JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
STUDI PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) PADA ORGANISASI PEMERINTAH: SEBUAH KAJIAN KONSEPTUAL REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA Oleh : Donny Oktavian Syah Administrasi Bisnis, Politeknik LP3I Jakarta Gedung sentra Kramat Jl. Kramat Raya No. 7-9 Jakarta Pusat 10450 Telp. 021 – 31904598 Fax. 021 - 31904599 Email :
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini mencoba untuk memberikan sedikit gambaran tentang konsep sistem manajemen berbasis KPI (Key Performance Indicator) Balance Scorecard yang dalam implementasinya di organisasi pemerintahan sedikit “dimodifikasi” dan lebih dikenal dengan Indikator Kinerja Utama atau disingkat IKU. Seiring dengan diterbitkannyaPeraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 mengamanatkan secara lugas dan terang benderang upaya perubahan yang harus dilakukan oleh organisasi di seluruh kementerian dan lembaga, yang di antaranya adalah perubahan terhadap pengembangan SDM aparatur dan sistem manajemen kinerja. Dengan adanya peraturan tersebut, mau tidak mau arah besar misi reformasi organisasi dan birokrasi tersebut perlu untuk diterapkan dan penting untuk ditindak lanjuti oleh masing-masing organisasi, khususnya kementerian dengan rencana tindak yang mampu menterjemahkan seluruh nilai dan target pencapaian reformasi birokrasi secara masif dan berkesinambungan. Tulisan ini diharapkan akan sedikit memberikan konsepsi mengenai sistem manajemen IKU ini, termasuk perbedaan pendekatannya dengan “Metrik Sistem”. Diharapkan hingga tahun 2025 sesuai harapan pemerintah, seluruh organisasi Pemerintah baik pusat maupun daerah sudah menerapkan agenda reformasi birorkasi untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia. Kata kunci: Indikator Kinerja Utama (IKU), Reformasi Birokrasi, Balance Scorecard, Metrik
ABSTRACT
This articles tries to explain on management system based on Key Performance Indicators (KPI) or used to call Indikator Kinerja Utama (IKU) to support President Decree number 81 tahun 2010 regarding Grand Design for
1
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
Beurocracy Reform 2010-2025. In the decree, it is cleaarly stated that all government institution should conduct tranformation in the human resource management as the basis of performance system. Based on the decree, all government organization including ministry should develop a strategic planning to implemet and translate all value and and target mention in beurocracy reform in the structural way. This article explain the concept of performace management based on Key Performace Indicator --including the differences with the matric system-- so that it will foster the implementation of the decree. Hopefully in the end of 2025, the government is targeting all government institution in central and regional office has fully implementing the beurocracy reform to be a world class goverment. Keywords: Key Performance Indicator (KPI). Beuracracy Reform, Balance Scorecard, Metric.
PENDAHULUAN Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 20102025 mengamanatkan secara lugas dan terang benderang agar perubahan yang harus dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga, yang di antaranya adalah perubahan terhadap pengembangan SDM aparatur dan sistem manajemen kinerja. Arah besar misi reformasi birokrasi tersebut, karena sudah menjadi Peraturan Presiden tentunya perlu ditindak lanjuti oleh masing-masing organisasi pemerintah khususnya kementerian-kementerianyang ada dengan aksi yang mampu mengejawantahkan seluruh nilai dan target pencapaian reformasi birokrasi secara komprehensif dan berkesinambungan, sehingga pada tahun 2025 seluruh organisasi Pemerintah baik pusat maupun daerah sudah sepenuhnya menerapkan agenda reformasi birorkasi untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia. Akan tetapi, seringkali pelaksanaan reformasi birokrasi yang telah mulai dilakukan di berbagai organisasi pemerintah belum
