Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan
ISSN 1907-0659 STUDI BAHAYA GUNCANGAN TANAH MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIK SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI DI PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT Joko Prihantono, Guntur Pasau, Dini Purbani, Lestari C. Dewi & Rikha Bramawanto KEMAMPUAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MEREDUKSI TSUNAMI DI TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH Dini Purbani, Menno Fatria Boer, Marimin, I Wayan Nurjaya & Fredinan Yulianda
Peta percepatan di batuan dasar di wilayah pesisir Propinsi Sumatera Barat untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun.
CHANGES ANALYSIS OF LAND-USE AND COASTLINE CONDITION IN KARAWANG REGENCY Aida Heriati, Satofuka Yoshifumi & Djoko Santoso Abi Suroso POLA SEBARAN LOGAM BERAT DAN NUTRIEN PADA MUSIM KEMARAU DI ESTUARI PERANCAK, BALI Faisal Hamzah & Purnomo Dwi Saputro GEOKRONOLOGI POLUTAN LOGAM BERAT DENGAN TEKNIK NUKLIR TERHADAP SEDIMEN DI DAERAH PESISIR SURALAYA, PROVINSI BANTEN Ali Arman, Untung Sugiharto & Bungkus Pratikno MASS BLEACHING PHENOMENON IMPACTED TO REEF FISHERIES IN BUTON ISLAND, SOUTHEAST SULAWESI Syafyudin Yusuf, Jamaluddin Jompa, Suharto & Awaludinnoer KERAGAMAN KUALITAS AIR LAUT, GARAM RAKYAT, DAN GARAM EVAPORASI BERTINGKAT DI WILAYAH PESISIR JAWA TIMUR Bagiyo Suwasono, Ali Munazid & Aris Wahyu Widodo DESAIN TAMBAK SILVOFISHERY RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG : STUDI KASUS KELURAHAN SAMATARING, KABUPATEN SINJAI Abdul Haris Sambu, Damar A., Bengen D.G & Yulianda F
J. Segara
Volume 9
Nomor 2
Hal. 85 - 165
Jakarta Desember 2013
ISSN 1907-0659
ISSN 1907-0659
VOLUME 9 NO.2 DESEMBER 2013 Nomor Akreditasi: 559/AU2/P2MI-LIPI/09/2013 (Periode Oktober 2013 - Oktober 2016) Jurnal SEGARA adalah Jurnal yang diasuh oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – KKP, dengan tujuan menyebarluaskan informasi tentang perkembangan ilmiah bidang kelautan di Indonesia, seperti: oseanografi, akustik dan instrumentasi, inderaja,kewilayahan sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawah air dan lingkungan. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini terutama berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam dan luar negeri. Terbit pertama kali tahun 2005 dengan frekuensi terbit dua kali dalam satu tahun.
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab Dr. Budi Sulistiyo
Pemimpin Pengelola Redaktur Prof. Dr. Ngurah N. Wiadnyana
Dewan Editor
Prof. Dr. Wahyoe S. Hantoro Dr. Sugiarta Wirasantosa Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. Dr. I Wayan Nurjaya Dr.-Ing. Widodo Setiyo Pranowo
Prof. Dr. Ir. Bangun Mulyo Sukojo, DEA, DESS Dr. Irsan S. Brodjonegoro Dr.rer.nat. Edvin Aldrian Dr. Andreas A. Hutahean, M.Sc.
Redaksi Pelaksana
Ir. Tukul Rameyo Adi, MT. Triyono, MT. Lestari Cendikia Dewi, M.Si. Herlina Ika Ratnawati, S.Si.
Sekretariat Redaksi
Dian Pitaloka, S.S. Mariska Astrid Kusumaningtyas, S.Si
Design Grafis
Dani Saepuloh, A.Md. Tri Nugraha, A.Md.
Mitra Bestari Edisi ini
Dr. Khairul Amri (Sumberdaya dan Lingkungan) Dr.-Ing.Widjo Kongko, M.Eng. (Teknik Pantai, Teknik Gempa/Tsunami) Dr. Haryadi Permana (Geologi-Tektonik) Ir. Suhari, M.Sc (Pusat Sumberdaya Air Tanah dan Lingkungan) Dr. I. Nyoman Radiarta (Lingkungan, SIG dan Remote Sensing) Dr. Makhfud Efendy (Teknologi Kelautan) Dr. Ir. Yan Rizal R., Dipl. Geol. (Geologi Lingkungan)
Mitra Bestari Dr. Ir Munasik, M.Sc (Oseanografi Biologi) Dr. rer. nat. Mutiara Rachmat Putri (Oseanografi Fisika) Dr. Ivonne M. Radjawane, M.Si., Ph.D. (Oseanografi Pemodelan) Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. (Ekologi Laut) Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc. (Oseanografi Fisika) Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin (Pasca Panen Perikanan) Prof. Dr. Safwan Hadi (Oseanografi) Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abiddin (Geodesi dan Geomatika)
Ir. Tjoek Aziz Soeprapto, M.Sc (Geologi) Lili Sarmili, M.Sc. (Geologi Kelautan) Dr. Nani Hendiarti (Penginderaan Jauh Kelautan dan Pesisir) Dr.rer.nat. Rina Zurida (Paleoklimat, Paleoseanografi, Plaeoenvironment) Prof. Dr. Cecep Kusmana (Ekologi dan Silvikultur Mangrove) Dr. Agus Supangat, DEA (Oseanografi) Dr. Wahyu Widodo Pandoe (Oseanografi) Dr. Hamzah Latief (Tsunami) Dr. Herryal Zoelkarnaen Anwar, M.Eng. (Manajemen Resiko Bencana)
Redaksi Jurnal Ilmiah Segara bertempat di Kantor Pusat Balitbang Kelautan dan Perikanan Alamat : JL. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Telpon : 021 - 6471-1583 Faksimili : 021 - 6471-1654 E-mail :
[email protected] Website : http://p3sdlp.litbang.kkp.go.id Jurnal Segara Volume 9 No. 2 Desember 2013 diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Tahun Anggaran 2013
ISSN 1907-0659
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Volume 9 Nomor 2 Desember 2013 Hal. 85 - 165 STUDI BAHAYA GUNCANGAN TANAH MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIK SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI DI PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT Joko Prihantono, Guntur Pasau, Dini Purbani, Lestari C. Dewi & Rikha Bramawanto KEMAMPUAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MEREDUKSI TSUNAMI DI TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH Dini Purbani, Menno Fatria Boer, Marimin, I Wayan Nurjaya & Fredinan Yulianda CHANGES ANALYSIS OF LAND-USE AND COASTLINE CONDITION IN KARAWANG REGENCY Aida Heriati, Satofuka Yoshifumi & Djoko Santoso Abi Suroso POLA SEBARAN LOGAM BERAT DAN NUTRIEN DI ESTUARI PRANCAK PADA MUSIM KEMARAU Faisal Hamzah & Purnomo Dwi Saputro GEOKRONOLOGI POLUTAN LOGAM BERAT DENGAN TEKNIK NUKLIR TERHADAP SEDIMEN DI DAERAH PESISIR SURALAYA, PROVINSI BANTEN Ali Arman, Untung Sugiharto & Bungkus Pratikno MASS BLEACHING PHENOMENON IMPACTED TO REEF FISHERIES IN BUTON ISLAND, SOUTHEAST SULAWESI Syafyudin Yusuf, Jamaluddin Jompa, Suharto & Awaludinnoer KERAGAMAN KUALITAS AIR LAUT, GARAM RAKYAT, DAN GARAM EVAPORASI BERTINGKAT DI WILAYAH PESISIR JAWA TIMUR Bagiyo Suwasono, Ali Munazid & Aris Wahyu Widodo DESIGN TAMBAK SYLVOFISHERY BERBASIS DAYA DUKUNG DAN RAMAH LINGKUNGAN Abdul Haris Sambu, Damar A., Bengen D.G & Yulianda F
PENGANTAR REDAKSI Jurnal Segara adalah jurnal yang diterbitkan dan didanai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Jurnal Segara Volume 9 No. 2 Desember 2013 merupakan terbitan ke dua di Tahun Anggaran 2013. Naskah yang dimuat dalam Jurnal Segara berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademis, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan dari dalam dan luar negeri. Pada nomor ke dua 2013, jurnal ini menampilkan 8 artikel ilmiah hasil penelitian tentang: Studi Bahaya Guncangan Tanah Menggunakan Metode Probabilistik Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi di Pesisir Propinsi Sumatera Barat; Kemampuan Ekosistem Mangrove Dalam Mereduksi Tsunami di Teluk Loh Pria Laot Pulau Weh; Changes Analysis Of Land-Use and Coastline Condition In Karawang Regency; Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien di Estuari Prancak Pada Musim Kemarau; Geokronologi Polutan Logam Berat dengan Teknik Nuklir Terhadap Sedimen di Daerah Pesisir Suralaya, Provinsi Banten; Mass Bleaching In 2010 : Impact to Reef Fisheries in Buton Island Reefs, Southeast Sulawesi; Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat, dan Garam Evaporasi Bertingkat di Wilayah Pesisir Jawa Timur; Design Tambak Sylvofishery Berbasis Daya Dukung dan Ramah Lingkungan. Diharapkan artikel tersebut dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kelautan Indonesia. Akhir kata, Redaksi mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas partisipasi aktif peneliti dalam mengisi jurnal ini.
REDAKSI
i
ISSN 1907-0659
Volume 9 Nomor 2 DESEMBER 2013
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................
ii
LEMBAR ABSTRAK ..............................................................................................................
iii-vi
Studi Bahaya Guncangan Tanah Menggunakan Metode Probabilistik sebagai Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi di Pesisir Propinsi Sumatera Barat Joko Prihantono, Guntur Pasau, Dini Purbani, Lestari C. Dewi & Rikha Bramawanto ..........
85-94
Kemampuan Ekosistem Mangrove dalam Mereduksi Tsunami di Teluk Loh Pria Laot Pulau Weh Dini Purbani, Menno Fatria Boer, Marimin, I Wayan Nurjaya & Fredinan Yulianda ..............
95-106
Changes Analysis of Land-Use and Coastline Condition in Karawang Regency Aida Heriati, Satofuka Yoshifumi & Djoko Santoso Abi Suroso .............................................
107-115
Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien di Estuari Prancak Pada Musim Kemarau Faisal Hamzah & Purnomo Dwi Saputro ................................................................................
117-127
Geokronologi Polutan Logam Berat dengan Teknik Nuklir Terhadap Sedimen di Daerah Pesisir Suralaya, Provinsi Banten Ali Arman, Untung Sugiharto & Bungkus Pratikno ..................................................................
129-133
Mass Bleaching in 2010 : Impact to Reef Fisheries in Buton Island Reefs, Southeast Sulawesi Syafyudin Yusuf, J. Jompa, Suharto & Awaludinnoer ............................................................
135-143
Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat, dan Garam Evaporasi Bertingkat di Wilayah Pesisir Jawa Timur Bagiyo Suwasono, Ali Munazid & Aris Wahyu Widodo ...........................................................
145-155
Design Tambak Sylvofishery Berbasis Daya Dukung Dan Ramah Lingkungan Abdul Haris Sambu, Damar A., Bengen D.G & Yulianda F ....................................................
157-165
ii
STUDI BAHAYA GUNCANGAN TANAH MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIK SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI DI PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT GROUND SHAKING HAZARD STUDIES BY USING PROBABILISTIC METHOD AS AN EARTHQUAKE MITIGATION EFFORT IN THE COASTAL AREA OF WEST SUMATERA PROVINCE Joko Prihantono ,Guntur Pasau, Dini Purbani, Lestari C. Dewi & Rikha Bramawanto ABSTRAK
ABSTRACT
Studi bahaya guncangan tanah di pesisir Propinsi Sumatera Barat sangat penting dilakukan sebagai usaha mitigasi bahaya gempa bumi karena wilayah pesisir Propinsi Sumatera Barat rentan terhadap bahaya gempa bumi. Pada penelitian ini model percepatan tanah atau guncangan tanah di Propinsi Sumatera Barat telah berhasil dibuat dengan menggunakan metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) menggunakan perangkat lunak USGS-PSHA 2007. Hasil yang diperoleh adalah peta percepatan tanah maksimum di batuan dasar pada periode T=0 detik atau biasa juga disebut Peak Ground Acceleration (PGA) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun. Peta percepatan batuan dasar yang diperoleh dalam penelitian ini divalidasi dengan peta bahaya gempa bumi Indonesia 2010 yang dibuat oleh Tim Revisi Peta Gempa Indonesia dan Kementerian Pekerjaan Umum. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa peta bahaya gempa bumi yang diperoleh pada penelitian ini memiliki pola yang sama dengan peta bahaya gempa bumi Indonesia 2010 dengan resolusi yang lebih baik. Berdasarkan hasil pemodelan, nilai percepatan tanah di Sumatera Barat sekitar 0,1g – 1,2g, dengan nilai tertinggi berada di daerah yang dekat dengan jalur subduksi dan daerah yang dekat dengan jalur Sesar Semangko di Bukit Barisan, sedangkan di daerah pesisir memiliki nilai percepatan tanah sekitar 0,25 g – 1,2 g. Kabupaten Mentawai merupakan wilayah pesisir yang paling rentan terhadap bahaya gempa bumi dengan nilai PGA sekitar 0,5g – 1,2g.
Ground shaking hazard studies in the coastal area of West Sumatera Province is very important for earthquake mitigation because coastal area of West Sumatera Province is vulnerable to earthquake. In this study, the ground shaking model in West Sumatera Province has been successfully created by using Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) method and USGSPSHA 2007 software. The result is a map of the maximum ground acceleration at bedrock in the period T=0 second or usually called Peak Ground Acceleration (PGA) for the probability exceeded 10% in 50 years. The ground acceleration map thus obtained was compared to the earthquake hazard map Indonesia 2010 from The Ministry of Public Work and produced by Indonesian Earthquake Hazard Map Revision Team. The results indicate that the ground acceleration map obtained from this study shows similar pattern with the Indonesian earthquake hazard maps 2010 but having better resolution. Based on the result, The West Sumatera Province has ground acceleration values around 0.1 g-1.2 g with the high value near of subduction zone and near Semangko fault in Bukit Barisan Mountain, and also in coastal area has ground shaking value around 0.25 g – 1.2 g. Mentawai Regency is the most vulnerable coastal area in West Sumatera Province with ground shaking value around 0.5g – 1.2g. Keywords: Earthquake Hazard Map, Probabilistic, West Sumatera Province, ground shaking
Kata kunci: Peta Hazard Gempa Bumi, Probabilistik, Propinsi Sumatera Barat, guncangan tanah
KEMAMPUAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MEREDUKSI TSUNAMI DI TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH MANGROVE ECOSYSTEM IN THE CAPACITY REDUCTION OF THE TSUNAMI IN WEH ISLAND Dini Purbani, Menno Fatria Boer, Marimin, I Wayan Nurjaya & FredinanYulianda ABSTRAK
ABSTRACT
Bencana geologi gempabumi pada 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,0 hingga 9,3 MW mengakibatkan terjadinya tsunami, yang telah mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem, infrasturktur dan kehilangan jiwa dan harta benda. Tinggi gelombang datang (run up) mencapai 30 m terjadi di bagian barat Banda Aceh. Penelitian ini memodelkan tinggi gelombang datang 30 m. Model sebaran genangan atau inundasi mengunakan model builder dengan parameter seperti: kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Hasil dari model builder diketahui sebaran genangan di pesisir. Sebaran genangan tersebut dapat direduksi dengan ekosistem mangrove, metode tersebut merupakan hasil penelitian peneliti tsunami Harada dan Imamura. Hasil dari model builder diketahui luas genangan seluruhnya 427,69 ha masing-masing untuk hutan mangrove 39,75 ha, hutan 303,07 ha, kebun 25,66 ha, lahan terbangun 6,18 ha dan lahan terbuka 53,02 ha.Ekosistem mangrove mereduksi luas sebaran genangan menjadi 290,77 ha. Terjadi pengurangan inundasi sebesar 1,47%.
Earthquake disaster on December 26, 2004 had a magnitude of 9.0 to 9.3 Mw resulting tsunami.This resulted in damages to infrastructure, buildings, ecosystems and the distribution of coastal inundation. The up to 30 m high run up occurred in west Banda Aceh. As a model this research used run up 30 m. The distribution of inundation was derived from model builder using parameters such as: slope and land use. This resulted in the inundation distribution in the coastal zone. The extent of coastal inundation can be reduces by mangrove ecosystem, a method studied by Harada and Imamura, tsunami researchers. From the model builder, it was known the total area of inundation of 427. 69 ha as follows: mangrove forest: 39.75 ha, forest: 303.07 ha, vegetation: 25.66 ha, land built: 6.18 ha and open land: 53. 02 ha. Mangrove ecosystems reduced the widespread of inundation distribution to 290.77 ha, which is 1.47%. . Keywords: geological disaster, widespread of inundation, mangrove ecosystem.
Kata kunci: bencana geologi, sebaran genangan, ekosistem mangrove.
iii
ANALISIS KONDISI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN GARIS PANTAI DI KABUPATEN KARAWANG CHANGES ANALYSIS OF LAND-USE AND COASTLINE CONDITION IN KARAWANG REGENCY Aida Heriati, Satofuka Yoshifumi & Djoko Santoso Abi Suroso ABSTRAK
ABSTRACT
Sistem informasi geografis digunakan pada penelitian ini dengan memanfaatkan data Landsat pada 1994, 2000, 2005 dan 2010. Hasil dari pengolahan data menunjukkan bahwa daerah tak terbangun di Kabupaten Karawang telah berkurang sebesar 15,613 km2 setiap tahunnya, sedangkan area terbangun mengalami peningkatan sebesar 12,38 km2/tahun selama waktu pengamatan. Sedimentasi tertinggi terjadi di Kecamatan Cilamaya Wetan dan erosi tertinggi terjadi di Kecamatan Cibuaya dengan besar laju 0,126 km2/tahun dan 0,044 km2/tahun. Beberapa konflik dapat terjadi di Kabupaten Karawang mengingat banyaknya aktifitas yang akan dilakukan di daerah tersebut terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mempengaruhi sedimentasi dan erosi di daerah Karawang itu sendiri. Penelitian ini memberikan informasi yang diperlukan oleh pemerintah lokal dan stakeholder lainnya dalam proses perencanaan Integrated Coastal Area and River Basin Management untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Geographic information system is used to process Landsat data of 1994, 2000, 2005 and 2010. Result shows that non-built areas in Karawang Regency reduced at an average rate of 15.613 km2/year, whereas built-up areas increased about 12.38 km2/year over the period. The highest sedimentation and erosion process on coastal areas occur in Cilamaya Wetan District and Cibuaya District within rate 0.126 km2/year and 0.044 km2/year respectively. Conflicts arise in Karawang Regency regarding many activities that utilize the area. This research provides information needed by local government and its stakeholders in Integrated Coastal Area and River Basin Management planning process to achieve a sustainable development. Keywords: integrated coastal area and river basin management, erosion-sedimentation, spatial lanning, watershed
Kata kunci: integrated coastal area and river basin management, erosi-sedimentasi, penataan ruang, DAS
POLA SEBARAN LOGAM BERAT DAN NUTRIEN PADA MUSIM KEMARAU DI ESTUARI PERANCAK, BALI DISTRIBUTIONS OF HEAVY METAL AND NUTRIEN DURING DRY SEASON IN PERANCAK ESTUARINE, BALI Faisal Hamzah & Purnomo Dwi Saputro ABSTRAK
ABSTRACT
Estuari berfungsi sebagai filter nutrien, bahan organik dan logam berat sebagai indikasi proses biogeokimia melalui reaksi geokimia dan biokimia karena perbedaan salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran logam berat dan nutrien berdasarkan stratifikasi salinitas dari hulu ke muara pada musim kemarau di Estuari Perancak, Bali. Sebanyak sembilan sampel diambil dan dianalisis berdasarkan stratifikasi salinitas dari hulu hingga muara (0-26,4‰). Hasil analisa menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien seperti fosfat (0,138-0,657 mg/l), nitrat (0,191 – 0,829 mg/l), dan ammonia (0,0773-1,206 mg/l) mempunyai pola yang sama dari daerah hulu hingga ke muara, yaitu semakin menuju muara sungai, semakin menurun konsentrasinya. Sebaliknya konsentrasi logam berat memiliki pola gradual, semakin meningkat menuju muara estuari. Pola yang sama juga ditemukan pada TSS, DO, dan pH, sedangkan C-organik mempunyai pola yang berfluktuatif di seluruh lokasi. Logam Pb, Cu dan Zn mengalami penambahan pada salinitas 6-22‰, sedangkan nutrien mengalami pengurangan pada salinitas 21,3‰ yang berjarak 3,32 km dari muara. Grafik percampuran nutrien dan logam berat di Estuari Perancak menunjukkan elemen yang bersifat non konservatif dengan tipe penambahan dan pengurangan untuk Zn, Cu dan fosfat, tipe penambahan konsentrasi untuk Pb, serta tipe pengurangan untuk ammonia dan nitrat. Batas transisi spasial fungsi estuari sebagai geochemical factor dan biochemical factor di Estuari Perancak berada antara stasiun dengan jarak 5 km dari muara (10,1-18,2‰).
Estuarine serves as filtration for nutrients, organic matters and heavy metals as indication for biogeochemical processes through geochemical and biochemical processes due to difference of salinity. The aim of study is to determine the distribution pattern of heavy metals and nutriens based on salinity stratification from upstream to river mouth on dry season in Perancak Estuary, Bali. A total of nine samples in Perancak Estuary was collected and analyzed based on salinity stratification from upstream to the mouth of estuary/downstream (0-26.4 ‰). Results show that concentration of nutrients such as phosphate (0.138-0.657 mg/l), nitrate (0.191 – 0.829 mg/l), and ammonia (0.0773-1.206 mg/l) were decreased from upstream to downstream areas (toward mouth of the river). In contrast, concentration of heavy metals was indicated gradually increasing concentration pattern from upstream to downstream (river mouth). Similar pattern was also observed for TSS, DO and pH, while C-organic has fluctuative values at all stations. Addition process for Pb, Cu, and Zn occured at salinities 6-22‰ and removal processes was observed for nutrients at salinity 21 ‰ at station with distance 3.32 km from river mouth. Mixing graph both of nutriens and heavy metals in Perancak Estuarine shows that all of dissolved compound as non conservative behaviour with combine addition and removal type for Zn, Cu, and phosphate, addition of dissolved component type for Pb and also removal of dissolved component type for ammonia & nitrate. Spatial transition boundary for geochemical and biochemical functions in Perancak Estuarine is located between station 3 at a distance 5 km from river mouth (10.1-18.2 ‰).
Kata kunci: logam berat, nutrien, salinitas, Estuari Perancak, musim kemarau
iv
Keywords: heavy metal, nutrient, salinity, Perancak Estuarine, dry season
GEOKRONOLOGI POLUTAN LOGAM BERAT DENGAN TEKNIK NUKLIR TERHADAP SEDIMEN DI DAERAH PESISIR SURALAYA, PROVINSI BANTEN GEOCHRONOLOGY POLLUTIONS OF HEAVY METALS USING NUCLEAR TECHNIQUES IN SEDIMENT OF COASTAL AREA OF SURALAYA, BANTEN PROVINCE Ali Arman, Untung Sugiharto & Bungkus Pratikno ABSTRAK
ABSTRACT
Distribusi vertikal dari logam berat ditentukan untuk studi geokronologi polutan pada sedimen di daerah pesisir Suralaya. Umur dan akumulasi sedimen diperoleh dengan teknik dating radionuklida alam 210Pb. Sampel sedimen coring diambil menggunakan gravity core dari 2 lokasi (core 1 dan core 2). Sampel dipotong tiap 2 cm, dipreparasi dan dianalisis menggunakan spektrometer alpha dengan detektor PIPS. Kandungan polutan (logam berat) diukur pada setiap lapisan sedimen dengan metode Analisis Pengaktifan Neutron. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sedimentasi di daerah pesisir Suralaya meningkat sejak tahun 1970-an dan berdasarkan profil logam berat, Cr dan As juga menunjukkan kenaikan konsentrasi pada lapisan sedimen yang terjadi mulai sekitar tahun 1970-an hingga 2010.
The vertical distribution of heavy metals was determined in order to study the geochronology of pollutions in sediment in the coastal area of Suralaya, Province of Banten. Dated and accumulation rate sediment were carried out using environmental radionuclide 210Pb. Two sediment cores were collected using gravity corer (core 1 and core 2). Samples were then analyzed in the lab; each core was sliced into 2 cm, analyzed using alpha spectrometer with PIPS detector. The concentration of pollutants (heavy metals) was analyzed using Neutron Activation Analysis method. The dating of sediment as well as the sediment accumulation rates was determined using CRS model (Constant Rate of Supply). The result shows that sedimentation rates in the coastal area of Suralaya increase since 1970 until 2010. Moreover, based on the heavy metals profiles, Cr and As also increase similar to the increase of sedimentation.
Kata kunci: geokronologi, radionuklida alam, sedimen,
logam berat, pesisir Suralaya
Keywords: geochronology, environmental radionuclide,
sediment, heavy metals, Suralaya’s coastal
FENOMENA PEMUTIHAN KARANG MASSAL YANG BERDAMPAK PADA PERIKANAN TERUMBU KARANG DI BUTON, SULAWESI TENGGARA MASS BLEACHING PHENOMENON IMPACTED TO REEF FISHERIES IN BUTON ISLAND, SOUTHEAST SULAWESI Syafyudin Yusuf, Jamaluddin Jompa, Suharto & Awaludinnoer ABSTRAK
ABSTRACT
Kebanyakan terumbu karang dunia mengalami gangguan yang berulang kali akibat pemutihan karang yang diikuti oleh kematian dan pemulihannya pada dekade terakhir ini. Beberapa informasi dampak bleaching di terumbu karang Indonesia belum ada yang terpublikasi dari Sulawesi. Selama lima tahun program pemantauan terumbu karang (2006-2010) dilakukan oleh Coremap Buton menunjukkan adanya fenomena pemutihan karang 20092010. Penelitian ini merupakan pengungkapan pertama secara kuantitatif mengenai pemutihan karang di kawasan terumbu karang lokasi Coremap. Pengamatan difokuskan pada koloni dan tingkat genera yang didasarkan pada transek kuadrat 50 x 50 cm sebanyak 257 transek dan 96 foto digital koloni karang yang terkena pemutihan. Beberapa kelompok karang yang dominan memutih dari kelompok Acroporidae, Faviidae, Poritidae, Pocilloporoidae dan Alcyonidae meliputi genera Acropora, Diploastrea, Favia, Favites, Goniopora, Porites, Pocillopora dan Sinularia. Genera yang masih mampu bertahan seperti Turbinaria, Pachyseris, Symphylia dan Heliofungia. Sebanyak 68 % dari seluruh spesies terkena bleaching, 42% koloni masih memiliki jaringan hidup, 58% koloni telah memutih, skeleton bersih dan tertutupi algae. Nelayan lokal baru melihat kondisi karang yang memutih pada Mei, Juni dan Juli 2010. Fenomena bleaching telah menurunkan populasi ikan di terumbu karang dan volume penangkapannya.
Many reefs around the world have experienced repeated disturbance due to severe coral bleachings followed by coral mortality and recovery in the past decades. There have been few quantitative assessments of the impact of bleaching on Indonesian reefs and none published from Sulawesi. A five year monitoring program (2006-2010) of coral condition in the Buton reefs in the Banda Sea indicated that coral bleaching events only occurred in the period of 2009-2010. Here we provide the first overview of bleaching in Coremap Reef management area authority. Bleaching assessment was among coral colonies and genera in these two regions based on monitoring of 50 cm x 50 cm on 257 quadrat transects and 96 digital photos of bleaching colonies. The bleached scleractinian family corals were dominated by Acroporidae, Faviidae, Poritidae and Pocilloporoidae and the Alcyonacea were also affected. The genera that bleached were Acropora, Diploastrea, Favia, Favites, Goniopora, Porites, Pocillopora and Sinularia. The resistant genera were Turbinaria, Pachyseris, Symphyllia, and Heliofungia. Sixty eight percent of the species were susceptible to bleaching, these were 42% of the colonies had live tissue, 58 % had live bleached, clean white skeletal and algal covered. Local fishermen on around of these reefs first have seen the bleaching in May, June and July 2010. This coral reef bleaching event reduced the reef fish populations in the reef ecosystem and fish catched.
Kata kunci: pemutihan karang, perikanan terumbu karang, Buton
Keywords: coral bleaching, Reef fisheries, Buton
v
KERAGAMAN KUALITAS AIR LAUT, GARAM RAKYAT, DAN GARAM EVAPORASI BERTINGKAT DI WILAYAH PESISIR JAWA TIMUR QUALITY DIVERSITY OF SEAWATER, FOLK SALT, AND EVAPORATION SALT IN STAGES AT COASTAL REGION OF EAST JAVA Bagiyo Suwasono, Ali Munazid, & Aris Wahyu Widodo ABSTRAK
ABSTRACT
Sebagian besar mineral air laut terdiri dari natrium (Na+), magnesium (Mg2+), kalsium (Ca2+), klorida (Cl-) dan sulfat (SO42). Jika Ca2+, Mg2+, dan SO42- dapat dipisahkan, maka kristal garam yang diproduksi memiliki NaCl yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air laut sebagai bahan baku, kualitas garam rakyat, dan kualitas garam dari model evaporasi secara bertingkat. Pengambilan sampel air laut dan garam rakyat diperoleh dari beberapa lokasi di wilayah pesisir Jawa Timur, sedangkan sampel air tua dan garam diperoleh dari model evaporasi secara bertingkat di lahan garam dan skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan kualitas air laut sebagai bahan baku masih layak digunakan di lahan garam, kualitas kadar garam rakyat belum memenuhi aturan standar, dan kualitas garam dari model evaporasi bertingkat hampir memenuhi aturan standar.
Most of seawater mineral consist of sodium (Na+), magnesium (Mg2+), calcium (Ca2+), chloride (Cl-), and sulfate (SO42-). If Ca2+, Mg2+, and SO42- can be separated, therefore the salt crystals produced have a high NaCl. This research aims to know the quality of seawater as raw materials, quality of folk salt, and quality of salt from evaporation model in stages. Sampling of seawater and folk salt were obtained from several locations at coastal region of East Java, while the brine water and salt samples were obtained from evaporation model in stages at salt land and laboratory scale. The results showed the quality of seawater as raw materials were still eligible to use at salt land, quality of folk salt did not meet the rule of standards, and quality of salt from evaporation model in stages nearly filled the rule of standards.
Kata kunci: kualitas air laut, kualitas garam rakyat, kualitas garam evaporasi bertingkat
Keywords: sea water quality, folk salt quality, evaporation salt quality in stages
DESAIN TAMBAK SILVOFISHERY RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG : STUDI KASUS KELURAHAN SAMATARING, KABUPATEN SINJAI ENVIRONMENTAL FRIENDLY DESIGN OF SILVOFISHERY FISHPOND BASED ON CARRYING CAPACITY : STUDY CASE SAMATARING SUBDISTRICT SINJAI REGENCY Abdul Haris Sambu, Damar A., Bengen D.G & Yulianda F ABSTRAK
ABSTRACT
Penelitian ini dilaksanakan dari Januari sampai Desember 2011 di Kelurahan Samataring, Kabupaten Sinjai. Tujuan penelitian ini : 1) menganalisa daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan tambak silvofishery; 2) mendesain pola tambak silvofishery ramah lingkungan berbasis daya dukung; dan 3) mengkaji sistem budidaya tambak silvofishery. Metode penelitian yang digunakan : 1) analisis komparatif rasio tambak dan mangrove melalui penilaian kandungan dan kualitas serasah; 2) analisis dampak ekologi, ekonomi dan sosial; dan 3) analisis kelayakan model tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) ratio optimal area mangrove dan tambak pada pola tambak silvofishery adalah 60% tambak dan 40% mangrove; 2) modifikasi komplangan merupakan pola silvofishey yang layak secara ekologi dan ekonomi; dan 3) Polikultur merupakan sistem budidaya yang layak untuk tambak silvofishery.
This research was conducted from January to December 2011 in Samataring subdstrict Sinjai Regency. The objectives of this study were : 1) to analyze mangrove carrying capacity for silvofishery ponds management; 2) to design environmental friendly silvofishery fishpond model based on carrying capacity; and 3) to assess cultivation system in silvofishery ponds. The method used in this study were : 1) ratio comparative analysis of ponds and mangrove assessment with content and quality of litter as indicator; 2) impact analysis of ecological, economic and social; and 3) analysis of eligible fishpond model. Results from this study shows that: 1) Optimum ratio for mangrove and fishpond area was 60% fishpond and 40% mangrove; 2) Komplangan modification was feasible model of silvofishery based an ecology and economic persepective and 3) Polyculture was an eligible cultivation system for silvofishery fishponds development.
Kata kunci: desain tambak, daya dukung, silvofishery, modifikasi komplangan, polykultur
Keywords: fishpond design, carrying capacity, silvofishery, komplangan modification, polyculture
vi
Studi Bahaya Guncangan Tanah...Sumatera Barat (Prihantono, J., et al.)
STUDI BAHAYA GUNCANGAN TANAH MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIK SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI DI PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT Joko Prihantono1) ,Guntur Pasau2), Dini Purbani1), Lestari C. Dewi1) & Rikha Bramawanto1) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang-KP, KKP Peneliti Pada Program Studi Fisika, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara
1) 2)
Diterima tanggal: 28 Februari 2013; Diterima setelah perbaikan: 30 Juli 2013; Disetujui terbit tanggal 21 Oktober 2013
ABSTRAK Studi bahaya guncangan tanah di pesisir Propinsi Sumatera Barat sangat penting dilakukan sebagai usaha mitigasi bahaya gempa bumi karena wilayah pesisir Propinsi Sumatera Barat rentan terhadap bahaya gempa bumi. Pada penelitian ini model percepatan tanah atau guncangan tanah di Propinsi Sumatera Barat telah berhasil dibuat dengan menggunakan metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) menggunakan perangkat lunak USGS-PSHA 2007. Hasil yang diperoleh adalah peta percepatan tanah maksimum di batuan dasar pada periode T=0 detik atau biasa juga disebut Peak Ground Acceleration (PGA) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun. Peta percepatan batuan dasar yang diperoleh dalam penelitian ini divalidasi dengan peta bahaya gempa bumi Indonesia 2010 yang dibuat oleh Tim Revisi Peta Gempa Indonesia dan Kementerian Pekerjaan Umum. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa peta bahaya gempa bumi yang diperoleh pada penelitian ini memiliki pola yang sama dengan peta bahaya gempa bumi Indonesia 2010 dengan resolusi yang lebih baik. Berdasarkan hasil pemodelan, nilai percepatan tanah di Sumatera Barat sekitar 0,1g – 1,2g, dengan nilai tertinggi berada di daerah yang dekat dengan jalur subduksi dan daerah yang dekat dengan jalur Sesar Semangko di Bukit Barisan, sedangkan di daerah pesisir memiliki nilai percepatan tanah sekitar 0,25 g – 1,2 g. Kabupaten Mentawai merupakan wilayah pesisir yang paling rentan terhadap bahaya gempa bumi dengan nilai PGA sekitar 0,5g – 1,2g. Kata kunci: Peta Hazard Gempa Bumi, Probabilistik, Propinsi Sumatera Barat, guncangan tanah ABSTRACT Ground shaking hazard studies in the coastal area of West Sumatera Province is very important for earthquake mitigation because coastal area of West Sumatera Province is vulnerable to earthquake. In this study, the ground shaking model in West Sumatera Province has been successfully created by using Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) method and USGS-PSHA 2007 software. The result is a map of the maximum ground acceleration at bedrock in the period T=0 second or usually called Peak Ground Acceleration (PGA) for the probability exceeded 10% in 50 years. The ground acceleration map thus obtained was compared to the earthquake hazard map Indonesia 2010 from The Ministry of Public Work and produced by Indonesian Earthquake Hazard Map Revision Team. The results indicate that the ground acceleration map obtained from this study shows similar pattern with the Indonesian earthquake hazard maps 2010 but having better resolution. Based on the result, The West Sumatera Province has ground acceleration values around 0.1 g-1.2 g with the high value near of subduction zone and near Semangko fault in Bukit Barisan Mountain, and also in coastal area has ground shaking value around 0.25 g – 1.2 g. Mentawai Regency is the most vulnerable coastal area in West Sumatera Province with ground shaking value around 0.5g – 1.2g. Keywords: Earthquake Hazard Map, Probabilistic, West Sumatera Province, ground shaking
PENDAHULUAN Studi bahaya guncangan tanah di pesisir Propinsi Sumatera Barat sangat penting untuk dilakukan sebagai usaha mitigasi bahaya gempa bumi karena Propinsi Sumatera Barat terletak dekat jalur Sesar Besar Sumatera dan juga jalur penunjaman lempeng sepanjang Palung Sunda yang dapat memicu terjadinya gempa bumi. Dengan adanya studi bahaya guncangan tanah maka ada suatu dasar untuk membuat kebijakan tata ruang wilayah yang berbasis mitigasi bahaya gempa bumi.
Menurut catatan sejarah dan penelitian para ahli, di propinsi tersebut pernah dilanda gempa besar yang diikuti tsunami dan kemungkinan akan terulang kembali di waktu yang akan datang (Natawidjaja et al., 2006; Sieh et al., 2008). Salah satu upaya mitigasi terhadap bencana tsunami tersebut adalah dengan membuat bangunan vertikal yang tahan terhadap gempa dan juga terjangan tsunami yang berfungsi sebagai tempat penyelamatan sementara masyarakat di daerah pesisir ketika gempa besar terjadi dan berpotensi tsunami (Purbani et al., 2012). Pembuatan bangunan yang tahan gempa harus mempertimbangkan nilai percepatan tanah di daerah tersebut yang
Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email:
[email protected]
85
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 85-94 diperoleh dari pengukuran nilai Peak Ground Metode Penelitian Acceleration (PGA) menggunakan accelerometer. Namun nilai PGA juga dapat diperkirakan dengan 1. Pengumpulan Data menggunakan metode deterministik ataupun juga metode probabilistik. Pada penelitian ini telah dipergunakan data gempa yang pernah terjadi di sekitar Pulau Sumatera Peta bahaya (hazard) gempa bumi untuk Propinsi dimulai dari Tahun 1963 hingga April 2012 dengan Sumatera Barat telah tersedia dalam banyak versi magnitudo (Mw) ≥ 5 dan dengan kedalaman sumber yang dibuat oleh beberapa instansi setempat. Namun gempa maksimum 300 km. Data tersebut diperoleh kelemahannya tidak menyebutkan dasar atau dari katalog National Earthquake Information Centre metodologi pembuatan peta tersebut. Padahal (NEIC) - USGS, katalog Advanced National Seismic metodologi dan dasar pembuatan peta juga System (ANSS), dan katalog gempa yang sudah mempengaruhi valid atau tidaknya peta yang dibuat. direlokasi dari Engdahl et al. (2007). Data katalog gempa tersebut berguna untuk mengontrol geometri Dalam makalah ini akan dibahas tentang studi subduksi (megathrust). bahaya gempa dengan menghitung nilai PGA di Propinsi Sumatera Barat menggunakan metode Data Sesar Semangko dan data subduksi probabilistik atau biasa disebut dengan Probabilistic di sebelah barat Sumatera juga digunakan dalam Seismic Hazard Analysis (PSHA) sebagai upaya penelitian ini. Data Sesar Semangko meliputi informasi mitigasi bahaya gempa bumi untuk mengurangi resiko tentang dip, slip rate, mekanisme pergerakan kerusakan bangunan atau infrastruktur di pesisir (rake), panjang sesar, lebar sesar, kedalaman sesar, Propinsi Sumatera Barat sehingga dapat mengurangi dan koordinat sesar. Sedangkan data subduksi korban jiwa. Metode PSHA ini telah digunakan secara (megathrust) di barat Sumatera meliputi informasi nasional di Indonesia, dan juga digunakan di Amerika koordinat trace bagian atas dan bawah subduksi, Serikat oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat magnitudo maksimum historic, a-b value (Harmsen, atau United States of Geological Surveys (USGS) (Tim 2007; Bella, 2008; Fauzi, 2011; Pasau & Tanauma, Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010, www.earthquake. 2011). Data Sesar Semangko diperoleh berdasarkan usgs.gov) pada hasil penelitian Natawidjaja dalam Fauzi (2011). Pada 2002, pemerintah telah mengeluarkan peta gempa di Indonesia untuk keperluan tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002). Peta tersebut kemudian diganti dengan dikeluarkannya peta hazard gempa Indonesia 2010 sebagai acuan dasar perencanaan dan perancangan infrastruktur tahan gempa dengan menggunakan pendekatan probabilistik sehingga diperoleh peta PGA (Peak Ground Acceleration) dan spektra percepatan untuk perioda pendek (0,2 detik) dan perioda 1,0 detik dengan kemungkinan terlampaui 10% dalam 50 tahun, 10% dalam 100 tahun, dan 2% dalam 50 tahun atau yang mewakili tiga level potensi bahaya gempa yaitu 500, 1.000 dan 2.500 tahun (Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010). Meskipun metode yang digunakan sama dengan metode yang digunakan dalam menyusun Peta bahaya gempa 2010 yang dikeluarkan oleh Tim Revisi Peta Gempa Indonesia dan KemenPU, peta bahaya gempa yang dibuat dalam penelitian ini menggunakan resolusi yang lebih tinggi dibandingkan peta yang dikeluarkan oleh KemenPU, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan tata wilayah berbasis mitigasi gempa bumi yang lebih akurat.
86
2. Penyeragaman Skala Magnitudo Data kejadian gempa yang telah dikumpulkan dari berbagai katalog gempa mempunyai skala magnitudo yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu dilakukan penyeragaman skala magnitudo. Pada penelitian ini semua data gempa dikonversi ke dalam skala magnitudo momen (Mw). Magnitudo momen ini merupakan besaran magnitudo gempa yang konsisten dalam menunjukkan besar kekuatan gempa (Pasau & Tanauma, 2011). Konversi skala magnitudo gelombang permukaan (Ms) dan skala magnitudo gelombang body (Mb) ke dalam skala Magnitudo Momen menggunakan persamaan yang diusulkan oleh Scordilis (2006), seperti ditunjukkan oleh persamaan (1), (2), dan (3) berikut ini : .................. 1)
...................... 2)
Studi Bahaya Guncangan Tanah...Sumatera Barat (Prihantono, J., et al.) 6. Penentuan Fungsi Atenuasi .................... 3)
3. Pemisahan Kejadian Gempa Utama Kejadian gempa ikutan (foreshock dan aftershock) harus diidentifikasi terlebih dahulu sebelum data kejadian gempa tersebut digunakan untuk menentukan tingkat bahaya gempa (Fauzi, 2011). Pada penelitian ini pemisahan kejadian gempa ikutan terhadap gempa utama (mainshock) dilakukan menurut kriteria rentang waktu dan rentang jarak menggunakan metode kriteria empiris yang diusulkan oleh Gardner & Knopoff (1974). Proses pemisahan kejadian gempa ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak ZMAP (Wiemar, 2001). 4. Identifikasi dan Pemodelan Zona Sumber Gempa Bumi Pemodelan sumber gempa dapat dilakukan dengan cara interpretasi terhadap kondisi geologi, geofisika, dan seismotektonik berdasarkan katalog kejadian gempa dan juga literatur penelitian sebelumnya (Fauzi, 2011). Pada penelitian ini identifikasi dan pemodelan sumber gempa dan mekanismenya meliputi lokasi, dimensi, jenis mekanisme sumber gempa dan tingkat aktifitasnya menurut data gempa dari katalog dan penelitian Natawidjaja dalam Fauzi (2011). Model sumber gempa yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sumber gempa sesar b. Sumber gempa subduksi (megathrust) c. Sumber gempa background (gridded seismicity) 5. Karakterisasi Sumber Gempa Dalam analisis kegempaan, frekuensi kejadian gempa diperlukan untuk mendapatkan karakteristik sumber gempa yang direpresentasikan dalam parameter sumber gempa yang meliputi parameter a-b dan magnitudo maksimum (Fauzi, 2011). Pada penelitian ini penentuan parameter a-b ditentukan dari Guttenberg Richter recurrence relationship dengan menggunakan analisis Least Square. Nilai a dan b tersebut ditentukan menurut data yang dikelompokkan dari beberapa area ke dalam sekelompok data dengan analisa statistik model maximum likelihood. Estimasi parameter a dan b pada penelitian ini menggunakan analisa statistik model maximum likelihood karena memberikan hasil yang lebih stabil.
Secara matematis atenuasi gerakan tanah adalah hubungan antara suatu parameter kegempaan di lokasi pusat gempa (magnitudo dan jarak) dengan parameter pergerakan tanah (spektra percepatan) di lokasi yang ditinjau (Campbell & Bozorgnia, 2008). Secara garis besar atenuasi gerakan tanah dikelompokkan menjadi dua yakni atenuasi gempa shallow crustal dan atenuasi gempa subduksi. Meski saat ini banyak persamaan atenuasi yang dihasilkan, namun Indonesia sampai saat ini belum memiliki data ground motions yang cukup baik untuk pembuatan fungsi atenuasi, sehingga dalam penelitian ini digunakan fungsi atenuasi dari wilayah lain yang memiliki kemiripan kondisi sumbersumber gempa yang terjadi di Indonesia (Fauzi, 2011, Pasau & Tanauma, 2011). 7. Penggunaan Logic Tree Logic tree merupakan suatu metode yang dikembangkan oleh Kulkarni et al. (1984); Youngs & Coppersmith (1985) untuk memperhitungkan seluruh ketidakpastian dalam menentukan parameterparameter dalam PSHA, yaitu pemilihan recurrence model, fungsi atenuasi, recurrence rate, dan magnitudo maksimum. Logic tree berguna untuk mengatasi ketidakpastian pada parameter yang digunakan ketika dilakukan perhitungan analisis seismik hazard, maka dalam perangkat lunak USGS PSHA 2007 dilakukan sistem pembobotan pada beberapa parameter. Model logic tree dari satu seri nodal (node) yang merepresentasikan titik di dalam model dispesifikasikan pada tiap nodal. Penjumlahan probabilitas dari semua cabang yang dihubungkan dengan satu nodal nilainya harus sama dengan satu. 8. Analisis Seismik Hazard Analisis seismik hazard dalam penelitian ini menggunakan metode probabilistic seismic hazard analysis (PSHA). PSHA pertama kali dikembangkan oleh Cornell (1968) dan seiring dengan perkembangannya metode ini menjadi yang paling populer di antara metode analisis bahaya gempa bumi. Metode ini menghitung tingkat goncangan tanah di lokasi tertentu secara probabilistik, artinya metode ini ikut menghitung faktor ketidakpastian dalam analisis seperti ukuran, lokasi, dan frekuensi kejadian gempa. Metode ini mengintegrasikan/menjumlahkan hazard dari suatu lokasi terhadap berbagai sumber data (Fauzi, 2011). Menurut Reiter (1990), secara umum PSHA dapat dibagi dalam beberapa langkah sebagai berikut : 1. Identifikasi dan karakterisasi semua sumber gempa yang berpotensi menghasilkan ground motion yang signifikan. Dengan menggunakan distribusi 87
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 85-94 ini lalu dikombinasikan dengan geometri sumber gempa untuk memperoleh distribusi probabilitas sumber ke jarak lokasi yang sesuai. 2. Karakterisasi seimisitas atau distribusi perulangan gempa dengan menggunakan suatu hubungan perulangan atau recurrence relationship, yaitu nilai rata-rata suatu kejadian gempa bumi dari beberapa besaran yang akan terjadi. Nilai ini akan digunakan untuk menandai seismisitas dari tiap zona sumber. 3. Penentuan parameter gerakan tanah atau ground motion yang dihasilkan oleh segala besaran gempa yang mungkin terjadi pada titik manapun yang mungkin pada setiap area sumber yang menggunakan hubungan prediksi dan memperhitungkan faktor ketidakpastian. 4. Penggabungan ketidakpastian lokasi gempa, besaran gempa, dan parameter ground motion menjadi probabilitas parameter ground motion yang terlampaui selama perioda waktu tertentu. Menurut McGuire (2001) tahapan di atas diformulasikan dengan persamaan (4) sebagai berikut : ..... 4)
dengan : = Probabilitas kondisional untuk terjadinya gempa yang menyebabkan intensitas gerakan tanah setempat ,yang berkaitan dengan sumber gempa titik dalam daerah sumber dengan magnitudo m dan jarak sumber r yang diketahui. = fungsi probabilitas magnitudo = fungsi probabilitas jarak sumber PSHA pada penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak USGS-PSHA 2007 (Harmsen, 2007) yang grafik antar mukanya telah dikembangkan oleh Bella (2008). 9. Pembuatan Peta Bahaya Gempa Hasil keluaran dari perangkat lunak USGS-PSHA 2007 diolah menjadi peta menggunakan bantuan perangkat lunak Surfer dan ArcGIS sehingga diperoleh peta yang berupa kontur percepatan maksimum atau pada periode T=0,0 detik di batuan dasar untuk probabilitas kemungkinan resiko terlampaui 10% dalam 50 tahun. Peta dibuat dengan jarak spasi titik pengamatan 0,05o x 0,05o. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan sumber gempa keluaran dari perangkat lunak USGS-PSHA 2007 digunakan 88
sebagai analisis bahaya gempa pada penelitian ini. Seperti dijelaskan sebelumnya, di dalam penelitian ini sumber gempa terdiri dari tiga, yaitu sumber gempa background, sumber gempa sesar dan sumber gempa subduksi (megathrust). Sumber gempa background pada penelitian ini dibagi menjadi dua yakni shallow background dengan kedalaman hingga 50 km dan deep background dengan kedalaman 50 km s.d 300 km. Sumber gempa subduksi (megathrust) yang digunakan pada penelitian ini hingga kedalaman 50 km, sedangkan kedalaman lebih dari 50 km diakomodasi oleh sumber gempa deep background. Sumber gempa subduksi yang ditinjau dalam studi ini berasal dari subduksi barat Sumatera. Sementara untuk sumber gempa sesar semangko yang digunakan pada penelitian ini hingga kedalaman 30 km. Model Sumber Gempa Background Analisis model sumber gempa shallow background maupun deep background untuk wilayah Sumatra tidak memberikan hasil yang signifikan, terutama Propinsi Sumatera Barat. Artinya kedua sumber gempa ini hampir tidak ada pengaruhnya untuk seluruh wilayah Sumatera pada umumnya dan Propinsi Sumatera Barat pada khususnya. Sumber gempa shallow background berasal dari gempa-gempa yang secara geologi belum teridentifikasi secara jelas namun mempunyai data gempa historik. Sedangkan sumber gempa deep background untuk seluruh wilayah Sumatra juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh subduksi lempeng Indo-Australia yang bergerak miring (oblique) terhadap lempeng Eurasia, memiliki sudut penunjaman yang landai (Natawidjaja, 2007) dan ada indikasi bahwa slab litosfer di bawah Sumatera terputus (Widiyantoro & Puspito, 1998) sehingga gempa-gempa yang terjadi lebih dominan gempa-gempa dangkal dibandingkan gempa-gempa dalam. Model Sumber Gempa Subduksi Peta percepatan puncak (PGA) di batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun akibat sumber gempa subduksi ditampilkan pada Gambar 1. Pada Gambar ini dapat dilihat bahwa peta percepatan puncak akibat sumber gempa subduksi (megathrust) memberikan nilai yang cukup signifikan pada daerah yang dekat dengan sumber, yaitu di daerah Kepulauan di Barat Sumatera dengan percepatan puncak maksimum (PGA) yang diakibatkan oleh sumber gempa subduksi ini adalah antara 0,05g – 0,95g (huruf g menunjukkan percepatan gravitasi bumi = 9,81 m/det2) Model Sumber Gempa Sesar Model
gempa
sesar
yang
digunakan
di
Studi Bahaya Guncangan Tanah...Sumatera Barat (Prihantono, J., et al.) dalam penelitian ini adalah Sesar Semangko yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan dan membentuk Pegunungan Bukit Barisan di sepanjang Pulau Sumatera (id.wikipedia. org). Dari hasil pengolahan data Sesar Semangko, diperoleh percepatan puncak di batuan dasar untuk
probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun adalah 0,05g – 1,35g seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Model Sumber Gempa Gabungan Peta percepatan di batuan dasar akibat kombinasi
Gambar 1.
Peta percepatan puncak (PGA) di batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun akibat sumber gempa subduksi di Barat Sumatera.
Gambar 2.
Peta percepatan puncak di batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun akibat sumber gempa Patahan Sesar Semangko di Pulau Sumatera. 89
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 85-94 ketiga sumber gempa untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun untuk Propinsi Sumatera Barat ditunjukkan pada Gambar 3. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa daerah-daerah yang mempunyai nilai guncangan tanah cukup tinggi adalah daerah yang dekat dengan sumber gempa, yaitu di Kepulauan Mentawai yang dekat dengan subduksi, dan daerahdaerah yang dekat dengan Sesar Semangko. Nilai percepatan gempa di Propinsi Sumatera Barat sekitar 0,1g – 1,2g, menurut perhitungan analisis bahaya gempa secara probabilistik yang diperoleh. Perbandingan Hasil yang Diperoleh dengan Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 Hasil peta percepatan yang dibuat pada penelitian ini memiliki pola dan nilai yang mirip dengan peta hazard gempa Tahun 2010 yang dibuat oleh Tim Revisi Peta Gempa Indonesia dan KemenPU seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4. Jika terdapat perbedaan, mungkin dikarenakan pada penelitian ini menggunakan resolusi tinggi atau jarak antar titik yang cukup rapat, dan data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data gempa yang lebih banyak dan termutakhir.
Gambar 3.
90
Analisis Guncangan Tanah di Wilayah Pesisir Propinsi Sumatera Barat Setelah dilakukan validitas maka hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk menganalisis tingkat bahaya gempa bumi berdasarkan nilai guncangan tanah di wilayah pesisir Propinsi Sumatera Barat. Peta bahaya guncangan tanah untuk wilayah pesisir di Propinsi Sumatera Barat ditunjukkan pada Gambar 5. Pembagian tingkat bahaya gempa bumi pada penelitian ini ditentukan oleh penulis dengan mengacu pada klasifikasi pembobotan faktor amplifikasi untuk PGA menurut Tim Revisi Peta Gempa Indonesia (2010) seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Pada Gambar 5 terlihat bahwa Propinsi Sumatera Barat memiliki nilai PGA berkisar anatara 0,25g - >0,6g. Dari Tabel 1 dapat dikatakan bahwa Propinsi Sumatera Barat terletak di zona bahaya gempa bumi dari agak rawan hingga sangat rawan. Pada penelitian ini dibuat urutan tingkat kerawanan guncangan tanah akibat gempa untuk kabupaten pesisir di Propinsi Sumatera Barat dari yang paling rawan menuju yang kurang rawan yang ditunjukkan dalam Tabel 2. Urutan kerawanan tersebut ditentukan oleh penulis berdasarkan pada nilai PGA yang dominan di wilayah kabupaten pesisir.
Nilai guncangan tanah di wilayah pesisir Propinsi Sumatera Barat yang dinyatakan dalam PGA di batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun.
Studi Bahaya Guncangan Tanah...Sumatera Barat (Prihantono, J., et al.)
Gambar 4.
Gambar 5.
(a) (b) (a) Peta percepatan di batuan dasar akibat kombinasi ketiga sumber gempa untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun di Propinsi Sumatera Barat yang dibuat dalam studi ini, dan (b) peta hazard gempa Indonesia 2010 oleh Tim Revisi Peta Gempa Indonesia dan KemenPU.
Peta percepatan di batuan dasar di wilayah pesisir Propinsi Sumatera Barat untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun. 91
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 85-94 Tabel 1.
Klasifikasi tingkat bahaya gempa bumi berdasarkan nilai pga di batuan dasar Percepatan Batuan ≤ 0,1g 0,2g 0,3g 0,4g ≥ 0,5g
Tabel 2.
Tingkat Bahaya Gempa Tidak Rawan Agak Rawan Cukup Rawan Rawan Sangat Rawan
Urutan kerawanan guncangan tanah akibat gempa di kabupaten pesisir propinsi sumatera barat dari yang paling rawan menuju yang kurang rawan
No. Kota/Kabupaten Kisaran Nilai PGA Tingkat Urut Pesisir Nilai PGA Dominan Bahaya Gempa 1 2 3 4 5 6 7
Mentawai Agam Pesisir Selatan Padang Padang Pariaman Pasaman Kota Pariaman
0,5g – 1,2g 0,25g – 1,2g 0,3g – 1,2g 0,3g – 1,2g 0,25g – 1,2g 0,25g – 1,2g 0,25g – 0,35g
0,6g – 1,2g 0,25g – 1,2g 0,3g – 0,4g 0,3g – 0,35g 0,25g – 0,35g 0,25g – 0,3g 0,25g
Sangat Rawan Agak Rawan s.d Sangat Rawan Cukup Rawan s.d Sangat Rawan Cukup Rawan s.d Sangat Rawan Agak Rawan s.d Sangat Rawan Agak Rawan s.d Sangat Rawan Agak Rawan s.d Cukup Rawan
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa Kabupaten wilayah pesisirnya telah berhasil dibuat pada penelitian Mentawai adalah wilayah pesisir yang mempunyai nilai ini. Peta yang dihasilkan mempunyai pola dan nilai PGA guncangan tanah yang paling tinggi, kemudian disusul yang mendekati peta bahaya gempa yang dibuat oleh Kab. Agam, Kab. Pesisir Selatan, Kota Padang,Kab. Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, dengan resolusi Padang Pariaman, Kab. Pasaman dan Kota Pariaman. yang lebih baik. Kabupaten Mentawai memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi karena letaknya yang dekat dengan subduksi. Kabupaten Agam memiliki tingkat bahaya agak rawan di wilayah pesisirnya dan juga memiliki tingkat bahaya sangat rawan di wilayah pegunungannya, sehingga kabupaten ini dimasukkan ke dalam urutan kedua. Kabupaten Pesisir Selatan masih terpengaruh oleh subduksi meskipun jaraknya relatif jauh dari zona subduksi. Pengaruh subduksi tersebut ditunjukkannya oleh adanya zona guncangan tanah 0,35g – 0,4g pada wilayah pesisirnya seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Selain itu Kabupaten Pesisir Selatan juga dipengaruhi oleh Sesar Semangko sehingga Kabupaten ini berada di urutan ketiga untuk tingkat bahaya kegempaannya. Kabupaten/Kota pesisir lainnya mempunyai tingkat bahaya gempa agak rawan di dekat pantainya dan mempunyai tingkat bahaya gempa yang sangat rawan di daerah pegunungannya, namun zona sangat rawan tersebut tidak dominan. Kota Pariaman memiliki tingkat bahaya gempa cukup rawan karena letaknya yang cukup jauh dari subduksi dan Sesar Semangko. KESIMPULAN Peta guncangan tanah berdasarkan pada nilai PGA di batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun di Propinsi Sumatera Barat dan 92
Peta guncangan tanah yang dibuat menunjukkan bahwa Kabupaten pesisir di Propinsi Sumatera Barat mempunyai nilai PGA antara 0,25g – 1,2g yang berarti terletak di zona gempa bumi dari agak rawan hingga sangat rawan. Kabupaten Mentawai adalah kabupaten pesisir yang terletak pada zona sangat rawan gempa bumi. Dari penelitian ini disarankan agar di Propinsi Sumatera Barat sangat perlu adanya upaya mitigasi gempa bumi baik daerah kepulauannya, daratannya, serta wilayah pesisirnya dengan melakukan perancangan dan perencanaan infrastruktur tahan gempa, dan pembuatan kebijakan yang berbasis mitigasi bencana gempa oleh Pemda setempat. PERSANTUNAN Terima kasih sebesar-besarnya diucapkan kepada Kepala Puslitbang Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang KP, KKP atas bantuan dan motivasinya selama penelitian ini dilaksanakan. Tidak lupa ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Pemda Propinsi Sumatera Barat, Bappeda Propinsi Sumatera Barat dan BPBD Propinsi Sumatera Barat atas data, informasi dan diskusi yang diberikan selama penelitian ini dilaksanakan.
Studi Bahaya Guncangan Tanah...Sumatera Barat (Prihantono, J., et al.) DAFTAR PUSTAKA Bella, R.A. (2008). Pembuatan Program Interface untuk Software USGS PSHA 2007 dengan Studi Kasus Pembuatan Peta Spectra Hazard di Wilayah Nusa Tenggara Timur. Thesis Magister Teknik Sipil. Institut Teknologi Bandung. Campbell, K.W., and Bozorgnia, Y., .(2008). Ground motion model for the geometric mean horizontal component of PGA, PGV, PGD and 5% damped linear elastic response spectra for periods ranging from 0.01 to 10.0 s. Earthquake Spectra, V. 24, no. 1. Cornell, C.A., (1968). Engineering Seismic Risk Analysis, Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 58. Engdahl, E. R., Villasenor, A., DeShon, H. R & Thurber, C.H., (2007). Teleseismic relocation and assessment of seismicity (1918-2005) in region of the 2004 Mw 9.0 Sumatra-Andaman and 2005 Mw 8.6 Nias island great earthqukes, Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 97, S43-S61. Fauzi, U. J., (2011). Peta Deagregasi Indonesia Berdasarkan Analisis Probabilitas Dengan Sumber Gempa Tiga Dimensi. Tesis Magister Teknik Sipil. Institut Teknologi Bandung. Gardner, J.K. & L. Knopoff. (1974). Is the sequence of earthquakes in southern California, with aftersocks removed, Poissonian?. Bulletin of the Seimological Society of America, 64, 1363-1367. Harmsen, S. (2007). USGS Software For Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA). United States of Geological Surveys (USGS). Buku Manual. Kulkarni, R.B., Youngs, R.R., & Coppersmith, K.J.,(1984). Assessment of Confidence Interval for Results of Seismic Hazard Analysis. Proceedings, 8th World Conference on Earthquake Engineering, San Fransisco, Vol. 1. McGuire, R.K., .(2001). Deterministic vs. Probabilistic Earthquake Hazards and Risk, Risk Engineering Inc, Publication Paper.
Natawidjaja, D. H., (2007). Gempa bumi dan Tsunami di Sumatera dan Upaya untuk Mengembangkan Lingkungan Hidup yang Aman dari Bencana Alam, http://geospasial.menlh.go.id/assets/Analisis/ DHNLaporanKLH2007finalv2sm.pdf, diakses tanggal : 19 Nopember 2013. Pasau, G. & Tanauma, A., (2011). Pemodelan Sumber Gempa di Wilayah Sulawesi Utara Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi. Jurnal Ilmiah Sains Vol. 11, No 2. Purbani, D., Prihantono, J., Dewi, L.C., & Bramawanto, R.,.(2012). Kajian Kebijakan Penataan Wilayah Pesisir Propinsi Sumatera Barat Berbasis Mitigasi Bencana. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian, Puslitbang Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang KP, KKP. Reiter, L. (1990). Earthquake Hazard Analysis Issues and Insight. New York: Columbia University Press. Scordilis, E.M. (2006). Empirical Global Relations Converting MS and Mb to Moment Magnitude. Journal of Seismology, 10, 225-236. Sieh, K., Natawidjaja,D. H., Meltzner, A.J., Shen, C-C., Cheng, H., Li, K-S., Suwargadi, B., Galetzka, J., Philibosian, B., & Edwards, R.L.,( 2008). Earthquake Supercycles Inferred from SeaLevel Changes Recorded in the Corals of West Sumatra, Science, Vol. 322. no. 1674,.DOI: 10.1126/science.1163589. Tim Revisi Peta Gempa Indonesia. (2010). Peta hazard gempa Indonesia 2010 sebagai acuan dasar perencanaan dan perancangan infrastruktur tahan gempa. Kementerian Pekerjaan Umum. Wiemar, S. (2001). A software package to analyze seismicity: ZMAP. Seismological Research Letters, 72(2), 373-382. Widiyantoro, S. & Puspito, N. T., (1998). Tomografi Waktu Tempuh Gelombang S dan Struktur 3-D Zona Penunjaman di Bawah Busur Sunda. JMS Vol. 3 No. 2, hal 97 – 104. www.earthquake.usgs.gov/hazards/about/, tanggal 18 September 2013.
diakses
Natawidjaja, D., Sieh, K., Chlieh, M., Galetzka, J., Suwargadi, B., Cheng, H., Edwards, R.L., Avouac, www.id.wikipedia.org/wiki/Patahan_Semangko, J.P., & Ward, S.,(2006).Source parameters of the Diakses tanggal 18 September 2013. great Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls. Journal Youngs, R.P. & Coppersmith, K.J., (1985). Implications of Geophysical Research, VOL 111, B06403, of Fault Slip Rates and Earthquake Recurrence doi:10.1029/2005JB004025. Models to Probabilistic Seismic Hazard Estimates, 93
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 85-94 Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 75, No. 4, pp. 939-964.
94
Kemampuan Ekosistem Mangrove dalam Mereduksi Tsunami...Pulau Weh (Purbani, D., et al.)
KEMAMPUAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MEREDUKSI TSUNAMI DI TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH Dini Purbani1), Menno Fatria Boer2), Marimin3), I Wayan Nurjaya4) & FredinanYulianda5) 1) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang-KP, KKP Guru Besa Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. 3) Guru Besar Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. 4) Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan , IPB, Bogor 5) Staf Pengajar Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. 2)
Diterima tanggal: 13 April 2013; Diterima setelah perbaikan: 24 Juni 2013; Disetujui terbit tanggal 25 Oktober 2013
ABSTRAK Bencana geologi gempabumi pada 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,0 hingga 9,3 MW mengakibatkan terjadinya tsunami, yang telah menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem, infrasturktur dan kehilangan jiwa dan harta benda. Tinggi gelombang datang (run up) mencapai 30 m terjadi di bagian barat Banda Aceh. Penelitian ini memodelkan tinggi gelombang datang 30 m. Model sebaran genangan atau inundasi mengunakan model builder dengan parameter seperti: kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Hasil dari model builder diketahui sebaran genangan di pesisir. Untuk mengurangi sebaran genangan menggunakan kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove, metode tersebut hasil penelitian peneliti tsunami Harada dan Imamura untuk mereduksi genangan. Hasil dari model builder diketahui luas genangan seluruhnya 427,69 ha masing-masing untuk hutan mangrove 39,75 ha, hutan 303,07 ha, kebun 25,66 ha, lahan terbangun 6,18 ha dan lahan terbuka 53,02 ha.Ekosistem mangrove mereduksi luas sebaran genangan menjadi 290,77 ha. Terjadi pengurangan inundasi sebesar 1,47%. Kata kunci: bencana geologi, sebaran genangan, ekosistem mangrove. ABSTRACT Earthquake disaster on December 26, 2004 had a magnitude of 9.0 to 9.3 Mw resulting tsunami.This resulted in damages to infrastructure, buildings, ecosystems and the distribution of coastal inundation. The up to 30 m high run up occurred in west Banda Aceh. As a model this research used run up 30 m. The distribution of inundation was derived from model builder using parameters such as: slope and land use. This resulted in the inundation distribution in the coastal zone. To reduce the spread of inundation, the method – found by tsunami researchers Harada and Imamura, density and thickness of the mangrove ecosystem were applied. From the model builder, it was known the total area of inundation of 427. 69 ha as follows: mangrove forest: 39.75 ha, forest: 303.07 ha, vegetation: 25.66 ha, land built: 6.18 ha and open land: 53. 02 ha. Mangrove ecosystems reduced the widespread of inundation distribution to 290.77 ha, which is 1.47%. Keywords: geological disaster, widespread of inundation, mangrove ecosystem.
PENDAHULUAN Pulau Weh yang terletak di sebelah barat laut Pulau Sumatera merupakan pulau kecil yang memiliki luas 153 km2. Pulau Weh tersusun oleh batuan vulkanik dan sedimen karbonatan. Jenis pulaunya termasuk dalam pulau komposit. Sebaran batuan vulkanik berada di sisi barat Pulau Weh sedangkan sedimen karbonatan berada di sisi timur. Pulau Weh memiliki habitat ekosistem mangrove yang berada di bagian tengah dengan substrat batu pasir. Ekosistem mangrove di Pulau Weh terdiri atas marga Rhizopora, Sonneratia, Xylocarpus dan Bruguiera. Marga Rhizopora hampir terdapat di setiap ekosistem mangrove. Keberadaan ekosistem mangrove terletak di sekitar Teluk Loh Pria Laot. Sebaran habitat ekosistem mangrove sebagian besar berada di teluk dan terlindung dari ombak. Pada
umumnya sebaran habitat ekosistem mangrove di pulau kecil sangat terbatas berbeda dengan kondisi di pulau besar. Terbentuknya ekosistem mangrove karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat. Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, suplai hara dan stabilitas sedimen. Faktor utama yang mempengaruhi komunitas mangrove adalah salinitas, tipe tanah, ketahanan terhadap arus air dan gelombang laut. Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi laut ke daratan, sehingga dalam kondisi alami, campur tangan manusia sangat terbatas dalam membentuk zonasi vegetasi (Giessen, W., 1993). Suplai sedimen di pulau kecil sedikit, karena jumlah
Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email:
[email protected]
95
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 95-106 sungai di pulau kecil terbatas, sebagian besar sifat sungai intermiten atau musiman. Oleh karena itu ketebalan dan kepadatan ekosistem mangrove di pulau kecil tidak luas. Sifat ekosistem mangrove secara fisik dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari abrasi, tsunami, intrusi air laut dan dapat pula mengolah limbah (Saenger, 1983; Salim, 1986; Naamin, 1991). Sumber gempabumi yang terjadi 26 Desember 2004 sumber gempa bumi berada sekitar 250 km barat daya Banda Aceh dengan kedalaman pusat gempa sekitar 45 km (Borreo, 2006). Dengan kekuatan gempa 9,1-9,3 MW atau 9,3 SR yang terjadi di dasar samudera, gempa dasyat ini menyebabkan terjadinya tsunami (Lay et al. 2005;USGS 2004). Titik pusat gempa bumi berada di lepas pantai bagian barat pesisir Sumatera Utara. Lokasi gempa berada pada 3o 31,6 ‘ U dan 95o 85,4 ‘ T dengan kedalaman sumber gempa 30 km dari permukaan laut (USGS, 2004). Dampak dari gempabumi dan tsunami mengakibatkan terjadi kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang serta kehilangan jiwa dan harta benda. Kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi antara lain ; mangrove tampak ada yang tumbang, patah, tercabut dari akarnya dan hanyut (Gambar 1). Kerusakan terumbu karang pasca bencana gempabumi dan tsunami tampak beberapa koloni terumbu karang ditemukan ada yang patah, terbalik dan mati tertutup sedimen. Komunitas karang yang paling banyak mengalami kerusakan adalah karang keras. Umumnya kerusakan terumbu karang terjadi pada lapisan yang tidak padat, mudah lepas dan berada di lereng (Baird et al., 2005). Kehilangan jiwa dan harta benda (berdasarkan data dari Pemerintah daerah Kota Sabang Tahun 2004) dapat dirinci sebagai berikut: korban jiwa dan benda terdiri atas 11 orang meninggal, 843 rumah rusak, 31 gudang bengkel, 11 ruko, 99 warung sehingga total kerugian mencapai Rp. 145.097.506.000,-. Kerusakan yang cukup parah terjadi di sisi timur Pulau Weh yang berbatasan dengan Selat Malaka dan di bagian tengah
Gambar 1. 96
yaitu di sekitar Teluk Loh Pria Laot. Di sisi barat Pulau Weh tidak mengalami kerusakan karena jenis pantai merupakan pantai bertebing tinggi (pantai cliff) yang tersusun oleh batuan vulkanik. Teluk Balohan dan Teluk Loh Pria Laot memiliki jenis pantai berpasir dengan kemiringan pantai 2o-3o, sehingga pada saat terjadi gelombang datang wilayah di sekitar mengalami kerusakan. Karakteristik pantai Pulau Weh terdapat di Gambar 2. Jenis pantai di Pulau Weh dibagi menurut tipologi pantai antara lain; 1. Pantai Berpasir, 2. Pantai Bertebing Tinggi (cliff) dan Pantai berbatu, kemudian 3. Pantai Mangrove. (Dolan, 1972) Mitigasi tsunami dapat dilakukan secara fisik dan non fisik. Upaya fisik meliputi pembuatan break water (pemecah gelombang), sea wall (tembok laut), shelter (tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan), vegetasi pantai, retrofitting (penguatan bangunan) dan lain-lain. Sedangkan upaya nonfisik di antaranya pendidikan, pelatihan, penyadaran masyarakat, tata ruang, zonasi, relokasi, peraturan perundangan dan penerapan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management-ICZM) (Diposaptono & Budiman, 2008). Upaya yang dilakukan dalam mereduksi gelombang datang (run up) di Teluk Loh Pria Laot memanfaatkan ekosistem mangrove. Tinggi gelombang datang (run up) yang dimodelkan adalah 30 meter, karena tinggi gelombang tersebut terjadi di bagian barat Banda Aceh (USGS, 2004; Borreo, 2005). Akibat tinggi gelombang tersebut menyebabkan terjadi inundasi di pesisir pantai yang menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove, infrastruktur dan korban jiwa. Tujuan penelitian adalah untuk: 1) mengetahui lokasi yang rentan terhadap gelombang datang, 2) melakukan pengukuran ketebalan dan kerapatan ekosistem mangrove, 3) mengetahui luas sebaran genangan yang menutupi penggunaan lahan, 4) mengetahui tingkat kerentanan di lokasi penelitian, 5) mengetahui kemampuan ekosistem mangrove dalam mereduksi genangan. Manfaat yang diharapkan dari
Kerusakan ekosistem mangrove lokasi Pantai Lhut.
Kemampuan Ekosistem Mangrove dalam Mereduksi Tsunami...Pulau Weh (Purbani, D., et al.) penelitian ini adalah dapat mengetahui kemampuan ekosistem mangrove dalam mereduksi gelombang datang.
tersebut digunakan ekosistem mangrove yang mempunyai efektifitas dalam mereduksi tsunami.
METODE PENELITIAN Pencatatan tsunami telah dikembangkan suatu hubungan antara tinggi tsunami di daerah pantai Penelitian dilakukan di Pulau Weh antara 15 dan magnitude/besaran tsunami dinyatakan dalam November 2009 – 9 November 2011 di wilayah m. Besaran tsunami bervariasi mulai dari m = -2.0 administratif Kecamatan Sukakarya. Secara yang memberikan tinggi gelombang kurang dari 0,3 m administratif lokasi penelitian berada pada posisi 05o sampai m = 5 untuk gelombang lebih besar dari 32 m, 50’ - 05o 54’ Lintang Utara dan 95o 14’ - 95o 17’ Bujur seperti tertera dalam Tabel 1. Timur (Gambar 3). Batas wilayah penelitian mencakup: Selat Malaka (Utara-Timur), Kecamatan Sukajaya Tinggi gelombang datang dapat direduksi dengan (Barat) dan Samudera Hindia (Selatan). ekosistem mangrove sebagaimana yang telah dilakukan oleh peneliti tsunami Harada & Imamura Data yang digunakan dalam penelitian (2003) dari Universitas Tohoku. Dalam penelitian menggunakan data lapangan dan data sekunder. Data
Gambar 2. Tabel 1.
Karakteristik pantai di Pulau Weh. Sumber: Purbani et al., 2005 Hubungan magnitudo dan tinggi tsunami di pantai (Iida,1963) Magnitude Tsunami (m)
Tinggi tsunami/H (meter)
5,0 >32 4,5 24-32 4 16-24 3,5 12 -16 3 8-12 2,5 6-8 2 4-6 1,5 3-4 1 2-3 0,5 1,5-2 0 1-1,5 -0,5 0,75-1 -1 0,5-0,75 -1,5 0,3-0,5 -2 <0,3 97
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 95-106
Gambar 3.
Lokasi Pengambilan Contoh Ekosistem Mangrove.
lapangan hasil pengamatan transek kuadrat pada ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove dilakukan ulangan 3 kali pada petak semai, pancang dan pohon. Lokasi pengamatan: 1). Pantai Taman Wisata Alam (TWA) Alur Paneh, 2). Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, 3). Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, 4). Pantai Lhut 1, 5). Pantai Lhut 2 dan 6). Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong (Gambar 4). Pengambilan contoh ekosistem mangrove secara ekologis dibedakan ke dalam stadium pertumbuhan semai, pancang dan pohon.
Rupa Bumi Indonesia (RBI) Sabang lembar 042154&53. Data citra Alos-Avnir 2 dan Quickbird perlu dilakukan koreksi geometri. Proses koreksi geometri menggunakan acuan Peta RBI lembar 0421-54 & 53 Sabang. Proses koreksi dengan memberikan titiktitik koordinat kontrol (Ground Control Point) yang merata di seluruh Pulau Weh, sehingga diperoleh citra Quickbird yang terkoreksi geometri. Citra AlosAvnir 2 dikoreksi menggunakan citra Quickbird yang sudah terkoreksi. Citra Quickbird digunakan untuk mengekstraksi garis pantai Pulau Weh sedangkan citra Alos-Avnir 2 digunakan untuk klasifikasi tutupan lahan/ Pada setiap transek diletakkan secara acak petak- penggunaan lahan secara visual. Setelah didapatkan petak contoh (plot) yang ditempatkan di sepanjang jenis penggunaan lahan kemudian dikonversi ke nilai garis transek. Jarak antar kuadrat ditetapkan secara kekasaran permukaan mengikuti Putra (2008) seperti sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur tersaji dalam Tabel 2. vegetasi. Kelompok semai berukuran petak 1x1 m2(A) yang ditempatkan pada petak kelompok semai Sebaran genangan yang terjadi di pesisir (diameter <2 cm). Kelompok pancang petak berukuran dimodelkan dengan menggunakan persamaan 5x5 m2 (B) yang ditempatkan pada petak kelompok Barryman (2005). Persamaan tersebut menggunakan pancang (diameter 2-10 cm). Kelompok pohon petak parameter nilai kekasaran permukaan, kemiringan merupakan pohon dewasa berukuran 10 x10 m2 lereng (slope) dan tinggi gelombang datang (run (C) yang ditempatkan pada petak kelompok pohon up) 30 m. Nilai kekasaran permukaan diperoleh dari (diameter > 10 cm). Pada setiap petak contoh dilakukan analisis tutupan lahan hasil olehan citra Alos-Avnir 2. determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang Nilai kemiringan lereng (slope) diperoleh dari Peta ada, dihitung induvidu tiap jenis, dan ukuran lingkar RBI lembar Sabang dan tinggi gelombang datang (run batang setiap pohon mangrove yang ada, parameter up) yang dimodelkan adalah 30 m, dijabarkan dalam lingkungan (suhu, salinitas, DO dan pH), tipe substrat, persamaan (1). dampak kegiatan manusia pada setiap stasiun (Bengen 2001) diilustrasikan pada Gambar 4. Selanjutnya data sekunder yang digunakan adalah citra Alos-Avnir 2 yang diakusisi tanggal 13 Juli 2008. Data citra Quickbird yang mempunyai rseolusi 2,44 m direkam pada 28 April 2006 hasil unduhan dari Google Earth. Data vektor terdiri atas peta 98
Kemampuan Ekosistem Mangrove dalam Mereduksi Tsunami...Pulau Weh (Purbani, D., et al.)
........................................... 1)
dimana : Hloss adalah hilangnya ketinggian tsunami per 1 m dari jarak inundasi n adalah koefisien kekasaran permukaan H0 adalah ketinggian gelombang tsunami di garis pantai S adalah besarnya lereng permukaan
dari garis pantai maka digunakan deliniasi garis pantai dari citra Quickbird yaitu resolusi/ukuran sel piksel dibuat 10, 11). pembagian antara H loss dengan sel piksel bernilai 10 untuk mendapatkan cost distance, 12). proses matematik cost distance menggunakan parameter tinggi gelombang datang (run up) 30 m yang dianotasikan dengan maximum distance, merupakan hasil pembagian H loss dengan nilai sel piksel 10 dan garis pantai dari citra Quickbird, 13). hasil dari perhitungan cost distance dapat diketahui sebaran genangan di garis pantai hingga pedalaman (hinterland) yang kemudian di simpan di dua folder yang berbeda. Hasil proses dari model builder menghasilkan model genangan akibat tsunami. Sebaran genangan terjadi di sepanjang pesisir timur sekitar Teluk Loh Pria Laot yang berada di bagian tengah dari Pulau Weh. Oleh karena itu perlu di sekitar Teluk Loh Pria Laot dilakukan reduksi sebaran genangan dengan ekosistem mangrove.
Persamaan (1) diolah dengan menggunakan model builder salah satu aplikasi dari ARCGIS 9.3. Proses tahapan dalam mengaplikasikan model builder (Gambar 5) sebagai berikut: 1) memasukkan parameter nilai sloperadian diperoleh dari Peta Kemiringan Lereng. Nilai atribut yang digunakan adalah slopdegree, 2). dilakukan perhitungan matematika untuk mendapatkan sinslope, 3). perkalian antara Sebaran genangan yang terjadi di pesisir Teluk Loh sinslope dengan konstanta 5 menghasilkan 5 sinslope, 4). masukkan parameter nilai kekasaran permukaan Pria Laot perlu diketahui tingkat kerentanannya. Dari (n2) yang terdiri atas hutan, vegetasi mangrove, kebun, tingkat kerentanannya, dapat diketahui wilayah mana lahan terbangun dan lahan terbuka, nilai tersebut saja yang rentan terhadap inundasi akibat tsunami. dikuadratkan, 5).dilakukan perkalian antara nilai Langkah pertama dilakukan proses pembuatan Peta kekasaran permukaan (n2) dan konstanta 167, 6) Tingkat Kerentanan dengan melakukan tumpang menghasilkan 167n2, 7). masukkan parameter tinggi susun (overlay) dengan Peta Kontur, Peta Bentuk gelombang datang (run up) sebesar 30 m yang lahan dan Peta Jarak Genangan 30 m. Setelah dianotasikan sebagai H0, kemudian H0 dipangkatkan didapatkan Peta Kerentanan, diketahui wilayah yang 1/3 menjadi H01/3, 8). dilakukan pembagian antara rentan, selanjutnya dilakukan reduksi inundasi dengan 167n2 dengan H01/3 9). penjumlahan antara 5 sinslope ekosistem mangrove seperti yang dilakukan peneliti dengan (167 n2 dibagi H01/3), 10). menghasilkan H dari Universitias Tohoku. loss, 11). untuk mendapatkan sebaran genangan
A : Petak pengukuran kategori semai. Petak contoh (1x1) m2 dengan diamter < 2 cm B : Petak pengukuran kategori pancang. Petak contoh (5 X 5) m2 dengan diameter 2-10 cm C : Petak pengukuran kategori pohon. Petak contoh (10 X 10) m2 dengan diameter > 10 cm
Gambar 4. Tabel 2.
Desain unit contoh pengamatan vegetasi di lapangan dengan metode jalur. Nilai kekasaran permukaan untuk pemodelan tsunami (Putra, 2008) Jenis Penggunaan Lahan
Kekasaran Permukaan
Hutan 0,070 Hutan Mangrove 0,025 Kebun 0,035 Lahan Terbangun 0,045 Lahan Terbuka 0,015 99
Gambar 5.
Skema model builder untuk genangan/inundasi.
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 95-106
100
Kemampuan Ekosistem Mangrove dalam Mereduksi Tsunami...Pulau Weh (Purbani, D., et al.) Peneliti tsunami asal Jepang, Harada & Formula Reduksi Tsunami I Imamura dari Universitas Tohoku (2003) dalam Diposaptono & Budiman (2008) menerangkan ........................................... 2) vegetasi pantai dengan tebal 200 m, kerapatan 30 2 pohon per 100 m , dan diameter pohon 15 cm dapat dengan : meredam 50 persen energi tsunami dengan tinggi D adalah ketebalan di setiap lokasi pengamatan gelombang datang (run up) 3 m. Hasil peneliti lain R adalah kerapatan di setiap lokasi pengamatan yaitu Pratikno et al. (2002) gelombang datang (run D max adalah ketebalan maksimal (238 meter) up) setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi R max adalah kerapatan maksimal (17 pohon dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 per 100 m2) Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove sehingga tinggi gelombang menjadi 0,73 m. Uraian Persamaan (2) kemudian dibuat dalam bentuk reduksi tsunami dari Harada & Imamura tersebut spasial menghasilkan Peta Reduksi Tsunami I. Peta diaplikasikan ke wilayah penelitian, dengan Reduksi Tsunami I menginformasikan kemampuan menggunakan kerapatan dan ketebalan mangrove ekosistem mangrove dalam mereduksi tsunami. hasil pengamatan lapangan. Dari pengamatan Proses selanjutnya dilakukan tumpang susun (overlay) lapangan kerapatan 17 pohon per 100 m2 dan nilai antara Peta Reduksi Tsunami I dengan Peta Tingkat ketebalan maksimal 238 m terdapat di Lhok Weng 3/ Kerentanan menghasilkan Peta Reduksi Genangan I. Teupin Layeue 2. Nilai tersebut diaplikasikan di daerah Tujuan dari proses overlay untuk mengetahui seberapa penelitian dengan menggunakan tinggi gelombang besar ekosistem mangrove dapat mereduksi tsunami. datang (run up) 30 m. Perhitungan mendapatkan Adapun persamaan yang digunakan untuk proses ini nilai reduksi pada tinggi gelombang datang 30 m, menggunakan persamaan (3). diperoleh dengan cara melakukan perbandingan pada tinggi gelombang datang 3 m. Hasil dari perhitungan Reduksi Genangan = [Total_Skor] – [Total_Skor x Tsu_ Mng_Rd] …………............…. 3) perbandingan diperoleh nilai kemampuan mereduksi 33,72 persen. Namun daerah kajian tinggi yang dimodelkan menggunakan tinggi gelombang datang dengan: Total_Skor = tumpang susun (overlay) Peta (run up) 30 m, mengacu hasil penelitian Imamura & Kontur, Peta Genangan Gelombang Datang 30 m Iida (1949) dalam Diposaptono & Budiman 2008, jika dan Peta Bentuk lahan tinggi gelombang datang (run up) 30 m maka skala Tsu_Mng_Rd = Tsunami Mangrove Reduksi magnitudo 4. Dengan demikian jika diinterpretasikan maka skala magnitudo 4 kali lebih besar dari tinggi gelombang datang (run up) 1 m, sehingga HASIL DAN PEMBAHASAN kemampuan mereduksi pada tinggi gelombang 30 Genangan akibat tsunami menutupi penggunaan m lebih rendah dari tinggi gelombang 1 m. Dengan demikian kemampuan mereduksi gelombang datang lahan adalah: hutan mangrove, hutan, kebun, lahan 8,43 persen (33,72 persen/skala magnitudo 4), nilai terbangun dan lahan terbuka. Hasil penggunaan lahan tersebut sebagai dasar pengukuran dalam mereduksi kemudian dimodelkan dengan aplikasi model builder sehingga menghasilkan Peta Genangan (Gambar 6). tsunami diperjelas dalam persamaan (2).
Gambar 6.
Peta Genangan. 101
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 95-106 Pemodelan genangan menggunakan tinggi gelombang datang (run up) 30 m terjadi inundasi/ genangan hampir di semua penggunaan lahan. Luas genangan seluruhnya 427,69 ha masing-masing untuk hutan mangrove 39,75 ha, hutan 303,07 ha, kebun 25,66 ha, lahan terbangun 6,18 ha dan lahan terbuka 53,02 ha. Wilayah yang tergenang cukup luas dapat dikatakan terjadi di sepanjang pesisir Kecamatan Sukakarya.
Penyebaran kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove di daerah penelitian terbatas, hal ini merupakan sifat ekosistem mangrove yang berada di pulau kecil. Penyebaran ekosistem mangrove di lokasi penelitian tertera pada Peta Ekosistem Mangrove (Gambar 8) sedangkan ketebalan dan kerapatan dari masing-masing lokasi terdapat dalam Tabel 4.
Hasil pengamatan menunjukan Lhok Weng 3/ Teupin Layeu 2 memiliki kerapatan dan ketebalan Wilayah yang tergenang di pesisir Teluk Loh yang maksimal yaitu 17 pohon/100 m2 dan 238,73 m. Pria Laot mempunyai kerentanan yang berbeda-beda. Oleh karena itu upaya mitigasi yang dilakukan pada Hasil analisis menunjukkan luas sebaran genangan penelitian ini dengan mengaplikasikan kerapatan dan dari masing-masing kelas tertera pada Tabel 3 ketebalan maksimal yaitu 17 pohon per 100 m2 dan dan ditunjukkan secara spasial pada Peta Tingkat 238,73 m ke dalam analsis SIG dengan menggunakan Kerentanan (Gambar 7). persamaan 2. Persamaan 2 dibuat dalam bentuk spasial ke dalam masing-masing ekosistem mangrove Wilayah di pesisir timur Pulau Weh atau yang menghasilkan Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 9). berhadapan dengan Teluk Loh Pria Laot memiliki Peta Reduksi Tsunami I menginformasikan nilai yang kerentanan yang sangat tinggi, namun semakin terendah 0,02 dan tertinggi 0,12, kemudian diolah mengarah ke arah pedalaman (hinterland) tingkat untuk mendapatkan 4 kelas, rentang nilai tertinggi kerentanannya menjadi cukup rentan dan aman. Hal dikurangi nilai terendah dibagi 4 (0,12-0,02)/4, maka ini dipengaruhi oleh jarak dari garis pantai dan kontur. diperoleh interval kelas 0,026. Pembagian 4 kelas Semakin jauh dari garis pantai dan berada pada yaitu 1. Rendah (0,02-0,04), 2. Sedang (0,04-0,08), kontur diatas 25 dari permukaan laut maka kerentanan 3.Tinggi (0,07-0,09) dan 4. Sangat Tinggi (0,09-0,12). menjadi cukup rentan dan aman. Peta Reduksi Tsunami I terbagi dalam 4 kelas tertera dalam Tabel 5. Sebaran genangan/inundasi yang terdapat di pesisir dapat direduksi dengan ekosistem mangrove. Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 9)
Gambar 7. Tabel 3.
Peta Tingkat Kerentanan. Luas sebaran genangan dari masing-masing kelas tingkat kerentanan Kelas Tingkat Kerentanan
Luas sebaran genangan (ha)
Aman 2,69 Cukup Rentan 31,40 Rentan 102,69 Sangat Rentan 293,04 102
Kemampuan Ekosistem Mangrove dalam Mereduksi Tsunami...Pulau Weh (Purbani, D., et al.)
Gambar 8.
Peta Ekosistem Mangrove.
Tabel 4.
Hasil pengukuran kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove No
Lokasi Pengamatan
Kerapatan (pohon/100 m2)
Ketebalan (m)
1 Pantai Lhut 2 9 99,54 2 TWA Alur Paneh 8 171,78 3 Teluk Boih 8 171,78 4 Lhok Weng 1/Lam Nibong 13 50,91 5 Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 14 104,20 6 Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b 14 104,20 7 Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 17 238,73
Gambar 9.
Peta Reduksi Tsunami I.
menginformasikan kemampuan ekosistem mangrove dengan kerapatan yang sesuai dengan lokasi pengamatan dalam mereduksi tsunami. Proses selanjutnya dilakukan usaha untuk mereduksi genangan akibat tsunami dengan cara Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 9) dilakukan proses tumpang susun
(overlay) dengan Peta Tingkat Kerentanan (Gambar 7) menggunakan persamaan 3 menghasilkan Reduksi Genangan I. Hasil proses Reduksi Genangan I dibuat spasial menjadi Peta Reduksi Genangan (Gambar 10) terbagi dalam 4 kelas yang terdapat dalam Tabel 6. 103
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 95-106 Tabel 5.
Kelas tingkat reduksi mangrove Kisaran Nilai Total Overlay
Tingkat Reduksi
Kelas Tingkat Reduksi
TRM<0.04 1 Rendah 0.04
0.09 4 Sangat Tinggi Ket: TRM = Tingkat Reduksi Mangrove
Gambar 10. Tabel 6.
Peta Reduksi Genangan. Kelas Reduksi Genangan Kisaran Nilai Total_Skor
Tingkat Kerentanan
Kelas Tingkat Kerentanan
RG I< 230 1 Aman 230 330 4 Sangat Rentan Ket RG I = Reduksi Genangan
Peta Reduksi Genangan (Gambar 10) sebaran Kelas Sangat Rentan tersebar di wilayah pesisir timur lokasi penelitian dengan luas sebaran 290,77 ha, luas Kelas Rentan 104,66 ha, luas Kelas Cukup Rentan 31,71 ha dan luas Kelas Aman 2,74 ha. Pola sebaran genangan semakin ke arah dalam semakin aman dengan luas yang relatif kecil. Luas sebaran sangat rentan tampak terdapat di sepanjang pesisir timur Teluk Lhok Pria Laot. Terjadi pengurangan inundasi/genangan n setelah direduksi dengan ekosistem mangrove. Luas inundasi sebelum direduksi adalah 427,69 ha, dan setelah direduksi dengan ekosistem mangrove menjadi 290,77 ha, inundasi berkurang 1,47% .
104
KESIMPULAN 1. Tsunami yang terjadi di sisi timur Pulau Weh mengakibatkan kerusakan ekosistem mangrove di Pantai Lho Weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Pantai Lhok Weng 3/ Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lho Lhok Weng 1/Lam Nibong. Kerusakan Pantai Taman Wisata Alur Paneh dan Teluk Boih tidak parah karena memiliki garis pantai sejauh 30-50 m terhadap ekosistem mangrove. 2. Pengukuran ketebalan dan kerapatan ekosistem Mangrove di setiap lokasi pengamatan memiliki kerapatan dan ketebalan yang berbeda-beda. Ketebalan dan kerapatan maksimal berada di Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 dengan nilai ketebalan 238 m dan kerapatan 15 pohon per 100 m2.
Kemampuan Ekosistem Mangrove dalam Mereduksi Tsunami...Pulau Weh (Purbani, D., et al.) 3. Luas genangan seluruhnya yaitu 427, 69 ha masing-masing untuk hutan mangrove 39,75 ha, hutan 303,07 ha, kebun 25,66 ha, lahan terbangun 6,18 ha dan lahan terbuka 53,02 ha. 4. Hasil analisis dari Peta Reduksi Genangan I tampak di wilayah pesisir sangat rentan tsunami dengan sebaran genangan seluas 290, 77 ha, luas Kelas Rentan 104, 66 ha, luas Kelas Cukup Rentan 31, 71 ha dan luas Kelas Aman 2, 74 ha. Pola sebaran genangan semakin ke arah dalam semakin aman dengan luas yang relatif kecil. 5. Genangan akibat tsunami menutupi semua penggunaan lahan dengan luas sebaran 427, 69 ha dan setelah direduksi dengan ekosistem mangrove, maka luas genangan menjadi 290, 77 ha. Terjadi pengurangan sebesar 1, 47%. Saran Hasil analisis wilayah yang rentan terhadap gelombang datang/tsunami terdapat di sepanjang pesisir Teluk Loh Pria Laot, yang saat ini dimaanfatkan untuk permukiman, perdagangan, sekolah dan wisata bahari. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya mitigasi yang bersifat fisik dan non fisik sehingga masyarakat adaptif terhadap bencana tsunami yang dapat terjadi setiap waktu. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr Budi Sulistiyo yang telah memberikan kesempatan penulis untuk meneliti di Pulau Weh, 2. Sdr Arie dari Geografi Universitas Gajah Mada, Sdr Urban dan Sdr Hijaz dari Univeresitas Hasanuddin yang membantu penulis dalam mengolah data. 3. Makalah ini sudah pernah dipresentasikan di acara Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia (ISOI) pada tanggal 23 Oktober 2012 bertempat di Hotel Grand Legy Mataram NTB. 4. Tulisan ini kelanjutan dari “Kondisi Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami di pesisir Teluk Loh Pria Laot Pulau Weh dan Upaya Rehabilitasi” yang telah dimuat di Jurnal Segara Volume 7 Nomor 2 Hal 113-119 Desember 2011. DAFTAR PUSTAKA Baird, A. H., Campbell, S. J., Anggoro A. W.,. Ardiwijaya, R. L., Fadli. N, Herdiana, Y., Kartawijaya, T., . Mahyiddin. D., Mukminin. A., Pardede. S. T., Pratchett. M. S., Rudi. E. & Siregar. A. M. (2005). Acehnese reefs in the wake of the Asian tsunami. Current Biology 15:1926-1930. Berryman K. (2006). Review of tsunami hazard and risk in New Zealand. Lower Hutt: Institute of
Geological and Nuclear Sciences. [BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. (2011). DraftSurvei pemetaan mangrove. Rancangan Standar Nasional ke 2. Bengen DG. (2001). Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Borrero, J.C. (2005). Field survey of Northern Sumatra and Banda Aceh, Indonesia after the tsunami and earthquake of 26 December 2004.Seism. Res. Lett. 76:312–20. Diposaptono S, & Budiman. (2008). Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Penerbit Buku Ilmiah Populer Bogor. Doland, R., (1972). Classification of The Coastal Environment of The World I, The Americas. Giessen, W. (1993). Indonesia Mangrove . An update on Remaining area and Management Issues. Presented at International Seminar on Coastal Zone Management of Small Ecosystem.Ambon. Iida, K. (1963). Magnitude, energy, and generation mechanisms of tsunamis and a catalogue of earthquakes associated with tsunamis, in Proceedings, Tsunami Meetings Associated with the Tenth Pacific Science Congress, pp. 7– 18, Int. Union of Geod. and Geophys., Paris. Harada, K & Imamura, F.( 2003). Study on The Evaluation of Tsnami Reducing by Coastal Control Forest for Actual Conditions. Asia and Pacific Coasts. Lay, T., Kanamori, H., Ammon, CJ., Nettles, M., Ward SN., Aster, RC., Beck, SL., Brudzinki, MR., Butler, R., DeShon, HR., Eström, G., Satake, K, & Sipkin,S. (2005). The Great Sumatra-Andaman Earthquake of 26 December 2004. Science (308): 1127-1133. Naamin, N. (1991). Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugiaan. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung. Pratikno, W.A., Suntoyo, K. Sumbodho, Solihin, Taufik & D. Yahya. (2002). Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Resiko terhadap Bahaya Tsunami. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. 105
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 95-106
Purbani D, Rainer Arief Troa, Anastasia Rita Tisiana K dan Restu Nur Afi. (2005). Laporan akhir Survei Terpadu Karakteristik Pulau-pulau.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir. Putra
R. (2008). Kajian Risiko Tsunami terhadap Bangunan Gedung Nonhunian dengan Skenario Variasi Ketinggian Run-up pada Garis Pantai (Studi Kasus Kota Banda Aceh, Indonesia) Yogyakarta Tesis. Fakultas Geografi UGM.
Saenger. (1983). Global Status of Mangrove Ekosistem, IUCN Commision on Ecology Papers, No. 3. 1983. Salim, E. (1986) Pengelolaan Hutan Mangrove Berwawasan Lingkungan: Makalah dalam Pidato Pengarahan Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Mangrove, Ciloto 27 Pebruari 1986. [USGS] United State Geological Survey Earthquake. (2004) Magnitude 9.1 - OFF THE WEST COAST OF NORTHERN SUMATRA. http://earthquake. usgs.gov/earthquakes/ eqinthenews/2004/ us2004slav/ .18 Desember 2011. (11:10)
106
Changes Analysis Of Land-Use ... In Karawang Regency (Heriati, A., et al.)
CHANGES ANALYSIS OF LAND-USE AND COASTLINE CONDITION IN KARAWANG REGENCY Aida Heriati1), Satofuka Yoshifumi2) & Djoko Santoso Abi Suroso3) Department of Regional and City Planning, School of Architecture, Planning and Policy Development, ITB. 2) Watershed Design Laboratory, Graduate School of Science and Engineering, Ritsumeikan University. 3) Regional and Rural Planning Research Group, School of Architecture, Planning and Policy Development, ITB. 1)
Diterima tanggal: 27 Februari 2013; Diterima setelah perbaikan: 28 Agustus 2013; Disetujui terbit tanggal 14 November 2013
ABSTRAK Sistem informasi geografis digunakan pada penelitian ini dengan memanfaatkan data Landsat pada 1994, 2000, 2005 dan 2010. Hasil dari pengolahan data menunjukkan bahwa daerah tak terbangun di Kabupaten Karawang telah berkurang sebesar 15,613 km2 setiap tahunnya, sedangkan area terbangun mengalami peningkatan sebesar 12,38 km2/tahun selama waktu pengamatan. Sedimentasi tertinggi terjadi di Kecamatan Cilamaya Wetan dan erosi tertinggi terjadi di Kecamatan Cibuaya dengan besar laju 0,126 km2/tahun dan 0,044 km2/tahun. Beberapa konflik dapat terjadi di Kabupaten Karawang mengingat banyaknya aktifitas yang akan dilakukan di daerah tersebut terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mempengaruhi sedimentasi dan erosi di daerah Karawang itu sendiri. Penelitian ini memberikan informasi yang diperlukan oleh pemerintah lokal dan stakeholder lainnya dalam proses perencanaan Integrated Coastal Area and River Basin Management untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Kata kunci: integrated coastal area and river basin management, erosi-sedimentasi, penataan ruang, DAS ABSTRACT Geographic information system is used to process Landsat data of 1994, 2000, 2005 and 2010. Result shows that non-built areas in Karawang Regency reduced at an average rate of 15.613 km2/year, whereas built-up areas increased about 12.38 km2/year over the period. The highest sedimentation and erosion process on coastal areas occur in Cilamaya Wetan District and Cibuaya District within rate 0.126 km2/year and 0.044 km2/year respectively. Conflicts arise in Karawang Regency regarding many activities that utilize the area. This research provides information needed by local government and its stakeholders in Integrated Coastal Area and River Basin Management planning process to achieve a sustainable development. Keywords: integrated coastal area and river basin management, erosion-sedimentation, spatial lanning, watershed
INTRODUCTION A watershed is a land area that containing rivers and creeks, which performing as rainwater catchment area and storage area before the water finally moves into lake or ocean. The boundary of a watershed on land is separated by ridged topography, while at sea it is until water area that is still affected by land activities.
These conditions can be analyzed from the coastline changes.
Both coastal erosion and sedimentation are delivered from a complex process of nature and human activities. The wind that generates wave and storm surge, the tide that influences the current flow and the rainfall that relates with the run off and landslide are the main factor of nature that have big contribution in Changes on land use without regarding ecological coastal erosion and sedimentation. Human activities aspects will cause harm to the environment itself in the along the coast, river catchments and offshore may future. Ecological linkage between upstream- also influence the coastal process due to erosiondownstream areas can be defined clearly in watershed sedimentation (Prasetya, 2007). hydrological cycle. River has an important role in watershed components as water sources. On the other According to Schwartz (2005), coastline changes hand it may also cause sedimentation, flood, and over both short-time and long-time period can be waste (Asdak, 2007). mapped and assessed by comparing the previous condition of the observed area and existing condition. Sedimentation can cause environmental The materials that can be used to estimate the degradation. It can occur naturally and then comparison are some collection of maps, charts, aerial exacerbated by human activities. The rate of photographs and satellite imageries. sedimentation increases every year in Indonesia. Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]
107
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 107-115 Karawang regency was known as the granary of West Java, but recently, as the population increase, the industry takes place as a major contributor in local revenue. This condition is shown by many land converted into industrial areas in the regency. This will certainly affect environmental conditions since land conversion is located near the river that also performs as the transfer agent of garbage, sewage, and sediments from upstream areas into the coastal areas. Therefore, we can say that land use changes and population growth will influence coastal condition especially on water quality and sedimentation. This research analyses the land-use changes on upstream area over several years in Karawang regency and erosion-sedimentation process on coastal area that presences on coastline changes. The information achieved may be utilized in decision-making process to develop and formulate the best action to overcome sedimentation-erosion process the area in the future. The research conducted in Karawang Regency. The regency has a coastline of nearly 73.65 km long with nine districts along coastal area namely Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Cibuaya, Pedes, Cilebar, Tempuran, Cilamaya Kulon, and Cilamaya Wetan District. Almost 25% of total inhabitants in Karawang Regency live in coastal-districts. The location of the districts is shown in Figure 1.
Figure 1. 108
METHODOLOGY Primary data are obtained through field observation to see real phenomenon occurs, whereas secondary data is obtained by online literature and institutional survey. Remote sensing is a science and art to obtain information of an object, area or phenomenon through the analysis of data obtained with a device without directly touching the object, area or phenomenon studied (Lillesand. et al., 2004). Landsat satellite data of 1994, 2000, 2005, and 2010 are used to identify land cover changes. ENVI 3.6 digital image processing software is used to classify land cover. The result then analyzed using ArcGIS 9.2 geographical information system software to quantify land cover changes. The detail of data and tools used in the processing data is described in Table 1 and 2 below. According to Purwadhi (2001), remote sensing data analysis requires reference data such as thematic maps, statistical data, and field data. The output of data analysis gains some information on various forms, such as landscape, land cover type, site conditions, and resource condition of observed area. The information achieved can be utilized in decision-making process to develop the area. The entire process from data collection, data analysis until the use of data is called Remote Sensing System.
Administrative Map of Karawang Regency (Source: www.karawanginfo.com).
Changes Analysis Of Land-Use and Coastline Condition In Karawang Regency (Heriati, A., et al.) Table 1.
Type of data and its utilization No Type of Analysis Data 1.
Land-use Changes Analysis - Built-up areas - RBI maps 1:25.000 - Non-built areas - Landsat Data (1994, 2000, 2005, 2010) - Water bodies 2. Coastline Changes Analysis - RBI maps 1:25.000 - Coastline Changes - Landsat Data (1994, 2000, 2005, 2010) - Erosion/sedimentation Process - Population of Coastal Districts in 2010 (Karawang in Figures, 2010) 3. Spatial Planning Analysis - RBI maps 1:25.000 - Landsat Data - Land-use planning Map - Mid-term Development Plan - Long-term Development Plan
Table 2.
Tools Used in Processing Data Hardware Software Utility Computer with ENVI 3.6 Spatial Analysis Windows 2003 OS ArcGIS 9.2 Excel 2003 Tabular Analysis GPS Recording the coordinate of observation point Digital Camera Documentation of field condition Video Recorder Documentation of field condition
DATA ANALYSIS METHODS There are three main methods to reach the objective of the study. Firstly, a land-cover changes analysis to see the development of built areas, nonbuilt areas, and water bodies in Karawang Regency. Secondly, coastline changes analysis to estimate erosion-sedimentation process on the area over several years. Lastly, a land-use planning analysis by overlaying spatial planning map and erosion-sedimentation map to analyze the condition of observation area and its land use in the future. The framework of the research can be seen on the Figure 2.
the land use planning condition in every district of Karawang Regency and its land use in the future. DISCUSSION A Land-cover Changes Analysis The result of data processing in land-coverage from Landsat data shows a significant development during 16 years in Karawang Regency. The area of built-areas in 2010 (270.371 km2) is almost four times wider than that in 1994 (72.298 km2). Roughly 1821.407 km2 of non-built areas has decreased into 1571.602 km2 over 16 years in Karawang Regency. From the landsat data interpretation, every year the area of built area and water bodies increase, while non-built area decreases. It is shown from the data processing result in 2000 which the area of built area is 133.918 km2, non built-area 1777.312 km2, and water bodies 6.750 km2. The condition changes in 2005, which are the area of built area is 244.075 km2, non built-area 1622.791 km2 and water bodies 51.114 km2. Table 3 and Figure 3 show land cover change maps and land cover changes area in the regency respectively.
Several steps are conducted in processing the landsat data, such as contrast improvement, various composite images disposition, and geometric and atmospheric correction for bands 5, 4, and 2 to see the land coverage and estimate the area. The output of this process is land-cover maps over several years. The coastal digitization from each of satellite imagery also has been done and followed by layering each of the coastlines to determine shoreline changes in a specific time and place. The output from the image processing is coastline maps over different periods and erosionsedimentation maps in every district on Karawang As shown in Table 3, the changes of non-built Regency. The overlaying map from coastline changes areas occurs nearly 15.613 km2/year, this is the highest map and spatial planning map is used to analyze rate of landuse change, it is followed by the changes
109
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 107-115
Figure 2. Table 3.
Framework of the Research. Land-cover area of Karawang Regency Land Coverage 1994
Area (km2) Rate 2000 2005 2010 (km2/year)
Built up Area 72.298 133.918 244.075 Non-built Area 1821.407 1777.312 1622.791 Water Bodies 9.506 6.750 51.114 Cloud Coverage 14.770
on built up area about 12.38 km2/year. The lowest rate of approximately 4.156 km2/year taken place on water bodies changes. Since the number of population increases, the demand on settlement areas, industrial areas and public space will also expand. Therefore, people do the development by changing existing land-use into other 110
270.371 1571.602 76.007
12.380 -15.613 4.156
functions to fulfill their needs. The development of builtup areas is highly visible on manufacturing industrial area and coastal-districts. Besides agricultural product, Karawang Regency has industry as the second main income to support the regency. Inhabitants live on the area are not only indigenous residences but also migrant. As described in Figure 3, most land use
Changes Analysis Of Land-Use and Coastline Condition In Karawang Regency (Heriati, A., et al.)
Figure 3.
Land-cover maps of Karawang Regency over 16 years.
changes occur in industry area which also takes place on watershed upstream area and settlements near coastal area. Therefore, the land-use changes occurred in Karawang Regency might be caused by the development on industrial area and settlements as the consequences of population growth and development of industry. Another problem arisen in Karawang Regency is the growth of water bodies that turn about eight times from 1994 (9.51 km2) to 2010 (76.01 km2) and mostly taken place on coastal-districts area. High water content such as seawater, river, swamps, and lakes
are recognized as water bodies based on landsat land cover classification. Therefore intrusion of seawater to the coastal area as well as land-use changes from mangrove forest or agricultural areas into swamps that occur on Karawang coastal area might also be the reason of enlargement water bodies over the period. Abrasion process on coastal line of Pakisjaya, Batujaya, Tirtajata, and Cibuaya Districts is might be the explanation about how the seawater intrusion occurs on the area as it is coupled with the topography condition along the area.
111
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 107-115 Coastline Changes Analysis The description of coastline changes and population in study area is given in Figure 4 which is known that human intervention may also contibute to the erosion-sedimentation process such as land-use changes, anthropogenic waste, and pollution. Some areas suffer from erosion (red triangle), some others deal with sedimentation process (purple circle) and only small areas have no significant effect from the oceanography process on the coastal area such as Tirtajaya, Cibuaya, and Pedes Districts. Looking onto residents who live on each district, Batujaya and Cilamaya Wetan Districts have the highest population numbers among others. In this regard, high sedimentation occurs on the area can be caused by river runoff which distribute anthropogenic sediment from upstream areas into coastal areas. Another reason of erosion-sedimentation process on the coastal area is the different of coastal resistance against dynamic process. One example of the condition is the mangrove area over Tirtajaya and Cibuaya Districts which sustains its condition. As the same way at Pedes District which has dyke construction and mangrove as wave barrier. Therefore, mangrove has been proven as the best solution dealing with coastal dynamics. Soil texture and coastal topography coupled with current and wave condition has contribution
Figure 4. 112
on erosion-sedimentation process, thus detailed observation regarding the condition need to be done on the area. The largest enhancement of the area on coastaldistrict is Cilamaya Wetan District with the enlargement nearly 2 km2 over 16 years. The situation is illustrated in Table 4. This highest sedimentation rate about 0.126 km2/year might be caused of its location that is near Cilamaya River estuary where the river brings a high volume of runoff from settlement area and agricultural wetland that lay near the river to coastal area. High rainfall causes the anthropogenic sediment to be brought into river and the river current transports the sediment into the estuaries and farther to the Java Sea. Coastal erosion occurs in two districs namely Cibuaya and Pakisjaya. Erosion rate in Cibuaya District reaches 0.044 km/year while in Pakisjaya District is 0.017 km/ year. Land-use Planning Analysis A land-use planning analysis is conducted using spatial planning 2010-2030 arranged by local government combined with erosion-sedimentation map from data processing. Figure 5 shows the overlay result of both data. In general, there are five activities (pond, wetland agricultural area, mangrove area, tourism area, and settlement area) planned by the local
Erosion-sedimentation process in Karawang Regency over 16 years.
Changes Analysis Of Land-Use and Coastline Condition In Karawang Regency (Heriati, A., et al.) Table 4.
Changes on coastal-district area of Karawang Regency Sub-district Year (km2) Changes of Area Rate 1994 - 2010 1994 2000 2005 2010 (km2) (km2/year) Pakisjaya Batujaya Tirtajaya Cibuaya Pedes Cilebar Tempuran Cilamaya Kulon Cilamaya Wetan
Figure 5.
69.350 69.138 69.010 69.072 75.695 75.622 75.629 76.121 106.945 106.896 106.705 107.229 114.776 113.988 113.921 114.068 70.534 70.411 70.598 70.605 72.166 71.853 72.163 72.470 95.277 95.095 95.504 96.079 68.145 68.033 68.075 68.284 75.908 75.984 76.853 77.928
-0.278 0.426 0.283 -0.708 0.071 0.304 0.801 0.139 2.020
-0.017 0.027 0.018 -0.044 0.004 0.019 0.050 0.009 0.126
Overlay map of Karawang Regency’s coastal-districts.
government to be developed on coastal districts. The plan is determined based on existing condition on the area and the need of space and infrastructure in the future.
but also many countries has been experiencing the same problem over centuries. Information exchange with other countries which have similar problem is essential to do in adapting conflict solutions.
Conflicts may arise on the settlements development along river sides near the coastal area, since human activities may cause the environmental degradation. Special treatment on the development along the river sides is needed to minimize negative effect of improvement. To overcome the problem, local government has to establish strict regulations and enforce mechanisms to control the settlements development along river sides. Not only Indonesia that is suffering from the conflicts of settlement development,
Most of coastal districts are utilized for agricultural activities. This has a strong connection with the economic condition that relies mainly on agricultural products. The management of agricultural activities should be done carefully especially regarding the use of fertilizer and pesticides to avoid water pollution in coastal areas. Land-use changes from mangrove areas into agricultural areas may cause effect to the decrease of 113
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 107-115 coastal capability to protect coastal area from current and wave which may cause to coastal ecosystem degradation. Hence, regulation enforcement is needed to control land-use changes and the use of chemicals fertilizers. The similar action is also needed in regard of fishpond activities.
harbor to the Karawang city. Land suitability analysis and environmental impact assessment are needed since the construction may change environmental pattern on the area.
Local government of Karawang Regency sets up tourism area development in Pakisjaya, Tempuran, and Cilamaya Kulon Districts. Environmental impact assessment and cost-benefit analysis need to be done since tourism provides public services and high value of economy but in sustainable way.
Many conflicts arise regarding land-use planning in the coastal districts. Local government as the policy decision-maker has to solve the conflicts among users and also the conflicts between user and environment.
Also equally important to be noted is development of port may cause effect to coral reef ecosystem due to Another conflict is erosion-sedimentation process changes of current and wave pattern which may bring on Karawang regency’s coastal area. In this case, sediment to coral ecosystem and affect water quality maintaining mangrove ecosystem is preferable since condition in surrounding area. The degradation of coral it is inexpensive cost, and followed by soft protection ecosystem may cause effect to the live of fish and for mangrove ecosystem for coastal protection. other species which are useful for human consumption Mangrove ecosystem helps coastal area from erosion- as food or medicine. Moreover, coral reef existence sedimentation process and provides habitat for small might protect coastal and people from strong current fish and other species, thereupon its existence should and wave, and it also has high economic value if be maintained. utilized as marine tourism for fishing, snorkeling, or diving. For this purpose, the presence of coral reef Local government of Karawang Regency has ecosystem in Karawang Regency should be protected already concerned about mangrove ecosystem benefit. and rehabilitated. Any activities that have possibilities Four coastal districts are planned to be remained as to cause coral reef ecosystem degradation should be protected forest. Yet, it will be better if the plantation is minimized. also performed on other districts especially Cilamaya Wetan and Tempuran District which experience Railway construction is planned to be build sedimentation. The benefit of this action is already from Tempuran District to the Karawang city through well-known that mangrove ecosystem can increase Cilamaya Kulon and Cilamaya Wetan Districts. the brightness of surface water, help in maintaining Physical development which changes non-built area water quality, and overcome pollution problem due to into built-up area may reduce the ability of the area sedimentation. as catchments area and increase sediment material. To this end, environmental impact analysis on railway Beach nourishment is another coastal protection development should be done to understand in more that can be done in Karawang Regency, since both detail about development effectiveness in terms of erosion and sedimentation process occur on coastal ecological, economic, and aesthetic aspect. area. As we know, sedimentation occurs if the deposit amount is large and in the long term may cause the RECOMMENDATION area to expand, whereas reduction of area may occur on area which is suffering from erosion process Geographic information system is effective to (Sundar, 2007). Sediment removal from sedimentation be used as a tool in analyzing geospatial of natural area to erosion area may keep the stability of coastal process. This research gives information about existing area as that erosion area lack of sediment supply. For condition and identifies conflicts and opportunities on instance, sedimentation that deposited in Cilamaya coastal area in Karawang Regency. The same method Wetan District can be removed and shifted to Pakisjaya, can be applied to observe existing watershed condition, Tirtajaya, Cibuaya Districts or other districts suffering analyze conflicts and opportunities, and find the best from erosion. Beach nourishment also has benefit from solution to overcome the problem. Comprehensive river its capability to be treated as tourism area if it is well basin management is needed in Karawang Regency managed. As an illustration, beach nourishment may as many non-built areas change into built-up areas widen the recreational beach area. along watershed areas.
Besides five major activities mentioned above, local government of Karawang Regency plan to build an international port located in Tempuran-Cilamaya Kulon District along with the development of railway from 114
The unprotected beaches on northern part of Karawang Regency if continued to be neglected and suffer from degradation will lose their resistance as buffering zone in coastal areas. Therefore some actions to overcome environmental degradation should be done immediately. Maintaining the mangrove and performing
Changes Analysis Of Land-Use and Coastline Condition In Karawang Regency (Heriati, A., et al.) beach nourishment are two possible activities that can be taken into consideration by local government to protect coastal area. Those methods can be applied to Cilamaya Wetan, Cibuaya, and Pakisjaya Districts which have highest erosion-sedimentation rates. Besides, zoning area based on land suitability analysis on coastal area should be done to support integrated coastal zone management. In doing the rehabilitation actions, local government may involve individuals, communities (Non-Governmental Organization), or cooperate with upper level of government; in this case is provincial government and central government as well as other countries if there are any possibilities. Policy establishment and law enforcement regarding pollution, land-use changes around critical areas, and other activities that result to the environmental degradation are also needed. These are to control the development, minimize the side effect of development itself, and achieve the sustainable development. CONCLUSION Existing condition of Karawang Regency shows that mostly of the area are covered by agricultural area. The growth of population is in line with the regional development such as settlements and industry area. The area of built-areas and water bodies in Karawang Regency increases from 1994 to 2010. On the contrary, non-built areas decrease during the period. This is ironic, as the conversion of non-built areas into built-up areas occurs in industrial area which is along the river sides. Population expansion caused by both natural growth and immigration was a result of development on settlements, workplace, and public space. River basin management is needed to minimize negative impact of physical development to environmental degradation. Most parts of coastal areas in Karawang Regency encounter sedimentation process, some parts have to deal with erosion and the other parts have no significant effect to the coastline. Cilamaya Wetan District is the most critical areas of sedimentation process. This might be a result of river runoff from Cilamaya River which is a big river separating Karawang Regency and Subang Regency. Definite cause of sedimentation on the area needs a further research to find the best solution to protect the area. On the other hand, the most critical areas of erosion process occur in Cibuaya and Pakisjaya Districts. Priority actions in protecting coastal area from environmental degradation are needed. Local government program in maintaining mangrove areas for some coastal-districts will be better if also planned to be widen on other coastal district areas. This activity needs to be supported by
the community and upper level of government. Another way to protect Karawang coastal area is by building up beach nourishment on coastal part suffering from erosion process since it also has function to be utilized for tourism area. Besides the erosion-sedimentation problem, other problems might be appeared on five major activities (agricultural wetland, mangrove forests, fishponds, settlements, and tourism) planned by local government (Regulation Book of Karawang Regency, 2011). Integrated coastal zone management will be essential to be applied if many activities occur in one area since many conflicts may arise. Good management on coastal area will preserve ecosystem, create high resilience from destructive factors and achieve the goal of sustainable development. Other conflict that emerges in infrastructure development is the harbor development in TempuranCilamaya Kulon District and railway construction from coastal area in Tempuran District into the Karawang city. Both physical constructions may cause effect to the environment. Environmental impact assessment is needed to measure the loss and profit of the development. REFERENCES Asdak, C. (2007), “Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”, Gadjah Mada University Press. Lillesand, T.M., Kiefer, R.W. & Chipman, J.W. (2004). Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley & Son, Inc, New York. Prasetya, G. (2007).‘The role of coastal forests and trees in protecting against coastal erosion’, Proceedings of the Regional Technical Workshop, Bangkok. Purwadhi, F.S.H. (2001). Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Gramedia. Regulation Book of Karawang Regency, (2011), Karawang. Schwartz, M.L., (2005), “Encyclopedia of Coastal Science”, The Netherlands: Springer. Sundar, V., (2007), “Coastal erosion and protectionan overview”, Proceedings of the Indo-Japan Workshop on Coastal Problems and Mitigation Measures-Including The Effects of Tsunami, Gaewaee-wall Mopes ltd. www.karawanginfo.com accessed on October 5th, 2012 115
Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien...di Estuari Perancak, Bali (Hamzah, F. & Saputro, P, D.)
POLA SEBARAN LOGAM BERAT DAN NUTRIEN PADA MUSIM KEMARAU DI ESTUARI PERANCAK, BALI Faisal Hamzah & Purnomo Dwi Saputro Balai Penelitian dan Observasi Laut, Balitbang-KP, KKP Diterima tanggal: 17 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan: 2 September 2013; Disetujui terbit tanggal 20 November 2013
ABSTRAK Estuari berfungsi sebagai filter nutrien, bahan organik dan logam berat sebagai indikasi proses biogeokimia melalui reaksi geokimia dan biokimia karena perbedaan salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran logam berat dan nutrien berdasarkan stratifikasi salinitas dari hulu ke muara pada musim kemarau di Estuari Perancak, Bali. Sebanyak sembilan sampel diambil dan dianalisis berdasarkan stratifikasi salinitas dari hulu hingga muara (0-26,4‰). Hasil analisa menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien seperti fosfat (0,138-0,657 mg/l), nitrat (0,191 – 0,829 mg/l), dan ammonia (0,0773-1,206 mg/l) mempunyai pola yang sama dari daerah hulu hingga ke muara, yaitu semakin menuju muara sungai, semakin menurun konsentrasinya. Sebaliknya konsentrasi logam berat memiliki pola gradual, semakin meningkat menuju muara estuari. Pola yang sama juga ditemukan pada TSS, DO, dan pH, sedangkan C-organik mempunyai pola yang berfluktuatif di seluruh lokasi. Logam Pb, Cu dan Zn mengalami penambahan pada salinitas 6-22‰, sedangkan nutrien mengalami pengurangan pada salinitas 21,3‰ yang berjarak 3,32 km dari muara. Grafik percampuran nutrien dan logam berat di Estuari Perancak menunjukkan elemen yang bersifat non konservatif dengan tipe penambahan dan pengurangan untuk Zn, Cu dan fosfat, tipe penambahan konsentrasi untuk Pb, serta tipe pengurangan untuk ammonia dan nitrat. Batas transisi spasial fungsi estuari sebagai geochemical factor dan biochemical factor di Estuari Perancak berada antara stasiun dengan jarak 5 km dari muara (10,1-18,2‰). Kata kunci: logam berat, nutrien, salinitas, Estuari Perancak, musim kemarau ABSTRACT Estuarine serves as filtration for nutrients, organic matters and heavy metals as indication for biogeochemical processes through geochemical and biochemical processes due to difference of salinity. The aim of study is to determine the distribution pattern of heavy metals and nutriens based on salinity stratification from upstream to river mouth on dry season in Perancak Estuary, Bali. A total of nine samples in Perancak Estuary was collected and analyzed based on salinity stratification from upstream to the mouth of estuary/downstream (0-26.4 ‰). Results show that concentration of nutrients such as phosphate (0.138-0.657 mg/l), nitrate (0.191 – 0.829 mg/l), and ammonia (0.0773-1.206 mg/l) were decreased from upstream to downstream areas (toward mouth of the river). In contrast, concentration of heavy metals was indicated gradually increasing concentration pattern from upstream to downstream (river mouth). Similar pattern was also observed for TSS, DO and pH, while C-organic has fluctuative values at all stations. Addition process for Pb, Cu, and Zn occured at salinities 6-22‰ and removal processes was observed for nutrients at salinity 21 ‰ at station with distance 3.32 km from river mouth. Mixing graph both of nutriens and heavy metals in Perancak Estuarine shows that all of dissolved compound as non conservative behaviour with combine addition and removal type for Zn, Cu, and phosphate, addition of dissolved component type for Pb and also removal of dissolved component type for ammonia & nitrate. Spatial transition boundary for geochemical and biochemical functions in Perancak Estuarine is located between station 3 at a distance 5 km from river mouth (10.1-18.2 ‰). Keywords: heavy metal, nutrient, salinity, Perancak Estuarine, dry season
PENDAHULUAN
Selain itu, estuari juga mempunyai peranan penting sebagai filter terhadap bahan organik dan nonEstuari merupakan suatu daerah bertemunya organik menuju laut termasuk logam berat dan nutrien. antara masa air laut dengan air tawar dari daratan dan Filter ini bekerja terutama melalui perubahan fase memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Wilayah estuari terlarut menjadi partikulat. Proses perubahan fase dapat dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis tersebut meliputi proses geokimia di estuari seperti karena selalu terjadi proses dan perubahan lingkungan adsorpsi, flokulasi, agregasi, presispitasi, dan juga secara fisik, kimia, dan biologi. Bercampurnya masa proses biokimia seperti pemanfaatan logam berat dan air laut dengan air tawar menjadikan wilayah estuari nutrien (Sharp et al., 1982; Sharp et al., 1983; Chester, memiliki keunikan tersendiri yaitu dengan terbentuknya 1990). Chester (1990) menyatakan bahwa proses air payau dengan salinitas yang berfluktuasi (Supriadi, perubahan fase dari terlarut menjadi partikulat dan 2001). sebaliknya bisa disebut source ataupun sink tergantung Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]
117
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 117-127 pada apakah perubahan tersebut menambah atau mengurangi konsentrasi yang ada. Untuk memahami proses fisika kimia yang terjadi di estuari, dibutuhkan gambaran elemen terlarut terhadap parameter yang sifatnya konservatif yaitu salinitas. Perubahan komposisi elemen akan berubahubah sesuai dengan salinitas dan sampai sejauh mana percampuran antara air laut dan air tawar terjadi (Burton & Liss, 1976). Dalam hal ini, percampuran air laut dan air tawar (physical mixing) berguna untuk mengetahui reaksi proses biogeokimia dan sebaran komponen baik kimia, fisika dan biologi di estuari. Dari gambaran diatas, bisa terlihat proses penambahan maupun pengurangan konsentrasi elemen (addition dan removal). Kedua proses tersebut sangat tergantung pada proses mana yang cenderung mendominasi, percampuran yang berasal dari air laut atau masukan air tawar yang lebih. Estuari Perancak merupakan salah satu daerah bermuaranya beberapa aliran sungai (Sungai Loloan, Sungai Budeng, Sungai Tibukleneng, Sungai Samblong, Sungai Air Kuning dan Sungai Awen) di Jembrana, Bali yang belum banyak diketahui proses fisika kimianya. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai reaksi proses biogeokimia di Estuari Perancak melalui pola distribusi dari sebaran logam berat dan nutrien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran logam berat dan nutrien berdasarkan stratifikasi salinitas dari hulu ke muara pada saat musim kemarau di Estuari Perancak, Jembrana, Bali.
Gambar 1. 118
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dan pengumpulan data Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau (September 2011) di Estuari Perancak, Jembrana, Bali. Sebanyak sembilan titik sampel diambil untuk dianalisa konsentrasinya (Gambar 1). Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan stratifikasi kedalaman dan kondisi spasial salinitas yang berbeda mulai dari hulu hingga muara sungai. Sampel diambil pada saat menuju pasang dan saat pasang, dimana massa air yang berasal dari laut akan masuk menuju hulu dan akan mempengaruhi proses biogeokimia termasuk konsentrasi nutrien dan logam berat yang ditentukan oleh parameter salinitas. Dalam penelitian ini, sampel yang diambil meliputi parameter fisika kimia air yaitu pH, oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO), salinitas, nitrat, fosfat, total suspended solid/TSS, ammonia, dan C-organik. Untuk logam berat, logam yang dianalisa meliputi logam esensial dan non esensial yaitu Pb, Cu, dan Zn. Parameter kualitas perairan yang diambil dilakukan melalui pengukuran langsung (in situ) dan tidak langsung (eks situ). Pengukuran secara langsung meliputi parameter kedalaman, salinitas, pH, kandungan oksigen terlarut (DO), sedangkan pengukuran tidak langsung adalah logam berat, nutrien, C organik, dan TSS. Pengukuran eks situ/Laboratorium dilakukan di dua lokasi yaitu Laboratorium Kualitas Perairan, BPOL, Perancak, Jembrana Bali dan Service Laboratory SEAMEO BIOTROP, Bogor. Sebelum
Peta Lokasi Penelitian di Estuari Perancak, Jembrana, Bali yang ditampilkan dengan citra satelit IKONOS akuisisi tanggal 24 September 2011.
Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien...di Estuari Perancak, Bali (Hamzah, F. & Saputro, P, D.) pengambilan sampel air untuk keperluan analisa, terlebih dahulu diukur nilai salinitas per stasiun yang dijadikan sebagai stasiun pengamatan. Nilai salinitas yang dijadikan sebagai penentu stasiun adalah 0‰, 5‰, 10‰, 18,2‰, 21‰, 22‰, 24,2‰, 26,2‰ dan 26,4‰. Sebanyak 4 liter sampel air diambil dengan menggunakan Niskin Water Sampler untuk keperluan analisa logam berat dan nutrien. Sampel air dimasukan ke dalam botol polietilen ukuran 2 L yang sebelumnya telah dicuci dengan menggunakan HCL 8 N (Hutagalung et al., 1997). Strata kedalaman yang diambil dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa kedalaman yaitu 0,5 m, 1m, 1,5 m, 2m, dan 2,5 m. Pembagian kedalaman tersebut tergantung pada kedalaman dan untuk mengukur kedalaman tersebut digunakan tongkat berskala. Jika konsentrasi semua parameter tiap kedalaman dalam satu stasiun menunjukan nilai cenderung sama/tidak jauh berbeda, maka konsentrasi setiap parameter akan dirataratakan.
(TTS). Analisa C-organik yang berasal dari residu padatan tersuspensi dilakukan dengan pendekatan metode Walkley & Black (Walkley & Black, 1934 dalam Saidy & Kurnain, 2004). Sampel air disaring dengan menggunakan kertas saring nucleopore ukuran pori 1,5 µm, kemudian dimasukan ke dalam oven dan dibilas kembali dengan menggunakan HCL 1N. Residu yang ada dikertas saring dikumpulkan dan diberi H2SO4 pekat serta K2Cr2O7, kemudian siap dititrasi dengan menggunakan FeSO4 untuk diketahui nilai prosentase C-organiknya. Analisa Data
Untuk mendapatkan hubungan kecenderungan antara logam berat dan nutrien dengan salinitas, dianalisa dengan menggunakan pendekatan mixing graph/mixing diagram (Burton & Liss, 1976; Chester, 1990). Mixing graph merupakan suatu metode untuk menggambarkan tingkah laku elemen terlarut di estuari yang dihubungkan dengan nilai yang bersifat Oksigen terlarut (DO), salinitas, dan pH diukur konservatif yaitu salinitas. Selain salinitas, elemen secara insitu. Untuk DO diukur dengan menggunakan yang bersifat konservatif adalah chlorosity dan metode winkler sedangkan pH dan salinitas diukur chlorinity. Grafik yang dibuat juga sangat dipengaruhi dengan menggunakan pH meter dan salinometer. oleh karakteristik air laut dan air tawar. Apabila dalam Kandungan nutrien seperti nitrat, ammonia,dan fosfat estuari masukan air laut lebih banyak (lebih banyak diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Untuk dikontrol oleh proses fisika), maka grafik yang akan analisa logam berat, sampel air disaring menggunakan dihasilkan mempunyai hubungan positif (linear kertas saring nucleopore 0,45µm dan siap diekstrak terhadap salinitas) dan sebaliknya untuk air tawar. dan diukur dengan menggunakan AAS (Atomic Untuk mendapatkan nilai theoritical dillution line (TDL), Absorption Spectrophotometry). Sebelum diukur, ditarik garis lurus dari nilai konsentrasi yang berada kandungan logam berat pada air diukur dengan cara pada salinitas rendah (0 ‰) ke nilai konsentrasi pada terlebih dahulu menghilangkan ion mayor seperti Na+, salinitas paling tinggi (26,4 ‰). Arah kemiringan (slope) Ca2+, SO4-2, K+, dan Mg 2+ dengan menambahkan metil akan ditentukan oleh kelimpahan relatif logam dan iso butil keton (MIBK), APDC dan NaDDC sehingga nutrien dalam air sungai dan air laut (Libes, 1992). memudahkan proses absorbsi logam berat oleh AAS Pengurangan akan terjadi apabila konsentrasi logam (Hutagalung et al., 1997). dan nutrien berada dibawah TDL dan kebalikannya akan mengalami penambahan, apabila berada diatas Sampel air yang disaring nantinya digunakan TDL (Gambar 2). Hasil analisa data ini tidak untuk mendapatkan nilai padatan tersuspensi total menampilkan nilai korelasi dan regresi, dikarenakan
Gambar 2.
Tingkah laku elemen terlarut di Estuari (Burton & Liss, 1976). Pola yang akan terbentuk di estuari jika air laut dominan dari air tawar (A) dan air tawar dominan dari air laut (B). 119
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 117-127 TDL dibuat dengan dengan cara menghubungan dua konsentrasi (rendah dan tinggi) sehingga tidak didapatkan hubungan yang saling mempengaruhi (penduga dan diduga). HASIL DAN PEMBAHASAN
agregasi yang disusul terjadinya pengendapan karena gaya gravitasi. Proses destabilisasi menyebabkan konsentrasi logam terlarut di estuari mengalami pengurangan dan menambah konsentrasinya dalam sedimen (Burton & Liss, 1976; Sanusi, 2006; Maslukah, 2008).
Jarak Estuari dan Salinitas
Nutrien
Secara umum, ekosistem estuari dapat dibagi menjadi dua fungsi yaitu sebagai biochemical dan geochemical filter. Perbedaan keduanya terletak pada salinitas sebagai pembatasnya (Sharp et al., 1983). Geochemical filter dibatasi salinitas yang rendah dengan kisaran 0-15‰ dan tinggi akan bahan partikulat. Sedangkan biochemical filter dibatasi oleh salinitas dengan kisaran 15-30 ‰, dan daerah ini memiliki produktivitas biologi yang tinggi. Hasil pengukuran salinitas menunjukkan bahwa batas transisi antara kedua fungsi tersebut di Estuari Perancak berada antara stasiun 3 dan 4 dengan salinitas berkisar antara 10,1-18,1‰ (garis merah). Stasiun 1-3 lebih dicirikan oleh fungsi geochemical filter, sedangkan stasiun 4-9 lebih dicirikan fungsi biochemical filter. Gambar 3 memperlihatkan bahwa air laut yang masuk menuju ke daerah hulu (stasiun yang memiliki salinitas 0) pada saat pasang mempunyai jarak sekitar 7 km dari mulut sungai yang memiliki salinitas 26,4 ‰ (St. 9). Jika pasang tertinggi terjadi, maka air laut yang masuk menuju hulu akan semakin jauh dan melebihi stasiun 1 (> 7 km), namun sebaliknya pada saat surut. Pada saat pasang, proses percampuran massa air laut dan air tawar terjadi, dimana air laut yang mempunyai salinitas dan kekuatan ionik tinggi akan bertemu dengan air tawar yang memiliki salinitas dan kekuatan ionik rendah. Proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya destabilisasi partikel padatan tersuspensi,
Nutrien yang dianalisa dalam penelitian ini adalah nitrat, fosfat, dan ammonia. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa nutrien seperti ammonia, nitrat, dan fosfat mempunyai pola yang sama dari daerah hulu hingga ke hilir/muara, yaitu semakin menuju muara sungai, konsentrasi nutrien semakin menurun. Menurunnya nutrien tersebut dimungkinkan karea telah terjadi pemanfaatan (uptake) oleh fitoplankton. Konsentrasi ammonia tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dengan salinitas 0‰ (1,206 mg/l) dan terendah ditemukan pada stasiun 9 dengan salinitas 26,4‰ (0,0773 mg/l). Nilai ammonia mengalami penurunan (removal) konsentrasi mulai salinitas 0‰ hingga 26,4‰ dan mendekati TDL pada salinitas 18,2‰, 22‰ dan 24,2‰. Dapat dilihat pula dari Gambar 4A bahwa konsentrasi ammonia dari hulu ke muara cenderung lebih menjauhi dilution line terutama pada salinitas 21‰ (St. 5) . Hal ini lebih disebabkan oleh pemanfaatan ammonia di sepanjang estuari. Pada salinitas 0‰ (St. 5), nilai ammonia lebih tinggi dibandingkan pada bagian pertengahan dan muara. Hal tersebut sangat terkait dengan sumber ammonia. Pada daerah estuari yang memiliki salinitas lebih dari 18,2 - 22‰ (St. 4-7) tidak terlihat adanya masukan ammonia yang signifikan dibandingkan daerah muara walaupun konsentrasi ammonium di muara lebih rendah. Burton & Liss (1976) menyebutkan bahwa masukan ammonia di daerah estuari umumnya lebih dipengaruhi oleh limbah/sampah dan pH (Millero
Gambar 3. 120
Fungsi salinitas terhadap jarak di Estuari Perancak; 0 km merupakan titik pada mulut estuari.
Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien...di Estuari Perancak, Bali (Hamzah, F. & Saputro, P, D.)
Gambar 4.
Pola sebaran nutrien di Estuari Perancak pada bulan September 2011 untuk parameter Ammonia (A), Nitrat (B) dan Fosfat (C).
& Sohn, 1992). Konsentrasi tertinggi nitrat di temukan pada stasiun yang memiliki nilai salinitas 0‰ (0,829 mg/l) dan terendah terdapat pada stasiun 8 yang memiliki nilai salinitas 26,2‰ (0,1909 mg/l). Pada Gambar 4B, nilai nitrat tampak mengalami pengurangan (removal) konsentrasi di sepanjang estuari mulai dari salinitas 0 hingga 26,4‰. Adanya pemanfaatan (uptake) nitrat yang dilakukan oleh fitoplankton diduga memperkecil
konsentrasi dari hulu hingga muara. Dari gambar yang sama, dapat dilihat juga pengurangan konsentrasi nitrat terjadi pada salinitas 5‰ (St. 2), bagian pertengahan (St. 5; 21‰) dan di daerah menuju mulut estuari (St. 6-7; 23-25‰). Sharp et al. (1983) menyatakan bahwa kisaran salinitas 15-30‰, daerah estuari cenderung memiliki karakteristik biochemical filter, dimana terdapat tingkat produktivitas biologi yang tinggi dan didukung oleh pasokan nutrien yang tinggi pula. Proses pemanfaatan nitrat di daerah mulut estuari ini 121
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 117-127 menyebabkan konsentrasinya berkurang.
biologi, sedangkan penambahan konsentrasi fosfat pada daerah yang memiliki salinitas lebih besar dari Nitrat merupakan bentuk utama terlarut dari 10‰ diduga di daerah pertengahan estuari merupakan senyawa nitrogen yang banyak ditemukan di estuari. percabangan dari beberapa aliran anak sungai dimana Konsentrasi nitrat di sepanjang sungai sampai terjadi proses perubahan sumber fosfat menjadi bentuk estuari lebih tinggi dibandingkan dengan di laut. Hal partikulat dan fase terlarut (Sharp et al., 1982). tersebut lebih dikarenakan oleh sumber nitrat yang berasal dari daratan (Burton & Liss, 1976). Selain Dari Gambar 4, dapat diuraikan bahwa nutrien itu, tinggi rendahnya nitrat juga sangat tergantung seperti nitrat, ammonia dan fosfat merupakan elemen pada kandungan oksigen terlarut. Pada saat kadar terlarut bersifat non konservatif. Jika dikembangkan oksigen rendah, keseimbangan bergerak menuju kembali, berdasarkan hasil grafik percampuran ammonia, sedangkan pada saat kadar oksigen tinggi diatas dapat dilihat bahwa nutrien seperti fosfat di keseimbangan bergerak menuju nitrat dan hal ini Estuari Perancak merupakan kombinasi dari grafik diduga terjadi di Estuari Perancak. Adanya konsentrasi penambahan dan pengurangan non konservatif nitrat yang berada di bawah TDL mengindikasikan tidak (combine addition and removal). Untuk ammonia dan terjadinya proses denitrifikasi di estuari. Pengaruh nitrat, grafik percampuran yang terbentuk adalah musim juga sangat menentukan konsentrasi nitrat. removal of dissolved components (pengurangan), Pengambilan sampel penelitian ini dilaksanakan pada dimana pada stasiun 5 (21,3‰) merupakan stasiun musim kemarau, hasil yang berbeda kemungkinan yang memiliki dilution line yang maksimum. Adanya akan didapatkan jika pengambilan sampel dilakukan penambahan konsentrasi (addition) nutrien fosfat yang pada musim penghujan, dimana input daratan daratan berasal dari daratan terlihat dari beberapa konsentrasi lebih besar sehingga konsentrasi nutrien juga lebih yang berada diatas garis lurus mulai dari hulu hingga besar. hilir, sedangkan pengurangan (removal) konsentrasi terletak di bawah garis lurus (Burton & Liss, 1976; Konsentrasi fosfat tertinggi ditemukan pada Chester, 1990). stasiun 1 yang memiliki nilai salinitas 0‰ (0,657 mg/l) dan terendah terdapat pada stasiun 9 yang memiliki Kandungan Oksigen Terlarut dan pH nilai salinitas 26,4‰ (0,138 mg/l). Berbeda dengan ammonia dan nitrat, proses dominan yang terjadi pada Secara umum, nilai pH di Estuari Perancak fosfat di Estuari Perancak adalah kombinasi antara menunjukkan adanya peningkatan pH mulai dari hulu penambahan (addition) konsentrasi dan pengurangan hingga ke muara estuari (Gambar 5A). Pada daerah (removal). Proses penambahan dan pengurangan hulu dengan nilai sanilitas 0‰ (St. 1) , nilai pH hasil konsentrasi nutrien akan terlihat pada garis TDL pengukuran adalah 7,28, sedangkan pada salinitas dimana stasiun yang mengalami pengurangan nutrien 26,4‰ yang berlokasi di daerah mulut estuari (St. 9), akan berada dibawah garis TDL dan sebaliknya untuk memiliki nilai pH sebesar 7,99. Nilai pH di daerah estuari penambahan. Terlihat pada Gambar 4C dimana pada khususnya di bagain hulu sangat dipengaruhi oleh salinitas dengan kisaran 1-10‰ (St. 1-3) dan 19-22‰ masukan dari bahan organik karbon. Bahan organik (St. 5-6) terjadi pengurangan konsentrasi (removal) karbon tersebut merupakan masukan anthropogenik fosfat, namun pada salinitas 10-18‰ (St. 4) terjadi yang masuk kedalam sungai dan menuju mulut penambahan konsentrasi (addition). Peningkatan estuari. Rendahnya nilai pH pada daerah hulu dapat konsentrasi terlihat jelas terjadi pada salinitas 18,2 dan juga diakibatkan oleh respiratory activity. Pada bagian 24,2‰ (St. 4 dan 7). Pengurangan konsentrasi fosfat mulut estuari, nilai pH cenderung meningkat dimana pada salinitas 5‰ diduga untuk pemanfaatan aktivitas pengaruh air laut yang masuk di mulut estuari masih
Gambar 5. 122
Fungsi salinitas terhadap jarak di Estuari Perancak; 0 km merupakan titik pada mulut estuari.
Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien...di Estuari Perancak, Bali (Hamzah, F. & Saputro, P, D.) menjaga fungsi laut sebagai penyangga (buffer) pH. Proses buffer tersebut menjadikan nilai pH cenderung basa (pH>7). Fluktuasi harian pH di estuari sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton. Selain itu, pH di estuari juga dipengaruhi oleh suhu perairan. Kandungan oksigen terlarut (DO) di Estuari Perancak memperlihatkan adanya kenaikan nilai konsentrasi mulai dari hulu hingga muara estuari (Gambar 5B). Secara umum, kandungan oksigen terlarut hasil pengukuran menunjukkan nilai dengan kisaran 0,729-2.291 mg/l. Dari Gambar 5B, dapat dilihat bahwa kandungan DO terendah terdapat pada salinitas 5,1 ‰ (St. 2) dan tertinggi terdapat pada salinitas 26,2‰ (St. 8). Pada salinitas rendah (0‰), kandungan oksigen cenderung menurun. Hal ini diakibatkan penggunaan oksigen untuk respirasi, sedangkan pada salinitas tinggi (lebih dari 25‰), kandungan oksigen mengalami peningkatan akibat adanya difusi dari udara menuju air. Selain lokasi yang berada di mulut estuari, pengaruh pergerakan air yang berasal dari laut menuju muara estuari juga meningkatkan kandungan oksigen terlarut. Di daerah mulut Estuari Perancak, nilai kandungan oksigen terlarut cenderung dibawah 5 mg/l, hal ini diakibatkan oleh pengurangan tingkat kelarutan oksigen (solubility) pada salinitas yang lebih tinggi (Sharp et al., 1982). Logam Berat Proses percampuran massa air sungai dan laut mempengaruhi konsentrasi logam berat terlarut. Hal ini disebabkan oleh proses pengenceran dan destabilisasi partikel yang kemudian diikuti oleh pengendapan ke sedimen. Selain dipengaruhi oleh masukan air tawar dan air laut, sedimen pada dasar perairan estuari juga sangat berperan penting dalam perubahan fase logam berat dari terlarut menjadi partikulat. Sebelum terjadi proses destabilisasi, partikel-partikel tersebut mengadsorpsi elemen atau senyawa kimia anorganik terlarut termasuk logam dan organik terlarut dan akan terdeposisi menuju sedimen dasar (Chester, 1990). Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa baik logam esensial (Cu dan Zn) maupun non esensial (Pb) memiliki pola kecenderungan yang sama yaitu semakin menuju mulut estuari, konsentrasi ketiga logam berat tersebut akan semakin tinggi. Konsentrasi Pb di sepanjang Estuari Perancak lebih dominan mendapat masukan dibandingkan dengan pengurangannya. Hal tersebut terlihat dari Gambar 6A dimana konsentrasi logam Pb cenderung menjauhi TDL, namun selalu berada di posisi atas. Konsentrasi Pb meningkat dari salinitas 0‰ (St. 1; 0,011 ppm) hingga salinitas 21,3‰ (St. 5; 0,275 ppm) kemudian kembali turun hingga cenderung konstan konsentrasinya pada salinitas 26,4‰ (St. 9; 0,272 ppm). Konsentrasi Pb mengalami penurunan
dari salinitas 21,3 ‰ (St. 5) hingga ke salinitas 22‰ (St. 6), namun kembali meningkat hingga ke salinitas 26,4‰ (St. 9) dimana lokasi ini merupakan daerah muara estuari. Peningkatan konsentrasi Pb di daerah muara estuari yang relatif tinggi dikarenakan pengaruh dari kapal-kapal nelayan yang bersandar di sekitar muara estuari. Tumpahan minyak yang berasal dari kapal tersebut diduga faktor utama tingginya Pb di muara estuari. Tingginya alkalinitas menyebabkan proses flokulasi dan penyerapan logam (desorpsi) dari fase terlarut ke partikulat. Hal ini berarti logam Pb di Estuari Perancak bersifat non konservatif. Hal sama juga terlihat untuk logam Pb di Muara Banjir Kanal Barat, Semarang (Maslukah, 2008). Pola logam Pb terlarut sama dengan pola dari parameter DO, pH, dan TSS dimana nilai untuk air laut ketiganya lebih besar dibanding dengan air tawar. Sama halnya dengan Pb, untuk logam esensial Cu mengalami peningkatan konsentrasi mulai dari hulu hingga ke mulut estuari. Konsentrasi Cu pada daerah sungai lebih rendah dibandingkan dengan logam Cu hasil pengukuran di daerah mulut estuari. Pada rentang salinitas 0-5‰ (St. 1-2), nilai konsentrasi Cu cenderung tidak terdeteksi (0 ppm), namun pada salinitas 10,1‰ (St. 3) logam Cu meningkat hingga ke mulut estuari yang bersalinitas 26,4‰ (St. 9) dengan konsentrasi 0,038-0,057 ppm (Gambar 6B). Secara alami logam Cu di perairan berasal dari dua masukan yaitu berasal akibat pengikisan batuan mineral dan berasal dari kegiatan industri seperti tekstil, pelapisan logam, pestisida, dan cat. Jika dilihat dari sumber Cu yang berasal dari kegiatan industri, tidak ada industri di sepanjang Estuari Perancak. Untuk pemakaian pestisida untuk kegiatan pertanian diduga kecil meningkatan konsentrasi logam Cu, karena pada saat pengambilan sampel, musim tanam belum dilaksanakan dikarenakan masih musim kemarau. Diduga meningkatnya konsentrasi Cu di muara Estuari Perancak mendapat masukan dari sumber industri lainnya yang berada di sekitar Selat Bali, sehingga pada saat pasang, logam Cu terbawa dan pada saat surut tertinggal di sekitar estuari. Chester (1990) menyatakan bahwa apabila konsentrasi elemen lebih tinggi pada salinitas 0‰, dapat dikatakan bahwa sumber elemen tersebut berasal dari sungai dan sebaliknya, jika tinggi di sekitar muara sungai menandakan ada sumber lainnya yang masuk kedalam sungai tersebut. Hajte et al. (2003) juga menjelaskan bahwa di estuari, logam Cu lebih cendrung ditemukan dalam bentuk spesiasi dibandingkan dengan kandungan total. Spesiasi logam Cu terlarut lebih sering ditemukan oleh adanya interaksi dengan kandungan bahan organik terlarut (DOM). Pola sebaran logam Zn mengalami kenaikan konsentrasi seiring dengan bertambahnya nilai salinitas dan konsentrasi Zn lebih tinggi di mulut estuari dibandingkan dengan sungai (hulu) (Gambar 123
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 117-127
Gambar 6.
Pola sebaran logam berat Pb (A), Cu (B), dan Zn (C) di Estuari Perancak pada bulan September 2011.
6C). Pada rentang salinitas 0-7‰ (St.1-2), konsentrasi Zn cenderung mengalami pengurangan konsentrasi (removal). Hal tersebut bisa dilihat pada salinitas 5,1‰ (St. 2) dimana konsentrasinya berada dibawah garis TDL dengan konsentrasi Zn sebesar 0,0015 ppm. Pengurangan konsentrasi tersebut bisa terjadi pada daerah pengadukan (mixing) dimana terjadi proses flokulasi dan adsorpsi elemen dari fase terlarut sehingga menyebabkan konsentrasi logam dalam bentuk 124
suspensi lebih tinggi dibandingkan dengan konsentasi logam terlarutnya (Chester, 1990). Konsentrasi Zn cenderung berada di atas dilution line pada rentang salinitas 10,1-26‰ (St. 3-9) dimana konsentrasi pada salinitas 24,‰ (St. 7) merupakan konsentrasi tertinggi yaitu 0,046 ppm. Logam Zn berada dibawah TDL pada daerah muara dengan salinitas 26,2-26,4 ‰ (St. 8-9). Sama halnya dengan Cu, konsentrasi Zn lebih tinggi di daerah mulut estuari dibandingkan dengan bagian
Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien...di Estuari Perancak, Bali (Hamzah, F. & Saputro, P, D.) sungai lainnya (hulu). Hal tersebut nantinya berkaitan estuari, maka dapat lihat nilai kekonservatifannya. dengan sumber dari logam Zn. Logam Zn secara alami logam Pb merupakan elemen terlarut bersifat non berasal dari erosi batuan di daerah hulu sungai dan konservatif. Hasil percampuran yang dilihat dari dari aktivitas manusia yaitu buangan limbah seperti pola sebaran kedua logam tersebut merupakan industri baja, cat, karet, tekstil, dan kertas. Sehingga kombinasi dari grafik penambahan dan pengurangan adanya industri-industri tersebut di daerah hulu sungai non konservatif (combine addition and removal). ikut berperan sebagai sumber logam Zn, selain dari Adanya penambahan konsentrasi (addition) logam sumber alamiahnya sendiri (Bryan, 1976; Effendi, yang berasal dari daratan dan aktivitas perkapalan 2003). Jika dilihat di sekitar hulu atau sepanjang di sekitar muara terlihat dari beberapa konsentrasi sungai Perancak, tidak terdapat industri-industri yang berada diatas garis lurus TDL mulai dari hulu yang disebutkan diatas. Hal ini mengindikasikan hingga muara, sedangkan pengurangan (removal) dengan rendahnya nilai Zn pada daerah hulu. Erosi konsentrasi terletak di bawah garis TDL (Chester, batuan pada hulu juga diduga tidak memberikan 1990). Untuk logam Cu dan Zn yang sifatnya logam masukan Zn yang besar pada Sungai Perancak. Pada esensial, masuk kedalam elemen terlarut bersifat bagian pertengahan estuari, konsentrasi cenderung non konservatif, namun dari grafik percampurannya meningkat. Adanya percabangan pada sungai estuari dimasukan ke dalam tipe penambahan konsetrasi antara sungai Perancak, Sungai Awen dan Sungai terlarut (addition of dissolved component). Grafik yang Loloan diduga membawa input untuk logam Zn, dihasilkan umumnya mendapat masukan konsentrasi sehingga menyebabkan konsentrasinya menjadi tinggi. dan cenderung berada diatas TDL dan hanya terjadi Di daerah mulut estuari, konsentrasi Zn cenderung pengurangan di daerah hulu. meningkat. Peningkatan konsentrasi tersebut diduga tidak berasal dari hulu ataupun industri, melainkan Total Suspended Solid dan C-Organik berasal dari masukan luar Estuari Perancak. Hubungan antara total padatan tersuspensi dan Dikarenakan dari semua logam berat yang C-organik dengan salinitas disajikan pada Gambar 7. diamati berubah-ubah konsentrasinya di sepanjang Dari Gambar 7, dapat dilihat bahwa konsentrasi TSS
Gambar 7.
Pola sebaran Total Suspended Solid (TSS) (A) dan C-Organik (B) di Estuari Perancak pada bulan September 2011. 125
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 117-127 cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas. Nilai TSS pada salinitas 0 hingga 5,1‰ (St. 1-2) cenderung tidak ada kenaikan yang signifikan yaitu berkisar antara 61-69,75 mg/l. Konsentrasi TSS cenderung meningkat diatas salinitas 5,1‰ yiatu pada rentang salinitas 10,1‰ hingga 26,4‰ (St. 3-9). Nilai konsentrasi TSS tertinggi terdapat pada salinitas 26,2‰ dengan konsentrasi 242,5 mg/l (St. 8). TSS merupakan padatan yang berasal baik dari organik maupun inorganik. Tingginya nilai TSS pada daerah mulut estuari sangat dipengaruhi oleh masukan dari daerah hulu. Hal tersebut bisa dilihat pada Gambar 7A dimana pada daerah salinitas 0‰, nilai TTS lebih rendah dibanding dengan salinitas yang berada di mulut estuari.
KESIMPULAN Hasil percampuran beberapa elemen terlarut pada musim kemarau di Estuari Perancak menunjukan pola yang bervariasi berdasarkan nilai salinitas. Nitrat, fosfat dan ammonia menunjukkan pola yang sama dari daerah hulu hingga ke muara, yaitu semakin menuju muara sungai, konsentrasinya semakin menurun. Sebaliknya, konsentrasi logam berat (Pb, Cd, dan Cu) memiliki pola gradual yang semakin meningkat dari hulu menuju muara. Pola yang sama juga ditunjukkan pada TSS, DO, dan pH, sedangkan C organik mempunyai pola yang berfluktuatif di seluruh stasiun. Logam Pb, Cu dan Zn mengalami penambahan di Estuari Perancak pada kisaran salinitas 6-22‰, sedangkan nutrien mengalami pengurangan tertinggi pada salinitas 21,3‰ yang berjarak 3,32 km dari muara. Grafik percampuran nutrien dan logam berat di Estuari Perancak menunjukkan elemen yang bersifat non konservatif dengan tipe penambahan dan pengurangan untuk Zn, Cu dan fosfat, tipe penambahan konsentrasi untuk Pb, serta tipe pengurangan untuk ammonia dan nitrat. Batas transisi spasial fungsi estuari sebagai geochemical factor dan biochemical factor di Estuari Perancak berada antara stasiun 3 dan 4 (10,1-18,2‰) pada jarak antara 5 km dari muara.
Lain halnya dengan C-organik yang dihitung dari residu total padatan tersuspensi, nilai persentasenya cenderung mengalami peningkatan pada salinitas 5,1‰ (St. 2) dan mengalami penurunan pada salinitas 10,1‰ (St. 3). Nilai persentase C-organik pada salinitas 5,1‰ adalah 4,73%, sedangkan pada salinitas 10,1% adalah 4,48%. Nilai C-organik kembali mengalami penurunan persentase yang berfluktuatif dari salinitas 10,1‰ hingga 24,2‰ dengan persentase berkisar antara 3,47-3,07% (St. 3-7). Nilai persentase C-organik kembali meningkat pada daerah mulut estuari dengan persentase 4,025%. Secara umum PERSANTUNAN nilai presentase C-organik sangat dipengaruhi oleh arus. Pada saat arus pasang maka nilai C-organik Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada akan tinggi. Hal ini bisa dilihat pada salinitas 5,1 dan Titri Yan Rizki dan Nyoman Surana yang turut 10,1‰, dimana pada saat waktu pengambilan sampel membantu dalam memperlancar kegiatan penelitian di daerah yang memiliki salinitas tersebut berada pada di lapangan. Terima kasih juga disampaikan kepada kondisi pasang. Pada daerah pertengahan dan mulut Kepala Balai Penelitian dan Observasi Laut atas estuari, yang dilakukan pada saat menuju pasang (air bimbingan dan arahan hingga penelitian ini selesai. laut lebih dominan), nilai persentasenya cenderung Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan studi lebih kecil dibandingkan dengan stasiun yang berada observasi kualitas ekosistem estuari TA 2011 BPOL. di hulu. Selain itu, kandungan C-organik juga di estuari terdiri dari plankton laut, plankton sungai dan bahan DAFTAR PUSTAKA organik lainnya (Bristow et al., 2012). Hal tersebut akan membentuk pola sebaran C-organik dari hulu hingga Bristow, L. A., Timothy, D. J., Wetson, K., Alina, M. mulut estuari. Pola yang terbentuk dari C-organik tidak B., Parker, R. & Andrews, J. E. (2012). Tracing mengikuti Gambar 2 dan cenderung berfluktuasi pada Estuarine organic matter sources into the Southern selang 3-5 %. Hal tersebut lebih disebabkan oleh jenis North Sea Using C and N Isotopic Sigantures. bahan organik yang tersaring. Pada saat pasang, air Biogeochemistry.Vol 113 (Issue1-3):9-22. laut cenderung dominan masuk ke wilayah estuari dan diduga membawa plankton yang berasal dari laut Bryan, G. W. (1976). Heavy metals contamination dan ikut tersaring saat pengambilan sampel sehingga in The Sea. In Johnston (Ed). Marine Pollution. nilai C-organik pada saat pasang cenderung lebih Academic Press. New York. tinggi. Namun pola tersebut tidak permanen, pada saat pasang menunju surut, material organik seperti Burton, J. D. & Liss, P.S. (1976). Estuarine Chemistry. plankton yang berasal dari sungai, tanaman disekitar Academic Press Inc, London Ltd. xii+229 p. pesisir juga akan ikut, namun jumlahnya sedikit, sehingga nilai C-organiknya juga akan sedikit (Bristow Chester, R. (1990). Marine Geochemistry. UNWIN et al., 2012). HYMAN. London.
Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, 126
Pola Sebaran Logam Berat dan Nutrien...di Estuari Perancak, Bali (Hamzah, F. & Saputro, P, D.) Jogjakarta. Hutagalung, H. P., Setiapermana, D. & Riyono, S. H. (1997). Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Libes, S. M. (1992). An Introduction of Marine Biogeochemistry. Toronto: John Wiley & Sohn. Inc. Maslukah, L. (2008). Konsentrasi Pb, Cu, dan Zn Terlarut di Muara Sungai Banjir Kanal Barat, Semarang dan Pola Sebarannya Terhadap Salinitas dan Padatan Tersuspensi Total. Ilmu Kelautan. Juni 2008. Vol. 13 (2):61-66. Millero, F. J. & Sohn, M. L. (1992). Chemical Oceanography. CRC Press, Inc. London. Supriadi, I. H. (2001). Dinamika Estuari Tropik. Oseana, Volume XXVI, Nomor 4, 2001:1-11 Hajte, V., Apte, S. C., Hales, L. T. & Birch, G. F. (2003). Dissolved Trace Metal Distributions in Port Jackson Estuary (Harbour Sidney), Australia. Marine Pollution Bulletin, (46):719-730. Saidy, A. R. & Kurnain, A. (2004). Penetapan Karbon Organik pada Gambut Tropik Menggunakan Tiga Metode yang Berbeda. Agroscientiae, 1(11):8-13. Sanusi, H. S. (2006). Kimia Laut: Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sharp, J. H., Culberson, C. H. & Church, T. M. (1982). The Chemistry of the Delaware Estuary. General Considerations. Limnol. Oceanogr, 27(6):10151025. Sharp. J. H., Pennock, J. R., Church, T. M., Tramontano, J. M. & Cifuentes, L. A. (1983). The Estuarine Interaction of Nutriens, Organics and Metals : A Case Study in The Delaware Estuary.241-258. In: Kennedy, V.S. 1984. The Estuary As a Filter. Academic Press, Inc. United States of America.
127
Geokronologi Polutan Logam Berat...Provinsi Banten (Arman, A., et al.)
GEOKRONOLOGI POLUTAN LOGAM BERAT DENGAN TEKNIK NUKLIR TERHADAP SEDIMEN DI DAERAH PESISIR SURALAYA, PROVINSI BANTEN Ali Arman, Untung Sugiharto & Bungkus Pratikno Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional Diterima tanggal: 20 Februari 2013; Diterima setelah perbaikan: 29 Juli 2013; Disetujui terbit tanggal 6 Desember 2013
ABSTRAK Distribusi vertikal dari logam berat ditentukan untuk studi geokronologi polutan pada sedimen di daerah pesisir Suralaya. Umur dan akumulasi sedimen diperoleh dengan teknik dating radionuklida alam 210Pb. Sampel sedimen coring diambil menggunakan gravity core dari 2 lokasi (core 1 dan core 2). Sampel dipotong tiap 2 cm, dipreparasi dan dianalisis menggunakan spektrometer alpha dengan detektor PIPS. Kandungan polutan (logam berat) diukur pada setiap lapisan sedimen dengan metode Analisis Pengaktifan Neutron. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sedimentasi di daerah pesisir Suralaya meningkat sejak tahun 1970-an dan berdasarkan profil logam berat, Cr dan As juga menunjukkan kenaikan konsentrasi pada lapisan sedimen yang terjadi mulai sekitar tahun 1970-an hingga 2010. Kata kunci: geokronologi, radionuklida alam, sedimen, logam berat, pesisir Suralaya ABSTRACT The vertical distribution of heavy metals was determined in order to study the geochronology of pollutions in sediment in the coastal area of Suralaya, Province of Banten. Dated and accumulation rate sediment were carried out using environmental radionuclide 210Pb. Two sediment cores were collected using gravity corer (core 1 and core 2). Samples were then analyzed in the lab; each core was sliced into 2 cm, analyzed using alpha spectrometer with PIPS detector. The concentration of pollutants (heavy metals) was analyzed using Neutron Activation Analysis method. The dating of sediment as well as the sediment accumulation rates was determined using CRS model (Constant Rate of Supply). The result shows that sedimentation rates in the coastal area of Suralaya increase since 1970 until 2010. Moreover, based on the heavy metals profiles, Cr and As also increase similar to the increase of sedimentation. Keywords: geochronology, environmental radionuclide, sediment, heavy metals, Suralaya’s coastal
PENDAHULUAN Peningkatan perekonomian dalam satu daerah umumnya berdampak pada meningkatnya pencemaran lingkungan. Kajian tingkat kontaminasi dalam ekosistem perairan dapat dilakukan dengan cara analisis air, sedimen atau organisme hidup yang ada di lingkungan tersebut. Analisis air untuk monitoring jangka panjang pada lokasi sampling tertentu akan memberikan hasil yang sangat bervariasi walaupun sampel diambil dalam periode yang singkat. Oleh karena itu monitoring dan pengkajian lingkungan dengan menggunakan analisis sedimen dan biota bentos (Carroll et al., 2003) akan lebih sederhana. Sedimen permukaan merupakan reservoir bagi logam berat, sehingga perlu dilakukan desain dalam analisis untuk mendapatkan keterwakilan kondisi lingkungan. Sedimen yang tidak terganggu (undisturbed) memberi gambaran kronologi dari karakteristik geokimia dalam suatu kolom air (Benamar et al., 1999, Dinescu et al., 2004). Berdasarkan hal tersebut dapat dievaluasi perubahan geokimia dalam
kurun waktu tertentu dan juga dapat ditentukan baseline dan penambahan/perubahan yang telah terjadi dalam kurun waktu tersebut. Radionuklida alam 210Pb dengan waktu paruh 22,3 tahun, telah digunakan secara luas untuk menentukan umur sedimen sejak Goldberg mengembangkan metodologi tersebut pada awal tahun 60-an (Sanchez-Cabeza et al., 1999). Pengukuran aktivitas spesifik 210Pb pada lapisan sedimen di batuan inti (core) dapat menentukan umur dan laju akumulasi sedimen hingga 150 tahun ke masa lampau. Kisaran waktu penentuan umur sedimen dengan 210Pb sangat sesuai untuk digunakan sebagai tool untuk kajian perubahan dan kejadian dalam periode dimana aktivitas manusia mulai memberi dampak pada lingkungan dengan adanya perubahan yang signifikan pada lingkungan sekitar (Kumar et al., 1999). Radionuklida 210Pb adalah salah satu anak luruh U, keberadaannya dalam sedimen berasal dari proses, 1). 226Ra meluruh dan terbentuk gas 222Rn yang
Korespondensi Penulis: Jl. Lebak Bulus Raya no 49, Jakarta 12440. Email: [email protected]
238
129
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 129-133 terpancar ke udara hingga terbentuk 210Pb (unsupported), kemudian turun ke permukaan dan berikatan dengan partikel suspensi dan mengendap bersamaan membentuk lapisan sedimen, 2) yang terbentuk karena adanya peluruhan 226Ra yang terdapat dalam sedimen tersebut melalui proses kesetimbangan dan meluruh menjadi 210Pb (supported). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan laju sedimentasi serta geokronologi polutan logam berat di daerah pesisir Suralaya, Provinsi Banten menggunakan radionuklida alam 210Pb sebagai perunut melalui analisis profil unsupported 210Pb. Adapun tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sumber polutan yang terutama berasal dari daratan.
dikeringkan dan digerus dengan mortar. Kandungan air dan porositas ditentukan dari perbedaan berat basah dan berat kering sampel. Sampel dibagi dua, sebagian dianalisis kandungan logam beratnya dengan teknik aktivasi neutron untuk studi kronologi pencemaran dan sebagian dianalisis kandungan radionuklida alam 210Pb untuk menentukan umur dan laju akumulasi sedimen (IAEA-TECDOC, 2003).
Aktivitas 210Pb ditentukan dari hasil pengukuran salah satu anak luruhya yaitu 210Po dengan asumsi terdapat kesetimbangan antara keduanya. Destruksi sampel mengikuti prosedur (Sanchez-Cabeza, 1993) dengan sedikit modifikasi, secara singkat adalah pada 3 gram sampel sedimen kering diteteskan larutan standar 209Po sebanyak 0,169 Bq sebagai tracer, METODE PENELITIAN ditambahkan 10 mL HCl(1:1), 10 mL HNO3(1:1), 15 mL H2O dan beberapa tetes H2O2 dan dipanaskan pada Sedimen core (4 stasiun) dan sedimen suhu 800C sampai kering. Kemudian ditambahkan permukaan (16 stasiun) diambil di daerah pesisir PLTU 10 mL HCl (1:1) dan 40 mL H2O dan dipanaskan Suralaya, provinsi Banten yang dilakukan pada Juni dan disaring. Filtrat dikeringkan sampai terbentuk 2010. Sampel sedimen core diambil menggunakan endapan dan ditambahkan 4 mL HCl (1:1) dan diaduk. alat gravity core dengan diameter 4 cm dan panjang 50 Selanjutnya ditepatkan volumenya menjadi 100 mL cm pada 4 lokasi berbeda. Data sedimen core dapat dengan menambahkan HCl 0,3N dan juga ditambahkan dilihat dalam Tabel 1 dan lokasi pengambilan sampel 400 mg asam askorbat. 50 mL diambil untuk deposisi dapat dilihat pada Gambar 1. Sampel didinginkan spontan 210Po dan 209Po pada stainlessteel disk. Kedua dengan es batu dan dibawa ke laboratorium untuk isotop dicacah dengan alpha spektrometer produksi dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan persentase butiran Canberra dengan detektor PIPS (Passiveted Implanted sedimen, hanya 2 core yang dianalisis 210Pb dengan Planar Silicon) area 450 mm2, resolusi 20keV dan persentase pasir yang cukup kecil sedangkan 2 core kondisi vakum. Pencacahan dilakukan selama sekitar 4 lainnya cukup tinggi kandungan pasirnya. Sampel jam dan energi yang digunakan adalah 4,88 MeV untuk dipotong tiap 2 cm menggunakan alat potong dari 209Po (tracer) dan 5,305 MeV untuk 210Po. Pengukuran bahan plastik untuk menghindari kontaminasi logam background dilakukan pada periode yang sama dengan berat pada sampel. Selanjutnya sampel ditimbang, pengukuran sampel dan hasilnya dikurangkan pada
Gambar 1. 130
Lokasi pengambilan sampel sedimen di daerah pesisir Suralaya, Provinsi Banten
Geokronologi Polutan Logam Berat...Provinsi Banten (Arman, A., et al.) Tabel 1.
Data sampel sedimen core daerah pesisir Suralaya, Banten No Lintang Bujur Kedalaman (m) Panjang Core (cm) 1 2 3 4
5°54’54,17”S 5°52’50,93”S 5°52’39,60”S 5°54’30,89”S
105°59’52,28”E 106°02’03,67”E 106°02’59,93”E 106°00’20,06”E
hasil pengukuran sampel. Supported 210Pb diperoleh dari hasil pengukuran 226Ra menggunakan gamma spectrometer produksi Canberra dengan detektor HPGe (High Pure Germaium) efisiensi 10% relative terhadap NaI(Tl) 3”x3”, resolusi 2,0 keV pada energi 60 Co 1332 keV dan detektor dilingkupi dengan shielding Pb setebal 10 cm dan lembaran Cu. 226Ra ditentukan melalui anak luruhnya yaitu 214Pb pada energi 352 keV. Sampel sebelum diukur, terlebih dahulu ditutup rapat dan didiamkan selama 1 bulan agar tercapai kesetimbangan antara radium dan anak luruhnya. Pengukuran sampel dan background dilakukan selama 24 jam dengan pengukuran background dilakukan pada periode yang sama dengan pengukuran sampel dan hasilnya dikurangkan terhadap hasil sampel. Unsupported 210Pb diperoleh dari pengurangan total 210 Pb dengan supported 210Pb. Kandungan logam berat ditentukan dengan metode analisis pengaktifan neutron (El-Bahi et al., 1999, Gaudry, 2007, IAEA-TECDOC 1990). Sebanyak 200 mg sampel homogen dimasukkan ke dalam kantong plastik polietilen yang telah dicuci terlebih dahulu dengan 0,2M HNO3. Plastik ditutup rapat dan disegel (shield) agar tidak terjadi kebocoran pada
Gambar 2. Laju akumulasi sedimen pada daerah sekitar core 1.
15 20 19 18
41 42 22 30
saat iradiasi dan pengukuran. Penentuan kuantitatif, limit deteksi, dan quality assurance (QA) digunakan standar sedimen IAEA-405 (Trace Elements and Methylmercury in Estuary Sediment) dan IAEA SL-1 (International Atomic Energy Agency), dimana standar tersebut diperlakukan sama dengan sampel. Standar dan sampel diiradiasi di Reaktor Siwabessy, BATAN Serpong menggunakan fluks ~1013 neutron/cm2. detik selama 20 menit. Sampel yang sudah diaktivasi selanjutnya diukur dengan spektrometer gamma menggunakan detektor HPGe (High Pure Germanium) koaksial efisiensi 10% dan terhubung dengan multi saluran (multi channel), sehingga dapat mengukur sekitar 20 unsur dalam waktu yang sama. Detektor HPGe mempunyai resolusi (FWHM) 1,89 keV pada energi 60Co 1332 keV, dan peak to Compton ratio of 38.1:1. Kalibrasi kualitatif digunakan standar multi sinar gamma 152Eu. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis 210Pb dalam sedimen core 1 dan 2 diperoleh laju akumulasi sedimen pada masing-masing lokasi seperti ditampilkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 3. Laju akumulasi sedimen pada daerah sekitar core 2. 131
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 129-133 Pada awal tahun 1900-an hingga 1980-an, laju akumulasi masing-masing lokasi menunjukkan nilai yang hampir konstan yaitu 0,05 gr/cm2.tahun untuk core 1 dan 0,02 gr/cm2.tahun untuk core 2. Setelah tahun 1980-an laju akumulasi pada kedua lokasi juga menunjukkan kenaikan, dengan kenaikan yang terus-menerus pada core 1 dan kenaikan yang sedikit berfluktuasi pada core 2.
kedalaman maka diperoleh peningkatan akumulasi kandungan logam-logam tersebut terjadi setelah sekitar tahun 1970-an. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya menunjukkan pola yang konstan. Dengan kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa konsentrasi alami dari masing-masing logam yang terdapat pada sedimen adalah nilai yang ditunjukkan oleh masingmasing logam berat sebelum tahun 1960-an.
Logam-logam (polutan) yang teridentifikasi dengan menggunakan metode INAA dalam sampel sedimen adalah U, Th, Cr, Hf, As, Sc, Zn dan Co. Konsentrasi dari masing-masing logam berat dibandingkan dengan kandungan Sc. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan konsetrasi antropogenik dari logam-logam yang terakumulasi dalam sedimen core (Lahiri et al., 1997, Ribeiro et al., 2005). Profil dari logam-logam dengan rasio terhadap Sc dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Konsentrasi semua logam berat pada sedimen core 2 menunjukkan rasio yang lebih kecil dibandingkan dengan rasio logam berat pada core 1. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pola sedimentasi dan faktor fisik perairan di daerah pesisir Suralaya. Seperti hasil analisis logam berat dan 210Pb dalam sedimen permukaan yang dilakukan pada tahun sebelumnya, bahwa kandungan logam berat lebih tinggi disebelah barat dibandingkan dengan sebelah timur.
Pada sedimen core 1, kandungan logam Cr meningkat dari lapisan paling bawah hingga permukaan. Hal sama juga didapatkan pada unsur As, akan tetapi kenaikannya tidak sebesar pada logam Cr. Sementara itu logam U, Th dan Hf menunjukkan pola yang konstan dari lapisan atas sedimen hingga lapisan bawah. Sedangkan Co menunjukkan hal yang berbanding terbalik dengan As dan Cr, menunjukkan penurunan konsentrasi dari lapisan bawah hingga permukaan. Berdasarkan
korelasi
umur
sedimen
dan
Gambar 4. Profil logam berat U, Th, Hf, As, Co dan Cr dengan rasio terhadap Sc pada sampel core 1 132
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Laju akumulasi sedimen di daerah pesisir Suralaya menunjukkan kenaikan yang dimulai dari tahun sekitar 1970-an dan pada periode sebelumnya menunjukkan nilai yang hampir konstan. 2. Konsentrasi polutan U, Th, Hf dan Co hampir konstan di sepanjang core, sedangkan polutan Cr dan As meningkat hampir bersamaan dengan kenaikan laju sedimentasi di daerah tersebut.
Gambar 5. Profil logam berat U, Th, Hf, As, Co dan Cr dengan rasio terhadap Sc pada sampel core 2.
Geokronologi Polutan Logam Berat...Provinsi Banten (Arman, A., et al.) PERSANTUNAN Ucapan terima kasih disampaikan ke project Regional Asia Pacific dibawah kordinasi International Atomic Energy Agency (IAEA), IAEA-RCA RAS/7/019, “Harmonizing Nuclear and Isotopic Techniques for Marine Pollution Management at the Regional Level” atas dukungan pelatihan, narasumber dan interpretasi data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sdr. Suripto dan Yulizon Menry atas bantuannya dalam pengambilan sampel dan analisis. DAFTAR PUSTAKA Benamar, M.A., Toumert, I., Tobbeche, S., Tchantchane, A., & Chalabi, A.. (1999), “Assessment of the state of pollution by heavy metals in the surficial sediments of Algiers Bay”, Appl. Radiation Isotopes, 50, 975-980. Carroll, J. & Lerche, I., (2003), “Sedimentary processes: quantification using radionuclides”, Elsevier, Amsterdam. Dinescu, L.C., Steinnes, E., Duliu, O.G., Ciortea, C., Sjøbakk, T.E., Dumitriu, D.E., Gugiu, M.M., & Haralambie, M., (2004), “Distribution of some majors and trace elements in Danube Delta lacustrine sediments and soil”, Radioanal. Nucl. Chem., 262, 345-354.
D., & Das, N.R., (1997), “Neutron Activation Analysis of Noble and Platinum Group Metals in the Proterozoic Dalma Rocks of Eastern India”, Appl. Radiation Isotopes, 48, 549-553. Ribeiro, A.P., Figueiredo, M.G., & Sigolo, J.B., (2005), “Determination of heavy metals and other trace elements in lake sediments from a sewage treatment plant by neutron activation analysis”, Radioanal. Nucl. Chem., 263 (3), 645-651. Sanchez-Cabeza, J.A., Masque, P., Schell, W.R., Palanques, A., Valiente, M., Palet, C., Obiol, R.P., & Cano, J.P., (1993), “Record of anthropogenic environmental impact in the continental shelf north of Barcelona city”, Proceeding of a symposium, IAEA. Sanchez-Cabeza, J.A., Masque’, P., Ani-Ragolta, I., Merino, J., Frignani, M., Alvisi, F., Palanques, A. & Puig, P., (1999), “Sediment accumulation rates in the southern Barcelona continental margin (NW Mediterranean Sea) derived from 210Pb and 137Cs chronology”, Progress in Oceanography, 44, 313332.
El-Bahi, S.M., Sroor, A., & Abdel-Halem, A.S., (1999), “Application of neutron activation analysis technique for gold estimation in mines in southern Egypt”, Appl. Radiation Isotopes, 50, 627-630. Gaudry, A. & Delmas, R., (2007), “Multielemental analysis of concrete from nuclear reactors by INAA, ICP-MS and ICP-AES”, Radioanal. Nucl. Chem., 271, 159-164. IAEA
TECDOC-1360, (2003), “Collection and preparation of bottom sediment samples for analysis of radionuclides and trace elements”, Vienna, Austria.
IAEA-TECDOC 564, (1990), “Practical aspects of operating a neutron activation analysis laboratory”, IAEA, Vienna. Kumar, U.S., Navada, S.V., Rao, S.M., Nachiappan, Rm.P., Kumar ,B., Krishnamoorthy, T.M., Jha, S.K., & Shukla, V.K., (1999), “Determination of recent sedimentation rates and pattern in Lake Naini, India by 210Pb and 137Cs dating techniques”, Applied Radiation and Isotopes, 51, 97-105. Lahiri, S., Dey, S., Kumar Baidya, T., Nandy, M., Basu, 133
Mass Bleaching Phenomenon Impacted to Reef Fisheries...Southeast Sulawesi (Yusuf, S., et al.)
MASS BLEACHING PHENOMENON IMPACTED TO REEF FISHERIES IN BUTON ISLAND, SOUTHEAST SULAWESI Syafyudin Yusuf1), Jamaluddin Jompa1), Suharto2) & Awaludinnoer2) 1)
Marine Coastal and Small Island Research and Development of Hasanuddin University 2) Center for Coral Reef Research, Hasanuddin University Makassar Indonesia
Diterima tanggal: 25 Februari 2013; Diterima setelah perbaikan: 18 September 2013; Disetujui terbit tanggal 10 Desember 2013
ABSTRAK Kebanyakan terumbu karang dunia mengalami gangguan yang berulang kali akibat pemutihan karang yang diikuti oleh kematian dan pemulihannya pada dekade terakhir ini. Beberapa informasi dampak bleaching di terumbu karang Indonesia belum ada yang terpublikasi dari Sulawesi. Selama lima tahun program pemantauan terumbu karang (2006-2010) dilakukan oleh Coremap Buton menunjukkan adanya fenomena pemutihan karang 2009-2010. Penelitian ini merupakan pengungkapan pertama secara kuantitatif mengenai pemutihan karang di kawasan terumbu karang lokasi Coremap. Pengamatan difokuskan pada koloni dan tingkat genera yang didasarkan pada transek kuadrat 50 x 50 cm sebanyak 257 transek dan 96 foto digital koloni karang yang terkena pemutihan. Beberapa kelompok karang yang dominan memutih dari kelompok Acroporidae, Faviidae, Poritidae, Pocilloporoidae dan Alcyonidae meliputi genera Acropora, Diploastrea, Favia, Favites, Goniopora, Porites, Pocillopora dan Sinularia. Genera yang masih mampu bertahan seperti Turbinaria, Pachyseris, Symphylia dan Heliofungia. Sebanyak 68 % dari seluruh spesies terkena bleaching, 42% koloni masih memiliki jaringan hidup, 58% koloni telah memutih, skeleton bersih dan tertutupi algae. Nelayan lokal baru melihat kondisi karang yang memutih pada Mei, Juni dan Juli 2010. Fenomena bleaching telah menurunkan populasi ikan di terumbu karang dan volume penangkapannya. Kata kunci: pemutihan karang, perikanan terumbu karang, Buton ABSTRACT Many reefs around the world have experienced repeated disturbance due to severe coral bleachings followed by coral mortality and recovery in the past decades. There have been few quantitative assessments of the impact of bleaching on Indonesian reefs and none published from Sulawesi. A five year monitoring program (2006-2010) of coral condition in the Buton reefs in the Banda Sea indicated that coral bleaching events only occurred in the period of 2009-2010. Here we provide the first overview of bleaching in Coremap Reef management area authority. Bleaching assessment was among coral colonies and genera in these two regions based on monitoring of 50 cm x 50 cm on 257 quadrat transects and 96 digital photos of bleaching colonies. The bleached scleractinian family corals were dominated by Acroporidae, Faviidae, Poritidae and Pocilloporoidae and the Alcyonacea were also affected. The genera that bleached were Acropora, Diploastrea, Favia, Favites, Goniopora, Porites, Pocillopora and Sinularia. The resistant genera were Turbinaria, Pachyseris, Symphyllia, and Heliofungia. Sixty eight percent of the species were susceptible to bleaching, these were 42% of the colonies had live tissue, 58 % had live bleached, clean white skeletal and algal covered. Local fishermen on around of these reefs first have seen the bleaching in May, June and July 2010. This coral reef bleaching event reduced the reef fish populations in the reef ecosystem and fish catched. Keywords: coral bleaching, Reef fisheries, Buton
INTRODUCTION
unfavourable for an extended time they will die.
Increasing of seas surface temprature due to Many reefs around the world have been climate change has caused many reef organisms experienced frequent severe coral bleaching especially corals to lose their algal symbiont followed by coral mortality and/or recovery in the Zooxhanthellae which is well known as coral bleaching three past decades. Mass bleaching were recorded phenomena. Bleaching has been described as the 1979-80, 1982-83, 1987, 1991, 1994, 1998. There dissociation of the symbiotic relationship between were no reports of bleaching events prior to 1979 algae and their respective hosts (Brown, 1997). (Hoegh-Guldberg & Loya, 2009). Last recording of The extent of coral bleaching is dependent on both Indonesian reefs has been over 12 years since the above average temperatures and the length of time phenomenon of extensive coral bleaching was 1997that the water temperature remains high. Bleached 1998. Othewise, the bleaching phenomenon in corals have the ability to recover as conditions Indonesian reefs were not reported simultaneously. return to normal but if the conditions remain Then, Coral reef bleaching have been accoured and Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]
135
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 135-143 seen since April 2009 in locally reef of Indonesia. As previously reported (Yusuf et al., 2010) on Badi Island of Spermonde Makassar Strait, then phenomenon of global coral bleaching curently occurred again in 2010 (Jompa & Yusuf 2010; Tun et al., 2010; Setiasih, 2010). However, water temperature raising signal reported by researchers associated with oceanographic El-Nino events. While the high temperature anomaly causes the occurrence of coral bleaching in almost all the Indo Pacific and Indian Ocean. This phenomenon was widespread, affecting many reefs within the region, with countries reporting severe bleaching comparable to, and in some cases, more severe than the 1998 bleaching event. Otherwise, in 2010 Southeast Asia coral bleaching occurred in response to elevated sea surface temperatures (SST) caused by the intense La Niña event that started in early 2010 within the region and continued into late 2010 (Tun et al., 2010). In Indonesia, organization and individuals diver reported that the bleaching occured from mid March to June 2010. Futhermore, fisherman and government or university/science institute scientists reported as well (Setiasih, 2010). The bleaching on susceptible species were reported, and in some areas, severe bleaching also affect more resistant genus. Mass bleaching in Indonesia for this year (2010) were recorded in many reef from western Aceh to Ambon and few in raja Ampat. Otherwise, Tun et al. (2010) reported that bleaching coral in Spermonde
Figure 1. 136
Archipelago in Makassar Strait is unpredictable. The phenomenon of coral bleaching was seen 2009 and 2010 in Sulawesi, we are from Center for Coral Reef Research and Marine Coastal and Small Island (MaCSI) Research and Development of Hasanuddin University recorded that bleaching phenomenom impact of rising sea surface temperatures due to climate change in Indonesia. Bleaching events will be compared to manual timeseries of SST on Spermonde reef for two years (2009 and 2010). Finally, the aims of this study is to quantify the extant of coral bleaching prevalence in taxa and the colonies in Buton Reefs, Southeast Sulawesi. METHODOLOGY Study Site Research sites were located on Buton reefs complex in Southeast Sulawesi (Figure 1). Buton Fringing Reefs were located around Buton and Muna main islands. Buton is the name of the island as well as the name of the district which is dominated by an area of 21,054.69 km2 sea area than land area of 2,488.71 km2. Buton is geographically located at position latitude 4.96 ° - 6.25 ° latitude and 120° - 123.34° East. Buton extensive coral reef is 221.82 km2. The condition of coral reefs in the state are categorized by the percentage of live coral cover an area of 29.79% or 66.08 km2 with 231 species of reef fish species. shore
Site of study in Buton Southeast Sulawesi region.
Mass Bleaching Phenomenon Impacted to Reef Fisheries...Southeast Sulawesi (Yusuf, S., et al.) coral reef type (fringing reef). Coral reefs are found at a depth of 1 meter on the reef flat up to 25 meters on reef slope. Reef slope topographic were varies from 15o to 90o drop offs (Critc Coremap LIPI, 2008). Sea Surface Temperature (SST) Measurement Water surface temperature measurement is done manually using a digital thermometer three times a day, ie morning (06:00-7:00am), daylight (12:00-13:00) and afternoon (17:00-18.00pm). The SST measurement have been begun at May 2009 to August 2011. Anomaly data analysis for SST was based on the normal average temperature of 29.08 ° C in 2004-2006. Bleaching prevalences observation Coral reef bleaching community that observed using quadrat transects (English et al., 1997; Krebs, 1999; Brokovich et al., 2009) measuring 50 cm x 50 cm which is divided into 25 small squares. Total number of transects as many as 257 quadrat transects on reefs. The quadrat transects placed on the left and right along the line transects 25 m, and the line transects were layed on the reef slope 3-5 m depth. Permanent line transects as a method of monitoring coral reefs in the area of coral reef management Coremap. Limitation of digital photographic data used to complete the assessment bleaching (Brokovic et al., 2009). With the digital method, has collected 96 photos. Each digital photo is analyzed to bleaching prevalencies. Further colonies were estimated in proportion to the affected area of the colony bleaching and healthy living. Similarly, the results where all the digital photos or other types of coral colonies affected by bleaching prevalence specified proportion or bleaching of the colony. Prevalence of bleaching coral is divided into four conditions, namely: 1) fresh life polyps, 2) partially bleach colony, 3) hole bleaching and 4) algal covered. Subsequent analysis, all species in a transect sampling squares classified in: 1) bleaching species, or 2) resistant species. Pearson’s X2 statistic was used to test whether the fate of coral genera (bleaching or resistent) and whether independent bleaching species at the survey in 2009 and 2010. Statistic’s T-test was used to examine the difference of variance between coral bleaching and resistant, the bleaching events of 2009-2010.
any point of 0.5 m is converted into percentage cover of substrate. Data of life coral coverage in Buton were from Critc-Coremap LIPI. Coral species in transect square and free sampling were identified at the species or genera taxonomic (Veron, 2000; Wallace & Wolstenholme, 1998; Suharsono, 2009). Local knowledge The current study describes the society’s view of climate change associated with the phenomenon of coral mortality due to increased ocean temperatures during bleaching events. The number of respondents is 26 people; all of them are active fishermen, so the answer is given based on their experience and knowledge about nature. The respondents was derived from six different villages selected at random purposive. Age of respondents between 20-46 years, but there were two people who were elderly respondents ie 60 years and 70 years old but still active as fisherman. Among the respondents there was a female person who was actively fishing with her husband. RESULTS AND DISCUSSION Elevated Sea Surface Temperature Increasing of Seawater temperature (SST) in Spermonde Reef may be observed based on manual measurement of temperature for 540 days from May 2009 to December 2010 (Fig.2). Normal SST in Spermonde was approximately 29.08 ˚C. The highest temperature anomaly achieved 3.8 ˚C, while the lowest temperature anomaly was -1.49 ˚C. The increasing of temperature caused coral bleaching. Based on the measured temperature, bleaching occurrence was divided into four periods during 2009 and 2010, i.e. 1) before May 2009, 2) September – December 2009, 3) February – May 2010, and 4) September – November 2010. Since the first coral bleaching event on April 2009, temperature anomaly of seawater on May 2009 was around 2.41 ˚C. Further bleaching occurrence continued on September 2009 when the seawater temperature anomaly was increased again and reaches the maximum anomaly of 3.8 ˚C. In 2010, bleaching event was stimulated by increasing the water temperature along the year (except July-August 2010) where water temperature anomaly ranged between 3.8 and the highest to 4.2 ˚C.
Life coral coverage observation
According to Rowan et al. (1997); Brown et al. (2002), stimulant of coral bleaching in Caribbean was Life coral cover was measured by using the increasing of water temperature as much as 0.6 – 1.6 method PIT (Point Intercept Transect) with a length of ˚C from annual mean. Each individual of coral colony 25 m transects were repeated 3 times each location. has different responses to the temperature changes The number of frequency of each type of substrate at depends on the genotype of its symbiotic algae and life 137
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 135-143 cycle of coral colonies. Life Coral Cover Results of monitoring of coral reef conditions in Table 1 are showing live coral cover in 2006-2010. It was indicated an increasing in coral coverage from 2006 to 2008. In contrast, live coral coverage decreased in 2009 and 2010. Decreasing of live coral coverage in 2010 raised question on its causative factors. In the further discussion, this paper will expose the coral bleaching data for 2009 and 2010. Phenomenon of decreasing of live coral coverage at coral reef of Buton Reefs was predicted to be caused by the bleaching event in 2009 and 2010. Bleaching Prevalence of Coral Colonies Coral reefs of Buton Reefs as representative of coral reef of Southwest and Southeast Sulawesi have quantitative bleaching record in 2010. Figure 4 shows changes proportion of four stages of coral bleaching as
observed on June 2010 and November 2010. There was increasing in proportion of healthy coral polyps and algal-covered colonies. In contrast, there was decreasing in proportion of bleached polyps and clean skeleton. These prevalence changes indicated a decrease in the bleaching intensity during five months. For the bleached corals, there is possibility to become healthy polyps again whenever the temperature back to the normal condition. Similarly, proportion of clean skeleton until November 2010 has decreased and changed to dead coral colonies wrapped by algae. From this data, it may be assumed that 1) in general, more coral colonies in Buton Fringing Reef have a resistant ability, 2) species diversity and density of coral colonies were low, 3) During periods of several months corals were slowly recovered to the healthy condition and not continued to die and wrapped by algae as recorded. Mesoscale oceanographic processes can sometimes counteract coral bleaching conditions at
Figure 2.
Elevated sea surface temperature (oC) on site of reefs.
Figure 3.
Live coral cover in 2006-2010 in Buton Reefs (Critc Coremap LIPI 2006-2010).
138
Mass Bleaching Phenomenon Impacted to Reef Fisheries...Southeast Sulawesi (Yusuf, S., et al.) local scales: for example, the “island mass effect” can cause turbulence and vertical mixing on the leeward sides of islands subject to strong current flow. This process can lead to some cooling through vertical mixing and localized upwelling of deeper cooler waters; yet, even at consistently high temperatures (no upwelling), increased flow rates alone may confer some protection from bleaching (West & Salm, 2003). Buton Reef has geographical variation of its coasts and bays so that the water mass is well mixed causing lower temperature anomaly.
Perceived and directly impact their lives. Some 77% of the respondents (n=26) known and felt the climate change, whereas only 23% of respondents did not know or understand climate change. They considered that a bit extreme of natural events are mediocre as well have held in last times. Fishermen were often understood as a symptom of climate change as extreme weather is directly occurring to human race. For example, bad weather at sea, along rain season with high wind and waves. What is felt by the people due to the weather is actually a part of the phenomenon of climate change.
Bleaching and Resistance Colonies of Coral Genera
Local community of fishermen call the phenomenon of climate change include: long term raining season, storm, wave anomaly, higher waves and high sea water temperature. Among these phenomenas, prolonged rain is a phenomenon of climate change the most important perceived and understood by the public, namely by 47%. Prolonged rain with winds are assessed as both a phenomenon that is by 29%. Otherwise, 16% of the high wave phenomenon as a result of tight wind . These are the dominance mind of the coastal community about the climate change.
The histogram graphs (Figure 5) show that there were several quite predominant coral genera in each coral reef community such as Acropora, Porites, Favites, Montipora and Fungia.
However, Table 1 shows values of Chi test describing bleached and resistant coral colonies in Buton Reefs. Analysis of chi square test obtained that there were no differences in bleached corals in 2009 and 2010 (X2 =0, p=1, α0,05). As much as 24 coral genera (X2 =0, p=1, df=27 α0.05). Based on results of They were less familiar with the changes in T-Test (α0,05) that there were no differences between seawater temperature, about 8% of all respondents bleached and resistant corals at all locations (P > answer understand that the water temperature α0.05) and value of tobserve > tcritical at all locations changes also include the impact of climate change. and bleached corals in 2009 and 2010. This increases the temperature change becomes a cause of bleaching. However, this association is not Local Knowledge of Bleaching and Reef Fisheries known or understood by the public. Impact Coral bleaching events in Indonesia showed Marine and coastal are vulnerable to climate almost the same time, started in April 2009. Beginning change, its influence was felt by local communities. of this incident is indicative of changes in sea surface According to the local communities in Sulawesi, temperatures began to rise several days before the climate change is a phenomenon of extreme weather. start of events. According to the observations Buton
Figure 4.
Four categories of coral bleaching prevalence changes on June and November 2010. 139
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 135-143
(a)
(b) Figure 5.
Table 1.
Expected value of (a) bleaching and resistant colonies of coral genera 2010 and (b) compare between 2009 and 2010.
Chi square (pearsons) analysis of coral colonies in Buton reefs Data Analysis Bleaching in 2009-2010 Difference 0.481 -0.196 t (Observed value) 1.,259 -0.,549 |t| (Critical value) 2.056 2.028 DF 26 36 N Nbleaching=28 N2009=46 Nresist=26 N2010=53 p-value (Two-tailed) 0.219 0.586 Alpha 0.05 0.05
140
Mass Bleaching Phenomenon Impacted to Reef Fisheries...Southeast Sulawesi (Yusuf, S., et al.) fishermen, coral bleaching has been found since May 2010 with the proportion of 35% of respondents. Respondents who found the coral bleaching in June 2010 by 25%, then some fishermen found a 35% bleaching in July 2010. Differences in the findings of the initial bleaching depends on the time when they were fishing and their attention to the bleaching event. It could be the month of May is still a low-intensity bleaching so that not all respondents noticed.
warmer water at coral reefs for several weeks. Besides that, high radiation level, UV, and other stressors such as pollutant, osmotic pressure, and eutrophication may become stimulator for bleaching occurrence either as a single factor or combination of several stressors (Stambler & Dubinsky, 2003). Bleaching events in corals are caused by inability of coral tissues to bind zooxanthellae or as one safety mechanism of zooxanthellae due to deviant water mass temperature.
At the time of the survey was done in July 2010, Our direct measurement on water tempareture the proportion of coral bleaching is still considered in the last 2 years 2009-2010 indicated that the small to medium in its early stages. Respondents temperature anomally rate was around 2.27oC characterize the phenomenon of bleaching in a small warmer (during April - May 2010) which higher 3.8oC category as much as 54%, while being characterized by compared to the average yearly water temprature were 46%. None of the respondents said the phenomenon stimulation factor to initiate a bleaching event. The of bleaching in a high level. The weakness in this study maximum SST anomaly in this research is closely did not ask whether the previous bleaching events have similar to that in Palau which heating to 3.9 ºC than occurred which exceeds the greater incidence of which normal. It was causing some corals dead in 1998 to exist today. Bleaching of coral is a phenomenon that 70-90 % (Hoegh-Gulberg, 2002). On the otherhand, affects the natural mortality. Reduced number of live up to 70-90 % dead coral impacted by more than 3o coral colonies cause a reduction in biota associated C of SST anomaly in Seychelies, Okinawa and Scott with the coral reefs, eg. fish populations. The fishermen Reef. Similar study in Wakatobi that closer in distance argued that bleaching events caused fish populations to Buton Reef revealed that average highest monthly are not abundant or less. temperature in west monsoon in Wakatobi Reef was 30.73oC (anomaly: -3.23 – 0.64oC) on December with Reduced populations of coral reef fish as residents coral bleaching prevalence at 5 meter depth was 23.55% have an impact on the reduction of fishing. It was also and at 10 meter depth was 50.94%. Whereas, in Buton found in this study where 81% of respondents said Reefs, this study showed the prevalence of bleached that when the little fish catches during the bleaching. corals was as much as 33 %. The other record in As many as 19% of respondents said their catch has Wakatobi about 60-65% of corals showed some signs not increased or the same as ever before, otherwise of bleaching with 10-17% of colonies recorded as fully there were no respondents who said that the catch bleached (white) (Setiasih, 2010). Around 80 – 87 % of increases. Condition of corals after being suffered these corals are found on further coral reefs. However, by bleaching during this study showed significant Jompa (1996) noted a decrease in live corals amount degradation in both coral reef’s quantity and quality and diversity, around 20% decrease within 12 years in 2010 in Spermonde Reef and 2009-2010 in Buton in Spermonde Archipelago, compared to Moll (1983) reefs. Decreasing in live coral quantities at these two findings on several identical locations. locations is strong evidence of bleaching effects to the coral communities in the study areas. According to West & Salm (2003), the preadaptation (physiological tolerance) of corals to Severe coral bleaching in the Spermonde resist coral bleaching due to the presence of regularly Archipelago, which has around 70,000 ha of patch and stressful environmental conditions. The history of fringging reefs. Our recent surveys around the fringging exposure to high temperatures can influence the reefs in the two local region sites indicated that the thermal tolerance of corals and thus their resistance bleaching spreaded from reef flat to the slope and more to bleaching (Marshall & Baird, 2000). A combination intense coral bleaching were observed between 3-10 of the intensity and length of periods of elevated sea m depth. Coral reef condition in this region indicated temperature provide an accurate prediction of the mass that coral bleaching events were only observed in the coral bleaching and mortality (Strong et al., 2006). last few years, especially more decrease significantly in 2010. Mass bleaching cases in Indonesia for this Otherwise, due to individual and species respons year (2010) were recorded in many reefs from western to SST anomally were different in time and space. Aceh to Ambon and few in raja Ampat Sabang, Aceh, Some reaction to bleaching directly, and others were Padang, Kepulauan Seribu of Jakarta, Karimun Jawa, resistant. Monitoring of natural bleaching events Situbondo, Banyuwangi, Bali (Ngurah Rai Reef, North- has revealed marked interspecific and intraspecific East Bali), the Gilis Lombok, Bangko-Bangko, Kupang, variation in the degree of bleaching at one site. Among Wakatobi, Spermonde, Tomini Bay and Ambon. corals, branching forms, e.g. Acropora and Pocillopora Bleaching occurrences are mostly related to 2˚ C species, generally bleach more strongly than massive 141
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 135-143 corals (McClanahan et al., 2001). On this study, the most bleaching suffered were from the genus Acropora, Porites, Favia, Favites, Montipora, Fungia and Goniopora. A comparison in 1998 in Kenya, coral species that suffered more bleaching were Pocillopora verrucosa and Porites lutea. Besides that, species of Acropora, Echynopora, Galaxea, Montipora, Pavona, Platygyra, Favia and Fungia were also responding to the temperature increase by releasing zooxanthellae as primary indicator of bleaching (McClanahan et al., 2001). Acropora colonies bleached quickly and most had either recovered or died, in contrast the Platygyra and Porites took longer to bleach, longer to recover and to die (Baird & Marshall, 2002). On the other hand, soft coral taxa were dramatically dead and completely crused in June 2010 in Spermonde. The Soft corals species that had white colonies, were like Sinularia spp, Sarcophyton spp, and Lobophytum spp. In some cases, coral bleaching has been resulted in local extirpations of species and declines in species richness (Aronson et al., 2000; Glynn et al., 2001; Loya et al., 2001). At each location, responses of bleached corals and their communities are varied, depending on the type and extent of the stressor(s), coral bleaching can be localized or it can be widespread over large geographic scales. Bleaching events are often the result of direct anthropogenic stressors, such as pollution or freshwater runoff, that can be prevented through abatement of the stress at its source. All fishermen had known while this phenomenon caused less reef fishes in around of coral reef, and should be adapted for several months. Since significant number of local fishermen depends on coral reef related resources, the severity of this bleaching might potentally have serious threast for them. Therefore, adaptive strategic management need to be developed both locally and nationally to cope with the potential effects of climate changes. CONCLUSION Phenomenon of decreasing of live coral coverage at coral reef of Buton Reefs was predicted to be caused by the bleaching event in 2009 and 2010. The bleaching was caused by temperature anomally rate was 2.27oC which higher 3.8oC were stimulate to initiate a bleaching event in Buton Reefs. The dominance bleached coral genera were from Acropora, Diploastrea, Favia, Favites, Goniopora, Porites, Pocillopora and Sinularia. The resistant coral genera were recorded from Turbinaria, Pachyseris, Symphyllia, and Heliofungia. Sixty eight percent of the species were susceptible to bleaching, these were 42% of the colonies had live tissue, 58 % had live bleached, clean white skeletal and algal covered. Local fishermen on around of these reefs first have been seen the bleaching since May 2010. 142
Bleaching event reduced reef fish population in the reef ecosystem and fish catched. ACKNOWLEDGEMENT Many thanks for Critc Coremap-LIPI has been providing the coral monitoring datas in permanent transect in Buton reefs. Also thank you for Director of Marine Coastal and Small Island Research and Development, Hasanuddin University. REFERENCES Aronson, R. B., Precht, W. F., Macintyre, I. G. & Murdoch, T.J.T. (2000) Coral bleach-out in Belize. Nature 405: 36. In West, J.M, Salm Rv (eds) 2003. Implications for Coral Reef Conservation and Management. Conservation Biology. 17 : 956–967. Baird, A.H. & Marshall, P.A. (2002) Mortality, growth and reproduction in scleractinia corals following bleaching on the Great barrier Reef. Mar Ecol Prog Ser 237 : 133-141. Brocovich, E., Bronstein, O., Gilner, J., Loya, Y., Ortiz, J.C., van Woesik, R. & Zvuloni, A. (2009) Population dinamic of coral populations under environmental change. Hoegh-Guldberg et al (eds) Bleaching and Related Ecological Factors. CRTR Working Group Findings 2004-2009. GEF. P 126. Brown, B.E., Dunne, R.P., Goodson, M.S. & Douglas, A.E. (2002). Experience shapes the susceptibility of a reef coral to bleaching. Coral Reefs 21:119– 126. Brown, B.E. (1997) Coral bleaching: causes and consequences. Coral Reefs 16 : 129-138. Critc Coremap LIPI (2008). Baseline study and monitoring of coral reef in villages sanctuary zone in Buton regency. COREMAP-LIPI. Jakarta. p.71. English, S.C., Wilkinson & Baker, V. (1997) Survey Manual for Tropical Marine Resources. AseanAIMS Project : Living Coastal Resources. p. 6880. Glynn, P. W., Mate, J.L., Baker, A.C. & Calderon, M.O. (2001). Coral bleaching and mortality in Panama and Ecuador during the 1997–1998 El Niño-Southern Oscillation event: spatial/temporal patterns and comparisons with the 1982–1983 event. Bull Mar Sci 69: 79–109. Hoegh-Guldberg O. & Smith GJ. (1989) The effect
Mass Bleaching Phenomenon Impacted to Reef Fisheries...Southeast Sulawesi (Yusuf, S., et al.) of sudden changes in temperature, light and salinity on the population density and export of zooxanthellae from the reef corals Stylophora pistillata Esper and Seriatopora hystrix Dana. J Exp Mar Biol Ecol 129:279–303 Hoegh-Gulberg, O. & Loya, Y. ( 2009) Bleaching and related ecological factor. CRTR working group findings 2004-2009. p. 127. Hoegh-Guldberg, O. (2002) The future of coral reefs : Integrating climate model projections and the recent behavior of corals. Proceedings of the 9th International Coral Reef Symposium, Bali 2 : 1105-1110.
metabolism and photosynthesis of hermatypic corals. Rosenberg E and Loya Y (Eds) Coral Health and Disease. p.195-215. Strong, A.E., Arzayus,F., Skirving, W.J. & Heron, S.F. (2006) Identifying Coral Bleaching remotely via coral reef watch –improve integration and implications for changing climate. In : Phynney JT et al (eds) Coral Reef and Climate Change : Science and Management Coastal and Estuarine Studies. American Geophysical Union, Washington DC. pp 163-180. Suharsono (2009) Jenis-jenis karang yang umum dijumpai di Indonesia. Coremap-LIPI. Jakarta.
Jompa, J. (1996) Monitoring and Assessment of Coral Reefs On Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Thesis. MC Master – Canada.
Tun, K., Chou, L.K., Low, J., Yeemin, T., Phongsuwan, N., Setiasih, N., Wilson, J., Amri, A.Y., Adzis, K.A.A., Lane, D., van Bochove, W. , Kluskens, B., Long, N.V., Tuan, V.S. & Gomez, E. (2010) Jompa, J. & Yusuf, S. (2010) First record of relatively A Regional overview on the 2010 coral bleaching severe coral bleaching in the Spermonde event in Southeast Asia. In K imura T and Karenne Archipelago, South Sulawesi Indonesia: Potential T (eds) Status of Coral Reefs in East Asian Seas Consequences and Management Challenges. Region: 2010. Ministry of the Environment, Japan, Proceeding of Coral Reef Symposium ISSIC pp 1-27. Ambon. Veron, J.E. (2000) Corals of the World. Vol.1,2,3 : 3rd Krebs, C.J. 1999. Ecological metodology. Addisoned. Australian Institute of Marine Sciences and Wesley Publisher. Canada p.581. CRR Qld Pty Ltd. Townsville, Australia. Loya,Y., Sakai, K., Yamazato, K., Nakano, Y., Sambali, H. & Van Woesik, R. (2001) Coral bleaching: the winners and the losers. Ecology Letters 4: 122–131.
Wallace, C.C. & Wolstenholme J. (1998) Revision of the coral genus Acropora (Scleractinia : Astrocoeniina: Acroporidae) in Indonesia. Museum of Tropical Queensland. Australia. p.384.
Moll, H. (1983) Zonation and Diversity of Scleractinia on Reefs S.W. Sulawesi, Indonesia. Thesis. Leiden University, Netherland
West, J.M. & Salm, R.V. (2003) Implications for Coral Reef Conservation and Management. Conservation Biology 17: 956–967.
Marshall, P.A. & Baird, A.H. (2000) Bleaching of corals on the Great Barrier Reef: differential susceptibilities among taxa. Coral Reefs 19: 155–163.
Yusuf, S., Jompa, J. & Rani, C. (2010) Coral bleaching phenomenom in 2009 at Badi Island Makassar Strait. Proc. of Marine and Fisheries Annual Meeting. UGM Yogyakarta, Indonesia.
McClanahan,T., Muthiga, N. & Mangi, S. (2001) Coral and algal changes after the 1998 coral bleaching: interaction with reef management and herbivores on Kenyan reefs. Coral Reefs 19 : 380-391 Rowan, R., Knowlton, N., Baker, A. & Jara, J. (1997) Landscape ecology of algal symbionts creates variation in episodes of coral bleaching. Nature 388:265–269. Setiasih, N. (2010) Coral Bleaching di Indonesia (2009-2010). Word press (unpublish) Stambler N & Dubinsky, Z. (2003) Stress effects on 143
Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat...di Wilayah Pesisir Jawa Timur (Suwasono, B., et al.)
KERAGAMAN KUALITAS AIR LAUT, GARAM RAKYAT, DAN GARAM EVAPORASI BERTINGKAT DI WILAYAH PESISIR JAWA TIMUR Bagiyo Suwasono1), Ali Munazid1) & Aris Wahyu Widodo2) 2)
1) Fakultas Teknik & Ilmu Kelautan, Universitas Hang Tuah Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang-KP, KKP
Diterima tanggal: 15 Februari 2013; Diterima setelah perbaikan: 12 Agustus 2013; Disetujui terbit tanggal 3 Desember 2013
ABSTRAK Sebagian besar mineral air laut terdiri dari natrium (Na+), magnesium (Mg2+), kalsium (Ca2+), klorida (Cl-) dan sulfat (SO42-). Jika Ca2+, Mg2+, dan SO42- dapat dipisahkan, maka kristal garam yang diproduksi memiliki NaCl yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air laut sebagai bahan baku, kualitas garam rakyat, dan kualitas garam dari model evaporasi secara bertingkat. Pengambilan sampel air laut dan garam rakyat diperoleh dari beberapa lokasi di wilayah pesisir Jawa Timur, sedangkan sampel air tua dan garam diperoleh dari model evaporasi secara bertingkat di lahan garam dan skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan kualitas air laut sebagai bahan baku masih layak digunakan di lahan garam, kualitas kadar garam rakyat belum memenuhi aturan standar, dan kualitas garam dari model evaporasi bertingkat hampir memenuhi aturan standar. Kata kunci: kualitas air laut, kualitas garam rakyat, kualitas garam evaporasi bertingkat ABSTRACT Most of seawater mineral consist of sodium (Na+), magnesium (Mg2+), calcium (Ca2+), chloride (Cl-), and sulfate (SO42-). If Ca2+, Mg2+, and SO42- can be separated, therefore the salt crystals produced have a high NaCl. This research aims to know the quality of seawater as raw materials, quality of folk salt, and quality of salt from evaporation model in stages. Sampling of seawater and folk salt were obtained from several locations at coastal region of East Java, while the brine water and salt samples were obtained from evaporation model in stages at salt land and laboratory scale. The results showed the quality of seawater as raw materials were still eligible to use at salt land, quality of folk salt did not meet the rule of standards, and quality of salt from evaporation model in stages nearly filled the rule of standards. Keywords: sea water quality, folk salt quality, evaporation salt quality in stages
PENDAHULUAN
penggunaannya, maka garam sebagai komoditas akan selalu dibutuhkan manusia seperti halnya kebutuhan manusia akan makanan, sehingga fungsi garam untuk konsumsi tidak dapat digantikan, sifatnya menjadi lebih sensitif, dan layak untuk diposisikan sebagai komoditas strategis. Oleh karena itu sebagai upaya lanjutan dilakukan penelitian tentang keragaman kualitas air laut sebagai bahan baku kristal garam dan pengembangan model evaporasi bertingkat untuk wilayah pesisir Jawa Timur.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas lahan garam 43.052,10 ha, tetapi sekitar 25.702,06 ha (59,7%) dapat dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Luas lahan garam tersebut tersebar dalam 10 propinsi, yaitu: Nanggroe Aceh Darusallam, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Berdasarkan luas lahan tersebut, total produksi garam konsumsi tahun 2008, 2009, 2010 dan METODE PENELITIAN 2011 berturut-turut sebesar 1,3 juta ton, 1,37 juta ton, 0,031 juta ton, dan 1,1 juta ton. Sedangkan total 1. Penentuan Lokasi Sampel kebutuhan garam konsumsi tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut sebesar 2,89 juta ton, 2,96 juta Penentuan lokasi pengambilan sampel kristal ton, 3 juta ton, dan 3,4 juta ton. Di sisi yang lain sampai garam dan air laut didasarkan pada pola pasang surut saat ini Indonesia belum mampu memproduksi garam (pasut) air laut (Wyrtki, 1961), muara kali Porong (BPLS industri, dimana kebutuhan garam industri tahun 2008 & BPOL, 2011), dan survei lahan garam di Jawa Timur hingga 2011 mencapai 1,75 juta ton hingga 1,8 juta (BAKOSURTANAL, 2010), seperti ditampilkan pada ton. Kondisi ini mendorong Indonesia untuk impor Gambar 1, Gambar 2, dan Tabel 1. garam industri dari berbagai Negara, khususnya Australia dan India (Dahuri, 2012). 2. Pengambilan Sampel Berdasarkan
berbagai
kebutuhan
dan
Pengambilan sampel garam dilakukan pada hasil
Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. email: [email protected]
145
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 145-155
Gambar 1.
