ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 17 ………...…………………………………………….………………………………………………… HUKUM ISLAM DAN PERUBAHAN SOCIAL (MENYELARASKAN REALITAS DENGAN MAQASHID AL-SYARIAH) Oleh: Zaenudin Dosen Al-Islam Universitas Muhammadiyah Mataram Abstrak : Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalan-persoalan hukum. Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan. Persoalan-persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Pengaruh-pengaruh unsur perubahan dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya. Hukum Islam dengan segala keunggulannya, merupakan aturan Tuhan yang bertujuan memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat manusia. Dengan demikian, Hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum manapun di dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang fleksibel. Adanya sifat fleksibel tersebut, selain untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret dari humanitas hukum ”langit’. Kata kunci : Hukum Islam, Perubahan Sosial PENDAHULUAN Elastisitas, moderat, dan kesesuaian Islam dengan fitrah manusia adalah bentuk konkrit kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja. Syariat Islam tidak akan pernah basi sepanjang waktu dan tidak akan usang sepanjang masa. Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan, shalih likulli zaman wa makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini sehingga Islam sebagai agama akan mampu untuk menjawab perubahan zaman seperti perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, elastisitas hukum Islam bukan berarti Islam itu agama yang tidak punya prinsip dan plin-plan. Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilakan dengan Maqashid alsyariah (Objektivitas Syariah). Dalam lapangan sosiologi dan antropologi, perubahan sosial adalah wacana inti di mana
penelitian dan perbedaan pendapat para ahli terjadi. Sejauh manusia sebagai pendukung kehidupan sosial dan budaya masih hidup, selama itu pula perubahan akan terjadi. Kontak dengan budaya lain yang melahirkan difusi, utamanya penemuan-penemuan baru, perluasan yang cepat pada mekanisme pendidikan formal, intensitas konflik terhadap nilainilai yang ada akibat sistem sosial yang terbuka dan terbukanya antisipasi masa depan merupakan daya dorong utama terjadinya perubahan. Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalan-persoalan hukum. Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan. Persoalanpersoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit dalam alQur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para Ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis. Di sinilah letak strategisnya posisi
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 6, Desember 2012
18 Media Bina Ilmiah ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan “social engineering”. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya. Terjadinya kontak peradaban antara Islam dengan peradaban-peradaban besar hari ini, menuntut adanya reformulasi atau rethinking terhadap hukum Islam (fiqih) klasik yang menjadi produk pemikiran ulama-ulama terdahulu. Dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan zaman hari ini sekaligus menjadikan Islam sebagai agama likulli zaman wall makan atau rahmatanlilalamin. Persolan-persoalan hukum yang harus dijawab oleh hukum Islam hari ini adalah permasalahanpermasalahan yang secara eksplisit belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah yang berkisar di wilayah muamalah, seperti bayi tabung (cloning), bisnis transnasional, perhatian Negara terhadap jaminan social dan pendidikan warga negaranya dan lain sebagainya. ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL a.
Makna Islam Dan Perubahan Sosial Dalam nalar filasaf ilmu pengetahuan, modernitas adalah era kepercayaan kepada kemajuan, yang sejajar dengan kepercayaan kepada nilai dan hal baru (lantaran yang baru diganjar dengan nilai yang lebih besar ketimbang yang tidak baru). Perubahan karakter masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memiliki dampak tersendiri terhadap cara pandang (paradigma), life style dan kebutuhan sehingga memiliki imbas tersendiri terhadap prilaku beragama. Sebagai sebuah sistem pengembangan dan pembangunan modernitas adalah upaya menambah kemampuan suatu sistem sosial untuk menanggulangi tantangan-tantangan serta persoalanpersoalan baru yang dihadapinya, dengan menggunakan secara rasional ilmu dan tekhnologi dengan segala sumber kemampuannya. Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi;
ISSN No. 1978-3787 kedua, adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement). Menurut teori-teori di atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial. Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya. Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa: "Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas." Semangat atau pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasuskasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia. Mengingat hukum Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting, maka perlu ditegaskan aspek mana yang mengalami perubahan (wilayah ijtihadiyah). Menurut hasil seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada awal Desember 1994 disebutkan; “Agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia tentang
____________________________________ Volume 6, No. 6, Desember 2012
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 19 ………...…………………………………………….………………………………………………… ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan ditengah-tengah masyarakat, mungkin berubah”. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perubahan dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual, tetapi secara kontekstual. b.
