ISLAM DAN PEMERINTAHAN : KONSEP POLITIK JAMAL AL BANNA Najibul Khairi1
Abstract : There are three ways of thought in the contemporary Islamic thought, especially in relationship between religion and state, which are; secularist, traditionalist, and reformist. Secularists state that Islam is only a religion which arranges the relationship between human and God. There is no regulation related to the state problem. In contrast, traditionalists argue that Islam is a comprehensive religion. People can find all regulation including a relationship with the state. Therefore, Islamic followers don’t have to imitate the Western ways. On the other hand, reformists say that Islam is not religion which only arranges the relationship between humans and God, but it’s not a comprehensive way too. According to reformists, it is enough for Islam to give based principles for people in order to guide activities and relationship among people in their communities and states. According to Jamal al-Banna, there are four bases principles for the establishment of Islamic state, which are 1
Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya
faith, justice, Syar’iyyah, and al-Farrusyumuliyyah (individualist-universalist). The best example of Islamic state is the model from Rasulullah and Khulafa’urRasyidin’s eras. Also, Jamal al-Banna argues that syura concept is the based principle for running the Islamic state. All regulation should comply with the Quran, Sunah, and wisdom. A good example of this is economic system should guarantee the prosperity of people in this country based on Islamic values. Furthermore, one of the characteristics of Islamic state is that every person has a right to release his opinion. In summary, Jamal al-Banna’s ideas can be categorized as reformist thought. He argues that there are no detailed and direct regulation about state in Quran and Sunah . However, in Quran and Sunah people can find code of ethic that can be used as guidance in human activities.
Keywords: Religion, State, and Syura
I. PENDAHULUAN
pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
1. 1. Latar Belakang
kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan
Masalah pemerintahan dalam Islam merupakan
bernegara. Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa
bagian dari berbagai permasalahan penting yang senantiasa
Islam, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah
terasa aktual untuk dibahas, karena relevansi masalah yang
politik dan kenegaraan. Terakhir, tidak sependapat bahwa
diperbincangkan senantiasa berkembang sepanjang masa.
Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di
Al-Qur‟an maupun hadis sebagai sumber utama hukum
dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan. Namun,
Islam tidak memberikan penjelasan secara tegas dan tuntas
aliran ini tidak sependapat pula bila Islam sama sekali tidak
mengenai masalah yang berhubungan dengan kenegaraan,
ada hubungan dengan masalah politik dan ketatanegaraan.
baik konsepsi kekuasaan, kedaulatan, ide-ide tentang
Apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama
konstitusi, struktur, maupun sistem pemerintahan dalam
mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam -
sebuah negara. Aktualisasi permasalahan tersebut juga
apakah dalam Islam diajarkan atau dituntut agar mendirikan
dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak memberikan
negara atau tidak- kenyataannya umat Islam selalu
contoh konkret yang baku dan mapan tentang keberadaan
membutuhkan sebuah sistem kenegaraan Islami. Karena,
sebuah negara yang harus ditegakkan oleh umat Islam, baik
bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan
ketika ia hidup maupun sebagai pedoman untuk masa-masa
diperlukan
sepeninggalnya.
menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan
Menurut Munawir Sjadzali (1993:1-2), ada tiga pendapat tentang konsepsi negara dalam Islam. Pendapat
suatu
kekuatan
(institusi
politik).
Untuk
ketertiban misalnya, diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi
politik
atau
negara
(Budiarjo,
1981:8-9).
Andaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mengacu kepada
tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan
tegaknya ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturan
sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah
keamanannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal
negara, baik itu wilayah, masyarakat maupun penguasa.
yang kurang tepat bila ingin menegakkan segala prinsip-
Demikian juga penilaian terhadap nabi ketika itu telah
prinsip Islami tetapi menggunakan sistem yang non Islami.
bertindak tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala
Dari sinilah umat Islam membutuhkan sebuah negara
negara, misalnya memutuskan hukum, mengirim dan
dengan sistem yang Islami.
menerima utusan, dan juga memimpin peperangan.
Realitas sejarah Islam menunjukkan bahwa negara
Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah
itu dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah.
nabi tidak meninggalkan satu Sunah yang pasti bagaiamana
Misalnya, ketika nabi masih di Makkah (611-622 M), tidak
sistem penyelenggaraan negara itu, misalnya bagaimana
banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena
sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak
kekuatan politik didominasi oleh kaum aristoktrat Quraisy
menetapkan
yang memusuhi nabi. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, di
bertanggungjawab, dan bagaimana pertanggungjawaban
mana nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji
tersebut. Untuk mengikuti nabi sepenuhnya tentu tidak
setia untuk hidup bersama dengan suatu kesepakatn
mungkin. Pertama, ia sebagai seorang rasul yang selalu
menggunakan aturan yang disepakati bersama berupa
mendapat petunjuk dari Allah Swt. Kedua, dari kenyataan
Piagam Madinah.
terlihat ketundukan rakyat padanya pada dasarnya karena ia
undang-undang,
kepada
siapa
negara
Kehidupan nabi bersama umatnya pada periode
sebagai rasul Allah Swt, kendatipun ia tidak tetap
Madinah ini (622-632H), oleh banyak pakar dianggap
memperlihatkan dimensi-dimensi manusia biasa. Ketiga,
kehidupan yang bernegara (Nasution, 1986:92). Penilaian ini
hukum yang diberlakukan lebih banyak berdasarkan wahyu
Allah bahkan ucapan dan tindakannya pun selalu mendapat
penyelenggaraannya jauh dari sempurna (Sjadzali,1993:28-
pengawasan dari Allah.
