ISLAM PURITAN DAN MODERAT SEBAGAI REALITAS SOSIAL AGAMA (Kajian Pemikiran Khaleed Abou El-Fadhl) Achmad Fageh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya E-mail : achmadfageh@gmail,com Abstract: "Puritan" according to Khaleed Abou El-Fadl is opposed to the concept of "modern". The term is used to label the religious radicals and extremists and is to more precise than the term of fundamentalist, militant extremist, radical, fanatic, jihadist, or Islamist. In their religious understanding, not only do the Puritan Muslims have weaknesses in terms of vision and world view, but also have epistemological weaknesses in nature. Their world view is also justified by a subjective epistemological system. They make the so-called Bayani reasoning system as the only legitimate episteme for being based solely on the authority of text, the Salaf and any permissible authorities. They refuse both the Burhani rationality and 'Irfani morality as the locomotive of Islamic humanism. To arrive at an understanding of the authentic Islam, there should be such tools as social theories, rational-critical methods, historical approaches and hermeneutics. On this stand, Khaleed pointed out in what context, what ideologies and interests and so on. Similarly, there should be analyzed the understanding of the community of interpreters related to the role of Prophet Muhammad (PBUH) in the process. Addressing a text both rationally and critically without dealing with it blindly and with historical approaches will lead to the message of the text. Keywords: Puritan Islam, Moderate, Khaleed Abou El Fadl
Pendahuluan Islam, sebagaimana ditandaskan oleh Kuntowijoyo, adalah agama yang humanis. Paham humanisme memosisikan manusia sebagai prima causa (anthropocentric) untuk menentukan segenap tingkah laku dan interaksinya dengan yang lain secara bertanggung jawab dan manusiawi. Karenanya, nilai moralitas merupakan aspek fundamental humanisme dan merupakan basisi pertanggunjawaban kemanusiaan. Paham itu, menurut Bambang Sugiharto, dapat menjaga kultur dan religi tetap “beradab” 1Islam, menurut Khaleed Abou ElFadhl adalah pesan universal yang tidak saja berbicara tentang kemanusiaan, tetapi juga harus mengungkap bagaimana mengkonstruk jalan menggapai humanisme dengan panduan nilai moral Islam.2 Kenyataannya, humanisme tidak popular bagi sebagian kelompok umat Islam. Dengan pola keberagamaan yang bersifat teosentris, mereka mengabsahkan keberingasan ekstrimisme dan radikalisme, baik kepada the other atau kepada saudara seagama yang berbeda pola interpretasi. Di antara contoh-contohnya antara lain : peristiwa 11 September, serangkaian bom bunuh diri yang membunuh masyarakat sipil, pendegradasian perempuan oleh Taliban khususnya, teknis hukuman syari`ah yang tidak manusiawi. Adalah Khaleed Abou El-Fadhl di antara sekian sosok yang gelisah dengan realitas yang mencoreng dan mendegradasikan Islam sebagai rahmatan li al-Alamin tersebut. Persepsi dan pencitraan yang berkembangan di kalangan non muslim adalah bahwa Islam tidak 1
Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Hadziq dalam rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistic, (Semarang : Rasali. 2005), 45. 2 Khaleed Abou El-Fadhl, Khaleed Abou el-Fadhl Replies,dalam http:/Bostonreview.net/nff.html
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
2
humanis atau bukan agama yang humanis3. Pencitraan tersebut sebenarnya hanya tepat tertuju pada minoritas umat Islam yang teraleanasi, yang oleh Khaleed disebut “kaum puritan”. Kaum puritan adalah kaum yang pola keberagamaannya tidak peka terhadap realitas kemanusiaan yang mengitari mereka, reaksioner, apologetis, dan keberagamaan mereka lebih merupakan ketundukan “buta” terhadap seperangkat perintah dan larangan baku yang diklaim autentik bersumber dari Tuhan dengan menafikan perspektif kesejarahan. Kajian terhadap kelompok puritan sering kali lebih diorientasikan pada aspek pandangan teologis dan ideologis mereka. Berbeda dengan hal tersebut, tulisan ini akan lebih banyak menguak tentang basis epistemologis keberagamaan kelompok puritan. Justifikasijustifikasi kaum puritan terhadap tindakan ekstrem mereka, sebagaimana dikupask dalam karya-karya Khaleed Abou El-Fadhl, akan direkonstruksi dalam bentuk bangunan epistemologi keagamaan mereka. Pembahasan tentang kaum puritan tersebut secara tidak langsung juga menjelaskan model keberagamaan kaum modernis yang memang bersifat diametral dengan kaum puritan. Tragedi 11 September ternyata yang paling menarik perhatian para intelektual entah dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Banyak tulisan tersebar yang mengcam tragedi itu dan menganalisis dampak-dampak yang tidak diinginkan bagi komunitas Muslim minoritas yang tinggal di Barat. Salah satu buku yang diterbitkan dalam semangat itu adalah kumpulan tulisan yang diedit oleh Ian Markham dan Ibrahim M.Abu-Rabi’.4 Lebih dari itu, hampir semua intelektual Muslim yang ada di Barat berupaya menolak penggambaran wajah buram Islam dan berupaya menyebarkan Islam sebagai agama yang