Jurnal Teknologi
Daftar Isi
ISSN 1412-3819 Pengantar Redaksi Riset & Teknologi
Isolasi Senyawa Lakton dari Fraksi Metanol Jamur Tanduk (Termitomyces eurhizus Berk) (Bambang Mursito, L. Broto Kardono, dan Partomuan Simanjuntak) Pemanfaatan Abu Kelopak Batang Pisang Sebagai Sumber Alkali Dalam Ekstraksi Karaginan Dari Rumput Laut (HR. Fajar dan Abdul Azis) Evaluasi Laju Sedimentasi Pada Kolom Sedimentasi Sistem Batch Dengan Penambahan Flokulan (Mustafa) Alternatif Lokasi Re-settlement Kawasan Permukiman Tanjung Dan Bantaran Sungai Tenggarong Jl. DI. Panjaitan Kota Tenggarong - Kutai Kertanegara (Afif Bizrie Mardhanie)
1 - 3
4 - 7
8 - 12
13 - 18
Kajian Analisis Kekuatan Tekan Karakteristik Beton Berdasarkan Data Hasil Pelaksanaan Lapangan (Tumingan)
19 - 22
Aplikasi Filtrasi Anaerobik Aliran Upflow Dalam Menurunkan Kadar BOD Dan COD Limbah Cair Tapioka (Hery Setyobudiarso)
23 - 27
Karakteristik Proses Penyekrapan Datar Dengan Pemotongan Ortogonal Terhadap Bentuk Geram Menggunakan Pahat HSS Pada Bahan Baja ST 42 (Anang Subardi)
28 - 34
Efisiensi Anggaran Biaya Perkerasan Lentur Dengan Mengganti Pondasi Agregat Dengan Sirtu (Ibayasid)
35 - 39
Proses Perengkahan Katalitik Asam Oleat Basis Minyak Sawit Untuk Menghasilkan Bahan Bakar Kerosine (Irmawati Syahrir)
43 - 48
Pendekatan Konsep Lean Thinking Dan FMEA Untuk Menganalisis Order Fulfillment Process (Merpatih)
49 - 55
Regenerasi Minyak Jelantah (Waste Cooking Oil) Dengan Penambahan Sari Mengkudu) (Muh. Irwan, Ramli Tahir, Binti Syafiatu Kubro)
MEDIA PERSPEKTIFVOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
56 - 59
DAFTAR ISI
Jurnal Teknologi Jurnal Teknologi
PENGANTAR REDAKSI
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya Jurnal Media Perspektif Politeknik Negeri Samarinda Volume 10 nomor 1, Juni 2010 dapat diterbitkan. Media Perspektif Polnes memuat hasil-hasil penelitian bidang Teknologi dan karya ilmiah non penelitian yang bermutu. Media Perspektif diterbitkan dua kali dalam satu tahun, yaitu setiap bulan Juni dan bulan Desember. Penerbitan Jurnal Media Perspektif edisi kali ini, menampilkan beragam artikel penelitian dibidang teknologi. Redaksi Media Perspektif mengharapkan peran serta para ilmuwan dan peneliti untuk memberikan kontribusi yang lebih banyak demi keberlangsungan media ini secara khusus dan sumbangsih terhadap perkembangan sains dan teknologi pada umumnya. Terima kasih dan selamat kepada para penulis yang tulisannya diterbitkan pada edisi ini. Redaksi berharap agar Media ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca terutama civitas akademika, kalangan industri dan pemerintah. Sekali lagi kami mohon sumbang saran para pembaca, sebab partisipasi pembaca tentu akan lebih menyempurnakan terbitan berikutnya.
Wassalamu’ alaikum Wr. Wb.
REDAKSI
PENGANTAR REDAKSI
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
ISOLASI SENYAWA LAKTON DARI FRAKSI METANOL JAMUR TANDUK (Termitomyces eurrhizus Berk) Bambang Mursito1, L.Broto Kardono2 dan Partomuan Simanjuntak1,3 1
Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila ; 2Pusat Penelitian Kimia-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); 3Pusat Penelitian Bioteknologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
[email protected] Abstrak Isolasi dan identifikasi senyawa lakton dari fraksi Metanol Jamur Tanduk, Termitomyces eurirrhizus Berk, yang diambil dari kawasan Sumedang telah dilaksanakan. Teknik Isolasi Jamur Tanduk di ekstrak menggunakan pelarut petroleun eter, dilanjutkan dengan evaporasi, partisi menggunakan n-heksana dan methanol. Fase methanol mengalami proses kristalisasi menghasilkan serbuk berwarna putih. Senyawa hasil isolasi di identifikasi menggunakan infra red (IR), nuclear magnetic resonance one dimension (1H-NMR, 13C-NMR and DEPT) dua dimensi (COSY, HMQC and HMBC). Kata kunci : jamur tanduk, senyawa lakton, Termitomyces eurrhizus Berk
PENDAHULUAN Jam ur merupakan tumbuhan yang mempunyai sel berspora tetapi tidak berklorofil yang tumbuh di antara jasad hidup dan atau mati, dengan mempunyai sifat kehidupan sebagai heterotrop, saprofit, mutualistik maupun parasit. Beberapa jamur aman untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bernilai ekonomi tinggi dan jenis jamur ini dikenal sebagai jamur edibel. Jamur edibel yang sudah luas dibudidayakan meliputi Auricularia sp., Flammulina velutipes, Ganoderma lucidum, Grifola frondosa, Hericium erinaceus, Hypsizygus marmoreus, Lentinula edodes, Morchella esculenta, Pleurotus sp., Pholiota nameko, Tremella fuciformis dan Volvariella sp. Beberapa jamur tersebut telah digunakan sebagai bahan untuk peningkatan kesehatan, semenjak itu jamur tersebut telah diketahui kandungan kimia yang mempunyai efek farmakologi (Wasser, 2002). Salah satu keunggulan jamur bila dibanding dengan tanaman lain adalah kemampuannya dalam mengubah selulosa ataupun lignin menjadi polisakarida dan protein yang bebas kolesterol. Dengan kemampuan tersebut maka kandungan protein nabati dalam jamur hampir sebanding atau lebih besar dibanding protein tanaman berklorofil dan memiliki kandungan lemak maupun kalori yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan daging, sehingga cocok dikonsumsi bagi mereka yang menjalankan diet. Disamping itu, mengkonsumsi jamur tertentu secara rutin dapat menghindari peningkatan kadar kolesterol dalam darah sehingga dapat mengurangi serangan darah tinggi. Mengingat hal tersebut, sebagian masyarakat telah terbiasa mengkonsumsi berbagai jenis jamur edibel sebagai variasi menu makanan sehari-hari (Tahir, 2002). Jumlah jamur di daratan diperkirakan mencapai 140.000 dan sekitar 10% dari jamur tersebut sudah teridentifikasi. Namun dari jumlah jamur tersebut, belum banyak yang dapat diungkapkan kandungan senyawa yang mempunyai aktivitas farmakologinya (Lindequist, et.al., 2005). Komponen senyawa kimia dalam jamur yang mempunyai aktivitas farmakologi dapat berupa polisakarida dan kelompok senyawa lain yang meliputi serat, lektin, triterpenoid, glikolipid serta senyawasenyawa yang tersusun melalui jalur shikimat. Senyawa-senyawa tersebut dikenal sebagai “biological response modifiers (BRM)” yaitu bahanbahan yang dapat menstimulasi respon tubuh terhadap infeksi maupun terhadap ketidaknormalan proses metabolisme (Wasser dan Weis, 1999; Mizuno, 1999). Pemanfaatan kekayaan flora di Indonesia terutama kelompok jamur masih terbatas pada budidaya untuk
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 1
mencukupi kebutuhan jamur sebagai bahan pangan, sedangkan pemanfaatan di bidang medis dan pengobatan masih jarang. Padahal pada beberapa spesies jamur telah ditemukan beberapa senyawa kimia yang berpotensi, mulai dari senyawa antibiotik hingga senyawa yang dapat menurunkan kadar kolesterol. Sehingga untuk menggali k andungan senyawa kimia dalam jamur tanduk (Termitomyces eurirrhizus Berk) asal Sumedang (Jawa Barat) telah berhasil diisolasi suatu senyawa tipe lakton dari fraksi metanol.
metanol ditambahkan air dengan cara triturasi, disaring sehingga diperoleh serbuk berwarna putih sebanyak 5,3 mg. Prosedur kerja untuk isolasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 1. Jamur tanduk (Termitomyces eurrhizus Berk) yang digunakan dalam penelitian
Gambar 2. Skema kerja isolasi senyawa lakton dari Jamur tanduk HASIL DAN PEMBAHASAN
METODOLOGI PENELITIAN Bahan. Bahan penelitian yang digunakan adalah jamur tanduk (Termitomyces eurirrhizus Berk) asal Sumedang yang telah diidentifikasi di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Bahan kimia adalah petroleum eter, metanol dan n-heksan Alat. Alat-alat gelas, timbangan analitik, vakum rotavapor, perkolator, lempeng silika gel GF 254, mikrokapiler, bejana kromatografi, lemari pendingin, lampu UV, spektrofotometer infra merah Fourier Ttransform (Shimadzu FT-IR), spektrometer resonansi magnetik inti (JNM ECA-500 MHz). Cara Kerja. Rajangan jamur ditimbang sebanyak 300 g, diperkolasi pada suhu kamar dengan menggunakan pelarut petroleum-eter sebanyak 11,5 L, kemudian disaring. Bagian filtrat dipekatkan dengan vakum evaporator pada suhu di bawah 50oC, sehingga diperoleh ekstrak petroleum eter sebanyak 1,7 g. Selanjutnya ekstrak dipartisi dengan pelarut n-heksanmetanol (1 :1) dan masing-masing fase dipekatkan, sehingga diperoleh ekstrak n-heksan sebanyak 1,1 g, dan ekstrak metanol sebanyak 100,3 mg. Fraksi RISET & TEKNOLOGI /2
Analisis spektra infra merah (IR) Spektra infra merah (IR) untuk senyawa isolat murni menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang 1703 cm-1 yang karateristik untuk gugus kromofor karbonil (C=O). Analisis Spektra RMI 1 Dimensi (proton, karbon dan DEPT) Penyidikan spektra Resonansi Magnetik Inti (RMI) proton untuk isolat lakton menunjukkan bahwa penyidikan kimia proton pada δH 1,45 (pt) dan 2,20 (pt) menunjukkan adanya proton-proton dari CH dan CH2. Hasil ini didukung spektra RMI karbon danDEPT (Distortionless Enhancement Polarization of Transfer) yang hanya memberikan 3 atom karbon yaitu pada δC 24,06 (t, CH2); 33,42 (d, CH) dan 174,40 (s, C=O). Analisis Spektra RMI 2 Dimensi (COSY dan HMBC) Struktur kimia yang diduga sebagai senyawa lakton (1, 2) juga didukung dari spektra RMI 2 Dimensi COSY (COrrelation SpectroscopY). Hasil analisis COSY menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
proton dengan proton yaitu pada δH 1,45 dengan äH 2,20. Korelasi proton dengan proton dan spektra RMI 2D COSY dapat dilihat pada Gambar 3A. Hasil analisis HMBC (Hetero Multiple Bond Connectivity) menunjukkan bahwa terdapat korelasi äH 1,45 dengan äC 33,42 dan 174,40; korelasi äH 2,20 dengan äC 24,06. Korelasi antara proton dengan karbon (2-3 ikatan) dapat dilihat pada Gambar 3B.
KESIMPULAN Penelitian Jamur tanduk (Termitomyces eurirrhizus Berk) asal Sumedang (Jawa Barat) memberikan senyawa kimia tipe lakton. Saran Perlu penelitian lanjutan untuk pengambilan data spektra massa untuk menentukan kepastian struktur kimia.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 3. Korelasi antara proton dengan proton (COSY) (A); korelasi antara proton dengan karbon (HMBC) (B) Jadi, berdasarkan interpretasi data IR dan RMI 1 D (RMI proton, karbon dan DEPT), RMI 2 D (COSY dan HMBC) struktur kimia isolat diduga sebagai suatu senyawa lakton (1) atau merupakan senyawa polimer dari lakton (2) (Gambar 4).
Lindequist, U. Niedermeyer, T.H.J. and Julich, W-D. 2005. The pharmacological potential of mushrooms-Review. E CAM, 2 (3): 285 – 299. Mizuno, T., 1999. The extraction and development of antitumor active polysaccharides from medicinal mushrooms in Japan (Review). International Journal of Medicinal mushrooms. 1, 9 – 30. Tahir P. 2002. Aneka Jamur Unggulan yang Menembus Pasar. P.T. Grasindo, Jakarta, Indonesia Wasser, S.P., Weis, A.L. 1999. Therapeutic effects of substances occurring in higher Basidiomycete mushrooms: a modern perspective. Critical Reviews in Immunology ,19 : 65-96 Wasser. S.P., 2002. Medicinal mushrooms as a source of antitumor and immunostimulating polysaccharides. Applied Microbiology and Biotechnology. 60, 258 – 74
Gambar 4. Perkiraan struktur kimia untuk senyawa isolat Tabel 1. Pergeseran kimia (H dan C) untuk senyawa isolat
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 3
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
PEMANFAATAN ABU KELOPAK BATANG PISANG SEBAGAI SUMBER ALKALI DALAM EKSTRAKSI KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT HR. Fajar dan Abdul Azis (Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang)
[email protected] Abstrak Industri pengolahan rumput laut menjadi karaginan membutuhkan KOH dalam prosesnya. Selama ini kebutuhan KOH masih disuplai dari luar negeri. Penelitian untuk mendapatkan bahan alternatif pengganti KOH perlu dilakukan. Abu kelopak batang pisang mengandung oksida kalium cukup tinggi sehingga diharapkan dapat mensubstitusi KOH sebagai bahan pengekstrak karaginan. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, yaitu: (1) pembuatan abu kelopak batang pisang sebagai sumber alkali, (2) ekstraksi karaginan dari rumput laut. Uji mutu karaginan dilakukan menggunakan parameter daya larut, titik gel, titik leleh, dan viskositas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan abu terhadap air untuk memperoleh pH 8,5-9 diperoleh pada berat abu 0,1 gram yang dilarutkan dalam 1 Liter air. Yield karaginan yang diperoleh dengan menggunakan larutan alkali dari abu kelopak batang pisang sebesar 54,7% dan mengunakan KOH sebesar 52%. Karaginan yang diperoleh adalah jenis kappa dengan titik gel 22oC, titik leleh yang tidak dapat dideteksi, dan viskositas 4 cP. Kata kunci : abu, ekstraksi, kalium hidroksida, karaginan PENDAHULUAN Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir. Selain dapat digunakan sebagai bahan makanan, minuman dan obat-obatan, beberapa hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, alginat dan karaginan merupakan senyawa yang cukup penting dalam industri (Istini dan Suliani, 1998; Bawa, dkk., 2007). Rhodophyceae (alga merah) merupakan rumput laut penghasil agar-agar dan karaginan, sedangkan Phaeophyceae merupakan penghasil alginat yang belum dioptimalkan pemanfaatannya (Andriani, 2006). Sebagian besar rumput laut di Indonesia diekspor dalam bentuk kering (Suwandi, 1992). Bila ditinjau dari segi ekonomi, harga hasil olahan rumput laut seperti karaginan jauh lebih tinggi dari pada rumput laut kering. Jenis rumput laut penghasil karaginan adalah Eucheuma Sp dan Eucheuma cottonii (Andriani, 2006). Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai tambah dari rumput laut dan mengurangi impor akan hasil-hasil olahannya, maka pengolahan rumput laut menjadi karaginan di dalam negeri perlu dikembangkan (Istini dan Suliani, 1998)
RISET & TEKNOLOGI /4
Karaginan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut merah dari jenis Chondrus, Eucheuma, Gigartina, Hypnea, Iradea dan Phyllophora. Polisakarida ini merupakan galaktan yang mengandung ester asam sulfat antara 20-30% dan saling berikatan dengan ikatan (1,3): B (1,4) D glikosidik secara berselang seling. Karaginan dibedakan dengan agar berdasarkan kandungan sulfatnya, karaginan mengandung minimal 18% sulfat sedang agar-agar hanya mengandung sulfat 3-4% (FCC, 1974). Dalam dunia perdagangan karginan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu kappa, iota dan lamda karaginan. Kappa karaginan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, sedang iota-karaginan dihasilkan dari Eucheuma spinosum. Karaginan digunakan sebagai stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat dan pencegah kristalisasi dalam industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik dan lain-lain. Stabilitas karaginan sangat ditentukan oleh pH larutan dimana pengaturan pH larutan pada saat ekstraksi dilakukan dengan menggunakan larutan basa kuat, khususnya NaOH atau KOH. Menurut Bawa, dkk. (2007), pH larutan untuk ekstraksi karaginan dari rumput laut berkisar 8,5-9.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Permasalahan yang dihadapi oleh salah satu industri pengolahan rumput laut yang di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, adalah melonjaknya biaya produksi akibat meningkatnya harga KOH yang masih diimport dari negara lain. Masalah tersebut dapat berdampak buruk bagi usaha budidaya dan petani rumput laut, sehingga perlu dipecahkan dengan usaha subtitusi bahan tersebut dengan bahan lain atau dengan memproduksi bahan tersebut dalam negeri. Salah satu bahan alam yang dapat mensubstitusi KOH tersebut adalah batang pisang. Kelopak batang pisang kering yang dibakar menghasilkan abu yang mengandung K2O 40,24 % (Agra, 1991). K2O bila dilarutkan dalam air akan membentuk larutan KOH. Sumber bahan baku batang pisang cukup melimpah karena selama ini batang pisang merupakan limbah pertanian yang tidak bernilai. Pemanfaatan ekstrak abu batang pisang sebagai substitusi KOH yang selama ini digunakan diharapkan dapat mengurangi impor KOH dan menaikkan nilai ekonomis batang pisang. Penelitian ini bertujuan menentukan rasio fraksi berat abu kelopak batang pisang terhadap air yang menghasilkan pH 8,5-9 yang sesuai dengan larutan pengekstrak karaginan dan membandingkan kuantitas dan kualitas tepung karaginan yang diekstrak dengan menggunakan larutan ekstrak abu kelopak batang pisang dengan karaginan yang diekstrak dengan menggunakan kalium hidroksida. METODOLOGI PENELITIAN Bahan. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii, air, abu kelopak batang pisang, KOH, kaporit, dan iso propil alkohol. Alat. labu leher tiga, termometer, blender, beker glass, oven, furnace, kain saring 150 mesh, pengaduk, viscometer Brookfield, kertas lakmus dan texture analyzer. Prosedur Penelitian. Penelitian ini dibagi ke dalam dua tahap yaitu tahap pertama pembuatan larutan alkali dari abu kelopak batang pisang yang direaksikan dengan air. Abu direndam dalam air selama 10 menit dengan perbandingan berat abu terhadap air divariasikan 2,5:1; 1,25:1; 0,625:1; 0,1:1, dan 0,01:1 (g/L) untuk memperoleh pH larutan 8.5-9 dan larutan tersebut diambil untuk proses pada tahap kedua. Tahap kedua ialah isolasi karaginan yang dimulai proses pemasakan dengan perbandingan berat rumput laut terhadap berat rumput laut kering 1:40 pada pH 8,5-9, suhu 90oC, dan waktu 1 jam. Rumput laut yang telah dimasak, dihancurkan dengan blender kemudian diekstraksi pada kondisi pH 8,5-9, suhu 90oC selama 18 jam. Selanjutnya disaring dengan kain saring 150 mesh dan ekstraknya direndam dalam isopropil alkohol
dengan perbandingan 1:2 (v/v) selama 30 menit hingga terbentuk serat-serat karaginan, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama dua jam. Serat karaginan dihancurkan dengan blender sampai terbentuk tepung karaginan. Ulangi percobaan di atas dengan menggunakan larutan KOH. Tepung karaginan yang dihasilkan dari kedua perlakuan ini akan dihitung yield dan diuji kualitasnya dengan pembanding kualitas tepung karaginan yang diperdagangkan meliputi kadar air, kadar abu, titik gel, titik leleh, viskositas, kekuatan gel. Uji Mutu Karagian. Uji mutu karaginan meliputi daya larut. kadar air, kadar abu, titik gel, titik leleh, viskositas, dan kekuatan gel. 1. Daya Larut (Bawa, dkk., 2007) Daya larut karaginan hasil percobaan akan dibandingkan dengan karaginan yang dibeli dipasaran dalam media pelarut air suling, NaCl 25%, dan sakarosa 65% pada 20 dan 80oC. 2. Titik Leleh (Sinurat, dkk., 2006) Larutan karaginan dengan konsentrasi 2% sebanyak 25 mL dimasukkan kedalam gelas ukur dan didinginkan dalam refrigerator pada suhu 10oC selama ± 2 jam. Larutan yang telah membentuk gel dikeluarkan dari dalam refrigerator dan letakkan gotri seberat 5,5454 gram pada permukaan gel karaginan, kemudian dipanaskan. Ketika gotri jatuh ke dasar gel karaginan, maka suhu tersebut dinyatakan sebagai titik leleh. 3. Titik Gel (Sinurat, dkk., 2006) Larutan karaginan dengan konsentrasi 2% sebanyak 25 mL dimasukkan kedalam gelas ukur dan didinginkan dengan menggunakan es. Suhu awal larutan karaginan membentuk gel disebut titik gel. 4. Viskositas (AOAC, 1984) Larutan karaginan 1,5% dipanaskan dalam bak air mendidih sambil diaduk secara teratur sampai suhu 75 o C. Viskositas diukur dengan viscometer Brookfield. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan larutan alkali dari abu kelopak batang pisang Abu kelopak batang pisang mengandung 40,24% K2O (Agra, 1991) cukup potensial untuk substitusi larutan alkali yang digunakan dalam mengekstraksi karaginan dalam rumput laut. Oksida kalium dengan air akan membentuk larutan KOH. Pada penelitian ini, abu kelopak batang pisang diperoleh dari hasil pembakaran kelopak batang pisang kering dalam drum di lingkungan terbuka sehingga kadar oksida kalium dalam abu juga lebih rendah
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 5
dibandingkan bila dibakar dalam tanur pada suhu tinggi. Pembakaran di udara terbuka dimaksudkan agar lebih efisien dan murah dalam memperoleh abu. Abu hasil pembakaran dicampur air dengan rasio abu terhadap air divariasikan untuk memperoleh pH 8,5-9 yaitu pH larutan yang sesuai untuk ekstraksi karaginan. Ratio abu terhadap air pada berbagai variasi (b/v) menghasilkan larutan KOH dengan pH larutan yang diukur dengan kertas lakmus dapat dilihat pada Tabel 1.
