ISSN: 2407-2095
KONTESTASI HEGEMONI POP CULTURE DENGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM JENJANG DASAR; STUDI ANALISIS JFC DAN TAJEMTRA Mochammad Zaka Ardiansyah Penulis adalah dosen program studi PGMI IAIN Jember.
Abstrak Penelitian ini mengkaji kontestasi hegemoni pop culture dengan Pendidikan Islam pada jenjang dasar di Kabupaten Jember, menggunakan analisis budaya populer, kreativitas anak, dan sejauh mana lembaga pendidikan Islam dasar memerhatikan pentingnya upaya identifikasi dan memberikan ruang ekspresi pada kreativitas santri dan siswa madrasah. Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji kontestasi hegemoni JFC dan Tajemtra terhadap santri dan siswa madrasah antara penyelenggara JFC dengan pesantren dan madrasah dasar. Hasil penelitian ini adalah, pertama, antusiasme masyarakat Jember untuk menyemarakkan JFC, termasuk oleh santri pesantren dan siswa lembaga pendidikan Islam dasar menyisakan problem disfungsi bagi pendidikan Islam dalam melakukan hegemoni identitas Islami, karena anak dan remaja santri dan siswa lembaga pendidikan Islam Jember masih antusias untuk terlibat secara kreatif dalam JFC dan Tajemtra, dalam diri mereka masih melekat standar fashion sebagai manusia agamis tapi modis, trendi dan fashionable. Kedua, kuantitas pesantren dan madrasah dasar pada tingkat RA dan MI di Jember belum mampu
160
Mochammad Zaka Ardiansyah mengimbangi kuatnya hegemoni pop culture JFC terhadap santri san siswa madrasah dasar.
Kata Kunci: pop culture, kreativitas, hegemoni pendidikan Islam, pesantren
Pendahuluan Gerak Jalan tahunan Tanggul Jember Tradisional,1 yang tahun ini terselenggara pada 8 Agustus 2015, telah menyajikan beragam bentuk ekspresi remaja Jember. Dalam Tajemtra, Punk Style mendominasi gaya berpenampilan remaja. Pada umumnya mereka mengikuti Tajemtra secara tak resmi, meskipun tak sedikit dari mereka mendaftar resmi kepada panitia pelaksana Tajemtra, baik individu maupun kelompok. Serupa dengan Tajemtra, JFC2 yang diselenggarakan 26-30 Agustus 2015 telah menyisakan pekerjaan rumah bagi lembaga pendidikan Islam, karena tidak sedikit peserta didik lembaga pendidikan Islam yang menjadi peserta JFC. Tingginya animo peserta didik dalam JFC dan Tajemtra, mengindikasikan Jember --dengan notabene kota dengan populasi pesantren mencapai ratusan-- sedang mengalami ujian efektifitas outcome lembaga pendidikan Islamnya, meskipun jika dilihat dari perspektif kreativitas, JFC merupakan ajang ekspresi kreativitas anak Jember. Dalam gelaran pertamanya, JFC mengusung tema Punk Style, sementara tahun 2015, JFC menghadirkan out frame yang menyajikan 10 defile yakni Majapahit, Ikebana, Fossil, Parrot, Circle, Pegasus, Lionfish, Egypt, Melanesia dan Reog.
1
Gerak Jalan tahunan yang diselenggarakan secara rutin oleh Pemkab Jember, dimulai dari Tanggul dan berakhir di Alun-alun Jember. Selanjutnya disebut Tajemtra. 2 Jember Fashion Carnaval merupakan karnaval tahunan yang secara rutin dihelat oleh Pemkab Jember
161
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra Dalam perspektif kreativitas, JFC membawa aura positif karena terbukti efektif untuk menggerakkan generasi muda mendesain, menciptakan hingga mengenakan kostum berkelas dunia. Namun, kreativitas remaja dalam JFC, menjadi diskursus yang menarik untuk ditelaah dari perspektif politik pop culture dan efektifitas pendidikan Islam di Jember dalam mengontrol standar etika produk fashion dalam JFC. Secara kasat mata, JFC merupakan ekspresi identitas remaja Jember yang sangat dipengaruhi oleh tema defile yang diusung JFCC (JFC Council). Jfc Dan Tajemtra; Sebagai Produk Pop Culture Merujuk pada pendapat Raymond Williams, “kultur” memiliki tiga dimensi makna, pertama, kultur dapat digunakan untuk merujuk pada sebuah proses perkembangan intelektual, spiritual, estetika. Sehingga melibatkan kreativitas masyarakat dalam proses konstruksi kultur. Kedua, Kultur juga dapat dipahami sebagai way of life yang terikat dengan komunitas, dimensi waktu dan ruang. Ketiga, kultur dapat dipahami sebagai karya dan proses intelektual, namun dibatasi pada aktivitas artistikkreatif.3 Dalam terminologi ketiga, kultur dapat diidentifikasi dari produk kreatif seperti sholawat hadrah, banjari, musik, film, literatur, novel dan karya teater. Terminologi lain disajikan oleh John Storey, ia menyebut kultur sebagai how we live nature, atau cara kita memformulasikan formula kehidupan yang nyaman, senatural-mungkin. Sementara pop, merupakan akronim populer yang merujuk pada kata “populer” yang bermakna disukai oleh orang banyak dan karya yang diciptakan untuk menyenangkan orang.4 Jika keduanya dipadukan, maka pop culture dapat dilihat dari beberapa aspek, pertama, merupakan budaya yang banyak 3 Raymond Williams, Keywords; A Vocabulary of Culture and Society, (New York: Oxford University Press, 1983), 80. 4 Ibid.
162
Mochammad Zaka Ardiansyah disukai dan dinikmati orang, kita dapat melihat respon masyarakat terhadap produk pop culture yang marak beberapa tahun ini, seperti serial drama Korea, serial drama Turki, sekuel Mahabarata, maraknya fans K-Pop, “demam” boy band dan girl band, anime, manga, dan cosplay --sebagai kultur reproduksi atas manga dan anime--. Kedua, budaya pop juga diidentikkan dengan produk budaya tertinggal, rendahan dan residual untuk mengakomodir praktik budaya yang tidak memenuhi syarat budaya tinggi dan karya ilmiah. Pada umumnya, menjadi minat kalangan kelas dua hingga kalangan bawah. Pada umumnya produk pop culture merupakan produk yang melibatkan kreativitas manusia untuk mencipta produk budaya hingga menarik minat baca-tontondengar komunitas kelas dua hingga kelas bawah. Meskipun pada mulanya pop culture identik dengan masyarakat rural kelas dua, namun kini segmentasi pop culture juga merambah pada demografi masyarakat urban, dari generasi millennial5 hingga eksekutif muda yang tidak suka terkekang dengan budaya lokal yang lekat dengan image kolot. John Storey menyatakan bahwa pop culture adalah terminologi yang sengaja dibuat oleh kaum intelektual untuk membedakan dengan budaya tinggi (high culture), dikotomi ini memunculkan kesan bahwa pop culture merupakan budaya komersial hasil produk masal, sedangkan budaya tinggi merupakan produk kreativitas individu. Dampaknya, budaya tinggi selalu mendapatkan apresiasi moral dan estetis di kalangan intelektual, sementara pop culture selalu menjadi obyek monitoring secara sosiologis dan kritik konstruktif untuk membatasi --untuk tidak mengatakan mencegah-- efek negatifnya,6 karena ia diang-
5