menekankan prinsip kasih sayang, keadilan, demokrasi dan kesetaraan, seperti Ebrahim Moosa, Aminah Wadud Mushsin,5 Fathi Osman, dan sebagainya. Tokoh yang juga ikut menyuarakan keindahan Islam dan menentang dengan sengit segala bentuk radikalisme, ekstermisme, dan terorisme atas nama Islam adalah Khaleed M.Khaleed Abou El-Fadhl. Ia menyuarakan itu dalam berbagai tulisan yang tersebar luas, entah dalam bentuk bukum jurnal, maupun artikel-artikel lepas di berbagai surat kabar di Amerika. Tulisan ini berupaya memotret pikirannya dengan menggunakan kerangka pikir epistemologis dan sosiologi pengetahuan. Khaleed Abou Fadhl; dari Tradisional menuju Progresif Dalam kaitan dengan biografi tokoh ini, penulis memetakkan ke dalam dua tahap perkembangan, yaitu fase ketika ia masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional Islam, dan fase ketika ia berkenalan dengan nilai-nilai liberal Islam. Fase pertama dimulai pertama kali ketika ia masih berusia puluhan tahun di wilayahnya sendiri. Khaleed, yang dilahirkan di Kuwait pada 1963, memang tumbuh di kalangan Islam tradisional-konservatif, meskipun keluarganya termasuk yang berpikiran relatif maju. Ia besar di sebuah lingkungan yang sarat dengan mimpi tentang kebangkitan peradaban Islam - sebuah peradaban yang menjadi menara kebabasan, keadilan dan kemuliaan, dengan membangkitkan kembali pada kejayaan dan keindahan pengalaman Nabi di Madinah.6 Tradisionalisme-konservativ Khaleed itu sedikit banyak dipengaruhi oleh persentuhan intelektualnya dengan guru-guru awal yang konservatif dan bacaan-bacaan yang dianggap “Tradisional”. Khaleed sendiri mengakui bahwa ia diharuskan membaca buku koleksi hadis yang berjudul Riyâd al-Shâlihîn karya al-Nawawi dan Sirah al-Shahâbah yang keduanya 3
Khaleed Abou el-Fadhl, The Human Rights and Responsibilities in the World Religious, 302 Lihat Ian Markham dan Ibrahim M.Abu-Rabi’, 11 September Religious Perspectives on the causes and consequences. (Oxford:Oneworld, 2002) 5 Lihat Amina Wadud Muhsin, Inside Gender Jihad: Women’s Reform in Islam,(Oxford: Oneworld,2006) 6 Khaleed Abou al-Fadhl, Melawan Tentara Tuhan; Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenag dalam Wacana Isla, Terj. Kurniawan Abdullah, (Jakarta: Serambi, 2003),18 4
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
3
merupakan rujukan majelis pengajian tradisional. Ia juga diharuskan menguasai secara utuh kedua buku itu dan dilarang pindah ke buku-buku lain, apalagi yang kontroversial, karena kekhawatiran adanya pikiran-pikiran yang bisa mencemarinya. Ternyata, apa yang dipelajari oleh Khaleed tidak terhenti pada batas pengkajian saja, namun harus didakwahkan kepada orang lain. Dalam hal ini, Khaleed memiliki sikap puritan dalam menyebarkan faham-faham tradisional itu, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Ia menciptakan polarisasi We (nahnu) dan the other (minhum). Meniru perilaku the other dianggap keluar dari identities keislaman yang sejati. Sikap keras itu jelas adalah buah dari didikan doktriner dari guru-guru awalnya yang konservatif. Hal itu berlangsung hingga usia remaja, yang secara physikologis, merupakan usia-usia yang penuh semangat dan agresif. Kemudian Khaleed memasuki fase kedua, yaitu fase progresifisme-moderat. Pada fase tersebut, pikiran-pikirannya mulai mengalami perubahan seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Fase itu ditandai dengan pikiran-pikiran yang lebih mengutamakan substansi ketimbang isi, lebih mengedapankan pendekatan historis-hermeneutis dalam memahami teks ketimbang pendekatan literal, dan mempromosikan nilai-nilai moral universal yang indah seperti keadilan, kesetaraan dan kasih sayang. Kapan terjadi perubahan yang drastis pada diri Khaleed itu ? Tepatnya ketika ia mulai bersentuhan dengan pikiran-pikiran moderat. Sentuhan pertama ketika ayahnya membuat semacam perjanjian dengan Khaleed bahwa ia akan mengikuti Khaleed jika ia tidak berubah ketika mengaji dengan seorang guru yang dikenal moderat, toleran dan terbuka, serta berpengetahuan luas. Ternyata akibat persentuhan intelektual itu, Khaleed menemukan suatu pencerahan baru yang menjadi titik balik baru bagi sikapnya kemudian, yaitu menjadi seorang yang berpikiran terbuka dan toleran, yang merupakan kebalikan dari sikap sebelumnya. Kata Khaleed: “Pengetahuan agama saya ternyata sedikit sekali sekali dibanding dengan pengetahuannya dan pengetahuan murid-murid lain yang sudah lama belajar padanya. Kalau saya mengajian satu ayat al-Qur’an atau sebuah hadis untuk mendukung argumentasi saya, ia membalasnya dengan 10 atau 20 ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, yang cukup menggoyahkan apa yang selama itu saya anggap benar.” Sentuhan berikutnya adalah ketika ia mereguk pengetahuan di Mesir dan juga di Negara Barat. Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika menetap di negeri Piramida itu. Di Mesir, ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya. Maklum, di Kuwait, Wahabisme menjadi mazhab Negara dan telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi Wahabi menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat. Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga, Khaleed mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam. Di Barat, ia menimba ilmu di berbagai universitas Barat seperti Yale University (B.A). Namun, bayang-bayang puritanisme tidak pernah pupus dari ingatannya. Kemudian, pada tahun 1986 ia melanjutkan studi di Unviersity of Pennsylvania Law School (J.D), dan lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1999, ia melanjutkan studi di Princeton University untuk meraih gelar master dalam bidang Islamic Studies dan pada saat yang bersamaan, ia juga mengambil studi hukum di UCLA. Ia juga memperoleh gelar doctor di Princeton University. Setelah itu, sebagai seorang akademisi, ia mengajar di berbagai universitas di Amerika, misalnya, menjadi professor tamu di Yale Law School mengajar National Security Immigration and Islamic law, Profesor penuh di the UCLA School of Law mengajar hukum Islam, imigrasi, hak asasi manusia, hukum keamanan nasional dan internasional, serta
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
4
professor hukum di the University of Texas at Austin Law School, Yale Law School dan Princeton University. Sebagai seorang aktivis, ia menjadi juru bicara yang aktif tentang Islam di Barat terutama yang terkait isu-isu terorisme, otoritas, toleransi dan hukum Islam, terlebih lagi ketika terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan dunia, yaitu pemboman gedung WTC pada tanggal 11 September 2001.Dan berbagai buku dan junal yang ia tulis sebagian besar adalah setelah tragedi 11 September itu, yang mengecam keras berbagai aksi terorisme , radikalisme, absolutisme yang muncul dari gerakan-gerakan puritanisme yang menurut Khaleed, dalam jangkauan yang luas dipengaruhi teologi Wahabisme. Itu tidak berarti bahwa, sebelum tragedi 11 September, ia tidak memiliki kepekaan terhadap isu-isu itu. Namun dari hampir semua tulisan yang ia tulis berisi tentang kecamannya terhadap gerakan puritan beserta pendekatan dan pemahamannya terhadap Islam yang sangat liberal dan terbatas. Dengan kata lain, konteks histories di balik berbagai pandangannya adalah pengalamannya yang tidak menguntungkan dengan berbagai tindakan puritanisme beserta tafsiran-tafsiran puritan yang hanya mencoreng wajah Islam yang indah, dan itu menjadi bumerang buat Islam dan masyarakat Muslim. Dengan kata lain, aksi terorisme atas nama Islam hanya menjadi bencana bagi umat Islam itu sendiri. Dan itu secara psikologis mempengaruhi komunitas Muslim minoritas yang berada di Barat. Akar Puritanisme Konsep “puritan “dalam kamus Khaleed Abou El-Fadhl merupakan lawan konsep “modern”. Pemakaian istilah tersebut untuk melabeli kaum yang radikal dan ekstrem berbaju agama, menurutnya lebih tepat daripada istilah fundamentalis, militant ekstrimis, radikal, fanatic, jahidis, ataupun islamis7 Hal itu sebagaimana istilah kelompok “moderat” penggunaannya lebih tepat daripada istilah kelompok “modernis”, “progresif” dan “reformis”8 Kelompok Moderat menurut Khaleed dapat ditelusuri dalam tradisi Islam sebagaimana Nabi saw menyukai jalan tengah9 dan merepresentasikan seorang yang moderat yang enggan terjatuh ke dalam dua titik yang ekstrem10 Ada perdebatan mengenai istilah yang tepat yang bisa digunakan untuk mencirikan gerakan-gerakan agama yang menyeru kepada dasar-dasar fundamentalisme Islam. Sebagian ilmuwan menggunakan istilah “fundamentalisme Islam” dengan alasan bahwa ia merupakan kelompok radikal yang menggunakan agama sebagai simbol perjuangan menolak nilai-nilai Barat, sekularisme, dan imperialisme. Apa yang mengejutkan mengenai itu adalah 7
Istilah fundamentalis menimbulkan kerancuan karena semua kelompok dalam Islam tentu mengkalim dirinya melaksanakan ajaran-ajaran fundamental Islam. Terma “militant” juga tidak selalu benar, karena bersikap militant dalam kondisi tertentu diperbolehkan, bahkan oleh agama apa pun. Istilah ekstrimis, radikal dan fanatic juga tidak bisa menggambarkan kelompokk yang dikupas Abou El-Fadhl dalam buku-bukunya karena mereka ternyata tidak selalu ekstrem, radik dan fanatic dalam segala hal. Mereka selalu absolutis, yakni menuntut kepastian dalam menafsir teks. Penggunaan istilah jahidis juga merancukan pemahaman keunikan dan partikularitas orientasi kaum purita. Istilah Islamis mengacu pada kelompok yang berorientasi pada Islam politik yang dicitrakan Barat sebagai berbahaya bagi kelangsungan masyarakat yang beradab dan demokratis. Secara umum, Islamis memang kaum muslimin yang meyakini bahwa teologi dan hukum Islam seharusnya menjadi kerangka acuan otoritatif dalam setiap kondisi sosial dan politik. Akan tetapi, tidak berarti mereka selalu berkeyakinan akan adanya fakeharusan Negara teokrasi yang memaksakan keberlakuan hukum Islam secara keras dan literal. Abou El-FAdhl, Selamatkan Islam dari Muslim puritan, terj. Helmi Mustofa. (Jakarta: Serambi, 2006), 29-32 8 Terma modernis lebih mengacu pada kelompok yang mencoba mengatasi tantangan modernitas dan tentu semua kelompok dalam Islam bekerja dalam kerangka itu dengan metode dan pemhaman masig-masing. Sementara istilah progresivitas dan reformisme lebih tepat mengacu pada kelompok elit dalam Islam. Akan tetapi “moderasi” merepresentasikan kelompok mayoritas dalam Islam. Ibid, 29 9 Suatu konsep yang terambil dari perintah mengambil jalan tengan (wasaton) 10 Ibid, 27
