ISSN: 2085-5079
BAHASA DAN AGAMA Eni Zulfa Hidayah Abstrak : Akal merupakan anugrah tertinggi yang diberikan Tuhan kemanusia sebagai pembeda dari makhluk-makhlukNya yang lain, sehingga ia digunakan manusia untuk mencari dan berpikir tentang hal-hal yang belum ia ketahui termasuk kekuatan tertinggi yang akhirnya melahirkan sebuah penghambaan terhadap-Nya dalam suatu agama dan bahasa digunakan sebagai sarana untuk mangungkapkan apa yang dipikirkan manusia dalam pencariannya, sehingga memunculkan pertanyaan “apa hubungan bahasa dan agama?”. Dan tulisan ini, secara terbatas, berusaha mengurai hanya pada pertautan antara bahasa dan agama, yang akan membahas tentang (1) bahasa agama, (2) pendekatan pemahaman bahasa agama, (3) obyek kajian bahasa agama, dan (4) metafora dalam bahasa agama. Pada hakekatnya dalam semua agama terdapat bahasa yang mengambil bentuk performative language, terlebih dalam Islam seperti dalam gerakan shalat dan ritual haji, serta Ibadan-ibadah lain yang ada dalam semua agama, dan bahkan bahasa agama memperoleh ekspresinya yang sangat kuat pada gerakan dan sikap tubuh yang dibarengi dengan bahasa mental, bukan sekadar ucapan lisan.
Kata Kunci: Bahasa, Agama A. Pendahuluan
Bahasa dan Agama Manusia adalah hayawan nathiq sekaligus hayawan mubayyin yang, betapapun hebatnya, selalu dibatasi oleh sifat kemanusiaannya. Keterbatasan itu pada akhirnya mendorong manusia untuk mencari kekuatan yang adi luhur, yang tidak terbatas (absolut). Pada perkembangan berikutnya, proses pencarian kekuatan yang adi luhur itu melahirkan agama, baik yang samawi (revealed religion) maupun yang ardli (nonrevealed religion). Hal ini lantaran, bagi manusia, agama berfungsi memberikan spirit of power, sumber informasi metafisika, dan kekuatan untuk memberi petunjuk kebenaran dan bimbingan rohani bagi pemeluknya. Atas fungsi ini, sepanjang sejarah manusia, agama menempati posisi penting, baik bagi individu maupun kelompok. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, berbagai sisi bertautan dengan agama; sisi sosial, budaya, teologi, filsafat, sejarah, bahasa, geografi, ekologi, dan lain-lain. Pertautan tersebut melahirkan sebuah sistem kehidupan manusia yang bersifat interrelasi. Tulisan ini, secara terbatas, berusaha mengurai hanya pada pertautan antara bahasa dan agama. Pertautan atau perkawinan antara bahasa dan agama, logikanya, bisa melahirkan bidang kajian bahasa agama dan agama bahasa, sebagaimana pertautan atau perkawinan antara linguistik dan psikologi, misalnya, bisa melahirkan bidang kajian linguistik psikologi (linguistic of psicology) dan psikologi linguistik (psicholinguistic). Pembahasan tentang bahasa agama, berdasarkan logika tersebut, adalah kajian bidang agama dilihat dari perspektif linguistik atau cara pandang linguistik terhadap fenomena keberagamaan seseorang. Sementara istilah agama bahasa adalah tidak dikenal dalam kajian pengetahuan. Menilik penjelasan etimo-logi bahasa agama dan agama bahasa, makalah ini memfokuskan kajiannya pada term bahasa agama, sebab kajian inilah yang lebih menggambarkan interrelasi antara bahasa dan agama yang sesungguhnya
Eni Zulfa Hidayah ketimbang agama bahasa. Diskusi tentang bahasa agama di kalangan ahli bahasa dimasukkan pada ranah pendekatan fungsional dalam kajian bahasa teks. Dalam kajian teks, para ahli bahasa memba-ginya menjadi tiga bagian, yaitu analisis isi (content analysis), analisis wacana (discourse analysis), dan analisis kontemporer (Contem-porary analysis). Secara runtut, makalah ini membahas (1) bahasa agama, (2) pendekatan pemahaman bahasa agama, (3) obyek kajian bahasa agama, dan (4) metafora dalam bahasa agama. B. Bahasa Agama Bahasa sering dimaknai sebagai sarana komunikasi antar manusia. Hakekat bahasa, sesuai pengertian tersebut, bisa melukiskan dunia sehingga struktur logis bahasa sepadan dengan struktur logis dunia. Bahkan, secara lebih radikal, di kalangan ahli linguistik, seperti Derrida, Foucault, Lyotard, dan Baudrillard, mengembalikan semua persoalan keberadaan dan kehidupan manuisa kepada bahasa, sebab bahasa merupakan pusat kegiatan ada dan hidup manusia (Sugiharto dalam Rahardjo, 2003: 23). Sementara agama biasanya diasosiasikan dengan konsep Tuhan, Nabi, dan