ISTILAH-ISTILAH KESENIAN REOG
DI KABUPATEN BOYOLALI (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK) i
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Menempuh Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh : WITDAYATI
NIM C0104045
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki satu fungsi utama yaitu sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai alat komunikasi guna mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keinginan. Dapat dinyatakan pula bahwa pada dasarnya bahasa merupakan alat atau sarana untuk komunikasi dalam anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1984: 38). Salah satu bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi dan alat pengembangan kebudayaan adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bagian dari bahasa yang ada di Nusantara, memiliki area pemakaian jumlah penutur yang amat besar jumlahnya. Adanya faktor area pemakaian jumlah penutur dan usia bahasa itu menunjukkan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa yang besar dan mengalami sejarah yang cukup panjang. Di samping itu, bahasa Jawa merupakan bahasa yang dapat memberikan corak (variasi) dan carik (catatan) tersendiri. Corak dapat dimaksudkan dalam pemakaian (khususnya menyebutkan untuk istilah-istilah tertentu) memiliki kekhasan atau ciri-ciri tersendiri (dapat disebut variasi dialektal) pada masing-masing daerah pemakaian, maka ada penyebutan untuk daerah pemakaian bahasa Jawa dialek Banyumas, Pesisir, Surakarta, dan Jawa Timur (Uhlenbeck, 1972: 75). Sedangkan carik (catatan) dimaksudkan bahwa dalam penyebutan atau memberi istilah untuk nama-nama tertentu, 1
3
misalnya perlengkapan dalam kesenian reog. Setiap daerah tersebut memiliki ciri khas penyebutan berdasarkan penutur dan budaya setempat. Hal demikian oleh Harimurti Kridalaksana (1982: 42) disebutnya dengan istilah linguistik antropologi, di samping etnolinguistik. Istilah “etnolinguistik” berasal dari kata „etnologi‟ berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan „linguistik‟ berarti ilmu yang mempelajari seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9),artinya ilmu yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini antropologi budaya). Menurut Adamson Hoebel (dalam Spradley, 1997: xvi) secara singkat menegaskan bahwa “The Foundation of cultural antropology is ethnography" dasar antropologi budaya adalah etnografi). James Spradley juga mengungkapkan bahwa “Etnographic field work is the hallmark of cultural antropology“ (Kajian lapangan etnografi yang berasal dari kata etno (bangsa) dan graph (tulisan). Etnologi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Etnolinguistik adalah suatu bidang linguistik yang menganalisis tentang hubungan kebudayaan dengan bahasa (kesenian reog merupakan salah satu hasil dari kebudayaan, sedangkan istilah merupakan hasil dari bahasa). Kesenian reog merupakan salah satu kesenian rakyat yang hingga kini masih ada, meskipun sedang terancam keberadaanya di era globalisasi ini, kesenian reog merupakan bentuk dari kesenian. Adapun bentuk seni itu sendiri merupakan hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi, pandang dan tanggapan ke dalam bentuk fisik yang ditangkap indera. Jadi, di dalam bentuk seni
4
ada hubungannya antara bentuk (wadhah) dan isi (makna). Bentuk
yang
dimaksud adalah fisik yaitu yang dapat diamati dan bersifat kongkrit sebagai ekspresi yang diungkapkan seorang seniman. Sedangkan isi (makna) adalah bentuk ungkapan, yaitu nilai-nilai atau pengalaman jiwa yang dituangkan dalam bentuk fisik sehingga dapat dinikmati oleh penikmat (penonton). Seni reog merupakan bentuk fisik yang mempunyai makna tertentu. Sajian pertunjukan reog menampilkan tema tertentu. Temanya adalah keprajuritan yaitu sekelompok prajurit yang sedang berlatih perang. Karena pertunjukan reog merupakan bentuk tari yang bertema dan bukan bercerita, maka tidak ada namanama tokoh didalamnya. Nama-nama peran pada tari reog diambil dari nama peralatan yang digunakan peran tersebut. Sebagai contoh peran yang menggunakan jaran kepang disebut jaran kepang dan peran yang menggunakan topeng penthul-tembem disebut penthul-tembem. Seni reog sebagai khasanah budaya Jawa yang mampu bertahan dalam era globalisasi ini, karena seni reog banyak digemari dan diminati oleh masyarakat. Bentuk sajian tari dalam reog terkandung nilai-nilai tertentu yang dapat digunakan sebagai tuntunan bagi masyarakat sekitar selain bentuk sajian tari, seni reog juga terdapat alat musik pengiring dan lagu, alat busana, dan perlengkapan lainnya yang mengandung makna kultural. Seni reog dapat disajikan dalam berbagai acara seperti sarana upacara bersih desa, upacara pernikahan, upacara penebus janji (nadzar), dan hiburan atau tontonan. Mampunya seni reog ini bertahan hingga kini karena mempunyai ciri khusus sehingga kesenian reog digemari oleh segenap lapisan masyarakat, baik kanak-kanak maupun orang dewasa. Adapun ciri khusus
5
dari kesenian reog itu adalah (a) reog disajikan dalam bentuk sendra tari; (b) reog berfungsi sebagai penggerak massa; (c) mengandung ilmu mistik; (d) memiliki lagu-lagu khusus; (e) dapat dimainkan di manapun pada saat apapun dan dalam upacara apapun. Sedangkan ciri khas dari kesenian reog adalah: (1) pakaian daerah yang berwarna hitam; (2) semua pemain harus pria; (3) penari kuda kepang harus anak laki-laki yang manis yang biasa disebut dengan gemblakan; (4) menggunakan gamelan khusus seperti angklung, ketipung, kendhang, gong, bonang dan sebagainya. (Hartono, 1980: 12). Berdasarkan latar belakang tersebut istilah dalam seni reog yang disertai perkembagannya dapat dikaji secara etnolinguistik, karena dapat ditemukan proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa. Penelitian yang berkaitan dengan kesenian tradisional yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Penelitian yang dilakukan oleh Noer Istoening, 1995 yang berjudul “Kesenian Tradisioanal Daerah di Kabupaten Wonogiri sebagai Paket Wisata“, yang mengkaji kesenian tradisional daerah secara global yang ada di Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini mengkaji tentang berbagai bentuk kesenian tradisional daerah seperti ketoprak, wayang kulit, dan seni tari tradisional. Perkembangan kesenian tradisional daerah berdasarkan kesamaan fungsinya latar belakang budaya dan sumbangan kesenian tradisional daerah terhadap sektor pariwisata di Kabupaten Wonogiri. 2. Penelitian
yang
berjudul
"Istilah
Alat-alat
Rumah
Tangga
dan
Perkembangannya di Kodya Surakarta (Suatu Pendekatan Etnolinguistik)"
6
oleh Yohanes Suwanto, Dkk. (1999), dalam penelitian ini mengkaji tentang berbagai istilah alat-alat rumah tangga baik yang bersifat tradisional yang mengalami perubahan modern, berdasarkan kesamaan fungsional dan latar belakang budaya yang mempengaruhi pergeseran pengumuman istilah alatalat rumah tangga. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Margono dan Sudarsana, (2002) dengan judul “Kesenian Reog
Tradisional, Sebuah Kajian Seni Pertunjukan Rakyat
Mengenai Fungsi dan Keberadaannya pada Masa Kini di Desa Kalikebo Kabupaten Klaten”. Penelitian ini merupakan kajian reog yang bersifat holistik yang menekankan aspek sejarah dan latar belakang keberadaannya, persepsi di masyarakat serta persepsi para pemain reog, makna, dan fungsi reog . 4. Penelitian oleh Yuliana Sylvina Maharani, 2003 dengan judul “Festival Reog Nasional sebagai Atraksi Wisata di Ponorogo Jawa Timur". Penelitian ini mengkaji tentang peranan festival reog nasional dalam upaya melestarikan kebudayaan asli sebagai even pariwisata Kota Ponorogo. Festival reog nasional yang diselenggarakan sebagai atraksi wisata budaya merupakan rangkaian dari penyelenggaraan perayaan grebeg Sura dan peringatan hari jadi Kabupaten Ponorogo yang dijadikan sebagai even pariwisata untuk menarik minat masyarakat terhadap kesenian dan Kota Ponorogo sendiri. 5. Penelitian oleh Retno Wulandari, 2004 dengan judul "Istilah Gerakan Tari Klasik Gaya Surakarta (Kajian Etnoliguistik), mengkaji bagaimana bentuk kata-kata istilah gerakan tari klasik gaya Surakarta dan makna kata dari istilah
7
gerakan tari klasik gaya Surakarta. Penelitian tersebut membahas jenis istilah, perkembangan dan kesamaan bentuk dari istilah gerak tari. Bertolak dari penelitian tersebut, penelitian tentang istilah dalam kesenian reog yang meliputi peralatan, alat musik pengiring lagu, busana dan sesajiannya beserta fungsi belum pernah dilakukan. Peneliti akan mengkaji dan bagaimana bentuk makna kata dari istilah yang ada dalam seni reog beserta fungsinya. Penelitian ini dilakukan karena didasari adanya alasan bahwa: 1) kesenian reog merupakan potensi dasar daerah setempat, 2) sebagai bentuk kebudayaan, kesenian reog juga merupakan keseluruhan daya upaya manusia untuk mengembangkan harkat dan martabat bangsa, yang dapat memberikan peningkatan wawasan dan makna pembangunan nasional yang berbudaya, 3) kesenian reog mencerminkan nilai-nilai luhur perlu dijaga, dipelihara dan diberdayakan guna memperkuat wawasan budaya jati diri. Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan persoalan kebahasaan yang ada hubungannya dengan kesenian tersebut, khususnya di bidang kesenian reog, sehingga judul penelitian ini adalah: Istilah-istilah Kesenian Reog di Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik).
8
B. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini membatasi pada istilah-istilah yang ada pada satu jenis seni pertunjukan rakyat yaitu kesenian reog. Adapun batasan masalah tersebut terdapat pada istilah-istilah dari dalam seni reog yang meliputi alat musik pengiring dan lagu, busana dan peralatan untuk pemainnya serta peralatan sesajian.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah seperti di atas masalah yang akan dikaji dapat dirumuskan seperti sebagai berikut. 1. Istilah-istilah apa sajakah yang terdapat dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali? 2. Apakah makna istilah-istilah kesenian reog di Kabupaten Boyolali? 3. Bagaimana fungsi kesenian reog di Kabupaten Boyolali ?
D. Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali. 2. Mendeskripsikan makna istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali. 3. Mendeskripsikan fungsi kesenian reog di Kabupaten Boyolali.
9
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini di bedakan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap teori linguistik khususnya etnolinguistik. 2. Manfaat Praktis a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bentuk dokumentasi budaya Jawa. Pendokumentasian istilah-istilah dalam kesenian reog dilakukan supaya dapat diketahui oleh generasi mendatang dan dapat ditampilkan kembali. Oleh karena itu, pendokumentasian adalah langkah awal terpenting dalam setiap usahausaha pelestarian unsur-unsur kebudayaan Jawa. b. Memberikan wawasan pengetahuan di bidang kebahasaan yang berkaitan dengan budaya khususnya dalam kesenian reog. c. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. d. Sebagai usaha pelestarian dan pemerkahan kesenian reog di Kabupaten Boyolali.
F. Sistematika Penulisan Sehubungan dengan penelitian ini, sistematika penulisan meliputi lima bab. Kelima bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
10
Bab I Pendahuluan, bab ini meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab II Landasan teori, bab ini meliputi istilah dan kesenian, sejarah dan latar belakang kesenian reog di Kabupaten Boyolali, kesenian reog sebagai seni pertunjukan rakyat, makna, stuktur, dan etnolinguistik. Bab III Metode penelitian, bab ini berisi tentang sifat penelitian, lokasi penelitian, data, sumber data, populasi, sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data dan metode penyajian data. Bab IV Hasil analisis data, dan pembahasannya, bab ini merupakan hasil analisis dari pembahasan bentuk dan makna dari istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali serta fungsinya. Bab V Penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.
BAB II KAJIAN TEORETIK
Kajian teoretik di sini maksudnya adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretik yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut.
A. Pengertian Istilah, Kesenian, dan Reog
11
Istilah (term) adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Kridalaksana, 1982: 67). Di samping itu, dalam Poerwadarminta (1976: 388) menjelaskan bahwa istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti tertentu di lingkungan sesuatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian. Menurut S. Prawiroatmojo dalam kamus Bausastra Jawa (1993: 287) istilah yaitu “tembung (tetembungan) sing mengku teges, kaanan, sipat, lan sapiturute sing mirunggan ing babagan tartamtu” kata yang mengandung makna, keadaan, sifat, dan sebagainya yang khusus pada bagian tertentu. Berdasar penertian tersebut tidak menutup kemungkinan apabila satu kata atau gabungan kata dapat berbeda arti namun dapat juga sama arti pada bidang tertentu. Misalnya kata barongan "sejenis topeng yang berwujud kepala harimau" dan pembarongan, “orang yang menggunakan barongan". Dari contoh kata itu menunjukkan bahwa istilah adalah kata atau gabungan kata yang mempunyai arti dan maksud tertentu dalam suatu bidang tertentu. 10 Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat. Kesenian adalah suatu keindahan/estetika yang mewujudkan nilai rasa dalam arti luas. Kedwisatuan manusia yang terdiri atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Adanya kecenderungan bahwa manusia itu dapat menerima suatu keindahan yang salah satunya adalah kesenian (Bakker, 1994: 47). Suatu kesenian sebenarnya merupakan bentuk lahiriah dari suatu ide seorang pencipta seni budaya yang dapat ditangkap dengan pancaindera. Salah satu bentuk
12
kesenian yang dapat ditangkap dengan pancaindera adalah seni pertunjukan reog. Seni pertunjukan reog ini memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia (Soedarsono, 1985). Adapun fungsi itu sebagai hiburan, pertunjukan, dan sarana ritual. Secara etimologis reog berasal dari kata reg dan yod yang berdasarkan pada akar kata dalam bahasa Jawa disebut tembung wod kang dadi oyode (satu kata yang mempunyai satu kata atau paling mendasar dan mengandung arti berguncang). Dalam ensiklopedi Indonesia, reog sama dengan kepang atau penari yang meniru seseorang mengendarai kuda, yang diartikan sebagai tarian naik kuda lumping/kuda kepang. Oleh karena itu, reog berarti pertunjukan sejenis jathil (padha nunggang kuda) (Poerwadarminta, 1939: 527). Yang dimaksud dengan seni reog adalah suatu seni tarian pertunjukan rakyat dengan menampilkan tarian kuda kepang dan tokoh-tokoh yang bertopeng dan setidaknya ada elemen seperti barongan, penthul, tembem, yang berfungsi sebagai hiburan rakyat. Menurut Pigeaud (1991: 347), tarian kuda yang dimaksud adalah pertunjukan orang yang mengapit anyaman yang terbuat dari bambu atau kulit dengan meniru bentuk kuda.