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
5
penolakannya terhadap apa yang umumnya dianggap sebagai modern pada abad ke-20 ; sekularisme, demokrasi, dan bahkan nasionalisme. Esposito menjauhi penggunaan istilah itu karena menyesatkan11 Munculnya gerakangerakan Islam, menurutnya merupakan sebuah fenomena siklikal, yang terjadi di sepanjang sejarah Islam. Namun Esposito lebih suka menggunakan istilah “Islamisme” atau “Islam Politik” dan penamaan itu didukung pula oleh Bobby Sayyid. 12 Sebaliknya sebagian ilmuan malah menyebut gerakan itu sebagai “revivalisme Islam” atau “kebangkitan Islam”13 Khaleed cenderung menggunakan istilah puritan untuk menggambarkan gerakan di atas. Alasannya, menurut Khaleed, ciri khas pemikiran mereka itu menganut absolutisme dan menuntut adanya kejelasan dalam menafsir teks, bukan watak fanatik, radikal atau ekstremis.14 Gerakan yang disebut puritan itu, menurut Khaleed, bisa dilacak konteks historisnya pada 1970an, 15 yang dalam tahun itu, umat Islam menyaksikan kebangkitan Islam yang mengambil bentuk gerakan puritan berorientasi-kekuasaan yang menyerukan kembali kepada identitas Islam otentik melalui penerapan syari’at Islam. Seruan-seruan itu merupakan tema-tema umum yang terjadi setiap saat pada era kolonial. Kelompok puritan, menurut Khaleed Abou El-Fadhl, bukanlah kelompok yang mempunyai madzhab pemikiran yang terstruktur (structured school of thought), tetapi lebih merupakan orientasi teologis dan ideologi.16 Walaupun begitu, ideologi dan epistemologi adalah dua hal yang saling mengandalkan. Dalam setiap ideologi terdaoat sisi-sisi epistemologis, sebaliknya dalam epistemologi juga terdapat sisi-sisi ideologis yang sering kali tidak terungkap secara eksplisit.17 Puritanisme melawan era modern dengan berlindung pada literalisme yang ketat, yang dalam payung itu teks menjadi satu-satunya sumber legitimasi. Ia mencoba kembali kepada 11
John L.Esposito, Islam ; the Sraight Path, (Mew York and Oxford; Oxford University Press, 1988) Bobby s.Sayyid, A Fundamental fear; Eurocentrisme and the Emergence of Islamism, (London and New York; Zed Books.1997) 13 Jamse P.Piscatory, The Natural of the Islmaic Revival” dalam Islam in a world of nation states,(New York; Cambridge University Press.1986) 14 Khaleed Abou el-Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa, Edisi I, (Jakarta: Serambi; 2007), 30-31 15 Sebelumnya benih-benih awal gerakan yang berorientasi puritan dapat dilacak pula akarnya pada golongan Khawarif, bekas pengikut ‘Ali bin Abî Tâlib, yang pada abad pertama Islam telah banyak membunuh orang Islam dan non Muslim dan bertanggung jawab dalam menghabisi nyawa ‘Ali bin Abî bin Tâlib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa kaum khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan al-Jazair, tetapi mereka sudah berubah menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai), lihat Khaleed Abou el-Fadhl, The Place of Tolenrance in Islam. (Boston: Beacon Press. 2002), 6 16 Abou El-Fadl, Islam and The Theology of Power, dalam (http://www.islamfortoday.com/elfad01.htm, diakses 14 Nopember 2012). Ideologi adalah instrument sosial politik yang digunakan untuk menentukan dan mengarahkan perilaku public. Konfrontasi dua ideologi yang bertentangan akan mengarahkan pada penafsiran dunia yang terbagi dalam dua kutub ideologis. Lihat, Valla Vakili. Abdul Karim Soroush dan Diskursus Kritik di Iran” dalam John Esposito dan John O. Ovoll. Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer. Terj.. Sugeng Hariyanto et. Al. (Jakarta: Raja Grafindo Persada.2002) hlm. 19. Abou El-Fadhl menyatakan bahwa pemahaman keagamaan kelompok puritan bukan bagian dari warisan tradisi Islam. Mereka lebih merefleksikan sebagai sebuah ideology Nasional anti kolonialisme Barat dalam berbagai bentuknya. Karenanya, mereka mengekspresikan gerakan-gerakan mereka sebagai hizb (partai) tahrir (pembebasan), taqrir al-masir (selfdetermination), harakah (movement), al-kawadir al-fa`alah (kader yang aktif) atau harb muqaddasa (perjuangan suci). Hal itu merupakan ekspresi-ekspresi yang diimpor dari perjuangan Nasional melawan kolonialisme. Lihat Abou El Fadhl. Terrorism Is At Odds With Islamic Tradition. Dalam http://www.muslimlawyers.net/news/index.php3?aktion=show&number=78, akses 27 Nopember 2012. 17 Al-Jabiri, Al-Khitab al-`Arabi al-Mu`ashir: Dirasah tahliliyah Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-`Arabiyah, 1999), 200. Keterkaitan antara epistem dan ideologi dalam dunia Arab mengkristal dalam bentuk “nalar politis” (Al-`Aql Al-Siyasi) yang piranti-piranti penentunya adalah al-`aqidah (ideologi dan teologiI), ELQobilah (etnisitas-kesukuan), dan al-Ghanimah (harta kekayaan),. Lihat al-Jabiri, Al-`Aql Al Siyasi al-`Arabi, Muhaddidatuh wa Tajalliyatuh, (Beirut: al Markaz al-Thaqafi al-`Arabi : 1991), Ibid. 12
