ISOLASI SENYAWA TURUNAN FENOL DARI HERBA REUNDEU (Staurogyne elongata (Blume) O. Kuntze)
Ria Mariani Abstrak
Telah dilakukan isolasi senyawa turunan fenol dari herba reundeu (Staurogyne elongata (Blume) O.K. Penapisan fitokimia menunjukan adanya flavonoid, saponin, steroid/triterpenoid, tanin dan fenol. Serbuk simplisia diekstraksi dengan metode digesti. Pemurnian dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif, sedangkan karakterisasi dilakukan dengan spektrofotometri UV-sinar tampak. Dihasilkan isolat yang diduga senyawa turunan fenol. Kata kunci: Herba Reundeu (Staurogyne elongata (Blume) O.K., Ekstraksi dengan metode digesti, kromatografi lapis tipis preparatif, spektrofotometri UV-sinar tampak. 1.
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, sudah mengenal cara pengobatan penyakit secara tradisional sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan, dengan menggunakan tumbuhan atau tanaman tertentu. Obat tradisional ini biasanya digunakan secara langsung atau digunakan dalam keadaan segar, maupun dalam rebusan. Reundeu merupakan tanaman yang bersal dari daerah Sunda sering digunakan oleh masyarakat sebagai lalapan, yang dikonsumsi dalam keadaan segar, yang banyak ditemukan di pegunungan atau di daerah tropis. Reundeu sebagai obat tradisonal yang memiliki khasiat dan kegunaan sebagai peluruh kencing, serta memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan telaah pendahuluan fitokimia dan berhasil diidentifikasi adalah flavonoid, steroid/triterpenoid, saponin, dan diduga terdapat asam siringat. Dari suku yang sama yaitu acanthaceae telah berhasil diisolasi senyawa verbaskosid. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk meneliti senyawa turunan fenol dari reundeu (Staurogyne elongata (Blume) O.K) sehingga bisa memberikan informasi baru untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
2.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan meliputi penyiapan bahan, karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia, ekstraksi, fraksinasi, pemisahan, kemurnian serta karakterisasi senyawa hasil isolat. Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi; pemeriksaan makroskopik, penetapan kadar abu, penetapan kadar abu yang larut air, penetapan kadar abu yang tidak larut asam, penetapan unsur anorganik dalam abu total, penetapan susut pengeringan, penetapan kadar air dan penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan kandungan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon dan steroid/triterpenoid. Tahapan selanjutnya yaitu ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi pada suhu 40-50 0C. Hasil maserat tersebut akan dilakukan pemekatan ekstrak sampai hampir kering, kemudian dilakukan penyarian menggunakan Celite. Pemeriksaan dan identifikasi senyawa kimia dilakuakn pada fraksi etil asetat, dilakukan dengan metode kromatogrfi lapis tipis (KLT), kemudian dilakukan pemurnian dengan kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif, sedangkan karakterisasi dilakukan dengan spektrofotometri UV-sinar tampak. 3.
Hasil Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan meliputi penyiapan simplisia, karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia, ekstraksi, fraksinasi, pemisahan, uji kemurnian dan karakterisasi isolat. Pengolahan Bahan Pengolahan bahan meliputi pengumpulan bahan, determinasi, pengolahan bahan dan pembuatan serbuk. Determinasi Determinasi dilakukan untuk memastikan identitas dari tanaman yang akan digunakan, yang dilakukan di Herbarium Bandungense, Sekolah Tinggi Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung. Hasil determinasi menunjukkan bahwa bahan penelitian termasuk famili Acanthaceae, species Staurogyne elongata (Blume) O.Kuntze. Pengumpulan Bahan Tanaman yang akan digunakan yaitu reundeu (Staurogyne elongata (Blume) O.K) diperoleh dari daerah Gunung Halimun Kecamatan Pakenjeng. Kabupaten Garut.
