lam renang Dessa. Atau bersantai di teras belakang. Atau naik ke kamar Dessa. Dan selalu, awalnya: kami berdua sama-sama tak bisa menahan diri untuk saling menyentuh. Memuaskan dahaga. Itu membuatku merasa kuat sekaligus lemahapa yang kami mulai musim panas itu di rumah besar Constantine yang kosong. Karena jadwal kerja kami, aku bertemu dengan Dessa hanya Senin, Selasa, dan Rabu malam. Pukul sebelas malam atau tengah malam, aku minum dua cangkir kopi, lalu kembali naik sepedamengayuh seperti orang gila ke Lakeside, menyeberangi Woodland dan ke rute 165. Saat sampai rumah, Ray sudah pergi kerja, sementara Ma dan Thomas sudah tidur. Aku duduk di dapur kami yang dilapisi karpet plastik dengan barang-barangnya yang norak, kertas lalat bergantung di atap penuh dengan lalat, dan merasa malu tentang siapa dan apa kami ini. Atau, aku akan berbaring di ruang duduk yang gelap di atas karpet suram dan sobek-sobek dari Sears dan berpikir, inilah aku, pacar cewek kaya, satu-satunya pria yang membuatnya merasa aman. Dan bukan sembarang cewek kaya. Tapi Dessa. Dan aku teringat kembali kebersamaanku dengannya melihat jariku melepaskan kepangan rambut panjangnya. Lelah tapi bergairah, aku akan berguling ke sana kemari, tak bisa pergi ke atas dan tidur. Kupikir aku sudah bersikap cuek. Tak mengira bahwa kencanku ketahuan, tapi mungkin saja aku menunjukkan tanda-tanda. Saat kerja, Leo menggodaku setiap kali aku menguap atau mengantuk pada waktu makan siangtentang “menu apa yang aku pesan dari teman pelayan kecilku”. Di rumah, Ma terus menanyakan kapan dia akan bisa bertemu dengan “cewek baruku”. Thomas terus mendesakku untuk menceritakan Dessa itu seperti apa. Merasa posesif akan apa yang kumilikienggan berbagi informasi tentang Dessa, aku hanya memberikan sesedikit mungkin. “Dia pendek,” kataku padanya. “Rambutnya cokelat.” “Apa lagi?” “Itu saja,” kataku, mengangkat bahu. “Pendek dan berambut cokelat. Dia mahasiswi Boston College.” Suatu pagi, saat aku bercukur di wastafel kamar mandi, Ray masuk dan berdiri di belakangku, mengamati wajahku yang mengantuk di cermin kotak obat. Aku pulang pukul tiga pagi, hanya tidur tiga jam sebelum berangkat kerja lagi. “Ada apa?” kataku. “Ibumu bilang kau pulang larut lagi semalam,” katanya. Aku diam saja. Terus bercukur. “Kau dan cewek ini berhati-hati, tidak?” katanya. Tadi malam, Dessa menunjukkan pil antihamilnya padaku seperti sekotak permen Good & Plentys, pil-pil kecil yang menyelamatkan kami dari kerumitan. “Keamanan” menurutku adalah tanggung jawab Dessa. “Cewek ini?” kataku. Mencoba ekspresi sinis tidak peduli milik Ralph Drinkwater. Ray mengeluarkan sekotak kondom Trojan dari saku kemeja kerjanya dan melemparkannya ke atas tangki toilet. Tak mengatakan apa pun, aku mengeratkan pegangan di pisau cukur di tanganku dan mencukurmencoba sekeras mungkin untuk bersikap biasa, mengabaikan penyelidikan besarnya. Bertahan! Bertahan! “Aku tak akan mendiskusikan kehidupan pribadiku denganmu, Ray,” kataku. “Ini pribadi.” Ray tertawa pendek. “Nggak masalah buatku, Romeo. Kau bisa pergi ke mana pun dan
menjadi sepribadi apa pun yang kau mau. Cuma jangan pulang dan bilang ke ibumu dan aku bahwa kau terjebak atau kau menghamili cewek.” Aku berpaling dan menghadapnya, setengah wajahku masih dipenuhi busa cukur, setengah lagi sudah bersih tercukur. “Itu baru anak baik, Ray,” kataku. “Teruskan. Buat cinta menjadi terdengar seburuk mungkin.” Lalu aku berbalik menghadap ke cermin. Ray berdiri di belakangku selama beberapa detik, memandangku melukai diri sendiri dengan pisau cukur, mengernyit, dan mengusap darah. Lalu dia melakukan sesuatu yang benar-benar tak terduga: mengulurkan tangan dan memegang lenganku dengan tangannya yang kapalan. Lebih seperti ayah dan tidak mengancam. Selama beberapa detik kami saling berpandangan di cermin. “Yang kukatakan, anak keras kepala, hanyalah bahwa aku ingat bagaimana rasanya saat seusiamu dan mengenal seks untuk pertama kalinya,” katanya. “Aku pernah di Angkatan Laut, Nak. Aku tahu. Berhati-hatilahitu saja yang kukatakan. Jangan memperumit masalah.” Aku tak bisa memandangnya. Tak bisa menerima perlakuannya sebagai ayah yang tiba-tiba. Aku tak suka dia berusaha turut campur atas apa yang kulakukan bersama Dessa. Jadi, saat Ray berjalan keluar dari kamar mandi, aku memanggilnya. Meraih ke atas tangki toilet dan mengambil kotak kondom itu. “Ini,” kataku melempar kondom itu padanya. “Kau lupa ini.” Ray menangkapnya. Melemparnya lagi. Kali ini kotak kondom itu mendarat di wastafel, di bawah keran air yang menyala. “Aku tak lupa,” katanya. “Memangnya kau pikir untuk siapa aku keluar dan membeli barang sialan itu? Paus? Kakakmu?” Setelah seminggu permainan graveball, Ralph Drinkwater memang mulai membagikan rokok ganjanya. Sekali dua kali mengisap rokok itu merupakan hal yang baru bagi Leo dan aku, bekerja di bawah pengaruh ganja, fly. Lalu hal itu menjadi setengah rutin. Saat Dell tidurbahkan pada saat-saat dia tak tidur siangLeo, Drinkwater, dan aku tiba-tiba menemukan sesuatu yang menarik di hutan, lalu merokok ganja bersama. Menghancurkan diri sendiri pada waktu kerja. Leo selalu berusaha membuat Thomas ikut merokok, menyodor-nyodorkan rokok ganja yang sudah dinyalakan di depan wajahnya tak peduli berapa kali Thomas menolaknya. Itu merepotkan Thomas, karena dia harus selalu berkata tidak; dia akan sok moralis. “Tepat seperti yang kuinginkan Leo,” katanya suatu kali. “Mengisap sesuatu yang akan membuatku menjadi orang bodoh seperti kamu.” Rokok ganja Drinkwater mengubah pola pergaulan kami. Ralph, Leo, dan aku menjadi trio dan Thomas menjadi orang yang tersisih. Kalau kami harus membersihkan rumput atau semak di sebuah area, kami bertiga akan merancang cara untuk menyelesaikannya dengan lebih cepat dan lebih mudah, sementara Thomas akan mengikut di belakang, tak diundang. Waktu makan siang, Thomas akan duduk merengut sendirian, hampir tak bicara pada kami. Kadang, Dell menyuruh Thomas melakukan pekerjaan yang lainmenyuruh kami bertiga pergi ke lain tempat, lalu dia duduk dan mengamati Thomas bekerja. Mengkritiknya. Menghinanya. Dell mulai punya ketertarikan khusus untuk menjadikan kehidupan Thomas susah. “Bilang pada kakakmu untuk berhati-hati pada Dell,” kata Ralph padaku suatu siang. Kami berdua sedang mengecat meja piknik di taman kota, fly karena ganja dan bau cat. Dell dan Thomas di seberang taman, mengecat bangku taman. “Apa maksudmu, ‘hati-hati padanya’?” tanyaku. Ralph mengangkat bahu. “Aku tak bermaksud apa-apa. Bilang saja padanya.” Selama dua minggu pertama bekerja, Drinkwaterlah yang biasa duduk di bangku depan truk bersama Dell, tapi kini Thomas yang duduk di depan. Mengingat itu sekarang membuatku sedih,
tapi saat itu aku tak merasa apa-apa. Aku senang karena bisa pisah dengannyabersyukur bisa sendirian. Aku ingat Thomas, duduk di depan, memutar lehernya ke belakang melihat Leo, Ralph, dan akukami bertiga tertawa dan menyiuli gadis-gadis di jalan atau merokok ganja dalam perjalanan pulang ke gudang kota. “Kakakmu itu nggak waras,” kata Leo suatu kali ketika dia memergoki Thomas memandang kami. “Dia lebih berantakan daripada setumpuk sandwich,” kata Ralph. Dan kami bertiga mendengus dan terkikik-kikik, menertawakan Thomas. Suatu kali dalam perjalanan kembali ke kota, Leo memberikan salam ciuman pada seorang wanita yang naik convertible di belakang kami. Wanita itu meneriakkan sesuatu dan mengatai kami seperti Three Stooges, dan Ralph tiba-tiba meniru Curly Joe dengan sangat miripnya dan tak terduga, sehingga kami bertiga tertawa hingga kehabisan napas. Leo mengarang lagu untuk kami: “Three Dumb Fucks” yang nadanya diambil dari lagu anak-anak “Three Blind Mice”. Kadang sepanjang perjalanan kembali ke kota, kami menyanyikan lagu itu dengan mengarang lirik baru yang menurut kami lucu. Kami bertiga bahagia seperti babi dalam lumpur saat itu, fly karena ganja dan bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Three Rivers. Meskipun musim panas itu aku, Leo, dan Drinkwater menjadi akrab, selalu ada sesuatu yang misterius tentang Ralph. Sebuah tanda tanya yang berkaitan dengan dirinya. Dia tak pernah cerita banyak. Kami tahu dia tidak tinggal di rumah ibunya, tapi dia tak pernah bilang di mana dia tinggal. Kadang dia menumpang pulang bersama Dell, tapi dia selalu menolak tawaran tumpangan dari Leo. Dia selalu “terlalu sibuk” untuk nongkrong bersama kami pada akhir pekan. Satu-satunya kesempatan kami nongkrong bertiga musim panas itu adalah suatu hari Minggu ketika kami bertiga pergi ke Fenway untuk mencari mainan kereta api. Dan bahkan saat itu Ralph juga merahasiakan tempat tinggalnya. Kami menjemputnya di depan kantor pos, seingatku. Dan menurunkannya juga di sana saat pulang, meskipun