pisang dan KOH tidak berbeda jauh, justru lebih tinggi yield yang dihasilkan dengan menggunakan larutan alkali dari abu kelopak batang pisang. Hal ini menunjukkan bahwa abu kelopak batang pisang yang dilarutkan dalam air dapat menjadi larutan pengekstrak karaginan dalam rumput laut. Tabel 2. Perolehan Karaginan (% yield)
Tabel 1. Rasio abu dan air terhadap pH larutan
Menurut Bawa, dkk. (2007), pH larutan KOH yang digunakan sebagai larutan pengekstrak karaginan yang menghasilkan yield paling tinggi pada pH 8,5-9. Pada kondisi ini dengan menggunakan abu kelopak batang pisang dan air diperoleh pada rasio 1:10 (g/L) atau 0,1 gram abu yang dilarutkan dalam 1 L air. Penambahan abu yang sangat sedikit dapat menaikkan alkalinitas larutan yang cukup signifikan, sehingga pemakaian abu kelopak batang pisang ini patut diperhitungkan sebagai substitusi KOH yang digunakan selama ini. Perolehan Hasil (% Yield) Rumput laut kering dimasak dalam larutan alkali pada pH 8,5 – 9, suhu 90oC dan waktu ekstraksi 1 jam. Hasil pemasakan, dihancurkan dan dilanjutkan dengan ekstraksi ekstraksi selama 18 jam pada suhu 90oC. Hasil ekstraksi disaring dengan kain penyaring 150 mesh dan filtratnya direndam dalam isopropil alkohol dengan perbandingan 1:2 (v/v) selama 30 menit sampai terbentuk endapan karaginan. Setelah dipisahkan dari isopropil alkohol, endapan karaginan dikeringkan dalam oven selama 2 jam dan digiling sehingga diperoleh tepung karaginan. Perolehan hasil (% yield) adalah berat karaginan yang dihasilkan dibagi berat rumput kering mula-mula sebelum pengolahan dikali seratus persen. Perbandingan jumlah karaginan yang dihasilkan dengan menggunakan abu kelopak pisang dan air sebagai larutan pengekstrak dengan larutan KOH dapat dilihat pada Tabel 2. Perolehan hasil karaginan dengan dengan menggunakan larutan alkali dari abu kelopak batang RISET & TEKNOLOGI /6
Mutu Karaginan Mutu karaginan yang dihasilkan dengan menggunakan larutan pengekstrak abu batang pisang dan larutan KOH akan ditentukan mutunya melalui uji mutu yang meliputi daya larut, titik gel, titik leleh, dan viskositas. Sebagai pembanding akan digunakan karaginan yang dijual di pasaran. Daya Larut Uji daya larut karaginan dengan media pelarut NaCl 25%, air suling, dan sakarosa 65% pada suhu 20 dan 80oC disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Data-data uji daya larut karaginan
Keterangan: A= karaginan yang diekstrak dengan larutan ekstrak abu B = karaginan yang diekstrak dengan larutan KOH C = karaginan yang dibeli di pasaran L = larut TL = tidak larut Berdasarkan uji daya larut karaginan dalam beberapa media pelarut diperoleh data bahwa daya larut karaginan hasil percobaan sama dengan karaginan yang dibeli di pasaran. Hasil ini menunjukkan karaginan yang diperoleh adalah jenis kappa (Bawa, dkk., 2007). Data-data hasil uji titik gel, titik leleh, viskositas, dan kekuatan gel dapat dilihat pada Tabel 4.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Tabel 4. Data-data hasil uji titik gel, titik leleh, dan viskositas
Hasil uji titik gel karaginan yang diekstrak dengan menggunakan larutan abu lebih kecil dibanding titik gel karaginan yang diekstrak dengan menggunakan larutan KOH maupun karaginan yang dibeli dipasaran yang dibeli di pasaran, apalagi dibanding titik gel karaginan komersil standar FAO 34,1oC (A/S Kobenhvs P., 1978). Titik gel adalah suhu awal karaginan dalam membentuk gel, sehingga informasi titik gel diperlukan dalam aplikasi produk pada penyimpanan suhu rendah, seperti pada aplikasi es krim dan puding (Sinurat, dkk., 2006). Titik Leleh Hasil uji titik leleh karaginan yang diekstrak dengan menggunakan larutan ekstrak abu tidak dapt dideteksi. Meskipun gel telah terbentuk, namun kekuatan gelnya masih lemah untuk menahan gotri yang diletakkkan di permukaan gel sekalipun gel belum dipanaskan. Titik leleh karaginan yang diekstrak dengan larutan KOH 38oC dan karaginan yang dibeli di pasaran 35oC, sedangkan karaginan komersil standar FAO sebesar 50,21oC (A/S Kobenhvs P., 1978). Titik gel adalah suhu awal gel mulai meleleh. Konsentrasi tepung karaginan yang digunakan dalam menentukan titik gel dan titik leleh adalah 2% (AOAC, 1984). Rendahnya titik gel dan titik leleh karaginan yang diperoleh dari hasil percobaan, kemungkinan disebabkan konsentrasi tepung karaginan yang terlalu rendah. Viskositas Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Makin tinggi viskositas mengindikasikan makin besarnya tahanan cairan tersebut untuk mengalir. Hasil uji viskositas untuk karaginan yang diekstrak dengan larutan ektrak abu sebesar 4 cP, karaginan yang diekstrak dengan larutan KOH sebesar 5 cP, dan karginan yang dibeli dipasaran 4,8 cP. Viskositas karaginan standar FAO minimum 5 cP (A/ S Kobenhvs P., 1978). Hasil percobaan menunjukkan bahwa viskositas karaginan yang memenuhi standar minimum FAO adalah karaginan yang diekstrak dengan larutan KOH
2. Perbandingan abu terhadap air untuk menghasil kan pH 8,5 - 9 adalah 0,1 : 1 (g/L) 3. Yield yang dihasilkan dengan menggunakan larutan pengekstrak dari abu dan air lebih tinggi dibanding larutan KOH yaitu 54 dan 52% 4. Mutu k araginan yang diekstrak dengan menggunakan larutan ekstrak abu masih dibawah mutu karginan komersial maupun standar FAO DAFTAR PUSTAKA Agra, 1991. Pembuatan Natrium Bikarbonat dan Kalium Klorid dari Ekstrak Abu Nabati.Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Andriani, D. 2006. Pengolahan Rumput Laut (Eucheuma cattonii) Menjadi Tepung ATC (Alkali Treated Carrageenophyte) dengan Jenis dan Konsentarsi Alkali yang Berbeda. Universitas Hasanuddin. Makassar. AOAC. 1984. Official Method of Analysis of The Associted of Official Analytical Chemist. 14 edth A.O.A.C. Inc.Airlington. Virginia. A/S Kobenhvs Pek tifabric. 1978. Carrageenan.Lilleskensved.Denmark. Bawa, I.G.A.G, Bawa, A.A., dan Laila, I.R. 2007. Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma Cootonii. Jurnal Kimia 1 (1): 15-20. Univ. Udayana. Denpasar. FCC. 1977. Food Chemical Codex. Institute of Medicine Sciense. Washington DC. Istini, S. dan Suliani. 1998. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Lembaga Oseonologi Nasional. Sinurat E., Murdinah, dan Utomo, S.B. 2006. Sifat Fungsional Formula Kappa dan Iota Karaginan dengan Gum. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi dan Perikanan. Vol 1 No. 1. Suwandi. 1992. Isolasi dan Identifikasi Karaginan dari Rumput Laut Euchema cottonii. Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Medan.
KESIMPULAN 1. Abu kelopak batang pisang yang dilarutkan dalam air dapat digunakan untuk mengekstrak karaginan dari rumput laut Eucheuma cootoni MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 7
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
EVALUASI LAJU SEDIMENTASI PADA KOLOM SEDIMENTASI SISTEM BATCH DENGAN PENAMBAHAN FLOKULAN Mustafa (Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda)
[email protected]
Abstrak Proses sedimentasi dilakukan untuk memisahkan partikel zat padat dari fluida yang terkandung di dalamnya. Proses pemisahannya dapat dilakukan dengan menggunakan gaya gavitasi dimana flok-flok yang terbentuk akan mengendap dengan sendirinya. Untuk mempercepat pengendapan dapat dilakukan dengan penambahan flokulan. Pengaruh penambahan flokulan terhadap kecepatan sedimentasi dipelajari pada penelitian ini. Kolom sedimentasi dirancang dari bahan mika dengan diameter 8 cm dan tinggi 80 cm. Slurry kapur dibuat dengan variasi konsentrasi 50, 100, 150, 200 dan 250 g/3,5 L air. Slurry dimasukkan ke kolom sedimentasi dan ditambahkan flokulan sebanyak 1 g dan 2 g. Sampel diambil setiap 5 menit untuk mengetahui kecepatan sedimentasinya. Analisis kecepatan sedimentasi dilakukan dengan metode gafis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi slurry 50 g/3,2 L terlihat kecepatan sedimentasinya paling kecil, sebaliknya pada konsentrasi slurry 250 g/3,2 L, kecepatan sedimentasinya paling besar. Semakin banyak flokulan yang ditambahkan semakin cepat waktu sedimentasi. Kata kunci : flokulan, kapur, kecepatan sedimentasi, sedimentasi
PENDAHULUAN Pemisahan komponen-komponen suatu campuran sehingga terpisah menjadi fraksinya masing-masing masih banyak dikembangkan dalam industri. Suatu komponen memiliki fraksi-fraksi yang berbeda antara satu dengan lainnya dalam hal ukuran partikel, fasa ataupun komposisi kimianya. Prosedur pemisahan komponen campuran dalam industri kimia dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu: operasi difusi (difusional operation) yang meliputi perubahan fasa atau perpindahan massa dari fasa yang satu ke fasa yang lain dan pemisahan mekanik (mechanical separation) yang digunakan untuk memisahkan partikel-partikel zat padat (Foust, dkk., 1980). Sedimentasi merupakan salah satu bagian dari proses pemisahan yang didasarkan atas gerakan partikel zat padat melalui fluida akibat adanya gaya gavitasi. Kecepatan sedimentasi dapat bertambah dengan adanya flokulan. Efek flokulasi yang menyeluruh adalah menciptakan penggabungan partikel-partikel halus menjadi partikel yang lebih besar sehingga dengan mudah dapat diendapkan. Penggabungan antara partikel-partikel yang dapat
RISET & TEKNOLOGI /8
terjadi apabila ada kontak antara partikel tersebut. Kontak partikel dapat terjadi dengan cara-cara berikut (McCabe, dkk., 1990): 1. Kontak yang disebabkan oleh gerak Brown (gerak acak partikel koloid dalam medium pendispersi) 2. Kontak yang disebabkan atau dihasilkan oleh gerakan cairan itu sendiri akibat adanya pengadukan. Kontak yang dihasilkan dari partikel yang mengendap yaitu dengan adanya tumbukan antara partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih besar dengan partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan lebih kecil. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecepatan sedimentasi sebagai fungsi konsentrasi koagulan (Aluminium Sulfat) dan konsentrasi suspensi (kapur). Hasil penelitian digunakan sebagai dasar perancangan kolom sedimentasi sistem batch. Metode perhitungan desain asumsi utamanya adalah bahwa kecepatan penurunan permukaan batas cairanpadatan sebagai fungsi konsentrasi. Hasil-hasil percobaan sistem batch menunjukkan dengan jelas
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
bahwa kecepatan pengendapan menurun dengan meningkatnya k onsentrasi. Kesetimbangan penurunan kecepatan linear dan kenaikan kecepatan massa akibat berat jenis padatan di dalam lapisan yang lebih besar tidak dapat diduga, namun hal ini sangatlah penting dalam proses desain.
Dimana : Z adalah ketinggian zona kompresi pada saat t Z ~ adalah ketinggian zona kompresi akhir sediment k adalah konstanta sedimentasi Bila Persamaan (1) diintegalkan, menjadi :
(2) METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 1. Kurva hasil tes untuk proses sedimentasi secara batch Gadien (slope) dari kurva pada sembarang titik waktu menunjukkan kecepatan pengendapan suspensinya dan merupakan karakteristik suatu konsentrasi padatan spesifik. Sebagian permulaan kurva tersebut cenderung linear sesuai dengan kecepatan pengendapan konstan larutan pada konsentrasi awal. Dalam thickening, daerah permulaan tersebut menunjukkan bagian kecil yang sangat kecil dibanding waktu thickening total. Ketika waktunya meningkat, kecepatan pengendapannya menurun. Suatu cara untuk menjelaskannya yaitu dengan asumsi bahwa kecepatan pengendapan sebanding dengan konsentrasi padatan yang terkumpul. Ketika daerah dengan kecepatan pengendapan konstan terlampaui (Gambar 1), setiap titik pada kurva menunjukkan konsentrasi padatan yang berbeda-beda. Perlu ditekankan bahwa kurva pengendapan yang ditunjukkan dalam percobaan laboratorium hanya berlaku bagi slurry yang dipakai dan oleh sebab itu hasilnya mungkin mempunyai beberapa penyimpangan kecil. Persamaan empiris yang sering digunakan dalam menghitung kecepatan sedimentasi adalah (Brown, 1950): (1)
Penelitian dilakukan di Laboratorium Satuan Operasi Teknik Kimia Polnes. Alat Penelitian. Seperangkat alat sedimentasi sistem batch (Gambar 2) dengan spesifikasi sebagai berikut: Kerangka alat terbuat dari besi baja profil “L” dengan ketebalan 3 mm dan plat baja 5-2, yang dilengkapi dengan empat buah tiang dari besi baja “siku 4” dan tuas dari alumunium untuk memutar alat secara manual. Tabung pengendap berbentuk silinder terdiri dari lima buah, yang terbuat dari mika dengan ketebalan 1 mm dan tinggi 80 cm yang diletakkan pada alat yang dirancang khusus dengan memiliki papan sandard. Bahan. Kapur (CaCO 3), Air (H2O), Alumunium Sulfat (Al2(SO4)3 ). Prosedur Kerja. 1. Kalibrasi volume tabung pengendap 1. Mengukur diameter tabung dengan jangka sorong. 2. Menghitung volume tabung 3. Kalibrasi dapat pula dilakukan dengan cara berikut: · Mengisi air ke dalam gelas ukur 1 liter kemudian memindahkannya kedalam tabung pengendap. · Mengulangi langkah tersebut sampai air dalam tabung mencapai ketinggian 70 cm, dengan demikian volume tabung dapat ditentukan. 2. Analisa sedimentasi dengan penambahan flokulan Analisa dengan pengadukan manual dan otomatis:
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 9
1. Mengayak kapur yang akan digunakan untuk mendapatkan diameter partikel kapur yang lebih seragam. 2. Menimbang kapur sebanyak 50, 100, 150, 200 dan 250 g, kemudian memindahkannya ke dalam tiap-tiap tabung pengendap. 3. Menambahkan air hingga mencapai ketinggian 70 cm kemudian menutup tabung dengan penutupnya masing-masing. 4. Menimbang flokulan masing-masing 1 g, kemudian memindahkan kedalam tabung pengendap yang telah berisi campuran airkapur dan tabung harus dalam keadaan tertutup. 5. Mengaduk campuran dengan cara membolakbalikkan tabung sehingga konsentrasi suspensi m erata (cara m anual) dan dibandingkan dengan pengadukan otomatis (menggunakan kompresor). 6. Kem udian mendiamkan tabung dan melepaskan penutup tabung lalu menjalankan stopwatch. 7. Mengamati dan mencatat ketinggian suspensi setiap 5 menit. 8. Mengulangi langkah tersebut diatas dengan penambahan flokulan sebanyak 2 g.
Gambar 2. Alat sedimentasi batch
RISET & TEKNOLOGI /10
HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan Kecepatan Sedimentasi Untuk menghitung kecepatan sedimentasi ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama dengan menentukan nilai slope (gadien) dari gafik tinggi endapan versus waktu nilai slope menyatakan besarnya kecepatan pengendapan. Cara lain yaitu dengan menggunakan Persamaan 2, dimana dapat diketahui berapa besar kecepatan pengendapan dari setiap rentang waktu. Nilai konstanta sedimentasi untuk tiap-tiap variasi dapat ditentukan dari gafik. Sebagai contoh diambil dari data pengamatan pada percobaan (pengadukan manual) pada konsentrasi kapur 50 g/ 3,2 liter dan penambahan 1 g flokulan seperti terlihat Tabel 1 berikut: Tabel 1. Nilai konstanta sedimentasi pada konsentrasi kapur 50 g/3,2 Liter
Pada penelitian proses sedimentasi sistem batch ini dilakukan dengan menggunakan tabung silinder yang terbuat dari mika. Dalam menentukan kecepatan pengendapan dapat ditentukan dengan menentukan besarnya slope (dZ/dt) gafik hubungan antara ketinggian zona kompresi versus waktu. Besarnya nilai konstanta sedimentasi (k) dapat diketahui dari nilai slope dari gafik hubungan ( Z – Z~ ) versus –dZ/dt. Tanda negatif menunjukkan bahwa kecepatan pengendapannya semakin lama semakin menurun. Konstanta sedimentasi menunjukkan tetapan sedimentasi dimana nilainya konstan. Dari hasil perhitungan terlihat jelas bahwa semakin banyak jumlah flokulan nilai konstanta sedimentasi semakin kecil. Penambahan tawas dimaksudkan untuk menciptakan penggabungan partikel-partikel halus menjadi partikel yang lebih besar. Data pengamatan menunjukkan bahwa semakin banyak tawas yang dipakai semakin cepat waktu pengendapan begitupula dengan kecepatan pengendapannya. Variasi penambahan tawas dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya pada kecepatan pengendapan. Terlihat jelas pada data pengamatan bahwa dengan MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
pengadukan menggunakan kompresor waktu pengendapannya lebih cepat jika dibandingkan dengan pengadukan manual, dimana proses kontak yang terjadi antar partikel flok yang terbentuk lebih luas pada saat pengadukan. Tabel 2. Perbandingan nilai konstanta sedimentasi untuk variasi flokulan dan pengadukan
Berdasarkan gafik hubungan antara tinggi endapan dengan waktu terlihat jelas bahwa semakin banyak tawas yang digunakan semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk mengendapkan flok-flok yang terbentuk. Begitupula dengan konsentrasi suspensi, dimana semakin besar konsentrasi kecepatan pengendapan semakin kecil. Hal ini dikarenakan flok yang terbentuk lebih banyak sehingga pada proses pengendapan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai ketinggian yang stabil.
Gambar 5. Hubungan antara tinggi zona kompresi dengan waktu untuk 50 g CaCO 3 pengadukan otomatis
Gambar 3. Hubungan tinggi zona kompresi dengan waktu untuk konsentrasi suspensi 50 g
Gambar 6. Hubungan antara tinggi zona kompresi dengan waktu untuk 100 g CaCO 3 pengadukan otomatis
Gambar 4. Hubungan antara tinggi zona kompresi dengan waktu untuk 100 g CaCO 3 pengadukan manual
Jika dibandingkan dengan pengadukan manual pengadukan dengan kompresor membutuhkan waktu yang relatif cepat dibandingkan dengan pengadukan manual hal ini disebabkan oleh kontak yang terjadi antar partikel-partikel flokulan pada pengadukan dengan kompresor lebih banyak. Pada percobaan tanpa penambahan flokulan terlihat bahwa waktu yang dibutuhkan flok-flok untuk mengendap lebih lama jika dibandingkan dengan
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 11
penambahan flokulan. Hal ini dikarenakan flok-flok yang terbentuk lebih sedikit dan juga dipengaruhi oleh gaya gavitasi sehingga untuk mencapai tinggi endapan yang stabil membutuhkan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA Brown, G.G. 1950. Unit Operation. Modern Asia Edition. New York. Foust, A.S., Wenzel, L.A., Clump, C.W., Maus, L., Andersen, L.B. 1980. Principle of Unit Operation. Second Edition. New York. McCabe, W.L, Smith, J.C, Harriott, P. 1990. Operasi Teknik Kimia. Jilid 2. Edisi k eempat. Diterjemahkan oleh E. Jasjfi. Erlangga. Jakarta.
Gambar 7. Hubungan Tinggi Zona Kompresi vs Waktu Tanpa penambahan flokulan pengadukan manual
KESIMPULAN Dari hasil penelitian, perhitungan dan pengolahan data yang telah kami lakukan dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: 1. Kecepatan pengendapan menurun dengan meningkatnya konsentrasi suspensi. 2. Kecepatan sedimentasi sangat dipengaruhi oleh penambahan flokulan, semakin tinggi konsentrasi flokulan maka kecepatan pengendapannya semakin besar. 3. Kecepatan sedimentasi pada penambahan tawas 2 g lebih cepat daripada penambahan tawas 1 g. 4. Jika dibandingkan dengan pengadukan manual pengadukan dengan kompresor membutuhkan waktu yang relatif cepat dibandingkan dengan pengadukan manual hal ini disebabkan oleh kontak yang terjadi antar partikel-partikel flok ulan pada pengadukan dengan kompresor lebih banyak 5. Dari gafik antara tinggi endapan dengan waktu menunjukkan bahwa ecepatan pengendapan menurun dengan meningkatnya konsentrasi berat dari kapur.
RISET & TEKNOLOGI /12
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
ALTERNATIF LOKASI RE-SETTLEMENT KAWASAN PERMUKIMAN TANJUNG DAN BANTARAN SUNGAI TENGGARONG JL. DI. PANJAITAN KOTA TENGGARONG - KUTAI KARTANEGARA Afif Bizrie Mardhanie (Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Samarinda)
[email protected] Abstrak Permasalahan permukiman kumuh hampir terjadi di seluruh kota di Indonesia, akibat adanya arus urbanisasi yang kemudian menyebabkan terjadinya penguasaan lahan oleh masyarakat pada daerah-daerah perkotaan dan kemudian menyebabkan terjadinya kawasan kumuh perkotaan. Kawasan permukiman Tanjung dan permukiman Bantaran Sungai Tenggarong Jl. Panjaitan adalah merupakan salah satu contoh kawasan kumuh Kota Tenggarong yang seyogyanya harus dipindahkan. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan lokasi alternatif untuk re-settlement dari kedua lokasi kawasan kumuh perkotaan. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dan dengan penelaahan deskriptif, sementara penilaian akan menggunakan angka kuantitatif untuk mendukung penyelesaian secara kualitatif. Penelitian alternatif lokasi ini menguji 3 (tiga) lokasi yang diamati yakni: Kelurahan Mangkurawang Kecamatan Tenggarong, Desa Loa Lepu dan Perjiwa Kecamatan Tenggarong Seberang serta Dusun Jongkang Kecamatan Loa Kulu. Pengujian alternatif lokasi menggunakan kaidah-kaidah yang tertuang dalam Undang-undang maupun peraturan-peraturan yang diacu pada penelitian ini. Kesimpulan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lokasi Desa Loa Lepu dianggap paling tepat sebagai pilihan alokasi untuk re-settlement kawasan Permukiman Tanjung dan Permukiman Bantaran Sungai Tenggarong Jl. Panjaitan. Kata kunci: kawasan kumuh, permukiman, penetapan lokasi re-settlement PENDAHULUAN Kota menurut Christaller (dalam Daldjoeni,1997) adalah tempat yang melayani atau sebagai tempat pusat (central place) dari suatu wilayah atau teritorial disekelilingnya (kawasan pedalaman/hinterland). Kawasan pedalaman/(hinterland) bisa berarti sebagai wilayah dari suatu impor didistribusikan (permukiman). Secara geografis homogen dan penduduk tersebar merata. Tempat pusat (central place) dalam hal ini diasumsi sebagai kawasan permukiman, mempunyai beberapa konsep, yaitu: jangkauan (range) dan ambang (threshold). Christaller mengemukakan lima ukuran/tingkat komunitas yang ada dalam sistem tempat pusat. Kelima ukuran/tingkat tersebut masingmasing Hamlet (semacam dusun kecil atau kawasan permukiman), kemudian Village (desa), Town (kota kecil), City (kota yang lebih besar) dan Regional Capital (ibukota Propinsi ).
