ISOLASI SAPONIN SEBAGAI BAHAN UTAMA INSEKTISIDA DAN KOLAGEN TIPE I DARI BINTANG LAUT MAHKOTA DURI (Acanthaster planci) Prof. Dr. Ir. Anondho Wijanarko, M. Eng.1, Dr. Eng. Muhamad Sahlan, S.Si, M. Eng.1, Maria Regina Sudiarta2, Yunita Florensia2 1. Program Studi Teknologi Bioproses, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampur Baru UI Depok-16424, Indonesia 2. Bioprocess Research Group, Program Studi Teknologi Bioproses, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok-16424, Indonesia E-mail :
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Ledakan populasi bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci) telah membuat kerusakan terumbu karang dalam jumlah yang besar di Perairan di Indonesia. Usaha kontrol yang dilakukan telah banyak menghabiskan uang dan tidak efektif, sementara di dalam Acanthaster planci mengandung saponin yang dapat berperan sitotoksik dan dapat dimanfaatkan menjadi insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatan saponin sebagai insektisida ramah lingkungan untuk membasmi hama rayap Kalotermitidae, dimana saponin diekstrak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%, diperoleh yield saponin rata – rata sebesar 9.036% dan 4.660%. Purifikasi saponin dengan karbon aktif dengan massa 1:2 (b/v) sdengan volume sampel selama 20 menit dengan pengadukan didapatkan sampel saponin tanpa pengotor (protein dan residu bintang laut). Sapogenin dapat diisolasi dengan hidrolisis asam hidroklorik (HCl) dan diperoleh massa sapogenin 168.334 mg. Selain saponin, Acanthaster planci juga memiliki kandungan kolagen Tipe I yang tinggi pada keseluruhan tubuhnya. Kolagen diisolasi dengan metode ekstraksi bertahap, dimulai dengan ekstraksi oleh pelarut basa dengan variasi pelarut air, NaOH 0.1 M, dan Ca(OH)2 0.2 M. Proses ekstraksi dilanjutkan dengan ekstraksi asam-enzimatis menggunakan pepsin dan asam asetat 0.5 M. Selanjutnya ekstrak kolagen dimurnikan melalui metode pengendapan protein (salting out) dan dialisis. Kolagen murni (Pepsin Solubilized Collagens) yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan metode Lowry, spektroskopi UV, SDS Page, analisis komposisi asam amino, dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Berdasarkan variasi pelarut, Ca(OH)2 0.2 M memberikan yield kolagen terbesar yaitu 2.26%. Kata kunci: Acanthaster planci, Saponin, Maserasi, Insektisida, Rayap, kolagen, ekstraksi asam-enzimatis, Pepsin Solubilized Collagen (PSC), salting out, hidrolisis alkali.
Abstract The outbreaks of crown of thorns starfish (Acanthaster planci) resulted in severe destruction of coral reefs in large number of Indonesia's marine ecosystem. At the moment, control efforts are proven to be ineffective because of its high cost and labour intensive. Recent research found that A. planci contains saponins that act as cytotoxic compound and can be used as environment-friendly insecticide to eradicate Kalotermitidae pest. Saponins extracted by maceration using ethanol 96% with total yield of saponins 9.036% and 4.660% for two test. Purification of saponin was achieved by utilization of activated carbon with mass of carbon:volume sample 1:2 (w/v) and stirred for 20 minutes. Sapogenin can be isolated by hydrolyse using hydrochloric acid, and thus 168.34mg sapogenin is obtained. In addition to saponins, Acanthaster planci also contains collagen Type I. Collagen isolation by multistage extraction began with extracting the collagen with alkaline solvent, with water, NaOH 0.1 M, and Ca(OH)2 0.2 M as the solvent variations. The second step is acid-enzymatic extraction by pepsin digestion in 0.5 M acetic acid. Collagen extract will be further purified by salting out and dialysis method to obtain pure collagen yield called Pepsin Solubilized Collagens (PSC). Characterization of PSC consists of quantitative and qualitative analysis such as Lowry method, gel electrophoresis, UV spectroscopy, amino acid composition analysis, and Scanning Electron Microscopy (SEM). The result shows Ca(OH)2 0.2 M as the best extraction solvent with 2.26% yield of PSC.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Keywords: Acanthaster planci, Saponins, Maceration, Insecticide, Kalotermitidae pests, Collagen, acid and enzymatic extraction, Pepsin Solubilized Collagen (PSC), salting out, alkaline hydrolysis.
1. Latar Belakang Bintang laut Acanthaster planci, adalah hewan laut, termasuk ke dalam Phylum Echinodermata yang keberadaannya di lautan menjadi pengganggu dan perusak terumbu karang. Di Jepang bintang laut ini dikenal sebagai Oni Hitode atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Crown of Thorns starfish (COT). Bintang laut ini memiliki ciri adanya duri beracun di sekeliling tubunya dengan panjang sekitar 5 – 6 cm dan diameter tubuhnya umumnya mencapai 25 – 35 cm, namun pernah ditemukan hingga yang berukuran 80 cm (Moran, 1988). Bintang laut ini lebih memilih untuk tinggal di daerah yang lebih terlindung seperti laguna, dan pada lautan yang lebih dalam di sepanjang front terumbu karang. A. planci mengkonsumsi karang di sekitar tempat tinggalnya. Satu ekor A. planci ini mampu mengkonsumsi 5 – 6 m2 terumbu karang dalam kurun satu tahun (Moran, 1988), namun ada sumber lainnya juga yang menyebutkan bahwa A. planci dapat mengkonsumsi 5 – 13 m2 terumbu karang dalam kurun waktu satu tahun (Nicole Fraser, 2000). Terumbu karang yang dikonsumsi oleh A. planci ini tidak akan pulih dan akan rusak selamanya. Oleh karena itu keberadaan A. planci ini merusak terumbu karang dan juga merusak ekosistem lautan sebab terumbu karang ini adalah tempat tinggal bagi beberapa hewan dan tumbuhan laut. (Moran, 1988) Di Indonesia sendiri, A. planci adalah organisme yang terjadi secara alami di terumbu karang lautan Indonesia. Makanan alami A. planci ini adalah terumbu karang seperti Acropora (karang jari) (Nicole Fraser, 2000). Namun pada beberapa waktu keberadaan A. planci ini mengalami pertumbuhan populasi yang melebihi level normal. Pertumbuhan populasi yang berlebihan A. planci ini dapat menyebabkan penghancuran sangat cepat dari sebuah ekosistem terumbu karang dalam hitungan bulan. Di beberapa tahun terakhir, laporan mengenai perusakan terumbu karang oleh A. planci ini meningkat. Metode pembersihan yang dilakukan selama ini baik di Indonesia ataupun di negara lain seperti Jepang dan Australia adalah dengan memindahkan A. planci dari terumbu karang dan menguburkannya di pasir atau tanah pada daratan, menyuntikkan racun ke dalam tubuhnya, pembuatan pagar bawah laut di sekeliling terumbu karang, dan memotong – motong tubuh A. planci menjadi beberapa bagian. (Nicole Fraser, 2000) Namun di balik bebannya sebagai perusak karang, ternyata A. planci ini dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Pada struktur tubuhnya terdapat duri – duri yang mengandung racun seperti Plancinin yang berperan sebagai faktor antikoagulan, Plancitoxin
yang memiliki kesamaan karakteristik dengan deoxyribonucleases II pada mamalia, dan Phospholipase A2s yang dapat berperan sebagai agen antibakteri (Imelda Krisanta Enda Savitri, 2012). Namun selain ketiga racun yang ada di bagian durinya, pada seluruh bagian tubuh A. planci (cangkang dan daging) terdapat banyak substansi lain seperti lipid, saponin, kolagen, karotenoid, kalsium, fosfor, dan mineral lainnya belum dimanfaatkan secara signifikan. Saponin adalah suatu senyawa kimia yang dapat berperan sebagai metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, yang tersusun dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin (K. Hostettmann, 1995). Pada bintang laut lebih sering dikenal sebagai asterosaponin yang beracun dan sangat mematikan untuk hewan – hewan seperti ikan, annelida, moluska, antropoda, dan juga bagi vertebrata. Dibalik sifat racunnya, ternyata asterosaponin ini telah diteliti memiliki manfaat sebagai zat sitotoksik, antineoplastik, hemolitik, antitumor, antibacterial, antiviral, antifungal, dan anti-inflamatori. Adapun jenis asterosaponin yang telah ditemukan pada A. planci adalah thornasteroid A (Isao Kitagawa, 1978) dan Acanthaglycoside A, B, C, D, E, F (Komori, 1997). Saponin pada tumbuhan seperti teh, asparagus, ginseng, Phaleria macrocarpa, Yucca sp., Polygala senega L., dan berbagai tanaman lainnya dimanfaatkan sebagai obat – obatan herbal untuk mengobati penyakit arthritis, asam urat, bisul, sebagai sumber antibakteri, antivirus, dan yang terbaru adalah dimanfaatkan sebagai antikanker dan antitumor (Yukiyoshi Tamura, 2012). Saponin dari tumbuhan ini pula dimanfaatkan pula sebagai pestisida alami untuk memerangi hama – hama pada tanaman pangan dan pertambakan. Pada tahun 2011, Pusat Penelitian Perkebunan Gambung, Departemen Pertanian Bandung telah meneliti kegunaan saponin dari biji teh untuk membasmi hama udang. Pada tahun 2007, Badan Litbang Departemen Pertanian, Kementrian Pertanian Republik Indonesia melakukan percobaan untuk mengkombinasikan rerak dan juga saponin dari teh untuk dijadikan biopestisida untuk membasmi hama keong mas. Pemanfaatan saponin untuk pembasmian hama ini disebabkan oleh sifat saponin yang amat beracun terutama untuk hewan berdarah dingin (Budidaya Perikanan, 2001). Penelitian menggunakan saponin dari tumbuhan sebagai pestisida alami merupakan langkah yang diambil oleh Departemen Pertanian untuk menemukan pestisida yang aman bagi lingkungan dan juga manusia. Oleh karena hal tersebut daripada memanfaatkan saponin dari tanaman – tanaman herbal, lebih baik memanfaatkan saponin yang berasal dari Acanthanster planci yang merupakan beban dan sumber kerusakan
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
dari terumbu karang di perairan Indonesia. Pada penelitian ini akan dibuktikan efektivitas saponin yang berasal dari Acanthaster planci sebagai insektisida yang dapat membasmi hama rayap dari Famili Kromoptera. Hama ini sangatlah merugikan bagi pohon berkayu dan juga pada furnitur rumah tangga yang berbahan kayu atau bambu. Serangan rayap di Indonesia menyebabkan kerugian Rp 250.000.000.000,00 setiap tahunnya (Suara Pembaruan, 2012). Pada penelitian ini akan digunakan metode ekstraksi, purfikasi senyawa saponin, dan isolasi sapogenin yang mudah dan murah untuk selanjutnya senyawa saponin ini dapat diujikan secara in vitro pada pembasmian hama rayap. Selain saponin, telah disebutkan di atas bahwa di dalam tubuh Acanthaster planci juga terdapat kolagen yang berguna untuk kehidupan manusia. Kolagen merupakan protein utama penyusun jaringan ikat dan hanya dapat diproduksi oleh jaringan hewan sehingga sebagian besar sumber kolagen komersial diperoleh dari jaringan tubuh hewan ternak seperti sapi (bovine, calf), babi (porcine), dan unggas (fowl). Hal ini dikarenakan kandungan kolagen pada mamalia dan unggas lebih tinggi dibandingkan organisme laut (Brown, 1988 dan Zhang et al., 2007). Namun, penggunaan kolagen dari kulit atau tulang sapi menimbulkan permasalahan baru karena meluasnya penyakit bovine spongiform encephalopathy dan footand-mouth disease pada beberapa tahun terakhir. Demikian juga dengan penyebaran penyakit flu burung pada unggas. Selain itu, pemanfaatan kolagen dari babi menimbulkan isu halal sehingga penggunaannya sangat terbatas (Sadowska et al., 2003). Di sisi lain, pengembangan pemanfaatan kolagen dari tumbuhan kurang potensial karena phytocollagen yang dihasilkan tumbuhan hanya bersifat sebagai precursor walaupun dapat memberikan efek yang mirip dengan kolagen murni dari hewan. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi pemanfaatan marine collagen sebagai alternative sumber kolagen. Sumber marine collagen yang banyak dikembangkan saat ini umumnya berasal dari ikan, ubur-ubur, bulu babi (sea urchin), teripang (sea cucumber), serta bintang laut (Kimura et al., 1993; Mizuta et al., 1994, 2002; Nagai and Suzuki, 2000; Kittiphattanabawon et al., 2005). Dari beberapa literatur diperoleh bahwa marine collagen memiliki kelebihan dibandingkan kolagen dari hewan yaitu dalam hal stabilitas dan biokompatibilitasnya terhadap kulit manusia (Rigby, 1968), serta suhu denaturasi protein yang lebih rendah (Li et al., 2006). Selain karena kelebihan yang dimiliki marine collagen tersebut, pemanfaatan kolagen dari A. planci sangat baik karena dapat mengurangi kompetisi pemanfaatan hewan laut, seperti ikan, ubur-ubur, cumi-cumi, bulu babi, dan teripang, yang memiliki peran sebagai sumber pangan. Penelitian ini difokuskan untuk memanfaatkan kolagen dari keseluruhan tubuh A. planci dengan kombinasi metode ekstraksi bertahap.
Penerapan ekstraksi bertahap dalam dunia industri sudah sangat baik sehingga penggunaannya cukup efektif dan feasible. Selain itu, minimnya informasi dan data terkait proses isolasi dan pemanfaatan kolagen dari spesies Acanthaster planci mendorong perkembangan dan inovasi lebih lanjut. Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan produk kolagen dari bintang laut A. planci yang berpotensi sebagai alternatif kolagen dari mamalia, bahan baku kosmetik dan biomaterial yang berkualitas, serta memiliki nilai jual yang tinggi. Dengan demikian, objektif dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi saponin yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida ramah lingkungan dan juga mengisolasi kolagen yang dapat dimanfaatkan sebagai kosmetik dan obat bagi manusia. 2.
Metode Penelitian
2.1 Isolasi Saponin 2.1.1 Seleksi Pelarut Ekstraksi Saponin Saponin diperoleh dari bintang laut Acanthaster planci yang diperoleh dari Lautan Ambon pada bulan Februari 2014. Sebelum diekstrak akan dilakukan pretreatment terhadap bintang laut berupa penghilangan garam dengan membilas bintang laut dengan akuades. Bintang laut yang telah dicuci akan dihancurkan menjadi ukuran kurang dari 1 cm dan diperlakukan dengan heksana 1:1 (b/v) sampel untuk menarik senyawa non polar selama 1×24jam dan diperlakukan dengan etil asetat 1:1 (b/v) sampel untuk menarik senyawa semi polar selama 1×24jam. Bintang laut yang melewati pretreatment diekstraksi saponin dengan menggunakan pelarut organik yaitu air, etanol 96%, n-butanol, dan isopropil alkohol selama 3×24jam dengan setiap harinya pelarut diganti dengan penggunaan jumlah pelarut 1:3 (b/v) berat sampel. Ekstrak disaring dengan whatman 42 dan dihilangkan pelarutnya/ dikentalkan dengan pemanasan pada suhu titik didih pelarut. Hasil ekstrak kental dari tiap pelarut dikuantifikasi jumlah saponinnya menggunakan spektrofotometeri UV-VIS !% = 15 (Isao Kitagawa, 1978) pada ! = 255!"; !!!" dan dilakukan uji kualitatif keberadaan saponin menggunakan uji Lieberman Burchard dan uji Froth (pembusaan). Pelarut dengan yield saponin terbesar terpilih sebagai pelarut untuk scale up. 2.1.2 Uji Froth 0.5 ml Ekstrak kental/ 0.05 gram pasta ekstrak diencerkan dalam 1 ml air dengan suhu 80°C, dikocok. Jika terbentuk busa, tunggu 30 menit, tambahkan 1 tetes HCL 2N. (Astuti, 2011) (Sari, 2012) 2.1.3 Uji Liebermann Burchard
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Reagen Liebermann Burchard (LB) yang tersusun atas asam asetic anhidrad dan asam sulfat pekat. Sampel diuji dengan ditambahkan reagen LB dengan perbandingan sampel : asetic anhdirad : asam sulfat pekat 5 : 5 : 3. (Webb, 1995)
c)
dilakukan berulang hingga larutan sampel menjadi bening (5x pengulangan). Massa karbon aktif 1:2 (b/v) volume sampel ekstrak, waktu batch 20 menit, purifikasi dilakuan satu kali.
2.1.4 Spektrofotometeri UV
2.1.7 Isolasi Sapogenin
Uji kuantitatif kandungan saponin dalam ekstrak dilakukan dengan spektrofotometeri sinar UV pada !% = 15 (Isao Kitagawa, 1978). ! = 255!"; !!!" Konsentrasi saponin dapat dihitung dengan Hukum Lambert-Beer. ! = !1% 1!" ×!×! Dimana, A = nilai absorbansi pada panjang gelombang tertentu !% = absorpsivitas spesifik pada panjang gelombang !!!" dan pelarut tertentu b = lebar kuvet (1 cm) c = konsentrasi senyawa dalam sampel (% atau mg/100ml) Alat spektrofotometeri yang digunakan adalah Speqtrocuant Pharo3000, Merck, Germany.
Ekstrak saponin yang telah dipurifikasi menggunakan metode 2.1.6 (c) diisolasi sapogenin-nya dengan melarutkan hasil ekstrak pada 150 ml etanol 50%, ditambahkan 50 mL HCl 1.85N sebanyak ke dalam larutan. Campuran di-reflux selama 7 jam menggunakan suhu 78.37°C (Amerika Serikat Patent No. US6355249 B2, 2002). Hasil presipitasi terbentuk disaring dan diuji menggunakan spektrofotometeri UV !% =16 (Isao pada λmax pada EtOH=246.5 nm dan !!!" Kitagawa, 1978). Menguji hasil presipitasi dengan LC-MS yang dilakukan di PUSLABFOR.
