Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan
ISSN 1907-0659
KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER Muhammad Ramdhan
SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK Danang Surya Candra
STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA (Studi Kasus Pada Pulau Pandang) Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar
PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA-BALI Teja Arief Wibawa SPOT-4 Image of The Aceh Tamiang District, Nanggroe Aceh Darussalam
POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM DI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON Wahyu Budi Setyawan
UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis Rachma Puspitasari
ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Susi Rahmawati
J. Segara
Volume 7
Nomor 1
Hal. 1 - 71
Jakarta Agustus 2011
ISSN 1907-0659
ISSN 1907-0659
VOLUME 7 NO. 1 AGUSTUS 2011 Nomor Akreditasi: 319/AU1/P2MBI/10/2010 (Periode Oktober 2010 - Oktober 2013) Jurnal SEGARA adalah Jurnal yang diasuh oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – KKP, dengan tujuan menyebarluaskan informasi tentang perkembangan ilmiah bidang kelautan di Indonesia, seperti: oseanografi, akustik dan instrumentasi, inderaja,kewilayahan sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawah air dan lingkungan. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini terutama berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam dan luar negeri. Terbit pertama kali tahun 2005 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satu tahun.
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab Dr. Budi Sulistiyo
Pemimpin Pengelola Redaktur Prof. Dr. Ngurah N. Wiadnyana
Dewan Editor Prof. Dr. Wahyoe S. Hantoro Dr. Sugiarta Wirasantosa Ir. Tukul Rameyo Adi, MT Dr. Irsan S. Brodjonegoro Dr. Richardus Kaswadji Dr. Edvin Aldrian
Mitra Bestari Prof. Dr. Rosmawati Peranginangin Prof. Dr. Safwan Hadi Prof. Dr. Cecep Kusmana Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abiddin Ir. Tjoek Aziz Soeprapto, M. Sc Dr. I Wayan Nurjaya Dr. Hamzah Latif
Redaksi Pelaksana Bagus Hendrajana, ST, M.Sc Dicky Hartawan, S.Ikom Syahrial Nur Amri, M.Si Dani Saepuloh, A.Md
Redaksi Jurnal Ilmiah Segara bertempat di Kantor Pusat Balitbang Kelautan dan Perikanan Alamat : JL. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telpon : 021 - 6471-1583 Faksimili : 021 - 6471-1654 E-mail :
[email protected] Jurnal Segara Volume 7 No. 1 Agustus 2011 diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Tahun Anggaran 2011
ISSN 1907-0659
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Volume 7 Nomor 1 Agustus 2011 Hal. 1 - 81
KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER Muhammad Ramdhan SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK Danang Surya Candra STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA (Studi Kasus Pada Pulau Pandang) Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA-BALI Teja Arief Wibawa POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM DI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON Wahyu Budi Setyawan UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis Rachma Puspitasari ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Susi Rahmawati
PENGANTAR REDAKSI Jurnal Segara adalah jurnal yang diterbitkan dan didanai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Jurnal Segara Volume 7 No.1 Agustus 2011 merupakan terbitan pertama di tahun anggaran 2011. Naskah yang dimuat dalam jurnal Segara berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademis, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan dari dalam dan luar negeri. Di nomor pertama 2011, jurnal ini menampilkan 7 artikel ilmiah hasil penelitian tentang: komparasi hasil pengamatan pasang surut di perairan Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati dengan prediksi pasang surut tide model driver, spot4 data classification analysis using neural network, studi potensi ekowisata bahari di Kabupaten Batubara (studi kasus pada Pulau Pandang), pemanfaatan data satelit oseanografi untuk prediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar (thunnus obesus) di Samudera Hindia selatan Jawa-Bali, potensi dampak kenaikan muka laut terhadap dataran pesisir dan aktifitas produksi garam di kawasan pesisir mundu, Kabupaten Cirebon, uji toksisitas sedimen pesisir cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik chaetoceros gracilis, estimasi cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari, taman nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Diharapkan artikel tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kelautan Indonesia. Akhir kata, Redaksi mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas partisipasi aktif peneliti dalam mengisi jurnal ini.
REDAKSI
i
ISSN 1907 - 0659
Volume 7 Nomor 1 Agustus 2011 DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………….......................
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………...............
ii
LEMBAR ABSTRAK ..............................................................................................................
iii-vii
Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut di Perairan Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver Muhammad Ramdhan ......................................................................................................................................................
1-10
SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network Danang Surya Candra..................................................................................................................
11-16
Studi Potensi Ekowisata Bahari di Kabupaten Batubara (Studi Kasus pada Pulau Pandang) Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar...........................................................................
17-28
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi Untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Di Samudera Hindia Selatan Jawa-Bali Teja Arief Wibawa.......................................................................................................................................................... Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut terhadap Dataran Pesisir dan Aktifitas Produksi Garam di Kawasan Pesisir Mundu, Kabupaten Cirebon Wahyu Budi Setyawan...................................................................................................................................... Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik Chaetoceros Gracilis Rachma Puspitasari............................................................................................................... Estimasi Cadangan Karbon Pada Komunitas Lamun di Pulau Pari, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta Susi Rahmawati...............................................................................................................
29-41
42-56
57-64
65-71
ii
KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER THE COMPARISON BETWEEN TIDAL OBSERVATION AND THE PREDICTION BY USING TIDE MODEL DRIVER SOFTWARE, IN PRAMUKA ISLAND AND PATI COASTAL WAVES
Muhammad Ramdhan
ABSTRAK
ABSTRACT
Data pasut air (pasut) laut sangat diperlukan dalam penentuan garis pantai dan pelaksanaan survey bathimetri. Paper ini akan membandingkan hasil pengamatan pasut di lapangan dengan suatu prediksi yang dihasilkan dari perangkat lunak Tide Mode Driver (TMD). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk wilayah perairan kepulauan, tipe pasut dari data pengamatan lapangan berbeda dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD. Sedangkan untuk wilayah perairan terbuka, tipe pasut dari data pengamatan lapangan sama dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD.
Tidal data for sea water level are needed to determine the coastline and the bathymetric survey. This paper will compare the results of tidal observations in the field with a prediction generated from the Tide Model Driver (TMD) software. The results show that for the islands waters, tipe of tidal data from the field observation was different with the tipe of tidal predictions obtained from TMD. As for the open sea water, tidal data from the field observation match with the tipe of tidal predictions are obtained from TMD. Keywords: tide, tide prediction, tide type, Tide Model Driver
Kata Kunci: pasut, prediksi pasut, tipe pasut, Tide Model Driver
SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK ANALISA PENGKLASIFIKASIAN DATA SPOT-4 MENGGUNAKAN METODE JARINGAN SYARAF TIRUAN
Danang Surya Candra
ABSTRACT
ABSTRAK
The overall objective of remote sensing image classification procedures is to automatically categorize all pixels in an image into land use/land cover classes. Normally, multispectral pattern present within the data for each pixel is used as the numerical basis for the categorization. The knowledge of land use/land cover is important for many planning and management activities and is considerd an essential element for modeling and understanding the earth as a system. SOFM is one of the most fascinating topics in the neural network field. In the data clustering, the SOFM net carries out the online cluster process in the input model, in the topological nature of the input multi-bands data is clustered into the output layer of neuron weights . The research shows that SOFM method is better than MLC in accuracy. The experiment prove that SOFM is quite good in term of classification processing speed. Clearly, the results of using SOFM classifier in classification of multi-spectral remote sensing data are very good result of accuracy and fast in classification process.
Klasifikasi citra penginderaan jauh bertujuan untuk mengkategorikan semua piksel dalam gambar ke dalam kelas penggunaan lahan/tutupan lahan secara otomatis. Biasanya data penginderaan jauh multispektral digunakan untuk melakukan klasifikasi dan pola spektral dalam data untuk setiap pixel digunakan sebagai dasar numerik untuk kategorisasi. Informasi tentang penggunaan lahan/penutupan penting untuk memodelkan dan memahami bumi sebagai sebuah sistem. SOFM adalah salah satu proses pengelompokan secara langsung, di mana SOFM memberikan suatu pengaruh pada winner neuron neighborhood pada output layer sehingga sifat topologi dari data input multi-band dikelompokkan ke dalam output layer dari neuron weights. Kata Kunci: Spot-4, klasifikasi, SOFM, Neural Network
Keywords: Spot-4, Classification, SOFM, Neural Network
iii
STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA (Studi Kasus Pada Pulau Pandang) STUDY OF MARINE ECOTOURISM POTENCY IN BATUBARA REGENCY
Alexander M. A. Khan, Fedi A. Sondita & Budhi H. Iskandar
ABSTRAK
ABSTRACT
Ekowisata adalah perjalanan wisata yang melibatkan pemahaman dan pengetahuan menyangkut kelestarian lingkungan. Pulau Pandang seluas 7 hektar, mempunyai potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi objek ekowisata dan zonasi dilakukan berdasarkan pada pengkajian kondisi Pulau Pandang dan perairan di sekitarnya. Kondisi tersebut mencakup garis pantai, jenis pantai, substrat, temperatur, jenis terumbu dan ikan karang. Zona pertama untuk konservasi penyu dan ekosistem terumbu karang; yang kedua untuk zona pemanfaatan yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan ekowisata dan zona terakhir sebagai zona penyangga untuk mencegah dampak kegiatan wisata terhadap zona konservasi. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan adalah menyelam, snorkling, berenang, olahraga memancing, jalan pantai, olahraga pantai lainnya, berkemah dan sebagainya.
Ecotourism is nature-based tourism that involves education and concern on natural environment and ecological sustainability. Pandang Island area is 7 hectares, with potential natural resources that can be developed to be ecotourism destination. The island’s zonation and its surrounding waters have been established by considering natural condition, such as shore line, shore type, substrate, temperature, coral reefs and coral fish’s type. The first zone is allocated for conservation purpose especially for turtle nesting and coral reefs; the second zone is allocated for supporting and facilitates for tourism activities, and the last zone is buffer zone for preventing direct impact of tourism activities on the conservation zone (the first zone). Tourism activities recommended in the utilization zone are: diving, snorkeling, swimming, sport fishing, beach tracking, other beach sports, camping and other reasonable ecotourism activities.
Kata Kunci: ekowisata, ekowisata bahari dan pantai, zona Keywords: ecotourism, marine and coastal ecotourism, coastal and marine zonation, island carrying. capacity
pesisir dan bahari, daya dukung pulau
PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDRA HINDIA SELATAN JAWA-BALI OCEANOGRAFYC SATELLITE DATA UTILISATION FOR TUNA (Thunnus obesus) FISHING GROUND PREDICTION IN THE INDIAN OCEAN, SOUTHERN PART OF JAWA-BALI Teja Arief Wibawa ABSTRAK
ABSTRACT
Informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan adalah teridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikan sepanjang siklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satu jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di perairan Indonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut. Ketersediaan data satelit oseanografi secara near real-time dan terus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi, dapat dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untuk mengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan JawaBali pada musim timur. Data penangkapan tuna mata besar selama periode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperoleh dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Benoa, Bali.
Responsible and sustainable fisheries management require essential information of identified important habitat of each fish species on whole their life cycles. Bigeye tuna is one of the large pelagic fish which has a high economic value in Indonesian waters. Oceanographic factors have an important role in determining the distribution of bigeye tuna habitat. The availability of oceanographic satellite data in near real-time and continuously observe condition of some oceanographic parameters, can be used as an approach to identify bigeye tuna habitat. The aim of the research was to predict the distribution of bigeye tuna potential fishing ground in southern Indian Ocean off Java-Bali during southeast monsoon period. Bigeye tuna catchment data encompassed during southeast monsoon period of 2004-2007 were derived from longliners based on Benoa Harbour, Bali. Oceanographic variables were sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface
iv
Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface height anomaly (SSHA), dan eddy kinetic energy (EKE). Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiap koordinat penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan generalized additive model (GAM). Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakan untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar. Hasil analisis GAM menunjukkan bentuk persamaan GAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistik memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar. Prediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada Juni, Juli Agustus, September dan November, menunjukkan adanya kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna
The selected GAM equation was used to predict the distribution of bigeye tuna potential fishing ground. GAM analysis revealed that GAM which constructed from the combination of SSC, SST, SSHA and EKE, statistically has the highest accuracy in explaining hook rate of bigeye tuna variation. Monthly prediction of bigeye tuna’s potential fishing ground on June, July, August, September and November, indicated it’s suitability with the real bigeye tuna fishing ground. Keywords: bigeye tuna, oceanographic satellite, GAM
mata sebenarnya. Kata Kunci: tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM
POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM DI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON POTENTIAL IMPACT OF SEA LEVEL RISE TO THE COASTAL ZONE AND SALT PRODUCTION ACTIVITY OF MUNDU COASTAL REGION, CIREBON REGENCY
Wahyu Budi Setyawan
ABSTRAK
ABSTRACT
Salah satu efek primer dari pemanasan global adalah kenaikan muka laut, dan daerah yang paling terpengaruh adalah dataran rendah tepi pantai seperti dataran pesisir Mundu. Skenario kenaikan muka laut karena pemanasan global dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 dan tahun 2007, masingmasing untuk kenaikan muka laut maksimum 0,8 dan 0,5 meter hingga tahun 2100, diterapkan terhadap daerah pesisir Mundu. Hasil analisis penggenangan dengan asumsi tidak terjadi perubahan morfologi menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Mundu akan tergenang pada saat air laut pasang maksimum pada kedua kondisi skenario kenaikan muka laut; dan analisis erosi pantai dengan tidak memperhitungkan peningkatan laju erosi karena penambahan kedalaman perairan menunjukkan bahwa sebagaian besar daratan pesisir Mundu akan tererosi. Erosi tersebut akan menyebabkan sebagian besar lahan untuk produksi garam ikut hilang.
One of the primary effects of global warming is sea-level rise, and coastal lowland will be the strongly affected area of the effect, such as Mundu coastal land. Sea-level rise scenarios of Intergovernmental Panel on Climate change (IPCC) year of 2001 and 2007, for 0.8 and 0.5 meters maximum sea-level rise respectively at 2100, was applied on the coastal zone. Inundation analysis with no morphological change assumption indicates that most of the coastal lowland will be inundated when high tide condition at both sea level scenarios; and erosion analysis with disregarding erosion rate due to sea-level rate indicates that most of the coastal land will be eroded away. The erosion will also make lost of salt production lands from the coastal zone. Keywords: global warming, sea-level rise, coastal zone, salt production land
Kata Kunci: pemanasan global, kenaikan muka laut, daerah pesisir, lahan produksi garam
v
UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis TOXICITY TEST OF SEDIMENT FROM CIREBON COASTAL AREA IN RELATION TO THE GROWTH OF DIATOM PLANKTONIK Rachma Puspitasari ABSTRAK
ABSTRACT
Daerah pesisir Cirebon banyak mendapat pengaruh dari aktivitas rumah tangga, industri dan pelabuhan. Aktivitas-aktivitas tersebut berpotensi menyumbangkan kontaminan yang masuk ke dalam ekosistem akuatik dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat. Kondisi kesehatan sedimen dapat ditinjau dari berbagai aspek diantaranya aspek toksisitas sedimen terhadap biota akuatik. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi toksisitas sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik C. gracilis. Sampel sedimen diambil dari 11 stasiun dengan menggunakan Grab Smith McIntrye 0,05m2. Kultur murni C. gracilis dengan kepadatan awal satu juta sel/ml dipaparkan terhadap sedimen selama 96 jam. Titik akhir pengamatan adalah rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan dibandingkan dengan kontrol setelah 96 jam pemaparan. Rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan sedimen dianalisa untuk mengetahui efek stimulasi atau penghambatan pertumbuhan C. gracilis dibanding dengan kontrolnya. Selain itu, kadar logam berat Cd dalam sedimen juga dianalisa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedimen pesisir Cirebon masih menunjukkan efek stimulasi pertumbuhan. Efek stimulasi pertumbuhan ditandai dengan ratarata jumlah sel C. gracilis yang mengalami peningkatan pada perlakuan sedimen dibanding kontrol air laut. Hasil ANOVA menunjukkan tidak ada beda nyata jumlah sel di tiap stasiun. Hasil analisis korelasi menunjukkan tidak ada korelasi yang kuat antara kadar Cd dalam sedimen dengan jumlah sel C. gracilis. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen Cirebon masih berada dalam kondisi baik dan mampu mendukung kehidupan diatom planktonik C. gracilis.
Coastal area of Cirebon is much influenced from domestic activities, industries, fisheries and ports. These activities potentially contribute contaminants that enter the aquatic ecosystems and affect the quality of sediment. The health condition of sediment can be evaluated from various aspects including aspect of sediment toxicity to aquatic biota. This study aims to evaluate toxicity of sediment Cirebon to planktonic diatomae, C. gracilis. Sediment samples were taken from 11 stations using the Grab Smith McIntrye 0.05 m2. C. gracilis was exposed to sediment for 96 hours. Endpoint of the test is mean number of cells C. gracilis in treatment compared to control after 96 h exposure. Mean number of cells of C. gracilis in treatment was analyzed wheter its showed a stimulation or an inhibition growth effect compared to control. The results indicate that Cirebon sediment still showed stimulation effect on growth of C. gracilis. Stimulation effect of growth was characterized by the increasing of cells number in sediment treatment than that of cells in seawater control. Result of ANOVA shows no significance difference was among stations. Result of correlation analysis shows that there was no strong correlation between Cd concentration in sediment and number of cells of C. gracilis. Generally, Cirebon sediment is still in a good condition and can support for planktonic diatom, C. gracilis ’s life. Keywords: sediment, toxicity, plankton, C. gracilis, Cirebon
Kata Kunci: sedimen, toksisitas, plankton , C. gracilis, Cirebon
ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA CARBON BACKUP ESTIMATION OF SEAGRESS COMMUNITY IN PARI ISLAND, THOUSAND IS LANDS NATIONAL PARK, JAKARTA Susi Rahmawati ABSTRAK
ABSTRACT
Perkembangan sektor industri yang relatif cepat di berbagai negara menyebabkan peningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan pengembangan ekosistem laut dan pesisir sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Sebuah penelitian dilakukan terhadap cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari, Jakarta. Data diperoleh secara acak di sepanjang pesisir pantai dengan menggunakan plot berukuran 0,25 m2 untuk struktur komunitas dan 0,0625 m2 untuk menentukan biomassa. Sementara itu, kandungan karbon pada lamun dianalisis dengan menggunakan metode Kurmies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesisir Pulau Pari dibentuk oleh komunitas lamun Enhaluss-Thalassia. Rerata cadangan karbon pada komunitas
The rapid development of industrial sector in many countries has caused the increasing of greenhouse gases emission in the atmosphere that contributes to global climate change. One of aspect of climate change mitigation is maintaining and improving the ability of ocean and coastal area ecosystems as carbon sequester and carbon storage. A study was conducted on carbon stock of seagrass community at Pari Island, Jakarta. Data were colected randomly along the coastal area using plots measuring of 0.0625 m 2 for biomass and 0.25 m 2 for community structure. Whilst carbon content of seagrasses was analysed using Kurmies method. Results show that Pari Coastal Island was formed by Enhaluss-Thalassia community. The average of carbon stock of seagrass community at Pari Island was 200.5 g C m-2
vi
lamun di Pulau Pari adalah 200,5 g C m-2 atau 2,005 Mg C ha-1 atau setara 2,005 ton C ha-1, sedangkan total cadangan karbonnya adalah 67,21 Mg C (67,21 ton C). Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam strategi mitigasi dan adaptasi lamun
or 2.005 Mg C ha-1 equivalence of 2.005 tons ha-1, mean while the total carbon stock was 67.21 Mg C (67.21 tons C). This information could be used as a basic information on the mitigation and adaptation to climate change.
terhadap perubahan iklim.
. Kata Kunci: Lamun, Cadangan karbon, Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Keywords: Seagrass, Carbon stock, Pari Island, Seribu Islands
vii
Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)
KOMPARASI HASIL PENGAMATAN PASANG SURUT DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA DAN KABUPATEN PATI DENGAN PREDIKSI PASANG SURUT TIDE MODEL DRIVER
Muhammad Ramdhan1) 1)
Peneliti pada Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP
Diterima tanggal: 13 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan: 20 April 2011; Disetujui terbit tanggal 24 Mei 2011
ABSTRAK Data pasut air (pasut) laut sangat diperlukan dalam penentuan garis pantai dan pelaksanaan survey bathimetri. Paper ini akan membandingkan hasil pengamatan pasut di lapangan dengan suatu prediksi yang dihasilkan dari perangkat lunak Tide Model Driver (TMD). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk wilayah perairan kepulauan, tipe pasut dari data pengamatan lapangan berbeda dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD. Sedangkan untuk wilayah perairan terbuka, tipe pasut dari data pengamatan lapangan sama dengan tipe pasut yang diperoleh dari prediksi TMD. Kata Kunci: pasut, prediksi pasut, tipe pasut, Tide Model Driver
ABSTRACT Tidal data for sea water level are needed to determine the coastline and the bathymetric survey. This paper will compare the results of tidal observations in the field with a prediction generated from the Tide Model Driver (TMD) software. The results show that for the islands waters, tipe of tidal data from the field observation was different with the tipe of tidal predictions obtained from TMD. As for the open sea water, tidal data from the field observation match with the tipe of tidal predictions are obtained from TMD. Keywords: tide, tide prdiction, tide tipe, Tide Model Driver
PENDAHULUAN Data pasang surut (pasut) air laut memiliki arti penting dalam mengimplementasikan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 (UU-27/2007) tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Perairan Pesisir oleh UU-27/2007 didefinisikan sebagai laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulaupulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Dalam UU-27/2007 tidak dinyatakan secara eksplisit tentang garis pantai mana yang digunakan
sebagai dasar penarikan batas area perairan pesisir. Namun dalam UU ini diterangkan bahwa sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sehingga secara tersirat UU-27/2007 mengambil titik pasang tertinggi (Highest Water Level – HWL) sebagai awal rezim yurisdiksi perairan pesisir. Titik pasang tertinggi dapat diperoleh dari pengamatan pasut air laut. Fenomena pasut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi (Pariwono,1989). Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasut laut merupakan suatu
Korespondensi Penulis: Jl. Raya Padang-Painan Km.16,Bungus,Padang-25245. Email:
[email protected]
1
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Untuk mengetahui posisi titik pasut terendah atau tertinggi di suatu wilayah pengamatan pasut yang ideal dilakukan adalah selama 18,6 tahun (Dahuri et al., 1996; Djunarsjah, 2007; Malik, 2007). Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 tipe yaitu: 1.
Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide). Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata.
Gambar 1.
2.
Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide). Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman.
Gambar 2. 3.
Pola gerak pasut harian tunggal (diurnal tide) (Malik,2007).
Pola gerak pasut harian gandal (semidiurnal tide) (Malik,2007).
Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal). merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
Gambar 3. 4.
Pola gerak pasut harian campuran condong harian tunggal (Malik,2007).
Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali. Surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.
Gambar 4.
Pola gerak pasut harian campuran condong harian ganda (Malik,2007).
Pola gerak muka air pasut di wilayah Indonesia didominasi oleh tipe harian ganda. Secara umum pola tersebut dapat dilihat pada gambar 5. Dari data hasil pengamatan pasut yang akan dilakukan pada kegiatan pengamatan pasut salah satu tujuannya adalah untuk memperoleh informasi tentang tipe pasang surut apa yang berlaku di daerah kegiatan berlangsung. Inti dari dilakukannya pengamatan pasut adalah untuk memperoleh data tinggi muka air laut, kemudian digunakan untuk menentukan datum vertikal yang akan digunakan dalam survey penetapan legal coastline (Andriani, 2007). METODE PENELITIAN Paper ini akan menyajikan data hasil pengamatan langsung pasang surut di dua lokasi kegiatan, yaitu wilayah Pulau Pramuka dan Kabupaten Pati. Dimana wilayah tersebut merupakan wilayah studi kasus dalam kegiatan aplikasi survey legal coastline untuk mendukung penetapan hak pengusahaan perairan pesisir tahun 2010
2
Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)
Gambar 5.
Pola tipe pasut di Indonesia (digambar ulang dari Anugerah, 1987 Triatmodjo, 1996)
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (Puslitbang SDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP). Lama waktu pengamatan pasut di lokasi kegiatan belum bisa memenuhi kondisi ideal, oleh sebab itu akan digunakan data modelling sebagai alat bantu untuk mendapatkan titik tertinggi di wilayah tersebut. Koordinat stasiun pengamatan pasut untuk kegiatan ini dapat di lihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1.
No. 1. 2.
Lokasi stasiun pengamatan
Lokasi Stasiun Pulau Pramuka Kabupaten pati
Gambar 6.
Lintang
Bujur
-5,7425 -6,4587
106,6136 111,0511
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Pengamatan langsung
Dari data yang diperoleh, Secara visual dapat terlihat bahwa di kawasan pulau Pramuka pada tanggal 12 Agustus 2010 jam 20:00 WIB hingga 13 Agustus 2010 jam 20:00 WIB terjadi dua kali pasang dan satu kali surut dengan surut terendah terjadi pada 13 Agustus 2010 jam 07.00 WIB, dan pasang tertinggi pada pada 12 Agustus 2010 jam 22.00 WIB. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Wyrtki (1961) bahwa wilayah P. Pramuka yang berada di kawasan pantai utara Jawa Barat tergolong dalam tipe pasang surut campuran
Lokasi daerah kegiatan pengamatan pasut
3
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
condong harian tunggal. Grafik hasil pengamatan pasang surut di P. Pramuka dapat dilihat pada Gambar 7. Grafik pasang surut permukaan air laut P. Pramuka tanggal 12 ‐ 16 Agustus 2010 140 130 120
Ketinggian (cm)
110 100 90 80 70 60 50 0 8/12/2010 20:00:0 0
Gambar 7.
12 8/13/2010 0 8:00:00
24 10 8/13/20 20 :00:00
36 8/14/2010 08:00 :00
8/1448 /2010 20:00:00
60 8/15/2010 08:00:00
72 8/15/2010 20:00:0 0
84 8/16/2010 08:00 :00
Grafik Pengamatan pasut pulau Pramuka.
Tinggi Pasut (cm) Rata-rata 100,77
Maksimum 133,00
Di stasiun pasut Banyutowo - Kab. Pati dilakukan pengamatan pada tanggal 28 Oktober 2010 jam 13:00 WIB hingga 04 November 2010 jam 13:00 WIB. Hasil pengamatan menunjukkan terjadi 7 (tujuh) kali pasang tinggi dan 7 (tujuh) kali surut rendah dengan surut terendah terjadi pada 29 Oktober 2010 jam 11.00 WIB
Gambar 8.
Minimum 56,00
dengan ketinggian pasut 56 cm, dan pasang tertinggi pada pada 30 Oktober 2010 jam 00.00 WIB dengan ketinggian pasut 181 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tipe pasut di wilayah tersebut adalah pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Grafik hasil pengamatan pasang surut di Kabupaten Pati dapat dilihat pada Gambar 8.
