IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengamatan Visual Kayu Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat dampak akibat serangan jamur pelapuk P. ostreatus terhadap contoh uji kayu yang diumpankan selama 3 bulan. Pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa contoh uji kayu yang telah diserang oleh jamur pelapuk P. ostreatus mengalami perubahan warna, yaitu menjadi lebih terang (cokelat muda atau kemerahan), baik pada kayu karet maupun pada kayu sengon. Seperti tercermin pada Gambar (4, 5, 6 dan 7). Kayu sengon arah serat longitudinal
1 cm 1 cm
SNI
JIS
1 cm
1 cm
(Sumber foto : Dewi. A)
Gambar 4 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji sengon longitudinal. Contoh uji kayu sengon dengan metode SNI (atas kiri) tidak mengeluarkan bakal tubuh buah, berbeda dengan contoh uji kayu dengan metode JIS yang mengeluarkan bakal tubuh buah (atas kanan). Pengeluaran bakal tubuh buah pada metode JIS dengan contoh uji kayu sengon longitudinal diduga terjadi karena
miselium telah memasuki fase generatif. Kayu segon longitudinal (bawah kanan) memiliki warna lebih putih, lebih pucat dan lebih lunak dibandingkan dengan kayu sengon longitudinal (bawah kiri).
Kayu sengon arah serat cross section
SNI
1 cm
1 cm
JIS
1 cm
1 cm
(Sumber foto: Dewi. A)
Gambar 5 Miselium yang menempel pada seluruh permukaan contoh uji kayu sengon cross section Contoh uji kayu sengon (atas kanan) lebih tipis dibandingkan dengan miselium yang menempel pada contoh uji kayu sengon cross section (atas kiri). Metode JIS contoh uji kayu sengon cross section mengeluarkan bakal tubuh buah sama dengan contoh uji kayu sengon longitudinal (Gambar 4 atas kanan). Setelah miselium yang menempel pada kayu sengon cross section (SNI dan JIS) dibersihkan maka terlihat perbedaan yang sangat mencolok pada kedua contoh uji. Kayu sengon cross section (bawah kanan) mengalami tingkat kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan kayu sengon cross section (bawah kiri). Hal ini
terjadi diduga karena miselium yang menempel pada permukaan kayu sengon (JIS) lebih tebal sehingga proses degradasi lebih cepat.
Kayu karet arah serat longitudinal
1 cm
SNI
JIS
1 cm
1 cm
1 cm
(Sumber foto: Dewi. A)
Gambar 6 Miselium sangat tebal menutupi seluruh permukaan kayu karet longitudinal. Miselium sangat tebal
menutupi seluruh permukaan kayu karet
longitudinal dengan metode SNI (atas kiri) dan pada kayu karet longitudinal dengan metode JIS (atas kanan). Miselium dibersihkan dari permukaan kayu karet cross section dengan metode SNI (bawah kiri) dan karet cross section dengan metode JIS (bawah kiri) terlihat perubahan kayu secara fisiologis menjadi pucat dan rapuh.
Kayu karet arah serat cross section
1 cm
1 cm
SNI
JIS
1 cm
1 cm
(Sumber foto: Dewi. A)
Gambar 7 Miselium sangat tebal menutupi seluruh permukaan kayu karet cross section Contoh uji kayu karet (atas kiri) dengan metode SNI dan contoh uji kayu karet (atas kanan) dengan metode JIS. Miselium dibersihkan dari permuakaan kayu sehingga terlihat perbedaan yang cukup jelas antara kayu karet cross section (bawah kiri) dengan kayu karet cross section (bawah kanan). kayu karet dengan menggunakan metode JIS lebih besar mengalami kerusakan dibandingkan dengan kayu karet dengan metode SNI. Hal tersebut dapat terlihat dari perbedaan warna kayu karet pada JIS lebih pucat dan lebih rapuh dibandingkan dengan kayu karet pada SNI.
4.2. Penurunan Bobot Kayu Karet dan Sengon Akibat Serangan Jamur P. ostreatus Jamur pelapuk mampu merusak selulosa dan lignin penyusun kayu. Hal ini menyebabkan bobot kayu menurun dari bobot awalnya. Besarnya nilai penurunan bobot akibat serangan jamur dalam waktu tertentu menunjukkan tingkat penyerangan jamur terhadap kayu tersebut. Standar pengujian yang digunakan pada penelitian ini adalah SNI 01.72072006 dan JIS K 1571-2004. Standar pengujian SNI 01.7207-2006 digunakan untuk menguji kayu karet dan sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section yang berasal dari Indonesia dengan ukuran (5 x 2,5 x 1,5) cm sedangkan standar pengujian JIS K 1571-2004 digunakan untuk menguji kayu karet dan sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section yang berasal dari Indonesia dengan ukuran (2 x 2 x 1) cm. Standar pengujian SNI 01.7207-2006 menggunakan media berupa agar/Malt Extrak Agar (MEA) sedangkan standar pengujian JIS K 1571-2004 menggunakan media berupa pasir kuarsa yang dicampur dengan pepton. Parameter ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk P. ostreatus dilihat dari nilai kehilangan bobot contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil uji laboratorium (laboratory test). Kehilangan bobot akibat serangan jamur ini digunakan sebagai ukuran atau patokan, karena faktor ini mempengaruhi kekuatan kayu.