29).
Karena ketidakjelasan ini, praktik sistem kenegaraan
Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah jauh
dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam
dari ajaran yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Saat itu,
masa
lihat
hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan,
kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi,
terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi berubah dari
terutama sekali dalam masalah suksesi. Misalnya Abu Bakar
sistem musyawarah menjadi sistem penunjukan terhadap
menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam
anak atau keturunannnya. Tidak jarang terjadi perebutan
satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah
kekuasaan melalui kekerasan senjata. Demikian juga praktek
nabi wafat. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan
sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak
sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu
perbedaannya dengan masa Umayyah.
empat
Khalifah
al-Rasyidun
saja
kita
forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan
Di masa kemunduran Islam, umat Islam hampir
wasiat pendahulunya, Abu Bakar, kendatipun Abu Bakar
mempunyai negara, karena kebanyakan bangsa muslim
pernah
lain
ketika itu berada di bawah penjajahan Barat baik Inggris,
sebelumnya secara tertutup. Utsman bin Affan menjadi
Prancis, Portugis, Spanyol, Italia, dan Belanda. Tetapi
khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok
keinginan untuk mendirikan negara sendiri tetap ada, karena
orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum ia
itu dalam sejarah kita lihat di mana-mana umat Islam dalam
wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi
periode selanjutnya memberontak untuk melepaskan diri
khalifah
dari penjajah. Setelah mendapatkan kemerdekaan, umat
mendiskusikan
yang
dengan
keempat
sahabat-sahabat
melalui
pemilihan
yang
Islam menghadapi masalah baru yaitu bagaimanakah
belas tahun setelahnya adalah di bawah khalifah Abu Bakar
sebenarnya negara Islam itu?
dan Umar. Setelah itu, yang ada tidak lebih dari bentuk
Berdasarkan pengalaman ini, sejumlah ilmuwan
pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai berakhirnya
muslim telah tampil dan berusaha merumuskan konsep-
masa kekhalifahan Turki, termasuk pada masa khalifah
konsep dasar mengenai negara Islam. Tokoh dan ilmuwan
Usman dan Ali karena keduanya tidak mengikuti cara kedua
yang pernah memberi gagasan dalam masalah ini, antara
khalifah pendahulunya (al-Banna, 2003:1).
lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd Razik, Thaha Husein, Husein Haikal,
II. BIOGRAFI JAMAL AL-BANNA
Hassan al-Banna, Iqbal, Maududi, dan Fazlurrahman. Sesuai
Jamal al-Banna mempunyai nama lengkap, Ahmad
dengan zamannya dan latar belakang sosial politik di masa
Jamaluddin Ahmad „Abd al-Rahman, lahir pada tanggal 15
dan di mana mereka hidup ditambah dengan latar belakang
Desember 1920. Akrab dengan dunia tulis-menulis dan
pendidikan yang berbeda mereka telah mengemukakan
jurnalistik sejak usia muda. Pada tahun 1946 menulis "Neo-
pendapat-pendapatnya yang saling berbeda pula.
Demokrasi" yang salah satu idenya adalah pemahaman baru
Salah seorang tokoh yang mengkaji tentang negara
terhadap agama (fahm jadîd li al-dîn) menjadi salah satu
Islam adalah Jamal al-Banna, adik kandung Hassan al-
pilar neo-demokrasi. Jamal juga adik kandung pendiri
Banna, tokoh pendiri gerakan Ikhwānul-Muslimīn. Jamal al-
jamaah Ikhwan Muslimun, Imam al-Syahid Hasan Al-
Banna berpendapat bahwa tidak ada satu pun contoh
Banna. Ketika Ikhwan Muslimin mendirikan media cetak,
pemerintahan Islam yang ideal selain pada masa Madinah
Jamal menjadi sekretaris redaksinya. Namun menurut
al-Munawarah, yang berlangsung hanya dalam waktu 23
pengakuan Jamal, dia sendiri tidak pernah menjadi anggota
tahun. Sepuluh tahun pada masa kenabian, sementara tiga
Ikhwan Muslimun..
Sebagai seorang tokoh pemikir, ia sangat produktif
adalah agama dan umat, bukan agama dan negara),
menulis buku. Dalam konteks fikih, dia menulis Nahwa
Mauqifunā Minal-'Almāniyah, al-Qaumiyyah, al-Istirākiyah,
Fiqh Jadīd (Manifesto Fikih Baru) dalam tiga jilid. Dalam
al-Ushul al-Fikriyah lid-Daulah Islāmiyah, Mas'ūliyyah
kajian
dia
menggagas
Tashwīrul-Qur’an
Fasyalid-Daulah al-Islāmiyyah (Tanggungjawab Kegagalan
(Revolusi al-Qur‟an). Dalam bidang tafsir dia menggagas
Negara Islam), al-Daulah al-‘Ashriyyah, Khamsatu Ma’āyir
Tafsir
al-Qur‟an
al-Qur’ānul-Karīm
Bainal-Qudamā’
wal-
Muhadditsīn (Tafsir al-Qur‟an; antara Ahli Tafsir Lama
Li Mishdaqiyyatil-Hukmi al-Islāmī. Di indonesia, Jamal al-Banna bisa dikatakan kurang
dengan Pembaharu). Dalam bidang Hadis, Jamal menggagas
dikenal.
