Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memaerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jabat Erat Dari Ambon, Manado, dan Medan Sehimpun Cerita Dari Titik Temu Lintasiman
© Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Cetakan Pertama, Januari 2017 Tim Penyunting Tata Letak Pewajah Sampul
: Alviani Permata & Ida Fitri : Dwi Pengkik : M. Rizal Abdi
Diterbitkan oleh:
Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Bekerjasama dengan
Ifada Press
Jl. Turen No. 240 KKN-54 Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman - Yogyakarta 55581 Telp. (0274) 625843 Mobile: 081359150899 (Fajar Saputro) Email:
[email protected] Website: www.ifadabooks.com Cet. 1–Sleman: Ifada Press, 2017 viii, 272 hlm. 14 x 20,5 CM ISBN: 978-602-73558-3-5
D A F TA R I S I
Daftar Isi .................................................................................... v Prolog INGAGERS, damaimu terkonfirmasi! ........................................ 1 Leonard C. Epafras
I.
Suara-suara yang Liris ........................................................ 11 Program Tujuh Hari Training dan Live-in Bersama INGAGE .......................................... 13 Bona Ronny Pati Butar Butar, INGAGE Medan
Pengalaman Luar Biasa Bersama INGAGE ...................... 25 Rasita Sarante, INGAGE Manado
Perjalanan Manja Tetapi Kritis, ke Tempat Eksotis Hingga Mistis ...................................... 41 Edison F. Swandika Butar Butar, INGAGE Medan
Karena Dia, Insan Bersatu dalam Perbedaan .................. 49 Asri Rasjid, INGAGE Manado
Kesetaraan .......................................................................... 67 Surikno Manoka, INGAGE Manado
v
Mengenal, Memahami dan Menghargai Keragaman Lintasiman .................................. 71 Pateki Sounawe, INGAGE Ambon
Perbedaan adalah Kekayaan ............................................. 75 Wilhelmus Mance Salmon, INGAGE Ambon
II. Mereka yang Mendengar ................................................... 83 Sahata Saoloan (Seiya Sekata) Merangkul Perbedaan ....................................................... 85 Doharma Parulian Purba, INGAGE Medan
Tujuh Hari (Belajar) Mengenal Agama Lain ..................... 101 Sri Wahyuni Fatmawati Pulungan, INGAGE Medan
Nilai-nilai Universal dalam Agama-agama ........................ 113 Taufiq Lovonita, INGAGE Manado
Tuhanku adalah Tuhan Lintasagama ................................ 121 Ardiman Kelihu, INGAGE Ambon
INGAGE: Pesantren Keberagaman ................................... 127 Ridhwan Ibnu Luqman, INGAGE Ambon
III. Para Pelintas Batas ............................................................. 143 Komunikasi dalam Harmoni ............................................. 145 Anton Sahputro Hutauruk, INGAGE Medan
Kerukunan Umat Beragama di Medan ............................. 151 Bhikkhu Dhirapunno, INGAGE Medan
Agamaku Agamaku, Agamamu Agamamu ....................... 155 Desi Ratna Hutajulu, INGAGE Medan
Menerima Keberagaman Sebagai Dasar Persatuan Negara Indonesia ............................................. 161 C.Pdt. Pahala Sihotang, INGAGE Medan
Embrace Your Diversity! .................................................... 167 TiarastellaAmanda Kangiras, INGAGE Manado
vi
Melihat Yesus Di Dalam Masjid ........................................ 181 Devia Rumangu, INGAGE Manado
INGAGE: Pengalaman Bersama Teman yang Berbeda Keyakinan .................................................. 191 Dessi N. Wentuk, INGAGE Manado
Tulisan Refleksi Saat Mengikuti Kegiatan INGAGE ......... 205 Febrina Mato, INGAGE Manado
SemakinBanyak Warna, Maka Akan Semakin Menarik ........................................... 215 Indri Moniaga, INGAGE Manado
INGAGE dan Agenda Mengelola Keragaman .................. 229 Taufiq Bilfaqih, INGAGE Manado
Ketika Hantu Jadi Tuhan ................................................... 241 Eklin A. de Fretes, INGAGE Ambon
Berbeda-beda Tak Mesti Dibeda-bedakan ....................... 247 Wirda Salong, INGAGE Ambon
Jurnal Harian bersama Inang Siahaan .............................. 261 Indah Fikria Aristy, INGAGE Medan
Epilog INGAGE, Lentera dalam Kegelapan Toleransi Berbangsa ...... 269 Mataharitimoer, Program Coordinator ICT Watch – Penulis Jihad Terlarang
vii
viii
PROLOG INGAGERS, damaimu terkonfirmasi! Leonard C. Epafras
K
ATA seorang teman saya, jika ingin berhasil dalam pemasaran produk, bidiklah tiga sasaran. Tiga sasaran itu diringkus dalam perpendekan kata YWN, yaitu youth (kaum muda), women (kaum perempuan), dan netizen (penghuni dunia digital). Pandangan ini berasal dari wacana pemasaran dan bisnis. Tanpa harus sepakat sepenuhnya dengan saran ini, ketiga penanda tersebut memang mempunyai posisi yang penting dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Dalam pengertian YWN di atas, perempuan dalam bingkai emansipasi maupun dalam konteks masyarakat yang lebih tradisional, punya peranan penting dalam menghubungkan generasi tua dan muda. Melalui perempuan aliran nilai di transportasikan, dan dalam banyak hal perempuan menjadi sumber sistem nilai itu sendiri. Jika dalam pemasaran, sistem nilai yang dimaksud adalah preferensi terhadap komoditas, maka dalam pemahaman yang lebih luas tentu saja perempuan mempunyai otonominya sendiri, sekaligus punya pola hubungan dengan elemen individual dan sosial yang lain secara unik. Namun, manapun yang menjadi cara pandangnya, tidak mungkin mengabaikan dan menomor duakan perempuan dan peranannya dalam masyarakat. 1
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
SementaraY dan N, yaitu youth dan netizen, meskipun tidak serupa, tapi kedua istilah ini saling berkaitan. Indonesia adalah salah satu pasar digital terbesar di dunia. Sekitar delapan puluh juta dari 230 sampai 250 juta penduduknya, terpapar internet. Jumlah pengguna telepon selular dan telepon pintar bahkan lebih mengesankan lagi, ada tiga ratus juta orang Indonesia yang terdaftar sebagai pengguna alat komunikasi ini. Dari pengguna internet, 85% adalah kaum muda! Jadi bisa dibayangkan bahwa potensi kaum muda yang dahsyat ini. Dulu para pejabat suka bilang kalau kaum muda itu adalah “generasi penerus bangsa.” Itu juga kata tokoh Indonesianis, almarhum Ben Anderson di sebuah kuliah umum tahun 1999, mengamati bahwa di Indonesia, “... hingga saat ini, kekuatan politik istimewa yang dimiliki mahasiswa terletak pada posisi sosial mereka sebagai simbol masa depan bangsa.” Tokoh ini pula yang pertama kali menegaskan peranan sangat besar pemuda dan pelajar dalam revolusi kemerdekaan. Jadi sebenarnya tidak mungkin lagi mengabaikan peranan kaum muda dalam mengonstruksi relasi sosial dan membangun wacana kebangsaan. Jiwa muda sering digambarkan penuh dengan gairah hidup, potensi, dan semangat yang masih dalam proses pencarian bentukyang mapan. Sering kali dalam kondisi seperti itu, kaum muda dipandang sebagai kelompok yang membutuhkan bimbingan dan arahan, sebab mereka masih dalam proses pencarian jati dirinya. Ada banyak hal yang dicapai oleh kaum muda dalam kreativitasnya, seperti yang ditunjukkan oleh para pendiri negeri ini, juga pada generasi muda masa kini dengan teknologi digital. Dalam penelitian saya tentang persepsi keagamaan di kalangan muda, khususnya generasi Millennials (usia 17 – 30 tahun), ada banyak sekali contoh bagaimana generasi ini terlibat aktif dalam bisnis, bahkan politik, seperti munculnya apps (aplikasi pada gawai) untuk Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam kerangka ilmu budaya dan meminjam istilah Alvin Toffler, generasi ini adalah prosumer (producer-consumer), yaitu mereka mengonsumsi sebagai tindakan produksi makna dan barang. 2
Prolog
Namun pada sayap yang lain, kaum muda juga dipandang sebagai generasi yang dapat tersesat dalam pencarian jati dirinya. Kaum muda sering dimanfaatkan sebagai corong dari pandangan yang tertutup, bahkan hingga menjadi target rekrutmen bagi agenda ekstremisme agama. Sering pula menjadi pion dalam memobilisasi pesan-pesan keagamaan yang keras. Ketakutan yang berselimut moralitas (moral panic) sering juga melanda kaum yang lebih tua terhadap tingkah polah kaum muda masa kini, terutama dalam hal pergaulan dan ideologi. Karena itu banyak pandangan yang menilik perlunya mengendalikan dan “membimbing” kaum muda. Ada semacam semangat untuk “menggurui” lapis masyarakat ini. Dalam konsep pedagogi yang lebih mutakhir, pendekatan yang lebih baik adalah dialogis dan tidak menggurui. Kaum muda diberi ruang ekspresi, interaksi dan modal wacana, namun selebihnya mereka dapat menemukan jalan yang paling mengena dengan jiwa dan aspirasi mereka sendiri. Kata kuncinya adalah terbukanya ruang. INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement) adalah ruang semacam itu. Di dalamnya berkumpul kaum muda yang berproses bersama, saling mengenal, belajar, berdebat dengan sehat, bermain, dan membangun aspirasi. Ia menjadi ajang, gelanggang perjumpaan kaum muda lintasagama, jender dan preferensi seksualitas, aliran keyakinan, dan pada batas tertentu lintasetnik pula. INGAGE adalah sebuah inisiatif yang diprakarsai The Lutheran World Federation(LWF) dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS). LWF adalah persekutuan gereja-gereja Lutheran yang berkantor di Jenewa, Swiss. LWF bekerja membangun inisiatifinisiatif kemanusiaan berlandaskan harkat kemanusiaan dan keadilan, kasih, penghormatan pada keberagaman, inklusivitas, dan mengembangkan partisipasi yang lebih luas tanpa memperhatikan perbedaan jender, kelas sosial, agama, dan etnisitas. Sementara ICRS adalah konsorsium tiga universitas: Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga 3
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
(UIN Suka), dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Ketiga universitas ini diwakili oleh Centre for Religion and Cross-cultural Studies (CRCS), UGM, Sekolah Pasca-sarjana Studi Islam, UIN Suka, dan Program Pasca-sarjana Teologi, UKDW. Ketiga lembaga ini di tahun 2006 sepakat untuk membangun program bersama untuk menyediakan pendidikan doktoral bertaraf internasional, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Inisiatif-inisiatif yang dibangun dalam kaitan ketiga pilar tersebut adalah untuk membangun masyarakat tanpa diskriminasi, menghargai perbedaan, dan membangun keilmuan kajian agama yang berdampak pada kebijakan publik dan masyarakat yang lebih luas. Sekalipun tidak ada kaitannya dengan pemasaran produk, merujuk pada YWN di atas maka ketiga elemen, kaum muda, perempuan dan netizen diberi porsi besar dalam wacana keberagaman, lintasagama, dan hak asasi manusia dalam memupuk masa depan Indonesia yang lebih baik. LWF dan ICRS sendiri telah berpengalaman dalam membangun inisiatif untuk kaum muda. ICRS mensponsori inisiatif Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) dan Interfaith Youth Pilgrimage (IYP). INGAGE adalah inisiatif ICRS paling mutakhir. Program ini dengan sengaja mengupayakan kehadiran kelompok agama marjinal dan termarjinalkan seperti agama-agama lokal, meskipun belum sangat mewakili keragaman kelompok-kelompok ini. Kami beruntung dengan kehadiran dari agama Parmalim, Ugamo Bangso Batak, Masade, dan Nuaulu. Dari enam agama yang diakui pemerintah Indonesia, kami kurang beruntung untuk mengajak peserta dari Kong Hu Chu.Namun dalam tidak utuhan ini, kami tetap bahagia karena berkesempatan mengenali kekayaan tradisi Kristen (Protestan dan Katolik), Islam (Sunni, Syi’ah, dan Ahmadiyyah), Hinduisme (tradisi Bali dan India), dan juga Buddhisme Theravada. Di tengah masyarakat yang semakin berisiko dan rendah rasa saling percaya dirinya, di mana rasa takut dan benci bukan saja diecer, disangatkan, disebarluaskan tapi juga dilembagakan, hingga mulai membentuk sistem berpikir dan mentalitas. INGAGE 4
Prolog
mencoba menyisihkan sedikit ruang semi-publik bagi kaum muda, agar ada peluang bagi mereka untuk membangun wacana alternatif, membangkitkan DNA kebangsaan, dan memulihkan kepedihan sosial. INGAGE diadakan di tiga kota: Medan, mewakili Indonesia Barat, Manado, mewakili Indonesia Tengah, dan Ambon, mewakili Indonesia Timur.Di masing-masing kota berkumpul dua puluh lima hingga tiga puluh peserta, ditambah beberapa pangamat, yang berasal dari beragam tradisi keagamaan, dan bahkan dari kekayaan orientasi seksualitas. Program ini mematok kaum muda yaitu mereka yang berusia tujuh belas hingga tiga puluh tahun. Tapi kenyataannya kategori ini tidak sepenuhnya dipatuhi. Beberapa peserta berusia lebih dari tiga puluh tahun. Pilihan atas tiga kota ini tentu saja pantas dipertanyakan dan tentunya berdasarkan asumsi tertentu. Namun yang pasti adalah ketiga lokasi tersebut di luar pulau Jawa dan kota-kota yang sangat dinamis dalam hal hubungan sosial dan lintas-agama, sehingga diharapkan mewakili pengalaman ketiga wilayah Indonesia. Program memusatkan perhatian pada tiga isu yang dianggap penting, yaitu membangun kesadaran hak asasi manusia, perjumpaan lintasagama, dan media sosial (medsos).Aktivitas didesain untuk tujuh hari yang terbagi dalam dua hari ceramah dan diskusi, satu hari perjalanan antariman (Interfaith Journey) dengan mengunjungi beragam rumah ibadah, dan Live-in, di mana peserta tinggal dalam ruang sosial dan keagamaan keluarga yang berbeda agama. Ada banyak cerita. Ada kejutan, dan perjumpaan yang meng harukan, menggugah sekaligus merontokkan paku citra (stereotip) yang selama ini masih bersemayam di benak saya. Saya belajar banyak sekali dari dinamika interaksi peserta, maupun dalam perjalanan antariman di berbagai tempat ibadah. Kecuali medsos, kedua isu yang lain tampak “biasa” dan mungkin bagi sebagian orang sudah klise, ternyata disambut dengan penuh antusiasme. Ceramah dan diskusi memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk memikirkan secara serius hak-hak asasi mereka 5
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
sebagai manusia berdasarkan kovenan yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Tujuannya bukan sekedar memperkaya pengetahuan tetapi juga edukasi dan memberi asas dan bingkai untuk mempraktikkannya dalam konteks lintasiman. Interfaith Journey dan Live-in menjadi sesi yang paling menarik sekaligus penuh tantangan, baik bagi peserta maupun panitia. Keduanya menjadi ruang sosial di mana ada pertaruhan identitas, titik jumpa, dan ekses dari perjumpaan. Interfaith Journey secara umum di ketiga kota berjalan dengan baik dan sukses. Banyak dari peserta yang seumur hidup belum pernah berada dalam ruang sakral keyakinan lain. Perjumpaan di ruang-ruang semacam ini benar-benar memberi pengalaman, pembelajaran dan pertemanan baru, sebagaimana tertuang dalam pengalamanpengalaman di buku ini. Namun tantangan juga tidak kecil. Di Medan ada seorang peserta yang merasa tercederai rasa keberagamaannya ketika menyaksikan perjumpaan-perjumpaan lintasiman yang terjadi selama Interfaith Journey. Ia merasa ada pendangkalan keyakinan melalui aktivitas ini, dan karenanya mengundurkan diri prematur. Tak bisa disalahkan perasaan semacam ini. Di era kini, tarik menarik dalam diri seseorang menyangkut identitas agamanya memang menguat. Di satu sisi, ada tarikan ke luar berupa rasa ingin tahu dan berdampak dalam perjumpaan yang dapat mengubah cara pandang orang. Di sisi lain, ada tarikan ke dalam yang justru mengeraskan pemahaman dan meneguhkan prasangka selama ini.Karena itu titik tegangnya ada pada ruang antara yang tercipta dari tarik menarik ini. Apakah mau maju bergerak keluar atau menarik diri? Ia bisa menjadi titik perhentian di sempadan dan tidak ada keinginan untuk melampauinya, karena melihat apa yang di luar sana sebagai ancaman. Ia bisa juga menjadi titik transformasi kepada pemahaman baru dan keinginan untuk memperluas batas komitmen. Ancaman dari luar bisa berupa ancaman yang nyata tetapi bisa juga persepsi yang lahir dari ketakutan. Era global dan komunikasi ini memang ditandai dengan sikap keterbukaan atas deraian 6
Prolog
pengaruh dan saling silang jumpa dengan sesuatu nilai baru dan asing, namun tak luput bagi yang lain adanya sikap membatasi diri karena rasa takut maupun tak rukun pada nilai baru dan asing tersebut. Ini sesuatu yang jamak dan tidak bisa dipaksakan. Tetapi eksesnya nyata sekali akhir-akhir ini dengan munculnya beragam hujatan, peredaran berita-berita palsu bertebaran tanpa kendali. Karena itu salah satu hal yang dipelajari dalam program ini adalah bagaimana menghargai privasi diri (tagline: “I love my privacy”) berkelindan dengan penghargaan dan perlindungan terhadap privasi orang lain. Sekalipun sub-judul pengantar ini “INGAGE di tiga kota” tetapi ini bukan kisah saya semata. Saya juga sangat tergoda untuk menceritakan figur-figur tertentu yang demikian mengesankan di tiga kota ini, tetapi saya sengaja menundanya sampai Anda para pembaca, membacanya sendiri kisah-kisah di buku ini. Sebab pada akhirnya semua peserta memberikan kesan-kesan yang unik dan beragam, dengan caranya masing-masing. Pada kenyataannya selama program berlangsung, saya justru menjadi orang yang di pinggir, mengamati, hanya sesekali terlibat dalam aktivitas, untuk menyerap dan belajar. Ibarat dalam film, “jagoannya” adalah para peserta sendiri yang berinteraksi langsung, memberi pertanyaan, dan membangun inisiatif sesudahnya.Sesuai dengan singkatan yang dipilih, yang keInggris-Inggrisan, INGAGE, terdengar seperti engage, yang berarti “terlibat, bertunangan,” maka memang dampak yang diharapkan adalah keterlibatan peserta sesudah mengikuti program ini dalam aksi pembangunan masyarakat yang toleran dan damai. Ini sudah tampak dalam semangat mereka melakukan beragam aktivitas dan inisiatif. Mereka menyebut diri INGAGERS, yang bisa dibaca sebagai “mereka yang terlibat dan aktif” dalam wacana harmoni dan toleransi. Sebagian kecil dari inisiatif-inisiatif para Ingagers inisaya catat di bawah ini: • Secara individual Ingagers dari tiga kota membagikan pengalaman mereka di blog, berbagai websites dan 7
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
•
• •
•
laman medsos, seperti Facebook, Instagram, dan YouTube. Salah satu yang sangat aktif mengembangkan wacana damai, spiritual, isu-isu sosial, dan lintasiman misalnya yang dikelola oleh Bhante Samanera Dirapuñño dan Zikri Fadhillah, Ingagers Medan; Lenterakawanua (dikelola oleh Asri Rasjid), Ingager Manado; Ardiman Kelihu, Ingager Ambon; dan lain-lainnya. Ingagers (sebutan untuk alumni program INGAGE) Manado, menggelar “Dialog an Bedah Buku Kebhinne kaan” dengan tema “Menjaga Nusantara Merawat Bhinneka Tunggal Ika, di Gedung DPD RI Sulawesi Utara, pada Jum’at 9 Desember 2016. Ingagers Medan akan menyelenggarakan Camp Pemuda Lintasagama, pada 30 Maret – 2 April 2016. Beberapa peserta Ingagers Medan adalah aktivis pergerakan sosial dan advokasi kelompok masyarakat tertentu, mis. advokasi pada agama Parmalim, dan kelompok termarjinalkan lainnya. Keikutsertaan mereka dalam INGAGE, memperkuat dan memperluas wacana yang mereka perjuangkan. Ingagers Ambon menggagas Hitumesing Day, yang diselenggarakan tiap minggu. Momen adalah ruang jumpa di daerah Hitumesing bersama untuk belajar bersama dan mempererat persahabatan.
Peliputan oleh RAL FM, LIPS FM, Televisi Republik Indonesia (TVRI) Stasiun Medan, Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Manado and Ambon, pemberitaan berbagai media online dan cetak membantu memperluas wacana kaum muda lintasiman ini. Aktivitas INGAGE Ambon mendapat kesempatan diliput oleh ICTWatch, sebuah lembaga masyarakat sipil yang memberi perhatian besar pada edukasi internet dan medsos. Kehadirannya diwakili oleh Mas Matahari Timoer (MT). Dalam beberapa kali wawancara media dengan Ingagers dan saya, mereka “berharap” INGAGE dapat memberikan solusi bagi 8
Prolog
ketegangan sosial akhir-akhir ini: meningkatnya intoleransi, kaum muda yang menjadi radikal, dan tantangan sosial-budaya-politik lainnya. Tentu saja INGAGE dan Ingagers adalah bagian dari upaya memberikan jawab atas tantangan tersebut. Tetapi pada dasarnya program ini bukanlah resep mujarab, tetapi ruang untuk membangun keadaban, orientasi berpikir dan bertindak alternatif, yang dampaknya mungkin baru belakangan terasa, atau bahkan INGAGE hanyalah jembatan antara bagi aspirasi kaum muda yang lebih besar. Sebab program ini serba terbatas, baik jumlah peserta, keterwakilannya, waktu, dan sumber daya lainnya. Ia seperti benih yang ditanam, tetapi Ingagers dan masyarakat yang lebih luas, termasuk pemerintah daerah yang perlu memberi pupuk, air, dan lingkungan yang sehat untuk menumbuhkannya menjadi sesuatu yang berdampak bagi masyarakat. Para Ingagers diharapkan memelihara percakapan lintasiman senantiasa.Percakapan ke depan mesti melampaui klise-klise yang ada, yang menganggap kebaikan masing-masing agama dan budaya sebagai sesuatu yang statik. Sama seperti kearifan lokal seperti, pela-gandong, mapalus, sahata saoloan yang tidak boleh berhenti sebagai sekedar status dan kondisi ideal, tapi harus dihidupi terus menerus dan diberi makna baru pada konteks medsos saat ini. Bagaimana pela-gandong, mapalus, sahata seoloan berfungsi dan difungsikan dalam medsos? Pada akhirnya, ada demikian banyak pihak-pihak yang terlibat melancarkan program ini. Terimakasih Bang Abidin Wakano dan Lusia Pellouw di Ambon, Bang M. Jailani dan Febrisa Miranti di Medan, Angie Olivia Wuysang dan Taufani di Manado. Serta terimakasih tak terhingga diberikan kepada para pendukung program ini, juga dengan apresiasi mereka, bantuan dan dukungan moril maupun material, serta ruang-ruang lanjutan yang mereka sediakan. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, pengantar ini tidak akan menceritakan apa yang dirasakan oleh para Ingagers. Merekalah yang lebih berhak mengungkapkannya, sebagaimana sejumlah tulisan yang terkumpul yang Anda akan nikmati. 9
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
LWF dan ICRS sudah membentangkan lembar putih, membuka ruang jumpa, yang disebut INGAGE. Tinggal para Ingagers yang memutuskan untuk membubuhkan makna, mengisinya, melanjutkan, dan mengembangkannya. Di tengah riuh kebencian yang menguat, pelembagaan rasa takut, dan terpilah-pilahnya kelompok masyarakat, Ingagers dinanti untuk memberi jalan bagi masyarakat alternatif yang nirbenci, produktif, dan kreatif. Kisah-kisah dibuku ini adalah permulaan percakapan hidup. Semoga menjadi permulaan percakapan hidup tanpa koda, yang tiada habis-habisnya. Tidak saja di kalangan Ingagers, melainkan meluas ke segala arah. Menjadi virus dan viral. INGAGERS, damaimu terkonfirmasi! Leo Koordinator INGAGE
10
I Suara-suara yang Liris
11
12
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Ibadah di Bale Parsantian Parmalim Foto oleh Novita Sari Tobing, INGAGE Medan -
Program Tujuh Hari Training dan Live-in Bersama INGAGE B ona R onny Pati Butar Butar, INGAGE M edan
S
AYA mengetahui INGAGE melalui Group Parmalim di sebuah media sosial Whatsapp dari akun milik Wanri Lumbanraja –salah seorang mahasiswa alumni Universitas Gadjah Mada. Beliau memberikan link atau tautan untuk pendaftaran online. Disebutkan bahwa batas usia calon peserta adalah tidak lebih dari tiga puluh tahun dan berdomisili di Medan. Namun, saya tetap mendaftarkan diri, dengan harapan saya terpilih dan mendapat ilmu tentang keragaman sebagai inti dari acara pelatihan INGAGE yang diselenggarakan oleh ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies). Entah kenapa saya sangat yakin akan terpilih, 13
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
walaupun usia melebihi batas dan domisili saya di luar Sumatera Utara, mungkin karena ketertarikan yang kuat terhadap bahasan dari program yang memang sesuai dengan posisi saya sebagai Pemimpin Umat Parmalim atau disebut Ulu Punguan di Riau. Di tengah-tengah keributan antaragama dan kepercayaan, baik di masyarakat umum atau pun di media sosial, kegiatan ini sangat relevan, karena acara pelatihan yang diselenggarakan oleh ICRS, The Lutheran World Federation, dan Norad ini mencakup kegiatan diskusi tentang keragaman agama yang berguna untuk semua umat. Pendek cerita, tanggal 25 Agustus 2016 saya mendapat email dari Ibu Cendy Vebriana dari ICRS yang menyatakan saya diterima dan diikutsertakan dalam Program INGAGE Medan. Saya diminta untuk mengkonfirmasi bersedia mengikuti kegiatan sebelum tanggal 29 Agustus 2016. Tanpa pikir panjang saya langsung menyatakan komitmen saya melalui WA dan e-mail. Namun muncul keraguan, jangan-jangan panitia salah membaca formulir pendaftaran saya. Untuk menghilangkan rasa ragu, saya langsung menelepon panitia. Tidak selesai di situ, keraguan lain timbul bercampur rasa takut ketika menginjakkan kaki di Kota Medan. Saya takut akan jadi bahan omongan dan dikucilkan oleh peserta yang rata-rata masih muda, sebab saya sebenarnya tidak masuk kategori. Lebih lagi, setelah saya browsing mencari informasi tentang kegiatan ini, saya menemukan bahwa kegiatan INGAGE di Medan ini merupakan putaran pertama yang dilaksanakan oleh ICRS. Di kota yang terdapat beragam suku, agama, dan kepercayaan. Saya takut karena Medan tidak seperti sepuluh tahun yang lalu, saat saya masih menetap di kota ini. Tidak jarang orang-orang akan langsung mendiskriminasi ketika tahu bahwa saya bukan muslim. Tetapi ketakutan saya berangsur hilang setelah sampai di Asrama Haji –lokasi penyelenggaraan kegiatan INGAGE. Apalagi setelah berkenalan dengan salah satu peserta yaitu Doharma Purba yang menjadi teman sekamar saya, juga teman bercerita dan berdiskusi. 14
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Pukul 19.00 WIB, semua peserta berkumpul dan makan bersama. Setelahnya, panitia membagikan seminar kit dan memperkenalkan perihal kegiatan yang akan dilaksanakan mulai besok pagi. Saat makan malam itu, saya langsung menjadi sorotan karena agama saya Parmalim. Saya menunjukkan diri dengan yakin bahwa saya lain dari peserta lainnya yang mayoritas beragama Islam dan Kristen. Tetapi, tanggapan orang-orang di luar perkiraan. Mereka menyambut saya dengan hangat dan rasa kekeluargaan, hingga salah satu panitia, yaitu pak Leo selaku koordinator kegiatan ini mengajak berdiskusi tentang Parmalim. Juga kajian sejarah, cara ibadah, ragam tradisi agama-agama yang ada di Indonesia, bahkan hingga membahas asimilasi budaya dan agama di Indonesia. Peristiwa ini makin luar biasa karena seorang Pendeta yang ikut dalam sharing kami menanggapi Parmalim secara positif, padahal pada umumnya umat Batak Kristen Protestan menganggap kami beraliran sesat. Ternyata suasana sudah berubah di Kota Medan. Saya tidak mendapat perlakuan diskriminatif sama sekali. Saya juga tidak mendapat serangan pertanyaan yang memojokkan, bahkan Pendeta yang notabene sangat religius itu, sangat terbuka sekali dengan perbedaan. Seperti arahan dari pak Leo, INGAGE ini diharapkan membuka ruang bagi kaum muda untuk dapat melibatkan diri dalam keragaman iman dan tradisi keagamaan, serta dapat membangun keharmonisan antarkomunitas. Untuk itu peserta dibekali dengan pemahaman tentang perbedaan iman sekaligus kesetaraan. Diharapkan peserta mampu mengeksplorasinya melalui teknologi digital secara kreatif dan inovatif untuk bersamasama membangun Indonesia yang lebih baik. Pelatihan INGAGE ini dirancang selama tujuh hari, yaitu empat hari Training dan tiga hari Live-in. Kedepan, program ini menjadi bekal untuk menyikapi keragaman agama, untuk mengkritisi diskriminasi atas dasar iman dan keyakinan, serta untuk memperkuat kesetaraan hak. Pelatihan ini sangat bermanfaat buat peserta baik itu kaum muda maupun tua agar dapat turut aktif memperkuat 15
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kesetaraan hak serta membangun jembatan lintasiman. Lebih jauh, seperti yang tertulis di dalam buku panduan, peserta diharapkan mampu (1) menganalisis hubungan antara kelompok agama minoritas dan mayoritas di Indonesia, (2) secara aktif terlibat dengan keragaman agama dan memperkuat kesetaraan, (3) mampu menilai dan menjaga peran media sosial dalam hubungan antaragama, (4) serta aktif dan kreatif menggunakan alat komunikasi untuk menegaskan keragaman dan kesetaraan. Pada acara pembukaan, INGAGE mengundang khalayak yang lebih luas, mulai dari perwakilan komunitas pemuda dan agama, ulama serta pejabat pemerintah. Salah satunya dari Kementerian Agama Medan, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Medan, dan beberapa instansi dan komunitas lain. Hari Kamis, 1 September 2016, pelatihan dimulai dengan materi Apakah itu HAM (Hak Asasai Manusia). Pematerinya adalah Dra. Alviani Permata, M. Hum dari Universitas Kristen Duta Wacana. Peserta diharapkan mengerti dan dapat membedakan antara hak manusia dengan hak asasi manusia, juga memahami diskriminasi, keadilan dan kesempatan. Kerancuan menyamakan hak manusia dan hak asasi manusia menurut Beliau adalah salah satu kesalahpahaman yang kerap terjadi, padahal dua istilah tersebut memiliki konsep berbeda. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya, oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasakan martabatnya sebagai manusia. Dengan kata lain, sebagaimana dipahami dalam dokumen-dokumen, HAM memiliki beberapa kriteria. Yaitu, (1) Hak asasi adalah hak. Makna dari istilah ini menunjukkan HAM memiliki norma-norma yang pasti dan menunjukkan prioritas tinggi terhadap penegakannya, (2) hak asasi bersifat universal, yang dimiliki oleh seluruh manusia tanpa pembedaan latarbelakang apa pun, (3) HAM dianggap ada dengan sendirinya dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya dalam sistem adat atau pun negara tertentu, sehingga 16
Bagian I: Suara-suara yang Liris
dalam hal ini HAM memiliki ruang untuk mengesampingkan norma adat atau sistem suatu negara, (4) HAM sebagai normanorma penting, meskipun tidak seluruhnya bersifat mutlak, tetapi cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan berhadapan dengan norma nasional yang mungkin saja bertentangan, (5) HAM mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah yang menekankan pada hubungan antara warga negara dan negara. Kelima kriteria di atas memberikan perbedaan yang sangat jelas antara hak dengan Hak Asasi Manusia atau HAM. Tidak seluruh persoalan di setiap negara digolongkan dalam persoalan HAM. Kelima kriteria di atas juga telah dirangkum menjadi tiga puluh pasal HAM yang dijelaskan dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Ekonomi Sosial Budaya. Kriteria-kriteria tersebut memberikan pandangan bahwa tidak semua hak termasuk HAM. Cukup jelas HAM memiliki prioritas dan legalitas tinggi yang diakomodasi oleh hukum dan dapat diperjuangkan secara internasional. Dalam wacana HAM, manusia dianggap sebagai subjek yang harus dihargai, dilindungi, dan dipenuhi haknya. Hal ini berkaitan dengan materi kedua yang disampaikan oleh Dr. Leonard C. Epafras. Beliau memetakan perkembangan dunia digital dan media sosial saat ini, kemudian mengkaitkannya dengan pelanggaran HAM. Salah satu contohnya adalah ekspos gambar dan video orang lain tanpa izin orang yang bersangkutan termasuk juga ekspos gambar maupun video porno seseorang yang notabane adalah editing/capture hasil kehebatan dunia digital. Dijelaskan pula dampak dari dunia digital ini bagi dinamika antarkelompok dan lintasiman. Semakin banyaknya jenis media dengan beragam aktivitas sedemikian rupa, sehingga mempengaruhi relasi, otoritas, dan struktur sosial di masyarakat. Menurut hemat saya, pengaruh dunia digital saat ini yang tidak mengenal usia tua maupun muda, juga dapat memicu diskriminasi SARA, jika si pelaku tidak memahami dengan benar.Bahkan ada yang melakukan dengan sengaja untuk kepentingannya 17
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
sendiri tanpa menyadari bahwa tindakannya sudah memicu api peperangan dan menanam bibit kebencian antar komunitas. Maka dari itu, INGAGE mengajarkan cara berinternet sehat. Jika memahami apa itu internet sehat, kita dapat saling berbagi ilmu pengetahuan baik itu dalam hal pendidikan, sosial budaya, bahkan agama. Seperti yang dijelaskan Dr. Al Makin, sebagai fasilitator dalam penyampaian materi Kemunculan Agama-agama di Dunia, Beliau berharap peserta mengetahui sejarah agamaagama di dunia. Peserta dapat menyadari betapa kompleksnya sejarah agama-agama itu, tidak hanya agama yang dipeluknya dan kepercayaan yang diyakininya. Dalam kesempatan ini Pak Al Makin menyampaikan bagan kronologis agama-agama dan keterkaitannya antara agama satu dan yang lainnya. Seperti materi yang disampaikan oleh Bu Alviani, kemerdekaan dan kesetaraan agama ataupun kepercayaan seseorang kurang diperhatikan di negeri ini. Agama dan budaya asing yang masuk lebih diakui dan dilindungi, sedangkan kepercayaan dan budaya lokal yang faktanya masih ada dan diyakini tidak dilindungi dan kurang diperhatikan. Mereka merasa dijajah di negeri sendiri. Sama seperti yang saya alami. Hal ini juga dirasakan oleh beberapa komunitas yang kurang menampilkan dirinya. Untuk itu, pemahaman yang telah dicapai bisa membuat orang lebih terbuka, kemudian bersama-sama mempermalukan pemerintah yang telah sebelah mata memandang warganya yang tetap setia. Banyak orang kurang mengerti dan mengetahui sejarah munculnya agama-agama di negara ini. Banyak orang beranggapan bahwa keyakinan dan kepercayaannya itulah yang benar. Hal ini menyangkut suatu faham berupa fanatisme sempit, yang pengikutnya hanya menganggap golongan mereka adalah yang paling baik, sehingga mereka selalu mementingkan kepentingan golongannya saja tanpa mengindahkan norma-norma dan aturanaturan dalam kehidupan bersama. Para peserta INGAGE diharapkan nantinya bisa me ma hami perbedaan dan keragaman agama, kemudian mengimple 18
Bagian I: Suara-suara yang Liris
mentasikannya dalam bentuk sikap nyata di komunitas masingmasing, sehingga akan tercipta negara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, yang harmonis dengan begitu banyak perbedaan dan keragaman. Materi ini menambah bekal dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga kepada pesertanya. Saya pribadi sangat bersyukur, karena hal ini sangat berguna bagi saya sebagai Ulu Punguan Parmalim. Kedepan, saya akan lebih sadar dengan HAM, sehingga bisa lebih dewasa dalam memimpin rumah tangga dan Punguan Parmalim di Kota Duri. Sabtu, 3 September 2016, INGAGE mengadakan Interfaith Journey, yaitu kunjungan ke berbagai tempat ibadah dan komunitas agama. Tujuannya adalah untuk melihat dan berinteraksi dengan mereka secara langsung. Tidak ada lagi kata mungkin, kirakira, saya rasa, atau kata ragu-ragu lainnya. Tempat ibadah yang pertama kami kunjungi adalah kuil umat Hindu, yaitu Kuil Shri Mariamman. Kami berkeliling dan berdiskusi dengan pak Chandra –seorang Pandita sekaligus Sekretaris PHDI Medan. Berikutnya kami mengunjungi Bale Parsantian Parmalim yang ada di jalan Air Bersih, Medan. Para peserta INGAGE ikut menghadiri peribadatan umat Parmalim. Saya juga dengan hikmat mengikuti ibadah dan sejenak lupa bahwa saya juga peserta INGAGE. Saya sangat terharu dan hormat kepada teman-teman peserta, juga panitia yang memberikan perhatian kepada kami, bahkan teman-teman meminta saya berfoto dengan mereka untuk mengabadikan kebersamaan ini. Tanpa sadar, air mata menetes begitu saja karena haru sekaligus gembira. Dari peristiwa ini, saya dibukakan pada kenyataan bahwa perbedaan ini indah jika kita saling memahami. Satu hal yang menarik, umat Parmalim di Medan ini sama sekali tidak mengingat siapa saya, mungkin karena telah delapan tahun saya meninggalkan Medan. Meskipun kini saya sekarang menjadi seorang Ulu Punguan, saya tidak perlu menyombongkan hal itu. Setelah sesi tanya-jawab, peserta INGAGE dan Tunas Naimbaru Parmalim –kelompok muda mudi Parmalim, makan siang bersama. Kemudian kami berpamitan dan melanjutkan 19
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
langkah ke Vihara ITBC (Indonesia Theravada Buddhist Centre). Di sana kami disambut hangat oleh para Bhikkhu. Secara singkat, Bhikkhu yang telah senior menceritakan sejarah berdirinya vihara. Beliau juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan. Tepat pukul 17.30 WIB, kami kembali ke Asrama Haji Medan untuk makan malam bersama dan melanjutkan acara refleksi atas perjalanan hari itu. Namun, karena jalanan yang macet, acara refleksi dibatalkan karena kami terlambat tiba di penginapan. Kami diminta istirahat atau mengadakan acara bebas atau diskusi. Malam itu Bhante Dhira –peserta INGAGE yang juga seorang Bhikkhu mendapat izin dari vihara untuk menginap di Asrama Haji bersama-sama dengan kami. Beliau mengenalkan kepada kami cara dan tujuan bermeditasi. Beberapa teman yang lain melakukan diskusi dan membuat permainan untuk keakraban, sedangkan saya sendiri memilih untuk diskusi dengan yang lainnya di taman luar gedung. Esoknya, hari keempat, Minggu 4 September 2016, acara dimulai pukul 13.30 WIB karena memberi kesempatan temanteman umat Kristiani selesai Kebaktian Minggu di Gereja. Materi siang itu adalah tentang ilmu Blogger dan ilmu Jurnalistik. Setelah itu pak Leo menyarankan untuk membangun sebuah komunitas digital sebagai sarana komunikasi dan aksi untuk hal yang positif dan sehat. Pak Leo memperkenalkan media sosial karya anak bangsa bernama Sebangsa dan komunitas digital komunita.id. Pukul 20.00 WIB, setelah makan malam kami diberitahu tempat untuk Live-in. Umat Kristiani akan tinggal di Pesantren Nurul Hakim. Umat Muslim tinggal di rumah-rumah jemaat gereja HKBP Moria di Tanjung Mulia. Dua peserta menginap di keluarga umat UBB (Ugamo Bangso Batak). Saya dan dua peserta lain menginap di Kuil Shri Mariamman. Hari pertama di kuil Shri Mariamman. Kami berkenalan dengan keluarga yang tinggal dan bertugas menjaga kuil. Kami dipandu oleh Pak Chandra yang sangat dihormati oleh umat Hindu yang ada di situ, sehingga kami pun dihormati karena dianggap sebagai tamu Pak Chandra. Siang itu kami kami makan sea food 20
Bagian I: Suara-suara yang Liris
di restoran yang berada di luar kuil. Sorenya, seorang perempuan India mengantarkan teh tarik yang masih hangat. Salah seorang dari kami memilih pulang ke rumah karena Ibunya sakit. Tinggallah kami berdua di ruangan kecil. Malamnya kami merasa bosan lalu berkeliling di sekitar kuil, siapa tahu ada yang belum tidur dan bisa diajak untuk bercerita. Seorang gadis India yang tadi mengantarkan teh tarik, mendatangi kami. Ia tidak memakai kalung Manggal Sutra di lehernya. Tak tampak pula Sindor di dahinya. Pertanda ia belum menikah. Tetapi tentu saja kami tetap merasa segan untuk mengajaknya berdiskusi pada waktu malam seperti itu. Di hari kedua, kami bertemu lagi dengannya. Ia menyarankan jika ingin berdiskusi dengan Pendeta dilakukan pada sore hari karena beliau sangat sibuk dengan ritual sembahyang di pagi hari. Pada pagi berikutnya, kami memutuskan untuk melihat langsung ritual pemujaan. Kami menanyai salah satu umat yang baru selesai ibadah, mengapa setiap selesai melakukan pemujaan mereka berjalan mundur, meskipun ada pula yang tidak melakukannya. Ternyata, berjalan mundur adalah simbol penghormatan kepada Dewa yang dipuja, sedangkan bagi mereka yang tidak berjalan mundur tidak bisa dianggap menyalahi aturan, sebab perilaku ini bergantung pada hati dan iman seseorang. Kami beruntung, karena selama kami tinggal di kuil, bisa melihat acara pernikahan umat Hindu yang biasanya hanya bisa dilihat dari serial TV. Pernikahan umat Hindu Tamil India dianggap tidak sah jika tidak memakai Manggal Sutra dan Sindor di kening mempelai wanita. “Pasangan yang menikah itu mengitari api suci sebagai simbol dan penghargaan kepada Dewa,” demikian kata seorang pria yang kami tanyai. Ia bernama Prakhas dan tinggal di sekitar Kampung Keling. Belakangan kami tahu, ia adalah saudara dari mempelai perempuan yang menikah pada hari itu. Akhirnya di sore hari, kami bisa menjumpai Pandita yang menyambut kami dengan hangat. Kami banyak bertanya. Beberapa hal kami yakini kebenarannya karena bersumber langsung dari 21
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
sang Pandita. Hal ini untuk meluruskan informasi atau pendapat keliru yang kami baca di blog maupun media sosial. Dari percakapan itu, kami mendapat pengetahuan mengenai sejarah kuil Shri Mariamman. Berbeda dari yang ditulis di salah satu blog, bahwa kuil Hindu tertua di Kota Medan ini dibangun tahun 1884, bukan tahun 1881. Kuil yang terletak di Kampung Keling Kota Medan ini dibangun untuk memuja Dewi Mariamman, dengan mengatasnamakan Dewa antara lain Dewa Shri Vinajagar, Shri Murugan, Dewi Shri Mariamman (Dewi Durga dan Dewi Kali). Pada pintu dihiasi sebuah gapura dan menara bertingkat yang biasa ditemukan di kuil-kuil India selatan. Kuil yang selalu penuh oleh umat Hindu pada saat perayaan Deepawali dan Thaipusam ini memiliki sembilan patung kecil di sebelah kiri bagian dalam bangunan, yang merupakan cerminan bumi dikelilingi sembilan planet. Saat bersembahyang, umat Hindu bebas memohon kepada Dewa manapun, tetapi harus melalui Dewa Shiva sang Maha Dewa. Keterangan ini memperkuat pendapat saya bahwa semua agama dan kepercayaan itu sama. Hanya cara dan pelaksanaanya yang berbeda. Demikian pemahaman yang saya dapatkan sebelum akhirnya kami dijemput oleh panitia pada esok harinya. Tujuh hari penuh saya menimba ilmu. Banyak menambah pengalaman yang akan saya bagikan nanti setelah kembali ke daerah. Saya berharap di lain waktu INGAGE mengadakan acara serupa di daerah saya yang mengabaikan keragaman. Saya akan memulai dari diri sendiri dengan kesadaran bahwa kehidupan beragama yang indah pasti diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat di dunia. Saya yakin bisa. Jangan sampai tindakan kekerasan dan segala pelanggaran dalam kehidupan agama di Indonesia terus berlanjut. Jika perlu ditegaskan bahwa tidak boleh ada satu pun nyawa yang menjadi korban atas nama kekerasan. Karena sungguh, itu semua bertentangan dengan kebaikankebaikan yang diajarkan oleh agama. Untuk apa kekerasan itu dilakukan, bila pada akhirnya membuat kita hidup dalam 22
Bagian I: Suara-suara yang Liris
ketakutan. Apalagi akan menjadi dosa karena mewujudkan tujuan dengan cara-cara yang tidak baik. Tidak ada kata terlambat bila sekarang mulai memperbaiki kehidupan beragama dalam lingkungan sekitar kita. Tidak boleh pesimis, meskipun niat yang baik seringkali mendapat halangan dan cobaan. Jika bersatu maka akan sangat mudah mewujudkan semua itu. Kita semua memiliki hak. Maka hak-hak setiap golongan agama dalam masyarakat harus kita lindungi dan hormati. Jika pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan untuk mengatur kehidupan beragama, harapannya hal ini akan menjadi payung hukum bagi golongan-golongan tertindas, untuk memperjuangkan hak-haknya. Akhir kata saya mengucapkan banyak terimah kasih kepada panitia dan fasilitator yang namanya tidak dapat saya sebutkan semuanya. Terimah kasih sudah mendidik kami dan berbagi ilmu pengetahuan kepada kami semoga semunya bermanfaat dan kita semua diberkati Tuhan Yang Maha Esa, karena kita adalah objek sekaligus sebagai subjek. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan mewujudkannya? Setiap saat dalam hidup ini adalah ibarat gambar yang belum pernah terlihat, dan gambar yang tidak akan pernah terlihat lagi. Jadi, marilah kita nikmati hidup ini dan menjadikan setiap momen menjadi indah. Jangan merusak apa yang kita miliki sekarang dengan mengejar sesuatu yang tidak mungkin kita miliki. Sebab, apa yang ada pada kita saat ini pasti bisa jadi merupakan salah satu dari banyak hal yang paling kita impikan. Jika kita berdoa, jangan meminta kehidupan yang mudah, tetapi mintalah kepada Tuhan untuk menjadikan diri kita menjadi pribadi yang kuat. Orang yang berpikiran negatif selalu melihat kesulitan dalam setiap kesempatan, sedangkan orang sukses selalu mencari kesempatan dalam setiap kesulitan. Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tetapi, sering kali kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup, sehingga tidak melihat pintu lain yang dibukakan bagi kita. Dalam 23
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
hidup, terkadang kita lebih banyak mendapatkan apa yang tidak kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, akhirnya kita tahu bahwa yang kita inginkan terkadang tidak dapat membuat hidup kita menjadi lebih bahagia.
