ISOLASI DAN KARAKTERISASI FAG LITIK Staphylococcus aureus RESISTEN ANTIBIOTIK
PRIYANTO DWI NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Isolasi dan Karakterisasi Fag Litik Staphylococcus aureus Resisten Antibiotik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Priyanto Dwi Nugroho NIM G351130301
RINGKASAN PRIYANTO DWI NUGROHO. Isolasi dan Karakterisasi Fag Litik Staphylococcus aureus Resisten Antibiotik. Dibimbing oleh SRI BUDIARTI dan IMAN RUSMANA. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri patogen yang menyebabkan bakteremia dan infeksi kronis. Pengobatan menggunakan antibiotik tidak cukup efektif mengontrol S. aureus. Bakteri S. aureus telah resisten terhadap antibiotik ampicillin, tetracycline, dan chloramphenicol. Aplikasi fag litik merupakan salah satu terapi untuk mengontrol bakteri patogen resisten antibiotik. Fag litik merupakan virus yang hanya menginfeksi sel bakteri serta melisiskannya. Fag litik telah banyak dilaporkan mampu untuk mengontrol infeksi S. aureus resisten antibiotik, namun belum pernah dilaporkan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan memperoleh karakteristik isolat fag yang spesifik dan efektif untuk mengurangi populasi S. aureus resisten antibiotik. Fag berhasil diisolasi dari limbah cair kotoran sapi di sentra peternakan sapi perah Pondok Ranggon Jakarta Timur menggunakan teknik agar dua lapis. Tiga isolat fag (FSb, FSs, dan FSk) dipilih berdasarkan perbedaan karakteristik morfologi plak. Ketiga isolat fag dideterminasi berdasarkan kemampuannya untuk melisiskan sel bakteri inang dengan pembentukan plak, spesifisitas sel bakteri, morfologi, dan efektivitas bakteriolitik. Ketiga isolat fag mampu menginfeksi dan melisiskan sel bakteri S. aureus dengan pembentukan plak jernih yang mengindikasikan fag bersifat litik. Plak FSb berbentuk ireguler dengan diameter 2-3 mm, plak FSs berbentuk reguler dengan diameter 1-2 mm, dan plak FSk berbentuk reguler dengan diameter <1 mm. Ketiga isolat fag spesifik menginfeksi dan melisiskan S. aureus, namun tidak melisiskan sel Bacillus., E. coli., K. pneumoniae., P. aeruginosa., Salmonella serta mikrobiota normal pada mulut dan kulit manusia seperti S. hominis., S. epidermidis., dan S. mutans. Pengamatan morfologi menggunakan mikroskop elektron transmisi menunjukkan FSb dan FSk termasuk famili Myoviridae, sedangkan FSs termasuk famili Siphoviridae. FSb diketahui memiliki bentuk kapsid ikosahedral dengan diameter 85.71 nm., panjang ekor 126.67 nm., dan diameter ekor 20.00 nm. FSs memiliki bentuk kapsid ikosahedral dengan diameter 53.33 nm., panjang ekor 106.67 nm., dan diameter ekor 13.33 nm. FSk memiliki bentuk kapsid ikosahedral dengan diameter 66.67 nm., panjang ekor 120.00 nm., dan diameter ekor 16.67 nm. Penelitian ini juga mengamati efektivitas bakteriolitik setiap isolat fag. Efektivitas bakteriolitik oleh fag ditunjukkan berdasarkan persentase penurunan jumlah sel bakteri oleh infeksi fag terhadap jumlah sel bakteri kontrol. Fag FSs memiliki efektivitas bakteriolitik tertinggi terhadap S. aureus, kemudian diikuti oleh fag FSb dan fag FSk. Fag FSs mampu melisiskan 50.66% populasi bakteri S. aureus. Fag FSb dan FSk masing-masing mampu melisiskan 47.88% dan 42.23% populasi bakteri S. aureus setelah 8 jam. Berdasarkan spesifisitas dan efektivitas bakteriolitik, maka ketiga isolat fag prospektif diteliti lebih lanjut dan dikembangkan sebagai biokontrol dan terapi infeksi S. aureus. Kata kunci: Fag litik, karakterisasi, Staphylococcus aureus
SUMMARY PRIYANTO DWI NUGROHO. Isolation and Characterization of Lytic Phage Staphylococcus aureus Antibiotics Resistant. Supervised by SRI BUDIARTI and IMAN RUSMANA. Staphylococcus aureus is one of pathogenic bacteria caused bacteremia and chronic infection. This bacterium is resistant toward ampicillin, tetracycline, and chloramphenicol. Therefore, to reduce potential infection of antibiotics resistant S. aureus, alternative solutions such as application of lytic phage were needed. Phages are viruses that infect bacteria cell, commonly resulting in death of the host bacterial cell. Lytic phage have been reported able to control infection of S. aureus resistant antibiotics, but never been reported in Indonesia. This study is expected to obtain isolate characteristics of phage that specific and effective to decreased population of S. aureus resistant toward antibiotics. Phage were isolated from liquid waste of cow manure at the dairy farm cows center of Pondok Ranggon of East Jakarta by using double layer agar technique. Three isolates (FSb, FSs, and FSk) were selected based on the morphological characteristic differences of plaque. Phage isolates were determined by their ability to form plaques, specificity, morphology, and effectiveness of bacteriolytic. Phage were infected and lysed S. aureus by forming clear plaque was indicated lytic phage. FSb plaque in irregular form with 2-3 mm diameter, FSs plaque in regular form with diameter 1-2 mm, and FSk plaque in regular form with diameter <1 mm. Phage were specific infected and lysed S. aureus, but did not lysed Bacillus, E. coli., K. pneumoniae., P. aeruginosa., Salmonella and normal microbiota of mouth and skin such as S. hominis., S. epidermidis., and S. mutans. Morphological observation by using transmission electron microscope showed FSb & FSk can be classified as a member of Myoviridae family, while FSs classified as a member of Siphoviridae family. FSb phage had an icosahedral head with 85.71 nm in diameter, and with a tail 126.67 nm length, and 20.00 nm in diameter; FSs phage had an icosahedral head 53.33 nm in diameter, and with a tail 106.67 nm length, and 13.33 nm in diameter; FSk phage had an icosahedral head 66.67 nm in diameter, and with a tail 120.00 nm length, and 16.67 nm in diameter. This study also observed bacteriolytic effectiveness for each phage isolate. Bacteriolytic effectiveness by phage was shown based on the decrease percentage of bacterial cell by the phage infection toward control bacteria cell. FSs phage has the highest bacteriolytic effectiveness toward S. aureus, then be followed by FSb and FSk phages. FSs phage was lysed 50.66% of S. aureus population. FSb and FSk phage was lysed 47.88% and 42.23% S. aureus population after 8 hour respectively. Based on bacteriolytic specificity and effectiveness, all phage were prospective studied and developed further as biocontrol of S. aureus antibiotics resistant. Keywords: Characterization, lytic phage, Staphylococcus aureus
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ISOLASI DAN KARAKTERISASI FAG LITIK Staphylococcus aureus RESISTEN ANTIBIOTIK
PRIYANTO DWI NUGROHO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr drh Sri Murtini, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus atas segala limpahan berkat sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 sampai Februari 2016 ini ialah fag litik, dengan judul Isolasi dan Karakterisasi Fag Litik Staphylococcus aureus Resisten Antibiotik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. dr. Sri Budiarti dan Bapak Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si selaku pembimbing, serta Ibu Prof.Dr. Anja Meryandini, MS sebagai Ketua Program Studi Mikrobiologi dan Ibu Dr. drh. Sri Murtini, MSi sebagai penguji pada ujian Tesis. Terima kasih juga diucapkan untuk Ibu Dr. Rika Indri Astuti yang telah mewakili Kaprodi pada saat ujian tesis. Di samping itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Joko Sulistiyo, S.T.,M.Si dan Ibu Dra.Lisawati Tanzil, S.E.,M.Si selaku atasan yang telah memberikan kesempatan dan mendukung penulis untuk mengikuti program tugas belajar Kementerian Kesehatan, serta rekan-rekan di Program Studi Analis Farmasi dan Makanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih kepada keluarga tercinta, mama, isteri, anak terkasih Greeno Cadudasa, kakak, dan adik atas limpahan kasih sayang dan semangat untuk menyelesaikan kuliah ini. Terima kasih kepada mbak Anik, dan Ibu Dewi yang telah mengajarkan teknik isolasi fag litik, dan ibu Nur Ita Margiansyah yang telah membantu pengamatan TEM, serta Mirza Anggriawin dan rekan-rekan Mikrotropisian 2013. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017 Priyanto Dwi Nugroho
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE Kerangka Penelitian Waktu dan Tempat Bahan Prosedur Penelitian
7 7 8 8 8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan
11 11 17
SIMPULAN DAN SARAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21
RIWAYAT HIDUP
27
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Karakteristik fisiologi bakteri inang Pola resistensi bakteri inang terhadap antibiotik Deteksi fag litik S. aureus di dalam sampel Karakteristik plak isolat fag Kuantifikasi titer isolat fag Kisaran inang isolat fag Karakteristik morfologi isolat fag
12 13 13 14 14 15 15
DAFTAR GAMBAR 1 S. aureus melisiskan seluruh sel darah merah pada agar darah 2 Morfologi plak isolat fag 3 Morfologi fag diamati menggunakan TEM 60000x dengan pewarnaan 2% uranyl acetat 4 Efektivitas bakteriolitik oleh fag 5 Persentase pelisisan bakteri S. aureus oleh fag
12 14 15 16 16
