Untuk dapat melihat Islam sebagai objek kajian ilmiah secara objektif, kritis, analitis, metodologis, maka ia harus dilihat dari perspektif historis-empiris. Bila Islam hanya dilihat dari perspektif normatif (dogma, sumber ajaran yang absolut) semata, maka yang tampak adalah nilai-nilai romantisme, apologis, subjektif dan bersifat memihak. Oleh karenanya Islam sebagai sumber (normativitas) perlu segera dituangkan dalam teoriteori atau sistem yang berdaya kontekstual, aktual dan operasional (historis-empiris). Untuk itu, diperlukan apresiasi intelektual atas “doktrin ideal” tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi, pendekatan dan paradigma yang tepat. Karenanya dalam tradisi keilmuan Islam tidak ada pemisahan antara normativitas dengan historisitas. Pendikotomian kedua pendekatan tersebut akan membawa implikasi terhadap pemisahan antara teori (ilmu) dengan praktek.
Islam Sebagai Objek Kajian Ilmiah Oleh Buyung Ali Sihombing*
Kata Kunci: Islam, studi Islam, historisitas, normativitas, metode, pendekatan dan paradigma
Pendahuluan Islam didefenisikan sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang berbentuk Alquran dan hadis, sunnah Nabi Muhammad saw.1 Selain dari itu ada bagian lain dari Islam yang merupakan produk sejarah. Seluruh bangunan sejarah Islam pada abad klasik, tengah dan modern merupakan produk sejarah.2 Oleh karenanya Islam dapat dikaji dari dua sisi, pertama dari sisi ajaran (normatif) dan kedua dari sisi sejarah (historis). Dalam dunia keilmuan dikenal adanya upaya ilmiah yang disebut dengan metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Objeklah yang menentukan metode, bukan sebaliknya.3 Seringkali dalam mengkaji Islam sebagai sebuah objek kajian ilmiah, terjadi perbedaan dalam melihat aspek normatif dan historis. Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak,
romantisme, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan sebagai produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.4 Oleh karenanya menurut Mattulada, harus dibedakan antara “pengkajian agama” dengan “studi Islam”. Pengkajian agama agaknya menjadi sarana pendidikan keimanan terhadap sesuatu agama. Pengkajian agama Islam dengan sendirinya adalah upaya pendidikan keimanan dalam Islam bagi kaum Muslimin. Sedangkan studi Islam adalah pengkajian terhadap segala ilmu yang diperlukan oleh seorang Muslim dalam kehidupan dunia dan bagi keselamatan akhirat di kemudian hari.5 Studi dalam tulisan ini selanjutnya akan membicarakan Islam sebagai objek kajian ilmiah, yang menekankan aspek kritis, analitis, empiris, historis dan metodologis.
BeberapaPengertiandasarTentangIslam Islam sebagaimana dikemukakan Harun Nasution adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw. Islam pada hahekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.6 Secara etimologi Islam berasal dari kata salam yang berarti “pasrah (penyerahan diri), damai (sejahtera), dan selamat”. Agama Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad antara tahun 610 sampai dengan 632 M. Ia merupakan ajaran wahyu yang terakhir sebelum berakhir kehidupan dunia ini.7 Kata “Islam” dinyatakan dalam Alquran sebanyak delapan kali, antara lain pada surah al-Maa’idah/5:3 dinyatakan: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama-Ku untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku merestui Islam ini sebagai agama bagimu…”.8 Dan pada surah Ali Imran/3:19 dinyatakan: “Sesungguhnya, agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”.9 Melalui kedua ayat di atas, dapatlah dipahami arti teknis kata Islam, meskipun sebagian para penafsir awal misalnya al-Thabari masih menjelaskannya dalam arti secara umum. Selain digunakan sebagai nama agama, kata “Islam” juga digunakan dalam pengertian teknis bersama dua istilah lainnya, yakni Islam, Iman, Ihsan. Ketiganya merupakan aspek fundamental dari agama ini. Dalam istilah ini, Islam mengandung pengertian yang sama dengan ibadah, yang mencakup segala macam perbuatan kebajikan, lima rukun Islam dan ketundukan terhadap syariat.10 Meskipun dalam banyak hal kata “Islam” dan “iman” dianggap laksana dua sisi dari mata uang yang sama, tetapi dalam surah al-Hujuraat/49:14, kedua kata ini dibedakan. Perbedaan makin ditonjolkan dalam