kitab suci. Dengan asosiasi ini, agama sering dimaknai sebagai jalan hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan serta berpedoman kitab suci dan dipimpin oleh seorang nabi (Tatapangarsa, 1995: 3). Definisi ini memformulasikan adanya sebuah sistem agama yang terdiri atas tiga unsur pokok, yaitu sistem credo, sistem ritus, dan sistem norma. Persoalan makna agama akan menjadi lebih pelik ketika cara pandang terhadap agama diperluas menjadi semua sistem nilai yang dijadikan pegangan atau pandangan hidup oleh suatu kelompok masyarakat. Karenanya, dalam tradisi filsafat dan antropologi berlaku 'dalil' bahwa agama tidak mesti memiliki kitab suci dan rasul. Inilah bibit polemik
Bahasa dan Agama yang timbul di kalangan ahli linguistik, teolog (mutakallimun) dan failosof yang salah satu hasil polemik itu adalah adanya pendefinisian yang berbeda di kalangan mereka. Melihat begitu peliknya merumuskan makna agama, berimbas secara paralel pada pemaknaan bahasa agama. Hidayat (2004) sendiri dalam buku Menafsirkan Kehendak Tuhan, yang dipandang sebagai buku pertama tentang hermeneutika bahasa agama, tidak secara jelas menulis definisi bahasa agama. Yang ia tulis dengan cukup jelas adalah ragam pendekatan dalam memaknai bahasa agama. C. Pendekatan Pemahaman Bahasa Agama Menurut Hidayat (1995: 75) ada dua pendekatan dalam memahami ungkapan-ungkapan keagamaan, yaitu theo-oriented dan antropo-oriented. Menurut theo-oriented, bahasa agama adalah kalam ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam kitab suci, sehingga pengertiannya yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci. Sementara menurut antropo-oriented, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau sekelompok sosial, sehingga tidak mesti merujuk pada ungkapan-ungkapan kitab suci. Kedua pendekatan ini saling berkaitan, karena semua kitab suci, pada gilirannya, akan melahirkan penafsiran, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, yang dilakukan oleh manusia. Bahasa agama dalam pengertian kedua bisa saja melepaskan kitab suci, bahkan mengarah pada narasi filsafat dan keilmuan. Di sinilah diperlukan kejelian melihat batas yang samar antara bahasa agama sebagai narasi dan teori ilmiah dan narasi keagamaan sebagai fenomena ekspresi keberagamaan seseorang Terdapat dua bentuk narasi kitab suci, yaitu preskriptif dan deskriptif (Hidayat, 2004: 84). Narasi preskriptif berbentuk formula kalimat agar pembaca mengikuti perintah yang
Eni Zulfa Hidayah disampaikan. Dalam ungkapan-ungkapan preskriptif, posisi pengarang menjadi pusat putaran, sementara pembaca diminta mengikuti ajakan dan sarannya. Sementara deskriptif berbentuk uraian informatif, tidak dalam bentuk perintah. Ia bersifat persuasif dan demokratis, walaupun tidak selalu yang informatif itu dipahami sebagai 'kewajiban'. Gaya deskriptif memberi ruang bagi pembaca untuk mengeksplorasi informasi tersebut lebih jauh dan mendalam. D. Obyek Kajian Bahasa Agama Bertolak dari makna bahasa agama di atas, Hidayat (2004: 6) menyebut tiga obyek bidang kajian pokok dalam bahasa agama, yaitu pertama ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan objek pemikiran metafisis, terutama tentang Tuhan, kedua, bahasa kitab suci, dan ketiga bahasa ritual keagamaan. Bahasa metafisik, adalah bahasa atau ungkapan serta pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan obyek yang bersifat metafisik, terutama tentang Tuhan. Dalam memahami bahasa metafisik, seseorang umumnya memakai standar ganda, yaitu seseorang berpikir dalam lingkup dan kapasitas pengalaman sehari-hari, namun diarahkan untuk suatu obyek yang diimani yang berada di luar jangkauan nalar dan indranya. Di pihak lain, ada yang berangkat dari sikap iman, lalu mencari dukungannya dari pemikirannya. Dalam sejarah teologi Islam, dikenal madzhab teologi Jabariyah yang memahami bahasa metafisik (misalnya tentang af'al Allah dan af'al al ibad) secara literal, verbal, menurut bunyi lahiriyah, tanpa mengubah maksud lahiriyah sedikitpun Di pihak lain, madzhab teologi Qadariyah memahami bahasa metafisik dari sudut pandang spirit dan makna bathin ayat. Madzhab teologi Asy'ariyah mengambil posisi moderat antara Jabariyyah dan Qadariyyah (Hasan, 2004: 40-41).
