ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 21 ………………………………………………………………………………………………………… PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh Hamdani AR. Dosen Kopertis Wil. VIII dpk Universitas 45 Mataram Abstrak: Pemilu Kepala Daerah langsung adalah paradigma baru bagi Indonesia sebagai negara yang demokratis berdasarkan Pancasila & UUD 1945. Perubahan Pasal 18 UUD 1945 menimbulkan legal problem (conflict of norm, disconsistency of norm, & vague of norm) yang multiinterpretasi. Otonomi daerah melahirkan kepemimpinan yang efektif untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam penelitian ini dibahas pemilihan Kepala Daerah sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945, dan yang akan datang. Melalui penelitian hukum yuridis normative dengan pendekatan “statute approach”, “conceptual approach”, “comparative approach”, (historical approach) dan pendekatan politik (political approach) disimpulkan bahwa : terjadi pergesaran dominasi kewenangan pemilukada ke tangan rakyat. Rekomendasinya : pertama, penyelenggaraan sistem Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung dan langsung diartikan demokratis sepanjang prosesnya dilakukan sesuai ketentuan secara transparan, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan seuai asas-asas pemilu. Kedua, urgensinya undang-undang khusus mewujudkan pilkada demokratis sesuai asas pemilu. Kelengkapan pengaturan meminimalisir potensi multiinterpretasi memenuhi kebutuhan mendesak daerah melaksanakan pemilukada. Kata Kunci : Pemilihan Kepala daerah Langsung, Otonomi Daerah, Multitafsir LATAR BELAKANG Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (2) menyatakan, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Otonomi Daerah isu menarik dalam sejarah Negara Republik Indonesia terjadi tarik ulur desentralisasi dan sentralisasi. Prinsip Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam hubungan kekuasaan pusat dan daerah, merupakan implementasi prinsip demokrasi, yang berarti pemencaran kekuasaan horizontal dan vertikal. Wujudnya adalah Penyelenggaraan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) dalam waktu-waktu tertentu menurut UndangUndang sebagai negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Daerah diarahkan melahirkan kepemimpinan efektif dengan prinsip demokrasi, persamaan, keadilan dan kepastian hukum yang dilakukan gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah (Pasal 1 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pemerintah daerah diberi hak otonomi diberi wewenang dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan pengaturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 5 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pemilihan kepala daerah langsung wujud desentralisasi mencakup dua aspek, yaitu desentralisasi administrasi dan politik. Perspektif administratif, sesungguhnya kata lain dekonsentrasi yang menurut Parson, adalah the sharing of power between members of the same rulling group having
authority respectively in different areas of the state. Dalam perspektif politik, Smith mendefinisikan desentralisasi adalah the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of governments within a state, or offices within a large organization. Tujuan penelitian adalah menemukan konsep ideal bersifat akomodatif dalam proses pemilihan kepala daerah pada sistem ketatanegaraan Indonesia dilihat dari aspek filosofis, yuridis, teoritis dan sosiologis pada sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau dari UUD 1945. Lebih khusus lagi tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan memahami pengaturan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, apakah sesuai dengan UUD 1945 dan juga mengetahui konsep dan pengaturan pemilihan kepala daerah untuk masa yang akan datang METODE PENELITIAN Menurut Hartono metode penelitian ialah proses penyelidikan yang menggunakan penalaran dan berpikir logis analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu. Sementara menurut Parsudi Suparlan, penelitian ilmiah merupakan kegiatan yang sistematik dengan menggunakan konsepkonsep, teori-teori, metode-metode, dan pendekatan guna mengumpulkan yang relevan dan baku
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 3, Mei 2012
22 Media Bina Ilmiah informasi, fakta, ataupun data sebagai bukti dalam upaya pembuatan konsep serta pembuatan teori yang inovatif. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normatif legal research) yang mengkaji bahan-bahan hukum primer dan sekundair. Penelitian mengkaji hukum dari sudut pandang filsafati, teoritis, dan dogmatika hukum. LANDASAN TEORI a. Teori Negara Hukum Mochtar Kusumaatmadja memberikan pengertian negara hukum sebagai ”negara yang berdasarkan hukum di mana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang yang sama dihadapan hukum.” Menurut W. Friedmann, bahwa, konsep negara hukum terdiri atas paksaan dan penerimaan masyarakat. Friedman lebih lanjut mengemukakan ” All defenition or characterizations of law veer between two extreme posiio. One extreme emphasizes is coercive character, the other lays stress on the social acceptance ”. Sementara di Indonesia dengan negara hukum Pancasila, dengan cici-ciri : 1) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; 2) Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; 3) Kebebasan beragama dalam arti positif; 4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; 5) Asas kekeluargaan dan kerukunan. b.