Al-Ashlāni al-‘Adzīmāni; Ru’yah Jadīdah (Dua Pondasi
mengungkapkan bahwa tokoh ini luput dari perhatiannya
Agung; Al-Qur‟an dan as-Sunnah, Sebuah Pandangan Baru).
selama ini (Ma‟arif, Republika 13 Mei 2008). Padahal,
Isu-isu kontemporer pun tak lepas dari perhatian adik
Hashim Sholeh, spesialis penerjemah karya-karya Arkoun
Ikhwānul-Muslimīn ini. Dalam
dan kritikus pemikiran Islam kontemporer menulis dalam
kandung pendiri gerakan bidang
kebebasan,
Jamal
menggagas
buku
Bahkan
seorang
Syafi‟i
Maarif
pun
berjudul
kolomnya di harian paling terkemuka di Timur Tengah
Mathlabunā al-Awwal Huwa al-Hurriyyah (Kebebasan
Sharqal Awsat (24 Mei 2004), posisi Jamal Al-Banna
adalah pertama dan utama). Dalam wacana pluralitas dia
sebagai pionir revivalisme Islam (râ‟id da‟wah al-ihyâ‟ al-
al-Islāmī
Islâmî). Seperti posisi Martin Luther dalam agama Kristen
(Pluralitas dalam Masyarakat Islam). Untuk merespons
yang menggerakkan reformasi keagamaan (al-ishlâh al-dînî)
perdebatan Islam dan terorisme, Jamal menggagas al-Jihād.
. (Romli, Gatra Nomor 42, 27 Agustus 2004)
menggagas
At-Ta’addudiyah
fil-Mujtama’
Dalam konteks Islam dan kekuasaan Jamal menggagas alIslām Dīn wa Ummah, Wa Laisa Dīn wa Daulah (Islam
III. PANDANGAN JAMAL AL-BANNA TENTANG
kemudian diikuti oleh pembunuhan pemimpin-pemimpin
NEGARA ISLAM
Islam lain dan pertentangan yang tiada hentinya di kalangan
Salah satu karakteristik agama Islam pada masa-
umat sehingga melahirkan berbagai aliran dan golongan.
masa awal penampilannya, adalah kejayaan di bidang
Usaha memahami masalah politik dalam Islam
politik. Penuturan sejarah Islam dipenuhi oleh kisah
memang bukan perkara sederhana. Hal itu, menurut
kejayaan itu sejak Nabi Muhammad SAW (periode
Nurcholish Madjid, karena ada dua alasan. Pertama, bahwa
Madinah) sampai masa-masa jauh setelah beliau wafat.
Islam membuat sejarah selama lebih dari 14 abad sehingga
Terjalin dengan kejayaan politik itu ialah sukses yang
akan merupakan suatu kenaifan jika dianggap bahwa selama
spektakuler ekspansi militer kaum Muslim, khususnya yang
kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap
terjadi di bawah pimpinan pada sahabat Nabi.
stasioner dan berhenti. Sementara hanya sedikit sekali di
Kenyataan historis tersebut menunjukkan bahwa
kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi
Islam adalah agama yang terkait erat dengan kenegaraan.
kesadaran tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka
Setelah kaum Muslim berkenalan dengan Aryanisme Persia,
ragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dikaji dan
muncul ungkapan bahwa “Islam adalah agama dan negara”
diteliti, dalam sejarah Islam juga terdapat perbendaharaan
(al-Islām Dīn wa Da’wah), yang mengisyaratkan keterkaitan
teoritis yang amat luas tentang politik yang hampir setiap
yang erat antara keduanya. Sebaliknya, sejarah juga
kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa
mencatat bahwa perpecahan, pertentangan, dan bahkan
sejarah (Syadzali, 1993:vi-vii).
penumpahan darah dalam tubuh umat Islam terjadi justru karena
persoalan
politik.
Dimulai
dengan
Karena itu, dapat dipahami mengapa sampai kini
peristiwa
belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep negara
pembunuhan Khalifah Ketiga, „Ustman ibn Affan‟ yang
Islam. Fakta-fakta historis menunjukkan adanya aneka
ragam bentuk pemerintahan dalam dunia Islam pada masa
Arab. Posisi nabi di Madinah adalah sebagai pemimpin
silam.
al-Khulafā’ur-Rāsyidun
sekaligus pemimpin kepala Negara (Arnold dalam Mulia,
dipandang pihak muslim Sunni sebagai suri teladan ideal
2001:3). Pendapat ini juga disampaikan oleh Fazlur
sepanjang sejarah Islam, yang di dalamnya agama dan
Rahman, tokoh modernisme Islam. Masyarakat Madinah
kekuasaan bersatu dalam pemerintahan berdasarkan hukum
yang dipimpin nabi itu merupakan suatu Negara dan
Islam. Akan tetapi, realitas sepanjang pemerintahan Bani
pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu
Umayyah (661-750) dan Bani „Abbas (750-1258) amat
negara
berbeda dengan tahap masa normatif itu. Realitas sepanjang
terbentuknya suatu umat Muslim (Mulia, 2001:4). Menurut
sejarah Islam berbentuk fragmentasi de facto dalam
Jamal
imperium Islam sejak 850 M, watak dan kepentingan yang
merupakan model pemerintahan Islami. Nabi bersentuhan
tidak bercirikan Islam dari para penguasa Islam, sudah tidak
langsung dengan persoalan kepemimpinan dan kenegaraan.
