³
D
º
A Abaa wastakbara : Watak iblis. Merasa diri lebih baik. Sombong, enggan, acuh, melecehkan dan menghina manakala diajak taat kepada wakilNya Allah di bumi. Memandang diri cukup. Watak akunya kemudian abaa wastakbara. Enggan dan acuh. Bahkan merasa lebih baik dan lebih atas ilmu dan pengetahuannya. Maka dengan sendirinya sama sekali tidak membutuhkan bertanya kepada yang ahli tentang Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Allah Asma-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 83)
Ad-din : Firman Allah dalam QS. Ar Rum ayat 30 adalah ayat yang mengandung makna sebagaimana dimaksud di atas. Yaitu hamba yang akan bisa memenuhi perintah-Nya untuk “menghadapkan wajahnya kepada Ad-din (Nya Allah) dengan lurus”. Makna Ad-din adalah pembalasan. Saat pembalasan ini akan diketahui ketika seseorang merasakan mati. Bagi yang menjaga diri untuk menghadapkan wajahnya secara lurus karena secara yakin mengetahui asal tempat fitrah dirinya, yakni Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, maka wajahnya (yaitu hati nurani, roh dan rasanya) akan selalu dipelihara dan dijaga dengan jalan memberlakukan diri selalu berjihadunnafsi agar selalu mengingat-ingat dan menghayati asal tempat mulanya (Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan dekat sekali ini). Ketika merasakan mati akan dapat merasakan betapa nikmatnya, betapa indahnya dan betapa bahagianya (yang gambarannya tidak ada didunia ini) dapat pulang kembali dengan selamat bertemu kembali dengan tempat asal mulanya sendiri. Yaitu Diri-Nya Tuhan sebagai satusatuNya Wujud Mutlak Yang Kekal dan Abadi. Dijadikan oleh-Nya hamba sebagaimana firmanNya : “Wujuuhun yauma idzin naadhirah, ila Rabbiha naadziroh”. Artinya : “Wajah-wajah mereka dihari itu berseri-seri (karena merasakan betapa senang dan bahagianya merasakan) kepada Tuhannya melihat”.(QS. Al Qiyamah 22 – 23). Karena itu dalam QS. Ar Ruum ayat 30 tersebut Allah menyatakan : (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah-Nya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Kepada yang oleh Allah dijadikan hamba yang mengetahui (tidak buta mata hatinya), maka dia akan dijadikan bisa memenuhi maksud firman-Nya pada ayat berikut (QS. Ar-Rum 31). Yaitu menjandi hamba yang keras niat dan tekadnya untuk menjadikan dunia ini sebagai pancatan yang kokoh bagi tujuan taubatnya. Yakni dapat dengan selamat pulang kembali menemui Tuhannya. Tempat asal mulanya. Rumah sejatinya sendiri. Maka akan dipenuhi perintah Allah supaya bertaqwa kepada-Nya serta akan dengan tegaknya mendirikan shalat. Shalat yang tegak adalah shalat yang khusyu’. Yaitu rasa hatinya dapat terlatih untuk dapat merasakan betapa indah dan nikmatnya mengingat-ingat dan menghayati Diri Tuhan-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan sangat dekat sekali. Dan dapat terhindar dari larangan Allah tidak termasuk hamba yang mempersekutukannya. Kemudian apabila orang tersebut oleh Allah dikehendaki menjadi sebagaimana yang dikandung dalam akhir ayat Ar-Ruum ayat 30 : “Walaakinna aktsaraannassi laa ya’lamuna” = tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, maka mesti jatuh ke lembah mempersekutukan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
1
³
D
º
Tuhannya, sama sekali tidak disadari. Bahkan menyangka bahwa dirinya mendapat petunjuk dari Tuhannya. (QS. Az-Zukhruf : 37). Keadaan sebagaimana maksud penjelasan di atas adalah sebagaimana yang terjadi pada sikap dan pandangan manusia sejak dulu hingga kini. Memandang sepele saja terhadap kandungan firman Allah dalam ayat 32 pada QS. Ar-Ruum. Yakni mereka yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. Itulah kehidupan hampir setiap orang yang lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan dari dorongan watak akunya nafsu dan akal sebagaimana ungkapan orang Jawa “Seje silit seje anggit”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Lampiran, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2).
Adil dan Pilihan : Adil yang dimaksud adalah hamba yang setelah bertemu dengan Wasithah dan mendapat ijin memperoleh ilmu darinya lalu selalu berusaha dapat mengadili dirinya sendiri supaya hidupnya tidak mudah ditipu oleh bujuk rayunya nafsu hingga akan selalu dapat cocok dan sejalan dengan dawuh Guru. Kokoh sebagai murid. Kokoh menjadi hamba yang berkehendak bertemu dengan Tuhannya. Karena itu hidupnya selalu dalam suasana prihatin. Sadar sebagai hamba yang al-faqir. Pilihan yang dimaksud adalah hamba yang dipilih oleh-Nya supaya memenuhi kehendak-Nya. Hamba yang dipilih oleh Allah SWT menjalani hidup dan kehidupan bagai para MalaikatulMuqorrobin. Rela sepenuh hati memberlakukan diri “kal-mayyiti” dihadapan wakil-Nya Allah di bumi guna memenuhi perintah Nabi Muhammad SAW “Muutuu qabla anta muutu” Wakil Tuhan di bumi adalah hamba yang dibentuk oleh-Nya secara persis tahu dan kenal pada Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, ilmu tentang keberadaan-Nya dan jalan lurus menemui-Nya. Yakni para Guru Wasithah yang silsilahnya tidak pernah terputus sama sekali sejak dari Nabi Muhammad SAW lewat Sayidina Ali As. hingga kini dan bahkan sampai dengan kiyamat nanti. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal. 3 – 4).
Ahlu Bait (ahl al bayt) (Nabi Muhammad Saw) : Ahli baitnya Nabi Muhammad SAW adalah yang mengetahui secara persis segala hal tentang apa yang ada di dalam dadanya Nabi Muhammad SAW, utamanya hubungannya dengan keberadaan Diri-Nya Tuhan Yang Al Ghaib, yang juga selalu diingat-ingat, dihayati dan dirasakan dalam hatinurani, roh dan rasanya Nabi Muhammad Saw dalam melakukan apa saja, dimana saja dan sedang apa saja. Karena itu Al Mahdi ini adalah mata rantai yang gilir gumanti (jasadnya) dan sama sekali tidak pernah putus (silsilahnya), mengalir dari dalam dadanya Nabi Muhammad SAW dengan Kalamullah (Al Qur’an) sebagai obor yang memadangi (menerangi) tugas dan fungsinya sebagai yang ditugasi Ilahi meneruskan kerasulannya. Keterangan di atas sejalan dengan Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi : Bersabda Rasulullah SAW : “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu, karena kamu adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
2
D
³
º
dari kamu. Dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, rohmu adalah rohku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu. Sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang berpaling darimu. Kamu dan para iman dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu Nabi Nuh : siapa yang naik di atasnya selamat dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”. “Kullu maa ghaaba najmun thala’a najmun ila yaumil-kiyaamah”. Setiap kali bintang itu tenggelam maka terbit lagi bintang hingga sampai kiyamat. Kalimat terbit menggunakan fiil madhi (thala’a). Maksudnya antara bintang sebelum dan sesudahnya (antara guru sebelumnya dan yang dikehendaki Ilahi sebagai penerus tugas dan fungsinya) itu tidak hanya kenal. Tidak hanya sebagaimana hubungan guru dan muridnya akan tetapi atas kehendak dan Ijin-Nya digulawentah sedemikian rupa sehingga sekiranya ditinggal mati telah benar-benar siap menerima pelimpahan. Begitulah sejak Nabi Muhammad SAW yang mempersiapkan Sayidina Ali bin Abu Thalib Ra. Kemudian melimpahkan wewenang kepadanya sebagai wakil yang meneruskan tugas dan fungsi kerasulannya. Firman Allah yang berkaitan dengan pperihal di atas adalah sebagaimana dalam QS. Al Maidah 67 : “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang tidak percaya (terhadap adanya penerusan tugas dan fungsi kerasulan ini)”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 8 – 9).
Ahli dzikir : (lih. Dzikir – Ahli Dzikir). Ahli Kitab : (lih. Al Kitab – Ahli Kitab) Ahli Prihatin : (lih. Ahlul Qurub) Ahlul-Qurub : •
Hamba yang oleh Tuhannya dijadikan Ahlu al-kurub. Dijadikan hamba yang ahli prihatin. Hidup dan kehidupannya selalu dalam keadaan prihatin. Hanya saja prihatin ini bukan susah atau sedih. Prihatin yang dimaksud disini adalah hamba yang dijadikan Tuhannya selalu mengadili dirinya supaya segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya sama sekali tidak akan mudah dibujuk oleh tipu dayanya nafsu. Apalagi sampai dijajah dan diperintah. Sehingga dengan begitu maka segala tingkah laku dan perbuatan lahirnya dan batinnya berada dalam Siliring Qudratullah. Ilmunya lalu menjadilah ilmu yang manfaat karena dapat mengetahui aibnya diri, aibnya til-kumantiil dunia (=kadonyan =mencintai dunia dengan segala kehormatannya). Juga dapat selalu mengetahui bencananya amal bagaikan api memakan habis kayu kering. Yaitu takabur, ria’, sum’ah dan ujub. (Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 4).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
3
D
³
º
•
Ahli prihatin; yang bersungguh-sungguh selalu berjihadunnafsi supaya darah yang mengalir dalam tubuhnya sebagaimana darah yang mengalir dalam tubuh Nabi Muhammad SAW, yang aliran darah dalam tubuhnya selalu mendorong semangat hidupnya, watak, supaya berhasil dalam mengikuti jejak para Malaikatul Muqorrobin. Yang mempunyai kepatuhan dan keta’atan secara utuh untuk berlaku sujud (kal mayyiti baina yadil ghoosili, bagaikan mayat yang sepenuhnya pasrah kepada yang berhak dan sah mensucikan). Hal demikian dilakukan semata-mata demi mempersiapkan diri supaya ditarik “fadhal” an “rahmat”-Nya”, dijadikan hamba yang “muqorrobun”. Hamba yang didekatkan kepada Diri-Nya oleh-Nya juga. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 36, 37).
•
Ahli prihatin, hamba Allah yang dengan sungguh-sungguh berjihadunnafsi supaya rasa hatinya selalu dalam keadaan mendzikiri DIRI-NYA DZAT AL GAHIBU YANG MUTLAK WUJUD-NYA DAN ALLAH ASMA-NYA dalam keadaan apa saja, dimana saja dan sedang apa saja. Sehingga tingkah laku dan perbuatan lahir dan batinnya akan senantiasa “katut siriling qudratullah”. Sama sekali tidak karena diperintah oleh nafsunya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal b).
‘Ainul Yakin : (Lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu kamilah) Air : Firman Allah dalam QS Al Anbiya’ 30 mengatakan : “Waja’alnaa minal-maa’I kulla syai’im hayyin. Afalaa yu’minuuna?” “ Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka (tetap saja) tiada beriman?” Air itu sendiri adalah lambang “ilmu”. Ilmu tentang Huwa. Huwa ini adalah dhamir. Makna dhamir adalah sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang Dia Dzat Yang Allah AsmaNya. Yaitulah ilmu tentang mengenal dan mengetahui Satu-satuNya Zat Yang Wajib WujudNya. Meski Al Ghaib, namun dekat sekali, karena itu amat indah diingat-ingat dan dihayati. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Lampiran, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2 – 3).
Akal : Yaitu baitul-makmur. Tempat yang memakmurkan. Tinggal yang mana yang hendak dimakmurkannya. Nafsunyakah dengan watak aku yang selalu ingin menonjol itu? Ataukah akan memakmurkan cita-cita hati nurani, roh dan rasanya. Kalaulah yang dicenderungi pendapat nafsunya, maka ia juga akan menjadi orang yang menuhankan akalnya. Dan penuhan akal, dengan sendirinya pasti meremehkan kepada adanya “sunnah Allah” yang menetapkan bahwa untuk dapat menemui-Nya dengan selamat, harus mengikuti Al Hadi. Yakni harus dengan “wattabi’ sabiila man anaaba ilaiya”. Mengikuti dengan loyal sepenuhnya pada jalan orang yang kembali kepada-Nya (QS. Lukman 15). Tetapi apabila yang dicenderungi akal ini adalah cita-cita hati nurani, roh dan rasanya, maka yang dimakmurkan olehnya dengan sendirinya ya bagaimana agar dakwah untuk cita-cita ma’rifat billah ini berjalan dengan baik. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 182).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
4
D
³
º
Memfungsikan Akal Akal yang fungsinya bagai kepala pemerintahan sebuah negeri, potensi dan kemampuannya akan mendatangkan sebab dibukanya berkah dan rahmat Tuhannya, aman, makmur, sejahtera dan bahagia serta selamat mencapai tujuan dalam mengendalikan bahtera di tengah lautan meski harus menghadapi banyak gelombang ganas dan arus yang menghanyutkan, selama apa yang dilakukannya itu patuh dan tunduk pada cahaya dan citacita hati nuraninya. Cahaya hati nurani yang cita-citanya adalah bagaimana supaya dapat senantiasa mencahayakan fitrah jati dirinya agar selalu bersentuhan dengan Cahaya di atas Cahaya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 50) Tetapi fungsi akal yang seharusnya dapat patuh dan tunduk kepada dzat, sifat dan af’alnya hatinurani dalam mengepalai pemerintahan ini, kenyataan yang terjadi justru dikuasai oleh nafsunya. Manusia demikian dengan sendirinya akan menjadikan nafsunya, aku dan akalnya sebagai tuhannya. Dengan tipu daya kecerdasan dan kepintarannya untuk memutar balik Al Haq-Nya. Akal yang dikuasai oleh selera dan cita-rasa nafsu akibatnya pasti mematikan hati nurani yang cita-citanya menghantar kembali fitrah jati dirinya sendiri, menghantar rahasia inti manusianya sendiri, pulang kembali ke tempat asalnya. Yakni menemui Dzat Yang Maha Jati Diri. Adapun akal yang dihidupkan oleh cahaya hati nuraninya, pikirannya akan bergerak untuk bertafakkur. Tidak mudah terpedaya mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi, yang menurut petunjuk dalam Firman-Nya (QS. Al An’am 116), bahwa kebanyakan manusia di muka bumi ini apabila diikuti niscaya akan menyesatkan dari jalan Allah, disebabkan karena kehidupan mereka hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka itu tidak lain hanyalah berdusta terhadap Tuhannya. Bahkan Allah lebih mempertegas lagi, Firman-Nya : “Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahanam; dan jahanam itu tempat yang seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imran 196 – 197) Pikiran yang bergerak ke arah tafakkur akan menghidupkan pikiran itu mempertajam beningnya hati bagaimana mengurai beberapa Firman Allah yang menyentuh kejadian dirinya sendiri. Maka secara utuh iapun akan dibuka oleh Tuhannya memahami kandungan FirmanNya. Antara lain : “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.” (QS. Ar Ruum : 8). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 51 – 53).
Alam : Alam Hakekat : Rasa hati yang menyadari bahwa sebenarnya yang bisa, yang kuat, yang memiliki segala ini, yang bergerak, yang berdaya dan berkekuatan adalah Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib. Bahkan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
5
D
³
º
hakekatnya Yang Wujud dan Ada hanya Diri-Nya Dzat Al Ghaib Satu-satu-Nya. Oleh karena itu betapa takutnya seandainya sangat mudah sekali melupai keberadaan Diir-Nya Dzat Al Ghaib yang sangat dekat sekali ini. Hamba Allah yang ditarik oleh-Nya merasakan demikian maka ia akan menyadari bahwa dirinya adalah bagaikan “daun asam yang berada di tengah-tengah gelombang samudera”. Gerak yang ada pada dirinya adalah karena katut Qudrat-Nya. Karena itu sama sekali tidak akan berani ngaku bisanya, kuatnya, miliknya. Tidak berani ngaku daya dan kekuatannya. Sebab hakekatnya adalah Dia Sendiri Pelaku-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 28).
Alam Jabarut : Alam hamba yang ditarik oleh fadhal dan rahmat Allah (karena memperoleh beberan, sawab, berkah dan pangestunya Wasithah; buah dari tumemennya pada Dawuh Guru); ditarik membuktikan Dawuh Guru. Yakni rasanya yang dirasakan HANYA ADA DAN WUJUD-NYA TUHAN (fana dzat; membuktikan mati selamat); menjadi ahli surga “fii maq’adhi shidqin ‘inda malikin Muqtadirin”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2). Alam Kabir : Jagad besar; Alam semesta raya (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 28). Alam Lahut : Alam ruh; Ruh yang ditarik oleh fadhal dan rahmat Allah (karena memperoleh beberan, sawab, berkah dan pangestunya Wasithah; buah dari tumemennya pada Dawuh Guru), ditarik membuktikan Fanak Fillah. Hamba yang demikian adalah hamba yang sadar seyakinyakinnya bahwa Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Pemilik Segala yang biasa diaku, Yang Obah Osik dan Ada serta Wujud hanyalah Tuhan. Dalam rasa hatinya yang nampak dengan sendirinya hanya Tuhan (Isinya Huw); adalah murid yang berada dalam derajat manggon (selalu bertempat tinggal dalam dawuh Guru). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2). Alam Malakut : • Alam yang ada dalam dada manusia yang dipersiapkan oleh Allah Swt sebagai “markas besarnya” Cahaya Illahi yang kekal dan abadi yang langsung tembus pada keberadaan Citra Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaibu Yang Wajib Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya, apabila hati nurani, roh dan rasanya berfungsi. •
Alam Malaikatul – Muqorrobin; adalah murid (orang berkehendak bertemu Tuhan nya) yang senantiasa berusaha terus menerus mendidik, melatih dan mujahadah agar dirinya terus menerus tumemen (ber-sungguh-sungguh) menjalani petunjuk dan perintahnya Wasithah. Bermacam ujian berupa cobaan, derita yang harus dialaminya (baik kemudahan maupun kesulitan) semua menjadi rabuk (pupuk) yang menyuburkan tumemennya. Adalah derajat murid yang ditarik fadhal dan rahmat Allah (karena
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
6
D
³
º
memperoleh beberan, sawab, berkah dan pangestunya Wasithah), ditarik pada derajat sabar yakni selalu rela memaksa jiwa raganya sendiri (wujudnya nafsu) selalu patuh dan tunduk dijadikan kendaraan bagi cita-citanya hati nurani, roh dan rasa mendakat kepada Tuhannya sehingga sampai dengan selamat. Ditarik membuktikan Alam Malakut, ke Alam Lahut lalu dimasukan ke dalam Alam Jabarut, karena dipilih Allah sendiri menjadi Ahlu al-baitnya Junjungan Nabi Muhammad SAW, karena relanya selalu belajar menjadi Ahlul al-kurub (menjadi ahli prihatin). Adalah buah dari pada ilmu yang manfaat (Huwa maa yu’arrifuka min ‘uyub nafsika min hubbi addunnya wa afaati’amalika) (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2). Alam Nasut : Alam Lupa. Adalah hamba yang thaghut di dalam dadanya (hakekat bumi tempat tinggalnya disuburkan oleh watak iblis dari bangsa jin dan manusia) yang selalu mengalir dalam darahnya. Kondisi ini hakekatnya adalah hakekat berhala yang bergetarnya selalu berusaha membentuk pandangan hidup yang dikira baik, benar, indah; padahal sama sekali tidak diridhai oleh Tuhannya (mendatang amarah-Nya) dan sama sekali tidak disadari. Padalah kita semua juga berdada. Berbumi. Maka sekiranya tidak ditarik fadhal dan rahmatnya untuk sepenuhnya percaya kepada dawuhnya Guru yang hak dan sah, syaitanlah yang menjadi teman akrabnya. Dan yang demikian, hampir semua penduduk bumi, sama sekali tidak menyadarinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 3). Alam Shaghir : Jagad kecil (= dada manusia) (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 28).
Alhamdulillahirabbil ‘alamina,: (lih. Faatehah) Allah : Asma-Nya Zat Yang Al-Ghaib dan Wajib Wujud-Nya tetapi Al Ghaib. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 32; Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2). Hak Allah : Hak untuk diketahui wujud Dzat Al-Ghaib yang sangat dekat sekali dan ditempatkan pada tempatnya hingga dapat memenuhi perintah-Nya sebagaimana QS.Al A’raf, 205. Hak Mutlak-Nya Allah SWT Allah adalah nama-Nya Dzat Wajibul Wujud (tetapi) Al-Ghayb. “Innani Ana Allah” (QS. Thaha 14). “Sesungguhnya Aku ini Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya, (itulah) Aku Allah (namaKu). Al-Ghayb adalah isim yang Ghaybun-nya mufrad dan al-nya ma’rifah. Adalah Ada dan Wujud Diri-Nya Illahi, satu-satunya Dzat Yang Ghayb karena tidak akan pernah menampakkan Diri
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
7
D
³
º
di muka bumi. Tidak bisa dilihat oleh mata kepala tetapi bisa disaksikan oleh “mata hati” apabila rela meminta petunjuk kepada ahlinya. Al-nya jelas. Jelas dekat sekali. Jelas meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya. Jelas mudah diingat-ingat dan dihayati di dalam rasa hati hingga dapat memenuhi perintah-Nya “Wadzkur Rabbaka fii nafsika”. Dan ingat-ungatlah Rabbmu di dalam rasa hatimu (QS. Al-A’raf 205). Adapun yang sama sekali tidak bisa dilihat oleh mata kepala tetapi bukan Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al-Ghayb Allah dalam firman-firman-Nya menyebut al-ghuyuub. Beberapa hal yang dibangsakan ghayb karena sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Peringatan Bagi Para Pemimpin, Tanjung, Pertengahan Desember 2006, hal. 2). Menuhankan Sesuatu Selain Allah Di dalam firman-Nya Allah menegaskan : “Janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di samping Allah agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (oelh Allah)” (QS. Al Isra’ 22) Iblis dan juga syaitan yang karena merasa lebih baik akan keberadaan “akunya” penyebab dia divonis sesat oleh Allah. Karena kesombongannya itu maka ia tidak mau tunduk kepada perintah Allah supaya sujud, taat dan patuh kepada kholifah Allah. Jadi iapun mengakui keberadaan adanya Allah dan bahkan pernah berdialog dengan-Nya. Mengadanya Tuhan yang lain selain Allah itu juga termasuk pada ujud jasadnya sendiri. Sebab jasad termasuk juga sesuatu selain Dia. Menuhankan ujud jasadnya yang menyentral pada akunya itulah penyebab adanya hawa, yakni keinginan. Keinginan untuk memenuhi tuntutan jasad. Padahal hakekat yang ujud hanyalah Dia Semata. Karena selain Dia, Tuhan Yang Allah Asma-Nya itu disebut bangsa wujud, sebab memang sebenarnya tidak ada dan tidak ujud. Sehingga kalau ia merasa dan mengaku ujud juga, ini sama saja dengan menyamai Tuhan Allah. Ngembari Allah. Berangkat dari pengakuan ujudnya itulah yang tidak disadari sebagai sumbernya segala bencana dan malapetaka. Menjajah dan memerintah hatinurani, ruh dan rasanya supaya selalu mendukung tuntutan ujud akunya itu. Ujud jasad yang dicipta Allah mestinya harus dapat patuh dan tunduk dijadikan kendaraan cita-cita hati nurani, ruh dan rasa untuk mendekat kepada Tuhannya sampai ma’rifat kepadaNya yang dengan jalan jihadunnafsi menjadi nafsul-muthmainnah, nafsu yang mapan dikendalikan hingga dengan rela dan senang kembali kepada Allah karena ridha dan cintaNya, justru malah kebalik. Yakni jasadnya yang tidak lain adalah ujud nafsunya itu yang menaiki hati, ruh dan rasanya. Diperintah untuk mengingat-ingat apa saja selain Allah. Yakni mengingat-ingat keinginan dan kesenangannya. Ruh yan fitrahnya dari Allah itu dijajahnya juga untuk selalu menghidupi semangat nafsunya agar memiliki daya dan kekuatan guna mewujudkan keinginan, kesenangan, pamrih dan selera nikmatnya jasad yang tidak pernah ada hentinya. Maka rasanyapun dijajah pula untuk merasakan irinya, dengkinya, dendam kesumatnya, syahwatnya, cita angan-angannya, pahitnya, getirnya, enaknya, tidak enaknya, senang, susahnya, gelapnya, manisnya, celakanya, ambisinya. Sehingga rasa yang menurut fitrahnya mempunyai tugas mulia disisi-Nya yakni merasakan betapa nikmat rasa mengingat-Nya hingga sampai benar-benar merasakan dengan yakin akan hakekat Tuhan Allah SWT, tidak pernah terbesit di dalam hatinya. “Maka pernahkan kamu memperhatikan orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran?(QS. 45:23).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
8
D
³
º
Bahkan dalam surat Al Furqan ayat 44 : “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya”. Dengan demikian, sekali lagi, jelaslah bahwa sesuatu yang menjadi Tuhannya yaitu sesuatu yang dianggap penting atau dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa sehingga manusia itu membiarkan dirinya dikuasai oleh sesuatu itu. Padahal apa yang dianggap penting lagi. Begitu seterusnya tidak ada habisnya. Karena itu maka, betapa kedalaman makna kalimah Tauhid, “laaillaha illAllah” kalimah nafi dan itsbat ini, tidak pernah terpikir untuk diceburi apalagi untuk dapat tenggelam didalamnya. Hal demikian terjadi karena sesuatu yang diinginkan dan dengan apa yang dianggapnya penting itu saling berkejaran. Ia telah disibukkan dan mencebur kedalamnya, dan itulah yang menjadikannya puas, bangga dan bahkan dipamer-pamerkannya. Sehingga Allah mengancamnya : “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan untuk menemui Kami disebabkan mereka telah merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan dunianya itu dan itulah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya adalah sebagai ahli neraka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. 10 : 7-8). Demikian itulah kehidupan cara pandang dan wawasan hidup orang-orang yang dinilai paling rugi oleh Allah. Perbuatan yang sia-sia, tetapi mereka mengira itulah perbuatan yang sebaik-baiknya. Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan dan kufur terhadap perjumpaan dengan-Nya. Maka hapuslah semua amalan-amalannya, sedang Allah tidak akan mengadakkan penilaian bagi amalah mereka nanti di hari kiamat. Demikian yang dapat kita perhatikan dalam firman Allah surat 18 ayat 105 - 106. Keadaan yang telah menjadi salah kaprah, salah tetapi telah menjadi kebiasaan yang dianggap benar adalah menjadikan agama terpecah belah menjadi beberapa golongan yang masing-masing golongan membagi apa yang ada di dalam golongannya masing-masing, sebagaimana yang telah kami singgung pada bab pertama tulisan ini. Hal itu terjadi karena tidak disadari sebab kebanyakan manusia tidak mengetahui bahwa Islam itu adalah agama Tauhid. Semangat dan gairah beragamanya demi untuk menTauhidkan Dzat Sifat Af’alullah dengan lurus menghadap kepada Wajah Dzat Allah SWT. Kapan saja dan dimana saja. Itulah fitrah Allah yang menciptakan manusia atas Fitrah-Nya. Tidak ada perubahan bagi Fitah-Nya. Dan yang demikian itu dilaksanakan dengan kesungguhannya dalam berjihadunnafsi supaya dengan selamat kembali kepada-Nya. Karena Allah menghendaki dengan kembali bertaubat kepada-Nya, bertaqwa kepada-Nya, menegakkan sholat yang khusyu’ dan jangan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan yang tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya (QS. Ar Rum : 30 – 31). Kemudian di dalam surat Al Mukminun ayat 52 – 56, Allah mengulang kembali tentang hal seperti itu. Bahkan tersirat ancaman-Nya : “Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan pada mereka itu berarti bahwa Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar”. Betapa lihainya tipu-rayunya nafsu sendiri yang senantiasa dapat bantuan dari iblis dan syaitan supaya memandang baik apapun yang sebenarnya tidak sejalan dengan kehendak Allah, hingga dalam menyembahnya itu hanya berada di tepi (QS. 22 : 11 – 13), maka tidak “njegur” ke dalam.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
9
D
³
º
Sebagaimana yang dituturkan Allah dalam QS 22 : 11 – 13 di atas, bahwa di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu. Tetap saja di tepi. Di aku-nya kebajikan yang diperolehnya itu dikira adalah karena hasil usahanya sendiri dengan ilmu dan keahlian yang menjadi miliknya sendiri. Berbangga dirilah ia. Bahkan juga dipamer-pamerkannya kepada manusia banyak agar orang banyak itu mengaguminya. Lalu memuji dan menghormatinya. Tetapi jika ia ditimpa bencana, berbaliklah ia ke belakang. Yakni ngersula. Kecewa. Putus asa. Menyalahkan sini, menyalahkan sana dikira orang lainlah penyebab sengsara yang menimpanya. Bahkan menyalahkan Tuhan Allah. Su’udzan pada Allah. Su’udzan pada orang lain. Maka iri, dengki, dendam, jengkel dan sebagainya selalu menyertai wataknya. Maka rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. Sesungguhnya yang diseru itu adalah sejahat-jahat penolong dan sejahat-jahat kawan. Demikian apa yang tersirat dalam QS. 22 : 11 – 13. Padahal yang diserunya itu, apa akunya, nafsunya, golongannya atau mungkin juga punden dan yang dikira dapat menyelematkan dan membahagiakan hidupnya itu, membuat lalat saja tidak bisa meski berkumpul menjadi satu. Hal ini terjadi karena mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya mengenal (QS. 22 : 73 – 74). Setiap harinya manusia itu digerakkan oleh tiga kekuatan yang bersumber dari dalam dadanya sendiri. Tiga kekuatan itu masing-masing adalah hati nuraninya, akalnya dan atau hati sanubarinya. Hatinurani adalah hati yang sebenarnya tempat bertemunya cahaya Ilahi. Ia mempunyai watak seperti kehendaknya malaikat Allah. Cita-citanya adalah selalu dapat dzikrullah, memuji-Nya dan me-Mahasucikan Dia semata untuk dapat dengan lancar mendekat kepadaNya hingga sampai dengan selamat kembali kepada-Nya lagi. Karene itu ia akan dengan rela hati mau sujud, mau patuh dan tunduk diperintah Allah. Diperintah untuk sujud, patuh dan tunduk kepada kholifah-Nya. Mengikuti jejak dengan taat kepada jalan orang yang kembali kepada-Nya (QS. Al Lukman 15). Maka hati ini selalu cinta mengingat-Nya. “Maka senantiasa ingatlah kepada-Ku (tentu) Aku (juga) ingat kepadamu serta bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu termasuk orang-orang yang kufur”. (QS. 2 : 152). Karena Allah selalu ingat kepadanya, maka “potensi akalnya” juga akan ditunjuki oleh Allah untuk mendukung cita-cita hati nuraninya itu dalam mempercepat proses pendekatan dirinya kepada Allah. Ia dengan petunjuk Allah akan dapat mengembangkan suburnya potensui pikir dalam dzikir. Sehingga tingkah laku dan perbuatannya semata-mata karena siriling qudratullan, yakni dapat menghayati merdeka sejati dan sempurna. Menghayati sepenuhnya dengan mapan dan pasti bahwa Dia selalu menyertaimu dimana saja kamu berada dan sedang apa saja. Kerja sama antara hati nurani dan yang akalnya seperti itu dapat digambarkan bagaikan raja yang adil dan bijaksana yang bertahta di dalam dadanya. Akan lain halnya apabila yang mengusai tingkah dan lakunya itu berangkat dari dalam hatisanubari. Hati itu letaknya ada di dalam dada sebelah kiri, kira-kira dua jari di bawah susu. Hati-sanubari ini adalah markasnya nafsu-lawwamah yang bala tentaranya : enggan, masa bodoh, acuh tak acuh, senang menuruti kehendak nafsu, boro, senang memuji diri, pamer, senang mencari dan meneliti kesalahan orang lain, senang menganiaya, dusta, pura-pura lupa kepada kewajiban. Dengan sendirinya kemauan nafsu amarahnya yang letaknya ada di dada sebelah kiri, akan senang membantunya. Nafsu amarah yang bala tentaranya : senang berlebihan, royal, angah-angah, serakah, dengki, dendam, iri, benci, bodoh, tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati (kumingsun), senang menuruti kemaun syahwat, suka marah-marah, akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhan. Maka iblis dan syaitan juga akan saling berlomba membantunya. Potensi akalnyapun dengan sendirinya juga di bawah perintahnya, bagai perdana menteri yang membantu keinginan dan kesenangannya. Maka jadilah ia sebagai raja yang angkara
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
10
D
³
º
murka yang bertahta dalam dadanya, yang memerintahkan kepandaian dan kecerdasan akalnya itu untuk pandai-pandai ngreka-ngreka. Pandai-pandai ngakali, minteri, ngapusi supaya tidak ketahuan. Dunia yang mestinya digarap, dikelola, dibangun, dimakmurkan sebagai sarana dan medannya mazro’atyl-akhirat, dibalik. “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu jadi pemakmurnya, maka mohonlah ampunannya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat dan lagi memperkenankan”. (QS. 11 : 61). Penuturan Nabi Salih yang dibadikan dalam firman-Nya telah dapat kita pahami dengan jelas. Kerja keras, dinamis, kreatif yang harus dikerjakan oleh setiap mukmin untuk dapat menguasai kondisi tertentu hingga makmur dan sejahtera, disiapkan sebagai sarana dan medan yang istiqomah, yang madep mantep dan tumemen semata-mata guna menuju kepada-Nya. Untuk dapat dijadikan memperbanyak lakon dan pitukon dalam memproses jati diri mendekat kepada Ilahi. Dan karena sadarnya sebagai hamba yang ternyata dalam perjalanannya itu banyak sekali dosa dan kekeliruan yang dilakukan, maka dengan sadar pula ia akan selalu memohon kepada-Nya dan kembali bertaubat kepada-Nya. Jangankan kita yang hamba biasa, sedan manusia yang kemudian dipilih sebagai Nabi dan Rasul-Nya, menyadari betapa bodohnya dan zalimnya atas dirinya sendiri. Nabi Adam sebagai contoh kongkrit. Tersandungnya atas dosa dan kesalahan yang dilakukan karena terbujuk iblis memakan buah kuldi hingga ia kemudian dikirim ke dunia. Karena memang dipilih oleh-Nya dan kalaulah sekiranya hal itu tidak terjadi, kiranya ia tidak akan beranak cucu hingga sekarang menjadi sekian banyak manusia isi dunia. Dia menangis dalam taubatnya dalam doa : “Rabbana dzalamna aanfusana fainlam taqhfirlana watarhamna lanaa kunanna minal khasirin” “Ya Tuhan kami bahwa kami telah berbuat aniaya atas diri kami maka seandainya tanpa Rahmat-Mu, tanpa Belas-Kasih-Mu dan tanpa ampunan-Mu atas diri kami , pastilah kami ini termasuk orang-orang yang merugi”. Demikian pula Nabi Yunus, karena putus asa menghadapi kaumnya, yang berada dalam perut ikan ketika ia berdoa sedang ia berada dalam keadaan marah terhadap kaumnya. Sekiranya tidak karena nikmat Allah yang menjadikan ia sebagai kekasih-Nya, dipilih-Nya sebagai Rasul-Nya hingga termasuk orang-orang yang salih, benar-benar akan dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela (QS. 68 : 48 – 50). Menangislah Nabi Yunus dengan doanya : “Laa ilaha illa anta ini kuntu minalzaalimin”. “Tiada Tuhan selain Engkau, ya Allah, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah dari antara orang-orang yang zalim”. Demikian pula kisah Nabi Musa yang suatu ketika karena keberhasilannya membebaskan kaumnya dari cengkeraman Fir’aun, maka ia lalu merasa bangga, karena memang kekasihNya, segera saja Allah memperingatkan bahwa masih ada orang yang lebih dari padanya. Maka bersumpahlah Nabi Musa bahwa meski berapa tahunpun ia akan mencari orang yang disebutkan Tuhannya itu (QS. Kahfi : 60 – 82). Orang yang disebutkan Allah adalah Nabi Khidir. Dalam perjalanan bersama Musa, ternyata Nabi Musa harus mengakui kekurangannya. Iapun sadar. Sadar sebagai hamba biasa meskipun oleh Allah dikehendaki sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Keduanya Nabi Khidir dan Nabi Musa, sama-sama tidak ada yang mengaku kebiasaannya. Sama-sama menyadari bahwa itu semata-mata dari Tuhannya. Sahdan Nabi kitapun, Muhammad Rasulullah juga pernah ditegur oleh Allah karena bermuka masam, merendahkan seseorang yang buta, Abdullah bin Ummi Maktum. Ia datang menghadap Rasulullah untuk membersihkan dirinya. Ia datang untuk mohon ajaran tentang mencapai itu kepada Rasulullah. Namun saat itu Nabi sedang mengharapkan yang dihadapi, mereka yang mampu, namun ternyata merasa mampu karena itu tidak butuh membersihkan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
11
D
³
º
diri. Yang diharapkan Nabi agar menjadi muslim ternyata mereka itu orang-orang yang sombong karena memandang diri sudah cukup. Orang demikian menurut petunjuk Allah tidak ada celaan seandainya tidak dilayani. Maka yang seharusnya dilayani adalah mereka yang justru membutuhkan meskipun yang ini hadir orang yang pada lahirnya hina. Buta dan bodoh. Kejadian itu dapat kita simak dalam surat Abasa. Surat tentang bermuka masamnya Rasul karena enggan menerima orang buta, Abdullah bin Ummi Maktum. Karena Nabi dan kekasihNya, maka teguran Allahpun diterimanya dengan rasa ikhlas dan bertaubat kepada-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat Mentauhidkannya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-Cita Kebangkitan Yang Islami, , Tanjung, Januari 1990, hal. 20 – 24). Penuhan-penuhan Akal. Ciri manusia yang menuhankan akalnya adalah mereka yang memandang diri cukup. Tidak memerlukan lagi petunjuk dari orang lain meskipun pembawa petunjuk itu atas kehendak Allah. Seperti halnya ketegasan Allah dalam surat Abasa di atas. Mereka meski tidak dilayani, tidak ada celaan dari Allah. Sebab memang tidak butuh membersihkan diri dari dosa terbesar yang tidak ada ampunannya dihadapan Allah. Yakni dosa syirik lahir dan batin. Sikap sombong dan angkuhnya karena merasa diri cukup atas hasil ilmunya, pengetahuanya, bakat dan keahliannya, justru membuat dia tercengang dan heran, dianggapnya mengada-ada apabila datang peringatan dari Allah dengan perantaraan seorang laki-laki dari antaranya sendiri agar dia memberi perinatan dan pelajaran kepadanya supaya bertaqwa dan supaya mendapat rahmat (QS. 7 : 63). “Bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari antara mereka sendiri maka berkatalah orang-orang yang tidak percaya itu : “Inilah adalah sesuatu yang amat aneh”. (QS. 50 : 2). Meski sebenarnya Allah telah banyak sekali mengulang-ulang bagi manusia dalam Al Qur’anNya itu dengan bermacam-macam perumpaan. Namun manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah (QS. 18 : 54). Karena itu dengan tidak sadar sebetulnya peristiwa yang menimpa nasib Bal’am juga terulang kembali dan terulang kembali. Dengan banyaknya ilmu pengetahuan apa saja yang telah diserapnya itu justru membuat ia sombong. Sebagaimana juga yang dialamatkan Allah kepada ahli-kitab. Dengan banyaknya kitab yang dikuasai dengan dukungan kecerdasannya menghafal dalil-dalil naqli dan akli yang dikuasai, iapun merasa dan memandangi diri cukup. Bahkan seharusnya orang lain yang harus mengikuti pandangan dan pendapatnya. Kalau tidak ia akan dengan mudah tersinggung gengsi akunya dan kehormatannya. Guna mengatasi hal seperti itu sebenarnya Allah juga telah memberi peringatan sebagaimana dalam surat Al Maidah 77 : “Katakanlah : “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. Bagi yang mau jujur, rela dan sadar dalam bertafakur, dalam mawas diri, makarti, disebutkan Allah sebagai ahli kitab itu tidaklah hanya mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga kepada kita yang biasa ngendelkan kitab. Ngendelake pinternya ngaji.Karena itu lalu memandang diri cukup. Sama dengan berani ngembari Allah. Menyamai Allah. Sebab yang berani memandang dirinya cukup semestinya hanyalah Dia semata. Sebab itulah maka takkabur adalah selendangnya Allah. Memandang diri cukup, maka menjadilah ia orang yang melampaui batas. Melampaui batas dan wewenang hak-Nya Allah. Sebab hakekat yang bisa, yang kuat, yang empunya segala, bahkan yang Ada dan yang Ujud hanyalah Dia Sendiri. Sehingga mestinya pandainya akal, pinternya, cerdasnya, pengusaan berbagai kitab dan ilmu pengetahuannya, seluruhnya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
12
D
³
º
digunakan dan ditujukan untuk mengembang tumbuh suburnya semangat dan luasnya wawasan dan pandangan hidupnya untuk memperlancar proses pendekatan dirinya kepada Allah hingga sampai selamat kembali kepada-Nya. Agar supaya tidak dihinakan oleh Allah pada saat seluruh manusia dibangkitkan. Yakni dihari di mana semua harta benda, bangunan-bangunan hasil kerja akal dan kepintarannya serta anak laki-laki yang dibanggainya tidak berguna, kecuali orang yang hatinya telah sampai kepada Allah dengan hati yang selamat (QS. 26 : 87 – 89). Orang yang oleh Allah diuji coba dengan kemampuan cerdasnya akal apabila hal itu tidak digunakan untuk menuju kepada–Nya, pandai dan cerdasnya sang akal justru akan digunakan untuk mengkapling-kapling Al Qur’an dengan bermacam ragam disiplin ilmu yang masing-masing bendera pemegang disiplin ilmu membanggai bendera yang dipegangnya itu. Hingga sempitlah dan piciklah wawasannya. Tidak utuh dana tidak menyatu untuk menuju kepada Ilahi. Karena itu sangat mengecamnya : “Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Qur’an itu terbagi-bagi.(QS. 15 : 90 – 91). Maka dalam hal daya kemampuan akal yang hanyan digunakan untuk menjadi penurut pada pendapat nafsu, Einstein sendiri ternyata telah memberikan kesaksian dengan katanya : “Kita telah belajar dari pengalaman yang pahit bahwa pikiran rasional ternyata tidak cukup untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan sosial kita”. Bahkan Dr. Schumacher setelah menyadari hal sama mengatakan : “Masalah-masalah zaman ini tidak dapat dipecahkan dengan oraganisasi, administrasi dan uang, meskipun saya menyadari bahwa semua itu penting. Kita menderita penyakit metafisika, maka obatnyapun harus juga metafisika”. Itulah penyakit rasionalisme yang picik berhubung luput melihat data terpenting, data kunci untuk memahami kehidupan secara pas dan persis di jalan kehendak Tuhan. Sebagai akibatnya rasionalisme senantiasa menyeret pada kebutuhan lorong-lorong gelap, menuruti kehendak hawa nafsunya. Rasio menjadi angkuh dan sombong dan tidak awas lantaran menderita kebutaan dimensi cahaya yang Ilahi. “Dan barang siapa yang di dunia sekarang ini buta (hatinya) maka ia kelak di akhirat juga akan buta dan akan lebih sesat jalannya (tidak kembali kepada Tuhan lagi dengan selamat dan bahagia di sisi-Nya). Memang sejak Decrates berkata : “Saya berpikir maka saya ada”, maka kepercayaan kepada kemampuan akal untuk memperoleh kebenaran kian menjadi-jadi. Berlebih-lebihan. Akal yang cenderung sombong, tidak tahu diri sebab ia tidak menyadari batas-batasnya. Bahkan kemudian keblinger lantaran tidak konsekuen dalam aturan mainnya. Demikian itulah ada dan keberadaan sang akal yang dijajh oleh nafsu. Akibatnya memang mengerikan. Memperbanyak saja datangnya berbagai bendu, azab dan bencana di muka bumi. Belum lagi akibat yang menjebak manusia dalam kegelisahan batin yang menumbuhkan bermacammacam penyakit batin, polusi batin dan gersangnya batin. Dan juga tidak disadari akan menjebak manusia pada keserakahan dalam mengumbar nafsu bangsa hewan yang butuhnya hanya pada nikmatnya makan dan nikmatnya syhawat. Makan apa saja. Syahwat pada siapa saja. Asal berhasil, tidak peduli bagaimanapun caranya. “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalanginya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka kisahkanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir”. (QS. 7 : 176).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
13
D
³
º
Menurut kehendak Allah, nikmat akal yang diberikannya itu dengan luasnya berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, justru mestinya untuk menumbuhsuburkan tafakurnya. Memikirkan kejadian diri yang dicipta Allah dari jati diri yang satu (An Nisa ayat 1) supaya dapat menepati peringatan Allah untuk dapat “biwahidatin” (As Sab 46), lillah semata kepada-Nya baik dengan sendiri-sendiri atau berdua-dua. Maka jelas dan gamblang bahwa tanpa hadirnya “hidayah Iman dari Allah”, manusia akan benar-benar menjadi zalim dan sesat jalan. Hidayah iman yang membangkitkan kesadaran untuk melakukan jihadunnafsi, perang terbesar dan terus menerus sebagaimana sabda Rasulullah. Akan betapa jadinya apabila tidak mau sadar diri melakukan jihadunnafsi sebab nafsu yang disiapkan Tuhan Allah sebagai kendaraan pulang kembali kepada-Nya itu adalah sebuah kendaraan (nafasunya diri, ujud jiwa raganya sendiri) itu adalah mempunyai perbuatan selalu mengajak kepada semua yang tidak sekehendak dengan Allah. Selalu mengajak maksiat disang dan malam, pagi dan petang. Akan tidur maupun bangun tidur. Sifatnya selalu tidak mengerti kepada Tuhan. Karena itu ia tidak butuh bertemu dengan-Nya. Sebab memang kendaraan. Tidak ada kendaraan yang ikut masuk ke rumah tuannya. Ia hanya tinggal. Seperti jasad, manakal habis masa pakainya di dunia, jadilah ia bangkai. Dikubur. Selesai. Sebab nafsu itu yang tidak lain ujudnya jasad itu mempunyai dzat yang selalu membatah kepada semua perintah Allah. Itulah sebabnya Allah mengingatkan : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan manusia di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan dari jalan Allah. Meraka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. 7 : 116). “Dan kalaulah sekiranya tanpa hidayah iman dari Allah, manusia akan menjadi kacau balau. Dikacaubalaukan oleh nafsunya sendiri karena mendustakan kebenaran sebenarnya telah datang pada mereka”. (QS. 50 : 5). Kacau balau seperti perumpamaan ini : Diumpamakan Allah menciptakan sebanyak sepuluh ribu manusia. Karena saat ini yang ada hanya Dia dan hamba-Nya, maka sepuluh ribu manusia itupun masih tetap utuh menyaksikan Dia. Menuju Dia. Memandang semata hanya kepada-Nya. Untuk mengujinya karena telah berani menerima amanah dari-Nya itu, maka Allah lalu menciptakan dunia dengan segala isi kenikmatan didalamnya. Maka yang sembilan per sepuluh dari orang sejumlah sepuluh ribu ini menoleh kepada dunia. Maka tinggalah seribu saja. Dari sisa seribu orang ini Tuhan masih mengujinya dengan menciptakan surga. Nah, kemudian yang sembilan persepuluhnya lalu karena menginginkan masuk surga, tidak lillahi lagi. Tidak murni lagi semata menuju dan menatap kepada-Nya. Tinggalah seratus orang. Kepada yang seratus inipun Allah lalu mengujinya dengan menciptakan neraka. Tidak karena takutnya kepada Allah. Sahdan sempat dihitung-hitungnya janji pahala dari Tuhannya itu. Lalu ia berpuas dan berbangga diri dengan apa yang dikiranya itu. Sepuluh orang sisa dari semula sepuluh ribu itu oleh Allah diuji dengan adanya susah, senang, sakit, sehat, gelap, terang, sedih, bahagia. Maka yang sembilan akan terperangkap dengan itu. Kalau hatinya senang, badanya sehat, hatinya gembira, ia akan berjalan menuju kepada-Nya. Tetapi kalau sedang sakit, gelap, sedih, susah, ia akan berhenti. Sehingga kadang ia berjalan dan kadang juga berhenti. Tidak ajeg. Tidak istiqomah. Sehingga tinggal satu sajalah dari sepuluh ribu manusia yang tidak peduli dengan itu semua. Karena telah mampu mengendalikan nafsunya, atas ijin Tuhannya jua, gambarannya bagaikan buraq yang dikendarai Nabi ketika dijalankan Allah pada kisah Isra dan Mi’rajnya. Meski naik gunung atau sedang menuruni jurang, sebagai kendaraan ia tetap lempeng. Sebab kalau sedang menaiki gunung, kaki yang muka memanjang. Itulah gambaran nafsul mutmainnah. Bagaimanapun keadaan kondisi, suasana dan situasi yang dihadapi, tujuannya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
14
D
³
º
tetap karenanya ia akan selalu melaksanakan jihadunnafsi supaya nafsunya itu patuh dan tunduk dijadikan kendaraan untuk mendekat kepada Allah sehingga sampai kepada-Nya. Dalam surat Al Baqarah ayat 54 Allah SWT, berfirman : “.... maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu”. Maksud dibunuh bukan lalu bunuh diri. Sama sekali tidak. Tetapi yang dibunuh adalah kehendaknya. Yang dibunuh adalah keinginannya. Kesenangannya. Pamrihnya. Supaya tidak mempunyai keinginan sendiri. Tidak mempunyai kehendak sendiri. Sebab kalaulah si nafsu ini mempunyai kehendak sendiri, bebas memilih keinginan dan kesenangannya sendiri, pastilah ia akan menguasai, memerintah dan menjajah hati nurani, roh dan rasa diperintah untuk mengikuti kemaunnya. Dan kalau diturut, kemauan yang diinginkan adalah kemauan yang menyimpang dari jalan Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat Mentauhidkannya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-Cita Kebangkitan Yang Islami, , Tanjung, Januari 1990, hal. 24 – 28). Memperalat Tuhan : Wujud jiwa raga manusia ini sebenarnya tidak bisa apa-apa. Bernafaspun sebenarnya juga tidak. Apalagi kemudian mempunyai daya dan kekuatan lalu bisa mendengar, bisa melihat, bisa mencipta angan-angan, menggagas, bisa berfikir, bisa bekerja mengelola garapan dunia. Sebab fisik manusia ini dicipta Allah dari sesuatu yang hina dan tidak bisa apa-apa. Allah memulai ciptaan manusia ini dari tanah. Menjadikan keturunannnya dari sari pati air yang hina (Qs. As Sajdah : 7 – 8). Kemudian menjadi berharga dan ada nilainya tidak lain karena disempurnakan oleh Allah dengan meniupkan ruh-Nya kedalam jasad manusia. Ruh yang menandai adanya kehidupan berdunia berupa keluar dan masuknya nafas serta berdaya kekuatan, sebenarnya ini adalah ruh-Nya. Daya dan Kekuatan-Nya, Bisa-Nya, KuatNya dan Af’al-Nya. Namun ternyata semua diaku oleh manusia. Wujud jiwa raga manusia ini sengaja dijadikan demikian oleh Allah sebagai ujian guna dapat dijadikan kendaraan pulang kembali kepada-Nya dengan cara dan jalan yang harus patuh dan tunduk pada aturan main-Nya (yang karena Dia tidak ngejawantah maka membentuk wakil atau utusan), sama sekali tidak dipenuhi. Diingkari bahkan melebihi batas. Dengan demikian menjadi nyata bahwa hidup manusia ini yang pasti memperalat Tuhannya untuk memenuhi tujuan dan cita-cita nafsunya. “Bahkan sebenarnya mereka ingkar untuk menemui Tuhannya” (QS. As Sajdah 10). “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata : “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul”.(QS. Al Furqaan : 27). “Dan alangkah ngerinya jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa (karena selama hidupnya telah benar-benar memperalat Tuhannya demi tujuan dan cita-cita nafsunya) itu menundukan kepalanya dihadapan Tuhannya, (mereka berkata) : “ Ya Tuhan kami, kami telah meilhat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”. “Akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku. Sesungguhnya akan Aku penuhi jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama”. (QS. As Sajdah 13). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 12).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
15
D
³
º
Menolong Allah : Firman Allah dalam QS. Al Hajj 40 : “Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolongnya”. Dalam QS. Muhammad 7 : “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia menolonmu dan meneguhkan kedudukanmu”. Lalu apa yang terkandung dalam maksud firman Alah tersebut? Apakah sealayaknya Allah ditolong? Sedang Dia adalah segala-galanya, Maksud yang seharusnya ditolong adalah ketetapan-Nya. Ketetapan Allah karena Dia (Dzat Al Ghaib) – tidak ngejawantah di muka bumi. Kemudian “inni jaa’ilun fil-ardhi khaliifah”. Dia membentuk wakil-Nya di bumi. Kemudian semua orang yang mengaku Islam dan beriman, ngakunya adalah khalifatullah. Padahal wakil dan muwakil itu hakekatnya sama saja. Taatnya kepada wakil itu buah dan manfaatnya serta sampainya kepada-Nya dengan selamat dan bahagia, itu sama persis dengan taatnya kepada muwakkil (yang mewakilkan). Guru Wasithah yang hak dan sah, itu hakekatnya adalah Dia sendiri. Hakekatnya adalah Nur Muhammad. Seperti juga Nabi Muhammad SAW yang juga Rasul-Nya Allah, hakekatnya adalah Nur Muhammad yang dibungkus jasad (karena yang akan dibimbing juga beruapa jasad). Sehingga namanya wakil, ia tahu persis keberadaan si muwakkil. Tahu persis terhadap keberadaan Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Allah Nama-Nya. Sebab hakekatnya adalah Dia sendiri. Maka dari itu manakala berani ngaku atau merasa menjadi Guru, adalah perbuatan murtad sebesar-besarnya. Sebab sama saja dengan berani ngembari atau menyamai Tuhan. Kemudian yang kebetulan ditugasi sebagai wakil, atas kehendak-Nya semata, rasa hatinya tenggelam ke dalam Aku Ini. Tenggelam ke dalam keberadaan Al Ghaib-Nya. Rasa akunya sirna dan dengan sendirinya juga habis-habisan dalam jihadunnafsinya, karena betapa hebatnya rasa takutnya seandainya sampai digoda oleh licik dan julignya nafsu sendiri manakala muncul hingga sampai beranai ngaku dan merasa menjadi Guru. Ia sendiri yang ditugasi seperti ini menganggap dirinya seperti halnya seseorang yang nyunggu ambeng di atas kepalanya. Orang lain dianjurkannya untuk mengambil dengan tangannya supaya memakan amben yang disungginya. Maka sekiranya ia sendiri juga tidak ikut menggerakkan tangannya supaya mengambil makanan yang disunggi di atas kepalanya sendiri, iapun akan kelaparan sendiri. Maka tugas yang dijalaninya, adalah semata-mata semende Gurunya jua. Semende Guru yang sebelumnya. Ia lakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah Guru sebelumnya. Sak derma nglakoni. Sebab ia sendiri sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia kerjakan itu adalah juga sebagai lakon dan pitukonnya. Lakon dan pitukonnya sendiri yang juga sangat berniat mendekat kepada-Nya. Jadi ia sendiri juga merasa sebagai murid yang bersama-sama dengan sesama saudaranya yang berniat mendekat hingga sampai dengan selamat bertemu dengan-Nya. Sehingga yang disebut Guru itu adalah ucapan yang ke luar dari lesannya yang berupa petunjuk-petunjuk bagaimana mendekat hingga selamat sampai ma’rifat kepada-Nya. Sehingga dia sendiri juga niba-nangi melaksanakan apa yang diucapkannya sendiri. Maka keberadaan wakil-Nya Allah yang seperti ini, yang tidak lain adalah Al-Haadi kepercayaan-Nya, inilah yang ditentang habis-habisan oleh iblis dan wadya balanya. Supaya tidak satupun hamba Allah yang namanya manusia ini mengikuti Al Haadi. Betapa dahsyatnya kebencian dan kesombongannya, terlukiskan dalam firman Allah dalam QS. Al Isra’ 62 : “Dia (iblis) berkata : “Terangkanlah kepadaku, inikah orang yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh padaku sampai hari kiyaat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sedikit (yang tidak)”.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
16
D
³
º
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 68-70). Memang ironis, bahwa dalam firman-Nya, QS. Al-Hadid ayat 25, Allah menyatakan : “Dan supaya Allah mengetahui, siapakah yang menolong-Nya dan menolong Rasul-Nya dengan (senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzat Yang) Al Ghaib”. Rela menolong terjadi karena “rela berkorban”. Jadi menolong Allah berarti rela mengorbankan watak akunya serta mengorbankan segala macam kepentingan dan keinginan-keinginan nafsu, seperti gengsi, harga diri, kehormatan, status sosial, dan segala hal tentang kehormatan dunia yang biasa diaku oleh wataknya nafsu, demi memenuhi seruan Ilahi, patuh dan tunduk bagaikan patuh dan tunduknya para Malaikatul muqarrabun ketika diperintah Allah sujud kepada wakil-Nya yang selalu mengada di bumi-Nya. Menolong Rasul-Nya berati juga rela mengorbankan segala macam pillihannya nafsu dan watak akunya itu untuk secara benar ber it’ba kepadanya, disertai dengan hati yang tidak mudah melupai Diri-Nya Ilahi Dzat Yang Al Ghaib, yakni Isi-Nya Huw. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 100 – 101).