Teori Demokrasi Menurut Mahfud MD. Batasan yang dikemukakan tentang demokrasi ialah Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Sementara menurut Meriam Budiardjo lebih lanjut mengemukakan, bahwa Sistim demokrasi tumbuh pertama kali pada negara-negara kota di Yunani pada abad ke 6 (enam) sampai dengan abad 3 (tiga) SM dalam bentuk demokrasi langsung ( direct democracy ) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan langsung oleh seluruh warga negara yang tidak berdasarkan prosedur mayoritas. Kemudian berkembang pada negara - negara maju demokrasi tidak lagi bersifat langsung tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan (representatif democraty). Sedangkan Aristoteles dalam bukunya The Politics menyatakan, bahwa dalam negara demokrasi rakyatlah yang berdaulat. Dengan demikian secara harfiah berarti pemerintahan oleh rakyat. Dalam pertumbuhannya, demokrasi terus berkembang, sebagaimana yang dikemukakan oleh
ISSN No. 1978-3787 Bagir Manan, bahwa demokrasi merupakan suatu fenomena yang tumbuh, bukan suatu penciptaan. Oleh karena itu, praktik di setiap negara tidak selalu sama. c.
Teori Otonomi Daerah Secara estimologi otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang artinya sendiri dan “nomos” yang artinya aturan. Dari sudut ini kemudian beberapa sarjana memberi arti otonomi ini sebagai “zetwetgeving” atau pengundangan sendiri atau perundangan sendiri, mengatur dan memerintah sendiri atau pemerintahan sendiri. Dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistim Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan, bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peundang-undangan. d.
Teori Pemilihan Umum Menurut Demos, sebuah negara dinyatakan sebagai negara yang demokratis apabila ia telah menjalankan pemilihan umum yang jujur, rahasia, adil, bebas dan langsung. Sedangkan menurut Jimly Asshidikie, kedaulatan rakyat dengan sistim perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sistim demokrasi perwakilan (representative democrasy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945 1.
Periode Awal Kemerdekaan, Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah, maka pola mekanisme pemilihan yaitu dipilih oleh Dewan. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, maka pola mekanisme pemilihan yaitu : Kepala Daerah dipilih oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD, DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang Kepala daerah kepada pemerintah Pusat.
2.
Periode berlakunya KRIS dan UUDS, Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka pola mekalisme pemilihan yaitu : 1) Kepala Daerah dipilih DPRD; 2) Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; 3)
_____________________________________ Volume 6, No. 3, Mei 2012
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 23 ………………………………………………………………………………………………………… Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan. 3.
Periode Orde Lama, Berdasarkan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka pola mekanisme pemilihan yaitu : 1) Kepala Daerah dipilih oleh DPRD; 2) Kepala daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; 3) Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
4.
Periode Orde Baru, Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka pola mekanisme pemilihan yaitu : 1) Kepala Daerah dipilih DPRD; 2) Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; 3)Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
5.
Periode Orde Reformasi, Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka pola mekanisme pemilihan yaitu Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pola mekanisme pemilihan yaitu Kepala Daerah dipilih oleh masyarakat dan mempertanggungjawabkan pemerintahannya kepada DPRD. Dengan memperhatikan polapola tersebut di atas nampak bahwa pemilihan kepala daerah mengalami perubahanperubahan, antara lain :
6. Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Pola Pengaturan pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Moh. Mahfud MD terhadap konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum, bahwa ada variasi pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum. Artinya tingkat pengaruh konfigurasi politik tertentu untuk melahirkan karakter produk hukum tertentu tidaklah selalu sama atau tidak absolut. Kesimpulan dari studi itu bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu akan semakin signifikan bagi produk-produk hukum yang mengatur hubungan kekuasaan atau gezagsverhouding.
PERSPEKTIF PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH MASA YANG AKAN DATANG Pemilukada di daerah, baik di provinsi maupun di kabupaten/kota telah menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti terjadinya inefisiensi (pemborosan) anggaran, konflik horizontal antar pendukung, anarki, penyalahgunaan birokrasi atau pengarahan PNS untuk mendukung kepada salah satu kandidat.Dari data Kementerian Dalam Negeri, tercatat 210 pemilukada bermasalah yang telah digelar tahun 2005-2008 dan berujung di pengadilan. Jumlah tersebut terdiri atas 14 pemilihan gubernur, 163 pemilihan bupati, dan 33 pemilihan walikota. Problematika sistim pemilihan kepala daerah langsung akibat reformasi yang oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaannya memiliki sejumlah kelemahan menghambat proses demokratisasi menjadi celah timbulnya masalah/konflik. Jadi pelaksanaan dengan sistim direct democracy ataupun indirect democracy dibuka ruangnya oleh Undang-undang. Hanya faktor-faktor implikasi proses demokrasi menjadi perhatian banyak pihak berkaitan dengan kapasitas pemilih, jangkauan terhadap rakyat yang memilih, ketakutan-ketakutan adanya politik transaksionis, pemborosan anggaran Negara dan anggaran kandidat, suatu pendewasaan politik yang lamban. Dalam perspektif tersebut, kualitas pemimpin hasil pemilihan menjadi harapan yang mendorong antusiasme masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Rendahnya tingkat keyakinan masyarakat terhadap kepala daerah yang dipilih melalui pilkada harus mendorong penyempurnaan dalam sistim seleksi calon kepala daerah. Meskipun terhadap UU No. 32 Tahun 2004 telah dilakukan perubahanperubahan, penulis memberikan alternatif jika akan dilakukan perubahan. Pertama, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah posisinya setingkat menteri dan melapor kepada presiden. Dengan demikian semua gubernur dipilih dan ditetapkan oleh presiden. Kedua, gubernur cukup dipilih oleh DPRD provinsi karena anggota DPRD merupakan representasi masyarakat yang dipilih langsung melalui pemilu dengan suara terbanyak. Ketiga, otonomi daerah ditarik ke provinsi, memperkuat kewenangan gubernur dan mengurangi kewenangan otonomi daerah kabupaten/kota. Jika ketiga alternatif di atas dibandingkan, maka yang paling representatif diimplementasikan di Indonesia adalah alternatif kedua. Meskipun demikian tetap ada kelemahan bila gubernur dipilih oleh DPRD, antara lain gubernur terpilih tidak memiliki legitimasi dari rakyat, pemilihan yang diselenggarakan kurang demokratis, dan memungkinkan gubernur terpilih merupakan titipan dari pusat (top-down atau sentralistik).
