ISSN 2355-8245
J-PIPS
JURNAL PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
J-PIPS
JURNAL PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL ISSN 2355-8245
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mitra Bestari Mudjia Rahardjo (UIN Maliki Malang) Imam Suprayogo (UIN Maliki Malang) Wening Patmi (UM Malang) Mokhammad Yahya (UM Malang) Penanggung Jawab Nur Ali Pimpinan Redaksi Moh. Miftahusyai’an Penyunting Abdul Bashith Umi Julailah Desain Grafis Igif Rizekiya Suprayogi Sekretariat Fatkhita Irfa Shalih Husni J-PIPS adalah jurnal Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, terbit berkala enam bulan sekali (semester), sebagai wahana komunikasi insan akademik dalam bidang pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Redaksi mengundang para pakar dan akademisi untuk menyumbangkan naskah, baik berupa hasil penelitian, kajian mendalam, sesuai dengan disiplin pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Naskah yang diajukan adalah naskah asli (tidak plagiat) dan belum pernah dipublikasikan di media lain. Alamat Redaksi: Kantor Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maliki Malang Jalan Gajayana 50 Malang, Telp./Faks (0341) 552398, email:
[email protected]
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
DAFTAR ISI
Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) dan STAD (Student Team Achievement Division) terhadap Hasil Belajar pada Mata Kuliah Akuntansi di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Kusuma Dyah Dewi = 1-20 Pengembangan Multimedia pada Mata Pelajaran Geografi SMA Kelas X Semester II untuk Topik Hidrosfer Ninja Panju Purwita = 21-34 Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia Ni’matuz Zuhroh = 35-60 Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia Siti Annijat Maimunah = 61-76 Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia Luthfiya Fathi Pusposari = 77-104 Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia Miftahusyaian = 105-130 Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia Mokhammad Yahya = 131-158 Pemanfaatan Situs Singosari dalam Mengembangkan Literasi Sejarah Peserta Didik Nur Lailatus Zahroh = 159-188
v
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
STUDI KOMPARATIF MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI (TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION) DAN STAD (STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION) TERHADAP HASIL BELAJAR PADA MATA KULIAH AKUNTANSI DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG Kusuma Dyah Dewi1 ABSTRACT Purpose of this research is to understand the differences of learning outcomes using Cooperative learning model type TAI (Team Assisted Individualization) and STAD (Student Team Achievement Division) on the subject Accounting, Social Sciences Education Department of Tarbiyah and Teaching Sciences of Maulana Malik Ibrahim State Islamic University of Malang. This research using Experimental research design Quasi Experiment, and the model using Pre-Test and Post-Test Control Group Design. Population of this research is all students of first semester Year 2013/2014, and the sample are class A as the experiment group who using TAI model and class B as the control group who study using STAD model. There are two instrument in this research, such as treatment instrument and measurement instrument. Researcher used hypothesis test to know the differences of learning outcomes, t-test in which previously conducted the prerequisite test analysis which consist of normality test, homogeneity test, and the equality test of average initial ability of student. Result of this research shows the difference of average mark in cognitive aspects in these classes is not significant but the average mark TAI class higher than STAD class, but there is a significant difference in psychomotor aspects in these classes. It can be shows the average mark of TAI also higher than STAD. Keywords: Learning Outcomes, Cooperative Learning Model type TAI, STAD.
A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial didasarkan pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan 1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144, email:
[email protected]
1
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
Kelembagaan Agama Islam No. E/138/1999 tentangPenyelenggaraanJurusanTarbiyah Program StudiTadris IPS pada STAIN Malang tertanggal 18 Juni 1999, yang ditindaklanjutiolehSuratNomor 811/ D/T/2003 tertanggal 16 April 2003 perihal Rekomendasi Pembukaan Program-program StudiUmumpada STAIN Malang oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional serta Keputusan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam No. DJ.II/54/2005 tentang Izin Penyelenggaraan Program Studi Jenjang Strata I (S-1) padaUniversitas Islam Negeri (UIN) Malang Jawa Timur tertanggal 28 Maret 2005. Jurusan Pendidikan juga IPS telah terakreditasi oleh BAN-PT sejak tahun 2007. Keberadaan program ini semakin dipercaya terlebih setelah rutin mengikuti Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED) sejak 2008. Keberadaan program ini dimaksudkan untuk menunjang sumberdaya manusia yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan seni serta dapat memberikan jalan keluar bagi hambatan hambatan pembangunan. Berdasarkan kebutuhan akan pengembangan sumber daya manusia tersebut, khususnya kebutuhan terhadap calon guru mata pelajaran IPS di sekolah/ madrasah dan kebutuhan dunia usaha, diperlukan keterampilan dosen dalam mengajarkan mata kuliahnya. Kemajuan perkembangan dunia pendidikan harus diikuti dengan penerapan yang sesuai dengan kebutuhan terutama terkait dengan metode pembelajaran. Pemilihan metode pembela-jaran sebagai variasi dalam pengajaran sangat berpengaruh terhadap hasil pembelajaran dimana pemilihan metode yang tepat akan dapat meningkatkan kualitas pengajaran setiap matakuliah khususnya akuntansi. Berdasarkan hasil kajian awal melalui observasi dan hasil wawancara dengan ketua jurusan dan dosen pengampu matakuliah yang relevan di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Tarbiyah UIN Malang, model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran konvensional disini dapat diartikan secara umum sebagai metode pembelajaran yang biasa dilakukan oleh dosen. Kegiatan pembelajaran yang biasa digunakan oleh dosen tersebut berupa pembelajaran kelompok yang sederhana. Permasalahan yang muncul ketika model pembelajaran tersebut 2
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
digunakan adalah dalam satu kelompok hanya sebagian anggota kelompok saja yang benar-benar mengerjakan semua atau sebagian besar tugas yang diberikan, dimana sisanya pasif dan hanya mendompleng dalam kegiatan berkelompok. Slavin (2009: 41) menyebut masalah ini sebagai “difusi tanggung jawab” yang dapat menjadi penghalang bagi terciptanya pencapaian prestasi dari pembelajaran kooperatif. Berdasarkan jawaban mahasiswa atas pertanyaan tentang pencapaian hasil belajar tes tulis mereka yang rendah dan hasil wawancara dengan dosen menunjukkan bahwa mahasiswamatakuliahAkutansi lebih tertarik pada pelajaran yang bersifat terapan langsung daripada teori. Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif yang dapat membuat setiap anggota dalam kelompok mempunyai peran dan tanggungjawab yang sama dalam mengerjakan tugas kelompok sehingga pencapaian prestasi hasil belajar mahasiswa meningkat. Tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan untuk mengatasi permasala-han tersebut adalah TAI (Team Assisted Individualization) karena model pembelajaran kooperatif ini mengkondisikan masing-masing anggota kelompok memiliki peran tanggung jawab individu sehingga mahasiswa tidak memiliki kesempatan menjadi pendompleng di dalam kelompok belajar tersebut. Untuk mengetahui apakah model pembelajaran tipe TAI benarbenar dapat mengatasi permasalahan tersebut maka akan dilakukan suatu penelitian eksperimen yang meneliti perbedaan hasil belajar antara mahasiswa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD digunakan sebagai pembanding karena model ini memiliki kesamaan dalam tahapan-tahapan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional yang biasa digunakan oleh dosen. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti akan melakukan penelitian dengan judul Perbedaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) dan STAD (Student Team Achievement Division) terhadap Hasil Belajar Mahasiswa pada Mata kuliah Akuntansi di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UIN Malang. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
3
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
Dalam penelitian-penelitian terdahulu, menurut Izzah (2013) diperoleh bahwa terdapat perbedaan hasil belajar mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran tipe TAI (Team Assisted Individualization) dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran tipe Make A Match pada pembelajaran KKPI di sekolah kejuruan, dimana model pembelajaran tipe TAI (Team Assisted Individualization) lebih baik digunakan dalam pembelajaran KKPI di sekolah kejuruan tersebut dilihat dari rata-rata nilai posttest dan nilai gain. Model pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Model Pembelajaran Kooperatif tipeTAI (Team Assisted Individualization) danSTAD (Student Team Achievement Division). Model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) merupakan model pembelajaran yang membentuk kelompok kecil yang heterogen dengan latar belakang cara berfikir yang berbeda untuk saling membantu terhadap mahasiswa lain yang membutuhkan bantuan (Suyitno, 2007:9). Model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization atau Team Accelerated Instruction) yang diprakarsai oleh Robert Slavin ini merupakan perpaduan antara pembelajaran kooperatif dan pengajaran individual. Sedangkan Model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana yang membelajarkan mahasiswa bahwa kerjasama menghasilkan sikap dan perilaku yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap berhasil tidaknya kelompok tersebut dalam mencapai tujuan belajar. B. MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF Model pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja kelompok dalam memecahkan suatu masalah secara bersama-sama. Beberapa pendapat tentang model belajar kooperatif dikemukakan oleh Slavin (2009:107), “Belajar kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana peserta didik belajar dan bekerjasama dalam kelompok kecil saling membantu untuk mempelajari suatu materi.” Sedangkan Sunal dan Hans (Hartono, R., 2013:18)
4
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
mengemukakan, “Model kooperatif learning yaitu suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberikan dorongan kepada peserta didik agar bekerjasama selama berlangsungnya proses pembelajaran.” Selanjutnya Wardani S. (2006:7) menyatakan, “Cooperatif learning dapat meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial.” Demikian pula Tim MKPBM (2001:218) mengungkapkan, “Cooperatif Learning mencakupi suatu kelompok kecil peserta didik yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Model pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja kelompok dalam memecahkan suatu masalah secara bersama-sama. TIM MKPBM (2001:217) mengemukakan “model cooperative learning tampaknya akan lebih dapat melatih para peserta didik untuk mendengarkan pendapat orang lain dan merangkum pendapat atau temuan-temuan dalam bentuk tulisan.” Pembelajaran kooperatif ditunjukkan adanya kolaborasi antara beberapa pemikiran sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Slavin, R.E. (2009:8) “dalam model pembelajaran kooperatif akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. C. Student Teams Achievement Division (STAD) Model pembelajaran kooperatif dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan antara lain dengan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD). Pembelajaran kooperatif tipe STAD di kembangkan oleh Robert E. Slavin, di mana pembelajaran tersebut mengacu pada belajar kelompok peserta didik. Dalam satu kelas peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan anggota empat sampai lima orang, setiap kelompok haruslah heterogen. Jumlah peserta didik bekerja dalam kelompok harus dibatasi, agar kelompok yang terbentuk menjadi efektif, karena ukuran kelompok akan berpengaruh pada kemampuan kelompoknya. Ukuran kelompok yang ideal untuk pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah empat sampai lima orang.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
5
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
Wardani, S.(2006:5-7) menjelaskan bahwa secara garis besar tahaptahap pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut: 1) Tahap Penyajian Materi Pada tahap ini, guru mulai dengan menyampaikan tujuan pembelajaran umum dan khusus serta memotivasi rasa keingintahuan peserta didik mengenai topik/ materi yang akan dipelajari. Dilanjutkan dengan memberikan apersepsi yang bertujuan mengingatkan peserta didik terhadap materi prasyarat yang telah dipelajari agar peserta didik dapat menghubungkan materi yang akan diberikan dengan pengetahuan yang dimiliki. Teknik penyajian materi pelajaran dapat dilakukan dengan cara klasikal ataupun melalui diskusi. Mengenai lamanya presentasi dan berapa kali harus dipresentasikan bergantung kepada kekompleksan materi yang akan dibahas. 2) Tahap kerja Kelompok Pada tahap ini peserta didik diberikan lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok ini, peserta didik saling berbagi tugas dan saling membantu penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang akan dibahas dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok. 3) Tahap Tes Individual Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar yang akan dicapai diadakan tes secara individual mengenai materi yang telah dibahas, tes individual biasanya dilakukan setiap selesai pembelajaran setiap kali pertemuan, agar peserta didik dapat menunjukkan apa yang telah dipelajari secara individu selama bekerja dalam kelompok Skor perolehan individu ini dikumpulkan
6
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
dan diarsipkan untuk digunakan pada perhitungan perolehan skor kelompok. 4) Tahap Perhitungan Skor Perkembangan Individu Skor perkembangan individu dihitung berdasarkan skor awal. Perhitungan skor perkembangan individu dimaksudkan agar peserta didik terpacu untuk memperoleh prestasi terbaik sesuai dengan kemampuannya. D. Team Assisted Individualization (TAI) Model pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) merupakan suatu model koooperatif yang menitikberatkan pada proses belajar dalam kelompok, proses belajar dalam kelompok membantu mahasiswa dalam menentukan dan membangun sendiri pemahaman tentang materi pelajaran. Model pembelajaran kooperatif tipe TAI yang dikembangkan oleh Robert Slavin adalah salah satu model pembelajaran yang menggunakan kelompok yang heterogen yang terdiri dari 4 sampai 5 orang yang saling bekerja sama dalam kelompok-kelompok mereka untuk memecahkan masalah. Model pembelajaran kooperatif Team Assisted Individualization (TAI) merupakan salah satu dari model pembelajaran kooperatif yang dibentuk dari kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang heterogen dalam setiap kelompok dan diikuti dengan pemberian bantuan individu bagi peserta didik yang memerlukan. Menurut Slavin (2009: 101-104) model pembelajaran TAI memiliki 8 (delapan) komponen yaitu sebagai berikut: (1) Teams yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 sampai 5 mahasiswa. (2) Placement Test yaitu pemberian pre-test kepada mahasiswa atau melihat rata-rata nilai harian mahasiswa agar guru mengetahui kelemahan mahasiswa pada bidang tertentu. (3) Curriculum Materials yaitu mahasiswa bekerja secara individu tentang materi kurikulum penutup penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, perbandingan, persen, statistika, dan aljabar. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
7
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
4) Team Study yaitu tahapan tindakan belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok dan guru memberikan bantuan secara individu kepada mahasiswa yang membutuhkan bantuan secara individual kepada mahasiswa yang membutuhkannya. 5) Team Scores and Team Recognition yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan pemberian kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil dalam menyelesaikan tugas. 6) Teaching Group yakni pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok. 7) Fact Test yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh mahasiswa. 8) Whole-Class Units yaitu pemberian materi oleh guru kembali di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah. Ciri khas model pembelaran kooperatif tipe TAI menurut Slavin (2009: 105) adalah: 1) Setiap siswa secara individual mempelajari materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. 2) Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan dibahas oleh anggota kelompok. 3) Semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama. 4) Menitikberatkan pada keaktifan mahasiswa. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI adalah adanya bantuan individual dalam kelompok dengan karakteristik: (1) Tanggung jawab belajar adalah ada pada siswa; (2) Siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru; (3) Pola komunikasi guru adalah negoisasi dan bukan imposisiintruksi. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI adalah: (1) Siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalah; (2) Siswa diajarkan bagaimana bekerjasama dalam suatu kelompok;
8
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
(3) Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dalam keterampilannya; (4) Adanya rasa tanggung jawab dalm kelompok dalam menyelesaikan masalah; (5) Menghemat presentasi guru sehingga waktu pembelajaran lebih efektif. Sedangkan kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAIadalah: (1) Siswa yang kurang pandai secara tidak langsung akan menggantung pada siswa yang pandai; (2) Tidak ada persaingan antar kelompok; (3) Tidak semua materi dapat diterapkan pada metode ini; (4) Jika pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru kurang baik maka proses pembelajarannya juga berjalan kurang baik; (5) Adanya anggota kelompok yang pasif dan tidak mau berusaha serta hanya mengandalkan teman sekelompoknya. E.
Akuntansi
Pengertian akuntansi dalam Soemarso (1999 : 54) adalah : akuntansisebagai proses meng-identifikasi, mengukur dan melaporkan informasiekonomi, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelasdan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut. Definisi tersebut mengandung beberapa pengertian, yakni: (1) bahwa akuntansi merupakan proses yang terdiri dari identifikasi, pengukuran dan pelaporan informasi ekonomi; (2) bahwa informasi akuntansi ekonomi yang dihasilkan oleh akuntansidiharapkan barguna dalam penilaian dan pengambilan keputusan mengenai kesatuan usaha yang bersangkutan. Tujuan utama akuntansi adalah menyajikan informasi ekonomi darisuatu kesatuan ekonomi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Informasiekonomi yang dihasilkan oleh akuntansi berguna bagi pihakpihak di dalamperusahaan itu sendiri maupun pihak-pihak di luar perusahaan. Untuk menghasilkan informasi ekonomi, perusahaan perlu menciptakan suatu metode pencatatan, penggolongan, analisa dan pengendalian transaksi serta kegiatan-kegiatan keuangan, kemudian melaporkan hasilnya. Kegiatan akuntansi menurut Soemarso (1999 : 22) meliputi: (1) Pengidentifikasian dan pengukuran data yang J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
9
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
relevan untuk suatu pengambilan keputusan; (2) Pemrosesan data yang bersangkutan kemudian pelaporan infirmasi yang dihasilkan; (3) Pengkomunikasian informasi kepada pemakai informasi; (4) Pemakai informasi akuntansi. Kegiatan-kegiatan tersebut di atas merupakan suatu proses yang berulang-ulang sehingga membentuk siklus, yang biasa disebut dengan siklus akuntansi. Menurut Soemarso (1999 : 44) cakupan materi akuntansi terdiri dari : (1) Pemahaman konsep Materi akuntansi membahas mengenai konsep-konsep akuntansi mulai dari persamaan dasar akuntansi sampai tahap pelaporan keuangan. Pada pemahaman konsep ini siswa diharapkan mampu memahami konsep-konsep akuntansi secara keseluruhan sehingga pada tahap ini siswa belajar akuntansi hanya mencakup ranah kognitif dan afektif. (2) Vokasional Sedangkan kecakapan vokasional mencakup bagaimana menyajikandan membuat siklus akuntansi yang berbasis ranah psikomotorik sehingga siswa mampu mengaplikasikan konsep akuntansi. Pada pemahaman konsep-konsep akuntansi siswa diharapkan mampu memahami konsep-konsep tersebut secara keseluruhan karena kegiatan-kegiatan akuntansi merupakan suatu proses yang sistematis dan berulang-ulang, sehingga siswa harus mampu menyajikan dan membuat siklus akuntansi dengan teliti dan benar. F.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar mahasiswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) dan STAD (Student Team Achievement Division) pada mata kuliah akuntansi di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Tarbiyah UIN Malang. Metode yang
10
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
digunakan dalam penelitian ini merupakan metode eksperimen. Metode eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono 2012:72). Metode eksperimen ini menggunakan desain pre-test dan post-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen adalah kelas yang proses pembelajarannya menggunakan TAI (Team Assisted Individualization), sedangkan kelas kontrol adalah kelas yang proses pembelajarannya menggunakan model pembelajaran STAD (Student Team Achievement Division). Perlakuan yang diberikan pada kedua kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol) adalah sama dari segi tujuan dan materi yang diajarkan, perbedaannya terletak pada pengunaan model pembelajaran, yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan STADpada kelas yang berbeda pada pokok bahasan yang sama. Tahap awal penelitian dimulai dengan mengadakan observasi kelas untuk mendapatkan sasaran penelitian dan membuktikan bahwa kondisi subjek memungkinkan untuk dilakukan penelitian. Kelas yang akan dijadikan subjek penelitian (kelas eksperimen dan kelas kontrol) adalah kelas yang memiliki kemampuan awal yang sama. Tahap kedua, pemberian pre-test untuk mengetahui seberapa besar kemampuan mahasiswa pada saat awal pembelajaran, setelah itu melakukan eksperimen dengan memberikan perlakuan pada kelas eksperimen berupa model pembelajaran kooperatif tipeTAI dan pada kelas kontrol berupa model pembelajaran STAD. Pada tahap akhir diadakan post-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui perbedaan hasil belajar mahasiswa di akhir penelitian. Perbedaan yang signifikan antara kedua hasil tes akhir (post-test) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan adanya perbedaan perlakuan yang diberikan. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa kelas A dan B Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Tarbiyah UIN Malang tahun ajaran 2013/ 2014. Sampel pada penelitian ini terdiri dari dua kelas yaitu Semester I kelas A sebagai kelas eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI, mahasiswa semester I kelasB sebagai kelas kontrol dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
11
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
Instrumen penelitian yang digunakan instrumen perlakuan dan instrumen pengukuran. Instrumen perlakuan meliputi Silabus, Handout, dan Lembar Diskusi Mahasiswa. Sedangkan instrumen pengukuran berbentuk tes objektif atau pilihan ganda. Tes pilihan ganda yang digunakan untuk pretest dan posttest adalah sebanyak 30 soal. Sebelum instrumen digunakan untuk mengukur tingkat prestasi belajar mahasiswa dilakukan uji coba yang meliputi uji validitas isi, uji validitas butir soal, uji reliabilitas, uji tingkat kesukaran butir soal, dan daya beda butir soal. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji normalitas, uji homogenitas, uji kesamaan dua rata-rata dan uji hipotesis menggunakan uji t, dengan bantuan program SPSS 16.0. G. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Belajar Mahasiswa dengan Model TAI Kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) memperoleh nilai rata-rata hasil belajar ranah kognitif sebesar 76,53 dan nilai rata-rata hasil belajar ranah psikomotor sebesar 85,74. Hasil belajar mahasiswa didapatkan dari nilai kognitif melalui post test dan observasi psikomotor saat kegiatan penyusunan laporankeuangan. Berdasarkan data rata-rata hasil belajar dapat diketahui nilai rata-rata hasil belajar kognitif dan psikomotor kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih tinggi dari kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAI terbukti dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada ranah kognitif karena menunjukkan kenaikan nilai rata-rata hasil belajar jika dibandingkan dengan nilai rata-rata pretest yang dilakukan sebelumnya. Peningkatan tersebut terjadi karena pada kelas yang menggunakan model TAI meskipun tugas dikerjakan secara bekelompok, tetapi masingmasing anggota kelompok tetap memiliki tanggung jawab sendirisendiri atas tugas yang dikerjakan sehingga ketergantungan terhadap mahasiswa yang pandai dan rajin dapat diminimalisir. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini memotivasi mahasiswa untuk 12
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
saling membantu anggota kelompoknya sehingga tercipta kompetisi individu tanpa mengorbankan aspek kooperatif. Slavin berpendapat bahwa mahasiswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan teman-temannya. Mahasiswa juga akan bekerja sama dalam kelompok belajar dan bertanggung jawab terhadap pembelajaran teman sekelasnya serta bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri. Dalam kelompok dengan kemampuan heterogen, mahasiswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang membantu satu sama lain serta melatih mahasiswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latarbelakangnya (Wenno, 2008 : 57-58). Kemampuan pada ranah psikomotor padaaspek ini dinilai sesuai dengan indikator-indikator pada akuntansi. Nilai rata-rata ranah psikomotor pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada nilai ratarata ranah kognitifnya disebabkan karena mahasiswa pada Jurusan Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial lebih tertarik terhadap pelajaran yang bersifat praktek daripada teori. Mahasiswa pada kelas eksperimen dengan menggunakan model TAI menyusun laporan keuangan secara individu berdasarkan bagiannya masing-masing dalam kelompok. Penerapan model TAI ini menunjukkan pencapaian hasil belajar ranah psikomotor yang baik karena mahasiswa yang mengalami kesulitan mendapatkan bantuan teman atau dosen serta mempunyai pengalaman pembelajaran akuntansi secara individu. Berdasarkan hasil pengamatan ketika pembelajaran kelompok berlangsung, pada model pembelajaran TAI mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas secara individu daripada berdiskusi. Mahasiswa merasa bahwa keberhasilan kelompok ditentukan oleh masing-masing anggota untuk menyelesaikan tugas yang diberikan sehingga setiap individu di dalam kelompok berusaha menyelesaikan tanggung jawabnya masing-masing agar kelompoknya berhasil menjadi kelompok yang terbaik.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
13
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
H. Hasil Belajar Mahasiswa dengan Model STAD Kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division) memperoleh nilai rata-rata hasil belajar ranah kognitif sebesar 73,22 dan nilai rata-rata hasil belajar ranah psikomotor sebesar 82,23 Model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dimana mahasiswa dibentuk ke dalam kelompok belajar yang terdiri dari 4 mahasiswa dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah serta memiliki jenis kelamin yang berbeda. Model STAD dapat meningkatkan kinerja mahasiswa agar mahasiswa dapat menerima teman-temannya yang berbeda latar belakang serta untuk mengembangkan keterampilan sosial. Pada Kurikulum 2013, aspek sosial merupakan salah satu kompetensi inti yang harus dikuasai mahasiswa. Inti dari model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini adalah bahwa dosen menyampaikan materi, kemudian mahasiswa bergabung dalam kelompoknya yang terdiri atas 4 sampai 5 orang untuk menyelesaikan soalsoal yang diberikan oleh dosen, pemberian tes hasil belajar, perhitungan nilai perkembangan individu, serta penghargaan kelompok. Hasil belajar mahasiswa didapatkan dari nilai rata-rata hasil belajar kognitif melalui posttest dan observasi psikomotor saat kegiatan praktikum. Berdasarkan data nilai rata-rata hasil belajar dapat diketahui nilai rata-rata posttest dan psikomotor kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD menunjukkan pencapaian yang lebih rendah dari kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI. Walaupun demikian, rata-rata nilai kognitif kelas yang menggunakan model STAD menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan nilai rata-rata pada pretest yang telah dilakukan sebelumnya, namun peningkatan tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan nilai rata-rata hasil belajar ranah kognitif pada kelas TAI. Hal tersebut terjadi karena ketika pembelajaran kelompok dilakukan mereka pada beberapa kelompok ditemukan mahasiswa yang kurang bersungguhsungguh dan bergantung pada teman yang pandai di kelompoknya
14
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
sehingga ketika penilaian individu dilakukan pencapaian hasil belajar kognitif yang mereka dapatkan rendah dan mempengaruhi nilai ratarata kelas secara keseluruhan. Rata-rata nilai hasil belajar psikomotor pada kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD cukup baik meskipun masih berada di bawah kelas eksperimen. Nilai yang diperoleh kelas kontrol lebih rendah dari kelas eksperimen karena pada kegiatan praktikum dalam kegiatan praktikum kelompok mahasiswa yang pandai terlihat lebih mendominasi kegiatan praktikum. Mahasiswa yang memiliki pemahaman rendah menjadi pasif hanya memperhatikan langkahlangkah penyusunan laporan keuangan yang dilakukan temannya tanpa mencoba mempraktekkan langsung, sehingga ketika dilakukan penilaian individu mereka melakukan beberapa kesalahan. Penggunaan model pembelajaran STAD terbukti dapat meningkatkan nilai rata-rata hasil belajar mahasiswa meskipun tidak sebaik model TAI. Meskipun terbukti dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa namun selama menggunakan model ini sebagian besar mahasiswa di dalam kelompoknya terlihat masih bergantung terhadap mahasiswa yang pandai dan rajin dalam pengerjaan tugas kelompok. Dengan demikian, hanya mahasiswa yang benar-benar mengerjakan tugas yang memiliki pemahaman tinggi terhadap materi diskusi. Meskipun hasil belajar kognitif yang didapatkan lebih rendah dari kelas eksperimen yang menggunakan model TAI, pada kelas dengan model STAD aspek sosial terlihat lebih baik dari kelas TAI. Pada kelas yang menggunakan model STAD interaksi sosial mereka tampak pada kegiatan diskusi ditandai dengan adanya sikap saling menghargai hasil pemikiran atau pendapat mahasiswa satu dengan yang lainnya serta saling bekerjasama agar kelompoknya dapat menjadi kelompok yang terbaik. I.
Perbedaan Hasil Belajar Mahasiswa Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif TAI dan STAD
Terdapat bermacam-macam jenis pembelajaran kooperatif, diantaranya adalah TAI (Team Assisted Individualization) dan STAD (Student Team Achievemen Division). Meskipun keduanya sama-sama merupakan
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
15
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
model pembelajaran kooperatif, keduanya memiliki perbedaan pada konsep dan tahapan-tahapan pembelajarannya. Model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih menekankan kepada tanggung jawab individu dalam pembelajaran kelompok, sedangkan STAD adalah pembelajaran kooperatif yang paling sederhana yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara mahasiswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran. Oleh karena itu, tahapan-tahapan pada pembelajaran model TAI lebih kompleks dan pada tahapan pembelajaran kelompok mahasiswa diberikan tanggung jawab dan mendapatkan bantuan secara individu. Pada model STAD, karena merupakan model kooperatif yang paling sederhana, pada tahapan pembelajaran kelompok mahasiswa mendiskusikan masalah yang dihadapi, membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi secara bersama-sama. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis menggunakan uji t, perbedaan nilai rata-rata hasil belajar mahasiswa kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan kelas yang menggunakan tipe STAD pada ranah kognitif tidak terlalu signifikan, namun model pembelajaran TAI menunjukkan hasil yang lebih baik daripada model pembelajaran STAD. Perbedaan yang signifikan terjadi pada nilai ratarata hasil belajar ranah psikomotor antara kedua kelas tersebut, dimana model pembelajaran TAI menunjukkan nilai rata-rata yang lebih baik daripada model pembelajaran STAD. Perbedaan pada nilai rata-rata hasil belajar ranah kognitif mahasiswa pada kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan STAD yang tidak terlalu signifikan disebabkan karena pada dasarnya kedua model pembelajaran yang digunakan samasama model pembelajaran kooperatif dengan pengelompokan heterogen yaitu berdasarkan kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang yang berbeda serta memiliki tahapan-tahapan di dalam pelaksanaan kegiatan pembelajarannya yang hampir sama. Selain itu, karena kedua kelas sampel memiliki kemampuan awal yang sama maka ketika keduanya diberi perlakuan berupa model pembelajaran kooperatif dengan tipe yang berbeda hasil yang dicapai juga akan berbeda walaupun perbedaan yang terjadi tidak terlalu signifikan. 16
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
Faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil dari pengujian hipotesis tersebut juga dapat berasal dari mahasiswa sendiri, misalnya dari kondisi fisik dan psikologis mahasiswa saat mengikuti kuliah. Kuliah 3 SKS denganwaktu 2,5 jam pada jam 09.00-11.20, terlihat membuat mahasiswa kelelahan, apalagi ketika sudah mendekati waktu sholat dhuhur, sebagian mahasiswa terlihat gelisah untuk cepat pulang. Selain itu, juga dari minat mahasiswa jurusan PIPS, yang rata-rata tidak menyukai mata kuliah yang melibatkan angka dan perhitungan, seperti akuntansi, ekonomi mikro, matematika. Meskipun pada hasil belajar ranah kognitif dan afektif t perbedaan antara kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan STAD tidak terlalu signifikan, namun pada hasil belajar ranah psikomotor hasil perhitungan uji t menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelas tersebut. Nilai rata-rata hasil belajar ranah psikomotor dari kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih tinggi dari kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Adanya perbedaan yang signifikan tersebut dikarenakan pada model pembelajaran TAI mahasiswa lebih bersemangat dan termotivasi ketika diharuskan memiliki pengalaman praktek individual tanpa mengorbankan aspek kooperatif. Kelompok-kelompok pada kelas yang mengunakan model pembelajaran tipe TAI setiap anggotanya memiliki tanggung jawab individu dalam menguasai materi sehingga dalam kegiatan praktikumnya mereka menjadi lebih aktif mencoba dan melatih keterampilan mereka dalam penyusunan laporan keuangan secara manual. Sehingga ketika dilakukan penilaian individu, sebagian besar mahasiswa sudah cukup terampil dalam melakukan praktek akutansi, dalam penyusunan laporan keuangan. Pada pembelajaran menggunakan model TAI setiap anggota kelompok bertanggung jawab secara individu terhadap unit-unit bahan ajar sehingga masing-masing anggota sangat memperhatikan kegiatan praktek satu sama lain. Selain itu dosen memberikan bantuan kepada individu yang merasa kurang paham sehingga kesulitan-kesulitan yang muncul dapat diatasi.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
17
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran praktikum dengan menggunakan model STAD meskipun kerjasama dalam kelompok sudah terlihat namun masih ditemukan anggota-anggota kelompok yang bergantung dan mengandalkan temannya yang pandai sehingga ketika penilaian dilakukan hanya mahasiswa yang pandailah yang terampil dalam melakukan praktekakutansi. Anggota kelompok lainnya yang pasif dan memperoleh pengetahuan melalui pengamatan saja akan menemui kesulitan ketika harus melakukan praktek sendiri sehingga mempengaruhi penilaian ranah psikomotornya. Meskipun demikian, baik TAI maupun STAD keduanya sama-sama dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor mahasiswa kelas A dan B semester I Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dari rata-rata nilai hasil belajar terbukti bahwa mahasiswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI memiliki hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran tipe STAD. J. Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI memperoleh nilai rata-rata hasil belajar ranah kognitif sebesar 76,53 dan nilai ratarata hasil belajar ranah psikomotor sebesar 85,74. Nilai rata-rata hasil belajar pada kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih tinggi daripada nilai rata-rata hasil belajar pada kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD memperoleh nilai rata-rata hasil belajar ranah kognitif sebesar 73,22 dan nilai rata-rata hasil belajar ranah psikomotor sebesar 82,23. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata hasil belajar pada ranah kognitif antara kelas ekperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran
18
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
kooperatif tipe STAD, namun kelas yang menggunakan model TAI memperoleh nilai rata-rata hasil belajar yang lebih baik daripada kelas yang menggunakan model STAD. Terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata hasil belajar ranah psikomotor antara kelas ekperimen yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dimana nilai rata-rata hasil belajar psikomotor pada kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif lebih tinggi daripada nilai rata-rata hasil belajar psikomotor pada kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat disampaikan adalah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) dapat digunakan sebagai alternatif model pembelajaran yang efektif untuk meningkatan hasil belajar mahasiswa terutama pada ranah psikomotor pada kegiatan pembelajaran akuntansi. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih dapat meningkatkan aspek sosial walaupun pencapaian ranah kognitifnya sedikit lebih rendah dari model pembelajaran kooperatif tipe TAI. Penerapan model pembelajaran kooperatif dapat dilakukan pada kegiatan pembelajaran selanjutnya karena sudah terbukti dapat membantu mahasiswa menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, saling membantu, dan bekerja sama dengan baik namun ketika menerapkan model pembelajaran kooperatif, tahapan-tahapan kegiatan pembelajarannya harus benar-benar dilaksanakan agar hasil yang diperoleh nantinya dapat maksimal.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
19
Kusuma Dyah Dewi - Studi Komparatif Model Pembelajaran Kooperatrif Tipe TAI...
DAFTAR PUSTAKA Hartono, Rudi. (2013). Ragam Model Mengajar yang Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: Diva Press. Izzah, N. (2013). Perbedaan Hasil Belajar Siwa Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) Dengan Tipe Make A Match PadaMata Pelajaran KKPI Di SMKNegeri 1 Pandak. Universitas Negeri Yogyakarta. http://journal.student.uny.ac.id/jurnal/download/54/359/3206/pdf (diakses 9 September 2013) Slavin, RobertE. (2009). Cooperative Learning, Teori Riset dan Praktek. Bandung: Nusamedia. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Soemarso. S.R (1999). Akuntansi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta Suyitno, A. (2007). Mengadopsi Model Pembelajaran TAI (Team AssistedIndividualization) dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Matematika. Semarang: Seminar Nasional. Tim MKPBM.( 2001). Strategi Pembelajaran Kontekstual. Bandung: Penerbit JICA-Universitas Pendidikan Indonesia Wardani S. (2006). Mengadopsi Model Pembelajaran TAI (Team AssistedIndividualization) dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Matematika. Semarang: Seminar Nasional. Wenno I.H, (2008). Strategi Belajar Mengajar Berbasis Kontekstual. Yogyakarta: Penerbit Inti Media.
20
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
PENGEMBANGAN MULTIMEDIA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI SMA KELAS X SEMESTER II UNTUK TOPIK HIDROSFER Ninja Panju Purwita1 Abstract Issues relating to the use of media in teaching the availability and use of multimedia. Availability media is lacking, so the teacher used the media to its full potential yet. Optimal utilization of the media yet, teachers still use textbooks in class lessons. For hydrosphere topics, such as lakes and wetlands, need not be defined, but by showing an example image of the object directly, therefore, to recognize and understand these natural objects. The purpose of this study produce multimedia for subjects high school geography class X semester (hydrosphere). This product is intended to assist students in learning geography. This product is made in a CD (compact disk) learning. This study is designed to be eight stages are: analysis of the material, media design, media production, product validation by matter experts and media experts, confirmations, product revision, product testing, and product revision. Advice in the development consists of the use and development of advanced products. To use the product, it is suggested teachers can use multimedia in geography learning displayed by the LCD to display larger.
Keywords: Multimedia, Hydrosphere Multimedia Developing A. Latar Belakang Media digunakan sebagai sarana untuk mempermudah menyampaikan bahan ajar. Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan informasi, pembuatan maupun penggunaan media bisa lebih mudah karena dibantu dengan komputer yang bisa mengintegrasikan teks, gambar, suara maupun video dalam menampilkan media yang 1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144
21
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
bisa digunakan sebagai alat bantu pembelajaran. Pembelajaran geografi saat ini, khususnya topik hidrosfer perlu memanfaatkan teknologi komputer untuk membuat dan mempresentasikan media pembelajaran, termasuk multimedia. Menurut Handoyo (2003) ”multimedia merupakan penyajian informasi yang berupa teks, gambar, dan suara secara bersama (integrated) sehingga menjadi efektif dan efisien”. Multimedia yang dikembangkan memadukan antara teks, gambar, animasi, suara secara bersamaan. Sebelum pembuatan multimedia, dilakukan analisis materi hidrosfer. Analisis materi geografi hidrosfer masih ditemukan ketidaksesuaian. Analisis materi yang dilakukan pengembang menemukan bahwa wilayah terjadinya siklus panjang bukan di daerah gunung es atau salju, melainkan di wilayah yang sangat jauh di tengah benua. Wilayah terjadinya siklus air perlu ditambahkan peta. Analisis materi untuk topik hidrosfer dilakukan pada buku geografi SMA kelas X. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diketahui bahwa materi hidrosfer kelas X SMA semester II memuat banyak konsep kongkrit. Oleh karena itu, diperlukan multimedia yang sesuai dengan keilmuan geografi. C. Tujuan Pengembangan Tujuan pengembangan ini menghasilkan produk multimedia untuk mata pelajaran geografi SMA kelas X semester II (hidrosfer) dengan desain pengembangan model ADDIE. D. Kajian Pustaka 1.
Pengembangan Multimedia
Pengembangan multimedia dilakukan dengan cara memproduksi media yang digunakan dalam pembelajaran untuk mempermudah siswa dalam memahami materi. Pembuatan animasi dalam multimedia membantu siswa memahami materi yang abstrak, misalnya siklus air. Arsyad (2006:103) mengemukakan beberapa pengembangan media, 22
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
yaitu: (1) pengembangan media berbasis visual, (2) media berbasis audio visual, (3) pengembangan berbasis komputer, dan (4) pengembangan multimedia berbasis komputer dan interaktif video. Pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu memadukan antara media visual, audio dan animasi dengan menggunakan program adobe flash CS3. Pengembangan multimedia ini berguna dalam lingkup geografi. Multimedia berfungsi untuk memudahkan siswa memahami materi dalam pembelajaran geografi. Adanya multimedia diharapkan membantu pengoptimalan pembelajaran dan sebagai alternatif media untuk topik hidrosfer. 2. Multimedia Salah satu media pembelajaran yang berkembang pada saat ini adalah multimedia berbasis komputer. Menurut Heinich (dalam Pribadi, 2001:36) ”multimedia berbasis komputer adalah penggabungan teknologi komputer dengan berbagai sumber materi baik dalam bentuk teks, gambar, animasi, dan suara yang ditampilkan melalui layar komputer”. Teknologi komputer memungkinkan konfigurasi bentuk penyajian dalam sebuah multimedia memunculkan penamaan yang berbeda misalnya hipermedia, video interaktif, CD-ROM, digital video interaktif, dan virtual reality. Bentuk multimedia dalam pengembangan ini memadukan teks, gambar, suara, animasi dan rekaman video yang disajikan dengan menggunakan teknologi komputer. Menurut Ariani, (2010:45) ”aspek komunikasi visual dalam multimedia bersifat komunikatif, kreatif, sederhana dan memikat”. Pengembangan multimedia yang akan dikembangkan menggunakan media animasi yang sederhana, tetapi menarik dan bersifat kreatif. Pengguna multimedia tidak hanya dapat melihat dan mendengar, tetapi juga dapat memberikan tanggapan (Heinich dalam Pribadi, 2001:37). Melalui interaksi fisik dan penggunaan kemampuan berpikir yang terjadi antara pengguna dengan media ini akan berdampak langsung pada tempo, kecepatan, serta urutan penyajian materinya.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
23
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
3.
Pengembangan Multimedia untuk Pembelajaran Model ADDIE
Desain sistem pembelajaran memiliki keunikan dan langkahlangkah tertentu. Komponen-komponen yang terdapat di dalam desain pembelajaran biasanya digambarkan dalam bentuk model yang dipresentasikan dalam bentuk bagan atau diagram alir. Seorang perancang program pembelajaran harus mampu memilih desain yang sesuai dengan situasi dan kondisi permasalahan yang ada. Untuk itu, diperlukan adanya pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang model-model desain sistem pembelajaran dan cara mengimplementasikannya. 1.
ADDIE Berdasarkan beberapa model di atas, riset ini menggunakan model ADDIE. Alasan menggunakan model ADDIE karena memiliki beberapa kelebihan, antara lain: a.
Dapat memberikan kesempatan untuk melakukan evaluasi dalam setiap fase
b.
Merupakan model desain sistem pembelajaran yang sederhana dan mudah untuk dipelajari.
c.
Implementasinya dilakukan secara sistematik.
Penggunaan desain pengembangan ADDIE ini dimodifikasi menjadi delapan langkah. Modifikasi desain model ini disebabkan beberapa langkah Model ADDIE perlu penambahan tiga tahap. Terdapat beberapa alasan yang membuat langkah model ADDIE dimodifikasi menjadi delapan tahapan. Adapun alasan tersebut antara lain:
24
a.
Pengembangan produk media mata pelajaran geografi perlu ditambahkan tahap validasi produk. Tahap ini dilakukan oleh ahli materi dan ahli media. Tahap ini penting karena sebelum diuji cobakan, perlu diberikan masukkan terhadap media.
b.
Setelah validasi, perlu ditambahkan tahap konfirmasi. Tujuannya, untuk memberikan saran dan kritik terhadap media. Saran dan kritik dari ahli materi dan ahli media berguna untuk perbaikan media.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
c.
Tahap yang perlu ditambahkan yaitu revisi produk. Tahap ini dilakukan untuk memperbaiki produk media menjadi lebih baik. Revisi produk dilakukan dua kali yaitu pada tahap enam dan delapan.