Kehilangan bobot merupakan nilai pengurangan bobot kayu akibat
perlakuan uji laboratorium selama 92 hari yang mengakibatkan bobot kayu berkurang. Dari pengujian dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal (22,25%), arah serat cross section (18,76%) dan kayu karet dengan arah serat longitudinal (23,12%), arah serat cross section (20,77%). Berdasarkan SNI 01.7207-2006 nilai kehilangan bobot kayu karet dan sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section termasuk ke dalam kelas awet IV (tidak tahan) dengan persentase kehilangan bobot 10% 30%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pandit dan Ramdan (2002) yang mengatakan bahwa kayu karet dan sengon termasuk kelas awet IV-V yang berarti memiliki keawetan yang rendah sekali. Pengujian menggunakan standar JIS K
1571-2004 nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal (5,91%), arah serat cross section (14.20%) dan kayu karet dengan arah serat longitudinal (9,21%), arah serat cross section (10,95%). Dilihat dari nilai rata-rata kehilangan bobot dengan menggunakan metode SNI, sebaiknya arah serat yang digunakan dalam pengujian adalah arah serat longitudinal karena memiliki nilai rata-rata penurunan bobot yang tinggi, sedangkan untuk pengujian JIS arah serat longitudinal sebaiknya tidak digunakan karena memiliki nilai rata-rata penurunan bobot yang sangat rendah. Tabel 5 Hasil pengujian kayu karet dan sengon Jenis
Arah serat
Karet Sengon
Longitudinal Cross section Longitudinal Cross section
Penurunan Bobot (%) SNI JIS 23,12 9,21 20,77 10,95 22,25 5,91 18,76 14,20
Nilai kehilangan bobot dengan metode SNI lebih tinggi dibandingkan dengan metode JIS. Hal ini diduga karena adanya hifa jamur yang masuk ke dalam contoh uji. Hifa jamur yang masih tertinggal di dalam contoh uji akan mempengaruhi bobot akhir contoh uji setelah diumpankan. Selain itu, adanya perbedaan ukuran contoh uji dan media yang digunakan SNI dan JIS juga diduga menyebabkan adanya perbedaan nilai kehilangan bobot yang cukup jauh.
4.3. Keawetan Kayu Karet dan Sengon terhadap Jamur Pelapuk P. ostreatus Hasil Analisa Statistik dengan menggunakan sidik ragam pada dengan selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan jenis, metode x arah serat, dan jenis x metode x arah serat terhadap penurunan bobot kayu, Artinya kedua metode memiliki tingkat penurunan bobot yang berbeda pada contoh uji kayu baik dengan menggunakan arah serat longitudinal maupun arah serat cross section. Hal ini ditandai dengan nilai Pr > F untuk setiap perlakuan adalah < 0,05. Sedangkan
untuk perlakuan metode terjadi perbedaan yang sangat nyata terhadap tingkat penurunan bobot kayu karena memiliki nilai Pr > F = <,0001. Tabel 6. Hasil sidik ragam kehilangan bobot terhadap metode, arah serat dan jenis kayu. Sumber Keragaman
DB
JK
KT
F
Pr>F
Ulangan
9
162,83
18,09
0,89
0,540
Metode
1
1943,21
1943,21
95,54
3,03e-14**
Arah Serat
1
7,43
7,43
0,37
0,548
Jenis
1
82,74
82,74
4,07
0,048*
Metode x ArahSerat
1
249,64
249,64
12,27
0,001**
Metode x Jenis
1
7,16
7,16
0,35
0,555
Arah Serat x Jenis
1
63,80
63,80
3,14
0,082
Metode x ArahSerat x Jenis 1
111,06
111,06
5,46
0,023*
Galat
1281,42
20,34
63
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada uji F taraf 0,05, * berbeda nyata pada uji F taraf 0,05
Nilai rataan penurunan berat pada kayu karet lebih tinggi dibanding kayu sengon pada metode SNI dan JIS. Hal ini diduga karena jumlah selulosa dan lignin yang terkandung pada kayu karet lebih tinggi dibanding kayu sengon. Menurut Pari (1996) kandungan selulosa pada kayu karet tergolong tinggi karena nilainya di atas 45%, sedangkan kandungan ligninnya berkisar antara sedang sampai tinggi yaitu 30,60 – 33,54 %. Hal inilah yang diduga menyebabkan nilai kehilangan berat kayu karet lebih tinggi dibandingkan dengan kayu sengon, karena jamur pelapuk mampu merusak selulosa dan lignin yang menyusun kayu sehingga menyebabkan bobot kayu menurun dari babot awalnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Martawijaya (1972) penurunan bobot kayu karet (40,2%) lebih besar dibandingkan dengan kayu sengon (36,3%) dengan menggunakan jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune. Dari beberapa hasil penelitian, Martawijaya (1972) penurunan bobot kayu karet (40,2%), kayu sengon (36,3%), Fitriyani (2010) penurunn bobot kayu karet 30,01%, dengan menggunakan jamur uji Schizophyllum commune diketahui bahwa P. ostreatus memiliki tingkat penurunan bobot di bawah S. commune,
artinya S. commune masih lebih ganas menyerang kayu dibandingkan oleh P. ostreatus. Oleh karena itu P. ostreatus masih belum dapat digunakan dalam pengujian ketahanan kayu pada SNI 01.7207-2006, karena penurunan bobot kayu yang dihasilkan masih dibawah jenis jamur S. commune yang telah distandarkan oleh SNI 01.7207-2006. Dilihat dari ketahanannya terhadap serangan jamur, kayu karet tergolong ke dalam kelas awet IV-V yang berarti kayu ini tidak tahan terhadap serangan jamur. Tetapi jika dilihat dari segi kekuatan, kayu karet termasuk ke dalam kelas kuat II, sehingga cocok untuk digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan seperti mebel, fibre board, furniture, pulp dan kertas. Menurut Boerhendhy, dkk., 2003 di tingkat daerah kayu karet belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena sebagian besar lokasi kebun karet rakyat tradisional terletak di wilayah yang tidak mempunyai akses jalan. Untuk mengeluarkan kayu dari kebun ke pabrik diperlukan biaya yang cukup besar, sehingga penjualan kayu karet menjadi tidak ekonomis. Kayu karet mempunyai nilai yang ekonomis apabila lokasi kebun mempunyai akses jalan yang biasa di lewati oleh truk dan tidak terlalu jauh dari pabrik, sehingga biaya transportasi masih cukup memadai. Selain itu, rendemen yang rendah juga merupakan masalah pemanfaatan kayu karet, hal ini disebabkan diameter kayu karet yang kecil karena bahan tanam yang digunakan masih berasal dari seedling dan rusaknya bagian sadap akibat penyadapan sampai ke bagian kayu sehingga menimbulkan bercak atau ring. Ketahanan kayu sengon terhadap serangan jamur tergolong ke dalam kelas awet IV-V yang berarti bahwa kayu sengon tidak tahan terhadap serangan jamur dan tergolong ke dalam kelas kuat IV-V, sehingga cocok digunakan sebagai bahan baku industri kertas, papan partikel, papan serat, papan wool semen dan indusri turunan lainnya. Kandungan zat ekstraktif yang bervariasi dalam satu spesies, lokasi di dalam pohon, umur dan laju pertumbuhan mempengaruhi penurunan bobot atau pelapukan kayu. Kandungan zat ekstraktif pada kayu sengon lebih tinggi dibandingkan kayu karet. Hal inilah yang diduga menyebabkan mengapa nilai kehilangan berat kayu karet lebih tinggi dari pada kayu sengon. Dilihat dari kandungan zat ekstraktifnya, berdasarkan literatur yang diperoleh diketahui bahwa
zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu karet antara lain, amirin (triterpena) dalam getah lateks, asam sumaresinolat dalam benzoin sumatra dan asam elemolat dalam resin elemi (Sandermann 1960 dalam Fengel dan Wagener 1984), resin, lemak, lilin, tanin, lignin, pentosan, dan heksosan (Safitri 2003). Sedangkan zat ekstraktif yang terdapat pada kayu sengon antara lain selulosa, lignin, pentosan, abu dan silika (Atlas kayu jilid 2). Karena zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur pelapuk. Jadi semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka kehilangan berat kayu tersebut akan semakin rendah. Perbedaan ukuran contoh uji ini diduga juga menyebabkan nilai kehilangan berat kayu karet lebih besar dibandingkan kayu sengon. Arah serat kayu karet dan sengon yang digunakan adalah longitudinal dan cross section. Hasil analisis sidik ragam (Tabel 6) menyatakan bahwa perbedaan arah serat tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya kehilangan berat contoh uji pada α= 0,05, akan tetapi jika arah serat di interaksikan dengan metode yang digunakan maka akan berpengaruh sangat nyata terhadap kehilangan bobot contoh uji. Tahapan persiapan contoh uji yang tertulis pada metode SNI 01.7207-2006 masih kurang lengkap, karena pada tahapan ini tidak ada perintah untuk mengoven dan menimbang contoh uji kayu sebelum diumpankan terhadap jamur. Perhitungan rumus penurunan bobot contoh uji di butuhkan data timbangan berat awal sebelum dan sesudah contoh uji diumpan terhadap jamur.