Sekalipun
tahap
masa
memperlihatkan eksistensi negara Islam ideal (Esposito, 1990:307).
dan
pemerintahan
al-Banna
(2003:23),
yang
membawa
pada
Al-Banna (2003:7) berpendapat,
periode
kepada
Madinah
negara Madinah
hanya berjalan sekitar 23 tahun. Sepuluh tahun di bawah
Harun Nasution (1986:92) menyebutkan bahwa di
kepemimpinan Rasul, dan tiga belas tahun di bawah
Madinah umat Islam mempunyai posisi yang baik dan
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Bagi Jamal al-Banna,
segera berkembang menjadi suatu komunitas kiat dan
era
mampu berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi pemimpin
terbunuhnya Umar ibn Khattab oleh seorang budak Iran
masyarakat yang baru dibentuk itu, dan akhirnya menjadi
pada tahun 644 M. Ia tidak memasukkan Utsman dan Ali ke
suatu negara. Suatu negara yang wilayah kekuasaannya
dalam deretan para khalifah yang lurus. Jamal al-Banna
ketika ia wafat meliputi seluruh kawasan Semenanjung
tidak meragukan bahwa Ustman adalah seorang baik dan
al-Khulafā’ur-Rāsyidun
telah
terhenti
dengan
dermawan, serta berasal dari puak Umayyah yang awal
Pertama, Keimanan, menurutnya, iman
adalah
masuk Islam. Namun di mata Jamal al-Banna, Utsman tidak
prinsip dasar Islam yang pertama dan utama
bagi
mencerminkan seorang khalifah. Pada masanya mulai
pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara (al-Banna,
dikenal praktek nepotisme. Dia tidak memahami dampak
1979:10). Pendapat senada juga disampaikan oleh Husain
dari kebajikannya yang memberikan jabatan kepada sanak
Haikal, dengan istilah yang berbeda, yaitu tauhid (Mulia,
keluarga dan kawan-kawannya (al-Banna, 1997:181).
2001:65). Al-Banna (1979:13), menjelaskan bahwa iman
Prinsip-prinsip Dasar Negara Islam
membawa seseorang mengenali jati dirinya dan mengakui
Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar dalam
kelemahan dirinya. Apabila tertanam kuat dalam diri
uraian ini adalah dasar-dasar atau asas-asas kebenaran
seseorang, iman dapat membuat orang yang bersangkutan
fundamental, petunjuk peraturan moral yang terkandung
memandang kecil segala makhluk sehingga dengan segala
dalam suatau ajaran yang dijadikan sebagai landasan
senang hati akan mengorbankan harta benda, kesenangan,
berpikir, bertindak, dan bertingkah laku manusia dalam
dan kebebesan, bahkan seluruh hidupnya demi mencapai
mengelola suatu negara.
keridhaan-Nya. Ungkapan tersebut menyimpulkan bahwa
Jamal al-Banna mengemukakan bahwa ada empat
jika seseorang memiliki iman yang kuat, ia akan menyadari
prinsip dasar yang dijadikan acuan dalam pengelolaan
eksistensi dirinya sebagai hamba Allah, yang harus dipatuhi
negara Islam, yaitu prinsip keimanan, keadilan, prinsip
dan taat hanya kepada-Nya. Dengan kesadaran tersebut
Syar’iyyah dan prinsip individualis-universalis (al-Far
seseorang terhindar dari sifat arogan dan takabur. Pandangan
Syumūliyyah (al-Banna, 1979:9).
Jamal al-Banna di atas juga menjelaskan bahwa iman membawa efek pembebasan diri manusia dari belenggu
hawa
nafsu
yang
menjadi
sumber
kesombongan,
kecongkakan, dan tiranik.
Islam masa pertama mengalami kebangkitan adalah tidak lain karena keimanan orang-orang yang tertindas. Tidak ada
Karena itu, Jamal al-Banna berpendapat bahwa iman
alasan lagi bagi negara Islam untuk tidak menerapkan
merupakan landasan bagi pembinaan masyarakat muslim
keadilan
dan pengelolaan negara Islam. Ajaran tauhid sarat dengan
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan ekonomi dan
berbagai nilai dan norma-norma luhur yang harus dijadikan
keadilan dalam hukum (al-Banna, 1997:74).
pedoman oleh umat Islam dalam mewujudkan masyarakat
dalam
sebuah
negara
(al-Banna,
1994:35).
Ketika sebuah negara mampu menciptakan keadilan
yang adil, terbuka, dan demokratis. Dengan menjadikan
dalam
keimanan sebagai poros kehidupan, umat Islam dapat
keimanan kepada Allah sebagai landasan utama dalam
menarik
kehidupan
menentukan tindakan dan menjadikan ilmu pengetahuan
bermasyarakat, yang akan mengantarkan umat Islam
sebagai sarana untuk mengetahui hakikat, maka hubungan
menjadi manusia bermoral dan memiliki integritas ruhani
antara penguasa dengan rakyat adalah seperti hubungan
yang kukuh (al-Banna, 1979:33).
antara seorang pegawai dengan perusahaan tempat ia
sejumlah
tata
nilai
etika
bagi
Kedua, prinsip keadilan. Salah satu ciri khas kehidupan
Islami
dan
masyarakat
muslim
adalah
ditegakkannya keadilan. Keadilan tersebut tidak mungkin
ekonomi,
kebebasan
pemikiran,
menjadikan
bekerja. Karena itu, tidak akan ada penindasan dan eksploitasi, sehingga rakyat merasa mulia dan terhormat (alBanna, 1984:41).