Pembuatan Simplisia Tanaman yang diperoleh keadaan masih segar dibersihkan, kemudian dilakukan pencucian dengan air bersih yang mengalir, daun yang sudah bersih lalu dikeringkan dibawah sinar matahari, kemudian disortasi kering. Simplisia kering dihaluskan dengan menggunakan penggiling. Simplisia serbuk disimpan dalam wadah tertutup rapat dan kedap udara. Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi periksaan makroskopik, penetapan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, penetapan kadar abu larut air, penetapan kadar abu tidak larut asam dan penetapan susut pengeringan. Pemeriksaan Makroskopik Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia yang meliputi warna, ukuran dan bentuk. Penetapan Kadar Air Penetapan kadar air dilakukan dengan cara destilasi, dengan menggunakan sejumlah zat yang ditimbang, yang diperkirakan mengandung air 2-4 mL ke dalam labu kering dan masukan 200 mL toluena ke dalam labu kemudian didihkan sampai toluena mulai mendidih. Kemudian, lakukan penyulingan dengan kecepatan ± 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling dan naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah air dan toluena memisah sempurna, kemudian menghitung volume air dan kadar air dalam persen. Penetapan Kadar Abu Total Simplisia 2-3 gram zat yang telah digerus, kemudian dimasukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara. Dipijarkan perlahanlahan hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang. Jika arang tidak dapat dihilangkan maka ditambahkan air panas dan disaring dengan menggunakan kertas saring bebas abu. Dipijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, dan ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
Penetapan Kadar Abu Larut Air Kedalam labu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total, ditambahkan 25 mL air dan didihkan selama 5 menit. Bahan-bahan yang tidak larut dikumpulkan dengan menggunakan kertas saring bebas abu. Dicuci dengan air panas dan dipijarkan dalam cawan krus selama 15 menit dengan suhu tinggi tidak melebihi 4500C. Kadar abu yang larut dalam air dihitung dalam satuan mg terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu dididihkan dengan 25 mL HCl encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan dan disaring ke dalam kertas saring bebas abu, kemudian dicuci dengan air panas dan dipijarkan selama 15 menit. Dipijarkan pada suhu 4500C sampai bobot tetap, kemudian ditimbang. Konsentrasi abu tidak larut dalam asam dihitung. Penetapan Susut Pengeringan Sebanyak 2 gram simplisia ditimbang dalam bobot timbang dangkal bertutup yang telah dipanaskan pada suhu penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Simplisia diratakan dengan menggoyangkan botol hingga membentuk lapisan setebal 5 mm sampai 10 mm, kemudian dimasukkan ke dalam pengering dengan tutupnya terbuka, dan dikeringkan pada suhu penetapan sampai bobot tetap. Kadar dihitung terhadap bobot awal bahan yang telah dikeringkan. Penetapan Kadar Sari Larut Air Serbuk simplisia sebanyak 5 gram dimasukkan ke labu bersumbat lalu dimaserasi dengan 100 mL kloroform selama 24 jam. Labu dikocok beberapa kali selama 6 jam pertama, lalu didiamkan selama 18 jam berikutnya. Setelah 24 jam, campuran disaring. Lalu, filtrat dikeringkan dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisanya dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobotnya tetap. Kadar dihitung terhadap bobot yanng sudah dikeringkan. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol Serbuk simplisia sebanyak 5 gram dimasukkan ke labu bersumbat lalu dimaserasi dengan 100 mL etanol 95% selama 24 jam. Labu dikocok beberapa kali selama 6 jam pertama, lalu didiamkan selama 18 jam berikutnya. Setelah 24 jam, campuran disaring. Lalu filtrat sebanyak 25 mL dikeringkan dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Pengeringan dilakukan pada 105°C selama 6 jam, lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit, dan segera ditimbang.
Tabel 3.1 Hasil Karakterisik Simplisia Herba Reundeu (staurogyne elongatata O.Kuntze) No.
Jenis Penentuan
Hasil Uji (%b/b)
1
Kadar Air
10,00 *
2
Kadar Abu Total
14,80
3
Kadar Abu Larut Air
6,00
4
Kadar Abu Tidak Larut Asam
5,66
5
Kadar Sari Larut Air
19,00
6
Kadar Sari Larut Etanol
13,00
7
Susut Pengeringan
12,16
Keterangan * : % v/b Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, kuinon, dan steroid/triterpenoid. Alkaloid Sejumlah 2 gram serbuk simplisia dilembabkan dengan menambahkan 5 mL amonia 25% kemudian digerus dalam mortir. Tambahkan 25 mL kloroform kedalam campuran tersebut dan digerus kuat-kuat. Campuran tersebut dilewatkan melalui kertas saring. kemudian filtrat diteteskan diatas kertas saring dan ditambahkan pereaksi Dragendrof. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah atau jingga pada kertas saring. Filtrat tersebut kemudian diekstraksi kembali dengan menggunakan HCl 10% dan larutan airnya dipisahkan. Ditambahkan pereaksi Mayer pada larutan air sebanyak 5 mL, hasil positif ditunjukkan dengan adanya endapan putih. Ditambahkan pereaksi Dragendrof pada larutan air sebanyak 5 mL, hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna merah bata. Flavonoid
Sejumlah 1 gram serbuk simplisia ditambahkan dengan 100 mL air panas, dididihkan selama 15 menit. Kemudian disaring, sebanyak 5 mL filtrat ditambah dengan serbuk Mg dan 2 mL larutan alkohol-HCl (1:1), kemudian ditambahkan amil alkohol. Dikocok kuat-kuat dan dibiarkan memisah. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, jingga, atau kuning pada lapisan amil alkohol. Tanin Sejumlah 1 gram serbuk simplisia ditambahkan dengan 100 mL air panas, dididihkan selama 15 menit, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dimasukan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan larutan FeCl3 1%. Pada tabung reaksi yang lainnya, dimasukkan 5 mL filtrat ditambah dengan larutan gelatin. Hasil positif ditunjukkan dengan warna hijau violet pada penambahan FeCl3 1% dan endapan putih pada penambahan larutan gelatin. Saponin Sejumlah 1 gram serbuk simplisia ditambahkan 100 mL air panas dididihkan selama 15 menit, kemudian disaring. Sebanyak 10 mL filtrat dikocok vertikal dalam tabung reaksi selama 10 detik dan didiamkan selama 10 menit. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang stabil, meskipun ditambahkan asam klorida encer. Kuinon Sejumlah 1 gram serbuk simplisia ditambahkan 100 mL air panas dan dididihkan selama 15 menit, kemudian disaring. Filtrat diambil sebanyak 5 mL dan ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1N. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah. Bila terdapat tanin, sejumlah 2 gram serbuk simplisia di maserasi dalam 10 mL HCl 10% selama beberapa jam. Larutan disaring dan dibagi dua, untuk bagian pertama filtrat sebanyak 5 mL diekstraksi dengan benzena dan untuk bagian selanjutnya diekstraksi dengan campuran eter-kloroform (2:1). Kedua fase organik masing-masing dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat dan diuapkan sampai sepersepuluhnya. Kedua ekstrak tersebut dikocok dengan larutan NaOH 30%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna jingga, merah, atau violet pada fase air. Steroid/Triterpenoid Sejumlah 1 gram serbuk simplisia dimaserasi dengan 25 mL eter selama 2 jam, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat diuapkan menggunakan cawan
penguap di atas tangas air. Kemudian 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat ditambahkan ke dalam residu. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, hijau, biru, atau violet. Tabel 3.2 Hasil Uji Penapisan Fitokimia Herba Reundeu (staurogyne elongatata O.Kuntze) No.