Generasi yang tumbuh dan berkembang pasca milenium John Storey, Inverting Populer Culture; From Folklore to Globalization, (Malden, Blackwell Publishing), xi-xii 6
163
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra gap sebagai produk budaya superfisial, rusak, remeh-temeh, sensasionalis, dan produk konsumsi kaum proletar. Pop culture kerap juga diidentikkan dengan mass culture, namun keduanya pada hakikatnya dua entitas kebudayaan yang memiliki dimensi yang berbeda. Dominic Strinati dalam membedakan keduanya menyatakan: We can say that mass culture refers to populer culture which is produced by the industrial techniques of mass production, and marketed for profit to a mass public of consumers. It is commercial culture, mass produced for a mass market. Its growth means there is less room for any culture which cannot make money, and which cannot be mass produced for a mass market, such as art and folk culture. This also indicated how mass culture theory can be understood as a response to the commercialization and commercialization of populer culture.7 Dari pernyataan Srinati, bahwa mass culture merupakan pop culture yang mampu diproduksi secara massal, diproduksi dan berbasis profit, diproduksi massal serta diterima dengan baik oleh masyarakat, namun, masih tetap memberikan peluang bagi budaya yang berkembang tanpa berorientasi profit, tidak dapat diproduksi masal, seperti seni dan budaya rakyat. Pop culture yang dikomersialisasi juga menjadi domain mass culture. JFC dan Tajemtra merupakan ekspresi fashion yang berkiblat pada trend fashion pop culture, semisal Punk Style, Ikebana, Fossil, Parrot, Circle, Pegasus, Lionfish, Egypt, Melanesia yang merupakan representasi dari tema-tema karnaval dunia. Namun, JFC sebagai representasi dari pop culture tidak relevan dengan batasan pop culture yang dibuat John Storey. Untuk memahami JFC, kita gunakan terminologi pop culture menurut 7 Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Populer Culture (London: Routledge, 2004) 10
164
Mochammad Zaka Ardiansyah Ariel Heryanto. Ia mendefinisikan pop culture dalam dua pengertian berbeda, pertama, sebagai berbagai suara, gambar, dan pesan yang diproduksi dan disajikan secara masal, termasuk busana, fashion show, film dan musik yang berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumen terutama sebagai hiburan, sederhananya merupakan proses memasok komoditas satu arah, topdown “untuk masyarakat” sebagai konsumen. Kedua, pop culture dimaknai sebagai praktik komunikasi non-industrialisasi, relatif independen dan kerap memanfaatkan berbagai forum dan media seperti keramaian publik, festival dan parade. Bentuk kedua ini kerap kali --meskipun tak selalu-- bertentangan dengan bentuk pertama, dapat juga dipahami sebagai format alternatif. Pop culture dalam bentuk kedua ini disebut Ariel Heryanto sebagai pop culture “oleh masyarakat”.8 JFC memenuhi kedua unsur definisi pop culture yang dikemukakan Ariel Heryanto di atas, yakni top-down, atau “untuk masyarakat” karena berorientasi profit dan promosi budaya dari perspektif JFCC dan pemkab Jember, serta oleh masyarakat karena menjadi tantangan kreativitas masyarakat untuk mengekspresikan identitas dan pleasure-nya. Sementara Tajemtra dengan style punk-nya mewakili wajah pop culture kedua. Segmentasi pop culture dalam terminologi Ariel Heryanto relevan dengan JFC, karena didominasi oleh generasi millennial, kelas menengah, yang hidup di kawasan urban, buka anggota kelompok elit dalam perspektif filosofis, serta sebagian terkandung unsur kalangan masyarakat (anak dan remaja) agamis tapi modis dan trendi. Sebagaimana respon terhadap produk pop culture lain, produk pop culture bagi segmen ini dipandang rendah, terhina dan was-was oleh kelompok sosial yang berorientasi elitis
8 Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya Layar Indonesia, (Jakarta: KPG, 2015), 21-22.