Kondisi banyak kota di Indonesia yang umumnya berkembang dan berfungsi sebagai pusat kegiatan serta menyediakan layanan primer dan sekunder yang kemudian mengundang penduduk melakukan urbanisasi dari perdesaan dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak, termasuk untuk mendapatkan lapangan kerja (Alan dan Josef, 1996). Kondisi tersebut di atas mengakibatkan hal sebagai berikut: 1. Terjadinya pertambahan penduduk yang lebih pesat dibanding kemampuan pemerintah didalam menyediakan hunian serta layanan primer. 2. Tumbuhnya kawasan hunian yang kurang layak huni serta cenderung kumuh, dan tidak sesuai standar pemukiman yang sehat. 3. Terjadinya peningkatan dominasi fungsi (primacy) dan penguasaan lahan oleh sekelompok orang secara illegal.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 13
Kota Tenggarong m erupak an ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara. Berdasarkan data BPS (2008), luas Kecamatan Tenggarong adalah 398 km2 dengan jumlah penduduk 71.270 jiwa, sedangkan kecamatan yang berkembang adalah Kecamatan Tenggarong Seberang yang mempunyai luas wilayah 437 km2 dengan jumlah penduduk 49.393 jiwa. Secara umum kedua kecamatan ini mempunyai perkembangan yang lebih pesat dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya yang berdekatan. Kedua kecamatan ini mempunyai wilayah yang cukup luas, namun ditinjau dari sisi pembangunannya, Kecamatan Tenggarong dan Kecamatan Tenggarong Seberang hanya terkosentrasi pada perkotaannya saja. Menurut Christaller dalam Daldjoeni (1997) bahwa pada dasarnya kota mempunyai hierarki tempat pusat, suatu hexagon permukiman dan ikatan garisgaris komunikasi sebagai model untuk meningkatkan kemudahan bagi masyarakat menjangkau daerah pelayanan perkotaan. Jaringan hexagon ini adalah merupakan konsep sistem tempat pusat yang diadopsi untuk penelitian penempatan lokasi re-settlement permukiman kumuh kota Tenggarong, dimana diharapkan dengan konsep ini masyarakat dapat mengikuti pola kehidupan yang wajar pada kawasan hunian baru mereka. Dari sistem hierarki tempat pusat, maka saat ini Kota Tenggarong membutuhkan tempat-tempat pusat yang lebih kecil dalam rangkaian jaringan model Christaller sebagai kawasan permukiman yang dapat tertata dengan baik serta mempunyai sarana permukiman untuk pelayanan kebutuhan standar harian penghuninya. Dengan demikian maka kebutuhan akan lokasi kawasan permukiman dapat digambarkan dalam konsep Christaller sebagai berikut:
Gambar 2. Elemen pasar dendritic (Johnson, 1975)
Gambar 3. Konsep sistem implementasi hexagon Christaller pada Kota Tenggarong
Gambar 1. Hierarki perkotaan Christaller
RISET & TEKNOLOGI /14
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan alternatif lokasi re-settlement bagi warga di Permukinan Tanjung dan Kawasan Bantaran Sungai Tenggarong Jl. DI. Panjaitan yang diperuntukan untuk pembangunan perumahan guna tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) 2020, yakni pemenuhan kebutuhan akan rumah yang layak bagi masyarakat squatter.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
METODOLOGI PENELITIAN Peneltian ini dimulai dengan melakukan survei di Kawasan Permukiman Tanjung dan Bantaran Sungai Tenggarong Jl. DI. Panjaitan untuk mendapatkan data kondisi lokasi dan karakteristik masyarakat setempat. Survei juga dilakukan pada lokasi yang direncanakan sebagai re-settlement yaitu Kel. Mangkurawang Kec. Tenggarong, Desa Loa Lepu dan Perjiwa Kecamatan Tenggarong Seberang serta Desa Jongkang Kecamatan Loa Kulu. Pemilihan lokasi didasarkan pada UU No. 4/1992 Tentang Perumahan dan Permukiman dan Permenpera No. 32/PERMEN/ M/2006 Tentang Petunjuk Teknik Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang Berdiri Sendiri (BS). Untuk mendapatkan alternatif lokasi yang baik dan layak dalam penentuan lokasi re-settlement, maka dibuat suatu konsep penilaian yang didasari atas pustaka dan ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah sebagai berikut: 1. Kondisi Luas Kelurahan/Desa (lebih luas 3, sedang 2, lebih sempit 1) 2. Kondisi kepadatan penduduk (jarang 3, sedang 2, padat 1) 3. Kedekatan dengan sarana sekolah (dekat 3, sedang 2, jauh 1) 4. Kedekatan dengan pusat pelayanan kesehatan (dekat 3, sedang 2 jauh 1) 5. Jarak dengan sarana ibadah (dekat 3, sedang 2 jauh 1) 6. Jarak lokasi dengan akses jalan (dekat 3, sedang 2, jauh 1) 7. Kondisi lahan (tinggi datar 5, sedang datar 4, rendah datar 3, rawa 2, curam 1) 8. Jarak dengan sarana sekolah (dekat 3, sedang 2, jauh 1) 9. Jarak dengan pasar setempat (dekat 3, sedang 2, jauh 1) 10.Jarak Pencapaian terhadap Kota Tenggarong (dekat 3, sedang 2, jauh 1) 11.Keberadaan prasarana air bersih (PDAM) (dekat 3, sedang 2, jauh 1) 12.Keberadaan prasarana Listrik (PLN) (dekat 3, sedang 2, jauh 1) 13.Keberadaan lapangan bermain eksisting (dekat 3, sendang 2, jauh 1) 14.Kecenderungan arah perkembangan kota (kuat 3, sedang 2, lemah 1)
lingkungan hunian yang berkembang menjadi kumuh pada wilayah yang peruntukannya bukan untuk permukiman. Karakteristik bangunan umumnya konstruksi kayu termasuk kategori tidak layak huni dan tidak sehat.
Gambar 4. Kawasan Permukiman Tanjung Kawasan permukiman Tanjung mempunyai penduduk ± 200 KK atau sekitar 750 jiwa. Secara administrasi termasuk Kelurahan Panji RT. 09 s.d. RT. 14. Kawasan permukiman ini merupakan contoh kawasan permukiman tradisional dan berada pada badan sungai yang ada di Kota Tenggarong. Luas kawasan kurang lebih 2 Ha, sebagian besar berada di badan Sungai Mahakam dengan prasarana lingkungan berupa titian (keretak) ulin sebagai prasarana akses masuk permukiman atas air. Sebagian rumah lagi berada di bantaran Sungai Mahakam.
Lokasi yang mempunyai nilai paling tinggi, maka ditetapkan sebagai lokasi alternatif re-settlement. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Permukiman Tanjung dan Bantaran Sungai Tenggarong Kawasan Tanjung merupakan kawasan Squatter settlements (permukiman liar), yakni kawasan
Gambar 5. Kondisi Permukiman Tanjung
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 15
Sementara itu permukiman di pinggiran Jl. DI. Panjaitan merupakan kawasan kumuh bantaran Sungai Tenggarong. Rumah yang terdapat pada pemukiman kawasan bantaran Sungai Tenggarong di Jl. DI. Panjaitan berjumlah ± 68 buah yang dihuni oleh 77 KK dengan penduduk sek itar 308 jiwa. Permukiman ini menempati lahan seluas ± 0,65 Ha yang memanjang sepanjang Jl. DI. Panjaitan.
d. Lahan yang diarahkan: dimaksudkan dan diharapkan bahwa pemerintah telah mempunyai bank tanah untuk kebutuhan pengembangan permukiman dan sudah direncanakan. Saat ini pemerintah Kota Tenggarong belum mempunyai Bank Tanah yang jelas untuk pengembangan Kota Tenggarong.
Gambar 6. Kawasan permukiman bantaran Sungai Tenggarong Jl. DI. Panjaitan
Gambar 7. Lokasi di Mangkurawang
Rencana Lokasi Re-Settlement Beberapa lokasi telah disurvei, untuk menentukan lokasi tempat re-settlement permukiman Tanjung dan Jl. Panjaitan, lokasi yang telah di survei antara lain; Survei lapangan kebeberapa lokasi antara lain; a. Kel. Mangkurawang Kec. Tenggarong b. Desa Loa Lepu dan Perjiwa Kecamatan Tenggarong Seberang c. Desa Jongkang Kecamatan Loa Kulu. Alasan diambilnya alternatif lokasi tersebut didasarkan Permenpera No. 32/PERMEN/M/2006 Tentang Petunjuk Teknik Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang Berdiri Sendiri (BS), yakni: a. Luasnya lahan; untuk dapat menampung pemukim baru yang akan dipindahkan b. Jarak dengan ibukota Kabupaten; hal ini untuk dapat memberikan ruang usaha bagi masyarakat yang sudah mapan dalam kegiatan ekonominya c. Kesesuaian lahan: dimaksudkan untuk mendapat kan lahan yang layak dan sesuai dengan peruntukan permukiman seperti, lahan tidak curam, bukan lahan yang sangat produktif dll
RISET & TEKNOLOGI /16
Gambar 8. Lokasi di Loa Lepu
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Gambar 9. Lokasi di Jongkang Indonesia (LIPI)
Gambar 10. Lokasi di Perjiwa
Penilaian Kesesuaian Lahan Alternatif Lokasi ReSettlement Yang Dipilih
dinilai dengan beberapa kondisi dan keberadaan prasarana dan fasilitas pendukung yang dapat memberikan efisiensi pada saat implementasinya, maupun komponen daya tarik suatu lokasi untuk dihuni oleh pemukim baru. Penelitian memperlihatkan data seperti terlihat pada Tabel 1 berikut:
Penilaian/scoring dari lokasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang cocok atau tidak, kuat atau lemah, dekat atau jauhnya lokasi yang
Tabel 1. Hasil penilaian alternatif lokasi re-settlement
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 17
KESIMPULAN Rekomendasi alternatif yang ditawarkan adalah berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Desa Loa Lepu nilai 32 poin 2. Kel. Mangkurawang nilai 29 poin 3. Desa Perjiwa nilai 23 poin 4. Desa Jongkang nilai 21 poin Dengan hasil penilaian diatas, maka Desa Loa Lepu dianggap paling cocok untuk menjadi rencana lokasi re-settlement, terlepas dari keberadaan kepemilikan lahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Alan, G. dan Josef, G. 1996 Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, PT. Tiara Wacana Yogya. Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Kabupaten Kutai Kartanegara:Kecamatan Tenggarong Dalam Angka Tahun 2008. Permenpera No. 32/PERMEN/M/2006 Tentang Petunjuk Teknik Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang Berdiri Sendiri. UU No. 4/1992 Tentang Perumahan dan Permukiman.
RISET & TEKNOLOGI /18
MEDIA PERSPEKTIFVOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
KAJIAN ANALISIS KEKUATAN TEKAN KARAKTERISTIK BETON BERDASARKAN DATA HASIL PELAKSANAAN LAPANGAN Tumingan (Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Samarinda)
[email protected]
Abstrak Nilai kuat tekan karakteristik beton diperoleh dari berbagai variasi nilai kuat tekan beton. Laporan hasil pengujian kuat tekan karakteristik beton dibuat sebagai bentuk pertanggungjawaban dari hasil pelaksanaan pekerjaan beton di lapangan. Kajian ini bertujuan untuk memberikan suatu formula yang seharusnya dilakukan dalam membuat laporan hasil pengujian kuat tekan karakteristik beton. Sampel data diambil dari jurnal dan laporan pengujian sebuah laboratorium serta berdasarkan pengalaman dalam menyelesaikan kasus komplain dari pengguna jasa Laboratorium Bahan Konstruksi Politeknik Negeri Samarinda atas ketidaktepatan dalam menyimpulkan kuat tekan karakteristik beton. Data yang digunakan sebagai sampel hanya sebagian dari banyak data yang ada dan hanya bertujuan memberikan perbandingan hasil analisis yang menggunakan formula yang ada dan yang diusulkan dalam kajian ini. Berdasarkan uraian kajian ini menunjukkan bahwa formula yang diusulkan memberikan hasil kuat tekan karakteristik beton yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasil akhir sebagai kuat tekan karakteristik beton diperoleh dari penyebaran data hasil pengujian masing-masing sampel yang nilainya tidak di bawah dari nilai yang terendah dan tidak di atas dari nilai rata-rata hasil pengujian. Kata Kunci : beton, karakteristik beton, kuat tekan
PENDAHULUAN Secara umum pertumbuhan atau perkembangan industri konstruksi di Indonesia cukup pesat. Hampir 60% material yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi menggunakan beton yang pada umumnya dipadukan dengan baja (composite) atau dengan jenis lainnya, seperti pada pembuatan gedunggedung, jalan (rigid pavement), bendung, dermaga, saluran dan lain-lain (Mulyono, 2003). Beton merupakan batuan yang terbuat dari campuran agregat kasar, agregat halus, semen dan air dengan/tanpa bahan tambah dengan perbandingan tertentu. Pada awalnya agregat yang digunakan untuk pembuatan campuran beton sebagai bahan konstruksi adalah kerikil dan pasir alami yang bersumber dari sungai karena sangat mudah diperoleh dan sangat mudah dikerjakan disamping harganya relatif murah, proses pengambilan juga mudah tidak memerlukan peralatan yang khusus. Perbandingan tertentu dalam pembuatan campuran diperlukan untuk menentukan kekuatan
tek an dari beton yang direncanakan agar menghasilkan kuat tekan yang disyaratkan, dengan perbandingan yang berbeda akan diperoleh kekuatan tekan yang berbeda pula. Kekuatan tekan pada beton biasanya dinyatakan sebagai kuat tekan karakteristik beton yakni kekuatan tekan beton dari sejumlah besar hasil pemeriksaan benda uji (kubus dan silinder), dengan kemungkinan adanya kekuatan tekan yang kurang dari batas 5% yang diperoleh dari sebuah persamaan yang dipengaruhi oleh kurva distribusi frekuensi dari sejumlah besar hasil pengujian. Nilai kekuatan tekan karakteristik yang diambil dari suatu harga yang tidak akan lebih dari 5% (Idris dan Rifai, 2002). Karakteristik berasal dari kata karakter yaitu perwakilan dari sejumlah komunitas/variasi nilai/ golongan yang diambil diantara yang diwakili bukan diluar dari yang diwakili. Kuat tekan karakteristik beton adalah suatu besaran/nilai yang diperoleh dari berbagai variasi nilai kuat tekan beton dan tidak boleh keluar dari nilai yang diperoleh yakni berada diantara nilai terendah dan tertinggi yang ada.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 19
Beton harus dirancang proporsi campurannya agar menghasilkan suatu kuat tekan rata-rata yang disyaratkan. Pada tahap pelaksanaan konstruksi, beton yang telah dirancang campurannya harus diproduksi sedemikian rupa sehingga memperkecil frekuensi terjadinya beton dengan kuat tekan yang lebih rendah dari f’c yang telah disyaratkan. Kriteria penerimaan beton harus sesuai dengan standar yang berlaku. Menurut Standar Nasional Indonesia (1990), kuat tekan harus memenuhi 0,85 f’c untuk kuat tekan rata-rata dua silinder dan memenuhi f’c + 0,82 s untuk rata-rata empat buah benda uji yang berpasangan. Jika tidak memenuhi maka diuji mengikuti ketentuan selanjutnya (Mulyono, 2003). Frekuensi dalam beton akan mempengaruhi nilai kekuatan tekan dalam perancangan. Pengertian frekuensi dalam kekuatan beton pada dasarnya tercermin melalui nilai standar deviasi. Asumsi yang digunakan dalam perencanaan bahwa kekuatan beton akan terdistribusi normal selama masa pelaksanaan yang diambil melalui hasil pengujian di laboratorium. Secara umum rumusan kekuatan tekan dengan mempertimbangkan frekuensi yang ditulis sebagai :
f’cr = f’c + k. s
(1)
Hasil kuat tekan karakteristik beton, secara umum diperhitungkan dengan menggunakan persamaan:
f’cr =
– k. s
Gambar 1. Kurva Distribusi Normal
Gambar 2. Ketidaksimetrisan Kurva Distribusi Kelengkungan Positif
(2)
dimana f’cr merupakan kekuatan tekan karakteristik,
f’c adalah kuat tekan yang direncanakan, merupakan kekuatan tekan rata-rata, s adalah nilai standar deviasi dan k adalah suatu konstanta yang diturunkan dari distribusi normal kekuatan tekan yang diijinkan, biasanya diambil sebesar 1,64 untuk standar di Indonesia, tentunya berbeda dengan Negara lain misalnya peneliti di komite ACI memberikan nilai k sebesar 1,64 atas variasi pengujian dari beton normal dengan kekuatan tekan 25 – 55 MPa, tetapi tidak berlaku untuk kekuatan yang lebih tinggi dan nilai k yang digunakan merupakan nilai variasi sebenarnya dari hasil uji statistik (Mulyono, 2003). Pada referensi lain konstanta k adalah ukuran kemiringan/kemencengan atau skewness yakni merupakan ukuran yang menyatakan derajat ketidaksimetrisan dari lengkungan suatu distribusi, apabila diketahui ukuran ini, maka dapat diketahui pula bagaimana k eadaan lengk ungan yang mempunyai ukuran tersebut, apakah lengkungan itu simetrik, positif atau negatif.
RISET & TEKNOLOGI /20
Gambar 3.
Ketidaksimetrisan Kurva Distribusi Kelengkungan Negatif
Ada beberapa cara untuk menentukan kemiringan lengkungan, diantaranya yang terkenal adalah yang sering dinamakan cara Pearson. Dengan tidak mengurangi bagaimana diperolehnya bahwa untuk mengetahui ada atau tidaknya kemiringan bagi suatu lengkungan adalah tergantung pada harga yang biasa disebut koefisien kemiringan/kelengkungan, yang rumusannya berbentuk:
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Koefisien kemiringan k =
Tabel 2. Hasil uji kuat tekan contoh kasus II
atau dengan sebuah alternatif, secara umum dapat pula dituliskan sebagai (Davis, et.al., 1982): k=
(4)
Adapun sebagai pegangan yang digunakan untuk menentukan suatu lengkungan itu miring atau tidak adalah apabila nilai : Koef. kemiringan < 0 lengkungan negatif Koef. kemiringan > 0 lengkungan positif Koef. kemiringan = 0 lengkungan simetrik
METODOLOGI PENELITIAN Sampel data hasil pengujian kuat tekan karakteristik beton diperoleh dari Jurnal Intek Makassar Tahun ke8 No. 1 tahun 2002 (contoh kasus I) dan hasil Laboratorium Teknik Sipil Politeknik Negeri Samarinda untuk proyek Plaza Mulia Samarinda tahun 2008 (contoh kasus II). Pada kondisi tertentu, dalam laporan hasil pengujian tidak menyampaikan hasil akhir sebagai sebuah kesimpulan, tetapi hasil untuk setiap sampel sendiri-sendiri, bukan mengambil hasil ratarata pengujian, juga tidak memberikan hasil kuat tekan karakteristik beton. Hasil analisis kedua kasus tersebut kemudian dibandingkan dengan hasil analisis yang melibatkan koefisien kemiringan seperti pada formula/Persamaan 4. Tabel 1. Hasil uji kuat tekan contoh kasus I
HASIL DAN PEMBAHASAN Sering ditemukan beberapa kasus pelaporan hasil analisis kuat tekan karakteristik beton dari pengujian dengan hasil yang tidak mencerminkan sebuah karakter atau perwakilan dari nilai yang ada, terbukti hasil yang diperoleh bahkan jauh dari karakter yang sebenarnya sampai berada di posisi kurang dari nilai yang paling rendah terhadap pengujian yang dilakukan. Apabila diperhatikan secara seksama analisis tersebut tidak salah karena berpedoman pada persamaan diatas yakni : k uat tekan beton karakteristik diambil sebesar f’ cr = – k. s, Persamaan (2) dengan k = 1,64 yakni harga mutlak berdasarkan perkiraan. Penulis berpendapat, apabila menganalisis kuat tekan beton karakteristik berdasarkan hasil pengujian yang sebenarnya, dan bukan perencanaan, semestinya besaran nilai k bukan lagi 1.64, tetapi harus dihitung sesuai Persamaan (4) diatas sesuai penyebaran data dan distribusi hasil uji sesungguhnya. Contoh kasus I dianalisis dengan Persamaan (2), diperoleh hasil kuat tekan karakteristik beton sebesar: Nilai standar deviasi s = 7.198 Dianalisis menggunakan nilai k = 1.64 akan diperoleh kuat tekan karakteristik f’cr = 232.47 kg/cm2.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 21
memenuhi f’cr = 25 MPa, hal ini menuai komplain dari Pihak Pelaksana Pembangunan Plaza Mulia, karena hasil analisis berada dibawah dari nilai yang paling terendah sekali yakni f’c = 23.40 MPa. Seandainya laporan hasil pengujian kuat tekan karakteristik contoh kasus kedua tersebut dianalisis dengan nilai k berdasarkan persamaan (3) sebesar 0.382, maka kuat tekan karakteristik yang diperoleh adalah f’cr = 27.42 – 0.382 * 2.612 = 26.42 MPa, dimana nilai tersebut berada diantara nilai terendah dan nilai rata-rata hasil kuat tekan ( 23.40 < 26.42 < 27.4), sehingga memenuhi syarat f’cr = 25 MPa. Gambar 1. Histogram frekuensi peluang contoh kasus I
Apabila contoh kasus I menggunakan nilai k yang dihitung berdasarkan Persamaan (4) yaitu
k=
=
= 0.187 , akan diperoleh
kuat tekan karakteristik f’cr = 244.27 – 0.187 * 7.198 = 242.92 kg/cm2. Bisa diterima, karena masih diatas dari nilai terendah hasil pengujian kuat tekan yakni sebeasar f’c = 234.85 kg/cm2. Untuk contoh kasus II, direncanakan kuat tekan karakteristik beton f’cr = 25 MPa, dalam laporan tersebut telah dihitung dan ditetapkan bahwa nilai s = 2.612, sedangkan untuk nilai k berdasarkan Persamaan (4), diperoleh k = – 0.382 (angka negatif menunjukkan arah kemiringan data) seperti terlihat pada Gambar 2 berikut:
KESIMPULAN Memperhatikan dari beberapa contoh kasus analisis hasil pengujian kuat tekan beton karakteristik, dapat disimpulkan bahwa apabila pengambilan nilai k berdasarkan perencanaan sebesar 1,64 akan memberikan hasil yang jauh lebih kecil dari nilai kuat tekan karakteristik yang diinginkan, bahkan masih lebih kecil dari data yang terkecil setiap pengujian yang bersangkutan. Agar diperoleh hasil yang benar, nilai karakteristik yang berada pada nilai antara yang terendah dan rata-rata, disyarankan untuk menggunakan nilai k yang dihitung berdasarkan Persamaan (4) pada setiap analisis hasil pengujian.
DAFTAR PUSTAKA ______ 2008. Hasil Uji Kuat Tekan Beton Proyek Plaza Mulia Samarinda. Laboratorium Teknik Sipil POLNES. Davis, H.E., Troxell, G., Hauck, G. 1982. The Testing of Engineering Material. Fourth Edition, McGraw-Hill, Inc. Idris, M. dan Rifai, A., 2002. Kuat Tekan Beton Dengan Perbaikan Karakteristik Kerikil Alam (Sungai). Jurnal INTEK Makassar. Tahun ke-8 Nomor 1. Mulyono, T. 2003. Teknologi Beton. Penerbit Andi. Yogyakarta. SNI. 1990. Metode Pengujian Kuat Tekan Beton. SK SNI 03–1974-1990. Bandung.