terealisasi jika tidak ada suatu sistem atau lembaga yang
Ketiga, Istilah syar’iyyah adalah paduan dari dua
menegakkannya (al-Banna, 1979:7). Keadilan merupakan
kata Asy-Syar’u dan Asy-Syarī’ah yang merupakan salah
simbol Islam. Oleh karena itu, semestinya umat Islam harus
satu prinsip utama negara Islam. Menurut Jamal al-Banna
menjadi penyeru pertama tentang keadilan. Bahwasanya
(1979:56), Syar’iyyah meliputi beberapa hal: Pertama,
Undang-undang atau hukum yang diberlakukan tidak
Keempat,
Al-Farsyumuliyyah
(Individualis-
berlandaskan atas suatu keinginan pribadi, penguasa,
Universalis). Menurut Jamal al-Banna (1979:83), negara
kehendak sewenang-wenang dari lembaga yudikatif, atau
yang harus didirikan adalah Al-Farsyumuliyyah (gabungan
hanya menguntungkan salah satu kelompok masyarakat.
dari dua kata Al-Fardu dan Asy-Syumūliyyah), (Individualis-
Undang-undang dikeluarkan harus berdasarkan al-Qur‟an
Universalis) yaitu bentuk negara yang bukan berdiri atas
dan Sunah Nabi yang shahih atau yang mengandung atau
individualis atau universalis.
sejalan dengan nilai-nilai dari keduanya. Kedua, dalam
Negara Islam, bagi Jamal al-Banna (1979:83),
syariat Islam, suatu undang-undang tidak hanya diilhami
bukanlah sistem individualis (kapitalis) ataupun sistem
dari al-Qur‟an dan Sunah nabi, namun juga didasari oleh
sosialis. Akan tetapi Islam adalah negara kapitalis sekaligus
realita dan prinsip-prinsip keadilan seperti apa yang
sosialis. Islam menjunjung tinggi hak-hak pribadi, karena
difirmankan Allah dalam kitab-kitab yang diturunkan
iman sebagai pijakan utama negara Islam timbul dari hati
kepada rasul-rasul -Nya. Sejarah mencatat kitab-kitab
masing-masing individu. Oleh karena itu, melanggar hak-
tersebut adalah buku petunjuk yang paling berharga bagi
hak individu lain berarti telah menginjak-injak prinsip-
kehidupan manusia. Ketiga, Syar’iyyah adalah hukum
prinsip dasar negara Islam. Kebebasan berpikir juga dijamin
tertinggi dalam suatu masyarakat. Penerapan undang-undang
oleh Islam. Pada saat yang sama, Islam juga sosialis. Prinsip
diberlakukan kepada seluruh masyarakat tanpa pandang bulu
zakat adalah bukti nyata bahwa Islam menganjurkan agar
atau pilih kasih kepada siapapun, bahkan kepada seorang
seseorang peduli terhadap kehidupan orang lain.
nabi sekalipun yang diperintahkan untuk menjalankan
Dapat disimpulkan, negara Islam yang ideal adalah
hukum seperti apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt (al-
menjunjung hak-hak pribadi maupun masyarakat. Seorang
Banna, 1979:59).
individu diberi kebebasan untuk mengembangkan dirinya
ataupun
meningkatkan
taraf
ekonominya.
Walaupun
tentang perincian dan model ideal sebuah pemerintahan,
demikian, mereka tidak boleh lupa akan hak-hak orang-
yang ada hanya konsepsi Syūra untuk sebuah kebijakan
orang lain maupun masyarakat secara umum.
menuju kebaikan dan keluar dari kezaliman. Dalam buku ad-Daulah al-‘Ashriyyah (Negara
IV. KARAKTERISTIK NEGARA ISLAM
Modern), (al-Banna, 1982:86-87), menegaskan bahwa
Menurut Jamal al-Banna ada beberapa kriteria atau
negara Islam adalah negara konstitusional dengan undang-
karakteristik sebuah negara disebut dengan negara Islam.
undang tertinggi adalah al-Qur‟an dan Sunah. Supremasi
Beberapa kriteria tersebut adalah;
hukum harus ditegakkan tanpa pilih kasih. Anggota
1. Sistem Pemerintahan
masyarakat mempunyai kedudukan yang sama di mata
a. Syūra
hukum. Tidak boleh ada eksploitasi suatu kelompok
Pendapat Jamal al-Banna mengenai pemerintahan
terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, pemerintahan yang
negara Islam dibangun di atas teori bahwa dalam Islam tidak
bercorak teokratis, absolut, dan tiranik tidak sejalan dengan
terdapat sistem pemerintahan yang baku. Islam hanya
nilai-nilai Islam.
meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan
Umat Islam bebas mengambil sistem pemerintahan
sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku
yang menjamin persamaan di antara para warganya, baik
manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya.
dalam hak maupun kewajiban dan juga persamaan di muka
Islam hanya memberikan ukuran dan dasar-dasar bagaimana
hukum.
menjadikan sebuah negara bisa adil dan sentosa. Hal ini
diselenggarakan atas dasar Syūra atau musyawarah dengan
dibuktikan karena tidak ada satu pun indikasi al-Qur‟an
berpegang teguh kepada tata nilai moral dan etika yang
ataupun dari nabi, dan dua al-Khulafā’ur-Rāsyidun pertama
Selain
itu,
pengelolaan
urusan
negara
diajarkan Islam bagi pengelolaan hidup bermasyarakat (al-
Memenangkan dukungan Ahlus-Syaukah atau unsur-unsur
Banna 1986:88).
pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Terakhir, memiliki
Oleh karena itu, menurut al-Banna (2004:144), Syūra
syarat-syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.
merupakan elemen penting dalam terciptanya kemaslahatan umat dan menegakkan keadilan, maka seorang penguasa
c. Oposisi dan Sistem Kepartaian
(lembaga eksekutif) tidak boleh diberi kekuasaan mutlak
Oposisi dalam suatu pemerintahan adalah suatu
untuk menentukan suatu keputusan atau kebijakan tanpa
keharusan untuk mengontrol rezim berkuasa agar tidak
melalui konsultasi ataupun bermusyawarah kepada lembaga
muncul rezim diktator yang otoriter (al-Banna, 2000:39).
terkait (legislatif).