Grafik Pengamatan pasut Kab. Pati. Tinggi Pasut (cm) Rata-rata 115,34
Maksimum 181,00
Minimum 56,00
4
Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)
2.
untuk dapat memberikan hasil prediksi selama 365 hari pada tahun 2010.
Hasil model TMD
Tidal Model Driver (TMD) adalah perangkat lunak / software yang dapat digunakan untuk melakukan ramalan (prediksi) ketinggian pasut di permukaan bumi dengan platform Matlab, Software ini dikembangkan pada tahun 2003 di Universitas Oregon State - Amerika Serikat. Secara global, Software tersebut menggunakan konstanta-konstanta pasut yang telah di generate secara global dari berbagai sumber. Untuk mendapatkan gambaran kondisi pasut sepanjang tahun di daerah lokasi kegiatan, TMD di setting Tabel 2.
Grafik prediksi pasut hasil pemodean TMD untuk lokasi kedua kegiatan dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Tipe pasang surut dapat ditentukkan berdasarkan bilangan Formzahl (F) yang dinyatakan dalam bentuk:
Konstanta pasut yang digunakan dalam pemodelan TMD P. Pramuka Kab. Pati
Gambar 9.
TMD menggunakan konstanta pasut m2, s2, k1, o1, n2, p1, k2, q1 dalam menghitung prediksi ketinggian pasut di suatu titik.
Amplitudo (cm) o
g
Amplitudo (cm) o
g
m2
s2
k1
o1
n2
p1
k2
q1
3,38
4,45
25,87
12,36
1,15
7,28
0,86
2,87
167,77
97,03
35,63
18,09
115,37
25,83
78,4
2,43
4,31
7,56
40,3
15,59
1,82
11,5
0,19
1,71
332,65
223,38
230,22
162,64
285,17
230,17
185,29
129,99
Grafik pasut untuk P. Pramuka hasil pemodelan TMD. Maksimum (cm)
Minimum (cm)
52,21
-48,9
5
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Gambar 10.
Grafik pasut untuk Kab. Pati hasil pemodelan TMD. Maksimum (cm)
Minimum (cm)
69,77
-77,12
F = [A(o1) + A(k1)]/[A(m2) + A(s2)]..........................1) Dimana: F A(k1) A(o1)
: :
bilangan Formzahl amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan & matahari amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari
:
A(m2) : A(s2)
:
dengan ketentuan : F d” 0.25 : 0,25
3.0
:
Pasang surut tipe harian ganda Pasang surut tipe campuran condong harian ganda Pasang surut tipe campuran condong harian tunggal Pasang surut tipe harian tunggal
Untuk lokasi pulau Pramuka, dari konstanta pasut yang digunakan oleh TMD diperoleh nilai F sebesar 4,882503193. Hal ini menunjukkan bahwa TMD menggolongkan tipe pasut di lokasi tersebut kedalam pasang surut harian tunggal. Hasil ini berbeda dengan apa yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan. Di lokasi Kab. Pati diperoleh nilai F sebesar 4,708509. TMD menggolongkan tipe pasut di wilayah Kab. Pati sebagai tipe pasang surut harian tunggal, hasil yang sesuai dengan pengamatan langsung di lapangan. Hasil berbeda yang diperoleh di stasiun pulau Pramuka diduga karena TMD menggunakan konstanta pasut yang global, sehingga kurang mampu untuk memprediksi secara akurat tipe pasut di wilayah pulau-pulau kecil seperti pulau Pramuka. Pada tabel 2-5 Lampiran. disajikan secara lengkap data hasil pengamatan pasut dan data prediksi hasil modeling dengan TMD. 3.
Perbandingan data Insitu dengan data TMD
Grafik pada gambar 11 dan 12 menunjukkan perbedaan data hasil pengamatan langsung di P.Pramuka dan Kab. Pati dengan data yang dihasilkan oleh TMD. Data pengamatan di masing-masing tempat ditumpang susunkan dengan data yang dihasilkan oleh TMD.
6
Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)
Gambar 11.
Grafik perbandingan data pasut pengamatan P.Pramuka dengan TMD
Gambar 12.
Grafik perbandingan data pasut pengamatan Kab. Pati dengan TMD
Data pengamatan di Pulau Pramuka memiliki nilai RMS error sebesar 8,68 cm. Dari grafik dapat terlihat bahwa pada beberapa bagian data hasil pengamatan menunjukkan hasil tren pasut yang menurun, namun data TMD menunjukkan data tren pasut naik. Seperti pada data pengamatan jam 16.00 WIB tanggal 13 Agustus 2010. Hal ini dikarenakan hasil model TMD mengklasifikasikan daerah perairan P. Pramuka memiliki tipe pasut harian tunggal, namun pada kenyataannya P. Pramuka memiliki tipe pasut campuran cenderung harian tunggal. Data pengamatan di Kab. Pati memiliki RMS error yang lebih kecil dari pada data P. Pramuka yaitu sebesar
7,84 cm. Untuk bentuk grafik, dapat dilihat bahwa tren kenaikan dan penurunan pasut relatif sama antara data pengamatan lapangan dengan data yang di hasilkan TMD. Kesimpulan dan Saran Pulau pramuka, yang terletak di gugusan Pulau Seribu, memiliki tipe pasut campuran condong harian tunggal, hal tersebut didukung oleh data hasil pengamatan lapangan dan literatur. Namun dari hasil prediksi pasut TMD, tipe pasut yang diperoleh untuk pulau Pramuka adalah tipe harian tunggal. Penyebabnya dapat dikarenakan TMD menggunakan konstanta pasut global dalam perhitungan prediksi pasutnya, atau adanya
7
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
komponen pasut lain yang dominan di perairan kepulauan yang belum dimasukkan dalam formula model prediksi perangkat lunak TMD. Untuk perairan terbuka seperti wilayah perariran Kab. Pati yang terletak di Laut Jawa, tipe pasut yang diperoleh dari data pengamatan lapangan dan prediksi TMD menunjukkan hasil yang sama, yaitu tipe harian tunggal. Prediksi pasut dari TMD disarankan baik untuk digunakan pada wilayah perairan terbuka. Namun untuk perairan kepulauan, prediksi pasut TMD harus dimodifikasi ulang konstanta pasutnya, sesuai dengan data pengamatan lapangan. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Endhay Kusnendar, MS sebagai Kepala Balitbang-KP, Dr. Budi Sulistiyo-Kepala Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir. DAFTAR PUSTAKA Abdul Malik, 2007. Power Point Bahan kuliah Pasang Surut, http://www.slideshare.net/guest01cdf1/pasangsurut-pasut, diakses tanggal 24 Oktober 2010.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Djunarsjah, E., 2007, Konsep penentuan batas laut, KK sains dan rekayasa hidrografi, FTSL-ITB, Bandung. Nontji, A., Dr. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta Pariwono, J.I. 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Dalam Pasang Surut. P3O -LIPI. Jakarta. Triatmodjo, B. 1996. Pelabuhan. Beta Offset. Yogyakarta Andriani,V. 2007. Kajian Legal Coastline dalam Mendukung Pelaksanaan Kadaster Kelautan di Indonesia, Tesis Magister FTSL-ITB, Bandung. Wyrtki, K.1961. Naga report: scientific results of marine investigations of the. South China Sea and the Gulf ofThailand, 1959-1961. vol. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
LAMPIRAN Tabel 1.
Data hasil pengamatan pasut dan prediksi TMD Lokasi Stasiun
Tinggi Muka Air laut (cm) MSL*
MAX**
MIN***
Tungang pasut (cm)
Tipe Pasut
Selang Waktu (hari)
4
Pulau Pramuka
100,77
133
56
77
tipe campuran condong harian tungal
Kab. Pati
115,34
181
56
125
tipe harian tungal
7
Pulau Pramuka
0
52,21
-48,89
101,1
tipe harian tungal
365
Kab. Pati
0
69,77
-77,12
146,89
tipe harian tungal
365
Ket: * Mean Sea Level, ** Ketinggian Maksimum, *** Ketinggian Minimum
8
1
10 5
98
86
66
0
11 6 10 0
93
74
9 8 9 0 7 9 5 8
2 9 6 8 6 7 6 5 6
3 9 4 8 6 7 4 5 7
4 9 0 8 7 7 6 6 2
5
8 0 6 8
9 0
6 8 8 8 6 8 6 7 4
7
-
9 0 8 9 8 9
8
-
95
96
10 0
9
-
10 6 10 5 10 5
10
Jam 28/10/20 10 29/10/20 10 10/30/20 10 10/31/20 10 1/11/201 0 2/11/201 0 3/11/201 0 4/11/201 0
Tgl
1
16 8 17 7 17 3 16 0 17 4 16 6 16 2
0
17 8 18 1 17 8 15 5 16 6 15 8 14 6
15 9 17 5 17 3 16 4 17 6 17 2 16 2
2 14 8 16 5 16 8 15 6 16 8 16 4 15 8
3 13 2 14 8 15 5 14 6 16 2 15 6 15 2
4 11 8 13 4 13 3 13 2 15 4 14 8 14 6
5
96 10 6 10 4
99 11 6 11 8 11 6 13 8 13 4 13 2 98 11 2 11 4 11 6
-
7
-
6 8 5 9 8 9 4 8 7 9 4 9 8 9 8
8
82 78 74
86 86 82
76
82 77
74
82
78
64
-
10
-
11 0 11 3 11 0
11
68
-
9
Tabel 3. : Data hasil pengamatan Lapangan Banyutowo, Kab. Pati
Jam 12/8/201 0 13/8/201 0 14/8/201 0 15/8/201 0 16/8/201 0
Tgl
Tabel 2 . Data hasil pengamatan Lapangan P. Pramuka
72
78
82
75
68
76
56
-
11
-
11 4 11 3 12 0
12
70
86
77
75
76
70
58
-
12
-
11 6 10 8 12 0
70
92
92
78
68
72
61
64
13
13
-
-
96 10 4
86
80
70
63
74
14
11 8 11 5 12 3
14
-
-
98 10 8
92
80
64
67
76
15
11 4 11 6 12 6
15
-
98 10 2 11 2
82
74
78
84
16
-
11 4 11 6 12 8
16
-
82 10 2 10 2 11 4
82
88
88
17
-
11 0 11 7 13 0
17
-
84 10 6 10 8 12 0
92
18 11 2 10 4
-
11 6 11 9 13 3
18
-
98 12 2
97 10 8
19 12 6 12 0 11 5
-
12 0 12 8
-
19
-
21 12 0 11 0 10 6 10 5
-
95
22 12 4 11 6 10 6
-
86
23 12 2 10 5 10 0
-
20 13 6 13 6 12 6 10 4 11 4 10 8 12 4
-
21 15 4 15 2 15 5 11 2 12 4 12 2 12 6
-
22 16 2 16 6 16 5 13 4 13 4 12 8 13 2
-
23 17 2 17 6 17 2 15 2 14 8 13 8 13 8
ketinggian dalam cm
-
20 11 0 10 6 11 5 12 0
ketinggian dalam cm
Komparasi Hasil Pengamatan Pasang Surut.....Dengan Prediksi Pasang Surut Tide Model Driver (Ramdhan, M.)
9
1
16
10
1
-9
18
0
22
14
4
-6
12
-7
15 24
13 22
-2
-1
3
-3
5
8
2
10 16 24
-8
-9
4
5 16 12 12 16 23
6 21 15 13 14 19
Jam
4/11/2010
3/11/2010
2/11/2010
1/11/2010
10/31/2010
10/30/2010
29/10/2010
28/10/2010
Tgl
1
57
62
65
64
60
52
43
35
0
58
62
63
60
54
45
36
28
37
46
54
60
62
61
57
51
2
35
43
50
54
54
51
47
40
3
28
35
40
42
41
38
33
27
4
17
23
26
27
25
21
16
11
5
3
8
11
11
8
4
-1
-5
6
Tabel 5. : Data TMD untuk Banyutowo, Kab. Pati
Jam 12/8/20 10 13/8/20 10 14/8/20 10 15/8/20 10 16/8/20 10
Tgl
Tabel 4. Data TMD untuk P. Pramuka
11
-6
-5
-5
-8
7 21 17 12
7 23 16 12 12 14
8 34 30 26 21 18 17 18 22
-9
-8
8 22 15 10
9 44 41 36 32 28 26 27 30
-3
-3
-7
9 19 12
10 51 48 44 38 33 31 30 33
3
1
-3
-9
10 15
11 54 52 47 41 36 31 30 31
8
6
1
-5
11 11
12 54 53 49 43 36 30 26 26
13
10
5
-1
-7
12
13 50 51 48 42 34 27 22 20
16
13
8
2
-3
13
14 45 47 46 41 33 24 17 12
20
16
10
4
-1
14
-6
15 37 42 42 39 32 23 13
22
17
11
5
1
15
-2
16 28 34 37 36 30 21 11
24
18
12
6
2
16
1
17 17 24 30 31 28 21 10
25
18
11
6
4
17
2
13 20 24 24 19 10
-4
18
24
17
10
7
7
18
3
-8
15 17 15
-8
1
9
19
22
14
9
7
10
19
11
6
5
8
15
21
3
0
1
7
16
22
-6
-6
-2
6
16
23
5
-4
-8
-7
-2
7
16
23
20
8
2
1
5
13
22
31
37
21
13
10
13
19
28
38
45
48
22
19
20
25
33
43
51
56
57
23
ketinggian dalam cm
17
11
7
8
13
20
ketinggian dalam cm
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
10
SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)
SPOT-4 DATA CLASSIFICATION ANALYSIS USING NEURAL NETWORK
Danang Surya Candra1) 1)
Peneliti pada Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional - LAPAN
Diterima tanggal: 27 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan: 5 April 2011; Disetujui terbit tanggal 19 Mei 2011
ABSTRACT The overall objective of remote sensing image classification procedures is to automatically categorize all pixels in an image into land use/land cover classes. Normally, multispectral remote sensing data are used to perform the classification and, indeed, the spectral pattern present within the data for each pixel is used as the numerical basis for categorization. The knowledge of land use/land cover is important for many planning and management activities and is considered an essential element for modeling and understanding the earth as a system. SOFM is one of the most fascinating topics in the neural network field. In the data clustering, the SOFM net carries out the online cluster process in the input model, in which the SOFM net exerts a constraint of the winner neuron neighborhood of the output layer so that the topological nature of the input multi-bands data is clustered into the output layer of neuron weights. The research shows that SOFM method is better than MLC in accuracy. The experiment prove that SOFM is quite good in term of classification processing speed. Clearly, the results of using SOFM classifier in classification of multi-spectral remote sensing data are very good result of accuracy and fast in classification process. Keywords: Spot-4, Classification, SOFM, Neural Network
ABSTRAK Klasifikasi citra penginderaan jauh bertujuan untuk mengkategorikan semua piksel dalam gambar ke dalam kelas penggunaan lahan/tutupan lahan secara otomatis. Biasanya data penginderaan jauh multispektral digunakan untuk melakukan klasifikasi dan pola spektral dalam data untuk setiap pixel digunakan sebagai dasar numerik untuk kategorisasi. Informasi tentang penggunaan lahan/penutupan lahan sangat penting untuk kegiatan perencanaan dan pengelolaan dan dianggap sebagai elemen penting untuk memodelkan dan memahami bumi sebagai suatu sistem. SOFM adalah salah satu topik yang paling menarik di neural network. Dalam data clustering, SOFM neural network melakukan proses pengelompokan secara langsung, di mana SOFM memberikan suatu pengaruh pada winner neuron neighborhood pada output layer sehingga sifat topologi dari data input multi-band dikelompokkan ke dalam output layer dari neuron weights. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi metode SOFM lebih baik daripada MLC. Penelitian membuktikan bahwa SOFM cukup baik dalam hal kecepatan pemrosesan klasifikasi. Jadi hasil dari metode SOFM dalam klasifikasi multi-spektral data penginderaan jauh adalah SOFM memiliki akurasi hasil yang baik dan kecepatan dalam proses klasifikasi. Kata Kunci: Spot-4, klasifikasi, SOFM, Neural Network
Korespondensi Penulis: Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13320.
Email: [email protected]
11
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
INTRODUCTION The knowledge of land use/land cover is important for many planning and management activities and is considered an essential element for modeling and understanding the earth as a system. More recently, remote sensing data have been utilized for land use/land cover mapping. The ability to classify multispectral remote sensing data correctly and quickly is very important. The neural network classifier presents distribution-free approach to multispectral remote sensing data classification. Neural network perform considerably better than classical methods (Bhiscof & Leonardis, 1998). There are many methods in neural network. One of them is Back propagation method. Back propagation neural network has weakness of very slow convergence during training (Li & Si, 1992). Another one is Self-Organizing Feature Map (SOFM) neural network. SOFM is one of the most fascinating topics in the neural network field. Such networks can learn to detects regularities and correlations in their input and adapt their future responses to that input accordingly. SOFM learn to classify input vectors according to how they are grouped in the input space. It learns both the distribution and topology of the input vectors they are trained on. Operationally SPOT-4 data was applied to depict land use changes, urban planning, disaster, etc in Indonesia, providing basic maps for planning and development. The research has primary objectives: (1) to apply the SOFM classifier to classify land cover from SPOT-4 data. The aim is to show how SOFM can be a classifier for multi-spectral remote sensing data, (2) to analyze the classification result of the SOFM classifier. The aim is to know how accurate and classification process speed of this classifier, and (3) to compare the classification result accuracy using SOFM and MLC. The purpose is to know which one is the better one for classifier. SOFM Neural Network Neural network models have two important properties: the ability to ‘learn’ from input data and to generalize and predict unseen patterns based on the data source, rather than on any particular a priori model (Seto & Liu, 2003). The self-organizing feature map neural network developed by Kohonen is a neural network model providing a topology-preserving mapping from a high-dimensional input space onto a low-dimensional map space (Ji, 2000). The fundamental idea of SOFM is related to constructing a hierarchic pattern searching system using a special
neural model, which is able to map a given vector space in a labeled discrete neural structure (Kohonen, 1996). SOFM is one of the most fascinating topics in the neural network field. Such networks can learn to detect regularities and correlations in their input and adapt their future responses to that input accordingly. SOFM learns to recognize groups of similar input vectors in such a way that neurons physically near each other in the neuron layer respond to similar input vectors. The network is created from a two dimensional lattice of ‘nodes’, each of which is fully connected to the input layer. Figure 1 shows a very small SOFM network of 5 X 5 nodes connected to the input layer representing a two dimensional (Hasi, et al - 11. 2004). Each node has a specific topological position (x, y coordinate in the lattice) and contains a vector of weights of the same dimension as the input vectors. That is to say, if the training data consists of vectors V of n dimensions: V1,V2,V3,......,Vn ............................... 1) Then each node will contain a corresponding weight vector W of dimensions: W1,W2,W3,......,Wn ........................... 2) The lines connecting the nodes in Figure 1 are only there to represent adjacency and do not signify a connection as normally indicated when discussing a neural network. There are no lateral connections between nodes within the lattice. In the data clustering, the SOFM net carries out the online cluster process in the input model, in which the SOFM net exerts a constraint of size of the winner neuron neighborhood of the output layer so that the topological nature of the input multi-bands data is clustered into the output layer of neuron weights. The cluster centers are represented by their weights. Through competing and learning rules, the weight can also be updated. In this clustering process, both the new neuron weights and those of the winner neuron neighborhood are updated. The size of the winner neuron neighborhood reduces gradually during the iteration. The SOFM structure is presented in Figure 1. When the process is finished, the input data are partitioned into non-intersected classes. In this way, the similarity of the individuals in the same class is stronger than that in different classes.
12
SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)
Figure 1.
The SOFM neural network structure (Hasi. et al., 2004). Step 5.
SOFM Algorithm Let Wj is the weighting vector transmitted from input vector i to output vector j, and let x={x1, x2,...,xn } be an input vector, n is the dimension, equal to the number of input satellite bands. Network training and testing includes fine tuning and coarse tuning. Coarse tuning is the learning process, which is accomplished by following steps (Ji, 2000): Step 1.
Step 2.
For each neuron, the weight is randomly initialized to a real value within the range of 0.0–255.0 (Digital Number (DN) value of satellite image data). Feed the network with an input vector , the distances of vector x to all neurons are computed by formula (3.1).
.............. 1)
For each input vector, label it as its class and label each neuron of output layer as its cluster by majority voting principle. The learning rate decreases gradually with time : a value for is selected between 0.5 and 0.9. ..................... 4)
After the competition and learning process are finished, the input data are grouped into non-intersected clusters. Every cluster is represented by its centroid. Such centers are called template vectors or coding vectors. With regard to the input vector, the corresponding coding vector, instead of the input vector itself, is applied in the next step, i.e. the fine tune. This method is called the vector quantization. The fine tune is accomplished by the learning vector quantization (LVQ) algorithm, which consist of the following steps: Step 1.
Step 3.
Find the neurons that have the minimum distance to the input vector x , and update the weight by formula (3.2) and (3.3).
After a training input vector is randomly selected, is identified under the condition of minimum Step 2. The LVQ algorithm is used, if x and wc are in the same class, wc is changed by using
.................................................................... 2) ..................... 3)
formula (3.4), Otherwise, using formula (3.5)
Step 4.
Feed new inputs and repeat steps 2 and 3, until the network convergences.
......... 5)
13
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Study Area and Data Analysis The Area of Interest (AoI) is put in Aceh Tamiang District, Nanggroe Aceh Darussalam. SPOT-4 data is used in this research. The 512 x 512 pixel of SPOT-4 data is used for the AoI. The K/J of SPOT-4 data is 262/ 341. And the acquisition date is June 12, 2008.
PRE PROCESSING PROCESSI NG
Or tho Rectification Software and ER Mapper 7.1
POST PRO CESSING
The iteration is stopped when it comes to the maximum times; otherwise, return to step 1.
Figure 6.
Ortho-Rectification and Projection Transformation
Image Enhancement, Ima ge Transform, and Cropping
La nd Cover Classification Using SOFM & LVQ
Land Cover Classification Using MLC
Calculation of Classification Result Accuracy
Calculation of Classification Result Accuracy
Arc GIS 9.3
Step 3.
Scene Selection of SPOT-4 Data
DEM SRTM
Envi 4.4
The learning rate t is a small positive value, decreases with iteration until 0.001.
Map Reference
.................. 6)
After that, classification result from SOFM and MLC are compared. The stages are described by flowchart below.
SOFM Neural N etwor k Program Using Visual C++ 2008
The data analysis has three stages. The first stage is pre-processing. In this stage, ortho-rectification, projection transfor-mation, composite band, image enhancement, and cropping is done. The second stage is processing. In this stage, If is not equal to , wi is changed by (3.6)
Comparison of Classification Result Accuracy Betwe en SOFM and MLC
Flowchart of making land cover classification.
RESULTS The SOFM structure in the experiment is illustrated as follows: the input layer has 4 nodes and each of them corresponds uniquely to one of the SPOT-4 bands 1, 2, 3 and 4. The initial value of the learning rate á is set here to 0.9, which reduces gradually with the training time until 0.005. The maximum iteration time is 2000. In the output layer, the initial size of the the winner neuron neighborhood is set to be 12x12.
Figure 5.
The SPOT-4 Image of The Aceh Tamiang District, Nanggroe Aceh Darussalam.
The data analysis has three stages. The first stage is pre-processing. In this stage, ortho-rectification, projection transfor-mation, composite band, image enhancement, and cropping is done. The second stage is processing. In this stage, remote sensing data classification for land cover is done. SOFM Neural Network is used in this stage. And the last stage is post-processing. Land cover classification result accuracy is calculated in this stage.
Figure 7.
The image of SOFM classification result.
14
SPOT-4 Data Classification Analysis Using Neural Network........(Candra, D. S.)
The classification was conducted after the SOFM training. There is no threshold set during the process so that no unclassified pixel occurs. To the purpose of comparison, the same training data sets are classified with the maximum likelihood method (MLC). The input bands are the same bands 1, 2, 3 and 4 produced by SPOT-4 ortho-rectification process. Likewise, there is no threshold set during the processing. The result images of classification are shown in Figures 7 and 8. In the experiment, the SOFM process needs 14 second in classification process. Clearly, the classification process speed of the SOFM classifier is quite fast.
We computed a confusion matrix to evaluate the ability to detect land cover and to assess the accuracy of the SOFM method compared to a more conventional classifier, MLC. The confusion matrix is a commonly used tool for assessment of accuracy of land cover classification (Card, 1982). The matrix scores how the classification process has labeled a series of test sites or test pixels at which the correct land cover label is known. Typically, the true class label is displayed across rows, while the actual mapped class is displayed in columns. The diagonal of the confusion matrix displays the number of sites or pixels for which the true class and the mapped class agree. The overall accuracy of the entire sample is then the sum of the diagonal elements divided by the total of all sites or pixels. For individual classes, the marginal totals of the matrix can easily be used to estimate the producer’s accuracy and user’s accuracy from the sample. The producer’s accuracy is the probability that a pixel truly belonging to class i is also mapped as class i, while the user’s accuracy is the probability that a pixel mapped as class i is truly of class I (Card, 1982). Comparing both of classifier, the SOFM result has more accuracy in classification of urban (99.04%) than MLC (94.97%). It is also happened in others class. The general accuracy of SOFM is 97.13%, whereas that of MLC is only 87.54%. Clearly, the accuracy of the SOFM method is higher than the MLC method.
Figure 8.
The image of MLC classification result.
Table 1.
The confusion matrix of SOFM classification result C la ss
R ef
SO FM U rb an A g ricul tu re L and W ater Bo dy M an gro ve B are Land W et L an d T o ta l A cc ur ac y ( % )
Ur ba n
238 36 38 2 2 1 08 80 240 66 99 .04
A g ric u ltur e L an d
Wa te r B o d y
53 1 39 64 3 2 22 0 1 94 9 2 1 41 86 9 98 .4 3
M an g ro ve
1 1 20 687 225 0 258 21 172 97 .71
Ba re Lan d
61 2 05 7 85 7 24 30 3 10 5 49 7 27 88 0 8 7.1 7
W et Land
1 89 2 55 0 0 1 83 78 2 1 88 24 9 7. 64
11 0 5 30 7 11 7 8 2 778 6 2 833 3 9 8.0 7
B a re L a nd
W e t L a nd
*) Total sample = 262144 pixels; accurate = 254633 pixels; general accuracy = 97.13 %
Table 2.
The confusion matrix of MLC classification result. C la s s
Ref
M LC U rb a n A g ri c u l tu r e L a n d W a te r B o d y M a n g ro v e B a re L a n d W e t L a nd T o ta l A c c u ra c y ( % )
U rb a n
22856 309 5 0 574 322 24066 9 4 .9 7
A g r ic u ltu re L an d 2129 136737 53 399 2551 0 141869 9 6 .3 8
W a te r Bo dy
M a n g ro v e
298 27 18880 158 0 1809 21172 89.17
3269 3656 2724 18231 0 0 27880 65.39
4658 1283 0 0 12883 0 18824 68.44
3738 170 4481 60 0 19884 28333 70.18
*) Total sample = 262144; accurate = 229471; general accuracy = 87.54 %
15
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
DISCUSSION AND CONCLUSION In this research, we applied the SOFM to classify land cover from multi-spectral remote sensing data. The SPOT-4 data that we used had four bands and we used all the bands in the experiment. We choose 512 x 512 pixels of this data for the samples. This data can be classified by the SOFM. This SOFM is combined by LVQ to form the target classes. After that, we analyzed the classification result of the SOFM classifier. The research shows that the SOFM classifier accomplished 97.13 % accuracy in general. In the experiment, the SOFM needs 14 second in the classification process. Thus, the SOFM classifier is quite good in accuracy and classification process speed. We also do comparing between the SOFM classifier and MLC. The MLC has 87.54 % accuracy. It shows that SOFM is better than MLC in accuracy. Clearly, the results of using SOFM classifier in classification of multi-spectral remote sensing data are SOFM has a quite good result of accuracy and fast in classification process speed. The results can prove that the SOFM is quite good for classifier. The main problem in Indonesia regarding land cover classification manner is about the remote sensing data. Mostly, the data is covered by cloud. We know that radar data has not a cloud in its coverage. So, the suggestion for the next research is to classify the radar data using SOFM classifier. Many methods are studied to find a good classifier for land cover classification in remote sensing data. We should compare the SOFM classifier to other methods. We can also do the modification of the SOFM to get better and faster classifier.
Foody, G.M., 2004, Thematic map comparison evaluating the statistical significance of differences in classification accuracy, Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 70, pp. 627–633. Hasi, B., et al, 2004, Self-organizing Feature Map Neural Network Classification of The ASTER Data Based on Wavelet Fusion, Science in China Ser. D Earth Sciences, Vol.47, No.7, pp. 651—658. Ji, C. Y., 2000, Land-use Classification of Remote Sensed Data Using Kohonen Self-Organizing Feature Map Neural Networks, Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, vol. 66, No.12, pp. 1451-1460. Kohonen, T., 1982, Self-organized Formation of Topologically Correct Feature Maps, Biological Cybernetics, 43, pp. 59–69. Kohonen, T., 1990, Self-organizing Map. Proc. IEEE 78, pp. 1464–1480. Kohonen, T., 1993, Physiological Interpretation of The Self-organizing Map Algorithm. Neural Netw. 6, pp. 895–905. Kohonen, T., Oja, E., Simula, O., Visa&, A., Kangas, J., October 1996, Engineering Applications of The Selforgnizing Map, Proceedings of the IEEE, vol. 84. pp. 1258–1384.
ACKNOWLEDGEMENT
Li, R & Si, H., 1992, Multi-spectral Image Classification Using Improved Backpropagation Neural Networks, Downloaded on February 2, 2009 at 01:37 from IEEE Xplore.
This research has been partially supported by LAPAN for SPOT-4 data. Our thanks goes to them, without their support in this paper, it could not have been accomplished.
Lillesand, T. M., Kiefer, R. W., & Chipman, J. W., 2004, Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley&Sons, Inc, Fifth Edition.
REFERENCES Bischof, H & Leonardis, A., 1998, Finding Optimal Neural Networks for Landuse Classification, IEEE Xplore, Downloaded on February 2, 2009 at 01:57 from IEEE Xplore. Bullinaria, J. A., 2004, Introduction to Neural Networks : Lecture 18 - Learning Vector Quantization (LVQ).
Minsky, M., Kohonen’s Self Organizing Feature Maps., http://www.ai- junkie.com/ann/som/som1.html., accessed on May 31th, 2009. Seto, K.C. & Liu, W., 2003, Comparing ARTMAP Neural Network with the Maximum-Likelihood Classifier for detecting urban change. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 69, pp. 981–990.
Card, D.H., 1982, Using known map category marginal frequencies to improve estimates of thematic map accuracy, Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 48, pp. 431–439.
16
Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)
STUDI POTENSI EKOWISATA BAHARI DI KABUPATEN BATUBARA (Studi Kasus Pada Pulau Pandang) Alexander M. A. Khan1), Fedi A. Sondita1) & Budhi H. Iskandar1) 1)
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung
Diterima tanggal: 13 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 29 April 2011; Disetujui terbit tanggal 15 Mei 2011
ABSTRAK Ekowisata adalah perjalanan wisata yang melibatkan pemahaman dan pengetahuan menyangkut kelestarian lingkungan. Pulau Pandang seluas 7 hektar, mempunyai potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi objek ekowisata dan zonasi dilakukan berdasarkan pada pengkajian kondisi Pulau Pandang dan perairan di sekitarnya. Kondisi tersebut mencakup garis pantai, jenis pantai, substrat, temperatur, jenis terumbu dan ikan karang. Zona pertama untuk konservasi penyu dan ekosistem terumbu karang; yang kedua untuk zona pemanfaatan yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan ekowisata dan zona terakhir sebagai zona penyangga untuk mencegah dampak kegiatan wisata terhadap zona konservasi. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan adalah menyelam, snorkling, berenang, olahraga memancing, jalan pantai, olahraga pantai lainnya, berkemah dan sebagainya. Kata Kunci: ekowisata, ekowisata bahari dan pantai, zona pesisir dan bahari, daya dukung
pulau ABSTRACT Ecotourism is nature-based tourism that involves education and concern on natural environment and ecological sustainability. Pandang Island area is 7 hectares, with potential natural resources that can be developed to be ecotourism destination. The island’s zonation and its surrounding waters have been established by considering natural condition, such as shore line, shore type, substrate, temperature, coral reefs and coral fish’s type. The first zone is allocated for conservation purpose especially for turtle nesting and coral reefs; the second zone is allocated for supporting and facilitates for tourism activities, and the last zone is buffer zone for preventing direct impact of tourism activities on the conservation zone (the first zone). Tourism activities recommended in the utilization zone are: diving, snorkeling, swimming, sport fishing, beach tracking, other beach sports, camping and other reasonable ecotourism activities. Keywords: ecotourism, marine and coastal ecotourism, coastal and marine zonation, island
carrying capacity
Korespondensi Penulis: Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 40600. Email: [email protected]
17
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
PENDAHULUAN Menurut Alcock & Crossland (1999) dan Gunn (1994) bahwa pengembangan strategi pengelolaan daerah ekowisata didasarkan pada sistem zonasi berbagai bentuk pemanfaatan dan prinsip-prinsip ekologis. Kesesuaian lahan untuk pengembangan wisata bahari mutlak memerlukan dukungan data dan informasi yang benar dan berbasiskan ilmu pengetahuan, meliputi: (1) kondisi kawasan (2) daya dukung kawasan (3) sumber daya hayati dan non hayati serta (4) kondisi sosial ekonomi masyarakat (Prasetyo et al., 1996 yang diacu dalam Arifin, 2001). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji potensi ekowisata bahari di Pulau Pandang Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, (2) merancang pengembangan ekowisata bahari di Pulau Pandang Kabupaten Batubara, Sumatera Utara yang sesuai dengan kondisi alam dan manfaat penelitian ini adalah: memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Batubara dan pihak terkait lainnya tentang pengembangan suatu kawasan wisata, khususnya kawasan ekowisata bahari.
instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun pada perpustakaan yang telah dikumpulkan, diantaranya; data saran dan prasarana wisata, rencana strategis kabupaten dan peta-peta pendukung (rupa bumi, lingkungan pantai, bathimetri dan tata-ruang lahan). 2. Analisis Data a. Potensi Pulau Pandang Data kondisi dan potensi Pulau Pandang diantaranya adalah: (1) data ekosistem dan keberadaan sumber daya alam dan (2) ketersediaan air tawar, dimana jarak lokasi dengan sumber air tawar jika kurang dari 2 km merupakan kondisi yang ideal bagi pariwisata (Bakosurtanal, 1996). Kapasitas volume air tawar untuk memprediksi jumlah wisatawan yang dapat berkunjung ke pulau tersebut. Untuk mengetahui volume air tawar yang ada di pulau tersebut digunakan rumus: Volume = Luas alas x tinggi air b. Analisis Kesesuaian Kawasan Untuk Ekowisata Bahari
METODE PENELITIAN
1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Analisis spasial digunakan untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan untuk berbagai peruntukan dan digambarkan dalam hirarki kesesuaian lahan. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan dibagi ke dalam 4 (empat) kelas (Tabel 1).
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Pandang Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Propinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data sekunder pada bulan Februari sampai dengan Maret 2004 dan survei lapangan untuk memperoleh data primer dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2004. Alat dan Bahan Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah peralatan survei lingkungan perairan, seperti: handheld GPS, kompas, current meter, thermometer, handheld refractor meter, sechi disc, kayu ukur, komputer, stopwatch, underwater equipment dan peralatan scuba diving. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: peta-peta laut dan daratan, kuisioner dan software Sistem Informasi Geografis. 1. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data utama (primer) dan data penunjang (sekunder), diperoleh dari pengamatan langsung dan tidak langsung. Data primer yang diperoleh dengan cara pengamatan langsung, diantaranya adalah: peta penggunaan lahan, inventarisasi ekosistem dan keberadaan sumber daya alam. Data sekunder berupa data yang telah tersedia di berbagai
Pembuatan Peta Digital
Parameter kesesuaian lahan merupakan hasil modifikasi dari Bakosurtanal (1996) yaitu untuk kegiatan wisata pantai: kecepatan arus menjadi luasan pantai, kecerahan perairan menjadi panjang pantai untuk wisata bahari. 2.
Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Pariwisata
Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata pantai yang dikeluarkan oleh WTO (1981), (Tabel 2). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Ekosistem dan Keberadaan Sumberdaya Alam A. Terumbu karang Penentuan posisi terumbu karang dan keberadaan sumber daya alam menggunakan global positioning system (GPS) dan peta dasar. Analisis yang digunakan dalam menginventarisir keberadaan sumber daya alam,
18
Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)
Gambar 1.
Terumbu karang.
Tabel 1.
Kelas kesesuian lahan Kel as kesesua ian S-1 (sanga t sesuai )
S2 (S esuai ),
S3 (S esuai be rsya rat)
N (Tida k sesua i)
Pen jelasan Da erah ini tid ak mempun ya i pemb ata s (pen ghamb at) ya ng seri us untuk men eta pkan perla kuan ya ng di berika n ata u h anya me mp unyai pemba ta s (pan gha mb at) yang bera rti atau be rpen garu h se ca ra nyata terh ada p peng gun aann ya da n tida k akan mena ikka n masuka n ata u tin gkatan pe rlakuan yan g dibe rikan Da erah ini memp unyai p embatas (pe ngh ambat) yan g agak serius un tuk memper ta hanka n tin gkat pe rlakua n ya ng ha rus ditetap ka n. Pemba ta s ( peng hamba t) ini aka n me ning ka tkan ma su kan atau ting ka ta n perl akuan yan g dipe rlukan Da erah ini memp unyai p embatas (pe ngh ambat) yan g se rius untuk me mp ertaha nkan ting ka t per lakuan yan g haru s ditetap ka n. P embatas (pen gha mb at) a ka n lebi h me ning ka tkan ma su kan atau ting ka ta n perl akuan yan g dipe rlukan Da erah in i me mpunyai p embatas (pen gha mb at) perman en, sehi ngga menceg ah seg ala ke mu ngkina n perla ku an pa da dae rah tersebu t
S kor 71 8 – 840
51 4 – 717
27 4 – 513
=273
Sumber: modifikasi dari BAKOSURTANAL, (1996).
Tabel 2.
Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata pantai 2 No Kapasitas m /orang orang/ 20 – 50 m pantai 10 2,0 – 5,0 Kelas Rendah 15 1,5 – 3,5 Kelas Mewah 1 20 1,0 – 3,0 Kelas Istimewa (VIP) 30 0,7 – 1,5 Penginapan daerah pesisir = 200 – 300 liter/hari/orang 2 Air Bersih Penginapan daerah pesisir pantai tropik = 500 – 1.000 liter/hari/orang Ekonomi, ruang yang disyaratkan = 10 2 m /bed Menengah, ruang yang disyaratkan = 3 Akomodasi (Penginapan) 2 19 m /bed Istimewa, ruang yang disyaratkan = 30 2 m /bed Sumber: WTO (1981) yang diacu dalam Arifin (2001)
ialah dengan menggunakan metode ecological rapid assessment, yaitu suatu metode pendugaan dengan cara mengamati secara seksama keberadaan suatu ekosistem di suatu daerah atau wilayah. Salah satu jenis
terumbu karang yang sudah langka adalah jenis Tubastrea sp dan menurut beberapa ahli tidak semua daerah terumbu karang di Indonesia mempunyai jenis karang ini (Gambar 2). Jenis-jenis karang yang ditemukan
19
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Gambar 2.
Genus Tubastrea sp (tanda panah).
Gambar 3.
a
b
Contoh kerusakan terumbu karang akibat; (a) jaring dan (b) jangkar.
dalam penelitian ini, diantaranya dari jenis: Porites sp, Pocillopora sp, Acropora sp, Tubastrea sp, Zoanthid sp, Sponge sp dan Porites sp. Kerusakan terumbu karang di Pulau Pandang banyak diakibatkan oleh ulah manusia. Kondisi perairan Pulau Pandang yang relatif tenang dijadikan sebagai daerah peristirahatan (fishing base) oleh para nelayan yang daerah operasinya (fishing ground) berada di sekitar perairan Pulau Pandang. Kerusakan terumbu karang yang diketahui selama penelitian, diantaranya disebabkan oleh jangkar dan alat tangkap sejenis pukat teri (trawl) yang banyak dioperasikan oleh nelayan di sekitar lokasi penelitian. 2. Sumber Daya Ikan Sumberdaya hayati yang dapat diamati, diantaranya adalah Crustacea spp (udang dan kepiting), Molusca sp (kerang-kerangan) dan Echinodermata (teripang dan bulu babi). Jenis ikan yang tercatat selama penelitian ini, diantaranya adalah: Abudefduf spp, Chromis spp, Scarus spp, Achanturus spp, Lutjanus spp, Caesio spp, Zanclus spp, Thalasoma spp, Neopomacentrus spp, heniochus spp, Pterocaesio spp, Epinephelus spp, Neoglyphidodon
spp, Scolopsis spp, Anampses spp, Myripristis spp, Sargocentron spp, Siganus spp, Labroides spp, Halichoeres spp, Dischistodus spp dan Pomachantus spp (Gambar 4). Jenis biota laut lainnya yang banyak dijumpai di lokasi penelitian, diantaranya, jenis seaweed, Diadema sp (bulu babi), teripang dan penyu. 3. Pantai Pasir Dengan luasan yang hanya sekitar 7 hektar, Pulau Pandang hanya memiliki sekitar 2 – 3 hektar pantai. Sebagian dari luasan tersebut merupakan tempat bertelurnya (nursery ground) penyu laut. Untuk kepentingan konservasi, pantai yang biasa digunakan oleh penyu untuk bertelur sangat perlu di jaga keberadaan dan kelestariannya. Pantai-pantai yang terdapat di Pulau Pandang memiliki panjang pantai antara 120 sampai dengan 360 meter. Panjang pantai yang ada ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan dalam menunjang kegiatan ekowisata maupun untuk kegiatan konservasi. Lokasi penyu bertelur memiliki luasan 40 x 30 meter atau sekitar 120 meter persegi dan terletak di sebelah timur pulau, kondisi lokasi penyu bertelur.
20
Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al)
Gambar 4.
Beberapa jenis ikan-ikan karang di Pulau Pandang.
4. Pantai berbatu Pantai berbatu dapat di jumpai pada bagian selatan dan utara Pulau Pandang. Batu-besar menjulang dan mengelilingi pulau sehingga tidak dijumpai adanya pantai berpasir di bagian tersebut. Panjang garis pantai berbatu di sebelah selatan sekitar 270 meter dan disebelah utara memiliki panjang garis pantai sekitar 480 meter.
Kesesuaian Pulau Dan Perairan Sekitar Pulau Pandang berhubungan dengan kegiatan rekreasi pantai dengan fokus pada kegiatan snorkling dan menyelam. Analisis ini berguna untuk pembuatan peta digital, menurut kriteria untuk pariwisata pantai dan bahari yang dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL (1996) dan hasil modifikasi.
Gambar 6.
Pantai berbatu.
5. Ketersediaan Air Bersih Saat ini, sumber air bersih yang ada di Pulau Pandang berasal dari sumur galian peninggalan Belanda berjarak 20 meter dari tepi pantai di sebelah barat. Sumur galian tersebut memiliki kedalaman air sedalam 8 meter dengan diameter sumur sebesar 1 meter. Dari kondisi tersebut, dapat diperkirakan bahwa volume air maksimal dari sumur galian tersebut adalah sebanyak 6,28 m3 air tawar atau setara dengan 6000 liter air. Penentuan zonasi dalam kawasan Pulau Pandang dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa parameter biofisik yang ada. Pariwisata yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah yang
1. Analisis Kesesuaian Lahan Darat Untuk Kegiatan ekowisata Kelas kesesuaian untuk pariwisata pantai ditentukan dengan rencana kegiatan pariwisata pada kawasan tersebut. Jenis kegiatan pada pariwisata pantai yang bisa dilakukan, seperti berjalan di sepanjang pantai, permainan pasir, berjemur, olahraga pantai, berenang, berperahu, dan kegiatan lainnya yang memungkinkan untuk dilakukan di pantai. Parameter pembatas untuk kegiatan di pantai adalah: (1) kedalaman pantai, (2) tutupan pantai, (3) tipe pantai, (4) substrat, (5) panjang pantai dan (6) luasan pantai Analisis kesesuaian untuk kegiatan pariwisata pantai diukur menurut pemberian bobot dan skor bagi tiap parameter.
21
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Tabel 3.
Hasil analisis sistem penilaian kelayakan pariwisata pantai di Pulau Pandang
No.
Lokasi
1
Pantai 1
2
Pantai 2
3
Pantai 3
4
Pantai 4
Keterangan: K = Kategori S = Skor N = Nilai
Kedalama n K S N S 1 1 1 8 8 0 S 1 1 1 8 8 0 S 1 1 1 8 8 0 S 1 1 1 8 8 0
S1 S2 S3
Substrat K S S 1 1 6 S 1 1 6 S 1 1 6 S 1 1 6
N 1 2 8 1 2 8 1 2 8 1 2 8
Luasan pantai K S N S 1 1 1 4 4 0 S 6 6 3 0 S 2
1 4
S 2
1 4
1 4 0 1 4 0
Parameter Panjang Tipe pantai pantai K S N K S N S 1 9 S 1 8 1 5 0 1 4 4
Penutupa Nilai Ket n lahan total K S N S 1 8 70 S1 1 4 4 6
S 3
5
3 0
S 3
1 2
7 2
S 1
1 4
8 4
55 4
S2
S 2
1 0
6 0
S 2
1 4
8 4
S 1
1 4
8 4
67 6
S2
S 1
1 5
9 0
S 1
1 4
8 4
S 1
1 4
8 4
70 6
S1
= Sangat Sesuai = Sesuai = Sesuai Bersyarat
Gambar dapat dilihat pada Lampiran 1. (a)
Sangat sesuai, S1 (highly suitable)
Pantai yang termasuk pada kondisi sangat sesuai ini (S1) dapat dikatakan sebagai pantai yang tidak memiliki faktor pembatas yang serius untuk dijadikan sebagai lokasi pariwisata pantai dengan jenis kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya, adalah: berenang, bermain pasir, olahraga air dan pantai, berjemur, berjalan santai di pantai, kemah dan menikmati pemandangan pantai. Berdasarkan pada analisis sistem penilaian kelayakan untuk pariwisata pantai, didapatkan suatu bagian pantai di Pulau Pandang yang termasuk ke dalam kategori sangat sesuai, yaitu pada pantai 1 dan pantai 4 dengan nilai 706 (Tabel 3). Pantai 1 dapat dikembangkan menjadi kawasan pemanfaatan (zona pemanfaatan) untuk menunjang kegiatan ekowisata yang ada. Berdasarkan pada pengalaman penulis, jarak antara pantai yang ada di Pulau Pandang tersebut dengan sumber air tawar berjarak kurang dari 2 km. (b)
kriteria cukup sesuai, S2 (moderately suitable) dengan nilai 554 dan 676. Faktor-faktor yang menjadi pembatas dalam pengembangan wisata pantai, diantaranya adalah luasan pantai yang kurang, panjang pantai yang tidak memadai, tipe pantai yang ada dan jenis penutupan lahan yang ada. 2. Analisis Kesesuaian Perairan Untuk Kegiatan ekowisata Aktifitas pariwisata bahari dapat difokuskan pada kegiatan menyelam dan snorkling. Parameter pembatas dalam kegiatan menyelam dan snorkling adalah: (1) kecerahan perairan, (2) daerah terumbu karang, (3) Kecepatan arus dan (4) kedalaman perairan. Setiap parameter mendapat nilai dan skor sesuai dengan tingkat kepentingannya bagi kegiatan olahraga bahari, seperti snorkling dan menyelam (Lampiran 1). a. Cukup Sesuai, S2 (Moderately Suitable)
Cukup Sesuai, S2 (Moderately Suitable)
Pulau Pandang ini ternyata mempunyai faktor pembatas yang cukup serius untuk dijadikan kawasan pariwisata pantai, namun demikian masih cukup sesuai untuk dikembangkan. Berdasarkan pada analisis menggunakan sistem penilaian kelayakan untuk pariwisata bahari yang dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL (1996) dan hasil modifikasinya diperoleh bahwa ada 2 (dua) bagian pantai di Pulau Pandang, yaitu pantai 2 dan 3 yang memiliki
Hasil analisis kesesuaian dalam pengembangan ekowisata bahari di Pulau Pandang menurut kajian dari Bakosurtanal (1996), dan modifikasinya ternyata hanya menempati kategori cukup sesuai (S2, moderately suitable). Nilai yang diperoleh untuk tiap-tiap parameter yang diukur pada setiap stasiun yang ada hanya memperoleh nilai paling kecil, sebesar 608 dan paling besar memperoleh nilai 680 (Tabel 4). Parameter yang sangat mencolok untuk dijadikan pengukuran kategori yang ada adalah kondisi keberadaan terumbu karang di
22
Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al) Tabel 4.
Hasil analisis sistem penilaian kelayakan pariwisata bahari di Pulau Pandang
Stasiun pengamata n
Kedalaman
Suhu perairan
Kecepata n arus
K
S
N
K
S
N
K
S
1
S 1
14
84
S 1
1 0
8 0
S 2
1 2
2
S 2
12
72
S 1
1 0
8 0
S 2
1 2
3
S 2
12
72
S 1
1 0
8 0
S 2
1 2
4
S 1
14
84
S 1
1 0
8 0
S 1
1 8
5
S 2
12
72
S 1
1 0
8 0
S 2
1 2
6
S 1
14
84
S 1
1 0
8 0
S 1
1 8
Parameter Kecerahan perairan
N 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 8 0 1 2 0 1 8 0
Terumbu karang (Genus) K S N
Ikan karang (Genus) K S N
Nilai Ket total
K
S
N
S 2
1 8
18 0
N
2
1 6
S 1
2 0
16 0
64 S2 0
S 3
1 6
16 0
N
2
1 6
S 1
2 0
16 0
60 S2 8
S 3
1 6
16 0
N
2
1 6
S 1
2 0
16 0
60 S2 8
S 3
1 6
16 0
N
2
1 6
S 1
2 0
16 0
68 S2 0
S 3
1 6
16 0
N
2
1 6
S 1
2 0
16 0
60 S2 8
S 3
1 6
16 0
N
2
1 6
S 1
2 0
16 0
68 S2 0
Keterangan: K S N Sts
= Kategori = Skor = Nilai = Stasiun
S1 S2 S3
= Sangat Sesuai = Sesuai = Sesuai Bersyarat
Gambar dapat dilihat pada Lampiran 1 pulau Pandang yang hanya terdata sekitar 6 genus. Untuk ikan-ikan karang, data yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini ada sekitar 22 genus dan kondisi terumbu karang yang ada banyak yang mengalami kerusakan akibat jangkar dan jaring nelayan. 3. Daya dukung kawasan untuk kegiatan ekowisata di Pulau Pandang Istilah daya dukung (carrying capacity) dalam penelitian ini adalah kemampuan dari Pulau Pandang untuk dapat menampung segenap aktivitas manusia yang akan memanfaatkan Pulau Pandang sebagai kawasan ekowisata, khususnya ekowisata bahari. Kebutuhan setiap orang akan ruang dan jenis kegiatan yang diinginkan adalah sangat bervariasi dan relatif, bergantung pada latar belakang budaya, kemampuan ekonomi dan gaya hidup (Tabel 5). Langkah dalam menganalisis daya dukung kawasan Pulau Pandang dilihat dari data panjang garis pantai, ketersediaan air tawar dan luas lahan untuk akomodasi. Setelah diketahui panjang garis pantai, volume air tawar yang ada serta luasan dari lahan yang ada di pulau pandang, kemudian akan dibandingkan dengan standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata
di wilayah pesisir yang dikeluarkan oleh WTO (1981) yang diacu dalam Dahyar (1999). a. Panjang Pantai Pantai pasir merupakan salah satu bentang alam yang dapat dijadikan objek wisata. Banyak wisatawan yang menggemari wilayah pantai untuk berbagai aktivitas wisatanya, seperti: berjalan di pantai, menikmati keindahan pantai, berjemur di pantai, olahraga di pantai dan lain sebagainya. Daya tampung 2 (dua) bagian pantai di Pulau Pandang diperkirakan bahwa untuk kelas rendah paling sedikit dapat menampung 12 orang dan paling banyak dapat menampung 32 orang. Sedangkan untuk kelas menengah, paling sedikit dapat menampung 8 orang dan paling banyak dapat menampung 23 orang. Untuk kelas mewah, paling sedikit dapat menampung 6 orang dan paling banyak dapat menampung 17 orang selanjutnya untuk kelas istimewa (VIP) kapasitas daya tampung Pulau Pandang paling sedikitnya dapat menampung 3 orang dan paling banyak untuk kelas istimewa (VIP) ini sebanyak 10 orang (Tabel 6).
23
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Tabel 5.