24
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Diskusi Foto oleh Lefrando Andre, INGAGE Manado -
Pengalaman Luar Biasa Bersama INGAGE R asita Sarante, INGAGE M anado
Hari Pertama: Rabu, 21 September 2016
K
EGIATAN Pelatihan dan Live-in yang disebut INGAGE ini sebenarnya baru dimulai pada tanggal 22 September, tetapi panitia meminta kami harus ada di hotel Formosa –tempat pelatihan berlangsung- pada tanggal 21 September.Tanggal 21 September 2016, sekitar pukul 14.30 saya sampai di hotel dan melakukan check-in. Selain sayaada teman saya, Maghfirah, dari IAIN juga. Kami masuk ke kamar masing-masing yang telah disediakan. Setiap satu kamar akan ada dua peserta yang berbeda agama. 25
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Saya sedang beres-beres, ketika Maghfirah datang ke kamar mau numpang sholat Ashar. Sementara Maghfirah sholat, ponselnya berbunyi dan yang menelpon itu Ibu Ida. Beliau meminta saya dan Magfirah menemani Pak Leo, Ketua Pelaksana INGAGE pergi ke stasiun radio RAL FM untuk wawancara. Kami bertiga pun pergi ke sana. Sebelum siaran kami berbincang-bincang ringan. Pewawan caranya adalah Mbak Linda yang mrupakan salah satu panitia lokal INGAGE Manado. Mbak Linda bertanya tentang INGAGE kepada Pak Leo dan sekali dua bertanya kepada saya dan Maghfirah. Jujur saya baru kali ini melakukan wawancara di radio, siaran langsung pula, jadi memang saya agak canggung dan gugup, bahkan ada kata-kata yang tidak bisa saya ucapkan dengan jelas.Sebenarnya ini merupakan pelajaran bagi saya untuk membiasakan diri berbicara di depan banyak orang. Ada beberapa hal yang saya petik dari perbincangan kami. Pertama dari Pak Leo, yang mengatakan bahwa Program INGAGE tidak melakukan islamisasi, kristenisasi, buddhaisasi atau hinduisasi. Tetapi,dalam INGAGE,akan dibangun toleransi antarumat beragama dengan membaurkan mereka yang berbeda keyakinan, melihat tatacara ibadah agama-agama, dan juga Live-in, yaitu mengirim peserta untuk tinggal di rumah atau lingkungan yang berbeda agama dengannya. Di akhir Pelatihan dan Live-in, peserta akan membuat laporan yang akan dipilih yang paling baik dan yang mewakili. Kemudian tulisan-tulisan ituakan digabungkan dengan karya peserta dari Medan dan Ambon. Menanggapi pertanyaan Mbak Linda, Firah dan saya mengatakan bahwa kami bersyukur bisa menjadi salah satu peserta INGAGE, dengan begitu kami dapat belajar agama orang lain dan tidak hanya monoton belajar agama kami terus. Kami juga dapat memahami agama orang lain. Itu merupakan wadah bagi kami untuk mengekspresikan toleransi antarumat beragama. Selain itu saya ingin bisa diterima di kalangan non-muslim. Jujur,saya terkadang takut ketika berada di suatu daerah atau tempat yang ada orang non-muslimnya. Saya khawatir akan diusir. 26
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Misalnya, ketika Live-in saya takut diusir karena saya membawa tas yang dapat dikira berisi bom, padahal isinya baju. Saya juga takut disangka seorang teroris hanya karena saya menggunakan cadar. Mbak Linda pun menyampaikan kepada para pendengar radio, “Perlu diketahui para pendengar setia RAL FM bahwa Rasita ini seorang wanita yang bercadar yang menutup wajahnya.” Setelah selesai siaran kami semua berbincang-bincang di ruang tamu, lalu langsung berangkat kembali menuju hotel. Sesampai di hotel sudah banyak orang yang datang baik peserta maupun panitia lokal. Saya langsung ke kamar dan sudah ada teman sekamar saya. Kami berkenalan dan berbincang-bincang. Namanya Sintike Rafika Limpele asal dari Tompaso lulusan dari Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT). Orangnya baik, mudah bergaul, dan easy going. Menjelang makan malam, Pak Leo menyampaikan selamat datang untuk kami, para peserta dan panitia. Ada juga perkenalan singkat dari panitia lokal. Selesai makan malam kami kembali ke kamar masing-masing dan saya kembali bersama dengan Kak Rafika. Sebelum kami kembali ada sesi ambil gambar (selfie). Keakraban kami mulai muncul sedikit demi sedikit, antara kami peserta muslim dan non-muslim begitu juga dengan panitia muslim dan yang non-muslim. Jadi, para peserta pelatihan ini berasal dari beragam keyakinan dan begitu juga panitianya. Ada Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Katolik, Islam Syiah, dan agama lokal Masade. Saya dan Rafika sesampai di kamar belum langsung tidur tapi kami ngobrol sampai pukul dua belas malam. Setelahnya, baru kami tidur. Hari Kedua: Kamis, 22 September 2016 Setelah melakukan aktivitas rutin, pukul tujuh saya dan peserta lain sarapan dan dilanjutkan dengan mengikuti acara Pembukaan. Acara ini berjalan dengan baik. Ada sambutan dan motivasi dari para pejabat pemerintah dan perwakilan agama-agama.Satu saya ingat adalah sambutan dari Pak Leo yang menyatakan bahwa, “INGAGE itu INSPIRASI dan MENGEKSPIRASI kerukunan dalam keberagaman.” 27
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Sesudah makan siang, pelatihan pun dimulai. Sebelum penyampaian materi, kami melakukan aktivitas perkenalan. Caranya dengan melakukan game. Setiap orang menyebutkan nama dan julukannya. Peserta ada tiga puluh orang dan kami harus hafal semua nama peserta. Para panitia dan fasilitator juga ikut dalam acara perkenalan itu. Sehabis perkenalan sedikit demi sedikit kecanggungan saya pun melebur dalam keakraban di antara kami. Materi kami yang pertama adalah Hak Asasi Manusia. Kami diberikan panduan bacaan materi yang bersangkutan. Disini kami banyak berdiskusi. Menurut fasilitator, persoalan HAM ini masih belum dipahami sepenuhnya baik oleh aparat pemerintah maupun oleh masyarakat, sehingga perlu dilakukan sosialisasi yang benar tentang persoalan HAM ini. Materi berikutnya adalah materi yang disampaikan oleh Pak Leo, yaitu Dunia Digital dan Media Sosial. Pak Leo bertanya kepada kami, “Ada yang punya smartphone?” Dan jawab kami,“Iya ada”. Pak Leo pun melanjutkannya dengan memetakan perkembangan dunia digital dan media sosial saat ini. Kami juga diberi bacaan tentang hal itu. Dari materi kedua ini saya mengetahui bahwa pengguna medsos atau dunia digital kebanyakan anak muda. Pengguna perempuan ternyata lebih aktif ketimbang laki-laki. Dengan banyaknya peristiwa yang merugikan sehubungan dengan aktivitas di dunia maya, kami diminta untuk mengintro speksi diri apakah sudah benar dalam menggunakan internet dengan caramelihat status atau kegiatan di media sosial seminggu atau dua minggu sebelumnya. Kami pun diminta mengklasifikasikan status yang positif dan yang negatif; apa yang kami lakukan terhadap posting-an. Misalnya, apakah kami menandai postingan, Menyebarkan (sharing) posting-an orang lain, menulisstatus pribadi,ataumenyebarkan (sharing) karya tulis. Dari aktivitas itu, dijelaskan bahwa pengguna internet, mediasosial,atau dunia digital itu terbagi tiga, yaitu orang yang senang membuat opini (opinion makers); orang yang suka ngobrol (conversationalists); dan orang yang senang mengamati (observers). Yang penting 28
Bagian I: Suara-suara yang Liris
dari materi kedua ini adalah ajakan untuk menghargai privasi diri sendiri dan orang lain. Hargai privasimu dan privasi orang lain! Sepanjang siang di hari kedua itu, kami pun mulai akrab satu dengan yang lain. Saya pun mulai ngobrol dengan teman-teman yang lain, salah satunya dengan Sterky,mahasiswa dari UKIT yang duduk di samping saya. Setiap kali game, Sterky selalu mengejek saya, karena saya menutup wajah saya dengan cadar dan meminta saya untuk membuka cadar saya. Tentu saja dia hanya bercanda. Dia nggak serius dengan permintaannya itu. Setiap dia duduk di samping saya, dia terus saja memperhatikan bagaimana saya makan dengan tetap memakai cadar. Setelah makan malam, materi ketiga pun dimulai. Materi ini dibawakan oleh Pak Al Makin seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga. Beliau membawakan materi tentang Kemunculan Agamaagama Dunia. Luar biasa materi ini. Kami pun mengetahui agama yang paling tua dan paling muda. Ternyata agama saya, Islam adalah salah satu agama yang paling muda. Melalui materi ini, saya pribadi mendapat pemahaman tentang pentingnya sejarah, karena dari bukti sejarah kita bisa mengetahui wisdom dan sistem pewarisan nilai-nilai antara agama yang satu dengan yang lain. Sebelum menutup hari kedua, kami melakukan refleksi harian. Peserta yang memberikan refleksi diberi buku. Pada malam itu saya masih belum bisa merefleksikan kegiatan hari pertama. Hari Ketiga: Jumat, 23 September 2016 Di hari kedua, kami melakukan olah raga, tetapi pada pagi hari ketiga ini tidak ada yang olahraga. Semua orang tidur larut, sehingga kelelahan. Meskipun demikian, pagi itu tetap ada yang melakukan olah raga, yaitu kami berlima, saya, Kak Fika, Kak Jesy, serta Devia, dan Indri. Hari ini ada lima materi yang akan kami diskusikan dalam pelatihan.Selesai sarapan, kami pun memulai sesi pertama hari itu. Kemerdekaan dan Kesetaraan adalah materi keempat. Materi ini dibawakan oleh Ibu Alviani Permata. Pembahasan 29
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kami mengenai Pasal 1 DUHAM atau Deklarasi Universal Hakhak Asasi Manusia. Dari materi keempat ini saya belajar bahwa sebuah negara berkewajiban untuk melaksanakan tiga hal terkait hak asasi manusia, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Selesai materi ini, kami menikmati kudapan pagi dan lanjut dengan materi kelima. Internet Sehat menjadi materi kelima oleh Bapak Leonard C. Epafras. Kami pun diberi bacaan yang berisi kasus-kasus yang berhubungan dengan aktivitas seseorang di media sosial. Misalnya, Ibu Ervani yang terjerat UU ITE karena mencemarkan nama baik orang perusahaantempat suaminya bekerja lalu mengalami pemutusan hubungan kerja. Materi ini mengajak kami untuk memposisikan diri dalam dunia maya. Kami pun diminta oleh fasilitator untuk mengomentari video tentang FPI yang menghujat dan mencaci maki Ahmadiyah. Ada beragam tanggapan dari kami semua, ada yang ‘komen’, tetapi ada juga yang ‘no komen’. Dari materi ini, saya paham bahwa kita harus mengontrol diri kita ketika ada tautan atau berita di internet yang kurang baik. Kita harus mem-filter-nya. Apabila kita hendak membicarakan kejahatan atau menyindir orang lain kita tidak diizinkan menuliskan namanya, karena itu akan mencemarkan nama baik pihak yang namanya disebut. Selain itu, tidak perlu mencantumkan lokasi rumah. Terakhir,Pak Leo mengatakan bahwa orang yang menggunakan internet itu beragam, tetapi banyak yang buta hukum atau literasidigitalnya rendah. Setelah materi kelima selesai, kami ditanya apakah mau ikut ke masjid Miftahul Jannah untuk melihat tatacara ibadah sholat Jum’at? Dan, luar biasa, banyak peserta yang mau ikut. Maka persiapan pun dilakukan untuk ke masjid yang tidak jauh dari hotel. Perempuan non-muslim disarankan memakai hijab dan mereka terlihat cantik ketika memakai hijab.Panitia atau pun peserta tidak ada rasa enggan ketika memakai hijab. Sementara itu, laki-laki non-muslim memakai sarung dan peci. Di masjid, kami duduk di bagian belakang dan peserta non-muslim pun ikut 30
Bagian I: Suara-suara yang Liris
mempraktikan tatacara sholat. Mereka banyak bertanya tentang tatacara sholat mengapa harus menutup aurat dan mengapa hanya laki-laki yang diwajibkan untuk sholat Jumat dan kami pun menjelaskan sesuai dengan pemahaman kami orang Islam. Selesai kunjungan ke masjid, kami kembali dan makan siang, untuk lanjut materi keenam. Materi Agama-agama di Indonesia oleh Pak Al Makin mengingatkan kami kembali bahwa agama-agama dunia itu terbagi atas agama-agama Barat yang berasal dari wilayah duniaBarat dan agama-agama Timur yang berasal dari wilayah dunia bagian Timur. Keduanya tidak pernah berjumpa. Tetapi, di Indonesia tidak demikian.Agama-agama dunia malah menyatu di Indonesia. Di Indonesia itu ada banyak sekali agama lokal dan agama ‘impor’ yang kemudian terjadi percampuran di antara agama- agama itu. Setelah game selingan, materi selanjutnya adalah Kovenan oleh Ibu Alviani Permata. Kovenan merupakan perjanjian inter nasional. Materi berikutnya adalah materi dari Pak Al Makin tentang Keberagaman dan Perbedaan. Beliau menyatakan bahwa ketika kita mau menilai sesuatu maka kita harus melihatnya dari berbagai sisi. Jika ingin mengetahui agama orang lain maka kita harus menanyakan kepada orang yang mempunyai iman. Refleksi harian dilakukan setelah semua materi selesai.Ada beberapa peserta yang menyampaikan refleksinya dan saya salah satunya. Akhirnya, saya mendapat buku. Rangkaian sesi selesai untuk hari itu dan kami pun diminta untuk kembali ke kamar untuk istirahat karena besok kami akan mengadakan kegiatan lagi. Hari Keempat: Sabtu, 24 September 2016 Pada pukul 07.30 kami sarapan setelah selesai mandi dan olah raga. Kami memakai kaos yang sama berwarna kuning dari INGAGE. Selanjutnya kami mengadakan Interfaith Journey. Ada tiga tempat ibadah yang kami tuju, yaitu Bukit Doa Tomohon, Pura Danu Mandara Tondano, dan Vihara Dhammadipa Manado. 31
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Di Bukit Doa Tomohon Setiba di Bukit Doa kami langsung diminta duduk untuk men dengarkan sambutan dari pengelola Taman Bukit Doa Tomohon dan juga penjelasan tentang agama Katolik oleh Romo atau Pendeta Umat Katolik. Di sana kami mengambil gambar. Teman-teman peserta dan panitia sebagiannya meminta foto bersama dengan saya. Saya sempat menanyakan kepada mereka mengapa mau berfoto sama saya.Kata mereka, karena belum pernah berfoto bersama dengan wanita yang bercadar. Bukannya saya merasa ekslusif dan ge’er tapi saya bisa merasakan keakraban dan saling memahami di antara kami semakin bertambah di INGAGE ini. Di Pura Danu Mandara Tondano Dari taman Bukit Doa Tomohon kami lanjut ke Tondano ke tempat ibadah umat Hindu, yaitu pura. Ini tempat yang sangat mengesankan bagi saya pribadi. Lokasinya agak jauh dari pemukiman warga. Pintu masuk atau gapura berjarak sekitar lima puluh meter lebih untuk sampai ke pintu yang kedua.Di pintu kedua terdapat patung penyambut tamu perempuan di kanan dan laki-laki di kiri. Untuk mencapai pintu ketiga kami harus naik tangga.Pada tangga ada tiga tempat datar sebagai tempat perhentian. Tempat perhentian ini memiliki makna tersendiri. Di ujung tangga ada pintu yang ketiga. Di samping pintu itu ada patung Ganesha yang ditemani kelinci dan tikus di sebelah kiri dan kanan pintu. Setelah pintu ketiga terdapat beberapa bangunan di dalamnya. Ada aula, tempat memainkan musik (gamelan), dan ada satu pintu masuk lagi yang berhadapan langsung dengan patung Ganesha. Di dalamnya ada tempat pemujaan. Kami diminta duduk di aula untuk mendengarkan penjelasan dari Pandita, kalau dalam agamaKristen disebut Pendeta dan dalam agama Islam disebut Imam. Kami diberi salam Om suasti astu yang artinya sama dengan Assalamu’alaikum dalam Islam. Sang Pandita menjelaskan konsep ketuhanan dalam Hindu.Menurutnya, ada
32
Bagian I: Suara-suara yang Liris
istilah Trimurti Ang Ung Om, maksudnya Tuhan itu hanya satu hanya saja ada terbagi dalam tiga nama sifatnya. Dalam Hindu ada tiga nama sifat Tuhan.Yang pertama Brahmayang mencipta, Wisnuyang memelihara dan Siwayang mengembalikan. Agama Hindu tidak menyembah patung tetapi arca-arca atau prasasti.Hal itu merupakan kontekstualisasi perwujudan Tuhan lalu diberikan sesajen di hadapan-Nya. Di Vihara Dhammadipa Selesai kami mengunjungi pura di Tondano kami kembali ke Manado menuju vihara tempat ibadah umat Buddha. Kami diminta naik ke lantai dua tempat peribadatan dilaksanakan. Di sana diletakkan patung Buddha. Tangga menuju lantai dua itu memisahkan perempuan dan laki-laki. Sesampai di atas, kami diminta duduk di atas bantal yang telah disediakan. Banyak lilin di ruangan itu. Patung Buddha diapit oleh dua patung pengawal saling berhadapan di kiri dan kanan. Dalamagama Buddha pemimpin jama’ah disebut Bhikkhu atau Bhante. Di antara pertanyaan yang diajukan, salah satunya adalah saya yang menanyakan tentang tempat duduk Buddha. Jawaban Bhante adalah bunga teratai. Saya bertanya lagi apakah makna bunga teratai dalam agama Buddha? Bhante pun menjawab bahwa bunga teratai yang hidup di lumpur, tetapi bunganya tidak terkena lumpur. Jika dianalogikan dengan hidup manusia, maka meskipun kita manusia hidup di tempat yang penuh dengan kemaksiatan, tetapi kita harus tetap menjadi pribadi yang bersih dari kejahatan. Interfaith Journey dilanjutkan dengan refleksi dan saya mengajukan diri untuk menyampaikan refleksi saya untuk hari itu. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan buku yang kedua. Hari Kelima: Minggu, 25 September 2016 Pagi itu setelah sarapan, kamibersiap untuk ibadah Minggu. Kami yang non-Kristen juga diajak untuk melihat langsung tatacara ibadah umat Kristen. Jujur saya takut tidak diizinkan masuk Gereja 33
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
hanya karena bercadar. Tetapi, ternyata mereka menyambut kami semua dengan baik. Memang ada beberapa orang yang menatap heran kepada saya, tapi saya harus memaklumi karena mungkin itu pengalaman pertama kali mereka beribadah lalu ada orang yang beragama non-Kristen duduk bersama-sama mendengarkan khotbah.Bagi saya, duduk di dalam gereja untuk mendengarkan khotbah juga kali pertama saya. Selesai khotbah ada persembahan. Kami pun semua bergiliran memberikan persembahan.Hari itu kami berkesempatan memberikan persembahan berupa lagu persaudaraan.Kami semua baik peserta, panitia maupun fasilitator maju ke depan untuk menyanyi. Begitu selesai acara ibadah, ada sesi foto-foto, dan saya dipanggil untuk berfoto bersama dengan Pendeta. Begitu juga waktu di vihara saya juga diminta untuk berfoto bersama Bhante. Saya mengungkapkan ini bukanlah untuk pamer bahwa saya orang eksklusif, tetapi bagi saya pribadi, saya berharap ini merupakan bukti bahwa perbedaan bukanlah benteng bagi kita untuk menjalin tali persahabatan antaragama. Selesai foto dengan Pak Pendeta saya berfoto dengan teman-teman lain salah satunya Sterky yang dari awal melihat saya dan terus saja mem-bully saya. Dia mengajak saya berfoto didepan mimbar yang ada tanda salibnya di belakang kami. Foto-foto kami sudah banyak diunggah dan salah satunya foto saya dan Sterky tanpa saya ketahui. Dari gereja kami kembali ke hotel untuk makan siang. Kami harus check-out dari hotel untuk Live-in. Sebelum berangkat, ada pembekalan dan persiapan. Pembekalan disampaikan oleh staf dari pemerintah provinsi. Dalam pembekalan, kami diingatkan untuk tidak memicu keresahan warga tempat kamiLive-in tetapi saling berbaur, dan menjaga ketenangan, serta saling melindungi. Seusai pembekalan kami pun berangkat ke tempat Live-in. Saya bersama Fikra Pratiwi mendapat lokasi di desa Papakelan, Tondano di sebuah keluarga yang berbeda agama dengan saya. Yang bertugas mengantarkan kami adalah Pak Leo dan Ibu Angie. Setiba di Papakelan kami turun dari bus, langsung bertemu dengan sang Ibu pemilik rumah,Oma Poppy, serta hewan 34
Bagian I: Suara-suara yang Liris
peliharaan Si Ibu. Saya sudah tidak kaget dengan anjing peliharaan ini, karena sebelumnya Ibu Angie sudah memberitahulebih dulu. Soal anjing ini, panitia meminta maaf, karena nggak bisa meminta pemilik rumah untuk memindahkan anjingnya. Tetapi, bagi saya pribadi, tidak apa-apa kok, meski jujur saya takut dengan hewan yang satu ini. Saya berhenti sebentar dan berdoa, “Semoga mereka bisa menerima saya, Ya Allah. Allah saya takut diusir dari rumah atau diapa-apakan. ”Bayangan yang nggak-nggak pun menerawang dan saya deg-degan ketika masuk ke rumah. Tetapi,subhanallah, segala puji bagi Allah. Kami disambut dengan tangan terbuka. Kami pun saling berkenalan. Pak Leo berkata,“Panitia INGAGE sangat berharap Bapak dan Ibu bisa menerima mereka dan kami juga tidak bisa lamalama, karena masih ada peserta yang harus kami antar ke tempat Live-in mereka. Terima kasih sekali dan kami mohon pamit.”Saya langsung memegang lengan baju Pak Leo dan menggelengkan kepala. Mata saya menunjukan rasa takut dan ternyata Pak Leo bisa membaca aura wajah saya yang takut, meski hanya terlihat dari mata saya dan Pak Leo berkata, “Tidak apa-apa kok, nggak usah takut.” Saya pun melepaskan lengan baju Beliau. Malam itu kami tidur di kamar yang bagus. Kamar itu milik putrinya, tapi dia tidak ada di rumah saat itu, karena sedang kuliah di Tomohon, di UKIT Tomohon. Ketika makan malam,kami berbincang-bincang saling menanyakan nama dan asal. Nama keluarga ini adalah keluarga Rorong-Wilar. Bapak adalah seorang dosen kimiadi UNSRAT. Ibu juga seorang dosen FISIP di kampus yang sama dengan Bapak tapi saat ini Ibu sedang menjalani jabatannya sebagai anggota komisioner di KPU Tondano. Mereka mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki sudah menikah dan tinggal bersama keluarga kecilnya tidak jauh dari rumah ini. Anak kedua perempuan sedang kuliah di Tomohon. Ada juga tetangganya Oma Poppy yang sudah tua, tapi masih kuat dan sering membantu Ibu menjaga rumah dan hewan-hewan 35
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
peliharaan sang Ibu. Rumah mereka nyaman. Di pojok ruang makan ada pohon terang yang dilingkari pernak-pernik simbol natal, pohonnya gede. Itulah kondisi dalam rumah dan keluarga mereka. Selesai berbincang-bincang, kami pun beristirahat. Hari Keenam: Senin, 26 September 2016 Pagi ini kami awali dengan sarapan yang dibuat Ibu dan Oma Poppy, berasa di rumah sendiri. Kami ngobrol tentang nilai toleransi yang harus dijadikan prioritas utama. Saya mengatakan kalau inti kegiatan kami adalah memberikan pemahaman bahwa kalau ingin mengetahui agama orang lain bertanyalah langsung kepada sipenganut agama tersebut, bukan kepada sesama orang yang bertanya. Maka saya pun bertanya kepada Bapak tentang konsep ketuhanan dalam iman Kristen. Bapak menjelaskan bahwa di dalam iman Kristen ada Tritunggal atau Trinitas, yaitu ada tiga substansi yang sebenarnya itu satu. Saya dan ka Fikra mulai menyimak dengan penuh perhatian. Bapak mengulangi dan menjelaskan bahwa sebenarnya Tuhan itu hanya satu tetapi mempunyai tiga nama. Nah, tiga nama ini yang di sebut Allah, Anak, dan Roh Kudus. Kebanyakan orang yang diluar Kristen atau mereka yang tidak percaya sebagian menganggap kalau orang Kristen itu menyembah tiga tuhan yang berbeda-beda, padahal tidak. Trinitas itu dapat diandaikan seperti misalnya,“saya seorang Bapak ketika di rumah, seorang dosen ketika di kampus, dan seorang warga di lingkungan masyarakat. Tugas saya sebagai Bapak berbeda dengan saya saat di kampus sebagai dosen apa lagi saat saya di lingkungan masyarakat.” Dan, saya terkesima karena hal ini hampir sama dengan konsep tuhan yang ada pada agama Hindu dan Buddha. Saya ingat juga bahwa waktu di hotel, teman sekamar saya Kak Fikra menyatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan Bapak. Selesai ngobrol dengan Bapak dan Ibu, kami diajak untuk ikut Ibu ke kantor KPU sekalian mengantar Bapak ke stasiun. Sebelumnya, kami datang ke rumah anak laki-laki mereka yang
36
Bagian I: Suara-suara yang Liris
sudah menikah. Di sana kami bertemu dengan cucu imut mereka, Luvi. Ada satu hal yang saya suka dari Luvi yang usianya sekitar 11 bulan, ia anak yang pintar.Biasanya anak-anak yang baru pertama kali melihat saya pasti akan menghindar dan paling parah sampai mereka menangis.Tetapi kali ini berbeda. Si bayi kecil ini nggak takut dengan saya, bahkan mau saya gendong. Kami banyak bercanda di sana dan juga mengambil beberapa foto. Lalu kami langsung ke stasiun sehabis dari sana. Dari stasiun Ibu membawa saya dan Kak Fikra ke kantor KPU. Kami bertemu dengan orangorang di KPU, kami ngobrol ringan tentang kegiatan kami. Ketika ketua KPU datang, kami diminta Ibu untuk ke ruangan ketua KPU yang tidak lain adalah ketua GAMKI yang menjadi salah satu pemberi motivasi saat Pembukaan INGAGE. Kami ngobrol lagi di ruang Ketua. Karena sesudah itu ada rapat, saya dan Kak Fikra ke ruangan Ibu yang tidak jauh dari ruang rapat. Setelah rapat kami diajak Ibu untuk makan siang di rumah makan. Selesai makan saya lihat WA dan ada beberapa teman yang jalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah di Tondano. Saya bertanya kepada Ibu tentang adanya tempat-tempat bersejarah di situ, dan Ibu bilang, “Iya ada”. Ibu bertanya apakah saya dan Kak Fikra mau kesana. Saya dan Kak Fikra ingin ke sana. Sehabis dari rumah makan, kami pun diajak ke benteng Belandadan tidak lupa mengambil foto. Selesai dari sini, kami pulang. Sampai di rumah kami beristirahat siang. Pada sore harinya Ibu mengajak kami ke lapangan. Disana Ibu main Volley Ball dan kami menonton. Banyak warga yang menonton mereka main volly dan waktu itu baru saya dan Oma Poppy, sedang Kak Fikra masih di rumah. Saya berdiri di dekat Ibu penjual pisang goreng. Salah seorang tante dari mereka itu bertanya kepada saya seperti ini, “Cewek, emang nggak boleh ya, kamu lepasin penutup wajahmu?” Saya bingung mau jawab apa. Lalu hanya berkata, ”Eee, engggggak bisa, Bu.” “Maksudnya, gini, kamu pakai cadar. Eh, benerkan cadar namanya?” tanyanya, saya mengangguk pelan. Lalu ia melanjutkan, 37
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
“Kalau misalkan di daerah atau lingkungannya orang Islam, silakan kamu pakai cadar tapi kalau daerah orang Kristen, ya, harus menyesuaikan. Kalau di Arab, ya, silakan kamu pake.” Sekali lagi saya hanya bisa diam. Saat itu saya ingin kembali ke rumah, tapi Ibu-ibu yang lain bilang ke Ibu itu, “nDa perlu mau urusin cara berpakaiannya. Itu keimanan dia.Itu agamanya dia. Torang (kita) mesti hargai dia. Terserah dia mau pakai apa, jangan ambil pusing. Itu dorang pe (mereka punya) iman.” Oma Poppy yang memakai bahasa daerah Tondano bilang ke Ibu itu, yang tidak lain adalah anaknya. Oma Poppy mengajak saya ke warung sebelah dan si Ibu itu masih membicarakan mengenai cadar saya, tetapi Ibu-ibu lain tetap mengatakan hal yang sama ke dia. Mereka tidak setuju dengan pernyataannya kepada saya. Seusai ibu main volley dan kami kembali ke rumah. Saya menceritakan tentang Ibu tadi yang meminta saya untuk melepaskan cadar saya dan Ibu sangat tidak setuju dengan Si Ibu tadi. Hari Ketujuh: Selasa, 27 September 2016 Seusai sarapan kami ke kantor menemani Ibu. Ketika Ibu rapat kami menunggu di ruangannya. Kak Fikra membuka WA dan bilang kalau hari ini Kak Rivo salah satu panitia lokal akan datang mengambil gambar atau video kegiatan kami. Selang beberapa lama Kak Rivo datang dan mulai meliput kegiatan kami. Ada dua peserta lain yang datang, yaitu Arianto dan Taufik. Kami berbincang-bincang di ruangan pak Ketua KPU. Arianto dan Taufik menceritakan perjalanan mereka ke makam Kyai Modjo dan Riedel,salah seorang penginjil di Minahasa. Selasai ngobrol Kak Rivo mengambil gambar, lalu mereka pulang. Ibu juga mengajak kami makan siang lalu kembali ke kantor. Ketika ibu selesai rapat kami berdua diajak ke makam Kyai Modjo. Di perjalanan kami melihat Masjid Agung Kyai Modjo di Kampung Jawa yang merupakan masjid pertama di Tondano. Lalu ada juga Gereja Sentrum, yaitu gereja yang didirikan oleh J.F. Riedel. Dimakam kami mengambil gambar bergantian. Dalam perjalanan 38
Bagian I: Suara-suara yang Liris
pulang, Ibu singgah di pasar dan kami menunggu di mobil. Ada yang menarik dengan pasar ini. Di dekat pasar ada masjid yang berdekatan dengan gereja.Jika dilihat sekilas, kubah dan menara gereja tampak seperti satu bangunan. Hari Kedelapan: Rabu, 28 September 2016 Pagi itu saya cerita ke Ibu kalau teman-teman kami yang lain sudah pergi ke Danau Tondano sembari memperlihatkan foto yang diunggah kepadaIbu. Dan Ibu langsung bilang,“Ya sudah, kita ke sana pagi ini karena kalian akan berangkat kembali ke Manado sebentar siang.” Saya dan Kak Fikra antusias dengan ajakan Ibu. Kami pun pergi ke Danau Tondano bertiga dan berfoto di sana.Dari sana kami langsung ke kantor KPU menunggu teman-teman yang lain yang lokasi Live-in-nya di Tondano juga. Sebelumnya saya sudah pamitan dengan orang-orang di rumah juga sama Luvi. Tidak lama kemudian Pak Leo dan Ibu Angie pun datang dan ada penyerahan cinderamata dari INGAGE bagi tiap-tiap orang tua Live-in, dan yang menyerahkannya adalah kami. Selesai penyerahan dan perpisahan serta foto bersama dengan orang tua Live-in kami berangkat ke Tomohon menjemput teman yang lain dan lanjut ke Manado. Tangan saya terus melambaikan ke Ibu saat saya sudah di dalam mobil dan Ibu pun membalasnya. Teman-teman yang lain bilang kalau saya udah nggak mau pulang, sepertinya begitu. Karena Ibu sangat baik sama saya dan Kak Fikra, kami selalu diajak jalan dan dianggap seperti anak mereka sendiri. Di Tomohon kami menjemput Indah, kami dijamu makan siang dilanjutkan dengan foto bersama, lalu lanjut ke Manado untuk Penutupan. Di dalam bus, kami sharing-sharing tentang Live-in, jalan-jalan, tentang orang tua Live-in, dan peristiwa tentang Ibu yang meminta saya melepaskan cadar saya pun di bahas. Mereka bilang saya harus sabar. Iya, memang itu adalah yang terpenting, sabar. Tidak lama kemudian kami sampai di Hotel Formosa kembali. Kami langsung dipersilakan makan siang dan 39
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
saya duduk bersama Kak Mardiansyah. Dia bercerita bahwa ada beberapa foto dari kegiatan INGAGE yang menjadi perbincangan di Kementrian Agama dan juga di kampus IAIN Manado, yaitu foto saya dan Kak Nindy. Saya kaget, katanya yang tersebar itu foto Kak Nindy yang berfoto di depan patung Bunda Maria dengan mengunci tangan dan menunduk seakan sedang berdoa di dalam Kapel dengan menggunakan hijab serta foto saya dan Sterky di gereja. Menurut Kak Mardiansyah,hal itu sudah dijelaskan oleh pak Leo kepada staf Kementrian Agama. Selesai makan ada testimoni satu persatu tentang program tujuh hari Pelatihan dan Live-in kami. Ada beberapa orang yang maju menceritakan tentang Live-in dan saya salah satunya. Saya katakan bahwa itu pengalaman yang luar biasa. Saya bisa berbaur dengan mereka yang berbeda dengan saya. Mereka menghargai kita dan kita pun harus menghargai mereka. Meskipun terkadang ada orang yang memicu konflik, misalnya menganggap kalau daerah Kristen haruslah bertindak dan berpakaian Kristen dan kalau daerah Islam harus berpakaian Islami, tetapi ada juga dan lebih banyak orang yang mencintai kedamaiandan memiliki toleransi yang tinggi. Mereka tidak setuju dengan pendapat seperti itu. Kami dikumpulkan di aula dan membahas tentang aplikasi Sebangsa, menentukan rencana, dan juga foto-foto perpisahan bersama. INGAGE yang diselenggarakan oleh ICRS bukanlah untuk islamisasi, kristenisasi, hinduisasi, buddhaisasi, masadeisasi (agama lokal), dan syiahisasi (aliran dalam Islam); bukanlah untuk memaksakan perbedaan menjadi satu warna dan mencari persamaan antaragama. Akan tetapi, disini kita diajak untuk merayakan perbedaan dan meningkatkan toleransi. Celebrate Our Diversity!
40
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Peserta INGAGE Medan berfoto bersama dengan panitia, fasilitator dan tamu undangan di acara Pembukaan. Foto oleh Ainul Yaqin, INGAGE Medan
Perjalanan Manja Tetapi Kritis, ke Tempat Eksotis Hingga Mistis Edison F. Swandik a Butar Butar, INGAGE M edan
Day 1: Pada Mulanya Kami Menciptakan Cinta
U
ngkapan “kesan awal akan menentukan proses dan kesan akhir” selalu saya pakai saat bertemu dengan orang baru. Juga ketika sedang mengikuti kegiatan baru, termasuk INGAGE! Kegiatan yang saya ikuti selama tujuh hari itu mempunyai kisah mundur, beberapa minggu sebelumnya. Ya, saat formulir INGAGE masih berenang bebas di Facebook. Saya ‘mengambil’ formulir dari dinding salah satu teman. Saya membuka, lalu mengisinya dengan perasaan yang tidak yakin ingin terlibat dalam kegiatan 41
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
ini. Tiap selesai menjawab satu pertanyaan, saya berhenti dan berfikir, apakah ingin melanjutkannya. Berulang terjadi demikian, hingga akhirnya formulir yang selesai diisi itu terkirim. Saya belum pernah terlibat dalam kegiatan lintas iman. Inilah yang membuat ragu. Maklum, saya lebih aktif bergerak di seputar isu jender dan seksualitas –yang sering dianggap tabu oleh sebagian orang‘beriman’. Hal lain yang membuat ragu adalah bayangan awal saya sendiri, bahwa mungkin pesertanya merupakan orangorang yang sangat mendalami pengetahuan agama. Sedangkan saya? Mungkin hanya akan menjadi pendengar yang syantik (baca: cantik)ketika diskusi berlangsung. Tetapi, akhirnya saya berada di sana.Tak akan kembali karena memang nurani yang menuntun saya untuk memulai kisah tujuh hari ini. Awalnya, saat pembukaan acara, semuamasih terlihat biasa, bahkan hanya sedikit saja menarik perhatian saya, karena merupakan rangkaian pidato yang sekadar seremonial dan hanya mengusung retorika belaka. Beberapa kali saya keluar (maaf, kepada para kakak panita yang kece), karena merasa bosan.Sampai saatnya makan siang pun masih sama membosankan.Untung saja saya sudah ‘klik’dengan seorang teman baru. Kami bertukar cerita, berdiskusi hingga bergosip manja untuk bisa menghilangkan rasa bosan. Berlanjut ke acara perkenalan dengan peserta pelatihan yang membuat kesan tersendiri. Saya suka cara menata ruangannya. Kursi ditata melingkar tanpa meja. Artinya, panitia dan fasilitator tidak membuat jarak dengan peserta. Dengan demikian, kami bisa saling melihat: ke kanan, ke kiri, ke depan, dan juga ke belakang dengan leluasa. Perkenalan diiringidengan nyanyian ala Dora the Explorer yang memecahkan tawa juga mencairkan suasana. Lalu kami memperkenalkan nama masing-masing dengan cara yang tak kalah menarik. Sangat menohok dan melekat di ingatan. Menurut saya, perkenalannya efektif. Dalam kurang lebih satu jam saja, saya bisa mengenal setiap nama peserta, panitia dan fasilitator, termasuk embel-embel kata sifat yang mencerminkan pemilik nama tersebut. 42
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Waktu berjalan. Sesi berlanjut. Kontrak belajar, family rules hingga hal-hal yang berkaitan dengan pelatihan dijelaskan oleh panitia. Berikutnya adalah penyampaian materi. Pertama, tentang Hak Asasi Manusia. Sesi ini membuatku sedikit terkejut. Biasanya, materi ini menimbulkan pertentangan dan perdebatan. Sering kali dikatakan sebagai produk Barat yang kerap dianggap tidak penting oleh beberapa kelompok agama, karena bukan berasal dari firman atauwahyu. Ternyata dugaanku salah. Peserta dari latar belakang berbagai agama dan kepercayaan ini begitu terbuka saat membahas hal ini. Dilanjut dengan materi selanjutnya, yaitu tentang dunia digital dan sejarah agama-agama. Diskusi berlangsung terbuka. Ruangruang perdebatan dilandasi penghormatan dan cinta di antara peserta, membuat saya merasa bahwa tempat ini bukan tempat yang menyedihkan, tetapi justru merupakan tempat yang penuh keceriaan dan cinta antaranak muda lintasiman.Tak lupa bumbu candaan yang tidak garing, tidak mendiskriminasi menjadikan suasana cair. Kedekatan dan rasa cinta yang terbangun dari awal perkenalan terus merasuk dalam ingatan dan perbuatan, terlihat pada wajah saya dan peserta lain. Ahh, ternyata ini menyenangkan!Tak sabar rasanya menunggu hari esok untuk melihat apakah cinta ini akan bertambah besar. Ditunggu ya. Day 2: Adil Sejak dalam Pikiran Lalu Mengubah Dunia Hari kedua, ditengah keluarga baru, semakin luar biasa. Saya merasa sudah mengenal mereka sejak lama sebelum pelatihan ini, padahal baru berkenalan 24 jam yang lalu, tetapi kekompakan, kekeluargaan, dan kegembiraan terus tercipta tiada henti. Hal ini membuatku cukup nyaman bahkan untuk berekspresi menjadi diri sendiri, tidak lagi momok yang menakutkan bagiku. Kekeluargaan tidak hanya saja terjalin didalam tetapi juga diluar kelas. Rasanya seperti tinggal disebuah kompleks rumah susun yang dihuni oleh keluarga kandung. Membuatku lupa kalau tempat ini adalah persinggahan sementara. Kamar demi kamar di Asrama Haji 43
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Medan memancarkan rasa hangat yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Cukup dirasakan dengan sepenuh jiwa. Materi pokok selain Hak Asasi Manusia, perilakudi media sosial dan sejarah agama-agama, dilanjutkan di hari kedua untuk memantapkan yang telah diberikan pada hari pertama. Berbeda dengan kemarin, materi hari ini lebih terasa dekat denganku. Memang, materi Hak Asasi Manusia sudah biasa saya dengarkan, tetapi materi tentang perilaku di media sosial adalah materi baru bagi saya. Selama ini kita hanya melakukan, tapi terkadang tak terpikirkan. Kiat-kiat berperilaku di media sosial yang baik merupakan salah satu materi yang sangat penting dan membantu saya sebagai bagian dari masyarakat digital dengan kategori hyper. Saya seringkali hanya sibuk beretorika di media sosial tanpa mempedulikan etika. Kadang menjadi sutradara life streaming diri saya sendiri dimedia sosial tanpa pernah berpikir bahwa itu ternyata tak menarik dan tak layak dipertontonkan. Melalui materi ini juga saya sering berpikir betapa tidak adilnya kita terhadap tubuh kita sendiri hanya karena eksotisme dunia digital. Melepaskan fisik lalu berenang bebas dimedia sosial membuat kita lupa akan fisik kita yang sesungguhnya telah kita jual-belikan di dunia maya. Misalnya, dengan membuat ‘status’ di media sosial seperti “Rambut baru, nih”, “Sepatu baru diskon 50% dari toko X”, dan lain sebagainya. Saya dulu sering melakukannya, tetapi hari ini saya menyadari betapa sesungguhnya telah memperjualbelikan rambut dan kaki kepada semua orang, yang belum tentu fisik saya menginginkan itu. Sejarah agama-agama adalah materi selanjutnya yang menggugah pikiran, sehingga bisa memahami agama tidak hanya dari aspek teologis tetapi juga dari aspek historis. Hal ini menjadi cara yang menarik untuk membebaskan pikiran dari kefanatikan dan kemutlakan kebenaran agama kita sendiri. Menurut saya pendekatan historis efektif dalam kampanye keberagaman agama dan iman. Karena pendekatan teologis sering sekali tidak mampu menjawabnya. Sementara pendekatan historis yang diajarkan 44
Bagian I: Suara-suara yang Liris
pada pelatihan ini membuat saya menempatkan agama-agama yang beragam pada tempat duduk yang setara dan sama. Perlu membuat perubahan untuk menghargai keberagaman terlebih dahulu untuk membuat fikiran menjadi adil. Keadilan sejak dalam pikiran yang saya pelajari hari ini bersama keluarga baru, pasti akan membuat kami siap mengubah dunia. Day 3: Praktikum I – Perjalanan Manja Tetapi Kritis, ke Tempat Eksotis Hingga Mistis Mungkin tak ada gunanya retorika jika hanya sebagai wacana. Tak ada faedahnya jika berteori tanpa implementasi. Ntar, orang Medan akan mengejeknya, “Banyak kali cakap kau!” Inilah sesungguhnya yang INGAGE takutkan. Stereotip ‘banyak cakap’ sudah seharusnya jauh dibuang dengan cara dipraktikkan. Inilah yang kami lakukan setelah dua hari melahap teori-teori didalam kelas. Sebut saja namanya Interfaith Journey–meskipun bagi saya maknanya lebih dari sekadar itu. Tak hanya jalan-jalan lintasiman, tetapi merupakan jalan-jalan yang kritis. Kami berkunjung ketempat-tempat ibadah. Diawali ke kuil Hindu, lalu ke Parsantian Parmalim dan diakhiri di vihara Buddha. Ini tidak bisa dikatakan sekadar jalan-jalan. Adanya partisipasi dalam ritual, juga dialog di antara kami dengan pemeluk agama atau kepercayaan tersebut merupakan perjalanan kritis yang sangat berharga. Kami tidak hanya berkeliling melihat simbol atau ritual yang ada didalam rumah ibadah dari kacamata sendiri, tetapi kami juga mendengar langsung dari mereka yang menjalani ajarannya. Hal itu membuat perjalanan ini luar biasa menakjubkan. Tentu saja tak sekadar kritis, karena tak lupa perjalanan ini dibumbui dengan sikap-sikap manja anak muda. Misalnya,dengan selfie cantik lalu update di media sosial. Terdengar alay, tapi sesungguhnya kemanjaan dan ke-alay-an kami adalah bagian dari sebuah kampanye kreatif dari anak-anak muda cinta keberagaman. Selfie bersama umat Hindu, Parmalim, lalu Buddha berlatar rumah 45
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
ibadah tidak sekadar ke-alay-an, Kawan! Tapi bentuk aksi imut dan manja kami untuk mengatakan kepada seluruh dunia bahwa kami adalah para anak muda Sumatera Utara yang berjuang untuk keberagaman. Sebagai alternatif bahwa tak selamanya aksi dan demonstrasi menjadi solusi. Malam itu, kehangatan terus mengalir.Hingga kecelakan menimpa diri saya, terjatuh lalu membuat kaki sebelah kanan mengalami pergeseran tulang. Ternyata dampaknya cukup serius, kakiku bengkak. Saya sulit berjalan. Teman-teman menggotong tubuh saya kekamar. Keluarga baru saya ini panik luar biasa. Semua penghuni kamar yang sudah seperti keluarga itu memberikan perhatian. Mereka membuat saya lupa akan rasa sakit, padahal kaki semakin bengkak. Mereka tak lagi menempatkan saya sebagai peserta tetapi sebagai anggota keluarga yang harus dilindungi dan dijaga. Malam itu, saya merasakan kebahagian yang berasal dari rasa sakit. Saya menikmatinya dengan haru dan rasa bangga. Saya meyakini bahwa ini adalah surga yang sesungguhnya. Day 4 dan Day 5: Sama Seperti Demam, Rindu Juga Harus Dibalaskan Pascakecelakaan, saya terpaksa harus mengurung diri di kamar. Kemudian teman-teman membawa saya ke pengobatan tradisional yang khusus untuk patah tulang. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan pengalamansaat berada di ruang pengobatan, mengerikan! Setelah proses pengobatan selesai, saya kembali beristirahat dikamar. Teman-teman datang silih berganti untuk mengantar makanan dan minuman atau sekadar melihat keadaan saya. Tak ada yang berubah dari mereka. Cinta mereka tetap sama. Dikamar, saya merasa sedih. Saya tak bisa ikut berproses dan belajar bersama dengan mereka. Ingin sekali saya memaksakan kaki ini untuk berjalan menyusuri taman dan tangga untuk bertemu mereka. Tetapi apa daya, sakit tak kenal toleransi. Kondisi ini berlangsung hingga hari berikutnya. Keesokan paginya, para peserta sudah siap untuk melaku kan praktikum kedua, yaitu Live-in. Seharusnya saya juga 46
Bagian I: Suara-suara yang Liris
ikut ditempatkan di kuil Hindu. Tapi, kondisi kaki ini tidak memungkinkan. Akhirnya, saya memutuskan untuk pulang kerumah, karena kamar tempat kami menginap selama pelatihan harus dikosongkan.Saya pulang diantarkan oleh serombongan keluarga baru inisampai kerumah. Rasa sedih, cemburu, dan marah tak luput dari jiwa selama berada di rumah, hingga akhirnya saya mencoba menenangkan diri dan berfikir positif. Hari itu saya menjadi penonton Whatsapp Group yang dipenuhi oleh foto-foto gambaran perasaan teman-teman yang sedang Live-in. Saya menikmatinya tak lupa juga berbahagia melihat keluarga saya bahagia dengan keluarga baru mereka masing-masing. Perasaan yang mereka alami selama Live-in di tengah keluarga yang berbeda agama dan kepercayaan dapat saya rasakan melalui Whatsapp. Terpancar kebahagiaan dari wajah mereka. Kedekatan diantara kami juga terus terasa, meskipun hanya melalui mediasosial. Memang saya tak bisa sepenuhnya mengikuti kegiatan ini, tetapi sesungguhnya saya sudah mendapatkan lebih dari apa yang seharusnya diberikan oleh kegiatan ini. Kekeluargaan, penghormatan, cinta kasih, keberagaman, pengetahuan, hingga kebahagiaan adalah hal penting yang saya dapatkan. Terimakasih INGAGE. Terimakasih The Lutheran World Federation, ICRS, dan pendukung lainnya yang telah mempertemukan dan mengajak saya menjadi bagian dari keluarga baru INGAGE Medan. Terimakasih panitia dan fasilitator yang telah bersusah payah memberikan yang terbaik buat saya. Kalian luar biasa! Terimakasih kepada seluruh peserta yang telah menjadi keluarga saya. Kita tidak hanya belajar tetapi kita juga telah mampu membentuk sebuah keluarga yang penuh kebahagiaan. Waktu yang singkat bukanlah pemutus, tetapi sebaliknya cinta kasih akan terus berlanjut.
47
48
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Peserta INGAGE Manado berfoto bersama di Pura Danu Mandara Tondano Foto oleh Lefrando Andre, INGAGE Manado
Karena Dia, Insan Bersatu dalam Perbedaan Asr i R asjid, INGAGE M anado
R
ABU 21 September 2016, jam di dinding menunjukkan pukul 09.00 WITA, waktunya untuk mempersiapkan pakaian yang layak dipakai untuk mengikuti kegiatan pelatihan INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement). Pelatihan yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan The Lutheran World Federation (LWF) ini bertujuan untuk memperkuat kesetaraan hak dan membangun jembatan lintasiman. Kegiatan ini juga didukung oleh Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad) dan beberapa ormas keagamaan, sekolah tinggi agama, dan rumah ibadah, 49
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
antara lain: Fakultas Ushuludin, Adab dan Dakwah IAIN Manado, Universitas Kristen Indonesia Tomohon, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Utara, DPP GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia)Provinsi Sulawesi Utara, STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri) Manado, LAPEMA (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Antar Agama), LESBUMI (Lembaga Seni & Budaya Muslimin Indonesia) PWNU Sulawesi Utara, Tribun Manado, RAL 102,8 FM Manado, RRI Manado, Bukit Doa Kelong Kota Tomohon, Vihara Dhammadipa Manado, Mesjid Miftahul Jannah Manado, GMIM Solagratia Tikala, Pura Danu Mandara Tondano, dan FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) Provinsi Sulawesi Utara. Hampir tiga jam saya memilih pakaian yang akan dibawa, karena jujur saja baru kali ini akan mengikuti kegiatan pelatihan yang durasinya cukup lama, yaitu tujuh hari dari tanggal 22 September sampai tanggal 28 September 2016. Hal unik dari kegiatan ini menurut saya adalah program Live-in, di mana peserta akan tinggal di rumah keluarga yang berbeda keyakinan selama tiga hari. Akan ada banyak kesan yang sangat disayangkan jika tidak tertuang dalam sebuah tulisan. Saya cerita sedikit bagaimana saya bisa menjadi salah satu peserta dalam kegiatan ini, saya diinformasikan oleh seorang fasilitator lokal pada kegiatan ini yang bernama Taufani, kebetulan beliau mengajar di IAIN Manado dan juga aktif di LESBUMI NU Sulawesi Utara. Beliau menelepon saya kira-kira sebulan sebelum pelaksanaan kegiatan, beliau menjelaskan secara detail tentang INGAGE dan meminta saya untuk membantu menyebarkan informasi kegiatan ini, khususnya di komunitas Islam Syi’ah yang ada di Kota Manado. “Nanti cari waktu ketemuan, saya akan menyerahkan poster terkait kegiatan ini. Sambil menunggu waktu bertemu, saya akan membagikan format pdf. poster tersebut di akun Facebook saya. Mohon dibagikan lagi lewat akun Facebook anda,”demikian kata beliau menutup obrolan di telepon. 50
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Waktu berlalu, kurang lebih dua pekan tidak ada kabar dari saudara Taufani, hingga akhirnya pada hari minggu, 04 September 2016, beliau menelepon dan mengajak untuk bertemu. Saya menentukan tempatnya, yaitu di Waroeng Sahabat, tempat nongkrong sahabat-sahabat yang bergelut di dunia media online di malam hari. Sengaja saya pilih tempat itu agar saudara Taufani bisa saling kenal dengan sahabat jurnalis yang ada di Kota Manado, sehingga kedepannya beliau tidak susah lagi untuk mempublikasikan kegiatan seperti ini. Mengawali pembicaraan pada pertemuan itu beliau menanyakan kalau sudah ada penganut Syi’ah yang mendaftar jadi peserta INGAGE. Saya menjawab belum ada, karena banyak penganut Syi’ah yang usianya sudah melewati batas yang disyaratkan oleh panitia, termasuk saya juga sudah lewat batas usia. Taufan berinisiatif mengajukan saya sebagai peserta yang mewakili Islam Syi’ah. Oh iya, saya lupa perkenalkan diri. Nama saya Asri Rasjid, kebetulan saat ini dipercaya menjadi ketua ormas Islam Syi’ah, Ahlulbait Indonesia (ABI) wilayah Sulawesi Utara. Mungkin karena saya penganut Islam Syi’ah sehingga saudara Taufan mengusulkan ke panitia untuk menjadikan saya sebagai peserta INGAGE. Katanya belum ada penganut Syi’ah yang mendaftar. Makin beragam latar belakang iman peserta, makin banyak pula pengetahuan yang akan diperoleh lewat kegiatan ini, begitu kata beliau. Latar belakang pendidikan saya hanya lulusan SMK. Saya lahir dan besar di Kota Bitung. Menurut cerita orang tua, sejak saya berusia satu tahun kita sudah tinggal di lingkungan mayoritas beragama Kristen, mungkin itulah sebabnya sikap toleransi sudah mendarah daging di tubuh saya. Motivasi saya ikut kegiatan ini adalah ingin mengenal orang-orang yang memiliki sikap dan pandangan yang sama dengan saya terhadap keberagaman, sehingga nantinya kita bisa membangun hubungan harmonis dalam berpartisipasi membangun Indonesia. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WITA. Sesuai petunjuk dari panitia yang dikirim melalui Aplikasi Media Sosial Whatsapp 51
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
atau WA dan e-mail sehari sebelumnya, peserta harus berada di lokasi pelatihan yaitu di hotel Formosa Manado sebelum pukul 19.00 WITA. Karena agenda pertama akan dilaksanakan pada jam tersebut, yaitu makan malam bersama di restoran hotel. Dalam pesan tersebut panitia juga menginformasikan properti yang harus dibawa oleh peserta, juga menginformasikan bahwa peserta sudah bisa check-in secara mandiri mulai pukul 14.00 WITA. Dan saya pun segera berangkat mengingat perjalanan dari rumah ke hotel tempat pelatihan memakan waktu kurang lebih satu jam. Jaraknya tidak begitu jauh, tapi akibat peraturan ‘satu arah’ yang diterapkan oleh pemerintah dan kepolisian, maka kemacetan pun tak bisa dihindari. Dalam perjalanan menuju hotel, hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah saya nanti akan tidur sekamar dengan orang yang berbeda agama. Itu sudah pasti karena sesuai tema kegiatan “membangun jembatan lintasiman”. Jembatan itu dibangun dari ruang kecil (kamar hotel) kemudian ke ruang yang lebih besaryakni ruang kelas tempat menerima materi. Di ruang itu kita berbaur dengan peserta lainnya yang tentunya lebih banyak ragam agama dan kepercayaan dibanding ketika berada di dalam kamar. Kemudian ke ruang yang lebih besar lagi yaitu di lingkungan masyarakat melalui program Live-in. Upaya membangun jembatan lintasiman tentunya tidak berhenti disini, masih banyak lagi ruang yang lebih besar yang harus kita hubungkan sehingga terciptalah jembatan-jembatan iman dalam ruang yang lebih besar lagi yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagi beberapa orang atau bahkan beberapa komunitas yang ada di negeri ini mungkin menganggap metode INGAGE ini metode biasa-biasa saja, bisa saja sekarang ini mereka juga sedang dan sudah melakukan hal yang sama dengan metode mereka sendiri. Saya pribadi juga tidak menganggap apa yang dilakukan oleh ICRS lewat program INGAGE adalah metode yang terbaik dari metode-metode lain yang dilakukan oleh komunitas lintasagama lainnya. Tapi menurut saya akan lebih kokoh lagi 52
Bagian I: Suara-suara yang Liris
jembatan lintasiman itu jika semua jembatan yang akan dibangun dan yang sudah dibangun dihubungkan satu sama lain. Lalu saling mendukung dan tidak saling menyalahkan sehingga benar-benar terwujud semboyan bernegara yang dicita-citakan para pendiri negeri yang sama-sama kita cintai ini. Menurut saya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika belum terwujud seutuhnya, karena pada kenyataannya kita masih terkotak-kotak, masih mempersoalkan perbedaan agama, suku, ras dan budaya. Padahal kita semua tahu bahwa kita berbeda, tapi kita tak pernah sadar kalau kita memang beda, sehingga yang terjadi bukannya saling memahami perbedaan itu tapi ingin menyamakan perbedaan-perbedaan itu. Maka jangan heran kalau saat ini masih sering terjadi pertikaian antar suku dan agama. Salah satu contoh kasus pengusiran warga Syi’ah di Sampang, Madura yang hingga hari ini pun negara belum bisa menyelesaikannya dengan memulangkan mereka ke tanah kelahiran. Hal ini juga menjadi bukti belum terwujudnya kesetaraan hak dan kebebasan beragama dalam sebuah negara. Apa yang terjadi pada aktivis HAM? Dimana mereka? Apakah kita harus menyalahkan mereka? Tentu tidak, justru kita harus membangun jembatan dengan mereka para aktivis dan mencari solusi secara bersama-sama. Setelah melewati macetnya jalan Kota Manado di sore hari, akhirnya tiba juga di hotel Formosa, Saya langsung menelpon saudara Taufani untuk menginformasikan ketibaan saya sekaligus meminta arahan dari beliau apa yang harus saya lakukan. Jujur saja saat itu semacam ada keraguan apakah acaranya jadi dilaksanakan atau tidak karena suasana hotel tidak ada tandatanda akan diselenggarakannya kegiatan tersebut. Panitia pun belum berada di tempat, apalagi perserta, mungkin saya peserta yang pertama tiba di lokasi. Saudara Taufani mengarahkan saya untuk check-in sendiri sesuai dengan pesan Whatsappyang dikirim panitia sehari sebelumnya. Beliau juga mengatakan bahwa ia sudah dalam perjalanan menuju hotel. Sesaat setelah telepon ditutup segera saya menuju reception untuk melakukan check-in. 53
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Recepsionis menyerahkan kunci kamar 102 pada saya. Saya pun segera menuju kamar itu. Seperti dugaanku sewaktu dalam perjalanan ke hotel bahwa setiap kamar isinya dua orang, petugas reception pun mengatakan demikian. Tetapi teman sekamar saya belum datang. Teman baru untuk berbagi cerita suka dan duka, baik yang sudah dilewati maupun yang akan dilewati bersama-sama dalam kegiatan ini dan setelahnya. Di dalam kamar saya mengeluarkan baju yang ada di dalam tas ransel dan menaruhnya di lemari yang ada di kamar hotel. Setelah itu saya bersiap-siap untuk bergabung dengan teman-teman lainnya pada agenda pertama kegiatan ini yaitu makan malam bersama. Dengan beragam latar belakang agama, kami duduk makan bersama dengan menu makanan yang sama pula. Nilai–nilai kesetaraan pun mulai terasa pada momenini karena yang berada di ruang makan ini bukan cuma beda agama, tapi juga beda suku, status sosial, dan lain sebagainya. Tapi semuanya melebur seolah-olah sudah saling kenal. Mungkin beberapa peserta sudah saling kenal sebelumnya, ada yang kuliah di kampus yang sama, ada yang pernah ikut kegiatan serupa maupun kegiatan lainnya bersama-sama. Ada juga yang tidak saling kenal sama sekali, contohnya saya sendiri. Saya hanya mengenal dua orang saja di ruangan itu, yaitu Jendri Frans Mamahit (peserta) dan Pak Taufani (panitia). Selain dua orang itu saya tidak kenal, bahkan ada yang baru bertemu di kegiatan ini. Saya memilih duduk dengan peserta yang wajahnya asing di mata saya, dan mungkin sebaliknya demikian, wajah saya juga asing di mata mereka. Kami duduk berempat tepat di depan lift, kita pun langsung berkenalan. Orang pertama bernama Eka Nafisah Putra, seorang wartawan media online yang ada di Kota Manado, kebetulan Eka beragama Islam. Berikutnya Hendy Hebimisa dan Surikno Manoka, mereka berdua penghayat kepercayaan Masade. Kepercayaan ini hanya ada di kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Hendy menjelaskan sedikit tentang ajaran Masade yang ternyata 54
Bagian I: Suara-suara yang Liris
ada kemiripan dengan agama Islam. Di Sangihe mereka dikenal dengan nama ‘Islam Tua’. Dengan kehadiran mereka berdua sebagai peserta INGAGE lebih menambah keberagaman agama dan suku pada kegiatan ini, yakni agama Masade dan suku Sangihe. Dari semua peserta yang terlibat dalam kegiatan ini, ada seorang peserta yang ternyata bertetangga dengan saya, namanya Tiarastella Amanda Kangiras, seorang mahasiswi semester tujuh di Universitas Kristen Tomohon (UKIT). Rumahnya tidak jauh dari rumah saya, hanya berbeda lorong saja. Secara administrasi negara kita berdua tercatat dalam satu buku register kependudukan di Kelurahan Singkil Dua Lingkungan II. Jadi mestinya jembatan lintasiman sudah terbangun dari lingkungan tempat tinggal kitakarena kita punya banyak kesempatan untuk bertemu, tapi yang terjadi kita dipertemukan oleh Tuhan di ruang kelas INGAGE. Mungkin saja Tuhan berkehendak memang berkehendak demikian. Setelah selesai sesi makan malam bersama, peserta diper silakan istirahat. Jadwal kegiatan pun sudah dibagikan ke masingmasing peserta sesaat sebelum makan malam, Peserta tinggal menyesuaikan waktu sesuai jadwal tersebut. Saya pun bergegas menuju kamar setelah bincang-bincang sedikit dengan tiga sahabat baru yang saya ceritakan di atas sambil menghabiskan beberapa batang rokok. Sampai di kamar, saya melihat tas pakaian teman sekamar sudah ada tapi orangnya tidak ada, dugaan saya ia masih di ruang makan sedang asyik ngobrol dengan peserta lainnya. Saya pun langsung berbaring, rasa kantuk sudah mulai menyerang mata saya. Tiba-tiba pintu kamar berbunyi seperti ada yang membukanya, dan ternyata teman sekamar yang membuka. Saya pun bergerak menghampirinya, kami bersalaman dan berkenalan. Ia lantas memperkenalkan diri, namanya Deo Runtunuwu, calon pilot muda yang gemar mengikuti kegiatan interfaith seperti ini, Ia sudah pernah mengikuti beberapa kegiatan lintasiman sebelumnya yang diselenggarakan oleh Organisasi Keagamaan Pemuda (OKP) yang 55
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
ada di Sulawesi Utara, seperti GP ANSOR Sulut, GAMKI Sulut dan lain-lain. Lewat kegiatan-kegiatan tersebut, Deo jadi punya banyak teman yang beragama Islam, khususnya dari komunitas ANSOR Manado. Salah satu temannya berteman juga dengan saya, teman bersama itu bernama Rusli Umar, biasa disapa ‘Abeng’. Menurut Deo, ia banyak mendapatkan informasi tentang Islam dari Abeng, baik itu tentang ajaran, budaya, bahkan ia sempat belajar membaca Alquran dan sempat menghafal surat Al-Fatihah. Namun itu semua tidak merubah keyakinannya terhadap ajaran Kristus yang telah ia yakini sejak kecil. Deo hidup di tengah keluarga Kristen yang taat, ayahnya menjabat sebagai ketua Jemaat GMIM Sentrum Manado, Ibunya kerja di Sinode AM Gereja-Gereja se Suluttenggo dan aktif juga di kegiatan lintasiman. Malam itu kami berdua larut dalam cerita pengalaman masingmasing. Sesekali kami diskusi tentang kisruh antar umat beragama dimana agama minoritas selalu jadi sasaran empuk kaum intoleran. Di Jawa misalnya, sering kita melihat berita di televisi atau membaca berita di media online dan media cetak sering terjadi pelarangan mendirikan gereja, bahkan sering terjadi pembakaran gereja. Begitu juga sebaliknya, di Kota Bitung, Sulawesi Utara, belum lama ini terjadi pelarangan mendirikan masjid di salah satu kelurahan oleh orang-orang yang mengatasnamakan organisasi berbasis Kristen-Minahasa. Tindakan mereka tidak tanggungtanggung, mereka sampai menaruh kepala babi di dalam rangka bangunan masjid tersebut. Tindakan ini mendapat respons balik dari orang Islam setempat. Untung saja pemerintah Kota Bitung cepat mengatasinya sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Kita berdua sepakat bahwa intoleransi tidak diajarkan di agama manapun. Deo menjelaskan bahwa Yesus Kristus justru mengajarkan kasih sayang kepada umatnya. “Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu:jangan membalas dendam terhadap orang yang berbuat jahat kepadamu. Sebaliknya kalau orang menampar pipi kananmu, biarkanlah dia menampar pipi kirimu juga” (Matius 5:39. Versi BIS 1985).
56
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Firman ini jelas mengajarkan umat Kristiani untuk tidak membalas tindakan zalim seperti yang dilakukan penganut agama mayoritas di daerah yang jumlah penganut Kristen minoritas. Pelaku peristiwa di Bitung adalah orang-orang yang mengaku beragama Kristen tetapi sejatinya mereka tidak beragama. Demikian pula dalam ajaran Islam tentang toleransi, saya pun menjelaskan bahwa dalam Alquran, Allah berfirman: “Tiadalah Allah menurunkan Al-Qur’an dan mengutus Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” (Al-Anbiya:107).
Berbicara toleransi dalam pandangan Islam tidak perlu membaca seluruh isi Alquran, cukup satu ayat ini dijadikan acuan untuk bertoleransi. Rahmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah sikap atau akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan. Bukan hanya terbatas pada manusia, apalagi hanya dibatasi pada satu golongan saja, yaitu hanya kepada golongan yang sama agama, suku, dan lain sebagainya. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan memiliki hawa nafsu. Hal inilah yang mendorong manusia untuk selalu dinamis berubah ke segala arah. Jika tidak dikendalikan akan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan tercela, intoleransi dan kerusakan-kerusakan di muka bumi. Inilah hawa nafsu manusia yang diucapkan oleh Nabi Yusuf yang diabadikan dalam ayat suci Alquran: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi maha penyayang”. (Yusuf:53).
Sikap intoleran banyak terjadi di dunia, terlebih lagi terjadi di bumi nusantara yang katanya memiliki semboyan “Bhinneka Tungkal Ika”. Akankah sikap ini akan terus kita turuti? Jawabannya ada pada diri sendiri. Jangan mudah menyalahkan orang lain hanya karena dia berbeda, karena setiap kita adalah bernafsu. Nabi Muhammad diutus Allah untuk membimbing nafsu manusia, bagaimana membimbing, dikendalikan dan diarahkan sehingga 57
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Islam betul-betul menjadi rahmat bagi semesta alam.Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Muhammad itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah” (Al-Ahzab:21).
Ayat ini lebih mempertegas pandangan Islam terhadap toleransi. Nabi Muhammad sebagai teladan bagi semua manusia yang mengharap rahmat Tuhan dan kedatangan hari kiamat dengan selalu menyebut nama Tuhan, bukan hanya sebagai teladan bagi pemeluk Islam.Dalam banyak riwayat diceritakan bagaimana akhlak Nabi Muhammad pada orang yang berbeda agama. Salah satu contoh adalah kisah seorang buta dan miskin beragama Yahudi yang setiap hari diberi makan oleh beliau. Terlalu eksklusif seorang Muhammad jika akhlak beliau hanya untuk diteladani oleh penganut Islam saja.Ada banyak kisah Nabi Muhammad dan para utusan Tuhan, yaitu Nabi &Rasul lainnya yang bisa kita teladani dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Tentunya dengan tanpa memandang agama yang kita anut, karena Nabi Muhammad dan para Nabi & Rasul lainnya diutus sebagai rahmat dan teladan bagi kita semua. Begitu pula dengan sosok Yesus Kristus yang menurut saya diutus Tuhan sebagai wujud kasih bagi semua makhluk ciptaanNya. Ada keteladanan dalam pribadi beliau yang bisa diteladani oleh semua umat manusia. Yesus dapat dijadikan contoh bagi manusia merdeka. Ia hanya berpihak dan berpijak pada kebenaran, cinta dan pelayanan cinta kasih. Ia berbicara benar sejak usia bayi. Ia melayani manusia, menyembuhkan yang buta, dan menghidupkan yang mati. Setiap diri kita harus menjadi Yesus. Sesungguhnya, Yesus-yesus tengah menanti kelahirannya dari dalam setiap pribadi kita. Namun Yesus tidak rela dilahirkan kecuali oleh Bunda Suci Maria. Siapakah Bunda Maria di dalam diri kita? Tidak lain ia adalah akal dan nurani kita. Saat kita memariakan dan menjaga kesucian akal dan hati nurani kita, maka saat itulah lahir Yesus 58
Bagian I: Suara-suara yang Liris
dari dalam diri kita berupa kebenaran dalam bersikap, berucap dan bertindak. Segera setelah Sang Yesus lahir dari diri kita, ia tidak menunggu hari esok untuk berkata benar. Ia akan mulai hidup melayani manusia di sekitarnya. Ia bekerja menyembuhkan orang-orang yang buta mata hatinya agar dapat melihat kebenaran. Ia terus bekerja menghidupkan orang-orang yang mati semangat hidupnya, mati cita-citanya dan mati harapannya agar dapat hidup aktif, produktif, kreatif, progresif dan responsif. Jelas sudah bahwa Tuhan melalui para utusanNya tidak mengajarkan manusia untuk bertikai, tapi mengajarkan kasih dan kedamaian. Manusia itu sendiri yang selalu mengikuti hawa nafsunya sehingga merasa paling benar dengan keyakinan yang dianutnya. Kamis 22 September 2016, adalah hari dimana kami memulai kegiatan INGAGE. Dimulai dengan seremonial pembukaan yang dihadiri oleh unsur pemerintah, unsur petinggi ormas, petinggi sekolah keagamaan, dan tokoh-tokoh agama, yang berlangsung penuh hikmat. Acara ini diwarnai dengan berbagai macam nasehat kepada para peserta tentang pentingnya menjaga dan merawat Kebhinnekaan di Nusantara. Selesai seremonial pembukaan dilanjutkan dengan sesi istirahat, sholat dan makan selama satu jam. Setelah itu dilanjutkan dengan sesi perkenalan peserta, panitia dan pemateri. Metode perkenalan yang dipakai sangat praktis dan luar biasa menurut saya, dalam sekejap kita sudah saling mengingat nama seluruh peserta, panitia dan pemateri. Kami membentuk lingkaran kemudian dimintamenyebutkan nama dan memilih satu atau dua kata dari inisial namanya. Setelah itu, orang yang berada disamping kiri menyebutkan kembali nama dan kata yang telah dipilih oleh orang yang di sebelah kanannya sebelum ia melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya sampai ke orang yang terakhir. Uniknya, orang yang paling terakhir harus menyebutkna nama dan kata yang telah disebutkan dari orang pertama sampai orang terakhir sebelum dia. Kami pun disibukkan dengan menghafal nama-nama 59
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
dan memadankan kata-kata yang telah disebutkan oleh sejumlah orang sebelum giliran kita. Kami melewati sesi itu dengan penuh tawa sambil menghafal, rasa dan suasana yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Perbedaan tak nampak lagi, hilang ditelan suasana gembira dalam satu ruangan. Inilah salah satu momenterbaik menurut saya saat mengikuti kegiatan INGAGE. Hari itu kami lewati dengan menerimatiga materi yang sudah terjadwal. Materi yang kami terima di hari pertama adalah Hak Asasi Manusia atau HAM yang disampaikan oleh Ibu Alviani Permata, kemudian materi Dunia Digital & Media Sosial yang dibawakan oleh Bapak Leo Epafras, dan ditutup dengan materi Agama-Agama Dunia yang disampaikan oleh Bapak Al-Makin. Di materi inilah kami diajarkan untuk tidak menilai agama lain dari perspektif agama yang kita anut. Kita diajarkan untuk senantiasa bertanya langsung kepada penganut suatu agama jika ingin mengetahui ajaran agamanya secara subjektif. Agar kita tahu dimana letak perbedaan ajaran agama-agama yang ada di dunia untuk dipahami dan dimengerti sehingga tumbuh rasa toleransi di antara penganutnya. Hari pertama ditutup dengan refleksi dari beberapa peserta sebelum masuk jadwal istirahat malam. Jum’at, 23 September 2016, hari kedua kegiatan INGAGE. Diawali dengan ibadah sholat subuh bagi pemeluk agama Islam di kamar masing-masing yang notabene teman sekamarnya beragama lain. Seperti yang saya tulis di atas, dari ruang kamar inilah jembatan lintasiman itu dibangun dimana saya sebagai penganut agama Islam menjalankan ibadah sholat subuh sementara di dalam kamar itu ada Deo yang berbeda keyakinan dengan saya. Begitu pula yang terjadi pada peserta lain di kamar lainnya. Di satu sisi saya wajib menjalankan perintah agama, di sisi lain saya harus menjaga kenyamanan tidur Deo agar tidak terbangun akibat mendengar bacaan-bacaan sholat yang saya lantunkan. Situasi seperti ini belum pernah saya alami, tapi mungkin Deo pernah mengalaminya saat mengikuti kegiatan interfaith seperti yang ia ceritakan. 60
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Menurut saya inilah hakikat dari toleransi. Kita tidak meminta orang yang berbeda keyakinan dengan kita untuk menghormati kita yang sedang melakukan ibadah, tetapi kita lah yang harus menghormati hak orang lain. Saat sholat, kita sedang menjalin hubungan dengan Tuhan, tanpa diminta, orang lain pasti akan berusaha menghormati itu. Nah, kita yang sedang berhubungan dengan Tuhan harusnya tidak menafikkan hubungan sesama manusia di saat yang sama. Terasa lucu menurut saya apabila kita sedang menyembah Sang Maha Kasih tetapi menganggu ketenteraman orang lain. Dari kejadian ini saya mengambil kesimpulan bahwa toleransi itu harus lahir dari diri sendiri. Jika semua orang telah melahirkan rasa toleransi dari diri masingmasing, maka tak perlu ada seruan atau bahkan paksaan pada orang lain untuk mentolerir apa yang kita lakukan. Perlakukan orang lain sebagaimana anda ingin diperlakukan oleh orang lain. Setela olahraga bersama, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi yang sudah dijadwalkan. Ada empat materi yang akan kami terima hari itu, antara lain tentang Kemerdekaan & Kesetaraan, Internet Sehat, Agama-agama di Indonesia, dan yang terakhir materi tentang Keberagaman & Perbedaan. Hari kedua ini juga mengagendakan sholat Jum’at berjamaah bagi yang muslim di Masjid Miftahul Jannah yang kebetulan lokasinya tidak jauh dari lokasi hotel Formosa. Bagi yang non-muslim boleh ikut ke masjid, tapi bukan untuk ikut beribadah sholat Jum’at, melainkan untuk bersilaturahmi dengan pemuka agama Islam yang ada di wilayah keimamahan masjid tersebut. Sekaligus bisa bertanya soal agama Islam pada ahlinya langsung atau pemeluk agamanya. Peserta wanita non-muslim disarankan memakai hijab untuk menghormati aturan Islam yang harus menutup aurat jika masuk ke rumah ibadah. Hal ini kemudian menuai kontroversi dari kalangan muslim dan non-muslim. Bagi kelompok muslim, mereka menganggap kegiatan ini adalah upaya untuk mencampur adukkan agama. Bagi kalangan non-muslim, ini dianggap sebagai kegiatan misionaris 61
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Islamisasi. Padahal yang kami lakukan adalah seperti yang saya jelaskan di atas. Pelajaran yang saya dapat dari kejadian ini adalah ternyata tidak semua kebaikan yang kita lakukan akan dianggap baik oleh orang lain, mereka punya sudut pandang yang berbeda terhadap apa yang kita lakukan. Tugas kita adalah terus dan terus melakukan hal yang sama tanpa harus mengharap orang lain untuk menyukai atau sepaham dengan apa yang kita lakukan, selagi itu kita anggap sebuah kebaikan dalam rangka menebar kasih Tuhan ke sesama makhluk ciptaan-Nya. Selesai sholat Jum’at dan tanya jawab dengan pemuka agama di masjid itu, kami pun kembali ke hotel melanjutkan kegiatan hingga malam hari. Seperti hari pertama, beberapa peserta menyampaikan refleksi kesan apa yang didapat sepanjang hari kedua. Sabtu 24 September 2016, hari ketiga ini agak berbeda. Materi baru diberikan pada malam hari. Pagi hingga sore kami akan melakukan kunjungan ke beberapa rumah ibadah yang ada di Sulawesi Utara, antara lain Bukit Doa Kelong Kota Tomohon, Pura Danu Mandara Tondano dan Vihara Dhammadipa Manado. Agendanya sama seperti yang kami lakukan di Masjid Miftahul Jannah, yakni bertanya tentang suatu agama pada penganutnya langsung. Setelah mendapat teorinya pada hari pertama, hari ketiga ini merupakan praktik dari teori tersebut. Setelah seharian berkunjung ke tempat yang saya sebutkan di atas, kami kembali ke hotel untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya yaitu mendengarkan sharing pengalaman blogger dan atau jurnalis terkait dengan apa dan bagaimana seharusnya kita menggunakan media sosial. Kegiatan hari ketiga ditutup dengan materi membangun komunikasi digital. Seperti biasa, beberapa peserta merefleksikan pengalaman yang dialami sepanjang hari sebelum kami beristirahat di malam terakhir bermalam di hotel Formosa. Karena mulai besok seluruh peserta akan menjalani program Live-in atau tinggal di rumah warga yang berbeda keyakinan selama dua hari tiga malam. Disitulah para peserta INGAGE mulai membangun jembatan lintasiman yang lebih besar lagi skalanya. 62
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Minggu 25 September 2016, setelah melakukan kunjungan ke beberapa rumah ibadah, hari ini juga para peserta akan melakukan kunjungan ke Gereja GMIM Solagratia Tikala. Bagi yang beragama Kristen Protestan diwajibkan mengikuti ritual ibadah hari minggu, dan untuk yang non-Kristen dipersilakan menyaksikan tata cara ibadah Kristen Protestan. Ini juga merupakan bagian dari program kegiatan INGAGE sebagaimana yang telah kami lakukan di harihari sebelumnya di rumah ibadah agama lainnya. Setelah selesai kegiatan di Gereja Solagratia, kamipun kembali ke hotel untuk melakukan pembekalan sebelum turun ke rumah warga. Fasilitator Lokal, Non Angie Wuysang membacakan pembagian lokasi rumah tempat yang akan kami tinggali selama program Live-in. Saya mendapat lokasi di Kota Tomohon, tepatnya di rumah keluarga Bapak Noldy Fentje Langi, seorang jemaat GMIM Getsemani Lansot, Tomohon. Peserta muslim lainnya juga mendapat lokasi di Kota Tomohon dan Tondano, karena di dua kota tersebut penduduknya mayoritas bergama Kristen Protestan. Untuk peserta yang beragama non-muslim, mereka di tempatkan di dalam Kota Manado. Tepat pukul 15.00 WITA, kami pun diantar ke lokasi yang sudah dibagikan. Pengalaman baru dimulai pada detik ini, pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya walaupun mungkin ada beberapa peserta pernah mengalami hal tersebut. Tibalah saya di lokasi Live-in dengan disambut oleh seorang tokoh agama di Jemaat GMIM Getsemani Lansot, Bapak Dolfi Henri Moningka dan juga Bapak Noldy yang akan menjadi orang tua angkat saya. Kami melanjutkannya dengan berdiskusi sedikit tentang maraknya aksi intoleransi di Indonesia. Selanjutnya kami mengatur jadwal kegiatan apa saja selama dua hari kedepan. Pak Dolfi mengusulkan hari pertama untuk berkunjung ke beberapa tempat wisata alam yang ada di Kota Tomohon. Kemudian hari kedua saya diminta hadir pada acara ibadah rutin yang dilaksanakan setiap hari selasa, sekaligus saya diminta menjadi pembicara pada acara ibadah itu untuk menyampaikan pentingnya menjaga dan merawat kemajemukan Nusantara Raya. 63
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang atas terlaksananya dengan baik apa yang telah kita rencanakan bersama. Hari-hari bersama Pak Noldy dilewati dengan diskusi berbagai persoalan, mulai dari persoalan politik, ekonomi, toleransi dan sebagainya. Dinginnya Kota Tomohon dicampur dengan panasnya pikiranku yang memikirkan tanggapan negatif yang saya sebutkan di atas, melahirkan sebuah puisi yang mewakili imaginasiku dan ketidakmampuanku berargumentasi dengan orang-orang yang beranggapan miring di luaran sana. Puisi ini sekaligus menutup tulisan jurnal saya. Terima kasih kepada ICRS yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengikuti kegiatan ini. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu dan kesempatan. Dari INGAGE untuk NKRI INGAGE itu apa? INGAGE ajak orang pindah agama? Menyamakan semua agama? INGAGE menyadarkan kita bahwa "agama-agama itu nyata bedanya". Tujuh hari dalam satu lingkaran, yang tak kenal saling berkenalan, yang asing tidak terasing, bahkan yang beda lorong pun melebur dalam satu ruang. Mereka Mereka Mereka Mereka
bilang bilang bilang bilang
kami kami kami kami
sudah gila. permainkan agama. kurang kerjaan. menghina Tuhan.