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 3, Mei 2012
24 Media Bina Ilmiah
PENUTUP a. Simpulan Hasil penelitian dan melalui pembahasan dan pengkajian secara mendalam, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Pemilihan Kepala Daerah menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan 1. Guna melaksanakan amanat Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya, Pemilukada tidak langsung, ada 4 (empat) pola pelaksanaan Pemilukada, yaitu : pertama, berdasarkan UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Daerah dimana Pemerintaha Pusat menentukan sendiri siapa yang diangkat menjadi kepala daerah. Kedua, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah dicalonkan oleh DPRD dan diangkat oleh Pemerintah Pusat, tetapi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, sehingga tidak pernah diatur mekanisme seperti apa Pemilukada dilaksanakan dan dikendalikan oleh Pemerintah Pusat, sementara dengan Penetapan Presiden No. 6 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintah Pusat mengangkat Kepala Daerah dari usul DPRD, tetapi tidak terikat dengan urutan yang diajukan bahkan dapat mengangkat yang diluar dari yang diajukan. Ketiga, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dimana sejak pencalonan sudah dikonsultasikan dengan Pemerintah sebagai calon jadi, sementara DPRD diberi kewenangan melakukan pemilihan dari bakal calon menjadi calon dan menetapkan calon jadi yang diangkat oleh Pemerintah Pusat. Keempat, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD sedangkan Pemerintah Pusat tinggal memberikan pengesahan atas keputusan DPRD tentang penetapan Kepala Daerah terpilih. 2. Calon Perseorangan ditinjau dari UUD 1945 dengan Pemilukada langsung oleh rakyat dalam suatu Pemilihan Umum sebagaimana ketentuan dalam UUD 1945 yang menjadi rujukannya adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28l ayat (2) memperkuat pelaksanaan otonomi daerah sebagai suatu proses demokratisasi. 3. Dengan diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
ISSN No. 1978-3787
4.
5.
6.
b. 1.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan paradigma baru dalam konteks pengaturan dalam kerangka membangun demokrasi sebagai pelaksanaan UUD 1945, dimana calon perseorangan telah diakomodir dalam sistim pemilukada langsung. Dari Pasal 107 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, bilamana dicermati antara ayat (1) dan ayat (2) terjadi kontradiksi terkait dengan jumlah suara sah untuk ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Pada pasal 107 ayat (1) misalnya, dinyatakan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara sah langsung ditetapkan sebagai pasangan terpilih. Tetapi apabila jumlah tersebut tidak ada yang mendapatkan maka berlaku ketentuan pasal 107 ayat (2) ditetapkan juga bahwa peraih suara terbanyak diatas 25% dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Dengan demikian adanya ketentuan pasal 107 ayat (2) telah menjadikan ketentuan sebelumnya (50% lebih) tidak berarti sama sekali. Dengan demikian persoalan sistim pemilihan dalam Pilkada langsung dihadapkan dua hal yang berbeda, yaitu antara efesiensi dan legitimasi. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sistim pemilu diubah dengan sistim yang memberi peluang kepada rakyat pemilih, untuk dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung. Dengan demikian dipilih secara demokratis tidak hanya sekedar dipilih langsung oleh rakyat melainkan pemilihan yang dilaksanakan hendaknya berdasarkan asas-asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Keterlibatan rakyat secara langsung dalam memilih kepala daerah sebagai pemimpinnya adalah kehendak rakyat dari menifestasi demokrasi langsung dan dengan Pilkada langsung akan memposisikan kepala daerah sebagai representasi masyarakat lokal, menjamin terciptanya legitimasi pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menjadi lebih efektif dan dengan demikian seorang kepala daerah akan memperoleh dukungan penuh dan memudahkan dalam implementasi programprogramnya. Saran Penyelenggaraan sistim Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung (melalui pemilihan oleh
_____________________________________ Volume 6, No. 3, Mei 2012
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 25 …………………………………………………………………………………………………………
2.
3.