165
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra dalam perspektif filosofis, namun banyak kalangan proletar bersikap mendua, sebagian bercita-cita naik kelas sosial dengan terlibat menikmati hiruk-pikuk dengan mengikuti perkembangan terbaru produk pop culture, sebagian lainnya tetap merasa grogi dan tersinggung oleh hiruk pikuk pop culture.9 Begitupun pada fenomena JFC, meskipun pesertanya didominasi oleh segmen kelas menengah millennial dan islamis trendi, namun bukan berarti tidak ada penikmat dari segmen lain sebagaimana karakter penikmat pop culture di atas. Bakat dan Kreativitas Anak di Lembaga Pendidikan Islam? Setiap manusia adalah makhluk yang unik, susunan kromosom dalam DAN manusia unik satu dengan lainnya, sehingga setiap manusia memiliki karakter dan bakat yang berbeda satu dengan lainnya. Matthew Kelly menyatakan everybody is a genius, but if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will life its whole live believing that it is stupid.10 Statement Kelly mengindikasikan bahwa pada dasarnya kemampuan setiap orang tidak dapat diukur menggunakan instrumen pengukuran yang sama, karena secara hereditas ia dilahirkan dengan kelebihan yang unik. Kelly menganalogikan bahwa sebagai evaluator, guru tidak dapat mengukur hasil belajar secara akurat jika menilai prestasi ikan dari kemampuan ikan memanjat pohon. Munandar pun menandaskan bahwa hakikat pendidikan adalah menyediakan lingkungan yang kondusif bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan bakatnya secara optimal, sehingga ia dapat mengaktualisasikan dirinya untuk menjadi manusia yang berkembang sesuai kebutuhan dirinya dan
9
Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan, 23. Matthew Kelly, The Rhythm of Life; Living Every Day with Passion and Purpose, (New York: Fireside, 2004), 73. 10
166
Mochammad Zaka Ardiansyah masyarakat dengan enjoy, namun berprestasi. Maka pada hakikatnya, pendidikan bertanggung jawab untuk membimbing (mengidentifikasi dan membina) serta memupuk (meningkatkan dan mengoptimalkan) bakat tersebut, termasuk pada mereka yang gifted dan talented.11 Menurut Munandar, dahulu, anak berbakat kerap dianalogikan dengan anak dengan tingkat kecerdasan intelektual (IQ) tinggi, namun, kini telah terjadi paradigm shift12 bahwa faktor penentu keberbakatan bukan hanya diukur dari tingkat intelegensi, namun juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi.13 Kreativitas
Motivasi
Kemampuan di atas rata-rata Keberbakatan/ giftedness
Gambar 1. Tiga konsep keberbakatan Kreativitas pada hakikatnya merupakan kemampuan pemecahan masalah secara kreatif. Guilford menyatakan bahwa 11 Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 6. 12 Istilah ini digunakan oleh Thomas Kuhn dalam mendefinisikan pergeseran paradigma yang kerap dialami para scientist, baca Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Third Editions, (Chicago: The University of Chicago Press), 150. 13 Joseph S. Renzulli, The Three-Ring Conception of Giftedness: Its Implications for Understanding the Nature of Innovation, dalam Larisa V Shavinina (ed.), The International Handbook on Innovation, (Oxford: Elsevier Science, 2003 ) , 79.