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi yang paling banyak ditemukan pada isolat klinik dari pasien-pasien di rumah sakit Amerika Serikat periode 1998-2005 dan penyebab infeksi nomor dua setelah Escherichia coli pada pasien rawat jalan (Steyers et al. 2006). Kasus bakteremia antara tahun 2014-2015 di negara Inggris Raya terutama akibat infeksi E. coli., S. aureus., dan C. difficile (PHE 2015). Santosaningsih et al. (2014) melaporkan sebanyak 24.4% kasus infeksi pada pasien di rumah sakit di Indonesia disebabkan oleh S. aureus. Bakteri S. aureus juga patogen penyebab utama infeksi sekunder pada semua erosi kulit dermatosis vesikobulosa di Indonesia (Rosalina et al. 2010). Bakteri S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus, mampu memfermentasi manitol dan menggumpalkan plasma darah serta bersifat komensal pada manusia. Populasi S. aureus sebagai mikrobiota normal pada manusia sekitar 50% ditemukan pada rongga hidung dan permukaan kulit (Grice & Segre 2011). Kolonisasi pada rongga hidung manusia sering dihubungkan dengan proses awal infeksi S. aureus ke dalam jaringan tubuh seperti jantung, otak, dan paru. Infeksi S. aureus pada kelenjar ambing sapi menyebabkan mastitis yang mengakibatkan penurunan jumlah dan kualitas susu (Lowy 1998). Antibiotik merupakan antibakteri yang paling banyak digunakan untuk mengobati mastitis pada sapi dan infeksi pada manusia (Li & Zhang 2014). Antibiotik sebagai lini terdepan pengobatan infeksi telah kehilangan keampuhannya, yang ditunjukkan oleh semakin meningkatnya bakteri patogen yang telah menjadi resisten. Infeksi bakteri patogen yang telah resisten menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri non-resisten antibiotik (Acar 1997). Berdasarkan program surveilens bakteri resisten oleh WHO diketahui bahwa sebanyak 28% isolat S. aureus dari Indonesia telah resisten terhadap berbagai antibiotik seperti ceftriaxone, clindamycin, doxycycline, erythromycin, levofloxacin, meropenem, oxacillin, dan trimethoprim-sulfamethoxazole (Mendes et al. 2013), bahkan WHO (2014) melaporkan bahwa lebih dari 50% bakteri patogen penyebab infeksi utama pada pasien di rumah sakit telah resisten terhadap beberapa antibiotik yang digunakan saat ini. Angka kejadian bakteri resisten yang tinggi, proses penemuan dan pengembangan antibiotik yang memakan waktu panjang dan biaya yang mahal mendorong ilmuwan untuk mencari antibakteri yang dapat mengatasi masalah bakteri resisten antibiotik; salah satu terapi yang dikembangkan ialah terapi menggunakan bakteriofag. Keunggulan terapi fag antara lain efektivitas dan spesifisitas tinggi, toksisitas dan potensi resistensi yang rendah, stabilitas yang tinggi, dan pengembangan terapi fag lebih murah dibandingkan dengan pengembangan antibiotik (Oliveira et al. 2015). Fag merupakan virus yang hanya menginfeksi bakteri dan menjadikannya sebagai sel inang. Kelimpahan fag di alam sangat tinggi; sekitar 1031 mL-1 atau 10 kali kelimpahan bakteri (Rohwer 2003). Siklus hidup fag terdiri dari siklus
2 lisogenik dan litik. Fag litik yang dikembangkan sebagai antibakteri karena menyebabkan bakteri lisis setelah proses infeksi (Madigan et al. 2015). Kwan et al. (2005) melaporkan bahwa Fag litik S. aureus terbagi ke dalam tiga kelas berdasarkan morfologinya. Fag yang dikelompokkan ke dalam kelas I memiliki morfologi kepala isometrik dengan ekor non kontraktil yang pendek; fag kelas II memiliki morfologi kepala isometrik dengan ekor non kontraktil yang panjang; dan fag kelas III memiliki ekor kontraktil yang termasuk famili Myoviridae. Studi fag menggunakan hewan coba yang dilakukan oleh Matsuzaki et al. (2003) menunjukkan bahwa aktivitas fag yang diberikan secara intraperitonial tidak berkurang dan bahkan jumlah fag meningkat saat jumlah bakteri S. aureus yang diinfeksikan telah menurun. Terapi fag memiliki efektivitas yang sama dengan antibiotik linezolid pada pengobatan infeksi luka kaki penderita diabetes, tetapi pemberian bersama antara linezolid dengan fag memiliki efektivitas yang lebih tinggi (Chibber et al. 2013). Penelitian fag litik di Indonesia telah dilakukan terhadap fag litik EPEC K1.1., Photobacterium damsalae, Proteus mirabilis, dan Bacillus pumillus (Budiarti et al. 2011; Novianti et al. 2014; Afriani et al 2014; Kusmiatun et al. 2015). Penelitian fag litik S. aureus belum pernah dilakukan di Indonesia, oleh karena itu penelitian ini penting untuk memperoleh karakteristik fag litik S. aureus yang memiliki prospek sebagai terapi antibakteri dan biokontrol terhadap infeksi S. aureus yang telah resisten terhadap antibiotik.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian untuk memperoleh karakteristik fag yang bersifat litik terhadap S. aureus resisten beberapa antibiotik.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat dikembangkan dan diaplikasikan sebagai biokontrol dan terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus resisten antibiotik.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Staphylococcus aureus Genus Staphylococcus terdiri dari 36 spesies. Empat spesies yang bersifat patogen antara lain S. aureus, S. intermedius, S. delphini, dan S. schleiferi subsp. coagulans (Kwok et al. 1999; Murray et al. 2007). S. aureus pertama kali diamati dan dibiakan oleh Pasteur dan Koch, kemudian diteliti secara lebih terinci oleh Ogston dan Rosenbach. Nama genus Staphylococcus diberikan oleh Ogston karena bakteri ini, pada pengamatan mikroskopis berbentuk seperti tangkai buah anggur, sedangkan nama spesies aureus diberikan oleh Rosenbach karena koloni bakteri pada biakan murni terlihat berwarna kuning-keemasan (Crossley et al.
3 2009). Warna emas dihasilkan oleh senyawa staphyloxanthin yang termasuk golongan senyawa karotenoid; salah satu faktor virulensi yang berperan dalam resistensi terhadap sel fagosit neutrophil (Liu et al. 2005). Bakteri S. aureus merupakan bakteri bentuk kokus Gram positif, non motil dan tidak membentuk spora. Identifikasi S. aureus secara konvensional melalui uji katalase, uji manitol, uji DNAse, uji oksidase dan uji koagulase. Enzim katalase yang diproduksi oleh genus Staphylococcus dan Micrococcus membedakannya dengan bakteri kokus Gram positif yang lain. Batas suhu untuk pertumbuhan S. aureus antara 15 °C hingga 45 °C dan optimum pada suhu 37 °C. Bakteri S. aureus dapat tumbuh pada media agar yang mengandung NaCl hingga konsentrasi 15%, sehingga konsentrasi NaCl tersebut dapat dijadikan sebagai faktor selektivitas pada media agar cawan untuk isolasi S. aureus, seperti media Manitol Salt Agar . Bakteri S. aureus bila ditumbuhkan pada media agar darah (5% darah domba) dapat melisiskan sel darah merah secara sempurna (β-hemolitik) (Bautista-Trujillo et al. 2013).
Patogenesis S. aureus Kolonisasi S. aureus terutama pada kulit dan membran mukosa manusia. Daerah depan hidung (anterior nasal) merupakan habitat utama populasi S. aureus, namun bakteri ini juga dapat ditemukan pada perineum, pharynx, saluran pencernaan (gastrointestinal), vagina dan ketiak (axilla). Populasi S. aureus yang bersifat komensal juga dapat menyebabkan infeksi (Wertheim et al. 2015). Infeksi oleh S. aureus pada manusia dapat disebabkan oleh keracunan makanan, luka pada permukaan kulit atau menurunnya sistem imunitas. Keracunan makanan oleh S. aureus disebabkan toksin enteropatogenik. Saat ini ada sekitar 20 jenis toksin yang dihasilkan oleh S. aureus. Gejala klinis akibat keracunan makanan akibat intoksikasi S. aureus sukar dibedakan dengan gejala keracunan makanan oleh bakteri lain (Le Loir et al. 2003). Manifestasi klinis infeksi S. aureus dapat berupa lesi kulit, impetigo, sepsis, bakteremia, endokarditis dan abses pada otak, paruparu serta ginjal. Patogenesis S. aureus ditentukan oleh faktor virulensi (Lowy 1998). Faktor virulensi S. aureus dikelompokkan menjadi dua faktor, yakni faktor permukaan sel (cell-surface factors) dan faktor substansi yang disekresi (secreted factors) (Plata et al. 2009). Cell-surface factors diekspresikan sejak awal fase eksponensial, sedangkan secreted factors diekspresikan pada fase stationer. Ekspresi protein permukaan pada fase eksponensial sebagai suksesor S. aureus dalam perlekatan, invasi dan menghindar dari sistem imunitas sedangkan ekpresi protein secreted factors pada fase berikutnya diperlukan untuk penyebaran, akuisisi nutrisi dan mematikan fagosit (Haris et al. 2002; Schlievert et al. 2010). Faktor virulensi permukaan sel mencakup mikro-kapsul, beberapa protein seperti protein A, protein pengikat fibrinopektin, iron-regulated proteins, staphyloxanthin (pigmen karotenoid) dan sekelompok protein yang dikenal sebagai Microbial Surface Components Recognizing Adhesive Matrix Molecules (MSCRAMMs) (Lin et al. 2010). Fungsi utama mikrokapsul pada virulensi Staphylococcus adalah untuk mencegah fagositosis oleh neutrofil, namun demikian peranan mikrokapsul Staphylococcus juga telah ditunjukkan dapat
4 meningkatkan kolonisasi bakteri dan ketahanan perlekatan pada permukaan mukosa (O’Riordan et al. 2004). Protein A mengikat pada bagian Fc immunoglobulin untuk mencegah opsonisasi (Powers et al. 2014) dan pigmen keemasan S. aureus yaitu staphyloxanthin juga berfungsi untuk melawan neutrophil (fagositosis berbasis oksidan reaktif) (Liu et al. 2005). MSCRAMMs mempunyai peran penting dalam pelekatan pada protein sel inang (antara lain: fibrinopektin, fibrinogen dan kolagen). Protein-protein ini juga mencegah pengenalan oleh sistem kekebalan tubuh inang (Tong et al. 2015). Faktor virulensi yang disekresi terdiri dari eksoenzim dan eksotoksin. Koagulase, protease, lipase, hialuronidase, nuklease dan kolagenase merupakan eksoenzim untuk mengakuisisi nutrisi dari jaringan-jaringan sel inang bagi sintasnya mikrob patogen (Schlievert et al. 2010). Fungsi eksotoksin yang utama untuk menghambat respon sistem kekebalan. Eksotoksin yang disekresikan S. aureus yakni: sitolisin (toksin α, β, γ dan δ serta Panton-Valentine Leukocidin); super antigens (SAgs), enterotoksin ([SEs]; SEA, SEB, SECn, SED, SEE, andSEI), SE-like proteins ([SEls]; SEl-G, SEl-H, dan SEl-J sampai SEl-U), dan toxic shock syndrome toxin 1(TSST-1); serta toksin eksofoliatif A dan B (Dinges et al. 2000; Schlievert et al. 2010).