Ah, siapa bilang? Ada yang bilang ini hanya sebuah ruang agar pemuda bisa berjuang. 64
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Kebebasan dan kesetaraan jadi tujuan, hak asasi manusia jadi landasan. Ooh Ooh Ooh Ooh
agama, agama, agama, agama,
mengapa bertikai? harusnya kau pembawa damai. harusnya kau pemberi solusi. tunjukkan padaku dimana Tuhanmu?
Kan kukeluhkan semua apa yang tlah Kau lakukan pada penganutmu. Kami punya Tuhan yang maha kasih, kami punya Tuhan yang maha cinta. Karena Dia, insan bertemu & berpisah, Karena Dia, insan berbagi kasih, dan hanya karena Dia pula Insan bersatu dalam perbedaan.
65
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
66
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Semua setara dalam hak berpendapat Foto Magfirah A. Tang, INGAGE Manado
K e se taraan Sur ik no M anok a, INGAGE M anado
Setara dalam Hak Asasi Manusia
H
AK manusia dan hak asasi manusia (HAM) itu berbeda. Kita wajib menghormati hak orang lain yang tercermin dari bagaimana kita berperilaku dalam melindungi kebebasannya. Serta memberikan peluang bagi semua orang dalam menjaga harkat dan martabat. Hak asasi manusia bukan diberikan oleh masyarakat tetapi karena martabatnya sebagai manusia. Oleh sebab itu HAM mengandung hak-hak universal yang dimiliki oleh seluruh manusia tanpa pembedaan. Selain itu, juga memiliki norma–norma yang pasti dan memberikan tempat yang tinggi bagi penegaknya. 67
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
HAM juga memiliki ruang untuk mengesampingkan norma adat atau sistem suatu negara. Seperti yang dikutip dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal (1) yang menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan wajib dihormati dan dilindungi negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) mengatakan bahwa semua manusia dilahirkan, merdeka dan setara dalam martabat dan hak, manusia memiliki hak kebebasan dan hak persamaan. Dengan itu negara berkewajiban untuk melaksanakan tiga hal yang terkait dengan HAM yaitu: menghormati, melindungi, dan memenuhi. Tiga hal tersebut digunakan untuk menjaga hakhak manusia, yaitu hak hidup, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak berkeyakinan atau beragama, hak berpolitik, dan beberapa hak lainnya. Dalam mewujudkan kebebasan dan kesetaraan, lembaga eksekutif negara wajib mengusahakan persamaan dan perlu memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan, kebahagiaan dan keberhasilan dalam hidup mereka. Setara dalam berkomunikasi digital Ini merupakan satu tantangan yang besar bagi masyarakat bagaimana kita mampu memanfaatkan internet secara baik dan sehat. Dengan perkembangan dunia digital dan media sosial, kita perlu waspada terhadap dampaknya bagi suatu hubungan antar kelompok atau antariman. Tentang bagaimana membangun perilaku sehat dalam berinternet, dengan tidak melakukan pelecehan di dunia internet (cyberbully). Tapi juga tentang bagaimana kita menghargai dan melindungi diri dengan membatasi berbagai informasi mengenai diri kita demi keamanan dan kepentingan diri sendiri. Selain itu kita harus tanggap dan teliti ketika menulis artikel atau pesan dan gambar yang bisa menyinggung orang lain, yang justru dapat menyeret kita dalam ranah hukum. Di sisi positif, kita dapat mendapatkan keuntungan dari dunia digital ini. Misalnya dengan membangun komunitas digital. 68
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Dengan jalan ini, kita dapat membangun atau membentuk suatu aksi dalam berbagai cara seperti berbisnis online, memberikan dan mendapatkan informasi tentang kejadian yang terjadi di berbagai belahan dunia. Serta kita dapat membuat suatu komunitas dalam satu bingkai keragaman agama, budaya dan adat istiadat untuk membina tali persaudaraan dalam komunitas digital dengan tidak mengurangi privacy dari masing–masing struktur sosial yang ada. Setara dalam beragama Kita harus mengerti agama–agama yang ada di dunia, bahwa semua agama memiliki ciri khas atau peraturan dalam penghayatannya. Tentang nilai-nilai yang membawa kebaikan dalam dunia, bukan mementingkan agama sendiri dan merasa paling tahu tentang arti keselamatan. Mestinya kita bisa membawa suatu tujuan dari semua agama yang selalu mencurahkan kebaikan dan kasih bagi semua manusia, karena dalam semua agama ada keterkaitan antara satu dengan yang lain. Dengan masuknya agama global pertama di Indonesia yaitu Hindu dan Buddha, kemudian Kristen, dan Islam, agama lokal di Indonesia yang pada saat itu sebenarnya juga banyak, mulai tergeser. Perkembangan zaman dan kekuasaan politik bisa membuat semua berubah. Hingga sekarang, agama lokal justru menjadi tamu di negaranya sendiri. Dengan perbedaan antara satu agama dengan yang lainnya, baik yang lokal maupun yang bukan, kita bisa menyadari bahwa inilah keragaman. Dengan prinsip keragaman dan perbedaan, tentunya mempunyai bermacam pemahaman yang berbeda, sehingga kita harus menghormati perbedaan ini agar kita menjadi bangsa yang jauh dari konflik. Sebab setiap agama mencerminkan nilai–nilai kebaikan dan kesetaraan dalam beribadah. Salah satu cara untuk menghormati adalah dengan mengenalnya terlebih dahulu. Untuk itu, pak Al Makin yang memberikan materi tentang literasi interfaith, mengatakan bahwa, ”Jika engkau ingin tahu agama orang lain, tanyakan langsung pada pemimpin atau penganutnya sendiri. Agar tahu secara benar. Untuk itu INGAGE memberikan ruang perkenalan dengan 69
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
agama lain melaluikegiatan Interfaith Journey. Kami mendapat kan pengalaman yang sangat baik dan penting karena dengan mengetahui tujuan atau aturan dalam setiap agama, kami mengetahui bahwa banyak nilai–nilai kerohanian, ajaran Nabi atau ajaran Dewa mengarah kepada kebajikan, cinta kasih, dan penguatan keimanan kita kepada sang pemilik kehidupan ini. Ditambah lagi dengan kegiatan Live-in yang membuat kami makin mengenal orang-orang yang beragama lain. Dalam kesempatan itu, saya yang menganut ajaran Masade, tinggal di rumah warga yang berbeda keyakinan, yaitu di rumah Keluarga Soleman Saba, yang mempunyai toleransi tinggi. Di sana kami disambut dengan sangat baik, meskipun pada awalnya ada sedikit rasa takut, apakah kami bisa melakukan hal yang baik agar supaya hubungan tetap terjaga tanpa ada kesalahan. Dengan penuh rasa hormat, keluarga ini memberikan satu pelajaran yang berharga bagi saya mengenai bagaimana hubungan penuh toleransi antara umat beragama sangat penting bagi kehidupan. Inilah satu hal yang tidak bisa diukur dengan rajinnya beribadah, tetapi bagaimana kita menyiapkan hati, pikiran dan sikap di jalan yang di Ridlhoi Allah. Pelajaran penting yang saya dapatkan dari mereka adalah meskipun berbeda keyakinan tetapi tujuan kita sama. Selanjutnya semua kembali kepada masing–masing pribadi, bagaimana kita akan menjaga dan membawa keyakinan ini dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Satu kebahagiaan dan rasa syurkur dalam kegiatan INGAGE ini, kami bisa hidup bersama dalam satu kerukunan antar umat beragama, saling menghormati, menjaga dan mendukung. Kami bisa berkunjung ke setiap tempat ibadah agama Islam, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kristen Protestan. Dari semua tempat ibadah yang dikunjungi, ini memberikan pemahaman tentang ajaran sekaligus tujuan dari masing–masing agama. Sampai kami menyadari betapa pentingnya membangun rasa saling menghargai dan menghormati dalam kehidupan yang penuh keragaman dan perbedaan.
70
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Pateki dan Opa Rudy Foto oleh Ida Fitri, Koordinator Logistik
Mengenal, Memahami dan Menghargai Keragaman Lintasiman Patek i S ounawe, INGAGE Ambon
Tabea! Salam peace shalom, shalom peace salam. Hari pertama
D
I hari pertama, semua peserta pelatihan diminta untuk memperkenalkan diri. Saya menyebutkan nama, agama, asal-usul, dan hobi seperti orang ketakutan. Agama saya belum diakui resmi oleh pemerintah. Saya masih takut menyebut Nuaulu sebagai agama saya, kepercayaan yang disebut orang sebagai agama lokal. Keberadaan ini menimbulkan perasaan bahwa saya 71
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
akan diasingkan oleh teman-teman yang baru saya kenal saat pelatihan INGAGE ini. Namun ternyata, mereka tidak seperti apa yang saya pikirkan. Kami berbaur dan mencoba saling mengenali antara satu dengan yang lain. Dugaan saya keliru. Hari kedua Kami semua mendapatkan hal baru, yaitu Hak Asasi Manusia. Ibu Alviani mengisi diri kami dengan pengetahuan seputar pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh negara dalam menegakkan Hak Asasi Manusia. Di antaranya adalah pelanggaran terhadap agama-agama lokal yang belum di akui oleh pemerintah. Agama saya, Nuaulutermasuk di dalamnya. Selain itu saya juga belajar tentang bagaimana mengakses dunia digital. Pak Leonard C. Epafras dari ICRS dan Mas Emte dari ICTWatch mengajak kita semua untuk memanfaatkan media sosial sebagai sumber ilmu pengetahuan yang positif bagi generasi muda. Di dunia yang semakin digital ini, isu-isu konflik yang beredar di lingkungan masyarakat cepat tersebar melalui media sosial. Meski demikian, Bang Pierre dan Bang Marvin dari ‘Paparisa Ambon Bergerak’ menambah pengetahuan kami dengan mencontohkan apa saja yang telah mereka lakukan untuk menanggapi hal tersebut di media sosial. Hari ketiga Pada hari ketiga, saya diperkaya lagi dengan pengetahuan tentang agama, sejarah, dan keragamannya. Pak Al Makin mengajak saya untuk belajar mengenal, memahami dan menghargai agama orang lain. Tujuannya adalah agar saya bisa mempersiapkan diri untuk menjadi generasi muda yang peduli terhadap perdamaian. Sebab damai bisa mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman di lingkungan masyarakat. Hari keempat Di hari ini, saya mengunjungi rumah-rumah ibadah agama lain. Saya menemukan perbedaan-perbedaan dalam tata cara 72
Bagian I: Suara-suara yang Liris
beribadahnya. Dalam kunjungan tersebut, saya merasa ada satu nilai tersendiri yang mungkin tidak dirasakan oleh semua orang. Saya menemukan kedamaian ketika berada di dalam rumah-rumah ibadah tersebut. Langkah-langkah saya selanjutnya, dan mungkin juga teman-teman lainnya, semata-mata untuk mewujudkan nilai tersebut, yaitu kedamaian. Hari kelima, keenam dan ketujuh Hari ini adalah saatnya kami berada dilingkungan masyarakat. Saya dan teman-teman pelatihan menginap di Waiheru selama tiga hari. Saya disambut oleh Bapak Amir dan keluarganya. Mereka beragama Islam. Hari kelima, keenam hingga hari ketujuh, saya merasakan hal-hal baru lainnya. Salah satunya yang berbeda adalah makan bersama. Di rumah saya, kami biasa makan bersama-sama saat waktunya tiba. Tetapi hal ini tidak dilakukan di sini, kami tidak makan bersama dengan anggota keluarga lainnya. Meskipun demikian saya berterimah kasih kepada Bapak Amir karena saya sudah dibolehkan tidur dan makan di rumahnya. Satu hal yang sangat berkesan buat saya yaitu ketika pada saat berpisah adik piara saya, bernama Angga. Ia meminta buku yang saya miliki, katanya untuk kenang-kenangan. Buku karya Pak Al Makin yang saya dapatkan saat pelatihan INGAGE itu saya berikan kepada Angga. Saya memang tak lagi memiliki buku itu, tetapi hal ini sangat menyenangkan. Hati saya merasakanbahwa saya masih tetap bersama keluarga Bapak Amirdi rumah itu, meskipun saya sudah pulang. Karena buku tersebut masih berada di sana hingga saat ini, dan karena buku itu benar-benar diperlakukan seperti sebagai bagian dari keluarga mereka. Demikian catatan saya. Jika ada kekurangan, saya meminta maaf. Sebab ini adalah saat pertama kali bagi saya menyusun catatan seperti ini. Seandainya ada kata-kata yang kurang tepat, saya mohon untuk dipahami Dalam kesempatan ini, tak lupa saya berterimah kasih kepada Bapak Leo, Ibu Alviani, Ibu Ida, Ibu Lusi, Bapak Al Makin, 73
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Mas Emte, Bapak Kee Enal,kakak-kakak dari Paparisa Ambon Bergerak, kakak-kakak panitia, serta semua teman-teman peserta INGAGE yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Mereka semua telah mempertemukan kita semua dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh ICRS. Terima kasih pula kita telah saling mengenal, memahami dan menghargai satu sama lain. Semoga Upu Ama Anahatanah mau melindungi kalian semua dan mempermudahkan semua pekerjaan. Amin.
74
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Gong Perdamaian di Kota Ambon, Provinsi Maluku Foto oleh Ida Fitri, Koordinator Logistik
Perbedaan adalah Kekayaan Wilhelmus M ance Salmon, INGAGE Ambon
P
ERBEDAAN merupakan suatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia. Perbedaan sering dipicu oleh ketidaksamaan dalam berbagai hal entah itu budaya, agama, suku, ras, golongan, pola pikir, strata dan masih banyak lagi lainnya. Lalu apakah perbedaan yang ada harus menceraiberaikan kita semua? Pada hakikatnya manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk sosial. Berbeda bukan berarti tidak sama, tetapi berbeda berarti beragam. Keragaman berarti kekayaan dan kekayaan berarti kemakmuran. Sebagai negara yang berbhineka tunggal ika, maka kekayaan kita adalah keragaman. 75
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Dalam buku yang ditulisnya berjudul Keragaman dan Perbedaan, Pak Al Makin mencoba untuk menjelaskan keragaman yang diibaratkan sebagai “warna”. Dikatakannya, “Dunia ini beragam, tidak satu warna, tetapi kompleks; disamping itu bermacam-macam dan bertingkat-tinggkat, warna juga hampir tak terhingga; bisa diolah dan dicampur dengan warna lain, sehingga membentuk warna baru” (Al Makin 2016 : 5).
Dari penjelasan tersebut terlihat sangat banyak perbedaan tetapi jika perbedaan itu disatukan, maka akan didapatkan sesuatu yang baru dan memiliki kekhasannya sendiri, yang merupakan kekayaan luar biasa. Kekayaan ini harusnya dijaga dan dilestarikan agar dapat menjadi warisan bagi anak cucu. Pasca konflik tahun 1999, terjadi segregasi sosial dalam kehidupan masyarakat Maluku. Hal ini mengakibatkan kehidupan yang kurang harmonis serta kurangnya rasa percaya satu sama lain diantara warga masyarakat. Walaupun kondisi saat ini telah kondusif namun segregasi tersebut masih nampak dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah, ”Bagaimana memahami perbedaan sebagai kekayaan warisan leluhur.” Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman, ”Bagaimana memahami perbedaan sebagai kekayaan warisan leluhur.” Penulisan ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat. Dapat memberikan pemahaman kepada khalayak ramai tentang perbedaan. Bagi generasi muda, penulisan ini mudahmudahan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam berpikir dan bertindak. Lalu yang ketiga, penulisan ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran untuk ikut meruntuhkan segregasi sosial yang masih ada di Maluku INGAGE merupakan suatu program yang bertujuan untuk menciptakan agen-agen perdamaian lintasagama serta menjunjung 76
Bagian I: Suara-suara yang Liris
tinggi kesetaraan hak. INGAGE diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)Yogyakarta, Indonesia, bekerja sama dengan The Lutheran World Federation (LWF) dan Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD). INGAGE mencari kaum muda lintasiman yang merindukan Indonesia lebih baik, yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan penghargaan pada perbedaan untuk belajar bersama dalam program ini. INGAGE merupakan program baru, yang mana baru dilaksanakan di tiga daerah yaitu Medan, Manado, dan Ambon. Pelatihan INGAGE di Ambon dilakukan selama tujuh hari Training dan Live-in, pada tanggal 3-9 November 2016 di Kota Ambon. Training dilakukan selama tiga hari yaitu dengan belajar dan berdiskusi bersama berdasarkan studi kasus dengan peserta lintasagama, suku, ras, dan golongan yang dilandasi rasa saling menghormati satu sama lain. Fasilitator yang memberikan materi presentasi dan ceramah juga beragam, sehingga setiap studi kasus yang diangkat untuk dibahas menjadi lebih mendalam dan juga peserta dapat memahami dengan jelas tentang perbedaan dan keragaman serta kesetaraan hak. Materi-materi yang diberikan oleh para fasilitator pada saat pelatihan ternyata dapat membuka wawasan semua peserta sehingga pemikiran-pemikiran sepihak yang selama ini ada dalam diri masing-masing peserta menjadi berubah seiring dengan penjelasan yang diberikan. Bahkan hal-hal yang bersifat senfitif dapat dibahas secara bersama dan dengan saling menghargai antar sesama peserta. Hal yang menarik ketika materi diskusi tentang Kemerdekaan dan Kesetaraan dan Keragaman dan Perbedaan dimana semua peserta pada kedua materi menjadi sangat aktif untuk mengeluarkan pikirannya terkait dengan masalah-masalah tersebut. Bahkan pada saat materi tentang Keragaman dan Perbedaandisampaikan, peserta seakan ingin terus berdiskusi namun sayangnya dibatasi oleh waktu, karena jadwal kegiatan yang cukup padat. 77
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Dari Training selama empat hari tersebut, sungguh disadari bahwa banyak yang didapat oleh peserta pelatihan dari para fasilitator sehingga dapat dijadikan bekal ketika kembali ke masyarakat. Sehingga sesuai dengan tujuan kegiatan ini yaitu terciptanya agen-agen perdamaian dan kesetaran hak di masyarakat demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Apalagi bagi masyarakat Maluku yang masih kental dengan segregasi sosial pasca konflik tahun 1999. Interaksi yang terjalin antara sesama peserta, fasilitator dan panitia dari awal hingga berakhirnya kegiatan, sangatlah akrab. Hal ini terbukti dari kebersamaan yang dibangun baik itu antara sesama peserta, fasilitator dan panitia dalam kesehariannya. Ditambah lagi para peserta yang tinggal sekamar dengan peserta lainnya yang berbeda agama, suku, ras, dan golongan menjadikan kemesraan yang sangat luar biasa dikalangan peserta. Mereka sudah menganggap teman sekamar mereka sebagai saudara kandungnya sendiri. Bahkan mereka saling membantu dan mengingatkan satu sama lain jika ada yang kesusahan. Mereka juga saling berdiskusi tentang hal-hal yang menjadi trending topic di Indonesia maupun di dunia. Hal ini sangat membantu para peserta dalam menambah wawasan, bahkan dapat secara langsung menjadi tutor sebaya bagi teman meraka. Hal yang sama juga tampak pada kedekatan antara fasilitator dengan para peserta kegiatan. Kedekatan ini tergambar di sela-sela waktu istirahat dimana fasilitator berbaur dengan semua peserta sambil menikmati waktu istirahatnya dengan cara berbincangbincang dengan peserta. Ini juga yang terjadi antara panitia dengan peserta sehingga tidak menimbulkan kekakuan pada saat kegiatan berlangsung dari awal hingga akhir. Hal ini berbeda dengan pengalaman yang didapati oleh beberapa peserta yang jarang bahkan mungkin belum pernah mendapatkan panitia dan fasilitator yang seperti ini dalam setiap kegiatan yang diikutinya. Diakui bahwa pada saat mengikuti beberapa kegiatan selain INGAGE, jarang ada kedekatan seperti ini sehingga menjadi suatu pengalaman baru bagi para peserta. 78
Bagian I: Suara-suara yang Liris
Kegiatan Interfaith Journey dilaksanakan selama satu hari, yakni dari pagi hari pukul 08.00 WIT hingga sore hari pukul 18.00 WIT. Kami mengunjunggi tempat-tempat ibadah dari semua agama yang ada di Kota Ambon, dimulai dari Gereja Katedral Keuskupan Amboina dan berakhir di Pura Sura Yudha Mandala Ambon yang berlokasi di dalam kawasan Benteng Nieuw Victoria. Dari kegiatan ini banyak pengalaman berharga yang didapatkan oleh setiap peserta kegiatan, dimana peserta dapat melihat langsung cara peribadatan yang dilakukan oleh masingmasing agama, mengetahui isi dari tempat ibadah masing-masing agama dan berdialog secara langsung dengan para tokoh agama ditempat ibadah tersebut. Interfaith Journey sangat membuka pemahaman setiap peserta tentang agama-agama lain selain agama yang dianutnya secara lebih mendalam dari sumber aslinya secara langsung. Hal ini dapat membantu setiap peserta ketika kembali ke masyarakat dan dihadapkan pada isu-isu mengenai keagaman, maka dipastikan mereka dapat menjelaskan secara mendetail sehingga dapat mementalkan isu-isu yang berkembang itu. Disisi lain, para peserta kegiatan dapat menjadi agen-agen perdamaian antar umat beragama. Apalagi kehidupan umat beragama di Maluku pasca konflik tahun 1999 yang mengakibatkan terjadinya segergasi sosial demikian hebatnya, sehingga diharapkan para peserta dapat meruntuhkan segregasi yang ada dimulai dari kelompok peserta pelatihan INGAGE Ambon. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari. Tempat yang dipilih untuk kegiatan ini adalah Desa Waiheru, yang sengaja dipilih karena warga yang tinggal di tempat tersebut sudah mulai berbaur kembali pasca konflik. Dengan dipilihnya tempat ini, diharapkan peserta pelatihan yang akan melakukan kegiatan Livein dapat belajar dari masyarakat Desa Waiheru tentang kerukunan antar umat beragama. Sehingga peserta dapat menyingkirkan dari dalam dirinya rasa takut dan ketidakpercayaan akibat perbedaan yang ada pasca konflik. 79
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Kegiatan ini berjalan dengan baik dari hari pertama hingga hari terakhir. Walaupun dalan kegiatan tersebut pada awalnya masih ada rasa takut dan kurang percaya dalam diri beberapa peserta. Hal ini terbukti dari dua orang peserta kegiatan Live-in yang ketika disebar ke rumah warga, dan ketika mereka tiba di rumah tersebut mereka merasa sangat takut bahkan salah satunya menangis karena rasa takut yang amat bergejolak dalam dirinya. Dalam kegiatan ini, peserta disebar secara acak dimana peserta yang beragama Islam tinggal di rumah keluarga yang beragama Kristen. Peserta beragama Kristen tinggal di rumah keluarga yang beragama Islam. Peserta beragama Hindu dan Buddha tinggal di rumah keluarga yang beragama Islam, dan peserta yang beragama lokal tinggal di rumah keluarga yang beragama Kristen. Dengan penempatan yang sedemikian rupa sehingga diharapkan para peserta dapat merasakan secara langsung terkait apa yang telah didapatnya selama training dan Interfaith Journey yang dilakukan awal. Hasil dari kegiatan ini sangat luar biasa. Banyak hal yang didapat ketika kegiatan Live-in ini berlangsung. Terbukti ketika setiap peserta setelah kegiatan Live-in memberikan kesan. Ratarata peserta sudah merasa sangat nyaman dengan keluarga baru mereka. Ada juga yang telah melakukan janji dengan keluarga tersebut agar hubungan mereka lebih dipererat lagi dengan cara sering berkunjung ke keluarga baru tersebut. Hal ini menandakan bahwa segregasi sosial yang mungkin masih ada dalam diri peserta sebelum melakukan Live-in, telah runtuh dan tidak mungkin terbangun lagi. Hal ini sangat baik dimana mereka dapat menceriterakan pengalaman Live-in di Desa Waiheru tersebut kepada siapapun yang mereka kenal. Dengan melakukan hal tersebut, maka para peserta dapat dijadikan sebagai penyebar pesan-pesan perdamaian di Maluku maupun di Indonesia secara keseluruhan, Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka penulis menarik beberapa kesimpulan dari penulisan ini sebagai berikut: 80
Bagian I: Suara-suara yang Liris
(1) Perbedaan tidak seharusnya diperdebatkan tetapi untuk dipahami, (2) Perbedaan merupakan hal yang biasa terjadi di manapun tetapi tujuan dan cita-cita bersama haruslah satu, (3) Jagalah perbedaan yang ada di antara kita sebagai sebuah keragaman yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun di dunia sehingga menjadi kekayaan kita sendiri, (4) Jangan pernah menilai seseorang dari sisi luarnya saja tetapi berikanlah penilainan ketika anda mengenalnya lebih dalam, (5) Setiap agama tidak pernah mengajarkan keburukan tetapi kebaikan dan tujuannya juga satu yaitu kedamaian, (6) Segregasi sosial di Maluku yang ada hingga kini dapat diruntuhkan dengan mengenal lebih mendalam pribadi masing-masing agama, suku, ras dan golongan. Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan di atas, maka penulis mencoba memberikan saran-saran. Pertama, diharapkan agar sebagai generasi muda Maluku dan bangsa Indonesia kita lebih bijak dalam berpikir dan bertindak. Lalu yang kedua, tolak semua bentuk-bentuk radikalisme dan jadilah agen-agen perdamaian serta kesetaraan hak dengan meyebarkan pesan-pesan positif dimanapun kita berada. Berikutnya, sebagai generasi muda Maluku marilah bersama-sama melestarikan udaya Pela-Gandong sebagai alat pemersatu dari setiap perbedaan yang ada dan sebagai kekayaan terbesar orang Maluku. Terakhir, jika kita tidak dapat menjadi yang terbaik bagi keluarga kita, maka jangan membuat malu keluarga kita.
81
82
II Mereka yang Mendengar
83
84
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Bhante Dhirapunno (peserta INGAGE Medan) tinggal di Pesantren Nurul Hakim selama Live-in
Sahata Saoloan (Seiya Sekata) Merangkul Perbedaan Doharma Parulian Purba, INGAGE Medan
Cerita saya ini mungkin tidak terlalu menarik, tidak pula lucu sebab daku bukanlah pujangga yang pandai merangkai kata. Horas! Mejuah-juah. Njuah-juah. Yahowu.
S
aya bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada panitia penyelenggara INGAGE Medan tahun 2016, karena telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar banyak hal terkait pluralisme, bertemu dengan teman baru, belajar tentang media sosial dan banyak hal lain yang tidak bias 85
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
diungkapkan satu per satu. Turut serta dalam program INGAGE merupakan sebuah keberuntungan dan kesempatan yang sanga tbaik sebab tidak semua orang bias mendapatkan kesempatan tersebut. Saya sangat mengapresiasi ICRS UGM, Lutheran World Federation (LWF) dan Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad) yang telah berinisiatif mengadakan kegiatan ini. INGAGE merupakan sebuah wadah yang sangat positif dalam rangka mewujudkan dan mendukung terciptanya masyarakat yang harmonis dan madani sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila .INGAGE sebaga ititik awal untuk merintis langkah-langkah selanjutnya harus diapresiasi oleh setiap pihak terutama pemangku kepentingan. Sehingga cita-cita mewujudkan perdamaian di bumi pertiwi tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang atau kelompok saja dan tentu tidak bertepuk sebelah tangan. Mengingat Indonesia merupakan Negara yang sangat plural dan sering terjadi gesekan antar masyarakat yang berujung pada munculnya konflik social maka langkah-langkah praktis dan strategis seperti kegiatan INGAGE ini sangat perlu digalakkan. Tiap-tiap celaka ada maknanya. Demikian juga INGAGE yang telah berlangsung. Celaka pada umumnya menyebabkan kerugian dan penderitaan akan tetapi INGAGE berbeda. Kecelakaan dengan mengikuti program INGAGE membawa saya pada sebuah keberuntungan. Saya beruntung dapat menemuka ncarapandang baru, membuka wawasan saya tentang betapa kaya dan pluralnya Indonesia. Sebelum terlalu jauh bercerita tentang pengalaman saya selama mengikuti program INGAGE ada baiknya saya menjelaskan sediki ttentang INGAGE supaya pembaca sekalian tidak bingung. Apakah sejenis Bika Ambon yang baru? Tentu tidak. INGAGE (Interfaith New Generation Initiativeand Engagement) merupakan sebuah program yang mewadahi kaum muda untuk melibatkan diri dalam keberagaman iman dan tradisi keagamaan, 86
Bagian II: Mereka yang Mendengar
serta bersikap kritis terhadap hubungan antarkomunitas. Dalam program ini, kaum muda akan dibekali dengan pemahaman tentang perbedaan iman dan kesetaraan, mengeksplorasi per bedaan tersebut melalui teknologi digital atau media sosial secara kreatif dan inovatif untuk bersama-sama membangun Indonesia yang madani. Dari awal mengikuti program ini saya sudah mendapatkan banyak pengetahuan baru, bahkan sebelum INGAGE resmi dibuk asaya sudah belajar banyak hal dari para peserta yang notabene berbeda keyakinan dengan saya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah saya bertemu langsung dengan penganut aliran kepercayaan atau agama Parmalim. Selama ini saya hanya mendengar desas desus dan membaca melalui media sosial tentang keberadaan dan tantangan yang sering dihadapi para penganut agama asli bangso (suku) Batak tersebut. Kesan pertama yang saya dapatkan sangat menarik walaupun awalnya saya canggung berada dalam satu kamar dengan peserta yang menganut agama Parmalim. Saya masih hati-hati dalam berbicara dan bertindak sebab dalam pikiran saya masih ada stigma yang “aneh” tentang kepercayaan Parmalim apalagi ini merupakan pertama kali saya mengenal orang yang menganut kepercayaan Parmalim. Di luar dugaan, teman satu kamar tersebut sangat ramah dan terbuka untuk menjelaska berbagai hal terkait kepercayaan Parmalim. Saya beruntung bias mendapatkan penjelasan secara langsung dari uluan (penganut) terkait kepercayaan Parmalim. Kami bercerita banyak soal sejarah, ritual, tantangan yang dihadapi pemeluk, penyebaran ajaran dan lain-lain. Saya sangat kaget ketika mengetahui bahwa aliran kepercayaan Parmalim ternyata berkembang pesat di luar Sumatera Utara. Awalnya saya mengetahui bahwa aliran kepercayaan Parmalim hanya bekembang di Toba dan sebagiankecil di Kota Medan. Ini merupakan sebuah fakta baru yang saya temukan berkat program INGAGE. Maka benarlah hipotesis yang mengatakan, “Jika ingin mengetahuii dentitasa atau keyakinan orang lain, tanyakan langsung pada orangnya, yaitu penganut kepercayaan tersebut.” 87
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Hari pertama mengikuti program INGAGE saya belajar banyak hal baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Di luar kelas saya belajar tentang keragaman aliran kepercayaan yang dimiliki oleh peserta INGAGE. Untuk pertama kalinya saya mengetahui bahwa selain Parmalim, masih ada kepercayaan lain yang dimiliki oleh bangso (suku) Batak. Walaupun saya asli suku Batak Toba, tetapi saya belum pernah mendengar atau belum mengetahui keberadaan aliran kepercayaan Ugamo Bangso Batak (UBB) dan Parbaringin. Ternyata suku Batak sangat kaya akan aliran kepercayaan dan masih tetap bertahan hingga saat ini. Selama ini saya hanya mengetahui aliran kepercayaan Pemena (kepercayaan asli suku Karo), Pelebegu dan Parmalim (kepercayaan asli suku Toba). Selain kepercayaan suku, untuk pertama kalinya juga saya mengetahui keberadaan kepercayaan Agnostik. Sebuah kepercayaan yang berkembang dalam era modern yang d iilhami oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Betapa kaya Indonesia, sungguh membuat saya takjub dan merasa menemukan sesuatu yang baru. Seperti ilmuwan atau peneliti saja. Setelah mengetahui keberadaan aliran-aliran kepercayaan tersebut,saya lantas menunjukkan ekspresi kekaguman dengan mengatakan, “Oohya? Wah cerita dong.” Jujur saya merupakan tipe orang yang sangat kepo (selalu ingin tahu), makanya saya merasa tersesat di jalan yang tepat dengan mengikuti program INGAGE. Selain belajar di luar kelas, saya juga mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman di dalam kelas. Tapi jangan membayangkan kelas di sekolah atau di kampus. Sebab ini hanya penamaan untuk ruang di aula Asrama Haji Medan. IsuHak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu yang sangat sering diperbincangka ndi republic ini, seolah tak pernah ada habisnya. Hampir setiap hari di berbagai media cetak maupun eletronik tiga kata singkatan ini selalu dibahas. INGAGE tak mau ketinggalan. Topik tentang HAM juga diangkat dalam program ini. Tentu bukan sekedar ikut-ikutan supaya dibilang keren dan 88
Bagian II: Mereka yang Mendengar
kekinian atau supaya dibilang revolusionis ataupun akademis. Lebih dari itu, bicara soal HAM bukan hanya bicara soal pengetahuan akan hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap makhluk manusia. Akan tetapi terkait dengan bagaimana menciptakan kesadaran pada setiap orang untuk menghargai hak orang lain dan bagaimana supaya seseorang menyadari hak-hak yang dimiliki. Intinya penyadaran dan kesadaran. Dengan menyadari hak-hak yang dimiliki, seseorang akan berjuang untuk mempertahankan haknya sekaligus menghargai hak orang lain. Dalam sesi ini, peserta diajak untuk merefleksikan bagaimana potret perlindungan HAM di bumi pertiwi serta fakta-fakta baru yang belum pernah muncul di permukaan terkait hak asasi manusia. Sebenarnya saya masih menyimpan beberapa pertanyaan dan kebingunan terkait dengan HAM yang dibahas dalam sesi ini. Akan tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu makapertanyaan tersebut saya simpan. Seperti kata salah seorang fasilitator INGAGE, “Bagus kalau kita banyak bertanya dan bagus kalau pertanyaan tersebut belum terjawab, itu artinya kita tertantang untuk mencari tahu lebih jauh.” Setelah belajar dan berdiskusi panjang lebar soal HAM, ternyata INGAGE masih punya topik yang jauh lebih menarik, menurut saya. Menarik karena saya merupakan orang yang sangat konsumtif dalam menggunakan media komunikasi yang satu ini. Menurut saya, antara topik pertama dengan topik kedua sangat berhubungan. Mengapa berhubungan karena seringkali pelanggaran HAM terjadi melalui alat yang satu ini. Sering kali pula konflik terjadi karena user kurang tepat dalam “membidik sasaran”. Bukannya mendatangkan berkah malah menimbulkan kerusuhan bahkan kematian. Masih segar dalam ingatan kasus kerusuhan yang terjadi di Kota Tanjung Balai Sumatera Utara. Salah satu pemicu terjadinya kerusuhan adalah penyalahgunaan media yang salah, yaitu Facebook. Banyak sekali pengguna termasuk diantaranya saya sendiri yang sering salah dalam menggunakan media sosial. 89
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Bagi saya sendiri media social merupakan alat yang tepat untuk mengekspersikan diri dan menyampaikan informasi atau motivasi serta sharing pengalaman kepada orang lain. Melalui media social juga saya dapat berinteraksi dengan teman-teman yang berada jauh di luar Pulau Sumatera. Saya sering mempublikasikan berbagai hal yang saya alami atau saya lakukan di media sosial. Awalnya saya merasa bahwa hal tersebut tidak salah atau tidak berbahaya. Tak jarang saya mengumbar perasaan terutama emosi yang meluapluap di media sosial, terutama ketika masih SMA. Akan tetapi berkat program INGAGE dimana dalam beberapa sesi diskusinya, saya dapat belajar bagaimana memanfaatkan media sosial dengan bijak dan pentingnya menjaga privasi di media sosial. Perlahan saya mulai menyadari bahwa apa yang saya post atau share di media sosial akan diakses atau dilihat oleh banyak orang. Berkat motivasi dan sharing dari fasilitator serta maraknya kasus penindakan pengguna media social dengan UU ITE, saya semakin hati-hati untuk membuat posting-an di media sosial. Lebih selektif dan pemilihan kata yang untuk menghindari munculnya kontroversi apalagi pertentangan akibat posting-an yang saya buat. Intinya sejak belajar tentang dunia digital dan media sosial dalam program INGAGE, saya semakin mantap untuk memegang moto yang berbunyi, “Ilove my privacy”. Di samping mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga privasi di media sosial, saya juga mendapatkan banyak hal baru terkait dunia digital. Saya diperkenalkan dengan aplikasi baru yang dapat memotivasi atau mendorong orang lain untuk melakukan hal positif, utamanya mendorong orang untuk menciptakan kerukunan di lingkungan sekitar masing-masing. Saya juga belajar tentang bagaimana seharusnya jurnalisme mampu mempengaruhi orang lain untuk tidak terprovokasi isu-isu negative serta bagaimana kualitas berita yang berimbang, actual dan terpercaya. Walaupun hanya sedikit, akan tetapi lebih dari cukup untuk mendukung kemampuan dalam menuliskan pesan-pesan positif di media sosial. Memang saya tidak menjadi seorang jurnalis sungguhan, 90
Bagian II: Mereka yang Mendengar
tetapi berkat pelatihan tersebut saya bias menjadi jurnalis dunia maya yang menyuarakan isu-isu keberagaman melalui tulisan di media sosial. Selain dibekali dengan ilmu tentang HAM dan dunia digital, hal yang tak kalah penting dari program INGAGE adalah pembelajaran tentang multikulturalisme agama di dunia dan Indonesia. Mengapa topik ini penting karena isu agama, sebagaimana isu HAM merupakan isu yang tidak pernah habis untuk dibahas dan diperdebatkan di Nusantara tercinta ini. Sejarah mencatat bahwa ratusan konflik terjadi di bumi pertiwi yang dilatarbelakangi oleh fanatisme terhadap agama. Minimnya pemahaman terhadap agama atau kepercayaan orang lain, rasa superioritas atas agama orang lain dan merasa agama sendiri yang paling benar, serta adanya kepentingan-kepentingan politik dibalut isu agama, sering kali menjadi pemicu terjadinya konflik di Indonesia. Saya berasumsi jika masing-masing individu tidak memiliki pemahaman yang benar terhadap agama atau kepercayaan orang lain, serta tidak ada keinginan untuk mengenal agama atau kepercayaan orang lain, maka sampai kapanpun Indonesia tidak akan pernah sepi dari konflik yang berbau agama. Belum lagi ketimpangan ekonomi yang berlarut-larut akan menimbulkan kecemburuan social yang dengan mudah menyulut munculnya konflik. Beruntung saya dipertemukan dengan seorang ahli agamaagama yang merupakan salah satu fasilitator dalam program INGAGE. Ahli tersebut telah membuka cakrawala saya tentang bagaimana sejarah agama, tradisi dan budaya yang berbeda-beda baik di dunia maupun di Indonesia. Terimakasih saya ucapkan atas penjelasan singkat tapi cukup bermakna serta pemberian buku secara cuma-cuma. Saya sadar belajar tentang perbedaan agama dan aliran kepercayaan tidak cukup dalam tiga hari, bahkan seumur hidup pun tak akan cukup waktu untuk membahasnya. Akan tetapi sebagai pedoman awal, saya rasa cukup baik sehingga saya akan lebih termotivasi lagi untuk mempelajari perbedaan91
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
perbedaan agama dan aliran kepercayaan di Indonesia, khususnya di sekitar tempat tinggal saya. Saya juga bersyukur dapat bertemu langsung dengan peserta INGAGE, baik yang memiliki agama atau keyakinan yang sama dengan saya maupun yang berbeda. Tidak ada kesempatan yang lebih baik selama ini untuk mengenal keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia selain di INGAGE. Tidak banyak orang yang mau memberikan penjelasan secara panjang lebar tentang ajaran agama atau keyakinan yang dianut. Tapi dalam program INGAGE saya bias bebas bertanya langsung kepada Bhikkhu, Pendeta, Ulu Punguan, umat atau pengikut ajaran agama atau keyakinan yang dianut. Bahkan tentang agama saya sendiri pun masih banyak yang belum saya ketahui, dan melalui INGAGE saya bisa mengetahuinya dengan berdiskusi bersamapesertayang mendalami ilmu teologi. Sungguh sebuah perjumpaan yang sangat baik. Sebagai aplikasi awal dari program pelatihan yang telah berlangsung selama empat hari, para peserta program pelatihan INGAGE mengikuti kegiatan Live-in selama tiga hari di beberapa tempat ibadah atau rumah penduduk pemeluk agama yang berbeda di Kota Medan. Program Live-in merupakan kegiatan yang bertujuan melatih para peserta untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Juga untuk mengenal perbedaanperbedaan yang ada di lingkungan dimana peserta mengikuti kegiatan Live-in, seperti perbedaan keyakinan, bahasa, budaya, dan lain-lain. Saya sendiri mengikuti kegiatan Live-in di Pesantren Modern Nurul Hakim Medan. Pesantren ini mendidik para santri dan santriwati yang terdiri dari siswa Madrasah Tsanawiyah atau SMP dan Madrasah Aliyah atau SMA. Pesantren ini didirikan oleh seorang dermawan bernama Hj. Abdul Hakim Nasution. Pesantren di bawah Yayasan Haji Abdul Hakim Nasution Medan ini didirikan pada tahun 1990-an dan resmi memulai proses pembelajaran pada tahun 1992 dengan membuka sekolah tingkat Madrasah Tsanawiyah atau SMP. Kemudian pada tahun 1996, Yayasan Haji 92
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Abdul Hakim Medan membuka sekolah untuk jenjang Madrasah Aliyah atau SMA. Saat ini Pesantren Nurul Hakim Medan di bawah binaan putrid Haji Abdul Hakim yaitu Ibu Hj. Meilani Nasution dan dipimpin oleh Bapak Nazaruddin Siregar sebagai ketua yayasan. Pengalaman pertama mengikuti kegiatan Live-in di Pesantren Nurul Hakim dimulai pada hari Senin, 5 September 2016. Tepat pukul 08.55 WIB, saya dan sepuluh orang teman tiba di sana. Peserta INGAGE yang didampingi oleh panitia yakni Bapak Muhammad Jailani dan Ibu Simone Sinn serta beberapa panitia lainnya, disambut oleh pihak pesantren yakni Ustaz Mahyudin dan diarahkan menuju aula untuk mengikuti acara penyambutan dan perkenalan. Acara penyambutan diawali dengan penyampaian salam dan kata sambutan dan perkenalan oleh panitia. Setelah itu, pihak pesantren yang diwakili oleh Ustaz Mahyudin menyampaikan kata sambutan sekaligus menjelaskan beberapa peraturan dan kegiatan keseharian anak-anak pesantren yang harus diikuti oleh peserta Live-in. Setelah mendengarkan penjelasan Ustaz Mahyudin, beberapa peserta mengajukan pertanyaan sebagairespon atas penjelasan Ustaz Mahyudin. Selanjutnya peserta dan pihak perwakilan pesantren berfoto bersama di depan gedung utama pesantren. Lalu peserta diarahkan untuk menuju kamar masing-masing yang mana peserta pria dan wanita terpisah tempat sesuai dengan peraturan pesantren. Peserta laki-laki di tempatkan pada satu kamar yang berada di lantai satu. Kondisi kamar sangat sederhana dan sangat merepresentasikan kehidupan anak pesantren yang sederhana, yang mengingatkan akan masa-masa sekolah di asrama putra dulu. Sekitar pukul 13.15 WIB, kami diarahkan untuk makan siang bersama santri dan santriwati di ruang makan. Ketika tiba di ruang makan, saya sangat kaget menyaksikan suasana ruang makan yang sangat asing. Saya melihat cara makan yang sangat berbeda dan belum pernah saya saksikan sebelumnya. Para santri mengambil makanan langsung dari wadah besar tanpa menggunakan sendok. Ada pula santri yang menggunakan piring kotor bekas piring santri 93
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
lainnya untuk makan. Sungguh saya kaget dan merasa mendapat pengalaman unik yang belum pernah dilihat sebelumnya. Lalu saya perhatikan lagi bagaimana cara mereka mengambil ikan dan sayur, siang itu lauk yang tersedia adalah ikan Dencis goreng dan sayur daun ubi yang dihaluskan. Berbeda dengan nasi, kali ini para santri tidak mengambil langsung lauk dan menaruh kepiring, akan tetapi disajikan oleh seorang Ibu ke masing-masing piring santri. Yang jelas, cara itu sangat asing dan belum pernah saya lihat juga sebelumnya. Selama berada di ruang makan, mata saya tak berhenti menerawang ke setiap sudut, seolah tak rela melewatkan setiap momen di mana para santri sedang menyantap makansiang. Bahkan satu persatu santri yang saya perhatikan merasa malu dan salah tingkah. Usai makan siang, saya menuju masjid, bukan untuk me lakukan sholat ,yah. Tetapi untuk memulai aktivitas kehidupan sebagai anak pesantren. Ketika berada di masjid, saya menyapa beberapa santri yang masih duduk di bangku kelas1 Madrasah (SMP). Saat memasuki masjid, perhatian seluruh santri langsung tercurah sepenuhnya pada saya. Mungkin mereka berpikir, “Orang mana ini, masuk masjid dengan pakaian tidak Islami dan pakai symbol agama lain pula?” Ketika saya duduk di beranda masjid dan menyapa beberapa santri, banyak dari mereka yang menghindar dan masuk ke dalam masjid. Saya langsung mencairkan suasana dengan bercanda bersama beberapa santri. Kami mulai berbincang-bincang walaupun mereka masih malu-malu saat menjawab. Saya sangat ingat dan mungkin akan selalu ingat, pertanyaan yang pertama kali mereka ajukan ialah .“Om, Kristen ya?” “Ya ampun, muda begini dipanggil Om. Astaga, hahahaha!” saya tertawa, lalu menjawab dan menjelaskan dengan singkat terkait maksud dan tujuan berada di pesantren tempat mereka belajar dan menikmati masa pertumbuhan dan perkembangan sebagai anak. Setelah mendengarkan penjelasan saya, mereka mengangguk-anggukkan kepala, lalu kami melanjutkan berbagi 94
Bagian II: Mereka yang Mendengar
cerita lainnya, yang tak perlu semua ditulis di sini. Setelah berbincang-bincang sekitar satu jam, saya dan salah seorang peserta Live-in mendengarkan seruan azan dari seorang santri bernama Adam. Ia sangat cakap dalam membaca Alquran dan merupakan seorang hafiz (penghafal Alquran). Seruan azan itu bukan pertanda shoal takan tetapi saya yang meminta Adam untuk mempraktikkannya. Sekitar pukul 14.00 para santri tersebut berkumpul di beranda masjid sebab pelajaran akan dimulai. Siang itu mereka akan belajar bahasa Arab yang dipimpin oleh seorang Ustaz. Ketika mereka belajar, saya dan seorang peserta Live-in lainnya menyaksikan betapa cakapnya santri-santri tersebut melafalkan setiap ayat-ayat Alquran. Puas menyaksikan para santri belajar bahasa Arab, kami berpindah tempat tidak jauh dari masjid. Tepat di bawah sebuah pohon rindang, terdapat sekumpulan santri yang duduk di bangku Madrasah Aliyah atau SMA yang sedang belajar mata pelajaran Fisika bersama seorang Ustazah yang mereka sebut Ustazah cantik. Karena proses belajar telah usai, kami pun berkenalan dengan Ustazah dan dengan para santri tentunya. Mereka santri yang sangat lucu dan suka melawak. Setelah sekitar 15 menit berbincang-bincang dengan para santri, kami memutuskan untuk membubarkan diri sebab para santri harus mengikuti kegiatan selanjutnya. Lalu kami kembali ke kamar untuk beristirahat sore. Beberapa peserta Live-in mengikuti kegiatan para santri yakni olahraga sore. Ketika sore tiba, saya hendak mandi akan tetapi tidak ada air di dalam bak. Pada malam harinya, kami makan bersama dengan beberapa Ustaz. Setelah makan malam, kami menuju ruang rapat untuk mengikuti temu ramah dengan pimpinan dan para pembimbing di pesantren. Temu ramah dimulai pada pukul 21.00 WIB. Acara temu ramah diawali dengan perkenalan masingmasing peserta dan dilanjutkan dengan pemaparan dari Ustaz Nazaruddin. Beliau menjelaskan tentang sejarah Pesantren Nurul Hakim, kurikulum, perkenalan para pembimbing pesantren dan 95
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
lain-lain. Setelah mendengarkan pemaparan Ustaz Nazaruddin, peserta Live-in diajak berdiskusi dengan kegiatan tanya jawab. Setelah selesai,masing-masing meninggalkan ruang rapat dan kembali ke kamar masing-masing lalu istirahat. Pada hari pertama berada di Pesantren Nurul Hakim, saya mendapat pengalaman yang unik dimana satu jam setelah tiba di Pesantren Nurul Hakim, sandal saya hilang entah siapa yang ambil. Mendengar sandal saya hilang, seorang Ustaz langsung mengganti dengan membeli sandal baru untuk saya. Sebenarnya saya tidak menginginkan sandal itu diganti sebab saya masih punya sandal yang lain. Tapi karena sudah telanjur dibelikan, akhirnya saya terima. Selain sandal, saya juga merasa gemas dengan kondisi air dimana ketika saya mandi, tiba-tiba air mati dan saya harus melap sabun yang ada di badan dengan menggunakan handuk. Bayangkan! Mungkin lucu. Selama berada di pesantren Nurul Hakim, saya belajar bagaimana menghargai identitas para santri dan santriwati. Selama menjadi santri dadakan, saya mengenakan pakaian layaknya santri sungguhan. Hal ini saya lakukan sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri pada para santri. Bukan saya mau menghilangkan identitas diri akan tetapi saya hanya ingin para santri tidak menjaga jarak dengan saya hanya karena saya berbeda penampilan. Saya juga ingin menjukkan kepada para santri bahwa walaupun saya berbeda keyakinan dengan meraka, akan tetapi saya sangat menghargai identitas dan kepercayaan mereka dalam hal ini ajaran agama Islam. Walaupun saya berpakaian secara Islami akan tetapi saya tetap mengenakan kalung salib sebagai identitas agama saya. Dengan symbol kalung salib tersebut saya ingin mendorong para santri untuk bertanya banyak hal tentang perbedaan dan persamaan saya dengan mereka. Tentu bukan untuk dipertentangkan bukan pula untuk sok mengajari para santri. Akan tetapi semata hanya untuk menciptakan sebuah kedekatan emosi dan menjalin persahabatan dengan para santri. Saya menyadari selama berada di pesantren, 96
Bagian II: Mereka yang Mendengar
penampilan fisik adalah hal yang sangat membatasi ruang gerak dan interaksi saya dengan para santri. Hari-hari yang saya lalui selama berada di pesantren tidak sepenuhnya benar-benar mencerminkan kehidupan pesantren sebab ada batas-batas yang telah ditetapkan oleh pihak pesantren untuk diikuti oleh peserta Live-in. Padatnya jadwal para santri menyebabkan ruang interaksi antara peserta Live-in sangat minim. Kami hanya berkomunikasi dengan para santri ketika berpapasan di jalan atau ketika berada di ruang makan. Peserta Live-in tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar di kelas ataupun kegiatan mengaji di masjid. Kami diperbolehkan mengamati dari dekat aktivitas yang dilakukan para santri dan santriwati. Ketika jam makan tiba adalah saat yang sangat tepat untuk berinteraksi dengan para santri. Pada malam kedua saya tinggal di pesantren, saya sangat beruntung dapat berdiskusi dengan para santri selama kurang lebih satu jam. Banyak hal yang saya temukan selama berdiskusi dengan mereka. Mereka adalah anak-anak yang sangat disiplin dan mandiri. Mereka memiliki cita-cita yang sangat mulia dan punya mimpi besar untuk memajukan negeri ini. Ada yang bercita-cita menjadi dokter, Ustaz, pengusaha, guru dan lainlain. Di usia yang masih muda, mereka sudah rela berpisah dari orangtua hanya untuk mengenyam pendidikan di pesantren. Para santri tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Padang Sumatera Barat, Labuhan Batu, Padang Sidempuan, Langkat, Sibolga dan lain-lain. Selama diskusi dengan para santri saya menyadari bahwa pemahaman mereka terhadap perbedaan masih cukup minim terutama perbedaan agama. Perlu hati-hati dalam menyampaikan pendapat atau masukan terkait nilai-nilai perbedaan kepada para santri tersebut, agar tidak tersinggung. Hal ini saya maklumi sebab mereka masih tergolong muda. Saya sadar dan mengakui bahwa selama ini memang mereka dididik dengan aqidah Islam, akan tetapi hemat saya para santri juga harus dididik dengan nilainilai pluralism, sehingga mereka akan menjadi santri pejuang perdamaian ketika sudah lepas dari kehidupan pesantren. 97
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Selama tiga hari berada di Pesantren Nurul Hakim menempa saya menjadi manusia yang harus survive dalam segala kondisi baik kondisi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Tidak banyak hal yang bisa saya pelajari terkait nilai-nilai pluralisme akan tetapi saya dapat belajar bagaimana menjadi seorang santri yang dituntut untuk disiplin dalam berbagai hal. Tidak hanya belajar tentang agama Islam dan kehidupan pesantren, saya juga belajar tentang agama Buddha melalui Bhante Dhirapunno, salah satu peserta INGAGE yang juga menginap di pesantren. Dari sini saya merasakan betapa cinta kasih terpancar dari seorang Bhikkhu. Melalui penjelasan sederhana tentang berbagai realita kehidupan saya belajar betapa cinta kasih dan kebijaksanaan sangat ditekankan dalam ajaran agama Buddha. Saya juga dapat merasakan kehangatan kasih dan persaudaraan diantara sesame peserta Live-in yang baru saja kenal beberapa hari tetapi sudah mampu menjalin kekeluargaan. Demikianlah kisah sederhana saya selama keikutsertaan dalam program INGAGE pada tanggal 1-7 September 2016 di Kota Medan. Saya menyadari masih banyak hal yang perlu dibenahi terkait pelaksanaan program pelatihan INGAGE. Saya juga menyadari program INGAGE bukanlah akhir, akan tetapi merupakan awal untuk langkah berikutnya. Masih banyak hal yang perlu saya pelajari terkait nilai-nilai pluralisme dan sudah menjadi kewajiban saya untuk mencari tahu hal tersebut. Semoga semakin banyak orang yang terpanggil untuk menyuarakan danmewujudkan perdamaian sehingga hidup madani yang didambakan dapat terwujud. Pelangi indah karena terdiri dari beberapa warna. Bunga ditaman memikat hati karena ia mempesona dengan banyak warna. Indonesia indah karena terdiri dari berbagai macam warna yang membentuk Bhineka Tungga lIka. Akhirnya sebagai penduduk SumateraUtara sekaligus sebagai suku Batak Toba, izinkan saya menyampaikan umpasa (pantun) sebagai salam untuk seluruh keluarga besar INGAGE di manapun berada. 98
Bagian II: Mereka yang Mendengar
“Sahat-sahat Ni Solu, Sahat Ma Tu Botean. Leleng Hita Mangolu, SaiSahat Ma Tu Parhorasan, Sahat Ma TuPanggaben Napuran Tano-Tano Rangging Marsiranggongan. Badanta padao-dao tondita I Marsigonggoman” Makna umpasa (pantun) tersebut adalah semoga kita panjang umur dan sampai pada kehidupan yang sejahtera. Walaupun raga kita berada jauh terhalang oleh jarak dan waktu, tetapi hati kita tetap saling menyatu.
99
100
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Patung Dewa di Kuil Shri Marriamman, Medan Foto oleh Zikri Fadhilah, INGAGE Medan
Tujuh Hari (Belajar) Mengenal Agama Lain Sr i Wahyuni Fatmawati Pulung an, INGAGE M edan
Ada dua hal yang membekas dari pengalaman selama tujuh hari itu. Pertama, kalau kau sudah tahu apa saja hakmu dan menghormatinya, tentu kau akan tahu hak orang lain dan menghormatinya pula. Kedua, kalau kau ingin belajar suatu keyakinan, maka temui mereka yang menganutnya, lalu bertanyalah.
Hari Pertama. Kedatangan.