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
6
masa keemasan Islam yang lurus dan sederhana, yang itu bisa diperoleh hanya dengan kembali kepada penerapan literal terhadap perintah-perintah dan sunnah Nabi, serta pelaksanaan yang ketat terhadap praktik-praktik ritual. Orientasi puritan juga menganggap bentuk pemikiran moral yang tidak sepenuhnya bergantung pada teks sebagai bentuk pemberhalaan diri dan menganggap wilayah-wilayah pengetahuan humanistik, seperti teori sosial, filsafat, atau pemikiran spekulatif lainnya, sebagai “ilmu setan”18 Ia juga menolak segala upaya untuk menafsirkan hukum Tuhan dari perspektif histories dan kontekstual, dan malah, menganggap mayoritas sejarah Islam sebagai bentuk perusakan atau penyimpangan dari Islam yang otentik. Hermeneutika dialektis dan tidak terbatas terhadap ilmu fikih klasik dianggap sebagai pengotoran terhadap iman dan shari’ah19 Dalam banyak hal, gerakan puritan mereproduksi kondisi-kondisi mental yang diadopsi oleh gerakan apologetic. Ia menghindari pendekatan-pendekatan analitis atau histories dalam memahami Islam, dan mengklaim bahwa semua tantangan yang dihadirkan oleh modernitas bisa dipecahkan dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam paradigma Islam puritan, Islam itu sudah sempurna, kesempurnaan itu berarti bahwa Islam tidak merekonsiliasikan dirinya atau membuktikan dirinnya sesuai dengan sistem pemikiran lainnya. Islam merupakan sebuah sistem keyakinan dan hukum yang sudah lengkap dalam dirinya mencoba membentuk dunia dalam gambarannya, ketimbang mengakomodasi pengalaman manusia. 20 Sikap itu muncul dari perdebatan tentang hâkimiyah (kedaulatan) dalam sejarah Islam. Menurut puritan, kedaulatan Islam adalah milik Tuhan itu sendiri, yang merupakan satusatunya Pencipta hukum. Oleh karena itu, posisi normative apa pun yang diambil dari akal manusia atau pengalaman-pengalaman social-historis pada dasarnya tidak valid. Satu-satunya posisi normatif yang dibolehkan adalah yang diserap dari pemahaman terhadap perintahperintah Tuhan. Seperti yang ditemukan dalam teks-teks suci. Oleh karenanya tidak mengejutkan jika orientasi puritan menganggap semua pendekatan moral yang berlindung pada intuisi, akal, kewajiban-kewajiban kontraktual atau konsensus sosial dan politik, sebagai aneh dan tidak valid. Semua norma moral dan hukum mesti diambil dari satu-satunya sumber, yaitu keinginan Tuhan. Konsekwensi dari posisi, sikap, pendekatan dan pemahaman literal dari gerakan puritan itu dalam sebagaian hal adalah sebagai berikut : a. Anti demokrasi dan hak asasi manusia, yang dianggap sebagai produk barat b. Anti pluralisme agama, bahkan gerakan puritan menuntut agar umat Islam menampakkan kebencian dan permusuhannya kepada orang-orang kafir (musyrik) dengan menegaskan bahw seorang Muslim seharusnya tidak boleh mengadopsi kebiasaan-kebiasaan orang kafir dan tidak bersahabat dengan mereka. Itu harus diperlihatkan secara terang-terangan dan tidak ambigu c. Anti kesetaraan gender dan feminsime, yang dianggap sebagai doktrin Barat untuk menghancurkan identitas keislaman yang otentik. d. Pembenaran kekerasan dan teror atas nama agama, karena itu menurut mereka, merupakan bagian dari jihad defensive yang menegaskan bahwa umat Islam telah dizalimi. 21
18
Khaleed Abou el-Fadhl, Selamatkan...., 121 Khaleed Abou el-Fadhl, The Human Rights Commitment in Modern Islam dalam Joseph Runzo dan Nancy M.Martin (ed) Human Rights and Responsibilities in the World Religions, (Oxford: Oneword, 2003), 308-309 20 Ibid, 309 21 Untuk lebih jelasnya, lihat uraian Khaleed tentang pelbagai isu itu dalam Selamatkan Islam.…, 217-239, Ada beberapa karakter atau sikap lain yang bisa memutar jarum jam agama dari rahmat menjadi azab ; klaim kebenaran mutlak hanya pada agamanya,taqlid secara membabi buta kepada pemimipin agamanya,pencapaian tujuan dengan membenarkan segala cara dan menyerukan perang suci lihat Charles Kimbal, When religion becomes Evil, alih bahasa Nurhadi, kala agama jadi bencana, cet.I. (bandung; Mizan, 2003) 19
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
7
Gerakan-gerakan teologi Wahabi dan Salafi, yang merupakan pendukung utama Islam puritan, muncul pada era kolonial, sekitar abad ke-18 dan tetap aktif di sepanjang abad 20 itu.22 Mereka memanfaatkan terjadinya krisis otoritas keagamaan setelah kolonialisme berhasil menyingkirkan peran ulama tradisional dengan berbagai sistem yang mendukungnya. Ketika lembaga-lembaga tradisional Islam ambruk dibawah kolonalisme, dan selama rentang waktu itu, lembaga-lembaga tradisional Islam ditantang oleh realitas baru Negara-bangsa yang despotic dan sangat sentralistik, yang menasionalisasikan lembaga-lembaga keagamaan dan menarik lembaga wakaf masuk, ke dalam control Negara dan sebagaian besar fuqahanya menjadi pegawai yang dibayar Negara. Itu menghancurkan peran mediasi dari para fuqaha dalam masyarakat muslim. Fakta itu juga menghilangkan legitimasi ulama tradisional