Penapisan
Hasil Uji
1
Alkaloid
-
2
Flavonoid
+
3
Saponin
+
4
Tanin
+
5
Kuinon
-
6
Steroid/terpenoid
+
7
Fenol
+
Keterangan : (+) (-)
= terdeteksi = tidak terdeteksi
Ekstraksi Serbuk kering Staurogyne elongata (Blume) O.K dimaserasi dengan etanol pada suhu 40-50 0C (digesti), kemudian dilakukan penyarian dengan celite, didapat maserat. Dari hasil maserat tersebut dilakukan pemekatan ekstrak sampai hampir kering, dengan menggunakan rotary evaporator. Fraksinasi Pemisahan atau fraksinasi dilakukan dengan mencampur metanol-aseton (1:1) dan diadsorbsi pada silika gel lalu didehidrasi dalam hampa udara, yang selanjutnya dilakukan pencucian dengan CHCl3-metanol (9:1), proses tersebut
akan menghasilkan filtrat pencuci dan silika gel tertinggal. Filtrat pencuci lalu dibuang, sedangkan untuk silika gel dielusi dengan etanol 95% lalu dilakukan penguapan eluat sampai kering, dan selanjutnya dilarutkan dalam air panas yang ditambahkan metabilsulfit. Kemudian dilakukan ekstraksi dengan etilasetat yang mengandung metanol 3 %. didapat fraksi etilasetat dan fraksi air (tidak digunakan). Untuk fraksi etilasetat pelarutnya diuapkan dengan penguap vakum putar, sehingga dihasilkan fraksi yang kental. Fraksi etilasetat diperiksa dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dengan menggunakan pelat silika gel GF254. Pemurnian Fraksi etil asetat dilanjutkan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif. Fraksi etil asetat ditotolkan pada lempeng KLT sebagai pita dengan lebar 10 mm dan dikembangkan dengan N-butanol – asam asetat – air (4 : 1 : 5 ) Karakterisasi Isolat Isolat dikarakterisasi dengan menggunakan spektrofotometri ultraviolet sinar tampak. PEMERIKSAAN KROMATOGRAFI
BA
Rf 0,5
TP
Gambar 3.1 kromatografi lapis tipis pemeriksaan fraksi etil asetat Keterangan: TP BA Fase diam Fase gerak
= tempat penotolan = batas atas pengembang = Silika gel GF254 = N-butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5 ) Penampak bercak = H2SO4 10% dalam metanol, pada sinar UV 366 nm. (LANJUTAN)
BA
P
TP Gambar 3.2. Kromatografi lapis tipis preparatif fraksi etil asetat Keterangan: TP BA Fase diam Fase gerak
= tempat penotolan = batas atas pengembang = Silika gel GF254 = N-butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5 ) pada sinar UV 366 nm
KARAKTERISASI ISOLAT
Gambar 3.3. Spektrum ultraviolet-tampak isolat (LANJUTAN)
BA
Rf 0,32
TP
Gambar 3.5 kromatografi pemeriksaan isolat diduga fenol Keterangan :
(a) sebelum ditambah (b) sesudah ditambah TP BA Fase diam Fase gerak Penampak bercak
4.