S
aya ingat, di awal bulan Agustus menemukan formulir pendaftaran kegiatan ini di beranda Facebook. INGAGE 101
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
(Interfaith New Generation Initiative and Engagement) dan ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) sebagai penyelenggaranya bukanlah nama-nama yang pernah saya dengar sebelumnya. Saya putuskan untuk mencari tahu lewat mesin pencari dan mengirimkan pendaftaran melalui email. Tetapi entah mengapa, ada sedikit perasaan minder di hati, jangan-jangan saya tak dapat berpartisipasi. Karena jelas, saya bukan orang yang aktif di kegiatan keagamaan atau bergabung di LSM seperti syarat yang mereka cantumkan di formulir. Apalagi, jawaban email yang saya terima —kelak di kesempatan yang akan datang saya tahu, ternyata email saya dibalas oleh Mbak Ida— benar-benar membuat minder. Saya disarankan untuk sering-sering ikut kegiatan. Hei, bukankah INGAGE ini salah satunya? Itu sebagai alasan mengapa saya ikut bukan? Lalu saya beranikan diri untuk tetap mengisi form pendaftaran. Ketika menerima email pemberitahuan bahwa saya adalah salah satu peserta yang akan diterima benar-benar di luar dugaan. Selanjutnya saya diberitahu kalau kegiatan akan dimulai pada tanggal 1 September. Semua peserta sudah harus ada di Hotel Asrama Haji Embarkasi Medan pada 31 Agustus jam empat sore. Tetapi saya baru bisa hadir saat jam makan malam, setelah pulang kerja. Tak banyak yang dilakukan di hari pertama. Hanya melakukan registrasi kamar, bertemu panitia, makan malam, briefieng untuk kegiatan esok hari, kemudian beristirahat. Saya menempati kamar bersama dua teman baru, Kak Intan dan Kak Ulfa. Saya baru pertama kali bertemu dengan Kak Ulfa. Sedangkan Kak Intan, meskipun sudah sering bertemu di kegiatan Aliansi Sumut Bersatu (ASB), saya belum pernah mengobrol dengannya. Hari Kedua. Pembukaan. Perkenalan. Permulaan. Pembukaan resmi dilakukan dan dibuka langsung oleh Wakil Ketua FKUB Sumatera Utara. Setelah acara pembukaan selesai dan menyempatkan sesi foto bersama dengan para tamu, kami mulai berkenalan. Seluruhnya ada 26 peserta yang hadir. Jumlah ini 102
Bagian II: Mereka yang Mendengar
berkurang dari jumlah seharusnya, sebanyak tiga puluh orang. Pun dari 26 orang tersebut tak semua hadir sejak hari pertama. Beberapa di antaranya masih harus menyelesaikan urusan di kampus. Lepas makan siang, materi pertama diberikan oleh Mbak Alviani Permata. Seorang dosen dari Universitas Kristen Duta Wacana, universitas yang tergabung dalam konsorsium ICRS. Mbak Alvi melemparkan pertanyaan, apa itu HAM atau Hak Asasi Manusia? Bagaimana ciri-cirinya? Bagaimana bersikap terhadap HAM orang lain? Membicarakan HAM selalu menyenangkan, apalagi bersama orang yang bisa diajak berdiskusi. Ada pernyataan Mark Suseno yang disampaikan Mbak Alvi, bahwa HAM adalah hak yang dimiliki karena ia menjadi manusia. Hal ini yang sering dilupakan orang, bahwa kita pada dasarnya adalah manusia, sebelum dikotak-kotakkan ke dalam agama, ras, warna kulit, kelamin, bahkan suku yang berbeda. Ada satu hal di kelas ini yang menjadi sorotan saat berdiskusi. Yaitu, apakah yang disebut pelanggaran HAM hanya dilakukan oleh negara dan instrumennya? Lalu saat dilakukan oleh orang biasa, tidakkah itu disebut pelanggaran HAM? Hingga ujung diskusi, saya yakin beberapa orang masih menyimpan tanda tanya di kepala masing-masing, termasuk saya. Bagaimanapun banyak referensi yang berbeda mengenai hal itu. Secara pribadi, saya membuat catatan untuk didiskusikan lebih lanjut dengan temanteman lain di kesempatan berbeda. Selanjutnya adalah Pak Leonard C. Epafras yang menyam paikan materi dunia digital dan media sosial. Pak Leo banyak memaparkan hasil riset terkait dunia digital dan media sosial, baik yang dilakukan oleh ICRS maupun lembaga riset lain di Indonesia. Meskipun sekarang adalah zaman digital, tak sampai setengah dari penduduk Indonesia yang memiliki akses internet. Pengguna terbesar tentu saja ada di Pulau Jawa dengan pengguna paling sedikit ada di Pulau Kalimantan. Sumatera Utara sendiri hanya 25% yang memiliki akses internet. Ada beberapa gejala dan sindrom yang kebanyakan dimiliki oleh masyarakat Indonesia dalam 103
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
penggunaan internet. Di antaraya life streaming, duck syndrome dan lain-lain. Pak Leo mengajak setiap peserta menganalisis tipe apakah diri kita masing-masing dalam menggunakan media sosial. Dimulai dari posting-an dua hari terakhir di media sosial dan percakapan terakhir di aplikasi chat. Pak Leo juga memberikan gambaran bagaimana menghargai dan menjaga privasi masing-masing pribadi di media sosial. Jadi tidak hanya privasi orang lain saja yang dihargai, tetapi privasi diri sendiri juga. Saat semua orang tahu mana privasi yang harus dijaga, tentulah ia juga akan menjaga privasi orang lain. Hal ini akan menciptakan media sosial sebagai tempat yang nyaman untuk semua orang. Kelas terakhir hari ini adalah sejarah agama-agama di dunia bersama Pak Al Makin, seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Di awal sesi, Pak Makin meminta kepada peserta untuk menuliskan nama-nama agama di dunia yang diketahui, kapan dan di mana muncul untuk pertama kali. Jika sudah menghilang, kapan terjadinya? Karena di antara peserta berasal dari latar keyakinan yang berbeda-beda, setidaknya kami malam ini bisa mendengarkan sejarah dan cerita dari berbagai keyakinan. Ada Buddha yang diwakili oleh Bhante Dhirapunno, ada Bang Bona pemeluk Parmalim, Ugamo Bangsa Batak oleh Kak Lely, Agnostik oleh Zikri, Kristen, Katolik, Islam oleh teman-teman lainnya. Malam yang sudah semakin larut membuat kegiatan ini kurang tidak kondusif. Saya melihat beberapa orang mulai menguap dan menyandarkan tubuh di kursi. Saya sendiri selalu membuka mesin pencari untuk menambah referensi selama kelas ini berlangsung, sambil mendengarkan Pak Makin. Sejarah agamaagama di dunia bukan hal yang ringan untuk diobrolkan selama kurang lebih satu jam. Apalagi peserta, termasuk saya, tidak memiliki banyak referensi. Diskusi berputar-putar, terbatas pada apa yang disampaikan Pak Makin. Di penghujung waktu, Pak Makin berjanji akan menceritakan lebih lanjut mengenai agama di Indonesia di pertemuan esok hari. 104
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Kami kembali ke kamar dan mendapati semua tempat tidur sudah terisi. Teman sekamarku bertambah satu, bernama Nanda. Ia baru tiba dari Aceh sore tadi karena menyelesaikan KKN. Hari ketiga. Setelah ice-breaking di pagi hari yang dibawakan oleh kelompok 2 dan review materi hari sebelumnya oleh kelompok Haris dan kawan-kawan, maka materi pertama di pagi itu pun dimulai. Mbak Alvi mengemukakan tentang materi kemerdekaan dan kesetaraan. Diskusi pagi ini lebih santai dan interaktif, semua peserta seperti berlomba ingin menyampaikan pendapat. Atau setidaknya bertanya. Mbak Alvi juga secara spesifik menyampaikan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusi (DUHAM). Ada sebanyak tiga puluh hak yang ada di DUHAM yang menjadi bahasan sore itu. Kebanyakan peserta langsung bercerita mengenai pengalamannya dan peserta di forum diberi waktu untuk menanggapi dan menimpali. Hal ini sangat menyenangkan. Materi selanjutnya, sebelum sholat Jumat, ada Mas Emte (Matahari Timoer) dari ICTWatch yang bercerita mengenai perilaku di media sosial yang dekat seluruh peserta, karena hampir semuanya adalah pengguna internet. Menurutnya, orang tidak perlu harus melakukan ceramah, orasi, khotbah di tempat-tempat yang banyak orangnya di zaman sekarang. Cukup menyebarkan propanda lewat media sosial, banyak orang akan terprovokasi. Kita harus menjadi pengguna internet dan media sosial yang cerdas. Harus mengecek kebenaran setiap postingan dan artikel yang akan disebarkan. Jangan sampai kita turut memancing kerusuhan dengan menyebar isu kebencian. Sebisa mungkin menelusuri informasi yang benar. Apabila ada informasi yang salah, maka ada baiknya menyebarkan informasi yang benar. Sebagai pengguna internet, kita harus saling menjaga privasi pengguna internet yang lain. Tidak menyerang individu atau kelompk. Tidak terprovokasi atau sebaliknya, memprovokasi. Perlu lebih sering menyaring dan selektif dalam pemilhan kata. Satu 105
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
lagi yang penting, yaitu tidak membagikan postingan vulgar atau menyangkut SARA. Mas Emte juga bercerita mengenai cyberbully dan UU ITE. Di akhir sesi, Mas Emte mengajak peserta untuk menjaga kerukunan umat beragama dan menghargai keyakinan orang lain melalui media sosial dan internet. Acara dilanjutkan dengan salat Jum’at dan makan siang. Setelah itu Pak Makin kembali bercerita mengenai agama-agama di Indonesia. Pak Makin mengajak peserta untuk mencoba memetakan pertumbuhan dan kapan mulai masuknya agama di Indonesia. Agama yang paling dulu masuk ke Indonesia adalah Hindu dan Buddha yang berasal dari India, di rentang abad 4-6 M. Lalu agama Islam pada abad 7, disusul agama-agama lainnya. Terdapat dua klaim yang terdapat dalam keyakinan. Pertama, klaim teologi; yang diyakini penganut, tidak butuh sejarah, kebenarannya absolut, dari langit dan diterima serta berlaku untuk pemeluknya. Kedua, klaim sejarah; ada bukti dan untuk universal. Bagaimanapun agama yang ada di dunia dan di Indonesia tidak bisa disamakan, karena pasti ada perbedaaannya. Tergantung wilayah dan kebudayaan masyarakatnya. Karena agama dan budaya tidak bisa dipisahkan, budaya akan bercampur dengan agama yang datang, kemudian bercampur dan diyakini oleh masyarakat sekitar. Karena itu kita tidak bisa mengklaim bahwa ajaran agama di suatu daerah adalah salah hanya karena mereka berbeda. Sore harinya, Mbak Alvi kembali membawakan materi mengenai kovenan atau perjanjian internasional. Ada dua kovenan yang menyangkut hak-hak asasi manusia yang dibuat oleh PBB dan wajib dilaksanakan oleh negara yang berada di bawah naungan PBB, yaitu kovenan hak sipil serta kovenan hak ekonomi dan sosial. Indonesia telah meratifikasinya pada tahun 2005, dengan nomor UU No.12/2005. Tak banyak yang disampaikan Mbak Alvi di kelas ini, tetapi hanya meminta peserta memisahkan dari tiga puluh butir hak yang ada di DUHAM ke dalam hak sipil dan hak ekosob. Sebelum kelas berakhir, Mbak Alvi meminta tiap peserta menuliskan pengalamannya apakah pernah mengalami pelanggaran HAM atau tidak. 106
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Kelas terakhir hari itu adalah keragaman dan perbedaan oleh Pak Makin. Ada yang menarik di kelas terakhir hari ini. Pak Makin meminta setiap peserta bertanya kepada dua orang peserta lain yang berbeda keyakinannya, bagaimana cara mereka beribadah. Kemudian, setelah mencatat jawabannya, masing-masing menyam paikan tentang apa yang mereka ketahui dari agama lain tersebut. Kutipan Pak Makin yang saya rasa tidak hanya menyentuh hati saya, tapi juga menyentuh hati semua orang yang ada di ruangan malam ini. Kata-katanya ini menjadi pegangan di hari depannya. Ia mengatakan bahwa, “Kalau kau ingin mengetahui suatu keyakinan, maka datanglah kepada mereka yang menganutnya dan bertanyalah.” Banyak orang memilih tidak mendatangi umat agama lain untuk mengetahui keyakinannya itu. Lalu menimbulkan kesalahpahaman, ketidakmengertian, hingga tidak menghargai dan akhirnya menuduh, lalu memprovokasi. Untuk mencapai toleransi dan menghargai keyakinan orang lain, kau harus mencari tahu terlebih dahulu agar bisa mengerti. Dilanjutkan dengan mencoba memahami dan akhirnya kau benar-benar akan mengerti. Setelah mengerti tentu akan tercipta toleransi dan saling menghargai. Intinya, berhentilah berpikir maupun bersikap seolah-olah keyakinanmulah yang paling benar dan keyakinan orang lain adalah salah. Karena bagaimanapun tak ada keyakinan yang salah, semua orang bebas memilih keyakinannya dan berkewajiban tidak menghalang-halangi keyakinan orang lain. Hari keempat. Interfaith Journey. Ini hari yang istimewa. Peserta diajak panitia untuk melakukan perjalanan seharian, Interfaith Journey! Pagi sekali, dua bus dan sebuah mobil menuju ke Kuil Shri Mahriamann, di Jalan Teuku Umar No 14. Kami bertemu dengan Pandita di sana dan banyak berbincang-bincang mengenai ajaran agama Hindu, antara lain mengenai Kuil Shri Mahriamann dan mengenai cara mereka beribadah. Pihak kuil sangat terbuka dan bersedia menjelakan 107
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
banyak hal. Shri Mahriamann dikelola oleh Perhimpunan Shri Mahriamann Medan pada sekitar tahun 1959 dan 1960. Kemudian mengalami perkembangan pada 1974, hingga akhirnya mengalami renovasi total karena adanya pelebaran jalan pada 1988. Di dalamnya terdapat beberapa kuil kecil tempat para dewa yang dinaungi bangunan terpisah. Ibadah di kuil biasanya dilakukan pada Jum’at sore, mulai pukul 6 hingga 8 malam. Umat Hindu menyanyikan kidung-kidung suci, berdoa, meditasi, darma wacana dan lainnya. Selain di luar hari itu, umat boleh datang ke kuil dan melakukan ibadahnya sendiri. Setiap kuil hindu berbeda dewa yang dipuja dan diagungkan. Nama kuil mengikuti dewa mana yang diagungkan di kuil tersebut. Contohnya, Kuil Shri Mahriamann mengangungkan Dewi Shri Mahriamann. Lepas dari kuil Shri Mahriamann rombongan bergerak ke kompleks Parmalim di Air Bersih. Ada parsantian di sana yang akan melakukan ibadah pada pukul 11.00 WIB. Beramai-ramai rombongan ikut masuk ke dalam untuk menyaksikan kegiatan ibadahnya. Seperti juga di kuil Hindu, mereka yang sedang haid tidak diperbolehkan masuk. Ibadah dimulai dengan penyampaian doa yang dipimpin oleh Ulupungan Parmalim, kemudian dilanjutkan dengan khotbah yang disampaikan dalam bahasa Batak. Setelah itu Ulupungan dan umat Malim lainnya menerima rombongan untuk kembali memberi kesempatan bertanya dan berdiskusi. Mereka disebut Parmalim atau orang yang menganut agama Malim. Ada sekitar 44 balai parsantian yang tersebar di seluruh Indonesia selain di Huta Tinggi. Parmalim tidak boleh makan daging babi, anjing dan darah, karena diharamkan. Mereka beribadah setiap hari Sabtu, Mararisabtu namanya. Selain pantangan, dijelaskan juga mengenai arti ukiran yang ada di parsantian, adat dalam kelahiran, pernikahan hingga sejarah agama ini yang bermula dari Sisingamangaraja. Tidak semua Parmalim adalah orang Batak, namun apabila sudah menjadi Parmalim harus belajar bahasa Batak karena beribadah disampaikan dalam Bahasa Batak. Setelah diskusi, kami makan siang bersama, lalu berpamitan dengan tuan rumah. Rombongan melanjutkan menuju spot 108
Bagian II: Mereka yang Mendengar
terakhir hari ini, yaitu ke vihara Theravada di Kompleks Bumi Asri, tempat Bhante Dhirapunno yang juga peserta INGAGE, mengabdikan hidupnya. Lagi-lagi, rombongan banyak bertanya mengenai ajaran Buddha. Apakah di agama Buddha terdapat banyak aliran? Bagaimana pedoman hidup di agama Buddha dan bagaimana caranya menjadi Bhikkhu, serta masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Sore itu kami tutup dengan berfoto bersama para Bhikkhu dan pendamping vihara. Hari kelima. Tidak ada agenda wajib di pagi hari ini. Saya bersama Mbak Alvi, Geby, Kak Desy, dan Pak Jai memilih untuk mengunjungi partongkuan umat Ugamo Bangsa Batak (UBB) di daerah Helvetia. Niatnya, kami ingin mengikuti acara peribadatan UBB untuk mengetahui lebih lanjut. Bagi saya dan Geby yang akan Live-in di rumah umat UBB, hal ini akan menjadi perbekalan kami. Tapi sayang sekali, hingga menjelang siang peribadatan tak kunjung dimulai dan kami harus segela kembali ke penginapan karena Mbak Alvi akan segera kembali ke Yogya siang itu juga. Meskipun kami tak melihat langsung acara peribadatan mereka, sedikit banyak kami sudah berdiskusi dan mendengar seperti apa UBB. Sekali lagi saya melewatkan sesi bincang-bincang dengan blogger dan jurnalis, karena harus mengantar Bang Dika, salah satu peserta yang mengalami cedera pada kaki akibat jatuh, ke tukang urut. Malamnya, kami mendengarkan Bapak Ketua FKUB yang menyampaikan materi mengenai kondisi umat beragama di Sumatera Utara saat ini. Hal ini dperlukan mengingat esok hari kami akan Live-in, sehingga perlu tahu bagaimana menempatkan diri agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Hari keenam dan ketujuh. Live-in. Jika kemarin adalah hari yang istimewa karena kami melakukan perjalanan ke tempat-tempat ibadah, hari ini juga 109
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
istimewa. Kami akan mulai Live-in atau tinggal menginap di rumah umat yang berbeda keyakinan. Sejak hari pertama sudah ditentukan pembagian tempat Live-in. Saya bersama Geby Cindy akan Live-indi rumah keluarga Bapak Sitanggang di Tanjung Mulya yang merupakan umat Ugamo Bangso Batak (UBB). Saya pribadi tidak ada perasaan was-was atau gugup mengenai kegiatan ini, meskipun beberapa teman terlihat sedikit khawatir karena ini adalah pertama kali bagi mereka. Meskipun ini juga hal yang pertama, saya memilih untuk excited dibanding gugup. Jadilah siang itu, setelah sebelumnya mengantar teman-teman ke kuil dan gereja, kami diantarkan Mbak Ida ke rumah keluarga Pak Sitanggang. Sebelumnya, karena saya dan Geby sudah pernah datang ke partongkuan dan mendengar sedikit mengenai UBB, setidaknya kami jadi memiliki sedikit pengetahuan. Dulunya, keluarga Bapak Sitanggang adalah umat Kristiani. Hingga di pertengahan tahun 1990-an memutuskan untuk menjadi umat UBB yang sangat mengangungkan Op Raja Hatorusan yang mereka yakini sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Dulu sekali, diperkirakan 7000 tahun SM terdapat agama Somba Malim. Inilah agama asli orang Batak. Lama waktu berselang, hingga Sisingamangaraja hadir di dunia dan akhirnya agama Krsiten masuk ke tanah Batak, sehingga lama-kelamaan umat UBB pun mulai berkurang. Hingga pada tahun 1992, Op Raja Hatorusan kembali hadir ke dunia melalui raga seseorang. Sejak itu UBB kembali muncul. Kini, Op Raja Hatorusan Bolon yang hidup di raga seorang pemuda berusia 23 tahun. Sayang sekali selama kami di sana kami tak berkesempatan bertemu Beliau. Padahal ada banyak yang mau ditanyakan dan didiskusikan. UBB juga tidak mengkonsumsi babi dan anjing karena diharamkan oleh Opung -tokoh yang sangat dijadikan tauladan. Pada saat ini Op Raja Hatorusan Bolon adalah tokoh yang paling diagungkan dan diutamakan. Selain Op Raja Hatorusan, ada Op Sisingamangaraja yang juga diyakini oleh UBB yang kini ada di raga Bapak Sitanggang. UBB memiliki kebiasaan untuk berkonsultasi 110
Bagian II: Mereka yang Mendengar
dan bertanya pada Opung dalam setiap pengambilan keputusan. Mereka percaya Opung akan memberikan petunjuk dan keputusan yang baik bagi hidup mereka. Malam kedua di sana, saya dan Geby memutuskan untuk mengikuti ritual. Bertemu dengan Opung Sisingamangaraja yang ada di raga Bapak Sitanggang untuk berkomunikasi langsung. Mereka menggunakan air, jeruk nipis, beras, dan sirih yang diletakkan di mangkuk besar di hadapan Opung. Orang yang hadir duduknya melingkar. Opung berbicara dalam bahasa Batak, namun saat kita menjawab dengan bahasa Indonesia Opung akan mengerti juga. Tetapi ia akan menjawab dengan bahasa Batak kembali. Tak banyak yang saya dan Geby tanyakan malam itu. Hanya ingin tahu lebih lanjut apa itu UBB. Apa yang disampaikan Opung, setelah diterjemahkan, sama dengan yang sudah kami dengar dari Bapak Sitanggang sebelumnya. Mungkin suasana di UBB sedikit mistis. Geby saja tak berani ke kamar mandi sendirian lepas ritual itu. Saya? Sejujurnya saya tak merasakan apa-apa. Saya hanya duduk, mendengar, merekam dan memotret sesekali. Secara keseluruhan, sedikit banyak saya sudah mengerti bagaimana UBB ini sebenarnya. Menurut mereka setiap orang harus kembali ke leluhurnya, oleh karena itu harus memiliki keyakinan sesuai leluhurnya. Kalau orang Batak ya mestinya meyakini Ugamo Bangsa Batak. Pendapat saya pribadi, beberapa umat UBB mengambil sikap sebagai korban. Ini mungkin dikarenakan mereka adalah penghayat yang belum diakui oleh negara. Jadi mereka sering merasa sebagai kaum minoritas, dan ingin dibela. Saya tak mempermasalahkan hal itu. Hanya jadi tak lumrah saat beberapa dari mereka tidak cukup terbuka untuk berdiskusi mengenai keyakinan orang lain dan terkesan memaksakan keyakinan mereka. Pada kesempatan itu pula, saya menyarankan untuk mulai mendokumentasikan sejarah UBB secara tertulis agar lebih rapi dan tersusun untuk diwariskan dan dibaca oleh orang lain.
111
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Hari Kedelapan. Pagi-pagi sekali saya dan Geby dijemput Mbak Ida dan Pak Leo untuk kembali ke hotel dan mengikuti acara penutupan di sana. Setelah menjemput teman-teman di gereja dan kuil kami langsung menuju hotel, makan siang, lalu menyampaikan kesan dan pesan selama mengikuti kegiatan ini, sebelum acara ini benar-benar diakhiri. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Seminggu kebersamaan tidak terasa. Saya sangat senang. Sangat amat senang. Ini adalah pelatihan antariman pertama yang saya ikuti bersama dengan orang-orang biasa lainnya. Meskipun sebelumnya saya pernah mengikuti kegiatan yang hampir serupa, yaitu Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) tahun 2014 yang diperuntukkan bagi jurnalis, tetapi acara itu tak seluas seperti INGAGE. Saya bertemu banyak orang hebat, baik peserta, panitia dan fasilitator. Saya ingat apa kata Pak Leo, jejaring ini mungkin tidak akan bisa dilaksanakan secara berkesinambungan. Siapa yang tahu kalau dua puluh tahun mendatang saya baru akan memanfaatkan jejaring ini. Atau entah kapan. Mau bagaimanapun saya tetap merasa bahwa dengan mengikuti pelatihan ini sebagai salah satu keputusan baik yang saya buat di tahun ini. Selain jejaring dan koneksi, banyak hal baru yang saya temui. Mulai dari pola pikir, sudut pandang, pemahaman, ilmu dan lainnya. Intinya, pahampaham baik yang saya dapat ini tidak akan berhenti di di diri saya saja, kelak saya akan melakukannya dengan cara-cara yang saya kuasai. Akhir kata, terimakasih. Ekspektasi saya terlampaui. Salam keberagaman.
112
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Suara-suara peserta yang dituliskan dan ditempel oleh Febrisa, Fasilitator Medan Foto oleh Ainul Yaqin, INGAGE Medan
Nilai-nilai Universal dalam Agama-agama1 Taufiq Lovonita, INGAGE M anado “All religions realize their trust in their Lordin away that is different, but we canstill see that in their beliefs that there are "universalvalues" of thesame. This means that all religious belief sencour age his followers to do good either to yourself, to others, to be fair, honest, moral and ethical in all aspects of life.”
I
NGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement), adalah program pelatihan yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu training dan Live-in. Dalam kegiatan training yang berlangsung selama empat hari itu, kami belajar bersama berdasarkan studi M. Ainul Yakin, M. Ed, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadian, (Pilar Media, Yogyakarta, 2005), h.38
1
113
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kasus, diskusi kelompok dengan terbuka, terarah dan dilandasi rasa saling menghormati. Tentu saja ada presentasi dari para fasilitator. Lalu biasanya kegiatan ini ditutup pada malam hari dengan refleksi harian terhadap apa yang telah kami dapatkan. Selain itu kami diajak untuk Live-in, yaitu tinggal di rumah orang yang berbeda agama dengan kita. Selama tiga hari itu kami diharapkan bisa lebih mendalami apa yang telah kami peroleh selama pelatihan. Tujuannya demi menjalin persahabatan dengan tuan rumah dan keluarga serta melakukan pengamatan aktivitas keseharian yang dilakukan oleh tuan rumah. Saya mengamati apa yang berbeda dan apa yang sama antara keyakinan saya dengan tuan rumah. Kami juga berdiskusi soal perbedaan dan persamaan tersebut, serta mencari titik temu. Oleh karenanya dalam tulisan ini, hendak direfleksikan apa yang penulis dapatkan dalam program INGAGE selama tujuh hari, baik itu dari penyampaian materi oleh para fasilitator maupun saat Live-in. Tidak dapat dipungkiri, jika mayoritas umat manusia percaya bahwa sejak awal manusia berada di bumi, mereka sadar dan percaya terhadap adanya kekuatan besar yang mereka hormati, disembah dan diagung-agungkan. Dalam praktik, bentuk dan zat dari kekuatan besar yang mereka sembah berbeda-beda, mereka sadar bahwa inti dari tingkah laku itu adalah sama yaitu percaya terhadap adanya kekuatan lain di luar kekuatan manusia. Di mitologi Mesir kuno, masyarakat di sekitar sungai Nil percaya bahwa sebelum daratan Mesir muncul, telahada “Ra” yang kemudian mengangkat seluruh daratan Mesir dari bawah laut hingga ke permukaan. Ra adalah Tuhan berwujud manusia, disebut sebagai The First Pharaoh of Egypt atau pemimpin pertama bangsa Mesir kuno. Masyarakat percaya Ra adalah pencipta manusia, langit dan bumi yang mampu melindungi mereka dari kekuatan jahat atau setan. Mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa Ra dapat memberikan kedamaian dan kesejahteraan pada kehidupan mereka. Mitologi bangsa Yunani kuno percaya bahwa “Zeus” yang disebut Yupiter oleh bangsa Romawi, adalah Tuhan 114
Bagian II: Mereka yang Mendengar
dari para dewa yang mempunyai singgasana di atas langit. Zeus adalah Tuhan yang tidak hanya mempunyai kekuatan maha dahsyat seperti kemampuannya untuk megeluarkan kilat, halilintar dan hujan, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai moral yang paling tinggi demi tegaknya keharmonisan dunia. Oleh karena itu, Zeus dikenal selalu memerintahkan kepada pengikutnya untuk selalu menegakkan kebenaran, menjaga etika dan moral demi terciptanya masyarakat yang beradab. Kemudian Plato’s Phadeo menceritakan tentang dialog antara Socrates dan muridnya yang bernama Simias. Ia menjelaskan bahwa ketika Socrates menjawab pertanyaan Simmias tentang masalah ketuhanan dan kebenaran. Socrates menjelaskan bahwa di dunia ini ada sesuatu (Tuhan) yang bersifat absolut dalam segala hal, kebenaran yang sesungguhnya, keadaanNya, kekuatanNya, dan kehebatanNya. Lebih lanjut, Socrates menjelaskan bahwa meskipun dia (Tuhan) tidak terlihat secara fisik tapi esensiNya akan selalu ada dalam nilai-nilai kebenaran. Kedua mitologi kuno dari Mesir dan Yunani tersebut diperkirakan ada sekitar 800 tahun sebelum Masehi. Dialog antara Socrates dengan muridnya Simmias yang ditulis oleh Plato sekitar 428-348 tahun sebelum Masehi dapat memberikan gambaran yang jelas kepada kita bahwa sebuah kepercayaan dan agama dianut oleh para pengikutnya karena mereka yakin bahwa agama yang mereka anut itu dapat memberikan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan. Selain itu setidaknya mereka juga yakin bahwa kepercayaan yang mereka anut menganjurkan umat manusia untuk selalu menegakkan kebenaran, menjaga etika dan moral dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga kisah di atas menunjukkan bahwa meskipun bangsa Mesir, Yunani dan masyarakat pada era Socrates mewujudkan kepercayaan mereka kepada Tuhan dengan cara yang berbedabeda, kita tetap dapat melihat dalam kepercayaan-kepercayaan mereka itu terdapat nilai-nilai universal yang sama. Artinya bahwa semua kepercayaan atau agama menganjurkan kepada para 115
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
pengikutnya untuk melakukan kebaikan, baik kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain, bertindak adil, jujur, bermoral dan beretika dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, dapat diambil pengertian bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang menuntut para pemeluknya untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Senada dengan penjelasan di atas, INGAGE berusaha mem perkuat kesetaraan hak dan membangun jembatan lintasiman dengan memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai universal dalam agama-agama. Dengan pemahaman tersebut kita sebagai peserta menyadari bahwa meskipun masing-masing agama mem punyai ajaran, ritual dan lain sebagainya yang berbeda-beda, namun agama-agama itu mempunyai substansi religiositas yang sama, yaitu mengandung ajaran tentang nilai-nilai universal.2 Dengan adanya pemahaman dan pengetahuan bahwa semua agama dan kepercayaan mengandung ajaran tentang nilai-nilai universal yang sama, dalam artian tidak menyamaratakan semua agama atau sinkretisme3 maka diharapkan masyarakat akan mem punyai wacana keberagaman yang inklusif, pluralis dan demokratis. Sehingga dapat memahami, menghargai dan menghormati serta menerima perbedaan agama dan kepercayaan oranglain.4 Berdasarkan pengalaman dan pemahaman penulis setelah mengikuti kegiatan INGAGE Manado pada tanggal 22-28 September 2016. Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliranaliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsure aliran atau faham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda, untuk mencari keserasian, keseimbangan. Istilah ini bias mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogy atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain. Sinkretisme juga terjadi umumnya di sastra, musik, memperwakilkan seni dan lain ekspresi budaya. Sinkretisme mungkin terjadi di arsitektur, sinkretik politik, meskipun dalam istilah klasifikasi politik memiliki arti sedikit erbeda. Di antaranya bentuk gerakan sinkretisme adalah gnosticisme yang mencampurkan antara filsafat Yunani, agama Yahudi dan agama Kristen di Eropa dan Amerika Utara. Ada juga aliran Buddha Mahayana yang merupakan pencampuran antara ajaran agama Buddha dengan Hindu pemuja Dewa Syiwa.(https:// id.wikipedia.org/wiki/Sinkretisme) 4 Nilai-nilai universal dalam beberapa agama yang ada dalam penjelasan ini hanya menjelaskan sebagian dari nilai-nilai universal yang ada dalam agama-agama tersebut. Selain itu penulis tidak berniat menafikkan agama-agama dan kepercayaan lainnya dengan hanya mengutip nilai-nilai universal tersebut dari beberapa agama saja. 2
3
116
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Nilai Universal dalam Agama Protestan Dalam agama Kristen Protestan, nilai-nilai universal dapat di temukan dalam perintah-perintah yang menekankan agar para pengikutnya mengikuti ajaran moral Kristen. Yaitu selalu menjunjung tinggi moral untuk melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk agar supaya mampu untuk hidup abadi di surga dan terhindar dari neraka. Dengan melakukan sesuatu yang baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk, terutama yang dilakukan melalui sakramen, pembaptisan, perkumpulan amal ibadah yang menekankan kesucian fisik dan rohani, berdoa, dan menerapkan kehidupan yang bermoral, dipercayaakan dapat merubah masyarakat menjadi tenteram dan makmur. Penjelasan ini membuktikan bahwa dalam agama Kristen Protestan termuat dengan jelas nilai-nilai universal sebagaimana yang ada dalam agama-agama lainnya. Nilai Universal dalam Agama Katolik Dalam agama Katolik, kita juga dapat menemukan nilai-nilai universal tentang kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan umat manusia. Dalam hal ini, ada kemiripan dengan agama Yahudi, yang mana gereja Katolik juga mengacu pada The Ten Commandment atau “Sepuluh Perintah Allah” sebagai pedoman hidup umatnya. Menerapkan cinta kasih untuk menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia lainnya merupakan inti ajaran yang selalu ditekankan untuk diterapkan oleh Yesus Kristus. Hormatilah Ibu-bapakmu, jangan membunuh, jangan berbuat zina, jangan mencuri, jangan berdusta, jangan mengambil harta yang bukan milikmu adalah beberapa ajaran penting yang tercantum dalam “ Sepuluh Perintah Allah” yang mengandung nilai-nilai kebenaran umum. NilaiUniversal dalamAgama Hindu Sebagaimana dalam agama-agama lain, Hindu mengajarkan dan menekankan kepada semua pengikutnya untuk selalu
117
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
meningkatkan dan menjaga moral serta etika. Tedapat tiga kata kunci pokok yang selalu ditekankan kepada para pengikutnya, untuk selalu diterapkan dalam hidup ini yaitu: “Rta”, “Satya” dan “Dharma”. Rta adalah mengandung pengertian aturanaturan moral dalam hidup yang harus selalu ditegakkan. Satya berarti kebenaran yang harus selalu ditegakkan dalam kehidupan manusia. Sedangkan Dharma adalah ajaran Hindu yang sangat menjunjung tinggi kebenaran. Selain itu, kisah-kisah agama Hindu yang ada dalam kitabkitab suci Tanra dan Purana juga mengisahkan tentang ceritacerita yang esensinya menjunjung tinggi kebenaran seperti yang ada pada kisah kuno Mahabarata dan Ramayana. Di dalam kesusastraan Brahmana, dalam kitab Weda, tepatnya dijelaskan dalam Arthavada, menganjurkan manusia untuk melakukan Stuti atau amal perbuatan baik dan meninggalkan Ninda perbuatan buruk. Nilai Universal dalam Agama Buddha Di dalam ajaran Buddha, nilai-nilai universal yang intinya menganjurkan para pengikutnya untuk selalu menegakkan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan umat manusia juga dapat ditemukan dengan mudah. Hal ini terbukti bahwa agama Buddha memposisikan ajaran menegakkan kebenaran dan meninggalkan keburukan yang disebut “Hasta Arya Marga” sebagai sebuah ajaran penting dan utama. Dengan menerapkan Hasta Arya Marga diharapkan manusia dapat melepaskan diri dari Dukka (penderitaan hidup) untuk mendapatkan Nirwana (kesempurnaan manusia yang bebas dari derita). Ajaran ini juga disebut “Majjhimaptattipada” yaitu sebuah prinsip untuk menghindari dua hal yang terlarang dalam agama Buddha. Dua hal tersebut adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai kebahagiaan dan mencari kebahagiaan t e r s e b u t dengan cara-cara yang merugikan diri sendiri, baik dalam bentuk lahir maupun batin.
118
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Nilai Universal dalam Agama Islam Pada dasarnya setiap manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan berbeda-beda. Mulai berbeda dari segifisik dan sifat, ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada yang gemuk dan ada yang kurus. Begitu juga ada yang lembut dan ada yang kasar, ada yang baik ada yang buruk. Dalam agama Islam, nilai-nilai universal tentang kebenaran, keadilan, dan perlunya membangun kesejahteraan umat manusia juga menjadi pokok ajaran bagi pengikutnya. Islam menganjurkan untuk selalu hidup dijalan yang benar yaitu kebajikan atau kebaikan dan meninggalkan jalan yang buruk atau kebatilan dan kejahatan. Seperti firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujarat, ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantarakamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Selain itu, Islam juga menganjurkan pada pengikutnya untuk selalu menjaga hubungan antar sesama manusia dengan saling menghormati dan menyayangi. Serta menjaga hubungan dengan Allah SWT dengan melakukan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya. Dianjurkan juga untuk tidak berbuat semena-mena pada orang lain terutama pada anak yatim dan sebaiknya orang Islam mempunyai kepedulian sosial terhadap orang-orang miskin. Seperti dijelaskan dalam Alquran surat Al-Ma’un ayat 2 dan 3. Dalam Islam juga dianjurkan untuk saling membantu dalam kehidupan manusia, di mana setiap orang Islam yang mempunyai kelebihan harta harus dan wajib untuk menyisihkan sebanyak minimal 2,5% dari sebagian hartanya setiap tahun kepada fakir miskin. Beberapa nilai-nilai universal di atas membuktikan bahwa meskipun nama agama dan aliran kepercayaan berbeda-beda, tapi mereka mempunyai nilai-nilai universal yang sama. Adanya perintah dari semua agama terhadap para pengikutnya untuk 119
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
selalu menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan umat manusia. Hal ini merupakan bukti bahwa semua agama sebenarnya mempunyai nilai-nilai universal yang sama. Berangkat dari nilai-nilai universal dari beberapa agama di atas bahwa penulis dapat mengambil pelajaran tentang beberapa hal yang berkaitan dengan program INGAGE. Peserta program INGAGE yang berjumlah tiga puluh tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari agama atau kepercayaan, etnis, pendidikan dan pekerjaan. Namun, semuanya bias berkumpul, belajar, dan saling mengenal antara satu sama lain. Kita belajar mengetahui dan memahami agama orang lain dengan berdiskusi dan bertanya langsung kepada mereka. Dengan bertanya langsung kepada orangnya maka kita akan lebih paham dan mengerti dengan apa yang ingin kita ketahui khususnya tentang agama atau kepercayaan yang mereka yakini. Dengan begitu kita akan merasa puas, sehingga tidak terbelenggu dalam paham ekslusivisme, melainkan melahirkan nilai toleransi dan menerima akan perbedaan tersebut. Penulis berharap, dengan tulisan kita sebagai warga Negara Indonesia khususnya di Sulawesi Utara, dapat memahami nilai-nilai universal dalam agama-agama. Sehingga kita dapat menghargai dan menerima perbedaan yang ada pada diri kita sebagai umat manusia. Selanjutnya bagaimana perbedaan itu bias diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak menjadi alas an bagi terjadinya tindakan diskriminatif dan ujaran kebencian sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang cenderung dikuasai rasa iri hari, dengki, dan buruk sangka (su’u al-dhan).
120
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Peserta INGAGE Ambon di Pura Sura Yudha Mandala, Ambon Foto oleh Ida Fitri, Koordinator Logistik
Tuhanku adalah Tuhan Lintasagama Ardiman K elihu, INGAGE Ambon
S
ETELAH empat hari training, tentu telah banyak pengetahuan terkait perbedaan dan pemahaman beragama yang telah kami dimiliki. Apalagi pemahaman tersebut lebih diperdalam lagi melalui Interfaith Journey ke rumah-rumah ibadah untuk mengenal secara dekat ruang-ruang sakral dari masing-masing agama. Dari Gereja Katedral di Batu Meja, Masjid Jami di Jalan baru, Vihara Swarna Giri Tirtadi Kudamati, hingga ditutup dengan kunjungan ke Pura Sura Yudha Mandala di tengah-tengah Kota Ambon. Dari serangkaian kunjungan itu ada beberapa hal yang paling menyentuh di batin saya, dan saya cukup menikmatikekhusyukan pada waktu itu. 121
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Pertama adalah ketika masuk di Gereja Katedral Xaverius, lalu menyaksikan secara langsung prosesi ibadah saudara-saudara kita yang beragama Katolik. Mulai dari ritual menyanyi, sampai puncaknya pada saat perjamuan kudus dengan sepotong roti dan beberapa gelas anggur. Prosesi itu demikian sakral, karena diantar dalam puji-pujian di tengah heningnya suasana Katedral pagi itu. Roti yang dianggap sebagai simbol tubuh dan anggur sebagai simbol dari darah, dianggap sebagai representasi seorang manusia dalam melayani Tuhan sekaligus memujiNya. Di situlah manusia lebur di hadapan Tuhan, menemukan dirinya sebagai makhluk lemah dan tak berdaya jika tak ada campur tangan Yesus sebagai penyelamat. Hati mereka pada saat itu hanya berharap akan kuasa dan cintaNya dalam segala sisi penghidupan. Inilah tanda cinta seorang manusia terhadap Tuhannya. Inilah juga pengembaraan sekelompok umat manusia terhadap Sesuatu yang dipandang paling ultim sepanjang sejarah beragama manusia. Saya menangkap bahwa prosesi itu adalah prosesi cinta tak bersyarat manusia terhadap Tuhan, sehingga ia rela menginfahkan darah dan tubuhnya kepadaNya. Mungkin inilah situasi yang disebut telah dinasihatkan oleh seorang sufi bernama Syekh Maulana Jalaludin Rumi, sebagai,“Sebuah tanda cinta, tatkala seluruh jasad berharap jadi hati”. Kedua, saat masuk dan merasakan tenangnya suasana di dalam Pura Sura Yudha Mandala. Seperti menikmati kehadiran Tuhan di tengah-tengah pura itu, begitu damai, tenang, dan menyejukkan. Beberapa padmasana sebagai pelengkap ritual berdiri tegak. Harum bunga Jepun menyelingi asap dupa yang dibakar. Serta beberapa sesaji yang berada di padmasana turut memberi ketenangan batin ketika berada di sana. Apalagi lokasi pura yang terbuka di alam semesta turut mempertegas bahwa agama, selain terkoneksi dengan Tuhan, juga menyejukkan bagi lingkungan kemanusiaan. Lingkungan alam raya, dari angkasa sampai pertiwi, dan lingkungan kemanusiaan dari bayi sampai manusia meninggal, 122
Bagian II: Mereka yang Mendengar
adalah sebuah ruang jangkau yang tak terkecuali bagi Ida Shang Hyang Widhi Washa. Kuasa Shang Hyang melampaui semua ruangruang itu hingga ke sudut-sudut terkecil. Ia menjadi pencipta, pelindung, sekaligus dermaga akhir tatkala manusia kembali. Dua padmasana yang ada di dalam lingkungan pura demikian wangi. Dupa-dupa yang ada di atasnya dibakar. Inilah pemandangan spiritual yang sangat mulia, pertanda manusia selalu memujiNya di sepanjang peradaban kemanusiaan. Ditambah dengan pohon beringin dililit kain kotak-kotak hitam dan putih di batangnya, merupakan simbol keseimbangan kehidupan manusia, turut memberi warna tersendiri bagi suasana batin saya. Apalagi harum bunga Jepun juga belum hilang di sore itu, semakin memperteguh keyakinan saya akan romantisnya perbedaan jalan ber-Tuhan setiap manusia di seantero semesta. Setelah sebelumnya di katedral dan pura, selanjutnya giliran berkunjung ke vihara yang merupakan tempat suci bagi umat Buddha, tak henti-hentinya memberi pesan di batin saya. Nasihatnasihat bijak pun diberikan oleh para pemuka agama Buddha yang hadir di situ, menjadikan suasana vihara hening dan seakan penuh kebijaksanaan. Asap dupa yang terus bergerak mengisi setiap ruang di sekitar padmasana, lalu naik ke langit bebas seakan mengantar setiap pujian umat menemui Shang Hyang untuk mendapat perkenan. Begitulah manusia melakukan ritual keagamannya, di setiap jalan yang ia tempuh. Batin saya terasa teduh, menyaksikan setiap dupa yang dibiarkan terbakar. Sampai seperti inikah manusia mencari Tuhannya? Ini situasi di mana setiap manusia merayakan gerak batinnya untuk mempersepsikan Tuhan dengan sangat agung. Sungguh ini adalah sejarah paling agung, paling suci, paling khusyuk di mana manusia merayakan gejolak batin terhadap sesuatu yang Maha Agung melalui peribadatannya, Meskipun Ia penuh dengan misteri (mysterium et tremendum) dan bahkan tidak bisa dipikirkan (achyntea). Itu sebabnya Tuhan sebagai Yang Tidak beragama, tak akan mungkin membela sebuah kelompok, atau membeda123
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
bedakan, bahkan “mempersengketakan” seseorang atas dasar perbedaan agama. Di balik kemisteriusan dan kemahadahsyatan Tuhan itu, masing-masing agama tentu punya jalan dan cara tersendiri dalam mengartikanNya. Ia telah mempersilakan setiap orang memilih jalanNya, tinggal manusia menggunakannya, dalam hal ini adalah agama, bagi kebermanfaatan kemanusiaan dan semesta alam. Bukan sebaliknya, mengorbankan martabat kemanusiannya untuk agamanya atau mengatasnamakan Tuhannya. Selanjutnya untuk merasakan secara langsung suasana keagamaan di masyarakat, esok harinya kami melakukan Liveindi Desa Waiheru. Peserta ingage diarahkan untuk tinggal di rumah warga yang berbeda agama dengannya. Kebetulan saya bersama dua orang teman yang muslim ditempatkan di rumah keluarga Persulessy, yang berlatar agama Protestan. Keluarga ini sederhana dalam penampilan, namun kaya dengan soal pelajaran hidup. Apalagi konon menurut berita, keluarganya juga sebagian besar memiliki riwayat pernah menjadi pengurus gereja maupun Pendeta. Ini semakin menambah referensi keragaman bagi kami, untuk lebih banyak lagi belajar secara langsung. Hari pertama Live-in dimulai. Sebagaimana biasanya kami beraktivitas mengikuti bagaimana orang rumah dalam kese hariannya. Saat malam datang, kami berkesempatan untuk mengamati prosesi ibadah syukur. Kebetulan salah seorang cucu mereka, hari ini berulang tahun. Dengan seksama, kami menyaksikan prosesi itu. Hanya ingin mengetahui secara langsung bagaimana ritual dilaksanakan, dan puji-pujian disampaikan kepada Tuhan dari mereka yang berbeda agama dari kita. Puji-pujian pun dinyanyikan, dinaikan ke hadapan Kristus untuk memperoleh perkenan. Disertai berbagai doa dan ucapan syukurkepada si adik yang berulang tahun. Tanpa sadar, nama kami bertigayang tinggal di rumah itu, juga disebut dan dinaikan ke atas, menuju Tuhan. Iya, nama kami disebut di dalam doa Ibu Pendeta. Saya tertegun, sungguh ini kepedulian yang luar biasa untuk 124
Bagian II: Mereka yang Mendengar
menyertakan nama kami dalam doa. Di sini saya percaya bahwa kepeduliaan adalah sesuatu yang melekat pada manusia, disamping karena posisi sebagai makhluk sosial, kepedulian ada karena keinginan untuk saling memahami, saling terbuka dan saling menjaga. Namun seiring waktu, kepedulian pun suatu saat akan mengalami fluktuasi. Ia kadang terkikis,atau semakin bertambah, tergantung bagaimana manusia menyikapinya. Tugas manusia hanyalah merawatnya dari masa ke masa. Di malam itu, belum habis puji-pujian dari keluarga dan pendoa lainnya dinaikan, suara azan kembali menyambung dari bilik-bilik masjid. Doa dan puji-pujian seperti beriringan dengan azan dari masjid dan surau-surau terdekat. Saya tersentuh, dan ikut menikmati suasana, yang bagi saya terbilang paling sejuk, paling manis sekaligus paling langka. Di sini, saya membayangkan betapa syahdunya manusia melakukan pencarian terhadap Tuhan dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Ketika menyaksikan hal itu, saya sempat berpikir, “Sampai begitu sekalikah Tuhan, manusia terus mencariMu?” Padahal tak akan ada konsepsi konkrit tentang diriMu. Namun begitulah Tuhan dengan ke-Maha-Kuasaan-Nya, akan dianggap demikian jauh namun tak berarti jarak, sekaligus dekat namun tak berarti sentuhan. Manusia seperti melakukan pengembaran paling sejuk untuk menyapa tuhan, melalui agamanya dengan doa sebagai mediumnya. Namun di balik syahdu itu, saya melihat suasana yang mengandung pelajaran paling baik tentang persaudaraan dan kepedulian. Seperti membunyikan alarm bahwa persaudaran itu masih ada dan harus diupayakan oleh setiap orang di antara kita. Setelah ibadah syukur, Ibu Pendeta men-share beberapa nasihat penting nan bijaksana. Nasihat-nasihat beraroma perdamaian di malam itu, memberikan arti penting bagi kebijaksanaan kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Diselingi dengan beberapa quote menggelitik, Ibu Pendeta pun mengingatkan kepada kita untuk bersikap terbuka, dan saling menerima dalam perdamaian. 125
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Esoknya, semangat persaudaraan kami bersama keluarga baru itu semakin menggumpal. Bahkan seiring waktu, kami bertiga terasa semakin dekat dan sudah semakin terbiasa dengan keluarga itu. Rumah keluarga Persulessydalam dua hari itu kelihatan berwarna. Bukan karena cat rumahnya berganti hehehe, melainkan kami hidup sejuk dalam perbedaan. Kami yang muslim seperti biasa tetap melaksanakan sholat ke masjid, sementara keluarga yang Protestan juga melaksanakan ibadahnya. Kami saling mengingatkan saat waktu-waktu ibadah telah tiba. Sungguh sejuk sekali udara di sini. Dari “jalan” yang berbeda, kami bersama-sama merangkai sebuah jembatan lintasiman dari dalam rumah. Opa Abe Persulessy, Mama Ida, Achello, adik Nini dan saya sendiri bersama dua orang teman (Wirda dan Dany), sudah memulainya. Semoga saja akan bertahan di waktu-waktu mendatang. Dalam beberapa waktu ini, setidaknya saya telah melakukan berbagai perkenalan persaudaraan. Telah juga mencoba melintasi setiap jalan keimanan berbagai agama, mulai dari hal mendasar di ruang training sampai mendatangi ruang-ruang sakral peribadatan. Demikian juga saya telah meleburkan diri untuk merasakan denyut beragama dan keragamannya di setiap saudara-saudara kita secara langsung. Bagi saya, ini adalah kerja-kerja kemanusiaan yang harus terus dilakukan. Sehingga sikap saling curiga bisa ditepis, eksklusivitas bisa dikikis, lalu tetasan perdamaian bisa kita tiriskan di sepanjang Kota Ambon yang paling manis. (*)
126
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Merawat perdamaian, mulai dari beta Foto oleh Ida Fitri, Koordinator Logistik
INGAGE: Pesantren Keberagaman R idhwan I bnu Luqman, INGAGE Ambon
“aku mencintai aku, aku mencintai jiwaku yang damai, lalu semesta mempertemukanku dengan jiwa-jiwa damai lainnya dan seperti itulah harmoni tercipta” Pelabuhan Tohoku Kamis 27 Oktober; Kabar Perjumpaan
D
ering handphone berbunyi seiring masuknya ribuan pesan yang bertubi-tubi. Begitulah kalau handphone baru saja berjumpa dengan kekasihnya, si ‘signal’ di pelabuhan Tohoku. Di antara ribuan pesan itu terselip satu pesan dari nomor yang asing. 127
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
“Setelah mendiskusikan dalam tim panitia & mempertimbangkan berbagai aspek, kami memutuskan untuk MENERIMA anda untuk terlibat dalam program ini, -Panitia INGAGE,” begitulah kiranya bunyi pesan itu. Senang sekali menerima pesan itu, karena artinya beta mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagament) Ambon. Program ini adalah pesantren keberagaman bagi anak-anak muda Ambon yang mempunyai kepedulian dalam isu-isu keberagaman. Workshop ini diinisiasi oleh ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), sebuah konsorsium dari tiga universitas di Yogyakarta, yaitu UGM (Universitas Gadjah Mada), UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, dan UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana). Program ini pun didukung oleh beberapa lembaga antar iman di Maluku. Memang, perjumpaan semacam ini bukan kali pertama bagi beta, tapi satu hal yang membuat beta semangat untuk ikut acara ini adalah program Live-in yang ada di dalamnya. Lalu makhluk apakah itu? Live-in secara bahasa berarti ‘tinggal’ atau ‘menetap’, dan program itu sendiri adalah sebuah momen untuk tinggal dan mengalami perjumpaan dengan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan. Misalnya basudara muslim tinggal di rumah basudara sarane, dan sebaliknya basudara sarane tinggal di rumah-rumah basudara muslim. Tapi itu pun tidak berarti sesi lain dalam workshop ini tidak berarti. Perjumpaan dengan trainer atau fasilitator yang kaya dengan ilmu di bidangnya masing-masing, pun suatu kesempatan yang berharga. Perjumpaan, perjumpaan dan perjumpaan, itulah yang terpenting. Bukan tentang siapa mereka, seberapa penting mereka, atau seberapa menguntungkan perjumpaan dengan mereka, tapi ini adalah tahapan awal dari beberapa rangkaian proses menuju pribadi yang toleran. Tidak ada puncak yang tidak dilalui dari tahapan awal, begitu juga asa menjadi jiwa yang damai dan toleran. Bagaimana 128
Bagian II: Mereka yang Mendengar
mungkin ia bisa berdamai dengan orang lain kalau ia sendiri tidak mengenal peri keadaan liyan. Bagaimana mungkin ia menjadi toleran, kalau ia tak mengerti apa yang mesti ia ‘tolerir’. Semua proses itu haruslah diawali dengan perjumpaan. Pacific dan Samudra Perjumpaan Kamis 3 November, Pacific seperti menjadi samudra bagi para peserta INGAGE. Setiap peserta datang dari hulunya masing-masing. Mereka membawa warna, suku, agama, bahasa, dan keunikan masing-masing, untuk bermuara di Pacific Hotel melebur menjadi satu kesatuan sebagai anak muda yang cinta damai. Semenjak hari itu kami berjumpa, mulai bercengkrama dan bersaudara. Roommate saya seorang Nasrani. Namanya Samy, mahasiswa Fakultas Sastra Inggris di Universitas Pattimura Ambon. Selama empat hari saya banyak bercerita dengannya, mulai dari masalah kampus, tentang Kota Ambon, konflik, agama, dan hal lainnya. Apa pun yang kami ceritakan, baik di kamar, di meja makan, dan di ruang-ruang hotel Pacific, kami bercerita seolah tak ada lagi batas menyekat kami, salam-sarane ini. Samy bukan satu-satunya sahabat Nasrani bagi saya, jauh sebelum saya tinggal di Ambon, saya terbiasa bersahabat dengan kawan-kawan yang tidak seagama atau sealiran. Beberapa di antara sahabat saya malah ada yang jadi Bhikkhu, Pastor, juga Pedeta, atau juga Ustaz. Sedari kecil saya tidak membatasi pergaulan. Saya yang terlahir dari keluarga Ahmady, biasa mengaji di masjid-masjid Nadlatul Ulama (NU) dan berguru pada para kyainya. Memang saat pertama datang di Ambon, dengan sajian pasca konfliknya, mengharuskan saya menelaah cerita perpisahan dua saudara, yaitu salam-sarane yang kini terpisahkan oleh garisgaris geografis. Dua saudara yang dulu tinggal bersama diikat dengan tali pela dan gandong, kini terpisah-pisah dan tinggal di masing-masing kerajaan besar; kerajaan salam dan sarane. Dua kerajaan itu terpisah oleh tembok besar bernama prasangka yang membatasi ruang perjumpaan keduanya. Suatu ketika saya 129
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
membawa sahabat saya, seorang muslim, ke Gunung Nona yang notabene merupakan daerah basudara Sarane. Di sepanjang perjalanan ia sangat cemas. Cengekaraman tanggannya saat membonceng tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Ia terus meminta saya untuk kembali dan membatalkan pergi ke Gunung Nona. Meskipun pada akhirnya pandangannya terhadap Gunung Nona atau basudara Sarane berubah, tapi begitulah kiranya gambaran betapa konflik yang terjadi tahun 1999 itu menyisakan ketakutan bagi satu dengan lainnya. Pasar, sekolah, kantor, menjadi titik-titik harapan dalam membangun ruang-ruang perjumpaan. Meskipun di beberapa sekolah siswanya homogen, entah itu Kristen semua, atau Muslim semua. Di ruang-ruang yang tersisa itu basudara salam dan sarane mencoba kembali merajut tali persaudaraan melalui perjumpaanperjumpaan kecil, yang pada akhirnya mengikis prasangka dan ketakutan terhadap satu sama lain. Hingga hubungan yang terjalin kemudian dapat dipastikan menghadirkan bahasa kasih sayang. Begitulah kiranya cerita Ambon dulu. Kita lihat sekarang, Ambon telah berbeda. Ia seperti mentari yang kembali bersinar di ufuk timur, menyikap tabir gelap yang sempat hinggap beberapa saat. Tanpa harus sibuk menelisik siapa yang salah atau bertanggung jawab atas duka lama, basudara salam sarane sekarang mulai membangun ruang-ruang perjumpaan. Kehangatan pela dan gandong mulai dikobarkan di beberapa negeri (desa). Salam sarane kembali diikat dengan tali persaudaraan yang sakral bersama tokoh-tokoh adat, agama dan para pemangku kepentingan yang berjalan beriringan mewujudkan Maluku menjadi laboratorium perdamian dunia. Laboratorium? Ya, dunia mesti melihat Maluku untuk belajar bagaimana konflik terjadi, siapa yang dikorbankan, dan bagaimana dua sejoli yang bertikai itu melukis kembali damai. Cerita hari ini tentang orang muda yang sudi berjumpa, pun merupakan upaya kecil menghadirkan ruang-ruang perjumpaan itu. Engagement menjadi kata kunci perjumpaan di Pacific. 130
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Beberapa orang muda yang datang dari hulu itu berbeda-beda, namun pada akhirnya mereka sendiri menciptakan oasis bagi kerinduan basudara salam dan sarane untuk bersua. Anak-anak muda ini akan mengkahiri cerita tentang moyang mereka, yang mungkin saja pernah saling mengadukan parang dan pedang, memekik amarah saling berebut nyawa dan juga tentang kampung yang tersekat. Muda-mudi ini nantinya akan menembus batasbatas salam-sarane, menyambungkan tali-tali persaudaraan yang sempat putus ditebas amarah. Empat hari memang begitu singkat untuk sebuah perjumpaan, namun cukup untuk menjadi bekal bagi muda-mudi melangkah ke depan. Ibu Alvi sudah membekali kami dengan berbagai paket teori mengenai hak asasi yang rinci, dari definisi sampai pada hal terkecil bagaimana HAM (Hak Asasi Manusia) itu diaplikasikan. Penting untuk memahami kedalaman konsep HAM, karena semangatnya yang universal supaya kita bisa sepakat soal pemahaman dan pengaplikasian. Mengapa ini penting? Karena di beberapa tempat, HAM sering ditolak lantaran latar belakangnya yang muncul dari negara “kafir”, banyak digaungkan negerinegeri di Barat. Lebih parah ada beberapa pihak yang mencoba membenturkan konsep HAM dengan agama tertentu. Padahal sejatinya setiap agama menuntut cinta kasih terhadap sesama, menghargai kebebasan setiap manusia, pun yang menjadi dasar dari HAM itu sendiri, karena setiap manusia yang terlahir pada hakikatnya memiliki kebebasan. Selain konsep HAM, di empat hari itu juga kami diajak memahami ajaran atau keyakinan orang lain, langsung dari penganutnya. Bagi saya yang pernah mempelajari beberapa agama –karena kebetulan di kampus tempat saya belajar ada mata kuliah perbandingan agama– memang bukanlah hal yang baru. Sedikitnya saya tahu beberapa konsep ketuhanan atau konsep keagamaan beberapa agama, terutama enam yang diakui di Indonesia. Namun mempelajari suatu keyakinan langsung dari penganutnya sangatlah penting, mengingat bahwa suatu konsep 131
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
keagamaan biasanya memiliki ragam tafsir. Sedang manusia dengan kekayaan pikirnya tentu bisa berbeda pandangan atas satu teks atau ayat. Bagi seorang muslim bisa dengan yakin bahwa Nabi Isa As adalah seorang amba Tuhan, atau seorang nabi. Namun bagi seorang nasrani, Yesus memiliki maqam atau kedudukan yang lebih dari sekedar nabi Tuhan. Dalam kondisi tertentu kita bisa saja berdebat secara ilmiah untuk membuktikan argumentasi mana yang benar. Kembali lagi, iman itu letaknya ada dalam hati manusia, kenyamanan akan pilihannyalah yang menuntun seseorang mengimani suatu ajaran. Kita bisa saja saling mentertawakan ritual keagamaan tertentu, di sisi yang lain orang pun akan merasa lucu dengan ritual yang kita lakukan. Oleh karenanya mendengar langsung dari penganut suatu keyakinan adalah hal yang begitu penting, supaya kita bisa betul-betul menghargai seseorang. Karena banyak kasus intoleransi yang terjadi di tanah air terjadi karena kesalahpahaman dan ketidaktahuan masyarakat akan ajaran liyan. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ustaz Al Makin, dengan konsep belajar langsung pada penganutnya, telah menggiring para peserta untuk banyak bertanya langsung kepada umat penganut suatu agama. Mulai dari konsep ketuhanan, leadership atau kepeminpinan suatu agama, teks atau kitab suci, praktik-praktik keagamaan, sampai pada hal kecil seperti doa. Dalam rutinitas ini peserta secara tidak sadar digiring untuk banyak bertanya, bayak mengetahui, dan pada akhirnya lahirlah pemahaman dan penghargaan. Dengan memahami lahir pula kekaguman akan kekhasan suatu ajaran. Atau menjadi tahu persamaan-persamaan yang ada, lalu pada akhirnya para peserta sadar pada hakikatnya sebagai seorang manusia, yang sama; sama sama bertuhan dan bersujud. I Love My Privacy Dengan gawai (gadget) mungilnya, Pak Leo mengawali presentasi dengan beberapa tampilan gambar. Beliau pun membuat 132
Bagian II: Mereka yang Mendengar
survey kecil dengan bertanya kepada para peserta, sejauh mana perserta melek gawai. Hasilnya memang kebanyakan dari para peserta sudah menjadikan gawai sebagai kebutuhan primer, bukan lagi sekedar pelengkap. Satu kesempatan baik bagi saya untuk bisa mengenal perilaku diri sendiri dalam bermedia sosial. Seiring perkembangan zaman, memang tanpa disadari, bukan kita lagi yang menguasai teknologi, tetapi justru kita yang dikendalikan oleh gawai. Perkembangan teknologi memang baik adanya, karena kemunculannya membawa beribu-ribu manfaat. Namun bukan hanya manfaat yang mengiringi kehadiran tekhnologi, beberapa hal negatif senantiasa mengintai kita. Kapan kita lemah, maka di situlah ia menjerumuskan kita. Lalu mengapa perilaku bermedia sosial mendapat perhatian khusus dari ICRS dalam workshop ini? Ternyata ini tiada lain karena saat ini media sosial berperan dalam menyebarluaskan ujaran kebencian, ujaran-ujaran provokatif dan konten-konten lain yang negatif dan bisa mempengaruhi hubungan antar individu. Berita-berita hoaxbanyak berseliweran di media. Unggahanunggahan itu tidak sedikit yang menjadi pemicu konflik. Biasanya sebuah perkara yang ramai diperbincangkan di media sosial diberi komentar. Orang-orang juga seperti berlomba menshare unggahan provokatif tersebut. Satu dengan lainnya saling menjelekkan, yang pada akhirnya konflik tak hanya terjadi di dunia maya, lama kelamaan hadir di dunia nyata. Di satu sisi, media sosial memang menjadi angin segar dalam dunia informasi. Setiap orang bisa dengan mudah mendapatkan informasi, bahkan bisa lebih cepat daripada mendapatkan info atau berita dari media pewarta besar. Setiap orang bisa dengan mudah mengakses informasi, begitu juga dengan sangat mudah bisa menyebarkan info atau berita, tanpa masuk ke meja redaksi sebelum akhirnya dipublikasikan. Kondisi ini pun membuat orangorang saling terhubung, membuat jejaring dan pada akhirnya membuat suatu kekuatan besar. Kudeta Mesir contohnya, yang karena kejadian di Mesir -negara-negara Timur tengah kini berlomba-lomba menutup atau memblokir jejaring sosial. 133
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Kita tahu bahwa begitu banyak konten negatif. Meskipun bukan berarti tidak ada harapan bagi penggiat damai. Justru mestinya kita makin tertantang, untuk turut mengisi kecanggihan media dengan hal yang positif. Atau paling tidak, kita tidak menjadi bagian dari hal-hal negatif karena tidak menyebarkan berita hoax. Ada banyak gerakan perubahan yang diusung melalui media sosial. Kita menyaksikan bagaimana change.org bisa mendorong atau bahkan mempengaruhi pemangku kepentingan dalam menentukan kebijakan. Demikian juga dengan Kitabisa.com yang bisa menampung semangat dari berbagi macam orang-orang. Para pemuda Ahmady di Inggris membuat gerakan stopcrisis.org, sebuah gerakan yang mencoba mengurangi islamophobia di negaranegara Barat. Masih banyak gerakan lain yang menggunakan media sosial dalam proses penyebarluasannya. Muda-mudi Ingagers seperti baru saja disuntuk vitamin oleh ICRS begitu. Mereka diharapkan bisa mengisi ruang media sosial dengan kampanye-kampanye positif, bilkhusus dalam menyebarluaskan nilai-nilai cinta kasih, perdamaian dan kesetaraan. Untuk vitamin yang satu ini saya ucapkan terima kasih banyak kepada Pak Leo, Mas MT (Matahari Timoer) dan tentunya ICRS. Pateki, Sahabatku dari Nuaulu “Nama saya Pateki, asal saya dari Seram, dan agama saya, agama Nuaulu,” sebut salah satu peserta berkain berang, lantang dihadapan orang-orang. Ia Pateki si anak “gunung”, anak penjaga hutan yang yang sering dipanggil “orang belakang”. Kehadirannya menyadarkanku akan saudara-saudara dari Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan umat agama lokal lainnnya, yang sampai saat ini masih berjuang untuk pengakuan atas agama yang mereka yakini. Ini adalah kali pertama saya berjumpa dengan orang “gunung” di suatu majelis atau acara resmi. Sebelumnya saya pernah hanya berjumpa dengan mereka di perjalanan. Misalnya saat melintasi Gunung Malintang dalam perjalanan dari Namlea menuju Namrole 134
Bagian II: Mereka yang Mendengar
di pulau Buru. Atau perjalanan Ambon menuju Bula Seram Bagian Timur. Dalam perjalanan beberapa kali saya berjumpa orang-orang “gunung”. Sedangkan perjumpaan dengan Pateki merupakan anugerah tersendiri, karena kemudian mengubah pandangan saya mengenai orang “belakang” atau orang “gunung”. Narasi mengenai masyarakat menggiring beta pada pe mahaman bahwa orang-orang Nuaulu atau orang-orang gunung. Saya kira meraka adalah orang yang belum mengenal agama, primitif, terbelakang, dan bahkan jahat. Bukan tanpa alasan, saat beberapa kali berjumpa dengan orang gunung, mereka menghadang jalan dan meminta uang kepada siapa saja yang melewati perkampungan mereka. Tapi Pateki si anak “gunung” hadir dengan kemasan seorang mahasiswa Fakultas Hukum, salah satu kampus besar di Ambon. Sekali lagi saya harus mengucap syukur, karena perjumpaan dengan Pateki membawa banyak sekali ilmu, selain tentunya persahabatan. Dari “orang belakang” ini, saya menjadi tambah yakin akan firman Tuhan, bahwa Tuhan pada masanya mengutus seseorang pada setiap kaum, yang menuntun manusia pada kebaikan. Nuaulu, dari yang dinarasikan Pateki, memiliki kaidah agama yang luar biasa. Mereka menghargai alam dan leluhur. Kemudian soal penghargaan terhadap wanita, tergambar dalam tradisi Nouaulu, wanita yang haid dipisahkan dalam satu tempat khusus, dan baru mereka kembali ke kampung setelah masa haidnya selesai. Selama masa haid tersebut laki-laki dilarang untuk mendekati mereka. Bisa jadi satu buku jika saya tuliskan keluhuran dan keindahan ajaran Nouaulu. Tapi yang ingin saya katakan adalah pada hakikatnya manusia bersujud pada Tuhan atau pada apa pun yang mereka pertuhankan. Jika kau yakin akan satu ajaran, apa pun itu, temukanlah Tuhan pada dogmadogma ajaranmu. Karena Ia menuntunmu pada cinta kasih, maka sesungguhnya Ia adalah Tuhan yang Maha Benar, entah apa pun sebutan yang kita berikan padanNya. Karena saya yakin, bahwa sebagaimana Tuhan berbicara pada orang-orang Timur Tengah, 135
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Tuhan pun bercakap-cakap dengan makhluknya di daratan Asia, Afrika, atau dengan orang-orang di penghujung bumi ini sekali pun. PercakapanNya terpatri dalam kaidah-kaidah lokal tentang syukur, cinta kasih dan kedamaian. Dan dalam iman saya, saya menyebutnya Rahman dan Rahiim. Nuaulu, Sunda Wiwitan, Kaharingan dan beberapa agama lokal lain kini masih berjuang untuk sebuah pengakuan. Mereka ingin menyematkan agama mereka di kolom KTP yang menjadi penanda jati diri mereka. Atau sekiranya hal itu tidak mungkin, setidaknya pemerintah wajib berupaya untuk memenuhi setiap kebutuhan mereka, sama seperti penduduk dari enam agama yang diakui. Karena bagaimanapun juga, di balik nama agama yang ada di KTP, mereka bisa mendapat rentetan masalah karena nama agama. Untuk soal ini memang bukan hanya soal agama lokal yang berbeda firkah, tetapi lebih memperhatikan agama yang belum disahkan oleh pemerintah. Sehingga hak-haknya sebagai warga negara terabaikan. Ahmadiyah contoh kongkritnya. Untuk sebuah kartu tanda pengenal, bisa menikah, atau berangkat haji, kami harus berjuang dengan selembar pernyataan yang menyatakan diri keluar dari keyakinan sebagai seorang Ahmady dan masuk kembali ke dalam Islam. Lucu memang, mungkin bagi mereka kesaksian kami pada Allah sebagai Tuhan dan Muhammad Saw sebagai Rasul, masih belum cukup untuk diakui sebagai seorang muslim. Kisah ini bisa menjadi beberapa buku pula, jika sekelumit permasalahan itu saya tuangkan di sini. Yang jelas, kenyataan itu ada. Besar harapan kami semoga muncul orang-orang yang senantiasa menjaga harapan, dan kami pun berdoa semoga kami juga menjadi bagian dari padanya. Puisi untuk Pateki Tulisan ini belum terhenti Aku hanya ingin berpuisi Untuk sahabatku, Pateki Si anak ‘gunung’ yang gemar selfie
136
Bagian II: Mereka yang Mendengar
Pateki, kain berang-mu yang merah itu Simbol keberanianmu mengarungi waktu Yang kejam pada buah hati Ibu, tapi murah pada orang baru
Kau laksana pemilik rumah, rela berdiri di teras Dan sang tamu tertawa di dalam, seringnya tak ada belas Kadang mereka menawarimu tawa, dengan syarat yang tak pantas Pateki, kau adalah tuan rumah, masuk dan tertawalah dengan lepas
Katakan pada mereka yang suka impor itu Katakan bahwa kau lahir dari pertiwi, leluhur yang mereka sanjung itu Tanyakan pada mereka, mengapa hanya enam, yang semuanya kiriman itu Sedang yang lahir dari pikiran lokal mereka bantah dengan nafsu
Pateki, tak usah risau dengan sebutan atau panggilan mereka Tak usah malu dikata orang gunung, orang belakang, atau apalah kata semau mereka Mereka yang harusnya malu, pada merekalah mestinya kita iba Pada mereka yang lupa jati dirinya, pada mereka yang lupa asal muasalnya
Pateki, perjumpaan denganmu adalah perhiasan waktu Karunia yang datang untuk mengubah pikir yang beku Biar saja dulu aku menganggapmu orang tak berilmu Kini, perjumpaan itu menyadarkanku, kaulah keluargaku, sahabatku
Ziarah Rumah Ibadah Lantunan doa persembahan berkumandang mengisi setiap lekuk gedung katedral saat kami datang menginjakan kaki di tempat itu. Beberapa mata mengarah ke beberapa sudut, kadang ke atas, kanan, kiri, dan kadang juga ke bawah. Kagum dan penasaran, itulah kesan pertama saya ketika menginjakkan kaki di katedral. 137
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Saat kami diberi kesempatan menyaksikan prosesi ibadah, ada satu hal yang menjadi bahan renungan bagi beta. Mereka begitu khusyuk dalam melantunkan doa persembahan. Orang yang sudah tua, muda, bahkan anak-anak menyatu dalam lantunan doa-doa suci itu. Saya pun tertegun dan terus memperhatikan, sambil sesekali bertanya pada diri sendiri, “Sekhusyuk inikah jika aku sedang sholat?”. Di tengah kumandang doa, Pastor menyelipkan doa khusus untuk kami; peserta INGAGE Ambon. Diawali ucap sambut, kemudian Pastor pun mendoakan para peserta INGAGE agar bisa menjadi sarana perekat persaudaraan antar iman di Kota Ambon. Pundak saya terasa berat ketika mendengar doa itu, tapi ada rasa bangga yang terselip di dada. Doa adalah harapan, baik itu menjadi harapan atau menjaga harapan orang lain adalah satu karunia yang khas yang menandakan bahwa kita saling membutuhkan dan saling berhubungan. Doa itu menambah keintiman hubungan kami. Begitulah kiranya hubungan persaudaraan di Maluku, laeng sayang laeng. Kekaguman akan khidmatnya jemaat Katedral dalam berdoa pun harus diakhiri. Masih ada tempat suci lain yang memanggilmanggil kami, mengumandangkan lantunan kasih sayang. Masjid Jami menjadi persinggahan kami berikutnya. Bagi saya yang muslim tentu terasa biasa saja, mungkin karena terbiasa masuk dan beribadah di dalamnya. Suasana yang ditemui di setiap masjid pasti tak begitu beda, entah apa pun alirannya. Saya malah sibuk memperhatikan ekspresi beberapa sahabat non-muslim. Beberapa dari mereka ada yang kagum, akan bangunan dan juga sedikit penjelasan mengenai Islam dari sang Imam. Mungkin harihari mereka hanya bisa mendengar lantunan azan, tanpa bisa menyaksikan bagaimana seorang muslim beribadah di dalam masjid tersebut. Sejumlah pertanyaan yang mereka sampaikan cukup menggambarkan bagaimana antusiasme muda-mudi yang ingin memahami iman saudaranya. Silaturahmi dan selfie kemudian mengakhir perjumpaan Ingagers dengan Bapak Imam di masjid Jami. Kemudian kendaraan 138
Bagian II: Mereka yang Mendengar
kami mengarah ke Gunung Nona, mengunjungi tempat ibadah lain di Vihara Swarna Giri Tirta, sebuah tempat persinggahan berikutnya. Sudah ada Ko Ancis menunggu kedatangan kami. Para peserta pun langsung berburu spot untuk berfoto. Maklum, lintasarsitektur vihara ini sangat unik dan kental dengan budaya Tionghoa. Ko Ancis membuka diskusi kecil, dan bercerita mengenai ajaran Buddha. “Kami tidak menyembah patung, Kami hanya menghadirkan sosok Buddha supaya menjadi saksi agar kami bisa mencapai nirwana,” begitulah kiranya penjelasan Ko Ancis saat menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta. Jawaban itu mengingatkan saya pada pertanyaan salah seorang sahabat dari Buddha. “Muslim kalau sholat menghadap ke kiblat kan? Bukankah itu artinya kalian menyembah Batu Kiblat itu?” tanyanya Jawabannya kurang lebih sama, kita beribadah kepada Tuhan, yang mungkin penamaannya berbeda-beda. Dalam ritual peribadahan, agar mencapai khusyuk, manusia sering memvisualisasikan sosok yang Maha Ghaib itu, entah dengan patung, atau dengan arah kiblat, tetapi pada hakikatnya mereka berhubungan langsung pada sang Pencipta. Atau mungkin saja berbeda. Itulah mengapa penting bagi kita membuka perjumpaan, menyampaikan tanya, membuka diskusi dan kemudian lahirlah pemahaman dan penghargaan. Ziarah ini pun diakhiri dengan mengunjungi pura, tempat ibadah agama Hindu di Kota Ambon. Ketua PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Ambon menyambut kami di pelataran pura. Beliau membuka diskusi yang bercerita mengenai keadaan umat Hindu di Ambon. Di tempat ini, umat Hindu di Ambon biasa berkumpul untuk beribadah di pura. Tuhan, yang dipanggil Sanghyang Widi Wase ini terletak di dalam komplek Militer Benteng Victoria Ambon. Seperti biasa, selfie untuk mengabadikan silaturahmi kami. Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan Nuaulu, menyatu dalam satu pose selfie. Sungguh Indah “Hidup Orang Basudara di Maluku”. 139
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Mama BA dan Sajian Lintasiman Di rumah Mama Keti di Air Salak, Waiheru Ambon, seorang perempuan tua datang menuju kerumunan. “Di rumah beta dua jua” katanya, lalu aku menengok dan beta jawab “Beta jua, beta jua yang tinggal di Mama pung rumah”. Dengan motor lalu saya dan Jalu menuju rumah Mama BA. Selama dua hari kami tinggal di rumah keluarga Sarane ini. Mungkin suasananya biasa saja, mengingat lingkungan di dekat rumah Mama Ba, malah banyak yang beragama Islam. Dalam hati beta merasa kurang greget, coba misalnya tinggal di Gunung Nona atau di Latuhalat yang notabene perkampungan Kristen, di situ benar-benar uji nyali. Hehehe. Tapi meski begitu, mengalami perjumpaan dengan keluarga Mama BA merupakan karunia yang indah bagi saya. Betapa tidak, ketika saya pertama menginjakan kaki di rumah Mama Ba, tidak ada sedikit pun cemas atau takut saya rasakan. Tidak ada pikiran tentang anjing atau daging babi, yang ada susasana nyaman untuk istirahat. Meja Makan, bagian paling intim dari Live-in. Ya, ketakutan atau kekhawatiran terbesar pasti makanan bagi seorang muslim yang tinggal di keluarga Kristen. Tapi di rumah Mama Ba, saya bisa dengan lahap makan masakannya yang begitu enak. Saya sama sekali tidak khawatir, malah timbangan berat badan naik sampai empat kilogram selama tinggal di rumah beliau. Pagi-pagi saya mengantarkan beliau ke pasar untuk berbelanja. Ini adalah satu hal yang jarang saya lakukan pada Ibu saya sendiri, karena saya hidup di perantauan, terpisah dari Ibu. Sesekali saya pun berpikir dan teringat akan Ibu saya. Ada pesan dari Ibu saya yang kemudian teringat, “Di mana pun kami berada, jadilah orang baik, supaya Tuhan mempertemukanmu dengan orang baik.” Tuhan memang tidak pernah keliru mengatur sesuatu. Benar saja firmanNya, bagi orang-orang baik ada jodoh yang baik pula. Bukan saya sombong dengan kebaikan saya, yang ingin saya sampaikan adalah, sepanjang apa yang kita niatkan dan kita lakukan baik, maka hasilnya pun akan baik. Jika kita mau hanya 140
Bagian II: Mereka yang Mendengar
berbaik sangka, apalagi mau berbuat baik pada orang lain, maka sekurang-kurangnya kita tidak akan pernah dicelakakan oleh orang lain, dan tentunya malah kita mendapatkan balasan yang baik pula. Keberadaan anak-anak juga menambah betah saya tinggal di sana. Saya sangat suka anak-anak dan biasa bermain dengan meraka. Cucu-cucu Mama Ba tanpa sungkan langsung datang dan mengobrol dengan saya. Ini pun menjadi satu kebahagiaan tersendiri. Malah di hari kedua saya bolak balik ke kolam renang di kompleks tentara yang dekat dengan rumah Mama Ba, untuk bermain bersama mereka. Live-in melahirkan saudara, biar pun saya piara tapi Mama dan adik-adik ini telah mengisi sosok-sosok yang saya cintai tetapi jauh terpisahkan jarak. Mereka hadir ke dalam kehidupan saya, menjelma menjadi saudara. Bukan darah yang menjadi dasar persaudaraan kami, tapi perjumpaan. Di malam terakhir saya tinggal, anak-anak menyanyikan lagu untuk natal, lengkap dengan tariannya. Mereka berlomba memperlihatkan kebolehannya dalam bernyanyi. Tiara si anak paling kecil berpesan, “Om nanti kalau Natal, Om nonton katorang, ya?” begitu pintanya kepada saya. Rumah berhias pohon cemara ini juga begitu asyik untuk beribadah, entah kenapa dua malam saya tinggal di sana, saya begitu nyaman ketika beribadah. Saya merasa begitu khusyuk dan nyaman saat melaksanakan soalat Tahajud. Satu momen yang menyadarkan saya adalah ketika terbangun dari tidur. Saya merasa menjadi orang yang pertama kali bangun di rumah itu untuk melaksanakan sholat tahajud. Tapi rupanya Mama Ba sudah bangun lebih awal. Beliau mengatakan bahwa ia harus bangun pagi agar bisa sembahyang sebelum mempersiapkan anak-anak ke sekolah. Begitulah manusia, yang bersujud, yang bersyukur. Mungkin pada saat itu malaikat terharu demi menyaksikan manusia dalam satu rumah memuja Tuhannya dengan cara berbeda namun dengan cinta yang sama. Keduanya sama-sama mencintai Tuhannya, bersyukur padaNya, dan pada akhirnya manusia bersujud itu menjadi manusia penyayang pada sesama. 141
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Hari terakhir di rumah Mama Ba, saat pagi hari sebelum kami berangkat, di meja makan sudah siap ikan kuah kuning. “Makan besar lagi,” kata saya dalam hati. Saking seringnya Mama Ba menyiapkan makan besar buat kami, sampai-sampai panitia sering modar-mandir ke rumah kami untuk ambil gambar. Padahal itu hanya modus operan supaya bisa ikut makan. Hahaha. Di sela-sela makan, Mama Ba berkata, sambil menghela nafas dan terlihat matanya yang berkaca-kaca, “Wan su hari terakhir neh.” Lalu saya menghampiri beliau, dan berkata, “Mama, ini bukan akhir. Kan nanti beta bakal balik ke sini, maen-maen ke sini.” Saya ucapkan rasa terima kasih yang mendalam pada ICRS yang sudah memberikan kesempatan yang berharga ini. Lengkap sudah satu minggu saya ‘nyantri’ di INGAGE. Saya sudah mendapatkan vitamin, berupa rangkaian teori-teori. Juga sudah mengalami perjumpaan yang melahirkan persaudaraan. Meski tak rela untuk berpisah, tapi setiap pertemuan selalu disertai dengan akhir. Akhir yang menghadirkan awal, yaitu awal perjumpaanperjumpaan lainnya. Setelah satu minggu saya bergaul dengan saudara-saudara yang berbeda dengan keyakinan, tak sedikit pun iman saya luntur. Apalagi berniat mau pindah agama lain. Perjumpaan ini malah mengingatkan saya untuk terus membaca khazanah yang masih banyak terpendam. Membaca peri keadaan liyan, yaitu keadaan saudara dan sahabat kita, supaya kita bisa memiliki jiwa toleran, jiwa yang damai dan senantiasa menebarkan kedamaian. Love for All Hatred for None. Pada akhirnya, saya mengubah pilihan saat mengisi survey yang dibagikan oleh panitia, “Agama saya benar, dan boleh jadi agama orang lain juga benar.” Saya, yang teramat lemah.