Bahasa dan Agama Kitab suci, ketika dipandang sebagai sebuah teks yang hadir di depan pembaca, maka teks tersebut menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika dibaca dan dibangun makna berdasarkan sistem tanda (semiotika) yang ada. Pembacaan makna kitab suci itu merupakan obyek kajian hermeneutika yang, awalnya, menurut Palmer (Rahardjo dalam jurnal el Jadid, vol.1, 2003: 17), disebut dengan exegesis (interpretasi terhadap Bible). Hermeneutika sebagai peranti memahami teks secara filosofis, termasuk kitab suci, berusaha menafsirkan simbol yang berupa teks untuk dicari arti dan maknanya dengan mempertimbangkan tiga unsur, yaitu dunia teks (the world of the tex), dunia pengarang (the world of the author), dan dunia pembaca (the world of the reader). Dengan memperhatikan ketiga unsur tersebut, upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak munculnya teks oleh pengarang dan isi teksnya, juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, hermeneutika memperhatikan teks, konteks,dan melakukan upaya kontekstualisasi, selanjutnya intertektualisasi.. Secara lebih detail, Gibbon (dalam Rahardjo, 2003: 21) menjelaskan ketiga unsur hermeneutika tersebut. Dunia teks sekurang-kurangnya mengandung tiga dunia makna; dunia di belakang teks, dunia di dalam teks, dan dunia di depan teks. Dunia pengarang tercipta melalui tahap pra-figurasi, konfigurasi, dan transfigurasi. Dan, dunia pembaca tercipta melalui dua tahapan; pre-understanding dan explanation. Bahasa ritual keagamaan, ketika menjadi bagian dari rumpun bahasa sebagai medium, maka ia bisa berupa bahasa tutur maupun gerakan tubuh (body language) dalam bentuk isyarat atau sikap tubuh (performative language). Ia sanggup melabelisasi penggunanya sebagai orang Islam, Katolik,
Eni Zulfa Hidayah Hindu, aliran kepercayaan, dan lain-lain. Dalam semua agama akan ditemukan bahasa agama yang mengambil bentuk performative language, terlebih dalam Islam. Di dalam gerakan shalat dan ritual haji, misalnya, bahasa agama justru memperoleh ekspresinya yang sangat kuat pada gerakan dan sikap tubuh yang dibarengi dengan bahasa mental, bukan sekadar ucapan lisan. Ucapan kuat-kuat dalam shalat bisa jadi malah mengganggu keheningan dan kekhususkan. Setiap gerakan shalat adalah bahasa ritual sejak dari takbiratul ihram sampai salam. Semua itu, kalau saja dihayati secara mendalam, jauh lebih ekspresif ketimbang ucapan seribu kata. Ia lebih ekspressif untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan tindakan secara serempak. Dengan demikian bahasa ritual keagamaan tidak sekadar berhenti sebagai medium komunikasi, tetapi memiliki dimensi ontologis dan eskatologis (Hidayat, 2004: 12). Dalam kenyataannya, bahasa ritual keagamaan sering ditampilkan dalam bentuk yang berbeda-beda, misalnya sesajen dalam masyarakat Jawa abangan, membaca tahlil dan Surat Yasin pada masyarakat Jawa santri, melakukan ritual sekaten pada masyarakat Jawa priyayi, mempersembahkan seorang putri pada dewa Zeus dalam tradisi Romawi kuno, ritual punden berundak pada zaman megalitikum dan sejumlah tradisi yang semua itu merupakan bentuk nyata konsep keberagamaan seseorang dan kelompoknya. Bahkan, pada wilayah yang lebih sempit, misalnya, seorang muslim pada saat mengawali pidato atau ceramahnya selalu membaca salam, basmalah, dan puji-pujian kepada Allah, atau gerakan tangan menyalip pada Kristiani, ungkapan om santi-santi om pada pemeluk Hindhu, dan lain-lain. Bahkan, pada kelompok tertentu meneriakkan 'Allahu Akbar'…sebagai tanda pengobar semangat untuk terus maju berdemonstrasi. Di kalangan ahli thariqah, ungkapan keagamaan itu terjadi begitu kaya.
Bahasa dan Agama Thariqah Qadariyah, misalnya, dengan bacaan kalimah thayyibah 'la ilaha illallah' sambil menggerakkan kepala dari bawah, ke atas, ke kanan, lalu ke kiri dan sikap duduk bersilanya dan posisi tangan yang khas. Thariqah Rumiyah yang melakukan dzikir dengan iringan musik serulingnya dengan diikuti tari sufinya yang khas pula. Ini semua merupakan fenomena aktualisasi nilai-nilai keberagamaan seseorang, yang dalam kajian sosiolinguistik merupakan bentuk komunikasi antar pelaku bahasa dengan mengikutsertakan simbol-simbol ketuhanan. E. Metafora dalam Bahasa Agama Dalam berteologi meskipun nalar telah berusaha memahami dan menafsirkan firman Tuhan secara logis, namun pada ujungnya orang yang beragama akan pasrah pada keputusan imannya ketika dihadapkan pada kalam Tuhan yang sulit dicerna akal. Dalam pandangan al Jabiry (tanpa tahun: 62), kalam Allah dilihat berdasarkan makna yang digunakan pada konteks tertentu ada yang haqiqah dan ada yang majaz. Kalam haqiqah adalah yang sesuai dengan definisi terminologis, sementara kalam majaz adalah yang bermakna selain makna terminologis karena adanya qarinah. Menurut Hanafiyah status majaz sama dengan haqiqah. Sementara Syafiiyah memandang majaz hanya pada kondisi tidak mungkin dimaknai secara hakiki. Salah satu contoh klasik adalah pada kata lamasa pada ayat 6 surat al Maidah. Menurut Hanafiyah kata tersebut hanya bermakna majaz, sehingga yang membatalkan wudhu adalah hubungan suami istri. Sedangkan Syaifiiyah kata itu bisa dimaknai haqiqah yang berarti persentuan kulit dan dimaknai majaz, sehingga menurut kalangan mereka yang termasuk membatalkan wudhu adalah persentuhan kulit dan, apalagi, hubungan suami istri.
Eni Zulfa Hidayah Karena itu, dalam memahami bahasa agama dalam berbagai hal diperlukan analogi-analogi kritis mengingat firman Tuhan terbungkus dalam bahasa kultural tertentu, sedangkan manusia dengan segala pluralismenya, hidup dalam kultur yang berbeda-beda. Padahal, disadari atau tidak, ketika membaca dan memahami kitab suci, al Quran misalnya, seperti menulis ulang teks kitab suci itu dalam bahasa mental yang mendominasi kesadaran batin pembacanya, yaitu bahasa ibu. Mengingat hakekat bahasa agama mengacu pada dimensi ruang dan waktu, maka untuk memahami bahasanya (atau ayat-ayat pada kitab suci) tidak mungkin hanya berdasarkan kaidah-kaidah linguistik semata. Apalagi berdasarkan derajat kejelasannya, ada bahasa agama (ayatayat) yang muhkam, yaitu yang menunjukkan makna sendiri tanpa perlu tafsir dan tanpa nasakh, dan ada yang mutasyabih, yaitu yang tersembunyi sulit dicerna yang karenanya perlu tafsir, takwil, nasakh, dan bayan (Lihat al Jabiry, hal. 58-61). Sebab itu, dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, terutama kaitannya dengan dimensi ilahiyyah, dimensi metafisik, dimensi ruh, dan dimensi adikodrati, maka sangat logis bilamana dikembangkan bahasa metafor dan analog. Bahasa metafor dan analog dapat memberikan jembatan rasio manusia yang terbatas dengan dimensi ilahiyyah, dimensi metafisik, dimensi ruh, dan dimensi adikodrati yang tidak terbatas. Karena itu, tidak mengherankan apabila dalam bahasa agama banyak ditemukan ungkapan-ungkapan simbolik-metaforik, yang dikenal dengan istilah majaz sebagaimana penjelasan di atas. Salah satu keistimewaan bahasa simbolik itu terletak pada kemampuannya mewadahi dan mengungkapkan realitas yang sangat kompleks yang tidak bisa dituangkan dengan kata-kata secara deskriptif.
Bahasa dan Agama Oleh karena itu, sebuah simbol bisa saja mewakili 'suatu kehadiran yang tidak hadir' (absent-present) Berkaitan dengan persoalan majaz, dalam sejarah Islam, ada kelompok yang menolaknya (misalnya kelompok Dhahiriyah), ada yang menerima penuh (misalnya kelompok Mu'tazilah), dan ada yang memposisikan diri secara moderat (misalnya kelompok Asy'ariyah). Munculnya perbedaan itu disebabkan karena perbedaan analisis dan kesimpulan mengenai asal-usul bahasa. Kalangan Dhahiriyah berkeyakinan bahwa bahasa bersifat tauqifi, pemberian Tuhan kepada manusia (Adam) yang kemudian terus beralih kepada anak keturunannya. Sementara Mu'tazilah berkeyakinan bahwa bahasa bersifat wadh'i yang semata-mata merupakan konvensi murni manusia. Bagi Asy'ariyah, bahasa bersifat tauqifi-wadh'i yang di satu sisi bahasa merupakan kreativitas manusia, akan tetapi di sisi lain Tuhan berperan dalam memberikan kemampuan pada manusia untuk mengkreasi bahasa itu. Dalam pandangan lingu-istik, ada tiga teori tentang asal-usul bahasa, yaitu teologis, naturalis, dan konvensionalis. Kelompok teologis menyatakan bahwa manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan. Sementara itu, kelompok naturalis beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar atau berjalan. Teori konvensionalis berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat penuturnya. F. Penutup Demikianlah, okulasi pohon bahasa dan pohon agama telah membentuk dahan, ranting, anak ranting, daun, pucuk daun, bunga dan buah yang beraneka ragam. Orang sering menjadi sulit membedakan antara buah rasa bahasa dan buah
Eni Zulfa Hidayah rasa agama, karena keduanya telah menyatu membentuk “rasa” baru yang rasa itupun seringkali terus berubah dan berkembang. Inilah peluang sekaligus tantangan bagi kelompok khawas dalam islam untuk terus menggali kedalaman ajaran agamanya melalui bahasa. Akankah Islam, dari sisi bahasa, menjadi asing bagi masyarakat dunia ketika para khawasnya tidur di atas jerami bahasa agama? Akankah nasib Islam seperti sinyal yang Rasulullah SAW gambarkan dalam salah satu Hadits shahih riwayat ath-Thabrani dan al Hakim (as-Suyuthi, tt:34)
سييتي على ييتل زمييعلكزييفيل الييال تييللفيهييافقلا ه ي ل تييللفي ه ييفقل ا هيض لفيـي يلا الييالفي يياتل ييل ييي علزييال ـييألاييرلكزييفيل هييا لفيهييا يل رجفللزال زمعلالل جفاكل يافبض يلل ييل يي علزيال ـيألاييرلكزيفيل جيفالل ل.فيشاكل فهلللفيمؤزال علزل لزفل هول “Akan datang atas umatku suatu masa yang terdapat banyak pembaca, tetapi minim ahli agama, ilmu dicabut, kekacauan merajalela. Kemudian datang setelah itu masa yang banyak orang baca al Quran yang tanpa pemahaman, Kemudian datang setelah itu masa yang terjadi perdebatan dikalangan orang beriman tentang syirik yang sesungguhnya ia lakukan sendiri”.
DAFTAR PUSTAKA Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina -------------------------. 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Mizan
Bahasa dan Agama Rahardjo, Mudjia. 2002. Relung-Relung Bahasa: Bahasa dalam Wacana Politik Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Aditya Media Tatapangarsa, Humaidi (dkk.). 1995. Pendidikan Agama Islam. Malang: Penerbitan IKIP Malang UIN Malang (d/h UIIS). EL-Jadid: Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam. Volume 1.No.1. Mei-Oktober 2003 Wahab, Abdul. 1998. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press Al Jabiry, Muhammad Abid. tt. Binyah al Aql al Araby. Am Markaz Ats Tsaqafy Al Araby As Suyuthi, Jalaluddin. Tanpa Tahun. Al Jami' As Shaghir fi Ihadits al Basyir an Nadzir. Syirkah Nur Asia Hasan, Muhammad Thalhah. 2004. Ahlussunnah Wal Jama'ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta: Lantabora Prss