³
D
º
N Nabi : Nabi yang asal katanya nabu adalah derajat yang sengaja dibentuk oleh Allah Swt., dengan cara-Nya Sendiri. Dengan utusan-Nya Malaikat Jibril, Dia perintahkan supaya (hamba yang diderajatkan nabi ini) dibacakan secara utuh dan menyeluruh perihal Al Haq-Nya. Tentang keberadaan Jati Diri Dzat Yang Wajib Wujud-Nya dan memperkenalkan keberadaan Ada dan Wujud-Nya itu dengan nama Allah, Dzat Yang Al Ghaib. Pembacaan dengan ilmu secara lengkap, utuh dan menyeluruh lewat Ruuhul-Amin ini terakhir hanya kepada hamba-Nya bernama Muhammad yang kemudian sebagai nabi terakhir dan penutup semua nabi-nabi-Nya Allah Swt. Namun harus diketahui bahwa di samping derajat Nabi, Allah menghendaki supaya kenabiannya itu menjadi tauladan panutan. Panutan lahir dan batin. Tauladan yang utuh dan lengkap tentang bagaimana memproses diri kembali bahagia bertemu dengan Dzat Al Ghaib dan Wajib WujudNya, seperti persis yang dialami oleh Nabi sendiri. Karena itu beliau juga seorang Rasullah. Bahkan lil alamin. Untuk seluruh alam hingga kiamat. Maka dari itu Nabi Muhammad SAW yang berupa jasad, memang hukum dunia pasti belaku. Yakni wafat dan dikuburlah jasadnya sebagai layaknya manusia pada umumnya. Akan tetapi Nur Muhammad-Nya sebagai fitrah intinya jati diri yang selalu bersentuhan dengan Cahaya Fitrah-Nya Sang Jati Diri, tidaklah ikut mati. Artinya Sang Penunjuk tentang itu terus berlanjut dan tidak akan pernah berhenti hingga hari kiamat nanti. (lih. Hak Rasullah Saw). “Wamaa huwa ‘alal-Ghaibi bidhaniin”. Dan dia yang utusan-Nya bukanlah seorang yang bakhil menunjukkan al Ghaib. (QS. At. Taqwir ayat 24). Karena itu Allah lalu mempertanyakan kepada hamba-Nya ini. Mempertanyakan tentang sikap dan wataknya yang maunya itu justru malah mendikte Tuhannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya dalam QS. Al A’raf 63 : “Dan apakan kamu tidak percaya dan heran bahwa datang ke padamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari antaramu sendiri agar ia memberi peringatan kepadamu dan mudah-mudahan kamu bertaqwa dan supaya kamu mendapat rahmat”. Maka saat memang telah datang bahwa yang Al Haq, dengan Qudrat dan Iradah-Nya merealisasi cita-cita gumelarnya ilmu untuk ma’rifat kepada-Nya beserta Rasul-Nya berada ditengah-tengah kita, sebagaimana Allah sendiri sebenarnya menetapkan. Firman Allah dalam QS. Ali Imran 101 : “Bagaimana kamu semua sampai ingkar, padahal ayat-ayat dibacakan kepada kamu, dan RasulNya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh pada ketetapan Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke pada jalan yang lurus”. “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Rasulullah itu berada ditengah-tengahmu”. (QS Ali Hujurat 7). Sehingga tidak hanya para sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW saja yang berkesempatan memperoleh nikmat sekiranya dirinya berbuat aniaya datang kepadamu (rasul-Nya) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul-Nya pun memohonkan ampun pula. (QS. An Nisa ayat 64). Karenanya Nabi Muhammad SAW wanti-wanti sekali pada wasiatnya ini : “Hendaklah kamu semua (wajib) mengikut sunnahku dan sunnahnya wakil-wakilku yang lurus sesudahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigimu”. (Hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
162
³
D
º
Taat mengikuti sunnahnya wakil itu buah dan manfaatnya serta sampainya kepada Allah dengan selamat, sama dengan taatnya mengikut sunnahnya muwakil. Yakni Nabi Muhammad SAW sendiri. Tidak berbeda sak rambut pinara sasra, sama persisnya. Namun memang pelik dan rumpil, banyak firman Allah menyebut hanya sedikit saja yang tahan uji dan lestari. Hanya karena saat ini dan seterusnya Allah menghendaki gumelar, maka akan ada zaman mayoritas ummat ini mengerti dan percayanya pada penerus tugas dan fungsinya Rasul, akan menjadi kenyataan yang mewarnai ampunan dan ridha Allah di atas bumi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid I, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 26 – 28). Nadzirrun : Seorang yang memberi peringatan sebagaimana yang ada di dalam Bangunan Imamah-Nya Allah SWT, yang mengingatkan supaya hak-Nya Allah benar-benar diketahui dan dikenali. HakNya Allah mengenai Ada dan Wujud-Nya Yang Al Ghaib, adalah musamma-Nya Allah, tempat asal fitrah manusia sendiri, supaya dengan mudah selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, dijadikan tujuan hidup sebagai tempat kembali. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 103).
Nafi : (lih. juga Manusia – Pembagian Manusia) Perilah nafi.
Dinyatakan nafi (karena ditarik fadhal dan rahmat-Nya kerena mendapat pangestunya Wasithah), setelah cucuk (imbang) lakon pitukonnya, diampuni oleh-Nya, oleh Allah lalu dibuktikan bahwa apa saja termasuk wujud jiwa raganya benar-benar nafi. “Wa ba’da al-fana’ ‘ainu alBaqa”. Nafi seperti itu, di zaman mukmin nanti, apabila lulus, menjelang mati (kurang beberapa menit atau beberapa detik). Lalu mati, di kubur. Sekarang cipta angan-angan dilatih dan dididik bahwa sebenarnya apapun selain Allah termasuk jiwa raganya dan akon-akon dunia, itu semua nafi. Yang Wujud dan Yang Ada hanyalah Isi-Nya. Maka hanya Isi-Nya Huw saja yang diusahakan selalu diingat-ingat. Ternyatakan tetap saja merasa wujud dan merasa ada. Buktinya bila lapar tidak makan tidak hilang laparnya. Bila haus tidak diminumi, tidak hilang hausnya. Bila ngantuk tidak ditidurkan, tidak hilang kantuknya. Bila gatal tidak dikukur, tidak hilang gatalnya dan seterusnya.
Lalu sadar “Wujuduka dzanbun kabirun walaa yunqatsu dzanbun akharu”. Lalu sadar bahwa ternyata salah dan dosa, sembrana dan lain sebagainya selalu ikut serta. Kemudian bangkitlah kesadarannya untuk selalu memohon ampunan kepada Allah serta Pangestunya Wasithah. Jadi tidak sama sekali kemudian merasa telah bisa nafi. Bisa nafi kok di aku (dirumangsani), sama artinya dengan sombong, semuci, ngendel-ngendelake. Menjadi musuhnya Allah. Ijik duwe pegel barang. Gela ngersula, lara ati, seneng gak seneng, sama artinya dengan berani menyalahi sumpah dan janji. (K.H. Mohammad Munawwar Afandi, Dari Imam Jamaah Lil-Muqorrobin (hamba yang diutus Allah sebagai orang yang memberi peringatan (Nadzirun), kepada yang rela diperingatkan), Tanjung, 28 Mei 2006, hal. 3).
Nafi Itsbat : (lih. Ilmu Syaththariah – Muqaddimah Ilmu Syaththariah)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
163
D
³
º
Nafsu : Pengaruh yang datang dari dalam diri sendiri yang menyebabkan diri sama sekali tidak melakukan jihadunnafsi guna berbuat bagai malaikat-Nya Allah berlaku sujud (kal mayyiti baina yadil ghoosili) di hadapan wakil-Nya Allah dimuka bumi, yakni Guru Wasithah yang hak dan sah sebagai pelanjut tugas dan fungsi Rasullah yang silsilahnya tidak pernah putus sejak dari Nabi Muhammad SAW., melalui Sayyidina Ali bin Abu Thalib As hingga kini dan sampai kiamat nanti. Ada tujuh macam nafsu yang masing-masing mempunyai tentara. Nafsu amarah dan lawwamah, tentaranya kasar dan ingkar. Sedangkan yang mulhimah, muthmainah, radhiyah dan kamilah, tentara nafsu tersebut mulai baik-baik, bahkan luhur serta mulia. Namun apabila tetap saja diaku (tidak mau bersandar pada Guru Wasithah), namanya tetap saja nafsu, yang perbuatan nafsu ini selalu dan senantiasa “Yajri ilasuu i”, yang senantiasa mengajak kepada yang buruk dan salah. Yang buruk dan salah adalah kehendak yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan. Padahal kehendak Allah, untuk dapat kembali selamat bertemu dengan-Nya harus berbuat “kal mayyiti baina yadil ghoosili” (patuh dan tunduk pada Wasiilatahu = Guru Wasithah). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 50).
Wujud nafsu
Perlu diketahui bahwa yang disebut nafsu itu tidak lain adalah wujudnya jiwa raga manusia itu sendiri yang dicipta oleh Allah dari mani yang dicampur untuk diuji dalam kehidupan dunia. Ujiannya memang amat sangat berat hingga apabila tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya memang ternyata tidak akan lulus. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi,Tanjung Anom, Awal Agustus 1999, hal. 10).
Sifat Nafsu Sifat nafsu itu sama sekali tidak mengerti kepada Tuhannya. Tidak mengerti bahwa Tuhan Dzat Yang Al-Ghaib ini sangat dekat sekali. Mudah dan indah diingat-ingat dan dihayati keberadaan Ada dan Wujud-Nya apabila dengan benar ditanyakan kepada yang ahli tentang Diri-Nya (Ahladz dzikr). Sifat nafsu tidak mengerti bahwa Allah adalah “nama” daripada Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Satu-satu-Nya Yang Mutlak Wujud-Nya. Tempat asal usul fitrah dirinya dan tempat kembali setelah menjalani kehidupan dunia. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 50, 51, 99). Sifat nafsu yang “laa ya’rifullah” adalah watak akunya yang hak-hak-Nya Allah SWT juga diaku. Karena itu wataknya benar-benar melampui batas karena memandang dirinya serba cukup (QS. Al ‘Alaq 6-7). Diciptakan oleh Allah dari mani tetapi tiba-tiba ternyata menjadi pembantah yang terang-terangan (QS. An Nahl 4). Belum lagi bentuk ujian yang menjadikan manusia habis-habisan memburu uceng rela kehilangan deleg.(lih. Mburu uceng kelangan deleg). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi,Tanjung Anom, Awal Agustus 1999, hal. 10).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
164
D
³
º
Zat Nafsu
Zatnya nafsu adalah yamna’u minallah, membantah kepada Tuhannya, karena abaa wastakbara yang memang menjadi ciri watak akunya. Itulah sebabnya Allah berfirman : “maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu” (QS. Al-Baqarah; 54). Maksudnya yang dibunuh adalah watak akunya nafsu, supaya si nafsu menjadi patuh dan tunduk ditunggangi oleh cita-citanya hati nurani, ruh dan rasa mendekat kepada-Nya dengan jalan “kal mayyiti baina yadil ghoosili” dihadapan Gurunya, sehingga mempunyai watak seperti watak para Malaikat yang selalu memenuhi perintah-Nya berlaku sujud (patuh dan tunduk) kepada Wakil-Nya. Yakni para utusan-Nya yang bersambung silsilahnya hingga kini sampai kiamat nanti. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 51).
Tujuh Macam Nafsu 1. Nafsu Amarah : Letaknya di dada agak sebelah kiri, tentaranya senang berlebihan, royal, angah-angah, hura-hura, jor-joran, serakah, dengki, dendam, iri, membenci, bodoh tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati, senang nurut syahwat, suka marah-marah dan akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhannya. 2. Nafsu Lawwamah : Letaknya ada di dalam hati sanubari di bawah susu yang kiri, kira-kira dua jari. Tentaranya : enggan, acuh, senang memuji diri, pamer, senang mencari aibnya orang lain, senang menganiaya, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban. 3. Nafsu Mulhimah : Tempatnya kira-kira dua jari ke arah susu yang kanan dari tengah dada. Tentaranya : suka memberi, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, merendahkan diri, taubat, sabar dan tahan menghadapi kesulitan serta siap menanggung betapa beratnya melaksanakan kewajiban. 4. Nafsu Muthmainah : Tempatnya dalam rasa kira-kira dua jari ke arah susu kiri dari tengah dada. Tentaranya : senang sedekah, tawakal, senang ibadah, senang bersyukur kepada Tuhan; ridha kepada hukum, ketentuan Allah dan takut kepada Allah. 5. Nafsu Radhiyah : Tempatnya di dalam rasa, dalam hati nurani dan seluruh jasad. Tentaranya : pribadi yang mulia, zuhud, ikhlas, wira’I, riyadhah, menetapi janji. 6. Nafsu Mardhiyah : Tempatnya di alam yang samar, mengarah kira-kira dua jari ke tengah dada. Tentaranya : bagusnya budi pekerti, bersih dari segala dosa makhluk, rela menghilangkan kegelapannya makhluk, senang mengajak dan memberi pepandang kepada ruhnya makhluk. 7. Nafsu Kamilah :
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
165
D
³
º
Tempatnya di alam nyamaring nyamar, mengarah di kedalaman dada yang paling dalam. Tentaranya : ilmu yakin, ainul yakin dan haqqul yakin. Sebagaimana yang diterangkan terdahulu, bahwa meski nafsu mulhimah (nafsu nomor 3) sampai dengan nafsu kamilah tentaranya bagus-bagus, luhur dan mulia, namun apabila tetap diaku, artinya tidak karena untuk memenuhi perintah Guru Wasithah serta tidak bersandar kepadanya dalam mengamalkannya, tetap saja nafsu. Karena telah tegas bahwa : “LAA BIWUSHUULI ILAIHI ILLA BI WAASITHOTIN”. Tidak akan dapat sampai dengan selamat bertemu Tuhan Dzat Yang Al-Ghaib Yang Allah Asma-Nya apabila tidak dengan Wasithah. Karena itu bagi seseorang yang kuat dalam cita-citanya untuk mendekat kepada-Nya sehingga selamat bertemu dengan-Nya harus mengetahui adanya pedoman :”iqbalunnassi’ ‘alal muriid qobla kamali sammun qaatiluun”. Artinya : Rasa puas orang yang berkehendak bertemu Tuhan terhadap temuan yang belum sempurna (lalu menjadikan berani meninggalkan Wasithah), ini adalah racun yang membunuh, yang mengakibatkan tidak akan selamat bertemu Tuhannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 51 – 52). Nafsul-mutmainnah : • Yakni Nafsu yang telah dapat dikalahkan lalu nafsu tadi patuh dan tunduk dikendalikan sebagai tunggangannya hati nurani, roh dan rasa, memenuhi panggilan Tuhannya supaya kembali mendekat hingga dapat selamat dan bahagia berjumpa dengan-Nya lagi. Masuk ke dalam hamba yang ngawula kepada-Nya karena rasa jiwanya dapat merasakan nikmatnya mengingat-ingat Ada dan Wujud Jati Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib itu. Dimana hamba yang dikenalkan dengan Al Ghaib-Nya memang juga hanya hamba yang diridhai oleh-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 10). •
Berkata Nabi Yusuf sebagaimana difrimankan Allah dalam QS, Yusuf 53 : “Dan aku tidak bisa membebaskan diriku (dari berbuat salah), karena sesugguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Allah berkehendak agar nafsu yang diberi rahmat oleh-Nya dijelaskan. Yaitu nafsu yang wujudnya jiwa raga manusia yang oleh rahmat Allah rela dijadikan tunggangannya hatinurani, roh dan rasa berjalan menuju kepada Tuhannya sehingga sampai. Caranya yaitu mengikuti jejak para Malaikat-Nya Allah. Tidak ngikut jejak iblis. Yakni sujud (bermakna menghormati serta patuh dan tunduk ka al-mayyiti) di hadapan yang berhak dan sah mensucikannya, yaitu Wasithah. Karena dijadikan mengerti maksud firman Allah : “Laa bi wushulin ilaihi illa bi Wasithatin”. Itulah nafsu al-mutmainnah yang diseru Allah supaya kembali kepada-Nya dengan senang hati dan disenangi Allah. Dan itu adalah satu-satunya cara untuk meniadakan semua hijab yang menutup (bahkan menjadi tutup yang gelap) penglihatan mata hati terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, Allah nama-Nya yang amat sangat dekat sekali di dalam rasa hati. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Memenuhi Perintah Allah, Pondok Sufi, Tanjung Anom, 22 Nopember 2006, hal. 3).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
166
D
³
º
Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah (Edt.) Puncak nafsu yang sangat membahayakan dan pasti menggelincirkan manusia terhadap mereka yang berniat mendekat kepada Tuhannya adalah terbukanya nafsu kamilah terhadap ilmu yakin, ainul yakin dan hakkul yakin, yang balatentaranya adalah hak wisnu, hak perdewan, hak madzu sharfin dan hal malaikatan. Apalagi bagi mereka yang memang ternyata lebih memilih hidup mengutamakan puasnya watak akunya nafsu. Ilmu yakin adalah dibukanya nafsu terhadap berbagai keajaibannya “maa kaana fii ‘alamil kabir kamitsli maa kaana fi ‘alamishshagir”. Ainul Yakin; dibukanya hati terhadap alam mitsalNya Tuhan. Hakkul Yakin; dibukanya roh terhadap alam ajaib-Nya Tuhan. Bagi yang dibuka demikian bermunculan pula balatentaranya. Yaitu hak wisnu, hak perdewan, hak madzu sharfin dan hal malaikatan. • • • •
Hak wisnu adalah diberi ngerti terhadap apa saja yang belum terjadi. Weruh sak jeronig winarah. Jangankan krentegnya manusia di bumi, terhadap krentegnya tengu di atas langit sap tujuh dia bisa mengetahui. Hak perdewan adalah pengusaan terhadap kasekten (kesaktian, Edt.). Bisa terbang tanpa sayap dan bisa menghilang. Sekejab dapat memutari jagad. Gunung dipukul sumyur, lautan dicawuk asat, dan semacamnya. Hak madzu sharfin yaitu dibuka pengetahuannya terhadap berbagai macam penyakit manusia yang bisa diketahui oleh indera keenamnya sekaligus obat yang bisa menyembuhkannya. Menjadi dukun yang kondang dan terkenal. Hak malaikatan yaitu dibuka dengan keahlian terhadap hal bicara sehingga keahlian bicaranya mengagumkan dan tak seorangpun yang mampu mengatasinya. Bahkan keahliannya bicara dengan berbagai makhluk selain manusia, banyak yang dikuasainya.
Bagi orang yang berkehendak bertemu Tuhan, semua itu adalah racun yang membunuh apabila puas dan senang berada di situ. “Iqbalunnasi ‘ala almuriidina qabla kamalihi tsammun qoothilun”. Maksudnya : Puasnya seseorang yang berkehendak bertemu Tuhannya terhadap tujuan yang belum sempurna adalah racun yang membunuhnya. Tercapainya tujuan yang sempurna itu adalah ditarik oleh-Nya menyatakan ma’rifat kepadaNya. Yaitu menyatakan mati sebelum mati. Sebab bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, Al Ghaib dan Allah Asma’-Nya adalah di alam pati. Bukan di alam dunia ini. Jadi ditarik membuktikan fana’ dzat. Karena itu dengan sendirinya juga tidak bernafas. Sebab nafas dalam jasad ini berlakunya di dunia. Meskipun hal tersebut tidak bisa dengan tergesa dikejar, namun perlu dimengerti. Sebab hal seperti itu semata-mata tergantung pada fadhal dan rahmat Allah SWT. Fadhal dan rahmat-Nya Allah SWT tergantung pada berberan, sawab, berkah dan pangestunya Guru Wasithah yang hak dan sah. Berberan, sawab, berkah dan pangestunya Guru tergantung pada tumemen kita masingmasing dalam melaksanakan dawuhnya dengan benar dan ikhlas. Dan oleh karena ditata dalam sunnahnya Guru Washitah, maka sebenarnya kita tinggal sak derma nglakoni. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 60).
Bukti Watak Akunya Nafsu Mulai Disirnakan Sebagai bukti bahwa watak akunya nafsu telah dapat mulai disirnakan adalah dia akan mulai dapat merasakan betapa nikmat dan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
167
D
³
º
Sang Maha Aku.Yaitu “Isi-Nya Hu”, yang dengan sendirinya juga akan senang hati dalam melakukan semua petunjuk dan perintahnya guru yang hak dan sah itu. Bukti berikutnya bagi yang telah dikehendaki dengan pertolongan-Nya dalam mujahadah-nya adalah baiknya budi pekerti (berakhlak mulia). Budi pekerti yang baik adalah seseorang yang tidak mementingkan diri sendiri. Suka menolong orang yang membutuhkan pertolongannya. Suka meringankan beban derita orang lain. Ilmunya manfaat. Yaitu orang yang selalu mengetahui aibnya diri. Aibnya kumantil dunia dan mengetahui bencananya amal, yakni takabur, ria’, sum’ah dan ujub. Karena itu lalu dapat lapang dada. Bukti berikutnya adalah mensucikan jiwa raganya. Sucinya jiwa raga adalah yang dimakan adalah makanan yang halal. Begitu pula yang disandang dan yang ditempati. Semua itu sandang (pakaian) yang halal dan tempat tinggal yang halal. Karena itu bagi yang berkehendak bertemu Tuhan, tidak ada pengangguran. Semua menjadi hamba yang ukril. Mau bekerja apa saja, meskipun nampak di mata dunia ini hina, tetapi mulia. Sebab yang diniatkan untuk dijadikan pancatan pulang kembali ke akherat bertemu dengan-Nya. Bukti berikutnya lagi adalah berusaha untuk selalu membeningkan hati nurani. Yaitu hati yang dijaga agar jangan sekali-kali digunakan untuk mengingat-ingat apa saja yang tidak diridhai oleh Tuhannya. Tetapi digunakan untuk mengingat-ingat dan menghayati yang disenangi Ilahi. Yakni mengingat-ingat Diri-Nya Yang Al Ghaib dan dekat sekali. Bukti berikutnya adalah senang bersama-sama sesama saudara setujuannya untuk memperjuangkan ramainya agama Allah. Seperti halnya yang kita lakukan guna majunya pendidikan, dakwah, membangun bagi syiarnya Islam dan sebagainya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 35).
Kerja Sama Nafsu dan Iblis •
•
Bentuk kerjasamanya nafsu dan iblis adalah mengadakan Tuhan-Tuhan selain Allah. Menjerat manusia memandang baik sesuatu yang sebetulnya tidak sejalan dengan kehendak Allah (QS. Al Hijr : 39-40). Kemudian apa yang dipandangnya baik itu lalu dijadikannya kepentingan yang dikejarnya. Sehingga sesuatu yang dianggapnya penting atau dipentingkannya itu mengakibatkan ia terperangkap di dalamnya. Diperintah oleh kepentingannya itu. Lalu dikuasai oleh kepentingan yang dikira akan membahagiakan itu. Sehingga jadilah sesuatu itu Tuhannya pula. Enggan, takkabur, gumede, kumingsun, karena merasa diri lebih. Lebih pintar. Lebih terhormat. Merasa lebih segalanya karena itu sombong adalah watak asli iblis yang ternyata juga dimiliki manusia sebagai yang disebutkan Allah sendiri pada ayat di atas, termasuk golongan orang-orang yang ingkar. Lalu mereka berdua mengadakan kerja sama untuk memandang baik apa-apa yang sebetulnya tidak sekehendak dengan Allah. ”(aku tidak mau tunduk) karena aku lebih baik daripadanya, aku diciptakan dari api sedangkan ia diciptakan dari tanah”. (QS. 7 : 12). Maka berkatalah iblis : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan yang tidak sekehendak dengan Allah) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di atara mereka”. (QS. Al Hijr : 39-40). Kalau kita perhatikan dengan seksama, maka dapat kita ketahui mengapa Allah menjadikan hampir dua pertiga isi Al-Qur’an itu dengan sejarah. Diulang-ulangnya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
168
D
³
•
•
º
sejarah itu agar dijadikan “kaca benggala”. Untuk mengaca diri, betapa kesudahan mereka yang hidupnya sombong, takabur, kumingsung, merasa diri lebih dari yang lain lalu tidak mau sujud, patuh dan tunduk pada kholifah-Nya. Betapa Fir’aun sebagai simbol kesombongannya kekuasaan. Qarun sebagi simbol kesombongannya harta kekayaan. Bal’am sebagai simbol kesombongannya ilmu. Hamman sebagi simbol kesombongannya tehnokrasi serta Abi Thalib sebagai simbol kesombongan ras, kesombongan keturunan darah. Semua itu tidak mau patuh dan tunduk kepada para kholifahtullah, yakni para utusan-Nya. Karena gengsinya yang telah sedemikian mengakar dalam menuhankan “akunya”. Diperkuat oleh watak iblis yang memang senang kerja sama demikian itu. Orang yang sombong sangat takut kalau kedudukannya, kehormatannya, pangkatnya, gengsinya, emosi ambisinya itu jatuh. Klungsur derajatnya kalau mau patuh kepada orang lain meski mungkin ia tahu bahwa orang lain itu adalah membawa petunjuk dari Allah atas kehendak-Nya. “….maka janganlah kamu merasa suci. (Sebab) hanya Dia-lah yang paling tahu orang yang bertaqwa”. (QS. An Najm : 32). Watak merasa suci, lalu semuci, sama dengan berani ngembari Allah lalu merasa benar sendiri. Baik sendiri. Sombong, merendahkan dan menghina orang lain, ngrasani, mencari cacat cela dan aib orang lain menjadi kesenangannya. Karena itu orang yang salah mengaku dan merasa salah itu lebih baik jika dibandingkan dengan orang yang benar merasa dan mengaku benar. Sebab kalau orang yang salah mau sadar mengakui kesalahannya, ialah orang yang bisa ingat kepada Tuhannya. Membutuhkan petunjuk dan rela dinasehati. Mau taubat. Ia sadar sebagai hamba yang hakekatnya memang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Tetapi kalau seorang itu benar lalu merasa dan mengaku benar, membatulah hatinya. Menuhankan dirinya. Akunya yang menampak di dalam hatinya. Sombong. Karena itu Allah sangat membencinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk jahanam dalam keadaan hina dina”. (QS. 40 : 40). Kerja sama nafsu dan syaitan yang selalu berbisik di dalam dadanya menggelembung keinginan-keinginan dan rencana-rencana cipta angan-angannya untuk mengejar dan memburu apa yang disenangi oleh jasadnya itu sehingga membuat dadanya sempit. “Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesehatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, bagaikan pasir yang berhamburan menggelapi sampai ke langit. Demikian itulah Allah menimpakan kehinaan kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. 6 : 125). Langitnya, pikirannya, pandangannya dan wawasan hidupnya dipati oleh cipta anganangannya sendiri guna menuruti kehendak dan keinginan, selera dan pamrihnya pada kehidupan kesenangan hawa nafsu dan syahwatnya. Ada hikmah yang bisa kita petik adalah bunyi gamelan Jawa yang bunyi kenongnya mengingatkan pada watak manusia. Yaitu ngene-ngene- ngene- ngene; ngono- ngonongono- ngono. Sepertinya begini- begini- begini, begit-begitu- begitu- begitu. Maunya Tuhan itu di dikte oleh-Nya, merasa pintar dia dari Allah Tuhannya. Padatnya cipta-angan yang dikembangkan dan ditumbuhsuburkan oleh keinginan dan seleranya nafsu itu hingga ia melupai Tuhannya. Melupai dirinya. Lupa bahwa di dunia ini hanyalah sebentar saja (QS. 23 : 113 – 114). Lupa bahwa ia akan juga merasai mati. Hanya setelah dimakan tanahlah ia akan baru sadar atas kekeliruannya. “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa akan Allah maka Allahpun akan menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka (itulah orang-orang yang fasik”. (QS. 59 : 19). Sebagai simbol maka gamelan Jawa itu ada kendangnya yang bunyinya ndang-ndangndang-ndang. Mengandung maksud cepat-cepat-cepat. Cepat-cepatlah untuk bertaubat.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
169
D
³
º
Yaitu sebagai bunyi rebab yang seperti orang menangis. Menangis kepada Allah. Kembali bertaubat kepada-Nya. Supaya ning nung nong gung. Supaya dapat wening hatinya. Hanya mengingati apa yang diridhai-Nya. Sehingga ning kene, di sini, di dunia ini dapat bening, nong kana, di sana juga bening, gung – kepada Dzat Yang Maha Agung. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat Mentauhidkanya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-cita Kebangkitan Yang Islami, di Tanjung, 12 Januari 1990, hal. 18 – 19).
Nasut : (lihat Alam - Alam Nasut) Neraka Hakekat neraka adalah alam rasa yang kersang, gerah dan gelisah. Yang panas apinya membentuk polusi pada batinnya sendiri. Rasa yang alamnya (yang dirasakannya), tidak pernah sama sekali merasakan Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi yang amat sangat dekat dalam rasa hati. Karena itu tidak pernah merasa sejuk, damai dan merdeka sejati dengan merasakan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri Illahi. Maka menjadilah ahli neraka. Yang dibiarkan oleh Allah bergelimangan dengan kesesatannya. Disebabkan hidupnya memang tidak pernah berniat untuk bertemu dengan Tuhannya. Adalah maksud Firman-Nya sebagaimana diabadikan dalam QS. Yunus ayat 7, 8 dan 11-nya. Maka jagalah dirimu dan ahlimu dari kehidupan ahli neraka. Dan cara menjaganya adalah setelah secara benar dengan hak dan sah menerima ilmu ma’rifat billah, ingat-ingatlah Diri-Nya Illahi, yaitu Isi-Nya Huw itu bersama setiap kali masuknya nafas ke dalam dada. Jangan keluarnya. Sebab nafas itu apabila masuk dan tidak keluar lagi, namanya mati. Sehingga matinya selamat, manjing kepada Tuhannya, sebab ”pintunya mati” itu ada di dalam ke dalamannya rasa. Karena itu dijaga ketika ke luar masuknya nafas terkontrol dengan sebaiknya. Sedang apabila tidak sedang dapat terkontrol; umpanya ketika berbicara atau ketika membaca ayat-ayat Al Qur’an, baik ketika mendidirikan sholat atau di luar sholat; yang penting adaah bagaimana ingatnya hati kepada Diri-Nya Illahi, tetap terjaga dengan sebaik-baiknya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dengan Hidayah-Nya dan dengan Kebenaran Mutlak AlHaq-Nya Dipersembahkan, Makna Rahasia Yang Tersimpan dalam Huruf-huruf Hijaiyyah Yang Difirmankan Tuhan dan Cerahnya Hati Nurani, Roh dan Rasa Yang Mencahaya dengan Diri-Nya Dzat Yang Meskipun Al-Ghaib Mutlak Wujud-Nya, Pondok Sufi, Tanjung, Februari 2003, hal. 40 – 41).
Ngaji : Singkatan Ngarah Siji; NGA-nya =ngarah. Yakni menuju kepada. Ji-nya adalah Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Maha Suwiji (yang meskipun Al-Ghaibu, Mutlak Wujud-Nya dan amat sangat dekat sekali dalam rasa hati). Sebab berdasar petunjuk Allah Swt dalam firmanNya QS Yunus ayat 7,8 dan 11, benar-benar diancam menjadi ahli neraka dan dibiarkan (hidupnya) bergelimangan dengan kesesatan, apabila hidupnya di dunia ini (sebagai tempat ujiannya) tidak mengharap/ tidak berkehendak untuk bertemu dengan-Nya karena memilih kepuasan hidup di dunia serta merasakan cukup dengan itu. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal a).
Ngawula : •
Ngawula adalah semangat jiwanya dalam kesungguhan jihadunnafsinya dalam bentuk ibadah dan pengabdian yang dilakukan dengan tertib dan disiplin serta aktif dan dinamis itu selalu diikuti dengan rasa hati yang benar-benar semeleh kepada-Nya. Benar-benar dalam rasa jiwa yang tawakkal kepada-Nya. Yakni rasa hati yang nggletak (bertempat) pada rasa jiwa yang nikmat merasakan Ada dan Wujud-Nya (Isi-Nya Huw). Memenuhi secara utuh
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
170
D
³
º
peringatan Tuhannya dalam QS. Fathir : 5 : “Hai manusia, kamulah yang faqier semua kepada Allah; (maka kamulah seharusnya berkehendak kepada-Nya); dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 27). •
Rasa hati yang selalu dapat “semeleh” pada Tuhannya. Rasanya nikmat merasakan-Nya (yakni merasakan nikmat mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Allah Asma-Nya itu = Isi-Nya Hu). Hingga “kumandelnya” jiwa dan semangat dalam menghadapi ibadahnya dan segala kehidupannya, semata-mata hanya kepada-Nya saja. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 46).
Nginjen-nginjen : Mengintai-intai dan menghayati kepada Daya Kuat-Nya. Salah satu contoh : menyadari dan merasakan bahwa segala gerak jasad ada “sesuatu” yang menggerakkannya (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Okotber 2000, hal.1).
Nubuwwah (Al-Nubuwwah) : Senjatanya Imam Mahdi yang ke satu. (lih Imam Mahdi)
Ilmu Nubuwwah (al Nubuwah) : •
Ilmunya semua Nabi-Nya Allah, Rasul-rasul-Nya, para wali kekasih-Nya, para Guru Washitah.
•
Ilmu untuk mentauhidkan Dzat Sifat dan Al’alullah untuk ma’rifat kepada Allah, yakni ilmu hakekat (ilmu yang mengenalkan hakekat Diri-Nya Dzat yang Al-Ghaib) yang juga disebut ilmu yang menunjukan pintunya mati supaya dapat selamat dengan rasa bahagia kembali bertemu dengan-Nya. Meminta ilmu ini hukumnya fardu ‘ain bagi setiap orang yang mengaku Islam agamanya. Bahkan lebih wajib dibandingkan dengan kewajibankewajiban yang lain supaya shalatnya secara benar dapat memenuhi perintah Tuhan “Wa aqimishshalata lidzikri”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Perintah Guru Menjadilah Murid Yang Pandai Bersyukur (Kepada Allah SWT),hal. 4, Pondok Sufi, Tanjung, 15 Agustus 2002)
•
Ilmu yang mempertemukan kembali rahasia inti manusianya sendiri atau firahnya sendiri, jati dirinya sendiri dengan tempat asalnya - fitrah-Nya Allah. Fitrah-Nya Allah adalah AlGahib-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, yaitu Nur Muhammad, Cahaya Terpuji-Nya Zat Yang Mutlak Wujud-Nya; yang cahaya dengan Dzat-Nya bagaikan kertas dan putihnya; bagaikan sifat dan mausufnya; bagaikan gelombang dan samudranya; kekal menyatu menjadi satu. Inilah ilmunya semua Nabi-Nya Allah, Rasul-Rasul-Nya, para Wali kekasihNya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 93)
•
Ilmu yang meghadirkan Nur Muhammad di dalam rasa. Lalu Nur Muhammad itu menjadi inti manusianya sendiri. Tempat bertemunya fitrah manusianya sendiri dengan Fitrah-Nya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
171
D
³
º
Allah SWT. supaya menjadi jelas dan nyata bahwa “man ‘arafanafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Saya (Yang Semata-mata Demi sak Derma Nglakoni Perintahnya Guru), dengan Siliring Qudratullah Diperintah Supaya Sipa Dimunculkan, Pondok Sufi, Tanjung, 18 Juli 2006, hal. 3). •
Ilmu yang mengenalkan mengadanya Nur Muhammad. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya. Yang Cahaya dengan Dzat-Nya Ilaahi selalu menyatu, kekal dan abadi. Tempat bertemunya fitrah manusia atau jati dirinya atau benih gaib sucinya sendiri dan Fitrah-Nya Allah. Yang disimpan dengan rapatnya dan dengan rapinya di dalam rahasianya rasa, hingga dengan begitu seyakinnya akan mengetahui. Maksud firman Allah, “Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharassamaa wati wal ardhi”, bahwa hakekat wajahku, yakni jati diriku, rahasia inti yang menjadi benih gaibnya manusiaku, hakekatnya adalah Wajah-Nya Dzat Yang Menciptakan jagad dengan segala isinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilaahi Yang Segera Diwujudkan dengan Kun Fyakun-Nya adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin oleh Al-Qaim Al-Mahdi (Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Pondok Sufi, Tanjung, Desember 2003, hal. 54).
Nubuwwah :
Melaksanakan perintahnya Guru Wasithah mengumpulkan syareat dan hakekat. Kumpulan syareat dan hakekat adalah Shirathal Mustaqim. Karena syareat adalah asal katanya dari syara’a, mempola jala kepada sumber (=menuju kepada Diri-Nya Illahi = Isi-Nya Huw, sehingga sampai) maka syareat itu tidak hanya menampakan yang mahdoh saja, tetapi juga mencakup penampakan bagusnya akhlak, bagusnya kelakuan, bagusnya watak, bagusnya kepribadian, sebagaimana yang dikehendaki oleh sumpah yang bunyinya “wabi al fuqarrai attabi’iina lima ‘alaihim, walahun maa ‘ala aththaaa’ati tajama’na wa a;-ma’siyati tafaraqna”. Karena itu apabila tidak dengan sungguh-sungguh melaksanakan Dawuh Guru dengan benar dan ikhlas, mustahil akan dapat memenuhi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Saya (Yang Semata-mata Demi sak Derma Nglakoni Perintahnya Guru), dengan Siliring Qudratullah Diperintah Supaya Sipa Dimunculkan, Pondok Sufi, Tanjung, 18 Juli 2006, hal. 4).
Nubuwah Syamsiyah; adalah mencahayanya Nur Muhammad di dalam dadanya Junjungan Nabi Muhammad SAW, dan juga di dalam dadanya para pengganti beliau yang disebut oleh beliau sebagai putraputra beliau sendiri yang secara gilir gumanti atas kehendak, izin dan hidayah Allah dengan secara hak dan sah ditugasi meneruskan tugas Kerasulannya Junjungan Nabi Muhammad SAW yang sama sekali tidak akan pernah putus sampai hari ini higga kiyamat nanti. Dimaksud dengan hak (para pengganti Junjungan Nabi SAW), adalah karena Hak-Nya Allah SWT sendiri. Dipilih dan ditetapkan oleh Allah sendiri, “Wakafaa billahi syahiida”. Cukuplah Allah sebagai saksi. Sebagaimana maksud firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 179, “Dan Allah tidak akan memperlihatkan (dalam mata hatimu mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat) Al Ghaib”, akan tetapi Allah memilih (untuk memperlihatkan dalam mata hati mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib) dari pada para Rasul-Nya, kepada siapa yang dikehendakinya. Dalam firman Allah di atas, kalimat memilih (yajtabi) menggunakan fiil mudhare’, maksudnya berlaku sekarang dan seterusnya. Dalam hal mengadanya Rasul, ternyata Allah SWT. selalu menggunakan fiil mudhare’ atau fiil amar, maksudnya untuk waktu sekarang dan seterusnya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
172
D
³
º
Dimaksud dengan sah (dalam penjelasan Guru yang hak dan sah) adalah bahwa dia secara sah telah dipersiapkan oleh Guru sebelumnya. Mendapat izin dari Guru yang sebelumnya untuk melanjutkan tugas kerasulannya Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Dalam firman-firman-Nya Allah menyebut para wakilnya Junjungan Nabi Muhammad SAW ini juga dengan sebutan Rasul. Sebab wakil itu sama dengan muwakkal. Maksudnya bagi siapapun yang dikehendaki dengan hidayah Allah, lalu percaya dan taat kepadanya, buah dan manfaatnya serta sampainya kepada Allah dengan selamat dan dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya, sama persis dengan seandainya langsung dipimpin dan dibimbing oleh Junjungan Nabi Muhammad SAW sendiri ketika masih mengada jasadnya (masih hidup). Mengadanya Rasul yang secara gilir gumanti tidak pernah akan pernah terputus sama sekali ini, adalah penampakan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW secara nyata, sebagai penyempurna dari nikmat Allah kepada hamba yang dikehendaki percaya. Sebagaimana maksud firman-Nya dalam QS. Al Baqarah ayat 150-151, “Maka janganlah kamu takut kepada mereka (yang zalim-zalim itu) dan takulah kepada-Ku. Dan agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu. Dan supaya kamu mendapat petunjuk, sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus ditengah-tengah kamu Rasul dari antara kamu sendiri yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu. Dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah. Serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. Ayat-ayat yang dibacakan oleh Rasul adalah ayat-ayat yang muncul dari Diri-Nya Dzat Allah Yang Al Ghaib, amat sangat dekat sekali (dalam rasa hati), mutlak Wujud-Nya. Karena ayatayat Allah adalah Kalam-Nya, dialirkan Allah dari Nur Muhammad-Nya. Karena itu apabila membaca ayat-ayat-Nya, jangan sampai melupai sumbernya ayat. Yakni Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al Ghaib. Yang diterima dari hamba yang dikehendaki mewakili Diri Ilaahi dengan cara metode tunjuk lewat telinga kiri. Sebagaimana halnya yang dilakukan Junjungan Nabi Muhammad SAW kepada ahlul baitnya. Mengadanya Rasul juga untuk mensucikan kamu, tugas dan kewajibannya. Yang disucikan adalah hati nurani, roh dan rasa. Agar menjadi cerah, berfungsi dan menjalankan kewajibannya, agar selamanya tidak digelapkan oleh wataknya nafsu dan hati sanubarinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilaahi Yang Segera Diwujudkan dengan Kun Fyakun-Nya adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin oleh Al-Qaim Al-Mahdi (Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Pondok Sufi, Tanjung, Desember 2003, hal. 55 – 57).
Nur Muhammad : •
Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, di dunia ini Al-Ghaib, Allah Nama-Nya (Innani Ana Allah); yang Cahaya dengan Dzat-Nya selalu menyatu menjadi satu bagaikan sifat dan mausufnya, bagaikan kertas dengan putihnya atau bagaikan gelom-bang dengan samudranya, atau bagaikan bola dan bundarnya. Nur Muhammad ini merupakan “inti” manusia atau hakikat manusia atau fitrah jati diri manusia yang disimpan oleh Allah dalam rasa manusia itu sendiri. Dan Nur Muhammad itu pulalah Al Ghaibullah. Maka benar sekali ungkapan para Wasithah sejak Junjungan Nabi Muhammad SAW : “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”.Barang siapa yang tahu jati diri fitrahnya sediri, pasti tahu Tuhannya (Lih. inti manusia). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Gilir Gumantinya Wasithah Dalam Sebuah Rantai Silsilah Yang Sejak Junjungan Nabi Muhammad SAW Hingga Kini Tidak Pernah Putus Sama Sekali (Karena Hanya Kiamat Saja Yang Menghentikannya), Pondok Sufi, Tanjung , 8 Maret 2001, hal.1).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
173
D
³ •
º
Pintunya mati yang ditunjukan oleh yang berhak dan sah menunjuki. Maka disebut pintu, seperti halnya seseorang yang akan memasuki sebuah rumah, apabila telah sampai di pintu rumah itu sama artinya telah sampai ke rumah yang dituju itu. Itulah sebabnya ada ungkapan “raaitu Rabbi bi Rabbi” Aku melihat Tuhan dengan Tuhan, untuk dapat melihatnya (dengan mata hati), hanya Tuhan sendiri yang menghendaki. Nur Muhammad ini tempat bertemunya fitrah manusia, jati diri manusia, nukhtah gaib (benih ginaibnya manusia) yang asalnya dari Dzat Yang Maha Fitrah, dipertemukan kembali dengan DiriNya Illahi,sebagaimana ungkapan firmanNya QS ar-ruum 30 bahwa Fitrah Allah-lah yang telah menciptakan manusia atas FitrahNya itu. Barang siapa yang mengetahui jati dirinnya sendiri pasti mengetahui Tuhannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Okotber 2000, hal. 2).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
174
³
D
º
O Orang Awam : (lih. Manusia – Pembagian Manusia) Orang Khas : (lih. Manusia – Pembagian Manusia) Orang Yang Diridhai Allah : Orang yang diridhai Allah adalah orang yang percaya sepenuh hati terhadap adanya keberlangsungan tugas dan juga fungsinya Rasullah yang dengan itu lalu akan memperoleh ilmu tentang Ada dan Wujud Jati Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib itu dari utusan-Nya itu yang selalu berada di tengah-tengahmu ( QS. Al Hujurat : 7 dan Al imran : 101). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal.11).
Organisasi Dawuh Guru : Bangunan kebersamaan seluruh warga jama’ah yang kompak dan seia sekata dalam melaksanakan semua petunjuk dan perintahnya Guru Wasithah dalam memenuhi sumpah dan janjinya dihadapan Allah SWT lewat hamba yang ditugasi mewakili Diri-Nya, hingga seluruh warga jamaah siap dan rela mempersiapkan diri dengan mujahadah. Adalah memenuhi kehendak dan petunjuk Allah SWT sebagaimana dalam firman-Nya QS.61 Ash. Shaff; 4 : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang (memerangi nafsunya hingga dapat selalu mapan) di jalan-Nya (Shirathal mustaqim, yang lahirnya adalah tertib dan baiknya menjalankan kewajiban syareat dengan batin yang selalu mapan dalam hakekat) dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (K.H. Mohammad Munawwar Afandi, Ketetapan dan Petunjuk Imam Gerakan Jama’ah Lil Muqorrobin Yang Terlahir Sebagai “Dawuh Guru” tentang Pengelolaan Organisasi Dawuh Guru (Gerakan Jamaan Lil Muqorrobin, Pondok Sufi, Tanjung, 10 April 2002, hal. 1).
Orang Khawasul – Khawas : (lih. Manusia – Pembagian Manusia)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
175
D
³
º
P Pasrah bongkokan kepada-Nya : Memberlakukan diri masing-masing “kal mayyiti baina yadi al-ghasili”. Bagaikan mayat yang sepenuhnya pasrah bongkokan kepada yang berhak dan sah mensucikan dengan cara menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dan penyelamat. Meski ternyata yang demikian itu menurut firman Allah dalam QS Al Baqarah : 45; “sungguh sangat berat kecuali bagi orangorang yang khusuk”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dari Imam Jamaah Lil Muqorrobien Kepada Segenap Warga Jamaah Lewat Pengurus Di Semua Tingkat, Pondok Sufi, Tanjung , 14 Februari 2001, hal.1).
Pintunya mati : (lih. Mati – Pintunya Mati; Nur Muhammad) Pitukon : •
Pembelian : amal
•
Pitukon adalah kerelaannya mengorbankan harta benda guna memproses penafian akonakon dunia yang biasanya kental dengan nafsu sebab dikira itu adalah miliknya. Wujud jiwa raga dan perasaan memiliki (kumantilnya dengan akon-akon) dunia, semua itu adalah hijab yang menutup mata hati sehingga tidak bisa melihat kepada Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghaib ini. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 22).
Prihatin (ahli prihatin) : Hamba yang dijadikan Tuhan-Nya selalu mengadili dirinya supaya segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya sama sekali tidak akan mudah dibujuk oleh tipu dayanya nafsu. Apalagi sampai dijajah dan diperintah. Sehingga dengan begitu maka segala tingkah laku dan perbuatan lahrnya dan batinnya berada dalam Siriling Qudratullah. Ilmu lalu menjadi ilmu yang manfaat karena dapat mengetahui aibnya diri, aibnya til kumantil dunia (kadonyan = mencintai dunia dengan segala kehormatannya). Juga lalu dapat selalu mengetahui bencananya amal bagaikan api memakan habis kayu kering yaitu takabur, ria, sum’ah dan ujub (lihat. ahlul qurub)
(Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan ALQaim AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 3). Puji wali Kutub : Mujahadah yang dilaksanakan habis tengah malam dan hanya dilakukan dengan Imam Wasithah atau wakilnya yang hak dan sah. Yaitu reruba (mengajak para waliyullah yang ditugasi menjaga tepi-tepinya jagad untuk diajak bersama-sama memohon kepada Allah atas diampuninya segala dosa kita semua, tetapnya iman, Isalam dan istiqomahnya hati. Serta permohonan apa bila sewaktu-waktu terjadi mengamuknya lelembut sak lumahing bumi sak kurepnya langit Dzat Allah Yang Maha Kuasa berkenan melindungi. Jangan sampai kalah. Justru dapat unggul ing jurit sehingga cita-cita Guru Wasithah terhadap gumelarnya Ilmu Syaththariyah dan pendidikannya merata di seluruh wilayah tanah air Nusantara khususnya dan seluruh dunia pada umumnya terus menerus hingga sampai jebatnya jagad. Begitu pula terhadap wujudnya negara yang merdeka sejati dan sempurna buat bumi Nusantara ini, terus menerus hingga jebatnya jagad. Sebab satu-satunya ilmu untuk dapat menghilangkan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
176
³
D
º
kebodohan seluruh saudara umat Islam adalah Ilmu Syaththariyah dan diamalkan dengan sungguh-sungguh, benar dan ikhlas. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 54).
Pondok Sufi: Pondok Sufi ini adalah pusat pembekalan, bimbingan, arahan, pendidikan latihan dengan ilmu (ilmu untuk ma’rifat kepada Allah SWT) dan laku (perjalanan hamba Allah yang berkehendak bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang (meskipun) Al Ghaib Mutlak Wujud-Nya, Allah Nama-Nya, amat sangat dekat sekali dalam rasa hati sehingga sangat mudah dan indah selalu diingat-ingat dan dihayati, dimana saja, kapan saja, dan sedang apa saja). Pembekelan, pembimbingan, arahan, pendidik dan alatihan supaya sebanyak-banyaknya dapat menghasilkan orang-orang yang sabar dan tawakkal dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. Yakni pengorbanan dan pengabdian yang diberikan untuk melatih dan mendidik diri sendiri dan orang lain dijalankan dengan ikhlas seikhlasnya karena Allah, dengan Allah, di jalan Allah, untuk Allah sehingga saking ikhlasnya sampai tidak merasa. Sebab rasa hatinya telah “diisi dengan ilmu mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghaib” agar dapat merasakan betapa indahnya dan betapa nikmatnya mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud-Nya Diri Ilahi ini. Karena itu pondok Sufi ini, menjadi Pusatnya Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin dalam wadah Yayasan Lil-Muqorrobin, jumlah warganya sekitar 40.000 orang (th. 2004 edt.) tersebar hampir ke pelosok Tanah Air dengan membentuk cabang-cabang dan ranting-ranting jamaah atau dan perwakilan-perwakilan. Mengutamakan kegiatan-kegiatan pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, pertanian, pembekalan tenaga kerja mandiri, dengan pusat pendidiakn di Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (POMOSDA). Dimaksud dengan gerakan adalah Gerakan Mujahadah, Gerakan Dzikir dan Gerakan Tapa di tengah-tengah praja (zuhud) dan Nyingkrih (menyendiri) di tengah-tengah kalangan (uzlah). Gerakan Mujahadah membimbing dan mengarahkan warga jamaah agar berkeberanian bergerak ke dalam medan perang terbesar. Yaitu Jihadunnafsi. Memerangi nafsunya sendiri agar menjadi rela, patuh dan tunduk (nafsunya) dijadikan tunggangannya hati nurani, roh dan rasa mendekat kepada Tuhannya sehingga sampai dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya. Gerakan Dzikir membimbing dan mengarahkan warga jamaah agar dengan senang hati selalu mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghaib yang telah dimasukkan dalam rasa-nya itu sepaya selalu dibatin dan dilatih bersamaan dengan setiap masuknya nafas ke dalam dada. Sebab nafas itu apabila masuk dan tidak keluar lagi namanya mati. Supaya matinya selamat dengan rasa bahagia bertemu dengan Tuhannya. Gerakan tapa sak tengahing praja (zuhud) dan nyingkris (menyendiri) di tengah-tengah kalangan maksudnya adalah bagaimana agar semua warga jamaah secara benar berkepedulian terhadap masyarakatnya, bangsa dan negaranya, sebagai tambahnya lakon (perjalanan) mendekat kepada Tuhannya. Akan tetapi hatinya bertapa. Hatinya sama sekali tidak til kumantil (lengket) kepada wujudnya praja dan gebyarnya pesona dunia. Hatinya hanya dilatih untuk til kumantil (mencintai) Diri-Nya Illahi yang selalu berusaha diingat-ingat dan dihayati.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
177
³
D
º
Nyingkrih (menyendiri) ditengah-tengah kalangan maksudnya bagaiman agar di kalangan masing-masing bakat dan keahliannya dikembangkan sehingga menjadi profesional dibidangnya, akan tetapi tekadnya menyendiri. Tekadnya sama sekali tidak ada niatan untuk mengumpulkan harta kekayaan, untuk bersenang-senang, untuk berlebih-lebihan, apalagi untuk menuruti kemauan hawa nafsu dan sahwat. Tekadnya demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh pulang kepada Tuhan. Khusus dalam hal masa depan bangsa dan negara, kami selaku Imam Jamaah mendapat wasiat dari Guru kami (pendahulu kami) melaksanakan Puji Wali Kutub yaitu mengajak kepada semua Waliyullah yang ditugasi Allah untuk menjaga tepi-tepinya jagad raya diajak bersamasama memohon kepada Allah Swt. Permohonan itu di samping mohon ampunan, tetapnya iman dan istiqomahnya hati, mohon pertolongan, juga ada permohonan yang berkaitan dengan masa depan bangsa dan negara. Yakni mohon agar Indonesia ini oleh Allah diwujudkan menjadi negara yang merdeka sejati lahir dan batin sampai kiyamat tiba. Merdeka lahir bebas dari segala macam bentuk penjajahan bangsa dan negara lain. Merdeka batin bagaimana agar yang kebetulan memimpin dan yang dipimpin tingkah laku dan perbuatannya, gerak dan gerik lahirnya dan batinya sama sekali tidak karena diperintah oleh nafsu dan watak akunya, akan tetapi karena murni “katut siliring Qudratullah”. Kepada kami diperintahkan supaya kegiatan Puji Wali Kutub sejak masuk magrib hingga waktu subuh (semalam suntuk), setiap malam Jum’at (di Pusat), setiap malam Minggu dan setiap malam Selasa (di cabang-cabang) apabila kami selaku Imam Jamaan berkunjung dan terjadwal. Dan jangan berhenti apabila cita-cita itu belum diwujudkan Allah Swt. Demikian sekilas tentang Pondok Sufi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Menggagas Nasib Bangsa Ke Depan Dari Sudut Pandang Ahl Dzikir, Pondok Sufi, Tanjung, Januari 2004, hal. 21 – 23.)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
178
³
D
º
Q Qaidah Sembilan : Risalah Qaidah. Pedoman azas – petunjuk yang harus menjadi dasar – jiwa Pesantren Takeran, amanat dari Almarhum Kyai Hasan Ulama. Bismillah Arrohman Arrohiem Pendahuluan. Pensantren Takeran didirikan oleh almarhum Kyai Hasan Ulama pada tahun 1303 H dengan maksud dan tujuan mendirikan dan mewujudkan sumber pendidikan, pengajaran dan penyiaran Islam yang seluas-luasnya. Dasar cita-cita almarhum dengan pesantrennya ialah : “memancarkan pendidikan luas tentang Islam, sehingga pesantren ini dapat mengeluarkan sebanyak-banyaknya orang yang cakap dan luas serta tinggi kepahamannya tentang agama Islam, rajin berbakti dan beramal kepada masyarakat, berdasarkan taqwa (= takut dan tunduk) kepada Allah, sehingga menjadi anggota masyarakat yang berilmu (= terpelajar), beramal dan bertaqwa”. Untuk supaya Pesantren Takeran dapat berdiri terus pada pokok-pokok azas dan tujuannya, maka almarhum telah menanam qaidah-qaidah (= pedoman-pedoman) bagi pesantrennya, agar dijadikan pedoman sehari-hari yaitu : Qaidah 1. “Sokongan dan bantuan dari lain orang, baru diterima jika tidak mengikat lahir atau batin dan capailah rasa jiwa “hurriyyah tammah” (= jiwa yang merdeka sejati). Menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar; ingatlah : “Jadu’lulya aula min iad’ssufa” artinya : “tangan yang diatas itu lebih mulia dari tangan yang di bawah”. Tegasnya : “memberi itu lebih mulia pada meminta”. Qaidah 2. Pimpinan pendidikan yang ditakuti harus dijauhi, ya’ni sedapat mungkin jangan dijalankan, sedang pimpinan yang dicintai dibiasakan. Ingatlah : pengaruh pendidikan berdasarkan “mahabbah” (=kecintaan) itu lebih besar dan lebih mendalam dari pada pengaruh pendidikan yang pimpinannya ditakuti. Oleh karenannya maka : “Rasa keluargaan diperkokoh dan dipererat”. Qaidah 3 Guna memperdalam bekas dan pengaruh “tarbiyah” (=pendidikan) serta mempererat rasa dan tali kekeluargaan (di samping mengadakan penyiaran Islam dengan bermacam-macam cara umpanya mengadakan madrasah – madrasah dsb., dimana pendidik dengan pihak yang dididik atau guru dengan murid, hanya mempunyai kesempatan bergaul di kelas saja) harus dipentingkan dan diutamakan juga : “adanya tarbiyah cara pondok, dima Kyai dan Santrinya atau guru dengan muridnya, siang dan malam dapat bergaul dengan rapatnya”. Tarbiyah cara pondok ini sudah dibuktikan oleh pengalaman, bahwa ia itu adalah suatu cara pendidikan yang mendalam berpengaruh dan berjiwa. Sehingga “Ro”(=pendidikan) dan “Ro’jahnya” (= yang dididik) merupakan satu keluarga, yang perasaan rohaninya diliputi oleh “mahabbah” (= rasa kecintaan) yang besar yan menimbulkan rasa kekeluargaan yang suci.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
179
D
³
º
Guna mempercepat langkah pelaksanaan cita-cita pendidikan, sebagai langkah penyiaran dan pengajaran Islam, harus juga dipentingkan adanya cara Madrasah dsb. Kesimpulannya : adanya cara pondok itu guna memperdalamkan dan menjiwakan pengaruh dan bekas pendidikan dan kekeluargaan, sedang adanya madrasah itu guna mempercepat langkah dan jalan tersebarnya pengajaran. Dalam kedua-dua cara itu dasar aturan pendidikan cara pondok harus dijalanlan umpamanya : hidup sederhana, memimpin diri pribadi (yakni : mengurus, menolong dan memerintah diri sendiri) dengan mengindahkan tuntunan pemimpin. Mengutamakan beramal untuk kepentinan umum dengan tidak melupakan hak diri, hemat, hidup praktis (yakni : tidak merasa sukar dimana saja), jangan mementingkan diri sendiri. Tetapi juga jangan tidak tahu hak diri dsb. Walhasil : “adakanlah madrasah”. “Adakanlah pondok”. “Gunakanlah dasar pendidikan cara pondok itu baik dalam madrasah maupun dalam pondok”. Qaidah 4. Kita harus berusaha sekuat-kuatnya dapat menjalankan amal atas niatan “lii lai kalimatillah” artinya “menegakkan kalimat Allah semata-mata, berdasar “Lillah”. Artinya : karena Allah, dengan tak usah dan tak perlu kita melupakan soal keduniawian kita, karena pekerjaan yang didasarkan atas niatan yang luhur dan suci, berarti juga : “kemakmuran soal keduniawian dan pada hakekatnya : “pekerjaan yang berdasarkan niatan yang demikian itu tentu menjamin kebahagiaan dunia akhirat”. “Pendidikan yang kita adakan, kita jalankan untuk Allah, menurut Allah, dijalan Allah dan karena Allah. Setiap “ro” (pendidik) mesti merasa “kita bertanggung jawab terhadap diri pribadi, masyarakat dan yang terpenting terhadap Tuhan”. Qaidah 5. Cara berbelanja sendiri, sedapat mungkin harus diadakan, agar dapat terlepas dari rasa menggantungkan diri kepada pertolongan lain orang. Tetapi bekerja dalam lapangan pendidikan yang suci (agama) dengan “paham buruh” harus dilemparkan jauh-jauh. Agar karunia Allah terlimpah sebanyak-banyaknya. Dan agr diri kita lambat laun dapat mencapai pengabdian yang sempurna Menjadi : “Adakanlah cara berbelanja sendiri tetapi jagalah juga, jangan sampai cara itu dapat menyebabkan jauhnya apa yang kita kejar yaitu mengabdi kepada Allah dengan pengabdian yang sejati murni. Kerjakanlah hal itu : kebahagiaan dunia dan akhirat terjamin sepenuhnya”. Qaidah 6 (Qaidah Perjanjian) Barang-barang yang diserahkan oleh almarhum Kyai Hasan Ulama dan ahli-ahli warisnya kepada Pesantren Takeran yang mulai tahun 1362 H diubah namanya menjadi PSM untuk dipergunakannya kembali menjadi hak milik ahli waris almarhum itu, bilamana : a. Pesantren bubar. b. Barang-barang itu tidak dipergunakan lagi pesantren Barang-barang tsb. diterangkan satu persatu di dalam daftar inventaris yang dipegang oleh yang mempunyai hak milik barang-barang itu dan dipegang oleh Pesantren. Selain dari pada itu, ketentuan milik Pesantren sendiri diatur sebaik-baiknya agar dapat terlindungi dengan secukupnya. Kesimpulannya : Aturlah ketentuan-ketentuan barang-barang hal milik Pesantren sendir dan orang-orang yang mendermakan barang-barangnya kepada Pesantren agar kehalalan milik dalam Pesantren terpelihara secukupnya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
180
D
³
º
Qaidah 7 (Qaidah Perjanjian) Perjanjian-perjanjian tsb dalam Qaidah 6 itu berlaku juga buat lain-lain orang yang menyerahkan barang-barangnya kepada dan untuk Pesantren. Tuntutlah (carilah) keridhaan lain orang agar kita dapat juga keridhaan Allah. Qaidah 8 Guna memelihara keluhuran dan kemurnian dasar jiwa Pesantren kita, janganlah kejadian segala peraturan Pesantren menyimpang dari qaidah-qaidah ini. Qaidah 9 Dengan sabar dan tawakkal, kita harus mencapai tingkat dan martabat rasa : “pengorbanan yang kita berikan untuk mendidik diri pribadi dan masyarakat, harus kita berikan dengan ikhlas seikhlasnya hingga pemberian, pengorbanan kita itu, tidak terasa lagi oleh kita karena : “orang yang ikhlas mengabdi dan berkorban untuk Allah dan karena Allah, itu tentu tidak merasa lagi kalau ia berkorban dan berbakti” tetapi kelahiran dan kebatinan serta berfaedah (segala gerak dan geriknya) orang yang demikian itu dimana saja dan waktu apa saja, tentu berfaedah dan bermanfaat kepada lain orang (masyarakat). Takeran , 16 September 1943 M (9 Syawal 1362 H). Atas nama Kyai Hasan Ulama dan Ahli Warisnya. (Risalah Qaidah Sembilan dan Kandungan Makna : Suci Kang Kahesti, Luhur Kang Ginayuh, Rumpil Margane, Akeh Pengorbanane, Gede Cobane, Abot Sanggane, Adohm Jero, Lembut, Tebane; Ning Sampurno Wusanane, Tanjung ………..)
Al Qaim : (lih. juga Imam Mahdi) Penegak Kebenaran Al Haq-Nya. Al Qur’an yang memuat ribuan ayat-ayat sebagai firman Allah Swt dimaksudkan oleh-Nya sebagai tanda-tanda nyata terhadap keberadaan Al Haq-Nya. Yakni kebenaran mutlak yang tidak lain Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Mutlak WujudNya, Allah Asma-Nya, amat sangat dekat sekali dalam rasa hati. Itulah Nur yang ada dalam junjungan Nabi Muhammad SAW dan para penggantinya/wakil-wakilnya yang hak dan sah yang disebut sebagai putra-putra yang suci dalam satu rantai silsilah yang secara gilir gumanti tidak pernah terputus sama sekali hingga kini dan sampai kiamat nanti (maksud mengapa disebut hak). Sedang maksud disebut sah atas petunjuk dan perintah Allah SWT secara sah memperoleh ijin dari Guru yang sebelumnya guna melanjutkan tugas dan fungsinya dengan cara digulewentah dan dipersiapkan sebagai penerus/pengganti Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasullah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal. 3).
Qalbun Nuraniyun : (lih. Manusia). Qalbun Sanubariyun : (lih. Manusia).
Qana’ah : (lih. murid – Jalan Bagi Murid) Qishrun : “Qalallahu Ta’ala fi al-Ghauts wa bi hidayati wa bi an-nuuri yanbutu fi jaufi ibnu Adam qishrun wa sammaituhu shadrun. Wa fi ash shadri qalbun nuraniyun lathifun rabbaniyun. Wa fi al-qalbi nuraniyun lathifun rabbaniyun fuadi. Wa fi al-fuadi labbun. Wa fi al-labbun syighal. Wafi alsyighal hafiyyun. Wa fi al-hafiyyun siiri. Wa fi al-siiri Ana. Laailaaha illa Ana wa Ana Huwa”.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
181
³
D
º
Allah berfirman di dalam (dada) AL-Ghauts bahwa dengan Hidayah-Ku dan Nur-Ku tumbuhlah di dalam gwagarbanya anak-anak Adam qishrun. Yaitu istana yang dinamai dada. Dada yang tumbuh istana di dalam gwagarba anak-anak Adam menjadikan dada berlapang dada. Berlapang dada melaksanakan ajarannya Wasithah mengumpulkan syareat dan hakekat. Di dalam dada yang lapang (nyegara), hatinurani. Hati yang dicipta Allah dari cahaya. Cahaya Diri-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya. Lembut, tidak bisa dilihat mata kepala. Adalah hati yang dijadikan Allah rela memenuhi perintah supaya Kuunuu Rabbaniyyin. Supaya menjadi orang-orang rabbani. Orang yang sempurna ilmu dan taqwanya. Ilmu yang sempurna hanya satu. Yaitu seyakinnya mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Maha Sempurna, Al-Ghayb, Allah nama-Nya dari yang berhak dan sah menunjuki yaitu Wasithah agar selalu diingat-ingat dan dihayati dan dijadikan tujuan tempat kembali. Taqwa yang sempurna yaitu memenuhi kehendak Allah sebagaimana firman-Nya dalam QS. AlBaqarah ayat 2, 3, 4 dan 5. Beribadahnya kepada Allah berniat sungguh-sungguh dengan benar dan ikhlas. Benarnya ibadah kepada Allah yaitu itba’ kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW dan kepada penggantinya yang mewakili tugas dan kewajibannya yang dalam sebuah rantai silsilah gilir gumantinya (Wasithah ini) tidak pernah terputus sama sekali sampai kiyamat. Di dalam hatinurani, Fuadi (jantung). Yaitu degupan deg deg sebagai pertanda degupan mendzikiri Al-Ghaybullah. Di dalam fuadi labbun, yaitu sari pati atau inti. Inti atau sari pati yang dimaksud adalah intinya ilmu. Da intinya ilmu adalah mengenal dan mengetahui ilmu-Nya Allah mengenai Ada dan Wujud Dzat-Nya Yang Al-Ghayb. Mengenai sifat-sifat-Nya. Mengenai af’al-Nya (perbuatanNya, obah osik-Nya) dan mengenai segala yang nampak maujud yang dicipta Allah tidak batal dan tidak sia-sia supaya dikelola demi subhaanaka. Di dalam inti atau saripati syghal. Yaitu jinem. Sirep lerep. Maksudnya batin yang sama sekali sudah tidak terpengaruh oleh hal-hal dunia dan segala kehormatannya. Batin yang sama sekali telah terbebas dari bujuk rayunya nafsu dan watak akunya, apalagi hingga sampai diperintah dan dijajah. Di dalam syghal, hafiyun, nyamar. Karena itu perlu ketajaman batin untuk memperhatikan dengan seksama yang ada di dalamnya. Di dalam nyamar, rasa. Di dalam rasa, Ana. Aku. Akku Dzat Yang Wajib WujudKu Allah Nama-Ku. Laailaha illa Ana. Semua dan apa saja sebenarnya nafi, kecuali Aku. Wa Ana Huw. Dan Aku adalah Isi-Nya Huw (yang dibisikkan oleh utusan-Nya). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Memenuhi Perintah Allah, Pondok Sufi, Tanjung Anom, 22 Nopember 2006, hal.3 – 4).
Qiyamul lail : (lih. juga Shalat – Qiyamul lail) Shalat habis tengah malam (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 83).
Qul Huwa Allahu Ahad : Huwa adalah dhamir. Artinya sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang Dia (Diri Illahi) Yang Allah AsmaNya. Dia adalah Ahad. Satu-satuNya Dzat Yang Mutlak WujudNya. Sebab selain Dia
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
182
D
³
º
Dzat Yang Maha Satu ini, sebenarnya tidak wujud dan tidak ada. Diproses Tuhan menjadi nampak wujud dan nampak ada oleh penglihatan mata manusia di dunia, karena dijadikan Allah sebagai ujian. Maunya Allah supaya dapat lulus (meski ternyata sedikit sekali). Supaya lulus harus mempersiapkan diri menjadi muttaqin. Untuk menjadi muttaqin harus (lebih dahulu) beriman kepada Al Ghaib. Satu-satuNya Dzat Yang Ghaib tetapi sebenarnya nyata-nyata dapat diketahui, dikenali, kemudia lalu menjadi mudah dan indah untuk diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati bila ikhlas bertanya kepada ahlinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Surat : Ditujukan kepada yang dikehendaki Illahi sipa untuk menolong diri sendiri, Tanjung, 26 Juni 1999, hal. 2)
Qunut Nazilah : •
Doa’ Qunut Nazilah (mohon dijauhkan dari tumurunnya segala bencana dan marabahaya lahir dan bathin) yang dilaksanakan pada setiap rakkat akhir (sehabis ruku’) pada setiap shalat fardhu. Doa qunutnya sebagaimana halnya qunut pada sholat subuh kemduian ditambah dengan : “Allahumma aksyif’anna minal balla’i wal wabaai wal amradhi wath tha’uuni warraihi wal zalzalati was sailil maai waddami wafitnatil jinni wal insi wasysyaitaani wal matharil balaai wal barqi maa laa yaksyifuhuu ghairuka”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Lampiran. Tentang Lakon dan Pitukon. (Tertibnya Ubudiyah Sehari-hari Sebagai Realisasi Jihadunnafsi). Mendekat Kepada-Nya hingga Sampai dengan Selamat dan bahagia Bertemu Dengan-Nya, Tanjung Anom,hal. 28 – 29).
•
Doa kepada Allah Swt. agar dijauhkan dari segala marabahaya baik lahir maupun batin, dari segala fitnahnya bangsa jin, bangsa manusia dan bangsa syaitan, sebab diakhir jaman ini akan berhamburan bencana macam-macam hingga sampai adanya bencana terbesar yang sekiranya Allah tidak melindungi, pasti akan ikut binasa. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 234).
Al-Qur’an •
Al-Qur’an adalah bacaan hamba yang memperoleh hidayah dari Allah SWT. Hidayah dari Allah seyakinnya menjadikan hamba berimannya secara benar telah “ma’rifatun wa tashdiqun”. Kemudian dengan bersungguh-sungguh melaksanakan ibadahnya kepada Allah itu dengan benar dan ikhlas. Ibadah yang benar adalah itba’ sepenuhnya kepada Washitah. Ikhlas, tandange panggah akan tetapi sama sekali tidak ngaku. Rasa hatinya hanya mengingati Dzat Yang Maha Aku, yakni Isi-Nya Huw. Itu hamba dengan petunjuk-Nya telah benar-benar memenuhi kehendak Allah SWT. Yakni senantiasa berjihadunnafsi lalu menjadi rela mengikuti jejak pada Malaikat-Nya Allah, sujud kepada wakil-Nya Allah yang ada di atas bumi. Menghormati dan memberlakukan diri ka al-mayyiti dihadapan Wasithah.
•
Senjatanya Iman Mahdi nomor Dua (lih. Imam Mahdi). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Saya (Yang Semata-mata Demi sak Derma Nglakoni Perintahnya Guru), dengan Siliring Qudratullah Diperintah Supaya Siap Dimunculkan, Pondok Sufi, Tanjung, 18 Juli 2006, hal.4)
Qurb : (lih. Muqarrabun, ahlul qurub)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
183
D
³
º
R Rabbani : •
Mereka yang atas ijin Allah mempunyai ilmu yang sempurna. Yang sempurna di dunia dan akhirat ini hanya satu saja. Yakni Diri-Nya Dzay Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, dekat sekali, Allah Asma-Nya, amat sangat mudah diingat-ingat dan dihayati dalam hati-nurani, roh dan rasa apabila secara benar (hak dan sah) ditanyakan kepada ahlinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 6).
•
Orang-orang rabbani dalam Kitab Majnullah dinyatakan sebagai orang yang menepati perintah Allah dalam hadist Qudsi : “utruk nafsaka wa ana milkum”. Tinggalkanlah (kebutuhan) jiwa ragamu itu. Sebab (kebutuhan jiwaraga) itu adalah tanggunganku. Yang meninggalkan adalah niat dan tekadnya. Niat dan tekadnya hati nurani, roh dan rasa. Aspek hati nuraninya hanya untuk bagaimana supaya lestari dan ajeg mengingat-Nya. Rohnya senantiasa dapat nginjen-nginjen Sifat-Sifat Kesempurnaan-Nya, Daya dan KuatNya hingga sadar dan tahu secara persis bahwa ternyata hamba ini adalah bagaikan daun asam yang mengapung di tengah-tengah gelombang samudra. Bukan daun asam yang bergerak, akan tetapi geraknya katut ombak samudra tersebut. Aspek rasanya dapat merasakan betapa nikmat dan lezatnya merasakan Keberadaan Ada dan Wujud-Nya Tuhan Yang Al Ghaib dan Yang Allah Asma-Nya. Aspek Lahirnya tetap sebagaimana halnya manusia hidup di dunia layaknya, tetap kerja, ikhtiar, bermasyarakat, berbangsa dan juga bernegara.Tidak ngowah-ngowahi. Sehingga lii’lai kalimatillah nya tidak hanya diucapsuarakan saja tetapi terhayati dan dibuktikan dengan amal nyata. Sebab kalau hanya diucapsuarakan saja, Allah mengancam dengan firman-Nya : “Kabura maktan ‘indallahi an taquuli malaa taf’aluuna”. Besar sekali murkaNya bagi siapa saja yang hanya pandai berkata akan tetapi tidak menghayati dan mengamalkan dengan nyata. Kalimat Allah tertinggi itu adalah Kalimah Toyyibah. “Laa ilaaha ill-Allah”. Disebut juga Kalimah Tauhid. Sebab kalimah itu memang guna mentauhidkan Dzat, Sifat dan Af’alullah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 13).
•
Sosok hamba yang Rabbani adalah hamba yang dikehendaki dengan hidayah dari Allah ilmunya sempurna. Demikian pula taqwanya. Ilmu yang sempurna adalah ilmu mengenal Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghayb Yang Maha Sempurna yang menjadi “inti” manusianya sendiri atau “butiran iman” yang selalu membutir dalam rasa hati. Ilmu yang sempurna menjadikan taqwanya sempurna. Yaitu dengan kesadaran yang sangat tinggi jihadunnafsinya selalu dijaga agar kal-mayyiti dihadapan yang berhak dan sah mensucikan dirinya selalu memperoleh ampunan dan ridha-Nya Allah SWT. Sosok yang hamba Rabbani ini sekaligus pengamal, penjaga dan pembela kebenaran ajaran Allah tentang al Kitab dan al Hikmah dan al Nubuwah. Yaitu Kitabun Maknun. Kitab yang terpelihara di Lauh Mahfudz. Kitab yang ditulis Allah dengan Nur Muhammad. Di tulis untuk dibaca mengada-Nya Nur Muhammad supaya dengan mudah selalu diingat-ingat
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
184
D
³
º
dan dihayati dan dijadikan tujuan tempat kembali. Karena itu tidak akan dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan oleh Allah. Al Hikmah adalah hidayah Allah yang menjadikan hamba-Nya pecinta Hak Mutlak-Nya Allah SWT yang berada di dalam kalimah nafi dan itsbat :”Laailaaha Ilallah”. Barang siapa yang diberi hikmah oleh Allah maka ia telah diberi kebajikan yang banyak. Al Nubuwah adalah Shiratal-mustaqum. Dhahiru syareat wa bathinuhu hakekat. Yaitu perintahnya Guru Wasithah mengumpulkan syareat dan hakekat. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Negeri Ini Harus Dipimpin Oleh Sosok Hamba Yang Rabbani,Pondok Sufi, Tanjung, Awal September 2006, hal. 3 – 4). •
Sosok Rabbani adalah hamba Allah yang ditarik adhal dan rahmat-Nya, dimasukkan menjadi ahlul baitnya Junjungan Nabi Muhammad SAW. Yang dikehendaki oleh-Nya untuk dihilangkan semua kotoran-kotorannya. Dikehendaki untuk dihilangkan semua dosadosanya dan disucikan sesuci-sucinya. Karena itu sosok Rabbani yang ahlul bait ini, sepenuhnya pasti dapat memahami dan mengeterapkan peringatan yang menentukan dari Imam Jamaah (peringatan tanggal 30 Maret 2004). Agar hubungan antara sesama murid (orang yang berkehendak bertemu Tuhannya), kompak seia sekata dengan Dawuh Gurunya. Dengan perekat Mahabbah Birauhillah. Yang Junjungan Nabi Muhammad SAW mengagumi. Hingga kebaikan selalu diharapakan dari padanya. Karena tidak pernah berbuat jahat (dengan sungguh-sungguh selalu berusaha memenuhi sumpah dan janji). Menganggap besar perbuatan baik seseorang (walaupun sedikit). Menganggap kecil perbuatan baiknya walaupun banyak. Tidak pernah bosan dimintai bantuan. Tidak henti-hentinya belajar dan terus belajar sepanjang hidupnya. Memilih miskin dari pada kaya demi ridha Allah. Hina dalam menuju ridha Allah lebih disukainya dari pada kemuliaan di jalan musuhnya Allah. Ia tidak berjumpa dengan orang lain kecuali menganggap bahwa orang lain itu lebih baik dan lebih bertaqwa dari pada dirinya. Dengan begitu maka anugerah Allah akan selalu hadir kepadanya. Dan jika Allah SWT memberi anugerah kepada hamba-Nya, Allah akan menyatukan mereka keinginan untuk berbuat baik. Yaitu menyatukan keinginan mendekat kepada-Nya hingga sampai dengan selamat. Serta diberikan kemampuan dan ijin untuk melakukannya. Dengan begitu maka, sempurnalah kebahagiaan dan kemuliaan hamba-Nya. Sosok Rabbani yang ahlul baitnya Junjungan Nabi Muhammad SAW, terhimpun dalam Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin dan menjadi Wadya Bala Sirullah. Seyakinnya akan berusaha memahami dan dengan benar menjadi mengerti. Bahwa “Wujuduka dzanbun kabirun walaa yunqatsu dzanabun akharu”. Karena itu mengerti pula kandungan makna “Utruk nafsaka wa Ana milkum”. Hidupnya akan dijiwai oleh ilmunya yang bermanfaat. Tidak pernah berhenti belajar membalik watak. Jihadunnafsinya lengkap dengan bagusnya akhlaq, beningnya hati, sucinya jiwaraga dan senang bersama saudaranya untuk meramaikan syiarnya cita-cita Gurunya. Dasar taubatnya, dasar zuhudnya, dasar qonaahnya, dasar tawakkal ‘ala Allahnya dan dasar uzlahnya selalu menjiwai tujuan hidupnya. Selalu berpedoman pada “Laa biwushuli ilaihi bi Waasithatin”. Hati nurani, roh dan rasanya akan selalu dibuka oleh-Nya bahwa “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu waman ‘arafa Rabbahu faqad jahula nafsahu”. Tunggangannya jaran nafas angin, yakni keluar masuknya nafas selalu dijaga agar senantiasa ingat pada Wangsit-Nya Guru (Isi-Nya Huw). Cemetinya mujahadah, lapaknya syahadat tarekat, sangga wedinya shadaqah jariyah.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
185
D
³
º
Kesiapan jamaah ini semata-mata karena ijin Allah. Siap dan tabah menghadapi “wurudul faqoti a’yadul muridna. Fal faqothu bashthul mawaabi”. Didorong oleh kesadaran suci kang kahesti, luhur kang ginayuh, rumpil margane, akeh pengorbanane, gede cobane, abot sanggane. Adoh, jero, lembut tebane, tetapi apabila sabar dan tawakkal menjalani, sempurna wusanane. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Kesiapan Jamaah Menghadapi Diwujudkannya CitaCita, Pondok Sufi, Tanjung, 23 Juli 2004, hal. 2 – 3).
Arah Menjadikan Hamba Yang Rabbani Friman Allah Swt. : “Tidak wajar seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan Kenabian, lalu dia berkata kepada manusia : “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi dia berkata : “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. “Dan (bahkan sama sekali tidak benar baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah Islam?” (QS. Ali Imran : 79 – 80). Menjadi hamba yang rabbai, inilah arah dari semua penjelasan tentang Dakwah untuk citacita ma’rifat billah. Sebab rabbani = orang yang dikehendaki oleh-Nya sempurna ilmunya dan taqwanya kepada Allah. Sedang kita semua mengetahui bahwa yang sempurna itu hanyalah Dia Satu-satu-Nya. Maka ilmu yang sempurna adalah ilmu yang menunjukkan tentang Dia Dzat Yang Al Ghaib yang tidak akan dapat dijangkau dengan indera mata kepala, akan tetapi ada pada mata hati yang terbuka dengan ilmu tentang Keberadaan Al Ghaib-Nya. Ilmu sekaligus dalam satu “titik temu” dengan adanya Nur Muhammad, sehingga baik baik penyaksian terhadap Dia Yang Allah Nama-Nya maupun penyaksian terhadap Nabi Muhammad SAW adalah penyaksian yang yakin dapat diketahui, dihayati dan dikenali dengan “mata-hati nurani”. Bukan saksi palsu. Harus diingat. Apabila tidak demikian keyakinan iman kita kepada Allah dan nabi-Nya, akan tergelincir kepada sesuatu yang ngeri akibatnya, yakni mensekutukan Dia dengan pengkultusan dan pendewaan terhadap nabi-Nya. Suatu dosa yang akan tidak ada ampunan di sisi-Nya. Seperti halnya yang terjadi dan dilakukan umat selama ini. Nabi Muhammad SAW yang hamba dan utusan-Nya itu disanjung-sanjung dengan berbagai macam cara pada kegiatankegiatan peringatan hari-hari besar Islam dengan segala dana dan kebesaran (kebanggaan), bahkan kadang dengan hura-hura. Sedang seharusnya yang diperingati dengan berbagai rasa syukur kepada Allah Swt. adalah terhadap keberadaan nabi dan utusannya ini adalah : betapa Allah telah memberi hidayah kepada hati kita yang “dimaukan” oleh-Nya mencari dan menemukan ILMU tentang Al Ghaib-Nya yang ada pada titik temu dengan Nur Muhammad itu. Kemudian berbagai peringatan dari rasa syukur yang seperti itu tadi adalah sebagai jalan guna memproses diri kita masing-masing bersama-sama dengan sesama saudara umat Islam untuk mempercepat perjalanan mendekat kepada-Nya hingga sampai dengan selamat bertemu dengan-Nya. Sehingga segala dana dan energi yang dikeluarkan untuk ini, di samping besar guna dan faedahnya bagi syiar agama Allah karena dimanfaatkan guna macam-macam kegiatan pendidikan dan dakwah Islam, sekaligus juga berada di dalam “siliring Qudrat-Nya Allah”. Sama sekali bukan hasil dari tingkah laku dan daya kuatnya nafsu. Sebab semua pelakunya, dalam hati juga akan senantiasa ramai mengingat-ingat-Nya. Karena yakin serta jelas dan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
186
D
³
º
gamblangnya hati menyaksikan Keberadaan Dzat Allah Yang Al Ghaib (yang berarti sekaligus juga menyaksikan pada keberadaan Nur Muhammad-Nya). Karena itu shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang panutan ini akan juga benar arahnya. Bukan menjadi pengkultusan kepada utusan Allah yang sekaligus nabi-Nya dan hamba-Nya. Shalawat kita kepada beliau karena keyakinan kita bahwa nabi yang martabatnya kamilin = sempurna dan menyempurnakan ini adalah panutan yang sempurna lahir dan batinnya. Sehingga akan ngaloberi kita untuk mewarisi apa yang di rasa oleh bathin beliau yang selalu bercahaya dengan Wajah-Nya. Itulah sebabnya pada surat Al Maidah 35 Allah Swt. menyeru kepada orang-orang yang beriman supaya bertaqwa kepada-Nya dan “wabtaghuu ilaihi al wasiilata”. Wasilah yang sekaligus Al Hadi sebagai guru yang bisa ditanyai dan diminta ilmu supaya sampai kepadaNya. Ilmu yang menjadi hamba yang rabbani. Firman Allah dalam QS. Fathiir ayat 8 : “ Maka apakah orang yang dijadikan punya anggapan baik terhadap pekerjaannya yang buru lalu dia meyakini bahwa perkerjaannya itu baik, sama dengan orang yang tidak ditupu (oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Firman Allah yang berkaitan dengan perihal di atas QS. Fathiir ayat 19 – 23 : “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak pula sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak sama pula yang teduh dengan yang panas, dan tidak pula sama orang-orang yang hidup (hatinya) dan orang-orang yang mati (hatinya). Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur (gelap gulita hatinya) dapat mendengar. Kamu tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan”. (QS Fathiir ayat 19 – 23). Firman-Nya dalam QS. Fathiir ayat 32 : “kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hambahamba Kami, lalu di antara mereka ada yang dipertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah kurnia yang besar”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 98 – 101).
Ar-Rahman Ar-Rahim.: (lih. Faatehah) Rajiun : Artinya kembali kepada Tuhan. Isim fa’il bermakna istimrar. Pelaku yang tahu secara persis bagaimana supaya hati nurani roh dan rasanya selalu dapat “ajek” (terus menerus) mengingatingat dan menghayati yang dituju. Karena yang dituju adalah Diri-Nya Tuhan, maka iapun akan dengan sebaik-baiknya menjaga hatinya supaya tidak mudah melupai Diri-Nya Dzat Al Ghaib yang dijadikan tujuan hidupnya itu. Kemudian bagi hamba yang oleh Tuhannya dibiarkan hdup bergelimangan dengan nafsu dan watak akunya, maka dia pasti abaa wastakbara (persis seperti watak iblis yang membumi di
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
187
D
³
º
dalam dadanya) terhadap keberadaan wakil-Nya Allah di bumi. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya bagaimana mengenali Diri Tuhannya Yang Al Ghaib, Wajib WujudNya, dekat sekali, Allah Asma’-nya, sebagai tempat kembali di mana “mati” adalah “pintu gerbangnya”. Persis sebagaimana diutarakan oleh Allah dalam QS. Az Zukhruf ayat 36 dan 37 : “Barangsiapa yang berpaling dari mengingat-ingat Diri-Nya Dzat Yang Maha Pemurah (= sama saja berpaling dari ajaran Tuhan dengan Al-Qur’an yang dijadikan oleh-Nya untuk memudahkan ingatnya hamba kepada Diri-Nya sebagaimana QS Al Qamar ayat 17, 22, 32 dan 40), kami adakan syaitan baginya maka syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat hidayah (dari Allah)”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 23).