Fag Litik Sejarah penemuan bakteriofag atau fag dimulai pada akhir abad 19. Ernest Hanbury Hankin melaporkan adanya makhluk hidup yang bersifat antibakteri terhadap bakteri vibrio cholerae pada tahun 1896. Makhluk hidup tersebut ternyata mampu lolos melewati membran filter porselen yang sangat halus. Gamaleya, bakteriologiwan Rusia mengamati fenomena yang sama dari bakteri Bacillus subtillis. Frederick Twort bakteriologiwan dari Inggris mengamati adanya koloni bakteri yang lisis, sifat lisis dapat ditularkan dari satu koloni ke koloni lainnya pada tahun 1915. Fenomena yang sama ditemukan oleh Felix d'Herelle pada tahun 1917, sehingga diberi nama fenomena Twort- d'Herelle. d'Herelle pula yang memperkenalkan nama bakteriofag. Aplikasi bakteriofag sebagai terapi infeksi bakteri juga dikemukakan pertama kali oleh d'Herelle (Sulakvelidze 2001). Bakteriofag merupakan virus yang hanya menginfeksi bakteri dan dapat menghancurkan secara langsung sel bakteri, atau mengintegrasikan DNA ke dalam kromosom bakteri. Fag menggunakan bakteri sebagai inangnya untuk bisa bereplikasi. DNA fag yang terintegrasi ke dalam kromosom sel inang dan tinggal di dalamnya tanpa membahayakan inangnya dinamakan siklus lisogeni. Disisi lain fag juga dapat melisiskan sel inang setelah bereplikasi dan keluar dengan sejumlah progeni melalui siklus litik (Madigan et al. 2015). Siklus hidup bakteriofag litik terdiri atas beberapa tahap, yaitu: adsorpsi, penetrasi, sintesis, pematangan, dan tahap lisis (Kutter et al. 2005). Pada tahap adsorpsi, ujung ekor fag melekat pada dinding sel melalui reseptor khusus bersifat spesifik pada permukaan sel. Tanpa reseptor spesifik, virus tidak dapat mengadsorpsi dan menginfeksi; apabila situs reseptor berubah karena mutasi maka inang menjadi resisten terhadap infeksi virus namun mutan virus dapat melekat pada inang yang resisten. Pelekatan virus pada permukaan bakteri dapat
5 mengakibatkan perubahan pada virus dan atau sel inang yang mengakibatkan terjadinya penetrasi. Penetrasi fag ke dalam sel inang bersifat mekanis. Proses ini dimudahkan oleh adanya suatu enzim yaitu lisozim, yang terdapat pada ekor fag. Aktivitas enzim ini dapat membuat lubang kecil pada peptidoglikan (Madigan et al. 2015). Pada tahap penetrasi asam nukleat virus masuk ke dalam sel inang. Tahap transkripsi fag terjadi dalam beberapa tahap yang disebut sebagai: 1) protein awal, 2) protein tengah, dan 3) protein akhir. Protein awal dan protein tengah merupakan enzim primer yang terlibat dalam replikasi DNA dan transkripsi, sedangkan protein akhir merupakan protein kepala (kapsid) dan ekor serta enzim yang terlibat dalam proses pelepasan fag dari sel inang (Snyder et al. 2007). Secara umum fag memiliki bentuk batang, bulat, atau bentuk kompleks dengan kepala dan ekor (Matsuzaki et al. 2005). Fag diklasifikasikan ke dalam fag berekor dan fag polyhedral, filamentous, pleomorfik (PFP). Fag berekor dengan genus terbanyak dikelompokkan ke dalam tiga famili yaitu: Siphoviridae dengan serabut ekor panjang non kontraktil; Myoviridae dengan serabut ekor panjang kontraktil; dan Podoviridae dengan serabut ekor pendek non kontraktil. Fag PFP dikelompokkan ke dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari 10 famili. Fag polihedral meliputi famili: Microviridae, Corticoviridae, Tectiviridae, Leviviridae, dan Cystoviridae. Fag filamenteous mencakup famili: Inoviridae, Lipothrixviridae, dan Rudiviridae. Fag pleomorfik meliputi famili: Plasmoviridae dan Fuselloviridae (Ackermann 2009).
Fag Litik Sebagai Terapi Ilmuwan dari Uni Soviet dan Eropa Timur mengusulkan dan menggunakan bakteriofag untuk terapi infeksi bakteri sebelum ditemukannya antibiotik. d' Herelle seorang ilmuwan Perancis merupakan ilmuwan pertama yang tercatat menggunakan fag untuk mengobati penyakit disentri pada tahun 1919. d' Herelle pula yang menerbitkan panduan untuk isolasi dan persiapan fag untuk terapi dalam lampiran buku Le phenomene de la Guérison dans les Infectieuses (Gill et al. 2010). Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat telah memproduksi massal produk fag sebagai terapi sebelum era antibiotik oleh laboratorium farmasi D’Herelle’s di Perancis dan perusahaan farmasi Eli Lilly di Amerika Serikat (Gandham 2015). Fag untuk terapi infeksi pada manusia sampai saat ini masih digunakan dan dikembangkan di negara Eropa Timur, seperti Rusia, Polandia dan Georgia. Pusat penelitian fag sebagai terapi pada manusia di Eliava Institut, Tbilisi Georgia telah mampu memperbaharui produknya setiap delapan bulan. Perkembangan penelitian fag untuk terapi di Eropa Barat dan Amerika Serikat juga meningkat pesat seiring meningkatnya bakteri resisten antibiotik (Reardon 2014). Status terapi fag sebagai antibakteri terhadap penyakit infeksi di kawasan Eropa Timur saat ini adalah tindakan medis terakhir apabila pasien tidak menunjukkan kesembuhan setelah dilakukannya terapi menggunakan antibiotik (Klem et al. 2013). Uni Eropa saat ini masih menyusun regulasi penggunaan fag untuk uji klinis, dan mendukung penelitian para akademisi serta perusahaan
6 farmasi untuk mengetahui secara lengkap efikasi dan keamanan terapi fag (EMA 2015), sedangkan Food and Drug Administration (FDA) sampai saat ini menilai bahwa fag merupakan produk yang aman diaplikasikan hanya pada produk pertanian (Knool et al. 2013). Terapi fag dapat diberikan per-oral, intra nasal dengan aerosol, sub kutan dan intra vena. Stabilitas fag bahkan sampai beberapa hari setelah eradikasi bakteri target (Golkar et al. 2014). Dosis fag yang digunakan sebagai terapi yakni 105-109 PFU mL-1 (Bruttin et al. 2005; Rhoads et al. 2009; Wright et al. 2009). Penyakit infeksi yang telah dapat disembuhkan dengan terapi fag, antara lain: septikemia, otitis, bronchitis kronis, pleuritis, infeksi saluran kemih, dan infeksi pada luka bakar (Vila et al. 2010). Efektivitas terapi fag dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: cara pemberian fag, dosis dan waktu pemberian, konsentrasi fag, faktor kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan fag, akses fag menuju bakteri target dan spesifitas fag serta resistensi bakteri target terhadap fag (Ly-Chatain 2014).
Fag Litik S. aureus Sebagai Terapi Fag litik S. aureus telah diteliti oleh Frederick Twort pada tahun 1915 dan tahun 1921 diaplikasikan oleh Bruynoghe dan Maisin untuk mengobati infeksi kulit, bahkan di tahun 1930 telah diproduksi secara komersial oleh perusahaan farmasi Amerika Serikat, Eli Lilly. Perkembangan terapi fag di Amerika Serikat dan Eropa menurun seiring perkembangan antibiotik (Klem et al. 2013), namun perkembangan terapi fag mengalami kemajuan yang pesat di Eropa Timur. Biaya terapi yang lebih murah dibandingkan dengan menggunakan terapi antibiotik merupakan salah satu keunggulannya. Miedzybrodzki et al. (2007) melaporkan bahwa biaya pengobatan menggunakan terapi fag lebih murah dibandingkan dengan pengobatan antibiotik. Saat ini lebih dari 230 fag litik S. aureus telah dipublikasikan dan sekitar 60 fag yang telah diketahui peta genomnya (Klem et al. 2013). Mayoritas fag termasuk famili Siphoviridae dan hanya sebagian kecil yang termasuk famili Myoviridae dan Podoviridae, namun kedua famili fag tersebut merupakan kandidat terbaik untuk diaplikasikan sebagai terapi fag karena sebagian besar memiliki siklus litik (Kwan et al. 2005). Terapi fag yang diberikan secara intraperitoneal pada mencit terinfeksi S. aureus mampu menyelamatkan > 90% mencit dari kematian. Jumlah fag bahkan tidak berkurang pada sirkulasi darah setelah 7 hari eradikasi patogen (Matsuzaki et al. 2003). Studi menggunakan hewan coba mengungkapkan bahwa konsentrasi fag 109 PFU mL-1 mampu melisiskan seluruh sel S. aureus dan mengarahkan sel makrofag untuk fagositosis S. aureus (Capparelli et al. 2007). Pemberian terapi fag memberikan pengaruh positif terhadap sistem imunitas seluler dan humoral pada mencit terinfeksi S. aureus yang mengalami penurunan imunitas oleh induksi cyclophosphamide. Peningkatan secara nyata sistem imunitas ditunjukkan oleh naiknya jumlah sel neutrophil, mielosit dan limfosit serta agglutinin (Zimecki et al. 2009). Histopatologis dari organ ginjal dan hati pada pemberian fag litik FR38 secara oral terhadap tikus galur Sprague dawley tidak menyebabkan kerusakan pada kedua organ tersebut. Hal ini mengindikasikan terapi fag tidak menimbulkan efek samping (Sartika 2012).
7 Studi lanjut menggunakan hewan coba mengungkapkan bahwa fag efektif menyembuhkan infeksi paru-paru dan luka pada hewan yang mendapatkan diabetes (Vinodkumar et al. 2012; Takemura-Uchiyama et al. 2014). Terapi fag bersifat sinergis dengan antibiotik linezolid dan lebih efektif dibandingkan dengan terapi fag tanpa disertai terapi antibiotik (Chhibber et al. 2013). Studi efikasi dan keamanan terapi fag telah dilakukan pada manusia yang menderita infeksi luka bakar. Efikasi belum terlihat dari terapi fag pada manusia, namun hasil studi ini menunjukkan tidak adanya dampak inflamasi, sitotoksik dan hal-hal yang membahayakan pasien (Rose et al. 2014). Fadlallah et al. (2015) melaporkan bahwa seorang wanita 65 tahun penderita corneal abscesss karena terinfeksi S. aureus resisten antibiotik telah berhasil sembuh setelah menjalani tiga bulan terapi fag di Phage Theraphy Center, Tbilisi, Georgia. Wanita tersebut merupakan pasien di sebuah rumah sakit di Perancis yang telah mendapatkan delapan bulan masa pengobatan. Pengobatan terhadap infeksi S. aureus menggunakan fag sangat dipengaruhi oleh sistem imunitas, situs infeksi dan strain fag yang sangat spesifik (Pincus et al. 2015).
METODE PENELITIAN
Kerangka Penelitian Penelitian terdiri dari tahapan peremajaan & verifikasi serta uji resistensi bakteri terhadap antibiotik, pengambilan sampel fag, isolasi & pemurnian fag, uji kisaran inang fag, karakterisasi morfologi fag, dan efektivitas bakteriolitik fag (Gambar 1).
Peremajaan, Verifikasi dan Uji Resistensi Bakteri Inang
Pengambilan Sampel, Isolasi, dan Pemurnian Fag Produksi dan Penentuan Titer Fag
Penentuan Kisaran Inang Fag
Karakterisasi Morfologi Fag
Efektivitas Bakteriolitik Fag
Gambar 1 diagram alir penelitian
8 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II dan Laboratorium TEM & Histologi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta, mulai bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Februari 2016.
Bahan Bakteri inang yakni biakan S. aureus 1787, S. aureus 1656, S. aureus 4734, dan S. aureus 8212 merupakan bakteri patogen yang diisolasi dari darah penderita bakteremia, dan bakteri S. aureus ATCC 25923 sebagai bakteri pembanding untuk uji resistensi antibiotik. Seluruh bakteri yang digunakan pada penelitian ini merupakan koleksi dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Salemba Jakarta.