2.1.5 Scale up Ekstraksi Saponin Scale up dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 96% (pelarut yang mengekstrak saponin dengan yield terbesar pada seleksi pelarut). Pada scale up dilakukan proses pretreatment seperti pada percobaan 2.1.1. Percobaan scale up dilakukan dua kali. Setiap hasil ekstrak per harinya disaring, dikentalkan, diuji kualitatif (Froth dan Liebermann Burchard), dan duji kuantitatif dengan spektrofotometri UV hingga diperoleh profil ekstraksi harian. 2.1.6 Purifikasi saponin dengan Karbon Aktif Purifikasi menggunakan karbon aktif komersial berbentuk granular, dilakukan sebanyak tiga kali uji coba untuk menentukan metode penggunaan karbon aktif mana yang lebih baik. Dalam tiap variasi, massa karbon aktif yang digunakan sejumlah 1:1(b/v) atau 1:2 (b/v) dengan volume sampel ekstrak kental yang digunakan. Pelarut yang digunakan adalah ethanol 96%(sampel:pelarut = 1:10 (v/v)), agar nantinya setelah purifikasi, sampel dapat dipekatkan lagi dengan menguapkan ethanol yang titik didihnya 78.37 °C. Proses yang digunakan secara batch dengan variasi waktu 10 menit atau 20 menit dengan kondisi diaduk menggunakan magnetic stirrer. Variasi dilakukan adalah: a) Massa karbon aktif 1:1 (b/v) volume sampel ekstrak, waktu batch 10 menit, purifikasi dilakukan satu kali. b) Massa karbon aktif 1:1 (b/v) volume sampel ekstrak, waktu batch 10 menit, purifikasi
2.1.8 Karakterisasi Saponin dan Sapogenin Karakterisasi saponin dan sapogenin menggunakan alat LC-MS menggunakan sampel sebelum isolasi dan sesudah isolasi sapogenin. Uji LC-MS dilakukan di PUSLABFOR MABES POLRI, Juli 2014. 2.1.9 Uji In Vitro Saponin sebagai Insektisida terhadap Rayap Uji menggunakan rayap tanah dari pohon jambu biji. Konsentrasi saponin sebagai insektisida yang digunakan adalah 20, 10, 1, dan 2 mg/mL. Rayap diujikan sebanyak 5 – 50 ekor perkonsentrasi Mencatat waktu kematian rayap pada tiap konsentrasi tersebut. Dipilih satu konsentrasi yang memiliki waktu kematian rayap paling tepat. Konsentrasi terpilih diujikan untuk uji statistik. Rayap dikelompokan sebanyak 100 ekor ke dalam 20 wadah ukuran 10×10cm. 10 wadah disemprotkan dengan air sebagai kontrol dan 10 wadah lain disemprotkan menggunakan saponin pada konsentrasi terpilih dalam waktu kematian rayap pada konsentrasi tersebut yang tercata dalam uji sebelumnya. Kematian rayap perwadah dicatat dan dijadikan data dalam uji statistik (efikasi insektisida) dan uji hipotesis untuk menentukan keefektifan saponin sebagai insektisida. 2.2 Isolasi Kolagen Metode ekstraksi dan purifikasi kolagen dari jaringan tubuh Acanthaster planci dilaksanakan berdasarkan metode penelitian yang dilakukan oleh Tan et al. (2013), yakni ekstraksi dan karakterisasi pepsin solubilized collagen dari cangkang / dinding tubuh bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci), yang dimodifikasi dengan metode penelitian Lee et al.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
(2008), yaitu karakterisasi biokimia kolagen dari bintang laut Asterias amurensis.
(PSC) dan siap untuk dilakukan pengujian kualitatif dan kuantitatif lebih lanjut.
2.2.1 Ekstraksi Kolagen
2.2.3 Karakterisasi Kolagen
Keseluruhan prosedur ekstraksi dilakukan pada suhu 4oC. Ekstraksi kolagen dimulai dengan membersihkan duri-duri dari tubuh bintang laut Acanthaster planci menggunakan pinset, kemudian memotong-motong sampel menjadi potongan-potongan kecil (sekitar 2×2 cm) lalu mencucinya dengan akuades. Sebesar 15 gram sampel direndam dalam pelarut air (akuades), NaOH 0,1 M, atau Ca(OH)2 0,2 M dengan perbandingan 1:10 (w/v), sambil diaduk selama 2 hari. Selanjutnya campuran disaring dan ditambahkan akuades sebanyak 200 mL, kemudian diaduk selama 1 jam. Berikutnya campuran disaring kembali lalu ditambahkan 250 mL EDTA-2Na 0,5 M dalam 0,05 M Tris–HCl (pH 8), kemudian diaduk selama 3 hari. Setelah 3 hari, campuran disaring lalu dibilas dengan akuades, kemudian ditambahkan akuades baru sebanyak 500 mL dan diaduk selama 2 hari dengan penggantian akuades 1 × 24 jam. Setelah 2 hari akan terbentuk suspensi kental dan jaringan tubuh bintang laut Acanthaster planci sudah tidak utuh. Suspensi kental tersebut disaring dan disentrifugasi pada kecepatan 3200×! selama 30 menit. Ekstraksi kedua dimulai dengan merendam endapan hasil sentrifugasi dalam larutan asam asetat 0,5 M dengan perbandingan 1:10 (w/v) lalu menambahkan pepsin dengan rasio enzim/substrat 1:15 (w/w) kemudian diaduk selama 2 hari. Suspensi yang dihasilkan kemudian disaring dan diambil filtratnya untuk disentrifugasi pada kecepatan 10000×! selama 30 menit. Supernatan yang dihasilkan dari sentrifugasi didialisis pada buffer fosfat 0,02 M (pH 7.2) selama 3 hari untuk menginaktivasi pepsin. Penggantian larutan buffer dilakukan pada 1 × 24 jam.
Identifikasi keberadaan kolagen dilakukan melalui metode spektroskopi UV yang dilanjutkan dengan perhitungan kadar protein total dalam PSC melalui metode Lowry. Kemudian, untuk karakterisasi kolagen secara spesifik dilakukan identifikasi jenis dan tipe protein yang terkandung dengan menggunakan metode elektroforesis (SDS PAGE) serta analisis komposisi asam amino. Terakhir untuk uji kualitatif PSC dilakukan melalui Scanning Electron Microscopy (SEM).
2.2.2 Purifikasi Kolagen Purifikasi kolagen dilakukan dengan mensentrifugasi ekstrak kolagen pada kecepatan tinggi serta menambahkan NaCl (metode salting out) untuk memperoleh kolagen murni (pepsin-solubilized collagen). Langkah pertama yaitu supernatan kolagen yang diperoleh dari hasil dialisis ditambahkan garam NaCl (5% w/v) atau sehingga ekstrak kolagen akan mengendap. Untuk memperoleh endapan kolagen maka campuran disentrifugasi pada 20000×! selama 30 menit. Endapan kolagen yang diperoleh dari sentrifugasi kemudian dilarutkan dalam asam asetat 0,5 M dan didialisis pada 0,1 M asam asetat selama 2 hari dengan penggantian asam asetat 0,1 M sebanyak 1 × 24 jam. Selanjutnya ekstrak kolagen didialisis kembali pada akuades selama 1 hari dengan penggantian akuades sebanyak 4-5 kali. Ekstrak kolagen murni yang dihasilkan disebut pepsin-solubilized collagen
2.2.3.1 Spektroskopi UV PSC hasil ekstraksi dikarakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS (Spectroquant Pharo 3000, Merck, Germany). PSC yang terlarut dalam asam asetat 0,5 M (1:10 w/v) diukur absorbansinya pada panjang gelombang 200-400 nm dengan asam asetat 0,5 M sebagai blanko. Dengan demikian dapat diketahui nilai panjang gelombang maksimum (λmax) dan jenis protein yang terkandung dari masing-masing sampel. 2.2.3.2 Metode Lowry Uji Lowry dilakukan sebanyak dua kali pengulangan berdasarkan metode Komsa-Penkova et al. (1996) dengan sedikit modifikasi. Uji Lowry diawali dengan pembuatan reagent Lowry yang terdiri dari reagen A (1% KNaC4H4O6·4H2O, 8% Na2CO3 dan 2% CuSO4.5H2O), reagen B (4% NaOH 1 M), dan reagen C (1% Sodium Dodecyl Sulfate) dengan perbandingan 3:1:1. Pertama-tama dilakukan pembuatan kurva kalibrasi dengan melarutkan protein standar (BSA 250 µg/mL) dalam tabung reaksi berisi dH2O dengan jumlah tertentu sehingga diperoleh berbagai konsentrasi antara 25-250 mg dalam larutan standar 1 mL. Berikutnya 0,4 mL reagent Lowry ditambahkan ke dalam masing-masing tabung reaksi dan segera dikocok dengan alat vortex lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Kemudian 0,2 mL reagent Folin-Ciocalteu 0,2 N ditambahkan ke dalam campuran reaksi dan segera dikocok dengan vortex kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Serapan masing-masing larutan diukur tepat pada menit ke-30 pada panjang gelombang 650 nm. Hasil pembacaan absorbansi larutan protein standar kemudian diplot untuk menghasilkan kurva kalibrasi sehingga dihasilkan suatu persamaan: ! = !" + ! Dengan y adalah nilai absorbansi sampel dan x adalah konsentrasi protein dalam mg/ml. Prosedur uji Lowry kemudian diulangi untuk sampel PSC (pepsin solubilized collagen) dengan terlebih dahulu mensentrifugasi sampel pada 10000×g selama 2
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
menit untuk memperoleh supernatan yang bersih dari endapan atau pengotor-pengotor. Kadar total protein dalam sampel kemudian dapat dihitung setelah nilai absorbansinya dikurangi dengan absorbansi blanko kemudian dimasukkan ke persamaan yang diperoleh dari kurva kalibrasi. 2.2.3.3 Elektroforesis (SDS Page) Identifikasi kebenaran keberadaan kolagen dalam hasil ekstrak dilakukan dengan elektroforesis SDS Page berdasarkan metode Laemmli (1970). Metode ini dapat mengetahui jenis protein yang terkandung dalam sampel melalui perbandingan berat molekulnya. Elektroforesis SDS Page dilakukan menggunakan Atto Mini Gel Electrophoresis (AE-6531) dengan 4% stacking gel dan 10% separating gel. Sampel kolagen dicampur dengan larutan buffer (Tris-HCl 0,5 M pH 6,8; yang mengandung 2% SDS, 25% gliserol, dan 0,1% bromofenol biru, dengan penambahan 5% βmerkaptoetanol) dengan perbandingan 1:1 (v/v) kemudian dipanaskan pada suhu 95-1000C selama 2 menit. Campuran kemudian disentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 3 menit pada suhu ruang kemudian dimasukkan ke dalam wadah gel dengan arus konstan (20 mA/gel tiap gel) dan hingga tracking dye mencapai jarak 0,5 cm dari dasar gel. Setelah proses elektroforesis, gel diwarnai dengan cara merendam gel dalam larutan pewarnaan (staining) selama 12 jam lalu dilakukan proses pelunturan warna dalam larutan destaining dan akuades selama beberapa jam. 2.2.3.4 Analisis Asam Amino Deteksi keberadaan kolagen serta estimasi kadar kolagen dalam PSC dapat diperoleh menggunakan analisis komposisi asam amino. Uji asam amino dilakukan di PT. Saraswanti Indo Genetech (SIG Laboratory), Bogor, Jawa Barat serta di Laboratorium Kesehatan Daerah, Jakarta. 2.2.3.5 Scanning Electron Microscopy (SEM) Uji kualitatif ekstrak kolagen dilakukan melalui analisis morfologi struktur dan serat kolagen menggunakan metode SEM di Laboratorium Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Untuk uji SEM perlu dilakukan preparasi sampel terlebih dahulu. Langkah pertama pada metode preparasi sampel yaitu sampel diteteskan di atas cover glass ukuran 0,5×0,5 cm lalu dikeringkan. Cover glass yang telah ditetesi sampel selanjutnya diletakkan di atas stub kemudian dilapisi (coating) dengan alat ion coater iB2.
Tabel 1 Rendemen hasil ekstraksi menggunakan pelarut polar pada seleksi pelarut
Pelarut
Berat basah sampel (gram) 25.04
Butanol Etanol 96% Air Iso-propanol
Hasil dan Diskusi
Pelarut
62.86
10.01
4.72
47.15
25.01
11.56
46.24
10.05 1.12 (telah diolah kembali)
11.14
Butanol
Berat basah awal (mg) 250,400
Total massa saponin (mg)
Yield saponin (%)
7,160.76
28.60
Etanol
100,100
2,909.94
29.07
Air
250,100
471.24
1.88
Isopropanol
100,500
283.16
2.82
(telah diolah kembali)
Hasil ekstraksi dihitung rendemennya. Dari hasil rendemen butanol memiliki rendemen terbesar, artinya butanol dapat menarik banyak senyawa dari sampel. Namun berdasarkan hasil ekstrak kental diujikan dengan spektrofotometri dan dihasilkan bahwa etanol 96% adalah pelarut yang paling baik menarik saponin dari Acanthaster planci. Berdasarkan uji kualitatif pada tabel 3. dapat dilihat bahwa pada keempat ekstrak pelarut ini terkandung saponin sebab uji Froth dan uji Liebermann Burchard memberikan hasil positif. Warna ungu pada uji Liebermann Burchard menunjukkan saponin mengandung aglikon/sapogenin triterpenoid (Webb, 1995). Tabel 3 Hasil pengujian kualitatif Froth dan Liebermann – Burchard
Ekstrak dengan Pelarut Butanol
Isopropanol
3.1.1 Seleksi Pelarut Ekstraksi Saponin
15.74
Air
3.1 Isolasi Saponin
Rende men (%)
Tabel 2 Yield saponin hasil ekstraksi menggunakan pelarut polar pada seleksi pelarut
Etanol
3.
Berat evaporasi (gram)
Etanol 1 hari ke 1
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Uji Frot h + + + + +
Uji Liebermann Burchard ungu ungu ungu ungu merah kecokelatan
Kebera daan Saponi n + + + + +
Tipe Aglikon Triterpen oida Triterpen oida Triterpen oida Triterpen oida Triterpen oida
Scale up ekstraksi saponin menggunakan etanol 96%, diperoleh hasil yield saponin seperti pada tabel 4. Dapat dilihat bahwa yield saponin dari uji kedua mengalami penurunan dari uji pertama dan dari kedua uji ini, yield diperoleh lebih kecil dibandingkan pada saat seleksi pelarut. Hal ini disebabkan oleh bintang laut yang digunakan pada saat ekstraksi dari individu yang berbeda, dan saat ekstraksi scal up ukuran potongan bintang laut yang dijadikan sampel tidak sekecil saat seleksi pelarut (>1cm) sehingga luas permukaan reaksi dengan etanol 96% menjadi berkurang. Pada gambar 1, dapat dilihat profil yield saponin diperoleh perhari ekstraksi. Terjadi karakter penurunan yield saponin dari hari ke hari. Namun pada uji pertama, yield mengalami peningkatan pada hari ketiga, hal ini disebabkan waktu ekstraksi hari kedua yang harusnya 24 jam hanya terjadi 12 jam sedangkan ekstraksi hari ketiga terjadi 30 jam. Uji kualitatif hasil scale up untuk pembuktian ada atau tidaknya saponin dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 4 Yield saponin yang diperoleh dari ekstraksi saponin scale up menggunakan ethanol 96%
Yield Ekstrak Saponin Uji ke-2
Berat awal (mg)
Total massa saponin (mg)
Yield saponin (%)
1
213,300
23,602.22
11.07
2
169,110
4,108.33
2.43
3
156,630
21,322.22
13.61
1
462,000
27,300.00
5.91
2
419,610
18,416.67
4.39
3
387,210
14,251.11
3.68
Total yield ekstra k (%) 22.99
12.98
0%
0
1
2
3
4
Gambar 1 Profil ekstraksi harian berdasarkan yield saponin (telah diolah kembali)
3.1.3 Purifikasi saponin dengan Karbon Aktif Purifikasi dilakukan untuk menghilangkan pengotor yang terbawa pada saat proses ekstraksi, menghilangkan protein, dan juga pigmen yang memberikan warna pada ekstrak. Pada ketiga variasi yang dilakukan, pengujian pertama (2.1.6(a))dan pengujian kedua (2.1.6(b)) memberikan hasil ekstrak saponin yang dapat termurnikan dari protein, pengotor, dan pigmen beta karoten, namun sayangnya kedua percobaan pertama kandungan saponin yang terdapat dalam ekstrak pun ikut menghilang. Oleh karena itu dicobakan pengujian 2.1.6(c) dengan variasi massa karbon digunakan adalah 1:2 (b/v) dengan volume sampel dan waktu batch selam 20 menit. Pada percobaan ketiga ini uji purifikasi dilakukan selama satu kali. Pengotor dan protein dapat dihilangkan namun pigmen tetap ada. Dengan keberhasilan uji ketiga, maka ekstrak saponin dengan pelarut ethanol uji II, sebanyak sebanyak 16 ml sampel yang mengandung saponin sebanyak 11,701.03 mg dimurnikan. Hasil purifikasi dikeringkan dan diuji spektrofotometeri, hasil dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5 Hasil perhitungan massa saponin sebelum dan sesudah purifikasi pada t = 20 menit dan massa karbon aktif 1:2 (w/v) sampel pada pemurnian sampel ekstrak ethanol II Uji ke-
Etanol uji I Etanol uji 2
Hari ke-
13.61% 11.07% 5.91% 4.39% 3.68% 2.43%
10%
Hari ke-
Pelarut
20%
Massa Kering Sampel (gram)
Massa Sampel Diuji (mg)
1
11.62
67.5
0.198
11,366.18
2
11.62
67.5
0.183
10,505.10
3
11.62
67.5
0.205
11,768.01
(telah diolah kembali)
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Absorbansi
3.1.2 Scale up Ekstraksi Saponin
Yield Saponin Uji ke-1
Yield (%)
hari merah Triterpen ke kecokelatan oida + + 2 hari merah Triterpen ke kecokelatan oida + + 3 Etanol 2 hari merah Triterpen ke kecokelatan oida + + 1 hari merah Triterpen ke kecokelatan oida + + 2 hari ke + merah + Triterpen 3 kecokelatan oida Keterangan: + menunjukkan hasil positif dalam pengujian (uji Froth terbentuknya busa; uji Liebermann – Burchard terbentuknya warna) (telah diolah kembali)
(telah diolah kembali)
Massa Total Saponin dalam Sampel Kering (mg)
3.1.4 Isolasi Sapogenin Karakterisasi sapogenin yang terdapat di dalam ekstrak Acanthaster planci dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan isolasi sapogenin dari saponin. Untuk mendapatkan sapogenin yang murni tanpa ada rantai gula maka proses isolasi dapat dilakukan dengan menghidrolisis saponin dan mengendapkan sapogenin yang terpisah dari rantai gulanya. Proses hidrolisis dan pengendapan dengan asam klorida dilakukan dengan refluks pada suhu pelarut yaitu ethanol pada 73°C selama tujuh jam (Amerika Serikat Patent No. US6355249 B2, 2002). Sampel yang digunakan adalah sampel hasil purifikasi dari seluruh sampel ekstrak ethanol II sebanyak 8.32 gram. Dari proses refluks ini diperoleh endapan cokelat yang dipisahkan menggunakan kertas saring, sentrifugasi dan juga pengambilan endapan yang terbentuk pada dasar wadah dimana endapan tersebut menempel. Akibat dari proses pemisahan yang sulit maka hasil endapan yang diperoleh hanyalah ±200 mg (217.50 mg) campuran sapogenin. Sampel yang diduga mengandung campuran sapogenin dapat dianalisis menggunakan spektrofotometer UV pada pada λmaxEtOH=246.5 nm !% =16 (Isao Kitagawa, 1978). Satu mg sampel diuji !!!" kuantitatif dengan spektrotrofotometer UV pada λmax !% pada EtOH=246.5 nm !!!" =16 diperoleh massa sapogenin 168.33 mg. Sampel yang didapatkan dari pengendapan ini dapat diuji lebih lanjut untuk pembuktian molekul sapogenin menggunakan alat uji LC-MS untuk mendapatkan berat molekul sapogenin yang belum dilakukan pada penelitian ini. 3.1.5 Karakterisasi Saponin dan Sapogenin Pada gambar 2 dapat dilihat hasil kromatogram sampel sebelum dilakukan isolasi dan setelah dilakukan isolasi sapogenin. Pada kromatogram sampel sebelum isolasi pada waktu retensi 0 hingga 2 detik, 6 – 10 detik, dan 14 – 17 terdapat puncak spektrum yang tidak muncul kembali pada kromatogram sampel setelah isolasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada proses isolasi terdapat senyawa ataupun zat yang tidak ikut terisolasi ataupun terjadi pemecahan rantai dari suatu senyawa yang ada dalam sampel sebelum disolasi sehingga setelah isolasi, rantai yang terpecah akibat hidrolisis tersebut tidak muncuk kembali pada hasil isolasi. Diduga pada hasil spektrum sebelum isolasi terdapat saponin yang tersusun atas sapogenin dan rantai gula dan pada hasil setelah isolasi melalui proses hidrolisis saponin menjadi sapogenin dan rantai gula, yang tersisa pada isolat hanyalah sapogenin tanpa rantai gula, sehingga puncak spektrum yang sebelumnya merupakan saponin sudah tidak muncul kembali pada spektrum setelah isolasi.
Gambar 2 Spektrum Sampel Saponin sebelum dan sesudah isolasi (dokumentasi PUSLABFOR)
Pada gambar 3 terdapat hasil mass spectroscopy (ms) dari sampel baik sebelum ataupun sesudah isolasi. Pada hasil sebelum isolasi, alat LC-MS pada PUSLABFOR MABES POLRI, melakukan pencarian puncak – puncak ms tertinggi dan melakukan pencarian kemungkinan – kemungkinan rumus molekul pada berat molekul yang diperoleh. Pada spketrum dengan waktu retensi di atas 11 detik, rumus molekul yang mungkin adalah molekul dengan rantai karbon di bawah 10, sehingga pada spektrum area tersebut, tidak mungkin ada saponin yang memiliki rantai karbon minimal 27 ataupun 30 (Chaleb, 2010) (Suparjo, 2010). Pada spektrum setelah isolasi, hasil ms yang dilakukan pada waktu retensi di atas waktu tersebut pun menunjukkan molekul dengan rantai karbon di bawah 10, sehingga sapogenin baik triterpenoid ataupun steroidal tidak mungkin ada di wilayah tersebut. Walaupun hasil ms berupa kemungkinan rumus bangun molekul masih dugaan komputerisasi yang membuat ketidakpastian dari rumus molekul yang diberikan, dugaan bahwa pada wilayah tersebut tidak ada saponin ataupun sapogenin diperkuat oleh bentuk spektrum yang tidak jelas dimana terdapat banyak puncak dan juga lembah yang berdempetan membuat hasil yang terdapat pada area waktu retensi di atas 11 detik tersebut sulit untuk dianalisis dan dikarakterisasi baik secara komputerisasi maupun manual dengan penglihatan manusia. Oleh karena itu pencarian saponin dan sapogenin dipusatkan pada spektrum dengan waktu retensi di bawah 11 detik. Dugaan bahwa mokelu yang masih bisa dianalisis adalah yang ada di bawah 11 detik, dan tepatnya berada pada range 0 hingga 2 detik sebab puncak dan juga lembah yang diciptakan pada kurva sangatlah baik. Pada retention time kisaran 2 detik baik pada spektrum sebelum dan sesudah isolasi, terdapat banyak puncak ms dengan range berat molekul dari 200 – 800. Pada pengecekan kemungkinan rumus bangun molekul pada setiap puncak ms terdapat molekul yang tersusun atas rantai dengan unsur karbon, oksigen, hidrogen, klorida, nitrogen dan sulfur. Menurut (Komori, 1997), (Isao
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Kitagawa, 1978), dan (Chaleb, 2010) saponin tidak hanya terdiri dari rantai aglikon dan gula yang tersusun atas rantai dengan unsur karbon, hidrogen, dan oksigen saja, tapi juga terikat dengan unsur seperti nitrogen, halogen, dan sulfur. Pada hasil ms sebelum isolasi dengan dugaan rumus molekul hasil interpretasi komputer, terdapat molekul yang memiliki rantai dengan jumlah karbon antara 27 – 50 sedangkan pada hasil ms setelah isolasi terdapat molekul yang memiliki rantai dengan jumlah karbon antara 26 – 40.
tidak ada yang menunjukkan hasil pada www.chemspider.com. Oleh karena hal tersebut maka untuk membuktikan ada atau tidaknya saponin atau sapogenin perlu dilakukan pendekatan analisis hasil LC-MS lain. Akan tetapi analisis ini hanya dapat dilakukan pada karakterisasi sapogenin sedangkan karakterisasi saponin sudah tidak dapat dilakukan sebab saponin dapat memiliki rantai gula yang bermacam – macam jenisnya dan sulit ditebak rumus molekulnya karena keberagaman kemungkinan gula yang terikat pada rantai aglikon maka beragam pula berat molekulnya. Karena hal tersebut, berdasarkan uji kualitatif pembuktian sapogenin menggunakan reagen Lieberman – Burchard diduga sapogenin yang ada dalam Acanthaster planci merupakan triterpenoida. Berat molekul triterpenoida berdasarkan literatur (Wilshire Technologies, 2011)adalah pada kisaran 424.7 hingga 752.9, pada gambar 4 dapat kita lihat kisaran berat molekul tersebut ada dalam grafik ms. 3.1.6 Uji In Vitro Saponin pada Rayap
100% % Rayap
Gambar 3 Grafik ms sebelum isolasi pada retention time 2.2470 – 2.436 detik (dokumentasi PUSLABFOR)
Pada pengujian menggunakan empat konsentrasi berbeda yaitu, 20, 10, 1, dan 2 mg/mL. konsentrasi 2 mg/mL adalah konsentrasi terbaik karena waktu kematiannya sekitar 6 menit, sedangkan pada konsentrasi 20 dan 10 mg/mL, kematian terjadi sangat cepat yaitu kisaran di bawah 20 detik, sedankan pada konsentrasi 1 mg/mL waktu kematian rayap terjadi selama 10 menit. Dari percobaan ini selanjutnya uji statistik dan diperoleh data seperti pada gambar 5
50% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pengujian keRayap Mati
Rayap Hidup
Gambar 5 Presentase Kematian dan Hidup Rayap pada Sampel Diberi Perlakukan Insektisda Saponin 2 mg/mL (telah diolah kembali)
Gambar 4 Grafik ms setelah isolasi pada retention time 0.793 – 2.286 detik (dokumentasi PUSLABFOR)
Setiap puncak ms dengan rantai – rantai yang memiliki jumlah karbon memungkinkan sebagai saponin ataupun sapogenin, rumus molekulnya dicobakan satu persatu menggunakan alat bantu pencarian online yang sudah terverifikasi oleh Royal Society of Chemistry, yaitu www.chemspider.com. Namun sangat disayangkan dari keseluruhan hasil ms yang diduga adalah saponin ataupun sapogenin pada range waktu di bawah 11 detik
Dari rata – rata kematian selanjutnya menggunakan uji hipotesis, di mana pestisida dinyatakan efektif apabila efikasi/ kematian hama mencapai 70%. . Dalam uji hipotesis menggunakan distribusi t, dengan level of significance 5%, dan mean asumsi kematian rayap sebesar 70% sampel yaitu 3.5, disimpulkan bahwa insektisida saponin dengan konsentrasi 2mg/mL tidak efektif membunuh rayap.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
3.2 Isolasi Kolagen 3.2.1 Ekstraksi Kolagen
Absorbansi
ikan lele Mystus macropterus (233 nm), serta ikan salmon Rachycentron canadum (221 nm).