Pembahasan
= penampak bercak FeCl3 1% = penmapak bercak FeCl3 1% = tempat penotolan ekstrak = batas atas pengembang. = silika gel GF254 = N-butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5 ) pada sinar UV 366 nm = FeCl3 1%
Pada peneplitian ini digunakan herba reundeu (Staurogyne elongata (Blume) O.K yang diperoleh dari daerah Gunung Halimun Kecamatan Pakenjeng. Kabupaten Garut. Kemudian bahan diolah menjadi serbuk. Determinasi tumbuhan dilakukan untuk mengetahui identitas dari tumbuhan yang diperiksa. Hasil determinasi menunjukan bahwa tumbuhan yang diperiksa adalah (Staurogyne elongata (Blume) O.K. dari suku Acanthaceae. Penyiapan bahan dimulai dari pengumpulan herba, sortasi basah, pencucian, pengeringan, sortasi kering, pembuatan serbuk dan penyipan simplisia. Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan herba yang digunakan harus baik dan tidak rusak karena serangga. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada herba. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air sehingga simplisia tidak mudah rusak oleh mikroorganisme. Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan kotoran yang masih menempel pada simplisia dan memisahkan dari herba yang busuk. Pembuatan serbuk simplisia dilakukan untuk memperbesar luas permukaan sehingga memungkinkan senyawa yang terkandung dalam bahan lebih banyak yang tertarik. Penyimpanan simplisia dilakukan untuk memperpanjang masa simpan simplisia. Pada pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia herba reundeu (Staurogyne elongata (Blume) O.K diperoleh kadar air 10%, sesuai dengan persyaratan pada Farmakope IV yaitu kadar air maksimum 10%. Kadar abu total 14,8%, kadar abu tidak larut asam 5,66% tidak sesuai dengan persyaratan yaitu kurang dari 2%, kemungkinan masih ada pengotor, seperti debu dan pasir. Kadar abu larut air 6%, kadar sari larut air 19%, kadar sari larut etanol 13% dan susut pengeringan 12,16% . Penapisan fitokimia untuk herba reundeu yang telah dilakukan menunjukan adanya flavonoid, saponin, steroid/triterpenoid, tanin dan fenol. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi pada suhu 40-50 0C (digesti) dengan menggunakan pelarut etanol, karena etanol dapat menarik senyawa polar maupun nonpolar. Hasil dari maserasi selanjutnya disaring menggunakan celite, lalu dipekatkan dan didapat ekstrak kental sebanyak 68,71 gram, jadi rendemen yang diperoleh sebesar 6,872% dari bobot simplisia kering. Pemisahan dilakukan dengan mencampur metanol-aseton (1:1) dan diadsorbsi pada silika gel lalu didehidrasi dalam hampa udara, yang selanjutnya dilakukan pencucian dengan CHCl3-metanol (9:1), proses tersebut akan menghasilkan filtrat pencuci dan silika gel tertinggal. Filtrat pencuci lalu dibuang, sedangkan untuk silika gel dielusi dengan etanol 95% dilakukan penguapan eluat sampai kering, dan selanjutnya dilarutkan dalam air panas yang ditambahkan metabilsulfit. Kemudian dilakukan ekstraksi dengan etilasetat yang mengandung metanol 3 %, didapat fraksi etilasetat dan fraksi air (tidak digunakan). Untuk
fraksi etilasetat pelarutnya diuapkan dengan penguap vakum putar, sehingga dihasilkan fraksi yang kental. Fraksi etilasetat diperiksa dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dengan menggunakan pelat silika gel GF254, dengan menggunakan pengembang N-butanol – asam asetat – air (4 : 1 : 5 ) pada sinar UV 366 nm dengan penapak bercak H2SO4 10% dalam metanol. Hasil dari KLT menunjukan noda dengan Rf 0,5 yang berwarna biru. Selanjutnya dilakukan pemisahan dengan KLT preparatif menggunakan pengembang yang sama yaitu N-butanol – asam asetat – air (4 : 1 : 5 ) pada sinar UV 366 nm. Dari hasil KLT preparatif menunjukan adanya noda berwarna biru, kemudian noda tersebut diambil (dikerok) dan dilarutkan dalam metanol. Kemudian dilakukan pengujian karakterisasi isolat dengan menggunakan spektrofotometri ultaraviolet. Hasil dari spektrofotometri dihasilkan puncak pada panjang gelombang 260 nm, dan 300 nm. Isolat dikarakterisasi kembali dengan KLT menggunakan pengembang N-butanol : asam asetat : air 4:1:5, dengan penampak bercak FeCl3 1%. untuk meyakinkan bahwa isolat yang diteliti adalah turunan fenol . Hasil isolat tersebut memiliki Rf 0,32 dan berwarna biru, sehingga diduga senyawa turunan fenol. 5.
Kesimpulan
Dari hasil penapisan fitokimia herba reundeu (Staurogyne elongata (Blume) O.K mengandung senyawa flavonoid, saponin, steroid/triterpenoid, tanin, dan fenol. Dari fraksi etil asetat telah berhasil diisolasi senyawa yang diduga merupakan senyawa turunan fenol. 6.
Daftar Pustaka
Lusia, Oktora, 2006, “Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaatan dan Keamananya”, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.III No. I April 2006, 1-7. Redaksi Agromenia, 2002, “Buku Pintar Tanaman Obat, 431 Jenis Tanaman Penggempur Aneka Penyakit”, PT Agromedia Pustaka, Jakarta, 127. Seno Sastroamidjojo, 1997, “Obat Asli Indonesia”, Dian Rakyat, Jakarta, 134. Ridwan Setiawan, 2009, “Telaah Pendahuluan Fitokimia Herba Reundeu (Staurogyne elongate (Blume) O.Kuntze.)”, Tugas Akhir Sarjana Farmasi FMIPA UNIGA Jurusan Farmasi, Garut, 25-27.