Prosedur Penelitian Peremajaan dan Verifikasi S. aureus Biakan S. aureus ditumbuhkan pada media cair Brain Heart Infusion (BHI) (Merck KGaA, Darmstadt, Germany), kemudian ditumbuhkan menggunakan metode kuadran pada media agar Mannitol Salt (Merck KGaA, Darmstadt, Germany). Koloni tunggal yang terbentuk kemudian ditumbuhkan dengan cara digores pada media agar miring BHI. Biakan yang telah tumbuh disimpan pada suhu 4 °C sebagai stok. Seluruh biakan S. aureus diverifikasi secara konvensional dan dikonfirmasi secara otomasi menggunakan instrumen vtek 2 system (Biomerieux, MarcyI’Etoile, France). Verifikasi konvensional meliputi pewarnaan Gram, uji katalase, uji fermentasi manitol, uji koagulase, dan uji hemolitik (Jensen et al. 2015). Uji hemolitik menggunakan media agar darah (5% darah domba). Pengujian Resistensi S. aureus terhadap Antibiotik Metode cakram difusi agar (CLSI 2012) dan metode otomasi dengan vtek-2 System digunakan untuk uji resistensi S. aureus terhadap antibiotik. Metode cakram difusi agar menggunakan biakan kaldu BHI S. aureus setara 0.5 McFarland, agar Mueller Hinton (Conda-Pronadisa, Madrid, Spain) dan cakram antibiotik (Oxoid, Hampshire, UK) 10 µg ampicillin, 30 µg chloramphenicol, 10 µg gentamicin, 15 µg ciprofloxacin, dan 15 µg erythromycin. Biakan S. aureus diinokulasi menggunakan swab kapas ke atas permukaan agar Mueller Hinton dan dibiarkan selama 5 menit. Cakram antibiotik kemudian diletakkan di atas permukaan media agar Mueller Hinton lalu diinkubasi 37 °C selama 16-18 jam. Diameter zona hambat yang terbentuk diukur menggunakan mistar kemudian hasilnya dibandingkan dengan diameter zona hambat acuan (CLSI 2014). Biakan S. aureus ATCC 25923 sebagai kontrol (CLSI 2012).
9 Pengambilan Sampel Fag Sampel fag merupakan limbah cair kotoran sapi yang diambil dari kandang sapi, saluran pembuangan, dan pengolahan akhir limbah di sentra peternakan sapi Pondok Ranggon Jakarta Timur. Sampel diambil sebanyak 100 mL menggunakan gelas piala steril dan dimasukkan ke dalam botol Duran steril. Sampel yang telah diperoleh segera disimpan pada kotak es selama perjalanan untuk di analisis di Laboratorium Mikrobiologi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta. Isolasi Fag Fag diisolasi berdasarkan Kaur et al. (2012) yang dimodifikasi. Sampel sebanyak 5 mL disentrifugasi pada kecepatan 4513.14 x g selama 30 menit (Centurion K240, West Sussex, UK) kemudian supernatan difiltrasi menggunakan syringe filter nylon 0.22 µm (Grace, Maryland, USA). Filtrat sampel dicampur sama banyak dengan biakan inang 24 jam kaldu BHI (CaCl2 5mM) OD600nm = 1 (108 CFU mL-1) sebanyak 3-5 mL. Campuran tersebut kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Kultur tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4513.14 x g selama 30 menit, kemudian supernatan difiltrasi menggunakan filter syringe nylon 0.22 µm. Filtrat kultur dicampurkan dengan biakan inang 24 jam kaldu BHI (5mM CaCl2) OD600nm = 1 (108 CFU mL-1) sebanyak 3-5 mL. Campuran tersebut kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Prosedur yang sama diulang pada hari berikutnya. Filtrat sampel fag kemudian disimpan di dalam tabung steril. Filtrat sampel kemudian dianalisis untuk mengetahui adanya fag menggunakan teknik agar dua lapis berdasarkan Sambrook & Russel (2001) dengan beberapa modifikasi. Sebanyak 500 µL sampel ditambahkan biakan inang 24 jam OD600nm = 1 (108 CFU mL-1) sebanyak 500 µL kemudian diinkubasi selama 20 menit pada suhu 37 oC. Sebanyak 100 µL campuran sampel dan biakan inang yang telah diinkubasi kemudian dimasukkan ke dalam 6 mL agar lembut BHI (0.7% agar) suhu 45-50 °C dan dihomogenisasi menggunakan vortex lalu segera dituang ke atas 7 mL agar keras BHI (1.2% agar) yang telah padat kemudian dibiarkan selama 1 jam. Kontrol yang disertakan berupa kaldu BHI sebanyak 100 µL ditambahkan dengan 100 µL biakan inang 24 jam OD600nm = 1 (108 CFU mL-1) yang dimasukkan ke dalam agar lembut BHI (0.7% agar) 45-50 °C dan dihomogenisasi menggunakan vortex lalu segera dituang ke atas agar keras BHI (1.2% agar) yang telah padat dan dibiarkan selama 1 jam. Seluruh cawan kemudian diinkubasi pada posisi terbalik selama 24 jam pada suhu 37 °C, kemudian diamati adanya plak. Plak merupakan hasil pelisisan bakteri oleh fag. Plak yang terbentuk menunjukkan keberadaan fag. Morfologi plak diamati karakteristiknya, meliputi ukuran, bentuk, dan kejernihan (Pelzek et al. 2013). Pemurnian Fag Masing-masing plak yang memiliki karakteristik berbeda dimurnikan berdasarkan metode Pelzek et al. (2013) yang dimodifikasi. Plak tunggal diambil menggunakan spatula steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi steril dan dicacah. Larutan penyangga Phospate Buffered Saline (PBS) (137 mM NaCl, 2.7 mM KCl, 10 mM Na2HPO4, 2 mM KH2PO4) (Sambrook & Russel 2001) sebanyak 4 mL dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi plak kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4513.14 x g selama 30 menit. Supernatan
10 dipisahkan dan difiltrasi menggunakan syringe filter nylon 0.22 µm. Filtrat disimpan pada suhu 4 °C. Produksi Fag Fag diperbanyak berdasarkan Fortier & Moineau (2009) dengan beberapa modifikasi. Biakan inang 24 jam OD600nm = 1 (108 CFU mL-1) dimasukkan sebanyak 100 µL ke dalam kaldu BHI 5 mL, kemudian ditambahkan stok fag sebanyak 100 µL. Campuran biakan diinkubasi selama 4-8 jam pada suhu 37 °C. Perubahan dari keruh menjadi jernih di dalam biakan diamati selama inkubasi. Biakan yang telah jernih kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4513.14 x g selama 30 menit. Supernatan dipisahkan dan difiltrasi menggunakan syringe filter nylon 0.22 µm. hasil produksi fag di dalam filtrat lalu ditentukan titernya. Penentuan Titer Fag Fag yang telah diperbanyak dihitung jumlahnya berdasarkan jumlah plak yang terbentuk (PFU mL-1). Titer Fag dihitung menurut cara Li & Zhang (2014) yang telah dimodifikasi. Stok fag sebanyak 100 µL dimasukkan ke dalam 900 µL PBS sehingga diperoleh pengenceran fag 10-1 kemudian pengenceran dilanjutkan hingga 10-8. Masing-masing pengenceran diambil 200 µL dan dicampurkan dengan 200 µL biakan inang 24 jam OD600nm = 1 (108 CFU mL-1). Campuran kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 °C lalu dari masing-masing pengenceran dimasukkan sebanyak 100 µL ke dalam 6 mL agar lembut BHI (0.7% agar) suhu 45-50 °C dan dihomogenisasi menggunakan vortex lalu segera dituang ke atas 7 mL agar keras BHI (1.2% agar) yang telah padat kemudian dibiarkan selama 1 jam, dilanjutkan dengan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Jumlah plak yang terbentuk dihitung dan dinyatakan sebagai jumlah Fag (PFU mL-1). Titer Fag (PFU mL-1) = jumlah plak x 10 x faktor pengenceran yang dihitung Penentuan Kisaran Inang Fag Aktivitas kisaran inang dari isolat fag dilakukan menggunakan teknik bercak (spot test) berdasarkan Kraushaar et al. (2013) dengan modifikasi. Bakteri uji untuk kisaran inang meliputi seluruh isolat S. aureus serta bakteri Gram negatif dan Gram positif. Bakteri Gram positif untuk uji kisaran inang yakni S. epidermidis., S. hominis., S. mutans., dan Bacillus sp., serta bakteri Gram negatif K. pneumoniae., Salmonella sp., E. coli., dan P. aeruginosa. Masing-masing bakteri uji usia 24 jam jam OD600nm = 1 (108 CFU mL-1) sebanyak 100 µL dimasukkan ke dalam 6 mL agar lembut BHI (0.7% agar) suhu 45-50 °C dan dituang ke atas 7 mL agar keras BHI (1.2% agar). Biakan fag diteteskan ke atas agar lembut yang telah padat sebanyak 10 µL lalu didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Seluruh cawan diinkubasi pada posisi terbalik selama 24 jam pada suhu 37 °C. Media agar yang hanya berisi bakteri uji tanpa ditambahkan stok fag digunakan sebagai kontrol. Plak yang terbentuk hanya pada biakan inang menunjukkan fag memiliki aktivitas kisaran inang sempit. Plak yang juga terbentuk pada selain biakan inang menunjukkan fag memiliki aktivitas kisaran inang luas.
11 Karakterisasi Morfologi Fag Morfologi Fag diamati dengan pewarnaan negatif menggunakan uranil acetat 2% (Osman et al. 2014). Stok fag diteteskan sebanyak 10 µL pada cooper grids 400-mesh (Sigma-Aldrich Co., St. Louis, MO, USA) lalu dibiarkan selama satu menit. Larutan uranil acetat 2% sebanyak 5 µL diteteskan ke atas cooper grids. Cooper grids kemudian dikeringkan menggunakan kertas isap dan dibiarkan selama 20 menit. Cooper grids diletakkan di atas holder dan diamati pada perbesaran 20000-80000x menggunakan mikroskop elektron transmisi JEM1010 (JEOL, Tokyo, Japan) dengan tegangan 80.0 kV. Efektivitas Bakteriolitik Setiap Isolat fag diukur efektivitas bakteriolitik terhadap bakteri S. aureus menggunakan metode Vandersteegen et al. (2011) dengan modifikasi. Biakan cair BHI S. aureus usia 24 jam dan stok fag digunakan untuk pengujian efektivitas bakteriolitik. Fag FSb sebanyak 2.1 x 106 PFU mL-1 dicampurkan dengan S. aureus sebanyak 1.2 x 105 CFU mL-1, Fag FSs sebanyak 1.5 x 106 PFU mL-1 dicampurkan dengan S. aureus sebanyak 1.2 x 105 CFU mL-1, dan Fag FSk sebanyak 5.0 x 106 PFU mL-1 dicampurkan dengan S. aureus sebanyak 1.2 x 105 CFU mL-1. Kontrol menggunakan biakan S. aureus sebanyak 1.2 x 105 CFU mL-1 tanpa penambahan fag. Seluruh campuran dan kontrol diinkubasi pada suhu 37 °C, kemudian interval jam ke 0, 2, 4, 6, dan 8 dilakukan Total Plate Count (TPC) menggunakan media agar Mannitol Salt (Merck KGaA, Darmstadt, Germany). Efektivitas bakteriolitik dideterminasi berdasarkan penurunan jumlah sel bakteri hidup terhadap jumlah sel bakteri yang tidak diinfeksi oleh fag (kontrol).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Verifikasi Bakteri Inang Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri inang merupakan bakteri Gram positif bentuk kokus. Koloni bakteri inang berbentuk bulat dengan diameter 2-5 mm dan bewarna kuning saat ditumbuhkan pada media selektiv Mannitol Salt Agar (MSA). Hasil uji hemolitik bakteri inang pada media agar darah (5% darah domba) menunjukkan bahwa bakteri inang mampu melisiskan secara sempurna seluruh sel darah merah dan menghasilkan beta hemolisin (Gambar 1). Hasil uji fisiologi parsial menggunakan metode konvensional memberikan hasil positif pada semua uji katalase, fermentasi mannitol, dan koagulase yang menunjukkan bahwa bakteri inang merupakan Staphylococcus aureus. Hasil karakterisasi bakteri inang menggunakan uji fisiologi konvensional dan vtek 2 system menunjukkan 99% identik S. aureus (Tabel 1).
12
Gambar 1 S. aureus melisiskan seluruh sel darah merah pada agar darah Tabel 1 Karakteristik fisiologi bakteri inang Hasil Positif
Uji Fisiologi Katalase*, mannitol*, koagulase*, hemolisis*, D-amygdalin, arginine dihydrolase, α-glucosidase, alkaline phosphatase, urease, polymixin B resistance, D-galactose, D-ribose, lactose, N-acetyl-Dglucosamine, D-maltose, bacitracin resistance, growth in 6.5% NaCl, D-mannitol, D-mannose, O/129 resistance, saccharose, Dtrehalose, arginine dihydrolase 2, optochin resistance
Phosphatidylinositol phospholipase, D-xylose, β-galactosidase, alanine-phenylalanine-proline arylamidase, α-cyclodextrin, Laspartate arylamidase, β-galactopyranosidase, α-mannosidase, leucine arylamidase, L-proline arylamidase, β-glucuronidase, αgalactosidase, L-pyrrolidonyl-arylamidase, β-glucuronidase, allanine arylamidase, tyrosine arylamidase, D-sorbitol, L-lactate alkalinization, novobiocin resistance, methyl-β-D-glucopyranoside, pullulan, D-raffinose, salicin *metode konvensional Negatif
Uji Resistensi Bakteri Inang Terhadap Antibiotik Metode difusi agar dan otomasi menggunakan vtek 2 system dipakai untuk mengetahui resistensi bakteri terhadap beberapa antibiotik. Keempat bakteri inang menunjukkan perbedaan pola resistensi terhadap antibiotik. S. aureus ATCC 25923 sebagai kontrol dan biakan inang S. aureus 8212 menunjukkan kepekaan terhadap seluruh antibiotik (Tabel 2). Isolat S. aureus 1787 yang menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang lebih banyak dibandingkan isolat S. aureus 4734 dipilih sebagai inang untuk determinasi karakteristik seluruh isolat fag. Isolat S. aureus 1656 yang menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang lebih banyak dibandingkan isolat S. aureus 1787 tidak dijadikan sebagai inang. Hal ini disebabkan karena seluruh isolat fag tidak mampu menginfeksi S. aureus 1656 yang ditunjukkan dari hasil determinasi kisaran inang (Tabel 6).
13 Tabel 2 Pola resistensi bakteri inang terhadap antibiotik Jenis antibiotik Chloramphenicol Gentamicin Erythromycin Ciprofloxacin Ampicillin Tetracycline Benzyl penicillin Oxacillin Levofloxacin Moxifloxacin Clindamycin Dalfopristin Linezolid Vancomycin Tigecycline Nitrofurantoin Rifampicin Trimethoprim sulfamethoxazole
Konsentrasi (µg) 30 10 15 15 10 30 10 30 5 5 2 15 30 30 15 300 5 1.25
Strain bakteri inang 1 2 3 4 5
Sensitiv; Resisten; 1: S. aureus ATCC 25923; 2: S. aureus 8212; 3: S. aureus 1656; 4: S. aureus 1787; 5: S. aureus 4734 Isolasi Fag Fag hanya ditemukan di dalam sampel yang berasal dari air limbah saluran pembuangan, namun fag tidak ditemukan dari sampel yang berasal dari air limbah kotoran sapi di dekat kandang sapi dan dari air limbah di tempat pengolahan akhir limbah kotoran sapi sentra peternakan sapi Pondok Ranggon Jakarta Timur (Tabel 3). Adanya fag ditandai oleh terbentuknya plak pada media agar lapis. Tiga isolat fag dipilih berdasarkan karakteristik morfologi plak yang terbentuk. Ketiga isolat fag merupakan fag litik yang ditunjukkan oleh terbentuknya plak jernih (Gambar 2). Ketiga isolat fag tersebut diberi nama FSb, FSs, dan FSk. Fag FSb memiliki ukuran diameter plak paling besar, yakni antara 2-3 mm dengan bentuk ireguler, sedangkan plak FSs dan FSk memiliki bentuk plak regular dengan diameter plak masing-masing antara 1-2 mm, dan <1 mm (Tabel 4). Ketiga isolat fag selanjutnya dimurnikan dan disimpan di dalam buffer PBS pada suhu 4 °C. Tabel 3 Deteksi fag litik S. aureus di dalam sampel Titik sampling Kandang sapi Saluran limbah cair Pengolahan limbah cair
Jumlah sampel (mL) 100 100 100
+: plak; -: tidak ada plak
Fag litik + -
14
Tabel 4 Karakteristik plak isolat fag Isolat FSb FSs FSk
Morfologi Plak jernih bentuk ireguler Plak jernih bentuk reguler Plak jernih bentuk reguler
Ukuran (mm) 2-3 1-2 <1 a
c
b 2 mm
Gambar 2 Morfologi plak isolat fag: FSb, plak besar jernih 2-3 mm (a); FSb, plak jernih 1-2 mm (b); FSk, plak kecil jernih <1 mm.
Titer Fag Jumlah fag yang berhasil diisolasi dari sampel air limbah kotoran sapi sangat sedikit sehingga dilakukan proses pengayaan untuk meningkatkan jumlah fag. Jumlah Fag FSs paling tinggi, diikuti oleh FSb dan FSk (Tabel 5). Tabel 5 Kuantifikasi titer isolat fag Isolat fag FSb FSs FSk
PFU mL-1 (x 107) 11 33 5
Kisaran Inang Hasil kisaran inang menunjukkan bahwa Fag FSb, FSs, dan FSk memiliki spesifisitas tinggi dalam menginfeksi bakteri. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan seluruh isolat fag yang hanya menginfeksi bakteri inang S. aureus dan tidak menginfeksi bakteri lain termasuk mikrobiota normal S. epidermidis., S. hominis., dan S. mutans (Tabel 6). Namun demikian, seluruh isolat fag tidak dapat menginfeksi strain S. aureus 1656.
15 Tabel 6 Kisaran inang isolat fag Isolat fag FSs + + + + -
Bakteri inang
FSb Kontrol S. aureus ATCC 25923 + S. aureus 1758 + S. aureus 4713 + S. aureus 8212 + S. aureus 1656 S. epidermidis S. hominis S. mutans Bacillus sp. E. coli K. pneumoniae P. aeruginosa Salmonella sp. +: terbentuk plak; -: tidak terbentuk plak
FSk + + + + -
Karakteristik Morfologi Fag Hasil karakterisasi morfologi fag menggunakan mikroskop elektron transmisi menunjukkan perbedaan morfologi dan ukuran dari setiap isolat. Semua isolat fag memiliki bentuk kepala ikosahedral dan memiliki ekor. Ekor Fag FSb dan FSk merupakan ekor kontraktil yang ditunjukkan adanya base plate pada bagian ujung ekor, sedangkan fag FSs tidak memiliki ekor kontraktil (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa fag FSb dan FSk termasuk ke dalam famili Myoviridae, sedangkan Fag FSs termasuk ke dalam famili Siphoviridae. Fag FSb merupakan fag yang paling besar diantara ketiga fag yang berhasil diisolasi, diikuti oleh fag FSk serta fag FSs (Tabel 7). Tabel 7 Karakteristik morfologi isolat fag Isolat FSb FSs FSk
Bentuk kepala Ikosahedral Ikosahedral Ikosahedral
Jenis ekor Kontraktil Non kontraktil Kontraktil
a
Ø kepala (nm) 85.71 53.33 66.67
Ø ekor (nm) 20.00 13.33 16.67
3 2
Famili Myoviridae Siphoviridae Myoviridae
c
b 1
Panjang ekor (nm) 126.67 106.67 120.00
1
1 2
2
3
Gambar 3 Morfologi fag diamati menggunakan TEM 60000x dengan pewarnaan 2% uranyl acetat; Fag FSb (a), FSs (b), FSk (c). 1: kepala, 2: ekor, 3: base plate.
16 Efektivitas Bakteriolitik Efektivitas bakteriolitik fag dilakukan dengan mencampurkan masingmasing isolat fag dengan bakteri S. aureus. Jumlah bakteri selama proses infeksi oleh fag kemudian dihitung menggunakan Total Plate Count. Hasil penelitian pada gambar 3 menunjukkan bahwa pada jam kedua setelah proses infeksi, jumlah populasi bakteri S. aureus yang diinfeksi oleh fag FSs mulai turun. Jumlah populasi bakteri yang diinfeksi oleh fag FSb dan FSk masih mengalami kenaikan setelah dua jam proses infeksi, walaupun kenaikannya masih lebih rendah dibandingkan populasi bakteri kontrol. Jumlah bakteri kontrol terus meningkat dari awal sampai akhir pengamatan (Gambar 4). Efektivitas bakteriolitik oleh fag ditunjukkan berdasarkan persentase penurunan jumlah sel bakteri oleh infeksi fag terhadap jumlah sel bakteri kontrol. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa persentase pelisisan bakteri oleh ketiga isolat fag mengalami kenaikan dari jam ke-0 hingga jam ke-8. Fag FSs memiliki efektivitas bakteriolitik tertinggi terhadap S. aureus, kemudian diikuti oleh fag FSb dan fag FSk. Fag FSs mampu melisiskan 50.66% populasi bakteri S. aureus. Fag FSb dan FSk masing-masing mampu melisiskan 47.88% dan 42.23% populasi bakteri S. aureus setelah 8 jam (Gambar 5). Log10 bakteri CFU mL-1
10 8 6 4 2 0
0
2
4 Waktu (jam)
6
8
Persentase pelisisan bakteri
Gambar 4 Efektivitas bakteriolitik oleh fag; Kontrol bakteri S. aureus ( ), S. aureus yang diinfeksi fag FSb ( ), S. aureus yang diinfeksi fag FSs ( ), dan S. aureus yang diinfeksi fag FSk ( ). 60.00
47.88%50.66% 42.25% 42.23% 36.27% 35.04%
50.00 40.00 30.00
20.47%21.60% 18.10% 14.12% 8.16% 7.92%
20.00 10.00
0% 0% 0%
0.00 0
2
4 Waktu (jam)
6
8
Gambar 5 Persentase pelisisan bakteri S. aureus oleh fag; Persentase pelisisan oleh fag FSb ( ), Persentase pelisisan oleh fag FSs ( ), Persentase pelisisan oleh fag FSk ( ).