167
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra lulusan lembaga pendidikan yang ditelitinya memiliki kompetensi teoretis-kognitif-tekstual, artinya mampu melakukan tugastugas yang diberikan serta menguasai beragam teknik, namun masih banyak menemukan kesulitan dalam memecahkan masalah yang membutuhkan ide-ide baru (kreativitas).14 Dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, pengembangan kreativitas anak kerap menemukan jalan buntu, karena pertama, parameter asesmen yang digunakan kerap hanya berorientasi pada kemampuan kognitif Bloom level 1 hingga 3, anak kerap hanya dituntut mengetahui dan menghafal (knowing/memorizing) memahami (understanding) dan menerapkan (applying)15, sehingga belum masuk pada ranah kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill/HOTS). Kedua, konten asesmen yang dilalui siswa hanya mengajak siswa berpikir konvergen, atau hanya menuntut siswa menuliskan satu jawaban yang benar (test subyektif closed ended dan tes obyektif), sehingga kemampuan berpikir kreatif dan divergen --yakni menjajaki kemampuan siswa dalam merumuskan beragam solusi pemecahan masalah-- jarang diukur.16 Ketiga, minimnya perhatian dunia pendidikan Islam terhadap pengembangan kreativitas, kondisi ini disebabkan karena kendala guru dalam merumuskan konsep dan domain kreativitas itu sendiri. Keempat, Munandar juga menilai, implementasi teori behavioristik stimulus-response kerap menjadi bumerang karena menghalangi kemampuan berpikir kreatif dalam proses pembelajaran. Di tengah minimnya sarana pengembangan kreativitas dalam pendidikan Islam jenjang dasar, JFC hadir sebagai oase. JFC merupakan salah satu event yang memberikan ruang gerak 14
Disampaikan Guilford dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden American Psychological Association pada 1950, baca Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas, 7. 15 Benjamin S. Bloom, Taxonomy of Educational Objective; The Classification of Educational Goals, (Michigan: Longmans, 1956) 124 16 Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas, 7-8
168
Mochammad Zaka Ardiansyah pengembangan kreativitas bagi remaja dan anak-anak di Jember. Namun, pengembangan kreativitas dalam perspektif pendidikan Islam memiliki batasan yang harus ditaati oleh setiap peserta didik, yakni akhlaqul karimah. Dalam konstruksi sosial pendidikan Islam, idealnya kreativitas anak mendapat perhatian serius dari lembaga pendidikan. Kreativitas perlu diwadahi dengan kegiatan pengembangan kreativitas dengan mengakomodir dan beradaptasi dengan modernitas, termasuk perkembangan mode dan fashion, namun tetap memerhatikan khazanah tradisi, baik agama maupun tradisi lokal yang menjadi produk high culture yang tunduk dengan standar akhlak Islam.17 Pesantren sebagai lembaga pendidikan khas Nusantara yang indigenous,18 tumbuh secara organik di masyarakat, dan tercatat dalam manuskrip sejarah pemerintah Hindia Belanda terlacak sejak 1718 sebagai training school for religious.19 Lembaga ini memiliki peran hibrid sebagai agent of development,20 yakni lembaga pendidikan dan pengembangan Islam yang bertanggung jawab untuk berkontribusi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang berilmu pengetahuan agama yang kuat, kemampuan IPTEK,
17 Dindin Sholahudin, The Workshop for Morality; The Pesantren Islamic Creativity of Pesantren Daarut Tauhid in Bandung, Java, (Canberra: ANU E Press, 2008), 3. 18 Nurcholis Madjid, Bilik‐bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997), 3. 19 Martin van Bruinessen, “Traditionalist and Islamist Pesantrens in Contemporary Indonesia”, dalam Farish A. Noor, et.al. (ed.), The Madrasa in Asia; Political Activism and Transnational Linkages, (Amstyerdam: Amsterdam University Press, 2008), 219. 20 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003) 93.
169
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra berakhlak terpuji dan memiliki iman dan taqwa yang kuat21 sekaligus mampu berperan aktif merespon permasalahan sosial masyarakat22 yang telah dihadapkan pada pop culture, implikasinya adalah pesantren juga merangkap peran sebagai agent of social change yang secara periodik melakukan kontrol dan upaya pengentasan masyarakat dari pengaruh negatif pop culture, kooptasi negatif rezim politik, serta membangkitkan kesadaran untuk meminimalisir kesenjangan ekonomi dan ilmu pengetahuan. Pesantren secara organik juga telah mengambil peran sebagai lembaga pemberdayaan dan pengabdian masyarakat23 yang berperan mengembangkan fungsi pemberdayaan dan kontrol sosial untuk memperbaiki struktur dan moral masyar akat melalui keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pesantren. Pesantren dapat kerap diposisikan sebagai mazroatul akhiroh, sebagai ladang menanam amal, sedekah, pengabdian untuk dipetik di akhirat. Pesantren juga kerap diposisikan sebagai pusat keunggulan keilmuan (center of excellence),24 seperti Tebuireng sebagai center of excellence fiqh, Sarang sebagai center of excellence kajian bahasa atau Darul Ulum sebagai center of excellence tarekat. Namun fungsi terakhir ini kerap masih terbatas pada ranah kognitif, sehingga kemampuan santri untuk mendeteksi dan menganalisis permasalahan sosio-kultural yang tidak relevan dengan ajaran Islam --termasuk pop culture-- kurang sensitif.
21
Rumusan peran pesantren berdasarkan amanah Muskernas ke 5 RMI, baca Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 224. 22 Sri Haningsih, “Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia”, Jurnal El Tarbawi, Vol. 1, No. 1, 2008, 36. 23 Ibid. 24 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, 94.
170
Mochammad Zaka Ardiansyah Analisis; Kontestasi Hegemoni Pesantren dan Madrasah Dasar dengan JFC dan Tajemtra Pesantren anak berada pada posisi vis a vis dengan pop culture yang siap mengubah stigma santri anak-anak terhadap standar perilaku, baik pop culture layar kaca (screen culture), game online, maupun pentas publik semacam JFC dan Tajemtra yang juga mengusung pop culture yang berseberangan dengan budaya tinggi, dalam hal ini akhlaqul karimah yang ditanamkan oleh pesantren. Dalam perspektif kontestasi identitas, Jember masih terbuka dalam kontestasi identitas, keterbukaan ini tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor, pertama, dari tipologi budaya masyarakat Jember yang berakar pada budaya Pendalungan25 yang berpijak dari asimilasi tiga budaya, Jawa, Madura dan Osing, sehingga hingga kini, masyarakat Jember masih terus berusaha memformulasikan identitasnya. Kedua, Ayu Sutarto menyatakan bahwa meskipun di masyarakat Jember cenderung religius dan terdapat banyak pesantren, namun kiai dan pesantren dinyatakan Ayu tidak cukup memiliki kekuatan hegemoni sosial budaya dan politik yang kuat di Jember. Kekosongan dominasi hegemoni sosio kultur ini memungkinkan peluang besar bagi JFC untuk menawarkan proyek identitas Jember sebagai kota karnaval dunia.26 Ketiga, masyarakat Jember adalah masyarakat yang mudah menerima perubahan, pun dengan tradisi karnaval, sejak rutin diadakan sejak Orde Baru dengan bentuk pawai dan karnaval hasil-hasil pembangunan. Pesantrenpun kerap mengadakan pawai dan karnaval untuk memperingati hari besar Islam. Faktor-faktor ini meningkatkan kecenderungan masyarakat untuk lebih mudah menerima JFC. 25 Raudlatul Jannah, “Jember Fashion Carnival; Konstruksi Identitas dalam Masyarakat Jaringan”, Jurnal Common Line, Volume 3, No. 2, 2014, 143-144 26 Ibid., 145.
171
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra JFC pun dapat diinterpretasikan sebagai proyek identitas, selain hegemoni budaya pop, karena JFCC secara simultan aktif melakukan sosialisasi pada masyarakat melalui transformasi kreativitas, masyarakat diedukasi untuk mendaur ulang sampah bekas hingga dihasilkan kostum dengan nilai artistik dan ekonomis tinggi. Penciptaan kostum unik dengan mendaur ulang sampah daun, kain perca, sampah plastik menjadi karya artistik mendorong pengembangan kreativitas anak.27 Mengingat respon publik terhadap pagelaran JFC sangat bagus, maka gelora dukungan masyarakat Jember terhadap JFC sekaligus melegitimasi upaya masyarakat Jember untuk menciptakan identitas Jember sebagai kota karnaval dunia. Proyek identitas melalui pagelaran JFC dilatarbelakangi oleh resistensi komunal terhadap kesan Jember yang lama, yakni Jember yang tidak maju, Jember yang tidak mampu memberikan rasa bangga terhadap rakyatnya.28 Berdasarkan pengamatan penulis selama pagelaran JFC dan Tajemtra, banyak anak usia 7 hingga 12 tahun dilibatkan sebagai peserta JFC dan Tajemtra.29 Mereka pun ikut mengenakan kostum dan aksesoris punk di Tajemtra, sementara di pagelaran JFC mereka pun menciptakan dan mengenakan kostum yang diciptakan dengan kreativitasnya. Uniknya, berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan penulis secara acak terhadap peserta Tajemtra, tak sedikit di antara mereka yang berstatus santri, siswa RA dan MI.30 27
Ibid., 145-146. Ibid., 146. 29 Penulis bertemu dengan seorang pengurus pesantren yang mencari-cari santrinya yang terindikasi terlibat sebagai penonton JFC dan peserta Tajemtra. 30 Wawancara ini dilakukan secara acak oleh penulis ketika penulis terlibat sebagai peserta Tajemtra, wawancara tak terstruktur dilakukan sambil berfoto bersama peserta kanak-kanak yang mayoritas berpakaian ala punk. Pada umumnya peserta kanak-kanak mengecat rambutnya dengan cat semprot, se28
172
Mochammad Zaka Ardiansyah Namun, sambutan positif serta gelora antusiasme masyarakat Jember untuk menyemarakkan JFC, termasuk oleh santri pesantren dan siswa lembaga pendidikan Islam dasar menyisakan problem disfungsi hegemoni identitas bagi lembaga pendidikan Islam, yakni pesantren dan madrasah dasar. Karena keberhasilan JFC dalam menarik animo santri dan siswa lembaga pendidikan Islam dasar untuk turut serta menyalurkan kreativitasnya dengan berpartisipasi dalam pagelaran JFC telah menyisakan pekerjaan rumah bagi institusi pendidikan Islam dasar, karena lembaga harus memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai dampak buruknya terhadap identitas santri, karena desain kostum JFC yang mencorakkan pop culture tentunya tidak relevan dengan standar akhlaqul karimah dan kultur pesantren -baca: high culture--. Mengingat besarnya hegemoni yang datang dari pagelaran tahunan JFC terhadap identitas anak, maka pesantren dan kiai sebagai komponen utamanya hendaknya mulai menyadari pentingnya menyemai hegemoni standar akhlaqul karimah ala pesantren, khususnya pada santri dan siswa madrasah di lingkungan pesantren, umumnya pada para alumninya. Kuantitas pesantren dan madrasah dasar pada tingkat RA dan MI di Jember belum mampu mengimbangi kuatnya hegemoni JFC --dengan segala trend fashionnya sebagai manifestasi role model pop culture-- terhadap santri. Santri pesantren anak di Jember masih tertarik untuk terlibat sebagai pelaku dan penikmat Tajemtra dan JFC meskipun JFC sukses membangun identitas berbasis pop culture pada generasi muda Jember. Meskipun JFC dengan aura pengembangan kreativitasnya berhasil menanamkan hegemoni terhadap anak-anak di Jember, namun
bagian di antara mereka tidak mengenakan baju dan menindik hidung, mulut dan alisnya dengan peniti dan anting logam.