DPRD) dan Pemilihan Kepala Daerah langsung (oleh rakyat secara langsung) tetap diartikan secara demokratis sepanjang prosesnya dilaksanakan secara demokratis. Oleh sebab itu maka penekanannya harus dilakukan dengan ketentuan yang berlaku dan disertai proses pemilihan dari pencalonan sampai penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara transparan, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan serta dilaksanakan berdasarkan asas-asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang dikenal dengan singkatan Luber dan Jurdil. Pemimpin yang diharapkan dari proses demokratisasi adalah pemimpin yang terpilih harus mendapat dukungan luas dari rakyatnya. Oleh sebab itu penyelenggaraan sistim Pemilihan Kepala Daerah langsung yang dilakukan secara demokratis, maka UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah sebagai Undangundang Organik dari UUD 1945 yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilukada langsung hendaknya ditinjau kembali guna penyempurnaan, dan dengan demikian dapat dijadikan acuan pelaksanaan dan harus terbebas dari kepentingan-kepentingan politik dari yang sedang berkuasa. Meskipun perubahan terhadap Undang-undang ini sedang dilakukan namun diperlukan prespektif komperehensivitas dan kelengkapan pengaturan penyelenggaraan pemilukada sehingga meminimalisir potensi multiinterpretasi dan pelanggaran terhadap ketentuan perundangundangan yang berlaku. Selain kelengkapan pengaturan untuk meminimalisir potensi multiinterpretasi, kebutuhan akan undangundang ini karena banyaknya aturan pemilukada yang membutuhkan penyesuaian dengan aturan baru yang muncul belakangan dan kebutuhan ini semakin mendesak karena banyak daerah yang secara reguler akan atau sedang melaksanakan pilkada. Belajar dari pengalaman pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah tidak langsung dan Pemilihan Kepala Daerah langsung berdasarkan Undangundang Pemerintahan Daerah yang pernah berlaku dan saat ini sedang berlaku, dimana calon perseorang Kepala Daerah telah diakomodir, maka sistim Pemilihan Kepala Daerah ke depan diharapkan adanya dukungan partai-partai terhadap Calon Perseorangan, sitem pencalonan yang terbuka dan memberi peluang Calon Perseorangan secara kompetitif, dengan demikian diharapkan Kepala Daerah terpilih dalam melaksanakan tugas dan pengabdianya, baik sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan dan
4.
administrator kemasyarakatan akan terlaksana dengan baik dan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Melihat kondisi objektif saat ini, pemerintah agar menyelesaikan revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sekaligus revisi PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan, Pengesahan dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebelum dimulainya tahapan pemilukada gubernur di beberapa daerah pada tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-ndangan Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992. A. Mukti Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005. Amien Rais, dalam M. AS. Hikam-Muliana W Kusuma dkk, Wacana Politik dan Demokrasi Indonesia, Pustaka Yogyakarta, 1999. Aryntanugraha, PILKADA Langsung, Demokrasi Lokal dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, dalam Subahan Afifi dkk (ed) Pilkada langsung dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, Fisip UPN Veteran Yogyakarta Perss. Ateng Syafruddin, 1985, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung. Azhary, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995. Bagir Manan, 2002, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH UII Press, Yogyakarta. Bagir Manan, 2004 Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, cetakan III, Pusat Studi Hukum FH. UII Yogyakarta. Bernad Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000. D. Grier Stephhenson, Jr, Prinsip-Prinsip Pemilihan Demokratis dalam Majalah Demokrasi. Galang Asmara, Ombusmen Nasional dalam Sistim Pemerintahan Negara Republik Indonesia, 2005, LaksBang Pressindo, Yogyakarta. Indra J. Piliang, 2005, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah: Peluang, Tantangan dan Prospek, CSIS, Jakarta.
_____________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 6, No. 3, Mei 2012
26 Media Bina Ilmiah
ISSN No. 1978-3787
Lasiyo dalam Hadin Muhjad, Peran Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Hukum (Kajian Teortis dan Praktis), Unesa University Press, Surabaya, 2004. M. Arif Nasution, dkk, 2000, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung, hal. 82.Lihat juga Tim Lapera, 2000,Otonomi Versi Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Mochtar Kusuaatmadja, 1995, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta, Moh. Mahfud, MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2003
_____________________________________ Volume 6, No. 3, Mei 2012
http://www.lpsdimataram.com