membuahkan hasil yang memuaskan. Laporan World Economic Forum 2011-2012, peringkat daya saing Indonesia tahun 2011 justru menurun dua tingkat dari peringkat 44 menjadi 46. Salah satu penyebab utamanya adalah penurunan tersebut adalah kinerja birokrasi yang rendah. Hal ini menjadi cambuk bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja birokrasinya. Sebenarnya upaya untuk memperbaiki kinerja birokrasi telah dilakukan melalui penerbitan berbagai peraturan perundangan yang mengatur kinerja. Hal ini terlihat dari perubahan manajemen keuangan negara yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksanaan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara. Disamping itu, dalam dimensi sumber daya aparatur diterbitkan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Terhadap berbagai UU tersebut khususnya UU Bidang keuangan Negara, saat ini dalam lingkungan instansi pemerintah diberlakukan sistem anggaran
2
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
berbasis kinerja (performance based budgeting). Peraturan perundangan yang menjadi dasar perbaikan kinerja ini masih memerlukan instrumen yang terintegrasi dengan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Beberapa lembaga pemerintah dan Negara secara eksperimental berupaya menyusun manajemen kinerja. Pada tahun 2007, untuk pertamakalinya pemerintah menerapkan pilot project program reformasi birokrasi pada tiga instansi pusat yaitu Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Salah satu point penting yang mereka laksanakan adalah perubahan sistem manajemen kinerja yang berbasis Balanced Scorecard yang sering dikenal sebagai IKU (Indikator Kinerja Utama). Dengan diterapkan Sistem Manajemen Kinerja berbasis IKU diharapkan kinerja organisasi Pemerintah akan membaik kinerjanya. Berdasar hal tersebut, penulis mencoba menyusun sebuah kajian konseptual tentang sistem manajemn kinerja berbasis IKU ini untuk membantu organisasi Pemerintah dalam memberikan gambaran dasar tentang konsep IKU tersebut. Maka berdasarkan hal itu, maka penulis mencoba menyusun penelitian dengan judul:”Studi Pengembangan Sistem Manajemen Indikator Kinerja Utama (IKU) Pada Organisasi Pemerintah: Sebuah Kajian Konseptual Reformasi Birokrasi di Indonesia”. BerdasarBerdasarkan judul tersebut diatas, maka penulis mengidentifikasikan masalah dan mencoba menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:
1.
2.
3.
Apa sesungguhnya konsepsi IKU yang berbasis Balance Scorecard itu sebenarnya? Bagaimana cara menerapkan IKU di organisasi khususnya organisasi milik Pemerintah, apa perbedaan IKU (balance scorecard) dengan metric? Indikator keberhasilan apa saja yang diperlukan agar IKU bisa diterapkan di sebuah organisi?
Metodologi penelitian Dalam pembuatan penelitian ini, penulis membutuhkan data-data yang berhubungan dengan kajian ini, yakni bersumber dari : 1. Studi Lapangan (Field Research), penelitian dilakukan berdasarkan pengalaman penulis menjadi anggota konsultan penerapan manajemen kinerja (IKU) di berbagai organisasi pemerintah di Indonesia.Baik ketika mendatangi dan melakukan observasi obyek langsung sebagai konsultan, maupun wawancara langsung dengan para staf dan pimpinan organisasi yang bersangkutan. 2. Studi Pustaka (Library Research), melakukan studi kepustakaan mengenai topik manajemen kinerja untuk melengkapi penelitian ini dan mempelajari penunjang kajian seperti tulisan dalam jurnal, majalah, buku-buku referensi tertulis lainnya. LANDASAN HUKUM Sebagai dasar landasan hukum penerapan manajemen kinerja (IKU) di organisasi milik pemerintah didasarkan dengan beberapa peraturan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 43 3
JURNAL LENTERA BISNIS
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksanaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil; Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural;
9.
10.
11.
12.
13.
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara; Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil; Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi; Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
LANDASAN TEORI Konsep Manajemen Kinerja Balance Scorecard Konsep Manajemen Kinerja berbasis Balanced Scorecard (BSC)
4
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
dikembangkan pertama kali oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang berawal dari studi tentang pengukuran kinerja di sektor bisnis pada tahun 1990an (Kaplan, Robert S; Norton D.P, 1992). Balanced Scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk me-record skor hasil kinerja suatu organisasi atau malah skor individu. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan di masa depan. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan organisasi/individu di masa depan dikomparasikan dengan realitas hasil kinerja sesungguhnya. Hasil perbandingan tersebut digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja organisasi/individu yang bersangkutan. Kata berimbang dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa kinerja organisasi/individu diukur secara berimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, internal dan eksternal. Kaplan dan Norton pertamanya mengunggah gagasannya dalam sebuah artikel di tahun 1992, karena menjadi populer yang banyak ikut menerapkan, karenanya, keduanya meluncurkan sebuah buku dengan judul The Balance Scorecard (Kaplan, Robert S; Norton D.P, 1996). Konsep Balanced Scorecard ini dikembangkan untuk melengkapi pengukuran kinerja finansial (atau dikenal dengan pengukuran kinerja tradisional) dan sebagai alat yang cukup penting bagi organisasi untuk merefleksikan pemikiran baru dalam era competitiveness dan efektivitas organisasi. Konsep ini memperkenalkan suatu sistem pengukuran kinerja
Organisasi/Lembaga dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu. Kriteria tersebut sebenarnya merupakan penjabaran dari apa yang menjadi misi dan strategi Organisasi/ Lembaga dalam jangka panjang, yang digolongkan menjadi empat perspektif yang berbeda yaitu: 1. Perspektif Keuangan Bagaimana kita berorientasi pada para pemegang saham (kalau organisasi pemerintah berarti pemegang sahamnya adalah pemerintah). 2.
Perspektif Pelanggan Bagaimana bisa menjadi supplier utama yang paling bernilai bagi para pelanggan.
3.
Perspektif Proses Bisnis Internal Proses bisnis apa saja yang terbaik yang harus dilakukan, dalam jangka panjang maupun jangka pendek untuk mencapai tujuan keuangan dan kepuasan pelanggan.
4.
Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Bagaimana dapat meningkatkan dan menciptakan value secara terus menerus, terutama dalam hubungannya dengan kemampuan dan motivasi pegawai. Gambar 3.1. Empat Perspektif Balanced Scorecard
5
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
aspek “melayani”. Sehingga dalam hal ini perlu dipertimbangkan untuk tidak menerapkan perspektif keuangan hanya dalam kacamata “rugiuntung” perusahaan pada umumnya. Tetapi keberhasilan tolak ukurnya bisa diukur dari “kesuksesan” untuk bias memanfaatkan dengan maksimal dana yang dialokasikan yang diambil dari dana APBN untuk digunakan sebesar-besarnya kepentingan publik yang harus dilayani.
Dimensi dalam Balanced Scorecard Menurut Kaplan (Kaplan, 1996:15) “if can measure it you can manage it”, pendapat ini menjadi dasar pemikiran untuk melakukan pengukuran terhadap semua aktivitas yang dilakukan oleh organisasi baik aktivitas yang dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Pengukuran terhadap perspektif tersebut adalah: 1.
Dimensi Keuangan Menurut Kaplan (Kaplan, 1996) pada saat perusahaan melakukan pengukuran secara keuangan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mendeteksi keberadaan industri yang dimilikinya. Kaplan menggolongkan tiga tahap perkembangan industri yaitu; growth, sustain, dan harvest. Dari tahap-tahap perkembangan industri tersebut akan diperlukan strategistrategi yang berbeda-beda. Dalam perspektif keuangan, terdapat tiga aspek dari strategi yang dilakukan suatu organisasi: (a) pertumbuhan pendapatan dan kombinasi pendapatan yang dimiliki suatu organisasi bisnis, (b) penurunan biaya dan peningkatan produktivitas, (c) penggunaan aset yang optimal dan strategi investasi. Untuk implementasinya tentunya teori dari Kaplan ini tidak bisa diterapkan seutuhnya. Karena dalam hal ini organisasi milik Pemerintah (BUMN/BUMD) visi dan misinya tidak semata-mata hanya mencari keuntungan dari perspsektif keuangan, tetapi ada
2.
Dimensi Pelanggan Dimensi pelanggan dalam Balanced Scorecard menjabarkan bagaimana kondisi pelanggan mereka dan segmen pasar yang telah dipilih untuk bersaing dengan kompetitor mereka. Segmen yang telah mereka pilih ini mencerminkan keberadaan pelanggan tersebut sebagai sumber pendapatan mereka. Dalam dimensi ini, pengukuran dilakukan dengan lima aspek utama (Kaplan,1996:67), yaitu: a. Pengukuran Pangsa Pasar Pengukuran terhadap besarnya pangsa pasar perusahaan mencerminkan proporsi bisnis dalam satu area bisnis tertentu yang diungkapkan dalam bentuk uang, jumlah customer, atau unit volume yang terjual atas setiap unit produk yang terjual. b. Customer Retention Pengukuran dapat dilakukan dengan mengetahui besarnya prosentase pertumbuhan
6
JURNAL LENTERA BISNIS
a.
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
bisnis dengan jumlah pelanggan yang saat ini dimiliki. CustomerAcquisition Pengukuran dapat dilakukan melalui prosentase jumlah penambahan pelanggan baru dan perbandingan total penjualan dengan jumlah pelanggan baru yang ada. Untuk implementasinya perspektif pelanggan tentunya tidak bisa diterapkan semuanya. Karena tidak bisa semua persepektif Pelanggan di atas dapat direngkuh dalam “satu yang bersamaan”. Itu memungkinkan tetapi akan membutuhkan tenaga yang ekstra. Perlu dilihat titik tekan dari Visi dan Misi organisasi masing-masing. Biasanya didalam organisasi milik pemerintah, aspek Customer Acquisition, Customer Acquisition, Customer Profitability menjadi prioritas yang perlu dikedepankan untuk dikerjakan terlebih dahulu. Oleh karena aspek tersebut masih bersifat terbatas, maka perlu dilakukan pengukuranpengukuran yang lain yaitu pengukuran terhadap semua aktivitas yang mencerminkan nilai tambah bagi pelanggan yang berada pada pangsa pasar perusahaan. Pengukuran tersebut dapat berupa: atribut produk atau jasa yang diberikan kepada pelanggan (seperti: kegunaan, kualitas dan
harga), hubungan atau kedekatan antar pelanggan (seperti: pengalaman membeli dan hubungan personal), image dan reputasi produk atau jasa di mata pelanggan. 3.
Dimensi Proses Bisnis Internal Dalam dimensi ini, organisasi melakukan pengukuran terhadap semua aktivitas yang dilakukan oleh organisasi baik manajer maupun pegawai untuk menciptakan suatu produk yang dapat memberikan kepuasan tertentu bagi pelanggan dan juga para pemegang saham. Dalam hal ini perusahaan berfokus pada tiga proses bisnis utama yaitu: proses inovasi, proses operasi, proses pasca pelayanan. a. Proses Inovasi Dalam proses penciptaan nilai tambah bagi pelanggan, proses inovasi merupakan salah satu kritikal proses, dimana efisiensi dan efektivitas serta ketepatan waktu dari proses inovasi ini akan mendorong terjadinya efisiensi biaya pada proses penciptaan nilai tambah bagi pelanggan. Secara garis besar proses inovasi dapat dibagi menjadi dua yaitu: (1) Pengukuran terhadap proses inovasi yang bersifat penelitian dasar dan terapan, (2) Pengukuran terhadap proses pengembangan produk. b. Proses Operasi Pada proses operasi yang dilakukan oleh masing-masing organisasi
7
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
bisnis, lebih menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari barang dan jasa yang diberikan kepada pelanggan. Pada proses operasi, pengukuran terhadap kinerja dilakukan terhadap tiga dimensi yaitu; time measurement, quality process measurement dan process cost measurement. 1) Pengukuran terhadap efisiensi waktu yang diperlukan (time measurements). Pengukuran terhadap efisiensi waktu yang diperlukan untuk menghasilkan produk (waktu proses produksi) sangat berkaitan erat dengan keseluruhan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan produk sampai produk siap untuk dijual Sehingga dalam hal ini pengukuran waktu proses awal (cycle time) dapat dilakukan sejak diterimanya order pelanggan, order pelanggan tersebut (produksi dalam batch) dijadualkan untuk diproduksi, dibuatnya order permintaan bahan baku untuk keperluan proses produksi, bahan baku tersebut diterima, dan ketika produksi direncanakan. Sedangkan akhir proses (end cycle time) ditengarai dari
produksi dalam unit atau batch telah diselesaikan, order (barang jadi) siap untuk dikirim dan disimpan dalam persediaan barang jadi, order dikirimkan kepada customer, order diterima oleh pelanggan; 2) Pengukuran terhadap kualitas proses produksi (quality processmeasurements) Dalam hal kualitas proses produksi,organisasi diharapkan dapat melakukan belbagai ragam pengukuran terhadap proses produksi yang ditengarai dari adanya hal-hal sebagai berikut seperti tingkat kerusakan produk dari proses produksi, perbandingan produk bagus yang dihasilkan dengan produk bagus yang masuk dalam proses, bahan buangan (waste), bahan sisa (scrap), besarnya angka pengerjaan kembali (rework), besarnya tingkat pengembalian barang dari pelanggan, kesesuaian prosentase kualitas proses dengan statistical process control; 3) Pengukuran terhadap efisiensi biaya proses produksi (process cost measurements) Dimensi
8
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
ketiga dari pengukuran terhadap proses operasi adalah pengukuran sejumlah biaya yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan produk. Pada sistem pembebanan biaya tradisional, sistem akuntansi telah banyak melakukan pengukuran atas biaya yang dikeluarkan atas penggunaan sumbersumber dalam departemen, dalam proses operasi ataupun kewajiban individu. Tetapi sistem ini tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengkalkulasi biaya aktivitas yang muncul dalam rangka menghasilkan produk. Sehingga dikembangkan pendekatan sistem Activity Based Costing (ABC) dan sistem ini mampu membantu manajer dalam meakukan akumulasi terhadap keseluruhan biaya yang tejadi pada proses operasi. Sistem ABC ini (bersama-sama dengan pengukuran kualitas dan waktu proses produksi) akan menghasilkan tiga parameter penting untuk mengkarakteristikkan pengukuran proses bisnis internal.
a.
Proses Pasca Pelayanan Tahap terakhir dalam pengukuran proses bisnis internal adalah dilakukannya pengukuran terhadap pelayanan purna jual kepada pelanggan. Pengukuran ini menjadi bagian yang cukup penting dalam proses bisnis internal, karena pelayanan purna jual ini akan berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pelanggan. Yang termasuk dalam aktivitas purna jual diantaranya adalah: garansi dan aktivitas reparasi, perlakuan terhadap produk cacat atau rusak, proses pembayaran yang dilakukan oleh pelanggan pada transaksi penjualan yang dilakukan secara kredit. Prespektif Bisnis Proses ini merupakan pilar penting yang keseluruhan prosesnya perlu untuk digelindingkan. Ini mengingat keberhasilan penerapan budaya kinerja ini salah satunya disumbang oleh tertanamnya nilai-nilai perusahaan (corporate culture) yang mengedepankan nilai-nilai unggul. Proses ini akan berhasil dipatrikan di benak seluruh jajaran Hubud melalui perspektif bisnis proses ini secara berkesinambungan. Gambar 3.2. Tolok Ukur Perspektif Proses Bisnis
9
JURNAL LENTERA BISNIS
4.
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
Dimensi Pembelajaran dan Pertumbuhan Dimensi Pembelajaran dan Pertumbuhan ini pada prinsipnya mengukur bagaimana kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi, teknologi informasi dalam organisasi dikelola dan dikembangkan. Karena bagaimanapun juga, kinerja sebuah organisasi kedepann tergantung juga bagaimana kualitas “the man behind the gun” yang ada dalam organisasi dikembangkan, penerapan teknologi informasi yang diimplementasikan, dan perkembangan organisasi yang solid kedepan. Biasanya Dimensi Pembelajaran dan Pertumbuhan mengukur beberapa kriteria di bawah ini : a. Kapasitas pegawai (employee capabilities), misalnya mengukur seberapa jauh organisasi memfasilitasi pelatihan pelatihan yang dibutuhkan untuk menunjang kinerjanya dalam mendukung strategi yang dicanangkan oleh organisasi. Biasanya diukur dalam satu tahun berapa kali mengikuti pelatihan (training, seminar, shortcourse,dls). Juga mengukur bagaimana organisasi memfasilitasi karyawannya untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang aspek-aspek yang ada dalam organisasi seperi memberikan pelatihan tentang pelayanan (service) untuk karyawan yang tidak ada di garda depan yang
b.
c.
berhubungan dengan pelanggan misalnya. Kapasitas Informasi Teknologi, mengingat informasi teknologi sudah lekat diterapkan di organisasi, pengukuran terhadap kapasitas informasi teknologi yang berhubungan atau dipakai dalam organisasi, adalah hal penting mengukur kapasitas informasi teknologi para karyawan. Misalnya pelatihan tentang ERP (Enterprise Resource Planning) kepada karyawan karena untuk mendukung effektivitas pelayanan dan persaingan diterapakan sistem ERP di organisasi, berarti kemampuan karyawan untuk mampu “mengoperasikan” sistem tersebut menjadi krusial. Strategi Awareness & Motivation, mengintrodusir serangkaian program motivasi agar para karyawan termotivasi dan bersemangat serta merasa diikutsertakan dalan mengembangkan organisasi. Program sosialisasi program tertentu misalnya program “paperless office program” yang bertujuan mengurangi penggunaan kertas dalam kantor, akan lebih efektif gaungnya jika karyawan mengetahui, memahami dan pernah mendapatkan sosialisasi programnya terlebih dahulu.
10
JURNAL LENTERA BISNIS
PENERAPAN KINERJA IKU
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
MANAJEMEN
Perbedaan IKU dengan Metric Hampir kebanyakan orang beranggapan ada kesamaan antara Key Performance Indicator (IKU) dan Metric. Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, karena sejatinya IKU itu adalah metric, tapi tidak semua metric itu adalah IKU. Yang membedakan antara metric yang merupakan IKU dan metric yang hanya merupakan ukuran saja/ indicator only. Dari namanya, Key Performance Indicator sudah menyebutkan, performance indicator atau penunjuk kinerja. Contohnya performance suatu proses diukur atau ditunjuk melalui suatu IKU. IKU tidak sekedar mengukur suatu panjang, suatu waktu proses, suatu umur alat tetapi lebih tepat ukuran dari suatu performance atau kinerja. Lebih lanjut, IKU merupakan ukuran kunci (key) terhadap bisnis atau kesuksesan, bukan hanya ukuran seadanya/sambil lalu dari suatu bisnis proses. Dengan demikian, IKU sangat erat berhubungan dengan obyektif dari proses yang akan diukur. Sebuah organisasi layaknya memiliki banyak metric, namun hanya sedikit IKU. Contoh metric adalah: profitabilitas, pangsa pasar, penjualan, jumlah karyawan dan sebagainya. Namun IKU merupakan suatu performance metric yang secara nyata dan jelas terkait dengan sasaran strategis organisasi yang mampu mendorong organisasi menerjemahkan strateginya ke dalam terminologi yang bisa dikuantifikasi. Rancangan IKU yang baik memberikan informasi yang dalam, jelas dan tajam mengenai kecenderungan suatu kinerja,
sementara itu juga didukung oleh ketersediaan metric yang rinci. IKU yang tepat juga membantu apakah organisasi sudah melakukan hal yang benar dan mengetahui apa yang perlu perbaikan (improvement) atau penyesuaian. Dengan demikian, tampaklah apa perbedaan dari metric dan IKU, yakni sebagai berikut: 1. IKU adalah metric, tapi tidak semua metric merupakan IKU; 2. Organisasi memiliki banyak metric, tapi hanya sedikit IKU; 3. Metric dapat berupa suatu ukuran tentang suatu (besaran, jumlah, waktu), tetapi IKU adalah ukuran yang mempunya makna berarti dan kunci (matter most & key); 4. Metric dapat diubah atau tidak dapat diubah melalui suatu aksi. Tetapi IKU sebaiknya harus dapat diubah melalui suatu aksi (actionable). Jadi Janganlah mengukur sesuatu sebagai IKU jika hal itu tak dapat diubah melalui serangkaian aksi spesifik. Bagaimana sebuah metric bisa menjadi IKU? maka IKU adalah metric yang: 1. Outcome-oriented, yang bukan hanya sekedar output (keluaran dari proses), karena outcome memiliki pengaruh (impact); 2. Target-based, artinya memiliki paling tidak satu nilai sasaran yang sensitif terhadap waktu; 3. Rated/Graded, yang berarti memiliki nilai ambang (threshold) yang membedakan antara nilai aktual dan target. Berbasis tiga kriteria di atas, dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah sebuah metric memenuhi
11
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
status sebagai IKU yang membantu untuk tetap fokus pada ukuran tersebut sebagai salah satu kunci menuju kesuksesan organisasi. Deskripsi mengenai kriteria tersebut akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya. Setiap strategi, pekerjaan atau proses bisnis memiliki ukuran keberhasilan. Tanpa ukuran keberhasilan, sulit mengevaluasi sejauh mana seseorang atau suatu proses bisnis dapat dikatakan efektif. Indikator keberhasilan pencapaian strategi disebut dengan berbagai nama, Kaplan & Norton (2004) menyebutnya sebagai strategic measures dan key performance indicators. Unsur-Unsur Keberhasilan IKU Penetapan indikator keberhasilan strategi, pekerjaan atau proses bisnis senyatanya merupakan kebutuhan pihak-pihak dalam organisasi secara keseluruhan. Pengukuran produktifitas proses bisnis merupakan jawaban atas hasrat pemegang saham yang selalu menginginkan feedback kesehatan bisnisnya. Dalam tatanan birokrasi, pemegang saham bisa diartikan sebagai rakyat, sedangkan pelaksananya pelaku yang ada di dalam organisasi. Adanya key performance indicator merupakan jawaban atas hasrat karyawan yang selalu menginginkan ukuran yang lebih objektif dalam penilaian hasil pekerjaannya. Jadi sudah bukan jamannya lagi, keberhasilan karir karyawan didalam organisasi ditentukan oleh faktor “like or dislike”, tetapi karena kinerjanya. Apapun namanya, sebagai sebuah alat ukur pencapaian strategi, sebuah indikator keberhasilan strategik (strategic measures) yang
baik perlu memenuhi unsur-unsur berikut: 1. Dapat menjadi sarana Organisasi/Lembaga mengkomunikasikan strategi (ability of the organization to communicate their strategy for measures); 2. Terkait secara langsung dengan strategi yang dipilih Organisasi/ Lembaga (the selected measure adequately focuses on the strategic issue); 3. Indikator tersebut bersifat kuantifitatif, memiliki formula tertentu dalam penghitungannya (quantifiable, can be evaluated objectively); 4. Indikator tersebut dapat dihitung (the measures are quantifiable, reliabled and repeatable); 5. Frekuensi pemutakhirannya bermanfaat (the frequency of updates are meaningfull); 6. Penetapan target untuk perbaikan dapat dilakukan (meaningful targets for improvement are established); 7. Kemungkinan pembandingan dengan Organisasi/Lembaga lain dapat dilakukan (external benchmarking is feasible and/or desirable); 8. Pengukurannya masih valid (validity of measures – not old unvalid measures); 9. Data dan sumber daya tersedia (availability of data and resources); 10. Biaya pengukurannya tidak melebihi manfaatnya (cost of measures not more than benefit of measures). ; Ide dari berbagai pertimbangan di atas ialah untuk memastikan bahwa Organisasi/Lembaga memilih indikator yang di satu sisi memenuhi
12
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
kebutuhan idealisme Organisasi/Lembaga, tetapi di sisi lain tidak mengorbankan kepraktisan implementasi. Untuk dapat menerapkan manajemen kinerja dalam suatu organisasi, diperlukan adanya prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam suatu organisasi, yaitu: 1. Adanya suatu indikator kinerja (key performance indicator) yang terukur secara kuantitatif dan jelas batas waktunya. Ukuran ini harus dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Jika perusahaan yang berorientasi pada profit, maka ukurannya adalah ukuran finansial seperti omset penjualan, laba bersih, pertumbuhan penjualan dan lainlain. Sedangkan pada organisasi nirlaba seperti organisasi pemerintahan maka ukuran kinerjanya adalah berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Semua harus terukur secara kuantitatif dan dapat dimengerti oleh berbagai pihak yang terkait, sehingga bila nanti dievaluasi dapat diketahui apakah kinerja sudah dapat mencapai target atau belum. Michael Porter (1996), menyatakan bahwa kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja biasanya tidak bisa diharapkan untuk mampu mencapai kinerja yang memuaskan pihak yang berkepentingan (stakeholders); 2. Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan dalam suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering
3.
disebut sebagai suatu kontrak kinerja (performance contract). Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik mengenai sasaran pencapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Ada dua hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja untuk mencapainya (lead). Keduanya perlu dicantumkan supaya pada saat evaluasi nanti berbagai pihak bersikap secara fair, dan tidak melihat hasil akhir semata, namun juga proses kerjanya. Bisa saja seorang bawahan belum mencapai semua hasil kerja yang ditargetkan, tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir belum tercapai. Hal ini juga bisa menjadi dasar untuk perbaikan di masa mendatang (continuous improvement); Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu: a. Perencanaan kinerja, berupa penetapan indikator kinerja lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan;
13
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
b.
4.
5.
Pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru maka lakukan perubahan tersebut; c. Evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya. Semuanya ini harus serba kuantitatif. Adanya suatu sistem reward and punishment yang bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak selalu harus bersifat finansial, tetapi bisa juga berupa bentuk lain seperti promosi, kesempatan pendidikan dan lainlain. Reward and punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja harus ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja lebih dahulu sebelum reward and punishment. Penerapan punishment ini harus hati-hati, karena dalam banyak hal pembinaan jauh lebih bermanfaat; Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang relatif obyektif yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan sekerja, dan pengguna jasa, karena pada prinsipnya manusia itu berpikir secara
6.
7.
subyektif, namun dengan berpikir bersama mampu untuk mengubah sikap subyektif itu menjadi mendekati obyektif, atau berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat dalam konsep penilaian 360 derajat; Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam manusia. Suatu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah sikap followership atau menjadi pengikut. Bagaimana jadinya bila semua orang menjadi komandan dalam organisasi? Bukan kinerja tinggi yang tercapai, namun kekacauan yang ada. Pada dasarnya seseorang itu harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi dalam situasi yang lain dia juga harus memahami bahwa dia merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar yang harus diikuti; Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi. Umumnya organisasi yang berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan kompetensi itu tersebut kepada hal-hal yang penting, seperti manajemen kinerja, rekruitmen, seleksi, pendidikan, pengembangan pegawai, dan promosi. Kompetensi ini meliputi
14
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
kompetensi inti organisasi, kompetensi perilaku, dan kompetensi teknis yang spesifik dalam pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di lapangan serta studi literatur penunjang di lapangan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peraturan Presiden RI Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 merupakan amanat yang jelas yang bertujuan agar organisasi pemerintah (BUMN/BUMD) menerapakan reformasi birokarasi agar menjadi organisasi pemerintahan tata laksnana kelas dunia (world class organization). 2. Acuan reformasi birokrasi adalah mengimplementasikan balance scorecard (Indikator Kinerja Utama) yang diintrodusir oleh Robert Kaplan dan Norton yang berbasis di empat dimensi yakni dimensi Keuangan, dimensi Pelanggan, dimensi Proses Bisnis Intenal dan dimensi Pembelajaran dan Pertumbuhan. 3. Ada beberapa indikator keberhasilan strategik (strategic measures) yang perlu dipenuhi agar implementasi IKU bisa berjalan, beberapa unsur yang
penting diantaranya indikator data dan sumber daya tersedia dan bersifat kuantitatif, memiliki formula tertentu dalam penghttungannya, indikator dapat dihitung, Kemungkinan pembandingan dengan Organisasi/Lembaga lain dapat dilakukan(comparable).
DAFTAR PUSTAKA Kaplan, Robert S; Norton, D. P. (1996). The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action. Boston, MA.: Harvard Business School Press Kaplan, Robert S; Norton, D. P. (1992). "The Balanced Scorecard - Measures That Drive Performance". Harvard Business Review (January– February): hal. 71–79. Kaplan, Robert S; Norton, D. P. (1993). "Putting the Balanced Scorecard to Work". Harvard Business Review. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Porter, Michael.E. (1996) "What is Strategy", Harvard Business Review, Nov/Dec 1996. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
15
JURNAL LENTERA BISNIS
VOL. 4 NO. 2 NOVEMBER 2015 / ISSN 2252-9993
1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil; Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
Reformasi Birokrasi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 29 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian; Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksanaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map
16