Standar kebutuhan ruang dan fasilitas pariwisata di wilayah pesisir
No 1
Kapasitas pantai Kelas Rendah Kelas Menengah Kelas Mewah Kelas Istimewa (VIP)
2
Air Bersih
3
Akomodasi (Penginapan)
2
m /orang 10 15 20 30
orang/ 20 – 50 m pantai 2,0 – 5,0 1,5 – 3,5 1,0 – 3,0 0,7 – 1,5
Penginapan daerah pesisir = 200 – 300 liter/hari/orang Penginapan daerah pesisir pantai tropik = 500 – 1.000 liter/hari/orang Ekonomi, ruang yang disyaratkan = 10 2 m /bed Menengah, ruang yang disyaratkan = 2 19 m /bed Istimewa, ruang yang disyaratkan = 30 2 m /bed
Sumber : WTO (1981) yang diacu dalam Dahyar (1999)
b. Ketersediaan Air Tawar Ketersediaan air tawar di Pulau Pandang hanya berasal dari sumur galian peninggalan Belanda. Estimasi volume air tawar yang berasal dari sumur galian yang ada sebesar 6.000 liter. Daya dukung Pulau Pandang menurut kapasitas atau ketersediaan air tawar di pulau tersebut hanya dapat menampung wisatawan antara 6 – 12 wisatawan per hari (Tabel 7). Menurut PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum di Seluruh Indonesia) (2005) kebutuhan air untuk kegiatan aktifitas ekowisata di pulau tersebut dapat Tabel 6.
menampung orang antara 23 sampai dengan 200 orang per hari. Kapasitas air tawar yang ada, jika hanya 60% yang dapat dipergunakan atau setara dengan 3.600 liter, maka pulau tersebut hanya dapat menampung wisatawan menurut WTO (1981) sekitar 4 sampai dengan 7 orang sedangkan menurut PERPAMSI (2005) pulau tersebut dapat menampung antara 14 sampai dengan 120 orang per hari.
Estimasi data tampung wisatawan berdasarkan kapasitas pantai pasir di Pulau Pandang Estimasi panjang pantai terhadap daya tampung Panjang pantai pasir (m) Daya tampung (orang) * Kelas rendah * Kelas menengah * Kelas mewah * Kelas istimewa (VIP)
Lokasi Pantai 1 321
Pantai 2 121,8
32 23 17 10
12 8 6 3
Keterangan: Lokasi pantai dapat dilihat pada Lampiran 1
Tabel 7.
Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan ketersediaan air tawar Ketersediaan air tawar 6.000 Liter Daya tampung (orang per hari) berdasarkan kebutuhan air di 6 – 12 orang per daerah pesisir pantai tropik = 500 – 1000 liter per hari per orang hari
24
Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al) c. Lahan Untuk Akomodasi Luas lahan untuk akomodasi sangat terkait erat dengan luasan pantai dengan daya tampung wisatawan yang ada di Pulau Pandang. Untuk kelas rendah Pulau Pandang paling sedikit dapat menampung orang sebanyak 183 orang dan paling banyak sekitar 578 orang, sedangkan untuk kelas menengah, paling sedikit dapat menampung orang sebanyak 96 orang dan paling banyak sekitar 304 orang. Untuk kelas istimewa, paling sedikit dapat menampung orang sebanyak 61 orang dan paling banyak dapat menampung orang sebanyak 193 orang (Tabel 8).
Tabel 8.
dapat dilakukan pada zona ini, antara lain adalah: hiking, sport fishing, sun bathing, water sports, diving, swimming dan kegiatan olahraga air lainnya. Pada zona ini, tidak ada pemanfaatan lahan yang bersifat permanen, seperti adanya bangunan bagi tujuan ekowisata. Zona ini, dapat menampung antara 10 sampai dengan 36 orang untuk melakukan aktivitas ekowisata. (3). Zona pemanfaatan (Pantai 1 dan 2) Pembangunan infrastruktur yang menunjang segenap kegiatan baik itu kegiatan konservasi maupun kegiatan ekowisata terpusatkan pada zona ini. Zona ini terletak di pantai 1 dan 2 dengan daya tampung maksimum 120 orang wisatawan berdasarkan pada
Estimasi daya tampung wisatawan berdasarkan luasan pantai di Pulau Pandang Lokasi
Luasan dan daya tampung 2
Luas lahan pantai (m ) Daya tampung (orang) * Ekomomi * Menengah * Istimewa
Pantai 1
Pantai 2
5.776
1.827
578 304 193
183 96 61
Keterangan: Lokasi pantai dapat dilihat pada Lampiran 1
d. Zonasi dan aktivitas ekowisata di Pulau Pandang dan perairan sekitarnya Aktivitas yang dapat dilakukan sangat berbeda pada tiap zonasi. Zonasi bertujuan untuk memberikan arahan bagi penataan ruang pemanfaatan lahan daratan dan perairan agar tetap terjaga keaslian dan keunikannya. (1). Zona konservasi (Pantai 3) Zona konservasi berada di pantai 3 dan perairan di depannya. Kegiatan dapat dirancang dengan tujuan untuk mengkonservasi penyu laut dan terumbu karang yang ada pada lokasi tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain adalah kegiatan penelitian dan pengembangan khusus bagi habitat penyu dan ekosistem terumbu karang jenis langka, seperti: Tubastrea sp. Selain kegiatan penelitian dan pengembangan bagi konservasi, tidak diperbolehkan kegiatan lainnya pada lokasi tersebut. (2). Zona Penyangga (pantai 4) Zona ini ditujukan sebagai daerah peralihan antara zona konservasi dan zona pemanfaatan. Zona ini terletak di pantai 4 dan perairan di depannya. Jenis kegiatan yang
ketersediaan air tawar. Daya tampung ini menjadi lebih kecil, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 32 orang apabila dihitung menurut panjang garis pantai yang tersedia. Perhitungan menurut luasan lahan untuk akomodasi menunjukkan daya tampung maksimum sekitar 61 orang kelas VIP. Dengan demikian, pulau ini agar ditujukan bagi wisatawan kelas VIP dan hanya dapat menampung sekitar 61 orang agar tetap sesuai dengan daya dukung pulau tersebut. Selain untuk tujuan akomodasi, pada zona ini juga dapat dilakukan kegiatan wisata pantai, seperti: sun bathing, hiking, beach tracking, camping, banana boat dan sebagainya. KESIMPULAN Pulau Pandang dan perairan sekitarnya memiliki ekosistem terumbu karang, pantai berpasir, pantai berbatu, daerah perbukitan, vegetasi hutan dan semak belukar. Salah satu pantai di pulau ini merupakan habitat penyu untuk bertelur pada musim tertentu. Berdasarkan pada kriteria panjang pantai, pulau ini dapat menampung 3 – 32 orang, sedangkan menurut kriteria ketersediaan air tawar pulau ini menampung 4 – 120 orang. Namun demikian, kriteria luasan pantai untuk keperluan akomodasi (panginapan) membatasi daya tampung pulau ini pada 3 – 32 orang. Kelestarian dan kekhasan pulau
25
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
tersebut perlu dijaga sehingga jumlah wisatawan yang diperbolehkan agar dibatasi hanya sekitar 61 orang. Secara umum pulau tersebut sangat sesuai (S2, moderately suitable) untuk pengembangan kegiatan ekowisata bahari dalam jumlah terbatas dan meliputi kegiatan berikut: menyelam, berenang, snorkling, hiking, sun bathing, beach tracking, beach sports, fishing sport, camping dan lain sebagainya. Kegiatan ekowisata yang dikembangkan di Pulau Pandang hendaknya merupakan kegiatan ekowisata dalam jumlah terbatas sesuai dengan daya dukung lahannya. Disarankan agar dilakukan upaya-upaya rehabilitasi dan konservasi terhadap ekosistem yang ada di pulau tersebut, khususnya untuk ekosistem terumbu karang dan pantai pasir tempat penyu bertelur. Rehabilitasi dan konservasi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi ekosistem yang ada agar dapat pulih kembali. PERSANTUNAN Penulis dalam kesempatan ini bermaksud menghaturkan ucapkan terima kasih yang setinggi-tinggi kepada beberapa pihak yang telah membantu penulisan penelitian, diantaranya: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Asahan, Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Batubaru, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, PT. Multi Mas Nabati, Asahan, PT. Inalum Asahan, Jurnal Segara P3SDLP Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Medan Diving Club (MeDiC) Serta masyarakat Kabupaten Batubara yang telah banyak membantu. DAFTAR PUSTAKA Alcock, D & Crossland C. 1999. Tourism: The key player in the ecologically sustainable development of the Great Barrier Reef. CRC Reef Research Center. James Cook University Townsville. Queensland Australia: Indonesian Journal Of Coastal and Marine Resources. Vol. 2 No. 1 PKSPL – IPB. Arifin T. 2001. Evaluasi kesesuaian kawasan pesisir dan arahan pengembangannya bagi pariwisata bahari di Teluk Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Laporan tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor: (tidak diterbitkan). Asahan Dalam Angka. 2001. Pemerintah Kabupaten Asahan. Kisaran. Asahan Dalam Angka. 2002. Pemerintah kabupaten Asahan. Kisaran.
Asahan Pos No. 68/Tahun II/6-11 Juli. 2004. Untuk meningkatkan keamanan Selat Malaka, Indonesia, Malaysia dan Singapura akan gelar patroli bersama. Kisaran. Azman S. 2001. Analisis kebijakan pengembangan pariwisata bahari dalam rangka meningkatkan keragaan perekonomian wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Laporan tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB(tidak diterbitkan). Bakosurtanal 1996. Pengembangan prototipe wilayah pesisir dan marine Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Indrasig. Bakosurtanal. Cibinong: (tidak diterbitkan). Canter, L.W & Loren GH. 1979. Handbook Of Variables For Environmental Impact Assessment. Michigan: Ann Arbor Science Publisher Inc. Clark, J.R. 1991. Carrying capacity and tourism in coastal and marine areas. Parks. Vol 2.3. Dahuri, R. 1993. Daya dukung lingkungan dan pengembangan pariwisata bahari berkelanjutan. Makalah. Disajikan Pada Seminar Nasional Manajemen Pesisir Untuk Turisme. Magister Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Dahuri, R, J Rais, SP Ginting & MJ Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT. Pradnya Paramita. Dahuri R. 1999. Kebijakan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Makalah. Disajikan Pada Pelatihan Untuk Pelatih Bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Bogor: IPB (Tidak diterbitkan). Dahyar M. 1999. Penerapan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dalam pembangunan pariwisata di Kepulauan Derawan Propinsi Kalimantan Timur. Thesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor: IPB. Dante 2001. Red coral for tourism?: 10 Principles and challenges for a sustainable tourism development in the 21st. Working Group On Tourism and Development. www.ecotourism.org. Davies, T. & Sarah, C. 2000. Enviromental implication of the tourism industry. Discussion Paper 00-14. Resouces For The Future. www.ecotourism.org.
26
Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al) [ESD] Ecotourism Society and Development Working Group. 1991. Tourism. final report. Government Publishing Services. Canberra: Australia. Fennel, D.A. & Eagles PFJ. 1990. Ecotourism in Costa Rica: A Conceptual Framework. Journal of Park and Recreation Administration 8. Gunn CA. 1994. Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases. 3rd ed. Taylor & Francis. Washington DC: USA. Hidayati. D. Mujiyani. L Rachmawati&, A Zaelani. 2003. Ekowisata: Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Ikawati Y, PS Hanggarawati, H Parlan, H Handini&, B Siswodihardjo. 2001. Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta Penerbit Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkerja sama dengan Kantor Menteri Negara Rist dan Teknologi. Ilahude AG&, S Liasaputri. 1980. Teluk Jakarta : Sebaran Normal Hidrologi di Teluk Jakarta. LON-LIPI. Jakarta.
Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penertbit Djambatan. ERPAMSI] Persatuan Perusahaan Air Minum di Seluruh Indonesia. 2005. Pelayanan air bersih dan sanitasi dasar masih lemah. www.perpamsi.com [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor. 2002. Atlas Pesisir Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu Propinsi Sumatera Utara. Laporan Akhir. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB. Rangkuti F. 1997. Analisa SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia. Saifullah. 2000. Kajian pengembangan pariwisata bahari dan kontribusinya pada kesejahteraan masyarakat pesisir di Pulau Weh (Sabang). Thesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor: IPB. Sunarminto T. 2002. Dampak ekoturisme wisata bahari Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat terhadap ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan. Laporan Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB.
[Insula-INCID] Insula-International Scientific Council For Island Development. 1995. Piagam Pariwisata Berkelanjutan (Charter For Sustainable Tourism) hasil dari World Conference On Sustainable Tourism Meeting di Lanzarote, Canary Island. Spanyol. http:/ /www.insula.org/tourism/charte.htm. Linberg K. 1991. Policies For Maximising Nature Tourism’s Ecological and Economic Benefits. World Resources Institute: Washington DC. McLean J&, Stepen W. 1997. Developing Ecotourism: A Community Based Aprroach. School of Leisure and Tourism Studies. UTS. Sydney Moscardo G&, Kim E. 1999. Sosial Science Research Needs For Sustainable Coastal and Marine Tourism. CRC Reef Research Center. James Cook University. Townsville Old: Australia.
27
Studi Potensi Ekowisata Bahari Di Kabupaten Batubara........(Khan, A.M.A, et al) Lampiran 1. Peta Lokasi dan Rencana Zonasi Pulau Pandang
28
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)
PEMANFAATAN DATA SATELIT OSEANOGRAFI UNTUK PREDIKSI DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDRA HINDIA SELATAN JAWA-BALI Teja Arief Wibawa1) 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Observasi Laut, Balitbang Kelautan dan Perikanan - KKP
Diterima tanggal: 10 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 21 April 2011; Disetujui terbit tanggal 10 Mei 2011
ABSTRAK Informasi penting yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan adalah teridentifikasinya lokasi habitat penting bagi suatu jenis ikan sepanjang siklus hidupnya. Tuna mata besar adalah salah satu jenis ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi di perairan Indonesia. Faktor-faktor oseanografi memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan distribusi tuna mata besar tersebut. Ketersediaan data satelit oseanografi secara near real-time dan terus menerus memantau kondisi beberapa parameter oseanografi, dapat dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan untuk mengidentifikasi lokasi habitat tuna mata besar tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim timur. Data penangkapan tuna mata besar selama periode empat tahun (2004-2007) selama musim timur, diperoleh dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Benoa, Bali. Parameter oseanografi yang digunakan meliputi sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface height anomaly (SSHA), dan eddy kinetic energy (EKE). Ekstraksi nilai SSC, SST,SSHA dan EKE dilakukan pada setiap koordinat penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan generalized additive model (GAM). Persamaan yang diperoleh dari analisis GAM tersebut digunakan untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar. Hasil analisis GAM menunjukkan bentuk persamaan GAM dengan kombinasi SSC, SST, SSHA dan EKE secara statistik memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar. Prediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada Juni, Juli Agustus, September dan November, menunjukkan adanya kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna mata sebenarnya. Kata Kunci: tuna mata besar, satelit oseanografi, GAM
ABSTRACT Responsible and sustainable fisheries management require essential information of identified important habitat of each fish species on whole their life cycles. Bigeye tuna is one of the large pelagic fish which has a high economic value in Indonesian waters. Oceanographic factors have an important role in determining the distribution of bigeye tuna habitat. The availability of oceanographic satellite data in near real-time and continuously observe condition of some oceanographic parameters, can be used as an approach to identify bigeye tuna habitat. The aim of the research was to predict the distribution of bigeye tuna potential fishing ground in southern Indian Ocean off Java-Bali during southeast monsoon period. Bigeye tuna catchment data encompassed during southeast monsoon period of 2004-2007 were derived from longliners based on Benoa Harbour, Bali. Oceanographic variables were sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface height anomaly (SSHA) and eddy kinetic energy (EKE). Extraction of each SSC, SST, SSHA and EKE value on each bigeye tuna fishing ground were performed. Data analysis was performed using generalized additive model (GAM). The selected GAM equation was used to predict the distribution of bigeye tuna potential fishing ground. GAM analysis revealed that GAM which constructed from the combination of SSC, SST, SSHA and EKE, statistically has the highest accuracy in explaining hook rate of bigeye tuna variation. Monthly prediction of bigeye tuna’s potential fishing ground on June, July, August, September and November, indicated it’s suitability with the real bigeye tuna fishing ground. Keywords: bigeye tuna, oceanographic satellite, GAM Korespondensi Penulis: Jl. Baru Perancak,Negara-Jembrana,Bali 82251.
Email: [email protected]
29
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
PENDAHULUAN Perairan Indonesia memiliki sumber daya perikanan pelagis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi. Hampir sebagian besar jenis ikan pelagis besar yang ditemukan di Perairan Indonesia memiliki nilai ekonomis tinggi dengan tingkat penangkapan pada beberapa wilayah sudah mendekati overfishing. Pengelolaan sumber daya perikanan pelagis yang berkelanjutan memerlukan informasi secara spasial dan temporal tentang kelimpahan suatu jenis ikan pelagis sepanjang siklus hidupnya. Informasi tersebut diperlukan untuk mengurangi tekanan antropogenik terhadap habitathabitat ikan pelagis (Valavanis et al., 2008; Robinson, 2010). Umumnya jenis ikan pelagis besar seperti tuna, memiliki fish behaviour yang berbeda antara setiap jenis tuna (Brill, 1994; Brock et al., 1997; Merta et al., 2004; Lehodey et al., 2008). Perbedaan tersebut menyebabkan pengelolaan sumber daya perikanan pelagis sebaiknya didasari pada pola kelimpahan setiap jenis ikan pelagis pada suatu skala ruang dan waktu. Ikan tuna mata besar merupakan salah satu sumber daya perikanan pelagis besar yang bernilai ekonomis tinggi di Perairan Indonesia. Hanya beberapa wilayah laut dalam Perairan Indonesia yang merupakan habitat tuna mata besar, diantaranya adalah Samudra Hindia sebelah Selatan Jawa dan sebelah Barat Sumatra (Ukolseja, 1996; Davis & Farley 2001; Merta et al., 2004; Hendiarti et al., 2005). Diduga telah terjadi overfishing penangkapan tuna pada kedua wilayah tersebut, yang ditandai dengan semakin turunnya laju tangkapan tuna dari tahun ke tahun. Selain mempunyai keanekaragaman sumber daya ikan pelagis yang tinggi, Perairan Indonesia juga mempunyai karakteristik oseanografi yang unik dan dinamis (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006). Kondisi oseanografi di Perairan Indonesia terutama dipengaruhi oleh fenomena AsiaAustralian Monsoon (Tomczack & Godfrey, 2001; Hendiarti et al., 2004; Qu et al., 2005; Longhurst, 2007), Arus Lintas Indonesia (Sprintall et al., 2003; Wijffels et al., 2008) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)( Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004). Akibatnya kondisi oseanografi setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia cenderung bervariasi dalam skala ruang dan waktu. Dampaknya terhadap pengelolaan sumber daya ikan pelagis berbasis pendekatan ekologis adalah diperlukannya informasi yang akurat tentang kondisi oseanografi optimum bagi habitat satu jenis sumber daya ikan pelagis pada setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia.
Prediksi sebaran habitat tuna secara spasial dan temporal telah dikembangkan dengan memanfaatkan data satelit oseangrafi dan pemodelan statistika non linear, diantaranya untuk ikan tuna albakora (Zainuddin et al., 2008), ikan tuna sirip kuning (Zaglalia et al., 2004) dan ikan cakalang (Mugo et al., 2010). Satelit oseanografi yang mampu menyediakan data near real time dan terus menerus dari beberapa parameter oseanografi, dapat digunakan untuk mengetahui dinamika sebaran parameter-parameter oseanografi secara temporal maupun spasial. Salah satu parameter oseanografi tersebut adalah konsentrasi klorofil-a permukaan laut (SSC). Data SSC yang diperoleh dari sensor-sensor Ocean Color, telah mendapat apresiasi dari para ahli oseanografi, setelah salah satu sensornya yaitu SeaWiFS (Sea-viewing Wide-Field of view Sensor) mampu menghasilkan data SSC global selama sepuluh tahun berturut-turut (McClain, 2009). Sedangkan parameter oseanografi lainnya yang dapat diperoleh dari satelit oseanografi adalah Sea Surface Height Anomaly (SSHA). Tidak seperti sensor-sensor Ocean Color, pengukuran SSHA dengan menggunakan satelit altimetri merupakan suatu terobosan baru dalam teknologi satelit oseanografi, karena kemampuannya melakukan observasi tanpa terpengaruh oleh kondisi awan (Fu & Cazenave, 2001; Robinson, 2004). Observasi dengan menggunakan data satelit oseanografi di perairan Indonesia telah terbukti dapat mengidentifikasi fenomena-fenomena oseanografi yang terjadi di Perairan Indonesia (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto & Marra, 2005; Susanto et al., 2006; Sartimbul et al., 2010). Pemodelan statistika non-linear banyak digunakan dalam analisis-analisis data ekologi, karena kemampuannya mengakomodasi data ekologi yang cenderung tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan pemodelan statistika secara linear (Zuur et al., 2009). Generalized additive model (GAM) merupakan salah satu pemodelan statistika non-linear yang banyak digunakan dalam analisis data-data bidang perikanan (Valavanis et al., 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia selatan Jawa-Bali pada musim timur dari data-data satelit oseanografi. METODE PENELITIAN Wilayah penelitian adalah Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali dengan batasan koordinat 100° - 120° BT dan 5° - 20° LS. Data harian tuna mata besar periode musim timur selama empat tahun (2004 – 2007) diperoleh dari logbook perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Data tersebut meliputi koordinat penangkapan tuna mata besar, jumlah individual
30
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.) tuna yang tertangkap, jumlah mata pancing yang digunakan dan waktu penangkapan tuna. Data tersebut diolah menjadi informasi tentang laju tangkapan tuna pada setiap koordinat daerah penangkapan tuna (hook rate). Data harian konsentrasi klorofil-a permukaan laut (SSC) dan suhu permukaan laut (SST) harian dengan periode yang sama dengan periode data tangkapan tuna mata diperoleh dari sensor MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4 km. Data komposit 7 harian sea surface height anomaly (SSHA) diperoleh dari satelit altimetri dengan resolusi spasial 0.33°. Sedangkan variabel eddy kinetic energy (EKE) diperoleh dari perhitungan east component of eddy velocity field (u) dan north component of eddy velocity field (v) dari satelit altimetri dengan persamaan:
EKE 1 / 2 u 2 v 2
(Fu & Cazenave, 2001; Robinson, 2004). Untuk menyamakan resolusi spasial dan temporal dari seluruh dataset, data tangkapan ikan tuna mata besar, SSC dan SST diolah menjadi data komposit 7 harian dengan resolusi spasial 0,33°. Komposit 7 harian tersebut berdasarkan pada periode komposit 7 harian data satelit altimetri. Untuk lebih detilnya, pembagian komposit 7 harian tersebut ditampilkan dalam Tabel 1. Setiap data komposit 7 harian tuna mata besar dioverlay dengan data SSC, SST, SSHA dan EKE, untuk mendapatkan nilai keempat variabel tersebut pada setiap lokasi penangkapan tuna mata besar. Untuk kepentingan pembentukan model, dataset yang ada dibagi menjadi dua bagian, yaitu training data dan evaluation data. Training data digunakan untuk pembentukan model, sedangkan evaluation data digunakan untuk memvalidasi hasil prediksi dari pemodelan tersebut (Himmerman & Guissan, 2000). Sebelum dilakukan pemodelan GAM, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi dataset sesuai dengan prosedur yang mengacu pada Zuur et al., (2009) dan Zuur et al., (2010). Generalized additive model (GAM) merupakan salah satu alternatif model statistika apabila tidak ditemukannya hubungan linear antara dua variabel (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). Metode ini bersifat nonlinear dan dapat digunakan untuk mengurangi kelemahan penggunaan asumsi distribusi normal dalam analisis data ekologi. Secara umum GAM menggunakan smoothing curve untuk memodelkan hubungan antara variabel respon dengan variabel penjelasnya (Zuur et al., 2007). Bentuk dasar persamaan dasar dari GAM adalah:
Yi f ( X i ) i
dimana
f ( X i ) merupakan smoothing curve (Zuur et al.,
2007). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan mgcv package (Wood, 2006) yang terdapat dalam program R (R Core Development Project, 2008). Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan distribusi gaussian dan fungsi identity link. Sebagai variabel respon adalah laju pancing tuna mata besar (HR), sedangkan sebagai variabel-variabel penjelasnya adalah SSC, SST, SSHA dan EKE. Pembentukan model GAM dimulai dengan setiap satu variabel penjelas, yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empat variabel-variabel penjelas. Pemilihan model GAM yang akan digunakan untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar didasarkan pada nilai Akaike’s Information Criteria (AIC) setiap model GAM yang terbentuk, nilai deviance setiap model GAM yang terbentuk, dan tingkat signifikansi variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam pembentukan setiap model GAM (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika sebaran daerah penangkapan tuna mata besar periode musim timur 2004-2007 Data tangkapan tuna termasuk dengan koordinat penangkapannya relatif sulit ditemukan dalam dunia perikanan di Indonesia. Umumnya, data yang tersedia adalah data jumlah ikan tuna yang didaratkan di suatu pelabuhan tanpa diketahui dimana ikan-ikan tersebut ditangkap. Selain itu, karena adanya kompetisi diantara kapal-kapal penangkap tuna, umumnya data lokasi penangkapan tuna menjadi satu hal yang bersifat rahasia. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan data harian logbook penangkapan tuna mata besar dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Meskipun terdapat bias dalam data tersebut, namun setidaknya data tangkapan tuna mata besar yang digunakan dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran awal tentang lokasi-lokasi penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar di wilayah tersebut cenderung berada pada daerah yang sama setiap bulannya. Secara umum daerah penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali berada pada koordinat 110° - 115° BT dan 12° - 16° LS (Gambar 1). Kondisi tersebut salah satunya disebabkan belum digunakannya alat-alat bantu pemantau dinamika oseanografi oleh kapal-kapal longline dalam menentukan lokasi penangkapan tuna di perairan tersebut. Akibatnya, kapal-kapal longline tersebut hanya mengandalkan data-data penangkapan tuna pada triptrip sebelumnya.
31
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Berdasarkan atas data penangkapan tuna mata besar tahun 1978 -1990, Ukolseja (1995), menyebutkan puncak musim penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali terjadi pada November. Namun berdasarkan pada analisis data tangkapan tuna besar periode 2004 – 2007, puncak penangkapan tuna mata besar terjadi pada Juli. Pergeseran puncak penangkapan tuna mata besar tersebut diduga terkait erat dengan perubahan iklim. Satu dekade terakhir, intensitas badai siklon tropis yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim di perairan tersebut semakin meningkat. Umumnya badai siklon tropis mulai muncul pada akhir periode musim timur. Badai tersebut berdampak pada tingginya gelombang di perairan tersebut, sehingga menyebabkan berkurangnya trip-trip penangkapan tuna pada periode tersebut. Fenomena upwelling di Samudra Hindia Selatan JawaBali yang terjadi pada musim timur (Susanto et al., 2001; Susanto et al., 2005; Hendiarti et al., 2005), diduga tidak berpengaruh pada sebaran daerah penangkapan tuna mata besar. Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, daerah penangkapan tuna mata besar berada diluar daerah upwelling. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Hendiarti et al.(2005), ketika melakukan analisis data tangkapan tuna yang didaratkan di Pelabuhan Cilacap dengan data konsentrasi klorofil-a permukaan, sebagai salah satu indikator terjadinya upwelling. Dinamika SSC, SST, SSHA dan EKE Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada periode musim timur 20042007 Rata-rata tujuh harian variabel SSC, SST, SSHA, dan EKE ditampilkan pada Gambar 3, 4, 5, dan 6. Rata-rata SSC tertinggi ditemukan pada minggu ke 17 (2004), 19 (2005), 30 (2006) dan 22 (2007). Nilai SSC tertinggi tersebut terjadi pada periode Agustus – September setiap tahunnya, kecuali pada 2006 yang terjadi pada November. Pada periode normal, intesitas upwelling di wilayah ini terjadi pada periode Juni – September. Proses upwelling yang dipicu oleh transpor Ekman di sepanjang pantai selatan Jawa-Bali, mengangkat massa kolom air di bawah lapisan permukaan yang kaya nutrien dan suhu yang lebih dingin ke lapisan permukaan laut (Hendiarti et al., 2004). Akibatnya produktivitas primer di wilayah upwelling cenderung meningkat ketika terjadi periode upwelling. Proses upwelling juga mengakibatkan penurunan SST (Hendiarti et al. 2004; Qu et al., 2005) dan penurunan SSHA (Susanto et al., 2001). Seperti terlihat pada Gambar 3, kenaikan SSC diikuti dengan penurunan SST dan SSHA. Pola upwelling yang berbeda pada periode musim timur 2006, diduga kuat terkait dengan El Nino Southern
Oscillation (ENSO). Pola dan distribusi SSC pada periode musim timur 2006 hampir sama dengan periode musim timur 1997/1998. Gambar 3 menunjukkan pada periode musim timur 2006, puncak upwelling terjadi pada November dan menyebar ke arah barat. Southern Oscillation Index (SOI) tahun 2006 dari NOAA National Center for Environmental Prediction (NCEP) menunjukkan adanya fenomena El Nino pada periode tersebut. Ketika terjadi El Nino, massa air arus lintas Indonesia (ARLINDO) dari sebelah barat Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia berintensitas rendah dengan suhu massa air yang relatif dingin. Akibatnya, massa air ARLINDO tersebut mempunyai pengaruh minimum terhadap proses upwelling (Hendiarti et al., 2004). Kondisi tersebut menyebabkan pergerakan angin monson dari Benua Australia menuju Benua Asia akan mempunyai pengaruh maksimal terhadap intensitas upwelling baik pada skala ruang maupun waktu (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006). Prediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada musim timur Eksplorasi seluruh variabel penjelas (SSC, SST, SSHA dan EKE) dengan variance inflation factors (VIF) menunjukkan tidak adanya kolinearitas antar setiap variabel penjelas (Tabel 2). Nilai VIF yang ditunjukkan setiap variabel penjelas kurang dari 3. Nilai VIF 3 digunakan sebagai indikasi terjadinya kolinearitas antar setiap variabel (Zuur et al., 2009). Analisis dengan menggunakan pairplot juga mengindikasikan hal yang sama. Nilai koefisien korelasi antar setiap variabel penjelas kurang dari 0.5 (Gambar 7). Transformasi dengan logaritma natural + 1 dilakukan terhadap variabel respon, yaitu laju penangkapan tuna mata besar (HR+1). Sedangkan untuk variabel EKE dilakukan transformasi dengan logaritma natural (ln(EKE)). Pembentukan GAM selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 3. Pembentukan GAM dimulai dengan satu variabel penjelas yang dilanjutkan dengan kombinasi dua, tiga dan empat variabel penjelas. Jumlah data yang digunakan dalam pembentukan GAM adalah 1689.Tingkat signifikansi setiap variabel penjelas dikelompokkan menurut Verzani (2005). Hanya variabel SST pada persamaan GAM nomor 5 dan persamaan GAM nomor 11 yang menunjukkan penggunaan smoothing factor terhadap SST dalam kedua persamaan tersebut tidak signifikan. Sedangkan deviance dan AIC menunjukkan tingkat keakuratan variabel-variabel penjelas dalam menjelaskan variasi variabel respon dalam setiap persamaan GAM. Semakin besar nilai deviance dan semakin kecil nilai AIC berarti semakin tinggi tingkat keakuratan model GAM dalam menjelaskan variasi variabel respon (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009).
32
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.) Persamaan GAM nomor 15 mempunyai nilai deviance terendah, AIC tertinggi dan tingkat signifikansi setiap variabel penjelas berada dalam kelompok statistically significant dan could be significant. Persamaan tersebut dipilih dan digunakan untuk memprediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar dengan input data-data SSC, SST, SSHA dan EKE pada Mei-November 2007. Persamaan GAM nomor 15 tersebut juga menunjukkan bahwa variabel EKE mempunyai pengaruh terbesar terhadap variasi data hookrate tuna mata besar, dilanjutkan dengan variabel SSHA, SST dan SSC. Sedangkan estimasi smoothing curve pada setiap variabel penjelas dari persamaan GAM nomor 15 ditampilkan pada Gambar 8. Pengaruh positif SSC terhadap variasi hookrate tuna mata besar berada pada kisaran 0,05 – 0,15 mg/m3. Sedangkan untuk SST dan SSHA berada pada kisaran 26 – 27 ° C dan -5 – 5 cm. Log natural EKE menunjukkan pengaruh positif pada kisaran 5 – 6, berarti nilai EKE yang mempunyai pengaruh positif terhadap variasi tangkapan tuna mata besar berada pada kisaran 150 – 400 cm2/dt2. Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada periode musim timur 2007 ditampilkan pada Gambar 9. Hasil prediksi bulanan antara Mei – November 2007 tersebut dioverlay dengan data tangkapan tuna mata besar bulanan periode Mei – November 2007. Pada prediksi Juni, Juli, Agustus, September dan November 2007, terlihat adanya kesesuaian daerah potensial penangkapan tuna mata besar yang diprediksikan menggunakan persamaan GAM dengan lokasi penangkapan tuna mata besar sebenarnya. Persamaan GAM yang digunakan untuk memprediksi daerah potensial penangkapan tuna mata besar hanya dapat menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar sebesar 5,14% saja. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan persamaan GAM yang dibentuk oleh Mugo et al.(2010) untuk memprediksi habitat ikan cakalang, yaitu sebesar 13,3 %. Diduga rendahnya nilai deviance persamaan tersebut karena sedikitnya jumlah dataset yang digunakan untuk memodelkan GAM dan lapisan renang tuna mata besar yang berada di bawah lapisan termoklin (Holland, 1990; Liu et al., 2003), Variabel-variabel oseanografi yang digunakan dalam penelitian ini semuanya berasal dari satelit oseanografi. Sehingga variabel-variabel oseanografi tersebut hanya dapat menjelaskan kondisi oseanografi pada lapisan permukaan saja. Dengan demikian diperlukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggunakan variabel-variabel oseanografi pada lapisan renang tuna mata besar,
sehingga sebaran habitat tuna mata besar dapat diidentifikasi dengan lebih akurat. Secara umum disadari bahwa dinamika dalam suatu ekosistem adalah sangat komplek dan heterogen untuk dapat dimodelkan secara akurat baik dalam skala ruang dan waktu (Himmerman & Guissan, 2000). Namun pendekatan yang kami lakukan dengan menggunakan data satelit oseanografi tersebut merupakan suatu langkah awal dalam memahami sebaran habitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan JawaBali. KESIMPULAN Persamaan GAM yang memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar pada musim timur di Samudra Hindia Selatan JawaBali, merupakan kombinasi dari variabel SSC, SST, SSHA dan EKE. Variabel EKE mempunyai tingkat signifikansi tertinggi dalam persamaan GAM tersebut, dilanjutkan dengan variabel SSHA, SST dan SSC. Prediksi daerah potensial penangkapan tuna pada uni, Juli, Agustus, September dan November 2007 menunjukkan kesesuaian dengan daerah penangkapan tuna mata besar sebenarnya. PERSANTUNAN Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Goddard Space Flight Center –National Aeronautics and Space Administration (GSFC-NASA) dan Archive Validation and Interpretation of Satellite Oceanography (AVISO) untuk akses data-data SSC, SST, SSHA dan UV Component of Geostrophic Velocity. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Seiichi Saitoh, Robinson Mugo, Ph.D, I Nyoman Radiarta, Ph.D (Laboratory of Marine Bioresources and Environment Sensing, Faculty of Fisheries Sciences Hokkaido University), Prof. Jason Roberts (Marine Geospatial Ecology Laboratory, Nicholas School of the Environment, Duke University , USA), Takahiro Osawa, Ph.D (Center for Remote Sensing and Ocean Sciences, Universitas Udayana) dan I Made Tirta Ph.D (Jurusan Matematika FMIPA Universitas Jember) atas masukan dan saran tentang teknis pengolahan dan penganalisaan data. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada mitra bestari Jurnal Segara yang telah menelaah dan memberikan masukan untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Brill, R.W. 1994. A Review of Temperature and Oxygen Tolerance Studies of Tunas Pertinent to Fisheries Oceanography, Movement Models and Stock
33
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Assesments. Fisheries Oceanography 3 (3) : 204 – 216 Davis, T.L.O & J.H. Farley. 2001. Size Distribution of Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) by Depth on Their Spawning Ground. Fisheries Bulletin 99 : 381 – 386. Fu,L.L & A. Cazenave. 2001. Satellite Altimetry and Earth Sciences: A Handbook of Techniques and Applications. International Geophysics Series . Vol 69. Academic Press. Hendiarti, N., H. Siegel & T. Ohde. 2004. Investigation of Different Coastal Processes in Indonesian Waters using SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography, 51:85-97. Hendiarti, N., Suwarso., E. Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti, S.E. Sachoemar & I.B. Wahyono. 2005. Pelagic Fish Catch Around Java. Oceanography ,18(4):112-123. Holland K.N., R.W. Brill, dan R.K.C. Chang. 1990. Horizontal and vertical movement of yellowfin tuna and bigeye tuna associated with fish aggregating devices. Fish Bull 88:493-507 Lehodey, P., I. Senina & R. Murtugudde. 2008. A Spatial Ecosystem and Population Dynamics Model (SEAPODYM)- Modelling of Tuna and Like Tuna Populations. Progress in Oceanography 78 : 304 – 318. Liu, Cho-Teng, Ching-Hsi Nan, Chung-Ru Ho, Nan-Jung Kuo, Ming-Kuang Hsu & Ruo-Shan Tseng. 2003. Application of satellite remote sensing on the tuna fishery of Eastern Tropical Pacific. International Association of Geodesy Symposia, 126:175-182 Longhurst, A.R. 2007. Ecological Geography of the Sea. Second Edition. Elsevier McClain, C.R. 2009. A Decade of Satellite Ocean Color Observations. Annual Review of Marine Science. 1 : 19 -24. Merta, G.S., B Iskandar & S. Bahar. 2004. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Besar dalam Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. BRPL – BRKP Moore II, T.S., J. Marra, dan Alkatiri, A. 2006. Response of the Banda Sea to the Southeast Monsoon. Marine Ecology Progress Series 261:41-49. Mugo, R., S. Saitoh, A. Nihira, dan T. Kuroyama. 2010. Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) in The Western North Pacific : A Remote Sensing Perspective. Fisheries Oceanography 19(5) : 382 – 396.
Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers & J. Slingo. 2005. Sea Surface Temperature and its Variability in The Indonesian Region. Oceanography 18 : 50 – 61. R Development Core Team. 2008. R : A Language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. available from: URL:http://www.R-project.org. Robinson, I. 2004. Measuring Ocean from the Space, The Principles and Methods of Satellite Oceanography. Springer-Praxis. Robinson, I. 2010. Discovering The Ocean from Space. The Unique Applications of Satellite Oceanography. Springer-Praxis. Sartimbul, A. H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf & H.P. Kadarisman. 2010. Variations in Chlorophyll-a Concentration and The Impact on Sardinella lemuru Catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography 87 : 168 -174. Sprintal, J., T.J. Potemra, S.L. Hautala, N.A. Bray & W.W. Pandoe. 2003. Temperature and salinity variability in the exit passages of the Indonesian Throughflow. DeepSea Research II ,50:2183-2204. Susanto, R.D., A.L. Gordon & Q. Zheng. 2001. Upwelling along the coast of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters 29 : 1599 – 1602. Susanto, R.D. & J. Marra. 2005. Effect of the 1997/98 El Nino on Cholorophyll a Varaibility Along the Southern Coast of Java and Sumatra. Journal of Oceanograph, 18:124-127. Susanto, R.D, T.S. Moore II & J. Marra 2006. Ocean Color Variabilty in The Indonesia Seas during SeaWiFS Era. Geochemistry, Geophysics and Geosystems 7 (5). doi: 10.029/2005GC001009. Susanto, R.D., A. Gordon & J. Sprintall. 2007. Observations and Proxies of the Surface Layer Troughflow in Lombok Strait. Journal of Geophysical Research, 112:1-11 Tomczak, M., dan M.J. Godfrey. 2001. Regional Oceanography : An Introduction. Available on http:// www.es.flinders.edu.au/mattom/regoc/pdfversion.html Ukolseja, Y. 1996. Monthly Average Distribution of Fishing Effort and Catch per Unit Effort for Yellowfin Tuna and Bigeye Tuna in Indonesian Waters of The Indian Ocean, 1978 – 1990. Expert Consultation on Indian Ocean Tunas 6. Available on http://iotc.org.
34
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.) Valavanis, D.V., G.J. Pierce, A.F. Zuur, A. Palialexis, A. Saveliev, I. Katara & J. Wang. 2008. Modelling of Essential Fish Habitat Base on Remote Sensing , Spatial Analysis and GIS. Hydrobiologia 612 : 5 -20. Wijffels, S.E., G. Meyers & J.S. Godfrey. 2008. A 20-Yr Avarage of the Indonesia Troughflow: Regional Currents and Interbasin Exchange. Journal of Physical Oceanography, 38:1965-1978.
Zainuddin, M., K. Saitoh dan S. Saitoh. 2008. Albacore (Thunnus alalunga) fishing ground in relation to oceanographic conditions in the western North Pacific Ocean using remotely sensed satellite data. Fisheries Oceanography, 17:61-73. Zuur, A.F., E.N. Ieno & G.M. Smith. 2007. Analysing Ecological Data. Springer.
Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Model, An Introduction with R. Chapman and Hall/CRC Press.
Zuur, A.F., E.N. Ieno, N.J. Walker, A.A. Saveliev & G.M. Smith. 2009. Mixed Effect Models and Extension in Ecology with R. Springer.
Zagaglia, C.R., J.A. Lorenzzetti & J.S. Stech. 2004. Remote sensing data and longline catches of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the equatorial Atlantic. Remote Sensing of Environment, 93:267-281.
Zuur, A.F., E.N. Ieno & C.S. Elphick. 2010. A Protocol for Data Exploration to Avoid Common Statistical Problems. Methods in Ecology and Evolution 2010(1): 3 – 14.
Lampiran
Tabel 1.
Periode komposit 7 harian seluruh dataset Tahun 2004 2004 2005 2005 2006 2006 2007 2007
Tabel 2.
Minggu 1 31 1 31 1 31 1 30
Periode 29 April – 5 Mei 24 November – 1 Desember 28 April – 4 Mei 23 November – 30 November 27 April – 3 Mei 22 November – 29 November 3 Mei – 9 Mei 21 November – 28 November
Nilai VIF setiap variabel penjelas Variabel Penjelas SSC SST SSHA ln(EKE)
VIF 1,589 1,494 1,085 1,066
35
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Tabel 3.
Pembentukan GAM No 1 2 3 4 5
Model SSC SST SSHA ln(EKE) SSC + SST
6
SSC + SSHA
7
SSC + ln(EKE)
8
SST + SSHA
9
SST + ln(EKE)
10
SSHA + ln(EKE)
11
SSC + SST + SSHA
12
SSC + SST + ln(EKE)
13
SSC + SSHA + ln(EKE)
14
SST + SSHA + ln(EKE)
15
SSC + SST + SSHA + ln(EKE)
Variable SSC SST SSHA ln(EKE) SSC SST SSC SSHA SSC ln(EKE) SST SSHA SST ln(EKE) SSHA ln(EKE) SSC SST SSHA SSC SST ln(EKE) SSC SSHA ln(EKE) SST SSHA ln(EKE) SSC SST SSHA ln(EKE)
Pvalues < 0,01 < 0,01 0,02 0,02 0,02 0,14 < 0,01 0,01 < 0,01 0,03 < 0,01 0,01 < 0,01 < 0,01 < 0,01 < 0,01 0,01 0,11 < 0,01 0,02 0,02 < 0,01 < 0,01 < 0,01 0,02 < 0,01 < 0,01 < 0,01 0,04 0,02 < 0,01 < 0,01
AIC Deviance(%) 1,72 1,22 1,12 0,91 2,42
-1516,408 -1511,048 -1509,046 -1507,839 -1519,062
2,85
-1525,671
2,62
-1522,492
2,53
-1521,193
2,46
-1522,504
2,32
-1518,895
3,71
-1529,136
3,66
-1529,718
3,98
-1534,189
4,06
-1536,557
5,14
-1542,482
36
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)
Gambar 1.
Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar setiap bulan dalam periode musim timur.
SSC
SST
SSHA
EKE
Gambar 2.
Komposit SSC, SST, SSHA dan EKE untuk periode musim timur 2004 – 2007 yang dioverlay dengan lokasi penangkapan tuna mata besar.
37
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Gambar 3.
Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSC periode 2004 – 2007
Gambar 4.
Rata-rata komposit tujuh harian variabel SST periode 2004 – 2007.
38
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)
Gambar 5.
Rata-rata komposit tujuh harian variabel SSHA periode 2004 – 2007.
Gambar 6.
Rata-rata komposit tujuh harian variabel EKE periode 2004 – 2007.
39
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Gambar 7.
Analisis pairplot antar setiap variabel penjelas
Gambar 8.
Estimasi smoothing curve setiap variabel penjelas.
40
Gambar 9.
Hasil prediksi bulanan daerah potensial penangkapan tuna mata besar periode musim timur 2007. Lingkaran-lingkaran yang ada pada gambar tersebut merupakan plot koordinat penangkapan tuna mata besar pada periode yang sama.
Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (T. obesis).........(Wibawa, T.A.)
41
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
POTENSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT TERHADAP DATARAN PESISIR DAN AKTIFITAS PRODUKSI GARAM DI KAWASAN PESISIR MUNDU, KABUPATEN CIREBON
Wahyu Budi Setyawan1)
1) Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti
Diterima tanggal: 13 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 29 April 2011; Disetujui terbit tanggal 15 Mei 2011
ABSTRAK Salah satu efek primer dari pemanasan global adalah kenaikan muka laut, dan daerah yang paling terpengaruh adalah dataran rendah tepi pantai seperti dataran pesisir Mundu. Skenario kenaikan muka laut karena pemanasan global dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 dan tahun 2007, masing-masing untuk kenaikan muka laut maksimum 0,8 dan 0,5 meter hingga tahun 2100, diterapkan terhadap daerah pesisir Mundu. Hasil analisis penggenangan dengan asumsi tidak terjadi perubahan morfologi menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pesisir Mundu akan tergenang pada saat air laut pasang maksimum pada kedua kondisi skenario kenaikan muka laut; dan analisis erosi pantai dengan tidak memperhitungkan peningkatan laju erosi karena penambahan kedalaman perairan menunjukkan bahwa sebagaian besar daratan pesisir Mundu akan tererosi. Erosi tersebut akan menyebabkan sebagian besar lahan untuk produksi garam ikut hilang. Kata Kunci: pemanasan global, kenaikan muka laut, daerah pesisir, lahan produksi garam
ABSTRACT One of the primary effects of global warming is sea-level rise, and coastal lowland will be the strongly affected area of the effect, such as Mundu coastal land. Sea-level rise scenarios of Intergovernmental Panel on Climate change (IPCC) year of 2001 and 2007 is 0.8 and 0.5 meters maximum sea-level rise respectively until 2100, this is applied on the coastal zone e.g Mundu. Inundation analysis with no morphological change assumption indicates that most of the coastal lowland will be inundated when high tide condition at both sea level scenarios; and erosion analysis with disregarding erosion rate due to sea-level rate indicates that most of the coastal land will be eroded away. The erosion might also make lost of salt production lands from the coastal zone. Keywords: global warming, sea-level rise, coastal zone, salt production land
PENDAHULUAN Kawasan pesisir adalah kawasan yang paling rentan terhadap dampak pemanasan global karena salah satu efek primernya adalah kenaikan muka laut, sedang kawasan pesisir itu sendiri sangat peka terhadap perubahan muka laut. Efek langsung dari kenaikan muka laut terhadap kawasan pesisir adalah penggenangan
lahan basah dan dataran rendah di tepi pantai, erosi pantai, dan peningkatan salinitas air tanah (Hopley, 1992), juga terhadap infrastruktur dan masyarakatnya (Mimura, 1999). Perubahan yang terjadi di kawasan pesisir karena kenaikan muka laut tidak hanya berpengaruh terhadap kondisi lingkungan fisiknya, tetapi juga akan berpengaruh terhadap aktifitas manusia yang ada di kawasan pesisir yang terpengaruh oleh kanaikan muka laut itu.
Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]
42
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Besar kecilnya dampak dari kenaikan muka laut tersebut berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya, tergantung pada kondisi geografi dan sosial dari kawasan tersebut (Mimura, 1999). Tentang pentingnya studi tentang potensi dampak kenaikan muka laut ini Nicholls (2003) menyebutkan bahwa, perubahan iklim global atau kenaikan muka laut global memiliki dampak potensial (potential impacts). Adaptasi untuk mengantisipasi dampak potensial yang terencana dapat mengurangi dampak potensial menjadi dampak awal (initial impacts). Kawasan pesisir Mundu adalah salah satu kawasan penghasil garam yang utama di Kabupaten Cirebon. Sebagian besar penduduk di kawasan tersebut adalah petani garam. Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran tentang apa yang akan terjadi terhadap kawasan pesisir Mundu dan para petani garam di kawasan tersebut bila dampak pemanasan global terjadi sesuai dengan skenario dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang telah dipublikasikan. METODE PENELITIAN
detil dilakukan di dua lokasi, yaitu di bagian timur (Lokasi titi A) dan utara (Lokasi titik B). Data lapangan dikumpulkan pada kunjungan lapangan pada Maret dan Juli 2006, September dan Nopember 2008, dan Mei dan September 2009. Data lapangan yang dikumpulkan meliputi data kondisi geomorfologi pantai, batuan penyusun pantai, dan aktifitas manusia di daerah pesisir. Untuk mencapai tujuan penelitian, dilakukan analisis kemungkinan penggenangan kawasan pesisir dengan membuat profil pantai terukur dan mempergunakan skenario kenaikan muka laut maksimal dari IPCC tahun 2001 (Gambar 2A dan tahun 2007 (Gambar 2B). Menurut Folland et al. (2001), dengan skenario SRES (Special Report on Emission Scenarios), kenaikan muka laut global diproyeksikan berkisar dari 0,09 hingga 0,88 meter dalam periode tahun 1990 – 2100, dengan titik tengah 0,48 meter. Sementara itu, menurut Bindoff et al. (2007), dengan mempergunakan skenario SRES seri A1B, kenaikan muka laut global berkisar dari 0,22 hingga 0,44 meter. Dalam penelitian ini, untuk memudahkan analisis dilakukan pembulatan. Kenaikan maksimum skenario IPCC tahun 2001 dipakai 0,8 meter, dan skenario IPCC tahun 2007 dipakai angka 0,5 meter pada proyeksi tahun 2100.
Lokasi penelitian terletak di bagian timur delta Kali Bangkaderes di daerah Mundu (Gambar 1). Secara administrasi daerah penelitian masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Rawaurip dan Pangarengan, Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pengamatan lapangan
Gambar 1.
Peta lokasi penelitian. Titik bulat hitam dengan notasi A dan B adalah titik lokasi pengamatan detil dan pembuatan profil pantai.
43
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
Gambar 2A. Skenario kenaikan muka laut dari IPCC tahun 2001 (Folland et al.,, 2001). Profil pantai terukur dibuat dengan metode pengukuran dengan waterpass pada September 2009. Posisi muka laut pada profil pantai ditentukan dengan mempergunakan prediksi pasang-surut untuk Pelabuhan Cirebon yang dipublikasikan oleh Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL untuk tahun 2009. Penentuan posisi dan survei garis pantai dilakukan dengan GPS (Global Positioning System) Garmin 45. Selanjutnya, prediksi kemungkinan penggenangan juga dilakukan berdasarkan kondisi pasang surut. Di dalam Tabel Pasang Surut Tahun 2009 dari Jawatan Hidro-Oseanografi TNI-AL, pasang tertinggi yang mungkin terjadi adalah 1,1 meter. Oleh karena itu, diambil prediksi kemungkinan penggenangan pada ketinggian air laut pasang 1,1 meter untuk setiap skenario kenaikan muka laut. Peta dasar yang dipergunakan adalah Peta Rupabumi Lembar 1309-214 Karangsembung skala 1:25.000 Edisi 1 Tahun 2001 dari Bakosurtanal yang dibuat dari kompilasi Foto Udara tahun 1993/1994. Gambaran umum kawasan pesisir Cirebon dilihat dari Citra Satelit Landsat komposit warna 321 perekaman 9 Agustus 2003. Untuk melihat gambaran detil kawasan pesisir Delta Mundu dipergunakan citra satelit dari Google Earth tahun 2010.
Gambar 2B.
Skenario kenaikan muka laut dari IPCC tahun 2007 (Bindoff et al., 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geomorfologi Kawasan Pesisir Mundu dan Aktifitas Produksi Garam Citra satelit (Gambar 3) dan Peta Rupabumi (Gambar 1) kawasan pesisir Cirebon menunjukkan bahwa daerah Mundu merupakan sebuah delta kecil dari aliran Sungai Bangkaderes. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kawasan pesisir Mundu merupakan dataran rendah tepi pantai yang tersusun oleh batulempung pejal, dan sebagian besar lahan di dataran pantai tersebut merupakan kawasan ladang garam (Gambar 4A dan 4B). Aktifitas produksi garam merupakan satu-satunya aktifitas produksi di dataran pesisir Delta Mundu. Lahan yang dipakai untuk kegiatan tersebut mencakup sebagian besar kawasan delta tersebut (Gambar 5A). Gambaran detil kondisi lahan produksi garam itu dapat dilihat pada Gambar 5B dan 5C. Kondisi lahan datar tepi pantai yang tersusun oleh batulempung pejal serta didukung oleh udara yang sangat panas di musim kemarau membuat kawasan tersebut sangat cocok untuk produksi garam.
Berkaitan dengan penggunaan GPS Garmin 45 dapat diberikan catatan sebagai berikut. Menurut manual yang diterbitkan tahun 1994, GPS Garmin 45 memiliki keakuratan 15 meter (Garmin, 1994 hal. 2). Bila dioperasikan secara diferensial, keakuratannya dapat mencapai kurang dari 10 meter (Garmin, 1994 hal iv). Dalam penelitian ini GPS dioperasikan secara tunggal sehingga keakuratan penentuan posisi dalam penelitian ini memiliki deviasi ± 10 – 15 meter.
44
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Gambar 3.
Citra fals color composite 321 kawasan pesisir Cirebon. Tanda panah menunjuk ke lokasi penelitian.
Gambar 4A.
Dataran pantai dan pantai bertebing tersusun oleh batulempung di lokasi A, bagian timur. Di kejauhan sebelah kiri adalah kawasan tambak garam. Arah pengambilan foto ke utara (lihat Gambar 5B).
Gambar 4B.
Pantai pasir dengan endapan pasir menumpang diatas batuan induk batulempung di lokasi B, bagian Utara. Di kejauhan bagian kanan adalah kawasan tambak garam. Arah pengambilan foto ke tenggara (lihat Gambar 5C).
45
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
Gambar 5A.
Citra satelit kawasan Delta Mundu. Hampir seluruh kawasan delta tersebut merupakan areal produksi garam rakyat. Sumber: Google Earth 2010.
Gambar 5A.
Kenampakan lahan tambak garam dalam masa produksi di Lokasi A. Warna putih di dalam petak segi empat adalah garam. Panah putih adalah arah pengambila foto Gambar 4A.
Gambar 5B.
Kenampakan lahan tambak garam dalam masa produksi di Lokasi B. Warna putih di dalam petak segi empat adalah garam. Panah putih adalah arah pengambila foto Gambar 4B.
46
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Plot garis pantai yang diperoleh dari survei GPS di sekitar lokasi pengamatan dan diplotkan pada Peta Rupabumi menunjukkan bahwa pantai di daerah penelitian bersifat erosional dan telah mengalami pergeseran garis pantai yang signifikan sejak tahun 1993 (Gambar 6A dan 6B). Kemudian, hasil pengamatan lapangan di titik lokasi A ketika laut pasang menunjukkan bahwa sebagian dataran tepi pantai tergenang oleh air laut (Gambar 7A dan 7B). Ketika itu, kondisi laut bukan pada saat pasang tertinggi.
Gambar 6A.
Gambar 7A.
Plot garis pantai di sekitar lokasi A. Memperlihatkan perubahan garis pantai dari tahun 1993 sampai 2008.
Kawasan tambak garam yang tergenang pada saat laut pasang di lokasi A. Lensa menghadap ke arah darat. Genangan air laut menyebabkan petak-petak tambak garam tidak terlihat.
3.2. Potensi Efek Kenaikan Muka Laut Salah satu dampak primer dari pemanasan global adalah kenaikan muka laut (Hopley, 1992). Bagi daerah penelitian yang rendah dan tersusun oleh batulempung pejal dan pantainya bersifat erosional, dampak dari kenaikan muka laut yang akan terasa adalah penggenangan dataran pantai yang rendah dan erosi pantai. Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan garis pantai. Menurut London dan Volonte (1991), analisis
Gambar 6B.
Gambar 7B.
Plot garis pantai di sekitar lokasi B. Memperlihatkan perubahan garis pantai dari tahun 1993 sampai 2008.
Kawasan tepi dataran pantai yang tergenang ketika laut pasang di lokasi A. Lensa menghadap ke arah laut. Daratan yang tergenang menyebabkan batas tepi pantai tidak terlihat.
47
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
perubahan garis pantai dapat dilakukan dengan pendekatan analisis penggenangan dan analisis erosi pantai. Ini berarti bahwa, membicarakan penggenangan dan erosi pantai karena kenaikan muka laut adalah juga membicarakan perubahan garis pantai. 3.2.1. Penggenangan Dataran Pantai Gambar 8A dan 8B menunjukkan profil pantai dan skenario penggenangan daratan pesisir dari lokasi pengamatan A dan B. Secara umum, kondisi pantai di kedua lokasi pengamatan itu hampir sama, yaitu pantai bermorfologi rendah dengan dataran pantai yang relatif datar, tersusun oleh batu lempung pejal, dan bersifat erosional. Hal yang membedakan kondisi pantai di antara kedua lokasi pengamatan itu adalah hadirnya endapan pasir yang menyebabkan terbentuknya pantai pasir di Salah satu dampak primer dari pemanasan global adalah kenaikan muka laut (Hopley, 1992). Bagi daerah penelitian yang rendah dan tersusun oleh batulempung pejal dan pantainya bersifat erosional, dampak dari kenaikan muka laut yang akan terasa adalah penggenangan dataran pantai yang rendah dan erosi pantai. Kedua hal tersebut menyebabkan perubahan garis pantai. Menurut London & Volonte (1991), analisis lokasi B, sedang di lokasi A tidak dijumpai endapan pasir (Bandingkan Gambar 4A dan 4B). Lebar endapan pasir di lokasi B sekitar 20 meter. Tabel 1 memberikan gambaran tentang skenario penggenangan kawasan pesisir daerah penelitian. Analisis itu dibuat dengan asumsi morfologi pantai tetap, tidak berubah oleh proses erosi pantai atau aktifitas gelombang.
Dari dua skenario kenaikan muka laut dari IPCC tersebut terlihat bahwa penggenangan daerah penelitian ini lebih dipengaruhi oleh pasang-surut. Pengenangan hanya terjadi ketika laut dalam kondisi pasang, sedang ketika dalam kondisi surut atau muka air berada pada rata-rata muka laut dataran pantai muncul ke permukaan air. Dengan kata lain, dataran pantai menjadi dataran pasang-surut. Pada profil pantai, hal ini terlihat dari posisi muka laut rata-rata yang belum melewati elevasi dataran pantai. Saat ini, skenario kenaikan muka laut dari IPCC tahun 2007 masih mendapat kritik dari para ilmuwan, karena dipandang melakukan prediksi yang underestimate dengan tidak memperhitungkan kecenderungan kondisi sekarang ini berlanjut maupun kemungkinan kejadian perubahan yang luar biasa di Antartika dan Greenland, dan disarankan untuk direvisi (Wheeler, 2007). 3.2.2. Erosi Pantai dan Pergeseran Garis Pantai Erosi pantai terutama terjadi karena akfititas gelombang laut yang mendorong ke pantai. Selain faktor resistensi batuan terhadap pukulan gelombang, laju erosi ditentukan oleh kekuatan pukulan gelombang. Gelombang laut yang memukul ke pantai adalah gelombang perairan dangkal yang kekuatan gelombangnya dipengaruhi oleh kedalaman perairan (Komar, 1976). Penambahan kedalaman air dekat pantai karena kenaikan muka laut dengan demikian akan menyebabkan meningkatnya energi gelombang dan energi pasang-surut di tepi pantai (Crooks, 2004), konsekuensinya adalah laju erosi pantai juga akan meningkat. Di daerah penelitian ini, pergeseran garis pantai karena erosi pantai akan terekspresikan dalam
Gambar 8A.
Profil pantai di titik lokasi A. P1 dan P2 adalah patok pengukuran perubahan garis pantai.
Gambar 8B.
Profil pantai di titik lokasi B. P1 dan P2 adalah patok pengukuran perubahan garis pantai.
48
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Tabel 1.
Resume analisis penggenangan dataran pesisir Mundu Titik Lokasi A, Pantai Timur Kondisi Sekarang – muka laut rata-rata 0 meter Posisi muka laut rata-rata: Dataran tepi pantai sekitar 0,9 – 1 meter di atas muka laut. Posisi garis pantai di tebing pantai.
Posisi air pasang 1,1 meter: Dataran tepi pantai tergenang air laut. Batas garis pantai adalah tanggul tambak garan terluar.
Skenario Muka Laut + 0,5 meter (IPCC 2007) Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian dataran tepi pantai berada 0,4 - 0,5 meter di atas muka laut. Posisi garis pantai di tebing pantai. Posisi air pasang 1,1 meter: Dataran tepi pantai tergenang dengan ketinggian air laut sekitar 0,7 meter. Ketinggian air laut melebihi ketinggian tanggul tambak sekarang. Garis pantai temporer bergeser ke arah daratan mengikuti pola pasangsurut.
Skenario Muka Laut + 0,8 meter (IPCC 2001) Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian dataran tepi pantai sekitar 0,1 – 0,2 meter di atas muka laut. Posisi garis pantai pada tebing pantai.
Posisi air pasang 1,1 meter: Seluruh dataran tepi pantai tergenang dengan kedalaman air laut sekitar 0,9 – 1 meter. Posisi garis pantai temporer lebih jauih masuk ke pedalaman.
Titik Lokasi B, Pantai Utara Kondisi Sekarang – muka laut rata-rata 0 meter Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian berm pantai pasir sekitar 1,35 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir Ketinggian dataran pantai di belakang berm sekitar 0,95 meter di atas muka laut. Posisi air pasang 1,1 meter: Ketinggian berm pantai pasir sekitar 0,25 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir. Dataran pantai di belakang berm telah berada di bawah permukaan laut sekitar 0,15 meter. Skenario Muka Laut + 0,5 meter (IPCC 2007) Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian berm pantai pasir sekitar 0,85 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir. Ketinggian dataran pantai di belakang berm sekitar 0,45 di atas muka laut. Posisi air pasang 1,1 meter: Seluruh daratan tepi pantai tergenang, ketinggian air laut melebihi tanggul tambak. Berberada sekitar 0,3 meter di bawah muka laut. Dataran di belakang berm berada sekitar 0,65 meter di bawah muka laut. Garis pantai temporer bergeser masuk ke arah daratan sesuai pola pasangsurut. Skenario Muka Laut + 0,8 meter (IPCC 2001) Posisi muka laut rata-rata: Ketinggian berm pantai pasir sekitar 0,55 meter di atas muka laut; garis pantai di pantai pasir. Ketinggian dataran pantai di belakang berm sekitar 0,15 meter di atas muka laut.. Posisi air pasang 1,1 meter: Seluruh dataran tepi pantai telah tergenang. Berm telah berada sekitar 0,6 meter di bawah muka laut. Dataran pantai di belakang berm berada sekitar 0,95 meter di bawah permukaan laut.
49
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
bentuk pergeseran tebing-tebing pantai yang tersusun oleh batulempung. Dalam penelitian ini, prediksi pergeseran garis pantai dilakukan berdasarkan perubahan garis pantai dalam periode tahun 2008 sampai 2009 dengan asumsi bahwa laju erosi tetap. Gambaran tentang
Tabel 2.
besarnya pergeseran itu dapat dilihat dalam Tabel 2 dan Gambar 9 dan 10. Rangkaian seri foto lapangan pada Gambar 9 menunjukkan bagaimana perubahan garis pantai terjadi di lokasi Titik B antara tahun 2008 dan 2009 yang
Hasil analisis, pengukuran dan prediksi pergeseran garis pantai di daerah Mundu. No.
Lokasi
1993 – 2008 2008 – 2009 100 tahun Keterangan Tempat (m) (m) kemudian (m) Pengukuran 1. Titik A – 78,15 – 13,85 – 1385 Rataan depan pantai 2. Titik B – 58,37 – 10,63 – 1063 Pergeseran berm Catatan: Tanda (-) menunjukkan pantai bergeser ke arah darat atau tererosi.
Gambar 9A1.
Patok titik lokasi B pada bulan Nopember 2008. P1 menunjuk ke patok, P2 menunjuk ke gerumbulan belukar, P4 menunjuk ke puncak berm, dan P4 menunjuk batas air di tepi pantai. Perhatikan posisi batas air.
Gambar 9A2.
Patok titik lokasi B pada bulan Nopember 2008, ke arah darat. P1 menunjuk patok yang terletak pada batas endapan pasir dan tambak garam. Posisi laut di sebelah belakang arah pengambilan gambar.
50
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Gambar 9B1.
Patok titik lokasi B, bulan September 2009. P1 menunjuk ke patok, P2 menunjuk ke gerumbulan belukar, P3 menunjuk ke puncak berm, dan P4 menunjuk ke batas air di tepi pantai. Bandingkan dengan Gambar 9A1, Posisi P1 dan P2 tetap. Posisi P3 pada gambar ini bergeser ke P2, ini berarti pergeseran puncak berm. Posisi P4 relatif sama terhadap P4, sehingga berarti garis batas air juga bergeser. Perhatikan posisi batas air yang telah bergeser ke arah darat, dan telah berada dekat gerumbulan belukar.
Gambar 9B2.
Patok titik lokasi B pada bulan September 2009. P1 menunjuk ke patok (tepat di bawah Waterpass) yang telah berada di tengah endapan pasir (berm). P5 menunjuk ke patok baru yang dipasang pada batas antara endapan pasir dan tambak garam seperti posisi P1 tahun 2008. Jarak antara P1 dan P5 adalah jarak pergeseran endapan pasir ke arah darat. Perhatikan batas antara endapan pasir dan tambak yang bergeser ke arah darat. Posisi laut di belakang arah pengambilan gambar.
51
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
Gambar 10.
Plot prediksi perubahan garis pantai dan posisi garis pantai pada tahun 2100 (garis putus-putus) di kawasan pesisir Mundu berdasarkan pengamatan periode tahun 2008 – 2009.
ditunjukkan dengan pergeseran puncak berm dan batas endapan pasir dengan tambak garam. Gambar 9A1 dan 9A2 diambil tahun 2008 di lokasi yang sama dengan arah yang pandang yang berbeda; dan demikian pula dengan Gambar 9B1 dan 9B2 yang diambil tahun 2009. Posisi dan arah pengambilan Gambar 9A1 relatif sama dengan Gambar 9B1; posisi Gambar 9A2 relatif sama posisi dan arah pengambilannya dengan Gambar 9B2. Gambar 10 memperlihatkan prediksi perubahan garis pantai di daerah penelitian dan prediksi posisi garis pantai pada tahun 2100. Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa sebagian besar dataran pesisir di kawasan Delta Mundu akan hilang karena tererosi, dan garis pantai akan berada di dekat kawasan pemukiman yang ada sekarang. Gambaran untuk kawasan seluruh Delta Mundu dapat dilihat pada Gambar 11. Skenario perubahan garis pantai itu adalah skenario perubahan garis pantai yang lambat. Pada kenyataannya, sangat mungkin terjadi laju erosi yang lebih cepat, karena kenaikan muka laut yang diprediksi itu apabila benarbenar terjadi dapat dipastikan akan meningkatkan energi gelombang. Gelombang yang memukul ke pantai adalah gelombang perairan dangkal yang karakteristiknya adalah akan mengalami peningkatan energi bila terjadi penambahan kedalaman kolom air. Secara matematis, untuk perairan dangkal, keadaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Komar, 1976):
P EC karena
..................................... (1)
h gh C maka P E gh
......................... (2) ......................... (3)
dimana P : kekuatan gelombang, E : energi gelombang, C : kecepatan rambat gelombang, g : percepatan gravitasi, dan
: kedalaman air.
Dari persamaan matematis tersebut terlihat jelas bahwa makin tinggi kenaikan muka laut akan mempercepat laju erosi. Hal itu berarti, bila kita memperhitungkan perubahan muka laut untuk memprediksi perubahan garis pantai, maka besar perubahan garis pantai yang akan terjadi akan lebih besar dan lebih cepat. 3.2.3. Kehilangan Lahan Produksi Garam Di depan telah diberikan gambaran bahwa dataran pesisir di Delta Mundu sebagian besar merupakan lahan tepi pantai yang dipergunakan sebagai lahan tambak garam. Dengan demikian, kelangsungan hidup aktifitas produksi garam itu sangat ditentukan oleh keberadaan lahan datar tersebut. Di atas juga telah diuraikan bahwa potensi efek kenaikan muka laut di kawasan ini adalah penggenangan dan erosi pantai atau pergeseran garis
52
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Gambar 11.
Citra satelit kawasan Delta Mundu dan prediksi posisi garis pantai pada tahun 2100. Garis hitam putus-putus adalah posisi garis pantai yang diprediksi. Sumber citra: Google Earth 2010.
pantai. Analisis skenario penggenangan karena kenaikan muka laut di atas, seperti yang ditunjukkan dengan Gambar 8A dan 8B, menunjukkan bahwa baik dengan skenario kenaikan muka laut 0,5 maupun 0,8 dataran pantai belum tergenangi pada posisi muka laut rata-rata, tetapi kawasan dataran pantai delta ini akan tergenang ketika air laut pasang. Ini berarti lahan produksi garam tidak dapat dipergunakan lagi dengan cara tradisional seperti sekarang. Kehilangan lahan karena penggenangan ini dapat ditanggulangi dengan pembuatan tanggul di sekeliling kawasan delta ini minimal setinggi 0,5 m untuk skenario kenaikan muka laut 0,5 m, atau 0,8 untuk skenario kenaikan muka laut 0,8 m. Potensi dampak kenaikan muka laut yang ke-dua adalah pergeseran garis pantai karena erosi pantai. Analisis perubahan garis pantai yang dilakukan di atas adalah analisis berdasarkan laju perubahan garis pantai antara tahun 2008 – 2009 dengan asumsi laju erosi tetap. Dengan analisis itu, terlihat pada Gambar 10 dan 11 sebagian besar lahan produksi garam di sebelah timur aliran Kali Bangkaderes akan hilang karena tererosi. Angka prediksi dalam Tabel 2 adalah angka prediksi yang lambat yang belum memperhitungkan laju kenaikan muka laut. Bila kenaikan muka laut diperhitungkan maka pergeseran garis pantai akan lebih jauh lagi ke arah
daratan. Ini berarti lahan garam yang dapat hilang akan lebih besar lagi. 3.3. Pilihan Tindakan Antisipasi Secara umum, dalam menghadapi efek pemanasan global, yang juga mencakup efek dari kenaikan muka laut, menurut Hopley (1992) terdapat beberapa pilihan alternatif berikut: 1) Tidak melakukan apapun. Pilihan ini paling sedikit mengeluarkan biaya, tetapi akan menyebabkan kehilangan yang besar, seperti kehilangan lahan tepi pantai dan segala sesuatu yang diatasnya. Pilihan ini dapat dilakukan untuk daerah-daerah yang belum terbangun. 2) Membangun pertahanan pantai yang sesuai dengan laju kenaikan muka laut. Pekerjaan ini meliputi membangun dinding pantai, groin, tetrapod dan sebagainya; termasuk juga ke dalam cara ini adalah tindakan-tindakan bioteknik seperti menanam vegetasi. Pilihan tindakan ini berbiaya tinggi dan bersifat temporer. Biasanya pilihan ini hanya dilakukan untuk daerah yang bernilai ekonomi tinggi.
53
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
3) Mundur dengan perencanaan dan rekayasa sosial. Pilihan ini harus dilakukan dengan memperhitungkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang akan dipindahkan, dan kondisi lingkungan. Pilihan untuk mundur ini dilakukan bila upaya mempertahankan atau perlindungan tidak mungkin dilakukan secara ekonomi. 4) Perlindungan total. Tindakan perlindungan total seperti membangun dinding pertahanan untuk melindungi lahan atau suatu kawasan dilakukan untuk daerah-daerah berinvestasi sangat tinggi, memiliki nilai sejarah, atau karena tidak ada alternatif lain. Uraian tentang penggenangan dan erosi pantai yang diberikan di depan menggambarkan kondisi yang mungkin akan terjadi di daerah penelitian ini bila tidak dilakukan upaya apapun dalam menghadapi masalah kenaikan muka laut karena pemanasan global. Dari uraian tentang efek kenaikan muka laut itu terlihat bahwa, apabila hanya terjadi kenaikan muka laut dan tidak menyebabkan erosi, maka sebagian besar dataran pesisir itu akan menjadi lahan pasang-surut. Perubahan kondisi lahan dari kondisinya yang sekarang menjadi lahan pasang-surut dengan laju kenaikan muka laut 0,5 atau 0,8 meter per 100 tahun dapat dikatakan relatif lambat. Persoalan yang lebih serius adalah persoalan erosi pantai. Kenyataan di lapangan saat ini adalah bahwa pantai di daerah penelitian adalah pantai yang mengalami erosi. Dengan demikian, upaya perlindungan pantai yang perlu diupayakan adalah bagaimana menghambat laju erosi pantai. Apabila tidak dilakukan tindakan antisipasi apapun, lahan di Delta Mundi ini akan rusak atau hilang karena erosi dengan laju 13,85 m/tahun di lokasi Titik A, dan 10,63 m/tahun di lokasi Titik B (lihat Tabel 2). Dengan laju erosi pantai seperti itu, maka pada tahun 2100 sebagian besar lahan tepi pantai di delta ini akan hilang (Gambar 10 dan 11). Secara geomorfologi, membiarkan kondisi seperti itu dengan tidak melakukan kegiatan apapun berarti mempertahankan kondisi alam sebagaimana kecenderungannya yang ada sekarang. Apabila lahan yang akan hilang itu adalah lahan yang tidak terbangun, maka membiarkan saja kecenderungan itu dapat menjadi pilihan dalam menghadapi kemungkinan perubahan karena kenaikan muka laut itu. Kenyataan yang ada saat ini adalah bahwa di atas lahan dataran pantai itu ada aktifitas produksi garam. Dengan kenyataan seperti itu, pilihan membiarkan dengan tidak melakukan tindakan pencegahan erosi apapun sama artinya dengan membiarkan lahan produksi garam
berkurang dengan laju seperti laju perubahan garis pantai di atas. Para petani garam di kawasan tersebut tidak mungkin mengganti lahan yang hilang itu dengan membuka lahan baru ke arah darat karena lahan di arah darat itu merupakan kawasan pemukiman mereka. Pilihan antisipasi yang lain, selain dari membiarkan, memerlukan biaya. Menurut Nicholls & Tol (2006), diperlukan cost-benefit analysis dalam menentukan pilihan tindakan dalam merespon dampak dari kenaikan muka laut. Dengan demikian, persoalan di dalam pilihan tindakan antisipasi terhadap hasil prediksi efek kenaikan muka laut adalah bagaimana penilaian yang diberikan terhadap aktifitas produksi garam itu. Pembahasan lebih lanjut mengenai pilihan antisipasi yang tersedia memerlukan pembahasan lebih lanjut, dan hal itu berada di luar konteks tulisan ini. Laju kenaikan muka laut sebesar 0,5 atau 0,8 meter per tahun memang kecil, tetapi laju perubahan garis pantai karena erosi sebesar sekitar 10 sampai 13 meter sekarang adalah laju yang cepat. Kenaikan muka laut akan memperbesar angka laju erosi tersebut. Oleh karena itu upaya antisipasi perubahan garis pantai perlu segera dilakukan. Menggerakkan suatu kelompok masyarakat untuk melakukan antisipasi dalam menghadapi suatu perubahan sama artinya dengan menggerakkan masyarakat untuk beradaptasi. Proses adaptasi adalah suatu proses yang berjalan dengan waktu seiring dengan perubahan yang terjadi. Mengenai dampak kenaikan muka laut terhadap kawasan pesisir Nicholls (2003) menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim global atau kenaikan muka laut adalah persoalan jangka panjang. Oleh karena itu, adaptasi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim global atau kenaikan muka laut global harus diperhitungkan dengan cermat. Disebutkan pula oleh Nicholls, pengalaman mengelola kawasan pesisir dari Belanda, Inggris dan Jepang menunjukkan bahwa, adaptasi terhadap masalah di kawasan pesisir lebih merupakan suatu proses daripada penerapan pilihan teknik. Ada empat tahapan proses adaptasi, yaitu (1) menyampaikan informasi dan perancangan, (2) perencanaan dan perancangan, (3) evaluasi, dan (4) monitoring dan evaluasi. Rangkaian proses tersebut merupakan suatu siklus kegiatan. Kemudian, berkaitan dengan proses adaptasi, dengan mengutip Adger et al tahun 2004, Smith et al (2007) menyebutkan bahwa, kapasitas untuk melakukan adaptasi adalah fungsi dari sejumlah faktor, yaitu: 1) Pengenalan akan kebutuhan adaptasi; 2) Kepercayaan bahwa adaptasi adalah mungkin dan dapat dilakukan;
54
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
DAFTAR PUSTAKA 3) Kemauan melakukan adaptasi; 4) Ketersediaan sumberdaya yang diperlukan untuk menerapkan berbagai strategi adaptasi; 5) Kemampuan memanfaatkan sumberdaya secara memadai; dan 6) Hambatan eksternal dalam menerapkan berbagai strategi adaptasi. Gambaran tentang pilihan adaptasi dan kemampuan untuk melakukan adaptasi tersebut di atas menegaskan bahwa upaya untuk melakukan antisipasi potensi dampak kenaikan muka laut harus dilakukan jauh hari sebelum potensi dampak yang digambarkan berubah menjadi persoalan yang nyata di depan mata yang tidak dapat dielakkan. KESIMPULAN Kawasan pesisir Mundu adalah dataran rendah tepi pantai yang tersusun oleh batulempung pejal. Sebagian dataran rendah dekat pantai di kawasan tersebut akan tergenang oleh air laut bila laut pasang tinggi. Di dataran pantai tersebut berkembang kegiatan pembuatan garam yang mencakup sebagian besar lahan datar yang rendah di kawasan tersebut. Pendekatan analisis profil pantai yang terukur, yang dikaitkan dengan posisi muka laut rata-rata, melalui analisis kondisi pasang-surut memberikan gambaran bahwa, dengan skenario kenaikan muka laut 0,5 dan 0,8 meter sebagian besar dataran pantai akan menjadi daerah pasang-surut pada tahun 2100. Sementara itu, analisis perubahan garis pantai berdasarkan laju perubahan garis pantai antara tahun 2008-2009 memberikan gambaran bahwa garis pantai akan bergeser sejauh 1000 sampai 1300 meter sampai tahun 2100. Perubahan garis pantai yang diprediksi itu akan menyebabkan sebagian besar dataran pantai di daerah penelitian hilang pada tahun 2100. Kehilangan lahan datar tepi pantai itu, yang juga berarti hilang pula lahan produksi garam di kawasan tersebut. Persoalan dampak kenaikan muka laut terhadap kawasan pesisir adalah persoalan jangka panjang, sehingga langkah untuk melakukan tindakan antisipasi harus segera dilakukan dari sekarang. PERSANTUNAN Data lapangan yang dipergunakan dalam makalah ini berasal dari kegiatan penelitian yang dibiayai oleh DIPA Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI tahun anggaran 2006, 2008 dan 2009 untuk Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.
