ISSN : 2301-721X
Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia
Vol. 1 No. 1 Mei 2013
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY TERHADAP KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI SISWA PADA TOPIK APLIKASI REAKSI REDUKSI OKSIDASI Oleh : Fitriani Tekistia Darmawan1) , Wawan Wahyu2) , Heli Siti Halimatul M.3)
Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI - email :
[email protected] 1 Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI - email :
[email protected] 2 Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI , email :
[email protected]
Abstrak
C
O
PY
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray terhadap kemampuan berkomunikasi siswa pada topik aplikasi reaksi reduksi oksidasi yang dilakukan pada tahun ajaran 2010/2011 semester dua di salah satu SMA Negeri di Kota Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan desain nonequivalent group design. Subyek penelitian terdiri atas 34 siswa kelas X di kelompok eksperimen dan 36 siswa kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh tahapan pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray terlaksana dan sesuai dengan urutan sintaks model pembelajaran tersebut. Selain itu, pada taraf signifikan 0,05 terdapat perbedaan kemampuan berkomunikasi yang signifikan pada pembelajaran topik aplikasi reaksi redoks antara kelompok eksperimen dan kontrol. Dengan kata lain, model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi siswa. Selain itu, siswa memberikan respon positif terhadap penerapan model pembelajaran ini.
N O
T
Kata kunci : pengaruh, model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray¸ kemampuan berkomunikasi siswa, aplikasi reaksi redoks.
THE EFFECT OF APLICATION OF COOPERATIVE TEACHING MODEL TWO STAY TWO STRAY TYPES TOWARD STUDENT COMMUNICATION ABILITY AT APLICATON OF REDUCTION AND OXIDATION REACTION TOPICS Abstrak
D
O
The reasearch objective is to know how the effect of aplication of cooperative teaching model Two Stay Two Stray Type toward student communication ability at aplication of reduction and oxidation reaction topics, which was carried out at two State Senior High Schools in Bandung City on second semester 2010 / 2011 academic year. The research methode used was quasi experiment by nonequivalent group design. There were thirty four students year X as experiment class and thirty six students as control class. The result showed that all of the cooperative teaching model Two Stay Two Stray type had been done orderly. There were different communication ability betwen experiment and control classes by 0.05 significantly. In the other word showed that cooperative teaching model Two Stay Two Stray Type had increased communication abilities. Most of students gave a good respond into this teaching model. Keyword : Effect, cooperative teaching model Two Stay Two Stray Type, communication ability, aplication of reduction and oxidation reactions.
11
Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia
D
O
N O
PY
T
adalah proses interaksi komunikasi aktif antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa dalam kegiatan pendidikan (Arifin, 2003). Dengan demikian komunikasi erat kaitannya dalam pendidikan. Komunikasi aktif akan terwujud jika guru dapat menyampaikan informasi dengan baik kepada para siswa. Untuk itu diperlukan suatu strategi pembelajaran yang dapat membuat komunikasi aktif antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa. Peneliti menemukan fakta di lapangan saat kegiatan PLP berlangsung di salah satu SMA Negeri di Kota Bandung bahwa komunikasi yang terjadi antara gurusiswa maupun siswa-siswa berjalan kurang baik. Selama pembelajaran, guru sangat mendominasi kegiatan sedangkan siswa kurang aktif terlibat. Padahal salah satu tuntutan KTSP adalah pembelajaran berorientasi pada siswa (student centered). Dengan demikian, kemampuan berkomunikasi siswa perlu dikembangkan agar komunikasi aktif dapat terwujud saat pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu solusi terhadap permasalahan yang terjadi di lapangan. Peneliti memilih strategi pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif. Hal ini dikarenakan, dalam model ini diskusi merupakan kegiatan utama dalam pembelajaran. Diskusi merupakan kegiatan berinteraksi dengan saling bertukar pendapat dan atau saling mempertahankan pendapat (Gintings, 2007), sehingga kemampuan berkomunikasi siswa diharapkan dapat berkembang melalui model pembelajaran ini.
Model pembelajaran kooperatif memiliki berbagai jenis tipe. Saat ini, tipe model pembelajaran kooperatif yang sedang dikembangkan adalah tipe two stay two stray. Dalam tipe ini, terdapat pemberian peran sebagai tuan rumah dan tamu. Peran ini digunakan saat diskusi antar kelompok. Adanya peran yang diberikan kepada siswa akan memotivasi siswa untuk memahami apa yang akan disampaikan pada saat diskusi antar kelompok berlangsung sehingga kemampuan berkomunikasi siswa dapat dikembangkan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ersah (2007) bahwa pada taraf signifikan 0,05 kemampuan berkomunikasi matematik siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih baik daripada kemampuan berkomunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Aplikasi reaksi redoks dipilih sebagai materi yang akan digunakan dalam penelitian. Hal ini dikarenakan aplikasi merupakan materi yang sangat dekat dengan kehidupan para siswa sehingga akan lebih mudah untuk didiskusikan. Selain itu, materi aplikasi redoks ini akan diperdalam lagi di kelas XII sehingga para siswa perlu pemahaman awal yang baik terhadap materi ini. Selanjutnya, kegiatan diskusi sangat tepat digunakan ketika materi yang disampaikan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Berdasarkan uraian di atas, pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini perlu dikaji lebih lanjut. Dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk mengetahui sejauh mana efektivitas penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini terhadap kemampuan berkomunikasi siswa pada topik aplikasi reaksi redoks. Dengan demikian, diharapkan dari hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat bagi siswa, guru, sekolah maupun peneliti lain.
O
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan aspek penting dalam kehidupan yang bertujuan memberikan suatu keterampilan kepada peserta didik yang diperoleh melalui kegiatan belajar mengajar (KBM). KBM
Vol. 1 No. 1 Mei 2013
C
ISSN : 2301-721X
12
Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia
PY
telah diterapkan di kelas. Pada tahap akhir, peneliti mengumpulkan dan menganalisis data penelitian yang ditemukan. Selanjutnya membuat kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Pengolahan data keterlaksanaan pada guru dan siswa dibuat dalam bentuk persentase (%). Adapun, untuk mengetahui perbedaan kemampuan berkomunikasi siswa digunakan uji-t yang sebelumnya dilakukan pengujian normalitas dengan uji chi-kuadrat. Sedangkan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berkomunikasi digunakan uji N-gain.
O
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, keterlaksanaan model pembelajaran tipe TSTS seluruhnya dilakukan dan sesuai dengan sintaks model pembelajaran ini. Selain itu, sebagian siswa terlibat aktif selama pembelajaran berlangsung. Kemampuan berkomunikasi tulisan dan lisan siswa yang diteliti menunujukkan perbedaan yang signifikan setelah diuji menggunakan uji-t. Selanjutnya, peningkatan kemampuan berkomunikasi tulisan siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan berkomunikasi siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode diskusi setelah diuji dengan N-gain. Berikut ini gambar yang menunjukkan peningkatan kemampuan berkomunikasi tulisan siswa di kedua kelompok.
D
O
N O
T
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment (eksperimen semu) dengan desain nonequivalent group design. Jumlah siswa yang menjadi subyek penelitian adalah 34 siswa di kelompok eksperimen dan 36 siswa di kelompok kontrol. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), tes tertulis berupa pilihan ganda beralasan terbuka, lembar kerja siswa, lembar observasi keterlaksanaan dan kemampuan berkomunikasi lisan, serta angket respon siswa. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penyelesaian. Pada tahap persiapan, peneliti menganalisis materi aplikasi reaksi redoks terhadap standar isi kimia SMA kelas X dan kemampuan berkomunikasi yang akan diteliti. Kemudian, peneliti menyusun, melakukan uji coba dan merevisi instrumen yang akan digunakan. Selanjutnya, peneliti membuat surat izin untuk berkoordinasi dengan pihak sekolah terkait penelitian yang akan dilakukan. Pada tahap pelaksanaan, di awali dengan pemberian tes awal di kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Selanjutnya, peneliti melaksanakan pembelajaran di kelompok kontrol dengan metode diskusi sedangkan di kelompok eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Selama pembelajaran dilakukan, diobservasi keterlaksanaan guru maupun siswa dan kemampuan berkomunikasi lisan siswa. Setelah pembelajaran dilakukan, siswa kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen diberikan tes akhir dengan soal yang sama dengan tes awal. Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana peningkatan yang terjadi di kedua kelompok. Selain itu, siswa kelompok eksperimen diberikan angket respon terhadap model pembelajaran yang
Vol. 1 No. 1 Mei 2013
C
ISSN : 2301-721X
Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Nilai N-gain Kemampuan Berkomunikasi Tulisan Siswa pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
13
Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia
adanya peran dalam kelompok kontrol ini mengakibatkan siswa kurang termotivasi dalam memahami materi aplikasi reaksi redoks. Antusias pada tahap presentasi di kelompok kontrol hanya terjadi di sebagian kecil siswa saja. Hal ini dikarenakan siswa kurang memahami materi aplikasi reaksi redoks.
O
PY
Kemampuan berkomunikasi tulisan yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa mampu menginterpretasikan jenis data yang disajikan dalam soal. Data yang disajikan berupa pernyataan, tabel, dan gambar. Berikut ini gambar yang menunjukkan peningkatan kemampuan berkomunikasi tulisan untuk setiap data yang disajikan pada soal tes tertulis.
N O
T
Perbedaan yang signifikan dan peningkatan kemampuan berkomunikasi yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dikarenakan situasi pembelajaran yang berbeda di kedua kelompok. Kelompok eksperimen merupakan kelompok yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Pemberian peran dalam tipe ini ternyata dapat memotivasi siswa untuk memahami materi yang akan disampaikan pada saat diskusi antar kelompok. Tidak hanya ini, diskusi yang terjadi dalam kelompok juga memberikan tantangan kepada siswa untuk paham terhadap materi redoks. Diskusi kelompok merupakan tahap awal dalam kegiatan tipe TSTS ini. Pada tahap ini siswa dituntut untuk paham agar komunikasi yang terjadi saat diskusi antar kelompok dapat berjalan efektif. Lebih lanjut, ketika tahapan presentasi hasil pengerjaan kelompok. Penyampaian hasil pengerjaan akan efektif ketika siswa memahami materi aplikasi redoks dan siswa akan bangga jika bisa menjawab pertanyaan dari guru maupun siswa dengan benar.
Vol. 1 No. 1 Mei 2013
C
ISSN : 2301-721X
D
O
Berbeda halnya dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode diskusi. Diskusi yang dilakukan siswa tidak terstruktur. Siswa dibebaskan oleh guru untuk memilih teman yang akan diajak berdiskusi dalam menyelesaikan tugas, sehingga banyak siswa yang tidak melakukan diskusi dengan siswa lain. Mereka lebih senang memahami materi aplikasi reaksi redoks sendiri karena terkadang penjelasan siswa membuat bingung. Hal ini diperkuat dengan angket respon siswa yang menyatakan bahwa penjelasan siswa terkadang membingungkan. Walaupun siswa bekerja sendiri, guru tidak melepasnya begitu saja. Guru pun membimbing dan mengarahkan siswa dengan memberikan pertanyaanpertanyaan yang terarah dalam menyelesaikan tugasnya. Karena tidak
Gambar 2. Perbandingan Rata-rata N-gain Semua Jenis Data pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Kemampuan berkomunikasi yang diteliti tidak hanya tulisan saja. Namun juga diteliti kemampuan berkomunikasi lisan siswa. Pembelajaran yang diterapkan di kedua kelompok dapat memberikan kesempatan dan melatih siswa untuk berkomunikasi secara lisan. Jumlah siswa yang mampu berkomunikasi lisan di kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol. Berikut ini gambar yang menunjukkan selisih persentase jumlah siswa yang mampu berkomunikasi secara lisan,
14
Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia
D
O
N O
PY
T
Situasi pembelajaran yang berbeda pun mengakibatkan perbedaan kemampuan berkomunikasi lisan siswa. Situasi pembelajaran yang dialami siswa di kelas eksperimen membuat siswa termotivasi untuk mampu menyampaikan informasi. Selain itu, siswa lebih aktif dalam membangun pengetahuannya untuk memahami materi aplikasi reaksi redoks. Keaktifan siswa dalam membangun pengetahuannya timbul karena mereka termotivasi dalam belajar. Siswa memahami materi dari membaca dan mendengarkan penjelasan siswa lain. Sesuai yang disarankan oleh Bruner dalam Dahar (1989) hendaknya siswa belajar melalui partisipasi secara aktif. Berbeda halnya dengan situasi pembelajaran di kelompok eksperimen, di kelompok kontrol siswa cenderung belajar sendiri dengan membaca dan mendengarkan penjelasan guru. Walaupun demikian, kesempatan untuk menyampaikan informasi diberikan oleh guru. Pada awal pembelajaran, di sela-sela penyampaian motivasi, apersepsi, dan tujuan, guru merangsang siswa untuk menyampaikan informasi yang mereka ketahui tentang aplikasi reaksi redoks dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga pada saat guru menyampaikan materi dan di akhir pembelajaran pada saat presentasi hasil pengerjaan tugas. Sedikitnya siswa yang menyampaikan informasi dikarenakan pengetahuan yang dibangun siswa kurang optimal. Di samping itu, tidak ada peran dan tanggung jawab yang dipikul oleh siswa
untuk mampu menyampaikan informasi hasil pengerjaannya. Situasi pembelajaran pada kelompok eksperimen pun menuntut siswa untuk aktif bertanya. Hal ini terlihat pada saat tahap awal diskusi kelompok di mana siswa saling bekerjasama untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru. Dalam tahap ini siswa dituntut untuk memahami hasil pengerjaan kelompoknya yang akan disampaikan nanti kepada kelompok lain pada saat tahap bertamu dan menerima tamu. Informasi yang harus disampaikan tentunya harus sesuai dengan konsepnya. Untuk itu, mereka akan saling bertanya satu sama lain agar memperoleh pengetahuan baru yang sebelumnya belum mereka dapatkan. Selain itu, bimbingan guru pada saat diskusi dalam kelompok pun akan memotivasi siswa untuk bertanya lebih banyak lagi terhadap materi aplikasi reaksi redoks dan membantu siswa dalam memahami materi tersebut. Hal ini diperkuat dengan respon positif yang diberikan siswa bahwa guru membimbing siswa saat diskusi berlangsung. Selanjutnya, pada saat presentasi hasil pengerjaan tugas, siswa juga diberi kesempatan untuk bertanya jika masih ada materi yang belum dipahaminya. Terlebih, jika ada perbedaan hasil pengerjaan dengan kelompok lain. Walaupun situasi pembelajaran di kelompok eksperimen berbeda dengan di kelompok kontrol, kesempatan siswa untuk menyampaikan pertanyaan pun diberikan oleh guru, sama halnya pada kelompok eksperimen. Setelah guru menyampaikan materi, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya terhadap materi aplikasi reaksi redoks yang belum mereka pahami. Lebih lanjut, ketika siswa mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Meskipun dalam pengerjaannya cenderung individual, guru tidak melepas siswa begitu saja melainkan membimbing siswa dalam menjawab pertanyaan yang ada dalam tugas. Hal ini dimaksudkan agar
O
Gambar 3. Perbandingan Selisih Persentase Jumlah Siswa pada Kemampuan Berkomunikasi Lisan di Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Vol. 1 No. 1 Mei 2013
C
ISSN : 2301-721X
15
Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia
PY
terstruktur, siswa akan memiliki keinginan untuk bisa menjawab ketika ada siswa lain yang bertanya padanya. Namun, karena sedikitnya siswa yang bertanya pada saat diskusi menyebabkan tidak banyak siswa yang menjawab pertanyaan. Hal ini dikarenakan jawaban siswa kadang kala menambah siswa yang bertanya bingung sehingga sulit untuk memahami materi. Pernyataan ini diperkuat dengan respon siswa bahwa jawaban siswa terkadang membingungkan. Padahal, tujuan siswa menyampaikan pertanyaan adalah untuk mengerti materi yang belum dikuasai.
O
KESIMPULAN Pada penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada guru adalah guru melaksanakan seluruh tahapan pembelajaran sedangkan pada siswa adalah sebagian besar siswa berperan aktif selama pembelajaran berlangsung. 2) Terdapat perbedaan kemampuan berkomunikasi siswa yang signifikan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. 3) Peningkatan kemampuan berkomunikasi siswa melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih tinggi dibandingkan dengan metode pembelajaran diskusi. 4) Siswa memberikan respon positif terhadap penerapan dan pengembangan pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada pembelajaran kimia.
D
O
N O
T
siswa termotivasi untuk bertanya mengenai pertanyaan yang mereka rasa sulit untuk dijawab. Selain itu, saat presentasi hasil pengerjaan juga siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan pertanyaannya. Namun, kesempatan yang telah diberikan kepada siswa tidak sepenuhnya membuat siswa mau menyampaikan pertanyaan. Hal ini dikarenakan kurangnya tanggung jawab pada diri siswa dan tidak adanya peran pada diri siswa untuk menyampaikan hasil pengerjaannya kepada kelompok lain. Ketika siswa menyampaikan pertanyaan tentunya siswa tersebut membutuhkan jawaban atas pertanyaannya, sehingga banyaknya siswa yang akan menyampaikan pertanyaan akan menyebabkan probabilitas siswa yang akan menjawab pertanyaan pun banyak. Diskusi kelompok yang terjadi baik di dalam kelompok maupun antarkelompok pada kelompok eksperimen menumbuhkan keinginan siswa untuk bisa menjawab kelompok maupun antar kelompok pada jawaban atas pertanyaan siswa lain. Siswa akan merasa bangga ketika bisa menjawab pertanyaan. Lebih lanjut, dengan menjawab pertanyaan akan menguatkan pemahaman terhadap suatu materi sehingga ingatan terhadap materi akan bertahan lama. Pada kelompok kontrol, kesempatan siswa menjawab pertanyaan sama dengan kesempatan menyampaikan pertanyaan. Sebelum guru menjawab pertanyaan siswa, guru memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada siswa untuk menjawab. Walaupun diskusi yang berlangsung dalam pembelajaran kelompok kontrol tidak
Vol. 1 No. 1 Mei 2013
C
ISSN : 2301-721X
REFERENSI Arifin, M. dkk. (2003). Strategi Belajar Mengajar Kimia. Bandung: IMSTEP. Brady, J.E. (2005). Kimia Universitas Asas dan Struktur Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara. Chang, R. (2005). Kimia Dasar Konsep-konsep Inti Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Gintings, A. (2007). Esesnsi Praktis Belajar dan Pembelajaran (Edisi Revisi). Bandung: Humaniora. 16
ISSN : 2301-721X
Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia
Vol. 1 No. 1 Mei 2013
Kagan, S. (1992). Two Stay Two Stray. [online]. Tersedia: http://www.id.wordpress.com / 2009/11/14/model-pembelajaran-two-stay-two-stray-spencer-kagan1992. (14 November 2009). Lie, A. (2002). Cooperative Learning (Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas). Jakarta: Grasindo.
Slavin, R.E. (2005). Cooperative Learnig: Teori, Riset, dan Praktek. Bandung: Nusa Media. Solihatin, E dan Raharjo. (2008). Coooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara.
D
O
N O
T
C
O
PY
Wahyu, W. dkk. (2007). Belajar dan Pembelajaran Kimia. Bandung: Jurusan Pendidikan Kimia UPI.
17