B. Sejarah dan Latar Belakang Kesenian Reog di Kabupaten Boyolali Di Desa Glonggong berkembang sebuah cerita rakyat yang berkaitan erat dengan asal-usul kesenian reog. Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat pada zaman ± tahun 1700, ada seorang pangeran dari Mataram yang
13
bernama Samudra melakukan ritual “tapa nggethek“ (naik rakit) menelusuri Sungai Cemara (Sungai Glonggong). Kebetulan rakit terbentur pada batu yang besar sehingga rakit tidak bisa berjalan. Pada akhirnya berhentilah sang pangeran untuk melanjutkan ritualnya dan bertapa di suatu gundhukan (tanah perbukitan), dan dalam melakukan ritual itu diikuti seorang abdi untuk mengurus perbekalan, pakaian, dan titihannya kudanya. Sementara waktu bertapa sampailah hari terakhirnya yaitu wafat. Tak bisa menceritakan bagaimana kehidupan di perbukitan tadi. Abdi dan titihan sang pangeran dan kudanya meninggal. Abdi, kuda, dan pakaiannya di kubur di bukit tersebut, tetapi sang pangeran Samudra dibawa ke keraton dan dimakamkan di Ayodyakarta (sekarang Yogyakarta). Oleh para penduduk masyarakat, tempat yang digunakan untuk bertapa sang pangeran dan mengubur abdi, kuda (tunggangan) dan pakaiannya dinamakan puncak suci. Puncak suci ini sampai sekarang dikeramatkan oleh para penerus sejarah, khususnya warga desa Glonggong. Tempat itu mempunyai makna tersendiri. Untuk mengenang hal tersebut maka para sesepuh membuat suatu pertanda atau seni yaitu jaran kepang (kuda kepang) dan dinamakan seni jaran kepang yang mempunyai makna yaitu : -
Jaran (kuda) sebagai tunggangan sang pangeran.
-
Kepang (anyaman bambu) sebagai getek.
-
Pemain kuda kepang sebagai abdi
-
Pakaian hitam-hitam sebagai busana yang dikubur di puncak suci. Ada empat kuburan di puncak suci yaitu 1) kuburan abdi, 2) kuburan kuda,
3) kuburan pakaian/busana, dan 4) kuburan perbekalan. Seni jaran kepang ini
14
sekarang dikembangkan oleh seorang tokoh masyarakat dan juga tokoh ritual (juru kunci) puncak suci tadi bernama Bapak Mulyono. Jadi, seni reog jaran kepang yang terdiri dari pemain jaran kepang, pemain dhadak merak dan (barongan), pemain penthul tembem, dan sebagainya. Oleh para leluhur seni tadi supaya bisa hidup dan berpengaruh, pelaksanaanya menggunakan ritual adat sehingga kuda kepang tadi benar-benar bisa bergerak/berlaga seperti tingkah laku kuda. Untuk melakukan ritual adat tersebut diperlukan berbagai peralatan yang digunakan seperti : 1. Pakaian hitam-hitam bermakna seni bisa hidup jika menggunakan ritual adat daerah. Selain ini kepala menggunakan udheng (ikat kepala) seperti yang digunakan sang Pangeran Samudra 2. Kembang setaman mempunyai makna sarana untuk berdoa. 3. Rujak degan bermakna agar semua pemain bisa sehat dan segar. 4. Menyan cina mempunyai maksud untuk mengundang roh halus yang dibutuhkan. 5. Gamelan sebagai aba-aba dan pengatur gerak para pemain. Seni jaran kepang ini sampai sekarang masih berfungsi dan dikenal dengan seni reog. Kesenian reog difungsikan sebagai media upacara pernikahan, upacara bersih desa, upacara penebus janji (nadzar) dan sebagainya. Yang dimaksud dengan seni reog adalah suatu seni tarian pertunjukan rakyat dengan menampilkan tarian kuda kepang dan tokoh-tokoh yang bertopeng dan setidaknya ada elemen seperti barongan, penthul, tembem, yang berfungsi sebagai hiburan rakyat. Menurut Pigeaud (1991: 347), tarian kuda yang dimaksud adalah
15
pertunjukan orang yang mengapit anyaman yang terbuat dari bambu atau kulit dengan meniru bentuk kuda.
C. Kesenian Reog sebagai Seni Pertunjukan Rakyat Kesenian reog merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang dikategorikan sebagai kesenian rakyat. Sebagai kesenian rakyat seni reog juga disebut sebagai kesenian daerah atau kesenian tradisional. Dalam perkembagannya seni rakyat ini yang disebut seni tradisi kecil karena seni rakyat berada di luar wilayah keraton bukan seni tradisi-tradisi besar yang merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton. Sebagai seni pertunjukan, seni reog masih bersifat kontekstual dan masih dipentaskan hingga sekarang ini. Ada dua alasan penting kesenian rakyat/tradisonal masih dipertunjukkan. Pertama seni pertunjukan rakyat masih berkaitan dengan mitos (pandangan hidup) dari satu etnik tertentu, dan kedua kesenian rakyat justru bersifat dinamik dan kreatif melalui pertunjukan yang dilakukan secara spontan dan komunikatif. Secara umum reog dalam bentuk pertunjukan terdiri dari tiga penari yang masing-masing memiliki ciri-ciri khas sendiri, sehingga sepintas tampak berbeda dengan penari-penari dengan kesenian yang lain. Tiga jenis penari tersebut meliputi penari kuda kepang, penari topeng dan penari barongan. Pertunjukan kesenian reog selalu diiringi gending reogan atau gending panaragan. Sedangkan
16
alat-alat musik yang biasa digunakan antara lain: angklung, ketipung, kendhang, gong, bonang, saron serta terompet (Hartono, 1980: 20) Kesenian rakyat yang di dalamnya kesenian reog, pada umumnya memiliki ciri-ciri antara lain: 1) berfungsi sosial dan bukannya komersial, 2) keberadaanya dilestarikan bersama, 3) menuntut spontanitas, 4) bentuk gerakan sederhana, 5) ringan irama dinamis dan cenderung cepat, 6) jarang membawakan lakon, 7) jangka waktu tergantung gairah penari, 8) tata rias dan busana sederhana, 9) sifat cenderung humoris, 10) tempat terbentuk arena, dan 11) temanya adalah berkisar pada kehidupan rakyat. Dalam kelangsungan hidup seni rakyat seperti juga seni reog didukung oleh kelompok masyarakat yang bersifat homogen namun menunjukkan sifat solidaritas yang nyata, yang dalam hal ini berada dalam masyarakat desa atau pedalaman. Sebagai seni rakyat ia memiliki bentuk tunggal dan bukannya bentuk yang beragam, tidak halus dan tidak rumit seperti seni keraton. Di samping itu, penguasaan terhadap bentuk-bentuk dalam kesenian rakyat dapat dicapai tanpa melalui latihan khusus. Kesenian ini biasanya disertai peralatan yang sederhana dan terbatas. Dalam bentuk penyajian seni rakyat memiliki ciri-ciri yang akrab dengan penonton, sehingga penonton sewaktu-waktu dapat memasuki lokasi pertunjukan dan bertindak sebagai pemain. Sebagai seni rakyat, keberadaan kesenian reog sangat akrab pula dengan lingkungannya. Pengertian akrab di sini tidak hanya berarti dirasakan mantap serta dekat dengan masyarakat pendukungnya, melainkan juga dapat muncul bersama dengan ungkapan-ungkapan yang lain seperti kepercayaan agama, upacara
17
perkawinan, kitanan, bersih desa, dan ruwatan. Aspek-aspek perilaku sosial ini bukanlah perkembangan untuk memuaskan kebutuhan individu, melainkan justru mempertahankan struktur sosial masyarakat.
D. Makna Dalam semantik pengertian sense „makna‟ dibedakan dalam meaning „arti‟, sense „makna‟ adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Menurut Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji dan memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan makna yang membuat kata-kata tersebut berbeda dari kata-kata lain, sedang „meaning‟ menyangkut makna kata leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat dalam kamus sebagai leksikon (Fatimah Djajasudarma, 1993: 5). Makna erat kaitannya dengan semantik, oleh karena itu istilah-istilah dalam kesenian reog dilihat dari segi makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem (Chaer, 1994: 7). Leksem merupakan satuan leksikal abstrak, mendasari berbagai bentuk inflektif suatu kata atau frase yang merupakan satuan bermakna, satuan terkecil dari leksikon (Kridalaksana, 2001:126). Sebagai contoh makna leksikal barongan yaitu barong tiruan atau barong yang tidak sebenarnya. Dalam kesenian reog yang disebut barongan adalah topeng harimau (kepala harimau). Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit, 1999: 3). Contoh makna kultural dari barongan adalah
18
benda keramat yang menunjukkan suatu sifat yang terpuji, berwibawa, dan dicintai. Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa saja yang dapat kita rasakan atau kita alami. Simbol yang dimaksud dalam penelitian ini adalah istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.
E. Struktur 1. Monomorfemis Monomorfemis terjadi dari suatu morfem. Morfem (morpheme), merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil, misalnya, (tulis, jalan). (Harimurti Kridalaksana, 1993: 140). Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna dan kategori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.
19
Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam istilahistilah dalam kesenian reog dapat dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan. Dengan kata lain, subyeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang dan belum digabungkan atau dibentuk menjadi kata majemuk. 2. Polimorfemis Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi a) pengimbuhan atau afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di tengah, di belakang, atau di depan dan di belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan belakang disebut sirkumfiks atau konfiks. Afiks selalu berupa morfem terikat. Contoh morfem dasar nasal M-pada mbarong, sufiks -an pada jathilan, dan sebagainya, b) pengulangan atau reduplikasi, reduplikasi (reduplication) adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 1993: 186), dan c) pemajemukan atau komposisi yaitu proses morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua) morfem dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti yang terkandung dalam kata majemuk adalah arti keseluruhan
20
bukan menuruti arti yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya. 3. Frase Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono, 1982: 57). Frase seperti dengan kata, frase dapat berdiri sendiri. Frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frase endosentrik, dan frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya disebut frase eksosentrik (Ramlan, 2001: 141). Contoh frase kaos loreng, kembang setaman, rujak degan, gedhang raja, dhadhak merak, jaran kepang, jaran ngedan, celeng ngedan, udheng jilidan, udheng modhang.
F. Etnolinguistik (Ethnolinguistics)
1. Pengertian Etnolinguistik Etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan (bidang ini juga disebut linguistik antropologi) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sifat bahasawan terhadap bahasa, di salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah
21
masalah relativitas bahasa (Harimurti Kridalaksana, 1982: 427). Relativitas bahasa adalah salah satu pandangan bahwa bahasa, seorang menentukan pandangan dunianya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang ada dalam bahasan itu dan yang dikreasi bersama kebudayaannya (Harimurti Kridalaksana, 1982: 3) istilah „etnolinguistik‟ berasal dari kata 'etnologi' dan 'linguistik', yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik. Dalam studi semacam ini sebenarnya terjadi hubungan timbal-balik yang menguntungkan antara disiplin linguistik dengan disiplin etnologi, yaitu (a) kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi. a. Kajian Linguistik untuk Etnologi 1. Bahasa dan Struktur Pemikiran Penelitian mengenai dimensi-dimensi kenyataan yang dianggap penting oleh suatu kebudayaan, kemudian juga memunculkan suatu cabang kajian baru yang berusaha mengungkapkan struktur pemikiran manusia. Hal ini memang merupakan akibat lebih lanjut yang tidak dapat dihindari, karena ketika berbagai hasil penelitian tentang sistem klasifikasi harus ditampilkan dalam bentuk berbagai model yang digunakan tersebut memang mencerminkan struktur pemikiran yang ada pada manusia. Upaya untuk mencerminkan struktur pemikiran yang ada pada manusia. Upaya untuk mendalami berbagai macam sistem klasifikasi serta berbagai model yang dapat digunakan untuk
22
menampilkan kini menjadi sebuah spesialisasi yang disebut antropologi kognitif (cognitive anthropology) Kajian ini pertama-tama memutuskan perhatian pada dimensi semantik dan berbagai istilah yang ada dalam suatu domain 'bidang' dalam suatu kebudayaan. Misalnya saja bidang kekerabatan, bidang klasifikasi tanaman, atau bidang penelitian kemudian menyusun sebuah kerangka klasifikasi yang ditemukan dengan lebih mudah dan jelas. Secara tidak langsung, kerangka klasifikasi yang ditemukan yang merupakan suatu struktur ini mencerminkan struktur yang ada dibalik berbagai istilah yang ada dalam suatu bidang yang teliti, dan ini dianggap juga mencerminkan struktur yang ada dalam pemikiran manusia, walaupun belum atau bukan merupakan keseluruhan struktur. Hal ini, dengan istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali yang mengandung makna-makna kultural yang mencerminkan struktur pemikiran masyarakat Jawa, misal saja istilah kata "epek timang" [EpE? timaG] yang oleh masyarakat Jawa digambarkan sebagai suatu perlambang bahwa sebenarnya seni budaya Jawa mempunyai suatu keunggulan yang dari hati sanubari para leluhur yang melekat pada jiwa para trah kusuma (keturunan para ratu). 2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan Kajian tentang bahasa dan maknanya akan memungkinkan kita mengetahui cara memandang kenyataan yang ada dikalangan
23
pendukung bahasa yang kita teliti, artinya kita dapat mengetahui dimensi-dimensi kenyataan mana yang mereka anggap penting dan relevan dalam kehidupan mereka, dan dari sini kita dapat mengetahui tempat unsure kenyataan tertentu dalam kehidupan mereka. Bagi orang Jawa, pemakaian kata-kata itu sendiri memang lantas terkait dengan berbagai macam hal yang ada dalam budaya mereka. Misalnya, dalam kesenian reog terdapat istilah jathilan. Seorang pemain jathilan tidak akan dianggap hebat jika orang bilang dia bisa „mangan sega‟ atau „mangan beras‟ (dalam bahasa Inggris „eat rice‟). Lain halnya jika orang bilang dia bisa „mangan pari‟ atau „mangan gabah‟ (dalam bahasa Inggris tetap „eat rice‟), sebab tidak semua orang mampu makan padi atau gabah. Oleh karena itu, jika kita ingin mengekspresikan “Seorang pemain jathilan mampu makan gabah dengan cepat tanpa luka” dalam bahasa Inggris, mungkin kita akan sedikit mengalami kesulitan, karena dalam bahasa ini tidak ada pembedaan antara gabah, beras, dan nasi. Fakta ini setidak-tidaknya memperlihatkan pada kita bahwa kenyataan yang sama tidak selalu dilihat dengan cara yang sama.