Soediro,I., Pellecuer,J., et.all, 1983, “Pemeriksaan Senyawa Turunan Asam Kafeat Verbaskosid”, Karangan Ilmiah, Vol. VIII No. 1 Maret 1983. Hesti Amalia, 2012, “Telaah Senyawa Antioksidan Herba Reundeu (Staurogyne elongate (Blume) O.Kuntze.)”, Tugas Akhir Sarjana Farmasi FMIPA UNIGA Jurusan Farmasi, Garut, 29-32. Backer, C.A., Bakhuizen Van den Brink, et.all, 1965, “Flora Of Java” Volume II. N. V, Noordhoff-Groningen, The Netherlands, 533. Heyne,K., 1987, “Tumbuhan Berguna Indonesia”, Jilid III, Litbang Kehutanan, Jakarta, 1752. Harborne, J.B., 1987, “Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan”, Diterjemahkan oleh K.Padmawinata dan Iwang Soediro, Penerbit ITB, Bandung, 6-9, 47. Markham, K.R, 1998, “Cara Mengidentifikasi Flavonoid” Diterjemahan oleh K. Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1- 3. Ditjen POM, 1995, “Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat”, Cetakan I, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 1-18. Ditjen POM, Depkes RI, 1989, “Materia Medika Indonesia”, jilid V, Departemen Kesehatan RI, jakarta, 536-540. Fransworth, N.R, 1966, “Biological and Phitochemical Screening Of Plants”, J.Pharm.Sci, 255-265. Tokar,M., Klimek,B., 2004, “Isolation and Identification of Biologically Active Compounds from Forstythia Viridisima Flowers”, Acta poloniae pharmaceutica, Drug research, Vol. 61 No.3pp, 191-197.
ANALISIS KADAR KURKUMIN PADA JENIS TEMU-TEMUAN ASLI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS Ardi Rustamsyah Abstrak Telah dilakukan analisis kadar kurkumin pada jenis temu-temuan asli Indonesia dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Metode menggunakan dua sistem ekstraksi yaitu maserasi dan perebusan selama 15 menit dan 30 menit. Kurva kalibrasi dibuat untuk menentukan panjang gelombang maksimum. Hasil penelitian, didapat panjang gelombang 425 nm pada kurva kalibrasi. Hasil kurva baku didapat koefisien korelasi (r) = 0,995 dengan y = 0,278x + 0,062. Hasil pengukuran kadar sampel, dengan teknik maserasi didapat kadar kurkumin pada kunyit sebesar 1,6%, temulawak 1,5% dan temu putih 1,1%. Dengan teknik perebusan 15 menit, didapat kadar kurkumin pada kunyit 1,98% dalam konsentrasi 0,5 mg/ml, temulawak 1,3% dalam konsentrasi 1,13 mg/ml, dan temu putih 1,03% dalam konsentrasi 5mg/ml. Pada perebusan 30 menit kurkumin pada kunyit sebesar 0,6% dalam konsentrasi 0,5mg/ml, temulawak 0,57% dalam konsentrasi 5mg/ml, dan temu putih 1,54% dalam konsentrasi 10 mg/ml. Hasil kurkumin terbanyak didapat dari kunyit (Curcuma Domestica Val.) dan lama perebusan terhadap temu-temuan akan mengurangi kandungan kurkumin. Kata kunci : kunyit (Curcuma Domestica Val.), Kurkumin 7.
Pendahuluan
Kurkumin (1,7-bis (4-hidroksi-3-metoksifenol)-1,6 heptadiena-3,5-dion) merupakan suatu metabolit sekunder dari tanaman temu-temuan dari keluarga Zingiberaceae. Kurkumin merupakan suatu komponen aktif penyusun dari senyawa kurkuminoid bersama desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Secara struktur, kurkumin memiliki dua tautomer yaitu keto dan enol dimana dalam bentuk enol kurkumin sangat aktif dan dapat berikatan kuat dengan banyak reseptor. Kurkumin pertama kali diisolasi dari kunyit pada tahun 1815, dan struktur itu digambarkan pada tahun 1910 sebagai diferuloylmetana. Diperkirakan kurkumin mengandung sekitar 77% diferuloymetana, 18% demetoksikurkumin, dan 5% bisdemetoksikurkumin. Kurkumin bersifat hidrofobik di alam tetapi cukup stabil dalam pH asam lambung dan sering larut dalam dimetilsulfoksida, aseton, etanol, dan minyak.