17 PEMBAHASAN
Hasil verifikasi konvensional terhadap bakteri inang menunjukkan bahwa bakteri inang merupakan bakteri S. aureus. Verifikasi konvensional yang telah dilakukan menggunakan uji katalase, koagulase, dan uji fermentasi manitol (Jensen et al. 2015) memberikan hasil positif pada semua uji tersebut. Hasil uji katalase positif menunjukkan bahwa S. aureus mensekresikan enzim katalase untuk menguraikan hidrogen peroksida yang bersifat toksik menjadi dihidrogen oksida dan oksigen. Hidrogen peroksida diproduksi oleh sel-sel fagosit untuk melemahkan patogen sehingga memudahkan fagositosis (Selimovic et al. 2015). Uji fermentasi manitol dan koagulase masih digunakan sebagai uji diagnostik S. aureus karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Kateete et al. (2010) melaporkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas uji fermentasi manitol sebesar 94% dan 79%; serta 91% dan 96% untuk uji koagulase. Koagulase merupakan salah satu faktor virulensi-eksoprotein. Situs N-Koagulase berikatan dengan situs C protrombin yang menyebabkan transformasi fibrinogen terlarut menjadi endapan fibrin yang menyelimuti permukaan sel S. aureus sehingga terhindar dari opsonisasi dan fagositosis (Peetermans et al. 2015). Patogenitas in-vitro S. aureus ditunjukkan dari lisisnya seluruh sel darah merah pada media agar. Pelisisan sel darah merah karena aktivitas toksin βhemolisin yang diproduksi oleh S. aureus. Mekanisme kerja toksin dengan cara mendegradasi sphingomyelin pada permukaan sel darah merah (Otto 2014). Verifikasi bakteri secara otomasi yang dilakukan menggunakan instrumen vtek juga menunjukkan bahwa bakteri inang merupakan S. aureus dengan akurasi hasil sebesar 99%. Proses identifikasi bakteri menggunakan instrumen vtek berdasarkan serangkaian uji fisiologi/biokimia seperti menggunakan kit API. Keunggulan instrument vtek dibandingkan kit API antara lain: menggunakan 43 jenis uji biokimia, hasil yang dapat diketahui dalam waktu tujuh jam, serta spesifisitas identifikasi bakteri Gram positif hingga 97% (Funke & Kissling 2005). Pewarnaan Gram dilakukan pada tahap akhir verifikasi untuk mengetahui bentuk dan jenis Gram bakteri. Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bakteri S. aureus berbentuk kokus dan berwarna ungu (Gram positif). S. aureus berwarna ungu karena dinding sel bakteri tetap mengikat warna ungu (kristal violet) walaupun dicuci dengan larutan alkohol 96%. Beberapa Bakteri inang juga diketahui resisten terhadap antibiotik ciprofloksasin, kloramfenikol, benzyl penisilin dan tetrasiklin. Pola resistensi bakteri inang serupa dengan studi yang dilaporkan oleh Santosaningsih et al. (2016), bahwa S. aureus di Indonesia telah resisten terhadap antibiotik penisilin, tetrasiklin, gentamisin, eritromisin, ciprofloksasin, levofloksasin, dan trimetropim-sulfametoksazol. Bakteri S. aureus yang telah resisten terhadap antibiotik akan menyulitkan proses penyembuhan, maka terapi menggunakan bakteriofag dapat dijadikan alternatif. Bakteri yang telah diverifikasi nama jenisnya (S. aureus) digunakan sebagai inang untuk isolasi fag litik S. aureus. Sampel air limbah kotoran sapi disentrifugasi pada tahap awal isolasi untuk menghilangkan pengotor yang akan menyulitkan pada tahap filtrasi. Supernatan kemudian difiltrasi menggunakan syringe filter nylon 0.22 µm. Virus akan lolos melewati membran penyaring
18 karena memiliki ukuran kurang dari 0.22 µm, sedangkan bakteri dan pengotor berukuran lebih dari 0.22 µm akan tertahan di membran. Nylon merupakan salah satu bahan membran yang memiliki afinitas rendah terhadap protein sehingga dapat digunakan untuk isolasi fag karena komposisi struktur fag yang tersusun atas asam nukleat dan protein semakin memudahkan fag untuk lolos membran nylon. Populasi bakteri yang terdapat di dalam sampel air limbah kotoran sapi harus dihilangkan melalui filtrasi untuk meningkatkan interaksi antara bakteri inang dan fag pada saat proses pengayaan. Isolasi fag dilakukan menggunakan metode pengayaan dengan penambahan ion Ca2+. Ion Ca2+ dalam bentuk CaCl2 yang ditambahkan ke dalam media pengayaan untuk meningkatkan laju adsorpsi fag. Yang et al. (2010) melaporkan bahwa ion Ca2+ memberikan pengaruh nyata terhadap adsorpsi fag pada reseptor. Ion Ca2+ dan Mg2+ memiliki daya elektrostatik kuat untuk meningkatkan stabilitas ikatan antara reseptor bakteri dengan fag (Moldovan et al. 2007). Metode pengayaan ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri inang sehingga replikasi fag juga semakin meningkat. Replikasi fag akan meningkat apabila bakteri inang berada pada kondisi pertumbuhan optimumnya. Tiga isolat fag berhasil diisolasi dari satu lokasi sampling, sedangkan pada dua lokasi sampling tidak ditemukan adanya fag. Tidak adanya fag karena tidak adanya bakteri inang bagi kelangsungan hidup fag. Ketiadaan fag pada sampel yang diambil dari kandang sapi karena pertumbuhan populasi bakteri S. aureus sebagai inang untuk fag tertekan oleh pertumbuhan populasi bakteri anaerob yang dominan terdapat di dalam faeses, sedangkan proses aerasi yang terjadi di saluran pembuangan menunjang kondisi pertumbuhan S. aureus yang bersifat aerob. Kondisi proses pengolahan akhir limbah yang bersifat anaerob kembali menekan pertumbuhan populasi bakteri aerob sehingga fag tidak ditemukan kembali. Keberhasilan isolasi fag ditunjukkan oleh adanya plak. Plak merupakan hasil pelisisan sel bakteri oleh fag yang tampak sebagai bercak keruh hingga bening dengan variasi bentuk dan ukuran pada media agar lembut. Tiga isolat fag (FSb, FSs, dan FSk) dipilih berdasarkan variasi karakteristik morfologi plak yang terbentuk. Ketiga isolat fag merupakan fag litik yang ditunjukkan oleh terbentuknya plak jernih (Gambar 2). Fag FSb memiliki ukuran diameter plak paling besar, yakni antara 2-3 mm dengan bentuk ireguler seperti dilaporkan Li & Zhang (2014), sedangkan plak FSs dan FSk memiliki bentuk plak regular dengan diameter plak masing-masing antara 1-2 mm, dan <1 mm (Tabel 3). Variasi bentuk, ukuran dan kejernihan plak yang disebut sebagai morfologi plak dapat digunakan sebagai bagian dari karakterisasi fag. Ukuran diameter plak dan titer fag menunjukkan virulensi fag, serta dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain laju adsorpsi fag, difusi fag pada media, dan fase laten (Gallet et al. 2011). Ketiga isolat fag selanjutnya dimurnikan dan disimpan dalam buffer PBS pada suhu 4 °C. Ketiga isolat fag menunjukkan titer yang berbeda-beda setelah dilakukan kuantifikasi menggunakan metode agar dua lapis dengan jumlah perbandingan yang sama antara fag dan bakteri inang. Kecepatan lisis bakteri inang oleh fag litik dapat meningkat pada kondisi rasio 1:1 antara jumlah fag dengan jumlah bakteri inang (Barrow et al. 1998). Fag FSs memiliki titer tertinggi dengan jumlah fag 33.107 PFU mL-1, kemudian fag FSb dengan jumlah 11. 107 PFU mL-1, dan fag FSk dengan jumlah 5.107 PFU mL-1. Titer FSb dan FSs serupa dengan fag SaPh3 (3.108 PFU mL-1) yang diindikasikan memiliki virulensi kuat oleh Basdew &
19 Laing (2015). Fag yang memiliki daya infektif kuat (virulensi) akan cepat mengadsorpsi, replikasi, dan keluar dari dalam sel bakteri inang untuk menginfeksi bakteri lain dan membentuk plak pada media. Fag yang memiliki daya infektif kuat akan cepat mengadsorpsi dan bereplikasi di dalam bakteri inang. Fag yang cepat bereplikasi memacu mempercepat bakteri lisis dan membentuk plak. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ukuran morfologi fag yang lebih kecil memiliki virulensi yang lebih tinggi dibandingkan fag yang lebih besar. Hal ini diduga karena mekanisme replikasi dan pematangan profag di dalam sel inang menjadi lebih cepat sehingga profag yang dihasilkan untuk melisiskan sel inang juga lebih banyak. Daya dan spesifisitas infektif semua isolat fag juga dideterminasi melalui uji kisaran inang. Determinasi kisaran inang menunjukkan spesifisitas fag menginfeksi bakteri. Spesifisitas fag sangat dipengaruhi oleh reseptor pada sel bakteri. Asam teikoat dan kapsul merupakan reseptor fag pada sel bakteri Gram positif (Rakhuba et al. 2010). Seluruh isolat fag menunjukkan spesifisitas tinggi, hal ini ditunjukkan dengan kemampuan seluruh isolat fag yang hanya menginfeksi bakteri inang S. aureus dan tidak menginfeksi bakteri lain termasuk mikrobiota normal S. epidermidis., S. hominis., dan S. mutans. Namun demikian, seluruh isolat fag tidak mampu menginfeksi strain S. aureus 1656. Seluruh isolat fag tidak dapat mengenali dan menempel pada situs reseptor di sel bakteri S. aureus 1656 sebagai proses awal infeksi, hal ini diduga karena S. aureus 1656 memproduksi protein A yang menyelubungi reseptor sehingga fag tidak dapat mengenali dan berikatan dengan reseptor (Labrie et al. 2010). Semua isolat fag layak menjadi kandidat untuk mengurangi populasi bakteri S. aureus patogen karena spesifitasnya yang cukup tinggi serta tidak menginfeksi populasi mikrobiota normal pada manusia. Morfologi ketiga isolat fag dideterminasi secara mikroskopik menggunakan mikroskop elektron transmisi dengan pewarnaan negatif. Uranil acetat yang digunakan pada pewarnaan negatif berguna untuk mendapatkan kontras antara objek dengan latar belakang yang berwarna gelap, sehingga morfologi fag dapat teramati dengan lebih jelas. Ketiga isolat fag diketahui memiliki ukuran morfologi yang bervariasi serta memiliki ekor. Ekor fag berfungsi untuk penempelan pada situs reseptor bakteri serta menginjeksikan materi genetiknya. Fag FSb merupakan fag terbesar diantara ketiga isolat, sedangkan FSs merupakan fag terkecil. Isolat fag FSb dan FSk diidentifikasikan ke dalam famili Myoviridae karena memiliki bentuk kapsid ikosahedral dan ekor kontraktil, sedangkan fag FSs termasuk ke dalam famili Siphoviridae yang memiliki bentuk kapsid ikosahedral dan ekor nonkontraktil (King et al. 2011). Morfologi isolat fag FSb dan FSk hampir sama dengan fag Stau2 dan SAH-1 yang dilaporkan oleh Hsieh et al. (2011) dan Han et al. (2013). Fag dari populasi famili Myoviridae dan Siphoviridae merupakan bakteriofag dengan kelimpahan yang paling tinggi di alam. Myoviridae dan Siphoviridae juga dilaporkan sebagai fag yang paling banyak diteliti pada studi fag-S. aureus. Namun demikian fag dari famili Siphoviridae dilaporkan ada yang membawa gen lisogenik, sehingga akan menyulitkan apabila diaplikasikan sebagai pembasmi populasi bakteri patogen. Berbeda halnya dengan famili Myoviridae yang merupakan fag litik obligat. Efektivitas fag untuk menghambat pertumbuhan atau mengurangi populasi bakteri dapat diketahui dari uji efektivitas bakteriolitik fag.