Bindoff, N.L., J. Willebrand, V. Artale, A, Cazenave, J. Gregory, S. Gulev, K. Hanawa, C. Le Quéré, S. Levitus, Y. Nojiri, C.K. Shum, L.D. Talley & A. Unnikrishnan. 2007. Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level. In: Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (Eds.), Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Crooks, S. 2004. The effect of sea-level rise on coastal geomorphology. Ibis, 146 (Suppl. 1), 18-20. Hopley, D. 1992. Global change and the coastline: assessment and mitigation planning. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, v. 7, n. 1, 515.Hopley, D., 1992. Global change and the coastline: assessment and mitigation planning. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, v. 7, n. 1, 5-15. Folland, C.K., T.R. Karl, J.R. Christy, R.A. Clarke, G.V. Gruza, J. Jouzel, M.E. Mann, J. Oerlemans, M.J. Salinger & S.-W. Wang, 2001: Observed Climate Variability and Change. In: Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer,P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, & C.A. Johnson (eds.), Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change . Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Komar, P.D. 1976. Beach Processes and Sedimentation, Prentice-Hall, &., Englewood Cliffs, New Jersey, 429 p. London, J.B. & Volonte, C.R., 1991. Land use implications of sea level rise: a case study at Myrtle beach, South Carolina. Coastal Management, 19: 205218. Mimura, N. 1999. Vulnerability of island countries in the South Pacific to sea level rise and climate change. Climate Research, v. 12, 137-143. Nicholls, R.J. & Tol, R.S.J. 2006. Impacts and responses to the sea-level rise: a global analysis of the SRES scenario over the twenty-first century. Philosophical
55
Potensi Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Dataran Pesisir.......Di Kawasan Pesisir Mundu (Setyawan, W.B)
Transaction of The Royal Society A, 364, 1073-1095, doi: 10.1098/rsta.2006.1754. Nicholls, R.J. 2003. Case study on sea-level rise impacts. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Workshop on the Benefits of Climate Policy. OECD, Paris. Smith, T.F., Brooke, C., Preston, B., Gorddard, R., Abbs, D., McInnes, K., Withycombe, G. & Morrison, C. 2007. Managing for climate variability in the Sydney region. Journal of Coastal Research, SI 50 (Proceedings of the International Coastal Symposium), 109-113. Wheeler, D. 2007. The IPCC debate on sea-level rise: critical stakes for poor countries. Center for Global Development. [http://blogs.cgdev.org/ globaldevelopment/2007/02/the-ipcc-debate-on-sealevel-r.php]. Akses 11 April 2010.
56
Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)
UJI TOKSISITAS SEDIMEN PESISIR CIREBON TERHADAP PERTUMBUHAN DIATOM PLANKTONIK Chaetoceros gracilis
Rachma Puspitasari1)
1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Diterima tanggal: 10 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan: 21 April 2011; Disetujui terbit tanggal 10 Mei 2011
ABSTRAK Daerah pesisir Cirebon banyak mendapat pengaruh dari aktivitas rumah tangga, industri dan pelabuhan. Aktivitas-aktivitas tersebut berpotensi menyumbangkan kontaminan yang masuk ke dalam ekosistem akuatik dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat. Kondisi kesehatan sedimen dapat ditinjau dari berbagai aspek diantaranya aspek toksisitas sedimen terhadap biota akuatik. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi toksisitas sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik C. gracilis. Sampel sedimen diambil dari 11 stasiun dengan menggunakan Grab Smith McIntrye 0,05m2. Kultur murni C. gracilis dengan kepadatan awal satu juta sel/ml dipaparkan terhadap sedimen selama 96 jam. Titik akhir pengamatan adalah rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan dibandingkan dengan kontrol setelah 96 jam pemaparan. Rata-rata jumlah sel C. gracilis pada perlakuan sedimen dianalisa untuk mengetahui efek stimulasi atau penghambatan pertumbuhan C. gracilis dibanding dengan kontrolnya. Selain itu, kadar logam berat Cd dalam sedimen juga dianalisa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedimen pesisir Cirebon masih menunjukkan efek stimulasi pertumbuhan. Efek stimulasi pertumbuhan ditandai dengan rata-rata jumlah sel C. gracilis yang mengalami peningkatan pada perlakuan sedimen dibanding kontrol air laut. Hasil ANOVA menunjukkan tidak ada beda nyata jumlah sel di tiap stasiun. Hasil analisis korelasi menunjukkan tidak ada korelasi yang kuat antara kadar Cd dalam sedimen dengan jumlah sel C. gracilis. Hal ini menunjukkan bahwa sedimen Cirebon masih berada dalam kondisi baik dan mampu mendukung kehidupan diatom planktonik C. gracilis. Kata Kunci: sedimen, toksisitas, plankton , C. gracilis, Cirebon
ABSTRACT Coastal area of Cirebon is much influenced from domestic activities, industries, fisheries and ports. These activities potentially contribute contaminants that enter the aquatic ecosystems and affect the quality of sediment. The health condition of sediment can be evaluated from various aspects including aspect of sediment toxicity to aquatic biota. This study aims to evaluate toxicity of sediment Cirebon to planktonic diatomae, C. gracilis. Sediment samples were taken from 11 stations using the Grab Smith McIntrye 0.05 m2. C. gracilis was exposed to sediment for 96 hours. Endpoint of the test is mean number of cells C. gracilis in treatment compared to control after 96 h exposure. Mean number of cells of C. gracilis in treatment was analyzed wheter its showed a stimulation or an inhibition growth effect compared to control. The results indicate that Cirebon sediment still showed stimulation effect on growth of C. gracilis. Stimulation effect of growth was characterized by the increasing of cells number in sediment treatment than that of cells in seawater control. Result of ANOVA shows no significance difference was among stations. Result of correlation analysis shows that there was no strong correlation between Cd concentration in sediment and number of cells of C. gracilis. Generally, Cirebon sediment is still in a good condition and can support for planktonic diatom, C. gracilis ’s life. Keywords: sediment, toxicity, plankton, C. gracilis, Cirebon Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]
57
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
PENDAHULUAN Sedimen, sebagai salah satu unsur penyusun kawasan pesisir, merupakan habitat bagi banyak organisme akuatik dan merupakan penyimpan utama dari banyak senyawa kimia yang secara terus menerus terpapar pada permukaan perairan. Dalam lingkungan akuatik, sebagian besar senyawa antropogenik dan buangan limbah (termasuk toksikan organik dan anorganik) akhirnya dapat terakumulasi dalam sedimen. Senyawa kimia dalam sedimen dapat menimbulkan efek toksik langsung terhadap kehidupan akuatik atau dapat terbioakumulasi dalam rantai makanan. Toksisitas sedimen diartikan sebagai perubahan ekologik dan biologik yang disebabkan oleh sedimen terkontaminasi atau reaksi teramati yang timbul pada organisme uji yang dipaparkan pada sedimen terkontaminasi (Luoma & Ho, 1993). Saat ini, mikroalga banyak digunakan dalam uji ekotoksikologi baik air tawar atau air laut. Dalam uji toksisitas, beberapa parameter yang umum dilihat untuk memperkirakan efek dari toksikan terhadap mikroalga antara lain pertumbuhan dan aktivitas fotosintetik (Campanella et al., 2000). Alga adalah komponen esensial dari ekosistem akuatik yang memproduksi oksigen dan substansi organik melalui proses fotosintesis yang sangat dibutuhkan bagi organisme lainnya antara lain ikan dan invertebrata (Berard, 1996). Mikroalga berperanan penting dalam keseimbangan ekosistem akuatik, karena berada di tingkat pertama dalam rantai makanan yang memproduksi bahan organik dan oksigen melalui fotosintesis. Diatom planktonik C. gracilis adalah spesies yang dapat digunakan sebagai biota uji dalam uji toksisitas sedimen karena memenuhi beberapa persyaratan sebagai biota uji (Rand & Petrocelli, 1985), yaitu pertumbuhannya yang cepat, sensitivitas dan penanganannya mudah di laboratorium (Hindarti, 2008). Chaetoceros gracilis merupakan spesies dari kelas Bacillariophyceae dan merupakan salah satu genus diatom penting dalam plankton laut karena merupakan genus terbesar dan berperan sebagai produsen primer serta merupakan makanan penting bagi biota lain terutama udang (Panggabean, 1997). Jenis diatom ini dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran air karena mampu bertahan di perairan tercemar. Hal ini disebabkan karena diatom ini memiliki kemampuan melekat pada substrat lebih baik daripada mikroalga lain. Kemampuan melekat disebabkan karena diatom memiliki material berupa lendir atau organel berupa setae (Aunurohim et al., 2008). Menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995), Chaetoceros toleran terhadap suhu air yang tinggi. Alga ini akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 25-30°C dan masih dapat tumbuh pada suhu 37°C.
Pada suhu 40°, C. gracilis masih dapat bertahan hidup namun tidak berkembang. Kisaran salinitas optimum untuk pertumbuhan antara 17-25 permil dengan salinitas minimum sekitar 6 permil. Pada penelitian terdahulu (Puspitasari & Hindarti, 2009; Hindarti et al., 1999; Hindarti et al., 2008; Hindarti, 2008), diperoleh gambaran tentang efek sedimen terhadap pertumbuhan diatom, C. gracilis. Hal ini mendorong dilakukan penelitian yang lebih spesifik tentang efek toksisitas sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom planktonik C. gracilis. Jika terdapat kandungan bahan toksik yang berbahaya di dalam sedimen, maka pertumbuhan C. gracilis akan terganggu ditandai dengan adanya penghambatan pertumbuhan dan rata-rata jumlah selnya akan berkurang dibandingkan jumlah sel pada kontrol. Terlebih lagi bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi kawasan pesisir seperti Cirebon adalah masuknya bahan pencemar atau limbah dari kegiatan yang terjadi di daratan sekitarnya (land based pollution), daratan dengan cakupan yang lebih luas melalui sungai, maupun hasil kegiatan yang ada di perairan pesisir dan laut itu sendiri (sea based pollution), seperti kegiatan pelabuhan, pelayaran, dan penambangan lepas pantai, yang menyebabkan terjadinya pencemaran akibat terlalu banyaknya bahan pencemar yang masuk ke perairan hingga melampaui daya dukung alamnya (Dahuri et al. 1996). METODE PENELITIAN Pengambilan sampel Sampel sedimen diambil dari 11 stasiun di daerah muara sungai dan laut sekitar Sungai Sukalila (Gambar 1). Posisi stasiun dicatat menggunakan GPS Garmin III Plus. Sampel sedimen diambil menggunakan Grab Smith Mc-Intyre 0,05 m2 sebanyak 3 kali ulangan untuk setiap stasiun. Sampel sedimen dicuplik dari lapisan permukaan dasar laut (kira-kira 0-10 cm) kemudian diambil sedimen lapisan atas setebal 1-5 cm, dikomposit dan dimasukkan dalam botol 1 L sesuai dengan standar. Sampel sedimen disimpan dalam suhu 4oC dalam keadaan gelap sampai saat dilakukan pengujian toksisitas (ASTM, 2006). Prosedur uji toksisitas Pembuatan larutan toksikan acuan kadmium Toksikan acuan (reference toxicant) merupakan bahan atau zat yang diketahui dari penelitian sebelumnya untuk mendapatkan penjelasan pengaruh pada organisme uji (Rand & Petrocelli, 1985). Uji toksikan acuan toksikan dilakukan bersamaan dengan uji toksisitas sedimen. Uji toksikan acuan digunakan untuk menilai kesehatan dan
58
Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)
Gambar 1 .
Lokasi penelitian di perairan pesisir Cirebon, Februari 2010.
sensitifitas biota uji yang digunakan. Toksikan standar yang digunakan adalah kadmium. Prosedur pengujiannya mengacu pada Hindarti (1997). Larutan stok kadmium disiapkan dengan melarutkan kadmium klorida (CdCl2) ke dalam akuades. Konsentrasi uji disiapkan dengan mengencerkan larutan stok kadmium sesuai konsentrasi yang diinginkan Konsentrasi larutan kadmium yang dipakai adalah 0,56; 1.0; 1,8; 3,2; 5,6 mg/L Cd (Puspitasari & Hindarti, 2009). Jadi, ada dua set pengujian yang dilakukan yaitu satu set pengujian kadmium (termasuk kontrol) sebagai toksikan acuan serta satu set pengujian sedimen termasuk kontrol. Uji Toksisitas Sedimen Kultur murni C.gracilis berumur 4 hari diperoleh dari laboratorium Marikultur-Puslit Oseanografi LIPI. Sedimen ditimbang sebanyak 18 gram kemudian diaduk kira-kira
10 detik dengan 900 ml air laut yang sudah disaring dengan kertas saring ukuran 0,45 μm dan disteril dengan autoklaf. Campuran dibiarkan selama 4 jam sampai sedimen mengendap, dan lapisan atas (overlying water) diambil sebanyak 100 ml untuk uji toksisitas sedimen dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Larutan kontrol sedimen dan kontrol kadmium disiapkan dan hanya berisi air laut steril saja. Larutan toksikan acuan kadmium disiapkan dengan volume yang sama (100 ml). Kemudian 1 ml larutan kultur C. gracilis dengan kepadatan satu juta sel/ml diinokulasikan ke dalam erlenmeyer berisi 100 ml larutan uji, sehingga kepadatan sel menjadi 10,000 sel/ml. Masing-masing perlakuan memiliki 3 ulangan. Lama pemaparan dengan kadmium dan sedimen adalah 96 jam. Titik akhir pengamatan adalah pertumbuhan (jumlah sel) diatom pada perlakuan dibanding dengan kontrol setelah 96 jam yang dihitung
59
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
dengan haemocytometer. Uji dianggap valid apabila jumlah sel pada kontrol mencapai 2 x 105 sel/ml (CPMS-II, 1995). Nilai Persentase penghambatan/Inhibition (I) dan stimulasi (S) dari rata-rata jumlah sel tiap perlakuan (P) dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel pada kontrol air laut (K) setelah 96 jam pemaparan dihitung berdasarkan persamaan berikut: K–P I = ————— X 100 % K
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh sampel sedimen terhadap pertumbuhan diatom C.gracilis. Nilai IC50 toksikan acuan Cd diperoleh sebesar 2,36 mg/L Cd. Nilai ini diperoleh dengan memasukkan data jumlah sel diatom setelah pemaparan 96 jam ke dalam program software ICPIN. Nilai ini masih berada dalam kisaran nilai IC50 Cd untuk C. gracilis yang diperoleh dari penelitian rutin di Laboratorium Ekotoksikologi LIPI yaitu 1,74 +0,82 mg/L Cd (unpublished data). Nilai IC50 ini menunjukkan bahwa pertumbuhan biota uji dalam keadaan normal dan prosedur uji telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur standar.
................ (1)
P–K S = ————— X 100 % K
software ICPIN (Norberg-King, 1993). Pengaruh sampel sedimen terhadap C. gracilis di tiap stasiun dibandingkan dengan kontrol dianalisa dengan SPSS 17.0
................ (2)
Parameter kualitas air yang dipantau selama uji adalah oksigen terlarut yang diukur menggunakan DO meter YSI 55, salinitas menggunakan refraktometer, pH dan suhu menggunakan pH meter Eijkelkamp. Pengukuran kadar logam berat dalam sedimen Sampel sedimen dikeringkan di oven pada suhu 105oC + 24 jam. Sampel kemudian dihaluskan dengan mortar hingga halus dan homogen. Sebanyak satu gram contoh sedimen tersebut didestruksi dengan HNO3/HCl (1:3) dalam Erlemeyer yang dipasangi oleh alat refluks di hotplate (USEPA, 1996). Pengukuran konsentrasi logam berat dalam sampel sedimen menggunakan alat atomic absorption spectrophotometer (AAS) merek Varian AASpectra 20 dengan nyala campuran udara-asetilen. Analisis statistik Nilai IC50 (Effective Concentration) Cd terhadap ratarata jumlah sel diatom C. gracilis dihitung dengan
Uji toksisitas pertumbuhan fitoplankton dianggap valid bila jumlah sel pada kontrol negatif setelah 96 jam adalah e” 2 x 105 sel/mL (ASTM, 2006). Mengacu pada kondisi tersebut, uji toksisitas sedimen ini valid karena rata-rata jumlah sel C. gracilis pada kontrol uji kadmium adalah 8,2 x 105 sel/mL dan pada kontrol uji toksisitas sedimen 9,5 x 105 sel/mL. Pengaruh toksikan kadmium terhadap rata-rata jumlah sel diatom disajikan dalam Gambar 2. Parameter kualitas air larutan uji kadmium yang diukur pada permulaan uji berkisar antara 23,6 - 23,7 oC; 5,63 6,80 mg/L; 8,12 - 8,20, dan 32 ppt masing-masing untuk suhu, oksigen terlarut, pH dan salinitas (Tabel 1). Hasil uji toksisitas sedimen terhadap diatom disajikan dalam Gambar 3. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan diatom di tiap stasiun bervariasi. Rata-rata jumlah sel di sebagian besar stasiun lebih tinggi daripada kontrolnya.
100
4
Jumlah sel (x10 sel/ml)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 kontrol
0,56
1,0
1,8
3,2
5,6
Konsentrasi kadmium (mg/L)
Gambar 2.
Pengaruh konsentrasi kadmium terhadap rata-rata jumlah sel diatom, C. gracilis.
60
Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)
Tabel 1.
Kisaran parameter larutan uji toksikan acuan kadmium Kons. (mg/L) Kontrol 0,56 1 1.8 3,2 5,6
Oksigen Terlarut (mg/L) 5,63 6,80 6,7 6,65 6,64 6,71
pH
Suhu (°C) 23,6 23,6 23,6 23,7 23,7 23,7
8,12 8,16 8,19 8,19 8,19 8,20
Salinitas (ppt) 32 32 32 32 32 32
Jumlah sel (x10 4 sel/ml)
250 200 150 100 50 0 kontrol
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8
St 9
St 10
St A
Stasiun
Gambar 3.
Perata jumlah sel diatom setelah 96 dipaparkan dengan sedimen pesisir Cirebon.
Sedangkan efek stimulasi (S) dan penghambatan/ Inhibition (I) sedimen pada tiap stasiun terhadap pertumbuhan diatom, C. gracilis dapat dilihat dalam Gambar 4. Sebagian besar sedimen masih menunjukkan efek stimulasi pertumbuhan dengan maksimum nilai di
stasiun muara sungai (A) sebesar 75,5%. Pada stasiun 6, 7 dan 10 dijumpai penghambatan pertumbuhan C. gracilis dengan maksimum nilai di stasiun 7 sebesar 19,3 %.
100
Persentase (%)
80 60 40 20 0 -20
St 1
St 2
St 3
St 4
St 5
St 6
St 7
St 8
St 9
St 10
St A
-40 Stasiun
Gambar 4.
Pengaruh sedimen pesisir Cirebon terhadap pertumbuhan diatom, C. gracilis berupa stimulasi pertumbuhan atau penghambatan pertumbuhan. Stimulasi dinyatakan dengan nilai positif sedangkan penghambatan dinyatakan dengan nilai negatif.
61
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Parameter kualitas air larutan uji sedimen yang diukur pada permulaan uji berkisar antara 23,6-24,2 oC; 5,056,59 mg/L; 8,05-8,15 dan 32 ppt, masing-masing untuk suhu, oksigen terlarut, pH dan salinitas (Tabel 2). Tabel 1.
Kisaran parameter larutan uji toksikan acuan kadmium Kons. (mg/L) ST A ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8 ST 9 St 10 Kontrol
Oksigen Terlarut (mg/L) 5,05 6,05 6,43 6,46 6,33 6,25 6,36 6,26 6,12 6,59 5,12 5,63
Sebagian besar stasiun sedimen menunjukkan efek stimulasi pertumbuhan C. gracilis dibanding kontrol, hanya di tiga stasiun (Stasiun 6, 7 dan 10) menunjukkan efek penghambatan yang relatif kecil masih dibawah 50%. Walaupun tampak stimulasi pertumbuhan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel C. gracilis dibanding kontrol, tetapi setelah dianalisa dengan ANOVA, diperoleh hasil bahwa tidak ada beda nyata rata-rata jumlah sel antara perlakuan sedimen dengan kontrol air laut (p>0,05) setelah 96 jam pemaparan. Walaupun demikian, peningkatan jumlah sel di sebagian besar stasiun sedimen, dapat menjadi indikator bahwa sedimen masih dalam kondisi baik. Kondisi sedimen dapat
Gambar 5.
dikatakan seragam dilihat dari tidak adanya beda yang signifikan pada jumlah sel C. gracilis.
pH 8,05 8,07 8,14 8,15 8,12 8,12 8,14 8,12 8,15 8,05 8,15 8,12
Suhu (°C) 24,0 23,8 23,8 24,1 23,9 24,0 24,0 23,7 24,0 24,2 23,8 23,6
Salinitas (ppt) 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
Bulan Februari merupakan musim Barat, dimana pada bulan ini masih dijumpai hujan sehingga aliran nutrien dari daratan yang masuk ke dalam perairan pesisir cukup tinggi. Data Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Cirebon menyebutkan bahwa pada Februari 2006-2008, curah hujan di daerah Cirebon mencapai 171-533 mm (Anonim, 2008). Nutrien ini dapat terendap ke dasar perairan dan mempengaruhi kualitas sedimen setempat. Nutrien ini akan memperkaya zat hara dalam sedimen sehingga memicu pertumbuhan diatom setempat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kunarso et al. (2008) bahwa perairan pesisir konsentrasi nutriennya lebih tinggi daripada di laut karena mendapat masukan dari aktivitas
Kadar logam kadmium dalam sedimen pesisir Cirebon, Februari 2010
62
Uji Toksisitas Sedimen Pesisir Cirebon Terhadap Pertumbuhan Diatom Planktonik C. gracilis (Puspitasari, R.)
daratan melalui aliran sungai maupun air limpasan (run off). Adanya pasokan air yang berasal dari hujan akan memperkaya nutrien di lokasi setempat serta dapat mengencerkan konsentrasi toksikan yang mengalir ke perairan. Hal ini menjadi alasan sehingga pertumbuhan diatom cenderung meningkat dibandingkan kontrol. Pada beberapa stasiun seperti stasiun 6, 7 dan 10 dijumpai efek penghambatan pertumbuhan yang kecil (<50%), yaitu adanya penurunan jumlah sel C. gracilis dibandingkan dengan kontrolnya. Hal ini disebabkan adanya limpasan yang dibawa arus dari daratan. Namun, secara umum sedimen perairan Cirebon menunjukkan efek stimulasi terhadap pertumbuhan diatom ditandai dengan peningkatan jumlah sel C. gracilis di sebagian besar stasiun. Menurut Anonim (2010), hasil pengukuran logam berat dalam sedimen menunjukkan bahwa konsentrasi kadmium sudah melewati ambang batas yang ditetapkan CCME (2002) sebesar 0,7 mg/kg Cd. Indonesia sendiri belum memiliki baku mutu sedimen, oleh karena itu bila dipakai baku mutu dari Canadian Council of Ministers of the Environment, konsentrasi kadmium di beberapa stasiun (Stasiun 4, 9, 10 dan A) sudah melewati ambang batas (Gambar 5). Walaupun kadar kadmium sudah melewati ambang batas dari CCME, namun respon diatom secara umum masih menunjukkan stimulasi pertumbuhan. Sedimen Cirebon masih mengandung unsur nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan diatom sehingga dikategorikan masih dalam kondisi baik. Sifat hidup dari C. gracilis yang planktonik atau melayang di kolom air juga turut berpengaruh. Sedimen dasar diduga tidak mengalami pengadukan yang cukup kuat oleh arus sehingga partikel-partikel logam berat tidak terlepas ke kolom air. Akibatnya walaupun logam berat kadmium terukur tinggi dalam sedimen di beberapa stasiun namun tidak mempengaruhi secara nyata terhadap pertumbuhan diatom. KESIMPULAN Dari hasil uji toksisitas sedimen yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sedimen pesisir Cirebon secara umum masih menstimulasi pertumbuhan diatom planktonik C. gracilis ditandai dengan peningkatan ratarata jumlah sel C. gracilis dibandingkan dengan kontrol air laut setelah 96 jam pemaparan dengan sedimen. Hal ini menunjukkan sedimen pesisir Cirebon masih dalam kondisi baik dan mendukung pertumbuhan diatom planktonik C. gracilis.
PERSANTUNAN Penelitian ini didanai oleh anggaran APBN Pusat Penelitian Oseanografi LIPI tahun anggaran 2010. Ucapan terimakasih diucapkan kepada teman-teman peneliti dan teknisi yang telah membantu dalam pengambilan sampel dilapangan, pengujian sampel di laboratorium sampai penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Aunurohim, D. Saptarini & D. Yanthi. 2008. Fitoplankton penyebab harmful Algae blooms (HABs) di Perairan Sidoarjo. Surabaya Institut Teknologi Sepuluh November. Anonim. 2010. Polutan Antropogenik dan Toksisitasnya di Perairan Estuari Sukalila, Cirebon. Laporan Akhir Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta. Anonim. 2008. Profil Kota Cirebon 2008. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik kota Cirebon.1-189 ASTM. 2006. Standard Guide for Conducting Static 96-h Toxicity Testing with Marine Algae method E 12 1819 in : Annual Book of Standards. Vol. 11.06 Biological Effects and Environmental Fate; Biotechnology; Water and Environmental Technology. ASTM International, West Conshohocken, PA. pp 58-78 Berard, A. 1996. Effect of Organic Four Solvents on Natural Phytoplankton Assemblages: Consequences for Ecotoxicological Experiments on Herbicides”. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 57: 183–190. CCME. 2002. Sediment Quality Guidelines. Canadian Environmental Quality Guidelines. 2 pp. Campanella, L., F. Cubadda, M. P. Sammartino & A. Saoncella.2000. An Algal Biosensor for the Monitoring of Water Toxicity in Estuarine Environments. Water Res. 25: 69–76. CPMS-II 1995. Draft Protocol for Sub lethal Toxicity Tests Using Tropical Marine Organisms. ASEAN-Canada Cooperative Programme on Marine Science – Phase II. Regional Workshop on Chronic Toxicity Testing, Burapha University, Institute of Marine Science, Thailand. Dahuri, R. J. Rais, S.P. Ginting & M.J. Sitepu.1998. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.1996 Luoma, S. N & K.T. Ho.1993. Approriate Uses of Marine and Estuarine Sediment Bioassays. In : Handbook
63
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
of Ecotoxicology Vol.1. P. Calow (Ed.).Oxford Blackwell Sci.Publ., London.(1993):193-226. Hindarti, D. 1997. Metode Uji toksisitas Dalam : Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi : 160-168.
