NILAI-NILAI BUDAYA DALAM TIGA CERITA RAKYAT TOLAKI (PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA) Andi Musdalifa A1D1 12 032
[email protected] Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi adanya penelusuran dan pengkajian sastra daerah untuk terus terpelihara keberadaannya. Hal tersebut mengingat sastra daerah khususnya cerita rakyat banyak mengandung nilai-nilai budaya dan sudah mulai terlupakan oleh masyarakat pendukungnya. Sastra dan tata nilai kehidupan merupakan fenomena yang saling melengkapi sebagai sesuatu yang berharga. Kehadiran nilai bersumber dari kehidupan yang juga memberikan sumbangan bagi sastra. Sementara itu, cerita rakyat banyak mengandung nilai-nilai budaya dan di dalamnya mengandung unsur-unsur didaktis. Ketiga cerita rakyat Tolaki di dalam penelitian ini memiliki nilai-nilai budaya yang sesuai dengan gambaran nilai kehidupan masyarakat Tolaki. Ketiga cerita rakyat tersebut adalah cerita Randa Wulaa, cerita Haluoleo, dan cerita To Tambarano Wuta. Masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah nilai-nilai budaya dalam tiga cerita rakyat Tolaki?”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam tiga cerita rakyat Tolaki kajian sosiologi sastra. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode dekriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah tiga cerita rakyat yang dimuat dalam buku Prosa dalam Sastra Tolaki yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1993. Berdasarkan hasil penelitian, dari empat nilai yang diuraikan aspek nilai budaya yang terdapat dalam tiga cerita rakyat Tolaki adalah nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan orang Tolaki dan bermanfaat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nilai budaya yang terdapat pada tiga cerita rakyat tersebut yaitu, nilai kepercayaan, nilai filosofis, nilai kesabaran, nilai kebersamaan (solidaritas), nilai kemapanan, nilai kerukunan, nilai keberanian, nilai etika dan moral, nilai keteguhan, nilai keselarasan, nilai rendah hati, nilai kesopanan, nilai kasih sayang, dan nilai keindahan. Kata kunci: Nilai Budaya, Cerita Rakyat, Suku Tolaki, dan Sosiologi Sastra Pendahuluan Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional tidak terlepas dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan daerah yang banyak tersebar dari seluruh tanah air termasuk di Sulawesi Tenggara. Usaha tersebut mempunyai arti penting tidak hanya bagi kebudayaan itu sendiri melainkan juga kebudayaan nasional. Keanekaragaman kebudayaan melahirkan bentuk-bentuk kesastraan yang beraneka ragam. Bila dilihat corak ragam kesusastraan daerah yang tersebar di negara kita. Maka salah satu diantaranya adalah kesusastraan Tolaki. Sastra daerah Tolaki perlu digali dan dikenal sebagai salah satu budaya daerah yang harus dipertahankan dalam usaha pembinaan kebudayaan nasional yang berbhineka tunggal ika. Sebagai produk budaya, sastra daerah selain mengandung unsur keindahan yang menimbulkan rasa senang dan nikmat, juga mengandung nilai budaya bangsa yag bermanfaat bagi kehidupan. Nilai tersebut merupakan buah pengalaman dan pemikiran masyarakat pendukung kesusastraanya. Oleh karena itu, nilai tersebut perlu diangkat ke “permukaan” agar maknanya dapat diserap dan dimengerti oleh sebagian besar masyarakat. Pengangkatan nilai budaya dalam susastra itu tidak lain adalah upaya mencari mutiara kehidupan masa lalu yang sagat berharga bagi kehidupan masa kini. Mutiara yang sangat berharga salah satunya diperoleh dari hasil kesusastraan itulah sumber nilai-nilai luhur yang perlu digali dari kehidupan budaya bangsa di Nusantara ini dan kemudian dirumuskan secara padat dan esensial. Salah satu kajian dalam penelitian ini adalah kajian sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat (Endraswara, 2011: 77). Pendapat tersebut memberikan makna bahwa sosiologi sastra merupakan “cermin” yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra menekankan kajiannya tentang hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra. Pendekatan ini, akan menganalisis cerita rakyat Tolaki yaitu, cerita Randa Wulaa, cerita Haluoleo, dan cerita To Tambarano Wuta”. Cerita rakyat ini sesuai dengan pendeskripsian kehidupan sosial budaya masyarakat Tolaki. Hal ini sangat terlihat dari
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
cerita Randa Wulaa (Putra Bungsu) yang mengisahkan kegigihan dan kesabarannya untuk mendapatkan cita-cita yang ia inginkan, cerita Haluoleo yang mengisahkan perjuangan menjadi pemimpin yang bijaksana, dan cerita To Tambarano Wuta yang menceritakan keberanian dan kesombongan seorang pemimpin.. Dalam hal ini, peneliti ingin mengkaji cerita rakyat Tolaki yaitu, Randa Wulaa, Haluoleo, dan To Tambarano Wuta. Pengambilan cerita rakyat ini dijadikan objek penelitian dikarenakan cerita tersebut termasuk cerita rakyat yang di duga sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki. Faktor lain yang menjadi alasan pengambilan cerita rakyat ini masih kurang dikenal oleh masyarakat, sehingga ada kekhawatiran cerita rakyat ini akan hilang dan tidak dikenal lagi oleh generasi berikutnya.Oleh sebab itu, penelitian tentang cerita rakyat, mengenai nilai-nilai budaya dalam cerita rakyat Tolaki kajian sosiologi sastra, perlu dilakukan yang selanjutnya budaya masyarakat Tolaki yang tersimpan dalam teks masih relevan, atau dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian masalah pada masa sekarang. Untuk itu dalam penelitian ini penulis tertarik untuk mengkaji cerita Randa Wulaa dengan judul “Nilai-Nilai Budaya dalam Tiga Cerita Rakyat Tolaki (Pendekatan Sosiologi Sastra) ” dengan mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam tiga cerita rakyat tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki?”. Kajian Pustaka Konsep Nilai Pembahasan konsep nilai ini bukanlah membahas tentang nilai kebenaran ataupun kebenaran itu adalah nilai juga. Nilai dalam bahasa Inggris adalah Value yang berasal dari bahasa Latin Valere, dan dalam bahasa Prancis kunoo Valoir yang secara umum berarti harga (Mulyana, 2004: 7 dalam Hayati 2012: 3). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) nilai adalah harga yaitu, sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena mempunyai nilai. Oleh karena itu, nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama karena penilaian seseorang terhadap sesuatu itu bisa saja berlainan. Menurut Bagus (dalam Kusumohamidjojo, 2009: 150) nilai sebagai harkat, yaitu,”Kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan”. Disamping itu, nilai juga dijelaskannya sebagai keistimewaan, yaitu apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan, baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu nilai negatif atau tidak bernilai. Konsep Nilai Budaya Koentjaraningrat (1984: 8 dalam Sikki, 1998: 19) menyatakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat.. Sistem Nilai-Nilai Budaya Menurut Kluchon (dalam Iper, 2003: 10) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsep umum yang terorganisasi, yang memepengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, hubungan dengan orang dengan orang, dan tentang hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungannya dan sesama manusia. Berdasarkan kerangka Kluchon, semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia itu, sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok tersebut adalah sebaga berikut: (1) masalah hakikat dari hidup manusia, (2) masalah hakikat dari karya manusia, (3) masalah hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu, (4) masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (Djamaris, 1994 dalam Iper, 2003:10). Menurut Harun (2006 dalam Hayati, 2012: 50) sebuah tradisi atau kebudayaan memiliki nilai religius, nilai filosofis, nilai etika, dan nilai estetika.