Gambar 2. Histogram frekuensi peluang contoh kasus II Karena dalam laporan hasil uji kuat tekan dihitung berdasarkan nilai k = 1.64, maka kuat tekan karakteristik dari beton tersebut dicapai f’cr = 27.42 – 1.64 * 2.612 = 23.13 MPa, berarti tidak memenuhi persyaratan dalam spesifikasi teknis yang harus RISET & TEKNOLOGI /22
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
APLIKASI FILTRASI ANAEROBIK ALIRAN UPFLOW DALAM MENURUNKAN KADAR BOD DAN COD LIMBAH CAIR TAPIOKA Hery Setyobudiarso (Staf Pengajar Jurusan Teknik Lingkungan FTSP - ITN Malang)
[email protected] Abstrak Kondisi industri tapioka yang ada saat ini sering menimbulkan masalah lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri tersebut, sehingga sudah selayaknya diperhatikan dan dikendalikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beban hidrolik dan waktu detensi optimal dalam menurunkan kandungan BOD dan COD pada air limbah tapioka. Penelitian ini dilakukan untuk mengolah limbah cair tapioka sebelum dibuang ke perairan. Metode yang digunakan adalah filtrasi anaerobik aliran upflow (penyaringan tanpa membutuhkan udara dengan aliran dari bawah ke atas). Pengoperasian reaktor dilakukan secara batch dengan variasi beban hidrolik 1 m3/m2.hari, 2 m3/m2.hari dan 3 m3/m2.hari serta waktu detensi 4 jam, 8 jam dan 12 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan BOD tertinggi sebesar 77.80% dan COD tertinggi sebesar 83.15% pada variasi beban hidrolik 1 m3/m2.hari dengan waktu detensi 12 jam. Kata Kunci : aliran upflow, BOD, COD, filtrasi anaerobik, limbah cair tapioka PENDAHULUAN Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri hasil pertanian yang cukup banyak tersebar di Indonesia. Kondisi industri tapioka yang ada saat ini sering menimbulkan masalah lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri tersebut, sehingga sudah selayaknya diperhatikan dan dikendalikan. Apalagi sebagian besar industri tapioka berlokasi dekat pemukiman yang padat penduduk dan ditepi sungai sehingga sering terdengar keluhan dan kritikan dari masyarakat sekitar areal pabrik yang apabila tidak ditanggapi secara serius dapat menimbulkan kerusakan yang tidak diinginkan. Mengingat dampak negatif yang diakibatkan limbah cair tapioka tersebut maka perlu dilakukan pengolahan limbah cair tapioka sebelum dibuang ke perairan bebas, khusus pada penelitian ini digunakan metode filtrasi anaerobik. Jenis pengolahan ini cocok diterapkan apabila limbah yang akan diolah mempunyai konsentrasi zat organik yang tinggi, aliran upflow yaitu aliran yang dapat meminimalkan terjadinya clogging atau penyumbatan pada aliran air limbah daripada sistem aliran kebawah (down flow). Dalam sistem upflow ini, konsentrasi air limbah dapat diturunkan dengan baik. Media yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis yakni batu dan kerikil. Batu dan kerikil ini dipilih sebagai media filter karena
kedua jenis media ini mudah didapatkan di pasaran dan relatif murah. Fak tor yang mem pengaruhi proses filtrasi, diantaranya adalah: 1. Debit Filtrasi Dengan adanya aliran yang terlalu cepat melewati ruang pori diantara butiran media akan menyebabkan berkurangnya waktu kontak antara permukaan butir media penyaring dengan air yang akan disaring sehingga proses filtrasi tidak dapat terjadi secara sempurna. 2. Kedalaman, ukuran, dan material media. Partikel tersuspensi yang terjadi melalui influent akan tertahan pada permukaan media filter karena adanya mekanisme filtrasi (straining). Oleh karena itu efisiensi filter merupakan fungsi karakteristik fisik dari filter bed, yang meliputi porositas dan rasiodari kedalaman media terhadap ukuran media. 3. Kualitas (kekeruhan) air baku Kualitas (kekeruhan) air baku sangat mempengaruhi efisiensi filtrasi. Jika kekeruhan air baku terlalu tinggi maka diperlukan pengolahan awal terlebih dahulu. 4. Tinggi muka air dan kehilangan tekanan Tinggi muka air diatas media berpengaruh terhadap besarnya debit filtrasi yang mengalir. Muka air yang
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 23
tinggi akan meningkatkan laju filtrasi (jika filter masih dalam keadaan bersih). Muka air diatas media akan naik jika terjadi clogging (terjadi saat filter dalam keadaan kotor). 5. Temperatur air Perubahan temperatur air yang difiltrasi akan menyebabkan perubahan densitas, viskositas absolut dan viskositas kinematis pada air. Perubahan temperatur secara tidak langsung akan menyebabkan perbedaan kehilangan tekanan selama prose filtrasi. Faktor – faktor lingkungan yang mempengaruhi proses anaerobik antara lain: 1. pH Pengaruh dari perubahan pH terhadap sistem sangat besar. Jika pH dibawah 6,0 maka pembentukan metana terhenti dan lebih banyak asam berakumulasi, akibatnya akan menghentikan proses anaerobik. 2. Kapasitas digester Kapasitas digester secara umum didasarkan pada periode waktu tinggal rata- rata sel atau waktu penyimpanan padatan. Hal – hal yang mempengaruhi periode digestion yaitu debit ratarata influent, dan volume tangki (reaktor). 3. Suhu Suhu optimum untuk pembentukan metana sekitar 300C hingga 400C pada suhu diatas 400C maka produksi metana akan menurun. 4. Nutrisi Pada proses anaerobik media yang mempunyai kandungan nutrisi tertentu yang optimum akan sangat mempengaruhi proses. Perbandingan unsur nitrogen, karbon, dan fosfor layak untuk diperhitungkan yaitu besarnya dalam perbandingan karbon, nitrogen, dan fosfor, 150 : 55 : 1 bagian.
Tabel 1.
Karakteristik limbah cair pada berbagai industri tapioka (rata – rata )
Sumber : Sarastuti (2005)
RISET & TEKNOLOGI /24
Karakteristik Biologis Air limbah 1. BOD (Biochemical Oxygen Demand) Jumlah oksigen terlarut dalam air yang dibutuhkan oleh jasad renik dalam pengurangan bahan organik dibawah kondisi aerob 2. COD (Chemical Oxygen Demand) Jum lah ok sigen yang dibutuhkan untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. 3. DO (Dissolved Oxygen) Merupakan parameter yang penting untuk mengukur tingkat pencemaran air 4. TOC (Total Oganic Compound) Merupakan pengujian yang dilakukan untuk menentukan jumlah organik 5. TSS (Total Suspended Solid) Adalah jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang ada dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron. 6. NH3 (Amonia) Merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4 pada pH rendah dan disebut amonium. Amonia dalam air permukaan berasal dari air seni maupun air tinja, juga berasal dari oksidasi zat organis secara mikrobiologis yang berasal dari air buangan maupun air alam. Penelitian ini bertujuan menentukan besaran beban hidrolik dan waktu tinggal dengan metode filtrasi anaerobik dalam menurunkan kadar BOD dan COD limbah cair tapioka. METODOLOGI PENELITIAN Tahap pembenihan (seeding) Pembenihan dilakukan untuk memperoleh sejumlah mikroorganisme yang akan berperan dalam penguraian bahan organik dalam reaktor anaerobik. Pembenihan dilakukan langsung pada reaktor filtrasi anaerobik aliran upflow dengan tahapan: Sebelum melakukan seeding, terlebih dahulu media (batu dan kerikil) dimasukkan dalam reaktor. Selanjutnya proses seeding dilakukan dengan cara memasukkan sampel limbah yang akan diolah ke dalam reaktor kemudian dilakukan pengoperasian reaktor disesuaikan dengan variabel penelitian (beban hidrolik = 1m3/m2.hari (27,8 ml/mnt) dengan waktu detensi 4 jam, 8 jam dan 12, jam pada reaktor 1. 2 m3/m2.hari (55,5 mL/mnt) dengan waktu detensi 4 jam, 8 jam dan 12 jam pada reaktor II, 3 m3/m 2.hari (88,8 mL/mnt) dengan waktu detensi 4 jam, 8 jam dan 12 jam pada reaktor III.) Aklimatisasi Aklimatisasi dilakukan bersama – sama dengan proses seeding setelah itu dilakukan pengukuran
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
parameter dari effluent secara berkala. Kegiatan ini dilakukan melalui pengukuran permanganate value (PV) selama aklimatisasi sampai kondisi steady ready dicapai. Analisa Kandungan Permanganat (bahan organik limbah) Selama proses aklimatisasi metode ini yang dipakai untuk mengukur besarnya konsentrasi zat otganik dalam limbah. Biochemical Oxygen Demand (BOD) Sampel yang digunakan untuk menganalisis BOD terlarut terlebih dahulu disaring agar sampel terbebas dari padatan tersuspensi maupun koloid. Metode analisis yang digunakan adalah APHA. Ed. 20. 5210 B, 1998. Chemical Oxygen Demand (COD) Pengukuran COD pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode closed reflux titrimetric (metode dikromat) dari Standard Method 5520 C. Dengan menggunakan metode ini zat organik akan dioksidasi oleh K2Cr0O7 (kalium dikromat) dalam suasana asam pada suhu 150oC selama 2 jam. Metode analisa yang digunakan adalah QI/LKA/19 (Spektrofotometri).
Gambar 2. Reaktor filtrasi anaerobik
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Limbah Cair Tapioka Dalam penelitian ini dilakuk an analisa pendahuluan untuk memperoleh data karakteristik air limbah yang akan digunakan sebagai sampel penelitian. Berdasarkan analisa Laboratorium Kualitas Air Jasa Tirta I yang dilakukan, diperoleh data karakteristik limbah cair tapioka sebagai berikut : Tabel 2. Karakteristik awal limbah cair tapioka Kepanjen Talang Agung
Gambar 1. Diagram alir penelitian
Sumber :Hasil Analisis Kualitas Air Limbah
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 25
Data hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa filtrasi anaerobik dengan menggunakan media batu dan kerikil mempunyai kemampuan menurunkan konsentrasi BOD. Hasil perhitungan % penyisihan BOD dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 1. Tabel 3. Konsentrasi akhir BOD
Analisis Deskriptif COD Data hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa, filtrasi anaerobik dengan menggunakan media batu dan kerikil mempunyai kemampuan menurunkan konsentrasi BOD. Hasil perhitungan % penyisihan COD dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 3. Tabel 5. Konsentrasi akhir COD
Sumber : Hasil Penelitian Sumber : Hasil Penelitian
Tabel 4. Persentase penyisihan akhir BOD
Tabel 6. Persentase penyisihan akhir COD
Sumber : Hasil Penelitian
Sumber : Hasil Penelitian
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa persen penyisihan BOD terendah terjadi pada beban hidrolik 3 dengan waktu detensi (td) 4 jam sebesar 55,10% dan tertinggi pada beban hidrolik 1 dengan waktu detensi (td) 12 jam sebesar 77,80%.
Gambar 2. Hubungan waktu detensi terhadap persen penyisihan BOD RISET & TEKNOLOGI /26
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa persen penyisihan COD terendah terjadi pada beban hidrolik 3 dengan waktu detensi (td) 4 jam sebesar 62,96% dan tertinggi pada beban hidrolik 1 dengan waktu detensi (td) 12 jam sebesar 85,13%.
Gambar 3. Hubungan waktu detensi terhadap persen penyisihan COD
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu detensi mak a semakin banyak mikroorganisme yang tumbuh dan berkembang dalam air limbah tersebut mampu menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah tapioka sehingga dapat meningkatkan persentase penyisihan BOD dan COD (Sarastuti, 2005). Pada penelitian ini semakin kecilnya beban hidrolik maka semakin besar persentase penyisihan BOD, hal ini diakibatkan karena debit aliran sebesar 27,8 mL/menit sudah mam pu menguraik an bahan organik oleh mikroorganisme. Karena beban hidrolik semakin besar maka debit air limbah yang dialirkan juga semakin besar sehingga akan terjadi sloughing yang menyebabkan mikroorganisme yang menempel pada media terkelupas sehingga persentase penyisihan BOD semakin kecil (Widianto, 2006). Semakin besar beban hidrolik maka semakin menurun persen penyisihan BOD dan semakin kecil beban hidrolik maka persentase penyisihan BOD akan semakin meningkat. Debit pada influen reaktor besarnya tidak stabil karena terjadinya clogging pada reaktor sehingga valve pengatur debit pada reaktor sering diatur kembali agar debit inffluent tetap (Rosaliana, 2006). Pada proses filtrasi anaerobik penurunan konsentrasi BOD disebabkan oleh proses biologis. Air limbah yang dialirkan melewati lapisan media filter (batu dan kerikil) akan terjadi kontak dengan bakteri anaerobik. Bahan organik dalam air buangan dikonversi secara biologis oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerobik (Metcalf & Eddy, 2003). Pada proses anaerob akan menghasilkan gas metan. Terjadinya gas metan dalam reaktor ini secara biokimia adalah sebagai berikut :
Padatan tersuspensi dapat dibagi menjadi padatan yang dapat mengendap dan yang tidak dapat mengendap (Alaerts dan Sumestri, 1987). Pada umumnya 60% dari padatan tersuspensi dalam air limbah adalah padatan yang dapat mengendap (Metcalf and Edy, 2003). Seperti halnya limbah cair tapioka merupakan padatan yang dapat mengendap, dimana limbah cair tapioka yang mengandung senyawa organik dan senyawa kimia, pada reaktor filtrasi anaerobik tidak semua tertahan oleh media filter ada sebagian senyawa organik dan senyawa kimia yang ikut terbawa keluar oleh effluent, sehingga penurunan COD tidak
terlalu besar karena masih adanya senyawa-senyawa organik pada effluent reaktor filtrasi anaerobik seperti sianida (CN), lemak karbohidrat dan protein. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 1. Beban hidrolik 1 m3/m2.hari memberikan persen penyisihan BOD dan COD lebih baik dari pada beban hidrolik 2 m3/m 2.hari dan 3 m3/m 2.hari. Waktu detensi 12 jam memberikan persen penyisihan BOD dan COD yang lebih baik dari pada waktu detensi 4 jam dan 8 jam. 2. Filtrasi anaerobik dapat menurunkan konsentrasi BOD pada limbah cair tapioka, dimana persentase penyisihan BOD tertinggi sebesar 77,80% dengan variasi beban hidrolik 1 m3/ m2.hari dan waktu detensi 12 jam, persentase penyisihan terendah 62,96% dengan variasi beban hidrolik 3 m3/m 2.hari dan waktu detensi 4 jam. 3. Persentase penyisihan COD tertinggi sebesar 85,13% dengan variasi beban hidrolik 1 m3/ m2.hari dan waktu detensi 12 jam, persentase penyisihan terendah 55,10% dengan variasi beban hidrolik 3 m3/m 2.hari dan waktu detensi 4 jam.
DAFTAR PUSTAKA Alaerts, G dan Sumestri S. 1987. Metoda Penelitian Air . Penerbit Usaha Nasional Surabaya. Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering. P ed. McGraw-MII, Inc. New York. Rosaliana (2006). Unjuk Kerja Biofilter Aerobic Aliran “Upflow” Dengan Media Batu Apung (Studi Kasus: Penurunan BOD5 Terlarut Pada Air Limbah Domestik. Sarastuti, T.N. 2005. Uji Efektifitas Bioflokulan Bacillus Substilus Guna Menurunkan Konsentrasi Kekeruhan, BOD5, dan COD Pada Limbah Cair Industri Tapioka. Tugas Akhir Jurusan Teknik Lingkungan FTSP – ITN. Malang. Sugiharto. 1987. Dasar–Dasar Pengolahan Air Limbah. Universitas Indonesia – Press. Jakarta. Widianto, I.P. 2006. Penurunan COD, TSS dan Warna Pada Limbah Cair Rumah Potong Hewan (RPH) Menggunakan Anaerobik Baffled Reactor. Skripsi ITN. Malang.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 27
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
KARAKTERISTIK PROSES PENYEKRAPAN DATAR DENGAN PEMOTONGAN ORTOGONAL TERHADAP BENTUK GERAM MENGGUNAKAN PAHAT HSS PADA BAHAN BAJA ST 42 Anang Subardi (Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Nasional Malang)
[email protected]
Abstrak Proses penyekrapan datar dengan pemotongan ortogonal pada bahan baja ST 42 dipotong menggunakan pahat HSS bertujuan mempelajari karakteristik bentuk geram bahan tersebut. Bahan baja ST 42 dipasangkan pada pemegangnya yang berada pada meja sekrap, bergerak kearah melintang terhadap pahat. Pemotongan hanya terjadi pada gerak langkah maju dan pada saat langkah mundur benda kerja bergeser. Kondisi pemotongan menggunakan geometri pahat bersudut geram ( ) 5 , 10, dan 15. Tiga tingkat kecepatan potong (V) 15, 32, dan 43 m/min serta kedalaman potong (a) 1, 1,5, dan 2 mm ditetapkan sebagai proses pemotongan. Hasil kajian pada metode statistik ANAVA menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari kondisi pemotongan, yaitu pada kedalaman pemotongan terhadap bentuk geram. Namun tidak terdapat pengaruh yang signifikan pada kondisi pemotongan pada sudut geram dan kecepatan potong terhadap bentuk geram yang dihasilkan pada proses penyekrapan datar dengan pemotongan ortogonal. Dengan sudut geram (15), kecepatan potong (43 m/min) dan kedalaman potong (1 mm) bentuk geram yang dihasilkan adalah paling baik yang diasumsikan dalam skala likert mempunyai nilai 5 (bentuk C) yang merupakan geram kontinyu yang berbentuk spiral < 50 mm. Kata kunci : baja ST 42, pahat HSS, penyekrapan datar
PENDAHULUAN Pada perkembangan zaman sekarang teknologi semakin berkembang dan manusia banyak menciptakan suatu inovasi untuk kebutuhan dalam dunia industri mereka. Dengan kemampuan berfikir manusia serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat maka akan selalu membuat manusia merasa tertantang untuk terus menggali dan menganalisa ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Ilmu pengetahuan teknik dan mesin khususnya, merupakan ilmu-ilmu yang berkembang, bukan berdasarkan teori saja tetapi berdasarkan atas pengamatan. Dalam pengamatan ini hal yang akan dianalisa disini adalah penggunaan pahat HSS (high speed steel) pada proses penyekrapan, yang termasuk dalam proses pemesinan. Selama proses pemesinan berlangsung terjadi interaksi antara pahat dan benda RISET & TEKNOLOGI /28
kerja, dimana benda kerja akan tersayat dan pahat akan mengalami gesekan. Akibat sayatan pada benda kerja ini dihasilkan suatu parameter pembentukan geram. Dalam hal penganalisaan ini peneliti berusaha untuk dapat mengetahui hasil bentuk geram. Oleh karena itu disusunlah sebuah penelitian Karakteristik Proses Penyekrapan Datar Dengan Pemotongan Ortogonal Terhadap Bentuk Geram Menggunakan Pahat HSS Pada Bahan Baja ST 42. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk geram dari hasil proses penyekrapan datar dengan pemotongan ortogonal pada bahan baja ST 42 menggunakan pahat HSS dengan variasi sudut geram, kecepatan pemotongan dan kedalaman pemotongan. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang hasil bentuk geram yang dapat
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
dicapai pada proses penyekrapan datar dengan pemotongan ortogonal pada bahan baja ST 42 menggunakan pahat HSS dengan variasi sudut geram, kecepatan pemotongan dan kedalaman pemotongan. METODOLOGI PENELITIAN Variabel yang diukur dalam penelitian ini ada dua macam yaitu : variabel bebas dan variabel respon (tidak bebas). Variabel bebas. Pada penelitian ini variabel bebasnya adalah : 1. Sudut geram ( ) 2. Kecepatan potong ( V ) 3. Kedalaman potong ( a ) Penentuan dari ketiga variabel proses pemotongan tersebut adalah : Sudut geram ( ) : 5; 10; 15 Kecepatan potong ( V ) :15 m/min; 32 m/min; 43 m/ min Kedalaman potong ( a ) : 1mm ; 1,5 mm; 2 mm
Variabel respon. Penelitian ini menggunakan variabel respon jenis geram yang dihasilkan berdasarkan bentuk dan panjang geram untuk memilih jenis tipe geram yang sesuai. Jadi geram diukur panjang dan bentuknya sesuai dengan klasifikasi bentuk geram. Material. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah Baja ST 42. Untuk mengetahui material yang digunakan baja ST 42 dilakukan pengujian kekerasan dengan mesin EMCOTEST seri M2N 230. Komposisi kimia ST 42 yaitu : C = <21 %, Si = < 0,40 %, Mn = 1,35 %, P =< 0,04 %, S =< 0,05 %. Spesimen uji yang digunakan panjang 50 mm, lebar 50 mm, dan tebal 15 mm. Peralatan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin sekrap horisantal, pahat HSS, mistar ingsut, gergaji besi, mesin gerinda universal dan busur. Pelaksanaan penelitian disajikan dalam diagram alir sebagai berikut :
Gambar 1. Diagram alir penelitian
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 29
·
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Data Hasil Pengujian Bentuk Geram
· ·
Tipe C,
Merupakan bentuk geram kontinyu yang berbentuk spiral hanya saja panjangnya kurang dari 50 mm. Tipe D, Merupakan bentuk geram tidak kontinyu yang melingkar satu putaran untuk bagian depan dan belakang. Tipe E, Merupakan bentuk geram tidak kontinyu yang melengkung akan tetapi tidak mencapai satu putaran.
Apabila diasumsik an menjadi sk ala Likert berdasarkan tingkatan jenis geram mulai dari yang paling baik sampai yang tidak baik berdasarkan klasifikasi bentuk geram. Dimana dalam Skala Likert : Untuk nilai : C = 5 ( Sangat baik ) D = 4 ( Baik ) E = 3 ( Sedang ) B = 2 ( Tidak baik ) A = 1 ( Sangat tidak baik )
Berdasarkan efek yang mengakibatkan, bentuk geram dapat diklasifikasikan menjadi 5 jenis (Tungaloy, 2004) yaitu tipe A, B, C, D, dan E sebagai berikut :
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian untuk pengujian penyekrapan datar terhadap hasil bentuk geram yang terjadi pada beberapa bentuk kombinasi level variasi bebas sesuai dengan rancangan eksperimen. Untuk mempermudah analisa yang dilakukan, maka data-data yang dihasilkan tersebut diolah untuk menggunakan bantuan paket program SPSS (Statistical Product and Servis Solution) (Singgih, 2000). Hubungan Antara Sudut Geram Pahat dengan Bentuk Geram
Gambar 2. Klasifikasi geram berdasarkan bentuk Keterangan Gambar 2. · Tipe A, Merupakan bentuk geram yang kontinyu yang berbentuk menggulung menjadi kusut serta tidak patah. · Tipe B, Merupakan bentuk geram kontinyu yang berbentuk spiral yang memanjang, akan tetapi pada panjang tertentu akan putus. Pada tipe ini panjang geram lebih dari 50 mm. RISET & TEKNOLOGI /30
Gambar 2. Hubungan sudut geram dengan bentuk geram
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Test of Homogeneity of Variances Uji Levene Hipotesis : H0 : ketiga varian populasi identik. Artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara sudut geram dengan bentuk geram. H1 : ketiga varian populasi tidak identik. Artinya ada pengaruh yang signifikan antara sudut geram dengan bentuk geram. Analisa ini bertujuan untuk menguji berlaku tidaknya salah satu asumsi untuk ANAVA, yaitu apakah ketiga sampel mempunyai varian yang sama.
Pengambilan keputusan Kriteria : - Jika Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak atau H1 diterima - Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima Dari hasil output Anava terlihat Fhitung = 0,432. Ftabel diperoleh dari batas uji F dengan (df 1) pembilang 2 dan (df 2) penyebut 24 = F(0,05. 2. 24) = 3,40 didapat dari garis lurus pada tabel statistik. Karena Fhitung < Ftabel maka H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing perlakuan (sudut geram 5 , 10 dan 15) tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap bentuk geram yang dihasilkan.
Tabel 2. Test of homogeneity of variances sudut geram
Pengambilan keputusan Kriteria : Jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima Jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak, dengan kata lain H1 diterima Terlihat pada output test of homogeneity of variances nilai probabilitasnya (Signifikan) adalah 0,366. Oleh karena probabilitas-Value > α (0,05) maka H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga sampel identik. ANAVA Anava (Analysis Of Variances) dilakukan untuk menguji apakah ketiga sampel memiliki rata-rata (mean) yang sama. Hipotesis : H0 : ketiga varian populasi identik. Artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara sudut geram dengan bentuk geram. H1 : ketiga varian populasi tidak identik. Artinya ada pengaruh yang signifikan antara sudut geram dengan bentuk geram. Tabel 3. Anava sudut geram
Gambar 3. Hubungan sudut geram dengan rata-rata bentuk geram Pada Gambar 3 terlihat pada sudut geram 5º dan10º sama-sama mempunyai nilai sebagian besar rata-rata bentuk geram dengan nilai 3,666 pada skala likert (cenderung menghasilkan bentuk geram D). Hubungan Antara Kecepatan Potong dengan Bentuk Geram Test of Homogeneity of Variances Uji Levene Hipotesis : H0 : ketiga varian populasi identik. Artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara kecepatan potong dengan bentuk geram. H1 : ketiga varian populasi tidak identik. Artinya ada pengaruh yang signifikan antara kecepatan potong dengan bentuk geram. Analisa ini bertujuan untuk menguji berlaku tidaknya salah satu asumsi untuk ANAVA, yaitu apakah ketiga sampel mempunyai varian yang sama.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 31
Tabel 4. Test of homogeneity of variances kecepatan potong
maka H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing perlakuan (kecepatan potong 15 m/ min, 32 m/min dan 43 m/min) tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap bentuk geram yang dihasilkan.