Dinamisasi Ajaran Islam Melalui Ijtihad Landasan normatif ijtihad sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi istimbat hukum dalam rangka dinamisasi ajaran agama adalah dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz Ibn Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan ketentuan hukum dalam al-Qur’an dan Hadis dari suatu kasus hukum. Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam alQur’an dan al-Hadis, menurut Amir Syarifudin dapat dilihat dari dua segi sebagai berikut. 1. Al-Qur’an dan al-Hadis secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushaf. 2. Secara jelas, al-Qur’an dan al-Hadis memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul kepala orangtua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur’an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar (uff) terhadap orangtua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup (tranplantasi) tidak ada ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur’an dan al-Hadits, maka diperlukan upaya ijtihad. Sementara itu, menurut Muhammad Musa alTiwana, objek ijtihad itu dapat di bagi menjadi tiga bagian; pertama, ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash; kedua, ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukumhukum yang telah ada dan telah disepakati; ketiga, ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu. Pandangan alTiwana tersebut mengacu pada dua pemeliharaan objek ijtihad yang luas. Pertama, adalah persoalanpersoalan yang sudah ada ketentuan nashnya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam (umum) atau alkhash (khusus), al-mutlaq (mutlak) dan al-muqayyad (makna yang dibatasi). Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada nashnya. Pada hal yang semacam ini, maka pemecahannya dilakukan melalui ijtihad dengan menggunakan qiyas, istihsan dan dalil-dalil hukum lainnya.
c.
Reformulasi Pendekatan Studi Ke-Islam-an : Alternative Solusi Bertitik tolak dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu dikemukakan dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak penalaran dalam berijtihad tersebut adalah; penalaran ta’lili, dan penalaran istislahi. Penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Asumsi dasar dari penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illatnya. Dalam kajian ushul fiqh, corak ta’lili ini mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan. Adapun penalaran Istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan diri nash. Kedua model penalaran di atas bertumpu pada penggunaan al-ra’yu. Oleh karena itu, terdapat tiga karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas. Pertama, pendekatan ini mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang terkandung dalam nash. Kedua, upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya merumuskan illat hukum dan pesan moral nash dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua corak/pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan. Islam meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia. Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa “Perubahan fatwa adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”.Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “Hukum itu berputar bersama illatnya (alasan hukum) dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 6, Desember 2012
20 Media Bina Ilmiah Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Mesir. Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir. Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalanpersoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisiokultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan. Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Untuk menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul fungsional dalam menghadapi setiap perubahan sosial, diperlukan terobosan metodologis disertai kemampuan membaca fenomena zaman. Banyak perangkat ilmu bantu yang bisa menopang perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmuilmu tafsir, tarikh, dan ilmu tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi antara ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme hukum Islam. Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari perspektif nilai saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural dalam kehidupan sosial. Di sinilah letak pentingnya fenomena transformasi pemikiran hukum Islam, tidak hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi pemikiran hukum Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan kreatif antara Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai Islam dengan kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program pembaruan pemikiran hukum Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam (fiqh)
ISSN No. 1978-3787 diperlukan beberapa syarat; Pertama, adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim; Kedua, hukum Islam (fiqh) harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu; Ketiga, memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut; keempat, mengorientasikan istinbat hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka metodologis). Di samping itu, perlu juga memahami pemikiran hukum yang tidak dibatasi sekat-sekat madzhab. Keterbatasan alternatif yang dibingkai dengan sekat madzhab akan menghasilkan produk pemikiran yang rigid (kaku) dan akan mempersulit upaya pembaruan hukum Islam itu sendiri. d.
Menjadikan maslahah sebagai barometer dalam legislasi hukum Islam Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah. Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat. 1.
Kebutuhan al-Dhoruriyat Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut al- Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas 2.
Kebutuhan al- Hajiyat al-Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir,
____________________________________ Volume 6, No. 6, Desember 2012
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 21 ………...…………………………………………….………………………………………………… hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. 3.
Kebutuhan al-Tahsinat Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan alSyatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah. Ketiga tingkatan tersebut bisa dijadikan sebagai media pertimbangan untuk istinbhat hukum sekaligus mengukur kebutuhan manusia di dalam menjalankan syariah sehingga akan bisa membedakan mana yang harus diutamakan dan yang tidak. Fiqih prioritas yang dimunculkan oleh Yusuf al-Qardawi itu disandarkan kepada tiga prinsip diatas. al-Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal: 1. Mashlahah Muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain. 2. Mashlahat Mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 orang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikhawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan
yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama. 3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barangbarang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya. Kehujjahan Mashlahah sebagai dasar istinbath hukum dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana al-Qur'an, alHadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah. Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalahmasalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal: 1. Kalau akal mampu menangkap Maqasid al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama. 2. Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia. Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur'an dan al-Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi. e.
Reformasi hukum Islam di Indonesia : sebuah keniscayaan Pembicaraan tentang dinamika hukum Islam di indonesia, tidak bisa dilepaskan dari proses
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 6, Desember 2012
22 Media Bina Ilmiah pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh pemikir Islam di indonesia karena proses itu melahirkan suatu situasi dan wacana yang sebelumnya tidak ada. Disinilah proses pembahruan terjadi. Menurut Tahir Mahmoud, proses pembaharuan itu berawal teks-teks al-Qur’an, penafsiran ulama klasik dan risalah-risalah ahli hukum Islam abad pertengahan. Selanjutnya terjadi proses kodifikasi dan legislasi. Pada tataran metodelogis pembahruan hukum Islam bersandarkan pada doktrin persamaan mazhab hukum Islam, istihsan, mashalih al-murshalah, istidlal, tadwin dan legislasi. Tekhnik metodelogi pembaharuan hukum Islam menurut Abdullah an-Naim melalui beberapa tahap yakni: 1. Takhsis al-qadha (hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan putusan pengadilan) digunakan sebagai prosedur untuk membatasi penerapan syariah pada persoalanpersoalan hukum perdata bagi umat Islam. 2. Takhayyur yaitu menyeleksi berbagai pendapat didalam mazhab fiqih tertentu dan tidak memilih pendapat dominan didalam mazhab arus utama, termasuk menngizinkan seleksi pendapat dari mazhab sunni yang lain. 3. Bentuk penafsiran ulang. 4. Siyasah syar’iyah (kebijakan penguasa untuk menerapkan aturan-aturan administratif yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariah) juga digunakan untuk memperkenalkan berbagai bentuk pembaharuan. 5. Pembahrauan dilakukan melalui lembaga keputusan pengadilan sebagaimana yang digunakan dalam tradisi hukum adat. Munculnya gagasan-gasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk fiqih indonesia, reaktulisasi, pribumisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam indonesia, tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum Islam lewat kompilasi hukum Islam yang disahkan degan inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang memapankan cengkraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada politik negara. Reformasi pemahaman hukum Islam di indonesia secara sistemik perlu dilakukan dengan
ISSN No. 1978-3787 melakukan transformasi pemahaman fiqih yang beroreantasi antaroposentris tidak lagi teosentri yang harus menjadi proyeksi pemerintah dan ulama’. Karena pemahaman terhadap hukum Islam yang dipahamai oleh masyarakat muslim indonesia masih bersifat simbolik dan normatif sehingga dibutuhkan pencerahan pemahaman keagamaan. f.