20 Uji efektivitas bakteriolitik fag dilakukan untuk mendeterminasi daya infektif fag yang dapat mengurangi populasi bakteri. Jumlah populasi bakteri merupakan populasi bakteri hidup yang dideterminasi menggunakan metode Total Plate Count (TPC). TPC terhadap populasi bakteri S. aureus dilakukan pada media MSA. Media MSA merupakan media selektif untuk menunjang pertumbuhan bakteri S. aureus. Selektivitas media MSA karena kandungan garam NaCl 10% yang mampu menghambat pertumbuhan mikrobiota Gram negatif dan sebagian Gram positif. Koloni yang berwarna kuning dengan ukuran koloni 2-3 mm merupakan ciri khas koloni bakteri S. aureus yang mampu memfermentasikan manitol. Efektivitas bakteriolitik fag diukur berdasarkan persentase penurunan jumlah populasi bakteri terhadap jumlah sel bakteri kontrol. Jumlah populasi bakteri S. aureus yang diinfeksi oleh fag FSs mulai turun pada jam ke dua. Pola aktivitas bakteriolitik fag FSs sama dengan fag JS25 dan SAH-1 (Zhang et al. 2014; Han et al. 2013), namun aktivitas bakteriolitik fag FSs lebih rendah dari fag Stau2 yang mampu mengurangi jumlah populasi S. aureus setelah satu jam diinfeksi (Hsieh et al. 2011). Jumlah populasi bakteri yang diinfeksi oleh fag FSb dan FSk masih mengalami kenaikan setelah dua jam proses infeksi, walaupun kenaikannya masih lebih rendah dibandingkan populasi bakteri kontrol. Peningkatan populasi bakteri pada dua jam pertama setelah proses infeksi oleh kedua isolat fag diduga karena kedua isolat fag memiliki laju adsorpsi yang rendah dan masa laten yang lebih panjang dibandingkan fag FSs. Fag dengan laju respon pengenalan dan penempelan yang rendah menyebabkan proses pemasukkan asam nukleat fag ke dalam sel inang menjadi lambat. Keterlambatan masuknya asam nukleat menyebabkan rangkaian proses perakitan protein-protein fag hingga timbulnya progeni menjadi tertunda. Kerapatan sel inang juga dapat mempengaruhi pertumbuhan fag. Hal ini diduga karena semakin banyaknya sel inang maka peluang fag untuk adsorpsi pada reseptor sel inang juga semakin besar, sehingga proses infeksi dan pelisisan akan semakin cepat. Efektivitas bakteriolitik fag dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi fag, kondisi lingkungan (pH, aw, dan suhu), serta spesifisitas (Ly-Chatain et al. 2014).
SIMPULAN DAN SARAN
Tiga fag litik S. aureus (FSb, FSs, dan FSk) hasil isolasi dari limbah cair kotoran sapi mampu menginfeksi S. aureus. Ketiga fag spesifik menginfeksi S. aureus dan tidak menginfeksi S. epidermidis., S. hominis., S. mutans., Bacillus sp., E. coli., K. pneumoniae., P. aeruginosa., dan Salmonella sp. Fag FSb dan FSk termasuk famili Myoviridae, sedangkan Fag FSs termasuk Siphoviridae. Seluruh fag efektif untuk melisiskan populasi bakteri S. aureus resisten antibiotik. Virulensi dan daya bakteriolitik tertinggi terhadap S. aureus ditunjukkan oleh fag FSs, diikuti oleh fag FSb dan FSk. Seluruh isolat fag berpotensi dikembangkan sebagai biokontrol dan terapi fag. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik molekuler dan aktivitas bakteriolitik fag secara in vivo.
21 DAFTAR PUSTAKA
Acar JF. 1997. Consequences of bacterial resistance of antibiotics in medical practice. Clin Infect Dis. 24:S17-18. Afriani R, Rusmana I, Budiarti S. 2014. Characterization of Proteus mirabilis lytic phage from Situ Letik River Bogor Indonesia. Int J Innov Res Sci Engineer. 2(9):640-645. Ackermann HW. 2009. Phage classification and characterization. Methods Mol Biol. 501:127-140. Barrow P, Lovell M, Berchieri A Jr. 1998. Use of lytic bacteriophage for control of experimental Escherichia coli septicemia and meningitis in chickens and calves. Clin Diagn Lab Immunol. 5(3):294-298. Basdew IH, Laing MD. 2015. Investigation of the lytic of South African bacteriophages spesific for Staphylococcus aureus, associated with bovine mastitis. Biocontrol Sci Technol. 25(4):429-443. Bautista-Trujilo GU, Solorio-Rivera JL, Renteria-Solorzano I, Carranza-German SI, Bustos-Martinez JA, Arteaga-Garibay RI, Baizabal-Aquirre VM, CajeroJuarez M, Bravo-Patino A, Valdez-Alarcon JJ. 2013. Performance of culture media for the isolation and identification of Staphylococcus aureus from bovine mastitis. J Med Microbiol. 62(3):369-376. Bruttin A, Brussow H. 2005. Human volunteers receiving Escherichia coli phage T4 orally: a safety test of phage therapy. Antimicrob Agents Chemother. 49(7):2874-2878. Budiarti S, Pratiwi RH, Rusmana I. 2011. Infectivity of lytic phage to Enteropathogenic Escherichia coli from diarrheal patients in Indonesia. J US-China Med Sci. 5(78):273-282. Capparelli R, Parlato M, Borriello G, Salvatore P, Iannelli D. 2007. Experimental phage therapy against Staphylococcus aureus in mice. Antimicrob Agents Chemother. 51(8):2765-2773. Chhibber S, Kaur T, Kaur S. 2013. Co-therapy using lytic bacteriophage and linezolid: effective treatment in eliminating methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) from diabetic foot infections. PLoS ONE. 8(2):1-11. [CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2014. Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Tests; Twenty-Fourth Informational Supplement M100-S24. Wayne PA (US): CLSI. [CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2012. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Tests; Approved Standard 11th ed. Wayne PA (US): CLSI. Crossley KB, Jefferson KK, Archer GL, Fowler Jr VG. 2009. Staphylococci in Human Disease. West Sussex (UK): Willey-Blackwell. Dinges MM, Orwin PM, Schlievert PM. 2000. Exotoxins of Staphylococcus aureus. Clin Microbiol Rev. 13(1):16-34. [EMA] European Medicines Agency. 2015. Workshop on the Therapeutic Use of Bacteriophages. London (UK): EMA. Fadlallah A, Chelala E, Legeais JM. 2015. Corneal infection therapy with tropical bacteriophage administration. Opthamol J. 2015. 9:167-168.
22 Fortier LC, Moineau S. 2009. Phage production and maintenance of stocks, including expected stock lifetimes. Methods Mol Biol. 501:203-219. Funke G, Kissling PK. 2005. Performance of the new vitek 2 GP card for identification of medically relevant Gram-positive cocci in a routine clinical laboratory. J Clin Microbiol. 43(1):84-88. Gallet R, Kannoly S, Wang IN. 2011. Effects of bacteriophage traits on plaque formation. BMC Microbiol. 11(181):1-16. Gandham P. 2015. Bacteriophages: their use in the treatment of infections in the future. Int J Curr Microbiol App Sci. 4(2):867-879. Gill JJ, Hyman P. 2010. Phage choice, isolation, and preparation for phage therapy. Curr Pharm Biotechnol. 11(1):2-14. Golkar Z, Bagasra O, Pace DG. 2014. Bacteriophage theraphy: a potential solution for the antibiotic resistance [review]. J Infect Dev Ctries. 8(2):129136. Grice EA, Segre JA. 2011. The skin microbiome. Nat Rev Microbiol. 9(4):244-53. Han JE, Kim JH, Hwang SY, Choresca CH Jr, Shin SH, Jun JW, Chai JY, Park YH. 2013. Isolation and characterization of a Myoviridae bacteriophage against Staphylococcus aureus isolated from dairy cows with mastitis. Res Vet Sci. 95(2):758-763. Harris LG, Foster SJ, Richards RG. 2002. An introduction to Staphylococcus aureus, and techniques for identifying and quantifying S. aureus adhesins in relation to adhesion to biomaterials [review]. Eur Cell Mater. 31(4):39-60. Hsieh SE, Lo HH, Chen ST, Lee MC, Tseng H. 2011. Wide host range and strong lytic activity of Staphylococcus aureus lytic phage stau2. Appl Environ Microbiol. 77(3):756-761. Jensen KC, Hair BB, Wienclaw TM, Murdock MH, Hatch JB, Trent AT, White TD, Haskell KJ, Berges BK. 2015. Isolation and host range of bacteriophage with lytic activity against methicillin-resistant Staphylococcus aureus and potensial use as a fomite decontaminant. PLoS ONE. 10(7):1-13. Kateete DP, Kimani CN, Katabazi FA, Okeng A, Okee MS, Nanteza A, Joloba ML, Najjkula FC. 2010. Identification of Staphylococcus aureus: DNase and mannitol salt agar improve the efficiency of the tube coagulase test. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 9(23):1-7. Kaur S, Harjai K, Chhibber S. 2012. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus phage plaque size enhancement using sublethal concentrations of antibiotics. Appl Environ Microbiol. 78(23):8227-8233. King AM, Adams MJ, Carstens EB, Lefkowitz EJ. 2011. Virus Taxonomy: Classification and Nomenclature of Viruses Ninth Report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. London (UK): Elsevier Academic Pr. Klem J, Domotor D, Schneider G, Kovacs T, Toth A, Rakhely G. 2013. Bacteriophage theraphy against staphylococci. Acta Microbiol Immunol Hung. 60(4):411-422. Knoll BM, Mylonakis E. 2014. Antibacterial bioagents based on principles of bacteriophage biology: an overview. Clin Infect Dis. 58(4):528-534.