Pengambilan keputusan Kriteria : - Jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima - Jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak, dengan kata lain H1 diterima Terlihat pada output test of homogeneity of variances nilai probabilitasnya (Signifikan) adalah 0,741. Oleh karena probabilitas-Value > á (0,05) maka H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga sampel identik. ANAVA Anava (Analysis Of Variances) dilakukan untuk menguji apakah ketiga sampel memiliki ratarata (mean) yang sama. Hipotesis : H0 : ketiga varian populasi identik. Artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara kecepatan potong dengan bentuk geram. H1 : ketiga varian populasi tidak identik. Artinya ada pengaruh yang signifikan antara kecepatan potong dengan bentuk geram. Tabel 5. Anava kecepatan potong
Gambar 5. Hubungan kecepatan potong dengan rata-rata bentuk geram Pada Gambar 5 terlihat pada kecepatan potong 43 m/min mempunyai nilai sebagian besar rata-rata bentuk geram dengan nilai 3,888 pada skala likert (cenderung menghasilkan bentuk geram D). Hubungan Antara Kedalaman Potong dengan Bentuk Geram
Pengambilan keputusan Kriteria : - Jika Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak atau H1 diterima -
Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima
Dari hasil output Anava terlihat Fhitung = 2,375. Ftabel diperoleh dari batas uji F dengan (df 1) pembilang 2 dan (df 2) penyebut 24 = F(0,05. 2. 24) = 3,40 didapat dari garis lurus pada tabel statistik. Karena Fhitung < Ftabel RISET & TEKNOLOGI /32
Gambar 6. Hubungan kedalaman potong dengan bentuk geram
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Test of Homogeneity of Variances Uji Levene Hipotesis : H0 : ketiga varian populasi identik. Artinya tidak ada pengaruh yang signifik an antara kedalaman potong dengan bentuk geram. H1 : ketiga varian populasi tidak identik. Artinya ada pengaruh yang signifik an antara kedalaman potong dengan bentuk geram. Analisa ini bertujuan untuk menguji berlaku tidaknya salah satu asumsi untuk ANAVA, yaitu apakah ketiga sampel mempunyai varian yang sama.
Pengambilan keputusan Kriteria : - Jika Fhitung > Ftabel, maka H0 ditolak atau H1 diterima - Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima Dari hasil output Anava terlihat Fhitung = 4,429. Ftabel diperoleh dari batas uji F dengan (df 1) pembilang 2 dan (df 2) penyebut 24 = F(0,05. 2. 24) = 3,40 didapat dari garis lurus pada tabel statistik. Karena Fhitung > Ftabel maka H0 = ditolak dan H1 = diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa masing-masing perlakuan (1 mm, 1,5 mm dan 2 mm) berpengaruh signifikan terhadap hasil bentuk geram.
Tabel 6. Test of homogeneity of variances kedalaman potong
Pengambilan keputusan Kriteria : - Jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima - Jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak, dengan kata lain H1 diterima Terlihat pada output test of homogeneity of variances nilai probabilitasnya (Signifikan) adalah 0,103. Oleh karena probabilitas-Value > á (0,05) maka H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga sampel identik. ANAVA Anava (Analysis Of Variances) dilakukan untuk menguji apakah ketiga sampel memiliki rata-rata (mean) yang sama.
Hipotesis : H0 : ketiga varian populasi identik. Artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara kedalaman potong dengan bentuk geram. H1 : ketiga varian populasi tidak identik. Artinya ada pengaruh yang signifikan antara kedalaman potong dengan bentuk geram. Tabel 7. Anava kedalaman potong
Gambar 7. Hubungan kedalaman potong dengan rata-rata bentuk geram Pada Gambar 7 terlihat pada kedalaman potong 1 mm mempunyai nilai sebagian besar ratarata bentuk geram dengan nilai 4 pada skala likert (cenderung menghasilkan bentuk geram D). Perhitungan Data Menurut Rumus Elemen Dasar Proses Sekrap Kecepatan potong yang digunakan dalam penelitian bervariasi yaitu 15 m/menit, 32 m/menit, dan 43 m/menit. Sehingga diperoleh jumlah langkah permenit 285 langkah/menit pada kecepatan potong 15 m/menit, 609 langkah/menit pada kecepatan potong 32 m/menit, dan 819 langkah/menit pada kecepatan potong 43 m/menit (seperti yang telah dihitung menurut rumus dasar pemesinan). Gerak makan (f) pada benda kerja ditetapkan sebesar 0,18 mm/langkah. Sehingga diperoleh kecepatan makan yang berbeda beda pada tiap pengerjaan karena jumlah langkah permenit yang berbeda-beda (seperti yang telah dihitung menurut rumus dasar pemesinan). Waktu pemotongan juga akan berbeda-beda sesuai dengan kecepatan makan yang berbeda-beda (seperti yang telah dihitung menurut rumus dasar pemesinan).
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 33
Pada kecepatan penghasil geram juga berbebedabeda sesuai dengan kedalaman pemotongan yang bervariasi (1 mm, 1,5 mm dan 2mm) dan kecepatan pemotongan yang berbeda-beda (seperti yang telah dihitung menurut rumus dasar pemesinan). Analisis Data Menurut Analisis Varians (ANAVA) Pengolahan data dengan metode ANAVA ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan bentuk geram dengan variasi 3 variabel bebas yang ditentukan yaitu sudut geram, kecepatan potong dan kedalaman potong. Dari data pengujian hubungan antara bentuk geram dengan 3 variasi sudut geram, diperoleh daftar distribusi F dengan (df 1) pembilang 2 dan (df 2) penyebut 24 dan peluang 0,95 (jadi á = 0,05) didapat F = 3,40. Ternyata bahwa Fhitung = 0,432 < Ftabel = 3,40 ; jadi hipotesis H0 = diterima dan H1 = ditolak dalam taraf nyata 0,05. Sehingga dengan 3 variasi sudut geram (5º, 10º dan 15º) tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil bentuk geram. Dari data pengujian hubungan antara bentuk geram dengan 3 variasi kecepatan potong, diperoleh daftar distribusi F dengan (df 1) pembilang 2 dan (df 2) penyebut 24 dan peluang 0,95 (jadi á = 0,05) didapat F = 3,40. Ternyata bahwa Fhitung = 2,376 < Ftabel = 3,40 ; jadi hipotesis H0 = diterima dan H1 = ditolak dalam taraf nyata 0,05. Sehingga dengan 3 variasi kecepatan potong (15 m/min, 32 m/min dan 43 m/min) tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil bentuk geram. Dari data pengujian hubungan antara bentuk geram dengan 3 variasi kedalaman potong, diperoleh daftar distribusi F dengan (df 1) pembilang 2 dan (df 2) penyebut 24 dan peluang 0,95 (jadi á = 0,05) didapat F = 3,40. Ternyata bahwa Fhitung = 4,432 > Ftabel = 3,40 ; jadi hipotesis H0 = ditolak dan H1 = diterima dalam taraf nyata 0,05. Sehingga dengan 3 variasi kedalaman potong (1 mm, 1,5 mm dan 2 mm) berpengaruh signifikan terhadap hasil bentuk geram.
2.
Terdapat pengaruh yang signifikan dari kondisi pemotongan, yaitu pada kedalaman pemotongan terhadap bentuk geram. Namun tidak terdapat pengaruh yang signifik an pada kondisi pemotongan pada sudut geram dan kecepatan potong terhadap bentuk geram yang dihasilkan pada proses penyekrapan datar dengan pemotongan ortogonal. 3. Terdapat hubungan antara kondisi pemotongan terhadap jenis geram yaitu : dengan sudut geram (15), k ecepatan potong (43 m/min) dan kedalaman potong (1 mm) bentuk geram yang dihasilkan adalah paling baik yang diasumsikan dalam skala likert mempunyai nilai 5 (bentuk C) yang merupakan geram kontinyu yang berbentuk spiral < 50 mm. DAFTAR PUSTAKA Santoso, S. 2000. Buku latihan SPSS Statistik Parametrik. Media komputindo. Jakarta. Tungaloy, T. 2004. Turning & Boring Tools. Toshiba Tungaloy Co. Ltd.
KESIMPULAN Dari hasil analisa dan pembahasan data-data hasil penelitian penyekrapan datar dengan pemotongan ortogonal terhadap bentuk geram, maka didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada variabel-variabel kondisi pemotongan yang terdiri dari sudut geram (5 , 10, 15), kecepatan potong (15 m/min, 32 m/min, 43 m/min) dan kedalaman pemotongan (1 mm, 1,5 mm, 2 mm) menunjukkan pengaruh terhadap bentuk geram yang dihasilkan berbentuk (spiral < 50 mm, melingkar satu putaran, dan melengkung). RISET & TEKNOLOGI /34
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
EFISIENSI ANGGARAN BIAYA PERKERASAN LENTUR DENGAN MENGGANTI PONDASI AGREGAT B DENGAN SIRTU Ibayasid (Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Samarinda)
[email protected]
Abstrak Dalam rangka mempercepat proses pembangunan di Kalimantan Timur, perhatian pemerintah terhadap infrastruktur sangat tinggi, salah satunya adalah infrastruktur jalan. Hal ini dapat dilihat pada tiga program pokok pembangunan pemerintah provinsi Kalimanatan Timur, yaitu peningkatan sumber daya manusia, infrastruktur dan pertanian dalam arti luas. Salah satu langkah yang harus diperhatikan dalam perencanaan perkerasan jalan adalah pemilihan bahan yang sesuai dengan kriteria : bahan mudah didapat, dana yang tersedia cukup, ketersediaan peralatan dan SDM yang ada, serta sesuai dengan fungsi jalannya sendiri. Selama ini penggunaan bahan hanya berdasarkan kebiasaan saja, misalnya untuk Lapisan Pondasi Atas (LPA) selalu digunakan Agregat A, untuk Lapisan Pondasi Bawah (LPB) selalu menggunakan agregat B. Sebenarnya untuk bahan ini bisa disesuaikan dengan bahan yang ada di lokasi, misalnya LPB dengan menggunakan Sirtu. Penelitian ini akan mencoba menghitung ketebalan masing-masing lapisan perkerasan dengan menggunakan Metode Binamarga, untuk mengetahui berapa perbedaan ketebalan antar LPB menggunakan agregat B dengan LPB menggunakan Sirtu. Selain itu juga akan dihitung berapa perbedaan biayanya. Setelah dilakukan perhitungan tebal perkerasan lentur dengan menggunakan metode Analisa Komponen Binamarga perkerasan alternatif I ketemu ketebalan lapisan permukaan Laston 7,5 cm, pondasi atas Agregat A 20 cm dan pondasi bawah agregat B 21 cm. Untuk altenatif II dengan mengganti Agregat B dengan Sirtu yang mempunyai CBR 50% didapatkan tebal lapisan Sirtu 23 cm. Dari perhitungan terlihat bahwa ketebalan lapisan pondasi bawah dengan bahan Agregat B dan Sirtu perbedaaannya tidak terlalau jauh. Dan setelah dihitung anggaran biayanya, alternatif I diperlukan biaya sebesar Rp 16.171.767.000,- dan alternatif II diperlukan biaya Rp 15.308.953.000,- dari sini dapat diartikan bahwa dengan menggunakan Sirtu sebagai lapisan pondasi bawah, bisa menghemat biaya sebesar Rp 862.814.000,- atau 5,33 %. Hal ini akan lebih menguntungkan apabila dilaksanakan pada daerah-daerah yang disekitarnya mempunyai lokasi penambangan Sirtu. Kata Kunci : Perkerasan Lentur, Agregat B, Sirtu
PENDAHULUAN Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur yang sangat penting dalam pengembangan kehidupan masyarakat, serta dan wilayah negara. Selain itu jalan sebagai prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, seta untuk peningkatan kesejahteraan masyarak at. Dalam rangka mempercepat proses pembangunan di Kalimantan Timur, perhatian pemerintah terhadap infrastruktur sangat tinggi, salah satunya adalah infrastruktur jalan.
Karena hal ini akan menjadi penunjang dalam menggerakkan roda perekonomian daerah serta mengembangkan potensi daerah setempat. Hal ini dapat dilihat pada tiga program pokok pembangunan pemerintah provinsi Kalimanatan Timur, yaitu peningkatan sumber daya manusia, infrastruktur dan pertanian dalam arti luas. Pembangunan jalan di Kabupaten Kutai Kertanegara semak in pesat seiring dengan berkembangnya perekonomian dan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 35
Dengan pesatnya pembangunan jalan tersebut, masih sering pula ditemui permasalahan permasalahan di lapangan, salah satunya adalah tidak tercapainya kwalitas pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang ada, untuk itu maka perencanaan dan pelaksanaan juga diharapkan lebih baik dan teliti, sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang ada. Salah satu langkah yang harus diperhatikan dalam perencanaan adalah pemilihan bahan perkerasan sesuai dengan kriteria : bahan mudah didapat, dana yang tersedia cukup, ketersediaan peralatan dan SDM yang ada, serta sesuai dengan fungsi jalannya sendiri. Selama ini penggunaan bahan hanya berdasarkan kebiasaan saja, misalnya untuk Lapisan Pondasi Atas (LPA) selalu digunakan Agregat A, untuk Lapisan Pondasi Bawah selalu menggunakan agregat B. Sebenarnya untuk bahan ini bisa disesuaikan dengan bahan yang ada di lokasi, misalnya LPB dengan menggunakan Sirtu. Penelitian ini akan mencoba menghitung ketebalan masingmasing lapisan perkerasan dengan menggunakan Metode Binamarga, untuk mengetahui berapa perbedaan ketebalan antar LPB menggunakan agregat B dengan LPB menggunakan Sirtu. Selain itu juga akan dihitung berapa perbedaan biayanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung berapa rupiah perbedaan antara biaya yang diperlukan untuk mengerjakan perkerasan lentur jalan dengan menggunakan Lapisan Permukaan Laston, LPA agregat A dan LPB Agregat B dengan jalan yang menggunakan LPB Sirtu. Dalam penelitian ini masalah-masalah yang menjadi konsentrasi adalah sebagai berikut : 1. Perhitungan tebal perkerasan lentur jalan dengan LPB Agregat B dan LPB Sirtu, sedangkan bahan lapisan permukaan tetap sama Laston, dan LPA Agregat A. 2. Metode yang digunakan menghitung adalah Metode Analisa Komponen Binamarga. 3. Lokasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah Ruas jalan L1-L2 dari STA 0 + 050 – STA 7 + 200 Kabupaten Kutai Kertanegara. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada Konsultan Perencana sebagai alternatif bahan perkerasan lentur terutama pada lokasi pekerjaan yang disekitarnya banyak terdapat Sirtu, sehingga dapat digunakan sebagai pengganti agregat B untuk pada Lapisan Pondasi Bawah. Pengertian Perkerasan Lentur Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang dihampar diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu-lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya. RISET & TEKNOLOGI /36
Pada Gambar berikut, terlihat bahwa beban lalu-lintas diterima oleh permukaan perkerasan melalui bidang kontak roda yang berupa beban terbagi rata Po. Beban tersebut kemudian disebarkan ke tanah dasar menjadi P1 yang lebih kecil dari pada daya dukung tanah. Jadi pada prinsipnya perkerasan berfungsi untuk memperkecil tegangan yang terjadi dengan cara memperbesar luasan bidang kontak. Sesuai dengan persamaan sebagai berikut :
σ=P/A dimana : σ = Tegangan yang terjadi P = Beban roda kendaraan A = Luas bidang kontak Jadi semakin besar A maka tegangan yang terjadi akan semakin kecil, sehingga mampu diterima oleh tanah dasar.
Gambar 1. Penyebaran Beban Roda Lapisan Perkerasan Jalan
Melalui
Kontruksi perkerasan lentur terdiri dari : Lapisan Permukaan ( Surface Course) Bagian dari lapisan perkerasan yang terletak paling atas disebut lapisan permukaan, dan mempunyai fungsi sebagai berikut : a. menahan beban roda, harus mempunyai stabilitas yang tinggi untuk menahan roda selama masa pelayanan. b. sebagai laipsan kedap air, sehinggga air hujan tidak meresap kebawah dan merusak lapisan tersebut. c. lapisan aus (wearing course),lapisan yang langsung mengalami gesekan roda kendaraan d. lapisan yang menerima dan menyebarkan beban roda kendaraan, sehingga dapat dipikul oleh lapisan yang mempunyai daya dukung lebih jelek. Guna dapat memenuhi fungsi seperti tersebut diatas, maka lapisan permukaan pada umumnya terbuat dari agregat dengan perekat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang tahan aus, kedap air
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
dengan stabilitas yang tinggi serta daya tahan yang lama. Lapisan Pondasi Atas ( Base Course ) Bagian dari lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan permukaan dengan lapisan pondasi bawah. Lapisan pondasi atas mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. bagian dari perkerasan yang menahan beban roda dan menyebarkan ke lapisan perkerasan di bawahnya. 2. lapisan peresap untuk lapisan pondasi bawah. 3. sebagai bantalan dari lapisan permukaan. Untuk pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR > 50 % dan Indeks plastisitas < 4 %. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course) Bagian dari lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan permukaan dengan lapisan pondasi bawah. Lapisan pondasi atas mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Bagian dari konstruksi perkerasan yang menyebarkan beban roda kendaraan ke tanah dasar. Bahan dari lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR > 20 % dan Indeks Plastisitas < 10 %. 2. Effisiensi penggunaan material, material pondasi bawah relative murah dibandingkan lapisan diatasnya. 3. Sebagai lapisan peresap agar air tanah tidak naik ke pondasi atas. 4. Sebagai lapisan pertama untuk mempermudah pelaksanaan lapisan diatasnya. 5. Sebagai filter agar partikel-partikel halus dari tanah dasar tidak naik ke lapisan pondasi atas. Tanah Dasar (Subgrade) Lapisan Tanah Dasar adalah lapisan tanah setebal 50 – 100 cm dimana di atasnya akan dihampar lapisan pondasi bawah. Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan apabila tanah dasarnya baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan atau tanah yang distabilisasi dengan semen atau bahan lain. Dilihat dari permukaan tanah asli, tanah dasar dapat dibedakan menjadi : - Tanah asli - Tanah galian - Tanah timbunan. Penentuan Nilai CBR (California Bearing Ratio) Salah satu faktor yang menentukan tebalnya perkerasan jalan adalah kulitas tanah dasarnya, dan kualitas tanah dasar suatu perkerasan jalan ditentukan dengannilai CBR.CBRadalahperbandingan antarabeban yang diperlukan untuk penetrasi contoh tanah sebesar 0.1"/0.2" dengan beban yang ditahan bahan standard pada penetrasi 0.1"/0.2" . CBR dinyatakan dalam persen.
Jadi nilai CBR adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah atau batu dibandingkan dengan batu pecah standar yang mempunyai nilai CBR 100%. Ada beberapa cara dan alat yang digunakan untuk menentukan besarnya nilai CBR untuk pekerjaan jalan alat yang sering digunakan adalah DCP (Dynamic Cone Penetrometer). Alat DCP mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1985/1986. Pengujian dengan alat ini akan menghasilkan kekuatan tanah sampai kedalaman ± 90 cm.
METODOLOGI PENELITIAN Data Perencanaan Perkerasan Lentur (Metode Binamarga) : Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Lajur rencana ditentukan dari salah satu lajur dari suatu ruas jalan yang menampung lalu-lintas terbesar. Apabila jalan tidak mempunyai tanda batas lajur maka jumah lajur dapat ditentukan berdasarkan lebar perkerasan, Koefiseien Distribusi kendaraan (C), adalah angka yang menunjukkan tingkat penyebaran kendaraan pada waktu melewati lajur rencana, sem akin lebar jalan semakin kecil, karena kemungkinan kendaraan melewati lajur yang sama semakin kecil. Besarnya koefisien distribusi untuk kendaraan ringan (berat total < 5 ton) maupun kendaraan berat (berat total e” 5 ton) ditentukan menurut tabel. Angka Ekivalen (E) Beban sumbu Kendaraan. Angka Ekivalen dari suatu beban sumbu kendaraan adalah angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standard sumbu tunggal seberat 8.16 ton (18.000 lb). Angka Ekivalen masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus di bawah ini : Angka Ekivalen Sumbu tunggal = [ Beban satu sumbu tunggal dalam Kg ] 4 8160 Angka Ekivalen Sumbu Ganda = [ Beban satu sumbu ganda dalam Kg ] 4 8160 Lalu Lintas Harian Rata-Rata dan Lintas Ekivalen 1). Lalu-lintas Harian Rata-rata (LHR) adalah jumlah rata-rata lalu-lintas kendaraan bermotor roda 4 atau lebih yang dicatat selama 24 jam untuk kedua jurusan. LHR setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 37
arah pada jalan tanpa median dan masing-masing arah untuk jalan dengan median. 2). Lintas Ekivalen Permulaan (LEP), dihitung dengan rumus sebagai berikut : n LEP = Σ LHRj X Cj X Ej j=1 3). Lintas Ekivalen Akhir (LEA), dihitung dengan rumus sebagai berikut : n LEA = Σ LHRj ( 1 + i ) UR X Cj X Ej j=1 j = jenis kendaraan i = pertumbuhan lalulintas UR = Umur Rencana 4). Lintas Ekivalen Tengah (LET), dihitung dengan rumus sebagai berikut : LET = ( LEP + LEA ) / 2 5) Lintas Ekivalen Rencana (LER), dihitung dengan rumus sebagai berikut : LER = LET X FP FP = Faktor Penyesuaian, ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : FP = UR / 10 Daya Dukung Tanah (DDT) Tanah Dasar adalah permukaan tanah asli atau permukaan galian atau permukaan urugan yang dipadatkan yang merupakan dasar untuk meletakkan bagian-bagian perkerasan lainnya. Daya Dukung Tanah ditentukan berdasarkan nilai CBR tanah dasar. Setelah diketahui CBR yang mewakili dalam satu segmen (CBR segmen), maka ditentukan nilai Daya Dukung Tanah dengan menggunakan grafik. Faktor Regional (FR) Faktor Regional adalah factor sesuai dengan kondisi setempat, menyangkut keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan. Faktor Regional dipengaruhi oleh : kelandaian jalan, persen kendaraan berat dan curah hujan yang terjadi pada lokasi pembangunan jalan. Indeks Permukaan (IP) Indeks Permukaan adalah suatu angka yang dipergunakan untuk menyatakan kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan jalan bagi lalu-lintas yang menggunakannya. Indeks Permukaan Awal Umur Rencana (IPo) tergantung pada jenis lapisan permukaan yang digunakan. Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana (IPt) m enentukan perlu mempertimbangkan klasifikasi jalan dan Lalu-lintas ekivalen rencananya.. RISET & TEKNOLOGI /38
Besarnya nilai Indeks Permukaan beserta artinya dapat dijelaskan sebagai berikut : IPt = 1.0 adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu-lintas. IPt = 1.5 adalah tingkat pelayanan jalan yang terendah yang masid mungkin (jalan tidak terputus) IPt = 2.0 adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap. IPt = 2.5 adalah menunjukkan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik. Dalam menentukan Indeks Permukaan padaawal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapisan permukaan jalan, keretaan/kehalusan serta kekokohan pada awal umur rencana. Koefisien Kekuatan Relatif (a) Koefisien Kekuatan relative (a) masing-masing bahan dan kegunaan sebagai lapis permukaan, lapis pondasi atas atau lapis pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test ( untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang distabilkan dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan pondasi) Langkah-langkah perencanaan tebal lapis perkerasan dengan metode Analisa Komponen - Binamarga. 1. Tentukan nilai daya dukung tanah dengan menggunakan pengujian CBR. 2. Dengan memperhatikan nilai CBR dari hasil pengujian di lapangan sepanjang jalan rencana, tentukan nilai CBR segmen. 3. Tentukan Nilai Daya Dukung Tanah dari nilai CBR segmen. 4. Tentukan Umur rencana dari jalan yang akan direncanakan. Pada umumnya umur rencana jalan di Indonesia diambil 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. 5. Tentukan besarnya pertumbuhan lalu-lintas selama masa pelaksanaan dan selama umur rencana. 6. Tentukan Faktor Regiona (FR) Faktor Regional ditentukan berdasar kan : - kelandaian jalan maksimum - curah hujan rata dalam satu tahun, dan - Persen kendaraan berat (>5ton) 7. Tentukan Lintas Ekivalen Rencana (LER) 8. Tentukan Indeks Permukaan Awal (IPo) berdasarkan jenis perkerasan yang digunakan dan hasil Roughness test nya. 9. Tentukan Indeks Permukaan akhir (IP 0 ) berdasarkan Lintas Ekivalen Rencana (LER) dan Klasifikasi jalan menurut fungsinya. 10.Tentukan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) dengan menggunakan nomogram. ITP dapat diperoleh dari nomogram dengan menggunakan Daya dukung Tanah (DDT), Lintas Ekivalen Rencana (LER), serta Faktor Regional (FR).
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
11. Tentukan Jenis bahan Perkerasan Bahan Perkerasan ditentuk an dengan mempertimbangkan : : - Material yang ada/mudah didapat di sekitar lokasi jalan - Dana awal yang tersedia - Tenaga Kerja dan peralatan yang tersedia - Fungsi jalan. 12.Tentukan Koefisien Kekuatan Relatif (a) sesuai dengan bahan yang digunakan. 13.Dengan menggunakan persamaan : ITP = a1 D1 + a2 D2 + a3 D3 dimana : a1 adalah koefisien kekuatan relatif untuk lapisan permukaan a2 adalah koefisien kekuatan relatif untuk lapisan pondasi atas a3 adalah koefisien kekuatan relatif untuk lapisan pondasi bawah D1 adalah tebal lapisan permukaan D2 adalah tebal lapisan pondasi atas D3 adalah tebal lapisan pondasi bawah Perkiraan besarnya ketebalan masing-masing jenis lapis perkerasan ini tergantung dari nilai minimum yang telah ditentukan oleh Binamarga. 14.Kontrol apakah tebal dari masing-masing jenis lapisan telah memenuhi ITP yang bersangkutan. Perkiraan Perhitungan Produksi Alat Rumus umum produksi alat : Q = q x 60 x E Ws Dimana : Q = produksi alat dalam satuan jam (m³/jam) q = kapasitas alat per siklus (m³/siklus) Ws = waktu siklus (menit) E = effisiensi total Maka dapat kita lihat bahwa produksi alat sangat tergantung pada : (1) Jenis alat/kapasitas alat dimana kapasitas alat ditentukan dari jenis dan tipe alat. (2) Waktu siklus : daya alat, kecepatan alat, kondisi lapangan dalam hal transaksi. (3) Effisiensi : kondisi alat, material yang diangkut, kondisi lapangan dalam hal cuaca, kondisi tatalaksana dan sebagainya. Kondisi kerja tersebut, biasanya adalah sebagai berikut : a. Effisiensi waktu 100 % (60 menit/jam) b. Waktu tetap untuk pemindahan daya (pindah persneling) = 0,05 menit. c. Berat jenis (density) tanah : Untuk tanah lepas = 1370 kg/m³ Untuk tanah asli = 1790 kg/m³ d. Prosentase kembang 30 % atau factor beban = 0,769 e. Koeffisien traksi :
Untuk roda kembang (track) = 0,5 Untuk roda ban = 0,4 f. Blade digerakkan dengan system hidrolis Estimasi Biaya 1. Volume/ kubikasi pekerjaan perkerasan Menghitung jumlah banyaknya volume pekerjaan dalam satu satuan. Masing- masing volume tersebut mempunyai pengertian sebagai berikut: a. Biaya umum dihitung berdasarkan harga lapangan dengan Lump Sump; b. Agregat A dan B serta Sirtu dihitung berdasarkan volume dengan satuan meter kubik (m3) c. Prime coat (lapis pengikat), tack coat (lapis perekat) dihitung berdasarkan luas dengan satuan meter persegi (m²). d. Laston dihitung berdasarkan volume dengan dengan satuan meter kubik (m3) 2. Harga Satuan Pekerjaan Jumlah harga dan upah tenaga kerja berdasarkan perhitungan analisis dikalikan dengan volume pada masing- masing pekerjaan. 3. Rencana Anggaran Biaya Rencana anggaran biaya dihitung berdasarkan besarnya volume/kuantitas masing- masing pekerjaan dikalikan dengan harga satuan pekerjaan. Perhitungan Rencana Anggaran Biaya dikelompokkan sesuai item pekerjaan misalnya pekerjaanpersiapan, pekerjaan tanah dsb. Selanjutnya dari Rencana Anggaran Biaya dibuat rekapitulasi biaya, ini merupakan hasil akhir dari perhitungan estimasi biaya. HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan CBR Segmen Untuk merencanakan tebal perkerasan lentur, data hasil pengujian CBR di lapangan dilapangan harus dijadikan dulu CBR segmen. Perhitungan CBR segmen dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara Analitis dan secara grafis. Perhitungan CBR segmen dengan cara Analitis: Tabel 1. Data CBR hasil pengujian adalah sebagai berikut:
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0 1 2 3 3 3 4 5 5 6 6 7
STA + 050 + 150 + 280 + 125 + 340 + 500 + 250 + 200 + 950 + 650 + 800 + 200
CBR % 6,40 10,00 13,50 7,70 9,00 9,10 11,00 15,80 13,20 11,50 14,50 12,00 RISET & TEKNOLOGI / 39
CBRsegmen=CBRrata-rata–(CBRmaks–CBRmin )/R CBR rata-rata : (6,4+10+13,5+7,7+9+9,1+11+15,8+13,2 +11,5+14,5+12) : 12 = 11,14 % CBR maks = 15,8 % CBR min = 6,4 % Karena jumlah titik pengujian >10, maka R =3,18 CBR segmen = 11,14-(15,8-6,4)/3,18 = 8,18 % Perhitungan Tebal Perkerasan Data lalu-lintas Tahun 2007 Mobil Penumpang = 60 kendaraan Pick up 2 ton = 150 kendaraan Truk 2 As 13 ton = 100 kendar aan Truk 3 as 20 to = 10 kendaraan Umur Rencana = 10 tahun Perkembangan lalu lintas (i) = 15 % / tahun LHR awal umur rencana (Tahun 2009) Mobil Penumpang = 60 ( 1 + 0.15 ) 2 = 79.35 kend/hari Pick up 2 ton = 150 ( 1 + 0.15 ) 2 = 198.375 kend/hari Truk 2 As 13 ton = 100 ( 1 + 0.15 ) 2 = 132.25 kend/hari Truk 3 as 20 ton = 10 ( 1 + 0.15 ) 2 = 13.225 kend/hari LHR akhir umur rencana Mobil Penumpang = 79.35 ( 1 + 0.15 )10 Pick up 2 ton = 198.375 ( 1 + 0.15) 10 Truk 2 As 13 ton = 132.25 ( 1 + 0.15 ) 10 Truk 3 as 20 ton = 13.225 ( 1 + 0.15 ) 10
(Tahun ke-10) = 321.01 kend/hari
RISET & TEKNOLOGI /40
= 0.128 = 0.321 = 569.689 = 55.506 = 625.644
Menghitung LET : LET = ½ (LEP + LEA) = ½ (154.649 + 625.644) = 390 Menghitung LER LER = LET x Umur Rencana / 10 = 390 x (10/10) = 390 Mencari Daya Dukung Tanah (DDT) Dari Grafik Korelasi CBR dengan DDT untuk CBR = 8,186 % didapat nilai DDT = 5,6 Menentukan Faktor Regional (FR) Faktor Regional (FR) didapat : Kelandaian maksimum < 6 % % kendaraan berat = “kendaraan berat e” 5 ton x 100 % “kendaraan keseluruhan = 100 + 10 x 100 % = 34,37 % 60+150+100+10 Curah hujan < 900 mm/thn Maka didapat nilai FR = 1,5
= 802.53 kend/hari = 535.02 kend/hari = 53.5
kend/hari
Menghitung angka Ekivalen (E) Mobil Pnumpang = 0.0002 + 0.0002 = 0,0004 Pickup 2 t (1+1) = 0.0002 + 0.0002 = 0,0004 0.0002 + 0.0002 = 0.0004 Truk 2 as 13 ton (5+8) = 0.1410 + 0.9238 = 1.0648 Truk 3 as 13 ton (6+7.7) = 0.2923 + 0.7452 = 1.0375 Menghitung LEP Mobil Penumpang = 79.35 x 1 x 0.0004 Pick up 2 ton = 198.375 x 1 x 0.0004 Truk 2 As 13 ton = 132.25 x 1 x 1.0648 Truk 3 as 20 ton = 13.225 x 1 x 1.0375 LEP
Menghitung LEA Mobil Penumpang = 321.01 x 1 x 0.0004 Pick up 2 ton = 802.53 x 1 x 0.0004 Truk 2 As 13 ton = 535.02 x 1 x 1.0648 Truk 3 as 20 ton = 53.50 x 1 x 1.0375 LEA
= 0.031 = 0.079 = 140.819 = 13.720 = 154.649
Menentukan IPo dan IPt Dengan LER = 390 Klasifikasi jalan = Kolektor Maka IPt = 2.0 Bahan lapisan permukaanan Laston,maka didapat IPo =4 Menentukan ITP Dengan data LER = 390 DDT = 5,6 Faktor Regional = 1,5 Dengan menggunakan Nomogram, maka didapat ITP =8.5 Menetapkan tebal perkerasan dengan LPB Agregat B (Alternatif 1) Koefisien kekuatan relative: Lapisan Permukaan = Laston; a1 = 0.4; d1 = 7,5 cm Lapisan Pondasi Atas = Agregat klas A; a2 = 0.14 d2 = 20 cm Lapisan Pondas Bawah = Agregat B a3 = 0.13 d3=? ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3 8.5 = (0.40 x 7,5) + (0.14 x 20) + (0.13 x d3) d3 = 20,77 cm ~ 21 cm MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Menetapkan tebal perkerasan dengan LPB Sirtu (Alternatif 2) Koefisien kekuatan relative: Lapisan Permukaan = Laston; a1 = 0.40; d1 = 7,5 cm Lapisan Pondasi Atas = Agregat A a2 = 0.14 d2 = 20 cm Lapisan Pondas Bawah = Sirtu a3 = 0.12 d3 = ? ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3 8.5 = (0.40 x 7,5) + (0.14 x 20) + (0.12 x d3) d3 = 22,60 cm ~ 23 cm
Permukaan Permukaan Lap.Pondasi Atas Lap.Pondasi Bawah
Alternatif 1 Laston 7,5 cm
Alternatif 2 Laston 7,5 cm
Agregat A 20 cm
Agregat A 20 cm Sirtu 23 cm
Agregat B 21 cm
Perhitungan Volume Volume dihitung berdasarkan lebar jalan = 4,00 meter dan panjang jalan = 7.200 meter, serta tebal dari masing-masing lapisan. Dan setelah di hitung semua didapatkan volume seperti berikut : Lapisan Permukaan (Laston) - tebal 7,5 cm = 7200 X 4.00 X = 28.800 m2 Lapisan Pondasi atas (Agregat A) = 7200 X 4.00 X 0,20 = 5.760 m3 Lapisan Pondasi bawah (Agregat B) = 7200X 4.00 X 0,21 = 6.048 m3 Lapisan Pondasi bawah (Sirtu) = 7200X 4.00 X 0,23 = 6.624 m3 Lapisan Perekat = 7200 X 4.00 = 28.800 m2 Analisa Alat dan Harga Satuan Pekerjaan Perhitungan Analisa Alat, dihitung berdasarkan koefisien alat yang digunakan untuk mendapatkan berapa biaya penggunaan alat perjamnya. Setelah Analisa masing-masing alat dihitung diteruskan dengan perhitungan analisa harga satuan perjenis pekerjaan untuk mengetahui berapa rupiah biaya pekerjaan per satuan volumenya.
Tabel 2. Rencana Anggaran Biaya Alternatif I:
No
Jenis Pekerjaan
I 1 2
PEKERJAAN PONDASI Lapisan Pondasi Atas (Agregat A) Lapisan Pondasi Bawah (Agregat B)
II 1 2
PEKERJAAN PENGASPALAN Lapisan Resap Pengikat Lapisan Aspal Beton (LASTON)
Volume
Satuan
Harga Satuan (Rp)
Jumlah Harga (Rp)
5,760.00 6,048.00
m3 533.251,48 m3 504.599,12 Sub Jumlah
3.071.528.546,78 3.051.815.477,76 6.123.344.002,56
28,800.00 28.800,00
Liter 93.244,90 m2 194.519,46 Sub Jumlah
2.685.453.120,00 5.602.160.448,00 8.287.613.568,00
Tabel 3. Rekapitulasi Biaya Alternatif I: Rekapitulasi Biaya Alternatif I No JENIS PEKERJAAN I II
PEKERJAAN PONDASI PEKERJAAN PENGASPALAN
A B C D
JUMLAH HARGA PPn 10 % x A JUMLAH KESELURUHAN (A+B) DIBULATKAN
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
JUMLAH HARGA (Rp) 6.123.344.002,56 8.287.613.568,00 14.410.957.570,56 1.441095757,06 15.852.053.327,62 15.852.053.000,00
RISET & TEKNOLOGI / 41
Tabel 4. Rencana Anggaran Biaya Alternatif II: No
Jenis Pekerjaan
Volume
Satuan
I 1 2
PEKERJAAN PONDASI Lapisan Pondasi Atas (Agregat A) Lapisan Pondasi Bawah (Sirtu)
5,760.00 6,624.00
II 1 2
PEKERJAAN PENGASPALAN Lapisan Resap Pengikat Lapisan Aspal Beton (LASTON)
28,800.00 28.800,00
Harga Satuan (Rp)
m3 533.251,48 m3 422.964.,34 Sub Jumlah Liter m2
93.244,90 194.519,46
Sub Jumlah
Jumlah Harga (Rp) 3.071.528.546,78 2.558.088.328,32 5.629.616.875,10 2.685.453.120,00 5.602.160.448,00 8.287.613.568,00
Tabel 5. RekapitulasiBiaya Alternatif II: No I II A B C D
JUMLAH HARGA (Rp)
JENIS PEKERJAAN PEKERJAAN PONDASI PEKERJAAN PENGASPALAN JUMLAH HARGA PPn 10 % x A JUMLAH KESELURUHAN (A+B) DIBULATKAN
jadi selisih perk ilometernya sebesar Rp. 75.430.555,-
KESIMPULAN Setelah diadakan perhitungan, dan analisa maka seluruh isi dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.Tebal lapisan hasil perhitungan untuk bahan perkerasan alternative I, adalah sebagai berikut : - Lapis permukaan (Laston) 7,5 cm - Lapis pondasi atas (Agregat A) 20 cm - Lapis pondasi bawah (Agregat B) 21 cm Tebal lapisan hasil perhitungan untuk bahan perkerasan alternative II, adalah sebagai berikut : - Lapis permukaan (Laston) 7,5 cm - Lapis pondasi atas (Agregat A) 20 cm - Lapis pondasi bawah (Sirtu) 23 cm 2. Hasil perhitungan Rencana Anggaran Biaya pelaksanaan lapis perkerasan alternatif I mem erlukan biaya Rp 15.852.053.000,sedangkan alterative II memerlukan biaya Rp 15.308.953.000,3. Lapisan Pondasi Bawah yang terbuat dari bahan Agregat B bila diganti dengan Sirtu akan bisa menghemat biaya sebesar Rp 543.100.000,- atau 3.55 %. 4. Biaya Pekerjaan Perkerasan alternatif I per kilometernya sebesar Rp. 2.201.674.028,sedangkan alternatif II sebesar Rp. 2.126.243.472,-
RISET & TEKNOLOGI /42
5.629.616.875,10 8.287.613.568,00 13.917.230.433,10 1.391.723.044,31 15.308.953.487,41 15.308.953.000,00
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pekerjaan Umum RI, 1987, Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, SKBI.2.3.26.1987, UDC : 625.73 (02), Penerbit PU, Jakarta Ditjen Binamarga Departemen Pekerjan Umum,1995, Panduan Analiisa Harga Satuan, Penerbit PU, Jakarta Hendarsin Shirley L, 1987, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya, Politeknik Negeri Bandung - Jurusan Teknik Sipil, Bandung Pemerintah Republik Indonesia, 2004, UndangUndang Jalan ( UU RI No : 38 Tahun 2004 ), Sinar Grafika, Jakarta Rochmanhadi Ir, 1990, Pemindahan Tanah Mekanik, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta Sastraatm adja.S, 1994, Anggaran Biaya Pelaksanaan, Nova, Bandung Sukirman Silvia, 1994, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Nova, Bandung
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
PROSES PERENGKAHAN KATALITIK ASAM OLEAT BASIS MINYAK SAWIT UNTUK MENGHASILKAN BAHAN BAKAR KEROSENE Irmawati Syahrir (Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda) Email :
[email protected] Abstrak Asam oleat merupakan salah satu komponen terbesar dari minyak sawit yang memiliki rantai atom karbon yang panjang C18 sehingga memungkinkan untuk direngkah menjadi molekul hidrokarbon dengan rantai karbon yang lebih pendek yang diharapkan mempunyai kesamaan dengan rantai hidrokarbon setaraf fraksi kerosín. Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu sintesa katalis dan proses perengkahan yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh temperature dan laju alir umpan pada perengkahan katalitik asam oleat menjadi kerosin. Katalis HZSM-5 hasil sintesa menggunakan metode Plank berhasil dilakukan dengan memperlihatkan pola garis difraksi mirip dengan pola garis difraksi dari zeolit HZSM-5 standar yaitu puncak HZSM-5 diamati pada nilai 2q antara 7-90 dan antara 22-250 yang merupakan puncak yang spesifik dari zeolit HZSM-5 standar, sehingga dapat digunakan pada proses perengkahan katalitik asam oleat menjadi kerosin, Proses perengkahan katalitik asam oleat basis minyak sawit untuk memproduksi kerosín dilakukan dalam suatu reaktor fixed bed dengan tekanan atmosfir, dan temperatur reaksi 370, 400, 450 dan 500 oC selama waktu 75 menit. Asam oleat dipanaskan sampai suhu 360°C dalam tangki umpan dan dialiri gas N2 sebagai gas pembawa dengan laju alir 90, 120, 150 dan 180 ml/menit. Uap asam oleat dan gas N2 akan mengalir kedalam reaktor unggun tetap yang dilapisi dengan elemen pemanas dan berisi katalis ± 1 gram.. Hasil perengkahan dianalisa dengan metode gas kromatografi . Hasil perengkahan diperoleh fraksi kerosín dengan yield sebesar 21.1873 % pada suhu reaktor 4000C, laju gas N2 185.33 ml/menit . Proses perengkahan asam oleat basis minyak sawit dengan katalis HZSM-5 mengarah pada pembentukan hidrokarbon C14H30. Kata kunci: Asam oleat, kerosene , proses perengkahan, zeolit HZSM-5
PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan teknologi dan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk menuntut semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan bakar minyak, salah satunya adalah minyak tanah (kerosene) Minyak tanah (kerosene) sampai saat ini masih merupakan sumber energi utama yang dipakai sebagai bahan bakar rumah tangga di Indonesia. Terutama digunakan sebagai energi untuk penerangan dan untuk memasak. Minyak tanah adalah sumber energi konvensional bahan bakar fosil (minyak/gas bumi dan batu bara) yang merupakan sumber energi tidak
terbarukan (unrenewable) dengan segala permasalahan yang ditimbulkan. Konsumsi minyak tanah di Indonesia saat ini cukup besar dan diperkirakan akan terus meningkat, sementara minyak tanah sebagai produk minyak bumi merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, sehingga harus dicari alternatif untuk memproduksi bahan bakar dari sumber lain, yang dapat diperbaharui. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan melalui Instruksi Presiden No. I/2006, Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006. Dalam Inpres dan Pepres tersebut mengamanatkan pengembangan dan penggunaan bahan bakar alternatif lain yang dapat diperbaharui.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 43
Berbagai sumber energi baru yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan dapat diandalkan adalah berasal dari berbagai jenis minyak nabati (minyak sawit, minyak jarak pagar, minyak kedelai, dll), sehingga dapat mensubtitusi minyak tanah yang selama ini digunakan oleh masyarakat. Keuntungannya dapat diperbaharui serta ramah lingkungan karena bebas dari Nitrogen dan Sulfur. Pemilihan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi alternatif sangat tepat dilakukan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia. Pembuatan bahan bakar yang dihasilkan dari minyak sawit telah diteliti lebih ramah lingkungan karena mengurangi potensi pencemaran yang terjadi pada saat pembakaran. yaitu bebas dari nitrogen dan sulfur. Minyak sawit memiliki rantai hidrokarbon panjang yang memungkinkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati. Komposisi asam lemak minyak sawit ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 2. Sifat fisik asam oleat
Tabel 1.Komposisi Asam Lemak dalam Minyak Kelapa Sawit
Berbagai proses telah dilakukan untuk menghasilkan bahan bakar nabati diantaranya proses esterifikasi namun kelemahan proses ini adalah pada pemisahan bahan bakar nabati dan gliserol, proses transesterifikasi, minyak nabati yang digunakan kandungan asam lemak bebasnya harus rendah, jika kandungan asam lemak bebasnya tinggi kebutuhan katalis besar yang menyebabkan terbentuknya sabun sehingga menyulitkan dalam proses pemisahan. Proses perengkahan non katalis (thermal cracking) berlangsung pada suhu dan tekanan yang tinggi sehingga membutuhkan energi yang besar. Saat ini mulai dikembangkan penelitian tentang pembuatan bahan bakar nabati dari minyak nabati dengan proses perengkahan katalitik, proses ini merupakan suatu cara untuk memecahkan rantai karbon yang cukup panjang, menjadi suatu molekul dengan rantai karbon yang lebih sederhana, dengan bantuan katalis yang merupakan substansi mempercepat reaksi kimia, meningkatkan kualitas dan kuantitas produk, berlangsung pada suhu dan tekanan yang rendah. Pada beberapa penelitian proses perengkahan minyak nabati dengan berbagai macam katalis menghasilkan berbagai jenis biofuel yang komposisinya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya waktu reaksi, suhu reaksi, laju alir umpan, dan katalis. Katalis sudah banyak dikenal oleh para peneliti dalam proses kimia. Pada umumnya katalis diartikan sebagai substansi yang dapat mempercepat proses reaksi kimia menuju kesetimbangan, katalis tidak terbentuk pada produk akhir (Fogler, 1999). Katalis banyak dimanfaatkan dalam berbagai industry. Katalis juga digunakan dalam proses perengkahan maupun proses reforming. Pada umumnya katalis yang banyak digunakan dalam proses perengkahan dalam bentuk katalis heterogen.
Asam lemak ( > 1% ) Asam Miristat Asam Palmitat Asam stearat Asam Oleat Asam Linoleat
Komposisi ( % ) 3 30 3 55 8
Asam Lemak ( < 1 % )
Komposisi (ppm) 500-700 600-1000 218 – 370 90 – 151 44 – 66 7 – 13 2- 18
Karotenoid Tokoferol / tokotrienol Sterol / sitosterol Kampesterol Stigmasterol Kolesterol Lainnya
Sumber : Hui, 1996 Komposisi asam lemak dalam minyak sawit yang paling tinggi adalah asam oleat, 55 %. Asam oleat merupakan asam lemak rantai panjang tak jenuh yang tersusun dari 18 atom C dengan satu ikatan rangkap di antara atom C ke-9 dan ke-10. Asam oleat memiliki rumus kimia : CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH (C18H34O2). Asam lemak tak jenuh ini mempunyai bentuk cis . Asam oleat membentuk cis karena mempunyai titik lebur yang rendah dan mempunyai panas pembakaran yang tinggi. Secara komersial minyaknya berwarna kuning sampai merah dan dalam kondisi murni berwarna putih seperti air. Sifat-sifat fisik asam oleat dapat dilihat pada Tabel 2. RISET & TEKNOLOGI /44
Rumus molekul Nama lain Berat molekul
C18H34O2 Cis-9-octadecenoic acid 18:1 cis-9 282.4614 g/mol Tidak larut dalam air, larut dalam
Kelarutan
alcohol, eter dan beberapa pelarut organic.
Titik lebur
13 - 14 °C
Titik didih
360°C(633K) (760 mmHg)
Densitas
0.895 g/ml
Viscositas mPa·s (°C)
27.64 (25), 4.85 (90)
Specific Heat J/g (°C)
2.046 (50)
Sumber : Departemen Perindustrian, 2007
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Berbagai jenis katalis telah digunakan dalam proses perengkahan untuk menghasilkan biofuel diantaranya adalah katalis X, Y dan faujasite, kataliskatalis ini merupakan katalis perengkahan yang awalnya digunakan pada proses perengkahan minyak bumi, kemudian dikembangkan lebih lanjut pada proses perengkahan minyak nabati. Beberapa katalis yang digunakan pada proses perengkahan yaitu katalis HZSM-5. sebagaimana yang telah diteliti oleh Sang Ooi Y dkk (2004), konversi katalitik minyak sawit berdasar pada residu campuran asam lemak dengan katalis HZSM-5 menggunakan reaktor fixed-bed pada tekanan atmosfir, hasil yang diperoleh fraksi gasoline 44,4% berat pada laju umpan 3,66 h-1 dan suhu reaksi 440oC. Pada pembuatan bahan bakar biodiesel dengan proses perengkahan berkatalis zeolit dan bahan baku minyak goreng berbahan dasar crude palm oil menghasilkan produk antara C9 – C17 (Widayat , 2005) . Perengkahan molekul trigliserida minyak sawit menjadi hidrokarbon fraksi gasoline menggunakan katalis B2O3/Al2O3, menggunakan reaktor fixed bed pada tekanan atmosfir, memberikan hasil yield fraksi bensin terbaik sebesar 58% pada temperatur 450 0C ( Setiabudi dan Bayu Arifianto, 2006 ). Proses perengkahan minyak sawit dengan katalis jenis DHC8, bahan baku minyak sawit menghasilkan fraksi kerosene 66,168 % pada suhu reaktor 4000C dan laju alir uap umpan 0,796 gram/menit (Heny, 2007). Perengkahan minyak kelapa sawit dengan katalis dari pertamina Plaju dan Riau, menghasilkan fraksi solar pada suhu (400-600)0C ( Rina dan stekasari, 2007). Perengkahan katalitik m inyak sawit untuk memproduksi biofuel dengan k atalis REY menghasilkan fraksi gasoline 33,5 % dan gas yield 14,2 % ( Pramila dan Bhatia, 2007). Pada katalis ZSM-5 tetrahedral SiO4 bergabung membentuk cincin dengan 5 atom O atau yang disebut pentasil. Pentasil-pentasil akan bergabung membentuk sebuah lapisan dengan kerangka masingmasing pori beranggotakan 8 pentasil dan 2 heksasil, sehingga membentuk pori pada kisaran 5,1 x 5,6 A0 dan 5,4 x 5,6 A0. Kedua pori yang dihasilkan dari bentukan kerangka ini, satu sel paralel pori dan satu sel yang lain akan tegak lurus terhadap pori tersebut serta kerangka kelak-kelok (zig-zag). Zeolit ZSM-5 ditemukan oleh Aegauer dan Landolt (Mobil Oil, US Patent 3,762,886) pada tahun 1972. ZSM-5 adalah zeolit berkadar silika tinggi dengan komposisi ideal unit selnya adalah Hn[AlnSi96O ].16H2O. Katalis ZSM-5 mempunyai kestabilan n 192 yang tinggi, stabil dalam basa, konsentrasi gugus asam rendah dengan kekuatan asam tinggi. Tingginya sifat keasaman yang dimiliki oleh zeolit tersebut telah diketahui berkaitan dengan kandungan Si/Al. Zeolit digunakan sebagai support logam karena selektivitas, bentuk, luas permukaan, sifat keasaman dan struktur yang baik.
Kebutuhan katalis perengkahan di Indonesia sangat besar dan selama ini dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain. Indonesia memiliki bahan baku pembuatan katalis dalam jumlah yang besar sehingga Indonesia sebaiknya memulai pengembangan katalis perengkahan. Perkembangan teknologi katalis sangat diharapkan dapat mengatasi masalah kekurangan sumber hidrokarbon di masa depan terutama krisis energi. Mengingat Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, pengembangan teknologi katalis diharapkan agar Indonesia menjadi pionir dalam upaya substitusi hidrokarbon minyak bumi dengan hidrokarbon terbarukan bersumber minyak sawit. Dari Tabel I. Komposisi asam lemak dalam minyak sawit yang paling tinggi adalah asam oleat, 55 % (Hui,1996). Kandungan asam oleat yang tinggi ini dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk proses perengkahan asam oleat untuk menghasilkan hidrokarbon fraksi kerosen dengan katalis zeolit HZSM-5. Penelitian dengan bahan baku asam oleat basis minyak sawit ini dapat digunakan sebagai model untuk proses perengkahan asam-asam lemak lainnya yang ada dalam minyak nabati khususnya minyak sawit. Pada penelitian ini dilak uk an proses perengkahan berkatalis asam oleat berbasis minyak sawit. Bahan baku asam oleat dipilih karena tersedia dalam jumlah yang besar dalam minyak sawit dimana mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang. Tujuan proses perengk ahan diharapk an menghasilkan senyawa dengan rantai hidrokarbon yang lebih pendek C 8 -C 12 , dalam hal ini menghasilkan kerosene . Variabel-variabel yang berpengaruh pada proses perengkahan berkatalisis asam oleat berbasis minyak sawit: tekanan operasi , temperatur reaksi, laju alir umpan dan katalis. Pada penelitian ini akan dipelajari bagaimana pengaruh temperature reaksi dan laju alir umpan terhadap produk yang dihasilkan jika menggunakan mikroreaktor pada tekanan atmosfir, sehingga dapat dibuat model kinetika untuk perancangan reactor lebih lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mempelajari pengaruh laju alir gas N 2 pada perengkahan katalitik asam oleat berbasis minyak sawit menjadi fraksi kerosene 2. Mempelajari pengaruh suhu pada perengkahan katalitik asam oleat berbasis minyak sawit menjadi fraksi kerosene. Manfaat penelitian adalah : 1. Menghasilkan bahan bakar minyak (kerosene) yang ramah lingkungan. 2. Memberikan nilai tambah dalam pemanfaatan asam oleat berbasis minyak sawit.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 45
METODOLOGI PENELITIAN Tahapan penelitian ini meliputi : A. Tahap pembuatan katalis Pada tahap ini dilakukan proses pembuatan katalis zeolit sintetis dengan tahapan preparasi katalis, karakterisasi katalis dan uji reaksi katalitik. Pada tahan preparasi katalis dilakukan sintesa katalis dan karakterisasi katalis yang terbentuk untuk mendapatkan perbandingan Si/Al, luas permukaan (surface area) dan volume pori (porosity). Katalis yang terbentuk kemudian diuji dalam proses perengkahan berkatalis. B. Tahap Proses perengkahan Proses perengkahan asam oleat berbasis minyak sawit dilakukan dalam mikro reaktor unggun tetap pada berbagai suhu dan laju alir umpan pada tekanan 1 atm. C. Tahap Analisa hasil Hasil yang diperoleh dari proses perengkahan dianalisa dengan gas kromatografi (GC) FID jenis
kolom poraplot Q untuk produk fase cair . Analisa sifat fisis katalis dilakukan dengan X-Ray Difraction (XRD), metode Brunauer Emmett Teller (BET) dan Atomic Adsorption Spectrofotometri (AAS). Rumus yang digunakan untuk menghitung yield adalah sebagai berikut :
Penelitian dilakukan dengan memanaskan asam oleat dalam tangki umpan sampai suhu 3600C dan reaktor pada suhu (370-500)0C dan kedalam tangki dialiri gas N2 sebagai gas pembawa dengan laju alir (90-180) ml/menit. Uap asam oleat dan gas N2 mengalir masuk kedalam reaktor unggun tetap yang dilapisi dengan elemen pemanas dan berisi katalis 0,6 gram. Reaksi perengkahan dilakukan selama 75 menit. Hasil perengkahan dianalisa dengan metode gas kromatografi (GC). Rangkaian alat yang digunakan dalam proses perengkahan berkatalis asam oleat disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Rangkaian Alat Proses Perengkahan Asam Oleat
Keterangan Gambar : 1. Gas N2 2. Tangki Umpan 3. Panel Kontrol Tanki Umpan 4. Panel Kontrol Furnace 5. Furnace 6. Mikroreaktor 7. Katalis 8. Flow meter 9. Kondensor 10.Air pendingin masuk/keluar 11. Sampel liquid 12. Sampel gas RISET & TEKNOLOGI /46
Sintesa katalis Prosedur Sintesa ZSM-5 dengan Metoda Plank, Charles J . Sintesa ZSM-5 dibuat dengan mengadopsi metode yang digunakan oleh (Plank, Charles J, 1982 US Patent 4341748) Formulasi komposisi awal gel yang digunakan dalam perbandingan mol adalah sebagai berikut : SiO2/Al2O3 : 94 Na2O/Al2O3 : 8.6 H2O/Al2O3 : 3870 C4H9OH/Al2O3 : 146 pH total : 10-11 MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Dibuat larutan A dalam beaker gelas dengan komposisi [ 360 gr water glass+ 450 gr H 2O]. Kemudian dibuat larutan B dalam beaker gelas dengan komposisi [ 12.3 gr Al2(SO4)3.18H2O + 30 gr H2SO4 98% + 600 gr H2O ]. Larutan B kemudian ditambahkan ke dalam larutan A sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan magnetik stirrer dan dijaga pencampuran menghasilkan campuran yang homogen. Campuran akhir adalah gel yang berwarna putih, yang kemudian didiamkan sambil diaduk selama 1 jam untuk memperoleh gel yang halus dan homogen. Selanjutnya kepada gel yang homogen ini ditambahkan 146 gr butanol sedikit demi sedikit sambil diaduk. Kemudian gel terus diaduk selama 1 jam. pH gel di cek dengan kertas lakmus universal dan berkisar antara 10-11, jika tidak dilakukan penambahan larutan H2SO4 atau NaOH hingga didapat pH 10-11. Gel dengan perbandingan SiO2/Al2O3 94 ini kemudian dimasukkan dalam autoklaf dan dipanaskan pada suhu 176 0C dan diaduk pada kecepatan 100 rpm selama 48 jam. Kristal yang terbentuk kemudian disaring dan dicuci dengan air suling sampai pH filtrat pencucian sekitar 8. Kristal yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 0C selama 24 jam. Kristal yang terbentuk merupakan NaZSM-5 siap untuk karakterisasi XRD atau diubah kedalam bentuk HZSM-5. Pengubahan ke H-Zeolit Katalis Na-Zeolit diubah menjadi bentuk HZeolit. H-Zeolit diperoleh dengan cara pertukaran ion Na-Zeolit dengan larutan amonium klorida 1M . 10 gr Na-ZSM-5 ditambahkan ke dalam 120 ml larutan ammonium klorida kemudian diaduk selama 12 jam. HZSM-5 yang terbentuk disaring, dicuci untuk meyakinkan pertukaran ion yang terjadi maka hal yang sama dilakukan sebanyak 2 kali selanjutnya dikeringkan pada suhu 110 °C selama 8 jam yang diikuti dengan kalsinasi dengan mengalirkan udara pada suhu 800 °C selama 5 jam.
Gambar 2. Spektrum Difraksi Sinar X –Ray H-Zeolit Kromatogram Kerosin Komersial. Kadar kerosene dalam produk cair hasil proses perengkahan dihitung berdasarkan % luas area dari analisa gas khromatographi. Penentuan fraksi kerosene didasarkan pada waktu tambat (retention time, RT) dari kerosene komersial.. Batas waktu tambat untuk fraksi kerosene sesuai dengan kromatogram pada gambar 14 adalah 12,6 – 17,5 menit . Selanjutnya untuk analisa produk hasil proses perengkahan yaitu hasil kerosin diklasifikasi berdasarkan pengelompokan waktu tambat (retention time) seperti hasil analisa untuk kerosin komersial. Pada gambar 4. untuk suhu 4500C dan laju alir gas N2 155.28 ml/menit dari kromatogram % area fraksi, fraksi kerosin 27.2645 % .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 3.Kromatogram kerosin komersial berdasar retention time 12,6 – 17,5 menit.
Persiapan Katalis Karakterisasi untuk mengetahui struktur kristal katalis digunakan X-Ray Diffraction (XRD). Produk hasil sintesis menunjukkan pola garis difraksi yang mirip dengan pola garis difraksi dari zeolit ZSM-5 standar seperti terlihat pada gambar 2. Puncak ZSM-5 diamati pada nilai 2q antara 7-90 dan antara 22-250 yang merupakan puncak yang spesifik dari ZSM-5. Berdasarkan hasil perbandingan antara pola difraksi produk hasil sintesis dan pola difraksi standar maka dapat disimpulkan bahwa keduanya memberikan pola difraksi yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa produk hasil sintesa yang terbentuk adalah ZSM-5.
Gambar 4. Kromatogram produk cair pada T = 450 o C dan Laju Alir N2 155.28 ml/menit
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 47
Pengaruh Suhu Reaktor Terhadap Yield Kerosine Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 5, yield kerosene tertinggi pada suhu 4000C sebesar 21.1873 % kemudian terjadi penurunan dengan naiknya suhu, hal ini disebabkan karena aktivitas katalis pada suhu ini mampu merengkah rantai karbon asam oleat (C18H34O2) menjadi C14H30 pada fraksi kerosene dengan melepaskan gas CO2 dan CO.
Gambar 5.Grafik hubungan Suhu vs % Yield pada Laju Alir N2 185.33 ml/menit Pengaruh Laju alir gas N2 Terhadap Yield Kerosine Dengan kenaikan laju alir maka waktu kontak antara umpan dengan katalis berkurang sehingga yield akan menurun. Untuk mempertahankan yield ketika laju alir umpan meningkat dilakukan dengan menaikkan temperatur hingga temperatur tertentu. .Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 6, yield kerosene tertinggi pada Laju Alir N2 185.33 ml/menit, 21.1873 %.
Gambar 6. Grafik hubungan Laju alir umpan vs % Yield
KESIMPULAN 1. Katalis HZSM-5 hasil sintesa menggunakan metode Plank berhasil dilakukan dengan memperlihatkan pola garis difraksi mirip dengan pola garis difraksi dari zeolit HZSM-5 standar yaitu puncak HZSM-5 diamati pada nilai 2q antara 7-90 dan antara 22-250 yang merupakan puncak yang spesifik dari zeolit HZSM-5 standar, sehingga dapat digunakan pada proses perengkahan katalitik asam oleat menjadi kerosin, RISET & TEKNOLOGI /48
2. Yield kerosene tertinggi adalah sebesar 21.1873 % pada suhu 4000C dan Laju Alir N2 185.33 ml/ menit, DAFTAR PUSTAKA Bekkum,H.V., Jansen, J.C., Flasingen, E.M., Elsevier. (1991), Studies in Surface, Science and Catalysis Introduction to Zeolite Science and Practice, Elsevier, New York. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Siaran Pers No. 24/HUMAS DESDM/2008. Gates, Bruce. (1992), Catalytic Chemistry, 2nd edition, University of Daleware. Hayun, A. “ Prioritas Penembangan Energi Alternatif Biofuel di Indonesoa, PPKPDS BPPT. Harjono (1987), Teknologi Minyak Bumi 1, Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada Yogayakarta. Hart, Suminar. (1990), Kimia Organik : Suatu kuliah Singkat, Erlangga, Jakarta. Heni Dewajani, “Proses Perengkahan Minyak Sawit dengan Katalis Berbasis Zeolite, ( 2007). Hui,Y. H. (1996), “Bailey’s Industrial Oil and Fat Products” : Industrial and Consumer Non edible products from Oils and Fats, vol 5, 5th ed , John Wiley & Sons , New York Latourette, (1990), “Preparation of zeolit of type HZSM-5”, United States Patent, 4.4891.199. Levenspiel,Octave. (1999), Chemical Reaction Engineering, 3rd edition,John W iley & Sons,Inc,new York Nurhuda P (2004), “ Minyak buah kelapa sawit” Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU. Pioch, D, Lozao, P, Rasoanatoandro, M. C. , Graille, J, Geneste, P, Guida, A, (1993), “Biofuels from Catalytic Cracking of Tropical Vegetable Oils”, Oleagineux 48, p. 289-291 Sadeghbeigi, Reza. (2000), “Fluid Catalytic Cracking Handbook”2nd ed,Gulf Publishing Company, Houston, Texas Sang Ooi Y, S Bhatia, R.M.Abdul, Zakaria.(2004), “ Catalytic Conversion of Palm Oil Based Fatty Acid Mixture to liquid Fuel”, Biomass and Bioenergy, vol.2, pp.477-484. Setiadi dan R. Mailisa Fitria (2006), “Proses Katalitik Sintesis Hidrokarbon Fraksi Bensin dari Minyak Sawit Menggunakan Katalis B 2 O 3 / Zeolit”,Seminar Nasional MKICS, Universitas Indonesia, 26-27 Juni 2006. Tamunaidu,P dan Bhatia, ST(2007), “Catalytic cracking of Palm Oil for the Production of Biofuels :Optimization Studies”, Bioresource Technology, vol 98, pp.3593-3601.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
PENDEKATAN KONSEP LEAN THINKING DAN FMEA UNTUK MENGANALISIS ORDER FULFILLMENT PROCESS STUDI KASUS : PT. X SURABAYA Merpatih (Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Samarinda) merpatih
[email protected]
Abstrak Tujuan setiap perusahaan. adalah memperoleh profit yang tinggi. Untuk memperoleh profit yang tinggi maka perusahaan harus bisa menekan sekecil mungkin pengeluaran dan melakukan efisiensi termasuk menekan pemborosan (waste) yang ada. PT. X merupakan salah satu perusahaan manufaktur job shop yang bergerak dalam pembuatan tanki aquarium dengan ukuran produk yang bervariasi. Agar bisa tetap bertahan dalam bidang bisnis ini dan dapat dipercaya oleh konsumen maka perusahaan perlu memperbaiki pelayanan yang terbaik bagi konsumen. Faktor yang menjadi perhatian perusahaan yang harus diperbaiki saat ini adalah ketidak tepatan waktu pengiriman produk ke konsumen, hal ini disebabkan karena banyaknya pemborosan (waste). Penelitian ini menggunakan konsep lean thinking untuk mengeliminasi segala bentuk aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (non value added). Pembuatan Big Picture Mapping sebagai langkah awal dilakukan untuk memberikan gambaran terhadap value stream dari proses pemenuhan order perusahaan. Kemudian dilakukan waste workshop untuk mengidentifikasikan jenis waste yang sering terjadi dengan pemberian skor pada tiap jenis waste. Tools yang digunakan untuk menganalisa waste tersebut adalah Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), diagram Pareto dan root cause analysis. Improvement yang direkomendasikan dengan menggunakan pendekatan streamlining adalah Value-Added Assessment (VAA). Kata kunci : business process management, failure modes and effect analysis, lean thinking, root cause analysis, supply chain management
PENDAHULUAN Tujuan akhir suatu perusahaan adalah untuk memperoleh profit setinggi mungkin. Profit yang tinggi yang akan diperoleh jika perusahaan bisa menekan sekecil mungkin pengeluaran perusahaan dan melakukan efisiensi termasuk menekan pemborosan yang ada. Upaya untuk efisiensi dapat dilakukan dengan menerapkan konsep lean manufacturing. Konsep ini menekankan pentingnya efisiensi yakni pengurangan pemakaian sumber daya untuk mencapai hasil yang setidaknya sama atau mengurangi waste (Pujawan, 2005). Lead time yang panjang merupakan salah satu bentuk waste yaitu waiting, sehingga lead time yang panjang merupakan masalah yang sangat crucial karena akan berpengaruh pada kunci kompetensi yang akan berpengaruh pada fleksibilitas dan kecepatan respon terhadap konsumen. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk memperpendek
lead time tersebut. Dengan memperpendek lead time dan memusatkan perhatian untuk memfleksibelkan jalur produksi, maka akan diperoleh kualitas yang lebih tinggi, respon terhadap konsumen lebih cepat, produktivitas lebih tinggi, dan pemanfaatan peralatan dan ruangan yang lebih baik (Liker, 2006). PT. X merupakan salah satu perusahaan manufaktur job shop yang bergerak dalam pembuatan tanki aquarium dengan ukuran produk yang bervariasi. Produk tanki aquarium yang dihasilkan merupakan komoditas eksport ke negara Jepang. Sehingga diperlukan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi konsumen dari segi harga, kualitas dan delivery time. Faktor yang menjadi perhatian perusahaan yang harus diperbaiki saat ini adalah ketidak tepatan waktu pengiriman produk ke konsumen, ini dikarenakan banyaknya waste yaitu kerja yang tidak memberikan nilai tambah tetapi menambah biaya bagi perusahaan. Dengan adanya hal tersebut akan menyebabkan
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 49
panjangnya lead time produksi yang akan berpengaruh terhadap lead time pengiriman produk, fleksibilitas dalam memenuhi permintaan konsumen serta menyebabkan tingginya biaya pada supply chain yang digunakan untuk biaya tenaga kerja, persediaan dan lain-lain. Untuk itu diperlukan usaha untuk meminimasi adanya waste yang ada dalam order fulfillment process pada perusahaan PT. X. Untuk mengelola proses pemenuhan order agar lebih efektif dan efisien serta mengidentifikasi ragam kegagalan dalam proses pemenuhan order maka digunakan pendekatan lean thinking dan FMEA ( failure mode and effects analysis). Setiap organisasi mengelola sekumpulan proses. Proses diperlukan untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh pelanggan melalui tahapan-tahapan tertentu. Dalam konteks supply chain lingkungan manufaktur, dikenal sebuah proses yaitu proses pemenuhan order (order fulfillment process). Tahaptahap dalam order fulfillment process meliputi permintaan order, penerimaan pesanan melalui administrasi, perencanaan produksi, rencana produksi menjadi jadwal produksi, dilakukan pemesanan bahan baku, penerimaan material atau komponen oleh bagian gudang, melakukan proses produksi, distribusi melakukan pengiriman barang, pelanggan menerima produk yang dipesan (Pujawan, 2005). Kepuasan pelanggan dalam proses pemenuhan order (order fulfillment process) tergantung pada harapan pelanggan dimana pelanggan tersebut ada pada suatu perusahaan (Thirumalai dan Sinha, 2005). Oleh karena itu proses pemenuhan order harus dapat memenuhi kepuasan pelanggan, bila salah satu tahap pada order fulfillment proses terganggu m aka akan mengakibatkan gangguan terhadap yang lain. Waste merupakan segala sesuatu yang menambah waktu dan biaya pembuatan sebuah produk namun tidak menambah nilai pada produk yang dilihat dari sudut pandang konsumen (Liker, 2006), oleh karena itu perlu dieliminasi. Didalam lean manufaktur waste harus dieliminasi pada tiap area produksi yang mencakup hubungan dengan pelanggan, disain produk, jaringan supplier dan manajemen pabrik. Eliminasi waste dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu lebih sedikit usaha manusia, lebih sedikit inventori, lebih sedikit waktu untuk mengembangkan produk dan lebih sedikit waktu untuk memenuhi permintaan pelanggan untuk mencapai produk berkualitas dengan cara yang paling hemat dan seefisien mungkin. (http://www.mistyriver.net) FMEA adalah metode yang secara kualitatif untuk mengidentifikasi ragam kegagalan dan dampaknya secara kuantitatif dapat dihitung ragam kegagalan dengan prioritas tertinggi yang memerlukan tindakan perbaikan dengan segera. Penyelidikan dilakukan pada Ford Motor Company’s British dengan menggunakan prosedur FMEA dengan alasan RISET & TEKNOLOGI /50
utamanya adalah karena kebutuhan dari pelanggan dan keadaan yang sama juga ada pada industri automotive AS (Teng Dale, et al., (2006). Menggunakan FMEA dengan baik maka dapat memberikan manfaat bagi perusahaan yaitu reliabilitas produk yang lebih tinggi, modifikasi disain yang lebih sedikit, perencanaan kualitas yang lebih baik, continous improvement terhadap produk dan disain proses, biaya manufaktur yang lebih rendah serta dapat memenuhi kebutuhan pelanggan (Teng et al., 2006). Melalui pendekatan lean thinking dan FMEA diharapkan perusahaan dapat memperbaiki kondisi pada order fulfillment process sehingga dapat meminimalkan waste serta kegagalan potensial yang pada akhirnya dapat menekan biaya serta mampu memenuhi permintaan konsumen tepat waktu, harga murah, mutu yang baik dan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan perusahaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeliminasi waste yang terjadi pada proses pemenuhan order. Adapun perinciannya sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang menyebabkan terjadinya waste (non value added activity) dalam proses pemenuhan order. 2. Menganalisa order fulfillment process dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan dengan menggunakan root cause analysis dan FMEA. 3. Merumuskan usulan perbaikan untuk mengurangi waste yang terjadi pada proses pemenuhan order. METODOLOGI PENELITIAN Dari informasi, kuisioner, pengamatan dilapangan, data histories perusahaan yang diperoleh dilakukan pengolahan data sebagai berikut: Membuat Big Picture mapping. Pembuatan Big Picture untuk menggambarkan dan memberikan pemahaman mengenai proses pemenuhan order secara keseluruhan beserta aliran nilai (value stream) yang terdapat dalam perusahaan. Dimana akan diperoleh gambaran mengenai aliran informasi dan aliran fisik dari sistem yang ada serta mengidentifikasi dimana terjadinya waste. Melakukan identifikasi waste.Pada tahap ini dilakukan pembobotan waste yang sering terjadi pada proses pemenuhan order, dimana pembobotan didasarkan pada seven waste. Aktivitas pembobotan waste dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner serta melakukan diskusi dengan pihak-pihak yang terkait pada proses pemenuhan order. Penyebaran kuisioner dilakukan orang per orang yang terkait langsung dalam proses pemenuhan order dan proses pengisian didampingi oleh peneliti untuk memastikan bahwa pihak-pihak tersebut memahami kuisioner yang
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
diedarkan sehingga skor yang dihasilkan adalah benar terhadap setiap jenis waste yang terjadi pada proses pemenuhan order. Waste. Waste yang dominan dicari akar penyebabnya dengan menggunakan cause and effect diagram d. Menggunakan tool FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), untuk mengidentifikasi hal-hal apa saja yang menjadi prioritas utama untuk segera diperbaiki berdasarkan nilai RPN (Risk Priority Number) terbesar dari masing-masing waste yang diamati. Process improvement. Menggunakan pendekatan streamlining untuk memberikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi pada konsumen maka perusahaan harus memperbaiki proses bisnis yang ada pada perusahaan sehingga tujuan untuk memberikan kepuasan pada konsumen akan menjadi lebih baik. Dengan menggunakan pendekatan streamlining maka akan memperlancar aliran, mencapai tujuan dengan usaha yang minimum. Prinsip streamlining adalah mengeliminasi waste, yang mendorong kearah improvement. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa penyebab terjadinya waste dengan cause and effect diagram Berdasarkan hasil pengamatan langsung, informasi dari perusahaan dan hasil kuisioner diperoleh: Defect Defect adalah kerusakan atau cacat yang terjadi dalam proses pemenuhan order yang disebabkan karena kerusakan mesin, kesalahan yang dilakukan manusia akibat prosedur kerja yang salah maupun kualitas material yang jelek. Waste defect merupakan waste dengan penilaian pembobotan dengan nilai terbesar dibandingkan dengan waste lainnya. Secara umum penyebab defect dapat dilihat pada Gambar 1.
