ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015
35
Geologi dan Studi Paleokeologi Berdasarkan Fosil Moluska Pada Formasi Cemoro di Daerah Ngebung dan Sekitarnya Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah Adhitya Fakhrul Hidayat1a , Ediyanto2b, Achmad Subandrio3c 1,2,3
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, 55283 a e-mail:
[email protected] b e-mail:
[email protected] c e-mail: Achmad Subandrio
[email protected]
ABSTRAK Daerah telitian secara administrasi di daerah Ngebung dan sekitarnya, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak di koordinat X: 480000–487000 dan Y: 9174000– 9182000 UTM. Stratigrafi daerah penelitian terdiri atas delapan satuan litostratigrafi tidak resmi dengan urutan dari tua ke muda adalah satuan batulempung-karbonatan Puren (Miosen Akhir-Pliosen Awal), satuan breksi vulkanik Cemoro (Plistosen Awal) tidak selaras di atas satuan batulempung-karbonatan Puren, satuan batulempung-karbonatan Cemoro (Plistosen Awal) selaras di atas satuan breksi vulkanik Cemoro, satuan batupasir vulkanik Bapang (Plistosen Awal-Tengah) menumpang selaras di atas satuan batulempung-karbonatan Cemoro, satuan breksi vulkanik Pohjajar (Plistosen Tengah) menumpang selaras di atas satuan satuan batupasir vulkanik Bapang, satuan mud vulcano (Plistosen Akhir) mengintrusi satuan yang lebih tua sebelumnya, dan satuan Endapan Aluvial (Holosen) yang menumpang tidak selaras di atas batuan yang lebih tua. Berdasarkan analisa paleokeologi dari data sedimentologi, pola sebaran fosil molus ka dan asosiasi fosil moluska dari Formasi Cemoro menghasilkan 4 model paleoekologi, terdiri dari Brackish Coastal River, Brackish River, Coastal dan Swamp Pond. Ekosistem purba daerah telitian diinterpretasikan seperti bird foot delta. Kata Kunci: Paleoekologi, Moluska, Ekosistem ABSTRACT The research area is located in the administrative area and surrounding Ngebung, Kalijambe, Sragen, Central Java Province. Geographically located at the coordinates X: 480000 -487000 and Y: 9174000-9182000 UTM. Stratigraphy study area consists of eight units of litho not authorized to order from old to young is a Puren carbonate claystone (Late Miocene-Early Pliocene), Cemoro vulcanic breccias (Early Plistosen) unconformity at the top of Puren carbonate claystone, Cemoro carbona te claystone (Early Plistosen) conformity on top of the Cemoro vulcanic breccias, Bapang vulcanic sandstone (Early -Middle Plistosen) conformity on top of the Cemoro carbonate claystone, Pohjajar vulcanic breccias (Plistosen Central) conformity on top of Bapang vulcanic sandstone, mud vulcano (Late Pleistocene) intruded older unit previously, and the unit Alluvial Deposition (Holocene) are unconformity on top of older rocks. Based on the analysis of the paleocology from sedimentology data, distribution patterns mollusc fossil and mollusc associations in Cemoro Formation get 4 Palaeoecology models, consist of Brackish Coastal River, Brackish River, Coastal and Swamp Pond. Ancient ecosystem on the research area interpreted of "bird foot delta". Keywords : Paleoecology, Mollusc, Ecosystem
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
36
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015
I. PENDAHULUAN Paleoekologi sudah cukup lama berkembang sebagaimana yang diuraikan antara lain oleh Ager (1956), Imbrie dan Newell (1964), Stanley (1970), dan beberapa peneliti lainnya. Berkembangnya penelitian mengenai paleoekologi dalam kaitannya dengan ilmu geologi antara lain untuk mengetahui hubungan antara fosil dengan lingkungannya (Imbrie dan Newell, 1964). yang nantinya berguna untuk mengetahui sejarah pengendapan dan lingkungan pengendapan pada saat itu (Ager, 1956). Pada akhirnya paleoekologi diharapkan dapat mengungkapkan sejarah geologi dengan lebih baik. Untuk dapat mengetahui paleoekologi suatu formasi dibutuhkan beberapa parameter. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk penentu an paleoekologi adalah menggunakan data-data paleontologi. Fosil moluska merupakan salah satu data paleontologi yang dapat digunakan. Peneltian paleoekologi berdasarkan moluska sudah sangat berkembang terutama di luar negeri. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian dari John Murry (2006), Nakagawa (1998), Matsuoka (1985), dan masih banyak lagi. Bahkan Stanley (1970) memberikan gambaran tentang keterkaitan antara bentuk shell pelecypoda dengan habitatnya. Di Indonesia banyak sekali dijumpai lapisan batuan yang mengandung fosil moluska. Salah satu diantaranya terdapat di Zona Kendeng, dimana terdapat lapisan-lapisan moluska pada Formasi Puren yang berumur Pliosen dan Formasi Cemoro yang berumur Plistosen. Penulis mengangkat studi tentang paleoekologi berdasarkan fosil moluska yang berada di Sangiran.Di Sangiran sendiri keterdapatan fosil moluska yang melimpah berada di Formasi Puren dan Formasi Cemoro. Kelimpahan fosil tersebutlah yang menjadi faktor utama untuk menentukan paleoekologi di daerah Sangiran. Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi dan kondisi ekosistem purba di tinjau dari fosil moluska. Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mempelajari tatanan dan sejarahgeologi daerah penelitian berdasarkan analis is data pengamatan unsur-unsur geologi di lapangan dan secara khusus untuk mengetahui dan merekonstruksi paleoekologi daerah penelitian dan persebaran fosil moluska dengan analisis fosil moluska dari sample yang diambil di lapangan dan telah diketahui posisi stratigrafinya melalui pengukuran penampang stratigrafi. Daerah penelitian meliputi Daerah Ngebung Dan Sekitarnya, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah. Luas daerah penelitian adalah kurang lebih 56 km2 dengan panjang dari selatan ke utara 8 km dan lebar dari arah barat ke timur kurang lebih 7 km. Koordinat UTM X: 480000487000 Y: 9174000-9182000.
Gambar 1. Peta Kesampaian Lokasi Daerah Ngebung dan Sekitarnya, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. II. METODE PENELITIAN Metode penelitian diawali dengan pembuatan penampang stratigrafi terukur di lapangan. Lapisan yang mengandung fosil moluska secara utuh di ambil. Sampel fosil moluska tersebut kemudian di analisa untuk mendapatkan nama serta habitatnya. Hasil analisa stratigrafi dan kandungan fosil moluska digabungkan untuk menghasilkan kesimpulan paleoekologi dari masing-masing lokasi pengambilan sampel. III. HASIL DAN PEMBAHASAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium, penulis membagi daerah penelitian menjadi delapan satuan litostratigrafi tidak resmi dengan urutan dari tua ke muda sebagai berikut: 1. Satuan batulempung-karbontan Puren (Miosen Akhir-Plistosen Awal) 2. Satuan breksi-vulkanik Cemoro (Plistosen Awal) 3. Satuan batulempung-karbonatan Cemoro (Plistosen Awal) 4. Satuan batupasir-vulkanik Bapang (Plistosen Awal-Tengah) 5. Satuan breksi-vulkanik Pohjajar (Plistosen Tengah ) 6. Satuan mud vulcano (Plistosen Akhir) 7. Satuan endapan aluvial (Holosen) Satuan batulempung-k arbontan Puren Satuan batulempung-karbontan Puren ini merupakan satuan tertua di daerah penelitian, tersingkap di pusat daerah telitian sepanjang kali Puren dari desa Pablengan sampai di sebelah tenggara desa Sangiran dan di sebelah barat daya Museum Sangiran dekat kanal irigasi. Ciri Formasi Puren terdiri dari batulempung karbonatan dengan berwarna biru, batulanau karbonatan, batulempung karbonatan Corbicula, batupasir karbonatan dan napal yang berada di barat daya Museum Manusia Purba Sangiran. Keterdapatan fosil foraminifera kecil dan
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015
37
fosil moluska berlimpah pada satuan ini. Pada bagian utara dari desa Krikilan terdapat batugamping Balanus dan napal sedangkan bagian timur desa Krikilan terdapat batulempung karbonatan. Formasi ini memiliki struktur sedimen perlapisan sejajar, masif dan crossbedding dan ketebalan dari dari formasi Puren yaitu 132 meter.