23 Kraushaar B, Thanh MD, Hammerl JA, Reetz J, Fetsch A, Hertwig S. 2013. Isolation and characterization of phages with lytic activity against methicillin-resistant Staphylococcus aureus strains belonging to clonal complex 398. Arch Virol. 158(11):2341-2350. Kusmiatun A, Rusmana I, Budiarti S. 2015. Characterization of bacteriophage specific to Bacillus pumilus from Ciapus River, Bogor, West Java, Indonesia. Hayati J Biosci. 22(1):27-33. Kutter E, Sulakvelidze A. 2005. Bacteriophages: Biology and Applications. Florida (US): CRC Pr. Kwan T, Liu J, DuBow M, Gros P, Pelletier J. 2005. The complete genomes and proteomes of 27 Staphylococcus aureus bacteriophages. Proc Natl Acad Sci. 102(14):5174-5179. Kwok AY, Su SC, Reynolds RP, Bay SJ, Av-Gay Y, Dovichi NJ, Chow AW. 1999. Species identification and phylogenetic relationships based on partial HSP60 gene sequences within the genus Staphylococcus. Int J Syst Bacteriol. 49:1181-1192. Labrie SJ, Samson JE, Moineau S. 2010. Bacteriophage resistance mechanisms. Nat Rev Microbiol. 8(5):317-327. Landrum ML, Neumann C, Cook C, Chukwuma U, Ellis MW, Hospenthal DR, Murray CK. 2012. Epidemiology of Staphylococcus aureus blood and skin and soft tissue infections in the US military health system, 2005-2010. JAMA. 308(1):50-59. Le-Loir Y, Baron F, Gautier M. 2003. Staphylococcus aureus and food poisoning [review]. Genet Mol Res. 2(1):63-76. Li L, Zhang Z. 2014. Isolation and characterization of a virulent bacteriophage SPW specific for Staphylococcus aureus isolated from bovine mastitis of lacting dairy cattle. Mol Biol Rep. 41(9):5829-5833. Lin YC, Peterson ML. 2010. New insights into the prevention of staphylococcal infections and toxic shock syndrome. Expert Rev Clin Pharmacol. 3(6):753767. Liu GY, Essex A, Buchanan JT, Datta V, Hoffman HM, Bastian JF, Fierer J, Nizet V. 2005. Staphylococcus aureus golden pigment impairs neutrophil killing and promotes virulence through its antioxidant activity. J Exp Med. 202(2):209-215. Lowly FD. 1998. Staphylococcus infections. N Engl J Med. 339(8):520-532. Ly-Chatain MH. 2014. The factors affecting effectiveness of treatment in phages therapy. Front Microbiol. 5(51):1-7. Madigan MT, Martinko JM, Stahl DA, Clark DP. 2015. Brock Biology of Microorganisms 14th ed. New Jersey (US): Prentice Hall. Matsuzaki S, Rashel M, Uchiyama J, Sakurai S, Ujihara T, Kuroda M, Ikeuchi M, Tani T, Fujieda M, Wakiguchi H et al. 2005. Bacteriophage therapy: a revitalized therapy against bacterial [review]. J Infect Chemother. 11(5):211-219. Matsuzaki S, Yasuda M, Nishikawa H, Kuroda M, Ujihara T, Shuin T, Shen Y, Jin Z, Fujimoto S, Nasimuzzan MD, et al.. 2003. Experimental protection of mice against lethal Staphylococcus aureus infection by novel bacteriophage ΦMR11. J Infect Dis. 187(4):613-624.
24 Mendes RE, Mendoza M, Banga Singh KK, Castanheira M, Bell JM, Turnidge JD, Lin SF, Jones RN. 2013. Regional resistance surveillance program results for 12 Asia-Pacific nations (2011). Antimicrob Agents Chemother. 57(11):5721-5726. Miedzybrodzki R, Fortuna W, Weber-Dabrowska B, Gorski A. 2007. Phage therapy of staphylococcal infections (including MRSA) may be less expensive than antibiotic treatment. Postepy Hig Med Dosw. 61:461-465. Moldovan R, McQuiston EC, Wu XL. 2007. On kinetics of phage adsorption. Biophys J. 93(1):303-315. Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA. 2007. Manual of Clinical Microbiology vol 1 9th ed. Washinton DC (US): ASM Pr. Novianti, Rusmana I, Budiarti S. 2014. Lytic bacteriophage for Photobacterium damselae isolated from water environment. Int J Innov Res Sci Engineer. 2(8):549-553. Oliveira H, Sillankorva S, Merabishvili M, Kluskens LD, Azeredo J. 2015. Unexploited opportunities for phage therapy. Front Pharmacol. 6(180):1-4. O’Riordan K, Lee JC. 2004. Staphylococcus aureus capsular polysaccharides. Clin Microbiol Rev. 17(1):218-234. Osman YA, El-Morsi AA, Elwakil MA, Omer FH. 2014. Five distinctive phages from an eigyptian industrial strain of Bacillus thuringiensis subsp.aegypti. J Environ Sci Technol. 7(1):67-75. Otto M. 2014. Staphylococcus aureus toxins. Curr Opin Microbiol. 17:32-37. Peetermans M, Verhamme P, Vanassche T. 2015. Coagulase activity by Staphylococcus aureus: a potential target for therapy?. Semin Thromb Hemos. 41(4):433-444. Pelzek AJ, Schuch R, Schmitz JE, Fischetti VA. 2013. Isolation, culture, and characterization of bacteriophages. Curr Protoc Essential Lab Tech. suppl 7:4.4.1-4.4.33. [PHE] Public Health England. Annual Epidemiological Commentary: Mandatory MRSA, MSSA and E. coli Bacteraemia and C. difficile Infection Data 2014/15. 2015. London(UK): Public Health England. Pincus NB, Reckhow JD, Saleem D, Jammeh ML, Datta SK, Myles IA. 2015. Strain specific phage treatment for Staphylococcus aureus infection is influenced by host immunity and site of infection. PLoS ONE. 10(4):1-13. Plata K, Rosato AE, Wegrzyn G. 2009. Staphylococcus aureus as an infectious agent; overview of biochemistry and molecular genetics of its pathogenicity. Acta Biochim Pol. 56(4):597-612. Powers ME, Wardenburg BJ. 2014. Igniting the fire: Staphylococcus aureus virulence factors in the pathogenesis of sepsis. PLoS Pathog. 10(2):1-9. Rakhuba DV, Kolomiets EI, Dey ES, Novik GI. 2010. Bacteriophage receptors, mechanisms of phage adsorption and penetration into host cell. Pol J Microbiol. 59(3):145-155. Reardon S. 2014. Phage therapy gets revitalized. Nature. 510. 15-16. Rhoads DD, Wolcott RD, Kuskowski MA, Wolcott BM, Ward LS, Sulakvelidze A. 2009. Bacteriophage therapy of venous leg ulcers in humans: results of a phase I safety trial. J Wound Care. 18(6):237-243. Rohwer F. 2003. Global phage diversity. Cell.113:141.
25 Rosalina D, Martodihardjo S, Listiawan MY. 2010. Staphylococcus aureus sebagai penyebab tersering infeksi sekunder pada semua erosi kulit dermatosis vesikobulosa. BIKKK. 22(2):102-108. Rose T, Verbeken G, De Vos D, Merabishvilli M, Vaneechoutte M, Lavigne R, Jennes S, Zizi M, Pirnay JP. 2014. Experimental phage therapy of burn wound infection: difficult first steps. Int J Burn Trauma. 4(2):66-73. Sambrook J, Russel DW. 2001. Molecular Cloning: a Laboratory Manual. New York (US): Cold Spring Harbour Laboratory Pr. Santosaningsih D, Santoso S, Budayanti NS, Suata K, Lestari ES, Wahjono H, Djamal A, Kuntaman K, Van Belkum A, Laurens M, et al. 2016. Characterization of clinical Staphylococcus aureus isolates harbouring mecA or Panton-Valentine leukocidin genes from four tertiary care hospitals in Indonesia. Trop Med Int Health. 21(5):610-618. Santosaningsih D, Santoso S, Budayanti NS, Kuntaman, Lestari ES, Farida H, Hapsari R, Hadi P, Winarto, Milheirico C et al. 2014. Epidemiology of Staphylococcus aureus harboring the mecA or panton valentine leukocidin genes in hospitals in Java and Bali, Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 90(4):728-734. Sartika D. 2012. Efektivitas dan keamanan in vivo fag litik FR38 dari limbah domestik dalam menurunkan cemaran Salmonella p38 indigenous pada sosis, susu, dan air. [disertasi]. Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor. Schlievert PM, Strandberg KL, Lin YC, Peterson ML, Leung DY. 2010. Secreted virulence factor comparison between methicillin-resistant and methicillinsensitive Staphylococcus aureus, and its relevance to atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 125(1):1-24. Selimovic BM. Dinic M, Orlovic M, Babic T. 2015. Staphylococcus aureus: Immunopathogenesis and human immunity. Acta Facul Medic Nais. 32(4):243-257. Snyder L, Champness W. 2007. Molecular Genetics of Bacteria 3rd ed. Washington DC (US): ASM Pr. Styers D, Sheehan DJ, Hogan P, Sahm DF. 2006. Laboratory-based surveillance of current antimicrobial resistance patterns and trends among Staphylococcus aureus: 2005 status in the United States. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 5(2):1-9. Sulakvelidze A, Alavidze Z, Morris JG Jr. 2001. Bacteriophage therapy [review]. Antimicrob Agents Chemother. 45(3):649-659. Takemura-Uchiyama I, Uchiyama J, Osanai M, Morimoto N, Asagiri T, Ujihara T, Daibata M, Sugiura T, Matsuzaki S. 2014. Experimental phage therapy against lethal lung-derived septicemia caused by Staphylococcus aureus. Microb Infect. 16(6):512-517. Tong SYC, Davis JS, Eichenberger E, Holland TL, Fowler VG Jr. 2015. Staphylococcus aureus infections: epidemiology, pathophysiology, clinical manifestations, and management. Clin Microbiol Rev. 28(3):603-661. Vandersteegen K, Mattheus W, Jan Ceyssens P, Bilocq F, De Vos D, Paul Pirnay J, Paul Noben J, Merabishvili M, Lipinska U, Hermans K et al. 2011. Microbiological and molecular assessment of bacteriophage ISP for the control of Staphylococcus aureus. PLoS ONE. 6(9):1-8.
26 Villa TG, Veiga-Crespo P. 2010. Enzybiotics: Antibiotic Enzymes as Drugs and Therapeutics. New Jersey (US): John Wiley & Sons. Vinodkumar CS, Srinivasa H, Basavarajappa KG, Patil U, Bandekar N, Patil R. 2012. Asian J Pharm Clin Res. 5(1):123-127. Wertheim HF, Melles DC, Vos MC, Van Leeuwen W, Van Belkum A, Verbrugh HA, Nouwen JL. 2005. The role of nasal carriage in Staphylococcus aureus infection [review]. Lancet Infect Dis. 5(12):751-762. [WHO] World Health Organization. 2014. Antimicrobial Resistance: Global Report on Surveillance. Geneva (SUI). WHO. Wright A, Hawkins CH, Anggard EE, Harper DR. 2009. A controlled clinical trial of therapeutic bacteriophage preparation in chronic otitis due to antibiotic resistant Pseudomonas aeruginosa; a preliminary report of efficacy. Clin Otolaryngol. 34(4):349-357. Yang H, Liang L, Lin S, Jia S. 2010. Isolation and characterization of a virulent bacteriophage AB1 of Acinetobacter baumannii. BMC Microbiol. 10(131):1-10. Zhang L, Bao H, Chengrui W, Zhang H, Zhou Y, Wang R. Characterization and partial genomic analysis of a lytic Myoviridae bacteriophage against Staphylococcus aureus isolated from dairy cows with mastitis in Mid-East of China. Virus Genes. 50(1):111-117. Zimecki M, Artym J, Kocieba M, Weber Dabrowska B, Borysowski J, Gorski A. 2009. Effect of prophylactic administration of bacteriophage to immunosuppressed mice infected with Staphylococcus aureus. BMC Microbiol. 9(169):1-8.
27 RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bekasi pada tanggal 09 Juni 1982. Putra kedua dari tiga bersaudara, Bapak Djaikun Sarbini (Alm) dan Ibu Endang Sri Hardiati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Biologi di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta. Penulis saat ini sebagai staf di Program Studi Analisa Farmasi dan Makanan, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II sejak tahun 2005. Topik penelitian yang digeluti saat skripsi hingga tesis mengenai antimikrob terhadap mikrob patogen manusia. Penyusunan tesis yang berjudul Isolasi dan Karakterisasi Fag Litik Staphylococcus aureus Resisten Antibiotik dibimbing oleh Ibu Dr.dr. Sri Budiarti dan Bapak Dr.Ir. Iman Rusmana, M.Si. Hasil penelitian telah dipublikasikan di dalam artikel International Journal of PharmTech Research Vol.9 No.11 tahun 2016.