Ramadhan : (lih. Rukun Islam – Puasa di Bulan Ramadhan) Rasa : (lih. Manusia – Sirr atau Rasa) Rasul : Allah dan Rasul-Nya Keberadaan Allah dan Rasul-Nya ini adalah bagaikan sifat dan mausufnya. Bagaikan putih dan kertasnya. Bagaikan cahaya dan dzatnya. Tidak bisa dipisahkan. Tetap menyatu dan menjadi satu. Dapat dimisalkan bahwa Allah fissmaa’ dan rasul-Nya fil-ardh. Alalh di langit dan rasul-Nya di bumi. Allah adalah Asma-Nya Yang Al Ghaib dan karena itu tidak akan pernah ngejawantah di muka bumi. Namun dekat sekali keberadaan-Nya. Dan untuk mengenal dan mengetahui supaya menjadi hamba yang dapat mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal agar tidak jatuh ke lembah dosa yang sama sekali tidak diampuni oleh-Nya yaitu dosa syirik (QS. Al hajj 74), maa “fas’alu ahladhdhikri inkuntum laa ta’lamuuna” (QS. Al Anbiya’ 7). Itulah fungsi dan tugas utusan-Nya. “Wamaa huwa ‘ala al-ghaibi bidhanin”. Bahwa dia yang utusan-Nya itu sama sekali tidak akan bakhil menunjukkan perihal Ada dan Wujud Diri-Nya Zat Yang Al-Ghaib (QS. At Takwir 24). “Dan sekali-kali Allah tidak mengajari kamu semua perihal Diri-Nya Yang Al Ghaib akan tetapi Allah memilih dari para utusan-Nya (yaitu) orang-orang yang dikehendaki-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu kanugerahan yang besar” (QA Ali Imran 179). Karena itu rasul-Nya Allah itu tidak putus ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Firman Allah bahkan menjelaskan bahwa rasul-Nya itu selalu berada ditengah-tengah ummatnya. Inilah rahasia kunci tentang firman Allah bahwa Kalamullah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara tidak akan bisa disentuh isi kandungan makna sejalan dengan kehendaknya apabila tidak oleh hamba disucikan oleh-Nya (QS. Al Waaqi’ah 75 – 79). Betapa banyak sebenarnya firman Allah yang membenarkan penjelasan di atas. Namun selalu didustakan. Dihina. Dilecehkan. Diperolok-olokkan. Dianggap mengada-ada. Maka harus disingkirkan dan bahkan harus dapat dibantai habis-habisan. Para pengganti atau para wakil Nabi Muhammad Rasulullah SAW yang hak dan sah yang dalam sabdanya agar sunnahnya diikuti, yang menunjukkan jalan lurus hingga selamat bertemu dengan Tuhan, yakni al-mahdi.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
188
D
³
º
Wakil itu sama dengan Muwakil : Apabila dengan secara benar mengikutinya (wakil Nabi Muhammad Rasullah Saw yang hak dan sah) dan juga taatnya, buah dan manfaatnya serta sampainya kepada Allah dengan selamat sama persis dengan seandainya langsung taat kepada Nabi Muhammad Saw, ketika beliau masih hidup didunia. Tidak ada bedanya. Maka oleh Allah di dalam firmanfirmanNya juga disebut Rasul. “Bagaimanakah kamu sampai menjadi kafir padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan RasulNya pun berada ditengah-tengah kamu? (QS Ali Imran 101). Sehingga mendatangi rasul-Nya disebabkan karena dirinya berbuat zalim lalu sadar dan berniat meminta ampun kepada Allah, tidaklah hanya monopoli para sahabat ketika Nabi Muhammad masih berada di dunia. Sekarang juga bisa. “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesunguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati bahwa Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. An Nisa’ 64). Demikian halnya dengan firman Allah dalam QS. Al Anbiya’ 25, jelas dan nyata sekali keberadaan Rasul-Nya untuk menjelaskan kendungan makna kalimah tauhid yang mengandung makna nafi dan itsbat di dalam kalimah Laailaaha illa Anna, fa’buduuni. Adalah kalimah tauhid yang menyatu dengan sistem kerohanian manusia dan yang dengan sendirinya dengan tiada yang ahli untuk menjelesai, tidak akan mungkin akan dapat diketahui. Apalagi dapat dihayati dan diamalkan secara nyata. Terhadap apa dan bagaimana cara menafikan segala hal yang menjadi hijab terhadap penglihatan mata hati agar dapat menyaksikan Diri Illahi, tanpa ilmu tidak mungkin sama sekali. Demikian halnya yang harus ditetapkan (=makna illallah) dalam hatinurani, roh dan rasa adalah sesuatu yang sangat rahasia tentang Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib WujudNya. Mempertemukan inti manusia yang benih fitrahnya berasal dari Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib supaya dapat dengan selamat menyatu lagi dengan-Nya. Adalah sesuatu yang tidak mungkin tanpa ilmu. Dimana sesuatu ilmu memang harus ada ahlinya. Dengan demikian maka imannya kepada Allah dengan Allah karena memang benar-benar secara benar pula mengenali Ada-Nya dan Wujud-Nya Yang Al Ghaib itu. Lalu benar-benar pula membumi di dalam dada. Sebab memang sangat dekat sekali dalam rasa hati. Imannya kepada rasul-Nya juga membumi karena bisa dijadikan tempat bertanya perihal bagaimana fa’buduuni yang benar-benar diterima dan hingga selamat kembali bertemu dengan Tuhannya lagi. Tidak ngawang di langit. Sehingga firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 31 secara praktis dapat dihayati dan diamalkan karena contoh sebagai tauladannya ada dihadapan mata. “Katakanlah :”Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah juga akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Ali Imran 31). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.7 – 8).
Mengadanya Rasul Ayat pertama dalam QS. Yunus, Yusuf dan Huud, sama yaitu Alif Laam Raa. Ra’nya memberi petunjuk bahwa mengadanya Rasul yang tempatnya selalu berada ditengahtengah umatnya. Sebab yang satu ini adalah hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW, Rasul-Nya, yang tugasnya sampai hari kiyamat tiba.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
189
D
³
º
Dan oleh karena usia belaiu (jasadnya) hanya 63 tahun, maka Allah dengan hidayah-Nya mempersiapkan pengganti-pengganti yang sama sekali tidak akan pernah terputus dalam sebuah rantai silsilah. Setiap periode hanya satu. “Kullu maa ghaba najmun thala’a najmun ila yaumi al kiyamati”. Maksudnya setiap kali bintang itu tenggelam, terbit bintang lagi sampai hari kiyamat. Hanya sebelum tenggelam terlebih dahulu harus memenuhi kehendak dan petunjuk Tuhan. Menyiapkan, membekali dan nggulawentah yang bakal melanjutkan penerusan. Itulah yang dimaksud kalimat “thala’a” yang menggunakan “fiil madhi”. Dan bintang yang dimaksud adalah perumpaan sang pembawa cahaya kenabian. Yang cahaya itu (Nur Ilaahi). Selalu mengalir di dalam hati nurani, roh dan rasanya hamba, yang ditugasi ilaahi mewakili tugas Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu wakil sama dengan muwakkal. Artinya percaya sepenuh hati kepada wakilnya Junjungan Nabi Muhammad SAW dan dengan sungguh-sungguh mentaati apa yang menjadi perintah dan petunjuknya. Buah dan manfaatnya serta sampainya kepada Allah dengan selamat sama persis dengan seandainya dipimpin sendiri oleh Junjungan Nabi Muhammad SAW Rasul ilaahi. Karena itu dalam Firman-Nya Allah juga menyebut Rasul. Adapun yang menganggap bahwa setelah Nabi Muhammad SAW tidak ada lagi Rasul, itu anggapan dari rekayasa manusia. Yang nafsu dan watak akunya mengibarkan jalan yang membelokkan. Sama artinya dengan mengkhianati hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW. Rasul ilahi yang terus mengada ditengah-tengah ummatnya. Syahadat duanya, “Asyhadu anlaailaaha illallah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah-nya, hanya wacana, kosong tanpa makna. Palsu dan menipu. Sama dengan berani menentang Allah Azza Wajalla. Memusuhi kehendak-Nya. “Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Firman-Nya yang jelas dalam QS. Ali Imran ayat 101. “Dan ketahuilah olehmu bahwa ditengah-tengah kalangan itu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kamu(terhadap keinginan nafsu dan watak akumu) dalam beberapa urusan, benarbenar kamu akan mendapatkan kesusahan, tetapi Allah (dengan senantiasa mengadakan Rasul-Nya ditengah-tengah umatnya), menjadikan kamu cinta pada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam rasa hatimu, serta menjadikan kamu benci pada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”. Apabila menbacanya ayat di atas (QS. Al Hujurat ayat 7), dengan hati yang bening dan akal yang bertafakkurnya billah, itulah kebenaran Mutlak-Nya Allah SWT dengan Rasul-Nya yang selalu mengada ditengah-tengah kalangan umatnya. Dan Rasul-Nya Allah Swt dipilih dan dibentuk oleh Allah dari antara umat itu sendiri. Baca dengan kebeningan hati dan akal yang tidak dipengaruhi nafsu dan watak akunya itu. Firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 151 : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami Kepadamu), Kami telah mengutus dalam kalanganmu sendiri itu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu, dan mengajarkan kepada kamu al Kitab dan al Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum pernah kamu ketahui”. Karena itu “Fii Rasulillahi uswatun hasanah adalah isim nakiroh”. Maknanya abadi. “Laqad kaana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah. Liman kaana yarjullaha wal yaumal akhira wadzakarallaha katsiiraa.”. Hanya saja mengadanya Rasul yang abadi itu (yang selalu ada ditengah-tengah umatnya sampai kiyamat dan sampai perjumpaan dengan Diri-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya di akherat) memang khusus (khas). Khusus bagi hamba yang dikehendaki dengan hidayah-Nya. Yang meniatkan hidupnya berkehendak bertemu Tuhannya. Dengan harapan yang tidak kenal putus asa. Mengharap merasakan bahagianya kehidupan akherat dapat selamat bertemu lagi
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
190
D
³
º
dengan-Nya. Karena itu dzikirnya, yakni mengingat-ingat dan menghayati Ada dan WujudNya, banyaknya hingga tidak bisa dibilang, yaitu setiap kali ke luar masuknya nafas di dalam dada. Karena itu pula maka setiap kali Allah berfirman perihal Rasul-Nya, pasti menggunakan fiil mudhare’ atau fiil amar. Maksudnya supaya dimengerti oleh hamba-Nya, bahwa Rasul itu selalu ada ditengah-tengah kalangan mereka. Sekarang dan seterusnya hingga kiyamat tiba. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dengan Hidayah-Nya dan dengan Kebenaran Mutlak AlHaq-Nya Dipersembahkan, Makna Rahasia Yang Tersimpan dalam Huruf-huruf Hijaiyyah Yang Difirmankan Tuhan dan Cerahnya Hati Nurani, Roh dan Rasa Yang Mencahaya dengan DiriNya Dzat Yang Meskipun Al-Ghaib Mutlak Wujud-Nya, Pondok Sufi, Tanjung, Februari 2003, hal. 24 – 26).
Tugas Rasul Tugas pokok Rasul-Nya Allah Swt sebagaimana Firman-Nya yang banyak tersebar dalam kitab-Nya, diungkap jelas sekali dalam QS. Al Anbiya’ ayat 25. Dengan wahyu yang diberikan kepadanya, supaya mengajaran (dengan ilmu dan laku), bahwa segala tingkah laku dan perbuatan, gerak dan gerik lahirnya dan batinnya, agar benar-banar sadar seyakinnya, bahwa apa saja dan semua saja termasuk wujud jiwa raganya, semua itu Laailaaha. Nafi dan tidak ada sama sekali. Kullu syai’in haalikun. Semua dan apa saja akan hancur, kecuali WajahNya. Supaya tidak ikut hancur (dapat selamat menyatu kembali dengan Wajah-Nya). Maka bagaimana agar segala tingkah laku dan perbuatannya, gerak gerik lahirnya dan batinnya, selalu menghayati makna kalimah itsbat, Illa Ana. Kecuali Aku, yaitu isi-Nya Huw yang dibisikkan itu. Itulah maksud Firman-Nya di surat Al Anbiya’ aat 25. Yang aslinya adalah “Wamaa arsalnaa min qablika min Rasuulin illa nuuhi ilaihi Annahu Laailaaha illa Ana fa’buduunii”. Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. “Wamaa huwa ‘ala al-Ghaibi bidhanin (QS. Takwir 24). Bahwa Rasul-Nya Allah itu sama sekali tidak akan pernah bakhil menunjukkan (dengan metode tunjuk yang dibisikkan) mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al-Ghaib, supaya hanya Al-Ghaib itulah yang selalu diingat-ingat dan dihayati dan supaya dijadikan tujuan hidup menjadi tempat kembali. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dengan Hidayah-Nya dan dengan Kebenaran Mutlak AlHaq-Nya Dipersembahkan, Makna Rahasia Yang Tersimpan dalam Huruf-huruf Hijaiyyah Yang Difirmankan Tuhan dan Cerahnya Hati Nurani, Roh dan Rasa Yang Mencahaya dengan DiriNya Dzat Yang Meskipun Al-Ghaib Mutlak Wujud-Nya, Pondok Sufi, Tanjung, Februari 2003, hal. 26 – 27). Rasul-Nya Allah, (yang keberadaannya selalu didustakan, dihina, difitnah mengada-ada, dipandang sebelah mata, karena itu banyak yang memutus pantas disingkirkan dan bahkan bila mungkin dibantai hingga tidak tersisa sama sekali), tugas pokoknya adalah memfungsikan hati nurani, roh dan rasa (sirr) agar dapat menyatu dengan tauhid. Menyatu dengan Diri-Nya Dzat Al-Haq. Diri-Nya Dzat Yang meski Al Ghaib, Wajib Wujud-Nya. Dzat yang nyata-nyata dekat sekali keberadaan-Nya. Karena itu sangat indah dan mudah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati. Yaitulah Dzat Ilahi yang menyatakan Dir : “Innani Ana Allah”. Tugas pokok tersebut sekaligus membimbing hamba yang dikehendaki, berjalan pada jalan lurus-Nya, yaitu sunnah yang lahirnya pemenuhan kewajiban syareat dan batinnya mapan pada hakekat. Jalan lurus hingga seyakinnya selamat bertemu dengan-Nya hingga ketika merasakan mati yang pasti akan ditemui, hanya sekali, sebagai pintu gerbang pulang sehabis rampung menjalani ujian yang diluluskan oleh-Nya, benar-benar dapat merasakan indahnya mati. Hingga saking senangnya, wajahnya, rasa hatinya berseri-seri dan bercahaya, kepada Tuhannya melihat. (Kandungang makna QS. Al Qiyamah 22 – 23).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
191
D
³
º
Rasul yang tugasnya sama sekali tidak bakhil menunjukkan keberadaan Diri-Nya Dzat AlGhaib (QS. Taqwir 24), supaya diketahui bahwa Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib inilah yang sebenarnya Wujud. Karena itu harus senantiasa diitsbatkan (kandungan kalimah itsbat : illallah) dalam hati nurani, roh dan rasa. Dan supaya diketahui bahwa apa saha yang disangka wujud dan ada beradasarkan penglihatan mata kepala (pendapat nafsu dan pikiran manusia), yaitu wujud jiwa raga yang tidak lain adalah wujudnya nafsu serta segala apa saja yang dikira miliknya, termasuk wujudnya jagad raya dan segala isinya, itu semua adalah hijab yang menjadikan mata hati tidak dapat melihat kepada Yang sebenar-Nya Wujud. Karena itu harus diperjuangkan untuk dinafikan (= kandungan makna kalimah nafi : laailaaha). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ratu Adil, Tanjung, Agustus 1998, hal. 15). Hak Rasullah SAW : Imam (penerus Rasul) yang disebut juga dengan Walliyan Mursyida, Al-Hadi, al Mundzir, Imamun mubin, al Wasilata, ahli dzikir, yang sebenarnya selalu ada secara gilir gumanti dalam sebuah rantai silsilah sejak Nabi Muhammad SAW hingga kini sampai kiamat nanti, yang diutus Allah untuk membimbing umat hingga sampai dengan kiamat supaya selalu tetap berada pada tempatnya. Tempatnya adalah ditengah-tengah kaumnya. Wa’lamu anna fiikum Rasulullahi (QS. Al Hujarat , 7) dan Wafiikum Rasuuluhu (QS. Ali Imran,101), ketahuilah bahwa ditengah-tengahmu itu ada utusan Allah. Ditugasi supaya Mengembelaikan Hak-Nya Allah SWT Pada Tempatnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Seruan Akbar Imam Zaman Di Abad Harapan, Mengajak Bersama Dengan Tuhan Mewujudkan Cita-Cita Negara Yang Merdeka Sejati dan Sempurna, hal. 3, Pondok Sufi, Tanjung, 27 Mei 2002).
Ratu Adil : •
Ratu asalnya terdiri dari Roh dan Tu, yaitu hamba yang karena dibentuk oleh Allah ‘Azza Wajalla Rohnya Tunggal dengan Yang Maha Adil’. Rohnya fanak filah. Hamba yang rohnya (oleh Allah) dijadikan tunggal dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Adil ini maka, akunya menjadi nafi. Tenggelam ke dalam Celupan-Nya. Segala tingkah laku dan perbuatannya serta gerak dan gerik lahirnya dan batinnya diyakini sekali bagaikan daun asam yang berada di atas gelombang samudera. Karena yang dirasakan dan dihayati hanyalah Ada dan Wujud Tuhan-Nya. Hatinya selalu terjaga untuk mengingat-ingat Diir-Nya Dzat AlGhaib Yang Mutlak Wujud-Nya dalam segala tingkah laku dan perbuatan, dimana saja, kapan saja dan dalam situasi dan kondisi yang seperti apapun yang harus dijalaninya. Gerak dan gerik lahirnya dan batinnya “Katut siliring Qudratullah”. Menjadikan hamba yang merdeka sejati. Sebab segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya dijaga Allah SWT sama sekali tidak karena diperintah dan apalagi dijajah oleh nafsunya dan watak akunya. Itulah hamba yang oleh Tuhannya dijadikan Ahlu al-kurub. Dijadikan hamba yang ahli prihatin. Hidup dan kehidupannya selalu dalam keadaan prihatin. Hanya saja prihatin ini bukan susah atau sedih. Prihatin yang dimaksud disini adalah hamba yang dijadikan Tuhannya selalu mengadili dirinya supaya segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya sama sekali tidak akan mudah dibujuk oleh tipu dayanya nafsu. Apalagi sampai dijajah dan diperintah. Sehingga dengan begitu maka segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya berada dalam Siliring Qudratullah. Ilmunya lalu menjadilah ilmu yang manfaat karena dapat mengetahui aibnya diri, aibnya til-kumantiil dunia (=kadonyan =mencintai dunia dengan segala kehormatannya). Juga dapat selalu mengetahui bencananya amal bagaikan api memakan habis kayu kering. Yaitu takabur, ria’, sum’ah dan ujub.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
192
D
³
º
Hamba yang dikehendaki Tuhannya seperti itu, riyalat, riyadhah dan mujahadahnya demi membuktikan niat dan tekad hidupnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya sehingga sampai, dijiwai oleh Dasar Taubat, Dasar Zuhud, Dasar Qana’ah, Dasar Tawakkal ‘ala Allah, Dasar Uzlah. Bagi warga Syaththariyah, berita tentang Ratu Adil ini telah dimulai sejak lebih kurang 160 tahun yang lalu. Yaitu ketika Gurunya warga Syaththariyah ini dipegang oleh Nyai Ageng Harjo Besari di Tegalrejo Magetan. Dan karena seorang perempuan (satu-satunya dalam rantai silsilah), maka beliau mempunyai 8 orang wakil yang kesemuanya laki-laki. Pada suatu malam kira-kira 1840 M, beliau didatangi oleh Rohnya Ratu Adil yang akan jumeneng di tanah Jawa. Beliau lalu memanggil orang yang dipersiapkan bakal meneruskan tugas dan kewajibannya. Yaitu Kyai Hassan Ulama’. Dan ketika telah menghadap, diceritakan peristiwa tersebut. Kemudian beliau berkata : “San, setelah saya amati dengan seksama, Ratu Adil yang akan jumeneng di tanah Jawa itu rohmu sendiri. Karena itu tapanan (diperintahkan supaya bertapa). Lamanya tiga tahun”. Maksud rohnya adalah tidak harus kulit dagingnya atau keturunan darahnya. Tetapi Roh yang Tu. Yaitu Roh Tu lalu menjadi Ra Tu. Ratu Adil. Karena Rohnya tunggal atau sama dengan Ruh Illahi Yang Maha Adil. Sebab rohnya telah fanak fillah. Yakni daya dan kekuatan yang ada dalam jiwa raganya dengan bukti keluar masuknya nafas, telah seyakinnya sirna ke dalam Celupan-Nya Allah. Gambaran seperti kepala yang dimasukkan ke dalam air samudera, lalu matanya dibuka. Maka yang nampak ada hanyalah air samudera. Hamba yang demikian halnya karena ilmu dan laku yang diamalkan sesuai dengan perintah Gurunya itu dilakukan dengan sabar dan tawakkal untuk dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. (Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 3 – 4). •
Sosok Ratu Adil adalah sosok hamba biasa yang Roh-nya yaitu darah yang mengalir dalam tubuhnya digerakkan oleh semangat Roh-nya yang Tunggal atau telah menyatu dengan Yang Maha Adil. Rohnya telah ditarik Tuhannya untuk Fanak Fillah, sehingga kesadaran hatinuranya terbuka dan mengetahui seyakinnya bahwa Yang Wujud dan Ada, Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Empunya segala (yang biasa diaku manusia miliknya) termasuk Yang empunya Wujud jiwa raganya, sehingga karena itu sebenarnya yang obah yang usik, yang tandang, yang eksis, yang bergerak adalah Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghaib Allah namaNya. Yang jelas-jelas amat sangat dekat sekali dalam rasa hatinya selalu meliputi dan selalu menyertai, karena itu amat sangat mudah dan amat sangat indah selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati. Seyakinnya sadar sepenuh hati, bahwa hamba ini persis bagaikan daun asam yang berada di atas gelombang samudera, yang bergeraknya daun asam itu bukan geraknya sendiri, akan tetapi karena katut geraknya gelombang samudera. Karena itu yang paling ditakuti oleh sosok Ratu Adil ini adalah sekiranya Tuhan menjauhkan Diri dari padanya, sehingga menyebabkan hatinya sangat mudah melupai Ada dan Wujud Diri Tuhannya. Karena itu pula, ia selalu terus menerus mengadili dirinya sendiri, supaya tingkah laku dan perbuatannya serta segala gerak dan gerik lahirnya dan batinnya tidak sampai mudah dibujuk, apalagi diperintah dan dijajah oleh nafsunya dan watak akunya. Mepetnya kepada Tuhannya, dasar taubatnya kepada Tuhannya, permohonan ampunan kepada Tuhannya terus mengalir tiada henti agar Yang Maha Kuasa Atas Segala, selalu memelihara dan menjaga supaya tingkah laku dan perbuatannya serta segala gerak dan gerik lahirnya dan batinnya selalu berada di dalam Siliring Qudratullah.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
193
D
³
º
Sosok Ratu Adil juga adalah sosok Imam Mahdi (lihat Imam Mahdi). Disebut jug sebagai sosok Satriya Piningit. (lihat Satriya Piningit)
Tekadnya Ratu Adil
Sosok Ratu Adil ini tekadnya adan kesungguhannya dalam menjalani sabar dan tawakkal ‘ala Allah agar seyakinya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. Yakni perjuangannya, pengorbanannya, pengabdiannya yang diberikan untuk mendidik dirinya sendiri dan juga orang lain, dilakukan dengan ikhlas yang seikhlasnya, karena Allah dengan Allah di Jalan Allah dari Allah dan untuk Allah, sehingga sama sekali tidak merasa, sebab rasanya dengan sepenuh hati diusahakan untuk merasakan betapa indahnya merasakan Ada dan Wujud Diri Tuhannya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya Yang jelas amat sangat dekat sekali dalam rasa hatinya. Dengan ijin Allah orang demikian akan selalu dijaga dan dijamin oleh-Nya bahwa segala perbuatan serta gerak gerik lahirnya dan batinnya akan pasti berfaedah bagi orang lain (masyarakat).
Ajarannya Dengan ilmu yang seyakinnya mengenalkan Ada dan Wujud Diri-Nya Ilahi Dzat Yang AlGhaib Allah Nama-Nya dan amat sangat dekat sekali dalam rasa hati mengajarkan bagaimana seharusnya boyong dari alam nasut (alam lupa) kepada alam malakut kepada annuur supaya benar-benar menjadi hamba Allah yang hidupnya diridhai oleh-Nya. Manusia yang bersedia memikul amanat Allah yang sebenarnya tidak ditawarkan kepada manusia sebab yang ditawari Allah ketika itu adalah langit, bumi dan gunung-gunung yang mereka semua menolak karena takut mengkhianati (QS. Al Ahzab 72) karena ketika itu manusia sama sekali tidak mengerti rencana Tuhan bahwa setelah bersedia menerima amanat-Nya itu diproses lewat kandungan ibu dibungkus kulit daging (wujud jiwa raga) sebagai ujuannya (QS. Al Insan ayat 2) dalam hidup dan kehidupannya. Wujud jiwa raga manusia dalam kehidupan dunia sebagai ujuannya ini dijadikan Allah memandang indah kecintaan kepada apa saja yang diingini yaitu wanita-wanita, harta yang banyak dari emas dan perak, anak-anak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (sama sekali lupa= nasut). Firman Allah dalam QS. Ali Imran 14. Maka hidup dan kehidupan manusia dalam ujian dunia ini persis seperti ungkapan peribahasa Jawa mburu uceng kelangan deleg. Terhadap uceng (anak ikan sebesar ujung jarum), gambaran nikmat pemberian Tuhan; dikejar dan diburu habis-habisan. Harta, wanita, tahta, kehormatan, harga diri, gengsi, status sosial, mukti wibawa, kajeng keringan, bersenang-senang, berlebihan, berbangga-bangga, ngumbar hawa nafsu dan sahwat, numpuk harta hingga tujuh turunan dan sebagainya dan sebagainya, diburu habis-habisan dengan segala tenaga dan cara. Tetapi kepada deleg (induk ikan) sebagai gambaran Sang Pemberi Nikmat yakni Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya Allah Nama-Nya dan amat sangat dekat sekali, selalu meliputi dan senantiasa menyertai, sama sekali tidak butuh. “Dan Dia (Diri-Nya Illahi Yang jelas nyata Mutlak Wujud-Nya itu) kamu jadikan sesuatu yang terbuang dibelakangmu (QS. Huud 92). Dan oleh karena kebanyakan penduduk bumi demikian halnya, maka selayaknya oleh Allah dijadikan ahli neraka dan hidupnya dibiarkan bergelimangan dengan kesesatannya (QS. Yunus ayat 7,8 dan 11). Itulah hidup dan kehidupan manusia yang zalim. Yakni menganiaya diri. Hakekat manusia yakni jati dirinya atau benih gaibnya atau fitrahnya yang asal kejadiaannya dicipta dari FitrahNya Allah Sendiri (QS. Ar. Ruum 30) yang kemudian oleh Allah ditempatkan di dalam rasa,
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
194
D
³
º
arwah dan hati nurani yang ketika masih di alam Dzar yaitu alam cahaya-Nya Illahi oleh Allah telah diminta kesaksian :”bukankan AKU ini Tuhanmu semua?” semuanya menjawab :”Benar kami semua menjadi saksi (menyaksikan Ada dan Wujud Diri-Nya Illahi satu-satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud ketika itu). Hal demikian dilakukan Allah atas benih gaib sucinya manusia agar di hari kiamat nanti manusia tidak berkata :”sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini” (QS. Al A’raaf 172). Ternyata setelah berada di dalam bungkus kulit daging berupa wujud jiw raga, benar-benar lengah dan lupa sama sekali (berada di alam nasut). Dan akibat sama sekali tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh menemukan kunci untuk seyakinnya mengenal dan mengetahui fitrah jati dirinya sendiri disebabkan lebih mementingkan hidup dan kehidupan dunia dan berpuas bangga dengan kehidupan dunia maka sewaktu-waktu mati yang mati ini mestinya adalah sebagai pintu gerbang dengan rasa bahagia pulang kembalinya fitrah jati dirinya kepada tempat asalnya yakni Diri-Nya Illahi Dzat Yang Maha Fitrah menjadi tidak bisa kembali (menjadi tidak selamat) dan nyasar ke tempat yang memang disiapkan Tuhan untuk menyiksa hamba-Nya yang membantah yaitu iblis, syaitan, segenap jin dan semua waya balanya. Menyesalnya saja sudah amat sangat luar biasa. Ingin kembali ke dunia meluruskan kelirunya tidak bisa sebab jasad hanya sekali saja dipakai dalam kehidupan dunia. Menjadi hamba yang zalim. Menganiaya diri sendiri. Jiwa raga manusia adalah wujudnya nafsu yang diciptakan Allah dari setetes mani akan tetapi ternyata bhanya menjadi pembantah yang terang-terangan (QS. Yasin 77). Pembantah kehendak Allah dan dibela oleh tentaranya hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri menempel di tulang rusuk terakhir berupa secuwil daging yang mengembang suburkan peradaban daging. Serakah, angah-angah, berlebihan, bersenang-senang, ngumbar hawa nafsu dan syahwat. Menjadi penuhan nafsunya dengan watak akunya yang melebihi batas, karena memandang dirinya serba cukup, gelap dan menggelapkan hati nurani, roh dan rasanya yang di dalamnya tersimpan Nur Muhammad (Cahaya Terpuji-Nya Dzat Tuhan Yang Mutlak Wujud-Nya) yang adalah juga fitrah jati dirinya. Dan Allah telah menetapkan bahwa Dia tidak akan menjadikan berfungsinya dua hati adlam rongga dada hamba-Nya (QS. Al Ahzab ayat 4). Ajarannya sosok Ratu Adil yang juga Imam Mahdi dan disebut juga dengan Satriya Piningit adalah ajaran sebagai mana yang diajarkan oleh semua Nabi-Nya Allah dan Rasul-Nya. Adalah hamba yang ditugasi Tuhannya untuk mewakili Diri-Nya Ilalhi karena sama sekali tidak akan pernah ngejawantah di muka bumi yang mengajarkan dengan ilmu yang seyakinnya mengenalkan Ada dan Wujud Diri-Nya Ilalhi asal fitrah manusia sendiri dengan berjalan di atas jalan lurus-Nya agar dapat selamat dengan rasa bahagia bertemu lagi dengan Diri-Nya Dzat Al-Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya Allah Nama-Nya. Ajaran itu sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya QS. Al Anbiya’ ayat 25 :”Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya Annahu Laailaaha illa Ana fa’buduuni.” Dimaksud dengan “Annahu Laailaaha illa Ana fa’buduuni” bahwasanya segala tingkah laku dan perbuatan hamba serta gerak dan gerik lahirnya dan batinnya harus dengan secara sadar benar mengetahui bahwa apa saja yang maujud selain Diri-Nya Tuhan termasuk wujud jiwa raganya adalah nafi, sebenarnya tidak ada. Dan yang sebenarnya Wujud hanyalah Wujud-Nya Diri-Ku (ana). Karena itu sembahlah olehmu sekalian akan AKU, sehingga menyembahnya benar-benar secara benar mengenal dan mengetahui Ada Wujud-Nya Diri Dzat Tuhan Yang Al-Ghaib dengan cara meminta petunjuk kepada ahlinya. Dan kini ahlinya itu adalah sosok Ratu Adil yang juga sosok Imam Mahdi yang juga disebut Satriya Piningit.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
195
D
³
º
Dengan begitu maka kerja kerasnya dalam mengelola garapan dunia untuk bersama diniatkan semata-mata demi untuk membuktikan sembahnya, yakni pengabdian dan pengorbanan (lakon dan pitukon) adalah guna proses penafian segala yang maujud selain Ada dan Wujud-Nya Diri Illahi dan dengan senantiasa mengingat-ingat dan menghayati yang sebenarnya wujud (Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al-Ghaib dan Mutlak Wujud-Nya Allah NamaNya = Innani Ana Allah) yang dijadikan tujuan hidup sebagai tempat kembali. Inilah sebuah ajaran yang secara habis-habisan ditentang dan didustakan oleh nafsunya manusia dan watak akunya. Karena itu sang Pengajar yang secara hak dan sah melanjutkan tugas dan kewajiban Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya ini lalu disembunyikan oleh Allah sebagai keselematannya agar meskipun ternyata hanya sedikit sekali yang rela dan percaya dan mentaatinya, tetap lestari sampai kiyamat nanti. Hanya saja di akhir jaman ini sebagai tenger (tanda) Allah berkehendak untuk meratakan ajaran ini hingga keseluruh pelosok bumi. Dan bagi yang memang tidak dijadikan percaya mendustakan dan menentang kan diambili oleh bala tentara iblis bersamaan dengan ketetapan Allah melenyapkan semua yang batal menurut cara Tuhan sendiri. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Sosok Ratu Adil/Imam Mahdi/Satriya Piningit dan Ajaranya, Tanjung Anom, 4 Juni 2004, hal. 1).
Rauhillah : (lih. juga Manusia) Rauhillah adalah Sumber Daya dan Kekuatan jiwa raga manusia, yang oleh watak akunya nafsu di-aku untuk merajalelakan penjelajahan nafsu dan sahwatnya, gagasan dan cipta anganangannya. Daya dan kakuatan yang ditengarai dengan masuk dan keluarnya nafas dalam tubuh, ini adalah Ruh-Nya. Daya dan Kekuatan-Nya. Karena itu bagi yang telah memperoleh Dzikir Hu (ilmu untuk ma’rifat kepada-Nya) dengan jalan yang sah dan benar, apabila segala tingkah laku dan perbuatannya tidak dibarengi dengan ingatnya hati kepada-Nya bersama dengan setiap masuknya nafas ke dalam tubuhnya, sama artinya dengan telah mempersekutukannya. Sebab tingkah dan segala perbuatannya lalu karena diperintah oleh nafsunya. Tidak karena “Katut Siliring Qudratullah”. Maka perhatikan dengan seksama, bahwa meski kita telah mempunyai secara hak dan sah dari Guru yang hak dan sah pula, untuk selalu mengingat-ingat-Nya, ternyata tiba-tiba saja lupa dengan sendirinya. Itulah sebabnya maka dasar taubat harus selalu menyertai kita dalam segala hal. Menjadari diri sebagai al faqir. Untuk itu ingat dengan cermat firman Allah tentang kejadian diri manusia sebagaimana dalam QS. As Sajdah 7 – 9 : “Dan (Dia) yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya (Daya dan Kekuatan-Nya). Kemudian Dia menjadikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi ternyata kamu sedikit sekali bersyukur”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membela Tegaknya Kesetiaan Pada Rasulullah, , Tanjung, 30 Juli 1995, hal. 9 – 10).
Ridha : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Riya’ : •
Riya’ merupakan salah satu bencana amal, yang bencana itu bagaikan api yang memakan kayu kering. Orang yang belum “merasakan” tetapi berbicara seolah-olah telah “merasakan” adalah salah karena telah melakukan salah satu bentuk riya’. Ia adalah orang munafik.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
196
D
³
º
•
Pamrih supaya hatinya orang banyak itu mengakui derajat luhurnya. Jadi tidak sekedar pamer. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 16)
•
Watak selalu ingin agar orang banyak itu tahu atas keluhuran dirinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentan Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 4).
Riyâdhah : Selalu berusaha keras dan ajeg dari buahnya riyalatnya supaya tidak mudah kena bujuk rayunya nafsu. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 16).
Riyalat : Selalu bertafakur dalam mengoreksi diri ; haasibu anfusakum qabla antuhaasabu. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 16).
Roaitu rabbi bi rabbi : Dikalangan ahlul baitnya Nabi Muhammad SAW. ada ungkapan bahwa : “Roaitu rabbi bi rabbi”. Artinya : “ Aku melihat Tuhan dengan Tuhan”. Ilmu untuk mengetahui DiriNya Tuhan juga ilmu tentang Tuhan. Demikian halnya hamba yang dikehendaki mengetahui perihal DiriNya Tuhan, adalah karena semata-mata ditarik oleh fadhal dan rahmat Tuhan. Tumbuhnya niat untuk rela bertanya kepada Ahlinya juga karena digerakan sendiri oleh Tuhan. Demikian jua pemberi ilmu tentang Diri-Nya Tuhan juga Tuhan sendiri. Sebagaimana firman-Nya dalam Al Fath 10, bahwa sesungguhnya bahwa orang-orang yang baiat kepadamu (Muhammad dan atau kepada wakil-wakilmu yang hak dan sah itu) sebenarnya baiat dengan Allah. Jadi hakekat guru yang hak dan sah itu adalah Tuhan sendiri. Oleh karena itu bagi yang ditugasi pelanjutnya rasul sama sekali tidak akan berani mengaku atau merasa menjadi guru. Sebab hal demikian adalah perbuatan murtad terbesar. Hanya karena Dia adalah Al-Ghaib, tidak pernah ngejawantah di muka bumi sedang hamba yang diuji dengan kehidupan dunia ini dikehendaki supaya dapat selamat kembali pulang kepada Diri-Nya lagi, maka dia menugasi hamba yang dikehendaki-Nya untuk mewakili supaya jadi panutan bagi hamba yang ditarik mendekat kepada-Nya sehingga sampai (QS. Ali Imran 179; At Taqwir 24). Jelas sekali kandungan firman-Nya dalam QS. Al baqarah 102 yang mengamanatkan kepada orang-orang yang beriman supaya bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya taqwa. Dimaksud demikian agar apabila mati yang benar-benar mati dalam keadaan selamat. Matinya hamba yang telah dapat sampai kepada Allah dengan hati yang selamat (QS. Asy Syu’ra; 89). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 25 – 26).
Rubbubiyyah : •
Menyatakan dan menghayati akan ke-Rab-an-Nya Dzat AL Ghaib Yang Allah AsmaNya dalam segala tingkah laku dan perbuatan, dimana saja, kapan saja, dan sedang apa saja.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
197
D
³ •
º
Meyakini dan menghayati Ada dan Wujud-Nya Rob Yang Maha Agung dan Maha Mulia dalam rasa hatinya dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir dan batin (Suci Kang kahesti, Luhur Kang Ginayuh, Rumpil Margane, Akeh Pangorbanne, Gede Cobane, Abot Sanggane, Adoh , Jero, Lembut, Tebane; Nanging Sampurna Wusane; hal 2, 3)
Ruh : (lih. manusia) Rukun Iman: Termasuk lain dari pada yang lain adalah penjelasan tentang Rukun Iman, Rukun Islam dan Ihsan yang menyatu di dalam Sibghatullah. Menyatu ke dalam rasa jiwa yang tenggelam (nyelup) dalam samodranya ‘arifun billah. 1. Iman Kepada Allah Keimanan kepada Allah tidak berhenti pada dataran nama dan af’al Allah semata, namun atas bimbingan Guru Wasithah seorang murid benar-benar mengenal Allah (Ma’rifatullah) secara totalitas, terhindar dari perbuatan syirik. Keimanannya karena Allah dan dengan Allah. 2. Beriman Kepada Malaikat Karena imannya kepada Allah dengan Allah, maka imannya kepada para Malaikat-Nya Allah dengan mengikuti jejak para Malaikat yang dengan rela sujud (“kal mayyiti baina yadil ghoosili = bagai mayit yang ta’at sepenuhnya kepada yang mensucikannya”). Yakni kepada wakil-Nya Allah di bumi. Wakil yang dipilih sendiri oleh-Nya guna mewakili Diri-Nya karena Dia tidak akan menampakkan Diri di muka bumi. Wakil yang secara persis mengenali Muwakil guna membimbing manusia pulang kembali menemui-Nya. Para wakil Allah yang demikian ini adalah para Nabi dan para Rasul serta para penggantinya, yaitu Guru Wasithah. 3. Beriman Kepada Kitabullah Kitabullah adalah Kalam-Nya. Ini adalah Cahaya Diri-Nya. Cahaya yang dengan Pemilik Cahaya (Dzat-Nya) bagaikan sifat dan mausuf. Bagaikan kertas dengan putihnya. Selalu menyatu menjadi satu. Itulah sebabnya ada Firman Allah yang menyatakan : “Laa yamassuhuu illal muthaharuun”. “Tidak akan dapat menyentuhnya kecuali yang disucikan oleh-Nya”. Kandungan makna Firman Allah dalam QS. Al Waqi’ah : 79. Dan bagi yang dijadikan dapat menyentuhnya, Kitabullah ini akan dapat menjadi obor yang menerangi akal budi dan hati nuraninya hingga menjadi jelas dan gamblang jalan yang harus ditempuh dalam hidup dan kehidupan ini, demi tercapainya tujuan dan cita-cita pulang kembali dengan selamat bertemu dengan Tuhan. 4. Beriman Kepada Rasulullah Beriman kepada Rasul-Nya, yang oleh Kalam-Nya diberitakan bahwa selalu berada di tengah-tengah ummatnya (QS : 3, Ali Imran; 101, QS : 49, Al Hujurat; 7). Keberadaannya adalah menjadi saksi atas kamu semua (umat yang dibimbingnya ke arah jalan menuju kepada-Nya). “Wayakunar rasuulu ‘alaikum syhiidaa” (QS : 2, Al baqarah : 143). Menggunakan kalimat dalam fiil mudhari’ (wayakuuna). Menunjuk pada keadaan yang sedang berjalan dan yang akan datang terhadap keberadaan Rasul supaya menjadi saksi bagi ummatnya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
198
D
³
º
5. Beriman Kepada Hari Akhir Ungkapan kata yang diawali dengan “ber”, seperti bersepatu, bersepeda, berpakaian, bergelora, bertopi; memberi petunjuk melekatnya sesuatu pada pelakunya. Begitu halnya dengan kata beriman kepada hari akhir. Hari akhir adalah tempat pulang kembalinya hamba kepada asalnya, Allah berfirman : “Fii maq’adi shidqin ‘inda maliikin muqtadirin”. “Di tempat yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa”. (QS : 54, Al Qamar : 55). Pulang kembali di tempat yang benar (lalu merasakan betapa bahagianya, betapa gembiranya, selama-lamanya) di sisi Raja Yang Berkuasa. Dan Raja Diraja itu adalah Diri Tuhan Yang Allah Asma’-Nya. Oleh karena itu, apabila secara benar telah mengenali DiriNya Dzat Yang Al Ghaib ini, lalu selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, maka mereka inilah yang tergolong : “Wabil aakhiratihun yuuqinuuna”. (QS : 2, Al Baqarah : 4). Kehidupan akhirat yang telah dapat dihayati dalam rasa hati sejak sekarang ini, sebab bagaimana keadaan orang yang mati, sangat ditentukan bagaimana dia sekarang ketika masih berada di dunia. Dan keadaan dia di hari kemudian, sangat ditentukan bagaimana ketika di mati. 6. Beriman Kepada Takdir Kemudian berimannya kepada nasib baik dan buruk yang ditentukan oleh-Nya. Karena hal tersebut yang membuat Dia, maka yang penting bagaimana supaya secara yakin tahu dan kenal pada Sang Pembuat nasib baik dan buruk ini. Sebab Dia Segala-galanya. Bagi hamba yang rasa hatinya selalu lengket dengan Diri-Nya, apapun yang ditemui dalam hidup dan kehidupan ini adalah sebagai ujian dan cobaan. Karena itu meski seandainya dilanda cobaan yang seberat apapun, rasa nikmat mengingat-ingat Diri Tuhannya justru makin bernyala. Bahkan dianggapnya sebagai hari raya baginya. Karena sadarnya sepenuh hati ternyata memang benar bahwa hamba ini apes, hina dan tidak bisa apa-apa. Tak punya apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Lalu menjadikan dirinya bangkit untuk selalu bersandar (deple-deple) kepada Yang Maha Segala-gala-Nya. Sebab, makna kandungan sabar dan tawakkal itu telah menyatu dalam dirinya. Sedang sekiranya memperoleh nasib baik dalam kehidupan dunia, hamba demikian tetap memandang bahwa hal yang dialami adalah juga ujian dan cobaan. Hingga karenanya justru malah takut sekiranya menjadikannya ingkar. Karena itu bangkitlah rasa syukurnya atas pemberian Tuhan itu, sehingga dapat lebih banyak lagi melaksanakan lakon dan pitukon guna mencapai tujuan hidupnya mendekat kepada Tuhan, sehingga selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 70 – 73).
Rukun Islam : Kemudian Rukun Islam yang juga menyatu dengan rukun iman di dalam sibghatallah. Menyatu di dalam hati nurani, ruh dan rasa yang berada di dalam samudera ‘arifun billah. 1. Membaca Dua Kalimat Syahadat a. “Asyhadu anlaa ilaaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. “Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah”. Bersakasi sebagaimana di muka telah diberikan penjelesan seperti kata-kata “saya bersepatu, saya berkopyah, saya berpakaian, saya bergelora, saya bersepeda,” adalah sesuatu yang lekat dengan pelaku.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
199
D
³
º
Demikian halnya dengan ucapan “saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah”, (“Laa ilaaha ilallah”). Kesaksian yang melekat di hati karena terbukanya mata hati dengan ilmu tentang mengenal Diri-Nya Ilallhi. Bahwa apa saja selain Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, laailaaha, semuanya nafi, tidak ada. Manusia yang diberadakan (sementara saja) di dunia sengaja hendak diuji oleh Allah. Allah ingin agar manusia dapat lulus hingga dapat hidup mulia di sisi-Nya. Sebab kemuliaannya itu (mau-Nya Allah) tidak dimonopoli, tetapi diratakan kepada hamba-Nya yang kebetulan adalah manusia. Karena Tuhan bukan makhluk, cara memuliakannya tidak seperti DiriNya, yang tanpa ujian dan tanpa cobaan. Karena itu, sebenarnya Allah Swt. sangat kuat sekali kemauan-Nya menonjolkan Keberadaan Diri-Nya sebagai Dzat Yang Segala-galanya, sebagaimana disebutkan dalam semua ayat-ayat pada firman-Nya. Hal ini dimaksudkan supaya hamba-Nya dapat tertarik untuk mengenali keberadaan Diri-Nya. Dan karena Dia ternyata Al-Ghaib, tidak akan pernah menampakkan langsung (ngejawantah) di bumi milik-Nya, dengan belas kasih-Nya Dia lalu membentuk utusan supaya keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib itu selalu dapat ditetapkan (“diitsbatkan = makna kalimat itsbat : Ilallah”) dalam hatinya si hamba dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir batinnya. Itulah sebabnya ada syahadat kedua. “Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah”. Bagaimana menyatakan bersaksi sedang hidup kita tidak bersamaan dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Apa maunya terus menerus berjanji palsu? Oleh karena itu, hakekat Nabi Muhammad SAW adalah Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Wajib wujudNya, yaitu Nur Muhammad. Nur ini tidak ikut mati. “Na’udzubillah min dzaalik!”. Yang wafat hanyalah jasadnya saja. Dan supaya dapat bersaksi atas keberadaan-Nya itulah, maka Nabi Muhammad SAW telah menetapkan bahwa ada pengganti-pengganti beliau yang atas izin dan kehendak Allah SWT ditugaskan supaya melanjutkan tugas dan fungsi kerasulannya Nabi Muhammad SAW. Dan perlu diketahui bahwa wakil dan muwakkil itu sama. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 73 – 74). b. Syahadatnya bukanlah kesaksian yang palsu (bagi orang yang telah memperoleh ilmu tentang Al Ghaib-Nya dengan seijin Allah lewat Gurunya yang hak dan sah, Edt). Sebab dengan ilmu yang menunjukkan tentang Keberadaan Dia Dzat Yang Al Ghaib dari yang hak dan sah menunjuki, dengan jelas dan yakin ia telah dapat menyaksikan Dzat Yang Wajib Wujud-Nya dan Yang Allah Nama-Nya. Lalu inilah yang diingat-ingat. Sebab inilah yang akan terus ditetapkan Satu-Satu-Nya dalam rasa jiwanya lalu selalu dihayati keberadaan-Nya dalam segala tingkah laku dan perbuatan apa saja, kapan saja dan di mana saja. Selalin Dia sebenarnya memang benar-benar nafi dan tidak ada (= makna laailaha). Karenanya dengan jihadunnafsinya ia akan berusaha keras untuk tidak menuhankan apapun selain Dia, termasuk akunya juga ujud jiwa-raganya. Ia akan selalu bersemangat dalam menempuh “fistabiqul akhiraat” ini supaya dapat sebanyakbanyaknya berbuat lakon dan pitukon sebagai media pemrosesan nafinya apa saja supaya benar-benar sampai dengan selamat menemui Dzat Al ghaib yang ditetapkan Ada dan Ujud-Nya. Dengan begitu iapun sekaligus tidak sebagai saksi palsu pada pernyataan kesaksiaannya terhadap keberadaan Nur Muhammad. Sebab Nur Muhammad itu tidak lain adalah Cahaya Terpuji, yakni Dia Sendiri Dzat Yang Al Ghaibi. Dan karena Dia tidak ngejawantah di sini, maka ujud jasad hamba pula yang menyambungnya agar dapat
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
200
D
³
º
selamat menyaksikan Keberadaan Ada Ujud-Nya. Itulah Utusan namanya. Yaitu Rasulullah. Karena tugas dan fungsi kerasulan, tidak ikut berhenti ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Hanya memang Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW. Sebab Nabi adalah bentukan derajat yang Allah langsung menugasi Malaikat Jibril = Ruuhul Qudus = Daya dan Kekuatan Suci, langsung. Langsung dari Cahaya Wajah-Nya Yang Maha Suci itu membentukkan derajat yang namanya nabi. Kemudian penyambung seterusnya tentang hakekat seperti itu adalah berupa bentuk manusia sebagai penyambungnya. Manusia yang Tuhan sendiri mengaturnya lewat utusan yang dipercayai oleh-Nya itu. Karena itu “wattabi’ sabiila man anaaba ilaiyya”. (QS. Lukman : 15). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 109 – 110). 2. Mendirikan Sholat a. Apabila rukun Islam yang pertama di atas dipenuhi, maka kewajiban shalatnya juga akan benar-benar menjadi tempat hamba memancarkan cahayanya. Bercahaya dengan dzikir dari dalam dadanya. Mencahaya karena hati nurani, ruh dan rasa dengan keyakinan yang kuat mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Dzat Al Ghaib yang sangata dekat sekali dalam rasa hati. Sehingga maksud sabda Nabi Muhammad SAW bahwa shalat adalah “tanhaa ‘anil fakhsyaa’I wal munkar,” akan diwujudkan Tuhan. Sehingga shalat sebagai tiang agama akan benar-benar dapat meniadakan hijab terbesar dan terhebat yang bila sekiranya tidak dengan Daya dan Kekuatan Illahi sama sekali tidak mungkin tercapai. Hijab terbesar dan terhebat adalah wujudnya jiwa raga. Wujud jiwa raga yang menjadi markas besarnya hawa nafsu dan syahwat. Wujud jiwa raga hakekatnya adalah dunia. Wujud jiwa raga yang semestinya sebagai kendaraan hati nurani, ruh dan rasa, namun ternyata justru sebaliknya. Malah dia yang mengendalikan (nunggangi), memperalat, memerintah dan menjajah rasa hati. Padahal wujud jasad (jenggelegnya jiwa raga) ini adalah barang pinjaman. Pinjaman yang terkumpul dari tanah, air, angin dan api. Maka harus dikembalikan supaya selamanya tidak menjadi hijab terbesar dan terhebat, bahkan terdahsyat. Alat mengembalikan satu-satunya hanyalah dengan shalat. Shalat yang khusyu’ dan ikhlas yaitu dengan menghadirkan rasa hati yang dapat merasakan nikmatnya dan indahnya mengingatingat dan menghayati Diri Illahi Yang Al Ghaib (Isi-Nya Huw). Dan apabila tidak begitu, maka shalatnya justru dikatakan sahun. Dan apabila sia-sia (sahun) malah diancam dengan celaka, neraka (fawailun). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 74 – 75). b. Kemudian shalat yang tiangnya agama Islam. Meski sudah banyak saya jelaskan di muka, perlu berkali-kali diulang karena tiang. Sebab manakala roboh atau hanya sebagai tiang yang mati, robohlah agama Islam ini. Shalat yang di dalamnya ada tiang hidup yang mencahayakan Wajah-Nya. Tiang yang pangkalnya cahaya itu menancap dalam rasa hati yang selalu menghayati-Nya dalam pekerjaan shalat yang dilakukan, dan ujungnya menyentuh langsung Cahaya WajahNya. (“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”), QS. Thaha : 14. Di samping itu, shalat yang tiangnya agama ini sama sekali tidak boleh ditinggalkan (wajib dikerjakan) sebab ia adalah alat satu-satunya untuk meniadakan hijab yang
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
201
D
³
º
berupa ujudnya jasad. Jadi seseorang selama masih merasa mempunyai jasad, seperti kenyataan apabila lapar tidak diberi makan tidak hilang laparnya; rasa kantuk tidak hilang bila tidak ditidurkan; masih terasa sakit kalau dicubit, dan sebagainya, kewajiban atas shalat ini tidak bisa disemberonokan. Jasad yang saban hari kita pakai ini adalah barang pinjaman. Jasad yang terdiri dari kumpulnya angin, air, tanah, api ( = min nuthfatin amsyaajin = setetes mani yang bercampur, QS. Al Insan : 2), harus dipulang kembalikan kepada asalnya. Apabila tidak, selamanya akan menjadi hijab yang gelap gulita dalam mendinding penglihatan mata hati kepada-Nya. Sedang alat satu-satunya mengembalikan kepada asalnya supaya tidak lagi menjadi hijab, adalah shalat. Karena itulah ahli mendekat kepada-Nya, shalatnya banyak. Termasuk pada ujungujung malam. Sebab ternyata, ujudnya jasad ini tidak sekedar ujud. Di dalamnya mumbruk segala jaringan iblis, syaitan, watak akunya dengan hawa nafsu dan syahwatnya dan segala selera cipta angan-angan dan gagasannya. Belum lagi segala emosinya terhadap kecintaan dunia serta uba rampenya. Sebab itu di samping shalat adalah, pengorbanannya. Ibadah-ibadah lain selain shalatnya. Akhlaqnya. Kepeduliannya. Dan sebagainya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 110 – 111). 3. Membayar Zakat a. Zakat yang menjadi rukun Islam ke tiga juga akan benar-benar menjadikan proses pensucian diri terhadap harta benda yang dimilikinya supaya dikedalaman hati nurani, ruh dan rasanya selalu terjaga dan terpelihara dalam bersentuhan dengan Diri Dzat Yang Maha Suci. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 75). b. Apabila shalat dan ibadat-ibadat lain yang merupakan realisasi pelaksanaan memenuhi perintah Guru yang hak dan sah (yang hakekatnya adalah rasul-Nya juga), yakni pengorbanannya tenaga, pikiran, perasaan, jiwa raga, dibarengi dengan hati senantiasa mengingati-Nya, ini adalah lakon dalam proses mendekat kepada-Nya, maka pengorbanan harta adalah pitukonnya. Apalagi kewajiban zakat termasuk zakat fitrah. Maka, bagaimana seseorang akan dapat melakukan zakat harta kalau tidak mau kerja keras mengelola garapan dunia? Harta yang pada dasarnya adalah milik-Nya juga, apabila tidak dikeluarkan sebagiannya untuk bukti ngumawulanya, akan juga menjadi hijab. Hijab itu adalah berupa mengentalnya watak nafsu yang mencintai harta dunia yang di akunya. Watak kentalnya mencintai harta dunia dengan segala seleranya kemegahan dan kemewahan, adalah hijab yang paling sulit ditiadakan. Sebab jasad yang menjadi ujud nafsu ini, betapa sangat kuatnya memandang dunia sebagai tempat nikmat yang membahagiakan hidupnya. Hingga ketika mati tiba, hijab inilah yang justru menyeret hati, roh dan rasanya masuk pada kegelapan alam sesat yang menumpuk azab. Karena itu dengan keras pula Allah mengingatkan dalam QS. At Takaatsur ayat 1 – 8 : “Kemegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu kelak kamu mengetahui.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
202
D
³
º
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmu yang yakin, niscaya kamu benarbenar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin’, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. Kerelaan hati dengan ikhlas demi perintah al hadi dalam mengorbankan sebagaian harta rezeki dari-Nya adalah sebagai alat pitukon supaya dari dalam hati dapat keluar rasa kumantilnya pada harta. Sehingga rasa hati lalu akan dapat nikmat merasakan cintanya mengingat-ingat-Nya. Sebab Allah sekali-kali tidak menjadikan dua buah hati dalam rongganya (QS. Al Ahzab : 4). Karena seperti amal jariah (salah satu yang tidak putus manakala seseorang yang mati itu selamat), adalah amal yang dilakukan dengan ajeg. Dilaksanakan dengan mbanyumili sebagaimana yang kita atur pada tiap-tiap bulan, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebab amal jariyah yang diserupakan pengeluaran sebagian rezeki ini, ketika masih berada di dunia sekarang adalah pitukon sebagaimana maksud penjelasan di muka, dan di akherat kelak akan terus menerus mengalir sebagai kirimannya. Seperti harus diketahui, bahwa mereka yang telah dengan seijin Allah memperoleh ilmu yang menunjukkan pintunya mati lalu selamat bertemu dengan-Nya, kemudian merasakan bahagia. Jadi orang mati yang selamat dan benar itu rasanya tidak ikut mati. Sebab justru hanya rasa inilah yang kembali pulang ke akherat. Sehingga seandainya di sana nanti merasa takut, maka amal jariyahnya akan menjadi teman yang sentosa. Apabila rasanya merasakan sakit, amal jariyahnya akan menjadi obat yang mujarab. Apabila merasa dingin, amal jariahnya akan menjadi tutup yang hangat. Begitu seterusnya sehingga rasa ini selamanya akan merasakan tenteram dan bahagia di sisi-Nya. Karena itu meskipun ia matinya selamat bertemu dengan-Nya, sebenarnya juga masih merasakan penyesalan. Mengapa ketika masih disempatkan di dunia dulu ternyata juga masih kurang amal harta yang dikeluarkannya guna memenuhi perintah gurunya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 111 – 113). 4. Puasa di bulan Ramadhan a. Kemudian melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, merupakan proses supaya hidupnya menjadi mulia di sisi-Nya, yaitu hamba yang muttaqiin. Menjadi hamba yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya (dalam melaksanakan Dawuh Guru) dengan benar dan ikhlas. Ikhlas adalah bersih. Bersih dari syirik lahir dan batin. Terjadi karena semua amal ibadahnya tidak ada yang diaku. Sebab akunya telah sirna (tenggelam) ke dalam Yang Maha Aku. Ibadahnya “kaannaka taraahu”. Seolah-olah dapat melihatnya. Yaitu ibadah yang hati nurani, ruh dan rasanya dijaga untuk dapat dibarengi dengan mengingatingat dan menghayati Diri Ilahi Yang Al Ghaib dan dekat sekali (Isi-Nya Huw). Ramadhan disebut pula dengan bulan suci. Bulan pensucian diri agar hakekat diri yang asal mula tempatnya dari Diri-Nya Dzat Yang Maha Suci, kembali lagi kepada-Nya. Kembali pada fitrah yang asalnya dari Yang Maha Fitrah. Siang hari menahan dahaga, menahan lapar, menahan nafsu syahwat, menahan diri tidak berbuat maksiat dan segala macam hal yang merusakkannya (sebagai taubatnya jasad), di malam hari memperbanyak shalat (termasuk qiyamul lail), membaca Al Qur’an, rajin bersedekah, rela mengeluarkan harta titipan Allah bagi yang berhak
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
203
D
³
º
menerima, melaksanakan zakat fitrah, ada juga malam “lailatul-qadar”, malam Allah memuliakan hamba-Nya menjadi kekasih-Nya, sehingga hamba yang dicintai oleh-Nya ini akan menjadikan rasa hatinya dapat merasakan betapa indahnya dan betapa nikmatnya merasakan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib ini, meskipun ia tetap sebagaimana layaknya manusia biasa. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 76). b. Kewajiban puasa pada bulan Ramadhan adalah merupakan adanya gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang bagaimana seseorang itu memproses dirinya supaya kembali kepada fitrahnya sendiri agar selamat bertemu dengan Dzat Yang Maha Fitrah. Kerena itu mengenal dan mengetahui hakekat fitrahnya jati diri (= sabda Nabi “uthlubul ‘ilma minal mahdi”) yang ketika ditanya oleh Allah : “Alastu birabbikum” satu persatu diri saat masih fitrah ini menjawab; “Iqaluu balaa syahidna”. Yaitu : menyaksikan Keberadaan Ada dan Ujud-Nya Dzat Yang Allah Asma’-Nya dan Al Ghaib ini. Supaya sewaktu-waktu masuk liang lahad juga dalam keadaan seperti sediakala, sebagaimana petunjuk : “Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan (= keberadaan al hadi sebagai pemberi peringatan) dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (bukan saksi yang palsu terhadap Ada dan Ujud-Nya Dzat Yang Maha Esa itu)”. (QS. Ali Imran : 53). Hingga Allah menjadikannya putih berseri wajah batinnya. Firman-Nya : “Adapun orang-orang yang menjadi putih berseri wajah (bathinnya), maka mereka berada dalam rahmat Allah; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Ali Imran : 107). Itulah sebabnya mengapa bagi orang Jawa biasanya ada adat yang maksudnya sebagai persiapan menjelang hari pertama masuk bulan Ramadhan. Yaitu yang disebut megengan. Maksudnya adalah megeng ambegan. Menahan nafas. Ngempet. Simbol daripada jihadunnafsi. Sebab akan masuk mempraktekkan bagaimana seharusnya memerangi nafsunya itu akan benar-benar patuh dan tunduk dikendarai cita-cita hatinurani, roh dan rasanya mendekat hingga sampai selamat kembali ke fitrahnya jatidiri yang asalnya dari Sang Maha Jati Diri. Siang malamnya wajib menahan diri dari segala yang tercela, yang merusakkan puasanya. Sejak fajar hingga tenggelam matahari menahan tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hal apa saja yang membatalkan puasa. Sebagai realisasi napani raga supaya jasad ini nafsuya lumpuh dan tumbuhh sifat-sifat terpuji yang menjadikannya lulus sebagai tunggangannya. Tunggangan cita-cita hatinurani, roh dan rasanya. Malam harinya digunakan memperbanyak bangun untuk shalatul-lail, memperbanyak membaca Al Qur’an, istighfar, shalawat, dzikir dan amal-amal lain yang dianjurkan sesuai petunjuk gurunya itu sebagai realisasi napani rohnya supaya daya dan kekuatannya benar-benar bersih dan murni “billah”. Benar-benar bersih dan murni dengan Allah, bersama Allah. Sebab daya dan kuatnya itu semata-mata memang milikNya. Maka ia lalu sama sekali tidak berani ngaku supaya penghayatannya akan dimasukkan oleh-Nya Ke dalam “Siliring Qudrat-Nya”. Fafi-Rahmatllah dan langgeng di dalamnya. (QS. Ali Imran : 107). Pada bulan yang juga disebut bulan suci ini, sikap kepedulian sebagai realisasi daripada ummat yang “yadul ulya aula min yadissufla” benar-benar dipraktekkan. Yakni kemandirian yang ada dalam ridha dan ampunan-Nya. Lalu kewajibannya membayar zakat fitrah yang jumlah materinya sama, menggambarkan sesama hamba yang tidak
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
204
D
³
º
ada bedanya dihadapan Tuhannya kecuali siapa yang paling bertaqwa kepada-Nya. Sedang yang mengetahui siapa yang paling bertaqwa kepada-Nya ini hanyalah Dia Sendiri. Sebagaimana Firman-Nya : “Maka janganlah kamu merasa suci (yang lalu semuci). Dialah yang paling tahu tentang siapa yang bertaqwa”. (QS. An Najm : 32). Kemudian setelah selesai sebulan penuh melakukan kewajiban puasanya, ditandai dengan rasa syukur dengan shlat sunnah Iedul-fitri. Kemudian saling memaafkan dengan sesama saudaranya. Mengagungkan Asma’-Nya dengan takbir dan tahmid. Sebab tanpa Dia yang menolong dan mengampuninya, hina, nista, sesat dan sengsara di alam sesatnya pasti akan ditemuinya. Sebab Dia memang sengaja tidak menghendaki hamba yang fasik, rugi dan hina dina nasibnya ini, tidak dikehendaki dapat selamat kembali kepada fitrahnya. Maka adakah manusia yang hamba-Nya ini akan lari dan sembunyi dari hadapan-Nya? Lalu mengapa tidak njegur kepada-Nya. Tidak berusaha untuk merasai nikmatnya “Sibghatallah”? (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 113 – 115). 5. Menunaikan Ibadah Haji (Jika mampu) a. Kemudian berhaji bagi yang dimampukan oleh-Nya adalah panggilan Allah untuk membuktikan ‘arifun billah. Sebab al Hajju ‘arafatu. Prakteknya harus wukuf di padang ‘arafah. Berhenti sejenak dari segala urusan dunia, untuk kembali konsentrasi sepenuhnya pada Allah Sang Pencipta. Wukuf berarti berhenti, yang harus dihentikan adalah semua hal yang menjadikan hijabnyahati hingga tidak akan dapat menyaksikan Diri-Nya Ilahi. Karena itulah semua rukun haji merupakan simbol-simbol guna mencapai keadaan di atas. Simbol-simbol itu misalnya seperti disunnahkan oleh Nabi mencium “hajar aswad”. Penciuman (dengan alat hidung) adalah satu-satunya panca indera manusia yang tidak bisa ditipu dan paling jujur. Instrumen rasa yang satu ini (hidung), oleh Sunan Kalijaga disebut dengan “kayu gung susuhing angin”. Dzat Yang Al Hayyul al-Qayyum, Maha Agung yang harus dapat selalu diingat-ingat bersama-sama dengan setiap masuknya nafas ke dalam dada. Sebab bila nafas yang keluar masuk ini tidak diisi dengan dzikir, layaknya seperti ke luar masuknya nafas hewan. Kosong dari butiran iman, yang besarnya bagai merica (sak mrica jinumput), namun apabila digelar menelan seluruh jagad (ngemplok jagad) perumpamaan bagi Nur Muhammad (pasemonnya Nur Muhammad). Dan apabila begitu halnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa : “Akan datang atas manusia suatu zaman di mana pada zaman itu seseorang dinyatakan : alangkah pandainya, alangkah bijaksananya, alangkah kuatnya, padahal dalam hatinya tidak ada sedikitpun butiran imannya”. Karena itulah hidung sebagai tempat ke luar masuknya nafas, nafas yang dibarengi dengan dzikir (ada isinya), disimbulkan sebagai “gunung Tursina”. Lalu mengapa Nabi Muhammad SAW. mensunnahkan mencium hajar aswad? Hajar aswad adalah simbol “Mudghah”. Segumpal daging dalam jasad manusia. Apabila segumpal daging itu “shaluha”, bagus, maka menjadi baiklah seluruh jasad manusia. Dan apabila segumpal daging ini jelek (fasad), maka menjadi jeleklah seluruh jasad manusia (al hadist). Segumpal daging ini setelah terkena hawa dunia, benar-benar persis sebagai wujudnya hajar aswad, batu yang keras dan hitam. Dalam jasad, benar-benar menjadi “qalbun
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
205
D
³
º
jasmaniyun dzulmaniyyun”. Menjadi hati yang watak dan keinginannya selalu berusaha agar jasadnya bergelimangan kemewahan dan dihormati orang lain (kajen keringan lan mukti wibawa) selama hidup di dunia. Maka lalu zalim, terkecoh betapa kuatnya pengaruh hawa dunia. Hawa dunia yang sembilan puluh sembilan persen (99 %) lebih, sepertinya dikuasai syaitan. Sebab yang disebut syaitan itu adalah semua pengaruh dan ajakan yang datang dari luarnya diri, yang pengaruh dan ajakan itu sama sekali tidak sekehendak dengan Tuhan. Jenisnya sangat beragam dan banyak sekali. Dapat berasal dari istri, dari anak, dari saudara, teman sekerja, dari pekerjaan, dari bacaan, dari apa yang didengar, dan dilihat mata kepala, dari harta, wanita dan banyak lagi. Jadi kalau ada ungkapan para leluhur bahwa dunia ini penuh dengan syetan doyan sambal, tidak ada salahnya. Sedang bila ajakan yang mempengaruhi manusia menjadikan hidupnya tidak sejalan dengan kehendak Allah, datang dari dalam dirinya sendiri, ini yang dinamakan nafsu. Karena itu maka antara syaitan dan nafsu ada kerja sama yang kuat. Lalu mengapa Nabi Muhammad SAW mencium hajar aswad? Sebab dibalik batu yang keras itu (dibalik hijab yang hebat dan dahsyat) dan hitam pekat, gelap dan zalim ketika terkena hawa dunia, dibalik itu ada kandungan makna asli dan murni, sebelum terkena hawa dunia. Sebelum dibungkus oleh wujud jasad (jenggelegnya jiwaraga). Asli dan murni itu adalah inti manusia, yaitu fitrah diri (min fitratihi), yang ketika hendak diproses Allah menjalani ujian dan cobaan dunia lewat kandungan sang ibu, ketika dimintai kesaksian oleh Allah : “Alastu birabbikum”, jawabnya sama yaitu : “Qaalu balaa syahidnaa”. (QS. Al-A’raf : 172). Fitrah diri yang kini menjadi inti manusia, diletakkan dalam rasa, dibungkus oleh arwah, diletakkan dalam hati nurani, dibungkus wujudnya jasad, ketika diminta kesaksiannya oleh Tuhannya : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Jawabnya adalah : “Benar, wahai Tuahnku, kami semua menjadi saksi”. Maksudnya secara yakin menyaksikan (weruh = melihat dengan keyakinan) atas keberadaan Diri Tuhan yang di alam dunia ini Dia sama sekali takkan pernah menampakkan Diri, karena Satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya tetapi Al Ghaib dan di dunia ini Dia memperkenalkan Diri-Nya dengan Asma’-Nya Allah dan juga Asma’- Asma’ lain yang terangkum dalam Al-Asma’ul Husna. Itulah keadaan asli dan murni fitrah manusia. Oleh karena itu agar manusia ketiak dalam ujian dunia ini dapat lulus guna mencapai tujuan pulang kembali kepada-Nya, Nabi Muhammad SAW, dengan tegasnya bersabda: “Carilah ilmu sejak dari ayunan hingga ke liang lahat”. Ilmu sejak dari ayunan berarti masih dalam keadaan bayi yang baru lahir. Yaitu ilmu untuk mengenali fitrahnya diri yang asal tempatnya dari Diri-Nya Dzat Yang Maha Fitrah. Itulah sebabnya mengapa ada ungkapan : “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”. “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, maka sungguh telah mengenal Tuhannya”. Dan ilmu untuk masuk ke liang lahad adalah ilmu yang menunjukkan pintunya mati supaya dapat selamat bertemu dengan Diri-Nya Tuhan lagi. Sabda Nabi di atas bernada perintah, yaitu : “carilah”! Maksudnya yang dicari ini adalah yang berhak dan sah menunjukkan, sebagaimana yang telah panjang lebar dijelaskan pada bab-bab terdahulu. Sebab ilmu seperti ini memang tidak ada pada tulisan dan juga tidak ada pada bacaan. Bacaan dan juga tulisan yang ada, bermanfaat untuk menggiring dan mengarahkan. Pelaksanaan thawaf dengan mengelilingi Ka’bah tujuh kali, juga ada makna di dalamnya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
206
D
³
º
Pojok pertama Ka’bah yang ada hajar aswadnya adalah simbol asal mula tempat fitrah manusia. Fitrah diri manusia yang terhadap Keberadaan Diri Tuhannya menyaksikan Ada dan Wujud Diri Tuhannya, dan juga telah sedia memikul amanah-Nya meskipun kesediaan memikul amanah-Nya ini ternyata tidak dipuji bahkan malah mendapat vonis : “Innahukaana zaluuman jahula”, karena memang sangat bodohnya hingga karena itu sama sekali tidak tahu bahwa akan diproses menjadi bentuk baru (berjiwa raga) lewat kandungan ibu, terus diuji dengan hidup dan kehidupan dunia. Pojok Ka’bah kedua adalah simbol alam kandungannya ibu. Di alam ini, ketika calon manusia telah berumur 120 hari berupa segumpal daging, lalu dimasukkan (ditiupkan) ke dalam janin ruh-Nya dan ditetapkan rizki, umur, saat kematian, amal, nasib baik dan buruknya. Sebagaimana dalam hadist Nabi Muhammad SAW : “Meskipun salah seorang kamu telah mengamalkan amal perbuatan ahli surga sehingga antara surga dan kamu, saking dekatnya, tidak ada satu hasta. Tetapi tulisan telah menetapkan bahwa kamu adalah ahli neraka, lalu mengerjakan perbuatan ahli neraka, maka masuklah kamu ke dalamnya. Begitu juga sebaliknya. Meskipun salah seorang diantara kamu telah mengamalkan amal perbuatan ahli neraka sehingga antara kamu dan neraka tidak ada satu hasta, saking dekatnya, tetapi tulisan telah menetapkan bahwa kamu adalah ahli surga, lalu mengamalkan amal perbuatan ahli surga, maka masuklah kamu ke dalamnya.” Maksud hadist ini menjelaskan agar manusia menyadari kekurangan dirinya (al fakir). Menyadari sebagai hamba yang sial (apes), tidak tahu apa-apa, tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa. Dengan begitu diharapkan bangkit kesadarannya untuk mengenal dan mengetahui Keberadaan Diri-Nya Dzat Yang Maha Segala-gala-Nya sebagai tempat bergantung, tempat berlindung, tempat pasrah total (bongkokan) dan satusatunya yang dicintai, dijadikan tujuan hidup, dan didekati hingga selamat bertemu kembali. Karena itu harus selalu dapat diingat-ingat dan dihayati Keberadaan Diri-Nya yang sebenarnya memang amat sangat dekat sekali dalam rasa hati ini. Apabila benar-benar kesadaran dibuka oleh-Nya, siapa hamba Tuhan yang berani memelihara watak abaa wastakbara di dunia ini? Berani berkata : “ana khairun minhu? Berani melampaui batas? Berani memandang dirinya serba cukup? Mestinya tidak ada. Menjadi ada dan bahkan sebagaian besar bersikap demikian, karena memang iblis, syetan dan seluruh bala tentaranya sama sekali tidak ingin adanya hamba Allah yang hidupnya di dunia ini mengikuti watak dan jejak para Malaikatul Muqorrobin. Pojok Ketiganya Ka’bah adalah simbol dalam dunia. Bagi yang dikehendaki mengikuti jejak para Malaikatul Muqorrobin- yang telah rela sujud kepada wakil-Nya Allah – Jihadunnafsinya hingga patuh dan tunduk bagai mayit yang pasrah seutuhnya kepada yang berhak mensucikannya yaitu Guru di tempat ujian dunia ini tidak berhenti. Terus jalan melewati pojok ke empat Ka’bah sebagai simbol alam kubur dan karena selamat matinya, maka bangkitlah sukacitanya merasakan betapa indah dan bahagia kembali bertemu dengan Diri Tuhannya lagi. Thawaf dengan mengelilingi Ka’bah tujuh kali ini adalah lambang adanya firman Allah : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan, dan Kami tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami.” (QS. : 23, Al Mu’minuun : 17). Juga lambang dari pada mukaddimahnya Ilmu Ma’rifat Billah (Ilmu Syththariah), yaitu dzikir tujuh macam yang disesuaikan dengan nafsu manusia yang juga ada tujuh macam. Sebab untuk dapat selamat kembali bertemu Tuhan, harus menunggangi nafsu yang tujuh macam itu.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
207
D
³
º
Kain “ihram” tanpa jahitan adalah simbol persamaan derajat. Simbol kemerdekaan, perdamaian. Simbol tiada perbedaan. Simbolnya rasa jiwa yang “hurryah tammmah”. Rasa jiwa yang merdeka sejati dan sempurna karena hanya merasakan Diri-Nya Tuhan dalam rasa hatinya. Simbol hidupnya manusia yang tidak dijajah oleh nafsunya sendiri. Simbol dari pada hamba yang segala tingkah laku dan perbuatan lahir dan batin semata-mata karena mengikuti kehendak Allah (“katut siriling Qudratullah), karena dijadikan oleh-Nya hamba yang mencahayakan Diri-Nya. Tahalul dengan simbol memotong rambut. Rambut adalah lambang mahkota. Maka harus dipotong. Ini adalah simbol untuk menidakan watak akunya nafsu yang mahkotanya adalah “abaa wastakbara. Ana khairun minhu. Layatghaa araa aahustaghnaa”. Mengambil tujuh buah kerikil di malam hari untuk alat melempar “jumrah”. Adalah simbol hamba yang bangun setelah tengah malam, beristigfar, mohon ampunan kepada-Nya. Dan bila dikabulkan oleh-Nya, diberitahu oleh Tuhan-nya bahwa penyebab orang tergelincir dari jalan yang lurus yang licin ini karena tersandung kerikil, yang dianggapnya sepele. Kerikil-kerikil ini adalah lambang wataknya nafsu, yang kemauannya menganggap terhadap semua amalan yang dilakukan adalah miliknya, sehingga lupa pada belas kasih Tuhan, yang telah membuat dirinya mempunyai hati “mau” beramal baik itu (“Laa khaula walaa quwwata ilaa billah”). Kerikil-kerikil itu dibuang dan di lemparkan ke sumur tempat melempar jumrah. Hal ini merupakan simbol melempar syetan, supaya syetan (yaitu ajakan dari luar dirinya yang menyebabkan hidup dan kehidupannya tidak sejalan dengan kehendak Tuhan) tidak mempan lagi. Lalu mengapa melemparkannya mesti ke dalam sumur. Dan harus dapat masuk semua? Sumur adalah simbolnya sumbernya ilmu. Ilmu untuk dapat masuk ke dalam samuderanya “ ‘arifin billah”. Di lempar ke sini supaya tenggelam. Sirna. Fana. Nafi. Yakni agar watak hawa nafsu yang maunya selalu menganggap pemiliknya (ananiyah) sirna, tenggelam ke dalam Diri-Nya Sang Maha Aku. “Sa’i” yaitu berjalan cepat atau lari-lari kecil antara Bukit Shafa dan bukit Marwah. Ini adalah simbol kerja keras. Kerja keras bukan untuk menumpuk harta kekayaan. Bukan untuk bersenang-senang. Bukan untuk mengumbar hawa nafsu dan syahwat, tetapi bekerja keras (termasuk kerja keras mengelola garapan dunia dengan sebaik-baiknya) demi “Subhaanaka”. Demi untuk memproses pensucian diri supaya rasa hatinya senantiasa bersentuhan dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Suci, hingga dapat terpenuhi maksud menaiki dua buah bukit (Shafa dan Marwah), yaitu “fid dunya hasanah wafil aakhiroti hasanan.” Dengan demikian hidupnya di dunia ini menjadi baik (baik berdasarkan pandangan Allah), demikian pula hidupnya di akhirat juga baik berdasar pandangan Allah. Bagi yang telah memiliki ilmu dari Guru Wasithah yang hak dan sah, hidup baik berdasar padangan Allah adalah hidup hamba yang dalam menyembah kepada-Nya benar-benar dapat merasakan betapa indahnya “melihat” Tuhan. Maka “Sa’i” yang mengambil hikmah dari peristiwa Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim) yang lari-lari kecil hendak mencari sumber air buat puteranya, Nabi Ismail yang masih bayi (masih dalam keadaan fitrah), diabadikan oleh Allah masuk dalam rukun Haji, mesti ada maksudnya, yaitu bersegera untuk menemukan sumber air. Air adalah lambang ilmu. Ilmu tentang fitrah diri yang kini menjadi “inti” manusia yang berada di dalam rasa hati, bagaimana supaya bertemu lagi dengan tempat asalnya. Tempat asalnya adalah Diri Illahi Yang Al Ghaib. Karena itu sangat dekat sekali. Dan inilah yang diperintahkan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
208
D
³
º
oleh Allah supaya ditanyakan kepada ahlinya. Sebab sekiranya tidak ditanyakan, berdasar Sabda Nabi Muhammad SAW; sesuatu yang tidak ditanyakan kepada ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 76 – 83). b. Haji adalah gambaran (misal) daripada hamba Allah yang dipanggil untuk menemuiNya. Peragaan (syareat) nyata daripada hamba yang ditarik oleh fadhal dan rahmatNya menyatakan ma’rifat kepada-Nya. Karena itu “al hajju ‘arafatu”. Haji itu adalah arif = weruh= menyaksikan keberadaan Ada dan Ujud-Nya Dzat Al Ghaib dan Allah namaNya. Diperagakan dengan cara wukuf (mandeg) di padang ‘arafah. Padang sebagai gambaran bahwa semua telah nafi termasuk ujud akunya dan harta dan dunia seisinya. Berhenti (wukuf) = yang berhenti adalah nafsunya. Sebab hakekatnya memang menyatakan mati sebelum mati yang sebenarnya. Benar-benar meninggalkan dunia (yang hakekatnya adalah ujud akunya itu sendiri), masuk kepada-Nya. Pakaian ihram saja telah menggambarkan : “alladziina abyadhdhat wujuuhuhum” (QS. Ali Imran : 107) = orang-orang yang menjadi putih berseri wajahnya. Semua sama. Tidak ada rekayasa dan tipu daya. Bersih, putih tanpa jahitan. Kemudian thawafnya, gambaran mereka yang putih berseri wajahnya ini mengalir tanpa henti sebanyak 7 kali mengelilingi Ka’bah baitullah. Ini ada simbol yang ada makna di dalamnya. Thawaf yang dimulai dari pojok pertama (ada hajar aswadnya), terus mengalir ke pojok ke dua, ke tiga, ke empat dan kembali ke pojok pertama. Mengalir terus sejak dari alam asal fitrahnya, lewat gwagarba ibunya, ditempatkan pada dunia tempat ujian dan segala cobaan, terus tidak berhenti, lalu pulang lewat alam kuburnya dan kembalilah dengan selamat ke asal mula dari mana datangnya. Karena itu pada sudut pertama Ka’bah tempat mulainya akan melakukan thawaf, ada hajar aswadnya. Hajar adalah batu. Gambaran bahwa asal manusia yang fitrah ini akan dibungkus oleh wujud baru yang seperti batu. Wujud baru “min nuthfatin amsyaajin” tetapi “faidzaa huwa khashimun mubin”. Ternyata menjadi pembantah yang terang-terangan kepada kehendak Tuhannya. Karena itu aswad, hitam warnanya. Padahal aswad (hitam) juga sebagai lambang keaslian. Maka adakah manusia ini akan dikehendaki olehnya kembali putih berseri karena fitrah jatidirinya mengenal Sang Jati Diri, yang berarti kembali kepada keaslian fitrahnya; ataukah akan dikembalikan kepada keasliannya watak akunya yang watak dan jejaknya seperti makhluk yang berani ablasa (iblis) kepada-Nya. Lalu benar-benar tetap saja asli gelap gulitanya (hitamnya). Maka dari itu sang haji ini ada yang dikehendaki mabrur tetapi juga ada yang mardud (ditolak) oleh Allah. Haji yang mabrur kiranya juga yang dikehendaki atas adanya fadhal dan rahmat-Nya mengendarai nafsunya sendiri. Nafsu yang banyaknya tujuh macam dan masing-masing mempunyai bala tentara. Karena itu thawaf itu tujuh kali mengelilingi Ka’bah. Sa’I, tujuh kali pulang balik. Melempar jumrah juga tujuh kali sebagai lambang melempar nafsunya sendiri supaya sirna watak akunya dan hanya AKU-Nya yang dihayati dan diingat-ingat dalam hati. Kemudian Sa’i yang dianjurkan berlari-lari adalah lambang bersegera untuk fafirru ilallah. Berlomba dalam “fasta biqul-khairat” dari satu bukit shafa ke bukit marwah. Bolak balik juga tujuh kali. Bukit adalah lambang puncak. Puncak dunia dan puncak akherat. Puncaknya adalah “hasanah”. Asalnya dari ihsan (hadis Jibril).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
209
D
³
º
Puncak dunia yang selamat dan bahagia rasa jiwanya adalah : mereka yang ditunjuki oleh-Nya benar-benar bisa menghayati bagaimana dalam ibadah dan kehidupan dunianya ini senantiasa berada di dalam seolah-olah melihat-Nya. Sedang Dia “laisa kamitslihi syaiun”. Maka bertanyalah kepada yang ahli tentang Dia Dzat Yang Laisa Kamitslihi Syaiun. Puncak akherat adalah juga ihsan = “ilaa Rabbika naadzirah”. Kepada Tuhannya melihat. (QS. Al Qiyamah 23). Kemudian tahallul. Memotong rambut. Simbol bahwa siapa saja yang ngumawulanya itu benar-benar dilakukan dengan kesungguhannya untuk jihadunnafsi, rambut yang lambang mahkotanya gengsi dan kehormatan watak akunya ini harus dipotong. Harus dicukur. Firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al Mu’min : 60). “Dan siapa (yang dikehendaki berada) di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Ku dan tiada (pula) merasa letih”. (QS. Al Anbiyaa : 19). Lalu mengapa sebutan haji menjadi status sosial dan lambang kehormatan? Sedang Nabi yang panutan serta para sahabat pilihan itu tidak satupun yang ada gelar haji. Mengingat ibadah hajji adalah lambang dipanggil oleh-Nya untuk ma’rifat kepada-Nya di sana (bagi yang kuasa menjalani), lalu bagaimana yang tidak dikuasakan ke sana. Apakah tidak termasuk yang dipanggil oleh-Nya untuk menyatakan ma’rifat kepadaNya? Sebagaimana maksud dari tulisan yang kita angkat sebagai upaya dakwah untuk citacita ma’rifat kepada Allah, bahwa semua amal syareat (tertib kewajiban lahir dalam beribadah kepada-Nya) adalah merupakan proses lakon dan pitukon mendekat hingga sampai kepada-Nya. Termasuk hajji bagi yang kuasa ke sana. Sama sekali tidak ada pamrih apa-apa, baik yang pamrih bangsa dunia maupun pamrih bangsa akherat. Pamrih bangsa dunia adalah segala hal selera nafsu seperti : status martabat dan nama. Kehormatan. Pangkat dan kedudukan. Harta dunia dan segala yang berseliweran padanya. Kondang, terhormat, disungkani, pujian, kepuasan, kebanggaan dan banyak. Sedang pamrih bangsa akherat adalah ibadahnya karena keinginan memperoleh pahala. Supaya masuk surga. Karena takut masuk neraka. Sehingga tidak murni “lillah”. Lalu seperti peribahasa Jawa : “mburu uceng kelangan deleg”. Kepada nikmat yang dijanjikan oleh-Nya (padahal nikmat ini telah tiada terkira) yang kita terima dari Allah. Ini yang diimpi-impi, dihitung-hitung dan didamba-damba. Tetapi kepada Dia Yang Al Ghaib dan Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, Allah Nama-Nya, sama sekali tidak ingin mengenal dan menemui. Padahal Dia adalah Dzat yang dingengeri hamba ini sejak dari sana. Sejak berada di gwa garba ibunya. Maka semestinya harus diketahui dan dikenali Keberadaan Ada dan Ujud-Nya Yang Al Ghaib itu semasa di dunia sekarang ini, supaya dapat selamat ngenger kembali pada-Nya di kuburnya dan di akherat. Firman Allah (QS. AL Hasyr : 19) : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. Lupa kepada Allah yang keberadaan-Nya telah panjang lebar telah saya jelaskan. Maka Allah juga melupakan kepada diri mereka sendiri. Lupa bahwa “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”. Lupa mengenali jati diri yang fitrahnya ada inti yang ini adalah Nur Muhammad itu sendiri. Padahal mengenali ini sama artinya dengan mengenal Dia sebab asal Nur Muhammad itu adalah Dia sendiri. Karena gengsinya bertanya di samping memang dicegati oleh kerja keras iblis membentukkan pandangan benar dan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
210
D
³
º
baik meski tidak perlu mengenal Jati Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib itu. Kemudian Allah mengingatkan kepada hamba-Nya agar selalu menyiapkan diri dan memperhatikan bagi perbuatan lakon dan pitukonnya itu guna hari esok (akherat). Firman-Nya QS. Al Hasyr ayat 18 : “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Perhatikan juga dengan seksama firman Allah di bawah ini agar supaya memiliki rasa hati yang benar-benar ngawula dan deple-deple kepada-Nya : “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, dan Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orangorang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orangorang yang diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Haq (Keberadaan Ada dan Ujud-Nya Al Ghaib) itu dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”. (QS. Al Hajj : 52-54). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 115 – 120).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
211
D
³
º
S Sabar : (lih. juga Murid – Jalan Bagi Murid) •
Sabar dalam makna sufi adalah ketangguhan, ulet, tahan uji dan cobaan, betapapun hebatnya dalam memberlakukan diri untuk senantiasa jihadunnafsi. Maka derajat sabar (prakteknya) adalah seorang yang tahan uji dalam senantiasa memaksa jiwaraganya sendiri supaya mau dijadikan tunggangan memenuhi kehendak Ilahi. Sebab ujud jiwa raga yang menjadi sarangnya watak akunya nafsu apabila tidak dipaksa selalu gelem seperti itu, adalah “abaa wastakbara”. Enggan, acuh dan ogah-ogahan. Sebab “min nutfah faidza huwa khasiimun mubin”. Dicipta dari mani akan tetapi tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 15 – 16).
•
Sabar adalah sebuah derajat. Derajat seseorang yang didekatkan kepada-Nya, yaitu hamba Allah yang ulet, tahan coba dan uji, tidak mudah menyerah dalam rangka memaksa jiwa raganya sendiri supaya selalu punya hati “mau” melaksanakan dawuh dan perintahnya Guru yang hak dan sah meski harus menanggung betapapun beratnya resiko yang harus ditanggungnya. Adalah hamba yang sepenuhnya menyadari bahwa : “Wurudul faqati a’yadul muridina fal faqathu bashthul mawahibi”. Maksudnya bahwa datangnya keadaan rekasa, kangelan, kelangan bagi seseorang yang berkehendak bertemu Tuhan, ini justru menjadi hari raya baginya. Sebab keadaan yang demikian ini justru akan menjadi “alasnya” beberapa pemberian dari Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 45).
•
Pada surat Al ‘Ashri Tuhan bersumpah dengan masa dan diakhiri dengan “Watawa shaubish shabri”. Saling berwasiat dengan sabar. Yakni ketahanan diri yang harus dimiliki supaya tahan uji dalam memberlakukan diri terus menerus melakukan jihadunnafsi. Mempunyai ketahanan diri selalu melaksanakan perang terbesar selama : nafas masih berada di kandung badan. Agar darah yang mengalir dalam badannya dan jiwa raganya ini darah yang seperti darah yang mengalir dalam jasad Nabi Muhammad SAW supya masuk menjadi keluarga beliau. Aliran darah yang memerankan “watak para Malaikat-Nya”. Dan kuatnya kesabaran seperti inilah yang akan menumbuhkan semangat jiwa yang taubatan nasuha. Menumbuhkan semangat ikhlas semata kepada Tuhannya. Menumbuhkan semangat patuh dan tunduk kepada al Hadi kepercayaan Ilaahi. Yakni Guru Wasithah yang hak dan sah sebagai pelanjut tugas dan fungsinya Rasullulah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 60).
Sadar : Sadar yang asal kata shadrun (dada) dan oleh Allah dijadikan awal ayat dalam QS. Shad (singkatan kata dari shadrun). Kemudian Allah bersumpah bahwa Demi Al Qur’an yang ada di dalamnya (ada ajaran ilmu untuk) mendzikiri (Nya) . Adalah ilmu keagungan-Nya yang akan dapat menjadikan hamba-Nya mulia di sisi-Nya, menjadi muttaqien (= “inna akramakum ‘indallaahi atqaakum”).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
212
³
D
º
Karena sekarang dan seterusnya selalu beriman dengan Al Ghaib (Isi-Nya Huw). Shalatnya tegak (=khusyuk karena hatinya dapat hadir kepada Tuhan-Nya), menyadari bahwa rezeki yang diperoleh dari hasil keringatnya adalah milik Allah, karena itu dengan sangat rela dan ikhlas sebagian dari milik Allah itu dibelanjakan di jalan Allah. Kemudian juga selalu beriman kepada apa yang diturunkan kepada utusan Allah, (yakni Al-Kitab, al-Hikmah dan al-Nubuwah yang juga diajarkan kepada mereka) dan kepada apa yang juga telah diturunkan kepada Rasul sebelumnya, dan dengan kehidupan akherat mereka benar-benar meyakini (artinya sejak sekarang setelah memperoleh izin mendapatkan ilmu dari Guru yang hak dan sah), akherat (yang pintunya) yang telah dapat mulai dirasakan (diingat-ingat dan dihayati Isi-Nya Huw). Mereka itulah orang-orang ang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al Baqarah ayat 2 s/d 5). Sadar sebagai hamba Allah maksudnya sadar (ndada = lapang dada = “faman yuridillaahu an yahdiyahu yasrah shadrahu lil-islam”, barang siapa yang Allah akan memberikan hidayah kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya (untuk memeluk) Islam (sebagai agama Rasul guna mentauhidkan Dzat, Sifat dan Af’al-Nya), maka lalu ndada (berlapang dada) diuji oleh Allah. Firman Allah : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya…….”(QS. Al Insan ayat 2). Ujian dari Tuhan adalah bentukan jiwa raga yang dari nutfatin amsyajin (setetes mani yang bercampur). Jiwa raga ini adalah wujudnya nafsu manusia yang perbuatannya, sifat dan zatnya selalu seia sekata dan selalu bekerja sama dengan iblis, jin, syaitan dan segenap bala tentaranya dalam rangka menganggap indah, menganggap benar, menganggap baik terhadap semua hal yang sebenarnya sama sekali tidak sejalan dengan kehendak Allah. Tujuan pokoknya menjadikan manusia supaya satupun tidak ada yang mencari utusan Allah lalu berguru kepadanya kemudia sadar menjadi muridnya. Sekarang hal seperti itu telah mencapai puncaknya. Disebut jaman edan (oleh Ranggawarsita). “Amenangi jaman edan, Ewuh aya pambudi. Melu edan ora tahan. Yen lan melu nglakoni, baya kaduman melik. Kaliren wekasanipun. Begja begjane kang lali, isihbegja kang eling klawan waspada”. Maksudnya, kita sekarang telah benar-benar mengalami jaman edan. Jaman gila. Bingung hendak berbuat apa. Akan ikut edan, tetapi tidak tahan. Dan bila tidak ikut edan, takut/kuatir apabila tidak kebagian kepentingan, bisa-bisa kaliren (kelaparan) akibatnya. Namun diingatkan bahwa meskipun yang ikut edan itu ternyata juga bisa mendapat kabegjan (keuntungan sementara), namun masih untung yang selalu eling (yakni ingat) dan waspada. Yakni selalu ingat Dawuhnya Guru, sadar sebagai hamba menjadi murid (orang yang berkehendak bertemu Tuhannya) hingga dengan sadar pula memenuhi dawuhnya Guru untuk mengumpulkan syare’at dan hakekat. Karena itu hidupnya selalu waspada terhadap tipu dayanya nafsu dan watak akunya, supaya jangan sampai diperintah dan di jajah. Menjadi ahlul-kurub. Ahlul-Kurub adalah ciri khasnya ahlu-baitnya Junjungan Nabi Muhammad SAW. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membentuk Kesadaran Setinggi-tingginya Sebagai Hamba Yang Menjadi Murid (Orang Yang Berkehendak Bertemu Tuhannya) Hingga Hidupnya Akan Dapat Senantiasa Eling (ingat) Lan Waspada (Dan Waspada), Pondok Sufi, Tanjung Anom, 22 Juni 2002, hal.1 – 2).
Sa’i : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
213
D
³
º
Santri :
San = Insan dan tri = dalam ikatan iman, Islam dan ihsan guna menempuh jalan lil muttaqien. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal.100).
Satriya Piningit : •
Satriya asal kata Syathara; wahum Asy-Syathaar min ahli muhibbah ila Allah. Syathara artinya menyadi dua, yaitu “kawula” dan “Gusti” yaitu Gusti Allah. Kawula atau hamba, makhluk ciptaan Allah SWT termasuk wujud jiwa raganya manusia, diperjuangkan dengan cara berkorban dan berbakti dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya sehingga akan ditarik fadhal dan rahmatNya Allah menjadi nafi. Menjadi tidak ada sama sekali. Ini adalah kandungan makna kalimah nafi “Laailaaha”. Hingga sama sekali tidak ada hijab yang menutup “mata hati” membuktikan seyakinnya Ada dan Wujud DiriNya Dzat Yang Allah asma-Nya yang selalu distbatkan (selalu ditetapkan dengan cara selalu diingat-ingat dan dihayati) terhadap Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya. Ini adalah kandungan makna kalimah itsbat : “Illallah”. Dengan ilmu dan laku seperti itu dari yang hak dan sah menunjuki serta membimbing di atas jalan-Nya untuk dapat selamat dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya, karena sungguh-sungguh menjalaninya, wahum AsySyathaar. Mereka ini yang disebut sosok Asy-Syathariya; hamba yang dibentuk oleh Tuhannya menjadi ahli mencintai Diri-Nya sehingga apa saja tentang dunia telah dikeluarkan dari dalam hatinya. Yang ada dalam rasa hatinya hanya “til-kumantilnya” kepada Diri-Nya Dzat Yang meskipun Al-Gahaib Allah Asma-Nya, Mutlak Wujud-Nya. Karena itu ilmunya disebut Ilmu Syathariyah, dan inilah yang dipininngit. Dipingit oleh Tuhan sendiri. Sebab ilmu ini adalah ilmu yang membuka hati nurani, roh dan rasa. Dibuka untuk diisi dengan Rahasia Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Allah Asman-Nya. “(Dia-lah Dzat Tuhan) Yang Mengetahui (Ada dan Wujud Diri-Nya) Yang Al Ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan (dalam mata hati) kepada seorangpun mengenai (Ada dan Wujud DiriNya Yang ) Al Ghaib itu, kecuali kepada hamba yang dicintai-Nya (oleh-Nya)….. (kandungan makna QS. Al-Jin ayat 26-27). Jadi Syatriya piningit adalah sosok hamba Allah yang dengan ilmu Sythariyah (dengan ilmu Satriya). Lalu ditekuni dengan benar dan ikhlas, kemudian dibentuk oleh Allah menjadi AsySyathaar. Dengan kehendak dan petunjuk Allah SWT, hamba ini kemudia digulawentah dan dipersiapkan oleh Gurunya untuk menjadi penerus yang menindaklanjuti tugas Gurunya itu supaya tetap mengada sampai kiamat tiba. (Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 1 – 2).
•
Sosok Ratu Adil yang disebut juga sosok Satrya Piningit. Satriya asal kata Syathara, hamba yang dibentuk Tuhannya menjadi ahli dalam mencintai-Nya sehingga yang nampak nyata dalam rasa hatinya hanyalah Ada dan Wujud Diri Tuhannya semata. Karena itu semua hal apa saja tentang dunia oleh Allah telah dikeluarkan dari dalam hatinya. Karena itu pula maka yang selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hatinya kapan saja dimana saja dan sedang apa saja hanyalah Diri Tuhannya. Atas ijin dan kehendak Tuhannya dia memang dipersiapkan dan digulawentah oleh Gurunya supaya melanjutkan tugas dan kewajibannya mewakili Tugas dan Kewajiban Junjungan nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya yang hak-haknya harus tetap lestari pada tempatnya sampai kiyamat tiba. Tugas dan kewajiban hak-hak Rasul-Nya Allah yang tidak pernah terputus sama sekali ini adalah membuka dada hamba yang dikehendaki hidayah Illahi lalu mengisi hati nurani, roh dan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
214
D
³
º
rasa dengan butiran iman supaya hati nurani, roh dan rasa menjadi berfungsi, menjadi cerah dan menjadi mencahaya dengan Diri Tuhannya. Butiran iman yang diisikan itu adalah Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Tuhan Allah Nama-Nya dan Al-Ghaib. Satu-satu-Nya Dzat Yang ghaib jelas Wajib Wujud-Nya jelas-jelas selalu meliputi dan senantiasa menyertai hamba-hamba-Nya dan jelas-jelas dekat sekali dalam rasa hati supaya seyakinnya dikenali dan diketahui agar dengan mudah selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati. Harapannya agar tidak termasuk manusia sebagaimana disabdakan oleh Junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadist riwayat Imam Bukhari, bahwa akan datang suatu zaman yang dizaman itu (banyak) manusia dikatakan alangkah pandainya, alangkah bijaksananya, alangkah kuatnya akan tetapi di dalam hatinya tidak ada sedikitpun butiran imannya. Berdasarkan firman Allah alam QS. Al Jin ayat 26 bahwa Al-Ghaybullah hanya Tuhan Sendiri Yang Mengetahui. Adalah simpanan-Nya Tuhan. Pingitan Tuhan. Maka tidak akan dilahirkan Ada dan Wujud Diri-Nya Yang Al-Ghaib itu kepada satupun hamba-Nya kecuali yang diridhai oleh-Nya atau dicintai-Nya. Oleh karena Diri-Nya Illahi adalah Dzat Yang AlGhain sama sekali tidak akan pernah menampakkan Diri di muka bumi, maka Allah tidak akan pernah langsung menerbitkan, memberitahukan, melahirkan Ada dan Wujud Diri-Nya Yang Al-Ghaib itu akan tetapi dengan cara memilih utusan yang di utus untuk mewakili DiriNya melahirkan lewat lisan utusan-Nya itu dibisikkan ke telingan kiri hamba yang diridhaiNya sebagaimana yang telah dilakukan para ahlul baitnya. Dan terus begitu yang dilakukan para wakil Junjungan Nabi Muhammad SAW yang senantiasa mengada ditengah-tengah umatnya dengan cara gilir gumanti sampai kini hingga kiyamat nanti. Karena itu maka sesungguhnya orang-orang yang bai’at kepadamu (Muhammad dan wakil-wakilmu) itu sesungguhnya bai’at dengan Allah sendiri (QS. Al-Fath ayat 10). Hanya saja hal seperti itu sama sekali tidak akan dideteksi oleh sejarah. Selalu dihadapkan dengan pendusta yang amat sangat sengit memusuhi. (Kh. Muhammad Munawwar Affandi, Sosok Ratu Adil/Imam Mahdi/ Satriya Piningit dan Ajarannya,Tanjung Anom, 4 Juni 2004, hal. 3).
Sesat Jalannya (manusia) : (Lih. Mati - Mati yang Sesat; lih. juga Bencana Terbesar) •
Sesat jalannya karena ketika matinya tidak pulang ke tempat asal mula dari mana ia didatangkan, tidak selamat pulang kembali menemui Tuhannya. Tidak fii maq’adi shidqin ‘Inda malikin muqtadirin (Qs. Al Qamar 55). Matinya tidak masuk ke dalam tempat yang benar lalu akan merasakan kebahagiaan selama-lamanya di sisi Tuhan Yang Berkuasa. Juga sama sekali tidak “Wujuhun yauma idzin naadhirah, ilaa rabbiha naadzirah (QS Al Qiyamah 22 – 23). Yakni ketika merasakan mati yang pasti menemui, wajahnya tidak berseri-seri (karena merasakan betapa bahagianya ilaa rabbiha nadzirah, yaitu melihat kembali (menyaksikan dengan seyakinya) terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat yang di dunia sekarang ini Al-Ghaib (= satu-satu-Nya Yang Gaib dan jelas sekali keberadaan-Nya dalam rasa hati).
•
Sesat jalannya adalah ketika merasakan pati yang pasti ditemui dan hanya sekali saja (karena itu tidak bisa mengulang kembali) adalah mereka yang ketika mati wajahnya bermuram durja karena yakin akan merasakan betapa ngerinya malapetaka yang dahsyat. Yakni hidup satu tempat dan satu alam dengan wadya balanya iblis dan syaitan (QS Al Qiyamah 24-25). Tidak satupun hamba yang tidak dihalau kepada Tuhannya (Al Qiyamah 30). Namun mengapa ketika di dunia dan diberi kesempatan bertanya tidak digunakan sebaik-baiknya untuk mengenal dan mengetahui Diri-Nya Tuhan yang Wajib Wujud-Nya, Al-Ghaib, dekat sekali meski dibanding dengan ke luar dan masuknya nafas ke dalam dada. Allah Asma-Nya. Itu akibat mereka yang mendustakan rasul-Nya dan berpaling dari keberanaran Al-Haq-Nya kemudian pergi kepada ahlinya dengan berlagak sombong (QS.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
215
D
³
º
Al Qiyamah 32 – 33). Maka kecelakaanlah bagimu (hai orang yang mendustakan keberadaan rasul-Nya) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang yang tidak percaya terhadap keberadaan rasul-Nya yang selalu ada di kalanganmu sendiri dari antara kamu sendiri) dan kecelakaanlah bagimu (QS. Al Qiyamah 34 – 35). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 5).
Shadaqah Jariyah : Jariyah itu maknanya mengalir. Oleh karena itu dalam kalangan Jama’ah Lil-Muqorrobin diatur sedemikian rupa bagaimana supaya shadaqah jariyah para warganya ini selalu dapat ajeg dilakukan pada tiap-tiap bulan. Yang penting ajegnya, bukan banyaknya. Sukur kalau memang ada lebih banyak lebih utama. Shadaqah jariyah ini ketika kita masih berada di dunia adalah pitukon supaya dapat menjadikan dirinya ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya menyatakan apa saja yang diluar dirinya (terutama akon-akon dunia yang dikira miliknya itu), bisa benar-benar nafi. Benar-benar tidak ada. Sehingga pada saat merasakan mati yang pasti ditemui tidak akan menjadi hijab yang menutupi penglihatan mata hati kepada Diri-Nya Ilahi sebagai Satu-Satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Sedang apabila telah benar-benar mati, oleh karena tinggal rasa yang kembali pulang ke akherat menemui Tuhan, maka rasa inipun akan masih merasakan adanya rasa lapar, rasa haus, rasa sedih, rasa dingin, rasa takut dan sebagainya. Meskipun orang tersebut benar-benar selamat matinya. Maka shadaqah jariyahnyalah yang akan mengalir kepadanya. Yaitu sekiranya rasa merasakan lapar, maka shadaqah jariyahnya inilah yang akan menjadikan makanan yang nikmat dan mengenyangkan. Apabila merasakan takut, shadaqah jariyahnyalah yang akan menjadi teman yang menjadikan rasa aman. Apabila merasakan haus, maka shadaqah jariyahnyalah yang akan menjadi air minum yang menyejukkan serta menghilangkan dahaganya dan hausnya. Begitu seterusnya hingga di alam akheratnya akan terus menerus tenteram dan bahagia hidup di sisi Tuhannya. Dengan demikian maka shadaqah jariyahnya ini juga akan terus mengalir ke alam akheratnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 43 – 44).
Shalat : (lih. juga Rukun Islam – Mendirikan Shalat) Shalat Sebagai Tiang Agama (Edt): Tiang ini yakni shalat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
“Shalat itu adalah tiang agama, maka siapa yang meninggalkannya sesungguhnya ia telah merobohkan agama” al hadist. Tetapi bukan tiang yang mati. Tiang ini hidup bergelora. Ujungnya, yang di atas, tembus langsung menyentuh ‘ARSY Tempat-Nya bersinggasana. Sedang bagian bawahnya, menembus dada menggetarkan “butiran iman itu senantiasa mencahayakan hati nurani dalam nikmat mengingat-ingat-Nya”. Sehingga gerakan ini tidak terbatas ketika sedang bergeraknya jasad melaksanakan shalat. Akan tetapi “daa’imuum”. “Alladziinahua ‘an shalaatihin daa’imuun”. Langgeng ingatnya hati kepada-Nya. Menghidupkan firman Allah : “Dan tegakkanlah shalat untuk ingat kepada-Ku” (Thoha : 14).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
216
D
³
º
Ingat kepada-Ku. Aku yang Nama-Ku Allah itu. Aku yang seperti itu Al Ghaib Keberadaan-Ku. Tetapi yakin dan nyata Ada-Ku dan Ujud-Ku. Karena itu selama tidak mau bertanya kepada yang ahli tentang Keberadaan-Ku Dzat Yang Al Ghaib itu, selama itu pula kamu hanya dugaduga saja. Lalu mengapa kamu lalu merasa puas dan merasa telah cukup pengakuan tentang iman itu? Apakah tidak merasa takut dengan acaman-Ku?. Lalu bagaimana shalat itu akan bisa “tanha ‘anil fahsyaa’I wal munkar” kalau tiang itu mati, rapuh kemudian lumpuh sama sekali tidak berfungsi. Yang terjadi memang benar-benar ancaman-Nya. Allah telah benar-benar berfirman tentang ini : “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)-lah orang-orang yang ketika mereka-mereka mengerjakan shalat itu lalai (hatinya tidak mengingat-ingat Aku), yaitulah (yang mereka dengan shalatnya itu) hanya untuk berbuat pamer (riya) serta menolak terhadap yang bermanfaat baginya”. (QS. Al Maa’un ayat 4 – 7). Firman Allah ini telah dipermainkan oleh mereka dengan cara menggeserkan maknanya terhadap kalimat yang menyatakan : ‘an shalaatihim saahun’. Diberi makna dengan orangorang yang lalai dari shalatnya. Sedang yang diancam adalah jelas-jelas “lil mushallin”. Lalu alamatnya ditujukan kepada mereka yang tidak mengerjakan shalat. Padahal ancaman ini ditujukan kepada mereka yang shalat tetapi tidak shalat. Sebab hatinya mati. Hatinya buta karena memang tidak mengetahui dan menyaksikan-Nya. Karena itu juga tidak seolah-olah melihat-Nya. Sedang yang semestinya dijeguri dalam shalat ini adalah “tarku ashshalaati wajibun kafi’lihi”. Bahwa shalat itu wajib dikerjakan (bagi shlat-shalat wajib lima waktu), tetapi meninggalkannya juga wajib. Maksudnya kalau sudah berada dalam shalat, hatimu roh dan rasa jangan mengingat-ingat dan merasakannya. Meski yang ini memang perlu ada ilmunya di samping harus ada latihan yang sungguh-sungguh. Sebab yang membuat bisa adalah Dia Sendiri. Tetapi harus yakin apabila di-ngelmoni secara benar. Sebab yang diingat-ingat , diinjen-injen, dan dirasakan dalam hati roh dan rasa adalah Dia Dzat Yang Wajib Ujud-Nya dan Yang Al Ghaib itu selama dalam shalat. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 93 – 94).
Shalaatil Wusthaa :
Shalaatil Wusthaa sebagaimana disebut dalam firman-Nya : “Peliharalah segala shalat(mu) dan (peliharalaha) shalat Wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al Baqarah : 238). •
Shalat wustha adalah shalat yang dicontohkan oleh Wasithah. Ialah Guru yang hak dan sah itu supaya dapat mengerjakan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Rasulullah, sebagaimana sabdanya : “Shallu kama roatumuuni ushalli”. “Sholatlah kamu sebagaimana shalatku”. Dengan sendirinya shalatnya Nabi Muhammad adalah shalat yang tegak, lurus menghadap Wajah-Nya. Lillah dengan khusyuknya. Shalat yang rasa hati nuraninya dengan nikmat masuk ke dalam Al Ghaib-Nya, sehingga bercahayalah hatinya dengan cahaya Tuhan-nya. Maka terangkatlah dia sebagai hamba kekasih-Nya. Shalat sebagai tiangnya agama adalah ukuran segala-galanya. Baik yang berkaitan dengan keberhasilan yang diperjuangkan hamba-Nya maupun kehinaan dari hasil usahanya. Keberhasilan menyiapkan tata kehidupan dunia yang diridhai-Nya ataukah kehinaan bagaikan “buih” seperti yang pernah disabdakan Nabi dalam meramalkan keadaan umat sesudahnya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
217
D
³
º
Meski semua itu terjadi semata adalah karena kehendak-Nya, namun tampak ada tandatanda zaman dengan berbagai perubahan yang sedang dan akan berjalan bisa kita manfaatkan untuk lebih meningkatkan daya kemampuan bertafakur. Meningkatkan data kemampuan sadarnya mawas diri. Tanda-tanda dan isarah yang menunjukkan makin menguatnya cita-cita kwalitas manusia. Arah keterbukaan yang tidak salahgunakan untuk tuntutan dan keinginan hawa nafsu akan tetapi arah keterbukaan yang makin mempertajam upaya mengoreksi masing-masing diri dengan tulus sebagai hamba yang mestinya harus secara pasti, tepat dan yakin dalam mengenali hakekat jati dirinya supaya selalu berada di dalam Cahaya-Nya Sang Maha Jati Diri. Dengan begitu maka tahu dan mengertilah ia bahwa usaha dan kerja kerasnya membangun kehidupan dunia ini sematamata adalah merupakan “proses” untuk makin memperlancar jalan dan cita-cita hati nurani, roh dan rasanya dalam mendekat kepada-Nya sehingga sampai ma’rifat. Kemauan berjihadunnafsi dengan beningnya tafakur agar bebas dari perbuatan siriling nafsu sebab yang ini adalah sumbernya dosa syirik, dosa yang tiada ampunannya dihadapan Allah, untuk kemudian dengan petunjuk ilmu yang mengarahkan setiap diri menjadi orang yang semata-mata “katut siriling Qudratullah” adalah tujuan setiap hamba yang dikehendaki oleh Allah untuk berjalan menuju kepada-Nya sehingga bertemu. Hal yang demikian adalah menurut garis firman-Nya : “Maka barang siapa yang mengharap akan bertemu dengan Tuhannya, hendaklah ia beramal shaleh dan janganlah disyirikkannya pengabdiannya kepada Tuhannya itu dengan sesuatu apapun”. (QS. 18 : 110). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat Mentauhidkanya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-cita Kebangkitan Yang Islami, di Tanjung, 12 Januari 1990, hal. 86 – 87). •
Shalat Wustha tidak lain adalah shalatnya Wasithah. Sebab “La biwushuli ilaihi illa biwaasithahtin”, firman Allah yang hanya khusus diberlakukan pada saat Al-Hadi kepercayaan Ilaahi menunjuki seseorang yang dikehendaki oleh-Nya mengetahui dan mengenal Jati Diri-Nya Yang Al Ghaib itu. Menuju kepada-Nya dengan jalan memproses diri atas petunjuk Al Hadi itu supaya mendekat hingga sampai ma’rifat kepada-Nya. Karena itu pasti diperintah oleh Allah untuk dipelihara. Sebab dengan ilmu yang mengenali AL Ghaib-Nya, diharap shalatnya akan berdiri dengan khusyu’. Benar sesuai dengan petunjuk Wasithah. Yakni melaksanakan “tarku ashshalaati wajibun kafi’lihi”. Bahwa meninggalkan shalat itu wajib(nya) sebagaimana mengerjakannya. Yakni, ketika telah berdiri shlat sejak dari niat, takbiratul-ihram, lengkap dengan lafal-lafal yang diucapkan, rukunnya, sujudnya, hingga sampai kepada salam, harus dilatihkan kepada diri supaya si rasa meninggalkannya. Tidak merasakan gerak dan ucapan dalam shalatnya. Tetapi yang dirasakan adalah “butiran iman” dalam hati, roh dan rasanya. Butiran iman yang tidak lain adalah Keberadaan Ada dan Ujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib itu. Yaitulah rasa yang merasakan betapa nikmatnya Keberadaan Wajh-Nya yang membutir di dalam hati, roh dan rasanya. Butiran iman yang seandainya bisa dan dapat digambarkan, besarnya “sak mrica jinumput tetapi apabila digelar, ngemplok jagad”. Jagad rasa dan seluruh isinya ini berada di dalam-Nya. Di dalam butiran iman yang seandainya bisa dan dapat digambarkan besarnya sak mrica jinumput. Itulah sebabnya bahwa sesungguhnya “man kaana fii ‘alamil kabiri kamitsli maa kaana fii ‘alami asshaghiri”. Bahwa apapun yang ada dan yang menjadi isi jagad raya ini, apabila Tuhan menghendaki membuka, semua itu ada di dalam jagad kecil. Yaitulah dada hamba-Nya. Itu semua tidak akan terjadi dengan tiba-tiba. Ada proses dimana Tuhan Sendiri melibatkan Diri, sebagaimana halnya Nabi Muhammad yang “asraa”. Dijalankan. Dijalankan oleh Dia Yang Keberadaan Al Ghaib-Nya selalu dihayati dan dirasakan di
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
218
D
³
º
dalam dada Nabi, yang menggelora merasakan nikmatnya dan lezatnya mengingat-ingat, menghayati dan memandangi dengan mata hati atas Dia Yang Al Ghaibi dan Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini. Beliau terima atas seizin Allah ketika beliau bertahannut di Gua Hira’, datanglah malaikat Jibril supaya “membaca (Keberadaan Tihannya), Dzat Yang Al Ghaib itu, yang beliau jawab sampai tiga kali : “ma ana biqari”. Aku tidak bisa membaca. Kemudian setelah Malaikat Jibril supaya dapat membaca tentang Ada dan Ujud-Nya, beliaupun lancar dan cemerlang memahami isi kandungan wahyu pertama. Bahwa apa yang dibaca dalam dadanya, adalah Keberadaan Dia Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Dialah Dzat Yang Al Ghaibi dan Allah Nama-Nya. Maka dalam batin , keberadaan Dia Yang AL Ghaib ini yang selalu disebut, sebab Dia-lah Sang Pencipta segala. Pencipta manusia dari segumpal darah, yang gelegak panasnya bila mendidih membuat manusia ini dilupakan pada-Nya karena membakar watak akunya dan watak nafsunya. Alhamdulillah Tuhan ini sangat pemurah dengan belas Kasih-Nya mengajari manusia terhadap apa saja yang tidak diketahuinya. Karena memang manusia ini tidak tahu apaapa. Maka Malaikat Jibril yang diperintah sebagai utusan Allah supaya mengajari Calon Nabi pilihan-Nya dan sekaligus utusan-Nya buat manusia, mengajari tentang Keberadaan Dia Yang Al Ghaib supaya diketahui dengan memancarnya cahaya mata hati bahwa Dzat, Sifat dan Af’al-Nya Tuhan yang Allah Nama-Nya, semua menyatu di dalam Al Ghaib-Nya. Hingga dada hamba yang Nabi dan Rasul pilihan-Nya Sendiri ini selalu berada pada mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya. Maka benar-benar ummi. Sebab apapun yang dilakukan olehnya sebagai panutan ummat ini, semata-mata karena “katut siliring qudratullah”. Persis seperti gambaran daun asam yang berada di tengah gelombang samudera. Bergeraknya karena “katut” gerakan gelombang. Bukanlah daya dan kuatnya. Inilah “rahasia Tauhid” yang sangat agung bagi hamba yang dikehendaki oleh-Nya. Perlu diketahui bahwa Malaikat Jibril yang diperintahkan menemui Nabi Muhammad SAW berlaku sebagai Wasithahnya Muhammad yang dipilih-Nya sebagai Nabi dan Utusan-Nya. Maka Muhammad yang hamba yang kemudian menjadi Nabi dan UtusanNya saja perlu adanya Wasithah, mengapa justru hamba biasa yang sama sekali sudah tidak akan ada lagi Nabi, watak akunya yang lebih diutamakan. Dan nafsu yang kemudian digurui sebagai acuan kehidupan terhadap berbagai selera dan pamrihnya. Lalu membentuk warna dunia tidak dengan warna siliring Qudrat-Nya tetapi dengan warna masing-masing yang mencuat dari watak akunya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 77).
Shalat Da’im : Bahwa jalan untuk sampai kepada-Nya itu ingatnya hati kepada-Nya (Dhikr), bilangannya sebanyak ke luar masuknya nafas. Hal ini perlu diingat, bahwa mengisinya dhikr (ingatnya hati kepada-Nya = Isi-Nya Hu) itu pada masuknya nafas. Tidak keluarnya. Inipun ketika nafas tersebut dapat terkontrol. Seperti ketika tidak sedang omong-omong, tidak sedang membaca Al Qur’an atau hal-hal lain yang nafas dapat diamati setiap masuk dan keluarnya. Sebab ketika tidak terkontrol keluar masuknya nafas ini, yang penting adalah bagaimana agar selalu ingat pada Isi-Nya Hu itu terus menerus. Sebab langgengnya dhikr seperti itu, namanya “Shalat Da’im”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 206 – 207).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
219
D
³
º
Shalat Khusyu’ dan Ikhlas Shalat yang khusyu’ dan ikhlas yaitu dengan menghadirkan rasa hati yang dapat merasakan nikmatnya dan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Diri Illahi Yang Al Ghaib (Isi-Nya Huw). Dan apabila tidak begitu, maka shalatnya justru dikatakan sahun. Dan apabila sia-sia (sahun) malah diancam dengan celaka, neraka (fawailun). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 75).
“Qiyamul-laili” : “Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari”. (QS.Al Insaan : 26). “Qiyamul-laili”, yakni tegak berdiri di malam yang panjang untuk merasakan betapa nikmatnya mewajahkan Wajah-Nya adalah merupakan salah satu bukti hamba yang dimerdekakan Tuhan dari belenggu wataknya nafsu yang sukanya bermalasan. Tetapi hamba yang didekatkan oleh-Nya kepada-Nya, dia akan menjadi hamba yang dengan hidayah-Nya dapat menunggangi nafsunya (nafsul muthmainnah) yang hati, roh dan rasanya selalu dalam keadaan dijaga oleh-Nya dalam merasakan nikmat mengingat-ingat-Nya dan menghayati Keberadaan Dia Dzat Yang Wajib Wujud-Nya dan Yang Al Ghaib ini. Inilah wajah hati hamba dalam mewarnai pelaku fastabiqul-khairaat. Menafikan watak aku (yang kecenderungan kuatnya mengaku perbuatan baiknya itu) ke dalam Dia Yang Maha Aku. Kemudian dengan begitu maka, hati roh dan rasa yang nyelup kepada-Nya, benar-benar diketahui dari penghayatan hatinya itu bahwa Dia Sendirilah yang bertindak sebagai Pelaku. Sehingga semua usaha kerasnya akan senantiasa berada di dalam “siliring Qudrat-Nya”. Utuh tawakkalnya karena mapan merasakan-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 97).
Shalawat Nariyah : Shalawat Nariyah sebagai hasil inkisafnya Syeh Maulana Maghrib (Guru Wasithah pada urutan silsilah ke sepuluh dari Nabi Muhammad SAW), di samping untuk menambah lakon guna pemrosesan diri mendekat kepada-Nya (ini maksud dan tujuan semua perintah Guru Wasithah), juga ada manfaat yang dipetik darinya. Yakni guna mengatasi segala kesulitan masalahmasalah dunia untuk kepentingan niatnya dalam melaksanakan petunjuk dan perintahnya Guru. Adapun lafal Shalawat Nariyah itu adalah sebagai berikut : “Allahumma sholli sholatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidina Muhammadin tanhallu bihil ‘uqadu watanfariju bihil qurabu watuqdha bihil hawaaiju wa tunaalu bihi ar raghaaibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghamaamu biwajhiil kariim wa ‘ala alihi washhbihi fi kulli lamhatin wanfasin bi’adadi kulli ma’lumi laka”. Artinya : “ Wahai Tuhan kami mohon kepada-Mu semoga Engkau selalu melimpahkan rahmatMu dan salam-Mu yang sempurna kepada Nabi Muhammad SAW dengan puji shalawat kepada beliau dilepaskan segala raribet dan lepas dari segala bencana dan terkabul segala kebutuhan, memperoleh nikmatnya mati yang selamat bertemu dengan-Mu (Husnul Khatimah), tersiram dengan sejuk dan demi semua kemendungannya hati (gundah gulananya hati yang gelap dan mendung) disebabkan kemulyaannya Nabi Muhammad SAW serta para keluarga dan para sahabatnya di dalam setiap kerdipannya mata dan setiap keluar masuknya nafas dengan bilangan segala hal (yang hanya Engkau Dzat Yang Maha Mengetahui)”.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
220
D
³
º
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Lampiran. Tentang Lakon dan Pitukon. (Tertibnya Ubudiyah Sehari-hari Sebagai Realisasi Jihadunnafsi). Mendekat Kepada-Nya hingga Sampai dengan Selamat dan bahagia Bertemu Dengan-Nya, Tanjung Anom,hal. 24 – 25 ).
Shiraathallladhiina an’amta ‘alaihim. : (lih. Faatehah) Shirathal Mustaqiem : (lih juga Faatehah; Nubuwwah; Sunnah) Jalan lurus menuju kepada-Nya, sehingga selamat dan bahagia bertemu dengan-Nya. Sebagaimana ayat Allah QS. Al hijr 99 : “Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiayakal yaqien” = Dan sembahlah Rabb-mu sehingga Rabb-mu hadir kepadamu dengan yakin. Karena ilmu yang membuka mata hati ini tidak buta kepada-Nya. Yaitulah mereka yang oleh Allah SWT ditarik menjadi hamba yang “man atallaaha biqalbin saliim”. Dijadikan orang yang telah sampai kepada-Nya dengan hati yang selamat pada hari semua manusia dibangkitkan lalu tidak hina dina (QS. As Syuara 87-89). Juga sebagai hamba yang ditarik oleh-Nya menjadi hamba yang “wujuuhun yauma idzin naadhirah – ilaa Rabbika naadzirah” = wajahnya berseri-seri di hari itu – kepada Tuhan-nya melihat”. (QS. Al Qiyamah 22-23) Itulah nikmat Allah yang dikehendaki mempunyai kedekatan dengan martabatnya para nabi, para rasul, para waliyullah, para syuhada dan shalihin. Ini pula doa yang selalu diajukan hamba dalam shalatnya : “shirathalladziina an’amta ‘alaihim”. Juga mereka yang putih berseri wajah batinnya maka selalu berada di dalam rahmat-Nya Allah dan kekal di dalamnya. (QS. Ali Imran 107). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid I, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 21).
Membengkoknya Rasa Jiwa Terhadap Jalan Lurus Memnuju Kepada-Nya Terjadi Sedikit Demi Sedikit Dan Setelah Bertumpuk, Tidak Lagi Disadari.
Sebagaimana telah kita ketahui, khususnya bagi jamaah warga yang telah memperoleh ilmu tentang Al ghaib-Nya dengan seizin Allah lewat Gurunya yang hak dan sah, bahwa menempuh jalan lurus (Shirathal – mustaqiem) menuju kepada-Nya hingga akan sampai dengan selamat berjumpa dengan-Nya adalah dengan jalan melaksanakan petunjuk dan perintahnya. Memenuhi perintah Allah (QS. Lukman 15) : “dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku”. Tetapi perlu diketahui bahwa pada jalan itu ada penyimpangan yang membengkokkan tujuan apabila jihadunnafsinya setengah-setengan saja. Yaitu tetap saja berkibar watak akunya mengaliri naluri manusianya yang tertipu oleh nafsunya”. Sebagaimana Firman Allah memperingatkan (QS. Al An’am 153) : “dan bahwa inilah (satu-satunya) jalan-Ku yang lurus, maka ikutlah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan (yang lain), karena jalan-jalan yang lain itu akan memisahkan kamu dari jalanNya (yang lurus itu). Yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS. Al An’aam 153). Pembengkokan dari jalan lurus ini terjadi karena watak akunya tetap masih menyimpan pamrih. Bisa macam-macam. Macam yang menjadikannya syirik (menyekutukan-Nya). Apa itu pamrih gengsi kehormatannya. Pamrih kehebatan. Pamrih agar terkenal, berpengaruh dan berwibawa. Pamrih harta. Kemudian watak akunya lalu berusaha macam-macam pula karena merasa tidak puas dari apa yang datang kepadanya yang disampaikan oleh petunjuk dan perintah Gurunya. Maka berusahalah dengan berbagai upaya ke dukun-dukun. Mencari-cari jimat dan cekelan yang akan membantu usahanya itu. Mencari macam-macam tenaga dalam. Padahal Dia Dzat Yang Al Ghaib yang diterima dengan ilmu secara hak dan sah itu, adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Hebat segala-galanya. “Yadullahi fauqa aidiihim” (QS.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
221
D
³
º
Fath 10). Bahwa sekuasa-kuasa apa saja termasuk manusia sejagad raya ini, masih Kuasa Dia. Masih lebih Hebat Dia. Mengapa berani-beraninya membandingi-Nya? Padahal Gurunya yang hak dan sah itu juga menyiapi hal-hal yang mereka perlukan supaya terhindar dari perbuatan syirik. Sebab apa saja keinginan watak akunya itu untuk memperoleh sesuatu pamrih apa saja, apabila tidak seijin Gurunya, itu semua ke luar dari jalur nur Malaki dan tidak bersentuhan dengan Nur Iilahi. Akan tetapi nur jiniah. Sedang jin ini adalah dari golongan iblis yang menentang Allah ketika diperintah Allah sujud kepada wakil-Nya di bumi, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. (QS. Al Kahfi 50). Karena itu Allah dengan keras memperingatkan : “Mereka itula orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaanya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. Perumpaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (pada kebenaran)”. “Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)”. 9QS. Al Baqarah 16 – 18). Kemudian pada QS. Al Baqarah 42 : “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathal dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui”. Apabila boleh digambarkan sebagai misal untuk mempermudah penangkapan, jalan lurusNya dan penyimpangan dari jalan lurus itu adalah sebagai berikut :
1
2 3 4 5 6
Keterangan : 1. Tempat kembali : tempat titik buka bertemu dengan Al Ghaib-Nya (Nur Muhammad) = tempat bahagianya wajah yang berseri dan bahagia bertemu dengan Tuhannya. 2. Jalan Lurus-Nya (Shirathal Mustaqiem) 3. Jalan penyimpangan yang pisah dari jalan-Nya 4. Nafsu manusia 5. Cahaya Nur Malakiyah 6. Guru yang hak dan sah (Al Hadi) yang pada hakekatnya adalah Nur Muhammad-Nya jua
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 106 – 108).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
222
D
³
º
“Siapa yang Ikut Allah, Itu Sasar dan Siapa yang ikut Guru (yang hak dan sah), itu cupet.” Allah adalah sebuah Nama dari Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Dan Dzat Yang Wajib WujudNya itu adalah Al Ghaib (Yang Empu-Nya Nama Allah itu = Musamma-Nya). Dengan begitu maka Allah ini, karena nama, jadi ya tidak bisa apa-apa. Yang bisa Mencipta segala ini, Yang Raja di hari Pembalasan, Yang Pembuat manfaat dan mudharat, Yang sebenarnya dekat sekali dengan hamba-Nya, adalah Al Ghaib-Nya itu. Dan ini bagi yang dikehendaki oleh-Nya, memperolehnya atas ijin dari guru yang hak dan sah sebagai al hadi sebagai kepercayaan-Nya sebab Dia tidak ngejawantah di muka bumi. Dan ikut guru yang hak dan sah inilah yang cupet. Maksudnya harus dengan selalu prihatin mewaspadai julignya, liciknya, rekayasanya dan segala licinnya si nafsu yang diperanginya itu. Karena itu hakekat sahabatnya Nabi bukanlah hanya yang hidup sezaman dengan beliau, tetapi juga hingga sekarang yang dikehendaki percaya dan mengikut jejak al hadi yang mewarisi keberadaannya. Yakni ahlul kurub. Mereka yang ahli prihatin seperti itu. Namun inilah yang merdeka sejati dan sempurna dalam mengaktualisasikan fitrah jati dirinya mengarah kepadaNya dengan kiprah jasad yang dikendarainya mengelola dan menggarap dunia benar-benar terkendali dalam Siliring Qudarat-Nya karena selalu dibarengi hati, roh dan rasa yang mengingat-ingat-Nya, menghayati-Nya dan merasakan keberadaan-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 127).
Sibghatallah : •
Masuk kedalam celupanNya Allah dengan rasa jiwa yang tenteram denganNya, sekaligus memenuhi kehendak Allah sebagaimana yang difirmankan dalam QS. Ar Ruum : 30 dan 31.
•
Dimasukkan hamba rasa jiwanya nyelup kepada-Nya. Masuk ke dalam shibghatallah. Memenuhi “Wadzkru Rabbaka fii nafsika”. Rasa hatinya lelu selalu nyelup ke dalam Ada dan Wujud Al Haq-Nya. Maka Dia Yang Maha Kasih Sayang ini dengan sendirinya juga akan selalu ingat pada hamba yang mengingat-ingat-Nya. Fazkuruuni adzkurkum. Itulah rasa yang tidak nyelup pada thagut. Rasa jiwa yang tidak nyelup pada watak akunya nafsu dan watak selera sahwatnya serta watak tipuan kenikmatan dunia. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Jilid I, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 22).
Silsilah : (lih. juga Wasithah – Silsilah Wasithah) Mata rantai gilir gumantinya Wasithah yang tidak pernah terputus dari Wasithah yang sekarang hingga Sayidina Ali bin Abu Thalib ra dari Nabi Muhammad Saw.
Sirr atau Rasa : (lih. Manusia – Sirr atau Rasa) Siriling qudratullah : (lih. katut siriling qudratullah) Suci Kang Kahesti, Luhur Kang Ginayuh, Rumpil Margane, Akeh Pengorbanane, Gede Cobane, Abot Sanggane, adoh, Jero, Lembut, Tebane; Nanging Sampurna Wusanane : Sungguh bahwa suci kang kahesati Luhur Kang Ginayuh, Rumpil Margane, Akeh Pengorbanane, Gede Cobane, Abot Sanggane, adoh, Jero, Lembut, Tebane; Nanging Sampurna Wusanane, adalah ungkapan seorang Waliyullah (Kekasih Allah), Bapak Kyai Imam
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
223
D
³
º
Mursyid Muttaqin, yang telah dibuka oleh-Nya semua hijab-hijab, mengembara dalam tawajjuhnya di alam kesucian dan kemuliaan-Nya Rubbubiyyah, mi’raj kehadirat Suci-Nya Ilahi, sampai kepada Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya dan dekat sekali dalam rasa hati.
Suci Kang Kahesti, Luhur Kang Ginayuh. Suci kang kahesti, bila digambarkan adalah bagai sebuah titik sasaran yang di arah oleh sebuah anak panah hingga benar-benar menancap ke titik sasaran itu. Berarti harus benarbenar “menteteng” seperti halnya sikap seekor kucing ketika hendak menangkap tikus. Lengah sedikit, hilanglah tikus yang ditangkap itu. Artinya harus benar-benar ada kesungguhan niat dan tekad yang membaja. Pantang mundur dan pantang menyerah meskipun harus menghadapi betapa besarnya cobaan dan rintangan yang menghadang. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Asy Syam : 8-10). “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci (merasa suci kemudian semuci). Dia-lah Dzat yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS. An Najm : 32). Namun juga perlu diketahui bahwa orang-orang yang bersekongkol jahat terhadap Nabi dan Utusan-Nya, ketika memperingatkan atas perbuatannya yang keji dan melampui batas, jawab kaumnya adalah :”Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya itu) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri”. (QS. Al A’raf : 82). Adalah gerakan fitnah yang biasa dilontarkan oleh mereka yang memusuhi para kekasih Ilahi. Hingga bagi yang tidak mengetahui sejatinya dan tidak dikehendaki dibuka tutupnya hati, yakni hijab yang mendiding pandangan ma’nawinya, pasti menjadikannya bimbang dan ragu terhadap Al Haq-Nya Illahi yang diamanatkan kepadanya. Suci kang kahesti sebagaimana pesan Qaidah nomer satu : capailah rasa jiwa hurriyah tammah (jiwa yang merdeka sejati), memuat makna untuk dapat mencapai martabat hakekatul insan. Martabat bertemunya “inti manusia” dengan “hakekat Tuhan”, akan menjadikan hamba yang demikian dipandaikan selalu mengadili dirinya sendiri bagaimana agar supaya tingkah laku dan gerak gerik lahir dan batinnya sama sekali tidak akan mudah ditipu dan diperintah oleh nafsunya sendiri. Dengan demikian maka segala tingkah laku dan perbuatannya merdeka dalam mengaktualisasikan fitrah jati dirinya. Murni “Katut Siriling Qudratullah”. Hal demikian akan terproses pada setiap diri hamba yang berniat kuat untuk mencapai “luhuring gegayuhan” (luhur kang ginayuh) sebagaimana pesan Qaidah nomor sembilan : Dengan sabar dan tawakkal kita harus mencapai tingkat dan martabat rasa. Supaya rasa yang menjadi dasar manusia ini tidak habis diperalat dan dijajah oleh kebutuhan dan kepentingan hidup dan kehidupannya hawa nafsu, sahwat (segala macam dan jenis keinginan, selera), cipta angan-angan. Merasakan apa saja yang dipikir, digagas, dilihat dan didengar. Merasakan apa saja yang bersentuhan dengan panca inderanya, lahirnya dan batinnya. Supaya rasa sebagai dasar manusia ini, dengan sabar dan tawakkal, dapat kembali murni pada tugas aslinya, merasakan betapa indahnya memandang Diri-Nya Ilahi, Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya yang dengan jelas dan nyata sangat dekat sekali dalam rasa hati itu. Dengan begitu maka, pengabdian dan pengorbanan yang diberikan tentu akan dapat ikhlas yang seikhlasnya untuk Allah dan karena Allah hingga sama sekali tidak merasa bahwa dirinya berkorban dan berbakti. Sebab rasanya memang telah diboyong (hijrah) kepada Allah dan Rasul-Nya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
224
D
³
º
Sikap aktif ‘Ubudiyah (menjadi hamba yang sejati murni) yang berinti pada Rubbubiyah adalah untuk memenuhi amanat Allah membuktikan kebenaran kalimah nafi dan kalimah itsbat. Sikap aktif ubudiyahnya hamba sebagaimana di atas menempatkan pengabdiannya, pengorbanannya, ibadahnya, kerja kerasnya dalam mengelola garapan dunia yang diniatkan demi Subhaanaka, semata-mata untuk memproses dirinya guna membuktikan kalimah nafi. Semua saja termasuk wujud dirinya, benar-benar nafi. Benar-benar tidak wujud dan tidak ada. Bersih dan kosong sama sekali hingga semua hijab sirna. Dengan begitu maka yang nampak ada pada pandangan mata hatinya adalah yang selalu diistbatkan. Yang selalu ditetapkan dalam rasa hati (kandungan kalimah Ilallah). Yakni Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Proses ini berjalan dengan sabar dan tawakkal hingga karena itu lalu ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya. Maka jaminan keikhlasan dan sepi ing pamrih, baik pamrih bangsa dunia maupun pamrih bangsa akherat, akan selalu menyertainya. Kemudian pada Qaidah nomer 5 akan dapat terjamin sepenuhnya. “Kerjakanlah hal itu (pengabdian kepada Allah dengan pengabdian yang sejati murni), kebahagiaan dunia dan akherat terjamin sepenuhnya”. (Suci Kang kahesti, Luhur Kang Ginayuh, Rumpil Margane, Akewh Pangorbanne, Gede Cobane, Abot Sanggane, Adoh , Jero, Lembut, Tebane; Nanging Sampurna Wusane; hal. 2 3).
Rumpil Margane, Akeh Pengorbanane, Gede Cobane, Abot Sanggane, adoh, Jero, Lembut, Tebane; Nanging Sampurna Wusanane : Cita-cita luhur dan suci sebagaimana tulisan pada sebelumnya (suci kang kahesati, luhur kang ginayuh), tanpa dengan pertolongan Illahi, tanpa ditarik fadhal dan rahmat-Nya, kiranya akan mustahil terpenuhi. Sebab memang rumpil margane, akeh pengorbanane, gede cobane, abot sanggane. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa :” Maakaana fi ‘alamil kabri kamitsli maa kaana fii ‘alami al-shaghiri”. Bahwa apa saja yang ada di alam besar (jagad raya) itu persis sebagaimana yang ada dalam alam kecil (jagad manusia yang ada di dalam dadanya). Magnit dan daya tariknya jagadnya nafsu yang bentuknya adalah wujud jiwa raga manusia, yang dalam QS. Insan ayat 2 dicipta dari mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, ternyata sungguh sangat berat ujian itu. Ujian tersebut adalah sebagaimana kandungan firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 14 bahwa dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaannya kepada apa-apa yang diingini. Kemudian kecintaannya kepada apa-apa yang diingini itulah yang dituhankan. Yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan (sebagai lambang status sosial), binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, sedang akhir hayat yang maknanya bahwa di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik, sama sekali tidak mau peduli. Karena itu maka Allah sendiri memberi pernyataan bahwa sesungguhnya kebanyakan manusia itu benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya (QS. Al Ruum 8). Banyaknya pengorbanan dan juga beratnya sanggan adalah sebagai yang dinyatakan firman Allah dalam QS. At Taubah ayat 24 : Katakanlah :”Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang khawatiri kerugiaannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggullah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
225
D
³
º
Karena itu supaya menyadari betapa adoh (jauh), lembut dan jero (dalam) tebane. Teba adalah pijakan yang hendak dijadikan tempat berdiri dengan tegak. Maka harus mempunyai pandangan yang jauh. Untuk itu perlu tafakur. Perlu makarti dan nggraito diri. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW bahwa tafakur sesaat itu lebih baik meski dibandingkan dengan ibadah seribu tahun. Maksudnya adalah ibadah yang tidak mendalami muatan yang ma’nawi, yang hakiki. Ibadah yang hanya rutinitas dan apalagi ikut-ikutan belaka. Tanpa dengan tafakur. Kosong dari mendzikiri Diri-Nya Illahi yang amat sangat dekat sekali dalam rasa hati. Karena itu jero (dalam). Adalah gambaran betapa dalamnya tempat tersimpannya mutiara murni, yang tersimpan di dalam samudera luas yang amat dalam. Di mana letak persisnya juga harus bertanya kepada ahlinya. Di samping itu harus mempunyai ketahanan menahan nafas (ngempet), yakni gambaran sabar dan tawakkal untuk punya keberanian dan kesungguhan berjihadunnafsi. Sebab tempat berpijak untuk dapat berdiri tegak in juga lembut. Adalah bagaimana ungkapan sebuah hadits qudsi riwayat Sunan Abu Dawud : “Tidak dapat memuat Dzat-Ku, bumi dan langit-Ku; yang dapat memuat Dzat-Ku ialah hati hamba-Ku yang mukmin yang lembut, lunak dan tenang”. Hati mukmin yang sebagaimana halnya di atas adalah hati nurani yang berjihadunnafsi, yang hidupnya senantiasa mendzikiri Diri-Nya Illahi Yang Al Ghaib dan dekat sekali (Dzat Yang Maha Lembut) yang selalu dicahayai oleh ilmu yang manfaat. Dan ilmu yang manfaat adalah “Huwa maa yu’arrifuka min ‘uyubi nafsika wa afaati ‘amalika”. Ilmu yang manfaat itu adalah ilmu yang menjadikan sipemiliknya senantiasa mengetahui terhadap aib dirinya. Terjadap aibnya mencintai dunia dan terhadap bencananya amal yang bagaikan api memakan kayu kering. Yakni ta’kabur, sum’ah, ria dan ujub. Itu semua adalah wataknya iblis yang oleh Allah difirmankan sebagai makhluk yang abaa wastakbara. Ana khairun minhu. Tidak peduli pada kebenarannya Al-Haq-Nya. Sombong. Memandang diri lebih baik, lebih mulia, lebih luhur dari lainnya. Syahdan meski juga terhadap keberadaan wakil-Nya Allah di bumi. Mengagumi diri atas jasa-jasanya dan perjuangannya (ujub) dan banyak lagi. Karena itu Imam Ja’far al Shadiq dalam kitabnya Misbah al-Syari’ah mengatakan : “Setiap kali seseorang memandang lebih terhadap ego, keakuan dan keagungan dirinya, maka sebatas itu pula dia akan jauh dari kesempurnaan kemanusiaan dan tertinggal dari maqam yang dekat dengan Rab-Nya. Sungguh, hijab karena mengagungkan diri adalah hijab yang paling tebal dan paling gelap. Bahkan menembus hijab ini adalah induk kunci pembuka pintu-pintu gaib dan nyata, serta sebagai pintu utama mi’raj menuju kesempurnaan ruhani. Setiap tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan melangkah dengan langkah egoistis, bersikap keakuan dan mengagungkan diri, ketika dia melewati tingkatan-tingkatn perjalanan lalu terjebak dalam hijab ego, cinta diri dan cinta dunia, maka riyadah yang dilakukannya batal dan palsu. Perjalanan yang dilakukannya bukan menuju kepada Allah, tetapi menuju dirinya. “Induknya segala berhala adalah berhala dirimu” (Jalalluddin Rumi). Maka cermatilah firman Allah SWT : “Barang siapa ke luar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah …..(QS. Al Nisa’ ayat 100). Hijrah dalam pengertian ma’nawi adalah hijrah (boyongnya hati nurani supaya berfungsi) dari rumah-diri dan penjara dunianya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah kiranya yang dikehendaki oleh ungkapan sesanti : sampurna wusanane. Yakni dengan ampunan Allah SWT serta ditarik oleh Belas Kasih-Nya ditempatkan pada kandungan firman-Nya bahwa sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa (muttaqin) berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai, ditempat yang benar hingga senantiasa merasakan bahagia yang tak terlukiskan di sisi Tuhan Yang adalah Maha Raja Yang Berkuasa. (QS. Al Qamar 54-55).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
226
D
³
º
(Suci Kang kahesti, Luhur Kang Ginayuh, Rumpil Margane, Akewh Pangorbanne, Gede Cobane, Abot Sanggane, Adoh , Jero, Lembut, Tebane; Nanging Sampurna Wusane; hal. 8 – 9).
Sucinya jiwa raga : (Lih. Tazkiyatunnafsi) Sujud : Manakala hidup seorang hamba dikehendaki berwatak bagai Malaikat yang didekatkan (watak Malaikat yang dibumikan Allah dalam dadanya), maka ia akan rela sujud (dalam arti memberlakukan diri berjihadunnafsi hingga kal-mayyiti baina yadi al-ghasili). Patuh dan tunduk kepada yang berhak mensucikan. Yaitu para Rasul-Nya dan penerusnya yang hak dan sah. Dan apa bila tidak dikehendaki demikian maka yang membumi dalam dadanya adalah wataknya ibllis yang abaa wastakbara (acuh, enggan dan sombong). Sebab memandang dirinya merasa lebih baik dari pada Rasul-Nya Allah yang ditugasi sebagai wakil Diri-Nya yang Al Ghaib itu. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.17).
Sum’ah : •
Yakni pamrih supaya orang lain mendengar jasa dan perjuangannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 16).
•
Watak bagaimana agar jasa-jasanya dapat didengar oleh banyak orang (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 4).
Sumpah Murid : (lih. Murid – Sumpah dan Janji Murid) Sunnah : •
Maknanya jalan, adalah jalan lurus-Nya, yaitu “shiraathal mustaqim”. Pada kitab Ma’na Sirr fi bayani Ma’rifat Billah, jalan yang ditempuh oleh semua Nabi-Nya Allah, para utusan-Nya dan juga para Wali (kekasih-Nya). Yakni jalan yang lahirnya adalah pelaksanaan tertibnya amal-amal syariat dibarengi dengan hakekat, yaitu batin (rasa hati) yang mapan dalam mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Illahi (Isi-Nya Huw). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 68).
•
Sunnah itu makna aslinya adalah sirath, thariq, sabil, yakni Shirathalmustaqim yang dhahiruhu syareat wa bathinuhu hakekat. Adalah perintahnya Guru Wasithah mengumpulkan syareat dan hakekat. Hal paling pokok dan paling mendasar yang diperintahkan Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai realitas kebenaran mengamalkan Ad-Dinullah sebagai ad-Dinul al-qayyim, ad-Dinu al-Haqq dan ad-Dinu al-Khalis. “Alaikum bisunnati wa sunnati al-khulafaurrasyidun al-mahdiyin”. Artinya : “Kamu semua wajib mengikuti sunnahku dan (juga wajib mengikuti) sunnahnya para penggantiku yang (dikehendaki dengan hidayatullah) mewakili tugas dan kewajibanku yang lurus (hingga selamat sampai bertemu Tuhan) dan yan memperloleh hidayah (dari Allah) dan dengan hidayah itu tidak akan pernah bakhil memberi petunjuk dengan methode tunjuk Ada
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
227
D
³
º
dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Maha Benar (= Wamaa huwa ‘ala Al-Ghaybi bidhanin, QS. Takwir ayat 24). “Adhdhuu ‘alaiha bin nawaajidi”. Gigitlah sunnahnya itu dengan gigimu karena saking sedikitnya yang berniat berjalan menuju Tuhannya dan saking banyaknya yang memusuhi, mendustakan, menentang dengan kesombongan dan merencanakan kejahatan untuk menyingkirkan dan menghabisi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Lampiran Tentang Sunnah, Pondok Sufi, Tanjung, 21 Februari 2007, hal.1).
Sunnah Rasul :
Jalan yang harus dilalui supaya dapat mencapai tujuan yang diharapkan, yakni bertemu dengan Allah. Sehingga akan dapat merasakan hidup bahagia selama-lamanya di akherat (fi maq’adi shidqin ‘inda malikin muqtadirin). Karena itu maka lalu menjadi hamba yang banyak sekali dzikirnya. Dengan demikian maka maksud kandungan firman Allah dalam QS. Al Ahzab ayat 21 benar-benar nyata di depan mata dan benar-benar dapat dihayati dalam rasa hati. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.13).
Sunanun : “Qad khalat min qablikum sunanun fasiiruu fil-ardhi fandzuru kaifa kaana ‘aaqibatul mukadzibiina”. (QS. Ali Imran 137). Yang artinya : “Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu sunanun (sunah-sunah Allah) karena itu berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul-Nya). Sunanun (sunah-sunah Allah) adalah hukuman Allah berupa azab, malapetaka serta berbagai bencana yang dahsyat dan mengerikan yang ditimpakan kepada mereka yang mendustakan rasul-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 21).
Sunnatul awwalin : •
Sunnah Allah yang telah berlaku kepada orang-orang terdahulu . Yaitu diturunkannya azab dan bebendu yang menghancurkan mereka yang mendustakan mengadanya nadzirun (yang sekiranya dipercaya dan ditaati akan menyelamatkan). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Seruan Akbar Imam Zaman Di Abad Harapan, Mengajak Bersama Dengan Tuhan Mewujudkan Cita-Cita Negara Yang Merdeka Sejati dan Sempurna, hal. 8, Pondok Sufi, Tanjung, 27 Mei 2002).
•
Ketentuan diturunkannya azab dan bebendu yang maha dahsyat akibat pendustaannya terhadap hak-hak Junjungan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat. Mendustakan bahwa Nabi SAW itu yang wafat hanya jasadnya saja, sedangkan tugas kerasulannya sama sekali tidak ikut putus hingga kini sampai dengan kiamat nanti. Yaitu dengan disiapkannya pengganti-pengganti oleh Allah sendiri yang kemudian satu persatu gilir gumanti diiturunkan dalam sebuah rantai silsilah yang sama sekali tidak pernah terputus.
Syahadat Tarekat : (lih. juga Murid –Sumpah dan Janji Murid) •
Yaitu syahadat dua yang menjadikan hati nurani, roh dan rasa selalu mau berjalan (makna tarekat) menuju kepada Tuhannya. Karena yakinnya atas kesaksiannya setelah menerima
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
228
D
³
º
ilmu yang menunjukan keberadaan Diri-Nya bahwa segala tingkah laku dan perbuatan lahir batin dirinya sebenarnya adalah “Tingkah Laku dan Perbuatan Diri-Nya Sang Maha Aku”. Karena itu hanya Diri-Nya-lah satu-satunya yang ditetapkan dalam rasa hati dan selalu dijaga agar hati nurani, roh dan rasanya selalu mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Aku ini yang rasanya memang sangat dekat sekali. Sebab apa saja yang selain Diri-Nya, termasuk wujud dirinya hamba manusia serta wujudnya jagad seisinya, nafi. Tidak ada. Karena itu meskipun dijalani, sama sekali diusahakan untuk tidak dikumantili oleh rasa hati. Apalagi sampai diingat-ingat dan dihayati sebagaimana layaknya mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzat Tuhan Yang Al Ghaib ini. Sebab hal demikian sama saja dengan berani bersikap ngembari Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.43). •
Adalah syahadat atau penyaksian bahwa sesungguhnya Yang Ada dan Yang Wujud hanyalah Diri-Nya Ilaahi (Isi-Nya Huw). Karena itu bagaimana agar segala tingkah laku dan perbuatan serta gerak dan gerik kita lahir dan batin, yang diingat-ingat hanyalah Diri-Nya Ilaahi (=Isi-Nya Huw). Dan penyaksian bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Rasullah adalah Nur Muhammad (Isi-Nya Huw = Wajhullah = Al Ghaybullah). Itulah sebabnya mengapa mengadanya RasulNya Allah itu juga abadi. Selalu mengada ditengah-tengah umatnya. Itulah sebabnya mengapa syahadat tarekat ini mengait dengan mengadanya rukun iman yang punjernya (memusat) pada Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi (=Isi-Nya Huw), dan dilengkapi dengan sumpah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Petunjuk Imam Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin Kepada Segenap Warga Syathariyah, Lampiran 1,Pondok Sufi, Tanjung, 18 Apriil 2005, hal. 3).
•
Yaitu syahadat (penyaksian) yang melapangkan jalan menuju kepada Allah sehingga sampai kepada-Nya. Adalah penyaksiannya mata hati bahwa Yang Ada dan Yang Wujud hanyalah Diri-Nya Dzat Yang Al ghayb (Isi-Nya Huw). Apapun selainnya tidak ada yang dituhankan, sehingga segala tingkah laku dan perbuatan serta gerak dan gerik lahirnya dan batinnya hanya menuhankan Isi-Nya Huw, dengan cara selalu diingat-ingat dan dihayati di dalam rasa hati. Dan penyaksiannya (dengan mata hati) bahwa yang menjadi utusan Allah itu sebenarnya adalah Nur Muhammad, Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah sendiri. Di dalam sumpah ini juga diyakini bahwa rukun iman (amantu billahi, wal malaaikatihi, wa kutubihi, wa rusulihi, wa al-yaumi al-khiri, wa bil al-qadri khairihi wa syarrihi minallahi Ta’ala). Sumbernya dari kepercayaan Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghayb Yang Mutlak wujudNya. Rukun iman ini menyatu dengan Diri-Nya Ilaahi (Isi-Nya Huw). Sebab semua dari Allah, bagi Allah, untuk Allah guna menuju kepada Allah. Sebagaimana diperingatkan oleh Firman Allah dalam QS. An Nisa’ ayat 136 : “Barangsiapa yang ingkar (tidak percaya bahwa di dalam menjalani hidup dan kehidupan ini tidak) dengan Allah, tidak dengan para Malaikat-Nya Allah, tidak dengan Kitab-Nya Allah, tidak dengan rasul-Nya Allah dan tidak dengan hari akhir, maka sungguh dia telah sesat yang sejauh-jaunya. (Waman yajfur billahi wa malaaikatihi wa kutubihi wa rusulihi wa alyaumai al-khiri fawad dhalla dhalaalan ba’iida). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Nubuwah dan Zikir (bagian II), Pondok Sufi, Tanjung, 18 Desember 2006, hal. 2 – 3).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
229
D
³
º
Syaitan : •
Semua pengaruh yang mengajak diri manusia, supaya tidak melakukan jihadunnafsi guna memberlakukan diri bagai watak malaikat-Nya Allah dalam berbuat sujud (kal mayyiti baina yadil ghoosili) dihadapan wakil-Nya Allah dimuka bumi (yakni Guru Wasithah yang hak dan sah), yang datangnya pengaruh itu dari luar dirinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 50).
•
Keadaan apa saja yang ada diluar jiwa raga manusia, yang membentuk pengaruh bahwa hal tersebut dipandang baik, indah, benar dan bahkan disangka ini adalah petunjuk dari Allah sehingga menyebabkan manusia tersebut sama sekali tidak butuh Wasithah. Apabila pengaruh yang menjadikan seseorang yang mempunyai pandangan sebagaimana halnya di atas, sedang hal ini datang dari dalam dirinya, adalah nafsu. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 23).
Syariat – Syareat : (lih juga Nubuwwah (Al-Nubuwwah) – Nubuwah) •
Perintah Guru yang dapat dilihat mata kepala serta dikerjakan anggota badan, seperti kewajiban shalat, shalat-shalat sunat, puasa, zakat, berakhlak mulia, rela berlaku guyub rukun (bersama-sama dalam ibadahnya dan saling bertolongan dalam kemelaratannya), tetapi juga rela berpisah dalam kedurhakaannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 36).
•
Amal perbuatan atas perintah Allah dan Rasul-Nya (dan juga perintah para penggantinya yang hak dan sah itu), yang dapat dikerjakan oleh anggotanya jasad. Dapat dilihat mata kepala yaitu (yang mahdah) seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, haji bagi yang berkuasa, beramal shalih, mujahadah (jihad fi sabilillah), amar ma’ruf nahi munkar. Ta’aawanuu ‘alal birri wat raqwaa. Akhlaqnya, pekerti dan kelakuannya selalu diperbaiki, dibarengi dengan batin yang mapan dalam hakekat. Yakni hakikatnya Yang Wujud dan Yang Ada, hakikatnya Yang Kuat, Yang Bisa, dan Yang Empunya segala isi dunia, hakikatnya Yang Obah-osik, yaitu Diri Illahi Dzat Yang Al Ghaib (Isi-Nya Huw). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 93).
•
Syariat dalam kaitannya dengan shiraathal-mustaqim adalah semua Dawuh Guru yang dapat dilihat mata kepala, diucapkan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 68).
•
Jalan lurus milik-Nya Allah adalah shirathal mustaqim. Yaitu janji yang nomor empat bagi yang telah secara benar memperoleh izin menerime ilmu Syathariyah. Yaitu melaksanakan Dawuhnya Guru Wasithah mengumpulkan syareat dan hakekat. Syariat adalah perintahnya Guru Wasithah yang dapat dilihat mata kepala dan dikerjakan dengan anggotanya jasad. Mengapa demikian? Sebab syareat (syariat) adalah asal kata syara’a, yang artinya mempola jalan menuju kepada sumber. Dan sumbernya adalah Diri-Nya Illahi Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya (Isi-Nya Huw). Syariat guna memenuhi perintah Guru Wasithah adalah (yang mahdhoh) seperti syahadat (termasuk memahami syahadat tarekat dan sumpah-sumpahnya). Sholat yang khusyuk.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
230
D
³
º
Zakaat, berpuasa dan naik haji bagi yang berkuasa. Tetapi syareat yang berupa perintah Guru Wasithah adalah juga guyub rukun, saling melengkapi, saling mengingatkan, bermusyawarah bagaimana seharusnya menjalani dawuhnya Guru Wasithah, saling memaafkan, saling mengokohkan, bertolong-tolongan; wataknya, kelakuannya, pekertinya dengan akhlak yang mulia terus menerus dibangun sebaik-baiknya; dibarengi dengan hakekat. Yakni mengintai-intai Ada dan Wujud Satu-Satu-Nya Dzatullah (mengingat-ingat dan menghayati dalam rasa hati kepada Isi-Nya Huw). Sesungguhnya inilah satu-satunya ajaran yang hak dan sah (dari Allah dan rasul-Nya), maka barang siapa menghendaki (keselematan dirinya baik di dunia dan di akhirat) niscaya dia mengambil jalan menuju kepada Tuhannya (QS. Al Insan : 29). Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana (QS. Al Insan : 30) Kamu tidak akan mampu menempuh jalan itu, apabila kamu aku (dengan nafsu). Dan supaya dikehendaki Allah dimampukan maka harus selalu bersandar Guru Wasithah, sebagaimana perintah-Nya dalam QS. Al Maidah 35 : “Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata”. Dan berusahalah untuk dapat sampai kepada-Nya dengan selamat dan dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya itu al-wasilata. Yakni bersandar pada Guru Washitah. Sebab sudah jelas, Laa bi wushulin ilaihi illa bi waasithatin. Tidak akan dapat sampai kepada Allah dengan selamat dan dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya kecuali dengan Wasithah. Hal demikian supaya Allah dengan kehendak-Nya memasukkan ke dalam rahmat-Nya. Supaya tidak termasuk hamba-Nya yang zalim Sebab bagi orang-orang yang zalim disediakan baginya azab yang pedih (QS. Al Insan 31). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membangun Orde Dzikir (Orde Suci). Keluar dari gelap menuju kepada Cahaya (Nur), Tanjung, 29 Mei 2006, hal. 1 – 2). •
Amal perbuatan atas perintah Allah dan Rasul-Nya (dan juga perintah para penggantinya yang hak dan sah itu), yang dapat dikerjakan oleh anggotanya jasad. Dapat dilihat mata kepala yaitu (yang mahdah) seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, haji bagi yang berkuasa, beramal shalih, mujahadah (jihad fi sabilillah), amar ma’ruf nahi munkar. Ta’aawanuu ‘alal birri wat raqwaa. Akhlaqnya, pekerti dan kelakuannya selalu diperbaiki, dibarengi dengan batin yang mapan dalam hakekat. Yakni hakikatnya Yang Wujud dan Yang Ada, hakikatnya Yang Kuat, Yang Bisa, dan Yang Empunya segala isi dunia, hakikatnya Yang Obah-osik, yaitu Diri Illahi Dzat Yang Al Ghaib (Isi-Nya Huw). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 93).
Syaththariyah : (lih. Ilmu Syathtahriyah) Asy-Syaththor : (lih. juga Murid – Jalan Bagi Murid) •
Yakni hamba yang ditarik fadhal dan rahmat-Nya telah dapat mengeluarkan dari dalam hatinya semua hal tentang dunia. Hingga yang tetap dalam hatinya hanyalah Diri-Nya Tuhan Dzat Yang Al-Ghaib dan Wajib Wujud-Nya, Allah Asma’-Nya. Ini adalah satusatunya jalan yang tetap bagi selamat mati dan sekaligus memenuhi wasiat Nabi Muhammad SAW :”Muutuu qabla an tamuutuu”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 57).
•
Yaitu hamba yang karena pertolongan dari-Nya telah mulai dapat mengeluarkan segala hal tentang dunia dari dalam hatinya. Sehingga sampai hilang sama sekali. Hingga yang tetap ada dalam hatinya hanyalah satu saja. Yakni Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Ini
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
231
D
³
º
adalah satu-satunya jalan yang tetap bagi selamatnya mati. Dan untuk mencapainya, ada beberapa dasar yang harus dipenuhi. Antara lain : dasar taubat, dasar zuhud, dasar qana’ah, dasar tawakkal ‘ala Allah, dasar uzlah. (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 35 – 36).
Syghal : (lih. Qishrun) Syirik : • • •
Wujudmu yang kamu aku dan kamu rasakan wujud, Watak berani ngembari Tuhan. Dosa mempersekutukan sesuatu apapun terhadap ada dan Wujud-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 47).
Sumber Terjadinya Dosa Syirik Berangkatnya perbuatan dosa syirik yang sama sekali tidak ada ampunan dihadapan-Nya antara lain : •
Perlu diketahui bahwa sumber dosa syirik itu adalah segala tingkah laku dan perbuatan lahir batin manusia karena diperintah oleh nafsunya. Tidak karena “katut siliring qudratullah”. Dan supaya “katut siliring qudratullah”, jalan satu-satunya harus berilmu tauhid yang menjadikan hati nurani, roh dan rasa selalu mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya kapan saja, dimana saja, sedang apa saja dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir batinnya itu. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 30).
•
Di-aku-nya keberadaan ruh-nya yang menjadikan wujud jiwa raga ada tanda kehidupan berupa keluar masuknya nafsu serta mempunyai daya dan kekuatan. Padahal semua itu adalah Daya dan Kekuatan-Nya. Dengan begitu maka komandan hidupnya adalah watak aku-nya nafsu. Bisaku, kuatku, punyaku, gengsi dan harga diriku. Pintarku, ilmuku, hartaku, pangkatku, kedudukanku. Sehingga Allah sendiri sepertinya heran, mengapa manusia yang Dia cipta dari mani asalnya ini tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata (an Nahl : 4). Lalu dipertegas oleh-Nya bahwa sesungguhnya manusia (wataknya) benarbenar melampui batas, memandang dirinya sendiri serba cukup. (QS. Al Alaq : 6-7). Watak berani ngembari Tuhan. Watak aku yang mirip dengan makhluk yang berani ablasa kepada-Nya lalu iblis sebutannya. Yang karena memandang diri lebih baik dari wakil-Nya Allah di bumi (Ana khairun minhu), maka sama sekali ia tidak mau diperintah sujud kepada wakil-Nya di bumi. Watak yang abaa wastakbara. Sehingga meskipun dihadirkan kepada mereka rasul-Nya Allah dengan membawa keterangan-keterangan yang benar Al Haq-Nya, mereka telah merasa puas dan bangga dengan ilmu yang ada pada mereka. (QS. Al Mukmin ayat 83). Bahkan dengan beraninya menjadi penentangNya dengan ungkapan kata sebagaimana difirmankan Allah QS al Qamar 24 -26. “Maka mereka berkata : Bagaimana kita akan mengikut saja seorang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau kita begitu benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila”.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
232
D
³
º
Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah orang yang amat pendusta lagi sombong. Kelak mereka akan mengetahui siapakah yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong. •
Akibat yang menjadi komandan hidupnya adalah watak aku-nya sebagaimana di atas (disebabkan tidak percaya adanya WASILATAHU), mereka lalu memotong-motong agama milik-Nya Allah untuk kepentingan Diri-Nya, kelompoknya, sektenya, golongannya, dunianya, menjadi beberapa potong (golongan) yang masing-masing golongan, bangga dengan apa yang ada pada golongannya. Tidak lagi untuk mengenal dan mengetahui keberadaaan Diri-Nya sebagai pemilik Islam. Islam tidak lagi ditujukan untuk menTauhidkan Dzat Sifat dan Af’al Diri-Nya Dzat Al-Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya yang apabila digurukan secara hak dan benar dapat dihayati dalam satu titik temu dalam hati nurani, roh dan rasa. Dan oleh karena nyata tidak, maka firman Allah mengancam perbuatan mereka sebagaimana dalam QS al Mukminun 52 – 56 : “Sesungguhnya (agama tauhid ini), adalah agama kamu semua (agar kamu menjadi) ummatan wahidatan, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku”. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) memotong-memotong agama mereka menjadi beberapa pecahan. Tiap golongan merasa bangga apa yang ada pada sisi mereka masing-masing. Maka biarkalah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.
•
Mereka yang ditutup hatinya oleh Allah sehingga apabila dikatakan kepada mereka : “Berimanlah kamu sebaga-imana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab : “akankan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?” Ingatlah sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al Baqarah : 13) Kebodohan mereka karena tidak dibukanya pemahaman terhadap maksud, isi dan tujuan firman Allah sebagaimana dala QS al Hijr ayat 28 – 44 : 28. Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. 29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya,dan telah meniupkan ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. 30. Maka bersujudlah para Malaikat itu bersama-sama. 31. Kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama (malaikat) yang sujud itu. 32. Allah berfirman :”Hai iblis apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud?” 33. Berkata iblis : “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah hitam yang diberi bentuk”. 34. Allah berfirman :”Keluarlah kamu dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk”, 35. Dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”. 36. Berkata iblis :”Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah aku sampai hari (manusia) dibangkitkan”. 37. Allah berfirman :”(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh,
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
233
D
³
º
38. sampai hari dengan waktu yang telah ditentukan”. 39. Iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (terhadap semua hal yang sama sekali tidak sejalan dengan kehendak-Mu) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua, 40. kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”. 41. Allah berfirman :”Ini adalah satu-satunya jalan yang lurus, Kewajiban-Ku-lah (menjaganya). 42. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. 43. Dan sesungguhnya jahanam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut syaitan) semuanya. 44. Jahanam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu bagi mereka. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membela Tegaknya Kesetiaan Pada Rasulullah, , Tanjung, 30 Juli 1995, hal. 4 – 6).
Macam Syirik Syirik yang lahir sebagaimana halnya mereka yang mengakui, mempercayai, kemudian bahkan minta pertolongan dan perlindungan kepada adanya berbagai kekuatan gaib selain Dia Dzat Yang Al Ghaib. Seperti punden-punden. Tempat yang dianggap keramat. Kuburankuburan. Jimat-jimat. Daya magiknya Nyai Ratu Kidul, Sunan Lawu, Sunan Kelud dan banyak lainnya; yang semua itu adalah jaringan wadya balanya iblis (QS. Al Furqan 50). Sedang syirik yan khafi, yang nyamar, adalah segala amal perbuatan yang diaku. Ini namanya diperintah nafsu. Sebab namanya nafsu itu adalah ujud jasad (yang mestinya tidak bisa apaapa, tidak punya daya dan kekuatan, juga tidak mempunyai apa-apa ini) karena memperoleh “min ruhi” lalu ada daya dan kekuatannya. Padahal daya dan kekuatannya itu ada karena adanya min ruuhi. Adanya Ruh dari-Nya. Lalu kemudian di aku. Ini namanya “nggasap = nggabrul” hak-Nya Allah SWT. nyingkur kepada-Nya. Berani ngaku-ngaku Daya dan Kekuatan milik-Nya. Dari-Nya dan mestinya untuk-Nya. Karena itu supaya tidak ngaku, lalu harus berlaku selalu : menyembah-Ku. Yaitu deple-deple dan ngawula sebagaimana yang saya jelaskan dimuka. Karena itu tanpa Guru yang hak dan sah sebagai pelanjut tugas dan fungsinya Rasulullah, selalu takkan terjadi dengan selamat dapat bahagia bertemu dengan-Nya. Karena itu bagi Allah, yang benar ummat itu harus selalu bersama imamnya. Imamnya yaki Guru yang hak dan sah yang dia adalah Rasul-Nya juga. Hal ini bisa kita amati dengan jelas pada firman-Nya QS. An Nuur ayat 62 : “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkannya sebelum mereka meminta ijin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta ijin kepadamu mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka ijin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah ijin kepada siapa yang kamu kehendaki, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nur 62). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 47 – 48).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
234
D
³
º
Hadis Nabi Muhammad Saw : “Maukan aku ceritakan sesuatu yang aku bimbangkan atas kamu lebih daripada dajjal?” Mereka menjawab : “ Ya, kami mau ya Rasullah”. Rasullah Saw lalu bersabda : “Yaitu syirik kahfi, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat kemudian ia menambahkan lagi shalatnya karena ia tahu bahwa orang-orang (yang ada disitu) melihatnya ia sedang shalat”. Demikian itu, shalat yang di dalam shalatnya, yang menampak dalam hatinya adalah akunya. Nafsunyalah yang shalat. Karena itu Rasullah lebih menakutinya dibandingkan dengan dajjal. Hal demikian sama saja dengan menuhankan sesuatu selain Allah.
Syukkur – Bersyukur : Bungah kepada Allah, senang kepada Allah, mencintai Allah. Dan bukti nyatanya adalah Menyenangi Dawuh Guru, dengan rasa hati yang terus menerus belajar merasakan betapa nikmatnya dan betapa indahnya mengingat-ingat dan menghayati isinya Huw. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Perintah Guru Menjadilah Murid Yang Pandai Bersyukur (Kepada Allah SWT), Pondok Sufi, Tanjung, 15 Agustus 2002, hal.7).
Hakekat Bersyukur
Dalam firman-Nya, Allah telah menetapkan : “Lain syakartum laazidannakum walalinkafartum inna ‘adzabi lasyadid”. Apabila kamu (senantiasa) bersyukur (kepada-Ku), Aku pasti akan menambah (berbagai pemberian, seperti rezeki yang memberkahi, yang meskipun nampaknya sedikit tetapi mencukupi, tambahnya pengertian dan pemahaman terhadap kebenaran Mutlak-Nya Tuhan, tambahan indahnya rasa beriman, ketaqwaan, tambahnya atas kokohnya dalam menjalani Islam dan istiqomahnya hati, tambahan fadhal-Nya dan rahmat-Nya, ridha-Nya dan Maghfirah-Nya dan banyak lagi). Tetapi apabila tidak percaya (dan apalagi hingga mengingkari mengadanya Guru yang hak dan sah itu), sesungguhnya azab-Ku sangat keras dan mengerikan. Hakekat bersyukur yang diungkapkan dalam firman-Nya : “Waqalilun lin ‘ibaadiyasysyakur”, (bahwa ternyata) sedikit sekali hamba-Ku yang (pandai) bersyukur (kepada-Ku), adalah rasa syukur kepada-Nya, bungah kepada-Nya, yang telah menarik dengan fadhal dan rahmatNya, menggerakkan niatnya hati seseorang hamba yang diridhai-Nya mau dengan rela meminta petunjuk kepada Guru yang hak dan sah tentang ilmu (Ilmu Syththariah), Ilmu Dzikir Huw yang hak dan sah, yang juga disebut Ilmu Nubuwah. Ilmu untuk mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’alullah untuk ma’rifat kepada Allah. Yakni Ilmu Hakekat (ilmu yang mengenalkan hakekat Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib), yang juga disebut ilmu yang menunjukkan pintunya mati supaya dapat selamat dengan rasa bahagia kembali bertemu dengan-Nya. Sebenarnya untuk meminta ilmu ini, hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang yang mengaku Islam agamnya. Bahkan lebih wajib meskipun dibandingkan denan kewajiban-kewajiban yang lain. Meskipun dibandingkan kewajiban sholat, supaya sholatnya secara benar dapat memenuhi perintah Tuhan. “Wa aqimishshalata lidzikri” (=dirikanlah sholat untuk mengingatingat (mendzikiri) Aku). Kepada hamba yang menyadari akan hal ini, alangkah celakanya berbuat menzalimin diri sendiri. Sekiranya tidak pandai bersyukur kepada-Nya, sedang Allah sendiri telah menetapkan : “Waman yudlil falan tajida lahu Waliyyan Mursyida”. Dan barang siapa yang disesatkan (oleh-Nya), maka kamu sama sekali tidak akan mendapatkan Waliyyan Mursyida (=Guru Wasithah) baginya. Sebab pemberian hidayah adalah Hak Mutlak-Nya (QS. Al Kahfi 17). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Perintah Guru Menjadilah Murid Yang Pandai Bersyukur (Kepada Allah SWT), Pondok Sufi, Tanjung, 15 Agustus 200 2, hal. 3 – 4).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
235
D
³
º
Menjadi Murid Yang Pandai Bersyukur (Kepada Allah SWT) “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui (mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Yang) Al Ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan (dengan mata hati) kepada seorangpun tentang (Ada dan Wujud Diri-Nya) Yang Al Ghaib itu, kecuali kepada orang yang diridhai (oleh-Nya) dari Rasul.. (QS. 72 Al-Jin : 26 – 27). Perintah ini dikeluarkan mengingat bahwa BERSYUKUR KEPADA ALLAH SWT adalah merupakan INTINYA IBADAH. Inti yang menjadikan murid (= hamba yang berkehendak bertemu Tuhannya) selalu mempunyai kemauan yang kuat untuk dengan rela memaksa jiwa raganya menjalani perintahnya Guru dengan benar dan ikhlas. Jiwa raga manusia adalah wujudnya nafsu, yang perbuatannya senantiasa mengajak kepada semua hal buruk. Dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang dianggap baik dan benar akan tetapi sebenarnya sama sekali tidak sejalan dengan kehendak Tuhan. Sifatnya tidak mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Allah Asma-Nya, amat sangat dekat sekali, selalu Meliputi dan selalu Menyertai, tempat asal fitrah manusianya sendiri dan tempat kembali apabila jiwa raga telah habis masa pakainya menjalani ujian dunia. Dan dzatnya (nafsu), selalu terus menerus membantah dan menentang Allah dan RasulNya. Persis sama dengan makhluk yang berani ablasa kepada Tuhan-Nya, lalu oleh Allah dijuluki iblis! Itulah sebabnya mengapa Junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah sabdanya menjelaskan bahwa memerangi nafsunya sendiri, yang wujudnya nafsu tidak lain adalah jiwa raga kita sendiri-sendiri, sebagai perang terbesar (“jihadul-akbar”). Padahal harus diperangi hingga patuh dan tunduk dijadikan tunggangan (kendaraan). Patuh dan tunduk menjadi tunggangannya hati nurani, roh dan rasa mendekat kepada Tuhannya sehingga sampai dengan selamat. Sebab mendekat kepada Tuhan hingga sampai kepada-Nya adalah sebuah perjalanan yang lamanya 3.000 (tiga ribu) tahun, mustahil dapat sampai. Tetapi apabila si nafsu yang wujudnya adalah jiwa raga sebagai tunggangannya, seumur masing-masing akan dapat sampai. Penjelasan di atas seia sekata dengan maksud firman Allah dalam QS. 36 (Yasin) ayat 77 : “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes air (mani), maka tiba-tiba menjadi penentang (musuh-Ku) yang terang-terangan”. Dan ketahuilah dengan penuh keyakinan dengan kesadaran sepenuh hati bahwa supaya dapat memerangi nafsu hingga patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani roh dan rasa berjalan kepada Tuhan sehingga sampai dengan selamat dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya, meski ternyata rumpil margane, banyak pengorbanannya, berat (buat ukuran nafsu) beban memikulnya, jauh lembut dan dalam, namun tetap dihadapi dengan sabar dan tawakkal, madep mantep, ulet, telaten, tidak pernah merasa lelah, tidak akan pernah berputus asa, apalagi hingga berpaling dan berhenti, tetap berjalan terus, rawe-rawe rantas, malangmalang putung. Jangankan rekasan kangelan, kelangan dan kaningaya, bahkan mati diwujudi. Itu semua karena RASA SYUKUR yang memotivasai. Rasa syukurlah yang menggerakkan. Rasa syukur pula yang selalu menghidupkan semangat dan kemaun memaksa jiwa raga hingga selalu patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasa. Karena itulah disebut dengan INTINYA IBADAH, di samping kokohnya iman terhadap tujuan : suci kang kahesti, luhur kang ginayuh, sampurna wusanane.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
236
D
³
º
Perintah supaya menjadi murid yang pandai bersyukur kepada Allah SWT dikeluarkan, mengingat pula bahwa mereka yang berniat meminta petunjuk Ilmu Syaththariah, dari berbagai kalangan dan bermacam latar belakang. Namun, setelah masuk dengan secara hak dan sah, diharap benar-benar menjadi murni niatnya. Menjiwa rasa ikhlasnya, menyatu tekadnya, terjaga dzikirnya (mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw) dalam keseluruhan semangat, lahir dan bathinnya. Dan membuktikan petunjuk dan perintahnya Guru yang hak dan sah, yang ditugasi Ilaahi meneruskan tugas dan fungsi Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Sebagaimana yang sering saya mengingatkan bahwa banyak yang terpanggil, yakni yang secara benar meminta petunjuk ilmu, tetapi hati-hatilah bahwa ternyata juga banyak yang tidak terpilih. Yakni tidak terpilih menjadi hamba yang siap didekatkan oleh Allah kepada DiriNya (sehingga sampai kepada-Nya dengan selamat dengan rasa bahagia), disebabkan rasa syukurnya yang tidak terpupuk dengan semestinya. Sedang saya, sebagai hamba Allah yang ditugasi (sak dermo nglakoni perintah guru), dalam melanjutkan tugas dan fungsinya, memohon sepenuh hati kepada-Nya (bahkan dengan tangis dan panalangsa yang tiada pernah ada hentinya), bagaimana supaya kita semua yang telah dengan secara hak dan sah memperoleh izin menerima ilmu, semua rela menjalani dan semua terpilih. Tidak hanya terpanggil. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Perintah Guru Menjadilah Murid Yang Pandai Bersyukur (Kepada Allah SWT), Pondok Sufi, Tanjung, 15 Agustus 200 2, hal. 1 – 3; 7).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
237
D
³
º
T Tahallul : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji) Takabur : •
Watak memandang diri lebih dari lainnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentan Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 4).