173
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra idealnya, identitas santri dan siswa madrasah dengan standar pakaian, etika dan akhlaknya tidaklah ikut terhegemoni, meskipun upaya-upaya pencegahannya tidak semudah teorinya. Kenapa? Karena dalam kajian identitas, yang pemenang kontestasi identitas adalah “siapa” yang dapat menegosiasikan identitas baru dan memposisikan posisi mereka dalam setting sosio-kultural, termasuk di Jember. Dampak dari project identity adalah terjadinya pergeseran identitas kota Jember, dari Jember kota tembakau, menjadi Jember kota santri, hingga menjadi identitas baru sebagai Jember kota karnaval fashion dunia.31 Bagaimana dengan pesantren? Pesantren dan madrasah dasar pada tingkat RA dan MI harus memperkuat peran sebagai lembaga pendidikan yang lebih terbuka untuk memahami realitas sosial anak dan remaja muslim dalam menghadapi produk pop culture dengan mengoptimalkan perannya sebagai agent of development dengan mempersiapkan fokus mempersiapkan santri sebagai Sumber Daya Manusia yang kompeten dalam keilmuan keislaman khas pesantren, melek IPTEK, kemudian, serta memiliki karakter yang kuat berbasiskan akhlaqul karimah. Sementara peran pesantren sebagai center of excellence, menaruh pesantren pada posisi sebagai rujukan keilmuan, namun kiai sebagai komponen utama pesantren hendaknya mengkritisi dampak negatif produk pop culture. Penutup Pesantren dan madrasah dasar pada tingkat RA dan MI hendaknya berperan aktif dalam pemberdayaan kreativitas anak dan generasi muda dengan memberikan wahana pengembangan kreativitas, misal dengan mengoptimalkan kegiatan karnaval perayaan hari besar Islam dengan memberikan ruang gerak bebas pada anak dan generasi muda untuk mengkreasikan dan 31
142-143
174
Mochammad Zaka Ardiansyah memeragakan desain busana muslim dan hijab fashion stylish. Tanpa membuat event tandingan, maka kreativitas santri dan siswa madrasah dasar pada tingkat RA dan MI akan tetap tersalurkan dalam event-event produk pop culture.
DAFTAR PUSTAKA
Bloom, Benjamin S., 1956. Taxonomy of Educational Objective; The Classification of Educational Goals, (Michigan: Longmans) Bruinessen, Martin van. “Traditionalist and Islamist Pesantrens in Contemporary Indonesia”, dalam Farish A. Noor, et.al. (ed.). 2008. The Madrasa in Asia; Political Activism and Transnational Linkages, (Amstyerdam: Amsterdam University Press) Haningsih, Sri. 2008. “Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia”, Jurnal El Tarbawi, Vol. 1, No. 1 Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya Layar Indonesia, (Jakarta: KPG) Jannah, Raudlatul. 2014. “Jember Fashion Carnival; Konstruksi Identitas dalam Masyarakat Jaringan”, Jurnal Common Line, Volume 3, No. 2 Renzulli, Joseph S., “The Three-Ring Conception of Giftedness: Its Implications for Understanding the Nature of Innovation”, dalam Shavinina, Larisa V (ed.). 2003. The International Handbook on Innovation, (Oxford: Elsevier Science) Kelly, Matthew. 2004. The Rhythm of Life; Living Every Day with Passion and Purpose, (New York: Fireside)
175
Kontestasi Hegemoni Pop Culture dengan Lembaga Pendidikan Islam Jenjang Dasar; Studi Analisis JFC dan Tajemtra Kuhn, Thomas. 1996. The Structure of Scientific Revolutions, Third Editions, (Chicago: The University of Chicago Press) Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik‐bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina) Munandar, Utami. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, (Jakarta: Rineka Cipta) Sholahudin, Dindin. 2008. The Workshop for Morality; The Pesantren Islamic Creativity of Pesantren Daarut Tauhid in Bandung, Java, (Canberra: ANU E Press) Siroj, Said Aqil. 2006.Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan) Storey, John. 2003. Inverting Populer Culture; From Folklore to Globalization, (Malden, Blackwell Publishing Strinati, Dominic. 2004. An Introduction to Theories of Populer Culture (London: Routledge) Tim Departemen Agama RI. 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam) Williams, Raymond. 1983. Keywords; A Vocabulary of Culture and Society, (New York: Oxford University Press).
176
ISSN: 2407-2095
177