Pepsin Solubilized Collagen (PSC) berhasil diisolasi dari tubuh bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci) menggunakan proses ekstraksi bertahap. Dengan hasil ekstraksi tertinggi yaitu rendemen (ekstrak kasar) dan yield kolagen murni sebesar 86.75% dan 2.26 %, berturut-turut.
1.5 1.0 0.5 0.0 0
100
Rendemen (%) 64.07 63.18 86.75
a
Yield (%) 1.23 2.15 2.26
Dari ketiga pelarut yang digunakan, diperoleh hasil ekstrak tertinggi diperoleh dari penggunaan pelarut Ca(OH)2, diikuti oleh NaOH, dan air. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh efek hidrolisis yang ditimbulkan NaOH sangat kuat sehingga mengakibatkan kerusakan protein yang lebih besar Sebaliknya, dibandingkan dengan Ca(OH)2. penggunaan pelarut air tidak dapat menghasilkan efek yang cukup signifikan untuk mengekstrak kolagen dari jaringan tubuh bintang laut mahkota duri. Penggunaan Ca(OH)2 dengan konsentrasi yang relatif tinggi terbukti dapat menghasilkan kondisi yang optimal untuk ekstraksi protein melalui proses hidrolisis alkali (Usman et al., 2003). Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi Ca(OH)2 yang paling optimal untuk ekstraksi kolagen dari tubuh bintang laut mahkota duri. 3.2.2 Karakterisasi Kolagen 3.2.2.1 Spektroskopi UV Asam amino alifatik sederhana merupakan penyusun utama rantai polipeptida kolagen di mana penyerapan maksimum ikatan peptida terjadi pada panjang gelombang 190-230 nm (Edwards et al., 1997). Selain itu, kolagen mengandung sedikit asam amino aromatik seperti triptofan, fenil alanin dan tirosin ditunjukkan oleh nilai absorbansi yang rendah pada panjang gelombang 250-290 nm, di mana absorbansi maksimum triptofan umumnya pada panjang gelombang 280 nm, serta 274 nm untuk tirosin dan 257 nm untuk fenilalanin (Lin et al., 2006). PSC yang dihasilkan dari jaringan tubuh bintang laut mahkota duri menunjukkan nilai absorbansi maksimum pada kisaran panjang gelombang 215-240 nm, yaitu 230 nm untuk ekstraksi menggunakan pelarut air, 218 nm untuk pelarut NaOH, dan 222 untuk pelarut Ca(OH)2. Hasil ini sesuai dengan PSC dari organisme laut seperti teripang Stichopus japonicus (220 nm),
300
400
500
λ(nm)
Tabel 6 Hasil Ekstraksi Kolagen Jenis Pelarut Air NaOH 0.1M Ca(OH)2 0.2M
200
b
c
Gambar 6 Hasil Uji Spektroskopi UV dari Ekstrak Kolagen dengan Perbandingan Pelarut: (a) Air, (b) NaOH 0.1 M, dan (c) Ca(OH)2 0.2 M
3.2.2.2 Metode Lowry Kadar protein yang didapatkan dari hasil uji Lowry menandakan kolagen berhasil diekstrak dari masingmasing sampel jaringan tubuh bintang laut mahkota duri (A. planci). Dari uji Lowry dapat dilihat bahwa kadar protein tertinggi diperoleh dari hasil ekstrak dengan pelarut Ca(OH)2 0.2 M, diikuti oleh NaOH 0.1 M, dan air. Hasil ini sesuai dengan analisis dan perhitungan rendemen ekstrak kolagen kasar serta yield PSC pada bagian sebelumnya yaitu penggunaan Ca(OH)2 pada konsentrasi yang lebih tinggi akan lebih optimal dari pada NaOH karena efek hidrolisisnya yang optimal. Tabel 7 Hasil Uji Metode Lowry
Jenis Pelarut
Absorbansi
Konsentrasi (mg/ml)
Kadar Protein (mg/ml)
Air
0.52
1.64
16.41
NaOH
0.82
2.59
25.93
Ca(OH)2
1.14
3.53
35.36
3.2.2.3 Elektroforesis (SDS Page) Berdasarkan literatur, kolagen memiliki berat molekul sebesar 100-200 kDa (Omura et al., 1996) sehingga hasil SDS Page membuktikan kebenaran keberadaan kolagen pada ketiga jenis sampel PSC. Kolagen tipe I terdiri dari tiga rantai α polipeptida yaitu dua rantai α polipeptida disebut tipe 1 dan satu rantai α polipeptida disebut tipe 2 (Shoulders dan Raines, 2009). Hasil SDS Page menunjukkan bahwa PSC dari tubuh bintang laut mahkota duri mengandung rantai α dan β (dimer), di mana komponen β tersusun atas rantai β11 dan β12 yakni rantai β11 sebagai homodimer dari rantai α1 sedangkan rantai β12 merupakan heterodimer dari rantai α1 dan α2. Rantai α merupakan komponen utama penyusun PSC, terbukti dari ketebalan dan jumlah pita terbanyak terdapat pada berat molekul 100-200 kDa.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Glisin Histidin Arginin Threonin
Gambar 7 Hasil SDS Page Ekstrak Kolagen dari Tubuh Bintang Laut Mahkota Duri dengan Variasi Pelarut. Jalur 1: Ca(OH)2, jalur 2: NaOH, jalur 3: air, jalur 4: marker
Sesuai dengan hasil uji metode Lowry, kadar protein tertinggi terdapat di sampel PSC dari penggunaan pelarut Ca(OH)2 0,2 M, diikuti dengan pelarut NaOH 0,1 M, dan terakhir pelarut air. Hal ini terlihat dari ketebalan pita (band) yang dihasilkan pada berat molekul ≥ 200 kDa dan 100-200 kDa (Gambar 7). Namun terlihat juga beberapa pita lain pada berat molekul yang lebih rendah, hal ini menandakan terdapat protein-protein lain (non-kolagen) yang masih terbawa selama proses pemurnian. Walaupun demikian, dari ketebalan pita dapat disimpulkan bahwa proses purifikasi cukup berhasil karena kadar protein-protein non-kolagen relatif lebih kecil dibandingkan protein kolagen. Hasil SDS Page ini juga memiliki kemiripan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Tan et al. (2013) yaitu isolasi PSC dari cangkang bintang laut mahkota duri, serta beberapa penelitian mengenai ekstraksi kolagen dari organisme laut seperti teripang (Adibzadeh et al., 2014), ikan gurame (Jia et al., 2013), dan ikan hiu (Kittiphattanabawon et al., 2010). 3.2.2.4 Analisis Asam Amino Struktur primer kolagen memiliki pola Gly-X-Y di mana X umumnya diisi oleh prolin dan Y diisi oleh hidroksiprolin atau hidroksilisin sehingga asam amino penyusun utama kolagen adalah glisin (33-35%), prolin dan hidroksiprolin (20-28%). Namun, pada beberapa kasus, glisin dapat digantikan oleh alanin karena kemiripan struktur dan sifatnya. Tabel 8 Hasil Analisis Komposisi Asam Amino Asam Amino Aspartat Glutamat Serin
Komposisi (per 1000 residu) Ca(OH)2 0.2 M NaOH 0.1 M Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 166.29
106.68 Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
55.84 Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
Alanin
361.59
535.93
Prolin
113.42
173.15
Falin
14.16 Tidak terdeteksi
6.78 Tidak terdeteksi
206.39
98.83
8.29
3.97
Metionin Isouleusin Leusin
Fenilalanin 18.79 9.00 Lisin (Lysine 77.01 36.88 HCl) Secara keseluruhan, data yang diperoleh dari uji asam amino pada PSC sesuai dengan literatur. Selain itu, komposisi asam amino tersebut juga memiliki kemiripan dengan asam amino pada PSC dari teripang Stichopus japonicus (Cui et al., 2007), ikan lele Mystus macropterus (Zhang et al., 2009), ikan hiu bambu (Chiloscyllium punctatum) dan ikan hiu hitam (Carcharhinus limbatus) (Kittiphattanabawon et al., 2010), serta ikan salmon Rachycentron canadum (Zeng et al., 2012). Namun terdapat beberapa asam amino lain yang tidak terdeteksi karena kadar proteinnya terlalu rendah, hal ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah sampel yang sangat kecil. 3.2.2.5 Scanning Electron Microscopy (SEM) Struktur kolagen dari bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci) berbentuk seperti pipa silinder dengan banyak pori, sama halnya dengan struktur kolagen dari ikan layar (Istiophorus platypterus) (Gambar 8). Namun, struktur serabut PSC dari bintang laut mahkota duri terlihat lebih tebal dibandingkan dengan ikan layar, hal ini kemungkinan besar dikarenakan PSC dari bintang laut mahkota duri belum dikeringkan (freeze drying) sehingga kandungan airnya cukup tinggi dan akibatnya serat-serat kolagen mengembang. Hal ini membuktikan bahwa PSC dari bintang laut mahkota duri memiliki kemampuan menyerap air yang tinggi serta serabut yang kuat sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan di bidang medis karena sifatnya yang sangat sesuai dengan kondisi tubuh manusia.
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 79.63
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Tabel 9 Kandungan Kolagen Pada Kulit Normal Kelompok Usia Janin Remaja Dewasa Manula
(a)
(b)
Gambar 8 Hasil SEM Ekstrak Kolagen dengan Perbesaran ×1000 dari: (a) Bintang Laut Mahkota Duri dan (b) Ikan Layar (sumber: Tamilmozhi et al., 2013)
Selain struktur serat kolagen, ciri lainnya yang juga sangat penting adalah porositas, seperti bentuk dan luas permukaan pori, morfologi dinding pori, serta konektivitas antar pori. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi perilaku sel seperti pertumbuhan, diferensiasi, adhesi, dan migrasi sel, serta perpindahan massa, ekspresi gen, dan pembentukan jaringan baru (Yang, Leong, Du, and Chua, 2001). Pada perbesaran ×3500 (Gambar 9), hasil SEM ekstrak kolagen menunjukkan permukaan yang kasar dengan ukuran pori yang cukup seragam. Terbentuknya pori-pori di sepanjang permukaan PSC menunjukkan hilangnya material-material non-kolagen saat proses ekstraksi. Keseragaman dan ukuran pori merupakan beberapa faktor utama untuk mengetahui kualitas kolagen. Dengan demikian, PSC dari bintang laut mahkota duri berpotensi untuk digunakan sebagai bahan biomaterial seperti biofilm atau scaffold untuk rekayasa genetika dan aplikasi medis lainnya.
(a)
(b)
Kolagen Tipe I (µg/g) 264.71 ± 5.88 279.12 ± 7.65 241.79 ± 8.23 209.50 ± 14.31
(sumber: Cheng, W. et al., 2011)
Hasil ekstraksi kolagen dari tubuh bintang laut mahkota duri jauh lebih tinggi dibandingkan kebutuhan kolagen pada kulit normal sehingga sangat berpotensi untuk dimanfaatkan secara komersial (Tabel 10). Selain itu persentase kadar protein kolagen hasil ekstraksi juga mendekati hasil penelitian oleh Peng, Y. et al. (2004) yang dinyatakan pada Tabel 11. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengevaluasi produk kolagen komersil yang umum digunakan dalam kosmetik, yaitu Collasol (Croda Chemicals Ltd, Humberside UK), Collagen CLR (Chemisches Laboratorium Dr. Kurt Richter, Germany), dan AteloHelogen (Meddicoll, North Ryde, Australia). Tabel 10 Hasil Ekstraksi Kolagen dari Tubuh Bintang Laut Mahkota Duri Kadar Protein Kolagen %w/v g/ml µg/g 7.847,50 0.016 1.64 % 13.561,03 0.026 2.59 % 19.623,48 0.035 3.53 %
Jenis Pelarut Air NaOH Ca(OH)2
Tabel 11 Hasil Analisis Tiga Jenis Sampel Kolagen yang Umum Digunakan pada Kosmetik
Gambar 9 Hasil SEM Ekstrak Kolagen dari: (a) Bintang Laut Mahkota Duri (Perbesaran ×3500) dan (b) Ikan Layar (Perbesaran ×2000) (sumber: Tamilmozhi et al., 2013)
3.2.3 Perkembangan Pemanfaatan Kolagen dari Bintang Laut Mahkota Duri Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendukung pemanfaatan kolagen yang lebih baik dan spesifik. Salah satunya adalah penelitian Cheng, W. et al. (2011) mengenai pengaruh usia terhadap sintesis kolagen pada tubuh. Penelitian tersebut menunjukkan perbandingan kandungan kolagen pada berbagai usia yang dinyatakan oleh Tabel 9 di bawah.
(sumber: Peng, Y. et al., 2004)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan kolagen dari bintang laut mahkota duri memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan di bidang industri, terutama untuk aplikasi medis, farmasi, dan kosmetik. 4. Kesimpulan a) Dari keempat jenis pelarut polar yaitu butanol, air, isopropil alkohol, dan ethanol 96% yang digunakan untuk mengekstraksi saponin, ethanol 96% merupakan pelarut terbaik yang dapat menarik saponin dengan yield 29.070%.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
b) Jenis sapogenin yang terdapat dalam saponin hasil ekstrak dari A. planci pada percobaan ini adalah triterpenoid. c) Hasil ekstraksi scale up dengan menggunakan pelarut ethanol 96% diperoleh massa saponin sebanyak 49,032.78 miligram untuk pengujian pertama dan 59,967.78 miligram untuk pengujian kedua dengan yield masing – masing adalah 22.99% dan 12.98%. d) Proses purifikasi dengan menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk memurnikan hasil ekstrak dari pengotor berupa residu dari padatan binang laut yang melewati kertas saring whatmann 42 dan juga menghilangkan protein. Dari tiga metode purifikasi dengan karbon aktif, dipilih metode dengan menggunakan karbon aktif 1:2 (w/v) dan waktu batch 20 menit e) Isolasi sapogenin dapat dilakukan dengan hidrolisis menggunakan asam klorida, dengan diperoleh isolasi sapogenin sebanyak 168.33 mg dari total 217.50 mg endapan yang diperoleh. f) Ekstrak saponin mampu untuk membunuh rayap pada konsentrasi 10, 20, 1, 2 mg/mL sedangkan Isoalsi sapogenin dalam padatan yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 3 mg/ml tidak dapat digunakan sebagai insektisida (tidak ada rayap yang mati selama waktu coba 20 menit). g) Ekstrak saponin 2mg/mL dapat membunuh rayap dalam waktu 6 menit dan berdasarkan hasil uji statistik, ekstrak ini tidak efektif untuk dijadikan insektisida dikarenakan hanya 3 sampel dari 10 sampel yang memiliki Efikasi Insektisida (EI) ≥ 70% dan berdasarkan diterimanya uji hipotesa distribusi-t menggunakan level of significance 5%, yang menyatakan insektisida tidak efektif. h) Kolagen tipe I berhasil diisolasi dari tubuh bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci) menggunakan proses ekstraksi bertahap. i) Variasi jenis pelarut pada ekstraksi yang terdiri dari pelarut air, NaOH 0.1 M dan Ca(OH)2 0.2 M menunjukkan hasil terbaik pada penggunaan pelarut Ca(OH)2 karena sifat hidrolisisnya yang kuat namun dengan kerusakan protein minimum. j) Hasil ekstraksi berupa rendemen (ekstrak kasar) dan yield kolagen murni sebesar 86.75% dan 2.26 %, berturut-turut. k) Karakterisasi kolagen tipe I dari tubuh bintang laut mahkota duri (Acanthaster planci). Dilakukan melalui uji kualitatif and kuantitatif. l) Hasil uji kualitatif melalui metode spektroskopi UV, elektroforesis (SDS Page), dan Scanning Electron Microscopy (SEM) membuktikan kebenaran keberadaan kolagen tipe I pada PSC dan potensi pemanfaatannya di bidang medis, kosmetik, pangan, dll. m) Hasil uji kualitatif melalui metode Lowry dan analisis komposisi asam amino menunjukkan kadar
protein kolagen tertinggi berasal dari penggunaan pelarut Ca(OH)2 0,2 M, yaitu sebesar 37,19 mg/ml. Daftar Pustaka Adibzadeh, N., Aminzadeh, S., and Jamili, S. 2014. Purification and Characterization of PepsinSolubilized Collagen from Skin of Sea Cucumber Holothuria parva. , pp.143–154. Ahmad, M. and Benjakul, S. 2010. Extraction and Characterisation of Pepsin-Solubilised Collagen from the Skin of Unicorn Leatherjacket (Aluterus monoceros). Food Chemistry, vol. 120, p.817-824 Alister D. Muir, D. P. (2002). Amerika Serikat Patent No. US6355249 B2. Andirisnanti, W. A. 2012. Uji Manfaat Ekstrak Kolagen dari Teripang Stichopus hermanni sebagai Bahan Pelembab Kulit. Astuti, S. M. (2011). Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibiotika Ekstrak Etanol, Daun, Batang, Bunga, dan Umbi Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis). Brown, T.A., Nelson, D.E., Southon, J.R., 1988. Improved collagen extraction by modified Longin method. Radiocarbon 30, 171-177. Budidaya Perikanan. (2001, Maret). Dipetik November 12, 2013, dari Ristek Departemen Perikanan: www.ristek.go.id Chaleb, I. (2010). Saponins as Insecticides: a Review. Tunisian Journal of Plant Protection, 39-50. Cheng, F.Y., Hsu, F.W., Chang, H.S., Lin, L.C., and Sakata, R. 2009. Effect of Different Acids on the Extraction of Pepsin-Solubilised Collagen Containing Melanin from Silky Fowl Feet. Food Chemistry, 113(2), 563–567. Cheng, W. et al., 2011. The Content and Ratio of Type I and III Collagen in Skin Differ with Age and Injury. African Journal of Biotecnology, 10(13), pp.2524– 2529. Cui, F. et al., 2007. Characterization and Subunit Composition of Collagen from the body Wall of Sea Cucumber Stichopus japonicas. Food Chemistry, 100, pp.1120–1125. Edwards HGM, Farwell DW, Holder JM, Lawson EE. 1997. Fourier transform Raman spectroscopy of ivory: II. Spectroscopic analysis and assignments. Journal of Molecular Structure; 435:49–58. Hartati, I. 2010. Kajian Produksi Kolagen dari Limbah Sisik Ikan Secara Ekstraksi Enzimatis. Momentum, 6(1), 33–35. Hussin, N. A. 2012. Extraction and Characterization of Collagen Extracted from the Skin of Stripped Catfish (Pangasianodon hypophthalmus). pp. 13–20. Imelda Krisanta Enda Savitri, M. S. (2012). Isolation and Characterization of Phospholipase A2 from Spines Venom of The Crown - of - Thorns Starfish Isolated from Papua Island. International Journal of Pharma and Bio Sciences, 603-608.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Isao Kitagawa, M. K. (1978). Saponin and Sapogenol. XXV. Steroidal Saponins from The Starfish Acanthaster planci L. (Crown of Thorn). Structure of Two Genuine Sapogenols, Thornasterol A and Thornasterol B, and Their Sulfates. Chemical Parmacy Bulletin, 26(6), 1852-1863. Jia, Y., et al. 2012. Biochemical Properties of Skin Collagens Isolated from Black Carp (Mylopharyngodon piceus). 21(6), pp.1585–1592. K. Hostettmann, A. M. (1995). Saponins. Kasim, S. 2013. Pengaruh Variasi Jenis Pelarut Asam pada Ekstraksi Kolagen dari Ikan Pari (Himantura gerrardi) dan Ikan Tuna (Thunnus sp). Majalah Farmasi dan Farmakologi, 17(2). Kimura S, Omura Y, Ishida M, and Shirai H. 1993. Molecular Characterization of Fibrillar Collagen from the Body Wall of Starfish Asterias amurensis. Comp Biochem Physiol B 104, 663-668. Kittiphattanabawon, P. et al., 2010. Isolation and Characterization of Collagen from the Cartilages of Brownbanded Bamboo Shark (Chiloscyllium punctatum) and Blacktip Shark (Carcharhinus limbatus). LWT - Food Science and Technology, 43(5), pp.792–800. Komori, T. (1997). Toxins from The Starfish Acanthaster planci and Asterina pectinifera. Toxicon, 35, 1537-1548. Laemmli, U. K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227: 680-685. Lee, K. 2009. Biochemical Characterization of Collagen from the Starfish Asterias amurensis. Journal of the Korean Society for Applied Biological Chemistry, 52(3), 221–226. Li, C.M., Zhong, Z.H., Wan, Q.H., Zhao, H., Gu, H.F. and Xiong, S.B. 2006. Preparation and Thermal Stability of Collagen from Scales of Grass Carp (Ctenopharyngodon idellus). European Food Research and Technology 223 (3-4), 236-241. Lin, S.-H., Chen, C.-N. and Juang, R.-S. 2006. Extraction equilibria and separation of phenylalanine and aspartic acid from water with di(2-ethylhexyl)phosphoric acid. J. Chem. Technol. Biotechnol., 81: 406–412. Luo, P., Hu, C., Xia, J., Ren, C., and Jiang, X. 2011. Chemical Constituent Analysis of the Crown of Thorns Starfish Acanthaster planci and Potential Utilization Value of the Starfish as Feed Ingredient for Animals. African Journal of Biotechnology, 10(62), 13610–13616. doi:10.5897/AJB11.2056 Martianingsih, N. 2009. Analisis Sifat Kimia, Fisik, dan Termal Gelatin dari Ekstraksi Kulit Ikan Pari (Himantura gerrardi) melalui Variasi Jenis Larutan Asam. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITS, Surabaya. Matsumura, T. 1973. Disaggregation of Connective Tissue: Preparation of Fibrous Components from Sea
Cucumber Body Wall and Calf Skin. Journal of Biochemical, 73: 155–162. Mizuta S, Hwang J, and Yoshinaka R. 2002. Molecular Species of Collagen from Wing Muscle of Skate (Raja kenojei). Food Chem 76, 53-58. Mocan, E., Tagadiuc, O., and Nacu, V. 2011. Aspects of Collagen Isolation Procedure. Laboratory of Tissue Engineering and Cells Cultures, 8–10. Moran, D. P. (1988). Crown-of-Thorns Starfish Question and Answer. Australian Institute of Marine Scienc. Nagai T and Suzuki N. 2000. Partial Characterization of Collagen from Purple Sea Urchin (Anthocidaris crassispina) Test. Int J Food Sci Tech 35, 497-501. Nicole Fraser, B. R. (2000). Best Practice Guide for Crown-of-Thorns Clean-ups. Jakarta: Proyek Pesisir. Omura, Y., Urano, N., and Kimura, S. 1996. Occurrence of Fibrillar Collagen with Structure of (α1)2α2 in the Test of Sea Urchin Asthenosoma ijimai. Comparative Biochemistry and Physiology, 115B, 63–68. Peng, Y. et al., 2004. Evaluation for Collagen Products for Cosmetic Application. Journal of cosmetic science, 55(4), pp.327–41. Rigby, B.J. 1968. Amino-acid Composition and Thermal Stability of The Skin Collagen of The Antarctic Ice-Fish. Nature, 219, 166-167 Sadowska M, Kołodziejska I, and Niecikowska C. 2003. Isolation of Collagen from the Skins of Baltic Cod (Gadus morhua). Food Chem 81, 257-262. Saito, M., Kunisaki, N., Urano, N., and Kimura, S. 2002. Collagen as the Major Edible Component of Sea Cucumber (Stichopus japonicus). Journal Of Food Science 67 (4): 1319 – 1322. Sari, A. D. (2012). Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Bintang Laut Culcita sp. Bogor: Repository IPB. Shoulders, M.D., and Raines, R.T. 2009. Collagen Structure and Stability. Annual Review of Biochemistry 78: 929 – 958. Siddiqui YD., et al. 2013. Extraction, Purification and Physical Characterization of Collagen from Body Wall of Sea cucumber Bohadschia bivitatta, 4(2), 53– 65. Suara Pembaruan. (2012, April 18). Serangan Rayap Rugikan Indonesia Rp 250 miliar. Retrieved Maret 13, 2014, from Suara Pembaruan: http://www.suarapembaruan.com/home/seranganrayap-rugikan-indonesia-rp-250-miliar/19234 Suparjo. (2010). Saponin: Peran dan Pengaruhnya Bagi Ternak dan Manusia. Jambi: Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Tamilmozhi, S., Veeruraj, A. and Arumugam, M. 2013. Isolation and Characterization of Acid and PepsinSolubilized Collagen from the Skin of Sail Fish (Istiophorus platypterus). FRIN, 54(2), pp.1499– 1505.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014
Tan, C.C., Karim, A. A., Latiff, A. A., Gan, C.Y. and Ghazali, F. C. 2013. Extraction and Characterization of Pepsin Solubilized Collagen from the Body Wall of Crown of Thorns Starfish (Acanthaster planci). International Food Research Journal, 20(6), 3013– 3020. Techatanawat, S., Surarit, R., Suddhasthira, T., and Khovidhunkit, S. P. 2011. Type I Collagen Extracted from Rat-Tail and Bovine Achilles Tendon for Dental Application: A Comparative Study. 5(6), 787–798. doi:10.5372/1905-7415.0506.111 Trotter, J.A., Lyons Levy, G, Thurmond, F.A., and Koob, T.J. 1995. Covalent Composition of Collagen Fibrils from the Dermis of the Sea Cucumber, Cucumaria frondosa, a Tissue with Mutable Mechanical Properties. Comp. Biochem. Physiol 112A (3/4): 463 - 478. Usman, L.A. et al., 2003. Effect of acid and alkaline hydrolysis on the concentrations of albumin and globulin in Thevetia peruviana seed cake protein extract. , 15(June), pp.16–21. Webb, L. J. (1995). A Preeliminary Phytochemical Survey of Papua - New Guinea. In L. J. Webb, Pacific Science (pp. 431 - 441). Wilshire Technologies. (2011). Triterpenoida. Retrieved Juli 01, 2014, from Rare Phytochemicals Library: http://www.rarephytochemicals.wilshiretechnologies. com/NaturalProducts/ShowRarePhytochemicalsLibra ry.aspx?ChemicalClass=Triterpenoids Xiong, X., Ghosh, R., Hiller, E., Drepper, F., Knapp, B., Brunner, H., and Rupp, S. 2009. A New Procedure for Rapid, High Yield Purification of Type I Collagen for Tissue Engineering. Process Biochemistry, 44(11), 1200–1212. Yang, S. F., Leong, K. F., Du, Z. H., & Chua, C. K. (2001). The design of scaffolds for use in tissue engineering. Part 1. Traditional factors. Tissue Engineering, 7(6), 679–689. Yukiyoshi Tamura, M. M. (2012). Application of Saponin-Containing Plants in Foods and Cosmetics. Intech, 85-101. Zeng, S. et al., 2012. Structure and Characteristics of Acid and Pepsin-Solubilized Collagens From the Skin of Cobia (Rachycentron canadum). Food Chemistry, 135(3), pp.1975–1984. Zhang, Y., Liu, W., Li, G., Shi, B., Miao, Y. and Wu, X. 2007. Isolation and partial characterization of pepsin-soluble collagen from the skin of grass carp (Ctenopharyngodon idella). Food Chemistry 103: 906-912. Zhang, M., Liu, W., and Li, G. 2009. Isolation and Characterization of Collagens from the Skin of Largefin Longbarbel Catfish (Mystus macropterus). Food Chemistry, 115, 826-831. Zhang, F., et al. 2011. Preparation and Characterisation of Collagen from Freshwater Fish
Scales. Food and Nutrition Sciences, 02(08), 818– 823.
Isolasi dan.…, Yunita Florensia, FT UI, 2014