BAB III
METODE PENELITIAN
24
Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992: 31). Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai delapan hal, yaitu: (1) sifat penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) data, (4) sumber data, (5) populasi, (6) sampel, (7) metode pengumpulan data, dan (8) metode analisis data.
A. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif artinya data yang dianalisis dan hasilnya berupa deskriptif fenomena bukan angka (Aminudin, 1990: 16). Dengan kata lain penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan catatan berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993: 62). Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahannya. Dalam
25
penelitian ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan data kebahasaan terutama mengenai istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Adapun lokasi penelitian ini ada di wilayah Boyolali, yaitu lebih tepatnya di desa Glonggong, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Penulis mengambil lokasi ini sebagai lokasi objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah Jawa yang masih melestarikan kebudayaan Jawa, terutama di bidang kesenian yaitu kesenian pertunjukan rakyat khususnya kesenian reog. Sehingga secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung dalam proses penelitian.
C. Data Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan sebagai data utama yang akan diteliti, dan data tulis sebagai data pembanding. Data lisan diperoleh dari informan, sedangkan data tulis diperoleh dari buku-buku yang ada kaitannya dengan kesenian reog.
26
D. Sumber Data Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan terpilih yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Sumber yang berasal dari informan berupa tuturan yang mengandung istilah-istilah yang dipakai dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali. Adapun kriteria informan adalah: a. Pemain reog b. Penduduk asli daerah setempat c. Memahami bahasa dan budaya Jawa d. Berumur 25-70 tahun dan belum pikun e. Memiliki alat ucap sempurna f. Alat pendengaran yang normal g. Memiliki waktu yang cukup untuk wawancara h. Bisa berbahasa Indonesia secara aktif Adapun informan yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Bapak Mulyono, tetua masyarakat desa Glonggong. b. Bapak Sutarno, pemimpin reog. c. Bapak Sumeh, penyanyi dalam reog. d. Bapak Sariman, pengrawit alat musik pengiring. e. Bapak Sulasman pemain jaran kepang. f. Bapak Suratno, pemain celeng. g. Bapak Jumirin, peman penthul-tembem. h. Ibu Dalmi, 50 tahun, pedagang.
27
i. Saudara Sulur, 37 tahun, penonton j. Saudara Sayekti, S.Pd.I., 30 tahun, penonton. Sedangkan sumber data tulis dalam penelitian ini berasal dari referensi buku, diantaranya adalah: 1. Reog Ponorogo (Untuk Perguruan Tinggi). (Hartono: 1980). 2. Reog
Ponorogo
Menari
di
Antara
Dominasi
dan
Keragaman.
(Muhammad Zamzam Fauzanafi: 2005). 3. Kesenian Reog Tradisi Sebuah Kajian Seni pertunjukan Rakyat mengenai Fungsi-fungsi dan Kebudayaan pada Masa Kini Desa Kalikebo Kabupaten Klaten. (Margono, Sudarsono: 2002).
E. Populasi Dalam penelitian linguistik populasi pada umumnya adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Subroto, 1992: 32). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.
F. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang di jadikan sebagai objek penelitian langsung yang mewakili populasi. Cara pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampel yaitu pengambilan secara selektif disesuaikan kebutuhan dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan data yang ada. Sampel dalam penelitian ini diambil dari sumber data lisan. Sampel dari sumber data lisan berupa 53 istilah-istilah kesenian
28
reog di Kabupaten Boyolali, misalnya : gong, angklung, trompet, saron, barongan, dhadhak merak, kembang setaman, sega golong, dan sebagainya.
G. Metode Pengumpulan Data Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisa, dan menjelaskan suatu fenomena. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak atau penyimakan atau metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Sebagai teknik dasarnya, teknik sadap. Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran penyadap pemakaian bahasa di masyarakat sekitar. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar. Teknik sadap digunakan bersama-sama dengan teknik rekam yaitu menyada dan merekam pemakaian istilah-istilah yang ada dalam kesenian reog secara spontan. Fungsinya: (1) untuk mengabadikan data dari hasil wawancara dan informan, (2) untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian, (3) merekam pengucapan secara wajar terhadap satuan lingual yang terlepas dari konteks/kalimat, (4) mempermudah memberikan bentuk satuan lingual yang di teliti, maknanya dan fonetisnya. Penelitian juga menggunakan teknik kerja sama dengan informan atau wawancara. Informan yang diwawancarai adalah penutur asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti yang merencanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik pustaka adalah data penelitian ini bersumber dari pustaka. Teknik pustaka yaitu teknik yang menggunakan data
29
dari sumber tertulis seperti: majalah, buku, artikel, dan buku paket berbahasa Jawa dan sebagainya untuk mendapatkan data. Teknik selanjutnya, teknik catat yaitu memperoleh data kebahasaan atau istilah-istilah yang relevan sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian. Jadi hal-hal yang penting dalam wawancara tersebut dicatat sebagai realisasi dari teknik catat. Setelah melewati beberapa teknik lanjutan kemudian data yang sudah ditranskripsikan dalam bentuk data dan di klasifikasikan dalam bentuk analisis. .
H. Metode Analisa Data Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode distribusional dan metode padan. Kedua metode ini digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data. 1)
Metode Distribusional Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya
adalah unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk dari istilah kesenian reog tradisi. Teknik dasar yang digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud Teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini untuk membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian. Unsur-unsur tersebut dipandang sebagai bagian yang langsung pembentukanya. Teknik ini digunakan untuk menganalisis bentuk dari istilah dalam kesenian reog adalah kata dasar atau kata jadian.
30
31
Adapun penerapan metode distribusional adalah sebagai berikut. 1. Alat musik pengiring. → Bentuk Monomorfemis (satuan morferm) a. kendhang (k|nDaG) „kendang‟ b. trompet (trompEt) „terompet‟ c. gong (gOG) „gong‟ d. angklung (aGklUG) „angklung‟ 2. Alat-alat untuk pemain. → Bentuk Monomorfemis (satu morfem) a. topeng [topEG] „topeng‟ b. pecut [p|cUt] „pecut‟ → Bentuk polimorfemis (lebih dari satu morferm) a. barongan [baroGan] „barongan‟ →Bentuk Frase (terdiri dari dua/lebih kata) a. dhadhak merak [DaDa? m|ra?] „dhadhak merak‟ b. jaran kepang [jaran kepaG] „kuda kepang‟ 3. Alat-alat untuk sesajian. →Bentuk Frase (terdiri dari dua/lebih kata) a.
gedhang raja (g|DaG rOjO)
b. kembang setaman [k|mbaG s|taman] „bunga setaman‟ c. rujak degan [ruja? d|gan] „rujak degan‟
32
2) Metode Padan Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya di luar bahasa yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Metode ini digunakan untuk menganalisis dari makna kata dari istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali. Dalam penelitian ini analisis data bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa dalam istilah dalam kesenian reog tradisional. Adapun penerapan metode padan seperti sebagai berikut. a.
Pecut [p|cUt] adalah seutas tali yang terbuat dari bambu atau rotan. Makna cultural dari pecut ini adalah dipergunakan untuk menggerakkan para pemain agar selalu bersemangat dan tidak mudah putus asa atau menyerah. Selain itu pecut juga digunakan untuk mengundang dan mengembalikan roh halus sehingga roh halus yang dibutuhkan dapat dikendalikan dengan pecut.
b.
Kendhang [k|nDaG] adalah alat musik perkusi yang berfungsi sebagai aba-aba atau dimulainya gending dan berfungsi sebagai pengiring gerakan juga pengendali irama. Adapun makna kulturalnya kendang berperan sebagai genderang bagi prajurit yang dapat melahirkan sikap dan langkah yang tegas serta untuk menampakkan semangat prajurit. Jadi kendang dalam kesenian reog dipercaya dapat membakar semangat dan pengatur situasi penonton.
33
c.
Trompet [trompEt] adalah salah satu alat musik dalam kesenian reog yang berfungsi sebagai pembawa lagu/melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan, makna kulturalnya adalah bunyi yang merupakan suatu perintah yang harus ditaati. Terompet di sini dipercaya dapat membakar semangat dan mengorbankan jiwa juang.
d.
Gong [gOG] berbentuk seperti bonang tapi dalam ukuran yang lebih besar berfungsi sebagai bas yang dipukul bersamaan dengan bonang pada pukulan genap. Makna kulturalnya adalah menggambarkan komando yang menggugah semangat tempur dengan bunyi gong tersebut.
e.
Angklung [aGklUG] adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara di getarkan. Makna kultural dari angklung adalah sebagai simbol kegirangan hati rakyat.
f.
Dhadhak merak [Dada? m|ra?] artinya peralatan utama dalam reog yang artinya burung merak yang berada di atas kepala harimau. Adapun makna kulturalnya adalah menggambarkan sifat yang terpuji, berwibawa, dan dicintai.
g.
Barongan [baroGan] adalah barong tiruan atau kepala harimau yang mempunyai makna kultural menggambarkan perawatakan yang kokoh, tenang, waspada, dan terampil dalam bergerak.
h.
Kembang setaman [k|mbaG s|taman] adalah bunga yang berbau wangi yang digunakan dalam sesajian. Makna kulturalnya adalah menumbuhkan kekuatan batiniah.
34
i.
Rujak degan [ruja? d|gan] adalah peralatan dalam sesajian yang terdiri dari kelapa muda yang dibikin rujak. Makna kulturalnya adalah agar kekuatan batiniah itu bisa bergerak dengan segar.
j.
Menyan cina [m|¥an cinO] merupakan peralatan yang digunakan dalam sesaji. Makna kulturalnya adalah aroma atau bau menyan cina yang dibakar itu digunakan untuk memanggil roh halus yang dibutuhkan untuk memberikan kekuatan ghoib sesuai dengan permintaan.
k.
Jaran kepang [jaran kepaG] adalah alat yang terbuat dari anyaman bambu yang bentuknya seperti kuda. Makna kulturalnya adalah sebagai lambang ilmu kebatinan.
3). Metode Penyajian Hasil Analisis Data Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hiduppada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 63) Metode informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, tabel, grafik, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar
35
yaitu gambar dokumentasi foto saat pengambilan foto pertunjukan reog dalam acara perayaan kemerdekaan di Desa Glonggong, pada peringatan HUT Kabupaten Boyolali di lapangan Nogosari, acara perayaan Idul Fitri.
BAB IV
PEMBAHASAN Berdasarkan pada masalah penelitian, maka analisis data ini dideskripsikan bentuk, makna leksikal dan makna kultural, fungsi pertunjukan kesenian reog bagi masyarakat, dan para pemain kesenian reog di Kabupaten Boyolali.
A. Bentuk Istilah dalam Kesenian Reog Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis yang dilakukan, ditemukan bentuk istilah alat musik pengiring, peralatan untuk permain, busana atau kostum yang dipakai, pemain, lagu dan tarian, dan sesajian.
1. Monomorfemis Monomorfemis mencakup semua kata yang tergolong kata dasar bentuk tunggal dalam istilah kesenian reog, dengan pengertian bahwa morfem itu dapat
36
berdiri sendiri, bermakna dan tidak terikat dengan morfem lain. Dengan kata lain, kata tersebut belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang, dan belum digabungkan. Adapun istilah yang termasuk bentuk monomorfemis adalah sebagai berikut. 1.
34
37
Alat Musik Pengiring (Gamelan) 1.1 Gong [gOŋ]
(Minggu,26 Oktober 2008) Gong [gOŋ] adalah seperti kethuk bonang tetapi dalam ukuran yang besar, berfungsi sebagai bas dipukul bersamaan dengan bonang pada pukulan genap. 1.2 Angklung [aGklUG]
(Minggu,26 Oktober 2008) Angklung [aGklUG] adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara digetarkan berfungsi sebagai ritmis dan berfungsi sebagai pengiring di sela-sela bonang. 1.3 Bonang [bonaG]
(Minggu, 26 Oktober 2008)
38
Bonang [bonaG] adalah alat musik pukul berbentuk bulat dengan tonjolon di tengahnya. 1.4 Kendhang [kənDaŋ]
(Senin, 18 Agustus 2008) Kendhang [kənDaŋ] adalah alat musik perkusi yang berfungsi sebagai aba-aba saat dimulainya gending dan berfungsi sebagai pengiring gerakan juga pengendali irama. 1.5 Ketipung [k|tipUG]
(Senin, 18 Agustus 2008) Ketipung [k|tipUG] adalah berbentuk seperti kendang tetapi dalam ukuran yang lebih kecil dan berfungsi sebagai penambah rempeg atau meriahnya gending, ditabuh di sela-sela pukulan kedua bonang.
39
1.6 Trompet [trompEt]
(Kamis, 05 Juni 2008) Trompet [trompEt] adalah salah satu alat musik dalam kesenian reog yang berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan. 1.7
Saron [sarOn]
(Kamis, 05 Juni 2008) Saron (sarOn) adalah alat yang terbuat dari kuningan, cara membunyikannya dengan ditabuh atau dipukul. 2. Peralatan untuk permainan Adapun peralatan yang digunakan dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali sebagai berikut.
40
2.1 Topeng (topEG)
(Kamis, 05 Juni 2008) Topeng (topEG) adalah aling-aling atau tutup wajah yang dibuat dari kayu, dan dibentuk menurut kreasi budaya daerah yang ada. 2.2 Pecut (p|cUt)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Pecut (p|cUt) adalah alat yang dibuat dari penjalin (bambu atau rotan) yang diberi upat-upat benang warna merah putih. Pecut biasa digunakan oleh pawang untuk mengendalikan pemain jaran kepang. 2.3
Celeng (cElEG)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Celeng (cElEG) adalah alat yang dibuat dari anyaman bambu yang bentuknya seperti binatang babi. Dalam pertunjukan reog di Kabupaten Boyolali ada dua celeng yaitu celeng yang berwarna hitam dan merah.
41
2.4 Penthul (p|nTUl)
(Kamis, 05 Juni 2008) Penthul (p|nTUl) adalah topeng yang bentuknya beraneka ragam, dibentuk sesuai dengan kreasi masyarakat daerah yang ada. Penthul biasa digunakan untuk membuat suasana pertunjukan reog semakin meriah dan semarak. 2.5 Tembem (t|mb|m)
(Kamis, 05 Juni 2008) Tembem (t|mb|m) adalah topeng yang menyerupai wanita dan pria. Tembem ini terbuat dari kayu yang dibentuk seperti wajah seorang wanita dan pria, yang fungsinya sama dengan penthul yaitu menambah meriahnya pertunjukan reog. 2.6 Keris (k|rIs)
42
(Minggu, 26 Oktober 2008) Keris (k|rIs) adalah alat yang terbuat dari yang dibentuk dengan luk (lekuk-lekuk). Bentuknya berlekuk-lekuk dari ukuran besar kemudian semakin kecil sampai ujung keris dengan bentuk tumpul. 3. Busana (kostum) Busana atau kostum yang dipakai dalam kesenian reog di kabupaten Boyolali sebagai berikut. 3.1 Ancinco (ancinco)
(Senin, 18 Agustus 2008) Ancinco (ancinco) adalah busana yang dipakai para pemain baik atasan (baju) atau bawahan (celana), semua berwarna hitam-hitam.
3.2
Udheng (uD|G)
43
(Minggu, 26 Oktober 2008) Udheng (uD|G) adalah iket yang dipakai untuk menutup kepala. Udheng ini berupa kain yang bercorak batik dengan berbagai warna. 3.3 Sampur (sampUr)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Sampur (sampUr) adalah selendang yang diikatkan di pinggang dan kedua ujungnya terulur dengan berbagai warna, biasanya dengan warna yang cerah. 3.4
Jarik (jarI?)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Jarik [jarI?] adalah kain panjang berwarna latar hitam dan corak batik warna coklat dengan motif beraneka.
3.5
Setagen (s|tagEn)
44
(Minggu, 26 Oktober 2008) Setagen (s|tagEn) adalah kostum berupa kain yang dililitkan di pinggang berwarna cokelat atau hitam bergaris-garis putih, ada juga yang tanpa garis-garis putih. 4. Pemain Reog 4.1 Warok (warO?)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Warok (warO?) adalah seseorang yang „menguasai ilmu„ (kejawen) atau pimpinan kelompok reog. Dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali ada dua warok yaitu warok tua dan warok muda 4.2
Paraga (parOgO)
(Kamis, 5 Juni 2008) Paraga (parOgO) adalah keseluruhan para pemain baik dari pemain jaran kepang, dhadhak merak, barongan, celeng dan pentul tembem. 4.3 Pawang (pawaG)
45
(Minggu, 26 Oktober 2008) Pawang (pawaG) adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mendatangkan dan mengembalikan roh halus yang dibutuhkan seperti roh nenek moyang (pangeran Samudra). 4.4
Srati (srati)
(Kamis, 05 Juni 2008) Srati (srati) adalah orang yang mempunyai tugas dan kemampuan untuk mengawasi dan mengamankan gerak para pemain. 5. Lagu dan Tarian (adegan) 5.1 Tanjak (tanja?) adalah posisi gerakan berdiri dari jengkeng. Gerakan ini biasa dilakukan oleh pemain jaran kepang. 5.2 Sendon (s|ndOn) adalah adegan keluarnya penthul-tembem dari arah pengiring ke tengah arena sambil menari bersamaan dengan lagu (tembang). Adegan ini dilakukan pada waktu pemain dhadhak merak dan barongan, jaran kepang, dan celeng istirahat. 5.3 Jongklang (joGklaG) adalah gerak kaki yang nyongklang atau pincang. Gerakan ini berupa gerakan kaki satu diangkat dan yang satunya di bawah sambil berjalan.
46
6. Sesajian 6.1
Buncet (bunc|t)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Buncet (bunc|t) adalah nasi yang dibentuk seperti gunungan dalam bentuk tumpeng kecil. 6.2
Krupuk (krupU?)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Krupuk (krupU?) adalah perlengkapan dalam sesajian yang berupa krupuk berwarna merah.
6.3 Peyek (pEyE?)
47
(Minggu, 26 Oktober 2008) Peyek (pEyE?) adalah merupakan perlengkapan dalam sesajian yang berupa lauk pauk yang terbuat dari kacang tanah. 2. Polimorfemis Bentuk polimorfemis meliputi: (1) pengimbuhan atau penambahan afiksasi, (2) pengulangan atau reduplikasi, dan (3) pemajemukan. Adapun kata-kata yang termasuk dalam bentuk polimorfemis adalah : 1. Alat untuk pemain 1.1 Barongan (baroGan)
(Kamis, 05 Juni 2008) Barongan (baroGan) adalah barong (kepala harimau) tiruan atau barong yang tidak sebenarnya. Barong + an → barongan „tiruan kepala harimau tiruan‟ Nomina + Sufiks -an → nomina. Akhiran -an mempunyai arti tiruan atau tidak sebenarnya sehingga barongan adalah barong tiruan. 2. Pemain Reog 2.1 Mbarong (mbarOG)
48
(Senin, 18 Agustus 2008) Mbarong (mbarOG) salah satu pemain dalam reog yang menggunakan barongan, biasa disebut pembarong. Mbarong: m-+ barong → mbarong „pelaku„ Prefiks M - + nomina → verba denominal. Prefiks M- memberi makna orang yang melakukan, jadi mbarong adalah orang yang membawa barongan. 2.2 Pengrawit (p|Grawit)
(Kamis, 05 Juni 2008) Pengrawit (p|Grawit) adalah bagian dari pemain reog yang memainkan musik. Pengrawi : peNg- + krawit „musik‟ → pengkrawit „orang yang memainkan musik‟. Prefiks peNg- + nomina → verba denominal. Prefiks peNg- memberikan arti orang yang melakukan. Jadi pengkrawit adalah orang yang memainkan musik atau gending. 2.3 Penggerong (p|GgerOG)
49
(Senin, 18 Agustus 2008) Penggerong (p|GgerOG) „penyanyi dalam reog‟. Penggerong: peNg- + gerong „menyanyi‟ → penggerong ‟penyanyi dalam reog‟. Prefiks peNg+ verba → verba denominal. 3 Lagu dan Tarian 3.1
Ganongan (ganoGan) Ganongan (ganoGan) „gerakan tari yang didominasi gerakan lari, dan akrobat yang cepat dan lincah‟. Ganongan: ganong + -an → ganongan „gerakan lari dan akrobat‟. Nomina + sufiks -an → verba denominal.
3.2
Gendhing panaragan (g|nDIG pOnOragan). Gendhing panaragan (g|nDIG pOnOragan) adalah gending yang dipergunakan sebagai iringan joget/tari, iring-iringan dan tetabuhan biasa yang dapat diikuti dengan lagu-lagu sesuai keinginan. Gendhing panaragan termasuk dalam polimorfemis karena kata gendhing panaragan mengalami proses pemajemukan leksikal dari bentuk kata dasar gendhing „iringan‟ dan panaragan „lagu‟ sehingga makna yang terbentuk adalah iring-iringan/tetabuhan yang diiringi lagu-lagu sesuai keinginan.
3.3
Sabetan (sab|tan) Sabetan (sab|tan) ‟gerakan tari berupa gerakan mencambuk dengan pecut‟. Sabetan: sabet „cambuk‟ + -an → sabetan „mencambuk‟. Verba + sufiks -an → verba denominal.
50
3.4
Kebatan (kebatan) Kebatan (kebatan) adalah gerakan mengibaskan sampur. Kebatan: kebat „kebat‟ + -an → kebatan „mengibaskan‟. Verba + sufiks -an → verba denominal.
3.5
Jathilan (jaTilan) Jathilan: jathil „kuda‟ + -an → jathilan „tarian kuda‟. Nomina + sufiks an → denominal. Akhiran -an pada jathilan memberi makna „tiruan‟. Jadi jathilan adalah tiruan tari kuda.
4. Sesajian 4.1
Menyan cina (m|¥an cinO)
(Senin, 18 Agustus 2008) Menyan cina (m|¥an cinO) „kemenyan‟. Proses pembentukan kata menyan cina melalui proses pemajemukan dengan penghadiran bentuk dasar yang prakategorial. Adapun bentuk dasar itu adalah menyan cina „kemenyan‟ kata menyan merupakan persenyawaan dari kata cina, yang memberikan cap bahwa konstruksi yang dibentuk adalah benar-benar kata majemuk dan bukan frase. 4. 2 Kinangan (kinaGan)
51
(Senin, 18 Agustus 2008) Kinangan (kinaGan) „kinangan‟. Kinangan terbentuk dari kata kinang + -an → kinangan. Nomina + sufiks -an → denominal. Sufiks -an merupakan pemarkah atau penjelas kata benda. Jadi kinangan merupakan merupakan kumpulan beberapa benda, antara lain: tembakau, gambir, enjet, dan suruh. 4.3
Jajanan pasar (jajanan pasar)
(Senin, 18 Agustus 2008) Jajanan pasar (jajanan pasar) „aneka macam makanan yang biasa dibeli dari pasar. Kata jajanan + pasar merupakan penggabungan dua kata yang mana kedua kata itu merupakan kata pokok dari kata itu. Penggabungan kedua kata itu disebut kata majemuk, sehingga dari penggabungan dua kata itu mengalami perubahan makna yang awalnya jajanan „makanan‟ dan pasar „tempat jual beli‟ menjadi jenis makanan yang beraneka ragam yang dibeli dari pasar. Kata jajanan itu sendiri, mengalami proses morfologis yaitu jajan + sufiks -an. Akhiran -an mengubah makna dari kata kerja (verba) jajan menjadi kata benda (nomina) yaitu jajanan.
52
4.4
Sega golong (s|gO gOlOŋ)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Sega golong adalah nasi yang berbentuk lingkaran kecil yang biasa diletakkan di sekitar nasi tumpeng. Sega golong merupakan kata majemuk yang dibentuk dari kata sega + golong → sega golong. Nomina + ajektiva → denomina.
5.Busana / Kostum 5.1
Koloran (koloran)
(Kamis, 05 Juni 2008) Koloran (koloran) „kolor atau tali pada celana‟. Terbentuk dari kata kolor „kolor‟ + -an → koloran. Nomina + sufiks -an → denominal. Akhiran
-an memberi makna „penjelas kata benda‟. Jadi koloran
adalah tali pada celana. 5.2
Epek timang (EpE? timaG)
(Minggu, 26 Oktober 2008)
53
Epek timang (EpE? timaG) „sabuk atau ikat pinggang‟. Epek timang terbentuk dari dua kata yaitu epek „epek‟ + timang „timang„, merupakan proses pemajemukan dari dua kata yang mana kedua kata itu merupakan kata pokok sehingga hadir makna baru yaitu ikat pinggang yang dilengkapi dengan timang atau gesper. 3. Frase Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono, 1982: 57). 1. Busana/Kostum 1.1 Kaos loreng (kaOs lorEG)
(Minggu, 26 Oktober 2008) Kaos loreng (kaOs lorEG) „kaos yang berwarna merah dan putih‟. Kaos loreng merupakan bentuk frase endosentris yang atribut dari kata kaos + loreng → kaos loreng. Kata kaos termasuk golongan kata nomina, maka frase kaos loreng termasuk golongan frase nomina. 1.2 Udheng jilidan (uD|G jilidan)
54
(Minggu, 26 Oktober 2008) Udheng jilidan (uD|G jilidan) „ikat kepala‟ seperti blangkon. Udheng „iket kepala‟ + jilidan „jilid‟ merupakan bentuk frase endosentrik yang atribut. Pembentukan frase dari kata udheng „iket‟ dan jilidan „jilid‟, yang mana kata udheng termasuk kata nomina yang diikuti kata verba, karena itu frase udheng jilidan termasuk golongan frase nomina, sehingga makna yang dihadirkan adalah iket kepala yang sudah dibentuk (blangkon). 1.3 Udheng modhang (uD|G moDaG)
Minggu, 26 Oktober 2008 Udheng modhang merupakan bentuk frase endosentrik yang atribut dari kata udheng „iket‟ dan modhang „batik‟. Kata udheng termasuk frase nomina sebagai UP yang diikuti frase verba sehingga frase udheng modhang termasuk golongan frase nomina. Jadi udheng modhang adalah „ikat kepala‟ yang masih berupa kain batikan atau ikat kepala yang belum berbentuk blangkon. 2. Sesajian 2.1 Rujak degan (ruja? d|gan)
55
(Senin, 18 Agustus 2008) Rujak degan (ruja? d|gan) „rujak kelapa muda‟. Rujak degan terdiri dari kata rujak „rujak‟ dan degan „kelapa muda‟ ini merupakan bentuk frase endosentrik yang koordinatif. Kesetaraan frase rujak degan dapat dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata dan atau atau. Frase rujak degan termasuk golongan frase nominal yang terbentuk dari frase nomina (rujak) sebagai unsur pusat (UP) diikuti frase nomina (degan). 2.2
Kembang setaman (k|mbaG s|taman)
(Senin, 18 Agustus 2008) Kembang setaman (k|mbaG s|taman) „bunga lima warna/macam. Kembang setaman merupakan bentuk frase endosentrik yang atribut, yang berasal dari kata kembang „bunga‟ dan setaman
„lima warna‟.
Frase kembang termasuk frase nomina sebagai UP yang diikuti frase nomina (setaman), sehingga kembang setaman termasuk frase nomina. 2.3 Gedhang raja (g|DaG rOjO)
56
Senin, 18 Agustus 2008 Gedhang raja (g|DaG rOjO) adalah pisang yang selalu digunakan dalam sesajian. Pisang ini berwarna kuning. Gedhang raja merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif yang terbentuk dari dua kata yaitu gedhang + raja → gedhang raja. Nomina (gedhang) sebagai UP yang diikuti nomina (raja) sebagai pelengkap atau atribut. 3. Peralatan untuk Pemain 3.1 Jaran kepang (jaran kepaG) „kuda kepang‟
(Minggu, 26 Oktober 2008) Jaran kepang (jaran kepaG) „kuda kepang‟. Jaran kepang merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif dari kata dasar jaran „kuda‟ dan kepang „anyaman bambu‟. Frase jaran termasuk nomina sebagai UP, dan kepang termasuk nomina sebagai atribut/pelengkap sehingga jaran kepang termasuk golongan frase nomina. Jadi jaran kepang adalah anyaman dari bambu yang berbentuk seperti kuda. 3.2 Dhadhak merak (DaDa? m|ra?)
(Senin, 18 Agustus 2008)
57
Dhadhak merak merupakan bentuk frase endosentrik yang koordinatif. Kesetaraannya itu dapat dibuktikan dengan adanya kemungkinan kedua kata itu dihubungkan dengan kata dan atau atau sehingga menjadi dhadhak dan merak, dhadhak atau merak. Penambahan kata penghubung itu tidak merubah artidari kata semula yaitu dhadhak merak yang artinya burung merak. 4. Atraksi 4.1
Jaran ngedan (jaran Gedan)
(Senin, 18 Agustus 2008) Jaran ngedan (jaran Gedan) „pemain kuda yang gila‟. Jaran „kuda‟ + ngedan „gila‟ merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif. Kata jaran (nomina) sebagai UP yang diikuti kata ngedan (verba) sebagai atribut atau pelengkap seingga terbentuk kata jaran ngedan (frase verbal) sehingga artinya pemain kuda yang melakukan atraksi gilagilaan. Bentuk kata ngedan terbentuk dari: Ng- + edan „gila‟ → ngedan „tindakan gila‟. Prefiks nasal Ng- sebagai pemarkah kata ngedan yang menunjukkan bahwa pemarkahan oleh afiks berarti makna khusus atau spesifik dan konkret yaitu sebuah tindakan yang gila.
58
4.2 Celeng ngedan (cElEG Gedan) Celeng ngedan (cElEG Gedan). „pemain celeng yang gila‟. Celeng ngedan merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif. Frase celeng (nomina) sebagai UP diikuti frase ngedan (verba) sebagai atribut sehingga terbentuk frase celeng ngedan (frase verbal) yang artinya pemain celeng yang melakukan atraksi gila. Kata ngedan terbentuk dari prefiks -ng + edan ngedan „bergaya seperti gila‟.
B. Makna Leksikal dan Kultural
1. Makna Leksikal Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem (Chaer,1994: 7). Makna leksikal dari istilah-istilah kesenian reog, sebagai berikut . 1) Gong Gong seperti bonang tetapi dalam ukuran yang lebih besar berfungsi sebagai bas yang dipukul bersamaan dengan bonang pada pukulan genap. Dalam kesenian reog, gong mempunyai laras (nada) slendro. Gong merupakan instrumen pengiring kesenian reog yang paling dominan
karena
apabila
dibunyikan
menghasilkan
suara
yang
menggelegar, menggetarkan dada serta dapat didengar dari jarak yang cukup jauh. Suaranya terdengar berirama tegas seperti komando yang menggugah semangat tempur.
59
2) Angklung Angklung adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara digetarkan. Wujud angklung ada berbagai macam ukuran. Ada yang besar, ada yang kecil dan ada pula yang tanggung. Semua ada tiga kelompok (oktaf). Dan tiap kelompok ada lima buah angklung (lima buah nada). Angklung besar dibuat dari bambu yang besar, dengan ukuran
dua ruas, atau lebih kurang lima puluh senti meter
panjangnya. Cara membunyikan angklung itu adalah dengan cara digetarkan bambu kecil (panjang) yang bisa diturun naikkan dalam bambu besar tersebut. 3) Bonang Bonang adalah alat musik pukul berbentuk bulat dengan tonjolan ditengahnya. Bonang berbentuk seperti gong dalam ukuran kecil. Cara membunyikanya dengan cara dipukul secara ritmis dan bergantian dengan ritme tetap sesuai dengan tempo gending itu sendiri. 4) Kendhang Kendhang adalah alat musik perkusi yang berfungsi sebagai aba-aba saat dimulainya gendhing dan berfungsi sebagai pengiring gerakan juga pengendali irama. Dalam kesenian reog, kendang yang dipergunakan adalah kendang ukuran besar. Panjangnya lebih kurang seratus sentimeter, sedangkan garis tengahnya sekitar tiga puluh lima senti meter. Cara membunyikan kendang dengan cara dipukul. Peranan kendang
60
dalam kesenian reog ini sangat menentukan, karena kendang bisa mengolah nafas permainan, serta juga sebagai pengatur situasi penonton. 5) Ketipung Ketipung adalah alat musik yang berbentuk seperti kendang tetapi dalam ukuran yang lebih kecil dan berfungsi sebagai penambah rempeg/meriahnya gending. Cara membunyikannya dengan cara dipukul dengan alat pemukul yang lentur di sela-sela pukulan kedua bonang. Ada orang yang mengatakan ketipung adalah kendang kecil. Ketipung dipergunakan bersama dengan kendang. 6) Trompet Trompet ialah salah satu alat musik dalam pertunjukan reog yang berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan. Trompet dibuat dari kayu yang berbentuk seperti corong. Cara membunyikannya yaitu dengan cara ditiup pada bagian ujungnya yang kecil. Suara yang dikeluarkan, diatur dengan adanya lubang-lubang pada bagian tengah-tengahnya. 7) Saron Saron adalah salah satu alat musik yang digunakan dalam pertunjukan reog yang terbuat dari kuningan. Cara membunyikan dengan dipukul atau ditabuh. 8) Barongan Barongan adalah salah satu instrumen yang penting dalam permainan reog. Barongan artinya barong tiruan atau barong yang tidak
61
sebenarnya; Arti sufiks/akhiran -an pada barongan adalah tidak sebenarnya; tetiron; tiruan. Contoh lain, misalnya: bunthutan, bedhilan, gunungan. Artinya bunthut tiruan, bedhil tiruan, gunung tiruan, dan sebagainya. BARONG : dalam bahasa Jawa Kuna : barwang dalam bahasa Melayu
: beruwang
dalam bahasa Batak
: baruwang
dalam bahasa Dayak
: bahuwang
dalam bahasa Belanda
: beer
Menurut Tjokrodibroto, kata barongan sebenarnya sudah merupakan persenyawaan. Asalnya dari singa barongan, yang artinya singa barong tiruan (Hartono, 1980: 61). Singa adalah harimau. Barong adalah suri atau gimbal. Jadi, singa barong artinya harimau yang berambut gimbal. Suri: rambut panjang yang terdapat pada leher kuda. Gimbal: rambut yang tebal, subur, tetapi tidak terurusi. Akhirnya menjadi kusut. Dahulu kata barongan berarti pula nama dari semua topeng hewan. Jadi, semua topeng hewan disebut barongan. Misalnya, topeng ular, topeng buaya, topeng harimau, topeng kuda dan sebagainya. Dalam kesenian reog yang disebut barongan ialah topeng harimau (kepala harimau). Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat barongan adalah 1. Kayu yang kuat dan ulet, tetapi ringan. Kayu tersebut dipergunakan untuk kerangka tengkorak, dan nanti sebagai dasar melekatkan kulit
62
harimau. Kepala harimau ini mulutnya agak lebar, sebab nanti akan dipergunakan sebagai lubang/celah-celah untuk melihat keluar si pembarong. 2. Kulit harimau. Biasanya orang senang kepada kulit harimau yang bercorak loreng, yang terkenal dengan sebutan macan gembong. Begitu pula kulit yang dicari diusahakan kulit muka (kulit kepala atau wajah). 3. Kayu palang yang kuat. Kayu tersebut pada waktu bermain digigit si pembarong, sebagai pegangan. 4. Tali pengikat yang kuat. Biasanya terbuat daripada kain. Tali ini diikatkan pada kepala pembarong bagian belakang. Dengan tali ini maka bagaimanapun gerakannya si pembarong, barongan tidak akan lepas. 5. Suri (rambut kuda) yang panjang. Dengan suri tersebut kepala harimau akan tampak hidup dan tampan. 6. Kaca atau kelereng yang jernih. Kelereng ini dipergunakan sebagai biji mata. Barongan dikenakan seperti topeng. Si pemain menggigit kayu palang. Sedang kepala pembarong dipergunakan juga sebagai tempat mengikat tali barongan. 9) Dhadhak Merak Barongan dan dhadhak merak sebenarnya dua buah benda, yang masing-masing dapat dipisahkan menjadi barongan dan dhadhak
63
(merak). Barongan berujud kepala harimau, sedangkan dhadhak berupa burung merak yang sedang menari (Bahasa Jawa ngigel). Kedua sayapnya mengembang seperti kipas dan ekornya menjulang tegak. Kedua kaki merak tampak dalam keadaan siap. Dadak merak hanya dapat dipakai bila disatukan (dipakai bersama) dengan barongan. Dadak merak dibuat dari bahan-bahan yang agak mahal, serta sukar dicarinya. Bahan-bahan yang dimaksud adalah: bambu, rotan, tali yang kuat, bulu merak dan burung merak yang sudah dikeringkan. Ukuran besarnya dhadhak merak disesuaikan dengan besarnya kepala harimau. 10) Topeng Topeng artinya tutup wajah. Dalam bahasa Betawi, topeng artinya teater atau tontonan. Dalam kesenian topeng terbuat dari kayu yang tidak mudah pecah, yang dibentuk menurut kreasi budaya daerah yang ada. topeng yang digunakan dalam permainan reog, sebagai berikut. a. Topeng hewan. Yang dimaksud topeng hewan adalah barongan. b. Topeng manusia. Topeng manusia dalam kesenian reog terdiri dari topeng penthul, topeng tembem. Topeng penthul merupakan topeng rekayasan yang dibentuk menurut kreasi budaya daerah yang ada. Topeng ini berfungsi sebagai humor atau lelucon dalam kesenian reog. Topeng tembem seperti topeng penthul tetapi topeng tembem berupa topeng yang menyerupai fungsi yang sama yaitu sebagai pengocok perut atau lelucon saja sehingga permainan reog menjadi semakin semarak.
64
c. Topeng raksasa. Bujangganong adalah topeng raksasa. Topeng ini berwujud topeng raksasa warnanya merah tua atau hitam, rambutnya panjang di depan. Matanya melotot, hidung besar dan panjang, dahi menjorok (Bahasa Jawa: ngganong) 11) Pecut Pecut adalah alat yang dibuat dari penjalin (bambu atau rotan) yang diberi upat-upat benang berwarna merah putih. 12) Keris Keris adalah alat yang dibuat dari besi yang dibentuk memakai luk (lekuk-lekuk). Bentuk keris yaitu berlekuk-lekuk dari ukuran besar kemudian semakin kecil sampai ujung keris dengan bentuk tumpul. Keris ini dipakai dengan cara diselipkan pada stagen lipatan terakhir tepat pada punggung. 13) Celeng Celeng adalah peralatan reog yang terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk seperti binatang celeng “ babi”. 14) Udheng Udheng adalah iket yang digunakan untuk menutup kepala.terbuat dari kain yang terbentuk segitiga dan biasa bercorak batik dengan warna yang gelap (hitam atau kecoklatan). Udheng atau iket kepala dapat dibedakan menjadi dua , yaitu : 1. Udheng jilidan ialah iket kepala khas buat penari.
65
2. Udheng modang ialah iket kepala berwarna coklat dengan dasar hitam dan corak batik berwarna coklat dengan dasar hitam dan corak batik berwarna coklat tepinya. 15) Jaran kepang Jaran kepang adalah kuda kepang, yang terbuat dari anyaman bambu. Dalam kesenian reog biasanya jaran kepang `kuda kepang` berjumlah dua buah berwarna hitam dan merah. Dinamakan jaran kepang `kuda kepang‟ karena kuda ini dibuat dari kepang. Kepang adalah anyaman yang dibuat dari rautan bambu yang halus. 16) Ancinco Ancinco adalah kostum yang digunakan para pemain reog yang atasan (baju) dan bawahan (celana) berwarna hitam-hitam. Atasan (baju) hitam tanpa kerah . bawahan (celana) terbagi dalam beberapa jenis, sebagai berikut : 1.
Celana hitam dingkikan adalah celana sepanjang lutut terbuat dari kain warna hitam. Celana ini adalah kostum jathilan.
2.
Celana panjang bergombyok adalah celana yang panjang sampai mata kaki, celana ini pakai oleh pemborong.
3.
Celanan panjang hitam gejigan adalah celana panjang sebatas mata kaki, seperti celana gombor tapi tidak terlalu gombor.
17) Kaos loreng Kaos loreng adalah kostum pemain reog berupa kaos yang berwarna merah dan putih (loreng antara merah dan putih)
66
18) Epek timang Epek timang adalah kostum berupa ikat pinggang yang terbuat dari kain bludru polos warna hitam dengan gesper (timang). 19) Sampur Sampur adalah kostum berupa selendang. Sampur ini diikatkan di pinggang dan kedua ujungnya terjulur. 20) Jarik Jarik adalah kostum berupa kain panjang berwarna latar hitam dan corak batik warna coklat dengan motif beraneka. Jarik ini disebut juga jarit. 21) Koloran Koloran/usus-usus atau adalah kolor atau tali yang terbuat dari benang katen (lawe) berwarna putih yang dijalin dan dipintal jadi satu, panjang 2 meter, dengan garis tengah kurang lebih 3 meter, sementara benang di kedua ujungnya dibiarkan terurai. 22) Setagen Setagen adalah kostum berupa kain yang dililitkan dipinggang berwarna gelap (hitam atau coklat). Panjangnya sekitar 4 meter dan lebarnya sekitar 10 cm. 23) Warok Warok adalah sosok pimpinan reog. Warok merupakan sosok seorang yang diakui memiliki kelebihan-kelebihan khususnya dalam ilmu Kanuragan (kekebalan tubuh) dan berderajat spiritual yang tinggi. Babad Ponorogo yang disusun Purwowijoyo mencatat bahwa secara etimologis
67
warok berasal dari kata “Waroi” (Jawa: Wirangi) yang berarti wis pana, wis ngerti banget marang agal alus lahir batin, tumindhake mung kanggo tetulung marang liyan (sudah memahami kehidupan secara sempurna lahir dan batin, dan mengabdikan hidupnya untuk membantu orang lain). Jadi warok adalah sosok yang dikenal sebagai seseorang yang menguasai ilmu Kejawen (Jawa Pos, 2003: 25). Dalam kesenian reog warok lebih terlihat sebagai pengawalpengawal (punggawa) yang biasa disebut warok muda, dan sebagai sesepuh (guru) disebut warok tua. Sosok warok muda digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam, sedangkan warok tua digambarkan sebagai sosok lelaki tua berbadan kurus. 24) Pembarong Pembarong adalah pemain reog yang menggunakan barongan. Pembarong ini memakai kostum: celana panjang gombyok, stagen, epek timang hitam, baju kimplong (baju yang menyerupai kaos singlet. 25) Pengrawit Pengrawit adalah pemain atau penabuh gamelan (alat musik pengirng reog). Pengrawit ini berjumlah 8 orang antara lain pengrawit gong,(1), kendhang (1), angklung (2), bonang (1), saron (1), ketipung (1), terompet (1).
26) Jaran ngedan
68
Jaran ngedan adalah pemain reog yang memakai peralatan jaran kepang (kuda kepang) dan melakukan atraksi seperti kuda yang gila. Gerakannya lincah dan akrobat. 27) Celeng ngedan Celeng ngedan adalah pemain reog yang memakai peralatan celeng (babi) yang melakukan atraksi yang lincah. 28) Besut Besut ialah gerakan tari dalam pertunjukan reog dengan posisi tangan kiri lurus ke depan, kaki kiri diangkat, kaki kanan napak terus berjalan sambil loncat. 29) Tanjak Tanjak adalah gerakan berdiri dari posisi jengkeng. 30) Gendhing Panaragan Gendhing panaragan ialah gendhing yang dipergunakan sebagai iringan joget atau tari iring-iringan dan tetabuhan biasa yang dapat diikuti dengan lagu-lagu sesuai keinginan. 31) Ganongan Ganongan adalah gerakan tari dalam pertunjukan reog yang mana gerakan itu didominasi gerakan lari dan akrobat yang cepat dan lincah.
32) Sembahan
69
Sembahan adalah gerakan tari berupa gerakan mengangkat kedua tangan dengan mempertemukan kedua telapak tangan di depan hidung gerakan ini biasa dilakukan sebelum permainan dimulai. 33) Sabetan Sabetan adalah gerakan tari dengan posisi tangan kanan memegang pecut kemudian pecut itu dicambukkan pada pemain jaran kepang (kuda kepang) dengan gerakan kearah atas bawah , dan sebaliknya. 34) Buncet Buncet adalah nasi yang dibentuk seperti gunungan kecil atau tumpeng kecil yang mana disekitar gunungan atau tumpeng itu dilengkapi dengan sayuran, pisang raja, krupuk merah, peyek, kedelai, jajanan pasar dan kinangan. 35) Kembang setaman Kembang setaman adalah bunga lima warna atau lima macam yaitu bungan mawar, bunga melati, bunga kanthil, bunga kenanga, dan bunga pandan wangi. 36) Menyan cina Menyan cina adalah peralatan yang digunakan dalam sesaji yang berbentuk bulat kecil, berwarna hitam kecoklatan. Menyan cina ini digunakan dengan cara dibakar.
37) Rujak degan
70
Rujak degan adalah rujak yang dibuat dari kelapa muda. Adapun kelapa muda yang digunakan adalah jenis kelapa hijau. 38) Dhanyangan Dhanyangan adalah tempat-tempat keramat (pohon besar, sumur, batu besar dan lain-lain), yang dianggap tempat bersemayamnya roh-roh penunggu dan pelindung desa. Adapun dhanyangan yang digunakan dalam pertunjukan kesenian reog ini biasanya ditempat-tempat yang ada pohon besar, batu besar yang dianggap keramat. 39) Gedhang raja Gedhang raja adalah jenis pisang yang selalu digunakan dalam sesajian. Pisang raja ini warnanya kuning dan bentuknya tidak terlalu panjang. 40) Kinangan Kinangan adalah peralatan dalam sesajian yang terdiri dari suruh, enjet, gambir dan tembakau. 41) Peyek Peyek adalah perlengkapan sesajian yang berupa lauk pauk, terbuat dari kacang tanah. 42) Krupuk Krupuk adalah perlengkapan sesajian yang berupa krupuk berwarna merah.
43) Pawang
71
Pawang adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mendatangkan dan mengembalikan roh halus yang dibutuhkan. 44) Sega Golong Sega golong adalah nasi yang berbentuk lingkaran dan digunakan dalam tumpeng. Biasanya sega golong ini diletakkan disekitar tumpeng. 45) Paraga Paraga adalah keseluruhan para pemain yang terdiri dari para pemain reog (barongan, dhadhak merak, jaran kepang, celeng, dan penthul-tembem) dan para pengrawit. 46) Jathilan Jathilan adalah jenis tarian kuda. Dilakukan oleh anak laki-laki yang manis. tarian ini bisa berupa atraksi jalan nyongklang, jalan dingklikan, perang-perangan dan seterusnya. 47) Kebatan Kebatan adalah gerakan mengebatkan sampur. Kebatan ini dilakukan para pemain yang menggunakan topeng penthul tembem. 48) Sendon Sendon adalah adegan keluarnya penthul-tembem dari arah pengiring ketengah arena sambil menari. Sendon ini dilakukan pada saat pemain jaran kepang, celeng, barongan dan dhadhak merak istirahat. Sehingga dimeriahkan/diisi dengan adegan sendon oleh pemain-pemain penthultembem. 49) Jalan nyongklang
72
Jalan nyongklang adalah gerakan tari menirukan gerakan menunggang kuda dengan kedua tangan memegang jaran kepang (kuda kepang). 50) Pawang Pawang adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk memanggil dan mengembalikan roh halus yang dibutuhkan. Pawang merupakan sosok warok muda karena pawang dianggap orang yang memiliki kelebihan dan menguasai ilmu kanuragan. 51) Srati Srati adalah orang yang mempunyai tugas dan kemampuan untuk mengawasi dan mengamankan gerak para pemain jaran kepang, celeng, dhadhak merak, barongan agar tidak terjadi hal yang membahayakan.
2. Makna Kultural Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungan dengan budaya tertentu (Edi Subroto dalam Wakit,1999). Makna kultural dari istilah-istilah dalam kesenian reog dikabupaten Boyolali adalah sebagai berikut. 1) Gong Dalam kesenian reog apabila gong besar dibunyikan maka suaranya terdengar berirama tegas seperti komando yang menggugah semangat tempur. Dahulu diceritakan, yaitu ketika ilmu mistik masih berpengaruh kuat dalam kesenian reog, dan pada saat sistem adu domba kuat-kuatan mempengaruhi
73
satua-satuan reog, maka alat penantang sebagai ajakan tempur adalah bunyi gong yang besar yang dibunyikan bertubi-tubi. Suara terdengar dari jarak yang sangat jauh. Bagi pihak lawan yang mendengar suara itu segera mengimbanginya. Gong dibunyikan pada saat reog akan dimulai. Ini mempunyai makna yang pertama adalah sebagai ajakan atau menantang perang dan yang kedua untuk mengobarkan semangat tempur bagi prajuritprajuritnya (dalam kesenian reog prajurit digambarkan dengan para pemain reog). 2) Angklung Alat musik yang tebuat dari bambu ini (angklung) dalam kesenian reog mempunyai makna yang menyimbolkan kegirangan hati rakyat. Angklung menunjukkan gambaran bahwa rakyat sedang merasa senang dan gembira.Hal ini dilihat dari meriahnya suara yang keluarga dari angklung. 3) Bonang Dalam kesenian reog, Bonang ini merupakan nada gelombang irama gamelan. Hal ini melambahkan bahwa kehidupan manusia itu penuh lika-liku atau gelombang sehingga manusia harus senantiasa berhati-hati dalam menjalani kehidupannya. 4) Kendhang Dalam kesenian reog, kendhang mempunyai peranan yang sangat menentukan. Kendhang dapat mengolah nafas permainan, serta juga sebagai pengendali atau pengatur situasi penonton. Kendhang merupakan satu-satunya instrumen yang dapat membakar semangat.
74
Dalam pertarungan antar satuan reog, maka pengendanglah yang menjadi sasaran utama. Karena itu pengendang harus mendapatkan perlindungan yang kuat, kendang berperan yang sama dengan genderang bagi prajurit. Untuk melahirkan sikap dan langkah yang tegas, serta untuk menampakkan semangat prajurit, maka gendanglah yang mengaturnya. 5) Ketipung Ketipung merupakan kendhang kecil. Dalam kesenian reog ketipung juga mempunyai peranan yang penting. Adapun makna kultural dari ketipung ini adalah ikut dalam membakar semangat para pemain reog. 6) Terompet Dalam keprajuritan bunyi terompet merupakan suatu perintah yang harus ditaati. Terompet juga sebagai komando dalam peperangan. Dalam kesenian reog terompet merupakan gamelan reog yang ikut membakar semangat dan mengobarkan jiwa juang para prajurit (pemain) reog. 7) Saron Dalam kesenian reog saron merupakan alat musik yang dapat menghidupkan tabuhan-tabuhan atau irama. Jadi saron mempunyai makna bahwa plat yang dapat menghidupkan dan menggerakkan semangat para pemain reog.
8) Barongan Dalam kesenia reog, barongan adalah satu-satunya instrumen yang mendapatkan tempat utama dan dianggap sebagai benda keramat. Sehingga
75
pada hari-hari tertentu, dan pada setiap akan dipakai selalu orang yang mempunyai kepercayaan yang berlebih-lebihan, sehingga kadang-kadang terdapat beberapa kuntum bunga kanthil dan parem (minuman yang dibuat dari kunyit dan gula) tersedia di dekat kemenyan (dupa) dalam kesenian reog. Barongan dipakai bersamaan denga dhahak merak. Barongan merupakan topeng kepala harimau, ini melambangkan perawakan yang kokoh, tenang, waspada dan terampil bergerak. Selain itu juga menggambarkan sifat-sifat seperti macan yaitu galak (artinya gigih dan pantang menyerah) dalam mencapai cita-citanya. 9) Dhadhak merak Dhadhak merak berupa seekor burung merak yang sedang menari. Kedua sayapnya mengembang seperti kipas, dan ekornya menjulang tegak kedua kaki merak tampak dalam keadaan siap. Dhadhak merak hanya dapat dipakai bila disatukan (dipakai bersama) dengan barongan. Satuan dari keduanya dinamakan reog. Merak dan harimau adalah dua makhluk yang memiliki sifat-sifat yang sangat berbeda. Harimau perawakannya kokoh, tenang, waspada dan terampil dalam bergerak sedangkan merak, adalah burung keindahan yang gerakannya menarik dan gayanya melentik. Oleh ketajaman para seniman dapat diluluhkan menjadi satu sifat yang harmonis yaitu suatu sifat yang terpuji, berwibawa dan dicintai. Kedua sifat itu dipancarkan oleh seni budaya rakyat yaitu kesenian reog. 10) Topeng
76
Topeng yang merupakan aling-aling (tutup wajah) atau kedok ini melambangkan sifat-sifat manusia sesuai dengan topeng yang dipakai: a. Topeng Bujangganong melambangkan si pemakai topeng ini berwatak gagah dan kuat. b. Topeng Penthul melambangkan prajurit-prajuritnya dan para abdi satria c. Topeng tembem melambangkan pria dan wanita yang bergaya seperti orang banci sehingga menimbulkan kelucuan bagi para penonton. 11) Pecut Pecut adalah alat yang dibuat dari penjalin yang diberi upat-upat benang berwarna merah putih. Hal ini melambangkan bahwa penjalin itu merupakan bahan yang sukar patah, dan suci (putih). Jadi pecut mempunyai makna yaitu alat yang dapat digunakan untuk mengerakkan para pemain untuk bersifat selalu bersemangat dan tidak mudah putus asa/menyerah. Selain itu pecut juga dipercaya sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk mengundang dan mengembalikan roh halus. 12) Keris Keris yang berbentuk lekuk-lekuk ini mempunyai makna sebagai senjata lambang keamanan untuk menjaga diri agar yang memakai keris itu mempunyai kepercayaan dan keberanian diri. 13) Jaran kepang Jaran kepang (kuda kepang) melambangkan alat yang digunakan sebagai titian (kendaraan) bagi kesatria. Dalam kesenian reog pemain kuda
77
kepang ini peranannya sangat menentukan bagi keberhasilan pertunjukan. Sejak dahulu, satu diantara rahasia mengapa pertunjukan reog selalu baik dalam mengundang massa, tidak lain karena adanya pemain kuda kepang. Begitu pula salah satu rahasia mengapa dalam pertunjukan reog sering terjadi pertarungan antar satuan reog, tidak lain juga kuda kepang inilah yang menjadi sumbernya. Oleh karena itu, pemain kuda kepang selalu mendapat penjagaan dan perlindungan, karena pemain kuda kepang ini memberikan sugesti yang besar dan kuat. Jika pemain kuda kepang senang menari atau melakukan adegan perang, maka pemain dan penonton banyak yang terlibat dalam situasi, suasana seperti ini sebentar-sebentar diselingi oleh sorak-sorak yang menggemparkan dengan kata lain kuda kepang ini mempunyai makna kultural yang melambangkan ilmu kebatinan yang bisa memberikan sugesti bagi para penonton. 14) Celeng Alat yang terbuat dari anyaman bambu dengan bentuk seperti celeng (babi) ini melambangkan bahwa hewan yang merugikan manusia karena merusak pertanian masyarakat. Dalam kesenian reog, celeng dapat memberikan ajaran kepada para penonton bahwa manusia harus hati-hati terhadap hewan yang dapat merugikan tanaman.
15) Udheng Udheng atau iket kepala digunakan untuk menutup kepala. Udheng mempunyai makna bahwa menggambarkan sifat-sifat kejawen. Dari
78
bentuknya, udheng dibedakan menjadi dua yaitu: udheng jilidan dan udheng modang. Dari bentuk udheng itu dapat dilihat makna sifat-sifat kejawen dari orang Jawa. Adapun maksud dari sifat-sifat itu adalah sifat orang Jawa yang selalu bijaksana dan berwibawa. 16) Ancinco Ancinco adalah kostum pemain reog warna hitam-hitam, ini melambangkan rasa lahiriah dan batiniah yang menyatu sehingga menciptakan kekuatan gaib yang luar biasa dalam diri para pemakai kostum ini. 17) Kaos loreng Kaos tanpa kerah yang berwarna loreng merah dan putih ini melambangkan kekhasan para pemain reog dalam mengupayakan untuk membedakan pemain reog dengan penonton. Selain melambangkan kekhasan, kaos loreng merah dan putih mempunyai makna bahwa loreng dengan warna merah melambangkan keberanian para pemain, dan loreng warna putih melambangkan jiwa yang bersih dan suci. Selain itu juga warna merah dan putih ini melambangkan warnma bendera bangsa Indoneisa, artinya bahwa kesenian reog ini benar-benar merupakan kesenian asli bangsa Indonesia.
18) Epek timang Kostum yang berupa ikat pinggang ini mempunyai makna suatu perlambang bahwa sebenarnya seni budaya Jawa mempunyai suatu keunggulan yang tumbuh di hati sanubari para leluhur yang melekat pada jiwa para trah Kusuma (keturunan para ratu). Epek timang ini merupakan kostum
79
khusus dipakai oleh pemain jaran kepang (kuda kepang). Epek timang ini khusus untuk pemain jaran kepang karena epek timang ini melambangkan kegagahan dari pemain jaran kepang. 19) Penadon Baju yang berwarna hitam melambangkan bahwa baju itu mempunyai kekuatan gaib sehingga baju hitam itu bisa mendatangkan kekuatan. 20) Sampur Sehelai kain yang berupa selendang (sampur) mempunyai makna bahwa sampur ini melambangkan gerak yang diciptakan oleh pemakainya sehingga gerakan yang diciptakan menjadi jelas . 21) Jarik Jarik yang bercorak batik ini mempunyai maksud melambangkan bahwa jarik batik adalah kostum yang dipakai para kesatria yang berbudaya Jawa (Pakaian kejawen). Dengan memakai kostum berupa jarik ini diharapkan para pemain mempunyai jika ksatria dan berwibawa.
22) Koloran Koloran ini melambangkan bahwa koloran yang sudah diisi merupakan pusat munculnya daya kekuatan bagi warok. Koloran dipakai oleh warok. 23) Setagen
80
Kostum yang dipakai /dililitkan dipinggang yang berwarna gelap ini mempunyai makna agar para pemain dapat menciptakan suatu gerak yang terarah. Dengan kata lain setagen mempunyai makna kultural pengatur dan pengendali gerakan para pemain reog. 24) Warok Warok adalah pemimpin rombongan dalam kesenian reog yang dianggap mempunyai kekuatan yang lebih daripada pemain-pemain yang lainnya. -
Warok tua melambangkan sosok seorang guru yang mempunyai kekuatan dan menguasai ilmu kejawen.
-
Warok muda melambangkan sosok seorang punggawa atau pengawalpengawal raja Klana.
25) Penthul Penthul adalah bagian dari pemain reog yang melambangkan karakter manusia yang bersifat humoris (lelucon) sehingga dengan adanya penthul ini pertunjukan reog menjadi lebih meriah dan tercipta suasana yang semarak.
26) Pembarong Pemain yang memakai barongan ini melambangkan sosok manusia raksasa sebagai simbol suatu kejahatan. 27) Pengrawit
81
Pengrawit adalah para penabuh gamelan. Para pengrawit ini dipercaya sebagai pengatur dan pengendali para pemain jaran kepang, celeng, barongan dan dhadhak merak. 28) Penggerong Penyanyi dalam reog yang menyanyikan lagu-lagu berupa slogan ini melambangkan semua sifat-sifat reog itu. 29) Pawang Pawang menggambarkan sosok pemain reog yang mempunyai kemampuan untuk mendatangkan dan mengembalikan roh halus yang akan dibutuhkan. 30) Sega golong Sega golong adalah nasi yang berbentuk lingkaran. Golong mempunyai makna bahwa nasi itu melambangkan menyatunya kemampuan lahir dan batin dari seluruh para pemain reog (paraga) yang dapat mewujudkan seni dan budaya khas kesenian reog. 31) Jaran ngedan Jaran ngedan adalah pemain yang menggunakan jaran kepang yang melakukan adegan-adegan perang. Hal ini mempunyai makna bahwa jaran ngedan itu melambangkan seorang kesatria yang berlaga atau bergaya seperti senopati yang siap berperang. 32) Celeng ngedan
82
Pemain yang menggunakan peralatan anyaman bambu berbentuk celeng ini melambangkan suatu kerusuhan yang dilakukan untuk merusak tanaman masyarakat. 33) Sembahan Sembahan biasa dilakukan diawal pertunjukan reog. Sebelum reog dimulai maka dilakukan sembahan yang mempunyai tujuan untuk minta izin kepada kekuatan gaib seperti dhayang, roh halus , dan sebagainya. 34) Sabetan Sabetan adalah gerakan menyabet atau menyambuk dengan pecut. Hal ini mempunyai makna bahwa si pemain jaran kepang yang disabet agar bersemangat, lincah dan gesit dalam melakukan atraksi-atraksinya. 35) Buncet Buncet adalah nasi yang berbentuk kerucut (tumpeng) ini melambangkan suatu gambaran masjid yang mempunyai makna yaitu mengisyarat bahwa kekuatan ghaib itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa . Buncet ini digunakan dalam sesajen dengan maksud sebagai sarana untuk meminta kekuatan gaib Buncet ini dilengkapi dengan : -
Sayuran: dengan harapan dapat menimbulakan suatu kesegaran jasmani para paraga atau pemain).
-
Pisang raja: perlambang merupakan budaya Jawa dari kraton yang turun temurun dibudayakan, selain itu pisang raja digunakan dalam sesajen karena ditangka seerti sajian untuk raja.
-
Krupuk merah: melambangkang suatu keberanian yang khusus.
83
-
Jajanan pasar: suatu adat tradisi Jawa yang digunakan untuk menyingkirkan sengketa dimanapun para pemain itu berada agar selamat.
-
Kinangan: melambangkan sebagai tanda penghormatan pada nenek moyang.
- Peyek 36) Kembang Setaman Kembang setaman disebut juga bunga setaman. Bunga setaman ini terdiri lima warna/ macam bungan yaitu bunga mawar, bunga melati, bunga kanthil, bunga kenanga, dan pandan wangi. Dari kelima macam bunga tersebut mempunyai makna kultural yaitu lima bunga yang digunakan itu merupakan sarana agar terkabulnya permintaan kekuatan ghaib. 37) Menyan cina Menyan cina atau kemenyan ini digunakan dalam sesaji dengan cara dibakar sehingga akan menciptakan aroma atau bau yang khas dengan maksud supaya aroma dari kemenyan itu diserap oleh makhluk halus yang dilindunginya sehingga makhluk halus itu akan memberikan kekuatan ghaib sesuai dengan permintaan. 38) Rujak degan Rujak yang dibuat dari kelapa muda berwarna hijau mempunyai makna bahwa rujak dengan itu untuk menciptakan tenaga-tenaga yang segar agar para pemain-pemain reog menjadi kuat jasmani dan rohaninya.
84
39) Dhanyangan Dhanyangan adalah tempat-tempat yang dikeramatkan. Tempat dhanyangan dianggap sebagai wilayah yang sakral untuk meminta kekuatan ghaib. Di tempat-tempat itu adalah tempat bersemayam para roh halus, dhanyang yang dianggap mempunyai kekuasaan dalam suatu wilayah dukuh tersebut. 40) Srati Srati menggambarkan sosok pemain reog yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan dan mengamankan pemain jaran kepang, dhadhak merak, celeng, dan sebagainya. 41) Jathilan Jathilan adalah tarian yang membaur dengan seni reog dan pemain-pemainnya terdiri dari anak laki-laki atau remaja putra. Jathilan mempunyai makna bahwa jathilan dapat memberikan daya sugesti yang besar dan kuat. Hal ini terjadi ketika jathilan sedang menari-nari, maka pemain dan penonton banyak yang terlibat dalam situasi. Mereka ikut menyanyi dan menari, sehingga suasan menjadi hidup dan penuh riang.
C. Fungsi Pertunjukan Kesenian Reog Fungsi kesenian reog di Kabupaten Boyolali dapat dibagi ke dalam dua fungsi, yaitu, 1) fungsi bagi para pemain kesenian reog, dan, 2) fungsi bagi kehidupan masyarakat setempat. Fungsi kesenian reog bagi
85
masyarakat Kabupaten Boyolali adalah, 1) sebagai saranan upacara, 2) fungsi tontonan (hiburan). 1. Sarana Upacara Sebelum tahun 1500-an, masyarakat Kabupaten Boyolali, khusunya Desa Glonggong, kesenian reog digunakan sebagai sarana upcara. Pelaksanaan upacara tersebut didasarkan pada anggapan bahwa roh-roh jahat yang akan mengganggu kehidupan mereka. Suatu anggapan yang sudah menjadi mitos tersebut, kemudian menimbulkan kebutuhan supaya terbebas dari pengaruh roh jahat sehingga diadakan upacara selamatan. Sebagai contoh kebutuhan untuk terbebas dari penyakit diadakan upacara penyembuhan, kebutuhan untuk terbebas dari mara bahaya dalam kehidupannya diadakan upacara bersih desa. Pelaksanaan upacara dengan tujuan untuk mendatangkan roh-roh baik atau roh pelindung untuk mengusir roh jahat. Agar tujuan dari suatu upacara tercapai, maka diperlukan sarana untuk mendatangkan roh-roh tersebut. Sarana tersebut adalah kesenian reog. Masyarakat menggunakan reog sebagai sarana upacara karena reog merupakan bagian budaya masyarakat desa setempat yang mereka percayai mendapat perlindungan dari roh-roh para nenek moyang. Kehadiran reog sebagai bagian dari suatu upacara akan menimbulkan fungsi sebagai sarana upacara bersih desa, upacara pernikahan, upacara penyembuhan. a.