•
Yakni menjadi orang yang memandang dirinya di atasnya orang lain. Karena mudah sekali mencari aibnya orang lain. Suka maido, karena memandang diri lebih ngerti. Maka sebuah ungkapaan menyatakan bahwa orang salah merasa salah itu derajatnya masih lebih baik dibanding dengan orang benar tetapi merasa benar. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 16).
Tanazzul : (lih. Ilmu Syaththariah – Muqaddimah Ilmu Syaththariah)) Taqwa (takwa) : (lih. juga Murid – Jalan Bagi Murid) Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang benar kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan (matinya) orang yang (telah sampai kepada Allah dengan hati) yang selamat”. (QS. Ali Imran ayat 102). •
Yaitu mereka yang beriman kepada Ada dan Wujud Diri-Nya Yang Al Ghaib(satu-satu-Nya Yang Ghaib tetapi jelas sekali dapat dan mudah diingat-ingat dan dihayati) apabila secara benar ditanyakan kepada ahlinya. “Fas’alu ahladhdhikri inkuntum laaat’lamuun”. Sebab selain Diri-Nya yang sama-sama tidak bisa dijangkau indra mata dunia adalah al-ghuyub. Dibangsakan gaib karena sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala. Tetapi sama sekali bukan Al-Ghaib (=isim yang mufrad dan ma’rifat). Kemudian menegakkan shalat. Yaitu ketika shalat benar-benar dijadikannya untuk mengingat-ingat danmenghayati keberadaan Diri-Nya yang jelas amat indah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati. Sebab bila tidak demikian, maka sahun yang akibatnya justru malah diancam dengan siksa yang keras sekali. Kemudian menyadari bahwa kerja kerasnya supaya dapat berbuat banyak dalam memperoleh rizki, itu semua disadari sepenuh hati adalah milik-Nya. Sebab bisa dan kuatnya bekerja serta gerak dan gerik lahir batinnya, semua itu adalah Bisa-Nya dan KuatNya. Maka sama sekali tidak akan pernah bakhil untuk menafkahkan sebagian dari akonakon dunia yang dikira orang dunia miliknya. Kemudian beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada para utusan-Nya berupa Kitab-kitab, ilmu tentang Nur Muhammad yang menjadi pintu untuk selamat bertemu lagi dengan Diri-Nya Dzat Al-Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Allah Asma-Nya. Serta mereka yang yakin sekali dengan bahagianya kehidupan akherat yang apabila ilmu tentang mengenal Diri-Nya telah bisa dihayati sejak sekarang masih sibuk dengan kehidupan dunia, benar-benar didalami dan diamalkan secara benar. Mereka itulah yang tetap mendapat hidayah dari Tuhannya dan mereka inilah orang-orang yang beruntung. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.19).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
238
D
³ •
º
Yang dimaksud dengan taqwa kepada Allah adalah seseorang yang bersungguh-sungguh dalam memenuhi petunjuk dan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan benar dan ikhlas. Hamba sebagaimana di atas oleh Allah masih diperintah lagi supaya selalu berusaha agar dapat dengan selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya itu al-wasilata. Hal tersebut karena sangat menentukan sekali benar tidaknya membuktikan mati. Menentukan selamat atau tidaknya ketika mati. Maksud supaya mencari agar selamat dan benar matinya (dapat merasakan betapa nikmat dan bahagianya bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya) adalah bagi yang telah beriman dan bertaqwa sebagaimana penjelasan di atas, apabila menjelang saat mati ia benar-benar mengakui mempunyai guru yang hak dan sah itu, kemudian lalu memohon ampunan atas segala kekurangannya dan salah dosanya pada Guru itu, kemudian memohon supaya memperoleh restunya untuk dapat membuktikan dawuhnya (yakni membuktikan masuk ke dalam dhikirnya) yaitu pulang kembali menemui yang selalu diingat-ingat dan dihayati. Yaitu Diri-Nya Ilahi. Ini yang harus benar-benar dimengerti. Hal di atas memenuhi sabda Rasul bahwa :”Man maata walam ya’rif imaanu zamanihi maata maitatan jahiliyatan”. Artinya :”Barang siapa yang mati dan tidak mengetahui imam di jamannya maka matinya itu mati jahiliyah”. Oleh karena itu di dalam surat Al Maidah 35 di atas masih dilanjutkan : “Dan berjihadlah dijalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan”. Sebab yang akan dijadikan lulus olehNya mencapai puncak kebahagiaan (yakni ketika mati dapat merasakan betapa nikmat dan bahagianya bertemu dengan Diri-Nya) adalah mereka yang setelah mengetahui seyakinnya terhadap kebenaran semua yang dijelaskan dimuka, supaya ditengah jalan tidak mbalelo, tidak berpaling apalagi sampai berbalik ke belakang, maka harus benar-benar memerangi nafsunya sendiri supaya patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasanya mendekat kepada-Nya hingga sampai dengan selamat. Sebab nafsu yang wujudnya jiwa raga ini sangat rawan sekali disusupi oleh bentukan pandangan baik dan benar dari kerja kerasnya iblis dan syaitan lewat cipta dan angan-angan yang maunya setiap dada manusia dijadikan markas besarnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.18).
•
Adapun taqwa yang benar adalah : “Mujtahidun fi ‘ibadatihi bi shidqin waikhlashin”. Maksudnya bersungguh-sungguh (tumemen) dalam menyembah kepadaNya (= melaksanakan perintah Guru yang hak dan sah sebagai wakil/ pelanjut tugas dan fungsinya Rasulullah) dengan benar dan ikhlas. Mengapa makna “Mujtahidun fi ‘ibadatihi”= bersungguh-sungguh dalam menyembah/ beribadah kepadaNya sama dengan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintahnya Guru yang hak dan sah sebagaii wakil/pelanjut tugas dan fungsinya Rasulullah? Sebab sebagai hamba Allah yang kini diberadakan di dunia sebagai tempat menguji dan mencoba atas kesungguhan dalam memikul betapapun beratnya resiko yang harus disandangnya dalam memenuhi amanah Tuhannya, agar dapat kembali (pulang ke asal mula fitrah jati dirinya) dengan selamat dan bahagia berjumpa dengan-Nya, tidak akan sama sekali bisa dirasakannya dengan yakin, jelas dan nyata apabila tanpa keberadaannya kelangsungan rasul dan wakil-wakilnya, sebab Dia Dzat Yang Al Ghaib, tempat asal mula fitrah manusia yang dibungkus oleh ujud glegernya jiwaraga ini, tidak ngejawantah.Tahunya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
239
D
³
º
hamba yang berkehendak kepada cita-cita ma’rifat kepada-Nya, tentang hakekat Jati DiriNya, adalah dari Rasul Nya dan wakil-wakilnya yang gilir gumanti terus ada dalam urutan silsilah yang hak dan sah. Begitu pula bagaimana seharusnya supaya termasuk orang yang dikehendaki bisa sampai kepada-Nya dengan hati yang selamat, ilmu dan jalan yang harus ditempuh juga dari RasulNya dan atau wakil-wakilnya itu. Sebab betapa sebenarnya supaya benar dalam mengamalkan Ad-din Al Islam, juga semata-mata karena petunjuk dan pengajaran dari Rasul-Nya dan wakil-wakilnya yang hak dan sah itu. Kemudian dibukanya pengertian atas dirinya sendiri bahwa adakah diri ini termasuk mendapat hidayah dari-Nya apa tidak, ukurannya juga dari sini. Adakah kita ini percaya, lalu dengan rela mau memaksa jasad kita melaksanakan petunjuk dan perintahnya Rasul dan atau wakil-wakilnya, apa tidak, yang tahu diri kita sendiri-sendiri. Manakala percaya sepenuh hati, lalu mau memaksa jasad yang tidak lain : ujudnya nafsu sendiri (yang aslinya ini pembantah yang nyata terhadap kehendak Tuhannya) – dalam melaksanakan petunjuk dan perintahnya, inilah orang yang berada dalam hidayah-Nya. Sehingga sewaktu-waktu mati, dimana pati sebenarnya adalah “pintu gerbang bertemu dengan-Nya (berjumpa dengan Dzat Yang Wajib Wujud-Nya)”, akan benar-benar selamat dan bahagia. Tangis do’anya Nabi Ibrahim Khalilullah yang diabadikan Allah dalam QS. Asy Syu’ara’ ayat 87-89 : “Dan janganlah Engkau hinakan daku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari ketika harta benda dunia dan anak-anak laki-laki tiada berguna, kecuali orang yang telah sampai kepada Allah dengan hati yang selamat”.(lih. Mati – Mati Yang Benar). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 36 – 37).
Hubungan Taqwallah dan Fitra Jat Diri Manusia Dengan firman-Nya QS. An Nisa ayat 1 Allah menyeru kepada semua manusia dengan perintah supaya bertaqwa kepada-Nya yang telah menciptakan kamu semua dari satu jati diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang denganNya kamu saling membutuhkan satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Mengenal dan mengetahui fitrah jati diri yang dicipta Allah dari Fitrah-Nya Allah sendiri (= Nur Muhammad = Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah = Wajhullah = Al Ghaybullah) yang diletakkan Allah di dalam rasa. Rasa diletakkan Allah di dalam arwah. Arwah diletakkan Allah di dalam hatinurani. Secara hak dan sah hanya bisa diperoleh dari Nur Muhammad yan diutus Allah mewakili Diri-Nya Yang Al Ghayb, dinampakkan sebagai hamba biasa yang dipilih supaya mengajari bagaimana seharusnya secara benar berjalan di atas jalan lurus-Nya Allah (= shirathal-mustaqim, “dzahiruhu syareat wa batinuu hakekat). Menyiapkan hamba yang mulia di sisi Tuhannya karena oleh Allah dibuka semua hijab yang gelap dan menggelapkan. Maka dijadikanlah oleh Allah mujtahidun fi ‘ibadatihi bi shidqin wa ikhlasin. Yaitu hamba yang menghambakan dirinya dengan sungguh-sungguh beribadah kepada-Nya dengan benar dan ikhlas. Inilah bertaqwa kepada Allah yang sesungguh-sungguhnya bertaqwa.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
240
D
³
º
Itulah hamba yang hidupnya dengan Cahaya Allah. Berada di dalam celupan-Nya Allah (shibghatallah). Adalah sosok hamba yang Rabbani yang tadharruan wa khifatan. Itupula hamba yang akal pikirannya digunalan untuk bertafakkur dengan petunjuk Allah. Medorong kesadaran al-faqirnya dan zaluman jahulanya, bertekad untuk menuju kepad mengada-Nya Yang Maha Benar, Kekal dan Abadi, sehingga selamat kembali kepada-Nya lagi. Keyakinannya kokoh terhadap kebenaran makna “kullu syaiin halikun illa wajhahu. Kullu man ‘alaiha fanin wa yabqaa wajhu rabbika dzul jalaali wal al-ikram”. Adalah hamba yang sehariharinya dalam hidup dan kehidupannya selalu bersama dengan Tuhannya. Bersama dengan para nabi-Nya dan rasul-Nya yang hakekatnya adalah Nur Muhammad. Bersama dengan para malaikat-Nya yang sami’na wa atha’na diperintah sujud kepada wakil-Nya Allah yang ada di bumi. Di luar itu adalah manusia yang hidup dan kehidupannya berpuas bangga dengan hijab. Berpuas bangga dengan nafsu dan watak akunya serta dunia dengan segala kehormatannya. Berpuas bangga dengan taghut dengan cara memberhalakan benere dewe, ngalap cukp penemune dewe, ngendel-ngendelake wicarane dewe. Habis-habisan memperalat akalnya, pikiran-pikirannya, hati, roh dan rasanya dalam kerangka membantu dan bersekongkol dengan iblis dan setan demi mendustakan Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya, Allah nama-Nya, dekat sekali dalam rasa hati serta selalu menyertai dan meliputi hamba-hamba-Nya. Dan seperti inilah keadaan nyata sebagian besar penduduk bumi milik-Nya Ilaahi karena itu segera akan dihabisi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Diwajibkan (Oleh Allah) Siam di Bulan Ramadhan Supaya Menjadi Orang-Orang yang Bertaqwa,Pondok Sufi, 16 September 2006, hal.1 – 2).
Taraqqi : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Tarekat (Tharekat) : •
Tarekat adalah jalan atau cara bagaimana agar dalam mengamalkan Ilmu Syaththariyah benar-benar dapat mencapai tujuan, hingga selamat dan bahagia bertemu dengan Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 17).
•
Jalan menuju Tuhan. Dan oleh karena yang dituju Tuhan, maka hati ini harus mengetahui Diri-Nya Tuhan Dzat Yang Al-Ghaib itu- yang secara benar ditanyakan kepada ahlinya-, lalu berusah terus menerus mengingat Allah serta bersungguh-sungguh memerangi nafsunya agar mau patuh dan tunduk memenuhi petunjuk dan perintah Guru. Memenuhi amanah Allah dalam Al-Qur’an : “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku”. (QS. 31, Lukman : 15).
•
Jalan, methode atau cara. Cara untuk dapat kembali bertemu lagi dengan-Nya. Karena yang dituju adalah Dia Satu-Satu-Nya , maka dengan sendirinya juga harus memperoleh ilmu tentang hakekat Jati Diri-Nya Yang Al Ghaib. Supaya dapat selalu mengingat-ingatNya bersama dengan setiap masuknya nafas. Setiap metode (ilmu tentang dunia saja) ada disiplinnya. Apalagi ini tentang Tuhan. Disiplin mengikut kehendak Tuhan yang takkan pernah ngejawantah itu. Makanya mesti bertanya kepada ahlinya tentang Keberadaan Ada dan Wujud-Nya Yang Al Ghaib. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 17).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
241
D
³
º
Tasawuf :
Ilmu yang diajarkan supaya hamba yang telah mendapat ijin memperoleh dzikir Huw yang hak dan sah itu, secara benar dapat mengerti, memahami dan melaksanakan terhadap semua dawuhnya Guru dan pituturnya Guru (terhadap semua perintah dan petunjuknya). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Kitab Mamlukat, Tanjung Anom, 17 Mei 2000, hal. 12).
Tashfiatul qalbi : Beningnya hati. Hati yang bening adalah hati yang dilatih dan dididik agar tidak digunakan munculnya cipta angan-angan dan gagasan (hiyal wahmi) yang terjadi karena mengikuti kehendak watak bangsa manusia. Oleh karena itu perlu diupayakan agar supaya hati ini terlatih hanya untuk mengingat-ingat hal-hal yang diridhai oleh Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 57).
Taubat (tobat): (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Tazkiyatunnafsi Sucinya jiwa raga, adalah hamba Allah yang sangat berhati-hati agar apa yang dimakan adalah makanan yang halal, apa yang disandang adalah pakaian yang halal dan apa yang ditempati adalah tempat tinggal yang halal. Memenuhi wasiat Guru kepada segenap muridnya, yaitu : “Hidup di dunia ini tidaklah sulit, Asal ada kemauan untuk bekerja (kreatif) ya jadi mudah. Yang sulit adalah berusaha untuk mendapatkan pertolongan Allah SWT. Yaitu kemauannya untuk memerangi hawa nafsunya sendiri agar dapat patuh dan tunduk dijadikan kendaraan hati nurani, ruh dan rasa pulang kembali kepada Allah hingga sampai kepada-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 56).
Tawakkal : (lih. juga Murid – Jalan Bagi Murid) Berasal dari kata wikalah, artinya mewakilkan. Mewakilkan kepada Allah atas segala tingkah laku dan perbuatan lahir batinnya, daya dan kekuatannya, semua yang dikira orang menjadi miliknya. Maka akan terus jihadunnafsi supaya sama sekali tidak ngaku. Pasrah dan semeleh rasa hatinya kepada Diri-Nya Dzat Yang Segala-gala-Nya. Hingga “akunya” sirna karena tenggelam di dalam Yang Maha Aku. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 45).
Thawaf : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji; Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu Syaththariah)
Tidak makqruun tidak maktubun : •
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya ilmu Tauhid itu wajib dicari karena supaya dapat meniadakan syirik”. Kalimat ini tidak makqruum dan tidak maktubun, karena tidak ditulis dan tidak dapat dibaca. Ilmu tentang Al Ghaib-Nya (agar supaya senantiasa mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya), yang titik sentralnya ada pada Al Ghaib-Nya, adalah ilmu yang diingat-ingat dan dihayati dalam hati nurani, roh dan rasa.
•
Para Wasithah megungkapkan bahwa “Fa’lam anna ‘ilmattauhidi mathlubun”. Tidak maqruun dan juga tidak maktubun. Sebab ilmu tauhid ini (Ilmu Syaththariyah; Edt.) tidak ada tulisannya dan juga tidak ada bacaannya. Tidak ditulis. Maka harus maktubun. Dicari.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
242
D
³
º
Yang dicari adalah yang berkewajiban menunjuki. Kemudian setelah ketemu, mendapat ijin memperoleh ilmunya, lalu digugu dan ditiru (guru). Sebab hanya dengan demikianlah maka akan benar-benar dapat “multazimun liintifaaisysyikri”. Dapat terus menerus terhindar dari dosa syirik yang sama sekali tidak ada ampunan disisi-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 30).
Tujuh Buah Jalan : (lih Ilmu Syaththariah – Muqaddimah Ilmu Syaththariah) Firman Allah dalam QS. Al Mukminun ayat 17 : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan. Dan Kami tidak akan lengah terhadap ciptaan kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”. Tujuh buah jalan tersebut tidak lain adalah mukaddimahnya ilmu Syaththariyah (ilmu yang menunjukkan pintunya mati supaya selamat bertemu dengan-Nya. Karya yang diterimanya adalah Diri-Nya Dzat Al Ghaib, maka Ilmu Syaththariah ini adalah ilmu yang menunjukkan perihal keberadaan-Nya itu. Maka disebut juga ilmu ma’rifat kepada Allah). Tujuh buah jalan tersebut adalah merupakan trap yang harus dilewati untuk naik masuk ke dalam sibghatallahi. Maka disebut dengan muqaddimah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membela Tegaknya Kesetiaan Pada Rasulullah, Tanjung, 30 Juli 1995, hal. 18).
Tujuh macam nafsu : (lih. Nafsu – Tujuh Macam Nafsu) Tujuh Pendakian : (lih. Manusia – Pembagian Manusia) Tujuh Pintu Jahanam : (lih. juga Nafsu – Tujuh Macam Nafsu) Pada firman Allah QS. Hijr 43-44, bahwa jahanam sebagai tempat yang telah diancam kepada mereka (pengikut-pengikut syaitan) semuanya. Mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan untuk golongan yang tertentu dari mereka). Kemudian dari yang kuterima dari petunjuknya, baik hasil ini kajian dari beberapa kitab tasawuf seperti Futhalul Uluhiyah, Ma’na sirr fi bayani ma’rifat Billah, Majnunullah dan lain-lain (utamanya dari petunjuk dan penjelasan Guruku), tujuh pintu jahanam itu tidak lain adalah tujuh macam nafsu manusia itu sendiri yang wataknya memang ada kerja sama dengan syaitan. (lih. Nafsu; syaitan). Wajib diketahui bahwa tujuh macam nafsu yang masing-masing mempunyai tentara, buat nafsu amarah dan mulhimah, muthinnah, radhiyah, mardiyah dan kamilah, tentaranya nafsu tersebut mulai baik-baik dan bahkan luhur serta mulia. Namun apabila tetap saja diakui (tidak mau bersandar pada Guru Wasithah), namun tetap saja nafsu, yang perbuatan nafsu ini selalu dan senantiasa “Yajri ila assuu’i”. Senantiasa mengajak kepada yang buruk. Dan yang buruk adalah tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Padahal kehendak Allah, untuk kembali selamat bertemu dengan-Nya harus berbuat “kal-mayyiti baina yadil ghasili” (patuh dan tunduk pada Guru Wasilatahu = Guru Wasithah). Karena itu maka sifatnya nafsu sama sekali tidak mengerti pada Tuhannya. Tidak mengerti pada Tuhan Dzat Yang Al Ghaibi ini sangat dekat sekali. Mudah dan indah untuk diingat-ingat dan dihayati keberadaan Ada dan Wujud-Nya dengan benar ditanyakan (=digurukan) kepada yang ahli tentang Diri-Nya (ahladzDzikir). Maka zatnya nafsu adalah “yamna’u minallah”. Membantah kepada Tuhannya, karena “abaa wastakbara” yang memang menjadi cirinya watak aku. Itulah sebabnya Allah telah berfirman dalam QS. Al Baqarah 54 :
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
243
³
D
º
“Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan BUNUHLAH DIRIMU. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu”. Maksudnya yang dibunuh adalah watak ngaku-nya itu sehingga menjadi patuh dan tunduk ditunggangi oleh cita-cita hati nurani, roh dan rasanya mendekat kepada-Nya dengan jalan “kal-mayyiti baina yadil ghasili” dihadapan Gurunya. Sehingga mempunyai watak seperti watak para Malaikat memenuhi perintah supaya sujud (patuh dan tunduk) kepada wakil-Nya. Yakni para utusannya yang bersambung silsilahnya hingga sampai kini hingga kiamat nanti. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membela Tegaknya Kesetiaan Pada Rasulullah, Tanjung, 30 Juli 1995, hal. 16 – 17).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
244
D
³
º
U Ujub : •
Watak senang dalam amal dan kerja kerasnya akan tetapi lupa sama Sang Mun’im. Lupa pada Sang Penentu dan Sang Pemberi Nikmat. Bagaikan watak orang yang dikatakan dalam peribahasa jawa “ mburu uceng kelangan deleg”. (lih. memburu uceng kelangan deleg). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentan Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 4).
•
Giat dalam memperbanyak amal akan tetapi lupa kepada Munjimun. Lupa kepada yang tukang Memberi. Bahwa Sang Tukang Pemberi ini adalah Sang Penentu Segalanya. Lalu dikiranya bahwa banyaknya amal yang dikerjakan itu adalah jaminan pasti memperoleh apa yang hendak diinginkannya. Sehingga pamrihnyalah yang menonjol. Yaitulah pelaku kerja kerasnya amal perbuatan akan tetapi meninggalkan Allah dan Rasul-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 16).
Ulil Amri Minkum : •
Ulil Amri adalah orang yang mempunyai kewenangan memerintah di antaramu sendiri, yang apabila segala perintahnya itu kamu taati, buah dan manfaatnya serta sampainya dengan selamat menemui-Nya sama persis dengan mentaati perintahnya Kanjeng Nabi Rasul-Nya Ilaahi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 122).
•
Ulil Amri Minkum adalah orang yang dikehendaki oleh-Nya mempunyai wewenang memerintah dari antara kamu sendiri hingga apabila perintahnya itu kamu taati sepenuh hati, buah dan manfaat juga sampai kepada Allah dengan selamat sama persis dengan seandainya diperintah sendiri oleh Nabi Muhammad Rasulullah, tidak lain adalah guru Wasithah tersebut. Jadi jelas sekali bahwa yang dimaksud Ulil Umri Minkum itu bukanlah pengurus atau pimpinan cabang/perwakilan cabang dalam jamaah Lil-Muqorrobin. Mereka semua adalah sama-sama murid. Sama-sama sebagai orang yang berkehendak bertemu dengan Tuhan. Butuhnya sendiri-sendiri hanya saja cara menjalankannya harus mau berjamaah. Rela bersama-sama dalam kebersamaan guna memenuhi sumpahnya sendiri-sendidi dihadapan Wasithah. Diatur dengan cara seperti model organisasi semata-mata demi untuk tambahnya lakon dan pitukonnya sendiri-sendiri. Karena itu ingat bahwa sumpah tersebut adalah merupakan “Ikatan bi Rauhillah” bagi hamba yang sadar sebagai al-faqir. Hingga bila lepas dari ikatan sebagai mana dimaksud di atas, maka menjadilah : “wabil ma’siyati tafaroqna = Suka kula pepisahan ing ndalem durhakane”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh guru Menghadapi Proyek Ilahi Yang Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al-Haq (Di atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal. 5 – 6).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
245
D
³ •
º
Di surat An Nisa’ ayat 59 Allah menunjukkan adanya kehidupan agama (Islam) yang memberikan arah supaya yang percaya denganya tetap utuh, kompak, terpadu dan yang terpenting selalu berada di dalam memancarnya pepadang Cahaya-Nya. Mereka yang beriman dengan taatnya kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan Ulil- Amri-Minkum. Yakni seseorang yang diwenangkan untuk ditaati perintahnya dari golongan mereka yang beriman itu sendiri yang apa bila semua perintah dan petunjuknya itu dilaksanakan, buah dan manfaatnya serta sampainya kepada Allah Swt dengan selamat dalam ma’rifat, sama persis dengan ketika diperintah KN Muhammad Rasulullah sendiri. Dengan begitu maka “farudduuhu ilallahi warasuli” dapat dilakukan dengan mudah meski yang bersangkutan buta huruf. Bahkan, kayaknya, mereka yang diluluhkan hatinya oleh cahaya hidayah-Nya adalah sebagian mereka yang seperti Abdullah bin Ummi Maktum, sebagaimana diberitakan oleh Allah dalam ayat-ayat di surat ‘Abasa (Ia bermuka masam). “Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu bahwasanya ia ingin membersihkan dirinya, atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang-orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) bagimu kalau dia tidak membersihkan diri. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedang ia takut (kepada Allah), maka kamu mengabaikannya”. (QS. ‘Abasa : 1 – 10). Peringatan dari Allah dalam surat ‘Abasa tersebut memberikan pelajaran bahwa tandatanda siapa yang kemungkinan dapat dimasuki hidayah-Nya adalah mereka yang menyadari kehambaannya. Jauh dari watak akunya dan watak nafsu yang ini mesti akan membentuk sifat dan watak berani ngembari Tuhannya. Merasa lebih, merasa cukup, merasa sudah mengerti, sudah paham, lalu mudah bangga dan sudah puas dengan apa yang dikiranya benar dan baik. Atau watak aku dan nafsu yang sebaliknya, yakni persis meniru wataknya makhluk Allah yang ablasa kepada-Nya. Mudah tersinggung gengsi kehormatannya. Karena itu cepat menghina, melecehkan, menertawakan dan mengolokngolok yang sebenarnya hak dan benar. Apalagi kalau didukung oleh kecerdasan dan kepintarannya menguasai berbagai pengetahuan. Sama sekali lupa bahwa “wafauqa kulli dzi’ilmin ‘aliemun”. (QS Yusuf : 76). “Bahwa tiap-tiap orang yang berilmu itu ada (lagi) yang lebih tinggi ilmunya”. Contohnya seperti kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Hanya karena beliau Nabi dan Rasul (Musa), maka dipelihara Allah dari sifat kibir. Dipelihara dari watak abaa was-takbara. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 65 – 66).
Ulul albab : Hamba yang dihati nurani, roh dan rasanya, selalu akan dapat merasakan indahnya mengingatingat dan menghayati DiriNya Illahi yang dekat sekali. Sambil apa saja. Sambil melakukan aktivitas dengan berdiri, duduk atau sambil berbaring. Kemudian berusaha keras untuk menjadikan akal pikirannya berpotensi guna dapat dijadikan sarana mengelola garapan dunia yang diciptakan Allah, tidak batal dan tidak sia-sia. Karena itu semata-mata demi Subhanaka. Sama sekali tidak ada niatan untuk mengumpulkan harta kekayaan. Bermegah-megah. Untuk pamer, berbangga-bangga dan jor-joran. Apalagi untuk mengumbar hawa nafsu dan sahwat. Sama sekali tidak. Akan tetapi semata-mata demik dijadikan pancatan yang kokoh hingga dengan demikian maka dapat digunakan untuk memproses diri dan pensucian diri dalam bentuk memperbanyak lakon
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
246
³
D
º
dan pitukon supaya hati nurani, roh dan rasanya selalu dijadikan oleh-Nya bersentuhan dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Suci. (lih. selanjutnya Ummatan Wasathan). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.17). Ulul Albab yang benar dihadapan Allah yakni yang ia menalarkan akalnya bagaimana dapat senafas dengan maksud firman Allah dalam QS. Ali Imran 190 – 191. Yaitu akal hamba yang menyadari keterbatasannya setelah memperhatikan betapa hebatnya dan mengagumkannya ciptaan-Nya. Jagad Raya……. yang tidak terbayangkan betapa batas dan besar dan luasnya. Alangkah kecil bumi yang ditempati ini. Apalagi yang menempatinya. Yakni manusia dan makhluk lainnya yang ternyata juga beraneka juta bahkan milyar, bahkan mungkin trilyun; jenisnya, jumlahnya, macam-macamnya, bentuk dan juga aneka ragam warna warninya yang tak terkirakan oleh akal manusia. Maka tersungkurlah hamba yang akalnya bening ini untuk dapat mengetahui dan mengenali Sang Penciptanya. Padahal akalnya berkata, Dia Yang Allah Asma’-Nya ini Gaib. Maka akalnya juga lalu berjalan dengan beningnya, dan pikirnya : aku mencari dan menemukan sang penunjuk tentang keberadaan Ada dan WujudNya Dzat Yang Al Ghaib itu. Sebab Allah menjanjikan ada. Yakni “fas’alu ahladzdzikri”. Akal beningnya berkata dan membaca, lalu jihadunnafsinya-lah yang membuktikan ia hingga bertemu, memperoleh ijinnya Guru yang hak dan sah itu menerima ilmu tentang Dia Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya. Itulah Nur Muhammad –Nya. Lalu diperintahkan untuk selalu dapat diingat-ingat terus menerus sambil apa saja. Apa sambil berdiri. Apa sambil dudukduduk. Apa sambil berbaring. Itulah Tuhanmu Yang Empunya Nama Allah itu. Iling-ilingen! Yaitu yang kamu ngengeri sejak kamu belum di gwa garba. Kamu ngengeri nanti kalu masuk ke liang lahad dan akherat. Maka juga yang kamu ngengeri sekarang ini. Maka alangkah celakanya kalau kamu tidak kenal kepada-Nya. Tidak kenal jalan kembali menemui-Nya. Tidak kenal pada orang yang dikehendaki-Nya menjadi imam yang membimbingnya pada setiap jaman secara gilir gumanti pasti ada sejak Nabi. Tidak kenal ya berarti buta sebagaimana firman Allah di QS. Al Isra’ 72 : “dan barang siapa yang di sini buta (hatinya) maka di akherat kelak (juga) akan lebih buta dan lebih sesat jalannya. (Sesat = ke sasar ke alam yang di padanya tidak bertemu dengan Dzat Yang Al Ghaib dan Allah Asma’-Nya; tetapi di alam yang ketemunya dengan makhluk Allah yang kesemuanya ablasa kepada-Nya). Makhluk yang melecehkan dan menghinakan keberadaan Al Haadi yang wakilNya di bumi”. Bagi akal dan penalaran pikirannya bening seperti itu,lalu hatinya selalu mengingati-Nya, maka fungsi akal belum selesai. Setelah menerima ilmu untuk dapat ma’rifat kepada-Nya, dan dengan ilmu itu ia diingatkan untuk mengingati-Nya : “yadzkuruunallah qiyaaman waquudan wa ‘ala junuubuhim” sehingga rasa jiwa akrab dengan-Nya, ia diperintahkan dengan petunjuknya itu supaya memperbanyak lakin dan pitukon sebagai bukti proses perjalanan mendekat kepada-Nya. Proses lakon dan pitukon yang merealisasikan sumpahnya ketika hendak memperoleh ilmu yang menjadikan hatinya mengetahui hakekatnya, yakni rela dan senang hati untuk selalu bersama-sama dalam pengabdian ibadahnya dan selalu saling bertolong-tolongan dalam kemelaratannya. Untuk itu maka harus melakukan “Wayatafakaruuna fii khalqissamaawati wal ardhi maa khalaqta haadzaa baathila”. Yakni memikirkan dan memecahkan masalah penciptaan ini demi untuk memperbanyak lakon pitukon dalam pemrosesan masing-masing diri mendekat kepadaNya. Lakon dan pitukon ini diperoleh dari pemrosesan adanya penciptaan Allah untuk dikelola dan digarap dengan berbagai sarana ilmu pengetahuan dan teknologi agar dampak daripada ujud
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
247
D
³
º
nyata sumpah saling bersama-sama dalam ibadah dan pengabdiaannya serta ujud nyata saling tolong menolong sesama saudaranya, terealisasi dalam bentuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup dan kehidupan lahir dan batinnya. Sehingga benar-benar terhindar dari keserakahan yang mengundang hadirnya azab dan panasnya api yang menyulut hati, emosi, pikiran dan tingkah laku yang merusak dan meracuni cita-cita Subhanaka. Dalam hal itu maka kuncinya adalah niat! Bagi yang telah mengerti dan memahami kebenaran Al Haq-Nya dengan ilmu untuk ma’rifat kepada-Nya, kerja kerasnya mengelola garapan dunia ini sama sekali tidak untuk mencari dunia! Mengapa berada di dunia kok mencari dan memburu dunia? Seperti ikan dalam air. Masak sudah berada dalam air kok mencari air. Apa mau meloncat ke udara? Kan justru malah mati.. Kita dengan kerja keras mengelola dunia ini adalah demi untuk memenui perintahnya Guru yang hak dan sah sebagai wakilnya Rasulullah guna membuktikan lakon dan pitukon untuk memproses pendekatan diri kepada-Nya hingga selamat sampai bertemu dengan bahagia. Yakni hijrah kepada Allah dan Utusan-Nya. Yang hijrah atau boyong adalah rasa dan batinnya. Meski nampak pada kelahirannya bahwa juga wajar sebagaimana halnya manusia pada umumnya. Niat dan tekad demikian, justru urusan hal kehidupan dunia malah katut. Katut aman, katut sejahtera. Katut makmur. Katut guyub rukun. Katut memperoleh rezeki yang mberkahi. Karena Dia sendiri yang langsung menanggungnya. Inilah pikir dalam dzikir. Ikhtiar dalam tawakkal. Karena apa saja yang dikerjakannya sepenuhnya mewakilkan kepada-Nya. Yakni tidak diaku. Sebab rasa hatinya hanya Dia Yang Maha Aku (Isi-Nya Hu) yang diyakini Ada dan Wujud dalam rasa hatinya. Maka dalam segala kerja yang dilakukannya, hatinya juga sangat dijaga agar selalu mengingat-ingat-Nya dan menghayati-Nya. Sebab hakekatnya, memang Dia Sendri yang tandang. Yang Bisa, Yang Kuat dan Yang Bergerak. Jalan pikiran yang ulul albab inilah yang dikehendaki oleh firman Allah dalam QS. Ali Imran 190 -191 itu. Dan untuk itu, ternyata memang langka. Sebab ilmu Allah, yang disampaikan kepada hamba-Nya tentang ini, sedikit sekali yang siap disentuh. Karena ya seperti penjelasan di muka, betapa iblis yang kerja kerasnya selalu membentuk wadya bala dari jin dan manusia memang maunya agar tidak satupun hamba Allah ke arah ini jalan pikirannya. Firman Allah yang isi peringatannya : “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi & apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar Rum 8). Firman berikutnya dalam QS. Ali Imran 196 -197 : “Janganlah kamu sekali-kali terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka adalah jahanam; dan jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 73 – 76).
Ummatan Wasathan : •
Ummat yang berwashitah. Umat yang secara persis yakin sepenuh hati bahwa “la biwusuli ilaihi illa biwaasithatin”. Umat yang dengan yakin sepenuh hati bahwa tidak akan dapat sampai kepada Tuhan dengan selamat kecuali dengan Washitah.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
248
D
³
º
•
Ummat yang adil dan pilihan. Ummat yang dipandaikan olehNya mengadili, menasehati, menegur, mengurus dan memimpin dirinya sendiri agar hidupnya tidak diperintah oleh watak akunya nafsu. Dipilih sendiri oleh Allah agar menjadi hamba yang segala tingkah laku dan perbuatannya, serta gerak-gerik lahir batinnya senantiasan murni katut siriling Qudratullah (K.H.Mohammad Munawwar Afandi,----- , Tanjung, 2 Desember 2000, hal 1).
•
Ummat yang ditengah-tengah kalangan mereka sendiri itu ada Rasul-Nya Allah agar selalu dapat menjadi saksi atas perbuatan mereka supaya selalu terjaga dari segala macam bujukan nafsu dan syaitan hingga harapannya akan dapat lulus menghadapi ujian dan cobaan yang beraneka demi membuktikan tujuan hidupnya untuk dapat selamat dan bahagia bertemu dengan-Nya. Ummatan Wasathan disebut pula umat yang adil dan pilihan. Maksud adil adalah hamba yang dibentuk oleh-Nya bisa dan pandai mengadili dirinya sendiri supaya hidupnya sehariharinya terbebas dari tipu daya nafsu sendiri. Apalagi hingga sampai diperintah dan dijajah. Hal demikian bisa terbentuk manakala ilmu untuk mendekat kepada Allah sehinga selamat sampai kepada-Nya itu benar-benar bermanfaat. Ilmu tersebut manfaat apabial ilmunya itu menjadikan seseorang akan selalu mengetahui aibnya diri sendiri. Aibnya mencintai dunia. Dan mengetahui bencana amal perbuatannya. Yakni takabur, sum’ah, ria dan ujub. Sebab apabila bencan amal berupa watak yang melampui batas ini tidak di hindari, maka maksud mujahadahnya sama sekali tidak membekas. Sehingga akibatnya amal baik yang dilakukan musnah bagai api yang memakan kayu yang kering. Dan maksud pilihan adalah karena dipilih Tuhan sendiri karena ridhaNya digerakkan mempunyai hati yang terbuka memperoleh ilmu perihal keberadaan DiriNya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib WujudNya itu dari yang berhak dan sah menunjuki dan mengajari. Sebab yang satu ini, satupun hamba tidak diberi mengerti apabila tidak diridhai olehNya (QS Al Jin; 26-27). Kemudian mensyukuri bahwa ternyata yang berhak dan sah menunjuki ilmu perihal keberadaan Diri-Nya itu adalah hamba yang secara hak dan sah dikehendaki oleh-Nya sebagai pelanjut tugas dan fungsi kerasulannya Nabi Muhammad SAW. Di mana wakil dan muwakkil itu sama. Maksudnya apabila benar-benar percaya sepenuh hati dan segala petunjuk serta perintahnya diusahakan untuk dapat dipenuhi, maka buah dan manfaatnya serta sampainya kepada Allah dengan selamat, sama. Sama persis dengan seandainya dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Ummat demikian dengan sendirinya sekaligus sebagai hamba yang Ulul-Albab. Yakni hamba yang hati nurani, roh dan rasanya, selalu akan dapat merasakan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Illahi yang dekat sekali. Sambil apa saja. Sambil melakukan aktifitas dengan berdiri, dengan duduk-duduk atau dengan sambil berbaring. Kemudian berusaha keras untk menjadikan akalpikirannya berpotensi guna dapat dijadikan sarana mengelola garapan dunia yang diciptakan Allah, tidak batal dan tidak sia-sia. Karena itu semata-mata demi subhanaka. Sama sekali tidak ada niatan untuk mengumpulkan harta kekayaan. Bermegah-megah. Untuk pamer, berbangga-bangga dan jor-joran. Apalagi untuk mengumbar hawa nafsu dan sahwat. Sama sekali tidak. Akan tetapi semata-mata demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh hingga dengan demikian maka dapat digunakan untuk memproses diri dan pensucian diri dalam bentuk memperbanyak lakon dan pitukon supaya hati nurani, roh dan rasanya selalu dijadikan oleh-Nya bersentuhan dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Suci.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
249
D
³
º
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu semua dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Inilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan demikian pula dalam hal ini (yakni kebenaran Al haqNya yang selalu dibawa oleh Rasul-Rasul-Nya yang tidak pernah putus sama sekali sejak Nabi Muhammad SAW hingga kini dan sampai dengan kiymat nanti), supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu semua dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia, maka tegakkanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu semua pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dia sebaik-baik Pelidung dan sebaik-baik Penolong.”. (QS. Al hajj 78). Dan tali Allah yang diperintahkan supaya dipegangi dengan kuat-kuat adalah “dawuh Guru Yang hak dan sah itu”. Ummatan Wasathan yang sekaligus ulul-albab sebagaimana penjelasan di muka adalah hamba beriman yang memenuhi seruan-Nya secara utuh dan benar, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya dalam surat Al Maidah 35 : “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah supaya dapat sampai kepada-Nya (dengan selamt dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya) itu al-wasilata, dan berjihadlah di jalan-Nya supaya kamu dapat keberuntungan”. Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang dikehendaki dalam keimanannya itu iman yang tidak duga-duga saja terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Allah Asma’-Nya. Dan untuk memenuhi hal tersebut, jalan satu-satunya tidak lain harus bertanya kepada ahlinya. Sama sekali tidak bisa direkayasa sendiri meski seberapa hebatnya kemampuan manusia dengan peralatan ilmu pengetahuan serta penguasaan kitab-kitab kuning maupun kitab-kitab putih, seberapapun hebatnya dan canggihnya. Sebab pengaturan tentang hal ini berada di dalam wilayah Al-Haqqu Min Rabbika. Maka manakala hidup seseorang dikehendaki berwatak bagai Malaikat yang didekatkan (watak Malaikat yang dibumikan Allah dalam dadanya), maka ia akan rela sujud (dalam arti memberlakukan diri berjihadunnafsi hingga kal mayyiti baina yadi al-ghasili). Patuh dan tunduk kepada yang berhak mensucikan. Yaitu para Rasul-Nya dan penerusnya yang hak dan sah. Dan apa bila tidak dikehendaki demikian maka yang membumi dalam dadanya adalah watak iblis yang abaa wastakbara (acuh, enggan dan sombong). Sebab memandang dirinya merasa lebih baik dari pada Rasul-Nya Allah yang ditugasi sebagai wakil Diri-Nya yang Al Ghaib itu. Karena itu dalam QS An Naas (surat terakhir dalam Al Qur’an), apabila yang menguasai dalam dada itu bukan Rabb maka yang berkuasa tidak lain adalah kejahatan syaitan yang biasa sembunyi, yang membisikkan kejahatan dalam dada manusia dari jin dan manusia. Iblis adalah makhluk golongan jin (QS Al kahfi 50). Dan manusia yang dicipta oleh Allah dari mani tetapi ternyata tiba-tiba hanya menjadi pembantah yang terang-terangan. (An Nahl 4). Sedang yang dimaksud dengan taqwa kepada Allah adalah seseorang yang bersungguhsungguh dalam memenuhi petunjuk dan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan benar dan ikhlas. Hamba sebagaimana di atas oleh Allah masih diperintah lagi supaya selalu berusaha agar dapat dengan selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya itu al-wasilata. Hal tersebut karena sangat menentukan sekali benar tidaknya membuktikan mati. Menentukan selamat atau tidaknya ketika mati. Maksud supaya mencari agar selamat dan benar matinya (dpat merasakan betapa nikmatnya dan bahagianya bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya) adalah bagi yang telah beriman dan bertaqwa sebagaimana penjelasan di atas, apabila menjelang saat mati ia benar-benar mengakui mempunyai Guru
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
250
D
³
º
yang hak dan sah itu, kemudian lalu memohon ampunan atas segala kekurangannya dan salah dosanya pada Guru itu, kemudian memohon supaya memperoleh restunya untuk dapat membuktikan dawuhnya (yakni membuktikan masuk kedalam dhikirnya), yaitu pulang kembali menemui yang selalu diingat-ingat dan dihayati. Yaitu dirinya Illahi. Ini yang harus benar-benar dimengerti. Hal di atas memenuhi sabda Rasul bahwa :”Man maata walam ya’rif imaamu zamanihi maata maitatan jahiliyatan”. Oleh karena itu dalam surat Al Maidah 35 di atas masih dilanjutkan; “dan berjihadlah di jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan”. Sebab yang akan dijadikan lulus oleh-Nya mencapai puncak kebahagiaan (yakni ketika mati dapat merasakan betapa nikmat dan bahagianya bertemu dengan-Nya) adalah mereka yang setelah mengetahui seyakinnya terhadap kebenaran semua yang dijelaskan dimuka, supaya ditengah jalan tidak mbalelo, tidak berpaling apalagi sampai berbalik ke belakang, maka harus benar-benar memerangi nafsunya sendiri supaya selalu patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasanya mendekat kepada-Nya hingga sampai dengan selamat. Sebab nafsu yang wujudnya jiwa raga ini sangat rawan sekali disusupin oleh bentukan pandangan baik dan benar dari kerja kerasnya iblis dan syaitan lewat cipta dan angan-angan yang maunya setiap dada manusia dijadikan markas besarnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.16 – 18).