Menolong bil-Ghaibi : Firman Allah dalam surat al Hadid 25 : “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolongNya dan menolong Rasul-Nya bil-Ghaibi”. Maksud menolong bil-Ghaibi adalah dengan hati yang selalu mengingat-ingat dan menghayati Keberadaan Dzat-Nya Yang Al Ghaib itu. Yang hanya bisa diperoleh memang harus bertanya kepada rasul-Nya. Dan atau kepada wakil-wakilnya yang hak dan sah itu. Supaya menjadi butiran iman di dalam hati. Sebab hamba yang karena rela hati dengan kesungguhan jihadunnafsinya kemudian menjadi hamba yang menolong para utusan-Nya. Yakni rela sepenuh hati karena nafsunya telah patuh dan tunduk sama sekali berperilaku kal mayyiti baina yadil ghasili = bagai mayit yang patuh dan tunduk dimandikan oleh yang berhak mensucikan, yaitu Al Haadi yang juga disebut dengan Guru Wasithah, terus menjadi hamba yang sebagaimana dikehendaki oleh-Nya : “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya dengan (disertai hati yang selalu mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujdu-Nya Dzat Yang) Al Ghaib, mereka akan memperoleh ampunan dan anugerah yang besar”. (QS. Al Mulk 12). Sebagai hamba Allah yang dilengkapi akal dan otak, uraian di atas, apalagi yang berkaitan dengan bagaimana menolong Allah dan Utusan-Nya, apalagi proses pikir dalam akal sama sekali tidak mendapat siraman cerlangnya cahaya Wajah-Nya, jadinya hanya nyrimpeti bahkan merusak dan bisa meracuni Al-Haq-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 70).
Al ‘Ashri : Bahwa demi masa (demi waktu) – ayat pertama – adalah menunjukkan betapa pentingnya waktu selama manusia berada dalam kehidupan dunia. Saking betapa penting dan menentukannya, Allah sendiri yang bersumpah dengan waktu. Waktu atau masa sepanjang usia yang dijalani manusia di dunia. Akan menjadi benar-benar rugi, nista dan hina dina karena
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
17
³
D
º
tdak akan dikehendaki oleh-Nya digolongkan mereka yang telah sampai kepada-Nya dengan hati yang selamat. Kecuali yang beriman. Yakni yang imannya itu benar-benar masuk ke dalam Cahaya Wajah-Nya. Iman yang sejalan dengan rasa jiwanya pada saat menyatakan : “Qaaluu balaa syahidna”. Menyaksikan Dzat Yang Al Ghaib, namun inilah satu-satunya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Dan karena Dia tidak ngejawantah, maka ia percaya bahwa Allah SWT. membuat wakil sebagai Al Haadi kepercayaan-Nya di muka bumi. Yaitulah hamba yang dikehendaki sebagai ahladz – dzikri. Tempat bertanya untuk dapat mengetahui dan mengenal Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib Yang Allah Nama-Nya ini. (Inilah yang dimaksud “illalladziina aamanu”). Kemudian yang tidak akan rugi karena tidak dihinakan oleh-Nya (masuk orang yang telah sampai kepada Allah dengan hati yang selamat) yakni mereka yang melaksanakan amal-amal yang saleh. Yaitu orang-orang yang dengan sabar dan tawakkal berusaha untuk dapat mencapi tingkat dan martabat rasa. Suatu amal perbuatan dan juga pengorbanan (yang sekaligus guna mendidik diri sendiri dan lain orang), dilakukan denga ikhlas yang seikhlasnya sehingga sama sekali tidak merasa bahwa dirinya berkorban dan berbakti. Sebab melakukan amal perbuatan – berkorban dan berbakti yang dikerjakan dengan ikhlas yang seikhlasnya karena Allah, dijalan Allah dan untuk dapat selamat kembali bertemu dengan-Nya, tentu tidak merasa lagi kalau sebenarnya sedang berkorban dan berbakti. Akan tetapi tingkah laku dan gerak-gerik orang yang demikian tentu berfaedah bagi orang lain. Dan inilah praktek mereka yang karena telah mempunyai ilmu untuk ma’rifat kepada-Nya, segala amal perbuatannya, pengorbanan dan pengabdiannya, sama sekali tidak di aku. Hatinya selalu semende pada Gurunya yang dengan sendirinya akan selaku mengingat-ingat, manghayati dan merasakan nikmatnya rasa merasakan dzikirnya = merasakan Isi-Nya Hu. Maka……. sebagaimana dalam surat Al ‘Ashri, senantiasa “watawaa shubil-haqq watawaa shubishshobri”. Mereka yang saling menguatkan dengan perkara yang haq adalah mereka yang selalu memberlakukan diri melaksanakan jihadunnafsi. Memerangi nafsunya sendiri agar benarbenar patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya cita-cita hati nurani, roh dan rasa mendekat hingga sampai kepada-Nya. Mereka yang selalu menguatkan yang haq adalah yang jihadunnafsinya itu menjadikan darah yang mengalir dalam tubuhnya, adalah darah seperti darah yang mengalir dalam tubuh Nabi. Yakni mengalirnya darah yang membentuk wataknya malaikat dalam dirinya. Karena hanya para Malaikatlah yang rela hati dan sama sekali meniadakan watak akunya, gengsinya, harga dirinya, status kehormatan dan sebagainya……. kemudian utuh lahir batin melakukan sujud = patuh dan tunduk “kal mayyiti baina yadil-ghasili” dihadapan yang memandikan (yang mensucikannya agar kemudian disucikan oleh-Nya). Yang mensucikannya itu adalah Al Haadi. Wakil Tuhan di bumi karena Dia tidak ngejawantah di sini. Yakni Guru yang hak dan sah itu. “Al haqqu min Rabbika”. Al Haq yang menjadi ketetapan Tuhan. Sebab diluar jalur ini ternyata bentukan dan rekayasanya makhluk yang berani ablasa kepada Tuhannya lalu diberi nama iblis. Makhluk ini bagai tumbu oleh tutup dengan watak nafsu manusia yang para Malaikat-Nya Allah pun sempat curiga, mengapa Allah hendak menjadikan khalifah-Nya di bumi dari orang yang wataknya suka melakukan kerusakan dan saling menumpahkan darah sesamanya. Watak nafsu dan watak akunya manusia lalu diarahkan oleh kerja kerasnya si iblis dibentuk agar mempunyai padangan baik terhadap semua pekerjaan dan juga pikiran-pikiran supaya bersama-sama dengannya melecehkan dang menghina wakil Tuhan di bumi. Yakni melecehkan serta mentertawakan dengan berbagai fitnah supaya tidak satupun manusia yang mau percaya kepada Al Haadi ini. Allah sendiri menyatakan hanya sedikit saja yang luput dari jaringan kerja iblis ini. Hingga sampai-sampai Allah sendiri menghimbau, sipakah yang menolongnya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
18
³
D
º
Itula sebabnya pada surat Al Ashri yang Tuhan sendiri bersumpah dengan masa, diakhri dengan “watawa shaubish shabri”. Saling berwasiat dengan sabar. Yakni ketahanan diri yang harus dimiliki supaya tahan uji dalam memberlakukan diri terus menerus melakukan jihadunnafsi. Mempunyai diri selalu melaksanaan perang terbesar selama : nafas masih berada di dalam kandung badan. Agar darah yang mengalir dalam badan dan jiwa raganya ini darah yang seperti darah yang mengalir dalam jasad Nabi Muhammad SAW supaya masuk menjadi keluarga beliau. Aliran darah yang memerankan : “Watak para Malaikat-Nya”. Dan kuatnya kesabaran seperti inilah yang akan menumbuhkan semangat jiwa yang taubatan nashuha. Menumbuhkan semangat ikhlas semata kepada Tuhannya. Menumbuhkan bentukan akhlaqul karimah. Dan yang lebih penting dan inti, menumbuhkan semangat patuh dan tunduk kepada Al Haadi kepercayaan Ilaahi. Yakni Guru Wasithah yang hak dan sah sebagai pelanjut tugas dan fungsi Rasulullah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 60 – 61).
Asy-Syi’atun : (lih. Nubuwah - Nubuwah Syamsiyah). ……Syi’ahnya ahlul baitnya Junjungan Nabi Muhammad SAW bukanlah dari akar kata syiya’un yang artinya golongan. Tetapi Asy-Syi’atun yang padanannya adalah “Dhiya’u Asy-Syamsi”. Yakni cahaya Matahari, yaitu : “Nubuwah Syamsiyah”. Nubuwah Syamsiyah itu adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh khutbah Junjungan Nabi Muhammad SAW dan disaksikan lebih dari seratus dua puluh ribu orang : “Ma’asyiran naas! Ana Shirathullahi al-mustaqiimu alladzi amarakum bi itbaa’ihi, tsumma Ali min ba’di tsumma wuldi min sulbihi aimmah (ila yaumi al-qiyamah) yahduuna ila Al-Haqqiwa bihi ya’diluuna”. Artinya Wahai ummat manusia! Aku adalah shirathal-mustaqim yang kamu semua diperintahkan untuk mengikutinya. Setelahku adalah Ali kemudian dilanjutkan oleh putra-putraku yang datang dari sulbinya Ali. Mereka semua secara gilir gumanti adalah para imam yang dalam sebuah silsilah sama sekali tidak akan pernah terputus sampai hari kiyamat, selalu memberi petunjuk dengan metode tunjuk mengenai Ada dan Wujud satu-satu-Nya Dzat Yang Maha Benar dan dengan satu-satu-Nya Dzat Yang Maha Benar itu mereka melaksanakan keadilan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Petunjuk Yang Menentukan Keselamatan, Pondok Sufi, Tanjung, 20 Februari 2007, hal.1 – 2).
Attakiyah : Berkenaan dengan hal Daabbah; Menyimpan paham kebenaran terhadap keberadaan ilmu yang seharusnya selalu di-ingat-ingat, dihayati, dan dirasakan oleh hati nuarani, roh dan rasa terhadap Keberadaan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya, Allah Asma-Nya, amat sangat dekat sekali hingga sebenarnya amat sangat nikmat dan indah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 1).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
19
D
³
º
B Bala Sirullah : •
Bala Sirullah adalah sahabat setianya Wasithah yang dengan tekun dan sungguh-sungguh kompak dan seia sekata menjalani sumpah dan janji yang telah diikrarkan dihadapan Allah dengan rasa hati yang selalu disibukkan untuk dilatih merasakan betapa indahnya mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Illahi (= Al Ghaybullah = Isi-Nya Huw). Semua yang dijalani dalam membuktikan niatnya berjalan menuju kepada Allah sehingga sampai kepada-Nya, selalu memenuhi perintah Allah : ”Wabtaghuu ilaii al-Wasiilata”. Bersandar kepada Guru Wasithah. Sehingga apa yang dijalani tinggal sakderma nglakoni. Sama sekali tidak berani ngaku. Bala Sirullah adalah hamba Allah yang dibentuk oleh-Nya dijadikan kekasih-Nya. Adalah mereka yang dengan sadar dan penuh keyakinan memenuhi petunjuk Allah : “Sungguh Allah (amat) menyukai orang-orang yang selalu berperang untuk membunuh watak nafsunya sehingga si nafsu yang wujudnya adalah jiwa raganya menjadi patuh dan tunduk dijadikan tunggangannya hati nurani, roh dan rasa berjalan di jalan Allah (Shirathal Mustaqim) dalam barisan yang tertata rapi bagaikan sebuah bangunan yang tersusun kokoh”. (Arti dan maksud firman Allah dalam QS. Ash Shaf ayat 4). Bala Sirullah adalah hamba Allah yang ditarik oleh Fadhal dan Rahmat-Nya, menggerakkan hatinya dengan penuh kesadaran “mau” meminta petunjuk Ilmu Syaththariyah kepada yang berhak dan sah menunjuki (Wasithah) kemudian dengan bersungguh-sungguh berniat untuk memfungsikan hatinuarni, roh dan rasanya. Yaitu hamba Allah yang dimengertikan dengan maksud firman Allah :”inna anzalnaahu fi lalilaatul al-qadr”. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya di malam al-qadr-Nya. Yang telah diturunkan Allah itu adalah Nur Muhammad. Bertemunya fitrah manusia dengan asal kejadiannya yang suci yaitu Fitrah-Nya Allah SWT di dalam rasa. Yakni ketika seseorang baiat Ilmu Syaththaiyah yang juga disebut Ilmu Nubuwah kepada Wasithah. Dimaksud pada waktu malam adalah di waktu seluruh penduduk bumi digelapkan oleh mimpi gelapnya. Penduduk bumi hidupnya habis dijajah dan diperintah nafsu dan watak akunya. Dibalik itu adal hamba yang dikehendaki dengan hidayah-Nya dituntun untuk memperoleh Ilmu Nubuwah lalu ditetapkan mulia di sisi-Nya (dijadikan kekasih-Nya), apabila hamba itu kemudian dipahamkan bahwa lailatul al-qadr yang lebih baik meskipun dibandingkan seribu bulan, mengerti terhadap maksud Allah menurunkan para Malaikat-Nya dan ar-ruuh. Diturunkan para Malaikat-Nya Allah (yang markas besarnya di dalam hati nurani) berarti siap berniat untuk memfungsikan hatinurani. Yaitu menyiapkan diri menjadikan seluruh hidup dan kehidupannya diniatkan untuk berjalan menuju Tuhan sehingga sampai dengan selamat dan dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya. Dan caranya harus ngikut jejak para Malaikat-Nya Allah. Yakni sujud, menghormati dan belajar ka al-mayyiti di hadapan Wasithah yang berhak dan sah mensucikannya. Dan rohnya diajari, dilatih dan dididik untuk berada dalam maqam hakekat. Tetapi juga harus ingat dan waspada bahwa Allah di samping menurunkan Malaikat almuqorrobin juga ada Malaikat Harut dan Marut. Adalah mereka yang telah mendapat izin memperoleh Ilmu Syaththariyah secara hak dan sah dari berhak menunjuki, mengerti dan bisa bagaimana menjalaninya, akan tetapi dengan sangat tidak pernah disadari merasa bahwa dirinyalah yang paling bisa dan paling mengerti. Nangsang pada watak akunya lalu menjadi racun yang menyesatkan. Bahkan menyebarkan ilmu sihir yang mempesona, sehingga banyak yang terpengaruh mengikutinya. Menjadi sesat dan menyesatkan.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
20
D
³
º
Itulah sebabnya mengapa pada firman QS. Al Maidah ayat 35 Allah mengingatkan dengan petunjuk-Nya, ditujukan kepada orang-orang yang telah beriman (yang berimannya telah ma’rifatun wa tashdiqun), diperintah supaya bertaqwa. Yaitu supaya bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah dengan benar (itba’ kepada Wasithah) dan ikhlas. Masih diperintah supaya dapat selamat sampai kepada-Nya, bersandar pada Wasithah dan masih diperintah lagi untuk selalu memerangi nafsu agar selalu patuh berada di jalan Allah, yakni Shirathal Mustaqim yang dhahiruhu syareat dan batinya mapan di hakekat (Dawuh Guru), supaya kamu semua beruntung……………………… Jadi Bala Sirullah adalah (mestinya) kita semua yang telah benar-benar bersiap diri ngenggo (mematrikan dalam diri kita) guna mengamalkan Lailatu al Qdar. Siap nunggang jaran napas angin. Setiap ke luar masuknya nafas berusaha selalu dibarengi dengan ingatnya hati kepada Isi-Nya Huw. Sekali lagi, ingatnya pada Isi-Nya Huw bareng dengan masuknya nafas. Bukan ke luarnya. Sebab nafas itu apabila masuk dan tidak keluar lagi, namanya mati. Maka matinya yang selamat (selamat kembali kepada Tuhan). Cemetinya (pecutnya) supaya jalan terus, tidak jenuh, tidak noleh apalagi berhenti adalah mujahadah, disertai dengan penampakkan bagusnya pekerti, beningnya hati, sucinya jiwa raga. Yang dimakan adalah semua makanan yang halal. Yang disandang semua pakaian yang halal. Demikian pula yang ditempati adalah tempat tinggal yang halal. Sehingga siap pula menjadi pekerja keras, demi subhaanaka. Lalu senang bersama-sama sesam saudara secita dan setujuannya untuk meramaikan syiarnya Dinullah. Menjaga prajaning Wasitha yang telah diatur dengan Organisasi Dawuh Guru. Inilah yang disebut “ahli bagus” dihadapan Allah SWT. Lapaknya, alas tempat duduk di atas kuda adalah Syahadat Tharekat lengkap dengan sumpah-sumpah. Kemudian “sanggawedinya” yaitu tempat pancatan kaki, shodaqoh jariah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Warga Syathariyah yang Dihimpun Dalam Organisasi Dawuh Guru : Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin, oleh Allah Dijadikan BALA SIRULLAH pabial dengan sungguh-sungguh Siap Mengamalkan Lailatul Al Qadr, Pondok Sufi, Tanjung, 1 Nopember 2005, hal. 1 – 3). •
Bala Sirullah dalam lingkup Jamaah Lil Muqorrobin telah ada sejak ratusan tahun. Hanya saja memang tidak pernah muncul di atas permukaan. Bala Sirullah adalah sahabat yang setia tuhu dalam mejalani sebagai murid (orang yang berkehendak bertemu Tuhannya) yang sirrnya (rasanya) dijaga supaya tidak habis diperintah, diperalat atau dijajah oleh nafsunya. Mereka disebut pula sebagai ahlul kurub. Ahli prihatin dan prihatin yang ini tidak sama dengan susah. Akan tetapi hamba Allah yang dengan sungguh-sungguh berjihadunnafsi supaya rasa hatinya selalu dalam keadaan mendzikiri Diri-Nya Dzat Al Ghaibu Yang Mutlak Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya dalam keadaan apa saja, dimana saja dan sedang apa saja. Sehingga tingkah laku dan perbuatan lahir dan batinnya akan senantiasa “Katut Siliring Qudratullah”. Sama sekali tidak karena diperintah oleh nafsunya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Pembukaan, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. a).
•
Sahabat setia lahir batin yang dengan sabar dan tawakkal berusaha untuk dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. Yakni rela sepenuh hati memaksa dirinya untuk melakukan jihadunnafsi hingga si nafsu (wujudnya jiwa raga ini ) patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasa mendekat kepada Tuhannya sehingga selamat dan bahagia bertemu dengan-Nya. Yaitu dengan membuktikan kesungguhan berkorban dan berbakti dalam mendidik diri maupun orang lain yang dijalankan dengan ikhlas yang
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
21
D
³
º
seikhlas-ikhlasnya karena Allah, dijalan Allah, dengan Allah, untuk Allah sehingga sama sekali tidak merasa dirinya tidak berkorban dan berbakti. Hal demikian terjadi karena sirr (rasa) hatinya telah terlatih dan terdidik merasakan nikmat dan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Keberadaan Citra Diri-Nya Dzat Al Ghaibu Yang Wajib Wujud-Nya Allah Asma-Nya dan sangat dekat sekali dalam rasa hati. Kerja kerasnya Bala Sirullah dalam mengelola garapan dunia semata-mata demi dijadikan pancatan yang kokok untuk pulang menemui Tuhannya lagi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Pembukaan, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 1). Pemimpin Bala Sirullah Yang memimpin Bala Sirullah ini adalah seorang hamba Allah yang atas kehendak dan IjinNya serta perintah dari Allah SWT telah digulawentah Gurunya guna melanjutkan tuas dan fungsinya yang atas kehendak Allah juga diterima dari Gurunya supaya melaksanakan perintah Tuhannya “Iki detik, iki saat, iki jam, iki waktu lan iki dina kersanE Gusti Allah kowe mulai kewajiban ngilangi kebodohan seluruh dulur umat Islam bisane pada ma’rifat marang Allah. Wis masa bodoa aku kari sak derma nglahirake”. Dalam sebuah kutbah yang disaksikan lebih dari 120.000 orang, Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa hamba yang dikehendaki Tuhannya untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana halnya di atas adalah putra-putra beliau sendiri yang datang dari Sulbinya Sayidina Ali bin Abu Thalib As yang dalam melaksanaka tugas dan fungsinya oleh Nabi Muhammad SAW disebut sebagai maula, khalifati, al-Hadi, Washi, imam sesudahnya, yang dengan cara gilir gumanti (dalam rantai silsilahnya) tidak pernah terputus sama sekali hingga sampai kiyamat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi sebagai berikut : Rasulullah SAW Bersabda :” Aku adalah kotanya ilmu dan kamu (Ya Ali) adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu (‘Ali), karena kamu adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari kamu, dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, ruhmu adalah ruhku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelesanmu adalah penjelesanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu, beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu; sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu. Kamu dan para imam dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu (Nabi) Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam, sirna dan celaka. Kamu semua seperti bintang. Setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 3 – 4).
Bal Tut’tsiruunal – hayaataddunya : “Tetapi kamu semua memilih kehidupan duniawi” (QS. Al A’la : 16). Perlu diketahui hakekat dunia adalah wujudnya nafsu manusia yang tidak lain adalah wujudnya jiwa raga yang menjadi sumber segala sumberya dosa dan kemaksiatan. Dan porosnya nafsu yang markas besarnya wujudnya jiwa raga adalah watak akunya itu. Dan watak aku yang kemudian berusaha untuk memperoleh harga diri dan kehormatan sebagaimana layaknya manusia hidup di dunia, karena di dalam dirinya ada daya dan kekuatan dengan keluar masuknya nafas sebagai tanda dan bukti hidupnya. Sehingga hidupnya lalu ada harganya dan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
22
D
³
º
nilainya. Kemudian lalu diperjuangkan dengan berbagai macam cara dan jalan supaya paling tidak bertahan, sukur dapat berkembang. Nafsu yang tidak lain wujudnya jiwa raga ini dicipta oleh Allah dari setetes mani yang bercampur sengaja dibentuk demikian karena hendak diuji oleh-Nya (QS. Al Insan ayat 2). “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada yang kufur”. (QS. Al Insan ayat 3). Ternyata bentuk dan wujudnya ujian dari Allah sungguh sangat berat. Sehingga sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya memang nyata sekali tidak lulus. Bentuk ujian itu sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 14. Yaitu dijadikan indah pada pandangan manusia dalam kehidupan dunia ini terhadap apa saja yang diingini. Lalu apa saja yang diingini ini ternyata juga sekaligus dituhankannya. Yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Ini adalah kesenanan hidup di dunia (yang ternyata mengental dann menjadikannya lupa bahwa) di sisi Allah-lah sebenarnya tempat kembali yang lebih baik. “Apa saja yang ada padamu akan lenyap, dan apa yang ada pada sisi Allah inilah yang kekal”. (QS. An Nahl ayat 96). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 11).
Al Baqarah: Muqaddimah Surat yang 286 ayat isinya ini turun pada permulaan tahun Hijriyah di Madinah. Hanya ada satu ayat (281) turun di Mina. Dinamai Al Baqarah karena di dalamnya ada kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil. Dinamai jua dengan “Fusthaathul Qur’an (puncak Al Qur’an). Karena pada awalnya adalah ayat-ayat yang mengungkap keberadaan Al haq-Nya. Bagaimana supaya menjadi hamba yang dimuliakan disisi-Nya. Lalu dipilih oleh-Nya menjadi kekasih-Nya. Dinamai juga surat “Alif-laam-miim” karena dimulai dengan itu. Ada tiga huruf yang dirakit menjadi satu. Di dalamnya menyimpan rahasia keberadaan Al-Haq-Nya. Juga hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Sekaligus mempertemukan rahasia inti manusia dengan hakekat Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya. Bismillahirrakhmanirrakhim Ayat yang pertama hingga sampai dengan yang ke lima, itulah ayat-ayat yang menyimpan kerahasiaan inti manusia yang seharusnya dapat dengan yakin mengenali dan mengetahui tempat asal-usulnya. Mengungkap keberadaan Al Haq-Nya, bagaimana supaya menjadi hamba yang dimuliakan disisi-Nya (muttaqin). 1. Alif-laam-miim Alif adalah simbul : Ahadiyat. Menunjuk kepada keberadaan Satu-satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya. Yang di dalam dunia ini : Al Ghaib. Yang menamai Diri-Nya : Allah (Innani Ana Allah). Yang Cahaya Diri-Nya dikehendaki oleh-Nya menjadi fitrah manusia. Menjadi rahasia inti manusia (nuktah gaib). Yang puluhan ribu tahun lamanya disimpan oleh-Nya dalam rasa yang masih sejati murni pada martabat Hakikatul Insan sebagai kalimah yang kekal (kalimatan baqiyyatan). Yaitulah Cahaya Diri-Nya yang terkenal dengan julukan : Nur Muhammad. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Mutlak WujudNya. Yang Cahaya dengan Dzat-Nya selalu menyatu menjadi satu. Bagaikan samudera
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
23
D
³
º
dengan gelombangnya. Atau bagaikan sifat dan mausufnya. Atau bagaikan kertas dengan putihnya. Atau bagaikan bola dengan bundarnya. Sedang laamnya menunjuk pada pedoman bikinan Tuhan bagi yang dipilih-Nya supaya menjadi murid. Yaitu hamba yang dalam menjalani hidup dan kehidupannya dengan berjiwa raga adalah supaya mengarungi segala cobaan dan ujian dalam berdunia, semata-mata demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh dan sentosa. Guna mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang sejati murni. Yaitu mendekat hingga sampai dengan selamat dan bahagia beremu dengan Diri Ilaahi. Pedoman bikinan Ilaahi itu adalah :”Laa biwushuli ilaihi illa biwaasitahatin”. Dengan kandungan makna yang memastikan keberadaan jalan lurus-Nya. (Seseorang sama sekali) tidak akan dapat sampai dengan selamat kepada-Nya, kecuali dengan Wasithah. Supaya menjadi ummatan wasathan. Ummat yang merasakan berada ditengah-tengah Tuhannya, dalam rasa hatinya, hingga akan dapat memenuhi amanah Tuhannya dalam shalat yang ditegakkannya. Yaitu memelihara shalat wustha demi memenuhi waaqimishshalata lidzikkri. Shalat yang rasa hatinya merasakan berada ditengah-tengah Tuhannya. Sehingga karena itu yang nampak Ada pada mata hatinya, hanyalah Diri-Nya Dzat Yan Wajib Wujud-Nya. Oleh karena itu yang bertindak selaku Wasithah yang pertama, ketika Allah menghendaki Islam sebagai agama tauhid digelar di atas dunia, tidak lain adalah Junjungan Nabi Muhammad SAW sendiri (yang dalam menjalani tugasnya tidak pernah terputus meski jasadnya dibatasi usia. Punya pengganti-pengganti yang telah disiapkan Ilaahi. Yang dengan cara gilir gumanti tidak pernah terputus sama sekali dalam satu rantai silsilah hingga kini dan sampai kiyamat nanti. Supaya Hak-Nya Allah SWT dan hak-hak Junjungan Nabi SAW tetap terpelihara hingga hari kiyamat saja yang akan mengakhiri. Ada pula yang mengeluarkan pendapatnya bahwa Laam itu simbul dari Malaikat Jibril. Adalah Ruuhul-Amin yang tidak lain adalah Ruh Ilaahi sendiri. Yaitu daya dan kekuatan Ilahi sendiri. Yang membisikkan wahyu lewat telinga kiri bagi hamba yang dikehendaki terhadap rahasia yang tersimpan pada huruf Miim yang ditasjid pada kalimat Alif-Laammiim. Allah memilih utusan-utusan-Nya dari Malaikat dan dari Manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Haj ayat 75. Huruf Miim yang ditasjid itu menjadi misal bertemunya dua samudera. Adalah kalimatan baqiyyatan sebagai kalimah yang abadi. Adalah rahasia inti manusia yang dipertemukan dengan hakekat-Nya Diri Ilahi. Hingga menjadi nyata kebenaran makna “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”. Sebab memang fitrah Allah-lah yang telah menciptakan manusia dari fitrah-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ar Ruum ayat 30. 2. Kitab ini tidak ada keraguan padanya, hidayah bagi mereka yang bertaqwa. Adalah Kitab yang terpelihara (di Lauh Mahfudz-Nya). Karena itu tidak ada yang bisa menyentuhnya kecuali yang disucikan oleh-Nya. Dan termasuk yang hendak disucikan oleh-Nya adalah datangnya hidayah yang diterima dengan yakin dan nyata kepada mereka yang bertaqwa (dengan persyaratan yang dipenuhi). 3. Yaitu mereka yang beriman kepada Al Ghaib. Menunjuk pada keberadaan Satu-Satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, tetapi Ghaib. Yaitulah Diri-Nya Dzat Yang Allah NamaNya. Yang hanya dapat diperoleh dari yang berhak dan sah menunjukkannya. Menghidupkan berfungsinya hati nurani yang menjadikan imannya ma’rifatun watashdiqun. Hingga shalatnya lalu dapat tegak berdiri. Karena hatinya selalu dapat hadir
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
24
D
³
º
kepada Diri Tuhannya dalam shalatnya. Lalu rizki yang diterima dari hasil kerja kerasnya, disadari sebagai anugerah dari Tuhannya. Diketahui sebagai titipan dari Tuhannya (karena itu sama sekali tidak berani ngaku sebagai miliknya). Maka dari itu betapa relanya menafkahkan sebagiannya di jalan Tuhannya. 4. Kemudian penjelasan supaya menjadi orang-orang yang bertaqwa pada ayat empatnya. Yaitu beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang telah diturunkan sebelummu. Serta yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Maksud apa yang telah diturunkan kepadamu adalah Ilmu-Nya Allah SWT mengenai Keberadaan Dzat-Nya (Yang Al Ghaib), Sifat-Sifat-Nya, Af’al-Nya dan semua hal yang dibangsakan wujud. Dibangsakan wujud sebab sebenarnya tidak wujud. Yaitu jagad raya dengan segala isinya. Termasuk wujud jiwa raganya manusia. Yang dinampakan wujud pada pandangan mata kepala manusia, adalah sebagai ujian bagi hamba yang menghambakan diri kepada-Nya. Karena itu harus diperjuangkan supaya menjadi Laailaaha. Yakni tidak diingat-ingat, tidak dihayati, tidak dicintai, tidak dijadikan tujuan . Apalagi sampai dituhankan. Hingga akan benar-benar ditarik oleh-Nya menjadi nafi. Kemudian akan hanya Illa Huwa yang ada dalam rasa hatinya. Itulah Ilmu-Nya Allah SWT yang menjadi intinya wahyu. Yang tersimpan pada kitab yang terpelihara di Lauh Mahfudz-Nya. Karena itu tidak akan dapat menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan oleh-Nya. Serta yakin akan adanya kehidupan akhirat. Dan yang dapat membuktikan yakin adalah rasa. Seperti betapa asinnya garam, ini hanya rasa yang membuktikannya. Demikian hal yakin akan adanya kehidupan akhirat. Merasakannya dapat dijalani sejak sekarang, dengan ilmu tentang pintunya mati. Sebab ilmu mengenal Wajah Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya adalah ilmu yang ada didalam rasa. 5. Mereka itulah yang tetap mendapat hidayah dari Tuhan mereka dan merekalah orangoranng yang beruntung. Maka perlu diketahui bahwa, perihal keadaan hamba sebagaima-na yang dijelaskan dari kandungan makna ayat pertama hingga ke lima pada Al Qur’an surat yang ke dua, semata-mata karena ditarik oleh fadhal dan rahmat Tuhannya. Dan apabila tidak, adalah sebagaimana penjelasan Tuhan pada QS An Nisa’ ayat 83; “Kalau tidaklah karena (ditarik oleh) fadhal dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu semua mengikut syaitan, kecuali sedikit (diantara kamu semua yang tidak mengikut syaitan”. Pengikut syaitan adalah mereka yang sia sekata dengan watak anafsunya. Dan bentuk nafsu yang tidak lain adalah wujudnya jiwa raga, adalah markas besarnya watak aku yang layatghaa (benar-benar melebihi batas). Karena itu memandang dirinya serba cukup. Karena itu meski hanya dibuat dari mani. Tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata, terhadap keberadaan Al Haqqu min Rabbika. 6. Itulah perikehidupan mereka sebagaimana dijelaskan oleh Allah pada QS, Al Baqarah ayat 6 sampai dengan ayat 20-nya. Diberi peringatan ataupun tidak diberi peringatan, sama saja. Mereka tetap dalam kekafirannya. Karena Allah telah mengunci mata hati dan pendengaran mereka. Penglihatan mereka ditutup. Ngakunya beriman padahal sebenarnya tidak, menjadi munafik. Maunya hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padalah mereka hanyalah menipu dirinya sendiri. Namun mereka sama sekali tidak menyadari, dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah-tambah penyakitnya oleh Allah. Karena itu perbuatan merusak yang mereka lakukan dianggap sebagai perbuatan perbaikan. Karena itu pula mereka memandang orang-orang yang berimannya secara benar, sebagai orang-orang yang bodoh. Padahal mereka sendirilah yang sesungguhnya bodoh.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
25
D
³
º
Akan tetapi mereka tidak tahu akan bodohnya itu. Mereka selalu berupaya melakukan tipu daya dengan syaitan sebagai pemimpinnya. Maka Allahlah yang akan membalas tipu daya dan olok-olok mereka. Dengan membiarkan mereka terombang ambing dalam kesesatannya. Mereka itulah yang telah membeli kesesatan dengan petunjuk. Allah mengumpamakan mereka bagai orang yang menyalakan api (yang panasnya membakar dada). Seolah-olah seperti terang (sementara), tetapi nyatanya gelap dan kersang. Allah memutus mereka dengan tuli, bisu dan buta. Karena itu tidak akan bisa kembali (menjadi sesat selama-lamanya). Belum lagi betapa dahsyatnya mereka digoncang dengan resah dan gundah gulana, ketakutan dan kekuatirannya dalam menjalani gelombang kehidupan yang dikuasi nafsu. Menjadi gambaran nyata sebagai hamba yang ditinggal jauh Tuhannya. Hingga takutnya akan mati selalu menyelimuti. Meski begitu Allah meliputi mereka, dengan Maha Pemurah-Nya bagi kebutuhan nafsu dalam berdunia saja. Demikian juga pengetahuanNya dan kekuasaan-Nya menggenggam mereka dengan azab keras-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Tafsir Al-Baqarah,Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 9 – 12).