Allah
telah
mewajibkan
masyarakat
muslim
untuk
membentuk komunitas atau gerakan yang bertugas untuk b. Proses Pemilihan Kepala Negara
mengawasi para pemimpin dan pejabat serta individu dan
Al-Banna menyatakan, setidaknya ada tiga syarat
bekerja untuk mengamalkan syariat Allah Swt:
“Dan
dalam menentukan seorang pemimpin, pertama, pemilihan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
berdasarkan kapabilitas. Kedua, berlandaskan Syūra. Ketiga,
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
tujuan utama adalah menegakkan apa yang telah diturunkan
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
oleh Allah. Ibn Taimiyah (Jindan, 1994:85-86) setiap
yang beruntung”. (QS. Ali Imran 104).
muslim dapat dipilih untuk menduduki posisi tertinggi bila
Dalam konteks kekinian, pendirian partai merupakan
ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, pertama,
representasi
suatu
lembaga
oposisi.
Bagi
al-Banna
memperoleh dukungan mayoritas umat yang dalam Islam
(2000:37), negara harus menjamin kebebasan rakyat untuk
ditentukan dengan konsultasi dan Mubāya’ah. Kedua,
mendirikan partai.
Dengan adanya partai (multipartai)
dalam sebuah negara akan lebih memberikan jaminan
bahkan ahli Fikih sekalipun. Akan tetapi harus mengikuti
keamanan dari tindakan kezaliman seseorang atau kelompok
aturan
tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan serta
menyimpang dari kandungan al-Qur‟an yang sebenar-
kesewenang-wenangan terhadap seluruh rakyat.
benarnya (al-Banna, 2004:144).
yang
terpercaya
dari
al-Qur‟an
dan
tidak
b. Sunah
2. Sumber Hukum a. Al-Qur‟an
Sumber hukum konstitusi Islam kedua yang tidak
Al-Qur‟an sebagai rujukan akhir hukum Islam tidak
kalah penting adalah Sunnah atau segala perkataan dan
saja berperan sebagai undang-undang perilaku keagamaan,
praktek kehidupan Nabi Muhammad Saw, manusia yang
tetapi yang lebih tinggi lagi, kitab suci itu merupakan dasar
dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada
dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen
semua manusia.
serius tentang konstitusi negara Islam (Jindan, 1994:52). Al-
Sunah terdiri dari tiga ruang lingkup. Pertama,
Qur‟an mengandung nilai-nilai yang universal, seperti
Sunnah Hayātiyah (Kehidupan), yaitu yang menyangkut
kemanusiaan,
interaksi sosial rasul sebagai bapak, suami, dan sebagai
rasionalisme,
kebebasan,
keadilan,
dan
pengetahuan yang objektif (al-Banna, 1986:91). Al-Banna
berpendapat
(2004:69),
manusia seperti lainnya yang memerlukan sandang pangan. al-Qur‟an
Dalam hal ini Rasulullah memberi contoh suri tauladan
setidaknya mengandung 3 pokok utama: akidah, syariah dan
kepada umatnya dalam bermasyarakat. Kedua, Sunah
kedamaian manusia secara spiritual. Ia menegaskan bahwa
‘Ibādiyah (Sunah yang bersifat amaliah pragmatis) yaitu
mengikuti al-Qur‟an bukan berarti mengikuti aturan-aturan
bagaimana cara melakukan shalat, haji, mengeluarkan zakat
yang sudah ditetapkan oleh para ahli Tafsir, ahli Hadis, atau
ataupun dalam bentuk-bentuk ibadah lainnya. Ketiga Sunah
Siyāsiyah (Politik), yang meliputi keputusan-keputusan atau
Ada dua alasan utama yang mengapa hikmah sebagai
kebijakan-kebijakan beliau sebagai seorang pemimpin
sumber ketiga. Pertama, karena al-Qur‟an tidak pernah
negara ataupun sebagai komandan dalam peperangan, atau
menyebutkan
kebijakan-kebijakannya dalam perekonomian. Para sahabat
karenanya, banyak lahan yang harus digarap dan dilestarikan
nabi seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Zaid bin
oleh manusia. Dalam dunia sastra kita mengenal penulisan
Haritsah, dan yang lainnya, serta mereka pada gilirannya
gaya sya‟ir, narasi dan pengisahan. Sebagaimana dalam
menjadi seorang pemimpin yang memimpin penaklukkan-
dunia seni kita mengenal musik, drama dan lainnya. Semua
penaklukkan, maka kita dapat memahami bahwa nabi juga
hal di atas sangat penting untuk mempengaruhi dan
mengajarkan cara kepemimpinan (al-Banna, 1997:170-176).
menguasai perasaan. Di sana juga ada filsafat dengan gaya
hal-hal
yang
bersifat
terperinci.