Tinjuan Fiqh terhadap keharusan negara untuk memberikan jaminan sosial hari tua dan pendidikan serta perlindungan HAM warga negaranya Di indonesia, setiap warga negara diwajibkan untuk membayar pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan, kendaraan bermotor dan lain sebagainya, yang tujuannya adalah negara akan menbagunkan pasilitas publik yang berupa infrastruktur untuk memudahkan segala urusan warga negaranya yang sumber dananya adalah dari pajak tersebut. Dalam UUD 1945 mengenai kesejahteraan, pendidikan dan HAM dijelaskan dalam pasal-pasal sebagai berikut : Tentang pendidikan diatur di BAB XIII pasal 31 ayat 1 yang bunyinya ” setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Mengenai kesejahteraan diatur dalam BAB XIV pasal 33 ayat 3 ” bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sedangkan mengenai HAM diatur dalam BAB X A pasal 28 G yang bunyinya ” setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal-pasal tersebut merupakan janji-janji negara terhadap warga negaranya yang harus di tepati, karena terbentuknya negara merupakan konsensus individu dan kolompok-kelompok sosial yang bersepakat untuk membentuk suatu negara. Selain itu juga, UUD 1945 tersebut dibentuk oleh MPR dan DPR yang merupakan perwakilan rakyat untuk menyuarakan suaranya yang merupakan suara Tuhan. Sehingga eksekutif sebagai pelaksana konstitusi yang terlembagakan dalam bentuk negara tidak boleh mengelak untuk melaksanakan konstitusi tersubut. Semua hak dasar rakyat tersebut harus dipenuhi oleh negara karena semua itu merupakan kesepakatan yang telah disepakati bersama sekaligus warga negara telah mewakilkan semuanya kepada negara untuk mengelola semua sumber daya yang dimilikinya.
____________________________________ Volume 6, No. 6, Desember 2012
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 23 ………...…………………………………………….………………………………………………… Dalam literatur fiqh, ada istilah wakalah yang memiliki pengertian perwakilan yang bisa dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau individu dengan lembaga untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam bidang muamalah. Yang diberikan mandat wajib hukumnya untuk melaksanakan mandat yang berikan kepadanya, Sehingga ketika warga negara memberikan mandat kepada negara untuk mengelola ssemua sumber daya alam yang dimiliki oleh negara ini, maka wajib hukumnya didistribusikan kepada warga negaranya untuk meningkatkan kualitas hidupnya seperti memberikan jamsos dan pendidikan yang layak tanpa dipungut biaya. PENUTUP Hukum Islam dengan segala keunggulannya, merupakan aturan Tuhan yang bertujuan memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat manusia. Dengan demikian, Hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum manapun di dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang fleksibel. Adanya sifat fleksibel tersebut, selain untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret dari humanitas hukum ”langit’. Sebab, hukum Tuhan tidak sama sekali hanya pengisi ruang idealisme yang melangit, namun ditempa untuk kemaslahatan umat dalam mengarahkan kehidupan yang ideal yang tidak terserabut dari area kekinian dan kedisinian . Oleh karena itu, pembahasan hukum Tuhan yang mengatur hak-hak manusia, melindungi dan menjamin hak tersebut jauh lebih banyak daripada pembahasan hak-hak Tuhan itu sendiri. Perubahan hukum Islam itu perlu, untuk menyesuaikan dengan konteks zaman sekaligus dengan karakter masyarakatnya. Sehingga Islam yang ada di arab tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia memiliki karakter sendiri. formulasi hukum Islam untuk menjawab kebutuhan zaman tersebut harus didasarkan kepada maqasid al-syari’ah sekaligus maslahah. Sebagai agama rahmatanlilalamin, Islam memiliki prinsip-prinsip yang harus ditegakkan seperti prinsip keadilan, kebebasan dan sikap toleran terhadap agama yang lain. DAFTAR PUSTAKA Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: PT al-Ma’arif. 1994 Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992
Taufik
Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, juz 3. 2002
Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia), Bandung: Pustaka Setia, 2007 Ibn Qayyim Al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin. Bairut: Daar al-Fikr. TT Syamsul Arifin, dkk. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipres. 1996 Hasbi
Ash-Shiddiqie,Falsafah Hukum Jakarta: Bulan Bintang. 1993
Islam.
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996 Musthafa Muhammad Az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana. Jakarta: Rineka Cipta Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqhashid Syari’ah Menurut as-Syatibi. Jakarta: Rajawali Press. 1996 Ibn Rusyd. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat alMuqtashid. Indonesia: Daar al-Kutub alArabiyyah. TT M. Atho’ Muzdhar. Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1998 Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1994 Astrid S Soesanto. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta. 1985 Amir Syarifudin, Ilmu Ushul Fiqh 2. Jakarta: Logos. 1999 Abdul
Halim Uways. Fiqh Statis Dinamis. Bandung: Pustaka Hidayah. 1998
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif. 1996
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 6, Desember 2012