Gambar 3. Kontak satuan batulempungkarbonatan Puren dan satuan breksi-vulkanik Cemoro A. Singkapan batulempung-karbonatan Corbicula; B. Kenampakan fosil Corbicula javanica dan Corbicula fluminea; C. Kenampakan kontak satuan batuan batulempung-karbonatan Puren dan breksi Cemoro dengan azimut N 2900 E; D. Kenampakan breksi-vulkanik Cemoro dengan struktur masif; E. Kenampakan batulempungkarbonatan Puren dengan struktur perlapisan sejajar berwarna biru; F. Kenampakan napal Puren dengan struktur perlapisan sejajar berwarna biru. Satuan breksi-vulkanik Cemoro Satuan breksi-vulkanik Cemoro tersingkap di desa Krikilan dan desa Dayu. Singkapan baik pada satuan ini berada di barat daya dan tenggara Musium Manusia Purba Sangiran dengan ciri breksi vulkanik yang memiliki fragmen cangkang moluska serta terdapat sisipan batulempung- karbonatan. Sturktur sedimen yang berkembnag yaitu masif dengan ketebalan pada satuan ini yaitu 76,4 meter. Satuan ini diendapkan secara tidak selaras diatas satuan batulempung-karbonatan Puren, Kenampakan dilapangan berupa adanya erosi yang jelas, dan perbedaan karakteristik antara keduanya yang cukup jelas. Sedangkan diatasnya diendapkan secara selaras satuan batulempung-karbonatan Cemoro.
Gambar 4. Ciri litologi satuan breksi-vulkanik Cemoro. Singkapan breksi-vulkanik dengan struktur sedimen masif azimut N 2310 E; B. Breksi- vulkanik dengan kehadiran fragmenbatupasir vulkanik; C. Breksi-vulkanik dengan kehadiran fragmenbatugamping; D&F. Breksi-vulkanik dengan kehadiran fragmen andesit; E & G. Breksi- vulkanik dengan kehadiran fragmen cangkang moluska Corbicula javanica. Satuan batulempung-k arbontan Cemoro Satuan batulempung-karbontan Cemoro ini merupakan satuan yang berada di atas satuan breksivulkanik Cemoro. Satuan batumpung-karbonatan terdiri dari batulempung-karbonatan dengan sisipan batupasir-karbonatan dan batulanau-karbonatan, terdapat fragmen cangkang fosil moluska yang berlimpah, serta sisipan batulempung hitam dan lignit yang tersingkap baik di desa Bukuran dan Ngebung. Sturktur sedimen yang terdapat pada satuan ini yaitu perlapisan sejajar, loadcast, laminasi dan masif dan memiliki ketebalan 184,05 meter. Berdasarkan hasil analisa laboratorium mikro paleontologi pada prepararasi 3 conto batuan yang merupakan lokasi measuring section 1 tidak ditemukan fosil foraminifera plankton dan bentos. Penulis meng asumsikan bahwa satuan batulempung-karbonatan Cemoro tidak berkaitan langsung dengan aktivitas laut dan lebih dominasi aktifvitas darat.
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
38
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 1, 2015
Satuan ini diendapkan secara selaras diatas satuan batulempung-karbonatan Cemoro, Kenampakan dilapangan berupa adanya kontak tegas, serta perubahan litologi dan struktur sedimen yang berangsur. Diatasnya diendapkan secara selaras satuan breksi-vulkanik Pohjajar.
Gambar 5. Ciri litologi satuan batulempungkarbonatan Cemoro, A. Singkapan batulanaukarbonatan; B. Batulempung- karbonatan dengan fragmen cangkang moluska (dominan gastropoda) Bellamya javanica; C. Kenampakan cangkang fosil gastropoda Bellamya javanica; D. Batulempung hitam fragmen pecahan cangkang moluska; E. Kenapakan singkapan secara menyeluruh dengan parameter orang dengan azimut N 2670 E ; F & G. Batulempung- karbonatan dengan warna coklat; H . Kenampakan batulempung hitam sebangai sisipan; I. Fragmen cangkang moluska pada batulempung hitam sebagai sisipan. Satuan batupasir- vulkanik Bapang Satuan batupasir-vulkanik Bapang ini terendapkan selaras berada di atas satuan batuelmpung- karbonatan Cemoro. Satuan batupasirvulkanik Bapang terdiri dari batupasir-vulkanik dengan sisipan batupasir, breksi vulkanik dan tuff. Sturktur sedimen yang terdapat pada satuan ini yaitu di dominasi struktur crossbedding yang menjadi ciri satuan ini, perlapisan sejajar dan masif. Ketebalan dari satuan ini yaitu 273,78 meter.
Gambar 6.Ciri litologi satuan batupasir- vulkanik dan batupasir A. Kenampakan kontak litologi batupasir-vulkanik Bapang dan batupasir Bapang dengan azimut N 1810 E; B. Kenampakan batupasirvulkanik dengan struktur masif; C. Kenampakan batupasir-vulkanik dengan struktur sedimen crossbedding; D. Kenampakan batupasir dengan struktur sedimen crossbedding.
Satuan breksi-vulkanik Pohjajar Satuan breksi-vulkanik Pohjajar ini terendapakan selaras berada di atas satuan batupasirvulkanik Bapang. Satuan breksi-vulkanik Bapang terdiri breksi-vulkanik masif perselingan batupasirvulkanik, batupasir dan tuff terdapat sisipan batulempung. Sturktur sedimen yang terdapat pada satuan ini yaitu perlapisan sejajar, masif dan crossbedding. Ketebalan dari satuan ini yaitu 110,4meter. Berdasarkan hasil analisa laboratorium tidak dijumpai adanya fosil foraminifera plankton dan bentos pada satuan ini, maka dalam penentuan umur penulis mengacu pada literatur menurut Danisworo (1987), umur dari satuan ini adalah Plistosen Tengah. Penentuan lingkungan pengendapan satuan ini terdiri Dari aspek fisik dan kimia, pendekatan lingkungan pengendapan menurut Nichols (2009) penulis menyimpulkan bahwa satuan batuan ini pada bagian bawah berupa breksi-vulkanik terendapkan pada lingkungan Alluvial Fan pada bagian Debris Flow Alluvial Fan. Pada bagian atas dengan batupasirvulkanik, batupasir dengan sisipan tuff terendapkan pada lingkungan Alluvial Fan pada bagian Stream Channel Alluvial Fan Satuan ini diendapkan secara selaras diatas satuan batupasir-vulkanik Bapang. Kenampakan dilapangan berupa adanya kontak berangsur, serta perubahan litologi dan struktur sedimen yang berangsur. Diatasnya diendapkan secara tidak selaras dengan endapan aluvial
Gambar 7. Ciri litologi satuan breksi vulkanik Pohjajar A. Singkapan breksi-vulkanik Pohjajar denga azimut N 0320 E; B. Kenampakan fragmen andesit breksi vulkanik Pohjajar. Mud Volcano Mud Vulcano tersingkap baik di bagian tengah Kubah Sangiran. Terdapat 2 mud vulcano dapat diamati. Dua mud vulcano besar terdapat di sepanjang sesar memanjang barat daya – tenggara dan barat – timur. Terdiri dari masa dasar lempung dengan pecahan dari batugamping Nummulites,
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015 batupasir, kuartsi dan marmer dengan luasan 50 -70 meter.
Gambar 8. Singkapan satuan mud vulcano, A. Singkapan mud vulcanodengan azimut N 0940 E; B. Kenampakan pecahan mud vulcano. Endapan Aluvial Endapan aluvial terdiri dari material lepas yang tertransportasi berupa endapan lumpur - krakal yang belum mengalami kompaksi. Tekstur disusun oleh fragmen berbagai jenis batuan yang belum terkonsolidasi, namun dalam bentuk endapan. Komposisinya terdiri dari mineral atau rombakan batuan yang lebih tua seperti kuarsa, mineral mafik, andesit, dan batulempung-karbonatan. Pada satuan ini tidak dijumpai adanya struktur sedimen
Gambar 9. Singkapan endapan aluvialA&B. Singkapan endapan aluvial yang disusun oleh material lepas yang berukuran lempung-krikil dengan azimut N 2680 E. PALEOEKOLOGI Paleoekologi berasal dari kata paleo yang berarti tua, purba, primitif dan ekologi yang berarti ilmu tentang hubungan (mutualisme) antara organisme dengan lingkungannya, termasuk di dalamnya substrat batuan. Sehingga paleoekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan (interaksi) antara organisme–organisme purba dengan lingkungannya. Adapun beberapa faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisme yang kemudian juga mempengaruhi proses interaksi antara organisme tersebut dengan lingkungannya adalah :
1. 2. 3. 4.
39
Suhu dan kelembaban Pengaruh marin–non marin Kedalaman Salinitas
Data persebaran fosil moluska Satuan batulempung-k arbonatan Puren Terdapat 2 lokasi pengamatan fosil moluska pada satuan batulempung- karbonatan Puren berada di alur liar belakang Musium Manusia Purba Sangiran. Fosil moluska tersebut terdiri dari Euzina javana, Bellamya javanica, Melanoides tuberculata, Thiara scabra, Unio sp, Corbicula fluminea dan Corbicula javanica. Keterdapatan fosil moluska pada Musium Ngebung yaitu Ballanus sp. Pecten plagioctenium, Ostrea sp, Arcacornea dan Murextrapa berada di litologi batugamping balanus. Satuan breksi-vulkanik Cemoro Pada bagian bawah breksi-vulkanik yang memiliki kandungan fosil moluska sebagai petunjuk paleoekologi pada saat pengendapan breksi-vulkanik tersebut. Keterdapatan fosil moluska yaitu Corbicula javanica, Corbicula fluminea dan Melanoidestuberculata. Jumlah keterdapatan fosil tersebut sangatlah sedikit yang disebabkan proses pengendapan breksi-vulkanik merusak ekosistem organisme pada saat itu. Satuan batulempung-k arbonatan Cemoro Pada bagian bawah terdiri dari batulempungkarbontan dengan sisipan batulanau-karbonatan dan diatomae. Fosil moluska pada bagian bawah batulempung- karbonatan Cemoro yaitu Thiara scabra, Thiara tjmoroiensis, Union sp, Melanoides fallax, Melanoides tuberculata, Brotia testudinaria, Bellamya javanica, Brotia foeda, Corbicula fluminea, Corbicula javanica dan Euzina javana. Pada bagian tengah terdiri dari batulempungkarbonatan dengan batulempung hitam dan sisipan batupasir- karbonatan, batulanau-karbonatan serta peat. Fosil moluska pada satuan batulempungkarbonatan bagian tengah terdiri dari Bellamya javanica, Elongaria orientalis, Brotia foeda, Corbicula javanica, Melanoides tuberculata, Thiara scabra, Thiara tjmoroiensis, Melanoides fallax, Lymnaea javenica dan Brotia scalaroides. Pada bagian atas terdiri dari batulempung-karbonatan, batulanau- karbonatan, dan sisipan batupasirkarbonatan dan batupasir biru- karbonatan. Fosil moluska pada satuan batulempung- karbonatan bagian atas terdiri dari terdiri dari Thiara tjmoroiensis dan Melanoides tjariangensis.
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
40
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 1, 2015
Gambar 24A. Arcacornea.; B. Bellamya javanica; C Brotia foeda.; D Brotia scalaroides. Dalam Van Benthem Jutting (1937) dan Glaubrecht (2001)
Gambar 25 A. Brotia testudinaria.; B.Corbicula javanica; C. Corbicula fluminea.; D. Elongaria orientalis. Dalam Van Benthem Jutting (1937) dan Glaubrecht (2001)
Gambar 26A. Euzina javana.; B.Lymnaea javanica; C. Melanoides fallax; D. Melanoides tjariangensis. Dalam Van Benthem Jutting (1937)
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015
41
Gambar 27A. Melanoides tuberculata; B.Murex trapa.; C. Ostrea sp.; D. Pecten plagioctenium. Dalam Van Benthem Jutting (1937)
Gambar 28A. Thiara scabra; B.Thiara tjmoroiensis.; C. Turritella jajariangensis. Dalam Van Benthem Jutting (1937)
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
42
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 1, 2015
Analisa asosiasi fosil moluska Analisa yang dilakukan berdasarkan atas hasil dari data yang didapat, berupa data fosil moluska dan data sedimentologi. Kedua data tersebut dirangkai untuk menghasilkan berbagai assosiasi yang ada. Penamaan assosiasi didasarkan pada kelimpahan dari kandungan fosil moluska. Setelah diketahui asossiasi moluska yang ada, kemudian ditentukan paleoekologi dari masing-masing assosiasi tersebut. Penentuan paleoekologi lebih didasarkan pada metode assossiasi kelimpahan moluska yang ada ditunjang dengan data sedimentologi. Assosiasi Murex - Arca - Balanus Assosiasi ini ditandai dengan kemunculan yang dominan dari Balanus sp., Pecten plagioctenium, Ostrea sp., Arcacornea., Murex trapa dengan litologi napal dan batugamping balanus. Kemunculan fosil tersebut merata keterdapatannya, menunjukkan bahwa assosiasi ini hidup pada lingkungan laut (marine). Balanus sp. sendiri banyak dijumpai pada Barnacle zone (Middle Intertidal) Richard (2008). Berdasarkan data tersebut, assosiasi ini diperkirakan hidup pada lingkungan dengan intensitas arus yang kuat di lihat dari model cangkang Murex trapa yang di rancang untuk memecah arus, dengan kadar salinitas sea water. Asosiasi fosil tersebut hidup di lingkungan Intertidal (Littoral) Kennett (1982) dalam Walker (1992). Assosiasi Corbula - Melanoides Assosiasi ini ditandai dengan kemunculan fosil Thiara scabra, Melanoides tuberculata, Euzina javana, Melanoides fallax, Melanoides tjariangensis, Corbicula javanica, Corbicula fluminea, Bellamya javanica dan Unio sp. dengan litologi batulempung- karbonatan Corbicula berada di atas napal. Kemunculan fosil Corbicula javanicadan Corbicula fluminea tersebut merata keterdapatannya, menunjukkan bahwa assosiasi ini hidup pada lingkungan fresh-brackish water. Di jumpai fosil Thiara scabra dengan penciri brackish water. Lingkungan sedimentasinya terbentuk pada zona dengan intensitas arus sedang - kuat, yang dicirikan dengan terbentuknya batulempungkarbonatan serta napal yang mana aktivitas laut lebih dominan. Pada saat menunjukkan bahwa lingkungan sedimennya berada pada lingkungan pesisir muara Upper Intertidal Richard (2008). Berdasarkan data tersebut, assosiasi ini diperkirakan hidup pada lingkungan dengan intensitas arus yang kuat di lihat dari model cangkang gastropoda diatas yang di rancang untuk memecah arus, dengan kadar salinitas freshbrackishsedikit sea water. Asosiasi fosil tersebut hidup di lingkungan Intertidal (Littoral) Kennett (1982) dalam Walker (1992).
Assosiasi Corbula - Brotia Assosiasi ini ditandai dengan kemunculan fosil Thiara scabra, Thiara tjmoroiensis, Melanoides tuberculata, Melanoides fallax, Brotia testudinaria, Corbicula javanica, Bellamya javanica, Brotia foeda dan Brotia scalaroides terdapat pada litologi batulempung- karbonatan dengan sisipan batulanau- karbonatan dan diatomae. Kemunculan fosil tersebut merata secara seluruhan pengambilan sample moluska, menunjukkan bahwa assosiasi ini hidup pada lingkungan fresh-brackish water. Berdasarkan data tersebut, asosiasi ini diperkirakan hidup pada lingkungan dengan intensitas arus sedang di lihat dari model cangkang gastropoda diatas yang di rancang untuk memecah arus, dengan kadar salinitas fresh-brackish. Asosiasi fosil tersebut hidup di lingkungan Intertidal – Supratidal Walker (1978) dalam Walker (1992). Assosiasi Lymnae - Bellamya Assosiasi ini ditandai dengan kemunculan fosil Lymnae sp. Bellamya javanica, Melanoides tuberculata, Melanoides tjariangensis dan Brotia scalaroides terdapat pada litologi batulempungkarbonatan dan batulempung hitam dengan sisipan batupasir- karbonatan, batulanau-karbonatan dan peat. Kemunculan fosil Lymnae javanica Bellamya javanica menunjukkan bahwa assosiasi ini hidup pada lingkungan fresh water. Lingkungan sedimentasinya terbentuk pada zona dengan intensitas arus lemah, yang dicirikan dengan terbentuknya batulempung-karbonatan dan batulempung hitam dengan sisipan batupasirkarbonatan, batulanau-karbonatan dan peat. Berdasarkan data tersebut, assosiasi ini diperkirakan hidup pada lingkungan dengan intensitas arus lemah di lihat dari model cangkang Lymnae javanica dan Bellamya javanica dengan kadar salinitas fresh water. Asosiasi fosil tersebut hidup di lingkungan Intertidal – Supratidal Walker (1978) dalam Walker (1992). Analisa Paleoekologi Dari data dan analisis yang telah dilakukan, didapatkan 4 assosiasi moluska. Penulis membagi paleokelogi menjadi 6 bentukan paleoekologi di daerah Sangiran pada Formasi Puren dan Formasi Cemoro. Bentuk paleoekologi tersebut yaitu brackish coastal river, brackish river, coastal,swamp pond, marine dan tidal swamp. Penulis hanya membuat 4 model paleoekologi berdasarkan data fosil moluska yaitu brackish coastal river, brackish river, coastal dan swamp pond. Brackish coastal river Paleoekologi ini hanya dijumpai sekali didalam perkembangan sedimentasi pada Formasi Puren bagian atas. Assosiasi moluska yang hidup
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015 pada ekologi ini adalah Corbula - Melanoides. Ekologi ini dicirikan oleh kadar salinitas air berkisar antara 0 – 35,00 /00 Kinne, (1964) dalam Raup (1971). Sedangkan intensitas arus cenderung sedang - kuat, dengan litologi berupa batulempungkarbonatan serta napal. Proses sedimentasi berada di daerah estuarin. Brackish river Paleoekologi ini hanya dijumpai sekali didalam perkembangan sedimentasi pada Formasi Cemoro bagian bawah. Assosiasi moluska yang hidup pada ekologi ini adalah Corbula - Brotia. Ekologi ini dicirikan oleh kadar salinitas air berkisar antara 0 – 30,00 /00 Kinne (1964) dalam Raup (1971). Sedangkan intensitas arus cenderung sedang, dengan litologi berupa dari batulempungkarbonatan dengan sisipan batulanau-karbonatan dan diatomae. Proses sedimentasi sangat dipengaruhi oleh arus sungai di daerah payau.
43
Coastal Paleoekologi ini hanya dijumpai sekali didalam perkembangan sedimentasi pada Formasi Puren bagian atas. Assosiasi moluska yang hidup pada ekologi ini adalah Murex - Arca - Balanus. Ekologi ini dicirikan oleh kadar salinitas air berkisar antara 30 – 40,00 /00 Kinne (1964) dalam Raup (1971). Sedangkan intensitas arus cenderung kuat, dengan litologi berupa batugamping balanus dan napal,. Proses sedimentasi sangat dipengaruhi oleh gelombang pasang-surut. Swamp pond Paleoekologi ini hanya dijumpai sekali didalam perkembangan sedimentasi pada Formasi Cemoro. Assosiasi moluska yang hidup pada ekologi ini adalah Lymnae-Bellamya. Ekologi ini dicirikan oleh kadar salinitas air berkisar antara 00,5% Kinne (1964) dalam Raup (1971). Indikasi daerah genangan, dengan litologi berupa batulempung-karbonatan dan peat.
Gambar 29.Model paleoekologi Formasi Cemoro
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
44
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 1, 2015
Gambar 30.Profil Model Paleoekologi Formasi Cemoro Profil paleoekologi brackish river
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015
Gambar 31.Profil Model Paleoekologi Formasi Cemoro . Profil paleoekologi swamp pond.
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
45
46
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 1, 2015
Gambar 32. Profil Model Paleoekologi Formasi Cemoro . Profil paleoekologi Brackish Coastal River.
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 27 Nomor 1, 2015
Gambar 33. Profil Model Paleoekologi Formasi Cemoro . Profil paleoekologi Coastal.
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio
47
48
ISSN 0854-2554 JIK TekMin, Volume 1 Nomor 1, 2015
IV. KESIMPULAN Penulis menyimpulkan bahwa daerah penelitian pada kala Miosen Awal – Pliosen Awal merupakan laut dangkal yang ditunjukkan organisme laut pada saat itu berkembang secara baik. Dari litologi yang di dapat yaitu batulempungkarbontanan sisipan napal menunjukkan aktivitas lautnya tinggi pada Formasi Puren. Pada kala Plistosen Awal perubahan lingkungan terjadi dimana suplai material breksivulkanik Formasi Cemoro mengubah lingkungan menjadi dangkal dan membunuh organisme pada saat itu. Perubahan lingkungan ini akan membentuk daerah rawa, serta muara yang mana oragnisme yang bertahan saat material breksi-vulkanik Cemoro berkembang secara baik. Bentukan ekosistem daerah pada kala tersebut penulis menganalogikan seperti bird foot delta berdasarkan data asosiasi moluska, dengan litologi batulempung-karbonatan dengan sisipan batulempung hitam dan adanya sedikit batubara muda(peat). Penulis menganalogikan ekos istem tersebut berdasarkan data asosiasi moluska dan tidak menggunakan data polen, bisa menunjang bentukan paleoekologi daerah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Benthem Jutting, T. van. [W.W.S.], 1937. Non Marine Mollusca from Fossil Horizons in Java with Special Reference to the Trinil Fauna. E.J. Brill, Leiden. Danisworo, C., 1992. Magnetostratigraphy of PlioPleistocene deposits in the Sangiran area, Central Java. In: Proc. Indonesian Assoc. Geologists XXI Annual Scientific Meeting. Bandung, pp. 477–485. Garratt, R., 2008, Oceans revised edition, Facts on File, New York. Glaubrecht, M., Kohler, F., 2001, Toward A Systematic Revision Of Southeast Asian Fresh Water Gastropod Brotia H. Adams, 1866 (Cerithioidea: Pachychilidae): An Account Of Species From Around The South China Sea, Institute of Systematic Zoology, Berlin, Germany. Nichols, G., 2009, Sedimentology and Stratigraphy Second Edition, Wiley-Blackwell, UK. Raup, M. D., Stanley, S. M., 1971, Principles of Paleontology, W. H. Freeman And Company, San Fransisco. Walker, R. G., James, N. P., 1992, “Facies Models: Response Sea Level Change”, Geological Association of Canada, Canada.
Adhitya Fakhrul Hidayat, Ediyanto, Achmad Subandrio