kontroversi antara kelompok Khawarij dan lainnya pada masa awal Islam, tetapi akhirnya teologi Islam menjadikan keduanya sebagai dua pilar pokok Islam (yakni rukun iman dan rukun Islam). Yang pertama menunjukkan rangkaian keyakinan yang harus diimani umat Islam, sedangkan yang kedua lebih menonjolkan aplikasi praktis dari keberagamaan. Pemakaian istilah “Mukmin” dan “Muslim” menunjuk kepada orang yang sama, meskipun yang terakhir jauh lebih banyak digunakan. Kata “Muslim” berasal dari kata aslama, “menyerah, mencari kedamaian”. Muslim dengan demikian berarti orang yang berserah diri kepada Tuhan, atau orang yang memeluk agama Islam. Kata ini mengisyaratkan makna penuh ketundukan terhadap kehendak Tuhan, idealnya seorang Muslim adalah orang yang tunduk. Dalam ungkapan tersebut tergambar salam, (ketundukan, kepasrahan) merupakan bentuk kata benda verbal yang searti dengan bentuk ajektif (tunduk, pasrah).11 Sedangkan yang dimaksud dengan “Islami” berarti bersifat keislaman. Keislaman maksudnya segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam.12 Adapun dunia Islam memiliki makna yang luas, ia dapat memberi arti pada dimensi teritorial (wilayah) atau tempat Muslim berdomisili. Misalnya, di kawasan Timur Tengah yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim, dikatakan dunia Islam. Indonesia juga merupakan bagian dari dunia Islam, bahkan pada wilayah atau negara yang memiliki Muslim minoritas, seperti di Prancis, Amerika Serikat, Kanada, Filipina dan sebagainya, semuanya disebut dengan dunia Islam. Dunia Islam dalam pengertian lain dapat juga dimaknai sebagai kultur dan peradaban Islam dimana tumbuh dan berkembang untuk selanjutnya beraktivitas. Selain dari itu dikenal pula istilah Islamisasi. Adapun yang dimaksud dengan Islamisasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Naquib al-Attas adalah proses pembebasan manusia dari segenap aspek tradisi yang bersifat magis, mitologis, animistis dan budaya nasional yang irrasional.13 Tradisitradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental Islam, perlu dilakukan perombakan dan rekonstruksi masyarakat menuju kepada Islam yang sebenarnya. Proses inilah yang disebut dengan Islamisasi.
IslamsebagaiSumber,PemikirandanPengamalan Dari penjelasan makna Islam di atas, terlihat bahwa Islam adalah agama yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang nyata dan esensial. Ia mencukupi bagi setiap orang untuk tetap survive. Karena alasan ini Allah swt. menyebut Islam sebagai agama fitrah, dan menyeru kepada umat manusia untuk menjaga agar fitrah manusia tersebut tetap hidup.14 Luasnya cakupan Islam baik yang bersifat ide maupun yang realita, mendorong sebagian pengkaji melihat Islam sebagai suatu tradisi