Waiting Waiting disebabkan aktivitas pada proses pemenuhan order dalam kondisi menunggu (delay), kondisi ini dapt berupa penundaan produk dalam proses, mesin yang menunggu perbaikan. Secara umum penyebab terjadinya waste waiting dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Cause and effect diagram untuk waste Waiting Unnecessary Motion Unnecessary motion merupakan kondisi pengaturan tempat kerja, peralatan serta aktivitas yang kurang ergonomis sehingga operator harus melakukan gerakan dan usaha yang berlebihan yang dapat mempengaruhi keamanan dan keselamatan diri. Secara umum penyebab waste unnecessary motion dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Cause and effect diagram untuk waste Unnecessary
Gambar 1. Cause and deffect diagram untuk waste Waiting
Analisa FMEA (Failure Mode Effect and Analysis) Berdasarkan tabel penilaian FMEA (Failure mode Effect and Analysis) maka diperoleh nilai risk priority number untuk tiap waste potensial dari perkalian antara nilai severity, occurrence dan detection. Nilai-
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 51
nilai yang didapatkan berdasarkan hasil brainstorming dengan pihak yang terkait langsung dalam proses pemenuhan order kemudian disesuaikan dengan rating untuk severity, occurrence dan detection sesuai
dengan standar Automotive Industry Action Group (AIAG). Tabel 1 menunjukkan FMEA berdasarkan nilai risk priority number tertinggi dari waste yang teridentifikasi
Tabel 1. FMEA berdasarkan nilai risk priority number tertinggi dari waste yang teridentifikasi
Tabel 2. FMEA berdasarkan nilai risk priority number tertinggi dari waste yang teridentifikasi (lanjutan)
RISET & TEKNOLOGI /52
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Berdasarkan Tabel 1 dan 2 nilai risk priority number tertinggi dari waste yang teridentifikasi diperoleh : Defect Waste defect dalam proses pemenuhan order produk tanki aquarium tipe NS 106 adalah kerusakan mesin dengan nilai risk priority number tertinggi yaitu sebesar 336 atau 15.8 %. Waste defect yang kedua diikuti oleh kaca dalam proses bending yang rusak atau pecah dengan nilai risk priority number sebesar 315 atau 14.8%. Waste defect yang ketiga diikuti oleh kaca dalam proses edging yang rusak dengan nilai risk priority number sebesar 280 atau 13.2% dan selanjutnya diikuti oleh waste defect yang lainnya sampai nilai risk priority number yang terendah’. waste defect dalam proses pemenuhan order seperti pada Gambar 4.
unnecessary motion pengerjaan material tanpa menggunakan alat pelindung dengan nilai risk priority number sebesar 378 atau 32.9%. diikuti oleh waste unnecessary motion yang kedua yaitu lingkungan kerja yang tidak nyaman dengan nilai risk priority number sebesar 315 atau 27.4%. Waste unnecessary motion terbesar ketiga adalah penataan material, produk setengah jadi dan produk jadi yang tidak ergonomis dengan nilai risk priority number sebesar 280 atau 24.4% seperti pada Gambar 6.
Gambar 5. Diagram pareto nilai risk priority number untuk waste waiting
Gambar 4. Diagram pareto nilai risk priority number untuk waste defect Waiting Berdasarkan hasil perhitungan risk priority number untuk waste waiting maka diperoleh nilai risk priority number tertinggi adalah pada perbaikan mesin yang tertunda dengan nilai risk priority number sebesar 378 atau 52.7%. Waste waiting yang kedua diikuti oleh banyak produk yang menunggu proses lebih lanjut dengan nilai risk priority number sebesar 315 atau 43.9%. Kemudian diikuti dengan waste waiting yang ketiga adalah keterlambatan pengiriman informasi kepada supplier dengan nilai risk priority number sebesar 24 atau 3.3% seperti pada Gambar 5. Unnecessary Motion Dari hasil perhitungan nilai risk priority number untuk waste unnecessary motion maka diketahui bahwa nilai risk priority number tertinggi ada pada waste
Gambar 6. Diagram pareto nilai risk priority number untuk waste unnecessary motion
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 53
Analisa Penyebab Dengan Root Cause Analysis (RCA) Root cause analysis untuk waste defect waste defect dengan potential failure model yang diakibatkan oleh kerusakan mesin Gambar 7 hasil hasil bending yang rusak Gambar 8.
Gambar 9. Root cause analysis untuk potential failure model perbaik an mesin yang tertunda. Gambar 7. Root cause analysis untuk potential failure mode kaca hasil proses bending yang rusak.
Gambar 10. Root cause analysis untuk potential failure model lingkungan yang tidak nyaman Gambar 8. Root cause analysis untuk potential failure model kaca hasil proses edging retak/ cacat Root cause analysis untuk waste waiting Waste waiting dengan potential failure model diakibatkan oleh pengiriman produk ke konsumen yang tertunda, penundaan perbaikan mesin, pengiriman informasi kepada supplier yang tertunda. Diperlihatkan pada gambar 9 root cause analysis untuk waste waiting dengan potential failure model Root cause analysis untuk waste unnecessary motion Waste unnecessary motion dengan potential failure model diakibatkan oleh tanpa menggunakan lingkungan kerja yang tidak nyaman pada gambar 10 dan penataan mesin, produk setengah jadi yang tidak ergonomis, diperlihatkan pada Gambar 11. RISET & TEKNOLOGI /54
Gambar 11. Root cause analysis untuk potential failure model penataan material, produk setengah jadi dan produk jadi yang tidak ergonomis
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari pengolahan dan analisa yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan waste workshop yang telah dilakukan maka dapat diidentifikasikan waste yang paling dominan yang terjadi pada proses pemenuhaan order perusahaan adalah sebagai berikut : · Defect disebabkan karena cacat atau kerusakan yang terjadi pada produk dalam proses, kerusakan mesin, kesalahan yang disebabkan oleh manusia dan kualitas material yang jelek. · Waiting disebabkan karena perbaikan mesin yang tertunda, banyak produk setengah jadi yang menunggu proses lebih lanjut dan keterlambatan pengiriman informasi kepada supplier. · Unnecessary motion disebabkan karena lingkungan kerja yang tidak nyam an, pemindahan dan pengerjaan material dan penataan material. 2.
Berdasarkan risk priority number maka diperoleh bentuk-bentuk waste sebagai berikut : · Kerusakan mesin dengan risk priority number 336 atau 15.8%. Bentuk waste ini memiliki tingkat keseriusan yang sangat tinggi (pada level 8; mesin harus dibongkar 100%), tingkat kejadiannya tinggi karena keterbatasan kemampuan tenaga ahli. · Perbaikan mesin yang tertunda dengan risk priority number 378 atau 52.7%. Bentuk waste ini memiliki tingkat keseriusan yang sangat tinggi (pada level 9; terganggunya proses produksi), tingkat kejadian tinggi karena keadaan ini sering dialami. · Pengerjaan material tanpa menggunakan alat pelindung dengan risk priority number 378 atau 35.7%. Bentuk waste ini memiliki tingkat keseriusan yang sangat tinggi (pada level 8; dapat membahayakan operator), tingkat kejadian tinggi.
3.
Berdasarkan risk priority number yang tertinggi pada tabel FMEA maka dapat dilakukan root cause analsys sebagai berikut : · Kerusakan mesin karena perawatan mesin yang tidak rutin, operator tidak disiplin. · Perbaikan mesin yang tertunda karena kurangnya tenaga ahli yang tersedia pada perusahaan. · Pengerjaan material tanpa menggunakan alat pelindung karena keterbatasan persediaan alat pelindung dan kurangnya sosialisasi tentang penggunaan alat pelindung.
4.
Untuk meminimalkan waktu proses pemenuhan order tanki aquarium tipe NS 106 maka dilakukan perbaikan dengan pendekatan streamlining dengan Value-added Assessment dan eliminasi proses yang non value added.
DAFTAR PUSTAKA Liker, J. K. 2006. The Toyota Way. Erlangga, Jakarta. Pujawan, I Nyoman., 2005. Supply Chain Management. Guna Widya, Surabaya. Sinclair, D. dan Zairi, M. 1995. Effective process management through performance Measurement Part III – an integrated model. Business Process Re-engineering and Management Journal,Vol. 1 No. 3, pp. 50-65. Teng, S., Ho, S., Shumar, D. dan Liu, P. 2006. Implementing FMEA in a collaborative supply chain environment. International Journal of Quality & Reliability Management Vol. 23 No. 2, pp. 179-196. Thirumalai. S. dan Sinha, K. 2005. Customer satisfaction with order fulfillment in retail supply chains: implications of product type in electronic B2C transactions. Journal of Operations Management Vol. 23, pp. 291–303. http://mistyriver.net/downloadable_articles/lean
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 55
Riset & Teknologi
ISSN : 1412-3819
REGENERASI MINYAK JELANTAH (WASTE COOKING OIL) DENGAN PENAMBAHAN SARI MENGKUDU Muh. Irwan, Ramli Thahir dan Binti Syafiatu Kubro (Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda) Korespondensi :
[email protected] Abstrak Minyak goreng berfungsi sebagai media penggoreng sangat penting dan kebutuhannya semakin meningkat. Minyak goreng yang digunakan secara berulang–ulang akan mengalami proses destruksi atau kerusakan minyak yang disebabkan oleh proses oksidasi dan panas. Minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, sehingga tidak layak digunakan lagi. Penelitian ini mempelajari kemampuan sari mengkudu dalam memperbaiki kualitas minyak jelantah agar dapat digunakan kembali sebagai media penggoreng. Minyak jelantah sebanyak 100 mL dipanaskan pada suhu 70ÚC di atas penangas air selama 10 menit dan ditambah sari mengkudu secara perlahan-lahan sebanyak 25, 50 dan 75 mL. Kemudian minyak disaring dan dilakukan analisis asam lemak bebas, bilangan peroksida dan warna. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa asam lemak bebas turun 24,68% sedangkan bilangan peroksida turun 46,06%. Warna dari minyak setelah ditambah sari mengkudu lebih cerah dari minyak jelantah sebelum ditambah sari mengkudu. Kondisi sari mengkudu yang optimum ditambahkan ke dalam minyak jelantah adalah pada penambahan 50 mL. Kata Kunci : asam lemak bebas, bilangan peroksida, minyak jelantah,sari mengkudu, warna
PENDAHULUAN Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolah bahan-bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan (Winarno, 2002). Minyak goreng nabati biasa diproduksi dari kelapa sawit, kelapa atau jagung. Penggunaan minyak nabati berulang kali sangat membahayakan kesehatan. Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak (Ketaren, 1986). Kerusakan minyak atau lemak akibat pemanasan pada suhu tinggi (200-250°C) disebabkan oleh oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, hidrokarbon, alkohol, serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan getir. Senyawa – senyawa tersebut mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit, misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah, kanker dan menurunkan nilai cerna lemak (Ketaren, 1986).
RISET & TEKNOLOGI /56
Penelitian pengolahan minyak jelantah telah banyak dilakukan. Alternatif mengolah minyak jelantah menggunakan zeolit alam yang telah diaktifkan (zeolit aktif), telah dilakukan oleh Widayat, dkk., (2006). Pengolahan dengan zeolit, kualitas minyak goreng akan meningkat karena asam lemak bebasnya akan terserap oleh zeolit alam. Proses pengolahan minyak jelantah telah dilakukan Sholeh dan Syah (2005) dengan menggunakan adsorben arang aktif dan menyabunkan minyak dengan NaOH. Penelitian ini menunjukkan bahwa arang aktif dapat menurunkan asam lemak bebas hingga 0.88% dari 0.33% dan bilangan peroksida hingga 1.23 mg/100 g sampel dari 26.56 mg/100 g sampel, sedangkan NaOH dapat menurunkan asam lemak bebas hingga 0.11% dan bilanga peroksida hingga 0.10 mg/100 g sampel. Yustinah (2009) menggunakan adsorben chitin sejumlah 15 gram dan dapat menurunkan kadar FFA dari 1,03% menjadi 0,55%, dan bilangan peroksida berkurang dari 16,4 meq H2O2/kg minyak menjadi 6,4 meq H 2O2/kg minyak. Absorbansi warna terjadi penurunan dari 1,81 Abs menjadi 0,65 Abs setelah diadsorbsi dengan 12,5 g adsorben chitin. Semua proses diatas disebut proses adsorpsi dimana keterbatasan kapasitas adsorpsi dan keefektifannya menjadi masalah tersendiri.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
Penggunaan antiok sidan alami untuk mengolah minyak jelantah menjadi alternatif proses yang dapat dilakukan. Antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell, 1990). Antioksidan berupa vitamin E, vitamin C, dan karotenoid banyak ditemukan pada bahan pangan. Antioksidan juga banyak ditemukan pada sayuran, buah-buahan, dan tumbuhan berk ayu (Gordon, 1994). Buah mengk udu mengandung selenium dan asam askorbat (vitamin C) (Anonim, 2009). Fungsi asam askorbat dalam sistem pangan adalah untuk menangkap oksigen sehingga mencegah oksidasi komponen pangan yang sensitif terhadap oksigen, mengubah potensial redoks dalam sistem, meregenerasi antioksidan fenolik atau yang larut lemak, mempertahankan gugus sulfihidril (-SH), sinergis dengan senyawa pengkelat dan mereduksi produk oksidasi yang tidak dikehendaki. Antioksidan dalam buah mengkudu diperkirakan dapat menurunkan kadar asam lemak bebas dan peroksida dalam minyak jelantah. Mulyati, dkk., (2006) memanfaatkan sari mengkudu untuk memurnikan jelantah. Minyak jelantah dan sari mengkudu dipanaskan selama 10 menit pada suhu yang divariasikan dari 30ÚC sampai dengan 70ÚC. Hasil yang diperoleh adalah sari mengkudu memperbaiki kualitas minyak jelantah dengan menurunkan bilangan asam 35,65% dan bilangan peroksida 38,88% secara optimum pada 70ÚC. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kemampuan sari mengkudu dalam menurunkan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada minyak jelantah. Penentuan jumlah sari mengkudu optimum yang ditambahkan dalam minyak jelantah menjadi target penelitian. Perubahan warna minyak jelantah setelah penambahan sari mengkudu juga dipelajari.
lainnya diperoleh di Laboratorium Kimia Dasar, Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Samarinda.
METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 2. Rangkaian alat penelitian
Alat. Alat yang digunakan untuk memanaskan minyak jelantah dan sari mengkudu berupa gelas kimia yang dilengkapi dengan thermometer dan pengaduk listrik. Alat bantu untuk analisis hasil seperti buret, erlenmeyer, pipet volum dan lain-lain tersedia di Laboratorium Kimia Dasar, Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Samarinda. Bahan. Minyak jelantah yang digunakan pada penelitian ini diambil dari pedagang donat di Gang Karya Baruna Mangkupalas pada tanggal 7 Juni 2009. Buah mengkudu diambil disekitar Kampus Politeknik Negeri Samarinda. Alkohol 95%, KOH 0,1 N, kloroform, asam asetat glasial dan bahan kimia
Gambar 1. Diagram blok penelitian
Prosedur Penelitian 1. Pembuatan Sari Mengkudu Sari mengkudu diperoleh dengan memarut mengkudu kemudian memerasnya. Hasil perasan disaring untuk memisahkan sari mengkudu dan ampas. 2. Pencampuran Minyak Jelantah dengan Sari Mengkudu. Minyak jelantah sebanyak 100 mL disaring dan dimasukkan ke dalam gelas kimia yang dilengkapi dengan termometer dan pengaduk listrik kemudian ditempatkan di penangas air, selanjutnya dipanaskan pada 70ÚC dan ditambahkan 50 mL sari mengkudu sedikit demi sedikit sambil diaduk. Setelah 10 menit sampel diambil, didinginkan dan dilakukan penyaringan.
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 57
Hasil penyaringan yang diperoleh disimpan di wadah yang tertutup untuk dilakukan analisis. Kemudian dilakukan pengulangan untuk waktu dan rasio reaktan yang lain. Kemudian dilakukan analisis pada hasil proses tersebut, dengan uji kualitas minyak yang terdiri dari analisis asam lemak bebas, bilangan peroksida dan warna.
menjadi 1,24%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada penambahan 75 mL dan seterusnya, dimungkinkan bahwa antioksidan yang ada dalam sari mengkudu justru menjadi prooksidan. Berdasarkan SNI 37411995, asam lemak bebas yang diperbolehkan dalam minyak goreng maksimum 0,3%. Sehingga penambahan sari mengkudu belum dapat menurunkan asam lemak bebas sesuai yang dipersyaratkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis bahan baku minyak goreng baru dan minyak jelantah dilakukan untuk parameter asam lemak bebas dan bilangan peroksida. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa asam lemak bebas minyak goreng baru sebesar 0,79% dan bilangan peroksida 1,42 mg/100 g sampel. Sedangkan asam lemak bebas minyak jelantah sebelum penambahan sari mengkudu sebesar 1,54% dan bilangan peroksida sebesar 2,37 mg/100 g sampel.
Asam Lemak Bebas Minyak Jelantah Tabel 1. Hasil analisis asam lemak bebas Gambar 3. Pengaruh penambahan sari mengkudu terhadap asam lemak bebas
Bilangan Peroksida Minyak Jelantah Tabel 2. Hasil analisis bilangan peroksida
Penambahan sari mengkudu pada 100 mL minyak jelantah divariasikan dari 25, 50 dan 75 mL untuk mengetahui komposisi optimum dalam memperbaiki minyak jelantah. Setiap variasi jumlah penambahan sari mengkudu dipanaskan pada suhu 70°C dan waktu 10 menit. Penambahan sari mengkudu sebanyak 25 mL menunjukkan bahwa asam lemak bebas turun dari 1,54 menjadi 1,24% atau turun sebanyak 19,48%. Penurunan asam lemak bebas terbesar terjadi pada penambahan sari mengkudu sebanyak 50 mL. Asam lem ak bebas turun sebanyak 24,68%. Pada penambahan 75 mL, asam lemak bebas naik lagi
RISET & TEKNOLOGI /58
Penambahan 25 mL sari mengkudu dapat menurunkan bilangan peroksida 1.28 mg/100 g sampel. Pada penambahan 50 dan 75 mL sari mengkudu, bilangan peroksida semakin naik sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan sari mengkudu menyerap kotoran pada minyak jelantah memiliki titik kejenuhan, sehingga pada penambahan yang berlebih
MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
tidak akan memberikan pengaruh terhadap perbaikan kualitas minyak jelantah, justru akan merusak.
Gambar 4. Pengaruh penambahan sari mengkudu terhadap bilangan peroksida .
Mulyati, S., Meilina, Hesti. 2006. Pemurnian Minyak Jelantah dengan menggunakan Sari Mengkudu. UNSYIAH Digital Library (diakses 12 Januari 2009). Syah, M. dan Sholeh, M., (2005), Laporan Tugas Akhir Pemurnian Minyak Goreng Bekas, Teknik Kimia Polnes, Samarinda. Widayat, Suherman dan K Haryani. 2006. Optimasi Proses Adsorbsi Minyak Goreng Bekas dengan Adsorbent Zeolit Alam:Studi Pengurangan Bilangan Asam, Universitas Diponegoro:Semarang. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Yustinah. 2009. Pengaruh Massa Adsorben Chitin Pada Penurunan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA), Bilangan Peroksida, dan Warna Gelap Minyak Goreng Bekas, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia (SNTKI 2009. Hal. TPM14-1-8. ITB Bandung.
KESIMPULAN 1. Penambahan sari mengkudu sebanyak 50 mL pada 100 mL minyak jelantah dan pemanasan 10 menit adalah kondisi terbaik untuk memperbaiki kualitas minyak jelantah. 2. Prosentasi penurunan asam lemak bebas sebesar 24,68% dan penurunan bilangan peroksida sebesar 46,06%. 3. Dari hasil penelitian ini tidak merekomendasikan untuk menggunakan minyak jelantah hasil daur ulang untuk kebutuhan menggoreng karena memenuhi standar asam lemak bebas dan bilangan peroksida sedangkan dari warna belum memenuhi standar minyak goreng. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Mengkudu. Wikipedia Indonesia (Diakses 12 Januari 2009). Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1995. SNI 3741-1995 Standar Mutu Minyak Goreng. Gordon I. 1994. Functional Food, Food Design, Pharmafood. New York: Champman and Hall. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Gramedia Pustaka: Jakarta. Kochhar, S.P., dan Rossell, B. 1990. Detection Estimation and Evaluation of Antioxidant in Food System in Food Antioxidants. Elsevier Applied Science, London. MEDIA PERSPEKTIF VOL. 10 Nomor 1, JUNI 2010 : 1 - 59
RISET & TEKNOLOGI / 59