Terdapat 3 Tipe 3 Pasut di Lokasi Penelitian, lihat kotak lokasi. Sumber peta wyrtki (1961)
Gambar 2.
Muara Kali Porong. Sumber: BPLS & BPOL, 2011
kristalisasi lahan garam maupun gudang penyimpanan garam milik rakyat yang berada di sekitar pesisir Utara Jawa Timur dan pesisir Selatan Madura. Sedangkan pengambilan sampel air laut dilakukan dengan menggunakan perahu tradisional milik rakyat dengan arah mendekati lahan garam dan titik di bawah 1,5 meter dari permukaan air laut pasang, dimana titik tersebut digunakan oleh para petambak garam sebagai sumber utama bahan baku pembuatan kristal garam seperti ditampilkan pada Gambar 3 dan 4. 3. Model Evaporasi Bertingkat Pengembangan model evaporasi bertingkat dilakukan pada lahan garam dan kegiatan rancang 146
bangun alat evaporasi dengan ukuran skala laboratorium. Model evaporasi bertingkat yang dilakukan di lokasi lahan garam milik H. Amiril selaku Komisi Garam Pamekasan terletak di Pantai Jumiang Kecamatan Pademawu Kota Pamekasan Madura. Model yang dikembangkan adalah konsep Portugis dengan energi evaporasi menggunakan panas matahari dan angin seperti ditampilkan pada Gambar 5. Untuk pengembangan model evaporasi bertingkat skala laboratorium dilakukan melalui rancang bangun alat evaporasi secara konsep Portugis dengan sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem evaporasi tertutup dilakukan pada proses peminihan air laut menjadi air tua dengan energi panas matahari, gas panas
Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat...di Wilayah Pesisir Jawa Timur (Suwasono, B., et al.) Tabel 1.
Survei Lahan Garam di Jawa Timur No
Kabupaten
Kategori Lahan
Data Survei
Data Sekunder
1 Sumenep Lahan PT. Garam 3.317,65 2.767 Lahan PT. Garam 42,14 Lahan Rakyat 539,15 PT. Garam dan Rakyat 108,77 2 Sampang Lahan PT. .Garam 1.216,78 Lahan Rakyat 4.664,9 4.849 3 Pamekasan Lahan Rakyat 2.545,48 1.414 4 Gresik Lahan Rakyat 608,86 488 5 Pasuruan Lahan Rakyat - 157 6 Probolinggo Lahan Rakyat - 285 7 Surabaya Lahan Rakyat - 2.237 8 Sidoarjo Lahan Rakyat - 468 9 Lamongan Lahan Rakyat - 112 10 Tuban Lahan Rakyat - 270 Jumlah (Ha) 13.043,73 13.047 Luas Lahan Garam Jawa Timur 16.756,83 Ha
Gambar 3.
Lokasi Pengambilan Sampel Air Laut dan Garam Rakyat. Sumber : Suwasono et al, (2013)
Gambar 4.
Lokasi Pengambilan Sampel Air Laut dan Garam Rakyat. Sumber : Suwasono et al, (2013)
147
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 145-155
Gambar 5.
Proses Pembuatan Kristal Garam. Sumber: Purbani, 2002
Gambar 6.
Skematis Model Evaporasi Bertingkat Skala Laboratorium. Sumber: Suwasono et al. (2013).
semi boiler, tekanan udara, dan angin. Sedangkan sistem terbuka dilakukan pada proses kristalisasi air tua menjadi endapan garam dengan energi panas matahari dan angin seperti ditampilkan pada Gambar 6. 4. Uji Sampel Identifikasi dan pengujian parameter fisika maupun kimia adalah proses eksplorasi dan eksploitasi berbagai parameter fisika dan kimia air laut. Data diperoleh dengan melakukan pengukuran dan pengamatan di wilayah pesisir Jawa Timur. Pengujian secara visual dari parameter fisika dilakukan pada saat survei berlangsung, seperti diameter dan kebersihan kristal garam, maupun temperatur, kecerahan dan salinitas air laut. Sedangkan pengujian parameter kimia dilakukam di Laboratorium Kimia Fakultas Saintek Universitas Airlangga Surabaya dengan pendekatan Teori Rilley dan Skirrow tahun 1975 untuk air laut (Tabel 2 dan 3), Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri 148
Nomor 02/DAGLU/PER/5/2011 untuk kualitas kristal garam (Tabel 4), dan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2000 dan 2010 untuk garam konsumsi (Tabel 5). 5. Analisis Statistika Analisis hasil eksperimen metode evaporasi bertingkat dan uji laboratorium kimia untuk kristal garam, air laut, air tua, maupun senyawa terendapkan dilakukan dengan pendekatan statistika diskripsi maupun inferensial (Mendenhall & Sincich, 1992) adalah sebagai berikut: ................................................ 1) ................................. 2) ..... 3)
Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat...di Wilayah Pesisir Jawa Timur (Suwasono, B., et al.) Tabel 2.
Komposisi Ion Salinitas 35 ppt No
Ion
Gram per Kg air laut
1 Cl- 2 Na+ 3 K+ 4 Mg2+ 5 Ca2+ 6 SO42- 7 Br- 8 F- 9 B 10 Sr2+ 11 IO3-, I-
19,3540 10,7700 0,3990 1,2900 0,4121 2,7120 0,0673 0,0013 0,0045 0,0079 6,0x10-5
Sumber : Rilley & Skirrow (1975).
Tabel 3.
Kepekatan dan Senyawa Air Laut Terendapkan Tingkat Kepekatan
Giliran Mengkristal/Mengendap
3,00–16,00 17,00–27,00 26,25–35,00 27,00–35,00 28,50–35,00
Lumpur/Pasir/Fe2O3/CaCO3 Gips (Kalsium Sulfat atau CaSO4) Natrium Klorida (NaCl) Garam Magnesium Natrium Bromida
Sumber : Rilley & Skirrow (1975).
Tabel 4.
Kualitas Kristal garam
Kualitas %NaCl Tampilan Fisik Ukuran butiran Harga (Rp/kg) KP1 KP2
94,7 Putih Bening dan Bersih Min 4 mm 85 ≤ NaCl < 94,7 Putih Min 3 mm
750 550
Sumber : Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No 02/DAGLU/PER/5/2011
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum Lokasi Keadaaan umum lokasi titik pengambilan sampel yang telah direncanakan di wilayah pesisir Jawa Timur ditampilkan pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 menunjukkan bahwa pola pasang surut air laut di lokasi pengambilan sampel sebagian besar sesuai dengan pendekatan Wyrtki (1961) dan hasilnya sebagai berikut: •
•
Harian Tunggal (Diurnal Tide) adalah pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, dimana ini terdapat di Tuban, Paciran Lamongan, Delegan Gresik, dan Garam Samudra. Jenis sampel yang diperoleh adalah air laut bahan baku dan garam rakyat. Campuran Condong ke Harian Tunggal (Mixed
•
Tide, Prevailing Diurnal) adalah pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, dimana ini terdapat di Muara Kali Porong, Sedati Kabupaten Sidoarjo, Pademawu Kabupaten Pamekasan, Kalianget Kabupaten Sumenep, pantai Klesik Pasuruan, pantai Pajarakan Probolinggo, dan pantai Cemara Bangkalan Madura. Jenis sampel yang diperoleh adalah air laut bahan baku dan garam rakyat. Campuran Condong ke Harian Ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) adalah pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, dimana ini terdapat di pantai Blimbingsari Banyuwangi, pantai Watu Ulo Jember, dan pantai Sendang Biru Kabupaten Malang. Jenis sampel yang diperoleh adalah air laut. 149
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 145-155 Tabel 5.
Syarat Mutu Garam Konsumsi
No Jenis Uji Satuan *)Persyaratan **)Persyaratan 01-3556-2000 3556:2010 1 Kadar air (H2O) % Maks 7 Maks 7 2 Kadar NaCl (natrium klorida) % Min 94,7 Min 94 3 Bagian yang tidak larut dalam air % - Maks 0,5 4 Yodium sebagai kalium iodat (KIO3) mg/kg Min 30 Min 30 5 Kadmium (Cd) mg/kg - Maks 0,5 6 Timbal (Pb) mg/kg Maks 10,0 Maks 10,0 7 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 10,0 8 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1 9 Arsen (As) mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1 Sumber : *) SNI, 2000; **) SNI, 2010
Tabel 6.
Lokasi Pengambilan Sampel No Lokasi GPS Jenis Pasut Jenis Sampel Lintang Selatan Bujur Timur 1 Tuban 60 54’ 10,7” 1120 07’ 54,8” Harian Garam Krosok 2 Paciran, Lamongan 60 52’ 28,0” 1120 23’ 31,6” Tunggal Garam krosok Air laut 3 Garam Sumudra 60 52’ 29,7” 1120 23’ 31,6” Air laut 4 Delegan, Gresik 60 54’ 14,5” 1120 29’ 25,2” Garam krosok Air laut 5 Sedati, Sidoarjo 70 25’ 59,6” 1120 47’ 48,4” Campuran, Garam krosok Condong Air laut 6 Muara Kali Porong 70 33’ 54,2” 1120 52’ 21,2” ke Harian Air laut 7 Klesik, Pasuruan 70 37’ 37,1” 1120 54’ 12,2” Tunggal Air Laut 8 Pajarakan, 70 44’48,6” 1130 23’ 14,1” Air laut Probolinggo 9 Pamekasan, Madura 70 14’ 47,5” 1130 31’ 14,8” Garam krosok Air laut 10 Sumenep, Madura 70 02’ 50,5” 1130 55’ 08,2” Garam krosok Air laut 11 Cemara 60 53’ 44,5” 1130 36’ 48,2” Air laut Bangkalan, Madura 12 Blimbingsari, 80 19’ 26,3” 1140 21’ 30,7” Campuran, Air laut Banyuwangi Harian Ganda 13 Watu Ulo, Jember 80 25’ 32,3” 1130 34’ 13,9” Air laut 14 Sendang Biru, 80 25’ 59,9” 1120 41’ 08,6” Air Laut Malang Sumber : Suwasono et al. (2013)
2. Kualitas Air Laut Hasil pengamatan parameter fisika dan uji kimia air laut sebagai bahan baku pembuat kristal garam ditampilkan dalam Tabel 7, sedangkan bahan baku alternatif ditampilkan dalam Tabel 8 di bawah ini. Dalam Tabel 7 ditunjukkan bahwa berat ion air laut sebagai bahan baku pembuat garam di wilayah pesisir Utara Jawa Timur dan Selatan Madura relatif rendah (Na+ berkisar 4,1652 hingga 9,4115 gr/kg dan Clberkisar 16,167 hingga 17,6923 gr/kg dengan salinitas berkisar antara 28 hingga 33‰ ) apabila dibandingkan 150
dengan pendekatan dari Rilley & Skirrow (1975) nilai Na+ mencapai 10,770 gr/kg dan Cl- mencapai 19,3540 gr/kg dengan salinitas mencapai 35‰ . Sedangkan hasil uji air laut sekitar muara ke arah pesisir di wilayah Kabupaten Pamekasan menunjukkan berat ion unsur utama garam relatif lebih rendah, yaitu Na+ mencapai 1,2889 gram/kg, dan Cl- mencapai 2,53 gram/kg dengan salinitas mencapai 2,5‰. Di sisi yang lain untuk hasil uji air laut dari cemaran logam berat menunjukkan relatih lebih rendah (Cu kurang dari 4,10 x 10-5 mg/kg, Pb kurang dari 3,76 x 10-4 mg/kg, Cd kurang dari 1,047 x 10-5 mg/kg, dan Hg kurang dari 3,683 x 10-4 mg/kg) apabila dibandingan dengan SNI 2000 maupun SNI
Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat...di Wilayah Pesisir Jawa Timur (Suwasono, B., et al.) 2010 (Cu maksimum 10,0 mg/kg Pb maksimum 10,0 mg/kg, Cd maksimum 0,5 mg/kg, dan Hg maksimum 0,1 mg/kg).
Utara Mudura, dan 2 (dua) muara kali Porong Lumpur Sidoarjo. Pantai Selatan Jawa Timur yang terdiri dari Sendang Biru Malang (Na+ 9,5595 gr/kg, Cl- 19,183 gr/ kg, NaCl 3,16%, dan salinitas 35‰), Watu Ulo Jember Dengan perbedaan kualitas air laut sebagai (Na+ 7,4926 gr/kg, Cl- 18,9899 gr/kg, NaCl 3,03%, dan bahan baku utama dalam pembuatan kristal garam salinitas 35‰), dan Blimbingsari Banyuwangi (Na+ menunjukkan ada indikasi variabilitas pada nilai 7,3531 gr/kg, Cl- 18,5651 gr/kg, NaCl 2,98%, dan parameter Salinitas, Na+ , Cl- , dan ion-ion air laut salinitas 30‰). Pantai Utara Madura, yaitu Cemara lainnya terhadap eksistensi keberadaan lahan garam Bangkalan (Na+ 6,5159 gr/kg, Cl- 16,9315 gr/kg, NaCl di wilayah pesisir Utara Jawa Timur dan pesisir Selatan 2,56%, dan salinitas 29‰). Muara Lumpur Sidoarjo Madura. Kondisi ini dimungkikan akan terjadi karena terdiri dari kali Porong sebelah Utara (Na+ 2,115 gr/ adanya dinamika air laut, seperti pasang surut, arus, kg, Cl- 10,485 gr/kg, NaCl 1,73 %, dan salinitas 27‰) suhu, salinitas, kecerahan, substrat dasar, unsur hara, dan sebelah Selatan (Na+ 3,8231 gr/kg, Cl- 15,877 gr/ dan kandungan oksigen terlarut. kg, NaCl 2,98%, dan salinitas 28‰). Kelima kondisi tersebut apabila dibandingkan dengan pendekatan dari Tabel 8 menunjukkan bahwa berat ion air laut Rilley & Skirrow (1975), lokasi yang potensial untuk sebagai bahan baku alternatif untuk wilayah pesisir dikembangkan sebagai lahan garam alternatif dari segi Jawa Timur yang tidak memiliki lahan garam diwakili bahan baku adalah pesisir Selatan Jawa Timur dan oleh 3 (tiga) wilayah pengamatan dan pengukuran, pesisir Utara Madura, tetapi tidak direkomendasikan yaitu 3 (tiga) pantai Selatan Jawa Timur, 1 (satu) pantai untuk pengembangan lahan garam baru di sekitar Tabel 7.
Kualitas Air Laut Bahan Baku pada Suhu Permukaan 30,0 ~ 33,5 0C
No Parameter Pamekasan Sumenep Lamongan Gresik Sidoarjo 2,5 ‰ 28,5 ‰ 28,5 ‰ 27,5 ‰ 32,5 ‰ Satuan Berat ion air laut dalam gram per kilogram 1 Na+ 1,2889 4,1652 4,6564 4,5996 9,4115 2 Cl- 2,5300 17,4320 17,4320 16,1670 17,4320 3 Mg2+ 4,364 x 10-4 4,384 x 10-4 4,270 x 10-4 4,191 x 10-4 1,3695 4 K+ 0,05385 0,33215 0,34440 0,31575 0,2626 5 Ca2+ 0,08885 0,36265 0,33230 0,32475 4,1601 6 Sr2+ 0,0020846 0,0062790 0,0066661 0,0064770 - 7 SO42- 0,4919 3,0274 3,0524 3,0150 - Satuan Berat cemaran logam dalam miligram per kilogram 1 Tembaga <4,100 x 10-5 <4,100 x 10-5 <4,100 x 10-5 <4,100 x 10-5 - 2 Timbal <3,760 x 10-4 <3,760 x 10-4 <3,760 x 10-4 <3,760 x 10-4 - 3 Kadmium <1,047 x 10-5 <1,047 x 10-5 <1,047 x 10-5 <1,047 x 10-5 - 4 Raksa <3,683 x 10-4 <3,683 x 10-4 <3,683 x 10-4 <3,683 x 10-4 -
Pasuruan 28,0 ‰
Probolinggo 33,0 ‰
6,5063 15,9648 0,0195 - - - -
7,3972 17,6923 0,0179 -
- - - -
-
Sumber : Suwasono et al. (2013)
Tabel 8. No Parameter
Kualitas Air Laut Bahan Baku Alternatif Muara Lumpur Sidoarjo Pantai Utara Kali Porong Kali Porong Cemara Sendang Biru Seb. Utara Seb. Selatan Bangkalan Malang 27,0 ‰ 28,0 ‰ 29,0 ‰ 33,0 ‰
Pantai Selatan Watu Ulo Blimbingsari Jember Banyuwangi 35,0 ‰ 30,0 ‰
1 Na+ 2 Cl- 3 Mg2+ 4 Ca2+ 5 K+
Satuan Berat ion air laut dalam gram per kilogram 2,1150 3,8231 6,5159 9,5595 10,485 15,877 16,9315 19,183 0,1460 0,1540 0,0181 1,5202 0,4276 0,5305 - 4,4872 0,1790 0,2900 - 0,2859
7,4926 18,9899 0,0178 - -
7,3531 18,5615 0,0185 -
6 NaCl
Kadar Garam air laut dalam prosentase 1,73 2,63 2,56
3,03
2,98
3,16
Sumber : Suwasono et al. (2013) 151
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 145-155 muara kali Porong. 3. Kualitas Garam Rakyat Hasil uji kimia garam rakyat yang diperoleh dari wilayah pesisir Utara Jawa Timur dan pesisir Selatan Madura ditampilkan dalam Tabel 9 di bawah ini. Rata-rata prosentase NaCl garam rakyat non yodium untuk wilayah pesisir Utara Jawa Timur mencapai 85,97% dengan standar deviasi sebesar 1,683, wilayah pesisir Selatan Madura mencapai 83,12% dengan standar deviasi sebesar 6,225, dan wilayah pesisir Jawa Timur mencapai 85,26% dengan standar deviasi sebesar 3,282. Sedangkan estimasi rata-rata interval prosentase NaCl dengan tingkat kepercayaan 90% (α = 10%) untuk wilayah pesisir Utara Jawa Timur berkisar antara 85,19% hingga 86,76%, wilayah pesisir Selatan Madura berkisar antara 76,34% hingga 89,90%, dan wilayah pesisir Jawa Timur berkisar antara 83,97% hingga 86,55%. Interval prosentase NaCl untuk wilayah pesisir Utara Jawa Timur, pesisir Selatan Madura, maupun wilayah pesisir Jawa Timur secara umum masih di bawah ketetapan syarat mutu dari SNI 2000/2010 (kadar NaCl min 94% dan kadar air maksimal 7%) dan Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No: 02/DAGLU/PER/2011 (kualitas produk garam nomor 2, kadar NaCl antara 85% hingga 94,7%, warna putih, dan harga jual ditetapkan sebesar Rp. 550,- per kilogram). Kondisi ini dimungkikan akan selalu terjadi pada sebagian besar garam rakyat di wilayah pesisir Jawa Timur apabila dalam proses pembuatannya masih menggunakan teknologi kristalisasi total atau metode Maduris. 4. Model Evaporasi Bertingkat Pengembangan model evaporasi bertingkat dilakukan pada lahan garam dan alat evaporasi Tabel 9. No
bertingkat skala laboratorium. Model evaporasi pertama dilakukan pada lahan garam milik H. Amiril di Kecamatan Pademawu Pamekasan Madura ditampilkan pada Gambar 7, sedangkan model evaporasi kedua dilakukan dengan rancang bangun alat evaporasi bertingkat skala laboratorium dengan sistem tertutup maupun terbuka ditampilkan pada Gambar 8. Hasil eksperimen keduanya ditampilkan dalam Tabel 10, dan Tabel 11 di bawah ini. Gambar 7 menunjukkan model evaporasi air laut secara bertingkat di lahan garam. Proses pertama dilakukan pemompaan air laut untuk masuk dalam beberapa petak peminihan untuk menaikkan tingkat kepekatan air laut 3 0Be menjadi air tua 20 0Be. Proses kedua mengalirkan air tua ke dalam beberapa petak kristalisasi untuk mendapatkan endapan kristal garam berwarna putih dan air tua hingga 31 0Be yang berwarna kuning tua. Energi evaporasi menggunakan panas matahari dan angin dengan sistem terbuka. Gambar 8 menunjukkan model evaporasi air laut secara bertingkat pada skala laboratorium. Kegiatan pertama melakukan proses pengendapan dan evaporasi air laut secara alami di alat thermal – flat dengan kapasitas 2 x 40 liter menggunakan energi panas matahari dan angin dengan hasil berupa endapan kotoran dan air kondensat. Kegiatan kedua melakukan proses evaporasi air laut di alat thermal – semi boiler dengan kapasitas 2 x 40 liter menggunakan energi panas matahari, gas elpiji ukuran 3 kg, tekanan udara minimum 6 kg/cm2, dan angin untuk percepatan tingkat kepekatan dengan hasil berupa peningkatan kepekatan air laut 3 0Be menjadi air tua keruh berwarna merah bata 8 0Be dengan waktu selama 6 jam, kemudian dilakukan proses pendinginan dari sore hingga pagi hari dengan hasil berupa air tua 10 0 Be berwarna bening, endapan berwarna merah bata, dan air kondensat. Kegiatan ketiga melakukan proses perulangan hingga 10 hari dengan hasil berupa air tua 20 0Be berwarna bening, endapan berwarna merah
Hasil Uji Kimia Garam Rakyat Non Yodium Lokasi
% NaCl
% Ca
% Mg
% K
% SO4
% Kadar Air
1 Tuban 86,13 0,028 0,0029 - - 12,92 2 Lamongan 87,55 0,347 0,5170 0,034 0,724 3 Gresik-1 84,22 0,180 0,0076 - - 8,69 4 Gresik-2 82,31 0,280 0,0099 - - 9,68 5 Gresik-3 86,17 0,280 0,0125 - - 5,47 6 Gresik-4 87,01 - - - - 7 Gresik-5 87,39 - - - - 8 Gresik-6 86,48 - - - - 9 Sedati 86,51 0,207 0,5471 0,0426 - 10 Pamekasan 76,90 0,056 0,0028 - - 10,33 11 Sumenep-1 83,11 0,082 0,0059 - - 12 Sumenep-2 89,35 0,145 0,0051 - - Sumber : Suwasono et al. (2013). 152
Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat...di Wilayah Pesisir Jawa Timur (Suwasono, B., et al.)
Gambar 7.
Model Evaporasi Bertingkat di Lahan Garam.
Gambar 8.
Model Evaporasi Bertingkat Skala Laboratorium.
Tabel 10. No
Hasil Uji Kimia Model Evaporasi Bertingkat di Lahan Garam Sampel
Na+
K+
Ca2+
Mg2+
Cl-
NaCl
1 Air tua 21 0Be 2 Air tua 31 0Be
Satuan Berat ion air tua dalam gram per kilogram 75,4362 1,8880 0,6415 107,3396 2,8880 0,3145
3,9328 9,2938
124,015 204,315
20,69 33,69
3 Garam
Satuan Berat kristal garam dalam gram per kilogram 372,839 0,4109 1,6237 2,8660
564,826
93,14
Sumber : Suwasono et al. (2013).
Tabel 11. No
Hasil Uji Kimia Model Evaporasi Skala Laboratorium Sampel
Na+
K+
Ca2+
Mg2+
Cl-
NaCl
1 Air tua 10 0Be 2 Air tua 20 0Be 3 Air tua 22 0Be 4 Air tua 23 0Be
Satuan Berat ion air tua dalam gram per kilogram 28,5557 0,6836 1,0391 77,5542 1,9533 0,5484 90,1694 2,2036 0,3451 93,5760 2,4564 0,2657
0,1264 0,0923 0,0858 0,7931
47,588 129,011 149,876 154,228
7,84 21,27 24,71 25,43
5 Garam
Satuan Berat kristal garam dalam gram per kilogram 383,994 2,3109 2,1747 2,1606
572,480
94,40
6 Air Kondensat
Satuan Berat air mineral dalam gram per kilogram 0,0181 2,9 x 10-3 9,74 x 10-3
0,149
0,02
1,89 x 10-2
Suwasono et al. (2013). 153
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 145-155 gelap, dan air kondesat. Kegiatan keempat melakukan proses kristalisasi hingga 5 hari dengan hasil berupa air tua 23 0Be berwarna kuning muda, endapan kristal garam berwarna putih bening bersih, dan air kondensat. Dalam Tabel 10 dan 11 dari hasil uji kimia air tua ditunjukkan kecenderungan naik pada ion Na+, K+, Mg2+, Cl-, NaCl, dan sebaliknya cenderung akan turun pada ion Ca2+. Kadar garam NaCl pada model evaporasi bertingkat skala laboratorium mencapai 94,40% dengan air tua minimal 23 0Be, dan air kondensat yang mendekati air mineral dengan kadar mineral anorganik yang relatif sangat rendah. Sedangkan kadar garam NaCl pada model evaporasi bertingkat di lahan garam mencapai 93,14% dengan air tua minimal 31 0Be. Kondisi ini memberikan indikasi adanya peningkatan kadar garam NaCl melalui pengembangan model evaporasi bertingkat di lahan garam maupun skala laboratorium yang telah memenuhi ketetapan syarat mutu garam konsumsi dari SNI 2000/2010. Di sisi yang lain dampak dari proses evaporasi bertingkat skala laboratorium dengan integrasi berbagai energi adalah berupa air kondensat, dimana hasil ini memberikan alternatif kegiatan produksi berupa air minum mineral yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat dengan melakukan uji tambahan berupa uji biologi untuk melihat kadar mineral organik yang ada dalam air kondensat tersebut. Tabel 10 dari hasil uji endapan mineral (10 hingga 31 0Be) menunjukkan kecenderungan turun pada ion Ca2+ dan Fe2+, sedangkan kecenderungan naik pada ion Mg2+. Hal ini memberikan indikasi adanya batas rasa garam pada viskositas air tua mencapai 30 0Be. Hasil endapan kristal garam dengan tingkat kepekatan air tua kurang dari 30 0Be akan memiliki rasa asin (NaCl: natrium klorida), jika sebaliknya lebih dari 30 0 Be akan muncul rasa pahit (MgSO4: magnesium sulfat). KESIMPULAN Kualitas air laut di wilayah pesisir Utara Jawa Timur dan pesisir Selatan Madura masih layak untuk tetap digunakan sebagai bahan baku pembuat kristal garam dengan komposisi ion Na+ 4,1652 hingga 9,4115 gr/kg, ion Cl- 16,167 hingga 17,6923 gr/kg, salinitas 28 hingga 33 ‰, dan kandungan cemaran logam berat memenuhi ketetapan syarat mutu SNI 2000/2010. Sedangkan untuk wilayah pesisir Selatan Jawa Timur dan pesisir Utara Madura memiliki potensi pengembangan lahan garam baru dengan komposisi ion Na+ 6,5159 hingga 9,5595 gr/kg, ion Cl- 16,9315 hingga 19,183 gr/kg, Salinitas 29 hingga 35 ‰. Kualitas kadar garam rakyat di wilayah pesisir Utara Jawa Timur dan pesisir Selatan Madura dengan 154
model kristalisasi total masih belum mampu memenuhi ketetapan syarat mutu SNI 2000/2010, dan Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No: 02/DAGLU/ PER/2011. Sedangkan untuk kualitas kadar garam dengan model evaporasi bertingkat di lahan garam (NaCl 93,34%) maupun skala laboratorium (NaCl 94,40%) mampu mendekati ketetapan syarat mutu SNI 2000/2010, dan Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No: 02/DAGLU/PER/2011. Oleh karena itu diperlukan kajian lanjutan untuk kelayakan model evaporasi bertingkat secara teknis, ekonomis, dan lingkungan. PERSANTUNAN Ucapan terima kasih ditujukan kepada: (1) DP2M Dikti – Kemendikbud dan LPPM Univ. Hang Tuah dalam Skema Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Tahun 2012~2013, (2) Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan – KKP dalam Program Iptekmas Garam, (3) Lab. Kimia Fakultas Saintek Universitas Airlangga, (4) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BAPEL-BPLS), dan (5) Bengkel Teknik Utomo Kota Batu - Malang. DAFTAR PUSTAKA BAKOSURTANAL, (2010), Peta Lahan Garam Indonesia Edisi Jawa dan Madura, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bengen, D.G., (2002), Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis DAS, Seminar HUT LIPI, 25 – 26 September, Jakarta. BPLS & BPOL, (2011), Kajian Pemanfaatan dan Pengembangan Muara Kali Porong, Laporan Akhir, Kerjasama antara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dengan Balai Penelitian dan Observasi Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dahuri, R., (2012), Impor Meracuni Swasembada Garam, rokhmindahuri.info, Sinar Harapan 28 Pebruari 2012 Mendenhall, W. & Sincich, (1992), Statistics for Engineering and the Science, Third Edition, Maxwell Macmillan International Editions, New York. Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 02/DAGLU/PER/5/2011 tentang Penetapan Harga Penjualan di Tingkat Petani Garam.
Keragaman Kualitas Air Laut, Garam Rakyat...di Wilayah Pesisir Jawa Timur (Suwasono, B., et al.) Purbani, D., (2002), Proses Pembentukan Kristalisasi Garam dalam Rangka Kegiatan Sosialisasi Garam, Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Rilley & Skirrow, (1975), Chemical Oceanography, 2nd edition, Academic Press, London. SNI, (2000), Garam Konsumsi Beryodium, SNI 013556-2000, ICS 67.220.20, Badan Standardisasi Nasional. SNI, (2010), Garam Konsumsi Beryodium, SNI 3556:2010, ICS 71.100.99, Badan Standardisasi Nasional. Suwasono, B., Munazid, A., & Widodo, A.W., (2013), Pemetaan dan Identifikasi Fisika-Kimia Airt Laut Sebagai Bahan Baku Pembuat Garam di Wilayah Pesisir Jawa Timur, Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Universitas Hang Tuah, Kopertis Wilayah VII Jawa Timur, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Desentralisasi Kewenangan yang berhubungan dengan Batas Kewenangan Mengelola Wilayah Laut. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) yang berhubungan dengan Batas Kewenangan Mengelola Wilayah Pesisir. Wyrtki, K., (1961), Physical Oceanography of Southeast Asian Waters, Naga Report 2, SIO La Jolla, CA, pp 1 – 195.
155
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.)
DESAIN TAMBAK SILVOFISHERY RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG : STUDI KASUS KELURAHAN SAMATARING, KABUPATEN SINJAI Abdul Haris Sambu1), Damar A.2), Bengen D.G.2) & Yulianda F2) 2)
1) Universitas Muhammadiyah Makassar Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Diterima tanggal: 17 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan: 2 September 2013; Disetujui terbit tanggal 8 Desember 2013
ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan dari Januari sampai Desember 2011 di Kelurahan Samataring, Kabupaten Sinjai. Tujuan penelitian ini : 1) menganalisa daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan tambak silvofishery; 2) mendesain pola tambak silvofishery ramah lingkungan berbasis daya dukung; dan 3) mengkaji sistem budidaya tambak silvofishery. Metode penelitian yang digunakan : 1) analisis komparatif rasio tambak dan mangrove melalui penilaian kandungan dan kualitas serasah; 2) analisis dampak ekologi, ekonomi dan sosial; dan 3) analisis kelayakan model tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) ratio optimal area mangrove dan tambak pada pola tambak silvofishery adalah 60% tambak dan 40% mangrove; 2) modifikasi komplangan merupakan pola silvofishey yang layak secara ekologi dan ekonomi; dan 3) Polikultur merupakan sistem budidaya yang layak untuk tambak silvofishery. Kata kunci: desain tambak, daya dukung, silvofishery, modifikasi komplangan, polykultur ABSTRACT This research was conducted from January to December 2011 in Samataring subdstrict Sinjai Regency. The objectives of this study were : 1) to analyze mangrove carrying capacity for silvofishery ponds management; 2) to design environmental friendly silvofishery fishpond model based on carrying capacity; and 3) to assess cultivation system in silvofishery ponds. The method used in this study were : 1) ratio comparative analysis of ponds and mangrove assessment with content and quality of litter as indicator; 2) impact analysis of ecological, economic and social; and 3) analysis of eligible fishpond model. Results from this study shows that: 1) Optimum ratio for mangrove and fishpond area was 60% fishpond and 40% mangrove; 2) Komplangan modification was feasible model of silvofishery based an ecology and economic persepective and 3) Polyculture was an eligible cultivation system for silvofishery fishponds development. Keywords: fishpond design, carrying capacity, silvofishery, komplangan modification, polyculture
PENDAHULUAN Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang mempunyai fungsi sebagai penyangga antara ekosistem daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat kaya akan unsur hara baik berasal dari luar maupun dari dalam ekosistem tersebut. Secara eksternal ekosistem mangrove mendapat suplai unsur dari daratan melalui daerah aliran sungai dan unsur hara dari lautan melalui air pasang. Sedangkan secara internal ekosistem mangrove sebagai penghasil unsur yang paling besar diantara ekosistem pesisir lainnya seperti estuaria, padang lamun dan terumbu karang (Dahuri et al., 1996). Oleh karena kesuburannya, ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang paling tinggi keanekaragaman hayatinya di atas planet bumi. Ekosistem mangrove selain dihuni organisme pesisir yang hidupnya pada air payau, juga sering dihuni oleh organisme air tawar dan air laut yang menjadikan
ekosistem mangrove sebagai habitat transit, tempat; memijah, mencari makan, dan berlindung, ataupun karena kebutuhan siklus hidupnya. Terkait dengan hal tersebut, ekosistem mangrove sebagai kawasan penyangga antara daratan dan lautan, memiliki fungsi ekologis penting yang harus dipertahankan keberadannya dari pemanfaatan berbagai peruntukan (Supriharyono, 2005). Sejak awal tahun 80-an, seiring meningkatnya permintaan negara pengimpor akan udang windu dari tahun ke tahun harga udang windu di pasar dunia terus mengalami peningkatan dan menjadi komoditas primadona. Untuk memenuhi permintaan tersebut maka perlu upaya peningkatan produksi udang windu melalui usaha budidaya tambak baik intensifikasi maupun ekstensifikasi (Poernomo, 1992). Namun kedua upaya ini membawa dampak negatif terhadap perkembanganya yaitu : (1) intensifikasi dengan penerapan teknologi yang cenderung memaksa alam berproduksi membawa dampak penurunan kualitas lingkungan, dan (2) ekstensifikasi melalui
Korespondensi Penulis: Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. Email: [email protected]
157
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 perluasan area dengan mengkonversi ekosistem mangrove menjadi tambak secara besar- besaran berdampak pada penurunan luas hutan mangrove di Indonesia ( Sofyan, 2001).
rasio 60% mangrove dan 40% tambak, (3) rasio 30% mangrove dan 70% tambak, (4) rasio 20% mangrove dan 80% tambak, dan (5) rasio 10% mangrove dan 90% tambak. Luas masing masing per rasio tambak silvofishery disetarakan sama dengan 1.00 ha atau 10.000 m2.