Kurkumin telah digunakan untuk banyak penyakit karena spektrum yang luas secara farmakologi. Kurkumin telah terbukti menunjukkan antioksidan, antiinflamasi, antimikroba, dan antikanker. Kurkumin juga memiliki aktivitas hepatoprotektif dan nefroprotektif kegiatan, menekan trombosis, melindungi terhadap infark miokard, dan memiliki hipoglikemik dan sifat antirematik. Kurkumin menunjukkan tingkat keamanan yang tinggi pada hewan dan manusia bahkan pada dosis yang tinggi. Temu-temuan merupakan sumber utama untuk mendapatkan senyawa kurkumin seperti kunyit, temulawak, temu ireng, temu putih, dan spesies Curcuma sp. lainnya. Warna kuning pada temu-temuan tersebut merupakan akibat dari aktivitas kurkumin. Bahkan, berbagai literatur menganggap bahwa kurkumin yang memberikan aktivitas farmakologi pada tanaman temu-temuan tersebut. Diperkirakan 2-5% senyawa penyusun dari rimpang temu-temuan adalah kurkumin. Spektroskopi, kromatografi dan elektroforesis merupakan instrumen yang secara umum dipergunakan untuk mengukur kadar kurkumin. Secara spektroskopi, spektrofotometri UV-VIS merupakan salah satu instrumen yang dipergunakan dalam mengukur kadar kurkumin. Kurkumin dapat dianalisis pada rentang panjang gelombang 420-430nm karena memiliki gugus kromofor. Dyah Lasna dkk. (2013) mengukur kadar kurkumin pada panjang gelombang 427nm dengan menggunakan pelarut aseton. Panjang gelombang maksimum didapat dengan mengukur serapan larutan kurkumin dengan konsentrasi 1 ppm pada rentang 400 nm-500 nm. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan instrumen yang paling sering digunakan. Dalam berbagai kasus, KCKT yang dipergunakan untuk menganalisis kurkumin dengan detektor UV-VIS atau Photo Diode Array (PDA) pada kisaran panjang gelombang 254 nm – 450 nm. Capilarry Electroforesis (CE) adalah pemisahan yang kuat berarti, yang telah dengan cepat dikembangkan dan sebagian besar telah diterapkan untuk analisis obat-obatan, dan komponen bioaktif tanaman. Beberapa faktor, yaitu persiapan sampel, kapasitas pemisahan, dan tingkat deteksi harus diperhitungkan ketika digunakan untuk analisis kurkumin. Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu dari jenis temu-temuan manakah kadar kurkumin dapat diperoleh secara maksimal dan bagaimanakah pengaruh pemanasan terhadap kadar kurkumin. Batasan masalah dari penelitian ini yaitu pengukuran kadar dilakukan dengan instrumen spektroskopi UV-VIS. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kadar kurkumin terbanyak sehingga dapat menjadi acuan untuk penelitian
selanjutnya serta dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengolahan temu-temuan untuk mendapat kadar kurkumin secara maksimal.
8.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, sampel temu-temuan diperoleh di BALITRO PERKEBUNAN MANOKO, lembang, Bandung. Sampel dikumpulkan dan kemudian dilakukan pengolahan menjadi serbuk simplisia. Dalam sistem ekstraksi, dipergunakan pelarut etanol dan air dengan teknik ekstraksi maserasi dan perebusan selama 15 menit dan 30 menit. Untuk mengukur kadar kurkumin, dibuat kurva kalibrasi untuk menentukan panjang gelombang maksimum yang akan digunakan untuk pengukuran kadar kurkumin dalam sampel dengan spektrofotometri UV-VIS. Kurva kalibrasi menggunakan standar kurkumin (Aldrich 94%) dengan konsentrasi yang digunakan 1 ppm. Kemudian dibuat kurva baku dengan rentang konsentrasi 1 ppm, 1,5 ppm, 2 ppm, 2,5 ppm, dan 3 ppm. Pengukuran kurkumin dalam sampel dilakukan dengan menggunakan panjang gelombang maksimum yang didapat pada kurva kalibrasi. Kadar sampel dihitung berdasarkan persamaan linieritas hasil pengukuran larutan baku. 9.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada penelitian ini, penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan mengukur serapan kurkumin standar dengan konsentrasi 1 ppm pada rentang panjang gelombang 420-430 nm. Dalam analisis spektrofotometri, pengukuran harus dilakukan dalam panjang gelombang maksimal, yaitu panjang gelombang yang memberikan serapan optimum. Hasil penentuan panjang gelombang maksimum dapat dilihat pada Tabel 5.1 dan grafik dapat dilihat pada gambar 5.1 dibawah ini. Tabel 3.1 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Konsentrasi (ppm)
Panjang gelombang (nm)
Serapan
1 1 1 1 1 1
420 421 422 423 424 425
0,353 0,364 0,373 0,379 0,383 0,389
Serapan
1 1 1 1 1
426 427 428 429 430
0,379 0,368 0,345 0,329 0,311
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
420 421 422 423 424 425 426 415
420
425
430
Panjang gelombang (nm)
435
427 428
Gambar 3.1 Grafik hasil penentuan panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimal yang diperoleh adalah 425 nm karena pada puncak kurva tersebut membentuk serapan yang maksimal. Menurut Rohman (2011), kurkumin dapat dideteksi pada kisaran panjang gelombang 420-430 nm dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Hasil kurva kalibrasi yang didapat mendukung teori diatas. (7) Dalam mengukur kadar kurkumin dalam sampel, diperlukan suatu persamaan yang diperoleh dengan membuat kurva baku dengan mengukur serapan kurkumin standar dengan berbagai konsentrasi. Standar kurkumin yang dibuat dengan konsentrasi 1 ppm, 1,5 ppm, 2 ppm, 2,5 ppm, dan 3 ppm diperiksa serapannya pada panjang gelombang 425 nm. Hasil penelitian didapat persamaan y= 0,278x + 0,062 dengan koefisien korelasi persamaan r= 0,995. Hasil pengukuran serapan kurkumin standar
Tabel 3.2 Hasil Pengukuran Serapan Kurkumin Standar 1 ppm, 1,5 ppm, 2 ppm, 2,5 ppm, dan 3 ppm. Panjang gelombang (nm) 425 425 425 425 425
Konsentrasi (ppm) 1 1,5 2 2,5 3
Serapan 0,383 0,497 0,572 0,667 0,889
1
y = 0.278x + 0.062 R² = 0.995
Serapan
0.8 0.6 0.4
Series1
0.2
Linear (Series1)
0 0
1
2
3
4
Konsentrasi
Gambar 3.2 Grafik pengukuran serapan kurkumin standar 1 ppm, 1,5 ppm, 2 ppm, 2,5 ppm, dan 3 ppm. Kadar sampel (x) dapat diperoleh dengan memplotkan hasil absorbansi sampel (y) ke dalam persamaan kurva baku y= 0,278x + 0,062. Sehingga dapat diperoleh kadar kurkumin dalam sampel. Perhitungan tersebut dilakukan sebanyak 3 kali pada masing-masing sampel, kemudian dari hasil tersebut dibuat rata-rata sehingga didapat kadar rata-rata setiap sampel. Hasil pengukuran kadar kurkumin ekstrak sampel dengan pelarut etanol dapat dilihat pada tabel 5.3, sementara hasil pengukuran kadar ekstrak dengan pelarut air dengan waktu perebusan 15 dan 30 menit dapat dilihat masing-masing pada tabel 5.4 dan 5.5. Tabel 5.3 Hasil Pengukuran Kadar Kurkumin pada Sampel Ekstrak Etanol
Tabel 3.3 Hasil Pengukuran Kadar Kurkumin pada Sampel Ekstrak Air Waktu Perebusan 15 Menit Sampel
Konsentrasi (mg/mL)
Absorban
Kunyit Temulawak Temu Putih
0,5 0,5 5
0,612 0,377 0,349
(mg) 1,98 1,13 1,03
Kadar Persentase 1,98% 1,13% 1,03%
Tabel 3.4 Hasil Pengukuran Kadar Kurkumin pada Sampel Ekstrak Air Waktu Perebusan 30 Menit Sampel
Konsentrasi (mg/mL)
Absorban
Kunyit Temulawak Temu Putih
0,1 0,1 0,1
0,517 0,481 0,343
(mg) 1,63 1,50 1,01
Kadar Persentase 1,6% 1,5% 1,1%
Berdasarkan data diatas, dengan menggunakan pelarut etanol kadar kurkumin yang paling banyak terdapat pada rimpang kunyit dengan persentase terbesar yaitu 1,6% per 0,1 mg/mL ekstrak etanol kurkumin. Data diatas sesuai dengan keterangan bahwa kurkumin merupakan senyawa metabolit sekunder terbesar atau menjadi senyawa utama dalam kunyit. Pada ekstrak dengan pelarut air, perebusan 15 menit menghasilkan senyawa kurkumin yang besar dibandingkan dengan perebusan selama 30 menit walau lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan pelarut etanol. Kurkumin merupakan senyawa yang tidak tahan panas . Perebusan yang terlalu lama akan mengurangi kandungan kurkumin pada temu-temuan. Sebelumnya, Wahyuni dkk. (2004) dengan menggunakan refluks pada sistem ekstraksi, mendapatkan hasil serupa yaitu semakin lama waktu ekstraksi kurkumin dengan menggunakan ekstraksi refluk, kandungan kurkumin pada temulawak semakin berkurang. (24) Linieritas adalah suatu koefisien korelasi antara konsentrasi larutan standar dengan serapan yang dihasilkan yang merupakan garis lurus. Metode analisis yang menggambarkan kemampuan suatu alat untuk memperoleh hasil pengujian yang sebanding dengan kadar analitik alat dalam sam-pel uji pada rentang konsentrasi tertentu. Dari hasil pengujian diperoleh persamaan regresi y= 0,278x + 0,062 dengan koefisien korelasi (r)=0,995. Koefisien korelasi ini
memberikan hasil yang linier karena memenuhi kriteria peneri-maan yaitu ≥ 0,98, sehingga penggunaan metode tersebut dapat digunakan untuk mengukur kadar kurkumin dengan hasil yang baik. Batas deteksi adalah konsentrasi analit terendah dalam contoh yang dapat dideteksi. Sedangkan batas kuantitasi adalah konsentrasi terendah dalam contoh yang dapat diukur secara kuantitatif dengan akurasi dan presisi yang dapat di-terima. Batas deteksi yang diperoleh adalah 0,9543 ppm dan batas kuantifikasi yang diperoleh = 3,1264 ppm. 10. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa : Kunyit (Curcuma Domestica Val.) merupakan jenis temu-temuan yang menghasilkan kadar kurkumin paling banyak baik dengan ekstrak etanol maupun ekstrak air. Suhu pemanasan mempengaruhi kadar kurkumin pada sampel, semakin lama suhu pemanasan, semakin sedikit kurkumin yang dihasilkan 11. Daftar Pustaka Grynkiewicz, G., and P. Ślifirski, 2012, Curcumin and Curcuminoids in Quest for Medicinal Status, Acta Biochemica Polonia, Vol 59, No 2, 201. Aggarwal, B. B., Sundaram, C., Nikita M., Ichikawa, H., 2006, Curcumin: The Indian Solid Gold, Cytokine Research Laboratory Department of Experimental Therapeutics University of Texas M.D, Houston, 1. Jurenka S. Julie, 2009, Anti-inflammatory Properties of Curcumin, a Major Constituent of Curcuma longa: A Review of Preclinical and Clinical Research, Alternative Medicine Review, Vol 14, 19. Kapakos, G. Victoria, Y. And A. K. Srivastava, 2012, Cardiovascular Protection by Curcumin : Molecular Aspect, Indian Journal of Biochemistry and Biophysic, Vol 49, 310. Sharma, R. A., Gescher, A. J., & Steeward, W. P., 2005, Curcumin: The Story So Far, European Journal Of Cancer, Vol 41, 5-13. Preetha, A. dkk., 2008, Biological activities of curcumin and its analogues (Congeners) made by man and Mother Nature, Science direct, biochemical
pharmacology 76, 1601-1602. Rohman, A. 2012, Mini Review Analysis of curcuminoids in food and pharmaceutical products, International Food Research Journal 19, vol 1, 19-27, 20. Dyah, L. N. S. Cahyono, B. dan A. C. Kumoro, 2013, Pengaruh Jenis Pelarut Pada Ekstraksi Kurkuminoid Dari Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb), Chem Info, Vol 1, No 1, Hal 101 – 107. Aggarwal, B.B., Indra, D. B., H. Ichikawa, K.S. Ahn, G. Sethi, Santosh,K. S.,C. Sundaram, Navindra S., & S.Shishodia, 2006, Curcumin-Biological And Medicinal Properties, 7034_Book Fm, 299 Glen, R.B.I., Kharmokar, A., & William, S. Stewart, 2011, Curcumin: The potential for efficacy in gastrointestinal diseases, Best Practice & Research Clinical Gastroenterology, Vol 25, 521-522. Stancovic, I., 2004, CURCUMIN - Chemical and Technical Assessment (CTA), Chemical and Technical Assessment 61st JECFA, 9-10. Bambang, S., Rosidah, I., Rismana, E., dkk., 2004, Pengaruh Waktu, Suhu dan Perbandingan Bahan Baku-Pelarut Pada Ekstraksi Kurkumin Dari Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Dengan Pelarut Aseton. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia Dan Proses, ISSN 1411 – 4216, 1-3. Harini, B. W., Dwiastuti, R., Wijayanti, L. W., 2012, Aplikasi Metode Spektrofotometri Visibel Untuk Mengukur Kadar Curcuminoid Pada Rimpang Kunyit (Curcuma Domestica), Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi Periode III, Yogyakarta, ISSN: 1979-9110, 1. Ashrafl, K. Mujeeb, M. Ahmad, A. Amir, M. Nassar, M, & Sharma, D. 2012, Validated HPTLC Analysis Method For Quantification Of Variability In Content Of Curcumin In Curcuma Longa L (Turmeric) Collected From Different Geographical Region Of India, Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 584-588. Direktorat Jenderal Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989, Vademekum Bahan Obat Alam, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 176, 295. Direktorat Jenderal Departemen Kesehatan, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, ed. III, Departemen Kesehatan RI, 150-154, 162-166 dan 175.
Ogata, Y., 1995. Medika Herb Index In Indonesia, Edisi II, PT. Essai Indonesia, Jakarta, 132-133. Anonim, 2009, Turmeric (Curcuma), Natural Medicines, West March Lane, California, 1-6. Tanaka, K., Kuba,Y., Sasaki, et all., 2008, Quantitation Of Curcuminoids In Curcuma Rhizome By Near-Infrared Spectroscopic Analysis, Journal of Agricultural and Food Chemistry, Vol 56, 8790–8792. Zhang, J.S. Guan, J. Yang, F.Q., et all., 2008, Qualitative And Quantitative Analysis Of Four Species Of Curcuma Rhizomes Using Twice Development Thin Layer Chromatography, Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, Vol 48, 1025–1028. Ryan, R., Donegan, S., Power, J. and Altria, K., 2010, Review: Advances In The Theory And Application Of MEEKC. Electrophoresis 2010, Vol 31, 755–767. Sun, X., Gao, C., Cao, W., et all., 2002. Capillary Electrophoresis With Amperometric Detection Of Curcumin In Chinese Herbal Medicine Pretreated By Solid-Phase Extraction. Journal of Chromatography A, 123. Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol 1 , 7-30.
dan
Cara
Wahyuni, Hardjono, A., Paskalina, H.Y., 2004, Ekstraksi Kurkumin Dari Kunyit, Jurusan Teknik Kimia, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, ISSN : 1411 – 4216, 1-7.