saat itu tengah hujan deraskami bertiga basah kuyup sampai tulang karena atap convertible Leo rusak. Salah satu hal yang juga memisahkan kami adalah ras Ralph. Kau bisa merasakannya kadang ketika Dell menceritakan lelucon bodohnya, atau saat Leo tak sengaja menyindirnya. Indian, mulatto, atau apa pun dia, Drinkwater berbeda dengan kami, mahasiswa kulit putih yang akan kembali ke sekolah pada akhir musim panas nanti, sementara dia tetap terjebak di Three Rivers. Dan bukannya Ralph bodoh. Ralph selalu mencoba berdiskusi dengan kami tentang masalah politik atau sesuatu yang dia lihat di berita atau yang dia baca di artikel ilmiah. Ralph banyak membacasebanyak anak mahasiswa. Dia selalu mencoba menyuruh kami membaca satu buku, Soui on Ice, karya Eldridge Cleaver. Dia berkali-kali merekomendasikan buku itu pada kami, sehingga kami sering menjadikannya lelucon. Suatu kali Leo memanggil Ralph “Tonto”, dan Ralph sangat marah. Dia bilang kalau Leo bahkan tak pantas menjilat kaki seorang Indian Wequonnoc. Kali lain, kami bertiga merokok di bendungan. Aku mengisap rokok hingga ke puntungnya dan Leo berkata, “Yesus Kristus, Birdseed, kau tak harus menjilati benda itu sampai habis seperti seorang negro.” Drinkwater dan aku tertawa kecil saat Leo mengatakan itu, tapi kemudian ada kesunyian tak enak yang lima belas detik lebih panjang daripada seharusnya. Ralph berdiri dan berjalan ke hutan. “Itu tadi pintar sekali,” kataku pada Leo. “Kuucapkan selamat, Sobat.” “Hei, tembak saja aku, oke, Birdsey,” tukas Leo. “Aku tak bisa ingat apakah dia itu Indian atau Afro atau apa pun dia.” Satu hal lagi yang membuat jarak antara Ralph dan kamiantara Ralph dan orang lainadalah kematian adiknya. Aku tak mengerti awalnya. Tak bisa menebak dari mana asal sifatnya yang moody itu. Aku tahu bahwa Penny Ann dikuburkan di
pemakanan Indian. Sepupunya Lonnie juga. Kau tak mungkin melewatkan nisan Lonnie. “Mengenang Pejuang Modern”. Kebalikannya, nisan Penny Ann hanya seukuran kamus. “P.A.D” itu saja tulisannya. “1948-1958”. Setiap kali kami memotong rumput di pemakaman Indian, Ralph akan cemberut. Apa pun yang kami katakan di sana tak ada yang lucu menurutnya. Kupikir aku mengerti perasaannya. Tapi suatu hari aku sadar: ini bukan saja tempat di mana terletak makam adik dan sepupunya. Lebih buruk daripada itu. Ini adalah tempat di mana si pembunuh gila Monk membawa Penny Ann waktu badai salju itu. Di sinilah tempat mereka menemukan mayatnya. Dell suka menunda pembersihan pemakaman Indianpemakaman terkecil di kotauntuk Jumat siang. Kami selalu menyelesaikannya lebih cepat, dan seringnya, Dell akan mengeluarkan botol Seagramnya dan mulai merayakan akhir pekan lebih cepat. Suatu siang yang panas, Leo mendapatkan gagasan cemerlang bahwa sebaiknya kami pergi ke jalan setapak menuju The Falls, lalu turun dan berenang di sungai. Kupikir Drinkwater akan menghindari tempat itu. Tempat itu juga membuatku sedikit bergidik. Tapi Ralph mengejutkanku dan mengikuti kami ke jalan setapak. Aku tak ingat ada Thomas hari itu. Mungkin saat itu kakinya sedang terluka terkena pecahan kaca dan dia tak masuk kerja. Rambu dilarang masuk dipasang di berbagai tempat dan ada pagar kawat di kedua sisi air terjun. Semua itu dipasang oleh pemerintah kota beberapa tahun lalu setelah pembunuhan Penny Ann. Tapi pada musim panas tahun ‘69, tanda dilarang masuk itu sudah berkarat dan retak. Anak-anak sejak dulu sudah membengkokkan pagar kawat itu sebagai jalan masuk dan membuat jalan setapak ke sungai. Leo berjalan terlebih dulu. Aku di belakangnya, setengah berjalan dan setengah berlari menuruni lereng yang terjal. Drinkwater paling belakang. Sesampai di tepi sungai, Leo dan aku melepaskan baju kami dan masuk ke air sungai yang kecokelatan. Ralph membuka sepatu bot dan kaus kakinya, melemparkan dompetnya ke tumpukan sepatu dan kaus kaki itu. Lalu dia masuk ke air, masih mengenakan baju kutung dan celana jinnya. Aku bertanya-tanya kenapamengapa dia tak mau membuka bajunyatapi aku diam saja. Tidak mengoloknya. Walaupun aku tidak begitu mengerti mengapa Ralph kadang bertindak seperti kelakuannya, setidaknya aku bisa merasakan. Tidak seperti Leo. “Hei, kalian! Lihat!” teriak Leo mengalahkan deru air. Dia menunjuk ke tengah sungai. “Gila! Apakah itu benar seperti yang kupikirkan?” Ralph dan aku berdiri memandang Leo menyelam, berenang ke tempat yang ditunjuknya tadi, dan muncul lagi. “Hei! Aku tak percaya! Memang benar!” “Apa?” teriakku. Ralph dan aku menunggu, terpaku. Bukannya menjawab, Leo menyelam lagi. Lalu muncul. “Yap, persis seperti yang kukira.Yesus!” “Apa?” kataku. “Kau ngomong apa, sih?” “Itu tadi si Mary Jo Kopechne. Dia pasti terbawa arus ke sini dari Massachusetts. Kena kau!” Dia tertawa terbahak-bahak menyebalkan yang bergaung hingga ke pepohonan. “Man, kalian benar-benar kena!” Aku melirik gugup ke Ralph. “Diam, Leo,” kataku. “Kamu kenapa sih, Birdsey?” dia tertawa. “Kau kerabatnya Kennedy atau apa?” Lalu Ralph menyelam. Aku menunggu. Dia muncul sekitar lima puluh kaki di hulu. Naik ke pinggir dan menghilang ke hutan. Aku berenang ke hulu, ingin menjauhkan diri dari Leo. Aku menenangkan diriku
selama lima atau sepuluh menit. Saat aku kembali ke The Falls, Leo memanggilku. Dia menunjuk ke atas. Ralph telah menaiki jalan setapak itu lagi, tapi bukannya menuju bukaan di pagar, dia naik lereng terjal sekitar sepuluh atau dua belas kaki. Kami memandangnya terdiam hingga dia berada di sisi lereng yang tak dipagari. Dari sana, dia mulai memanjat pohon oak raksasa yang tumbuh tepat di pinggir lereng. Dia naik tinggi sekali melewati dahan demi dahan, hingga sampai ke dahan tertinggi yang bahkan melihatnya saja membuatku mual. Akhirnya dia naik ke sebuah dahan dan duduk di sana, kakinya tergantung di kedua sisi. Dia memandang ke air terjun, dengan seringai khasnya. Yang paling mengesankan bagiku adalah kesunyian dari posisinya: orang Indian yang hitam, pekerja bukan musiman. Si kembar yang kehilangan kembarannya. Ada sesuatu tentang Ralph yang membuatku dipenuhi kesedihan. Rasa sakit yang terlihat dari caranya duduk di atas dahan pohon itu. Tapi tak sepenuhnya bisa dimengerti. Selain itu juga ada sesuatu yang tak bisa dipahami. “Hei, Drinkwater,” teriak Leo. “Ayo, terjun! Ayo, kau bangsat penakut. Loncat!” Aku melihat tubuh Penny Ann jatuh dari lereng ke bawah air terjun. “Diam!” aku berteriak dan memukul mulut Leo. “Hei! Kenapa kau melakukan itu, Sialan?” “Menutup mulutmu, kau berengsek,” aku mencengkeram pergelangan Leo saat kepalannya melayang untuk membalasku. Kami berdua bergelut, tenggelam. Aku akan merobek mulutnya. Membuat giginya berdarah. Aku mengunci lengan Leo dari belakang. “Adiknya mati di sini, kau idiot,” bisikku ke telinganya. “Pembunuh itu melempar tubuhnya di” “Adik siapa? Kau ngomong apa, sih?1 Kami berdua berhenti. Melihat ke atas. Ralph berdiri di atas dahan pohon itu sekarang. Menggoyang-goyangkannya. Untuk beberapa detik, aku kira kami akan menjadi saksi tindakan bunuh dirinya. Lalu dia kembali ke arah pohon, turun dahan demi dahan ke bawah. Menuju ke tanah, ke pinggir. Dia jongkok, lalu merangkak melewati lubang pagar dan kembali ke hutan. Aku berenang sejauh mungkin dari Leo. Sebab kalau tidak, aku pasti sudah memukulnya. Mematahkan giginya. Menghancurkan wajahnya. Saat Leo dan aku sudah berpakaian, kembali ke truk, dan membangunkan Dell, Drinkwater masih belum muncul. “Persetan si berengsek itu,” kata Dell. “Sudah waktunya pergi. Aku tak akan menunggu selamanya.” Dia memasukkan gigi dan menginjak gas. Membawa kami keluar dari pemakaman. Selama perjalanan kembali ke kota, Leo maupun aku tak bicara. “Hei Dominick, aku kan, sudah menyesal!” dia akhirnya berkata saat truk masuk ke halaman Dinas Pekerjaan Umum. “Ibuku dan aku bahkan belum tinggal di sini hingga tahun 1963, oke? Jadi, tembak saja aku. Aku bahkan tak tahu dia punya adik!” Pada malam yang sama, Thomas mulai menguliahiku tentang akibat buruk merokok mariyuana. Kami berbaring dalam gelap, di kamar, sama-sama tak bisa tidur. Malam hari tetap saja panas dan lembap. Udara panas menggantung di udara, menekanku. Malam itu aku berencana untuk pergi ke rumah Dessa, tapi tadi dia menelepon dan bilang harus pergi kerjamenggantikan pelayan lain. “Kalau kau tidak keras kepala dan berhenti saja dari pekerjaan bodoh itu, hal seperti ini tak akan terjadi,” aku marah padanya. Dia langsung membalasku. Mengapa tidak aku saja yang berhenti dari pekerjaan bodohku? Sehingga aku bisa menyediakan diri untuknya kapan saja dia mau?” “Karena aku bukan gadis kecil ayah, itu sebabnya. Karena kalau aku mau kembali ke sekolah bulan depan dan tidak pergi ke Vietnam, aku harus bekerja banting tulang lima hari seminggu untuk membayarnya. Oke, Tuan Putri?”