Ummi : •
“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Al Haq-Nya), maka katakanlah : “Aku menyerahkan diriku sepenuhnya kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakan kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi : “Apakah kamu (mau) masuk Islam”? Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka-mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (peringatan). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali Imran 20). Yang dimaksud ummi pada ayat di atas adalah mereka yang bodoh-bodoh. Bodoh karena tidak tahu akan Tuhannya. Bahwa Tuhan Yang Asma-Nya Allah itu adalah Dzat Yang Al Ghaib. Dan Dzat Yang Al Ghaib itu adalah Isi-Nya Huw (yang hanya dapat diketahui dari Guru yang hak dan sah itu). Sehingga pengertian masuk Islam lalu menjadi muslim di atas adalah menjadi orang yang bercita-cita mempunyai hati yang selamat. Dan hati yang selamat ialah hati yang senantiasa lekat kepada-Nya. Yakni mengingat-ingat kepada Jati Diri Dzat Yang Al Ghaib itu dalam segala tingkah lakunya dan segala perbuatan yang dikerjakannya (pekerjaan-pekerjaan yang hak dan halal). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 85).
•
Sunnah Nabi adalah realisasi dari Cahaya-Nya jua semata-mata. Karena itu beliau disebut ummi. Ialah sama sekali tidak ngaku. Rasanya tidak ngaku sama sekali. Rasanya dan batinnya Muhammad yang juga utusan-Nya ini semata-mata kelet dan menyatu di dalam Nur Muhammad. Nur Muhammad yang juga inti fitrah jati diri hamba yang disucikan olehnya supaya kembali menyaksikan keberadaan Jati Diri Dzat tempat asal mulanya sendiri dan tempat kembali menemui-Nya di akherat-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 89).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
251
³
D
º
“Utruk Nafsaka Wa ANA Milkun” : Bagi mereka yang memenuhi janji, artinya lulus menghadapi ujian dalam jihadunnafsinya bersama Hidayah-Nya, digambarkan adanya sekelompok kaum yang menanam benih pada suatu hari, kemudian tumbuh subur dan diketamnya pada hari itu juga. Dan setiap habis diketam, langsung berbuah kembali, lalu diketamnya lagi. Begitulah keadaannya secara berulang-ulang. Dan ketika ditanyakan oleh beliau kepada Malaikat Jibril, beliau memperoleh jawaban bahwa hal itu adalah gambaran ummat beliau yang sepenuh hati rela dan ikhlas dalam jihadnya mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi memenuhi seruan Tuhannya membuktikan ; “Utruk nafsaka wa ANA milkun” = Tinggalkanlah kebutuhan jiwa ragamu (sebab itu) adalah Tanggungan-Ku. Maksudnya yang meninggalkan itu adalah tekad dan rasanya. Sedang keadaan jiwa raganya tetap sebagaimana layaknya manusia dengan kerja kerasnya mengelola dan membangun dunia. Tetapi tekadnya tidak sebagaimana halnya umumnya manusia. Sama sekali tidak untuk memuktiwibawakan jiwa raganya. Juga sama sekali tidak untuk mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Apalagi untuk bersenang-senang ngumbar hawa nafsu dan syahwatnya. Tidak sama sekali. Tekadnya demi untuk agar supaya dapat membuktikan lakon dan pitukon memproses atas tujuan dan cita-caiata mendekat hingga sampai dengan selamat menemui Tuhannya. Karena rasa hatinya yang dirasakan hanyalah bagaimana dapatnya senantiasa merasakan nikmatnya mengingat-ingat-Nya. Oleh karena itu, ia akan selalu mendidik dan melatih dirinya bagaimana supaya terlatih “betah nglakoni jihadunnafsi” = terlatih memiliki ketahanan mental dalam melakukan jihad (memerangi nafsunya sendiri) dengan jalan riyadah dan mujahadah. Memperbanyak dzikir, shalawat dan istigfar pada saat manusia nikmat dengan tidurnya (habis tengah malam). Berdiri di malam yang panjang dan berat buat nafsunya agar supaya mau diajak melakukan shalatshalat malam hingga menjelang saat subuh datang. Firman Allah : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al Baqarah : 45 – 46). Maka kanugrahan yang besar bagi yang memenuhi janji yang janji itu dilakukan oleh dirinya dengan saksi Al Haadi ketika setelah menerima ilmu tentang Jati Diri-Nya, hakekatnya janji yang dilakukan itu adalah langsung berjanji dengan Dia Sendiri. Itulah sebabnya maka Allah mempertanyakan mereka yang tidak pernah melakukan hal itu sebagaimana Firman-Nya : “Katakanlah :”Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya atau apakah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”(QS. Al Baqarah : 80). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 87 – 89).
Uzlah : (lih. Murid – Jalan bagi Murid)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
252
D
³
º
W Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal yakin : • •
“Sembahlah Tuhanmu hingga datang yakin (mati)”; Menyembah kepada-Nya sehingga Rabb yang disembahnya itu dengan yakin hadir kepadanya. Sehingga ketika mati, benar-benar pulang kembali ke tempat asalnya. Bertemu lagi dengan Diri-Nya. Pulang kembali ke martabat Wahidiyat (martabat hakekatul insan) yang secara yakin dan benar kenal dan tahu adanya Nur Muhammad yang ada di dalamnya. (K.H. Mohammad Munawwar Afandi, Martabat Tujuh dan Sangkan Paraning Dumadi, Tanjung, 19 September 1998, hal. 2).
Wakil itu sama dengan Muwakil : (lih. Rasul – Wakil Itu Sama Dengan Muwakil) Apabila dengan secara benar mengikutinya (wakil Nabi Muhammad Rasullah Saw yang hak dan sah) dan juga taatnya, buah dan manfaatnya serta sampainya kepada Allah dengan selamat sama persis dengan seandainya langsung taat kepada Nabi Muhammad SAW, ketika beliau masih hidup didunia. Tidak ada bedanya. Maka oleh Allah di dalam firman-firman-Nya juga disebut Rasul. “Bagaimanakah kamu sampai menjadi kafir padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan RasulNya pun berada ditengah-tengah kamu? (QS Ali Imran 101). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 7).
Waliyyan Mursyida : Guru Wasthah yang hak dan sah yang secara gilir gumanti dalam sebuah rantai silsilah tidak akan pernah terputus sama sekali, yang atas kehendakNya ditugasi melanjutkan tugas dan fungsinya junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya, di dunia hanya satu saja (Fuhuwa wahdiun)
(K.H Mohammad Munawwar Afandi, Penjelasan Perihal Perintah Guru SupayaWarga Syaththariyah Belajar Menjadi Murid (Orang Yang Berkehendak Bertemu Tuhan) PandaiPandai Bersyukur Kepada Allah, hal 1, Pondok Sufi, 19 Agustus 2002). Wamaa Arsalnaaka Illa Mubasysyiran Wanadziiran : “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringantan” (QS Al Isra’; 105) Kabar gembira yang dibawa para utusan Allah yang keberadaannya hingga kini terus ada dalam satu rantai silsilah yang tidak pernah putus sama sekali sejak dari Nabi Muhammad Saw lewat Sayyidina Ali bin Abu Thalib, adalah adanya ilmu yang menyatukan kembali antara inti manusia yang berada di dalam rasanya dengan Diri-Nya Zat Yang Al Ghaib dan Wajib WujudNya sebagai pintu gerbang untuk dapat selamat dan bahagia bertemu dengan Tuhannya. Kemudian ini yang dijadikan cita-citanya dan tujuan hidupnya. Memenuhi amanah Allah untuk masuk ke dalam Sibghah-Nya Allah, masuk dalam celupan Allah. “Shibhah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepadaNya lah kami menyembah”. (QS. Al Baqarah 138). Kabar gembira karena menjadikan wajah (rasa jiwanya) putih berseri sebab dengan ilmunya yang diperoleh secara hak dan sah itu menjadikan rasa hati nikmat merasakan Diri-Nya Dzat Yang Kekal dan Abadi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 20).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
253
D
³
º
Wasilah; Wasilata : (lih. juga Wasithah) •
Firman Allah dalam QS. Al Maidah 35; “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau cari untuk dipegangi supaya dapat selamat sampai kepada-Nya itu Al Wasiilata, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan”.
•
Al Wasilata adalah perantara yang dapat dimintai ilmu tentang keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaibi sebagaimana yang diperingatkan oleh Allah di QS. Ali Imran 28, 30 : “Wayuhazdzikrukumuliahu Nafsa-Hu-wa ilallaahi al-mashiiru”. Al Wasilata adalah perantara yang ditugasi oleh-Nya sebagai wakil Diri-Nya di atas bumi. Wakil yang tahu persis tentang keberadaan diri Sang Muwakkil Yang Al-Ghaib dan Allah Asma-Nya. Mengetahui kehendak-Nya, jalan menuju Kepada-Nya hingga selamat dan bahagia bertemu denganNya. Sebagaimana ditegaskan firman-Nya dalam kalimat yang IsiNya perintah : “wattabi’ sabiila man anaaba ilaiyya” = dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Karena itu al-wasilata adalah utusan-Nya juga. Utusan yang memenuhi maksud yang dikandung dalam firman-Nya di QS al Anbiya’ : 25. “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : bahwa segala tingkah laku dan perbuatan itu LAA Ilaaha ILLA ANA FA’BUDUNI”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membela Tegaknya Kesetiaan Pada Rasulullah, Tanjung, 30 Juli 1995, hal. 2).
•
Al Wasiilata yang menunjuk kebaradaan seseorang yang dikehendaki sebagai penyebab (lantaran) dapat mengetahui isi bathinnya Nabi Muhammad SAW yang selalu memancar dengan Cahaya Wajah-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, yakni Nur Muhammad itu sendiri. Sehingga dengan begitu akan dengan sendirinya selalu bersentuhan dengan Wajah-Nya. Nikmatnya rasa menghayati Ada dan Wujud-Nya. Al Wasiilata yang dia adalah Guru Wasithah yang hak dan sah menunjuki ilmu tentang Al Ghaib-Nya sebagaimana yang dikehendakifirman-Nya dalam QS. At Takwir ayat 24 : “Dan dia (rasul-Nya Allah dan wakil-wakilnya yang hak dan sah) bukanlah seorang yang bakhil untuk menunjukkan (dan menerangkan keberadaan Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang) Al Ghaib”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 42 – 43).
Wâsithah : (lih. juga Guru; Wasiilata) •
Pada kalangan ahli Syaththariah, Wasithah adalah “penerus tugas Rasullah). Dalam hadits Nabi disebut al-Mahdi. Sebagaiman sabda-nya : “Kamu semua wajib mengikuti sunnahku dan juga wajib mengikuti sunnahnya para wakilku yang ar raasyidiin, al mahdiyyiin”. Kebetulan sekali beliau-beliau ini adalah dari kalangan Ahlul baitnya Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana penjelasan para Guru Wasithah bahwa yang dimaksud Ahlul Baitnya Nabi Muhammad SAW, bukan mesti harus keturunan darah (kulit daging), akan tetapi mereka yan “ahlul qurub”. Mereka yang ahli prihatin. Prihatin itu bukan susah, tetapi mereka yang bersungguh-sungguh selalu berjihadun- nafsi, supaya darah yang mengalir dalam tubuhnya sebagaimana darah yang mengalir dalam tubuh Nabi Muhammad SAW, yang aliran darah dalam tubuhnya selalu mendorong
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
254
D
³
º
semangat hidupnya, watak supaya berhasil dalam mengikuti jejak pada “malaikatul muqorrrobin”. Yang mempunyai kepatuhan dan keta’atan secara utuh untuk berlaku sujud (kal mayyiti baina yadil ghoosili = bagaikan mayat yang sepenuhnya pasrah kepada yang berhak dan sah mensucikan). Hal demikian dilakukan semata-mata demi mempersiapkan diri supaya ditarik fadhal dan rahmat-Nya dijadikan hamba yang muqorrobun. Hamba yang didekatkan kepada Diri-Nya oleh-Nya jua. Pada kalangan ahlul bait telah ada ketetapan untuk mempersiapkan diri seperti itu, yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi : “Seorang sama sekali tidak akan dapat mencapai derajat muqorrobun kecuali apabila seseorang itu itba sepenuhnya kepada Nabi Muhammad SAW (dan atau kepada wakilnya yang hak dan sah setelah beliau tiada). Yang harus diikuti secara total itu adalah : ucapan dan perbuatannya. Ilmu dan amalnya. Lahir danbatinya, yang pertama; lalu diikuti dengan rasa hati yang senantiasa nginjen-nginjen (mengintai-intai) satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, yang keduanya”. Dan bagi yang telah memperoleh ilmu secara benar, yang diintai-intai adalah Isi-Nya Huw. Sekaligus memenuhi petunjuk Allah dalam QS : 3, Ali Imran, 31 : “Katakanlah :” Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, miscaya Allah juga akan mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Firman Allah yang menyebut ikutilah Aku, dengan sendirinya juga mengikuti para wakil-Nya yang hak dan sah yang terus gilir gumanti dalam rantai silsilah yang tidak pernah putus sama sekali hingga kini dan sampai kiamat nanti. Hal di atas juga telah dengan jelas diungkapkan oleh sabda Nabi dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, al-Hakim dan al-Dzahabi; bersabda Rasulullah SAW : “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu ya Ali adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali lewat pintnya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta padaku tetapi membenci kamu, karena kamu adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian darimu. Dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, ruhmu adalah ruhku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu. Sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu.” “Kamu dan para imam dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu Nabi Nuh, siapa yan naik di atasnya selamat dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang, setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiamat” (alHadits). “Kullu maa ghaaba najmun thala’a najmun ilaa yaumil kiyamah”. Setiap kali bintang itu tenggelam maka terbit lagi bintang sampai kiamat. Kaliat terbit menggunakan “fil madhi (thala’a). Maksudnya antara bintang sebelum dan sesudahnya (antara Guru sebelumnya dan yang dikehendaki Illahi sebagai penerus tugas dan fungsinya) itu tdak hanya kenal. Tidak hanya sebagai hubungan Guru dan muridnya, akan tetapi atas kehendak dan izinNya digulawentah (dipersiapkan dengan pendidikan yang sempurna) sedemikian rupa sehingga sekiranya ditinggal mati telah enar-benar siap menerima pelimpahan. Begitulah sejak Nabi Muhammad SAW yang mempersiapkan Sayyidina Ali bin Abu Thalib As. Kemudian melimpahkan wewenang kepadanya sebagai wakil yang meneruskan tugas dan fungsi kerasulannya. Firman Allah yang berkaitan dengan perihal di atas adalah sebagaimana dalam QS : 5, Al maidah ayat 67 :
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
255
D
³
º
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunka kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tiak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang tidak percaya (terhadap adanya penerusan tugas dan fungsi kerasulan ini)”. (QS. 5; Al maidah ayat 67). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 36 – 40), • •
Guru; apa yang “dijalan-kan” semata-mata karena sekedar melaksanakan perintah Guru sebelumnya; Merupakan hamba Allah yang dibentuk dan dijadikan olehNya dengan hidayahNya dengan tugas pokok menunjukan “pintunya mati”. (lih. pintunya mati). Pintunya mati supaya dapat selamat dan bahagia pulang kembali kepada Diri Illahi adalah “Nur Muhammad” (lih. Nur Muhammad). Para Wasithah inilah atas kehendak-Nya memperoleh warisan ilmu Nubuwah. Ilmu yang dihayati dan diamalkan dan dibuktikan oleh semua Nabi-Nya dan Rasul-Nya Allah. Dan setiap gilir gumantinya hanya satu saja. Para Wasithah ini oleh Junjungan Nabi Muhammad SAW disebutnya sebagai putra-putranya sendiri yang keluar dari Sulbinya Imam Ali bin Abu Thalib As. Sulbi yang dimaksud adalah “tempat penyimpanan Nur Muhammad” dalam diri Imam Ali As. Yang diajarkan oleh semua Wasithah ini adalah “Shirathal – Mustaqim”, yaitu tertibnya amal perbuatan syariat (pada lahirnya) yang harus dibarengi oleh batin (rasa hati) yang berada dalam hakekat. Yakni rasa hati yang senantiasa mengingat-ingat, menghayati dan mengintai-intai Ada dan Wujud Satu-Satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya (IsiNya Huw). Atas kehendak dan petunjuk-Nya, para Wasithah ini sama sekali tidak akan berani ngaku atau merasa menjadi Guru (yang digugu dan ditiru = Rasul). Sebab Guru yang hak dan sah ini hakekatnya adalah Tuhan sendiri. Hanya karena Dia sama sekali tidak akan pernah ngejawantah, sedang keberadaan Diri-Nya Yang Al-Ghaib dan Mutlak Wujud-Nya harus dan wajib diketahui dan dikenali oleh hamba yang dikehendaki-Nya supaya dengan mudah dapat selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, dijadikan tujuan hidup dan tempat kembali apabila lulus dalam menghadapi ujian dunia yang pintu gerbangnya adalah mati, maka Dia selalu memilih utusan yang mewakili Diri-Nya supaya membimbing hamba yang dikehendaki dengan hidayah-Nya itu patuh dan tunduk berjalan di atas Shirathal MustaqimNya. Karena itu kalau sampai berani ngaku sama saja dengan ngembari Tuhannya. Pasti jatuh pada perbuatan murtad yang sebesar-besarnya. Karena itu antara Guru (Wasithah) yang sebelum dan sesudahnya, hubungannya tidak hanya sebagai hubungan Guru dan Murid. Murid yang atas petunjuk Tuhannya dikehendaki meneruskan tugasnya, dalam waktu yang cukup lama, dipersiapkan dan digulawentah sedemikian rupa sehingga sewaktu-waktu ditinggal wafat, telah benar-benar siap menerima tugas pelimpahan. Atas kehendak Yang Maha Kuasa bahwa tugas penerusan Wasithah ini belum tentu anak keturunannya. Ingat bahwa hakekat Guru bukanlah manusianya, tetapi Tuhan sendiri. Hanya kebetulan apabila dirunut, para Wasithah ini dengan sendirinya, semua saja pasti keluar dari sulbinya Imam Ali As. Dan Sulbi adalah “tampat penyimpanan Nur Muhammad SAW dalam diri Iman Ali As”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Gilir Gumantinya Wasithah Dalam Sebuah Rantai Silsilah Yang Sejak Junjungan Nabi Muhammad SAW Hingga Kini Tidak Pernah Putus Sama Sekali (Karena Hanya Kiamat Saja Yang Menghentikannya), Pondok Sufi, Tanjung , 8 Maret 2001, hal.1).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
256
D
³
º
Ciri-ciri Wasithah Ciri-ciri Wasithah adalah : a. Telah dipersiapkan dan digulawentah oleh Guru yang sebelumnya. Seperti ketika Junjungan Nabi Muhammad SAW mempersiapkan dan nggulawentah Imam Ali As. b. Karena itu sama sekali tidak pernah terputus, bagai sebuah rantai. c. Memperoleh warisan Ilmu Nubuwah. d. Atas wasiat Junjungan Nabi Muhammad SAW kepada Imam Ali As, sejak Imam Hasan As., biasa dan kuat memimpin Puji Wali Kutub. e. Diwenangkan menyusun sunnah sesuai dengan jaman yang dihadapi, namun tetap berinduk pada sunnah Junjungan Nabi Muhammad SAW, demi memperkokoh Shirathal Mustaqim. f. Atas kehendak Allah SWT dijaga oleh 4 (empat) martabat, yakni Mursyidun, Murbiyun, Nashihun dan Kamilun. g. Sejak jaman Bapak Kyai Imam Mursyid Muttaqin hingga kini, berkewajiban memberi ijazah kepada warga jama’ah yang telah merampungkan Mujahadah asma’ (yang lafallafal asma’ tersebut adalah lambang atau simbul-simbul dari Kekuatan-Nya Qudratullah). h. Semua Wasithah adalah Ahlu al-Baitnya Jujungan Nabi Muhammad SAW. Maksudnya semua Wasithah ini, hati nurani, roh dan rasanya oleh Allah Swt dikehendaki selalu bertempat tinggal di dalam rumahnya Junjungan Nabi Muhammad SAW. Dan (hakekatnya) rumahnya Junjungan Nabi SAW adalah Nur Muhammad, Cahaya terpujiNya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya. Karena demikian maka, hati nurani, roh dan rasanya para Wasithah senantiasa mengingat-ingat, menghayati dan mengintai-intai Ada dan Wujud Diri-Nya Illahi. Sebab memang hanya Dia satu-satu-Nya Dzat Yang selalu dirasa Wujud dan dirasa Ada. Karena itu disebut juga ahlli dzikir. i. Menyertai tugas dan kewajiban yang dijadikan adalah “Besi Aji Islam Nur Malakiyah” sebagaimana yang dimaksud oleh firman Allah Swt dalam QS. Al Hadid ayat 25. j. Berdasar petunjuk Junjungan Nabi Muhammad SAW dan hawatib yang telah aku terima, para Wasithah yang ditugasi oleh Allah Swt sebagai Maula terdiri dalam 12 (dua belas) seri, sejak Junjungan Nabi Muhammad SAW hingga kiayamat nanti. Rantai silsilahnya adalah wujud nyata “hablun minallah” yang dengan sejelas-jelasnya menyampaikaan hidayah-Nya mengenai “Al-Haqqu min Rabbika”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Gilir Gumantinya Wasithah Dalam Sebuah Rantai Silsilah Yang Sejak Junjungan Nabi Muhammad SAW Hingga Kini Tidak Pernah Putus Sama Sekali (Karena Hanya Kiamat Saja Yang Menghentikannya), Pondok Sufi, Tanjung , 8 Maret 2001, hal. 2).
Silsilah Wasithah Silsilah tersebut adalah sebagai berikut : Silsilah Gilir Gumantinya Para Wasithah Sejak junjungan Nabi Muhammad SAW No
Nama
1
Junjungan SAW
Nabi
Muhammad
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
Masa Tugas (lebih kurang) 609 – 632 M
Urutan Seri Ke Tugas beliau sebagai Rasullah untuk umat sedunia s/d kiyamat. Karena itulah oleh Allahdisiapkan para pengganti/khalifah. Supaya tugas beliau tidak pernah terputus sama sekali meski jasad beliau telah dimakamkan (kandungan makna QS. 3 : ayat 144)*)
257
D
³ 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Imam Alli bin Abu Thalib, AS Imam Hasan Asy Syahid, As. Imam Husain, As Imam Zainal Abidin, As Imam Muhammad al-Baqir, As Imam Ja’far shodiq, As Imam Musa Al Kadzim, As Imam Ali bin Imam Musa Al Kadzim, As Imam Muhammad al Jawad, As Imam Ali bin Muhammad al Hadi, As Yang tugas memberikan petunJuk Ilmu pintunya mati, atas kehendak dan petunjuk Allah SWT dan ijin Gurunya dilaksanakan oleh Imam Abu’ Yazid al Bustomi, As. sampai dengan th. 874 M (tahun wafatnya Imam Abu Yazid al Busthomi), sedang Imam Ali bin Muhammad al Hadi, As wafat pada tahun 877 M. Imam Hasan al Askari, As Imam al Mahdi al Muntadzar, As. Demi keselamatannya dari ancaman pembunuhan oleh penguasan maka atas kehen-dak dan petunjuk Allah SWT disembunyikan pada tempat yang aman. Hingga selama 69 tahun tugas beliau dijalankan oleh4 (empat) orang wakil ber- turutturut (883 – 952 M) yaitu oleh : 1. Usman bin Saad al Umari al Asadi 2. Muhammad bin Usman 3. Al Husain bin Ruhal Naubati 4. Ali bin Muhammad al Samir Imam Al Mahdi al Muntadzar wafat pada tahun 955 M Shekh Muhammad al Maghribi As. Shekh Arabi al Asyiqi, As Shekh Qutb Maulana Rumi ath Thusi, As Shekh Qutb Abu Hasan al Hirqon, As Syekh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar, As Syekh Muhammad Asyiq, As Syekh Muhammad Arif, As Syekh Abdullah Asy Syaththar, As. Syekh Hidayatullah saramat, As Syekh Al hajji al-Hudhuri, As
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
º
632 – 661 M 661 – 670 M 670 – 684 M 684 – 718 M 718 – 737 M 737 – 771M 771 – 806 M 806 – 826 M
Ke satu Ke dua Ke tiga Ke empat Ke lima Ke enam Idem Idem
826 – 843 M 843 – 877 M
Idem Idem
877 – 883 M 883 – 955 M
Idem Idem
955– 1007 M
Ke tujuh
1007-1074M 1074-1132M
Idem Idem
1132-1176M
Idem
1176-1249M
Idem
1249-1312M 1312-1376M 1376-1429M 1429-1464M 1464-1520M
Idem Idem Ke delapan Idem Idem
258
D
³ 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
34 35 36
37 38 39 40 41 42
Syekh Muhammad al Ghauts Hataruddin, As Syekh Wajhuddin, As Syekh Saifullah bin Syekh Ruhullah, As Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, As Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, As Syekh Abdurrauf (Aceh), As Syekh Abdul Muhyi Pamijahan As Syekh mas Bagus Muhyidin, As Syekh Mas Bagus Nida’, Pamijahan, As. Kyai Mas Muhammad Sulaiman (Pangeran Atas Angin I), As. di Begelen Jateng (sebelum beliau istiqomah domisilinya, oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah SWT, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu Pintunya Mati dititipkan kepada Kyai Mustahal Surakarta) Kyai Mas Bagus Nuriman (Pange ran Atas Angin II), As. di Begelen Jawa Tengah Kyai Kun Nawi (Pangeran Atas Angin III), As di Begelen Jateng Kyai Ageng Margono (Raden Mar gono) (Kyai Mas Bagus Muhyi al Jawi), As. Yang sebelum domisili nya istiqomah(di Kincang Maospa ti) oleh Guru-nya dan atas kehendak dan petunjuk Allah SWT, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu Pintunya Mati dititipkan kepada Kyai Mas Bagus Amaddi di Tulung Agung Kyai Ageng Rendeng (Kyai Mas Bagus Ahmad Kusen), As. di Maospati. Kyai Ageng Sepet Aking (Kyai Mas Ahmad Kasan), As. di Maos pati Kyai Ageng ‘Aliman, As di Paci tan Kyai Ageng Ahmadiya, As di Paci tan Kyai Hajji Abdurrahman, As di Tegalrejo Magetan Nyai Ageng Harjobesari, As di Te galrejo Magetan (sebelum istiqo mah domisilinya, oleh oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah SWT, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
º
1520-1562M
Idem
1563-1580M 1580-1601M
Idem Idem
1601-1620M
Idem
1620-1652M
Idem
1652-1690M 1690-1718M 1718-1726M 1726-1735M
Ke sembilan Idem Idem Idem
1735-1749 M
Ke sepuluh
1749-1769M
Idem
1769-1780M
Idem
1780-1799M
Idem
1799-1811M
Idem
1811-1820M
Idem
1820-1827M
Idem
1827-1836M
Idem
1836-1854M
Idem
1854-1876M
Ke sebelas
259
D
³
43 44 45 46 47
Pintunya Mati dititipkan kepada Kyai Ageng Wignyowinata, Caru ban Madiun) dan oleh karena be liau ini maka mempunyai 8 (dela pan) orang wakil yang semuanya laki-laki, termasuk suaminya sen diri. Kyai Hasan Ulama’,As di Takeran Magetan Kyai Haji Imam Muttaqin, As di Takeran Magetan Kyai Imam Mursyid Muttaqin, As di Takeran Magetan Kyai Muhammad Khusnun Maliba ri, As di Tanjung Anom Nganjuk Atas perintah dan ijin Guru dan semua itu atas kehendak Allah SWT adalah penyusun sendiri (K.H. Muhammad Munawwar Afandi) dengan calon penerus yang juga telah disiapkan oleh Yang Maha Kuasa (yang ke-48; putra ke-3 beliau sendiri; Mas Mahmud) Seri ke-12 ini hingga sampai kiya mat. Berapa jumlahnya, hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Semoga Allah SWT selalu mengampuni semua dosa-dosaku Amin
º
1876-1916M
Idem
1916-1936M
Idem
1936-1948 M
Idem
1948-1979M
Idem
1979sekarang
Ke dua belas
*) QS. 3 : 144; Firman Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang Rasul dan sungguh telah berlalu beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu semua berbalik ke belakang (murtad; tidak percaya adanya penerus yang memang telah dipersiapkan oleh Allah sendiri sebagai pengganti/wakil/lhalifah beliau supaya tugas beliau tidak putus meski jasadnya telah disemayamkan). Barang siapa yang berbuat demikian, berbalik ke belakang (tidak percaya adanya penerusan yang secara hak dan sah tidak pernah putus sama sekali hingga sampai kiamat), maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur, bahwa meski Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya telah tiada, namun atas kehendak dan petunjuj-Nya ada penerus yang ditugasi melanjutkan tugasnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Gilir Gumantinya Wasithah Dalam Sebuah Rantai Silsilah Yang Sejak Junjungan Nabi Muhammad SAW Hingga Kini Tidak Pernah Putus Sama Sekali (Karena Hanya Kiamat Saja Yang Menghentikannya), Pondok Sufi, Tanjung , 8 Maret 2001, hal. 3).
Martabat Wasithah Guru Wasithah yang hak dan sah ini (atas izin dan kehendak-Nya) dipusakai empat martabat. 1. Martabat Mursyidun Ialah yang memperoleh pelimpahan wewenang dan izin untuk menunjukkan ilmu tentang Al Ghaib-Nya Dzat Yang Allah Asma’-Nya serta jalan lurus-Nya supaya dapat selamat sampai kepada-Nya dari Guru yang silsilahnya berantai tidak pernah putus (gilir
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
260
D
³
º
gumantinya) sampai kepada Sayyidina Ali bin Abu Thalib As hingga Nabi Muhammad SAW. Dan memberi petunjuk atas berbagai tingkat temuan si murid (yang berkehendak bertemu Tuhannya) agar tidak menjadi hambatan dan rintangan terhadap tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai yaitu “ma’rifat billah”. 2. Martabat Murbiyun Yakni tidak jemu-jemu mengingatkan (ngithik-ngithik) dan membimbing si murid supaya mempunyai kesabaran (mempunyai ketahanan mental, tahan uji dalam memberlakukan jihadunnafsi terhadap dirinya sendiri). Mengingat bahwa memproses diri untuk berjalan mendekat kepada-Nya adalah semua hal yang tidak disukai nafsu. Ini adalah perjalanan yang pelik (rumpil) sekali, banyak pengorbanan, besar gangguannya. Ini adalah proses yang suci dan kesucian itu yang akan dicapai. Keluhuran dan kesempurnaan Tauhid (muwahid) yang akan dicapai (luhur kang ginayuh lan sampurna wusanane). 3. Martabat Nashihun Yakni yang memberi nasehat. Dan isi nasehatnya sama sekali tidak akan bertentangan dengan firman-firman Allah dalam Al Qur’an dan tidak akan bertentangan dengan haditshadits Nabi. Sebab, keduanya adalah merupaka saksi nyata kebenaran Al-Haq-Nya (kebenaran kelangsungan tugas dan fungsi kerasulan Nabi Muhammad SAW). Karena itu apabila segala nasehatnya dita’ati, buah dan manfaat yang diterima serta sampainya dengan selamat bertemu dengan-Nya, sama persis seandainya langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. 4. Martabat Kamilun Yakni sempurna dan menyempurnakan (kamil mukammil). Sebab hakekat Guru ini adalah Tuhan sendiri. Maka dari jasad yang kebetulan diberi tugas dan disebut dengan Ahlul Dzikri (ahli mengingat-ingat-Nya dengan hati nurani, ruh dan rasa yang selalu menghayati Diri-Nya sehingga dengan seyakinnya telah mengenal Dia Dzat Yang Al Ghaib dan Allah Asma’-Nya), sama sekali tidak akan berani mengaku dan merasa menjadi Guru. Ahlul Dzikri takutnya luar biasa seandainya sampai muncul watak berani menyekutukan (ngembari) Allah. Sebab dia sendiri yang diwujudkan jasad sebagai manusia biasa, juga berusaha keras bagaimana seharusnya mengamalkan seluruh petunjuk dan perintah dari Guru yang memberi tugas kepada dirinya. Dan yang menyempurnakan (mukamil). Maksudnya bagi murid yang taat dan sepenuh hati kepadanya, iapun juga akan sempurna. Selamat dan bahagia bertemu dengan Dzat Yang Maha Sempurna. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 63 – 64). Wâsithah yang hak dan sah : (lih. guru yang hak dan sah)
Wolak Walik Zaman : Hakekatnya wolak waliknya jagadnya pribadi, ikut yang zulumat apa ikut yang an Nuur. Apalagi ngikut yang zulumat, yaitu yang sesat; itulah yang dihancurkan Tuhan. Hancurnya perasaan hati yang disesatkan dan bila ngikut yang Nuur, sepenuhnya dawuh guru yang dijadikan pedoman maka dialah yang diselamatkan dengan rasa bahagia bertemu dengan Diri-Nya. Sebab ngertinya dengan maksud firman-Nya “Kullu syai’in haalikun illa wajhahu”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dari Lembaga Ketuhanan, Tentang Murid Yang Benar-benar Murid, Afkar, Edisi 33/Ahad Pahing/03/2003, hal.13, Gerjalibin, Tanjung Anom, Maret 2003)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
261
³
D
º
“Wujuduka dzanbun kabirun walaa yunqatsu dzanbun akharu” : Wujudnya jiwa ragamu yang engkau aku wujud itu adalah dosa terbesar yang tidak ada dosadosa lain yang besarnya melebihi dari pada wujudnya jiwa ragamu yang engkau aku wujud itu. Sebab hal demikian sama saja dengan telah berani ngembari ada-Nya Dzat Yang Wujud-Nya Mutlak (Isi-Nya Huw), sama dengan telah mesekutukan-Nya (musyrik). Di samping itu dari wujudnya jiwa raga yang diaku wujud inilah yang kemudian menjadi sumbernya segala dosadosa. (K.H. Mohammad Munawwar Afandi, Pembagian Manusia Sebagaimana Penuturan Para Wasithah Dalam Risalah Ma’na Sirr Fi Bayani Ma’rifat Billah, , Pondok Sufi, Tanjung, 17 Maret 2001, hal. 2). Wujudnya jiwa ragamu (yang kemudian engkau rasakan wujud) itulah dosa terbesar yang tidak ada dosa-dosa lain yang besarnya melebihi itu. Mengapa demikian? Sebab yang sebenarnya wujud itu hanya satu saja, yakni Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib, dekat sekali dan Allah AsmaNya. Dia-lah satu-satu-Nya Yang Huwa al-awwalu Huwa al-akhiru. Huwa Adzdzahiru Huwa al bathinu. Adanya Dia tidak nampak (oleh penglihatan mata hati), karena terdinding oleh wujudnya jiwa raga dan wujud dunia seisinya ini. Oleh karena itu harus mempunyai ilmu untuk menafikan hijab tersebut dan ikhlas bertanya kepada yang berhak dan sah menunjuki (lih. Guru – Guru Yang Hak dan Sah). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 12).
“Wujuhun yaumaidzin naadhiroh, ilaa Rabbihaa naazhiroh” : Dijadikan hamba yang dihari matinya itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena dapat selamat, hingga wajahnya (rasa hatinya) berseri-seri (bercahaya), kepada Tuhannya dia melihat. (kandungan makna QS:75, Al-Qiyaamah; 22-23). “Wajah-wajah mereka (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Tuhannya” (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.19).
Wukuf : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji) “Wurudul faqoti a’yadul muridina, falfaqotu bashtul mawahibi” : Bahwa datangnya keadaan yang sulit (rekasa-kaningaya, kangelan), ujian, cobaan, pengorbanan harta dan jiwa raga yang semua itu tidak disenangi nafsu, guna melaksanakan dawuhnya Guru, bagi hamba yang berkehendak bertemu Tuhannya (murid), justru menjadi hari raya baginya. Sebab apabila hal demikian dengan sabar dan tawakkal dijalani akan menjadi alas (lemek) bagi beberapa pemberian Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dari Imam Jamaah Lil Muqorrobien Kepada Segenap Warga Jamaah Lewat Pengurus Di Semua Tingkat, Pondok Sufi, Tanjung , 14 Februari 2001, hal. 2).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
262
³
D
º
Y
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
263
³
D
º
Z Zaluuman Jahuula : Sejak mula siap memikul amanah-Nya manusia ini telah divonis Allah dengan “zaluuman jahuula”. Sangat zalim dan sangat bodoh (QS Al Ahzab 72). Diciptakan dari mani akan tetapi tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata (terhadap keberadaan Al Haq-Nya). Berwatak layatgha (melebihi batas) karena telah memandang dirinya serba cukup (Al ‘Alaq 6-7), Oleh karena itu tegas sekali Allah menetapkan bahwa sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya kamu semua (semua manusia ini) pasti mengikuti syaitan, kecuali sedikit (yang tidak).QS. An Nisa’ 83. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 5). Sebagai hamba manusia memang sama sekali tidak tahu apa-apa. Tidak tahu akan rencana Tuhan yang menguji dengan diwujudkannya nafsu (jenggelegnya jiwa raga), ditempatkan dalam kehidupan dunia dengan watak aku yang melekat kuat dengan watak nafsu yang “abaa wastakbara”, melampui batas, memandang diri serba cukup, menjadi pembantah yang terangterangan terhadap kebenaran Al-HaqNya, berwatak tergesa-gesa, lebih memilih nikmatnya kehidupan dunia dengan berbagai gengsi, status sosial, kehormatan, pangkat, kedudukan, wanita, syahwatnya, sahdan persis watak iblis. Maka lalu dipeliharalah hal-hal yang dianggap menjadi martabatnya seperti : bagaimana supaya keluhuran dirinya lebih dari lainnya, lalu menjadi takabur. Bagaimana supaya kelebihan-kelebihannya dimengerti orang banyak, dikondangkan dan kemudian dipuji banyak orang. Bagaimana supaya jasa-jasanya benarbenar secara nyata dilihat dan disaksikan orang banyak lalu dengan itu berbangga dan memuaskan watak akunya. Dan juga bagaimana supaya menjadi orang yang pekerja keras dengan hasil yang berdaya guna dan berhasil guna bagi orang banyak bagi kemakmurannya, kesejahteraannya, perekonomiannya, namun sama sekali lupa, tidak butuh lagi kepada Diri-Nya Sang Pemberi dan Penentu segala-galanya. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (QS. At Tiin : 4-5). Karena itu dalam QS. Al Ahzab 72 ketika Allah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung yang kesemuanya enggan memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Namun oleh Allah tidak dipuji, bahkan ditetapkan sebagai hamba yang benar-benar zalim dan jahil. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 57 – 58). Vonis Zaluuman Jahuula Itu Diantaranya Adalah Memotong-Memotong Agama Tauhid Ini Berdasar Kepentingan Mereka “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku Kemudian mereka memotong-motong (agama tauhid ini berdasar pada) urusan/kepentingan mereka masing-masing (lalu) di antara mereka menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar”. (QS. Al Mukminun ayat 51 – 56).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
264
D
³
º
Karena memang tidak sadar, maka jalan sesat yang ditempuhnya dikiranya itu adalah sarana untuk memperoleh hidayah dari Tuhannya. Itulah akibat dari mendustakan keberadaan RasulNya Allah yang sebenarnya tidak pernah terputus meski Nabi Muhammad SAW telah wafat. Dan karena perbuatannya yang tidak disadari bahwa itu menyesatkan, maka sikap pendustaan itu telah dianggapnya benar. Bahkan yang beranggapan bahwa Rasul-Nya Allah itu masih terus berlanjut hingga kini sampai kiamat nanti, maka inilah yang justru harus disingkirkan dan harus dengan ramai-ramai dihabisi. Karena demikian halnya keadaan manusia penghuni dunia, belum lagi yang menganggap bahwa nilai hidup terletak pada uang dan kondisi ekonomi yang menentukan kebahagiaan, akhirnya Tuhan sendiri menetapkan batas kesabaran-Nya dengan azab dan bendu yang mengerikan dan membinasakan. Kecuali bagi hamba yang dijadikan oleh-Nya menjadi bibit yang mencahayakan Diri-Nya di permukaan bumi milik-Nya ini karena kokohnya keyakinan bahwa ditengah-tengah kalangan mereka sendiri dan dari antara mereka sendiri ada RasulNya atau wakil yang meneruskan tugas dan fungsi kerasulannya yang lalu menyaksikan terhadap semua perbuatan yang mereka kerjakan demi membuktikan cita-cita mendekatkan diri kepada Tuhannya sehingga selamat dan bahagia bertemu lagi dengan Diri-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 61).
Zikir : (lih. Dzikir)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
265