yang memiliki dua sisi, yakni tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Dalam Islam, persoalan “wahyu” (revelation) dan “bukan wahyu” (non revelation) cukup jelas dan tegas perbedaannya. Wahyu dalam Islam adalah Alquran yang berjumlah 6.236 ayat, dengan berbahasa Arab diturunkan Tuhan melalui Jibril kepada Muhammad. Dalam Alquran surah al-Baqarah/2:185 dijelaskan bahwa fungsi yang diembannya adalah untuk menjadi petunjuk (al-huda) dan pembeda (al-furqan).15 Alquran dengan demikian adalah wahyu yang berasal dari Tuhan yang memiliki kebenaran absolut yang harus diterima dan tidak bisa ditolak kebenarannya. Sedangkan di luar kebenaran Alquran adalah kebenaran bersifat relatif (tentatif) yang diupayakan manusia secara sistematis untuk memahami dan menjelaskan suatu kenyataan yang dapat dijangkau pemikiran manusia, dibantu penginderaan yang kebenarannya dapat diuji secara empiris. Inilah yang disebut dengan kebenaran ilmu. Jadi Alquran sebagai watak dasar pertama dari ajaran Islam harus ditekankan sebelum membicarakan Islam sebagai objek kajian Ilmiah. Karena sering dipertanyakan “apakah agama (Islam) dapat dipelajari dan dipahami secara Ilmiah ?”. Sebagaimana diketahui bahwa agama itu selalu diawali dengan rasa percaya dan iman, sedangkan ilmu dimulai dari rasa ragu, skeptis dan kritis. Sehingga bagaimana mungkin mencampuradukkan antara yang absolut (mutlak kebenarannya) dengan yang relatif kebenarannya, antara yang normatif (idealitas) dengan yang historis (realitas), antara yang transenden dengan yang immanen. Bila Islam konseptual dipahami sebagai Islam teoritis, dan Islam aktual dipahami sebagai Islam praktis, maka dikotomi kedua istilah tersebut akan membawa aplikasi terhadap pemisahan antara teori (ilmu) dengan praktek, antara man of idea dan man of action. Padahal dari sudut sosiologi pengetahuan diketahui bahwa antara Islam teoritis dan Islam praktek pada hakekatnya termuat berbagai bentuk hubungan dialektis antara teori (ilmu) dengan praktek. Dalam Islam ada bagian-bagian agama yang hanya bisa didekati dengan keimanan yang sudah merupakan kesepakatan. Tetapi ada juga yang dapat dan harus dipelajari serta diulas secara keilmuan. Sehingga dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran; Pertama, ajaran dasar sebagaimana terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir (kebenaran keduanya bersifat absolut dan mutlak benar). Kedua, ajaran bukan dasar (karena dihasilkan oleh manusia yang tidak ma’shum, ajaran ini bersifat relatif, dan kebenarannya tidak absolut).16 Alquran sebagai watak dasar Islam tidak menjelaskan bentuk tata cara pelaksanaan ajaran secara terperinci. Ia hadir dalam bentuk prinsipprinsip dan ajaran-ajaran dasar (umum) saja, dan tidak semua ayat-ayat bersifat qath’i dilalah (jelas arti dan maksudnya secara tekstual dan absolut
kebenarannya). Akan tetapi, sebagian bersifat dzhanni al-dilalah (samarsamar, tidak pasti atau tidak absolut arti dan maksud secara tekstual).17 Karena wahyu tersebut bersifat doktrin ideal, maka ajarannya perlulah diturunkan dalam bentuk tataran realitas sosial. Wahyu sesungguhnya merupakan nilai luhur atau pesan moral bila tidak dioperasionalkan dalam penciptaan sistem sebagai instrumen untuk mengimplementasikan nilai dimaksud, maka ia tidak akan berfungsi membangun peradaban dan memecahkan masalah kehidupan. Oleh karenanya Islam sebagai sumber (wahyu) perlulah kiranya dituangkan dalam teori-teori atau sistem yang berdaya kontekstual, aktual dan operasional. Untuk itu, manusia harus melakukan apresiasi intelektual atas “doktrin ideal” tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Dari penjelasan ini segeralah diketahui bahwa ketika Islam telah dipraktekkan, baik dalam bentuk keyakinan maupun perbuatan, baik secara individual maupun komunal, maka sudah merupakan fenomena dan fakta. Jadi ada bagian dari Islam yang mutlak harus diterima, tetapi ada bagian lain yang mesti dipelajari, dikaji, dibahas dan digali. Sehingga ketika membahas “das sein” (apa yang sebenarnya) dari Islam, maka ini merupakan wilayah ilmu, tetapi ketika beranjak memperbincangkan “das sollen” (apa yang seharusnya) ini masuk dalam kajian filsafat dan agama. Manusia dalam memperoleh pengetahuan agama diperoleh melalui periwayatan berkesinambungan dari orang-orang terpercaya dan tidak mungkin berdusta (al-tawatur). Pengetahuan yang diperoleh melalui altawatur ini adalah wahyu. Kebenaran pengetahuan agama dapat pula diperoleh melalui bukti-bukti historis, argumen-argumen rasional dan pengalaman pribadi. Pengetahuan agama tersebut kemudian disusun bahkan ditulis secara sistematik serta berdasarkan bidang atau cabang tertentu, yang kemudian membentuk ranting-ranting tertentu pula.18 Sistematika pengetahuan agama yang dibangun atas landasan argumen rasional dan pengalaman keagamaan yang bersumber dari wahyu tersebut membentuk batang tubuh pengetahuan. Batang tubuh pengetahuan agama inilah yang disebut sebagai ilmu agama. Pemikiran keagamaan masyarakat seolah-olah merupakan dinamika gerak melingkar dari suatu pemahaman terhadap titik sentrum kebenaran. Logika dan pemahaman terhadap kebenaran agama memerlukan sebuah continous process berupa pemahaman-pemahaman yang berbeda. Karena itu perjuangan dalam mencari kebenaran yang ada dalam agama selalu berada pada titik orbit yang tertinggi (trasendental), dan manusia sebagai penganut agama yang mengaku beragama secara baik dan benar, pasti akan menyadari akan adanya keterbatasan alamiah dan relatifnya pemikiran dalam memahami kebenaran agama. Karena itu, memahami ajaran agama melalui pelahiran tafsiran-tafsiran yang lebih baru
merupakan salah satu jalan untuk mencapai sasaran tersebut. Kenyataan itu merupakan kerja penganut ajaran yang tidak pernah usai dalam kehidupan manusia.19 Paradigma dalam memahami kebenaran agama melalui eksplorasi berbagai simbol yang disampaikan dalam wahyu dan dikonkritkan dalam realitas kehidupan, baik yang bersifat makrokosmos maupun mikrokosmos, merupakan anjuran Alquran. Pada abad ini peranan akal sangatlah sentral sehingga mampu dielaborasi secara optimal. Hakekat pencarian kebenaran melalui paradigma semacam ini pada dasarnya merupakan pola atau metode universal dari ilmu pengetahuan yang ada dan masih digunakan oleh para ilmuwan sampai dewasa ini. Para ilmuwan yang menolak dengan sikap takut kemungkinan akan membuat kesalahan dalam memahami realitas, akan mudah tertutup kesempatannya dalam memahami esensi dan substansi yang dimaksud dalam kontemplasi wahyu, sehingga manusia mudah terjebak dalam taklid (fanatisme buta). Dalam hubungan ini, manusia dituntut untuk mampu mengoptimalkan intelektual yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Interaksi antara logika akal, agama dan fenomena yang meliputi berbagai realitas kehidupan manusia dan khususnya Muslim, dituntut untuk diaplikasikan agar mampu membuat suatu pranata dan sistem kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah bagaimana agama dapat dihayati secara utuh sehingga mampu melepaskan kepentingan yang tidak sejalan dengan jiwa maupun ajaran agama, yakni dengan mewujudkan ide-ide keagamaan dalam setiap gerak, sikap dan tingkahlaku para pemeluknya. Sehingga dalam hal ini Mohammed Arkoun menganjurkan agar kita memprakarsai tentang Islam yang berani, bebas dan produktif. Sehingga apa yang disebut dengan revivalisme Islam yang telah memonopoli wacana tentang Islam, terutama para ilmuwan sosial, tidak memberikan perhatian terhadap apa yang disebutnya dengan “Islam yang diam” (the silent Islam).20 Untuk dapat melihat Islam sebagai suatu objek kajian ilmiah secara objektif, kritis, analitis, metodologis, maka ia harus dilihat dari perspektif historis-empiris atau dalam pengamalan dan buah pemikiran. Sebab bila Islam dilihat dari perspektif normatif (dogma, sumber ajaran yang absolut) semata, maka yang tampak adalah nilai-nilai romantisme, apologis, subjektif dan bersifat memihak.
DefenisiMetodologi,ParadigmadanPendekatan Metodologi berarti cara-cara dan metode-metode yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang realita, baik dalam aspek tertentu maupun secara keseluruhan. Metodologi keilmuan Islam didasarkan pada suatu epistemologis tauhid, yang meyakini Yang Maha Kuasa dan keragaman metodologi. Metodologi ini berasal dari pandangan
Alquran tentang realita dan tentang kedudukan manusia dalam realita tersebut. Oleh karena itu, pertama-tama adalah berbicara tentang manusia yang merupakan kutub subjek pengetahuan.21 Penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan baik. Metode-metode yang beragam di atas tidak saling berlawanan, tetapi justru merupakan cara-cara yang saling komplementer untuk mengungkap dan memahami ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah dalam alam semesta ini. Metode yang tepat merupakan masalah pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan. Kelemahan ilmuwan Muslim dalam pengembangan pemikiran ilmiah adalah kurang diterapkannya metode ilmiah, dan tidak dimilikinya metode yang tepat yang sesuai dengan watak subjek yang dipelajari dan cara-cara memahami pokok kajian. Metode adalah cara mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah sistematik, sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam metode tersebut disebut metodologi.22 Metode ilmiah merupakan prosedur untuk mendapatkan pengetahuan (termasuk pengetahuan agama) yang kemudian disebut ilmu. Pengetahuan yang disebut ilmu mempunyai persyaratan-persyaratan menurut kaidah-kaidah metode ilmiah (yang biasa disebut dengan logico-hypotetico-verifikasi atau persenyawaan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi).23 Sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, bahwa objek studilah yang menentukan metode, bukan sebaliknya metode menentukan objek. Erat hubungannya dengan metodik sebagai cara ilmiah, terdapat peralatan kerja (instrumen) atau teknik. Fakta dan teori dalam pemikiran ilmiah menduduki posisi penting yang menentukan. Dalam ilmu-ilmu sosial objek pengetahuan dan penelitian yang menjadi pangkal dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus terdiri atas kejadian-kejadian konkrit. Kejadian-kejadian konkrit itu dilukiskan dalam abstraksi menjadi faktor sosial. Fakta yang banyak itu dianalisis dan diklasifikasikan menurut metode ilmiah tertentu, dan berdasarkan disiplin ilmiah yang ketat. Kemudian dicari hubungan dan korelasi, yang berdasarkan disiplin ilmiah yang ketat antara berbagai kelas fakta. Adapun tafsiran mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta itu akan sampai pada tingkat pengetahuan yang lebih abstrak lagi, itulah yang disebut dengan konsep atau teori.24 Salah satu dari banyak hal yang sangat mempengaruhi dan membentuk suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm). Paradigma secara sederhana diartikan sebagai kacamata atau alat pandang. Patton mengatakan paradigma adalah metode yang kita pakai, ketika kita berupaya untuk sampai kepada realitas hasil cerapan kita (our perceive reality).25 Thomas Khun menguraikan bahwa paradigma
itu merupakan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya.26 Jadi paradigma adalah konstelasi teori, pernyataan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai atau tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna ralitas sosial. Paradigma dalam hal ini merupakan tempat berpijak dalam melihat suatu realitas. Paradigma, sebaliknya mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, yang tidak ingin kita lihat dan yang tidak ingin kita ketahui. Sedangkan untuk melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji diperlukan pendekatan. Pendekatan dalam hal ini mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik yang dipakai atau digunakan dalam penelitian yang sesuai dengan pendekatan penelitian tersebut.27 Sebagai contoh misalnya, dalam suatu penelitian digunakan pendekatan kebudayaan, maka dapat diartikan bahwa sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan atau kacamata dalam melihat, memperlakukan, dan menelitinya.28 Permasalahannya kemudian adalah bagaimana pengertian kebudayaan yang digunakan sebagai sudut pandang atau kacamata dalam melihat gejala yang dikaji tersebut.
MetodeIslamdanStudiIslam Dewasa ini masih terdapat perbedaan pendapat menyangkut apakah ada metode penelitian agama. Terlepas dari silang pendapat itu, penelitian agama sebenarnya mencakup asal-usul dan sumber ajaran agama, pemikiran dan pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, ada dua bidang penelitian agama (Islam), yaitu penelitian mengenai sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis, dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung di dalam sumber ajaran agama itu seperti ushul al-fikih. Dalam penelitian agama yang bersifat lahiriah, misalnya dalam bidang fikih, selain digunakan metode naqliyah dan aqliyah juga digunakan pengetahuan empirik.29 Menurut Mukti Ali terdapat dua metode fundamental untuk memahami Islam secara tepat. Pertama, adalah mempelajari Alquran yang merupakan himpunan ide dan output ilmiah dan literer yang dikenal dalam Islam. Kedua, adalah mempelajari sejarah Islam, yaitu mempelajari
seantero perkembangan Islam sejak permulaan misi Nabi Muhammad saw hingga sekarang.30 Untuk memahami Islam dengan benar, Nasruddin Razak mengemukakan empat cara: Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Alquran dan Sunnah. Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat dan tidak secara sebagian saja. Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana Islam. Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Alquran, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat. Beberapa metode keilmuan yang paling menonjol dalam tradisi intelektual umat Islam adalah: Pertama, hapalan, yakni pengembangan ingatan/hapalan merupakan gambaran tetap pendidikan Islam sejak dulu hingga sekarang. Kedua, mudzakarah, merupakan salah satu metode lanjutan dari hapalan dan banyak diterapkan untuk mendalami dan mengevaluasi pengetahuan seseorang. Ketiga, ta’liqah, memindahkan materi pelajaran dan melestarikan temuan keilmuan dalam bentuk tulisan diakui sebagai sesuatu sangat penting dalam proses belajar dan keilmuan. Keempat, munazharah, proses mempresentasikan gagasan dan pendapat serta mendukungnya dengan seperangkat argumentasi yang logis, sekaligus mempertanyakan dan mempermasalahkan pendapat dan dalil pihak lain. Kelima, rihlah, merupakan upaya pengejaran ilmu ke pusatpusat ilmu pengetahuan dengan tidak mengandalkan pada satu guru atau institusi saja.31 Sekarang sampailah pada pertanyaan, apa yang dimaksud dengan studi Islam itu? Mattulada mengatakan bahwa studi Islam adalah pengkajian tentang ilmu-ilmu keislaman. Adapun yang dimaksud dengan ilmu-ilmu keislaman adalah pengkajian yang tidak hanya kepada aspek-aspek yang normatif atau dogmatif, tetapi juga pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis.32 Jacques Waardenburg mengatakan bahwa studi Islam melingkupi suatu studi mengenai Islam sebagai agama dan tentang aspek-aspek keislaman dari kebudayaan masyarakat Muslim. Menurutnya, suatu distingsi harus dibuat antara Islam normatif (preskripsi-preskripsi, normanorma, dan nilai-nilai yang dianggap termuat dalam petunjuk suci) dan Islam aktual (semua bentuk gerakan, praktek dan gagasan yang pada kenyatannya eksis dalam masyarakat Muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda).33 Richard Martin mengatakan bahwa studi Islam merupakan bagian dari studi agama-agama. Sedangkan menurut Fazlur Rahman, studi Islam merupakan tantangan penalaran manusia, suatu tantangan yang
menawarkan faedah yang besar bagi keilmuan dan kemanusiaan. Ia tidak bersifat statis, yang tidak boleh diubah-ubah dan tidak boleh dirumuskan kembali. Sebaliknya studi Islam harus bersifat dinamis sesuai dengan arus dan corak tantangan perubahan zaman yang selalu dialami oleh manusia Muslim. Dengan demikian studi Islam menurut Amin Abdullah merupakan kegiatan keilmuan yang memiliki nuansa yang kaya sehingga memungkinkan untuk dapat diubah, diperbaiki, dikembangkan, disesuaikan sesuai dengan semangat zaman yang mengitarinya.34
MaknadanRuangLingkupStudiIslam Bagi ilmuwan Islam (pada aspek normatif-dogmatif) hendaknya mengikuti secara sadar bahwa kedua aspek dalam ilmu-ilmu Islam itu ada postulat-postulat yang walaupun diakui terletak pada konsepsi yang berbeda, namun keduanya menyatakan diri dalam perilaku kehidupan manusia. Dalam konsepsi keilmuan Islam, hendaknya dapat dibangun pengertian bahwa ilmuwan adalah ilmuwan yang beriman.35 Ia akan memandang kenyataan empirik yang tidak terlepas dari sesuatu yang terletak dalam alam metafisik. Objektivitas yang setinggi-tingginya akan dapat dicapai dengan kemampuan menyadari peranan subjektivitas dalam menentukan sikap atau pilihan. Sikap atau pilihan seorang ilmuwan yang beriman adalah kesadaran yang mendalam, bahwa pada batas terakhir kemampuan ilmu pengetahuan untuk memecahkan sesuatu, maka di situlah bermula ilmu yang berpangkal pada iman Islam, yang diharapkan mampu memberikan jawabannya.36 Pengaruh normatif dalam studi Islam sering dikatakan sebagai hambatan bagi terwujudnya hasil kajian yang objektif. Sehingga diperlukan adanya kesadaran akan adanya jarak antara yang diteliti dengan yang meneliti dengan menggunakan kerangka metodologis. Jarak inilah yang menentukan bahwa ada sesuatu yang telah dijadikan sebagai subject matter, sasaran yang diteliti. Secara metodologis agama harus dijadikan sebagai suatu fenomena yang ril, betapapun mungkin terasa agama itu abstrak. Dari sudut ini, maka barangkali dapat dibedakan tiga kategori Islam sebagai fenomena yang menjadi subject matter dalam penelitian, yaitu Islam sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh Islam, dan sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin. Penelitian agama memiliki dua orientasi, objektif teoritis dan objektif praktis. Orientasi ini menghendaki penelitian agama agar bersifat murni dan teoritis melalui bidang-bidang sebagai berikut: Pertama, tradisi agama mencakup sumber-sumber ajaran agama yang ajeg atau yang diyakini sebagai sumber kebenaran abadi. Penelitian bidang ini menghendaki pola pendekatan yang bersifat historis-filosofis. Kedua,
bidang yang menyangkut dasar-dasar eksistensi agama yang dapat dilakukan melalui pendekatan teologis. Ketiga, bidang yang menyangkut perilaku keagamaan dan aturan-aturan agama yang mengatur bagaimana pemeluk agama harus berperilaku sesuai dengan ajarannya. Penelitian bidang ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah, penelitian empirik yang meliputi pranata-pranata sosial keagamaan, perilaku dan hubungan-hubungan sosial yang mempunyai kaitan dengan nilai-nilai keagamaan. Sedangkan ruang lingkup pembahasan studi Islam dapat diabstraksikan sebagai berikut: Pertama, penelitian sumber-sumber ajaran agama yang meliputi penelitian terhadap Alquran dan Sunnah. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu tafsir dan ilmu hadis. Kedua, penelitian pemikiran umat Islam, yakni upaya umat Islam dalam memahami sumber-sumber utama ajaran Islam. Penelitian ini dapat menunjang pengembangan filsafat Islam dan ilmu kalam. Ketiga, penelitian sejarah umat Islam dan aplikasi ajaran-ajaran dan pemikirannya dalam kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Keempat, penelitian tentang bagaimana sumber maupun ajaran agama itu sendiri dan pemikiran maupun penafsiran atau sumber-sumber ajaran tersebut disebarkan dan dikomunikasikan kepada umat Islam. Kelima, penelitian bahasa Arab dan bahasa lain yang dominan dalam sejarah perkembangan Islam dapat membantu pengembangan ilmu-ilmu agama secara umum. Keenam, penelitian ajaran-ajaran Islam dan aplikasinya dalam masyarakat tertentu yang hingga kini masih “hidup”.37 Data keislaman yang merupakan lapangan kesarjanaan Muslim harus dibedakan dengan tujuan-tujuan yang oleh kaum Muslim ingin dijangkau, makna-makna yang diatributkan kepadanya atau kebenaran yang dianggap kaum Muslim sebagaimana terkandung di dalamnya. Dari titik ini setidaknya terdapat tiga lingkup kajian yang harus dikedepankan dalam studi-studi Islam. Pertama, studi normatif terhadap Islam, yang umumnya dikerjakan kaum Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran religius, meliputi studi-studi: tafsir, hadis, fikih, dan kalam. Kedua, studi non-normatif terhadap Islam, biasanya dilakukan di universitasuniversitas dan meliputi baik apa yang dianggap kaum Muslim sebagai Islam yang benar, maupun yang hidup (living Islam), yakni ekspresiekspresi religius kaum Muslim yang faktual. Lingkup kedua ini dapat dilakukan oleh kaum Muslim maupun non Muslim. Ketiga, studi nonnormatif terhadap aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas, meliputi telaah Islam dari sudut sejarah dan sastra atau antropologi budaya dan sosiologi, serta tidak spesifik bertitik tolak dari sudut agama an sich.38
Penutup Menurut Hutchison, studi agama-agama dunia tak ubahnya bagaikan berkelana ke pulau yang asing. Ketika kita memulai perjalanan itu, marilah kita menengok makna agama itu, alat-alat dan tujuan perjalanan kita, dan bentuk-bentuk respon yang dapat kita harapkan untuk menghadapi berbagai pemandangan yang akan muncul di hadapan kita. Untuk itu dalam hal studi Islam yang perlu dicermati, adalah; Pertama, pada dasarnya, untuk mengkaji Islam diperlukan semacam pendekatan yang mampu menjelaskan dari “sisi” mana Islam itu dilihat, sehingga tidak menimbulkan perbedaan pendapat, dan konflik akan dapat dieleminir. Untuk itu diperlukan seperangkat metolodologi atau pendekatan yang akurat. Kedua, Islam dapat dikaji dari sudut normativitas maupun historisitas. Pentingnya metodologi yang bersifat normativitas adalah untuk mengimbangi metodologi historitas yang hanya bertumpu pada tataran empirik, sebagaimana yang berkembang di dunia Barat.[]