Oleh
pencarian dan pembongkarannya yang khas. Semua itu telah c. Hikmah
menentukan bagi terciptanya berbagai perubahan dalam
Hikmah adalah akal yang baik, nilai-nilai yang tinggi
kehidupan, hingga akhirnya hikmah pun terungkap (al-
dan ilmu pengetahuan yang benar yang dapat memberi
Banna, 2004:108).
petunjuk kepada umat (al-Banna, 2001:42). Dalam al-
Seandainya Allah hanya menyebutkan al-Qur‟an,
Qur‟an terdapat beberapa ayat yang membahas tentang
tanpa hikmah, hal ini membuka terjadinya penafsiran secara
hikmah,
fanatis atau hegemonik oleh dan terhadap pihak-pihak
bahkan
disandingkan
dengan
al-Quran,
sebagaimana dalam ayat-ayat berikut;
tertentu. Atau semua itu hanya digunakan untuk mencapai
.)_ ويعلمكم الكتاب واحلكمة (البقرة
kepentingannya semata. Bila ini terjadi, kehidupan manusia
“Mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah” (QS. Al-Baqarah 152).
akan suram dan dunia pun terasa sangat sempit.
Kedua, karena Islam merupakan agama terakhir dan
hidup yang khas. Dalam hal ini, Islam hampir mirip dengan
diturunkan untuk semua manusia. Itu berarti Islam harus
sistem kapitalis, yaitu mengakui kepemilikan pribadi,
memperhatikan
maslahat
mengambil keuntungan, dan kebebasan dalam bekerja.
kemanusiaan. Hal ini tak akan terjadi tanpa adanya “pintu”
Namun demikian, Islam juga berbeda dengan kapitalisme.
yang terbuka untuk berbagai macam perkembangan,
Sebab kapitalisme adalah suatu aliran ekonomi yang
kebudayaan, dan lain sebagainya. Hingga Islam sangat akrab
menjadikan ekonomi digunakan sebagai alat hegemoni kelas
dengan semua bentuk perkembangan. Bila tidak, maka Islam
pemodal terhadap kelas pekerja (al-Banna, 1984:102).
dan
berdampingan
dengan
akan menjelma sebagai sel tahanan, baku, dan tidak mampu mengikuti perkembangan yang ada (al-Banna, 2004:108).
Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang adil, serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya pada kepada satu kelompok saja, tetapi tersebar ke seluruh masyarakat. Ciri-ciri penting sistem ekonomi Islam tersebut
3. Sistem Ekonomi Menurut al-Banna (1984:90), salah satu prinsip
digambarkan dalam ayat al-Qur‟an:“Supaya harta itu jangan
ekonomi yang harus dianut adalah mengakui hak milik
hanya beredar di antara golongan kaya saja di kalangan
individu sepanjang tidak merugikan masyarakat. Ekonomi
kamu” (QS. Al-Hasyr:7).
yang harus dianut harus menjamin terwujudnya pemuasan
Sistem ekonomi Islam menyediakan menyediakan
seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu secara
peluang-peluang yang sama dan memberikan hak-hak alami
menyeluruh, dan pemberian peluang kepada individu untuk
kepada semua (yaitu hak terhadap harta dan bebas
memenuhi
menurut
berusaha). Pada saat yang sama menjamin keseimbangan
kemampuannya, dengan memandangnya sebagai individu
dalam distribusi kekayaan; semata-mata untuk menjaga
yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara
kestabilan dalam sistem ekonomi.
kebutuhan-kebutuhan
pelengkap
kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan, dan lain4. Prinsip Kebebasan
lain.
Kebebasan merupakan salah satau hak dasar hidup
Dalam
era
kini
kebebasan-kebebasan
tersebut
setiap orang dan merupakan pengakuan seseorang atau
mencakup berbagam macam dimensi. Tidak hanya berbeda
kelompok atau persamaan. Kemuliaan harkat kemanusiaan
pendapat atau berkeyakinan, akan tetapi juga meliputi hal-
orang lain. Kebebasan semakin dibutuhkan oleh setiap orang
hal
yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari
organisasi masyarakat atau asosiasi buruh, profesi maupun
golongan yang beraneka ragam baik dari segi etnis, kultur,
partai (al-Banna, 2000:16-20).
seperti,
kebebasan
pers,
kebebasan
mendirikan
agama, keyakinan maupun ekonomi. Bila kebebasan
Dalam catatan sejarah Islam permulaan dapat
dibelenggu, maka yang akan terjadi adalah penindasan satu
ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Nabi
golongan terhadap golongan lain. Kebebasan membuat
memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk
setiap orang atau golongan merasa terangkat eksistensinya
berbicara dan mengemukakan pendapat. Hal ini tampak
dan dihargai harkat kemanusiaannya di tengah-tengah
dalam musyawarah-musyawarah atau konsultasi yang ia
kemajemukan umat. Karena itu, prinsip kebebasan mutlak
laksanakan untuk membicarakan berbagai masalah. Ia
perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna
mengembangkan budaya kebebasan berpendapat atau
terjaminnya masyarakat pluralistik. Kebebasan-kebebasan
berbeda pendapat di kalangan para sahabatnya (al-Banna,
yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama,
1997:49).
kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangaan, kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat,
sehingga dapat dijadikan acuan sebagai hukum, dengan
V. PENUTUP Jamal al-Banna menginginkan suatu negara atau pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip Islam. Tidak hanya menjadikan Islam sebagai slogan untuk melanggengkan
kekuasaan.