dan mentransformasikan mereka menjadi “ulama istana” selain itu, simbol-simbol budaya barat, model-model produksi, dan nilai-nilai social normatif secara agresif meresap ke dalam dunia Muslim, yang secara serius menantang kategori-kategor dan praktik-praktik normatif yang telah diwariskan, dan menambah rasa alienasi dan disonansi sosial-budaya yang mendalam23 Menurut Khaleed, ada dua probelmatika yang membedakan Salafabisme dari yang lain; (1) Apakah teks dimaksudkan mengatur sebagian besar aspek kehidupan ? (2) Apakah estetika atau kapasitas bawasaan manusia untuk merefleksikan atau mewujudkan suatu yang baik itu mungkin ? Kaum salafi terlalu melebih-lebihkan peran teks, dan memperkecil peran agen manusia yang menafsirkan teks keagamaan. Menurut mereka, teks tidak hanya mengatur kebanyakan aspek kehidupan, namun juga pengarang teks menentukan makna teks, dan tugas pembaca teks hanya memahami dan mengimplementasinya saja. Subyektivitas penafsir tidaklah relevan bagi realisasi dan implementasi perintah Tuhan, yang sudah dicakup secara utuh dan komprehensif di dalam teks. Karenanya estetika dan pandangan moral atau pengalaman dari penafsir dianggap tidak relevan dan tidak penting. Kemaslahatan publik seperti menjaga masyarakat dari godaan-godaan seksual kaum perempuan bisa diverifikasi secara empiris, sedangkan nilai-nilai moral dan estetika, seperti kemuliaan manusia, cinta, kasih sayang tidak bisa diverifikasi secara empirik, karenanya harus diabaikan. Singkatnya, pendekatan mereka terhadap teks dapat dikatakan literalis, antirasionalisme dan anti pendekatan-pendekatan interpretative. Dari orientasi teologis salafi itu, menurut Khaleed, muncullah kelompok-kelompok militant seperti al-Qaeda atau Taliban.24 Menariknya, gerakan-gerakan yang berorientasi kekerasan itu pada era kontemporer malah semakin kuat, bukan menghilang, terbukti dengan pelbagai aksi teroris internasional yang dilakukan atas nama mereka. Pertanyaannnya adalah mengapa mereka bisa begitu marak dan bahkan tetap eksis hingga saat ini? Menurut Khaleed, salah satu sebabnya adalah karena “lembagalembaga tradisional Islam yang secara histories bertindak untuk meminggirkan aliran ekstremis tidak ada lagi. Itulah yang membuat periode sejarah Islam sekaran gjauh lebih sulit dibadingkan periode yang lain, dan itulah sebabnya mengapa orientasi puritanisme modern lebih mengacam integritas moralist dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-gerakan ekstremis sebelumnya. Barangkali itulah kpertama kali dalam sejarah bahwa pusat dunia Islam, Mekkah dan MAdinah telah berada di bawah control Negara puritan selama periode yang demikian lama.25 Moderat Sebuah Tantangan Puritanisme ; Kepentingan dan Motifnya
22
Khaleed Abou El-Fadhl, Human Rights …., 308 Khaleed Abou El-Fadhl, The Ugly Modern and the Modern Ugly; Reclaiming the beautiful in Islam, Progressive Moslems;on Justice, Gender and pluralism. (Oxford;Onewordl.2003), 46-47 24 Ibid, 60-61 25 Khleed Abou El-Fadhl, Selamatkan ………, 125 23
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
8
Kata “moderat”26 merupakan lawan atas kata “puritan” dalam pemahaman Khaleed. Kata “Moderat” dalam kamus Merriam-Webster Dictionary (kamus digital), salah satu pengertiannya adalah menjauhi perilaku dan ungkapan yang ekstrem (avoiding extremes of behaviour and expression) Dalam kaitan itu seorang yang moderat adalah seorang yang menjauhi perilaku-perilaku dan ungkapan-ungkapan yang ekstrem. Sementara itu, “Muslim moderat” didefinisikan oleh Khaleed sebagai ; Orang-orang yang yakin pada Islam sebagai keyakinan yang benar, yang mengamalkan dan mengimani lima rukun Islam, menerima warisan tradisi Islam, namun sekaligus memodifikasi aspek-aspek tertentu darinya demi mewujudkan tujuan-tujuan moral utama dari keyakinan itu di era modern27. ...mereka meyakini Islam, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan dan meyakini bahwa Islam sangat pas untuk setiap saat dan zaman. Mereka tidak memperlakukan agama mereka laksana monument yang beku, tetapi memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif. Konsekwensinya Muslim moderat menghargai pencapaian-pencapaian sesama muslim di masa silam, namun mereka hidup di zaman sekarang….28 Dan dewasa ini, seperti diakui Khaleed, kaum Muslim terpangkas dari tradisi-tradisi intelektual Islam itu, yang konsekuensinya, mereka kehilangan etos pengetahuan maupun landasan moral dan intelektual mereka.29 Terkait dengan motif, pada dasarnya semua proyek yang dilakukan Khaleed dalam mengkritik bangunan teoritis dan praksis dari gerakan-gerakan puritan bermuara pada keinginan Khaleed untuk menciptakan suatu masyarakat madani yang mencakup individuindividu Muslim yang moderat seperti yang digambarkan di atas, yang toleran, anti kekerasan, pluralis, demokratis, penuh kasih sayang terhadap makhluk Tuha, dan lebih emngahargai hak asasi manusia. Kepentingannya bukan bersifat ideologis, namun praktis, yaitu Islam yang moderat, cerdas, kreatif, penuh semangat juang yang merupakan cerminan dari rahmat bagi seluruh alam. Jika