4. Tujuan Pengembangan Multimedia dalam Bidang Geografi Multimedia dapat dijadikan sebagai sarana yang digunakan dalam pembelajaran. Multimedia dapat mempermudah guru dalam menyampaikan materi pelajaran agar siswa menjadi jelas dan lebih paham. Sadiman, (2002:16) ”media mempunyai kegunaan sebagai berikut: (1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis, (2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, (3) dapat mengatasi sifat pasif siswa, (4) mempermudah guru dalam menyampaikan isi materi pelajaran”. Multimedia yang dikembangkan mengintegrasikan antara teks, gambar dan suara secara bersamaan sehingga dapat mengatasi keterbatasan ruang. E. Desain Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation and Evaluation). Model ini dimodifikasi dari lima tahap menjadi delapan tahap. Beberapa modifikasi model ADDIE dilakukan sebab ada tahapan yang perlu ditambahkan untuk pengembangan multimedia, yakni validasi produk oleh ahli materi dan ahli media, konfirmasi dan revisi produk. Molenda (2003:2) mengemukakan tahapan-tahapan dalam model ADDIE yaitu: Analysis: The process of defining what is to be learned, Design: The process of specifing how learning will occur, Development: The process of authoring and producing the materials, Implementation: The process of installing the instruction in the real world, Evaluation: The process of determining the impact of instruction. Berdasarkan tahapan di atas, dapat dijelaskan bahwa model ADDIE dimulai dengan tahap analisis yaitu suatu proses untuk menjelaskan apa
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
25
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
yang akan dipelajari. Tahap desain yaitu menggambarkan spesifikasi yang akan dipelajari. Tahap produksi yaitu cara untuk memproduksi sesuai materi yang telah dikumpulkan. Tahap penerapan yaitu melakukan praktek langsung sesuai dengan kenyataan. Tahap penilaian yaitu memberikan tanggapan yang berupa saran dan kritik terhadap penerapan yang telah dilakukan agar menjadi lebih baik. Penggunaan desain pengembangan ADDIE ini dimodifikasi menjadi delapan langkah. Modifikasi desain model ini disebabkan beberapa langkah model ADDIE perlu penambahan tiga tahap. Terdapat beberapa alasan yang membuat langkah model ADDIE dimodifikasi menjadi delapan tahapan. Adapun alasan tersebut antara lain: 1.
Pengembangan produk media mata pelajaran geografi perlu ditambahkan tahap validasi produk. Tahap ini dilakukan oleh ahli materi dan ahli media. Tahap ini penting karena sebelum diuji cobakan, perlu diberikan masukkan terhadap media.
2.
Setelah validasi, perlu ditambahkan tahap konfirmasi. Tujuannya, untuk memberikan saran dan kritik terhadap media. Saran dan kritik dari ahli materi dan ahli media berguna untuk perbaikan media.
3.
Tahap yang perlu ditambahkan yaitu revisi produk. Tahap ini dilakukan untuk memperbaiki produk media menjadi lebih baik. Revisi produk dilakukan dua kali yaitu pada tahap enam dan delapan.
Tahapan pengembangan model ADDIE yang dimodifikasi sebagai berikut: 1.
Analisis materi Tahapan pertama yang dilakukan yaitu analisis materi. Pelaksanaan analisis materi ini dilakukan untuk memilih sub materi hidrosfer yang sesuai untuk dibuat dalam pengembangan multimedia. Hidrosfer merupakan materi yang sesuai karena terdapat beberapa konsep kongkrit.
26
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
2.
Desain Media Tahap pertama yaitu membuat animasi untuk topik hidrosfer yang sesuai dengan pengembangan multimedia. Tahap selanjutnya membuat sinopsis tentang isi materi untuk multimedia. Tahap berikutnya membuat storyboard tentang tabel isi multimedia.
3.
Produksi Media Tahap dalam produksi media ada empat. Pertama, membuat video simulasi penguapan air. Kedua, mengambil foto di laut sebagai dokumentasi. Ketiga, mencari gambar di internet tentang daerah aliran sungai (DAS), danau dan rawa. Keempat, membuat animasi tentang siklus air dan bagian alur sungai.
4.
Validasi Validasi produk dilakukan oleh dua dosen ahli. Validasi media dilakukan oleh dosen ahli media dan validasi materi dilakukan oleh dosen ahli materi. Validasi dilakukan dengan menggunakan lembar validasi media dan lembar validasi materi.
5.
Konfirmasi Pada tahap ini, memberikan konfirmasi terhadap media pembelajaran. Konfirmasi terhadap media dilakukan untuk memberikan tanggapan yang berupa saran dan kritik. Konfirmasi diberikan untuk perbaikan produk.
6.
Revisi Produk Revisi produk yang pertama dilakukan sebelum uji coba. Pada tahap ini, media diperbaiki sesuai dengan saran dan kritik dari ahli materi dan ahli media. Revisi produk dilakukan untuk melengkapi materi yang kurang dan memperbaiki kesalahan dalam pembuatan media.
7.
Uji Coba Produk Uji coba bertujuan untuk mengetahui kelayakan produk. Uji coba ini dilakukan pada siswa SMA kelas X. Uji coba dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap pertama pada kelas X-6 dan X-7 SMA Negeri 3 Malang. Tahap kedua pada kelas X-8 SMA Negeri 3 dan X-6 SMA Negeri 7 Malang. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
27
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
8.
Revisi Produk Revisi produk yang kedua dilakukan setelah uji coba. Pada tahap ini, media diperbaiki sesuai dengan saran dan kritik yang diberikan oleh ahli materi dan ahli media. Revisi produk dilakukan untuk memperbaiki media agar menjadi lebih baik.
F.
Uji Coba Produk
1.
Desain Uji Coba
Kegiatan uji coba produk pengembangan ini dilakukan dengan beberapa tahap: a.
Review oleh ahli materi/isi dalam hal ini adalah dosen bidang hidrosfer.
b.
Review ahli media pembelajaran dalam hal ini adalah dosen bidang media geografi untuk topik hidrosfer.
c.
Uji coba produk dilakukan pada siswa SMA kelas X
2. Subjek Uji Coba Subjek uji coba yaitu siswa kelas X SMA Negeri 3 Malang dan siswa kelas X SMA Negeri 7 Malang. Uji coba ini untuk memperoleh tanggapan atau persepsi dari siswa mengenai kelayakan multimedia. 3. Jenis Data Jenis data yang diperoleh berdasarkan uji coba media pembelajaran berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari angket dan tes yang disebarkan kepada subjek uji coba, sedangkan data kualitatif berupa tanggapan dan saran-saran perbaikan yang diperoleh dari ahli materi dan ahli media. 4. Instrumen Pengumpulan Data Untuk memperoleh sejumlah data yang diharapkan, digunakan instrumen pengumpul data yang berupa angket dan tes. Angket 28
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
yang digunakan dalam pengumpulan data berisi pertanyaan dan indikator. Tes dilakukan untuk menggambarkan pemahaman siswa mengenai multimedia untuk topik hidrosfer. Tes terdiri dari sepuluh pertanyaan. 5. Teknik Analisis Data a. Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mengolah data review ahli media dan ahli materi. Teknik analisis ini dilakukan dengan mengelompokkan informasi dari data kualitatif yang berupa tanggapan, kritik atau saran perbaikan yang terdapat pada lembar validasi. Analisis data dijadikan acuan untuk memperbaiki atau merevisi produk pengembangan multimedia. b. Analisis Deskriptif Kuantitatif Untuk menganalisis data yang terkumpul dari angket, maka digunakan analisis deskriptif kuantitatif. Data dari angket akan dianalisis untuk mendapatkan gambaran tentang media pembelajaran yang dikembangkan. Setelah angket terkumpul, maka akan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Rumus yang digunakan untuk mengolah masing-masing item:
x
P=
x 100%
xi Rumus yang digunakan untuk pengolahan data keseluruhan: Keterangan: P=
∑x x100% ∑ xi
P
= Persentase
x
= Jumlah skor jawaban responden dalam satu item
xi
= Jumlah skor ideal dalam satu item
∑x = Total jumlah skor jawaban responden ∑xi = Total jumlah skor ideal 100 = Konstanta
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
29
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
Pemberian makna dan pengambilan keputusan tentang kualitas produk multimedia akan menggunakan konversi tingkat pencapaian dengan skala seperti tabel berikut: Tabel 3.2 Pengambilan keputusan revisi multimedia Tingkat pencapaian 90%-100% 75%-89% 65%-74% 55%-64% 0%-54%
Kualifikasi Sangat baik Baik Cukup baik Kurang Jelek
Keterangan tidak perlu revisi tidak perlu revisi perlu revisi perlu revisi perlu revisi
(Sumber: Ramansyah, 2010:83 dengan modifikasi)
G. Analisis Data Hasil analisis uji coba terdiri angket siswa dan tes. Berikut ini, grafik perbandingan hasil angket tahap 1 dan tahap 2:
Grafik Perbandingan Frekuensi Hasil Angket Grafik di atas menunjukkan bahwa persentase uji coba produk kelas X-8 SMA Negeri 3 Malang memperoleh hasil tertinggi. Hasil angket siswa tahap pertama, yaitu kelas X-6 dengan persentase 69% dari total seluruhnya dan X-7 dengan persentase 73% dari total seluruhnya. Selain hasil pengisian angket, siswa juga memberikan saran dan kritik pada multimedia hidrosfer. Beberapa saran dan kritik dari siswa disebutkan bahwa tayangan multimedia hidrosfer perlu diberi penjelasan yang
30
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
lebih detail. Selain itu, perlu ditambahkan contoh gambar yang lebih menarik agar siswa mendapatkan pengetahuan yang baru. Multimedia perlu diperbaiki agar siswa lebih semangat belajar geografi. Hasil angket siswa tahap kedua, yaitu X-8 SMA 3 dengan persentase 85% dari total seluruhnya dan kelas X-6 SMA 7 dengan persentase 84% dari total seluruhnya. Selain hasil pengisian angket, siswa juga memberikan saran dan kritik pada multimedia hidrosfer. Beberapa saran dan kritik dari siswa disebutkan bahwa tayangan multimedia hidrosfer perlu diberi permainan agar siswa lebih semangat belajar geografi. Selain itu, suara dalam video penguapan perlu diperbaiki agar lebih jelas. Objek gambar perlu diperbaiki menjadi lebih besar lagi agar siswa yang dibelakang dapat melihat dengan jelas. Hasil uji coba juga diperoleh dari tes. Berikut ini, grafik perbandingan hasil tes tahap 1 dan tahap 2:
Grafik Perbandingan Frekuensi Hasil Tes Grafik di atas menunjukkan bahwa persentase tes kelas X-8 SMA Negeri 3 Malang memperoleh hasil tertinggi. X-6. Hasil tes siswa tahap pertama, yaitu kelas X-6 dengan persentase 64% dari total seluruhnya dan X-7 dengan persentase 74% dari total seluruhnya. Tes yang dilaksanakan pada tahap pertama belum maksimal. Hal ini disebabkan siswa melihat tayangan media di luar kelas tanpa LCD. Siswa masih bingung dengan penjelasan materi pada multimedia karena terbatasnya alat yang digunakan sehingga siswa tidak bisa konsentrasi belajar.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
31
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
Hasil tes siswa tahap kedua, yaitu kelas X-8 SMA Negeri 3 Malang dengan persentase 81% dari total seluruhnya dan X-6 SMA Negeri 7 Malang dengan persentase 76% dari total seluruhnya. Tes yang dilaksanakan pada tahap kedua sudah maksimal. Hal ini disebabkan siswa melihat tayangan media dengan LCD. Siswa memperhatikan penjelasan materi dengan sungguh-sungguh. Siswa mendapat pengalaman baru dalam belajar karena untuk pelajaran geografi masih jarang yang menggunakan multimedia. H. Revisi Produk Berdasarkan rekapitulasi validasi oleh ahli materi hidrosfer dan ahli media terdapat beberapa bagian dari produk yang perlu direvisi. Validasi ahli materi hidrosfer memberikan saran dan masukan bagian produk yang direvisi yaitu pada animasi siklus pendek, penulisan H2O yang salah, seharusnya ditulis H 2 O , animasi presipitasi seharusnya arahnya ke bawah karena adanya gaya gravitasi, perlu adanya penambahan keterangan pada kata penguapan dan kondensasi. Validasi dari ahli media terdapat beberapa bagian dari produk yang perlu direvisi. Masukan dan saran dari validator ahli media yaitu animasi siklus pendek, sedang, panjang diberi keterangan yang jelas, gambar danau karst, glasial, buatan, diganti dengan yang lebih jelas. I. Saran Pemanfaatan dan Pengembangan Produk Lebih Lanjut Untuk penggunaan produk di dalam kelas, maka disarankan ditampilkan dengan LCD untuk memperoleh tampilan yang lebih besar sehingga memudahkan siswa untuk mengamati tayangan media. Untuk menghasilkan pengembangan secara lebih berkualitas dan komprehensif dibutuhkan waktu penelitian dan pengembangan yang relatif lama (multiply years). Hal ini perlu dilakukan sebab multimedia yang dikembangkan diharapkan dapat digunakan oleh siswa seluruh Indonesia.
32
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ninja Panju Purwita - Pengembangan Multimedia ...
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Azhar. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Ariani, Niken. 2010. Pembelajaran Multimedia di Sekolah. Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya. Handoyo, B. dan Suharto, Y. 2003. Aplikasi Multimedia untuk Pembelajaran Geografi. Malang: Geo Spektrum Press. Molenda, Michael. 2003. In Search of The Elusive ADDIE Model, Journal, 42 (5). Indiana University Press, Indiana, USA. Pribadi, Benny. A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Pribadi, B. A. dan Putri, D. P. 2001. Ragam Media dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas. Ramansyah, Wanda. 2010. Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Berbasis Komputer Pada Mata Diklat Dasar-dasar Mesin. Tesis tidak diterbitkan. Program Pasca sarjana. Program Studi Teknologi Pembelajaran. Universitas Negeri Malang. Sadiman, Arif. S., Rahardjo, R., Haryono, A., dan Prahardjito. 2002. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: CV Rajawali.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
33
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia. Ni’matuz Zuhroh1 Abstract In order to achieve the authority cannot be separated from political culture in society, political culture according Ranney, there are two main components of political culture, namely cognitive orientations and affective orientations. Meanwhile, Almond and Verba more comprehensive reference on what formulated by Parson and Shils about classification of orientation types, that political culture contains three components as follows: cognitive orientation, affective orientation, and evaluative. In Indonesia also has various religions including Islam, Christian, Hindu, Buddha, and Konghucu. Sometimes, some people believe to witchcraft. Belief/religion of Indonesia people start from the simplest, for example fetishism, animism, pramanisme, and totemism. Belief and religion do not look traditional and modern societies even in Australia, America, and Africa totemism is a system that occupies the position as a religion and become the basis of social organization. J.G. Frezer in Totemism and Exogamy (1910).
Keywords: Political culture, System of Religion, and Witchcraft A. Latar Belakang Masalah. Menurut Leo Agustino (2007: 1-2), “Perubahan akan selalu saja menantang pikiran rasional manusia untuk selalu menanggapinya secara abduktif. Misalnya, bagaimana pertumbuhan penduduk yang semakin menukik hingga memerlukan pengaturan kemasyaratan yang lebih terkelolah dengan rapi dan efisien; terjadinya pergeseran dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern yang selalu menyediakan kemungkinan atas terjadinya krisis legimitasi, partisipasi, dan integrasi, sehingga perlu keseksamaan rasional untuk perubahan yang mengarah ke kerusakan bagi masyarakat.
1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144
35
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
Sesuatu hal yang selalu menarik untuk dibahas dan diperbincangkan adalah mengenai sosial dan budaya politik yang sedang berkembang di suatu masyarakat. Terlebih pada saat terjadi pemilihan umum di wilayah tersebut. Apa itu pemilihan untuk ketua RT, kepala desa sampai ke pemilihan kepala daerah. Berbagai cara dilakukan seseorang untuk memberikan dukungannya kepada salah satu calon yang sedang bersaing di panggung politik. Para calon yang maju ke pemilihan itu benar-benar memaksimalkan kondisi sosial masyarakat yang ada untuk memenangkan pencalonan dirinya. Menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai kondisi perubahan sosial budaya politik yang terjadi di masyarakat. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki beragam suku budaya dari sabang hingga marauke. Di Indonesia juga memiliki berbagai macam agama diantaranya agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Selain itu terkadang ada beberapa masyaraka yang mempercayai ilmu gaib. Sistem religi dan system ilmu gaib, sistem merupakan kesatuan yang memiliki berbagai aturan untuk dipatuhi. Seperti yang kita ketahui, mengenai sistem religi yakni berbicara tentang aturan-aturan sekaligus unsur-unsur yang tercakup di dalam sistem religi tersebut, begitu juga dengan sistem ilmu gaib. Sistem akan selalu ada di dalam kehidupan masyarakat, dikarenakan masyarakat membutuhkan aturan-aturan sebagai pedoman untuk menjalankan kehidupan di lingkungan masyarakat tertentu. Sistem juga akan berbeda di setiap perbedaan letak geografis atau wilayah tempat tinggal masyarakat yang menerapkan suatu sistem. Kajian ini mengkaji tentang bagaimana Analisa Sistem Religi di masyarakat saat ini? dan bagaimana Implementasi budaya politik masyarakat Indonesia saat ini?. B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial Budaya Politik. Faktor yang mempengaruhi perubahan sosial politik di bagi menjadi dua yaitu faktor penduukung atau pendorong dan dan faktor penghambat. Faktor pendudkung adalah suatu kondisi atau kejadian
36
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial politik itu. Sedangkan yang dinamakan dengan faktor penghambat adalah kondisi atau kejadian yang menyebabkan terhambatnya proses perubahan sosial. Soerjono Soekanto mengungkapkan sembilan faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, yaitu: 1.
Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain. Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan memperkaya kebudayaan yang ada.
2.
Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak.
3.
Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju. Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri.
4.
Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya. Untuk itu, toleransi dapat diberikan agar semakin tercipta hal-hal baru yang kreatif.
5.
Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat. Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
37
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya. 6.
Penduduk yang heterogen. Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan sosial.
7.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya.
8.
Orientasi ke masa depan Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup. Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Usaha-usaha inimerupakan faktor terjadinya perubahan
Faktor penghambat perubahan Banyak faktor yang menghambat sebuah proses perubahan. Menurut Soerjono Soekanto mengutip situs ada delapan buah faktor yang menghalangi terjadinya perubahan sosial, yaitu: 1.
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
2.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlam bat.
3.
Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif.
38
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
4.
Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested interest).
5.
Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan menimbulkan perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
6.
Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat.
7.
Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
8.
Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah.
C. Proses Perubahan Sosial Budaya Politik Masyarakat Menurut Salim (2002: 20) mengutip Roy Bhaskar (1984), “perubahan sosial budaya biasanya terjadi secara wajar (naturally), gradual, bertahap serta tidak penah secara radikal atau revolusioner. Proses perubahan sosial budaya meliputi: Proses Reproduction dan Proses Tranformation”. Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala yang diterma sebagai warisan budaya dari nenek moyang kkita yang sebelumnya. Reproduction berkaitan dengan masa lampau perilaku masyarakat, yang berhubungan dengan masa sekarang dan masa yang akan datang. Dalam politik, banyak kalngan yang cenderung melakukan apa yang telah dilakukan oleh orang sebelumnya. Seperti banyak para tokoh poitk yang menggunakan cara-cara lama dalam berpolitik. Ia (Salim, 2002: 21) juga mengungkapkan bahwa “Proses Tranformation adalah suatu proses penciptaan hal baru (something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berubah adalah aspek budaya yang sifat material, sedangakan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan ada kecenderungan untuk dipertahankan).” Misalnya orang Madura memakai setelan dasi dan jas, akan tetapi nilai kehidupannya tetap seperti orang Madura. Hal ini menunjukkan bahwa budaya yang tampak kasat mata lebih mudah diubah, tetapi sikap hidup adalah menyangkut nilai-nilai yang sukar untuk dibentuk kembali. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
39
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
D. Budaya Politik Menurut Astuti mengungkapkan bahwa “budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O’G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.” Astuti juga mengungkapkan bahwa “Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu.” Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. E. Komponen-Komponen Budaya Politik Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponenkomponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur. Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. 40
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
a.
Orientasi kognitif yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
b.
Orientasi afektif yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
c.
Orientasi evaluatif yaitu keputusan dan pendapat tentang obyekobyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
F. Tipe-Tipe Budaya Politik 1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”toleransi”. a.
Budaya Politik Militan Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b.
Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang. Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas : J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
41
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
a.
Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Absolut Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b.
Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Akomodatif Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini. Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
2.
Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Astuti juga menulis bahwa dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
42
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
Pertama, Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Kedua, Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. Ketiga, Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. G. Pengertian Sistem Religi Religi berasal dari kata religare dan relegare (latin). Religare memiliki makna ‘suatu perbuatan yang memperhatikan kesungguh-sungguhan dalam melakukannya’. Relegare memiliki arti ‘perbuatan bersama dalam ikatan saling mengasihi’. Kedua istilah memiliki corka individual dan social dalam suatu perbuatan religius. Bagi Firth(1972:276) keyakinan belumlah dapat dikatakan sebagai religi apabila tidak diikuti upacara yang terkait dengan keyakinan tersebut. Keyakinan dan upacara adalah dua unsur penting dalam religi yang saling memperkuat. Keyakinan menggelorakan upacara dan upacara merupakan upaya membenarkan keyakinan. Keduanya dapat dipisahkan, yang satu tidak dapat telepas dari yang lainnya. Namun pengkajian secara antropologis, relig dapat dideskripsikan baik melalui aspek keyakinan maupun aspek upacara dengan mengindahkan kesalingtergantungan. Konsep religi yang berkaitan dengan keyakinan dikemukakan oleh Edward B. Tylor yang melihat religi sebagai keyakinanakan adanya mahluk halus (believe in spiritual being). Konsep umum religi seringkali berkaitan dengan konsep mahluk halus(spiritual being) dan konsep kekuatan tidak nyata(impersonal power). Mahluk halus diyakini berada di sekitar kehidupan manusia, sedangkan kekuatan tidak nyata diyakini memberikan manfaat selain juga menimbulkan kerugian dan bencana. Selanjutnya, apakah yang dimaksud system itu? Terdapat beberapa pengetian system, diantaranya dikemukakan oleh Talcott parson (1972:458), system adalah suatu konsep yang mengacu baik kepada suatu J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
43
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
kompleks kesaling ketergantungan antara bagian-bagian, komponenkomponen dan proses-proses yang meliputi keteraturan antara komleks itu sendiri dengan lingkungannya. Dari system sebagai suatu konsep itu disusun dan di bentuklah suatu teori yang menyeluruh dan umum. H. Unsur-unsur Dasar Religi Dari bentuk-bentuk religi yang ada di muka bumi ini, paling tidak terdapat lima unsur dasar religi, yaitu: (1) emosi keagamaan/religious amption/getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan; (2) sistem kepercayaan/believe system atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam, alam gaib, hidup, mati, dsb; (3) sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan; (4) peralatan dan perlengkapan upacara; (5) kelompok keagamaan/religious community atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya. Penjabaran lima unsure dasar religi di atas berikut ini: 1.
44
emosi keagamaan rupakan getaran jiwa yang pernah dirasakan manusia dalam jangka waktu hidupnya yang mendorongnya berperilaku religi. Dasar dari kelakuan serba religi tersebut menyebabkan munculnya sifat keramat (sacred value) pada kelakuan tersebut. Munculnya emosi keagamaan pada diri manusia dikarenakan beberapa hal, diantaranya: keyakinan adanya firman Tuhan, kesadaran akan adanya kekuatan supranatural, adanya mahluk halus yang berada di sekitar tempat tinggalnya, adanya krisis dalam kehidupan, keyakinan adanya gejala-gejala alamyang tidak dapat dinalar oleh akal manusia. Masyarakat Islam yang setiap harinya melakukan ritual sholat (minimal 5 kali) merupakan perwujudan dari keyakinan adanyafirman Tuhan yang mewajibkan hambaNya untuk sholat. Dalam terminologi Islam, emosi keagamaan ini dapat disejajarkan dengan konsep hidayah. Kelakuan religi masyarakat Jawa seperti membuang bunga di perempatan jalan pada Kamis Kliwon (malam Jum’at Legi) merupakan salah satu contoh dari emosi keagamaan yang didasarkan keyakinan akan
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
adanya mahluk halus atau ruh disekitar tempat tinggalnya. Ritual membuang sesai di lautan (larung) juga merupakan contoh emosi keagamaan yang didasarkan atas keyakinan adanya gejala alam yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia. Melalui ritual larung, diharapkan masyarakat di sekitar pantai dapat terhindar dari segala bencana/bahaya dan diberi berkah panen yang melimpah. 2.
sistem kepercayaan dalam religi berhubungan dengan bayangan manusia terhadap dunia gaib. Mahluk dan kekuatan yang dianggap menduduki dunia gaib adalah dewa-dewa (theogoni), mahluk halus (ruh leluhur, ruh jahat), kekuatan sakti. Konsep hidup setelah mati merupakan bentuk dari sistem kepercayaan. Dasar religi orang/ suku Dani di Papua adalah penghormatan ruh nenek moyang yang upacaranya dipusatkan pada pesta babi. Konsep keagamaan yang terpenting adalah atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal. Kekuatan sakti ini dapat diturunkan kepada anak-anak pria maupun wanita, namun wanita tidak dapat meneruskannya kepadaketurunannya. Kekuatan tersebut dapat digunakan untuk menjaga kebun pemiliknya dengan memasang sesuatu tanda khusus. Orang yang melanggarnya diyakini akan mengalami celaka. Atou juga bisa mengenai pemiliknya sendiri, apabila pemiliknya itu melanggar salah satu ajaran atau adat nenek moyangnya. Atou juga bisa dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit, menolak bahaya, menyuburkan tanah, memberi kekuatan, tenaga serta semangat hidup. Menurut keyakinan orang Dani, Atou berada dalam nafas manusia, oleh kaena itulah menghembuskan nafas adalah tindakan yang sering di pakai dalam usaha menyembuhkan orang sakit, menyadarkan orang pingsan, dan sebagainya. Dalam sistem kepercayaan Islam, jasad orang yang meninggal dunia berada di alam kubur, sedangkan ruhnya berada di alam penantian/barzhah. Sementara itu menurut kepercayaan suku bangsa di dunia, konsepsi tentang ruh yang meninggalkan tubuhnya berada disalah satu antara tiga tempat yaitu, (10 tempat ruh, dalam bahasa orang Arfak di Papua disebut sensenemes dan mengenyu, yaitu dua gunung yang dianggap keramat karena semua ruorang mati bertempat tinggal di sana; (2)tubuh yang baru, berhubungan dengan konsep reinkarnasi; (3) menempati J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
45
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
alam sekeliling tempat tinggal manusia. Konsepsi dunia akhirat (surga dan neraka), sifat-sifat Tuhan. Sistem kepercayaan ini dapat berubah konsepsi tentang faham-faham yang terintergrasikan ke dalam dongeng-dongeng serta aturan-aturan tersebut biasanya dianggap bersifat keramat serta merupakan kesusastraan suci dalam religi. 3.
sistem Upacara Keagamaan (religious ceremonies system) merupakan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan sesuai dengan tata kelakuan yang baku dengan urutan-urutan yang tidak boleh di bolak-balik. Upacara berupaya membuktikan adanya keyakinan terhadap sesuatu dan sekaligus memantapkannya. Makna memantapkannya adalah memperjelas serta mempertegas konsep dan rumusan tentang sesuatu yang diyakini itu. Aktifitas memperjelas dan mempertegas itu dilakukan dengan membaca mantra, do’a, pujian,tindakan, perbuatan, isyarat serta perlambang. Sistem upacara keagamaan bertujuan untuk mencari hubungan antara manusia dengan dunia gaib, bentuk kepatuhan/ketaatan atas kepercayaan yang dimilikinya, berharap dijauhkan dari bahaya/malapetaka, dan sebagainya. Sebagai contoh, tujuan upacara keagamaan orang/suku Dani di Papua untuk memperoleh kesejahteraan keluarga dan semua warga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.
Dalam setiap upacara keagamaan terdapat empat komponen, yaitu tempat acara( masjid, gereja,vihara, klenteng, kuil , makam , dsb); waktu upacara ( pergantian sang-malam,pergantian musim, saat krisdalam kehidupan individu, hari/minggu/bulan); bendabenda dan alat-alat upacara; orang yang melakukan upacara dan memimpin upacara( kiayi,pendeta,pendande, biksu,dukun). Setiap sistem upacara keagamaan terdapat beberapa macam larangan/pantangan/aturan-aturan tabu yang harus ditaati pada saat melakukan upacara. Ini jug berhubungan dengan sifat keramat dari tempat benda dan alat-alat upacara serta pemimpin upacara. Contohnya dalam khotbah Jum’at yang dilakukan di masjid-masjid, jamaah tidak boleh berbicara.
Berdasarkan bentuknya, upacara keagamaan dapat meliputi sebuah rangkaian yang sangat kompleks, terdiri dari beberapa rangkaian
46
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
kegiatan. Beberapa bentuk upacara keagamaan diantaranya: bersaji, berdo’a, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, memainkan seni drama, berpuasa, intoxikasi, bertapa/ bersemedi. Bentuk-bentuk upacara tersebut bersifat universal, artinya sebagian besar kelompok masyarakat memiliki beberapa bentuk upacara tersebut. Upacara korban, misalnya, tidak hanya ditemukan pada masyarakat Islam, tetapi jugapada masyarakat di luar Islam ( masyarakat primitif, masyarakat suku). Menurut Robertson, setiap upacara korban pada mulanya adalah upacarakelompok kekerabatan, dan penyembelihan binatang korban pada mulanya adalah tindakan yang dilarang dilakukan oleh individu dan hanya dibenarkan jika seluruh kelompok kekerabatan mau mempertanggungjawabkan. 4.
peralatan dan perlengkapan upacara merupakan unsur religi yang tidakdapat dipisahkan. Peralatan/perlengkapan upacara menjadi salah satu komponen penting dalam upacara. Pada sistem religi masyarakatbersahaja/indigenous people, suatu upacara tidak dapat dilaksanakan dan bahkan dipandang tidak syah, apabila peralatan/ perlengkapan yang menyertai upacara belum tersedia. Secara umum benda-benda/peralatan/perlengkapan yang dipakai, disajikan atau dipersembahkan dalam upacara memiliki makna religi bila dipergunakan dalam peristiwa religi. Apabila tidak dipergunakan dalam upacara, bisa jadi benda/peralatan/perlengkapan tersebut hanyalah benda-benda yang dipergunakan dalam kehidupam sehari-hari. Seebagai contoh, dalam upacara kurban ( masyarakat Islam) pisau yang tajam merupakan salah satu peralatan yang harus tersedia untuk memotong hewan kurban. Jika tidak tersedia pisau yang tajam, maka upacara pemotongan hewan kurban belum bisa dilaksanakan. Ketajaman pisau dan menyebut nama Allah menjadi sebuah syaratmutlak, agar hewan yang disembelih tidak merasa kesakitan dan tersiksa. Diluar upacara kurban, pisau hanyalah sebuah alatyang dipergunakan untuk memotong apa saja.
Kelompok Keagamaan (community religious) merupakan kesatuan kemasyarakan yang mengonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi beserta sistem upacara kagamaan. Kesatuan masyarakat yang menjadi pusat aktivitas religi dapat berupa: J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
47
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
1.
Keluarga inti atau kelompok kekerabatan yang kecil. Aktivitas religi dan upacara yang diselenggarakan dikeluarga inti pada umumnya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa krisis sepanjang lingkaran hidup manusia (crisis rites), termasuk di dalam upacara pada masa peralihan. Upacara yang dilakukan biasanya berkaitan dengan masa kehamilan, melahirkan, menanam/ memendam ari-ari/placenta, pemberian nama, penyapihan, khitan/ sunat, upacara haid/menstruasi pertama, perkawinan, kematian. Anggota keluarga inti menjadi pelaku utama dalam upacaraupacara tersebut., selain itu juga anggota keluarga dekat dan tetangganya. Sebagai contoh, tradisi selamatan (makan bersama) pada masyarakat Indonesia, biasanya diselenggarakan berkenaan dengan salah satu dari masa peralihan kehidupan manusia. Selamatan kematian, ada yang diselenggarakan sejak hari pertama sampai hari ke tujuh anggota keluarga yang meninngal dunia. Berikut secara berturut-turut dilaksanakan 40 hari, satu tahun, dua tahun, dan seterusnya. Ritual selamatan kematian biasanya diawali dengan membaca doa dan diakhiri dengan makan bersama. Inti dari upacara ini adalah memohon keselamatan bagi anggota keluarga yang telah meninggal dan yang mendoakannya. Contoh lainnya, seperti upacara yang dilakukan oleh masyarakat Marobo (dipulau Buton). Rangkaian upacara daur hidup masyarakat Marobo meliputi (i)kasambu, yaitu upacara selamatan di waktu seorang ibu sedang hamil. Bahan makanan yang disajikan adalah ketupat dan telur; (ii) upacara makan bersama beberapa hari setelah kelahiran bayi; (iii) upacara pengguntingan rambut dengan pembacaan barjanji; (iv) upacara khitanan setelah anak laki-laki berusia 6 atau 7tahun; (v) upacara perkawinan.
2. Kelompok kekerabatan unilineal yang lebih besar seperti Klen. Kelompok-kelompok kekerabatan unilineal (klenbesa, fratri, paroh masyarakat) bukan hanya sebatas sekumpulan orang yang hidup bersama karena perkawinan dan keturunan, tetapi juga sebagai kelompok keagamaan. Pada kelompok ini diselenggarakan upacara pemujaan ruh nenek moyang, lambang-lambang keramat, upacaramenolak bahaya. Upacara penghormatan ruh leluhur 48
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
kelompok kekrabatan unilineal seperti yang dilakukan oleh orang Tugutil di Halmahera. Upacara penghormatan ruh leluhur (odilikene) biasanya dilaksanakan pada saat menghadapi serangan musuh, akan menyerang musuh, atau bila trjadi wabah penyakit yang menimpa banyak keluarga. 3. Kesatuan hidup setempat atau komunitas. Kesatuan hidup setempat atau komunitas dapat berupa desa, kota atau bahkan negara. Aktivitas upacara bisanya dilakukan pada saat pergantian musim, pada saat akan bercocok tanam, atau pada saat menghadapi bencana alam. Dalam tradisi komunitas Islam terdapat sholat istisqa’ yang dilaksanakan untuk memohon agar diturunkan hujan. Sholat ini dilaksanakan secara bersamasama (berjamaah) pada saat musim kering yang berkepanjangan. Begitu pula dengan upacara selamatan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang berada pada di lereng Gunung Merapi ( Jawa Tengah ). Agar gunung Merapi tidak mengancam kehidupan masyarakat, maka dilaksanakan upacara selamatan yang dipimpin oleh yang “dituakan” dan dianggap memiliki kekuatan sakti.( seperti Mbah Marijan). Upacara larung yang dilaksanakan oleh warga pesisisr/pantai yang bertujuan untuk dijauhkan dari berbagai bahaya laut dan berharap dapat memperoleh tangkapan ikan yang berlimpah. 4. Kesatuan-kesatuan Sosial dengan Orientasi yang Khas Masyarakat pedesaan di Bali terdapat kelompok-kelompok adat yang berhubungan dengan suatu pertukaran yang khusus (seka). Ada seka pande (kelompok tukang pandai besi), seka gong (pembuat gamelan), seka tukang kayu, seka yang tugasnya untuk mengumpulkan para pengadu ayam. Masing -masing seka memiliki tempat pemujaan sendiri-sendiri. Perkumpulan semacam ini mempunyai tujuan untuk memelihara solidaritas dan disiplin kelompok. Kesatuan sosial dengan orientasi yang khas biasanya bersifat eksklusif, hal ini didasarkan atas persaingan yang terjadi antar kelompok. Terdapat beberapa hipotesis dasar dalam kesatuan-kesatuan dasar ini,yaitu (1) emosi keagamaan akan menentukan sifat-sifat ilah - yang ditakuti dan yang dikasihi J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
49
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
- dalam unsur keyakinan, dan sebaliknya akan memberikan corak kedalaman emosi religius; (2) emosi keagamaan akan memberikan tingkat kesyahduan dan kesungguhan-kesungguhan upacara, sebaliknya akan menentukan pula kedalaman emosi religius; (3) emosi keagamaan akan memantapkan nilai ekstrinsik segala peralatan dan simbol, sebaliknya unsur peralatan tersebut akan memunculkan dan memantapkan peranan religius; (4) emosi keagamaan akan memberikan corak kesungguh-sungguhan dan kedalaman religiusitas pelaku sedangkan komunitas akan memunculkan dan memantapkan pula emosi religius itu; (5) isi keyakinan akan menentukan corak upacara dan sebaliknya upacara akan mewujudkan dan memantapkan isi keyakinan; (6) isi keyakina juga akan menentukan macam baik kuantitas dan kualitas peralatan serta makna dan tingkat kesakralan bendabenda upacara; (7) isi keyakinan akan menentukan macam klsifikasi petugas keamanan (religious specialist), khususnya para perumus dan penafsir keagamaan, di lain pihak mereka akan pula menentukan corak keyakinan tersebut terutama rumusan dan tafsiran dalam tindakan; (8) upacara akan menentukan macam (kuantitas dan kualitas) serta nilai ekstrinsik bendabenda upacara, dan di pihak lain peralatan itu sendiri akan menentukan tingkatkatan upacara serta memunculkan suasana religius; (9) upacara akan memantapkan status orang-orang serta mengentalkan ikatan sosial dalam komunitas sedangkan komunitas itu sendiri akan memunculkan dan memantapkan kesyahduan upacara serta menentukan pula tingkat upacara tersebut; (10) peralatan dan benda-benda upacara akan memantapkan status sosial peyakin di samping memunculkan suasana religius dan di lain pihak komunitas akan pula menentukan macam dan nilai ekstrinsik benda-benda tersebut. I.
