J. Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 165 – 174
ISSN 2302-6340
HUBUNGAN ANGGOTA LEGISLATIF KOTA MAKASSAR DENGAN MASYARAKAT PENDUKUNGNYA Relations Legislative City of Makassar with Supporting Society Abd. Hafid1, Mahmud Tang2, Munsi Lampe2 1
2
Program Studi Antropologi Pascasarjana Universitas Hasanuddin Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK
Lembaga legislatif adalah lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksanakan sekali dalam lima tahun secara serentak di seluruh pelosok Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk memberikan gambaran budaya politik mengenai pandangan legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya, kemudian pandangan masyarakat terhadap legislator Kota Makassar, dan pola hubungan timbal balik antara legislator Kota Makassar dengan masyarakat pendukung. Jenis penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dengan memakai pendekatan fenomenologi. Penentuan informan dilakukan secara sengaja (purposive), sedangkan teknik pengumpulan data adalah melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan pendekatan deskriptif interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pandangan legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya, mereka melihat masyarakat telah sadar akan hak politiknya. Tetapi masih terdapat sebagian orang di masyarakat yang berperilaku pragmatis dalam menentukan pilihan politik. Adapun pandangan masyarakat terhadap legislator yang menjadi wakilnya di DPRD Kota Makassar menjelaskan bahwa masyarakat masih banyak yang merasa kecewa dan kurang puas terhadap kinerja para legislator tersebut. Di sisi lain, pola hubungan timbal balik legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya efektif terjadi hanya pada dua bentuk pendekatan. Pendekatan tersebut yakni, pendekatan langsung melalui tim suksesnya, dan pendekatan secara kelembagaan melalui kantor DPRD Kota Makassar. Peningkatkan kinerja legislator di DPRD Kota Makassar akan membawa perubahan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Kata Kunci: Budaya Politik, Legislator, Masyarakat Pendukung ABSTRACT The legislative body is the representative body of the people whose members are elected by the people through elections held once in five years simultaneously throughout Indonesia. The purpose of this study is to provide an overview of the political culture of Makassar legislators view the supporting society, then the public's view of legislators of Makassar, and the pattern of interrelationships between legislators of Makassar with supporter society. This type of research is classified as a qualitative study using a phenomenological approach. Determination informant is purposive, while the data collection technique is through observation, interviews, and documentation. Data were analyzed using descriptive interpretive approach. The results showed that the legislators of Makassar view to supporting society’s, they see the people were aware of their political rights. But still there are some people in society who behave pragmatic in determining political choice. The public's view of legislators who became his deputy in Parliament Makassar explained that many people still f eel disappointed and less satisfied with the performance of the legislators. On the other hand, the pattern of the mutual relations of Makassar legislators against supporting effective community occurs only on the two- pronged approach. Such approaches namely, the direct approach through team success, and institutional approach through the Makassar parliament office. Increase the performance of legislators in Parliament Makassar will bring changes to the welfare of society. Keywords: Political Culture, Legislator, Supporter Society
165
0
Abd. Hafid
ISSN 2302-6340
terdapat persamaan dan perbedaan. Di Sulawesi Selatan misalnya, tepatnya di Kabupaten Gowa yang secara geografis berbatasan dengan Kota Makassar. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Syah (2012) tentang perilaku politik anggota legislatif Kabupaten Gowa menyimpulkan, bahwa banyak masyarakat yang merasa kecewa terhadap sebagian legislator yang mereka pilih tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Ditambah lagi ada sebagian anggota legislatif yang terpilih dengan tingkat pendidikan yang sangat minim, sehingga dalam menjalankan fungsinya tidak dapat bekerja secara maksimal. Hal ini tentu agak berbeda dengan legislator Kota Makassar yang memiliki tingkat pendidikan yang sudah cukup baik. Aristoteles (2008) berpandangan bahwa setiap negara merupakan kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia senantiasa bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, dalam pandangan Mattulada (1995), sesungguhnya negara di sini adalah rakyat. Itulah sebabnya maka sesungguhnya negara tak lain dari rakyat itu sendiri. Rakyat jugalah yang menjadi sumber segala kejayaan negara. Untuk kebahagiaan, ketentraman, dan kesejahteraan rakyat, maka segala alat kekuasaan negara diadakan. Kekuasaan atas rakyat harus dijalankan atas dasar yang niat yang benar. Niat yang benar harus bersandar pada keberanian, dan keberanian bertolak dari niat yang benar. Niat yang benar dan keberanian lahir dari kejujuran. Sebelum menjalankan kekuasaan yang ada padanya, penguasa pertama-tama harus diperhadapkan kepada kekuasaan itu. Jika ia sanggup memikulnya, barulah kekuasaan itu dijalankan atas orang lain. Nilai-nilai inilah yang menandai orang Bugis-Makassar tiga atau empat abad yang lampau. Fenomena mengkaji hubungan anggota legislatif Kota Makassar dengan masyarakat pendukungnya ke dalam satu kajian antropologi politik seperti yang dikatakan Balandier (1986) bahwa kajian antropologi politik akan menelaah pernyataan-pernyataan yang bersifat suatu pandangan teoritis, dan memberi kesempatan untuk mengkontruksikan sebuah pendekatan antropologi yang kritis pada suatu bidang garapan tertentu. Maksudnya, didasarkan pada pertim-
PENDAHULUAN Lembaga legislatif adalah Lembaga perwakilan rakyat. Lembaga yang para anggotanya di pilih oleh rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) beradasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada 9 April 2009 menurut Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilaksanakan pemilu secara serentak di seluruh pelosok Indonesia. Para anggota legislatif ini dipilih berdasarkan daerah pemilihannya (dapil). Untuk legislator DPR-RI, dapilnya mewakili masing-masing provinsi. Untuk legislator DPRD Provinsi, dapilnya kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Dan untuk DPRD Kabupaten/Kota, dapilnya kecamatan/gabungan kecamatan. Anggota legislatif memiliki fungsi dan peran yang sangat luas tidak lebih dari sekedar melakukan legislasi, penganggaran dan pengawasan saja. Namun, para anggota legislatif juga dituntut untuk melakukan fungsi dan perannya yang tidak hanya terbatas pada masalahmasalah politik di dalam ruang sidang, melainkan juga di luar sidang. Sehingga para anggota legislatif ini sesungguhnya memiliki peran yang sangat penting sebagai pendidik politik, dan bukan hanya sebagai pemain politik. Mereka para lagislator masih ada diantaranya yang hanya bertindak untuk kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Hal ini lebih disebabkan karena belum ada konsensus di tingkatan mereka tentang bagaimana cara mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat yang mendukungnya. Hamad (2008) sendiri mengemukakan bahwa saat ini perlu dilakukan revitalisasi peran dan fungsi para anggota legsilatif yang akhir-akhir ini dapat dikatakan hanya bergelut pada dimensi-dimensi politik praktis semata. Para anggota legislatif tampaknya telah menjadikan kegiatan politik mereka ibarat ritual belaka, yang siklusnya dimulai dari pemilu, masa-masa sidang, saat-saat reses, hingga ke pemilu lagi. Mengkaji budaya politik yang dilakukan oleh anggota legislatif dari tiap-tiap daerah tingkat Kabupten/Kota yang ada di wilayah Nusantara Indonesia tentu di dalamnya masing-masing 166
Budaya Politik, Legislator, Masyarakat Pendukung
ISSN 2302-6340
bangan dari berbagai bentuk gagasan, dan tindakan para anggota legislatif sebagai aktor politik. Bourdieu (dalam Rusdiarti, 2004) melihat manusia dalam hubungan-hubungan antarmanusia sebagai pelaku sosial secara konkrit. Karena itu, konsep praktik cukup relevan dalam memahami hubungan timbal balik antara legislator Kota Makassar dan masyarakat pendukungnya. Sebab, konsep praktik ini menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku dan apa yang oleh Bourdieu sebut sebagai “struktur obyektif” yang mencakup “kebudayaan” sebagai sistem konsepsi yang diwariskan dari generasi ke generasi (Bourdieu, 1977). Secara akademis tujuan peneltian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang budaya politik mengenai pandangan legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya, begitu pula sebaliknya pandangan masyarakat pendukung terhadap legislator Kota Makassar yang menjadi wakilnya di DPRD Kota Makassar, dan juga pola hubungan timbal balik antara legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya.
penulis juga merupakan salah satu warga Kota Makassar yang merupakan bagian dari masyarakat pemilih yang pernah terlibat dalam proses pemilu yang berlangsung sekali dalam lima tahun. Penulis mulai menggunakan hak politik sebagai pemilih sejak pada pada tahun 1999 sebagai pemilih pemula, kemudian tahun 2004, selanjutnya tahun 2009 dan 2014 yang baru saja terlaksana dengan tertib dan damai walaupun masih terdapat banyak kecurangan dan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu legislatif tersebut, baik yang akan duduk di DPRD Kota Makassar, DPRD Provinsi, dan DPR-RI. Dengan demikian penulis telah memiliki pengalaman dan gambaran berkenaan fokus permasalahan penelitian yang diteliti. Hal tersebut merujuk pada pendekatan yang digunakan selama proses penelitian adalah pendekatan fenomenologi berdasarkan penjelasan sebelumnya yang juga disebut sebagai pengalaman intersubjektif. Untuk itu dalam penelitian ini ada beberapa prosedur kerja yang penulis telah lakukan selama penelitian, yaitu: Penentuan Lokasi Penelitian dan Penentuan Subyek (Informan) Penelitian. Penelitian dilakukan di wilayah Kota Makassar sebagai lokasi penelitian dengan beberapa tempat titik-titik dalam melakukan pengumpulan data, baik itu data melalui wawancara dengan informan, data observasi, ataupun data pendukung yang diperoleh melalui instansi terkait seperti Kantor DPRD Kota Makassar yang terletak di Jalan A.P. Pettarani, dan Kantor KPU Kota Makassar. Data yang penulis peroleh melalui wawancara dengan informan tentunya melalui bentuk interaksi face to face selama proses penelitian. Dan titik-titik pertemuan dengan informan terletak di wilayah Kota Makassar, diantaranya; rumah informan, kantor DPRD Kota Makassar, warung kopi, kantor sekertariat partai politik, bahkan di kampus Universitas Hasanuddin. Spradley (1997) menekankan bahwa hampir setiap orang dapat menjadi informan, namun tidak setiap orang dapat menjadi informan yang baik. Dalam upaya menghasilkan data yang akurat dalam melakukan wawancara terhadap informan, pemilihan informan selama proses penelitian, penulis tentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan utama adalah subyek (informan) tersebut bersedia untuk di
METODE PENELITIAN Jenis penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam menjawab rumusan masalah yang telah dijabarkan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dimana perspektif atau pendekatan yang dilakukan dalam penelitian lebih mengacu pada metode fenomenologi. Alasan penggunaan metode ini sengaja diterapkan, karena metode ini merupakan salah satu strategi penelitian dalam mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu (Cresweell, 2010), sehingga metode ini bisa menggambarkan secara jelas tentang pandangan legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya, dan begitu pula sebaliknya pandangan masyarakat pendukung terhadap legislator yang menjadi wakilnya di DPRD Kota Makassar, serta pola hubungan anggota legislatif Kota Makassar dengan masyarakat pendukungnya. Prosedur penelitian Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penelitian, selain sebagai peneliti, 167
Abd. Hafid
ISSN 2302-6340
wawancara dan meluangkan waktunya untuk berbagi informasi berdasarkan pengalamanpengalamannya. Informan yang dipilih tentunya dari anggota legislatif Kota Makassar untuk masa bakti 2009-2014, dan masyarakat umum yang masing-masing memiliki profesi atau pekerjaan yang berbeda-beda. Informan dari masyarakat umum ini tentunya adalah masyarakat yang telah memberikan hak pilihnya pada pemilu tahun 2009, dan tahun 2014 yang telah dilaksanakan baru-baru ini. Jumlah informan yang berhasil penulis wawancara yaitu sebanyak 20 orang, diantaranya; ada ketua RT, ketua RW, pengusaha kecil dan menengah, jurnalis, Direktur Eksekutif Lembaga Survey Lokal Kota Makassar, pengamat media, legislator Kota Makassar, dan juga seorang mantan legislator Kota Makassar.
Dalam setiap melakukan wawancara terhadap informan, penulis terlebih dahulu memperkenalkan diri, menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan, dan metode jenis penelitian yang digunakan. Pedoman wawancara yang penulis susun terbagi dalam dua jenis, yakni: pertama, pedoman wawancara yang ditujukan khusus untuk anggota legislatif. Kedua, pedoman wawancara yang ditujukan untuk masyarakat umum sebagai pemilih dan juga sebagai pengamat yang sedikit banyak tahu tentang kinerja, kondisi, dan keadaan legislator Kota Makassar. Analisis data Dalam menganalisis data penelitian dibutuhkan kecermatan dan kesungguhan untuk menemukan aspek-aspek budaya dari sistem politik pada suatu masyarakat atau komunitas. Apalagi, informan yang bertindak sebagai pelaku politik terkadang merasa dirinya sangat serba tahu atau arogan dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dijalaninya, sehingga sangat diperlukan keahlian khusus untuk menggali data. Karena itu, pembahasan antropologi politik perlu dibedakan dengan sorotan ilmu politik. Antropologi akan lebih menekankan politik sebagai salah satu unsur di antara berbagai unsur lain yang ada dalam kebudayaan dan yang satu sama lainnya saling berkaitan, saling mempengaruhi, secara keseluruhan dan atau secara sebagian-sebagian (Endraswara, 2006). Hasil temuan data-data yang didapatkan baik melalui studi pustaka dan media kemudian diverifikasi dengan hasil temuan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data kemudian mutlak dilakukan dan diarahkan untuk di elaborasi. Apakah terdapat kesenjangan atau tidak terhadap data-data tersebut. Selanjutnya, pengelompokan data, kemudian interpretasi pemberian makna terhadap data dengan di dasarkan pada penyataan-pernyataan para informan. Akhirnya, setelah dilakukan teknik bongkar pasang dalam menyusun laporan hasil penelitian, data-data yang dipandang tidak memiliki relevansi dengan maksud penelitian ini kemudian dikesampingkan. Pisau analisis yang digunakan dalam mengolah dan menyajikan data dari lapangan penelitian kemudian dibedah dengan menggunakan pendekatan deskriptif interpretatif.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan penulis selama penelitian tidak bersifat kaku, tetapi senantiasa menyesuaikan dengan keadaan informan, dan juga fenomena keadaan di lapangan. Pengumpulan data dengan observasi dilakukan selama proses penelitian berlangsung, sehingga aktivitas-aktivitas yang penulis amati terhadap calon informan, yang selanjutnya menjadi informan tentu sangat berpengaruh terhadap data yang dihasilkan melalui observasi. Wawancara langsung terhadap informan yang telah dipilih sebelumnya, penulis lakukan dengan menggunakan panduan wawancara, namun tidak bersifat kaku, karena penulis hanya menjadikan sebagai acuan dalam mengarahkan apa yang ingin dicapai selama proses penelitian. Agar tetap fokus dan tidak kaku, wawancara yang dilakukan penulis terhadap informan dengan memberi kebebasan sepenuhnya terhadap informan untuk “menceritakan pengalamannya” terkait pandangannya terhadap masalah yang penulis sedang teliti. Informasi yang diperoleh melalui wawancara sebagian di catat dalam catatan sementara penulis, kemudian untuk menyikapi akan kemampuan daya ingat, penulis kemudian dibantu dengan menggunakan alat perekam (IC recorder), selanjutnya hasil rekaman wawancara tersebut di ketik dan dikombain untuk selanjutnya diolah menjadi data.
168
Budaya Politik, Legislator, Masyarakat Pendukung
ISSN 2302-6340
HASIL Pandangan legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya Hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa anggota legislatif terkait pandangannya tentang masyarakat Kota Makassar sebagai pelaku budaya politik. Mereka memandang masyarakat Kota Makassar ini sudah cukup cenderung rasional dalam menggunakan hak politiknya. Hal tersebut dilandasi dengan alasan bahwa pengetahuan masyarakat perkotaan tentang isu-isu politik dan perkembangannya memang cukup lebih baik berkat tingkat pendidikan mereka juga yang lebih baik di bandingkan dengan masyarakat yang berada di wilayah pedesaan. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari pengaruh informasi media, baik cetak maupun elektronik. Untuk media cetak misalnya, hampir tiap hari masyarakat Kota Makassar di suguhi dengan berbagai macam berita-berita tentang politik. Setiap media cetak seperti koran dan majalah, baik itu lokal maupun nasional yang beredar di Kota Makassar memang terdapat kolom-kolom halaman tertentu yang membahas tentang wacana politik. Begitu pula yang terjadi di media elektronik, baik televisi atau media sosial internet. Hampir tiap hari masyarakat juga disuguhi informasi-informasi tentang perkembangan wacana dan berita-berita politik baik untuk lingkup Kota Makassar sendiri, dan juga yang terjadi secara nasional, bahkan skala internasional. Berikut ini pandangan informan ARD tentang masyarakat sebagai pelaku budaya politik: “Masyarakat di Kota Makassar ini termasuk masyarakatnya sadar politik, mungkin karena Kota Makassar ini adalah merupakan Ibukota provinsi sehingga arus informasi yang di dapatkan masyarakat cukup mudah sehingga kesadaran akan hak politiknya masyarakat itu memang lebih terbuka”. Lebih lanjut, diungkapkan pula oleh informan RP yang menyatakan bahwa: “Untuk masyarakat Kota Makassar ini memang termasuk sadar akan hak politiknya, hanya saja ketika kita melihat tingkat partisipasi politik masyarakat dari dua pemilihan yang telah berlangsung dari Pilgub, dan Pilwali, terlihat tingkat
partisipasi politik itu hanya di bawah 65 persen, artinya masih banyak masyarakat yang tidak mau berpartisipasi dan mereka tentunya punya alasan masing-masing. Dan saya yakin alasan mereka ini bukan karena ketidak tahuan, tetapi melainkan karena ketidak inginan atau memang mereka tidak mau berpartisipasi”. Dari kedua penuturan informan di atas sebagai mantan legislator, dan juga masih berposisi sebagai legislator Kota Makassar, terkait pandangannya terhadap masyarakat yang memiliki hak pilih, cukup mempertegas bahwa masyarakat saat ini telah mengalami pr oses semacam transisi karakter. Namun, transisi karakter yang kerap terjadi umumnya secara psikologis, sebagaimana kelompok manusia yang pada awalnya terkungkung oleh sistem otoritarian, kemudian tiba-tiba bebas untuk mencari bentuk sedemikian rupa. Sehingga yang berkembang saat ini di masyarakat masih banyak terdapat suatu proses politik atau proses demokrasi yang dijalankan dengan tetap mementingkan dari sisi ekonomi yang sifatnya materi. Mengamati fenomena budaya politik yang berkembang dewasa ini, memang kecenderungan bahwa masyarakat Kota Makassar masih belajar berdemokrasi. Sebab saat ini masyarakat Indonesia secara umum masih berada dalam proses transisi demokrasi, dan sedang mencari bentuk model demokrasi seperti apa yang ideal. Sehingga, dapat dilihat dan diamati terhadap kondisi realitas yang terjadi dalam setiap moment-moment setiap pagelaran pesta demokrasi seperti pemilu, baik itu pilkada, maupun pemilihan caleg, bahwa hal -hal transaksional atau pragmatis bukan saja digemari oleh sebagian masyarakat tetapi juga dikehendaki oleh masyarakat untuk terjadi. Mekanisme politik transaksional kemudian menjadi trend politik, dan parahnya hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh para wakil rakyat. Alasannya, karena sistem pemilu demokrasi yang di anut negara Indonesia adalah sistem multi partai dengan proporsional terbuka, yaitu suara terbanyak. Sehingga membuka peluang pada masyarakat pemilih untuk berkesempatan mendua, akibatnya pragmatisme di sebagian mayarakat pun terjadi yang tidak dapat dielakkan. 169
Abd. Hafid
ISSN 2302-6340
mempertanyakan apakah para legislator ini betulbetul bekerja untuk rakyat, ataukah mereka hanya bekerja untuk dirinya sendiri atau kelompoknya. Masyarakat kemudian akan berpikir dan bertindak untuk memilah-milah memilih kembali para legislator yang mencalonkan diri sebagai Caleg pada pemilu 2014 ini. Dengan memilahmilah dan melihat kembali komitmen dari para Caleg tersebut, maka tentu akan tertuju pada evaluasi kinerja yang selama ini para legislator lakukan. Tentunya dengan melihat apakah para legislator ini telah menjalankan tupoksinya (tugas pokok dan fungsinya) dengan baik. Berdasarkan pandangan informan di atas, tampak bahwa ada satu fungsi yang tidak pernah dijalankan oleh para legislator Kota Makassar, yakni fungsi refresentatif. Mesti dipahami anggota legislatif itukan adalah refresentasi rakyat yang memiliki banyak kepentingan. Sehingga sangat penting bagi seorang legislator untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang mendukungnya. Efek dari tidak berjalannya fungsi refresentatif sebagai wakil rakyat, menimbulkan akibat suatu fenomena yang menarik, bahwa banyak diantara kalangan masyarakat di Kota Makassar, dan ini bisa juga terjadi di daerah lain., misalnya masih banyak masyarakat yang tidak tahu atau tidak mengenal siapa wakil mereka yang duduk di DPRD Kota Makassar untuk masa bakti 2009-20014.
Pandangan masyarakat pendukung terhadap legislator yang menjadi wakilnya di DPRD Kota Makassar Penempatan masyarakat pemilih sebagai subyek yang mandiri dan berpikir dalam menyalurkan hak politiknya, membuat masyarakat pemilih ini bertindak sesuai kehendaknya, pada siapa ia harus menentukan pilihannya pada saat pemilu akan dilaksanakan. Karena tak dapat dipungkiri masyarakat pemilih merupakan unsur yang menentukan proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini. Oleh sebab itu, pandangan masyarakat pemilih terhadap legislator yang menjadi wakilnya saat ini yang duduk di DPRD Kota Makassar, berdasarkan ungkapan dari informan berinisial AJH, berikut pernyataannya: “Sebenarnya tidak ada bedanya legislator yang sekarang ini duduk di DPRD Kota Makassar dengan legislator pada periode sebelum-sebelumnya. Nanti kelihatan kinerjanya atau pendekatannya ke masyarakat ketika menjelang lagi pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali. Mereka hanya memanfaatkan masyarakat sebagai ajang pengumpul suara, tidak ada terobosanterobosan yang siginifikan dilakukannya” Lebih lanjut, pandangan Informan AFS dalam melihat kinerja legislator yang menjadi wakilnya di DPRD Kota Makassar, berikut pernyataannya: “Mengenai kinerja anggota DPRD Kota Makassar yang duduk saat ini itu sangat belum memuaskan, apalagi sampai saat ini mereka tidak pernah datang berkunjung ke masyarakat. Terus terang juga saya saat ini kurang percaya kalau anggota dewan sekarang itu betul-betul bekerja untuk rakyat. Mengapa? Karena yang saya lihat di daerahku sampai sekarang ini tidak ada perubahan yang signifikan yang pernah dilakukan oleh para anggota DPRD Kota Makassar yang ada saat ini”. Dari kedua pandangan masyarakat di atas, mereka menjelaskan bahwa baik legislator yang saat ini duduk di DPRD Kota Makassar untuk masa bakti 2009-2014 ataupun sebelumnya masa bakti 2004-2009 melihat dari kinerjanya saat ini sangat belum memuaskan. Ditambah lagi para legislator ini tidak pernah lagi datang berkunjung ke masyarakat dapilnya untuk menyaring aspirasi langsung dari masyarakat. Sehingga masyarakat
Pola hubungan timbal balik legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya DPRD Kota Makassar sebagai lembaga perwakilan harus dapat menjadi tempat penyaluran aspirasi masyarakat. Hal tersebut mesti dibuktikan oleh setiap legislator dalam membina hubungan dengan masyarakatnya. Seorang legislator sebagai wakil masyarakat merupakan pintu bagi penyaluran aspirasi masyarakat di dapilnya. Sehingga sudah selayaknya para legislator ini mesti mengetahui kepentingan-kepentingan masyarakat yang ada di dapilnya. Untuk mengetahui apa-apa yang menjadi kepentingan masyarakat, para legislator ini mesti senantiasa menjalin pola hubungan sosial secara timbal balik dengan rajin melakukan komunikasi dengan masyarakat pendukungnya. Dari temuan selama penelitian, ada dua pola pendekatan hubungan timbal balik yang dilakukan oleh legislator Kota Makassar dengan 170
Budaya Politik, Legislator, Masyarakat Pendukung
ISSN 2302-6340
masyarakat pendukungnya. Diantaranya adalah: pertama, pendekatan langsung ke masyarakat yang mendukung legislator tersebut saat terpilih pada saat pemilu melalui tim sukses. Selanjutnya pendekatan kedua, adalah pendekatan dengan cara kelembagaan melalui kantor DPRD Kota Makassar sebagai lembaga perwakilan. Pendekatan pertama, yakni melalui tim sukses adalah merupakan fenomena yang saat ini lazim dipraktikkan ketika menjelang diselenggarakannya pemilu. Asumsinya bahwa tim sukses merupakan bentuk visualisasi perilaku politik yang senantiasa didasarkan pada pertimbanganpertimbangan secara subjektif untuk bertindak memberi pengaruh pada masyarakat sebagai pemilih. Bahkan, tim sukses tidak hanya semata dituntut untuk bekerja dan bertindak memberi pengaruh pada masyarakat sebagai pemilih, tetapi juga harus memiliki landasan strategi untuk memenangkan Caleg yang diusungnya. Juga berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat pemilih dengan Caleg ataupun ketika kelak telah duduk menjadi legislator. Pendekatan kedua, yakni secara kelembagaan. Pendekatan kelembagaan ini ada dua bentuk pendekatan yaitu dengan model kegiatan yaitu melaui kegiatan reses dan musyarawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Dua bentuk hubungan timbal balik yang secara kelembagaan inilah yang kemudian mendekatkan para legislator dengan masyarakat pendukungnya. Pendekatan kelembagaan yang dilakukan melalui kegiatan reses itu sendiri merupakan pendekatan langsung yang sangat bagus dilakukan oleh para legislator sampai hari ini. Sedangkan Untuk musrenbang sendiri memang merupakan pendekatan secara kelembagaan, tetapi wewenang legislator dalam musrenbang tersebut hanya sebagai peserta dari unsur yang mewakili institusi yang dipanggil untuk menghadiri kegiatan musrenbang yang sedang dilaksanakan.
tindakan politik di era demokrasi masih terdapat sebagian masyarakat bersikap pragmatis dalam menyalurkan hak politiknya. Karena itu, untuk mewujudkan cita-cita demokrasi, pemerintahan oleh rakyat adalah merupakan cermin dari suatu proses budaya dalam usaha menjabarkan kosnep kekuasaan dari masyarakat. Kebudayaan pada hakikatnya adalah upaya dialektis dari masyarakat untuk menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya pada setiap tahap kemantapan perkembangannya sehingga memberi ruang gerak yang cukup luas pada masyarakat untuk sewaktu-waktu mengkaji kemantapan itu. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai proses demokrasi adalah suatu bagian dari proses kebudayaan, karena ia merupakan kekuatan yang menggerakkan proses membentuk sosok baru dari suatu konsep kekuasaan, yang dianggap dapat menggantikan konsep lama yang dirasakan telah usang oleh suatu masyarakat (Kayam, 1999). Pada titik inilah perlu dipahami, bahwa sifat utama kebudayaan adalah selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Kelompok manusia sebagai pendukung yang tidak pernah puas dan ingin memperoleh yang lebih baik dan tinggi, sehingga mereka berupaya dan menciptakan inovasi baru berupa idea atau gagasan. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Goodenaugh (1957, 1961, dalam Keesing, 1992) bahwa budaya sebagai konsep gagasan telah mengaburkan perbedaan penting antara pola untuk perilaku dengan pola dari perilaku. Partisipasi masyarakat dalam memilih Caleg secara langsung, umum, bebas, adil, dan rahasia adalah merupakan gejala yang masih langka dalam sejarah politik Indonesia pasca reformasi. Karena sebelumnya enam kali pemilu di bawah rezim Orde Baru bukanlah pemilu yang memenuhi syarat demokrasi. Dalam demokrasi, rakyat, atau warga negara, termasuk yang miskin dan tidak berpendidikan, berhak menentukan siapa yang berkuasa lewat pemilu. Mereka menjadi hakim politik yang sebenarnya. Karena itu, suara rakyat menjadi penting bukan saja dalam menentukan siapa yang berkuasa, tetapi juga apakah proses pemilihan atau pemberian mandat, yakni pemilu berlangsung demokratis atau tidak, jujur dan adil atau tidak. Sehingga
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya/pemilih yang ada di Kota Makassar, mereka memandangnya bahwa masyarakat itu sudah cerdas. Hal ini terlihat dari kebiasaan keseharian masyarakat dalam mengakses informasi baik lewat media cetak ataupun media elektronik. Namun, dalam setiap 171
Abd. Hafid
ISSN 2302-6340
penilaian mereka merupakan legitimasi demokratis terhadap pemilu (Mujani dkk., 2011). Perkembangan demokrasi sangat tergantung pada perubahan dan penyesuaian budaya dan institusional yang ada. Karena itu, perlu ada kemauan dan kearifan para legislator untuk merubah budaya politik dan memperbaiki institusi politik untuk menuju pada demokrasi yang berkeadaban. Namun, permasalahan kemudian para legislator yang terpilih untuk masa bakti 2009-2014 ini belum menunjukkan bahkan belum menampakkan bahwa mereka telah bekerja sesuai harapan masyarakat. Alasan mereka karena kerjakerja yang dilakukan di DPRD Kota Makassar adalah merupakan kerja-kerja kolektif. Sehingga siapa pun legislator yang terpilih dan duduk di DPRD Kota Makassar tentu tidak akan mungkin memenuhi hasrat dan harapan masyarakat secara seratus persen. Karena itu, perlu adanya kontrol dari masyarakat atau LSM secara langsung untuk menggawasi jalannya roda pemerintahan dalam menentukan arah kebijakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab ketika jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan politik semakin banyak, orang-orang yang tadinya hanyalah sebagai penonton kegiatan politik, kemudian berbondong-bondong untuk masuk ke dalam sistem politik (Almond dkk., 1990). Setiap legislator mempunyai kewajiban untuk bertemu dengan masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi. Dalam menjalankan tugas sebagai wakil masyarakat, seorang legislator harus tahu dengan seksama apa yang menjadi keinginan masyarakat yang mendukungnya. Untuk menggambarkan pola hubungan sosial secara timbal balik antara anggota legislatif Kota Makassar dengan masyarakat pendukungnya di dapilnya masing- masing, diperlukan suatu pendekatan teoritis. Karena itu, dengan menggunakan konsep praktik (practice) yang dikembangkan oleh Bourdieu (1977) cukup relevan untuk membahas bentuk hubungan timbal balik antara legislator Kota Makassar terhadap masyarakat pendukungnya. Konsep praktik menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku dan struktur objektif yang keberadaannya tergantung pada praktik para pelakunya yang berada dalam konteks sosial tertentu, yang mempunyai “kepentingan” tertentu. Dengan demikian kebudayaan bukan sekumpulan sesuatu yang
harus diterima dan dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu yang „dibentuk‟ suatu konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan yang sedang berjalan. Konsep praktik menekankan adanya hubungan timbal balik antara individu-individu di masyarakat dengan sistem-sistem yang ada di masyarakat termasuk di dalamnya sistem politik. Akibatnya, suatu budaya politik itu sendiri bersifat cair, dan dinamis. Karena itu, hubungan legislator dan masyarakat di dapilnya merupakan suatu bentuk kemitraan dialektis antara subyeksubyek untuk selalu melakukan rekonstruksi sistem dan proses politik. Bentuk kemitraan dialektis ini tujuannya tak lain untuk membentuk suatu budaya politik seorang legislator dan masyarakat agar dengan sendirinya dapat bersifat cair, dan dinamis. Praktik hubungan anggota legislatif dengan masyarakat pendukung di dapilnya merupakan salah satu aspek penting dalam memenuhi tugas sebagai seorang legislator. Alasannya, karena dalam menjalin hubungan dengan masyarakat, manfaat yang didapatkan itu lebih banyak dan lebih menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, untuk menumbuhkan budaya politik dikalangan para pembuat dan pemangku kebijakan. Bentuk hubungan kemitraan baik secara kelembagaann ataupun personal antara legislator dan masyarakat mesti senantiasa terjalin suatu hubungan timbal balik sehingga arena sosial yang mempertemukan antara gagasan-gagasan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda, namun tetap memungkinkan terjadinya negosiasi terus menerus secara bebas. Hal ini berarti bahwa masyarakat dan pemerintah merupakan “fakta sosial” yang tidak terlepas dari kesadaran individu. KESIMPULAN DAN SARAN Hubungan anggota legislatif Kota Makassar dengan masyarakat pendukungnya merupakan suatu bentuk fenomena budaya politik yang diperankan oleh masing-masing pihak, baik dari pihak legislatornya sendiri maupun dari pihak masyarakat sebagai pendukung/pemilih. Budaya politik tersebut tercermin lewat mereka dari sudut pandang masing-masing pihak, yakni bagaimana seorang legislator menjalin hubungan dengan 172
Budaya Politik, Legislator, Masyarakat Pendukung
ISSN 2302-6340
masyarakat pendukungnya agar dapat terpilih lagi kembali pada pemilu yang diselenggarakan sekali dalam lima tahun. Karena para legislator ini paham betul bahwa masyarakat Kota Makassar pada dasarnya masuk dalam kategori masyarakat sadar politik, dan lebih terbuka dalam menyerap berbagai akses informasi politik yang sedang berkembang. Pandangan masyarakat pendukung/pemilih menyikapi legislator yang telah terpilih selama masa bakti yang kinerjanya tidak memberi dampak perubahan terhadap kesejahteraan hidup mereka, maka mereka pun akan melakukan tindakan memilah-milah para legislator yang mencalonkan diri kembali sebagai Caleg untuk masa bakti 2014-2019 untuk mereka pilih kembali pada pemilu yang diselenggarakan 9 april 2014. Adapun pola hubungan timbal balik antara legislator Kota Makassar dengan masyarakat pendukungnya terjadi secara praktik sosial melalui dua bentuk, yakni pertama, secara personal melalui pendekatan ke masyarakat melalui tim suksesnya, maupun bersentuhan langsung ke masyarakat yang menjadi basisnya. Kedua, secara kelembagaan yang difasilitasi oleh kantor DPRD Kota Makassar lewat reses dan musrenbang. Saran dari hasil penelitian ini adalah dengan memposisikan masyarakat sebagai subyek yang sadar akan hak politiknya, dharapkan legislator sebagai wakil rakyat yang membawa aspirasi masyarakat yang diwakilinya dapat membawa perubahan kesejahteraan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dalam menjalankan tupoksinya untuk masyarakat yang diwakilinya. Berharap pula para legis-lator yang telah terpilih saat ini menjadi wakil rakyat di DPRD Kota Makassar untuk senantiasa melakukan pendekatan terhadap masyarakat pendukungnya tidak hanya saat menjelang pemilu saja, tetapi setiap ada kesempatan dan waktu luang agar menyempatkan diri bertatap muka dengan masyarakat pendukungnya supaya dapat lebih dikenal dan saling mengenal. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan semacam pendidikan politik untuk dapat terhindar dari sikap pragmatis dengan model politik transaksional.
DAFTAR PUSTAKA Aristoteles. (2008). Politik (La Politica). Cetakan kedua. Jakarta: Visimedia. Almond dkk. (1990). Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (Penerjemah: Sahat Simamora). Jakarta: Bumi Aksara. Balandier, Georges. (1986). Antropologi Politik (Penerjemah: Y. Budisantoso) cetakan kedua. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Bourdieu, Pierre. (1977). Outline of a Theory of Practice. London: Cambridge University Press. Cresswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Penerjemah: Achmad Fawaid). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Endraswara, Suwardi. (2006). Metodologi Penelitian Kebudayaan (cetakan kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hamad, Ibnu. (2008). Menolak Ritualisme Politik. (Epilog dalam Buku Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional, yang di tulis oleh Dr. Yuddy Chrisnandi). Jakarta: Ind Hill Co (IHC). Kayam, Umar. (1999). Menghidupkan Kultur Masyarakat Berembuk (dalam buku Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, editor: Tim Maula). Bandung: Pustaka Hidayah. Keesing, Roger M. (1992). Antropologi Budaya suatu Perspektif Kontemporer Edisi Kedua, Jilid 1 dan Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Mattulada, H.A. (1995). Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Cetakan Kedua). Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. Mujani, Saiful dkk. (2011). Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Pasca-Orde Baru. Bandung: Penerbit Mizan. Rusdiarti, Suma Riella. (2004). Bahasa, Kapital Simbolik dan Pertarungan Kekuasaan: Tinjauan Filsafat Sosial
173
Abd. Hafid
ISSN 2302-6340
Pierre Bourdieu tentang Bahasa (Tesis). Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Syah, H. Rahman. (2012). Perilaku Politik Anggota Legislatif Kabupaten Gowa
(Disertasi). Makassar: Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Spradley, James P. (1997). Metode Etnografi (Penerjemah: Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
174