142
III Para Pelintas Batas
143
144
Bagian III: Para Pelintas Batas
Berkomunikasi dengan Internet Sehat a la Emte (Mataharitimoer), ICT Watch Foto oleh Ainul Yaqin, INGAGE Medan
Komunikasi dalam Harmoni Anton Sahputro Hutaur uk , INGAGE M edan
Tulisan ini dibuat dari akumulasi hasil refleksi, observasi, diskusi serta aktivitas diluar pelatihan selama program INGAGE berlangsung. Ditulis dengan tidak merunut peristiwa demi peristiwa secara linier, tetapi disusun berdasarkan argumen demi argumen dan didukung dengan data yang didapat selama program ini berlangsung.
K
eberagaman merupakan kepastian dalam masyarakat Sumatera Utara. Tetapi keberadaannya sering menghadapi berbagai cobaan yang teraktualisasikan menjadi konflik-konflik berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Dalam kurun waktu tiga bulan, ketika refleksi ini ditulis, Sumatera Utara 145
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
sudah menghadapi tiga isu berbasis SARA. Dimulai dari kejadian penolakan gabungan Organisasi Massa Islam, terhadap rumah makan tradisional BPK (Babi Panggang Karo) di Deli Serdang. Berikutnya kasus pembakaran vihara di Tanjung Balai. Kemudian yang terakhir adalah kasus percobaan peledakan bom di Gereja St. Joseph di Medan. Sumatera Utara yang selama ini menjadi salah satu prototipe keberagaman di Indonesia tampaknya sedang diuji. Sementara itu, kami di Medan sedang memulai program INGAGE yang dalam pelaksanaannya dibayangi tiga konflik diatas. Tantangan? Tentu saja! Makan malam, 31 Agustus 2016 adalah perjumpaan pertama dengan panitia dan peserta INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement). Awal yang meninggalkan kesan tersendiri, sebab untuk pertama kali saya mendengar ada beberapa aliran kepercayaan selainenam agama yang diakui oleh negara Indonesia. Hal ini membangun keingintahuan untuk dapat mengenal yang lain ini dengan lebih jauh. Usai makan malam kami mulai bertegur sapa satu sama lain. Kami mulai berdiskusi terkait ragam keyakinan kami. Malam itu, saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang Parmalim. Bagi saya ini adalah pengalaman luar biasa karena bisa berkomunikasi langsung dengan salah satu penganutnya. Komunikasi terus berlanjut, yaitu saat penyampaian materi training yang dipadukan dengan diskusi. Di sela-selanya ada game yang makin meng-engage kami satu sama lain. Saya merasakan suasana terbuka dan solidaritas sudah terbangun dari proses interaksi, baik antara peserta dengan peserta maupun panitia dengan peserta. Paparan materi DUHAM atau Deklarasi Hak Asasi Manusia adalah topik yang sangat mendasar dalam membahas tentang kesetaraan dalam berkeyakinan. Tercipta elaborasi pemikiran antara kami selama proses diskusi yang melibatkan pemateri dengan peserta serta antar sesama peserta untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia. Terutama,hak dalam berkeyakinan dan memeluk agama. 146
Bagian III: Para Pelintas Batas
Sikap toleran dan intoleran sangat mudah untuk menyebar, baik melalui komunikasi langsung maupun melalui media sosial. Kami dibukakan pada pemahaman untuk bisa melihat gejala ini secara lebih jelas, bagaimana kaitan antara kultur masyarakat Indonesia di media sosial dan juga ancaman terhadap nilai-nilai toleransi yang selama ini dirawat. Mas Emte (Matahari Timoer) dari ICT Watch dan Pak Leo C. Epafras dari ICRS yang memberikan materi tentang Komunikasi Digital, menyampaikan tentangetika perilaku dalam berinteraksi di media sosial. Materi yang paling mendapat respons dari para peserta –dapat dilihat dari antusiasme peserta dalam bertanya dan berdiskusi, adalah materi yang disajikan oleh Pak Al Makin. Beliau membagikan pengetahuan tentang agama-agama yang ada di Indonesia dan di dunia. Pak AlMakin menjelaskan dari aspek keilmuan tentang sejarah munculnya agama-agama tersebut hingga bagaimana mereka berkembang. Materi ini membukakan horizon ilmu pengetahuan yang sangat luas kepada para peserta. Tertinggal pesan bahwa keberagaman memang tidak dapat dihindari, sehingga perlu disikapi dengan toleransi. Misalnya, tidak perlu membuat klaim-klaim kebenaran agama kita yang dipaksakan kepada umat agama lain. Sesi lain yang tak kalah menarik adalah Sharing Blogger. Sehari sebelum melakukan Live-in (menginap di rumah umat agama yang berbeda), kami diberi kesempatan untuk memahami bagaimana bisa memanfaatkan internet. Antara lain melalui media sosial atau aktivitas jurnalistik untuk mendukung penyebaran nilainilai toleransi. Kami menjadi paham bahwa banyak dari kita yang memanfaatkan media sosial hanya untuk kepentingan pribadi,tetapi tanpa sadar akan ekses negatif yang bisa ditimbulkannya, terutama bagi nilai-nilai toleransi. Untuk itu pula kegiatan ini dimaksudkan, memberikan pemahaman agar kami memiliki kemampuan dalam menyebarkan nilai-nilai toleransi di media sosial. Dari seluruh materi yang sudah dipaparkan saya mendapatkan banyak sekali pengetahuan baru. Hal ini sangat bermanfaat dan efektif menurut saya, karena kami belajar mulai dari konsep yang 147
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
bersifat general sampai tataran teknis. Tujuannya agar pemahaman umum dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di dunia nyata maupun dunia maya. Tentu saja paradigma berfikir kami sudah bergeser untuk lebih mencintai keberagaman dan merawat perdamaian di lingkungan kami. Program Live-in Konsep Live-in yang diterapkan adalah sistem silang. Artinya, peserta menginap di rumah atau tempat ibadah yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Tujuannya adalah peserta bisa memahami kehidupan dan tradisi pemeluk agama atau aliran kepercayaan yang berbeda. Selama tiga hari peserta tinggal dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kepercayaan yang berbeda. Saya sendiri mengambil bagian untuk tingal di pesantren Modern NurulHakim didaerah Tembung Medan. Sebagai seorang pemuda Protestan yang selama ini banyak beraktivitas diruang-ruang agama mayoritas, saya rasa tidak terlalu sulit untuk hidup dan berinteraksi dilingkungan pesantren. Hal yang membuat menarik adalah bergabungnya seorang Bikkhu, tentu saja beragama Buddha, dan seorang Pendeta Protestan, bersama-sama kami tinggal di Pesantren. Selama di pesantren, selain berinteraksi dengan para pengajar atau Ustaz serta para santri, saya juga memperhatikan bagaimana komunikasi yang terjalin diantara Pendeta (Pak Boy Tampubolon) dan Bhikkhu (Bhante Dhira) dengan pihak pesantren. Pada awal kedatangan, tentu saja kami menjadi pusat perhatian para santri –terlihat dari tatap heran yang tertuju kepada kami. Rombongan langsung menuju ruang rapat dipesantren dan disambut langsung oleh sekertaris pimpinan. Setelah Pak Jailani selaku fasilitator lokal INGAGE dan Ibu Simone Sinn dari LWF memberikan sedikit kata pengantar, kemudian kami dipersilakan masuk kekamar dan bersiap untuk makan malam. Saat malam, kami keluar kamar dan mulai berdiskusi dengan beberapa pengajar di pesantren yang bertempat di depan masjid. 148
Bagian III: Para Pelintas Batas
Pak Ustaz memberikan apresiasi kepada kami semua. Terlebih kepada Pak Boy sebagai seorang Pendeta yang bersedia datang ke sebuah pesantren. Kami merasakan sebuah komunikasi yang sangat akrab serta hangat. Jauh dari kecurigaan atau gap-gap lain yang selama ini sering muncul. Saya kira situasi yang harmonis ini adalah representasi masyarakat Indonesia yang bercorak multicultural dan multireligions. Keesokan harinya, kami mulai terbiasa untuk bercengkrama dan berdiskusi dengan penghuni pesantren, baik saat makan siang maupun perjumpaan didalam lingkungan pesantren. Bhante Dhira, Sang Bhikhhu, banyak menghabiskan aktivitasnya di masjid NurulHakim. Saya melihatnya berkomunikasi dengan para santri yang menyambut dengan sangat baik. Mereka tak hanya berdiskusi, tetapi juga berfoto sambil tertawa riang. Para santri banyak bertanya terkait baju yang dikenakan oleh Bhante. Saya sendiri banyak berdiskusi di masjid tentang mahzab-mahzab dalam Islam (Hambali,Hanafi,Syafi’i, dan lain-lain) dengan Pak Ustaz ketika para santri sedang belajar mengaji. Pada suatu malam, kami berdiskusi dengan pimpinan pesantren, yaitu Ustaz Najamudin.Setelah kata pengantar dari Pak Najamudin, kami dipersilakan untuk bertanya. Pesesta lakilaki dan perempuan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang dijawab dengan sangat baik. Dalam kesempatan itu kami diberikan pemahaman tentang aksi-aksi radikalisme yang saat ini banyak terjadi. Ustaz menjelaskan hal itu bukanlah representasi Islam. Karena Islam mengajarkan kedamaian dan juga bertujuan menjadi hikmat untuk alam semesta. Pesantren Modern NurulHakim juga mencegah agar pergerakan radikalisme yang ada di Timur Tengah tidak merambat ke Indonesia. Diskusi malam itu bersama Pak Ustaz Najamudin juga memberikan pemahaman yang baru kepada kami semua: bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi selama ini bukanlah representasi Islam. Karena justru Islam tidak pernah membenarkan aksi-aksi kekerasan dan mengajak kami semua sebagai umat beragama 149
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
dan masyarakat Indonesia untuk saling peduli dan merawat keberagaman dan perdamaian untuk kemajuan bangsa. Refkesi Pribadi dan Rencana Tindak Lanjut Ketika Program INGAGE Medan selesai saya dihadapkan pada dua hal, yaitu senang sekaligus sedih. Senang karena sudah melewati pengalaman dan pengetahuan yang luar biasa terkait dengan Interfaith dialogue dan pemahaman atas kesetaraan dalam berkeyakinan. Sekaligus sedih karena program yang sangat baik seperti itu hanya bisa diikuti oleh tiga puluh orang dari ratusan ribu pemuda di Sumatera Utara. Tentu saja, dengan kemampuan dan pemahaman yang sudah didapatkan dalam pelatihan INGAGE, kami harus menjelma menjadi peacemaker yang meng-influence pandangan toleran ala Indonesia. Pengalaman-pengalaman yang kami diskusikan dan kami dapat dalam program Live-in setidaknya memberi gambaran tentang perdamaian yang mesti dirawat diatas keberagaman. Asal saja semua pihak bersedia untuk berkomunikasi. Kasus-kasus selama ini yang terjadi di Sumatera Utara diakibatkan kurangnya komunikasi. Ketika dialog dilakukan maka kecurigaan dan pandangan negatif yang mendahului, dapat hilang. Persis seperti diskusi Bhante yang sangat hangat dengan para santri dan begitu pula diskusi Pendeta Boy bersama Pak Ustaz di pondok pesantren NurulHakim. Semua itu adalah Indonesia yang sebenarnya. Toleransi dan perdamaian adalah sikap masyarakat Pancasilais. Penyebarluasan pandangan dan pemahaman intoleran memang mudah dilakukan dan banyak terjadi. Dalam kondisi tidak ada atau terputusnya komunikasiantarumat beragama, memang sangat rentan untuk terjadi konflik. Tetapi dalam rencana tindak lanjut, kami para peserta sudah berkomitmen untuk menyebarluaskan pandangan toleran dan juga membuka ruang komunikasi seluas-luasnya di lingkungan sekitar. Saya yakin kami bisa menjadi jembatan demi terjalinnya komunikasi, untuk saling memahami dan membangun kerangka kebhinnekaan agar tercipta harmoni.
150
Bagian III: Para Pelintas Batas
Rukun dibangun mulai dari selfie Foto oleh Ainul Yaqin, INGAGE Medan
Kerukunan Umat Beragama di Medan Bhik k hu Dhirapunno, INGAGE M edan
Belajar keharmonisan dan toleransi umat beragama dari pelatihan INGAGE dan Live-in di pesantren Nurul Hakim, Medan.
K
ERUKUNAN umat beragama di Sumatera Utara merupakan persoalan yang akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang menegangkan di masyarakat. Program dan pelatihan yang diadakan, ditambah dengan kearifan lokal yang dimiliki Sumatera Utara, sebenarnya merupakan modal, upaya sekaligus sarana untuk mengatasi permasalahan yang ada. Terkait dengan hal ini, 151
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
sayamendapat kesempatan untuk mengamati dan mempelajari bagaimana menjaga keharmonisan dan toleransi antariman, melalui pelatihan INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement). Program ini di selenggarakan oleh ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) yang berkedudukan di Yogyakarta. Selain pelatihan, program ini juga memfasilitasi Live-inatau tinggal di rumah-rumah orang yang beragama lain, berbeda dengan yang kita anut. Saya, seorang Buddhis memilih untuk Live-indi Pondok Pesantren Nurul Hakim di Tembung, Medan. Pelatihan ini sangat baik, karena diikuti oleh kaum pemuda dari berbagai keyakinan atau agama. Latar belakang aktivitasnya pun beragam, dari mahasiswa, jurnalis, aktivis pemuda dan juga pemuka–pemuka agama. Di dalam pelatihan ini kita mempraktikkan toleransi, saling menghargai perbedaan, menghormati agama atau keyakinan orang lain, berbagi tulus dan ikhlas, serta saling mengasihi satu sama lain. Semua itu bisa tercapai saat para peserta saling bertukar pengetahuaan yang berhubungan dengan keyakinan atau agama masing-masing. Suatu kenyataan bahwa masyarakat Medan terdiri dari masyarakat yang multikultur. Kenyataan ini harus dijunjung tinggi, dihormati dan terus dipertahankan. Justru karena adanya keragaman inilah, Sumatera Utara sering menghadapi persoalan agama.Ini hanyalah salah satu dari persoalan-persoalan lain terkait keragaman masyarakat di Sumatera Utara. Perkara lain adalah adanya beragam suku yang tinggal di wilayah ini, yaitu Jawa, Batak, Melayu dan sebagainya, yang disebut sebagai etnis Nusantara. Selain itu juga ada etnis yang sering disebut orang dari manca negara, misalnya Tamil dan Cina. Tujuh belas dari 33 kabupaten di Sumatera Utara kebanyakan muslim. Sedangkan sebelas kabupaten lainnya kebanyakan beragama Kristen. Lima kabupaten sisanya memiliki warga yang agamanya berjumlah seimbang. Walaupun satu agama memiliki pemeluk yang lebih banyak dari yang lain, untuk Sumatera Utara saya anjurkan saat 152
Bagian III: Para Pelintas Batas
ini untuk tidak memakai sebutan mayoritas dan minoritas. Karena untuk mewujudkan kerukunan beragama, bila masih menyebut mayoritas dan minoritas maka hal tersebut akan lebih sering menimbulkan gesekan–gesekan di masyarakat. Kelompok yang sedikit jumlahnya merasa ditindas, dan yang berkuasa melakukan penindasan atau bertindak sesuka hati. Sebelum program berakhir, para peserta pelatihan INGAGE menjalani Live-in atau merasakan hidup di tengah-tengah keluarga yang berbeda agama atau keyakinan dengan kita. Saya seorang Bhikkhu, yang sering di kenal sebagai Biksu, yaitu sebutan bagi pemuka agama Buddha, berkesempatan untuk menginap di pondok pesantren. Di sini saya mempelajari beberapa hal dalan kehidupan modern pesantren ini. Walau terlihat sangat berbeda dalam hal penampilan, dari cara berpakaian khususnya, namun saya menemukan beberapa hal yang memiliki persamaan dengan kehidupan saya sebagai seorang Bhikkhu. Kesamaan tersebut adalah dalam hal kedisiplinan dan beberapa nilai moral lainnya. Di pesantren ini, asrama santri dan santriwati berada di gedung yang berbeda dengan tempat santri laki-laki.Semua memiliki batas–batas tertentu dan juga memiliki peraturan. Demikian juga kehidupan saya. Memang, pada dasarnya semua ajaran mendidik penganutnya tentang disiplin moral dengan tujuan untukmengembangkan kualitas batinnya. Sepanjang program pelatihan dan Live-in ini berlangsung, saya mempelajari beberapa jenis kerukunan yang harus diwujudkan dalam kehidupan beragama. Pikiran kecil kita selalu menilai bahwa permasalahan agama terjadi antara satu dengan agama lainnya. Biasanya yang terjadi adalah konflik karena perbedaan pendapat. Tetapi ternyata tidak sepenuhnya demikian. Terdapat tiga hal yang harus dibangun untuk mewujudkan kerukunan beragama yaitu, pertama,kerukunan antar pemeluk agama yang sama. Sesuai seperti yang saya pelajari di pesantren, ternyata banyak sekali perbedaan pendapat terjadi walaupun mereka memeluk agama yang sama. Dan saya kira ini juga terjadi di 153
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
agama apapun. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan kerukunan, antar pemeluk agama yang sama juga harus saling menjaga agar tidak terjadi perpecahan. Walaupun mungkin jarang sekali terjadi konflik seperti ini, namun perlu juga tetap dijaga dan waspada. Kedua, perlu menjaga kerukunan lintasagama, yaitu dengan pemeluk agama lain. Ini adalah suatu bentuk kerukunan yang harus dijalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda. Meskipun cukup sulit untuk dijaga, tetapi harus terus diupayakan. Sebab konflik antar pemeluk agama yang berbeda seperti ini sering sekali terjadi, meskipun kadang pemicunya bukan masalah agama tapi urusan pribadi atau kelompok. Bukan tidak mungkin, konflik ini berujung pada urusan agama. Maka dari itu, komunikasi adalah alat yang baik untuk saling menjaga antar umat beragama, Dari pelatihan INGAGE ini, ada banyak hal yang sangat ber manfaat untuk kita kembangkan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama. Saya berusaha menyimpulkan bahwa kerukunan umat beragama terwujud dari suatu hubungan antar umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian dan saling menghormati. Kendala–kendala pasti banyak bermunculan untuk dihadapi dalam mewujudkan kerukunan beragama. Ada beberapa sebab yang saya amati, antara lain; rendahnya sikap toleransi, adanya kepentingan politik atau kelompok, dan sikap fanatisme. Namun ada solusi untuk menghadapi semua ini, yaitu dengan melakukan dialog antar pemeluk umat beragama seperti di dalam program INGAGE. Para peserta memiliki kesempatan untuk memahami dan bersikap optimistis terhadap tujuan-tujuannya, yaitu demi mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Hingga sampai pada saatnya, bukan lagi perbedaan yang kita cari atau yang sering kita perdebatkan, namun perlu menum buhkan sikap saling memahami, bahwa memang selalu ada perbedaan dalam setiap keyakinan. Tentu saja penyelesaiannya bukan melalui permusuhan, namun saling menghargai perbedaan itu sendiri, bertoleransi dan saling menjaga.
154
Bagian III: Para Pelintas Batas
Acara yang sukses ditandai dengan kehadiran dan dukungan para senior Foto oleh Ainul Yaqin, INGAGE Medan
Agamaku Agamaku, Agamamu Agamamu D esi R atna Hutajulu, INGAGE M edan
M
ENJADI salah satu peserta INGAGE untuk bergabung dengan pemuda-pemudi lintasiman lain dari Sumatera Utara merupakan kebanggaan. Sekaligus keberuntungan karena terpilih dari 178 anak muda di Sumatera Utara yang sudah mendaftarkan diri. Bagi saya moment seperti ini sangat menarik,karena terlibat aktif dalam proses belajar bersama, berbagi cerita dan pengetahuan. Apalagi kami dikumpulkan dari berbagai latarbelakang identitas yang beragam, dipertemukan dalam satu tempat, hal yang jarang terjadi dan merupakan pengalaman baru bagi saya. Pelatihan INGAGE yang berlangsung selama tujuh hari dan diikuti oleh sekitar tiga puluh kaum muda lintasimanini mempunyai 155
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
tujuan yang sangat menarik dan bagus, karena membekali dan memperdayakan kaum muda untuk turut aktif dalam memperkuat kesetaraan hak, untuk saling menghargai keberagaman, dan membangun jembatan lintasiman. Peserta yang mengikuti kegiatan ini sangat beragam identitasnya. Ada yang mewakili agama leluhur seperti Parmalim dan Ugamo Bangso Batak, ada yang Agnostik, Kristen, Islam, Buddha, Katolik, bahkan ada juga yang mewakili kelompok LGBTQ. Saya perhatikan, saat berdiskusi para peserta sangat menghargai keberagaman yang ada, tidak ada yang saling menyalahkan bahkan tidak terlihat perbedaan antara peserta. Semuanya membaur satu sama lain, tanpa melihat lagi latar belakang identitasnya. Itu menjadi nilai positif yang terlihat di ruangan pada saat proses berjalannya pelatihan. Satu dari tiga materi yang diberikan di pelatihan ini adalah tentang HAM (Hak Asasi Manusia). Dari Ibu Alviani Permata, saya mulai memahami bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia menjadi manusia, bukan pemberian orang atau lembaga, melainkan melekat pada diri sendiri. Pembahasan HAM yang disampaikan oleh Ibu Alviani memberikan pemahaman pada saya, bahwa pada dasarnya HAM itu sudah sangat melekat pada diri manusia. Terutama salah satunya adalah hak untuk berkeyakinan dan beragama sehingga kita dapat menghargai kepercayaan orang lain. Dalam hal ini negara memiliki kewajiban dalam penegakan HAM untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi. Jika negara tidak menjalankan kewajibannya, berarti negara telah melanggar hak asasi manusia. Pelanggaran terhadap hak-hak tersebut dapat terjadi karena tindakan negara atau aktor non-negara. Poin penting juga dari materi ini adalah, dengan kita belajar dan mendapatkan pemahaman terkait HAM tentu ini akan mendorong kita untuk berpikir kritis demi memperjuangkan apa yang menjadi hak kita. Karena pada dasarnya kita adalah manusia yang bebas dan setara di negara ini. Apabila hak-hak kita sudah terlanggar tentunya kita harus mendorong negara untuk bertanggungjawab, 156
Bagian III: Para Pelintas Batas
yaitu dengan memenuhi, melindungi, dan menghargai. Sementara antara masyarakat sipil dengan masyarakat sipil lainnya harus semakin menghormati, menghargai dan tidak melanggar hak satu sama lain. Selain HAM, saya belajar mengenai kemunculan agamaagama di dunia dan di Indonesia.Dari Pak Al Makin, kami banyak belajar tentang sejarah agama dunia mulai dari agama Kristen, Katolik, Islam, Buddha, Hindu dan lain sabagainya. Juga belajar mengenai sejarah masuknya agama ke Indonesia. Ada pun poin penting yang saya garis bawahi adalah tradisi maupun adat istiadat dan agama tidak dapat dipisahakan, karena agama itu dipeluk oleh manusia dan manusia adalah bagian dari budaya. Contohnya agama Hindu, yang sejarahnya dimulai dari masuknya Bangsa Arya ke India sejak 1500 SM. Hal ini membawa perubahan yang sangat besar dalam tata kehidupan masyarakat India. Perubahan tersebut terjadi karena Bangsa Arya mengadakan integrasi kebudayaan dengan Bangsa Dravida dan selanjutnya integrasi ini melahirkan agama Hindu.Inilah yang saya maksud dengan agama tidak bisa dipisahkan dari budaya. Kami juga belajar keberagamaan agama, baik yang ada di Indonesia maupun dunia. Mngkin ada perbedaan ajaran masingmasing agama tetapi pada awal munculnya agama yang beragam ini mempunyai tujuan yang baik untuk umat manusia. Sekarang yang ditekankan adalah bagaimana menunjukkan toleransi terhadap semua keberagaman agama itu. Sehingga ke depan, kita bisa menghindari konflik antar. Dari pembahasan ini membuat saya mengetahui agama–agama yang ada di Indonesia dan dapat menghargai antar umat beragama. Materi lain yang disampaikan dalam pelatihan ini adalah internet sehat, yaitu bagaimana mengakses suatu informasi dari internet dengan etika dan perilaku yang sesuai. Atau dapat dikatakan ber-internet sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, tidak membuat rusuh, maupun melanggar hukum. Intinya adalah, melakukan aktivitas internet sesuai kebutuhan 157
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
secara normal. Misalnya, hanya mengakses konten-konten yang dibutuhkan saja saat surfing di internet. Pengaruh konten negatif di internet berupa pornografi, perjudian, penipuan, pelecehan, pencemaran nama baik, cyberbullying dan kejahatan dunia maya, menjadi alasan mengapa diperlukan sosialisasi dan pengenalan tentang penggunaan internet yang baik dan sesuai. Sehingga dapat mengatasi bahaya yang mengancam dari konten-konten negatif yang ada. Pembahasan internet sehat ini sangat bermanfaat bagi saya. Internet sehat sangat diperlukan oleh masyarakat terutama kalangan anak muda agar masyarakat pengguna internet dapat berpikir sebelum mem-posting atau memberikan info serta saat ingin menyampaikan pendapat terhadap suatu informasi. Pengalaman yang paling mebekas di benak saya adalah kegiatan Live-inselama dua hari di Pesantren Nurul Hakim. Saya tinggal di asrama dengan santriwati yang menempuh pendidikan di yayasan tersebut. Semula saya merasa canggung dan tidak tahu hendak melakukan apa di sana, karena mereka sangat sibuk dengan berbagai kegiatan sekolah dan asrama. Kehadiran kita di sana disamakan dengan para santriwati, antara lain makan bersama mereka dan terlibat juga di berbagai kegiatan mereka. Pada awalnya para santriwati itu tidak menduga bahwa kami berbeda agama dengan mereka, karena saya dan temanteman menggunakan kerudung sekedar untuk mencoba merasakan. Belakangan kami mengatakan bahwa kami yang Livein di pesantren ini bekeyakinan beda dengan mereka. Mereka bukannya menghindar, tetapi justru mereka semakin mendekat. Kami membaur dan saling bercerita tentang berbagai masalah, termasuk perkara sekolah dan keluarga. Saya sendiri yang semula canggung dan merasa minoritas karena di lingkungan yang mayoritas muslim, lama-kelamaan tidak merasakan itu lagi. Karena para santriwati sangat terbuka dengan keberadaan kami. Peristiwa menarik yang terjadi selama di pesantren adalah saat Bhante Dhira berbagi cerita dengan para santri. Peserta INGAGE 158
Bagian III: Para Pelintas Batas
yang merupakan seorang Bhikkhu agama Buddha ini sangat mencolok karena atribut jubah oranye yang selalu dikenakan. Banyak santri yang mengajaknya berdiskusi. Tentu itu sangat menarik karena melihat anak-anak tersebut menghormati Bhikkhu dan mau mendengarkan perkataan-perkataannya, meskipun mereka berbeda agama. Saya mendapatkan banyak hal pada waktu itu, menyadari bahwa sesungguhnya perbedaan itu sangat indah apabila kita bisa saling menerima dan menghargai perbedaan. Saya merasakan anak-anak santriwati tidak pernah memandang kita orang yang berbeda dengan mereka, terlihat dari sikap mereka yang ingin menjalin persahabatan dan melibatkan kami dalam aktivitas mereka. Ajaran agama yang dipelajari di pesantren tentu ajaran yang bagus terlihat pada sikap-sikap mereka yang sangat terbuka dengan keberagaman. Inilah yang sangat berkesan, tinggal bersama mereka seperti saya punya adik-adik baru. Saya mengutip ada pesan dalam ajaran Islam yaitu “agamaku agamaku, agamamu agamamu”. Ajaran ini menyatakan bahwa Islam sangat toleran dengan perbedaan agama. Saya selalu percaya dalam ajaran agama manapun yang saya lihat dan pelajari, baik itu dalam kunjugan ke beberapa rumah ibadah saat Interfaith Journey dan Live-in, ajaran agama selalu mengajarkan kita tentang ketaatan, perdamaian dan cinta kasih.
159
160
Bagian III: Para Pelintas Batas
Menjaga persatuan dalam damai adalah tugas kita, INGAGE dan semua Foto oleh Ida Fitri, Koordinator Logistiki
Menerima Keberagaman Sebagai Dasar Persatuan Negara Indonesia C.Pdt. Pahala Sihota ng, INGAGE M edan
S
EBAGAI bentuk kecintaan akan keberagaman dan toleransi umat beragama, maka Indonesian Corsortium for Religious Studies (ICRS) bersama dengan The Lutheran World Federation (LWF) dan Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD) menyelenggarakan program yang bertajuk INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement). Kegiatan yang dilaksanakan di Asrama Haji Embarkasi Medan, 1-7 September 2016 ini ternyata sangat bermanfaat untuk setiap peserta karena menciptakan moment bersama dan membaurkan berbagai individu dari latar belakang agama yang berbeda. INGAGE adalah 161
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
wadah bagi pemuda guna menciptakan pola pikir yang lebih maju dan menerima keberagaman. Sekitar 178 peserta yang mendaftar, hanya tiga puluh orang saja yang terpilih mengikuti program ini. Pengalaman yang paling menarik selama pelatihan INGAGE, yakni kegiatan Interfaith Journey dan Live-in. Di situ para peserta bisa memahami tentang keragaman dengan lebih mendalam, sebab para peserta tinggal bersama dengan masyarakat yang menganut kepercayaan berbeda. Program seperti ini sangat baik jika dilakukan secara berkelanjutan dengan kapasitas yang jauh lebih besar lagi, di mana para peserta yang telah dilatih dan dibina dapat menjadi duta-duta transformasi, pembawa suara cinta akan keberagaman. Hasil dari pelatihan dibawa dan disuarakan kepada orang lain, serta disebar ke semua tatanan sosial kehidupan agar lebih terbuka kepada keragaman. Seperti yang kita sadari, bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk, kaya dengan ragam agama, budaya, suku bangsa, adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya. Namun keberagaman ini tidak jarang justru menjadi pemicu konflik. Misalnya yang mengatasnamakan agama atau melegalkan tindakan kekerasan atas nama agama. Memang konflik atas dasar agama adalah yang sering terjadi. Apalagi makin maraknya agama dikembangkan menjadi suatu organisasi atau institusi (lembaga).1 Karena kurangnya pemahaman akan keberagaman, maka segala bentuk perbedaan yang ada dipahami dan diartikan secara salah, sehingga tidak jarang perspektif dari kelompok tertentu mencuat untuk menghakimi ajaran atau agama yang lain. Sifat fanatik termasuk faktor pemicu konflik, yaitu pemahaman yang menganggap bahwa agamanya yang paling benar, tidak mau menghargai, tidak mau mengakui dan menerima keberadaan serta kebenaran agama yang lain. Faktor pemahaman yang minim akan makna dan fungsi agama pada umumnya, serta faktor kurang matang dalam iman, juga termasuk dalam faktor pemicu konflik dalam kehidupan yang beragam.
1
162
Lih. D.Hendropuspito, Sosiologi Agama, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 1983: hlm. 127
Bagian III: Para Pelintas Batas
Di Indonesia potensi konflik yang disebabkan oleh agama sangat beragam. Di antaranya yakni penistaan dan penodaan agama, pelarangan pendirian rumah ibadah, perebutan lahan atau konflik agraria, kesenjangan ekonomi, politisasi agama, pembiaran oleh pemerintah serta kurangnya pemahaman umat terhadap agama lain, medsos (media sosial) dan narkoba. Menurut Bapak Dr. Arifiansyah, M.Ag2, di daerah Sumatera Utara saja, telah banyak kasus-kasus seperti itu terjadi. Sebut saja pembakaran rumah ibadah di Sibuhuan, konflik sumberdaya alam atau tambang emas di Batangtoru, pembakaran masjid Balige. Sementara masyarakat muslim di Sarula atau Taput tidak bisa mendirikan masjid. Di Binjai juga tidak bisa membangun gereja. Di Deli Serdang, gereja di Ludengdang tidak bisa didirikan. Masih banyak lagi kasus-kasus agama yang menyebabkan konflik di Sumatera Utara. Padahal pada hakekatnya tujuan akhir yang hendak dicapai oleh sebuah agama adalah kematangan spiritual dan kematangan moralitas yang terwujud dalam hubungan yang baik antara manusia dengan Allah, serta antara manusia dengan sesamannya. Hal ini akan terlihat secara nyata di dalam perkataan, pikiran dan perilaku baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain. Dengan demikian, tujuan dari suatu agama bukan hanya suatu harapan atau cita-cita belaka saja, melainkan harus terwujud dan terimplementasikan bagi dan antar orang se-agama dan juga lintas keyakinan. Seorang yang menyatakan dirinya beragama, tetapi pada kehidupan nyata tidak bisa menerima keberagaman dan toleransi, maka dapat dikatakan ia telah mengingkari tujuan agamannya sendiri. Ia juga telah merusak nilai-nilai luhur dalam lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara yang telah dirumuskan dalam Pancasila. Menolak atau merusak nilai-nilai kemajemukan dalam suatu tatanan masyarakat yang majemuk sama saja artinya telah menolak dan merusak eksistensi masyarakat. Dengan demikian, kita perlu memberikan perhatian khusus pada keadaan sekarang ini. Perlu digalakkan dan diupayakan Dr. Arifinsyah, M.Ag merupakan salah satu pembicara dalam kegiatan Ingage dengan Materi “Situasi Keragaman dan Harmonitas Antariman di Sumatera Utara” (Minggu, 04 September 2016).
2
163
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
peningkatan akan pemahaman terhadap persaudaraan yang rukun dan toleransi antar umat beragama. Warga negara Indonesia harus saling memahami dan menghargai agama lain beserta penganutnya serta memahami dan menghargai hakekat dan martabat manusia HAM. Serta yang tak kalah penting adalah memberikan pemahaman untuk menghidupi jiwa nasionalisme yang berasaskan Pancasila, yakni mencintai keberagaman, kerukunan dan persatuan dalam konteks kemajemukan, baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Pemahaman yang benar tentang agama dan mempraktikkan hidup beragama secara benar, adil, konsisten, konsekuen dan efektif; mewujudkan tujuan agama sebagai puncak dari keselamatan di dunia maupun di akhirat yang diimplementasikan melalui praktik saling mengasihi, mencintai dan hidup rukun. Pentingnya pemahaman akan toleransi bagi warga negara secara umum dan secara khusus kepada para pemuda akan meningkatkan kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman inilah yang akan membangkitkan suatu sikap untuk saling menghargai di dalam kelompok-kelompok maupun antar individu didalam masyarakat secara umum dan di dalam lingkungan sekitarnya secara khusus. Lahirnya jiwa toleransi di dalam diri seseorang akan terlihat dalam sikap dan tindakan yang melarang terjadinya diskriminasi bagi kaum minoritas, miskin dan tertindas (marginal). Untuk memahami tentang perbedaan bukan hanya terpaut kepada permasalahan iman kepercayaan saja, namun bisa juga dalam hal sosial, ekonomi, politik, dan lainnya. Misalkan dalam hal ekonomi, harus ada toleransi perekonomian kepada kaum miskin. Rasa toleransi ini akan menciptakan suasana yang damai, saling menghargai antara kelompok mayoritas dalam suatu masyarakat untuk menghargai kelompok minoritas. Pemahaman yang benar akan hidup saling menghargai ini akan menghasilkan hidup yang saling berdampingan dan saling menghindari konflik di dalam maupun di luar kelompok atau komunitas. 164
Bagian III: Para Pelintas Batas
Belajar dari Dr. Arifinsyah di sesi pembekalan Live-in yang mengatakan bahwa terdapat “Pilar Kerukunan di Sumatera Utara”, yaitu TOGA (Tokoh Agama), TODA (Tokoh Adat), TOMU (Tokoh Pemuda) dan Pemerintah. Dengan unsur-unsur ini diharapkan dapat bergerak aktif untuk menyusun kembali tatanantatanan di dalam masyarakat yang memiliki konflik, dan segera menyelesaikan secara tuntas permasalahan-permasalahan tersebut agar tidak merembet ke struktur sosial lainnya. Perihal demikian bisa terjalin, jika masyarakat beserta pilar kerukunan tersebut bekerjasama dengan baik dan memiliki visi dan misi yang sama, yakni menciptakan persaudaraan yang rukun di antara kehidupan kelompok dan kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Cara mengembangkan dan menyuarakan tentang toleransi dan keberagaman boleh dilakukan dengan berbagai cara. Generasi muda yang akrab dengan media sosial (medsos) bisa memanfaat kannya dengan konsep Internet Sehat, yakni (1) menghindari cyberbully atau pelecehan dan premanisme di internet, (2) adanya privacy (kapasitas individual atau kelompok untuk membatasi dalam berbagai informasi diri, demi keamanan dan kepentingan diri sendiri dan UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Undang-undang ini diterbitkan tahun 2008 dalam rangka mengelola informasi dan pemanfaatan di ruang digital. Media sosial merupakan sebuah media online, yang membantu penggunanya bisa dengan mudah untuk berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, forumforum di dunia virtual. Penggunaan media sosial bukan hanya sekedar untuk mengaktualisasikan diri, belajar dan bermain, tetapi media sosial juga bisa dijadikan sumber konflik. Salah satunya karena pengguna media sosial bebas mem-posting ataupun berbagi informasi yang sifatnya anti toleransi dan melanggar hakhak manusia. Banyak oknum atau kelompok yang menggunakan media sosial sebagai alat penebar kebencian yang merupakan faktor terbesar sebagai pemicu perpecahan. Sebagai bagian dari materi 165
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
program INGAGE, Bapak Dr. Leonard C. Epafras, memberikan pemahaman tentang Internet CAKAP (Cerdas, Kreatif dan Produktif). Cerdas adalah mampu memanfaatkan internet secara baik dalam artian tepat guna, aman sesuai etika, budaya dan norma yang berlaku. Kreatif dimaksudkan mampu menciptakan karya baru yang berpotensi memberikan martabat dan nilai tumbuh. Produktif adalah kemampuan mendapatkan atau memberikan manfaat maksimal dari penggunaan teknologi dan internet, untuk diri sendiri dan orang lain. Jika Internet Cakap ini dipakai secara konsisten dan efisien, maka sangat membantu dalam meraih cita-cita bangsa yang mencintai keragaman dan toleransi umat beragama. Menurut saya, diperlukan dialog yang sehat dengan kesadaran akan keragaman dan kemajemukan. Perlu juga pengembangan pemikiran tentang bagaimana cara menumbuhkan nasionalisme dalam sanubari setiap warga negara Indonesia. Perbedaanperbedaan yang ada disikapi sebagai suatu kekayaan berharga yang harus dijaga dan dilestarikan. Sebab ketika kita memandang bahwa keragaman merupakan kekayaan, maka dengan sendirinya kita akan berusaha untuk menjaganya agar tidak hilang. Sikap saling memiliki dan menghargai kekayaan inilah yang seharusnya kita pupuk dalam diri kita. Ditambah dengan meningkatkan jiwa nasionalisme yang berpusat kepada filosofi Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol pemersatu. Dengan demikian, sebagai pemuda pemudi generasi penerus bangsa, marilah kita menjaga jiwa nasionalisme. Jangan membiarkan keragaman yang kita miliki ini membuat kita menjadi lemah dan terpecah, apalagi memicu konflik. Namun marilah kita bersama-sama menciptakan kerukunan dan kedamaian di dalam keragaman yang kita miliki, demi persatuan bangsa sebagai syarat menuju negara Indonesia yang lebih baik.
166
Bagian III: Para Pelintas Batas
Peserta INGAGE Manado di Vihara Dhammadipa, Manado Foto oleh Lefrando Andre, INGAGE Manado
Embrace Your Diversity! Tiarastella Amanda K angiras, INGAGE M anado
P
ERBEDAAN merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun, apalagi jika berbicara mengenai konteks Indonesia dengan berbagai kemajemukannya. Keragaman agama, ras, suku, bahasa, dan lain sebagainya memang memberi warna. Tapi tak dapat dipungkiri, keragaman yang ada menyebabkan munculnya tembok-tembok yang membatasi ruang gerak antara kelompok satu dengan yang lainnya. Jembatan-jembatan bernama persatuan dan toleransi dibiarkan begitu saja, bahkan cenderung diabaikan demi kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Munculnya pendapat bahwa satu kelompok lebih baik dari kelompok 167
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
lainnya memunculkan sekat-sekat yang memecahbelahkan makna Bhinneka Tunggal Ika yang sejak dahulu telah diusung oleh para pendiri negeri ini. Namun, apa yang terjadi jika sebuah ruang diciptakan guna menjembatani pertemuan antarkelompok ini, yang rindu untuk bertemu dan bertukar cerita tentang pengalaman imannya masingmasing, tanpa memusingkan sekat-sekat yang ada? Apakah akan menjadi Pertemuan yang indah? Atau merupakan wujud persatuan dalam keberagaman? Atau, justru sebaliknya, Pergesakan yang makin menjadi-jadi dan menimbulkan pencideraan yang berbahaya? The Beginning Semua bermula dari posting-an yang dibagikan oleh salah satu dosen fakultas saya, “Ibu” Angie Wuysang mengenai kegiatan INGAGE ini. Mengapa saya menggaris kata “Ibu‟ itu? Kalian akan mengetahui ceritanya nanti. Sebagai seorang silent reader yang biasanya hanya memerhatikan timeline tanpa sekali pun berniat mengomentari, saya pun merasa tertarik dengan kegiatan INGAGE karena menurut saya dimana lagi saya bisa bertemu dan berbagi dengan teman-teman di luar agama saya—di luar keluarga saya? Jujur saja, saya mengikutinya, pertama-tama, karena saya ingin mendapat pengalaman, apalagi skripsi saya bersinggungan dengan pertemuan antaragama, “Gotcha! Ini kesempatan emas yang tidak boleh saya sia-siakan.” Akhirnya saya pun mengisi formulirnya, tanpa mengatakan apa pun kepada orang lain. Beberapa teman sefakultas membicarakan kegiatan ini dan bagaimana mereka sudah mengisi formulirnya serta harapan mereka untuk ikut, sedangkan saya hanya diam dan memilih bungkam. Pikir saya, untuk apa saya mengatakan saya juga mengisinya? Toh, belum ada jaminan saya akan diterima. Belum lagi jika pada akhirnya saya tidak bisa ikut, apa yang ada dalam pikiran mereka? Yeah, I know I am overthinking too much, namun apa kita bisa menahan apa yang berada di dalam pikiran orang lain? 168
Bagian III: Para Pelintas Batas
Tak diduga, “Ibu” Kak Angie mengirimkan message pada saya di Facebook mengenai kegiatan ini, mengajak saya untuk ikut berpartisipasi, padahal saya sudah mengisi formulirnya di hari sebelumnya—dengan diam-diam tentu saja. Setelah mengatakan bahwa saya sudah mengisinya—saya merasa seperti baru saja mengakui perbuatan dosa karena telah diam-diam mengisi formulir itu. “Ibu” Kak Angie membalas dengan kalimat bernada positif, sehingga membuat saya lega. Setidaknya Kak Angie tidak menganggap saya bak pencuri yang diam-diam mengambil apa yang tidak seharusnya saya ambil. Hari-hari pun berlalu, dan tak terasa waktu pengumuman penerimaan peserta semakin dekat. Kemudian, di suatu malam, saya menerima sms yang menyatakan saya masuk seleksi penerimaan peserta INGAGE. Hati saya melambung tinggi kala itu, saya nyaris melompat-lompat. Itu membuat keluarga saya terheran-heran. Saya pun memberitahukan bahwa saya mengisi formulir untuk mengikuti kegiatan INGAGE kepada keluarga saya, yang disambut baik oleh mereka, bahkan Mama memeluk saya dan mengatakan ia sangat bangga pada saya—entah mengapa tiba-tiba saja saya merasa seperti baru memenangkan medali emas olimpiade. Suasana yang mengharu-biru itu menjadi berantakan tatkala terdengar celetukan Ibu saya, “Tapi INGAGE itu kegiatan yang bagaimana memangnya?” Ya, saya lupa menceritakan pada mereka seperti apa kegiatan INGAGE itu, namun saya pikir melihat reaksi Ibu saya yang super excited—bahkan saya nyaris mengira Beliaulah yang terpilih menjadi peserta— yang sudah mengetahui kegiatan ini. Akhirnya, dengan wajah penuh keseriusan saya memberitahukan kepada beliau mengenai kegiatan INGAGE atau Interfaith New Generation Initiative and Engagement. Bagaimana kegiatan antariman ini mengumpulkan para generasi muda yang memiliki tujuan untuk membangun Indonesia yang lebih baik dengan programTraining dan Live-in. Melalui INGAGE kaum muda diberi ruang untuk berinteraksi, berdialog, bahkan bersikap kritis 169
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
mengenai keragaman iman, tradisi keagamaan, juga hubungan antarkomunitas sekaligus juga membekali diri dengan pemahaman terhadap perbedaan iman dan kesetaraan yang dieksplor melalui teknologi digital. “Kira-kira begitu singkatnya, Ma,” ujar saya pada Beliau. Beliau mengangguk-angguk dan dengan bersemangat menyetujui keikutsertaan saya begitu pula dengan ayah saya. Starting Point Tak terasa hari-H pun tiba, hari ketika saya mengikuti kegiatan INGAGE ini. Dikarenakan kami peserta akan mengikuti welcoming dinner malam sebelumnya, maka kami pun harus check-in di hotel sehari sebelumnya. Selama perjalanan menuju hotel hati saya berdegup tak karuan. Berbagai pertanyaan menyeruak di pikiran saya; siapa yang akan jadi teman sekamar saya? Bagaimana jalannya kegiatan ini? Apakah saya bisa mengikutinya dengan baik? Apalagi kami sudah diancam-beri nasihat oleh “Ibu” Kak Angie bahwa kami harus aktif, jangan malu-malu, apalagi bikin malu. Hal yang cukup sulit bagi saya pribadi karena berbicara di depan banyak orang, melihat begitu banyak mata menatap saya, bukanlah hal yang menyenangkan di mata saya. Saya lebih menyukai berbicara empat mata dengan orang lain ketimbang berbicara di depan umum. Namun, saya sadar ketakutan saya harus saya kikis. Bukan karena ini perkataan Kak Angie, melainkan agar saya menjadi lebih berani mengutarakan pendapat dan pemikiran saya tanpa mempedulikan apa tanggapan orang lain kepada saya. Sesampainya di hotel, saya pun diberitahu bahwa teman sekamar saya sudah datang duluan. Saya menjadi semakin gugup; apa yang akan saya katakan pertama kali? Bagaimana jika saya bersikap memalukan? Tetapi saya tepis pikiran-pikiran aneh saya dan akhirnya menaiki lift menuju lantai satu. Sesampainya di lantai satu, mata saya tertancap di satu kamar bernomor 111 dan akhirnya saya pun mengetuk pintunya. Ibu saya yang mengantar saya pun masih setia mendampingi saya hingga saya masuk ke dalam kamar tersebut. Di situlah saya bertemu dengan Kak Nindy 170
Bagian III: Para Pelintas Batas
untuk pertama kalinya, dan akhirnya kami menjalani kehidupan sebagai roommate selama empat hari. Kak Nindy juga begitu baik dan begitu sabar meskipun ada hal-hal ceroboh yang saya lakukan seperti dua kali “mengunci” Kak Nindy di luar kamar, karena kunci pintunya ada pada saya. Selidik punya selidik, kasus penguncian kamar yang pertama disebabkan oleh seseorang yang mengaku tetangga saya—karena lorong rumahnya berseberangan dengan lorong rumah saya—bernama Kak Asri, seorang Muslim Syi’ah yang biasa kami panggil “Bhante”. Kak Asri pun baru mengakui hal itu setelah kegiatan INGAGE selesai—sungguh pengakuan yang mulia. Kasus penguncian yang kedua, saya akui seratus persen kesalahan saya. Untunglah Kak Nindy bukan tipe orang yang pendendam, sehingga ia memaafkan saya atas perbuatan saya; kalau tidak, saya bisa jadi memikirkan hal itu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Malam pun menyambut, dan kami pun bertemu dengan seluruh peserta dan panitia INGAGE Manado. Saya merasa sangat beruntung berada di sana, karena bisa berjumpa dengan temanteman yang berbeda kepercayaan dengan saya. Para peserta INGAGE Manado terdiri atas beragam kepercayaan, seperti Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Islam Sunni, Islam Syi’ah, dan penghayat kepercayaan Masade. Penghayat kepercayaan Masade jelas begitu menarik perhatian saya, karena seperti yang diketahui di Indonesia hanya diakui enam agama, yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu, sehingga adanya penghayat kepercayaan Masade membuat saya menyadari betapa luar biasanya Indonesia karena keberagamannya yang terkadang belum disadari secara luas. Mereka disebut kaum Tua, dan telah berkembang sejak abad ke-12 M. Orang-orang di luar mereka menyebut para penghayat kepercayaan Masade sebagai “Islam Tua” sekali pun mereka sendiri tidak pernah mengatakan hal tersebut. Penghayat kepercayaan Masade berkembang di Sangihe, tepatnya di Lenganeng, Tabukan Utara. Saya sempat bercakap-cakap dengan 171
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Kak Surikno, salah satu peserta INGAGE yang merupakan seorang penghayat kepercayaan Masade. Berbincang dengannya tentang tradisi keagamaan Masade, yang jika dilihat dari mata kaum awam memiliki tradisi Islam juga Kristen, membuat saya tertarik. Mereka adalah contoh agama lokal yang masih mengalami diskriminasi karena kurangnya pemahaman mengenai kepercayaan yang mereka anut. Selain penghayat kepercayaan Masade, ada pula seorang peserta perempuan muslim yang memakai cadar. Saya akui ketika pertama kali melihatnya saya kaget dan sekaligus juga bertanyatanya mengapa ia memakai cadar tersebut—apalagi ada stigma negatif yang dilekatkan kepada para perempuan yang bercadar. Namun, setelah mengenalnya, stigma itu terhapus begitu saja. Jika ada yang berpikir wanita yang bercadar itu kaku, tidak mudah bergaul, terlalu menjaga diri, dan lain-lain, ia malah sebaliknya. Anaknya begitu asyik diajak mengobrol, berpikiran terbuka, bahkan tidak ada kesan menjaga jarak, meskipun ia tahu saya berbeda keyakinan dengannya. Salah satu penyesalan saya ialah tidak sempat melihat wajahnya, yang membuat saya penasaran sampai sekarang. Saya pun sempat berbincang dengan Sita, nama peserta tersebut, mengenai alasannya memakai cadar. Menurutnya, batasan auratlah yang membuatnya memakai cadar. Sekali pun ada yang berpendapat telapak tangan dan wajah bukan merupakan aurat, akan tetapi jika karena hal itu menimbulkan fitrah di hati laki-laki, contohnya jika wajahnya cantik atau menarik, maka ada baiknya menutupinya dengan cadar. Sekali pun keluarga saya ada yang beragama Islam, namun saya jarang berbincang-bincang secara dalam dengan mereka mengenai agama Islam, apa saja tradisi mereka, latar belakang agama Islam, dan sebagainya. Mungkin jika saya tidak mengikuti INGAGE, hal-hal seperti ini tidak akan pernah saya ketahui bahkan sampai saya menutup usia. Pagi menjelang, tanggal 22 September atau hari pertama kegiatan INGAGE resmi dimulai. Saya duduk bersama tiga orang 172
Bagian III: Para Pelintas Batas
peserta muslim, dan kami masih sempat-sempatnya juga membahas mengenai pengaruh kebudayaan Barat terhadap budaya Indonesia di sela-sela waktu sebelum acara pembukaan kegiatan dimulai. Ketika acara pembukaan itulah dimulailah bertemu Kak Angie, dosen saya yang menyabet gelar panitia dan fasilitator tercantik versi peserta. Saya masih sedikit canggung awalnya, tapi saya pikir tak masalah, lagipula “Ibu” Kak Angie masih terlihat seumuran ketika berfoto bersama kami, para peserta. Setelah mendapat wejangan dan nasihat dari para tokoh agama dan pemimpin perguruan tinggi, maka kegiatan INGAGE pun resmi dimulai. Selama empat hari kami akan dibekali dengan materi-materi yang berhubungan dengan agama, kesetaraan, juga teknologi digital dari narasumber luar biasa, yakni Bapak Al Makin, Ibu Alviani Permata, serta Bapak Leonard Epafras. Setelah bekal materi, peserta mengikuti program Live-in bersama keluarga yang berbeda keyakinan dengan kami selama tiga hari. Dari sekian banyak materi yang diberikan kepada kami, saya menyukai pernyataan Bapak Al Makin kala ia memberi materi Agama-agama di Dunia. Beliau menyatakan bahwa, jika kita ingin mengetahui suatu agama, tanyakan langsung kepada yang mengimaninya. Jangan hanya mengira-ngira atau malah memfokuskan diri pada persepsi orang lain yang belum tentu bersentuhan langsung dengan agama tersebut. Pernyataan Bapak Al Makin jelas membuat saya menyadari bahwa dalam proses belajar mengenai agama-agama lain, sangat penting bagi kita untuk bertanya pada mereka langsung karena bisa saja apa yang kita yakini tentang suatu agama belum tentu seperti itulah apa yang mereka yakini selama ini. Perspektif saya sebagai seorang Kristen jelas berbeda dengan mereka yang beragama Hindu atau Islam. Jika saya memaksakan pikiran saya, tentu tidak akan membuahkan apaapa selain konflik dan pergesekan yang bisa saja berbuntut panjang. Berkenaan dengan pernyataan itu, teringat pula saya dengan kalimat dari Kak Taufan, salah satu fasilitator INGAGE Manado, yakni, “Kita perlu ‘meminjam’ kacamata pemeluk agama lain 173
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
dalam memandang agama mereka dan menanggalkan sejenak kacamata kita selaku penganut agama yang berbeda”. Dalam mempelajari agama lain, sangat perlu bagi kita untuk memiliki keterbukaan yang tulus terhadap pemahaman mereka mengenai agama mereka sendiri, tanpa menambahkan embelembel agama kita sebagai usaha membanding-bandingkan, bahkan menjatuhkan agama tertentu. Indonesia yang memiliki kebe ragamaan yang luar biasa dari berbagai bidang pun, masyarakatnya belum sepenuhnya mampu mempraktikkan hal ini di setiap segi kehidupannya. Banyak warganya yang masih berpikiran sempit dan menutup diri terhadap usaha dialog lintasagama yang jelas diperlukan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Menurut Wesley Ariarajah, pada dasarnya setiap pemeluk agama adalah peziarah yang memiliki tujuan yang satu, yakni kepada Sang Maha Kuasa. Sebagai sesama peziarah, sangat tidak etis bagi kita untuk saling sikut, saling menjatuhkan, bahkan saling meninggikan diri mengenai perjalanan ziarah siapa yang paling baik, paling hebat, dan paling bermakna. Oleh karenanya, diperlukan rasa saling menghargai, menghormati, juga toleransi dan penerimaan yang tulus terhadap agama lain diiringi komitmen untuk menjaga agama yang berbeda dengan agama kita. Salah satu pengalaman luar biasa yang saya rasakan secara pribadi ialah ketika kami mengikuti sholat Jum'at di salah satu masjid di Manado. Selama dua puluh tahun saya hidup, itulah pertama kalinya saya masuk ke dalam masjid—bukan hanya masuk, melainkan juga ikut menyaksikan bagaimana ibadah mereka. Saya bahkan memakai hijab yang tidak pernah saya kenakan sebelumnya. Selama ini saya berpikir semua jenis hijab itu sama, yang penting menutupi kepala. Nyatanya ada perbedaan hijab biasa dengan hijab longgar yang juga saya lihat dipakai oleh teman-teman peserta yang lain. Semakin tertutup dan semakin longgar hijabnya maka yang memakainya telah siap untuk meninggalkan hal-hal “duniawi‟ dan mendekatkan diri kepada Nabi Muhammad S.A.W. 174
Bagian III: Para Pelintas Batas
Semua kembali kepada diri sendiri, jika telah siap, maka dipersilahkan. Selain itu kami bahkan belajar bagaimana temanteman yang muslim melakukan sholat, yang membuat beberapa orang sibuk melirik kami dengan tatapan penuh tanya. Saya jadi merasa bersalah, karena secara tak langsung kami membuat mereka tak khusyuk dalam beribadah. Sekalipun banyak yang belum memahami bahwa tujuan kami menyambangi masjid, gereja, pura, bahkan vihara adalah untuk belajar mengenai agamaagama lain—dalam keragamannya, namun melaluinya kami selaku partisipan aktif mendapat pelajaran dan pengalaman berharga yang jelas saja tidak akan bisa ditakar dengan apapun. Seperti yang diungkapkan oleh Dr.Noudy Tendean, ketika memberikan pembekalan untuk kegiatan Live-in bahwa kita boleh kemanamana, tapi iman kita jangan kemana-mana. Kita jelas boleh untuk datang ke tempat kaum Muslim, Hindu, Buddha, dan yang lainnya, dan tidak membuat iman percaya kita terhadap Tuhan menyusut bahkan bisa jadi kita semakin dekat dengan Tuhan melalui para peziarah lain. Perbedaan agama bukan alasan untuk memutus tali silaturahmi yang telah terjalin atau yang seharusnya terjalin. Selain materi mengenai agama-agama dan keberagamannya, ada pula materi mengenai HAM, kesetaraan dan kemerdekaan, juga mengenai Digital Communication. Sebagai salah satu orang yang pernah mengalami cyberbullying yang masih membekas di diri saya sampai sekarang, materi mengenai Internet Sehat juga Kesetaraan dan Kemerdekaan jelas membangkitkan rasa keingintahuan saya. Bagi siapa pun yang pernah mengalami cyberbullying atau pun bullying di kehidupan nyata tentu pengalaman itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan untuk diingat. Bullying bukan hanya dilakukan secara fisik, namun segala bentuk perbuatan yang membuat orang lain tidak nyaman, seperti berkata kasar atau mengucilkan, baik di dunia nyata maupun cyber. Banyak orang tidak menyadari apa yang disampaikan di internet bisa saja membuat orang lain merasa tertekan, terluka karenanya, bahkan bunuh diri. Kebebasan yang diberikan kepada 175
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kita untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi memang merupakan hak asasi kita selaku manusia. Akan tetapi, kebebasan itu bukan alasan bagi kita untuk menjatuhkan orang lain dengan perbuatan kita yang tidak menyenangkan, kemudian beralasan bahwa itu adalah hak kita untuk menyampaikan pendapat. Kita perlu menyaring apa pun informasi yang kita terima, bahkan yang kita bagikan di dunia maya, sebab di zaman sekarang ini barrier antara dunia offline dan online nyaris tidak ada. Setiap kali kita membuka timeline media sosial, tak jarang kita menemui berbagai ‘posting-an’ mulai dari ucapan syukur, doa, foto foto, bahkan komentar-komentar atas tautan yang dibagikan. Seakan apa pun yang akan dilakukan dan dikerjakan tak afdol rasanya jika tidak dibagikan di dunia maya. Moto yang disampaikan di dalam materi Internet Sehat menyentakkan saya, “Hargai privasi diri sendiri dan hargai juga privasi orang lain”. “Hargai privasi diri sendiri” menunjukkan bahwa kita berhak untuk membatasi apa yang akan kita bagikan di dunia maya, kita berhak untuk menyaring hal-hal tidak penting yang tidak perlu kita sampaikan di dunia maya, sebab tidak semua hal yang kita bagikan akan berdampak positif bagi kita. Ingat, ada begitu banyak kasus yang berujung ke pengadilan terjadi karena ‘posting-an’ di dunia maya. Ketika kita mampu menghargai privasi diri sendiri, maka kita pasti mampu menghargai privasi orang lain. Kita tidak akan memaksa seseorang memberikan nomor teleponnya hanya karena kita merasa tertarik padanya sampai-sampai membombardirnya dengan ribuan pesan di direct message bahkan wall-nya diiringi kalimat-kalimat tidak pantas. Misalnya, No means no! Apabila saya pernah menjadi korban dari orang-orang yang tidak menghargai privasi saya, maka saya tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama. Kebebasan yang diterima seharusnya tidak digunakan untuk kesenangan pribadi dan merasa bahagia melihat orang lain kesusahan atas apa yang kita lakukan. Melakukan bullying pada seseorang tidak membuat kita lebih superior dari orang yang kita bully. Serta bagi siapa pun yang mengalami 176
Bagian III: Para Pelintas Batas
bullying, you’re not alone. Memang, itu bukan pengalaman yang mudah dilupakan. Namun, apabila kita mampu bangkit dan menjadikan pengalaman itu batu pijakan agar menjadi orang yang lebih baik— bahkan tidak melakukan hal tersebut kepada orang lain—kita perlahan-lahan akan mampu mengatasinya. Bukan hal yang mudah, memang. Namun, bukan berarti mustahil, bukan? Bertemu Dulu Sekarang (Siapa Tahu Besok-besok Bertamu) Saya benar-benar menikmati jalannya kegiatan INGAGE, bukan hanya karena materi-materinya yang menarik, melainkan juga karena pertemuan yang indah dengan teman-teman yang berbeda agama dan kelompok dengan saya. Saya masih ingat bagaimana beberapa malam kami berdiskusi sampai larut mengenai agama kami masing-masing. Juga tak lupa ketika saya mengikuti program Live-in di rumah Ibu Rosdalina. Di sana saya melihat secara langsung bagaimana kehidupan keluarga Muslim dalam keseharian mereka. Mereka menyambut saya dengan begitu baik, dan membuat saya nyaman berada di tengah-tengah mereka. Berada di tengah-tengah keluarga Ibu Rosdalina begitu menyenangkan, dan waktu yang diberikan selama tiga hari tersebut terasa kurang karena saya merasa masih ada begitu banyak hal yang bisa saya perbincangkan dengan Beliau. Saya juga menyambangi kampus IAIN Manado. Di sana saya dan peserta lain mengikuti kuliah Kak Taufan dan Kak Taufik— dan, ya, saya pun mengenakan hijab selama tiga hari berturut-turut. Berdiskusi dengan teman-teman di kampus IAIN Manado, berbagi pengalaman tanpa sekali pun saling menjatuhkan sesungguhnya merupakan definisi dari kata damai yang sesungguhnya. Kegiatan bertukar pikiran itu bukan hanya berhenti di ruang kuliah, melainkan pun merembet sampai di kantin kampusnya. Kami pun berkenalan dengan beberapa orang teman baru yang berkuliah di kampus IAIN Manado, yang semuanya mau sama-sama saling belajar dan memahami agama masing-masing, dari perspektif penganutnya sendiri. 177
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Dari pertemuan dengan para peserta INGAGE Manado, keluarga Ibu Rosdalina, dan teman-teman dari kampus IAIN Manado, saya belajar makna silaturahmi yang sesungguhnya. Bahwa nyatanya, sekali pun di setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan, namun tali silaturahmi dan persaudaraan yang telah terjalin jangan sampai putus atau berhenti saat itu saja. Kehidupan memang akan berjalan terus, saya bisa saja menemui orang-orang baru yang menambah pengetahuan dan pengalaman saya suatu hari kelak. Akan tetapi, apa yang telah diperoleh saat itu tetap akan menjadi bagian terindah dalam sejarah kehidupan saya. Kapan lagi saya bisa berkunjung secara bebas ke kampus IAIN Manado jika bukan karena ini? Dimana lagi saya bisa bertemu dengan teman-teman yang begitu hebat dan berbakat, generasi muda yang begitu bersemangat untuk menyatukan tekad demi masa depan Indonesia yang lebih baik? Bisa saja kali ini kami hanya bertemu dan bercakap, tapi siapa tahu besok-besok kita bisa saling bertamu guna menjaga silahturahmi? Pada Akhirnya... Tujuh hari telah berlalu secepat kedipan mata. Rasa-rasanya baru kemarin saya datang menyeret koper hitam saya memasuki pelataran hotel, dan kini saya siap menyeret koper saya untuk kembali ke peraduan. Mengucapkan selamat tinggal benar-benar bukan keahlian saya, karena saya bisa saja langsung menitikkan air mata saking terharunya. Kebersamaan, keceriaan, pengalaman, pelajaran, semuanya dipaket menjadi satu yang menjadi bekal bagi saya ketika saya kembali. Saya yang ketika datang pertama kali adalah seorang gadis yang masih takut-takut mengutarakan pemikiran saya. Berdiri di depan teman-teman sekelas saya di kampus saja kadang saya gugup setengah mati. Kini saya bisa berdiri, mengacungkan tangan, menyampaikan apa yang saya ingin sampaikan, juga berdiskusi dengan orang lain di ruang terbuka. Saya nyaris menepuk dada saya sendiri, meyakini bahwa semua ini bukan hanya mimpi 178
Bagian III: Para Pelintas Batas
semata. INGAGE mendorong saya berpikir kritis mengenai keadaan di sekitar saya, apalagi yang berhubungan dengan ranah agama. Saya bisa menjadi seorang pembuat perubahan, dari halhal kecil seperti menghargai privasi saya dan privasi orang lain. Yeah, I love my privacy! INGAGE pun memberikan saya keluarga baru; sekali pun tanpa pertalian darah, kami sekalian mampu saling mengerti dan memahami satu dengan yang lainnya. Tidak ada istilah lebih tua-lebih muda, senior-junior, agama A-agama B, semua berbaur menjadi satu. Semua melebur di dalam satu wadah bernama INGAGE. Ada peserta yang sudah beberapa kali mengikuti dialog lintasagama seperti ini, ada pula yang baru pertama kali. Ada yang sudah menjadi dosen dan mengajar di perguruan tinggi, ada pula yang masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Ada yang beragama A, ada yang bergama B. Ada yang berasal dari kelompok A, ada yang berasal dari kelompok B. Perbedaan kami tidak menjadi sarana yang mampu memecahbelahkan kami. Melalui pelatihan yang diberikan, bahkan program Live-innya, INGAGE benar-benar membuka mata saya mengenai makna keragaman yang sesungguhnya. Beragam artinya tidak sama, namun bukan berarti tidak satu. Persatuan itu kami tunjukkan dengan berdialog secara terbuka dengan agama-agama lain, tanpa perlu merasa tersinggung apabila muncul pertanyaan-pertanyaan yang cukup sensitif sebab kami sadari kami semua masih belajar dan ini adalah prosesnya. Awalnya saya pikir kegiatan INGAGE ini akan berlangsung alot, penuh perdebatan, percekcokan, dan keegoisan diri, karena mempertemukan berbagai orang dari berbagai suku bangsa dan agama. Kami masing-masing akan menyampaikan apa-apa saja doktrin dari agama kami, lalu agama lain akan membandingkannya dengan agamanya sendiri—yang jelas saja menimbulkan pertanyaan, yang berujung kepada dialog panas tanpa ujung. Ekspektasi saya berbalik seratus delapan puluh derajat dengan realita yang terjadi di lapangan. Saya bahkan menginjakkan kaki di 179
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
rumah ibadah agama lain dan melihat secara langsung bagaimana mereka beribadah, bahkan bertemu dengan pemimpin-pemimpin agamanya sendiri—meskipun perkunjungan kami tersebut nyatanya menimbulkan pro-kontra. Saya sendiri sedikit was-was ketika akan membagikan fotofoto selama saya mengikuti kegiatan INGAGE, apalagi ketika saya mengenakan hijab. Saya tahu tidak semua orang akan memiliki pendapat seperti saya, bahwa dengan memakai hijab, datang ke masjid, mengunjungi pura, dan vihara tidak menjadikan saya berpindah agama. Saya tetaplah seorang Nasrani, yang meyakini iman saya kepada Tuhan dan menyembah-Nya menurut ajaran agama saya. Bedanya hanyalah, saya menjadi seorang Nasrani yang toleran. Yang mampu melihat perbedaan yang ada sebagai keunikan yang dibawa oleh masing-masing peziarah. Setiap peziarah memiliki caranya sendiri untuk menuju kepada Tuhan, dan memperdebatkan agama dan doktrin-doktrinnya tidak akan membawa apa-apa selain kehancuran. Akan lebih baik apabila kita bersama-sama bergandengan tangan dan embrace our diversity!
180
Bagian III: Para Pelintas Batas
Dengan ini kami memecah kebekuan suasana Foto oleh Valiano Ezra Moningka, INGAGE Manado
Melihat Yesus Di Dalam Masjid D e via Rumang u, INGAGE M anado
S
AYA bersyukur bisa mengikuti pelatihan lintasiman INGAGE selama tujuh hari yang berlangsung dari tanggal 22-28 September 2016. Penyelenggaranya adalah Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), The Lutheran World Federation(LWF) dan Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad). Waktu pelatihan yang begitu singkat diatur sedemikian padat, sehingga terasa begitu bernilai sampai pada Live-in yang benarbenar mengesankan. Pada keseluruhannya, kegiatan ini benar-benar membangun suatu kekuatan dalam memperjuangkan hak dan membangun 181
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
jembatan lintasiman. Kegiatan ini membuat kita dapat membuka sekat atau penghalang yang awalnya memisahkan kita satu sama lain, menumbuhkan rasa saling memiliki sama halnya dengan sebuah keluarga, serta memberi kebebasan untuk mengekspresikan diri tanpa tekanan pihak lain. Di INGAGE yang merupakan ruang tempat kaum muda difasilitasi untuk dapat mengekspresikan diri semua terasa begitu terbuka, menyatu, tidak ada batas. Semuanya melebur dalam satu ruangan. Program Pelatihan Semua peserta berkumpul dalam satu ruang makan di lantai dasar Hotel Formosa sekaligus mendengarkan sambutan selamat datang untuk para peserta INGAGE dan perkenalan dari beberapa panitia yang ada. Setelah itu semua peserta mengambil makanan dan kembali ke meja masing-masing kemudian memanjatkan doa dalam agama dan kepercayaan masing-masing dan makan bersama. Welcoming dinner malam itu bersifat formal namun santai. Walaupun kami semua berbeda dalam hal agama, tapi kami masih bisa duduk bersama dalam satu meja makan dan tertawa. Malam itu semua orang larut dalam suasana hangat kebersamaan. Rasa canggung terhadap teman dan orang-orang baru disekitar perlahan-lahan mulai sirna. Sebelumnya saya tidak pernah merasakan hal ini. Makan malam satu meja dengan mereka? Aahh, sungguh luar biasa. Tak ada lagi batas yang menghalangi komunikasi kami malam itu. Semuanya asyik menikmati makan malam perdana bersama panitia dan semua peserta. Semua kesibukan masing-masing sebagai mahasiswa, yang sudah selesai kuliah, atau yang sudah bekerja, seakan terlupakan untuk sementara waktu dan mulai membiasakan diri dengan kegiatan baru hari itu. Hari pertama dimulai. Pikiran yang campur aduk tak menentu mulai membayang-bayangi hari-hari ke depan selama kegiatan berlangsung. Pada malam pertama saya tinggal bersama rekan sekamar yang awalnya diluar ekspektasi saya. Awalnya saya 182
Bagian III: Para Pelintas Batas
menduga peserta bisa memilih tinggal sekamar dengan siapa saja. Ternyata semua telah diatur dengan baik oleh panitia bahwa semua peserta akan tinggal sekamar dengan peserta dari agama yang berbeda. Tinggal sekamar dengan Vira yang adalah seorang Muslim membuka pandangan saya bahwa untuk membangun suatu hubungan persahabatan dengan teman baru kita cukup bersikap jujur dan baik. Begitu mengejutkan! Ternyata rekan sekamar saya sangat lucu dan friendly. Kenyataan yang saya lihat menghancurkan pandangan dan perasaan saya, sehingga awalnya saya sangat khawatir apakah bisa menyesuaikan diri dengan dia. Hari itu tidak perlu banyak waktu beradaptasi, keadaan berubah menjadi sangat membahagiakan, tak lupa kami mengabadikannya dalam sebuah foto sebagai awal yang baik dari perkenalan kami. Pada keesokan pagi yang hangat-kebetulan hotel tempat peserta tinggal berdekatan dengan pantai- ditemani dengan matahari pagi yang cahayanya menembus kaca-kaca ruang makan hotel,kami menikmati sarapan. Keakraban terlihat seperti malam sebelumnya, kami duduk bersama dengan santai sambil menikmati makanan masing-masing. Beberapa menit kemudian semua peserta memasuki ruangan untuk mengikuti seremoni Pembukaan. Dua jam berlalu dan peserta disambut lagi dengan makan siang. Kembali suasana keakraban antarpeserta dan panitian terjalin, ruangan berubah menjadi sangat berisik dengan canda tawa dari kami semua. Semua berlangsung cukup lama sampai tiba saatnya untuk perkenalan. Inilah awal pecahnya suasana dalam ruangan, semua orang berbaur dengan yang lain tak ada batas antarsatu dengan yang lain. Semua orang seakan melupakan agama masing-masing. Mulai saat itu tak ada rasa canggung lagi terasa antara saya dan mereka. Saya sangat senang boleh menerima materi dari seorang fasilitator hebat dan baik hati, yang akrab disapa Pak Leo. Dalam materinya tentang dunia digital dan media sosial dan cara berinternet sehat, membuka wawasan dan pengetahuan saya 183
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
mengenai pemanfaatan media online. Kami diberi pemahaman bagaimana memanfaatkan sosial media pada hal-hal yang positif seperti membagikan sesuatu informasi yang baik dan bermanfaat kepada semua orang dan sedapat mungkin tidak menyebarkan hal-hal yang tidak memberi manfaat yang baik yang bisa juga berdampak pada diri sendiri. Dalam kelas juga kami diingatkan bahwa ada Undang-Undang ITE yang diterbitkan tahun 2008 dalam mengelola ruang digital. Internet memang sangat bermanfaat dan sangat membantu dalam proses belajar maupun dalam mencari informasi dengan cepat, namun Pak Leo mengatakan belum tentu juga semua yang ada di internet itu adalah informasi atau berita yang akurat kebenarannya. Kita perlu memeriksa ulang atau menyaring kembali informasi yang didapat. Untuk itu perlu adanya ketelitian menguji ulang informasi yang diperoleh, bisa juga dengan sedikit menggunakan trik kepo atau mencoba mencari tahu sedalam-dalamnya suatu berita atau informasi. Sebaliknya, ketika menyebarkan informasi tentu harus informasi yang benar dan baik, jangan sampai menyinggung atau terkesan merendahkan individu atau kelompok yang lain. Satu kalimat populer yang sampai sekarang selalu saya ingat adalah I LOVE MY PRIVACY, “Hargai privasimu sendiri, hargai privasi orang lain”. Kalimat inilah yang selalu bernyanyi dalam pikiranku ketika mengingat pengalaman di INGAGE. Di era globalisasi saat ini, semua hal dapat kita peroleh dengan mudah dan cepat, sehingga kadang kala tidak lagi mempedulikan ranah privat orang lain, seenaknya mempublikasikan hal-hal pribadi untuk kepentingan yang tidak baik. Awalnya saya tidak begitu banyak peduli dengan per kembangan dunia internet, bahkan, sejak dulu pun saya tidak pernah peduli dengan isu-isu di internet dan tidak pernah terpikir betapa pentingnya menjaga informasi yang kita bagikan dengan perlu memperhatikan manfaatnya. Jika saya ingin membagikan sesuatu, saya tidak pernah peduli apa itu baik atau tidak. Belajar berinternet sehat membuka mata saya pada suatu pandangan yang 184
Bagian III: Para Pelintas Batas
baru bahwa segala sesuatu bisa kita peroleh, segala hal dapat kita bagikan, kita bebas menentukan keinginan apapun. Akan tetapi, janganlah kebebasan dan keinginan kita itu membuat orang ataupun kelompok lain terganggu dan merasa tidak nyaman. Oleh karena itu, mulai sekarang saya menjadi orang yang lebih selektif dalam mempertimbangkan banyak hal untuk membuat suatu keputusan. “Jika ingin mengetahui agama atau kepercayaan orang lain, tanyakan langsung kepada mereka yang mengimani dan mempercayainya,”kata seorang fasilitator berperawakan sederhana namun berwibawa, seorang Bapak yang saya idolakan, yaitu Pak Al Makin. Beliau adalah ahli di bidang sejarah agama, sekaligus seorang penulis buku. Walaupun saya belum mendapat kesempatan memperoleh buku dari Beliau, tapi saya sangat senang bisa belajar bersama-sama di INGAGE. Kalimat dari Pak Al Makin itu membuka perspektif saya bahwa kita tidak dapat menilai sesuatu atas dasar perspektif kita sendiri apa lagi hal yang berkaitan dengan kepercayaan atau iman seseorang. Tentu saja akan terjadi kesalahpahaman antara satu dengan yang lain. Melalui permainan sederhana yang diperkenalkan fasilitator dalam membawakan materi keragaman dan perbedaan membuat saya mengerti makna saling menghargai dan membangun dialog yang baik antara agama yang satu dengan agama yang lain. Awalnya sebelum materi dimulai, saya berpikir pembawa materi akan menjelaskan semua agama baik Kristen Protestan, Katolik, Islam, Buddha, Hindu, Kong Hu Chu dan berbagai aliran-aliran lain. Ternyata Pak Al Makin membawakan materinya dengan ringan dan menarik. Membuat saya mengerti pentingnya keragaman. Sikap toleransi saja tidak cukup karena kita perlu suatu sikap lebih seperti proteksi dan komitmen mempertahankan keberagaman dan perbedaan bukan dipahami sebagai suatu kelemahan tapi suatu kekayaan yang tak ternilai. Interfaith Journey merupakan kegiatan menambah wawasan secara lebih nyata untuk mengetahui secara langsung iman dan 185
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kepercayaan serta praktik keagamaan dari agama-agama secara lebih dekat seolah meminjam kacamata mereka. Mengunjungi tempat-tempat ibadah agama lain bagi saya sebagai seorang Kristen adalah suatu pengalaman yang belum pernah saya bayangkan, apa lagi mengunjungi masjid yang pada saat itu mengadakan sholat Jum’at. Saya pun sempat belajar mempraktikkan cara sholat. Dalam pikiran saya sebelumnya pasti kami akan merasa canggung seperti memasuki rumah orang lain, tetapi ketika sampai di depan masjid saya melangkahkan kaki seperti ada rasa penuh kerinduan untuk masuk dalam ibadah. Perasaan tenang dan damai ketika masuk dan duduk menyatu dalam ibadah sholat Jum’at siang itu. Hal itu merupakan suatu pengalaman iman yang tak terlupakan. Saya merasakan bagaimana hikmatnya masuk gereja begitu pula yang saya rasakan ketika masuk masjid. Dari pengalaman itu saya berefleksi bahwa pada dasarnya kita menyembah satu Tuhan Yang Maha Esa, dimanapun kita, dalam kondisi apapun. Apabila kita sungguh-sungguh ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa itu maka kita dapat menemukannya di manapun dan kapanpun. Pengalaman iman tersebut memperkuat iman dan kepercayaan saya sebagai orang Kristen. Sebenarnya perasaan seperti inilah yang saya inginkan, tidak hanya dalam gereja saja saya menemukan kuasa Tuhan, tetapi di dalam masjid. Kuasa Tuhan itu dinyatakan dan dapat saya rasakan karena menurut iman saya Tuhan itu tidak dapat kita batasi dengan bangunan tempat ibadah ataupun golongan agama sekalipun. Tuhan dapat ditemukan dimana saja karena Dia senantiasa ada di dalam hati kita. Banyak yang saya pelajari dari kegiatan Interfaith Journey. Melihat yang berbeda dari jauh tidak akan nampak aslinya. Kita perlu melihatnya dari sudut yang lebih dekat agar tampak jelas. Bukan hanya di masjid, tetapi juga di gereja, pura, atau vihara. Ditempattempat itulah kemuliaan Sang Maha Kuasa dapat saya lihat dan rasakan. Menghormati dan saling menghargai antarpemeluk kepercayaan sangat penting. Tanpa perasaan itu saya tidak akan 186
Bagian III: Para Pelintas Batas
dapat menyelami, merasakan, dan mengalami sendiri kehidupan keagamaan. Interfaith Journey mengubah kehidupan saya menjadi seorang pribadi yang lebih beriman. Mempelajari ajaran agama-agama yang lain membuat iman saya lebih kuat. Saya tidak lagi merasakan batas yang memisahkan hubungan antara saya dengan Tuhan dari segi tempat ibadah. Di mana saja kita dapat menemukan kuasa Tuhan. Di dalam pura tempat ibadah agama Hindu, saya merasa kagum melihat keindahan tempat ibadahnya yang dirancang sedemikian bagusnya dengan memiliki banyak arti dan simbol yang semuanya menunjukkan atau melambangkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dari gambaran simbol itu kita dapat melihat kehadiran Tuhan. Begitu juga di vihara, aneka perpaduan warna di dalam ruangan tempat ibadah tersebut membuat mata setiap orang terpana, para Bhikkhu juga mengizinkan kami beribadah di dalamnya. Walaupun keadaan sudah lelah tetapi tidak mengurungkan niat saya untuk tetap mengagumi keindahan rohani di vihara tersebut. Program Live-in Dua Hari Tiga Malam Setelah pemberian materi selesai, kami mengikuti program Live- in, yaitu peserta diminta tinggal bersama dengan anggota keluarga yang beragama lain. Program ini bertujuan untuk mengajak peserta melihat, mengamati, serta berinteraksi bersama keluarga tersebut tentang agama dan kepercayaan mereka. Waktu yang singkat memang belum maksimal untuk belajar lebih lama, tapi waktu itu dapat dimaksimalkan dengan baik karena sewaktu kami Live-in diberikan kesempatan juga untuk datang ke kampus IAIN Manado yang kebetulan berdekatan dengan rumah tempat saya tinggal. Hari pertama saya diajak ke kampus mengunjungi per pustakaan dan diberi kesempatan juga masuk di kelas sambil berdiskusi bersama dengan mahasiswa IAIN. Banyak pengalaman yang saya peroleh dari kesempatan live-in ini. Kebanyakan pengalaman yang saya peroleh adalah pengalaman di luar 187
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
ekspektasi. Banyak pertanyaan yang mereka tanyakan kepada saya mengenai kehidupan kekristenan. Pada awalnya saya merasa agak risi karena saya pikir kadang kala pertanyaan yang ditanyakan keluarga tempat tinggal saya terlalu sensitif, tetapi saya juga menyadari jika tidak dijelaskan maka mereka akan membuat pemahaman sendiri dan ada kemungkinan salah penafsiaran, maka saya menjelaskannya semampu saya. Dimulai dari konsep ketuhanan sampai pada hal-hal seperti makanan. Setelah menganalisisnya, saya mulai mengerti bahwa sebenarnya apa yang mereka tanyakan itu, walaupun memang sensitif tapi itulah mungkin yang menjadi masalah dalam pikiran mereka yang menganggap bahwa kami mempunyai agama yang salah (kalau dilihat dari perspektif agama mereka). Untuk itulah pentingnya menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya kepada mereka, seolah-olah meminjamkan kacamata kita kepada mereka. Kunjungan ke kampus IAIN Manado begitu menyenangkan dan merupakan pengalaman yang tidak dapat dilupakan, ditambah lagi bisa kuliah bersama mereka dalam satu ruangan kelas yang sama. Sama seperti datang ke kampus sendiri begitu juga yang terjadi selama dua hari datang ke kampus IAIN Manado. Program Live-in membuka wawasan keimanan saya mengenai pandangan tentang mereka yang beragama Islam. Tak pernah saya bayangkan bisa tinggal dengan keluarga yang belum saya kenal apalagi beragama Islam. Melihat cara orang Islam beribadah atau berdoa saja kadang saya merasa aneh sendiri karena memang belum terbiasa dengan hal-hal semacam itu. Setelah menjadi peserta INGAGE, maka tidak ada rasa canggung lagi dan Program Live-in menambah pengalaman baru yang nyata. Hanya bermodalkan sikap sopan, jujur, dan senantiasa berusaha selalu menunjukkan sikap yang baik, orang-orang dapat menerima kita juga dengan baik. Mereka tidak akan lagi memandang kita dari agama mana tapi seakan dapat menerima bahkan berusaha melayani saya dengan sangat baik selama tinggal di sana. INGAGE benar-benar kegiatan yang mengubah kehidupan saya secara pribadi. Bukan sekedar toleransi yaitu membiarkan 188
Bagian III: Para Pelintas Batas
mereka beribadah menurut agama dan kepercayaan mereka saja, tapi saya belajar bagaimana ikut menjadi bagian di dalamnya. Saya juga belajar untuk tidak mengukur kebenaran orang lain dari sudut pandang saya sendiri. Saya sadar kehidupan dalam kemajemukan masyarakat sangat membutuhkan sikap kritis, proteksi, dan komitmen menjaga dan mempertahankannya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Selesainya kegiatan ini bukan menjadi alasan bagi saya untuk berhenti bertoleransi. Memang tidak mudah untuk mengubah tatanan kehidupan masyarakat apa lagi telah banyak dipengaruhi oleh kehidupan agama yang keras, tapi saya yakin melalui kehidupan pribadi saya orang lain dapat melihat sebagai contoh tanpa saya harus menyuarakannya. Keluar dari zona nyaman seakan lebih menye nangkan dibandingkan bermain dalam tempat sendiri. Keluar dari dunia yang berbeda akan lebih mampu menyadarkan kita apa arti kebersamaan dan apa arti sebuah keluarga. Melihat orang lain berbeda bukan berarti kita menganggap mereka tidak benar atau terlihat soksuci. Dari sini saya belajar semua orang memiliki hak untuk melakukan apa yang mereka imani dan apa yang mereka anggap benar. Tugas saya cukuplah menghargai privasi orang lain. Belajar dari kebersamaan di INGAGE bersama teman-teman baru dengan agama mereka masing-masing, membuat saya terdorong untuk berusaha mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan sendiri seperti apa yang diajarkan agama yang saya Imani. INGAGE membuat hidup saya lebih terarah dalam hal me mandang orang lain bukan dari agamanya, tetapi memandang orang lain sebagai bagian dari diri sendiri. INGAGE mengubah pola pikir saya menjadi lebih terbuka, yaitu mau berteman dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang dan tidak mau lagi terjebak dalam pengetahuan yang dangkal tentang agama. Keseluruhannya INGAGE membuat hidup saja jauh lebih berwarna dari sebelumnya. Saya menjadi orang yang lebih peduli terhadap siapa saja, karena berbeda agama bukan lagi menjadi penghalang 189
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
bagi saya untuk menerapkan kasih Yesus Kristus terhadap semua orang. Hidup bersama dan rasa saling paham satu sama lain tidak akan mengubah identitas masing-masing.
190
Bagian III: Para Pelintas Batas
Kebersamaan di dalam bus saat Interfaith Journey Foto oleh Valiano Ezra Moningka, INGAGE Manado
INGAGE: Pengalaman Bersama Teman Yang Berbeda Keyakinan D essi N. Wentuk , INGAGE M anado
A
DA banyak hal yang tertanam dalam pikiran ketika berbicara tentang keyakinan. Setiap manusia memiliki keyakinan yang tentunya dianggap paling benar, meskipun keyakinan yang dimiliki ialah percaya bahwa tidak ada Tuhan. Ketika berbicara mengenai agama ataupun keyakinan, banyak sekali pertanyaan yang muncul. Siapakah Tuhanmu? Bagaimana ibadahmu? Berapakah Tuhanmu? Benarkah ajarannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan muncul ketika berhadapan dengan orang yang berbeda agama atau keyakinan. Pada umumnya, kita sebagai pihak yang bertanya lebih menggunakan pemikiran sendiri ketika diperhadapkan 191
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kita selalu melihat dari sudut pandang sendiri dan membandingkanya dengan yang kita yakini yang sebenarnya berbeda dan menganggap bahwa kita lebih benar. Bahkan terkadang kita juga menjelaskan kepada orang lain yang bertanya kepada kita mengenai agama orang lain yang seharusnya dijelaskan oleh penganutnya dengan menggunakan pemikiran kita. Demikian pula ketika datang berita melalui media sosial mengenai agama lain, tentu bisa membuat kita langsung percaya akan berita tersebut tanpa mencari tahu dari para penganutnyaapakah berita itu benar. Ketika ada pengetahuan mengenai agama atau keyakinan dari sumber yang salah tentu akan membuat kita tanpa disadari terjerumus sebagai pendorong perpecahan. Dan, jujur saja, saya pun pernah terjerumus dalam hal tersebut. Dahulu saya sangat sensitif ketika berbicara tentang agama. Karena saya hidup dalam lingkungan agama Kristen, maka yang saya tahu hanya agama ini dan saya meyakininya penuh bahwa agama saya paling benar. Ketika ada rasa ingin tahu mengenai agama lain, saya diberi penjelasan hanya dari angota keluarga yang juga beragama Kristen, sehingga ada pemahaman yang salah mengenai agama lain termasuk Katolik. Dengan hanya membandingkan agama saya dengan agama lain tentunya akan membuat saya menganggap agama atau keyakinan lain salah hanya karena berbeda dari keyakinan saya. Ketika saya memasuki masa sekolah menengah kejuruan, saya berbaur dengan teman-teman yang sangat berbeda keyakinan dengan saya. Mereka merupakan teman satu kelas saya. Walaupun berteman, tak bisa dipungkiri yang tertanam dalam pikiran saya adalah bahwa agama yang ia anut itu salah. Ditambah lagi saya melanjutkan studi di sekolah yang hanya ada agama Kristen. Ketika kuliah yang tetap ada dalam pikiran saya adalah bahwa agama selain Kristen itu salah, meskipun dalam agama Kristen ada begitu banyak alirannya. Sampai akhirnya saya mengikuti pelatihan yang diseleng garakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) mengenai 192
Bagian III: Para Pelintas Batas
kebebasan berkeyakinan dan beragama. Dalam pelatihan tersebut saya pun mengetahui ternyata dalam agama Islam pun terbagi, dan bahkan disana saya harus berhadapan dengan orang yang tidak meyakini adanya Tuhan, namun tetap harus dihargai. Dari situ saya pun ingin lebih mengetahui tentang keyakinan yang lain, karena dari kegiatan pelatihan itu hanya dihadiri dua agama, yaitu Kristen dan Islam. Saya mengetahui adanya kegiatan INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement) dari salah satu teman baik. Saya pun tertarik dan kemudian mendaftar. INGAGE merupakan ruang bagi kaum muda melibatkan diri dalam keragaman iman dan tradisi keagamaan, serta bersikap kritis terhadap hubungan antarkomunitas. Para peserta dalam kegiatan INGAGE ini berasal dari berbagai latar belakang keyakinan dan dari berbagai daerah di Sulawesi Utara, yang semua berada pada rentang usia18-30 tahun. Dalam program ini kaum muda membekali diri dengan pemahaman tentang perbedaan iman dan kesetaraan, mengeksplorasinya melalui teknologi digital secara kreatif dan inovatif untuk bersamasama membangun Indonesia yang lebih baik. Pada awal mengikuti INGAGE, tentu ada rasa gugup. Banyak hal pun muncul dalam pikiran. Mulai dari seperti apa kegiatan ini? Agama apa saja yang termasuk di dalamnya? Bagaimana panitianya? Bagaimana peserta lainnya? Adakah yang mau berteman dengan saya? Bagaimana saya harus bersikap? dan sebagainya. Puncak dari perasaan gugup itu adalah ketika check in, dan mengetahui bahwa telah ada seorang yang sekamar dengan saya dan ia telah ada di dalam kamar, yang dari namanya pun telah diketahui bahwa ia berbeda keyakinan dengan saya. Meskipun gugup saya pun pergi ke kamar tempatseorang narasumber baru untuk pertanyaan-pertanyaan mengenai agamanya. Ketika tiba di depan pintu, saya mulai mengetuk dan terdengarlah suara yang halus menjawab,“Ya sebentar”, lalu membuka pintu. Waktu pintu dibuka, saya memperhatikan ada kepala yang terbungkus yang hanya memperlihatkan wajah dan 193
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
pakaian yang begitu tertutup. Itu adalah perbedaan pertama yang saya lihat. Dengan senyuman manis yang terukir diwajahnya, perasaan diterima pun muncul. “Selamat sore,” adalah hal pertama yang saya ucapkan kepada orang yang mempunyai ucapan salam yang berbeda dengan saya. Dan dengan ramah ia pun memperkenalkan dirinya, “Saya Fikra Pratiw.i” Itulah nama orang pertama yang menjadi teman, narasumber, sekaligus kakak yang selalu bersama saya. Sebelum kami bercakap-cakap telah ada pandangan ketika melihatnya, yaitu saya harus berhati-hati, dia orang yang keras dalam agamanya karena dia berhijab, saya tidak boleh terlalu bebas dengannya. Dan, pada awal percakapan saya sangat terkejut karena teman sekamar saya ternyata seorang dosen di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Manado. Hal tersebut semakin membuat saya berpikir untuk menjaga jarak, supaya dia tidak menyudutkan saya mengenai keyakinan yang saya anut. Ketika percakapan berlanjut, pandangan saya itu pun hilang. Kami saling memperkenalkan agama kami masing-masing. Ia dibesarkan dalam keluarga penganut agama Islam, sehingga tidak mengetahui agama lainnya. Sampai waktu makan malam tiba, kami bercakap tentang agama saya dan agamanya. Ia bertanya tentang agama Kristen Protestan kepada saya, dan saya menanyakan tentang agama Islam kepadanya. Dari percakapan dengannya, saya mendapat informasi mengenai peribadatan Islam (sholat), beberapa aturan bagi perempuan, dan satu hal penting, yaitu pandangan saya bahwa Islam itu salah karena adanya ISIS. Pandangan saya yang salah itu pun diluruskan olehnya. Ketika jam makan malam tiba, saya dan Kak Fikra (panggilan hangat untuk teman sekamar saya itu) pun pergi ke ruang makan, untuk makan malam bersama dengan peserta lainnya dan juga para panitia. Di sana saya bertemu dengan salah satu teman yang berbeda agama pula yang dulunya juga merupakan peserta kegiatan lintasiman oleh LSAF di atas. Selama makan malam adapeserta lain yang juga tidak seiman dengan saya yang datang 194
Bagian III: Para Pelintas Batas
bercakap dengan kami. Hal yang menurut saya cukup unik dan baru saya sadari adalah bahwa ternyata peserta yang lebih dulu akrab dengan saya justru bukan orang yang seiman dengan saya. Tanggal 22 September 2016 merupakan hari pertama kegiatan INGAGE. Setelah diawali dengan sarapan, acara dilanjutkan dengan seremoni Pembukaan kegiatan yang dihadiri oleh perwakilanperwakilan pihak yang mendukung. Mereka memberikan sambutan. Kegiatan dibuka oleh Drs. Mochtar Bonde, perwakilan dari Kementrian Agama Sulawesi Utara. Dari sambutannya ia memberikan apresiasi yang tinggi pada pelaksanaan INGAGE. Beliau berharap dari pelatihan ini, Sulawesi Utara yang sekarang berada pada peringkat empat bisa kembali menjadi peringkat satu dalam Indeks Keberagaman Nasional. Selanjutnya, ada pula sambutan dari Sya’ban Mauludin, Ketua PWNU Sulawesi Utara yang memberikan motivasi kepada para peserta. Sambutan lain datang dariwakil GMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) Provinsi Sulawesi Utara, STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri) Manado, dari UKIT (Universitas Kristen Indonesia Tomohon) dan dari Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Setelah seremoni Pembukaan dilanjutkan dengan makan siang. Saya pun masih tidak terpisahkan dari teman sekamar yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan saya. Demikian pula dalam perkenalan antarpeserta, saya masih saja duduk berdampingan dengan teman sekamar dan berada diantara mereka yang berbeda keyakinan dengan saya. Pada awal kegiatan, saya bukannya tergabung dengan mereka yang sekeyakinan dengan saya, tapi malah selalu bersama dengan mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan saya. Namun, perasaan nyaman selalu terasa saat sedang bersama mereka.Pada saat perkenalan, ada hal yang sangat baru yang saya dapati. Ada salah satu peserta yang beragama Masade. Dari penjelasannya Masade merupakan agama Islam tua, yang sudah ada sebelum agama-agama yang lain masuk ke Indonesia. 195
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Pada hari pertama tersebut ada beberapa materi yang diberikan, yaitu Hak Asasi Manusia. Menurut saya,hal penting dari materi itu adalah kenyataan bahwa ketika seseorang dikatakan manusia, maka hak asasi sudah menjadi bagian hidupnya. Sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak asasi, kita juga harus saling menjaga dan mendukung hak asasi orang laintermasuk hak beragama dan berkeyakinan. Selanjutnya,dari materi Dunia Digital dan Media Sosial saya belajar bahwa keduanya bagaikan memiliki sebuah pisau yang bisa sekaligus memiliki dua fungsi yang bertolak belakang. Ketika kita salah dalam menggunakannya, maka bisa mengarah pada masalah yang sangat besar. Namun, sebaliknya jika kita menggunakannya dengan benar maka bisa membawa berkat buat kita. Dari materi Agama-agama Dunia, saya mendapati bahwa ternyata ada begitu banyak agama di dunia ini, dan agama saya bukanlah agama yang pertama. Dalam materi terakhir ini, saya harus berinteraksi dengan teman-teman lainnya. Dari interaksi itu, ada hal yang sangat penting yang harus ditanamkan dalam pikiran, yaitu, “Ketika kita bertanya mengenai keyakinan seseorang, haruslah bertanya dari sudut pandang penganutnya”. Pada malam hari, sebelum kembali untuk istirahat dilaksanakan releksi harian, bagi siapa yang bersedia memberikan refleksi akan mendapat buku yang langsung diberikan oleh para penulisnya. Meskipun gugup saya memberanikan diri untuk memberikan refleksi dan mendapatkan buku Pendidikan HAM dan Demokrasi untuk Mahasiswa. Merupakan suatu kebanggaan karena dari materi-materi yang diterima adalah langsung dari para pakarnya dan mereka merupakan penulis buku. Setelah kegiatan hari pertama selesai, kami tidak langsung tidur tapi malah berkumpul dan saling sharing dengan teman-teman lainnya di depan kamar. Karena asyiknya ngobrol kami pun tidur pada pukul tiga subuh. Hari kedua diawali dengan jalan pagi bersama. Kebersamaan di bawah sinar matahari pagi yang menyegarkan sangat terasa. Kami berfoto, bercanda, dan tertawa di pinggir pantai yang indah. 196
Bagian III: Para Pelintas Batas
Pada hari kedua, kami menerima materi Kemerdekaan dan Kesetaraan. Setiap orang dilahirkan setara dan memiliki kebebasan. Setiap orang punya tanggung jawab terhadap orang lain untuk melindungi hak dan kebebasan mereka. Selanjutnya adalah materi mengenai Internet Sehat. Kata kunci dari materi itu ialah,kebijaksanaan kita dalam menggunakan internet dan menulis status, karena dari status itu, diri kita tercermin. Materi berikutnya adalah Agama-agama di Indonesia, serta Keberagaman dan Perbedaan. Darinya saya mengetahui bahwa agama yang dianut saat ini merupakan agama dari luar, dan ada banyak sekali agama yang ada di Indonesia terlebih di dunia. Salah satu agama dari dalam Indonesia adalah agama yang dianut oleh salah satu peserta, yaitu Masade. Ketika agama dari luar masuk ke Indonesia terjadi pencampuran antara agama lokal dan agama ‘impor’. Dari materi tersebut saya menyadari, bahwa dunia ini beragam, sehingga kita harus realistis. Marilah menerima perbedaan yang memang ada sampai kapanpun juga, agar bisa hidup bersama. Pada hari kedua itu, karenahari itu hari jumat, kami pergi ke masjid. Sebagai perempuan, saya harus memakai kerudung untuk menutupi aurat kita. Hari itu merupakan sejarah bagi saya, karenasebagai seorang Kristen saya memakai kerudung yang menurut saya merupakan salah satu ciri umat Islam. Karena merupakan bagian dari pembelajaran dan juga memenuhi rasa penasaran, saya pun memakai kerudung dan bersama teman-teman lainnya, baik Islam maupun Kristen, pergi ke masjid. Hal pertama yang dirasakan adalah rasa panas. Pertanyaan pun muncul dalam kepala saya, “Kok bisa ya, mereka tahan memakai kerudung?” Apalagi ada salah satu teman kami yang memakai cadar, yang hanya memperlihatkan matanya. Ketika berbicara dengannya, saya pun mengerti bahwa ketika hati dengan tulus mengikuti, panas pun tidak akan terasa. Orang tersebut pun yang pada awalnya saya kiraorang yang sangat tertutup dan pasti tidak mau bergabung dengan kami, malah menjadi salah satu teman dekat saya bahkan dengan terbuka kami saling bergandeng tangan dan berpelukan. 197
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Sewaktu di masjid kami diterima dengan baik, dan kami pun melihat proses sholat Jum’at. Di sana ada pula kotak yang biasa disebut oleh umat Kristen kotak persembahan. Berbeda dengan yang ada di gereja kami, kotak persembahan yang dijalankan sangat tertutup dan dikunci pula, sehingga memang hanya Tuhan yang tahu berapa pemberian kami, manusia. Ketika saya mengisi kotak tersebut, karena saya Kristen saya mengucapkan doa. Dari pemberian tersebut, selang beberapa hari saya menerima berkat yang bahkan seratus kali lipat dari yang saya beri. Ketika mendapat berkat tersebut, hal pertama yang saya ingat adalah pemberian di tempat ibadah tersebut, sehingga saya pun menyadari bahwa tidak peduli berapa yang diberi, dimana kita memberi, kepada siapa kita memberi, apakah seiman atau tidak, Tuhan pasti akan memberikan berkat yang melimpah sesuai ketulusan anda. Pada malam harinya ketika tiba pada refleksi harian, saya yang penakut ini pun kembali memberanikan diri untuk membawakan refleksi harian. Saya mendapat buku berjudul Keragaman dan Perbedaan, yang diberikan langsung oleh penulisnya sendiri yaitu Bapak Al Makin. Saya pun berfoto dengan Beliau. Sabtu, 24 September 2016 merupakan hari ketiga dalam kegiatan ini. Di hari ketiga ini kita akan melakukan Interfaith Journey. Namun pada pagi harinya, saya mengalami sakit perut. Teman sekamar saya bagaikan kakak yang sedang merawat adik yang sedang sakit. Dari awal kegiatan, ialah orang yang selalu bersama dengan saya. Bersyukur kepada Tuhan, karena bisa berada ditempat ini bersama dengan orang yang sangat baik. Ia pun bahkan menjadi tempat curahan hati dan dengan baik memberikan arahan kepada saya. Dari hotel kelihatan dua bus kuning yang sewarna dengan seragam kami yang akan membawa kami dalam perjalanan antariman. Cerahnya langit membuat pakaian kami semakin cerah yang mempengaruhi hati untuk tetap cerah. Saat berada dalam bus, mungkin ada teman yang menyadari bahwa saya kurang enak badan, sehingga ditawarkanlah kepada saya obat. Saya pun 198
Bagian III: Para Pelintas Batas
meminumnya dan berdoa untuk langsung sembuh, supaya acara hari itu tidak terganggu. Bus yang kami naiki, terasa sangat nyaman. Dengan berada bersama-sama orang yang memiliki keyakinan yang lain dengan saya, membuat perjalanan tersebut terasa sangat berbeda dan sangat menyenangkan. Sepanjang jalan cerita baru dan canda tawa menghiasi perjalanan kami. Akhirnya sakit perut pun terasa lagi, namun merupakan akibat dari cerita lucu yang tak putusnya. Bahkan pikiran untuk tidur ketika di bus pun hilang, akibat kebersamaan yang dialami. Tempat pertama yang kami tuju adalah Bukit Doa Mahawu di Tomohon. Disana kami disambut dengan baik oleh pengelolanya. Bukit Doa tersebut dimiliki oleh umat Katolik dan disumbangkan kepada Kota Tomohon. Penjelasan tersebut kami terima dari salah satu Pastor yang bertugas di sana. Ia juga memberikan dukungan penuh dan memotivasi kami agar bisa menjadi pendorong pendamaian. Di sana kami dijamu dengan minuman hangat dan juga pisang goreng. Dengan suasana bukit yang sejuk, pemandangan indah yang dihiasi hijaunya pohon, rumput, dan berbagai bunga yang indah, membuat kopi dan teh semakin nikmat untuk disantap. Rintiknya hujan yang mulai turun tak menurunkan semangat kami untuk sama-sama berkeliling melihat indahnya Bukit Doa itu. Senyuman yang manis terukir dari setiap peserta juga para panitia yang diabadikan dalam foto-foto bersama. Itulah perasaan bahagia, karena ada bersama dengan yang berbeda dan merasa nyaman dengan perbedaan itu. Perbedaan tersebut yang mempersatukan kami.Cerita indah tentang INGAGE pun akan selalu kukenang. Perjalanan pun dilanjutkan, dan tempat kedua yang dituju adalah Pura Danu Mandara yang berlokasi di Tondano yang merupakan tempat peribadatan agama Hindu. Di sana kami diterimadan disambut oleh Pandita dengan baik pula. Kami juga diberi penjelasan umum mengenai agama Hindu. Pura itu memberlakukan aturan bahwa perempuan yang sedang datang bulan dilarang masuk, sehingga saya dan beberapa teman lainnya tidak bisa masuk lebih dalam 199
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
lagi. Dengan tidak masuk pada batas yang ditentukan, bukanlah berarti kita terpengaruh atau mengikuti ajaran mereka, melainkan merupakan sikap menghormati. Dari hal tersebut kita dapat menilai apa yang kita dapat dari kegiatan INGAGE itu. Tujuan selanjutnya adalah Vihara Dhammadipa di Kota Manado. Dalam perjalanan kembali ke Manado, hujan deras membasahi jalan yang dilewati. Akan tetapi, derasnya suara hujan pun terkalahkan oleh derasnya suara tawa kami peserta. Kami pun tiba di Vihara Dhammadipa Manado, dan di sana sambutan hangat pula kami terima dari Bhante yang sudah ada di sana. Berbagai penjelasan diberikan menyangkut agama Buddha. Kami yang memakai seragam berwarna kuning merasa bangga setelah mengetahui ternyata arti warna kuning adalah kebijaksanaan. Sebelum pulang, saya pun mendapat sebuah buku yang sangat menarik yaitu Renungan Seorang Pengelana Tua. Buku tersebut akan menjadi kenang-kenangan yang akan mengingatkan saya mengenai Vihara Dhammadipa bersama dengan INGAGE. Hujan masih belum reda, namun malam sudah tiba dan seakan mengingatkan kami bahwa kami harus kembali. Perjalanan kami di hari itu ternyata belum membuat kami lelah. Dalam perjalanan pulang ternyata canda tawa semakin keras di dengar. Macetnya jalan yang kami lalui seakan menjadi hal yang diminta agar kami masih bisa bersama dalam bus itu. Pandangan orang-orang terarah pada bus kami ketika bus kami lewat, akibat kerasnya suara tawa kami. Pandangan mereka seperti melihat pelangi yang ada di dalam bus, dan kami memanglah pelangi dunia muda. Perbedaan warna keyakinan kami membuat kami semakin indah. Perjalanan tersebut semakin membuat kami saling akrab. Bagaikan menemukan keluarga baru, itulah yang saya rasakan. Malam itu merupakan malam terakhir saya tidur dengan teman sekamar saya. Karena malam terakhir, kami pun tidak langsung tidur tetapi masih bercakap-cakap hingga larut. Salah satu teman kami Nindy ternyata telah terkunci pintunya, sehingga ia bergabung untuk tidur dengan kami. Tempat tidur kami yang 200
Bagian III: Para Pelintas Batas
terpisah, kemudian kami gabungkan sehingga menjadi satu, dan kami pun tidur bertiga. Hari keempat pun tiba. Hari itu merupakan hari ibadah kami sebagai umat pengikut Kristus. Seperti Ibu yang membangunkan anaknya dengan halus dan menyuruhnya untuk mandi, demikian pula hal tersebut dilakukan oleh teman sekamar saya. Kami pun bersiap untuk pergi ke gereja. Sebelum ke gereja kami sarapan terlebih dahulu. Pada saat sarapan kami saling berbagi cerita mengenai Interfaith Journeyhari sebelumnya. Kami pergi ke gereja yang berlokasi di Tikala bersama dengan peserta dan panitia lainnya. Disana kami pun mendapat sambutan hangat dari pimpinan di gereja tersebut. Dengan tenang kami yang beragama Kristen, Islam, Hindu, pun Masade dengan tenang mengikuti proses peribadatandi gereja Sola Gratia, Tikala. Dan pada saat ibadah berlangsung, kami diberikan kesempatan untuk membawakan puji-pujian. Kami pun membawakan pujian yang berjudul Alangkah Bahagianya Hidup Rukun dan Damaidan dilanjutkan dengan lagu dari umat Islam. Dari gereja, kami kembali ke hotel dan langsung check-out. Ketika harus mengatur kembali barang-barang karena mengikuti Live-in, saya dan Kak Fikra pun mengambil foto bersama. Perasaan seakan terpisah dari keluarga dekat itulah yang saya rasakan saat itu. Seseorang yang selalu kemana-mana bersama, tidur, makan, duduk menerima materi, dan bercanda bersama, akhirnya harus berpisah. Lokasi penempatan Live-inkamiberjauhan. Perasaan sedih sangat terasa, karena saya merasa dekat dengan mereka yang berbeda keyakinan dengan saya. Sebelum berangkat kami diberi pembekalan yang intinya adalah, “Binalah hubungan baik dengan keluarga dimana kamu tinggal.” Kami yang beragama Kristen ditempatkan di rumah pemeluk Islam. Sebelum masuk rumah itu, kami disambut LESBUMI NU dengan musik yang indah. Saya ditempatkan dirumah seorang Ustaz, di Tuminting. Ada perasaan senang, karena ketika teman dekat yang berbeda agama pergi ke tempat yang cukup jauh 201
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
untuk dijangkau, saya kemudian ditempatkan di rumah seorang yang seumuran dengan saya yang berbeda agama. Orang tersebut sangatlah ramah dan baik hati. Perasaan takut dan gugup tak bisa dihindarkan. Namun Ibu dan Ayah Febri sangat ramah, bahkan ayahnya sering bercerita hal yang lucu. Pada awal pertemuan, saya sudah disambut dengan cerita lucu yang membuat saya sangat nyaman berada di situ. Pak Ustaz kemudian menceritakan pengalamannya sewaktu ia bekerja di Kantor Wilayah tempat ia berteman dengan banyak Pendeta. Pak Ustaz juga sangat mendukung kegiatan ini, karena dari kegiatan ini antarmanusia boleh saling ta’aruf mengenai agama dan keyakinan. Kalau hidup dalam keberagaman, saling mengenal itu perlu, agar bisa saling mengerti dan memahami. Ada perkataan Pak Ustaz yang baik untuk diingat, yaitu, “Ketika itu perkataan baik, sekalipun dari anjing harus kita terima.” Selama di rumah Pak Ustaz, saya mendapat begitu banyak cerita lucu. Mulai dari persahabatan Pendeta dan Pak Haji, pengalaman Beliau ketika hendak ceramah di Rumah Sakit Jiwa, kopi lawan rokok, dan sebagainya, yang membuat saya sangat senang bisa ditempatkan di situ. Selama di rumah Pak Ustaz, kemana-mana saya selalu diantar. Saya dianggap seperti anak sendiri. Ibu dan Ayah Febri selalu menegaskan kepada saya untuk tidak malu-malu, bahkan Pak Ustaz sampai bercanda supaya saya jangan terlalu serius, karena ketika terlalu serius akan menjadi stress. Pada hari kelima saya dan Febri berkunjung ke kampus IAIN, disana kami mengikuti kelasnya Pak Taufani yang merupakan fasilitator lokal INGAGE. Dan untuk masuk ke sana, kami pun disarankan mengikuti aturan yang berlaku dan masuk menggunakan kerudung. Ketika masuk ke kampus, kami bagaikan mahasiswa yang memang merupakan mahasiswa IAIN. Ada begitu banyak hal baru yang di dapat di sana. Dikelas Pak Taufani, kami pun saling berbagi ilmu dengan teman-teman yang ada di sana. Mereka sangat ramah dan murah tersenyum. Setelah itu kami kemudian mneghabiskan waktu kami di perpustakaan. 202
Bagian III: Para Pelintas Batas
Pada hari ketujuh, saya dipilih menjadi salah satu narasumber untuk Dialog Interaktif INGAGE di RRI Manado. Di situ kami berbicara mengenai INGAGE. Menurut pendapat saya, melalui kegiatan INGAGE ini, saya melihat kejujuran yang nyata. Kunjungan ke berbagai tempat peribadatan agama lain menunjukkan bagaimana agama- agama itu sebenarnya. Penerimaan kepada mereka yang berbeda keyakinan dan diizinkan melihat tempat peribadatan agama lain adalah suatu kejujuran yang ditampilkan. Pada penutup dialog interaksi tersebut saya mengutip perkataan Pak Ustaz, yaitu “kebersamaan dalam perbedaan itu indah”. Kita boleh menganggap keyakinan kita benar, tetapi jangan menyalahkan orang lain karena keyakinanya. Dari tempat siaran di RRI, kami mengunjungi tuan rumah Devia, salah seorang peserta INGAGE yang mengundang kami untuk makan bersama. Kami para peserta yang ada wilayah Manado datang berkunjung dan makan bersama disana. Mereka menyediakan makanan khas, yaitu Papeda. Karena saya tidak bisa makan Papeda, maka saya makan nasi manis yang saya lupa namanya, yang sangat enak. Setelah makan kami kembali sharing bersama dan kembali ke kampus IAIN. Sore menjelang malam, saya dijemput oleh Febri untuk mengikuji kajian di LESBUMI NU. Diawali dengan iringan musik yang indah, dimulailah kajian mengenai Agama dan Budaya. Sementara kajian berlangsung, kami dijamu dengan kue-kue. Kami pun saling berbagi makanan yang ada. Kajian masih berlanjut, namun kerena kami para perempuan yang harus pulang cukup jauh, kami pun para peserta harus kembali lebih dulu. Hari ketujuh pun berakhir. Tibalah pada hari terakhir kegiatan INGAGE. Kami berkumpul di kampus IAIN untuk sama-sama kembali ke hotel. Ucapan terima kasih dan permohonan maaf pun saya berikan kepada tuan rumah tempat saya tinggal. Telah banyak sekali yang saya terima disana. Saya dilayani dengan sangat baik dan sudah merepotkan mereka. Namun, kata-kata yang terucap dari mereka adalah,“Jangan lupa 203
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
untuk berkunjung kembali.”Karena saya sudah dianggap seperti keluarga sendiri,jadi tidak perlu sungkan untuk datang kembali. Mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Dalam perjalanan kembali ke hotel, kami mampir untuk menjemput satu-satunya peserta beragama Islam yang ada di Manado. Ia ditempatkan di rumah seorang Pendeta yang menjalankan pelayanannya di Teling. Ketika kami mampir kesana, kami pun dijamu dengan begitu baik seperti halnya sedang berkunjung saat natal. Minuman Coca-cola dan kue diberikan kepada kami yang dinikmati senang hati. Sesampainya di hotel, perasaan tak sabar untuk bertemu dengan teman-teman Islam pun muncul. Mereka masih dalam perjalanan. Ketika mereka tiba, berpelukan adalah cara melepaskan rindu bagi sesama perempuan. Kami pun saling berpelukan dan mulai berbagi cerita selama Live-in berlangsung. Akhirnya tibalah saat untuk menutup kegiatan. Perasaan sedih pun muncul lebih besar dari pada saat berpisah waktu kegiatan Live-in. Ada begitu banyak kenangan indah, ilmu yang didapat, momen-momen baru, dan pengalaman yang bisa menjadi pedoman. Namun yang lebih penting dari itu adalah keluarga baru. INGAGE Manado adalah keluarga baruku. Bersama mereka terukir cerita bahagia. Yang kebahagiaan itu berawal dari perbedaan. Karena berbeda kita disatukan dalam INGAGE Manado, dan dalam persatuan itu tidak menutup perbedaan yang ada. Perbedaan adalah ciri khas kami, yang membuat kami semakin berwarna untuk menjadi penghias, sehingga diikuti oleh orang lain. Terima kasih keluarga baruku. Semoga dari sini kita bisa menjadi tokoh pembawa perdamaian. Seorang pembawa per damaian tidak harus seperti tokoh pahlawan. Dengan menjalankan dan membagikan ilmu yang kita dapat di INGAGE, sudah membuat kita menjadi tokoh yang patut dicontoh. Mulailah dari diri sendiri dan dari hal yang kecil,yang akan membawa kita pada hal yang besar. Salam kasih.
204
Bagian III: Para Pelintas Batas
Catatan peserta INGAGE Ambon Foto oleh Ida Fitri, Koordinator Logistik
Tulisan Refleksi Saat Mengikuti Kegiatan INGAGE Febr ina M ato, INGAGE M anado
A
DA pertanyaan demi pertanyaan menebar di otak yang membutuhkan jawaban. Apakah yang akan saya dapatkan dari kegiatan ini? Karena saya berada di tengah perbedaan keyakinan, mungkinkah saya bisa beradaptasi? Mungkinkah mereka menerima orang yang kebingungan seperti saya ini? Karena pikiran saya sangat kosong dan hanya berbekal prinsip kehidupan yang erat saya pegang. Awal perkenalan mungkin terlihat canggung. Saya mencoba menebarkan hal positif pada mindset saya sendiri. Banyak orang yang tak saya kenal menyapa dengan sangat ramah, sehingga saya 205
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
mulai membuka diridan mencoba berkomunikasi dengan lebih terbuka. Ternyata ada hal-hal yang masih memenjarakan diri saya, masih menahan. Mungkin karena belum ada kesepahaman, hanya diperlukan komunikasi yang lebih intens saja. Keadaan mulai menunjukkan maknanya. Saya percaya, silaturahmi selalu membawa banyak manfaat bagi manusiamanusia yang melakukannya. Inilah konsep yang saya dapatkan dari pengetahuan agama. Setelah itu saya berpikir untuk mem berikan rasa persaudaraan, meskipun belum banyak yang saya ketahui. Saya meyakini bahwa kebaikan akan selalu menjaga seseorang dari keadaan yang sulit sekalipun. Setiap manusia pada dasarnya adalah baik, hanya saja stigma negatif dan respons yang tidak baik akan memberikan pandangan buruk atas diri seseorang. Saya merasakan kasih sayang saat berbagi tempat di kamar tidur dengan teman yang telah saya anggap sebagai keluarga kecil, meski kami berbeda keyakinan. Saya merasa tergugah atas kebersamaan, pengertian untuk saling membicarakan hal-hal yang menyangkut aktivitas dan saling mengisi pengetahuan, Juga saat kami menjalankan ibadah, saat kami makan, serta saling berbagi dalam perjalanan. Itu merupakan hal sulit terjadi jika diantara kami tetap menggenggam stigma yang negatif. Ruang yang tersedia ini memberikan kami bekal awal untuk membentuk pemahaman yang sangat sulit dinalar oleh otak. Meskipun begitu, hati nurani tetap memilih memberikan yang terbaik. Bukan hanya bekal pergaulan saja, tetapi juga bekal ilmu pengetahuan yang difasilitasi oleh INGAGE ini, telah memberikan kesempatan untuk lebih memperdalam persaudaraan. Melalui ilmu-ilmu pengetahuan yang jarang kami dapatkan dalam keadaan sendiri. Kebanyakan, kajian-kajian seperti ini, di suatu tempattertentu akan mengarah pada dominansi. Betapa disayangkan, di muka bumi ini kita adalah ciptaan yang sama. Perbedaan hanyalah persoalan sementara di dunia, tetapi bisa menjadi bekal di kehidupan selanjutnya. Materi pertama pada hari pertama. Pengetahuan mengenai per lindungan HAK (Hak Asasi Manusia) sangat membuka pemahaman 206
Bagian III: Para Pelintas Batas
saya yang menyangkut aturan-aturan formal yang diperankan oleh pemerintah. Pertanyaan dan pendapat saling mengemuka, seiring mengikis habis pemahaman-pemahaman yang sudah kuno tentang dunia perbedaan. Permasalahan dan solusi telah membawa kami memasuki ruang kebersaman yang lebih erat, untuk berdiskusi bahkan sampai melewatkan waktu tidur. Pembicaraan ini bukan hanya menyangkut diri sendiri, tetapi orang banyak, yang secara keseluruhan menerima masukan-masukan positif demi kesadaran atas terjaminnya hak-hak, baik secara umum maupun pribadi. Pesan yang saya dapatkan kali ini adalah lindungilah hakmu dan jagalah hak orang lain demi terciptanya manusia-manusia yang hidup dalam kedamaian. Materi kedua pada hari pertama pula. Materi ini memberikan masukan-masukan bagi saya yang sering meng-share (membagikan), menulis status, berkomentar, dan lain sebagainya di media sosial. Ternyata perilaku ini berdampak dan bisa mempengaruhi mindsetmindset orang lain dalam memilih kesempatan, apakah untuk halhal positif maupun negatif. Hal semacam ini memberikan saya resolusi baru untuk menyikapi keadaan darurat pada saat yang urgent. Saat mendapat masalah, solusi didapat melalui diskusi dengan beberapa teman. Ini adalah kesempatan emas bagi saya untuk mem-protect diri dari ujaran-ujaran kebencian di media sosial yang kian marak dan menghasut orang-orang yang tidak memahami satu sama lain. Setidaknya hal ini memberikan solusi alternatif bagi pikiran-pikiran kusut yang kesulitan menafsirkan perbedaan terkait keyakinan, agama dan prinsip. Pesan yang saya dapatkan kali ini adalah antusiasme terhadap media sosial adalah sesuatu yang baik, namun waspadalah jangan sampai rasa antusias ini membawamu dalam kerugian. Kemudian materi ketiga pada hari pertama ini sedikit membuat bingung pada awalnya. Sempat merasa terusik, karena pengetahuan yang saya dapatkan mengenai agama pada mulanya adalah sejarah. Pelajaran di INGAGE ini berbeda dengan yang saya pelajari ketika di kampus. Saya terus berupaya memahami 207
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
sesi yang terpenting ini. Kami memulai aktivitas dengan mengenal adanya keyakinan-keyakinan yang berbeda. Dilanjutkan mengenai pemahaman terhadap agama yang dianut oleh masing-masing peserta. Mulai terbentuklah pengetahuan saya mengenai sejarah dan perkembangan agama, mulai dari awal sampai sekarang, dengan berbagai seluk beluk ritual keseharian yang dilakukan oleh para pemeluknya. Sungguh aktivitas ini menambah nilai ‘plus’ bagi keingintahuan saya dan semakin membuat lebih ingin memahami perbedaan, yang sesungguhnya tidak terlalu beda secara signifikan. Pemateri dari ketiga materi hari ini sangat menakjubkan untuk membuka mindset kami yang selama ini tertutup oleh doktrin sepihak yang mungkin dibawa dari lingkungan keluarga, khususnya saya yang fanatik terhadap agama Islam. Namun semua nya akan berangsur-angsur menetralisir kefanatikan itu, menjadikan saya lebih terbuka dan bebas. Sebuah teori tanpa melihat praktik mungkin akan menjadi teori statis yang kuno, tidak dinamis. Teman-teman peserta pun sangat antusias meskipun tak nampak dalam argument-argumen yang disampaikan. Kekompakan kita bertambah saat sesi materi telah usai. Kami berkumpul layaknya rapat keluarga besar menjelang waktu tidur. Ada kelompok pria membicarakan persoalan yang muncul dari diskusi sebelumnya. Tak kalah bersaing juga, teman-teman perempuan berkenalan dengan lebih mendalam. Tak lupa berfoto selfie untuk dokumentasi masing-masing. Dari aktivitas ini, kami sangat akrab bak keluarga baru yang selalu harmonis. Meskipun pada kenyataannya, banyak perbedaan, diantaranya selain beda agama, kami juga beda profesi, beda usia, dan beda genreatau aliran. Tetapi kami mampu merangkul dalam satu pemahaman untuk menjadi keluarga besar INGAGE. Hari kedua, saat masuk ruangan untuk menerima materi dengan tema yang berbeda tetapi masih dengan pemateri yang sama, teman-teman peserta yang sama, panitia yang sama, rasa canggung mulai berganti dengan kenyaman bersama keluarga baru. 208
Bagian III: Para Pelintas Batas
Sebelum itu, kami berolahraga bersama. Bukan hanya sekedar olahraga, tetapi untuk mengolah rasa diri kami masing-masing melalui kebersaman, kekompakan, canda tawa yang terukir pagi itu. Tidak nampak perbedaan-perbedaan diantara kami. Saling mengisi dengan kegembiraan dan cerita indah pagi, untuk samasama menjalani suasana, yang jujur saja masih belum sadar total sepagi itu. Namun sebagian memilih terlelap dalam mimpi. Mungkin karena terlalu asyik berdiskusi hingga larut malam, sehingga kehilangan kesempatan untuk berbagi rasa di permulaan pagi. Hal unik hari ini lebih kami rasakan ketika membahas kesetaraan. Peserta makin aktif, termasuk saya, dengan menguji otakkita dalam berpikir. Terutama mengkritisi posisi kita yang setara sebagai warga di negara yang demokratis, dalam menyikapi persoalan beda agama. Saling memahami hak, posisi dan keberagaman adalah pesan yang saya dapatkan dalam sesi ini. Sungguh hal ini lebih membuka wawasan mengenai hal yang sangat penting untuk hal yang kadang dianggap biasa saja. Selanjutnya materi menyangkut penggunaan fasilitas yang sering dimanfaatkan oleh banyak orang, yaitu teknologi dengan berbagai produk aplikasi untuk menghubungkan dan berkomunikasi dengan seluruh orang di belahan dunia mana pun. Teknologi pun perlu disikapi dengan bijak. Kita perlu me-manage (mengelola) perilaku kita dalam bekomunikasi digital. Dalam sesi ini, cara penyampaiannya secara visual sangat menarik sehingga pesan bisa diterima dengan baik. Diharapkan peserta dapat menghindari halhal negatif dalam penggunaan media sosial. “I love my privacy” salah satu pesan untuk lebih mengingatkan kita agar lebih berhatihati menggunakan media sosial agar tidak menganggu privasi orang lain dan bisa menjaga privasi pribadi. UU ITE yang disampaikan oleh pemateri menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Belum lagi, istilah cyberbully sebagai warning (peringatan) akan berbagai persoalan yang bisa diperkuat dan disebar melalui media sosial, sehingga kita sebagai pengguna mestinya lebih terjaga dalam menanggapi problematika yang marak di dunia maya. 209
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Setelah itu, hari ini juga kami mengunjungi salah satu masjid yang terdekat untuk beribadah sholat Jum’at. Di sini kami menyaksikan dan memahami keyakinan para saudara muslim. Kami juga berdiskusi langsung dengan tokoh-tokoh yang ada, menyangkut peribadatan dan kepercayaan. Semua ini untuk menghindari mencari tahu pada orang yang salah atau lewat halhal yang belum tentu bisa dipercaya. Dari pengalaman ini, kami mendapatkan pemikiran-pemikiran yang membuat kami bisa meninggalkan hasutan atau ujaran-ujaran buruk yang sebelumnya mempengaruhi pemahaman. Disinilah sikap toleransi terlihat dari teman-teman yang berbeda keyakinan dengan para muslim. Selain berdiskusi dengan para imam masjid, mereka juga mencoba berpakaian dengan menggunakan penutup kepala, mereka memperhatikan cara beribadah, mendengarkan bacaan ayat-ayat, dan lain sebagainya. Ini bentuk solidaritas dan toleransi yang saling mendukung antara satu dan lainnya. Hari ketiga, pengetahuan akan disampaikan secara outdoor bagi kami peserta INGAGE yang berjumlah sekitar tiga puluh orang. Rasanya kekeluargaan telah terbentuk begitu cepat diantara kami yang berasal dari berbagai kalangan. Kini saatnya kita berbagi diluar ruangan untuk melihat secara langsung tempat dan cara peribadatan teman-teman peserta lainnya dari agama Katolik, Buddha dan Hindhu. Ini adalah kesempatan untuk menambah pengetahuan, mengaplikasikan materi-materi yang didapatkan serta mencatat pengalaman yang tak ternilai harganya. Juga menjadi bekal ilmu untuk dapat beradaptasi dalam bersosialisasi pada lingkungan yang sangat beragam. Perjalanan pagi ini akan dimulai di Bukit Doa Mahawu. Di sana, kami menerima materi-materi singkat dari salah satu pastor yang menjadi pemandu kegiatan ibadah agama Katolik. Informasi dan pengetahuan mengenai agama Katolik bisa kami dapatkan secara langsung disini. Penyampaian-penyampaian pastor mengenai agama Katolik pun kami dengarkan sambil menikmati 210
Bagian III: Para Pelintas Batas
indahnya pemandangan, baik itu tempat, suasana dan pelayanan dari kerabat-kerabat disana. Sungguh peristiwa yang luar biasa karena bisa mengenal lebih dekat berbagai agama yang ada, didalam perjalanan kali ini. Tak lupa kami mengambil beberapa foto untuk dokumentasi kegiatan dan sebagai ingatan yang akan kami kembangkan lagi untuk tujuan kegiatan INGAGE kedepan. Melihat sisi perbedaan yang begitu nampak disekeliling kita, lalu beradapatasi dengan batasan-batasan yang ada merupakan pengalaman luar biasa di sini. Dari tempat ini pula, saya mengambil pesan yang disampaikan oleh pastor yaitu, “Mengakarlah pada satu pilihan, janganlah pindah. Jagalah pilihan itu agar diri tetap nyaman pada satu pilihan tersebut.” Sebelum kami menuju ke lokasi selanjutnya, kami singgah untuk makan siang di daerah Boulevard Tondano. Rasa kekeluargaan bertambah saat makan siang diantara kami. Duduk bersama dengan canda tawa tanpa memandang diri bahwa kita berbeda. Di tempat ini kami merajut kasih dalam persaudaraan demi kedamaian yang akan membawa nilai-nilai positif di dalamnya. Pukul 12.28 siang kami mengunjungi tempat ibadah di Pura Danu Mandara. Hujan saat ini tidak mengurangi semangat kami untuk terus belajar. Di tempat ini kami menemukan banyak sekali perbedaan, dari benda-benda di sekeliling, seperti sesaji misalnya yang menambah pertanyaan di pikiran saya. Namun, di sini pulalah saya sebagai salah satu yang terlibat dalam INGAGE akan mengaplikasikan bekal-bekal yang telah dipelajari. Sungguh perbedaan itu indah serta menambah warna bagi kehidupan, bukan untuk menjadi beda pada hiasan saja tetapi meyakini bahwa nilai-nilai kehidupan terasa lengkap dan harmonis dibalut kedamaian. Penyampaian mengenai keyakinan mereka membuka wawasan pola pikir saya. Cakrawala pikiran pun terasa lebih luas dengan adanya perjalanan keagamaan ini (Interfaith Journey). Bukan hanya mendapatkan refreshing alam saja, nilai- nilai agama, 211
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
pengetahuan sosial pun saya dapatkan dan juga saya rasakan disini. Bukan hanya teori, tetapi juga praktik. Saya mengingat pesan dari Pendeta, “Tuhan digunakan sebagai lambang agama. Tuhan itu tak nampak seperti yang bisa terlihat oleh indra sebagai subyek semata.“ Lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah Vihara Dhammadipa. Kami bertemu dengan para Bhikkhu (panggilan yang sama seperti Pendeta atau Imam untuk agama Buddha). Konsep tauhid yang diajarkan berbeda dengan agama lain. Lambang-lambang bendera yang bewarna-warni memiliki maknamakna yang berbeda, melambangkan keagamaan dari Buddha ini. Patung Buddha, bunga-bunga, dupa serta lilin pun memiliki makna khusus. Uniknya dari cara berpakaian seorang Bhikkhu ini dalam beribadah mirip dengan pakaian ihram muslim laki-laki yang melakukan ibadah haji ke tanah suci di Mekah. Bedanya hanya warna yang digunakan Bhikkhu ini bewarna cokelat tua sedangkan pakaian ihram bewarna putih, ini sungguh pikiran aneh yang muncul di dalam benak, ketikamengamati cara berpakaian mereka. Dari penyampaian mereka, saya mengambil pesan dari seorang Bhikkhu bahwa, “Agama pada dasarnya adalah sama, persoalan agama adalah aturan yang dibuat manusia untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan dengan cara yang berbeda.“ Hari keempat adalah Minggu yang cerah. Kami bersiapsiap untuk ke lokasi gereja setelah perjalanan yang memakan waktu seharian kemarin, karena mengunjungi tempat-tempat ibadah yang berbeda, di lokasi yang berbeda-beda pula. Lokasi gereja menjadi tujuan kami, untuk melihat kerabat-kerabat nonmuslim beribadah di gereja. Kami pun masuk dengan wajah yang sedikit ragu. Sebab kami mengenakan busana tertutup dan itu menjadi pusat perhatian bagi para jemaat yang hadir saat itu. Namun, dengan kepercayaan diri, saya masuk dengan tenang dan berusaha untuk tetap rileks, agar hal-hal positif bisa saya rasakan dari sekeliling. Sebab, hal-hal yang sensitif banyak timbul antara muslim dan non-muslim. INGAGE datang untuk mengikis doktrin212
Bagian III: Para Pelintas Batas
doktrin fanatisme tersebut dan menguatkan adanya toleransi yang utuh bagi kami di Manado ini. Setelah kegiatan ibadah berlangsung dengan khidmat, bantuan dari vikaris Pendeta yang juga salah satu fasilitator lokal INGAGE, menginformasikan kedatangan kami dalam kegiatan ibadah minggu di gereja ini. Pendeta dan para jemaat pun menyambut kedatangan kami, sehingga langsung membuat kami lega dan nyaman setelahnya. Tiba pada acara penampilan dari peserta INGAGE, salah seorang dari kami ber-shalawat (memuji Allah) yang khas muslim di dalam gereja. Di sinilah nampak toleransi yang diperlihatkan oleh para jemaat di dalam gereja. Sempat sebagian dari kami merasa takut dan bingung. Namun pada akhirnya, sadar bahwa hal ini bisa diterima oleh jemaat gereja. Ini adalah salah satu bentuk aplikasi nilai toleransi yang berani Setelah kebersamaan selama pelatihan di hotel, kini kami pun harus berpisah dan menjalankan misi-misi dengan bekal yang sudah diberikan dalam pelatihan INGAGE. Kami akan mempelajari perbedaan dengan lebih dalam, memahami dengan benar, setelah itu menafsirkan dan berujung pada praktik di masyarakat. Inilah kesempatan untuk mandiri menerapkan ilmu yang telah dipelajari. Kami diantar oleh para panitia beserta fasilitator ke lokasi yangtelah ditentukan sebelumnya. Mereka menitipkan kami, para pemuda dan pemudi lintasiman kepada orang tua-orang tua asuh yang berbeda agama. Agar bisa menambah wawasan, menimba pengalaman dan menerapkan nilai-nilai yang dibangun di pelatihan INGAGE langsung di tengah pergaulan sosial. Semua ini tentu saja sejalan dengan konsep toleransi dan cinta damai di bumi nyiur melambai Manado tercinta. Sungguh,ini adalah perjalanan yang indah bagi saya dan teman-teman INGAGE.
213
214
Bagian III: Para Pelintas Batas
Membuat pohon keragaman dari cap jempol dan tanda tangan Foto oleh Ainul Yaqin, INGAGE Medan
Semakin Banyak Warna, Maka Akan Semakin Menarik I ndr i M oniaga, INGAGE M anado
S
AYA tinggal dan dibesarkan di lingkungan yang mayoritas agamanya Kristen. Tidak hanya tempat tinggal, melainkan saya juga menempuh pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon, yang sudah pasti semua mahasiswa maupun dosennya beragama Kristen. Keadaan lingkungan inilah yang sempat membuat saya terjebak pada stigma negatif terhadap agama-agama di luar agama yang saya yakini. Meskipun di tempat kuliah, saya juga belajar mengenai agama-agama lain, namun pengajaran didapat dari dosen-dosen yang beragama Kristen, bukan dari narasumber agama-agama itu sendiri, sehingga saya 215
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
melihat agama lain masih menggunakan kacamata saya sebagai seorang Kristen. Rasa keingintahuan saya terhadap agama-agama lain, menga lahkan ego saya yang hanya melihat bahwa agama sayalah yang paling benar. Ketika mengetahui program INGAGE (Interfaith New Generation Initiative and Engagement) yang bertujuan untuk memperkuat kesetaraan hak dan membangun jembatan lintasiman, saya begitu interested untuk mengikutinya. Apalagi ini adalah kesempatan saya untuk dapat berinteraksi langsung dengan pemeluk agama lain dan menaruh harapan agar bisa merubah pemikiran saya mengenai agama lain. Meskipun saya seorang Kristen, saya menyadari satu hal bahwa di dunia ini, terlebih negara Indonesia merupakan negara majemuk dengan begitu banyak suku, ras, bahasa, terlebih agama yang berbeda, saya harus bisa hidup berdampingan untuk menciptakan rasa aman dan damai. Bagaimana saya bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai jika saya tidak bisa menerima agama di luar agama saya? Itulah alasan saya mendaftarkan diri untuk mengikuti program INGAGE ini dengan mengikuti beberapa tahap untuk bisa diterima sebagai peserta dari Manado. Tapi jauh dilubuk hati, sejujurnya saya memang sangat berharap untuk menjadi salah satu selected participant di INGAGE. Satu hal lagi yang menambah hasrat saya mengikuti INGAGE yaitu karena salah satu fasilitatornya adalah dosen muda favorit saya di kampus. I call her “Kak Angie”. Setelah diterima sebagai peserta INGAGE Manado, saya datang ke tempat pelatihan, pada hari Rabu, 21 September. Saya sempat terkejut karena ternyata setiap peserta sudah mendapat pembagian kamar yang diatur oleh panitia, dan teman sekamar saya berasal dari latarbelakang keyakinan yang berbeda yakni Katolik, meski umumnya ajaran kami hampir sama. Dengan hati yang berdebar saya melangkahkan kaki ke kamar dan otak saya tidak berhenti memikirkan kalimat apa yang harus saya sampaikan pertama kali ketika bertemu dengan teman sekamar saya. Syukurlah, teman sekamar saya seorang kakak yang sangat baik. Penyambutan 216
Bagian III: Para Pelintas Batas
hangat semakin terasa ketika welcoming dinner, dimana panitia dan para peserta mulai saling berinteraksi satu dengan lainnya. Hal yang membuat saya ternganga adalah ketika melihat salah satu peserta menggunakan cadar yang menutupi seluruh auratnya. Wow! Itulah kata pertama yang terlintas dalam kepala saya. Perasaan aneh, bingung, tidak percaya menyelimuti saya, membuat saya bertanya sendiri, INGAGE? Ahh, kejutan apa lagi yang akan saya dapatkan? Namun yang membuat saya tenang, ialah keakraban yang tercipta diantara kami semua terjalin begitu saja, tanpa memandang latar belakang agama kami masingmasing. Setelah makan malam bersama, para peserta tidak serta merta mengakhiri keakraban malam itu, melainkan beberapa di antara kami berkumpul di lobby lantai 1. Kami saling berkenalan dan berbincang lebih akrab lagi, dan masing-masing dari mereka menunjukkan keterbukaan tanpa rasa risih, sehingga saya pun nyaman dan juga terbuka dengan mereka. INGAGE dilaksanakan di Manado pada tanggal 22 September sampai 28 September 2016, dengan pembekalan selama empat hari di Hotel Formosa, yang berlokasi di Malalayang, Kota Manado. Kemudian dilanjutkan dengan Live-in di rumah keluarga yang ber beda agama dan keyakinan dari para peserta. Peserta berjumlah tiga puluh orang dari latarbelakang agama, suku, profesi, dan pen didikan yang berbeda. Kegiatannya diatur dalam jadwal. Seremoni pembukaan oleh petinggi pemerintah maupun dari beberapa lembaga pendidikan di hari pertama, mengawali aktivitas utama kami di INGAGE. Tidak hanya sekedar kalimatkalimat untuk membuka kegiatan INGAGE, melainkan kami juga diberikan pemahaman mengenai perbedaan dan isu-isu agama yang ada di Sulawesi Utara. Setelah seremoni pembukaan, dilanjutkan dengan coaching berupa pemberian materi. Ada tiga materi yang diberikan pada hari pertama yaitu, HAM (Hak Asasi Manusia) oleh Ibu Alviani Permata, Dunia Digital & Media Sosial oleh Bpk Leonard Epafras, dan Agama-agama Dunia oleh Bpk Al Makin. Materi-materi yang diberikan sangat bagus dan disampaikan dengan sangat baik oleh setiap pembawa materi. 217
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Hak Asasi Manusia dan hak manusia, kita pahami adalah dua hal yang sama. Namun orientasi praktiknya berbeda. Jika hak manusia hanya berorientasi pada norma dan etika yang berlaku seperti yang dijelaskan oleh Ibu Alviani, sedangkan Hak Asasi Manusia memiliki prioritas tinggi dan memiliki legalitas yang diakomodasi oleh hukum yang diterapkan oleh masing-masing negara. HAM selalu menghubungkan warga negara dan negara. Manusia memiliki HAM karena martabatnya sebagai manusia. Saat materi berlangsung, ada satu peserta yang mencuri perhatian saya dan bahkan seluruh peserta yang lain, karena dia selalu melontarkan berbagai pertanyaan dan pernyataan dengan suara lantangnya. Saya yang duduk bersebelahan dengannya hanya terdiam. Karena saya pikir mungkin ia menganggap ini seperti diskusi kelas di kampusnya sehingga ia tidak berhenti bertanya. Tapi di sisi lain saya berpikir bahwa mungkin karena ia banyak membaca buku sehingga ia menguasai juga materi HAM ini. Entahlah Kegiatan terus berjalan hingga materi kemerdekaan dan kesetaraan, serta kovenan diberikan. Kemerdekaan artinya warga negara dapat melakukan, bertindak, berpikir sesuai dengan kehendak hati, tidak dalam kendali yang tidak diinginkan dari pihak lain. Setara artinya memiliki status, hak dan kesempatan yang sama seperti yang dimiliki pihak lain. Kedua hal ini berkaitan dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia, di mana sebuah negara berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) setiap hak asasi dari warga negaranya. Apa sih kovenan itu? Kovenan merupakan pernjanjian antara manusia kepada Tuhan, diambil alih menjadi perjanjian negara kepada warganya. Negara berkewajiban untuk meratifikasi atau menyetujui Kovenan HAM. Negara tidak boleh melanggar, negara tidak boleh mngubah UU yang bertentangan dengan HAM, negara membuat laporan pelaksanaan kepada komisi HAM di PBB dan sub-sub komisinya. Negara juga bertanggungjawab untuk menindak pelanggaran HAM dimulai dari pengadilan nasional. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 218
Bagian III: Para Pelintas Batas
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Saat ini kita hidup di abad ke-21, sudah bukan lagi di zaman modern melainkan telah ada di zaman post-modern, yang semuanya sudah semakin canggih.Dunia digital & media sosial menjadi salah satu bukti kemajuan era saat ini, yang menghubungkan semua orang dengan mudah dan cepat. Termasuk segala isu-isu dari segala penjuru dunia akan dengan mudah tersebar. Itulah mengapa, dalam materi unia digital & media sosial, kita diajarkan untuk menjadi pengguna internet yang cakap, mampu menghargai privasi sendiri yang berarti juga mampu untuk menghargai privasi orang lain, serta menggunakan internet dengan baik. Yaitu dengan mendapatkan dan memberikan manfaat dari penggunaan internet yang sehat. Materi ini sangat sesuai dengan kami sebagai pengguna internet aktif. Kami menyadari bahwa dengan internet, segala sesuatu akan lebih mudah diketahui atau didapat, entah itu berdampak positif maupun negatif. Seperti halnya, penyebaran berita berunsur radikalisme (ujaran kebencian, intoleransi, diskriminasi) yang tidak lagi disemai di sekolah dan kampus, melainkan telah dipamerkan dan ditanamkan melalui media sosial. Internet menjadi sarana yang tepat untuk berbagi atau saling berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Sebab itulah, materi internet sehat ini megajarkan bagaimana kita dapat memanfaatkan internet untuk hal-hal positif. Karena tahu atau pun tidak, bahwa penggunaan media sosial yang salah dan merugikan orang lain, bisa dikenakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dari materi inilah, saya sebagai pengguna internet aktif, dibuat kembali mengingat akan masa-masa kelam, saya sebut kelam karena menurut saya ini memalukan. Ketika menggunakan media sosial sebagai tempat curhat masalah pribadi, mengunggah foto-foto orang lain dengan sembarang, men-share berita-berita yang berkaitan dengan isu SARA atau video yang memperlihatkan pertengkaran. Juga ketika memberi komentar negatif tanpa mengetahui kebenaran dari 219
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
berita maupun video yang saya sebarkan. Syukurlah ada materi ini, jadi penggunaan media sosial saya semakin terkontrol dengan baik. Kedua materi ini dibawakan oleh Pak Leonard Epafras. Pembawa materi lainnya adalah Pak Al Makin yang menyampaikan mengenai agama-agama dunia dan di Indonesia, serta tentang Keberagaman dan Perbedaan. Materi-materi ini memberi kami pemahaman bahwa agama yang saya anut atau agama yang peserta lain anut adalah agama petama di dunia. Sebelumnya sudah ada agama-agama lain, tidak hanya agamaagama yang umumnya saya, seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Pak Al Makin juga menjelaskan tentang asal-usul agama itu sendiri. Dimulai dengan Catalhuyuk yaitu unsur-unsur agama yang ditemukan oleh para arkeolog. Sepuluh tahun kemudian terdapat Kota Sumeria, lalu ke Babylonia, yang merupakan awal munculnya agama. Diteruskan ke Yunani dan muncullah unsur semitik. Pada tahun 500 SM muncul gerakan Helas (Helenisme). Dalam perkembangannya, agama akan mengalami perubahan tradisi ke tradisi yang lain atau terkontekstualisasi. Hal ini menya darkan kita bahwa iman yang kita peluk bukanlah satu-satunya, tetapi berhubungan dengan yang lain tanpa kita sadari. Hari pertama ditutup dengan ketersediaan peserta untuk merefleksikan segala kegiatan hari pertama. Materi agama-agama di Indonesia oleh Pak Al Makin dibuka dengan penjelasan mengenai penyebutannya di Indonesia pertama kali yaitu oleh Tan Malaka. Dilanjutkan dengan agama Timur (eastern religions) dan agama Barat (western religions) masuk ke Indonesia. Di mana setelah agama Hindu dan Buddha, muncullah budaya Timur Tengah yang membawa Islam, yang tidak menghilangkan agama-agama tersebut melainkan menyatukan tradisi dari Timur dan Barat. Islam, Hindu, dan Buddha disatukan melalui kebudayaan. Perlu disadari bahwa spiritualitas di Indonesia sangat kaya, tidak hanya terikat pada enam agama yang telah resmi diakui saja. Hal ini mengajarkan kita tentang konsep memahami dan memiliki komitmen untuk melindungi setiap kewajiban yang dimiliki. 220
Bagian III: Para Pelintas Batas
Kita melihat makna dan dikaji dengan filsafat, bahwa kita semua berbeda dan wajib memahami perbedaan itu. Ada kebijakan yang dikaji dengan hukum, lalu ide dikaji dengan intelektual, kemudian sikap kita diperlihatkan melalui praktik hidup. Ketika kita mampu mengerti maka kita akan belajar bertoleransi sehingga memperbolehkan perbedaan hadir sebagai warna-warni yang indah sehingga tidak menimbulan diskriminasi, kekerasan, dan rasa tidak adil maupun keberpihakan. Keragaman dan perbedaan bukan suatu kelemahan melainkan suatu potensi. Ini semua di luar ekspektasi saya, bahwa saya bisa berhadapan langsung sekaligus diberikan pembelajaran dari dosen-dosen hebat yang ada di kampus-kampus ternama di Indonesia. Tidak hanya itu, kami juga bisa makan bersama, foto bersama. Pak Al Makin meminta untuk berfoto dengan saya dan beberapa teman, bisa mendapatkan buku serta tanda tangan langsung dari penulis yaitu Ibu Alviani Permata, dan bertemu dengan Pak Leo yang sangat bersahabat dengan kami semua. Well, I’m so happy!. Kegiatan INGAGE yang juga membuat saya bahagia sekaligus berdebar-debar ialah Interfaith Journey. Kegiatan ini sudah dimulai dari keikutsertaan seluruh peserta dengan agama dan kepercayaan yang berbeda untuk turut hadir di Masjid Miftahul Jannah. What is the best adalah untuk pertama kalinya saya dan mungkin teman-teman wanita yang bukan muslim, menggunakan hijab dan pakaian yang tertutup, serta masuk ke dalam masjid. Kami belajar gerakan sholat, dan mendapat sepatah dua kata dari Kyai di masjid. Hijab? Pakaian tertutup? Jika di kontekskan dengan Kota Manado yang katanya cuacanya hanya ada dua, yaitu panas dan panas sekali, sudah pasti bisa dibayangkan bagaimana kami yang tidak terbiasa dengan hijab dan pakaian tertutup harus menghadapi godaan cuaca. Keringat kami bercucuran, tapi anehnya kami tidak menggunakan kipas ataupun mengeluh dengan wajah yang cemberut, melainkan kami justru sangat menikmatinya. Perasaan haru saya semakin memuncak ketika saya dan teman-teman 221
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Kristiani menirukan gerakan sholat. Saya semakin mengerti bahwa, saya tidak berhak menghakimi agama ataupun ajaran mereka, karena ketika saya berada dalam dunia mereka, sayapun merasakan ketenangan. Jadi, sebenarnya yang saya butuhkan adalah sikap toleransi dan saling memproteksi satu dengan lainnya. Dari peristiwa menggunakan hijabdan mengikuti sholat Jum’at di Masjid Miftahul Jannah inilah, berbagai macam kontroversi dimulai. Mulai dari kalangan pemuka agama yang menganggap bahwa kegiatan ini sudah melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Katanya ini merupakan proses islamisasi, bahkan di kalangan teman-teman kampus pun, saya dipanggil Ustazah, bahkan dikatakan, “Wah, sudah pindah agama ya?” Ada yang bilang, “Eh calon Pendeta kok gitu sih kelakuannya?” Sementara itu ada juga yang mengatakan, “Hijabnya kalau cuma dipakai untuk main-main, mending jangan dipakai, nanti dosa,loh!” Masih banyak lagikomentar negatif selain juga saya menerima komentar-komentar positif. Yup, meskipun tidak sebanyak mereka yang memberi komentar negatif, tetapi saya bersyukur karena setidaknya kedua orangtua saya tidak panik dan marah melainkan mereka member support dengan mengatakan, “Wah cantiknya kamu berhijab. Kamu harus bisa bergaul dengan baik, jangan cari masalah sama teman-teman barumu, jangan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung mereka. Kalau kamu tidak ingin mendapat masalah, perlakukan mereka seperti kamu memperlakukan orang-orang yang seagama dengan kamu.” Saya benar-benar bahagia, karena beribu perkataan negatif terkalahkan dengan satu tanggapan positif dari orangtua saya sendiri. Inilah yang membuat saya semakin semangat memposting kegiatan Interfaith Journey ke media sosial pribadi saya. Pernyataan yang selalu terngiang di ingatan saya ialah kita boleh kemana saja, namun iman kita tidak boleh kemana-mana. Artinya, kita bisa berada dimana saja, entah itu di acara atau di rumah, dengan orang-orang yang berbeda agama dengan kita sebagai wujud dari sikap yang menghargai, menghormati, saling 222
Bagian III: Para Pelintas Batas
memahami dan menerima perbedaan. Tetapi yang utama ialah iman percaya kita tetap pada sang Maha Esa yang sudah kita yakini dari semula. Pengalaman baru lain bagi saya adalah ketika melakukan perjalanan lintasagama ke Bukit Doa Mahawu di Tomohon, Pura Danu Mandara di Tondano, dan Vihara Dhammadipa di Manado. Kami berbincang langsung dengan pemimpin agamanya seperti Romo, Pandita, dan Bhante. Tidak ada lelah yang umumnya dirasakan ketika melakukan banyak akitivitas dan perjalanan, yang ada hanyalah perasaan campur aduk antara senang karena mendapat pengetahuan mengenai agama-agama yang ber sangkutan yakni Katolik, Hindu dan Buddha langsung dari sumbernya. Pelajaran yang dapat saya ambil ialah bahwa semua agama mengajarkan kita untuk saling mengasihi, jadi jika kita mengaku umat yang taat pada agama maka ajaran “kasih” tersebut harus terealisasi dalam kehidupan kita. Kita tidak boleh menjudge suatu agama hanya karena ajaran yang berbeda, melainkan perbedaan yang ada kita jadikan sebagai suatu keindahan yang memberi banyak warna bagi kehidupan kita. Diluar penjelasan dari para pemuka agama di Bukit Doa, saya terpikat dengan udara sejuk karena banyak pepohonan dan tempat-tempat kerohanian yang melambangkan kekhasan dari agama Katolik. Meski mendung dan pada akhirnya hujan, tetapi tidak mengurangi semangat saya untuk sedikit mengabadikan momen dan kembali melanjutkan perjalanan. Saat memasuki pura saya tersanjung dengan alunan musik khas orang Hindu dari para pemuda yang menyambut kedatangan kami. Selain mengabadikan momen bersama tim, saya juga tentu tidak lupa mengabadikan momen pribadi. Dalam persinggahana kami yang terakhir yakni di Vihara Dhammadipa, saya dibuat terpukau dengan kombinasi warna serta simbol-simbol di tempat sembahyang dan wangi khas dari dupa yang membuat pikiran terasa tenang. Saya harus mengakui bahwa dalam agama Buddha terdapat segudang katakata bijak yang menenangkan hati. 223
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Hari Minggu, kami umat Kristiani mengadakan kebaktian. Lagi-lagi, saya tidak bisa mengatakan bahwa ini adalah puncak kekaguman saya. Karena setiap kegiatan yang kami lakukan di INGAGE selalu berada pada tahap puncak kekaguman saya. Selalu baru dan selalu jadi moment yang pertama ketika kami, seluruh peserta INGAGE memasuki Rumah Ibadah GMIM Solagratia Tikala. Begitu banyak pertanyaan yang terngiang di benak saya ketika kami mulai memasuki gereja. Bagaimana tanggapan jemaat melihat ada banyak gadis berkerudung masuk gereja? Bagaimana dengan gadis bercadar? Para pria yang memakai kopiah? Bagaimana jika Pendeta berkhotbah dan menyinggung peserta yang non Kristen? Saat prosesi ibadah, apakah mereka akan ikut berdiri, dan menyanyi? Atau ketika khotbah, apakah mereka akan mendengarnya? Ah, kan mereka orang-orang yang berpendidikan dengan tingkat kesadaran toleransi yang sangat tinggi, pasti mereka tahu cara menempatkan diri. Itulah pertanyaan sekaligus pernyataan yang mencoba mere dam kekhawatiran saya. Kami dipersilakan untuk membawakan puji-pujian bersama, and then, Oh my God! I can’t believe! Kami menyanyikan lagu Alangkah Bahagianya Hidup Rukun dan Damai dan spontaneously melantunkan lagu Shalatullah di dalam gereja. Terharu? Pasti! Bahkan mata saya berkaca-kaca ketika kami menjadi satu di tengah-tengah perbedaan tanpa tembok pembatas lagi. Saat menulis ini pun, mata saya kembali berkaca-kaca, Bulu kuduk saya berdiri mengingat momentlangka yang saya lakukan ketika menjadi peserta INGAGE. Jemaat yang menyaksikan pun dibuat terkejut, namun langsung disertai dengan senyum haru yang tergambar di wajah mereka. Pendeta berkhotbah dan seorang penatua yang penuh wibawa menyampaikan serta mengucapkan salam, “Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Assalamualaikum.” Salam tersebut dijawab dengan hangat oleh jemaat, “Shalom, Waalaikum salam.” Respons jemaat menandakan bahwa mereka juga menerima perbedaan yang ada, bahwa kepercayaan tidak bisa dipaksakan berubah oleh orang lain. Inilah yang dinamakan 224
Bagian III: Para Pelintas Batas
“Alangkah bahagianya hidup rukun dan damai, di dalam persaudaraan bagai minyak yang harum.” Ketika kembali ke hotel, tidak berselang lama kami langsung mempersiapkan diri untuk program Live-in. Dimana kami diberi kesempatan untuk terjun langsung kelapangan, berinteraksi dan tinggal bersama keluarga yang berbeda agama dengan kami. So Excited, ketika saya mengetahui bahwa saya akan tinggal bersama keluarga muslim dan akan diperbolehkan untuk mengikuti per kuliahan di Kampus IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Manado. I thought, this would be an amazing experience. Ternyata benar, apa yang saya pikirkan itulah yang terjadi. Ini menjadi pengalaman yang menakjubkan, ketika saya dan beberapa teman sesama Kristen Protestan, Katolik dan Hindu boleh mengikuti kelas di kampus IAIN bersama salah satu fasilitator hebat, Pak Taufani. Ternyata bukan hanya kami sebagai peserta INGAGE yang gugup, dan penasaran dengan perkuliahan yang berlangsung di kampus tersebut. Ketika kami memasuki kelas dan memperkenalkan diri kami dengan menyebutkan agama yang dianut, mereka semua terkejut, karena mereka dibuat terpukau dengan penampilan kami yang menggunakan hijab dan pakaian tertutup. Setelah kami memperkenalkan diri, kami diberi kesempatan untuk saling berinteraksi dan saling bertanya, baik peserta INGAGE maupun mahasiswa yang ada di kelas mengenai segala sesuatu yang masih ganjil di dalam benak masing-masing kami, mengenai agama yang kami yakini. Hanya sekedar selipan kebahagiaan saja, bahwa karena program Live-inini, saya kembali bertemu dengan seseorang yang dulunya pernah bertanya mengenai doktrin yang ada di agama saya. Waktu itu sungguh pahit, bahwa ia tidak bisa menerima doktrin agama kami, yang saya anggap wajar saja. Tetapi manisnya, bahwa ia tetap mau berteman dengan saya, dan saya juga tetap berteman dengannya. Saya yakin secara perlahan konsep pemikirannya yang terlalu fanatik akan berubah ketika ia bisa menemukan titik temu di antara agama kami, yaitu ajaran kasih. Selain itu, hmm, ia memang ganteng. 225
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Saya menyukai pelajaran Islamologi, terlebih di kampus saya mengambil Konsentrasi Agama-agama yang lebih mengarah kepada Islamologi, sehingga saya bisa kembali lagi ke kampus IAIN untuk belajar dan membaca buku di perpustakan. Terlebih lagi, saya mendapat orangtua angkat yang baik hati dan memiliki wawasan luas serta sikap toleransinya kuat, sehingga saya merasa sangat nyaman berbincang dengan beliau. Kenyamanan yang sama juga saya rasakan ketika berada di kampus IAIN bersama teman-teman muslim. Ketika kami kembali ke hotel untuk menutup seluruh rangkaian kegiatan di INGAGE, kami bertemu dan saling ber pelukan melepas kerinduan meski hanya terpisah dua hari. Mungkin karena rasa persaudaraan yang telah menembus tembok perbedaan kami lebih kuat, maka sedikit waktu saja berpisah, kami langsung diserang rindu yang hebat. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman yang didapat. Semuanya menarik dan sangat menikmati, bahkan sebenarnya kami masih ingin menambah hari untuk kegiatan INGAGE ini. Tapi apa daya ini adalah waktu yang sudah ditetapkan oleh panitia, dan kami hanya bisa terus menjalin persaudaraan dan menularkan sikap toleransi kepada orang lain, baik itu individu maupun kelompok. Hal itu terbukti, sampai sekarang kami masih sering mengadakan pertemuan serta diskusi yang akan membahas mengenai kelanjutan program lintasagama. Saya bisa mendapat teman sekaligus saudara baru, dia yang bercadar, mereka yang berkerudung, dia yang menggunakan rosario, mereka yang menggunakan kopiah, mereka yang memberi salam berbeda dengan salam yang saya ucapkan, mereka yang beribadah dengan bersujud, bersimpuh, berdiri, duduk ataupun dengan cara lainnya. Mereka yang memiliki jabatan di pemerintahan, jabatan di perguruan tinggi, mereka yang dari pedalaman, mereka yang dari perkotaan, mereka yang berbicara dengan aksen yang beda dengan saya, semua telah menjadi saudara atas dasar kasih. Banyak hal yang telah saya pelajari, dan saya sadari, melalui program INGAGE ini. 226
Bagian III: Para Pelintas Batas
Terlebih berkaitan dengan agama dan kepercayaan kami masing-masing, kami adalah warga Indonesia dengan moto “Bhinneka Tunggal Ika” yang makin menyadarkan bahwa, ini bukanlah sekedar semboyan. Melainkan ikatan yang mempererat persaudaraan di tengah perbedaan kami, melawan diskriminasi dan intimidasi pada setiap pemeluk agama dengan saling menghargai dan menghormati, memahami dan bahkan saling menerima apa yang telah menjadi kepercayaan setiap orang. Semua berujung pada sikap yang saling melindungi demi terwujudnya kerukunan dan kedamaian antar umat beragama. “Semakin banyak warna, maka akan semakin menarik,” demikian kutipan bagus yang saya dapat Pak Taufani, MA.
227
228
Bagian III: Para Pelintas Batas
Praktik kesetaraan hak Foto oleh Zulfirman Rahyantel, INGAGE Ambon
INGAGE dan Agenda Mengelola Keragaman1
T
Taufiq Bilfaqih, INGAGE M anado
IBA-TIBA grup Whatsapp (WA) ramai dengan pembahasan kegiatan INGAGE. Kali ini bukan grup peserta atau panitia yang mengikuti kegiatan tersebut. Ini grup jamaah NU se-Sulawesi Utara. Ada Kyai, Ustaz, Tokoh, Santri dan Jamiyah. Grup menjadi “berisik” karena merespons beberapa agenda INGAGE berkaitan dengan beredarnya foto peserta yang berada di rumah ibadah pemeluk agama lain. Utamanya foto seorang wanita berhijab sedang berdoa di hadapan patung Bunda Maria dengan cara khas umat Kristiani.
1
Tulisan ini merupakan jurnal yang menjadi tugas peserta INGAGE Manado, 2016.
229
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Seorang Kyai mengomentari foto tersebut, “Mahasiswa itu harus segera bertaubat. Taubatan Nasuha.” Anggota grup yang lain merespon, “Ini pluralisme kebablasan”. Disambung lagi oleh seorang Ustaz, “Mohon catat namanama peserta muslim yang ikut kegiatan itu. Serahkan ke saya!” Ada pula yang menyambung, “Ini pluralisme atau liberalisme?” Bla… bla… bla… Tak henti anggota grup mengomentari foto kontroversial itu. Sebagai ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU, Sulawesi Utara yang ikut mendukung program INGAGE, serta sekaligus sebagai peserta kegiatan, saya pun akhirnya ikut merespons. “Tidak perlu berlebihan menanggapi kegiatan INGAGE. Ini kegiatan positif yang didukung oleh Ketua PWNU dan Lesbumi secara kelembagaan. Tidak ada acara pendangkalan iman. Mengenai foto, itu adalah aksi alay peserta. Tentang kegiatan di rumah ibadah agama lain bukanlah ajang mengikuti ibadah melainkan sebagai momentum untuk mengetahui tentang struktur bangunan dan tradisi di dalamnya. Intinya mereka belajar bersama. Bukan sembahyang bersama.” Hasilnya, saya di-bully habis-habisan. Dikritik bahkan dituduh yang bukan-bukan. Apakah INGAGE Itu? Untuk menjawab kontroversi sebagaimana di atas, ada baiknya kita mengetahui kronologi acara demi acara. Karena sesungguhnya tanggapan miring oleh sebagian orang terhadap program INGAGE harus diluruskan. Jika tidak, justru maksud agenda yang mengkampanyekan perdamaian justru menjadi alasan terjadinya pertikaian. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan mampu mengubah prasangka menjadi simpati, sehingga kegiatan seperti INGAGE semakin diminati dan membudaya di tengah masyarakat yang multikultural. Interfaith New Generation Initiative and Engagement (INGAGE) merupakan program yang memberi ruang bagi 230
Bagian III: Para Pelintas Batas
kaum muda melibatkan diri dalam keragaman iman dan tradisi keagamaan, serta bersikap kritis terhadap hubungan antarkomunitas. Dalam program ini kaum muda membekali diri dengan pemahaman tentang perbedaan iman dan kesetaraan, mengeksplorasinya melalui teknologi digital secara kreatif dan inovatif untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Kegiatan ini diprakarsai oleh Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta. Di Sulawesi Utara, INGAGE juga mendapat dukungan oleh beragam instansi perguruan tinggi dan beberapa lembaga sosial keagamaan. Di antaranya, STAKN, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Manado, Muhammadiyah, Lesbumi NU, UKIT Tomohon, FKUB Sulut, Vihara Dhammadipa Manado, RRI Manado, RAL 102,8 FM Manado, Tribun Manado, Bukit Doa Kelong Tomohon, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Antaragama. Rangkaian kegiatan INGAGE, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, mengkombinasikan Training dan Live-in. Dari program Training, peserta belajar bersama berdasarkan studi kasus. Selanjutnya melakukan diskusi kelompok dengan terbuka, terarah, dan dilandasi rasa saling menghormati. Kemudian juga ada sesi presentasi dan ceramah dari fasilitator yang diakhiri dengan refleksi harian peserta. Sementara itu, untuk program Livein, yakni momen ketika semua peserta tinggal bersama orang lain yang berbeda keyakinan. Dari Live-in tersebut, peserta menjalin persahabatan dengan tuan rumah dan keluarganya sembari mengamati aktivitas keseharian yang dilakukan oleh tuan rumah. Pengamatan yang dimaksud adalah apa saja yang berbeda dan apa yang sama antara keyakinan peserta dan tuan rumah. Dengan ini kemudian peserta berdiskusi soal perbedaan dan persamaan tersebut, serta mencari titik temu. Pada akhirnya, peserta akan membuat jurnal berdasarkan pengalaman Live-in tersebut dan memelihara hubungan dengan tuan rumah setelah kegiatan berakhir. 231
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Catatan Kegiatan Ketika membuka kegiatan ini, sambutan dari Kementerian Agama Sulawesi Utara, Mochtar Bonde adalah bahwa indeks kerukunan antarumat beragama di daerah ini pernah menjadi yang teratas. Ia merefleksikan ketika daerah-daerah sekitar, seperti Poso, Maluku, Ambon dan lainnya sedang memanas dengan peristiwa konflik SARA, Sulawesi Utara justru melanjutkan tradisi dialog antaragama. Namun, dalam keluhnya, Mochtar mengkhawatirkan ketika indeks kerukunan tersebut menurun akhir-akhir ini, “Sesungguhnya Sulawesi Utara ini pernah peringkat pertama sebagai daerah yang tingkat kerukunannya berjalan harmonis. Tapi belakangan turun ke peringkat kelima. Ini menjadi evaluasi semua pihak. Maka kegiatan INGAGE bagian dari proses untuk kembali menjadikan Sulawesi Utara berada pada fase terbaiknya.”
Bagi saya, ungkapan di atas sangat realistis. Jauh sebelum isuisu SARA yang menghiasi media, Sulawesi Utara mempertontonkan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan semangat saling menghargai, toleran, dan bergotong-royong. Tidak ditemukan tendensi kelompok tertentu. Mayoritas mengayomi minoritas, sebaliknya minoritas menyadari keberadaan mereka. Namun, pemandangan ini sedikit tercoreng sejak arus transformasi yang semakin terbuka lebar. Mulai terdengar kabar adanya penolakan pembangunan rumah ibadah, tawuran antarkampung yang notabene memiliki identitas keyakinan berbeda, kebijakan politik penguasa yang tidak berpihak pada kelompok minoritas, serta peristiwaperistiwa yang menyulut prasangka antargolongan lainnya. Sekali lagi, media sangat berperan mempengaruhi psikologi dan perspektif warga Sulawesi Utara. Namun, kepiawaian seluruh lapisan masyarakat hingga pemerintah mampu menjaga stabilitas kehidupan sosial, sehingga Sulawesi Utara tetap kondusif dan tidak mengalami konflik horisontal yang berlebihan. Bisa dibayangkan jika peristiwa-peristiwa sensitif terjadi di daerah lain, hampir kebanyakan berakhir dengan konflik besar. 232
Bagian III: Para Pelintas Batas
Atas dasar itu, Sya’ban Mauludin, Ketua PWNU Sulawesi Utara, turut memberikan dukungan untuk kegiatan INGAGE. Dalam sambutannya pada pembukaan kegiatan, ia menegaskan bahwa semua lapisan masyarakat di Sulawesi Utara telah sepakat bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang mesti dirayakan dan dikelola dengan baik. Peristiwa yang bernuansa SARA di daerah lain harus menjadi pelajaran penting, sehingga dapat mendidik masyarakat Sulawesi Utara dalam menjaga keharmonisan. “Maka kegiatan INGAGE sudah sepantasnya menjadi tradisi di daerah ini. Kita harus mendukung dan turut berperan demi capaian program seperti ini,” ujar Sya’ban menutup sambutannya. Dari pernyataan kedua tokoh di atas, dapat dipastikan bahwa begitu banyak kalangan berharap untuk menjadikan daerah Sulawesi Utara kembali kondusif dan berada pada peringkat pertama dalam hal kerukunan, bahkan harapan tersebut tertuju pada program INGAGE dan sejenisnya. Tentunya, keinginan untuk membuat daerah ini menjadi aman dan tentram bukan sekadar kerinduan atas prestasi belaka, melainkan sebagai wujud dari kebutuhan akan hidup harmonis karena ia adalah keniscayaan yang mesti digapai. Tak heran, pemerintah dan masyarakat setempat selalu sejalan dalam mengelola keragaman yang ada. Materi Training Harapan melalui program INGAGE benar-benar realistis. Melalui kegiatan ini peserta mendalami materi-materi pokok yang mampu menggugah hingga membuka cakrawala berpikir. Materi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya, peserta diajak untuk menjelaskan tentang definisi HAM sesuai dengan perspektifnya selama ini. Peserta pun dikenalkan tentang HAM yang telah tercantum pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada penjelasan materi HAM, fasilitator Alviani Permata dari Universitas Kristen Duta Wacana, mengajak peserta untuk mendiskusikan ruang lingkup HAM. Materi ini tentunya menjadi modal bagi peserta untuk secara subtansial memahami keberadaan 233
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
manusia dengan segala hak-haknya. Alviani menjelaskan bahwa ciri-ciri HAM dapat dibagi dalam beberapa kategori, di antaranya adalah inherent to each individual (melekat pada setiap individu), universal, inalienable (tidak dapat dicabut), dan indivisible (tidak bisa dipisahkan). HAM memiliki norma-norma yang pasti dan menunjukkan prioritas tinggi terhadap penegakannya. Negara berkewajiban untuk mengelola HAM bagi setiap warganya. Kendati demikian, tidak seluruh persoalan di setiap negara digolongkan dalam persoalan HAM. Dalam konteks Indonesia, definisi HAM termuat dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia Pasal (1) yang menyebutkan bahwa, “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Dari penjelasan tentang HAM inilah kemudian peserta disodor kan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seputarnya, seperti, di mana pelaksanaan hak manusia dilaksanakan? Pernahkan melihat seseorang (secara langsung) diperlakukan tidak menyenangkan? Apa yang terjadi jika HAM diingkari? Apa yang dapat dipelajari dari orang-orang yang bekerja untuk HAM, seperti Munir, Elanto, Gandhi, Mandela? Apa yang terjadi bila setiap orang tahu hak-haknya? Materi lain yang dibawakan Alviani Permata adalah Kemerdekaan dan Kesetaraan. Melalui kajian tentang materi ini, peserta diharapkan mampu mengembangkan sikap untuk menerima keberagaman, karena setiap orang setara dan merdeka, serta menciptakan situasi yang demokratis. Merdeka dimaknai sebagai berpikir dan bertindak sesuai kehendak hati, tidak dalam kendali yang tidak diinginkan dari pihak lain. Sedang setara, dalam kajian kali ini dipahami sebagai memiliki status, hak atau kesempatan yang sama seperti yang dimiliki pihak lain. Untuk menyederhanakan pemahaman peserta terhadap materi ini, Alviani kemudian mengundang beberapa peserta untuk berdiri 234
Bagian III: Para Pelintas Batas
dan memerintahkan mereka agar menulis sesuatu. Begitu pun mereka yang duduk, mendapat tugas yang sama. Setelah beberapa saat, Alviani bertanya kepada peserta yang berdiri; “Apakah kalian merasa adil, diperlakukan sama dengan mereka yang duduk?” Spontan peserta menjawab, “Tidak, kami merasa diperlakukan beda. Kenapa yang lain menulis dengan nyaman di saat duduk, sementara kami kelelahan menulis dengan gaya berdiri. Apa salah kami?” Simulasi sederhana ini, nampaknya berhasil memberi gambaran tentang apa itu merdeka dan setara. Melengkapi kedua materi sebelumnya, Materi HAM, Kemer dekaan dan Kesetaraan, peserta kemudian kembali disuguh kan materi tentang Kovenan. Penjabaran materi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada peserta terkait hak-hak sipil dan politik, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kovenan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu perjanjian internasional yang membentuk dan mengatur Liga Bangsabangsa. Dirumuskan pada 1948, disusun pada 1952, dirumuskan pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku efektif pada 1976. Dengan materi ini pula, peserta dikelompokkan guna membahas tentang permasalahan hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan budaya yang berada di daerah masing-masing. Melalui metode tersebut, secara tidak langsung, peserta dapat mengetahui apa yang menjadi hak warga dan apa kewajiban negara terhadap warganya. Leonard dan Materi Dunia Mayanya Fasilitator lain yang turut berpartisipasi pada proses Training INGAGE adalah Leonard C. Epafras (ICRS). Selama tiga hari pelatihan, ia membawakan beberapa materi yang berkaitan dengan dunia maya. Materi-materi tersebut antara lain, Dunia Digital dan Media Sosial, Internet Sehat, dan Membangun Komunitas Digital. Dari ketiga materi yang ia bawakan, saya secara pribadi sangat terbantu dengan pembahasan pada materi Dunia Digital dan Media sosial. Bagi saya, materi ini sangat penting untuk merefleksikan keberadaan dunia digital dan media sosial terkini. 235
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Secara keseluruhan, peserta diajak untuk membaca secara kritis terhadap dampak dari dunia ini bagi dinamika kelompok dan antar iman. Bahkan lebih jauh, kita pun diperkenalkan dengan hyper-media world, yakni sebuah istilah untuk menjelaskan kondisi ketika batasan antara ruang privat dengan ruang publik semakin halus dan kabur. Di dunia maya, netizen disodorkan dengan beragam pilihan atas keberadaan media (polymedia). Kondisi ini membuat aktivitas penggunanya yang dinamis sehingga mempengaruhi relasi, otoritas, dan struktur sosial. Dalam konteks Indonesia, dari jumlah penduduk yang mencapai 252.4 juta jiwa, sedikitnya 88.1 juta penduduknya adalah pengguna internet. Dari hasil pantauan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2014, pengguna internet terbesar di Indonesia adalah wilayah Jawa dan Bali (52.0 juta), disusul Sumatera (18.6 Juta), Sulawesi (7.3 juta), Kalimantan (4.2 Juta), dan Nusa Tenggara, Papua dan Maluku (5.9 juta). Dari data APJII tersebut juga diketahui bahwa pengguna terbanyak adalah kaum perempuan dengan angka 51%, sedangkan lakilaki sebanyak 49%. Data lain menyebutkan, penggunaan internet di Indonesia lebih didominasi dengan menggunakan perangkat seperti telepon seluler. Atas dasar itulah, pentingnya mengkampanyekan penggunaan internet secara sehat dan bijak.2 Membangun perilaku ber-internet sehat merupakan keharusan. Pada kegiatan INGAGE ini peserta diajak untuk mengetahui beragam kejahatan di dunia maya serta menghargai dan melindungi privasi dalam berinternet. Cyberbully dikhawatirkan akan merusak tatanan kehidupan masyarakat yang beragam. Namun, perlu juga memahami lebih jauh tentang hak mengeluarkan pendapat melalui internet agar tidak terjadi kriminalisasi secara berlebihan, sebab, dalam catatan sejarah, dengan UU ITE, negara dianggap gagal melindungi hak-hak setiap warganya. Akhirnya, tidak sedikit “korban” dari efek pemanfaatan regulasi tersebut. Sementara itu, Al Makin (UIN Sunan Kalijaga), juga sebagai fasilitator, memberikan materi inti pada kegiatan Training
2
Sumber data berasal dari materi pelatihan
236
Bagian III: Para Pelintas Batas
INGAGE ini. Ia membawakan materi tentang Sejarah Agamaagama Dunia, Agama di Indonesia serta materi Keragaman dan Perbedaan. Mengawali presentasinya, Al Makin memberikan tugas kepada kami untuk saling mewawancarai. Setiap peserta mencari tahu tentang ajaran agama dari peserta yang berbeda keyakinan. Metode tersebut akhirnya secara tidak langsung membantu peserta untuk belajar agama-agama yang terdapat di Indonesia. Al Makin, mengajak peserta untuk mengetahui prinsip ke ragaman dan perbedaan. Kita diharapkan menyadari betapa pentingnya keragaman dan perbedaan dalam beragama. Apalagi, ia menjelaskan bahwa dalam catatan sejarah, agama begitu beragam baik dalam konteks dunia hingga ke Indonesia, maka sudah sepantasnya setiap orang tidak hanya terjebak pada klaim kebenaran agama yang ia peluk. Program Live-in Setelah tiga hari mengikuti Training, peserta INGAGE melaksanakan kegiatan Live-in, yaitu program untuk berinteraksi secara langsung dengan pemeluk agama lain selama tiga hari pula. Pada fase Live-in, peserta belajar lebih jauh tentang agama dan keyakinan tuan rumah. Saling berdialog, tukar pendapat, bahkan saling mempelajari tradisi masing-masing. Dengan pola ini, peserta mewujud-nyatakan materi-materi yang sebelumnya diterima selama Training. Pada program Live-in, Saya ditempatkan di rumah seorang Pendeta Kristen. Selama bermukim di kediamannya, saya banyak belajar tentang kekristenan, baik dari segi tradisi hingga pandanganpandangan teologis. Bagusnya, Pendeta yang “melayani” saya selama Live-in di rumahnya merupakan sosok agamawan yang inklusif, santun, bahkan memiliki pemikiran yang progresif. Gagasan tentang ajaran kasih sayang Kristen, seolah membungkus kepribadian Sang Pendeta. Ronny Dajau, adalah nama Sang Pendeta. Di rumah, ia tinggal bersama Istri dan tiga orang anaknya. Saya menjalin 237
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kebersamaan dengan mereka. Sesekali kami bercanda, namun di saat-saat tertentu kami berdialog serius, bahkan ada hal-hal yang sensitif sekali pun menjadi bahan diskusi kami. Pada kesempatan lain pula, Pendeta mengajak saya melihat tradisi ibadah jemaat yang dipimpinnya langsung. Melihat bangunan dan mempelajari manajemen pengelolaan gereja, hingga mengikuti kegiatan olah raga Sang Pendeta dengan komunitas Pendeta lainnya. Semua aktivitas yang kami lakukan, tidak sama sekali membuat saya merasa asing. Justru yang dirasa adalah semangat kebersamaan. Kami hanyut dalam suasana kekeluargaan, kendati pun beda keyakinan. “Inti ajaran Kristen itu adalah kasih kepada semua orang,” ujar Pendeta. Pernyataan inilah yang kemudian menimbulkan spirit solidaritas sesama manusia muncul dalam keseharian kami. Ditambah, keyakinan saya atas ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua alam, menjadi modal untuk hidup bersama semakin harmonis. Sewaktu tinggal bersama Pendeta, terlintas dalam benak saya, apakah kegiatan Live-in ini dapat menjadi kontroversi? Mengingat, sebelumnya kami direpotkan dengan anggapan miring oleh kelompok tertentu atas aktivitas muslim di dalam gereja. Melemahkah iman kami, peserta INGAGE, selama berada di kediaman pemuka agama lain? Apakah Pendeta akan menjalankan misinya untuk mengubah keyakinan saya? Bagaimana dengan makanan, halalkah? Pertanyaan-pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya. Sangkaan berlebihan, ternyata menjadi penyebab lahirnya pertanyaan tersebut. Kita sering mendengar informasi sepihak dan gagasan ekslusif dari pemuka agama. Bagi saya, program Live-in ini menjadi momentum untuk mempelajari secara baik tentang agama dan keyakinan orang lain langsung kepada pemeluknya. Selama ini, kita mengetahui ajaran agama lain bukan dari pemeluk apalagi tokohnya langsung, sehingga hal tersebut menyebabkan munculnya prasangka yang berlebihan. Bahwa kemudian terdapat perbedaan pandangan dan keyakinan yang mencolok, tidak serta merta menjadikan semangat kemanusiaan 238
Bagian III: Para Pelintas Batas
kita tertutup. Oleh karena itu, saya berprinsip, jangan belajar Islam kepada Pendeta dan jangan pula belajar Kristen kepada Ustaz. Modal Sosial Masyarakat Sulawesi Utara Tampilan kebersamaan yang terjadi selama Live-in merupakan wujud dari kesadaran saya, Pendeta, dan seluruh masyarakat di Sulawesi Utara tentang pentingnya menjaga kerukunan dan harmonisasi hidup dalam keragaman. Sebagaimana yang disampaikan Noudy R. P. Tendean, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Sulawesi Utara, pada kegiatan Training INGAGE bahwa hal mendasar yang dimiliki masyarakat Sulawesi Utara dalam pengalaman kehidupan sehari-hari adalah modal sosial mereka. Kisah Live-in yang telah ditulis sebelumnya merupakan bagian dari kebesaran modal sosial masyarakat. Modal sosial bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, ia juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain. Modal sosial sendiri tidak akan pernah habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Justru rusaknya modal sosial bukan karena seringnya ia dipakai, namun karena ia tidak dipergunakan. Untuk mengetahui parameter modal sosial, hemat saya, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilihat. Pertama, kepercayaan, yakni sebuah harapan yang tumbuh, sehingga berperilaku jujur, teratur, dan bekerja sama. Kedua adalah norma, nilai-nilai, harapan, dan tujuan. Yang ketiga berupa jaringan atau kerja sama antarmanusia, membangun interrelasi formal dan informal. Parameter modal sosial ini terimplementasikan melalui gerakan sosial dengan sebutan-sebutan lokal yang membumi. Semisal, Mapalus di Minahasa, Mapaluse di Sangihe, dan Moposad di Bolaang, Mongondow. Hal inilah yang menjadi hiasan kehidupan masyarakat Sulawesi Utara dalam membangun peradaban. Penutup Program INGAGE sudah semestinya dilanjutkan. Kendati dalam konteks Sulawesi Utara relatif aman, namun kita tidak 239
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
menutup mata dengan riak-riak konflik yang belakangan ber munculan. Kasus Basaan, peristiwa penolakan pembangunan rumah ibadah, pelarangan azan, bahkan intimidasi kelompok mayoritas terhadap minoritas telah menjadi isu hangat di Sulawesi Utara. Maka tak heran posisi teratas sebagai daerah yang rukun kini tergeser menjadi yang kelima. INGAGE, salah satu cara terbaik untuk mempertemukan yang beda dalam satu kesamaan visi pembangunan hidup berdampingan. Pendalaman materi, serta interaksi selama kegiatan menjadi modal positif agar dapat membina kebersamaan. Program ini pula menjadi lokomotif perjuangan menolak gagasan-gagasanekslusif terkait keragaman. Menyadari hak-hak sebagai warga, memahami posisi yang sama di hadapan negara, bijak dalam menggunakan internet, serta mengetahui sejarah agama dan keragamannya turut membentuk semangat bagi kaum muda khususnya untuk mengelola perbedaan di tengah kehidupan masyarakat. Saya sangat bersyukur telah ikut berpartisipasi pada kegiatan ini, baik secara kelembagaan Lesbumi NU Sulut maupun sebagai pribadi yang menjadi peserta. Follow up dari kegiatan INGAGE di Manado ini telah kami lakukan dengan mengadakan diskusi agama dan budaya di markas Lesbumi, membentuk organisasi komunitas Pemuda LintasAgama (PELITA), hingga program sejenis INGAGE yang akan dilakukan di tingkat pelajar. Harapan saya, INGAGE harus diterima oleh semua kalangan, karena untuk hidup harmonis, dibutuhkan dialog antarumat beragama. Dialog ini menitikberatkan pada keinginan dan kebutuhan untuk saling memahami dan tukar menukar pengalaman keagamaan yang telah dimiliki. Dengan demikian, tidak ada lagi usaha-usaha untuk secara sepihak menyalahkan,mengolokolok, atau mengkafirkan. Bahkan menganggap tidak selamat kepada sistem kepercayaan dan keimanan yang dimiliki orang dan kelompok lain, sehingga jadilah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
240
Bagian III: Para Pelintas Batas
Mendengarkan langsung dari pemeluknya, jika ingin tahu agama lain Foto oleh Supriyadi Kilbaren, INGAGE Ambon
Ketika Hantu Jadi Tuhan Ek lin A. de Fretes, INGAGE Ambon
“A
YO pelankan suara TV!”perintah ayahku, ketika suara azan berkumandang di siaran TV. Aku kadang ikut perintahnya, tapi kadang aku langsung mematikan TV. Aku menjadi takut dengan suara azan. Mendengarnya seperti mendengar hantu sedang berteriak, atau musuh sedang marah. Aku masih ingat, semasa kecil aku dibentuk dengan pola seperti ini. Aku memang lahir dari keluarga Kristen yang begitu fanatik. Ayahku asli Ambon dan Ibuku dari Toraja. Itulah alasannya nama depanku adalah Eklin, tapi nama tengahnya Amtor. Singkatan dari Ambon–Toraja.
241
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Satu kisah kala kecil dulu, masih kuingat. Suatu siang, aku dipangku Ibu. Aku suka sekali dipangku. Saat itu Ibu ku berkata, “Eklin, jangan bermain dengan teman-teman Islam. Mereka jahat.” Tangannya bergerak-gerak membelai rambut ku, lalu melanjutkan perkataannya, “Atau ada teman-teman yang agama Hindu, jangan dekati mereka. Mereka biasa menyembah patungpatung. Ingat, Tuhan Yesus tidak suka dengan orang yang menyembah patung-patung.” Aku hanya bisa menatap mata Ibuku lekat. Sedang Ibuku langsung memeluk erat. Suaranya tadi terdengar tegas. Apakah dia takut, aku berpindah agama nantinya? Atau kalimat-kalimat itu keluar karena dipengaruhi masa pekat, kerusuhan di Maluku 1999? Entahlah yang jelas saat itu, aku telah memandang agama lain, sebagai penyembah hantu. Pada usia delapan tahun, aku percaya kalau pemeluk selain agama Kristen adalah orang-orang yang tengah bersiap masuk nereka. Aku benci agama lain. Tetapi aku bersyukur atas kefanatikan kedua orang tuaku akan agama Kristen. Maka aku pun dikuliahkan di Fakultas Teologi untuk nantinya menjadi Pendeta. Berkhotbah di mimbar, lalu nanti mengajar kepada Jemaat, menyampaikan kepada umat bahwa agama Kristen yang lebih benar. Agama lain tidak. Ini seperti istilah Ecclesia Nulla Salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja). Sayang sekali orang tuaku salah. Di tempat kuliah, dunia seakan berputar 180°. Didikan orang tuaku dibolak-balik. Aku ditampar dengan pemahaman-pemaham pluralisme. Mataku dibuka tentang keberagaman, sehingga aku bisa melihat ada Tuhan di agama lain. Tidak hanya di tempat kuliah, parahnya saat aku diberi kesempatan belajar di Interfaith New Generation Initiative and Engagement (INGAGE) dari tanggal 3-9 November 2016, aku melihat hantu berubah menjadi Tuhan. “Kamar 315 ya, Dik,” kata resepsionis saat aku check in untuk mengikuti kegiatan INGAGE. Hanya tersenyum, lalu aku mendorong koperku dan langsung bergegas menuju Kamar 315. Ternyata di sana sudah ada seorang teman beragama Islam yang telah menungguku. Untuk beberapa hari ini, kami akan tidur sekamar. 242
Bagian III: Para Pelintas Batas
“Eklin,” aku menggerakan tangan untuk bersalaman dengan dia. “Aku Dani,” sambil menjabat tanganku, dia memperkenalkan namanya. Kami terlarut dalam perkenalan yang masih terkesan kaku. Langit di Kota Ambon pun seakan kaku. Awan hanya bergantung, kurang bergerak. Dari kaca candela aku melihat matahari tak lagi cerah. Hingga waktunya untuk sholat. “Aku sholat dulu ya, Eklin,” kata teman sekamarku. “Oh, silakan Dani!”aku menimpali. Aku menyandarkan kepala di bantal. Tenang beberapa saat, kemudianDani pun mulai dengan azan, mengawali sholatnya. “Eklin, ini bukan suara TV yang bisa dibuat pelan”, kataku dalam hati. Aku hanya berusaha lebih tenang, lalu menutup mata. Aku pun terhanyut dalam alunan azannya. Tapi entah mengapa, tibatiba ada air mata yang mengalir di ujung mataku. Aku merasakan Yesus juga sedang dipuji lewat penggalan-penggalan azandari bibir Dani. Ketika perlahan aku membuka mata, Dani sudah ada dalam gerakan tunduk-bangun berulang kali. Gerakan yang membuat tulang-tulang Dani ikut berbunyi. Seperti itu kah? Seluruh tubuh ikut menyembah Tuhan. Dari ujung kaki sampai rambut semua bergerak. Aku merasakan ada kesakralan tersendiri sore itu. Aku kembali menutup mata dan masih tidak bersuara. Udara dingin di kamar membuatku semakin damai. Aku seperti mencium bau Tuhan. Wangi dan lebih dari sekedar sejuk. Hari-hari berikutnya kami dibekali dengan materi-materi keberagaman, sejarah agama-agama, ada pula cara berperilaku di dunia digital dan media sosial. Salah seorang pemateri bernama Pak AlMakin. Di pertengahan materinya tentang sejarah agamaagama, beliau menerangkan,“Toleransi dalam beragama hanyalah kulit luar, yang lebih dalam ialah perlu memahami.” Aku langsung tertegun dalam ruangan yang cukup ribut dengan banyak orang yang ada di situ. “Apakah memang kedua orang tuaku, tidak terlalu memahami agama lain. Mungkin mereka bisa bertoleransi untuk hal-hal tertentu. Tapi aku tahu, Mereka 243
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
menganggap agama lain itu salah, agama lain bukan menyembah Tuhan. Eklin, ini jadi tanggung jawabmu untuk membuat mereka bisa memahami.” Aku bercakap-cakap sendiri. Bercakap dalam isu Tuhan dan hantu. Jam menunjukan pukul 22:09 WIT, sebagian besar peserta INGAGE telah berada di kamar untuk beristirahat. Tiba-tiba Handphone-ku berbunyi. “Halo, Ma”,aku merespons telepon dari Ibuku. “Nak, kamu di mana?” “Aku di Ambon, lagi ikut kegiatan lintasiman.” “Itu kegiatan seperti apa, Nak?” Dari suaranya aku tahu Ibuku mulai khawatir. Langsung saja aku ajak bercanda. “Kegiatannya seperti kebebasan beragama, keberagaman beragama begitulah, Ma. Ya, siapa tahu saja aku bisa masuk Islam,”kataku, lalu tertawa kecil, walau aku sudah tahu apa yang akan terjadi. Jelas saja, Ibuku langsung marah-marah, “Heh, kamu sudah gila? Berani masuk Islam jangan injak pintu rumah.” “Yah, Mama. Aku cuma bercanda. Tapi kalau tidak bisa injak pintu rumah, bisalah aku injak jendela,”Kataku. Percakapan kami pun beralih ke hal yang lain, hingga telepon berakhir. Malam itu, aku masih belum bisa menguraikan indahnya keberagaman beragama bagi Ibuku. Andai saja Ibu dan Ayahku bisa ikut INGAGE, tapi usia mereka sudah kepala enam. Sudah tidak mungkin lagi. Aku masih punya tanggung jawab besar untuk memberi pemahaman kepada Ayah dan Ibuku dan saudrasaudaraku tentang indahnya keberagaman. Malam itu berlalu dengan beban yang seakan menari-nari di pikiranku. Untung saja pagi segera datang. Hari ini di INGAGE, kami akan melakukan kunjungan ke rumah-rumah Ibadah (Interfaith Journey). Saat inilah aku merasa semakin ditelanjangi. “Ibu, Ayah di sini juga ada Tuhan,” ucapku lirih dalam hati. Aku merasa ada yang melepaskan dari badanku, satu demi satu pakaian yang selama ini ditempelkan Ayah dan Ibuku tentang agama lain. 244
Bagian III: Para Pelintas Batas
Udara di pura, sore itu begitu lembut. Diiringi alunan suara Bapak Ketut, Ketua Agama Hindu Maluku yang perlahan menjelaskan tentang agama Hindu, membuat suasana semakin bersahabat. “Kami tidak menyembah Patung. Patung dibuat hanya sebagai sarana untuk kami bisa fokus ke pada satu titik yaitu Tuhan”ujarnya. Senyum mulai terbentuk di wajah Pak Ketut. “Padmasane, tempat kami beribadah ini, dibuat menengadah ke langit. Sebab ini akan bersentuhan langsung dengan alam semesta ciptan Tuhan. Lebih dekat dengan Yang Maha Tinggi,”kata Pak Ketut sambil menunjuk ke arah Padmasane. “Kami tidak pakai Kuil, seperti layaknya Hindu di India. Kami lebih menyesuaikan diri dengan keadaan. Bahkan sebagian besar istilah dan ritual dalam Hindu, kami sesuaikan dengan keindonesiaan,” demikian ia menguraikan. Aku menganggukan kepala. Agama-agama sekali pun dibawa dari negara luar, tapi selalu saja disesuaikan dengan konteks dimana agama itu akan berkembang. Tidaklah salah, jika aku berpendapat bahwa agama merupakan warisan dunia yang kontekstual. Pak Ketut terus berbicara,“Kami juga tidak menyembah banyak Dewa. Setiap Dewa itu memilki peran masing-masing. Kami menghormati para Dewa, kami menyembah Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi, yang kami sebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa.” Penjelasan tentang para Dewa membawa pikiranku pada Trinitas dalam kekristenan. Ketika Allah, Yesus dan Roh Kudus menjadi satu. Tiga menjadi satu Tuhan, ketigaan yang memilki peran yang berbeda pula. Apakah ini monotheis atau politheis, masih sangat sulit diterjemahkan. Kesempatan berharga berikutnya saat di INGAGE yaitu ketika semua peserta diberi kesempatan tinggal bersama penduduk yang berbeda agama. Aku bersama Pateki, seorang teman yang beragama lokal, namanya Nuaulu. Kami tinggal di satu keluarga muslim. Bapak Amir dan Ibu Ace begitu ramah menaungi kami dalam rumah yang walau pun sempit, tapi di rumah ini ada kasih yang merembes tanpa batas. Di rumah ini pula, untuk pertama kalinya aku merasakan manisnya kopi yang bersanding 245
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
dengan manisnya Tuhan. Sungguh, terlalu nikmat. Ketika Pateki mengisahkan tentang agamanya, yang dipandang sebagian besar orang sebagai penganut mistis, percaya akan kekuatan para leluhur, menyembah pepohonan, air dan batu-batu. “Agama Nuaulu ini ada di Maluku Tengah, tepatnya di Pulau Seram,”kata Pateki mulai memperkenalkan agamanya. Sepertinya Pateki mengerti kalau aku, Bapak Amir dan Ibu Ace mulai antusias mendengar ceritanya, “Kata Nuaulu diambil dari nama sungai yaitu Nua. Para leluhur yang kami sebut Upu, melihat Tuhan menolong mereka dengan memberi sungai itu saat mereka ada dalam kesusahan. Kami menyapa Tuhan dengan sebutan Anahatana.” Gelas kopikugenggam erat sambil terus menatap Pateki, sementara ia bertutur, “Kami tidak menyembah patung, batu, atau pohon. Semua benda itu kami hargai sebagai anugerah Tuhan. Benda yang bisa membawa kami merasakan kehadiran Tuhan atau Anahatana itu.” Aku lalu meneguk kopi dengan hati penuh bahagia. Aku ingin lekas pulang lalu memperlihatkan kepada Ayah dan Ibuku, bagaimana hantu bisa berubah menjadi Tuhan. Saat sedang menulis kisah ini, sesakali aku pun melirik akun Facebookku.Hatiku seperti dirajam, ketika melihat salah satu status temanku tertulis seperti ini: “Sedih atas tragedi pengeboman halaman gedung Gereja di Samarinda. Kesedihan ini bersifat ganda. Sedih karena warga negara tidak bisa mengekspresikan iman dan keyakinannya dengan damai, sebagaimana dijamin Pancasila dan UUD. Tapi di sisi lain, sedih karena “hantu” telah menguasai mata hati manusia, lalu menganggapnya Tuhan.”1 Kasihan, jika kekerasan dilabelkan atas nama Tuhan. Atau kebaikan dipandang hantu. Apa yang putih kadang dianggap hitam, sebaliknya apa yang hitam kadang dianggap putih. Padahal cobalah tengok lebih dalam, yang putih tetaplah putih dan hitam tetaplah hitam. Begitulah ‘Ketika hantu menjadi Tuhan’. Dikutip dari status Facebook Nelson Semon Kalay-Radjulan, 13 November 2016, pukul: 19.59 WIT.
1
246
Bagian III: Para Pelintas Batas
Peluk erat saat berpisah dengan mama piara Foto oleh Supriyadi Kilbaren, INGAGE Ambon
Berbeda Tak Mesti Dibeda-Bedakan Wirda Salong, INGAGE Ambon
Ambon dan Kenangan Tragedi, di Kota Ambon, sampe ka kampong-kampong ... Tabakar sana-sini, Sioo inga Pela Gandong ... Tabakar ujung ka ujung, Tangis balumur darah ... Sio ingaa ... Pela Gandong ...
B
egitulah, sepenggal lirik lagu yang menggambarkan tragedi berdarah terjadi beberapa tahun lalu di kota bertajuk Manise, kota kebanggaan kami anak Maluku. Berbicara mengenai toleransi beragama, di negeri ini pernah, bahkan sampai saat ini menjadi satu hal yang sensitif untuk dibicarakan. Saya tidak sedikit pun 247
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
bermaksud untuk mengingat tragedi tersebut, tetapi ketika bicara soal toleransi beragama, maka dengan sendirinya hal itu akan kembali ke dalam ingatan teman-teman, disengaja maupun tidak. Tragedi berdarah tersebut kemudian menciptakan sekat atau dinding penghalang yang amat sangat tinggi bagi anak-anak negeri sendiri. Menurut banyak orang, termasuk saya, kejadian itu merupakan hasil politisasi oleh kelompok-kelompok yang tidak berperikemanusiaan. Negeri yang amat sangat dikagumi di Indonesia, bahkan dunia karena begitu kuatnya tatanan adat dan budaya yang tertanam sejak dulu. Utamanya Pela dan Gandong. Media massa pun tak kalah pengaruhnya pada saat itu. Kekuatan itu, akhirnya berhasil dibobol dan hingga kini walaupun secara perlahan tatanan adat dan budaya itu kembali berhasil dirajut dengan susah payah. Tapi, tak dapat kita pungkiri bahwasanya trauma itu masih dan akan selalu ada di benak anak cucu negeri ini. Trauma karena menjadi korban dan harus mengungsi bertahun-tahun. Terlebih lagi mereka yang harus menerima kenyataan bahwa anggota keluarganya meninggal pada saat tragedi tersebut terjadi. Sehingga menimbulkan berbagai macam prasangka terhadap orang yang berbeda agama dengan kita. Tak elak lagi, ini menimbulkan segregasi baik secara fisik. Kita dapat melihat langsung petak-petak wilayah di mana komunitas muslim hanya bisa tinggal dengan sesamanya, begitu pula yang beragama lain. Prasangka-prasangka ini kemudian membentuk pola pikir, yang justru lebih membahayakan, yakni segregasi pemikiran. Bahkan sampai sekarang, saat Ambon sudah sangat kondusif, bahkan rencananya akan dicanangkan sebagai Laboratorium Perdamaian Dunia, masih tetap saja ada, bahkan sangat banyak dari mereka yang belum dapat bergerak bebas untuk pergi atau melakukan aktivitas pada wilayah yang bukan merupakan komunitas agama mereka. Karena masih tetap melihat perbedaan agama sebagai suatu ancaman yang membahayakan, baik untuk pribadi maupun kelompok.Untuk itu, kiranya saya merasakan kehadiran INGAGE amat sangat penting di kota ini. 248
Bagian III: Para Pelintas Batas
INGAGE: Upaya Mempertemukan dan Merayakan Perbedaan INGAGE merupakan salah satu program pelatihan yang dilaksanakan selama seminggu yang diinisiasi oleh ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies). Lembaga ini menggandeng beberapa orang untuk menjadi panitia lokal dalam proses pemenuhan berbagai macam hal yang dibutuhkan dalam pelatihan. INGAGE sendiri telah dilaksanakan di beberapa kota, yaitu Medan dan Manado. Patut kita syukuri, INGAGE berkesempatan untuk berada di provinsi yang dikenal dengan sebutan Bumi Raja-Raja (Maluku), tepatnya di kota bertajuk Ambon Manise. ICRS melalui INGAGE kemudian berupaya menghadirkan para peserta kaum muda yang memiliki berbagai macam perbedaan, baik secara kasat mata, maupun tidak. Antara lain, perbedaan berbagai macam agama, baik yang telah diakui keberadaannya oleh negara, maupun yang belum mendapat pengakuan dari negara. Lalu perbedaan suku, warna kulit, kepentingan, bahkan sampai pada pola pemikiran yang terbentuk dari lingkungan yang heterogen. Baik itu perbedaan tempat tinggal, sekolah, tempat kerja maupun fasilitas-fasilitas umum lainnya. Kamis, 03 November 2016. Bersyukur rasanya berada di tengah-tengah kurang lebih 28 peserta yang datang dari berbagai macam latar belakang dan berbagai macam pemikiran. Tak dapat dipungkiri, bahwa betapa indahnya ketika para kaum muda yang merupakan tonggak pergerakan bangsa ini, yang datang dengan berbagai macam perbedaan, bisa duduk bersama, berdiskusi dan berdialog. Walaupun awalnya sangat jelas terlihat kekhawatiran dan rasa tidak percaya beberapa teman terhadap teman lain yang berbeda agamanya, lambat laun hal itu mencair, mereka justru semakin akrab satu sama lain. Pada akhirnya, masing-masing orang kemudian mampu menyadari eksistensinya untuk menjawab satu pertanyaan sederhana yang muncul dari benaknya. Yakni,
249
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kenapa saya harus berada di tengah-tengah perbedaan ini? Dan selanjutnya dengan kesadaran penuh bahwa kita semua merujuk pada satu tujuan yang sama yaitu sangat pentingnya toleransi dalam hal apa pun dalam kehidupan keseharian kita. Program ini dilangsungkan di lantai dua salah satu hotel yang terletak ditengah-tengah kota, yakni Pacific Hotel. Program dimulai dengan pembukaan, kemudian perkenalan antar peserta, panitia dan fasilitator. Ada satu hal menarik yang mengundang gelak tawa para fasilitator pada sesi perkenalan ini. Pada waktu itu peserta diminta menempati kursi-kursi yang telah disediakan karena kegiatan akan dimulai. Mungkin menjadi hal yang lumrah, ketika para peserta memilih duduk bersebelahan dengan teman yang sudah dikenal sebelumnya dan lumrah ketika para peserta entah disengaja atau tidak, mengambil posisi duduk berdasarkan perbedaan jenis kelamin, dan lebih lucu lagi karena perbedaan agama. Perempuan-perempuan berhijab duduk bersebelahan, sedangkan yang lain mengambil posisi yang juga bersebelahan. Menurut saya, ini adalah bentuk sederhana dari segregasi itu sendiri. Para panitia dan fasilitator tertawa karena hal ini. Perkenalan singkat yang diramu oleh fasilitator berlangsung sangat asyik. Kemudian saya tahu bahwa terdapat di antara kami para peserta yang berbeda agama. Terdiri dari Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan satu orang teman yang sungguh sangat menyita perhatian para peserta, panitia dan fasilitator. Ia hadir dengan sisi perbedaan yang amat sangat mencolok, yakni dengan ikatan kain merah (Karanunu) yang diikat di kepalanya, membentuk semacam songkok yang harus dipakai kemana pun dan dalam aktivitas apa pun, kecuali tidur. Ini sungguh sesuatu yang langka. Ia adalah salah satu peserta yang beragama Nuaulu, agama lokal yang datang dari tanah Seram. Nuaulu sendiri adalah sebuah agama yang hingga saat ini belum diakui oleh negara. Dari sini pula kami diberitahukan bahwa tidak hanya agama Nuaulu yang tidak diakui di Indonesia, tapi masih banyak ratusan agama mengalami hal serupa. Ini tentu menjadi keresahan kita bersama. 250
Bagian III: Para Pelintas Batas
Segala bentuk perbedaan yang hadir dalam kegiatan ini justru dijadikan sesuatu yang menarik sehingga tercipta suasana yang harmonis antar peserta. Kepiawaian para fasilitator dalam membaca situasi dan kondisi peserta menjadikan semua hal menjadi asyik. Para peserta yang awalnya tidak merasa nyaman dengan segala perbedaan itu, perlahan terlihat mencair dan belajar menerima serta menghormati peserta lain. Secara pribadi, saya memaknainya sebagai upaya merayakan perbedaan. Memaknai Pentingnya HAM, Kebebasan dan Kesetaraan DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang diumumkan pada tanggal 10 Desember 1948 menyatakan bahwa, “Semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak. Dengan demikian, semua manusia memiliki hak kebebasan dan hak kesetaraan.” Begitulah isi dari lembaran pertama slide yang ditampilkan oleh Mbak Alviani Permata selaku fasilitator pada hari kedua kegiatan ini. Dalam konteks keindonesiaan, definisi HAM termuat dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal 1 menyebutkan bahwa, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” HAM merupakan hak paten yang dimiliki manusia sejak lahir, bahkan ketika berada dalam kandungan. Selanjutnya, manusia memiliki HAM bukan karena diberikan kepadanya oleh siapa pun, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya selaku manusia. Dengan kata lain, spirit yang terkandung dalam pernyataan itu adalah bahwa HAM memiliki dasar martabat manusia. HAM memiliki beberapa kriteria, antara lain, pertama, hak asasi adalah hak. Makna istilah ini setidaknya menunjukkan bahwa HAM memiliki normanorma yang pasti dan menunjukkan prioritas yang tinggi terhadap 251
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
penegakannya.Kedua, hak-hak itu adalah hak universal yang dimiliki oleh seluruh manusia tanpa pembedaan yang dilatarbelakangi apapun dan kepatuhan terhadap HAM telah menjadi atensi dan aksi internasional yang sah. Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya. Keempat, HAM dipandang cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan dengan normanorma nasional yang mungkin saja bertentangan. Kelima, HAM mengimplementasikan kewajiban bagi pemerintah. Kebebasan berasal dari kata bebas yang artinya dapat melakukan, bertindak dan berpikir sesuai kehendak hati (tidak dalam kendali yang diinginkan pihak lain). Setiap makhluk hidup tentunya ingin hidup bebas sesuai dengan apa yang diinginkan dan apa yang mereka yakini. Oleh karena itu, penting kiranya membangun nalar kemanusiaan yang kuat dan mumpuni sebagai pondasi yang ada didalam hati dan pikiran guna menghindari diri sendiri maupun kelompok dari tindakan-tindakan diskriminatif yang belakangan ini marak terjadi di negara tercinta ini. Setara sendiri, dapat dimaknai sebagai memiliki status, hak dan kesempatan yang sama seperti yang dimiliki pihak lain. Untuk itu, amat sangat penting bagi pribadi masing-masing untuk menghargai privasi individu, dengan demikian kita selaku individu akan dengan mudah menghargai privasi orang lain. Kita akan menjadi lebih bijak terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain, dengan tetap berpegang teguh pada pandangan objektif bahwa kita adalah sama. Sebab kita sama-sama manusia. Berbicara mengenai HAM, tak dapat kita lepas pisahkan dari kebebasan dan kesetaraan. Ketiganya harus berjalan beriringan, sebab ketika salah satu di antara ketiganya dilepaskan sudah barang tentu kehidupan ini akan berjalan pincang. Asal jangan sampai kebebasan itu menjadi kebablasan, sebab kita bertindak hanya berdasarkan kepentingan pribadi tanpa sedikit pun melihat orang lain. Di Indonesia sendiri, angka pelanggaran HAM masih sangat tinggi, salah satunya pada persoalan kebebasan beragama dan 252
Bagian III: Para Pelintas Batas
berkeyakinan. Salah satu pembahasan yang kemudian hadir seiring perkembangan diskusi tersebut adalah kian kaburnya permasalahan mengenai agama lokal. Salah satu agama lokal adalah Nuaulu, yang juga dimiliki oleh salah satu peserta pada kegiatan ini. Entah atas dasar pertimbangan apa sehingga agama ini dianggap sebagai bagian dari pariwisata dan kebudayaan. Alhasil, kedudukannya tidak dinilai sebagai sebuah sistem kepercayaan yang sebenarnya sama dengan agama lain yang diakui keberadaannya oleh negara. Ini adalah kesalahan yang sengaja dibenarkan. Dan hal itu menjadikan identitas keagamaannya tidak dapat ditampilkan pada kartu identitasnya, dalam hal ini KTP. Hal seperti ini, merupakan sebuah problem besar yang mesti dikaji bersama. Sebab Beda Agama, Bukan Berarti Beda Keyakinan “Untuk memahami apa yang diyakini orang lain, maka semestinya hal yang dilakukan adalah melibatkan diri untuk belajar langsung pada orang-orang tersebut”, demikian kata Pak Al Makin. Di hari ketiga ini merupakan saat terakhir bagi kami untuk menerima materi di dalam ruangan. Bersama Bapak Al Makin, kami belajar tentang Agama-agama di Dunia dan di Indonesia, serta bagaimana upaya menghargai Keragaman dan Perbedaan. Dalam sesi ini, peserta diberi kesempatan untuk menggali lebih dalam tanpa menghakimi ajaran-ajaran agama lain dari peserta yang berbeda agama. Dimulai dari sejarah agama-agama tersebut masuk ke Nusantara, siapa tokoh pembawanya, aliran-aliran atau sekte yang terdapat dalam sebuah agama. Juga mengenai tatacara peribadatan agama-agama tersebut, rumah ibadah serta bentukbentuknya, sampai pada pandangan agama-agama tersebut dalam melihat Tuhan. Sudah tentu memperkaya khasanah berfikir kami. Berbagai macam perbedaan kemudian timbul dari berbagai macam jawaban peserta yang berbeda agama. Sangat menarik, ketika kemudian satu per satu peserta mempresentasikan hasil dari pendalamannya terhadap peserta yang berbeda agama 253
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
dengannya, tanpa menambah-nambahkan atau mengurangi apa yang disampaikan. Di akhir sesi ini, saya berkesimpulan bahwa di tengah perbedaan identitas agama yang dimilikinya, manusia memiliki iman atau keyakinan yang sama, yakni untuk meyakini sesuatu yang mereka yakini. Dengan begitu jelas, apa pun agama yang dianut, bagi saya kami tetap terangkul dalam suatu iman atau keyakinan yang sama. Sama-sama menuju ridho Tuhan. Setiap manusia diberikan hak untuk beragama dan berkepercayaan. Hak ini bukan tak berdasar. Di Indonesia sendiri, hal ini dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Di dalam agama yang saya yakini sendiri, yakni Islam, kebebasan beragama dan berkeyakinan termaktub dalam Alquran. Di surat Al-Kafirun yang berbunyi, “Lakuum diinukum walii yadiin,” yang artinya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Ini tentu jelas sekali, bahwa Allah memerintahkan umatnya untuk meyakini apa yang kami yakini tanpa harus memaksakan apa yang kami yakini tersebut kepada orang lain. Tetapi justru membiarkan atau memberi ruang kepada orang lain tersebut untuk meyakini apa yang memang menjadi keyakinannya. Kalimat tersebut menjadi bukti bahwa Islam senantiasa mengajak umatnya untuk menghargai perbedaan agama. Begitu pula pada ajaran agamaagama lain, sebab menurut saya tidak ada agama yang menyerukan umatnya untuk melakukan kejahatan di muka bumi. Hal ini yang kita kenal dengan toleransi antar umat beragama. Toleransi antar umat beragama bukan berarti kita bebas menganut agama tertentu hari ini dan seenak kita untuk di hari yang lain bebas memeluk agama yang lain. Bukan seperti itu. Tetapi toleransi antar umat beragama harus diperlihatkan sebagai bentuk pengakuan kita akan keberadaan agama-agama lain dengan tata cara peribadatan yang berbeda-beda pula. Di 254
Bagian III: Para Pelintas Batas
sinilah titik pentingnya toleransi beragama yang perlu ditanamkan dalam pribadi tiap orang sehingga dapat menghilangkan perilaku sewenang-wenang atau diskriminatif, perselisihan dan lalu berupaya menciptakan kerukunan antar umat beragama. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa diskriminasi atas nama agama kerap kali terjadi? Sudah barang tentu, hal ini terjadi akibat para pemeluk agama berpikir keliru. Mereka senantiasa beranggapan bahwa apa yang diyakininya merupakan sumber kebenaran dan yang diyakini orang lain itu salah. Hal semacam ini terjadi akibat kebiasaan masyarakat kita yang hanya melihat sesuatu dari kulit luar, bagian yang memang benar-benar tampak, tanpa mencoba untuk menengok lebih jauh ke dalam dengan berupaya memahami ajaran agama-agama lain. Anggapan seperti ini pula yang menimbulkan sikap harus memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk mengikuti apa yang kita yakini. Intinya adalah Tuhan menciptakan kita dengan berbagai macam perbedaan. Oleh karena itu, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Segala hal kita berbeda, bahkan mereka yang terlahir kembar pun tetap memiliki salah satu sisi yang membedakan. Tak terkecuali perihal beragama dan berkeyakinan. Sekali lagi bahwa setiap agama memiliki tata cara sendiri dalam mengamalkan ajaran agamanya, tapi kita perlu mengetahui bahwa apa pun dan bagaimanapun tata cara beragama, kita tetap memiliki satu keyakinan sebagai upaya mewujudkan tujuan kita yakni Tuhan itu sendiri. Interfaith Journey dan Live-in: Perwujudan atas Pelibatan Diri Untuk Belajar Langsung, Guna Memahami Mereka yang Tak Seagama dengan Kita Interfaith Journey merupakan salah satu rangkaian kegiatan INGAGE. Saya memahaminya sebagai wisata rohani yang dilakukan dengan cara mengunjungi tempat-tempat peribadatan agamaagama. Dimulai dari Gereja Katedral (Keuskupan Amboina), Mesjid Jami’i Ambon, Vihara Swarna Giri Tirta hingga berakhir di Pura Surya Yudha Mandala. 255
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengajak para peserta menge tahui lebih dalam tentang agama lain dan memahami lebih jauh mengenai agama-agama lain. Pada kunjungan pertama ke Gereja Katedral (Keuskupan Amboina), mungkin karena kebetulan kunjungan ini dilakukan pada hari minggu, bertepatan dengan hari ibadah umat Kristen. Disitu selaku pemeluk agama lain, dalam hal ini Islam, saya dan teman-teman lain mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan dan turut serta masuk dalam gereja melihat tata upacara persembahyangannya. Kidung-kidung atau nyanyiannyanyian doa berupa puji-pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa begitu damainya mengetuk langit-langit pengampunan. Suasana khidmat begitu terasa ketika upacara perjamuan dilaksanakan. Saya sendiri tidak dapat memungkiri bahwasanya, saya turut terbawa dalam setiap bait nyanyian-nyanyian berupa doa itu dilantunkan. Terasa ada damai yang menyelusup jauh. Selanjutnya, peserta diarahkan menuju Masjid Jami Ambon. Masjid ini merupakan masjid tertua di Kota Ambon yang hingga saat ini masih mempertahankan arsitektur zaman dulu. Menurut penuturan salah satu pengurusnya, masjid ini dibangun pada tahun 1860, kemudian karena tidak dapat menampung banyaknya jemaat pada saat itu, maka diputuskan untuk direhab pada tahun 1985. Kemudian seiring berjalannya waktu, pada tahun 1933, banjir besar melanda Kota Ambon dan turut memporak-porandakan masjid ini. Tahun 1963 masjid kembali dibangun, dan arsitekturnya dipertahankan sampai saat ini. Terkecuali atap dan ubinnya. Masjid ini, merupakan salah satu bentuk nyata begitu tingginya toleransi antar umat beragama di kota ini. Mengapa demikian? Karena masjid ini dapat berdiri kokoh sampai saat ini, merupakan hasil campur tangan dari umat Islam dan Kristen setempat. Ditambah saudarasaudara Kristen yang datang dari Negeri Amahusu dan Latuhalat, bahu membahu mendirikannya. Ini sungguh suatu pemandangan yang begitu indah. Masjid ini pertama kali diimami oleh Bapak Imam Jamidul Lail. Bukan saja masjid ini, tapi banyak masjid maupun gereja yang dibangun dengan cara yang demikian, bahu 256
Bagian III: Para Pelintas Batas
membahu dalam menyelesaikannya. Terutama di negeri-ngeri yang berada di Maluku, karena hal ini dilandasi dengan ikatan Pela Gandong, yakni ikatan persaudaraan antar Negeri Salam dan Sarani di Negeri ini. Tak hanya sampai di situ, selanjutnya kami dibawa ke salah satu vihara yakni tempat persembahyangan saudara-saudari yang beragama Buddha. Namanya Vihara Swarna Giri Tirta yang terletak diatas salah satu puncak gunung yang ada di Kota Ambon, yaitu Gunung Nona. Letaknya berada di puncak ini, yang kemudian menambah pesonanya, karena dari atas kita dapat menikmati pemandangan kota dari ketinggian. Perjalanan kami berakhir di pura, yakni tempat persem bahyangan umat Hindu. Ini merupakan pengalaman pertama saya dan beberapa teman mengunjungi vihara dan pura. Dari hasil tanya jawab yang dilakukan para peserta dalam rangkaian wisata rohani yang selanjutnya mendapat penjelasan dari para tokoh itu, kesimpulan yang dapat diambil bahwa pada agama mana pun, tidak pernah diajarkan tindak kejahatan atau tindakantindakan yang merugikan diri sendiri maupun masyarakat secara luas. Selanjutnya, pada setiap agama, sudah pasti mengajarkan umatnya untuk bagaimana menghargai sesama manusia maupun bentuk penghargaan terhadap alam sekitar kita. Sebab dengan tindakan menghargai apa yang menjadi ciptaan Tuhan, merupakan manifestasi dari kecintaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, tanpa terasa kami telah berada dalam rangkaian terakhir kegiatan ini. Yakni Live-in yang mengharuskan kita untuk tinggal dan berinteraksi dengan keluarga yang berbeda agama dengan kita selama tiga hari. Kegiatan ini adalah yang ditunggu-tunggu sekaligus mendebarkan bagi beberapa temanteman, karena mungkin merupakan hal baru bagi mereka. Lokasi Live-in sendiri berada pada desa Waiheru, yang dipilih dengan pertimbangan karena pada wilayah itu, masyarakatnya bercampur baur antara Islam dan Kristen. Bersyukur sekali, mendapatkan keluarga baru yang sudah pasti, membuat suasana baru di lingkungan yang baru, dengan 257
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
segala hal baru bersama dua teman lainnya. Keluarga Kristen dalam kesederhanaan yang sangat bersahaja, keluarga Bapak Abe Persulessy. Bapak Abe sendiri adalah salah satu pensiunan TNI yang dipercayamenjadi Ketua RT setempat. Satu yang sungguh saya banggakan dari beliau adalah kesederhanaannya dalam keseharian, Sehingga dalam masyarakat yang hanya terdapat kurang lebih empat rumah warga yang beragama Kristen, di antara puluhan rumah warga muslim, beliau dipercaya mengemban tugas kepemimpinan tersebut selama lima tahun terakhir. Beliau memiliki seorang istri, yakni Mama Ida Persulessy. Sosok seorang perempuan yang sangat baik dan menjadi contoh di daerah tersebut. Mama Ida, beliau biasa disapa merupakan salah satu tokoh perempuan yang aktif dalam berbagai macam kegiatan kemasyarakatan. Bapak Abe mempunyai tanah yang cukup luas yang ditanami. Berbagai macam buah-buahan yang sisanya disewakan untuk beberapa keluarga yang membutuhkan, untuk mendirikan rumah tempat tinggal. Di antara buah-buahan yang ditanam, nangka menjadi favorit kami, karena memang sedang berbuah. Banyak nilai kehidupan yang saya dapatkan ketika berada dalam keluarga ini, ketaatan dalam menjalankan aturan-aturan agama, kesederhanaan dalam menjalani hidup. Satu hal penting yang disampaikan Bapak bahwa sebaik-baiknya hidup itu ada pada keikhlasan kita melayani sesama. Bapak Abe dan Mama Ida tidak segan-segan menceritakan perihal keluarganya kepada kami, sampai pada hal yang menurut saya adalah merupakan rahasia keluarga. Tapi atas dasar percaya, maka dengan tidak segan hal itu kemudian diceritakan kepada kami. Salah satu peristiwa yang bagi saya sangat berharga adalah ketika pada suatu malam keluarga ini melaksanakan ibadah perayaan ulang tahun cucu mereka, di sela kesibukan menyiapkan upacara peribadatan, saya dan dua teman yang adalah tamu beragama Islam membantu menyiapkan sedikit makanan dan teh, yang harus menanti sampai ibadah selesai baru bisa menikmati. 258
Bagian III: Para Pelintas Batas
Sungguh suatu peribadatan yang khidmat. Mendoakan segala hal baik untuk si cucu, mulai dari pendidikan, kesehatan hingga masa depannya. Tak hanya sampai di situ, kidung-kidung doa yang menyentuh pintu-pintu langit, juga mengatasnamakan semua anggota keluarga. Dan satu hal yang bagi saya merupakan kebanggaan dan penuh syukur adalah ketika Ibu Pendeta yang dengan lantangnya menyebut nama kami, sebagai tamu dalam doa yang dipanjatkan. Tak terasa bulir bening jatuh membasahi pipi. Semakin terasa haru, ketika sedang berlangsungnya ibadah pada saat yang bersamaan terdengar suara azan sebagai pertanda bagi umat Islam untuk bersegera menunaikan sholat Isya’. Kedua teman laki-laki segera bersiap menuju masjid, dan saya pribadi pada saat itu dalam keadaan tidak bisa sholat. Sungguh suasana itu menggugah, menghadirkan gejolak batin yang mendalam. Betapa indahnya perbedaan, tanpa harus dibedabedakan. Tetapi, harus diterima dengan pandangan bahwa itu memang beda dan ketika dipaksakan justru akan menghadirkan suatu keadaan keterpaksaan yang sampai kapan pun tak dapat kita temukan ujungnya. Bapak Abe dan Mama Ida mempunyai beberapa kebiasaan yang menurut saya itu unik. Diakui oleh keduanya bahwa perilakuperilaku tersebut hadir dan tertanam dalam diri mereka justru karena belajar dari saudara-saudara sekitar yang muslim. Kebiasaan itu adalah ketika azan subuh, keduanya bersegera untuk bangun. Bapak yang punya kebiasaan setelah bangun bersegera untuk sedikit berdoa dalam upaya memulai hari yang baru, bersamaan dengan saudara muslim yang sedang melaksanakan sholat subuh. Tak hanya sampai di situ, beliau mempunyai salah satu acara TV favorit, yakni Khazanah, di mana acara itu menyiarkan tentang ajaran-ajaran yang terkandung dalam Alquran. Ini sungguh suatu yang unik dan jarang saya temui. Ini mengingatkan saya pada perkataan Pak Al Makin, bahwa untuk memahami apa yang orang lain yakini adalah dengan belajar secara langsung pada orang-orang tersebut. Tetapi Pak Abe sendiri tanpa orang-orang bersangkutan 259
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
pun beliau mampu untuk memahami lewat kebiasaan-kebiasaan mereka. Mama Ida sendiri, memiliki kebiasaan bangun saat subuh, karena terbiasa hidup dengan anggota keluarganya yang muslim. Makanya ketika subuh, tak heran kalau beliau sudah bangun dan menyiapkan segala kebutuhan keluarga. Sungguh suatu yang indah diterapkan dalam kehidupan suami istri yang bersahaja ini. Akhirnya, satu hal yang menjadi harapan saya pada semua peserta adalah semoga kita tidak terjebak hanya pada seremonial kegitan ini, di mana kita hanya menempatkan diri sesuai apa yang menjadi harapan panitia hanya ketika berada pada lingkup kegiatan. Sehingga ketika kegiatan selesai dan kembali ke komunitas masing-masing, justru kita membiarkan intoleransi itu semakin melebar. Terima kasih.
260
Bagian III: Para Pelintas Batas
Lambaikan tangan jika ingin turut terlibat merawat keragaman Foto oleh Ainul Yaqin, INGAGE Medan
Jurnal Harian bersama Inang Siahaan I ndah Fik r ia Ar ist y, INGAGE M edan
Live-in, Day 1: Pertemuan dengan Orang Tua Asuh
K
EBERANGKATAN. Hari ini, seperti yang sudah dijadwalkan, peserta pelatihan INGAGE akan berkunjung dan tinggal di tempat atau rumah orang yang memeluk agama berbeda. Karena saya seorang muslim, bersama tujuh peserta lainnya, akan tinggal di keluarga jemaat Kristen. Bersama panitia, yaitu Mbak Febrisa, Tika dan Mbak Ida, kami semua berangkat sekitar pukul 08:30 dari Asrama Haji, tempat kami menginap selama pelatihan. Kami tiba di Gereja HKBP Moria di Jl. Sei Mencirim Medan sekitar pukul 261
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
10:00. Sesampainya di gereja kami disambut hangat oleh Inang Pendeta boru Sinaga, dan langsung saling berkenalan. Kemudian, Inang Pendeta meminta list nama kami semua. Ia juga membagikan nama-nama Inang dan Amang yang akan menjadi orang tua asuh kami, mulai hari ini hingga tanggal 7 September nanti. Aku dan Mbak Febrisa dipilih untuk tinggal di rumah Inang Boru Siahaan. Teman-teman yang lain pun telah mendapat orang tua asuhnya masing-masing. Tak lama setelah Inang Pendeta menghubungi para orang tua asuh, kami pun dijemput satu persatu bak anak-anak yang dijemput orang tuanya dari sekolah. Mereka menyambut kami dengan senyum dan kehangatan. Bahkan orang tua asuhku langsung memelukku dan segera mengajak kami ke rumahnya. Turut pula Inang Bibelvrouw boru Siahaan bersama kami yang ikut menjemput. Bertanyalah langsung pada pemeluk agamanya jangan pada orang lain! Di perjalanan menuju rumah orang tua asuh, kami singgah sebentar di rumah makan Minang untuk membeli nasi bungkus yang akan kami nikmati bersama nanti. Rumah Inang Siahaan terletak di Jalan Sei Simare No. 81 yang tak jauh dari Gereja HKBP Moria dan dapat ditempuh dengan jalan kaki selama lima menit. Sesampainya di rumahnya, kami langsung makan sembari bercerita dan mengakrabkan diri. Inang langsung menanyakan tujuan kedatangan kami. Aku menjelaskan kalau kami ingin belajar bagaimana umat Kristen beribadah dan berkegiatan seharihari. Selain itu kami juga ingin bertanya langsung mengenai kekristenan kepada pemeluknya sendiri, bukan kepada orang lain yang tidak mengerti. Sehingga informasi yang kami dapat benar adanya dan tidak dibuat-buat oleh orang lain yang memiliki kepentingan tertentu. Kemudian Mbak Febrisa menambahkan tentang kegiatan apa saja yang telah kami lakukan selama pelatihan, serta tujuan kami untuk menciptakan Indonesia yang hidup dalam keharmonisan melalui pemuda-pemudi, seperti kami. Kemudian Inang Bibelvrouw boru Siahaan langsung me nanggapi pernyataan kami dengan melontarkan pertanyaan 262
Bagian III: Para Pelintas Batas
langsung kepadaku, “Mengapa orang Islam itu merasa jijik dan tak mau makan di rumah orang Kristen? Bahkan tak mau menggunakan piring, gelas dan sendok milik orang Kristen? Kalau diundang ke acara nggak pernah mau datang, padahal makanan untuk mereka sudah kami pesankan khusus dari orang Islam juga.” Aku pun tersenyum dan sudah menebak pasti akan ada pertanyaan semacam ini. Aku pun menjawab bahwa sesungguhnya yang dilarang di dalam agama Islam ialah tidak boleh memakan babi dan anjing. Jadi yang haram itu ialah makanannya, namun dalam praktiknya banyak orang Islam yang menghindar atau menolak saat diajak makan oleh orang Kristen dengan cara yang mungkin dapat menyinggung perasaan yang mengundang. Misalnya tidak mau datang ketika diundang ke pesta orang Kristen atau tidak mau makan dan minum di rumah mereka. Jadi yang salah itu bukan hukum Islamnya namun cara orang Islam memperlakukan hal tersebut terhadap orang Kristen. Hendaknya memang menggunakan cara yang sopan dan tidak merusak hubungan bertetangga, berkeluarga serta bernegara. Inang Siahaan menambahkan, kalau mereka paham betul bahwa orang Islam tidak boleh makan babi dan anjing, oleh karena itu di rumah-rumah mereka selalu menyiapkan piring, gelas atau sendok yang belum mereka pergunakan. Jika ada tamu mereka lebih memilih membelikan makanan dari rumah makan Minang yang halal. Inang Siahaan dan Inang Bibelvrouw menanggapi positif pernyataanku dan menambahkan kalau inti semua ajaran kita sebenarnya sama namun yang berbeda ialah cara pandang masing-masing. Sembari mengobrol, azan pun berkumandang. Inang Siahaan langsung menyuruhku untuk sholat Dzuhur, tapi aku bilang, “Sebentar lagi”. Inang Siahaan langsung berkata, “Segerakanlah, nggak boleh yang lima waktu itu ditinggalkan.” Aku pun langsung beranjak, sembari berkata dalam hati, “Sepertinya aku malah akan lebih rajin sholat di sini dari pada biasanya, hihihi.” 263
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Selesai sholat, Inang pun mempersilahkan kami untuk beristirahat. Inang pun ingin istirahat sambil mengobrol dengan Inang Bibelvrouw dengan menggunakan bahasa Batak. Selesai Istirahat, Mbak Febri dihubungi oleh Inang Pendeta mengenai kegiatan yang akan dilakukan di gereja jam 19:00 dengan anggota Naposo Bulung (pemuda) Gereja HKBP Moria. Kami pun keluar kamar untuk mandi dan bergegas pergi ke gereja. Inang mengantarkan kami ke gereja meskipun jaraknya sangat dekat. Naposo Bulung Sesampainya di gereja kami disambut oleh muda-mudi yang cantik dan tampan. Kami bersalaman dan saling memperkenalkan diri, lalu masuk ke gereja. Ketika semua sudah berkumpul, Inang Pendeta Sinaga membuka acara kami dengan kebaktian yang diawali dengan bernyanyi dan diikuti oleh teman-teman Naposo Bulung, dilanjutkan berdoa bersama. Setelah berdoa, Inang Pendeta meminta kami semua, baik peserta INGAGE maupun para Naposo Bulung untuk memperkenalkan diri masing-masing, agar menambah keakraban. Kemudian Inang Pendeta mempersilakan Jefri selaku ketua Naposo Bulung, menceritakan kegiatan Naposo Bulung. Jefri menjelaskan, Naposo Bulung berasal dari bahasa Batak. Naposo berarti muda dan Bulung artinya daun, jadi Naposo Bulung adalah perkumpulan pemuda atau sering disebut juga dengan bunga gereja. Mereka berkegiatan setiap malam Jum’at dan Sabtu, dari pukul 20:00. Ada empat kegiatan yang rutin mereka lakukan. Setiap ibadah hari Minggu, mereka melakukan koor. Sejak anakanak, mereka sudah diajarkan bernyanyi dan mengenal nada. Selain itu di bidang kerohanian, mereka mendalami Alkitab dan pertamiangan atau wirit antar pemuda. Mereka juga melakukan olahraga, antara lain futsal dan tenis meja yang memang sedang diminati anak-anak muda. Terakhir, mereka menjalankan fungsi Humas, yaitu memberikan pengumuman atau pemberitahuan kepada anggota Naposo Bulung, baik di Gereja HKBP Moria ataupun ke gereja-gereja lainnya. 264
Bagian III: Para Pelintas Batas
Setelah sharing dari ketua Naposo Bulung, peserta INGAGE bertanya seputar kegiatan gereja dan sedikit tentang ajaran agama Kristen Protestan. Kemudian kami tahu, bahwa di Gereja HKBP Moria ini terdapat 4 pelayan gereja, yaitu Pendeta Resot yang dilayani oleh Pendeta Pakpahan, Pendeta Huria dilayani oleh Pendeta br Sinaga, kemudian ada Bibelvrouw yang merupakan Pengkhotbah Perempuan dan Diakones, yaitu pelayanan dalam bidang sosial. Selain itu kami jadi tahu bahwa ada empat perkumpulan di HKBP Moria, yaitu Perkumpulan Ibu-ibu, Perkumpulan Bapakbapak, Naposo Bulung dan Sekolah Minggu. Meskipun kebaktian dilakukan setiap hari Minggu, tetapi ada juga kebaktian lain setiap hari sesuai jadwal masing-masing perkumpulan tersebut. Live-in, Day 2: Kebaktian Pagi, SKJ dan Malam Keakraban “Indah. Silaban. Jadi ikut ke gereja?” suara Inang lembut membangunkan kami pada pukul 05:30. Tidurku lelap sekali, alarm pun tak terdengar. Aku bergegas ke kamar mandi dan berganti baju. Di luar kamar sudah tersedia dua gelas teh manis hangat di atas meja. “Inang, janganlah repot-repot. Aku bisa buat sendiri kok,” sahutku. “Halaaahh,nggak papalah,” balas Inang. Setelah bersiap, Inang meminta izin tidak ikut kegiatan gereja karena sedang banyak cucian, namun ia tetap bersikeras untuk mengantarkan kami ke gereja meskipun jaraknya sangat dekat “Di sini banyak orang jahat, jadi kuantarkan saja kalian,” ujarnya. Pukul 05:50 kami sampai di gereja. Ibu-ibu sudah duduk rapi di gereja dan semua mata tertuju padaku. Ya, jelas saja aneh melihat orang mengenakan hijab masuk dan ikut kebaktian di gereja. Kemudian seorang Ibu mendatangiku dan mengucapkan selamat datang. Aku pun menyalaminya, disusul Ibu-ibu lainnya menyambutku dengan hangat dan sangat ramah. Selanjutnya satu per satu peserta INGAGE yang lain ikut masuk dan disusul oleh kedatangan Inang Bibelvrouw yang menandakan kebaktian pagi akan dimulai. 265
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Kebaktian dibuka dengan nyanyian puji-pujian menggunakan bahasa Batak yang diawali oleh Inang Bibelvrouw dan diikuti oleh jemaat lain. Suara merdu dan indah memenuhi gereja. Ingin rasanya aku ikut bernyanyi namun sayang tidak tahu liriknya. Setelah nyanyian Inang Bibelvrou membacakan Firman dan Khotbah, yang berisi tentang peran seorang istri atau Ibu dalam keluarga. Seorang istri harus mendukung suami. Seorang Ibu harus selalu mendoakan anak-anaknya yang sedang berjuang meraih cita-citanya. Aku menyimak dengan serius. Isi khotbah yang disampaikan Inang persis sama dengan ceramah Mamah Dedeh namun cara penyampaiannya tak seheboh Mamah Dedeh tentunya, hihihi. Selesai kebaktian kami bersalaman dengan para jemaat. Sembari bersalaman beberapa Ibu bertanya tentang keberadaan kami. Sebagian Ibu yang tahu tentang kami ikut menjelaskan maksud dan tujuan kami berada di sini. Lalu ada seorang Ibu yang datang menghampiriku, aku menyalaminya. Ia memelukku sambil berkata, “Bahagia kali aku, kita bisa bersekutu dalam gereja ini walaupun kita beda agama.” Aku pun merasakan hal yang sama. Indahnya bisa duduk bersama, meski pun berbeda tanpa rasa curiga dan pikiran negatif. Selesai kebaktian dilanjutkan dengan Senam Kesehatan Jasmani (SKJ), yang dipimpin oleh seorang inang yang sudah tua tapi masih sangat bersemangat, umurnya 75 tahun. Senamnya tidak seperti yang kami bayangkan, maklumlah peserta senam adalah para lanjut usia, Gerakannya pun disesuaikan, khusus untuk orang tua mesti pelan dan lambat. Walaupun begitu SKJ ini cukup membuatku berkeringat dan lapar. Setelah senam,Inanginang menyiapkan teh hangat dan kue-kue untuk sarapan. Sambil makan, kami duduk bersama dan bercengkrama dengan hangat di depan gereja. Tentu saja tak lupa berfoto bersama. Pukul 08:00 kami bubar dan kembali ke rumah orang tua asuh masing-masing. Sampai di rumah, Inang langsung menyuruhku untuk sarapan dengan nasi gurih yang dibelinya. Sejak awal pelatihan sampai Live-in, ternyata kerja kami hanya makan saja. 266
Bagian III: Para Pelintas Batas
Setelah itu kami bergegas mandi dan Mbak Febri pamit pada Inang untuk pergi berkeliling memantau kegiatan Live-indi tempat lainnya. Sepanjang siang sampai sore tak banyak hal yang aku lakukan di rumah bersama Inang. Mengobrol, menonton TV dan tidur siang. Sore harinya aku bersiap-siap untuk pergi ke gereja karena kami akan mengadakan malam keakraban dengan para Naposo Bulung. Seperti biasa aku pergi ke gereja diantar oleh Inangku. Kami melewati masjid saat di tengah perjalanan. Inang berpesan padaku, “Kalian main-main jugalah ke masjid.Jangan di gereja aja, tapi nggak datang ke masjid!” Aku menjawab “Iya, Nang. Nanti kami sholat Magrib dan Isya’ di masjid kok rencananya.” Hujan deras menunda kegiatan kami. Acara api unggun pun batal dilaksanakan.Sambil menunggu teman-teman Naposo Bulung datang, kami yang Muslim menunggu Magrib di masjid. Selesai sholat Magrib kami kembali ke gereja dan beberapa teman Naposo sudah berkumpul. Hakiki, salah seorang peserta INGAGE memainkan gitar dan kami semua bernyanyi untuk menghangatkan suasana ditengah gerimisnya hujan malam ini. Hujan pun berhenti.Kami berkumpul di halaman gereja dan memainkan games-games untuk mengakrabkan diri. Beberapa games yang kami mainkankan ialah yang kami dapat dipelatihan. Teman-teman Naposo pun menyumbangkan ide-ide games mereka yang tak kalah seru. Kami tertawa, berlari-lari dan berlompatlompat membuat malam semakin panas. Sampai pada games terakhir yaitu Warewolf, Inang Pendeta mengingatkan kami kalau sudah malam dan para orang tua asuh kami sudah menunggu di rumah. Inang Pendeta mengingatkan kalau esok pagi seperti biasa akanada kebaktian jam 06:00 disusul dengan SKJ. Sebelum kami berangkat ke Asrama Haji, kami diberi kesempatan untuk berdiskusi besama Amang Pendeta Pakpahan dan diperbolehkan bertanya apa saja. Kami pun bubar dengan saling bersalaman dan bertukar id(identitas) akun media sosial kami agar komunikasi masih akan tetap terjalin. 267
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Live-in, Day 3: Kebaktian Pagi, Diskusi dan Perpisahan Inilah hari terakhir kami tinggal di rumah orang tua asuh. Aku terbangun pukul 05.00 dan langsung bersiap ke gereja. Keluar dari kamar tampak Inang sudah menyiapkan dua gelas teh manis hangat untuk kami. Aku meminumnya dan mendatangi Inang yang sedang asyik menonton TV. Inang bertanya kepadaku apa saja kegiatan kami hari ini dan pukul berapa kami kembali ke Asrama Haji, aku pun menjelaskan runtutan jadwal kami hari ini pada Inang. Lalu kami pun bergegas berangkat ke gereja, diantar oleh Inang seperti biasa. Sesampainya di gereja, kami memulai kebaktian yang hari ini dipimpin langsung oleh Pendeta Resot Pakpahan. Kebaktian dibuka dengan menyanyikan lagu puji-pujian dan kemudian khotbah diberikan oleh Pendeta Pakpahan, serta ditutup dengan doa. Setelah kebaktian, kami tidak melakukan SKJ karena waktunya sempit. Kami langsung melanjutkan diskusi dengan Pendeta Pakpahan. Amang Pendeta mempersilakan kami untuk bertanya apa saja tentang agama Kristen. Kami pun bertanya satu persatu baik tentang teologi, cara ibadah, cara pandang, dan lain sebagainya. Amang sangat terbuka menjawab pertanyaan kami. Pukul 09.30 kami sarapan dan kembali ke rumah untuk packing segala bawaan. Pukul 10.30 kami kembali ke gereja ditemani orang tua asuh masing-masing untuk perpisahan. Sedih rasanya berpisah dari mereka, terutama Inangku. Inang Siahaan yang merupakan orang tua asuhku selama tiga hari ini. Bagiku, yang Inang lakukan melebihi dari arti toleransi itu sendiri. Aku selalu diingatkan untuk beribadah menurut kepercayaanku serta beliau mengingatkan untuk saling menjaga hubungan yang baik antar umat beragama lain. Kami pun saling bersalaman dan berpelukan. Kami berjanji akan tetap menjalin komunikasi dan berkunjung dilain waktu.
268
Epilog
EPILOG Erat, saling menggenggam janji merawat dan mengisi damai di Ambon Nur’ain Heluth, INGAGE Ambon
INGAGE, Lentera dalam Kegelapan Toleransi Berbangsa M atahar itimoer, Program Coordinator IC T Watch – Penulis buk u Jihad Terlarang
D
I ERA komunikasi digital saat ini, setiap orang mudah sekali menyampaikan gagasan maupun menyebar tautan informasi. Peralihan satu isu ke isu yang lainnya terjadi begitu cepat. Isu yang menarik perhatian khalayak menjadi begitu cepat viral. Kejadian di satu sudut kota begitu mudah tersebar ke kota-kota lainnya, bahkan kita tak perlu mencari informasi tersebut, karena teman di media sosial maupun di grup berbincang (semisal Whatsapp dan Telegram) akan menyebarkan berbagai informasi. Media sosial menjadi tren dalam menyampaikan kebebasan berekspresi. Apapun terasa bebas diungkapkan melalui media 269
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
sosial, mulai dari informasi yang bersifat publik hingga apa saja yang menyangkut privasi dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Lingkaran-lingkaran pertemanan yang memiliki irisan pertemanan pun memengaruhi setiap orang. Apa yang menjadi isu penting dalam satu lingkaran pertemanan media sosial amat cepat memengaruhi siapa saja yang ada dalam pertemanan, dan setiap orang yang dalam lingkar pertemanan tersebut tentu akan menyebarkan kembali kepada lingkaran pertemanan lainnya. Hal apapun termasuk militansi sikap beragama dan berkelompok. Persoalan militansi pengguna media sosial pun makin hari jadi semakin meresahkan. Isu politik yang tentunya melahirkan kubu pro dan kontra, menjadi amat cepat memicu sentimen negatif ketika dikemas menjadi isu SARA. Media sosial menjadi senjata andalan dalam mengubah satu konteks pada konteks lain yang lebih viral dan membakar.Kasus Ahok misalnya. Konteks kasus tersebut adalah politik, ketika direspons dalam konteks agama, terjadilah keriuhan sebaran informasi yang menyulut kemarahan sekelompok umat Islam. Isu tersebut menjalar begitu cepat melalui media sosial, membakar amarah umat Islam hingga terjadi Aksi Bela Islam berjilid. Peristiwa Tolikara juga bisa dijadikan contoh bagaimana informasi yang belum diperiksa kebenarannya dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan di luar Papua sehingga menjadi kabar dan seruan yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dan mengandung ajakan kebencian terhadap suku dan agama berbeda. Media sosial menjadi kanal komunikasi dan informasi yang amat cepat mengubah orang yang periang menjadi garang. Sedikit saja mengetahui ada teman yang berbeda pendapat, disikapi dengan hujatan dan caci-maki. Tak sedikit pula yang memutuskan silaturahmi karena perbedaan pendapat yang semakin runcing dan menikam. Sebaran kebencian, dalam bentuk hoax dan fake news, menjadi ancaman terhadap kerukunan dan toleransi bangsa ini. 270
Epilog
Di tengah kegelisahan melihat kondisi bangsa yang mudah marah, aku melihat secercah harapan dari teman-teman yang menginisiasi berbagai kegiatan dalam rangka merawat toleransi berbangsa. Saat di mana dunia media sosial memasuki fase kegelapan, muncul satu demi satu lentera maya yang menerangi netizen kita. Salah satu inisiatif pembawa lentera toleransi adalah INGAGE (Interfaith New generation Initiative and Engagement) yang dilakukan oleh teman-teman dari ICRS Yogyakarta. Aku menyaksikan sendiri saat kegiatan ini dibuka di Medan dan ditutup di Ambon. Sayang sekali aku tak sempat hadir saat kegiatan INGAGE berlangsung di Manado. Dari kegiatan inilah aku menyaksikan kaum muda lintasiman yang masih waras dalam menjalani kehidupan dengan sikap keberagaman yang beragam. Mereka tak sekedar berdiskusi tentang perbedaan iman, juga mendalami isu Hak Asasi Manusia dan memanfaatkan komunikasi digital untuk menerangi bangsa ini dari kegelapan intoleransi. Yang kusuka dari INGAGE adalah, peserta tak cuma diajak berdiskusi melainkan sekaligus hidup bersama dalam program Interfaith Journey dan Live-in. Kedua program yang kusebut belakangan merupakan poin penting, menurutku. Sebab, sejujurnya aku pernah mengalami fase di mana amat enggan menerima undangan diskusi lintasiman. Beberapa kali aku menghadiri undangan listasiman, hanya selesai di ruang diskusi saja. Tak ada aksi nyata yang benar-benar menyentuh sikap keberagaman masyarakat di bawah (grass root). Itu yang membuatku menilai INGAGE berbeda.Silaturahmi lintasiman yang terbentuk dari kegiatan INGAGE di tiga kota hingga kini masih terjalin amat baik. Semua peserta aktif menyuarakan toleransi baik di media sosial maupun berbagai kegiatan serupa di daerahnya masing-masing. Aku berharap program INGAGE dapat terus berjalan di kota lainnya. Melihat luasnya negeri ini, tiga kota bukanlah satu pencapaian yang dapat dibanggakan. Toleransi beragama tak cukup jika diukur dari Kota Medan, Manado dan Ambon saja. Masih 271
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
banyak kota lain yang membutuhkan lentera untuk menerangi jalan bagi sikap keberagaman yang penuh respect terhadap perbedaan. Setidaknya pemerintah daerah perlu mengaktivasi kembali forumforum lintasiman di daerahnya dengan menduplikasi kegiatan INGAGE. Begitupun dengan corporate. Iklim toleransi yang baik tentu berpengaruh terhadap bisnis mereka. Sudah sepantasnya mereka pun mendukung berbagai kegiatan nyata dalam merawat toleransi di negeri ini. Kegiatan semacam INGAGE merupakan contoh literasi digital yang baik. Peserta diajak untuk menganalisis sebaran kabar di media sosial, berpikir kristis dan bijaksana terhadap berbagai persoalan dan kreatif membuat konten damai. Jika literasi digital masyarakat sudah baik, selaras dengan pertumbuhan konten damai, maka konten intoleransi, yang memecah-belah kerukunan bangsa akan dengan sendirinya tak “diklik”. Ibarat pohon yang tidak mendapatkan makanan dari matahari, bumi dan air, konten negatif akan kering, mati dengan sendirinya.
272