Bencana Terbesar : Sejak mula siap memikul amanah-Nya, manusia ini telah divonis Allah dengan “zaluumanjahuula”. Sangat zalim dan sangat bodoh (QS. Al Ahzab 72). Dicipta dari mani akan tetapi tiba-tiba menjadi pembantah yang nyata (terhadap adanya kebenaran Al-Haq-Nya) (QS. An Nahl 4). Berwatak layatgha (melebihi batas) karena telah memandang dirinya serba cukup (QS. Al ‘Alaq 6-7). Oleh karena itu tegas sekali Allah menetapkan bahwa sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya kamu semua (semua manusia ini) pasti mengikuti syetan, kecuali sedikit (yang tidak) (QS. An Nisa’ 83). Bencana terbesar yang sama sekali tidak pernah disadari adalah butanya mata hati meski Allah telah mengingatkan bahwa barang siapa yang hidupnya di dunia sekarang ini buta (mata hatinya), maka diakheratnya juga akan lebih buta dan lebih sesat jalannya (QS. Al Isra’ 72). Sesat jalannya karena ketika matinya tidak pulang ke tempat asal mula dari mana ia di datangkan. Yakni tidak selamat pulang kembali menemui Tuhannya. Tidak fii maq’adi shidqin ‘Inda malikin muqtadirin (QS. Al Qmar 55). Matinya tidak masuk ke dalam tempat yang benar lalu merasakan kebahagiaan selama-lamanya di sisi Tuhan Yang Berkuasa. Juga sama sekali tidak “Wujuhun yauma idzin naadhirah, ilaa rabbiha naadzirah” (QS. Al Qiyamah 22-23). Yakni ketika merasakan mati yang pasti menemui, wajahnya tidak berseri-seri (karena merasakan betapa bahagianya ilaa rabbiha naadzirah, yaitu melihat kembali (menyaksikan dengan seyakinnya) terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Zat yang di dunia sekarang ini Al Ghaib (=satu-satu-Nya Yang Ghaib dan jelas sekali keberadaannya dalam rasa hati). Sesat jalannya adalah ketika merasakan pati yang pasti ditemui dan hanya sekali saja (karena itu tidak bisa mengulang kembali) adalah mereka yang ketika mati wajahnya bermuram durja karena yakin akan merasakan betapa ngerinya malapetaka yang dahsyat. Yaitu hidup satu tempat dan satu alam dengan wadya balanya ibllis dan syaitan (QS. Al Qiyamah 24-25). Tidak satupun hamba yang tidak dihalau kepada Tuhannya (QS. Al Qiyamah 30). Namun mengapa ketika di dunia dan diberi kesempatan bertanya tidak digunakan sebaik-baiknya untuk mengenal dan mengetahui Diri-Nya Tuhan yang Wajib Wujud-Nya, Al Ghaib, dekat sekali meski dibanding dengan ke luar dan masuknya nafas ke dalam dada. Allah Asma-Nya. Itulah akibat mereka yang medustakan rasul-Nya dan berpaling dari kebenaran Al Haq-Nya kemudian pergi kepada ahlinya dengan berlagak sombong (QS. Al Qiyamah 32-33). Maka kecelakaanlah bagimu (hai orang yang medustakan keberadaan Rasul-Nya) dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang yang tidak percaya terhadap keberadaan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
26
³
D
º
rasul-Nya yang selalu ada dikalanganmu sendiri dari antara kamu sendiri) dan kecelakaanlah bagimu (QS. Al Qiyamah 34 – 35). Karena itu seharusnya diperhatikan dengan sungguh firman Allah sebagaimana dalam QS. Ali Imran 169-170 : “Janganlah kamu mengira bawa orang-orang yang mati di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang tinggal dibelakang (masih hidup di dunia) yang belum menyusul mereka, bawa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. Dan jalan Allah itu adalah mereka yang mendapat hidayah-Nya yang dengan hidayah ini mereka lalu taat sepenuh hati terhadap apa saja yang menjadi petunjuk dan perintah rasul-Nya yang harus dipenuhi. “Barang siapa yang mentaati Rasul (Nya Allah), sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menadi pemelihara bagi mereka”.(QS. An Nisa’ 80). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 5 – 6).
Benih Fitrahnya Manusia : Benih fitrah manusia yang kemudian menjadi “inti manusia” yang diletakkan oleh Allah dalam rasa (karena itu rasa adalah dasar manusia), adalah “Cahaya Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya “ yang menamakan Diri-Nya sendiri dengan Allah dan juga Asmaul-husna, begi kehidupan hamba-Nya selama di dunia. Yaitulah Cahaya yang dengan Dzat-Nya sama sekali tidak akan pernah pisah. Bagaikan sifat dan mausuf. Menyatu dan terus menerus menjadi satu. Bagaikan kertas dan putihnya. Meskipun dihancurkan, kertas dan putihnya ini tetap saja menyatu menjadi satu. Jadi tempat asal fitrah manusia yang kemudian menjadi inti manusia ini dari Diri-Nya Sendiri. Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Yang keberadaan-Nya di dunia ini Al Ghaib (= Satusatu-Nya Dzat Yang Wujud dan Yang Ada tetapi Gaib) dan Yang menamakan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib ini selama kehidupan hamba-Nya di dunia dengan Nama Allah. Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya yang mempunyai Keluhuran dan Kemuliaan, berkehendak agar keluhuran dan kemuliaannya ini tidak dipakai sendiri. Dia berkehendak untuk dicipratkan kepada hamba-Nya. Dan yang Dia pilih adalah hamba yang namanya manusia. Hanya saja untuk mencapai keluhuran dan kemuliaan di sisi-Nya sebagai hamba harus diuji. Dan supaya dapat lulus dalam ujian dan cobaan yang akan diberikan kepada hamba-Nya (yang dapat lulus adalah yang dapat selamat kembali kepada Diri-Nya lagi), maka benih yang masih fitrah yang kemudian menjadi “intinya manusia” oleh Allah dibekali dengan cara dimintai kesaksian terhadap keberadaan Diri-Nya sebagai Satu-satu-Nya yang dituhankan dan yang disaksikan Ada-Nya dan Wujud-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al A’raf ayat 172. Hal itu dilakukan oleh-Nya supaya kelak pada hari kiyamat tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kami (manusia anak keturunan Adam ini) adalah orang-orang yang lengah terhadap Keberadaan Satu-Satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 57).
Bentuk dan Ujian dari Allah : (lih. Dunia)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
27
D
³
º
“Berkah” : (lih. Ilmu Syaththariah – Pemberkahan Ilmu Nubuwwah) Bersyukur Kepada Allah : (lih. Syukur – Bersyukur) Besi Aji Islam Nur Malakiyah : Perlu diketahui bahwa para Wasithah memang memiliki pusaka-pusaka terbuat dari besi aji Islam nur Malakiyah yang jelasnya sebagaimana kandungan firman-Nya dalam QS. Al Hadid ayat 25 : “Bahwa Allah yang telah mengutus para Rasul-Nya dengan membawa bukti-bukti nyata terhadap Ada dan Wujud Diri Al-Haq-Nya. Kepada para Rasul-Nya telah pula disertakan Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Diciptakan pula oleh-Nya Besi yang di dalamnya ada kekuatan hebat (= besi aji Islam Nur Malakiyah karena selalu berdzikir kepada-Nya) yang padanya banyak manfaat bagi manusia”. Maksudnya dengan besi yang ada kekuatan luar biasanya itu dapat dipergunakan sebagai mestinya (atas dasar petunjuk Rasul-Nya) supaya Allah mengetahui siapa yang menolongnya dan menolong Rasul-rasul-Nya dengan selalu disertai mengingat-ingat Diri-Nya Yang Al Ghaib. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 42 – 43).
Bismillahirrahmanirrahim : (lih. Al Faatehah) Bitahsiinil Akhlaq : Bagusnya budi pekerti. Akhlak yang bagus ini terbentuk dari seseorang yang ilmunya manfaat. Yaitu seseorang yang dengan ilmunya itu selalu mengetahui terhadap aibnya diri. Selalu mengetahui terhadap aibnya mencintai (tilkumantilnya hati) kepada dunia, serta mengetahui terhadap bencana amal baik, yaitu watak takabur, sum’ah, ujub dan ria. Dengan demikina akan dijadikan Allah hamba yang dipandaikan mengadili dirinya sendiri. Sadar bahwa ternyata aibnya diri selalu menyertai perbuatan salah dan dosa selalu terbawa, maka akan segera diikuti dengan perbuatan-perbuatan baik. Itulah sebabnya maka seseorang yang bagus pekertinya, tidak akan mementingkan diri sendiri, dengan rela hati meringankan beban orang lain yang membutuhkan serta gemar menolong atas derita sesama. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 56).
Buah Dzikir : (lih. Dzikir- Buah Dzikir) Budi pekerti yang bagus : (Lih. Bitahsiinil Akhlaq) Butiran Iman : (lih. juga Ma’rifatun Watashdiqun; Nur Muhammad) •
Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhori bahwa “akan datang suatu zaman yang di zaman itu orang dinyatakan : alangkah pandainya, alangkah bijaksananya, alangkah kuatnya padahal di dalam hatinya sedikitpun tidak ada butiran imannya”. Butiran iman yang terasa membutir di dalam rasa. Bagaikan “sak mrica jinumput tetapi ngemplok jagad raya dengan segala isinya”. Yaitulah Nur Muhammad. Benih ginaib fitrahnya manusia yang asalnya dari Fitrah-Nya Allah sendiri. (Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 3).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
28
D
³
º
•
Butiran Iman adalah yang terasa membutir di dalam hati. Yaitu mengadanya Nur Muhammad sebagai punjer atau titik sentralnya jagad raya dan jagad manusia di dalam dadanya yang tempatnya di dalam kediamannya rahasia rasa dan hanya diperoleh apabila rela meminta petunjuk kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW atau para penggantinya (wakil-wakil) beliau yang selalu mengada, seacara gilir gumanti tidak akan pernah terputus sama sekali sampai kiyamat nanti. “Lir kadya sak mrica jinumput hananging ngemplok jagad”. Maksudnya, terasa di dalam hati bagaikan sebesar mrica akan tetapi memuat jagad raya dengan segala isinya dan juga jagad manusia yang ada di dalam dadanya (gambaran permisalan butiran iman). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilahi Yang Segera Diwujudkan Dengan Kun Fayakunnya Adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin Oleh Al-Qaim Al-Mahdi (Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Tanjung, Pondok Sufi, Desember 2003, hal. 5.)
•
Kejutan luar biasa bahwa isi butiran iman itu sesungguhnya adalah keberadaan Al GhaibNya yang diperoleh dengan cara dan jalan yang hak dan sah yang akan selalu dapat membutir dalam penghayatan rasa hatinya. Butiran yang “Lir kadya sak mrica jinumput hananging ngemplok jagad”. Butiran yang menempatkan fitrah jati diri manusia yang asalnya dari Sang Maha Fitrah ketika ditanya atas kesaksiannya “Alastu biraabikum” masing-masing menjawab sama ; “Qaalu balaa syahidna”. Fitrah jati diri yang menyaksikan keberadaan Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Satu-Satu-Nya Ada dan Ujud. Kemudian dengan butiran iman itu, apabila Allah melasi dengan ampunan dan rahmat-Nya akan mengabulkan doa’nya : “Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (terhadap Ada dan Ujud-Mu Dzat Yang Maha Satu)”. (QS. Ali Imran ayat 53). Dengan sendirinya bukan saksi yang palsu. Saksi yang Allah membuka mata hati mengetahui dan mengenali Al Ghaib-Nya itu dengan yakin dan pasti. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 18-19)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
29
³
D
º
C “Carilah Ilmu Sejak Dari Ayunan Sampai Ke Liang Lahat : Mencari Ilmu sejak dari ayunan bearti mencari ilmu sejak dari fitrah jati diirnya sendiri. Fitrah jati diri yang ketika ini juga dalam keadaan ma’rifat kepada-Nya. Menyaksikan (=weruh=melihat) Dia Dzat Yang Satu-Satu-Nya Ujud dan Ada sebagaimana firman-Nya : “Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap fitrah jati diri mereka (seraya berfirman) : ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian ini) agar dihari kiamat nanti kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang lengah terhadap ini (kesaksian terhadap Ada dan Ujud Satu-Satu-Nya Dzat Yang Al Ghaibi)”. (QS. Al A’raaf : 172). Kemudian menjadi jelas mengapa juga harus mencari ilmu sampai ke liang lahat. Mencari ilmu untuk memasuki kubur supaya selamat kembali menemui-Nya lagi. Menyaksikan keberadaan Dia Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini. Allah Asma-Nya. Al Ghaib Keberadaan-Nya. Banyak sekali firman Allah tentang ini dengan berbagai peringatan yang sebenarnya cukup keras. Sebagaimana firman-Nya : “Dan (di waktu mereka dengan ngeri ketakutan atas dahsyatnya azab mereka tidak bisa melepaskan diri) mereka berkata : “Kami beriman kepada Allah”, bagaimanakah mereka dapat mencapai keimanan dari tempat yang jauh?” Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum ini; dan mereka (hanya) menduga-duga (saja) tentang (Keberadaan Dia Dzat Yang) Al Ghaibi dari tempat yang jauh. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (supaya dikembalikan ke dunia atau diterima keimanannya) sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam”. (QS. Saba’ : 52 – 54). Ilmu yang menunjukkan tentang Keberadaan Dia Yan Al Ghaib adalah ilmu yang menunjuk pada Keberadaan Dzat Sifat dan Af’al-Nya sebagai “data kunci” untuk mengenali-Nya. Mengenali Jati Diri-Nya. Jelas fardhu ‘ain hukumnya untuk dapat mengetahui. Karena ini adalah “inti aqidah” itu sendiri. Ilmu yang dengan Cahaya Dia Sendiri akan menyentuh lalu membuka pintunya hati nurani supaya “mata hati”nya tidak buta kepada-Nya yang akibatnya lalu tidak akan dapat “seolah-olah melihat-Nya”. Perhatikan beberapa firman Allah di bawah ini : “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akherat (nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (yang selamat dan benar).” Dan ancaman karena buta terhadap Al Ghaib-Nya : “Tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui (Dzat Dia Yang) Al Ghaib tentulah mereka tidak akan dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba’ 14). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 33 – 35).
Ciri-ciri orang awam : (lih. Manusia – Pembagian Manusia)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
30
D
³
º
D Dada : Dada adalah gambaran hakekat jagadnya pribadi. Dari dalam dada pula seseorang akan menjadi sesat atau akan mengarah pada jalan selamat kepada Tuhan. Karena itulah Rasulullah pernah menunjuk ke arah dadanya sampai tiga kali bahwa “attaqwa ha huna, attaqwa ha huna”. Di dalam dada terletak sumber yang menggerakkan jasad seluruhnya. Kalau itu baik, maka baiklah jasad seluruhnya dan jika jelek, maka jeleklah jasad seluruhnya. Itulah hati. Karena itu supaya lulus dengan selamat tujuannya menuju kepada Allah Swt., selama menjelajah jagadnya pribadi yang juga selama menjelajah jagad ini, dunia ini, hidup ini, harus berani ngempet. Berani menahan nafas. Harus sabar dan tawakkal. Harus dengan jihadunnafsi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat Mentauhidkanya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-cita Kebangkitan Yang Islami, di Tanjung, 12 Januari 1990, hal. 48 – 49).
Daabbah : • •
•
Sejenis binatang melata; Simbul kekasih Allah yang pada pandangan mata manusia dunia dianggap hina, tidak berguna, pantasnya disingkirkan dan dihabisi karena terlanjur didakwa menyampaikan sesuatu yang mengada-ngada dan dusta. Hingga supaya terjaga kelestarian dan keselamatannya oleh Allah disimpan dalam bumi. Yakni bumi-Nya Illahi. Bumi tempat indahnya mendzikiri Diri-Nya Yang Al Ghaib, mutlak Wujud-Nya (Wajib Wujud-Nya) dan dekat sekali dalam rasa hati, sehingga dalam haatinya oleh Allah telah dikeluarkan semua hal tentang dunia. Hakekatnya dia adalah Wakil Allah dimuka bumi yang secara hak dan sah telah ditarik menemui-Nya, tahu persis kehendak-Nya serta memahami dengan benar terhadap Sang Muwakkal yang atas perintah dan ijin dari Allah dipersiapkan oleh Guru sebelumnya yang silsilahnya tidak pernah terputus dari Nabi Muhammad SAW hingga kini. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Surat : Ditujukan kepada yang dikehendaki Illahi siap untuk menolong diri sendiri, Tanjung, 26 Juni 1999, hal. 1)
•
Dabbah mempunyai arti kata sejenis binatang melata, sebenarnya sindiran Allah Swt pada hamba kepercayaan-Nya dan kekasih-Nya yang dalam menjalani “wasjud waqtaribnya”; ungkapan tangis penalangsanya dalam permohonan ampunan kepada-Nya persis bagaikan Nabi Yunus : “Laailaaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzdzalimin”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 7)
•
“Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan daabbah (sejenis binatang melata) dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya keadaan manusia (yang diuji dengan kehidupan dunia) tidak yakin kepada ayat-ayat Kami”. (QS. An Naml : 82). Allah mengibaratkan hamba yang mengatakan kebenaran adanya Dzat Al Haq dan Al Ghaib, Wajib Wujud-Nya, dekat sekali keberadaan-Nya, Allah Asma’-Nya, mestinya amat sangat nikmat dan indah diingat-ingat dan dihayati bila ditanyakan kepada ahlinya dengan Daabbah. Sejenis binatang melata. Mengapa demikian? Sebab yang secara kebetulan mendapat pelimpahan wewenang sebagai Al-Mahdi ini adalah orang yang justru selalu menuduh bahwa dirinyalah satu-
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
31
D
³
º
satunya hamba Allah yang banyak sendiri dosanya. Banyak sendiri salahnya. Bodoh, apes, hina dina, nista. Tidak bisa apa-apa. Tidak punya apa-apa. Bisu, tuli dan buta. Faqir sama sekali. Bahkan dirinyalah orang yang lebih jelek meski dibanding dengan kere di bawah jembatan. Oleh karena itu betapa takutnya kepada Tuhannya, sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya serta ampunan dari-Nya. Hidupnya banyak sekali prihatinnya. Yaitu selalu mengadili dirinya sendiri bagaimana agar supaya hidupnya ini tidak mudah kena tipu dayanya nafsu. Apalagi sampai diperintah oleh nafsunya dan dijajah olehnya. Betapa sangat takutnya sekiranya muncul watak berani ngembari Tuhannya. Ngaku bisa dan merasa ngerti. Sebab seyakinnya dia mengetahui bahwa hakekat guru yang hak dan sah sebagai wakilnya Nabi Muhammad SAW, ini sebenarnya adalah Tuhan sendiri. Hanya karena Dia tidak ngejawantah di muka bumi maka Dia berkehendak membuat wakil yang mewakili Diri-Nya. Wakil yang tahu secara benar dan persis perihal keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib dan Wujud-Nya. Karena itu dia, selama masih merasakan ada wujud jiwa raganya dan wujudnya dunia, taubatnya dan mohon ampunnya kepada Allah tidak pernah ada habis-habisnya. Sebab diketahui bahwa yang demikian ini terjadi karena masih kurangnya lakon dan pitukon yang seharusnya dipenuhi. Sebab selain Wujud Diri-Nya Yang Mutlak Ada-Nya, semua adalah nafi. Sehingga apabila masih dirasa adanya, sama saja dengan masih ngembari yang sebenarnya Wujud. Yakni Tuhannya. Karena itu taubatan nasuhanya mengalir terus bersama-sama dengan setiap masuknya nafas yang selalu dijaga supaya selalu bersama dengan ingatnya hati kepada Tuhannya. Apalagi dalam shalatnya sebagai “mi’rajul mukmimin” ini. Di samping itu Allah mengibaratkan Daabbah sebagaimana dijelaskan di atas, sebabnya dalam melaksanakan tugasnya, al-Mahdi yang secara hak dan sah menjadi wakilnya Nabi Muhammad SAW ini selalu dihina, dilecehkan, dicaci maki dimana-mana. Dinajiskan dan bahkan divonis sempalan yang seharusnya dibabat habis layaknya binatang melata yang hanya menjadi sampah kehidupan manusia dalam berdunia dengan watak akunya. “Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkaku memberi tangguh kepadaku sampai hari kiyamat, niscaya benar-benar aku sesatkan keturunannya, kecuali sedikit saja yang tidak”. Begitulah sesumbar iblis yang karena iri dan kemudian dengki luar biasa kepada wakil-Nya Allah di muka bumi berkata kepada Tuhannya. Begitu halnya terhadap al-Mahdi yang adalah juga wakil-Nya Allah di bumi. Wakil yang dengan sendirinya mengetahui secara persis dan benar terhadap Sang Muwakkil. Karena itu oleh Allah disebut dengan Ahlu-Dzikir. Yaitu hamba yang dibentuk oleh-Nya mempunyai hati nurani, roh dan rasa selalu berada pada diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib. Satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Allah Asma’-Nya. Oleh karena itu oleh Allah hati nurani, roh dan rasanya juga dijadikan senantiasa mengingat-ingat dan menghayati keberadaan DiriNya. Mengetahui bagaimana cara dan jalan untuk bertemu dengan-Nya. Karena itu atas kehendak dan ijin-Nya lewat ijin guru yang sebelumnya diberi wewenang mengajari tentang jalan yang lurus dengan ilmu yang mempertemukan inti manusia dengan hakekat Diri-Nya hingga hamba yang dikehendaki oleh-Nya akan dapat selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya. (Karena itu bagi yang ditugasi seperti itu kemudian ia merasa menjadi Guru apalagi sampai berani ngaku jadi Guru, adalah perbuatan murtad yang paling besar. Sebab hakekat Guru adalah Dia Sendiri).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
32
D
³
º
“Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepadamu (Muhammad dan para wakilmu yang hak dan sah itu) adalah baiat kepada Allah”. (QS. Al Fath 10). Begitu Nabi Muhammad SAW wafat, atas kehendak Allah tugas kerasulan guna menjaga murninya Islam sebagai agama untuk mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’aullah, yakni Imam Ali bin Abu Thalib Ra., peluang untuk melaksanakan tugas itu diusahakan untuk ditutup sama sekali oleh sahabat-sahabat yang lain. Bahkan terjadi sejak menjelang Nabi Muhammad SAW wafat, dalam keadaan beliau sakit dan berkehendak menulis wasiat supaya keutuhan ummat terjaga dengan mengakui Ali sebagai maulanya, dibantah dengan sangat keras oleh salah satu sahabat beliau. Itulah sebabnya mengapa jasad Nabi Muhammad SAW sampai tiga hari lamanya baru disemayamkan. Tidak lain karena para sahabat yang ditinggalkan justru ribut memperebutkan tentang bagaimana menjadi pemuka dalam hal kekuasaan yang kepada Sayidina Ali bin Abu Thalib Ra. sebagai pelanjut tugas kerasulannya sama sekali tidak ada wasiat perihal tersebut. Untuk hal tersebut Nabi Muhammad juga telah pernah bersabda : “Didatangkan beberapa orang pada hari kiyamat, lalu mereka di bawa ke arah kiri. Aku berteriak, “Ya Tuhanku, mereka adalah sahabat-sahabatku. Lalu dijawab : “Kamu tidak tahu apa-apa yang mereka perbuat setelah kamu meninggal. Sesungguhnya mereka itu murtad sejak mereka engkau tinggalkan”. (HR. Imam Bukhari pada bab Kuntu Alaihim syahida). Maka Islam lalu dipedoti (dipenggal-penggal) untuk kepentingan selera dan kepentingan nafsu, golongan, kelompok, politik, kekuasaan dan lain-lain. Dikapling-kapling. Dibagi-bagi sebagaimana Kalamullah (Al Qur’an) juga dibagi-bagi. Oleh karena itu lalu azab Allh juga sebagai imbalannya (QS. Al Hijr 90-91). Islam yang buatan Allah dan milik-Nya ini tidak lagi menjadikan pemeluk yang mengaku Islam agamanya berkehendak untuk mengenali pemilik-Nya. Sebab pintu untuk dapat masuk dan bertemu dengan pemilik-Nya telah dengan sengaja ditutup rapat-rapat. Padahal yang menjadi pintu untuk bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Wajib Wujud-Nya tidak lain adalah para Rasul-Nya yang tidak pernah putus hingga kiyamat. “Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka telah merasa senang dengan ilmu pengetahuan yang ada pada mereka dan (akibat yang demikian itu maka) mereka dikepung oleh Azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu”. (QS. Al Mu’minun ayat 83). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 9 – 11).
Dasar Muraqabah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Dasar Qana’ah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Dasar Ridha : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Dasar Sabar : (lih. juga Murid – Jalan Bagi Murid) •
Hanya dapat tercapai bila orang bersedia menangguhkan kesenangan, keinginan, kepentingan-kepentingan, selera-selera sekarang untuk kesenangan yang jauh lebih besar dan kekal saat ketika mati bertemu dengan Tuhan di akherat;
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
33
D
³ •
º
Selalu dengan sadar dan rela memaksa jiwa raganya sendiri (wujud nafsunya) selalu selalu patuh dan tunduk dijadikan kendaraan bagi cita-citanya hati nurani, roh dan rasa mendekat kepada Tuhannya sehingga sampai dengan selamat. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik Fadhal dan RahmatNya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2).
Dasar Taubat : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Buah dan manfaat dasar taubat ini akan mampu menjaga dan memelihara dirinya terjerumus pada hadirnya watak yang akan menyebabkan ia terhapus oleh Allah atas nasib baiknya. Yaitu ia mestinya dikehendaki Allah menjadi golongan orang yang muttaqien hingga paripurnanya. Ternyata karena dasar taubatnya lepas, datanglah penyakit yang menyebabkan ia mudah takbur, sum’ah, ria, ujub, iri, dengki, memandang diri cukup, lalu gampang saja berwatak kumingsun, sebab dzikirnya, amalnya sudah banyak, perjuangannya sudah hebat, jasanya telah cukup, dan sebagainya. Sehingga kemudian Allah mencoret dari daftar hamba yang dicintaiNya. Jadi dasar taubat yang selalu dipegangi akan menarik seseorang mempunyai budi pekerti yang mulia juga sekaligus akan menjaganya mempunyai watak yang selalu ngumawula. Mudah menangis kepada Allah. Dple-deple kepada Allah. Hingga selalu berharap atas pertolonganNya, Rahmat-Nya dan hidayah-Nya. Maka ia akan selalu rajin beribadah dengan rela dan ikhlas semata karena-Nya. Meski harus banyak berkorban, baik harta bendanya, pirkiran dan tenaganya. Maupun berkorban perasaan akibat saking sedikitnya orang-orang yang dikehendaki Allah berjalan lurus menuju kepada-Nya, sehingga sebagian besar dan banyak orang adanya hanya menghina dan mencercainya. Ia akan mudah sadar atas terbukanya hijab hatinya bahwa datangnya keadaan sulit dan susah, berat, banyak pengorbanan yang harus ditempuhnya, bagi diri yang memang berkehendak memenuhi kehendak Ilahi, mendekat kepada-Nya, itu justru menjadi hari raya baginya. Yang demikian justru akan menjadikan kuatnya dan teguhnya mental, sebagai alasnya berbagai pemberian dari Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Luhur. “dan jangalah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orangorang yang beriman”. (QS. 15 : 88). “dan (Allah) menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan (senantiasa) mengingat-Nya. Ingatlah bahwa dengan selalu berdzikir kepada-Nya hati menjadi tenteram”. (QS. 13 : 27 – 28). Kemudian manakala terlanjur berbuat salah dan dosa, ia kan segera menyesal dan berjanji tidak akan mengulang salah dan dosa yang telah dilakukan itu serta berkemauan kuat untuk segera memperbaiki diri. Dan karena ia punya guru yang hak dan sah sebagai wakil-Nya Rasulullah, maka kepadanyalah ia mengadu bagaimana seharusnya supaya permohononan ampun atas dosa yang telah dilakukannya itu diampuni oleh Tuhannya. Sebab Allah adalah Maha Pengampun atas segala dosa dan kesalahan hamba-Nya, kecuali dosa mensekutukan sesuatu dengan-Nya. Dengan dasar taubat yang selalu dipeganginya, akan menjaga dirinya selalu dalam derajat sabar. Yakni dengan rela hati memaksa jiwa raganya sendiri untuk dapat memenuhi kewajibannya sebagai hamba Allah. Ia akan dengan rela memaksa jiwa raganya memegang teguh talinya Allah.Talinya Allah adalah apa yang menjadi perintah dan petunjuknya guru yang hak dan sah itu. Juga hablumminannas, tali sesamanya.Yakni mengokohkan tali silaturahminya dengan sesama saudaranya sesama mukmin dan sesama tujuan dengannya. Sebab jiwa raga yang tidak lain adalah ujudnya nafsu, kalaulah tidak dipaksa, ia akan hanya enaknya sendiri.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
34
³
D
º
Semaunya sendiri, sehingga akan makin menjauhkan dirinya dengan Tuhannya. Sedang dijauhi Tuhan, inilah yang paling ditakutinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat Mentauhidkanya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-cita Kebangkitan Yang Islami, di Tanjung, 12 Januari 1990, hal. 69 – 70).
Dasar Tawajuh Illallah bil Kulliati : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Dasar Tawakkal ‘Alallah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Dasar Uzlah : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Dasar Zuhud : (lih. Murid – Jalan Bagi Murid) Data Kunci : (lih. juga Lil Muqorrobin) Data kunci adalah kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yang seandainya dimisalkan adalah bagai dua sisi dari sebuah mata uang atau bagai sebuah daun sirih. Meskipun bolak-balinya tidak sama tetapi apabila digigit, rasanya sama. Gambaran pemisalan ini dibenarkan oleh firman Allah : Artinya : “Barang siapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS An Nisa’ 80). Demikian halnya dengan firman Allah dalam QS. Imron ayat 31 : Katakanlah :” Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai (pula) kepada kamu serta mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Allah adalah Asma-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, Al Ghaib dan meskipun Maha Satu sangat dekat sekali keberadaan-Nya pada hamba-hamba-Nya, karena Dia selalu menyertai dan meliputi seluruh isi jagad raya dan jagad manusia. Meliputinya bagaikan roh jasadnya. Betapa tidak, manusia ini bernafaspun tidak apabila tidak dengan-Nya. Apalagi hingga mempunyai daya dan tenaga. Karena itu pada firman-Nya QS Ali Imron ayat 28 dan 30 Allah memperingatkan mengenai keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib itu supaya diketahui seyakinnya sebagai tempat kembali. Itulah sebabnya yang disebut mutaqin dengan mendapat jaminan hidayah dari Allah syarat pertamanya : Iman kepada Al Ghaib (QS. Al Baqarah 2 dan 3). “Dan dia (rasul) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan (Keberadaan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib) Al Ghaib” (QS. At-Takwir 24). Karena itulah maka harus dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW itu yang wafat hanyalah jasadnya. Sedang tugasnya sebagai utusan Allah (Rasullah) tidak ikut putus. Atas perintah, kehendak serta petunjuk dari Allah SWT secara gilir gumanti tidak pernah terputus sama sekali hingga kini sampai dengan kiyamat nanti. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin, Tanjung, 9 Februari 2000, hal. 2).
Dawuh Guru : Segala petunjuk, perintah dan larangan Guru Washitah yang diucapkan baik secara lisan maupun tulisan dan dalam bentuk tingkah laku (gerak-gerik).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
35
D
³
º
Deple-deple : •
Mereka yang selalu menyembah kepada-Nya adalah mereka yang selalu deple-deple dan ngawula kepada-Nya. Deple-deple karena memang apa yang dilakukan dalam ibadah itu sama sekali tidak ada yang diaku. Semua laku ibadahnya semata-mata kerena memenuhi perintah Guru yang hak dan sah (yang hakekatnya adalah Rasul-Nya juga). Sebab dengan ingat bahwa ibadahnya karena Guru, otomatis akan menjadikan hatinya selalu ingat pada Isi-Nya Hu. Yakni Tuhan Dzat Yang Al Ghaib itu. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 46).
•
Deple-deple adalah semua pelaksanaan ibadah dalam memproses diri dalam mendekat kepada-Nya sama sekali tidak ada yang diaku. Karena selalu sumende guru yang hak dan sah itu. Dengan sumende guru yang hak dan sah itu otomatis pasti akan selalu ingat pada isi-Nya Hu. Sebab hakekat Guru adalah Dia Sendiri. Bukanlah orangnya. Orangnya yang kebetulan ditugasi karena ijin dan kehendak sebagai al-haadi, sama sekali jua tidak akan berani ngaku. Bahkan iapun menyadari diri jua sebagai murid. Sebagai orang yang samasama dengan sesama saudaranya berkehendak bertemu Tuhannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 27).
•
Bagi hamba yang rasa hatinya selalu lengket dengan Diri-Nya, apapun yang ditemui dalam hidup dan kehidupan ini adalah sebagai ujian dan cobaan. Karena itu meski seandainya dilanda cobaan yang seberat apapun, rasa nikmat mengingat-ingat Diri Tuhannya justru makin menyala. Bahkan dianggapnya sebagai hari raya baginya. Karena sadarnya sepenuh hati ternyata memang benar bahwa hamba ini apes, hina dan tidak bisa apa-apa. Tidak punya apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Lalu menjadikan dirinya bangkit untuk selalu bersandar (deple-deple) kepada Yang Maha Segala-gala-Nya. Sebab, makna kandungan sabar dan tawakkal itu telah telah menyatu dalam dirinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.72 – 73).
Dunia : “Bal tu’tsiruunal-hayaataddunya”. “Tetapi kamu semua memilij kehidupan duniawi” (QS. Al A’la : 16). Perlu diketahui bahwa hakekat dunia adalah wujudnya nafsu manusia yang tidak lain adalah wujudnya jiwa raga yang menjadi sumber segala sumbernya dosa dan kemaksiataan. Dan porosnya nafsu yang markas besarnya wujudnya jiwa raga adalah watak akunya itu. Dan waktak aku yang kemudian berusaha untuk memperoleh harga diri dan kehormatan sebagaimana layaknya manusia hidup di dunia, karena di dalam diri ada daya dan kekuatan dengan keluar masuknya nafas sebagai tanda dan bukti hidupnya. Sehingga hidupnya lalu ada harganya dan ada nilainya. Kemudian lalu diperjuangkan dengan berbagai macam cara dan jalan supaya palling tidak bertahan sukur dapat berkembang. Nafsu yang tidak lain wujudnya jiwa raga ini dicipta oleh Allah dari setetes mani yang bercampur, sengaja dibentuk demikian karena hendak diuji oleh-Nya (QS. Al Insan; 2). “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada yang kufur” (QS. Al Insan ayat 3). Ternyata bentuk dan wujudnya ujian dari Allah sungguh sangat
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
36
D
³
º
berat. Sehingga sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya memang nyata sekali tidak lulus. Bentuk ujian ini adalah sebagaimana firman-Nya dalam QS Ali Imran 14 yaitu dijadikan indah pada pandangan manusia dalam kehidupan dunia ini terhadap apa saja yang diingini. Lalu apa saja yang diingini ini ternyata juga sekaligus dituhankannya. Yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.Ini adalah kesenangan hidup di dunia (yang ternyata mengental dan menjadikannya lupa bahwa) di sisi Allah-lah sebenarnya tempat kembali yang lebih baik. “Apa saja yang ada padamu akan lenyap, dan apa yang ada pada sisi Allah inilah yang kekal” (QS. An Nahl : 96). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.11)
Dzikir (dhikr, zikir) : •
Perintah Allah dengan Firman-Nya dalam QS. A’raf ayat 205 yang arti dan maksudnya : “Dan ingat-ingatlah Rabbmu di dalam dirimu (di dalam rasa hatimu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan (cara mengingat-ingat-Nya) tidak dengan melahirkan dengan katakata (tetapi diingat-ingat di dalam rasa hati), di sepanjang pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. Yang didzikiri (di ingat-ingat dalam rasa hati) adalah Yang Empu-Nya nama Allah. Yaitu Al Ghayb. Dzatullah Yang Mutlak Wujud-Nya (tetapi) Al Ghayb. Yang dekatnya lebih dekat Dia Dzat Yang Al Ghayb ini meskipun dibandingkan dengan putihnya mata dan hitamnya mata si hama (hadist Qudsi). Bahkan lebih dekat Dia meskipun dibandingkan dengan urat nadi yang ada di lehernya hamba (Firman Allah dalam QS. Qaaf : 16). Tidak ada yang menutupi Ada dan Wujud-Nya Yang Al Ghayb itu melainkan adalah jiwa raganya manusia yang dibangsakan wujud (sebab sebenarnya tidak wujud) dicipta Allah dari setetes mani akan tetapi hanyalah menjadi penentang yang terang-terangan (terhadap kehendak Allah dan semua perintah-Nya). (QS. Yasin : 77; dll). Karena itu “wadzahiruhu min qibalihi al‘azab”. (QS. Al Hadid : 13). “Inna nahnu nazzalna az zikra wa inna lahu lahaafidzuuna (QS. Al-hijr : 9). “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan dzikir dan Kami pulalah yang menjaganya”. Di dalam QS. Shaad ayat 1 dan 2 Allah berfirman : “Demi Al Qur’an yang mempunyai dzikir. Tetapi bagi orang-orang yang tidak percaya dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit”. Di dalam kitab Ma’na Diir fi bayani ma’rifat bilah, Allah berfirman di dalam dada AlGhauts: “Maka senantiasa zikirilah Diri-Ku niscaya Aku (juga akan) selalu ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku serta janganlah kamu mengingkari (Ada dan Wujud-Nya Diri-Ku Yang Al Ghayb itu). “Ana jalisun man zakarani”. Aku selalu duduk berhadap-hadapan dengan orang-orang yang mendzikir-Ku. Dan tidak ada suatu kaum yang duduk-duduk dalam sebuah majelis kemudian mereka semua pergi dan sama sekali tidak ada yang mendzikiri-Ku adalah bagaikan perginya kaum dari bangkainya himar. Dan seorang hamba yang tidak mendzikiri Aku di dalam rumahnya di atas bumi milik-Ku, melainkan disaksikan oleh bumi, di hadapan Allah, bumi itu menangisi seseorang hamba yang demikian halnya itu pada hari kematiannya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
37
D
³
º
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lalai mengingat-ingat (Ada dan Wujud Diri-Ku Yang Al Ghayb itu Yang) Allah (nama-Ku), mereka itulah golongan syaitan” (QS. Al Mujadilah : 19). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Nubuwah dan Zikir, Pondok Sufi, Tanjung, 13 Desember 2006, hal. 5-6) •
Rasa hati yang senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghaib yang dirasakannya sangat dekat sekali. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.18)
•
Dhikr adalah ingat-nya hatinurani, roh dan rasa kepada Dzat yang sangat dekat sekali keberadaan-Nya yang meski Al Ghaib, Wajib WujudNya. Inilah Ana. Aku yang Nama-Ku Allah. Dzikir yang mempertemukan inti manusia yang benih fitrahnya berasal dari Diri-Nya dengan Diri-Nya. Hakekat dzikir yang benar bukanlah yang jahri, yakni menyebut Asma’-Nya karena yang diketahui ya memang hanya Asma’-Nya. Padahal sebuah nama, sama saja tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa berbuat apa-apa adalah Musamma-Nya. Maka tanyakanlah kepada ahlinya (ahlu dzikir). Dan apabila secara benar mengikuti petunjuk guru yang hak dan sah itu, maka ia akan diajari bagaimana agar dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir batinnya selalu bisa berada dalam “Laailaaha illa Ana”. Yakni mempunyai rasa yang seyakinnya menyadari bahwa semua saja selain Wujud Diri-Nya adalah nafi. Termasuk wujud jiwa raganya sendiri. Karena itu yang ditetapkan terus menerus dalam rasa hatinya hanyalah satu saja. Yaitu Dzat Yang Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya yang hanya bisa diketahui dari ahlinya. Maka dari itu simak dengan kajian yang jeli dan benar terhadap firman Allah yang menyatakan bahwa : “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah membangkitkan seorang Rasul dalam kalangan mereka dari antara mereka sendiri (pula), yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dab al-Hikmah” (QS. Al Imran : 164). Dan mereka itulah yang akan dibalasi oleh Allah karena bersyukur bahwa meski Nabi Muhammad SAW telah wafat ada pelanjut yang meneruskan tugas kerasulannya serta mengazab mereka yang berbalik kebelakang (yang sama saja dengan menyembah jasad yang ada dalam kubur). QS. Ali Imran ayat 144-lah yang mejelasi perihal ini. Mereka yang bersyukur adalah mereka yang mendapat petunjuk Allah bahwa Nur Muhammad (Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, Allah Asma’-Nya) sebagai satu-satunya ilmu untuk dapat mengenali keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib itu tetap mengalir terus hingga kini bahkan sampai dengan kiyamat dan terus mengalir pula sebagai pintu satu-satunya masuk ke alam akhirat untuk selamat dan bahagia bertemu lagi denganNya. Sehingga dengan begitu maka kesaksian terhadap Diri-Nya Dzat Yang Asma’-Nya Allah tidak sebagai saksi yang palsu. Demikian halnya kesaksiannya terhadap Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya Allah juga tidak sebagai saksi palsu. Sebab dengan ilmu yang hak dan sah ini akan dengan seyakinnya hati nurani, roh dan rasa terbimbing untuk dapat mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya dan cahaya Terpuji-Nya (Nur Muhammad). Di mana Cahaya dan Dzat-Nya sebagaimana sifat dan mausufnya. Selalu menyatu menjadi satu sejak di dunia ini hingga di alam akhirat nanti.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
38
D
³
º
Untuk hal ini Allah berfirman :” Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nyadan kepada An-Nuur yang telah kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa saja yang kamu kerjakan”. (QS. At Tagabun : 8). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.13 – 14).
Ahli Dzikir : •
Ahli adalah sebagaimana ungkapan kata seperti ahli kubur, yaitu orang yang telah mati karena itulah dia selalu bertempat tinggal dalam kubur. Demikian halnya ahli dzikir. Dia adalah hamba yang dibentuk oleh Allah berdasar ilmu yang diterima dari Gurunya, dibentuk mempunyai hati nurani, roh dan rasa yang selalu maqam (bertempat tinggal) dalam dzikir. Bertempat tinggal dalam rasa hati yang senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghaib yang dirasakannya sangat dekat sekali. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 18 – 19).
•
Hamba yang dibentuk Tuhannya berhati nurani, roh dan rasanya selalu berada di dalam dzikir. Selalu mengingat-ingat, menghayati dan merasakan Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al Ghaib dan dekat sekali. Meskipun hamba ini tetap saja sebagaimana layaknya manusia biasa, dalam menjalani hidup dan kehidupan dunianya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nabi’ya ayat 7, bahwa mengadanya Rasul menyatu dengan mengadanya ahli dzikir. “Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka mintalah petunjuk kamu kepada ahli dzikir apabila kamu tidak mengetahui” (QS. 21 :7). Dengan mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud-Nya Dzat Satu-Satu-Nya Yang Al Ghaib, Allah Nama-Nya, Mutlak Wujud-Nya, karena amat sangat dekat sekali sehingga dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, karena dijadikan Allah rela meminta petunjuk kepada ahlinya, maka shalatnyapun akan berdiri tegak. Dan tegak berdirinya shalat karena memenuhi perintah Tuhannya. “Wa aqimishshalaata lidzikrii”. Kemudian fahsya’ dan munkarnya akan disingkirkan ilaahi dari dalam dirinya. Dan rezeki yang diperoleh dari hasil kerja kerasnya, sama sekali tidak akan pernah berani ngaku bahwa itu adalah miliknya. Hanyalah menjadi akon-akon donya. Maksudnya hanya purapura saja diaku menjadi miliknya. Sehingga dengan senang hati sebagiannya dibelanjakan di jalan Tuhannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilaahi Yang Segera Diwujudkan dengan Kun Fyakun-Nya adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin oleh Al-Qaim Al-Mahdi (Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Pondok Sufi, Tanjung, Desember 2003, hal. 52 – 53).
•
Hamba-hamba yang disucikan, wakil Diri-Nya Ilahi karena Dia tidak pernah ngejawantah di bumi ini; secara baik mengenal Diri-Nya Dzat yang Al Ghaib-Nya Ilahi. Yang hati nurani, roh dan rasanya selalu maqom pada Diri-Nya. Karena itu yang ternikmat diingatingat dan dihayati, juga Diri-Nya Satu-satu-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya. Tempat bertanya perihal Diri-Nya Yang Al Ghaib ini. Sebagaimana tugas dan fungsinya Rosul Ilahi. (yang dalam QS. Takwir 24 difirmankan olehNya). Bagi hamba yang dikehendaki mendekat kepada-Nya dan ada niatan hati untuk bertanya tentang keberadaan Diri-Nya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
39
D
³ •
º
Hamba yang hati nurani roh dan rasanya oleh Allah senantiasa dibentuk dan dijadikan maqam (bertempat tinggal) pada Diri-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal. 2).
Soroknya Dzikir :
Setiap kali akan dzikir mukul (Dzikir Huw-Huw-Huw) yang kita lakukan sehabis shalat, fidak sehabis Shalat Maghrib atau rerebo tahlil, ada sorok dzikir dengan cara dibatin. Yaitu : NUR CAHYA PUTIH WUJUD INGSUNG YA INGSUNG AREP NYATAKAKEN SEJATINE HUW…HUW….HUW… Kalau diganti dengan bahasa Indonesia lebih kurang : NUR CAHYA PUTIH WUJUD SAYA YA SAYA AKAN MENYATAKAN SEJATINYA HUW….HUW…HUW…. Nur Cahya Putih adalah fitrahnya manusia atau hakekat manusia atau benih ghayb sucinya manusia, dari Tuhan kembali kepada Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Petunjuk Imam Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin Kepada Segenap Warga Syathariyah, Lampiran 1,Pondok Sufi, Tanjung, 18 Apriil 2005, hal. 1).
Bunyinya Dzikir Yang Dapat Didengar Telinga Adalah Huw-Huw-Huw
Huw yang wawu didhammah adalah bunyinya rasa. Adalah Huwiyatu ar Rabbi. Huw yang isinya adalah Rabb (yang dibisikkan lewat telinga kiri sebagaimana yang dilakukan Junjungan Nabi Muhammad SAW ketika membai’at Sayidina Ali Bin Abu Thalib serta para ahlul baitnya). Huw ini sebenarnya telah ada di dalam surat Al Ikhlas. Qul Huwa Allahu Ahad. Qul adalah fiil amar. Artinya perintah yang berlaku sekarang. Huwa adalah dhamir. Artinya sesuatu yang tersimpan di dalam rasa hati mengenai Huwa (mengenai Dia), yakni Allah, adalah satu-satunya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya tetapi Al Ghayb.
“Qul innama huwa ilaahun waahidun, wa innani bariun mimma tusyrikuuna” (QS. Al An’am : 19). “Katakanlah bahwa sesungguhnya Huwa (huwiyatu ar Rabbi) adalah ilaahun waahid. Dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah). “Faqul hasbiyallahu laailaaha illa huwa…” (QS. At Taubah : 129). Arti dan maksudnya : “Maka katakanlah : “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada ilah selain Huwa (Huwiyatun ar Rabbi)…..”. Di dalam QS. Fathir ayat 15 Allah berfirman : “Yaa ayyuhannasu antumu al-fuqaraau illallah, wallahu huwa al-ghaniyyu al-hamiidu”. “Wahai manusia kamu semua adalah al-faqir (apes, hina, nista, bodoh tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak bisa apa-apa dan bahkan tidak ada apa-apanya, karena itu seharusnya kamu semua) berkehendak kepada Allah”. Wallahu Huwa adalah mubtada’ dan khabar. Maksudnya Allah itu adalah Huwa (yang tersimpan dalam rasa hati). Dialah Dzat Yang Maha Kaya Raya, tidak kurang suatu apa dan Maha Terpuji (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Nubuwah dan Zikir, Pondok Sufi, Tanjung, 13 Desember 2006, hal. 6 – 7).
Buah dan Manfaat Dzikir : Buah dan manfaat dzikir yang disertai hadirnya rasa hati terhadap maknanya dzikir, yakni betapa nikmatnya menghati dan merasakan dzikir (mengingat-ingat dan mengintai-intai IsiNya Hu = Al ghaib-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya) sebagaimana disebutkan di bawah ini. “Wahai murid (hamba yang berkehendak bertemu Tuhannya), wajib atas kamu supaya berusaha memperbanyak dzikir dengan menghadirkan maknanya agar dapat membekaskan adanya buah dan manfaat dzikir. Dan sebenarnyalah bahwa buah dan manfaat daripada dzikir saking banyaknya takkan bisa dihitung”.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
40
D
³
º
Di antara buahnya dzikir serta membekasnya adalah sepinya batin daripada berbagai kecondongan apa saja selain-Nya hingga sampai pada membuktikan selamatnya mati. Sama sekali juga tidak ada rasa kumandel kepada apa saja dan siapa saja, selain hanya kepada Dzat Allah SWT. Dan diantara berkahnya antara lain pada soal makanan dan yang semacamnya makanan yang bahkan sepertinya menjadi banyak sesuatu yang sebenarnya sedikit, serta mencukupi meski sebenarnya (seandainya dihitung) sedikit. Berkah lainnya yakni diamnya lesan atas keadaan dunia dan semua yang menjadikan senang dan nikmatnya dunia. Tidak memuji dan juga tidak mencela. Yang termasuk guna dan faedah dzikir adalah terbukanya hijab yang mendinding hati sehingga akan dapat mengetahui berbagai macam indahnya ajaib-Nya dan juga terhadap rahasianya alam rasa. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 59)
Dzikri Daim : (lih. Shalat – Shalat Daim). Dzikri Ismu Ghaib : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah) Dzikri Ismu Zat : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah) Dzikir Itsbat : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah) Dzikir Itsbat Faqod: (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah) Dzikir Nafi Itsbat : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah) Dzikir Tanazzul : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah) Dzikir Taroki : (lih. Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu syaththariah)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
41
D
³
º
F Al- Faatehah : Salah satu surat dalam Al Qur’an bernama Al-Faatehah. Surat ini diturunkan di Mekah dan merupakan surat yang pertama-tama diturunkan lengkap 7 ayat. Disebut Al Faatehah karena dengan surat ini dibuka dan dimulainya Al Qur’an. Sebagai bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara di Lauh Mahfudz-Nya. Karena itu tidak akan dapat menyentuh kecuali hamba-hamba yang disucikan oleh-Nya. Al Faatehah yang Ummul Kitab, tujuh ayatnya dibaca berulang-ulang dalam melaksanakan shalat yang ditegakkan. Telah menghimpun seluruh isi dan kandungan Al Qur’an. Karena itu apabila mengetahui intinya, Dia ini adalah ruuhul-ruuh. Sebagai wadah “mata hati” ketika menyaksikan Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya. Dzat Yang nyatanyata mudah dan amat indah untuk senantiasa dipandangi bila jihadunnafsinya hingga nyata membuka mata hati. Pada Khotbah Junjungan Nabi SAW yang agung di Ghadir Khum, dengan persiapan yang matang guna memenuhi kehendak dan perintah Tuhannya. Yang isinya meletakkan kepastian kebenaran Al haq-Nya. Namun ternyata ramai-ramai didustakan, dibantai dan disingkirkan, oleh mereka yang diungkap Junjungan Nabi SAW dalam khotbahnya, sebagai kelompok pendurhaka, munafik, licik, pelampau batas dan saudara-saudara setan yang saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia. Pada khotbahnya yang Agung itu, Junjungan Nabi SAW menjelaskan garis tegasnya Allah Wajalla. Wahai umat manusia! “Aku adalah shirathal-mustaqim yang kalian diperintahkan supaya mengikutinya. Setelahku adalah Ali. Kemudian dilanjutkan putra-putraku yang datang dari sulbinya. Mereka adalah para Imam yang membimbing kepada kebenaran dan dengan kebenaran itu mereka menjalankan keadilan”. (Kemudian Junjungan Nabi SAW membaca Surat Al Faatehah sampai akhir dan melanjutkan kotbahnya) : “Ayat-ayat ini diturunkan oleh Allah berkenaan denganku dan mereka (yaitu Imam Ali As., dan yang disebut putra-putranya yang atas kehendak Allah SWT ditugasi melanjutkan tugas dan fungsinya Junjungan Nabi SAW sebagai Rasullah yang ada dalam satu rantai silsilah dengan cara gilir gumanti, sama sekali tidak pernah terputus hingga kiyamat nanti)”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal. 5).
Kandungan ayat demi ayat Surat Al Faatehah. Bismillahirrahmanirrahim •
Dengan menyebut Nama Allah Dzat Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Pada ayat pertama ini Bismi-nya gandeng menjadi satu. Sebab dengan menyebut Nama-Nya berarti (seharusnya) rasa hati telah mengenali Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang empu-Nya nama Allah yang meskipun Al Ghaib, nyata sangat dekat sekali dalam rasa hati. Artinya sama dengan telah mengetahui rahasia yang ada pada titiknya ba’ (yang hanya diperoleh atas ijin dan hidayah-Nya dari yang disebut oleh Khotbah Junjungan Nabi sebagai putra-putranya; khotbah di Ghadir Khum).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
42
D
³
º
Maha pemurah karena Dialah Dzat Yang melimpahkan segala kebutuhan hidup dari kehidupan hamba-hamba-Nya. Bahkan kepada hamba yang kafirpun Allah meliputinya (QS.2 : 19). Sebab hamba yang kafirpun kalaulah tidak dengan ijin-Nya, bernafaspun tidak apalagi hingga berdaya dan bertenaga. Hanya saja lalu diaku dan diperalat oleh hawa nafsu dan syahwatnya. Namun sama sekali tidak disadarinya, karena itu betapa hebat ancaman azab yang diterima oleh mereka. Yang Maha Penyayang karena Dia-lah Dzat yang senantiasa menyayangi hamba-hamba pilihan-Nya. Supaya selalu berada pada keimanan dan ketaqwaan yang benar-benar sejalan dengan kehendak-Nya. Dan cara menyayanginya justru diuji dengan berbagai cobaan yang bermacam-macam. Dan karena disayangi, hamba yang demikian sadar sesadar-sesadarnya bahwa diwujudkannya berjiwa raga dalam kehidupan dunia memang sebagai tempat ujian dari Diri-Nya. Karena itu justru akan malah menyuburkan niat dan tekadnya dalam berlaku sabar dan tawakkal membuktikan jihadunnafsinya. Demi mendekat kepada-Nya sehingga sampai dengan selamat dan bahagia bertemu lagi dengan Diri-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal. 6). •
Pembukaan yang membuka terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al GhaibNya yang dekat sekali dalam hati yang mencahaya. Hingga apabila Bismillahirrahmanir- rahim diucapkan dengan kata, Rasa hati langsung menghayati Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib Wujud-Nya. Lalu mencahaya dengan Diri-Nya. Dan kenalnya hati yang padanya ada pancaran cahaya-Nya yang menyejukkan ini. Pada kebenaran Al-hadi yang dipercaya Ilahi sebagai wakil-Nya, menjadikan rasa jiwa yang selalu hidup dengan Diri-Nya. Menjadikan rasa jiwa dengan Arrahman dan Arrahim-Nya. Dapat menikamati rasa ngumawula kepadanya. Karena itu betapakah yang ada dalam dada. Apakah tidak pernah diperhatikan. Lalu apakah tidak kamu tolong sendiri untuk menyelamatkan. Padahal dada adalah misalnya jagad raya. Yang keberadaannya berintikan pada Diri-Nya Dzat Yang Maha Kuasa. Sebagai Sang Pencipta juga sekaligus Yang Menggerakkannya. Namun padanya juga ada iblis dan syaitan serta semua wadya bala lelembut dari bangsa jin dan manusia yang “laayatgha dan an raahustaghna”. Yang maunya membikin ruwet dan menggelapkan keberadaan Diri-Nya. Agar Ada dan Wujud-Nya Yang Al Ghaib dan dekat sekali ini, diganti saja dengan keberadaannya. Demikian halnya pada isinya dada. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia SuciWajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, 30 Oktober 1996, hal 1 – 2).
Alhamdulillahirabbil ‘alamina,: •
Segala puji bagi Rabb semesta alam, ayat yang kedua. Dengan sadar memuji-Nya maka habislah watak nagkunya hamba, kemudian suburlah gairah mencintai Diri-Nya Rabb. Yang menunjuk pada keberadaan Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya. Yang dirasakan dekat sekali dalam rasa hati. Karena itu menjadilah hamba yang senang hati selalu mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Rabb Sang Pendidik, sang Pelindung, Sang Pemelihara, Sang Pengayom yang Menguasai seluruh alam. Alam kabir maupun alam shagir yangada dalam dada hamba yang bertakarrub kepada-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 6).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
43
D
³ •
º
Segala puji hanyalah bagi-Nya semata, Tuhan semesta alam. Satu-satu-Nya yang ditaati. Sebab Dia-lah Dzat satu-satuNya yang Memiliki segala ini, yang Mendidik, Yang Memelihara Dan Mengayomi, dan Yang Mengalirkan rasa cinta hamba kepada Diri-Nya. Namun bagi dada yang adalah jagatnya manusia. Semisal apa yang ada dalam jagat raya Ciptaan-Nya, diruwetkan oleh segala cipta angan-angannya. Lalu menggelapkan keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib dan dekat sekali. Karena gengsi bertanya kepada ALHadi yang ahli dalam hal ini. Maka Wayaqdzifuuna bil ghaibi min makaanin ba’iidin, yakni hanya menduga-duga saja pada keberadaan (Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang) Al Ghaib dari tempat yang jauh (q.s. saba’. 53). Maka yang muncul adalah wataknya yang berani ngembari Diri-Nya. Ngembari Ada-Nya dan ngembari Wujud-Nya. Dengan ngakunya pada keberaan ada dan wujudnya dirinya. Lalu watak akunya itulah yang merajalela. Dengan komando nafsu untuk menghabisi nikmatnya hati mengingati Diri-Nya. Hingga puja dan pinuji yang mestinya adalah hanya layak bagi Diri-Nya. Diserobotnya untuk memenuhi kepuasannya dunia. Padahal dengan mengucap alhamdulillahirabbil ’alamin. Bagi yang dalam dadanya ada isinya dzikir yang menghayati Keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib, dekat sekali. Akan segera menghidupkan kesadarannya sebagai hamba yang bodoh, dungu, tuli, apes, hina, tidak bisa apa-apa, tidak kuat apa-apa dan tidak punya apa-apa. Yang kalaulah tidak karena dengan-Nya, fadhal-Nya dan Rahmat-Nya. Tidak hanya apes, hina, nista, dan bahkan tidak berharga. Sahdan jalan syaitanlah yang akan diikuti. Lalu watak ngembari Diri-Nya. Menyatu dengan watak aku yang tak pernah disadari sama sekali. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 2 – 3)
Ar-Rahman Ar-Rahim.: •
Mempertajam terbukanya kesadaran pada diri hamba yang dikehendaki sebagai al faqir yang selalu butuh kepada Diri Illahi. Karena itu selalu bertekad bulat dan dengan secara benar mengenali Diri-Nya Yang Al Ghaib supaya dengan mudah diingat-ingat dan dihayati sebagai tempat Yang Kekal dan Yang Abadi untuk menggantungkan diri. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 6).
•
Ar-Rahman-Nya membuka cakrawalanya pikiran yang hatinya mengenali Diri-Nya Tuhan. Bahwa ia hidup didunia tidaklah sendirian. Banyak yang lain dan bermacam-macam. Untuk diketahui sebagai bacaan betapa luasnya ilmu-Nya Tuhan. Yang menghidupi hamba meskipun tidak taat kepada-Nya. Dan yang menjadikannya tak tergoncang terhadap tingkah mereka. Yang menjadikan dunia menjadi lahan nafsunya. Hingga emosi dan ambisi yang biasa memabukkan mereka yang menggeluti nafsunya dengan dunianya, tidak akan memahami kandungan kalimah nafi itsbat ini. Ar Rahman-Nya yang membuka wawasan luasnya karena hidayah yang melapangkan dadanya. Karena telah memahami kalimah thayyibah-Nya yang tersusun dari kalimah nafi dan kalimah itsbat ini. Menjadikan hidupya untuk tetap mendidik diri pribadi. Bertapa di tengah-tengah praja (zuhud) dan menyendiri ditengah-tengah kalangan (uzlah). Di tengah praja berkepedulian membangun kerja, kerjasama dengan siapa saja. Memajukan sebagaimana layaknya kehidupan berdunia. Namun bertapa rasa hatinya. Tidak kumantil kepada semua ujud yang ada. Tetapi kumantil kepada Diri Tuhannya. Sehingga seandainya berhasil membangun apa saja yang besar manfaatnya bagi sesama. Yang disyukuri
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
44
D
³
º
bukannya wujudnya bangunan yang melibatkannya. Akan tetapi Diri Ilahi yang menjadikan hati ini mau. Sehingga dengan begitu, amal perbuatannya tidak akan dimakan api, bagai kayu kering yang terbakar habis-habisan, yakni takabur, ujub, ria’ dan sum’ah yang telah menjadi latah. Maka ditengah kalangan tempat kerja kerasnya mengelola garapan dunia. Dan dengan pikiran yang dibekali ilmu pengetehuan dan teknologi tinggi. Tidak ditujukan sebagaimana kebiasaan hidupnya manusia berdunia. Untuk bersenang-senang dan menumpuk harta, akan tetapi menyendiri demi lakon dan pitukon guna mendekat hingga ma’rifat. Kemudian dalam menghayati Ar Rahum-Nya Illahi. Terbukanya dada karena dibuka olehNya. Supaya menjadi hamba yang mendekat kepada Diri-Nya. Suci yang kahesti, karena itu tidak pernah lumpuh dalam berjihadunafsi. Luhur kang ginayuh, karena amanat-Nya untuk menjadi Khaira Ummati. Disadari dengan sepenuh hati. Maka tujuan hidup yang sejati murni ini, ternyata rumpil margane. Akeh Pengorbanane. Gede Cobane, Adoh, jero dan lembut tebane. Karena itu apabila lepas dari tali yang diulurkan Illahi, yang sama artinya dengan mematikan dzikir yang seharusnya selalu mencahaya dengan Al Ghaib-Na Dzat Yang Menguasai dadanya. Putus asalah yang akan membantai semangat ini. Lalu tersungkur di bawah kaki berhala yang selalu melirik kelengahannya. Karena itu bagi hamba yang hidupnya dikuasai Ar Rahim-Nya; “Wurudul faqati a’yadul muridina. Falfaqotu basthul mawaahibi”. Bahwa datangnya keadaan rekasa, kangelan dan pengorbanan, yaitu semua hal yang sama sekali tidak disenangi. Bagi hamba yang tekad hidupnya demi mendekat kepada-Nya hingga sampai, hal demikian justru menjadi hari raya. Sebab mengetahui makna belas kasih-Nya, bahwa keadaan demikian justru akan menjadikan lemek yang sentosa bagi beberapa pemberian dari Diri-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, 30 Oktober 1996, hal 3 – 6).
Maaliki yaumiddin •
Yang Menguasai hari pembalasan, ayat empatnya. Dia pula Raja yang menyambut hadirnya hamba yang pulang kepada-Nya. Karena itu disini menanam dan disitu memetik. Apabila menanamnya taat mengikuti petunjuk Sang Raja Yang Maha Kuasa, memetiknyapun akan memperoleh sebagaimana yang dijanjikan oleh-Nya. Tetapi apabila menanamnya dengan caranya sendiri dan semaunya sendiri, hasilnya diancam dengan sama sekali tidak diterima oleh Sang Raja dan dibuang sia-sia. Balasan yang dipetiknya adalah penyesalan selamalamanya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 7).
•
Yang menguasai hari pembalasan. Dia-lah Maha Raja Diraja Yang Berdiri Sendiri dan Berkuasa. Di hari yang setiap manusia pasti akan menemui. Dan yang ketika masih di sini. Karena nafsu yang menghidupi lalu menguasai. Maunya pergi dan lari. Karena maunya semua orang takut mati. Padahal bagi yang kenal Diri-Nya secara baik dan benar jalannya. Lalu menjadikan hidup di dunia ini untuk dikelola guna pancatan yang kokoh bagi cita-cita pulang kembali menemui-Nya. Mati adalah puncak kebahagiaan-nya. Menjadi pintu gerbang bertemu dengan Diri-Nya A-Ghaib-Nya dengan wajah yang berseri-seri kerena merasakan nikmatnya mati. Karena Tuhannya melihat (dengan mata hati yang padang karena sirnanya semua hijab yang menutupi). Sebagai mana firman Nya diSurat Al-Qiyamat.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
45
D
³
º
Dengan Maliki yaumiddin yang dihayati dalam rasa hati. Maka zaman keadilan sebagaimana cita-cita ummat akan terpenuhi. Sebab semua hamba yang Aku sebutkan dimuka akan dipandaikan Illahi mengadili diri. Dengan jihadunnafsi yang selalu menghidupkan semangat mendekat, maka, rasa takutnya apabila Tuhan menjauh dari dirinya (yang menyebabkan rasa menjadi berat merasakan nikmatnya mengingat-ingat dan menghayati keberadaan Diri-Nya Yang dekat sekali) menjadikannya selalu bertaubatan nasuha. Maka firman-Nya yang kebanyakan manusia mengesampingkannya “wahuhadzdzirukumullahu nafsahu”. Dan Allah memperingatkanmu terhadap keberadaan Diri-Nya itu. Sebagaimana di surat Al Imran ayat 28 dan 30-nya. Terhadap satu-satu-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan jelas sekali Ada-Nya dan Wujud-Nya. “Inilah Tuhanmu Dzat Yang Al Ghaib itu maka ingat-ingatlah selalu dalam hatimu”. Sebagaiman di surat At Takwir ayat 24-nya itu. Bahwa Dia, Rasul Illahi yang tugasnya sebagaimana aku jelaskan di muka, yang secara gilir gumanti tidak putus dibatasi oleh wafatnya jasad nabi. “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Begitulah ungkapan tanya pengjaga-penjaga neraka yang menggelegak marah. Setiap kali dilemparkan kepadanya sekumpulan orang-orang berdosa. Mereka menjawab : “Benar ada”. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami mengatakan : “Allah tidak mendatangkan sesuatupun.” Maka firman-Nya memutuskan : “Kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar”. Dan mereka berkata : “Sekiranya kami mendengarkan dan memikirkan niscaya kami tidak termasuk alhi neraka yang menyala-nyala”. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi semua ahli neraka yang menyala-nyala. Begitulah peringatan Ilalahi di surat Al Mulk ayat 7 hingga sebelasnya. Kemudian di ayat dua belasnya. Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya dengan (selalu ingat Wujud-Nya Dzat Yang) Al Ghaib (dekat sekali dalam rasa hati), karena itu sangat mudah diingat-ingat dan dihayati bila dikehendaki) mereka akan memperoleh ampunan dan kanugrahan yang besar. Itulah “Maaliki yaumiddin”. Maha Raja Yang Mengusai hari pembalasan. Maka bagi yang dikehendaki, alangkah hebat rasa takutnya apabila sekiranya ditinggalkan oleh-Nya. Karena harapan hidupnya adalah dapat kembali dengan selamat menemui-Nya. Maka rasa cinta untuk dapat selalu mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya, akan dijalani meski harus menghadapi betapapun beratnya resiko yang ditemui. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 6 – 9). Iyyakana’ budu waiyyaakanasta’in.: •
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan, terjemahan ayat yang ke lima. Adalah ungkapan hamba yang pandai bersyukur kepada-Nya. Adalah ungkapan hamba yang ridha dan ikhlas kepada-Nya. Adala ungkapan hamba yang secara nyata rasa hatinya mengenali Ada dan Wujud DiriNya. Ungkapan hamba yang deple-deple dan pasrah bongkokan kepada-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 7).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
46
D
³ •
º
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Sebab kami menyadari bahwa kulluman ‘alaiha faanin Wayabqo wajhu Rabbika dzul Jalali wal ikraam (Q. S. Ar- Rahman 26 – 27). Kami menyadari dengan seyakin-yakinnya dalam rasa ini. Dengan ajaran dari-Mu lewat Utusan yang Engkau tugasi itu bahwa Huwal awwalu Huwal-akhiru, Huwa adzdzahiru Huwa al-bathinu. Hanyalah DiriMu Satu-satuNya Dzat Yang Wajib WujudNya yang meskipun Al Ghaib dekat sekali dalam rasa hati sebab selain Diri-Mu. Termasuk wujud diriku dan apa saja yang menempel disini, sebenarnya memang tidak wujud dan tidak ada (Engkau adakan Wujudnya adalah sebagai ujian untuk dapat lulus ditiadakan, agar tidak menjadi hijab yang mematikan hati untuk menemui-Mu lagi). Karena itu betapa al-fakirnya hamba-Mu ini. Kalau sekiranya tidak hanya untuk menyembah kepada-Mu, maka hidup kami akan sia-sia dan sesat selama-lamanya. Maka aku akan selalu nggandul kepadaMu. Sebab betapa keadaan hidup yang aku jalani. Semua Tergenggam di Tangan-Mu, maka hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan dan kasih sayang. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia SuciWajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 9 – 10).
IhdinashshiraathalMustaqim. : •
Ihdina – mengandung makna bagi yang dibuka rasa sadarnya sebagai hamba yang apes, hina, tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa. Sahdan bisanya hanya menambah salah dan dosa. Maka kesadarannya lalu berkata : “Seandainya tidak diberi hidayah yang nyata oleh-Nya, tidak hanya apes, hina dina dan sama sekali sia-sia serta rugi dalam menjalani hidup ini, bahkan matinya pun akan sesar selama-lamanya. Tidak bisa pulang kembali bertemu dengan DiriNya Illahi. Padahal itulah yang amat sangat ditakuti”. Hidayah nyata itu adalah hati yang dimaukan Tuhannya menjalani Shirathal mustaqim. Yang ternyata amat sangat sedikit sekali hamba yang diberi mengerti tentang ini. Padahal itulah sunnah (perikehidupan nyata) yang dijalani Junjungan Nabi Muhammad SAW serta para penggantinya yang hak dan sah melanjutkan tugas dan fungsi kerasulan. Yang hingga kini tetap ada bahan hingga kiayamat tiba. Bagai sinar matahari yang senantiasa memandangi jagadnya pribadi. Dalam dadanya lalu memancar dengan Nubuwah Qomariyah. Karena Nur Muhammad sebagai Cahaya TerpujiNya Dzat Yang Mutlak WujudNya. Selalu mengalirkan cahaya di dalam dadanya. Shiratal-mustaqim itu dhahirnya syareat dengan batin yang mapan di hakekat. Syareat adalah perintahnya Guru yang hak dan sah sebagaimana telah banyak dijelaskan terdahulu. Yang dapat dilihat mata kepala dan dikerjakan anggota jasadnya. Sedangkan hakekat adalah hati nurani, roh dan rasa yang telah berfungsi untuk selalu mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzat Al Ghaib dan Mutlak Wujud-Nya (yang tersimpan dalam titiknya ba’ = hakekat rumahnya Junjungan Nabi Muhammad SAW yang hakiki). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 7).
•
Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan satu-satu-Nya milik-Mu itu. (bukan jalan–jalan yang menceraiberaikan kami dari jalanmu, sebagaimana yang Engkau firmankan dalam Surat AlAn’am ayat 153 itu).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
47
D
³
º
Dan oleh karena jalan itu adalah milik-Mu. Maka memang seharusnya bahwa kewajiban yang pertama-tama adalah mengenali Diri-Mu sebagai Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Oleh karena itu kami sama sekali tidak enggan dan sama sekali tidak malu bertanya kepada yang ahli tentang ini, lalu mengikuti jejak para malaikat-Mu yang Engkau dekatkan itu. Untuk berbuat sujud, yakni kalmayyiti dihadapan wakil-Mu dimuka bumi. Yang kami sadari memang harus dengan kesungguhan memerangi nafsu. Sebagaimana dalam petunjuk-Mu dalam Surat AL-Hijr 98 : “fasabbih bihamdirabbika wakun minassajidina.” Jalan-Mu yang sangat lembut dan samar-samar. Sebagaimana Diri-Mu Yang juga sangat lembut sekali untuk dapat selalu dihayati. Mudah sekali terjadi dengan tiba-tiba lupa mengingati apa lagi hingga menghayati. Sedangkan syaitan dan wadya balanya yang lembut dan yang kasar. Begitu beraneka dan bermacam-macam. Sebanyak jenis dan macam makhluk-Mu dijagad manusia, jin dan syaitan. Maka dengan tanpa pembimbingnya Al-Hadi sang Penunjuk jalan yang Engkau percaya mewakili-Mu sebagai tugas penerusan utusan-Mu. Yang menjelaskan perihal hidayah-Mu. Banyak terjadi yang terdampar di tengah jalan. Akibat gejolak nafsu dan syaitan yang terus menerus memburu, lalu mudah sekali ditumbuhi watak ngendelake benere dewe, ngendelake panemune dewe, ngendelake wicarane dewe. Lalu sama sekali lupa dengan akibat yang akan diperolehnya. Yaitu “faqod ta’arrodha liahwaaisysyaithaani lahu”. Maka benar-benar telah menawar-kan dirinya supaya disesatkan syaithan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni,Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 10 – 11). Shiraathallladhiina an’amta ‘alaihim. : •
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (jalan) mereka yang sesat. Jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh-Nya adalah jalan orang-orang yang dengan hidayah-Nya diluluskan dalam menghayati dan mengamalkan shirathal mustaqim. Ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya didekatkan kepada Diri-Nya. Sehingga ketika mati yang pasti akan ditemui, akan dapat merasakan betapa bahagianya bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal.7).
•
Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka. Nikmat mereka yang Engkau tarik menjadi muqorrobuuna. Hamba-Mu yang Engkau bentuk manjadi firman-Mu di Surat. Al-Waaki’ah ayat 88 dan 89 itu. “ adapun jika dia termasuk orang yang didekatkan (kepada-Mu) maka dia memperoleh ketentraman dan rizki serta jannatun na’im.” Adalah hamba yang mengalir dalam cahaya nuraninya. Nur Kenabian yang mencahayakan Diri-Mu dalam hati nurani, roh dan rasanya itu. Yaitu Nur Mmuhammad yang telah menjadi inti manusianya sendiri. Lalu mengerakkan jihadunnafsi hingga sampai saat mati karena tidak engkau hinakan dengan segala apa saja yang mestinya nafi. Lalu Engkau tiadakan hijab itu dari dalam hati yang intinya “siiri ma’nawi”. Hingga ketika Engkau bangkitkan menjadi hamba yang sebagaimana firmanMu di Surat Asy-Syu’ara ayat 89. Engkau jadikan: man atAllaha biqolbin salim. “Orang yang telah sampai kepada Allah dengan hati yang telah selamat “. Sehingga ketika mati rasa nikmat yang ditemui, Engkau yakinkan dengan: “Wujuhun yauma idzin naadhirah, ilaa Rabbiha naadhirah”. Itulah mereka yang
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
48
D
³
º
putih berseri wajahnya, maka mereka berada dalam rahmat Allah dan kekal di dalamnya. FirmanMu di Surat Ali Imran ayat 107. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 12) Ghairil maghdhubi ‘alaihim walaadhaalliin. : •
Jalan yang dimurkai adalah jalan yang iblis sebagai pemimpinnya. Hingga watak dan pandangan-pandangannya dengan sendirinya juga mengikut kepadanya. Yang selalu memandang indah, baik dan benar berdasarkan watak akunya. Dan pada QS.2 ayat 90 Allah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya bagi keadaan mereka “Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan.Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan”. Maksud apa yang telah diturunkan Allah pada ayat diatas adalah Ilmunya Allah SWT mengenai bagaimana mengenal dan mengetahui Keberadaan Diri-Nya Dzat Al-Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya, Allah namaNya, amat sangat dekat sekali dalam rasa supaya dapat dengan mudah selalu diingat-ingat dan dihayati dan dijadikan tujuan hidup sebagai tempat kembali. Itulah karunia yang diturunkan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Yakni kepada semua Nabi-Nya, semua Rasul-Nya dan juga kepada para pengganti Junjungan Nabi Muhammad SAW yang atas kehendak dan ijin-Nya meneruskan tugas dan fungsinya sebagai utusannya yang ada dalam satu rantai silsilah dengan cara gilir gumanti tidak pernah terputus sama sekali hingga kini dan sampai kiamat nanti. Dan itulah yang diiri lalu jadi membenci. Pilih menjual diri dengan kekafiran dan dengan azab yang menghinakan. Adapun jalan mereka yang sesat adalah mereka yang telah dikunci mati atas hatinya dan pendengarannya. Penglihatannya ditutup. Karena itu mereka ini sama sekali buta dan tuli terhadap keberadaan Al-Haq-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.17 ayat 72 “ Dan barang siapa yang buta (mata hatinya) di dunia ini, niscaya diakherat (nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat jalan(nya)”. Yakni yang tidak kembali pulang kepada Tuhannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000, hal.7 – 8).
•
Bukan (jalan) mereka yan dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Yang dimurkai adalah mereka yang memilih jalan bukan jalan kehendak-Nya. Karena enggan, acuh, sombong dan angkuh. Lalu watak aku yang dikomandoi nafsu yang berbicara, maka watak abaa wastakbaranya menjadikannya tidak mengikut jejak para malaika-Nya. Yang taatnya kepada diri-Nya bahkan rela diperintahkan sujud taqorrub. Yakni memberlakukan diri kal-mayyiti bagai mayit dihadapan wakil Ilahi yang ada di bumi hingga sekarang ini. Bahkan kesombongannya berani bicara lantang dihadapan Tuhannya (padahal bisanya bicara itu kalaulah tidak digerakkan Daya dan Kekuatan Diri-Nya Dzat Yang Wajib WujudNya, dan menjadikan jiwa raganya ada nafas sebagai tanda kehidupannya, menggerakkan jari kelingking saja yang namanya hamba ini tidak akan bisa). Yaitu keberania bicara melecehkan wakil-Nya, “Ana khairu minhu”. Aku lebih baik dari pada wakil-Mu itu.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
49
D
³
º
Itulah makhluk yang ablasa kepada-Nya. Lalu bergerak cepat dan bahkan kilat, menularkan kepada semua manusia di bumi milik-Nya. Dengan kesaktiannya berhasil membentukkan pandangan baik. Padahal sama sekali tidak sejalan dengan kehendak Azza Wajjala. Yang merubah nafsu manusia menjadi berhala yang dipuja. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Yang menjual dirinya sendiri dengan ketidak percayaan terhadap apa yang telah diturunkan Allah. Karena dengkinya, Allah menurunkan karuniaNya (untuk dijadikan wakil-Nya di muka bumi milik-Nya ini). Kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu sangat buruk sekali perbuatan mereka. Dan kemudian siksa yang menghinakannya yang akan diterimanya. Demikian kandungan firman-Nya di surat Al Baqarah ayat 90-nya. Dan yang sesat karena taghut yang menjadi pilihan kenikmatan dan kesenangan. Yakni mereka yang hati, roh dan rasanya dicelupkan ke dalam nafsunya. Hingga nafasu yang hakekatnya adalah dunianya manusia, menjadi raja yang mengusai jagad manusia yang ada dalam dadanya. Lalu mereka menjadi orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia, daripada kehidupan akhirat (yang hidup langgeng dengan Tuhannya). Dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah serta menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itulah yang hidupnya ada pada kesesatan yang jauh (Firman-Nya di surat ibrahim ayat 31). Karena itu mendalami kalam-Nya di surat Al Faatehah yang selalu diulang ini, bagi yang dikehendaki dimasukkan oleh-Nya dalam sibghah-Nya, yakni dalam celupan Cahaya DiriNya adalah pembukaan yang membuka kewajiban hati nurani, roh dan rasa. Agar tidak dicelupkan oleh watak akunya manusia ke dalam nafsunya. Supaya tujuan hidayah yang diberikan oleh-Nya kepada hamba yang dipilih-Nya, membumi di dalam dadanya (tidak ngawang diangan-angan dan dipikirannya akal yang kecenderungannya pada watak aku yang maunya melebihi batas, karena dijadikan Tuhan memang terbatas, namun maunya tidak mau terima dengan keterbatasannya). Padahal persoalan agama yang ini adalah Al Haq min Rabbika, adalah Hak-Nya Illahi Yang Dia Sendiri Berdiri Tegak di dalamnya. Karena itu dia menantang hamba-Nya dalam QS. Fushshilat ayat 53 : “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu)? Bahwa sesungguhnyalah Dia menyaksikan segala sesuatu”. Sedang fitrah manusia yang kini dibungkus oleh wujudnya jiwa dan raga, yang oleh-Nya disesuaikan dengan dunia sebagai tempat ujiannya, asalnya adalah Diri-Nya. Karena itu dalam sistem kerohanian manusia, oleh Allah dilengkapi dengan instrumen yang nadanya, suaranya dan juga bisikan-bisikannya menyatu dengan Cahaya Diri-Nya. Arahnya lurus kepada Diri-Nya Al Ghaib-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya dan Yang Allah Asma-Nya, ada titik temu dalam rahasia inti manusia, yaitu Nur Muhammad yang tidak lain adalah Cahaya Terpuji-Nya. Cahaya yang dengan Wujud Dzatnya selalu menyatu bagai sifat dan mausufnya itu. Dan oleh karena Wujud Dzat-Nya tak akan pernah ngejawantah di bumi ini, sedang Dia berkehendak supaya hamba-Nya dapat selamat ditempat ujian dunia, untuk kembali menemui-Nya lagi, maka bagi hamba yang dikehendaki dicelupkan dalam Cahaya-Nya, akan dijadikan mengerti oleh firman-firman-Nya di bawah ini : “Apakah belum datang kepadamu berita-berita orang-orang kafir dahulu?” Maka mereka telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan mereka dan mereka memperoleh azab yang pedih.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
50
D
³
º
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka (membawa) keterangan-keterangan, lalu mereka berkata : “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” Lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan mereka. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS. At Taghabun ayat 5 dan 6). “Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Cahaya yang telah kami turunkan” (QS. At Taghabun ayat 8). Cahaya itu adalah cahaya Diri-Nya Dzat Al ghaib Yang Wajib Wujud-Nya. Karena itu sama sekali tidak akan pernah padam, selalu bersinar memberi pepadang pada hati nurani, roh dan rasa “waman yu’minu billah yahi qalbah”. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (dengan Allah, bukan dengan watak aku yang dikomandani oleh nafsu), niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (QS. At Taghabun 11). Cahaya Diri-Nya itulah hidayah yang memasuki hati nurani, roh dan rasa. Ada suaranya dan karena itu dapat di dengar dengan telinga, keterangan-keterangan dan penjelasanpenjelasannya. Karena itu juga dapat dimintai petunjuk terhadap Keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib, dekat sekali, mudah diingat-ingat dan dihayati. Serta betapa jalan untuk selamat dan bahagia bertemu lagi dengan-Nya. Sebab Cahaya-Nya adalah apa yang ke luar dari antara dua bibir utusan-Nya. Karena itu tidak akan pernah mati. Meski jasadnya Nabi Muhammad SAW telah tiada di dunia ini. Kesinambungan tugas kerasulannya telah diatur sendiri oleh Illahi. Sebab ia adalah tali Illahi yang dijulurkan ke dunia ini oleh Tangan Tuhan Sendiri. Karena itu, pembukaan yang membuka hati nurani, roh dan rasa ini, bagi yang dikehendaki Illahi dimasukkan, dimasukkan ke dalam celupan-Nya, akan dapat mencerna kandungan firman-Nya di bawah ini. Lalu dapat membumi dalam dirinya dan juga membumi di sini, sekarang ini dan seterusnya, sehingga pada saat mati yang pasti akan ditemui. Karena mudah sekali diikuti apabila lulus berjihadunnafsi yakni : Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (aku yang selalu berada bersamamu dan ditengah-tengahmu, niscaya Allah (juga akan) mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Firman-Nya di surat Al Imran ayat 31. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia SuciWajah AL Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, Tanjung, 30 Oktober 1996, hal 13 – 18).
Fakir (Al-Faqier, Al-Faqr) : •
Faqr adalah simbol hamba yang tekadnya luar biasa kuatnya, agar dapat selamat kembali pulang bertemu dengan Diri-Nya lagi. Dengan kesadaran yang nyata-nyata al-fqr atas dirinya, yang tidak hanya apes, hina, nista dan tidak bisa apa-apa. Bahkan sebenarnya memang benar-benar nafi, tidak wujud dan tidak ada. Karena itu jihadunnafsinya guna memenuhi amanah Al-Haq-Nya. Semata-mata demi membuktikan kalimah nafi yaitu “Laailaaha”. Hingga apa saja selain Tuhannya, termasuk wujud jiwa raganya, harus dapat ditiadakan sama sekali. Supaya tidak menjadi hijabnya mata hati dalam membuktikan kandungan makna kalimah itsbat, akni “Illallah”. Hingga hanya Diri Illahi yang satu-satu-Nya nyata dalam rasa hatinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Rahasia Yang Terkandung Dalam Makna Al Fqr dan Muraqqqa’ (Jubah), Majalah Afkaar, hal. 5, Edisi 68 Februari 2007).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
51
D
³ •
º
Yaitu hamba Allah yang selalu menuduh kepada dirinya sendiri bahwa dirinyalah orang yang paling banyak sendiri dosa-dosanya, paling banyak sendiri salah dan kurangnya, apes, hina, nista, tidak bisa apa-apa dan tidak punya apa-apa, merasa jelek sendiri meskipun dibanding dengan kere di bawah jembatan. Sadar sebagai hamba yang disebutkan oleh Firman Allah : “Yaa ayyuhan-naasu antumul-fuqaraa”. Hamba yang fakir. Karena itu rasa hatinya selalu berharap untuk dapat selalu dekat dengan Yang Tidak Punya Apes, Langgeng, Sempurna dan Maha Kuasa. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 57 – 58).
Fana ‘Fillah : •
Rohnya telah fana fillah. Yakni daya dan kekuatan yang ada dalam jiwa raganya dengan bukti keluar masuknya nafas, telah seyakinnya sirna ke dalam Celupan-Nya Allah. Gambaran seperti kepala yang dimasukkan ke dalam air samudera, lalu matanya dibuka. Maka yang nampak ada hanyalah air samudera. Hamba yang demikian halnya karena ilmu dan laku yang diamalkan sesuai dengan perintah Gurunya itu dilakukan dengan sabar dan tawakkal untuk dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. (lih. Martabat Rasa) (Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal 5).
•
Ruh yang ditarik oleh fadhal dan rahmat Allah (karena memperoleh beberan, sawab, berkah dan pangestunya Wasithah; buah dari tumemennya pada Dawuh Guru), ditarik membuktikan Fanak Fillah. Hamba yang demikian adalah hamba yang sadar seyakinyakinnya bahwa Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Pemilik Segala yang biasa diaku, Yang Obah Osik dan Ada serta Wujud hanyalah Tuhan. Dalam rasa hatinya yang nampak dengan sendirinya hanya Tuhan (Isinya Huw); adalah murid yang berada dalam derajat manggon (selalu bertempat tinggal dalam dawuh Guru). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proses Murid Dalam Bimbingan Washitah Yang Ditarik Fadhal dan Rahmat-Nya Allah, Pondok Sufi, 27 April 2002, hal. 2)
Fardhu ‘ain : Kewajiban yang tidak bisa dihindari bagi orang yang mengaku beragama Islam – siapa saja, dari mana asal usulnya, bila sudah mukallaf (sudah dapat menerima pengertian dan sudah bisa menyimpan rahasia). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.18).
Fuadi : (lih. Qishrun)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
52
D
³
º
G Gerjalibin : (lih. Lil Muqorrobin) Al-Ghaib (Al Ghayb) : •
Isi-Nya Huw;
•
Isim yang mufrad dan ma’rifah. Menunjuk kepada Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, Allah nama-Nya. Adalah satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya, yang apabila dengan rela dan ikhlas meminta petunjuk kepada ahlinya yang pasti tetap ada sejak Nabi Muhammad SAW sampai dengan kiamat, akan dapat ma’rifah. Akan dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Seruan Akbar Imam Zaman Di Abad Harapan, Mengajak Bersama Dengan Tuhan Mewujudkan Cita-Cita Negara Yang Merdeka Sejati dan Sempurna, Pondok Sufi, Tanjung, 27 Mei 2002, hal. 2).
•
Isim yang mufrad dan ma’rifah. Dalam Ilmu Syathariyah hal itu menunjuk kepada keberadaan Satu-Satu-Nya Dzat Yang Allah Asma-Nya, Mutlak Wujud-Nya dan ma’rifah. Jelas amat sangat dekat sekali dan jelas-jelas amat sangat mudah dan indah untuk selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, apabila jihadunnafsinya menjadikan rela bertanya kepada ahlinya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Oktober 2001, hal. 1).
•
Isim mufrad dan ma’rifah, yaitu tentang satu-satunya Zat Yang Al-Gaib yang tidak akan pernah menampakan (ngejawantah) Diri-Nya di muka bumi namum jelas sekali keberadaan-Nya, terang dan gamblang serta sangat mudah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati apabila secara benar ditanyakatan kepada ahlinya. Sebagaimana firman Allah : “Bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui (tentang keberadaan Allah Zat yang Al-Ghaib” (QS:Al-Anbiya’: 7). Diri Illahi Yang Al Ghaib, Innani Ana Allah, yang amat sangat dekat dalam rasa hati, sebenarnya berada dalam “satu titik temu” dengan “inti manusia”, yang selalu mencahaya dalam rasa jiwa dengan “dzikir sirrun ma’nawiyun” yang diperoleh dari Guru yang hak dan sah menunjukan hakekat Tuhan Yang Al Ghaib. Dari sini akan dapat menghayati dan merasakan betapa indah gambaran orang yang mengenali keberadaan Diri-Nya dengan Ilmu Tauhid secara tuntas dan menyeluruh, bagai ikan dalam samudera yang luas tiada batas. Sebenarnya, manusia dengan segala makhluk sisi jagad raya, serta jagad raya itu sendiri, dengan Tuhannya Yang Al-Ghaib dan Wajib Wujud-Nya itu, bagaikan ikan dalam samudera. Hidup, bernafas, makan, tidur, bergerak, sampai mati, tetap berada dalam samudera. Tidak ada satu selpun yang tidak diliputi oleh aiar samudera. Oleh karena itu jika dicermati dengan hati yang bening dan pikiran yang jernih, betapa kuatnya kemauan Allah SWT. dalam menonjolkan keberadaan Diri-Nya Yang Maha Segalagalanya. Satu tetapi menyeluruh, dalam “dzikir sirrun ma’nawiyun” yang dihayati dalam rasa hati sebagai butiran iman yang “gedenya sak mrica jinumput” (besarnya seperati sebutir merica), tetapi apabila digelar (dibuka) “ngemplok jagad” (meliputi seluruh jagad). Kuatnya kemauan Allah SWT agar Diri-Nya diketahui dan dikenali oleh hamba-Nya yang bernama manusia, diungkap lengkap dengan kalam-Nya yang 30 juz itu, supaya selalu
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
53
D
³
º
diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati dalam rasa hati serta dijadikan tujuan hidup untuk mendekatkan diri sehingga dapat bertemu dengan-Nya lagi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.11 – 12).
Ghairil maghdhubi ‘alaihim walaadhaalliin. : (lih. Faatehah) Al Ghauts : “Qaalallahu Ta’ala fi al-Ghauts. Innani Ana Al-Ghayb aqrabu ilaika min bayadhi ‘ainika ila siwadi ‘ainika. Wa nahnu aqrabu ilaihi min habli al-warid. Laa hi jaabaka illa’anaitaka alwujudiyata. Wa ‘anaitaka al-wujudiyata wujudunnafsika, khalaqna min nutfah faidza huwa khasimun mubin”. Allah SWT berfirman di dalam (dada) Al Ghauts. Al-Ghauts adalah ratunya waliyullah yang ada di darat (di atas bumi), yaitu para Wasithah. Karena itu gilir gumanti. “Sesungguhnya aku ini adalah Dzat Al-Ghayb yang lebih dekat Aku meskipun kamu bandingkan dengan pitihnya matamu dan hitamnya matamu. Kami lebih dekat kepada hamba-Ku meskipun dibandingkan dengan urat nadi yang ada di leher hamba-Ku itu. Tidak ada hijab kecuali jiwa ragamu yang bangsa wujud. Dan jiwa ragamu yang bangsa wujud itu adalah wujudnya nafsumu, Yang Kami cipta dari setetes mani akan tetapi hanyalah menjadi penentang yang terang-terangan (terhadap Ada dan Wujud-Nya Diriku Dzat Al-Ghayb Yang amat sangat dekat sekali di dalam rasa hati), serta memusuhi dan mendustakan hamba-Ku Yang Aku utus mewakili Diri-Ku (karen Aku AlGhayb) guna menunjukkan Ada dan Wujud Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu supaya dengan mudah selalu diingat-ingat dan dijadikan tujuan kembali”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Memenuhi Perintah Allah, Pondok Sufi, Tanjung Anom, 22 Nopember 2006, hal. 2).
Al Ghuyub : Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata fisik, dibangsakan gaib tetapi bukan DiriNya Illahi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal.19).
Guru : (lih. juga Wasithah; Wasiilata) Guru dalam ilmu ini (Ilmu Syaththariah, Edt.) adalah guru (yang digugu = dipercaya sepenuh hati apa yang menjadi petunjuk dan perintahnya dan kemudian ditiru segala hal yang berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah Swt. dan inilah yang dimaksud “Sunnahnya Rasul”. (lih. Sunnah – Sunnah Rasul). Yaitu jalan yang harus dilalui supaya dapat mencapai tujuan yang diharapkan, yakni bertemu dengan Allah. Sehingga akan dapat merasakan hidup bahagia selama-lamanya diakhirat (=”fi maq’adi shidqin ‘inda malikin muqtadirin”). Karena itu maka lalu menjadi hamba yang banyak sekali dzikirnya. Dengan demikian maka maksud kandungan firman Allah dalam QS. Al Ahzab : 21, benar-banar nyata di depan mata dan benar-benar dapat dihayati dalam rasa hati. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 13).
Guru Yang Hak dan Sah : •
Washitah Yang Hak dan Sah. Guru yang berhak dan sah. Maksud yang berhak adalah karena secara benar ada rantai silsilah yang tidak pernah putus sama sekali sejak dari Nabi Muhammad SAW hingga kini
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
54
D
³
º
dan yang atas kehendak dan ijin-Nya ditugasi melanjutkan tugas dan fungsi guru yang sebelumnya. Yang dimaksud sah adalah benar-benar dikehendaki oleh-Nya dengan jalan memperoleh pelimpahan wewenang meneruskan tugas dan fungsi gurunya yang silsilahnya tidak pernah putus sama sekali hingga sampai kepada Sayyidina Ali Bin Abu Thalib Ra dari Nabi Muhammad SAW. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal.13). •
Pengganti/wakil-wakil Nabi SAW sebagai putra-putranya yang suci dalam satu mata rantai silsilah yang secara gilir gumanti tidak pernah terputus sama sekali hingga kini dan sampai kiamat nanti (disebut hak); dan atas petunjuk dan perintah Allah Swt secara sah memperoleh ijin dari Guru yang sebelumnya guna melanjutkan tugas dan fungsinya dengan cara digulawentah dan dipersiapkan sebagai penerus/peng-ganti Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Disebut juga Al Mahdi (Lih. Imam Mahdi, Al Qaim). Seseorang yang memperoleh kewenangan mengajari ilmu untuk ma’rifat kepada-Nya, yang kewenangannya itu karena telah dipersiapkan dan telah mendapat ijin dari Guru yang sebelumnya yang rangkaian silsilahnya ini tidak pernah putus terus menerus, lewat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Ra., dari Nabi Muhammad Saw. Lurus dan terus menerusnya rangkaian silsilah yang hak dan sah ini adalah satu-satunya Al Wasiilata untuk dapat selamat sampai kepada-Nya. Memenuhi firman Allah dalam QS. Al Maidah ayat 35 : ‘Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau cari untuk dipegangi supaya dapat selamat sampai kepada-Nya itu Al Wasiilata, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan”. (lih. juga Wasilah Wasiilata) (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 42).
Hakekat Guru Yang Hak dan Sah :
Hakekat guru yang hak dan san itu adalah Tuhan sendiri. Oleh karena itu bagi yang ditugasi pelanjutnya Rasul sama sekali tidak akan berani mengaku atau merasa menjadi guru. Sebab hal demikian adalah perbuatan murtad terbesar. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 25). Guru Wasithah yang hak dan sah, itu hakekatnya adalah Dia sendiri. Hakekatnya adalah Nur Muhammad. Seperti juga Nabi Muhammad SAW yang juga Rasul-Nya Allah, hakekatnya adalah Nur Muhammad yang dibungkus jasad (karena yang akan dibimbing juga berupa jasad). Sehingga namanya wakil, ia tahu persis keberadaan si muwakkil. Tahu persis terhadap keberadaan Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Allah Nama-Nya. Sebab hakekatnya adalah Dia sendiri. Maka dari itu manakala berani ngaku atau merasa menjadi Guru, adalah perbuatan murtad sebesar-besarnya. Sebab sama saja dengan berani ngembari atau menyamai Tuhan. Kemudian yang kebetulan ditugasi sebagai wakil, atas kehendak-Nya semata, rasa hatinya tenggelam ke dalam Aku Ini. Tenggelam ke dalam keberadaan Al Ghaib-Nya. Rasa akunya sirna dan dengan sendirinya juga habis-habisan dalam jihadunnafsinya, karena betapa
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
55
D
³
º
hebatnya rasa takutnya seandainya sampai digoda oleh licik dan julignya nafsu sendiri manakala muncul hingga sampai beranai ngaku dan merasa menjadi Guru. Ia sendiri yang ditugasi seperti ini menganggap dirinya seperti halnya seseorang yan nyunggu ambeng di atas kepalanya. Orang lain dianjurkannya untuk mengambil dengan tangannya supaya memakan amben yan disungginya. Maka sekiranya ia sendiri juga tidak ikut menggerakkan tangannya supaya mengambil makanan yang disunggi di atas kepalanya sendiri, iapun akan kelaparan sendiri. Maka tugas yang dijalaninya, adalah semata-mata semende Gurunya jua. Semende Guru yang sebelumnya. Ia lakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah Guru sebelumnya. Sak derma nglakoni. Sebab ia sendii sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia kerjakan itu adalah juga sebagai lakon dan pitukonnya. Lakon dan pitukonnya sendiri yang juga sangat berniat mendekat kepada-Nya. Jadi ia sendiri juga merasa sebagai murid yang bersama-sama dengan sesama saudaranya yang berniat mendekat hingga sampai dengan selamat bertemu dengan-Nya. Sehingga yang disebut Guru itu adalah ucapan yang ke luar dari lesannya yang berupa petunjuk-petunjuk bagaimana mendekat hingga selamat sampai ma’rifat kepada-Nya. Sehingga dia sendiri juga niba-nangi melaksanakan apa yang diucapkannya sendiri. Maka keberadaan wakil-Nya Allah yang seperti ini, yang tidak lain adalah Al-Haadi kepercayaan-Nya, inilah yang ditentang habis-habisan oleh iblis dan wadya balanya. Supaya tidak satupun hamba Allah yang namanya manusia ini mengikuti Al haadi. Betapa dahsyatnya kebencian dan kesombongannya, terlukiskan dalam firman Allah dalam QS. Al Isra’ 62 : “Dia (iblis) berkata : “Terangkanlah kepadaku, inikah orang yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh padaku sampai hari kiyaat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sedikit (yang tidak)”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid 1, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 68 – 70).
Adap dan Tata Krama Terhadap Guru Yang Hak dan sah Hal ini bisa kita amati dengan jelas pada firman-Nya QS An Nuur ayat 62 :
“Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkannya sebelum mereka meminta ijin kepadanya. Sesungguhnya orangorang yang meminta ijin kepadamu mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka ijin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah ijin kepada siapa yang kamu kehendaki, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kemudian pada ayat berikutnya (QS. An Nuur ayat 63) menjelaskan tentang adab dan tata krama terhadap Guru yang hak dan sah yang hakekatnya adalah Rasul-Nya juga : “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebagian yang lain. Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya itu takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 48).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
56
³
D
º
H Al Hablun Minallah Wa Hablun Minannas : Dalam QS. Ali Imran ayat 112 Allah berfirman : “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada Hablun minallah wa hablun minannas, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”. Hablun minallah yang dimaknai oleh para mufassir Tail-Nya Allah itu tidak lain adalah mengadanya Guru Wasithah yang secara hak dan sah sebagai penggantinya Nabi Muhammad SAW selaku Rasulullah yang secara gilir gumanti dalam sebuah rantai silsilah tidak pernah terputus sama sekali, hanya satu saja di dunia yang hingga kini dan sampai kiyamat nanti tetap ada ditengah-tengah umatnya. Keberadaannya untuk mensucikan manusia supaya hati nurani, roh dan rasanya selalu bersentuhan terus menerus dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Suci hingga sewaktu-waktu merasakan mati yang pasti akan ditemui akan ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya merasakan betapa indahnya serta betapa nikmat dan bahagia mulus dan selamat kembali kepada Diri-Nya lagi. Mengadanya Guru yang hak dan sah seperti itu adalah kehendak Tuhan supaya mengajari manusia dengan Ilmu Nubuwah, dengan an Nuur, dengan hikmah dan dengan Kitab yang terpelihara di Lauh Mahfudz-Nya karena itu tidak akan dapat menyentuhnya kecuali hambahamba Allah yang disucikan oleh-Nya. Itu semua secara ringkas telah terangkum dalam sumpah dan janji dihadapan Guru yang hak dan sah dikehendaki Ilahi meneruskan tugasnya Junjungan Nabi SAW lengkap dengan syahadat tarekatnya. Kemudian bagaimana menjadi hamba yang bertanggung jawab terhadap Hablun minannaas juga telah terungkap pada sumpah dan janji dihadapan Guru. Utamanya pada sumpah : “Saya dengan bersenang hati bahwa semua murid (=orang yang berkehendak bertemu Tuhannya) yang sadar atas al-faqienya, mereka semua adalah saudara saya lahir dan batih di dunia hingga sampai akherat. Saya bersenang hati untuk selalu bersama-sama dalam beribadah kepada-Nya dan saya bersenang hati untuk saling tolong menolong dalam kemelaratannya. Tetapi saya juga bersenang hati untuk melakukan perpisahan dalam kedurhakaannya”. Mereka yang seperti itulah yang tidak akan diliputi kehinaan di mana saja mereka berada. Namun dalam firman Allah di atas (QS. Ali Imran 112 itu), masih ada ancamannya; dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Hal itu terjadi karena mereka durhaka dan melampaui batas. Durhaka dan melampui batas itu terjadi karena setelah memperoleh ilmu dari Guru yang hak dan sah itu, watak sembrana dan gemampangnya tetap saja dipelihara. Lalu memandang dengan sebelah mata terhadap dawuh-dawuhnya Guru yang hak dan sah itu, apalagi sampai berani meremehkan ilmu Nubuwah yang telah diberikan kepadanya. Hal seperti ini sama saja dengan membunuh para Nabi-Nya Allah tanpa alasan yang benar dan kafir terhadap ayat-ayat Allah yang ayat-ayat-Nya itu adalah sebagai bukti dan saksi nyata terhadap Keberadaan Al haqNya (= Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya = An-Nuur = ilmu Nubuwah yang mencahaya dalam dada semua nabi-Nya) serta bukti dan saksi nyata terhadap hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW. Karena itulah maka jihad di jalan Allah, yakni memerangi nafsunya sendiri-sendiri hingga patuh dan tunduk dijadikan kendaraannya hati nurani, roh dan rasa berjalan di jalan lurusnya hingga
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
57
³
D
º
sampai dengan selamat bertemu dengan-Nya adalah kewajiban pokok yang sama sekali tidak boleh disembronokan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Memperingati Wafatnya Almarhum Bapak KY. Mohmmad Kusnun Malibari (Khaul) ke XXI, Lampiran, 15 Juni 2000,hal. 1 – 2).
Al Hadi Al-Hadi = pemimpin = penunjuk jalan, sebagaimana firman Allah dalam surat Ar Ra’du ayat 7: “Sesungguhnya kamu (Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada seorang penunjuk jalan”. Atas kehendak dan seijin Allah, agar supaya kesinambungan itu tidak putus sampai kiamat, Muhammad Rasulullah sendiri sebetulnya telah mempersiapkannya. Apa dan siapa yang dipersiapkan oleh Rasulullah, demikian pula apa dan siapa yang dipersiapkan oleh para khalifah beliau, wakil-wakil beliau yang hak dan sah sebagai penunjuk jalan itupun karena adanya kehendak Allah jua sebagaimana firman-Nya dalam surat 16 ayat 2 : “Dia menurunkan para Malaikat dengan ruh dari perintah-Nya kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hamba-Nya, yaitu : “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan selain Aku, maka hendaklah kamu bertaqwa kepada-Ku”. Al-Hadi yang dikehendaki Allah sebagai pelanjut tugas risalah Rasulullah memang harus dapat diajak bicara. Bisa diajak komunikasi langsung dari mulut dengan mulut. Bukan dengan tulisan dan bukan dengan bacaan. Sebab memberi peringatannya, memberi pelajarannya harus langsung dapat didengar oleh telinga orang yang menghendaki petunjuk darinya. Ia dikehendaki Allah sebagai realisasi petunjuk-petunjuk-Nya sebab Dia memang tidak “ngejawantah”. Sedang untuk dapat sampai kepada-Nya, seseorang yang dikehendaki olehNya harus tahu secara persis siapa hakekat Dia, tahu persis kehendak-Nya dan jalan-Nya. Tahu persis tentang manusia yang diciptakan dari “min nafsin-waahidatiin” supaya secara tepat, pas dan benar dengan ilmu yang diterima dari penerus rasul itu supaya “biwahidatin”. Sebab Islam adalah agama Tauhid, untuk dapat lurus menatap Wajah-Nya. “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa lisan mereka supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ibrahim ayat 4). Kejelasan yang demikian kiranya tepat pada saat sebagai jalan untuk menemukan dan memperoleh kokohnya hidayah iman. Sekaligus juga sebagai data kunci untuk membangkitkan hidupnya “Cahaya Tauhid” bagi hamba Allah yang memang dikehendaki oleh-Nya sebagai hamba “Cahaya-Nya” di muka bumi. “(Dialah Tuhan) Yang Mengetahui Al Ghaib (Nya sendiri), maka Dia tidak akan memperlahirkan tentang Al-Ghaib-Nya itu kepada seorangpun. Kecuali kepada orang yang diridhoi-Nya dari Rasul(Nya), maka Dia sesungguhnya mengadakan penjaga-penjaga di muka bumi dan dibelakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yangada pada mereka dan Dia menghitung segala sesuati satu persatu”. (QS. 72 : 26 – 28). Firman Allah di atas dalam surat AL-Jin ini, telah begitu jelas. Bahwa hanyalah orang yang memang diridhoi-Nya, dicintai-Nya yang dipilih-Nya untuk mengetahui dan memperoleh tentang Al-Ghaib-Nya itu, yang didapatnya dari Rasul. Sedang kita semua sependapat bahwa sebenarnya orang-orang yang diridhai oleh-Nya, orangorang yang dicintai oleh-Nya, tidak hanya mereka yang sejaman dengan Muhammad Rasulullah saja. Sebab ajaran Muhammad Rasulullah tidak hanya berhenti pada jamannya. Karena itu di muka bumi kami telah menulis bahwa percaya kepada wakil-Nya Rasul yang hak
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
58
³
D
º
dan sah yang silsilahnya tidak putus dan telah dipersiapkan oleh wakil yang sebelumnya, karena kehendak Allah semata, yang rantai silsilahnya itu sampai kepada Sayyidina Ali hingga kepada Nabi Muhammad Rasulullah. Percaya kepada wakilnya Rasul seperti itu sama dengan percaya kepada muwakil. Percaya kepada Rasulullah SAW saendiri. Baik buah dan manfaatnya maupun sampainya dengan selamat kembali kepada-Nya. Kemudian yang dikehendaki sebagai wakil, tidak harus keturunannya. Tidak harus ada hubungan darah. Sebagai ilmu-Nya Allah bukanlah barang warisan. Terserah kepada kehendak Allah sendiri. Hanya kebetulan biasanya memang ada sambung darah. Pada tulisan di atas kami sebutkan bahwa wakil setelah Nabi Muhammad Rasulullah yang dipersiapkan adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Tentang ini sebetulnya baik sejarah maupun hadis Rasulullah sendiri banyak menuturkan. Seperti ungkapan Rasulullah yang mengatakan kalau aku ini kotanya ilmu maka Ali adalah pintunya. Demikian juga ketika Ali bin Abi Thalib diperintah oleh Rasulullah supaya menjaga keluarga, tidak diajak untuk ikut maju perang yang dipimpin oleh Rasulullah sendiri. Sedang sebelumnya, Ali tidak pernah absen dalam ikut maju berperang. Kegelisahan hatinya karena tidak diikutkan itu dihibur oleh Rasulullah dengan sabdanya : “Tidakkah engkau suka bila kedudukanmu disisiku seperti kedudukan Harus di sisi Musa? Hanya saja tidak ada Nabi lagi sesudahku...”. Lebih jelas lagi keberadaan wakil-Nya dalam urusan jalan lurus menuju kepada Allah, bukan wakil dalam hal kekuasaan politik, kalau toh pernah di satu tangan itu hanyalah kebetulan saja, yakni sepulang dari Haji Wada’ dan beristirahat di Ghadir Khum (telaga Khum), Rasulullah memerintahkan mendirikan tenda (kemah), kemudian beliau berseru : “Kurasa seakan-akan aku segera dipangggil (Allah) dan segera pula akan memenuhi panggilan itu. Maka sesungguhnya aku meninggalkan padamu ats-Tsaqalin. Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua. Yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku. Jagalah baik-baik kedua peninggalanku itu, sebab keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganku di al-Haud”. Kemudian beliau berkata lagi : “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla adalah pemimpinku, dan aku adalah pemimpin (maula) bagi setiap mukmin”. Lalu beliau mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib sambil bersabda : “Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka dia ini (Ali) adalah juga pemimpin baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya”. Hadits di atas diriwayatkan dari Zaid bin Atqam sebagai hadits ’marfu’ di halaman 109 juz III dari Kitabnya Al-Mustadrak dengan keterangan hadits ini shahis sesusai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkan. Juga Al Hakim meriwayatkan hadits ini dari Zaid bin Arqam melalui sanad lain, dan menerangkan bahwa hadits ini isnadnya shahih sesuai persyaratan Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya. Tampaknya, dibalik sejarah perkembangan Islam sejak awalnya ada sesuatu yang tidak terbuka apa adanya. Sehingga kita juga pernah membaca keterangan Abu Dzar Al-Ghiffari, sahabat Rasulullah yang terkenal zuhudnya itu bahwa ia mengatakan : “Nabi Muhammad SAW itu membawa ilmu dua gendongan. Yang satu gendongan apabila saya sampaikan, maka semua orang akan senang menyambutnya. Tetapi kalau yang satu gendongan lagi saya sampaikan, maka leher saya dipenggal orang”. Apa yang dikatakan oleh Abu Dzar Al-Ghiffari di atas adalah tentang ilmu Syareat dan ilmu Hakekat. Sebab syareat tanpa hakekat itu kosong dan hakekat tanpa syareat itu kafir zindik. Kedua-duanya harus saling menguatkan. Syareat yang mengatur tertibnya ibadah lahir, sedang yang hakekat mengatur tertibnya batin agar supaya senantiasa dapat mengingati Tuhan yang Allah Asma-Nya itu. Senantiasa mengingat-Nya di mana saja dan kapan saja bahkan menghayati dan merasakan sehingga bukti nyata ma’rifat kepada-Nya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
59
³
D
º
Saat itu karena timbulnya berbagai benturan akibat adanya intrik-intrik politik kekuasaan, di mana penerus risalah Rasulullah, wakil beliau setelah beliau wafat untuk kepentingan mendekat kepada-Nya hingga ma’rifat kepada-Nya kebetulan Ali bin Abi Thalib, kemudian diteruskan oleh putranya, yakni Hassan bin Ali (kebetulan pas kulit dagingnya) sedang penguasa ketika itu adalah Mu’awiyah yang sangat mencurigai manakala Ali dan anak keturunannya itu mempunyai pengaruh kuat dan meluas. Dicurigai akan mengganggu kekuasaannya. Untuk itu memang sejarah mencatat dimana Gubernur yang dalam khutbahnya tidak memfitnah Ali, jabatannya bisa dipecat oleh penguasa saat itu. Karena dikejar-kejar, diintimidasi, bahkan dibunuh, maka pengikut Ali bin Abi Thalib, kemudian juga pengikut Hassan bin Ali, yang mengikutinya itu sebenarnya adalah karena suatu ilmu tentang ma’rifat billah, demi keselamatannya, terpaksa mengadakan attakiyah. Menyimpan paham demi keselamatan. Dari sinilah kiranya mengapa Abu Dzar Al Ghiffari berkata bahwa kalau yang satu gendong lagi saya sampaikan, leher saya akan dipenggal orang. Dari uraian singkat di atas kiranya tampak bahwa penulis-penulis sejarah dan mungkin juga bahkan penulis-penulis Hadits utamanya yang berkaitan dengan ahlul-baitnya Rasul, dengan terpaksa tidak diangkat di atas permukaan, demi keselamatan keluarga Rasulullah yang selalu dikejar-kejar, difitnah dan bahkan dibantai sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Husen bin Ali di Karbela. Hingga warna sejarah Islam yang mengalir sampai sekarang, demikian nyatanya. Hal ini kami kemukakan bukan maksud kami akan mengikut adanya golongan yang mengkultuskan Ali dan keturunannya. Sama sekali tidak. Sebab pengkultusan adalah syirik. Sedang apa yang kami maksudkan dengan tulisan ini adalah tentang ilmu. Tentang ilmu yang Imam Al Ghazali sendiri pernah mengatakan : “Begitulah halnya seorang yang berkehendak bertemu Tuhannya (murid) membutuhkan seorang syech atau guru: sang penunjuk yang membimbingnya pada jalan lurus. Sebab jalan keagamaan ternyata begitu samar-samar, dan jalan syaitan begitu beraneka. Barang siapa yang tidak mempunyai sang penunjuk yang menjadi panutannya, dia akan dibimbing syaitan ke arah jalannya. Dan hendaklah ia berpegang teguh pada gurunya itu bagaikan pegangan seorang buta dipinggir sungai, di mana dia sepenuhnya menyerahkan diri kepada sang guru pembimbingnya, serta tidak berselisih pendapat dengannya”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Bangkitnya Cahaya Yang Menghidupkan Semangat Mentauhidkannya dan Yang Sekaligus Mengentaskan Cita-Cita Kebangkitan Yang Islami, , Tanjung, Januari 1990, hal. 35 – 38).
Hafiyun : (lih. Qishrun) Haji : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji) Hajar Aswad : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji) Hak Allah : (lih. Allah – Hak Allah) Hak Rasullah SAW : (lih. Rasul – Hak Rasulullah SAW) Hak Malaikatan : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah) Hak Mardus Sarpin : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah) Hak Perdewaan : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah) Hak Wisnu : (lih. Nafsu – Bahaya Terbukanya Nafsu Kamilah)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
60
D
³
º
Hakekat : •
Hakekat adalah hati ini selalu mengingat-ingat Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghaib (yang diperoleh dari pemberian Guru dan yang telah dibisikkan ke dalam rasa hati), ketika melaksanakan kewajiban syariat. Hal tersebut seperti yang ditegaskan Allah dalam firmanNya : “Tangan Allah di atas tangan mereka – sekuasa-kuasanya hamba yang berada di atas permukaan bumi dan di bawah langit sjagat raya ini masih Kuasa Allah, maka barang siapa yang melanggar janjinya, maka akibat ia melanggar janjinya itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepadanya anugerah yang besar”. (QS.:48, Al Fath : 10). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 36).
•
Terbukanya kesadaran hamba atas kesungguhannya dalam menjalani lakon dan pitukon atas perintah Gurunya yang hak dan sah bahwa hakekatnya Yang Bisa, Yang Kuat, Yang Memiliki Segala Maujud, Yang Berbuat (tandang), Yang Bergerak (obah osik), bahkan yang Ada dan Wujud hanyalah Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib Yang Allah Asma-Nya. Sadar sepenuh hati bahwa sebenarnya hamba ini adalah bagaikan daun asam berada di atas gelombang samodra. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal. 3).
•
Hati nurani, roh dan rasa yang telah berfungsi untuk selalu mengingat-ingat dan menghayati Diri-Nya Dzat Al Ghaib dan Mutlak Wujud-Nya (yang tersimpan dalam titik ba’ = hakekat rumahnya Junjungan Nabi SAW yang hakiki) (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah,Tanjung,31 Maret 2000, hal. 7).
Hamba Yang Merdeka Sejati dan Sempurna : (lih. Merdeka Sejati) Hamuruk : •
Mempersiapkan dan mengajari untuk melanjuti penerusan tugas dan kewenangan Guru sebelumnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, Jilid I, Tanjung, 11 Februari 1994, hal. 47).
•
Mengajari sehingga permasalahan-permasalahan apa saja yang berkaitan dengan ilmu, cara dan jalan untuk mendekat kepada-Nya sehingga sampai dengan selamat ma’rifat kepada-Nya. Menghantar yang percaya dan dengan jihadnya melaksanakan semua petunjuk dan perintahnya ke arah muqarrabin (orang yang didekatkan oleh-Nya kepadaNya) kemudian digolongkan oleh-Nya : “Wujuuhun yauma idzin naadhirah ilaa Rabbika naadzirah” = Wajah-Nya berseri-seri, kepada Tuhannya melihat (QS. Al Qiyamah : 22 – 23). Inilah shirathal mustaqiem itu. Dan inilah yang ditentang habis-habisan oleh sesumbar iblis yang pasti akan membentuk pandangan baik buat manusia di bumi-Nya terhadap apapun yang sebenarnya tidak sekehendak dengan Kehendak-Nya Allah (QS. Al Hijr : 39). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 167 – 168).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
61
D
³
º
Hati : (lih. manusia) Hati ‘Adam : (lih. Manusia – Hati) Hati yang bening : (Lih. Tashfiatul qalbi) Hijab : Sesuatu yang menghalangi hati seorang hamba terhadap Tuhan-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya.
Hijab Terbesar.
Hijab terbesar dan terhebat adalah wujudnya jiwa raga. Wujud jiwa raga yang menjadi markas besarnya hawa nafsu dan syahwat. Wujud jiwa raga hakekatnya adalah dunia. Wujud jiwa raga yang semestinya sebagai kendaraan hatinurani, ruh dan rasa, namun ternyata justru sebaliknya. Malah dia yang mengendalikan (nunggangi), memperalat, memerintah dan menjajah rasa hati. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 75).
Al Hikmah : •
“Mereka itulah orang-orang yang telah kami beri al kitab, al Hikmah dan al Nubuwah. Jika orang-orang itu mengingkarinya (tiga macam itu), kami akan menyerahkannya kepada kaum (lainnya) yang sekali-kali tidak mengingkarinya”. (QS. Al An’am ayat 89). Al Hikmah adalah hamba yang sebagaimana di atas (lih. Al Kitab), lalu secara benar dan ikhlas berjalan di atas jalan lurus-Nya Allah. Dan tauladan nyata jalan lurus-Nya Allah SWT adalah dengan mengadakannya Bangunan Imamah-Nya Allah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam khutbahnya di Ghadir Khum : “Wahai ummat manusia! Aku adalah shirathal mustaqim yang kamu semua diperintahkan untuk mengikutinya. Setelah aku adalah Ali; kemudian dilanjutkan oleh putra-putraku yang datang dari sulbinya Ali. Mereka adalah para Imam (yang dalam rantai silsilahnya tidak pernah terputus sama sekali sampai hari kiamat), yang memberi petunjuk kepada kebenaran dan dengan kebenaran itu mereka menjalankan keadilan”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 92).
•
Yakni pahamnya sang akal pikiran anugerah Tuhan, terhadap kebenaran mutlak yang menjadi hak-Nya Allah. Kemudian dengan kesadaran penuh hati berusaha mencari dan menemukan, Sang Guru sejati yang tidak lain adalah Rasul-Nya Ilaahi. Untuk dimintai petunjuk hak-Nya Allah, sehingga seyakinnya mengenal dan mengetahui Ada dan WujudNya Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al Ghaib dan amat sangat dekat sekali, dalam rasa hati. Lalu dengan kebenaran mutlak, yakni mengada-Nya Diri Ilaahi yang dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati itu. Ia akan bersungguh-sungguh untuk selalu dapat mengadili dirinya sendiri, agar tingkah laku dan perbuatannya, gerak dan gerik lahirnya dan batinnya, sama sekali terbebas dari perintahnya nafsu dan watak akunya. Lalu menjadi hamba yang merdeka sejati. Menampakan sosok yang Rabbani. Karena segala tingkah laku dan perbuatannya, serta gerak dan gerik lahirnya dan batinnya, dapat murni katut (ngikut) silir-Nya qudratullah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Proyek Ilaahi Yang Segera Diwujudkan dengan Kun Fyakun-Nya adalah Munculnya Zaman Yang Dipimpin oleh Al-Qaim Al-Mahdi
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
62
D
³
º
(Hubungannya dengan Gerakan Jamaah Lil Muqorrobin), Pondok Sufi, Tanjung, Desember 2003, hal. 53). “Huriyyah Tammah” : • Kemandirian yang dijamin oleh tingkah laku dan perbuatan serta gerak dan gerik yang tidak diperintah oleh nafsu, tetapi di dalam “siliring qudratullah” (lih. siriling qudratullah). •
Jiwa yang merdeka sejati. Menggantungkan diri kepada lain orang dijauhi benar-benar; ingatlah : ”Yadu al ulya aula min yadi assufla”. Artinya tangan yang di atas lebih mulia dari tangan yang di bawah. Tegasnya, memberi itu lebih mulia dari pada meminta. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 3.)
•
Mereka yang dimasukkan Tuhannya sebagai keluarga Nabi Muhammad SAW. Yakni darah yang mengalir dalam tubuhnya Nabi Muhammad SAW, yaitu darah yang selalu menyemangati “jihadunnafsi” sehingga nafsunya benar-benar patuh dan tunduk dijadikan tunggangannya hati nurani, roh dan rasanya yang rela dan ikhlas bagaikan watak para malalikat-Nya. Sirna watak akunya tenggelam ke dalam kehendak Sang Maha Aku. Karena patuh dan tunduk, supaya sujud (“kal mayyiti baina yadi al ghasili”) dihadapan wakil/pengganti-Nya di muka bumi karena Dia Dzat Yang Al Ghaib itu tidak ngejawantah. Realisasi nyata dari firman Allah dalam QS. Al Maidah 35 : “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah untuk dapat sampai (dengan selamat kembali) kepada-Nya itu Al-Wasiilata, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Qs. Al Maidah 35). Melahirkan munculnya manusia-manusia merdeka sejati. Bebas dan merdeka dari segala bentuk penjajahan dan perbudakan yang membelenggu dan yang mengikat sehingga tetap saja miskin, terbelakang, bodoh, sempit wawasan, picik pandangan adalah suatu kiprah perjuangan : suci kang kahesti, luhur kang ginayuh, adoh, jero, lembut kang tinebo, rumpil margane, akeh pengorbanane, gede cobane, nagging sempurno wusanane. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Uraian Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalam Qaidah Sembilan, Tanjung Anom, 16 September 1994, hal. 4).
Huwa : (lih. juga Ilmu Syaththariah – Mukaddimah Ilmu Syaththariah) •
Dia yang AsmaNya Allah, Yang Wajib WujudNya Dzat Yang Al Ghaib.
•
Huw adalah berasal dari “Qul Huwa Allah Ahad”. Huwa adalah dhomir. Makna dhomir adalah sesuatu yang tersimpan di dalam rasa hati. Yaitu mengenai Dia Dzat Yang Allah Nama-Nya adalah ahad. Satu-satu-Nya Dzat Yan Mutlak Wujud-Nya. Karena itulah maka rasa ini sebenarnya mempunyai kewajiban menyatakan ma’rifat billah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Maksud dan Tujuan Khaul, Pondok Sufi, Tanjung, 20 Juni 2006, hal. 3).
•
Dhamir mengenai Keberadaan Dia Yang Allah AsmaNya. Makna dhamir adalah sesuatu yang tersimpan di dalam hati mengenai Ada dan Wujud Ahadiyah (Satu-satunya Dzat Yang Wajib WujudNya, tetapi Al Ghaib, amat sangat dekat sekali dalam rasa hati karena itu sebenarnya sangat indah dan amat mudah untuk senantiasa diingaat-ingat dan dihayati apabila rela bertanya kepada ahlinya). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Okotber 2000, hal 4).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
63
D
³
º
Isi-Nya Huw
“Wallahu Huwa al-ghaiyyul hamidu”, Allah iku Huw (Isi-Nya Huw Dzat) Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji (QS. 35, Faathir : 15). Karena itu Isi-Nya Huw adalah RAHASIA AL-GHAYBULLAH (ilmu tempatnya di dalam rasa). IsiNya Huw adalah Dzatullah. Isi-Nya Huw adalah Daya dan Kekuatan Allah (Sifatullah). Isi-Nya Huw adalah Wujudullah. Hanya saja rasa merasakan betapa dipertemukan dengan Dzatullah itu adalah di alam pati. Tidak di dunia sekarang. Jadi ya tidak bernafas. Tidak mamang tidak ragu-ragu sama sekali bahwa itulah Wujud-Nya Dzatullah, tetapi sama sekali tidak bisa mengatakan. Hal ini di alam pati. Di dunia sekarang, perintahnya adalah mendzikiri-Nya. Mengingat-ingat Diri-Nya (IsiNya Huw). Jadi ya Isi-Nya itulah Allah, maka ingat-ingatlah! Apabila hal seperti itu diingkari, ragu-ragu, lalu membuat-buat dusta bahwa Isi-Nya Huw barulah kata-kata, misalnya, dan sebagainya, masih ada di atasnya, itulah yang diancam Allah berbuat zalim. Mendurhakai Allah. Apa ada sesuatu yang di atas-Nya Allah? Naudzubillah min zalik. (K.H. Mohammad Munawwar Afandi, Dari Imam Jamaah Lil-Muqorrobin (hamba yang diutus Allah sebagai orang yang memberi peringatan (Nadzirun), kepada yang rela diperingatkan), Tanjung, 28 Mei 2006, hal. 2).
Kullu Syai’in Bial Huwa Baathilun Itu adalah ungkapan Imam Ali bin Abu Thalib Ra. selaku guru Wasithah sesudah Kanjeng Nabi Muhammad SAW., bahwa segala sesuatu (perbuatan apa saja, gerak gerik lahir maupun bathin manusia) tanpa dengan Huwa batal. Huwa adalah dhamir. Sesuatu yang tersimpan dalam hati. Tentang Diri-Nya Dzat Al Ghaib yang dekat sekali. Maka tanpa dengan-Nya, semua dan apa saja semu dan pura-pura. Batal. Sia-sia. Itulah sebabnya Allah tegas-tegas mengingatkan : “Walaa tad’u ma’allaahi ilaahaa aakhara; laailaaha illa huwa. Kullu syaiin haalikunilla wajhahu. Lahu alhukmu wailaihi turja’uuna”. (QS. Qashash 88). Artinya : “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah tuhan apapun yang lain. Sebab selain Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya dan Allal Asma’-Nya (yakni Isi-Nya Huw) adalah laailaaha, yaitu nafi. Tidak ada. Tiap-tiap sesuatu (yang wujud dan yang ada selain Wujud Diri-Nya (Isi-Nya) pasti binasa, kecuali Dzat-Nya (yakni Isi-Nya Huw), Bagi-Nya-lah segala penentuan dan hanyalah kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. Karena itu, dengan tulisan ini mengandung maksud memenuhi perintah Ilaahi sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Hajj ayat 49 sampai dengan 51. Katakanlah : “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan yang yang nyata kepada kamu semua”. Maka orang-orang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Dan orang-orang yang berusaha dengan maksud menentang ayat-ayat Kami dengan melemahkan (kemauan untuk memenuhi seruan Al haq-Nya ini), mereka itu adalah ahli neraka. Orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal-amal yang saleh yang dijamin Allah mendapat ampunan dan rezeki yang mulai sebagaimana kandungan firman-Nya di atas adalah orang yang keimanannya terasa membumi di dalam dadanya. Sehingga rasa jiwanya selalu terjaga berada di dalam dhikir. Yakni mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw itu. Sehingga Dia menjadi Raja dan Merajai dadanya. Tidak iman yang sangka-sangka dan menduga-duga.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
64
D
³
º
Orang yang mengerjakan amal-amal yang saleh adalah mereka yang dengan sabar dan tawakkal harus dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. Yaitu mereka yang saking ikhlasnya dalam berkorban dan berbakti kepada Allah, di jalan Allah, karena Allah, dengan Allah, untuk Allah guna menuju hingga bertemu dengan Diri-Nya Dzat Al ghaib Yang Allah Asma’-Nya ini sampai tidak terasa bahwa dirinya sedang berkorban dan berbakti. Karena rasa hatinya terlatih dan terdidik merasakan nikmatnya melaksanakan dawuh Guru dan indahnya mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw. Itulah sebabnya bagi orang yang dikehendaki minta petunjuk ilmu Syaththariyah dengan jalan yang hak dan sah pasti diberi petunjuk bahwa niatnya itu adalah memohon ilmu kepada ilmunya Guru yang saleh. “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini sepenuh hati bahwa sesungguhnya Al Haq itu dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”. (QS. Al Hajj 54). Menjadi jelas dan nyata bahwa apa yang kita hayati, kita yakini kebenarannya lalu kita amalkan dengan amal-amal yang saleh, adalah merupakan kesungguhan membuktikan niat dan tekad dengan selalu berjihadunnafsi untuk memenuhi kehendak-Nya dan selalu berada di jalan-Nya. Adalah menyiapkan diri sendiri agar Belas Kasih-Nya Ilahi menarik kita menjadi muqorrobun. “Wamimman khalaqnaa ummatun yahduuna bilhaqqi wabihi ya’diluuna”. Artinya : “Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat (jamaah) yang memberi petunjuk dengan Al-Haq-Nya, dan dengan Al-Haq itu (pula) mereka menjalankan keadilan”. (QS. Al A’raf 181). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 50).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
65
D
³
º
I Iblis : Iblis adalah makhluk golongan jin (QS. Kahfi 50). Watak jahatnya abaa wastakbara. Ana khairun minhu, merasa lebih luhur dari pada wakil-Nya Allah di bumi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al mahdi, Lampiran Surat : Ditujukan kepada Yang Dikehendaki Illahi Siap Untuk Menolong Diri Sendiri, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal.4).
Ihdinashshiraathal Mustaqim. : (lih. Faatehah) Ihram : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji) Ikhlas : •
Ikhlas adalah bersih. Artinya sama sekali bebas dari perbuatan syirik lahir dan bathin. Tandange (menjalani perintah) tetap aktif dan dinamis, tetapi sama sekali tidak berani ngaku (si nafsu) sebab manusianya telah benar-benar yakin dan sadar mengetahui bahwa yang bisa Tuhan, yang kuat Tuhan, yang pemilik segala sesuatu termasuk pemilik wujud jiwaraganya adalah Tuhan. Bahkan yang obah-osik juga Tuhan. Hingga sebenarnya yang Wujud dan Yang Ada hanyalah Tuhan. Karena itu hatinya lalu dijaga supaya tidak mudah melupai Tuhannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 95).
•
Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman, kata-Nya : “Ikhlas itu sirri (rahasia rasa) dari sirii (rahasia rasa-Ku). Aku letakkan rasa ikhlas seperti itu di hati orang yang Aku cintai di antara hamba-Ku”. Ikhlas adalah sejati murninya rasa. Kesejatiaannya abadi pada sisi-Nya, bersih dari segala campuran. Ada dalam fitrah jati diri, yang dicintai; yang rasa kesejatian diri-Nya ada di dalamnya. Karena cintanya semata-mata kepada-Nya, bercahaya dengan Nur Muhammad-Nya dalam hati lalu nikmat mengingati Dia yang dekat sekali dan rohnya tenggelam ke dalam samudera Keberadaan Aku-Nya dan rasanya yang menikmati Ujud Al-Haq-Nya pada titik temunya makna ginaib-Nya Al Ghaibi, senantiasa dalam mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’alNya. Ikhlas adalah kesejatian rasa yang mengenal hakekat-Nya sejati murninya, terbuka mengenali Tuhannya, mengamati segala dengan realitasnya Azza Wajalla dalam perjalanan untuk menafikan akunya dan ujud dunia yang biasa dilarutkan pilihan nafsu yang menjadi guru ; lalu kerja kerasnya, diberlakukan untuk memproses diri mendekat kepada-Nya, bertaubat kepada-Nya, ngumawula kepada-Nya; hingga terbuka dan mengetahui semua aib dan lemahnya diri yang dzaluman dan jahulanya senantiasa setia mengikuti. Maka, tanpa belas kasih, pertolongan dan daya tarikan dari-Nya, hidup ini akan menjadi sia-sia dan merugi kejadiannya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Islam dan Kebangkitannya, Agustus 1992, hal1. 1)
Illallah : (lih. Ilmu Syaththariah) Ilmu Dzikir : Ilmu yang menghidupkan hati-nurani, roh dan rasa dalam dada hamba yang dikehendaki memperoleh hidayah-Nya lalu menjadi hidup, dengan Diri-Nya Dzat Al-Ghaib yang jelas dan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
66
D
³
º
nyata mudah didzikiri dan dihayati dalam rasa hati. Sehingga “lubang cahaya yang ini adalah minhajun”. Dibuka oleh-Nya menjadi mata hati. Yang akan senantiasa dengan rela memandangi Diri Ilahi. Tembus dengan Nur Muhammad-Nya. Tempat asal fitrah manusia di simpan (oleh-Nya) dalam rasa. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Intinya Ilmu ini (Ilmu Tauhid) Sejak Nabi Adam AS hingga Kono, Sedikit Sekali Yang Rela Mencari Lalu Menekuni, Tanjung, Awal Maret 2001, hal. 2).
Ilmu Nubuwah : (lih. Nubuwah) Ilmu Syaththariah : •
Ilmu Syaththariah yang asal kata syathran. Artinya pusat konsentrasi. Pusat konsentrasinya batin. Yakni hati nurani, roh dan rasa yang selalu mengingat-ingat, menghayati dan merasakan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib, Wajib Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya (= Isi-Nya Huw). Juga asal kata Syathara yang artinya membelah memjadi dua. Yang dibelah adalah kalimah tauhid “Laailaha Ilallah”. “Laailaha” itu kalimah nafi dan “ilallah” kalimah itsbat. Yang harus diperjuangkan untuk dinafikan adalah semua hal selain Tuhan termasuk wujud jiwa raga. Dan yang diitsbatkan (ditetapkan dalam hati nurani, roh dan rasa) adalah Diri-Nya Ilahi (= Isi-Nya Huw). Bisa juga dari asal kata syutran yang maknanya adalah hamba yang oleh Allah telah dikeluarkan dari dalam hatinya semua hal tentang dunia sehingga yang dirasa ada hanyalah Diri-Nya Dzat Al GhaibYang Wajib Wujud-Nya (=Isi-Nya Huw). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Beberapa Catatan Ketika Imam Ali As Dihadirkan, Tanjung, 25 April 1999, hal. 3).
•
Di dalam Kitab Futuhati al-uluhiyyah dijelaskan oleh para Wasithah asal kata Syathariyah adalah : “Thariqu as-saairiina ilallah wahum Asy-Syathar min ahli muhibbah ilallah; wa haadza ath-thariqu mabniyyun ‘ala salamti al-mauti liqaulihi Ta’ala walaa tamuutunna illa wa antum muslimun wa bi al iradati li khabrin muutu qabla antamutu”. Maksudnya adalah bahwa ilmu Syathariyah ini adalah ilmunya orang-orang yang dengan bersama-sama menempuh jalan menuju kepada Allah sehingga sampai bertemu denganNya. Mereka adalah Asy-Syathar adalah orang-orang yang ahli di dalam mencintai Allah. Dan ini adalah satu-satunya jalan yang tetap untuk selamatnya mati guna memenuhi amanah Allah : “janganlah kamu semua mati kecuali mati selamat yang dengan rasa damai dan bahagia bertemu dengan-Nya”. Juga memenuhi perintah Junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadistnya : “(belajar) matilah kamu semua sebelum mati”, (supaya mengalami rasanya mati yang benar sebagaimana wafatnya para kekasih Allah). Yaitu mati dalam keadaan :”wujuuhun yauma idzin naadhirah ilaa Rabbiha naadzirah”. Wajah-wajah mereka (orang-orang yang matinya selamat dengan rasa bahagia bertemu Tuhannya) di hari itu wajahnya berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat (dengan mata hati). (QS. Al-Qiyamah : 22-23). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Nubuwah dan Zikir, Pondok Sufi, Tanjung, 13 Desember 2006, hal. 1).
•
Ilmu tentang Tuhan, ilmu untuk mengenal Diri-Nya Dzat Yang Al-Ghaib Wajib Wujud-Nya, dekat sekali dalam rasa hati, Allah Asma-nya. Ilmu Syaththariyah adalah ilmu yang menjadi pingitan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.72, Al-Jin: 26 -27. “Yang Maha Mengetahui Al-Ghaib, maka tidak dilahirkan-Nya yang Al-Ghaib itu kepada seorangpun jua, kecuali kepada Rasul yang diridhoi-Nya…” (QS.72 Al-Jin :26-27).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
67
D
³
º
Bahwa hanya Dialah yang mengetahui Al-Ghaib itu, maka Dia sama sekali tidak memperlihatkan (dalam mata hati) tentang keberadaan Diri-Nya Yang Al-Ghaib itu kepada seorangpun, kecuali bagi orang yang diridhoi-Nya (ilmu tersebut hanya dapat diperoleh) dari Rasul-Nya. Perlu diketahui pula bahwa keberadaan Rasul-Nya Allah dalam kalangan ahli Syaththariyah, tidak terputus ketika Nabi Muhammad SAW wafat. Sebab yang wafat hanyalah jasadnya saja. Sedang Nurnya (Nur Muhammad) Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya; di mana antara Cahaya dan Dzat-Nya bagaikan sifat dan mausuf, bagaikan kertas dan putihnya – tetap menyatu dan menjadi satu, tidak ikut mati. Nur yang selalu ikut mencahaya dalam dada yang diridhoi oleh-Nya hingga sampai dengan kiamat. Dan yang ditugasi Allah mengalirkan Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini adalah Rasul-Nya. “Maka berimanlah kamu semua kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Nur yang telah Kamiturunkan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan” (QS.64 At-Taghaabun : 8). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 28, 29) •
Karena itu pula maka Ilmu Syaththariyah adalah juga Ilmu Tauhid. Ilmu untuk dengan seyakinnya mengenal dan mengetahui Satu-satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya itu supaya senantiasa ditauhidkan oleh hamba. Yaitu supaya dengan mudah selalu diingat-ingat, dihayati, diinjen-injen dan bahkan dirasakan keberadaan-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Oktober 2000, hal.1) Ilmu Tauhid = ilmu yang menunjukkan keberadaan Diri-Nya Dzat Satu-Satu-Nya Yang Wajib Wujud dan Yang Ada, Al Ghaib, Allah Asma’-Nya supaya ini pula Satu-Satu-Nya yang diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, karena Islam memang agama Tauhid = memenuhi perintah Allah “udkhuluu fissilmi kaaffah”. Sebab yang utuh dan sempurna serta menyeluruh, hanya satu juga. Yakni Diri-Nya Dzat Al-Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya. Di samping itu untuk supaya menyeluruh masuknya dalam Islam, maka semua unsur kejadian manusia juga harus masuk semua. (lih. Manusia). Islamnya jasad supaya selamat (tidak menjadi hijab yang menggelapi penglihatan mata hati kepada keberadaan Diri-Nya) harus memenuhi kewajiban syareat. Islamnya hati nurani supaya menjadi hamba yang ditarik oleh-Nya menjadi orang yang bisa sampai kepada-Nya dengan hati yang selamat harus memenuhi kewajiban tarekat. Berada pada jalan menuju Allah. Dan karena yang dituju Tuhan, maka yang harus selalu diingat-ingat oleh hati ini; kapan saja, di mana saja, sedang apa saja (dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir batinnya), adalah juga yang dituju itu. Yaitu Tuhan Dzat Yang Al-Ghaib itu. Islamnya roh supaya tidak diaku dan dijajah oleh nafsu, berkewajiban menyatakan hakekat. Dan supaya Islamnya rasa supaya benar-benar ditarik oleh-Nya menyatakan ma’rifat kepada-Nya harus mengenal dan mengetahui “inti jati dirinya sendiri” yang berada di dalamnya hingga dengan demikian akan dengan sendirinya mengenal dan mengetahui DiriNya Dzat Tuhan Yang Al-Ghaib. Sebab dari sinilah asal fitrah manusia. Selamatnya harus berguru secara hak dan sah kepada yang hak dan sah menunjuki. Bertemunya secara yakin dan nyata di alam pati. Seba ketemu dengan Tuhan bukanlah ketika di dunia sekarang. Sekarang ini yang bisa dilakukan adalah mengingat-ingat dan menghayati. Maka disebut dengan pintu dan “kaannaka taraahu”. Pintu yang menjadi bagian dari rumah yang tidak terpisah sama sekali. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, , Tanjung, Oktober 1997, hal. 29 – 30).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
68
D
³ •
º
Ilmu yang menunjukan “pintunya mati”, supaya bisa mati dengan hati yang selamat. Mati yang selamat adalah sebagaimana yang dikehendaki oleh firman Allah : “… dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, yaitu pada hari di mana harta benda dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah (mati) dengan hati yang selamat” (QS:26, Asy-Syua’ra, ayat 87 s/d 89). Ayat ini menjelaskan supaya dijadikan hamba yang dapat sampai kepada Allah dengan hati yang selamat. Ketika harta benda dan anak laki-laki tidak berguna di hari para hamba Allah dibangkitkan, dan tidak dijadikan hamba yang dihinakan oleh Allah. Oleh karena itu Ilmu Syaththariyah ini disebut juga Ilmu yang menunjukan tentang keberadaan diri Tuhan Yang Al-Ghaib, Allah Asma’-Nya supaya mata hati (hati nurani, bukan hati sanubari) dapat menangkap dengan yakin dan jelas atas keberadaan Diri-Nya Tuhan itu, hingga dengan mudah dapat selalu diingat-ingat dalam segala tingkah laku dan perbuatan, di mana saja, kapan saja serta dalam keadaan apa saja. Lebih-lebih pada saat sedang melaksanakan ibadah shalat.
•
Ilmu supaya hatinurani, roh dan rasa dapat senantiasa Syathara illahi. Senantiasa menghadap atau hadir kepada Diri-Nya Yang Mutlak Wujud-Nya, Al Ghaib, Allah AsmaNya dan amat sangat dekat sekali. Cara menghadap atau hadir kepada Diri-Nya Yang Mutlak Wujud-Nya : Cara menghadapnya hati nurani atau hadirnya hati nurani kepada-Nya setelah mengenal dan mengetahui mengenai Keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib dari yang berhak dan sah menunjuki adalah selalu mengingat-ingat-Nya (mendzikiri-Nya) dan diupayakan (dilatih) bersama-sama dengan setiap masuknya nafas. Sebab nafas itu apabila masuk dan tidak keluar lagi, mati namanya. Cara hadirnya roh adalah dengan senantiasa nginjen-nginjen (mengintai-intai dan selalu menghayati) kepada Daya Kuat-Nya karena menyadari seyakinnya bahwa hamba ini adalah bagaikan daun asam yang berada diatas gelombang samudra. Geraknya dan obah osiknya semata-mata karena katut gelombang. Karena itu sama sekali tidak berani ngaku kuatnya, bisanya, segala dan apa saja yang biasa diaku manusia sebagai miliknya. Dan karena itu pula maka yang paling ditakuti hamba demikian adalah apabila hatinya sangat mudah melupai Tuhan yang amat sangat dicintainya. Cara hadirnya rasa adalah senantiasa merasakan betapa nikmat dan betapa indahnya rasa hati selalu merasakan Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Satu-SatuNya Yang Mutlak WujudNya. Maka dari itu Syathara berarti juga membagi dua. Yang dibagi adalah kalimah “Laa ilaaha illallah”. “Laa ilaaha” itu kalimah nafi dan “illallah” adalah kalimah itsbat. Yang harus diperjuangkan dengan memperbanyak lakon dan pitukon (dengan cara rialat, riyadhah dan mujahadah) agar benar-benar dapat dinafikan adalah semua saja, termasuk wujud jiwa raganya, akon-akon dunianya dan segala isi jagad raya yang dipandang mata wujud dan ada. Harus dapat dinafian supaya tidak menjadi hijabnya mata hati terhadap kandungan makna kalimah illallah, yakni kalimah itsbat. Yaitu Ada dan Wujud Dir Satusatu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya, Allah Asma-Nya, yang meskipun Al Ghaib, nyata dapat dirasakan Keberadaan-Nya berdasar bimbingan Gurunya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
69
D
³
º
Al-Ghaib adalah isim yang mufrad dan ma’rifah. Dalam Ilmu Syaththariyah hal itu menunjuk kepada keberadaan Satu-satu-Nya Dzat Yang Allah Asma-Nya, Mutlak Wujud-Nya dan ma’rifah. Jelas amat sangat dekat sekali dan jelas-jelas amat sangat mudah dan indah untuk diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati, apabila jihadunnafsinya menjadikannya rela bertanya kepada ahlinya. Sedang yang sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala, adalah al-ghuyub. Dibangsakan gaib, tetapi bukan Diri-Nya Illahi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ilmu Syaththariah, Tanjung, 1 Oktober 2000, hal. 1) •
Ilmu Syaththariyyah adalah ilmu tentang butiran iman. Butiran iman yang gendenya sak mrica jinumput, tetapi apabila digelar ngemplok jagad. Butiran iman itu adalah NUR MUHAMMAD. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya (Isi-Nya Huw). Itu adalah benih. Benih yang ditanamkan ke dalam dada yang dikehendaki oleh-Nya. Benih tersebut menjadi berkembang dan subur sangat tergantung pada masing-masing orang yang memperolehnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Supaya Warga Syaththariyyah Ditarik oleh Fadhal dan Rahmat-Nya Menjadi Hamba Yang Didekatkan Kepada-Nya, Tanjung, 1998, hal. 1).
Hukum meminta Ilmu Syaththariyah Meminta petunjuk Ilmu Syaththariyah kepada yang mempunyai hak dan sah, hukumnya “fardhu ‘ain”; suatu kewajiban yang tidak bisa dihindari bagi yang mengaku beragama Islam; siapa saja, dari mana saja asal-usulnya; bila sudah “mukallaf” (sudah dapat menerima pengertian dan sudah bisa menyimpan rahasia), bahkan lebih wajib meskipun dibandingkan denan kewajiban-kewajiban yang lain, termasuk shalat. Mengingat amanat Allah : “..Wa aqimish shalaata li dzikrii” (QS.20 Thoha; 14). “..Dan kerjakanlah shalat untuk berzikir (mengingat-ingat Aku”. Begitulah pentingnya dzikir dalam shalat agar mencapai tingkat khusu’ dan agar supaya ketika shalat tidak shaun (lalai) yang justru diancam dengan “fawailun”. Aku, Dzat Al-Ghaib Yang Allah Asma’-Ku, sama sekali tidak bisa digambarkan, tidak bisa dibayangkan, tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya, namun akan sangat mudah diingatingat dan dihayati dalam rasa hati apabila secara benar ditanyakan kepada ahlinya, yaitu ahli dzikir. Ahli adalah sebagaimana ungkapan kata seperti ahli kubur, yaitu orang yang telah mati karena itu dia selalu bertempat tinggal dalam kubur. Demikian halnya ahli dzikir. Dia adalah hamba yang dibentuk oleh Allah berdasar Ilmu yang diterima dari Gurunya, dibentuk mempunyai hati nurani, ruh dan rasa yang selalu maqam (bertempat tinggal) dalam dzikir. Bertempat tinggal dalam rasa hati yang senantiasa mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al-Ghaib yang dirasakan sangat dekat sekali. Meminta petunjuk ilmu tentang pintunya mati, supaya apabila sewaktu-waktu mati yang pasti akan ditemui dan hanya sekali saja dirasakan, dijadikan hamba yang “wujuhun yaumaidzin naadhiroh, ilaa Rabbiha naazhiroh”. Dijadikan hamba yang di hari matinya itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa karena dapat selamat, hingga wajahnya (rasa hatinya) berseriseri (bercahaya), kepada Tuhannya dia melihat (kandungan makna QS.75, Al-Qiyamah, 2223). “Wajah-wajah mereka (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada Tuhannya”. Keadaan demikian itu karena sebelum dia mati yang sebenarnya, memenuhi panggilan Nabi Muhammad SAW : ”Muutuu qabla an tamuutuu” (matilah engkau sebelum engkau mati).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
70
D
³
º
Sebab mati yang benar itu : jasad membusuk, hati ‘adam, ruh sirna dan hanya tinggal sirr (rasa) yang kembali ke akhirat.
Cara Memperoleh Ilmu Syaththariyah Di samping harus ada izin dari Guru yang hak dan sah, bagi yang bersangkutan (yang berkendak memperoleh ilmu), harus ada niat yang kuat dan mantap. Maksud dan kandungan niat minta petunjuk Ilmu Syathhthariyah, biasanya diniatkan dengan ungkapan sebagai berikut: “Nawaitu lidukhuuli thariiqish shaalihiin fardhan lillahi ta’aalaa”, atau “nawaitu an adkhula thariiqish shaallikhiin fardhan lillahi ta’aalaa”. Yang diterjemahkan: “Saya berniat untuk ‘masuk’ – mohon petunjuk – ilmunya Guru yang shaleh fardhu karena Allah Ta’ala”. Diterjemahkan sebagaimana di atas karena mempunyai maksud dan tujuan agar para pengamal ilmu ini akan dapat menjadi orang yang benar-benar bermujahadah (memerangi hawa nafsunya sendiri) hingga membentuk diri menjadi orang yang sabar dan tawakkal supaya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa (lih. martabat rasa). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.18, 19, 27) Bagi yang berkehendak kuat memperoleh ilmu harus mengetahui dan menyadari bahwa, Allah itu adalah Asma-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya tetapi Al-Ghaib. Sebagaimana halnya asma’ (nama) dengan sendirinya tidak bisa apa-apa. Yang bisa berbuat apa-apa dan segalagalanya adalah Dzat-Nya Yang Al Ghaib itu. Seperti halnya apabila seseorang menikah, apakah akan puas dan menerima kalau hanya menikah dengan namanya saja, tetapi tidak dengan orangnya? Karena itu perlu diketahui pula bahwa firman Allah : “Dan Dia (Rasul) tidaklah bakhil untuk menerangkan perihal Al Ghaib (QS. At.Taqwir; 24)”. Ayat ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, tetapi berlaku bagi umat Islam hingga kiamat. Meski ternyata sebagian tidak yakin, maka lalu azab Tuhan datang dan menghancurkan disaat “Daabbah” diberdayakan, sebagaimana firman-Nya dalam QS:27, An-Naml; 82 : “Dan apabila telah putus hukuman mereka, Kami keluarkan binatang melata (daabbah) dari bumi yang mengatakan kepada mereka bahwa manusiia tidak mempercayai ayat-ayat Kami”. Kehadiran Rasul selalu berada ditengah-tengahmu sebagai mana firman Allah : “Kenapakah kamu kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepadamu dan Rasul-Nya berada bersamamu? Dan barangsiapa yang bepegang teguh kepada Allah sesungguhnya ia telah diberi petunjuk” (QS:49, Al-Hujurat; 7). Ternyata oleh umat Islam ayat tersebut sudah tidak diyakini kebenarannya. Sehingga Al-Haqqu min Rabbika, maunya mereka Al-Haqqu itu diganti harus dari golonganku, dari pendapatku, dari kepandaianku, dari usulanku, dari mahzabku, dari siasatku, dari kebijakan-kebijakanku, dari kekuasaanku, dari harga diri dan kehormatanku dan seterusnya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.32 – 33).
Persiapan Memperoleh Ilmu Syaththariyah.
Setelah mempunyai niat yang kuat dan hati yang mantap, lalu mandi (besar), bersuci (sebab akan disentuh dengan Dzat Yang Maha Suci). Adapun niatnya sebagai berikut : “Nawaitul ghusla lidhukhuuli thariiqish shaalikhiin fardan lillahi ta’aala”
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
71
D
³
º
Kemudian berpuasa, minimal tiga hari. Dimana pada hari terakhir berpuasa, baru akan mendapat izin memperoleh ilmunya. Adapun niat puasa adalah sebagai berikut : “Nawaitu shauma ghodin lidhukhuuli thariiqish shaalikhiin fardan lillahi ta’aalaa”. Dan yang harus dipersiapkan lagi adalah dilatih memahami mukaddimahnya Ilmu Syaththariyah. Yaitu dzikir tujuh (7) macam, yang harus dilatih oleh orang yang ditugasi untuk melatih mukaddimah dzikir. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.33 – 34).
Pemberkahan Ilmu Al Nubuwwah Pemberkahan Untuk memperoleh Ilmu Syatththariyah yang akan diisikan ke dalam rasa hati, harus melewati tata cara berkah (disebut berkah karena mendapat keberkahan ilmu tentang Dzat Allah dari Guru yang hak dan sah); dapat disebut juga ba’iah. Pada saat di mana ditunjukan ilmu Al-Nubuwwah sang murid harus dalam keadaan suci. Pemberkahan (Bai’at) tersebut memenui firman Allah dalam QS : 48. Al Fath; 10 : “Bahwa sesungguhnya orang-orang yangn ba’iat kepada kamu (Nabi Muhammad SAW dan para penerusnya atau wakil-wakilnya Nabi Muhammad SAW yang berhak dan sah melanjuti tugas kerasulannya), itu sebenarnya ba’iat (langsung dengan) Allah Sendiri” (QS:48, Al Fath; 10). Hanya saja karena Allah tidak mewujud secara langsung (ngejawantah), maka Allah berkehendak membuat wakil Diri-Nya, yakni hamba yang dikehendaki-Nya untuk berfungsi sebagai penyambung lidah (Rasul-Nya). Karena itu Guru (yang dalam warga Syaththariyah disebut Wasithah), sama sekali tidak akan berani mengaku atau merasa menjadi Guru. Hal demikia sama saja berani terjungkal di lembah murtad yang terbesar : Sama dengan menyekutukan Tuhan. Apa yang ia jalankan semata-mata karena sekedar melaksanakan perintah Guru sebelumnya (sak derma nglakoni), sebagai lakon dan pitukon dirinya untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya sehingga selamat bertemu dengan-Nya. Di dalam proses pemberkahan ini, murid juga bersumpah dan berjanji. Antara lain sama sekali tidak boleh melakukan dosa besar dan dosa-dosa kecil yang terus menerus. Harus dengan sabar dan tawakkal dalam menyembah kepada-Nya hingga sampai dengan selamat dan yakin bertemu dengan-Nya saat mati yang pasti menemuinya. Untuk itu, maka harus memenuhi panggilan Nabi Muhammad SAW yang menjadinya madhulnya hadits : ”muutuu qabla anta muutuu”. Karena telah mempunyai ilmunya mati, maka jadikanlah untuk belajar mati sebelum mati yang sebenarnya. Supaya matinya seperti matinya para kekasih Illahi, khusnul khatimah. Dan janji berikutnya adalah tentang bagaimana belajar mati itu, yaitu harus melaksanakan perintahnya Guru yang menunjuki ilmu itu. Yakni mengumpulkan syariat dan hakekat. (lih. syariat, hakekat). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal.34 – 35). Sumpah dan janji Murid (lih. Murid – Sumpah dan Janji Murid) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Edt), Ilmu Syaththariyyah adalah ilmu tentang butiran iman. Butiran iman yang gendenya sak mrica jinumput, tetapi apabila digelar ngemplok jagad. Butiran iman itu adalah NUR MUHAMMAD. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya (Isi-Nya Huw). Itu adalah benih. Benih yang ditanamkan ke dalam dada yang dikehendaki oleh-Nya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
72
D
³
º
Benih tersebut menjadi berkembang dan subur sangat tergantung pada masing-masing orang yang memperolehnya. Langkah Pertama; Supaya mapan ilmunya, kemudian dapat berkembang dan menjadi subur, lalu benar-benar menjadi murid (menjadi orang yang dikehendaki oleh-Nya dengan secara benar dan benarbenar berkehendak bertemu dengan-Nya), haruslah pandai bersyukur kepada-Nya. Yaitu dapat mengerti dan memahami kandungan sumpahnya sendiri ketika berhadapan dengan Guru. Sumpah itu adalah (sumpah dan janji murid secara lengkap dapat dilihat : Murid – Sumpah dan janji murid, Edt.) : “Suka kula ing Guru ingkang muruk in kula punika angsal rahmat saking Allah; saking donya malah tumeka akherat pisan. Dene ati kula madep maring Allah”. Rasa syukur yang tiada terhingga kepada-Nya dengan dipertemukan Guru yang hak dan sah yang oleh Nabi Muhammad SAW disabdakan “Walau bainahu wa bainaka bahrunnaar” = meskipun antara Guru yang hak dan sah itu dengan kamu (supaya dapat bertemu) harus menyeberangi lautan api, terjadi karena rahmat-Nya. Karena belas kasih-Nya. Langkah Kedua; Meskipun sebenarnya berguru secara benar kepada yang berhak dan sah menunjuki ilmu dan jalan lurus hingga selamat dan bahagia bertemu dengan-Nya adalah kebutuhan masing-masing diri, namun ketika dihadapan Guru yang hak dan sah itu, disumpah. Sumpah tersebut adalah : “Suka kula ing sekehing faqir ingkang miturut ing Guru punika sedaya sederek kula. Sederek lahir terusing batin, sederek ndonya dumugining akherat. Suka kula bebarengan in ndalem pangabektine; suka kula tulung tinulungan in ndalem kemlaratane lan suka kula pepisahan in ndalem durhakane”. Dari langkah pertama dan kedua di atas, maka terjadilah pemrosesan diri untuk menjadi hamba yang benar-benar siap didekatkan kepada-Nya, karena dengan itu lalu dimapan oleh-Nya dengan mantapnya dua modal dasar. Yakni dijadikan hamba yang dengan mudah dapat mengerti dan memahami semua dawuh-dawuhnya Guru, petunjukpetunjuknya, perintah-perintahnya dan juga cita-citanya. Lalu ditanamkan pada hatinya tekad bagaiman supaya selalu dengan rela “mau” (gelem) memaksa jiwa raganya melaksanakan dawuhnya Guru, petunjuknya, perintah-perintahnya serta membela citacitanya. Mantapnya hal di atas karena dikehendaki oleh-Nya bisa mengerti dan memahami kandungan makna dari ungkapan Guru Wasithah bahwa : “Seberat-beratnya melaksanakan dawuh guru masih berat apabila tidak melaksanakan”. Dengan demikian akan dipertemukan (oleh Allah) : “Asaa anyaj’allahu laka waliyyan min auliyaaillahi wa aaminan minal aafaati fi daraini”. Maksudnya :”Semestinyalah Allah menjadikan masing-masing kamu menjadi kekasih-Nya sebagaiman para kekasih-Nya (yang telah ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya merasakan betapa nikmat dan bahagianya bertemu lagi dengan Diri-Nya), serta diselamatkan dengan aman sentausa dari bencananya du akampung yakni dunia dan akherat.” Perintahnya Guru adalah supaya tumemen (bersungguh-sungguh) memerangi nafsunya agar dengan sebaik-baiknya dapat memenuhi janji yang telah diterima dihadapan Guru. (lih. Murid – Sumpah dan Janji Murid) “Inggih kula nrimah janji saking penjenengan” (= Iya saya terima janji dari Bapak) jawab sipenerima janji.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
73
D
³
º
“Wis, saiki wis gugur kewajibanku. Kari gumantung marang kowe dewe-dewe. Yen Tumemen anggonmu pada mbibinau bebarengan karo sedulurmu ing ngendi bae sing wis ketata jamaahe, yekti ya bakal pada mekoleh kanugrahan saka Kang Allah Kuawasa lahir batin, ndonya akherat. Yem sembrana, sing bakal nampa bendu ya sing pada sembrana. Mual pada dingati-ngati”. “Sudah, sekarang tinggal tergantung kepada kamu semua. Apabila kamu semua bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengamalkan Dawuh Guru (perintahnya Wasithah), Allah pasti memberikan kepada kamu semua kanugrahan yang besar di dunia dan di akherat. Tetapi apabila sembrono, sebaliknya azab dan bendu-Nya Allah SWT akan ditimpakan kepada yang sembrono. Karena itu, berhati-hatilah”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Supaya Warga Syaththariyyah Ditarik oleh Fadhal dan Rahmat-Nya Menjadi Hamba Yang Didekatkan Kepada-Nya, Tanjung, 1998, hal.1 – 3) .
Mukaddimah Ilmu Syaththariah Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa termasuk persiapan untuk mendapat izin dari Guru yang hak dan sah menunjukan Ilmu Syaththariah adalah dilatih mukaddimahnya ilmu, yang diperagakan pada jagad pribadi. Mukaddimah ini adalah sebagai “pelataran” atau “tangga” untuk masuk ke dalam Ilmu Syaththariah. Banyaknya ada 7 (tujuh) macam dzikir, disesuaikan dengan jumlah nafsu manusia yan juga ada tujuh macam. Sebab “mlebu maring Allah” atau bercita-cita supaya dapat selamat pulang kembali bertemu dengan Diri-Nya Illahi harus dengan mengendarai nafsu. Mukaddimah tersebut adalah sebagai berikut. TUJUH MACAM DZIKIR. Thawaf (di dalamnya ada dua macam dzikir); Mengucap kalimah : Laa ilaahaa ilallah (sebanyak 3 x). Dilakukan pada diri (jagad) pribadi. Caranya memutar kepala, mulai dari bahu kiri. Alat penunjuknya adalah dagu (simbol Pena-Nya Allah SWT dengan tintanya Nur Muhammad). Dengan dagu tersebut lalu untuk menggris dada (mulai dari bahu kiri) menuju bahu kanan, berpusat pada pusar (udel), membentuk Lam Alif dengan mengucap kalimah : Laa ilaaha (dzikir pertama), dengan menahan nafas. Setelah sampai pada bahu yang kanan lalu menarik nafas, baru mengucapkan kalimah itsbat : Illallah, yang dipukulkan (oelh dagu) tersebut ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri. Perlu diketahui bahwa dzikir itsbat tersebut adalah nomor dua. Perlu diketahui pula bahwa bahu yang kanan, tempat menarik nafas ketika hendak mengucap kalimah nafi : “Illallah, adalah simbolnya “maqam firoq”. Simbol pisahnya yang hak dan batal. Simbol nafinya dzat, sifat dan af’alnya hamba supaya dapat membuktikan bahwa satu-satunya Yang Wujud dan Yang Ada adalah yang diitsbatkan (yang ditetapkan) dalam hati. Yaitu DiriNya Illahi Yang Al Ghaib yang hanya dapat diketahui dari Guru Wasithah yang berhak dan sah menunjuki. Perlu dipahami pula bahwa mukaddimahnya yang nomor satu dan nomor dua di atas, di dalamnya ada maksud dan kandungan maknanya. Bahu kiri (tempat mulai thawaf) dan bahu kanan (sebagai simbol mawam firoq) adalah simbol hamba yang mempunyai keberanian dengan tekad yang mantap, meski betapapun berat resiko yang harus ditanggung guna dapat memenuhi amanah Illahi. Jadi simbol keberanian memikul amanah dari Allah SWT yaitu : “Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin”. “Sembahlah Tuhanmu hingga datang yaqin (mati)”,
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
74
D
³
º
Yang mengandung makna supaya menyembah Tuhan Yang Asma-Nya Allah dengan kesungguhan berjihadunnafsi supaya dapat lulus dalam mengikuti watak dan jejak para “malaikatul muqorrobin”, rela sepenuh hati sujud (=memberlakukan diri bagai mayit yang patuh dan taat dihadapan yang berhak dan sah mensucikan), hingga akan ditarik fadhal dan rahmat-Nya dapat seyakinnya merasakan kehadiran yang disembah itu. Yaitu selamat bertemu dengan Diri-Nya Illahi. Karena itu ketika menjelajahi jagad ( menjalani kehidupan dunia sebatas umur masingmasing sebagai ujian dan cobaan ini ) supaya dapat lulus harus berani menahan nafas (ngempet ambengan). Lambang untuk dapat mencapai sesuatu yang amat sangat penting. Agar dapat menjadi hamba-Nya Ratu Adil karena dapat dimengertikan bagaimana caranya mengadili diri sendiri supaya hidupnya tidak ditipu daya apalagi hingga sampai diperintah dan dijajah oleh hawa nafsu. Lalu menjadi hamba yang “hurriyah tammah”. Menjadi hamba yang rasa jiwanya merdeka sejati. Menjadi hamba cahaya-Nya Illahi di muka bumi. Dijadikan oleh-Nya dapat mengaktualisasikan fitrahnya jati diri. Karena itulah maka ketika melakukan dzikir itsbat (Ilallah), dagu dipuklkan ke arah hati sanubari supaya markas besarnya nafsu lawwamah ini tidak dapat berfungsi (dapat dikendalikan). Setelah melakukan dzikir thawaf sebagaimana di atas tga (3) kali, dilanjutkan dengan dzikir berikutnya. Nafi Itsbat (temasuk bagian dzikir pertama) Kalimah Nafi Itsbat (kalimah Thayyibah) yaitu : “Laa Ilaaha Ilallah” (dilafahkan secukupnya). Dzikir ini dilakukan sebanyak mungkin dengan menghidupkan cipta angan-angan, bahwa semua hal tentang dunia dan apa saja termasuk jiwa raganya, nafi. Tidak ada. Dibarengi dengan hati mengintai-intai Diri-Nya Illahi (Isi-Nya Huw). Dan apabila ternyata masih selalu merasakan ada terhadap apa saja (dan ternyata pula memang demikian yang terjadi), maka segera saja menyadari atas salah dan dosanya sendiri. Masih banyaknya lakon dan pitukon yang belum dijalani. Masih banyak sekali keteledorannya dan masih sangat kurang kesungguhannya dalam berjihadunnafsi. Dengan demikian jiwa dan taubatan nasuhanya terus menghidupi diri. Itulah sebabnya mengapa warga Syaththariah ini apabila melakukan dzikir nafi itsbat (Laa ilaaha ilallah), suara yang dikeraskan adalah juga suara nafinya. Yakni suara Laa ilaaha ilallah. Sebab begitu mengucap “ ill (yang lengkapnya illallah), suara seperti dimasukkan ke dalam yang mempunyai Asma’ Allah, yaitu Isi-Nya Huw. Itsbat Faqod Dzikri nomor tiga itsbat faqad, yaitu : illallah (diucapkan sebanyak tujuh kali). Dipukulkan ke dalam hati sanubari dengan alat pemukul dagu. Bermaksud mempertegas, bahwa hanya Diri-Nyalah (Isi-Nya Huw) Dzat Yang Wujud dari Yang Ada. Sehingga hati yang menjadi markas besarnya nafsu lawwamah ini benar-benar diam (sirep). Benar-benar tidak menyala (lerep) Tidak akan mengganggu perjalanan dan cita-cita hati nurani, ruh dan rasa dalam tujuan mendekat sehingga sampai ma’rifa kepada-Nya. Ismu Dzat Ke empat dzikir Ismu Dzat, yaitu Allah, (diucapkan sebanyak tujuh kali). Arah yang dipukul oleh dagu tepat pada tengah-tengah dada. Mengarah ruh yang keberadaannya di dalam hati nurani. Supaya benar-benar disadari dan dipahami bahwa ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan dengan keluar masuknya nafas dalam dada lalu karena itu wujud jiwa raga mempunyai daya dan kekuatan, ini semua adalah Min Ruuhihi. Daya dan kekuatan-Nya Allah SWT. Sama sekali bukan daya kekuatannya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
75
D
³
º
nafsu yang terbiasa telah diaku oleh wataknya nafsu. Sebab bila yang demikian diterusteruskan, sama saja dengan telah berani menjadi hamba yang menyekutukan Tuhannya. Dengan sendirinya, segala tingkah laku dan perbuatan lahir dan batinya berada di dalam kemusyrikan. Selalu berada dalam perbuatan dosa terbesar yang sama sekali tidak ada ampunannya di hadapan Tuahn. Dzikir Taroki Nomor lima dzikir Taroki. Yaitu : Allah-Huwa (dibaca Huw), (sebanyak 7 kali). Ucapan Allah diambil dalam dada dan Huw dimasukkan ke dalam baitul makmur (markasnya berpikir). Maksudnya supaya markas besarnya berpikir ini selalu dicahayai oleh cahaya Illahi, sehingga potensnyai pikir akan benar-benar dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah dunia untuk membuktikan hablum minannas-nya. Bagi mengelola garapan dunia yang oleh Allah dicipta tidak sia-sia dan tidak batal ini, namun karena markasnya berpikir selalu diterangi oleh Cahaya-Nya, sama sekali tidak akan ditujukan untuk mengumpulkan harta benda dunia. Sama sekali tidak untuk bersenang-senang. Sama sekali tidak untuk ngumbar hawa nafsu dan syahwat. Berbangga-bangga dan bermegah-megah dengan kehidupan dunia. Tetapi semata-mata demi Sub-haanaka. Demi untuk mensucikan Zat Yang Maha Suci. Karena itu hasil kerja kerasnya, sematamata dijadikan sebagai pancatan yang kokoh guna mensucikan diri supaya dapat sampai selamat dan bahagia bertemu lagi dengan Dzat Yang Maha Suci. Dzikir Tanazul Dzikir ke enam disebut dzikir Tanazul. Yaitu : Huw – Allah (sebanyak 7 kali). Huw diambil dari baitul makmur (otak) dan kalimah Allah dimasukkan ke dalam dada. Sebab akhirat itu pintu masuknya ada di dalam dada. Attaqwa haahuna (tiga kali) sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang dituding beliau adalah dadanya. Sehingga akan senantiasa berkesadaran tinggi sebagai insan Cahaya Illahi, bahwa hidup dan kehidupan dunia dengan segala kewajiban hamba yang dilakukannya adalah merupakan proses nyata terhadap kandungan makna innaa Lillaahi wa innaa ilahi rooji’uuna. Dzikir Ismu Ghaib Nomor tujuh dzikir Ismu Ghaib. Yaitu : Huwa (Huw, dengan mulut tertutup, secukup-nya). Dengan mata terpejam dan mulut dikatubkan. Yang di arah tepat ditengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa yang telah diisi dengan dzikir (ingat hati nurani pad Al Ghaib, IsiNya Huw). Dzikir Huw ini asalnya dari Ha’ wawu di dhammah. Yaitu dhanir huwa. Dhamir maknanya “sesuatu yang tersimpan di dalam hati tentang Ada dan Wujud DiriNya Zat Al Ghaib Yang Allah Asma’-Nya”. Ini adalah makna kandungan firman Allah dalam Surat Al Ikhlas ayat 1. “Qul huwa Allahu Ahad”. Mukaddimah Ilmu Syaththariah (dzikir tujuh macam) di atas adalah sebagaimana maksud yang dikandung pada firman Allah : Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut) (QS :23, Al Mu’minuun ayat 17). Maka perlu pula diketahui bahwa hal diatas adalah penjelasan adanya :”ar rooshikuuna fil Ilmi” (orang-orang yang mendalam ilmunya) tentang keberadaan Ada dan Wujud Diri-Nya, Dzat Yang Wajib wujud-Nya, Al Ghaib, dekat sekali dalam rasa hati, Allah Asma’-Nya, supaya ungkapan firman-Nya perihal “Ulul Albaab” tidak hanya dibibir saja. Dan supaya tidak terperosok kepada mereka yang karena condong pada kesesatan lalu menjadikan ayat-ayat yang “mutasyaabihaat” itu untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
76
D
³
º
(berdasar watak akunya yang ciri khasnya abaa wastakbara). Adalah kandungan makna firman-Nya dalam QS : 3, Al Imran :7 . “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayatayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an, dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orangorang yang mendalam ilmunya berkata :”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semua itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Januari 2002, hal. 43 – 49).
Ilmu Tasawuf : Ilmu tasawuf adalah ilmu yang diajarkan supaya hamba yang telah mendapat ijin memperoleh dzikir Huw yang hak dan sah itu, secara benar dapat mengerti, memahami dan melaksanakan terhadap semua Dawuhnya Guru dan Pituturnya Guru (terhadap semua perintahnya dan petunjuk-petunjuknya). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Kitab Mamlukat, dalam Maj’uah Risalah 2002, Tanjung Anom, 17 Mei 2000, hal. 21).
Ilmu Tauhid : (lih. juga Ilmu Syaththariah) Disebut intinya ilmu, karena ia adalah “nyawanya” jagad raya dengan segala isinya. Termasuk jagad manusia, juga nyawanya Islam agama milik-Nya. Disebut inti karena ini adalah satusatunya ilmu yang penyampaiannya dengan metode tunjuk, mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat yang didunia ini Al-Ghaib. Yakni satu-satu-Nya Dzat Yang tidak akan pernah menampakan Diri (ghaib), tetapi jelas dan nyata mutlak Wujud-Nya. Jelas dan nyata sekali dalam rasa hati. Jelas dan nyata amat mudah diingat-ingat dan dihayati, apabila rela mencari lalu rela meminta kepada yang berhakdan sah menunjuki. Nama yang lain adalah Ilmu Dzikir, Ilmu Syaththariyah.(lih. Ilmu Syaththariyah). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Intinya Ilmu ini (Ilmu Tauhid) Sejak Nabi Adam AS hingga Kono, Sedikit Sekali Yang Rela Mencari Lalu Menekuni, Tanjung, Awal Maret 2001, hal. 1).
Ilmu Yakin : Ilmu yakin adalah dibukanya nafsu terhadap berbagai keajaibannya “maa kaana fii ‘alamil kabir kamitsli maa kaana fi ‘alamishshagir”. Ainul Yakin; dibukanya hati terhadap alam mitsal-Nya Tuhan Hakkul Yakin; dibukanya roh terhadap alam ajaib-Nya Tuhan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 60).
Ilmu Yang Manfaat : •
Ilmunya itu; Ilmu yang memberitahukan dan memperkenalkan terhadap keberadaan DiriNya Yang Al Ghaib itu. Supaya hanya itu yang diingat-ingat dan dihayati dalam hati nurani (= mentauhidkan-Nya). Agar benar-benar bermanfaat baginya. Dan ilmu yang manfaat itu adalah ilmu yang menjadikan dirinya selalu mengetahui atas aibnya diri. Dan tentang hal besar perihal aibnya diri adalah masih ngaku dan masih merasa adanya wujud dirinya. Sebab bila masih saja begitu, masih bertempat pada ngembari Diri-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. Di samping sumber segala dosa adalah wujudnya jiwa raga yang
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
77
D
³
º
ternyata sebagai markasnya watak akunya nafsu dan segala seleranya. Keinginankeinginannya. Termasuk hal besar tentang aibnya diri adalah rasa til kumantilnya kepada dunia. Dunianya watak akunya yang pandai berpura-pura dan juga dunianya harta benda, kedudukan dan gengsinya, kehormatan diri. Dan ilmu yang manfaat itu termasuk ini. Mengetahui terhadap bencananya amal yang bagaikan kayu kering dimakan api. Yang mestinya menjadi hamba kekasih-Nya. Lalu dicoret dari daftar yang ada di sisi-Nya. Yaitu takabur, sum’ah, ria dan ujub. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengenal Rahasia Suci Wajah Al Ghaib-Nya Ilahi Untuk Menyambut Bangkitnya Islam Yang Sejati Murni, Tanjung, 30 Oktober 1996, hal. 59). •
Ini adalah hamba karena manfaat ilmunya, telah mulai bisa membalik watak. Watak manusia apabila mendapat koreksi bahkan celaan; biasanya kecewa, marah dan tidak terima; namun dia justru bersyukur. Diterima sebagai datangnya peringatan dari Tuhan untuk mawas diri dan koreksi diri. Bersyukur dan menyadari terhadap masih banyaknya kelengahan, kesalahan dan menganggap ringan setiap persoalan. Kemudian, watak manusia apabila dipuji, lalu senang dan bangga. Justru bagi dia diterima dengan rasa takut, sekiranya sampai berani ngembari Tuhanya. Sebab segala puja dan puji hanyalah bagi Diri-Nya Illahi. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Risalah Ilmu Syaththariah, Jalan Menuju Tuhan, Pustaka Pondok Sufi, Bandung, Januari 2002, hal. 59).
Ilmu Yang Sempurna : Ilmu yang sempurna adalah “Ilmuhu Ta’ala li Dzatihi wa lisifatihi wa li af’alihi wa lijami’I almaujudad”. Yaitu ilmu-Nya Allah mengenai Ada dan Wujud Dzat-Nya Yang Al Ghayb dekat sekali di dalam rasa hati, meliputi serta menyertai hamba-hamba-Nya. Mudah sekali diingatingat dan dihayati dalam rasa hati di mana saja, kapan saja, sedang apa saja dan dalam keadaan yang bagaimanapun juga, apalagi dalam keadaan shalat, apabila dijadikan oleh Allah rela meminta petunjuk kepada ahlinya. Supaya dijadikan tujuan tempat kembali. Kemudian sifat-Nya. Sifat-Nya Allah adalah Daya dan Kuat-Nya. Daya itu kebisanan (bisa) dan kepunyaan. Kuat itu kekuatan. Semua itu milik-Nya Allah dan Hak Mutlak-Nya. Jadi belajar menghayati hakekat. Bahwa hakekatnya Yang Bisa, Yang Pemilik Semua dan Yang Kuat adalah Diri-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya Allah nama-Nya. Hamba ini sebenarnya hanyalah bagaikan daun asam yang berada di atas gelombang samudera. Katut Siliring Qudrat-Nya. Mengenai af’al-Nya. Semua yang bergerak di alam jagad raya ini termasuk gerak manusia sebenarnya adalah Perbuatan Allah. Bayang-bayang-Nya Allah. Sebab sebenarnya Yang Wujud dan Yang Ada hanyalah Diri-Nya Dzat Yang nama-Nya Allah tetapi Al Ghayb, dapat terasa nyata di dalam rasa apabila dijadikan rela meminta petunjuk kepada ahlinya. Walijami’I al maujuda. Dan kepada semua hal yang dibangsakan wujud. Yakni ciptaan Allah, langit dan bumi dengan segala isinya yang dicipta Allah tidak batal supaya dikelola, digarap demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh pulang kepada-Nya. Sebab semua hal yang nampaknya wujud oleh indra mata manusia sebenarnya adalah bangsa wujud sebab hakekatnya Yang wujud hanya satu, Diri-Nya Illahi Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya. Oleh karena itu apabila digarap dan dikelola tidak untuk pancatan pulang kepada Yang sebenarnya Wujud, benar-benar menjadi batal dan sia-sia.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
78
D
³
º
Betapa bertaqwa kepada Allah dengan sempurna telah banyak sekali dijelaskan. Kemudian Kitab yang selalu diajarkan dan yang tetap dipelajari adalah Kitab-Nya Allah yang ditulis Allah dengan Nur Muhammad. Diajarkan dengan Nur Muhammad. Tetap dipelajari dengan Nur Muhammad. Karena itu tidak bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan oleh Allah. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Petunjuk Allah ‘Azza Wa Jalla Kepada Hamba Yang Ditugasi Sebagai Pelaku (Imam) Al Qaim Al Mahdi, Tanjung, 10 Juli 2007, hal.1 – 2).
Imam : Mengada (atas kehendak Allah SWT) demi melestarikan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah agar selalu berada di tempatnya. Yaitu ditengah-tengah umat supaya menjadi panutan bagi semua murid (= orang yang berkehendak bertemu Tuhannya). Dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT dengan 4 (empat martabat). Yakni Mursyidun, Murbiyun, Nasihun dan Kamilun. Sekaligus, dia adalah Wasithah. Yakni hamba yang dikehendaki Tuhannya untuk menunjukkan “ilmu tentang pintunya mati yang selamat”. Dalam firman-firman-Nya, Ia disebut pula sebagai al-Haadi, al-Wasilata, Waliyyan Mursyida, Imamun Mubin, al-Mudzir, ahli Dzikir dan bahkan Allah menyebutnya juga dengan Rasul. Sebab wakil itu sama dengan muwakkal. Dengan sabdanya Junjungan Nabi Muhammad SAW menyebutnya dengan al-Maula, al-Washi, Amirul Mukminin, Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin dan sebagainya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Tambahan Penjelasan Tentang Struktur Umat Manusia Dalam Kerajaan Tuhan, dalam Majmu’ah Risalah 2002, Pondok Sufi, Tanjung, 19 Maret 2002, hal. 3).
Imam Mahdi (Al-Mahdi, Al Qaim al-Mahdi) : • •
•
Imam mereka yang dike-hendaki Allah memperoleh hidayah dari-Nya. Imam mereka yang memurnikan Islam sebagai agama yang lurus menatap wajah-Nya Dzat Yang Wajib Wujud- Nya, Al Ghaib dan Allah Asma-Nya dan hanya itu saja satusatunya yang ditetapkan Ada dan Wujud-Nya dalam hatinurani roh dan rasanya, sehingga benar-benar menghayati maksud menTauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya. Imam Mahdi adalah Imam mereka yang dengan taat dan sungguh-sungguh mengikuti sunnah-Nya Nabi Muhammad SAW dan sunnahnya para wakil-Nya yang lurus (hingga sampai dengan selamat bertemu Allah). Bukan yang medoti agama Allah untuk kepentinga dirinya, golongannya, selera watak akunya nafsu yang biasa didukung oleh ilmu yang di aku untuk gengsi dan harga diri kehormatan akunya lalu puas dan bangga dengan itu. Tetapi Imam mereka yang bersiap diri naik ke perahu Nabi Nuh sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW di bawah ini : “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu (Ya Ali) adalah pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu (Ali), karena kamu adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari kamu, dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, ruhmu adalah ruhku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu, beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu : sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu. Kamu dan para Imam dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu (Nabi) Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam, sirna dan celaka. Kamu semua seperti bintang. Setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiamat”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Al Hakim, Adz Dzahabi). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Membela Tegaknya Kesetiaan Pada Rasulullah, Tanjung, 30 Juli 1995, hal. 8 – 9).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
79
D
³
º
•
Hamba yang dibentuk oleh-Nya senantiasa berada di dalam hidayah-Nya, supaya hidayah yang diperoleh dari Tuhannya itu diberikan pula kepada hamba yang dikehendaki oleh-Nya memperoleh hidayah-Nya; sehingga menjadi hamba yang mau dan rela terus menerus melakukan jihadunnafsi hingga nafsunya (yang tidak lain wujud jiwa raganya) menjadi kalah lalu rela dijadikan kendaraannya hatinurani, roh dan rasa mendekat kepada Tuhannya sehingga sampai dengan selamat dan bahagia bertemu lagi denganNya. Inilah maksud dan tujuan hidayah-Nya Allah SWT yaitu memfungsikan jasad menjadi patuh dan tunduk sebagai kendaraan dengan menjalankan kewajiban syareat. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Pengantar Tafsir Al-Faatehah, Tanjung, 31 Maret 2000, hal. 3).
•
Al Qaim al-mahdi yang juga sering disebut Imam Mahdi adalah hamba Allah yang dengan hidayah-Nya menegakkan Kebenaran Mutlak AL-Hak-Nya Allah Azza Wajalla sehingga hak-Nya Allah SWT dan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya kembali ditempatnya. Allah adanya nama-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya. “Innani Ana Allah”. (QS. Thaha 14) Sesungguhnya Aku inilah (Ada dan Wujud-Nya Dzat Yang ) Allah (nama-Ku). Jadi Allah adalah sebuah nama. Sebagaimana layaknya sebuah nama, yang pasti tidak bisa apa-apa. Yang bisa apa-apa bahkan menciptakan jagad seisinya adalah Yang Punya nama Allah itu. Yaitu Dzat-Nya. Meski Al-Ghaib, Mutlak Wujud-Nya. Amat sangat dekat sekali dalam rasa hati. Selalu meliputi dan senantiasa menyertai. Hingga jelas-jelas mudah diingat-ingat dan dihayati. Dan inilah Hak Mutlak-Nya Allah SWT yang seharusnya dengan seyakinnya dikenali dan diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang bernama manusia yang telah diperlengkapi dengan alat untuk mengenali dan mengetahui Ada dan Wujud-Nya bahkan hingga seyakinnya dapat bertemu dengan Diri-Nya. Dan ini pula yang dibela oleh Al Qaim Al Mahdi supaya dapat kembali pada tempatnya. Tempatnya (untuk mengingat-ingat dan menghayati) di dalam rasa hati. Kemudian supaya dijadikan tujuan hidup sebagai “tempat kembali setelah jasadnya habis masa menjalani ujian berjiwa raga dengan dunia”. Disebut tempat kembali sebab fitrah manusia, yakni benih ginaib rahasia manusia, tempat asalnya adalah Fitrah-Nya Allah ‘Azza Wajalla, yang selama di dunia ternyata yang pasti digelapkan oleh hawa nafsu dan pesona dunia dengan segala kehormatannya. Kemudian mengembalikan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Hakekat Nabi Muhammad adalah Nur Muhammad. Cahaya Terpuji-Nya Dzat Wajibul Wujud, Yang Cahaya dengan Dzat-Nya selalu menyatu menjadi saru bagaikan kertas dan putihnya. Dan inilah yang harus terus menerus dapat disaksikan (seyakinnya dapat dilihat dengan mata hati) oleh orang-orang yang dengan lahir dan batin setia sebagai pengikutnya. Karena itu Nabi Muhammad yang dimakamkan hanyalah jasadnya. Sedang tugas kerasulannya tidak pernah dihentikan oleh Allah sampai dengan hari ini dan hingga kiamat nanti. Karena itulah, maka apabila Allah mengungkap mengadanya Rasul dalam firman-firman-Nya bisa dipastikan menggunakan fiil mudhare’ atau fiil amr. Maksudnya berlaku sekarang ini juga seterusnya. Sebagai wakil itu sama dengan muwakkal. Dan Nabi Muhammad SAW sendiri juga telah dengan tegas berwasiat : “Kamu semua wajib mengikuti sunnahku dan juga sunnahnya para penggantiku (wakilku) yang lurus (nya hingga sampai bertemu dengan Azza Wajalla, dan yang al-mahdi (yang memperoleh
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
80
D
³
º
hidayah dari Allah SWT). Gigitlah sunnahnya itu kuat-kuta dengan gigimu (karena saking langkanya yang dijadikan mengerti akan hal ini)”. Kemudian maksud mengembalikan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya adalah dikembalikan selalu mengada ditengah-tengah umat yang mempercayai sebagai pembimbing di jalan lurus-Nya Allah SWT (Shirathal Mustaqim). Al Qaim al-Mahdi yang juga dijuluki Imam Mahdi, karena tugas dan kewajibannya, dialah hamba yang menjadi Imam orang-orang yang dikehendaki memperoleh hidayah-Nya. Yaitu hamba yang muttaqien, orang-orang yang sekarang dan seterusnya beriman kepada Al Ghaib (yu’minuuna bi al-Ghaib). Satu-satu-Nya Dzat Yang Ghaib, jelas Wajib WujudNya, jelas-jelas dekat sekali dalam rasa hati dan jelas-jelas mudah diingat-ingat dan dihayati. Apabila jihadunnafsinya menjadikannya rela bertanya kepada ahlinya (ahli dzikir). Hamba yang dibentuk Tuhannya berhati nurani, ber-roh dan ber rasa selalu berada di dalam dzikir. Selalu mengingat-ingat, menghayati dan merasakan Diri-Nya Illahi Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya dan Allah Asma-Nya. Meskipun juga tetap sebagaimana layaknya manusia yang hidup di dunia. Kemudian “wayuqimunashshalata”. Mendirikan shalat. Tegak berdirinya shalat karena shalatnya khusyuk. Memenuhi perintah Allah : “Wa aqimishshalata lidzikri”. Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-ingat AKU. Dalam sholatnya terasa ada Kalimatan Baqiyyatan. Kalimat yang kekal, lalu dengan nikmat dan indah mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri Tuhannya dalam shalatnya. Hingga benar-benar fungsional. Fahsya’ wal munkarnya, disingkirkan oleh Allah SWT. Hingga meskipun tidak dalam keadaan sholat sebagaimana yang diwajibkan 5 kali dalam sehari semalam, shalat daimnya terus berjalan. Yakni hubungannya dengan Diri-Nya Ilahi dengan cara terus menerus mengingat-ingat Ada dan Wujud Tuhan-Nya Dzat Yang Al Ghaib itu lestari dijalani, dimana saja, kapan saja dan sedang apa saja. Kemudian “wamin maa razaqnaahum yunfiquun”. Menyadari sepenuh hati bahwa hasil keringat kerja kerasnya yang mendatangkan rezeki, itu adalah milik-Nya Allah. Sama sekali tidak akan berani ngaku. Karena itu denan sangat rela sebagiannya dibelanjakan di jalan Allah. Dinamakan rezeki karena diperoleh dengan jalan yang halal. Meskipun sedikit, selalu pandai mensyukuri kepada Yang Memberi. Kemudian sekarang dan seterusnya juga beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan kepada yang sebelummu. Yaitu al-Kitab, al-Hikmah, al-Nubuwah dan juga anNuur, yang tersimpan di Lauh Mahfudz-Nya sehingga karena itu tidak akan dapat menyentuhnya kecuali hamba yang disucikan oleh-Nya. Serta dengan akhirat yakin. Yakin dapat dirasakan sejak sekarang masih di dunia. Sebab telah memperoleh ilmu tentang pintunya yang ada dalam rasanya. Sehingga sewaktuwaktu mati yang pasti dijalani dan dirasakan, akan ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya ke dalam “fii maq’adhi shidqin ‘inda malikin muqtadirin”. Kembali ke tempat yang benar (lalu merasakan bahagia selama-lamanya) disisi-Nya Dzat Yang Menjadi Raja dan Berkuasa. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat kepada sesama hamba Allah Tentang Sosok Satriya Piningit, Ratu Adil dan AL-Qaim AL-Mahdi atau Imam Mahdi, 2002, hal. 6, 8). •
Al Mahdi yang banyak diungkap oleh sabda Nabi Muhammad SAW adalah anak keturunan beliau sendiri. Muncul dari arah (wilayah timur). Ia akan memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi dengan kezliman dan penganiayaan. Berperan mengemballikan hak Allah dan hak Nabi SAW ke tempat
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
81
D
³
º
semestinya. Oleh karena itu kemunculannya diikuti dengan pelenyapan yang batal dengan Kun FayakunNya Allah SWT. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 7) •
Imam atau pimpinan yang seyakinnya telah mendapat hidayah Allah yang dengan hidayah Allah ia menjalani tugas dan kewajiban memberikan hidayah kepada hamba yang dikehendaki oleh Allah dipimpin dan dibimbing di jalan lurus-Nya Allah. Yaitu jalan lurus yang tembus pada Ada dan Wujud Diri Ilalhi yang pintu masuk menemui Diri-Nya Illahi Dzat Al Ghaib ini ada di dalam rasa hati sehingga sewaktu-waktu mati yang pasti akan ditemui adan dirasakan akan dapat merasakan mati selamat dengan rasa bahagia bertemu dengan Diri Illahi Dzat Yang Maha Raja Diraja dan berkuasa atas kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pada penjelasan junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya, Imam Mahdi oleh beliau disebut Al-Qaim Al-Mahdi adalah putra-putranya sendiri dari sulbinya Sayidina Ali bin Abu Thalib secara gilir gumanti adalah sebagai imam dalam sebuah rantai silsilah yang sama sekali tidak pernah terputus sampai kiyamat memberi petunjuk mengadanya Al-HaqNya Allah SWT dan dengan Al-HaqNya mereka menjalankan keadilan. Disebut juga sosok Satriya Piningit atau sosok Ratu Adil (lih. Satriya Piningit, Ratu Adil). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Sosok Ratu Adil/Imam Mahdi/Satriya Piningit dan Ajaranya, Tanjung, 4Juni 2004, hal. 2).
•
Senjatanya terdiri atas Nubuwah, Al Qur’an dan Jamaah. (lih. Nubuwah, Al Qur’an dan Jamaah Lil-Muqorrobin). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Ngaji Mengenai : Bala Sirrullah Yang Mulai Memasuki Jaman Al Mahdi, Tanjung, Awal Agustus 1999, hal. 7).
Jaman Imam Mahdi Sebelum Dimunculkan Secara Nyata Dimuka Bumi Oleh-Nya. Ilmu yang diajarkan olehnya ada dua, yaitu ilmu dzikir dan ilmu tawasuf. Ilmu dzikir adalah ilmu yang menjadikan setiap hamba yang dikehendaki akan dapat mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Ilahi Yang Al-Ghaib dan amat sangat dekat sekali. Yang menjadi tempat asal usul hakekat manusianya sendiri. Kemudian supaya selalu diingat-ingat dan dihayati. Itulah ilmu Nubuwwah yang mengalirkan Nur Muhammad (IsiNya Huw) ke dalam setiap dada. Hamba yang dihadirkan kepada Diri-Nya dengan rahmatNya. Disebut juga dengan ilmu Syathariyah sebab itulah satu-satunya pintu mati untuk dapat dengan selamat bertemu dengan Diri Ilahi. Yang hanya diperoleh dengan ijin Wasithah karena oleh Allah hamba demikian sama artinya telah diboyong oleh-Nya dari alam nasut ke alam malakut. Atau dari dzulumat kepada nuur. Karena itulah sesungguhnya, Hamba yang dihadirkan dengan cara bai’at ketika menerima ilmu di hadapan Guru yang hak dan sah itu. Sesungguhnya dimasukkan oleh-Nya ke dalam alam lahut yang ngejawantah. Karena itu apabila tidak dengan hati yang tulus dengan tekad pasrah pejah gesang. Dikhawatirkan akan menjadi hamba yang tidak kuat derajat didekatkan. Karena itupula ilmu kedua yang diajarkan, adalah ilmu tasawuf yang membersihkan, membeningkan, memurnikan dan mensucikan, terhadap mapannya semua unsur kejadian manusia pada kewajibannya. Yaitu jasad, hati nurani, roh dan rasa. Pada kewajiban syareat, tharekat, hakekat dan ma’rifatnya. Yang kesemuanya itu terlaksana karena tumemennya (bersungguh-sungguh) terhadap bimbingan Guru yang hak dan sah mengajari ilmu Nubuwwah itu.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
82
D
³
º
Jadi ilmu tasawuf adalah ilmu yang diajarkan supaya hamba yang telah mendapat ijin memperoleh dzikir Huw yang hak dan sah itu, secara benar dapat dimengerti, memahami dan melaksanakan terhadap semua Dawuhnya Guru dan Pituturnya Guru (terhadap semua perintahnya dan petunjuk-petunjuknya). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Kitab Mamlukat, dalam Maj’uah Risalah 2002, Tanjung Anom, 17 Mei 2000, hal. 20 – 21).
Jaman Imam Mahdi Suatu jaman dimana Allah menetapkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan rela memenuhi petunjuk dan perintah al-mahdi yang tidak lain (al-Mahdi ini) pelanjut tugas dan fungsi rasul-Nya juga. Sehingga umat pada saat demikian ini selalu berada bersama-sama rasulNya. Sebab keberadaannya menurut firmanNya juga sebagai saksi. “Wayakuunurrasuulu ‘alaikum syahida” (QS. Al baqarah 143). Artinya : “Dan keberadaan Rasul yang berada ditengah-tengahmu semua agar menjadi saksi (atas perbuatan) kamu semua”. “Wafii haadza liyakuuna ar-Rasuulu syahiidan ‘alaikum”. (QS. Al Hajj 78). Artinya : “Dan dalam hal yang demikian ini (yakni yang berjihadnya umat yang dengan jihad yang sebenarbenarnya), dan telah dipilih Allah sendiri (umat yang demikian ini, karena itu Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk umat seperti ini dalam agama suatu kesempitan), keberadaan RasulNya yang selalu berada ditengah-tengahmu semua ini supaya menjadi saksi atas dirimu semua”. Jaman Iman Mahdi adalah sebuah jaman dimana umat sama sekali tidak berani berselisih dengan ayat-ayat-Nya Allah. Yang semua ayat-ayatNya Allah ini pada dasarnya mengarah pada satu titik kebenaran tentang Al Haq-Nya yang Mutlak dan Wajib Wujud-Nya. Sedang tentang Al Haq-Nya yakni keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib ini tidak mungkin dapat diketahui apabila tidak lewat rasul-Nya (QS. Takwir 24, Al Imron 179, dan banyak lagi). Karena itu umat pada jaman ini benar-benar yakin terhadap benarnya keterangan Allah sebagaimana diungkap dalam, QS Ali Imran 101 dan Al Hujurat 7. “Wafiikum rasuuluhu” (dan Rasul-Nya pun selalu berada ditengah-tengahmu semua), dan “wa’lamu anna fiikum rasuulallaahi” ( dan ketahuilah olehmu semua bahwa Rasulullah itu selalu berada di tengahtengahmu semua). Berselisih saja tidak berani apalagi sampai mendustakan. “Walladziina kadzdzabuu biayyatina sanastadrijuhum min haitsu laa ya’lamuun”. Artinya :”Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti pasti Kami tarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui”. (QS. Al A’raf 182). “Inkullu illa kadzdzaba ar-rasula fahaqqa ‘iqaab” (QS. Shad 14). Artinya : “Mereka semua itu tidak lain adalah mendustakan rasul-rasul, maka pastilah (bagi mereka) azab-ku”. Dan supaya tidak berselisih dengan Kalamullah dimana Tuhan sendiri telah bersumpah, sebagai sumpah yang sangat besar terhadap Kalam-Nya sebagai bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (di Lauh Mahfudz-Nya), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan oleh-Nya (QS. Al Waqia’ah 76-79). Maka supaya tidak berselisih seharusnya mengikut hamba yang disucikan oleh-Nya. Yaitulah al-Mahdi alMahdi yang dikehendaki oleh-Nya sebagai pelanjut (wakil-Nya) Nabi Muhammad SAW yang secara hak dan sah ditugasi melanjutkan tugas dan funsi kerasulannya. Sebab apabila tidak, sama dengan menganggap remeh saja Al Qur’an ini. Buktinya sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Waqi’ah 82, Al Qur’an yang Kalam-Nya ini kamu
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
83
D
³
º
jadian alat pencari rezeki dengan mendustakan benarnya keberadaan Al-Haq-Nya Yang Mutlak Wujud-Nya yang hanya bisa diketahui lewat Rasul-Nya. Hamba Allah yang dikehendaki diberi hidayah, pasti akan lapang dada dalam memasuki Islam sebagai pengamalan realitas nyata Al Haq-Nya. Bukan realitas nyatanya nafsu dan watak akunya manusia yang isi hatinya condong kepada kesesatan sehingga mengikuti ayatayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Lain dengan yang dikehendaki Allah mendalam ilmunya (orang-orang rabbani) yang mengimani ayat-ayat mutasyabihat, bahwa ini semua dari sisi Allah (kandungan makna QS Al Imran 7), yang hanya bisa dijadikan pelajaran nagi ulul-albab (dengan ijin-Nya memperoleh ilmu mengenal dan mengetahui tentang keberadaan Diri-Nya Yang Al Ghaib dan dekat sekali lalu hanya ini Satu-Satu-Nya Dzat Yang ditetapkan dalam hati dan senantiasa diingat-ingat dan dihayati). Maka hamba sebagaimana di atas akan dengan lapang menangkap maksud firman Allah sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. Al imran 81 di bawah ini: Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi. Sungguh apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguhsungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman (maksudnya meminta ikrar semua Nabi-Nabi-Nya) : “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka mejawab :”kami mengakui”. Allah berfirman : ”Kalau begitu saksikanlah (hari para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (QS. Ali Imran 81. Para Nabi yang dikumpulkan Allah di atas termasuk di dalamnya juga Nabi Muhammad SAW sebagai “khatamunnabi”. Dan Rasul yang dimaksud dalam ayat di atas adalah keberadaan adanya penerusan tugas dan fungsi kerasulannya Nabi Muhammad SAW yang sisilahnya tidak pernah putus hingga kini sampai dengan kiyamat nanti, yang oleh Allah disebut Rasul juga. Sebab wakil itu kedudukannya sama dengan muwakkil. Begitulah sikap para Nabi yang oleh Allah memang dijaga dan dipelihara kebersihan dan kesucian hatinuraninya, roh dan rasanya. Sebagaiman kisah nabi Musa yang Kalamullah. Ulul Azmi. Pembebas bangsa yang tertindas dari keganasan Fir’aun. Satu-satunya Nabiyullah yang tingkat pendidikannya hingga di perguruan tinggi (‘Ainun Syam di Mesir yang bahkan satu kelas dengan fir’aun). Suatu ketika karena keberhasilan-keberhasilannya terbersitlah dalam rasa hatinya ras bangga atas dirinya. Maka segera saja Allah memperingatkan bahwa ada hamba-Nya yang tingkat mukasyafahnya di atas beliau. “Wafauqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliim” (QS. Yusuf 76). Artinya : “Dan di atas tiap orang yang berilmu itu ada lagi yang lebih tinggi ilmunya”. Maka Nabi Musa Kalamullah yang Ulul Azmi pada ukuran derajadnya di sisi Tuannya, ketika diperintah berangkat mencari hingga menemukan orang tersebut, beliau berangkat dan bersumpah meski harus berapa tahun lamanyya sebelum menemukan, tidak akan kembali pulang. Ternyata setelah dapat menemukan, belaiu tidak lulus. Namun karena memang dijaga dan dipelihara oleh Tuhannya, sama sekali Nabi Musa tidak kecewa dan sama sekali juga tidak berputus asa dan bersedih hati. Sebagai hamba Allah yang terpelihara oleh-Nya, justru makin menyadari betapa sebenarnya bahwa hamba ini adalah makhluk yang apes dan hina dina. Tidak bisa apa-apa. Tidak tahu apa-apa. Kalaulah tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya, tidak hanya hina dan nista bahkan bisa menjadi sesat ketika mati yang pasti ditemui dan hanya sekali saja merasakannya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
84
D
³
º
(K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 38 – 39).
Perikehidupan Umat/Masyarakat Yang Dipimpin oleh Imam Mahdi Perikehidupan umat/masyarakat yang dipimpin oleh Imam Mahdi yang dijelaskan bertepatan dengan memperingati peristiwa Isra’ dan Mi’raj-nya Junjungan Nabi Muhammad SAW dengan tema “Mempersiapkan Umat Yang Sejalan dengan Kehendak Allah SWT., semua itu semata-mata terbentuk dan terjadi atas ijin-Nya Allah SWT, Ridha-Nya dan Magrifah-Nya yang menarik dengan fadhal dan rahmat-Nya sehingga masing-masing pribadi dalam keluarga besar umat/ masyarakat itu secara benar menyadari sebagai hamba Allah yang niat hidupnya untuk boyong kepada Allah dan Rasul-Nya. Kentalnya niat yang mbalung sumsum atau mendarah daging seperati ini, karena secara benar meyakini sepenuhnya maksud yang dijelaskan oleh Junjungan nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya bahwa “Innamal a’malu binniyat wa innama likullimri’in maa nawa. Faman kanat hijratuhu ilallahi wa rusulihi fahijratuhu ilallahi wa rasulihi. Waman kaanat hijratuhu ila addunya yusibuha awimraoatin yankihuha fahijratuhu ilaa maa hajara ilahi”. Arti dan maksudnya bahwa sesungguhnya amal perbuatan itu diterima oleh Allah harus dengan niat. Sebab segala hal, buah dan manfaatnya sangat terganatung pada niatnya. Kalaulah niat hidupnya itu demi untuk hijrah (boyong) kepada Allah dan Rasul-Nya (memboyong batinnya kepada dawuh Guru Wasithah), sama artinya dia telah memboyong hidup dan kehidupannya dalam Celupan Allah dan syafaat Rasul-Nya (beberan, sawab dan berkah pangestunya Guru Wasithah). Dan barang siapa yang memboyong hidup dan kehidupannya untuk memperoleh dunia yang dikira membahagiakannya serta untuk memperoleh wanita yang hendak dikawinnya, maka dia kan hanya memperoleh itu. Rela Mengikuti Jejak Para Malaikat-Nya Allah Sebagaimana yang digambarkan dengan jelas dan gamblang oleh Allah betapa hidup dan kehidupan hamba-Nya yang kebetulan adalah Kekasih-Nya, Nabi-Nya dan RasulNya, yakni junjungan Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang niat hidupnya demi untuk boyong kepada Allah dan Rasul-Nya, rela sepenuh hati mengikut petunjuk Malaikat-Nya Allah yang oleh Allah di utus untuk membimbingnya dalam perjalanan suci kang kahesti, luhur kang ginayuh dan sempurna yang diperolehnya. Yaitu bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Sempurna, berdialog, dan menerima perintah untuk melaksanakan kewajiban shalat. “Allahu yashthafii minal malaaikati rusulan waminannasi. Innallalaha samii’un bashiruirun (QS. Al Hajj : 75). Artinya, Allah memilih utusan-utusan-Nya dari Malaikat dan dari Manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka umat atau masyarakat yang sejalan dengan kehendak Allah adalah umat atau masyarakat yang dipimpin oleh Imam Mahdi yang sepenuh hati rela mengikuti jejak para Malaikat-Nya Allah. Yaitu rela sepenuh hati mentaati perintah Allah untuk sujud, yakni memberlakukan diri “ka al-mayyiti baina yadi al-ghasili” kepada Wakil-Nya Allah yang ada dibumi. Allah adalah Nama-Nya Dzat Tuhan Yang Mutlak Wujud-Nya. Karena Diri-Nya Dzat yang memperkenalkan diri dengan nama Allah ini Al-Ghaib, tidak akan pernah menampakan diri di muka bumi. Sedang Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib ini diperintahkan
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
85
D
³
º
oleh Allah supaya seyakinnya diimani. Artinya seyakinnya diketahui dan dikenali supaya dengan mudah selalu diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati sebagaimana perintahNya dalam QS Al A’raf : 205, serta dijadikan tujuan hidup sebagai tempat kembali, maka Allah lalu memilih utusanyang ditugasi mewakili Diri-Nya Yang Al Ghaib itu. Khusus kepada para Nabi-Nya Allah memilih utusan Malaikat, sedang kepada manusia biasa Allah memilih utusan manusia. Kemudian kepada siapa saja yang menentang hal ini, membantahnya, tidak mempercayainya, mendustakannya, maka merekalah yang hidup dan kehidupannya mengikuti jejak makhluk yang berani ablas (menetang) Tuhannya yang oleh Allah dijuluki Iblis. Iblis dengan segala wadyabalanyalah yang kemudian mengikat nafsu manusia dibentuk memandang indahnya semua hal yang dikira benar dan dikira baik, padahal sama sekali salah dihadapan Allah. Disinilah letak kebenaran mutlak-Nya betapa seorang harus mempunyai seorang Guru yang secara hak dan sah ditugasi Allah meneruskan tugas dan kewajiban Junjungan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Guru yang hak dan sah dijaga oleh Allah dengan martabat mursyidun, merbiyun, nasihun dan kamilun. Peri Kehidupan Umat/masyarakat Yang Sejalan Dengan Kehendak Allah Peri kehidupan umat/masyarakat yang sejalan dengan kehendak Allah adalah peri kehidupan umat/masyarakat yang dengan sepenuh hati rela dipimpin oleh Imam Mahdi yang di akhir zaman ini dibentuk sebagai hamba yang dijumenengkan (dinobatkan) Tuhannya menjadi pelaku Ratu Adil, guna memimpin Kerajaan Tuhan yang diwujudkan di atas permukaan bumi-Nya. Yaitu peri kehidupan umat/ masyarakat yang Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin sebagai cikal bakalnya yang masing-masing warganya dengan sungguh-sungguh memenuhi amanat Allah sebagaimana yang dimaksud dengan firmanNya dalam QS. Al A’raf ayat 205. “Wadzjur Rabbaka fii nafsika tadharru’an wakhiifatan waduunal jahri mina al qauli bi al-ghuduwwi wa al-asnal, walaa takun mina al-ghaafilin”. Maksud dan penjelasannya : ingat-ingatlah Rabbmu, yakni isi-Nya Huw di dalam dirimu, di dalam dadamu, yakni di dalam rasa hatimu. Sebab Rabbmu (Isi-Nya Huw) Yang Ada dan Wujud-Nya tidak dapat dilihat dengan mata hati (tetapi dapat dengan mudah diingatingat dan dihayati) karena terdinding(tertutup, terhijab) oleh wujudnya nafsu. Dan wujudnya nafsu adalah jenggelegnya jiwa raga manusia. Tertutup pula oleh akon-akon donya (harta dunia yang biasa di aku oleh manusia) serta jagad raya dengan segala isinya. Karena itu apabila semua hijab itu telah dapat dinafikan (dengan pertolongan Allah), ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya karena lakon dan pitukonnya yang tela memadai dan memperoleh ampunan-Nya atas beberan, berkah, sawab dan pangestunya Guru Wasithah) maka yang nampak jelas dan nyata hanya Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Allah Nama-Nya. Hal demikian akan dibuktikan Allah dalam alam pati (fanak dzat). Karena itu jangan sekali-kali mamang dan jangan sekali-kali ragu-ragu bahwa siapapun yang telah mendapat ilmu dengan izinnya Guru kemudian taat sepenuh hati kepada semua petunjuknya dan perintahnya, Allah sendiri yang akan mengangkatnya. Dan untuk dapat diangkat oleh Allah ke tempat sempurna seperti itu maka harus “tadharru’an wakhiifatan” yaitu merendahkan diri dan mempunyai rasa takut. Merendahkan diri berarti mau belajar bersungguh-sungguh agar ilmu yang diterimanya menjadi ilmu yang manfaat sehingga bersungguh-sungguh pula mempelajari dasar taubat dan seterusnya. Hamba yang “tadharru’an” tidak akan mau kenal dengan hati yang “mentengkreng”. Yakni hati yang termakan pengaruh iblis. Juga tidak mau kenal dengan watak “cengkre” yang sumbernya dari ngendel-ngendelake wicarane dewe, ngalap cukup penemune dewe,
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
86
D
³
º
nggugu benere dewe. Yakni watak yang menjadi teman akrabnya syaitan (faqadta’arradha li ahwaaisysyaithaani lahu). ”Wa khiifatan”, rasa takut. Karena itu hidupnya selalu hati-hati dan waspada. Berusaha supaya dapat selalu pandai mengadili diri. Menegur diri, menasehati diri, memerintah diri agar selalu rela menjalani Dawuhnya Guru. “Waduunal jahri minal qauli”. Cara mengingat-ingat Diri-Nya Dzat Tuhan Yang Allah Nama-Nya, tidak mengucap dengan kata akan tetapi di batin. Agar batin yang menjadi jagad manusia yang ada di dalam dadanya hanya Diri-Nya Rabb yang berkuasa. Yang merajai batinya sebagai tempat berlindung dan bergantung serta berpasrah diri. Sebab batin dimana bukan Diri-Nya Illahi yang menguasai maka dengan sendirinya akan dikuasai oleh bisikan-bisikan kejahatan dari bangsa jin dan bangsa manusia. Membatin Rabb (mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw) dengan sebaik-baiknya dijalani sepanjang pagi dan petang. Artinya sepanjang siang dan malam supaya tidak termasuk golongan orang-orang yang lalai yang akan pasti disesatkan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Perikehidupan Umat/masyarakat Yang Dipimpin Oleh Imam Mahdi, , Tanjung, 4 September 2004, hal.1 – 4).
Iman – Beriman : (lih. Ma’rifatun wa tashdiqun) ”Inna anzalnaahu fi lalilaatul al-qadr” : Sesungguhnya Kami telah menurunkan-nya di malam al-qadr-Nya. Yang telah diturunkan Allah itu adalah Nur Muhammad. Bertemunya fitrah manusia dengan asal kejadiannya yang suci yaitu Fitrah-Nya Allah SWT di dalam rasa. Yakni ketika seseorang baiat Ilmu Syaththaiyah yang juga disebut Ilmu Nubuwah kepada Wasithah. Dimaksud pada waktu malam adalah di waktu seluruh penduduk bumi digelapkan oleh mimpi gelapnya. Penduduk bumi hidupnya habis dijajah dan diperintah nafsu dan watak akunya. Dibalik itu adal hamba yang dikehendaki dengan hidayhNya dituntun untuk memperoleh Ilmu Nubuwah lalu ditetapkan mulia di sisi-Nya (dijadikan kekasih-Nya), apabila hamba itu kemudian dipahamkan bahwa lailatul al-qadr yang lebih baik meskipun dibandingkan seribu bulan, mengerti terhadap maksud Allah menurunkan para Malaikat-Nya dan ar-ruuh. Diturunkan para Malaikat-Nya Allah( yang markas besarnya di dalam hati nurani) berarti siap berniat untuk memfungsikan hatinurani. Yaitu menyiapkan diri menjadikan seluruh hidup dan kehidupannya diniatkan untuk berjalan menuju Tuhan sehingga sampai dengan selamat dan dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya. Dan caranya harus ngikut jejak para Malaikat-Nya Allah. Yakni sujud, menghormati dan belajar ka al-mayyiti di hadapan Wasithah yang berhak dan sah mensucikannya. Dan rohnya diajari, dilatih dan dididik untuk berada dalam maqam hakekat. Tetapi juga harus ingat dan waspada bahwa Allah di samping menurunkan Malaikat almuqorrobin juga ada Malaikat Harut dan Marut. Adalah mereka yang telah mendapat izin memperoleh Ilmu Syaththariyah secara hak dan sah dari berhak menunjuki, mengerti dan bisa bagaimana menjalaninya, akan tetapi dengan sangat tidak pernah disadari merasa bahwa dirinyalah yang paling bisa dan paling mengerti. Nangsang pada watak akunya lalu menjadi racun yang menyesatkan. Bahkan menyebarkan ilmu sihir yang mempesona, sehingga banyak yang terpengaruh mengikutinya. Menjadi sesat dan menyesatkan. Itulah sebabnya mengapa pada firman QS. Al Maidah ayat 35 Allah mengingatkan dengan petunjuk-Nya, ditujukan kepada orang-orang yang telah beriman (yang berimannya telah ma’rifatun wa tashdiqun), diperintah supaya bertaqwa. Yaitu supaya bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah dengan benar (itba’ kepada Wasithah) dan ikhlas. Masih diperintah supaya dapat selamat sampai kepada-Nya, bersandar pada Wasithah dan masih diperintah lagi
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
87
³
D
º
untuk selalu memerangi nafsu agar selalu patuh berada di jalan Allah, yakni Shirathal Mustaqim yang dhahiruhu syareat dan batinya mapan di hakekat (Dawuh Guru), supaya kamu semua beruntung……… (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Warga Syathariyah yang Dihimpun Dalam Organisasi Dawuh Guru : Gerakan Jamaah Lil-Muqorrobin, oleh Allah Dijadikan BALA SIRULLAH pabial dengan sungguh-sungguh Siap Mengamalkan Lailatul Al Qadr, Pondok Sufi, Tanjung, 1 Nopember 2005, hal. 1 – 2).
”Innahu Kaana Zaluman Jahula” “Wala uqsimu binnafsi al-lawwaamati”. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri. Adalah Firman Allah QS. Al Qiyamah ayat 2 yang menjelaskan bahwa bagi yang matinya selamat saja masih sangat menyesali atas kesemberonoannya, kurangnya lakon dan pitukonnya, kurangnya kesungguhannya; apalagi bagi yang sesat. Menyesalnya saja sungguh amat sangat mengerikan sekali, belum lagi siksa yang sama sekali tidak ada keringanannya di tempat sesat selama-lamanya. Penyebab utamanya karena : “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampui batas, karena dia memandang dirinya serba cukup. (QS. Al-‘Alaq : 6 – 7). Hingga karena itu sama sekali tidak sadar dan sama sekali tidak insaf bahwa kesediaannya memikul amanat Allah yang ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semua menolak karena khawatir akan mengkhianatinya. Dan manusia yang bersedia memikul amanah itu oleh Allah tidak dipuji bahkan divonis “innahu kaana zaluman jahula”. (QS. Al Ahzab : 72). Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim dan bodoh. Sangat zalim karena dalam menjalani hidup dan kehidupan dunia hanya habis untuk menzalimi dirinya sendiri. Menganiaya dirinya sendiri. Hidupnya hanya untuk mencintai dunia dan meninggalkan akherat. (QS. Al Qiyamah : 20 – 21). Sehingga sewaktu-waktu mati yang hanya sekali dirasakan. Wajah-wajah mereka bermuram durja, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. (QS. Al Qiyamah : 24-25). Menzalimi dirinya sendiri karena hidupnya hanya untuk mencintai dunia. Dan hakekat dunia adalah nafsunya manusia. Dan nafsunya manusia adalah wujud jiwaraganya yang dicipta oleh Allah dari setetes mani akan tetapi ternyata hanya menjadi penentang yang terang-terangan, sama sekali tidak pernah memperoleh perhatian. (QS. Yasin : 77). Hidupnya lalu seia sekata dengan iblis. Menentang habis-habisan terhadap ketetapan Allah membuat wakil di bumi yang diutus mewakili Diri-Nya supaya menunjukkan dengan methode tunjuk Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Al Ghayb Yang dekat sekali di dalam rasa hati supaya dengan mudah diingat-ingat dan dihayati serta dijadikan tujuan tempat kembali. Ditentang dengan kesombongan yang sangat dan permusuhan yang sengit. (QS. Shaad : 2). Dan berkata : “Kamu tidak lain hanyalah orang yang membuat kepalsuan belaka”. (QS. Ar. Rum : 58). Demikian itulah Allah mengunci mata hati orang-orang yang tidak mengetahui (mengadanya ilmu yang seyakinnya dapat mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Illahi Dzat Yang Al Ghayb, dekat sekali di dalam rasa hati serta meliputi dan menyertai hamba-hambaNya). Adalah maksud firman Allah dalam QS. Ar Rum ayat 59. Orang-orang yang hidupnya hanya habis untuk menzalimi diri justru menyangka bahwa dirinya telah berbuat yang sebaik-baiknya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
88
³
D
º
Hidupnya hendak membuat maksiat (perbuatan yang sama sekali tidak sejalan dengan kehendak Allah) terus menerus. (QS. Al Qiyamah : 5). Sangat bodoh. Di vonis Allah sungguh sangat bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disadari. Akibat watak manusia yang melampui batas dan memandang dirinya serba cukup. Sama sekali tidak disadari bahwa hal demikian sama saja dengan menyuburmakmurkan watak iblis di dalam dirinya. Sungguh sangat bodoh. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isinya jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakannya untuk mengerti (bahwa di dalam rasa hatinya itu ada fitrah jatidirinya yang dicipta oleh Allah dari Fitrah-Nya), dan mereka mempunyai mata tetapi tidak digunakannya untuk memperhatikan (bahwa apa saja yang bisa dilihat oleh mata kepala itu berasal dari Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al Ghayb Yang Mutlak wujud-Nya), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan seruan Allah dan rasul-Nya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orangorang yang lalai. (QS. Al A’raf : 179). “Fainnaha laa ta’ma al abshaaru walaakin ta’ma qulubu allati fi ashshuduuri”. (QS. Al Hajj : 46). “Maka sesungguhnya bukanlah mata kepalanya yang buta akan tetapi yang buta adalah mata hatinya yang ada di dalam dada”. “Waman kaana fi hadzihi a’ma fahuwa fi al-akhirati a’ma wa adhallu sabiila”. “Dan barang siapa yang di dunia ini buta (mata hatinya) maka di akherat ia juga buta dan lebih sesat jalannya”. (QS. Al Isra’ : 72). Manusia yang divonis Allah sangat bodoh (yang ternyata tidak pernah disadari), bodoh karena mata hatinya dibiarkan buta. Dibiarkan tidak mengetahui bahwa di dalam rasa hatinya itu ada fitrah jati dirinya yang dicipta oleh Allah dari Fitrah Allah sendiri (QS. Ar Rum : 30). Di dalam rasa hatinya tidak ada titik temunya fitrah jati dirinya atau benih ghayb sucinya dengan FitrahNya Allah Swt. Di dalam rasa hatinya ada “lubang cahaya”. Yaitu Cahaya Terpuji-Nya Dzat Al Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya (= Nur Muhammad). Lubang cahaya itu adalah pintu satu-satunya untuk dapat selamat pulang kembali bertemu dengan Diri-Nya Illahi. “Wa fii anfusikum afalaa tubshiruuna?” (QS. Adz Dzariyat : 21). “Dan di dalam dirimu (ada hal seperti itu) apakah kamu tidak lihat?” “Innahu kaana zaluman jahula”. “Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh. Adalah orang-orang sebagaimana yang disebutkan dalam Firman Allah : “Alladziina khasiruu anfusahum fahum laa yu’minuuna” (QS. Al An’am : 20). Yaitu orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang tidak beriman. Tidak beriman kepada Ada dan Wujud Diri-Nya Tuhan Yang Al Ghayb tempat asal fitrah jati diri manusia diciptakan oleh Allah yang ada di dalam rasanya. Tidak ma’rifatun. Maka juga tidak beriman kepada mengadanya wakil-Nya Allah yang ada di bumi yang diutus oleh Allah supaya menunjukkan dengan metode tunjuk Ada dan Wujud Diri-Nya Yang Al Ghayb supaya dapat dengan mudah selalu diingatingat dan dihayati dalam rasa hati dan dijadikan tujuan tempat kembali. Tidak watashdiqun. Bahkan dengan sombongnya menentang dan mendustakan dengan permusuhan yang sengit. Mereka itulah orang-orang yang oleh Allah ditetapkan kufur. Ketika masih berada di dunia hanya menduga-duga saja Ada dan Wujud-Nya Al Ghayb dari tempat yang jauh. (QS. As Saba’ : 53). Maka mata hati yang ada di dalam rasanya, buta. Ditutup oleh gelapnya nafsu dan watak akunya. Saat mati yang pasti ditemui dan hanya sekali saja dirasakan sebagaimana yang dijelaskan Allah dalamQS. Saba’ ayat 51 :
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
89
D
³
º
“Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang yang mengingkari Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Tuhan Yang Al Ghayb itu) terperanjat ketakutan (saat matinya); maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (oleh wadya balanya iblis di bawa ke tempat sesat mereka selama-lamanya)”. Kemudian di ayat 54-nya di QS. Saba’ ini Allah sama sekali tidak memenuhi keinginan mereka. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (ingin dikembalikan ke dunia untuk meluruskan kekeliruannya) sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (ketika masih berada di dunia) dalam keraguan yang mendalam (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Mengapa Kebanyakan Manusia Matinya Sesat dan Hanya Sedikit Yang Selamat? Pondok Sufi, Tanjung, akhir Desember 2006, hal. 1 – 4). Vonis Zaluuman Jahuula itu diantaranya adalah memotong-motong agama Tauhid ini berdasar kepentingan mereka. “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku. Kemudian mereka memotong-motong (agama Tauhid ini berdasar pada) urusan/kepentinan mereka masing-masing (lalu)di antara mereka menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing ). Maka biarkanlah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar? (QS. Al Mukminun ayat 51 – 56). Karena memang tidak sadar, maka jalan sesat yang ditempuhnya dikiranya itu adalah sarana untuk memperoleh hidayah dari Tuhannya. Itulah akibat dari mendustakan keberadaan Rasul-Nya Allah yang sebenarnya tidak pernah terputus meski Nabi Muhammad SAW telah wafat. Dan karena perbuatannya yang tidak disadari bahwa itu menyesatkan, maka sikap pendustaan itu telah dianggap benar. Bahkan yang beranggapan bahwa rasul-Nya Allah itu masih terus berlanjut hingga kini sampai kiyamat nanti, maka inilah yang justru harus disingkirkan dan harus dengan ramai-ramai dihabisi. Karena demikian halnya keadaan manusia penghuni dunia, belum lagi yang menganggap bahwa nilai hidup itu terletak pada uang dan kondisi ekonomi yang menentukan kebahagiaan, akhirnya Tuhan sendiri menetapkan batas kesabarannya dengan azab dan bendu yang mengerikan dan membinasakan. Kecuali bagi hamba yang dijadikan oleh-Nya menjadi bibit yang mencahayakan Diri-Nya di permukaan bumi milik-Nya ini karena kokohnya keyakinan bahwa ditengah-tengah kalangan mereka sendiri dan dari antara mereka sendiri ada Rasul-Nya atau wakil yang meneruskan tugas dan fungsi kerasulannya yang lalu menyaksikan terhadap semua perbuatan yang mereka kerjakan demi membuktikan cita-cita mendekatkan diri kepada Tuhannya sehingga selamat dan bahagia bertemu lagi dengan DiriNya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, hal. 61).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
90
D
³
º
Insan Kamil : (lih. juga Martabat Tujuh) Kesadaran Insan Kamil Hamba yang dikehendaki memiliki kesadaran insan kamil; selalu memiliki kesadaran tinggi bahwa dirinya adalah hamba biasa yang apes, nista, hina dina dan tidak bisa apa-apa. Menyadari bahwa tanpa pertolongan dan ampunan dari-Nya, tidak hanya apes nista dan hina, bahkan akan tersesat jalan jika tidak bisa kembali menemui-Nya lagi. Karena itu ia percaya sepenuhnya adanya wakil-Nya Allah di bumi yang itu adalah Al Haadi sebagai Al Wasilata yang menunjukinya untuk dapat kembali menyaksikan Keberadaan Ada dan WujudNya Dzat Yang Al Ghaib itu seperti ketika menjelang dikirim ke dunia yang masing-masing diri menjawab : “Qalu balaa syahidna”. (QS. Al A’raf :172). Firman Allah dalam QS. Al Ahzab 15 : “Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah dahulu : “Mereka tidak akan berbalik kebelakang (mbalela)””. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungan jawabnya. Janji memikul amanahnya (QS. AL Ahzab 72) yang ketika masing-masing diri siap menerima justru sama sekali tidaklah dipuji, tetapi malah mendapatkan vonis dari Allah dengan sebutan “innahu kaana zaluman jahula”. Kesadaran sebagai insan kamil yang kesadaran tingginya menyebabkan ia menggerakkan niatan dalam hatinya untuk selalu berjihadunnafsi lalu patuh dan tunduk kepada yang berhak dan sah sebagai wakil-Nya Allah di bumi supaya menunjuki dengan ilmu dan jalan mengenali Jati Diri-Nya yang dapat selamat dan bahagia berjumpa dengan-Nya, mengikuti anjuran-Nya sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Ahzab 24 : “Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya dan menyiksa orang yang munafik, jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya dan Cita-Citanya Rasa Nikmat dan Rasa Bahagia Bertemu Dengan Dzat Al Ghaib Yang Wajib WujudNya, Jilid II, Tanjung, 6 Maret 1994, hal. 6 – 7).
“Inti Manusia” : (lih. juga Benih Fitrahnya Manusia) ............... di dalam rasa (yang tempatnya ada di dalam roh manusia yang paling dalam, dan Roh tempatnya di dalam qalbun nuraniyun), di dalam rasa yang sebegitu dalam tempatnya ada “inti manusia”. “Inti manusia” yang asal mula tempatnya dari Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya. Sehingga antara “Inti Manusia” dengan Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib dan Allah Asma-Nya sama sekali tidak ada jarak dan juga tidak ada batasnya. Bahkan bagaikan kertas dan putihnya. Bagaikan sifat dan mausuf. Meski dihancurkan sehancur-hancurnya tetap menyatu dan menjadi satu. Maka “inti manusia” inilah yang ketika diminta kesaksian oleh Allah di alam fitrahnya semuanya saja menjawab sama, yakni : “Benar wahai Tuhan, kami semua menjadi saksi” (mengetahui dengan jelas, yakin dan nyata dengan penglihatan intinya manusia terhadap Ada dan Wujud-Nya Tuhan). (QS. Al A’raf : 172). Tuhan meminta kesaksian tersebut maksudnya pada nanti di hari kiyamat (yakni di mana seseorang merasakan mati sebagai pintu kembali kepada Diri-Nya) setelah melewati masa ujian dan cobaan kehidupan dunia tidak lalu menjadi hamba yang lengah terhadap bagaimana seharusnya dapat menyaksikan lagi keberadaan satu-satu-Nya Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Lampiran, Tanjung, Oktober 1997, hal. 2).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
91
³
D
º
“In Washalta Bil Akli Dhalta” : “Jika kamu berkehendak bertemu Tuhan dengan ngendelake akalmu, itu sesat”. Kecenderungan akal adalah pada nggugu benere dewe. Ngendel-ngendelake wicarane dewe, Ngalap cukup penemune dewe. Padahal, sama sekali tidak sejalan dengan dawuh Guru. Maka sama saja dengan “faqad ta’arradha liahwaisysyaithani lahu”. Sama saja dengan menawar-nawarkan dirinya supaya disesatkan oleh syaitan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal. 6 – 7).
“In Washalta Bil-hawa Dhalta” : “Jika kamu berkehendak bertemu Tuhan dengan ngendelake nafsumu, watak akumu, itu batal”. Keinginan nafsu dan watak akunya adalah bagaimana supaya perjuangannya, pengorbanannya, pengabdiannya itu dihargai dan dihormati. Dapat memperoleh penghargaan dan penghormatan. Status sosial, gengsi, derajat dan martabat diantara manusia. Berkharisma. Bila hal demikian masih tersisa dalam rasa jiwanya, yaitu sama dengan dirumangsani, sama dengan “sammun qoothilun”. Sama saja dengan racun yang membunuh. Sesatlah kamu. Sejarah telah mencatat. Berapa saja sahabat Nabi Muhammad SAW yang telah pernah beliau sebut sebagai ahli surga (guna mbombong semangat supaya tidak nglokro), namun ternyata karena rumangsani, bahkan di aku, sewafatnya Nabi Muhammad SAW justru dengan sengit memusuhi penerusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Memusuhi dan bahkan membentuk jaringan menghancurkan Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Demikian pula pada jaman Guru-Guru sebelum kami. Berapa banyak saja tokoh yang pernah diandalkan oleh Almarhum ternyata tidak lulus. Tidak kuat derajat. Lalu dimurkai (oleh Allah) dan disesatkan. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal. 8 – 9).
“In Washalta Bila Anta Qabalaka watawalaka biluthfihi” : “Jika kamu berkehendak bertemu Tuhan tidak dengan kamu (ora kelawan kowe) yaitulah yang diterima dengan penuh belas kasih dari Tuhanmu”.” Maksud tidak dengan kamu (ora kelawan kowe) adalah mereka yang mendekatkan diri kepada Allah SWT hingga selamat bertemu dengan-Nya dengan sama sekali tidak diaku. Tidak dirumangsani. Karena hatinya selalu bersandar (semende) pada Guru yang otomatis mencahaya dengan Dzikir (dengan Isi-Nya Huw). Tandange panggah. Bahkan aktif dan dinamis tetapi dalam rasa hatinya tidak merasa bahwa dirinya sedang berkorban dan berbakti. Sebab dalam rasa hatinya yang ada hanyalah DawuhNya Guru. Dan inti Dawuh Guru adalah membuktikan hingga nyata terhadap Isi-Nya Huw. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Wedaring Dawuh Guru Menghadapi Proyek Illahi Yang Dengan Kun Fayakun-Nya Memunculkan Al Haq (Di Atas Permukaan Bumi) dan Melenyapkan Yang Batal, Tanjung, 8 Februari 1999, hal.9 – 10).
Islam Agama Tauhid : Dan Islam yang agama Tauhid, maksudnya mengandung makna bahwa supaya selamat dalam ujian dan fitnah dunia serta ujian dan fitnah watak hawa nafsu dan sahwatnya yang selalu berkeinginan mencukupi kebutuhan selera dan keinginannya, maka emosi watak akunya manusia harus terkendali di dalam genggaman rasa hati yang mentauhidkan Dzat Sifat dan Af’al-Nya. Sehingga sentuhan Keberadaan Cahaya-Nya Yang Ada serta Ujud-Nya Yang Ghaib ini, menyentuh langsung di dalam hati nurani nurani, roh dan rasa. Sebab sebenarnyalah bahwa
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
92
³
D
º
“rasa inti” manusia bersumber dari “rahasia Jati Diri-Nya Dzat Yang Al Ghaib ini”. Maka kenalilah Dia dengan sebenar-benarnya mengenal Jati Diri-Nya. Sebab, manakala tidak, perbuatan mensekutukan Dia dengan watak akunya sendiri di setiap perbuatan serta tingkah laku lahir batinnya, akan selalu menyertainya. Padahal perbuatan syirik ini adalah satu-satunya dosa yang takkan di ampun sama sekali oleh-Nya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 130)
Ismu Dzat : (lih. Ilmu Syaththariah – Muqaddimah Ilmu Syaththariah) Isra dan Mi’raj: Isra dan Mi’raj nabi Muhammad SAW yang hamba dan Rasul-Nya adalah peristiwa yang Tuhan Sendiri melibatkan diri. Dia Dzat Yang Al Ghaib memang sama sekali tidak akan “ngejawantah” di muka bumi ini, tetapi sebenarnya ngejawantah pada penglihatan “mata hati” atau rasa batinnya Nabi Muhammad SAW dari petunjuk Malaikat Jibril yang diutus oleh-Nya supaya “membaca” Keberadaan Dia Dzat Yang Wajib Wujud-Nya itu. Lalu mencahayakan isi dada Nabi yang langsung menyentuh Cahaya di atas Cahaya. Karena itu maka ayat tentang Isra’ di awali dengan “Subhaana”. Sebab tidak akan menyentuh-Nya apabila tidak disucikan oleh-Nya. Peristiwa dijalankannya Nabi Muhammad SAW yang hamba-Nya, merupakan Fadhal-Nya Allah Swt. yang menarik hamba-Nya dengan Daya dan Kekuatan-Nya mendekat hingga sampai dengan yakin yang seyakin-yakinnya bahagia menemui-Nya. Proses perjalan yang tidak datang dengan tiba-tiba. Sebab beliau telah seacara ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya membuktikan seruan Allah : “Wajaahidu fillahi haqqa jihaadih”. Beliau telah secara habis-habisan sebagai panutan dalam jihadnya. Dalam memerangi nafsunya sehingga nafsu beliau telah benar-benar sujud kal-mayyiti baina yadil ghasili. Bebas dan merdeka sama sekali dari pengaruh watak akunya, watak emosinya dan watak yang menduniakan dunia untuk selera dan kepentingannya. Hingga kebesaran jiwa beliau, maka seperti sama sekali tidak kenal yang namanya tersinggung, gela, kecewa, kecil hati, putus asa, ragu-ragu, wa sumelang, engko gek engko endang. Apalagi yang namanya iri, benci, dendam. Bahkan beliau yang Nabi pilihan ini tidak pernah sama sekali merasa dirinya suci. Sahdan, malah taubatan nashuuhanyalah yang selalu lekat pada rasa jiwa beliu. Satu perjalanan yang harus di awali dengan keberanian membelah dada. Membelah watak akunya sehingga sepenuhnya “deple-deple” kepada Yang Azza Wajalla, mengikut jejak Malaikat-Nya, lalu disucikan dan diisilah dada beliau dengan sebuah bejana emas isinya iman. Bejana sebagai gambaran wadah yang kokoh dan kuat. Emas gambaran indahnya pancaran iman yang memcahaya menyencuh Cahaya di atas Cahaya, yang membutir dalam dalam pada gelora rasa dan menyemangati cita-cita. Proses perjalanan mendekat kepada-Nya atas ijin dan kehendak-Nya menyadarkan hamba bahwa ujud dunia dan ujud jiwa raga yang biasa diaku bagaimana dapat dimewahkan ini, sebenarnya adalah lahan ujian. Karena itu bagi yang dikehendaki memahami dengan kehendak Tuhan, iapun akan rela mengorbankan segala-galanya demi Subhanaaka. Akal dan pikiran serta berbagai bakat dan keahlian yang dikembangkan guna mengelola dunia ini, bagaimana agar dapat menjadi medan yang subur aman dan sentosa untuk berbuat banyak terhadap lakon dan pitukon mendekat kepada-Nya. Bagaikan Nabi Muhammad SAW ketika Isra’ dinaikkan di atas buraq sebagai kendaraan. Buraq adalah lambang “nasul muthmainnah”. Nafsu yang telah rela, patuh dan tunduk (sujud kal mayyiti baina yadil ghasili dihadapan yang berhak memandikan (mensucikan), yaitu Wasithah, seperti halnya Nabi yang rela disucikan dadanya oleh Malaikat Jibril yang diutus Tuhannya. Nafsu yang telah patuh dan tunduk dijadikan tunggangannya hati nurani roh dan rasa mendekat hingga dengan selamat mencapai ma’rifat
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
93
³
D
º
kepada-Nya ini, disamping cepat bagaikan kilat (ini kalau Nabi), juga tetap madep dan mantep dalam mengarah kepada-Nya. Yakni “ngaji”. Ngarah marang siji. Meski harus menghadapi berbagai cobaan, rintangan, hambatan, tantangan dan berbagai hal baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Tidak kaget, tidak takut, tidak was sumelang dan kuatir, tidak gundah gulana dan tidak mudah dimakan oleh emosinya. Tetap. Tetap satu arah yang dituju. Yakni Dia yang selalu diingat-ingat, dihayati dan dirasakan dalam ruang hatinya. Seperti gambaran buraq yang tetap, tidak jungkir dan tidak jongklang meski harus naik gunung maupun turun jurang. Sebab ia sadar atas berita yang disampaikan Gurunya betapa ngeri dan sengsaranya akibat apabila dia melanggar sumpah dan janji yang telah rela diterima saat ia menerima ilmu tentang pengisian butiran iman dalam dadanya. Sumpah itu antara lain : isi pernyataan kesaksiaannya terhadap kandungan dua kalimah syahadat. Bahwa dalam segala tingkah dan perbuatannya, di mana saja dan kapan saja, dalam suasana dan cuaca bagaimanapun dialaminya, hatinya harus selalu hanya mengingat-ingatNya. Sebab selalin Al Ghaib yang diisikan sebagai benih butiran iman di hatinya, semua itu : “laa ilaaha”. Semua nafi dan tidak ada. Termasuk watak akunya, ujud jiwaraganya, segala yang dimilikinya, semua itu hakekatnya tidak ada. Sekali-kali jangan dituhankan. Jangan sekali-kali lekat di hati. Agar supaya tidak menghanyutkan arah butiran imannya untuk menemui-Nya lagi ke arah yang selain-Nya. Maka makna “illallah-lah” yang tetap dalam hati. Makna itsbat – karena hanya “mengitsbatkan Dia dalam segala tingkat laku dan perbuatannya”. Hanya Dia yang akan ditetapkan Ada dalam ingatan rasa hatinya. Kemudian syahadat kedua memberikan pengertian bahwasanya untuk dapat demikian kehidupan rasa yang dibatinnya, harus bertemu dengan Nur Muhammad yang akan mengajari tentang ilmu yang menetapkan Dia Dzat Yang Al Ghaib dalam hatinya. Nabi Muhammad SAW yang berupa jasad boleh wafat, sebab kulit dagingnya memang manusia biasa. Akan tetapi Nur Muhammad-nya tidak ikut terkubur. Tidak mati, meski penerusnya ganti jasad berpuluh kali secara gilir gumanti sejak Nabi Muhammad SAW hingga kini (yang saat sekarang ini telah empat puluh satu kali). Maka “Wainthutii’uuhu tahtaduu” (QS. An Nur : 54) = dan jika kamu taat kepadanya niscaya kamu mendapat hidayah (dari-Nya), berlaku pula terhadap wakil (pengganti) Nabi Muhammad SAW berserta sunnah yang diajarkan secara hak dan sah merealisasi perintah Allah (QS. Lukman : 15) : “Wattabi’ sabiila man anaaba ilaiyya” = dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Disumpah pula untuk selalu pandai-pandai mensyukuri terhadap nikmat yang diberikan olehNya. “Rasa kula tetep anarima sih kanugrahanipun Allah”. Sebab perlu diketahui bahwa kesadaran didirinya dengan hati “mau” berniat memohon ilmu ini untuk mendekat hingga sampai selamat dalam ma’rifat kepada-Nya, selamat menemui-Nya saat mati menjemputnya, itu tidak akan terjadi apabila Dia tidak menghendaki dengan hidayah-Nya. Padahal keberadaan hati dihidupkan Tuhan dengan niatan seperti ini, adalah puncak kenikmatan tertinggi bagi hamba kekasih-Nya. Disumpah pula supaya setiap diri hamba dengan niatan yang luhur seperti ini supaya selalu menyadari sebagai hamba yang “faqir”. Menyadari bahwa dirinya adalah hamba yang tidak punya apa-apa. Tidak bisa apa-apa. Apes, hina dan nista. Jelek sendiri meski harus dibandingkan dengan peminta-minta di bawah kolong jembatan. Bisanya justru hanyalah menambah dosa dan kesalahan. Kemudian sadar sepenuhnya seandainya Allah tidak menghendaki mengampuninya; Allah tidak menghendaki menolongnya, yang terjadi mestilah : “inni kuntu minadzdzaalimin”. Benar-benar termasuk menjadi hamba yang zalim. Aniaya dan sesat selama-lamanya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
94
³
D
º
Karena itu dalam sumpah itu haruslah senang bersama-sama sesama saudaranya dalam ibadahnya; senang bersama-sama sesama saudaranya saling tolong menolong dalam kemelaratannya (melarat lahir dan melarat batin) serta kemudian juga disumpah bila memang terpaksa, senang pepisahan di dalam durhakanya. Kemudian juga dijanji. Adapun janji pertama yakni dilaran sama sekali melakukan dosa-dosa besar yang oran Jawa mengenalnya dengan malima. Madon (zina), membunuh orang tanpa dosa (nenung, nyantet, memfitnah),main dan segala jugi, mencuri (termasuk ngapusi, korupsi dan sebangsanya) serta melakukan dosa kecil yang terus-terusan. Kemudian sekiranya sadar keterusan melanggarnya, menyadari kezaliman atas dirinya, segera memohon ampun kepadaNya dengan jalan menghadap Al Haadi yang membimbingnya, sebagaimana firman-Nya : “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. An Nsa’ : 64). Janji kedua melaksanakan perintah Allah yang jadi madlul-Nya Al Qur’an : “Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal – yaqien” = menyembah kepada Allah sehingga Dia hadir kepadamu (sampai) yakin. Maksudnya sampai Dia menarikmu dengan fadhal-Nya mendekat hingga sampai kepada-Nya dengan selamat (ma’rifat kepada-Nya). Sehingga matimu mati yang selamat dan bahagia menemui-Nya. Karena itu jangan mudah putus asa, waleh, noleh (berpaling) meskipun harus menghadapi bermacam-macam cobaan dan ujian berat di dunia. Sebab dunia memang disiapkan Tuhan sebagai tempat ujian dan cobaan (fitnah). Janji yang ketiga merupakan penekanan supaya dalam melaksanakan janji yang kedua di atas benar-benar terhayati dengan yakin dan madep mantep sebab ilmu ma’rifat billah memang dalam rangka untuk menemui-Nya. Maka janji yang ketiga itu ialah janji untuk melaksanakan perintah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang jadi madlulnya hadis : “Muutu qabla antamuutu” = (belajar) matilah kamu sebelum mati (yang sebenarnya). Sedang bagaimana belajar mati sebelum mati yang sebenarnya itu menghadirimu, maka harus melaksanakan janji yang nomor empat. Yakni melaksanakan perintah Guru Wasithah mengumpulkan syariat dan hakekat. Syareat adalah semua perintahnya Guru yang dapat saearta harus dikerjakan oleh gerakan anggota jasad. Yaitu shalat, zakat, puasa, mujahadah, guyub rukun, bersama-sama dalam ibadahnya, bertolong-tolongan dalam kemeleratannya, akhlaknya baik, tingkah lakunya utama, dan hakekat yaitu dalam melaksanakan semua kewajiban syareat, hati jangan sampai mudah lupa dengan Al Ghaib-Nya. Yakni dzikir sirri. Dzikir Ghaibun fil-ghaibi, isinya Hu yang hanya dibatin di dalam hati. Firman Allah dalam QS Al Fath ayat 8 – 10 : “Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka itu berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya kanugrahan yang besar”. (QS Al Fath : 8 10). Pada firman Allah di QS Al Fath 8 memberikan petunjuk dengan jelas bahwa keberadaan Rasulullah adalah sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Saksi yang menyaksikan langsung hal-hal yang dikerjakan oleh umat yang dibimbingnya. Saksi nyata. Bukan saksi palsu. Maka juga harus selalu berada ditengah-tengah umatnya, sebgaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 101 : “ Wa fikum Rasuuluhu” = bahwa Rasul-Nya pun berada ditengah-tengahmu. Demikian juga dalam Firman Allah QS. Al Hujurat : 7 : “Wa’lamu
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
95
D
³
º
anna fiikum Rasuulallahi” = dan ketahuilah bahwa di tengah-tengahmu itu ada Rasul-Nya Allah”. Kemudian pada QS Al Fath di atas di ayat 9-nya, Allah Swt tegas menggariskan sunnah-Nya supaya keimanan umat ini menguatkan-Nya dan membesarkan-Nya. Allah yang Maha Kuat lagi Maha Mengalahkan, lalu apanya yang dikuatkan untuk-Nya? Yang dikuatkan adalah ketetapan-Nya. Ketetapan yang telah biasa dilecehkan oleh umat yang juga mengakunya telah beriman kepada-Nya, sedang mereka hanya menduga-duga saja tentan Keberadaan Ada dan Ujud-Nya Al Ghaib dari tempat yang jauh. (QS. Saba’ ayat 52 dan 53). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 78 – 83).
Lain-lain tentang Isra’ dan Mi’raj (Edt). •
Kemudian ada pula dikatakan bahwa Malaikat Jibril dalam menghantar Nabi Muhammad SAW, ketika telah sampai di pintunya masuk menghadap langsung kehadirat Allah Swt. karena tidak kuat derajatnya, hanya Nabi Muhammad SAW yang masuk sedang Malaikat Jibril tinggal di luar. Ini memang benar. Sebab diterima masuk atau tidak oleh-Nya, ini sangat tergantung kepada masing-masing pribadi. Pembimbing atau Guru memang hanya menyertai perjalanan ini sampai ke pintu masuk itu. Tetapi perlu diketahui, bahwa siapapun yang telah lulus dihantar sampai ketempatnya pintu masuk, menjadi suatu jaminan akan pasti diterima kehadirannya oleh Sang Pemilik Kerajaan. Keadaan seperti itu menjadi tandatanda kuat bagi seseorang yang telah dikehendaki atas hidayah-Nya menerima ilmu pintu nya mati, yaitu tentang Al Ghaib-Nya. Kemudian dilaksanakan dan diamalkan menurut petunjuk Al Haadi yang membimbingnya, lalu ketika ajal dirasakan siap menjemputnya, kemudian : - pertama : ia menyadari dalam pengakuannya terhadap Guru atau Wasithah yang hak dan sah itu sebagai Gurunya. - Kedua, sadar untuk memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahannya terhadap Gurunya yang dengan sendirinya akan selalu memohonkan ampun kepada Tuhannya. - Ketga, mohon dooa dan restu kepada Gurunya itu supaya Allah dengan hidayah-Nya menunjuki untuk dapat dengan selamat membuktikan ilmu guna menemui-Nya, adalah merupakan jaminan bahwa Allah SWt. akan menariknya. Menarik dengan Fadhal dan Rahmat-Nya masuk ke dalam Kerajaan-Nya dengan selamat dan bahagia abadan abada bertemu lagi dengan-Nya. Kemudian : “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan”, diulang-ulang Allah Swt. sampai sebanyak 10 kali dalam surta Al Mursalat. Yaitu ayat 15, 19, 24, 28, 34, 37, 40, 45, 47 dan 49. Dan pendusta yang celaka besar itu ialah mereka yang mendustakan adanya “pintu gerbang” untuk mengenali hakekat Jati Diri-Nya Yang Al Ghaib itu selamat menemui-Nya. Pintu gerbang itu adalah Al-Haadi-Nya yang keberadaannya tidak putus ketika Nabi Muhammad SAW telah wafat, yang silsilahnya gilir gumanti bagai rantai yang tidak pernah putus, sejak KN Muhammad SAW hingga kini, lewat S. Ali bin Abi Thalib Ra. Persis bagai yang disabdakan Nabi tercinta : “Ana madinatul ‘ilmi (al ikmah) wa ‘Ali babuha” = Aku ini kotanya (dan hikmah) dan ‘Ali itu adalah pintunya”. Ini pulalah “ rahasia” bahwa Nabi Muhammad SAW Rasulullah ini diutus untuk seluruh alam. Alam kabir dan alam shaghir. Alam dunia dan alam akherat. Alam nyata dan alam gaib-Nya. Alam dunia hingga kiyamat tiba dan alam kubur. Yang keseluruhan alam-alam itu ada di dalam-Nya. Milik-Nya. Dicipta oleh-Nya. Menjadi abang atau ijo semata-mata di
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
96
D
³
º
Tangan-Nya. Tangan Dia Dzat Yang Wajib Wjud-Nya. Yaitulah Al Ghaib yang ilmu untuk itu juga dipersiapkan oleh-Nya yang pintu gerbangnya adalah Al Haadi-Nya dan kepercayaanNya. Ancaman bagi para pendusta berlaku juga bagi mereka yang melangggar sumpah dan janji yang telah dibuatnya. Sumpah dan janji sebagaimana dalam QS Al Fath ayat 10, bahwa mereka yang melanggar janji yang mereka terima dari Al Haadi yang hakekatnya adalah Rasul-Nya, sama saja dengan melanggar janji dengan Allah. Padahal sekuasa-kuasa apa saja termasuk seluruh manusia di jagad ini, masih Kuasa Dia. Pelanggar-pelanggar janjijanji itu sebagaimana yang diperlihatkan Allah ketika Nabi Muhammad SAW dijalankan dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sebagaimana Firman-Nya: “ Dan tidaklah kami jadikan penglihatan yang Kami perlihatkan kepadamu itu melainkan sebagai ujian bagi manusia”. (Al Isra’ 60). Bagi mereka yang memenuhi janji, artinya lulus menghadapi ujian dalam jihadunnafsinya bersama Hidayah-Nya, digambarkan adanya sekelompok kaum yang menanam benih pada suatu hari, kemudian tumbuh subur dan diketamnya pada hari itu juga. Dan setiap habis diketam, langsung berbuah kembali, lalu diketamnya lagi. Begitulah keadaannya secara berulang-ulang. Dan ketika ditanyakan oleh beliau kepada Malaikat Jibril, beliau memperoleh jawaban bahwa hal itu adalah gambaran ummat beliau yang sepenuh hati rela dan ikhlas dalam jihadnya mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi memenuhi seruan Tuhannya membuktikan ; “Utruk nafsaka wa ANA milkun” = Tinggalkanlah kebutuhan jiwa ragamu (sebab itu) adalah Tanggungan-Ku. Maksudnya yang meninggalkan itu adalah tekad dan rasanya. Sedang keadaan jiwa raganya tetap sebagaimana layaknya manusia dengan kerja kerasnya mengelola dan membangun dunia. Tetapi tekadnya tidak sebagaimana halnya umumnya manusia. Sama sekali tidak untuk memuktiwibawakan jiwa raganya. Juga sama sekali tidak untuk mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Apalagi untuk bersenang-senang ngumbar hawa nafsu dan syahwatnya. Tidak sama sekali. Tekadnya demi untuk agar supaya dapat membuktikan lakon dan pitukon memproses atas tujuan dan cita-caiata mendekat hingga sampai dengan selamat menemui Tuhannya. Karena rasa hatinya yang dirasakan hanyalah bagaimana dapatnya senantiasa merasakan nikmatnya mengingat-ingat-Nya. Oleh karena itu, ia akan selalu mendidik dan melatih dirinya bagaimana supaya terlatih “betah nglakoni jihadunnafsi” = terlatih memiliki ketahanan mental dalam melakukan jihad (memerangi nafsunya sendiri) dengan jalan riyadah dan mujahadah. Memperbanyak dzikir, shalawat dan istigfar pada saat manusia nikmat dengan tidurnya (habis tengah malam). Berdiri di malam yang panjangdan berat buat nafsunya agar supaya mau diajak melakukan shalat-shalat malam hingga menjelang saat subuh datang. Firman Allah : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (QS. Al Baqarah : 45 – 46). Maka kanugrahan yang besar bagi yang memenuhi janji yang janji itu dilakukan oleh dirinya dengan saksi Al Haadi ketika setelah menerima ilmu tentang Jati Diri-Nya, hakekatnya janji yang dilakukan itu adalah langsung berjanji dengan Dia Sendiri. Itulah sebabnya maka Allah mempertanyakan mereka yang tidak pernah melakukan hal itu sebagaimana Firman-Nya : “Katakanlah :”Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya atau apakah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”(QS. Al Baqarah : 80). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 86 – 89).
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
97
D
³ •
º
Yang Tidak Lulus Diuji Oleh-Nya Kehinaan yang tiada habis-habisnya bagi yang tidak lulus diuji oleh Allah diperlihatkan dalam perjalanan Nabi Muhammad SAW ketika di Isra’ dan di Mi’rajkan. Antara lain : 9 Ada kaum yang dipukul dengan batu hingga pecah dan tiap-tiap selesai dipecah kemudian terkatup kembali, lalu dipecah lagi dan terkatup kembali secara berulangulang dengan tiada henti-hentinya. Setelah ditanyakan kepada Malaikat Jibril, jawabnya adalah mereka yang otaknya merasa keberatan untuk menunaikan shalat fardhu. 9 Ada juga kaum yan hanya ada secawat kain untuk menutupi alat pengeluarannya yang depan dan secawat kain untuk menutup alat pengeluarannya yang belakang. Mereka berkeliaran seperti unta dan kambing yang sedang digembalakan. Yang mereka makan adalah tananam berduri serta pahit rasanya, serta bara api neraka jahanam dan batubatuannya yang panas. Ternyata itulah mereka yang tidak mengeluarkan hartanya dalam menunaikan kewajiban zakatnya. 9 Oleh Allah beliau diperlihatkan pula adanya suatu kaum yang sedang berenang di lautan darah lalu pada mulutnya dimasuki batu. Melihat kejadian seperti itu beliau bertanya kepada Malaikat yang jawabnya adalah mereka yang suka dan serakah makan riba. Seperti rentenis, pemeras dan sebagainya. Itulah gambaran makhluk Allah (manusia) yang karena memang Allah menjadikan bumi ini mubah sehingga mereka lalu mengerahkan segala pikiran, daya dan kekuatan yang dimilikinya untuk mengeksploitasi bumi ini. Mereka lakukan seolah-olah mereka bermudlarabah dengan Allah Ta’ala di mana Allah bertindak sebagai pemilik modal sedangkan mereka aktif mengerjakannya (memutarnya). Sama sekali lupa bahwa itu semua milik-Nya. Termasuk ujud geraknya, pikiran dan segala daya dan kekuatan yang dikerahkannya. Itu semua Allah penggerak-Nya. Karena itu pengumpul harta dengan cara serakah dan semenamena itu perbuatan yang sama sekali tidak berfaedah bagi dirinya. Tidak menjadi penyehat berupa darah yang mengaliri tubuhnya, namun justru menjadi lautan darah yang direnanginya lalu mulutnya berisi batu. 9 Penglihatan yang diberitahukan kepada Rasulullah dalam perjalanan Isra’nya termasuk perbuatan mereka yang suka menjatuhkan kehormatan sesamanya dengan cara mengumpat, menjelek-jelekkan, membicarakannya dengan cara rahasia pencarian aib dan cela sesamanya, maido, mencela dan sebagainya. Gambarannya adalah mereka yang kuku tangannya berupa tembaga, kemudian mereka mencakari muka mereka sendiri. Pandangan kedua berkenaan dengan watak mereka yang seperti itu disaksikan Rasul bahwa mereka mengambil potongan-potongan daging mereka sendiri lalu memakannya. Pandangan ketiga beliau saksikan mereka mengambil daging-daging sesamannya yang sudah busuk lantas dimakannya. 9 Kemudian beliau saksikan juga kamu yang dimukanya tersedia daging yang masak dan segar terletak di dalam periuk dan daging yang mentah lagi pula busuk dalam periuk yang lain. Tetapi mereka justru memakan daging yang mentah lagi busuk dan meninggalkan daging masak yang baik dan segar itu. Kata Jibril : “Itulah laki-laki dari umatmu yang mempunyai istri yang halal lagi baik-baik, tetapi masih juga mendatangi wanita tuna susila. Iapun bermalam dengan wanita itu sampai pagi. Demikian halnya dengan wanita yang meninggalkan suaminya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
98
D
³
º
9 Kemudian beliau meneruskan perjalanan hingga sampai pada sebatang kayu yang melintang di tengah jalan. Tidak sehelai kain atau benda apapun yang melaluinya, melainkan pasti tersobek karenanya. Maka bertanyalah beliau, “Apakah gerangan ini wahai Jibril?” Jawab Jibril, “Ini adalah perumpaan sekelompok umatmu yang suka duduk-duduk di jalan lalu membuat gangguan di situ”. 9 Dijumpai dalam perjalanan beliau ini seorang lelaki yang mengumpulkan seberkas kayu dan ia sudah tidak kuat mengangkatnya, tetapi masih juga ditambahnya. “Ini adalah seorang dari umatmu,” kata Jibril, “yang menanggung amanat dari manusia yang mana ia sudah tidak mampu menunaikannya, tetapi masih juga menanggungnanggungnya”. 9 Ada pula dijumpai kamu yang digunting lidah dan bibirnya dengan gunting besi. Tiaptiap selesai digunting, tumbuh lagi. Begitulah dilakukan secara terus menerus. Penjelasan Jibril, itulah tukang-tukang pidato penyebar fitnah, penyebar kebohongan dan pendustaan. 9 Kemudian beliau perhatikan suatu lobang yang kecil kemudian dari dalamnya keluar seekor lembu yang sangat besar. Lembu itu ingin kembali masuk ke lobang tempat ke luar tadi, tetapi tidak bisa. “Inilah perumpaan dari umatmu yang mengucapkan perkataan yang muluk-muluk, kemudian ia menyesal dengan apa yang telah diucapkan, tetapi ia tidak dapat lagi menariknya”. Penjelasan Malalikat Jibril pada beliau. 9 Diperlihatkan juga pada beliau suatu kaum yang perutnya buncit-buncit sebesar rumah, sehingga setiap hendak bergerak ia tersungkur jatuh. Ini adalah perumpamaan orangorang yang suka memakan harta riba. Mereka tidak bisa berdiri. 9 Beliau saksikan juga beberapa kaum yag mulutnya seperti moncong unta. Ternganga lebar lalu dimasuki bola-bola api, kemudian bola api tersebut keluar dari duburnya. Begitu seterusnya. Yang ini adalah gambaran mereka yang memakan harta anak yatim secara aniaya. Maka siapapun tanpa petunjuk Allah Ta’ala lalu memperoleh pandangan terhadap kebenaran Ilmu Al Haq-Nya, kemudian dijeguri dengan jihadunnafsi beserta Al Haadi sebagai pembimbingnya, watak aku yang berguru nafsulah yang diutamakannya, ini berlaku kepada siapa saja.
Hubungan Dakwah Dengan Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Sependapat dengan ungkapan kata Abdul Karim Zaidan pada tulisannya di Ushulud Dakwah Cetakan II hal 285 dan 286 bahwa : “Bahwa Allah Swt. memuliakan umat Islam ini dengan bentuk memadukannya dengan Rasulullah dalam komitmen melaksanakan tugas dakwah”. Demikian halnya dengan Firman Allah bahwa : “Dan tidaklah Kami jadikan pemandangan yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia”. (QS. Al Israa’ : 60). Pada bab sebelum ini (penjelasan sebelumnya Edt.) telah demikian jelasnya berbagai upaya mengungkap kehendak Allah Swt. berkenaan dengan peristiwa di Isra’ dan di Mi’rajkannya Nabi Muhammad SAW. yang disebut Allah tegas-tegas dengan “bi’abdihi”. Yakni hambaNya.
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
99
D
³
º
Hamba yang dipilih oleh Dia Sendiri sebagai Nabi sekaligus utusan yang dipercaya mewakiliNya di muka bumi ini supaya membimbing manusia yang percaya kepadanya untuk dapat mengenal dengan ilmu tentang Jati Diri Al Ghaib-Nya (QS. Takwir 24) serta jalan lurus untuk dapatnya selamat kembali bertemu dengan-Nya sehingga dapat mati dengan rasa bahagia karena Dia Sendiri yang menyambut kehadirannya setelah lulus di uji oleh-Nya dengan fitnah dunia dan fitnahnya ujud jiwa raganya. Sedang dalam peristiwa dijalankannya beliau dengan Isra’ dan Mi’raj adalah merupakan gambaran nyata bagi hamba Allah yang telah diluluskan dengan berbagai ujian dan fitnah yang menghantamnya. Maka di dalamnya banyak mengandung hikmah. Hikmah yang membuka tabir gelap gulitanya watak akunya manusia yang selalu dikerjai oleh watak nafsunya sendiri yang kecenderungan kuatnya memandang jiwa dan raganya harus dapat diperjuangkan mati-matian untuk meraih kenikmatan gengsi dan kehormatan pada mukti wibawanya kehidupan dunia. Kemudian akan menjadi jelaslah maksud Firman Allah dalam QS. Al Ihsan ayat 29 dan 31 : “Sesungguhnya inilah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki (keselamatan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih”. (QS. Al Insaan : 29 – 31). (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 89 – 93).
Itsbat : (lih. Ilmu Syaththariah) Itsbat Faqod : (lih. Ilmu Syaththariah – Muqaddimah Ilmu Syaththariah) Itba’ : Mengikuti, mencontoh dalam ucapan dan tingkah laku Rasul – Guru Yang Hak dan Sah sebagai wakil Rasul.
Iyyakana’ budu waiyyaakanasta’in.: (lih. Faatehah)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
100
³
D
º
J Jabarut : (lihat Alam - Alam Jabarut) Jagad Kecil : (lih. Alam Shaghir) Jagad Besar : (lih. Alam - Alam kabir) Jamaah Lil Muqorrobien : (lih. Lil Muqorrobin – Jamaah Lil Muqorrobin) Jaman Al Mahdi: (lih. Imam – Imam Mahdi – Jaman Imam Mahdi) Janji Murid : (lih. Murid – Sumpah dan Janji Murid) Jariyah : (lih. Shadaqah Jariyah) Jasad : (lih. manusia). Jawa : Dibalik kata Jawa ada maknanya. Yaitu “Nyawa”. Karena itu apabila orang Jawa kemudian dikatakan kepadanya : “Wah, kamu ini tidak Jawa (Kowe iku ora Jawa)”, terbersit kesan menghina. Sama dengan dikatakan sebagai orang yang tidak mengerti. Akibat perbuatan yang seenaknya sendiri dan semaunya sendiri. Padahal dibalik itu ada makna yang lebih mendalam. Orang Jawa dikatakan tidak jawa apabila orang tersebut tidak mengetahui dan tidak mengenali “nyawanya sendiri”. Nyawanya sendiri yang tidak lain adalah “inti manusianya sendiri” yang tempat asalnya dari Diri-Nya Dzat Al Ghaib Yang Wajib Wujud-Nya, dekat sekali keberadaan-Nya dan Allah Asma-Nya. Sehingga ungkapan tentang “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” = barang siapa yang tahu akan jati dirinya (=nyawanya) maka pasti tahu akan Tuhannya, bukanlah ungkapan kosong yang mengada-ada dan dusta. Sebab dengan mengetahui jati dirinya yang ini adalah benih fitrahnya sendiri, inti manusianya sendiri, yang tempat asalnya dari Tuhan Dzat Yang Maha Rahman, dengan sendirinya pasti tahu terhadap Diri Tuhannya sebagai tempat asal usulnya sendiri. Jadi sejalan dengan perintah Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis dimana beliau bersabda ; “UTHLUBUL ‘ILMA MINALMAHDI ILALLAHDI”. Yang artinya : “Carilah ilmu sejak dari ayunan (ilmu tentang fitrah jati dirinya sendiri) sampai dengan (ilmu) dalam liang lahat”. Yaitu ilmu yang menunjukkan pintunya mati. Pintunya mati yang ada di dalam dadanya sendiri. Mati itu tidak lain adalah pulang kembali. Namanya kembali, pasti masuk; tidak keluar. Itulah ilmu yang mempertemukan “inti manusianya sendiri” dengan tempat asal usulnya sendiri, yakni “hakekat Diri-Nya Dzat Al Ghaib, Allah Asma-Nya dan Wajib Wujud-Nya”. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Apabila Daabbah Telah Dikeluarkan dan Diberdayakan Tuhan, Maka Akibat Nyata (Azab) Pasti Ditimpakan Mereka Yang Tidak Mengenal Diri-Nya Tuhan, Tanjung, Oktober 1997, Lampiran hal. 1).
Jihadunnafsi : (lih. juga Nafsu) Memerangi nafsunya sendiri adalah perang terbesar meski dibandingkan dengan perang memakai senjata dan bahkan akan banyak menghabisi harta dan jiwa. Sebab perang seperti itu, pasti tidak akan terjadi apabila nafsu itu patuh dan tunduk. Patuh dan tunduk menjadi
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
101
³
D
º
tunggangan yang akan dikendarai oleh cita-cita hati nurani, roh dan rasa mendekat kepadaNya. Sebab tanpa kendaraan nafsu, mustahil akan dapat sampai kepada-Nya dalam tempo seusia masing-masing di dunia. Tanpa kendaraan nafsu, perjalanan mendekat hingga sampai kepada-Nya ini akan memakan waktu lebih dari 3.000 tahun lamanya. (K.H.Mohammad Munawwar Afandi, Dakwah Untuk Cita-Cita Ma’rifat Billah, Untuk Menghidupkan Kembali Bangkitnya Rasa Nikmat dan Bahagia Menemui Dzat Dia Yang Al Ghaib Wujud-Nya, Tanjung, 30 Januari 1994, hal. 183 – 184).
Jumrah : (lih. Rukun Islam – Menunaikan Ibadah Haji)
Istilah dan Ungkapan dalam Syaththariah
102