Salah satu model pengelolaan ekosistem mangrove untuk mengembalikan fungsinya sebagai penyangga ekosistem daratan dan lautan adalah Pengamatan Produksi Serasah silvofishery yaitu suatu model pengelolaan yang mensinergikan antara aspek ekologi dan aspek Untuk mengetahui produksi serasah mangrove ekonomi. Silvo atau budidaya hutan sebagai upaya dilakukan pengamatan secara langsung dengan pelestarian mewakili aspek ekologi, sedang fishery metode memasang alat penampung serasah (litter adalah kegiatan perikanan sebagai upaya pemanfaatan trap) yang terbuat dari waring warna hitam dengan mewakili aspek ekonomi (Boekeboom et al., 1992). ukuran 1 x 1 x 0,5 m sebanyak 15 buah masing masing: Menurut Bengen (2002) pola silvofishery yang ada tiga buah per skenario rasio. Penentuan stasiun dan saat ini di Indonesia meliputi: (1) empang parit, (2) jumlah penampung serasah ditentukan berdasarkan empang parit yang disempurnakan, dan (3) keterwakilan zonasi guna mendapatkan data yang komplangan. Pengelolaan tambak silvofishery di representatif. Total jumlah stasiun pengamatan adalah Kabupaten Sinjai hingga saat ini belum berhasil secara 15 stasiun. optimal (DKP, 2010).Sesuai hasil kajian diduga karena desain konstruksinya dibuat tidak benar sehingga tidak Pengamatan produksi serasah mangrove per ramah lingkungan. Konstruksinya masih tergolong rasio silvofishery dilakukan selama empat bulan, dan empang parit biasa, dimana lahan mangrove sebagai setiap dua minggu dilakukan pemungutan serasah area konservasi masih satu hamparan dengan lahan pada 15 stasiun pengamatan. Setelah serasah tambak sebagai area budidaya, sehingga kualitas dikumpulkan dilakukan pemisahan jenis serasah yang tanah dan kualitas air sulit dikontrol, demikian juga meliputi: daun, buah, bunga dan ranting. Selanjutkan masalah hama sulit diatasi. Masalah lain adalah rasio serasah tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu antara mangrove dan tambak belum dikaji berdasarkan 800C selama 24 jam. Serasah kering yang dihasilkan aspek ekologi dan aspek ekonomi secara proporsional. kemudian dianalisis untuk mengetahui produksi total Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya serasah mangrove menggunakan persamaan 1. dukung ekosistem mangrove pada pengelolaan silvofishery, menentukan rasio optimum antara luas Analisis Produksi Serasah mangrove dan tambak dan menganalisis kelayakan pola tambak yang telah ada. Pada penelitian ini, daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery mengacu pada METODE PENELITIAN konsep supply and demand dalam tambak. Produksi serasah mangrove sebagai supply dan tambak sebagai Lokasi dan Waktu demand. Untuk menganalisis supply dan demand pada tambak silvofishery dilakukan perhitungan produksi Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Samataring, total serasah mangrove per rasio tambak silvofishery Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Provinsi dengan menggunakan rumus Sasekumar & Loi (1983) Sulawesi Selatan selama satu tahun yaitu dari Januari sebagai berikut: sampai Desember 2011. “TL=L (A/a)” ......................................................... 1) Desain Tambak Silvofishery dimana: Pola silvofishery atau biasa disebut wanamina TL = total bobot serasah (kg) merupakan salah satu model pengelolaan ekosistem L = rata-rata bobot serasah tiap perangkap (kg) mangrove yang memadukan antara aspek ekologi A = luas areal penelitian (25.256 m2) dan aspek ekonomi. Aspek ekologi sebagai upaya a = ukuran perangkap serasah (m2) melestarikan ekosistem mangrove agar berkelanjutan, sedangkan aspek ekonomi sebagai upaya untuk Kandungan unsur hara yang menjadi kajian memanfaatkan tambak secara optimal. dalam penelitian ini meliputi: bahan organik, nitrogen, posfor, dan kalium. Serasah mangrove setelah Desain Penelitian mengalami proses dekomposisi akan terurai menjadi berbagai unsur hara baik makro maupun mikro. Unsur Desain penelitian ini terdiri dari lima skenario makro seperti nitrogen (N), posfor (P) dan, kalium (K) rasio sebagai berikut: (1) rasio 100% mangrove, (2) dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk pertumbuhan 158
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) makanan alami di tambak. Sedang unsur mikro seperti besi (Fe), mangan (Mn), dan seng (Zn) dibutuhkan dalam jumlah sedikit, akan tetapi menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan makanan alam di tambak (Odum,1996). Unsur hara yang dijadikan parameter ekologi untuk menentukan daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery meliputi : bahan organik, nitrogen, posfor, dan kalium, dengan alasan unsur ini dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk pertumbuhan makanan alami di tambak secara optimal. Hasil analisis kandungan unsur hara yang terdapat dalam serasah berdasarkan persentase luas ekosistem mangrove akan dibandingkan dengan kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan tanah tambak untuk menumbuhkan makanan alami secara optimum seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. menunjukkan tingkat kesuburan tanah tambak dipengaruhi oleh keberadaan unsur hara. Lebih lanjut, nilai optimum tiap unsur hara pada Tabel 1 sebagai batas kebutuhan unsur hara yang harus dipenuhi. Unsur hara yang dijadikan parameter indikator sebagai supply adalah bahan organik, nitrogen, posfor dan kalium yang merupakan hasil penguraian dari serasah mangrove. Sesuai rekomendasi Davide (1976) dan Padlan (1977) in Mintardjo et al. (1985) menyatakan unsur hara dalam tambak memiliki kisaran optimum. Daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery mengacu pada konsep supply dan demand dimana terjadi keseimbangan antara ketersediaan yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove dan kebutuhan unsur hara yang diperlukan oleh tanah tambak bagi pertumbuhan makanan alami secara optimal untuk memenuhi kebutuhan organisme yang dibudidayakan. Selanjutnya untuk melihat status daya dukung suatu ekosistem mangrove tambak silvofishery dengan membandingkan hasil analisis kandungan unsur hara yang terdapat dalam serasah mangrove per rasio tambak silvofishery yang diamati sebagai supply dengan nilai optimum rata rata unsur hara yang dibutuhkan tanah tambak untuk mendukung ketersediaan makanan alami secara optimal sebagai Tabel 1.
demand. Analisis Kualitas Serasah Untuk mengetahui kandungan unsur hara yang terdapat dalam serasah mangrove dilakukan tahapan sebagai berikut : setiap jenis serasah kering yang telah dioven selama 24 jam masing-masing diambil 30 gram untuk dihancurkan menjadi tepung. Selanjutnya dilakukan analisis kandungan unsur hara meliputi bahan organik, nitrogen, posfor dan kalium yang terdapat dalam serasah. Hasil analisis serasah lebih lanjut dikonversi untuk mendapatkan setiap unsur hara yang terdapat dalam serasah mangrove per rasio silvofishery. Analisis dampak ekologi, ekonomi dan sosial Setelah didapatkan rasio komposisi mangrove dan tambak yang tepat untuk pola silvofishery komplangan yang disempurnakan kemudian dilakukan analisis dampak ekologi, ekonomi dan sosial. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Model Konstruksi Tambak Silvofishery Konstruksi tambak di Kabupaten Sinjai, umumnya adalah tipe silvofishery model empang parit. Dalam penelitian ini dilakukan perubahan/ modifikasi konstruksi menjadi model komplangan yang disempurnakan. Empang Parit Model empang parit sesuai hasil pengamatan pada lokasi penelitian, dapat dikatakan tidak ramah lingkungan. Hal ini disebabkan: (1) masih menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya, sehingga hasil dekomposisi serasah mangrove dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak dan (2) menyatunya lahan mangrove sebagai area konservasi dan tambak sebagai area budidaya, menyebabkan organisme organisme yang bersifat hama yang terdapat pada area mangrove
Kisaran optimum unsur hara yang dibutuhkan tanah tambak untuk menumbuhkan makanan alami secara optimum No
Unsur Hara
Kisaran Optimum
Nilai tengah Optimum
1 2 3 4
Bahan organik (ppm ) Nitrogen (ppm ) Posfor ( ppm) Kalium (ppm)
1,6 – 3,5 0,16 – 0,20 36 - 45 350 - 500
2,55 0,18 40,50 425,00
Sumber : Davide (1976) dan Padlan (1977) dalam Mintardjo et al. (1985). 159
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 dapat mengganggu komoditas yang dibudidayakan diantaranya dapat menyebabkan usaha budidaya udang windu dan ikan bandeng sebagai komoditas utama serta organisme air lainnya akan mengalami kegagalan panen. Empang Parit Disempurnakan
yang terdapat pada area mangrove dapat dilokalisir sehinngga tidak lagi mengganggu organisme yang dibudidayakan. Model empang parit disempurnakan ini yang mengalami perkembangan dan akan melahirkan model komplangan.
Model empang parit disempurnakan, sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan modal empang parit, karena lahan peruntukan ekosistem mangrove sebagai area konservasi sudah terpisah dalam dua hamparan dengan lahan peruntukan tambak sebagai area budidaya udang dan ikan serta organisme air lainnya serta dilengkapi dengan saluran air dengan dua pintu secara terpisah. Sedangkan kekurangannya secara teknis adalah pembuatan empang parit yang disempurnakan lebih rumit sehingga biayanya menjadi lebih mahal.
Model komplangan merupakan penyempurnaan empang parit dan empang parit disempurnakan. Secara teknis konstruksi model komplangan lebih rumit, akan tetapi lebih ramah lingkungan, karena lahan mangrove sebagai area konservasi terpisah dari lahan tambak sebagai area budidaya yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu terpisah. Terpisahnya lahan mangrove dan lahan tambak pada model komplangan dibatasi oleh pematang antara dua pintu, sehingga pola ini dapat menjadi solusi pengelolaan tambak ramah lingkungan. Pengelolaan tambak ramah lingkungan diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang sudah mengalami degradasi akibat berbagai aktivitas manusia berupa penerapan teknologi tinggi yang tidak dibarengi dengan pengelolaan lingkungan yang arif dan bijaksana.
Model empang parit disempurnakan sudah mengalami kemajuan menuju tambak ramah lingkungan. Pada model ini ada dua alasan yang menarik untuk dikemukakan yaitu: (1) berpisahnya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya sehingga proses dekomposisi serasah mangrove tidak lagi berpotensi mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan kualitas air pada area tambak dan (2) berpisahnya lahan mangrove sebagai area konservasi dan lahan tambak sebagai area budidaya, sehingga organisme organisme yang bersifat hama
Gambar 1. 160
Model Komplangan
Terpisahnya lahan mangrove dan lahan tambak pada model komplangan, selain ramah lingkungan dan membatasi ruang gerak hama yang berhabitat pada area mangrove, juga sistem sirkulasi air dapat diatur berdasarkan kebutuhan. Model yang direkomendasikan yaitu komplangan yang disempurnakan, tanpa merubah prinsip dasar dari model komplangan yang ada saat
Desain tata letak tambak silvofishery model komplangan yang disempurnakan.
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) ini, yaitu dengan menjadikan area mangrove sebagai : pusat sirkulasi air, pusat biofilter, pusat siklus nutrien, dan pusat biodiversity. Hasil Modifikasi Disempurnakan
Model
Komplangan
yang
Upaya untuk penyempurnaan model komplangan yang ada saat ini, dapat mencakup perbaikan konstruksi meliputi: (1) pada area mangrove dibuat beberapa parit selebar 0,1 meter sedalam maksimal sejajar dasar pintu dengan posisi silang menyilang yang nantinya berfungsi sebagai tempat biota liar mencari makan, memijah dan berkumpul pada waktu air tambak disurutkan, (2) dibuat tiga pintu masing masing pada petakan area mangrove sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air, petakan area tambak sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air sewaktu waktu, dan pintu pada pematang antara area mangrove dan area tambak sebagai pintu regulator, dan (3) dipasang bilah- bilah atau kere yang terbuat dari bambu pada bagian luar pintu petakan area mangrove dan tambak untuk menyaring sampah sampah berukuran besar yang terbawa air pasang. Selanjutnya tata letak tambak silvofishery model komplangan menjadikan area mangrove sebagai pusat sirkulasi air untuk mewujudkan konsep pengelolaan tambak ramah lingkungan (Gambar 1). Selain berfungsi sebagai pusat sirkulasi air, area mangrove juga dapat berfungsi sebagai pusat biofilter, pusat silus nutrien dan biodiversitas. Pusat Sirkulasi Air Area mangrove sebagai pusat sirkulasi air atau water circulation centre yaitu pada waktu memasukkan air baru, air dialirkan masuk pada unit tambak silvofishery melalui pintu petakan area mangrove, air baru tersebut dibiarkan selama satu malam pada petakan area mangrove untuk mengalami proses treatment, demikian juga sebaliknya pada waktu akan melakukan pergantian air pada petakan area tambak, air yang akan dibuang dialirkan kembali pada area mangrove untuk mengalami proses yang sama seperti waktu pemasukan air. Pergantian air pada pengelolaan tambak silvofishery disarankan antara 20% sampai 30% per periode pasang dengan sistem bertahap sebanyak tiga kali yaitu pertama pada awal pasang, menjelang pasang tertinggi dan pada waktu pasang tertinggi. Pergantian air baru dilakukan secara rutin pada pengelolaan tambak silvofishery menjadikan area mangrove sebagai pusat sirkulasi air dalam satu unit tambak dan merupakan suatu model pengelolaan air yang ramah lingkungan. Selain itu, dengan menjadikan area mangrove sebagai pusat sirkulasi air dalam unit
tambak dapat menciptakan keseimbangan unsur hara antara area mangrove dan area tambak. Pusat Biofilter Area mangrove selain sebagai pusat sirkulasi air dalam unit tambak silvofishery, juga berfungsi sebagai biofilter centre. Pada waktu memasukkan air baru ke dalam unit tambak silvofishery terlebih dahulu air dialirkan melalui petakan area mangrove dan disimpan selama semalam dengan tujuan mengendapkan bahan organik dan anorganik seperti partikel lumpur, pasir, dan sejenisnya yang ikut masuk bersama air pada area mangrove. Setelah air baru yang dimasukkan bermalam pada petakan area mangrove dan diperkirakan sudah mengalami proses pengendapan yang sempurna, kemudian dialirkan masuk ke area tambak melalui pintu antara petakan area mangrove dan tambak. Sebaliknya pada waktu akan dilakukan pergantian air dalam unit tambak silvofishery, air dikeluarkan dari petakan area tambak dan dialirkan masuk ke petakan area mangrove. Adapun tujuan mengendapkan bahan organik dan anorganik baik berupa hasil buangan dari organisme yang dibudidayakan maupun senyawa senyawa yang bersifat racun seperti amoniak, hidrogen sulfida, dan sejenisnya, yaitu agar air yang dibuang dari tambak tidak mencemari perairan pesisir. Selain itu unsur hara hasil aktivitas budidaya kembali dimanfaatkan oleh organisme budidaya sambilan yang ada pada petakan area mangrove tersebut dan juga untuk pertumbuhan mangrove. Pusat Siklus Nutrien Area mangrove dalam unit tambak silvofishery selain sebagai pusat sirkulasi air dan pusat biofilter juga berperan sebagai pusat siklus nutrien atau nutrient circulation centre. Secara garis besar area mangrove sebagai lahan konservasi memperoleh nutrien dari tiga sumber yaitu dari laut melalui air pasang, dari petakan area tambak sebagai hasil aktivitas budidaya, dan dari hasil proses dekomposisi serasah mangrove. Lebih lanjut, area mangrove mendapat supply unsur hara dari bahan organik dan anorganik yang terurai dan masuk kedalam petakan mangrove pada waktu air pasang. Begitu pula sebaliknya pada waktu akan dilakukan pergantian air pada area petakan tambak, air yang akan dibuang dialirkan kembali masuk petakan area mangrove. Selanjutnya sumber unsur hara bagi petakan area mangrove, selain dari eksternal yaitu dari air laut dan hasil aktivitas budidaya dari petakan area tambak, juga dari internal petakan area mangrove berupa hasil serasah mangrove setelah terurai menjadi berbagai 161
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 unsur hara seperti bahan organik, nitrogen, posfor, kalium, dan unsur hara lainnya. Hasil analisis unsur hara yang terkandung dalam serasah mangrove pada rasio 30% mangrove dan 70% tambak meliputi: bahan organik 1,28 ppm, nitrogen 0,41 ppm, posfor 88,76 ppm, dan kalium 190,62 ppm. Korelasi antara bahan organik, klekap dalam tambak dengan produksi ikan merujuk pernyataan Tang & Chen (1966) in Mintardjo (1985) bahwa tambak di Filipina yang mempunyai kandungan unsur hara bahan organik sebesar 1,23 ppm akan menghasilkan klekap sebesar 15.000 kg dengan tingkat produksi ikan sebesar 1.200 kg ha-1 th-1. Pusat Biodiversitas Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa petakan mangrove dalam unit silvofishery dapat berfungsi sebagai pusat biodiversity atau penangkaran berbagai jenis biota pesisir untuk mempertahankan keanekaragaman sumber daya hayati bagi perairan pesisir sesuai dengan Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya. Keanekaragaman sumber daya hayati pada pengelolaan silvofishey dengan model komplangan disempurnakan difokuskan pada area mangrove sebagai pusat sirkulasi air. Pada waktu memasukkan air baru ke dalam unit tambak silvofishery, air dialirkan masuk pada petakan area mangrove melalui pintu 1. Pada bagian luar pintu ini dipasang bila bila atau kere yang terbuat dari bambu untuk menyaring sampah yang berukuran besar tidak masuk ke dalam petakan tambak area mangrove bersama air. Pintu ini selain dipasangi kere, juga dipasang saringan yang terbuat dari nilon dengan ukuran besar dan kecil. Saringan yang berukuran besar dipasang pada waktu memasukkan air baru, yang bertujuan agar telur dan benih udang, ikan, kepiting dan organisme lainnya ikut bersama air masuk ke petakan area mangrove, sedangkan saringan berukuran kecil dipasang pada waktu pengeluaran air. Selanjutnya air setelah bermalam pada petakan Tabel 2.
mangrove dialirkan masuk ke petakan tambak melalui pintu 2 atau pintu regulator. Pada pintu regulator ini dipasang saringan yang berukuran kecil, agar telur dan benih tadi tidak ikut masuk bersama air petakan area tambak, dimana area tambak diperuntukan hanya budidaya utama yaitu udang windu dan ikan bandeng. Sedangkan untuk udang liar, ikan liar dan organisme lainnya ditempatkan khusus pada petakan mangrove yang telah ditetapkan sebagai pusat biodiversity atau budidaya sambilan. Khusus pintu 3 yang terdapat pada petakan area tambak hanya digunakan dalam keadaan darurat, karena sistem pengelolaan air pada tambak silvofishery adalah sistem sentralistik (Denila 1987). Analisis Daya Dukung Produksi total serasah mangrove ditampung pada 15 penampung serasah dengan distribusi masing-masing 3 penampung per rasio tambak silvofishery selama empat bulan pengamatan (September-Desember) dari 1 tahun waktu penelitian. Rata rata hasil produksi serasah mangrove per tahun berdasarkan jenis serasah yang diamati per rasio tambak silvofishery disajikan dalam Tabel 2. Jumlah produksi serasah mangrove dari empat jenis yang diamati menunjukkan bahwa produksi serasah mangrove rata rata per rasio petakan yang diamati yaitu sebesar 2.079 kg m-2 th-1. Selanjutnya produksi serasah mangrove rata rata dalam kg m-2 th-1 per rasio tambak silvofishery seperti yang disajikan dalam Tabel 2 dikalikan dengan luasan mangrove masing - masing petakan yang diamati. Hasil perkalian ini menghasilkan produksi serasah berdasarkan luas mangrove per rasio tambak silvofishery setelah dilakukan konversi dengan menyetarakan luas yang sama seperti disajikan dalam Tabel 3. Status daya dukung ekosistem mangrove per rasio silvofishery disajikan dalam Tabel 4. Tanda minus (-) menunjukkan status daya dukung unsur hara kurang dari nilai optimum yang disyaratkan. Hasil analisis serasah mangrove terhadap empat unsur hara yang dijadikan parameter ekologi untuk menilai daya dukung ekosistem mangrove bagi
Rata rata produksi serasah mangrove per rasio tambak silvofishery (kg m-2 th-1) Uraian 100 : 0
R a s i o 60 : 40
(%) 30 : 70
20 : 80
10 : 90
Daun 1,166 1,061 1,801 1 ,118 1,068 Buah 603 813 699 738 549 Bunga 85 74 108 142 137 Ranting 249 188 152 151 213 Rataan 2,103 2.,136 2.,040 2,149 1,967 Sumber : Hasil analisis (2011) 162
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) penentuan rasio mangrove dan tambak yang optimum dalam pengelolaan silvofishery, menunjukkan bahwa rasio 30% mangrove dan 70% tambak untuk unsur hara bahan organik dan kalium keduanya menunjukkan kurang dari nilai optimum kapasitas daya dukung ekosistem mangrove yang disyaratkan sebagai penyedia unsur hara, meskipun unsur nitrogen dan posfor pada rasio tersebut masih cukup tersedia. Unsur nitrogen dan posfor pada rasio 20% mangrove dan 80% tambak masih di atas kebutuhan optimum tambak, akan tetapi pada rasio 10% mangrove dan 90% tambak keduanya juga sudah melewati kapasitas daya dukung seperti yang telah disajikan dalam Tabel 4. Hasil analisis keempat unsur hara tersebut, dapat digambarkan bahwa pada rasio 30% merupakan batas minimum persentase luasan mangrove pada pengelolaan silvofishery, bahkan persentase tersebut dapat ditambah hingga mendekati keadaan optimum unsur bahan organik dan kalium. Hal ini sejalan dengan pernyataan Odum (1996), yang mengatakan bahwa unsur hara dalam tanah yang menjadi faktor pembatas adalah yang minimum, oleh karena itu faktor pembatas dalam penentuan rasio antara mangrove dan tambak adalah bahan organik dan kalium. Hasil analisis ke empat unsur yang menjadi indikator untuk menentukan daya dukung ekosistem mangrove pada tambak silvofishery menunjukkan bahwa bahan organik dan kalium pada rasio 60% mangrove dan 40% tambak adalah batas minimum, akan tetapi unsur nitrogen dan posfor pada rasio tersebut masih cukup tersedia bahkan sampai pada rasio 20% mangrove. Dengan demikian rasio 20% Tabel 3.
sampai 60% mangrove merupakan rasio yang ditolerir untuk dikonversi dengan status sustanaible dan rasio optimum atau optimum sustainable ratio adalah pada rasio 40% mangrove dan 60% tambak. Dampak Ekologi, Ekonomi dan Sosial Hasil kajian ekologi dan ekonomi yang dilakukan selama penelitian menyimpulkan bahwa sistem budidaya pada tambak silvofishery sebaiknya menerapkan sistem polikultur karena secara ekologi, ekonomi dan sosial mempunyai keuntungan yang lebih (Baliao & Tookwinas, 2002). Lebih lanjut Shu et al. (2006) dan An et al. (2001) menjelaskan sistem polikultur memberikan peningkatan terhadap perlindungan ekologi selain memberikan manfaat terhadap peningkatan pemanfaatan sumber daya dan penyerapan tenaga lokal. Ekologi Budidaya sistem polikultur udang windu, ikan bandeng dan rumput laut dalam satu tambak, secara ekologi ramah lingkungan, karena ketiga organisme yang dibudidayakan dapat hidup saling menguntungkan dengan membentuk simbiosis mutualisme. Persaingan ketiga organisme terhadap makanan tidak terjadi, karena jenis organisme yang dibudidayakan berbeda jenis makanannya. Udang windu dan ikan bandeng sekalipun keduanya bersifat omnivora, akan tetapi udang windu cenderung bersifat karnivora atau pemakan daging, dan ikan bandeng cenderung bersifat herbivora atau pemakan tumbuhan, sedangkan rumput laut sebagai tumbuhan air membutuhkan nutrien dalam memacu pertumbuhannya baik nutrien alami maupun
Total produksi serasah mangrove per rasio tambak silvofishery (ton ha-1 th -1) Uraian R a s i o (%) 100 : 0 60 : 40
30 : 70
20 : 80
10 : 90
Mangrove (m2) Produksi Serasah (kg) 10,000 6,000 3,000 2,000 1,000 2,103 2,136 2,040 2,149 1,967 Jumlah (ton) 21,030 12,816 6,120 4,298 1,967 Sumber : Hasil analisis (2011)
Tabel 4.
Status daya dukung ekosistem mangrove bagi pengelolaan silvofishery per rasio (%) Unsur Hara (Satuan) 100 : 0
R a s i o 60 : 40
Bahan Organik (ppm) Nitrogen (ppm) Posfor (ppm) Kalium (ppm)
0,06 0,65 150,36 18,34
1,95 1,52 316,11 570,36
(%) 30 : 70
20 : 80
10 : 90
-1,27 0,23 48,26 -234,38
-1,68 0,11 21,31 -296,03
-1,94 -0,05 -12,25 -347,89
Sumber : Hasil analisis (2011) 163
J. Segara Vol. 9 No. 2 Desember 2013: 157-165 yang berasal dari kotoran udang/ikan. Simbiosis mutualisme antara ikan bandeng dan udang windu, terjadi karena ikan bandeng dalam air dapat mencegah terjadinya stratifikasi suhu dan dapat meningkatkan oksigen terlarut dalam perairan. Peranan ikan bandeng ini sangat berguna bagi udang windu, karena udang windu sangat sensitif terhadap stratifikasi suhu dan rendahnya oksigen terlarut dalam perairan. Sedangkan terhadap rumput laut, ikan bandeng yang bersifat omnivora, cenderung memakan organisme penganggu rumput laut seperti lumut dan klekap yang menjadi pesaing dalam pemanfaatan ruang dan makanan. Ekonomi Secara ekonomi budidaya sistem polikultur di tambak sangat efisien, karena beberapa komoditi dipelihara secara bersamaan pada lahan yang sama, sehingga dapat memanfaatkan lahan secara efisien, menghemat biaya operasional seperti perbaikan konstruksi tambak, dan menghemat biaya saprodi berupa benih, pupuk, dan obat-obatan. Budidaya polikultur melalui diversifikasi dengan beberapa komoditas dapat meminimalkan resiko kerugian bagi petani tambak karena: (1) apabila terjadi musibah gagal panen diantara ketiga komoditas, dapat ditutupi oleh komoditas yang lainnya. Misalnya udang windu terserang penyakit tertentu sehingga gagal panen dapat ditutupi oleh ikan bandeng dan rumput laut, begitu pula sebaliknya, dan (2) apabila diantara ketiga komoditi tiba-tiba ada komoditas mengalami penurunan harga pada waktu panen, dapat ditutupi oleh komoditas lainnya. Rasio 40% mangrove dan 60% tambak pada tambak silvofishery apabila dikelola secara profesional dengan menerapkan budidaya sistem polikultur udang, ikan dan kepiting dapat menghasilkan produksi sebesar 1.264 kg ha-1th-1 dengan rincian sebagai berikut: udang windu sebesar 274 kg ha th-1, ikan bandeng sebesar 600 kg ha-1 th-1, udang liar 60 kg ha-1 th-1, ikan liar sebesar 80 kg ha-1 th-1, dan kepiting sebesar 250 kg ha-1 th-1. Produksi ini dapat ditingkatkan karena masih di bawah standar produksi sesuai ketersediaan bahan organik di tambak. Pada rasio tersebut ketersediaan bahan organik 1,80 ppm mampu menumbuhkan klekap sebesar 21.000 kg dengan tingkat produksi ikan sebesar 1.680 kg ha-1 th-1. Sosial Penerapan budidaya sistem tambak polikultur dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan akan berpengaruh pada indeks pembangunan manusia (IPM) dengan indikator pendidikan dan kesehatan. 164
Selain manfaat ekonomi, area sistem budidaya polikultur dapat juga bermanfaat sebagai tempat ekowisata kegiatan pendidikan dan penelitian pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum karena lokasi sistem budidaya tambak polikultur berfungsi sebagai laboratorium alam pemanfaatan jasa lingkungan secara berkelanjutan dengan mempertahankan keanekaragaman hayati (Rapey et al., 2001). KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian ekologi dan ekonomi, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) rasio yang optimum antara area mangrove dan tambak yaitu 40% mangrove dan 60% tambak; (2) desain tambak silvofishery yang adaptif dan ramah lingkungan adalah model komplangan disempurnakan yang dilengkapi parit silang menyilang pada petakan area mangrove, sehingga area mangrove ini akan berfungsi sebagai: pusat sirkulasi air, pusat biofilter, pusat siklus nutrien, dan pusat biodiversiti; dan (3) hasil kajian ekologi dan ekonomi menunjukkan bahwa sistem budidaya yang ideal diterapkan pada tambak silvofishery adalah budidaya polikultur udang, ikan dan rumput laut, karena sistem ini bersifat adaptif dan ramah lingkungan. PERSANTUNAN Makalah ini adalah bagian dari disertasi Abdul Haris Sambu pada prodi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Para penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA An, SQ. Zhang, JH. Zhang, JL. (2001). The environment and impacts of integrated silvo-pastoral system in a coastal region. Acta Phytoecol. Sin. 25 (1), 57–64 (in Chinese with English summary). Baliao, D., & Tookwinas, S. (2002). Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Souttheast Asian Fisheries Development Center. Bengen, D.G. 2002 Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. ( PKSPL-IPB). Beukeboom, H. Lai, C K., & Otsuka, M. (1992). Report of the Regional Expert Consultation on Participatory Agroforestry and Silvofisherry System in Southeast Asia-Pacifik Agroforestry
Desain Tambak Silvofishery .... Kabupaten Sinjai (Sambu, A.H., et al.) Network. Dahuri, R. Rais, J. Ginting S.P., & Sitepu M.J. (1996). Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Pramita Jakarta. Denila L. (1987). Layout Desain Construction and Levelling of Fishpond. Readings on Aquaculture Practices, SEAFDEC. Aquaculture Department, Iloilo, Philippines. DKP. 2010. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai. Kabupaten Sinjai. Mintardjo, K. & Sunaryanto, A. Utamitiningsih & Hermianingsih (1985). Pedoman Budidaya Tambak. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Odum, E.P. (1996). Dasar Dasar Ekologi Edisi Ketiga Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Poernomo, A. (1992). Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Seri Pengembangan Hasil Pertanian No. PHP/ KAN/ PATEK /004/1992. Rapey, H. Lifran, R. & Valadier, A. (2001). Identifying social, economic and technical determinants of silvopastoral practices in temperate uplands: results of a survey in the Massif Central region of France. Agroforest. Syst. 69, 119–135. Sasekumar, A. & Loi, J.J. (1983). Litter production in three mangrovre forest zones in the Malay Peninsula Aquatic Botany Vol.17, p: 283-290. Shu, QA. Fen, MZ, Jiu, HZ, Xing, LC, Mao. SL, & Cheng, H. (2006). Alternative methods for sustainably managing coastal forests as silvopastoral systems. Ecological Engineering 26 (2006) 195–205. Sofyan (2001). Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. SuatuTantangan dan Peluang. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Supriharyono (2005). Konservasi Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
165
KETENTUAN CARA PENGIRIMAN NASKAH UNTUK JURNAL SEGARA Jenis Naskah Jenis Naskah yang dapat dimuat di Jurnal Segara adalah : • •
Naskah hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan Kelautan Indonesia yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam dan luar negeri. Naskah yang berisikan hasil-hasil penelitian di bidang pengembangan ilmu oseanografi, akustik dan instrumentasi kelautan, inderaja, kewilayahan, sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawah air dan lingkungan.
Bentuk Naskah Naskah tulisan dapat dikirim dalam bentuk : • • • • • • • • • • • •
Naskah tercetak di atas kertas A4, dengan jumlah halaman 10 – 15 halaman. Ditulis dengan menggunakan aplikasi MS.Word dengan spasi ganda, jenis font Arial, ukuran huruf 10. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dengan ketentuan, bila naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bila naskah ditulis dalam bahasa Inggris, abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 250 kata. Kata kunci (3-5 kata) harus ada dan mengacu pada Agrovoca. Materi naskah disusun mengikuti kaidah umum dan tidak mengikat, namun harus berisikan latar belakang masalah yang membahas hasil penelitian terdahulu, teori singkat yang mendukung, metode yang digunakan, analisis, dan kesimpulan. Apabila terdapat istilah asing maka istilah tersebut perlu ditulis dengan abjad miring (Italic). Gambar (foto ilustrasi, grafik, statistik) dan tabel. Judul tabel ditulis di atas tabel. Apabila terdapat gambar berupa grafik, statistik, peta atau foto, maka judul dari gambar tersebut harus ditulis dibawah. Kesimpulan disajikan secara singkat dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud dan tujuan, serta hasil penelitian. Referensi Referensi dari Jurnal lain ditulis seperti : Nama, Tahun, “judul Makalah”, Nama jurnal, Volume, Nomor, halaman. Referensi dari buku ditulis seperti: Nama, Tahun, “Judul Buku”, Penerbit. Gelar dari nama penulis tidak perlu dicantumkan. Pengutipan sumber tertulis tercetak mengikuti sistem Harvard, yaitu menuliskannya di antara tanda kurung nama (belakang) penulisan yang diacu, titik dua, & halaman acuan yang dikutip, setelah akhir kalimat kutipan pada batang tubuh karangan, contoh seperti di bawah ini : .......(Gordon,et al.2003:12) .......(Holt, 1967 : 11)
Metode Penilaian dan Pengiriman Naskah • • •
Redaksi tidak membatasi waktu pengiriman makalah, semua makalah akan dinilai oleh editor/penyunting ahli dengan format penilaian yang telah ditetapkan oleh dewan editor. Hasil penilaian dari editor/penyunting ahli akan diolah oleh dewan editor dan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki kembali. Agar makalah dapat dimuat, penulis diharapkan dapat menyerahkan makalah yang telah direvisi sebelum tanggal yang ditentukan. Makalah di atas dapat langsung dikirim dalam bentuk file dan print out ke Redaksi Jurnal Segara yang bertempat di kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan alamat : Jalan Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta utara 14430 atau kirim ke alamat e-mail : [email protected].
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan