VISI (2012) 20 (1) 773-797
ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797
ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 Analisis Pengaruh Beberapa Faktor Ekonomi Terhadap Permintaan Kopi Di Sumatera Utara Hotden Leonardo Nainggolan Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan. Jl. Sutomo No. 4A Meda 20234 Telp. 0614522922. Email :
[email protected] Abstract This research is aimed to know the some economic factors influencing demand for commodity coffee in North Sumatera. The research used secondary data in the form of time series data in the period 1985-2005, obtained from BPS North Sumatera, Industry and Commerce Department North Sumatera, and the method used is Ordinary Least Squarer Method (OLS). The result finds that some economic factors which has significant influence on demand of commodity coffee in North Sumatera are domestic coffee price, price expectation of coffee domestic, sugar price and per capita income with significant level 95 percent. The coefficient determination (R2) 96,91 percent. Partially, the result indicates that domestic coffee price have negatively effect, tea price have a positively effect, sugar price have a negatively effect and per capita income both positively having an effect to demand of commodity coffee in North Sumatera, meanwhile price expectation of coffee domestic have an effect on demand of commodity coffee in North Sumatera negatively, it’s meaning if price expectation decrease hence demand of commodity coffee by consumer will increase. According to result finding the research suggested that by all farmers coffee in North Sumatera try to increase product and remain holding the quality of coffee. The Government of Province North Sumatera require to assist all coffee farmers by giving incentive weather is in the form of capital loan or providing of facilities in order to increase the coffee product in North Sumatera, so it can expand in domestic market even penetrate exporting market. Keyword : coffee demand, domestic coffee price, per capita income, sugar price, tea price. 1. PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang. Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang potensial terutama dibidang pertanian dan perkebunan karena selain mampu menghasilkan bahan pangan juga mampu menghasilkan komoditi ekspor sebagai sumber devisa negara. Data BPS (2010), menunjukkan bahwa jumlah penduduk Sumatera Utara mencapai 12 juta jiwa lebih, dimana sebagian besar penduduk tersebut tinggal dipedesaan yaitu sebanyak 6.659 juta jiwa, bahkan lebih dari 40% dari total penduduk tersebut bekerja di sektor pertanian. Maka sangat potensial untuk menggalakkan industrialisasi pedesaan (agroindustri), yaitu industry yang mengolah hasil pertanian setempat untuk memanfaatkan potensi tenaga kerja yang besar tersebut (Sari. 2002). Pada saat krisis ekonomi tahun 1997, perekonomian Sumatera Utara tidak stabil hingga tahun 2000, karena menekan perekonomian secara menyeluruh. Namun karena Sumatera Utara memiliki areal perkebunan yang luas serta terdapatnya agroindustri, maka Sumatera Utara dapat bertahan hal ini ditunjukkan oleh laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara (tanpa migas) sebesar 6,88% tahun 1997 dan tahun 1998 sempat turun mejadi 10,99%, namun tahun 1999 tumbuh kembali 2,66% dan tahun 2001 membaik 5,23% (Disperindag, S.U. 2002). ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 Dalam kondisi perekonomian yang kurang stabil beberapa perkebunan rakyat di Sumatera Utara mampu menyumbang bagi devisa daerah seperti; kelapa, kemenyan, cengkeh, kayu manis, kemiri. Disamping itu Sumatera Utara juga memiliki potensi komoditi tanaman kopi, dimana sebagian besar merupakan hasil dari perkebunan rakyat namun mampu menyumbang devisa bagi propinsi Sumatera Utara bahkan komoditi ini termasuk andalan ekspor Sumatera Utara (BPS. 2010). Mubyarto (1984), menyampaikan secara umum mutu kopi yang dihasilkan Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara produsen kopi lainnya, hal ini disebabkan karena penanganan proses produksinya sederhana. Dan sekitar 80% luas areal tanaman kopi di Indonesia dikelola oleh rakyat dengan sistem pertanian dan teknik budidaya masih tradisional, perlakuan dalam proses pasca panen dan kondisi sosial petani kopi yang relatif sederhana. Produktifitas kopi per hektarnya juga relatif rendah, hal ini dipengaruhi oleh iklim, ekologi tanah dan sistem pertanian yang masih tradisional. Produktifitas kopi di Indonesia hanya rata-rata 500 Kg/ha, sementara Brazil mencapai 600 Kg/ha, Costarica mencapai 1.200 Kg/ha dan Colombia menghasilkan 800 Kg/ha (Ilyas, R. 1991). Data Statistik menunjukkan bahwa propinsi Sumatera Utara memiliki luas areal kopi 77.720 ha, dengan produksi 54,857Kg/ tahun (tahun 2005) dengan produksi rata-rata 976,19 Kg/ ha (BPS. 2006). Komoditi kopi Sumatera Utara merupakan tanaman kopi arabica yang terdapat di Kabupaten Dairi, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat luas lahan dan produksi kopi Sumatera Utara tahun 1996 – 2005, sebagai berikut: Tabel 1. 1. Luas Lahan dan Produksi Kopi Sumatera Utara (1996 – 2005).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Luas Lahan pertumbuhan Produksi Kopi pertumbuhan Kopi (ha) (%) (Kg) (%) 59,420 0.0% 28,966.00 0.0% 60,113 1.2% 25,524.00 -11.9% 60,134 0.0% 34,019.00 33.3% 37,381 -37.8% 22,451.00 -34.0% 62,040 66.0% 38,113.00 69.8% 61,708 -0.5% 39,198.00 2.8% 65,469 6.1% 42,973.00 9.6% 65,152 -0.5% 43,252.00 0.6% 53,969 -17.2% 43,804.00 1.3% 77,720 44.0% 54,857.00 25.2% Sumber : Nainggolan, H. L. 2007; BPS. 2010.