Bentuk-bentuk Religi
Fetishisme ialah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu. Kepercayaan ini melahirkan aktivitas-aktivitas religi guna memuja benda-benda berjiwa tersebut. 50
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
Sebagian masyarakat Jawa memiliki tradisi ‘memandikan’ keris/pusaka pada bulan Suro. Ada semacam keyakinan bahwa jika keris/pusaka jika tidak dimandikan/tidak dirawat akan hilang atau mencelakai pemiliknya. Tradisi semacam ini merupakan bentuk dari fetishisme. Animisme adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan bahwa di alam sekeliling tempat tinggal manusia didiami berbagai macam ruh. Kepercayaan ini melahirkan aktivitas religi dalam bentuk pemujaan roh-roh. William A. Haviland mendefinisikan animisme sebagai kepercayaan kepada mahluk-mahluk spiritual yang dianggap menjiwai alam. Antropologi klasik, Sir Edward Tylor menemukan konsep tersebut pada tahun 1873 saat menulis bukunya. Saat itu banyak ditemukan contoh animisme seperti pada masyarakat Dayak di Borneo (Kalimantan), orang-orang Koyak di Asia. Animisme berkembang pada masyarakat yang melihat dirinya sebagian dari alam, bukan penguasa atas alam. Bentuk religi ini banyak ditemukan pada suku bangsa yang hidupnya berburu dan meramu. Bagi mereka dewa dan dewi tidaklah penting, tetapi hutan-hutan penuh dengan segala macam roh. Upacara religi untuk berhubungan, memuja dan memanggil roh bertujuan untuk memohon berkah, mohon kesembuhan dan kedamaian. Selain Tylor, terdapat beberapa ahli yang menulis tentang animisme, diantaranya Herbert Spencer, J.G. Frezer, A. Lang dan W. Wundt. Animisme dalam pengertian sempit adalah teori tentang konsep-konsep psikis. Dalam pengertian luas merupakan teori yang membahas tentang mahluk spiritual secara umum. Animisme dirumuskan berdasarkan wawasan bangsa-bangsa primitif yang luar biasa tentang alam dan dunia. bangsa-bangsa primitif menempati dunia bersama-sama dengan banyak ruh (jahat dan baik) dan menganggap bahwa penyebab terjadinya prosesproses alam adalah ruh-ruh dan setan-setan itu. Mereka beranggapan bahwa yang dihuni (animated) ruh-ruh tidak hanya binatang dan tumbuhan saja, melainkan benda-benda mati. Alam pandangan Wundt, orang-orang primitif mempercayai bahwa manusia bisa mengalami ‘animasi’ (animation). Manusia memiliki jiwa yang bisa meninggalkan tempatnya dan memasuki mahluk lain; jiwa ini dianggap sangat identik dengan individu, hanya setelah melalui proses evolusi yang panjang ia kehilangan sifat materialnya dan mendapatkan tingkat ‘spiritual’.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
51
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
Animatisme sebenarnya bukan bentuk religi melainkan suatu sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuhan-tumbuhan di sekeliling manusia itu memiliki jiwa dan bisa berfikir seperti manusia. Kepercayaan ini tidak melahirkan bentuk aktivitas religi yang memuja benda dan tumbuhan tersebut, tetapi animatisme bisa menjadi unsur dalam religi-religi lain. William A. Haviland mendefinisikan animatisme sebagai bentuk kepercayaan bahwa dunia dijiwai oleh kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat impesonal. Dalam kamus lengkap Psikologi, animatisme meupakan satu kepercayaan primitif yang menghubungkan kehidupan dengan benda-benda mati. Praktik animatisme pada orang-orang Melanisia menganggap mana sebagai kekuatan yang terdapat dalam semua objek. Mana bersifat sangat abstrak, suatu kekuatan yang selalu sedikit diluar jangkauan indera. Sebagaiman yang dipaparkan R.H. Codrington, bahwa kebijaksanaan, prestise, kekuasaan, nasib yang baik, pengaruh, kekeramatan, keuntungan, semua itu adalah kata-kata yang dalam keadaan tertentu, mengandung makna. Mana kadang-kadang berarti kebijaksanaan atau kekuatan yang melebihi keadaan natural, yang terdapat pada seseorang atau barang. Pra-animisme merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal yang luar biasa dan terdiri dari aktivitas religi yang berpedoman pada kepercayaan tersebut. Pra-animisme disebut juga dinamisme Totemisme, bentuk religi dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang unilineal. Kelompok kekerabatan unilineal tersebut meyakini berasal dari dewa-dewa nenek moyang yang satu. Untuk mempererat kesatuan dalam kelompok unilineal tersebut, masing-masing kelompok kekerabatan memiliki tanda/ lambang (totem) yang berbeda-beda. Bentuk totem bsa berupa binatang, tumbuh-tumbuhan, gejala alam atau benda yang melambangkan dewa nenek moyangnya. Di Indonesia totenisme dapat ditemukan di sebagian masyarakat suku Papua. Di Australia, Amerika, dan Afrika totenisme merupakan suatu sistem yang menempati kedudukan sebagai agama dan menjadi basis organisasi sosial. J.G. Frezer dalam Totemism and Exogamy (1910). 52
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
Mendefinisikan totem sebagai sekumpulan benda-benda material yang oleh orang-orang liar perlakukan dengan hormat dan penuh kepercayaan takhayul, percaya bahwa diantara dirinya dan seluruh anggota anggota kelompoknya ada suatu hubungan yang dekat dan sangat khusus. Dalam pengamatan Frezer, anggota-anggota suatu suku menyandang nama yang sama dengan nama totem dan pada umumnya juga percaya bahwa mereka adalah keturunannya. Inilah yang menyebabkan mereka tidak memburu dan membunuh binatang totem. Atau mereka tidak menebang atau mengambil manfaat aapun dari totem dalam wujud tumbuhan. Apabila binatang totem harus dibunuh, maka pembunuhan itu harus dilakukan dengan ritual permohonan maaf dan upacara penebusan dosa. Dalam bukunya Element of The Psychology of Races, W. Wundt mengatakan bahwa totem sebagai binatang neek moyang, karena totem merupakan salah satu nama kelompok dan nama kelahiran - kemudian nama ini sekaligus memiliki makna mitologis. Seluruh pengguna konsep tersebut saling terhubung dan bertautan sehingga artinya surut hanya menjadi semacam sistem penamaan pembagian suku, sementara itu di suku-suku lain gagasan tentang keturunan atau makna kultis ( hal yang berhubungan dengan sistem pemujaan) totem tetap menjadi sesuatu yang penting. Konsep totem menentukan tatanan suku (tribal arrangement) dan organisasi suku (tribal organization). W. Robertson Smith yang berasumsi tentang totenisme bahwa upacara yang disebut pesta makan (totem feast) sejak semula adalah bagian integral dari sistem totem. Untuk mendukung asumsinya tersebut, Smith menganalisis ciriciri upacara pengorbanan pada bangsa Semit kuno tahun 500 SM. Merujuk dari beberapa pengertian totem di atas , totem bukan saja sebagai sistem agama, tatapi juga sistem sosial, karena ia terdiri dari kewajiban timbal balik antar anggota kelompok klan dan anggota suku-suku lain.kedua aspek tersebut saling berhubungan, aspek sosial seringkali menghidupkan aspek keagamaan dan sebaliknya dalam agama-agama di berbagai negara-dimana sistem sosial yang dibangun berdasarkan totem telah lenyap- masih terdapat sisa-sisa totemisme. Aspek sosial totenisme terekprsikan dalam perintah dan batasan-batasan ketat yang dijalankan dengan sangat patuh para anggota klan totem
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
53
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
adalah saudara, bersumpah untuk saling membantu dan melindungi. Apabila ada anggotaklan dibunuh orang asing, seluruh suku asal pembunuh harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu dan klan orang yang terbunuh menunjukan solidaritas dengan cara menuntut tebusan atas darah yang ditumpakhan. Menurut Freud, ikatan totem lebih kuat dari dibanding dengan ikatan keluarga. Totem dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) totem suku, yang dimiliki bersama satu suku dan diwariskan dari generasi ke generasi; (2) totem jenis kelamin, yang memiliki semua anggota laki-laki atau perempuan suatu suku, dan tidak dimiliki lawan jenisnya; (3) totem individu, yang dimiliki oleh individu dan tidak diturunkan pada penerusnya. Polytheisme, adalah bentukreligi yang berdasarkan kepercayaan pada satu sistem yang luas dari dewa-dewa dan terdiri dari upacaraupacara pemujaan dewa-dewa. Dewa dan dewi merupakan mahlukmahluk yang dianggap mengendalikan alam semesta serta menguasai bagian-bagian tertentu dari alam semesta. Masyarakat Yunani kuno yang mengenal konsepsi dewa dan dewi dikenal beberapa dewa penguasa alam, seperti; Zeus dewa langit; Poseidon dewa yang berkuasa atas lautan; Hades dewa pemegang kekuasaan di dunia bawah (neraka) dan memerintah orang yang sudah meninggal. Masyarakat yang megenal banyak dewa, kemudian melahirkan konsep Panteon (bermacammacam dewa-dewi dalam suatu bangsa). Pada masyarakat tradisional Indonesia dikenal adanya Dewi Padi sebagai penguasa tanah pertanian yang juga merupakan simbol kesuburan dan kemakmuran. Nyai Roro Kidul yang diyakini sebagai penguasa pantai selatan. Kepercayaan terhadap dewa dan dewi sebagai penguasa alam semesta, pada akhirnya melahirkan ritual yang berpusat pada alam yang dikuasai sang dewa atau dewi. Penghormatan pada Dewi Sri dilaksanakan di sekitar lahan pertanian yang akan digarap, ditanam dan dipanen. Penghormatan kepada Ratu Pantai Selatan dilakukan dengan upacara Larung Sesaji di pantai selatan Jawa. Monotheisme, merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan dan terdiri dari upacara-upacara guna memuja Tuhan. Islam merupakan salah satu agama yang dapat 54
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
dikategorikan ke dalam bentuk religi ini. Bahkan secara tegas agama ini meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Menduakan Allah termasuk dosa besar,oleh karena itu semua bentuk ritual (sholat, puasa, haji, berkurban, dsb) agama Islam hanya ditujukan pada Allah yang Maha Esa. Mistik, adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam semesta. Sistem kepercayaan ini terdiri dari upacara-upacarayang bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan. Konsepsi bentuk-bentuk religi di atas dalam ilmu antropologi sudah dianggap tidak penting. Kenyataannya, sudah tidak ada masyarakat yang seluruh penduduknya menganut satu bentuk religi . Contoh, pada masyarakat Indonesia yang telah mengenal konsep agama modern, dalam aktivitas religinya seringkali masih bercampur dengan bentuk-bentuk religi lainnya. Misalnya, sebagian masyarakat Jawa yang tradisional dan beragama Islam padamalanm Jum’at (legi) atau malam Kamis (kliwon) memiliki tradisi membuang bunga di perempatan jalan. Meletakan sesaji di bawah pohon beringin atau disekitar sumber mata air dan sebagainya. Bentuk religi semaca ini merupakan refleksi dari kepercayaan akan adanya ruh-ruh yang berada di sekitar kehidupan manusia. Agar ruhruh tersebut tidak mengganggu manusia, maka diberilah sesaji atau bunga. Meskipun menurut sebagian pemeluk agama Islam , hal itu tidak diperbolehkan oleh agama Islam. Begitu pula tentan adanya nyawa di dalam benda-benda mati seperti di dalam keris dan sebagainya. Selain bentuk-bentuk religi, masyarakat dunia juga mengenal bermacam-macam agama dan sekte. Anthony F.C Wallace mendefinisikan agama sebagai perangkat upacara yang diberi rasionalitas mitos dan yang menggerakan kekuatan-kekuatan supranatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam. Definisi ini memiliki makna bahwa jika manusia tidak mampu mengatasi masalahnya yang serius yang menimbulkan kegelisahan, ia berusaha mengatasinya dengan memanipulasi mahluk atau kekuatan supranatural. Untuk itu dilakukan upacara keagamaan yang oleh Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama atau sebagai perbuatan (religion in action). Fungsi utamanya untuk mengurangi kegelisahan
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
55
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
dan untuk memantapkan kepercayaan pada dirinya sendiri, yang penting untuk memelihara keadaan manusia agar tetap siap menghadapi realitas. Penjelasan ini mengandung pengertian nilai agama untuk menghadapi hidup. Jadi, agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku untuk mengendalikan aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya. Dalam semua kebudayaan manusia, tidak ada sesuatu yang secara sungguh-sungguh dengan pasti dapat mengendalikan alam semesta kecuali agama. Inilah yang menyebabkan agama menjadi bagian dari kebudayaan umat yang memiliki keragaman. J.
Kesimpulan.
Kesadaran adanya berbagai agama di Indonesia ini harus dimiliki oleh setiap orang, dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Di bedakan lagi dengan adanya sistem kepercayaan, dalam sistem ini ada sebagian masyarakat yang mengkaitkan anata kehidupan manusia dan dunia gaib. Manusia yang percaya adanya dewa dewa yang menolong dan melindungi kehidupannya, bahkan makhluk halus yang menjadi kekuatan sakti untuk menambah kekayaan seseorang. Dengan adanya dunia gaib tersebut pola pikir manusia menjadi dunia gaib bukan sesuatu yang menakutkan atau menyeramkan, bahkan untuk dijadikan hal hal yang berbau mistis dan misterius. Berbeda beda adat dan budaya di Indonesia ini menjadikan khas masing masing tempat tersebut. Selain itu juga diadakan upacara keagamaan, sebagian masyarakat melakukan ritual ritual tesebut dengan tujuan yang berbeda beda juga. Dalam setiap upacara keagamaan terdapat empat komponen, yaitu tempat upacara (masjid, gereja, vihara, klenteng), waktu upacara (pagi, siang, sore, malam) dan jadwal upacara (harian, mingguan, tahunan), dan pemimpin upacara ( kiyai, pastur, biksu, dukun). Keempat komponen upacara ini memiliki hubungan saling ketergantungan. Dalam upacara masing masing juga terdapat larangan yang berbeda beda juga. Dalam uapacara juga memakai perlengkapan, perlengkapan tersebut mejadi suatu komponen penting dalam upacara.
56
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
Religi tidak hanya menjadi suatu keyakinan yang telah terjadi pada nenek moyang kita dahulu. Diantaraya ada Fetishisme, kepecayaan adanya jiwa dalam benda benda tertentu, kepercayaan ini melahirkan aktivitas religi yaitu memuja benda benda berjiwa tersebut. Animisme, kepercayaan bahwa di alam sekeliling tempat tinggal manusia didiami oleh berbagai macam ruh, kepercayaan ini melahirkan aktivitas religi dalam bentuk pemujaaan pemujaan terhadap roh. Animatisme, kepercayaan bahwa benda dan tumbuahan di sekeliling memiliki jiwa dan bisa berfikir seperti manusia, kepercayaan ini melahirkan aktifitas religi memuja tumbuhan dengan memberikan pakaian pada tumbuhan tersebut. Pra-anisme, kepercayaan pada kekuatan sakti. Mistik, keparcayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam semesta, dengan kata lain memeiliki tuhan sendiri selain tuhan yang dianut dalam agamanya. Sedangkan paket wisata religi yaitu melakukan wisata ke suatu daerah atau tempat yang masih asli dengan khas daerahnya untuk melihat langsung ritual ritual tersebut. Paket ini biasanya dilakukan dengan jumlah orang yang banyak lalu datang ke tempat tersebut untuk tujuan dan maksut yang berbeda. Di jawa ini yang terkenal paket wisata religi yaitu wisata menuju makam wali. Disana para pexiarah bisa langsung menuju makam para wali dengan tujuan yang berbeda, ada yang ingin berkunjung dan melihat tempat tersebut, ada yang mendoakan wali tersebut di alam kubur, bahkan ada yang niatan mistik untuk mendapat kekayaan. Pada awalnya ini semua dianggap nilai nilai sakral, kemudian menjadi profan. Upacara religi menjadi sebuah tontonan dalam paket wisata. Ilmu gaib yaitu ilmu yang di gunakan pada masa lalu yang di yakini dengan berbagai macam. Tak heran jika pada masyarakat modern sekalipun memakai, ilmu gaib dipakai untuk tertentu, misalnya untuk menaikkan jabatan, menyakiti orang lain, pelaris dalam berjuaalan, membentengi serangan orang lain. Ilmu gaib ini merupakan teknik teknik tata cara guna manusia untuk mempengaruhi alam sekitarnya sedemikian rupa, sehingga dapat menuruti kehendak tujuannya.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
57
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Persell, P. (1987). Social Change and World Modernization. New york: Elsevier. Ritzer, george. (1970). Sociology: A Multiparadigm Science. Boston: Allyn and Bacon. Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT bumi Aksara. Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi (Edisi Revisi). Rineka Cipta. Jakarta. Koentjaraningrat. (1990). pengantar ilmu antropologi (Edisi Baru). Rineka Cipta. Jakarta. Sugeng Pujileksono. (2009). Pengantar Antopologi. UMM press http://ridlowi.wordpress.com/category/antropologi/ http://www.idafazz.com/pengertian-sistem.php http://blog.binadarma.ac.id Budaya Politik, http://www.damandiri.or.id/file/dwiastutiunairbab1. pdf Yafie, Ali. (1994).Menggagas Fiqh Sosial, Mizan, Bandung. Rahman, Budhy Munawar. (1993). Spiritualitas Agama di tengah pluralitas Peradaban modern dalam dialog: kritik & identitas agama. Seri 1. Sobary, Muhammad. (1993). Kang Sejo Melihat Tuhan, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Madjid, Nurcholis. (1998).Dialog Keterbukaan. Paramadina, Jakarta. Nurhakim, (1997). Fiqih Prioritas: Paradigma Baru Fiqih untuk membaca Persoalan Utama Umat” dalam Jurnal Ulumuddin FAI UMM. No.02 Th II Juli. Mahfudz, Sahal. (1994). Nuansa Fiqh Sosial. Mizan. Bandung. Suyoto, Memahami Gagasan Fiqh Sosial dalm jurnal Ulumuddin, FAI UMM. No.2 Th II 1997. Qardhawi, yusuf. (1995). Fiqh al- Awlawiyah: Dirasat jadidat fi Dhaw-l al-Qur’an wa al-Sunnat Maktabah Wahbah Kairo. Mesir. 58
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Ni’matuz Zuhro - Perilaku Sosial Budaya Politik dan Aktivitas Religi Masyarakat Indonesia
Nata, Abuddin. (1998). Metodologi Studi Islam. PT.Persada Grafindo, Jakarta. Agustino, Leo. (2007). Perihal Ilmu Politik: sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu. Salim, Agus. (2002). Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan refleksi metodologi kasus Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
59
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
MEMBANGUN MASYARAKAT BERBUDAYA MELALUI BAHASA INDONESIA Siti Annijat Maimunah1 Abstract Language and literature are two different side of coin, but cannot be separated, because language is a mirror of culture and identity of the speakers. It means that, whether language can influence the culture of society or vice versa? , therefore language can determine the progress and “extinguish” the culture of nation. As we know that there are so many local languages which experience it. Language and culture are two studies that complement each other. Culture kept alive if constructed by language as the medium. Both of them have the same purpose, is bringing people to the useful life, encourage people to achieve better life, more humane, well-organized, more religious, and more dignified. There is occur reciprocal relationship that determine between language, culture, and society that embodies both. Developed and praiseworthy civilization and culture, upheld by society is reflected through language that used in order to create civilization and culture that built. Keywords: Civilized Society, Indonesia Language
1. Pendahuluan Bahasa-bahasa di dunia ini dapat digolongkan ke dalam kelompokkelompok tertentu. Istilah-istilah yang digunakan adalah: rumpun, cabang, dialek. Bahasa Yunani termasuk dalam rumpun bahasa yang paling “maju” dan dikenal dengan nama bahasa Indo-Eropa, atau Indo-Jerman atau Arian. Bahasa Indo-Eropa pada mulanya digunakan oleh para suku yang ada pada masa pra- sejarah mendiami daerah Asia Tengah-Timur dan Eropa Tengah-Barat. Bahasa itu juga terbawa ke Persia dan India. Percobaan pertama untuk menemukan sejarah bahasa-bahasa dunia secara ilmiah dilakukan pada akhir abad ke-18. Ilmuwan mulai 1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144
61
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
membandingkan bahasa dengan cara yang rinci dan sistematis, untuk melihat apakah ada hubungan di antaranya. Jika hubungan ini bisa dibuktikan,dapat diasumsi bahwa bahasa-bahasa itu berhubungan. Dengan kata lain, bahasa itu dikembangkan dari sumber yang sama,walaupun sumber ini mungkin tidak ada lagi. Termasuk di dalamnya adalah bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Austria. Menurut Wilhem Schmidt (dalam Rahardjo, 1980), karena tumbuh berdasarkan bahasa Melayu, maka bahasa Indonesia termasuk rumpun (keluarga) bahasa Austronesia Bukti sumber bahasa yang sama mudah ditemukan di Eropa. Ada bahasa Perancis, Spanyol, Italia dan bahasa-bahasa Romawi lain (hlm 301), yang jelas menurun dari bahasa Latin yang dalam kasus ini diketahui pernah ada. Pemikiran yang sama pernah diaplikasikan kepada kelompok bahasa yang lebih besar, dan pada awal abad ke-19 ada bukti yang meyakinkan untuk memperkuat sebuah hipotesis bahwa pernah ada sebuah bahasa yang merupakan asal banyak bahasa-bahasa Eurasia. Proto bahasa ini lalu disebutkan bahasa proto-Indo-Eropa (hlm.297). Secara cepat, kelompok bahasa lain diteliti dengan menggunakan teknik yang sama. Awal abad XX, Ferdinand de Saussure memperkenalkan strukturalisme sebagai aliran linguistik sehingga dia disebut bapak linguistik moderen dan pelopor strukturalisme. Lyons (dalam Rahardjo, 2003: 2), mengatakan bahwa aliran pemikirannya disebut struturalisme karena Saussure menekankan pentingnya struktur dalam bahasa. Semua peneliti linguistik mengetahui istilah-istlah yang diciptakannya, seperti: language, langue, parole, diakornis, sinkronis, dan lain-lain. 2. Langue, Parole, dan Language Ferdinand de Saussure memang tidak pernah menyebutkan bahwa penyelidikan bahasa tidak harus dilakukan secara historis itu dipengaruhi oleh Emile Durkhiem, tetapi tampak jelas bahwa dia mempehatikan teori Emile Durkhiem (1885) yang ditulis dalam karyanya Des Regles de la Methode Sociologiques. Dalam buku tersebut Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat pantas diteliti secara ilmiah karena anggota-anggotanya menimbulkan adat-istiadat, tradisi, dan kaidah perilaku yang seluruhya 62
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
membentuk kumpulan data yang mandiri (Rahardjo, 2003: 5). Ajaran Durkheim tersebut menjadi dasar pemikiran Saussure dalam penyelidikan bahasa. Dalam bahasa Sangsekerta ”bahasa” diartikan sebagai ”budaya”. Bahasa dapat dianggap sebagai benda yang terlepas dari pemakaiannya karena diwariskan oleh penutur yang mengajarkannya, dan bukan ciptaan si individu. Bahasa merupakan fakta sosial karena diciptakan dan digunakan oleh kelompok masyarakat tersebut. Bahasa sebagai fakta sosial, ia akan menjadi suatu kebudayaan sebagaimana budaya masyarakat yang menciptakannya dan terlepas terlepas dari perkembangan historinya. Menurut Crystal (1974:6) sebagai fakta sosial, bahasa dapat dipelajari secara tepat terpisah penuturnya sepei halnya kimia dan fisika. Saussure mengenalkan tiga istilah dalam bahasa Perancis tentang bahasa, yaitu: langue, parole, dan langage. Parole adalah keseluruhan apa yang dituturkan seseorang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, atau pengucapan-pengucapan yang digunakan untuk menghasilkan suatu konstruksi berdasarkan pilihan bebasnya (Wahab, 1989:7). Jadi, parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Parole bukan fakta sosial karena merupakan hasil individu yag sadar. Sedangkan fakta sosial harus meliputi seluruh masyarakat dan menjadi kendala terhadapnya dan bukan memberinya pilihan bebeas. Dalam masyarakat yang heterogen tentu banyak parole dan realisasi hambatan-hambatan suatu bahasa. Istilah berikutnya adalah Langue, yaitu keseluruhan kebiasaan adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat. Menurut Saussure perhatian utama linguistik adalah langue bukan parole (dalam Rahardjo, 2003:6). Sedangakan langage adalah gabungan parole dan langue. Langage tidak memiliki prinsip keutuhan yang memungkinkan diteliti secara ilmiah. Langage tidak memenuhi syarat sebagai fakta sosial karena di dalamnya terkandung faktor-faktor individu yang berasal dari pribadi penutur. Selanjutnya Saussure membandingakn sifat-sifat parole dan langue sebagai barikut ini. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
63
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
1) Parole sebagai perbuatan bertutur yang bersifat individu, bervariasi, berubah-ubah dan mengandung banyak hal baru. Di dalamnya tidak ada kesatuan sistem. Oleh karena itu, parole tidak dapat diteliti secara ilmiah. 2) Agar dapat didekati secara ilmiah, sesuatu itu haruslah ”diam atau tidak bergerak” supaya bisa dihitung dan diukur. Parole terjadi dari pilihan individu yang jumlahnya takterhitung. Terjadi kombinasikombinasi baru di dalam tuturannya sehingga pemeriannya tidak terbatas. 3) Parole bukan sesuatu yang kolektif, perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen, dan merupakan perilaku pribadi. 4) Sebaliknya, langue adalah pola kolektif, ia dimiliki bersama oleh semua penutur sehingga merupakan sistem bahasa dalam konteks sosial. 5) Langue berada dalam bentuk keseluruhan kesan yang tersimpam dalam otak setiap manusia. Dengan demikian, langue adalah produk sosial dari kemampuan berbahasa dan sekaligus merupakan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial. 6) Pada dasarnya parole bersifat aktif dan langue bersifat pasif. 7) Langue adalah seperangkat konvensi yang kita terima siap pakai dari penutur-penutur terdahulu. Saussure beranggapan bahwa analogi adalah sumber tenaga yang fundamental bagi keberadaan langue yang disebutnya sebagai analogi seperti yang dikemukakan oleh Rousseau dalam bahasa Perancis populer tentang ”traisait” untuk ”traiyait”, ”plaisait untuk plaire”. Selama berabad-abad evolusinya, elemen-elemen langue telah dikonservasikan (didistribusikan secara berbeda-beda). Karena sangat kuat, Saussure beranggapan bahwa prinsip analogi memiliki satu sebab, bahwa analogi itu hadir dari status signe itu sendiri. Dalam langue, signe itu bersifat arbitrer (Roland Barthes dalam Udasmoro, 2007:257-259).
64
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
3. Bahasa dan Budaya Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan, karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal ini berarti, apakah bahasa dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya?, sehingga bahasa dapat menentukan kemajuan dan “mematikan” budaya bangsa. Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa-bahasa daerah di Indonesia sudah banyak yang mengalami hal itu. Banyaknya variasi penuturan bahasa daerah tertentu disebabkan terjadinya perbedaan budaya yang cukup kuat. Namun, menurut Prof. Dr. Arief Rahman dalam penelitiannya, di Kalimantan, misalnya, satu dari 50 bahasa tak lagi digunakan. Di Sumatera, dari 13 bahasa dua di antaranya kritis dan satu punah. Di Sulawesi, satu dari 110 bahasa telah lenyap, dan 36 dalam kondisi terancam. Di Tomor, Flores Bima dan Sumba, tercatat 50 bahasa masih bertahan, tapi delapan di antaranya terancam. Di Papua dan Halmahera, dari 271 bahasa daerah, 56 di antaranya hampir punah. Sementara itu, di Jawa tidak mengalami kepunahan (berbagai sumber). Sungguh ironis, ketika daerah-daerah yang masih terpelihara dan sangat potensial dalam perkembangan kebudayaannya justru bahasa daerahnya terancam, dan sebagian sudah punah. Mengapa menurut Prof Dr. Arif Rahman (Kompas, 22/5) di Jawa tidak? Bukankah institusi-nstitusi pendidikan, khususnya sekolah sebagai lembaga formal yang berwenang melaksanakan proses transformasi pengetahuan dan teknologi atau arus globalisasi dituduh sebagai tempat dimulainya pengikisan budaya daerah secara sistematis? Sementara itu, hampirsemuanya tersedia di Jawa (Najmudin Ansorullah, 2007: 1) Bahasa Jawa memang relatif masih terpelihara, namun demikian budaya-budaya Jawa agaknya sudah mulai kurang populer di kalangan kaum muda. Sehingga anak-anak muda sudah mulai kehilangan budaya Jawa yang tentu saja mempengaruhi budaya Indonesia. Contoh: bagaimana sikap seseorang (Jawa) ketika mengucapkan kalimat: ”Nuwun sewu badhe nderek tanglet dalemipun ibu Endang”. Kalau diucapkan dengan bahasa Jawa kalimat tersebut relatif masih diikuti oleh kinestetik sebagaimana para orang tua mengajarkannya, yakni sambil membungkukkan badan
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
65
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
dengan tangan berpegangan. Akan tetapi, jika diucapkan dalam bahasa Indonesia, kalimatnya sangat bervariasi, misalnya: 1) Permisi mau tanya rumah bu Endang? 2) Permisi numpang tanya rumah bu Endang sebelah mana ya? 3) Permisi rumah bu Endang? 4) Mau tanya rumah bu Endang di sebelah mana ya? dan masih banyak lagi variasinya. sikap seperti bila diucapkan dengan bahasa Jawa tampaknya banyak yang sudah hilang, bahkan bukan membungkukkan badan tetapi malah membusungkan dada. Hal ini yang kiranya mejadi keprihatinan banyak pihak termasuk penulis. 4. Fungsi Bahasa dalam Masyarakat Bahasa sebagai kajian akademik biasa dilihat sebagai ranah otonom dengan teori untuk sistem dan realitas kebahasaan. Termasuk di dalamnya pandangan tentang bahasa sebagai ranah simbolik dalam masyarakat, sebagai salah satu dimensi dari masyarakat simbolik/ kultural. Oleh karena itu, bahasa dan materi/substasi yang dikandungnya merupakan suatu entitas yang memiliki pertautan bersifat intrinsik secara epistemologis. Akan tetapi bagi orang yang belajar Studi Sosial (Social Studies) maupun Studi Budaya (Cultural Studies), ada yang menganut pandangan tentang bahasa sebagai ranah bersifat ekstrinsik, sebagai faktor yang menentukan dunia alam pikiran (linguistic determinism). Dalam kerangka ini seseorang yang menggunakan bahasa yang berbeda mempersepsi dan berpikir tentang dunia dengan cara yang berbeda pula. Dalam kajian ini penekanan tentang bahasa dilihat dari fungsinya dalam masyarakat (Siregar, 2003). 5. Bahasa sebagai Alat Kebudayaan Bahasa dan budaya merupakan dua kajian yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Budaya terus hidup jika dibangun oleh bahasa sebagai sarananya. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni membawa manusia pada kehidupan yang bermanfaat, mendorong manusia untuk 66
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
mencapai kehidupan yang lebih maju, lebih manusiawi, lebih teratur, lebih religius, dan lebih bermartabat. Terjadi hubungan timbal balik yang saling menentukan antara bahasa, budaya, dan masyarakat yang mewadahi keduanya. Peradaban dan kebudayaan yang maju dan terpuji, yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya tercermin melalui bahasa yang digunakan dalam menghasilkan peradaban dan budaya yang dibangunnya. Budaya yang dibangun dengan media bahasa wujudnya beranekaragam. Wujud itu dapat berupa kegiatan karya seni (seni lukis, seni sastra, seni musik, seni suara, dan lain-lain), ekonomi, pendidikan, teknologi, pengetahuan, dan juga gaya hidup. Sebagai hasil aktivitas kehidupan manusia di satu pihak,, relevansinya untuk meningkatkan kualitas kehidupan itu sendiri di lain pihak, kebudayaan dapat berupa ide (mentifact), perilaku sosial (socifact), dan benda kongkret (artifact). Alat terpenting untuk mewujudkan kebudayaan itu adalah bahasa (Kutha, 2005:425). Oleh karena itu, keberadaan bahasa sebagai sistem komunikasi sekaligus fungsinya dalam mencipta dan menyebarluaskan nilai-nilai kebuadayaan sangatlah penting. 6. Peranan Bahasa dalam Transmisi Nilai-nilai Kebudayaan Peranan aspek-aspek estetis dan etis, aspek keindahan, aspek kesantunan, dan aspek moral mendominasi kebudayaan sepanjang abad, sejak Zaman Klasik hingga Postmodern, sebab memang di dalam aspek-aspek tersebut terkandung nilai-nilai budaya. Terjadinya penyimpangan bahkan pemerkosaan terhadap aspek-aspek tersebut, semata-mata diakibatkan oleh dominasi sosial politik di masa lalu yang pada umumnya diakibatkan oleh hegemoni para penguasa. Bahasa merupakan masalah utama dalam kaitannya dengan kebudayaan. Melalui bahasa semua aktivitas manusia terakomodasi baik yang bernilai budaya tinggi yang sesuai dengan tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, mapun yang bernilai rendah karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat tersebut. Melalui bahasa keseluruhan aspek kebudayaan diinvestasikan dan disebarluaskan. Masyarakat lama menggunakan bahasa lisan sebagai
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
67
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
alat untuk membangun budaya, sedangkan masyarakat moderen, di samping menggunakan bahasa lisan juga menggunakan bahasa tulis dan teknologi informasi lainnya. Dalam kajian sosial/kultural, secara umum disebutkan fungsi bahasa adalah untuk memasuki pihak lain (pathic function), untuk dasar pengaturan hubungan (regulator function), untuk pelepasa perasaan (emotive function), untuk tujuan estetis (aesthetic function), dan untuk menampung makna dibalik yang diekspresikan (metalinguistic function). Pathic function berupa percakapan basa-basi, untuk memelihara hubungan atau menciptakan hubungan dengan orang yang belum maupun yang sudah dikenal. Regulator function dalam bahasa digunakan dalam hubungan sosial dengan tujuan yang sudah ditentukan bersama, seperti dalam kegiatan profesional atau manajemen. Emotive function merupakan bahasa untuk mengekspresikan perasaan dan juga bisa digunakan untuk menunjukkan jati diri seseorang. Misalnya di kalangan kaum muda (Remaja Malang) dengan menggunakan dialek Malangan atau dengan membaca secara terbalik suatu kata dengan tujuan memberikan ciri khas atau identitas sebagai orang Malang yang tentu berbeda dengan yang berasal dari daerah lain. Seperti mengucapakan ”yoi” atau ”oyi” untuk ”iyo” (iya). Aesthetic function merupakan bahasa yang mirip dengan fungsi emotif, yang diekspresikan dengan kaidah tertentu untuk memperolehefek keindahan. Sedangkan Metalinguistic function Adalah memberikan pemaknaan atas kenyataan yang mendasari suatu bahasa diekspresikan. Bahasa sebagai ranah budaya dilihat dari praktik sosial dalam tiga dimensi realitas masyarakat. Praktik sosial berbahasa dibedakan atas dasar ketepatan fungsi, oleh karena itu, praktik berbahasa itu dapat dibedakan antara yang bersifat fungsional dan disfungsional. Pathic function atau bahasa basa-basi misalnya, hanya dapat digunakan dalam realitas sosial. Dalam lingkup realitas politik, dalam konteks hubungan profesional yang membawa konsekuensi dalam kehidupan publik tentunya tidak dapat digunakan. Walaupun dalam ranah kehidupan politik sangat rawan perpecahan karena penggunaan bahasa yang tidak pada tempatnya, sebetulnya bisa diatasi kerawanan tersebut dengan menggunakan bahasa yang memiliki taraf kesantuan yang ideal. Misalnya 68
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
bahasa yang digunakan anggota pansus Century sangat memprihatinkan jika secara terus-menerus dikonsumsi oleh anak-anak. Dengan demikian kondisi berbahasa dalam masyarakat Indonesia di satu sisi dapat ditempatkan dalam dimensi realitas yang menjadi koneksnya, dan pada sisi lain dari kondisi kultural dari masyarakat. Pengembangan budaya melalui bahasa pada dasarnya dapat dilakukan melalui disiplin dalam penggunaan yang fungsional secara kontekstual. 7. Keadaan Sosial Budaya Indonesia Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Kesatuan politis Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau. Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa nasional belum tentu sudah tersosialisasikan pada 6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya 10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Bagaimana dengan yang lain? Sementara di antara warga kita memiliki bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Misalnya orang Jawa akan bertanya: Putra ibu berapa? Jika pertanyaan tersebut ditujuan kepada yang bukan Jawa tentunya tidak dapat dipahami. Sebaliknya jika orang Jawa merantau ke luar pulau, ia akan merasa risih dengan budaya tempat ia berada. Misalnya ketika ada kalimat ” Istrimu lagi bunting ya? Atau ” kapan kamu beranak? Bagi mereka itu kalimat yang wajar, akan tetapi bagaimana dengan si-Jawa tadi. Demikianlah, Indonesia sebagai sebuah “nation state” yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), dan ada perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian tanda budaya yang di dalamnya penuh dengan J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
69
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
perbedaan (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di daerah industri dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat informatif, dan bagian dari masyarakat global. Di sebaran pulau-pulau Indonesia masih ditemui kebudayaan “hunting and gathering” yang terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau kecil lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan pola hidup langsung dari alam. Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis pun masih dijumpai. Hampir semua pula di Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik dengan bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian irigasi sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris masih mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan akar primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan bahasa Indonesia. Oleh sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal yaitu (a) masyarakat dalam perspektif agama, (b) perspektif spiritual, dan (c) perspektif budaya. Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum nonmateri, dan perspektif budaya yang merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks perubahan sosial sekarang masyarakat Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social economics responsibilities, dan personal responsibility (Budi, 2009) 70
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
8. Realitas Budaya Bangsa Indonesia Dengan memperhatikan kehidupan berbudaya bangsa Indonesia sejak bergulirnya demokrasi, yang membuat perubahan tatanan bernegara memberikan konsekuensi yang sagat mahal harganya terhadap kelangsungan budaya kita yang ”adiluhung”. Bagamana budaya yang adiluhung itu dapat dipertahankan sebagai identitas bangsa, jika di antara warga masyarakatnya tidak dapat menjaga dan melestarikannya. Dalam kaitannya dengan realitas di Indonesia adalah kondisi multi-kultural dalam ruang publik (public sphere)-nya harus ada rasa saling memahami, saling menghargai antara warga yang satu dengan lainnya, dan tentunya yang tidak kalah pentingnya adalah peran media masa untuk menjembadaninya. Kita ambil contoh bagaimana orang Jawa (yang mengerti Jawanya) mengukapkan kemarahannya yang tentu sangat berbeda dengan orang Batak, orang Sulawesi, Betawi, Dayak dsb. Kondisi multi-kultural merupakan fokus penting di berbagai negara, sehingga masing-masing negara memiliki kebijakan yang serius dalam strategi kultural. Oleh karena itu, ada sebutan negara multi-bangsa (multi–nation state) atau negara banyak suku (poly ethnic states) mengingat varian komposisi warga masyarakatnya. Dalam skala makro diperlukan strategi yang diwujudkan sebagai kebijakan negara dengan pendekatan multi kultural. Dari kebijakan itulah kemudian dijadikan dasar orientasi untuk institusi-institusi sosial, pendidikan, bisnis, politik, dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan multi-kultural menjadi urusan bersama yang di dalamnya media massa ikut ambil bagian. Dalam konteks Indonesai, kondisi ini sangat krusial karena tidak adanya strategi dasar dengan pendekatan multi-kulturan dalam kebijakan negara. Model linguistik yang digunakan Levi-Strauss misalnya, dalam analisis struktural mitos, awalnya diadopsi dari teori linguistik struktural Saussure, Jakobson, dan Troubetzkoy. Model-model yang diadopsi adalah konsep sintagmatig dan paradigmatik, langue dan parole, sinkronis dan diakronis (Pettit, 1977:1). Dari model tersebut, Levi-Strauss (AhimsaPutra, 1994:45) berasumsi hahwa mitos pada dasarnya juga mirip dengan gejala linguistik. Sementara itu, Halliday (1978:112) mengatakan bahwa bahasa sebagai proses sosial tidak terlepas dari seperangkat makna atau J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
71
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
teks. Makna diproduksi dan direproduksi berdasarkan kondisi sosial tertentu. Makna dalam hubungannya dengan subjek dan objek konkret tidak bisa diuraikan, kecuali berdasarkan seperangkat hubungannya dengan struktur sosial, juga diwujudkan melalui hubungan dengan peran dan perilaku. Dalam hubungan dengan itu, Halliday (1985) mengategorikan fungsi bahasa menjadi tiga, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional terkait dengan peranan bahasa untuk mengungkapkan pengalaman penutur tentang dunia nyata. Fungsi interpersonal berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial. Fungsi tekstual adalah peranan bahasa untuk menjalin dirinya dengan unsur-unsur situasi kontekstual, sehingga tersusun dalam sebuah teks. Dalam kaitan itu, mitos dapat dipandang sebagai sebuah teks atau wacana, sehingga pemakaian bahasanya dipandang sebagai praktik sosial. Analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana teks bekerja/ berfungsi dalam praktik sosial budaya. Dalam kaitan ini, satuan bahasa terlengkap (dalam praktik wacana) dapat dinyatakan sebagai satuan lisan atau tulisan yang bersifat kohesif, koheren, dan terpadu derta berfungsi dalam parktik sosial budaya suatu masyarakat (Sumarlan dalam Nyoman, 2009). Bentuk bahasa mitos umumnya adalah bahasa lisan yang tentunya memiliki genre (bentuk) tersendiri. Makna dalam kaitan dengan mitos merupakan salah satu unsur dari sebuah tanda (sign) (Saussure, 1988). Sebuah tanda di samping memiliki makna/petanda (signified) juga memiliki penanda (signifier).Penanda adalah bentukbentuk atau medium yang diambil oleh sebuah tanda, seperti bunyi, gambar, atau coretan lainnya. Sementara itu, petanda adalah konsep dan makna-makna. Selanjutnya, makna diproduksi lewat proses seleksi dan kombinasi tandatanda menurut sumbu sintagmatis dan paradigmatis. Sumbu sintagmatis tersusun dari kombinasi tandatanda yang linear, sedangkan sumbu paradigmatis menunjuk pada medan tanda-tanda. Terkait dengan pemaknaan, Barthes 1972 (dalam Nyoman: 2009), yang diilhami oleh pandangan Ferdinad de Saussure, membedakan dua macam sistem pemaknaan, yaitu pemaknaan denotasi dan pemaknaan konotasi.
72
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
Contoh dalam bahasa Indonesia dalam hal penggunaan katakata yang bermakna konotasi mengalami revolusi dalam realitasnya. Misalnya kata ”mama dan papa” yang notabene merupakn kata serapan itu, dahulu hanya digunakan oleh kalangan atas, sekarang digunakan banyak orang baik golongan atas, menengah, maupun bawah untuk panggilan kepada ibu. Kata ”mama dan papa” cenderung menggeser kata ”ibu dan bapak” sekali pun semua tahu bahwa yang baku adalah ”ibu dan Bapak”. Para ”ibu dan bapak muda” lebih bangga dipanggil ”mama dan papa”. Tentu para ”mama dan papa” itu tidak akan tahu jika ditanya tentang makna apa yang terkandung dalam simbol kata tersebut. Masih banyak kata-kata lain yang mengalami hal serupa, misalnya: kata tante, om, oma, opa, dan sebagainya. Itulah salah satu sosok perubahan budaya Indonesia. Memang tidak ada hukum yang melarangnya, tapi persoalannya apabila bahasa yang kita pergunakan sudah tidak sesuai dengan (makna) budaya kita, sehingga akan berpengaruh dalam pensistematikaan bahasa ke dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini akan semakin parah apabila penggunaan bahasa asing itu sudah dianggap gengsi (vrivillege), moderen dan sebagainya dan menganggap kuno bahasa dan budaya lokal. Hal ini, tentu memperkeruh budaya bangsa dalam berbahasa atau “budaya bahasa”. Di satu sisi, bahasa asing dianggap penting dalam pergulatan internasional (baca: arus globalisasi). Di sisi lain, penyerapan bahasa asing malah dianggap memperkeruh budaya bangsa. 9. Kesimpulan Bahasa dan budaya merupakan dua kajian yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Budaya terus hidup jika dibangun oleh bahasa sebagai sarananya. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni membawa manusia pada kehidupan yang bermanfaat, mendorong manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih maju, lebih manusiawi, lebih teratur, lebih religius, dan lebih bermartabat. Budaya yang dibangun dengan media bahasa wujudnya beranekaragam. Wujud itu dapat berupa kegiatan karya seni (seni lukis,
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
73
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
seni sastra, seni musik, seni suara, dan lain-lain), ekonomi, pendidikan, teknologi, pengetahuan, dan juga gaya hidup. Dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, maka ada 3 pendekatan yang dipakai yaitu (a) masyarakat dalam perspektif agama, (b) perspektif spiritual, dan (c) perspektif budaya. Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam aktualisasi yang selaras dengan hukum nonmateri, dan perspektif budaya yang merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk membangun sebuah kehidupan yang comfort baik secara individu maupun kolektif. DAFTAR PUSTAKA Ansorullah, Najmudin. 2007. Transformasi Budaya dalam Bahasa. Jurnal Najmu: Gerbang Pengetahuan dan Pemikiran Islam. http:// jurnalnajmu.wordpress.com/2007/11/15/24/ diakses Jumat 28-05-2010. Budi, Arif Wuryanto. 2009. Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya Indonesia Melalui Pengajaran BIPA. Malang: Lembaga Kebudayaan UMM www.lalf.edu/kipbipa/papers/ ArifBudiWuryanto.doc. Diakses 11 Februari 2010. Crystal, David. 1974. What is Linguitics? London: Edward Arnold (Publishers) Ltd. De Saussure, Ferdinand. 1966. Course in General Linguistics: New York, Toronto, London: McGraw-Hill Book Company. Kutha, Nyoman Ratna. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogjakarta. Pustaka Pelajar.
74
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Siti Annijat Maimunah - Membangun Masyarakat Berbudaya Melalui Bahasa Indonesia
Nyoman, I Suparwa. 2009. Mitos dalam Masyarakat Budaya Bali. http:// ejournal.unud.ac.id/abstrak/6%20mitos%20dalam%20 masyarakat%20dan%20budaya%20bali.pdf. Diakses 25-052010. Rahardjo, Mudjia. 2003. Ferdinand de Saussure: Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme. Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra: LINGUA. Volume 1/Nomor 1. Siregar, Ashadi. 2003. Bahasa dan Perkembangan Budaya. http. Ashadisiregar. files.wordpress. com/2008/08/bahasa. Diakses 10 Februari 2010. Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2006. Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Udasmoro, Wening. 2007. Petualangan Semiologi. Yogajakrta. Terjemahan dari L’aventura Semiologique oleh Roland Barthes. 1985.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
75
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
ANALISIS PERMINTAAN KEDELAI DI INDONESIA Luthfiya Fathi Pusposari Abstract Indonesian population growth from year to year has increased, the population of Indonesia has increase for about 20 million people from the previous census data. Soybean is one of commodity most consumed by society. Demand of soybean in this country 2,4 million tons per year, as much as 70% comes from imported soybean. Based on demand theory there are many factors that influence demand of goods, among others, the price of the goods themselves, the price of other goods, population, etc. Purpose of this research is to understand the elasticity of of soybean demand in East Java and what variable which have the highest elasticity. The result of this research shows that variable of soybean’s price is in elastic towards demand of soybean while variable of corn’s price, income per capita and population is elastic. Variable which has sensitivity or the highest elasticity is variable of population.
