalah aplikasi pengirim pesan instan yang awalnya disediakan untuk para pengguna perangkat BlackBerry. Aplikasi ini dapat diaktifkan setelah pengguna mendapatkan PIN (nomor identitas pengguna) dari penyedia jasa BlackBerry. Beberapa aplikasi jejaring sosial tersebut memiliki fitur untuk berbagi status, berita, video, foto, kontak dan sebagainya. Selain itu, para pengguna dapat bertukar pendapat, pikiran, bahkan melakukan bisnis. Komunikasi yang terjadi melalui media sosial tersebut merupakan bahasa tulis. Akan tetapi, status, komentar, dan pendapat yang ditulis dalam media sosial tersebut merupakan representasi atau transformasi bahasa lisan ke bahasa tulis. Ragam yang digunakan dalam media sosial adalah ragam tidak baku atau informal. Ciri ragam bahasa tidak baku atau informal adalah bentuknya yang singkat, langsung, tidak memiliki fungsi gramatikal yang lengkap, misalnya ketiadaan subjek (S) dalam
satu kalimat, dan menggunakan banyak singkatan atau akronim. Ragam bahasa informal ini biasanya mengikuti atau menyesuaikan dengan keadaan dan situasi komunikasi, yaitu siapa, kepada siapa, masalah apa, dan untuk tujuan apa. Penggunaan ragam informal lebih mengarah pada situasi komunikasi yang ringan, basa-basi, dan santai. Hal itu terlihat dari pilihan dan penulisan kata-katanya, seperti penyingkatan dan penghilangan beberapa huruf dan suku kata. Media sosial digunakan oleh berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang budaya, bahasa, dan sosial yang berbeda, salah satunya adalah mahasiswa. Para mahasiswa itu memiliki nuansa yang berbeda dalam penggunaan bahasa, baik dalam menuliskan status maupun dalam memberikan komentar. Penelitian tentang penggunaan bahasa di media sosial pernah dilakukan oleh Sena Budi Husada dalam skripsinya yang berjudul “Register Chatting Para Chatter Surakarta” pada tahun 2007 di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Penelitian tersebut menghasilkan keunikan bentuk-bentuk register dalam chatting, keunikan tersebut berupa: pemakaian kata ganti sapaan, penulisan ejaan yang tidak perlu, pemakaian slang, kekhasan penanggalan fonem dan suku kata, pemakaian afiks dialek Jakarta, pemakaian morfem partikel dialek Jakarta, dan pemakaian singkatansingkatan. Dalam penelitian tersebut juga membahas cara chatter mengenal register chatting, di antaranya bertanya pada chatter lain, inisiatif berpikir sendiri, proses belajar panduan dari
proof
51
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 49—59
orang lain, ikut-ikutan atau pengaruh komunikasi langsung media internet, dan intensitas aktivitas chatting. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa, baik mahasiswa S-1 maupun S-2 di Kota Semarang. Masalah yang dibahas dalam tulisan ini adalah bahasa apa sajakah yang digunakan dalam komunitas mahasiswa multietnik di Kota Semarang dalam media sosial. Hasil yang dicapai adalah deskripsi bahasa yang digunakan dalam komunitas mahasiswa multietnik di Kota Semarang dalam media sosial. Banyak ahli bahasa yang membuat definisi tentang sosiolinguistik. Kridalaksana (2011:225) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang ilmu yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Sementara itu, Kartomihardjo (1981:4 dalam Handono, 2013:8) mengemukakan bahwa:
oleh faktor-faktor nonlinguistik, seperti faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa adalah status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Di samping itu, pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa seperti yang dirumuskan oleh Fishman (dalam Suwito, 1985:4) “Who Speaks, what language, to whom, and when”. Secara sosiolinguistik, sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur apabila telah memenuhi syarat-syarat, seperti pokokpokok pembicaraan, situasi, tujuan, dan ragam yang digunakan. Hymes (Sumarsono, 2004:335 dan Chaer dan Agustina, 2010:48) menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang dirangkaikan dalam sebuah akronim, yaitu S-P-E-AK-I-N-G. Akronim tersebut dijabarkan sebagai berikut.
proof
Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa dan variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan dalam suatu masyarakat. Jadi, sosiolinguistik tidak hanya menyangkut masalah wujud formal bahasa dan variasi bahasa, tetapi juga menyangkut masalah penggunaan bahasa di masyarakat yang berkaitan dengan berbagai faktor, baik kebahasaan maupun nonkebahasaan, seperti faktor soaial budaya.
Dalam kajian sosiolinguistik, pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga
52
(1) Setting dan scene, mencakup latar atau situasi penggunaan bahasa. Secara umum setting ini menunjuk kepada keadaan dan lingkungan fisik tempat tuturan itu terjadi, sedangkan scene berkaitan erat dengan kondisi psikologis dan batasan kultural sebuah tuturan. Kondisi tersebut memungkinkan seorang penutur untuk beralih dari kode yang satu ke dalam kode yang lain dalam suasana tertentu di tempat (setting) yang sama. (2) Participant, mencakup penutur, pengirim, pendengar, dan penerima. Partisipant dapat dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua
Penggunaan Bahasa Mahasiswa Multietnik ... (Emma Maemunah)
pihak dalam bertutur. Pihak pertama adalah penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu penutur dapat pula bertambah dengan hadirnya pihak ketiga.
seseorang dalam bertututr dengan mitra tutur. Norma interpretasi memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi kepada mitra tutur.
(3) End, mencakup maksud dan tujuan yang dikehendaki oleh penutur. Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau buah pikiran, merayu, membujuk, mendapatkan kesan, dan sebagainya.
(8) Genre, mencakup jenis penyampaian pesan (puisi, dialog, cerita, dan lain-lain). Jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Kategori tersebut mencakup kategori wacana, seperti percakapan, cerita, pidato, dan sebagainya.
(4) Act Sequence, mencakup bentuk pesan dan isi pesan. Ini merupakan bagian dari komponen tutur yang tidak pernah tetap, artinya bahwa pokok tuturan itu akan selalu berubah dalam deretan pokokpokok tuturan dalam peristiwa tutur.
Suwito (1985:39) menunjukkan bahwa apabila terdapat dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama akan terjadi kontak bahasa. Apabila kontak bahasa itu terjadi pada individu pemakai bahasa, dapat dikatakan bahwa orang atau individu bilingual itulah yang merupakan tempat terjadinya kontak bahasa. Kondisi yang demikian juga dapat membawa akibat adanya hubungan saling ketergantungan antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain. Artinya bahwa tidak pernah akan mungkin seorang penutur dalam masyarakat tutur yang demikian hanya akan menggunakan satu bahasa secara murni, tidak terpengaruh oleh bahasa yang lainnya yang sebenarnya memang sudah ada dalam diri penutur itu. Hal inilah yang dapat menimbulkan gejala alih kode (code switching).
proof
(5) Key, mencakup unsur nada suara dan ragam bahasa. Nada tutur berkaitan erat dengan masalah modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat menunjuk kepada nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya. (6) Instrumentalities, mencakup saluran (media) dan bentuk tutur (lisan/tulisan). Saluran atau media tutur adalah alat di mana tuturan itu dapat dimunculkan oleh penutur dan sampai kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, tulis, sandi, atau kode-kode tertentu. (7) Norm, mencakup norma interaksi dan norma interpretasi. Norma interaksi menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh
HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini dilakukan di komunitas mahasiswa multietnik. Informan penyedia data
53
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 49—59
adalah mahasiswa yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Kendari (Sulawesi Tenggara). Penulis akan menjelaskan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa multietnik berdasarkan data yang diperoleh dari sosial media mereka, yaitu facebook, tweeter, bbm (blackberry messenger), line, dan whatsapp. Facebook selanjutnya akan ditulis Fb, blackberry messenger selanjutnya akan ditulis BBM, dan whatsapp selanjutnya akan ditulis WA. Hasil analisis menunjukkan bahwa para mahasiswa multietnik menggunakan bahasa yang berbedabeda, bergantung pada stimulus atau inisiasi yang dilontarkan oleh penutur. Stimulus tersebut dapat berupa bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Untuk kenyamanan informan, nama yang muncul dalam media sosial mereka ditulis dengan inisialnya saja. Data ditulis apa adanya tanpa melihat apakah penulisan kata atau kalimatnya benar atau salah. Selain itu, untuk memudahkan pengelompokan, informan yang berasal dari Sumatera Utara, Riau, dan Jambi akan dikategorikan sebagai etnik Melayu. Berikut ini beberapa contoh penggunaan bahasa oleh mahasiswa multietnik dalam media sosial.
RUM : Iyoo diesnatalis kmren itu tu gosong rai – ‘Iya, dies natalis kemarin itu tu gosong muka’ JL : hahahha dak snatalis jgo smo bbe ay msi item tulah ‘Hahaha tidak dies natalis juga sama masih hitam’ RUM : is tp dk seitem kau eh mas:D haha ‘Tapi tidak sehitam kau eh mas, haha’ RUM : iyo jalu! ‘Iya, Jalu’ JL : sopan ouYyy ‘Sopan dong’ RUM : iyo kakak jalu:D ‘Iya, kakak Jalu’ JL : nah cak itu ‘nah seperti itu’ RUM : seneng lah itu dionih ‘Senang lah dia tuh’
proof
(1) Informasi indeksal: RUM menggunggah sebuah foto bersama dua temannya di FB. Foto tersebut dibuat pada sebuah acara dies natalis. RUM adalah mahasiswi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro Semarang. JL : alangke item2 ny kalian:D ‘alangkah hitam-hitamnya kalian’
54
Percakapan (1) terjadi antara JL dan RUM melalui FB. RUM berasal dari etnik Batak, Sumatera Utara. JL mengawali komentarnya terhadap foto RUM bersama teman-temannya dengan kata bahasa Melayu alangke ‘alangkah’ diikuti dengan kata ulang item-item yang merupakan kata percakapan untuk ‘hitam.’ Kemudian, RUM mengiyakan komentar JL dengan kata Melayu iyoo ‘ya.’ Dari percakapan tersebut terlihat bahwa penutur dan petutur secara sengaja bersama-sama menggunakan bahasa Melayu dalam percakapannya meskipun tidak utuh karena masih bercampur dengan bahasa Indonesia. Hal tersebut terjadi karena baik penutur maupun petutur berasal dari etnik yang sama, yakni Melayu.
Penggunaan Bahasa Mahasiswa Multietnik ... (Emma Maemunah)
Kata-kata lain yang berasal dari etnik Melayu adalah jgo ‘juga’, smo ‘sama’, cak ‘seperti’, dan dio ‘dia’. Selain itu, terdapat beberapa kata yang ditulis sesuai dengan pengucapannya, seperti item ‘hitam’, seneng ‘senang’, dan kmren ‘kemarin’. Selain itu, terdapat beberapa kata seru, seperti is, tulah, ouYyy, dan nah. (2) Informasi indeksal: TC menulis sebuah status di FB “Perjalanan ke Semarang pagi ini lancar. Semarang, now I’m here.” TC adalah seorang mahasiswi pascasarjana Magister Ilmu Linguistik, Universitas Diponegoro. SAI : Titi kuliah maneh pho... cmgttt sobatq...sukses y TC : Hai Ipip..walahh..kuliahku ra rampung2, hiks...aku ke Smg mo ngurus maju sidang tesis. Doakan ya ben ndang rampung SAI : Amin2 y Robb..he sukses trus y...smg lancar smua urusan. Anakq thn ini kuliah n Undip jg nie. TC : Awakmi tinggal di mn? Aku stay sampe Rabu, Ketemu yuk! SAI : Aq wis jd org Mglg... cb nanti sore n Bojoq plg kerja mo nganter k Smrg y... inbook..ukeyyyy TC : Okee PRS : Titi laoshi, ni hao! Hao jiu bu jian le. Qing wen ni, ni shenmo shihour kao shuoshi lunwenshi? Du shuo chenggong! Jiayou!! Poedji laoshi.
TC
:
Percakapan (2) terjadi antara TC dan temannya SAI melalui FB. TC menulis sebuah status dalam FBnya bahwa dia telah tiba di Kota Semarang dan perjalanannya lancar. Status yang merupakan stimulus ditulis dalam bahasa Indonesia. Kemudian, temannya, SAI mengomentari status tersebut dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Percakapan berlangsung dengan menggunakan kedua bahasa tersebut. Selain sebagai mahasiswa pascasarjana, TC juga seorang dosen bahasa Mandarin di salah satu universitas di Jakarta. Oleh karena itu, terdapat sebuah respons dari temannya dengan menggunakan bahasa Cina yang dibalas dengan bahasa yang sama oleh TC. PRS berkomentar dengan bahasa Cina dalam huruf Latin dan TC membalas dengan bahasa Cina dalam huruf Cina. Percakapan (2) yang terjadi antara TC, SAI, dan PRS didominasi dengan penggunaan bahasa Jawa yang merupakan bahasa ibu TC dan SAI.
proof
(3) informasi indeksal: Nr mengirim pesan lewat WA kepada IAN salah seorang pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Nr berasal dari Kirgizstan –sebuah negara kecil berbentuk republik di kawasan Asia Tengah dan pernah berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Nr adalah seorang mahasiswa BIPA di Universitas Negeri Semarang. Nr : ? : As.alaykum
55
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 49—59
: Ada bertanyaan? : Mas saya mau ambil reference karena dari unnes : Kapan saya bisa ambil : Saya harus send reference minggu ini hari senin atau selasa : Karena di Kirgizistan keluarga saya mau ambil uang kalau saya akan send referensi mereka bisa ambil bisa anda membantu saya? : Kata-kata saya betul? IAN : Iya boleh minta surat referenxe : Besok senin saya buatkan ya : Oke Nr : Ok
melalui BBM. ALM dan EN adalah mahasiswa pascasarjana di Universitas Negeri Semarang. ALM : Ingat tesis, pak.. EN : Lg kepentok sm kajian pustaka, Lif... ALM : Hahaahahaha EN : Bsk jadi ke pekalongan? : Kumpul dimana? ALM : Kata temn@ di kontraknku, pak. EN : Oke Percakapan (4) sama dengan percakapan (3) di mana bahasa Indonesia digunakan secara bersamasama oleh pelibat percakapan. ALM berasal dari Kendari, Sulawesi Tenggara dan berbahasa ibu bahasa Cia-cia. Untuk dapat berkomunikasi dengan EN, teman mahasiswa pascasarjananya di UNNES, ALM harus menggunakan bahasa dapat yang dipahami bersama, yakni bahasa Indonesia. EN yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah, pun melakukan hal yang sama sehingga komunikasi berjalan efektif.