Pada tabel diatas terlihat bahwa luas lahan tanaman kopi di Sumatera Utara tahun 1996 adalah 59.420 ha dengan produksi 28.966 Kg. Tahun 2000 menjadi 62,040 ha (tumbuh 1,2%) dengan produksi 38.113 Kg. Kemudian tahun 2005 adalah 77,720 ha dengan produksi 54.857 Kg. Sementara itu nilai ekspor kopi Sumatera Utara, juga memiliki peranan penting dalam perekonomian daerah. Tahun 2001 nilai ekspor kopi Sumatera Utara sebesar US$ 63.790.788 dengan volume 44.208.475 Kg, artinya mampu menyumbangkan devisa sebesar 2,78% dari total ekspor non-migas propinsi Sumatera Utara. (Disperindag, S.U. 2002). Secara umum produktifitas kopi Sumatera Utara masih rendah jika dibandingkan dengan daerah penghasil kopi lainnya, hal ini menyebabkan Sumatera Utara mendatangkan kopi ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 dari luar daerah seperti; Aceh dan daerah lainnya untuk memenuhi permintaaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi kopi memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai komoditi andalan di Sumatera Utara, sehingga memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan petani kopi itu sendiri, oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk “Menganalisis Pengaruh Bebebarapa Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Permintaan Kopi di Sumatera Utara” 1.2. Rumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka dirumuskan pernyataan penelitian yaitu, berapa besar pengaruh; Bebebarapa Faktor Ekonomi Terhadap Permintaan Kopi di Sumatera Utara . 1.3. Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Bebebarapa Faktor Ekonomi Terhadap Permintaan Kopi di Sumatera Utara. 1.4. Hipotesis Penelitian. Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka dikemukakan hipotesis sebagai berikut : 1. Faktor-faktor ekonomi berupa; harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestic dan harga gula berpengaruh negatif terhadap permintaan kopi di Sumatera Utara, ceteris paribus. 2. Faktor-faktor ekonomi berupa; harga teh dan Pendapatan perkapita masyarakat berpengaruh positif terhadap permintaan kopi di Sumatera Utara, ceteris paribus. 1.5. Manfaat Penelitian. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah, 1) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Sumatera Utara dalam mengambil kebijakan yang berhubungan dengan komoditi kopi, 2) Sebagai bahan masukan bagi petani dalam rangka pemenuhan permintaan kopi di Sumatera Utara, dan 3) menambah kazanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan komoditi kopi. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Permintaan. Dalam analisis ekonomi bahwa permintaan seseorang (masyarakat) terhadap suatu barang/ jasa ditentukan oleh banyak faktor, antara lain; harga barang itu sendiri, harga barang lain, pendapatan masyarakat, cita rasa masyarakat dan jumlah penduduk (Nicholson, W. 1991). Nicholson, W. (1995) menyampaikan bahwa terdapat dua model dasar permintaan yang berkaitan dengan harga, pertama adalah kenaikan harga menyebabkan pembeli mencari barang lain sebagai pengganti terhadap barang yang mengalami kenaikan harga (substitusi atau komplementer) dan bila kenaikan harga suatu barang menyebabkan permintaan barang lain meningkat (hubungan positif), disebut barang substitusi. Dan bila dua jenis barang saling melengkapi, penurunan harga salah satunya mengakibatkan kenaikan permintaan akan yang lainnya dan sebaliknya jika terjadi kenaikan ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 harga salah satunya akan mengakibatkan penurunan permintaan terhadap barang yang lainnya dan bila kenaikan harga suatu barang menyebabkan permintaan barang lain menurun (hubungan negatif), maka disebut barang komplementer (Nicholson, W. 1995). Sudarsono (1980), mengatakan bahwa tujuan dari teori permintaan adalah mempelajari dan menentukan berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan. Faktor- faktor yang dimaksud adalah harga barang itu sendiri, harga barang lain (substitusi atau komplementer), pendapatan dan selera konsumen. Sukirno (2002), menyampaikan bahwa permintaan suatu barang fluktuasinya akan sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain : 1. Perkembangan dan perubahan tingkat kehidupan penduduk. Ketika terjadi perkembangan tingkat kehidupan yang lebih baik, maka permintaan akan suatu barang akan meningkat, khususnya barang-barang yang berkualitas. 2. Perkembangan dan peningkatan pendapatan perkapita penduduk. Ketika pendapatan seseorang naik, akan meningkatkan jumlah konsumsi yang berarti juga akan meningkatkan permintaan terhadap suatu jenis barang. 3. Pergeseran dan kebiasaan, selera dan kesukaan penduduk. Pergeseran selera masyarakat terjadi karena adanya perubahan dalam faktor-faktor yang mendasari permintaan tersebut, seperti kenaikan pendapatan. 4. Kegagalan produksi yang menyebabkan langkanya suatu produk di pasaran. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya permintaan akan barang tersebut hingga waktu tertentu. 5. Bencana alam dan peperangan. Terjadinya bencana alam dan peperangan dapat mengakibatkan meningkatnya permintaan terhadap satu jenis produk, karena terhambatnya saluran distribusi atau aktivitas usaha. 6. Faktor peningkatan penduduk. Peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan permintaan terutama kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang meliputi sandang, pangan dan papan. 2.2. Konsepsi Elastisitas. Reksoprayitno, S. (2002), menyampaikan bahwa intensitas reaksi pembeli terhadap perubahan harga suatu barang dapat diukur dengan suatu alat analisis yang disebut dengan elastisitas. Sudarsono (1990), mengungkapkan terdapat tiga variabel yang mempengaruhi permintaan, yaitu harga barang itu sendiri, harga barang lainnya (substitusi atau komplementer) dan pendapatan, maka atas dasar ini dikenal elastisitas harga barang itu sendiri (price elasticity), elastisitas harga silang (cross elasticity) dan elastisitas pendapatan (income elasticity). Elastisitas yang digunakan untuk mengukur intensitas reaksi konsumen (pembeli) adalah dalam bentuk perubahan jumlah barang yang diminta terhadap perubahan harga suatu barang yang disebut dengan elastisitas harga permintaan (price elasticity of demand) atau disebut juga dengan elastisitas permintaan (demand elasticity). Perubahan harga pada suatu barang berpengaruh pada jumlah barang yang diminta, baik pengaruh substitusi maupun pengaruh pendapatan atau gabungan keduanya. Berdasarkan pengaruh harga ini, jika dihubungkan dengan jumlah barang yang diminta oleh konsumen dapat dibedakan atas barang substitusi dan komplementer. Demikian juga pengaruh perubahan pendapatan terhadap jumlah barang yang diminta oleh konsumen dapat dibedakan atas barang normal (normal goods) yaitu barang-barang yang permintaanya naik bila pendapatan lebih tinggi dan permintaannya akan turun bila pendapatan lebih rendah, barang superior (superior goods) atau barang mewah (luxuries goods), barang inferior (inferior goods) adalah barang ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 yang permintaanya cenderung turun bila pendapatan naik, barang giffen (giffen goods) dan sebagainya. 2.3. Komoditi Kopi Dan Aspek Ekonomisnya. Tanaman kopi yang bernama perpugenus coffea dari famili rubiceae berasal dari benua Afrika. Bredley (1916), merupakan orang yang pertama menulis sejarah tentang kopi dalam bukunya yang berjudul “A short historical account of coffea, containing the most remarkable observations of greatest men in Europe concerning it “. Kemudian diikuti penulis lainnya seperti; Linnaeus (1937) dan Smith (1985), melalui buku yang mereka tuliskan bahwa daerah asal kopi adalah Abyssinia atau Ethiopia sekarang ini, kemudian masuk ke Yaman sekitar tahun 575 SM. Untuk pertama kalinya kedai kopi dibuka di Inggris tahun 1650 oleh Jacob, tepatnya di Angel Hight di Kota Oxford antara University College dan Examinations Schools. Kemudian 2 tahun berikutnya yaitu tahun 1852 kedai kopi pertama dibuka di London yaitu di St. Michael’s Alley berdekatan dengan kantor Kerajaan (Royal Exchange), (Spillane, J. J. 1991). Kemudian pada tahun 1511, Kaisar Bey seorang Gubernur muda dari Kesultanan Kairo (Mekkah) menginstruksikan untuk menutup kedai kopi didaerah tersebut, karena ketika usai berdoa dari Mesjid dia melihat beberapa orang di ujung jalan sedang merencakan untuk minum kopi, hal ini membuat kaisar Bey tidak senang dan ia berkata bahwa hal tersebut bertentangan dengan hukum Islam. Sementera itu di Italia para Pastor juga mengusulkan kepada Paus Clement (1592-1605), untuk melarang penggunaan kopi di kalangan umat Kristen, karena kopi dianggab berkaitan dengan dunia mistik (pemberian setan), (Spillane, J. J. 1991). Namun walaupun demikian, nampaknya kopi merupakan barang yang sangat bermanfaat, karena tahun 1658 kopi sudah merupakan komoditi perdagangan Internasional, dimana pada waktu itu Eropa Barat telah mengimpor kopi dari Ceylon (Sailan). Dan kemudian tahun 1699 kopi di perkenalkan ke Indonesia yaitu Pulau Jawa yang dibawa oleh VOC. Kopi telah merupakan salah satu bahan minuman rakyat di seluruh dunia, baik di negara produsen apalagi di negara pengimpor (konsumen). Kopi merupakan suatu komoditi penting dalam ekonomi dunia, dan mencapai nilai perdagangan sebesar US dolar 10.3 millyar (Spillane, J. J. 1991), antara negara yang sedang berkembang dengan negara-negara maju. Sehingga komoditi kopi menjadi salah satu komoditi ekspor yang menjanjikan, disamping itu juga memiliki peranan penting sebagai sumber penghidupan bagi berjuta-juta petani kopi diseluruh dunia. Di Indonesia kopi merupakan salah satu komponen industri pertanian yang penting. Pada tahun 1986 sektor perkopian Indonesia mempekerjakan sedikitnya 8 juta orang, termasuk didalamnya 2 juta petani kopi rakyat. Kopi pun merupakan sumber penghidupan bagi 1, 6 juta keluarga petani dan lebih kurang 30.000 keluarga karyawan yang bekerja di berbagai perkebunan kopi di Indonesia (Spillane, J. J. 1991). III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Data dan Model Analisis. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan data sekunder berupa data time series 21 tahun, (1985 – 2005), yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Utara, dan sumber lain. Model Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier, yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dan fungsi persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Qdc = f (Pcd, Pt, Ps, I, T) ……………………………..………….…..…………..…….…..1) ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 Dari fungsi tersebut kemudian diderivasikan ke dalam persamaan ekonometrika dalam bentuk Model Koyck (Model Ekspektasi) untuk melihat permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara sebagai berikut : Model Koyck (Model Ekspektasi) : Qdc = a + b1Pcd + b2Pcde + b3Pt + b4Ps + b5 I + µ ……………..……….…..………2) Dimana : Qdc : Jumlah permintaan kopi di Sumatera Utara(Kg) a : Intercept b1-b5 : Koefisien regresi. Pcd : Harga kopi domestik di Sumatera Utara (Rp/ kg). Pcde : Harga ekspektasi kopi domestik di Sumatera Utara (Rp/ kg). Pt : Harga komoditi teh di Sumatera Utara (Rp/ Kg). Ps : Harga gula di Sumatera Utara (Rp/ kg). I : Pendapatan perkapita masyarakat Sumatera Utara (Rp) 3.2. Batasan Operasional. Untuk memudahkan penafsiran dan memberikan batasan yang jelas mengenai variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka disusun batasan operasional sebagai berikut : a. Permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara adalah selisih dari total produksi dengan total ekspor (luar negeri dan dalam negeri) yang diolah di dalam negeri untuk di konsumsi masyarakat Sumatera Utara (Kg) b. Harga kopi domestik adalah harga rata-rata kopi dipasaran domestik Sumatera Utara dalam satu tahun (Rp/ kg). c. Harga teh adalah harga rata-rata teh dalam satu tahun (Rp/ kg) di Sumatera Utara. d. Harga gula adalah harga rata-rata gula dalam satu tahun (Rp/ kg) di Sumatera Utara. e. Pendapatan perkapita adalah product domestic regional bruto (PDRB) perkapita (PDRB/ jumlah penduduk/ tahun) Sumatera Utara dalam harga konstan dalam satu tahun (Rp). f. Harga ekspektasi kopi domestik adalah selisih dari harga kopi domestik saat ini (Pcd(to)) dengan harga kopi domestik setelah dikurangi dengan harga kopi domestik tahun sebelumnya (Pcd (t-1)) di Sumatera Utara (Rp/ kg). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perkembangan permintaan kopi di Sumatera Utara. Sumatera Utara sebagai daerah penghasil kopi di Indonesia, memiliki tanaman kopi seluas 45.468 ha dengan produksi 16.084 ton tahun (1985), dan terus mengalami perkembangan setiap tahunnya. Tahun 2005 luas tanaman kopi di Sumatera Utara mencapai 77.720 ha dengan produksi 54.857 ton (BPS. 2010). Pertumbuhan produksi kopi di Sumatera Utara mencapai 14% per tahunnya dibarengi dengan pertambahan luas lahan sebesar 4,1% per tahunnya. Produksi ini adalah untuk memenuhi permintaan kopi di Sumatera Utara yang terdiri atas kebutuhan ekspor dan kebutuhan permintaan pasar domestik (konsumsi rumah tangga), sebagaimana disajikan pada tabel berikut:
ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 Tabel 1.2 Permintaan Komoditi Kopi Di Sumatera Utara (1985 – 2005).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Permintaan Kopi (Kg) 17,450,200 18,570,500 19,250,250 19,450,000 19,870,000 20,150,000 20,150,650 20,565,000 21,650,250 21,780,020 21,980,400 22,565,250 22,540,750 23,450,310 23,750,025 24,015,250 24,125,425 24,250,450 25,100,250 25,150,625 25,625,125
Pertumbuhan (%) 0.00% 6.42% 3.66% 1.04% 2.16% 1.41% 0.00% 2.06% 5.28% 0.60% 0.92% 2.66% -0.11% 4.04% 1.28% 1.12% 0.46% 0.52% 3.50% 0.20% 1.89%
Sumber : Nainggolan, H. L. 2007; BPS. 2010. Pada tabel 1.2 diatas dapat dilihat bahwa permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara mengalami peningkatan. Pada tahun 1985 permintaan komoditi ini mencapai 17.450.200 Kg, dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 1998 menjadi 23.450.310 Kg. Pada tahun 1999 mengalami peningkatan menjadi 23.750.025 Kg (tumbuh 1.28%). Kemudian tahun 2000 permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara meningkat menjadi 24.015.250 Kg tumbuh 1,12% sementara pada tahun 2001 permintaan komoditi ini konstan yaitu 24.125.425 Kg. Dan tahun 2002 mengalami kenaikan menjadi 24.250.450 Kg, dan tahun 2004 menjadi 25.150.625 Kg. Tahun 2005 permintaan komoditi ini kembali meningkat menjadi 25.625.125 Kg (tumbuh 1,89 % ) dari tahun sebelumnya.
ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 4.2. Perkembangan Harga Kopi Domestik, Harga Teh dan Harga Gula di Sumatera Utara. Perkembangan harga kopi domestik, harga teh dan harga gula di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1.3. Harga Kopi Domestik, Harga Teh dan Harga Gula Di Sumatera Utara (1985 – 2005) Harga Kopi Pertumbuhan Harga Teh Pertumbuhan Harga Gula No Tahun Domestik (Rp/Kg) (%) (Rp/ Kg) (%) (Rp/Kg) 1 1985 1,150 0.00% 1,250 0.00% 1,250 2 1986 1,300 13.04% 1,365 9.20% 1,450 3 1987 1,450 11.54% 1,625 19.05% 1,650 4 1988 1,650 13.79% 1,850 13.85% 1,780 5 1989 1,750 6.06% 2,550 37.84% 1,950 6 1990 2,150 22.86% 2,860 12.16% 2,150 7 1991 2,450 13.95% 3,650 27.62% 2,250 8 1992 3,050 24.49% 3,950 8.22% 2,540 9 1993 3,150 3.28% 4,250 7.59% 3,250 10 1994 3,250 3.17% 4,375 2.94% 3,600 11 1995 3,350 3.08% 4,950 13.14% 4,580 12 1996 3,350 0.00% 5,350 8.08% 3,750 13 1997 2,850 -14.93% 7,250 35.51% 5,525 14 1998 2,950 3.51% 8,350 15.17% 6,950 15 1999 3,550 20.34% 8,750 4.79% 8,750 16 2000 3,750 5.63% 6,800 -22.29% 6,250 17 2001 3,850 2.67% 6,900 1.47% 4,850 18 2002 4,150 7.79% 5,400 -21.74% 4,250 19 2003 3,590 -13.49% 5,100 -5.56% 3,850 20 2004 3,950 10.03% 3,250 -36.27% 4,500 21 2005 4,050 2.53% 4,850 49.23% 4,250 Sumber : Nainggolan, H. L. 2007; BPS. 2010.
Pertumbuhan (%) 0.00% 16.00% 13.79% 7.88% 9.55% 10.26% 4.65% 12.89% 27.95% 10.77% 27.22% -18.12% 47.33% 25.79% 25.90% -28.57% -22.40% -12.37% -9.41% 16.88% -5.56%
Pada tabel 1.3 diatas dapat dilihat bahwa perkembangan harga kopi domestik Sumatera Utara cendrung berfluktuasi. Pada tahun 1985 harga kopi domestik Rp. 1.150/ Kg dan mengalami peningkatan menjadi Rp. 1.450/ Kg (11,54%) tahun 1987. Kemudian pada tahun 1990 harga kopi domestik di Sumatera Utara menjadi Rp. 2.150/ Kg dan pada tahun 1992 sebesar Rp. 3.050/ Kg (tumbuh 8,22%). Kemudian tahun 1993 harga kopi domestik mengalami kenaikan hingga 3,28% menjadi Rp. 3,150/ Kg. Dan tahun 2005 harga kopi domestik di Sumatera Utara berada di angka Rp. 4.050/ kg atau tumbuh 2,53% dari tahun sebelumnya. Soekartawi (2002), mengatakan bahwa harga beberapa komoditi pertanian sering naik atau turun secara tidak terkendali (berfluktuasi), yang lazim terjadi adalah turunnya harga pada saat panen dan adanya kenaikan harga pada saat paceklik. Pada tabel 1.3 diatas dapat dilihat bahwa harga teh di Sumatera Utara mengalami peningkatan secara teratur dimana tahun 1985 adalah Rp. 1.250/ Kg. Kemudian tahun 1995 menjadi Rp. 4.950/ Kg (meningkat 13,14%) dari tahun sebelumnya, kemudian tahun 2005 harga teh di Sumatera Utara tercatat Rp. 4.850/Kg, mengalami pertumbuhan 49,23% dari tahun sebelumnya. ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 Pada tabel 1.3 diatas juga dapat dilihat bahwa harga gula, mengalami perubahan yang fluktuatif, dimana tahun 1985 harganya adalah Rp. 1.250/ Kg dan mengalami pertumbuhan Rp. 2.150/ Kg (0,26%) tahun 1990. Dan tahun 1998 harga gula di Sumatera Utara berada pada angka Rp. 6.950/ Kg, mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi Rp. 4.250/ Kg (turun sebesar 5,56%) dari tahun sebelumnya. 4.3. Perkembangan Pendapatan Perkapita di Sumatera Utara. Dalam penelitian ini bahwa pendapatan perkapita masyarakat adalah menggunakan data Product Domestic Regional Bruto (PDRB) perkapita (PDRB/ jumlah penduduk/ tahunnya) atas dasar harga konstan 2000. Angka PDRB merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat dan perkembangan wilayah. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat perkembangan pendapatan perkapita Sumatera Utara sebagai berikut : Tabel 1.4. Pendapatan Perkapita di Sumatera Utara (1985 – 2005). Pendapatan Perkapita (Rp)
Pertumbuhan (%)
No
Tahun
1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
354,594 370,228 394,054 432,381 465,951 504,561 593,649 630,070 1,698,094 1,830,005 1,960,537 2,108,670 2,189,128 1,996,987 2,024,927 6,006,103 6,175,689 6,385,069 6,609,292 6,873,420
0.00% 4.41% 6.44% 9.73% 7.76% 8.29% 17.66% 6.14% 169.51% 7.77% 7.13% 7.56% 3.82% -8.78% 1.40% 196.61% 2.82% 3.39% 3.51% 4.00%
21
2005
7,130,695
3.74%
Sumber : Nainggolan, H. L. 2007; BPS. 2010. Dari tabel 1.4. diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 1985 pendapatan perkapita Sumatera Utara adalah Rp. 354.594 dan mengalami pertumbuhan yang drastis untuk setiap tahunnya. Pada tahun 1999-2000 terjadi peningkatan dari Rp.2.024.927 menjadi Rp. 6.006.103 tumbuh 196,61% dari tahun sebelumnya. Tahun 2000 Pendapatan perkapita Sumatera Utara adalah Rp. 6.006.103 mengalami peningkatan menjadi Rp. 7.130.694 pada tahun 2005 (tumbuh 3,74 %).
ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 4.4. Pembahasan. 4.4.1. Hasil Estimasi dengan menggunakan OLS. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan pada permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara (1985 – 2005), dengan menggunakan variabel harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga teh, harga gula dan pendapatan perkapita masyarakat, hasil regresi yang diperoleh melalui penelitian ini dengan Model Koyck (Model Ekspektasi), adalah sebagai berikut: Qdc = 6754424
-
2 R
F. Stat
0,93 Pcd – (-3,450143)** 0,82 Ps + (-1,864850) **
0,75 Pcde + (-2,914132)**
0,63 Pt (1,289146)
0,34 I (3,286566)**
= 0, 969154
= 72,44571 ***
DW = 1,150539
Sumber : Data Sekunder diolah. 2011. Keterangan : Angka dalam kurung adalah t-Statistik. *** signifikan pada α = 1 %. * signifikan pada α = 10 %. ** signifikan pada α = 5 %. 2 Berdasarkan nilai R-Squared (R ) sebesar 0,969154 berarti variabel-variabel; harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik harga teh, harga gula dan pendapatan perkapita mampu menjelaskan variasi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara sebesar 96,91 %. Dan jika dilihat dari F-statistik yang diperoleh, yaitu sebesar 72, 45571, lebih besar dari F0,01 (4,16) = 4,77; ini berarti secara bersama-sama (serentak) harga kopi domestik (Pcd), harga ekspektasi kopi domestik (Pcde), harga teh (Pt), harga gula (Ps), dan pendapatan perkapita (I) mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, pada tingkat kenyakinan 99%. 4.4.2. Analisis Permintaan Kopi di Sumatera Utara. 4.4.2.1. Harga Kopi Domestik. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan diketahui bahwa harga kopi domestik (Pcd) berpengaruh negatif sebesar 0,93 terhadap permintaan kopi di Sumatera Utara (Qdc), artinya jika harga kopi turun sebesar Rp 1, maka permintaan akan naik sebesar 0,93 kg. Sesuai dengan hasil estimasi yang diperoleh bahwa variabel harga kopi domestik (Pcd) memiliki pengaruh negatif nyata dan signifikan terhadap permintaan kopi di Sumatera Utara (Qdc), pada α = 5% (t.hitung 3,450 > t. tabel 1,746) dengan tingkat keyakinan 95%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Venkatram dan Deodhar (1999), yang menyatakan bahwa harga kopi memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan kopi di pasar domestik India, dimana jika harga kopi mengalami penurunan maka permintaan akan kopi di pasar domestik akan mengalami peningkatan. ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797
4.4.2.2. Harga Ekspektasi Kopi Domestik. Dari hasil estimasi dengan Model Koyck (Model Ekspektasi), diketahui bahwa harga ekspektasi kopi domestik (Pcde) berpengaruh negatif sebesar 0,75 terhadap permintaan kopi di Sumatera Utara, artinya jika harga ekspektasi kopi domestik (Pcde) turun sebesar Rp 1, maka permintaan akan naik sebesar 0,75kg. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai T-statistik 2,914 > dari nilai Ttabel 1,746, hal ini menunjukkan bahwa permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, dipengaruhi oleh harga ekspektasi kopi domestik pada α = 5 % (t. hitung 2,914 > t. tabel 1,746) atau pada tingkat keyakinan 95 %, artinya jika harga ekspektasi kopi domestik akan menurun dipasaran maka permintaan kopi domestik di Sumatera Utara akan meningkat. 4.4.2.3. Harga Teh. Berdasarkan hasil estimasi bahwa harga teh (Pt) berpengaruh positif sebesar 0,63 terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara (Qdc). Sesuai dengan hasil estimasi bahwa variabel harga teh memiliki pengaruh yang positif terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara (tidak signifikan pada α = 10 %, t. hitung 1,289 < t. tabel 1,337). Namun jika terjadinya kenaikan harga teh maka masyarakat akan memilih untuk mengkonsumsi kopi sebagai barang subsitusi dari teh, sehingga permintaan kopi di pasar akan meningkat. Menurut Nicholson, W. (1991), ke dua barang tersebut dapat dikatakan sebagai “net substitutes”, dimana jika harga dari salah satu barang tersebut mengalami kenaikan akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap barang lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Venkatram dan Deodhar (1999), tentang permintaan kopi di pasar domestik india dan berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasilnya bahwa harga teh memiliki hubungan yang positif terhadap permintaan kopi diwilayah di pasar domestik, artinya terjadinya peningkatan harga teh disebabkan oleh jumlah permintaan yang semakin meningkat. 4.4.2.4. Harga Gula. Sesuai dengan hasil estimasi yang dilakukan bawah harga gula (Ps) berpengaruh negatif sebesar 0,82 terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara (Qdc). Artinya jika harga gula mengalami kenaikan sebesar Rp.1 maka akan diikuti dengan penurunan permintaan kopi sebesar 0,82 Kg. Sesuai dengan hasil estimasi diperoleh bahwa variabel harga gula (Ps) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara, pada α = 5 % (t. hitung 1,864> t. tabel 1,746). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kenaikan harga gula dipasaran akan menyebabkan terjadinya penurunan permintaan terhadap kopi di pasaran. Gula dan kopi merupakan barang “komplementer”, dimana jika terjadi kenaikan harga pada salah satu barang tersebut (kopi atau gula) dapat menyebabkan kenaikan harga barang lain sebagai komplemennya. 4.4.2.4. Pendapatan Perkapita Berdasarkan hasil estimasi diketahui bahwa pendapatan perkapita (I) berpengaruh positif sebesar 0,34 terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara (Qdc). Berdasarkan hasil estimasi bahwa variabel pendapatan perkapita berpengaruh positif dan nyata terhadap permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara pada α = 5% (t hitung 3,286 > t tabel 1,746) pada tingkat keyakinan 95%. Artinya jika pendapatan perkapita meningkat sebesar Rp 1, maka permintaan akan komoditi kopi akan meningkat sebesar 0,344 Kg. ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 4.4.3. Elastisitas. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan diperoleh elastisitas harga permintaan (price elasticity of demand) dengan nilai – 0,93, artinya jika terjadi penurunan harga kopi domestik di Sumatera Utara sebesar 1%, maka akan mengakibatkan kenaikan permintaan komoditi kopi sebesar 0,93% di Sumatera Utara. Nilai elastisitas – 0,93 < 1 (inelastis), menggambarkan bahwa jika terjadi kenaikan harga komoditi kopi tersebut, tidak begitu mempengaruhi terhadap kanaikan permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan juga diperoleh elastisitas silang permintaan (cross elasticity) atas barang substitusi (teh) yang menggambarkan intensitas hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga barang lain dengan nilai elastisitas 0,63, artinya jika terjadi kenaikan harga teh sebesar 1% maka dapat mengakibatkan kenaikan permintaan komoditi kopi sebesar 0,63 % di Sumatera Utara. Nilai elastisitas 0,63 < 1 (inelastis), menggambarkan bahwa jika terjadi kenaikan harga teh dipasaran tidak begitu mempengaruhi naiknya permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara. Sesuai dengan hasil estimasi juga diperoleh elastisitas pendapatan (income elasticity) yang menggambarkan intensitas hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan tingkat pendapatan konsumen (masyarakat) dengan nilai elastisitas 0,34, artinya jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita 1% maka dapat mengakibatkan kenaikan permintaan komoditi kopi sebesar 0,34% di Sumatera Utara. Nilai elastisitas 0,34 < 1 (inelastis), menggambarkan bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita tidak begitu mempengaruhi terhadap kenaikan permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara. 4.4.4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik Pada Hasil Estimasi Permintaan Kopi. 4.4.4.1. Uji Multikolinearitas. Berdasarkan estimasi model empiris yang dilakukan, jika diperoleh nilai RSquare (R2) yang sangat tinggi dan terdapat tingkat signifikan variabel bebas (berdasarkan uji t-statistik) yang juga tinggi dan semua variabel bebas memiliki signifikansi yang diharapkan, biasanya menandakan tidak adanya multikolinearity. Maka pada tabel dibawah ini ditampilkan hasil uji multikolinearity sebagai berikut : Tabel 1.5. Hasil Estimasi Uji Multikolinearity (Koefisien Korelasi parsial). Variabel
R
2
Qdc 0,969154 Pcd 0,943498 Pcde 0,952289 Pt 0,925453 Ps 0,907530 I 0,790583 Sumber : Data Sekunder diolah, 2011. 2 Berdasarkan tabel 1.5 diatas dapat dilihat bahwa nilai R (Qdc, C, Pcd, Pcde, Pt, Ps, I,), yaitu 0,969154 lebih besar dari pada nilai R2 dalam regresi parsial yaitu; 0,943498, 0,952289, 0,925453, 0,907530, 0,790583, maka berdasarkan ketentuan rule of thumb sebagai pedoman dengan menggunakan metode ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam model tersebut tidak terdapat multikolinearity. ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797
4.4.4.2. Uji Autokorelasi. Untuk mendiagnosa terjadinya korelasi serial (autokorelasi) dapat dilakukan dengan menggunakan Lagrange Multiplier Test (LM-test), sebagai mana terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1. 6. Uji Autokorelasi Pada hasil Estimasi Permintaan Komoditi Kopi. Jenis Uji
Autokorelasi
LM-test
Nilai Tabel X 2
Obs R2
Alat Uji
12,41743
Kesimpulan dalam model estimasi tidak ditemukan adanya autokorelasi
16,91
Sumber : Data Sekunder diolah, 2011. Pada tabel 1.6 diatas terlihat besarnya nilai LM-test sebesar 12,41743 dan bila dibandingkan dengan nilai X2 tabel sebesar 16,91 pada tingkat kenyakinan 5%, maka dapat disimpulkan bahwa nilai LM-test lebih kecil dari nilai X2 tabel (R2 12,41743< X2 tabel 16,91). Dengan demikian hipotesis nol (Ho) diterima, artinya tidak ada autokorelasi antara permintaan komoditi kopi (Qdc) dengan harga kopi domestik (Pcd), harga ekspektasi kopi domestik (Pcde), harga teh (Pt), harga gula (Ps) dan pendapatan perkapita (I). V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan. Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pembahasan,
maka
disimpulkan
sebagai
berikut: 2 1. Dari hasil estimasi yang dilakukan diperoleh bahwa nilai R-Squared (R ) sebesar 0,969154, artinya variasi yang terjadi pada variabel permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara (Qdc), dapat dijelaskan oleh variable-variabel harga kopi domestik (Pcd), harga ekspektasi kopi domestik (Pcde), harga teh (Pt), harga gula (Ps), dan pendapatan perkapita (I), sebesar 96,91% dan sisanya sebesar 3,09% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. 2. Faktor-faktor ekonomi yang signifikan yang mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara ialah harga kopi domestik, harga ekspektasi kopi domestik, harga gula dan pendapatan per kapita. 3. Teh merupakan komoditi penting bagi masyarakat dan sebagai komoditi substitusi terhadap komoditi kopi. Dimana jika harga teh meningkat maka permintaan komoditi kopi juga akan mengalami peningkatan atau sebaliknya. Gula merupakan bahan penting bagi masyarakat, sebagai bahan komplementer bagi kopi. Jika harga gula mengalami peningkatan maka konsumen akan mengurangi tingkat konsumsi terhadap kopi sehingga permintaan terhadap komoditi kopi akan berkurang dan sebaliknya. 5.2. Saran.
ISSN 0853-0203
VISI (2012) 20 (1) 773-797 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka saran yang dapat dikemukakan adalah : 1. Permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga para petani kopi harus melakukan peningkatan produktifitas maupun kualitas kopi sehingga dapat bersaing terutama untuk pasar ekspor. 2. Harga kopi domestik merupakan faktor utama yang mempengaruhi permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara. Harga kopi domestik ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kualitas kopi dan faktor lain, oleh karena itu pemerintah perlu mengatur tataniaga kopi yang lebih baik. Pemerintah perlu memberikan insentif (rangsangan) berupa kredit lunak bagi petani dalam meningkatkan produktifitas dan kualitas kopi sehingga mampu menembus pasar ekspor. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan menyangkut permintaan komoditi kopi. Dengan memasukkan aspek fungsi produksi dan faktor sosial lainnya dalam menganalisis mengenai permintaan komoditi kopi di Sumatera Utara. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2010. Propinsi Sumatera Utara Dalam Angka. Medan. BPS. 2006. Propinsi Sumatera Utara Dalam Angka. Medan. BPS. 2006. Kondisi Kesejahteraan Rakyat dan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara. Medan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sumatera Utara. 2002. Kondisi dan Perkembangan Sektor Industri dan Perdagangan Propinsi Sumatera Utara. Medan. Ilyas, R. 1991. Analisis Permintaan Luar Negeri Terhadap Kopi Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta. Mubyarto. 1984. Ekonomi Pertanian. LP3S. Jakarta. Nainggolan, H. L. 2007. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Komoditi Kopi di Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan. Nicholson, W. 1995. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan dari Intermediate Microeconomics, oleh Agus Maulana. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Nicholson, W. 1991. Teori Ekonomi Mikro I. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Reksoprayitno, S. 2000. Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi Millenium. Penerbit BPFE UGM. Yogyakarta. Sari, L. R. 2002. Analisis Permintaan Bahan Baku Industri Kerupuk Singkong Kecamatan Pancurbatu Kabupaten Deliserdang dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Wilayah. Tesis. Program Pascasarjana USU. Medan. Spillane, J. J. 1991. Komoditi Kopi, Perananya Dalam Perekonomian Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Eonomi Pertanian, Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sukirno, S. 2002. Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. LP FEUI. Jakarta. Sudarsono. 1980. A Study of Elasticity of Demand And Supply of Indonesian Fisheries 1960-1977. Journal. Tropical Ecologi and Development. Sudarsono. 1990. Pengantar Teori Ekonomi Mikro. LP3S. Jakarta. Venkatram, R dan Deodhar, Y. S. 1999. Dynamic Demand Analysis of India’s Domestic Coffee Market. Journal. Indiana Institute of Management. Ahmedabd. India. ISSN 0853-0203