Keywords: Demand, Elasticity, Soybean A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, Fasli Jalal (2013) Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam harian Republika tanggal 17 Juli 2013 mengungkapkan Struktur penduduk Indonesia dipengaruhi oleh triple burden di mana persentase usia sekolah dan balita sebesar 28,87 persen, angkatan kerja 63,54 persen, dan lansia mencapai 7,59 persen. Dari segi persebaran penduduk belum merata karena masih terpusat di Pulau Jawa. Pada 2013 ini diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan bertambah menjadi 250 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Badan pusat statistik juga mengungkapkan Pada tahun 2013, berdasarkan data yang diambil dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia mengalami penambahan sekira 20 juta jiwa dari data sensus sebelumnya. 77
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Seiring dengan pertambahan penduduk Indonesia yang semakin meningkat, maka kebutuhan pangan juga akan terus mengalami peningkatan. Memasuki tahun 2013 kekhawatiran semakin parahnya krisis pangan menghantui sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengingatkan krisis pangan seperti yang terjadi pada 2007/2008 bisa berulang pada tahun 2013. Dari beberapa produk pangan yang ada, kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Kedelai (Glicine max) dikenal sebagai makanan rakyat karena selain merupakan sumber protein nabati paling menyehatkan, kedelai juga dikenal murah dan terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Hayami, dkk, (1988) memaparkan Tanaman kedelai merupakan sumber bahan pangan nabati, dengan kandungan protein. Dari seluruh protein yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, sekitar10 persen bersumber dari produk olahan kedelai. Kedelai juga memiliki banyak produk olahan antara lain seperti tahu, tempe, kecap, dll. Beberapa modifikasi pengolahan kedelai lainnya juga telah dikembangkan di berbagai daerah seperti keripik tempe, susu kedelai dan kedelai goreng. Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengakui dari kebutuhan kedelai di dalam negeri 2,4 juta ton per tahun, sebanyak 70% berasal dari kedelai impor. Dari pernyataan mentri pertanian tersebut diatas anrinya ada kecenderungan angka konsumsi meningkat sejalan dengan pertambahan populasi penduduk. Sedangkan dalam sisi lain ketersediaan lahan juga tidak bertambah. Persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya juga diduga merupakan salah satu penyebab turunnya areal panen kedelai. Indikatornya ialah kenaikan harga riil jagung. Secara teoritis, menurut hokum permintaan kenaikan harga jagung mendorong petani untuk menanam komoditas tersebut. Konsekuensinya ialah bahwa kenaikan areal tanam jagung (sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan mengurangi areal untuk kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama. Teori permintaan menjelaskan bahwa ada banyak variabel yang dapat menggeser kurva permintaan, beberapa yang terpenting adalah sebagai berikut: Pendapatan, Harga barang lain, selera, harapan dan jumlah 78
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
pembeli. (Mankiw, 2009:83-84). Setiap variabel yang mempengaruhi permintaan tentunya memiliki kepekaan yang berbeda beda, ada yang memiliki kepekaan yang lebih tinggi ada yang memiliki kepekaan yang lebih rendah. Kepekaan suatu variabel biasa dikenal dengan sebutan elastisitas. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Elastisitas Permintaan Kedelai di Indonesia B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diungkap maka permasalahan yang dicuatkan peneliti dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana Elastisitas Permintaan Kedelai di Indonesia?
2.
Faktor apa yang memiliki kepekaan paling tinggi (elastisitas) terhadap permintaan kedelai di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan pada dasarnya merupakan alternatif akhir yang senantiasa mesti dipegang teguh dalam keseluruhan proses penelitian dan pada akhirnya tujuan pula yang akan menjadi standar apakah output sebuah penelitian telah mencapai sasaran yang diinginkan atau belum. Maksudnya penetapan tujuan penelitian harus realistis dan mengandung kemungkinan untuk mencapainya. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk menjelaskan Elastisitas Permintaan Kedelai di Indonesia
2.
Untuk menjelaskan faktor apa yang memiliki kepekaan paling tinggi (elastisitas) terhadap permintaan kedelai di Indonesia
D. Manfaat Penelitian Berkaitan dengan tujuan tersebut di atas, maka studi ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi tataran akademis maupun praktis. Manfaat penelitian dimaskudkan adalah sebagai berikut: J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
79
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
1.
Manfaat Akademis a.
Memperkaya literatur dan khazanah keilmuan terutama terkait dengan permasalahan Komoditas Kedelai di Indonesia
b.
Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang mengambil tema dan permasalahan serupa.
2. Manfaat Praktis a.
Sebagai evaluasi atas pelaksanaan berbagai kebijakan yang terkait dengan komoditas kedelai di Indonesia
b.
Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan atau perencanaan pengembangan komoditas kedelai dalam mengeluarkan atau melakukan berbagai kebijakan terkait komoditas kedelai.
E. Batasan Penelitian Beberapa batasan dalam penelitian ini adalah: 1.
Data Jumlah permintaan kedelai di Indonesia tahun 2007 -2011
2.
Data Harga kedelai di Indonesia tahun 2007- 2011
3.
Data Harga jagung di Indonesia tahun 2007- 2011
4.
Data Jumlah Pendapatan Perkapita Indonesia 2007 – 2011
5.
Data Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2007- 2011
F.
Definisi Operasional
1.
Permintaan adalah jumlah barang yang diminta atau yang diinginkan oleh pembeli pada berbagai tingkat harga dan pada periode tertentu
2.
Elastisitas permintaan adalah prosentase perubahan permintaan terhadap suatu barang akibat adanya perubahan harga, baik karena adanya kenaikan atau penurunan harga.
3.
Kedelai adalah salah satu tanaman pangan yang memiliki kandungan protein tinggi dan digunakan sebagai bahan untuk beberapa makanan olahan seperti tempe, tahu, kecap dll.
80
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
G. Kajian Teori 1.
Tinjauan Tentang Permintaan
a.
Definisi Permintaan Permintaan dalam ilmu ekonomi, biasa disebut dengan jumlah barang yang tertentu. Case dan fair (2003: 59) menjelaskan kunatitas yang diminta adalah jumlah (banyaknya unit) produk yang akan dibeli oleh rumah tangga dalam periode tertentu jika rumah tangga tersebut mampu membeli semua yang diinginkan pada harga pasar yang berlaku. Mankiw (2009:80) memaparkan jumlah permintaan adalah jumlah barang yang rela dan mampu dibayar oleh pembeli. Jadi permintaan adalah jumlah barang yang diinginkan dan dibeli oleh konsumen dalam berbagai tingkat harga
b.
Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Luthfiya (2011:8-12) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas yang diminta konsumen antara lain: a) Harga barang itu sendiri Misalkan saja anda membeli apel, andaikan saja harganya 10000/kg anda akan beli 10 kg, kemudian harga apel meningkat menjadi 15000/kg kemungkinan anda akan mengurangi jumlah apel yang akan anda beli, begitu pula sebaliknya ketika harga apel meningkat kemungkinan anda akan menambah banyaknya apel yang akan anda beli. Jadi ketika harga naik maka kuantitas yang diminta akan naik begitu pula sebaliknya dengan asumsi ceteris paribus (faktor lain diluar harga dianggap tetap). Hubungan tersebut dinamakan dengan hukum permintaan. b) Harga barang lain Faktor harga barang lain dibedakan menjadi dua, yaitu barang substitusi dan barang komplementer. Barang Substitusi disebut juga barang pengganti, suatu barang dikatakan barang substitusi jika sifat/fungsinnya dapat saling menggantikan. Misalnya antara teh dengan J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
81
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
kopi, jika orang mau minum teh, sedangkan tehnya tidak ada maka dia dapat minum kopi, begitu pula sebaliknya. harga barang pengganti dapat mempengaruhi permintaan akan barang yang digantikan. Jika harga barang yang dapat digantikan naik maka permintaan akan barang pengganti bertambah, begitu pula sebaliknya. Barang Komplementer disebut juga barang pelengkap, suatu barang disebut sebagai barang komplementer jika barang tersebut sifatnya dapat saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Ketika harga suatu barang yang sifatnya dapat melengkapi berubah maka perubahannya akan sejalan dengan barang yang dilengkapi. Misalnya permintaan akan teh meningkat maka permintaan akan gula juga akan naik, begitu pula sebaliknya c)
Pendapatan Ketika pendapatan meningkat seseorang akan menambah pembelian suatu barang maka barang itu adalah barang normal (normal good). Misalnya sebelum pendapatan anda meningkat, anda membeli baju satu tahun sekali ketika pendapatan anda meningkat kemungkinan anda akan menambah frekuensi membeli baju dalam satu tahun. Sedangkan ketika pendapatan meningkat seseorang mengurangi pembelian suatu barang maka barang tersebut disebut barang inferior. Misalnya awalnya untuk pergi kekantor anda naik angkutan umum, ketika pendapatan anda meningkat anda berganti naik sepeda motor.
d) Selera Konsumen Misalkan saja anda sedang menginginkan suatu barang, kemungkinan besar anda akan berusaha membeli barang tersebut. Jadi Ketika selera/keinginan konsumen akan suatu barang bertambah maka akan meningkatkatkan jumlah barang yang diminta. e) Ekspektasi Ekpektasi merupakan perkiraan untuk masa yang akan datang, 82
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
umumnya jika anda menperkirakan untuk waktu yang akan datang harga suatu barang akan naik, maka kemungkinan anda mengurangi konsumsi barang tersebut. H. Tinjauan Tentang Elastisitas 1.
Pengertian Elastisitas Menurut Gujarati (2004), elastisitas permintaan merupakan suatu pengukuran kuantitatif yang menunjukkan respon perubahan permintaan akibat perubahan harga suatu barang. Sementara menurut (Sukirno, 2002) elastisitas permintaan merupakan besarnya pengaruh perubahan harga terhadap perubahan permintaan.
2.
Jenis-jenis Elastisitas
Elastisitas yang berkaitan dengan jenis variabel terbagi tiga, yaitu: a.
Elastisitas Permintaan Terhadap Harga (Price Elasticity of Demand) Elastisitas terhadap harga menunjukkan respon permintaan yang terjadi akibat adanya perubahan harga barang itu sendiri. Elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity of demand) mengukur respon konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli barang yang mengalami perubahan harga. Jika harga naik sebanyak 10% dan respon permintaan konsumen turun sebanyak 20%, koefisien elastisitasnya adalah -2. Hasilnya negatif, karena kenaikan harga (positif) diikuti penurunan permintaan (negatif). Angka koefisien sebesar 2 menunjukkan respon yang sangat besar terhadap perubahan harga. Sebaliknya, jika terjadi perubahan harga sebesar 10% ikuti perubahan pembelian sebesar 5%, angka koefisiennya hanya ½, maka para pakar ekonomi akan mengatakan bahwa permintaan barang tersebut bersifat elastis.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
83
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
b.
Elastisitas Harga Silang (Cross Price Elasticity) Elastisitas harga silang menunjukkan respon permintaan suatu barang kerena adanya perubahan harga pada barang lain. Elastisitas harga silang (Cross Price Elasticity) dapat digunakan untuk mengetahui sifat hubungan antar barang. Sifat hubungan ini dapat dibedakan menjadi tiga, brang bersifat sebagai substitusi, sebagai barang komplemen, atau barang netral. Dikatakan sebagai barang pengganti jika barang tersebut mampu menggantikan fungsi/ kegunaan barang lain. Dikatakan sebagai barang pelengkap jika barang tersebut selalu digunakan bersamaan dengan barang lain. Untuk barang yang mempunyai hubungan bersifat netral, besarnya permintaan terhadap suatu barang tidak akan mempengaruhi terhadap barang lain. Elastisitas harga silang ini menunjukkan respon dalam membeli suatu produk apabila harga barang lain mengalami kenaikan.
c.
Elastisitas Permintaan Terhadap Pendapatan (Income Elasticity of Demand) Elastisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan rasio persentase perubahan jumlah barang yang diminta terhadap persentase perubahan pendapatan konsumen. Elastisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan suatu besaran yang berguna untuk menunjukkan recponsivitas konsumsi suatu komuditas terhadap perubahan pendapatan. Nilai yang diperoleh dapat digunakan untuk membedakan komoditas apakah termasuk komoditas mewah, normal, atau inferior. Komoditas normal dan komoditas mewah memiliki elastisitas permintaan terhadap pendapatan hubungannya posistif, karena antara perubahan pendapatan dan perubahan permintaan bergerak searah. Sedangkan komoditas inferior memiliki elastisitas permintaan terhadap pendapatan bersifat negatif, karena perubahan pendapatan dan perubahan permintaan jumlah komoditas yang dibeli bergerak tidak searah.
Berdasarkan besarnya elastisitas permintaan terhadap pendapatan, komoditas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok (necessities) dan barang kebutuhan mewah (luxuaries). Komoditas 84
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
dengan elastisitas kecil disebut barang kebutuhan pokok. Sedangkan komoditas dengan koefisien elastisitas lebih besar sari satu merupakan barang lux Ada dua jenis elastisitas yaitu elastisitas busur (arc elasticity) dan elastisitas titik (point elasticiry). Elastisitas busur adalah derajat kepekaan perubahan harga diantara dua kejadian perubahan permintaan, dengan kata lain elastisitas busur adalah elastisitas diantara 2 titik. Apabila jarak antara 2 titik tersebut sangat kecil sekali (mendekati 0) maka elastisitas busur menjadi elastisitas titik. Elastisistas titik adalah derajat kepekaan perubahan harga pada suatu titik perubahan permintaan. Elastisitas titik lebih relevan untuk digunakan dalam penentuan kebijakan harga daripada elastisitas busur. Tabel 1 Jenis Elastisitas Berdasarkan Niali Koefisien Elastisitas (e) Jenis Elastisitas
Nilai Koefisien Elastisitas
In-elastis sempurna
0
Persentase perubahan harga barang tidak akan berpengaruh terhadap persentase jumlah barang yang diminta
In-elastis
<1
Persentase perubahan harga lebih besar dibandingkan persentase jumlah barang yang diminta
Elastis uniter
1
Persentase perubahan harga barang sama dengan persentase permintaan terhadap barang tersebut
Elastis
>1
Persentase perubahan jumlah barang yang diminta lebih besar daripada persentase perubahan harga
Elastis sempurna
~
Persentase perubahan harga sedikit saja akan mengakibatkan persentase perubahan yang sangat besar terhadap jumlah barang yang diminta
J-PIPS,
Keterangan
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
85
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
3.
Koefisien Elastisitas Permintaan
Koefisien elastisitas permintaan merupakan nilai perbandingan antara persentase perubahan jumlah yang diminta dengan persentase perubahan haraga, atau dengan kata lain elastitas permintaan merupakan angka penunjuk yang menggambarkan sampai seberapa besar perubahan jumlah barang yang diminta apabila dibangingkan dengan prubahan harga. Koefisien elastisitas permintaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: ∆Qd1 Ed=
Persentase Perubahan Jumlah yang Diminta Persentase Perubahan Harga
=
Qd1 ∆P1 P1
Koefisien elastisitas permintaan silang merupakan angka penunjuk yang menggambarkan besarnya perubahan permintaan terhadap suatu barang apabila terjadi perubahan harga barang lain. Koefisien elastisitas permintaan silang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: ∆Qd1 Ec=
Persentase Perubahan Jumlah yang Diminta Persentase Perubahan Harga Q2
=
Qd1 ∆P2 P2
Koefisien elastisitas permintaan pendapatan merupakan angka penunjuk yang menggambarkan besarnya perubahan permintaan terhadap suatu barang karena adanya perubahan pendapatan pembeli. Koefisien elastisitas permintaan pendapatan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: ∆Qd1 Ei=
Persentase Perubahan Jumlah yang Diminta Persentase Perubahan Pendapatan
=
Qd1 ∆Y Y
86
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya elastisitas permintaan berbagai barang selain harga barang tersebut, antara lain: 1.
Tingkat kemampuan barang lain menggantikan kegunaan/fungsi barang tersebut. Jika barang tersebut mempunyai banyak barang pengganti, permintaan terhadap barang tersebut cenderung bersifat elastis. Untuk barang yang tidak mempunyai banyak barang pengganti, permintaan bersifat tidak elastis (in-elastis). Konsumen sulit memperleh barang pengganti, jadi jika harga barang tersebut naik, permintaan terhadap barang tersebut tidak banyak mengalami penurunan.
2.
Persentase pendapatan yang digunakan untuk membeli barang tersebut. Semakin besar pendapatan yang dialokasikan untuk membeli suatu barang, permintaannya akan bersifat elastis.
3.
Jangka waktu permintaan itu dianalisi. Semakin lama jangka waktu yang digunakan untuk analisis, permintaannya semakin bersifat elastis
4.
Kategori suatu komoditas, apakah suatu barang merupakan komoditas kebutuhan pokok atau komoditas barang mewah.
I.
Penelitian Terdahulu
Dewi sahara, endang s. Gunawati, (2005)dalam penelitiannya analisis permintaan kedelai di kabupaten banyumas jawa tengah penelitian analisis permintaan kedelai di kabupaten banyumas data yang digunakan time series dari 1994 – 2003. Dengan analisis regresi linier ganda dinamis hasil analisis menunjukkan nilai elastisitas harga terhadap permintaan kedelai untuk jangka pendek sebesar – 6,675 dan nilai elastisitas harga terhadap permintaan kedelai untuk jangka panjang sebesar –3,3415. Nilai elastisitas permintaan kedelai untuk jangka pendek lebih kecil daripada nilai elastisitas jangka panjang. Harga mutlak dari koefisien elastisitas harga lebih besar dari satu menandakan bahwa permintaan kedelai bersifat elastis atau dengan kata lain kenaikan hargakedelai diikuti oleh penurunan jumlah kedelai yang diminta dalam porsi yang lebih besar.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
87
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Purnamasari (2006) dalam penelitiannya mengenai analisis faktorfaktor yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai di Indonesia menggunakan data sekunder dalam bentuk time series (data deret waktu) dengan periode waktu 30 tahun yaitu dari tahun 1975 sampai 2004. Dalam metode penelitan, model analisis data yang digunakan adalah persamaan simultan. Masing-masing persamaan penelitian ini diduga dengan menggunakan metode Two-Stages Least Square (2SLS). Hasil penelitiannya menunjukan bahwa jumlah impor kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi kedelai. Jumlah impor kedelai responsif terhadap perubahan jumlah produksi dan konsumsi kedelai baik jangka pendek maupun jangka panjang. Purwanto (2009) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor kacang kedelai nasional periode 1987-2007 menggunakan data deret waktu (time series) dari tahun 1987 sampai dengan 2007. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa impor kacang kedelai nasional selama periode 1987-2007 cenderung mengalami peningkatan tiap tahun, terutama setelah tahun 1999 ketika liberalisasi perdagangan pada komoditas pangan mulai diberlakukan. Pada tahun 2007 tingkat ketergantungan Indonesia pada kacang kedelai impor telah mencapai 1,4 juta ton atau setara dengan kehilangan devisa negara sebesar Rp 4,4 triliun per tahun. Dari enam faktor yang diduga mempengaruhi impor kacang kedelai nasional periode 1987-2007, setelah dilakukan uji statistik diperoleh tiga faktor berpengaruh signifikan yaitu produksi, konsumsi dan harga lokal. J.
Metodologi Penelitian
1.
Jenis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan adanya hipotesis yang hendak diuji, maka jenis penelitian ini adalah penelitian eksplanasi. Menurut Faisal (1992) penelitian eksplanasi (explanatory research) adalah: Untuk menguji hipotesis antara variabel yang dihipotesiskan.
88
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Sedangkan menurut Singarimbun&Efendy (1983) explanatory research adalah penelitian yang menyoroti hubungan antara variabel-veriabel penelitian serta menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya, oleh karenanya dinamakan juga penelitian hipotesa. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian penjelasan ini membicarakan tentang hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan. 2.
Jenis Data Pada dasarnya data yang terhimpun dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder, yaitu data yang dikumpulin, diolah, dan disajikan oleh pihak lain, yang biasanya dalam bentuk publikasi atau jurnal. Dalam penelitian ini data sekunder diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang meliputi : a.
Jumlah permintaan kedelai di Indonesia tahun 2007 -2011
b.
Harga kedelai di Indonesia tahun 2007- 2011
c.
Harga jagung di Indonesia tahun 2007- 2011
d. Jumlah Pendapatan Perkapita Indonesia 2007 – 2011 e. 3.
Jumlah Penduduk Indonesia tahun 2007- 2011
Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode dokumenter. Teknik dokumenter adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan termasuk tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil tautan hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian (Margono, 2000:181).
4.
Teknis Analisis Data Analisis data merupakan langkah yang sangat penting dalam sebuah penelitian, setelah data sudah terkumpul dan sudah lengkap, maka data harus dianalisis baik itu menggunakan analisis kualitatif maupun analisis kuantitatif.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
89
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Penelitian ini menggunkan analisis kuantitatif, seperti yang dikatakan Hasan (2002:98) analisis kuantitatif merupakan analisis yang menggunakan alat analisis bersifat kuantitatif. Alat analisis yang bersifat kuantitatif adalah alat analisis yang menggunakan model-model, seperti model matematika (misalnya fungsi multivariate), model statistik dan ekonomitrik. Hasil analisis disajikan dalam bentuk angka-angka yang kemudian dijelaskan dan diinterpretasikan dalam suatu uraian Untuk melihat elastisitas permintaan kedelai di Indonesia, peneliti menggunakan analisis dengan cara Analisis Regresi Linier Multiple. Analisis regresi linier multiple adalah suatu teknik nalisis data dalam membahas hubungan antara variabel terikat dengan dua atau lebih variabel bebas, adapun rumus yang digunakan dlam penelitian ini adalah (Algifari, 1997:52), elastisitas melihat bagaimana perubahan suatu variabel akibat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. a.
Pengujian Hipotesis Analisa didasarkan pada data yang diperoleh dari data sekunder berupa data tentang permintaan kedelai, harga kedelai, harga jagung, pendapatan perkapita dan jumlah penduduk. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linier berganda (Multiple Regression Linier). Model ini dipergunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya, baik secara parsial maupun secara simultan. Uji statistik linier berganda digunakan untuk menguji signifikan atau tidaknya hubungan lebih dari dua variabel melalui koefisien regresinya. Model analisis regresi berganda akan dianalisis dengan bantuan komputer program SPSS 16.00 for Windows. Data dianalisis menggunakan metode regresi linier menggunakan uji t-test dan uji F, dimana pengujian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana variabel-variabel bebas yang digunakan baik secara parsial maupun simultan mampu menjelaskan variabel tidak bebasnya, atau apakah model regresi linier berganda yang digunakan sudah sesuai atau tidak sesuai. Dasar pengambilan keputusannya adalah
90
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
apabila nilai signifikansi > 0,05, maka H0 diterima dan apabila nilai signifikansi < 0,05, maka H0 ditolak (Santoso, 2001:336). Adapun formula regresi berganda tersebut sebagai berikut: Y = a+b1X1 + b2X2 +b3X3 +b4X4 Dimana: a = Bilangan Konstanta Y = Permintaan Kedelai β1 = Koefisien Regresi X1 β2 = Koefisien Regresi X2 β3 = Koefisien Regresi X3 β4 = Koefisien Regresi X4 X1 = Harga Kedelai X2 = Harga Jagung X3 = Pendapatan Perkapita X4 = Jumlah Penduduk Setelah hasil perhitungan diperoleh maka akan dilakukan beberapa pengujian yang mana terdiri dari : 1) Uji Parsial (Uji t) Dalam uji persial ditujukan untuk memastikan apakah variabel bebas yang terdapat pada persamaan tersebut secara individu berpengaruh terhadap nilai variabel terikat dengan menggunakan uji t, dimana : (Lupiyoadi, 2001:201) bi Thit = sbi 2) Uji Simultan Dalam uji simultan ditujukan untuk memastikan apakah variabel bebas yang terdapat pada persamaan tersebut secara bersama-sama berpengaruh terhadap nilai varibel terikat, dengan menggunakan uji F (Sugiyono, 1997:204)
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
91
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Fhitung =
R2/K (1-R2)/(N-K-1)
Dimana R = koefisien determinasi N = banyaknya responden K = banyaknya variable bebas b.
Koefisien Determinasi (r2) Langkah berikutnya yaitu mencari besarnya koefisien determinasi parsial (r2) untuk masing-masing variabel bebasnya, kegunaannya dari r 2 ini adalah untuk mengetahui sejauh mana besarnya sumbangan masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Semakin besar r2 untuk masing-masing variabel bebas semakin besar pula sumbangannya terhadap variabel tidak bebas.
c.
Koefisien Korelasi (r) Koefisien korelasi merupakan ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui bagaimnan keeratan hubungan anatara suatu variabel dengan variabel lain (Algifari, 1997:38). Dalam penelitian ini koefisien korelasi digunakan untuk mengetahui tingkat keakuratan hubungan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat. Secara sistematis koefisien korelasi dapat dicari dengan rumus:
Dari hasil yang ada maka dapat diketahui dan dapat ditentukan: (i) Keeratan hubungan Semakin tinggi nilai koefisien korelasi antara variabel X dengan variabel Y (semakin mendekati 1) maka tingkat keeratan hubungan antara dua variabel tersebut semakin
92
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
tinggi, sebaliknya semakin rendah koefisien korelasi anatara variabel X dengan variabel Y (semakin mendekati 0) maka tingkat keeratan hubungan antara dua variabel tersebut semakin lemah. (ii) Mengetahui arah hubungan tanda (+) dan (-) yang terdapat dalam koefisien korelasi adalah menunjukkan hubungan anatara variabel X dengan variabel Y. Tanda (-) pada nilai r menunjukkan hubungan yang berlawanan arah, artinya apabila nilai variabel yang satu naik maka nilai variabel lain turun. Sedangkan tanda (+) pada nilai r menunjukkan hubungan yang searah artinya apabila nilai variabel yang satu naik maka nilai variabel yang lain juga naik. K. HASIL PENELITIAN 1.
Hasil Uji Regresi
a). Uji Regresi Linear Berganda Secara Parsial Uji regresi linear secara parsial ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Berikut dipaparkan ringkasan hasil uji hipotesis: Tabel 2 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis No 1.
2.
Hipotesis Nol (H0) dan Hipotesis Alternatif (H1)
Nilai
Kesimpulan
Harga kedelai tidak berpengaruh secara Sig.t = 0,000 signifikan terhadap permintaan kedelai Prob α = 0,05 Harga kedelai berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kedelai
H0 ditolak
Harga jagung tidak berpengaruh secara Sig.t = 0,001 signifikan terhadap permintaan kedelai Prob α = 0,05 Harga jagung berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kedelai.
H0 ditolak
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
H1 diterima
H1 diterima
93
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
3.
Pendapatan perkapita tidak berpengaruh Sig.t = 0,000 secara signifikan terhadap permintaan Prob α = 0,05 kedelai
H0 ditolak H1 diterima
Pendapatan perkapita berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kedelai 4.
Jumlah penduduk tidak berpengaruh secara Sig.t = 0,000 signifikan terhadap permintaan kedelai Prob α = 0,05 Jumlah penduduk berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kedelai
H0 ditolak H1 diterima
Berdasarkan tabel diatas, hasil pengujian hipotesis nol (H0) pertama ditolak. Nilai t hitung harga kedelai (-6,808) dengan signifikansi 0,000 dan nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari probabilitas α yang ditetapkan yaitu 0,05 (0,000 < 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan hasil t hitung tersebut terdapat korelasi negatif (-6,808) antara harga kedelai dengan permintaan kedelai, artinya kenaikan harga kedelai diikuti penurunan permintaan. Hasil pengujian hipotesis nol (H0) kedua ditolak. Nilai t hitung harga jagung (3,878) dengan signifikansi 0,001 dan nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari probabilitas α yang ditetapkan yaitu 0,05 (0,000 < 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan hasil t hitung tersebut terdapat korelasi positif (3,878) antara harga jagung dengan permintaan kedelai. Hasil pengujian hipotesis nol (H0) ketiga ditolak. Nilai t hitung pendapatan perkapita (-7,693) dengan signifikansi 0,000 dan nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari probabilitas α yang ditetapkan yaitu 0,05 (0,000 < 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan hasil t hitung tersebut terdapat korelasi negatif (-7,693) antara pendapatan perkapita dengan permintaan kedelai, artinya kenaikan pendapatan perkapita diikuti penurunan permintaan kedelai. Hasil pengujian hipotesis nol (H0) keempat juga ditolak. Nilai t hitung jumlah penduduk (26,594) dengan signifikansi 0,000 dan
94
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari probabilitas α yang ditetapkan yaitu 0,05 (0,000 < 0,05). Dengan demikian pengujian menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima. Berdasarkan hasil t hitung tersebut terdapat korelasi positif (26,594)) antara jumlah penduduk dengan permintaan kedelai, artinya pertambahan jumlah penduduk diikuti pertambahan permintaan kedelai. Jadi berdasarkan hasil uji regeresi linear berganda secara parsial, dapat disimpulkan bahwa harga jagung dan jumlah penduduk berpengaruh positf signifikan terhadap permintaan kedelai, sementara harga kedelai dan pendapatan perkapita berpengaruh negatif signifikan terhadap permintaan kedelai. b). Uji Regresi Linear Berganda Secara Simultan Tabel 3 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis No
1.
Hipotesis Nol (H0) dan Hipotesis Alternatif (H1)
Nilai
a. Harga kedelai, harga jagung, Sig.F = 0,000 pendapatan perkapita dan jumlah Prob α = 0,05 penduduk secara simultan tidak berpengaruh positif signifikan terhadap permintaan kedelai
Kesimpulan H0 ditolak H1 diterima
b. Harga kedelai, harga jagung, pendapatan perkapita dan jumlah penduduk secara simultan berpengaruh positif signifikan terhadap permintaan kedelai
Uji regresi linear secara simultan ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Hasil pengujian F hitung adalah 586,917 dengan nilai signifikansi 0,000. Dengan demikian nilai signifikansi yang diperoleh lebih kecil dari probabilitas α yang ditetapkan (0,000 < 0,05). Jadi H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa harga kedelai, harga jagung, pendapatan perkapita dan jumlah penduduk secara bersama-sama berpengaruh positif signifikan terhadap permintaan kedelai. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut: J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
95
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Tabel 4 Hasil Analisis Regresi
Tabel 5 Hasil Anova
Berdasarkan tabel 4.7 diatas maka diperoleh persamaan regersi sebagai berikut: Y = -1756959-0,450X1+1,609X2 - 184,211X3 + 44258,305X4 Dari persamaan garis regresi diatas, dapat dinterpretasi pengaruh masing-masing variabel bebas (X) sebagai berikut: 1.
Harga koefisien konstanta =-1756959. Hal ini berarti bahwa apabila harga kedelai (X1), harga jagung (X2), pendapatan perkapita (X3) dan jumlah penduduk (X4) sama dengan nol (0), maka besarnya permintaan kedelai (Y) akan sebesar -1756959.
2.
Harga koefisien b1 = -0,450. Hal ini berarti bahwa apabila harga kedelai (X1) mengalami kenaikan satu poin, sementara harga jagung (X2), pendapatan perkapita (X3) dan jumlah penduduk (X4) tetap, maka besarnya permintaan kedelai (Y) akan menurun sebesar -0,450.
3.
Harga koefisien b2 = 1,609. Hal ini berarti bahwa apabila harga jagung (X2) mengalami kenaikan satu poin, sementara harga kedelai (X1), pendapatan perkapita (X3) dan jumlah penduduk (X4)tetap,
96
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
maka besarnya permintaan kedelai (Y) akan meningkat sebesar 1,609. 4.
Harga koefisien b3 = -184,211. Hal ini berarti bahwa apabila pendapatan perkapita (X3) mengalami kenaikan satu poin, sementara harga kedelai (X1), harga jagung (X2) dan jumlah penduduk (X4) tetap, maka besarnya permintaan kedelai (Y) akan menurun sebesar -184,211
5.
Harga koefisien b4 = 44258,305. Hal ini berarti bahwa apabila jumlah penduduk (X4) mengalami kenaikan satu poin, sementara harga kedelai (X1), harga jagung (X2) dan pendapatan perkapita (X3) tetap, maka besarnya permintaan kedelai (Y) akan meningkat sebesar 44258,305.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis nol (H0) terlihat bahwa semua hipotesis nol ditolak (ada pengaruh). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat 5 jalur pengaruh yang berhasil membuktikan atau mendukung teori yang digunakan dalam merumuskan hipotesis alternatif (H1). Adapun kuatnya pengaruh kedua variabel bebas terhadap variabel terikatnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6 Hasil Koefisien Diterminasi Model Summary
Change Statistics Model 1 a.
R.997a R Square .994
Adjusted R Square .992
Std. Error of the Estimate 4100.87719
R Square Change .994
F 586.917 Change
df1 4
df2 15
Sig. F Change .000
Predictors: (Constant), Jumlah Penduduk, Harga Kedelai, Harga Jagung, Pendapatan Perkapita
Hasil analisis korelasi yang diperoleh dari output regresi menunjukkan pengaruh variabel harga kedelai, harga jagung, pendaptan perkapita dan jumlah penduduk diperoleh nilai adjusted R Square = 0,992. Angka ini menunjukkan bahwa variasi permintaan kedelai yang dapat dijelaskan oleh persamaan regresi diperoleh sebesar 99,2% sedangkan sisanya dipengaruhi variabel lain diluar model regresi yang diperoleh.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
97
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
L. PEMBAHASAN 1.
Elastisitas Permintaan Kedelai di Indonesia
a). Elastisitas Harga Kedelai Terhadap Permintaan Kedelai Koefisien harga kedelai terhadap permintaan kedelai sebesar -0,450, jadi elastisitas harga kedelai dalam negeri terhadap permintaan kedelai adalah sebesar -0,450. Ini berarti bahwa setiap kenaikan 1% harga kedelai, akan menurunkan permintaan kedelai sebesar 0,450%. Perubahan permintaan ini lebih kecil daripada perubahan harga, karena nilai elastisitas <1 maka elastisitas permintaan kedelai terhadap harga kedelai bersifat in-lastis. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Team Fakultas Pertanian IPB (1992) menunjukkan bahwa elastisitas harga terhadap permintaan bersifat elastis yaitu -0,450. Sedangkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam penelitian multikomoditi menghasilkan elastisitas yang bersifat ielastis sebesar -0,687. Sedangkan penelitian Sahara dan Endang (2005), Nilai elastisitas harga terhadap permintaan kedelai untuk jangka pendek sebesar –6,675 dan nilai elastisitas harga terhadap permintaan kedelai untuk jangka panjang sebesar –3,3415. Nilai elastisitas permintaan kedelai untuk jangka pendek lebih kecil daripada nilai elastisitas jangka panjang. Harga mutlak dari koefisien elastisitas harga lebih besar dari satu menandakan bahwa permintaan kedelai bersifat elastis atau dengan kata lain kenaikan harga kedelai diikuti oleh penurunan jumlah kedelai yang diminta dalam porsi yang lebih besar. Perbedaan angka elastisitas permintaan diatas disebabkan karena model dan data yang digunakan dalam penelitian berbeda. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan perubahan harga kedelai dalam negeri akan memberikan dampak yang besar terhadap permintaan kedelai di Indonesia. b). Elastisitas Harga Jagung Terhadap Permintaan Kedelai Elastisitas harga jagung terhadap permintaan kedelai adalah 1,609. Angka ini berarti bahwa setiap kenaikan harga jagung sebesar 1%, maka akan meningkatkan permintaan kedelai sebesar
98
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
1,609%, elastisitas harga jagung terhadap permintaan kedelai bersifat elastis (>1). Permintaan bersifat elastis artinya hubungan permintaan dimana prosentase perubahan kuantitas yang diminta lebih besar dalam nilai absolut dibandingkan dengan prosentase perubahan harga. (Case, Fair. 2003:108). Salah satu subtitusi kedelai adalah jagung, jadi apabila harga jagung meningkat maka permintaan kedelai akan naik, karena jagung dan kedelai merupakan barang subtitusi. Mankiw (2009:83) barang substitusi adalah suatu pasangan barang yang jika salah satu mengalami peningkatan permintaan, permintaan yang lain akan mengikutinya. c). Elastisitas Pendapatan Perkapita Terhadap Permintaan Kedelai Elastisitas jumlah pendapatan perkapita terhadap permintaan kedelai adalah -184,211. Angka ini berarti bahwa setiap kenaikan harga jagung sebesar 1%, maka akan menurunkan permintaan kedelai sebesar -184,211%, elastisitas pendapatan perkapita terhadap permintaan kedelai bersifat elastis (<1) karenaya lebih dari 1. Adapun arah hubungannya negatif. Artinya ketika pendapatan perkapita meningkat akan menyebabkan permintaan kedelai turun. Arah negatif ini dimungkinkan karena setiap kali pendapatan penduduk meningkat maka akan beralih mengkonsumsi makanan lainnya, dan bila pendapatan perkapita meningkat maka tempe akan menjadi barang inferior. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh mankiw (2009:83) barang inferior adalah barang yang jumlah permintaannya akan naik ketika pendapatan turun, begitu pula sebaliknya jika semua hal lain tidak berubah d). Elastisitas Jumlah Penduduk Terhadap Permintaan Kedelai Elastisitas jumlah penduduk terhadap permintaan kedelai dengan adalah 44258,305. Angka ini berarti bahwa setiap penambahan jumlah penduduk sebesar 1%, maka akan meningkatkan permintaan kedelai sebesar 44252,385%, elastisitas jumlah penduduk terhadap permintaan kedelai bersifat elastis (>1). Hasil penelitian Widjajanti (2006), elastisitas jumlah penduduk terhadap permintaan bersifat elastis sebesar 2,85. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
99
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Dengan demikian jumlah penduduk memberikan dampak yang sangat besar terhadap permintaan kedelai di Indonesia. Artinya bagi pemerintah, dengan mengetahui pertumbuhan jumlah penduduk dapat disusun suatu kebijakan yang mendukung mengenai permintaan kedelai di Indonesia. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan yang disarankan untuk mengatasi permintaan kedelai yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, yaitu dengan pemberian penyuluhan kepada petani kedelai mengenai bagaimana cara menanam kedelai yang unggul, ataupun dengan menerapkan program keluarga berencana, karena selain mengatasi lonjakan jumlah penduduk, juga dapat menangani permintaan kedelai yang berlebih. M. Faktor Yang Memiliki kepekaan (elastisitas) Permintaan Kedelai paling besar Variabel yang memiliki kepekaan/elastisitas permintaan kedelai paling besar dapat dilihat dari nilai elastisitasnya yang tercermin pada koefisien regresi. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut: Tabel 7 Perbandingan nilai elastisitas Variabel yang mempengaruhi Permintaan Kedelai
No
Variabel
Koefisien elastisitas
1
Harga Kedelai
2 3 4
1,609 Harga Jagung Pendapatan Perkapita - 184,211 Jumlah Penduduk 44258.305
-0,450
Signifikansi 0.000 0.001 0.000
0.000
Sumber: data sekunder, Hasil perhitungan SPSS Versi 16.1 (2013)
Berdasarkan data koefisien variabel di atas maka variabel yang memiliki kepekaan paling tinggi adalah jumlah penduduk dengan nilai elastisitas sebesar 44258,305. Hal ini menunjukkan pengaruh yang sangat tinggi. Jumlah penduduk yang tiap tahunnya terus bertambah dan selera masyarakat indonesia akan tempe sangat tinggi dalam setiap 100
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
tahunnya inilah yang menyebabkan dampak yang besar pula Menurut Menteri Pertanian, Suswono dalam tribunnews.com edisi 30 desember 2013 menyebutkan produksi kedelai hanya sebesar 807,6 ribu ton, adapun kebutuhan masyarakat mencapai 2.115,7 ribu ton stok kedelai di Indonesia pada tahun 2013 mengalami defisit sebanyak 1,3 juta ton. Variabel kedua yang memiliki nilai elastisitas tinggi setelah jumlah penduduk adalah pendapatan perkapita, dimana nilai elastisitasnya adalah -184,11. Sesungguhnya jika jumlah pendapatan perkapita meningkat, sedikit dapat mengurangi permintaan kedelai walaupun pengurangan konsumsi tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk karena penduduk yang awalnya mengkonsumsi kedelai melalui produk olahan seperti tahu dan tempe akan beralih ke makanan lainya seperti ayam, telur maupun daging. Jadi walaupun ada pengurangan konsumsi kedelai elastisitas permintaan kedelai masih sangat tinggi karena tidak sebanding antara penambahan jumlah permintaan dan jumlah penawarannya. Variabel ketiga yang memiliki nilai elastisitas tinggi setelah jumlah penduduk adalah permintaan jagung, dimana nilai elastisitasnya adalah 1,609. Jika harga jagung mengalami peningkatan maka masyarakat akan meningkatkan konsumsi kedelai begitu pula sebaliknya. Nilai elastisitas permintaan kedelai yang paling kecil dalam penelitian ini adalah harga kedelai yaitu -0,450, artinya elastisitas harga kedelai bersifat in elastis Bisa kita katakan perubahan jumlah permintaan kedelai tidak sebanding dengan jumlah perubahan harganya. Ketika harga naik, maka prosentase kenaikan harga lebih besar daripada prosentase penurunan permintaannya. N. KESIMPULAN dan SARAN Setelah dilakukan analisis hasil penelitian dan pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut, maka pada bagian ini akan diuraikan kesimpulan dari pembahasan dan juga saran-saran. a.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
101
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
1.
Berdasarkan pada koefisien korelasi variabel yang telah diuji variabel harga kedelai elastisitasnya besifat in elastis, artinya perubahan harga kedelai hanya sedikit mempengaruhi perubahan jumlah permintaaan kedelai. Sedangkan untuk variabel lainnya harga jagung, pendapatan perkapita dan jumlah penduduk memiliki nilai elastisitas yang bersifat elastis. Artinya apabila prosentase perubahan permintaan kedelai lebih banyak daripada variabel harga jagung, variabel pendapatan perkapita dan variabel jumlah penduduk
2.