Catatan Akhir: *Penulis adalah Dosen STAIN Padangsidimpuan. 1 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 19. 2 Harun Nasution mengklasifikasi tiga periode sejarah Islam, yakni abad klasik (650-1250 M), abad tengah (1250-1800 M) dan abad modern (1800 M sampai sekarang). Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986), Jilid I, h. 56-79. 3 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), h. 4. 4 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 106. 5 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), op.cit., h. 11. 6 Harun Nasution, op.cit., h. 24. 7 Cyril Galasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terjemahan Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafino Persada, 1999), h. 174. 8 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 157. 9 Ibid., h. 78. 10 Cyril Glasse, loc.cit. 11 Ibid., h. 291. 12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 389.
Lihat M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1989), h. 26. 14 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam secara Mudah, terjemahan Ahsin Mohammad (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), h. 42. 15 Departemen Agama RI, op.cit., h.45. 16 M. Deden Ridwan (ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), h. 33. 17 Dari ayat-ayat Alquran yang jumlahnya 6.236 itu, menurut perhitungan ulama, hanya ± 500 ayat atau 8 % saja yang mengandung ajaran tentang hidup manusia di dunia dan akhirat. Dari jumlah tersebut sedikit sekali yang qath’i dilalah, yang absolut artinya. 18 Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia (Bandung: Teraju, 2002), h. 9. 19 Iswandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2003), h. 63. 20 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, diterjemahkan oleh Ruslani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 4. 21 Osman Bakar, Tawhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 29. 22 Juhaya S. Praja, op.cit., h. 7. 23 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), h.125. 24 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, (ed), op.cit., h. 4. 25 Ibid., h. 91. 26 Thomas Khun, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). 27 M. Deden Ridwan (ed), op.cit., h. 180. 28 Ibid., h. 181. 29 Juhaya S. Praja, op.cit., h. 28-29. 30 A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 34. 31 Nur A. Fadhil Lubis, Pengenalan Dasar Studi Islam, (Medan: Tidak diterbitkan, 1996), h. 17-21. 32 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed), op.cit., h. 5. 33 M. Deden Ridwan (ed), op.cit., h. 10-11. 34 Amin Abdullah, op.cit., h. 102. 35 Dalam pemahaman Mattulada, metode yang pertama-tama harus ditemukan bukanlah metode penelitian agama (Islam), melainkan metode pembinaan ilmuwan Islam. Dalam pengertian itu maka meluruskan pengertian apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu agama, menjadi hal yang amat esensial. Dalam konsepsi Islam, ilmu-ilmu Islam adalah semua 13
ilmu yang dikenal dalam tradisi pengetahuan (Barat) kita menyebutnya ilmu-ilmu keislaman. Lihat Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, (ed), op.cit, h. 6 36 Ibid. 37 Juhaya S. Praja, op.cit., h. 13-14. 38 M. Deden Ridwan, (ed), op.cit., h. 11.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989. Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, diterjemahkan oleh Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Bakar, Osman, Tawhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam Ringkas, terjemahan Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: RajaGrafino Persada, 1999. Iswandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2003. Khun, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of Chicago Press, 1970. Lubis, Nur A. Fadhil, Pengenalan Dasar Studi Islam, Medan: Tidak diterbitkan, 1996. Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986, Jilid I. Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Bandung: Teraju, 2002. Rais, M. Amien, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1989. Ridwan, M. Deden, (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta: Sinar Harapan, 1985. Thabathaba’i, ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam secara Mudah, terjemahan Ahsin Mohammad, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.