Dessa langsung menutup telepon. Tidak menjawab saat aku meneleponnya kembali. Di antara yang tadi terjadi di The Falls hari itu dengan Ralph dan Leo, dan pertengkaranku dengan Dessa, aku tak mau menerima omelan Thomas. “Itu tidak benar, Dominick,” kata Thomas dari ranjang bawah. “Kalian dibayar untuk bekerja, bukan mengisap benda itu.” “Kota ini mendapatkan imbalan lebih saat kami bekerja fly daripada kau yang bekerja biasa,” kataku. “Jauh lebih banyak.” “Masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah benda itu mengubahmu menjadi orang yang berbeda. Selain itu, kau melanggar hukum. Bagaimana kalau Dell mengetahui apa yang kalian lakukan?” Aku melongokkan kepalaku ke ranjang bawah dan menertawakannya. “Bagaimana kalau Dell tahu? Dell, yang selalu mabuk saat kerja sehingga dia harus tidur untuk menghilangkannya? Dia akan mengadukan kami?” “Kalau begitu, bagaimana jika Lou Clukey mengetahui apa yang terjadi? Aku tak mau bilang ini padamu, Dominick, tapi kalian bau sekali setelah merokok benda itu. Dan mata kalian kosongterutama matamu. Aku per-nah melihat orang-orang dari kelompok kerja lain memandangi kalian bertiga saat kembali ke kota. Bagaimana kalau Lou Clukey tahu dan memanggil polisi? Itu akan membuat Ma bahagia, bukan? Membaca namamu dalam laporan penahanan? Kau pikir apa yang akan dilakukan Ray padamu?” Aku bilang padanya kalau dia cuma paranoid bahwa tak seorang pun yang memandangi kami. “Oh yeah, benar,” katanya. “Dengar, semua orang di negara ini mabuk dan menghancurkan diri sendiri kecuali santa-santa kecil seperti kamu,” kataku. “Kami melakukan pekerjaan kami. Itu bukan masalah besar.” “Baik, kalau begitu. Bilang itu ke Lou Clukey.” “Persetan Lou Clukey! Aku tak takut padanya. Dan aku juga tak takut pada Ray.” Aku memejamkan mataku dan berguling menghadap dinding. “Dan persetan kau juga. Kalau aku ingin orang menyadarkan nuraniku, aku akan menelepon Jiminy Cricket. Oke, Thomas?” “Oke,” katanya. “Baik. Maafkan aku karena mengkhawatirkan adikku sendiri.” Aku berguling dan melongokkan kepala ke bawah. “Dengar, tak seorang pun selain aku yang harus mengkhawatirkan diriku,” kataku padanya. “Kau paham? Aku sudah menjaga diriku sendiri selama hidupku. Kaulah yang justru harus dikhawatirkan semua orang. Bukan aku. Ingat? Kaulah yang bermasalah.” Aku langsung menyesal begitu aku mengatakan itu. Aku ingat saat dia di kamar asrama, mondar-mandir dan gemetar di depan mesin tik yang hancur …. Melihatnya menangis di meja dapur saat Ray memarahinya tentang nilainya. Melihatnya merengut di tempat kerja karena aku tak mau lagi dekat dengannya. Thomas bilang dia ingin tahu apa maksudku. “Apa?” “Yang baru kau bilang tadi. Bahwa aku bermasalah. Bahwa semua orang harus mengkhawatirkanku.”
“Itu hanya berarti … itu berarti kau harus mengurusi hidupmu sendiri yang berantakan daripada mencampuri hidupku …. Dengar, cobalah merokok mariyuana sekali dua kali. Itu tak masalah. Demi Tuhan, bergabunglah dengan ras manusia.” Tak seorang pun dari kami yang bicara selama beberapa menit. Thomaslah yang bicara terlebih dulu. “Bolehkan aku tanya sesuatu?” katanya. “Kalau itu tentang mariyuana, tidak. Topik itu sudah ditutup.” “Bukan tentang itu, kok. Ini tentang kau dan pacarmu.” Aku berguling telentang. Memandang ke langit-langit. “Ada apa dengan kami?” “Apakah kau dan dia … pergi tidur bersama?” “Kenapa? Sekarang kau mau menguliahiku tentang seks sebelum nikah?” “Tidak. Aku cuma ingin tahu.” “Apa yang kulakukan bersama Dessa bukan urusanmu … ingin tahu tentang apa?” Thomas diam dan membuatku menunggu selama beberapa saat.” Tentang bagaimana rasanya,” katanya. “Kau tahu bagaimana rasanya. Jangan bilang kalau kau tak pernah mimpi basah atau …. Kau tak sesuci itu, bukan?” “Yang kumaksudkan bukan itu,” katanya. “Maksudku, bagaimana rasanya berada dalam tubuh seorang gadis.” Kamar menjadi sunyi selama beberapa saat. Lalu aku mengejutkan diriku sendiri. “Rasanya enak,” kataku. “Benar-benar enak. Seperti … hubungan pribadi yang kau bagi dengan orang lain.” Besok pagi, aku akan menelepon Dessa dan meminta maaf. Mungkin mengiriminya bunga, membelikannya kartu ucapan yang romantis. Atau mungkin aku akan ke DialTone dan menunggunya selesai kerja. “Seperti … seperti kau adalah magnet. Tubuhmu dan tubuhnya.” Aku berbaring di ranjang, dalam kegelapan di atas kakakku. Memikirkan Dessa. Mendambakannya. “Dia juga menginginkannya,” kataku. “Ini seperti … seperti ….” Tiba-tiba aku sadar oleh intrusi yang dilakukan Thomas: kakakku sekali lagi mencoba masuk ke daerah pribadiku. Thomas menginginkan sepotong iagi kehidupanku dan bukannya pergi keluar dan mendapatkannya sendiri. “Seperti apa?” katanya. “Bukan seperti apa-apa. Seperti bukan urusanmu. Kalau kau ingin tahu bagaimana rasanya, cari saja cewek sendiri dan tiduri dia. Dan merokoklah ganja dulu. Itu akan membuatnya terasa lebih baik. Sekarang, tutup mulut dan tidurlah!” Aku tengkurap. Mengeluh. Diriku tenang kembali. Beberapa menit sunyi. “Dominick?” kata Thomas lagi. “Kau masih bangun?” Aku mendiamkannya selama beberapa saat. Semenit atau lebih. “Kau mau apa?” tanyaku. “Tentang kau merokok mariyuana? Aku cuma khawatir, itu saja. Aku cuma tak ingin hal buruk terjadi padamu. Karena kau adikku dan aku menyayangimu. Oke?”
Aku tak menjawabnyabahkan tak tahu bagaimana menjawabnya. Pernyataan kasih sayangnya yang tiba-tiba mengejutkanku. Membuatku malu. Aku bisa bergaul dengan siapa saja yang kuinginkan musim panas itu, naik sepeda dan berkencan dengan Dessa tujuh malam seminggu, tapi aku tak akan pernah bisa mengusir Thomas dari hidupku …. Thomas tertidur lama sebelum aku menjawabnya, yang akhirnya kulakukan, menjawab keras-keras setengah pada diriku sendiri. Di kegelapan, di sela dengkurannya. “Aku juga mencintaimu,” kataku. “Kau tahu apa yang mengesaikanku saat aku mengingat percakapan itu? Percakapan yang kami lakukan dalam gelap, dia dan aku? Yang mengesaikanku adalah bahwa saat itu dia masih ada.” “Masih ada bagaimana?” “Masih bisa … masih bisa peduli pada orang lain selain dirinya sendiri. Kurasa saat itu penyakitnya pasti mulai menyerang otaknya. Itu pasti yang kemudian jadi pemicu masalah dengan mesin tik kami. Benar kan? …. Tapi masih ada seseorang dalam kepala Thomas saat itu. Dan aku menyia-nyiakannya. Membuang minggu-minggu terakhir yang dia punya. Penyesalan, iya kan? Dua puluhdua puluh … tapi yang ingin kulakukan musim panas itu hanyalah memisahkan diri darinya. Menjadi bagian dari anak-anak lainmenjadi salah satu dari Three Dumb Fucks di belakang truk. Menjadi pacar Dessa. Aku sudah muak dengan ….” “Lalu? Setelah penyakit mengalahkannya, dia kehilangan kemampuan peduli pada orang lain. Mengkhawatirkan orang lain kecuali dirinya sendiri. Musuh-musuhnya …. Yah, dia memang kehilangan itu, tapi bisa juga tidak. Maksudku, dia selalu mencoba menyelamatkan dunia, benar? Menyelamatkan peradaban dari mata-mata dan Komunis juga semua omong kosong itu. Dengan caranya yang aneh, dia masih peduli pada orang lain, kurasa. Tapi dia kehilangan kemampuan peduli pada … yah, padaku, kurasa. Dia hanya … suara-suara halusinasi itu. Mereka menenggelamkan hal-hal lain di kepala Thomas. “Aku ingat pada pagi hari pernikahanku. Pernikahanku dengan Dessa. Aku bersiapsiap dan pergi ke rumah sakit dalam setelan lengkapaku dan Leo. Saat itu kondisi Thomas sangat buruk; dia tak bisa pergi ke pernikahan. Jadi Leo mengantarku ke sana. Menunggu di mobil sementara aku masuk sendiri. Memakai tuksedo. Dan aku bilang padanya, kataku, ‘Kau tahu, Thomas, kalau situasinya tak seperti ini, kalau kau tak sesakit ini, kau pasti menjadi pendampingku.’” “Bagaimana reaksinya?” “Oh, aku tak tahu. Tak banyak. Dia seakan-akan tak nyambungtak sadar karena pengaruh obatnya waktu itu. Librium mungkin. Aku iupa … aku punya catatan tentang semua itusejarah pengobatannya dan semacamnya. Kau harusnya iihat file yang aku punya tentang dia. Satu lemari kabinet penuh. Ibuku dan aku mulai menyimpannya bersama, dan setelah dia meninggal, aku berusaha meneruskannya. Menyimpan catatannya …. “Aku ingat pagi ketika aku pergi ke Settle untuk mengatakan padanya bahwa Ma meninggal. Aku dan Ray yang pergi, tapi Ray tak lama tinggal di rumah sakit. Dan Thomasaku tak tahu bagaimana dia akan bereaksi. Tapi dia … apa ya? Sangat filosofis tentangnya, kurasa. Maksudku, dia mengerti. Dia mengerti kalau Ma meninggal. Masalahnya … kau tahu apa yang dilakukannya? Dia menunjukkan padaku buku bodohnya tentang Kehidupan Para Martir. Membandingkan kematian Ma dengan … berkata seakan-akan Ma ada/ah santa bodoh yang hidup lima ratus tahun lalu dan disiksa oleh Paus Siapa atau semacamnya. Seperti Ma adalah seseorang dari buku santanya yang bodoh.” “Kau mau tisu, Dominick? Ada di sini. Ambil sendiri.”
“Aku baik-baik saja …. Kau tahu kapan aku pernah mendapat perhatiannya? Malam ketika aku pergi ke sana setelah Angela lahir. Aku pergi ke sana dan memberikan rokok untuk memperingati kelahiran putriku. Mengatakan padanya bahwa dia sudah jadi paman. Aku ingat dia menyukainya. Paman Thomas. Senyum lebar di wajahnya … dia, uh … dia bahkan tak pernah bertemu dengannya. Putriku. Kami belum sempat membawanya ke sana. Maksudku, tiga minggu. Akhir pekan itu kami berencana menjenguknya. Pergi ke rumah sakit dan menunjukkan Angela pada Thomas. Tapi, putriku meninggal. “Sebenarnya, aku tak bisa menerimanya, kau tahu? Kehilangan Thomasbetapa sakitnya akhirnya melakukan apa yang sudah berusaha kulakukan sepanjang hidupku: memisahkan kami berdua. Membuat kami seperti bukan kembar lagi. Tapi aku akan jujur padamu. Ada saat-saat ketika aku merindukannya kembali. Saat-saat aku sangat membutuhkannya.” “Ini. Ambil tisu ini.” “Malam itu ketika bayi kami meninggal? Lalu sekitar setahun kemudian: ketika aku tenggelam sampai dasar. Saat … Dessa bilang padaku, ‘Aku harus bernapas, Dominick. Kau mengisap oksigen dari ruangan sehingga membuatku tak bisa bernapas.’ Bayangkan kalau kau mendengar itu dari seseorang yang kau cintai. Seseorang yang kau butuhkan lebih dari …. Yah, pokoknya, aku cuma, … aku ingin menurunkan penjagaan diriku untuk sekali saja, pertahananku, dan membagi….” “Membagi apa, Dominick?” “Cinta kakakku. Aku hanya ingin bilang padanya, ‘Aku sangat ketakutan, Thomas.’ Dan memeluknya. Bergantung pada kakakku. Karena, kau tahu, dia kakakku, bukan? Hanya saja, saat itu, dia bukan Thomas lagi. Saat itu dia sudah menjadi pria gendut dengan potongan rambut rumah sakit dan celana dan kaus abuabu. Anak magang Yesus. Pria yang dikejar FBI, KGB, dan alien. “Kau tahu, apa yang lucu? Kalau aku melihat kembali … aku mengingat kembali musim panas ketika kami berempat memotong rumput dan main graveball. Bermain tarik tambang. Dan aku berpikir …. Aku berpikir bahwa taii itu bisa menarik siapa pun … Ralph, Leo, dan terutama aku. “Mengapa penyakit itu menariknya dan bukan aku? Kembaran identiknya. Setengah dirinya. Itulah yang tak bisa kumengerti hingga sekarang. Mengapa Thomas, dan bukan aku?” Dua Puluh 1969 Ray terus memarahi kakakku tentang sekolah hingga pertengahan Agustus, lalu suatu malam saat makan malam, dia mengumumkan akan memberi Thomas satu kesempatan lagi. Dia memberikan cek senilai dua ribu dolar untuk biaya sekolah Thomas dan aku, yang harus dibayar minggu itu, pada ibuku. “Tuhan memberkatimu, Ray,” kata Ma yang langsung meneteskan air mata. Ray suka itu: menjadi Sang Pahlawan. Sang Penyelamat. Thomas berkata bahwa Ray tak akan menyesalinya, demi Tuhan. Dia telah kapok. Mulai sekarang, dia akan melakukan semua tugasnya dan pergi tidur lebih awal. Dia akan keluar kamar dan berjalan-jalan kalau merasa gugup. Dia akan pergi ke perpustakaan dan belajar denganku. Di tengah-tengah semua tekad yang diucapkan Thomas itu, aku diam-diam berjanji pada diriku sendiri: Thomas akan berhasil atau gagal tanpa bantuanku. Aku tak akan menggandengnya atau mengantarnya ke perpustakaan atau melindunginya kalau nanti dia melampiaskan frustrasinya lagi ke
mesin tik kami. Aku juga tak akan tinggal dengannya. Tiga minggu sebelumnya, Leo dan aku diamdiam pergi ke kantor asrama universitas dan menanyakan tentang kemungkinan kami bisa sekamar di South Campus. Sekarang, mereka telah memberi tahu kami bahwa perubahan itu sudah dilakukan. Selain itu, aku berencana untuk pergi ke Boston College setiap akhir pekan untuk menghabiskan waktu bersama Dessasupaya aku tidak kehilangan hal terbaik yang terjadi sepanjang hidupku. Masalahnya adalah kendaraan. Kalau aku ingin bertemu dengan pacarku, aku tak mungkin mengayuh sepedaku ke Massachusetts Turnpike. Menumpang memang murah, tapi tak bisa diandalkan. Juga bisa agak menakutkan. Aku sudah mengalami serangkaian pengalaman buruk saat menumpang: seorang pria yang bilang dia punya bahan peledak di bagasinya, seorang sopir yang istri gilanya mengira kepalaku terbakar. Banyak orang gila di luar sana yang mau berhenti dan memberimu tumpangan. Aku butuh mobil. Aku berhasil menabung sekitar seribu seratus dolar selama musim panas. Ray dan aku punya perjanjian bahwa aku akan menambah lima ratus dolar pada pinjaman yang dia berikan padaku untuk menutupi biaya kuliah. Aku berencana menggunakan sebagian besar sisa tabunganku untuk membeli mobil bekas dan asuransi. Sisanya untuk biaya hidup nanti. Tapi sekarang, ada pikiran yang tak mau hilang dari kepalaku: membelikan cincin berlian untuk Dessa sebagai hadiah Natal. Memangnya mengapa kalau aku baru sembilan belas tahun? Aku sudah dua puluh tahun Natal nanti. Apa lagi yang kubutuhkan untuk meyakinkan diriku bahwa Dessa adalah orangnya? Bahwa aku adalah orang yang tepat untuknya? Dessa bilang sendiri: aku adalah satu-satunya pria yang membuatnya merasa aman. Dalam fantasiku aku menghajar dua orang berengsek yang pernah jadi pacarnyamemukuli mereka habis-habisan karena telah melukai Dessa. Dari yang aku tahu, musisi mantan Dessa masih tinggal di Boston; dia dengan mudah bisa kembali masuk ke dalam hidup Dessa. Atau Dessa mungkin bertemu dengan orang barupria tak berwajah yang bahkan tak bisa kubayangkan dalam lamunanku. Aku berpikir, kalau aku bisa membeli mobil bekas seharga dua ratus dolar dan mendapat pekerjaan paruh waktu begitu nanti masuk kuliah, maka aku bisa menabung untuk dana cincin pertunangan. Bukan berarti aku bisa membelikan bongkahan berlian seperti yang dipakai ibunya. Tak mungkin bahkan dalam sejuta tahun pun. Tetapi meskipun keluarga Constantine kaya, Dessa tak pernah peduli tentang materi. Sejak keluarganya kembali dari Yunani, dia dan ayahnya bertengkar tentang beberapa hal. Satu hal adalah tentang ayahnya yang terlalu mementingkan uang. Hal lain tentang aku. Keluarga Constantine pernah sengaja mengundangku untuk inspeksi seminggu setelah mereka kembali dari Eropa. Rasanya aneh mengenakan jas dan dasi, berjalan dengan sopan melewati ruangan yang sama tempat aku dan Dessa pernah berlarian tanpa busana. Makan malam adalah yang terburuk: kami berlima makan di meja makan mereka yang bergaya. Ibu Dessa terus bertanya setiap kali mulutku sedang penuh. Aku menumpahkan kuah kambing di taplak meja makan yang baru mereka beli dari perjalanan. Lalu adik Dessa, Angie, bilang padaku di depan semua orang bahwa aku punya ‘badan bagus’. Dia nyeietuk begitu saja. Bukan berarti Angie masih kecil. Tujuh belas tahun sudah cukup umur untuk mengetahui apa yang pantas diucapkan. Cukup tua untuk tahu bagaimana merusakkan acara kakaknya. Angie ahli dalam hal itu. Tetapi, hal yang terburuk dari makan malam itu adalah ayah Dessa. Setiap kali aku memandangnya, dia tengah menatapkuhanya mengunyah dan memandang, menelan dan memandang. Aku setengah mengira dia akan mematikan lampu dan mulai memutar rekaman kamera tersembunyimemutar bukti bahwa aku telah meniduri anaknya di semua ruangan di rumahnya yang mewah.
Kali kedua aku melihat Diogenes Constantine adalah di Constantine Dodge & Chrysler Motors. Aku sudah mencoba untuk tidak pergi ke sanasudah bilang pada Dessa kalau ini gagasan buruktapi dia memaksa. “Dominick, mereka punya mobil bekas di lapangan parkir seluas dua ekar. Aku yakin Daddy akan membantumu.” Setiba kami di sana, ayah Dessa menyambut kami dengan dingin di kantornya lalu menyerahkan kami pada George, keponakannya yang terlihat seperti burung pemakan bangkai salah satu sepupu Dessa yang dulu ikut bergabung di bisnis ini. George terus-menerus mengarahkanku pada model mobil seharga seribuan dolar dan memutar matanya pada setiap mobil yang kutanyakan. “Aku tak akan menjuaf mobil jebakan kematian itu padamu,” katanya saat aku bertanya tentang mobil Fairlane yang hanya sekitar seratus lima puluh dolar melebihi bujetku. “Aku tak akan bisa tidur nyenyak mengetahui sepupuku ke mana-mana naik benda itu.” Kami mengakhiri kunjungan tanpa membeli. Di tempat kerja, aku memasang iklan di papan pengumuman bahwa aku mencari mobil bekas seharga dua ratusan dolar. Itu sungguh tindakan putus asa. Aku sudah pergi ke setiap diler dan tempat pembuangan di sekitar Three Rivers. Aku bahkan mengingat semua iklan mobil bekas. Tanpa hasil. Aku juga belum mengatakan pada Thomas bahwa dia dan aku tidak akan sekamar lagi. Tak lama lagi, kami akan berhenti dari kerja musim panas dan kembali kuliah. Thomas berhak untuk tahu. Harus tahu. Cuma aku belum bisa mengatakannya. Suatu pagi, saat aku masih juga menunda pemberitahuan itu, Thomas dan aku berangkat kerja bersama. Saat itu cuaca sudah sangat panas kelembapan sangat tinggi, dan suhu hampir mencapai sembilan puluh derajat. Udara tak bergerak. Oke, kataku dalam hati, inilah saatnya. Kalau sampai di Stanley’s Market aku akan mengatakannya. Berhenti membuat seakan-akan ini masalah besar. Tapi ketika kami melewati Stanley’s Market, kakakku terlebih dulu bicara, bukan aku. “Dominick, maukah kau menolongku?” katanya. “Apa?” “Bisakah kau bicara pada Dell? Minta dia untuk berhenti memanggilku Dicklessl” Sepanjang musim panas itu, aku berusaha netral terhadap Dell, hanya melakukan pekerjaanku, tutup mulut, dan menjadi si kembar Birdsey yang lebih dia sukai. “Dengar, kau sudah menahan omong kosongnya sepanjang musim panas ini,” kataku pada Thomas. “Kurang dua minggu lagi dan Dell Weeks hanya akan tinggal sejarah. Abaikan saja dia.” “Aku muak mengabaikan dia,” Thomas merengut. “Bagaimana perasaanmu kalau kau yang dipanggil Dickiess?” “Kalau begitu, kau bilang saja pada si berengsek itu,” kataku. “Pertahankan dirimu sendiri sekali-kali. Itulah maksudnya.” “Oke, baiklah, Dominick. Terima kasih karena tak mau menolongku.” “Sama-sama,” kataku. “Tak masalah.” Kami berdua diam sepanjang sisa perjalanan. Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang dari berbagai kelompok kerja untuk mengobrol sementara Clukey dan para mandor mendiskusikan pekerjaan hari itu. Ralph dan aku sedang berdebat dengan sekelompok orang lain tentang apakah Tom Seaver dan Koosman bisa membawa Mets ke Series ketika Dell bersuit dan
melambaikan tangan menyuruhku mendekat. “Hei, Lassie, cepat lari,” goda seseorang. “Dipanggil Timmy, tuh.” Semua orang tertawa. “Hei, dengar, aku tak suka disiuli,” kataku pada Dell sembari mendekatinya. “Kalau kau mau memanggilku, pakai saja namaku.” Mengabaikan protesku, Dell mengetukkan jarinya pada papan pengumumaniklanku tentang mobil. “Aku baru lihat ini,” katanya. “Kau masih mencari?” “Yeah, aku masih mencari. Aku sudah mencari ke mana-mana.” Dell bilang dia punya Valiant tahun ‘62 terparkir di halaman belakangnya yang mungkin akan dia jual. Mobil itu dulu milik istrinya. Mobil itu tak dipakai. “Apa masalahnya?” kataku. Dell mengangkat bahu. “Baterainya mungkin sudah mati sekarang. Body-nya sedikit karatan. Tapi mesinnya masih baik. Mobil itu baru jalan sekitar enam puluh mil. Kau modali sedikit, maka kau akan punya mobil bagus.” “Berapa harga yang kau minta?” kataku. Dia mengangkat bahu lagi. “Harus sedikit lebih dari dua ratus dolar. Bagaimana kalau kau datang saja akhir pekan ini dan melihatnya. Aku tinggal di Bickel Road, setelah pemintalan wol. Kita bisa bicara masalah harga nanti kalau kau tertarik.” “Baiklah,” kataku. “Terima kasih.” “Tapi telepon dulu. Aku mungkin saja di rumah atau mungkin juga keluar. Nomorku ada di buku telepon.” Hari itu kami memotong semak di bendungannyamuk, kutu kayu, dan lalat mengerubungi kami. Lou Clukey dan krunya berada di sana memotong dahan-dahan pohon, jadi kami semua bekerja keras, bahkan juga Dell. Serangga, panas, dan suara gergaji yang mendengung membuat semua orang terganggu. Clukey dan krunya pergi sebelum tengah hari, meninggalkan kami untuk menyelesaikan pekerjaan. Kami berlima duduk di meja piknik, melahap makan siang, ketika Dell melihat ke Thomas. “Pergilah ke truk dan ambilkan rokokku, ya, Dickies s?” katanya. Thomas memandangku lalu memandang Dell. “Pergilah sendiri ke neraka,” katanya. Senyum muncul di wajah Dell. Dia meminta Thomas untuk mengulangi apa yang baru saja dia katakan. “Kau sebaiknya jangan memanggilku begitu lagi,” kata Thomas. Dell meletakkan sandwich-nya. Bertopang dagu dan memandang kakakku seakan-akan dia adalah hal yang paling menarik di dunia. “Memanggilmu apa?” “Kau tahu. Dan aku serius. Aku peringatkan kamu.” Saat aku menyarankan pada Thomas pagi tadi agar dia mempertahankan dirinya sendiri, aku tidak bermaksud agar dia membuat pertengkaran di depan umum. Maksudku agar dia mengatakan pada Dell secara pribadidi truk atau di mana saja. Tetapi itulah masalahnya dengan Thomas: kau berasumsi bahwa dia punya insting tentang bagaimana berhadapan dengan orang lalu dia membuktikan bahwa kau salah. Menunjukkan padamu betapa dia benar-benar tak tahu bagaimana harus bertindak. Pertengkaran terbuka di depan kru yang lain jelas adalah cara yang salah menghadapi Dell Weeks.
“Kau memberi aku peringatan?” Dell tertawa. Thomas berdiri. Berdiri diam, matanya berkedip-kedip. “Dia tidak memperingatkanmu,” kataku. “Dia memintamu.” Dell mengangkat satu tangannya menyuruhku diam. “Apa kau bilang tadi kau memperingatkan aku, Dickless? Kau memperingatkan aku apa?” Thomas mencebil. Bibir bawahnya bergetar. Bertahan! Thomas! Bertahan! “Hentikan saja, Dell,” kata Drinkwater. “Terlalu panas untuk omong kosong ini.” Dell berdiri. Dia mengempiskan perut, menaikkan celananya dan berjalan ke meja piknik tempat kakakku duduk. Dengan tinggi enam kaki dua inci atau tiga inci, Dell lebih tinggi daripada Thomas sekitar empat inci dan lebih berat sekitar empat puluh hingga lima puluh pon. “Aku menunggu, Dickless,” katanya. “Kau memperingatkanku apa?” Wajah Thomas memerah. Bingung. Sedangkan kami duduk terpaku, melongo. “Kau mau menantangku? Begitu? Kau berani ‘berkelahi’ melawan mandormu?” Dell mengulurkan tangan dan mendorong Thomas sehingga dia mundur selangkah. Aku merasakan tubuhku menegang. Thomas memandangku, lalu ke Leo dan Ralph, lalu kembali ke Dell. “Tidak, aku tidak akan ‘berkelahi’ melawanmu,” katanya. “Tapi kalau kau tak mau berhenti, aku akan bilang ke Lou Clukey. Aku akan bilang ke Lou kalau kau menggangguku.” Dell memandang ke arah kami, menyeringai. “Yah, katakan saja apa yang harus kau katakan padanya, Mr. Dickless Dicky Bird. Menangislah ke Paman Lou dan katakan padanya kalau Serigala Jahat mengganggumu dan kau tak punya keberanian untuk melawannya sendiri.” Dell mengulurkan tangan dan mendorong dada Thomas dengan buku-buku jarinya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. “Tentu saja, Paman Lou mungkin punya banyak pikiran. Seperti masalah pemasangan trotoar di Broad Street minggu depan. Atau pekerjaan paving di Nestor Avenue. Tapi aku yakin kalau Paman Lou akan menghentikan apa pun yang dia kerjakan untuk datang ke sini dan memukul pantatmu karena menjuluki si bocah kecil manis ini dengan nama jelek.” “Kenapa kau tak mau berhenti?” celetuk Thomas. “Itu saja yang kuminta! Berhenti memanggilku dengan nama itu!” Tubuhnya bergetar hebat. Dell melangkah mendekatsekitar dua inci dari wajah Thomas. Dia mengulurkan tangan dan mulai meremas bahu Thomas. “Begini saja,” kata Dell. “Aku akan buat perjanjian denganmu, di sini dan sekarang. Kau turunkan celanamu dan tunjukkan padaku dan para saksi di sini bahwa kau punya peralatan yang sesuai, dan kurasa aku akan mencarikan nama baru untukmu.” “Yesus H. Kristus,” gumam Ralph. Tangan Dell bergerak dari bahu kakakku ke tengkuknya. Thomas tersentak. “Bagaimana menurutmu, Dickless?” Thomas menelan ludah. Tak berkata apa pun. “Tak ada perjanjian, Dickless? Yah, seperti yang kuduga. Kau tak punya peralatan yang tepat untuk berani berurusan denganku. Aku menutup kasus ini.”
Dell memandang ke arah Leo dan aku, senyumnya memudar. Dia tampak lebih menyedihkan daripada penuh kemenangan. Dia menyuruh kami untuk mengeluarkan sabit dari truk dan mulai memotong alang-alang. Setelah selesai, katanya, kami bisa mengisi bejana air di mata air. Kami boleh berlama-lama, berenang di bendungan kalau kami mau. Kami boleh santai. Suara sedu sedan Thomaslah yang membuat kami semua berpaling padanya. Tangannya menarik gesper ikat pinggangnya, mencoba membuka kancing jinnya. “Jangan!” teriakku. Thomas menarik celana dan celana dalamnya hingga ke lutut, dan berdiri di sana, tersedu-sedu, telanjang. “Kau senang SEKARANG?” teriaknya pada Dell. “SEKARANG maukah kau tutup mulut dan meninggalkanku sendiri?” Ralph dan Leo memalingkan muka. Dell berdiri saja di sana, tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Menyedihkan,” katanya. “Benar-benar menyedihkan.” Aku terburu-buru mendekati kakakku, menutupinya. Rasa malunya menjadi rasa maluku. “Pakai celana sialanmu lagi!” teriakku padanya. “Kamu ini kenapa, sih?” Ralph adalah satu-satunya orang yang masih duduk di meja piknik. Membungkuk rendah, dia terus makan, mengunyah dengan marah, menggumamkan sesuatu yang tak bisa kudengar. “Ayo, Ralph,” kata Dell. “Makan siang sudah selesai.” “Persetan kamu. Kau bilang makan siang sudah selesai!” tukas Drinkwater padanya. “Kita masih punya enam menit. Jangan bilang padaku makan siang sudah selesai kalau belum selesai.” Tangan Ralph menyapu meja, kotak makan siang dan termos berjatuhan. Dell berdiri di sana, melotot pada Ralph. Lalu tanpa mengatakan apa pun, dia berjalan ke meja piknik, membungkuk, dan mengangkat Ralphmengangkatnya miring, ke atas dan membaliknya. Ralph jatuh terjengkang di tanah, kakinya masih tergantung pada bangku tempatnya tadi duduk. Dell berjongkok di sampingnya. “Sekarang, kecuali jika aku mati dan mereka mengangkat-mu sebagai mandor,” katanya, “kau harus segera kembali bekerja atau aku akan memecatmu dari kru ini lebih cepat sebelum kami sempat menghitung sampai sepuluh. Ngomong-ngomong, aku punya pekerjaan khusus untuk pria-pria tangguh sepertimu dan Dicky Bird di sana. Aku punya tugas khusus buat kalian berdua.” Dell menempatkan Drinkwater dan kakakku di bagian bendungan yang paling kotor dan penuh seranggaarea yang menurut Lou Clukey tak usah dikerjakan. Aku hampir bicara. Mulutku terbuka dan menutup beberapa kali, tapi tak ada yang keluar. Kekejaman Dell terasa seperti kekejaman Ray dan ketakutan yang sama merasukiku, di perutku, di lenganku, dan di kakiku. Melumpuhkanku. Jadi bukannya bicara, aku malah mengambil sabit dan pergi ke tempat alang-alang seperti dia perintahkan dan mulai mengayun. Setiap helai alang-alang yang kupotong siang itu adalah tenggorokan Dell. Tenggorokan Ray. Setiap ayunan sabitku membunuh mereka berdua. Pada sore hari, Drinkwater dan Thomas naik ke bak belakang truk bersama Leo dan aku. Mereka berdua berlumuran lumpur, tergores-gores dan penuh bekas gigitan serangga. Tak seorang pun bicara selama bermil-mil. Lalu, tiba-tiba sepatu bot Ralph menghantam bagian belakang truk dengan sangat keras, sehingga selama sedetik aku mengira truk menabrak sesuatu. Dell
memandang lewat kaca spion untuk melihat apa yang terjadi. “Benar, kau bangsat, kau sebaiknya berhati-hati,” kata Ralph, melotot marah pada bayangan Dell di spion. “Kau sebaiknya berhati-hati padaku mulai sekarang.” Ketika kami kembali ke pangkalan sore itu, bukannya langsung masuk ke garasi seperti biasanya, Dell berhenti dulu di pinggir jalan, mematikan mesin dan berjalan ke bak belakang. “Aku punya satu hal untuk dikatakan tentang apa yang terjadi di sana saat makan siang tadi,” katanya pada kami. “Aku akan bilang sekali saja pada kalian semua sehingga tak ada yang salah mengerti. Apa yang terjadi di kru kita tetap menjadi rahasia kita. Mengerti? Itu bukan urusan siapa pun selain kita.” Matanya bergerak-gerak gugup dari Leo ke Ralph ke kakakku, lalu berhenti padaku. “Oh yeah?” kataku. “Ya. Apa yang kita lakukan adalah urusan kita. Bukan urusan Clukey. Juga bukan urusan orang dari kru lain. Kruku dan aku saling melindungi.” Dia menggerakkan dagunya ke arah kakakku. “Misalnya saja kelakuan dia tadi di sana. Melepaskan celana dan menangis seperti bayi. Mereka menyukai cerita seperti itu di sini. Tapi mereka tak akan mendengarnya.” “Kau yang menyuruhnya,” kataku mengingatkan. “Kau mendorong dia melakukan itu.” Dell melangkah selangkah ke arahku, melotot penuh kebencian sehingga aku melengos menghindari matanya. “Atau misalnya mariyuana yang kalian isap saat kerja sepanjang musim panas ini, Dicky Boy,” katanya. “Kalian sepanjang musim panas ini fly seperti layang-layang terbawa angin. Bersenang-senang dengan mariyuana. Kau kira aku tak tahu? Kalian kira bisa membodohi si tua Dell? Coba tebak? Kalian tak bisa. Dan kalau Clukey mengetahui kalian mengisap rokok itu, maka yang kau tahu, polisi dan ayah kalian akan datang ke sini. Tapi yang kita lakukan adalah urusan kita dan bukan urusan orang lain. Mengerti? Selama kalian mengerjakan pekerjaan kalian, aku tak lihat apa pun. Paham? Satu tangan mencuci tangan yang lain.” Kami berempat duduk, terpaku. Lalu Drinkwater melompat lewat sisi truk dan mulai berjalan pergi. “Hei, jagoan!” panggil Dell. Ralph tidak menjawab. Tak berbalik. “Bagaimana dengan kartu absenmu, pria hebat? Kau mau kehilangan upah kerja sehari?” Tanpa berpaling, Ralph mengangat lengannya, jari tengahnya mengacung tinggi ke udara. Kami berempat memandang langkahnya, dia menghilang di balik pagar tanaman. Dell kembali masuk truk dan menyalakan mesin. “Apa kau percaya si berengsek itu?” bisik Leo padaku. “Dia memata-matai kita.” Aku bilang padanya supaya tutup mulut. Thomas berhenti. Dia tidak membicarakannya dulu padaku atau memintaku menemaninya ke kantor Lou Clukey. Dell memasukkan truk ke garasi, mematikan mesin, dan Thomas langsung antre di depan kantor Lou Clukey. Dia di sana kurang dari tiga menit dan keluar lagi. Itu saja. Aku tak bisa berjalan pulang dengannyatak tahan mendengar keluhan dan rintihannya atau omongan ‘apa kubilang’nya tentang merokok mariyuana. Aku juga tak akan memaafkannya karena menghinakan dirinya sendiri di depan anggota kru lain. Jadi aku berjalan ke arah berlawanan, ke Boswell, menuju South Main, dan ke pusat kota. Aku akhirnya nongkrong di depan mesin pinball di Tepper’s Bus Stop. Aku tak mau berpikir. Aku cuma mau menghantam bola-bola perak kecil itu, menggebrak tombol, memegang kedua sisi mesin sialan itu, dan menggoyanggoyangkannya. Kurasa aku melakukannya sedikit terlalu keras. Karena Pak Tua
Tepper keluar dari belakang counter dan bertanya apa masalahku. Kenapa aku merasa berhak merusak properti orang lain? Apa masafah-ku? Memangnya apa masalah dia? Apa yang terjadi? Ketika aku sampai di rumah, Thomas sudah membuka surat dari universitas dan tahu bahwa teman sekamarnya untuk tahun akademik 1969-1970 adalah seorang mahasiswa pindahan dari Waterbury bernama Randall Deitz. “Bagus sekali,” erangnya, melambaikan surat itu di depan wajahku. “Inilah yang kuperlukan setelah hari ini. Seorang sekretaris bodoh berbuat kesalahan, dan sekarang kita harus kerja keras membereskannya!” Dia mondar-mandir di lantai dapur seperti yang dia lakukan di kamar asrama setahun lalutegang yang berlebihan. Ma ada di depan kompor, sedang memasak saus untuk makan malam. “Oke, tenanglah, Sayang,” katanya pada Thomas. “Mungkin ini bisa kau bereskan lewat telepon.” “Tak seorang pun tahu apa yang mereka lakukan di universitas bodoh itu! Kami mungkin harus melalui semua omong kosong ini hanya untuk memperbaiki kesalahan seseorang yang bodoh.” “Tak ada kesalahan,” kataku. “Pertama mereka akan bilang padamu untuk pergi ke kantor ini.1 Lalu waktu kau sampai di sana, mereka akan bilang, ‘Oh, tidak, maksudnya bukan kantor yang ini. Kau harus pergi ke kantor yang ini i’” “Tak ada kesalahan,” ulangku. Thomas dan Ma memandangku, menunggu berita besarnya. Tak bisa memandang mata kakakku, aku bicara pada Ma. “Aku tak akan sekamar lagi dengannya … aku akan sekamar dengan Leo.” Aku bisa merasakan, meski tak melihat, kepanikan yang mulai melanda kakakku. Dia terduduk di salah satu kursi dapur dan menyilangkan tangan di dada. Dia menjulurkan lehernya ke belakang sejauh mungkin dariku. “Kapan kau memutuskan ini, Dominick?” tanya Ma padaku. “Aku tak tahu. Beberapa waktu lalu. Kami pergi ke universitas dan mengajukan permintaan.” “Kami?” kata Thomas. “Kau dan Leo? Kalian berdua diam-diam pergi dan menikamku dari belakang?” “Itu bukan masalah besar,” kataku, masih memandang ke arah Ma. Aku melihat wajah Ma memucat. Ketakutan merayapi matanya. “Kau memintaku untuk sekamar dengannya pada tahun pertama dan aku menurut …. Aku sudah berniat mengatakannya. Cuma … cuma aku sangat sibuk.” “Jangan bilang padaku,” kata Ma. “Bilang ke kakakmu.” Aku berpaling ke Thomas. “Ini akan baik untukmu, Man. Kau akan bertemu dengan teman baru. Bagaimana kau tahu kalau orang baru inisiapa namanya? Randall? Bagaimana kau tahu dia bukan orang yang hebat? Dia mungkin akan menjadi teman sekamar yang jauh lebih baik daripada aku. Kita terlalu dekat, kau dan aku. Dan itu membuat kita saling terganggu.” Thomas duduk diam, merengut, tak berkata apa pun. Semenit dua menit sunyi. “Yah,” kata Ma, “kenapa kalian berdua tidak pergi saja ke atas dan membersihkan diri? Makan malam akan siap setengah jam lagi, segera setelah ayah kalian bangun. Thomas, kau mau pasta atau kacang? Kau yang pilih.”
Thomas tak menjawab. “Aku tak punya waktu untuk makan, Ma,” kataku. “Aku mau keluar.” “Kau mau pergi dengan siapa?” kata Thomas. “Dua sobatmu dari tempat kerja?” “Tidak,” kataku. “Aku mau pergi dengan pacarku. Apakah kau keberatan?” Aku merencanakan cara untuk menghindar saat aku bicara. Dessa malam itu kerja di DialTone. Shift-nya selesai pukul l.DD. Mungkin aku akan ke sana naik sepeda. Mengejutkannya. “Oh, maksudmu si Wanita Misterius?” kata Thomas. “Cewek yang kau terlalu malu untuk mempertemukannya dengan keluargamu?” “Aku tak malu mempertemukannya denganmu. Kau mau bertemu dengannya? Baik. Kau bisa bertemu dengannya.” “Oke, kapan?” “Aku tak tahu. Kapan-kapan.” Thomas tertawa sarkastik. Aku berdiri diam, memandangnya bermain-main dengan wadah garam dan mericamenuangkan tumpukan merica dan garam di meja. “Pengkhianat,” gumamnya. “Dengar, Dominick, kau harus makan sesuatu,” kata Ma. “Aku punya terong di lemari es dan masih ada daging gulung sisa kemarin. Bagaimana kalau aku menggorengkan sedikit untukmu dan membuatkanmu sandwich? Ayolah. Ambilkan aku kejunya.” Begitulah Ma: marah dan terluka, tapi tetap siap memberimu makan. Siap membuatmu merasa semakin bersalah. Aku naik ke kamar mandi atas, lalu berhenti di depan pintu dan berpaling ke Thomas. “Hei, keras kepala?” kataku. “Kau mau mandi duluan?” Kurasa aku bermaksud membuat itu sebagai permintaan maafuntuk menunjukkan padanya kalau aku tidak benar-benar berengsek. Bertengkar berebut siapa yang lebih dulu mandi sudah menjadi ritual kami berdua sejak kecil. Tapi, Thomas mengabaikannya. Dia mengambil wadah garam dan berkata padanya. “Halo, aku Thomas Dirt,” katanya. “Silakan berbohong padaku dan menginjak-injak diriku. Semua orang melakukannya. Itu menyenangkan!” Hampir pasti ini bisa dibilang sebagai sebuah misi bunuh diri: bersepeda ke pantai pada Jumat malam yang gerimis dengan sepeda tanpa lampu dan spion. Selama satu setengah jam perjalanan ke sana aku tak henti-hentinya diklakson, dan mobil berusaha menghindariku mendadak dan sopirnya mengumpat padaku. Meskipun aku tahu aku tak akan mengatakan apa pun pada Dessa tentang apa yang terjadi hari ini di tempat kerja, aku membayangkan untuk diriku sendiri bahwa aku menceritakan semua padanya. Melihat kami berdua duduk di salah satu meja hitam itu. Merasakan sentuhan simpatinya di wajahku, ciuman penuh kasih yang dia berikan. Sepanjang jalan, aku membayangkan diriku ditenangkan oleh Dessa yang penuh pengertian. DialTone penuh pengunjung. Dessa terlihat terkejut, tapi tidak senang melihatku. “Malam ini benar-benar jadi kebun binatang,” katanya. “Aku bahkan mungkin tak akan bisa bicara denganmu hingga aku selesai kerja nanti. Va Tuhan, kau basah kuyup.” “Berdansalah denganku,” kataku. “Aku tak bisa berdansa denganmu, Dominick. Aku sedang kerja.” “Satu kali saja.” “Dominick, tidak. Aku harus menulis pesanan. Melayani meja-meja”
Aku berjalan pergi, tak mau mendengarkan penjelasannya dan duduk di bar, memesan bir. Kemudian, saat istirahat, Dessa memberiku kunci ke mobil ibunya. Ketika manajer tak melihat, bartender menjual botol vodka yang masih berisi sepertiganya padaku dan aku lalu keluar. Aku melemparkan sepedaku ke bagasi dan duduk di kursi depan mobil menunggu Dessa. Menyalakan radio, meminum vodka. Melihat jendela mobil jadi berkabut. Aku ingin merokok. Aku ingin Dessa. Aku berusaha untuk tidak mengingat kakakku di bendungan, tersedu seperti idiot, celananya melorot sampai ke lutut …. Pengkhianat,dia menyebutku. Haio, aku Thomas Dirt. Yesus, berapa lama lagi aku harus menggendongnya? Kapan aku bisa meneruskan hidupku sendiri? Mulai September pokoknya. Persetan dengannya. Biarkan dia tenggelam atau berenang. Aku memejamkan mata. Bergerak-gerak untuk membuat diriku lebih nyaman. Vodka, suara ombak memecah pantai, suara hujan di atap mobil ibu Dessa membuatku mengantuk …. * Ketika Dessa membangunkanku, saat itu sudah pukul dua lebih. “Hai,” katanya. Aku menguap dan meregangkan tubuh, lalu menciumnya. Dia bau: bir dan alkohol, rambutnya bau asap rokok. Saat aku membelainya, tanganku mengenai benjolan uang tip di saku jinnya. Aku sudah seminggu tak bertemu dengannya. Tak tidur dengannya selama dua minggu. Sejak ayah ibunya kembali dari Yunani, kami harus mencuri-curi kesempatan. Tapi dalam dua minggu hal itu akan berubah. Dessa adalah supervisor di asramanya, itu artinya kamar untuk sendiri dengan tempat tidur dobel. Kalau bisnis mobilku dengan Dell lancar, maka Dessa dan aku akan berbaring di ranjangnya di Boston, bukannya duduk di mobil Newport ibunya. “Coba tebak,” katanya. “Apa?” “Ayahku mendiamkanku. Kami bertengkar.” “Tentang apa?” kataku. “Oh, bukan masalah besar … sebenarnya, sih besar juga. Tentang kamu.” “Aku? Aku kenapa?” “Oh, itu karena kesalahan bodohku sendiri. Aku secara tidak sengaja meninggalkan dial pack milikku di kamar mandi. Ibuku menemukannya.” “Pil antihamilmu? Sialan.” “Jadi bukannya ngomong denganku, seperti yang dilakukan ibu lain yang norma/, dia malah pergi ke ayahku. Ayah masuk kamarku kemarin malam dan berkata dia mau bicara denganku. Aku malu setengah mati, tapi kubilang, ‘Dengar, Daddy, aku sudah besar. Aku bisa memutuskan sendiri.’ Lalu dia mulai ngomong tentang kamu.” Dessa mendekat padaku. Menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku bertanya padanya apa yang dikatakan ayahnya. “Bahwa dia tak punya masalah pribadi denganmu, tapi kalau kau cuma mau jadi guru, maka mungkin seharusnya aku berpikir dua kali sebelum aku nanti hamil dan menjebak diriku sendiri.” Aku berdeham. Sepertinya aku merasa mabuk dan pusing sekaligus. “Apa maksudnya itu?” tanyaku. “Oh, Daddy berpikir sebaiknya aku menikah dengan dokter atau pebisnis atau seseorang yang punya properti. Aku mengatakan padanya kalau aku juga akan jadi guru, dan dia bilang, oh, mengajar adalah pekerjaan yang pantas untuk wanita.
Wanita tidak harus mencari nafkah untuk keluarga. Pria yang harus cari nafkah. Lalu aku kehilangan kendali. Aku tak tahan. Aku sangat marah/ Aku bilang padanya bahwa aku menilai orang dari siapa mereka sebenarnya, bukan dari potensi pendapatannya. Uang mungkin dewa bagi ayahku, kataku padanya, tapi tidak bagiku. Itu membuatnya murka. Dia bilang padaku betapa menyedihkan saat tiba hari ketika anak perempuan berani membantah ayahnya dan berkata kurang ajar padanyaketika anak-anak tak berterima kasih atas pemberian orangtuanya selama ini. Jadi, sekarang kami tidak saling bicara. Dan itu saja … kalau saja ibuku bicara sendiri padaku tentang pil-pil itu dan bukannya …. Kadang aku benci dia, Dominick!” Kami duduk diam selama beberapa menit, tak berkata apa-apa. Lalu aku merangkulnya dan mulai membelainya. Tapi aku tidak bisa membangkitkan gairahnya. Dia tak mau berhenti bicara tentang ayahnya. “Bagaimana mungkin dia berpikir kalau menjual mobil lebih baik daripada mendidik anak? Dan beraninya dia menyepeiekanmu seperti itu. Dia bahkan tak kenai kamu, Dominick. Sebelumnya, aku tak pernah mengira betapa dangkalnya pemikiran ayahku.” Aku menyentuhnya seperti yang dia suka seperti yang dia ajarkantapi dia menghentikanku. “Dominick, aku baru saja bekerja selama tujuh jam dan tak bisa … yah, kau tahu. Dan sekarang aku marah lagi ke Daddy. Aku minta maaf. Tapi, aku sedang tidak mood.” “Bagaimana denganku?” kataku. “Kenapa denganmu?” “Yah, setidaknya aku sudah bersepeda dalam hujan untuk bertemu denganmu. Aku menunggu di mobil selama lebih dari empat jam. Mungkin aku sedang mood.” “Dominick, apa yang harus kulakukan? Bilang pada manajer, ‘Maaf, tapi pacarku memutuskan untuk datang tiba-tiba jadi aku tak bisa meneruskan shift-ku?’” “Tidak, kau tak perlu bilang begitu. Yang perlu kau lakukan adalah setidaknya bersikap seakan-akan kau senang melihatku.” “Aku senang melihatmu,” katanya. “Aku cuma sedang tegang. Kau tahu bagaimana kondisi kerja di sini. Lalu masalah dengan ayahku. Maksudku, aku sudah dewasa, kan? Aku bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi, ya Tuhan, kalau ibumu menemukan pil antihamilmu” “Tolong aku, ya?” kataku. “Jangan mengoceh lagi tentang orangtuamu!” Mobil langsung sunyi. Setelah beberapa saat, aku duduk dan membuka pintu. Keluar dan masuk ke kursi belakang. “Hei,” kataku. Tak ada jawaban. “Hei, kamu?” aku mencoba lagi. “Hei, aku apa?” “Ke sinilah.” Dessa tak bergerak selama semenit dua menit. Lalu dia melangkahi kursi depan dan ke belakang, duduk di sampingku. Menyilangkan tangan di dadanya, erat-erat. “Seolah-olah hubungannya dengan ibuku adalah contoh yang baik,” katanya. “Kau harusnya lihat bagaimana ibuku harus meminta uang belanja padanya setiap pagi
saat sarapan. Dia mengatakan pada ayah apa yang dia butuhkan, menghitung setiap sennya, lalu kalau ayah sudah puas, dia akan membuka dompet dan meletakkan satu per satu uang dua puluhan dolar ke tangan ibuku. Menjijikkan.” Aku kembali menyentuhnya, mencoba membuatnya bergairah. “Hei, Dominick? Aku tadi kan, sudah bilang padamu, aku tidak …” Diam, diam, pikirku, melanjutkan niatku. “Aku terlalu tegang sekarang. Aku tak inginhei, hentikan!” Tapi berhenti bukanlah pilihan. Aku sudah berjam-jam menunggu di mobil. Dia berutang padaku. Dan kalau dipikir-pikir, Dessa benar: berani-beraninya ayah kaya sialannya itu bilang untuk mencari orang yang lebih baik daripadaku. Aku mulai menindihnya. Sikapnya yang dingin kuanggap sebagai kekeraskepalaannya. Cewek kaya bodoh. Aku menekannya keras-keras. “Aku cinta kamu, Sialan,” kataku. Dia mengerang. Aku mendengarnya memintaku berhentiberkata bahwa dia kesakitan, bahwa aku membuatnya takut. Tapi, apa yang aku butuhkan lebih kuat daripada ketakutannya, dan ketika dia berusaha bergeser dari bawahku, aku tak membiarkannya. “Aku cinta kamu,” kataku setiap kali. “Aku cinta kamu, aku cinta kamu, aku cinta kamu.” Tapi kepalaku penuh dengan kebencian: apa hak ayah Dessa sialan itu untuk menganggap dia lebih baik daripada aku? … Sama saja dengan saat aku mengayunkan sabit di bendungan siang tadi. Menghantam mesin pinbaii di Tepper’s Bus Stop. Aku baru sadar bahwa Dessa berusaha mencegahku setelah dia berhenti berontak. Dia berbaring diam dan membiarkanku. Per berkeriut, seluruh mobil bergoyang, aku mengumpat sambil memeluknya erat-erat, tanganku yang satu memukul-mukul sandaran tempat duduk. Aku menyesal bahkan sebelum aku menjadi lemas. Sebelum menarik napas. “Oh, Yesus,” kataku. “Kurasa aku terbawa suasana.” Dessa menangis. Dia gemetaran di bahu dan dadaku. “Aku benar-benar menyesal. Aku sudah menunggu di sini terlalu lama. Minum vodka dan” Ketika aku mengulurkan tangan untuk membelai pipinya dia menampar tanganku. Memukulku. “Aku tak bisa menahannya, Dessa. Aku minta maaf. Aku sangat menginginkanmu sehingga kehilangan kendali.” “Diam!” Dia memukulku lagi. “Pergi dariku!” Dessa membenahi pakaiannya dan kembali ke kursi depan. “Apakah benar-benar seburuk itu?” kataku. “Bahwa aku kehilangan kendali karena aku sangat menginginkanmu?” “Kau tahu apa sebutannya ‘menginginkan aku’ seperti itu, Dominick?” katanya. “Pemerkosaan.” “Yeah, benar saja. Seperti kau dan aku tidak …. Dengar aku tak akan” “Kau baru saja melakukannya, kau berengsek!” Dessa mulai menangis lagi. “Hei, tunggu dulu. Itu tak adil.” “Aku baru saja mengalami minggu yang mengerikan,” katanya. “Dan sekarang ini terjadi.” “Kau tahu?” kataku. “Aku juga mengalami minggu yang buruk. Apa kau pernah
berpikir untuk bertanya pada-ku minggu seperti apa yang aku alami?1’ Dessa menyalakan mesin mobil. “Aku akan mengantarmu pulang,” katanya. “Lalu aku juga akan pulang. Mandi air panas dan mencuci ‘peristiwa’ kecil yang baru saja kita alami. Tolong aku, oke? Duduk saja di belakang dan jangan bicara padaku. Jangan berkata apa-apa.” “Kau menuduhku memerkosamu dan aku bahkan tak boleh mempertahankan diri? Persetan dengan itu. Dessa! Persetan kau!” Aku keluar dari mobil dan membanting pintu. Membukanya dan membantingnya lagi. Aku mulai berjalan menjauh darinyakeluar tempat parkir dan ke jalan. Aku mengangkat jempolku ke arah mobil yang lewat. Dessa meminggirkan mobilnya di dekatku. Suara jendela yang terbuka terdengar di telingaku. “Ayolah. Jangan lakukan ini, oke? Masuk saja dan aku akan mengantarmu pulang. Kita berdua butuh menenangkan diri dan tidur.” “Pergi saja,” kataku. “Kau tak mau ada pemerkosa di mobilmu.” “Baiklah, aku minta maaf,” katanya. “Itu tadi memang agak sedikit keras. Hanya saja setelah hubunganku yang terakhir, aku agak-“ Aku mulai berteriak padanya. “Aku sama sekali tak seperti orang itu! Jangan kau berani … aku sama sekali tak seperti orang itu!” Jendela kembali menutup. Dessa menginjak gas. Pergi. Saat itulah aku ingat sepedaku, di dalam bagasi mobil ibunya seperti mayat. Aku sampai di rumah setelah dua jam dan tiga kali menumpanglega, akhirnya bisa pulang. Aku meraba-raba di dalam rumah yang gelap dan naik tangga. Membuka baju dan menjatuhkannya ke lantai dan naik ke ranjang. Saat berguling, aku mendengar gemerisik kertas. Aku berbaring telentang, berusaha memicingkan mata melihat apa ituberusaha memutuskan apakah aku harus bangun dan melihatnya atau tidak. Beberapa menit kemudian, aku ingin buang air. Maka aku melompat turun dari ranjang atas dan pergi ke kamar mandi. Bertahun-tahun kemudian, aku masih ingat apa yang tertulis di pesan itu. Bahkan masih bisa melihatnya-da\am tulisan tangannya yang aneh. Dia menujukannya pada Dominick Birdsey, Pengkhianat. Kau pikir mudah merasakan bagaimana tidurmu dicuri darimu tiap malam? Kau pikir menyenangkan merasakan sayap Roh Kudus berkepak-kepak di tenggorokanmu? Sincerely, Orang yang Mengetahui Aku berdiri terpaku, memicingkan mata membaca pesan itu di bawah lampu kamar mandi, dan berusaha mencernanya. Dia gila, kataku pada diri sendiri. Berkata pada cermin di depanku. Dia benar-benar gila. Lalu aku meremas pesan bodohnya itu, melemparnya, dan mengencinginyadalam lubang toilet. Dan menyiramnya ke pembuangan. Aku terjaga hingga fajar, memikirkan selusin argumen mengapa aku bukan pemerkosa. Mengapa tidak sekamar dengan Thomas adalah pantas untukku. Aku tertidur saat cahaya abu-abu fajar mulai menyelinap ke sela-sela ventilasi.
Dua Puluh Satu 1969 Suddh pukul dua siang lebih ketika aku bangun keesokan harinya. Kepalaku sakit. Kamar berbau lembap. Aku merasakan diriku yang tegang. Apa yang terjadi semalamapa yang telah kulakukan pada Dessamenghantamku seperti pukulan di perut. “Hei,” aku berteriak ke bawah saat berjalan menuju kamar mandi. “Ada orang di rumah?” Kesunyian yang ada membuatku lega. Aku perlu menelepon Dessa untuk memperbaiki kerusakan yang telah kulakukan dan tak ingin ada orang yang mendengar. Aku membungkuk di atas wastafel dan mencipratkan air dingin ke wajah, membuka mulutku di bawah keran untuk menghilangkan bau alkohol. Kencing di toilet dan tiba-tiba aku ingat pesan aneh kakakku. Kau pikir mudah merasakan bagaimana tidurmu dicuri darimu tiap maiam? Kaupikir menyenangkan merasakan sayap Roh Kudus berkepak-kepak di tenggorokanmu?” Kenapa, sih dia? Awalnya masalah mesin tik itu. Lalu tingkahnya yang memalukan di bendungan …. Aku baru setengah mandi, ketika aku keluar dan berjalan ke lorong dengan air menetes dari badanku dan kembali ke kamar kami. Aku berdiri di depan pintu, memandang pada ranjang Thomas yang berantakan dan kosong. Apa yang terjadi? Kembali ke kamar mandi, sabun dan air panas membantu mencuci sisa kejadian tadi malam. Dessa dan aku hanya salah paham, itu saja. Sepedaku yang tertinggal di bagasi mobil ibunya memberiku kesempatan. Mungkin dia bisa datang mengantarkan sepeda itu dan kami bisa bicarameluruskan masalah. Mengepak makanan untuk piknik dan mungkin pergi ke The Falls, kalau kami berdua sedang mood. Memperbaiki masalah semalam. Ya Tuhan, betapa aku butuh mobil. Aku melingkarkan handuk di pinggang dan pergi ke kamar Ma dan Ray untuk menggunakan telepon. Di cermin di atas meja rias Ma, aku mulai berfantasi sedang bertinju dengan mantan pacar Dessa, meninju bayanganku sendiri di cermin. Aku menjatuhkan diri ke lantai dan melakukan beberapa kali pushup. Aku tegang. Tak bisa berhenti bersiul. Aku mengatakan pada diri sendiri bahwa aku merasa hebatbersemangattapi sebenarnya aku gugup. Takut sudah menghancurkan kesempatan bersama orang terbaik yang pernah kukenal selama hidupku yang bodoh. Aku memutar nomor telepon rumah Constantine dan menunggu. Melihat sekeliling, aku tiba-tiba melihat kamar Ma dan Ray seolah Dessa yang melihatnya. Kamar orangtuanya tiga kali lipat dari kamar ini. Karpetnya memenuhi lantai dari dinding ke dinding, sofa, dan lukisan mural di dindingnya. Ibuku dan Ray punya lantai linoleum yang pudar dan penutup jendela yang ditarik ke bawah, koleksi senjata seremonial Ray, dan barang-barang suci Ma: salib, patung Maria, ukiran tangan berdoa di atas rak kayu jelek yang dibuat Thomas di kelas keterampilan saat SMP. Cahaya matahari siang menerangi penyok-penyok kayu bekas hantaman palunya, lubang paku yang lupa dia lapisi dengan dempul. Di kelas keterampilan yang sama, aku membuat meja kecil dengan rak untuk menyimpan piringan hitam. Mr. Foster meletakkan meja itu di etalase musim seminya, tempat dia menyimpan barang-barang terbaiknya. Dia meletakkan bunga philodendron di atas meja itu dan beberapa piringan hitamnya sendiri di rak. Proyekku dipasang di etalase, tapi apa yang disimpan Ma? Yang dia simpan di kamarnya? Rak Thomas yang berantakan. Mengapa Dessa tak menjawab? Di mana dia? Aku memandang pada lukisan suci Ma, Kebangkitan Yesus, jantung technicolor-nya bersinar, matanya sedih seperti anjing basset. Kehidupan seks Ma dan Ray pasti hebat dengan lukisan itu menggantung di atas ranjang mereka …. Aku ingat kenangan bertahun-tahun lalu ketika Ma membeli benda itu, di swalayan five-andten. Hari yang sama ketika pria gila di bus kota menyentuh Ma. Ikut turun dari
bus ketika kami turun dan mengejar kami …. Aku ingat Ma duduk di kursi bus di depan kami, ketakutan setengah mati, membiarkan saja tangan pria itu menjalar ke mana pun dia mau. Ma bertingkah sama seperti setiap kali orang lain memaksanya: diam dan pasrah. Menunggu Yesus datang menyelamatkannya. Kalau benar bahwa orang yang lembut hati akan mewarisi bumi, maka Ma pasti akan menjadi Rocke-feller-nya. Aku berpikir tentang diskusi di kelas ilmu politik yang kuikuti semester lalu: tentang apakah agama itu memang benar ‘candu bagi manusia’ …. Aku tak pernah pergi ke Misa Minggu sejak pulang ke rumah selama liburan musim panas ini. Aku ingin membuat pernyataan tentang siapa diriku sekarangbahwa aku telah berubahjadi aku tidur setiap Minggu pagi. Itu sangat mengesalkan Ray, terutama setelah sekarang dia diangkat menjadi anggota dewan gereja. Aku yakin pasti hal ini membuat sedih Ma juga. Bukan berarti Ma pernah menyatakan keberatannya. Bukan berarti Ma bahkan berani’mengatakannya …. Tapi, hei, ini k