Rand, G. M. & S. R. Petrocelli.1985.Fundamentals of Aquatic Toxicology: Methods and Applications. New York: Hemisphere Pub. Corp.1985. USEPA. 1996.Test Methods for Evaluating Solid Waste SW-846 Methods 3050B
Hindarti D.,Y.Darmayati, Sulistijo & M.G.L.Panggabean. 1999. Effect of Jakarta Bay Sediment on Green Mussel Larvae (Perna viridis) and Phytoplankton (Chaetoceros gracilis and Tetraselmis sp) In: Proceedings of the Fourth ASEAN-Canada Technical Conference on Marine Sciences. EVS Environments Consultants, Langkawi Malaysia. pp 124-13. Hindarti, D. 2008. Uji Toksisitas Sedimen Dengan Diatom Planktonik, Chaetoceros gracilis. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34 (3) : 461-478. Hindarti, D., Z. Arifin, R. Puspitasari & E. Rochyatun.2008. Sediment contaminants and their toxicity in Kelabat Bay, Bangka Belitung Province, Indonesia. Mar. Res. in Indonesia. 33 (1) :203-212. Isnansetyo & Kurniatuty.1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Kunarso, D.H.,Y.Darmayati & R. Nuchsin. 2008. Kajian bakteri produktivity di estuari Cisadane. Ekosistem Estuari Cisadane. LIPI :27-38. Norberg-King, T.J. 1993. A Linear Interpolation Method for Sublethal Toxicity: The Inhibition Concentration (Icp) Approach (version 2.0). U.S. Environmental Protection Agency, Environmental Research Laboratory, Duluth, M.N. Tech. Report 03-93 of the National Effluent Toxicity Assessment Center.30 pp. Panggabean, L. M. G.1997. Toxicity of Hexavalent Chromium and Cadmium to Green Mussels (Perna viridis) Embryo. Pp X-38-43. In : Vigers, G. A,K.S.Ong, C. McPherson, N. Millson,I. Watson and A. Tang (eds.).ASEAN Marine Environmental Management : Quality Criteria and Monitoring for Aquatic Life and Human Health Protection. Proceedings of the ASEAN – Canada Technical Conference on Marine Science (24-28 June 1996), Penang, Malaysia. EVS Environment Consultants, North Vancouver and Department of Fisheries Malaysia .817 pp. Puspitasari, R. & D. Hindarti. 2009. Korelasi Antara Logam Berat Dalam Sedimen dan Toksisitasnya Terhadap Diatom, Chaetoceros gracilis. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Volume 35 Nomor 2. 131149.
64
Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)
ESTIMASI CADANGAN KARBON PADA KOMUNITAS LAMUN DI PULAU PARI, TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Susi Rahmawati1) 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
Diterima tanggal: 28 April 2011; Diterima setelah perbaikan: 12 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal 27 Juli 2011
ABSTRAK Perkembangan sektor industri yang relatif cepat di berbagai negara menyebabkan peningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan pengembangan ekosistem laut dan pesisir sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Sebuah penelitian dilakukan terhadap cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari, Jakarta. Data diperoleh secara acak di sepanjang pesisir pantai dengan menggunakan plot berukuran 0,25 m2 untuk struktur komunitas dan 0,0625 m2 untuk menentukan biomassa. Sementara itu, kandungan karbon pada lamun dianalisis dengan menggunakan metode Kurmies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesisir Pulau Pari dibentuk oleh komunitas lamun Enhaluss-Thalassia. Rerata cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari adalah 200,5 g C m-2 atau 2,005 Mg C ha-1 atau setara 2,005 ton C ha-1, sedangkan total cadangan karbonnya adalah 67,21 Mg C (67,21 ton C). Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam strategi mitigasi dan adaptasi lamun terhadap perubahan iklim. . Kata Kunci: Lamun, Cadangan karbon, Pulau Pari, Kepulauan Seribu ABSTRACT The rapid development of industrial sector in many countries has caused the increasing of greenhouse gases emission in the atmosphere that contributes to global climate change. One of aspect of climate change mitigation is maintaining and improving the ability of ocean and coastal area ecosystems as carbon sequester and carbon storage. A study was conducted on carbon stock of seagrass community at Pari Island, Jakarta. Data were colected randomly along the coastal area using plots measuring of 0.0625 m2 for biomass and 0.25 m2 for community structure. Whilst carbon content of seagrasses was analysed using Kurmies method. Results show that Pari Coastal Island was formed by EnhalussThalassia community. The average of carbon stock of seagrass community at Pari Island was 200.5 g C m-2 or 2.005 Mg C ha-1 equivalence of 2.005 tons ha-1, mean while the total carbon stock was 67.21 Mg C (67.21 tons C). This information could be used as a basic information on the mitigation and adaptation to climate change. Keywords: Seagrass, Carbon stock, Pari Island, Seribu Islands
Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta.
E-mail: [email protected]
65
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
PENDAHULUAN Pertumbuhan sektor industri dan ekonomi di berbagai negara yang relatif cepat menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan CH 4 di atmosfer. Akibatnya peningkatan tersebut berkontribusi dalam perubahan iklim dan berdampak pada perubahan pola cuaca, produksi makanan, serta kehidupan manusia (Nellemann et al., 2009). Fakta mengenai emisi CO2 dapat dilihat pada hasil penelitian Yusratika et al. (Tanpa tahun) dalam bidang transportasi di Jakarta pada tahun 2006, 2007, dan 2008. Salah satu upaya mitigasi yang dilakukan untuk mengurangi konsentrasi CO 2 di atmosfer adalah memelihara dan mengembangkan kemampuan hutan dan lautan untuk menyerap dan menyimpan karbon. Pemanfaatan hutan dalam upaya mitigasi tersebut sudah banyak diimplementasikan, sedangkan penerapan peran lautan belum terlihat secara signifikan (Nellemann et al., 2009). Lautan memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon secara global. Sekitar 93% CO 2 di bumi disirkulasikan dan disimpan melalui lautan. Laut, termasuk ekosistem pesisir pantai, dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Ekosistem pesisir pantai seperti ekosistem mangrove, rawa masin (salt marshes), dan padang lamun memiliki luas area yang relatif kecil dibandingkan luas lautan (<0,5%) dan ekosistem terestrial lainnya. Namun, ekosistem tersebut memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon dengan kapasitas penyimpanan mencapai lebih dari 50% total penyimpanan karbon di dalam sedimen laut dan juga memiliki produksi primer bersih (net primary production/ NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistem lainnya (Larkum et al., 2006). Selain itu, biomassa vegetasi pesisir yang bernilai sekitar 0,05% dibandingkan biomassa tumbuhan di daratan mampu menyimpan karbon dengan jumlah yang sebanding setiap tahunnya (Nellemann et. al., 2009). Dengan demikian, lautan memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam mengikat dan menyimpan CO2 di atmosfer. Padang lamun, salah satu komunitas penyusun ekosistem pesisir pantai, memiliki fungsi ekologis dan bernilai ekonomi, juga merupakan habitat dengan biodiversitas biota laut yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem lamun antara lain sebagai tempat pembenihan berbagai jenis ikan, tempat berbagai biota laut mencari makan, menghubungkan habitat darat dan habitat laut lainnya, dan menstabilkan sedimen untuk mencegah erosi pesisir pantai, dll. (Green & Short, 2003; Kennedy & Björk, 2009). Padang lamun juga memiliki fungsi utama
yang dapat dipertimbangkan yaitu sebagai penyimpan karbon (Kennedy & Björk, 2009). Waktu pergantian komponen lamun yang relatif lama, terutama pada jenis lamun yang berukuran besar, dan kemampuan lamun menyimpan kelebihan produksi karbon di dalam sedimen, serta kemampuan akumulasi jangka panjang yang relatif besar menjadikan peran padang lamun dalam menyimpan cadangan karbon (carbon stock) lebih signifikan dibandingkan pengukuran berdasarkan luas tutupan dan produksi primer bersih saja. Dengan demikian, padang lamun dapat berperan sebagai reservoir karbon (carbon sink) (Kennedy & Björk, 2009; Mateo et al., 1997). Informasi mengenai kemampuan lamun sebagai penyimpan cadangan karbon tersebut masih terbatas, terutama di Indonesia, sehingga penelitian mengenai pengukuran cadangan karbon pada lamun perlu dilakukan. Selain itu, wilayah pesisir Indonesia dengan luas area padang lamun sekitar 30.000 km2, terluas kedua di dunia setelah Australia Timur (Green & Short, 2003), kemungkinan memiliki kapasitas yang cukup besar dalam meyimpan CO2. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengestimasi nilai cadangan karbon yang terkandung pada komunitas lamun di Pulau Pari, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di rataan terumbu pantai Pulau Pari (Gambar 1), Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Pencuplikan sampel dilakukan pada Juni 2010. Pendugaan cadangan karbon pada padang lamun dilakukan dengan menggunakan metode random kuadrat. Pencuplikan sampel dilakukan pada dua lokasi yaitu Pantai Selatan (lokasi 1) dan Pantai Barat (lokasi 2) Pulau Pari (Gambar 1). Pantai Selatan memiliki vegetasi campuran, sedangkan Pantai Barat bervegetasi sejenis (Enhalus acoroides). Parameter-parameter yang diukur yaitu penutupan, biomassa, dan kandungan karbon pada setiap jenis lamun. a)
Penutupan lamun Pengukuran penutupan lamun dilakukan dengan metode estimasi secara visual pada kuadrat berukuran 0,25 m2 (Short et al., 2004). Perkiraan penutupan dilakukan terhadap penutupan total dan masing-masing jenis.
b)
Perhitungan Biomassa Perhitungan biomassa dilakukan pada setiap bagian tumbuhan lamun yang berbeda yaitu bagian above-
66
Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)
ground (Abg) meliputi taruk (daun dan pelepah daun) dan bunga, dan bagian below-ground (Blg) meliputi akar dan rhizome (Kaldy & Dunton, 2000). Sampel biomassa dicuplik pada kuadrat berukuran 0,0625 m2 (Short & Coles, 2001). Selanjutnya sampel dikeringkan pada temperatur 60°C sampai beratnya konstan sehingga diperoleh bobot kering (BK) (Short et. al., 2004). a)
Kandungan karbon Kandungan karbon didefinisikan sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam setiap jenis lamun. Perhitungan kandungan karbon (%) pada setiap jenis lamun (Abg dan Blg) dilakukan dengan metode Kurmies terhadap biomassa kering lamun. Pengujian dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran, Kabupaten Bandung.
Pantai Barat masing-masing adalah 22,86% dan 23,17%. Komposisi jenis lamun yang tercatat pada setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan pada hasil penelitian, nilai biomassa dan cadangan karbon dapat dilihat dalam Tabel 3. Nilai cadangan karbon rata-rata lamun adalah 200,5 g C m-2 atau 2,005 Mg C ha-1, dengan cadangan pada Abg dan Blg masing-masing 79,2 g C m-2 dan 120,8 g C m-2. Nilai cadangan karbon pada lamun di Pulau Pari tidak berbeda jauh dibandingkan dengan nilai karbon padang lamun menurut Kennedy & Björk (2009) yaitu 184 g C m-2 (Tabel 4). Menurut Duarte & Chiscano (1999) rerata biomassa lamun adalah 461 g BK m-2 (Tabel 5), sedangkan nilai biomassa rata-rata lamun di Pulau Pari adalah 486 g BK
1
Gambar 1. b)
2
Peta Lokasi Penelitian di Pulau Pari.
Perhitungan cadangan karbon Cadangan karbon ditentukan dengan mengalikan biomassa dengan nilai kandungan karbon pada setiap jenis.
m-2 relatif tidak jauh berbeda. Perbedaan nilai biomassa dan cadangan karbon antara literatur dan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh kadar nutrisi lingkungan habitat lamun yang berbeda. Variabilitas kandungan nutrisi dihasilkan dari perbedaan dalam satu jenis dan antar jenis lamun (Duarte, 1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan terumbu pantai Pulau Pari memiliki lamun dengan komunitas pembentuk Enhalus-Thalassia. Penutupan rata-rata lamun pada Pantai Selatan dan
Nilai cadangan karbon ditentukan oleh biomassa dan nilai kandungan karbon setiap jenisnya. Dari kedua lokasi, nilai cadangan karbon terbesar terdapat pada lokasi kedua yaitu Pantai Barat Pulau Pari dengan
67
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
Thlassia hemprichii Enhalus acoroides Cymodocea rotundata Halophila ovalis Halodule uninervis Cymodocea serrulata
Jenis Lamun
Enhalus acoroides
Pantai Selatan
Pantai Barat Lokasi Penelitian
Gambar 2.
Jenis lamun yang tercatat pada setiap lokasi penelitian di Pulau Pari.
Tabel 3.
Biomassa dan cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau Pari.
1
Pantai Selatan
Biomassa -2 (g BK m ) Abg Blg 182,7 99,9
2
Pantai Utara Rerata
224,8 203,7
Lokasi
Keterangan: C = carbon Tabel 4.
464,7 282,3
Cadangan Karbon -2 (g C m ) Abg Blg 68,9 33,9 90,5 79,2
486 BK = bobot kering
207,7 120,8
Tipe vegetasi Campuran Sejenis
200,5
Perbandingan cadangan karbon berdasarkan satuan luas pada ekosistem terestrial dan padang lamun (Kennedy & Björk, 2009). Ekosistem Hutan tropis Hutan Subtropis Hutan boreal Savana tropis dan padang rumput Padang rumput subtropis dan padang semak Padang pasir dan semi padang pasir Tundra Lahan pertanian Lahan basah Padang lamun (Posidonia oceanica)
NPP -2 (g C m -1 th ) 778 625 234 787
Standing stock -2 (g C m ) Plant Soil 12.045 12,273 5.673 9,615 6.423 34,380 2.933 11,733
424
720
23,600
31
176
4,198
105 425 1.229 400-817 a (60-184 )
632 188 4.286 184 b (124 )
12,737 8,000 72,857 c 7.000 (40.000d 160.000 )
a. Pergent et al. (1994), b. Romero et al. (1992), c. Dihitung menggunakan konsentrasi karbon 0,7 % BK, porositas 80%, dan dry solid density 2,5 g cm-2, d. Mateo et al. (1997).
68
Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)
Tabel 5.
Rata-rata biomasa dan produksi primer bersih pada komunitas tumbuhan yang berbeda (Duarte & Chiscano, 1999). Komunitas Hutan Tropis Subtropis Boreal Padang rumput Savana Subtropis Tundra dan alpine Rawa dan marshes Lahan kultivasi Fitoplankton Microfitoplankton Terumbu karang Makroalga
Biomassa -2 (g BK m )
NPP -2 (g DW m per hari)
45000 35000 20000
5,2 3,4 2,2
Whittaker (1975) Whittaker (1975) Whittaker (1975)
4000 1600 600 15000 1000 9,2
2,4 1,6 0,4 5,5 1,8 0,35 0,13
Whittaker (1975) Whittaker (1975) Whittaker (1975) Whittaker (1975) Whittaker (1975) Cebriàn dan Duarte (1994) Charpy-Roubaud & Sournia (1990) B = Whittaker (1975) P = Crossland et al. (1991) B = Cebriàn & Duarte (1994) P = Charpy-Roubaud & Sournia (1990) B = Cebriàn & Duarte (1994) P = Woodwell et al. (1973) P = (Lugo et al. (1988) Duare & Chiscano (1999)
2000 40,7
0,8 1,0
Marsh plant
767
3,0
Mangrove Lamun
461
2,7 2,7
cadangan karbon sebesar 298,2 g C m-2. Pantai Barat merupakan lamun bervegetasi sejenis, E. acorides, yang memiliki rerata nilai biomassa relatif lebih besar dibandingkan Pantai Selatan (Tabel 3). Selain biomassa, nilai kandungan karbon E. acoroides, sekitar 40% BK, juga relatif lebih besar dibandingkan jenis lain yang tercatat dalam penelitian (Gambar 3), sehingga memungkinkan vegetasi tersebut memiliki cadangan karbon yang lebih besar. Nilai kandungan karbon pada E. acoroides sesuai dengan hasil telaah Duarte (1990) pada lamun yaitu berkisar antara 36-41% BK.
Gambar 3.
Referensi
Perbedaan nilai cadangan karbon pada dua lokasi penelitian juga didukung oleh komposisi jenis lamun yang berbeda (Gambar 2). Menurut Kennedy & Björk (2009), jenis lamun yang besar memiliki kapasitas yang lebih besar untuk mengakumulasi karbon dikarenakan pergantian akar dan rimpang yang relatif lambat sehingga vegetasi sejenis E. acoroides di Pantai Barat cenderung memiliki cadangan karbon lebih besar dibandingkan vegetasi campuran di Pantai Selatan. Menurut Gattuso (1998), kecepatan dan keberhasilan penyerapan karbon berbeda-beda di antara dan di dalam jenis lamun,
Penelitian Perbandingan kandungan karbon pada setiap jenis lamun yang tercatat.
69
J. Segara Vol. 7 No. 1 Agustus 2011: 1-12
tergantung pada seluruh rangkaian proses alami termasuk aktivitas herbivora, ekspor nutrisi dan dekomposisi. Cadangan karbon pada setiap jenis ditentukan oleh biomassa dan kandungan karbonnya. Kandungan karbon yang terbesar terdapat pada jenis C. rotundata yaitu sebesar 41,6% BK pada bagian Blg dan 40,3% BK pada bagian Abg. Namun, menurut Duarte & Chiscano (1999) jenis ini pada umumnya memiliki biomassa yang relatif kecil jika dibandingkan E. acoroides (Tabel 6) sehingga cadangan karbonnya relatif kecil. Nilai kandungan karbon terkecil terdapat pada jenis H. ovalis, masing-masing 18,9% dan 25,2% BK pada Blg dan Abg. Sementara itu, jenis lamun lainnya memiliki kandungan karbon berkisar antara 30-40 % BK. Tabel 6.
lamun pada rataan terumbu Pulau Pari yang sudah diketahui. Total cadangan karbon pada ekosistem lamun di Puau Pari adalah 67,21 Mg C. Jumlah CO2 yang diserap juga dapat dihitung melalui konversi nilai cadangan karbon dengan menggunakan persamaan berikut:
C = 44/12 CO2
(Nellemann, 2009)
Nilai CO2 yang diserap oleh lamun di rataan terumbu Pulau Pari adalah sekitar 18,31 Mg CO2-.
Rata-rata biomassa maksimum, pada Abg dan Blg, pada jenis lamun yang berbeda (Duarte & Chiscano, 1999) -2
Jenis Lamun Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Halodule uninervis Halophila ovalis Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Hasil penelitian mengenai kandungan karbon memiliki nilai yang relatif sama dengan hasil telaah Duarte (1990). Menurutnya, kandungan karbon rata-rata pada daun lamun adalah sebesar 33,6±0,31% BK. Nilai tersebut disimpulkan dari 21 jenis lamun dengan kisaran nilai kandungan karbon yang berbeda-beda setiap jenisnya. Setiap jenis lamun memiliki kandungan karbon dan biomassa yang berbeda-beda. Halophila sp. memiliki kandungan karbon yang kecil diduga karena jenis ini merupakan jenis lamun perintis (pioneering species), dengan ekspansi vegetatif dan produksi taruk baru yang relatif cepat, namun penyimpanan karbon yang relatif sedikit. Sedangkan, jenis lamun klimaks (climax species) memiliki penyebaran yang lambat, namun menyimpan karbon yang relatif besar, pada umumnya jenis lamun yang berukuran besar seperti Thallasia spp. dan Posidonia oceanica (Björk et al., 2008). Hal ini juga mendukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Pantai Selatan dengan komposisi jenis lamun yang beragam memiliki nilai cadangan karbon yang lebih kecil dibandingkan Pantai Barat Pulau Pari yang terdiri dari vegetasi sejenis E. acoroides yang berukuran besar. Menurut data Citra Aster tahun 2005, luas padang lamun di Pulau Pari adalah 32,706 ha (Supriyadi, komunikasi langsung). Total cadangan karbon dapat ditentukan dari nilai cadangan karbon rata-rata yang diperoleh dan luas
Biomassa (g BK m ) Abg Blg 33,2 62,5 69,7 37,9 27 60,8 54,8 21,1 86,9 209,9 72 392,4 Estimasi cadangan karbon juga dilakukan di Perairan Barat, Pulau Belitung dengan rata-rata cadangan karbon pada lamun sebesar 0,54 Mg Ha-1 (Rahmawati, 2010). Tiga lokasi pencuplikan sampel memiliki komunitas pembentuk Enhalus-Thalassia dengan vegetasi lamun campuran. Pulau Pari, apabila dibandingkan dengan komunitas lamun di Perairan Barat Pulau Belitung, memiliki cadangan karbon (Ha -1) yang lebih besar. Perbedaan ini bergantung terhadap jenis lamun dan kondisi lingkungan (interaksi dalam ekosistem lamun) seperti pendapat Gattuso (1998). Data yang diperoleh dari penelitian dapat dijadikan sebagai basis data untuk mengetahui potensi padang lamun sebagai penyimpan CO2 di Indonesia dan sebagai salah satu upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Selain itu, kondisi dan kontribusi padang lamun dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya konservasi terhadap keberlanjutan ekosistem lamun di Pulau Pari. KESIMPULAN DAN SARAN Padang lamun di rataan terumbu pantai Pulau Pari, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta diduga mengandung cadangan karbon sebesar 67,21 Mg C atau 2,005 Mg C ha-1. Adapun penelitian lanjutan dapat dilakukan dalam hal pengukuran karbon yang dilepaskan
70
Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulau Pari.........(Rahmawati, S.)
dari komunitas tersebut dan kemampuan penyerapan karbon dalam satuan waktu oleh setiap jenis lamun di Pulau Pari. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yaya Ihya Ulumudin atas gambar Peta Pulau Pari dan Bapak Indarto Happy Supriyadi atas data sekunder yang diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Mumuh, Onny Nurahman, dan Hadiyanto atas kerja sama dan bantuannya saat pengambilan data di lapangan.
Mateo, M. A., J. Romero, M. Pérez, M. M. Littler & D. S. Littler, 1997, Dynamics of Millenary Organic Deposits Resulting from the Growth of the Mediterranean Seagrass Posidonia oceanica, Estuarine, Coastal and Shelf Science, 44, 103110. Nellemann, C., E. Corcorn, C. M. Duarte, L. Valdés, C. DeYoung, L. Fonseca & G. Grimsditch, 2009, Blue Carbon : A Rapid Response Assessment. United Nations Environment Programme, Birkeland Trykkeri AS.
DAFTAR PUSTAKA Björk M., F. Short, E. McLeod & S. Beer, 2008, Managing Seagrasses for Resilience to Climate Change, IUCN, Gland.
Rahmawati, S. 2010, Estimasi Cadangan Karbon Komunitas Padang Lamun di Perairan Barat Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Belum dipublikasi.
Duarte, C. M. 1990, Seagrass Nutrient Content, Marine Ecology Progress Series, 67, 201-207.
Short, F. T. & R. G. Coles, 2001, Global Seagrass Research Method, Elsevier.
Duarte, C. M. & C. L. Chiscano, 1999, Biomass and Production: A Reassessment, Aquatic botany, 65, 159-174.
Short, F. T., L. J. Mckenzie, R. G. Coles & J. L. Gaeckle, 2004, SeagrassNet Manual for Scientific Monitoring of Seagrass Habitat – Western Pasific Edition, University of New Hampshire, USA; QDPI, Northern Fisheries Centre.
Duarte, C. M., J. J. Middelburg & N. Caracao, 2005, Major role of marine Vegetation on The Oceanic Carbon Cycle, Biogeosciencea, 2, 1-8. Gattuso, J. P., M. Frankignoulle & R. Wollast, 1998, Carbon and Carbonate Metabolism in Coastal Aquatic Ecosystems, Annual Review of Ecology, Evolution and Systematic, 29, 405-34.
Yusratika, N., P. Lestari & I. Uttari, tanpa tahun, Inventori Emisi Gas Rumah Kaca (CO2 dan CH4) dari Sektor Transportasi di DKI Jakarta Berdasarkan Konsumsi Bahan Bakar, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Green, E. P. & F. T. Short, 2003, World Atlas of Seagrasses, University of California Press. Kaldy, J. E. & K. H. Dunton, 2000, Above- and belowground production, biomass and reproductive ecology of Thalassia testudinum (turtle grass) in a subtropical coastal lagoon, Marine Ecology Progress Series, 193, 271-283. Kennedy, H. & M. Björk, 2009, Seagrass Meadows, In: Laffoley, D. d’A. & Grimsditch, G., (eds), 2009, The management of natural coastal carbon sinks, IUCN, Gland. Larkum, A. W. D.; R. J. Orth & C. M. Duarte, 2006, Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation, Spinger.
71
KETENTUAN CARA PENGIRIMAN NASKAH UNTUK JURNAL SEGARA Jenis Naskah Jenis Naskah yang dapat dimuat di Jurnal Segara adalah : • •
Naskah hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan Kelautan Indonesia yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam dan luar negeri. Naskah yang berisikan hasil-hasil penelitian di bidang pengembangan ilmu oseanografi, akustik dan instrumentasi kelautan, inderaja, kewilayahan, sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawah air dan lingkungan.
Bentuk Naskah Naskah tulisan dapat dikirim dalam bentuk : • • • • • • • • • • • •
Naskah tercetak di atas kertas A4, dengan jumlah halaman 10 – 15 halaman. Ditulis dengan menggunakan aplikasi MS.Word dengan spasi ganda, jenis font Arial, ukuran huruf 10. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dengan ketentuan, bila naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bila naskah ditulis dalam bahasa Inggris, abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata. Kata kunci (3-5 kata) harus ada dan mengacu pada Agrovoca. Materi naskah disusun mengikuti kaidah umum dan tidak mengikat, namun harus berisikan latar belakang masalah yang membahas hasil penelitian terdahulu, teori singkat yang mendukung, metode yang digunakan, analisis, dan kesimpulan. Apabila terdapat istilah asing maka istilah tersebut perlu ditulis dengan abjad miring (Italic). Gambar (foto ilustrasi, grafik, statistik) dan tabel. Judul tabel ditulis di atas tabel. Apabila terdapat gambar berupa grafik, statistik, peta atau foto, maka judul dari gambar tersebut harus ditulis dibawah. Kesimpulan disajikan secara singkat dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan, serta hasil penelitian. Referensi Referensi dari Jurnal lain ditulis seperti : Nama, Tahun, “judul Makalah”, Nama jurnal, Volume, Nomor, halaman. Referensi dari buku ditulis seperti: Nama, Tahun, “Judul Buku”, Penerbit. Gelar dari nama penulis tidak perlu dicantumkan. Pengutipan sumber tertulis tercetak mengikuti sistem Harvard, yaitu menuliskannya di antara tanda kurung nama (belakang) penulisan yang diacu, titik dua, & halaman acuan yang dikutip, setelah akhir kalimat kutipan pada batang tubuh karangan, contoh seperti di bawah ini : .......(Gordon,et al.2003:12) .......(Holt, 1967 : 11)
Metode Penilaian dan Pengiriman Naskah • • •
Redaksi tidak membatasi waktu pengiriman makalah, semua makalah akan dinilai oleh editor/penyunting ahli dengan format penilaian yang telah ditetapkan oleh dewan editor. Hasil penilaian dari editor/penyunting ahli akan diolah oleh dewan editor dan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki kembali. Agar makalah dapat dimuat, penulis diharapkan dapat menyerahkan makalah yang telah direvisi sebelum tanggal yang ditentukan. Makalah di atas dapat langsung dikirim dalam bentuk file dan print out ke Redaksi Jurnal Segara yang bertempat di kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan alamat : Jalan Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta utara 14430 atau kirim ke alamat e-mail : [email protected].
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan