JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
ANALISIS PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN FINAL TERHADAP WAJIB PAJAK TERTENTU (Studi Kasus pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan) Oleh : Muhammad Yusuf Komputerisasi Akuntansi, Politeknik LP3I Jakarta Gedung Sentra Kramat Jl. Kramat Raya No. 7-9 Jakarta Pusat 10450
Telp. 021 – 31904598 Fax. 021 - 31904599 Email :
[email protected]
ABSTRACT This study was conducted to determine the effectiveness of the final income tax for entrepreneurs of SMEs in terms of the principle of taxation and any barriers faced by SME entrepreneurs in the implementation of the application of the final income tax. This study is a qualitative research, this study provides an explanation of the phenomenon of final income tax imposition on SMEs. By using an interview guide that was given to ten enterprises SMEs in Jakarta, and then analyzed by linking real conditions with a review of a particular theory is used as a reference and guide in conducting a study. Based on the analysis showed that the majority of taxpayers said that they felt the injustice, the lack of precise rules for SMEs, the lack of legal certainty, the tariff burden. There was resistance because of overlapping regulatory tax rate of SMEs, SMEs are already organized bookkeeping feel aggrieved by the imposition of 1% final income tax is calculated from gross income. Another obstacle is not yet understand how the calculation and reporting of the final income tax. Keywords: Rate Taxpayers SMEs, Final Income Tax ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pengenaan pajak penghasilan final bagi pengusaha UMKM ditinjau dari asas pemungutan pajak dan hambatan apa saja yang dihadapi pengusaha UMKM dalam pelaksanaan penerapan PPh final. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam penelitian ini memberikan penjelasan mengenai fenomena pengenaan PPh final terhadap UMKM. Dengan menggunakan panduan wawancara yang diberikan kepada sepuluh badan usaha UMKM di DKI Jakarta, lalu menganalisis dengan cara mengaitkan kondisi nyata dengan tinjauan teori tertentu yang digunakan sebagai acuan dan panduan dalam melakukan suatu penelitian. Berdasarkan analisisdidapatkan hasil bahwa mayoritas wajib pajak mengatakan bahwa mereka merasakan ketidakadilan, peraturan tersebut kurang tepat bagi UMKM, kurang adanya kepastian hukum, tarifnya memberatkan. Ada pun hambatannya karena tumpang tindih peraturan tarif pajak UMKM, UMKM yang sudah menyelenggarakan pembukuan merasa dirugikan dengan pengenaan PPh final 22
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
1% yang dihitung dari peredaran bruto. Hambatan lain adalah belum memahamicara penghitungan dan pelaporan PPh final tersebut. Kata Kunci : Tarif Wajib Pajak UMKM, PPh Final PENDAHULUAN Latar Belakang Baru – baru ini sebagaimana yang dikutip dari harian nasional melalui Deputi Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mendorong Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menghapus PPh final untuk sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Penghapusan pajak ini agar UMKM mampu bertahan dan berkontribusi semakin besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Usulan itu merespons keluhan pelaku UMKM. Para pelaku UMKM merasa keberatan atas tarif PPh final yang telah ditetapkan oleh DJP dan mereka meminta penangguhan sementara pajak usaha mikro dengan mempertimbangkan kontribusi UMKM yang mencapai 57% terhadap PDB dan menyerap 100 juta tenaga kerja (Kompas : 23 Februari 2015). Sejumlah wajib pajak yang tergolong pengusaha tertentu usaha mikro kecil dan menengah mengeluhkan tarifpajak yang dikenakan saat ini. Mereka merasa keberatan dan sulit untuk bertahan ditengah kondisi perekonomian yang belum stabil saat ini. Mereka menganggap pemerintah tidak adil dalam pengenaan tarif pajak final yang memberatkan dan menyulitkan wajib pajak. Sehingga pelaku usaha ini merasakan adanya diskriminasi, terlebih pada pebisnis yang termasuk dalam skala mikro, kecil dan menengah. Banyak pengusaha UMKM beranggapan bahwa peraturan pajak sering berubah-ubah serta kurangnya sosialisasi pemerintah kepada para wajib pajak sehingga menyulitkan dalam pemenuhan kewajiban administrasi
perpajakan. Tarif sebesar 1% memberatkan dan tidak tepat karena dihitung dari peredaran bruto bukan dari penghasilan neto, mereka harus tetap membayar pajak walaupun usaha mereka merugi. Mereka beranggapan tarif pajak final 1% tidak adil saat penjualan sedang turun dan ekonomi sedang lesu , mereka tetap harus membayar pajak. Selain itu peraturan pajak yang sulit dimengerti, rumit, tidak dibuat secara sederhana dan membingungkan wajib pajak, peraturan pajak juga dibuat tanpa mempertimbangkan banyak hal yang tentunya berkaitan dengan keberadaan UMKM. Hambatan –hambatan yang dihadapi oleh pengusaha UMKM dalam pelaksanaan penerapan PPh final sejak berlakunya PP 46 antara lain disebabkan karena adanya tumpang tindih peraturan yang berkaitan dengan tarif wajib pajak UMKM, PPh final yang dianggap tidak adil, wajib pajak badan usaha UMKM yang selama ini telah menyelenggarakan pembukuan dengan tertib merasa dirugikan dengan tarif PPh final sebesar 1% yang dihitung dari peredaran bruto, cara menghitung pengenaan pajak, cara menyetor dan melaporkan yang masih belum dipahami oleh pengusaha UMKM. Hambatan lain wajib pajak UMKM sejak berlakunya PP 46 antara lain penerapan tarif 1% ini berlaku mulai Juli tahun 2013 yaitu pertengahan tahun dampaknya menyulitkan administrasi pajak yaitu ketika wajib pajak harus menyampaikan SPT Tahunan tahun 2013 karena menggunakan double tarif yaitu tarif final dan tidak final. Tarif pajak 1% dari omset dikeluhkan oleh wajib pajak UMKM karena dianggap tidak efisien karena memberatkan dan tidak tepat sasaran, 23
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
ketika penjualan turun atau ekonomi keadaan lesu masih dibebankan dengan kewajiban membayar pajak. Selain itu tidak ada rasa keadilan karena wajib pajak harus membayar PPh meskipun menderita kerugian dan kerugian tersebut tidak boleh dikompensasikan ke tahuntahun pajak berikutnya. Selain itu penerapan PPh final dengan tarif khusus di luar tarif umum secara langsung telah membeda-bedakan (diskriminasi) jenis atau sumber penghasilan untuk kepentingan pemajakan. Berdasarkan uraian mengenai fenomena yang terjadi pada penerapan PPh final bagi usaha mikro kecil dan menengahmembuat peneliti tertarik untuk mengangkat topik tersebut kedalam suatu bentuk penelitian kualitatif yang bersifat ilmiah dengan judul “Analisis Pengenaan Pajak Penghasilan Final Terhadap Wajib Pajak Tertentu Studi Kasus Pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan paradigma konstruktivisme, penelitian ini dilakukan pada periode Oktober 2014 hingga Januari 2015. Penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu dengan menggunakan metode kepustakaan atas dasar teori dan perundang-undangan serta dengan melakukan wawancara tertutup kepada sepuluh wajib pajak badan usaha yang termasuk wajib pajak pengusaha yang memiliki peredaran bruto tertentu , dimana peredaran brutonya tidak melebihi 4,8 milyar setahun yang bergerak dibidang perdagangan barang dan jasa, usaha mikro, kecil dan menengah diwilayah kecamatan Pancoran Jakarta Selatan propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Guna melengkapi wawasan mengenai pengenaan pajak penghasilan final terhadap wajib pajak tertentu, peneliti menganalis sejauh mana efektivitas pengenaan PPh Final terhadap
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
usaha mikro kecil dan menengah ditinjau dari asas-asas pemungutan pajak yang dominan yaitu asas keadilan, kepastian hukum, efisiensi/ekonomi, kemudahan administrasi, kesederhanaan dalam pemungutan pajak dan peraturan perpajakan, kesenangan dalam pembayaran pajak. Selain itu peneliti juga menganalisis hambatan–hambatan yang dihadapi oleh pengusaha UMKM dalam pelaksanaan pengenaan PPh final. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat lebih membuka wawasan kita mengenai fenomena yang terjadi. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan perpajakan, yaitu mekanisme pengenaan pajak penghasilan final berdasarkan pasal 4 ayat (2) UndangUndang No. 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013, yang terinci : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana efektivitas pengenaan pajak penghasilan final bagi wajib pajak UMKM ditinjau dari asas –asas pemungutan pajak. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan – hambatan yang dihadapi oleh wajib pajak pengusaha UMKM dalam pelaksanaan penerapan PPh final. TINJAUAN PUSTAKA/KERANGKA TEORITIS 1. Pajak Definisi pajak menurut Andriani yang disadur oleh Santoso Brotodihardjo dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” (1991:2) menyebutkan bahwa “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak, yang membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak 24
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Definisi yang diberikan S.I Djojodiningrat (2000 : 15) yaitu “Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari pada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum”.
pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada : 1. Equality(asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata. Adil yang dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. 2. Certainty (asas kepastian hukum) Certainty yang dimaksud oleh Adam Smith (1976 : 351) adalah bahwa pajak itu tidak ditentukan secara sewenang-wenang, sebaliknya pajak itu harus jelas bagi semua wajib pajak dan seluruh masyarakat yaitu berapa jumlah yang harus dibayar, kapan harus dibayar, dan bagaimana cara membayarnya. Apabila tidak ada kepastian kepada wajib pajak tentang kewajiban pajaknya, maka pajak yang terutang tergantung kepada kebijaksanaan petugas pajak yang dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk keuntungan dirinya sendiri. 3. Asas Convenience of Payment ( asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan) Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan. Mansury (2002, 1213) memberikan pengertian convenience bahwa saat wajib pajak harus membayar pajak hendaknya ditentukan pada saat yang tidak akan menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat wajib pajak menerima gaji atau menerima penghasilan lain, seperti pada waktu menerima bunga deposito. 4. Asas Economy (asas efficiency)
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” a. Syarat Pemungutan Pajak Agar tidak menimbulkan masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu : a. Pemungutan pajak harus adil b. Pengaturan pajak harus berdasarkan Undang-Undang c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian d. Pemungutan pajak harus efisien e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana b. Asas Pemungutan Pajak Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An inquiry Into The Nature and Cause of the Wealth of Nations,(2000:285) bahwa
25
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Menurut Adam Smith (1976 : vol 2, 351) biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. Pemungutan pajak hendaknya memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dibandingkan dengan biaya yang dikorbankan oleh seluruh masyarakat (Mansury : 2000, 2 dan 2002,13). 2. Pajak Penghasilan Final Pajak penghasilan yang bersifat final menurut Siti Resmi dalam bukunya Perpajakan Teori dan Kasus (2009 : 145), menyebutkan pajak penghasilan bersifat final adalah pajak penghasilan yang pengenaannya sudah final (berakhir) sehingga tidak dapat dikreditkan (dikurangkan) dari total pajak penghasilan terutang pada akhir tahun pajak. Berdasarkan pasal 4 ayat 2 Undang – Undang PPh penghasilanyang dapatdikenai pajakbersifat final: a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi b. Penghasilan berupa hadiah undian c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura. d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, persewaan tanah dan bangunan dan e. Penghasilan tertentu lainnya. Yang diatur dengan atau
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pengenaan PPh final dihitung berdasarkan penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya – biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut. Wajib pajak diharuskan membayar PPh meskipun menderita kerugian, dan kerugian tersebut tidak boleh dikompensasikan ke tahun-tahun pajak berikutnya. Tarif yang dipergunakan adalah tarif khusus diluar tarif umum. 3. Peraturan Pemerintah (PP ) No 46 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah Republik Inonesia No 46 Tahun 2013 adalah peraturan tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Peraturan PP 46 ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan a. Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan b. Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi c. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. Ada pun tujuan dikeluarkannya PP 46 adalah 1. Kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan 2. Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat 3. Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memnuhi kewajiaban perpajakan Besarnya tarif PP No 46 Thn 2013 adalah pajak penghasilan bersifat final sebesar 1 % (satu persen), pengenaan 26
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
pajak penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan. Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pajak penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Ketentuan ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Perpajakan. Atas penghasilan selain dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan.
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
Dalam karya ilmiah yang peneliti tulis ini Untuk lebih memudahkan kerangka berpikir dan berguna untuk menuntun langkah apa saja yang harus dilakukan peneliti guna menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul “Analisis Pengenaan Pajak Penghasilan Final Terhadap Wajib Pajak Tertentu Studi Kasus Pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan”. Peneliti membuat suatu diagram alur kerangka pemikiran yang berguna untuk menuntun langkah apa saja yang harus dilakukan guna menyelesaikan penelitian ini, seperti dibawah ini :
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah menggunakan teori untuk menggambarkan hubungan teori dengan fenomena yang terjadi dilapangan. Kebijakan pengenaan PPh final bagi pengusaha UMKM dengan tarif 1% dari penghasilan bruto merupakan bagian dari kebijakan perpajakan dan pemungutan pajak sebagai penerapan kebijakan perpajakan perlu diuji apakah sudah memenuhi asas -asas pemungutan pajak khususnya asas keadilan, efisiensi/ekonomi, kepastian hukum, kesenangan dalam pembayaran pajak, kesederhanaan sistem perpajakan, dan kemudahan administrasi bagi pengusaha UMKM. Dalam melakukan suatu penelitian lazimnya peneliti membuat suatu pedoman yang berfungsi sebagai penuntun agar penelitian yang dilakukannya terfokus dan tidak bias yang menyebabkan hasil penelitiannya akan jauh dari yang telah dicanangkannya, dimana pedoman ini dinamakan kerangka berfikir peneliti.
Gambar No.1 : Kerangka Pemikiran Penelitian
Model Penelitian Berdasarkan kajian literatur dan kerangka pemikiran yang disajikan di atas, peneliti menyajikan model sebagai berikut :
Gambar 2 : Model penelitian METODE PENELITIAN Peneliti memilih metode analisa data yang digunakan adalah metode kualitatif dan paradigma naturalistik yang bertujuan agar dapat lebih memahami gejala yang diteliti dengan cara 27
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan secara apa adanya tanpa memanipulasi subyek yang diteliti. Dalam tesis ini kategori-kategori atau entitas-entitas (yang dalam pendekatan kuantitatif disebut sebagai variabelvariabel ) yang terkait dengan isu pengenaan PPh final UMKM sebagai salah satu fenomena dalam pemungutan pajak, entitas yang dominan diantaranya azas keadilan, efisiensi/ekonomi, kepastian hukum, kesenangan dalam pembayaran pajak, kesederhanaan sistem perpajakan, dan kemudahan administrasi, semuanya pada hakikatnya mutual simultaneous shaping ‘saling memperkuat ‘ (Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, 1994 : 119) Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Alasan menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini menekankan analisisnya tidak menggunakan data numerical atau angka yang diperoleh dengan metode statistik, melainkan analisisnya memberikan penjelasan secara mendalam mengenai fenomena yang terjadi di lapangan, dengan teknik pengumpulan data yakni wawancara mendalam yang terbuka, pengamatan langsung dan studi dokumen. Alasan lain menggunakan pendekatan kualitatif karena mempertimbangkan fokus penelitian, yakni dalam hal ini fokus pada PPh Final pada UMKM untuk mencapai tujuan tertentu yang mempunyai banyak segi, dan tidak bersifat monokausal. Artinya tidak ada penyebab tunggal dari suatu realitas sosial. Peneliti tidak menggunakan pendekatan kuantitatif yang bersifat linear, karena peneliti ingin mengungkapkan apa saja kategorikategori atau entitas-entitas yang secara simultan saling membentuk (Yvonna S. Lincoln and Egon G. 1985 : 38) dalam fenomena ilmu administarsi, khususnya fenomena PPh final pada UMKM sebagai
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
salah satu unsur utama dalam pengenaan PPh. Karena pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, maka dari dimensi waktu penelitian ini termasuk dalam pemahaman case study tersebut. Ciri utama dari studi kasus adalah wawancara mendalam dalam menghimpun data serta menghimpun” ..... many features in of a few cases over a duration of time”. (W. Lawrence Neuman, 2006 :33), yakni menghimpun banyak ciri/sifat tertentu dalam studi kasus pada waktu tertentu. Pada penelitian ini akan dihimpun sebanyak mungkin ciri atau sifat yang melekat pada pengenaan PPh final UMKM selama penelitian berlangsung yakni antara Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratoris, dimana dalam penelitian ini memberikan penjelasan lebih dalam mengenai fenomena pengenaan PPh final pada wajib pajak tertentu disebabkan oleh adanya perubahan peraturan yang diterapkan secara terus –menerus, dalam hal pengenaan pajak penghasilan (PPh) final terhadap pengusaha yang memiliki peredaran bruto tertentu. Sebelumnya sudah ada tarif khusus PPh untuk UMKM tetapi hanya berlaku untuk yang berbentuk badan usaha. Sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-undang No.36 tahun 2008 pasal 31E dinyatakan bahwa wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif umum sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (2) UU PPh yang dikenakan tarif atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar. Dengan tarif PPh Badan yang berlaku saat ini yaitu 25 persen, maka bagi wajib pajak badan dalam negeri yang memenuhi syarat, tarif efektifnya menjadi 12,5 persen atas penghasilan 28
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pengenaan PPh dalam hal ini dilakukan terhadap penghasilan kena pajak yang dihitung dari perhitungan laba-rugi akuntansi (pembukuan) setelah dilakukan koreksi fiskal, karena berdasarkan pasal 28 ayat (1) Undang – undang Nomor 28 tahun 2007 ((UU KUP), wajib pajak badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Namun aturan tersebut tidak berlaku lagi setelah pemerintah mengeluarkan PP 46 thn 2013 yang berlaku efektif Juli 2013, yaitu aturan PPh bagi wajib pajak dengan omset tertentu . Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap wajib pajak orang pribadi yang melakukan usaha dan wajib pajak badan dengan omset tidak melebihi 4,8M dikenakan PPh final dengan tarif 1% dari penjualannya. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Sedangkan besarnya PPh final dihitung dengan cara mengalikan DPP dengan 1 persen. PPh Final yang dikenakan dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya - biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut jelas tidak memenuhi azas keadilan. Kemampuan membayar pajak dicerminkan oleh penghasilan neto, bukan penghasilan bruto. Ketidakadilan ini semakin terasa ketika wajib pajak harus membayar PPh meskipun menderita kerugian dan kerugian tersebut tidak boleh dikompensasikan ke tahun-tahun pajak berikutnya. Selain itu penerapan PPh final dengan tarif khusus di luar tarif umum secara langsung telah membedabedakan (diskriminasi) jenis atau sumber penghasilan untuk kepentingan pemajakan. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti mencoba mengangkat topik tersebut dalam sebuah penelitian yang berjudul “Analisis Pengenaan Pajak Penghasilan Final Terhadap Wajib Pajak Tertentu Studi Kasus Pada Usaha Mikro
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
Kecil dan Menengah di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan”, dengan menggunakan panduan wawancara yang diberikan kepada sejumlah pengusaha yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berada di wilayah DKI Jakarta. Kemudian dari hasil wawancara tersebut dilanjutkan dengan menganalisis kondisi tersebut dengan cara mengaitkan kondisi nyata dengan tinjauan teori tertentu yang digunakan sebagai acuan dan panduan dalam melakukan suatu penelitian. Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode kepustakaan, yang ditempuh melalui pencarian dan pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan studi dokumen dengan menggunakan bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan penelusuran elektronik. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap para informan yang mempunyai pengetahuan, pengalaman dan pelaku UMKM. Kajian dokumentasi yang merupakan data sekunder juga dilakukan terhadap berbagai dokumen yang relevan. Dalam melakukan penelitian ini peneliti mengadakan wawancara terhadap informan (terwawancara) yang berasal dari unsur pimpinan yaitu direktur keuangan dan kepala bagian keuangan di sepuluh perusahaan bergerak dibidang perdagangan barang dan jasa antara lain perdagangan komputer dan suku cadangnya, jasa transportasi darat, jasa konsultan Teknologi Informatika, jasa penyelenggaraan pameran, jasa konsultan bisnis dan manajemen. Informan tersebut merasakan langsung dampak pengenaan PPh final sebesar 1% yang berada di wilayah kecamatan Pancoran Jakarta Selatan DKI Jakarta. Informan ini dipilih dengan pemikiran bahwa merekalah yang secara langsung menghadapi masalah akibat timbulnya peraturan perpajakan yang selalu berubah-ubah. Informan yang diwawancarai memiliki latar belakang jabatan minimal 29
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
setingkat manager dan dipersempit kepada manager keuangan, agar hasil wawancara bisa mencerminkan keadaan yang sebenarnya di lapangan yang dihadapi pengusaha UMKM . Level management juga dipilih karena merekalah yang sering mengambil keputusan langsung atas masalah yang timbul di lapangan. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pertama, yakni wawancara mendalam dengan pedoman wawancara yang mempunyai pertanyaan terbuka, peneliti akan berusaha menjaring jawaban – jawaban yang terkait dengan fokus penelitian yakni isu pengenaan PPh final dalam pemungutan pajak. Yaitu dengan menggali entitasentitas yang secara simultan saling memperkuat dan mempengaruhi dalam pengenaan PPh final pada pengusaha UMKM. Pedoman wawancara sebagaimana terlampir pada bagian akhir dari tesis ini. Teknik yang kedua adalah melakukan observasi langsung dan teknik yang ketiga ada studi dokumentasi. Maka dalam penelitian ini penulis menggunakan pengumpulan data menjadi dua bagian : a. Data Primer, adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, yang dalam hal ini data yang di dapat dari hasil wawancara dengan sejumlah pengusaha UMKM yang terkena dampak pengenaan PPh final 1% yang berada di wilayah kecamatan Pancoran Jakarta Selatan DKI Jakarta. b. Data Sekunder, yaitu data lain yang terkait berdasarkan studi literatur, seperti halnya dengan penelitian lain yang telah dilakukan pihak lain, namun memiliki keterkaitan pembahasan yang dibuat saat ini. Teknik Analisis Data Analisis data diartikan sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi terhadap data maupun kesimpulan tentang data yang diperoleh. Dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah inductive data analysis (Yvonne S. Lincoln Egon S. Guba, 1984), yakni metode analisis umum dilakukan oleh para peneliti yang didasarkan pada hasil penelitian lapangan seperti wawancara, kemudian dilakukan interpretasi, dicari makna dan ditarik kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat usaha perdagangan barang dan jasa, yakni daerah kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Propinsi DKI Jakarta, mengingat dalam penelitian ini terfokus pada usaha perdagangan barang dan jasa meliputi usaha perdagangan komputer dan suku cadangnya, jasa transportasi darat, jasa konsultan bisnis dan manjemen, jasa penyelenggaraan pameran, dan jasa konsultan teknology informatika. Kondisi di lapangan sejumlah wajib pajak yang bergerak di bidang UMKM didapati mengeluhkan kondisi pajak yang dikenakan saat ini. Melalui wawancara yang dilakukan ditemukan pernyataan bahwa para pelaku bisnis UMKM merasa keberatan dengan penerapan peraturan oleh pemerintah pada saat ini. Sehingga mereka merasa adanya diskriminasi pada pelaku bisnis tersebut, terlebih pada pebisnis yang termasuk dalam skala UMKM. Dari hasil wawancara tersebut juga ditemukan bahwa pemerintah membuat peraturan kurang memperhatikan prinsip dan asas-asas pemungutan pajak, 30
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
sehingga pengusaha UMKM sebagai pelaku usaha merasa tidak yakin dengan kemampuan pemerintah sebagai jembatan dan mengakomodir aspirasi pelaku ekonomi, dalam hal ini adalah pelaku bisnis UMKM sebagai wajib pajak, yang terlihat dari sering dilakukannya perubahan peraturan perpajakan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan banyak hal yang tentunya berkaitan dengan keberadaan bisnis UMKM. Selain itu, hal yang dirasakan oleh pengusaha UMKM adalah ketidak konsistenan pemerintah dalam penerapan peraturan yang dibuatnya sendiri ( terutama peraturan perpajakan), sehingga menimbulkan anggapan bahwa pemerintah menerapkan peraturan dengan cara yang arogan dan disinyalir menjadi tidak netral dan dipengaruhi oleh pelaku usaha pengusaha besar sehingga menimbulkan anggapan rasa ketidak adilan terhadap pelaku usaha yang berskala UMKM. Dalam melakukan penelitian ini peneliti merujuk pada pada pemikiran Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into The Nature and Cause of The Wealth of Nations (2000:285) yang mengatakan bahwa dalam kegiatan pemungutan pajak, pengelola perpajakan haruslah berpegang teguh kepada empat asas. Asas-asas pemungutan pajak itu yaitu bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada Equality artinya pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, Certainty artinya ada kepastian hukum, convenience artinya tidak menyulitkan dan memberatkan, Economic artinya biaya yang seminimum mungkin dalam hal pemungutan pajak. Sedangkan rujukan kedua yang peneliti ambil adalah pendapat Mansury dalam bukunya “Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000” yang menyatakan bahwa sistem perpajakan yang adil adalah sistem pajak penghasilan yang menerapkan globality,
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
yakni semua tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar (the global ability to pay )sehingga harus dijumlahkan menjadi satu sebagai obyek pajak, serta pajak penghasilan yang menerapkan equal treatment for the equal yakni jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama dikenakan pajak dengan tarif pajak sama tanpa membedakan jenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan serta unequal treatment for the unequals yakni pendapat yang menyatakan bahwa yang membedakan besarnya tarif adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan. Melalui wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan yaitu wajib pajak UMKM dan studi dokumen terhadap pengenaan PPh final bagi wajib pajak UMKM berikut ini hasil penelitian dimana ada pro dan kontra terhadap perlakuan perpajakan bagi wajib UMKM. 1. Efektivitas Pengenaan PPh Final Bagi Wajib Pajak Pengusaha UMKM Ditinjau dari Asas – Asas Pemungutan Pajak a. Pemungutan Pajak ditinjau dari Asas Keadilan Dari hasil wawancara, sejumlah informan dalam penelitian ini mayoritas beranggapan bahwa PPh final yang diberlakukan saat ini kurang tepat dan tidak adil bagi UMKM, sebagian yang lain menyatakan tidak tepat dan tidak adil, sebagian lagi menyatakan sudah tepat dan sudah adil, sisanya menyatakan sangat tepat dan sudah adil. Informan yang menyatakan pemungutan PPh final kurang 31
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
tepat/tidak tepat dan tidak adil diberlakukan terhadap pengusaha UMKM, karena pajak itu dikenakan terhadap peredaran bruto bukan dihitung dari penghasilan neto.
Sedangkan informan yang menyatakan pengenaan PPh final bagi UMKM sudah tepat dan sudah adil, karena mudah dalam penghitungan pajak dan perusahaan tidak perlu membuat pembukuan yang rumit, seperti yang dikutip dari tabel dibawah ini :
Tabel Hasil Penelitian tentang Asas Keadilan bagi Wajib Pajak UMKM
Kode
Pertanyaan dan Jawaban
01
Menurut Bapak/Ibu apakah peraturan (PPh) final 1% bagi wajib pajak UMKM adalah keputusan tepat yang dapat memberikan keadilan bagi semua wajib pajak yang berada pada lingkup UMKM ? Jawaban :
Verbatim tarif pajak
If 2
“Kurang tepat, dan tidak adil, karena perusahaan itu belum tahu apakah untung atau rugi. Harusnya kalau perusahaan itu untung baru dikenakan pajak, dan kalau rugi tidak dikenakan pajak.”
tidak adil
If 3
”Kurang tepat dan tidak adil karena tidak memperhitungkan biaya biaya yang harus dikeluarkan”
laba usaha
If 9
“Kurang tepat karena tidak mencerminkan keadilan, seharusnya bayar pajak itu dibebankan apabila perusahaan untung, kalau dihitung dari peredaran bruto kurang tepat”
If 6
“Tidak tepat dan tidak adil” karena masih usaha kecil belum berkembang, tarif 1% memberatkan dan usaha belum tentu mengalami keuntungan.”
usaha kecil
If 7
“Tidak tepat, dan tidak adil, karena pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang, usaha belum tentu untung, apalagi kondisi ekonomi yang sekarang ini sedang sulit dan lesu, BBM naik dan sebagainya. Ini tidak adil karena pajak itu harus dikenakan ke perusahaan apabila perusahaan itu mengalami keuntungan”
Kesulitan ekonomi
If 4
“Sangat tepat dan sudah adil bagi pelaku UMKM yang belum siap menyelenggarakan pembukuan dengan baik jadi pelaku UMKM mudah dalam menghitung pajak”.
sudah adil
If 8
“Sudah tepat, sudah bijaksana, dan sudah adil bagi wajib pajak UMKM”
sudah tepat
If 10
“Sudah tepat karena memudahkan dalam penghitungan pajak tidak perlu repot buat pembukuan, sudah adil bagi wajib pajak UMKM, karena kalau semua wajib pajak bayar pajak membantu pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak”
mudah penghitungan
Sumber : wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Atas dasar ketepatan penerapan peraturan, sudah dapat dikatakan kurang tepat atas langkah pemerintah yang
diambil dalam pengenaan pajak UMKM, dan tidak mencerminkan rasa keadilan.
32
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
2.
Pemungutan Pajak Ditinjau dari Asas Kepastian Hukum Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini sebagian menyatakan bahwa adanya perubahan peraturan PPh bagi UMKM sudah ada kepastian hukum karena sudah jelas aturannya ada Peraturan Pemerintah (PP) dan tarifnya sudah jelas, selain itu mereka beranggapan bahwa kepastian
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
hukum itu ada selama peraturan itu dijalankan sesuai dengan aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Melalui informan lain sebagian menyatakan bahwa adanya perubahan peraturan PPh bagi UMKM tidak ada kepastian hukum karena peraturan pajak itu sering berubah, sulit dimengerti dan membingungkan. Seperti kutipan tabel dibawah ini :
If 1
Tabel Hasil Penelitian tentang Asas Kepastian Hukum bagi WP UMKM Pertanyaan dan Jawaban Verbatim “Pada beberapa tahun terakhir pemerintah telah melakukan beberapa perubahan dalam pengaturan pajak (PPh) bagi pengusaha UMKM. Kepastian hukum Menurut Bapak/Ibu apakah dengan adanya beberapa perubahan tersebut, membuat Bapak/Ibu selaku wajib pajak memiliki suatu acuan atau kepastian hukum perpajakan?” Jawaban : “Sudah ada kepastian hukum karena sudah jelas ada Peraturan Peraturan Pemerintahnya. Sudah memberikan kepastian hukum.” dijalankan
If 3
”Sudah ada kepastian hukum selama peraturan itu dijalankan sesuai dengan aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah”
If 4
“Dengan tarif 1% dan bersifat final memberikan kemudahan dan ada kepastian hukum”
Kode 02
kemudahan
“Peraturan Pemerintah ini apabila ingin dilaksanakan harus mengevaluasi peraturan yang lama. Untuk membandingkan peraturan yang mana yang bisa memberikan pendapatan pajak yang lebih banyak, aturan yang lama kenaikannya berapa persen, aturan yang baru kenaikannya berapa persen. Pajak itu memberatkan apa tidak, apabila memberatkan maka perlu memakai aturan yang lama, untuk menentukan tarif pajak yang lama atau yang baru, harus dilihat dulu keadaan ekonomi masyarakat.” Ada kepastian hukum.
evaluasi peraturan
kurangnya sosialisasi
If 2
“Peraturan pajak yang selalu berubah membuat perusahaan itu bingung, hal ini karena kurangnya sosialisasi dari kantor pajak. Belum jelas kepastian hukum.”
peraturan sering berubah
If 5
“Tidak ada kepastian hukum, membuat kami tambah bingung karena peraturan sering berubah, kurang penyuluhan dan sosialisasi. Peraturan sering tumpang tindih.”
peraturan tumpang tindih
If 6
“Tidak ada acuan kepastian hukum, bikin bingung, tidak ada penyuluhan, sosialisasi yang kurang, serta peraturan yang tumpang tindih”. “Belum mencerminkan adanya kepastian hukum, peraturan pajak masih membingungkan, sulit dimengerti”.
peraturan sulit dimengerti
If 7
If 10 Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa ada dua pendapat dari informan yaitu perubahan
peraturan pemerintah sudah mencerminkan asas kepastian hukum selama ada Peraturan Pemerintah yang 33
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
mengatur, dan dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku, sedangkan informan yang lain menyatakan belum mencerminkan asas kepastian hukum atas perubahan Peraturan Pemerintah terhadap pengusaha UMKM, disebabkan karena peraturan yang sering berubah, sulit dimengerti, membingungkan dan kurangnya sosialisasi. 3. Pemungutan Pajak dari Asas Efisiensi/Ekonomi Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini
Kode
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
mayoritas informan menyatakan bahwa pemungutan PPh Final atas wajib pajak UMKM sebesar 1% dari omset tidak efiisen karena memberatkan perusahaan, menambah beban biaya perusahaan, 1% dihitung dari peredaran bruto bukan dari penghitungan laba rugi perusahaan. Sedangkan informan lain yang menyatakan bahwa pemungutan PPh final 1% sudah efisien dalam hal pemungutan pajak karena memudahkan secara administrasi, tidak harus membuat pembukuan dan menghemat waktu. Seperti kita lihat tabel kutipan berikut ini:
Tabel Hasil Penelitian tentang Asas Efisiensi bagi Wajib Pajak UMKM Pertanyaan dan Jawaban
Verbatim
03
“Menurut Bapak/Ibu wajib pajak UMKM dikenakan PPh final 1% dari omset yg dihitung setiap bulan sudah sesuai dengan asas efisiensi/ekonomi dalam hal pemungutan pajak?” Jawaban
If 2
“Tidak efisien, karena memberatkan perusahaan pajak 1% dibebankan atas peredaran bruto, tidak berdasarkan penghitungan laba rugi”.
tidak efisien
If 3
“Dari perpajakan efektif dan efisien, namun dari pihak WP memberatkan, tdk efisien krn menambah beban biaya, dan pajak yg dibebankan tdk melihat untung rugi perusahaan,yg dilihat hanya tarif 1% dari bruto
memberatkan
“Blm efisien, karena pendapatan perusahaan turun naik, biaya operasional selalu bertambah akibat kenaikan listrik, BBM, UMP, apabila peraturan pajak itu dipaksakan maka perusahaan akan mengurangi biaya operasional seperti mengurangi jumlah karyawan, memangkas biaya”
biaya operasional tinggi
If 1
“Sudah efisien krn memudahkan tdk harus membuat pembukuan, tidak harus menghitung-hitung lagi, hemat waktu”
efisien
If 4
“Sudah efisien dan mudah secara administrasi”
If 7
administrasi mudah
Sumber : Hasil Wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemungutan PPh final 1% atas UMKM tidak tepat dan tidak sesuai dengan asas efisiensi/ekonomi karena memberatkan wajib pajak dan penghitungan PPh Final
didasarkan atas peredaran bruto bukan berdasarkan laba rugi perusahaan. 4. Pemungutan Pajak dari Asas Kemudahan Administrasi Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang 34
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
menjadi informan dalam penelitian ini mayoritas informan menyatakan bahwa pemungutan PPh Final atas wajib pajak UMKM sebesar 1% memberikan pendapat bahwa administrasinya menjadi lebih sulit dan tidak efektif karena walaupun perusahaan sudah melakukan pemotongan PPh final, tetap masih harus membuat laporan SPT Tahunan yang sulit dan rumit dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah.
Sedangkan informan lain yang menyatakan bahwa pemungutan PPh final 1% atas UMKM administrasinya menjadi lebih mudah dan efektif, karena memberikan kemudahan administrasi, lebih sederhana, bisa menghitung dan memotong sendiri pajak yang harus dibayar. Seperti kita lihat tabel kutipan berikut ini:
Tabel Hasil Penelitian tentang Asas Kemudahan Administrasi bagi WP UMKM Kode
Pertanyaan dan Jawaban
Verbatim
04
“Apakah menurut Bapak/Ibu kebijakan peraturan (PPh ) final dengan tarif 1% yang diberlakukan pemerintah tersebut membuat prosedur administrasi yang dilakukan menjadi lebih mudah dan efektif ?” Jawaban
If 3
“Menurut versinya fiskus administrasinya mudah, tapi menurut wajib pajak tidak, karena administrasi pajaknya tetap sulit karena masih harus buat laporan SPT Tahunan dan tidak efektif.”
administrasi sulit
If 6
“Administrasinya masih sulit, tidak mudah dan tidak efektif masih menambah bingung wajib pajak, karena kurangnya sosialisasi”.
kurang sosialisasi
If 7
“Walaupun petugas pajak sudah memberikan sosialisasi kepada wajib pajak prosedur administrasi tetap sulit dan tidak mudah dan tidak efektif, karena wajib pajak tetap harus lapor SPT Tahunan walaupun PPhnya sudah dipotong final karena pihak pajak kurang memberikan sosialisasi.”
tidak efektif
If 1
“Oh ya memberikan kemudahan prosedur administrasi pajak, dan efektif, kesulitan hanya pada laporan SPT Tahunan karena kurangnya sosialisasi dari pihak pajak”
prosedur mudah
If 2
“Memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak, lebih sederhana bisa menghitung dan memotong sendiri pajak yang harus dibayar, kesulitan hanya ketika membuat laporan SPT Tahunan karena kurang nya sosialisasi dari pihak pajak.”
If 4
“Lebih efisien, mudah administrasinya dan efektif cukup mencatat jumlah penjualan saja.”
Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Dari hasil wawancara tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemungutan PPh final 1% atas UMKM oleh pemerintah tidak mencerminkan asas kemudahan dalam administrasi pajak.
5. Pemungutan Pajak Ditinjau dari Asas Kesederhanaan Pemungutan Pajak dan Peraturan Perpajakan Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini mayoritas informan menyatakan bahwa 35
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
sistem perpajakan dan peraturan perundang-undangan yang sekarang ini dibuat oleh pemerintah belum sederhana dan masih sulit dipahami, karena masih sering beda persepsi antara wajib pajak dengan pihak pajak, pasal-pasalnya terlalu banyak, dan jenis pajaknya banyak, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pemerintah.
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
Informan lain yang menyatakan bahwa sistem perpajakan dan peraturan perpajakan yang dibuat oleh pemerintah saat ini, baik dalam hal pemungutan pajak maupun peraturan perpajakan sudah sederhana, dengan catatan perlu diberikan penyuluhan atau sosialisasi secara terus-menerus. Seperti dapat dilihat pada tabel kutipan berikut ini:
Tabel Hasil Penelitian tentang Asas Kesederhanaan Pemungutan Pajak dan Peraturan Perpajakan bagi Wajib Pajak UMKM Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim 05
“Menurut Bapak/Ibu apakah sistem perpajakan yang sekarang dibuat oleh pemerintah mengenai kewajiban wajib pajak khususnya administrasi perpajakan sudah mencerminkan asas kesederhanaan baik dalam hal pemungutan pajak maupun dalam peraturan perundang-undangan? Karena apabila peraturan pajak dibuat sederhana maka wajib pajak akan lebih mudah memahami peraturan perpajakan” Jawaban
adminisrasi rumit
If 1
“Belum mencerminkan kesederhanaan masih rumit karena pelaporan pajak harus menggunakan E-SPT tidak semua orang mengerti cara menggunakan program E-SPT . Belum mampu menguasai teknologi Informasi.”
banyak pasal
If 3
”Tidak mencerminkan kesederhanaan terlalu banyak pajak yang harus dibayar oleh perusahaan, mulai dari kewajiban memotong pajak PPh psl 21, PPN, psl 23 dan sebagainya.
sulit dimengerti
If 5
“Masih sulit untuk dimengerti belum dibuat sederhana, membingungkan wajib pajak, karena kurang sosialisasi”
masih
beda persepsi
If 9
“Belum mencerminkan kesederhanaan masih sering beda persepsi terhadap aturan perpajakan.”
banyak pasal
If10
“Masih belum sederhana, pasal-pasalnya masih sulit untuk dimengerti, sering beda persepsi terhadap peraturan perpajakan”
sosialisasi
If 4
“Lebih sederhana, namun harus ada sosialisasi dari pemerintah jika menerbitkan aturan pajak yang baru.”
perlu bimbingan
“Ya memang peraturan sekarang ini memudahkan pemahaman, namun tetap perlu pembinaan dan sosialisasi terus-menerus, selain itu perlu dibuat format peraturan yang lebih sederhana. Prinsipnya sudah sederhana.” Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti If 8
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa sistem perpajakan dan peraturan perpajakan yang dibuat oleh pemerintah saat ini belum mencerminkan asas kesederhanaan dalam pemungutan pajak dan peraturan perpajakan. 4. Pemungutan Pajak Ditinjau Dari Asas Kesenangan dalam Pembayaran Pajak (Convenience Of Payment)
Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini mayoritas informan menyatakan bahwa apabila keadaan ekonomi lesu dan omset penjualan perusahaan turun mayoritas mereka berpendapat bahwa pengenaan PPh final bagi UMKM tidak tepat. Karena memberatkan perusahaan dan menjadi beban perusahaan yang akan berdampak terhadap kelangsungan usaha,
36
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
perusahaan akan bangkrut dan gulung tikar. Sedangkan informan yang menyatakan bahwa pengenaan PPh final bagi UMKM ketika keadaan ekonomi
sedang lesu dan omset penjualan turun sudah tepat karena dikenakan dari penjualan. Seperti dikutipan tabel di bawah ini :
Tabel Hasil Penelitian tentang Asas Kesenangan dalam Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak UMKM Kode Pertanyaan dan Jawaban Verbatim 06
“Bagaimana menurut pendapat Bapak/Ibu apabila keadaan ekonomi sedang lesu dan omset penjualan turun apakah pemberlakuan tarif PPh final bagi wajib pajak UMKM sudah tepat dan mencerminkan azas kesenangan dalam pembayaran pajak (convenience of payment) ?.” Jawaban
If 1
“Tidak tepat, karena wajib pajak mengalami kemunduran usaha dan memberatkan”
If 7 “Tidak tepat, saat wajib pajak omsetnya turun sebaiknya pemerintah mengambil kebijakan yang dapat membantu usaha UMKM supaya tidak bangkrut. Harus ada subsidi atau insentif pajak buat UMKM.” If 8 “Tidak tepat, untuk hal tersebut perlu pemerintah mempertimbangkan dengan menggunakan azas kemanusiaan supaya pengusaha bisa jalan usahanya, pajak itu dibebaskan atau pembayarannya dicicil/diangsur”. If 9 If 4 If 5
“Tidak tepat, perusahaan.”
pajaknya
harus
dibebaskan
supaya
tidak
memberatkan
“Sudah tepat, karena dikenakan dari penjualan”. “Sudah tepat”.
Sumber :Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengenaan PPh final bagi UMKM ketika keadaan ekonomi sedang lesu dan omset penjualan turun tidak tepat dan tidak mencerminkan asas kesenangan dalam pembayaran pajak (convenience of payment). Hambatan – hambatan yang dihadapi pengusaha UMKM dalam pelaksanaan penerapan PPh final Menurut hasil wawancara yang didapatkan, semua wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa pelaksanaan
penerapaan pemungutan PPh Final atas wajib pajak UMKM masih banyak menghadapi hambatan – hambatan di lapangandiantaranya adalah adanya tumpang tindih peraturan, wajib pajak UMKM belum paham teknis penghitungan, pembayaran dan pelaporan PPh final, adanya Surat Keterangan Bebas, ketidakadilan, kesulitan keuangan, PPh final merugikan perusahaan yang sudah tertib menyelenggarakan pembukuan, hasil jawaban dapat dilihat pada kutipan tabel di bawah ini:
37
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Kode 07
If 1
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
Tabel Hasil Penelitian tentang Hambatan –hambatan bagi Wajib Pajak UMKM dalam Pelaksanaan Penerapan PPh Final Pertanyaan dan Jawaban “Hambatan –hambatan apa yang Bapak/Ibu alami terhadap pelaksanaan penerapan pajak penghasilan final untuk pengusaha UMKM?” Jawaban
Verbatim
“Tumpang tindih peraturan, karena sudah ada tarif sendiri tentang UMKM yaitu tarif psl 31E UU PPh tarif efektifnya 12,5% dari penghasilan neto, untuk perusahaan yang memiliki omset dibawah 4,8 milyar setahun”
kurang sosialisasi
If 2
“Masih belum paham cara pemotongan penyetoran dan pelaporannya, soalnya kurang sosialisasi dari kantor pajak”
If 4
“Yang sulit waktu laporan SPT Tahunan Badan tahun 2013 karena laporannya 6 bulan final dan 6 bulan tidak final”
If 5
“Memberatkan, tidak adil, usaha belum tentu untung sudah harus bayar pajak, kesulitan keuangan, bayar pajak sering terlambat “
If 6
“ Pemerintah tidak pro UMKM , perusahaan kami yang sudah menyelenggarakan pembukuan dengan tertib dirugikan dengan tarif PPh final 1% yang dihitung dari peredaran bruto, padahal tarif yang lama kami menghitung pajak yang harus dibayar berdasarkan penghasilan neto, akibatnya perusahaan bayar pajaknya lebih besar “
If 7
“Harus membuat Surat Keterangan Bebas dari kantor pajak yaitu SKB ps 22, atau ps 23 supaya tidak dipotong ganda, yaitu potongan dari perusahaan lawan transaksi sebesar 1,5% utk ps 22, dan 2% utk ps 23 potongan ini tidak bisa dikreditkan diakhir thn & potongan pajak final 1%
If 10
“Perusahaan masih bingung cara penghitungan, pembayaran dan pelaporannya, terutama saat melaporkan SPT Tahunan Badan, karena pihak dari kantor pajak kurang memberikan penyuluhan dan sosialisasi”
Sumber : Hasil wawancara dengan informan dan diolah oleh peneliti
KESIMPULAN Efektivitas Pengenaan PPh Final Bagi Wajib Pajak UMKM Ditinjau dari AsasAsas Pemungutan Pajak Berdasarkan uraian yang sebelumnya dapat diambil kesimpulan pengenaan PPh final bagi UMKM kurang mengacu pada prinsip-prinsip asas-asas pemungutan pajak sehingga keadilan, kepastian hukum, efisiensi, kemudahan administrasi, kesederhanaan pemungutan dan peraturan, kesenangan dalam pembayaran, atas penerapan pajak penghasilan yang bersifat final terhadap pengusaha UMKM masih belum dapat terpenuhi, karena masih ditemui hambatan dalam penerapan peraturan tersebut seperti penerapan :
a. Asas Keadilan Pemungutan pajak adalah adil, apabila orang-orang yang berada dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, sedang orang-orang yang keadaan ekonomisnya tidak sama diperlakukan tidak sama, setara dengan ketidaksamaannya itu. Apabila rumusan tersebut diterapkan untuk pajak penghasilan, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut : ”Pajak Penghasilan itu sesuai dengan asas keadilan, apabila semua orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang sama tanpa memperhatikan sumber penghasilan dan tanpa membedakan jenisjenis penghasilannya dikenakan pajak yang sama, sedangkan orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis berbeda 38
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
dikenakan pajak penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya. Wajib pajak yang menerima tambahan kemampuan ekonomis lebih besar dikenakan pajak penghasilan dengan prosentase tarif yang lebih besar. Namun nampaknya hal tersebut belum berlaku pada perpajakan wajib pajak pengusaha UMKM, dimana tarif pajak UMKM dikenakan PPh final sebesar 1% dari peredaran bruto, sedangkan wajib pajak pengusaha besar dikenakan tarif PPh tidak final dihitung dari penghasilan neto. Menurut hasil wawancara yang didapatkan, mayoritas wajib pajak beranggapan bahwa peraturan PPh final yang diberlakukan pemerintah saat ini kurang tepat dan tidak adil bagi wajib pajak UMKM, karena pajak itu dikenakan terhadap peredaran bruto bukan dihitung dari penghasilan neto. PPh final yang dikenakan dari penghasilan bruto tanpa memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut jelas tidak memenuhi asas keadilan yang menganut ability to pay principledimana pembebanan pajak didasarkan kepada kemampuan masing-masing wajib pajak. The more you earn, the more you pay tax, demikian seharusnya yang adil. Kemampuan membayar pajak dicerminkan oleh penghasilan neto bukan penghasilan bruto. Ketidakadilan ini semakin terasa ketika wajib pajak harus membayar PPh meskipun menderita kerugian dan kerugian tersebut tidak boleh dikompensasikan ke tahun-tahun pajak berikutnya. Penerapan PPh final dengan tarif khusus di luar tarif umum secara langsung telah membeda-bedakan (diskriminasi) jenis atau sumber penghasilan untuk kepentingan pemajakan. Tarif pajak 1% dari omset dikeluhkan oleh wajib pajak UMKM karena dianggap memberatkan dan tidak tepat sasaran, ketika penjualan turun atau ekonomi keadaan lesu masih dibebankan dengan kewajiban membayar pajak. Atas
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
dasar ketepatan penerapan peraturan, sudah dapat dikatakan kurang tepat atas langkah pemerintah yang diambil dalam pengenaan pajak UMKM, dan tidak mencerminkan rasa keadilan. b. Asas Kepastian Hukum Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini sebagian menyatakan bahwa adanya perubahan peraturan PPh bagi UMKM sudah ada kepastian hukum karena sudah jelas aturannya, ada Peraturan Pemerintah (PP) dan tarifnya sudah jelas, selain itu mereka beranggapan bahwa kepastian hukum itu ada selama peraturan itu dijalankan sesuai dengan aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Melalui informan lain sebagian menyatakan bahwa adanya perubahan peraturan PPh bagi UMKM belum ada kepastian hukum karena peraturan pajak itu sering berubah, sulit dimengerti dan membingungkan. Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa ada dua pendapat dari informan yaitu perubahan peraturan pemerintah sudah mencerminkan asas kepastian hukum selama ada Peraturan Pemerintah yang mengatur, dan dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku. Sedangkan informan yang lain menyatakan belum mencerminkan asas kepastian hukum atas perubahan peraturan pemerintah terhadap pengusaha UMKM, disebabkan karena peraturan yang sering berubah, sulit dimengerti dan membingungkan. Menurut Adam Smith kepastian hukum lebih penting dari keadilan karena apabila tanpa kepastian hukum pelaksanaan pemungutan pajak bisa menjadi tidak adil. Perumusan dan makna ketentuan undang –undang pajak harus memberikan kepastian tentang siapa-siapa yang wajib membayar pajak, apa yang menyebabkan subyek pajak itu harus membayar pajak, berapa pajak yang harus dibayar, dan bagaimana pajak terutang itu harus dibayar (Mansury : 2002, 22-23). 39
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Artinya, kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subyek pajak (dan pengecualiaannya), obyek pajak (dan pengecualiaannya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai prosedur pemenuhan kewajibannya, antara lain prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya. Tanpa adanya prosedur yang jelas, maka wajib pajak akan sulit untuk menjalankan kewajiban serta haknya, dan bagi fiskus akan kesulitan untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak juga dalam melayani hak-hak wajib pajak (Rosdiana : 2004,81). c. Asas Efisiensi/Ekonomi Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini mayoritas informan menyatakan bahwa pemungutan PPh Final atas wajib pajak UMKM sebesar 1% dari omset tidak efiisen karena memberatkan perusahaan, menambah beban biaya perusahaan, 1% dihitung dari peredaran bruto bukan dari penghitungan laba rugi perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemungutan PPh final 1% atas UMKM tidak tepat dan tidak sesuai dengan asas efisiensi/ekonomi karena memberatkan wajib pajak dan penghitungan PPh Final didasarkan atas peredaran bruto bukan berdasarkan laba rugi perusahaan. d. Pemungutan Pajak dari Asas Kemudahan Administrasi Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini mayoritas informan berpendapat bahwa pemungutan PPh Final atas UMKM sebesar 1% belum mencerminkan asas kemudahan administrasi karena administrasinya menjadi lebih sulit dan tidak efektif , perusahaan masih harus
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
membuat laporan SPT Tahunan, dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat digambarkan bahwa pemungutan PPh final 1% atas UMKM administrasinya menjadi lebih sulit dan tidak efektif. Karena walaupun PPh nya sudah dipotong final, perusahaan masih harus lapor SPT Tahunan yang rumit dan sulit. Dari hasil wawancara tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemungutan PPh final 1% atas UMKM oleh pemerintah tidak mencerminkan azas kemudahan dalam administrasi pajak. e. Pemungutan Pajak Ditinjau dari Asas Kesederhanaan dalam Pemungutan Pajak dan Peraturan Perpajakan Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini mayoritas informan menyatakan bahwa sistem perpajakan dan peraturan perundang-undangan yang sekarang ini dibuat oleh pemerintah belum sederhana dan masih sulit dipahami, karena masih sering beda persepsi antara wajib pajak dengan pihak pajak, pasal-pasalnya terlalu banyak, dan jenis pajaknya banyak, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa sistem perpajakan dan peraturan perpajakan yang dibuat oleh pemerintah saat ini belum mencerminkan azas kesederhanaan baik dalam hal pemungutan pajak maupun peraturan perpajakan. f. Pemungutan Pajak Ditinjau Dari Asas Kesenangan dalam Pembayaran Pajak (Convenience Of Payment) Menurut hasil wawancara yang didapatkan, sejumlah wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini mayoritas informan menyatakan bahwa apabila keadaan ekonomi lesu dan omset penjualan perusahaan turun mayoritas mereka berpendapat bahwa pengenaan PPh final bagi UMKM tidak tepat. Karena 40
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
memberatkan perusahaan dan menjadi beban perusahaan yang akan berdampak terhadap kelangsungan usaha, perusahaan akan bangkrut dan gulung tikar. Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengenaan PPh final bagi UMKM ketika keadaan ekonomi sedang lesu dan omset penjualan turun tidak tepat dan tidak mencerminkan asas kesenangan dalam pembayaran pajak (convenience of payment). Hambatan – hambatan yang dihadapi pengusaha UMKM dalam pelaksanaan penerapan PPh final Menurut hasil wawancara yang didapatkan, semua wajib pajak yang menjadi informan dalam penelitian ini menyatakan bahwa pelaksanaan penerapaan pemungutan PPh Final atas wajib pajak UMKM masih banyak menghadapi hambatan – hambatan di lapangandiantaranya adalah adanya tumpang tindih peraturan, hal ini dikarenakan karena sudah ada tarif pajak khusus UMKM yaitu Psl 31E UU PPh . Wajib pajak UMKM belum paham teknis penghitungan, pembayaran dan pelaporan PPh final. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dan penyuluhan secara intensif dari Dirjen Pajak. Harus membuat Surat Keterangan Bebas dari kantor pajak yaitu SKB ps 22, atau ps 23 supaya tidak dipotong ganda, yaitu potongan dari perusahaan lawan transaksi sebesar 1,5% utk ps 22, dan 2% utk ps 23 potongan ini tidak bisa dikreditkan diakhir tahun dan potongan pajak final 1%. Ketidakadilan yang dirasakan oleh pengusaha UMKM karena pajak dihitung dari peredaran bruto bukan dari penghasilan neto. Kesulitan keuangan, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam pembayaran pajak. PPh final merugikan perusahaan yang sudah tertib menyelenggarakan pembukuan.
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
1. Hendaknya pemerintah meninjau kembali tarif 1% yang dikenakan kepada wajib pajak UMKM karena memberatkan, kurang tepat dan tidak adil, supaya mencerminkan rasa keadilan tarif pajak dihitung berdasarkan penghasilan neto bukan berdasarkan peredaran bruto. 2. Pemerintah hendaknya menurunkan tarif pajak UMKM dan perlu ada kebijakan pajak khusus buat UMKM misalnya adanya insentif pajak atau pembebasan pajak untuk kemajuan UMKM 3. Peraturan perpajakan jangan sering berubah, supaya tidak membingungkan wajib pajak. 4. Supaya efisien dan tidak memberatkan tarif pajak UMKM dibuat tidak final, tarif pajak dikembalikan ke cara yang lama yaitu dihitung berdasarkan penghasilan neto menggunakan tarif pasal 17 dan pasal 31E Undang-Undang PPh No 36 tahun 2008 5. Untuk memudahkan wajib pajak Pemerintah hendaknya membuat kebijakan peraturanperpajakan yang sederhana, mudah dipahami dan dimengerti wajib pajak 6. Untuk memudahkan administrasi pajak Pemerintah hendaknya membuat aturan prosedur sistem perpajakan yang tidak rumit dan tidak menyulitkan wajib pajak 7. Untuk meningkatkan pemahaman wajib pajak Pemerintah perlu melakukan sosialisasi terus menerus dan intensif melakukan penyuluhan apabila ada peraturan pajak yang baru.
DAFTAR PUSTAKA Brotodihardjo, R, Santoso, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, Eresco
SARAN 41
JURNAL LENTERA AKUNTANSI
Vol.2 No.1, Mei 2016 / ISSN 2339-2991
Lincoln, Yvonne S. Egon G. Guba, 1984, Naturalistic Inquiry, Beverly Hills, London, New Delhi, Sage Publications
Republik Indonesia Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Pengusaha Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Mansury, R, 1994, Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 1 Jakarta, Bina Rena Pariwara
LAIN-LAIN
_______ 2002, Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000, Jakarta, Bina Rena Pariwara Monique Hennink, Inge Hutter, Ajay Bailey, 2011, Qualitative Research Methods Neuman, W. Lawrence, 2003, Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches, Boston Pearson Education In
Harian Kompas , 23 Februari 2015, Usulan Penghapusan PPh Final bagi UMKM Hukum Pajak dan Keadilan, Pidato Pengukuhan Mr Sindian Isa Djajadiningrat sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam mata kuliah Hukum Fiskal, pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia padatanggal 28 Mei 1960, NV Eresco Bandung,1965.
Rosdiana, Haula, 2004, Perpajakan, Teori dan Kebijakan, Divisi Administrasi Fiskal FISIP UI Jakarta Siti Resmi, 2009, Perpajakan : Teori dan Kasus, Salemba Empat, Jakarta Smith, Adam, 2000, An Inquiry Into The Nature and Cause Of The Wealth Of Nations, New York, New York Press
DOKUMEN Republik Indonesia, Undang –Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undangundang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Republik Indonesia, Undang-undang No 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke Empat Atas Undang-undang No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
42