Upacara Bersih Desa
86
Upacara bersih desa adalah upcara yang berhubungan dengan tujuan untuk keselamatan desa. Oleh karena itu pelaksanaan upacara itu terbatas pada suatu daerah atau desa itu sendiri. Upacara ini merupakan adat yang dilaksanakan masyarakat Desa Glonggong secara turuntemurun. Tujuan upacara ini untuk mendatangkan keselamatan bagi masyarakat setempat. Pelaksanaan upacara bersih desa terbatas pada lingkungan masyarakat Desa Glonggong saja. Sedangkan pelaksanaan setiap tahun sekali, yaitu pada bulan Syawal/hari raya Idul Fitri. Tepat pada hari kedua. Masyarakat Desa Glonggong ini melakukan upacara bersih desa karena adanya anggapan bahwa upacara ini akan menghilangkan masyarakat dari bahaya yang menimpa. Adanya tujuan magis dari upacara ini, maka pertunjukan reog dijadikan sebagai sarana untuk mencapainya. Dengan pertunjukan tersebut diharapkan bahwa roh nenek moyang (roh pelindung) masyarakat desa, yaitu Eyang Raden Bagus Samudra hadir di tempat upacara untuk melindungi masyarakat dari gangguan roh jahat. Menurut keyakinan masyarakat setempat, kehadiran roh nenek moyang ditandai dengan kesurupan (kemasukan roh halus) dari salah seorang pemain reog. Mereka menganggap bahwa pemain tersebut kemasukan roh nenek moyang yang mereka percayai. Dalam keadaan demikian, pemain tersebut akan memberikan keterangan yang sangat diharapkan oleh masyarakat yaitu tentang keadaan desa serta hal-hal apa yang harus dilakukan untuk menjaga keamanan dan ketentraman bagi desa. Pada saat
87
seperti itu Kepala Desa diwajibkan mendengarkan saran atau petuah dari roh halus yang akan menempel pada salah seorang penari jaran kepang. b.
Sarana Upacara Pernikahan Pertunjukan reog sebagai sarana upacara pernikahan dapat
mengungkapkan kebiasaan masyarakat melaksankan salah satu budaya masyarakat Jawa. Salah satu budaya tersebut adalah kebiasaan melakukan selamatan ditempat-tempat yang dianggap keramat. Tempat-tempat tersebut adalah pohon besar, rumah kosong, perempatan jalan, jembatan dan lain-lain. Dalam upacara perkawinan pertunjukan reog beakhir apabila rombongan mempelai laki-laki telah tiba di kediaman mempelai perempuan selanjutnya rombongan reog menghentikan pertunjukan untuk istirahat. apabila pihak yang menyelenggarakan pernikahan masih menghendaki pertunjukan reog, maka pertunjukan akan dilanjutkan kembali. c.
Upacara Penyembuhan Fungsi pertunjukan reog sebagai sarana penyembuhan penyakit
dapat ditempuh dengan dua cara. Cara pertama adalah memanggil secara khusus kesenian ke rumah si sakit. Cara kedua adalah mengikut sertakan dalam upacara bersih desa. Cara pertama dilakukan bagi masyarakat yang mampu, karena hal ini menyangkut biaya besar bila dibandingkan penyembuhan dengan penyembuhan dengan cara kedua. Pelaksanaan pertunjukan dimulai dengan menyelenggarakan selamatan terlebih dahulu, dalam upacara selamatan mereka mengundang para tetangganya dan
88
saudara dekat. Pertunjukan reog dilaksanakan dihalaman rumah si sakit. Sebelumnya sesepuh reog dilaksanakan dihalaman rumah si sakit. Sebelumnya sesepuh reog akan mengungkapkan maksud dari pertunjukan tersebut, yaitu untuk mengusir roh-roh jahat dan tubuh si sakit dan rumah tempat tinggalnya, dengan mendatangkan roh-roh pelindung, mereka percaya bahwa roh pelindung (nenek moyang) akan datang melalui salah satu pemain yang biasanya dalam
keadaan kesurupan, kemudian
melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan upacara tersebut. Pertunjukan reog untuk kesembuhan berlangsung selama dua hingga tiga jam. Hal ini tergantung situasi dan kondisi. Cara kedua dilakukan dengan mengikutsertakan dalam upacara bersih desa, mereka (keluarga si sakit) tidak perlu mengeluarkan biaya selamatan. Hal ini dikarenaan upacara selamatan serta sesaji telah dilaksanakan dan disediakan oleh masyarakat Desa Glonggong keluarga si sakit tinggal menyerahkan persyaratan berupa uang wajib kepada pimpinan reog sebelum pertunjukan dilaksanakan. Pada pelaksanaan tersebut pimpinan reog akan menyebutkan nama keluarganya yang akan mengadakan upacara penyembuhan serta masud dari upacara tersebut setelah selesai pertunjukan, mereka yang mengadakan upacara penyembuhan tersebut memperoleh air dari salah satu kelompok pemain reog. Air akan diberikan si sakit sebagai sarana untuk mengusir roh jahat yang masuk ke tubuh. Mereka menganggap bahwa air merupakan pemberian dari nenek moyang (dhanyang) desa Glonggong.
89
2. Fungsi Penebus Janji (Nadzar) Janji yang diucapkan salah seorang warga masyarakat berkisar pada sakit, tertimpa bencana, cia-cita dan lain-lain. Biasanya setelah unegunegnya tercapai mereka menanggap reog. mereka berusaha menepati janji yang telah diucapkan. Upacara nadzar biasa dihadiri sanak saudara, dan tetangga sekitarnya. Pertunjukan reog dalam upacara ini sama dengan pertunjukan biasanya (pertunjukan dalam upacara bersih desa). Bagi masyarakat setempat, pertunjukan reog ini bisa menjadi sarana untuk memuaskan batinnya, yaitu menukar segala hutang yang pernah dijanjikan. Pertunjukan reog sebagai sarana upacara (upacara bersih desa, upacara pernikahan, upacara penyembuhan dan penebus janji) mulai jarang dilaksankan oleh masyarkat sejak tahun 1950-an karena semakin berkembangnya zaman baik dibidang pendidikan , ekonomi, kesehatan dan lain-lain. Sehingga pertunjukan reog lebih cenderung berfungsi sebagai alat komunikasi. Dengan adanya pertunjukan reog maka seluruh masyarakat berkumpul. Disaat itulah pertunjukan reog berfungsi sebagai penyampai pesan yang lebih efektif. Pesan tersebut disampaikan oleh sesepuh reog, atau oleh pameran penthul tembem di sela-sela pertunjukan reog. 3. Fungsi Tontonan atau Hiburan Pertunjukan reog sebagai tontonan sifatnya lebih fleksibel. Fleksibelitas ini tercermin dari kelonggaran aturan-aturannya, karena
90
menyesuaikan situasi dan kondisi pertunjukan. Dalam hal ini aturan-aturan dalam pertunjukan sebagai tontonan kurang mementingkan durasi penyajian, serta sesaji yang digunakan. Pertunjukan sebagai tontonan terletak pada sajiannya bukan sesajinya. Perbedaan reog sebagai sarana upcara dengan sebagai tontonan, bahwa fungsi di sini bukan pertunjukan yang ditujukan kepada roh, tetapi ditujukan kepada (penonton) dan bukan untuk mendatangkan roh nenek moyang (pelindung) maka sajian yang penting adalah bagaimana bisa menyajikan gerak keluwesann, karena keluwesan dapat menambah minat/daya
tarik
penonton.
Hal
ini
memungkinkan
masyarakat
menggunakan dalam acara-acara tertentu. Acara-acara tersebut antara lain, penyambutan tamu misalnya, pada waktu menyambut Bupati, saat ada kegiatan di desa. Perayaan hari besar, seperti setiap tanggal 17 Agustus, hari pendidikan nasional, serta peresmian suatu acara dan lain-lain. Sajian untuk menyambut tamu sering dilakukan di lapangan, halaman balai desa yang disajikan oleh warga masyarakat untuk memberikan sambutan pada tamu. Sedangkan, pertunjukan untuk hari besar digunakan untuk karnaval pada hari kemerdekaan. Kehadiran reog di tengah masyarakat Desa Glonggong, mengundang minat masyrakat setempat untuk menikmatinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang hadir pada setiap pertunjukan. Besarnya minat masyarakat tersebut menumbuhkan keinginan oraganisai reog untuk
91
menghadrikan kesenian ini di kalangan masyarakat secara luas. Dalam hal ini pertunjukan reog ditujukan untuk kepuasan batin penontonnya.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis pada bab empat dapat ditarik kesimpulan terhadap penelitian istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali dengan kajian etnolinguistik sebagai berikut. 1. Penelitian istilah-sitilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali terdapat dua temuan bentuk istilah yaitu bentuk monomorfemis dan berbentuk polimorfemis. a. Bentuk monomorfemis adalah semua kata yang tergolong kata dasar bentuk tunggal dalam istilah kesenian reog di Kabupaten Boyolali. Bentuk monomofemis ini berupa kata dasar berjumlah 28 kata, yaitu: gong, angklung, bonang, kendhang, ketipung, trompet, topeng, pecut, celeng, udheng, penthul, tembem, keris, ancinco, sampur, jarik, setagen, warok, paraga, pawang, tanjak, sendon, jongklang, buncet, srati, krupuk, peyek, saron. b. Bentuk
polimorfemis
berupa
kata
jadian
yang
meliputi
pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Bentuk polimorfemis ini berjumlah 15 kata yaitu: barongan, pembarong, pengrawit,
92
penggerong, ganongan, sabetan, kebatan, jathilan, koloran, epek timang, gendhing panaragan, menyan cina, kinangan, jajanan pasar , sega golong.
c. Bentuk frase terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak termasuk klausa. Bentuk frase ini berjumlah 10 kata yaitu: kaos loreng, kembang setaman, rujak degan,
udheng jilidan, udeng modhang,
jaran kepang, dhadhak merak, jaran ngedan, celeng ngedan, gedhang raja. 2. Makna yang terdapat dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali yakni makna leksikal, makna dasar dari kata tersebut. Makna kata leksikal terdapat dalam monomorfemis. Makna kultural, yaitu makna yang dimiliki oleh masyarakat yang berhubungan dengan kebudayaan. Dalam hal ini adalah tradisi reog, makna kultural muncul dalam masyarakat dengan adanya simbol-simbol yang melambangkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan keselamatan dan kelancaran dalam menjalani hidup. 3. Fungsi dari pertunjukkan reog di Kabupaten Boyolali adalah a. Sebagai sarana upacara dan meliputi upacara bersih desa, upacara pernikahan, upacara penyembahan. b. Sebagai sarana penebus janji (nadzar). c. Sebagai tontonan atau hiburan.
93
B. Saran Penelitian ini hanya mengkaji bentuk, makna leksikal, makna gramatikal, dan makna kultural, serta fungsi kesenian reog sehingga masih membutuhkan penelitian lanjutan dengan kajian berbeda oleh peneliti mendatang, seperti dengan pendekatan sosiolinguistik atau segi sastra. Penelitian ini selain dapat dikaji secara etnolinguistik dapat juga dikaji dengan pendekatan sosiolinguistik (hubungannya bahasa dengan masyarakat). Selain itu juga dapat diteliti dari segi sastra atau sejarahnya. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada peneliti berikutnya untuk mengkaji lebih lanjut guna kelengkapan kajian yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2001.Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Al Gensindo. Bakker SJ. 1994. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Chaer Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rhineka Ilmu
94
D.Edi Subroto. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Djoko Kentjono. 1982. Dasar – dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra UI (Universitas Indonesia) Geoffrey Leech. 1997. Semantik. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Harimurti Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik: Gramedia Pustaka Utama Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus linguistik (edisi ke-3) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Harimurti Kridalaksana. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia (edisi ke-2). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hartono. 1980. Reog Ponorogo (Untuk Perguruan Tinggi). Jakarta: Proyek Penulisan dan penerbitan Buku/ Majalah pengetahuan Umum dan profesi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Mansoer Pateda. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Margono, Sudarsono. 2002. Kesenian Reog Tradisi Sebuah Kajian Seni Pertunjukan Rakyat Mengenai Fungsi – fungsi dan Kebudayaannya Pada Masa Kini Desa Kalikebo Kabupaten Klaten: Makalah. Fakultas Keguruan Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Muhammad Zamzam Fauzanafi. 2005. Reog Ponorogo Menari di Antara Dominasi dan Keragaman. Yogyakarta: Kepel Press. Noer Istoening. 1995. “Kesenian Tradisional Daerah
Kabupaten Wonogiri
sebagai Paket Wisata (Kajian Etnolinguistik)”(Skripsi). Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. P.W.J. Nababan. 1993. Sosiolinguistik suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Ramlan. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia SINTAKSIS. Yogyakarta: C.V. Karyono.
95
Shri Ahimsa Putra. 1997. Etnoliguistik: Beberapa Bentuk Kajian (Makalah). Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Soedarsono. 1998. Seni Pertunjukan Indo di Era Globalisasi, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Dpartemen Pendidikan & Kebudayaan. Sry Satria Tjantur Wisnu Sasangka. 2001. Paramasastra Gagrag Anyar Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik (Bagian Kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudaryanto. 1990. Aneka Konep Kedataan Lingual dalam linguistik Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudaryanto. 1995. Linguistik (Identitas Cara Penanganan Objek dan Hasil Kajiannya). Yogyakarta: Yayasan EKALAWYA bekerja sama dengan Duta Wacana University Press. Sujarno, dkk (tim). 2003. Seni Pertunjukan Tradisional Nilai, Fungsi dan Tantangannya. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. T. Fatimah Djajasudarma. 1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco. T. Fatimah Djajasudarma. 1999. Semantik II: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama. Uhlenbeck, EM 1972. The Language of Java and Madura dalam Thomas A (ed) Curent Trend in Linguistik. Paris : the Hague.
96
Wakit Abdullah. 1999. Bahasa Jawa Dialek Masyarakat Samin di Kabupaten Blora (Laporan Penelitian Dasar). Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Didanai Oleh Dirjen Dikti. W. J. S. Poerwadarminta. 1939. Baoesasastra
Djawa. Batavia: J. B.Wolters
Maatschappij. N.v. Groningen. Y. Suwanto, dkk. 1999. “Istilah Alat - alat Rumah Tangga dan Perkembangannya di Kodya Surakarta (Suatu Penelitian Pendekatan Etnolinguistik)” (Makalah). Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Yuliana Sylvina Maharani. 2003. “Festival Reog Nasional Sebagai Araksi Wisata di Ponorogo Jawa Timur (Kajian Kepariwisatan)” (Skripsi). Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.