individu-individu seperti itu terbentuk, maka wajah Islam yang pada dasarnya indah, akan tampak bersinar kembali sebagaimana itu pernah terjadi pada masamasa keemasan Islam yang pada periode itu wacana intelektual berjalan begitu bebas dan dinamis. Dan orang-orang moderat itulah yang diharapkan Khaleed menjadi counterhegemony terhadap tafsiran-tafsiran dan gerakan-gerakan jpurtitan yang pengaruhnya begitu kontra produktif terhadap Islam dan masyarakat muslim. Untuk sampai kepada tujuan itu, perlu ada reformulasi pemahaman terhadap Islam dan syari’ah dan juga pengetahuan yang baik terhadap tradisi intelektual Islam harus dipahami sebagai ajaran yang indah dan penuh moral, bukan agama hitam-putih yang atomistik. Inti Islam menurut Khaleed adalah “mencari keindahan Tuhan yang sempurna dan keindahan ciptaanNya30 Pemahaman tentang hukum-hukum keindahan merupakan bagian yang fundamental dalam menemukan syari’ah itu sendiri. Tujuan syari’ah menurut para fuqaha adalah untuk mencapai kemaslahatan masyarakat, karena kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat termasuk sesuatu yang baik dan indah31 Tuhan itu bermoral dan etis dan al-Qur’an itu sendiri menyebut imperative-imperatif moral yang umum seperti kasih sayang, keindahan, 26
Kata tersebut banyak disamakan dengan kata-kata seperti modernis, reformis, dan progresif, bahkan ada yang menyamakannya dengan Islam Liberal. Istilah tersebut secara luas digunakan dalam diskursus pemikiran Islam. Khaleed Abou el-Fadhl lebih cenderung menggunakan istilah moderat, meskipun dalam buku progressive Moslems; on Justice, Gender and Pluralisme ia dimasukkan ke dalam kubuh muslim progresif. Ia bahkan menyumbang sebuah tulisan dalam buku itu. 27 Khaleed Abou El-Fadhl, Selamatkan …….,130 28 Ibid, 133 29 Khaleed Abou El-Fadhl, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam adari Kitab ke Kitab, Terj. Abdullah Ali, (Jakarta; Serambi, 2002), 5 30 Ibid, 20 31 Khaleed Abou El-Fadhl, Melawan …., 153
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
9
keadilan, kejujuran, kebaikan dan kemaslahatan.32 Dan sebutan itu tidak terbilang dalam alqur’an dan bahkan hadis-hadis Nabi, seolah-olah nilai-nilai itu mempunyai makna yang kodrati bagi manusia. Karena begitu seringnya al-Qur’an menyebut nilai-nilai moral itu, maka bagi Khaleed, moralitas tampaknya menjadi maqashid al-syari’ah, tujuan umum di balik segala penciptaan hukum. Hukum-hukum partikular merupakan penjelmaan absolut dari nilai-nilai moral Islam yang harus dipatuhi umat Islam itu. Karenanya yang partikular tidak boleh menyimpang dari atau bertentangan dengan yang universal itu. Kata Khaleed, “Hukum-hukum yang bersifat khusus dijalankan dan dikemudian hari berdasarkan hukum-hukum yang universal dan bukan sebaliknya”33 dan jika tujuan-tujuan khusus menghalangi tujuan-tujuan moral shari’ah , maka tujuan-tujuan moral harus didahulukan dan tidak sebaliknya34 Metodologi maslahah al-Syatibi yang menekankan konsep al-kulliyat al-khams sangat didukung oleh Khaleed dengan pertimbangan moral yang harus lebih mengakar dalam kitab suci ketimbang pertimbangan-pertimbangan yang murni fungsional atau oportunistik35 karenanya, ia harus didahulukan.Ia menyatakan bahwa : Penyeledikan-penyelidikan moral harus lebih berani dan aktif peranannya dalam memformulasikan hukum. Nilai-nilai moral harus diambil dari universalitas-universalitas yang terdapat dalam teks suci. Sebagai contoh, keadilan, kehormatan atau keindahan dikenal sebagai nilai-nilai moral karena al-Qur’an menekankan ketiganya sebagai kewajibankewajiban normatif. Makna dan konotasi dari nilai-nilai moral itu harus dieksplorasi dengan nalar, intuisi, dan observasi-observasi atas hukum-hukum alam yang bersifat sosial. Intuisi dan penalaran akan memberikan kesadaran yang lebih utuh dan mendalam tentang makna dan implikasi nilai-nilai moral tersebut. Aturan-aturan hukum yang bersifat khusus, sekalipun bersumber dari teks, harus dievaluasi berdasarkan normativitas-normativitas Islam yang umum.36 Untuk sampai kepada suatu pemahaman Islam yang otentik, perlu menggunakan alatalat Bantu seperti teori-teori sosial, metode rasional-kritis, dan juga pendekatan kesejarahan dan hermeneutika. Khaleed mencontohkan, dalam konteks apa , apa ideologi dan kepentingannya dan seterusnya. Begitu pula, perlu dianalisis, pemahaman komunitas penafsir terhadap peran Nabi dalam proses tersebut.37 Wal hasil, menyikapi sebuah teks dengan rasional-kritis, tanpa membabi buta dan dengan pendekatan kesejarahan, akan lebih mengantarkan kepada pesan yang diinginkan teks itu. Frame masyarakat madani, Kritik analitis khaleed Komunitas Madani
Individu-individu yang moderat, toleran, demokratis, anti kekerasan, penuh cinta
32
Khaleed Abou El-Fadhl, Place ….., 14 Khaleed Abou El-Fadhl, Melawan …., 161 Metode rasional-kritis 34 Ibid, 162 Pendekatan 35 Ibid, 158 36 hermeneutis Ibid, 156 Nilai-nilai moral 37 Pendekatan Khaleed Abou El-fAdhl, Atas nama Tuha, :Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. R.Cecep Lukman Humanistic, Hakim, (Jakarta : Serambi, 2004) TEKS kesejarahan 33