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Nilai-Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Terkait dengan nilai budaya, cerita rakyat sebagai salah satu unsur kebudayaan juga mempunyai nilai-nilai budaya. Pada umumnya nilai-nilai budaya tersebut berkaitan dengan (1) manusia sebagai individu, (2) manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, (3) manusia dengan hubungannya dengan alam, (4) manusia dengan hubungannya dengan Tuhan. Nilai budaya dalam hubungannya dengan individu tampak pada nilai keberanian, kepahlawanan, kepemimpinan, dan keselarasan. Nilai budaya dalam hubungannya dengan masyarakat tampak pada nilai gotong royong, rela berkorban demi orang lain, mendahulukan kepentingan orang lain. Nilai budaya dalam hubungannya dengan Tuhan tampak pada ketaatan manusia dengan Tuhan (Amir, 1991: 37). Nilai budaya dalam cerita rakyat adalah sesuatu yang menjadi pusat dan sumber daya hidup dan kehidupan manusia dalam suatu komunitas tertentu dan bernilai tinggi dalam konsepsi kehidupan secara individual, sosial, maupun religius (Yusniatin, 2013: 13). Nilai itu akhirnya berfungsi sebagai media penggambaran bagi suatu masyarakat untuk dapat terjaganya kelangsungan dan pandangan hidup masyarakat. Dalam penelitian ini, konsep nilai budaya digunakan untuk mengkaji nilai-nilai budaya dalam perspektif sosiologi sastra pada cerita rakyat Tolaki yaitu cerita Randa Wulaa, Haluoleo, dan To Tambarano Wuta. Konsep sosiologi sastra digunakan sebagai kajian tidak terlepas dari eksistensi cerita rakyat yang menopang nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Hakikat Cerita Rakyat Menurut Danandjaja (dalam Jamaluddin, 2008: 13) Cerita rakyat merupakan salah satu bagian dari folklor, sehingga cerita rakyat merupakan milik bersama masyarakat yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi oleh pemiliknya. Pada umumnya, cerita rakyat mengisahkan tentang suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Oleh karena itu, cerita rakyat diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Masyarakat biasanya mewariskan segala yang menyangkut dengan hak milik kelompok dilakukan dengan lisan saja. Jarang sekali masyarakat mewariskan budaya dan tradisi kelompok mereka dengan menggunakan tulisan. Berdasarkan peristiwa yang diungkapkan serta pelaku yang berperan dalam cerita, cerita rakyat Tolaki dapat digolongkan atas beberapa jenis yaitu, mite, legenda, fabel, dan saga. Dalam penelitian ini difokuskan pada jenis mite, saga, dan legenda. Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bercerita tentang manusia suci yang memiliki kekuatan seperti dewa-dewa. Contohnya, cerita Randa Wulaa (Putra Bungsu). Saga adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian, dan keajaiban seseorang. Contohnya, cerita Haluoleo. Legenda menceritakan tentang suatu kejadian yang dianggap pernah terjadi. Contohnya, cerita To Tambarano Wuta. Pendekatan Sosiologi Sastra Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis. Menurut Ratna (2009: 59) pendekatan sosiologis yaitu menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis juga merupakan pendekatan yang implikasi metodologisnya berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat (Ratna, 2009: 61). Pendekatan yang menitikberatkan karya sastra terhadap masyarakat adalah sosiologi sastra. Menurut Damono (dalam Endraswara: 95) ada dua corak perspektif penelitian sastra secara sosiologis yaitu, pertama, sastra merupakan sebuah cermin proses sosial ekonomi belaka. Penelitian ini bergerak dari luar sastra untuk membicarakan sastra. Sastra hanya berharga jika berkaitan dengan unsur di luar karya sastra. Karya sastra adalah gejala kedua, bukan yang utama. Kedua, mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Penelitian diarahkan pada teks untuk menguraikan strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami gejala sosial. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan karena peneliti dalam mengumpulkan data yang sesuai dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji sumber tertulis yang berupa teks cerita rakyat Tolaki.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif yaitu pengamatan atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai dengan data yang terdapat dalam cerita rakyat Tolaki, tanpa menggunakan angka-angka statistik. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah semua informasi atau bahan deskriptif yang berupa uraian data, ungkapan pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang diamati dalam cerita rakyat Tolaki. Data tersebut dikumpulkan untuk memberikan jawaban terhadap masalah yang dikaji. Sumber data dalam penelitian ini adalah cerita rakyat yang dimuat dalam buku Prosa dalam Sastra Tolaki yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1993. Cerita rakyat Tolaki yang dimuat dalam buku tersebut sebanyak 17 cerita. Peneliti mengambil sampel cerita sebanyak 3 cerita berdasarkan jenisnya yaitu cerita mitos, legenda, dan saga. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca dan catat sesuai dengan rumusan masalah. 1. Teknik baca adalah membaca buku atau teks cerita rakyat yang menjadi objek dalam penelitian. 2. Teknik catat adalah mencatat data-data yang diperoleh dari hasil bacaan sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Teknik Analisis Data Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki anatara karya sastra dengan masyarakat. Selengkapnya, teknik analisis yang akan dilakukan sesuai dengan teori Proust (dalam Endraswara, 2011: 112) bahwa teknik analisis karya sastra menyajikan analisis secara deskriptifinterpretatif. Bila analisis data berpusar pada teks sastra, tentu analisis lebih kearah tafsiran. Deskriptif mempunyai arti menceritakan atau mengungkapkan maksud. Sedangkan interpretatif bersifat adanya kesan, pendapat dan pandangan yang berhubungan dengan adanya tafsiran. Metode deskriptif interpretatif membahas permasalahan dengan uraian-uraian yang jelas berdasarkan kemampuan pemahaman peneliti untuk mengungkapkan maksud yang terdapat di dalam objek penelitiannya. Jadi analis deskriptif interpretatif adalah suatu analisis yang mencoba mendeskripsikan atau menceritakan pendapat atau pandangan yang ada dalam objek penelitian. Dalam analisis deskriptif interpretatif ini menggunakan teori sosiologi sastra untuk melakukan penganalisisan karya sastra. Nilai Budaya dalam Tiga Cerita Rakyat Tolaki Nilai budaya yang terdapat dalam sastra daerah sudah sejak lama dimiliki dan berakar dalam jiwa masyarakat penuturnya dan dituturkan dari mulut ke mulut secara lisan dari generasi ke generasi selanjutnya yang merupakan pedoman hidup bagi masyarakatnya. Cerita rakyat mengandung nilainilai leluhur atau nilai moral yang dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat pendukungnya. Melihat betapa pentingnya nilai itu maka dalam bab ini peneliti akan menguraikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam tiga cerita rakyat Tolaki yaitu, cerita Randa Wulaa, cerita Haluoleo, dan cerita To Tambarano Wuta. Nilai Religius Nilai religius yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepercayaan masyarakat pada zaman animisme. Nilai religius ini merupakan konsep mengenai penghargaan tertinggi yang diberikan oleh masyarakat mengenai kehidupan suci. Dalam masyarakat Tolaki nilai religi adalah nilai tertinggi yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sejak dahulu, orang Tolaki telah percaya adanya Tuhan dan telah menggunakan beberapa simbol untuk menggambarkan adanya Tuhan.