Berdasarkan koefisien regresi koefisien elastisitas harga kedelai sebesar -0,450 koefisien elastisitas harga jagung sebesar 1,609, koefisien elastisitas pendapatan perkapita sebesar -184,21, dan koefisien elastisitas jumlah penduduk sebesar 44258,305. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang memiliki kepekaan paling tinggi (elastisitas) terhadap permintaan kedelai di Indonesia adalah jumlah penduduk.
b. Saran Melihat hasil penelitian tersebut, faktor yang paling tinggi elastisitasnya terhadap harga kedelai adalah jumlah penduduk. Mengingat setiap tahunnya jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat dan akan berbanding lurus dengan kebutuhan pangan pokok seperti kedelai, maka peran pemerintah menjadi penting dapat merumuskan kebijakan yang tepat sesuai dengan perkembangan supply dan demand kedelai saat ini, sehingga ketersediaan kedelai di Indonesia terpenuhi. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2013. Harga Pergadangan Hasil Pertanian dan Bahan Ekspor. Jakarta: Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik. 2011. Agregat Pendapatan dan Pendapatan Perkapita. Jakarta: Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk. Jakarta: Badan Pusat Statistik
102
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Case dan Fair, 2003. Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro.Jakarta: Salemba Empat Dewi Sahara, Endang, 2005. Analisis Permintaan Kedelai Di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Journal SOCA (SOCIO-ECONOMIC OF AGRICULTURRE AND AGRIBUSINESS) Vol. 5, No. 3 November 2005 Facino. Andi. 2012. Penawaran Kedelai Dunia Dan Permintaan Impor Kedelai Indonesia Serta Kebijakan Perkedelaian Nasional. Bogor: Fakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Skripsi Tidak Diterbitkan Hassan, M. Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia Hassan, M. Iqbal. 2006. Analisis Data Penelitian dengan Statistik, (Jakarta: Bumi Aksara) Hirawan, Fajar B. Dilema Pemenuhan Kebutuhan Pangan. MEDIA INDONESIA. 02 Agustus 2013. http://budisansblog.blogspot. com/2013/08/dilema-pemenuhan-kebutuhan-pangan_2698. html Iswara, Padjar; Diki Sudrajat (19 March 2010). “Kedelai Setelah Satu Dekade”. Majalah Tempo. Diakses 29 Oktober 2013 Luthfiya F.P., 2011. Pengantar Ilmu Ekonomi. Yogyakarta:Insira Mankiw, 2009. Pengantar Ekonomi Mikro Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Empat Putra Agung Prabowo, 2013. Krisis Pangan Siap Guncang Indonesia. http:// kampus.okezone.com/read/2013/06/01/95/816019/krisis-pangansiap-guncang-indonesia Diakses 28 Oktober 2013 Purnamasari R. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Dan Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Purwanto T. 2009. Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Impor Kacang Kedelai Nasional Periode 1987-2007 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
103
Luthfiya Fathi Pusposari - Analisis Permintaan Kedelai di Indonesia
Rukmana. R, Yuniarsih. Y, 1996. Kedelai “Budidaya dan Pasca Panen”. Sadono Sukirno. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Santoso, Singgih. 2001. SPSS: Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Jakarta: Elex Media Komputindo Sibue, Posman. Arah Pembangunan Ketahanan Pangan 2013 http:// www.diperta.jabarprov.go.id/. Diakses 29 Oktober 2013 Subkhan, Ahmad, dkk. 2012. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Kedelai (Glycine max Merr) di Indonesia. Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang http://ahahermanto.wordpress. com/2012/05/05/analisa-permintaan-dan-penawaran-kedelai/ Diakses 28 Oktober 2013 Sudarmanto, R. Gunawan. 2005. Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS, Yogyakarta: Graha Ilmu Sudaryanto.T. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia “Konsumsi Kedelai”. Bogor: IPB Press. Sulaiman, Wahid. 2004. Analis Regresi Menggunakan SPSS, Yogyakarta: Andi Tia Aprilia, 2013. Imdonesia Harus Impor 12 juta ton kedelai http://www. tribunnews.com/bisnis/2013/12/30/indonesia-harus-impor-12juta-ton-kedelai. Diakses 27 Oktober 2013 Yogi Ardhi Chahyadi, 2013. Penduduk Indonesia Diperkirakan 250 Juta Jiwa, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/17/ mq2oy6-2013-penduduk-indonesia-diperkirakan-250-juta-jiwa. Diakses 29 Oktober 2013
104
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
KAPITAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA Miftahusyaian1 Abstract Social capital related with collective value in the social network which is growth-develop as the implication of reciprocal relationship that occur therein. Collective value is naturally creating and maintaining social capital. Increases, decreases, or the survival social capital is depends on the collective values that exist in social network. In short, social capital is recognized has great influence from economic development and poverty reduction. In Indonesia to dig and take the hidden social capital need to be knitted trust of each element of this nation. Trust is media and first step to bind “Bridging Social Capital” of Indonesia. Ethic, religion, race, language, party, ideology, and other various primordial barriers should be fostered to strengthen social capital. Indonesia has been proven -through the struggle against the colonizer- that social capital in Indonesia is so “extraordinary”.
Keywords: Social Capital, Development. A. Pendahuluan Dalam “The Forms of Capital”, Pierre Bourdieu (1986) membagi kapital dalam tiga bentuk, yaitu : kapital ekonomi (economic capital), kapital budaya (cultural capital) dan kapital sosial (social capital). Kapital ekonomi lebih mengarah pada penguasaan sumber daya ekonomi, seperti : uang dan hak milik (asset). Kapital budaya mengacu pada bentuk-bentuk ilmu-pengetahuan, skills, pendidikan yang banyak memberikan keuntungan bagi manusia untuk mendapatkan martabat yang lebih tinggi – termasuk cita-cita yang agung – dalam masyarakat. Menurut Bourdieu, para orang tua mengenalkan pada anak-anak kapital budaya berupa prilaku dan ilmu-pengetahuan (cara pandang) melalui sistem pendidikan yang nyaman, sehingga memudahkan transformasi dan kesinambungan budaya antar generasi. Dan, kapital 1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144
105
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
sosial mengacu pada sumberdaya yang terkandung, mempengaruhi dan mendukung sebuah kelompok sosial (dan juga masyarakat – pen) berupa keanggotaan, relasi/hubungan dan jejaring/jaringan. Dari ketiga kapital tersebut, untuk konteks strategi pembangunan di Indonesia cenderung menganak-emaskan kapital ekonomi. Selama ini, kapital ekonomi sering diartikan dengan pengakumulasian sumberdaya uang sehingga mempengaruhi aktivitas yang lebih pragmatis. Dalam konteks ini, seolah-olah uang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok. Uang, menjadi kekuatan tersembunyi (invissible hand) untuk mengintegrasikan seluruh kepentingan manusia, baik individual maupuk kelompok. Tetapi, menurut Lawang (dalam Adnan, 2006 : 96) kapital ekonomi bukanlah akumulasi dari keuangan, kapital ekonomi tidak sama dengan uang. Ia (baca: uang) hanya berfungsi sebagai alat tukar. Sedangkan kapital ekonomi adalah sebuah kapasitas untuk menata kesempatan atau peluang untuk memperoleh uang (memenuhi kebutuhan). Dalam proses pemenuhan kebutuhan itulah interaksi sosial terjadi dan pertarungan ego selalu tumbuh subur. Kapital ekonomi mendorong individu/kelompok untuk saling berebut mendapatkan uang atau memenuhi kebutuhan. Hal ini menjadikan hubungan sosial yang dibangun berwatak materialism-individual. Relasi-relasi sosial yang bersifat altruistik, demi kepentingan bersama menjadi terabaikan. Strategi pembangunan yang mengedepankan kapital ekonomi – secara signifikan – berimplikasi terjadinya kompetisi (atau bahkan konflik) di masyarakat. Banyak kasus-kasus di lapangan (YIIS, 2001:26) yang menunjukkan bahwa kerusuhan sosial seringkali disebabkan oleh adanya kecemburuan sosial, akibat kesenjangan yang cukup tajam antara yang kaya dengan yang miskin. Lebih dari itu, orientasi pembangunan berbasis kapital ekonomi juga memunculkan masalah-masalah sosial yang kompleks, seperti : kriminalitas, prostitusi, kenakalan remaja, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pengangguran, prilaku bias gender, kemiskinan, munculnya pemukiman-pemukiman kumuh, polusi udara dan seterusnya. Dalam bahasa lain, pembangunan yang hanya berbasis kapital ekonomi ini, pada kenyataannya, melahirkan ironi pada tatanan kehidupan 106
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
berbangsa dan bernegara. Artinya, substansi pembangunan mengalami distorsi fungsional, seperti makin tajamnya frekuensi kekerasan dan ketimpangan sosial. Bukti konkretnya adalah terjadinya kerusuhan sosial dan tingginya kriminalitas di banyak tempat. Oleh karena itu, para teoritikus sosial berpandangan bahwa “Development Studies” merupakan sebuah bidang kajian yang multidimensi. Pembangunan tidak bisa dikaji hanya dengan menggunakan prespektif ekonomi semata tanpa mempertimbangkan aspek yang lain, aspek sosial dan budaya misalnya. Paper ini bermaksud mengurai “benang kusut” pembangunan di Indonesia dengan menggunakan sudut pandang social capital. Social capital merupakan konsep baru dalam ilmu sosiologi yang baru berkembang menjelang akhir abad 20. Di Indonesia, kajian yang mendalam tentang social capital ini masih jarang dilakukan – bahkan hampir tidak ada. Padahal, untuk konteks pembangunan di Indonesia, kajian tentang social capital ini sangat relevan dilakukan. Kami berharap, tulisan ini bisa menggugah kesadaran kognitif kita tentang pentingnya mengkaji pembangunan dalam prepektif sosial (dan budaya tentunya). B. Apa Itu Kapital Sosial ? Konsep kapital sosial didasarkan atas sebuah premis mayor bahwa manusia sebagai makhluk sosial mempunyai naluri alamiah untuk mengikat hubungan pertemanan atau persaudaraan. Pierre Bourdieu (1986), mendefinisikan kapital sosial sebagai berikut : “Social Capital as the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance and recognition.”(Bourdieu, 1986).
(Kapital sosial sebagai akumulasi sumberdaya aktual atau potensial yang berkaitan dengan penguasaan jaringan yang mampu bertahan lama atau setidak-tidaknya pelembagaan hubungan perkenalan dan pemberian penghargaan yang saling menguntungkan). Bourdieu berpandangan bahwa setiap jaringan sosial mempunyai kemampuan untuk mereproduksi kekuatan (power) dan keragaman J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
107
x
xi
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
(Dwyer et.all, 2006). Keragaman (inequality) yang tereproduksi dalam sebuah jaringan sosial mempunyai nilai tambah yang menguntungkan dalam hal pembagian “deskripsi kerja” (job description) masing-masing individu/kelompok yang terdapat dalam jaringan sosial tersebut. Dalam bahasa lain, kapital sosial berhubungan dengan nilai kolektif dalam sebuah jaringan sosial yang tumbuh-kembang sebagai implikasi dari hubungan-hubungan timbal balik yang terjadi didalamnya. Nilai kolektif inilah yang secara “alamiah” menciptakan dan mempertahankan kapital sosial. Bertambah, berkurang ataupun bertahannya kapital sosial tergantung dari nilai kolektif yang ada dalam sebuah jaringan sosial. Lebih jauh, Putnam, penggagas awal kapital sosial (meski bukan yang original) mendefinisikan kapital sosial sebagai : “Social Capital is features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit” (Putnam 1995).
(kapital sosial adalah bagian dari organisasi sosial berupa jaringanjaringan (sosial – pen), norma-norma (sosial – pen) dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama.) Pemaknaan tentang kapital sosial dari Boudieu dan Putnam di atas mengisyaratkan bahwa – berbeda dengan kapital ekonomi yang cenderung individualistik – kapital sosial menghendaki adanya masyarakat yang dibangun secara komunal. Kapital sosial lebih mengarahkan membangun masyarakat (dan juga negara) dengan menggali potensi sumberdaya sosial berupa koneksitas yang saling menguntungkan dalam sebuah jaringan sosial.
x 100%
Secara bangunan teoritis, Lin (1999) memasukkan teori tentang kapital sosial ini dalam bingkai “The Neo Capital Theories” (lihat Tabel 1). Lin sendiri – berbeda dengan Bourdieu dan Putnam – melihat kapital sosial lebih cenderung dalam prespektif individual, yakni seberapa jauh kemampuan individu/ kelompok dalam mengakses untuk/dan menggunakan sumberdaya sosial yang tersimpan (embedded) pada sebuah jaringan-jaringan sosial. Kapasitas individu/kelompok tersebut dalam mengakses sumberdaya sosial akan memperkuat sekaligus mempertahankan eksistensi dirinya. 108
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Table 1. Teori-Teori Kapital The Classical Capital Theory Theorist
Explanation
Capital
Level of analysis
Marx Social relations: Exploitation by the capitalists (bougeoise) of the proletariat. Part of surplus value between the use value (in cosumption market) and the exchange value (in productionlabor market of the commodity) Invesment in the production and circulation of commodities. Structural (classes)
The Neo-Capital Theories Cultural Capital Social Capital Lin, Burt, Bourdieu, Schultz, Becker Bourdieu Marsden, Flap, Coleman, Coleman Putnam Reproduc- tion of Access to and Accumulation of dominant symbols Solidarity and use embedded surplus value by and meanings reproduction of in social laborer (values). group networks Human Capital
Invesment in technical skills and knowledge
Internationalization Invesment or misrecognition in social of dominant values networks
Individual
Individual/class
individual
Invesment in mutual recognitian and acknowledgment
Individual or group
Sumber : Lin, 1999: 30
Bagi Lin, setiap komunitas atau kelompok sosial pasti mempunyai simpanan sumber daya (embedded resouces) sosial. Individu yang mampu menggali, mengumpulkan dan memanfaatkan sumber daya sosial inilah yang bisa menikmati kapital sosial. Oleh karena itu, Lin menganjurkan, untuk memperbanyak/memperkaya kapital sosial, individu harus melakukan banyak investasi pada jaringan-jaringan sosial. Investasi sosial ini bisa berupa : aktif dalam organisasi-organisasi sosial; memberi penghargaan, bantuan atau empati pada kolega; memperluas jaringan sosial dengan membuka perkenalan dan pertemanan baru atau suasana (tempat) baru. Meskipun terdapat perbedaan pandangan tentang kapital sosial di antara para teoritikus, terdapat satu persamaan persepsi di antara mereka J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
109
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
bahwa jaringan sosial (social network) merupakan elemen terpenting dari kapital sosial. Untuk kepentingan analisis sosial, Putnam (2000) membagi kapital sosial (baca:koneksitas) sebuah jaringan sosial dalam dua bentuk, yaitu : 1.
Bonding, berhubungan dengan bentuk koneksitas yang bersifat intim, melekat dan kuat. Koneksitas seperti ini dapat terwujud dalam jaringan sosial yang bersifat homogen. Contoh yang digunakan Putnam adalah gang-gang kriminal (seperti : Yakuza dan Mafia).
2.
Bridging, berhubungan dengan bentuk koneksitas yang lebih bersifat longgar, terbuka dan plural. Koneksitas seperti ini dapat terwujud dalam jaringan sosial yang bersifat heterogen. Contoh yang diambil Putnam adalah kelompok paduan suara dan klub bowling (sesuai dengan judul bukunya).
Menurut Putnam, Bridging Social Capital harus terus dijaga dan dipertahankan keberadaannya. Bridging Social Capital, masih menurut Putnam, mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat, pemerintah, individu dan komunitas. Untuk memperkuat kapital sosial, masyarakat harus didorong menumbuhkan (to create) organisasi-organisasi sosial berkarakter bridging ini dan aktif didalamnya. Putnam berujar : “joinning an organization cuts in half an individual’s chance of dying within the next year.” (Putnam, 2000) (Bergabung dalam sebuah organisasi (sosial/bridging – pen) memotong ½ dari kemungkinan kematian individu dalam setahun ke depan). Singkatnya, kapital sosial diakui mempunyai pengaruh yang besar mulai dari peningkatan perekonomian dan penanggulangan kemiskinan (Rudy, 2006; Hayami, 1997; dan Quillian, 2006;) , sampai dengan terciptanya masyarakat sipil (civil society) [Putnam, 1993; Burt, 2000; De Fillipis, 2001; Dwyer, et.ell, 2006; dan Fukuyama, 1999]. C. Trust : Menemukan Kembali Kapital Sosial Indonesia yang Terpendam Thomas Hobbes membuat sebuah asumsi bahwa hakekatnya manusia adalah individu yang cenderung senang berkelahi, senang
110
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
berperang dan berkonflik untuk memperebutkan status dan peran yang lebih besar di masyarakat. Kerjasama terjadi hanya sekedar alat negoisasi untuk mendapatkan kemenangan yang lebih besar. Asumsi ini agaknya merupakan ide awal dari pemikiran Filsafat Eksistensialisme di Eropa (Perancis), yang terutama dikembangkan oleh Jean Paul Sartre. Menurut Sartre (Murata, 1996) : “Manusia tidak mempunyai sifat alami, fitrah atau esensi (innate nature). Eksistensi manusia tergantung pada bagaimana ia menciptakan esensunya sendiri. Karenanya apa yang dimaksud dengan esensi manusia pada dasarnya adalah socially created, yaitu tergantung dari lingkungan di mana ia berada.” Bagi penganut faham eksistensialisme, untuk menciptakan esensi bagi keberadaan (baca : eksistensi) dirinya dalam sebuah masyarakat, maka dia harus menggagas “socially created” yang menunjang untuk itu. Asumsi bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk berkelahi atau berperang seperti yang dikemukakan oleh Thomas hobbes di atas, ditolak oleh para teoritikus kapital sosial, Francis Fukuyama misalnya. Bagi Fukuyama, justru sebaliknya, manusia adalah individu yang cenderung suka bekerjasama. Dalam buku The Great Discruption (2002), Fukuyama mengajukan beberapa data lapangan yang menunjukkan bahwa hubungan kerjasama adalah sebuah keniscayaan bagi komunitas manusia. Kerjasama adalah sebuah kapital sosial yang harus dipertahankan. Terdapat tiga item paralel (lihat gambar 1) bagi terwujudnya kapital sosial yang tangguh, yaitu Trust (kepercayaan), Reciprocity (hubungan timbal balik) dan Collectivity (aksi bersama).
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
111
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
TRUST
COLLECTIVITY
RECIPROCITY
Sumber : diadaptasi dari Fukuyama, 2002 Gb. 1. Relasi antara Trust, Reciprocity dan Collectivity Menurut Fukuyama, trust (kepercayaan) merupakan pondasi utama sekaligus pengikat bagi terjalinnya kerjasama (cooperation) dan koordinasi (coordination). Adanya kepercayaan (trust) memungkinkan terwujudnya hubungan timbal balik dan aksi bersama yang bersifat genuin, didorong atas dasar kebutuhan komunitas, dan mampu menggerakkan seluruh potensi kapital sosial yang terpendam. Lin, Bart, Marsden, Flap dan Coleman – untuk memperkuat dan mereproduksi kapital sosial – menganjurkan melakukan investasi (sosial) dalam jejaring sosial (social networks), sedangkan Bourdieu dan Putnam lebih cenderung menganjurkan investasi (sosial) dalam bentuk saling memberikan penghargaan dan pengakuan. Kepercayaan (trust) merupakan wujud konkret investasi sosial dalam jejaring sosial seperti yang dianjurkan oleh Lin. dkk. Sementara itu, dalam konteks investasi sosial seperti yang dianjurkan oleh Bourdieu dan Putnam, pemberian penghargaan dan pengakuan merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan dan memberikan kepercayaan (trust). Oleh karena itu, para teoritikus sosial sepakat bahwa kepercayaan (trust) adalah sesuatu yang elementer dalam memperkuat dan mereproduksi kapital sosial. Giddens (dalam Juliawan, 2000) mendefinisikan trust sebagai :
112
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
“Keyakinan (confidence) terhadap dapat dipercayainya seseorang atau bekerjanya suatu sistem dalam sebuah kejadian (menyangkut pribadi) atau untuk menghasilkan out-put tertentu (suatu sistem).” Berpijak dari definisi tersebut, Giddens (Juliawan, 2000) membagi trust dalam dua tipe yang satu sama lainnya saling terkait, yaitu : 1.
Trust terhadap abstract systems, yakni kepercayaan (trust) yang terbangun sebagai implikasi dari berfungsinya institusi-institusi publik dengan baik. Misalnya, para nasabah bank menaruh kepercayaan terhadap hitungan saldo yang tertuang dalam mesin ATM atau calon penumpang pesawat terbang yang percaya (trust) bahwa pukul 07.00 WIB, pesawat akan tinggal landas. Artinya, dalam konteks ini, piranti-piranti (atau juga institusi-instiusi) modern menghasilkan keajegan sistem (dan ini bersifat rutin) sehingga individu/kelompok merasa yakin (cofident) akan terulangnya keajegan sistem tersebut diwaktu-waktu mendatang.
2.
Trust terhadap personal, kepercayaan (trust) yang terbangun sebagai implikasi adanya interaksi intim dan terus-menerus antara individu yang satu dengan individu yang lain. Misalnya, seorang anak yang menjalin interaksi intim dan terus-menerus dengan ibunya akan menghasilkan hubungan yang saling mempercayai.
Kedua tipe trust tersebut saling berhubungan, tak dapat dipisahkan. Keberadaannya (trust) secara simultan dan otomatis akan menggali sekaligus mengumpulkan puing-puing kapital sosial yang berserak dan terpendam. Untuk konteks Indonesia post-reformasi, keberadaan trust merupakan sesuatu yang harus menjadi sorotan. Indikasi terjadinya krisis kepercayaan di segala bidang merupakan fenomena umum yang dapat kita simak setiap hari. Korupsi, kolusi, nepotisme, kriminalitas, dan bentuk-bentuk patologi sosial lainnya merupakan indikator bahwa di Indonesia saat ini sedang mengalami “anomie” sosial yang berakar dari telah lunturnya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap para pemimpin, hukum, sistem, teman sejawat dan yang sangat memprihatinkan, masyarakat Indonesia sekarang ini juga sedang mengalami indikasi ketidakpercayaan pada kebudayaannya sendiri.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
113
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Hal ini merupakan sebuah ironi dari bangsa besar yang keberadaannya berawal dari hasil akumulasi perjuangan kolektif seluruh elemen bangsa, dari Sabang sampai Merauke. Indonesia hadir sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) dan diakui dunia bukan karena hadiah dari penjajah Hindia-Belanda dan/atau Jepang, tetapi atas usaha kolektif seluruh anak bangsa. Kekolektifitasan – terpatri dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika – yang pernah menjadi tumpuan Indonesia tersebut sekarang telah hilang. Kapital sosial Indonesia yang kuat dan tangguh agaknya sekarang telah memudar, hilang-terpendam oleh egoisme individu/kelompok. Oleh karena itu, untuk menggali dan mengangkat kembali kapital sosial yang terpendam tersebut perlu dirajut kepercayaan (trust) dari masing-masing elemen bangsa. Trust merupakan media dan langkah awal untuk mengikat ‘Bridging Social Capital” yang dimiliki Indonesia. Suku, agama, ras, bahasa, partai, ideologi, dan beragam sekat-sekat primordial lainnya seharusnya ditumbuh-kembangkan untuk memperkuat kapital sosial. Dan, Indonesia pernah membuktikan – melalui perjuangan melawan penjajah – bahwa kapital sosial yang dimiliki Indonesia sangat “luar biasa” dahsyatnya. D. Urgensi Kapital Sosial dalam Pembangunan Berbasis Komunitas Strategi pembangunan seharusnya dilihat sebagai proses multidimensi yang mencakup bukan hanya aspek pembangunan ekonomi, tapi juga mencakup diantaranya aspek perubahan dalam strukur sosial, politik, prilaku maupun struktur kelembagaan kemasyarakatan. Menurut beberapa pengamat, krisis yang melibas berbagai tatanan kehidupan bangsa Indonesia selama ini salah satu sebab utamanya karena kekeliruan pemerintah dalam menerapkan strategi pembangunan, yang terlalu menitikberatkan pada pembangunan ekonomi dengan target pertumbuhannya yang tinggi. Dalam bahasa populer dikenal dengan istilah ekonomi sebagai panglima pembangunan. Menurut Mas’oed (2003), disamping ekonomi sebagai panglima (ESP) masih terdapat dua lagi pendekatan pembangunan, yaitu : politik
114
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
sebagai panglima (PSP) dan moral sebagai panglima (MSP). Tabel 2 memberikan secara ringkas beberapa perbedaan masing-masing pendekatan pembangunan tersebut. Bagi Mas’oed, pendekatan PSP memprioritaskan pertimbangan politik dalam proses pembangunan dan menekankan peranan negara, yang diwakili oleh para birokratnya, sebagai aktor pertama pembangunan. Negara, yang didukung oleh mekanisme kekuasaan politik dan dituntun oleh ideologi “statist” – cenderung otoriter – dipandang sebagai satusatunya pelaku yang mampu melakukan intervensi ke dalam proses pembangunan ekonomi demi mengatasi berbagai “bottlenecks” yang dihadapi oleh proses itu. Karena itu, pembangunan yang berhasil hanya mungkin kalau dijamin oleh negara yang kuat. Dengan kata lain, esensi dari proses pembangunan adalah pembinaan kekuatan negara. Tabel 2. Tiga Pendekatan Pembangunan
AKTOR MEKANISME IDEOLOGI
Politik Sebagai Panglima (PSP)
Ekonomi Sebagai Panglima (ESP)
Negara (birokrasi)
Pasar (pengusaha)
Kekuasaan politik Statisme/konservatif
Kekuasaan ekonomi Liberal
Moral Sebagai Panglima (MSP) Komunitas lokal (rakyat) Kekuasaan rakyat Populis
Sumber : Mas’oed (2003) Sementara itu, pendekatan ESP lebih mengutamakan peranan pengusaha dan korporasi dalam proses pembangunan. Para aktor ini dibayangkan melakukan alokasi sumberdaya dan pembuatan keputusan ekonomi lain berdasrkan pertimbangan pasar, yaitu mengikuti dinamika kekuatan permintaan dan penawaran. Dengan demikian, mereka juga dianggap berkecenderungan liberal, dalam arti lebih suka bekerja tanpa banyak intervensi pemerintah. Ini terutama nampak jelas pada sikap mereka yang setiap kali ada kelesuan ekonomi menuduh kekakuan birokrasi sebagai biang keladinya dan karena itu menuntut deregulasi atau pelonggaran intervensi negara terhadap proses produksi. Kalau toh negara harus melakukan intervensi, tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi yang diperlukan bagi akumulasi dan reproduksi kapital.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
115
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Kelompok pemikiran MSP, walaupun sering diperdebatkan di kalangan cendikiawan, bukan pendekatan yang biasa dibahas di kalangan elit penguasa. Ini adalah pandangan yang menegaskan bahwa cara paling efektif untuk menangani persoalan kemiskinan yang dihadapi rakyat adalah dengan membantu mereka menemukan kekuatan mereka sendiri. Untuk itu, wewenang pembuatan keputusan mengenai pembangunan, yang selama ini dimonopoli pemerintah, harus dikembalikan kepada rakyat atau komunitas lokal. Lapisan masyarakat yang dalam retorika para elit penguasa selalu disebut-sebut sebagai pelaku pembangunan yang sejati. Karena itu, mekanisme pembangunan yang diandalkan adalah kekuatan rakyat (people power). Misalnya demi menanggulangi krisis pembangunan sekarang ini, seperti masih meluasnya kemiskinan, memburuknya perusakan lingkungan dan meningkatnya tindak kekerasan, pendekatan yang didasarkan pada ideologi populisme ini menganjurkan pengaktifan kembali lembagalembaga lokal. Sementara pendekatan pertama menekankan peranan negara sebagai mode pengorganisasian yang dominan, dan pendekatan kedua menekankan korporasi, pendekatan ketiga ini mengandalkan pengorganisasian politik (dan sosial) berupa gerakan-gerakan sosial yang “issue oriented” dan yang memiliki aspirasi global melintas batasbatas negara-bangsa (nation-state). Berbagai gerakan sosial ini berfungsi memobilisasi kekuatan dari bawah dengan tujuan mengendalikan kondisi-kondisi kehidupan yang fundamental, seperti pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan hak-hak asasi lainnya. Orientasi pembangunan dengan pendekatan Moral Sebagai Panglima (MSP) – dan ini dianggap oleh para ilmuwan sebagai pendekatan yang proporsional untuk menciptakan keseimbangan pembangunan – adalah menjadikan rakyat atau komunitas lokal sebagai aktor utama. Hal ini mengharuskan proses pembangunan memihak pada kepentingan dan kebutuhan rakyat. Dalam konteks strategi pembangunan, pendekatan MSP ini mempunyai hubungan yang paralel dengan konsep ekonomi kerakyatan dan/atau pemberdayaan masyarakat. Menjadikan rakyat atau komunitas lokal sebagai aktor pembangunan menuntut adanya infrastruktur sosial di tingkat akar-rumput. Infrastruktur 116
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
pertama (dan utama) yang harus digali dan ditemukan kembali adalah kapital sosial yang lama terpendam (embedded) oleh arogansi kapital ekonomi yang selama ± 32 diterapkan rezim Orde Baru. Nantinya, jika kapital sosial ini telah bisa digali dan diangkat ke permukaan, saya yakin energi yang ada dalam kapital sosial tersebut mampu menggerakkan seluruh sumber-daya (ekonomi, sosial dan budaya) yang dimiliki masyarakat. Bukti nyata mengenai hal ini dapat disimak dari paparan Rudy (2006) mengenai perbandingan antara komunitas yang mampu memanfaatkan kapital sosial dengan komunitas yang tidak memanfaatkannya. Mengutip laporan berita sebuah televisi Jepang, Rudy melukiskannya sebagai berikut : 1.
Dalam salah satu program televisi Jepang beberapa saat yang lalu, ditayangkan beberapa usaha partisipasi masyarakat dalam mengatasi berbagai permasalahan di lingkungannya. Philadelpia dan Birmingham dijadikan fokus utama dalam acara tersebut, digambarkan usaha di dua kota menghasilkan keluaran yang berbeda-beda. Philadelpia dengan pemisahan yang begitu nyata antara lingkungan miskin dan kaya gagal melakukan suatu usaha kolektif untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi. Kegagalan tersebut juga ditandai dengan adanya konflik antara warga kulit putih yang mayoritas kaya dengan warga kulit hitam yang mayoritas miskin.
2.
Kemudian digambarkan suasana Birmingham pada 10 tahun lalu dimana taman-taman kota dipenuhi para wanita tuna susila, yang mencoretkan gambaran buram bagi masyarakat. Birmingham, Saat ini mencapai keberhasilan yang Menakjubkan, kesenjangan ekonomi berkurang sangat pesat dan bahkan hampir tidak dijumpai lagi wanita tuna susila yang berkeliaran di taman-taman kota. Kemajuan tersebut merupakan pencapaian luar biasa yang dicapai atas usaha masyarakat dimulai dari prakarsa sampai usaha yang dijalankan oleh masyarakat lokal. Mungkin kita bertanya-tanya mengenai kekuatan apakah yang begitu hebatnya sehingga dapat membangkitkan dan menggerakkan serta membimbing mereka menuju keberhasilan dan faktor apakah yang menyebabkan kegagalan daripada usaha masyarakat lokal di Kota Philadelpia. Kekuatan tersebut tidak lain adalah kekuatan masyarakat dalam bentuk kapital sosial. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
117
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
3.
Deskripsi di atas, menyadarkan kita bahwa kapital sosial mempunyai kekuatan yang “luar biasa” untuk menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki masyarakat. Dan, hal ini (baca : kapital sosial) merupakan elemen dasar agar alternatif pembangunan berbasis komunitas bisa menuai hasil seperti yang diharapkan.
E. Mengelola Kapital Sosial Untuk Membangun Indonesia Membuka diskusi kita pada bagian ini, ada baiknya kita simak dan renungkan secara mendalam deskripsi tentang Indonesia yang dipaparkan oleh Nababan (1995) – seorang aktifis lingkungan hidup – berikut ini : “Dengan luas keseluruhan kurang lebih 5 Juta Km2 dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia merupakan negara kepulauan tropis terbesar di dunia. Dengan posisinya yang membentang sekitar 5.000 Km di garis khatulistiwa, Indonesia diperkirakan memiliki tidak kurang dari 47 tipe ekosistem yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati, salah satu yang terkaya di dunia. Kekayaan hayati ini telah menghidupi lebih dari 500 kelompok etnis asli penghuni negeri ini selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Mereka hidup tersebar mulai dari garis pantai, seperti suku Bajau di teluk Tomini, sampai di daerah pegunungan, seperti orang Dani di Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya.” Luar biasa ! demikian seharusnya ungkapan yang terlontar dari mulut kita menyimak deskripsi tentang Indonesia tersebut. Kekayaan hayati dan sumber daya alamnya yang melimpah ruah merupakan bahan baku bagi kapital ekonomi Indonesia. Demikian halnya dengan keragaman etnis yang tersebar dari Sabang sampai Merauke merupakan bahan baku bagi kapital budaya. Dan, jika kedahsyatan Indonesia kita perpanjang, negeri ini menampung lebih dari 200 Juta penduduk – termasuk dalam 4 besar negara berpenduduk terbesar di dunia. Limpahan penduduk yang melimpah-ruah ini merupakan bahan baku kapital manusia. Singkatnya, dilihat dari banyak segi, Indonesia adalah negeri yang kaya-raya.
118
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Kapital – manusia, ekonomi, dan budaya – Indonesia yang melimpah ruah tersebut, jika dikelola dengan baik bukan hal yang mustahil menjadikan negeri ini sebagai mercusuar dunia – sebagaimana dicitacitakan oleh para founding father. Tapi sayang, kedahsyatan dan kekayaan kapital yang dimiliki Indonesia – sampai saat ini – belum sanggup mengangkat harkat-martabat dan kesejahteraan bangsa secara kolektif. Indonesia masih terjebak dalam multi krisis yang berkepanjangan (ongoing multiple crisis). Permasalahan kronis Indonesia yang menyebabkan negeri ini begitu rapuh adalah hancurnya kapital sosial sebagai perajut-pengikat sekaligus penggerak seluruh kapital (lihat Gb.2). Mustahil, negeri yang kaya-raya ini sanggup bangkit membangun dirinya jika jejaring sosial yang ada didalamnya terurai, terpisah dan bahkan terdekonstruksi.
Political Capital Human Capital
Economic Capital
Lingkaran Social Capital
Cultural Capital
Sumber : Dokumentasi Pribadi Gb.2. Kapital Sosial Sebagai Pengikat dan Penggerak seluruh kapital Sejatinya, keberhasilan Indonesia untuk bangkit tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan individual (human capital), kekayaan alam yang melimpah-ruah (economic capital) dan keragaman budaya (cultural capital) yang dimilikinya. Tetapi, tumpuan utama dalam membangun
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
119
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Indonesia terletak pada akumulasi kerja kolektif yang diusahakan oleh setiap elemen anak bangsa. Setiap anak bangsa seharusnya bahumembahu, bergotong-royong, dan sesakit-sependeritaan membangun Indonesia. Nilai-nilai kebersamaan dan kesetiakawanan sebagai satu bangsa harus kita rajut kembali. Jejaring sosial yang terurai/terpisah oleh egoisme dan kepentingan individu/kelompok sudah saatnya untuk direkonstruksi. Inilah kapital sosial Indonesia, Penulis yakin, hubungan sosial yang saling menghargai, saling menghormati, dan saling mempercayai merupakan daya dorong yang kuat untuk membangun Indonesia. Terdapat enam item yang harus dipegang teguh setiap anak bangsa untuk tetap merahayu-lestarikan kapital sosial Indonesia, yaitu : 1.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, komitmen awal pendiri bangsa yang menentu-tetapkan NKRI sebagai pilihan untuk menata negara harus tetap dijaga. Setiap usaha separatisme atau yang mengarah pada separatisme harus dicegah. Pemisahan satu wilayah dari NKRI pasti akan menghancurkan kapital sosial yang sudah terbangun.
2.
Sang Saka Merah Putih, kita mempunyai bendera nasional “MerahPutih” yang sakral dan mempunyai nilai heroik. Keberadaannya harus mengatasi segala bentuk bendera kelompok, golongan, organisasi, partai, dan kepentingan. Disaat berbicara kepentingan nasional, seluruh atribut bendera kelompok yang beraneka-ragam harus tunduk bertawajuh pada kesakralan Sang Saka Merah Putih.
3.
Bahasa Nasional, Sumpah Pemuda 1928 telah mendeklarasikan untuk menjadikan Bahasa Indonesia – yang berpijak dari Bahasa Melayu – sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa persatuan. Eksistensi bahasa Indonesia harus tetap kita jaga – dengan tanpa menghancurkan keunikan bahasa-bahasa tradisional yang dimiliki oleh masing-masing etnis. Bahasa (atau lebih tepatnya komunikasi) adalah minyak pelumas untuk memperlancar interaksi antar “Bridging Social Capital” yang dimiliki Indonesia.
120
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
4.
Lagu Kebangsaan, Sumpah Pemuda 1928 juga telah memperdengarkan pada khalayak umum untuk pertama-kalinya lagu Indonesia Raya buah karya WR. Supratman dan lagu ini juga kembali dinyanyikan mengiringi pembacaan teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Spirit dan energi yang dimiliki lagu Indonesia Raya sungguh dalam dan dahsyat menggetarkan setiap relung jiwa anak bangsa. Lagu Indonesia Raya harus dijadikan pengikat rasa persaudaraan bagi seluruh elemen bangsa.
5.
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa, kita sepenuhnya sadar bahwa Indonesia adalah negara multi-kultur. Keragaman ini – untuk memperkuat Bridging Social Capital – harus diikat oleh satu ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus terus kita gali dan diaplikasikan dalam tata hubungan sosial. Setiap sila dari Pancasila merupakan karakter inti (core characterisc) dari nilai-nilai kultur-budaya setiap etnis yang ada di Indonesia.
6.
TNI-Polri dan Institusi Hukum yang Tangguh dan Berwibawa, Indonesia mempunyai TNI-Polri yang berfungsi tunggal sebagai penjaga pertahanan dan keamanan bangsa. Kedudukannya harus kuat dan berwibawa. Kuat dalam arti dilengkapi dengan piranti persenjataan yang memadai dan layak-guna. Berwibawa bermakna mempunyai kemampuan untuk lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan diri/kelompok, bahkan demi kepentingan TNI-Polri itu sendiri. Berwibawa juga berarti bebas dari campur-tangan pihak asing, dan kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang bisa mempengaruhi kemandirian dan obyektifitas TNI-Polri. Demikian halnya dengan institusi hukum (Kejaksaan, Kehakiman dan Mahkamah Agung) harus mampu menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan. Trust akan tumbuh jika hukum dan undang-undang berjalan dengan semestinya.
Keenam item tersebut merupakan abstract systems yang berfungsi menjamin kepercayaan (trust) pada setiap elemen bangsa Indonesia yang multi-kultur. Abstract systems ini harus mampu diterjemahkan dan dikomunikasikan dengan baik oleh para experts dan lay agents kepada seluruh masyarakat (dan dunia internasional). Kegagalan menterjemahkan dan mengkomunikasikan abstract systems ini pada J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
121
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
kehidupan sehari-hari berimplikasi pada hilangnya kepercayaan dan menjadikan kapital sosial Indonesia kembali terurai. Dampaknya, spirit kolektif untuk membangun bangsa menjadi pudar. Kepercayaan terhadap keenam abstract systems tersebut juga harus ditunjang dengan kepercayaan pada individu (personal), yang terujuk dalam dua item di bawah ini : 1.
Pemimpin/Tokoh Publik, para pemimpin, baik formal maupun informal, nasional maupun lokal, di samping bisa berfungsi sebagai experts dan lay agents juga harus bisa mencitrakan diri sebagai individu (person) yang dapat dipercaya. Budaya KKN – yang bersumber pada korupsi – harus dihilangkan. Mentalitas korupsi, tidak saja merugikan negara, tetapi juga berimbas pada krisis kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada para pemimpin (termasuk pejabat). Di samping itu, para pemimpin harus pandai memilih dan menepati janji. Kemampuan memilih dan menepati janji ini akan memperkuat kepercayaan masyarakat. Di samping para pemimpin, tokoh-tokoh publik – yang biasanya hadir dan dibesarkan oleh media massa – harus pula mampu mencitrakan diri sebagai individu yang berkarakter kuat. Hal ini penting karena para tokoh publik ini biasanya mempunyai kharisma yang kuat dan penggemar (fans) yang militan. Seluruh tindak-tanduk tokoh-tokoh publik biasanya diikuti pula oleh para penggemarnya.
2.
Keluarga dan Kekerabatan, hasil studi Putnam dan Fukuyama menunjukkan bahwa hubungan keluarga dan kekerabatan mempunyai pengaruh kuat dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi kapital sosial. Lebih dari itu, Erikson (Juliawan, 2000) menjelaskan bahwa bahwa rasa aman yang dibangun sejak masa kanak-kanak, yaitu antara anak dengan ibu atau pengasuhnya. Anak belajar untuk percaya dan dipercaya ibu atau pengasuhnya. Basic trust yang awalnya dibangun lewat interaksi dengan figur ibu ini kemudian berlahan akan berkembang menjadi trust pada orang lain. Oleh karena itu, keluarga dan kekerabatan harus mampu mengkondusifkan trust ini. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan momok bagi hancurnya trust. Bukankah keluarga
122
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
adalah organisasi sosial paling kecil? Sinergi antara kepercayaan terhadap abstract systems dan personal ini akan menciptakan kapital sosial yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita pembangunan nasionalnya, yaitu : 1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4) melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Akhirnya, penulis teringat filosofi sapu lidi. Jika ada satu bundel sapu lidi yang terikat kuat maka dia (sapu lidi itu) sulit dipatahkan dan bahkan mampu membersihkan pekarangan rumah yang kotor. Sebaliknya, jika hanya ada satu biji sapu lidi, alih-alih tak terpatahkan, sanggup membersihkan pekarangan yang kotor saja mustahil. Agaknya, dalam mengelola kapital sosial untuk membangun Indonesia, kita harus berpijak dari filosofi sapu lidi ini. F.
The Indonesian Dream
Di wilayah yang sekarang berdiri negara Indonesia – ribuan tahun yang lalu – pernah hadir dua peradaban agung dengan sejarah dan filosofi peradabannya yang mengagumkan. Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa – hadir dalam kurun waktu yang berbeda – menyumbangkan kemilau peradabannya pada dunia. Secara historis, Kerajaan Sriwijaya hadir lebih dahulu dari Kerajaan Majapahit. Tetapi, jika ditilik dari capaian peradabannya, Kerajaan Majapahit lebih menonjol dibanding Kerajaan Sriwijaya. Hal ini diindikasikan dari cakupan wilayah yang dikuasainya (Majapahit lebih luas), ketahanan peradabannya (Majapahit lebih lama menjaga kesinambungan generasi) dan capaian kemakmurannya (Majapahit lebih makmur). Terdapat tiga visi yang membuat Kerajaan Majapahit mampu melebihi keagungan Kerajaan Sriwijaya. Ketiga visi tersebut terangkum dalam sebuah sesanti populer: “Panjang Punjung Pasir Wukir, Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja”. Sesanti ini populer karena selalu dikomunikasikan pada masyarakat umum melalui media kesenian J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
123
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Wayang. Secara detail makna dari sesanti ini terjabar dalam penjelasan sebagai berikut (Purwadi, 2005) : 1.
124
Panjang Punjung Pasir Wukir, terdiri dari empat kata yang terurai sebagai berikut : 1) Panjang, dalam suluk pedalangan dijelaskan panjang dawa pocapane berarti mempunyai sejarah yang lama. Suatu bangsa yang akar historisnya jika ditelusuri dan dihayati akan menambah kepercayaan diri yang kuat. Dengan membandingkan peristiwa masa lalu dan peristiwa yang sedang berlangsung akan mudah mencari jalan keluar dari setiap persoalan memiliki nilai kesamaan. Kegagalan dan keberhasilan masa lalu akan memberikan pelajaran yang sangat berharga. Demikianlah Majapahit, kerajaan agung yang tumbuh membangun peradaban dengan tanpa melupakan sejarah masa lalu yang mengikutinya. Kemuliaan masa lalu merupakan spirit yang kuat untuk mencipta kemuliaankemuliaan yang baru. Tokoh pergerakan Indonesia Modern, Soekarno pernah berujar : “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH). 2) Punjung, merujuk pada keluhuran wibawa yang dimiliki Majapahit. Kewibawaan negara Majapahit diperoleh dari pengakuan rakyat dalam negeri dan pengakuan kedaulatan dari negara-negara lain. Rakyat yang sejahtera lahir-bathin dan negara tetangga yang mendapatkan hutang budi merupakan modal pokok negara Majapahit untuk tampil terkemuka mendapat pengakuan dan kewibawaan. 3) Pasir – dalam dunia pewayangan – dimaknai sebagai samudera. Pemaknaan kata pasir ini tentu berdasarkan realita bahwa Majapahit memiliki wilayah yang sebagian besar adalah samudera raya. Harus diakui, samudera atau lautan merupakan sumber kekayaan alam yang melimpah ruah. Di sana terdapat sumber daya laut yang sangat besar dan merupakan jalur perdagangan, pelayaran dan pelabuhan Majapahit. Bahan tambang juga banyak tersimpan dalam laut. Produksi garam besar-besaran bisa dilakukan di sekitar laut. Demikian pula keanekaragaman hayati, tumbuh-tumbuhan laut, terumbu karang, dan ikan-ikan tentu bisa mendatangkan kemakmuran. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan negara Majapahit menguasai tekhnologi dan ilmu kelautan. Dalam sejarah keemasannya, Majapahit pernah mempunyai armada laut yang tangguh dan penuh wibawa. 4) J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Wukir berarti gunung, Kraton Majapahit – di samping berada di hamparan samudera yang luas – dikelilingi panorama gunung yang indah permai. Adanya pegunungan menambah kesuburan tanah. Hutam Majapahit memuat kekayaan hewani dan nabati. Kayukayuan yang sangat mahal bermutu tinggi melimpah-ruah di hutanhutan Majapahit. Sebagai contoh, kayu jati di hutan Pulau Jawa dan kayu rotan di hutan belantara Kalimantan. Pengelolaan hutan yang terbuka, adil dan teratur membuka lebar-lebar kesempatan pemakmuran rakyat. Wukir juga dapat dimaknai pegunungan yang indah. Majapahit kaya akan deretan pegunungan yang menawan hati, menyajikan panorama indah dan udara sejuk yang membuat betah dan nyaman bagi orang yang tinggal. Keindahan panorama Majapahit banyak memikat orang asing datang melancong. Hal ini tentu menambah kemakmuran rakyat. 2.
Gemah Ripah Loh Jinawi, Negara Majapahit berhasil mewujudkan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, yang bermakna : 1) Gemah dalam dunia pewayangan berkaitan dengan kesibukan orang berdagang. Perdagangan merupakan kegiatan perekonomian yang sangat penting. Suatu negara yang lancar dan aman proses perdagangannya, pertanda bahwa ekonomi berjalan dengan baik dan dinamis. Pertukaran barang membuat kehidupan menjadi bergairah dan hal ini berkaitan dengan semangat kerja. Etos kerja dapat dirangsang dengan imbalan yang memadai. Dunia perdagangan yang gemah menjanjikan hal itu. Siang malam orang berjualan di pasar tidak lelah dan tidak mengantuk. Hujan dan panas tidak merongrong usahanya untuk maju berkembang. Untuk itu, negara harus menjamin keamanan perdagangan. 2) Ripah mengacu pada keramaian Negara Majapahit. Daya pikat Majapahit dalam banyak hal (alam, manusia, ilmu-pengetahuan (khusunya agama), sosial dan budaya) membuat banyak orang berkunjung dan berbondong-bondong untuk mencari penghidupan, belajar atau sekedar berdarma wisata. Di mana saja yang banyak dituju orang pasti di situ banyak manfaat yang didapatkan. Ibarat pepatah : ada gula ada semut. 3) Loh berarti kesuburan. Tanah yang subur dan dapat menumbuhkan segala tanaman dengan baik disebut tanah yang loh. Di wilayah Majapahit tanahnya sangat subur. Palawija, J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
125
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
palagandul dan palakependem di mana-mana subur menghijau dan menentramkan mata memandang. Ketentraman ini berbuah pada kenyamanan semua orang untuk tidak saling bersaing. Kekerasan dan kecemburuan dapat dihindari. Tanah tumpah darah yang sudah loh ini perlu dikelola dengan baik. 4) Jinawi dalam dunia pewayangan berarti apa yang dibeli serba murah. Kebutuhan hidup sehari-hari dapat dijangkau oleh masyarakat Majapahit secara mudah. Kesenjangan daya beli antara si punya dan si tidak punya tidak terlampau lebar. Kecemburuan sosial yang berkaitan dengan kesenjangan daya beli membuat orang yang merasa tidak mampu akan berbuat nekad agar dirinya dapat mengejar ketertinggalan. Orang mau menjambret, mencopet, merampok, merompak, korupsi dan menjadi pelacur karena dengan jalan wajar dia tidak bisa (sulit) memperoleh rejeki. Negara yang memperoleh predikat Jinawi, rakyatnya akan ramah dan murah senyum. Tegur sapa sesama bukan barang mahal dan lebih penting lagi masyarakat akan mulai memikirkan cara memaknai hidup, entah dengan berkesenian atau mengembangkan pemikiran ilmiah-religius. Kesenian, religiusitas dan ilmu-pengetahuan pun berkembang pesat. 3.
126
Tata-Tentrem Kerta Raharja, Negara Majapahit juga berhasil mewujudkan masyarakat yang tata-tentrem kerta raharja. 1) Tata-tentrem berarti tentram, tenang, aman, damai dan dapat membahagiakan lahir maupun bathin. Tata-tentrem merujuk pada aspek kejiwaan. Untuk mencapai suasana tata-tentrem ini, antar unsur masyarakat harus saling menghormati hak dan kewajiban, terbuka, toleran, tenggang rasa, tepa selira, tahu diri, mawas diri, introspeksi, kompromis dan humanis. Di sini pengendalian diri terhadap pergaulan sangat diperlukan. Masyarakat yang tatatentrem akan membuat hidup menjadi kerasan atau betah. Dalam suasana tata-tentrem tidak akan ada orang yang merasa dihina dan diremehkan, apalagi merasa terancam jiwa dan hartanya. 2) Karta berkaitan dengan kemakmuran dan aktivitas kerja rakyat Majapahit. Kesuburan tanah dan kekayaan laut berpadu dengan etos kerja yang tinggi akan menghasilkan kemakmuran. Hal ini mengindikasikan suasana masyarakat yang gemar berkarya, produktif dan sibuk sesuai bakat-potensi yang dimilikinya. Pedagang rajin berdagang, J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
petani sibuk bercocok-tanam, peternak rajin menggembala, aparat negara sibuk mengelola hajat hidup orang banyak. Kesibukan kerja yang produktif akan mencegah terjadinya penyimpangan sosial yang menjurus pada kriminalitas. Masing-masing individu mempunyai kesempatan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi kejayaan negara. 3) Raharja berarti jauh dari kejahatan. Koruptor, pencuri, perampok, dan penyakit masyarakat lainnya tidak akan mendapat tempat. Harta dan kekayaan, ternak dan hasil pertanian aman ditaruh dimana saja, tidak ada kejahilan dan kejahatan yang mengganggu. Mereka yang kecukupan membantu yang tidak berkecukupan. Hal ini menjadikan yang kekurangan kerjanya menjadi giat untuk mengejar ketertinggalan dan bisa membagi hartanya kepada orang lain. Kejujuran dan kesaling-pengertian menjadi denyut nadi kehidupan. Ketiga hal di atas itulah yang mampu menghantarkan Majapahit sebagai kerajaan yang makmur-bersahaja. Makmur karena kekayaan alamnya mampu dikelola dengan baik dan menghasilkan devisa negara melimpah. Bersahaja karena kemakmuran yang dihasilkannya ditopang atas dasar untuk kepentingan bersama. Gotong-royong dan gugur-gunung menjadi bagian hidup sehari-hari. Kapital sosial Majapahit sangat kuat menopang dan menggerakkan kemakmuran yang dimilikinya. Dan, keragaman agama, ras dan suku bangsa tidak menimbulkan gejolak. Kita masih ingat dengan konsepsi agung pondasi kapital sosial Majapahit : “bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Konsepsi inilah yang sekarang hendak kita wujud-terapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apa yang telah menjadi visi dan berhasil wujud-nyatakan oleh Kerajaan Majapahit itulah yang seharusnya menjadi mimpi saya, mimpi anda, mimpi kita semua, mimpi Indonesia. The Indonesian Dream. G. Kesimpulan Dalam tulisan paper ini, penulis telah memberikan argumentasi bahwa untuk mengurai benang kusut pembangunan di Indonesia, tidak J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
127
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
bisa jika hanya mengandalkan kapital ekonomi. Rezim Orde Baru cukup menjadi bukti bahwa orientasi yang sepihak pada kapital ekonomi akan berdampak pada kerapuhan bangsa secara kolektif. Untuk itu, bagi penulis, konsepsi kapital sosial layak dijadikan alternatif untuk membangun Indonesia. Oleh karena itu, kita harus berjuang bersamasama secara kolektif untuk merajut kembali social-networks di masyarakat yang sekarang ini tampak-tampaknya sudah mulai pudar. DAFTAR PUSTAKA Adnan, Ricardi. S,. (2006).“Potret Suram Bangsaku, Gugatan dan Alternatif Desain Pembangunan”, Uniiverstas Indonesia Press. Burt, Ronald S, (2000).The Network Structure of Social Capital, in Research in Organizational Behaviour, Volume 22, Greenwich, C.T, JAI Press. Bourdieu, Pierre. (1986).“The Forms of Capital”, in Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, edited by John G . Richardson . Westport, CT.: Greenwood Press. De Fillipis, James. (2010).The Myth of Social Capital in Community Development, in Housing Policy Debate, Volume 12 issue 4, Fannie Mae Foundation. Dwyer, Claire et.all, (2006).“Ethnicity as Social Capital? Explaining the Differential Educational Achievements of Young British Pakistani Men and Women”, Paper presented at the ‘Ethnicity, Mobility and Society’ Leverhulme Programme Conference at University of Bristol, 16-17 March. Fukuyama, Francis. (1999).Social Capital and Civil Society, prepared delivery at the IMF Conference on Second Generation Reforms. -------------------------, (2002).The Great Disruption, Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Profile Books, London, Hayami, Y, Development Economic: From the Poverty to the Wealth of Nations, Oxford: Clarendon Press, 1997. Juliawan, B. Harry. (2000).Dunia yang Berlari, dalam Majalah BASIS Nomor 01 – 02, tahun ke 49, Januari – Februari. 128
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Miftahusyaian - Kapital Sosial dan Pembangunan di Indonesia
Lin, Nan. (1999). Building a Network Theory of Social Capital, paper was presented as the Keynote Address at the XIX International Sunbelt Social Network Conference, Charleston, South Carolina, February 18-21. Mas’oed, Mochtar. (2003).Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Murata, Sachiko. (1997).The Tao of Islam : Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi Islam, Mizan, Bandung. Nababan, Abdon, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, makalah disajikan dalam Seminar Setengah Hari, kerja sama CSIS dan Yayasan SEJATI dalam rangka Merayakan Setengah Abad Kemerdekaan, dengan tema : “Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan”, Jakarta 7 Agustus 1995. Purwadi (2005).Babad Majapahit, Media Abadi, Yogyakarta. Putnam, Robert. D, (1995). “Bowling alone:America’s declining social capital”’, Journal of Democracy 6:1, January. ----------------------------, (1999). Making Democracy Work, Civic Traditions in Modern Italy, Princeton University Press, New Jersey. ----------------------------, (2000).Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. NY: (ed) Simon and Schuster, Quillian, Lincoln, Can Social Capital Explain Persistent Racial Poverty Gaps?, Paper prepared for The Colors of Poverty, June, 12, 2006. Rudy, Hilangnya Ruang Publik: Ancaman bagi Kapital Sosial di Indonesia, dalam Jurnal INOVASI Vol.7/XVIII/Juni 2006. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS), Kerusuhan-Kerusuhan Sosial di Indonesia, dalam Jurnal Sosiologi Indonesia No 5/2001.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
129
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia Mokhammad Yahya Abstract This paper discusses the relation between Islam and the State as experinced by Indonesian Muslims. Using the historical analysis it begins to deliniete the struggle for political Islam in Indonesia with their diveresed aspirations from the very begining of Indonesia asa nation state until the collapse of Suharto regime. In terms of Islamic political struggle, this explaines that there was a shift from legalistic-formalistic Islamic political articulation in the Old Order and the beginning of New Order Era into more substantialistpragmatic method. This eventually leads to the formation on the theorisation of political Islam since there is no a single defenitive theory of political Islam in the Islamic scholarship. Muslims in Indonesia have offered a brilliant concept ‘ Pancasila’ as a solution in the multicultural situation like Indonesia. Pancasila was considered not only by the founding fathers of Indonesia but also by majority of Indonesian Muslims as an interpretation and contextualisation of Islamic Politics in the pluralist society of Indonesia in order to create more harmonious and peaceful life. Keywords: Islam, State, Muslim Politics.
A. Pengantar As a ‘Pancasila State with a Ministry of Religion’, Indonesia chosea middle way between ‘the way of Turkey’ and the founding of an ‘Islamic State.A ‘secular state’ would perhaps not suit the Indonesian situation; an ‘Islamic State,’ as attempted elsewhere, would indeed tend ‘to create rather than to solve problems.’ For this reason the Indonesian experiment deserves positiveevaluation. (B. J. Boland, 1982:1121)
Islam Indonesia telah lama dipinggirkan dalam bidang kajian Islam terutama bidang kajian politk Islam. Ditahun 1957, Wilfred Cantwell Smith (1957:295), seorang sejarawan agama misalnya mengamati sebuah ketidakpedulian yang serius (serious disregard) atas peran Islam dalam Negara Indonesia modern dan peran Indonesia dalam Islam modern. 131
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Pada tahun1985, William R. Roff (1985:34), sejarawan masyarakat Asia Tenggara dalam Islam Obscured? Some Reflections on Studies of Islam and Society in Southeast Asia,” sepadan menemukan bahwa “ terdapat kehendak kuat yang menakjubkan bagi pengamat ilmu sosial di Barat untuk secara konseptual tidak menghiraukan tempat dan peran agama dan budaya Islam masyarakat Asia Tenggara baik sekarang ini atau masa lalu.”2Yang lebih baru ditahun 1997 Robert W. Hefner (1997:8),seorang Antropolog menyajikan bahwa’dalam kajian Islam, baik sarjana Barat atau Timur Tengah cenderung menempatkan Asia tenggara dalam wilayah intelektual pinggiran dalam dunia Islam.”3 Marjinalisasi ini terjadi boleh jadi dikarenakan Asia Tenggara secara geografis adalah wilayah pinggiran yang jauh dari pusat Islam, Timur Tengah, dan karenanya Islam di Asia Tenggara mendapatkan hanya sedikit liputan dalam media internasional.. Hal ini tentu merupakan sebuah ironi karena realitas menyatakan bahwa tidak hanya di Asia Tenggara, bahkan di seluruh dunia Indonesia adalah Negara dengan populasi Muslim terbesar. Berkenaan dengan karakteristik Islam Indonesia, beberapa sarjana telah mengklaim bahwa Islam Indonesia memilki ciri dan karakter spesial yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah.Namun demikian perkembangan Islam di Timur Tengah pada tingkat tertentu juga turut mewarnai dan memberikan pengaruhreligious, intelektual dan politis cukup signifikanterhadap Islam di Indonesia. Sejak masa paling awal—bahkan sebelum berdirinya negarabangsa (nation-state) Indonesia—Islam di Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dari pengaruah serius Timur Tengah.Bahkan adalah bukan merupakan simplifikasiuntuk menyimpulkan bahwa Islam di Indonesia adalah sebuah perpaduan antara orisinalitas Timur Tengah dan adaptasi kreatif ketika Islam dipraktekkan dalam konteks lokal (Indonesia). Sintesis antara nilai dan budaya lokal dengan nilai-nilai Islam (Tsaqafah Islamiyyah) Timur Tengah bahkan tidak dapat dielakkan sebagaimana terlihat dalam bentangan sejarah Islam di Indonesia.4Sebuah riset klasik yang dilakukan oleh Clifford Geertz(1960) dalam bukunya The Religion of Java—yang memetakkan orang Jawa kedalam tiga ketegori : Abangan, Santri and Priyayi—adalah merupakan contoh jelas dalam mendeskripsikan sintesis antara—meminjam istilah Bubalo and Fealy
132
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
(2005:15) ‘varian Islam tropis dan Gurun pasir kering Timur dekat (tropical variant of Islam and the desert-dried from the Near East)’. Disebabkan karena proses adaptasi dengan lingkungan lokal sebagaimana yang tegaskan oleh Bahtiar Effendy (2006:133) telah membuat Islam di Indonesia pada taraf tertentu berbeda dengan wajah dan orientasi partikular dan detail dari Islam yang berkembang dibelahan negri manapun termasuk negeri asalnya. Keterlibatan Islam politik selama era kerajaan sebelum kemerdekan Indonesia seperti misalnya transformasi kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara menjadi system pemerintahan (kerjaan) Islam sebagaimana yang terjadi di Demak, Banten, Goa, Malaka dan lain lain menekankan bahwa proses dakwah Islam tidak hanya mewarnai budaya lokal akan tetapi juga mempengaruhi sistem politik dan pemerintahannya.Pengaruh kuat Timur Tengah juga menginfiltrasi ide dan konsepsi politik Islam di Indonesia. Dan yang menarik perhatian, aspirasi politik Islam di Indonesia tidak pernah sungguh sunggguh berakhir dalam sejarah sosial politik di Indonesia baik melalui jalur parlementer seperti yang dilakukan oleh partai politik Islam sejak pemilu pertama di tahun 1955 hingga saat ini dan atau yang melalui jalur non parlementer seperti yang telah dilakukan oleh DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang muncul di wilayah publik sejak kejatuhan rejim Suharto. Contoh lain dari pengaruh kuat Timur Tengah ini dapat dilihat dari Islam politik yang diekspresikan oleh NII, Masyumi dan NU (sebelum kembali kepada khittah 1926) yang menggambarkan setidaknya refleksi Islamisme dengan proposal shariatisasi dan Islamisasi negara, sebuah resonansi Islam politik Timur Tengah saat itu. Pengaruh yang hampir sama muncul kembali dengan kebangkitan Islamisme di awal-awal tahun 1980an menjelang akhir era Suharto. Hal ini nampaknya menjadi sebuah reinkarnasi dari konflik tanpa henti antara orisinalitas Timur Tengah dan inovasi dalam konteks lokal di dalam Indonesia modern. Adalah merupakan fakta yang menarik dan hal ini bukanlah sebuah kebetulan bahwa salah satu dari Islamisme kontemporer, da’wah salafiyyah, banyak dari pemimpinnya adalah non-sayyid (kaum Arab keturunan bukan Nabi) yang secara diametris berbeda dengan metode dakwah
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
133
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
golongan sayyid (kaum Arab keturunan Nabi Muhammad saw). Hal ini mengingatkan konflik lama kaum Hadrami (sebagai komunitas awal yang menyebarkan Islam di Indonesia) yang terpolarisasi menjadi kelompok non-sayyid yang terhimpun dalam al-Irsyad dan kelompok sayyid (‘Alawiyyin) yang tersatukan dalam Jama’ah al-Khayr dalam dekade awal tahun 1990an5.Kaum al-Irsyad lebih cenderung textual, puritan dan tidak toleran terhadap kultur lokal yang mereka anggap sebagai tidak Islami sedangkan kaum Arab Sayyid menempatkan penekanan lebih kepada spiritualitas daripada aspek legal Islam dan lebih adaptifakomodatif didalam berhadapan dengan budaya lokal. Dikarenakan adaptisasi dan proses puritanisasi –disamping ketiadaan teori definitif tentang politik Islam—artikulasi politik Islam di Indonesia tidak pernah homogen. Politik Islam mereka, kendati diklaim diderivasikan dari sumber otoritatif Islam, Al-Quran dan Hadits, hasil dari aktivitas dan konsep politiknya berbeda beda dari model politik Islam formalistik dengan agenda pendirian Negara Islam hingga model yang lebih pragmatis dan substansialis baik melalui parlementer atau organisasi-organisasi sosial kegamaan. Namun demikian didalam spektrum politik yang lebar tersebut, kaum Muslim di Indonesia akhirnya berkompromi dan menghasilkan solusi yang dikenal dengan “Negara Pancasila’ yang lebih jauh akan dijelskan secara lebih detail dalam subtopic di bawah. B. Teori Politik Islam: Eksplanasi historis singkat Sebelum menjelaskan tipe politik Islam Indonesia didalam mengawinkan antara Negara dan agama (Islam) , teori dan sejarah politik Islam butuh untuk diintroduksi secara singkat untuk memperlihatkan upaya dan ijtihad yang bersifat manusiawi didalam pembentukan politik Islam dalam sejarah. Hal ini dirasa amat penting untuk ditekankan untuk memahami bahwa politik didalam Islam pada dasarnya hanyalah sebuah produk yang bersifat manusiawidan tidak sepenuhnya ilahiyah dan suci (divine). Politik Islam sesungguhnya baru dikonseptualisasikan semenjak kemunduran khalifah Abbasiyyah diabad kesepuluh.Sepanjang masa
134
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
dinasti Umayyah (661-750M) tidak terdapat teori politik Islam yang bersifat definitifyang dikenalkan oleh sarjana Muslim.Ahli hukum dan teologi Islam hanya mulai menulis teori politik Islam setelah lebih dari tiga abad dari keberadaan Negara-kota Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad.Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa teori politik Islam sudah terlalu jelas dan difahami secara baik yang kemudian tidak membutuhkan konseptualisasi lanjutan seperti halnya ajaran-ajaran Islam lainnya seperti isu isu yang berkaitan dengan akidah (teologi) dan ibadah (ritual) yang sudah definif dan pasti.6Fauzi M. Najjar (1967:11) dalam The Islamic State: a Study in Traditional Politics bahkan lebih jauh menyatakan bahwa produksi teori politik Islam hanyalah merupakan sebuah usaha apologetik dari ahli hukum dan teologi Islam didalam menubuhkan teori Islam tentang Negara.Apa yang menarik untuk ditekankan disini adalah adanya ketiadaan institusionalisasi dari teori politik Islam atau ilmu-ilmu Islam yang lain yang berkenaan dengan kehidupan aktual dari ummat Islam seperti ekonomi mengidikasikan bahwa teori dan ilmu itu sesungguhnya memiliki elastisitas dan fleksibilatas adaptisasi dengan lingkungan dimana ia akan diimplementasikan. Oleh karenanya ketika sesuatu itu belum atau tidak definif semestinya juga tidak dibatasi didalam sebuah matriks yang pasti dan tidak pernah berubah. Kendati demikian institusionalisasi politik Islam merupakan sebuah keniscayaan sejalan dengan perkembangan peradaban Islam itu sendiri.Ahmad Syafi’i Maarif (1985:22-3) menegasakan keharusan ini sesungguhnya karena ditopang oleh dua alasan; pertama, kemunduran dinasti Abbasiyyah dan kedua serangan efektif didalam bidang teologi dan politik dari sekte-sekte Muslim lainnya seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah.Sampai saat ini institusionalisasi ini melahirkan pro dan kontra yang tak ada akhirnya didalam dunia Islam. Ali Abd alRaziq dalam buku kontroversialnya Islam wa ushul al-Hukm (Islam dan pokok-pokok pemerintahan) adalah salah satu diantara banyak sarjana muslim didunia Islam yang memiliki kepercayaan akan ketiadaan teori politik dalam Islam. Surat-surat yang berisi debat antara Nurcholish Madjid dan Muhammad Roem tentanghubungan Islam dan Negara di Indonesia adalah juga merupakan contoh opini yang tidak mendukung (kontra) terhadap teori politik Islam yang memiliki tujuan klimaks pendirian sebuah Negara. Lebih jauh, Ahmad Sukardja(2002:191), seorang J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
135
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
kontributor dalam Ensiklopedia Islam menulis bahwa Al-Quran tidak pernah mengajarkan dan menentukan sebuah sistem pemerintahan bagi kaum Muslimin yang definitif untuk diikuti dimanapun dan kapanpun mereka hidup. Disamping opini opini yang bersifat kontra dari para sarjana Muslim diatas, penolakan teori politik Islam adalah sebuah klaim yang kurang tepat. Banyak katakunci dalam wilayah sosial politik seperti imarah, khilafah, malik, hukm, ‘adil, syura, dan derivasinya tersebar dan berserakan dalam al-Quran dan hadits. Kata-kata tersebut dapat ditemukan secara mudah dan tentu saja memastikan keberadaan konsep atau setidaknya nilai-nilai politik Islam meskipun sebagai teori dan konsep politik, ia baru muncul diabad ke-8 melalaui karya Ibn Abi al-Rabi’, Suluk al-Malik Fi Tadbir al-Mamalik . Fakta dan kenyataan ini melahirkan sebuah konklusi bahwa politik Islam sebelum abad delapan sama sekali belum exist didalam dunia Islam. Kesimpulan ini mungkin tepat untuk eksistensi teori politik Islam namun jelas tidak bagi aktivisme politik Islam. Contoh paling vulgar dari aktivisme politik tersebut diantaranya adalah eksperimentasi politik Nabi baik di Medinah dengan membangun negara-kota Islam dan piagam Madinah atau aktivitas politik diluar Madinah yang mengafirmasi bahwa Politik Islam sebagai sebuah aktivisme politik nyata adalah sungguh-sungguh eksis. Aktivisme politis Nabi ini kemudian dalam kajian politik Islam dikenal dengan istilah al-siyasat al-rasul (politik Rasul). Konsep politik Islam yang ditulis oleh ahli hukum dan teologi Islam bukanlah sebuah konsep yang semata-mata diderivasikan dari dua sumber otoritatif Islam (dalil naqli; Al-Qur’an and Hadith),akan tetapi ia juga dipengaruhi oleh framework sosial-politik yang ada serta pemikiran logis yang menyertainya (dalil aqli). Tiga elemen (lihat tabel. 1) tersebut saling berkaitan erat didalam proses produksi teori politik Islam. Nilai dasar dari politik Islam yang ditemukan dalam text al-Quran dan hadits dibarengi dengan contoh aktual dari aktivitas politis Nabi (sunnah fi’liyyah) diimplementasikan dalam konteks lokal dengan menggunakan interpretasi dan pertimbangan-pertimbangan adaptif dan rasional.
136
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Table.1
C. Agama dan Politik Amalgamasi antara agama dan politik dalam fragmen historis dari peradaban barat dalam taraf tertentu tidak hanya mengesankan wajah buruk dan kengerian tapi juga menandai era kemunduruan sebagaimana yang terekam dalam sejarah Eropa abad pertengahan sebelum era pencerahan.7Selain itu, peran buruk agama dalam wilayah publik khususnya dalam politik ditambah dengan pertentangan antara gereja dan perkembangan sains modern, yang kemudian menjadi mesin krusial bagi kelahiran era modern, nampaknya menegaskan secara sembrono ketidak cocokan (incompatibility) antara agama dan politik atau sains modern secara general. Latar belakang ini menghasilan penarikan mundur agama dari ruang publik atau secara umum dikenal dengan sekularisasi 8ketika agama hanya direlokasikan dan difungsikan di ruang privat.Lebih jauh lagi, modernisme khususnya dalam dunia Barat dikarakterkan dengan erosi agama dalam berbagai aspek kehidupan sosial J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
137
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
dan pemerintahan.Peran agama disempitkan hanya pada kehidupan privat dan agama kehilangan pengaruhnya dalam ruang public. Kejatuhan peran sosial secara signifikan dari agama dibarengi secara berurutan dengan tumbuhnya rasionalisme di Barat.Menariknya, rasionalisme ini menandai babak baru bagi peradaban barat yang memindahkan masyarakat Barat menjadi masyarakat yang lebih baik, modern dan secular. Pakar sosial seperti Karl Marx, Sigmund Freud, Max Weber, Emile Durkheim, Jose Casanova, dan banyak lagi bahkan mempostulatkan bahwa modernisasi masyarakat akan melibatkan kemunduran dalam babakan religiositasnya9. Agama pada akhirnya hanya akan ditinggalkan oleh pengkutnya sejalan dengan kebangkitan sekulerisasi. Kesan buruk dan anti modernitas sebagai hasil dari kebersatuan agama dan Negara dalam taraf tertentu telah menjadi kesadaran kolektif (collective consciousness) dan menjadi semacam ‘background’ dari pemahaman dan pandangan dunia (worldview) orang-orang barat didalam memahami peran politik saat ini. Hal ini tidak terelakkan sebab pandangan dan “welstanchaung” kita selalu dikonstruksi oleh latar belakang historis dari budaya dan peradaban yang didalamnya kita hidup.Dengan latar semacam ini kemudian setiap usaha untuk menempatkan agama di ruang public dianggap sebagai usaha yang sinis dan tidak ramah terhadap kemajuan (progress) dan keberlangsungan dunia yang lebih modern dan beradab, sebuah kondisi dunia baru yang dibawa dan diciptakan oleh proyek rasionalisme dan sekularisasi. Apa yang menarik untuk dianalisis adalah, berbeda dengan barat, hubungan antara agama dan Negara dalam rekam sejaram Islam justru menandai babakan baru dan penciptaan masyarakat (ummah) Muslim yang lebih beradab. Kesatuan antara agama dan Negara bahkan juga telah membawa kaum Muslimin kepada kemajuan, kemakmuran dan progress.Oleh karena itu Islam sejak mulanya bagi beberapa sarjana Islam10difahami sebagao agama yang secara inheren mengintegrasikan dengan isu politik dan pemerintahan sebagaimana secara jelas terlihat dalam pengalaman Nabi di Madinah dan generasi setelahnya sejak dinasti Abbasiyyah, Umayyah dan berakhir di kekhalifahan Ustmaniyyah.Lebih lanjut, sejarah mencatat bahwa era gilang gemilang (golden era) Islam 138
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
justru terjadi ketika agama dan Negara secara erat dikaitkan. Latar histrois ini pasti mempengaruhi sebagian kalau bukan seluruh mayoritas Muslim dalam dua hal; satu, Islam dimaknai sebagai sebuah agama yang tidak memisahkan anatara agama dan politik.Islam dipandang sebagai sebuah agama yang meliputi semua isu termasuk masalah-maslaah di tinggal privat atau juga public. Kata sifat setelah kata ‘ Islam” seperti Islam shamil (holistik), Islam kamil (sempurna) or Islam kaffah (integral) memperlihatkan efek dan pengaruh dari tipe pemahaman ini. Karenanya, pemikiran yang hendak memisahkan anatara Islam dan politik tidak dapat diterima dan sekularisasi tidak memiliki tempat dalam islam.Dua, adalah dipercaya bahwa sarat satu-satunya untuk meraih kemakmuran dan kejayaan masyrakat Muslim adalah dengan mengimplementasikan Islam dalam seluruh aspek kehidupan Muslim termasuk dialamnya isu-isu politik da pemerintahan. Jadi, revivalisme islam didisain untuk menempatkan kembali Islam ketengahtengah ruang public dari ummat Islam. Jargon ‘al-Islam huwa al-hall’ (Islam is the solution/ Islam adalah Solusi) adalah merupakan ‘hallmark’ dari pandangan ini. Sebagai bagian dari ummat Islam didunia11, perjalanan politik Islam tidak dapat dipisahkan dari pengaruh peradaban Islam yang signifikan dan politik Islam terdahulu dalam dunia Islam secara general. Diatas itu semua, Islam bukanlah agama orang Indonesia asli , tapi Islam dibawa oleh orang luar yang memiliki latar belakang historis, budaya dan peradaban yang berbeda. Karenanya adalah alamiyah bahwa pengaruh budaya dan peradaban Islam begitu juga pemikiran-pemikiran politik ditemukan secara jelas dalam alur historis dari politik Islam di Indonesia. Sejarah politik Islam di Indonesia dalam taraf tertentu bahkan telah memperlihatkan eksperimentasi keterkaitan anatara Islam dan negera. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (sebelum keberadaan Indonesia sebagai sebuah negera kota telah mengadopsi shari’ah (Islamic law) sebagai hokum positif mereka sebagaimana yang dipraktekkan di kerajaan Banten, Peureulak (893 CE), Ternate (1440 CE), Tidore, Bacan, Demak, Goa dan lain lain12. Berbagai usaha untuk menggabungkan agamna dan politik sesungguhnya terlihat juga sejak awal kemerdekaan Idnonesia.Bahkan J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
139
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
sampai tahun 1970an, penolakan terhadap sekulerisasi di Indonesia masih cukup kuat yang ini merupakan gambaran karakter (politik) umum Muslim Indonesia.13. Kendati terdapat perubahan dari orientasi politik islam di Indonesia, dari tipe legal-formal dimasa ordeLama menjadi tipe politik islam yang lebih akomodatif di decade kedua di era Orde Baru, hal ini ssungguhnya adalah merupakakan konsekuensi belaka dari perpindahan kebijakan politik Suharto di awal tahun 1980an terhadap kaum Muslim.Kebijakan positif dari rejim Suharto seperti pendirian Bank Islam, ICMI dan yang lain lain juga turut merubah orientasi politik Islam masyarakat Muslim Indonesia. Perjuangan politik dengan pola akomodatif ini berakhir hingga tumbangnya rejim Suharto ditahun 1998. Angin perubahan diera Reformasi yang menghancurkan kediktatoran rejim Orde Baru dan diharapakan membawa perubahan menuju kehidupan demokratis bagi masyarakat Indonesia juga dipercaya akan mmperkuat tipe Islam budaya (cultural Islam) yang moderat—sebuah tipe Islam yang bekerja melalui proyek-proyek kebudayaan dan bukan kerja politik—sebagaimana yang dipionerkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid diakhir tahun 1970an. Namun demikian, Era Reformasi yang member kelahiran bagi kebebsan dan lingkungan dan kondisi lebih demokratis ternyata tidak hanya membangkitkan Islam cultural tapi juga Islam politik atau Islamisme di Indonesia.Fenomena ini sebenarnya dapat dijelaskan dalam satu sisi sebagai sebuah reaksi dari kegagalan Era Reformasi yang terlalu lambat didalam membawa kepada kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.Lebih lanjut, beberapa Muslim bahkan telah berasumsi bahwa kehormatan dan kejayaan kaum Muslim di Indonesia tidak mungkin dapat diraih melalaui system yang tidak didisain untuk kemajuan kaum Muslim (baca system demokrasi ala Barat). Disisi yang lain hal ini juga merupakan sebuah kebangkitan memori kolektif dari Muslim Indonesia untuk menemukan system alternative yang ideal untuk perbaikan kehidupan ummat dimasa mendatang.Kelemahan dan kegagalan dari berbagai system politik yang diimplementasikan di Indonesia sejak Orde lama, orde Baru hingga Era Reformasi telah meningkatkan ekskalasi kebutuhan untuk memilih system alternative
140
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
dengan harapan dan memori kejayaan Islam sebagaimana yang dulu terjadi dalam peradaban (emas) Islam dimasa lalu. D. Fondasi Analisis Sebagai sebuah disiplin teoritis dalam Islam, artikel ini menggunakan pengalaman Nabi di Madinah sebagai fondasi dalam membangun teori politik Islam.Dalam taraf tertentu, ekperimentasi Madinah dipilih karena terlihat kesamaan sedikitnya dalam spirit atau motif inti antara pengalaman Madinah dan Indonesia.Islam telah mengenal system masyarakat plural sejak masa yang lama.Sistem ini bermula dari pendirian negara-kota Madinah yang Islami.Kaum Muslim mulai hidup dalam Negara atau sistem pemerintahannya sendiri setelah Nabi Muhammad melakukan migrasi ke Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah. Dikota ini, Nabi meletakkan fondasi yang kokok bagi pembentukan masyarakat baru dibawah kepemimpinan Muhammad saw. Masyarakat baru ini pada dasarnya merupakan masyrakat majemuk yang terdiri dari tiga komunitas atau grup.Pertama, Kaum Muslim yang terdiri dari dua grup; Muhajirin (kaum yang hijrah) dan Anshar (penolong-penduduk asli Madinah).Mereka adalah populasi mayoritas di Madinah.Kedua; kaum politheis yakni mereka yang berasal dari suku Aus dan Khazraj yang belum berpindah dan memeluk Islam. Mereka adalah minoritas jumlahnya. Ketiga adalah kaum Yahudi yang terdiri dari tiga grup; satu kelompok yang hidup di kota Madinah, yaitu Banu Qainuqa, sedangkan dua kelompok yang lain hidup diluar kota Madinah yaitu Banu Nadzir dan Banu Quraidzah. Sekitar dua tahun setelah migrasi (hijrah),Nabi mengumumkan aturan dan relasi diantara kelompok-kelompok sosial yang hidup di Madinah.Pengumuman ini dikenal dengan piagam Madinah (Charter of Medina).Piagam ini adalah sebuah hukum untuk regulasi politik Islam dan sistem sosial dan relasinya dengan non-Muslims: kaum Musyrik dan Yahudi. Melalui piagam Madinah yang dikenal oleh sejarawan masakini sebagai konstitusi Madinah, Nabi Muhammad mencoba untuk mengenalkan konsep Negara ideal yang dicirikan dengan keterbukaan (politik), partisipasi,kebebasan (khususnya dibidang agama dan ekonomi) dan tanggung jawab sosial-politik. Oleh karenanya, adalah tidak J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
141
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
keliru jika istilah masyarakat madani (civil society) yang difahami saat ini sesungguhnya sangat bertalian dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad di kota Madinah. Ketika Nabi dipaksa melakukan migrasi ke Madinah , populasi Madinah adalah sebuah “campuran” dari beberapa suku (terutama Arab dan Yahudi) yang terus menerus berperang hampir seabad yang menyebabakan ‘cekcok sipil (civil strife)’ dan karena alasan inilah Nabi dipanggil disana (Peters,1994:4).Perang suku dan ketiadaan pemerintahan di Madinah menyebabkan perselisihan diselesaikan ‘dengan pedang’ dalam banyak kesempatan, yang makin memperdalam perpecahan dan mengobarkan konflik.Karen Armstrong (2006:19)menjelaskan secara jeli mentalitas dan cara kerja dari sistem kesukuan yang tersebar melalui cabikan perang di negeri Arab, dimana Nabi justru secara sungguhsungguh mengusahakan melalui cara-cara damai. Ia menulis, “Suku, dan justru bukanlah tuhan, yang merupakan nilai tertinggi dan masing-masing anggota harus merendahkan kebutuhan dan keinginan personalnya demi kebaikan dan kesejahteraan kelompok dan bertarung hingga mati jika diperlukan untuk keberlangsungan kelompok(Armstrong,2006:24)”. Sistem semacam ini dalam pengertian politik merepresentasikan kerjasama yang kecil diantara suku-suku di Yatsrib. Di wilayah ini kekuasaan justru didapatkan melalui kekuatan dan kekokohan militer, dan kepercayaan bahwa mediasi tidak akan dapat dicapai kecuali oleh orang luar yang dipercaya yang tidak memiliki hubungan dengan isu dan permasalahan atau suku itu sendiri. Nabi tidak hanya memenuhi kriteria ini, ambisi pribadi Nabi sebagaimana yang diberikan Tuhan kepadanya adalah untuk menyebarkan kesatuan dan kedamaian, menciptakan komunalitas, atau ummah yang terdiri dari berbagai suku dan kelompok melalaui ajaran Quran dan dengan nama Islam. Piagam Madinah adalah konstitusi yang pada dasarnya untuk mendirikan sebuah negara-kota. Piagam ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam Islam dan juga tak dapat disangkal merupakan hukum konstitusional pertama di masyarakat.Sebelum kedatangan Nabi Muhammad dari Mekah, Yatsrib (kemudian dikenal sebagai Madina) memiliki populasi 10.000 yang disusun menjadi sekitar 22 suku.Sekitar setengah dari populasi adalah orang Yahudi dan setengah adalah Arab. 142
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Rasulullah diminta oleh suku-suku di Yatsrib untuk bertindak sebagai mediator atau pihak ketiga untuk mencoba dan membantu penyelesaian konflik yang sedang berlangsung diantara mereka. Dia memiliki reputasi untuk menjadi mediator karena ia telah membantu untuk menyelesaikan konflik di Mekah dan mampu mengisi kekosongan kepemimpinan yang ada di daerah tersebut. Itu juga praktek umum bangsa Arab saat itu untuk merujuk konflik mereka kepada orang luar, dan Nabi telah diberi julukan, “The Trustworthy (al-Amin)” oleh penduduk Mekkah. Akhirnya, saat penyusunan Piagam, ia berkonsultasi dengan pemimpin setiap suku sehingga menunjukkan kesediaannya untuk mendengarkan kebutuhan semua suku. Metode yang dipakai oleh Nabi dengan membuat sebuah piagam Madinah adalah mirip dengan tren yang muncul dalam teknik resolusi konflik di dunia modern saat ini. Metode ini menyediakan sumber pemahaman yang penting tentang mediasi dan resolusi konflik dalam Islam dan selain itu juga menawarkan cara efektif yang dengannya dapat dilakukan pendekatan dialog dengan masyarakat Islam atau masyrakat non-Muslim lainnya.Piagam, yang merupakan deklarasi pertama dari wilayah Madinah sebagai negara kota, mendirikan aturan pemerintah dan menangani permasalahan sosial tertentu dari masyarakat dalam upaya untuk mengakhiri kekacauan dan konflik yang telah mengganggu wilayah tersebut dalam waktu yang amat lama. Piagam Madinah menguraikan hak dan kewajiban warganya, memberikan perlindungan kolektif untuk semua warga Madinah, termasuk Muslim dan non-Muslim, dan memberikan cara pertama untuk mencari keadilan melalui hukum dan masyarakat, bukan melalui aksi militer dari kesukuan. Sebelum adanya Piagam Madinah, Yatsrib adalah komunitas dengan ketegangan konstan antara suku-suku yang tak bersatu dan saling bermusuhan. Nabi justru merujuk kontestasi kekuatan diantara suku suku ini dengan membangun tujuan bersama yang akan melayani seluruh masyarakat. Piagam ini secara khusus menyarankan saling mempengaruhi dengan pernyataan bahwa Muslim dan Yahudi “harus berusaha saling membantu, berkonsultasi, dan kesetiaan adalah perlindungan terhadap pengkhianatan.”Piagam ini mengikat para pihak dalam perjanjian untuk saling membantu terhadap setiap serangan terhadap Yatsrib. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
143
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Jika orang-orang Yahudi “yang dipanggil untuk membuat perdamaian dan mempertahankannya mereka harus melakukannya,. Dan jika mereka membuat permintaan yang sama pada umat Islam, hal itu juga harus dilakukan”.Rujukan kepada otoritas tertinggi juga ditegaskan dalam piagam ini.Piagam ini karenanya secara eksplisit menjelaskan bahwa perselisihan masa mendatang “harus dirujuk kepada Allah dan Nabi Muhammad.”Para partisipan sebenarnya telah menempatkan kekuatan diluar kelompoknya bahwa mereka akan dapat memanfaatkan ketika kekuatan mereka sendiri sedang atau tampak tidak memadai. Kekuatan kesepakatan /perjanjian ini secara unik seimbang karena arahnya ditujukan kepada Tuhan. Piagam Madina menyelesaikan potensi komplikasi kekuatan dengan memfokuskan para partisipannya kepada kesaling-tergantungan mereka. Sekali lagi, gagasan menjadi satu komunitas ditekankan dan para peserta perjanjian dibuat untuk mengenali kekuatan mereka sebagai sebuah unit yang utuh. Akhirnya, seperti yang ditentukan dalam ajaran Al Qur’an, kebebasan beragama dijamin bagi setiap anggota masyarakat.Untuk dunia yang damai, orang harus hidup dalam batas-batas alam yang dipagari dengan hukum.Dalam era modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Piagam Madinah bisa menjadi sumber untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana untuk hidup bersama dan bagaimana untuk memecahkan dan mencegah konflik antara kelompok dengan perbedaan budaya dan kepercayaan.Pada piagam Madinah, nama Tuhan disebut pertama kali, dimana Tuhan merepresentasikan kebaikan tertinggi dan prinsip tertinggi dengan alasan yang tepat. Dengan demikian, Piagam Madinah dapat menjadi model yang baik untuk menciptakan dan mempertahankan dialog dalam masyarakat majemuk, dan cara untuk membangun dan melakukan hubungan social dan politik diantara kelompok-kelompok yang berbeda. Pada zaman sekarang, analisis Piagam Madinah dapat memberi kita wawasan tentang Islam dan pluralisme agama(Sachedina,2001). Madinah menandai terjadinya kehidupan secara berdampingan antar agama dan kelompok-kelompok untuk kali pertama dalam Islam dan mencerminkan Quran yang “secara keseluruhan memberikan materi yang cukup untuk ekstrapolasi suatu teologi religius yang pluralistik
144
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
dan inklusif’(Sachedina,2001:26). Perdamaian dapat dicapai di Madinah, tidak melalui kekuatan dari lengan (militer) atau tumpukan kekayaan, tetapi melalui prinsip-prinsip teguh dalam Islam - toleransi, cinta, akal sehat, dan kepercayaan kepada Tuhan - apakah Tuhan dalam Alkitab, Quran, atau Taurat. Piagam Madinah, bisa dianggap merupakan piagam pertama yang pernah ditulis, yang menunjukkan bahwa Islam menolak penggunaan paksaan dalam agama dan kekerasan dan bahwa selama berabad-abad eksistensi manusia, cara yang paling efektif untuk menyelesaikan konflik datang melalui mediasi. E. Pancasila: Solusi Indonesia Kasus Indonesia untuk taraf tertentu sangat relevan dengan kondisi Pattani Muslim di Thailand.Hal ini juga penting untuk dipahami setidaknya karena dua alasan. Satu, ia merupakan kontekstualisasi ajaran atau konsep politik Islam profetik terutama dalam membentuk negara di zaman modern. Dua, Indonesia dan Thailand memiliki beberapa kesamaan terutama dalam keragaman agama dan budaya.Apa yang menarik untuk dicatat adalah bahwa pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa sampai batas tertentu meniru Piagam Madinah dalam konteks lokal Indonesia dengan memproduksi dasar negara yang mengikat dan menyatukan semua perbedaan di dalam masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Indonesia bukan negara Islam, ia adalah negara yang berdasarkan Pancasila. Pancasila dimaksudkan untuk menjadi solusi dari friksi dan kontestasi antara afiliasi yang berbeda agama, budaya, dan suku-suku pada waktu itu dan itu dianggap oleh mayoritas ulama / ulama Indonesia sebagai ijtihad (produk intelektual) yang sejalan dengan ajaran Islam meskipun Indonesia bukanlah negara Islam.Pancasila kemudian menjadi landasan filosofis resmi negara Indonesia. Pancasila terdiri dari dua kata Jawa Kuno (berasal dari bahasa Sansekerta), ‘panca’ yang berarti lima dan sila yang bermakna prinsip. Pancasila terdiri dari lima prinsip yang tak terpisahkan dan saling terkait. Mereka adalah 1) Ketuhanan Yang Maha Esa 2)Kemanusiaan yang adil dan beradab 3) Persatuan Indonesia 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
145
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Islam tidak diragukan lagi memainkan peran dalam politik dan pengambilan kebijakan pada setiap saat dalam sejarah Indonesia.Dalam kaitannya dengan negara, pada awal pembentukan Indonesia (sebagai negara bangsa), tuntutan peran Islam dalam negara dan masyarakat hangat diperdebatkan.Upaya untuk memformalkan Islam sebagai dasar negara dan menciptakan negara Islam Indonesia - sebagai usulan ekstrim – secara serius diperebutkan. Oleh karena itu Indonesia di masa itu adalah refleksi dari “kontestasi” antara konstituen sosial, agama, dan politik, yang akhirnya tampaknya telah dimenangkan oleh kelompok nasionalis-sekuler. Mayoritas umat Islam Indonesia, bagaimanapun, menunjukkan moderasi mereka dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim yang mengakui semua agama.Indonesia bukanlah negara teokrasi maupun sekuler murni. Dasar negara bukan agama atau Islam, tetapi Pancasila yang secara harfiah berarti lima pilar. Pancasila adalah sebuah platform umum untuk masyarakat Indonesia yang multi-agama dan pluralistik. Pancasila tidak didasarkan pada agama tertentu, tetapi mengakui dan menyerap nilai-nilai agama di dalamnya. Secara historis, berhadapan dengan kebutuhan untuk bekerja sama diantara daerah-daerah kepulauan yang beragam, Presiden Soekarno mengeluarkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Filsafat politik Sukarno terutama merupakan sebuah perpaduan dari unsur-unsur sosialisme, nasionalisme dan tauhid.Pancasila dengan demikian dimaksudkan untuk membantu memecahkan konflik prioritas di kalangan umat Islam, nasionalis dan Kristen.UUD 1945 di Indonesia kemudian menempatkan Pancasila sebagai perwujudan prinsip-prinsip dasar negara Indonesia merdeka.Sejarah negara ini ditandai dengan perang agama, konflik antar-agama dan kontras politik-agama. Namun, solusi yang mungkin di Indonesia tampaknya adalah sebuah ideologi yang disharing secara nasional yang bernama Pancasila, di mana agama memainkan peranan penting, yang pada dasarnya merupakan hasil dialog antar-agama antara Muslim dan Kristen. Sebagai ‘Negara Pancasila dengan Departemen Agama’, Indonesia menurut BJ Boland (1982:112) memilih jalan tengah antara ‘jalan Turki dan pendirian sebuah’ Negara Islam. Sebuah ‘negara sekuler’ mungkin tidak akan sesuai dengan situasi Indonesia, dan sebuah ‘Negara Islam’, seperti yang 146
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
diusahakan di tempat lain, memang akan cenderung untuk membuat daripada menyelesaikan konflik. Untuk alasan inilah ekperimentasi Indonesia layak mendapatkan penilaian posistif. Pada saat itu tidak karakter Islam maupun sekuler bagi negara Indonesia yang mungkin akan mewakili jalan keluar yang baik untuk situasi konflik. Oleh karenanya Pancasila adalah satu-satunya alternatif jika Indonesia ingin mempertahankan kesatuan dan keragaman. Dalam berurusan dengan dua ideologi yang saling bertentangan, solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan bener bener menjadi negara sekuler, di mana agama benar-benar dipisahkan oleh negara, atau negara agama, di mana negara diatur berdasarkan satu agama tertentu. Singkatnya, baik Pancasila dan “sekularisasi sebagai diferensiasi” memungkinkan kita untuk menghindari memilih antara negara sekuler dan negara agama sempit. Dengan kata lain, menurut prinsip-prinsip Pancasila, Indonesia masih menjadi negara berbasis agama tetapi bukan nrgara berbasis teokratis tunggal. Gagasan tentang kohabitasi keberagaman dalam negara kesatuan dielaborasi oleh Sukarno (Presiden pertama Indonesia), dengan memperhitungkan berbagai variasi agama di Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno berpidato menjelaskan lima prinsip Pancasila. Mereka adalah campuran agama Islam dan kandungan kandungan selainnya.Namun, ketika prinsip-prinsip tersebut dipertimbangkan kembali dan diringkas menjadi satu, dimensi agama (tentang Tuhan), bukan hanya tidak dibatalkan, tapi dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan, karena karakter pemersatunya.Oleh karena itu, kesatuan negara dijamin oleh acuan umum bersama kepada Tuhan, yang dibagi, atau harus dibagi oleh warga. Dengan cara ini, konten religius menjadi aman, dan bangsa tidak terpecah, tetapi bersatu dibawah keimanan kepada satu Tuhan yang sama. Yang unik adalah Tuhan yang tertera dalam Pancasila memuaskan baik Muslim dan Kristen, karena mereka berdua bisa menemukannya koherensi dengan iman mereka sendiri. Bahkan, “sebagai cara hidup, Pancasila menyerukan warga negara Indonesia untuk membangun bangsa yang konstruktif didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ditandai oleh ide-ide inklusivitas dan tanpa-diskriminasi”.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
147
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Indonesia merupakan model untuk agama dan komunitas etnisbudaya yang berbeda untuk hidup bersama dalam damai dan saling menghormati. Sistem politik di Indonesia menjamin kedudukan yang sama dari semua lima agama utama di negara tersebut. Muslim, mewakili 85 persen dari 210 juta penduduk, hidup di 6.000 dari total 16.500 pulau. Di Jawa saja hidup 40 persen penduduk Indonesia. Empat lainnya agama - Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu - ditetapkan pada tingkat yang sama dengan Islam. Di Indonesia, non-Muslim tidak dianggap sebagai warga “dzimmi” tapi dikukuhkan sebagai warga yang sama dan berdiri sama. Pemerintah Orde Baru (1965-1997) secara resmi menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler atau negara Islam.Indonesia bukanlah negara teokratis dalam arti bahwa konstitusi negara tidak didasarkan pada atau sumbernya berasal dari hukum agama tertentu. Dengan cara yang sama, Indonesia juga bukan negara sekuler dalam arti bahwa pemerintah bersikap netral terhadap pembangunan dan mendorong kehidupan keagamaan masyarakat. Dalam jargon politik Indonesia, negara Indonesia adalah negara Pancasila, yang berarti bahwa, meskipun hukum agama bukanlah dasar negara, pemerintah memiliki kewajiban moral untuk mendorong dan mempromosikan kehidupan beragama rakyatnya. Pemerintah harus mendorong kehidupan beragama rakyatnya, karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa.Pancasila mencakup prinsip pertama ini, karena agama merupakan bagian integral dari warisan leluhur dan budaya Indonesia.Hal ini dalam kerangka politik bermakna bahwa kesatuan bangsa dapat dijamin, karena memenuhi aspirasi nasional Indonesia, terlepas dari keyakinan agama mereka, asal-usul etnis dan kecenderungan politik. Beberapa pengamat tidak tepat memberikan karakter kepada negara Indonesia.Misalnya, Manning Nash (1991:692) menunjukkan bahwa Malaysia dan Indonesia adalah “bangsa Islam, tetapi negara sekuler”, meskipun keduanya memiliki konsep kebangsaan berbeda. Demikian pula, Charles D. Smith (1995:21) mengamati bahwa negara Indonesia secara resmi sekuler kendati masih mensponsori sistem pendidikan sekuler dan agama dan memelihara pengadilan sekuler dan agama.Baik Nash maupun Smith mendefinisikan ‘negara sekuler resmi’ sedemikian rupa sehingga seseorang dapat menganalisis istilah dan kesannya.Negara Indonesia tentu bukanlah negara sekuler, jika 148
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
menggunakan definisi Donald Eugene Smith (1963:4)14.Definisi tentang negara sekuler menggabungkan tiga hal yang berbeda, namun saling terkait, negara, agama, dan individu.Pertama, negara sekuler menjamin kebebasan individu beragama. Kedua, negara sekuler memperlakukan individu dari semua agama sama. Ketiga, konstitusi negara sekuler tidak didasarkan pada agama tertentu, dan tidak mendorong atau menghambat kegiatan keagamaan.Dalam membentuk sintesis dengan nasionalisme Islam telah memainkan peran sentral selama perang kemerdekaan kepulauan 16.500 pulau yang disebut hari ini Indonesia. Sebenarnya isu tentang hubungan antara agama dan negara muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1945 ketika pendiri Indonesia sedang berpikir tentang bentuk bangsa mereka.Pertanyaan itu kembali dipertimbangkan dalam Majelis Konstituante (1956-1959) di mana partai politik berdebat, apakah Indonesia harus menjadi negara Islam, negara sekuler, atau negara Pancasila. Baru baru ini pada tahun 1980an, hubungan antara Islam dan negara itu kembali diperiksa oleh Amien Rais, yang saat itu seorang sarjana di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, Mohammad Roem, mantan pemimpin partai Masyumi, dan Nurcholish Madjid, yang saat itu mahasiswa pascasarjana di University of Chicago , Ketiga sarjana itu menyimpulkan bahwa Islam tidak mengandung doktrin bagi pendirian sebuah negara Islam. Ada dua jenis pemikiran politik Islam: yang idealis dan realistis. Negara-bangsa Indonesia dapat menjadi model negara untuk pemikiran politik Islam yang realistis.Negara Indonesia adalah pemerintah yang terbaik untuk masyarakat Indonesia dan bahwa negara Pancasila merupakan yang terbaik dari tiga pilihan utama.Pertama, negara Islam di mana Islam dan pemerintah yang terintegrasi (misalnya Arab Saudi, Iran, Pakistan).Kedua, keadaan di mana Islam menjadi agama resmi, namun negara itu sendiri bukan negara Islam (misalnya Malaysia). Ketiga , sebuah negara di mana Islam dan pemerintah tidak secara resmi terkait tetapi hak untuk menerapkan Islam dihormati (misalnya Indonesia). Ketiga alternatif tersebut adalah hasil dari perkembangan sejarah.Karena negara bangsa Indonesia telah didirikan, umat Islam di Indonesia harus menerima alternatif ketiga, negara Pancasila, sebagai keharusan sejarah.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
149
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Negara Indonesia adalah negara di mana setiap orang percaya bisa menyembah Tuhan sesuai dengan pilihannya sendiri agama. Orangorang Indonesia percaya pada Tuhan dengan cara yang baik tanpa egoisme dari satu agama. “Definisi Pancasila terhadap konsep Tauhid adalah penyimpangan yang jelas dari prinsip Dhimmi Islam tradisional. Pancasila menempatkan Muslim, Kristen, Hindu dan Budha pada tingkat yang sama. Pancasila adalah ekspresi tertinggi dari kebebasan beragama.Berbeda dengan ketidakpedulian agama dalam peradaban Barat, kebebasan berbasis Pancasila agama tidak berarti penolakan terhadap agama, namun kebebasan pluralisme agama. Setelah kelahiran Indonesia sebagai negara merdeka, pernyataan politik Islam dari era revolusi (1940) sampai dengan awal era Orde Baru (1960) menunjukkan artikulasi politik yang lebih formalistik dan legalistik. Aura ideologi politik Islam di fase yang sangat mencolok dengan desakan bahwa Islam harus menjadi dasar negara atau menjadi agama resmi negara.Akibatnya, tidak mengherankan, hubungan antara Islam dan negara tidak harmonis selama periode itu.Kegiatan politik Islam yang terpinggirkan oleh hegemoni negara dan ditantang oleh non-Muslim dan Muslim nasionalis-sekuler.Bagi Suharto pada waktu itu, dan juga Sukarno agama harus dipisahkan dari politik (Rizal dan Clara, 2007). Selama sebagian besar masa Orde Baru yang didukung militer (1965-1998), proses penindasan, marjinalisasi dan kebuntuan pelaksanaan politik memaksa Muslim untuk menggeser bentuk politik perjuangan ke bentuk yang lebih substansial dibandingkan dengan perjuangan politik Islam sebelumnya.Pergeseran dari legalistik dan formalistik ke artikulasi politik Islam yang lebih substansial sebenarnya dimulai dari tahun 1970-an. Artikulasi substansial politik Islam akhirnya diikuti oleh perubahan agenda politik Soeharto pada 1980-an. Suharto berusaha untuk mengubah pandangannya tentang peran Islam dan mencoba untuk mendapatkan dukungan luas dari kelompok-kelompok Muslim. Strategi ini membuahkan hasil.Dalam periode ini hubungan antara Islam dan negara adalah positif - kooperastif Negara aktif memberikan kontribusi terhadap pembangunan beberapa lembaga Islam seperti ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Se Ikatan Cendikiawan-Indonesia-
150
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Muslim Indonesia), BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq Dan Shodaqah-), BMI (Bank Muamalat Indonesia-) dan lain-lain. Beberapa analis memperkirakan bahwa masa depan dari lanskap politik di Indonesia akan cenderung lebih substansialis atau moderat yang kontras dengan tuntutan fundamentalis yang mengusulkan tematema seperti pembentukan sebuah negara Islam dan formalisasi syari’at. Bakhtiar Effendi (1998), misalnya, bahkan menyarankan bahwa bentuk akomodatif hubungan akan menjadi fitur dominan dari konstelasi politik di masa depan Indonesia. F.
Kesimpulan
Perdebatan politik atas dasar negara atau hubungan antara negara dan agama telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan lebih permanen dari Pancasila sebagai dasar negara, bukan Islam atau sekularisme.Mereka telah menunjukkan bahwa pihak lawan (kelompok nasionalis dan Islam sekuler) harus bernegosiasi pandangan dan kepentingan mereka secara resmi melalui mekanisme demokrasi (politik).Sementara Islam tidak diakomodasi sebagai dasar negara, sekularisme iditolak juga.Namun, Pancasila pada dasarnya juga sekuler, tapi itu tidak bermakna sekularisme yang kuat, melainkan ─ menggunakan Abdurrahman Wahid (2001:25-8) istilah ─’sekularisme ringan (mild secularism)’. Pancasila menunjukkan “pemisahan ringan negara dan agama,” karena nilai-nilai agama bisa menginspirasi negara, “privatisasi ringan,” karena negara bisa mempublikasikan nilai-nilai agama tertentu (bersama dengan nilai-nilai adat dan sekuler) untuk mendukung kepentingan nasional seperti “pembangunan karakter bangsa” selama era Soekarno, “pembangunan” selama rezim Soeharto , dan demokratis “reformasi” selama era pasca-Soeharto. Negara juga bisa mempromosikan “diferensiasi ringan,” karena negara juga bisa mendukung hukum yang terinspirasi agama tertentu (seperti hukum keluarga Islam) dan lembaga-lembaga ekonomi religius yang diilhami nilai agama (seperti bank dan sistem keuangan syariah). Dalam situasi saat ini, negara Pancasila telah terperangkap diantara sekularisasi dan religionisasi, dan akan tetap seperti itu kecuali digantikan
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
151
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
oleh salah satu ideologi sekuler atau agama. Namun, tampaknya bahwa yang terakhir tidak akan dipilih oleh orang Indonesia, karena sekarang kenyataan ini sudah berlangsung lebih ldari 60 tahun lamanya. Namun demikian, dalam lebih dari satu dekade sejak era Soeharto, Pancasila telah mengalami proses penerimaan dan penolakan secara demokratis. Sementara selama era Soeharto, Pancasila dipaksa oleh negara kepada semua warga negara dan organisasi, dalam era Reformasi paksaan tersebut tidak mungkin lagi. Penerimaan Pancasila telah terjadi sebaliknya, melalui proses bottom-up. Tampaknya bahwa konflik antaragama saat ini telah membuat orang berpikir ulang tentang common denominator atau bahasa bersama di mana mereka mempertahankan hidup berdampingan secara damai. Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa Pancasila adalah dekat dengan kehidupan mereka dibandingkan ideologi lain, karena telah lama menjadi ideologi negara. Apa yang telah dialami oleh masyarakat Muslim di Indonesia harus digunakan sebagai pelajaran penting dan berharga bagi masyarakat Muslim di negara-negara yang multi religius seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand bahwa perjuangan Islam dan misi di tingkat negara tidak selalu dalam bentuk kemenangan politik dan keberhasilan membangun secara formal negara Islam. Negara Islam hanyalah sebuah bentuk yang akan menjadi sia-sia ketika ajaran dan nilai nilai Islam yang lebih substansialis tidak ditemukan dan diupayakan di dalamnya seperti keadilan, kasih sayang, toleransi, dan kerjasama dalam kebaikan dan kebenaran. Berjuang untuk aspek formal legalistik dari Islam politik yang akan menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah di negara tertentu tidak akan ditoleransi oleh ajaran Islam jika pilihan untuk berjuang untuk menjaga persatuan dan perdamaian di antara warganya justru tersedia dan dapat dipilih. Prinsip menghilangkan kejahatan lebih didahulukan dari membawa manfaat (dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih) menemukan relevansinya dalam kasus ini.Menjaga keutuhan masyarakat dan menghindari pertumpahan darah juga harus diprioritaskan atas perjuangan untuk pendirian negara Islam atau shariatization di tingkat negara. Eksperimentasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dengan Piagam Madinah atau Muslim Indonesia dengan Pancasila sebenarnya
152
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
adalah upaya nyata dan substansial didalam membangun masyarakat dan negara. Pesan utama yang harus diikuti dari keberadaan piagam Madinah atau Pancasila di Indonesia adalah bahwa dalam proses pembentukan masyarakat dan negara yang majemuk, keutuhan dan kesatuan masyarakat merupakan syarat utama yang harus dijaga. Oleh karena itu upaya serius untuk menemukan nilai-nilai bersama dan platform umum bersama yang menyatukan warga negara amat sangat signifikan diperjuangkan yang pada akhirnya masyarakat akan menjadi seperti istilah Bennedict Anderson sebuah komunitas imajiner yang memiliki platform yang sama dan berjuang untuk tujuan bersama yang juga sama. Negara bagi umat Islam juga harus dipertimbangkan sebagai daerah dakwah dimana mereka menerapkan nilai-nilai dan ajaran Islam di tingkat negara tidak hanya untuk umat Islam saja tetapi juga kepada penganut agama lain. Perjuangan formal legal dalam bentuk pembentukan sebuah negara Islam juga mempertimbangkan dan melihat konteks masyarakatnya.Pluralitas masyarakat disebuah negara harus menjadi pertimbangan utama dan penting bagi umat Islam sehingga perjuangan lebih substansial harus dipilih yang menekankan perjuangan nyata ditengah komunitas lintas etnis, budaya dan agama. Sehubungan dengan hal ini, Al-Quran menegaskan, “kalian adalah komunitas (ummah)terbaik karena kalian mengajak kepada kebaikan dan mencegak kepada keburukan dan beriman kepada Tuhan.(Qs. Ali Imran: 110)”. Endnotes 1
Terjemahan teks dalam bahasa Indonesia adalah : Sebagai sebuah “negara Pancasila dengan kementrian Agama’ Indonesia telah memilih sebuah jalan tengah antara ‘jalan Turki’ dan mendirikan sebuah ‘negara Islam’. negara sekular boleh jadi tidak tepat bagi situasi rakyat Indonesia dan sebuah ‘negara Islam’ sebagaimana yang diusahakan dimana mana, akan lebih cenderung ‘menciptakan dari pada menyelesaikan masalah.’ Karena alasan inilah pengalaman Indonesia layak mendapatkan penilaian positif.
2
Teks Inggrisnya adalah sebagai berikut: there has been an extraordinary desire on the part of Western social science observers to diminish, conceptually, the place and role of the religion and culture of Islam, now and the past, in Southeast Asian societies.Lihat juga Mark R. Woodward, Towards a New Paradigm: Recent Developments in Indonesian
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
153
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Islamic Thought (Arizona: Arizona State University, 1996), p.34. 3
Teks Inggrisnya adalah: in Islamic Studies, Western and Middle Eastern scholars alike have tended to place Southeast Asia at the intellectual periphery of theIslamic World.
4
Kontektualisasi ini atau yang sebut sebagai synthesis spirit dijaga secara kuat oleh organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahd{ah al-‘Ulama’ (NU), khususnya dalam menghadapi puritanisasi Wahabi dan Muhammadiyah dalam awal pendirian organisasi ini dengan mensosialisasikan jargon al-muhafaz}ah ‘ala al-qadim al- salih} wa al-akhdu bi al-jadid al- aslah.
5
Untuk gerakan Hadrami di Indonesia lihat Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherland East Indies, 1900-1942, (New York: SEAP Cornell University, 1999).
6
Ibn Taymiyyah menekankan bahwa masalah khilafah dan imamah tidaklah sama dengan masalah iman dan islam yang sudah defenitif. Ia menulis, “…wa min al-ma’lum annahu laysat bayan mas’alat al-imamah fi al-kitab wa al-sunnah kabayan hadzihi al-ushul.” Lihat Ibn Taymiyyah, Minhaj, Vol I, p.50.
7
Some examples to this issue are crusade that was preached by the Pope, the churches that were known in the Middle Ages as a centre of corruption, Galileo Galilee’s case, and others. However the rejection that modernity or modern sciences has eroded religion can be seen in the work of Michael Allen Gillespie. He stated that modernity only gives a new meaning and interpretation for the religion. See Michael Allen Gillespie, Theological Origins of Modernity, (Chicago: University of Chicago Press, 2008).
8
The emergence of secularisation in the pluralistic society (unlike European society at that time) is actually having different background and reason. It is indeed interesting to be studied comparatively. Asghar Ali Engineer even stated that secularisation in India emerged as a kind of unifying ideology in the struggle against British colonisation. Secularisation among Indians became a value that can be accepted for all because secularisation is not based on any religion in the midst of multi religious society of India. Interview with Dr. Asghar Ali Engineer, Melbourne, 10 July 2010.
9
See for further explanation on the decline of religion in the modern society; David Martin, A General Theory of Secularization, (New York: Harper & Row, 1979); Jose Casanova, Public Religions in the Modern World,(Chicago: University of Chicago Press,1994); Steve Bruce, God is Dead: Secularization in the West, (Oxford: Blackwell Publishing, 2002).
10
Almost all classical Muslim scholars and the ideologues of Islamic movements believed in the integrality of Islam (union of Islam and politics) such as Imam al-Mawardi, Ibn Taymiyyah, Ibn Khaldun, Al-Farabi, H}assan al-Banna, Sayyid Qut}b, Taqiy al-Din al-Nabhani,and others.
154
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
11
The concept of Muslim ummah means that all Muslims are considered as one community regardless their races, colours, nations, or any primordial backgrounds
12
See HTI, Jejak syariah dan khilafah di Indonesia, (Jakarta: HTI Press, 2007); Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2005); Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1998).
13
Nurcholish Madjid is one of Indonesian scholars who realised the collective (political) consciousness of Inddonesian Muslims at that time and tried to counter the discourse by his famous jargon ‘Islam yes polical Islam no”. For a further study see Barton, Greg (1999) Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, and Abdurrahman Wahid. (Jakarta: Paramadina,, 1999); Nurcholish Madjid , Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang/Obor, 1984), Nurcholish Madjid ,Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1988) , Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi. (Jakarta: Paramadina, 2002)
14
MarcGalanter,”Secularism East and West”, in Rajeev Bhargava,Secularism and Its Critics (Oxford: Oxford University Press, 1998), , pp.234-5.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
155
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Daftar Pustaka Abdurrahman Wahid, “Indonesia’s Mild Secularism,” SAIS Review 21 (Summer-Fall) 2001. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985). Ahmad Sukardja in Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Djambatan, 2002). Anthony Bubalo and Greg Fealy, Between the Global and the Local: Islamism, the Middle East, and Indonesia, (Washington: The Saban Center for Middle East policy at The Brookings Institution, 2005). Bahtiar Effendi, Islam: Contemporary Indonesian Politics, (Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2006). Effendy, Bahtiar ,Islam and State in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), 2003). Boland, B. J.,The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Nijhoff, 1982) Clifford Geertz, The Religion of Java, (Glencoe, The Free Press, 1960). David Martin, A General Theory of Secularization, (New York: Harper & Row, 1979). Fauzi M. Najjar, The Islamic State: A Study in Traditional Politics (Connecticut: Monographic Press, 1967). Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, and Abdurrahman Wahid. (Jakarta: Paramadina,, 1999). Hefner and Horvatics (eds), Islam in Era of Nation-State, (1997). HTI, Jejak syariah dan khilafah di Indonesia, (Jakarta: HTI Press, 2007). Ibn Taymiyyah, Minha>j, Vol I. (nd) Jose Casanova, Public Religions in the Modern World,(Chicago: University of Chicago Press, 1994). Karen Armstrong, Muhammad: A Prophet for Our Time, (New York: HarperCollins, 2006).
156
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Mokhammad Yahya - Islam dan Negara: Ikhtiar Politis Muslim Indonesia
Manning Nash, “Islamic Resurgence in Malaysia and Indonesia”, in Martin E. Marty and R. Scott Appleby,Fundamentalisms Observed (Chicago: The University Chicago Press, 1991). Mark R. Woodward, Towards a New Paradigm: Recent Developmnets in Indonesian Islamic Thought (Arizona: Arizona State University, 1996). Michael Allen Gillespie, Theological Origins of Modernity, (Chicago: University of Chicago Press, 2008). Musyrifah Sunanto, Sejarah peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2005); Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1998). Natalie Mobini-Kesheh, The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherland East Indies, 1900-1942, (New York: SEAP Cornell University, 1999). Nurcholish Madjid , Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang/ Obor, 1984). ________________,Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan, 1988) ________________, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi. (Jakarta: Paramadina, 2002). Peters, F. E., Muhammad and the Origins of Islam, (New York: SUNY, 1994). Steve Bruce, God is Dead: Secularization in the West, (Oxford: Blackwell Publishing, 2002). Sachedina, Abdulaziz, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New York: OUP,2001). Wilfred Cantwell Smith,Islam in Modern History, (Princeton: Princeton University Press, 1957). William Roff, Islam Obscured? Some Reflections on Studies of Islam and Society in Southeast Asia,” Archipel, no. 29 (1985).
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
157
J-PIPS, Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
ISSN 2355-8245
PEMANFAATAN SITUS SINGOSARI DALAM MENGEMBANGKAN LITERASI SEJARAH PESERTA DIDIK Nur Lailatus Zahroh Abstract: SMPI al Ma’arif is truly beneficial since it is located around the site Singosari, however the students in this schools do not know the history of the site Singosari; even they have never visited the historical object at all. In fact, the material about Singosari kingdom is one of the mandate of the national curriculum. To develop historical literacy as an effort to preserve the site and develop a sense of affection among the students towards historical site, the use of the Singosari site is the right step. The author is using qualitative research approach based on naturalistic studies. The research findings show that historical literacy development among the students by utilizing the historical sites have been reflected in the RPP made by the teacher. In practical aspect, some historical literacy index was developed by a teacher.The development ofhistorical literacy by utilizing the historical siteshas changed theparadigm of historical fact memorization to improvethe students’ inovolvement in historical sources.
Keywords: The Use of Singosari Site, Literacy History of Students A. Pendahuluan 1.
Latar Belakang
Literasi sejarah merupakan suatu kemampuan yang penting dimiliki peserta didik dalam pembelajaran IPS. Dalam konteks kekinian, literasi memiliki arti yang sangat luas.Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.Bukhori (2005) mengemukakan “Literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.” Maka literasi sejarah dapat diartikan sebagai suatu sikap literat terhadap sejarah berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang dikembangkan oleh peserta didik. Literasi sejarah tidak menjadikan peserta didik hanya melek akan sejarah tetapi juga memiliki sikap kritis dan peka terhadap lingkungan sejarah. 159
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
Ahonan (2005:1) memandang historical literacyadalahkemahiran dalam membaca dan mendiskusikan sejarah, Jika seseorang mampu mempertanyakanbukti dan penjelasan sejarah, maka orang tersebut dianggap telah memahami konsep-konsep dasar sejarah sebagaimana yang diungkapkannya bahwa : Historical literacy’ is a behaviouristic term suggesting a mastery of the basic historical information, which enables historical reading and discussion. If the person can ask questions of evidence and explanation, he or she is assumed to have a grasp of the basic procedural concepts of history and to be a critical reader. Oleh karena itu, dalam pengembangan literasi sejarah, seseorang dituntut untuk banyak berinteraksi dengan bukti sejarah yang merupakan sumber pengetahuan sejarah yang akurat. Adapun kelebihan pembelajaran dengan mengembangkan literasi sejarah menurut Nokes (2011) siswa tidak hanya diberikan pengetahuan fakta-fakta masa lalu, namun juga diajarkan seperangkat kemampuan dalam membaca, menulis dan memberikan argumen tentang bukti sejarah. sebagaimana yang diungkapkannya bahwa: Historical literacy is not about a purposeless knowing of facts about the past. Historical literacy implies the possession of the skill set necessary to read, reason, write, and learn with historical evidence. Factual and conceptual knowledge facilitates historical literacy and factual and conceptual knowledge grows when students practice historical literacy. Selain itu, literasi sejarah memungkinkan siswa untuk mandiri dalam membangun interpretasi dari masa lalu berdasarkan bukti sejarah. Hal ini sangat mendukung pembelajaran IPS (sejarah) yang bersifat empiris dan menuntut siswa untuk memastikan kebenarannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Charles Saignobors (Tamburaka, 1999:18) yaitu “Sejarah bukanlah suatu ilmu saja melainkan suatu metode untuk memastikan fakta. Kelompok pengetahuan yang bersifat metodis hanya dapat diperoleh melalui pengalaman.” Salah satu caraupaya untuk mengembangkan literasi sejarah peserta didik terutama dalam pembelajaran IPS (sejarah) di sekolah adalah dengan memanfaatkan benda-benda bersejarah yang ada di
160
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
lingkungan sekitarpara peserta didik karena pembelajaran sejarah di sekolah sering kali kurang menarik bahkan membosankan.Untuk meningkatkan respon dan minatpeserta didik terhadap pelajaran sejarahadalah dengan menciptakan pola pembelajaransejarah yang terkait dengan situasi lingkungannya. “Kegiatan pembelajaran sejarah memerlukan medium untukmengembangkan rasa kepedulian dan ketertarikan ranah kedaerahan dengan menggalilebih dalam tentang masalalu didaerahnya” (Wasino, 2009).Medium tersebut salah satunya adalah situs sejarah. Pemanfaatan situs sejarah dapat memberikan pengalaman yang tidak mereka temukan di kelas. Mereka dapat melihat secara langsung bendabenda bersejarah dan bentuk-bentuk bangunan pada zaman dahulu. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi peserta didik dalam belajar. Menurut Hubermas (Budiningsih, 2007:73) “Belajar akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya.” Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungannya, pemahaman akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci. Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa situs sejarah sangat mendukung pengembangan literasi sejarah karena keberadaannya mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran terutama berkaitan dengan sejarah. Adapun realita di lapangan, tidak banyak situs sejarah yang digunakan sebagai sumber pembelajaran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Heriawan (2009) bahwa: Jawa Timur menyumbangkan banyak peninggalan sejarah.Namun, coba tanyakan kepada pelajar yang tinggal di sekitar Singosari, pernahkah mereka mendapat tugas membuat makalah tentang Candi?Atau, bertanyalah kepada peserta didik di Mojokerto, “Apa lambang kerajaan Majapahit?Tanpa bermaksud apriori, hampir pasti mereka akan terdiam, menjawab pun ragu”. Padahal, peserta didik dalam pembelajaran sejarah di sekolah idealnya mereka melihat secara langsung kehidupan nyata, bukan materi yang jauh dari realitas. Sebagaimana dikemukakan oleh Mulyana (2007: 1) bahwa “Belajar sejarah yang baik dapat berasal dari pengalaman J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
161
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
sehari-hari peserta didik. Kedekatan emosional peserta didik dengan lingkungannya merupakan sumber belajar yang berharga.” Fakta yang diungkap oleh Heriawan di atas, mendorong peneliti untuk mengkaji tentang pemanfaatan situs sejarah khususnya situs Singosari yang berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber belajar maupun media pembelajaran di bidang pendidikan mengingat banyak lembaga pendidikan tersebar di sekitar situs Singosari dari tingkat PAUD, TK, SD sampai SMA. Lokasinya yang mudah ditempuh, dan keberadaannya yang masih dilestarikan sehingga masih terjaga dengan baik, membuat suasana situs Singosari sangat menyenangkan untuk dinikmati baik untuk tujuan wisata maupun pembelajaran. Secara historis Singosari merupakan salah satu daerah yang berperan dalam awal penyebaran agama Hindu-Buddha di Jawa Timur sekitar abad 13 M. Situs Singosari berada di daerah Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Situs ini merupakan peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan embrio dari kerajaanMajapahitsebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Beberapa peninggalan arkeologi yang bercirikan Hindu-Buddhapun ditemukan di sana, antara lain candi Singosari yang merupakan tempat pendarmaan abu jenazah raja Kartanegara dan digunakan umat Hindu-Buddha untuk sembahyang, Arca Dwarapala yang menjadi pintu gerbang kerajaan Singosari, candi Sumberawan yang merupakan satu-satunya stupa di Jawa Timur yang digunakan sembahyang oleh umat Hindu-Buddha, dan Petirtaan Watugede yang merupakan tempat pemandian putri Ken Dedes untuk disucikan dan diruwat sehingga memberikan keturunan raja-raja besar di Indonesia. Bangunan-bangunan sejarah tersebut banyak menyimpan aspek-aspek kultural masyarakat Singosari mulai dari aspek agama, adat-istiadat, pandangan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, dan aspek budayapada zaman itu. Berdasarkan fakta di atas, Singosari ditetapkan sebagai situs arkeologi dan kawasan konservasi purbakala. Dalam perkembangannya, Singosari bukan lagi menjadi daerah yang bercorak Hindu-Buddha, akan tetapi Singosari telah menjadi kota santri yang dipenuhi dengan lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren, penduduknya mayoritas beragama Islam, Suasana daerahnyapun menjadi religius. Rendahnya 162
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
perhatian pemerintah setempat terhadap kelestarian lingkungan budaya, serta rendahnya pemahaman masyarakat akan nilai historis daerah Singosari mengakibatkan peninggalan-peninggalan sejarah hanya menjadi simbol daerah Singosari semata. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Jika tidak ada tindakan dari pemerintah maupun masyarakat, maka nilai historis daerah Singosari akan hilang. Keberagaman situs di Kecamatan Singosari seharusnya memberikan peluang bagi warga Singosari untuk lebih dekat dalam memahami sejarah lokalnya. Namun, pengetahuan warga Singosari perihal sejarahnya sangat rendah, kepedulian dan kesadaran akan pentingnya kelestarian cagar budaya juga sangat kurang. Seperti hasil temuan penelitian Amelia Driwantoro yang dikutip oleh Wiharjono (2009) menyatakan bahwa ‘peninggalan sejarah Singosari banyak yang rusak, sering warga menemukan benda bersejarah tapi tidak tahu arti benda yang ditemukan,rasa ingin menjagadan menginformasikan sekedar harapan’. Kenyataan ini juga menjadi keresahan tersendiri bagi peneliti karena dampaknya pasti akan berimbas pada kelestarian cagar budaya Singosari yang terancam. Pembelajaran sejarah lokal tentang kerajaan Singosari ini sudah seharusnya menjadi perhatian serius oleh lembaga pendidikan dengan memanfaatkan peninggalan-peninggalannya guna tujuan pembelajaran. Namun, berdasarkan observasi peneliti pada Oktober 2011 Situs Sejarah Singosari tidak dimanfaatkan dalam pembelajaran khususnya untuk pembelajaran sejarah. Pembelajaran Sejarah tentang Singosari selama ini bersifat teoritis dan teksbook tanpa pernah membawa peserta didik ke situasi riilnya. Padahal, dalam pembelajaran IPS, berbagai macam situs yang adaakan memudahkan peserta didik mengeksplorasi beragam materi sejarah lokal seluas-luasnya Berdasarkan hasil survey peneliti pada Januari 2012di SMPI alMa’arif Singosari kelas VII sebagai lokasi penelitian dan Subjek penelitian bahwa sebagaian besar peserta didik kelas VII A sejumlah 33 orang atau 76,8 % dari peserta didik pernah mempelajari tentang sejarah kerajaan Singosari ketika ada di jenjang sekolah dasar akan tetapi 90,7% Peserta didik atau 39 orang belum pernah mengunjungi peninggalan-peninggalan sejarah yang berada di sekitar sekolahnya untuk tujuan pembelajaran. J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
163
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
Hanya 4 orang atau 9,3% yang pernah mengunjungi peninggalanpeninggalan sejarah Singosari untuk kepentingan pembelajaran, itupun hanya candi Singosari. Berdasarkan hasil survey pada Januari 2012, sebagian besar peserta didik atau 39 orang mengetahui peninggalan sejarah kerajaan Singosari. Namun, 16 orang dari mereka tidak mampu menyebutkan namanya secara tepat. Hanya 8 orang yang mampu menyebutkan nama peninggalan sejarah itu secara tepat yaitu hanya Candi Singosari dan arca dwarapala, 3 peninggalan lainnya mereka tidak mengetahui. Sedangkan 15 orang yang lainnya hanya mampu menyebutkan 1 nama yang tepat yaitu candi Singosari dan nama yang lainnya kurang tepat. Adapun 4 orang lainnya (9,3%) tidak tahu sama sekali. Dari hasil survey di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan peserta didik tentang situs Singosari masih kurang walaupun mereka dikelilingi berbagai peninggalan sejarah. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan karena ketika masyarakat lokal tidak lagi memahami sejarah sebuah situs didaerahnya, maka dapat dipastikan perasaan ingin merawat dan menjaga itu akan hilang. Jangankan merawat, mengunjungi saja enggan. Jika demikian halnya, transformasi nilai historis dan spirit sebuah situs terhadap penduduk lokaltidak akan terjadi (Kuntowijoyo, 1984:6). Hasil survey tersebut dikuatkan dengan hasil wawancara (Januari 2012) dengan beberapa peserta didik yang pernah mengunjungi candi Singosari, menyatakan bahwa peserta didik berkunjung ke candi arah hanya untuk mengetahui peninggalan sejarah pada masa lampau dan cerita tentang sejarahnya. Akibatnya ketika ditanya tentang hasil belajarnya terkait sejarah Singosari, peserta didikpun hanya bisa menyebutkan nama candinya, mengingat-ingat tahun berdiri dan nama rajanya. Selain itu peserta didik juga menggambarkankisah pemberontakan yang terjadi. Tidak tampak dari peserta didik kemampuan untuk menjelaskan lebih dalam terkait sejarahnya apalagi untuk mendiskusikannya dan menjadikannya pedoman dalam menjalankan kegiatan/aktivitas sehari-hari.
164
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
2.
Fokus Masalah
Identifikasi masalah yang dijadikan fokus penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan situs Singosari dalam mengembangkan literasi sejarah peserta didik di SMP Islam Al-maarif 01 Singosari. Guna memperjelas arah dari fokus masalah ini, dijabarkan lebih lanjut dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: a.
Bagaimana perencanaan pembelajaran IPS dalam mengembangkan literasi sejarah peserta didik dengan memanfaatkan situs Singosari di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari?
b.
Bagaimana pelaksanaan pembelajaran IPS dalam mengembangkan literasi sejarah peserta didik dengan memanfaatkan situs Singosari di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari?
c.
Bagaimana evaluasi pembelajaran IPS dalam mengembangkan literasi sejarah peserta didik dengan memanfaatkan situs Singosari di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari?
d. Kendala apakah yang dihadapi oleh guru dan peserta didik di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari dalam memanfaatan situs Singosari? 3.