proof
Percakapan (3) terjadi antara Nr dan IAN. Bahasa Indonesia digunakan dari awal sampai dengan akhir percakapan, baik oleh penutur maupun petutur. Hal tersebut terjadi karena Nr adalah seorang penutur asing yang sedang mempelajari bahasa Indonesia meskipun terdapat penulisan yang masih dipengaruhi oleh bahasa asing, yaitu send reference. Selain itu, terdapat tuturan yang susunan katanya terbalik dan cenderung diucapkan oleh penutur asing, seperti Kapan saya bisa ambil (umumnya kapan bisa saya ambil). Pada percakapan (3) tersebut Nr juga tidak melakukan penyingkatan kata dalam tulisannya. Semua kata ditulis secara utuh tidak seperti dalam percakapan lainnya. (4) Informasi indeksal: ALM mengomentari foto EN yang sedang duduk di pantai
56
(5) Informasi indeksal: Percakapan berikut disalin dari grup BBM yang bernama Linguistik UNDIP 015. Para anggota grup itu sedang bercanda dan saling mengejek. AKF : Bangke tenan og linguist siji iki.. Tema ngenean diangkat ning forum ngene ki pieeee jaaan : Hahaha DMV : Bangkeeeee... Mending gantung diri... AHA : Ah.. Km gtu bro, setiap Rabu-Jumat kalian kn
Penggunaan Bahasa Mahasiswa Multietnik ... (Emma Maemunah)
: DMV :
MLS : AHA :
: AKF :
RC
:
AHA : AKF :
sekasur dan sekamar mandi berdua. Akui sja bro, ini forum linguist harapan bangsa...wkwkw Mas, AKF sehat? Jgan lupa makan Mas, biar gk Wafat.. Mas AKF... Pliiiss... Mas AHA ngajakin mandi tu ditrima... iya Mas Ahmad so pasti Haha..Lho, pasangan tidur & mandinya Mas AKF datang pemirsah. Mas DMV jgan cemburu to Fiuuuuuhhhh... Bolo kurowo mulai indikasi stress akibat tesis.. Haha Mandi bareng mas ahmad sana Wkakak... Haduh, Duh kurowo ne metuuu.. Hahaha
seperti AKF memiliki sikap setia dan bangga terhadap bahasa ibunya, yakni bahasa Jawa dan AKF lebih nyaman menggunakan bahasa Jawa dalam konteks santai atau bercanda bersama teman-temannya. Konteks tersebut terlihat dari penggunaan haha yang merupakan onomatope suara tertawa manusia. (6) Informasi indeksal: Percakapan berikut disalin dari grup BBM yang bernama Grup MLI Undip 2015. AR, ER, dan RP yang merupakan anggota grup tersebut sedang membicarakan masalah perkuliahan. AR : Pengumuman: bwt teman2 yg ikut Metode Penelitian, kul hari Rabu dimajukan mjd hr Sabtu mulai pk 8:3012, 2 sesi sekalian ER : oke, smga bapake on time AR : Semoga efektif membhs materi yg didiskusikan. RP : alhamdulillah : yes. Lgsung pesan tiket ke jkt : iya mksh mas ardi AR : Kalo dpgl satu2 nm mhswnya bgm? Pak Suryadi terkadang suka ngabsen kan? RP : ntar aku yang mintain izin deh : apa artinya ini...tekan nggonku ora? AR : Sampai temptku tidak, itu artinya RP : oke : mas tlh translate ke jawa : silakan dimbil sendiri ke semarang
proof
Percakapan (5) terjadi dalam sebuah grup BBM mahasiswa pascasarjana linguistik UNDIP (semester 1). Grup BBM tersebut beranggotakan mahasiswa yang berasal dari Jawa tengah, Jawa barat, Sumatera Barat, Banten, dan Sulawesi Selatan. AKF memulai percakapan dengan tuturan berbahasa Jawa Bangke tenan og linguist siji iki.. Tema ngenean diangkat ning forum ngene ki pieeee jaaan. Kemudian, tuturan tersebut direspons oleh anggota yang lain dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, AKF tetap merespons dengan menggunakan bahasa Jawa Fiuuuuuhhhh... Bolo kurowo mulai indikasi stress akibat tesis.. Haha dan Duh kurowo ne metuuu..Hahaha. Hal itu dapat terjadi karena berbagai alasan,
57
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 49—59
Percakapan (6) terjadi dalam sebuah grup mahasiswa pascasarjana linguistik UNDIP 2015 (semester 2). Percakapan antara AR, ER, dan RP dilakukan dalam bahasa Indonesia karena ER berasal dari Jawa Timur, RD berasal dari Jakarta, dan AR dari Jawa Tengah. Ketika salah satu anggota grup tidak dapat memahami sebuah tuturan bahasa lain, anggota yang lain berusaha menerangkan arti tuturan tersebut dan komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Hal tersebut terlihat pada tuturan RP: apa artinya ini...tekan nggonku ora? Kemudian, AR menerjemahkan: Sampai temptku tidak, itu artinya. (7) Informasi indeksal: Percakapan ini dikutip dari WA milik FR. FR sedang mengobrol dengan ADR temannya. FR sedang kesepian karena teman-temannya sedang kuliah kerja nyata (KKN). FR : sevik ko dimn ADR : Kerja proposal tuty hhe : Sy ada mau ke rio ini
penggunaan bahasa dalam satu percakapan. Faktor situasional dan faktor sosial, seperti usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan pekerjaan turut menentukan pemilihan dan pemakaian bahasa dalam suatu percakapan.
SIMPULAN Bahasa yang digunakan oleh mahasiswa multietnik di Kota Semarang dalam media sosial adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa, bahasa Betawi, dan bahasa Melayu. Bahasa Asing yang digunakan adalah bahasa Inggris dan sedikit bahasa Cina. Penggunaan bahasa yang berbeda-beda tersebut dipengaruhi oleh stimulus atau inisiasi yang disampaikan oleh penutur pertama. Selain itu, faktor latar atau situasi di mana bahasa tertentu digunakan, faktor penutur dan petutur yang melakukan percakapan, maksud dan tujuan yang diinginkan oleh penutur dan petutur, bentuk pesan dan isi pesan yang dipilih oleh penutur dan petutur turut memengaruhi bahasa yang digunakan.
proof
Percakapan (7) terjadi antara FR dan ADR di WA. Keduanya berasal dari Sumatera. FR (penutur) mengetahui persis bahwa ADR (petutur) berasal dari etnik yang sama maka dia meyakini apabila ADR akan memahami bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan pengaruh Melayu. Pengaruh bahasa Melayu terlihat pada penggunaan kata ko ‘kau’ dan rio ‘Riau’, dan susunan kalimat Sy ada mau ke rio ini ‘Saya akan pergi ke Riau’ atau ‘Saya berniat pergi ke Riau.’ Dari ketujuh percakapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor penutur dan petutur turut memengaruhi
58
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Handono, Suryo dkk. 2013. Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Propaganda Politik. Semarang: Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah. ---------. 2013. Pilihan Bahasa Masyarakat Dwibahasa JawaIndonesia pada Ranah Sekolah Menengah Atas Kota Semarang. Yogyakarta: Elmatera.
Penggunaan Bahasa Mahasiswa Multietnik ... (Emma Maemunah)
Husada, Sena budi. 2007. “Register Chatting Para Chatter”. Skripsi. Surakarta: FKIP UNS Surakarta. Hymes, Dell. 1975. Foundations in Sociolinguistics. An Ethnographic Approach. The University of Pennsylvania Press, Inc. Karsana, Dewi. 2009. Sikap dan Pemertahanan Bahasa Sunda di Kota Palu (Studi Kasus Paguyuban Warga Saluyu). Dalam Multilingual. Jurnal Kebahasaan dan Kesastraan. Balai Bahasa Provinsi Palu. Volume 2 Tahun VIII. Desember 2009. Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Mutmainah, Yulia. 2008. “Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik pada Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur”. Program Studi Linguistik (S2). Semarang: Universitas Diponegoro. Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Suwito. 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Cipta. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. http://journal.um.ac.id/index.php/jph/ article/viewArticle/4440
proof
59
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016
60
PENGGUNAAN BAHASA KOMUNITAS PEDAGANG DI KOTA SEMARANG (Language Use of Merchant’s Community In Semarang) oleh/by: Suryo Handono Balai Bahasa Jawa Tengah Jalan Elang Raya, Mangunharjo, Tembalang, Semarang Telepon 024-76744357, Faksimile 024-76744358
[email protected];
[email protected] Diterima: 7 Maret 2016, Disetujui: 11 April 2016
ABSTRAK Tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa peran faktor sosial, budaya, dan situasional dalam penggunaan bahasa komunitas pedagang di Kota Semarang belum terungkap secara empiris. Selain itu, interaksi verbal pada ranah tersebut yang melibatkan berbagai partisipan dengan topik yang bervariasi akan memunculkan penggunaan bahasa yang bervariasi. Tulisan ini mendeskripsi kosabahasa, variasi bahasa, dan faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa. Untuk mengungkap permasalahan tersebut, digunakan pendekatan linguistik, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial, tetapi tetap bertumpu pada permasalahan bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat. Data tulisan ini adalah tuturan warga komunitas pedagang di Kota Semarang yang dikumpulkan melaui pengamatan langsung dengan menggunakan teknik simak, baik simak libat cakap maupun simak bebas libat cakap, dan metode wawancara yang disertai dengan teknik rekam dan catat. Melalui analisis kontekstual ditemukan bahwa kosabahasa terdiri atas bahasa Indonesia ragam formal, bahasa Indonesia ragam nonformal, bahasa Jawa ragam krama, dan bahasa Jawa ragam ngoko. Variasi berwujud tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Pilihan tunggal bahasa meliputi pengunaan bahasa Indonesia ragam formal, bahasa Indonesia ragam nonformal, bahasa Jawa ragam krama, dan bahasa Jawa ragam ngoko. Alih kode terdiri atas alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa krama, bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa krama ke bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa ngoko ke bahasa Indonesia. Campur kode terdiri atas campur kode bahasa Jawa ragam krama dalam bahasa Indonesia, bahasa Jawa ragam ngoko dalam bahasa Indonesia, bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ragam krama, bahasa Jawa ragam ngoko dalam bahasa Jawa ragam krama, bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa ragam ngoko, dan bahasa Jawa ragam krama dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Campur kode tersebut berbentuk kata, frasa, baster, perulangan, dan ungkapan. Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa adalah status sosial, jarak sosial, usia, situasi tutur, dan tujuan tutur. Kata kunci: penggunaan bahasa, kosabahasa, variasi, faktor, dan komunitas pedagang
ABSTRACT This research is conducted to the fact that the role of social factor, culture, and the situation of the language use in Semarang merchant’s community is not yet being studied empirically. In the other side, the verbal interaction in such community involves various participants with various topics and language use. This study aims to describe the language vocabulary, variation, and factors that influence the language use. To overcome the problems, the writer not only uses
61
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
the linguistics, sociology, anthropology, and social psychology approaches, but also relates language with society. The data is taken from the utterances of the merchant’s community in Semarang which are collected from the direct observation using the techniques of simak, whether simak libat cakap or simak bebas libat cakap, and the method of interview using the take-note and interview method. Through the contextual analysis, it is found that the language vocabularies of the community are formal and nonformal Indonesian language, Javanese krama and ngoko. The variations are in the form of single language, code switching, and code mixing. The single language is in the form of formal and nonfromal Indonesian, Javenese karma and ngoko. The code switching is in the form of switching Indonesian to Javanese krama, Indonesian to Javanese ngoko, Javanese krama to Indonesian, and Javanese ngoko to Indonesian. The code mixing is in the form of Javanese krama in Indonesian, Javanese ngoko in Indonesian, Indonesian in Javanese krama, Javanese ngoko in Javanese krama, Indonesian in Javanese ngoko, and Javanese krama in Javanese ngoko. The code mixing is found in words, phrases, baster, repetition, and expressions. The factors that influence the language use is the social status, social distance, age, purpose and the situation of the utterances. Keywords: language use, language vocabulary, variation, factor, and merchant’s community.
PENDAHULUAN Bahasa tidak terlepas dari masyarakat. Bahasa lahir dan berkembang bersama masyarakat. Tanpa bahasa masyarakat tidak mungin dapat berinteraksi. Selain sebagai alat komunikasi, secara sosial bahasa berfungsi sebagai cara untuk mengidentifikasi kelompok sosial tertentu. Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat. Pengenalan identitas seseorang dilakukan dengan melihat bahasa yang digunakan dalam percakapan. Dalam disiplin tersebut, bahasa dikaji sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Kajian itu memfokuskan pada bagaimana suatu bahasa berfungsi di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, kajian tersebut berusaha menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa dalam situasi yang bervariasi (Handono, 2013:1). Salah satu kajian sosiolinguistik adalah penggunaan bahasa pada masyarakat multietnik. Pada masyarakat
tersebut terdapat beberapa bahasa yang digunakan. Berbagai bahasa digunakan untuk saling berinteraksi dan terjadilah kontak bahasa. Kontak bahasa itu menimbulkan keberagaman karena melibatkan lebih dari dua bahasa secara bergantian. Keberagaman bahasa juga terjadi di Kota Semarang. Keberagaman itu memungkinkan masyarakat menggunakan lebih dari satu bahasa. Masyarakat dapat menggunakan kode bahasa sesuai dengan situasi tutur yang berlangsung, beralih dari satu kode ke kode yang lain, bahkan mencampur kode-kode tersebut. Penggunaan kode itu ditentukan oleh faktor sosial, budaya, dan situasional (Kartomihardjo, 1981; Fasold, 1984; Hudson, 1996). Penggunaan bahasa masyarakat multietnik menarik untuk diteliti, apalagi terjadi pada masyarakat dengan skala kecil, seperti komunitas pedagang di pasar. Selain itu, faktor sosial, budaya, dan situasional dalam penggunaan bahasa masyarakat, khususnya pada komunitas pedagang di kota Semarang,
proof
62
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
belum terungkap secara empiris. Oleh karena itu, fenomena penggunaan bahasa pada ranah tersebut menarik dan relevan untuk dikaji. Tulisan ini akan memaparkan bahasa apa saja yang digunakan, variasi bahasanya, dan faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa pada komunitas pedagang di Kota Semarang. Dalam pembahasan hal tersebut akan digunakan pendekatan sosiologi, psikologi, dan antropologi. Sosiologi dan antropologi digunakan karena penggunaan bahasa berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat (Fasold, 1984:183), sedangkan pendekatan psikologi (psikologi sosial) digunakan karena penggunaan bahasa berkaitan dengan kondisi psikologis penutur (Rokhman et al, 2005:16). Namun, kajian ini tetap berada pada kajian sosiolinguistik yang bertumpu pada permasalahan bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat (Wardaugh, 1986:12, Holmes, 1992:1, Hudson, 1996:1). Data dalam kajian ini berupa tuturan pada komunitas pedagang Kota Semarang dan berupa informasi latar sosial budaya masyarakat. Data berupa tuturan dikumpulkan dengan metode pengamatan langsung dan teknik simak, baik teknik simak libat cakap (SLC) maupun teknik simak bebas libat cakap (SBLC) (Sudaryanto, 2015:203—205). Dalam pengamatan ini diterapkan konsep observer’s paradox, yaitu cara pengambilan data tanpa diketahui atau disadari oleh informan bahwa dia sedang diteliti (Wardhaugh, 1986:18— 19). Data berupa informasi tentang latar sosial budaya dikumpulkan dengan metode wawancara yang disertai dengan teknik rekam dan catat.
Analisis dilakukan dengan pendekatan kontekstual yang mendasarkan pada aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengait dengan ujaran (Kridalaksana, 1993:120). Data tuturan dianalisis berdasarkan konteks sosial dan kultural yang realisasinya tertuang dalam komponen tutur Hymes (1974) dan dijabarkan berdasarkan kondisi kebahasaan di Indonesia, khususnya Jawa, oleh Poedjosudarmo (Handono, 2013:30).
KOSABAHASA, VARIASI, DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN BAHASA KOMUNITAS PEDAGANG DI KOTA SEMARANG Kosabahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang
proof
Kosabahasa adalah macam bahasa yang digunakan dalam pertuturan pada ranah tertentu. Kosabahasa yang ditemukan pada komunitas pedagang Kota Semarang terdiri atas bahasa Indonesia ragam formal (BIF), bahasa Indonesia ragam tidak formal (BITF), bahasa Jawa ragam krama (BJK), dan bahasa Jawa ragam ngoko (BJN). Kosabahasa berupa bahasa Indonesia ragam formal (BIF) ditandai oleh bentuk kata yang baku dan kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia. Penggunaan itu ditemukan pada tindak tutur pramuniaga konter seluler dan pramusaji rumah makan, khususnya pada tuturan sapaan atau ucapan selamat datang. (1) Konteks : Percakapan pramuniaga konter seluler dengan pengunjung.
63
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
P-1 : Silakan Bapak, selamat pagi. P-2 : Ana dompet Samsung, Mbak? ‘Ada dompet Samsung, Mbak?’ P-1 : Ada, untuk android? Seperti ini? P-2 : Ora, Mbak, sing dinggo na sabuk. ‘Bukan, Mbak, yang dipakai di sabuk.’ Pada peristiwa tutur (1) P-1 menggunakan BIF. Keformalan bahasa ditandai oleh kecermatan penggunaan kata dan kelengkapan unsur kalimatnya, seperti pada tuturan P-1, Silakan Bapak, selamat pagi. Selain itu, terasa sekali suasana yang sangat formal dari P-1 untuk menghormati P-2. Kosabahasa kedua berupa bahasa Indonesia ragam tidak formal (BITF). Ragam ini digunakan pada suasana santai atau tidak resmi serta menunjukkan keakraban.
Kosabahasa ketiga berupa bahasa Jawa ragam krama (BJK). Ragam ini digunakan oleh penutur kepada orang yang dihormati, baik berdasarkan status sosial, pendidikan, maupun usia. Namun, ada kemungkinan seorang dengan status sosial dan pendidikan lebih tinggi memilih ragam ini untuk berkomunikasi dengan yang lebih rendah status serta pendidikannya dengan tujuan menghormati. (3) Konteks : Pedagang (Jawa) menawarkan sayuran kepada pembeli (Jawa) P-1 : Mangga, Bu, punika kangkunge ayu-ayu. ‘Silakan, Bu, ini kangkungnya cantik-cantik’ P-2 : Pinten. Bu? ‘Berapa, Bu?’ P-1 : Kangge cundhuk laris, kalih ewu mawon. ‘Untuk penglaris, dua ribu saja.’ P-2 : Gangsal ewu tiga nggih?‘Lima ribu tiga ya?’
proof
(2) Konteks : Tawar-menawar antara pedagang (Minangkabau) dengan pembeli (Jawa) P-1 : Mumpung masih ada, Bu, ini produk limited. P-2 : Mahal. Kurangi ta! P-1 : Waduh, dah mepet banget itu, Bu. Untungnya cuma dikit. P-2 : Wis, tujuh puluh wae. Pada peristiwa tutur (2) P-1 dan P-2 menggunakan BITF. Ketidakformalan tuturan P-1 ditandai oleh penggunaan kata mumpung dan limited bentuk tidak baku senyampang dan terbatas serta penggunaan dah, banget, cuma dan dikit bentuk tidak baku dari sudah, sangat, hanya dan sedikit. Ketidakformalan tuturan P-2 ditandai penggunaan ta sebagai alih-alih lah serta kata wis dan wae sebagai padan kata sudah dan saja.
64
Pada peristiwa tutur (3) P-1 (pedagang) dan P-2 (pembeli) menggunakan BJK. Namun, BJK kedua penutur berbeda. BJK P-1 lebih halus dan santun daripada BJK P-2. Hal tersebut dipengaruhi oleh status sosial penutur. P-1 (pedagang) merasa lebih rendah status sosialnya sehingga menggunakan BJK yang halus untuk menghormati P-2. Sebaliknya, P-2 yang berstatus sosial lebih tinggi juga ingin menghormati P-1 yang lebih tua. Kosabahasa keempat berupa bahasa Jawa ragam ngoko (BJN). BJN digunakan untuk berkomunikasi dengan mitra tutur yang sudah akrab tanpa dipengaruhi usia, status, dan pendidikan. (4) Konteks : P e m b i c a r a a n antarpedagang (laki-laki, dewasa, etnis Jawa)
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
P-1 : Jare arep melu njupuk barang, wingi tak tunggu. ‘Katanya mau ikut mengambil barang, kemarin aku tunggu.’ P-2 : Keturon aku, kesel tenan, jam pitu aku lagi tangi. ‘Aku tertidur, capai sekali, pukul tujuh aku baru bangun.’ P-1 : Apa, Aku nilpon jarene kowe kumpulan? ‘Apa, aku menelepon katanya kamu ikut pertemuan?’ P-2 : Ya bener, aku nyat kumpulan jam wolunan. Ya kuwi ta, mataku isih kelet we wis dioyak-oyak kumpulan. ‘Ya benar, aku memang ikut pertemuan pukul delapanan. Ya itulah, mataku masih lengket sudah dikejar-kejar ikut pertemuan’
formal, baik berkaitan dengan suasana, topik, maupun tempat. (5) Konteks : percakapan penjaga konter seluler (laki-laki, Jawa) dan pengunjung (wanita, Sunda) tentang kerusakan telepon gengam. P-1 : Silakan, Bu. P-2 : Mas, kok HP saya ini cepat sekali habis baterainya? Kenapa ya? P-1 : Coba saya lihatnya. Silakan duduk dulu. P-2 : Ya, Mas, terima kasih. P-1 : Wah, Bu, ini kena virus. P-2 : Terus bagaimana? P-1 : Harus diprogram ulang. P-2 : Lama tidak? P-1 : Ya, sekitar satu jam.
proof
Pada peristiwa tutur (4) P-1 dan P-2 yang sama-sama pedagang menggunakan BJN. Penggunaan ragam ini menunjukkan adanya hubungan yang dekat atau akrab antarpenutur. Variasi Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang a. Tunggal Bahasa
Penggunaan tunggal bahasa adalah penggunaan salah satu kosabahasa secara konsisten dalam suatu peristiwa tutur. Penggunaan tunggal bahasa meliputi pengunaan bahasa Indonesia ragam formal (BIF), bahasa Indonesia ragam tidak formal (BITF), bahasa Jawa ragam krama (BJK), dan bahasa Jawa ragam ngoko (BJN). BIF digunakan pada peristiwa tutur yang bersifat
Pada peristiwa tutur (5) P-1 dan P-2 menggunakan BIF. Penggunaan tersebut dipengaruhi oleh situasi tuturan. P-1 merasa perlu menghargai mitra tuturnya dengan menggunakan BIF. Selain itu, didasari pula oleh pengetahuan P-1 bahwa mitra tuturnya tidak menguasai bahasa Jawa. Bahasa Indonesia ragam tidak formal (BITF) digunakan pada peristiwa tutur tidak resmi, santai, dan akrab serta ini tidak dipengaruhi oleh faktor usia dan status peserta tutur. (6) Konteks : P e r c a k a p a n antarpedagang (laki-laki, Jawa dan perempuan, Tionghoa) tentang nilai anaknya P-1 : Kok baru buka, Ci? P-2 : Lha aku pigi sik da sekolahe anakku.
65
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
P-1 : P-2 : P-1 : P-2 :
Ngambil rapot? Gimana nilaine? Lumayan. Kok ndak papine sing ngambil? Apa mau ta, ndak pernah dheke ngurusi gitu-gituan.
Peristiwa tutur (6) menunjukkan pengunaan BITF oleh (P-1) dan (P-2). Ketidakformalan tuturan P-1 ditandai penggunaan kata ngambil bentuk pangkas mengambil, gimana bentuk pangkas bagaimana, ndak alih-alih kata tidak, serta akhiran bahasa Jawa ragam ngoko, yaitu e. Ketidakformalan tuturan P-2 ditandai oleh penggunaan kata pigi, sik, da, dan dheke alih-alih kata pergi, dulu, ke, dan dia, serta akhiran e bahasa Jawa pada kata papine. Bahasa Jawa ragam krama (BJK) digunakan pada peristiwa tutur yang melibatkan mitra tutur dengan status sosial atau usia lebih tua dengan tujuan untuk menghormati.
P-2 P-1
: Kaliyan kurunganipun ta? ‘Dengan kurungannya kan?’ : Nggih pun, mangga.‘Ya sudah, silakan.’
Pada peristiwa tutur (7) P-1 dan P-2 menggunakan BJK. P-1 menggunakan BJK karena mitra tuturnya memiliki status sosial lebih tinggi. P-2 juga memilih BJK karena mitra tuturnya lebih tua. Keduanya memilih ragam tersebut untuk saling menghormati. Bahasa Jawa ragam ngoko (BJN) digunakan pada tuturan yang bersifat tidak resmi, santai, dan akrab serta tidak dipengaruhi usia, jenis kelamin, dan status. (8) Konteks : Percakapan sesama pedagang (laki-laki, dewasa, Jawa) tentang resepsi P-1 : Mengko sida bareng ra? ‘Nanti jadi bersama-sama tidak?’ P-2 : Kayae aku ra isa teka. ‘Sepertinya aku tidak bisa datang.’ P-1 : Lha, nyapa? Ra gayeng no. ‘Lha, mengapa? Tidak ramai gitu.’ P-2 : Ora ana sing jaga, Pak Man bojone lara. ‘Tidak ada yang jaga, istri Pak Man sakit.’ P-1 : Lara apa meneh? Perasaan kok kereb banget lara. Ya wis tilik? ‘Sakit apa lagi? Rasanya kok sering sekali sakit. Ya sudah besuk?’ P-2 : Lha ngapa tilik, larane wae merga ngidam kok ditiliki, sengeni Pak Man ta. ‘Lha mengapa besuk, sakitnya saja karena ngidam kok ditengok, dimarahi Pak Man dong.’
proof
(7) Konteks : percakapan pedagang burung (laki-laki, Jawa) dengan seorang pembeli (pemuda, Jawa) P-1 : Mangga dipun pirsani rumiyin. ‘Silakan dilihat dulu.’ P-2 : Ingkang punika sampun ngoceh dereng, Pak? ‘Yang ini sudah ngoceh belum, Pak?’ P-1 : Dereng, nembe ngriwik, punika ingkang sampun gacor. ‘Belum, baru ngriwik, ini yang sudah gacor.’ P-2 : Pun mahar pinten? ‘Dimahar berapa?’ P-1 : Tiga selangkung mawon. ‘Tiga ratus dua puluh lima saja.’
66
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
Pada peristiwa tutur (8) P-1 dan P-2 menggunakan BJN yang didasari keakraban tanpa dipengaruhi status, pendidikan, maupun usia. Namun, kedua penutur saling menjaga rasa hormat meskipun ada unsur bercanda, yaitu pada tuturan Lha ngapa tilik, larane wae merga ngidam kok ditiliki, sengeni Pak Man ta. b. Alih Kode
Alih kode adalah peralihan penggunaan kode dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Alih kode terdiri atas alih kode dari bahasa Indonesia (BI) ke bahasa Jawa krama (BJK), bahasa Indonesia (BI) ke bahasa Jawa ngoko (BJN), bahasa Jawa krama (BJK) ke bahasa Indonesia (BI), bahasa Jawa ngoko (BJN) ke bahasa Indonesia (BI), bahasa Jawa krama ke ngoko (BJN), dan bahasa Jawa ngoko (BJN) ke krama (BJK). Alih kode (BI) ke BJK dapat dilihat pada tuturan berikut ini.
Pada peristiwa tutur (9) pada mulanya P-1 menggunakan BI. Karena P-2 menjawab dengan BJK, P-1 kemudian beralih kode ke BJK juga. Pada tuturan selanjutnya mereka menggunakan ragam tersebut. Alih kode dari BI ke BJN dapat dilihat pada tuturan berikut ini. (10) Konteks : Percakapan pembeli (Jawa) dan penjual pakaian (Minangkabau) P-1 : Empat puluh ya, Da? P-2 : Wah, belum dapat, Mas. P-1 : Kurangi, ya? Lima puluh. Aja larang-larang. Kurangi, ya? Lima puluh. ‘Jangan mahalmahal’. P-2 : Ora larang, Mas, nek semono aku rugi. ‘Tidak mahal, Mas, kalau segitu aku rugi.’ P-1 : Mosok rugi, wis tambah lima. ‘Masa rugi, dah tambah lima.’ P-2 : Ben dadi wis! ‘Biar jadi dah!’
proof
(9) Konteks : Percakapan seorang penjual (wanita, dewasa, Jawa) dan pembeli (wanita, muda, Jawa) dalam tawar-menawar kerudung P-1 : Yang model ini saja, Mbak, agak murah. P-2 : Kirang sreg motipipun. ‘Kurang cocok motifnya.’ P-1 : Nggih pancen sae iku, ning artane nggih langkung kathah. ‘Ya memang baik yang itu, tetapi harganya ya lebih mahal.’ P-2 : Boten napa-napa, pun bacut seneng sing niki. ‘Tidak apaapa, sudah terlanjur senang yang ini.’
Pada peristiwa tutur (10) P-1 dan P-2 awalnya menggunakan BI. Namun, P-1 beralih menggunakan BJN, Aja larang-larang. Hal itu juga diikuti oleh P-2 yang bertutur menggunakan BJN, Ora larang, Mas, nek semono aku rugi. Alih kode dari BJK ke BI dapat dilihat pada tuturan berikut ini. (11) Konteks : Percakapan penjual sayur (Jawa) dengan pembeli (muda, Melayu) P-1 : Mangga, ngersakaken punapa, Bu? ‘Silakan, mencari apa, Bu?’ P-2 : Ada daun paya yang sudah matang? P-1 : Ada, Bu. Mau berapa? P-2 : Satunya berapa?
67
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
P-1 : Dua ribu sebungkus. Isinya tiga. P-2 : Ya, satu, Bu. P-1 : Lainnya? Pada peristiwa tutur (11) P-1 awalnya menggunakan BJK dan disambut oleh P-2 menggunakan BI. Sambutan itu menyadarkan P-1 bahwa mitra tuturnya tidak menguasai bahasa Jawa. Oleh karena itu, ia beralih kode menggunakan BI. Alih kode dari BJN ke BI terjadi pada tuturan berikut ini. (12) Konteks : Percakapan antarsesama pedagang tentang tujuan meninggalkan pasar P-1 : Kowe meh neng endi? ‘Kamu mau ke mana?’ P-2 : Mulih ta. ‘Pulang.’ P-1 : Wis rampung? ‘Sudah selesai?’ P-2 : Beres semua, sekarang sudah bebas dari beban. P-1 : Penakmen. ‘Enak sekali’ P-2 : Ya, mau apa lagi?
P-2 : Sangang dasa. ‘Sembilan puluh’ P-1 : Pasipun pinten, Pak? ‘Harga pasnya berapa, Pak?’ P-2 : Wolung dasa pun. ‘Delapan puluh dah.’ P-1 : Dikorting gangsal ewu nggih? ‘Dikorting lima ribu ya?’ P-2 : Walah, sampeyan ki piye ta, Bu? Wis njaluk rega pase kok isih njaluk korting. ‘Walah, kamu itu bagaimana, Bu? Sudah minta harga pas kok masih minta korting.’ Pada peristiwa tutur (13) P-1 (pembeli) dan P-2 (penjual) semula menggunakan BJK. Karena kesal dengan P-1 yang menuntut penurunan harga, P-2 akhirnya beralih kode BJN. Alih kode dari BJN ke BJK dapat dilihat pada tuturan berikut ini.
proof
Pada peristiwa tutur (12) P-1 dan P-2 menggunakan BJN. Pada kesempatan kedua P-2 beralih kode dengan menggunakan BI beres semua, sekarang sudah bebas dari beban. Hal itu dilakukan untuk menyatakan kegembiraannya sekaligus bercanda dan sedikit mengejek temannya yang masih harus memberesi dagangannya. Alih kode dari BJK ke BJN terjadi pada tuturan berikut ini. (13) Konteks : Percakapan penjual dan pembeli dalam tawarmenawar batik. P-1 : Ingkang abrit punika reginipun pinten? ‘Yang merah itu harganya berapa?’
68
(14) Konteks : Percakapan antara penjual dan pembeli (wanita, Jawa). P-1 : Pecel bakmi pira, Yu? ‘Pecel bakmi (harganya) berapa, Yu?’ P-2 : Telu setengah. ‘Tiga setengah.’ P-1 : Sepuluh ewu telu ya? ‘Sepuluh ribu tiga ya?’ P-2 : Nggih pun kangge mbukak dhasar. “Ya sudah untuk membuka penjualan.’
Pada peristiwa tutur (14) antara P-1 dan P-2 menggunakan bahasa Jawa Ragam ngoko. Setelah terjadi kesepakatan, P-2 beralih kode menggunakan bahasa Jawa ragam krama dengan maksud menghargai dan menyatakan terima kasih.
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
c. Campur Kode
Campur kode adalah penggunaan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan bahasa lain yang tidak lagi memunyai fungsi sendiri dan menyatu dengan bahasa yang disisipinya. Campur kode pada komunitas pedagang di Kota Semarang meliputi macam dan bentuk campur kode. Macam campur kode berkaitan dengan bahasa apa saja yang digunakan, sedangkan bentuk campur kode berkaitan dengan wujudnya. 1) Macam Campur Kode Macam campur kode terdiri atas campur kode bahasa Jawa ragam krama (BJK) dalam bahasa Indonesia (BI), Jawa ragam ngoko (BJN) dalam bahasa Indonesia (BI), bahasa Indonesia (BI) dalam bahasa Jawa ragam karma (BJK), bahasa Jawa ragam ngoko (BJN) dalam bahasa Jawa ragam krama (BJK), bahasa Indonesia (BI) dalam bahasa Jawa ragam ngoko (BJN), dan bahasa Jawa ragam krama (BJK) dalam bahasa Jawa ragam ngoko (BJN). Campur kode BJK dalam BI tampak pada tuturan berikut ini.
Campur kode itu disebabkan oleh keinginan P-1 untuk menghormati orang yang dimaksudkan dalam tuturan. P-1 merasa bahwa kata berikan berkonotasi kurang hormat dan memilih kata caoske yang berkonotasi hormat. Campur kode BJN dalam BI dapat dilihat pada tuturan berikut ini. (16) Konteks : Percakapan antarsesama pedagang ketika akan pulang P-1 : Pulang bareng aku? ‘Pulang bersama dengan aku?’ P-2 : Enggak ah, mesake Ruwi pulang sendiri. ‘Tidak ah, kasihan Ruwi pulang sendiri.’ P-3 : Ndakpapa, barenga dia! ‘Tidak apa-apa, bersamalah dia!’ P-2 : Nggak ah, nggak setia kawan namanya. P-3 : Tapi kan setia ama doi. P-2 : Masih banyak waktu untuk bersama. P-3 : Sesuk, kiamat lho. ‘Besok kiamat lho.’ P-1 : Ya, udah, neknu aku nanti pulang duluan. ‘Ya, sudah, kalau begitu aku nanti pulang duluan.’ P-3 : Tapi, nggak marah kan?
proof
(15) Konteks : Pemilik kios (Tionghoa) menyuruh karyawan (Jawa) mengambilkan sesuatu. P-1 : Poles yang lima kiloan masih ada nggak? P-2 : Ada, masih banyak. P-1 : Ambilke satu, Man! P-2 : Ya, Pak... Ini, Pak, taruh mana? P-1 : Itu, caoske ibuke. Pada peristiwa tutur (15) P-1 dan P-2 menggunakan BI. Pada tuturan ketiga P-1 terjadi campur kode BJK, yaitu penggunaan caoske ‘berikan’.
Pada peristiwa tutur (16) ketiga penutur menggunakan BI. Namun, mereka melakukan campur kode BJN. Campur kode tersebut ditandai dengan penggunaan kata bareng ‘bersama’, mesake ‘kasihan’, sesuk ‘besuk’, dan neknu ‘kalau begitu’. Campur kode BI dalam BJK terdapat pada tuturan berikut ini. (17) Konteks : Pedagang bertanya kepada penjaga pasar
69
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
P-1 :
P-2 : P-1 :
P-2 :
tentang pintu kamar mandi Sampeyan ndak pun didhawuhi Bu Is? ‘Apakah Anda sudah disuruh Bu Is?’ Dhawuhi napa ta, Pak? ‘Disuruh apa, Pak?’ Niku lhe, pintu kamar mandi mboten saget dibuka, mbok tulung diakali. ‘Itu lho, pintu kamar mandi tidak dapat dibuka, tolong dibetulkan.’ O, nggih gampil niku. ‘O, ya, mudah itu’
Pada peristiwa tutur (17) P-1 dan P-2 menggunakan BJK. Pada tuturan kedua P-1 terdapat campur kode BI dalam BJK, yaitu penggunaan frasa kamar mandi sebagai alih-alih kata kolah. Frasa tersebut dipilih karena lebih dikenal digunakan daripada kata kolah. Campur kode BJN dalam BJK dapat dilihat pada tuturan berikut ini.
tuturannya itu terdapat campur kode BJN, yaitu penggunaan akhiran –e (BJN) yang seharusnya –ipun (BJK) pada kata pesenane ‘suratnya’ dan dhawuhe ‘perintahnya’. Kata-kata itu seharusnya adalah seratipun ‘suratnya’ dan dhawuhipun ‘perintahnya’. Kemudian, pada tuturan P-1 juga terdapat penggunaan –e (BJN) yang seharusnya –aken (BJK) pada kata caoske ‘berikan’ yang seharusnya caosaken ‘berikan’. Selain campur kode dalam bentuk baster bahasa Jawa ragam ngoko dalam bahasa Jawa ragam krama tersebut, pada tuturan tersebut juga terdapat campur kode berupa perulangan, yaitu penggunakaan kata dhewe-dhewe (BJN) ‘sendiri-sendiri’ yang seharusnya piyambak-piyambak (BJK) ‘sendiri-sendiri’. Campur kode BI dalam BJN dapat dilihat pada tuturan berikut ini.
proof
(18) Konteks : Percakapan sesama penjual tentang pesanan P-1 : Pesenane sampun kula caoske ibu, Pak. ‘Pesananya sudah saya berikan ibu, Pak.’ P-2 : Dados setunggal napa dhewedhewe? ‘Jadi satu atau sendirisendiri?’ P-1 : Dados setunggal nika, lha dhawuhe Ibu dados setunggal. ‘Jadi satu itu, lha perintahnya Ibu jadi satu.’ P-2 : O, nggih, mboten napa-napa, turnuwun nggih. ‘O, ya, tidak apa-apa, trimakasih ya.’ Pada peristiwa tutur (18) P-1 dan P-2 menggunakan BJK. Pada
70
(19) Konteks : Seorang pedagang mengajak pedagang yang lain untuk berembug P-1 : Ayo Pak, Bu, ngumpul sebentar! ‘Ayo Pak, Bu, berkumpul sebentar!’ P-2 : Ya kudu nggawa perjanjian kontrak? ‘Ya harus membawa perjanjian kontrak?’ P-1 : Ya kudu. ‘Ya harus.’ P-2 : Tak njupuk sik. ‘Aku ambil dulu.’ P-1 : Cepet lho, ditunggu! ‘Cepat , ditunggu’
Pada peristiwa tutur (19) digunakan BJN. Namun, pada tuturan tersebut terselip kata sebentar pada tuturan P-1, Ayo Pak, Bu, ngumpul sebentar! dan frasa perjanjian kontrak pada tuturan P-2, Ya kudu nggawa perjanjia kontrak?
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
yang merupakan kata dan frasa BI yang memang belum ada padanannya dalam BJN. Campur kode BJK dalam BJN dapat dilihat pada tuturan berikut ini. (20) Konteks : Percakapan antarsesama pedagang tentang pajak kendaraan P-1 : Jenengan wis sida pajek? ‘Anda sudah jadi pajak?’ P-2 : Adoh kok, Pak, sesuk-sesuk mawon. ‘Jauh kok, Pak, besukbesuk saja.’ P-1 : Lak wis cedhak ta? ‘Kan sudah dekat?’ P-2 : Cedhak piye, Jenengan kuwi, neng Tambakaji kok cedhak. ‘Dekat bagaimana, Anda itu, ke Tambakaji kok dekat.’ P-1 : Lewat biro wae rak wis. ‘Lewat biro jasa saja, beres.’ P-2 : Kepeksane. ‘Jika terpaksa.’
Campur kode berupa kata dapat disimak pada contoh berikut ini. (21) Konteks : Percakapan pedagang dan pembantunya pada sore hari ketika akan tutup P-1 : Jangan lupa besuk datang pagipagi lho. P-2 : Nurunin apa lagi ta, Nyah? P-1 : Lha itu ta, kan berase mau datang lagi. P-2 : Ala, Nyah, nurunin gula tadi saja dah kemeng kok besuk masih ditambah lagi. ‘Ala, Nyah, nurunin gula tadi saja sudah pegal kok besuk masih ditambah lagi.’ P-1 : Lha gimana, Narto sakit ya terpaksa kamu sendiri. P-2 : Besuk kalau aku lempoh gimana, Nyah? ‘Besuk kalau aku ’tidak dapat berjalan’ bagaimana, Nyah?
proof
Tuturan antarpedagang pada peristiwa tutur (20) menunjukkan adanya campur kode BJK dalam BJN, yaitu pemakaian kata jenengan ‘anda’, yang merupakan bentuk pangkas panjenengan, pada tuturan P-1: Jenengan wis sida pajek? Dan, pada tuturan P-2: Cedhak piye, Jenengan kuwi, neng Tambakaji kok cedhak. Selain itu, campur kode itu juga ditandai oleh penggunaan kata mawon ‘saja’ yang merupakan bentuk pangkas kata kemawon pada tuturan P-2: Adoh kok, Pak, sesuk-sesuk mawon. 2) Bentuk Campur Kode Campur kode yang terjadi pada peristiwa tutur komunitas pedagang di Kota Semarang berbentuk kata, frasa, baster, perulangan, dan ungkapan.
Pada peristiwa tutur (21) terdapat campur kode berbentuk kata, yaitu kemeng ‘pegal’ pada tuturan P-2 (pembantu) Ala, Nyah, nurunin gula tadi saja dah kemeng kok besuk masih ditambah lagi dan kata lempoh ‘tidak dapat berjalan’ pada tuturan P-2 Besuk kalau aku lempoh gimana, Nyah?. Kata kemeng dan lempoh adalah kata bahasa Jawa yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut digunakan dengan maksud menyangatkan keadaan. Dengan digunakannya kata itu, maksud penutur lebih mudah ditangkap dan dirasakan daripada digunakan kata pegal dan lumpuh. Campur kode dalam bentuk frasa adalah penggunaan frasa suatu bahasa ke bahasa lain, seperti pada tuturan berikut ini.
71
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
(22) Konteks : Pedagang bertanya kepada pemasok tentang kedatangannya di kiosnya P-1 : Lho, memang aku kurang berapa? P-2 : Nggak kurang kok, Pak. P-1 : Lha mau ngapain? P-2 : Mau minta tapak asma Ibu. ‘Mau minta tanda tangan Ibu.’ P-1 : Ya, tunggu sebentar lagi datang! Peristiwa tutur (22) menunjukkan campur kode berbentuk frasa bahasa Jawa ragam krama, yaitu tapak asma ‘tanda tangan’, dalam tuturan berbahasa Indonesia Mau minta tapak asma Ibu. Frasa tersebut digunakan oleh penutur sebagai bentuk hormat pada orang yang akan dimintai tanda tangan. Selain itu, pemasok memang sudah terbiasa menggunakan BJK ketika bertutur dengan istri pedagang itu. Kebiasaan itu memengaruhi tuturannya ketika sedang berbicara sesuatu yang menyangkut istri pedagang itu. Campur kode berbentuk baster adalah penggunaan kata pada suatu bahasa yang dalam pembentukannya mendapatkan unsur afiks dari bahasa yang lain.
P-2 : O, nggih, mboten napa-napa, turnuwun nggih. ‘O, ya, tidak apa-apa, trimakasih ya.’ Pada peristiwa tutur (23) P-1 dan P-2 menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Pada tuturan itu terdapat campur kode berbentuk baster, yaitu kata pesenane, caoske, dan dhawuhe, yang berasal dari kata bahasa Jawa ragam krama, pesenan ‘pesanan’, caos ‘beri’, dan dhawuh ‘perintah’ yang dalam pembentukannya mendapatkan afiks berupa akhiran –e (bahasa Jawa ragam ngoko). Akhiran –e pada kata pesenane ‘pesanannya’dan dhawuhe ‘perintahnya’ seharusnya –ipun sehingga bentuk kata itu adalah pesenanipun dan dhawuhipun. Kemudian, akhiran –e pada kata caoske ‘berikan’ pada tuturan P-1 seharusnya –aken sehingga kata itu berbentuk caosaken ‘berikan’. Campur kode berbentuk perulangan adalah pengunaan kata ulang dalam satu bahasa yang pembentukannya identik dengan perulangan pada bahasa lain, seperti perulangan dalam bahasa Indonesia yang identik dengan bentuk perulangan bahasa Jawa, yaitu kata ulang boleh-boleh dan apa-apa.
proof
(23) Konteks : Percakapan sesama penjual tentang pesanan P-1 : Pesenane sampun kula caoske ibu, Pak. ‘Pesananya sudah saya berikan ibu, Pak.’ P-2 : Dados setunggal napa dhewedhewe? ‘Jadi satu atau sendirisendiri?’ P-1 : Dados setunggal nika, lha dhawuhe Ibu dados setunggal. ‘Jadi satu itu, lha perintahnya Ibu jadi satu.’
72
(24) Konteks : Percakapan antarsesama pedagang tentang pemindahan pasar P-1 : Hasile pertemuan piye? P-2 : Ya, begitulah. P-1 : Begitu gimana ta? P-2 : Yah, dipindah itu boleh-boleh saja, tapi yang jelas gitu lho. Kalau nanti pasar jadi, kita dapat jatas kios lagi. P-1 : Wah, kudu didemo wae. P-2 : Demo piye? Kalau ada apaapa, awak-awak ini juga yang disalahkan.
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
Pada peristiwa tutur (24) terdapat penggunaan campur kode berbentuk perulangan, yaitu kata ulang bolehboleh pada tuturan Yah, dipindah itu boleh-boleh saja, tapi yang jelas gitu lho dan apa-apa pada tuturan Demo piye? Kalau ada apa-apa, awak-awak ini juga yang disalahkan. Pembentukan kata ulang boleh-boleh dan apaapa tersebut identik dengan bentuk perulangan bahasa Jawa olah-oleh atau entak-entuk dan apa-apa. Campur kode berbentuk ungkapan adalah penyisipan ungkapan dari bahasa lain pada suatu bahasa yang digunakan, seperti pada tuturan berikut ini. (25) Konteks : P e r c a k a p a n antarpedagang tentang teguran kepala pasar kepada mereka P-1 : Kowei piye ta, ora sportif, ditakoni Bu Titik kok meneng wae? “Kamu itu bagaimana, tidak sportif, ditanya oleh Bu Titik kok diam saja?’ P-2 : Heeh, ra mutu tenan. Kita ndak tahu apa-apa melu dimarahi. ‘Iya, benar-benar tidak mutu. Kita tidak tahu apa-apa ikut dimarahi.’ P-3 : Tenang wae, Bu Titik sudah pulang. ‘Tenang saja, Bu Titik sudah pulang.’ P-2 : Kowe kudu nemoni Bu Titik, ngaku yen sing nulis kowe. ‘Kamu harus menemui Bu Titik, mengakui jika yang menulis kamu.’ P-3 : Ala, ngono ae dipikir berat. ‘Ala, begitu saja dipikir berat.’ P-1 : Aja nggampangke, berani berbuat berani tanggung jawab. ‘Jangan dianggap
mudah, berani berbuat berani tanggung jawab. P-3 : Ya, ya, mengko tak neng omahe Bu Titik. ‘Ya, ya, nanti aku ke rumah Bu Titik.’ P-2 : Kancani, Van, ben ana saksine. ‘Temani, Van, biar ada saksinya.’ P-1 : Aja aku ta, sing padha lanange ta. ‘Jangan aku, yang samasama laki-laki saja.’ Pada peristiwa tutur (25) terdapat campur kode berbentuk ungkapan, yaitu berani berbuat berani tanggung jawab pada tuturan P-1. Ungkapan BI itu digunakan dalam BJN. Penyisipan ungkapan itu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan berbahasa Jawa penutur (P-1). Ia tidak memiliki perbendaharaan ungkapan bahasa Jawa yang mengandung makna seperti ungkapan tersebut, misalnya jagung bakarane, wani tanggung akibate. Pada sisi lain, penutur ingin menegaskan tuntutannya kepada mitra tuturnya (P3) untuk memertanggungjawabkan perbuatannya sehingga ia merasa lebih tepat menggunakan ungkapan berbahasa Indonesia.
proof
Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang a. Status Sosial Status sosial yang memengaruhi penggunaan bahasa adalah perbedaan status sosial peserta tutur. Penutur yang memunyai status sosial lebih tinggi akan lebih leluasa dalam menggunakan bahasa yang digunakan pada saat berinteraksi. Sebaliknya, penutur yang memunyai status sosial lebih rendah
73
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
akan menghormati mitra tuturnya dengan menggunakan bahasa yang bernilai rasa hormat. (26) Konteks : Seorang pedagang memberi tahu pembantunya bahwa dia dicari Ibu Nur P-1 : Sampeyan mau digoleki Bu Nur wis ketemu, Pak? ‘Kamu tadi dicari Bu Nur sudah bertemu, Pak?’ P-2 : Dereng, ajeng dhawuh napa ta? ‘Belum, akan menyuruh apa?’ P-1 : Wah, ra ngerti, temonana sik ta, mbok menawa diwehi dhuwit! ‘Wah, tidak tahu, temui dulu, barangkali diberi uang!’ P-2 : Walah, dhuwit napa, paling ajeng utusan mendhet barang. ‘Walah, uang apa, mungkin akan menyuruh mengambil barang (dagangan).’ P-1 : Njupuk barang apa radiwehi dhuwit? ‘Mengambil barang apa tidak diberi uang?’ P-2 : Lha nggih ta, napa kula sing ken mbayar? ‘Lha iya, apa saya yang disuruh membayar?’ P-1 : Mula, temoni sik kana! ‘Oleh karena itu, temui dulu!’ P-2 : Nggih, nggih. ‘Ya, ya.’
kata kowe ‘kamu’ (BJN). Sebaliknya, P-2 dengan status sosial lebih rendah menggunakan bahasa yang bernilai rasa hormat dengan menggunakan BJK walaupun P-1 selalu menggunakan BJN. Data (26) tersebut menunjukkan bahwa penutur dengan status sosial lebih tinggi dapat leluasa menggunakan kosabahasa tanpa harus memertimbangkan nilai rasa hormat. Akan tetapi, keleluasaan itu tidak digunakan dengan semenamena. Penutur dengan status sosial lebih tinggi pun tetap memertimbangkan rasa hormat. b. Jarak Sosial Jarak sosial adalah tingkat keakraban antara penutur dan mitra tuturnya. Tingkat keakraban ini sangat menentukan penggunaan bahasa. Penutur dengan jarak sosial renggang akan menggunakan bahasa yang bersifat formal atau bernilai rasa hormat, yaitu bahasa Indonesia (BI) atau bahasa Jawa ragam krama (BJK). Sebaliknya, penutur dengan jarak sosial akrab akan menggunakan bahasa yang bersifat akrab, yaitu menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko (BJK).
proof
Pada peristiwa tutur (26) P-1 dengan status sosial lebih tinggi memiliki keleluasaan menggunakan bahasa. Ia menggunakan bahasa yang tidak bernilai rasa hormat untuk berkomunikasi dengan P-2, yaitu BJN. Namun, ia tidak meninggalkan rasa hormatnya, yang diwujudkan dengan campur kode berupa kata sampeyan ‘kamu’ (BJK) alih-alih
74
1) Jarak Sosial Renggang Jarak sosial renggang antarpeserta tutur menyebabkan kecenderung penggunaan BI dan BJK yang bernilai rasa hormat. Jarak sosial renggang yang memengaruhi penggunaan BI dapat dilihat pada peristiwa tutur berikut ini. (27) Konteks : Percakapan pedagang dengan kepala pasar tentang permohonan penggunaan kios P-1 : Maaf, Pak, apakah permohonan pengguaan kios saya dapat disetujui?
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
P-2 : Sebagai bapak, saya ingin menolong Ibu, tetapi kewenangan pemberian izin penggunaan kios itu di tangan Kepala Dinas. Sabar dulu, Bu, besok saya bertemu beliau, masalah Ibu akan saya kemukakan. Percayalah, pasti kubantu. P-1 : Terima kasih, Pak. Peristiwa tutur (27) menunjukkan adanya jarak sosial yang renggang antara P-1 (pedagang) dan P-2 (kepala pasar). Kerenggangan jarak sosial itu dipengaruhi oleh status sosial mereka. Pertuturan tersebut diawali oleh tuturan P-1 dengan menggunakan BIF. Penggunaan BIF tersebut merupakan perwujudan rasa hormat penutur kepada mitra tuturnya yang berstatus kepala pasar. Pada sisi lain, untuk menjaga wibawa statusnya, P-2 menyawab tuturan P-1 dengan menggunakan menggunakan BIF juga. Jarak sosial renggang yang memengaruhi penggunaan bahasa Jawa ragam krama dapat dilihat pada peristiwa tutur berikut ini.
P-2 : Pengestunipun, wonten Undip. ‘Berkat restunya, di Undip.’ Pada peristiwa tutur (28) P-1 (kepala pasar) dan P-2 (pedagang) mengunakan BJK. Pilihan penggunaan ragam tersebut disebabkan oleh kerenggangan hubungan mereka. Kerenggangan itulah yang mendorong mereka untuk menghormati mitra tuturnya dengan menggunakan bahasa yang bernilai rasa hormat, yaitu BJK. 2) Jarak Sosial Akrab Jarak sosial akrab antarpeserta tutur mendorong peserta tutur untuk menggunakan bahasa yang bernilai rasa akrab. Bahasa yang bernilai rasa akrab adalah bahasa Jawa ragam ngoko dan bahasa Indonesia ragam tidak formal. Namun, ada pula penggunaan bahasa Jawa ragam krama yang tetap menunjukkan keakraban. Penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko yang dipengaruhi oleh jarak sosial akrab dapat diperhatikan pada tuturan berikut ini.
proof
(28) Konteks : Percakapan kepala pasar dan pedagang tentang pengajuan pinjaman P-1 : Dospundi, syarate pun jangkep? ‘Bagaimana, syaratnya sudah lengkap?’ P-2 : Sampun. ‘Sudah.’ P-1 : Ajeng kangge napa ta, Pak? ‘Mau dipakai untuk apa, Pak?’ P-2 : Damel mbayar kuliah lare kula. ‘Untuk membayar kuliah anak saya.’ P-1 : Lho, putrane pun kuliah ta, wonten pundi? ‘Lho, putranya sudah kuliah, di mana?
(29) Konteks : P e m b i c a r a a n antarpedagang tentang larangan merokok di lokasi kios pakaian dan kain P-1 : Nyilih reke, Pak? ‘Pinjam koreknya, Pak?’ P-2 : Arep nggo apa? ‘Akan dipakai untuk apa?’ P-1 : Rek kok ngo apa. ‘Korek kok untuk apa.’ P-2 : Nek udut ora neng kene, yen konangan aku sing disalahke. ‘Kalau merokok jangan di sini, jika ketahuan aku yang disalahkan.’ P-1 : Kalem wae, Be, ra sah wedi. ‘Tenang saja, Pak, tidak usah takut.’
75
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
Pada peristiwa tutur (29) P-1 dan P-2 menggunakan BJN karena hubungan yang akrab meskipun berbeda usia. Pertuturan dimulai oleh P-1 dengan tuturan BJN, Nyilih reke, Pak? ‘Pinjam koreknya, Pak?’ yang dijawab oleh P-2 dengan tuturan BJN juga Arep nggo apa? ‘Akan dipakai untuk apa?’ Pada pertuturan selanjutnya pun mereka menggunakan BJN. Hal itu menunjukkan bahwa di antara mereka sudah tidak ada jarak lagi atau memiliki jarak sosial akrab. Jarak sosial akrab yang memengaruhi penggunaan BITF dapat diperhatikan pada peristiwa tutur berikut ini.
sehingga suasana akan terasa akrab dan menyenangkan. Jarak sosial akrab yang menentukan pilihan pada BJK dapat diperhatikan pada peristiwa tutur berikut ini.
(30) Konteks : Percakapan antar pedagang tentang pengajuan izin penggunaan kios P-1 : Hasile gimana, Pak? Bagus nggak? P-2 : Lha menurutmu gimana? P-1 : Ya ndak tahu. P-2 : Masih nuggu. P-1 : Nunggu apa lagi. P-2 : Katane sih, nunggu Kepala Dinas. P-1 : Pa ndak da jalan pintase? P-2 : Ndak berani kok katane.
(31) Konteks : Pembicaraan antarsesama pembeli tentang barang yang dijual di toko P-1 : Boten saestu mundhut, Bu? ‘Kemarin jadi membeli, Bu?’ P-2 : Boten, boten enten sing ngge mbayar. ‘Tidak, tidak ada yang untuk membayar.’ P-1 : Lha, Jenengan boten ngendika, lak saget kula bayar riyin. ‘Lha, Anda tidak mengatakan, kan dapat saya bayar dulu.’ P-2 : Boten niku, regane kelarangen. ‘Bukan itu (sebabnya), harganya terlalu mahal.’ P-1 : Tak kira mung kula dhewe sing ngarani larang. ‘Saya kira hanya saya yang mengatakan mahal.’ P-2 : Kanggene Jenengan “kecil” ngoten. ‘Untuk Anda “kecil” bukan.” P-1 : Walah, padha mawon, wong nggih padha buruhe. ‘Walah, sama saja, ya sama-sama buruh.’
Pada peristiwa tutur (30) terasa adanya kedekatan hubungan atau jarak sosial yang akrab antara (P1) dan (P-2). Kedekatan hubungan itu menjadikan perbedaan usia tidak lagi berpengaruh pada interaksi antarmereka. Keakraban yang tercipta mendorong mereka menggunakan BITF dalam berkomunikasi. Mereka mempertimbangkan bahwa BITF terasa lebih santai, dekat, dan tidak kaku
Peristiwa tutur (31) menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara P-1 dan P-2. Meskipun akrab, mereka tetap menggunakan BJK. Hal itu dipengaruhi oleh sikap saling menghormati. Namun, BJK yang dipakainya tidak tunggal bahasa, tetapi banyak campur kode, misalnya kata tak kira, dhewe, ngararani dan larang pada tuturan P-1, Tak kira mung kula dhewe sing ngarani larang.
proof
76
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
3) Usia Penggunaan bahasa juga dapat dipengaruhi oleh faktor usia. Penutur yang lebih muda akan berusaha menghormati mitra tuturnya yang lebih tua. Sementara itu, penutur yang lebih tua memunyai keleluasaan penggunaan bahasanya. Ia dapat menggunakan bahasa tanpa memertimbangkan nilai rasa hormat. Namun, ia masih tetap memertimbangkan rasa hormat, setidaknya pada penggunaan kata sapaan kepada mitra tuturnya. Berdasarkan pada pertimbangan faktor usia, penutur cenderung menggunakan BJK dan/atau melakukan campur kode BJK dalam bahasa yang dipakainya, seperti pada peristiwa tutur berikut ini.
BJK untuk berkomunikasi dengan P-2. P-1 menggunakan bahasa itu untuk menghormati mitra tuturnya yang lebih tua. Sementara itu, P-2 yang berusia lebih tua menggunakan BJN. Komunikasi menggunakan dua ragam seperti itu dalam masyarakat Jawa (dahulu) terjadi antara anak dan bapak. Pada peristiwa tutur itu pun P-1 menempatkan diri sebagai anak yang menghormati bapaknya dengan menggunakan BJK, sedangkan P-2 menempatkan diri sebagai bapak yang bertutur dengan anaknya. Selain penggunaan BJK, penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh faktor usia adalah penggunaan campur kode BJK dalam kosabahasa yang digunakan.
(32) Konteks : Percakapan antarsesama pedagang tentang anaknya yang mulai berdagang P-1 : Dospundi putrane, Pak? ‘Bagaimana anaknya, Pak?’ P-2 : Sih adoh, isih perlu digembleng. ‘Masih jauh, masih perlu dilatih.’ P-1 : Kirangipun wonten pundi? ‘Kurangnya di mana?’ P-2 : Ora sabar, karepe kok kudu ndang payu. ‘Tidak sabar, maunya harus segera laku.’ P-1 : Nggih naminipu nembe belajar. ‘Ya, namanya baru belajar.’ P-2 : Emboh, cah saiki dha ra kareb nyambut gawe. ‘Entah, anak sekarang itu tidak semangat kerja.’
(33) Konteks : Percakapan antarsesama pedagang tentang kredit motor P-1 : Piye, Pak, Jenengan sida njupuk Vario? ‘Bagaimana, Pak, Anda jadi mengambil Vario?’ P-2 : Ra kuwat bulanane, butuhe isih numpuk. ‘Tidak kuat bulanannya, kebutuhannya masih bertumpuk.’ P-1 : Digedheni DP-ne ta, cicilane kan rada ringan. ‘Diperbesar DP-nya saja, cicilannya agak ringan.’ P-2 : Sing nggo nggedheni apa? Utange sing nggo bayar SPPne anakku wae rung lunas kok mikir nganyarke montor. ‘Yang untuk memerbesar apa? Hutang yang untuk membayar SPP anakku saja belum lunas kok berpikir memerbarui motor.’
proof
Peristiwa tutur (32) P-1 yang berusia lebih muda menggunakan
77
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
P-1 : Jenengan kok nduwe utang, Pak, kula kok ra percaya. ‘Anda kok punya hutang, Pak, saya kok tidak percaya.’ P-2 : Amin, nek dha ndongake aku sugih. ‘Amin, jika semua mendoakan aku kaya.’ Peristiwa tutur (33) menunjukkan penggunaan BJN oleh P-1 yang lebih muda untuk berkomunikasi dengan P-2 yang lebih tua usianya karena sudah akrab. Hal itu tidak berarti bahwa ia menghilangkan rasa hormat kepada mitra tuturnya yang lebih tua usianya. Untuk menunjukkan rasa hormat itu, P-1 melakukan campur kode BJK dalam BJN, yaitu dengan penggunaan kata jenengan ‘anda’ untuk menyapa dan menghormati mitra tuturnya. Selain itu, P-1 yang lebih muda juga merendahkan dirinya untuk menghormati P-2 yang lebih tua dengan menyebut dirinya dengan kata kula ‘saya’.
P-1:
P-2:
terlalu jauh dari rumah. Anak saya masih kecil kalau terlalu jauh repot. Akan cari kios di Ungaran saja. Memang kalau jauh seperti sekarang kasihan anak Ibu. Berapa bulan umurnya? Lima bulan, Pak.
Peristiwa tutur (34) menggambarkan situasi tutur formal. P-1 dan P-2 menggunakan BIF yang ditandai oleh kecermatan bentuk kata dan kelengkapan unsur kalimat meskipun terdapat pelesapan unsur. Pada sisi lain, penggunaan BITF yang dipengaruhi oleh situasi santai dapat diperhatikan pada contoh berikut ini.
4) Situasi Tutur Situasi pada suatu peristiwa tutur dapat memengaruhi penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Pada situasi formal seorang penutur cenderung menggunakan bahasa yang bersifat formal, yaitu BIF. Sebaliknya, pada situasi tidak formal penutur cenderung menggunakan bahasa yang bersifat santai atau tidak formal, yaitu BJN atau BTIF.
(35) Konteks : Percakapan antarsesama pedagang tentang menghadiri hajatan P-1 : Kamu besok ngampiri saya ya! Motorku ndak ada nomere. P-2 : Jam berapa? P-1 : Ya, terserahlah penake kamu berangkat jam pira? P-2 : Tapi, kalau ndak karipan lho, Pak. P-1 : Ya besuk tak bel, sebabe bawa titipan agak banyak, kalau numpak angkot ya raisa mbawa. P-2 : Ya, Pak, tapi dibel tenan lho. P-1 : Ya, ya.
(34) Konteks : Percakapan seorang pedagang dengan kepala pasar tentang penjualan kios P-1: Ada masalah apa, Bu, tiba-tiba mau menjual kios? P-2: Sebenarnya tidak ada apaapa, Pak. Saya hanya merasa
Pada peristiwa tutur (35) tampak ketidakformalan situasi tutur yang memengaruhi penggunaan bahasanya. P-1 dan P-2 menggunakan BITF yang ditandai dengan penggunaan kata ndak (tidak), jam (pukul), lho, tak (ku-), dan mbawa (membawa) serta campur kode BJN dalam bahasa yang
proof
78
Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)
mereka gunakan, seperti penggunaan kata ngampiri ‘menjemput’, penake ‘enaknya’, pira ‘berapa’, karipan ‘terlambat bangun’, numpak ‘naik’, raisa ‘tidak bisa’, dan tenan ‘betul’. 5) Tujuan Tutur Tujuan tutur merujuk pada maksud atau hasil yang hendak dicapai oleh penutur dalam suatu peristiwa tutur. Setiap tujuan tutur akan menentukan penggunaan bahasa. Tujuan tutur yang tampak berpengaruh adalah tujuan untuk menghormati mitra tuturnya. Bentuk tujuan penghormatan itu dinyatakan dengan penggunaan BJK dan alih kode maupun campur kode ragam tersebut dalam bahasa yang sedang digunakan. (36) Konteks : Percakapan pedagang dengan kepala pasar tentang permohonan penggunaan kios P-1 : Menika syaratipun sampun siap sedaya, Bu. ‘Ini persyaratannya sudah siap semua, Bu.’ P-2 : Surat pernyataannya sudah disertakan? P-1 : Sampun. ‘sudah’ P-2 : Nggih, Pak, maturnuwun. ‘Ya, Pak, terima kasih.’
PENUTUP Berdasarkan paparan tentang penggunaan bahasa komunitas pedagang di Kota Semarang dapat disimpulkan bahwa kosabahasa komunitas pedagang di Kota Semarang terdiri atas BIF, BITF, BJK, dan BJN. Variasi penggunaan bahasa berwujud pilihan tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Pilihan tunggal bahasa meliputi BIF yang digunakan pada peristiwa tutur yang bersifat formal, baik berkaitan dengan suasana, topik, maupun kedudukan sosial (status); BITF digunakan pada peristiwa tutur yang bersifat tidak resmi, santai, dan akrab serta tidak dipengaruhi oleh faktor usia serta status; BJK digunakan untuk menghormati mitra tuturnya yang memiliki status sosial dan pendidikan yang lebih tinggi atau berusia lebih tua; dan BJN digunakan pada peristiwa tutur yang bersifat tidak resmi, santai, dan akrab serta tidak dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, serta status penutur dan mitra tuturnya. Kemudian, penggunaan bahasa berupa alih kode terdiri atas alih kode dari BI ke BJK yang dipengaruhi oleh tujuan tutur untuk menghormati, BI ke BJN dipengaruhi faktor keakraban atau jarak sosial, BJK ke BI yang dipengaruhi oleh faktor urutan serta tujuan bertutur, BJN ke BI yang dipengaruhi oleh tujuan tutur, BJK ke BJN dipengaruhi oleh rasa ketidaknyamanan perasaan penutur, dan alih kode dari bahasa BJN ke BJK dipengaruhi oleh tujuan tutur untuk menghargai atau menyatakan rasa terima kasih. Selanjutnya, penggunaan bahasa berupa campur kode terdiri atas campur kode BJK dalam BI yang dipengaruhi oleh tujuan tutur untuk menghormati mitra tutur, BJN dalam BI
proof
Pada peristiwa tutur (36) P-1 menggunakan BJK untuk bertutur kepada P-2 . Penggunaan bahasa P-1 tersebut didasari oleh tujuan untuk menghormati mitra tuturnya yang berstatus sosial lebih tinggi. Pada sisi lain, P-2 semula menggunakan BI beralih kode menggunakan BJK juga. Hal itu dilakukannya dengan tujuan membalas penghormatan yang dilakukan oleh P-1, meskipun P-1 memiliki status yang lebih rendah.
79
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80
yang dipengaruhi oleh faktor jarak sosial akrab, BI dalam BJK yang dipengaruhi oleh faktor tujuan tutur, BJN dalam BJK yang dipengaruhi oleh faktor jarak sosial akrab, BI dalam BJN dipengaruhi oleh faktor ketiadaan padanan kata, dan campur kode BJK dalam BJN yang dipengaruhi oleh faktor tujuan tutur. Campur kode tersebut berbentuk kata, frasa, baster, perulangan, dan ungkapan. Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa adalah status sosial, jarak sosial, usia, situasi tutur, dan tujuan tutur. Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Fasold, R. 1984. The Sosciolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell. Handono, Suryo. 2013. Pilihan Bahasa Masyarakat Dwibahasa JawaIndonesia pada Ranah Sekolah Menengah Atas Kota Semarang. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York Longman. Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics. Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Hymes, D. 1974. Foundations in Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Kartomihardjo, Soeseno. 1981. Ethnography of Communicative Code in East Java. Disertasi, Pasific Linguistics, series D, No. 39, The Australian National University, Canberra. Kridalaksana, Harimurti, 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Rokhman, Fathur. 2005. “Penggunaan Bahasa sebagai Kendali Status dan Keakraban dalam Masyarakat Diglosik: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas”. dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-23, Nomor 1, Februari 2005. Rokhman, Fathur dkk. 2005. “Signifikansi Sosiokultural Penggunaan Kode Komunikatif dalam Interaksi Sosial Masyarakat Perbatasan Jawa-Sunda di Cilacap: Kajian Sosiolinguistik”. Laporan Penelitian. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Sudaryanto, 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.
proof
80
SAPAAN DALAM RUBRIK “LAPOR GAN!” DI HARIAN TRIBUN JATENG (KAJIAN SOSIOLINGUISTIK) (The Pronouns in Lapor Gan! Rubric in Tribun Jateng Daily Newspaper (Sociolinguistic Study)) oleh/by Rini Esti Utami Balai Bahasa Jawa Tengah Jalan Elang Raya Nomor 1 Tembalang, Semarang Telepon (024) 76744357, Faksimile (024) 76744358 posel
[email protected] Posel
[email protected] *) Diterima: 30 Maret 2016, Disetujui: 21 April 2016
ABSTRAK Bahasa adalah sarana untuk melakukan kontak sosial dengan orang lain. Pilihan kata yang baik dan tepat akan memperlancar terjadinya komunikasi. Begitu pula dengan penggunaan sapaan dalam berkomunikasi. Sapaan yang digunakan penyapa merupakan gambaran hubungan dengan pesapanya. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat kepada pemimpinnya akan mencerminkan hubungan antara masyarakat dan pimpinannya atau sebaliknya. Penelitian ini mengkaji sapaan dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng. Penelitian ini bertujuan mendeskripsi sapaan yang digunakan oleh masyarakat dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, serta tujuan penggunaan sapaan tersebut. Dalam penelitian ini digunakan teori sosiolinguistik dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa gubernurnya adalah sapaan nama diri, nama kekerabatan, nama jabatan, sapaan lainnya, dan gabungan dari sapaan tersebut. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa diri sendiri, yaitu kata ganti orang pertama tunggal dan jamak. Sapaan yang digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah kepada masyarakat adalah sapaan kata ganti orang kedua tunggal dan sapaan kata ganti orang pertama jamak. Sapaan yang digunakan oleh gubernur untuk menyapa diri sendiri adalah kata ganti orang pertama tunggal dan sapaan kata ganti orang pertama jamak. Adapun tujuan penggunaan sapaan tersebut adalah untuk kepraktisan, mengormati mitra tutur, menciptakan keakraban, dan menarik perhatian mitra tutur. Kata kunci: bahasa, sapaan, pemimpin, masyarakat, dan komunikasi
ABSTRACT Language is a media to get contact with other people. The good and appropriate choice of words would make the communication runs well. The use of pronouns also plays an important role in communication. It pictures the relationship between the speaker and the hearer. The pronouns used by the people to their leader reflect their relationship and vice versa. The research studies the pronouns in Lapor Gan! rubric in Tribun Jateng daily newspaper. It aims to describe the pronouns used by the people and the Governor of Central Java Province, Ganjar Pranowo, as well as its purposes. The research uses sociolinguistic theory and descriptive-qualitative approach. The pronouns used by the people to address the governor are self pronoun, kinship, occupation, other pronouns, and mix between the pronouns. The pronouns used by the people
81
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 81—94
to address themselves are the first person singular and first person plural. The pronouns used by the Governor of Central Java Province to his people are second person singular and first person plural. The pronouns used by the Governor to address himself are first person singular and first person plural. The purposes of the pronouns are to create practicality, to honor, to create the familiarity, and to draw attention. Keywords: language, pronouns, leader, people, and communication
PENDAHULUAN Bahasa merupakan sarana untuk mengadakan kontak sosial dengan orang lain, mengadakan kontak sosial, tegur sapa, dan salam, serta menandai hubungan sosial antarindividu (Hymes dalam Soeparno, 1993:5—8). Kelancaran kontak sosial antarindividu sangat dipengaruhi oleh pilihan kata yang digunakan oleh individu-individu yang terlibat dalam komunikasi. Begitu pula dengan penggunaan sapaan dalam komunikasi. Thomas dan Wareing (2007:232) mengatakan bahwa identitas seseorang dalam sebuah konteks tidak hanya terbentuk lewat nama yang dimilikinya, tetapi juga dipengaruhi oleh cara orang menyapanya. Cara orang lain menyapa seseorang dapat dibedakan pada tingkat formalitas, kedekatan, dan status relatif dari orang yang terlibat dalam interaksi. Lebih lanjut Thomas dan Wareing (2007:233) menjelaskan bahwa sapaan yang tidak tepat tidak hanya sekadar membuat orang lain heran dan mencela, tetapi dapat membuat orang lain tersinggung. Sapaan yang digunakan penyapa merupakan gambaran hubungan dengan orang yang disapa atau pesapanya. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat kepada pemimpinnya akan mencerminkan hubungan antara masyarakat dan pimpinannya. Sapaan yang digunakan oleh pemimpin kepada rakyatnya mencerminkan hubungan
atau pandangan pemimpin dan masyarakatnya. Penggunaan sapaan tersebut dapat dilihat pada rubrik “Lapor Gan!” yang dimuat di harian Tribun Jateng pada hari Selasa. Rubrik tersebut merupakan sarana berkomunikasi masyarakat Jawa Tengah dengan pemimpinnya, yaitu Gubenur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Pada rubrik itu masyarakat dapat menyampaikan persoalan apa saja yang berkaitan dengan kondisi Jawa Tengah. Pada rubrik itu Gubernur Jawa Tengah memberikan jawaban, penjelasan, dan komentar yang berkaitan dengan pertanyaan masyarakat. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan tersebut masalah yang dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut. Apa dan bagaimana sapaan yang digunakan serta apa tujuan sapaan itu digunakan oleh masyarakat dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dalam rubrik “Lapor Gan!” di harian Tribun Jateng? Berdasarkan masalah itu, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsi sapaan serta tujuan penggunaan sapaan tersebut oleh masyarakat dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dalam rubrik “Lapor Gan!” di harian Tribun Jateng. Penelitian ini merupakan penelitian sosiolinguistik dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan
proof
82
Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!” ... (Rini Esti Utami)
kualitas atau ciri-ciri alami sesuai dengan pemahaman alamiah itu sendiri (Djajasudarma, 2006:14). Data penelitian deskriptif merupakan katakata atau gambaran tentang sesuatu (Djajasudarma, 2006:16). Lebih lanjut Djajasudarma menjelaskan bahwa penelitian deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat ilmiah itu sendiri. Dengan demikian, penelitian deskriptif dapat memerikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui pemilahan data yang dilakukan pada tahap pemilahan setelah data terkumpul. Oleh karena itu, penelitian deskriptif akan selalu mempertimbangkan data dari watak data itu sendiri, dan hubungannya dengan data lainnya secara keseluruhan (Djajasudarma, 2006:17). Sumber data penelitian ini adalah surat dari masyarakat dan jawaban tertulis Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Paranowo, yang dimuat pada rubrik “Lapor Gan!” di harian Tribun Jateng, sedangkan data yang diambil dalam penelitian ini adalah sapaan dalam surat dari masyarakat dan jawaban surat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dalam rubrik “Lapor Gan!” yang dimuat di harian Tribun Jateng pada bulan Januari—September tahun 2015 (lihat Sugiyono, 2008:118). Teknik penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah teknik perekaman data melalui pengetikan kembali data yang ada di rubrik “Lapor Gan!” di harian Tribun Jateng atau menyalin data dari laman Pemerintah Provinsi Jawa Tengah serta teknik simak dan catat. Teknik simak dan catat dilakukan dalam rangka memperoleh data yang diinginkan. Hasil penyimakan ini kemudian dicatat sebagai sumber data.
Setelah tersedia, data dianalisis menggunakan teori sosiolinguistik. Penganalisisan data dilakukan melalui tahapan pengklasifikasian data, penyeleksian data, pemfokusan, pengelompokan data berdasarkan kelas dan cirinya, dan pengabstraksian data kasar dalam rangka penarikan simpulan. Konsep Sapaan
Nababan (1993:40) berpendapat bahwa sapaan adalah alat seorang pembicara untuk menyatakan sesuatu kepada orang lain. Hal itu senada dengan pendapat Kristal (dalam Aslinda, dkk. 2000:3) yang mendefinisikan sapaan sebagai cara mengacu seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Kedua pendapat tersebut menyiratkan bahwa sapaan terjadi bilamana ada komunikasi langsung antara penutur dan mitra tuturnya. Dengan demikian konteks pertuturan yang memungkinkan sapaan digunakan merupakan tuturan langsung. Artinya penutur sebagai penyapa dan mitra tutur sebagai pesapa berada dalam satu tuturan. Hal itu sejalan dengan pernyataan Pateda (1987:69) bahwa kata sapaan adalah kata atau ungkapan yang dipakai dalam sistem tutur sapa. Kridalaksana (2011:214) mendefinisikan sapaan sebagai morfem, kata atau frasa yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbedabeda menurut sifat hubungan antara pembicara. Kridalaksana (1985:14) menguraikan kata sapaan menjadi sembilan jenis, yaitu kata ganti, misalnya saya, kamu, dia; nama diri, misalnya Adi, Nia; istilah kekerabatan, misalnya bapak, ibu; gelar dan pangkat, misalnya
proof
83
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 81—94
dokter, gubernur, presiden; kata pelaku, misalnya pendengar, narasumber; bentuk nominal + ku, misalnya adikku, kakakku; kata penunjuk, misalnya situ;, nominal lain, seperti nyonya; dan ciri zero. Suhardi dan kawan-kawan (dalam Maslakhah, 2004:47) mengungkapkan bahwa dalam bahasa Jawa dikenal bermacam-macam kata sapaan. Penggolongan sapaan tersebut berdasarkan ciri semantisnya. Berdasarkan penggolongan semantis tersebut, sapaan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis sapaan, yaitu sapaan yang berupa nama diri, nama kekerabatan, gelar kebangsawanan, gelar hasil pendidikan, jabatan, pelaku perbuatan, sapaan lain, dan arti kiasan. Menurut Mühlhäuser dan Herrä (dalam Linda Thomas dan Shan Wareing, 2007:234), penggunaan sapaan dalam pergaulan di masyarakat memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh fungsi bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Dalam suatu bahasa yang banyak mengandung berbagai jenis penanda status untuk sapaan, seorang penutur harus belajar herarki sosial agar mengetahui kapan harus memberi hormat dan merendahkan diri sendiri dan harus belajar untuk mengetahui bagaimana posisi mereka dalam hirarki itu agar dapat menggunakan bentuk sapaan dengan benar. Linda Thomas dan Shan Wareing (2007:235) berpendapat bahwa kata yang digunakan untuk menyapa seseorang dapat berdampak pada hubungan antara penutur dan mitra tutur. Sapaan yang digunakan tersebut dapat menciptakan jarak sosial, membangun keakraban, bersikap hormat, dan merendahkan atau menghina.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng dijumpai banyak penggunaan sapaan. Sapaan tersebut digunakan oleh penanya, yaitu masyarakat Jawa Tengah, untuk menyapa mitra tuturanya, yaitu Guberrnur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, atau pemimpin dan untuk menyapa diri sendiri. Sapaan juga dipergunakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, untuk menjawab pertanyaan masyarakat. Sapaan tersebut dipergunakan oleh Gubernur Jawa Tengah, atau pemimpin untuk menyapa mitra tuturanya, yaitu masyarakat atau penanya dan untuk menyapa diri sendiri. Sapaan yang Digunakan oleh Masyarakat untuk Menyapa Gubernurnya
proof
84
Kata sapaan yang digunakan oleh masyarakar Jawa Tengah paling banyak ditemukan pada awal surat sebagai pembuka surat. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa pemimpinnya, yakni Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, cukup bervariasi. Sapaan yang digunakan antara lain adalah nama diri, nama kekerabatan, nama jabatan, dan sapaan lain. Sapaan dengan nama diri yang digunakan masyarakat kepada Gubernur Jawa Tengah cukup banyak, tetapi tidak murni menggunakan nama diri saja. Masyarakat tetap menambahkan sapaan nama kekerabatan Pak di depan nama diri Gubernur Jawa Tengah. Hal tersebut terjadi karena masyarakat enggan menyapa orang yang lebih tua atau lebih tinggi sosial ekonominya
Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!” ... (Rini Esti Utami)
dengan nama diri saja. Sapaan dengan nama diri ini ditemui penggunaannya pada awal surat penanya saja. Berikut ini contoh penggunaan sapaan nama diri yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa pemimpinnya. (1) PAK Ganjar, di wilayah tempat tinggal kami Ganginsari RT 8 RW 5 Bangetayu Wetan, Genuk, Semarang ada pabrik pengolahan tembakau, baunya sangat mengganggu dan suara mesinnya berisik. (2) Selamat sore Pak Ganjar Pranowo. Contoh tersebut merupakan penggunaan sapaan nama diri yang digunakan oleh masyarakat kepada pemimpinannya. Masyarakat menyapa mitra tuturnya dengan mengambil nama depan Gubernur Jawa Tengah, yaitu Ganjar dan nama lengkap Ganjar Pranowo, tetapi sapaan Pak masih tetap digunakan. Sapaan diri pada kalimat (1), dan (2) tersebut mendapat penambahan atau perluasan di depan dengan sapaan kekerabatan. Ketika menyapa Gubernurnya, masyarakat juga menggunakan sapaan nama diri tersebut dan diikuti dengan keterangan. Berikut ini contoh kalimat yang menyataan hal tersebut.
Dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng penggunaan sapaan dengan nama kekerabatan cukup banyak digunakan oleh masyarakat. Sapaan dengan nama kekerabatan yang digunakan oleh masyarakat adalah Bapak dan Pak. Berikut ini contoh kalimat yang menggunakan sapaan dengan nama kekerabatan tersebut. (5) PAK, jalan tol Ungaran dan Bawen butuh pengawasan ekstra di musim hujan ini. (6) Soalnya sudah sampai pada level kebangetan Pak, masak sudah beberapa tahun ndak jadi-jadi. Kalimat tersebut merupakan bagian surat dari masyarakat yang menggunakan sapaan nama kekerabatan Pak. Penggunaan sapaan nama kekerabatan Pak tersebut tidak hanya digunakan pada awal surat, tetapi digunakan pula pada tengah kalimat. Selain menggunakan sapaan dengan nama kekerabatan Pak, sapaan dengan nama kekerabatan Bapak digunakan pula oleh masyarakat untuk menyapa Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Sapaan Bapak tersebut digunakan untuk menyapa mitra tutur pada awal surat dan pada isi atau inti surat. Sapaan Bapak pada awal surat tersebut tidak banyak digunakan. Berikut ini contoh kalimat yang menggunakan sapaan dengan nama kekerabatan Bapak.
proof
(3) PAK Ganjar Yth, tolong Pak dibasmi aksi premanisme di Jateng termasuk di daerah pertigaan Karangjati yang meresahkan warga dan angkutan, Pak. (4) PAK Ganjar gubernurku. Selain menambahkan kata Yth. penambahan keterangan pada sapaan nama diri Pak Ganjar dengan keterangan gubernurku.
(7) MALAM, Bapak. (8) Kemarin Bapak ke bendungan di wilayah Ngampel dengan kondisi jalan yang Bapak sendiri ketahui dan bapak bilang ueeleek banget. Penggunaan sapaan Bapak lebih formal jika dibandingkan dengan
85
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 81—94
sapaan Pak. Kalimat (7) menjadi tidak formal karena penggunaan kata malam. Penggunaan sapaan dengan nama kekerabatan Bapak digunakan pula pada isi atau inti surat. Hal itu dapat dilihat pada kalimat (8). Selain sapaan nama diri dan sapaan kekerabatan, sapaan dengan nama jabatan cukup banyak digunakan dalam surat dari masyarakat yang dimuat dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng ini. Sapaan dengan nama jabatan tersebut ada yang dipergunakan pada pembuka atau awal surat, isi surat, maupun akhir atau penutup surat. Sapaan nama jabatan yang digunakan masyarakat kepada mitra tuturanya adalah gubernur. Berikut contoh kalimat yang menggunakan sapaan nama jabatan gubernur. (9)
(13) Yang saya hormati Gubernur Jawa Tengah. (14) Bapak Gubernur Ganjar
Jateng
Bapak Pak
proof
PAK Gubernur, harga pupuk pertanian di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal melambung melebihi harga standar.
(10) BAPAK Gubernur, tolong berikan kami tenaga harian lepas tahun 2005 yang masuk sebelum terbit PP 48 Tahun 2005 tambahan penghasilan atau insentif. (11) Saya mohon kepada Bapak Gubernur untuk merealisasikan pembongkaran, karena tempat tsb akan kami gunakan untuk sembahyang menjelang imlek. (12) Trimakasih Pak Gubernur. Pada kalimat (9) dan (12) sapaan Gubernur diperluas dengan tambahan sapaan di depan, yaitu Pak sehingga menjadi Pak Gubernur. Sapaan tersebut masih berkesan tidak formal. Berbeda
86
dengan perluasan sapaan Pak Gubernur, perluasan dengan sapaan Bapak Gubernur pada kalimat (10) dan kalimat (11) akan menjadi lebih formal. Pada kalimat (9) dan (10) sapaan digunakan pada awal atau pembukaan surat, pada kalimat (11) sapaan digunakan pada isi atau inti surat, dan kalimat (12) merupakaan sapaan tersebut yang digunakan pada akhir atau penutup surat. Selain dengan perlusan penambahan Pak dan Bapak, sapaan nama jabatan gubernur diperluas di belakang sapaan nama diri. Adapun contoh kalimatnya adalah sebagai berikut.
(15) TERIMA kasih kepada Bapak Gubernur Jateng Pak Ganjar atas diresmikannya PT JAMKRIDA JATENG untuk mengatasi masalah kesulitan permodalan bagi UMKM di Jawa Tengah. Pada kalimat (13) sapaan nama diri diperluas dengan keterangan nama provinsi yang dipimpin oleh gubernur tersebut, yaitu Jawa Tengah, sedangkan pada kalimat (14) dan (15) sapaan diperluas lagi dengan menambahkan nama diri Pak Ganjar. Sapaan itu merupakan bentuk yang tidak efektif karena terdapat pemborosan penggunaan sapaan yang berlebihan. Meskipun berlebihan, sapaan ini digunakan juga dalam surat-surat dari masyarakat. Jika kalimat (12) dan (13) merupakan penggunaan sapaan di awal surat, pada kalimat (14) sapaan digunakan pada inti atau isi surat.
Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!” ... (Rini Esti Utami)
Sapaan nama jabatan tanpa penambahan atau perluasan digunakan oleh masyarakat untuk menyapa gubernurnya. Sapaan nama jabatan gubernur digunakan pada akhir atau penutup surat. Berikut contoh kalimatnya. (16) Mohon kebijaksanaan Gubernur dan para pejabat terkait. Terimakasih. Pada rubrik ini ditemukan juga penggunaan sapaan nama jabatan gubernur dengan bentuk singkat gub saja. Penggunaan bentuk singkat ini cukup banyak digunakan oleh masyarakat. Berikut ini contoh kalimat yang menggunakan sapaan gub tersebut. (17) PAK Gub Yang Terhormat, mohon TPP untuk PNS rumah sakit RSJD Provinsi Jateng Dr Amino Gondhohutomo segera dikeluarkan.
ialah sapaan bro. Sapaan bro biasanya digunakan pada teman yang sudah akrab atau pada seseorang dengan strata sosial ekonomi yang sama atau di bawahnya. Sapaan bro juga seringkali digunakan oleh anak muda pada teman akrabnya. Berikut contoh kalimat yang menggunakan sapaan bro tersebut. (19) Terima kasih jalan Pantura sudah ditambal walaupun gak mulus tapi wes lumayan kok Pak Bro…. Sapaan bro digunakan dengan ditambah sapaan Pak. Penambahan sapaan Pak membuat sapaan tersebut lebih dapat diterima oleh masyarakat karena lebih sopan. Sapaan lain yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, adalah gan. Sapaan Gan ini cukup banyak digunakan oleh masyarakat. Sapaan gan dapat dimaknai sebagai singkatan nama Ganjar Pranowo, sapaan yang mengacu pada judul rubrik, yaitu “Lapor Gan!” dan dapat pula mengacu pada sebutan untuk strata tertentu, yaitu juragan. Berikut ini contoh kalimat yang menggunakan sapaan gan tersebut.
proof
(18) BAPAK Gub Yang Terhormat.
Sapaan gub ini oleh masyarakat ditambah dengan sapaan Bapak atau Pak. Penggunaan kata Pak atau Bapak ini merupakan bentuk penghormatan pada mitra tutur yang disapanya. Penggunaan tambahan sapaan Bapak pada kalimat (18) lebih formal dibandingkan dengan tambahan sapaan Pak pada kalimat (17). Sapaan Pak Gub atau Bapak Gub tersebut biasanya digunakan pada pembukaan atau awal surat. Masyarakat juga menggunakan sapaan yang tidak biasa digunakan untuk menyapa seorang pemimpin. Salah satu sapaan yang digunakan oleh masyarakat Jawa Tengah untuk menyapa gubernurnya dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng
(20) LAPOR Gan, mohon ada solusi agar Jalan Jatingaleh Semarang supaya lancar, buat mobilitas kerja dan sekolah. Sapaan yang Digunakan oleh Masyarakat untuk Menyapa Diri Sendiri
Kata sapaan yang digunakan oleh masyarakat dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng untuk diri sendiri hanyalah sapaan kata ganti. Sapaan kata ganti yang digunakan ada
87
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 81—94
yang kata ganti orang pertama tunggal dan jamak. Sapaan kata ganti orang pertama tunggal yang digunakan oleh masyarakat untuk diri sendiri yang paling banyak digunakan dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng adalah saya. Berikut contoh kalimat yang merupakan bagian dari surat masyarakat yang menggunakan sapaan tersebut. (21) Saya mohon kepada bapak gubernur untuk merealisasikan pembongkaran, karena tempat tsb. akan kami gunakan untuk sembahyang menjelang imlek. Sapaan saya digunakan oleh masyarakat untuk mewakili dirinya sendiri ketika menyampaikan sesuatu pada mitra tuturanya. Sapaan kata ganti orang pertama jamak yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa mitra tuturnya adalah kami dan kita. Sapaan kami lebih banyak diguanakan daripada sapaan kita. Berikut contoh kalimat yang menggunakan sapaan kami.
kelompok masyarakat. Pada kalimat (23) masyarakat mempersoalkan kondisi jalan di Jawa Tengah. Pada kalimat tersebut masyarakat menggunakan sapaan kita karena ingin melibatkan pembaca dan Gubernur Jawa Tengah sebagai mitra tuturnya. Sapaan yang Digunakan oleh Pemimpin kepada Masyarakat
Dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menggunakan sapaan tertentu untuk mitra tutur, yaitu masyarakat dan diri sendiri ketika menjawab, menanggapi, dan mengomentari surat dari masyarakat. Sapaan yang digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah tidaklah banyak variasinya. Sapaan yang dipergunakan adalah sapaan kata ganti orang kedua tunggal dan sapaan kata ganti orang pertama jamak. Ada dua kata ganti orang kedua tunggal yang digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah, yaitu anda dan kamu. Berikut ini contoh kalimat yang menggunakan sapaan tersebut.
proof
(22) Kami mengusulkan agar bantuan itu diserahkan kepada Himpunan Petani (Hippa) sehingga bantuan itu tepat sasaran dan dimanfaatkan secara adil. (23) Kami tunggu Pak… kita dilewati. Kami tunggu Pak…kita bisa ngobrol bareng beserta masyarakat sini. Pada kalimat (22) penulis surat menggunakan sapaan kami. Penggunaan sapaan kami dalam kalimat tersebut adalah untuk mewakili Himpunan Petani (Hippa). Jadi, dapat dikatakan bahwa sapaan kami digunakan untuk mewakili
88
(24) Kalau Anda Insinyur Anda bisa membantu saya untuk bisa membuat dalam waktu 90 hari. (25) Namun demikian, mengamalkan Pancasila tidak hanya lewat jalur sekolah tetapi bisa lewat rumah, juga bisa lewat kamu maka kalau kamu ketemu teman-temanmu itu ajari mereka teks Pancasila dan ajari mereka mengamalkan pancasila. Pada kalimat (24) Gubernur Jawa Tengah menggunakan sapaan anda untuk menyapa penanya, yaitu
Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!” ... (Rini Esti Utami)
masyarakat Jawa Tengah. Penggunaan sapaan anda akan berakibat tuturan menjadi formal, sedangkan kalimat (25) merupakan contoh penggunaan sapaan kamu. Penggunaan sapaan kamu banyak digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah untuk menyapa masyarakat. Sapaan kamu biasanya digunakan untuk orangorang yang sudah akrab. Penggunaan sapaan kamu, pada masyarakat tertentu, memiliki nilai rasa yang kurang baik. Biasanya sapaan kamu digunakan untuk orang yang lebih muda usianya atau lebih rendah kelas sosialnya. Sapaan kata ganti orang pertama jamak juga digunakan Gubernur Jawa untuk menyapa masyarakat. Sapaan dengan kata ganti orang pertama jamak yang digunakannya adalah sapaan kita. Berikut contoh kalimat yang menggunakan sapaan kita tersebut.
sendiri atau mewakili pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ketika mewakili dirinya sendiri, Gubernur Jawa Tengah menggunakan sapaan kata ganti yang berbeda dengan ketika mewakili pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sapaan yang digunakan Gubernur Jawa Tengah untuk menyapa dirinya sendiri adalah sapaan kata ganti orang pertama tunggal dan sapaan kata ganti orang pertama jamak. Ketika menjawab pertanyaan masyarakat, Gubernur Jawa Tengah menggunakan sapaan untuk dirinya dengan sapaan kata ganti orang pertama tunggal, yaitu saya. Sapaan tersebut digunakan ketika Gubernur atas nama diri sendiri atau Gubernur tanpa melibatkan pihak lain. Berikut contoh kalimat yang menggunakan sapaan saya tersebut.
(26) Memang kita merencanakan membangun sistem kereta api sampai ke pelabuhan.
(27) Jadi saya berharap betul agar fraksifraksi untuk hadir di paripurna dan segera mengesahkan.
Pemilihan sapaan kita merupakan langkah yang strategis bagi Gubernur Jawa Tengah untuk melibatkan masyarakat, yaitu penanya dan pembaca, untuk terlibat dengan apa yang beliau ungkapkan. Pada kalimat (26) Gubernur melibatkan semua unsur, termasuk masyarakat, yaitu penanya dan pembaca, di Jawa Tengah untuk terlibat dalam pembangunan jalan kereta api yang memadai.
(28) SAYA menyarankan kepengurusannya agar datang ke Satpol PP Kota Semarang.
proof
Sapaan yang Digunakan oleh Gubernur untuk Menyapa Diri Sendiri
Pada kalimat (27) gubernur menjawab atas nama Gubernur Jawa Tengah tanpa melibatkan unsur lain, sedangkan pada kalimat (28) gubernur menjawab atas nana diri sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Berbeda dengan sapaan saya, sapaan kita yang digunakan oleh Gubernur ketika mewakili pemerintah Provinsi. Berikut ini contoh kalimat yang menggunakan sapaan kita.
Dalam menjawab pertanyaan dan usulan masyarakat, Gubernur Jawa Tengah kadangkala mewakili dirinya
(29) Kita kontrol terus menerus soal kondisi cuaca di sepanjang jalan tol.
89
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 81—94
Penggunaan sapaan kita digunakan oleh Gubernur untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang melibatkan unsur lain. Masalah kesehatan misalnya, sapaan kita digunakan untuk mengakomodasi bahwa yang terlibat dalam menjawab adalah Gubernur, Dinas Kesehatan, dan instansi terkait. Begitu pula dengan masalah lainnya. Selain itu, penggunaan sapaan kita digunakan untuk memberi kesan bahwa Gubernur melibatkan masyarakat ketika menyelesaikan atau memberikan solusi.
dengan nama depan Ganjar dari pada Ganjar Pranowo dan Pak dari pada Bapak yang digunakan masyarakat untuk menyapa Gubernurnya. Sapaan Ganjar saja dirasa oleh masyarakat lebih praktis, lebih pendek, dan lebih dikenal dibandingkan dengan menyapanya dengan nama lengkap Ganjar Pranowo. Begitu pula penggunaan kata sapaan Pak lebih praktis dibandingkan dengan sapaan Bapak. Berkut contoh kalimat dengan menggunakan sapaan tersebut.
Tujuan Penggunaan Sapaan
2) Menghormati Mitra Tutur Penggunaan sapaan tertentu oleh masyarakat maupun Gubernur Jawa Tengah salah satunya dengan tujuan untuk menghormati mitra tuturnya. Sapaan yang bertujuan untuk menghormati mitra tuturnya antara lain penggunaan sapaan gabungan. Berikut kalimat yang menggunakan sapaan tersebut.
Setiap sapaan yang digunakan dalam rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng memiliki tujuan tertentu. Berikut ini akan dipaparkan sapaan beserta tujuan penggunaan sapaan tersebut.
(31) PAK Ganjar, kapan pelayanan e-KTP dimulai lagi.
proof
1) Kepraktisan Penggunaan sapaan perlu dipertimbangkan dengan matang. Salah satu pertimbangan adalah kepraktisan. Penggunaan sapaan dengan pertimbangan kepraktisan tersebut dapat kita lihat pada penggunaan sapaan Pak. Penggunaan sapaan Pak bertujuan untuk kepraktisan karena cukup singkat. Penggunaan sapaan Pak lebih umum digunakan oleh masyarakat untuk menyapa seeorang tanpa membedakan perbedaan strata sosial. (30) SIANG Pak. Jujur Pak saya sangat kecewa dgn pelayanan seorang bidan desa di Sidomulyo, Kecamatan Ngawen, Kabupaten.
Penggunaan sapaan dengan pertimbangan kepraktisan tersebut dapat kita lihat pada penggunaan sapaan
90
(32) PAK Ganjar Yth, tolong Pak dibasmi aksi premanisme di Jateng termasuk di daerah pertigaan Karangjati yang meresahkan warga dan angkutan, Pak. Penambahan kata Yth sebagai kependekan dari yang terhormat di belakang sapaan nama diri Pak Ganjar merupakan upaya untuk tetap memberikan penghormatan walaupun menyapa pimpinannya dengan sapaan yang lebih santai. Penggunaan sapaan dengan tujuan untuk menghormati mitra tutur juga ditemukan dalam penggunaan sapaan Bapak. Sapaan ini digunakan untuk menyapa orang yang strata sosialnya
Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!” ... (Rini Esti Utami)
lebih tinggi atau untuk menghargai seseorang yang disapanya. (33) Hampir 95% kondisi jalan di Kendal semuanya seperti kubangan kerbau seperti yang Bapak lihat sendiri. Kalimat tersebut merupakan laporan masyarakat tentang kondisi wilayah di Jawa Tengah. Penggunaan sapaan Bapak pada kalimat tersebut bertujuan untuk menghormati Gubernurnya. Sapaan dengan tujuan untuk menghormati mitra tutur juga digunakan Gubernur Jawa Tengah untuk menyapa rakyatnya. Berikut contoh kalimat tersebut. (34) Anda akan melihat apa yang sedang dikerjakan di sana.
Dengan menggunakan sapaan Pak Ganjar masyarakat ingin agar komunikasi dengan pemimpinnya terbuka dan berjalan dengan akrab sehingga apa yang diinginkan oleh masyarakat dapat dipahami dan diterima oleh pemimpinnya. Penambahan kata gubernurku pada sapaan Pak Ganjar bertujuan untuk lebih mengakrabkan antara masyarakat dan pemimpinnya. Penambahan kata tersebut juga semakin menegaskan kesan santai dari sapaan nama diri Pak Ganjar. Berikut contoh kalimat tersebut. (36) PAK Ganjar gubernurku. Sapaan lain yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa Gubernurnya untuk menciptakan keakraban adalah sapaan bro dan gan. Berikut conto kalimat-kalimatnya.
proof
Pada kalimat tersebut Gubernur Jawa Tengah menggunakan sapaan anda untuk menyapa penanya, yaitu masyarakat Jawa Tengah. Penggunaan sapaan anda lebih santun atau menghargai mitra tuturnya dibandingkan dengan sapaan kamu.
3) Menciptakan Keakraban Sapaan yang digunakan oleh Gubernur maupun masyarakat Jawa Tengah salah satunya bertujuan untuk menciptakan suasana akrab atau menjalin keakraban. Penggunaan sapaan yang singkat seringkali dapat menimbulkan atau menjalin keakraba. Sapaan yang digunakan oleh masyarakat agar tercipta situasi akrab antara lain penggunanan sapaan Pak Ganjar. (35) PAK Ganjar, saya dengar info Stadion Jatidiri akan direnovasi total?
(37) Terima kasih jalan Pantura sudah ditambal walaupun gak mulus tapi wes lumayan kok Pak Bro…. (38) LAPOR Gan, jalan Pantura mulai Wiradesa masuk Pemalang banyak lubangnya, padahal belum lama ada perbaikan. Thanks. Penggunaan sapaan bro digunakan dengan ditambah sapaan Pak. Penambahan sapaan Pak membuat sapaan tersebut lebih dapat diterima oleh masyarakat karena lebih sopan. Penggunaan sapaan Pak Bro tersebut digunakan dengan tujuan agar lebih akrab. Demikian pula penggunaan sapaan gan digunakan untuk tujuan menciptakan keakraban dengan berkelakar. Sapaan kamu juga digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo untuk menyapa masyarakat
91
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 81—94
atau mitra tuturnya untuk menciptakan keakraban juga digunakan. Berikut ini contoh menggunakan sapaan kamu. (39) Coba Kamu langsung bertanya ke bagian keuangan, itu akan lebih bisa menjawab pertanyaan anda. Sapaan kamu biasanya digunakan untuk orang yang sudah akrab, lebih muda usianya, atau lebih rendah kelas sosialnya. Sapaan ini digunakan untuk menghilangkan jarak antara pemimpin dan rakyatnya. 4) Menarik Perhatian Mitra Tutur Sapaan tertentu yang dipergunakan oleh masyarakat maupun Gubernur Jawa Tengah memiliki tujuan untuk menarik perhatian mitra tutur. Salah satu sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menarik perhatian mitra tuturnya adalah dengan menggunakan sapaan Gubernur diperluas kedepan dengan sapaan Bapak sedangkan di belakang diberi keterangan lokasi gubernur berkuasa, yaitu Jawa Tengah dan nama panggilan Gubernur, yaitu Pak Ganjar sehingga sapaannya menjadi Bapak Gubernur Jateng Pak Ganjar. Berikur adalah kalimat dengan sapaan tersebut.
Sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa diri sendiri dengan tujuan menarik perhatian mitra tutura adalah dengan sapaan kami dan kita. Berikut kalimat yang menggunakan sapaan kami. (41) Kami tunggu Pak… kita dilewati. Kami tunggu Pak…kita bisa ngobrol bareng beserta masyarakat sini. Penggunaan kami bertujuan untuk menunjukkan bahwa masalah yang disampaikan kepada mitra tutur bukan merupakan masalah pribadi tetapi masalah bersama. Penggunaan kata sapaan kita pada kaliamat tersebut bertujuan agar pembaca dan Gubernur merasa terlibat dengan masalah yang disampaikannya. Sapaan kita juga digunakan oleh Gubernur kepada masyarakat. Berikut ini adalah contoh kalimatnya.
proof
(40) TERIMA kasih kepada Bapak Gubernur Jateng Pak Ganjar atas diresmikannya PT JAMKRIDA JATENG untuk mengatasi masalah kesulitan permodalan bagi UMKM di Jawa Tengah. Sapaan tersebut merupakan bentuk yang tidak efektif karena terdapat pemborosan penggunaan sapaan yang bertumpuk, tetapi sapaan ini tetap digunakan oleh masyarakat sebagai upaya menarik perhatian mitra tuturnya.
92
(42) Ada beberapa yang senada, dan kita sedang melakukan evaluasi.
Sapaan kita digunakan oleh Gubernur untuk menjawab pertanyaan masyarakat Jawa Tengah. Penggunaan sapaan kami merupakan langkah strategis bahwa masalah yang dibicarakan merupakan masalah bersama yang secara langsung maupun tidak langsung melibatkan masyarakat itu sendiri.
PENUTUP Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa sapaan yang digunakan oleh masyarakat untuk menyapa mitra tutur, yaitu Gubernur Jawa Tengah, adalah sapaan nama
Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!” ... (Rini Esti Utami)
diri, sapaan dengan nama kekerabatan, sapaan dengan nama jabatan, dan sapaan lainnya. Sapaan nama diri yang digunakan adlah Ganjar atau Ganjar Pranowo. Masyarakat menambahkan unsur di depan, yaitu sapaan diri dengan sapaan Pak atau Bapak dan menambahkan keterangan di belakang, yaitu yang terhormat atau gubernurku. Sapaan dengan nama kekerabatan yang digunakan untuk menyapa gubernur adalah Bapak atau Pak. Sapaan dengan nama jabatan yang digunakan adalah gubernur. Untuk menghormati mitra tutur ditambahkan sapaan Pak atau Bapak di depan gubernur. Sebagian masyarakat menambahkan Jawa Tengah menjadi Bapak Gubernur Jawa Tengah atau Bapak Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar. Sapaan lainnya yang digunakan untuk menyapa Gubernur adalah Bro dan Gan. Dalam rubrik tersebut masyarakat menggunakan sapaan untuk dirinya sendiri dengan sapaan kata ganti orang pertama tunggal saya dan sapaan kata ganti orang pertama jamak kami dan kita. Sapaan yang digunakan oleh gubernur untuk menyapa masyarakat adalah kata ganti orang kedua tunggal dan orang kedua jamak. Sapaan kata ganti orang kedua tunggal, adalah anda dan kamu. Sapaan kata ganti orang pertama jamak, adalah kita. Sapaan untuk menyebut dirinya sendiri adalah sapaan kata ganti orang pertama tunggal dan sapaan kata ganti orang pertama jamak. Sapaan kata ganti orang pertama tunggal, yakni saya dan sapaan kata ganti orang pertama jamak, yaitu kita. Adapun tujuan penggunaan sapaan pada tersebut adalah untuk kepraktisan, menghormati mitra tutur, menciptakan keakraban, dan menarik perhatian mitra tutur.
Penelitian “Sapaan dalam Rubrik “Lapor Gan!” di Harian Tribun Jateng” ini belum tuntas dan masih banyak rumpang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam agar mendapatkan deskripsi yang lebih baik. Daftar Pustaka
Aslinda, dkk. 2000. Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia. Djajasudarma, Fatimah. 2006. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama.
proof
Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah. Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Maslakhah, Siti. 2004. “Bahasa Jawa dalam Kethoprak Humor RCTI (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik”. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Soeparno. 1993. Dasar-Dasar Linguistik. Yogyakarta: PT Mitra Gama Widya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
93
Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 81—94
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan (terjemahan Sunoto, dkk). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
proof
94
PERSYARATAN NASKAH
jalabahasa 1. Artikel merupakan hasil penelitian kebahasaan. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia antara 15 s.d. 20 halaman kertas kuarto spasi ganda, (tepi kiri 4 cm, kanan 3 cm, atas 4 cm, bawah 3 cm) dilengkapi dengan abstrak bahasa Indonesia dan Inggris, serta kata kunci. 3. Artikel dikirimkan ke redaktur Jalabahasa: Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Jalan Elang Raya No.1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang atau dalam bentuk salinan lunak dengan program MS Word ke
[email protected] 4. Format penulisan Judul : dalam Bahasa Indonesia (dalam Bahasa Inggris) Nama Penulis : oleh/by Nama lengkap tanpa gelar Unit kerja lengkap dengan alamat dan posel penulis Tanggal penerimaan dan persetujuan naskah Abstrak dan Kata Kunci : ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Judul (cetak tebal kapital), nama, abstrak, dan kata kunci. Abstrak memuat masalah, tujuan, metode dan gambaran singkat hasil penelitian PENDAHULUAN Memuat latar belakang, masalah, tujuan, metode, dan kerangka teori tanpa subbab. HASIL DAN PEMBAHASAN Subbab tanpa penomoran, huruf kapital tiap awal kata SIMPULAN Daftar Pustaka 5. Daftar Pustaka ditulis secara konsisten dengan ketentuan sebagai berikut. a. Pengarang. Tahun Terbit.Judul Buku. Kota Terbit: Penerbit. b. Gelar kesarjanaan tidak disertakan. 6. Bahasa artikel Jalabahasa adalah ragam bahasa ilmu yang bercirikan penggunaan kata, frasa, kalimat, yang baku, tegas, jelas, dan spesifik. 7. Penulis bersedia memperbaiki tulisan atas saran mitra bestari 8. Jalabahasa hanya memuat naskah yang dinilai layak menurut penilaian dewan redaksi. 9. Artikel belum pernah dimuat di media mana pun.