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Nilai Kepercayaan Kepercayaan adalah nilai yang berhubungan dengan keyakinan dan tingkat keimanan manusia terhadap apa yang menjadi kekuasaan Allah Swt. Nilai kepercayaan merupakan anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata. Adapun kepercayaan yang dimaksud dalam tiga cerita rakyat ini dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu, kepercayaan terhadap dukun, kepercayaan terhadap kekuatan gaib atau sakti dan kepercayaan tehadap dewa-dewa. 1. Kepercayaan terhadap Dukun atau Ahli Nujum Adanya nilai kepercayaan kepada dukun atau ahli nujum ketika raja Lasiuta menyuruh anakanaknya pergi bernujum ke rumah dukun. Hal tersebut dapat di lihat pada kutipan cerita Randa Wulaa berikut. Laa’ito ma’ia anakia Lasiuta, anope’orikeero ana’akanomo. “wonokuri lelewuta, pe’orikeeropokaa haiakomu aileule’esu ikeni i horinggu” i lakonoto i lelewuta lako meerikehero haiakono arombeleuu i pambano amaro. Terjemahan Pada suatu ketika bertahtalah seorang raja yang bernama raja Lasiuta. Sementara ia duduk di singgasananya, tiba-tiba ia memanggil anaknya yang tertua bernama Lelewuta. “Hai Lelewuta! Besok pagi, kau ajak adik-adikmu pergi ke rumah dukun, ahli nujum, supaya kalian dapat mengetahui rezeki dan penghidupan yang akan kalian temui dan jumpai di atas dunia.” Berdasarkan kutipan tersebut, maka raja Lasiuta memerintahkan kepada anak sulungnya yaitu Lelewuta untuk mengajak adik-adiknya ke rumah ahli nujum untuk meramalkan nasib mereka agar dapat mengetahui rezeki dan penghidupan di masa depannya. Orang Tolaki mempunyai banyak kepercayaan di antaranya, kepercayaan kepada dukun atau ahli nujum seperti: meramal jodoh dan rezeki untuk mengetahui kehidupan mereka pada masa depan. Sistem kepercayaan orang Tolaki terhadap dukun pada zaman animisme, sebelum masuk agama Islam masih sangat kental. Pada saat itu, masyarakat Tolaki masih percaya dengan bahasa dukun (Tulura Mbu’akoi), hal itu dikarenakan mereka percaya karena orang-orang dulu banyak yang memiliki ilmu-ilmu gaib yang dapat mereka percaya untuk menyembah dan meminta berkah. Bahasa dukun ini biasanya dipergunakan pada upacar-upacara yang bersifat ritual, dan membicarakan mengenai makhluk halus dan dunia gaib. Bahasa dukun ini disebut juga bahasa Tulura Mesomba (bahasa menyembah) dan Tulura MengoniNgoni (bahasa minta berkah). 2. Kepercayaan terhadap Kekuatan Sakti atau Gaib Orang Tolaki juga mempunyai kepercayaan kepada kekuatan sakti atau kekuatan gaib, yang juga masih nampak sampai sekarang di daerah-daerah tertentu terutama di desa-desa. Kekuatan gaib dan kekuatan sakti sebenarnya sulit dibedakan, seseorang yang mempunyai kekuatan gaib pada umumnya memiliki kekuatan sakti, misalnya kebal terhadap api, kebal terhadap parang, dan dapat melihat makhluk-makhluk halus. Randa Wulaa (Putra Bungsu), dilukiskan dalam cerita sebagai seorang yang mempunyai kekuatan sakti, karena mampu melewati dan menyelesaikan semua ujian-ujian yang diberikan kepadanya dengan bantuan benda-benda sakti. Kekuatan sakti hampir seluruhnya dilukiskan dalam cerita, sebagai gambaran Randa Wulaa memiliki kekuatan sakti dapat dilihat pada kutipan berikut. Saatekoisano lakonoto Dalo-Dalo rumudo’ikee wuarau’u. Ikirotokaa ona ano’amba DaloDalo petuha meopanano pulasi’ikee langgeno lakonoto umara-ara’i keno mesau’i. Saa’arino measu’i lakoniti lako umara-ara’i molako-lako i wawoadahi. Terjemahan Dengan perlahan-lahan sekalipun Putra Bungsu turun dari persembunyiannya dan setelah ia tiba di tanah lalu ia membuka gelang babi itu dan langsung memasangkan gelang itu ke kakinya. Setelah itu Putra Bungsu menuju pinggir pantai dan mencoba berjalan-jalan di atas laut. Betapa lancarnya Putra Bungsu berjalan di atas laut. Berdasarkan kutipan tersebut maka, terlihat jelas bahwa Putra Bungsu tiba-tiba memiliki kekuatan sakti ketika telah mengambil gelang babi dan langsung memasangkan pada kakinya. Kekuatan yang ia miliki yaitu Putra Bungsu dengan lancarnya dapat berjalan di atas laut. Selanjutnya kekuatan sakti yang dimiliki Putra Bungsu (Randa Wulaa) dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Leu’uhanotokaa kongga owose tumoko aopetaa tada imumu nggapu. Ie Anawai Mbinasabu mepasadia’ito. Sabutuno laamepohi-pohini, ilakono Dalo-Dalo tumena’ioho-meoho dowono ano’ene pnguu’ekee kareno.mokamoikee paa’nino, ilakonoto hae tumena’i tobo metobo dowo, ano’ene sumubele’ikee worokono, nilau-launo’tokaa kongga owose mate ano tudupa. Opitu o’osu henebono opitu aangolo tinawunino. Terjemahan Ketika datang elang raksasa itu, Anawai telah mempersiapkan diri untuk ditelan. Seketika itu pula Putra Bungsu menyuruh tali ajaibnya terbang mengikat kaki dan leher elang raksasa itu serta menyuruh golok ajaib menyembelih lehernya. Tiada berapa lama putuslah leher binatang raksasa itu dan terkaparlah ia dengan menghancurkan tujuh buah gunung dan tertimbunlah jurang yang dalam. Putra Bungsu menggunakan kekuatan saktinya ketika Putra Bungsu menolong Anawai putri raja pinggir laut akan ditelan oleh elang raksasa. Anawai yang telah pasrahkan dirinya untuk ditelan oleh elang raksasa, tiba-tiba Putra Bungsu menggunakan tali ajaib dan golok ajaibnya untuk menyembelih leher elang raksasa itu. Pada zaman animisme banyak orang-orang yang memiliki kekuatan sakti atau gaib. Seperti dalam cerita Randa Wulaa yang menggunakan benda-benda sakti untuk menolong orang lain dan Haluoleo ketika lahir di dunia membawa sebilah keris emas di pusatnya, terlihat pada kutipan cerita Haluoleo berikut. Hoalu o wingi ano hoalu oleo nomohaki tiano humokari. Tina Mokole nggiro’o nggope’ana iepo’ano tebua pele’esu pangulu beli, ano’aringgiro’o iepo anotelowa dowo anadalo nggiro’o laalako momboi-poindi otobo. Ieto ona anotinamo’ako Haluoleo, nohoalu o wingi anohoalu oleo. Terjemahan Setelah delapan hari dan delapan malam ia merasakan sakit perut itu, barulah keluar darah yang merupakan tanda akan bersalin. Pertama-tama keluarlah kulit kepala orang, kemudian keluarlah bayi itu dengan membawa sebilah keris. Ia dinamakan Halu Oleo karena ketika ia dilahirkan, ibunya menderita sakit perut selama delapan hari dan delapan malam. Hal tersebut dipercaya oleh orang Tolaki bahwa Haluoleo memiliki kekuatan sakti. Sebilah keris yang dibawanya ketika lahir adalah keris yang memiliki kekuatan sakti. Pada saat pemerintahannya tidak ada satu orangpun yang dapat mengalahkan dan membunuhnya. Oleh karena itu, raja pertama di Konawe yang paling kuat adalah Haluoleo. 3. Kepercayaan terhadap Dewa-Dewa Selain kepercayaan terhadap dukun dan kekuatan sakti, masyarakat Tolaki juga memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa. Adanya nilai kepercayaan terhadap dewa-dewa ketika Haluoleo mengikhlaskan anaknya yang tenggelam di ambil oleh I’puritahi (dewa yang menguasai laut, ombak, dan gelombang) dapat dilihat pada kutipan cerita Haluoleo berikut. Ano’ene pe’ekori’i sanua, konawe’eha aroleu metaliasako i sambara, ronganoto ona ano’anano nggiro’o tinamoa ako’ito i Wesambara lakonoto i Haluoleo petuha tumiu’i anano nggiro’onggoumale mendua’i, maatano’eheto sangia Ipuritahi keno aleemendua’i anano nggiro’o anolaamboka momoia i wuta Konawe, anolaanggi barakano inowonua. Ano’amba nggiro’o hae i Halu oleo lakotu’u. Terjemahan Sewaktu mereka pulang, mereka menyusuri kali konawe, dan melewati sanua (air jatuh tujuh tingkat). Pada saat itulah perahunya terbalik dan anaknya pun, yang bernama I’wesambara, jatuh lalu tenggelam. Haluoleo berusaha turun menyelam mencari anaknya. Akan tetapi, raja I’puritahi (dewa di dasar laut) tidak mau lagi menyerahkan anak yang tenggelam itu. I’puritahi menginginkan supaya I’wesambara tinggal di negeri Konawe agar negeri itu mempunyai berkah. Haluoleopun melanjutkan perjalanannya. Berdasarkan kutipan tersebut, Haluoleo bersama anaknya pulang menyusuri kali Konawe dan melewai Sanua. Ketika melewati kali tersebut perahu mereka terbalik dan anaknya I’wesambara jatuh tenggelam. Haluoleo berusaha turun menyelam untuk mencari anaknya tetapi dewa di dasar laut tidak memberikannya. Dewa di dasar laut menginginkan anak Haluoleo itu tinggal di Konawe agar negeri
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
itu memiliki keberkahan. Karena adanya kepercayaan terhadap dewa Ipuritahi (dewa dasar laut) Haluoleo mengikhlaskan anaknya untuk diambil oleh dewa Ipuritahi. Di kalangan suku Tolaki dikenal bermacam-macam dewa yang disebut Sangia. Ada tiga Sangia utama, yaitu. 1. Sangia Mbuu, yaitu dewa sebagai pencipta alam. Dewa inilah yang merupakan kepala dari semua dewa-dewa yang ada. 2. Sangia Wonua, yaitu dewa negeri yang memelihara alam. 3. Sangia Mokora, yaitu dewa pemusnah alam. Dari ketiga sangia utama tersebut, masih ada dewa-dewa lain yang merupakan kepercayaan suku Tolaki yaitu: Sangia Dewa Wekoila (dewa Kalosara), Sangia i Losoano Oleo (dewa matahari yang menguasai dunia terang, Sangia Tepulino Oleo (dewa yang menguasai malam), Sangia i Puritahi (dewa yang menguasai laut, ombak, dan gelombang), dan Sangia i Puri wuta (dewa yang menguasai tanah). Dewa-dewa tersebut mempunyai fungsi dan tempat persemayamnya di alam jagad raya ini. Nilai Filosofis Nilai filosofis yaitu nilai yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan tentang kebijaksanaan hidup dalam berpikir dan bernalar secara sistematis tentang berbagai hal untuk memperoleh kebenaran. Nilai filosofis yang di maksud adalah nilai yang berhubungan dengan keterkaitan manusia pada dunia sekitar secara menyeluruh. Nilai filosofis adalah gambaran atau pandangan hidup masyarakat Tolaki yang bersifat reaktif dan konstruktif. Adanya nilai filosofis ketika permaisuri merasakan sakit delapan hari delapan malam untuk melahirkan Haluoleo, terdapat dalam kutipan cerita Haluoleo sebagai berikut. Laa’ito ona moia nggiro Tina Mokole anodunggu mohaki tiano nggope’ana. Hoalu o wingi ano hoalu oleo nomohaki tiano humokari. Tina Mokole nggiro’o nggope’ana iepo’ano tebua pele’esu pangulu beli, ano’aringgiro’o iepo anotelowa dowo anadalo nggiro’o laalako momboi-poindi otobo. Ieto ona anotinamo’ako Haluoleo, nohoalu o wingi anohoalu oleo. Terjemahan Pada suatu hari permaisuri merasakan sakit perut karena akan melahirkan. Sangat sulit ia ketika melahirkan itu. Setelah delapan hari dan delapan malam ia merasakan sakit perut itu, barulah keluar darah yang merupakan tanda akan bersalin. Pertama-tama keluarlah kulit kepala orang, kemudian keluarlah bayi itu dengan membawa sebilah keris. Ia dinamakan Halu Oleo karena ketika ia dilahirkan, ibunya menderita sakit perut selama delapan hari dan delapan malam. Kondisi permaisuri yang merasakan sakit perut karena akan melahirkan, sebagaimana seorang ibu yang akan melahirkan anaknya. Namun, permaisuri dalam cerita Haluoleo ini merasakan sakit perut selama delapan hari delapan malam barulah permaisuri berhasil melahirkan seorang bayi dengan membawa sebilah keris kemudian dinamakan Halu Oleo. Meski dalam cerita ini tidak dapat dipastikan mengapa permaisuri mengalami rasa sakit selama delapan hari delapan malam. Waktu tersebut merupakan waktu yang lama bagi seorang ibu yang merasa sakit ketika melahirkan. Normalnya seorang ibu yang akan melahirkan merasakan sakit hanya beberapa jam saja. Oleh karena itu, masa kesakitan permaisuri pada saat itu di anggap keramat dan untuk mengingat hal itu anak permaisuri dinamakan Haluoleo yang bermakna delapan hari. Nama Haluoleo ini masih diingat oleh orang-orang Tolaki bahkan masyarakat yang bukan suku Tolaki mengenal nama Haluoleo sebagai filosofis suku bangsa Tolaki yang pertama mendiami wilayah jazirah Sulawesi Tenggara. Selanjutnya, nilai filosofis terdapat dalam cerita Randa Wulaa (Putra Bungsu) ketika Putra Bungsu membersihkan dirinya dengan mandi ke sungai untuk persiapan pernikahannya dengan Putri Raja pinggir laut. Dalam persiapan pernikahannya tepat hari Jumat, Randa Wulaa membersihkan dirinya dengan mandi ke sungai dengan menyelam tujuh kali ke hulu, tujuh kali ke muara. Berulang kali ia melakukan hal yang sama sebanyak tiga kali yaitu menyelam tujuh kali ke hulu, tujuh kali ke muara. Randa Wulaa terus melakukannya dan menjelmalah tiga orang sahabatnya tiga orang sebelah kanan dan tiga orang sebelah kiri serta muncullah wajah Randa Wulaa yang sebenarnya. Seperti dalam kutipan cerita Randa Wulaa berikut.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Upepokosadiaa laaopitu owingi inewingi duma. Keteleu’inolo Anawai nggopinowito. Dandaano ikopitu owingi, daandino ninaano Mokole lakonoto Dalo-Dalo lako mebaho i alaa. Sa’inauno’ikaa iaawoi, anopehuda. I lakonoto petuha mebaho i aalaa. I lakonoto metiu monggopitu i uluno, tebuito pinokoihanano rombe’ambo orikeimberino rombendolu. Lakonoto metiu-tiu’usi, ano’amba meputano, iepo anotekoho kulimesa’ano lakonokaa hae meti-meti’usi iepo na tiu’usi iepo ona anorai-raino hende oleo laaloso keno wulaa mata amekee. Terjemahan Persiapan pesta pernikahan telah Baginda Raja persiapkan. Waktu berjalan terus dan tibalah hari jumat, hari yang ditentukan oleh Baginda Raja. Putra Bungsu pergi mandi ke sungai. Tiba di sungai, Putra Bungsu langsung menyelam tujuh kali ke hulu tujuh kali ke muara. Ketika ia bercermin, baru selapis kulit ari yang luluh. Ia menyelam lagi tujuh kali ke hulu, tujuh kali ke muara. Kemudian ia bercermin lagi. Parasnya baru layak samapi di tangga raja. Ia menyelam lagi tujuh kali ke hulu, tujuh kali ke muara, kemudian ia bercermin. Parasnya sudah bisa duduk di tempat peraduan, bahkan di singgasananya Raja sekali pun. Sikap kerja keras Randa Wulaa (Putra Bungsu) ditunjukkan dengan berusaha mandi secara berulang-ulang sampai ia merasa parasnya layak untuk duduk di tempat peraduan bahkan di singgasana raja sekalipun. Sikap mencoba secara berulang-ulang dan tanpa putus asa dalam kutipan cerita tersebut bermakna Putra Bungsu meyakini sesuatu akan terjadi perubahan pada dirinya. Hal tersebut menggambarkan sifat orang Tolaki yang tidak mudah putus asa dan kerja keras karena mereka percaya bahwa dengan sifat kerja keras akan membuahkan hasil yang baik. Begitupun dengan sikap yang berulang-ulang sebanyak tujuh kali dapat bermakna bahwa orang Tolaki dalam melakukan sesuatu biasanya dilakukan sampai tujuh kali dengan harapan sesuatu yang dilakukan berulang-ulang akan diperoleh hasilnya setelah kita berusaha sebanyak tujuh kali. Selanjutnya, nilai filosofis juga terdapat dalam cerita To Tambarano Wuta, ketika To Ulu Ndara Hanga akan berangkat berlayar menuju perbatasan tanah dan langit seperti pada kutipan cerita berikut. Mengeeno’ikaa lakonoto To Ulu Ndara Hanga tumena’iro oata hako mombasadiakee kinaa matahano mokome’amba’ikoo bangga nggope’ula’ano. Dandano opitu wingi mondo aso dumaa, mediwaa’ito ona langgai mepangudu nggolakoto monga’o. No’aliwi’iroto keno laando mahaki tiano Anawai arorobu’iketokaa onggo banggano. Ikopitu owingi nolako mohaki’ itokee ona tiano Anaai lakoroto ona rumabu’ikee banggano, kioki matemonggoo pio ari teaso hapo leu’itokaa moseiro ako banggano. Le idunggu mesore’ako leu-leu ari-ari mohaki tiano Anawai. Terjemahan Ketika akan berangkat, To Ulu Ndara Hanga berpesan bahwa bila ia pergi dan Anawai sakit perut karena akan bersalin, agar mereka menarik tali perahu yang diikatkan pada tiang sana. Pada malam ketujuh perjalanan To Ulu Ndara Hanga, tiba-tiba Anawai merasakan sakit perut, langsung Torotambi menarik tali perahu yang terikat di tiang dan tiada berapa lama datanglah To Ulu Ndara Hanga membuang sauhnya di pelabuhan. Tiba To Ulu Ndara Hanga hilanglah penyakit Anawai, pulih sama sekali. Berdasarkan kutipan cerita di atas, To Ulu Ndara Hanga akan berangkat berlayar ketika istrinya sedang hamil tua dan ia berpesan kepada anak buahnya untuk segera menarik tali perahunya. Pada malam ketujuh To Ulu Ndara Hanga berlayar, Anawai merasakan sakit perut dan Torotambi (anak buah) segera menarik tali perahunya. Tiada berapa lama datanglah suami Anawai ketika itu hilanglah penyakit Anaai seakan-akan tidak perna merasakan sakit. Selanjutnya dapat dilihat pada kutipan berikut. Ikirotokaa lakonoto mebinda mendua To Ulu Ndara Hanga no’aliwi’iroto iamoto rorobu’ikee onggobanggano. Opitu oleo hao nopebinda To Ulu Ndara Hanga mohaki’i tiano Anawai ndopadangguni, otolu oleo otolu owingi no humohori pe’ana ito ona, pe’anaruo langgai unaruoo. Tanomo momotu’o Ana Ngguluri Dalu tamono o hai Ana Weli Iwali
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Terjemahan Berangkatlah lagi To Ulu Ndara Hanga dengan pesan bahwa tali perahu itu tidak usah ditarik lagi. Setelah tiba pada hari kketujuh pelayarannya, mulai lagi terasa sakit perut Anawai, tanda akan melahirkan. Sesudah tiga hari tiga malam Anawai merasakan sakit perut, selamatlah ia melahirkan bayi kembar laki-laki. Masing-masing bayi mempunyai senjata ajaib. Kedua bayi itu diberi nama Ana Ngguluri Dalu dan Ana Weli Iwali, Dari kutipan cerita di atas, terlihat bahwa setelah tujuh hari pelayaran To Ulu Ndara Hanga maka istrinya Anawai mulai merasakan sakit perut petanda akan melahirkan, setelah tiga hari tiga malam merasakan sakit perut maka Anawai berhasil melahirkan anak kembar dengan membawa senjata ajaib. Nasib Anawai yang merasakan sakit perut ketika hari ketujuh suaminya pergi berlayar bermakna bahwa hari ketujuh merupakan hari penuh kebaikan dan keberkahan, dan Anawai merasakan sakit perut selama tiga hari tiga malam bermakna kebaikan dan keberkahan pula. Hal ini dapat dilihat pada hari ketiga Anawai berhasil melahirkan bayi kembar dengan membawa senjata ajaib. Angka tiga kali orang Tolaki mempercayai bahwa hitungan ketiga bermakna keberkahan dan kebaikan pula sama halnya dengan hitungan ketujuh. Orang Tolaki biasanya melakukan sesuatu sampai hitungan ketiga kali bukan baru sekali langsung putus asa. Angka tiga atau hitungan ketiga juga mengandung nilai filosofis umum yaitu mengandung nilai kebaikan dan keberkahan. Dalam bahasa Tolaki hitungan ketiga ini dikenal dengan istilah dendeka kotolu dan masyarakat Tolaki memaknai ini sebagai suatu keberkahan dan kebaikan. Nilai Kesabaran Nilai kesabaran merupakan ketenangan hati dalam menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak putus asa, tabah, dan tidak terburu nafsu) untuk mencapai suatu tujuan dengan selalu bersikap tenang serta selalu berusaha melewati segala ujian yang diberikan tanpa harus tergesa-gesa. Adanya nilai kesabaran dapat ditemukan dalam cerita Randa Wulaa (Putra Bungsu). Dalam kisah ini diceritakan tentang seorang Putri Raja dari pinggir laut yang sengaja diasingkan untuk dimakan elang raksasa. Te’eni’itokaa hae Anawai mbinasabu. Tindahi’i saru doki kenoipeoha’i aupodadasi lako ari’ikeni. Inaku inono ana mbinasabu nggopombaakaro konggo owose. Imohinatongadonga oleo ketoleu umolahu’aku. Te’eni Anawai mbinasabu pewowokoto woso Dalo-Dalo, au’onggo itoomu pepe’olohu. Tonggori’ipo inaku inono, nolaalaa dale-dalengguto. Terjemahan Berkata lagi Anawai, “ Cepat-cepatlah saudara berangkat dari tempat ini. Saya ini Putri Raja pinggir laut yang sengaja di asingkan untuk di makan elang raksasa. Besok tengah hari, binatang raksasa itu sudah akan datang dan langsung menelan saya.” “Mengapa engkau sebodoh itu dan mau membinasakan dirimu sendiri, Putra Bungsu. Saya sendiripun sudah cukup karena memang suratan tangan saya.” Berdasarkan kutipan tersebut, Anawai putri raja pinggir laut sengaja diasingkan untuk di makan elang raksasa. Putri raja sudah pasrah dan siap untuk di telan oleh elang raksasa karena menganggap sudah takdir yang harus ia terima. Nilai kesabaran bagi orang Tolaki tidak hanya ada pada takdir tetapi setiap pekerjaan yang dibebankan kepada mereka harus sabar dalam menyelesaikannya. Hal tersebut dapat dilihat pada urusan pernikahan dan pengolahan ladang. Dalam urusan pernikahan dan pengolahan ladang kesabaran harus dijunjung tinggi sampai mendapat hasil panen yang baik. Nilai Kebersamaan (solidaritas) Nilai kebersamaan ialah nilai yang mengatur dan mempengaruhi cara membina hubungan antara sesama manusia, baik hubungan antarindividu maupun antarkelompok masyarakat sehingga terjalin hubungan yang baik dan harmonis. Adanya nilai kebersamaan dalam kutipan cerita tersebut, ketika Randa Wulaa (Putra Bungsu) akan pergi berperang melawa musuh. Lakonoto i Randawulaa petuha,i meo’orikee darano iloseano oleo, tebuitokaa dara wila, leu notokaa Anawai, tee’eninggolakoiikaa watuko’o. Mate matepo keno inaruondaki kioki nombaaki.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Terjemahan Sewaktu ia akan melompat ke atas punggung kudanya, Anawai datang dan ingin ikut bersama suaminya. Dengan berbagai rayuan, suaminya meminta supaya istrinya itu tidak ikut serta. Akan tetapi, Anawai tetap nekat ingin menemani suaminya dengan semboyan, “ Berat sama dipikul ringan sama dengan dijinjing.” Jadilah suami istri itu berangkat berperang. Ketika Randa Wulaa (suami Anawai) akan pergi berperang, Anawai ingin ikut bersamanya. Walaupun suaminya itu sudah melarang, Anawai tetap nekat untuk ikut menemani suaminya dengan menuturkan semboyan “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Semboyan tersebut memiliki makna “baik suka maupun duka ditanggung dan dirasakan bersama-sama”. Semboyan tersebut dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan sebagai suatu perumpamaan. Nilai kebersamaan pada kutipan cerita Randa Wulaa tersebut, dapat dilihat pada kehidupan rumah tangga. Orang-orang Tolaki dalam menjalani rumah tangga sangatlah mengutamakan kebersamaan. Ketika kepala rumah tangga pergi mencari nafkah maka ibu rumah tangga haruslah tinggal di rumah untuk memasak dan mengurusi anak-anak kecuali dalam urusan panen hasil perkebunan ibu rumah tangga dibolehkan untuk ikut bersama di ladang perkebunan dengan tujuan untuk membantu kepala rumah tangga. Selanjutnya nilai kebersamaan dan nilai solidaritas sulit untuk di bedakan. Nilai kebersamaan tentu memiliki nilai keselarasan begitupun sebaliknya. Kebersamaan mempengaruhi seseorang untuk menjalin atau membina suatu hubungan sedangkan keselarasan ada ketika ada keterjalinan hubungan antarsesama untuk mencapai tujuan yang sama. Adanya nilai solidaritas ketika Ibu To Ulu Ndara Hanga bertanya kepada anaknya yang sedang gelisah memikirkan gadis yang memikat hatinya. Dapat dilihat pada kutipan cerita To Tambarano Wuta berikut. Anoto’eni inano, ndina laro, nawono kuri wulelelnggu hende-hende kunde kumiki’iko, keno moonasako. Keno hende omanu laakoto nggombootadari, kombetiolumu. Kenolaando toenga nggopetiolu’amu, auto’enenggonato ona, totaha toulu ndara hanga te’eni “maato’oto notesala, matandumbuupu’i, mongiakuto mendesilorimata”ie’ito tamono, keno ipekandino Anawai Ndopadangguni tina ndopadambatahi. Terjemahan “Hai anakku, saya perhatikan engakau selama ini ibarat seekor ayam betina, sedang mencari sarang untuk bertelur. Kalau anakku, sudah mendapatkan sarang tempat bertelur, beri tahukan ibu.” To Ulu Ndara Hanga menjawab, “Sudah tidak ada lagi perkiraan dan penilaian ibu, saya sudah melihat dan langsung memikat hati seorang gadis remaja, namanya Anawai Dopadangguni, gadis di pinggir laut.” Nilai solidaritas yang ditunjukkan dalam kutipan cerita tersebut yaitu, dengan menunjukkan sifat kegelisahan To Ulu Ndara Hanga yang sedang memikirkan putri raja pinggir laut. Ibu To Ulu Ndara Hanga mengerti dengan apa yang sedang dirasakan oleh anaknya, bahwa pernikahan merupakan salah satu bagian dari kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan manusia. Dalam cerita tersebut, keselarasan seorang anak dan ibu terlihat jelas bahwa hanya dengan rasa kegelisahan seorang anak maka ibu akan merasakan apa yang sedang difikirkan oleh anaknya. Dalam hubungan kemanusiaan dalam mengembangkan keturunan, orang tua harus berperan aktif dalam menyelaraskan hatinya dengan anaknya yang akan menikah ketika anaknya itu dianggap sudah mampu untuk menikah. Selanjtnya nilai solidaritas ditunjukkan pula seperti dalam kutipan cerita To Tambarano Wuta berikut. Mombope’itokaa linggoro wua tade owose, kuri hai inggu pasipole hapotorepaondete’ombe, anohende-hende’akoto morara aliwinu. Totaha itekaa Ndina Laro lumawa ndulura’i kaakano to’oni “ maa laki’anamu ano noponggito bara toengganggapomua’ano, wuta ndaahori pinotiso keno ana sepu ndaahori pineroa kaho” ieto panggi’ano keno monde silorimata’ano, kamba pasilipi ipamba tahi mombepe’itokaa langgai mondulura, maangiti’ono ano, nokono’ikanoto pe’ehenggu keno ipatadunggu, matandu teneso’ekeno pasipole’i. Hiatu sari pona hungge’itoto. Ato’oru lako mowawo’obite keno meloso’ako niwule.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Terjemahan “Ada masalah apa sehingga ada pesan yang sangat mendadak?” dengan duduk yang baik, Ndina Laro langsung menuturkan niat anaknya untuk mencari pasangan sehidup semati. Adapun perempuan atau gadis yang dilihat oleh kemenakannya itu adalah gadis di pinggir laut, namanya Anawai Dopadangguni. Linggoro Wua Dua Tade Owoso terus menepuk dada dan berkata, “Kalau gadis itu, tepatlah apa yang saya idam-idamkan. Untuk itu, kita harus cepat mengurus dan sungguh-sungguh. Pergilah memasak Dik, hari ini juga kita harus berangkat membawa pinangan.” Kutipan tersebut menggambarkan seorang ibu (Ndina Laro) yang menyampaikan niat baik anaknya untuk mencari pasangan hidup kepada pamannya (Linggoro Wua Tade Owoso). Adapun niat baik ibunya itu diterima dengan senang hati oleh pamannya dan segera mengurus persiapan dan berangkat membawa pinangan. Sikap yang tergambar di dalam kutipan tersebut agar setiap perkataan dengan niat yang baik hendaknya dilaksanakan. Jarang orang yang dengan mudah mengatakan sesuatu dapat dibuktikan dengan perbuatan. Selanjutnya nilai solidaritas dalam membina hubungan dengan orang lain terdapat dalam kutipan cerita To Tambarano wuta berikut. Mengeeno’ika lakonoto To Ulu Ndara Hanga no’aliwi’iroto keno laando mohaki tiano Anawai arorabu ikeetokaa onggo banggano, ikopitu owingi nolako mohakii’itokee ona tiano Anawai lakoroto ona rumabu’ikee banggano, kioki motemonggo pio ari teaso hapo leu’itokaa meseiro ako banggano. Le’idunggu mesore’ako lau-lau ari-ari mohaki tiano Anawai. Ikirotokaa lakonoto mebinda mendua To Ulu ndara Hanga no’oliwi’iroto iamato rorabu’ikee onggobangganano. Terjemahan Ketika akan berangkat, To Ulu Ndara Hanga berpesan bawa bila ia pergi dan anawai sakit perut karena akan bersalin, agar mereka menarik tali perahu yang diikatkan pada tiang sana. Pada malam ketujuh perjalanan To Ulu Ndara Hanga, tiba-tiba Anawai merasakan sakit perut, langsung Toratambi menarik tali perahu yang terikat di tiang dan tiada berapa lama datanglah To Ulu Ndara Hanga membuang sauhnya di pelabuhan. Begitu To Ulu Ndara Hanga tiba, hilang penyakit Anawai, pulih sama sekali seakan-akan tidak pernah sakit. Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Torotambi (kepala pengawal raja) mengingat dan melaksanakan amanah yang di berikan oleh Raja To Ulu Ndara Hanga bahwa jika ia pergi dan anawai sakit perut maka segera menarik tali perahu yang sudah diikatkan pada tiang. Seseorang yang memegang amanah dan melaksanakannya maka akan menimbulkan rasa kepercayaan dari orang di sekeliling kita. Mematuhi perintah merupakan sikap yang mendorong melakukan sesuatu tanpa mengenal siapa yang memberikan perintah. Perintah itu dapat berasal dari atasan atau seseorang yang memberi kepercayaan kepada kita. Melaksanakan perintah atau amanah dapat memberikan hasil, baik diri sendiri maupun orang lain. Nilai Kerukunan Nilai kerukunan merupakan bagian dari nilai kebaikan dan kedamaian. Bagian tersebut sulit dibedakan, di dalam nilai kerukunan terdapat pertalian persahabatan. Perihal hidup rukun adalah adanya kebaikan dan kedamaian di dalam kesepakatan antarindividu maupun dengan orang lain. Adanya nilai kerukunan dapat ditemui dalam cerita Haluoleo ketika budak-budak raja Mokole menangkap anjing peliharaan orang lain. Seperti kutipan berikut. Mokole neatahakono nggiro’o te’eni nowono kuri maainaeto mbudahu nggiro’o mbenduomatahu’iritokaa atahakono te’eni mberiou inggomiu dahunoikaa ona atamotu’omiu mbusopu i Lalonggowuna. te’eni tokaa ona Mokole ipongoni’iki saru, aru pendumotaha atahakono, maakioki ona kilaabongoni akitekonorumaako’ikee akimembule. Maai’enekaa te’eninggee ilakuki laa nongoni. Terjemahan Raja bertanya kepada budak-budak itu, “Milik siapa anjing itu?” Budak itu menjawab, “Hanya anjing milik petani di Lalonggawuna itu saja yang kami dapati.” Mokole berkata “Apakah kalian sudah memintanya?” Budak-budak itu menjawab, “Kami tidak memintanya, kami langsung menangkap anjing itu, kemudian membawanya pulang.” “Pergilah kalian memberitahukan petani itu bahwa saya yang meminta anjingnya!”.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Memiliki nilai kerukunan adalah suatu keharusan bagi setiap orang. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan tidak pernah lepas dari orang lain. Kehidupan yang damai dan tentram selalu menjunjung tinggi nilai kerukunan agar kedamaian dan ketentraman tetap terjaga, misalnya kedamaian dalam urusan rumah tangga ataupun kedamaian dengan orang lain. Cerita Haluoleo di atas, mengisahkan raja Mokole memerintahkan kepada budaknya bahwa sebelum membawa anjing kepada raja, agar para budak itu terlebih dahulu meminta izin kepada pemilik anjing untuk diserahkan kepada raja. Hal demikian terlihat jelas bahwa, ketika mengambil hak milik seseorang harus memintanya terlebih dahulu kepada pemiliknya agar nilai kerukunan tetap terjaga sehingga tidak menimbulkan perpecahan dengan orang lain. Kerukunan dalam bahasa Tolaki disebut tepokono. Nilai kerukunan dalam masyarakat akan terjalin dengan baik ketika masyarakat mengutamakan nilai solidaritas dalam setiap aspek kegiatan sehingga tidak menimbulkan terjadinya persengketaan. Ketika terjadi persengketaan maka akan diselesaikan dengan cara musyawarah melingkar oleh petuah-petuah adat dengan menghadirkan kalosara sebagai bentuk kesatuan dan persatuan suku bangsa Tolaki. Orang tolaki mengenal adanya bahasa yang disebut Tulura Nondomotuo (bahasa orang-orang tua). Nilai Keberanian Nilai keberanian merupakan suatu keadaan atau sifat seseorang yang mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi segala sesuatu yang datang pada diri manusia. Adanya nilai keberanian terlihat dalam cerita Randa Wulaa ketika Randa Wulaa akan masuk ke dalam gubuk yang tidak diketahuinya. Ano’amba Dalo-Dalo metoandoa, anomokiiki mombeokunahi notetoa’kiri’ito nggitao mbone i wiwi pombahoro nggela. Laiilaika pineworu ndawalee i lakono Dalo-Dalo butu’i. Ano’ene mekunde-kunde tebua’itokaa ndinaiaro kadu’ito nomoke’ehe eheno ndinaiaro. Ka’asi lako mombekasiilarakee anadalo ie. Dalo-Dalo laa’ito tewere membiha-mbiha kuri anolaaikano nggalemboro. Terjemahan Tampaklah olehnya di pinggir kebun itu sebuah gubuk yang terbuat dari dedaunan. Tiada berapa lama Putra Bungsu tiba di gubuk itu, ia agak ragu jangan-jangan gubuk itu gubuk kepunyaan raksasa. Tetapi, dengan nekad Putra Bungsu menggedor pintu gubuk itu dan keluarlah seorang janda tua dengan rasa haru. Janda tua itu langsung merangkul Putra Bungsu dan memasukkannya ke dalam gubuk. Nilai keberanian tampak pada cerita di atas, bahwa Randa Wulaa (Putra Bungsu) melihat gubuk dedaunan dan ketika sampai di gubuk itu, Putra Bungsu ragu dengan gubuk itu dengan keraguannya bahwa gubuk yang di dekatinya itu adalah gubuk milik raksasa, tetapi adanya keberanian dan nekadnya Ia bisa masuk dalam gubuk itu dan ketika masuk ke dalam gubuk itu, Ia disambutnya dengan seorang janda tua yang ingin memiliki anak. Selanjutnya dapat dilihat dalam kutipan cerita di bawah ini adanya nilai keberanian ketika Ana Ngguluri Dalu akan memenggal leher To Tambarano Wuta. Totaha to Tambarano wuta, kioki nambaako wulele, ohapo tamono meokilowu. Lakonoto otoono meokilowu Ana Ngguluri Dalu te’eni menggauila tebawa to Tambarano Wuta “meenggo Ana Ngguluri Dalu to muko tue’ikoe wuku uluno ano pondusaki wala’ako tanggelarino te’eni Ana Ngguluri Dalu, meokilowu sala inggimiu mberiou. Terjemahan Begitu ucapan To Tambarano Wuta selesai, melompatlah pula Ana Ngguluri Dalu mengucapkan semboyan dengan teriakkan yang menggema ke angkasa, “Sudah lama tersohor dan termasyur keberanian serta keampuhan To Tambarano Wuta, tetapi sayalah yang akan memenggal batang lehernya dan menjadikan tulang betisnya sebagai pagar,” Selesai Ana Ngguluri Dalu menyampaikan semboyannya, ia terus meminta maaf jika kata-kata yang diucapkannya tadi mungkin salah, maklumlah karena masih anak-anak. To Tambarano Wuta adalah tokoh dalam cerita yang terkenal karena sifat sombongnya dan bekerja sebagai pengayau (pemenggal leher) di wilayahnya. Ana Ngguluri Dalu adalah anak kecil yang berani melawan To Tambarano Wuta. Dengan sifat keberaniannya Ana Ngguluri Dalu
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
mengucapkan semboyan keberaniannya di hadapan To Tambarano Wuta. Cara mengelabui To Tambarano Wuta, Ana Ngguluri Dalu terus meminta maaf atas ucapannya bahwa ia hanya seorang anak-anak yang selalu berkata salah, yang sebenarnya semboyan yang ia ucapkan adalah benar. Nilai Etika (etis) dan Moral Nilai etika adalah nilai yang berhubungan dengan sesama manusia terhadap kebaikan dan kesusilaan atau mengenai hal yang baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Nilai etika menyangkut nilai-nilai yang meliputi: nilai teguh pendirian, bijaksana, rendah hati, sopan dan santun, cinta dan empati, dan kasih sayang. Nilai Teguh Pendirian Nilai keteguhan merupakan kekuatan atau ketetapan hati, iman, dan niat yang tidak dapat digoyahkan dalam keadaan apapun. Adanya nilai keteguhan dapat dilihat pada kutipan berikut. Saamateno’ikaa kongga owose, ilakono Dalo-Dalo meparamesi nggolakoto’ona te’eni Anawai Mbinasabu, iamo leesu. Dalo-Dalo lako, hiakaa saru aupe’eka ikeni laha panggu. Totaha Dalo-Dalo kiokiunggu ka’asi pe’eka, inggo’o tina inakukihae langgai. Te’eni Anawai Mbinasabu maakioki ie Dalo-Dalo pe’elakaa. Totaha Dalo-Dalo kioki nebu’upu’u tie kakupe’ela akutosaru lako. Terjemahan Setelah burung elang raksasa itu mati, pamitlah Putra Bungsu untuk berangkat dari tempat itu. Akan tetapi, Anawai melarangnya dan langsung mengajaknya naik ke atas tempat tinggalnya. Tetapi Putra Bungsu menolak mati-matian dengan alasan bahwa anawai adalah perempuan sedangkan ia adalah laki-laki. “Tidak! Kamu harus naik.” Akan tetapi, Putra Bungsu tetap bertahan dan berangkatlah ia. Berdasarkan cerita tersebut nilai keteguhan dapat dilihat pada tokoh Putra Bungsu yang meneguhkan hatinya agar tidak tergoyahkan oleh ajakan Anawai untuk naik ke atas tempat tinggalnya karena Putra Bungsu adalah seorang laki-laki dan Anawai seorang perempuan. Pada dasarnya, dari zaman animisme hingga zaman modernisasi dan dalam setiap kepercayaan manusia, kaum laki-laki yang belum menikah tidak dibolehkan untuk bertemu dengan perempuan yang belum menikah pula. Hal tersebut dilakukan oleh Putra Bungsu ketika Anawai mengajaknya masuk ke dalam rumah Anawai. Selanjutnya, nilai keteguhan hati ada pada kutipan berikut. Lakono leu tumotambe’i Mokole tumara baisano. Anoleumokombereu-rahu’i. Maie i tohae tineku rahakono Mokole, norembenggena rai-rairo. Lau-launo sumuko’i Anawai, himbe’ito ona nggiro’o nggorapumu. Mbaakoai rote’eni torotambi, nolanggai mosaa, hawoenggua, maamokokondoi tatoari mokokondo’i. Te’eni Anawai ina’undokaa kiiki’i laalaa mesisiako sisi anonggaenggu. Maie’ito nggitu’o. Terjemahan Sang raja pergi bertanya kepada putrinya, “Hai Anawai, yang manakah calon menantu saya dan calon suamimu? Mengapa laki-laki yang sedang duduk di sana semua sama mukanya dan gagah sekali? Mungkin ini laki-laki yang lain.” Anawai menyambung pembicaraan ayahnya bahwa calon menantu ayahnya itu ialah laki-laki yang duduk di tengah. Untuk meyakinkan kebenarannya, Anawai meminta ayahnya untuk melihat jari manis laki-laki itu karena di sana terdapat cincinnya. Adanya nilai keteguhan ketika Anawai ditanya oleh Sang Raja, laki-laki mana yang akan menjadi calon menantu dan calon suaminya karena semua laki-laki yang duduk memilki wajah yang sama dan Sang Raja sulit membedakan. Karena adanya keteguhan hati Anawai, ia tidak terpengaruh oleh wajah yang sama. Ia mengetahui calon suaminya sedang duduk di tengah dan memakai cincin pemberiannya. Keteguhan hati bukan hanya ada pada pemilihan calon pasangan hidup, tetapi setiap kegiatan yang akan kita lakukan dalam kehidupan maka harus memiliki keteguhan hati yang baik, agar sesuatu yang kita kerjakan dapat bernilai. Nilai keteguhan hati susah untuk dibuktikan, karena keteguhan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya adanya perkembangan dunia yang semakin modern
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
dan menghalalkan budaya luar untuk masuk di daerah kita sehingga generasi muda lupa dengan nilainilai leluhur yang telah diajarkan oleh orang tuanya sehingga banyak anak-anak yang salah jalan dan terpengaruh oleh budaya luar. Nilai Kesopanan Nilai kesopanan merupakan budi pekerti yang baik, tata krama, dan menyangkut nilai kesusilaan. Dalam kehidupan sangat diperlukan nilai kesopanan karena dalam berinteraksi dengan orang lain sifat sopan ini merupakan penentu kebaikan seseorang dalam hidup bermasyarakat. Seseorang yang memiliki perilaku sopan akan dekat dengan kebaikan. Di dalam penelitian ini nilai kesopanan dan nilai kebaikan sangat sulit dibedakan. Nilai kebaikan merupakan sesuatu yang dianggap baik menurut sistem norma dan pandangan umum yang berlaku. Seseorang yang berlaku baik apabila menuturkan kata-kata selalu mengandung kebenaran bukan kebohongan, perkataannya bermanfaat, dan menuturkan kata-kata selalu tepat pada sasarannya dalam hal ini tidak berbicara sembarangan. Adanya nilai kesopanan dan kebaikan dapat dilihat pada kutipan berikut ketika Linggoro Wua Tade Owoso bertamu ke rumah Usu-Usu Baluta. Leu ito ona mowule keheero usu-usu baluta tutu bate nanasi saariro mowila me’ine-ineripi lakonoto Linggoro Wua Tade Owoso mombepe keno mondulura te’eni nowono kuri sambee, kadu’i momahano lipu ipasi kambo ipamba tahi manasa ku’ene’i owose mbaralu’i ku onggo moolipu keno meunenggambo. Terjemahan Sesudah mereka duduk di atas tikar permadani, datanglah Usu-Usu Baluta membawa rokok dan sirih pinang. Setelah mereka makan sirih dan merokok, berkelakarlah kedua tamu dan keluarga Usu-Usu Baluta.sementara berbicaralah sindir menyindir, Linggoro Wua Tade Owoso memperbaiki tempat duduknya untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Berdasarkan kutipan cerita di atas, Usu-Usu Baluta yang sedang menerima tamu, ia memberikan rokok dan sirih kepada tamunya sebagai penghargaan kepada tamunya. Nilai kesopanan dalam kutipan tersebut, sesuai dengan tradisi masyarakat Tolaki bahwa, ketika menerima tamu tradisi rokok dan sirih pinang adalah bentuk penghargaan orang Tolaki kepada tamunya. Nilai kesopanan sangatlah dijunjung tinggi oleh orang Tolaki. Kesopanan erat kaitannya dengan tradisi budaya suku Tolaki. Tradisi rokok dan sirih pinang merupakan tradisi masyarakat Tolaki yang masih di pegang teguh oleh masyarakatnya. Saat ini tradisi penerimaan tamu tidak lagi menggunakan kedua benda tersebut sesuai dengan kebutuhan, tetapi ketika menerima tamu yang kebutuhannya biasa saja maka yang diberikan hanyalah rokok sebagai bentuk penghargaan kepada tamu sedangkan rokok dan sirih pinang digunakan untuk menyambut tamu ketika akan datang pelamaran sampai membayar mahar (mowindahako) dan merupakan suatu keharusan bagi orang Tolaki sebagai bentuk penghormatan kepada tamu pihak laki-laki. Selanjutnya, dapat dilihat pada kutipan cerita Randa Wulaa berikut. Adanya nilai kesopanan ketika Putra Bungsu atau Randa Wulaa ingin keluar dari rumah. Dalo-Dalo lako membidi manu-manu. Notepodeakiri’ito hohondoono dadio, ilakonoto mbule tume’eninggee kainainano. Te’eni Dalo-Dalo wonokuri ina o hapo laanio waiiro ngguaono toono ano iroto. Te’eni ndina iaro, iamo ka’asi ulako membuangako arombe pateko. Terjemahan Putra Bungsu meminta izin kepada ibu asuhnya untuk pergi mencari burung di pinggir hutan. Dengan perasaan berat, ibu asuhnya memberikan izin kepadanya. Ibu asuhnya berpesan agar Putra Bungsu tidak pergi kemana-mana karena dia khawatir Putra Bungsu dibunuh orang. Berdasarkan cerita terebut, Putra Bungsu ingin keluar rumah untuk mencari burung di pinggir hutan, sebelum ia keluar rumah ia harus meminta izin terlebih dahulu kepada ibu asuhnya. Hal demikian, terlihat jelas bahwa nilai kesopanan pada Putra Bungsu merupakan sesuatu yang harus di hargai, karena kemuliannya ia menghargai ibunya walaupun ibu yang dimaksud adalah ibu asuhnya.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Nilai Kasih Sayang Nilai kasih sayang merupakan bagian dari nilai cinta dan empati. Nilai kasih ssayang berhubungan dengan perasaan kasih kepada diri sendiri, kasih kepada orang tua, kasih kepada Maha Pencipta, kasih kepada orang lain, kasih kepada lingkungan, dan kasih kepada makhluk hidup. Adanya nilai kasih sayang tampak pada kutipan cerita berikut. Ieenomokoehe-eheno ndinaiaro, to’oto noto’orikee mberano lau-laukaa lako mo’alo iwoianoleu baho’i anopewaikee rapi-rapi nggoloha’ano humikee. Terjemahan Dengan kegembiraan yang luar biasa, janda tua itu langsung membuat kamar khusus dalam gubuk dan pergi mengambilkan air dan memandikan Putra Bungsu. Nilai kasih sayang terhadap orang tua terlihat jelas pada kutipan cerita Randa Wulaa di atas, kasih sayang seorang ibu tampak pada janda tua yang mengambilkan air dan memandikan serta menyiapkan makanan Putra Bungsu. Kasih sayang seorang ibu (kurorondoi inanggu) tidak dapat dibalas dengan apapun. Hal tersebut dapat dilihat pada janda tua yang menyayangi Putra Bungsu walaupun janda tua itu tahu bahwa Putra Bungsu hanyalah anak asuhnya. Kasih sayang merupakan sikap untuk saling memberi dan melengkapi disaat susah maupun senang, disaat lapang maupun sempit. Bagi orang Tolaki, sikap kasih sayang tidak hanya ada pada hubungan manusia dengan manusia (kuroronduko) tetapi kasih sayang dapat juga ditunjukkan pada makhluk hidup lainnya. Sikap untuk melestarikan lingkungan dan menyayangi binatang merupakan bagian dari nilai kasih sayang terhadap makhluk lainnya. Orang Tolaki percaya bahwa ketika kita menyayangi sesama maka kita akan disayangi oleh yang maha kuasa. Dengan adanya kasih sayang maka seluruh nilai etika dan moral akan terjaga dengan baik. Nilai Estetika atau Nilai Keindahan Keindahan merupakan sesuatu yang mengagumkan karena mengandung nilai seni. Adanya nilai keindahan ketika permaisuri Mokole mengidamkan kesenian Tolaki. Maa’iero hae inekeno nolaa mendia motu’o nggiro’o Tina Mokole mongga mbera ihi’i iwoi ronga monggikii mbera pae-pae hendeto olulo, lariangi, ronga mombodea o anggo, anopiesusu’ako tumatoangeako. Taenango ine-ineheno saweetuuno moedea’i taena ngeno langgai saranani. Terjemahan Sampai menjelang hamil tua, permaisuri senantiasa menggigit lengan raja. Pekerjaan itulah yang senantiasa dilakukannya. Setelah ia hamil tua, barulah ia berhenti menggigit lengan suaminya. Pada saat itu yang disenanginya ialah memakan tahi air dan menonton bermacammacam permainan. Misalnya, Olulo, lariangi, mendengarkan onanggo, dan nyanyian dengan judul Tumotoangeako. Taenanggo yang paling digemarinya adalah taenanggo Langgai Saranani. Salah satu budaya Tolaki adalah memiliki kesenian tradisional diantaranya tari lulo (o’lulo), tari lariangi (lariangi), nyanyian rakyat (oanggo), dan cerita rakyat (taenanggo). Tari lulo (tari pergaulan) ini sangat sering ditampilkan dalam berbagai kegiatan dalam masyarakat Tolaki baik pesta adat seperti perkawinan maupun kegiatan sosial lainnya. Tari lulo ini ditampilkan oleh semua unsur golongan dalam masyarakat Tolaki baik laki-laki, perempuan, tua, muda, dewasa, tokoh masyarakat maupun rakyat miskin. Namun, saat ini tari lulo sudah lebih modern dapat diiringi dengan musik elekton atau kaset. Gerakkan tari lulo sudah lebih modern bukan hanya satu variasi tetapi sudah bermacam-macam variasi dan yang melakukan tari ini tidak hanya orang Tolaki saja tetapi tari lulo sudah dapat dilakukan oleh berbagai etnis. Tari lariangi adalah tari yang ditampilkan oleh gadis remaja. Tari ini biasa ditampilkan untuk penyambutan seorang raja atau pemimpin (mokole). Dalam tari ini penari terus menerus melangkah ke kanan. Tubuh dan busana yang dipakai menampakkan tata rias yang indah dan cantik sehingga berbeda dengan tari pergaulan. Saat ini, khususnya di daerah Konawe tari lariangi ini ditampilkan untuk memperingati hari-hari bersejarah namun, di daerah-daerah Tolaki tertentu sudah jarang ditampilkan.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Relevansi Hasil Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Tujuan pembelajaran sastra ialah diharapkan siswa menghargai dan memiliki minat terhadap kesusastraan bangsa sendiri dan sastra daerah khususnya, serta dapat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Dalam karya sastra ini para siswa diharapkan dapat menemukan nilai-nilai budaya bangsa dan daerahnya sehingga dapat meningkatkan rasa cinta tanah air. Menginat fungsi dan manfaat budaya lokal terhadap pemberdayaan dan pemeliharaan budaya yang berbhineka tunggal ika, maka sekolah adalah salah satu sarana untuk mengenalkan dan mengajarkan budaya daerah tersebut. Dengan mengenalkan dan mengajarkan budaya daerahnya diharapkan siswa tidak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya luar sehingga pengaruh budaya luar itu tidak dapat mempengaruhi dan meninggalkan budaya bangsa yang bernilai luhur. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang mengembalikan kewenangan sepenuhnya dari pemerintah kepada pihak sekolah untuk mengatur kerikulumnya sendiri sesuai dengan keadaan daerahnya. Dalam hal ini, karya sastra khususnya cerita rakyat sebabgai sastra yang lahir di daerah yang medianya menggunakan bahasa daerah, bisa saja dijadikan salah satu materi pembelajaran di sekolah. Sastra daerah merupakan sarana untuk menuangkan pikiran tentang baik buruknya kehidupan sehingga generasi muda berperilaku hati-hati dalam kehidupan sehari-hari. Karena di dalam sastra daerah kususnya cerita rakyat mengandung nilai-nilai budaya yang berfungsi sebagai pengajaran pendidikan pada generasi muda. Materi cerita rakyat berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat pada kelas X di SMA semester II, yaitu Kompetensi Dasar (KD) menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan secara langsung terdiri dari materi pembelajaran perihal cerita rakyat, unsur-unsur cerita rakyat, dan nilai-nilai budaya, sedangkan kegiatan pembelajaran menyangkut kegiatan mempelajari perihal cerita rakyat, mendengarkan penelusuran cerita rakyat, mengidentifikasi karakter tokoh ycerita rakyat yang didengarkan, mengungkapkan nilai-nilai budaya dalam cerita rakyat, dan membandingkan nilai-nilai budaya dalam erita rakyat dengan nilai-nilai budaya masa kini dengan menemukan karakteristik tokoh cerita rakyat, menemukan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat, dan menuliskan kembali isi cerita rakyat. Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap tiga cerita rakyat Tolaki yaitu, cerita Randa Wulaa, cerita Haluoleo, dan cerita To Tambarano Wuta dapat disimpulkan bahwa tiga cerita rakyat tersebut terdapat nilai-nilai budaya yang sangat bermanfaat bagi masyarakat suku Tolaki. Nilai budaya yang ditemukan yaitu nilai kepercayaan, nilai filosofis, nilai kesabaran, nilai kebersamaan (keselarasan), nilai kemapanan, nilai kerukunan, nilai keberanian, nilai keteguhan hati, nilai bijaksana, nilai kesopanan, nilai kasih sayang, nilai keindahan, dan nilai kebaikan. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka peneliti menyarankan beberapa saran sebagai berikut. 1. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut seharusnya dapat diimpilkasikan dalam setiap aktivitas sehari-hari baik pada diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat. 2. Sekiranya penelitian selanjutnya terhadap cerita rakyat Tolaki perlu dilakukan, mengingat banyaknya cerita rakyat Tolaki yang tersebar dalam masyarakat Tolaki dan diduga banyak mengandung nilai-nilai kehidupan. 3. Perlunya pencarian dan penjagaan cerita-cerita rakyat yang telah disebarkan oleh masyarakat penuturnya, sehingga tidak terabaikan dan pada akhirnya mencegah kepunahan cerita rakyat tersebut.
Daftar Pustaka Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Hayati. 2012. Makna dan Nilai-Nilai Budaya Siri pada Masyarakat Bugis di Kota Kendari. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Haluoleo Kendari.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296
Iper, Dunis, dkk. 2003. Tema, Amanat, dan Nilai Budaya Karungut Wajib Belajar 9 Tahun dalam Sastra Dayak Ngaju. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Kusumohamidjojo, Budiono. 2009. Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra. La Djamudi, Nadir. 2015. Pendekatan Genetik Dalam Sastra Lisan Wolio Pada Masyarakat Kota Baubau. Makalah Seminar Nasional Bahasa. Universitas Muhammadiyah Buton. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra; Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahmawati, S.S. 2006. Analisis Aktansial dan Fungsional Cerita Saga dalam Sastra Lisan Tolaki. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Rahmawati. 2014. Ungkapan Tradisional Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Rosidi, Ajip. 1995. Sastra dan Budaya; Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya Sikki, Muhammad, dkk. 1998. Nilai dan Manfaat Pappaseng dalam Sastra Bugis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tarimana, Abudrrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296