Pemikirannya
berdasarkan
realita pengalaman-pengalaman negara yang mentahbiskan sebagai negara Islam, namun tidak menjalankan prinsip Islam. Ia memberikan contoh, Saudi Arabia. Walaupun menyatakan sebagai negara Islam, namun dalam prakteknya negara tersebut tidak selalu menerapkan nilai-nilai Islam. Menurut hemat penulis, konsep pemerintahan yang diajukan oleh Jamal al-Banna, tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh yang mengajukan konsep negara Islam semisal Husain Haykal. Rumusan yang diajukan bersifat idealis dan teoritis. Kemungkinan, sangat sulit diterapkan dalam masyarakat yang sangat plural di era modern kini dengan problematika yang sangat komplek. Hal baru yang dapat diambil dari pemikiran Jamal alBanna adalah Hikmah sebagai sumber hukum. Hikmah mencakup nilai-nilai, ilmu pengetahuan, dan budaya
syarat dapat menjamin kesejahteraan rakyat dan terciptanya keadilan.
DAFTAR PUSTAKA Ali, H. A. Ali Mukti. 1991. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta:Bulan Bintang. Al-Banna, Jamal. 1979. Al-Ushūl al-Fikriyyah lid- Daulah al-Islāmiya. Kairo: Dār Thabā‟ah al-Hadītsah. _____________. 1982. Al-Daulah al-‘Ashriyyah. Kairo. Kairo:Al-Ittichād al-Dauli al-Islāmī. _____________. 1984. Wujūhul-I'tilāf wal-Ikhtilāf baina Ra'samāliyah wa Syuyū'iyyah wa al-Islām. Kairo: Ittichād al-Islāmī ad-Dauli lil-Amal. _____________. 1986. Al-Hukm Bil-Qur’ān wa Qadhiyyatu Tathbīq asy-Syariah. Kairo, Dārul-Fikri alIslāmī. _____________. 1994. Mas’ūliyyatu Fasyalid-Daulah AlIslāmiyah Fil-‘ Ashri Hadīts. Kairo: Dārul-Fikri al-Islāmī. _____________. 1997. Nachwa Fiqh Jadīd 2. Kairo: DārulFikri al-Islāmī. _____________. 1997. Khamsatu Ma’āyir Li Mishdaqiyyatil-Hukmi al-Islāmī. Kairo: DārulFikri al-Islāmī.
_____________. 1999. Nahwa Fiqh Jadid 3. Kairo:DārulFikri al-Islāmī. _____________. 1999 Al-Islām wa Hurriyatul-Fikri, Haddur-Riddah Shinā’ah Fiqhiyyah Tunāqidhu Sharikhul-Qur’ān. Kairo:Dārul-Fikri al-Islāmī. _____________. 2000. Mathlabunal- Awwal HuwalHurriyyah. Kairo:Dārul-Fikri al-Islāmī. _____________. 2001. At-Ta’addudiyah Fi Mujtama’ilIslāmī. Kairo: Dārul-Fikri al-Islāmī. _____________. 2003. (1) Al-Islām Dīn Wa Ummah, Wa Laisa Dīn Wa Daulah. Kairo: Dārul-Fikri alIslāmī. _____________. 2003. (2) Mauqifunā Minal-'Almāniyyah, al-Qaumiyyah, wal-Istirākiyyah. Kairo: DārulFikri al-Islamī. _____________. 2004. Al-Islām; Kamā Tuqaddimuhu Da’watul-Ihyā’il-Islāmī. Kairo: Dārul-Fikri alIslāmī. _____________. Limādzā Nuthālib bil-Churryiyah Qabla Tathbīqisy-Syarī’ah?. Dalam www.middleeasttransparent.com Diakses pada 11 Mei 2009).
Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press. Budiarjo,
Miriam. 2000. Dasar-dasar Jakarta:Gramedia.
Ilmu
Mudzhar, M. Atho. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberalisasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Politik.
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qu'an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putra Esposito, John L dan O. Voll, John. 1994. Demokrasi di Negara-negara Muslim:Problem dan Prospek, Bandung, Mizan ______________. 1990. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang. Id, Abd Razak dan Jabbar. 2000. Al-Dimuqrātiyyah Bainal'Almāniyyah Wal-Islām. Beirut: Dar al-Fikri al Mu'asir. Jindan, Khalid Ibrahim. 1994. Teori Pemerintahan Islam menurut Ibn Taimiyah. Jakarta: Rineka Cipta. Maududi. 1984. Khilafah dan Kerajaan. Bandung:Mizan.
Mulia, Musdah. 2001. Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal. Jakarta: Paramadina. Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:UI Press. Raziq, Ali Abd. 2001. Islam Dasar-Dasar Pemerintahan; Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam. Terj. M. Zaid Su‟di. (Al-Islam Wa Ushul alHukm) Yogyakarta: Jendela. Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press. Syafiuddin, 2007. Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media. Syamsuddin, M. Din. 1999. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam. dalam Abu Zahra (ed), Politik Demi Tuhan Nasionalisme Religius di Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah.
Referensi dari Internet Al-Banna, Jamal. Khitabah Hasan al-Banna al-Shab ila Abihi. www.islamiccall.org/alda awat. Diakses pada tanggal 5 april 2009. Kadir, Ashraf Abdul. 2004. Hiwar al-Mutamaddin; Hadisun Ma'a Murabbi Al-Ajyal Jamal al-Banna: syaqiq Hasan al-Banna. www.ahewar.org/debat/14-022003. Diakses pada tanggal 5 April 2009. www.alghoraba.com/Ahmad bin 'Abd al-Rahman bin Muhammad al-Banna al-Saaiti. 2004. Diakses pada tanggal 5 April 2009.