seperti keindahan, keadilan, kesetaraan, dst
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
10
Penutup Dari seluruh bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok muslim puritan dalam memahami keberagamaan mereka tidak saja mempunyai kelemahan dalam hal visi dan pandangan dunia, tetapi juga lemah dan cacat yang bersifat epistemologis. Pertama, persepsi keagamaan kaum puritan disandarkan pada sistem teologi dan eksklusif. Keberagamaan mereka merupakan respons ambigu terhadap modernitas dan sarat dengan kepentingan ideologis untuk berkuasa di atas sistem teologi dan pemikiran agama kelompok lain. Mereka mengabsahkan segala cara untuk menggapai cita-cita ideologi mereka, (baca;kekerasan terhadap yang lain the other) Pandangan dunia mereka tersebut juga diabsahkan dengan sistem epistemologi yang bersifat subjektif. Mereka menjadikan sistem penalaran bayâni sebagai satu-satunya epistem yang absah dengan keterikatan buta pada otoritas teks, otoritas salaf dan otoritas keserbabolehan. Mereka menolak rasionalitas burhâni dan moralitas ‘Irfani sebagai lokomotif humanisme Islam. Sementara muslim moderat adalah penting dalam menghambat arus puritasnime yang makin marak pada era kontemporer itu. Muslim moderat tentunya perlu memahami Islam dan segala tradisi intelektualnya dalam melakukan hal itu. Di situ, perlu menggunakan alat-alat Bantu untuk memahami pesan-pesan yang terdapat dalam teks seperti ilmu-ilmu sosial kontemporer dan humoniora, selain tentunya perangkat metodologi ilmu keislaman klasik. Metode rasional-kritis, pendekatan kesejarahan dan hermeneutis menjadi penting untuk mengetahui teks, karena teks turun dalam konteks historisnya. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah memahami pesan-pesan moral apa yang sebenarnya dikehendaki teks. Dengan demikian, masing-masing tafsiran menjadi ralatif, dan klaim kebenaran yang sering kali berbuntut pada kekerasan akan dihindarkan. Malah yang akan terbentuk adalah wacana keilmuan yang bebas dan dinamis, sehingga bisa tercipta suatu peradaban yang tinggi. Jika semua individu Muslim telah sampai kepada tahapan itu dalam keberagamaannya, maka citacita terbentuknya masyarakat Muslim yang moderat, cerdas, kreatif, penuh semangat juang yang merupakan cerminan dari rahmat bagi seluruh alam akan menjadi kenyataan. Wallâhu ‘alamu bi al-shawâb Daftar Rujukan Abu Bakar Bagader, “Contemporary Islamic Movements in the Arab World” in Akbar S.Ahmed dan Hastings donnan (eds), Islam, Globalization and postmodernity, London dan New York: Raoutledge, 1994 Akbar S.Ahmed, Living Islam: From Samarkand to Stornoway, Victoria: Penguin Books. 1995 Amina Wadud Muhsin, Inside Gender Jihad: Women’s Reform in Islam, Oxford: Oneworld. 2006 AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
11
Bobby S. Sayyid, A Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism, London and New York: Zed Books. 1997 Ian Arkham, dan Ibrahim M. Abu Rabi’, 11 September: Religious Perpectives on the Causes and Consequences, Oxford: OneWorld, 2002 James P.Piscatory, The Naature of the Islamic Revival, dalam Islam in a World of NationStates New York: Cambridge University Press, 1986 John L.Esposito, Islam : The Straight Path, New york and Oxford: Oxford University Press, 1988 Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Antara Pikiran dan Politik, Terj. F.Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1991 Khaleed Abou El-Fadhl, The Place of Tolerance in Islam, Boston: Beacon Press, 2002 ---------, The Human Rights Commitment in Modern Islam” dalam Joseph Runzo dan Nancy M.Martin (eds), Human Rights and Responsibilities in the World Religious, Oxford: Oneworld, 2003 ---------, The Orphans of Modernity and the Clash of Civilization, Global Dialogue. Vol.4 No.2 (Spring 2002) 1-16 Artikel dapat diakses pada http;//www.scolarofthehouse.org/orofmodandcl.html. ---------, The Ugly Modern and The Modern Ugly:Reclaiming the Beatiful in Islam, Progressive Moslems: on justice, Gender and pluralism, Oxford;Oneworld, 2003 ---------, Atas nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritataif. Terj. R.cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004 ---------, Melawan Tentara Tuhan: Yang berwenang dan yang sewenang-wenang dalam wacana Islam, Terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: serambi, 2003 ---------, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab. Terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2002 ---------, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa Edisi ke-1 (Jakarta: Serambi,2007) Kimbal, Charles, When religion Becomes Evil. Alih bahasa Nurhadi,kala agama jadi bencana, Cet.I, BAndung : Mizan, 2003 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi ke-2, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003 Manning Nashsh, Islamic Resurgernce in Malaysia and Indonesia” Martin E. Marty and R.Scott Appleby (ed), Fundamentalisms Observed, Chicago dan London: the University of Chicaho Press. 1991
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013