Metode Penelitian a.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif atau naturalistik. karakteristik naturalistik terdapat pada proses penelitian di mana peneliti berusaha untuk mengungkapkan suatu realitas kegiatan pembelajaran berupa data deskripstif yang diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan/obeservasi dan dokumentasi terkait tentang kondisi situs, aktivitas peserta didik, dan aktivitas guru mengajar.
b.
Informan Informan yang menjadi sumber data penelitian ini adalah Kepala sekolah, guru bidang studi, siswa dan Para juru J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
165
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
pelihara di situs Singosari . c.
Analisis data penelitian Analisis data menggunakan model analisis interaksi (interactive analysis models) milik Miles dan Huberman yang alurnya dapat digambarkan dalam skema beriku ini :
Pengumpulan data
Penyajian
Reduksi
Kesimpulan
data
/Verifikasi
data
Gambar 1: Kompenen-komponen model analisis interaksi (sumber: Sugiyono, 2009:92) d. Penyajian data Dalam penelitian ini, peneliti menyajikan data dalam bentuk uraian singkat yang bersifat naratif. B. Konsepsi Tentang Pembelajaran Sejarah Lokal, Pemanfaatan Situs Sejarah Dalam Pembelajaran Dan Literasi Sejarah 1.
Pembelajaran Sejarah Lokal
Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas sejarah yang dibatasi oleh keruangan yang bersifat administratif belaka seperti sejarah Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan sejarah Desa. Sejarah lokal dapat didefinisikan sejarah dari suatu “tempat”, suatu “locality” yang batasannya ditentukan oleh “perjanjian” yang diajukan
166
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
penulis sejarah. Menurut Widja (Mulyana, 2007a:1) ‘kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia.’ Aspek lingkungan sekitar merupakan batasan keruangan terpenting dalam sejarah lokal.Banyak tema-tema yang bisa disajikan dalam penulisan sejarah lokal dalam lingkup lingkungan seperti aspek sosial, agama, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Sejarah lokal dirasakan sebagai kisah bersama yang keberadaannya ada dimasing-masing masing daerah, dimana setiap individu akan larut dalam pengkisahannya, oleh karena itu sejarah lokal menjadi identitas masyarakat, identitas lokal yang secara emosional mengikat warganya menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. “Sejarah lokal mampu mengenalkan peserta didik terhadap peristiwa-peristiwa di daerahnya yang sangat berguna. Peserta didik akan mengenal bagaimana proses dan perubahan yang terjadi di daerahnya. Pemahaman ini akan lebih memudahkan bagi peserta didik untuk mengenal secara langsung dan lebih dekat terhadap proses dan perubahan yang terjadi di sekitar lingkungannya“(Mulyana, 2007b:231232). Tujuan penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah adalah a. Bahan belajar akan lebih mudah diserap peserta didik, b. Sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, c. Peserta didik lebih mengenal kondisi lingkungan, d. Peserta didik dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, e. Peserta didik dapat menolong diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, f. Peserta didik dapat menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, g. Peserta didik menjadi akrab dengan lingkungannya (Widja, 1989), dan peserta didik makin kreatif, inovatif, patriotik, dan cinta tanah air. “Pengenalan dan pemahaman diri sejak dini terhadap daerah sangat penting artinya, karena pengenalan seperti ini, secara alamiah telah memberi benih kesadaran akan adanya ikatan moral, ikatan emosional seseorang dengan konteks lingkup sosial budaya dan geografisnya dimana ia lahir dan dibesarkan” (Nur:2008). J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
167
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
2.
Pemanfaatan Situs Sejarah dalam Pembelajaran Sejarah Lokal
Berdasarkan UU no 11 tahun 2010pasal 9 ayat 1 dan 2situs sejarah dalam kaitannya dengan peninggalan sejarah atau sebagai warisan budaya yang disebut dengan situs cagar budaya adalah lokasi yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budayadanmenyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu. Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1992 Tentang Cagar Budaya menyebutkan: a. Bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional, b. Bahwa untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan benda cagar budaya. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa benda cagar budaya memang dilindungi secara hukum, artinya bagi siapa yang merusak, mengambil, menyimpan maka dapat dikenai dengan sanksi hukumnya. Menurut undang-undang cagar budaya pasal 9, suatu tempat dikatakan memiliki nilai sejarah antara lain apabila: a. di tempat itu terdapat benda atau peninggalan bersejarah; b. merupakan tempat kelahiran, kemangkatan, dan makam tokoh penting; atau c. merupakan ajang di mana peristiwa penting tertentu terjadi (peristiwa sejarah), yang dalam disiplin sejarah disebut dengan peristiwa pada masa lampau yang memiliki signifikansi sosial. Situssejarah merupakan salah satu sumber belajar IPS/Sejarah. “Sumber belajar adalah segala sesuatu (daya, lingkungan, pengalaman) yang dapat digunakan dan dapat mendukung proses/kegiatan pengajaran secara efektif dan efisien dan dapat memudahkan pencapaian tujuan belajar,baik yang langsung ataupun tidak langsung, baik konkrit/ abstrak” (Rohani, 2004:78).Sumber belajar memiliki fungsi: a.
Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan.
b.
Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual.
168
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
c.
Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: 1) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan 2) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.
d. Lebih memantapkan pembelajaran e.
Memungkinkan belajar secara seketika.
f.
Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.
3.
LITERASI SEJARAH
Literacy erat kaitannya dengan istilah kemahirwacanaan/keaksaraan. Ini sesuai dengan makna hurufiah bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis.Berdasarkan istilah itu, orang yang tidak bisa membaca disebut orang iliterat atau biasa diterjemahkan buta aksara. Menurut Tompkins (1991:18) mengemukakan bahwa “literacy merupakan kemampuan menggunakan membaca dan menulis dalam melaksanakan tugas-tugas yang bertalian dengan dunia kerja dan kehidupan di luar sekolah.” Menurut Unesco yang dikutip oleh Resmini bahwa ‘seseorang disebut literate apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat, dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca, menulis, dan arithmetic memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakat.’ Dalam konteks kekinian, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.Bukhori (2005) mengemukakan “Literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.” Literasi sejarah adalah ungkapan yang telah digunakan secara longgar dan variabel di masa lalu.Paul Gagnon, sejarawan AS, menggunakan istilah itu ketika menyusun buku yang berpengaruh tahun 1989 yaitu
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
169
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
Historical Literacy; the Case for History in American Education. Namun, definisi literasi sejarah milik Gagnon tersebut sebenarnya merupakan konten dan telah ada pada laporan komisi milik Bradley tahun 1987 tentang pengajaran sejarah dan the US anti-social-studies standards (content) debate of the late 1980s” (Taylor, 2003:28). “Literasi sejarah (historical literacy) adalah istilah behavioristik yang menginginkan kemahiran dalam sejarah dalam bentuk mampu membaca, memahami teks dan referensi, dan mendiskusikan sejarah. Jika seseorang mampu mempertanyakan tentang bukti dan penjelasan sejarah maka orang tersebut dianggap telah memahami konsep-konsep dasar sejarah dan telah menjadi pembaca sejarah yang kritis. Dengan kata lain historical literacy tidak mengharuskan seseorang asal- usul terjadinya peristiwa sejarah” (Ahonen, 2005:1). “Literasi sejarah tidak memerlukan pengetahuan ensiklopedis fakta sejarah dari setiap masa.Pengetahuan luas seperti yang dimiliki oleh para sejarawan tidak harus menjadi tujuan akhir dari instruksi sejarah” (Winerburg, 2000).Sebaliknya,literasi sejarah menyiratkan memiliki seperangkat keterampilan yang diperlukan untuk membaca, memberi alasan, menulis, dan belajar dengan bukti sejarah.Literasi sejarah memfasilitasi pengetahuan faktual dan konseptual. Pengetahuan faktual dan konseptual tumbuh ketika peserta didik berlatih literasi sejarah. Menurut Ravitch yang dikutip oleh Maposa (2005:7) ‘Literasi sejarah memungkinkan peserta didik untuk mandiri membangun interpretasi dari masa lalu berdasarkan bukti sejarah. Guru memfasilitasiliterasi sejarah dengan merancang kegiatan dan penilaian yang memungkinkan peserta didik untuk membangun penafsiran mereka sendiri daripada hanya mengharuskan peserta didik untuk mengingat interpretasi dibangun oleh orang lain.’ Indeks literasi sejarah membahas elemen kunci dari literasi sejarah, setiap elemen diidentifikasi dengan ikon sendiri, berikut setiap elemen dari literasi sejarah (Tn, 2002:6) : a.
Peristiwa Sejarah (Events of the past) : Kemampuan peserta didik dalam mengetahui dan memahami peristiwa sejarah, menggunakan pengetahuan sebelumnya,
170
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
dan menyadari pentingnya peristiwa yang berbeda.Taylor menempatkan pengetahuan tentang peristiwa sejarah di puncak indeks.Hal ini menunjukkan bagaimana Taylor menganggap pentingnya pengetahuan dalam literasi sejarah.Banyak peserta didik yang sudah memiliki beberapa fakta tentang beberapa peristiwa.Beberapa fakta mungkin mitos atau ide yang kurang matang atau yang cukup akurat, dalam hal ini peran guru adalah mengembangkan kemampuan dan membedakan antara berbagai jenis fakta dan peserta didik menunjukkan bagaimana fakta dinilai sebagai bagian dari bukti. b.
Narasi dari Masa lalu (Narratives of the past) : Kemampuan peserta didik dalam memahami bentukperubahan dan kontinuitas dari waktu ke waktu, memahami berbagai narasidan menyikapinya dengan keterbukaan. Untuk mencapai kemampuantersebut peserta didik perlu diperkenalkan pada ideide yang multi narasi, dan inilah sejarah yang dapat dijelaskan melalui berbagai perspek. Penjelasan dalam bentuk narasi maupun penafsiran peristiwa hanyalah salah satu di antara banyak cara tapi validitas atau keabsahannya terletak pada tekniknya. Elemen yang sangat penting dalam pengembangan sebuah narasi adalah penggunaan bukti secara tepat.
c.
Keterampilan Penelitian (Research Skills) : Kemampuan peserta didik dalam mengumpulkan,menganalisis dan menggunakan bukti (artefak, dokumen dan gambar) dan asal dari isu-isu.Dalam keterampilan ini peserta didik diikutsertakan dalam kegiatan menilai bukti sejarah terkait keaslian relevansi, koherensi, kredibilitas dan keandalan bukti tersebut.Kegiatan penelitian memungkinkan peserta didik mengembangkan pemikiran historis dan pemahaman dengan 1).Menciptakan kronologi, 2).Menjelaskan sejarah melalui narasi, 3).Membangun cerita dari masa lalu, 4).Menguji keandalan sumber.
d. Bahasa Sejarah (The language of history) : Kemampuan peserta didik dalam memahami bahasa sejarah. Menurut penelitian Liam Hudson yang dikutip dari artikel J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
171
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
“Historical Literacy” (menemukan bahwa peserta didik remaja mampu menjawab pertanyaan ujian dalam sejarah tanpa sepenuhnya memahami teksnya, contohnya peserta didik menggunakan kata monarki akan tetapi tidak bisa mendefinisikan kata-kata itu secara akurat. Oleh karena itu guru dan peserta didik perlu mengembangkan bersama-sama pemahaman tentang bahasa sebagai bagian dari proses membangun kosakata sejarah yang akurat. e.
Konsep Sejarah (Historical Concepts) : Kemampuan peserta didik dalam memahami konsep sejarah seperti penyebab dan motivasi.Untuk menguraikan beberapa narasi sejarah, peserta didik harus mengembangkan pemahaman yang baik terkait sebab-akibat, motivasi dan empati. Kesadaran peserta didik akan adanya hubungan kausal dan motivasi akan memudahkan peserta didik dalam mengeksplorasi sebuah narasi dengan baik.
f.
Pemahaman TIK (ICT Understandings) : Kemampuan peserta didik dalam menggunakan, memahami dan mengevaluasi sumber sejarah (arsip virtual) berbasis TIK. Kontribusi yang paling berharga dalam mengembangkan TIK di bidang sejarah adalah membuat kurikulum sejarah berbasis IT yaitu bagaimana peserta didik dan guru menggunakan internet sebagai salah satu sumber sejarah. Guru sejarah sekarang perlu untuk melatih peserta didik tentang teknik evaluasi sumber, sehingga mereka dapat menyaring informasi dari internet dan memungkinkan peserta didik untuk membuat evaluasi yang konstruktif dari sumber internet. Dengan demikian aspek penting dalam menggunakan TIK di kelas sejarah adalah guru dan peserta didik bekerja bersama-sama mengembangkan panduan untuk menilai sumber-sumber internet dalam konteks sejarah dan dalam konteks yang lebih umum.
g.
Membuat Koneksi/Kaitan (Making Connections): Kemampuan peserta didik dalam menghubungkan masa lalu dengan dirinya dan dunia saat ini. Membuat hubungan masa
172
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
lalu adalah cara untuk menciptakan ketertarikan dan keasyikan peserta didik dalam belajar sejarah. Menurut beberapa penelitian terbaru dari Australian Centre for Public History menunjukkan bahwa sejumlah besar peserta didik menganggap bahwa sekolah tidak memberikan pandangan sejarah kepada mereka, peserta didik lebih banyak mendapatkan koneksi sejarah dari rumah dan museum.Jadi salah satu pekerjaan utama guru sejarah adalah memanfaatkan rasa ingin tahu peserta didik tentang sejarah yang ada di masyarakat dan memastikan bahwa sekolah membuat keterkaitan nyata dengan masa lalu bagi para peserta didik. h. Perdebatan dan Pertentangan (Contention and Contestability) : Kemampuan peserta didik dalam memahami “aturan” dan tempat publik, dan perdebatan sejarah secara professional. Debat merupakan bagian penting dari berfikir sejarah. Dalam beberapa tahun terakhir tampaknya semakin banyak perdebatan historis yang masuk kedalam arena publik. Beberapa dari perpecahan telah diperdebatkan di media massa. Semua itu merupakan latihan yang berguna untuk menarik perhatian peserta didik, gagasan sejarawan yang tidak setuju adalah hal yang wajar. Hal ini memperkuat pandangan bahwa penjelasan adalah subjektif dan bukti yang tidak lengkap akan diuji dalam argumen. Tugas guru sejarah dalam hal ini adalah untuk menunjukkan kepada peserta didik bahwa perdebatan sejarah itu terbuka untuk diinterpretasikan dan harus dilihat dalam konteks yang sesuai berdasarkan pengetahuan historis dan pemahaman historis, bukan atas ketidaktahuan atau melalui lensa prasangka buta. i.
Representasi ekspresi (Representational Expression) : Kemampuan peserta didik dalam memahami dan menggunakan kreativitas dalam merepresentasikan masa lalu. Peristiwa sejarah bisa dijelaskan, dieksplorasi, dipahami, dihargai dalam format kreatif yang berbeda seperti drama, musik dokumenter, film, drama, seni visual, musik, fiksi, dan puisi. Karya-karya tersebut dapat membangun kecerdasan ganda karya Howard Gardner. Guru dan peserta didik dapat bergabung untuk menghasilkan berbagai tanggapan terhadap isu-isu historis dengan gaya J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
173
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
belajar dan bakat yang berbeda. Guru sejarah memiliki peran penting dalam mengembangkan keterampilan peserta didik dan kemampuan kritis dalam menilai media dan menarik kesimpulan tentang penafsiran mereka dari peristiwa sejarah. j.
Penilaian Moral Sejarah (Moral Judgement’s in History) : Kemampuan peserta didik dalam memahami isu-isu moral dan etika yang terdapat dalam penjelasan sejarah.Pengajaran dan pembelajaran sejarah menyajikan isu-isu tertentu dalam pengembangan moral dan etika peserta didik.Salah satu masalah utama yang dihadapi guru sejarah adalah kebencian peserta didik pada kebiadaban semua.Cerita tentang kekejaman, kebiadaban, penindasan dan krisis moral dari beberapa peristiwa sejarah hanya menimbulkan depresi daripada minat atau antusiasme belajar peserta didik.Oleh karena itu tugas utama guru disini adalah mengembangkan pemahaman humanistik pada peserta didik dan menguji gagasan moral.Untuk mengatasi hal ini guru dan peserta didik dapat mengikuti kata-kata Jonathan Glover yang mengatakan bahwa dengan mempelajari peristiwa sejarah secara hati-hati kita dapat mengelola secara lebih efektif bagaimana kita merasakan tentang mereka.
k.
Penerapan Sains dalam Sejarah (Applied Science in History) : Kemampuan peserta didik dalam memahami penggunaan dan nilai keahlian ilmiah dan teknologi dan metode dalam menyelidiki masa lalu, seperti analisis DNA atau tes gas kromatografi. Penyelidikan disiplin sejarah menjadi semakin bergantung pada kemajuan teknis dan ilmiah.Hal ini penting bagi peserta didik untuk mengetahui dan menghargai peran yang dimainkan oleh disiplin ilmu lainnya dalam sistematis sejarah seperti rekonstruksi wajah, ilmu forensik, tes DNA, teknologi infra merah, pemetaan satelit, analisis statistik sekarang menjadi bagian dari pekerjaan seorang sejarawan. Pengajaran sejarah dengan kesadaran akan penerapan ilmu pengetahuan baru akan menambah kesadaran peserta didik akan penjelasan sejarah yang selalu tentatif dan terbuka dan bukan kebenaran mutlak.
174
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
l.
Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) : Kemampuan peserta didik dalam menggunakan penalaran, sintesis dan interpretasi sejarah (indeks literasi sejarah) untuk menjelaskan masa lalu. Pemahaman historis tidak lengkap tanpa penjelasan.Walsh mengatakan bahwa seni dalam sejarah adalah menempatkan peristiwa sejarah sesuai dengan konteks sejarahnya.Untuk membuat penjelasan sejarah, peserta didik harus mampu untuk memberikan alasan historis. Penjelasan sejarah memerlukan beberapa atribut: 1) Kombinasi jadi alasan dan imajinasi berdasarkan landasan bukti. 2) Tingkat pemahaman yang berada di luar kemampuan belaka untuk mendekontruksi. 3) Memiliki logika eksternal dalam penjelasan yang berkaitan dengan bukti dan cara yang telah ditentukan. 4) Memiliki logika internal dalam penyusunan bukti demi penjelasan yang meyakinkan untuk mengembangkan bentuk penjelasan peserta didik perlu untuk melakukan penelitian.
C. HASIL PENELITIAN Adapun proses pengembangan literasi sejarah dalam penelitian ini meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kendala-kendala yang dihadapi. Berikut adalah pembahasannya. 1.
Perencanaan Pembelajaran IPS dalam Mengembangkan Literasi Sejarah Peserta Didik dengan Memanfaatkan Situs Singosari di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari.
Pengembangan literasi sejarah pada tahap perencanaan ini dilakukan dengan memberikan pengetahuan awal pada peserta didik tentang perkembangan agama Hindu-Buddha yang melatarbelakangi adanya kerajaan di Indonesia. Pemberian “pengetahuan” pada peserta didik merupakan tahap awal dalam pengembangan literasi sejarah. Menurut Taylor pengetahuan tentang masa lalu sangatlah penting untuk dimiliki peserta didik, tanpa pengetahuan peserta didik tidak akan mampu untuk mengintrepretasikan cerita sejarah, menganalisis dan mengevaluasiya. Oleh karena itu, Pengetahuan peserta didik tentang perkembangan J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
175
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
agama Hindu-Buddha hendaklah diikuti oleh pemahaman. Penting bagi peserta didik untuk memahami jalannya peristiwa sehingga mereka mampu membuat keputusan, memberikan komentar, analisis dan interpretasi di atas pengetahuan yang akurat. Selain itu pemahaman akan membawa mereka pada kesadaran akan pentingnya pengetahun tentang asal-usul kerajaan di Indonesia ini. Adapun proses pengembangan literasi sejarah dalam tahap perencanaan ini masih pada tingkat literasi sejarah terendah yaitu tahap pengetahuan yaknipeserta didik mengetahui tentang peristiwa masa lalu. Dalam proses ini peserta didik diberikan pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah tanpa ada tuntutan untuk menganalisa kebenarannya. Peserta didik tidakdiajak proaktif dalam mempelajari sejarah namun hanya dijadikan sebagai Objek. Tingkat literasi sejarah seperti ini merupakan model literasi sejarah tahun 1978 an yang ditelorkan oleh Ravitch di mana sejarah dianggap sebuah musium informasi yang melegitimasi pandangan tertentu, dan barang suci yang dirancang, yang akan diterima daripada sesuatu yang harus diselidiki oleh peserta didik. Padahal sejarah seharusnya menjadi wilayah perjuangan akademis dari setiap individu atau peserta didik yang seharusnya dapat mengambil bagian dalam perjuangan tersebut. 2.
Pelaksanaan pembelajaran IPS dalam mengembangkan literasi sejarah peserta didik dengan memanfaatkan situs Singosari di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari.
Pemanfaatan situs Singosari pembelajaran IPS dalam mengembangkan literasi sejarah dilaksanakan dengan dua cara yaitu menghadirkan lokasi situs ke kelas melalui media visual dan audio visual dan membawa peserta didik langsung ke lokasi. a.
Elemen Literasi Sejarah yang Dikembangkan dalam Pembelajaran IPS di SMPI al-Ma’arif Singosari 01 Pengembangan literasi sejarah dalam pembelajaran IPS di SMPI al-Ma’arif Singosari 01 melalui pemanfaatan situs Singosari dilakukan dengan mengembangkan beberapa indeks dari literasi sejarah. Proses pengembangan literasi sejarah untuk kelas VII di
176
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
SMPI al-Maarif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pengetahuan Peristiwamasa lalu (Events of the past) Indeks pertama ini merupakan tahap di mana peserta didik dikenalkan dengan cerita-cerita masa lalu yang merupakan sebuah fakta.Sebuah fakta bisa disebut fakta jika diikuti oleh sebuah bukti.Kemampuan peserta didik dalam menilai fakta berdasarkan sebuah bukti merupakan bagian penting dalam pengembangan literasi sejarah.Oleh karena itu, tugas guru dalam hal ini adalah mengajarkan pada peserta didik untuk mampu menilai cerita sejarah berdasarkan bukti; membedakan berbagai jenis cerita antara cerita yang berbasis fakta dan mana cerita sejarah yang hanya sekedar mitos atau dongeng. 2) Narasi Sejarah (Narratives of the past) Indeks yang kedua adalah pengembangan kemampuan naratif peserta didik dalam memahami bentukperubahan dan kontinuitas dari waktu ke waktu. Dalam proses ini peserta didik diarahkan untuk menempatkan peristiwa dalam konteks sejarah melalui berbagai perspektif. Elemen yang sangat penting dalam pengembangan sebuah narasi adalah penggunaan bukti secara tepat. Dalam indeks ini tugas peserta didik cukup sederhana yaitu menjelaskan peristiwa secara naratif berdasarkan bukti yang ada. Seperti kata Walsh seorang ahli filosofi sejarah bahwa sejarah merupakan proses “Colligation” yaitu menempatkan peristiwa sejarah dalam konteks sejarah yang tepat. Oleh karena itu, dia menyarankan peserta didik untuk menulis. 3) Konsep Sejarah(Historical Concepts) Indeks literasi sejarah ke tiga yang dikembangkan oleh guru adalah pemahaman konsepsejarah.Untuk menguraikan suatu narasi sejarah peserta didik harus mempunyai pemahaman yang baik tentang konsep sebab-akibat, motivasi dan empati. Beberapa konsep sejarah yang diajarkan guru antara lain konsep tentang asal mula agama Hindu-Buddha, teori J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
177
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
masuknya agama Hindu Buddha, Budaya yang bercorak Hindu Buddha, Kerajaan Hindu Buddha dan peninggalan sejarah yang bercorak Hindu Buddha (seni bangunan seperti candi dan stupa, Seni patung, relief dan seni sastra). Dengan mengajarkan konsep-konsep tersebut, peserta didik dapat mengetahui latar belakang adanya agama Hindu Buddha di Indonesia dan berdirinya berbagai kerajaan sebagai bentuk pemerintahan.Dengan begitu ada proses pengembangan konsep sebab-akibat di sini. Harapannya adalah peserta didik bisa membedakan mana yang menyebabkan suatu peristiwa dan apa akibat dari kejadian tersebut. Misalnya penyebab adanya kerajaan di Indonesia adalah persebaran agama Hindu Buddha, adanya perbudakan pada zaman kerajaan adalah akibat dari sistem kasta yang dianut oleh kerajaan. 4) Penilaian MoralDalam Sejarah(Moral Judgement’s in History) Indeks yang dikembangkan selanjutnya adalah memahamiisuisu moraldan etikayang terkandung dalampenjelasansejarah. guru mengembangkan kemampuan penilaian moral dalam sejarah dengan tranfer of value pada peserta didik saat pelajaran berlangsung sehingga pembelajaran tidak berisi teori belaka namun juga ada nilai-nilai moral yang ditanamkan. Harapannya adalah murid mampu menilai mana hal yang baik dan mana yang buruk. 5) Membuat Koneksi (Making Connections) Indeks terakhir yang dikembangkan adalah kemampuan peserta didik dalam menghubungkan masa lalu dengan dirinya dan dunia saat ini.Pada kesempatan kali ini, indeks “Making Connections” dikembangkan dengan mengajak peserta didik ke area situs Singosari.Suasana situs Singosari mampu membangkitkan imajinasi mereka tentang sejarah Singosari Mereka dapat menghubungkan dirinya dengan masa sejarah seakan-akan mereka ada dimasa itu. Peserta didik melakukan koneksi dengan berbagai benda sejarah di sana, dengan begitu 178
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
mereka akan mengetahui apa yang terjadi pada daerah tempat tinggalnya pada zaman kerajaan, mereka dapat langsung mengetahui bagaimana suasana Singosari pada waktu zaman itu dan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada daerah tempat tinggalnya sekarang. b.
Elemen Literasi Sejarah yang Belum Dikembangkan dalam Pembelajaran IPS di SMPI al-Ma’arif 01Singosari 1) Keterampilan Penelitian (Research Skills) R esea rch Sk ills adalah k e ma mp u a n s is wa dalam mengumpulkan,menganalisis dan menggunakan bukti (artefak, dokumen dan gambar) dan asal dari isu-isu.Research Skillsbelum dikembangkan disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, Selama di lapangan, guru cenderung untuk menjawab pertanyaan peserta didik berdasarkan pengetahuan yang guru punya sehingga tidak ada suatu penyelidikan tertentu yang dilakukan oleh siswa. Kedua, tugas laporan yang ditugaskan pada siswa adalah catatan tentang hal-hal yang telah mereka temui selama di lapangan seperti nama arca, nama situs, dan cerita tentang situs, catatan tentang jawaban-jawaban dari pertanyaan yang mereka ajukan kepada guru serta kesan dan saran peserta didik terhadap situs Singosari yang mereka kunjungi. Bukan catatan laporan tentang penyelidikan akan bukti sejarah yang peserta didik temukan. 2) Bahasa Sejarah (The language of history) Selama penelitian, kemampuan bahasa sejarah tidak dikembangkan.Hal ini tampak dari aktivitas mengajar guru banyak bercerita tentang sejarah.selama di kelas guru memaparkan tentang materi-materi yang ada dalam buku teks. Selama proses pembelajaran, tidak nampak guru memberikan pembelajaran tentang bahasa sejarah. Padahal banyak sekali istilah-istilah sejarah yang belum dimengerti oleh siswa misalnya arti dari kata arkeologis, ritual, dan prasasti. The language of historybelum dikembangkan karena pembelajaran J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
179
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
lebih ke arah penyampaian materi yang akan diujikan sehingga dalam prosesnyapun guru mengajarkan hal-hal terkait content dari materi tersebut seperti kisah kerajaan Majapahit, asal mula Hindu Buddha, dan pengaruh Hindu Buddha di Indonesia. Bahasa sejarah tidak menjadi prioritas bagi guru untuk disampaikan kepada siswa. 3) Pemahaman TIK (ICT Understandings) Secara skill, peserta didik sudah mampu mengakses internet untuk mencari informasi tentang cerita sejarah.Hal ini terbukti dari tugas yang dikumpulkan oleh peserta didik tentang kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu Buddha berupa hard copy dari internet. Peserta didik mem”paste”kan informasiinformasi yang mendukung tugas mereka ke dalam lembar tugas tanpa mempertimbangkan kebenarannya. Bukan keterampilan seperti ini yang menjadi tujuan dari elemen ini. ICT Understandings dalam literasi sejarah mengharapkan siswa dapat menyaring informasi sejarah berdasarkan sumber yang akurat.Artinya, siswa tidak asal “ambil” setiap informasi dari internet melainkan mereka mampu mengevaluasi terlebih dahulu informasi tersebut apakah berasal dari sumber yang akurat atau bukan sebelum mereka gunakan sebagai bahan belajar sejarah. ICT Understandingsbelum dikembangkan disebabkan guru tidak mempunyai keterampilan TIK yang mendukungnya untuk menggunakan TIK dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu, pembelajaran sejarah terfokus pada buku teks dan LKS dan tidak tertarik untuk menggunakan sumbersumber dari internet sebagai bahan ajar. 4) Pe r d e b a t a n d a n p e r t e n t a n g a n ( Contention and Contestability) Menurut Simon (Pratiwi, 2012) “debat merupakan kegiatan bertukar pikiran antara dua orang atau lebih yang masingmasing berusaha mempengaruhi orang lain untuk menerima gagasan yang disampaikan.”Debat dapat digunakan sebagai
180
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
wahana melatih keterampilan berbicara siswa. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik, siswa dapat mengomunikasikan ide-ide mereka, baik di sekolah maupun dengan penutur asing, dan juga menjaga hubungan baik dengan orang lain. Selama penelitian berlangsung, elemen ini tidak tampak dikembangkan. Dalam RPP, tidak ada perencanaan guru untuk mengajak siswa mendiskusikan atau memperdebatkan suatu tema sejarah tertentu. Semua metode yang guru gunakan tidak melatih siswa untuk aktif dalam berbicara. Aktivitas siswa di kelas lebih banyak memperhatikan dan mendengarkan. 5) Representasi ekspresi (Representational Expression) Representational Expressionadalah kemampuan siswa dalam memahami dan menggunakan kreativitas dalam merepresentasikan masa lalu.Representational Expressionbelum dikembangkan karena waktu yang diberikan untuk mata pelajaran sejarah terlalu sedikit yaitu 40 menit. Guru selalu mempertimbangkan untuk menggunakan metode bermain peran seperti drama atau simulasi dalam pembelajaran sejarah. Guru menganggap 40 menit hanya cukup untuk menenangkan peserta didik dan memfokuskan mereka pada materi. Sedikitnya waktu yang dialokasikan untuk guru menjadi penghambat kreativitasnya dalam menggunakan metode selain ceramah dan diskusi. 6) Penerapan sains dalam sejarah(Applied Science in History) Applied Science in Historyadalah kemampuan siswa dalam memahami penggunaan dan nilai keahlian ilmiah dan teknologi dan metode dalam menyelidiki masa lalu, seperti analisis DNA atau tes gas kromatografi.Penyelidikan disiplin sejarah menjadi semakin bertambah seiring kemajuan teknologi dan ilmiah.Oleh karena itu, penting bagi siswa untuk mengetahui dan menghargai peran yang dimainkan oleh disiplin ilmu spesialis seperti ilmu forensik, teknologi
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
181
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
infrared, pemetaan satelit, dan analisis statistik. Selama penelitian berlangsung, elemen ini tidak tampak dikembangkan.Dalam pelaksanaannya, guru juga tidak mencoba menjelaskan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada dari aspek ilmu lainnya misalnya dari ilmu geologi atau arsitektur. Keterbatasan pengetahan guru atau kurang luasnya wawasan yang guru punya membuat proses pembelajaran hanya berputar pada materi dalam buku teks. 7) Penjelasan Sejarah (Historical Explanation) Kemampuan siswa dalam menggunakan penalaran, sintesis dan interpretasi untuk menjelaskan masa lalu. Pemahaman historis tidak lengkap tanpa penjelasan. Untuk mengembangkan suatu penjelasan sejarah, siswa perlu melakukan penelitian.Keterampilan penelitian merupakan modal bagi siswa untuk mampu menjelaskan sejarah.Seperti yang telah dijelaskan bahwa dalam kesempatan ini guru belum mengembangkan research skillsehingga Historical Explanationpun belum dikembangkan. 3.
Penilaian pembelajaran IPS dengan memanfaatkan situs Singosari dalam mengembangkan literasi sejarah peserta didik di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari
Adapun kegiatan evaluasi pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru secara umum diketahui bahwa guru tidak mempunyai kriteria penilaian tertentu buat peserta didik. Rubrik penilaian yang ada dalam RPP hanya formalitas belaka. Selain itu, guru banyak menggunakan LKS untuk mereview, melatih dan menilai siswa. Beberapa pertanyaan dalam LKS yang mengandung elemen literasi sejarah antara lain: a.
Pengetahuan peristiwa sejarah(Events of the past) 1)
Tunjukkan bukti-bukti bahwa Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha!
2) Sebutkan sumber sejarah dari kerajaan-kerajaan berikut, baik 182
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
sumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Kerajaan
Sumber Sejarah Luar negeri
Dalam negeri
Kutai Tarumanegara
b.
Narasi sejarah (Narratives of the past) 1) Apakah yang kalian ketahui tentang peristiwa Pralaya medang? 2) Jelaskan alasan yang mendorong pemerintahan kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur!
c.
Bahasa sejarah (The language of history) 1) Apa yang dimaksud relief? 2) Kitab suci agama Buddha ditulis dalam bahasa....
d. Konsep sejarah(Historical Concepts) 1) Jelaskan pengaruh Hindu Buddha dalam bidang agama! 2) Setelah pengaruh Hindu Buddha masuk, penerus tahta kerajaan diperoleh dengan cara...... 4.
Kendala yang dihadapi oleh guru dan peserta didik di SMPI al-Ma’arif 01 Singosari dalam memanfaatan situs Singosari.
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan literasi sejarah melalui pemanfaatan situs Singosari ini terdapat tiga titik utama, yaitu pertama dari pihak SDM terkait yaitu guru dan peserta didik, kedua waktu dan ketiga adalah lokasi. Dari pihak guru, diketahui bahwa kurangnya pengetahuan guru akan sejarah rekonstruksi candi dan proses pembuatan peninggalan-peninggalan sejarah lainnya.Dari pihak peserta didik, kendala muncul dari sisi motivasi peserta didik yang rendah. Rendahnya motivasi peserta didik tersebut mengakibatkan peserta didik pasif dalam mengikuti proses pembelajaran.Minimnya waktu yang disediakan untuk pembelajaran akan sangat mempengaruhi efektifitas pembelajaran. Titik fokus ketiga adalah lokasi situs Singosari. Kendala yang dihadapi peserta didik saat di lokasi adalah banyaknya J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
183
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
arca-arca yang sudah rusak. D. KESIMPULAN Dari paparan di atas dapat diketahi bahwa pembelajaran IPS dengan mengembangkan literasi sejarah mempunyai beberapa keunggulan antara lain: 1.
Pengembangan literasi sejarah menjadikan pembelajaran IPS menjadi lebih bermakna karena berpindah dari paradigma penghafalan fakta sejarah menuju peningkatan keterlibatan peserta didik dengan sumber sejarah
2.
Pengetahuan peserta didik tentang IPS (sejarah) dibangun di atas bukti yang akurat. Dalam prosesnya siswa diajak untuk mengkaji suatu fakta berdasarkan bukti sejarah sehingga siswa mampu membedakan mana pengetahuan yang menjadi kebenaran sejarah dan mana yang hanya sekedar mitos.
3.
Pengembangan literasi sejarah membuat peserta didik tidak hanya diberikan pengetahuan tapi juga diberikan keterampilan. Hal ini sesuai dengan program pendidikan IPS yang mencakup empat dimensi yaitu dimensi pengetahuan, dimensi keterampilan, dimensi nilai dan sikap, dan dimensi tindakan. Adapun keterampilan tersebut antara lain keterampilan menulis narasi berdasarkan fakta, keterampilan berfikir seperti siswa mampu memberikan pendapat atau memberikan saran.
4.
Pengembangan literasi sejarah dengan memanfaatkan situs Singosari dapat menumbuhkan rasa sayang dan bangga peserta didik akan lingkungan sejarah di sekitarnya.
5.
Elemen-elemen literasi sejarah yang dikembangkan dan tidak dikembangkan di atas dapat di gambarkan dalam tabel 2 sebagai berikut :
184
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
E l e m e n t l i t e r a s i s e j a r a h y a n g Element literasi sejarah yang tidak dikembangkan dikembangkan Pengetahuan Peristiwamasa lalu Keterampilan Penelitian (Events of the past) (Research Skills) Narasi Sejarah
Bahasa Sejarah (The language of history)
Membuat Koneksi
Pemahaman TIK
(Making Connections)
(ICT Understandings)
Konsep Sejarah
Perdebatan dan pertentangan (Contention and Contestability)
(Historical Concepts)
Representasi ekspresi (Representational Expression)
Penilaian Moraldalam Sejarah (Moral Judgement’s in History)
Penerapan sains dalam sejarah (Applied Science in History) Penjelasan Sejarah
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku : Budiningsih, C. Asri. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Kuntowijoyo.1984. Seminar Sejarah Lokal. Jogjakarta: Masyarakat tsb. Mulyana, A. (2007). “KTSP dan Pengembangan Konsep dalam Pembelajaran Sejarah Lokal”, dalamSejarah lokal (penulisan dan pembelajaran disekolah). Bandung: Salamina Press. Rohani, A. (2004). Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono.(2010). MetodePenelitian Pendidikan (pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Penerbit Alfabeta. Tamburaka, R. E. (1999). Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah filsafat dan Iptek. Jakarta: Rineka Cipta. Taylor, Tony and Young, C. (2003).Making History: A Guide for the Teaching and Learning of History in Australian Schools.Australia: Curriculum Corporation.
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
185
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
Tompkins, G. danHoskisson K. (1991).Language Arts: Content and Teaching Strategies. New York: Max Well Macmillan International Publishing Group. Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Widja, I Gede. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan. Wineburg, S.S. (2000). Historical thinking and other unnatural acts: Chartering the future of teaching the past. Philadelphia: Temple University Press. SumberJurnal: Ahonen, S. (2005). “Historical Consciousness : a Viable Paradigm For Hystory Education?”. Journal of Curriculum Studies [Online], VOL. 37, NO.6, 697–707.12halaman.Tersedia: http://ocw.openu.ac.il/ opus/Static/binaries/Upload.[10 Maret 2012] Lee, P. (2004). “Historical Literacy: Theory and Research”. International Journal of Historical Learning, Teaching and Research, 5(1), 1-12.Tersedia:www.heirnet.org/IJHLTR/journal9/.../[10 Maret 2012] Sumber internet: Maposa, M.& Wassermann, J.(2005).Conceptualising Historical Literacy. [online]. Tersedia: www.hyperhistory.org/images/.../literacy. pdf. [10 maret 2012]. Nokes, J. D. (2011).Historical Literacy. [online]. Tersedia:www.schools. utah.gov/.../Social-Studies-newsl. [10 maret 2012]. Nur, M. (2008). PenulisanSejarahdanBudayaLokal.[online]. Tersedia http:// lpmp-aceh.com/?content=article_detail&idb=17. [25 Novembrer 2011] Tanpa Nama (Tn). (2002). Historical Literacy.Tersedia:www.hyperhistory. org. [10 maret 2012]
186
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
Nur Lailatus Zahro - Pemanfaatan Situs Singosari Dalam Mengembangan Literasi Sejarah Peserta Didik
Sumber Artikel dari surat kabar: Bukhori, A. (2005, 26 Maret). Menciptakan Generasi Literat. Pikiran Rakyat [Online]. Tersedia: http//www.radar banten.com/mod. php? =796. [17 Oktober 2011] Heriawan, T. (2009, 28 Agustus).Objek Sejarah, Kapan Jadi Sumber Belajar. Jawa Pos. [Online]. Tersedia: http://teguhhariawan. wordpress.com/. [17 Oktober 2011] W i h a r j o n o . ( 2 0 0 9 , 0 3 A g u s t u s ) . MungkinkahNasibSitusSingosarisepertiTrowulan?. SuaraMerdeka. [Online].Tersedia:http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/cetak/2009/08/03/75178/. [20 Oktober 2011]
J-PIPS,
Vol. 1 No.1 Juli-Desember 2014
187
PEDOMAN PENULISAN
A. Tulisan berupa hasil penelitian/kajian konseptual tentang studi Islam yang belum pernah dipeblikasikan (orisinil) B. Sistematika dan Teknis Penulisan : 1.
Hasil Penelitian mencakup : judul, nama penulis, alamat penulis dan lembaga, abstrak, key words, pendahuluan, metodologi, paparan hasil, pembahasan, kesimpulan dan saran, dan refe rences
2.
Kajian Konseptual mencakup: Judul, nama penulis, alamat penulis dan lembaga, abstrak, key words, pendahuluan, Isi atau pembahasan (terbagi atas bagian/sub-sub bagian), kesimpulan dan saran, dan references
3.
Judul terdiri dari 5-14 kata (bahasa Indonesia) 5-10 (bahasa Inggris), mencerminkan isi artikel
4.
Nama penulis tanpa gelar, dilengkapi alamat korespondensi, No. Telp. dan alamat e-mail dan nama lembaga tempat kerja atau tempat penelitian dilakukan dan alamat lembaga
5.
Abstrak berisi paparan singkat tujuan, metode, ringkasan hasil dan kesimpulan, ditulis dalam satu alinea berbahasa Inggris, paling banyak 200 kata, ada kata kunci (key words) yang berisi konsep-konsep penting yang dibahas dalam artikel yang berbentuk kata atau frase
6.
Hasil kajian dipaparkan dalam bentuk yang mudah dipahami (tabel dan/atau gambar), selain dalam bentuk verbal, sehingga mudah diingat
7.
Hasil analisis telah ditafsirkan secara subtantif,dibandingkan dengan temuan sebelumnya yang sejenis, dibandingkan dengan teori terkait untuk mengarah pada verifikasi teori tersebut
8.
Kesimpulan mengandung sesuatu yang baru, terkait langsung dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan, memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu terkait
9.
Cara pengacuan menggunakan innote (dalam teks) dengan sistem; nama-Tahun-halaman, sehingga dengan cepat dapat memberikan senarai kemuktakhiran pustaka yang diacu contoh: •
Ibrahim Bafadlal (2001:25) mengemukakan bahwa syariat Islam bersifat Universal untuk semua bangsa di Dunia
•
Syariat Islam bersifat Universal untuk semua bangsa di dunia (Ibrahim Bafadlal, 2001:25)
C. Pustaka yang diacu harus relevan dengan masalah yang dikaji;lebih banyak berasal dari sumber primer daripada sekunder; lebih banyak dari sumber yang diterbitkan 10 tahun terakhir (kecuali kajian historis); lebih banyak dari jurnal ilmiah; disusun berdasar urutan abjad; tanpa nomer; nama belakang didahulukan tanpa koma, bila dua orang atau lebih dipisahkan dengan koma (,) menggunakan sistem; nama.tahun. judul buku. Kota penerbit; nama penerbit.