ISBN: 978-602-96172-6-9
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PEMANTAPAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 12 MARET 2014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR P R O G R A M PA S C A S A R J A N A U N I V E R S I TA S N E G E R I Y O G YA RTA A l a m a t : K a r a n g m a l a n g , Yo g y a k a r t a 5 5 2 8 1 Te l p . D i r e k t u r ( 0 2 7 4 ) 5 5 0 8 3 5 A s d i r / T U ( 0 2 7 4 ) 5 5 0 8 3 6 F a x ( 0 2 7 4 ) 5 2 0 3 2 6 E m a i l : p p s @ u n y. a c . i d , k e r j a s a m a _ p a s c a @ y a h o o . c o m H o m e p a g e : h t t p : / / p p s . u n y. a c . i d
PROSIDING Seminar Nasional: Pemantapan Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pendidikan Sekolah Dasar INSTITUSI PENERBIT Program Studi Pendidikan Dasar Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta KETUA PANITIA Muhammad Nur Wangid
EDITOR Ali Mustadi LAY OUT Rohmat Purwoko ADMINISTRASI Pramusinta Putri Dewanti ALAMAT Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Kampus Karangmalang 55281 Yogyakarta ISBN: 978-602-96172-6-9 Diterbitkan di Yogyakakarya Oleh Indo Media Pustaka
Semua Tulisan yang Ada dalam Prosiding “Seminar Nasional: Pemantapan Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pendidikan Sekolah Dasar” bukan Merupakan Cerminan Sikap dan atau Pendapat Editor. Tanggung Jawab terhadap Isi dan atau Akibat dari Tulisan Tetap Terletak pada Penulis.
ISBN: 978-602-96172-6-9
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PEMANTAPAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 12 MARET 2014
SAMBUTAN DIREKTUR Assalamu’alaikum wr.wb. Bapak Rektor yang saya hormati, Para pembicara tamu dari Jepang, Bapak Prof. Masaaki Sato, Ph.D. dan Ibu Naomi Takasawa, Ph.D. yang saya hormati pula. Bapak dan Ibu Wakil Rektor, Dekan, Ketua Lembaga, Asisten Direktur, Wakil Dekan, Bapak Kaprodi (Sekprodi), para tamu undangan yang saya hormati Para peserta seminar, dan para mahasiswa yang saya banggakan. Selamat datang di Seminar Nasional dengan tema “ Pemantapan Pelaksanaan Kurikulum 2013” yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Dasar Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Hadirin yang berbahagia, Pertama-tama, marilah kita tidak henti-hentinya memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kita dapat berada di aula PPS UNY dalam rangka menghadiri acara Seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi (S2) Pendidikan Dasar. Semoga rangkaian kegiatan ini dapat berjalan lancar dan diridloi Allah Swt. Amiin. Kedua, perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga acara ini dapat terselenggara. Terutama kepada Bapak Rektor UNY yang telah memberikan arahan, dan bersedia menjadi pembicara kunci pada seminar ini. Serta tidak lupa kepada pembicara tamu dari Jepang, Bapak Prof. Masaaki Sato, Ph.D. dan Ibu Naomi Takasawa, Ph.D. yang ditengah-tengah padatnya kesibukan agenda mereka. Mereka bersedia menyempatkan waktu berkunjung ke PPs UNY untuk berbagi ilmu dan pengalaman melalui seminar ini. Bapak Rektor, para tamu, dan peserta seminar yang kami hormati, Perubahan Kurikulum 2013 suka tidak suka, mau tidak mau harus kita terima. Hampir setahun kurikulum ini dilaksanakan, bahkan belum semua kelas melaksanakan sehingga masih memerlukan pemikiran dari kita semua untuk menyokong tegaknya kurikulum 2013 ini. Di sinilah letak titik pentingnya seminar ini. Pembelajaran yang berpusat pada siswa telah lama dikenal dalam pendidikan. Namun pelaksanaanya belum menyentuh secara nyata dalam praktek guru. Di dalam kurikulum 2013 sangat ditekankan tugas siswa adalah belajar, maka kegiatan belajar di sekolah semestinya mendapatkan perhatian utama guru. Guru tidak lagi bisa dengan bangga hanya menyampaikan materi pelajaran atau mengajar semata, melainkan tugas guru adalah seharusnya membuat siswa melaksanakan kegiatan belajar. Dengan demikiana tugas guru tidak lagi “mengajar” tetapi tugas guru seharusnya “membelajarkan”. Perubahan kurikulum 2013 tidak hanya pada cara dan pendekatan pembelajarannya saja melainkan juga pada pemahaman konsep pendidikan yang lebih luas. Bahwa pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab sekolah, namun juga menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Untuk ini maka kita dapat memtik pengalaman pendidikan yang telah dilaksanakan di Jepang. Bagaimana sekolah dapat dijadikan sebagai pusat belajar dari semua pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Bapak Prof. Masaaki Sato, Ph.D. dan Ibu Naomi Takasawa, Ph.D. tentunya memiliki pengalaman yang banyak terhadap pelaksanaan learning community ini.
i
Terakhir, kami mohon Bapak Rektor berkenan untuk membuka acara seminar ini, dilanjutkan dengan dengan memberikan materi kunci terkait dengan “Pendidikan dasar dalam perubahan kurikulum 2013” Demikian yang dapat kami sampaikan kepada Bapak Rektor beserta semua hadirin peserta seminar yang berbahagia. Wabillaahit taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum wr. wb
Yogyakarta, 12 Maret 2014 Direktur PPs UNY,
Prof. Dr, Zuhdan Kun Prasetyo, M.Ed. NIP. 19550415 198502 1 001
ii
KATA PENGANTAR KETUA PANITIA
Hampir setahun kurikulum 2013 berjalan. Waktu setahun adalah waktu inisiasi bagi suatu program. Sebagai suatu inisiasi – kurikulum 2013 – maka masih banyak memiliki sisi-sisi yang perlu disempurnakan atau dimantapkan untuk pelaksanaannya. Sehubungan dengan inilah Program Studi Pendidikan Dasar menyelenggarakan Seminar Nasional untuk memantapkan pelaksanaan Kurikulum 2013. Melalui seminar ini diharapkan akan diperoleh berbagai masukan untuk semakin memantapkan pelaksanaan Kurikulum 2013. Di samping itu, salah satu tujuan penyelenggaraan seminar ini adalah untuk sosialisasi dalam rangka pembukaan program studi baru S3 Pendidikan Sekolah Dasar. Seperti kita ketahui bahwa awal tahun 2014 ini PPs UNY mendapatkan surat mandat untuk menyelenggarakan pendidikan doktor (S3) program studi Pendidikan Sekolah Dasar. Walaupun sebenarnya usulan pembukaan prodi S3 Pendidikan Dasar ini telah kita rintis sejak tahun 2011. Untuk itu, walaupun dalam kondisi persiapan yang relatif pendek panitia telah berusaha sebaik-baiknya menyelenggarakan seminar ini, dengan menyampaikan undangan kepada semua perguruan tinggi di Indonesia, khususnya yang memiliki program studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Jumlah peserta yang dirancang 150 orang, ternyata peserta membludak berdasarkan dari presensi panitia ada 236 orang. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor dan Bapak Direktur beserta jajarannya, serta semua pihak yang tidak sempat kami sebutkan satu per satu atas segala bantuannya sehingga Seminar Nasional ini dapat terselenggara. Semoga seminar ini dapat bermanfaat khususnya bagi pendidikan dan pada umumnya bagi kita semua.
Yogyakarta, 12 Maret 2014 Ketua Panitia,
Dr. Muhammad Nur Wangid, M.Si. NIP. 19660115 199303 1 003
iii
DAFTAR ISI
Sambutan Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta ....................................
i
Kata Pengantar Ketua Panitia..........................................................................................................
ii
Dartar Isi..........................................................................................................................................
iv
Pemakalah Utama 1.
2.
3.
Lesson Study untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru: Sekolah sebagai Learning Community ........................................................................................................................... Masaaki Sato
1
Memahami Situasi Nyata di Pendidikan Dasar: Peranan yang Disarankan kepada LPTK dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar ................................................. Naomi Takasawa
9
Pendidikan Dasar dalam Konteks Pengembangan Kurikulum 2013 .................................... Rochmat Wahab
12
Pemakalah Pendamping 1.
2.
Lesson Study Berbasis Collaborative Learning sebagai Model Pemantapan Kualitas Pendidikan di Sekolah Dasar ................................................................................................ Ali Mustadi
19
Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) .............................................................................................. Anggit Prabowo
28
3.
Paradigma Baru PPKn dalam Membangun Karakter............................................................ Ari Wibowo
4.
Pengembangan Media Pembelajaran Peta Buta Berbasis Puzzle Multimedia bagi Siswa Sekolah Dasar Kelas IV ............................................................................................. Dhiniaty Gularso
5.
Pembelajaran Matematika menurut Stmahasiswar National Council of Theachers of Mathematics (NCTM); Upaya Mempersiapkan Calon Dosen SD dalam Mengajar Matematika yang Menyenangkan ......................................................................................... Dyah Worowirastri Ekowati
6.
Pembelajaran Tematik Berbasis Karakter dalam Kurikulum 2013 ....................................... Erna yayuk
7.
Kebijakan Kurikulum 2013 dan Implikasinya terhadap Pengajaran Bahasa Inggris di Tingkat Sekolah Dasar .......................................................................................................... Fauzia
8.
Penilaian Otentik dalam Rangka Implementasi Kurikulum 2013 ......................................... H.Sujati
9.
Pembelajaran Tematik Kelas IV Tema 1 Sub Tema 3 yang Menyenangkan Menggunakan Media Balon Misteri ..................................................................................... Iisrohli Irawati, Tini, Suyanta
10. Pemantapan Implementasi Kurikulum 2013 melalui Pengembangan Program Afektif dalam Budaya Sekolah .......................................................................................................... Kurotul Aeni
iv
37
44
57 65
77 83
90
100
11. Kurikulum 2013 dan Pendidikan Karakter ........................................................................... Lue Sudiyono
106
12. Menuju Pendidikan Ramah Anak (Mencari Format Ideal Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada Tingkat Pendidikan Dasar) ........................................................................................... Minsih
113
13. Pentingnya Model Value Clarivication Technique Tipe Perisai Kepribadian dalam Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar .................................................................................... Muhamad Afandi
117
14. Guru sebagai Kunci Pelaksanaan Kurikulum 2013 .............................................................. Muhammad Nur Wangid 15. Analisis Kontribusi KTSP & Kurikulum 2013 di SD dalam Pendidikan Mitigasi Bencana Gunung Api ........................................................................................................... Pujianto, Prabowo, Wasis 16. Implementasi Teori Belajar Bruner sebagai Pendukung Pembelajaran Matematika Realistik untuk Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa S-1 PGSD tentang Konsep Operasi Bilangan (Sebuah Pendekatan Pelaksanaan Kurikulum 2013) ................................ Rahayu Condro Murti
125
132
140
17. Kesiapan Guru Sekolah Dasar secara Profesional dalam Mengimplementasikan Kurikulum 2013 .................................................................................................................... Sekar Purbarini Kawuryan
149
18. Manajemen Kelas Berbasis Soft Skill pada Implementasi Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar ..................................................................................................................................... Sri Utaminingsih
154
19. Mempersiapkan Kreativitas Calon Guru Sekolah Dasar dalam Merancang Produk Pembelajaran Melalui Brain Based Learning untuk Implementasi Kurikulum 2013 ........... Unik Ambar Wati
160
20. Lesson Study Sebuah Usaha untuk Perbaikan Pembelajaran di Kelas ................................. Widarto 21. Peningkatan HOTS Calon Guru Sd Melalui Penggunaan Discrepant Events pada Aktivitas Saintifik Pembelajaran IPA untuk Kesiapan Implementasi Kurikulum 2013 ....... Woro Sri Hastuti
v
166
171
1
LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU: SEKOLAH SEBAGAI LEARNING COMMUNITY Prof. Masaaki Sato Vice Director of „Institute of School as Learning Community‟
Dosen yang mendukung lesson study guruguru di sekolah
Lesson study untuk ‘School as Learning Community’ (LSLC)
Tanggung jawab untuk mendidik anakanak yang akan menjadi pengemban masa depan Indonesia berada di pundak sekolah, guru, pihak-pihak di perguruan tinggi, dan kebijakan pendidikan. Khususnya di sekolah maupun pada guru, keahlian sebagai guru dalam hal mendesain pelajaran sangat diperlukan. Di Jepang, sejarah lesson study di mana sekolah sebagai intinya (core) sudah berlangsung lebih 100 tahun, dan telah membentuk budaya di mana guru saling mengobservasi pelajaran dalam kegiatan lesson study secara independen. Di Jepang, terdapat lingkaran yang mendukung budaya tersebut. Sebagai lingkaran yang mendukung sekolah, ada berbagai lapisan di dalamnya, seperti dosen, pengawas, guruguru sekolah lain, material pendidikan, bukubuku referensi, dan lain-lain. Bagaimana halnya dengan Indonesia? Saat ini kita berada dalam kondisi di mana semuanya hanya diemban oleh dosen. Namun, dosen memiliki tanggung jawab terhadap penelitiannya dan pelaksanaan preservice education. In-service education yang diberikan kepada guru-guru di lapangan juga bisa menjadi beban berat bagi dosen. Namun, kegiatan lesson study di sekolah masih berada pada tahap awal, dan ahli-ahli yang membantu sekolah belum berkembang. Hingga semua pendukung di berbagai lapisan tersebut berkembang, merupakan hal yang penting sebagai bagian dari pekerjaan peneliti untuk memberikan dukungan kepada pembelajaran guru. Untuk mendukung kegiatan lesson study tersebut, dosen setidaknya bukan hanya memberikan solusi bagaimana melaksanakan lesson study, tapi juga menunjukkan apa saja yang perlu dipertanyakan seputar lesson study tersebut. Hal ini akan memperkaya kualitas lesson study dan pelajaran sehari-hari.
„School as learning community‟ dibentuk pada sekitar tahun 1990 oleh Prof. Manabu Sato (profesor Gakushuin University, profesor emeritus Tokyo University), yang mempromosikan lesson study berdasarkan visi, filosofi dan sistem kegiatan yang jelas. Visi dan filosofi tersebut dijelaskan lebih rinci sebagai berikut. 1) Visi Sekolah merupakan tempat siswa-siswa saling belajar, dan menjadi tempat yang menjamin hak belajar setiap siswa tanpa terkecuali. Selain itu, sekolah juga menjadi tempat guru-guru sebagai ahli pendidikan saling belajar, dan sebagai tempat para orang tua dan masyarakat belajar bersama dan saling bekerjasama merencanakan reformasi. 2) Filosofi Reformasi sekolah learning community didasari pada filosofi publik (public philosophy), filosofi demokrasi (democracy) dan filosofi keunggulan (excellency), yang dikembangkan berdasarkan 3 sistem kegiatan berupa pembelajaran kolaboratif (collaborative learning) di dalam kelas, pembentukan learning community guru-guru di ruang guru (professional learning community) dan kolegialitas (collegiality), serta partisipasi pembelajaran para orang tua dan masyarakat dalam reformasi (Sato Manabu: 2002). Secara sederhana, penjelasan ketiga filosofi tersebut adalah sebagai berikut. (1) Filosofi publik ditunjukkan dengan semua guru membuka kelasnya lebih dari 1 kali di dalam satu tahun pelajaran. (2) Filosofi demokrasi ditunjukkan dengan menjamin pembelajaran semua anak di dalam pelajaran dan tidak mengabaikan satu pun dari mereka. (3) Filosofi keunggulan ditunjukkan dengan guru yang berupaya sebaik mungkin dalam proses belajar-mengajar.
2
Secara konkret, hal ini bertujuan untuk membangun sistem kegiatan di dalam sekolah untuk meningkatkan profesionalisme dan
kolegialitas guru, dan agar guru dan siswa saling bekerjasama dalam pembelajaran.
Sistem kegiatan yang membina profesionalisme guru
Gambar 1. Kompetensi profesional guru adalah pengetahuan profesional mengenai mata pelajaran dan materinya, teknik mengajar, dan lain-lain. Lesson study dilaksanakan untuk meningkatkan kompetensi tersebut. Lesson study bukan berarti mempelajari metode pengajaran yang baru, melainkan merupakan sistem kegiatan yang meningkatkan kolegialitas dan profesionalisme guru, dan filosofi yang menaruh harapan besar terhadap masa depan siswa. Sistem kegiatan tersebut dalam 1 kali siklus terbagi ke dalam 4 tahapan. Berdasar pada susunan siklus tersebut, guru memahami aturan lesson study, merasakan “kenyamanan” dan “konsentrasi penuh”, terbangunnya kolegialitas, dan terbentuknya budaya guru yang saling belajar dengan sesama guru lainnya. “Kenyamanan” dan “konsentrasi penuh” yang dirasakan guru dalam proses pembelajaran sama dengan yang dirasakan pula oleh siswa. Berikut ini ulasan singkat mengenai sistem kegiatan tersebut. Tahapan yang pertama merupakan pelatihan pendahuluan guru sebagaimana halnya MGMP di Indonesia. Melalui pelatihan ini, guru meningkatkan profesionalismenya dan kemampuan pembuatan RPP yang efektif. Tahapan kedua adalah buka kelas. Hal ini dapat juga disebut filosofi publik. Secara konkret, guru melaksanakan buka kelas sekali dalam setahun, dan mendapatkan komentar dari
guru lainnya. Terlebih lagi, guru perlu mempertimbangkan bagaimana menjamin pembelajaran setiap siswa. Sebagai salah satu metode untuk hal tersebut adalah memasukkan pembelajaran kolaboratif. Tujuannya adalah untuk tidak menyisihkan anak dari pembelajaran, tanpa membedakan lingkungan keluarga dan perbedaan kemampuan akademis mereka. Hal penting dalam buka kelas adalah tidak menjadikan pelajaran tersebut sebagai event hari itu semata. Lesson study dilakukan untuk memperbaiki pelajaran sehari-hari. Kita menginginkan guru-guru membuka kelas pelajaran sehari-hari tanpa merasa malu. Tahap ketiga adalah refleksi pelajaran. Refleksi bukan untuk menunjukkan hal-hal buruk dalam pelajaran, melainkan membicarakan dengan konkret fakta siswa yang diobservasi, dan mengungkapkan hasil observasi yang disertai dengan analisisnya. Berikut ini adalah contoh ungkapan guru setelah observasi pelajaran berhitung. Guru: “Si Naomi menghitung 26 X 3 sama dengan 98. Hal ini banyak terjadi juga di kelas saya. Kenapa kesalahan ini bisa terjadi? Ini hasil pemikiran saya. Pertama-tama, 6 X 3 = 18. Angka 1 dari 18 ini ditulis di samping angka 2. Kemudian perhitungannya menjadi (2 + 1) X 3 = 9. Bimbingan tentang letak penulisan angka 1 dari 18 itu penting.”
3
Contoh lainnya:“Siswa bernama Muhammad kebingungan tidak bisa menyelesaikan soal sendirian. Ketika dia tidak bisa menyelesaikannya sendiri, dia memberanikan diri bertanya kepada temanteman di sekitarnya „Bagaimana cara berhitungnya?‟Hebat sekali. Akan tetapi, si Harun yang duduk di sebelahnya hanya menyontek jawaban temannya. Hal ini tidak bagus. Ketika tidak tahu, saya ingin siswa bisa meminta bantuan kepada orang lain. Permasalahan sekolah ini adalah belum terbentuknya kebiasaan siswa untuk bertanya kepada orang lain.”
Pada tahapan keempat, guru membuat kurikulum perbaikan dari kurikulum yang dibuat sesuai perencanaan sebelum pelajaran. Selain itu, guru juga membuat catatan lesson study. Melalui lesson study seperti ini, 3 jenis kurikulum dapat terbentuk. Ketiga kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum perencanaan yang dibuat sebelum pelajaran, kurikulum yang dibuat berdasarkan kondisi siswa dalam proses pelajaran, dan terakhir adalah kurikulum hasil perbaikan setelah refleksi pelajaran.
Gambar 2. Di bagian mana dari pelajaran yang perlu direformasi? Data berikut ini merupakan hasil penelitian PISA tahun 2006 dan 2009 di Indonesia mengenai kemampuan Matematika. Dari grafik tersebut dapat diketahui kondisi kemampuan akademis siswa dalam pelajaran Matematika di Indonesia, di mana siswa dengan tingkat
kemampuan akademis rendah jumlahnya banyak, sedangkan jumlah siswa dengan kemampuan akademis tinggi sedikit. Bagaimana mengatasi kedua permasalahan tersebut dalam pelajaran? Untuk itulah perlu kiranya dilakukan perbaikan pendidikan di tingkat sekolah dasar.
Gambar 3.
4
Bagaimana meningkatkan kemampuan akademis siswa yang berada di dalam kelompok siswa berkemampuan rendah pada grafik di atas? Ada beberapa metode untuk itu.
Pada sekolah sebagai learning community, diterapkan teori ZPD dari Vygotsky, seorang ahli pendidikan Rusia, sebagai salah satu metodenya.
Gambar 4. Ada 3 kelompok di mana siswa bisa mencapai level tertentu seorang diri tanpa bantuan orang lain. Kelompok siswa berkemampuan tinggi adalah A, siswa berkemampuan sedang adalah B, dan siswa berkemampuan rendah adalah C. Supaya kelompok B dan kelompok C bisa mencapai level yang lebih tinggi, perlu adanya dukungan dari guru dan teman sebaya. Selain itu, dengan bekerjasama sesama siswa yang memiliki kemampuan berbeda, maka masing-masing bisa mengetahui hal yang tidak terpikirkan sebelumnya dan melahirkan pemikiran yang lebih mendalam. Secara konkret, dengan memasukkan pembelajaran berpasangan (pair)
dan kegiatan kelompok ke dalam pelajaran sehari-hari sehingga pelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) terjadi setiap hari, maka akan muncul “kenyamanan”dan “konsentrasi penuh” dalam pembelajaran siswa yang menghasilkan perkembangan (merasakan adanya pencapaian/achievement). Untuk itulah, pada paruh awal pelajaran kita menggunakan pembelajaran kolaboratif dengan maksud meningkatkan kemampuan siswa yang berkemampuan rendah, dan kemudian paruh akhir pelajaran bertujuan untuk lebih meningkatkan kemampuan siswa yang berkemampuan akademis tinggi.
Gambar 5.
5
Perspektif yang digunakan dalam observasi pelajaran dan catatan hasil observasi pelajaran Observasi pelajaran bukanlah kegiatan mencari-cari kekurangan guru. Observasi pelajaran adalah mengamati dengan seksama bagaimana guru mengajar dan bagaimana siswa belajar kemudian menganalisisnya. Kualitas lesson study dilihat dari perbandingan tingkatan observasi setiap guru dan kemampuan menganalisis pelajaran. Cara mengobservasi dan kemampuan menganalisis pelajaran dapat ditingkatkan dengan seringnya mengobservasi kelas dan saling belajar dengan sesama guru. Namun kebanyakan kegiatan lesson study menjadikan cara mengajar guru mata pelajaran (referensi terlampir) sebagai pusat perhatian dalam observasi. Sekolah sebagai learning community tidak hanya mengobservasi
pengajaran guru atau teori pengajaran mata pelajaran semata, tetapi juga mengobservasi dengan seksama fakta pembelajaran siswa. Kita dapat mempelajari psikologis banyak siswa secara nyata dari bagaimana siswa belajar. Lesson study yang baru bukan hanya mengobservasi guru semata, tapi juga menitikberatkan pada observasi guru dan siswa. Secara konkret, hal-hal berikut ini bisa menjadi bahan referensi. 1. cara pemberian tugas atau bahan ajar yang disiapkan guru 2. berbagai bentuk hubungan yang terjadi di dalam kelas 3. motivasi dan kognitif individu 4. teknik mengajar guru
Dan berbagai perspektif lainnya selain yang disebutkan di atas.
Gambar 6. Lesson study yang berlangsung hingga saat ini ditunjukkan oleh segitiga kecil di pojok kanan bawah. Adapun di dalam learning community, dengan berdasar pada kedua cara pandang „guru mengajar‟ dan „siswa belajar‟ maka observasi dilakukan sesuai 4 segitiga pada gambar di atas. Mengenai cara observasi dan pencatatan yang lebih konkret, terdapat pada contoh berikut ini. 1. mengamati cara guru membimbing siswa a. Apakah tugas atau bahan ajar memiliki nilai belajar bagi siswa? Apakah tugas tersebut memiliki level yang tinggi atau rendah bagi siswa? b. Apakah pemahaman isi pembelajaran berhubungan dengan pengaturan bahan ajar? Dan sebagainya. c. Bagaimana pengaturan waktunya? Di bagian mana dari proses pembelajaran yang mengalami kelambatan? Bagian
mana yang dapat diefisienkan? Apakah siswa mendapatkan waktu yang cukup untuk berdialog dengan buku paket mereka? Dan sebagainya. d. Apakah jelas perkataan guru kepada siswa? Siswa terkadang mengalami kesulitan bagaimana melakukan percobaan saat perkataan guru bersifat ambigu atau sulit dipahami. Bagaimana perkataan guru menurut siswa? Dan sebagainya. e. Ketika guru mendengarkan perkataan siswa, apakah hal tersebut dihubungkan dengan orang lain, benda, atau hal lain? Namun, banyak terjadi respon guru terhadap jawaban siswa seperti berikut ini. Teacher : what is this? Student : It is an apple. Teacher : Right.
6
Mehan (1979) mengatakan bahwa hal ini dinamakan “I (Inititation)-R (Response)E (Evaluation)”, yang merupakan bentuk monolog yang digunakan oleh hampir semua guru di dunia. Guru dapat membuat dialog yang dinamis dengan menghubungkan perkataan siswa dengan orang lain, dengan buku paket, maupun dengan pengetahuan yang terkait. Upaya apa saja yang dilakukan oleh guru? Dan sebagainya. f. Bagaimana perhatian yang diberikan kepada siswa yang pemahamannya lambat? Pendidikan bukanlah guru mengajar dan siswa hanya diam mendengarkan. Bukan pula hanya suara siswa yang mampu saja yang menjadi motor pelajaran. Pembelajaran berawal dari „pertanyaan‟ dan „ketidaktahuan‟. Pertama-tama kita mencari tahu apa yang menjadi sumber kebingungan dan kesulitan siswa. Selain itu, bagaimana merespon siswa yang mengalami hambatan di dalam proses pelajaran, dan sebagainya. g. Hal-hal yang menjadi referensi dalam teknik mengajar guru Hal-hal baik dalam persiapan pelajaran guru, alat ajar, cara berinteraksi dengan siswa, dan sebagainya. h. Hal lainnya Bagaimana teman-teman guru mendukung guru yang akan membuka kelas, dan sebagainya. 2. Menemukan fakta siswa a. Melihat ekspresi wajah siswa Kita melihat „kenyamanan‟ dan „konsentrasi penuh‟ dari ekspresi wajah siswa. Kesulitan atau kebingungan anak pasti akan terlihat dari bahasa tubuhnya. Misalnya memutar-mutarkan pulpen, wajah muram, gerakan tubuh yang tidak biasa, dan sebagainya. Selain itu, ketika suara guru tidak sampai kepada siswa, tubuh mereka tidak semangat/tegap. Sebaliknya, ketika mereka berkonsentrasi penuh dalam pembelajaran, mereka belajar dengan tubuh yang tegap bersemangat dan mata bersinar. Saat guru merespon kondisi siswa sesuai dengan pertimbangan yang bijak namun tidak merubah ekspresi wajah siswa, maka kita mempertanyakan mengapa motivasi mereka tidak berubah, dan sebagainya.
b. Bagaimana siswa berdialog dengan tugas yang diberikan? Ketika tugas diberikan kepada siswa, apakah waktu yang diberikan untuk mengerjakannya cukup? Atau, bagaimana mereka menerimanya, misalnya apakah mereka menunjukkan minat?, dan sebagainya. c. Di mana siswa mengalami kesulitan?
Bagaimana siswa menghasilkan pemikiran seperti ini? Dengan menganalisis kesulitan siswa, maka hal tersebut akan berhubungan pula dengan perbaikan pengajaran guru. d. Mendengar dan mengamati hubungan dan isi komunikasi antar siswa Dalam pelajaran yang berpusat pada siswa, perkataan dan interaksi antara siswa menjadi penting. Mendengarkan suara internal siswa dari kata-kata yang diucapkan dengan memperhatikan bagaimana interaksi verbal mereka, juga penting. Selain itu, apakah mereka bisa menyelesaikan soal dengan bantuan teman sebaya? Apakah siswa saling bergantung dengan sesama temannya yang lain, dan terbentuk hubungan saling membantu? Dan sebagainya. e. Mengamati keadaan perubahan siswa Sosok siswa belajar berubah dari waktu ke waktu. Kita mengamati perubahan setiap siswa, hubungan antar siswa, dan kondisi seluruh kelas. Kita mengobservasi dan memberikan perhatian kepada siswa tertentu. Pada saat itu, perlu untuk mengamati perubahan yang terjadi ketika siswa mendapatkan bantuan dari guru dan teman sebayanya dan bagaimana perubahan itu terjadi. Selain itu, kita mencatat juga bagaimana perubahan ekspresi wajah siswa ketika melakukan tugas individu dan ketika belajar di dalam kelompok kecil. f. Mengamati tindakan siswa yang mengkhawatirkan dan menyenangkan Misalnya, mengamati siswa dari sudut pandang kelainan perkembangan. Siswa yang mejanya berantakan meskipun duduk di kursi, bersikap tidak tenang,
7
terus berbicara seorang diri, maupun siswa yang hiperaktif. Bagaimana teman sebaya lainnya mendukung siswa tersebut? Kita perlu mencari tahu sosok keseluruhan siswa-siswa, termasuk mereka yang memiliki permasalahan di rumah atau secara mental. Selain itu, terdapat pula siswa yang memiliki rasa kepercayaan diri dan motivasi belajar yang rendah. Misalnya, siswa yang menyerah tidak mau belajar, siswa yang merasa bosan karena tidak bisa menyelesaikan soal, siswa yang mengganggu sekitarnya, dan sebagainya. Siswa kita memperlihatkan berbagai macam sosok mereka. g. Bagaimana berbicara dalam refleksi pelajaran? 1) Urutan Urutan 1 menentukan moderator. Urutan 2 guru model mengungkapkan kesannya sambil mengingat kembali pelajaran yang sudah dilakukan. Pada dasarnya, tanya jawab antara guru dan peserta observasi tidak dilakukan. Urutan 3 diskusi kelompok kecil a) saling mendiskusikan hasil observasi dalam kelompok kecil 4 orang
b) saat jumlah guru sedikit, maka boleh dilakukan secara keseluruhan (tanpa kelompok kecil) Urutan 4 diskusi secara keseluruhan. Setiap kelompok menyampaikan bagaimana hasil pembicaraan mereka, dan berbagi cara perbaikannya. Urutan 5 menyusun/mengkonfirmasi permasalahan untuk kegiatan lesson study selanjutnya 2) menceritakan fakta guru dan siswa
sebagai episode
a) menceritakan fakta siswa yang ditemui Mengungkapkan fakta tentang “siapa, kapan, dan apa yang dilakukan?” b) memaknai temuan fakta tersebut Peserta mengungkapkan dengan kata-kata sendiri hal-hal yang dipelajari atau yang dianalisis dari fakta yang ditemui. c) memikirkan bersama semua peserta fakta tersebut
h. Persamaan dan perbedaan research dan lesson study
Gambar 7.
Gambar 8.
action
Beberapa persamaan dan perbedaan tersebut yang dikutip dari Profesor Kiyomi Akita (Tokyo University) dan Profesor Catherine Lewis (Mills College) adalah sebagai berikut:
8
Action research pada dasarnya memisahmisahkan mata pelajaran, dan pesertanya adalah sebagian guru atau kelompok dalam sekolah. Adapun „lesson study for learning community (LSLC)‟melampaui batas-batas mata pelajaran dan dilaksanakan seluruh pihak sekolah. Meskipun seluruh pihak sekolah menyatu, guru-guru tetap bisa mempelajari cara mengajar dan cara belajar semua mata pelajaran. Terlebih lagi teknik mengajar guru, misalnya cara penggunaan bahan ajar, cara mendengarkan perkataan siswa, perhatian kepada siswa dan sebagainya, merupakan hal-hal yang harus dipahami oleh semua guru dan menjadi kualitas yang sama pentingnya dengan keahlian bidang ilmu masing-masing. Selain itu, action research difokuskan pada apa yang akan diteliti. Berbeda dengan hal tersebut, LSLC menjadikan segala hal yang terjadi di dalam proses pelajaran sebagai obyek penelitian.
Wertsch, James V. Terjemahan Koji Sato.
(2004). Voices of mind. Fukumura Shuppan. Eiji Kamiya. (2001). Mikan no Vygotsky
riron: Yomigaeru shinrigaku supinoza. Sangaku Shuppan.
no
Sato Manabu. (2002). Manabi no kairaku.
Seorishobo. Sato Manabu. (2012). Gakko wo kaikaku
suru. Iwanami Booklet. Sato Masaaki. (2001). Shogakko no jugyo
wo tsukuru. Gyosei. Sato Masaaki. (2003). Chugakko ni okeru
manabi no kyodotai no jissen. Gyosei. Sato Masaaki. (2011). Chugakko ni okeru
‘kyodo’ to ‘taiwa’. Gyosei. Akita Kiyomi, Catherine Lewis, editor.
Referensi Vygotsky, L. Terjemahan Yoshimatsu Shibata. (2001). Thinking and speech. Shindokushosha.
(2008). Jugyou no kenkyu, kyoshi no gakushu. Akashi Shoten. Catherine Lewis. (2004). Lesson study,
better school. Cambridge University Press.
9
MEMAHAMI SITUASI NYATA DI PENDIDIKAN DASAR Peranan yang Disarankan Kepada LPTK dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar Naomi Takasawa Senior Researcher of International Development Center of Japan (IDCJ), Japan
PENDAHULUAN Pendidikan dasar di Indonesia telah mencetak prestasi luar biasa dalam hal penerimaan siswa pada akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Angka penerimaan kasar (APK)/gross enrollment rate (GER) telah mencapai 100% di tahun akademik 1983/84 (DEPDIKBUD, 1996). APK pendidikan dasar terus dipertahankan pada level hampir melampaui 110% sejak tahun akademik 1985/86 hingga saat ini (DEPDIKBUD, 19952012). Bertolak belakang dengan prestasi dalam penerimaan siswa tersebut, apakah bisa dikatakan bahwa kualitas pendidikan dasar, khususnya pelajaran di sekolah dasar, telah benar-benar mengalami peningkatan sepanjang beberapa dekade ini? Sayangnya, berbagai penelitian, baik di tingkat nasional maupun internasional, memiliki temuan yang meyakinkan bahwa pendidikan di Indonesia belum membuat kemajuan dalam peningkatan kualitas sepanjang beberapa dekade. Setelah melampaui APK 100% pada pendidikan dasar, sejak awal tahun 1990-an penekanan kebijakan pemerintah Indonesia bergeser pada pendidikan menengah pertama. Perhatian pemerintah pusat terhadap pendidikan dasar semakin berkurang dari tahun ke tahun selama tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Administrasi yang bersifat terpusat (sentralistik) pada pendidikan dasar telah didesentralisasi di awal tahun 1970-an dalam hal 3M (Money, Materials & Manpower/SDM). Menjadi tantangan besar bagi pemerintah pusat (DEPDIKBUD pada saat itu) untuk menjangkau dan mendukung pendidikan dasar, khususnya di tahun 1990-an. Seiring dengan perkembangan pendidikan menengah pertama, berbagai rangkaian program pelatihan guru telah diimplementasikan secara nasional pada pendidikan dasar selama beberapa dekade, di bawah berbagai proyek pendidikan nasional yang didukung oleh mitra pengembangan
internasional, seperti World Bank, Asian Development Bank, UNESCO, UNDP, UNICEF, dan beberapa organisasi pengembangan bilateral. Mitra pengembangan internasional mendukung berbagai proyek pendidikan dasar, seperti PEQIP (Primary Education Quality Improvement Project), BEP (Basic Education Project), MBE (Managing Basic Education), PAKEM (Pelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan), dan lainlain. Apakah proyek-proyek tersebut berlangsung efektif di tingkat sekolah? Apakah pengaruh dari proyek-proyek tersebut telah mencapai pembelajaran siswa, tetap terpelihara dan dipertahankan di level sekolah untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa? Bagaimana kita bisa menjawab pertanyaanpertanyaan ini? Setelah implementasi program-program peningkatan sekolah menengah pertama secara meluas, Pemerintah Indonesia dan mitra pengembangan internasional mulai lebih menyadari mengenai kelemahan pendidikan dasar dan perlunya perhatian lebih banyak terhadap peningkatan pendidikan dasar. Pendidikan menengah pertama dan atas tidak bisa ditingkatkan tanpa penguatan pendidikan dasar. Saya ingin memperkenalkan beberapa temuan signifikan dan kesimpulan dari satu penelitian penting yang dilaksanakan hampir 20 tahun yang lalu. Sebuah penelitian eksploratoris sekolah-sekolah dasar dilakukan oleh tim peneliti dari University of Sussex pada tahun 1994-1996 bekerjasama dengan Bank Dunia (WB, 1999). Hasil penelitian itu menjadi patokan (benchmarking) kualitas pendidikan dasar. Penelitian tersebut tentang pengetahuan perhitungan dasar siswa di sekolah dasar di 12 SD di 4 lokasi (Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan DI Yogyakarta). Sebanyak 550 siswa kelas 5 dan 6 SD mengikuti tes diagnostik tersebut. Guruguru dan para trainee juga termasuk di dalamnya. Tes yang dilakukan bersifat diagnostik, dan bukan untuk evaluasi.
10
Tes diagnostik tersebut terdiri atas 3 bagian: 1. Nilai bilangan dasar (bilangan bulat, desimal, dan bilangan campuran); 2. Operasi bilangan sederhana (penambahan, pengurangan---bilangan 2 atau 3 digit, dengan atau tanpa desimal); 3. Soal bilangan terapan. Semua pertanyaan didasarkan pada material yang disesuaikan dengan kurikulum dan buku teks. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semestinya sudah diajarkan selama 4 tahun pertama dan di periode awal tahun kelima di sekolah dasar. Data hasil tes penelitian tersebut adalah seperti berikut: 1. Contoh: susunlah 3 angka desimal dari yang terkecil sampai terbesar 0.55, 0.8, 0.14 2. Hanya 12% siswa yang bisa menyusunnya dengan benar. 3. Sejumlah kecil namun signifikan (7-12 persen) guru dan para trainee melakukan kesalahan secara konsisten. 4. Skor rata-rata (average mean score) siswa adalah 44 %. 5. 3 sekolah peraih nilai tertinggi memiliki skor benar rata-rata (mean correct scores) 53-89 % 6. 5 sekolah dengan nilai terendah memiliki skor rata-rata 9-26 % 7. Kesalahan perhitungan (calculation errors) lebih umum ditemui pada sekolah peraih nilai tinggi 8. Kesalahan dasar (basic errors) mencakup ¼ respon di sekolah dengan nilai terendah 9. Soal-soal bilangan terapan sulit untuk sebagian besar siswa. 10. Nilai rata-rata 32%, dan berkisar dari 1047% 11. Guru memiliki skor 82 % dalam soal-soal bilangan terapan. 12. Guru-guru trainee hanya memiliki skor dalam soal bilangan terapan dan memiliki skor lebih dari siswa dalam kalkulasi perimeter.
Analisis dari penelitian eksploratoris tersebut adalah seperti berikut: 1.
2. 3.
Guru cenderung kurang memperhatikan proses problem-solving dalam pelajaran mereka. Guru lebih memfokuskan pada proses mekanis rumus perhitungan. Siswa terbiasa menjawab pertanyaan
4.
5.
6.
dengan format pilihan ganda, sesuai format ujian nasional maupun ujian di tingkat sekolah. Karena itu guru tidak dapat mengidentifikasi sumber kesalahan siswa yang umum terjadi. Umpan balik (feedback) diperoleh guru pada saat post-test, dan guru memberikan pelajaran remedial pada kelas 5 dan 6. Sehingga nilai tes siswa meningkat. Pertanyaan perlu diajukan mengenai program upgrading course D-II yang lebih memperhatikan topik-topik pengembangan dibandingkan dengan konsep dasar dan pedagogis (metode pengajaran dsb). Buku teks cenderung menekankan pada rumus dibandingkan ide dan konsep.
Sekarang kita bisa meninjau ulang kondisi pengetahuan dasar dan pemahaman siswa-siswa SD saat ini dengan pengukuran yang digunakan dalam penelitian tersebut di atas, untuk melihat apakah ada kemajuan yang sudah dibuat atau belum. Setelah investasi berskala besar pada pendidikan dasar oleh pemerintah pusat, seharusnya kondisi saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu. Akan tetapi, kita mungkin menghadapi kenyataan pahit di berbagai SD saat ini. Berdasarkan penelitian eksploratoris tersebut di atas, terdapat kebutuhan yang kuat untuk suatu penelitian klinis demi peningkatan kualitas pendidikan dasar. Menganalisis kenyataan siswa dalam pelajaran atau dalam kelas sangat dibutuhkan untuk memastikan proses pembelajaran siswa. Hanya belajar dan menguasai metode pengajaran baru tidak menjadi solusi langsung. Pendekatan berorientasi pada anak/siswa sangat dibutuhkan. Penelitian klinis reguler (yang sering) sangat disarankan oleh guru-guru dan juga peneliti pendidikan. LPTK bisa berkontribusi dalam hal ini. Penelitian klinis perlu dilakukan dalam skala kecil tapi sering. Lesson Study for Learning Community (LSLC) telah diperkenalkan pada beberapa LPTK dan sekolah-sekolah (utamanya berbagai SMP sejauh ini) di bawah program IMSTEP, SISTTEMS, dan PELITA, yang dapat meningkatkan penelitian klinis dalam prakteknya. Dasar LSLC adalah penelitian klinis dalam sebuah pelajaran atau di ruang kelas. Pendekatan LSLC memberikan guru sebuah pandangan komprehensif mengenai bagaimana meningkatkan pelajaran/praktek harian. Tim penelitian tersebut di atas juga
11
menyarankan adanya “rutinisasi praktek yang baik yang perlu benar-benar mengikuti setiap strategi akses (kebijakan pendidikan dasar yang universal)”. LSLC juga bertujuan pada rutinisasi praktek yang baik di dalam filosofi dan prakteknya. SUMBER REFERENSI
Bjork,
Christopher. (2005). Indonesian Education Teachers, Schools, and Central Bureaucracy. Routledge.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Manabu Sato. (2013). Mereformasi Sekolah: Konsep dan Praktek Komunitas Belajar. PELITA/IDCJ. Masaaki Sato. (2012). Dialog dan Kolaborasi di Sekolah Menengah Pertama: Praktek Learning Community. PELITA-JICA. Ministry of Education and Culture. (19952012). Indonesia Education Statistics in Brief 1995-2012. Ministry of Education and Culture.
Ministry of Education and Culture. (1997). The 3 Rs: Their Assessment and Development in PEQIP Schools. Ministry of Education and Culture. Ministry of National Education & National Development Planning Agency-The Republic of Indonesia and The World Bank. (May 2001). Education Reform in The Context of Regional Autonomy: The Case of Indonesia. The Republic of Indonesia and The World Bank. Saito, Eisuke et al. (2007). A Study of the Partnership between Schools and Universities to Improve Science and Mathematics Education in Indonesia, International Journal of Educational Development, Vol. 27 No. 2. Elsevier. Saito, Eisuke et al. (2008). Initiating Education Reform through Lesson Study at an University in Indonesia, Education Action Research Vol. 16 No. 3. Routledge. World Bank. (1999). Education in Indonesia – From Crisis to Recovery-. World Bank.
12
PENDIDIKAN DASAR DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013 Pr. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA. Universitas Negeri Yogyakarta
PENDAHULUAN Individu dalam pertumbuhan dan perkembangan selalu bersifat dinamis. Untuk mencapai pembentukan individu dan masyarakat yang optimal sangat diperlukan sistem pendidikan yang tepat dan relevan. Seiring dengan tuntutan pribadi, masyarakat dan bangsa serta tuntutan global dan jaman, hadirlah kurikulum 2013. Kurikulum 2013 sangat diwarnai dengan perubahan kurikulum pendidikan dasar, baik subtansi maupun proses pembelajaran yang diharapkan tercipta. Sejumlah fakta yang perlu direnungkan:
13
14
Rasional Penyempurnaan Kurikulum 2013 Tujuan Pendidikan Nasional (Pasal 3 UU No 20 Sisdiknas Tahun 2003) Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sikap Spiritual beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME Sosial berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis, bertanggung jawab Pengetahuan berilmu Keterampilan cakap dan kreatif
15
Karakteristik Kurikulum 2014 1. Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap (keagamaan dan sosial), rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik 2. Sekolah tidak terpisah dari masyarakat karena kurikulum memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar. 3. Mengembangkan ketrampilan menerapkan untuk setiap pengetahuan yang dipelajari di kelas dalam berbagai situasi di sekolah dan
16
masyarakat sehingga memiliki kesempatan yang luas untuk menghilangkan verbalisme. 4. Sederhana dalam struktur kurikulum, dalam jumlah mata pelajaran dan KD yang harus dipelajari peserta didik tetapi memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap dan keterampilan. 5. Isi kurikulum yaitu kompetensi dinyatakan dalam bentuk Kompetensi Inti (KI) kelas dan dirinci lebih lanjut dalam Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran. 6. Kompetensi Inti (KI) bukan merupakan gambaran kategorial tetapi interaktif mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan ketrampilan (kognitif dan psikomotor) yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran. Kompetensi Inti adalah kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran KD yang diorganisasikan dalam proses pembelajaran siswa aktif. 7. Kompetensi Dasar (KD) merupakan kompetensi yang dipelajari peserta didik untuk suatu tema di SD/MI, dan untuk materi pokok suatu mata pelajaran di kelas tertentu di SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK. 8. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar di jenjang pendidikan dasar diutamakan pada ranah sikap sedangkan pada jenjang pendidikan menengah berimbang dengan pada kemampuan intelektual (kemampuan kognitif tinggi). 9. Kompetensi Inti menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) Kompetensi Dasar dimana semua KD dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam Kompetensi Inti. 10. Kompetensi Dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal). 11. Silabus dikembangkan sebagai rancangan belajar untuk satu tema (SD/MI). Dalam silabus tercantum seluruh KD untuk tema atau mata pelajaran di kelas tersebut. Setiap tema terdiri atas beberapa sub-tema.
Karaktersitik Kurikulum 2013 1. Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik. 2. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar. 3. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat. 4. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 5. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran. 6. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti. 7. Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antarMata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal). Isu strategis kurikulum 2013: • Konstruksi Kompetensi • Penguatan proses : – Tematik Terpadu – Pendekatan saintifik , “inquiry dan discovery learning”, “project based learning”, dsb. – Bahasa sebagai penghela semua ilmu (carrier of knowledge) – Taksonomi belajar untuk sikap, pengetahuan dan keterampilan – Paradigma pendidikan menengah • Sistem penilaian: – “Authentic assesment” – Pelaporan (rapor) komprehensif – Instumen penilaian
17
• Penguatan materi: – Strategi penulisan buku ajar dan refrence (materi pendukung) – Evaluasi materi mapel : Buku Berbasis Tematik Terpadu Di Sd Dan Sebagian SMP Bahasa Sejarah Matematika IPA IPS
Kurikulum Sebagai Materi • Planning oriented, mewakili pandangan teoritis • Dipergunakan di Indonesia periode sebelum Tahun 2000 • Kurikulum sebagai wahana menyampaikan pengetahuan (knowledge transmission) dari guru ke siswa • Perencanaan pembelajaran sangat dominan dan ketat berdasarkan urutan logis dari materi pembelajaran • Guru melaksanakan pembelajaran dengan meneruskan apa yang diketahuinya kepada siswa sesuai dengan silabus yang telah ditentukan • Penilaian berdasarkan atas penyerapan materi pengetahuan oleh siswa terhadap rencana materi pengetahuan yang tertuang dalam silabus Kurikulum Sebagai Produk • Result oriented, mewakili pandangan produktif • Dipergunakan di Indonesia dalam periode Dekade 2000an • Dipicu oleh kebutuhan pasar atas kompetensi yang harus dikuasai oleh lulusan (produk) program pendidikan • Berkembang dari Inggris (sejak 1980an)
18
• Kebebasan dalam penyampaian pembelajaran, yang penting hasil akhirnya harus sesuai standar, yaitu memiliki kompetensi sebagaimana dirumuskan. • Sangat tergantung pada penilaian terstandar (harus ketat) sejalan dengan konsep produk dimana pengecekan adalah pada hasil akhir yang harus sesuai standar • Diadopsi di Indonesia dalam bentuk KBK dan KTSP, dengan modifikasi bahwa produk akhir diterjemahkan dari materi yang harus dikuasi, sehingga standar lulusan diturunkan dari standar isi Kurikulum Sebagai Proses • Action Oriented, mewakili pandangan praktis • Tidak pernah digunakan di Indonesia • Dipicu oleh kebutuhan individual siswa yang tidak dapat diseragamkan • Berkembang dari Finlandia (sejak 1990an) • Penekanan pada berfikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata dengan membangun kolaborasi antar pelaku pendidikan (guru, siswa, pengelola) • Mengevalusi proses secara terus menerus melalui pemantauan proses dan capaiannya secara ketat
• Penilaian berdasarkan kemajuan siswa dalam pembelajaran (relatif terhadap dirinya pada periode sebelumnya) • Hasil akhir dapat berbeda bagi tiap siswa sesuai dengan bakat dan minatnya Kurikulum Sebagai Praksis Kontektual • Pengertian baru dalam Kurikulum • Perluasan dari konsep kurikulum sebagai proses dengan penambahan perlunya komitmen bersama menyepakati (antar pelaku pendidikan) kegiatan-kegiatan yang diperlukan (sebagai bagian dari proses pembelajaran) untuk mencapai target tertentu yang telah ditetapkan. • Pendekatan sistem: materi proses produk (konsep: teoritispraktisproduktif) • Penguasaan materi pembelajaran diperoleh melalui siklus aksi dan refleksi berkelanjutan (continuous action-reflection) • Pentingnya peran guru dalam menghasilkan komitmen dari siswa untuk mencapai target tertentu yang telah ditetapkan • Perlunya tambahan pendekatan transdisipliner melalui tema pembelajaran yang kontekstual dengan sekitarnya untuk memastikan praksisnya relevan.
19
LESSON STUDY BERBASIS COLLABORATIVE LEARNING SEBAGAI MODEL PEMANTAPAN KUALITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH DASAR Ali Mustadi Primary Education, Yogyakarta State University
[email protected] Abstrak This study aims to develop students‟ competency of learning achievement and character building based on collaborative learning based Lesson study. Lesson study includes three phases of activities namely: planning (plan), open class and observing the teaching and learning process (do), reflecting (see). Planning, as the first phase, was conducted together among the teachers to plan the design of the teaching and learning process in order to improve the quality of the teaching and learning. Observation was carried out using the rating scale observation sheet and also filed notes. Besides, the video recording is also done using video shooting. In this phase, the classes were opened for the observer to see and observe how the students learn. The reflection (see) phase was done after the class. The observers and the model teacher analyzed the recording and the notes and reflected the phenomena of how the students learn in detail, not on how the teacher taught. The result shows that collaborative learning based Lesson study can develop the quality of the students‟ achievement and students‟ character, in which students and teachers, even parents and society, learn to each other to create quality of education and equality since in the primary school. Keywords: Collaborative learning
PENDAHULUAN Dalam rangka memantapkan implementasi Kurikulum 2013, diperlukan daya kreativitas dan inovasi pembelajaran, khususnya pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Kurikulum 2013 diorientasikan untuk meningkatan kualitas pendidikan yaitu bagaimana pendidikan itu dapat bermakna secara signifikan bagi peserta didik. Tentunya usaha tersebut harus didukung dan dapat diupayakan secara berkesinambungan, salah satunya yaitu melalui inovasi dan kreativitas Lesson study berbasis collaborative learning. Melalui Lesson study berbasis collaborative learning tersebut, diharapkan bahwa implementasi kurikulum 2013 mampu menjawab tantangan yang ada yaitu bagaimana mewujudkan pendidikan yang berkualitas, khususnya pada jenjang sekolah dasar. Kurikulum 2013 pada jenjang SD menggunakan tematik-integratif dengan didukung pendekatan scientific approach dan sistem penilaian authentic assessment dengan harapan bahwa pembelajaran di sekolah dasar mampu membelajarkan siswa sehingga pembelajaran benar-benar bermakna. Lesson study berbasis collaborative learning yang dimaksud yaitu model
pembelajaran yang dilaksanakan melalui 3 tahap utama yaitu Plan, Do, and See berbasis collaborative learning yang diimplementasikan melalui open class untuk meningkatkan kualitas belajar siswa.
Plan
See
Do
Gambar 1. 3 fase Lesson study Lesson study merupakan model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pembelajaran yang
20
bermakna dengan memberikan pengalaman belajar peserta didik dan menjamin hak belajar setiap peserta didik. Lesson study meliputi 3 fase pembelajaran yaitu: 1) Plan, merencanakan desain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran secara open class, 2) Do, diobservasi atau diamati oleh observer (kepala sekolah, guru sejawat, pengawas sekolah, bahkan unsur perguruan tinggi, orang tua siswa, dan masyarakat), 3) See, merefleksi atau mengevaluasi melalui analisis terhadap hasil pengamatan secara bersama-sama atas segala fenomena dan fakta tentang bagaimana siswa belajar. Pengalaman belajar yang dimaksud yaitu pembelajaran yang dikemas dengan berdasarkan collaborative learning. Collaborative Learning atau pembelajaran kolaboratif merupakan proses belajar dimana peserta didik belajar bersama secara kelompok atau learning together. Bagaimana sekolah mampu mewujudkan proses pembelajaran di mana guru, siswa, dan orang tua saling belajar. Hal tersebut didasarkan pada pemaknaan bahwa schools as learning community is a vision, philosophy, and activity system, that school is a place where children learn together, teacher also learn together as teaching professional, and even parents learn together through active participation (Prof. Manabu Sato). Tidak seperti belajar kelompok konvensional, dimana diskusi kelompok diorientasikan untuk menghasilkan 1 pemahaman yang sama sehingga ide yang disampaikan perwakilan kelompok merupakan pendapat kelompok, dan kecenderunganya terdapat 1 orang ketua dalam kelompok tersebut yang biasanya peserta didik yang paling pintar, dan kecenderungan pula siswa tersebut lebih dominan dibanding anggota kelompok yang lain. Selain itu pula dalam beberapa kasus, belajar kelompok konvensional terkadang ada unsur kompetisi antar kelompok, dimana kelompok yang menang atau unggul karena dapat mengalahkan kelompok yang lain. Tentunya hal demikian tidak sejalan dengan prinsip collaborative learning, dimana setiap individu anak memiliki hak belajar „the right to learn‟. Dalam konsep collaborative learning, pembelajaran didesain untuk belajar bersama dan saling belajar antara sesama siswa, termasuk guru juga saling belajar, terutama
antara kepala sekolah dan guru, dan antar sesama guru, sehingga yg terbentuk adalah budaya kolegalitas. Selain itu juga, di dalam collaborative learning, terbangun nilai-nilai karakter kolegalitas dan equality diantaranya yaitu adanya kesetaraan dimana guru saling membantu, tidak ada guru yang „melejit‟ sendiri dan juga tidak ada guru yg „tertinggal‟ sendiri. Hal demikian juga terjadi pada siswa, tidak ada sistem kompitisi bersaing antar siswa, yang ada yaitu collaborative learning dimana siswa yang memiliki kemampuan lebih membantu siswa yang memiliki kemampuan rendah, begitu pula sebaiknya, siswa yang merasa kurang mampu dibantu siswa yang mampu, sehingga tercipta suasana saling belajar. Tidak ada siswa yang “melejit” sendiri dan tidak ada siswa yang “tertinggal” sendiri sehingga yang terbangun adalah nilai karakter peduli sesama atau caring community. Dari sinilah terbangun nilai-nilai karakter kolegalitas, kebersamaan, saling membantu dan saling peduli untuk maju bersama, baik sesama guru maupun sesama siswa. Dalam collaborative learning, peserta didik memanfaatkan sumber daya dan keterampilan satu sama lain (saling sharing, memberi dan meminta informasi satu sama lain, mengevaluasi ide-ide satu sama lain, memantau pekerjaan satu sama lain, dll). Collaborative learning memberikan efek perubahan yang signifikan pada siswa karena pusat pembelajaran terpusat pada siswa, bukan semata pada guru. Lebih khusus lagi, collaborative learning didasarkan pada model di mana pengetahuan dapat dibuat dalam suatu populasi di mana anggotanya secara aktif berinteraksi dengan berbagi pengalaman dan mengambil peran asimetri (berbeda). Yang dibangun dalam collaborative learning adalah tutor sebaya, saling memotivasi, dan kerja keras. Karena siswa yang tidak bisa tidak langsung bertanya kepada guru, tetapi kepada temannya terlebih dahulu, dan temannya harus mau mengajarinya. Dengan memberikan tutor sebaya, siswa mengalami pengalaman belajar yang sangat bermakna, sesuai dengan teori the learning pyramid, bahwa melalui teaching others siswa memiliki pengalaman belajar sebesar 90 %, sebagaimana terlihat pada gambar 2 berikut ini:
21
5% Lecturing
Passive teaching method
10% reading 20% Audio-visual 30% Demonstration
Participatory teaching method
50% Group discussion 75% Practice 90% Teaching others
Gambar 2. The learning pyramid diadaptasi dari National Training Laboratories, Bethel, Maine (dalam Masaaki Sato, 2012) Hal ini jika dihubungkan dengan character building adalah melatih siswa bersikap ikhlas dalam membantu temannya, sabar menghadapi teman-temannya, saling peduli dan kerjasama. Dengan adanya pembiasaan tersebut, juga dapat menjalin interaksi yang kuat antara satu siswa dengan siswa yang lain dan meningkatkan perkembangan sosial anak. Collaborative learning juga mengurangi adanya persaingan saling mengalahkan atau saling menjatuhkan, karena disini semua anak dituntut untuk saling belajar. Dalam collaborative learning juga, sekolah diharapkan mengurangi siswa yang bermasalah, bukan semata menambah siswa yang berprestasi, karena dalam collaborative learning menggabungkan tiga konsep, yaitu tanggungjawab individu, membangun kebersamaan, dan pencapaian kesuksesan bersama. Collaborative learning ini sangat berakar dalam pandangan Vygotsky bahwa ada sebuah sifat sosial yang melekat pada pembelajaran, yang tercermin melalui teorinya tentang zona pengembangan proksimal. Sering kali, pembelajaran kolaboratif digunakan sebagai istilah umum untuk berbagai pendekatan dalam pendidikan yang melibatkan upaya intelektual bersama oleh siswa dan siswa atau siswa dan guru. Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif umumnya berlangsung ketika kelompok siswa bekerja sama untuk mencari pengertian, makna, atau solusi bersama.
DISCUSSION Lesson study Berbasis Collaborative Learning Lesson study berbasis Collaborative Learning merupakan aktivitas belajar yang diawali dengan merencanakan desain pembelajaran “Plan” oleh guru, kemudian melaksanakan proses pembelajaran “Do” secara Open class dimana aktivitas belajar siswa didasarkan atas collaborative learning dengan diobservasi secara langsung oleh kepala sekolah, guru sejawat, bahkan pengawas, advisor dari perguruan tinggi, dan orang tua siswa. Yang menjadi focus pengamatan yaitu bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar. Setelah itu, hasil observasi tersebut dianalisis bersama-sama secara detail dalam forum refleksi “See” dengan tujuan untuk saling belajar dan memperbaiki kualitas belajar siswa. Melalui Lesson study ini, pembelajaran diorientasikan untuk membentuk situasi pembelajaran yang saling belajar, terutama antara guru dan siswa, sesama siswa, dan sesama guru. Bahkan sistem tersebut juga diorientasikan untuk mampu menguatkan nilainilai karakter guru dan siswa melaui suasana caring community yang tercipta melalui collaborative learning yaitu antara guru dan siswa, antara sesama guru, dan antara sesama siswa karena dalam collaborative learning tidak
22
ada kompetisi antar siswa tapi yang ada adalah „Saling Belajar‟. Dalam collaborative learning, siswa dilatih mandiri dalam kelompok untuk bisa memecahkan tugas/masalah yang diberikan oleh guru. Sehingga pikiran kritis dan analisis siswa bisa berkembang, tidak selalu tergantung dan terpaku pada penjelasan guru, selain itu sistem ini bisa mengasah keaktifan siswa. Karena di dalam collaborative learning tidak ada persaingan, maka dari itu setiap siswa terbangun rasa tanggung jawab untuk saling membantu satu sama lain. Siswa yang sudah paham dengan materi yang dibelajarkan akan secara otomatis menjelaskan kepada temannya yang belum memahami materi tersebut. Siswa yang mampu „mengajari‟ temannya sampai paham, akan memiliki rasa bangga tersendiri. Jadi mereka berusaha untuk bisa maju bersama. Meskipun mereka bekerja dalam kelompok, mereka tetap aktif mengeluarkan pendapatnya, karena setiap pendapat yang diutarakan mewakili diri pribadi, bukan mewakili pendapat kelompok. Apabila ada selisih pendapat, siswa lain akan menyampaikan pendapatnya setelah siswa yang sebelumnya selesai berbicara menyampaikan pendampatnya, sehingga terbangun sikap saling mendengarkan dn saling menghargai antar siswa. Dalam sistem ini, tidak ada siswa yang mendominasi, karena setiap siswa memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya dan memiliki hak belajar yang sama. Collaborative learning ini telah lama diterapkan di Jepang, bahkan negeri bunga sakura ini sangat peduli dan sangat memperhatikan semua aspek penyelenggaraan pendidikan. Hal ini terlihat sekali pada proses dan fasilitas belajar di setiap sekolah. Semua sekolah di Jepang memiliki fasilitas dengan standar nasional. Hal tersebut dilakukan agar siswa bisa nyaman dan betah dalam belajar. Seperti contoh, secara nasional terdapat standarisasi kursi dan meja belajar siswa, dimana kursi dan meja dibuat dengan bahan yang sangat berkualitas tinggi dan multi fungsi. Selain sebagai sarana belajar siswa, meja dan kursi tersebut dapat diapakai berlindung siswa saat terjadi gempa bumi dimana mereka bisa langsung berlindung di bawahnya. Selain itu, meja juga dapat secara fleksibel di tinggikan dan dipendekkan sesuai dengan ukuran tubuh siswa. Selain itu ukuranya yang cukup simple dan bobot massa nya yang cukup ringan, dimana satu siswa satu meja dan satu kursi,
dapat digeser dengan sangat mudah oleh siswa dalam membentuk kelompok. Papan tulis yang digunakan memiliki berteknologi magnetic, selain dapat ditulisi menggunakan kapus tulis juga dapat digunakan untuk menempelkan media-media pembelajaran. Setiap sekolah di Jepang mempersilahkan siapapun yang ingin melihat proses belajar mengajar secara langsung. Jadi sudah menjadi hal biasa bila banyak orang selain siswa yang berada di ruang kelas saat proses belajar berlangsung. Selain itu, setiap hari kepala sekolah selalu berkeliling dari kelas ke kelas untuk melihat proses belajar siswa dan mengamati mereka, jadi tidak ada kepala sekolah yang hanya menganggur dan hanya duduk di kantor/ruang guru. Dalam tataran praktis implementasi pembelajaran di Jepang, pemerintah dalam hal ini yaitu kementerian pendidikan memberikan wewenang setiap Board of Education (BoE) dan sekolah untuk melakukan dan mengembangkan ide kreatif. Dengan kata lain, pendidikan di Jepang dilaksanakan dengan menggunakan sistem bottom-up, dimana kretaivitas dalam upaya pengembangan sekolah dan school reform itu muncul dari bawah atau BoE bersama sekolah berinovasi kemudian pemerintah mensupport sesuai dengan potensi sekolah masing-masing. Ada inovasi itu sifatnya general atau mencakup area wilayah yang luas yaitu inovasi implementasi Lesson study berbasis collaborative learning karena hampir di semua perfektur menerapkan sistem belajar tersebut. Secara umum juga terdapat kesamaan visi yaitu bagaimana membelajarkan siswa dengan menggunakan pendekatan student center dengan system kelompok 4 siswa 2 siswa laki-laki dan 2 siswa perempuan pada secara silang tiap kelompoknya. Selain itu, denah tempat duduk dengan pola U yaitu 1/3 siswa mengahap kanan dalam dan 1/3 siswa mengahap kiri dalam, dan 1/3 siswa yang belakang mengahap ke depan atau papan tulis. Ada juga inovasi yang bersifat specifik/khusus yaitu hanya di laksanakan oleh BoE Kota dan sekolah tertentu. Sebagai contoh sekolahsekolah di Kota Fuji, contoh Sekolah Fujikawa dan Yoshiwara, menerapkan filosofi gunung Fuji, yaitu sekolah dan guru mengajak semua anak untuk belajar seolah mendaki ke arah puncak gunung, bisa ditebak bahwa tidak semua anak bisa sampai puncak, sehingga anak yang seolah sudah sampai puncak kemudian kembali turun membantu teman siswa lainya yang kesulitan dalam belajar.
23
Prinsip dasar Lesson study yaitu: 1) „Menjamin Hak Belajar Setiap Anak‟ dimana setiap anak memiliki keistimewaan, keunikan, dan potensinya masing-masing, dan hal ini sejalan dengan sistem penilaian pada kurikulum 2013 di Indonesia yang menggunakan Authentic Assessment. Setiap anak memiliki hak untuk belajar sehingga collaborative learning menjamin hak belajar setiap siswa yang kemudian dari filosofi tersebut dapat menciptakan joyful and meaningful learning pada setiap anak yang masing-masing punya hak untuk belajar, the right to learn; 2) „Guru tidak mengajar tapi belajar‟. Dalam Lesson study berbasis collaborative learning guru saling mendengarkan, saling belajar dengan sesame guru yang lain, dan bahkan belajar dari proses belajar siswa. Sehingga hal demikian dapat memicu tumbuhnya prinsip ke 3) Collegality. Guru saling mendengarkan, saling membantu, saling peduli, dan saling belajar sehingga tidak ada guru yang melejit sendiri dan tidak ada yang tertinggal sendiri. Sekilas memang kelihatan cukup sederhana, tapi prinsip tersebut menganduk makna filosofi yang sangat dalam. Kegiatan riil dan dasar yang harus dilaksanakan dalam Lesson study berbasis collaborative learning yaitu terlaksananya open class, bagaimana guru mengajar dengan terlebih dahulu merencanakan desain pembelajaran, kemudian melaksanakan proses pembelajaran secara terbuka dengan diamati/diobservasi oleh kepala sekolah, guru sejawat, bahkan dosen/ahli dari perguruan tinggi dan orang tua, yang kemudian hasil pengamatan tersebut dipakai sebagai bahan refleksi dan analisis evaluasi bagaimana siswa belajar bukan merefleksi bagaimana guru mengajar. Sehingga forum refleksi tidak digunakan untuk mengkritik guru tapi menganalisis setiap fenomena atau fakta anak dalam aktivitas belajar mereka secara detail. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah terus mengupayakan peningkatan kualitas pembelajaran, termasuk didalamnya mengembangkan kurikulum dan peningkatan sumberdaya tenaga pendidik sebagai wujud penguatan kualitas pendidikan di Indonesia yang akan diupayakan secara berkesinambungan. Dari sisi peningkatan kualitas pembelajaran, pemerintah melalui Kemendikbud memberlakukan Kurikulum 2013 mulai tahun 2013. Sedangkan dari sisi sumber
daya tenaga pendidik, pemerintah melalui Direktorat Pendidik dan Tenaga Pendidikan memberikan penguatan kemampuan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan peningkatan kualitas pendidikan, salah satunya yaitu melalui pelaksanaan Lesson study. Implementasi Lesson study menjadi agenda penting bagi Jepang dan Indonesia untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah yang dilakukan melalui Lesson study di sekolah-sekolah. Berbeda dengan implementasi Lesson Study di Jepang yang telah dilaksanakan selama berpuluh-puluh tahun bahkan berabadabad lamanya dan telah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di sana, pelaksanaan Lesson Study di Indonesia relative baru dan memiliki cirri khas yang perkembanganya berlangsung secara top-down. Lesson Study yang dimaksud yaitu Lesson study yang meliputi 3 fase utama yaitu: Plan, Do, and See berbasis collaborative learning yang diimplementasikan melalui Open Class untuk menciptakan caring community. Open class yang dimaksud adalah bagaimana proses belajar mengajar di kelas dibuka untuk observer (kepala sekolah, teman guru sejawat, orang tua siswa, pengawas sekolah, unsur perguruan tinggi, unsur pemerintah dan masyarakat, atau unsur terkait dengan dunia pendidikan lainya) yang dapat mengamati bagaimana siswa belajar. Secara umum dapat disimpulkan, sekolah di Jepang menerapkan beberapa filosofi pendidikan yang digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia, seperti In ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani, selain itu juga filosofi Gotong royong dan filosofi Asah, asih, asuh. Lebih jauh lagi, bahwa di sekolah di Jepang tidak secara harfiah mengajarkan/mengembangkan Character building akan tetapi siswa di Jepang mengamalkan nilai-nilai karakter seperti etos kerja keras, disiplin waktu, budaya bersih, ramah dan hormat termasuk dengan tamu atau orang yang belum mereka kenal, jujur dan tanggung jawab, dan sikap-sikap positif lainya, dan bahkan ada momen di beberapa sekolah seperti di Sekolah Shimone yaitu siswa tidak akan pulang sekolah sebelum kelas dan lingkungan sekolah bersih sehingga siswa mengepel semua lantai sekolah, sebuah fenomena yang mungkin menjadi pemandangan langka di beberapa negara.
24
Penguatan Kualitas Pendidikan di Sekolah Dasar Lesson study berbasis collaborative learning menjadi unsur penting dalam paradigma pendidikan abad 21. Konsep pendidikan abad 21 menjadi perdebatan negaranegara di dunia yang dilatarbelakangi oleh globalisasi setelah runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989. Kemudian muncul istilah „sekolah modern‟ yang terbentuk atas 2 motif utama yaitu nation-state dan industrial society. Kemudian globalisasi yang muncul dari runtuhnya struktur perang dingin telah melunturkan fondasi kedua motif tersebut. 20 tahun setelah runtuhnya tembok Berlin, paradigm pendidikan abad 21 terus berkembang dan menjadi fondasi baru setiap negara di dunia baik negara-negara berkembang mapun negaranegara maju di Amerika Utara, Eropa, bahkan Asia. Merujuk pada data perkembangan pendidikan di negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Manabu SATO (2012: 5) menyatakan terdapat 4 karakteristik paradigma pendidikan abad 21 yaitu: a) Knowledge-based society, dimana negara-negara maju mengalami transformasi dari industrial society menuju post-industrial society dimana terjadi transformasi besar populasi pasr kerja pada bidang informasi pengetahuan dan layanan interpersonal (kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, budaya, dll) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, pendidikan sekolah sebagai basis pembelajaran dituntut agar dapat menumbuhkan kemampuan komunikasi, interaksi, bekerjasama melalui pemikiran kreatif dan proses eksplorasi yang didorong oleh kebutuhan untuk mendidik para pembelajar untuk belajar sepanjang hayat; b) Multicultural society, akibat pengaruh globalisasi, masyarakat di dunia berpindah dan melewati batas-batas negara menuju masyarakat multikultural dan bahkan akan terus semakin pesat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; c) Risk of disparity society, selain mengakibatkan proses multicultural, globalisasi juga membentuk masyarakat menjadi individu inklusi atau ekslusi, sebagai contoh dalam masyarakat demokrasi dan politik ada sekat partai politik, golongan, dan kepentingan tertentu seperti strata sosial dan kekuasaan, bahkan ada kelas
termarjinalkan sehingga kematangan berexistensi diri sangat mempengaruhi dalam bersosial masyarakat dan bernegara; d) Mature civil society, adanya desentralisasi dan deregulasi sebagai akibat globalisasi di setiap negara membuat lapisan pelindung nasionalisme kebangsaan dan nilai hunamisme menipis dan masyarakat sipil semakin terpapar menimbulkan krisis demokrasi populisme, menurunya moral public, meningkatnya tuntutan hokum dan konflik kepentingan yang didasarkan pada egoism dan individualism sehingga beban dan penyakit mental menjadi meningkat. Dari situasi tersebut, paradigm pendidikan abad 21 muncul dan dibangun berdasarkan 2 prinsip dasar yaitu “Quality” and “Equality”. Prinsip dasar tersebut tergambar jelas dalam survey kemampuan akademis internasional seperti PISA dan OECD sejak tahun 2000 yang menunjukkan kesuksesan pendidikan beberapa negara seperti Finlandia, Kanada, Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Perubahan yang terjadi pada paradigm pendidikan abad 21 meliputi 3 hal: 1) Pertama, kurikulum bergeser dari “Model program” ke “Project model”. Model program digambarkan sebagai bentuk desain pembelajaran yang diibaratkan sebagai purwarupa dari jalur „perakitan‟ atau assembly line pada system produksi, dimana kurikulum dibentuk seperti menaiki anak tangga satu persatu dan setiap bagianya disusun berdasarkan unit kegiatan „goial-achievement-evaluation‟. Sedangkan pada Project model, pembelajaran didesain berdasarkan unit subyek belajar „subjectsexploration-expression‟ yang digambarkan seperti pendakian gunung, terdapat jalur pendakian dalam belajar dan subyek belajar memperolah pengalaman belajar yang bermakna. Dengan kata lain, model program focus pada „tujuan‟ atau „hasil akhir‟, sedangkan project model mengejar „makna‟ dari pengalaman belajar; 2) Kedua, perubahan dari pelajaran „konvensional‟ ke pembelajaran „kolaboratif‟. Cirri khas pembelajaran konvensional yiatu semua siswa menghadap ke papan tulis, mendengarkan penjelasan guru dimana metode ceramah mendominasi sehingga yang terjadi yaitu teacher centered, kemudian siswa menuliskan kembali apa yang terdapat di papan tulis ke dalam buku tulis. Jauh berbeda dengan pembelajaran kolaboratif, dimana siswa kelas 1 -3 SD pembelajaran dilakukan dengan model kolaboratif whole class dan pembelajaran berpasangan „pair activities‟.
25
Sedangkan untuk tingkat kelas 4-6 SD diterapkan model pembelajaran kolaboratif kelompok 4 siswa campur–silang 2 perempuan dan 2 laki-laki. Berdasarkan penelitian Manabu SATO dari 20 negara, 300 lebih sekolah, selama 25 tahun, school reform tersebut dimulai dari Kanada pada tahun 1980an, menyebar ke Amerika pada tahun 1990an, kemudian ke Eropa, dan Asia pada tahun 2000an; 3) Ketiga, perubahan fungsi sekolah. Disentralisasi yang berkembang sejak tahun 90an menuntut adanya otonomi sekolah dan mencari fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan dan budaya dalam komunitas setempat. Pencapaian simultan quality dan equality mendorong pengembangan kemampuan professional guru, dan sekolah harus menjadi tempat bagi guru-guru dalam mengembangkan kemampuan profesionalnya (professional learning community) serta mengemban peranan sebagai pusat budaya komunitas setempat. Lesson study merupakan wujud dari cara konkrit untuk mereformasi sekolah terutama di Jepang dan mulai diterapkan di Indonesia. Pada prinsipnya, implementasi Lesson study dimaksudkan untuk membangun komunitas belajar atau learning community. Learning community terbentuk atas 2 pilar utama yaitu: 1) nilai-nilai karakter kerjasama dalam kebersamaan dan kesetaraan atau collaborative learning, 2) nilai-nilai karakter peduli dan semangat maju bersama atau caring community. Selain itu juga termasuk kreativitas bagaimana guru dalam mendekati kelompok, posisi kepala guru tidak lebih tinggi atau sejajar atau bahkan lebih rendah dibandingkan posisi kepala siswa, dan hal tersebut mampu menumbuhkan rasa percaya diri siswa dalam belajar.
Collaborative learning yang ditanamkan sejak siswa usia sekolah dasar akan memberikan dampak positif pada character building siswa. Character building merupakan proses terbangunya sifat-sifat baik berupa akhlak mulia yang tercermin melalui perilaku siswa sehari-hari. Siswa yang cerdas diharapkan memiliki character yang mulia untuk tidak menggunakan kecerdasannya di dalam hal-hal yang negatif. Penguatan kualitas pendidikan di sekolah tersebut dilaksanakan dengan berlandaskan pada 3 filosofi: 1) Public philosophy, sekolah merupakan milik public/masyarakat umum, maka sekolah harus terbuka di dalam maupn di
luar. Langkah pertama dari school reform yaitu sekolah harus membuka ruang kelas untuk dilihat, di observasi oleh kepala sekolah, guru lain, pengawas, orang tua, perguruan tinggi, dll. Selama masih ada satu orang guru di sekolah tersebut masih menutup kelas, maka tidak akan mungkin terwujud school reform di sekolah tersebut. Bagaimanapun „hebat‟ nya seorang guru melakukan praktek pengajaran dan pembelajaran, tapi tidak mau membuka kelasnya untuk sesame rekan guru lainya, setidaknya minimal 1 kali dalam setahun, maka guru tersebut tidak bisa diakui sebagai seorang guru sekolah publik. Alasanya, karena guru yang tidak mau membuka kelasnya untuk sesama rekan guru lainya paling tidak sekali setahun, telah menjadikan siswa, kelas, sekolah, dan pekerjaan mengajarnya sebagai milik pribadi. Untuk memfungsikan sekolah sebagai milik public, maka perlu adanya open class minimal sekali setahun dan bersama-sama dengan rekan guru lainya saling membangun hubungan untuk membelajarkan siswa; 2) Democracy philosophy, tidak ada tempat yang lebih penting untuk menekankan demokrasi selain sekolah, namun tidak ada tempat lain pula, selain sekolah, yang tidak menjalankan demokrasi. „Demokrasi‟ yang dimaksudkan di sini bukan mayoritas suara terbanyak, tapi seperti yang dikatakan John Dewey, bahwa „demokrasi‟ yang dimaksud adalah “cara hidup bersama dengan orang lain” (a way of associated living). Hasil penelitian Manabu SATO pada sebuah sekolah dengan jumlah siswa 350 orang, dicari data berapa orang siswa yang menjadi pembicaraan diruang guru, setidaknya satu kali, dalam setahun. Jumlah siswa yang namanya dibicarakan di ruang guru tidak lebih dari 10%. Mereka adalah siswa yang bermasalah, siswa yang kemampuan akademiknya rendah, siswa yang kemampuan akademiknya sangat tinggi, dan siswa yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Dari data tersebut, apakah dapat dikatakan sekolah yang seperti itu sebagai sekolah demokratis? Tentu saja jawabanya tidak. Sekolah yang tidak membicarakan siswanya tanpa terkecuali, tidak bisa disebut sebagai sekolah yang demokratis. Bahkan dalam kelompok guru pun, demokrasi diabaikan. Sekolah di mana hanya orang-orang yang selalu sama berbicara dalam rapat guru, sekolah yang manajemenya dijalankan berdasarkan ide dari guru yang berpengaruh saja, sekolah dimana terdapat guru yang tidak pernah bersuara, bukanlah sekolah yang
26
demokratis. Guru yang bersuara keras bukanlah praktisi pendidikan yang unggul. Guru yang unggul, siapaun dia, selalu guru yang tenang dan bersahaja. Guru yang tenang melakukan pekerjaanya dengan tenang, menggerakkan manajemen sekolahdengan suara „kecil‟nya, mengaktifkan sekolah dan memungkinkan terwujudnya pendidikan yang berkualitas tinggi. Jika sekolah tidak menjadi tempat di mana masing-masing siswa, guru, kepala sekolah, dan orang tua menjadi pemeran utama (protagonist) dan bekerja sama, maka reformasi sekolah tidak akan berhasil. Untuk mewujudkan demokrasi di sekolah dan ruang kelas, maka harus terbentuk hubungan „saling mendengarkan‟ di antara sesame siswa, siswa dan guru, serta di antara sesama guru. Meskipun tidak ada tempat yang paling tepat selain sekolah untuk menyuarakan pentingnya „dialog‟, namun hanya sedikit sekolah yang benar-benar mewujudkan dialog. Pendapat guru di dalam rapat guru tidak boleh monolog termasuk interaksi siswa di kelas. Dengan „saling mendengarkan‟ kita bisa menyiapkan kalimat untuk dialog dan melahirkan komunikasi yang dialogis yang memungkinkan terwujudnya komunitas belajar; 3) Excellence philosophy, tanpa upaya mencapai keunggulan, pembelajaran tidak akan menampakkan hasil yang baik. Keunggulan yang dimaksud disini bukan berarti unggul dibandingkan orang lain. Keunggulan yang dimaksud adalah melakukan yang terbaik berdasarkan kondisi yang ada. Jika tidak mengejar yang terbaik dalam praktek pembelajaran, maka pembelajaran yang baik tidak akan pernah terwujud. Level kualitas pembelajaran tidak bisa diturunkan sematamata karena kemampuan siswa yang rendah atau karena lingkungan yang kurang kondusif. Guru pun demikian, level kualitas pembelajaran tidak bisa diturunkan hanya karena guru merasa tidak enak badan atau karena terlalu sibuk. Dalam situasi dan kondisi apapun, perlu membiasakan diri untuk mengupayakan pembelajaran yang maksimal. Apa yang disampaikan John Dewey, yaitu „pendidikan merupakan proses pembentukan kebiasaan‟, perlu didukung oleh filosofi keunggulan atau excellence philosophy. Lesson study berbasis collaborative learning sangat cocok untuk dikembangkan di sekolah dasar mengingat karakteristik dan perkembangan kecerdasan dan keterampilan anak pada jenjang pendidikan ini, yaitu dapat menstimulus dan mensupport proses tumbuh
kembang anak terutama melalui pembiasaan hal-hal positif sejak dini. Collaborative learning sebagai model character building sejak usia sekolah dasar sangat tepat karena karena akan mampu menumbuhkan nilai-nilai karakter postif, seperti:
1. Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mandiri masing-masing siswa. 2. Kerja keras dalam belajar dan rasa ingin tahu yang kuat untuk memecahkan masalah secara bersama-sama 3. Menambah keberanian dan percaya diri siswa dalam berpendapat atau mengungkapkan gagasannya. 4. Kreatif dalam membangun dan menambah pengetahuan dan pengalaman 5. Menumbuhkan semangat kerjasama dan rasa kebersamaan antar siswa 6. Menumbuhkan rasa peduli dan toleransi dengan sesamanya, dan lain-lain. Di dalam pendidikan karakter melalui Collaborative Learning diharapkan siswa memiliki nilai-nilai positif tersebut yang merupakan bagian dari tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia melalui pendidikan yang berkualitas. KESIMPULAN Prinsip Lesson study didasarkan atas pendapat bahwa “democracy of learning: child, teacher, and parent are all „protagonist‟” atau semua anak, guru, dan orang tua menjadi pelaku utama. Sebagaimana dikuatkan bahwa “democracy of learning is “a way of associated living” and respect for dignity and diversity of individuals” (John Dewey). Perspektif belajar tersebut lebih dikenal dengan philosophy of excellence di mana masing-masing orang melakukan hal yang terbaik. Sudah saatnya pendidikan dasar di Indonesia bangkit. Tentunya untuk mewujudkan itu semua, perlu dukungan dan keterlibatan semua pihak yang secara langsung maupun tak langsung berkaitan dengan pendidikan sehingga cita-cita untuk membangun quality education dan equality sebagai paradigm pendidikan abad 21 bisa terwujud. DAFTAR PUSTAKA
Masaaki Sato. 2012. Dialog dan Kolaborasi di Sekolah: Praktek Learning Community. Terjemahan. Tokyo: Pelita JICA.
27
Manabu Sato. 2012. Mereformasi Sekolah: Konsep dan Praktek Komunitas Belajar. Terjemahan. Tokyo: Pelita JICA. Paidi. 2011. Action Plan Lesson study untuk Peningkatan Kualitas PBM dan Character Building dalam Perkuliahan di UNY. Makalah Workshop “Implementasi Lesson study dalam Rangka Peningkatan Kualitas PBM dan
Character Building pada Perkuliahan di UNY. Yogyakarta: UNY Sukirman. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Perkuliahan melalui Lesson study. Makalah Workshop “Implementasi Lesson study dalam Rangka Peningkatan Kualitas PBM dan Character Building pada Perkuliahan di UNY. Yogyakarta: UNY
28
AKTIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION (RME) Anggit Prabowo Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi aktifitas siswa selama dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IIA SD Negeri Percobaan 2 Depok Yogyakarta. Objek penelitian ini adalah Objek penelitiannya adalah keseluruhan proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik di kelas IIA SD Negeri Percobaan 2 Depok. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pembelajaran matematika di kelas IIA SDN Percobaan 2 Depok telah memenuhi prinsip pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik; 2) siswa merasa senang melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME; 3) siswa lebih mudah memahami suatu konsep matematika dengan adanya alat peraga. Kata kunci: aktivitas siswa, pembelajaran matematika, RME
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada siswa di setiap jenjang pendidikan. Matematika mulai diajarkan kepada siswa dari tingkat pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Bahkan siswa sudah mulai dikenalkan pada halhal yang berhubungan dengan matematika sejak di Taman Kanak-kanak (TK). Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Berdasar laporan dari Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007, kualitas pendidikan matematika di Indonesia bisa dikatakan kurang memuaskan. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2007, penguasaan matematika siswa di indonesia berada di bawah rata-rata negara peserta. Indonesia mendapatkan skor 397 dari skor rata-rata sebesar 500.
Perolehan tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 36 dari 46 negara peserta. Apabila dibandingkan dengan dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia, posisi Indonesia jauh tertinggal. Singapura berada pada peringkat ketiga pada bidang matematika, sedangkan Malaysia berada pada peringkat kedua puluh (Mullis, Martin, & Foy, 2008: 35). Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika di Indonesia. Salah satu usaha tersebut adalah dengan mengubah paradigma pembelajaran. Pembelajaran matematika yang pada awalnya berpusat pada guru (teacher centered) diubah menjadi pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa (student oriented). Dengan kata lain, paradigma mengajar diubah menjadi paradigma belajar. Guru tidak lagi mendominasi kegiatan pembelajaran dengan menyampaikan materi secara klasikal. Namun, siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan dengan cara mereka sendiri. Untuk memudahkan siswa memahami materi, pembelajaran matematika yang dilaksanakan sebisa mungkin merupakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Artinya, pembelajaran matematika dilaksanakan dengan bertolak dari kehidupan sehari-hari siswa. Dengan bertolak pada permasalahan sehari-hari, siswa kemudian dibimbing untuk
29
menemukan kembali konsep-konsep di dalam matematika. Dengan cara ini diharapkan siswa tidak mengalami banyak kesulitan karena mereka belajar dari sesuatu yang dekat dengan mereka yaitu lingkungan mereka. Salah satu pembelajaran matematika yang cocok dengan konsep di atas adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik atau Realistic Mathematic Education (RME). Pembelajaran matematika dengan pendekatan RME merupakan pembelajaran matematika yang bertolak dari permasalahanpermasalahan kontekstual dan realistik bagi siswa. Pendekatan ini telah dikembangkan oleh Hans Freudenthal sejak tahun 1973 di Belanda. Kemudian pada tahun 2000, pendekatan tersebut mulai diterapkan di Indonesia dan untuk selanjutnya disebut Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pada pembelajaran matematika dengan pendekatan RME, matematika diajarkan sebagai suatu kegiatan. Pembelajaran matematika menekankan keterampilan ”process of doing math”, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (”student inventing” sebagai kebalikan dari ”teacher telling”) konsep-konsep dalam matematika dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Terdapat beberapa karakteristik atau prinsip pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME. de Lange (1996) menyatakan Terdapat lima prinsip pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME (Sutarto Hadi, 2010:7). Prinsip pertama adalah menggunakan konteks yang real terhadap siswa sebagai titik awal untuk belajar. Prinsip kedua adalah menggunakan model sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar matematika pada level abstraksi yang berbeda. Prinsip ketiga adalah menggunakan produksi siswa sendiri atau strategi sebagai hasil dari mereka “ doing mathematics”. Prinsip kelima adalah interaksi adalah penting untuk belajar matematika antara guru dan siswa, siswa dan siswa. Prinsip kelima adalah keterkaitan antara unit-unit matematika dan masalahmasalah yang ada dalam dunia ini. Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik sudah diketahui berhasil di Nederlands. Ada suatu hasil yang menjanjikan yang berasal dari penelitian kualitatif dan
kuantitatif. Dari penelitian yang dilakukan oleh Becker dan Selter menunjukkan bahwa siswa yang melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME mempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan tradisional dalan hal keterampilan komputasi dan lebih khusus lagi dalam aplikasi (Tim MKBM Jurusan Pendidikan Matematika UPI, 2001:125). Meskipun sudah dikembangkan sejak 1970 di Belanda dan sejak tahun 2000 di Indonesia, pendekatan realistik relatif masih asing bagi guru-guru matematika di Indonesia. Belum banyak sekolah di Indonesia yang menerapkan pendekatan ini dalam pembelajaran matematika. Bahkan belum semua kalangan yang terlibat dalam dunia pendidikan mengenal pendekatan ini. Saat ini pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik telah diujicobakan di beberapa sekolah di Indonesia. Khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta, pendekatan realistik telah diujicobakan di beberapa Sekolah Dasar, salah satunya adalah SD Negeri Percobaan 2 Yogyakarta yang berlokasi di Sekip Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Dari kelima prinsip pembelajaran matematika dengan pendekatan RME di atas, tentu ada perbedaan antara pembelajaran matematika dengan pendekatan RME dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional khususnya pada aktivitas siswa selama pembelajaran. Dengan demikian akan diteliti bagaimana aktifitas siswa selama pembelajaran matematika dengan pendekatan RME di SD Negeri Percobaan 2 Yogyakarta. Identifikasi Masalah Berdasar uraian dalam latar belakang di atas dapat diidentifikasi bahwa kualitas pembelajaran matematika di Indonesia masih rendah. Untuk itu diperlukan inovasi dalam pembelajaran matematika, salah satunya dengan menggunakan pendekatan RME. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana aktifitas siswa kelas II SD Negeri Percobaan 2 Depok dalam melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimanakah aktifitas siswa
30
kelas II SD Negeri Percobaan 2 Depok dalam melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IIA SD Negeri Percobaan 2 Depok. Objek penelitiannya adalah keseluruhan proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik di kelas IIA SD Negeri Percobaan 2 Depok. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi. Lembar observasi digunakan untuk mengobservasi aktivitas siswa selama pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME. Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipan, yaitu peneliti tidak hanya mengobservasi tapi juga terlibat dalam pembelajaran. Selain itu peneliti juga menggunakan dokumentasi sebagai instrumen penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara peneliti mengobservasi aktivitas siswa selama pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME dengan menggunakan instrumen lembar observasi. Selain itu peneliti juga mengabadikan aktivitas siswa selama pembelajaran. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu lembar observasi dan dokumentasi. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian Hasil penelitian dijawabarkan menajdi dua bagian yaitu keterlaksanaan pembelajaran matematika dan hasil wawancara dengan siswa dan guru terkait keterlaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik. Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru dan siswa kelas IIA SDN Percobaan 2 Yogyakarta telah melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME. Hal ini ditunjukkan dari hasil observasi bahwa pembelajaran yang dilaksanakan telah memenuhi 5 prinsip pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME. Berikut adalah deskripsi pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan
RME di kelas Yogyakarta.
IIA
SDN
Percobaan
2
Menggunakan konteks yang real terhadap siswa sebagai titik awal untuk belajar Sebelum mempelajari materi tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai dengan 500, guru melakukan apersepsi dengan menggunakan konteks real. Penggunaan konteks real untuk memulai belajar ditunjukkan guru dengan cara memulai pembelajaran dengan mengajak siswa untuk mengali permasalahan yang real bagi siswa. Permasalahan real tersebut adalah tentang jumlah siswa di kelas tersebut. Berikut adalah percakapan guru dengan siswa:
Guru : ”Berapa jumlah siswa kelas kita?” Siswa :”empat puluh lima” Untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai dengan 100, tentu siswa harus mengingat kembali konsepkonsep bilangan yang meliputi aturan tempat dan cara penulisannya terlebih dahulu. Para siswa kemudian diberi kesempatan untuk menuliskan jawabannya di depan kelas dan menjelaskannya kepada siswa yang lain. Permasalahan yang real bagi siswa tersebut membuat siswa tertarik untuk belajar matematika. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya siswa yang menjawab pertanyaan guru. Konteks real yang lain terjadi ketika akan mempelajari penjumlahan dan pengurangan bilangan yang kurang dari 500. Berikut adalah petikan dialog guru dengan siswa.
Guru : “siapa yang pernah pergi ke desa?” Siswa : (hampir seluruh siswa mengacungkan tangan) Guru kemudian mengajak siswa untuk mendeskripsikan lingkungan pedesaan. Sebagian besar siswa berpendapat bahwa di pedesaan banyak terdapat sawah. Guru kemudian mengembangkan pendapat siswa. Guru :”Siapa yang pernah melihat sawah yang tidak ditanami, tetapi dipakai sebagai tempat untuk membuat kerajinan?” Beberapa siswa memiliki jawaban yang bervariasi, ada yang menjawab kerajinan
31
wayang, kuali, gerabah, dan tanah liat. Jawaban tersebut tidak sesuai dengan jawaban yang diharapkan guru, tetapi guru tetap menghargai pendapat siswa. Tidak lama kemudian ada salah satu siswa yang menjawab. “batu bata”. Jawaban tersebut adalah jawaban yang diharapkan. Dari konteks pedesaan tersebut kemudian guru menceritakan bahwa di sebuah desa ada seorang pembuat batu bata bernama Mbah Marto yang membuat batu bata kemudian menjualnya di toko bangunan. Berikut adalah permasalahan real dari kisah Mbah Marto.
“Toko bangunan “MAKMUR” memiliki 230 batu bata. Mbah marto kemudian datang untuk menjual batu batanya sejumlah 210 buah kepada Toko “MAKMUR”. Berapa banyaknya semua batu bata yang dimiliki Toko “MAKMUR” sekarang?” Permasalahan kontekstual tersebut selanjutnya digunakan sebagai awal belajar materi penjumlahan bilangan dibawah 500. Menggunakan model sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar matematika pada level abstraksi yang berbeda Mengingat objek matematika adalah abstrak, maka mutlak diperlukan model-model untuk menjembatani siswa dalam belajar matematika. Beberapa model yang digunakan siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan RME pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai dengan 500 adalah “kartu bilangan” dan Multibase Aritmatic (MBA). Kartu bilangan adalah kartu-kartu yang bertuliskan lambang-lambang bilangan dari 1
sampai 500 yang meliputi bilangan satuan, puluhan, dan ratusan. Berikut adalah kartu bilangan yang digunakan selama pembelajaran.
Dengan menggunakan kartu bilangan tersebut, siswa dapat menentukan nilai tempat suatu bilangan. Selain itu, siswa juga bisa melakukan penjumlahan dan pengurangan dengan menggunakan kartu bilangan tersebut dengan cara menjabarkannya ke dalam bentuk panjang terlebih dahulu. Berikut adalah deskripsinya.
Untuk menyatakan bilangan 245, siswa dapat memodelkannya dengan kartu bilangan. Bilangan 245 bisa dinyatakan dalam penjumlahan 200, 40, dan 5. Dari permodelan tersebut, siswa dengan mudah menentukan nilai tempat bilangan 245 yaitu 2 ratusan, 4 puluhan, dan 5 satuan. Kartu bilangan juga bisa dimanfaatkan siswa untuk melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai dengan 500. Berikut deskripsinya.
32
Dengan menggunakana kartu bilangan, siswa dapat menemukan hasil penjumlahan 228 dengan 237. Siswa terlebih dahulu menjabarkan 248 sebagai susunan 2 ratusan, 2 puluhan, dan 8 satuan, 237 sebagai 2 satuan, 3 puluhan, dan 7 satuan. Siswa kemudian
menjumlahkan sesuai nilai tempatnya masingmasing. Selain kartu bilangan, siswa juga dapat menggunakan MAB untuk melakukan penjumlahan tersebut. Berikut deskripsinya.
Dengan MAB, siswa menjabarkan 228 menjadi 2 blok ratusan, 2 blok puluhan, dan 8 blok satuan. Utuk bilangan 237, siswa menjabarkan menjadi 2 blok ratusan, 3 blok puluhan, dan 7 blok satuan. Selanjutnya, siswa menjumlahkan blok-blok tersebut sesuai dengan nilai tempatnya.
Cara kedua, ketika belajar cara menjabarkan suatu bilangan menjadi bilanganbilangan penyusunnya, guru memberi kesempatan seluas luasnya kepada seluruh siswa untuk menentukannya kemungkinankemungkinan penjabaran yang mungkin. Siswa kemudian dengan inisiatif dan produktif sesuai dengan pemahaman yang mereka memiliki menyampaikan beberapa penjabaran bilangan 168 sebagai berikut.
Menggunakan produksi siswa sendiri atau strategi sebagai hasil dari mereka “ doing mathematics”. Guru melakukan beberapa cara untuk menggali produksi atau inisiatif siswa dalam belajar matematika. Cara pertama, untuk menentukan suatu bilangan antara 1 sampai 500, guru memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menuliskan sembarang bilangan di buku masing-masing, kemudian siswa diminta menentukan nilai tempatnya. Dengan strategi ini, siswa diberi kesempatan kepada setiap siswa untuk mengungkapkan pendapatnya tanpa adanya tekanan. Setiap siswa berhak untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Siswa kemudian diberi kesempatan untuk menuliskan jawaban yang telah ditemukannya di papan tulis. 5 siswa menuliskan jawaban ynag mereka temukan di papan tulis. Setelah 5 siswa menuliskan jawabannya di papan tulis, siswa lain menanggapi hasil jawaban yang ditulis di papan tulis. Berdasar kegiatan di atas ,produksi setiap siswa selama pembelajaran sangat terlihat. Setiap siswa mendapat kesematan untuk mengembangkan pemikirannya.
1. 168 = 100 + 60 + 8 2. 168 = 1 ratusan + 6 puluhan + 8 satuan 3. 168 = 160 + 8 Variasi penyelesaian di atas merupakan hasil produksi siswa. Siswa diberi kebebasan menentukan penyelesaian suatu permasalahan sesuai dengan tingkat pemahamannya. Interaksi adalah penting untuk belajar matematika antara guru dan siswa, siswa dan siswa Interaksi antara guru dan murid terlihat pada saat murid menanggapi dan melaksanakan petunjuk guru dan menyampaikan hasil pekerjaannya kepada guru. Interaksi antarsiswa terjadi pada setiap kelompok. Ketika guru meminta beberapa siswa menuliskan bilangan dan menentukan nilai tempatnya di depan kelas, guru meminta siswa lain untuk mendiskusikannya dengan teman semejanya apakah jawaban siswa di depan kelas sudah benar atau belum.
33
Ketika menjabarkan bilangan 168 ke bilangan-bilangan penyusunnya, interaksi siswa dengan guru terjadi ketika guru meminta siswa menentukan penjabaran bilangan 168 dan siswa segera menentukannya. Selama proses siswa mengerjakan, guru mengecek proses penyelesaian setiap siswa. Pada kegiatan tersebut terjadi interaksi antara siswa dengan guru yang sebagian besar siswa mengkonfirmasi kebenaran pekerjaannya kepada guru. Interaksi siswa dengan siswa terjadi ketika beberapa siswa menuliskan jawaban di depan kelas. Siswa terlibat diskusi ketika melihat bahwa pekerjaan teman di depan kelas ternyata berbeda dengan apa yang ia kerjakan. Guru kemudian memberi kesempatan siswa yang memiliki jawaban yang berbeda tersebut menyampaikan jawaban dan menjelaskannya kepada teman-temannya. Keterkaitan antara unit-unit matematika dan masalah-masalah yang ada dalam dunia ini Keterkaitan antar unit matematika ditunjukkan pada pembelajaran nilai tempat dan bentuk panjang dari bilangan-bilangan sampai dengan 500. Pembelajaran tersebut memiliki keterkaitan dengan pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan. Dengan pembelajaran nilai tempat dan bentuk panjang dari bilangan-bilangan kurang dari 500, siswa dapat mempelajari bagaimana cara melakukan penjumlahan dan pengurangan bilanganbilangan di bawah 500. Keterkaitan matematika dengan masalah lain di luar matematika ditunjukkan dalam adalah cerita Abu Nawas yang dermawan dan baik hati untuk mempelajari nilai tempat suatu bilangan. Guru menceritakan tentang asal usul Abu Nawas, kedermawanannya, dan kebaikan hatinya. Abu Nawas berasal dari daerah Tanah Arab. Disamping belajar matematika, siswa juga diajak untuk mengenal negara-negara di tanah Arab. Guru selanjutnya menceritakan tentang kedermawanan dan kebaikan hati Abu Nawas sehingga dia disukai teman-temannya. Berdasar kisah tersebut guru mengajak kepada seluruh siswa agar menjadi orang yang dermawan dan baik agar disukai temantemannya. Dengan demikian, siswa juga memiliki pengetahuan lain dari belajar matematika alam hal ini pengetahuan sosial (karakter).
a. Hasil Wawancara Hasil wawancara dengan siswa dan guru diperoleh informasi sebagai berikut. 1) Wawancara dengan siswa. Hasil wawancara dengan siswa adalah sebagai berikut. a) Siswa merasa senang dengan pembelajaran matematika menggunakan pendekatan RME b) Siswa lebih mudah memahami konsep perhitungan menggunakan alat bantu kartu bilangan dan MAB c) Permasalahan kontekstal mendorong siswa untuk belajar matematika d) Siswa senang belajar kelompok dan berdiskusi 2) Wawancara dengan guru Hasil wawancara dengan siswa adalah sebagai berikut. a) Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memiliki arti penting bagi siswa. Pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk menyampaikan pendapat dan mengembangkan pengetahuannya. b) Pembelajaran matematika biasanya dimulai dengan permasalahanpermasalahan yang kontekstual bagi siswa seperti cerita, kejadian nyata atau benda nyata di sekitar anak. c) Permasalahan-permasalahan kontekstual bagi siswa dapat digunakan sebagaisarana pengenalan konsep berhitung siswa. d) Penggunaan alat bantu atau alat peraga sangat membantu dalam proses pembentukan konsep berhitung siswa. e) Dengan pembelajaran matematika melalui pendekatan realistik, siswa sangat senang dan tertarik untuk belajar matematika. PEMBAHASAN Berdasar hasil penelitian, pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas IIA SDN Percobaan 2 Depok telah memenuhi 5 prinsip RME yang telah dikemukakan oleh de Lange (1996) yaitu menggunakan konteks “dunia nyata” untuk dieksplorasi, menggunakan model-model untuk menjembatani antara tingkat pemahaman yang satu ke tingkat pemahaman berikutnya, menggunakan proses yang konstruktif dalam pembelajaran, bersifat
34
interaktif, terdapat banyak interaksi (intertwinment). Penggunaan konteks “dunia nyata” digunakan sebagai titik tolak pembelajaran. Guru memanfaatkan kontek “dunia nyata” seperti banyaknya siswa di kelas dan kasus pembuatan batu bata yang dilakukan mbah Marto untuk mempelajari materi nilai tempat, penjumlahan, dan pengurangan bilangan. Pengunaan konteks “dunia nyata” tersebut kemudian dieksplorasi untuk menemukan kembali konsep-konsep nilai tempat, penjumlahan, dan pengurangan bilangan. Hal ini sesuai dengan pendapat (Zulkardi, 2006) bahwa Dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik, siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Dikuatkan oleh Sutarto Hadi (2003:6) bahwa konteks nyata diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual sehingga membuat pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Dalam pelaksanaan pembelajaran, masalah-masalah kontekstual yang dimunculkan dalam pembelajaran dapat digunakan untuk menemukan konsep-konsep di dalam matematika. Hal ini dikarenakan dalam pembentukan konsep, siswa sangat dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari (Chapman, 1976:173). Permodelan untuk menjembatani objek matematika yang abstrak dengan konteks nyata adalah dengan penggunaan alat peraga. Guru dan siswa memanfaatkan alat peraga berupa kartu bilangan dan Multi Arithmetic Block (MBA) untuk mempelajari nilai tempat, penjumlahan, dan pengurangan bilangan yang kurang dari 500. Hal ini penting bagi siswa di usia sekolah dasar mengingat pada usia ini mereka masih dalam tahap operasional konkret. Dengan menggunakan permodelan, siswa mempelajari objek abstrak matematika melalui benda konkret. Penggunaan benda konkret akan mempermudah pembentukan konsep-konsep matematika kepada siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Dienes bahwa tiap-tiap konsep dalam matematika dapat dimengerti jika siswa mengawali kegiatan belajar melalui hal yang konkret (Bell, 1981:124). Pembelajaran matematika dengan pendekatan RME memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya melalui berbagai kegiatan yang
melibatkan seluruh siswa selama pembelajaran. Pengetahuan dan pengalaman belajar yang berbeda-beda mendorong siswa melakukan diskusi baik dengan teman semeja atau secara kelompok untuk mengkonstrusi pengetahuan yang dimilikinya. Dari interaksi tersebut akan menghasilkan suatu pengetahuan baru hasil dari pengalaman-pengalaman belajar yang berbedabeda. Ide-ide atau pemikiran disampaikan siswa sebagai hasil pengkonstruksian pengetahuan siswa dimonitor oleh guru dan dievaluasi dengan diskusi yang melibatkan seluruh siswa. Guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Hongky Julie (2003:24), dalam proses pembelajaran siswa yang aktif mengkonstruksi pengetahuannya, bukan guru yang mentransfer pengetahuan kepada siswa. Fungsi guru sebagai fasilitator menurut Sutarto Hadi (2003:3) dijabarkan dalam tugas yaitu menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rencana hingga diperoleh penyelesaian, memberi kegiatankegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu untuk mengemukakan ide atau kesulitan yang dihadapi dan mengkomunikasikan kepada orang lain. Serta memonitor, mengevaluasi dan menunjukan apakah pemikiran siswa benar atau tidak. Berdasar observasi kelas, siswa dan guru bersama-sama memunculkan permasalahan kontekstual untuk mengawali pembelajaran. Suatu permasahan kemudian didiskusikan secara berpasangan atau berkelompok. Siswa kemudian mengkonstruksi penetahuan awal yang dimilikinya melalui kegiatan diskusi tersebut. Berikut beberapa siswa berusaha mengkonstruksi pengetahuannya melalui diskusi kelompok.
Ts Sh Ag Sh Hk
: “Gimana caranya nih”? : “Gimana ya, anu, pake bentuk panjang aja”. : “Nggak pake cara bersusun pendek aja lebih cepet”? : “Kalo bersusun pendek aku nggak ngerti”. : “Kita kerjain aj pake cara panjang dulu, kalo udah selesai dikerjain lagi dengan cara pendek”.
Kegiatan di atas menunjukkan beberapa siswa sedang melakukan pengkonstruksian pengetahuan yang dimilikinya. Siswa satu
35
memahami cara panjang untuk melakukan penghitungan, ada juga siswa yang memahami cara pendek untuk melakukan peghitungan. Diskusi antar siswa di atas akan menghasilkan pengetahuan baru bagi siswa. Setelah setriap kelompok selesai melakukan diskusi dan mampu menyampaikan hasil diskusi, selanjutnya guru dengan melibatkan seluruh siswa mengevaluasi hasil-hasil diskusi tersebut untuk disimpulkan mana yang tepat. Pada pembelajaran matematika dengan pendekatan RME, interaksi yang diharapkan bukan hanya interaksi antara siswa dengan guru, tetapi juga terbentuk interaksi antarsiswa melalui kegiatan yang dilaksanakan dalam pembelajaran. Interaksi dalam pembelajaran merupakan suatu hal yang utama (IGP Suharta, 2003). Berdasarkan hasil observasi kelas, kegiatan yang dapat merangsang adanya interaksi antarsiswa adalah dengan diskusi. Diskusi dapat dilakukan siswa dengan teman semeja atau sesuai dengan kelompoknya. Setiap kelompok terdiri dari 4 siswa. Interaksi yang terjadi antarsiswa kebanyakan berupa aktivitas yang berhubungan dengan upaya siswa untuk menyelesaikan suatu masalah. Apabila dalam suatu kelompok tidak ada yang mampu menemukan suatu penyelesaian, siswa akan bertanya kepada guru atau peneliti. Selama diskusi kelompok tidak jarang terdapat perbedaan pendapat dalam menyelesaikan masalah diantara siswa. Masing-masing siswa menyampaikan pemikirannya sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Interaksi yang terbentuk antara siswa dengan guru lebih terlihat pada pembimbingan secara klasikal maupun pembimbingan secara individual. Ketika siswa berdiskusi atau mengerjakan sal-soal, guru kemudian berkeliling dan memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Apabila kesulitan yang dihadapi siswa sepele, guru melakukan pembimbingan secara individual. Namun, apabila permasalahan yangdihadapi siswa merupakan permasalahan yang penting dan siswa lain perlu mengetahui, guru melakukan pembimbingan secara klasikal. Ketika menghadapi permasalahan, beberapa siswa memiliki cara yang bervariasi dalam menyampaikan permasalahan yang dihadapinya kepada guru atau peneliti. Ada beberapa siswa yang begitu menghadapi permasalahan atau bimbang terhadap penyelesaian yang telah dikerjakan, ia langsung
maju ke depan kelas dan menyampaikan permasalahan yang dihadapinya kepada guru dengan suara yang pelan. Ada juga siswa yang langsung menyampaikan permasalahan yang dihadapi dengan suara yang lantang tanpa mengacungkan tangan terlebih dahulu. Kelompok siswa yang lain menyampaikan permasalahan yang dihadapinya dengan mengacungkan tangan terlebih dahulu. Setelah diberi kesempatan untuk menyampaikan permasalaha yang dihadapinya, siswa tersebut segera menyampaikan permasalahan yang dihadapinya. Selain itu ada juga kelompok siswa yang hanya mau menyampaikan permasalahan ketika peneliti kebetulan lewat di samping mejanya. Pembelajaran matematika dengan pendekatan RME berusaha memunculkan keterkaitan antarmateri di dalam matematika. Setiap materi di dalam matematika tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan dengan materi lain di dalam matematika. Selain itu pembelajaran matematika realistik juga berusaha menunjukan keterkaitan matematika dengan materi lain di luar matematika. Berdasarkan hasil observasi kelas, keterkaitan materi matematika dengan materi lain di dalam matematika terlihat pada saat siswa melakukan perhitungan penjumlahan suatu bilangan. Beberapa siswa melakukan penjumlahan dengan cara bersusun panjang. Siswa menuliskan:
235 = 200 + 30 + 5 144 = 100 + 40 + 4
+
= 300 + 70 + 9 = 379 Cara menghitung siswa di atas menunjukkan adanya keterkaitan antara materi bentuk panjang suatu bilangan berdasar nilai tempatnya dengan materi penjumlahan. Sebelum melakukan penjumlahan, siswa menjabarkan suatu bilangan menjadi bentuk panjang kemudian menjumlahkannya. Keterkaitan matematika dengan materi lain selain matematika terlihat pada saat pembelajaran nilai tempat suatu bilangan. Siswa dihadapkan pada konteks cerita Abu Nawas. Abu Nawas adalah seorang yang cerdik, pandai, dan baik hati yang berasal dari Tanah Arab. Siswa kemudian dilibatkan untuk mendeskripsikan negara-negara yang terletak di
36
tanah Arab. Siswa menggambarkan bahwa di Arab terdapat kota yang terkenal yaitu Makkah, untuk naik haji dan Madinah. Ada juga siswa yang menyebutkan negara Mesir. Di Negara Mesir terdapat sungai yang sangat panjang yaitu sungai Nil. Siswa juga diajak untuk menentukan laut yang terkenal di tanah Arab, yaitu laut Merah. Dari pembelajaran di atas terdapat keterkaitan antara matematika dengan ilimu social dan geografi. Pada pembelajaran penjumlahan siswa dihadapkan pada konteks pembuatan batu bata. Sebelum memulai pembelajaran penjumlahan siswa dilibatkan untuk menggambarkan pembuatan batu bata. Di beberapa daerah, pembuatan batu bata dilaksanakan di tengah sawah. Sedangkan di daerah lain khususnya pedesaan, pembuatan batu bata dilaksanakan di halaman rumah penduduk. Batu bata dibuatdari tanah yang dicampur dengan air dan rambut gabah. Untuk mencetaknya digunakan cetakan batu bata. Setiap cetakan ada yang mampu menghasilkan sebuah batu bata, dua batu bata, bahkan ada yang sekali cetak mampu mnenghasilkan tiga batu bata. Setelah dicetak, batu bata-batu bata kemudian dikeringkan dan setelah kering kemudian dibakar. Dari pembelajaran di atas terdapat keterkaitan antara matematika dengan ilimu alam, sosial dan geografi. Siswa menjadi lebih tertarik untuk belajar matematika apabila pembelajaran diawali dengan konteks yang nyata dan menarik bagi siswa. KESIMPULAN Berdasar hasil pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Pembelajaran matematika di kelas IIA SDN Percobaan 2 Depok telah memenuhi prinsip pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik. 2. Siswa merasa senang melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME. 3. Siswa lebih mudah memahami suatu
konsep matematika dengan adanya alat peraga.
DAFTAR PUSTAKA Bell, F. (1981). Teaching and Learning Mathematic in Secondary School.Iowa:Brown Company. Chapman, A.(1976). the Procces of learning mathematics. Dalam Beard, R M..(Ed). The Growth of Logical Thinking. Great Britain: Biddles Ltd, Guildform Surrey. Hongki Julie.(2003).Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan realistik. Makalah. Disajikan dalam seminar nasional pendidikan matematika di Universitas Sanata Dharma, tanggal 2728 Maret 2003. I
Gusti Suharta. (2003). Matematika Realistik:Apa dan bagaimana?. http://www.depdiknas.go.id/jurnal/38/ma tematika%Realistik.htm. Diakses pada tanggal 6 Februari 2008.
Mullis, I. V. S., Martin, M. O, & Foy, P. (2008). Timms 2007 international mathematics report: Finding from IEA’s trens in mathematics and science study at the fourth ang eight grades. Chestnut Hill: TIMMS & PIRLS International Study Center Sutarto Hadi. (2003). PMR: Menjadikan pelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tanggal 27 – 28 Maret 2003. Tim MKPBM. (2002). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung:UPI. Zulkardi. (2006). Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI). http://www.sanurbsdtng.sch.id/content/in dex.asp?fuseaction=list_artikel&venue_i d=041002&topic_id=1&enter_date=7/28/ 2006%207:03:28%20AM. Diakses pada tanggal 20 Januari 2008.
37
PARADIGMA BARU PPKN DALAM MEMBANGUN KARAKTER Ari Wibowo PGSD – Universitas PGRI Yogyakarta
[email protected] Abstrak Dewasa ini, nilai dan moralitas merupakan sesuatu yang sulit untuk ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di kalangan pejabat, masyarakat, bahkan pelajar sekalipun, moralitas luhur bangsa belum tampak secara nyata dalam kehidupan disehari-hari. Oleh karenanya makalah ini dibuat tujukan untuk memberikan rekomendasi kepada guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang dapat menumbuh-kembangkan karakter siswa. Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan agar sesuai dengan yang inginkan, perlu untuk merancang dan melaksanakan pendidikan yang baik. Terutama dalam kaitannya dengan pembangunan karakter siswa, perlu adanya reorientasi dalam pendidikan nilai. Melalui kurikulum 2013 diharapkan siswa dapat memiliki kebebasan dalam berpikir, untuk menjadi kreatif, dalam mengembangkan imajinasi, dan mewujudkan nilai-nilai yang mereka percaya untuk menjadi baik dan benar dalam kehidupan mereka. Pokok bahasan dalam makalah ini antara lain pendahuluan, pendidikan karakter, kegagalan PPKn dalam membentuk kakrakter siswa, Perubahan Struktur kurikulum 2013, perubahan peran guru dalam pembelajaran PPKn.
PENDAHULUAN Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia dihadapkan pada krisis multi dimensi yang menyinggung persoalan mendasar bagi kehidupan manusia. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, moral, budaya dan utamanya adalah krisis akhlak. Krisis pada aspek sosial khususnya sudah sampai pada bentuk yang memprihatinkan. Sepertinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku sosial diperlihatkan tidak hanya oleh para siswa tetapi juga oleh mahasiswa, bahkan orang dewasa. Banyak media massa yang memperlihatkan kebiasaan mereka seperti korupsi, ketidakjujuran, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Tidak kalah pula munculnya kemiskinan sosial yang banyak diperlihatkan dengan berbagai bentuknya, seperti miskin kejujuran, miskin toleransi, miskin pengabdian, miskin disiplin dan miskin empati terhadap masalah sosial. Perilaku masyarakat yang semakin liar dalam menanggapi isu-isu, menambah panjang catatan buruk bangsa. Masalah tersebut tidak terlepas dari proses pendidikan yang terjadi dewasa ini, mengingat bahwa pendidikan adalah pilar utama berdirinya sebuah negara. Melalui pendidikan akan tercetak warga masyarakat sesuai dengan karakter bangsa. Baik buruknya suatu negara di masa kini tidak terlepas dari pola pendidikan yang diselenggarakan di masa lampau. Banyak
pertanyaan muncul terkait dengan penyelenggaran pendidikan di Indonesia, bagaimana peran pendidikan kita? Bisakah hal tersebut hanya dibebankan pada pendidikan sekolah? Bagaimana kualitas pendidikan kita, yang semestinya tidak hanya mengajarkan aspek kognitif dan psikomotor, tetapi juga pendidikan afeksi? Kenyataan seperti di atas terjadi pada setiap mata pelajaran, tidak terkecuali mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaaraan. Kegagalan pendidikan terkait dengan pembentukan karakter bangsa tersebut, tidak terlepas dari kegagalan mata pelajaran PPKn dalam usaha menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Tilaar (2008:142) menyatakan bahwa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sangat penting dalam pembinaan ideologi Pancasila. Ideologi sangat penting dalam meracik kesatuan bangsa Indonesia, namun perlu hati-hati dalam perumusan dan metodiologinya karena dalam prosesnya dapat jatuh kepada praktik-praktik yang justru bertentangan dengan proses pendidikan dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pada masa lalu Ideologi Pancasila diartikan
38
sebagai proses indoktrinasi dari pemerintah kepada generasi muda melalui Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Hasilnya justru mengalami kegagalan karena caranya bertentangan dengan hakikat pendidikan. Dari pernyataan di atas, diperlukan pembenahan di bidang pendidikan. Mendidik tidak hanya sekedar mengajarkan pengetahuan (transfer of knowledge), akan tetapi juga memberikan keteladanan dan bimbingan untuk menerapkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, penghargaan terhadap orang lain, dan lain-lain. Oleh karenanya pendidikan harus dapat membangun aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan. Adanya perubahan kurikulum 2013 membawa harapan bagi pendidikan bangsa Indonesia. Dengan berubahan kurikulum ini diharapkan output pendidikan memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan global namun tetap memiliki nilai-nilai kebangsaan. Perubahan kurikulum juga berimlikasi pada pergeseran paradigma pembelajaran dari kognitifistik menjadi konstruktifistik. Hal tersebut berimplikasi pula terhadap proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Paradigma konstruktifistik tidak lagi menempatkan siswa sebagai objek pembelajaran, melainkan menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran dan guru sebagai fasilitatornya. Dalam hal ini siswalah yang aktif ketika proses pembelajaran berlangsung. Siswa lebih banyak diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat dan bakatnya, sedangkan guru hanya memberikan arahan serta fasilitas agar proses pembelajaran tidak menyimpang dari kurikulum yang sudah ditetapkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter bangsa adalah melalui kegiatan pembelajaran. Internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran dapat dilakukan melalui tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi. PENDIDIKAN KARAKTER Awilson (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 27) mendefinisikan karakter sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit. Studi tentang karakter telah lama menjadi pokok perhatian para psikolog, pendagogi atau pendidikan. Apa yang disebut karakter bisa dipahami berbeda-beda oleh
pemikir sesuai penekanan dan pendekatan mereka masing-masing. Secara umum istilah karakter sering diasosiasikan dengan apa yang disebut tempramen. Selain itu, karakter dilihat dari sudut pandang behaviorial yang menekankan unsur somatropsikis yang dimiliki manusia sejak lahir. Dalam hal ini istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Sedangkan kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan dari seseorang sejak lahir. Doyle & Ponder (Easterbrooks, 2004:255) Character education is the effort to teach basic values and moral reasoning to primary and secondary school students; it is based in the premise that children can be thought basic values and moral reasoning. Jadi menurut Doyle & Ponder pendidikan karakter adalah upaya untuk mengajarkan nilainilai dasar dan penalaran moral siswa sekolah dasar dan menengah, hal ini didasarkan pada premis bahwa anak-anak dapat dianggap memiliki nilai-nilai dasar dan penalaran moral. Lebih lanjut dalam pendidikan karakter Lickona (1991: 53-62) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (competents of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan moral, moral feeling atau perasaan moral, dan moral action atau perbuatan bermoral seperti pada gambar berikut.
Gambar 1. Komponen Karakter Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membentuk kepribadian
39
seseorang yang merupakan karakteristik ciri khas dari orang tersebut. Proses tersebut dilakukan secara sadar dan sistematis, sehingga terbentuk kepribadian yang digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak. Zubaedi (2011:17) mengemukakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan pengalaman dalam bentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya. Dalam hal mengajarkan karakter Kirschenbaum (2000: 16) menyatakan: If we teach or tell something directly, people may remember a certain amount of it. If we demonstrate what we are teaching, they will remember even more. But if we also give them an opportunity to process that information and make personal meaning out of it, they will remember still more and retain it longer, and it will have a deeper impact on their behavior. Values education must be comprehensive to be most effective. Dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa dalam mengajarkan karakter, jika kita menunjukkan apa yang kita ajarkan, mereka akan mengingat lebih banyak. Tetapi jika kita juga memberi mereka kesempatan untuk memproses informasi tersebut dan membuat makna pribadi, mereka akan mengingat lebih banyak dan mempertahankan lebih lama, dan itu akan memiliki dampak yang lebih pada perilaku mereka. Oleh karena itu pendidikan nilai harus komprehensif agar lebih efektif. KEGAGALAN PPKN DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA Mata pelajaran PPKn merupakan mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Mata pelajaran PPKn merupakan bagian integral dari muatan kurikulum yang memikul tanggung jawab untuk mewujudkan salah satu aspek yang berkaitan dengan kepribadian. Dalam Lampiran UU No 22 Tahun 2006 menyembutkan bahwa Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Samsuri (2011:18) menyatakan bahwa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan upaya pendagogis pembentukan watak warga negara yang baik, yakni memiliki penalaran moral untuk bertindak atau tidak bertindak dalam urusan publik maupun privat. Perlu dijelaskan bahwa dalam pembelajaran PPKn yang menjadi taget yaitu terintegrasinya ketiga aspek pendidikan yaitu aspek pemahaman (teoritik), sikap dan tingkah laku (praktik). Atas pemahaman yang benar diharapkan suatu materi pembelajaran (nilainilai) maka diharapkan diwujudkan dalam sikap dan perilaku sesuai warga negara yang baik atau berbudi pekerti luhur. Sikap sebenarnya merupakan hasil belajar yang merupakan kecenderungan bertindak atas pemahaman suatu objek tertentu yang berada dalam hati seseorang. Sedangkan perilaku adalah suatu tindakan atau perbuatan sebagai cerminan dari sikapnya. Sikap merupakan hasil belajar yang berupa kecenderungan bertindak terhadap sesuatu objek sosial yang terbentuk berdasarkan pengetahuan. Melalui sikap akan menumbuhkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang dipelajari.
Gambar 2. Struktur Keilmuan PPKn Kegagalan dunia pendidikan dalam upaya membangun karakter bangsa terutama dalam mata pelajaran PPKn disinyalir karena proses pembelajaran selama ini yang cenderung kognitifistik. Strategi pembelajaran yang sering disebut sebagai pembelajaran konvensional dianggap gagal mendidik perilaku siswa karena tidak mengabungkan ketiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Tidak sedikit
40
pendidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai kognitif dari peserta didiknya. Mereka beranggapan bahwa ranah kognitif menyumbang lebih besar dalam keberhasilan anak didiknya. Seorang siswa dianggap berprestasi dan mendapat predikat sebagai pelajar teladan berdasarkan nilai mata pelajaran yang bagus. Akibatnya, praktik pembelajaran yang selama ini berlangsung, siswa dijejali dengan teori-teori dan konsep-konsep tanpa diberikan kesempatan untuk memberikan pandangan dan pendapatnya terkait dengan materi pembelajaran yang diajarkan. Strategi konvensional yang banyak menggunakan metode ceramah cenderung meletakan siswa sebagai objek pembelajaran. Guru menganggap bahwa dia yang paling tau materi pembelajaran dan kebutuhan siswa. Padahal menurut Goleman (Darmiyati,2008:67) berpendapat bahwa EQ (Emotional Quotient) menyumbang 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dan IQ (Intelligencie Quotient) hanya menyumbang 20% saja. Akibat dari proses belajar yang demikian adalah peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti yang sudah diketahui, menurut beberapa praktisi pendidikan, pembelajaran konvensional memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang sering terjadi antara lain: 1) kurangnya pengalaman belajar, 2) prestasi belajar diantara siswa tidak seimbang, 3) kurangnya motivasi siswa dalam pembelajaran. MATAPELAJARAN PPKN DALAM PERUBAHAN STRUKTUR KURIKULUM 2013 Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Pada kurikulum 2013, ada perubahan mendasar pada struktur kurikulum, terutama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan tersebut antara lain, pertama perubahan nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Perubahan istilah ini dilator belakangi karena semakin terdegradasinya moralitas bangsa serta lunturnya nilai nilai Pancasila. Dengan perubahan istilah ini diharapkan nilai-nilai Pancasila dapat dibumikan sehingga dapat menjadi pedoman untuk berpikir, bersikap dan bertindak siswa dalam hubungan dikeluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kedua adalah perubahan waktu pembelajaran. Pada sturktur kurikulum 2006 jam pelajaran matapelajaran PPKn adalah 3 jam, sedangkan pada kurikulum 2013 adalah 5 jam pelajaran pada kelas I dan 6 jam pada kelas II dan III. Dengan ditambahkannya jam pelajaran ini diharapkan pembelajaran yang dilakukan tidak hanya mementingkan pada aspek hasil pembelajaran, tetapi juga pada proses pembalajarannya. Dengan demikian, dikeluhkan oleh guru karena materi yang banyak dan waktu yang sedikit tidak akan terjadi lagi. Ada perbedaan pendekatan dalam kurikulum 2013. Pada proses pembelajaran kurikulum 2013 menggukan pendekatan saintifik yaitu melalui kegiatan Observasi (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Exprerimenting (mencoba), Networking (membentuk jejaring).
Tabel 1. Struktur Kurikulum SD MATA PELAJARAN I 1 2 3 4 5 6
Kelompok A Pendidikan Agama dan Budi Pekerti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial
ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU II III IV V
VI
4 5 8 5 -
4 6 8 6 -
4 6 10 6 -
4 4 7 6 3 3
4 4 7 6 3 3
4 4 7 6 3 3
4 4 30
4 4 32
4 4 34
5 4 36
5 4 36
5 4 36
Kelompok B 1 2
Seni Budaya dan Prakarya Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
41
Ketiga adalah perubahan kompetensi dan materi dalam kurikulum 2013. Jika dibandingkan dengan kurikulum 2013 ini, materi yang disampaikan pada jenjang pendidikan sekolah dasar lebih sedikit dibandingkan dengan kurikulum KTSP (2006). Hal tersebut dikarenakan pada kurikulum 2013 lebih menitikberatkan pada pengembangan aspek afeksi siswa. PPKn yang dulunya dikenal sebagai matapelajaran yang hanya menekankan
pada kemampuan menghafal akan berubah menjadi matapelajaran yang mengajarkan tentang penalaran moral dan kesadaran moral. Oleh sebab itu, nantinya pada proses pembelajaran PPKn tidak lagi menggunakan yang menggunakan model drill saja, melainkan menggunakan model kontektual serta pembelajaran kooperatif sehingga siswa dapat membangun pengalaman belajarnya sendiri.
Tabel 2. Muatan Pendidikan Kewarganegaraan pada SD/MI/SDLB/PAKET A Tingkat Kelas
I-II
III-IV
V-VI
Kompetensi
Materi
Menunjukkan sikap sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam konteks keberagaman kehidupan di lingkungan rumah dan sekolahsebagai perwujudan moral Pancasila Mengenal karakteristik individu, tata tertib, kesatuan, dan simbol-simbol Pancasila di rumah dan sekolah Melaksanakan tata tertib dalam konteks beragam teman di keluarga dan sekolah sesuai Pancasila
Kandungan moral Pancasila dalam Lambang Negara Bentuk dan tujuan norma/kaidah dalam masyarakat Semangat kebersamaan dalam keberagaman Persatuan dan kesatuan bangsa
Menerima karunia Tuhan Yang Maha Esa atas karakteristik individu, hak dan kewajiban, persatuan dalam keberagaman Memahami makna symbol symbol Pancasila di rumah, sekolah dan masyarakat Menunjukkan sikap baik sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, hak dan kewajibannya, dan ke-bhinnekatunggalikaan sebagai perwujudan nilai dan moral Pancasila Melaksanakan kerjasama dengan teman dalam kebersamaan dan keberagaman di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitar Menjelaskan nilai dan moral Pancasila, makna hak, kewajiban dan tanggung jawab, manfaat Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai persatuan dan kesatuan di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat Menunjukkan sikap kebersamaan dalam keberagaman sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa; patuh terhadap tata tertib dan aturan; bertanggung jawab dan rela berkorban; semangat ke-bhinnekatunggalika -an
Makna simbol-simbol Pancasila dan lambang negara Indonesia Hak, kewajiban, dan tanggung jawab warganegara Makna keberagaman personal, sosial, dan kultural Persatuan dan kesatuan Moralitas sosial dan politik warga negara/pejabat negara, dan tokoh masyarakat
Keempat adalah perubahan penilaian hasil belajar siswa. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik,
Nilai dan moral Pancasila Hak, kewajiban, dan tanggung jawab warganegara Keanekaragaman sosial dan budaya dan pentingnya kebersamaan Nilai dan moral persatuan dan kesatuan bangsa Moralitas terpuji dalam kehidupan sehari-hari
penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah
42
(lampiran UU No 66 tahun 2013). Pada kurikulum 2013, penilaian tidak hanya pada hasil belajar siswa, namun juga pada proses pembelajaran. Melalui penilaian autentik dan portofolio, guru dapat memperoleh informasi yang yang komprehensif mengenai ketuntasan belajar siswa. Dalam penilaian aspek yang dinilai tidak hanya kognitif, tetapi juga afeksi dan psikomotor. Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteriaketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik. PERUBAHAN PERAN GURU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER Pembentukan karakter anak tidak dapat dibentuk dalam perilaku yang instan. Pengembangan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari oleh guru sebagai tujuan pendidikan, dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang transaksional bukan instruksional, dan dilandasi pemahaman secara mendalam terhadap perkembangan. Pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab sekolah. Pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa serta negara. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan pendidikan yang holistik dan integratif. Pendidikan yang holistik dalam arti bahwa pendidikan karakter itu melibatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan integratif, yaitu melibatkan seluruh komponen yang mempengaruhi karakter seseorang. Guna menumbuhkan karakter anak, belajar tidak lagi tidak lagi dimaknai sebagai pemindahan pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan belajar adalah proses untuk memaknai pengetahuan. Pembelajaran merupakan sarana untuk menggali kreativitas dan potensi yang dimiliki oleh siswa. Paradigma konstruktifistik dikembangkan dalam dunia pendidikan untuk megembangkan kemampuan siswa agar dapat memanfaatkan pengetahuannya didalam kehidupan sehari-hari. guru harus mendorong anak untuk terus menerus menjadi pembelajar yang tidak pernah
berhenti belajar. Oleh karena itu, guru harus mempersiapkan rancangan pembelajaran yang baik sehingga mampu membantu siswa dalam membangun pengalaman belajarnya. Guru harus mendorong anak untuk terus: mnegamati, mempertanyakan, menganalisis, menggali informasi, menciptakan dugaan, mencobakan, mengkomunikasikan secara berulang, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, dan berkontribusi bagi bangsa dan Negara serta peradaban (As’ari : 2013). Untuk membantu guru dalam menciptakan pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan, pemerintah telah membuat buku pegangan guru dan siswa. Terkait dengan buku pegangan tersebut, guru tinggal menjalankan buku pegangan yang sudah disiapkan pemerintah. Namun ini bukan berarti tugas guru menjadi lebih mudah. Guru harus pandai memahami tujuan pembelajaran serta kondisi lingkungan belajar siswa. Guru dituntut untuk dapat mengadaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Guru harus pandai mengembangkan ide-ide kegiatan belajar berbasis tema (Theme Driven Lesson Activities). Guru diharapkan mampu mengembangkan KD, KI yang telah ditetapkan berdasarkan tema yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, guru juga bisa mengembangkan materi dengan menyesuaikan karakteristik daerahnya. Guru dapat memulai dengan mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan didaerahnya masing-masing, kemudian hasil dari identifikasi tersebut dapat dikaitkan dalam kegiatan pembelajaran. Dalam proses pembelajarannyapun perlu ada penyesuaian gaya mengajar guru. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, melainkan guru adalah sebagai motivator dan fasilitator pembelajaran. Oleh karenanya, Pembejajaran harus diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu berbagai sumber observasi, bukan diberi tahu. Mebelajaran diarahkan untuk memampu merumuskan masalah (menanya) bukan menyelesaikan masalah (menjawab). Jadi siswa tidak hanya belajar teori saja tetapi siswa juga harus tau kapan ilmu yang dipelajari itu digunakan. Siswa tidak hanya memecahkan masalah saja, tapi siswa juga dilatih untuk merumuskan masalah. PENUTUP Kurikulum merupakan salah satu instrumen terpenting dalam pendidikan.
43
berhasil tidaknya pendidikan disuatu negara tergantung pada bagaimana negara tersebut mengenembangkan kurikulum. Sedangkan keberhasilan kurikulum itu sendiri tergantung pada bagaimana negara menyiapkan perangkat pendukungnya serta kesiapan guru dalam mengimplementasikan kurikulum tersebut. Salah satu agenda perubahan kurikulum 2013 adalah untuk pembangunan karakter bangsa. Salah satu Mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk karakter yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan adalah PPKn. PPKn tidak hanya mengajarkan tentang konsep bernegara, tetapi mengajarkan pula bagaimana menjadi warga negara yang baik. Oleh karena itu dalam pembelajaran PPKn sangat dimungkinkan adanya pengintegrasian nilai-nilai dan moralitas sebagai upaya pendidikan karakter menuju perbaikan kualitas moral bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan kurikulum dari kurikulum KTSP (2006) menjadi Kurikulum 2013 tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah saja. Diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat didalamnya, mulai dari pemerintah selaku pemangku kebijakan, guru sebagai pelaksana pendidikan, orang tua, masyarakat dan stakeholder lain yang juga ikut andil dalam kesuksesan kurikulum ini. DAFTAR PUSTAKA
Bunyamin Maftuh. (2008). Internalisasi NilaiNilai Pancasila dan Nasionalisme Melalui Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Educationist Vol. 2 No. 2, 60-78. Darmiyati Yuchdi. (2008). Humanisme Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Diknas. (2006). Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006, tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Doni Koesoema (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Goleman, D. (2002). Emotional Intelegence : Kecerdasan Emosional, (Terjemahan T. Hermaya) Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. H.A.R., Tilaar. (2004). Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Tranformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Ine K.A. & Markum S. (2010). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Berbasis Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia. Lickona, T. (1991). Educating fot Character. How Our Schools can Theach Respect and Responsibility. New York: Batam Books. Dikbud. (2013). Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No 66 Tahun 2013, Tentang Standar Penilaian. ______. (2013). Lampiran Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 66 Tahun 2013, Tentang Standar Penilaian ______. (2013). Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 64 Tahun 2013, Tentang Standar Isi. A.R. As’ari. (2013). PErubahan Peran Guru SD dalam Kurikulum 2013, dalam Lokakarya Kurikulum Berbasis KKNI, 20 Samsuri, 2011. Pendidikan Karakter Warga Negara. Yogyakarta: Diandara Pustaka Indonesia. Tadkiroatun Musfiroh. (2008). Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter Dalam Tinjauan Berbacai Aspek, Character Building, Yogyakarta: lembaga pelitian UNY. Wina Sanjaya. (2008). Strategi pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Preanda Media Group.
44
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN PETA BUTA BERBASIS PUZZLE MULTIMEDIA BAGI SISWA SEKOLAH DASAR KELAS IV Dhiniaty Gularso Prodi PGSD FKIP UPY,
[email protected] Abstrak Penelitian ini berjudul Pengembangan Media Pembelajaran Peta Buta Berbasis Puzzle Multimedia Bagi Siswa Sekolah Dasar Kelas IV. Tujuan penelitian adalah mengembangkan media pembelajaran peta buta berbasis puzzle multimedia bagi siswa Sekolah Dasar kelas IV untuk meningkatkan hasil belajar siswa SD dalam pemahaman peta buta pada Mata Pelajaran IPS Kelas IV. Metode penelitian adalah penelitian pengembangan yang berorientasi pada pengembangan produk beserta efektifitasnya untuk meningkatkan hasil belajar IPS. Langkah-langkah penelitian meliputi sepuluh langkah yaitu proses identifikasi berupa penelitian dan pengumpulan data, perencanaan penelitian, perancangan dan pengembangan media, validasi desain, ujicoba pemakaian media puzzle multimedia, revisi produk, implementasi atau ujicoba media, revisi desain, revisi produk kedua, dan diseminasi/implementasi/pembuatan produk masal. Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran menggunakan media pembelajaran puzzle peta berbasis multimedia dapat menuntaskan persentase siswa memperoleh KKM sebesar 72% dengan rata-rata hasil belajar siswa sebesar 71,60. Selain itu, media ini dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar IPS kelas IV di Sekolah Dasar khususnya pemahaman pembelajaran peta buta secara signifikan serta dapat menciptakan proses pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Kata kunci: Media Pembelajaran, Peta Buta, Puzzle Multimedia, Siswa Sekolah Dasar
PENDAHULUAN Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam mengenalkan letak, wilayah, kenampakan alam/buatan, ibu kota batas-batas negara masih dalam tahapan meminta siswa menghafalkan dalam bentuk deretan tulisan. Hal ini tidak membantu siswa dalam memahami pengetahuan mengenai peta dan banyak siswa yang kesulitan dalam mengingat hal-hal yang berhubungan dengan geografi. Biasanya dalam membantu siswa untuk menguatkan ingatan tersebut, guru menggunakan peta buta. Penggunaan peta buta cukup membantu dalam pemahaman siswa terhadap pelajaran Geografi. Hal ini dibuktikan oleh Adi (2009:17) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa peta buta dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menunjukkan letak Negara-negara ASEAN, terbukti dengan ketuntasan hasil belajar meningkat dari 32% menjadi 86.6%. Berdasarkan wawancara dengan guru SD, peta buta dapat membantu pembelajaran di kelas, namun perlu modifikasi agar siswa tidak
jenuh karena sekedar menghapal. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan suatu media untuk membantu siswa dalam pemahaman peta buta. Salah satu media yang dapat digunakan adalah pengunaan puzzle yang berbasis multimedia. Puzzle merupakan permainan yang sangat menarik, selain itu puzzle dapat meningkatkan ketrampilan kognitif, dan pengetahuan yang didapatkan dari permainan biasanya akan lebih mengesankan. Pakar komputer dan penulis bisnis multimedia, Suyanto (2005:21) menyatakan bahwa pada abad 21 ini, multimedia dapat menjadi keterampilan dasar yang sama pentingnya dengan keterampilan membaca. Sesungguhnya multimedia mengubah hakikat membaca menjadi kegiatan membaca yang dinamis dengan member dimensi baru pada kata-kata. Apalagi dalam hal penyampaian makna, kata-kata dalam aplikasi multimedia bisa menjadi pemicu yang dapat digunakan memperluas cakupan teks untuk memeriksa suatu topik tertentu secara lebih luas. Multimedia melakukan hal ini bukan hanya dengan menyediakan lebih banyak teks melainkan juga menghidupkan teks dengan
45
menyertakan bunyi, gerak, musik, animasi dan video. Selaras dengan perkembangan psikologi siswa, penyajian materi pembelajaran sekarang sebaiknya mengikuti perkembangan peserta didik. Tidak dipungkiri bahwa siswa kelas IV sekarang sudah tidak lagi gagap teknologi dan selalu mengikuti perkembangan teknologi. Guru dan dosen juga sebaiknya menyajikan materi yang tidak membosankan dan berbasis ICT diantaranya berbasis multimedia. Penyajian materi pembelajaran berbasis multimedia akan lebih menarik, interaktif dan juga lebih praktis terlebih untuk siswa SD dalam pemahaman peta buta. Berdasarkan uraian dipandang penting dan mendesak di dunia pendidikan khususnya pembelajaran kelas IV untuk melakukan penelitian dengan judul ‘Pengembangan Media Pembelajaran Peta Buta Berbasis Puzzle Multimedia bagi Siswa Sekolah Dasar Kelas IV’. Penelitian ini bertujuan mengembangkan media pembelajaran peta buta berbasis puzzle multimedia bagi siswa Sekolah Dasar kelas IV untuk meningkatkan hasil belajar siswa SD dalam pemahaman peta buta pada Mata Pelajaran IPS Kelas IV. METODE Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang berorientasi pada pengembangan produk beserta efektifitasnya. Produk yang dihasilkan dilakukan validasi oleh ahli materi dan ahli media. Validasi materi adalah guru-guru IPS SD dari keempat SD mitra penelitian yang terletak di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Keempat SD Mitra penelitian yaitu SD Padokan 2, SD Ngrukeman, SD Kasihan dan SD Muhammadiyah Ambarbinangun. Validasi oleh ahli media dilakukan oleh pakar/ahli media pembelajaran pengampu MK Teknologi Informasi dalam Pembelajaran di Program Studi PGSD. Setelah media pembelajaran dinyatakan layak oleh ahli-ahli tersebut selanjutnya media diimplementasikan di SD untuk melihat efektifitas media pembelajaran yang dikembangkan tersebut. Metode penelitian ini merujuk pada langkah-langkah penelitian dan pengembangan menurut Borg dan Gall (1989) sebagai berikut (1) proses identifikasi berupa penelitian dan pengumpulan data, (2) perencanaan penelitian, (3) perancangan dan pengembangan media, (4) validasi desain, (5) ujicoba pemakaian media
puzzle multimedia, (6) revisi produk, (7) implementasi atau ujicoba media, (8) revisi desain, (9) revisi produk kedua, dan (10) diseminasi/implementasi/pembuatan produk masal. Pada tahap penelitian dan pengumpulan data, dilakukan identifikasi pada suatu permasalahan yang ada, hasil dari identifikasi tersebut yang melatar belakangi perumusan masalah dengan cara merancang aplikasi game puzzle untuk peta buta. Aplikasi pembelajaran yang lebih efektif, dengan tampilan yang lebih interaktif dan dinamis, serta disukai oleh anakanak menjadi prioritas pada aplikasi yang akan dirancang. Pengumpulan data-data diperlukan dalam rancangan aplikasi yang akan dibuat yaitu peta buta yang digunakan pada siswa SD. Data diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan guru dan siswa SD kelas IV. Data-data juga diperoleh dari buku-buku yang terkait dengan aplikasi, serta media internet. Kajian pustaka juga dilakukan agar mendapatkan pengetahuan dasar mengenai aplikasi yang akan dibuat. Kajian pustaka yang dilakukan meliputi Multimedia, Voice, Game, Tree Diagram, Flowchart, Storyboard, Adobe Flas CS3 Profesional, Adobe Photoshop CS3 dan Adobe Premiere Pro. Pada tahap perencanaan dilakukan analisis kebutuhan penelitian Kebutuhan yang diperlukan pada penelitian ini adalah ahli geografi, ahli multimedia, ahli evaluasi, ahli pemrograman, ahli pembelajaran, ahli media pembelajaran. Rumusan tujuan yang ingin dicapai adalah membuat puzzle peta berbasis multimedia yang dapat digunakan dengan mudah dan menyenangkan serta meningkatkan prestasi siswa kelas IV. Desain atau langkahlangkah penelitian merujuk pada Borg dan Gall (1989). Pada tahap perancangan dan pengembangan draf produk, rancangan aplikasi dibuat, data-data yang telah dikumpulkan diimplementasikan secara keseluruhan, sehingga akhir hasil aplikasi yang diinginkan terwujud. Peta buta Kepulauan Indonesia disiapkan dalam format feature. Pemrograman juga disiapkan meliputi Multimedia, Voice, Game, Tree Diagram, Flowchart, Storyboard, Adobe Flas CS3 Profesional, Adobe Photoshop CS3 dan Adobe Premiere Pro. Pembelajaran IPS kelas IV juga disiapkan dengan mengidentifikasi Standar Kompetensi/ Kompetensi Dasar (SK/KD) serta mempersiapkan Subject Specifik Paedagogik
46
(SSP) beserta seperangkat lampiran RPP. Persiapan validasi meliputi persiapan untuk lembar validasi instrument, lembar validasi media, lembar validasi RPP. Pada tahap validasi desain, produk yang dihasilkan dilakukan validasi oleh ahli materi dan ahli media. Validasi materi adalah guruguru IPS SD dari keempat SD mitra penelitian yaitu SD Padokan 2, SD Ngrukeman, SD Kasihan dan SD Muhammadiyah Ambarbinangun. Validasi oleh ahli media dilakukan oleh pakar/ahli media pembelajaran pengampu MK Teknologi Informasi dalam Pembelajaran di Program Studi PGSD. Lembar validasi instrument untuk media mengadopsi dan mengadaptasi lembar instrument yang telah digunakan oleh Sunarti dan Deri Anggraini dalam penelitiannya yang berjudul Pengembangan Bank Soal dan Pembahasan Ujian Nasional Berbasis Multimedia Pembelajaran Interaktif dengan Macromedia Authorware 7.0. Pada tahap ujicoba pemekaian media puzzle peta berbasis multimedia, aplikasi diuji dengan sangat teliti, guna mendapatkan hasil yang diinginkan atau tidak, jika terdapat kesalahan disuatu bagian, maka akan dilakukan perbaikan pada aplikasi tersebut. Pada akhirnya aplikasi yang telah dirancang sedemikian rupa dapat berjalan dengan baik. Subjek coba penelitian terdiri atas 4 siswa yang di ambil dari kelas IV dari masing-masing SD. Siswa diambil dari 2 SD inti dan 2 SD imbas seperti tabel 1. Tabel 1. Sekolah Dasar Ujicoba Media Nama Sekolah Alamat Kecamatan Status SD 2 Padokan Padokan Kasihan SD Inti SD Ngrukeman Ngrukeman Kasihan SD Inti SD Kasihan Tamantirto Kasihan SD Imbas SD Muh. Tirtonormolo Kasihan SD Imbas Ambarbinangun
Sumber : UPT PPD Kec. Kasihan Bantul Pengukuran tingkat uji coba media yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan penyebaran angket respons, wawancara, observasi, dan tes, sehingga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa komentar dan saran perbaikan produk dari ahli materi dan ahli media dianalisis dan dideskripsikan secara deskriptif kualitatif untuk merevisi produk yang dikembangkan. Data kuantitatif yakni data berupa skor penilaian ahli materi dan ahli media, skor
hasil observasi, skor hasil angket guru dan siswa, serta skor tes yang diperoleh siswa dalam setiap uji coba skor hasil pre-test dan post-test. Analisis data kuantitatif dijelaskan sebagai berikut. Pertama, data kuantitatif skor penilaian ahli materi dan ahli media dianalisis secara deskriptif dengan acuan tabel konversi nilai yang diadaptasi dari Sukardjo (2005:53-54), sehingga menghasilkan pedoman sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 berikut. Tabel 2. Pedoman Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif dengan Skala 5 Nilai A B C D E
Interval Skor X > 4,21 3,40 < X ≤ 4,21 2,60 < X ≤ 3,40 1,79 < X ≤ 2,60 X ≤ 1,79
Kriteria Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Kedua, data kuantitatif daya tarik produk hasil observasi diubah menjadi data kualitatif dengan berpedoman pada konversi nilai yang diadaptasi dari Sukardjo (2005: 53-54) seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Pedoman Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif untuk Daya Tarik Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Nilai A B C D E
Interval Skor X > 12,806 9,602 < X ≤ 12,806 6,398 < X ≤ 9,602 3,194 < X ≤ 6,398 X ≤ 3,194
Kriteria Sangat menarik Menarik Cukup menarik Kurang menarik Sangat kurang menarik
Ketiga, Data skor hasil pre-test dan posttest dianalisis dengan menghitung persentase siswa yang telah memperoleh nilai ≥ 75 (KKM Nasional) dan mengubah data kuantitatif persentase pemahaman belajar menjadi data kualitatif berpedoman pada acuan konversi nilai menurut Bloom, Madaus & Hastings (Tanwey Gerson Ratumanan & Theresia Laurens, 2003:19), yang disajikan dalam Tabel 4 berikut. Tabel 4. Konversi Persentase Ketuntasan Belajar Menjadi Data Kualitatif Persentase (%) 90 ≤ X 80 ≤ X < 90 70 ≤ X < 80 60 ≤ X < 70 X < 60
Kriteria Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
47
Pengukuran efektifitas media juga dilakukan dengan membandingkan data skor hasil pretest dan post-test. Sebelumnya dilakukan uji homogenitas dan uji normalitas. Uji homogenitas variansi sangat diperlukan sebelum membandingkan dua kelompok atau lebih, agar perbedaan yang ada bukan disebabkan oleh adanya perbedaan data dasar (ketidakhomogenan kelompok yang dibandingkan). Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah nilai yang dihasilkan dari siswa berdistribusi normal atau tidak. Jika data pretest doan posttest berdistribusi normal dan homogeny maka pengujian hipotesis menggunakan parametric test yaitu paired sampel t-test, namun jika data pretest dan posttest tidak homogeny dan tidak berdistribusi normal maka pengujian hipotesis menggunakan non parametric test yaitu menggunakan uji Chi-Square. Pada tahap revisi produk dilakukan setelah mendapat masukan dari ujicoba pemakaian pada sampel yang terbatas. Masukan-masukan dari siswa sangat diperlukan guna merevisi produk puzzle ini karena pengguna puzzle ini adalah siswa-siswa tersebut. Setelah tahap pengujian aplikasi selesai dilakukan, maka dilanjutkan dengan test aplikasi secara obyektif, test aplikasi dilakukan untuk disimulasikan kepada seorang atau banyak siswa. Pada penelitian ini diujicobakan kepada separuh siswa kelas IV dari masing-
masing SD. Hal ini dikarenakan masing-masing SD memiliki kelas paralel sebanyak 2 kelas. Tujuannya untuk mengetahui apakah aplikasi ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan atau tidak. Tahap ini dilakukan untuk melihat kefektifan penggunaan media pembelajaran pada siswa kelas IV di sekolah yang telah ditetapkan seperti pada Tabel 1. Soal pre-test dan post-test digunakan untuk mengetahui keefektifan pemahaman peta buta pada siswa setelah menggunakan produk multimedia yang dikembangkan. Revisi desain tahap kedua ini dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan produk berdasarkan masukan dan saran-saran hasil uji coba produk puzzle yang lebih luas. Revisi produk ini dilakukan terhadap produk akhir setelah revisi desain berdasarkan saran dan masukan dalam uji pelaksanaan lapangan. Revisi produk ini dilakukan apabila dalam pemakaian dalam lembaga pendidikan yang lebih luas terdapat kekurangan dan kelemahan. Revisi produk dilakukan untuk penyempurnaan dan pembuatan produk baru lagi. Setelah media dinyatakan efektif dalam bberapa kali pengujian, maka media dapat disebarluaskan melalui pertemuan ilmiah, jurnal ilmiah, pameran produk pendidikan, atau diproduksi secara masal.
Gambar 1. Desain Penelitian
48
HASIL PENELITIAN Berdasarkan Tabel 4 di bawah ini, dari sudut pandang perolehan rata-rata nilai, media puzzle peta berbasis multimedia masih belum dapat menuntaskan pembelajaran dengan optimal. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata nilai dari keempat SD mitra adalah 71,60 yang berarti kurang 3,40 point untuk mencapai KKM Nasional sebesar ≥75. Berdasarkan pengamatan, beberapa siswa kesulitan dalam mengerjakan media puzzle peta tersebut. Tabel 5. Hasil Ujicoba Tak Terbatas di Sekolah Dasar Mitra Kriteria % Nama Sekolah Rata- Kriteria Rata Ketuntasan Nilai Siswa Kurang 74,80 Tidak 64 SD 2 Padokan Tuntas Cukup 76 SD Ngrukeman 73,45 Tidak Tuntas Cukup 70,00 Tidak 78 SD Kasihan Tuntas Cukup 68,18 Tidak 70 SD Tuntas Muhammadiyah
Kriteria % Nama Sekolah Rata- Kriteria Rata Ketuntasan Nilai Siswa Ambarbinangun Cukup 71,60 Tidak 72 Rata-rata Tuntas
Sedangkan dari sudut pandang persentase ketuntasan siswa juga belum dapat optimal dengan perolehan persentase 72% (kriteria persentase = cukup) Hal ini dikarenakan belum terbiasanya siswa tersebut dalam hal penggunaan komputer. Beberapa siswa kesulitan menyusun puzzle pulau dikarenakan dua hal yaitu belum paham tentang bentuk pulau dalam puzzle atau kesulitan mengoperasikan tetikus. Berdasarkan Tabel 5 pada hasil penelitian, media pembelajaran puzzle berbasis multimedia dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran IPS kelas IV. Hal ini terlihat pada taraf signifikasi sebesar 0,000 pada uji hipotesis, terdapat peningkatan yang signifikan antara pretest dan posttes pada pembelajaran IPS di kelas IV.
Tabel 6. Rekap uji signifikansi dari keempat SD Mitra Penelitian Nama Sekolah
Sign.
Homo genitas Data Homogen
Sign.
Normal itas Data
Sign.
Pre=0,000 Pos=0,000
Tidak Normal
0,000
Uji Hipote sis ChiSquare
SD Kasihan
0,242
SD Ngrukem An
0,002
Tidak Homogen
Pre=0,000 Pos=0,000
Tidak Normal
0,000
ChiSquare
SD 2 Padokan
0,341
Homogen
Pre=0,064 Pos=0,063
Normal
0,000
SD Muhammadiyah Ambarbi nangun
0,004
Tidak Homogen
Pre=0,020 Pos=0,092
Normal
0,000
PairedSampel Test ChiSquare
Pemilihan media puzzle untuk pemahaman peta buta bagi siswa Sekolah Dasar kelas IV yang sesuai dengan tujuan, karakteristik materi dan siswa dapat menciptakan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan lebih variatif, inovatif dan konstruktif. Media puzzle peta dapat meningkatkan kemampuan membaca peta bagi siswa.
Signifi kansi Media Ada peningkatan signifikan thd hasil belajar Ada peningkatan signifikan thd hasil belajar Ada peningkatan signifikan thd hasil belajar Ada peningkatan signifikan thd hasil belajar
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perlakuan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Puzzle Peta berarti permainan menyusun potonganpotongan bentuk peta. Dalam hal ini Peta wilayah Indonesia yang terbagi menjadi 33 propinsi.
49
Permainan puzzle ini akan lebih menarik ketika dikemas dalam satu teknologi berbasis IT yaitu komputer. Komputer yang memanfaatkan aplikasi multimedia mampu menghasilkan suatu informasi lebih indah dan hidup. Data yang disusun dapat berupa teks, gambar, animasi bahkan dapat diperlengkap dengan data-data suara atau video sekalipun. Pernyataan Suyanto (2005) bahwa pada abad 21 ini, multimedia dapat menjadi keterampilan dasar yang sama pentingnya dengan keterampilan membaca menjadi terbukti dengan penelitian ini. Sesungguhnya multimedia mengubah hakikat membaca menjadi kegiatan membaca yang dinamis dengan memberi dimensi baru pada kata-kata. Demikian pula pada membaca peta. Apalagi dalam hal penyampaian makna, kata-kata dalam aplikasi multimedia bisa menjadi pemicu yang dapat digunakan memperluas cakupan teks untuk memeriksa suatu topik tertentu secara lebih luas. Multimedia melakukan hal ini bukan hanya dengan menyediakan lebih banyak teks melainkan juga menghidupkan teks dengan menyertakan bunyi, gerak, musik, animasi dan video. Penelitian ini membuktikan bahwa membaca peta dengan multimedia menjadi pembelajaran yang lebih menarik bagi siswa daripada membaca selembar peta yang diam tak bergerak, tak bersuara dan tak mampu berinteraksi. Penggunaan multimedia materi yang dihasilkan akan lebih menarik, interaktif dan juga lebih praktis terlebih untuk siswa SD dalam pemahaman peta buta. Hal ini dibuktikan dengan respon guru dan siswa SD Mitra yaitu SD 2 Padokan, SD Ngrukeman, SD Kasihan dan SD Muhammadiyah Ambarbinangun di Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul DIY sebagai berikut. Respon Guru Terhadap Produk Puzzle Peta Berbasis Multimedia Respon guru pada produk media pembelajaran Puzzle Peta berbasis Multimedia ini baik. Hal ini berdasarkan rekap respon keempat guru SD mitra penelitian (disajikan pada Lampiran 10) diperoleh fakta sebagai berikut. a. Satu guru sangat setuju dan tiga guru setuju bahwa media Puzzle Peta Berbasis Multimedia bermanfaat untuk belajar IPS di SD kelas IV materi kenampakan alam dan buatan.
b. Keempat guru tersebut setuju bahwa belajar IPS menggunakan Puzzle Peta Berbasis Multimedia membuat siswa lebih terampil dalam membaca peta Indonesia dan tidak setuju jika media Puzzle Peta Berbasis Multimedia membuat siswa kurang terampil dalam membaca peta. c. Keempat guru tidak setuju jika Puzzle Peta Berbasis Multimedia justru mempersulit siswa dalam menyelesaikan persoalan membaca peta dalam pembelajaran IPS. d. Satu guru sangat setuju dan tiga guru setuju jika media Puzzle Peta Berbasis Multimedia mendorong siswa untuk menemukan ide-ide baru. e. Keempat guru tidak setuju jika media belajar IPS menggunakan Puzzle Peta Berbasis Multimedia membuat siswa merasa tertekan. f. Satu orang setuju dan tiga orang tidak setuju jika menggunakan media Puzzle Peta Berbasis Multimedia saat belajar IPS membuat siswa kurang mengerti materi peta. g. Keempat guru setuju jika belajar IPS menggunakan media Puzzle Peta Berbasis Multimedia siswa lebih mudah memahami materi peta buta. h. Keempat guru tidak setuju jika media Puzzle Peta Berbasis Multimedia kurang bermanfaat untuk belajar IPS bagi siswa kelas IV, membuat ngantuk, tidak dapat mengemukakan pendapat dan hanya membuang-buang waktu mengajar. i. Keempat guru setuju jika media Puzzle Peta Berbasis Multimedia membuat siswa nampak lebih termotivasi, dapat mengeksplorasi diri siswa, dan melatih siswa untuk mengemukakan pendapat serta membuat materi peta mudah diingat. j. Satu guru sangat setuju dan tiga guru setuju jika media Puzzle Peta Berbasis Multimedia membuat siswa lebih aktif dalam belajar IPS serta belajar IPS menjadi lebih menarik untuk dipelajari. k. Satu guru menyatakan sangat tidak setuju dan tiga guru tidak setuju jika guru merasa rugi jika mengajar IPS di kelas IV menggunakan media Puzzle Peta Berbasis Multimedia. Respon Siswa terhadap Produk Puzzle Peta Berbasis Multimedia Respon siswa terhadap media Puzzle Peta Berbasis Multimedia juga baik . Hal ini nampak pada fakta-fakta berikut ini.
50
a. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Lebih Bermanfaat Untuk Belajar Series1; Sangat Tidak Setuju; 0; 0%
Series1; Tidak Setuju; 1; 1%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju
Series1; Setuju; 51; 42%
Series1; Sangat Setuju; 70; 57%
c. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Lebih Terampil Series 1; Sanga t Tidak Setuju ; 1; 1%
Series1; Tidak Setuju; 7; 7%
Series1; Sangat Setuju; 59; 57%
Series1; Setuju; 36; 35% Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju
Media Puzzle Peta Lebih Bermanfaat Untuk Belajar
Gambar 2. Respon Siswa Terhadap Manfaat Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia
b. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia dalam Pembelajaran IPS Menjemukan Series1; Sangat Setuju; 7; 7%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Belajar IPS dengan Menggunakan Sangat Setuju Puzzle Peta Membuat Saya Lebih Terampil
Gambar 4. Respon Siswa Tentang Keterampilan Siswa dalam Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia
d. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Mempersulit Siswa dalam Menyelesaikan Persoalan dalam Pembelajaran IPS
Setuju Series1; Setuju; 13; 13%
Series1; Sangat Tidak Setuju; 21; 20%
Series1; Tidak Setuju; 62; 60%
Media Puzzle Peta Dalam Pembelajaran IPS Menjemukan
Gambar 3. Respon Siswa Tentang Kejemuan Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia
Series1; Setuju; 8; 8%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Series1; Sangat Setuju; 13; 13% Series1; Sangat Tidak Setuju; 25; 25%
Setuju Sangat Setuju
Series1; Tidak Setuju; 55; 54% Media Puzzle Peta Mempersulit Saya dalam Meyelesaikan Persoalan dalam Pelajaran IPS
Gambar 5. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Mempersulit Siswa dalam Menyelsaikan Persoalan Dalam Pembelajaran IPS
51
e. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Mendorong Siswa Menemukan Ide-Ide Baru Series1; Sangat Tidak Setuju; 3; 3%
Series1; Tidak Setuju; 5; 5%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
g. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Kurang Mengerti Materi IPS Sangat Tidak Setuju
Series1; Sangat Setuju; 2; 2%
Tidak Setuju
Setuju Series1; Setuju; 20; 19%
Sangat Setuju
Series1; Sangat Setuju; 40; 38%
Series1; Setuju; 56; 54%
Media Puzzle Peta Mendorong Saya untuk Menemukan IDe-ide Baru
Series1; Sangat Tidak Setuju; 17; 17%
Setuju Sangat Setuju
Series1; Tidak Setuju; 64; 62%
Saya Kurang Mengerti Materi, Saat Belajar IPS
Gambar 6. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Mendorong Siswa Menemukan Ide-Ide Baru
Gambar 8. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Kurang Mengerti Materi IPS
f. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Tertekan
h. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Lebih Memahami Materi IPS
Series1; Setuju; 10; 9%
Series1; Sangat Setuju; 5; 5% Series1; Sangat Tidak Setuju; 26; 24%
Series1; Tidak Setuju; 66; 62%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Series 1; Sanga t Tidak Setuju ; 2; 2%
Series1; Tidak Setuju; 5; 5% Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Series1; Sangat Setuju; 52; 53%
Setuju Series1; Setuju; 39; 40%
Setuju
Sangat Setuju Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Membuat Saya Merasa Tertekan
Gambar 7. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Tertekan
Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Membuat Saya Lebih Memahami Materi
Gambar 9. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Lebih Memahami Materi IPS
52
i. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Kurang Bermanfaat untuk Belajar IPS Series1; Sangat Setuju; 3; 3% Series1; Setuju; 11; 11%
Series1; Sangat Tidak Setuju; 35; 34%
Series1; Tidak Setuju; 53; 52%
k. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Termotivasi Series 1; Sanga t Tidak Setuju ; 6; 6%
Series1; Tidak Setuju; 2; 2% Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Series1; Sangat Setuju; 47; 46%
Setuju Sangat Setuju Series1; Setuju; 48; 46%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju
Media Pembelajaran Puzzle Peta Kurang Bermanfaat Untuk Belajar IPS
Sangat Setuju
Gambar 10. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Kurang Bermanfaat
j. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Mengantuk Series1; Setuju; 4; 4%
Series1; Sangat Setuju; 1; 1% Series1; Sangat Tidak Setuju; 43; 42%
Series1; Tidak Setuju; 55; 53%
Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Saya Merasa Lebih Termotivasi
Gambar 12. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Termotivasi
l. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Tidak Dapat Mengemukakan Pendapat Series1; Sangat Setuju; 3; 3% Series1; Setuju; 14; 14%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju
Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Membuat Saya Mengantuk
Gambar 11. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Mengantuk
Series1; Sangat Tidak Setuju; 24; 23% Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Setuju Series1; Tidak Sangat Setuju Setuju; 62; 60% Saya Tidak Dapat Mengemukakan Pendapat Saat Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta
Gambar 13. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Tidak Dapat Mengemukakan Pendapat
53
m. Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Adalah Membuang-Buang Waktu Belajar Siswa Series1; Setuju; 6; 6%
Series1; Sangat Setuju; 3; 3% Series1; Sangat Tidak Setuju; 36; 35%
Series 1; Sanga t Tidak Setuju ; 6; 6%
Series1; Tidak Setuju; 10; 10% Series1; Sangat Setuju; 36; 35% Sangat Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Series1; Tidak Setuju; 58; 56%
Series1; Setuju; 50; 49%
Tidak Setuju
Setuju Sangat Setuju
Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Membuang-buang Waktu Belajar Saya
Gambar 14. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuang-Buang Waktu Belajar Siswa
n. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Dapat Mengeksplorasi Siswa Series1 ; Sangat Tidak Setuju; 7; 7%
o. Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Melatih Siswa Untuk Dapat Mengemukakan Pendapat
Series1; Tidak Setuju; 12; 12%
Setuju Belajar IPS dengan Menggunakan Media Puzzle Peta Melatih Saya Untuk Bisa Mengemukakan Pendapat
Gambar 16. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Melatih Siswa Untuk Dapat Mengemukakan Pendapat
p. Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Lebih Aktif Belajar Series1; Sangat Tidak Setuju; 6; 7%
Series1; Sangat Setuju; 25; 25%
Series1; Setuju; 57; 56%
Sangat Setuju
Series1; Tidak Setuju; 1; 1%
Series1; Setuju; 32; 34%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Series1; Sangat Setuju; 54; 58%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Sangat Setuju
Belajar IPS dengan Media Puzzle Peta Dapat Mengeksplorasi Diri Saya Sendiri
Gambar 15. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Dapat Bereksplorasi
Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Membuat Saya Lebih Aktif dalam Belajar
Gambar 17. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Lebih Aktif Belajar
54
q. Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Materi IPS Mudah Diingat Series 1; Sanga t Tidak Setuju ; 1; 1%
Series1; Tidak Setuju; 8; 8%
Series1; Sangat Setuju; 41; 40%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju Series1; Setuju; 53; 51%
s. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Merasa Rugi Belajar IPS Series1; Setuju; 6; 6%
Series1; Tidak Setuju; 37; 36%
Series1; Sangat Setuju; 2; 2% Series1; Sangat Tidak Setuju; 58; 56% Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Sangat Setuju
Setuju
Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Membuat Materi Mudah Diingat
Gambar 18. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Materi IPS Mudah Diingat Siswa
r. Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Pelajaran IPS Lebih Menarik Untuk Dipelajari Series 1; Sanga t Tidak Setuju ; 4; 4%
Series1; Tidak Setuju; 10; 10%
Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju
Series1; Sangat Setuju; 47; 45%
Setuju Series1; Setuju; 42; 41%
Sangat Setuju
Media Puzzle Peta Membuat Pelajaran IPS Lebih Menarik Untuk Dipelajari
Gambar 19. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Lebih Menarik Untuk Dipelajari
Saya Merasa Rugi Belajar IPS Menggunakan Media Puzzle Peta
Sangat Setuju
Gambar 20. Respon Siswa Tentang Pembelajaran IPS Menggunakan Media Puzzle Peta Berbasis Multimedia Membuat Siswa Rugi Belajar IPS Respon guru dan siswa tersebut diatas menambah keunggulan dari Media Pembelajaran Puzzle Peta Berbasis Multimedia. Keunggulan dan kekurangan dari aplikasi media pembelajaran Puzzle Multimedia untuk pemahaman peta buta bagi siswa Sekolah Dasar adalah : Keunggulan Produk Puzzle Peta Berbasis Multimedia Media Pembelajaran ini berbasis multimedia sehingga lebih menarik bagi siswa SD kelas IV dimana pembuatannya menggunakan software macromedia Flash, yang mempunyai keunggulan dalam tampilan gambar, teks dan suara. Pada penyajian evaluasi dibuat dengan media puzzle sehingga memberikan kreasi lebih menarik. Aplikasi pembelajaran ini tidak hanya diperuntukkan untuk siswa Sekolah Dasar kelas IV tetapi semua orang dapat menggunakannaya. Kekurangan Produk Puzzle Peta Berbasis Multimedia Media Pembelajaran Puzzle Berbasis Multimedia untuk Pemahaman Peta Buta bagi siswa Sekolah Dasar kelas IV ini mempunyai kelemahan-kelemahan diantaranya : pada gambar belum memberikan informasi letak dan
55
nama kota-kota kecil lainnya, gunung, sungai dan danau. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka media puzzle peta berbasis multimedia dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat menyempurnakan hasil penelitian yaitu KKM yang tinggal 3,40 point lagi. SIMPULAN Simpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini adalah pembelajaran menggunakan media pembelajaran puzzle peta berbasis multimedia dapat menuntaskan persentase siswa memperoleh KKM sebesar 72% dengan rata-rata hasil belajar siswa sebesar 71,60. Selain itu media pembelajaran puzzle peta berbasis multimedia dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar IPS kelas IV di Sekolah Dasar khususnya pemahaman pembelajaran peta buta secara signifikan serta dapat menciptakan proses pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Hal ini dibuktikan dengan taraf signifikasi sebesar 0,000 pada pengujian hipotesis. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada DIKTI melalui Hibah DIA BERMUTU Batch II Tahun Ke-4 di Universitas PGRI Yogyakarta yang telah mendanai penelitian ini.
Dedy, 2002, Pemanfaatan Macromedia Flash Dalam Pembuatan Aplikasi Untuk Anak, Universitas PGRI Yogyakarta
Degeng, I.N.S. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: IKIP dan IPTDI Departemen Pendidikan Nasional. 2002. GarisGaris Besar Program Pengajaran Mata Pelajaran IPS untuk Sekolah Dasar. Jakarta.
Depdikbud. 1995. Pedoman Proses Belajar Mengajar di SD. Jakarta: Proyek Pembinaan Sekolah Dasar Gularso, Dhiniaty 2009. Puzzle Peta Indonesia (salah satu model pembelajaran dalam rangka meningkatkan kompetensi pemetaan di SD dengan Menggunakan Alat Peraga murah). Prosiding Seminar Nasional Lembaga Penelitian. No. ISBN. 978-979-562-020-4 Hadisutopo, Ariesto, 2003, Multimedia Interaktif dengan Flash, Graham ilmu, Yogyakarta. Iwan Binanto, 2010. Multimedia Digital, Dasar Teori + Pengembangannya, Penerbit Andi Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
M. Suyanto, 2005. Multimedia, Alat Untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing, Penerbit Andi Yogyakarta.
Agus Irianto, 2007. Statistik, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Munandar, Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Adi, 2009. Penggunaan Peta Buta Untuk Meningkatkan Keterampilan Menunjukkan Letak Negara-Negara Asia Tenggara Bagi Siswa Kelas VI SD N Sambong, Sedan, Rembang Tahun Pelajaran 2008/2009. Jurnal Adi Cendekia Vol 2 No. 5 Tahun 2009. Yayasan Bina Insan Mandiri, Jakarta. isjd.pdii.lipi.go.id
Nana Syaodih Sukmadinata, 2011. Metode Penelitian Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
_______. 2002. Petunjuk Teknis Pelajaran IPS untuk SD. Jakarta.
Mata
Basiran, Mokh. 1999. Apakah yang Dituntut GBPP Bahasa Indonesia Kurikulum 1994. Yogyakarta: Depdikbud Darma, Jarot S, Shenia Ananda, 2009. Buku Pintar Menguasai Multimedia. Penerbit PT. Transmedia, Jakarta
Puas, Meilany. 2011. Media Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Kelas 1 Sekolah Dasar, Fakultas Teknik, Universitas PGRI Yogyakarta. Sadiman, Arief, dkk. 2002;6. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Santoso, Soegeng. 2002. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Citra Pendidikan Indonesia. Sukardjo. 2005. Evaluasi Pembelajaran. Diktat mata Kuliah Evaluasi pembelajaran Prodi TP PPs UNY, Tidak diterbitkan.
56
Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Pendidikan;Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Penerbit Alfabeta, Bandung. Sunarti dan Deri Anggraini, 2012. Pengembangan Bank Soal dan Pembahasan Ujian Nasional Berbasis Multimedia Pembelajaran Interaktif dengan Macromedia Authorware 7.0, Jurnal Cakrawala Pendidikan, No. 3, LPPMP UNY, Yogyakarta, November 2012,No ISSN: 0216-1370
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka. Tanwey Gerson Ratumanan dan Theresia Laurens, (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press. Zainal Arifin, 2012. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
57
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT STMAHASISWAR NATIONAL COUNCIL OF THEACHERS OF MATHEMATICS (NCTM); UPAYA MEMPERSIAPKAN CALON DOSEN SD DALAM MENGAJAR MATEMATIKA YANG MENYENANGKAN Dyah Worowirastri Ekowati, M.Pd Staf Pengajar Pendidikan PGSD FKIP UMM Abstrak Dalam pembelajaran matematika, proses pembelajaran yang menyenangkan merupakan rangkaian proses pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar matematika dengan senang dan nyaman. Harapannya, dengan belajar matematika yang menyenangkan mampu membawa kebermaknaan belajar bagi siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan diajarkannya matematika di Sekolah Dasar. Pembelajaran matematika diarahkan untuk pembentukan kepribadian dan pembentukan kemampuan berpikir yang bersmahasiswar pada hakikat matematika. Ini berarti, hakikat matematika merupakan unsur utama dalam pembelajaran matematika. Sehingga kebermaknaan dalam belajar matematika menjadi pendukung penting agar terbentuk hakikat matematika. Selama ini, pembelajaran matematika dikenal melalui keabstrakannya. Pembelajaran matematika identik dengan belajar rumus-rumus. Permasalahan yang muncul, tidak semua dosen siap mengelola pembelajaran matematika yang bermakna dan menyenangkan. LPTK memiliki kewajiban untuk menyiapkan calon dosen guna mendukung terpenuhinya kebutuhan ini. PGSD-UMM bersikap proaktif dengan salah satu misinya adalah mencetak dosen SD yang profesional. Hal ini karena pembelajaran dosen dalam proses perkuliahan pada umumnya akan menjadi miniatur bagi mahasiswa calon dosen SD ketika mereka mengajar nanti. Oleh karena itu, berbagai langkah ditempuh diantaranya dengan penelitian lapang maupun pengabdian untuk menggali permasalahan pembelajaran matematika SD di kelas, diskusi berkelanjutan dengan para dosen pengampu Pembelajaran Matematika SD serta berkomunikasi secara efektif dengan para stakeholder dan para dosen matematika di sekolah. Hasilnya diketahui bahwa para calon dosen harus memahami mengenai 4 komponen yaitu tugas dalam matematika, wacana materi dan lingkungan dalam matematika serta analisis dalam aktivitas matematika tersebut. 4 komponen yang dimaksud itu merupakan bagian dalam stmahasiswar National Council Of Theachers Of Mathematics (NCTM). Pada akhirnya, diharapkan mahasiswa mampu memahami komponen tersebut sehingga dapat melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan dan mampu memberikan kebermaknaan bagi siswa. Makalah ini secara rinci akan menjabarkan bagaimana pembelajaran matematika menurut stmahasiswar national council of theachers of mathematics (NCTM) sebagai upaya mempersiapkan calon dosen SD dalam mengajar matematika yang menyenangkan. Diawali dari pemahaman dasar mengenai komponen dalam stmahasiswar NCTM, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, sampai pada evaluasi pembelajaran yang sudah dilakukan. Dengan demikian, para calon dosen akan belajar bagaimana mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran matematika yang menyenangkan dan membawa kebermaknaan bagi siswa. Kata Kunci : NCTM, Pembelajaran Matematika SD, Matematika Yang Menyenangkan
PENDAHULUAN Pada awal berdirinya PGSD FKIP UMM di tahun 2007, materi matematika hadir dalam mata kuliah kajian matematika I, II serta mata kuliah pembelajaran matematika. Dalam mata kuliah kajian matematika I, II memiliki tujuan untuk membekali mahasiswa dengan teori, konsep matematika. Sedangkan dalam mata
kuliah pembelajaran, digunakan untuk membekali mahasiswa dalam belajar membelajarkan materi matematika. Seiring perkembangan waktu, dirasa perlu melakukan perubahan, hingga pada tahun 2012 ada perubahan pada kurikulum PGSD. Khususnya, pada mata kuliah yang berkaitan dengan matematika. Mata kuliah kajian matematika
58
yang awalnya dilaksanakan dua kali berubah menjadi satu kali dan berubah nama menjadi kajian matematika. Sedangkan, mata kuliah pembelajaran matematika yang awalnya dilaksanakan satu kali ditingkatkan menjadi dua kali yaitu pembelajaran matematika SD I dan II. Perubahan-perubahan di atas, dimaksudkan agar para mahasiswa mendapat bekal yang cukup mengenai keilmuan matematika SD. Sehingga dengan bekal tersebut, mampu mempermudah para mahasiswa untuk belajar tata cara mengajar materi matematika SD. Pada mata kuliah kajian matematika SD inilah yang menjadi sebuah kesempatan emas untuk memberikan gambaran pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna bagi calon dosen. Harapannya, jika mahasiswa memahami merasa senang dan nyaman dalam belajar, maka ilmu tersebut akan menjadi bermakna bagi mahasiswa. Jika merasa bermakna, maka pembelajaran tersebut akan menjadi salah satu miniatur pembelajaran bagi calon dosen. Kebermaknaan belajar tersebut, dapat dimaknai berdasarkan empat komponen. Diantaranya adalah tugas dalam matematika, wacana materi dan lingkungan dalam matematika serta analisis dalam aktivitas matematika tersebut. 4 komponen yang dimaksud itu merupakan bagian dalam stmahasiswar National Council Of Theachers Of Mathematics (NCTM). Di sisi lain, pengetahuan yang dimiliki para mahasiswa tentang materi matematika SD sangat beragam. Padahal pemanfaatan pengetahuan yang dimiliki mahasiswa sesungguhnya membuka kesempatan bagi mereka untuk berperan aktif dalam belajar. Hal ini bisa dilakukan dengan bertanya, mengemukakan pendapat atau bekerjasama dengan teman dalam kelompok belajar. Oleh karena itu, perlu ada para pendidik di PGSD perlu melakukan pembelajaran yaang sesuai dengan stmahasiswart tersebut. Perlu diketahui, dalam konteks materi pembelajaran matematika, belajar matematika adalah suatu proses (aktivitas) berpikir disertai dengan aktivitas afektif dan fisik (Suherman, 2008:1). Sehingga melalui bertanya, mengemukakan pendapat atau bekerjasama dengan teman dalam kelompok belajar akan terjadi perubahan perilaku mahasiswa ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, dosen perlu menciptakan suasana belajar yang dapat mengembangkan pola pikir dan argumentasi matematika mahasiswa. Suasana atau situasi yang demikian mendukung terbentuknya
pemahaman mahasiswa terhadap materi yang dipelajari. Oleh karena itu, pembelajaran matematika menurut stmahasiswar national council of theachers of mathematics (NCTM) sebagai upaya mempersiapkan calon dosen SD dalam mengajar matematika yang menyenangkan itu perlu dilakukan. Dan, artikel ilmiah ini akan lebih membatasi pada upaya mempersiapkan calon dosen SD dalam mengajar matematika yang menyenangkan. Dengan demikian pertanyaan yang paling mungkin dimunculkan adalah 1) Bagaimanakah latar belakang Stmahasiswar national council of theachers of mathematics (NCTM) itu? 2) Bagaimana pelaksanaan pembelajaran menurut national council of theachers of mathematics (NCTM)? 3) Dan bagaimanakah bentuk implementasinya dalam rangka mempersiapkan calon dosen yang SD dalam mengajar matematika yang menyenangkan? Pertanyaan tersebut akan coba kita uraikan pada bagian pembahasan selanjutnya. PEMBAHASAN Latar belakang national council of theachers of mathematics (NCTM) Dalam dua dekade, perubahan dalam pendidikan matematika terjadi sangat lambat tapi pasti. Salah satu faktor penting dalam perubahan ini adalah kepemimpinan yang profesional dalam National Council of Teacher of Matematics (NCTM). NCTM ini adalah sebuah organisasi dosen dan pendidik matematika di Amerika Serikat. Pada bulan April tahun 2000, NCTM mengeluarkan Prinsip-prinsip dan Stmahasiswar Matematika Sekolah (Principles and Stmahasiswars for School Matematis), yang merupakan revisi dari dokumen aslinya yang dikeluarkan 11 tahun sebelumnya pada tahun 1989. Dengan dokumen ini NCTM melanjutkan untuk mengarahkan perubahan dalam bidang pendidikan matematika, tidak hanya di Amerika Serikat dan Kanada tetapi juga di seluruh dunia. Momen untuk perubahan dalam bidang pedidikan matematika mulai di awal tahun 1980-an. Para pendidik merespon perubahan “kembali ke dasar” (back to basic). Sebagai salah satu hasilnya, pemecahan soal menjadi bagian penting dalam kurikulum matematika. Teori-teori dari Piaget dan para psikologi perkembangan yang lain membantu
59
mengarahkan penelitian tentang bagaimana cara terbaik belajar matematika bagi peserta didik. Momentum ini menjadi bahan pemikiran di tahun 1989 ketika NCTM menerbitkan Stmahasiswar Kurikulum dan Evaluasi Matematika Sekolah (Curicum and Evolution Stmahasiswards for School Matematics) dan era perubahan dalam matematika dimulai. Hal ini terus berlanjut hingga kini. Tidak ada dokumen lain yang mempunyai pengaruh sebesar dokumen dari NCTM teradap pendidikan matematika ataupun bidang lain dalam kurikulum. Pada tahun 1991 NCTM menerbitkan Stmahasiswar Profesional untuk Mengajar Matematika (Professional Stmahasiswards for Teaching Matematics). Stmahasiswar Profesional menjelaskan isi tentang mengajar matematika dan membuahkan pemikiran yang termuat di dalam Stmahasiswar Kurikulum bahwa matematika yang baik dan penting merupakan visi untuk semua peserta didik, bukan untuk sebagian saja. NCTM melengkapi dokumen dengan menerbitkan Stmahasiswar Penilaian Matematika (Asessment Stmahasiswards for School Matematics) pada tahun 1995. Stmahasiswar Penilaian menunjukan jelas perlunya mengintegrasikan penilaian dengan pengajaran dan menyatakan peran kunci penilaian dalam menjalankan perubahan. Dari tahun 1989 sampai 2000 ketiga dokumen ini telah mengarahkan gerak perubahan dalam pendidikan matematika. Prinsip-prinsip dan Stmahasiswar Matematika Sekolah merupakan versi baru dari gabungan ketiga dokumen stmahasiswar. Harus diakui bahwa visi dari Stmahasiswar Kurikulum tahun 1989 hingga kini belum terealisasi meskipun perubahan ke arah perbaikan telah banyak dilakukan. Perubahan politik sering tidak mendukung. Meskipun lambat perubahan dalam pendidikan matematika di sekolah terus berlanjut. Perubahan ini tidak seperti pegas yang akan bergerak mundur. Pelaksanaan Stmahasiswar national council of theachers of mathematics (NCTM) Dalam pembelajaran matematika mahasiswa, dosen harus menyediakan tugas yang dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengkonstruk (membangun) matematika di dalam pikirannya. Supaya mahasiswa dapat melaksanakan tugas yang diberikan oleh pendidik maka pendidik harus
menata lingkungan baik fisik maupun nonfisik. Selain penataan lingkungan, juga perlu dibangun suatu wacana tentang penyelesaian tugas yang diberikan. Hal ini bertujuan agar terjadi interaksi antara mahasiswa-dosen dan antar mahasiswa. Dari ketiga komponen tersebut yaitu tugas, lingkungan dan wacana maka diperlukan suatu analisis agar dosen dapat mengikuti jalan pikiran siswa dalam menyelesaikan tugas dan dosen juga dapat merefleksi apa yang telah dilakukan siswa sehingga dapat memberikan bantuan yang diperlukan. Berdasarkan uraian di atas, maka menurut NCTM pembelajaran matematika perlu memiliki 4 komponen yaitu 1) Tugas, 2) Wacana, 3) Lingkungan dan 4) Analisis. 1) Tugas menyediakan kegiatan bermatematika bagi mahasiswa dan dapat berupa: pertanyaan, proyek, masalah, konstruksi, aplikasi, atau soal latihan. 2) Wacana meliputi cara mempresentasikan, berpikir, berbicara, menyetujui, tidak menyetujui yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa dalam membicarakan penyelesaian suatu tugas. 3) Lingkungan meliputi lingkungan fisik dan non-fisik menggambarkan penataan untuk belajar yanitu interaksi antara intelektual, sosial dan ciri-ciri fisik yang dapat membentuk cara mengetahui (knowing) dan cara bekerja (doing) yang digalakkan dan diharapkan terjadi di dalam kelas. 4) Analisis adalah refleksi sistematis yang dilakukan dosen yang merupakan kegiatan inti untuk memonitor kehidupan kelas yang sedang berlangsung. Dosen perlu mencermati seberapa baik tugas, wacana dan lingkungan membantu meningkatkan kemampuan matematika mahasiswa dan melihat hubungan antara apa yang dilakukan mahasiswa dan dosen dengan belajar mahasiswa. Perlu diketahui walaupun secara analitis komponen-komponen tersebut terpisah satu sama lain, tetapi sebenarnya mereka saling terkait dan dapat terjadi hampir bersamaan dalam jangka waktu tertentu. Penjelasan selengkapnya dapat dijabarkan sebagai berikut. Tugas Tugas yang dibuat oleh dosen harus berdasar pada:
60
a) Matematika yang signifikan dan menjanjikan b) Pengetahuan, pemahaman, keinginan dan pengalaman mahasiswa c) Pengetahuan tentang cara-cara mahasiswa belajar matematika d) Melibatkan intelektual mahasiswa e) Mengembangkan pemahaman dan keterampilan matematika mahasiswa f) Merangsang mahasiswa untuk membuat koneksi (hubungan) dan mengembangkan kerangka kerja matematika yang koheren. g) Meningkatkan komunikasi tentang matematika h) Mengundang formulasi masalah i) Mewakili matematika sebagai suatu kegiatan dan j) Meningkatkan kecenderungan mahasiswa untuk bermatematika Wacana Peran dosen dalam wacana adalah: a) Memberi pertanyaan dan tugas yang mengikat dan menantang mahasiswa untuk berpikir, b) Mendengar secara hati-hati ide-ide mahasiswa, c) Bertanya kepada mahasiswa untuk mengklarifikasi dan menjustifikasi ide-ide mahasiswa secara lisan atau tulisan, d) Menentukan apa yang perlu secara mendalam dikaji dari ide-ide yang dikemukakan oleh mahasiswa dalam diskusi, e) Menentukan kapan dan bagaimana memasukkan bahasa dan notasi matematika ke dalam ide mahasiswa, f) Memutuskan kapan menyediakan informasi ketika mengklarifikasi suatu isu, kapan untuk model, kapan untuk membimbing dan kapan membiarkan mahasiswa untuk berjuang menghadapi kesulitan, dan g) Memonitor partisipasi mahasiswa dalam diskusi memutuskan kapan dan bagaimana memberanikan setiap mahasiswa untuk berpartisipasi. Sedangkan peran mahasiswa dalam wacana adalah: a) Mendengarkan, merespon, dan bertanya kepada dosen dan mahasiswa yang lain, b) Menggunakan beragam alat untuk merespon, membuat koneksi, menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan c) Mengemukakan masalah dan pertanyaan
d) Membuat jawab duga (conjecture) menyampaikan masalah e) Menggali contoh dan contoh tandingan untuk menyelidiki jawab duga f) Mencoba untuk meyakinkan diri dan orang lain tentang validitas representasi, selesaian, jawab duga dan jawaban g) Mengmahasiswalkan bukti dan argument untuk menentukan validitas Hakikat wacana dalam kelas adalah suatu pengaruh utama pada apa yang dipelajari mahasiswa tentang matematika. Mahasiswa harus aktif membuat jawab duga, mengusulkan pendekatan dan penyelesaian masalah, dan berargumentasi tentang pernyataan tertentu yang dibuatnya. Mahasiswa harus belajar memverifikasi, merevisi, dan membuang pertanyaan berdasar bukti matematika dan menggunakan beragam alat matematis. Baik bekerja dalam kelompok kecil maupun besar mahasiswa harus menjadi pendengar dan pemberi komentar yaitu mereka berbicara satu sama lain dengan tujuan untuk menyakinkan atau bertanya kepada temannnya. Diatas semuanya itu, wacana harus berfokus pada memahami ide matematika, pada menggunakan ide matematika dalam membuat dan menyelesaikan masalah. Alat untuk membangkitkan wacana Untuk membangkitkan wacana di dalam kelas dosen matematika perlu menganjurkan dan menerima penggunaan a) Komputer, kalkulator, dan hasil teknologi yang lain, b) Benda kongkrit yang digunakan sebagai model, c) Gambar, diagram, tabel, dan grafik, d) Istilah dan simbol konvesional dan baru, e) Metafora, analogi dan cerita, f) Hipotesis, penjelasan dan argumen tertulis, dan g) Presentasi lisan. Agar dapat menciptakan wacana dalam kertas yang berfokus pada penggali ide matematis, tidak hanya melaporkan jawaban yang benar, alat dan komunikaasi matematis dan pendekatan ke penalaran matematika harus luas dan beragam. Dosen harus menghargai dan mengalakkan penggunaan beragam alat daripada hanya menekankan pada penggunaan simbol matematis konvensional saja. Dosen harus menerima perlunya alat untuk mengkomunikasikan matematika termasuk
61
gambar, diagram, simbol yang diciptakan dan analogi. Dosen harus mengenalkan simbol konvesional pada titik tertentu bila hal itu dapat menjaga keberlangsungan wacana. Dosen juga harus membnatu mahasiswa belajar menggunakan kalkulator, komputer, dan alat teknologi lainnya sebagai alat untuk wacana matematika. Dosen juga perlu memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih alat yang digunakan yang sesuai untuk menyelesaikan dan mendiskusikan masalah matematika tertentu. Kadang-kadang dosen perlu juga menetapkan alat apa yang harus digunakan. Hal ini perlu dilakukan untuk memperkaya khasanah alat matematika mahasiswa. Lingkungan Belajar Dosen perlu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan kemampuan matematika mahasiswa dengan a) Menyediakan dan mengatur waktu yang diperlukan untuk menggali matematika yang menjanjikan dan ide matematika yang signifikan, b) Menggunakan ruang dan benda-benda yang dapat memudahkan mahasiswa belajar matematika, c) Menyediakan konteks yang menggalakkan pengembangan keterampilan dan kemahiran matematis mahasiswa, d) Menghormati dan menghargai ide, cara berfikir, dan kecenderungan matematis mahasiswa, e) Secara konsisten mengharapkan dan menggalakkan mahasiswa untuk : bekerja mandiri atau berkolaborasi untuk memahami matematika, mengambil resiko intelektual dengan mengajukan pertanyaan, merumuskan jawab duga, menampilkan rasa berkompetensi matematis dengan memvalidasi dan mendukung ide-ide dengan argumen matematis. Stmahasiswar ini berfokus pada dimensi kunci suatu lingkungan belajar yang memungkinkan berlangsungnya berfikir matematis, penghormatan terhadap orang lain, penghargaan terhadap bernalar dan memahami, langkah dan pemberian waktu yang memungkinkan mahasiswa menebak dan berfikir. Lingkungan belajar yang demikian itu akan membantu mahasiswa percaya bahwa dirinya adalah pemikir matematis yang berhasil. Apa yang diakui dosen tentang nilai dari ide mahasiswa berpengaruh terhadap
kecenderungan matematis mahasiswa di dalam kelas. Mahasiswa menjadi suka mengambil resiko dalam mengajukan jawab duga, strategi, dan penyelesaian di dalam suatu lingkungandengan dosen yang menghormati ide mahasiswa, apakah ide itu konvensional atau tidak stmahasiswar, apakah valid atau tidak. Dosen menunjukkan penghormatan ini dengan melacak berfikir mahasiswa, dengan menunjukkan ketertarikkan pada ide mahasiswa. Dosen juga perlu membantu mahasiswa untuk belajar menghormati dan tertarik pada ide orang lain. Mendemonstrasikan penghormatan pada ide mahasiswa tidak berarti bahwa dosen tau mahasiswa menerima semua ide sebagai ide yang dapat dimengerti atau valid. Tujuan menghargai ide dan cara berpikir mahasiswa bukan semata-mata untuk menyenangkan mahasiswa tetapi untuk mendukung pengembangan pemahaman, dan kemampuan matematika mereka.oleh sebab itu, pusat fokus lingkungan kelas haruslah pembentukkan pemahaman. Konsep, prosedur dan keterampilan matematika adalah pusat bagi pembentukkan pemahaman matematika dan bernalar matematis. Dosen harus konsisten mengharap mahasiswa menjelaskan ide mereka dan membantu jika mereka macet. Dosen juga perlu membantu mahasiswa agar mahasiswa dapat bersikap mengharap dan meminta jusifikasi untuk pernyataan-pernyataan yang dibuatnya tanpa bersifat defensif. Analisis Dosen matematika harus terikat pada analisis belajar mengajar dengan
a) Mengamati, mendengar, dan mengumpulkan keterangan lain tentang mahasiswa untuk mengakses pengetahuan, keterampilan dan kecenderungan matematis mahasiswa, b) Mencermati dampak dari tugas, wacana, dan lingkungan belajar terhadap pengetahuan, keterampilan, dan kecenderungan matematis mahasiswa, c) Menyakinkan bahwa setiap mahasiswa belajar matematika yang signifikan dan menjanjikan dean mengeluarkan dan mengembangkan kecenderungan positif, d) Menantang dan memperluas ide mahasiswa, e) Mengadopsi atau mengubah aktifitas pada waktu mengajar,
62
f) Membuat rencana jangka pendek dan jangka panjang, g) Mengambarkan dan memberi komentar tentang belajar mahasiswa kepada orang tua dan sekolah serta mahasiswa, Assesmen mahasiswa dan analisis pembelajaran pada dasarnya sangat berkaitan. Dosen matematika harus memonitor belajar mahasiswa agar dapat mengakses dan mengatur mengajar mereka. Mengamati dan mendengarkan mahasiswa selama kelas berlangsung dapat membantu dosen pada saat itu untuk memilih pertanyaan atau tugas untuk meningkatkan dan memperluas berpikir dan pemahaman mahasiswa. Dosen harus juga menggunakan informasi tentang apa yang dipahami mahasiswa untuk merevisi dan menyesuaikan rencana jangka pendek dan jangka panjang mereka, untuk tugas yang mereka pilih dan pendekatan yang mereka ambil untuk menciptakan wacana dalam kelas. Demikian juga pemahaman dan kecenderungan kelas haruslah membimbing dosen dalam membentuk dan membentuk kembali lingkungan belajar di dalam kelas. Selanjutnya dosen juga bertanggung jawab untuk memberi gambaran dan membuat komentar tentang belajar mahasiswa kepada kepala sekolah, orang tua, dan mahasiswa sendiri. Kekuatan matematis mahasiswa tergantung pada pemahaman keterampilan dan kecenderungan matematis mereka. Dosen harus mengases pemahaman mahasiswa tentang konsep dan prosedur, termasuk kaitan yang mereka buat antar konsep prosedur tersebut. Dosen juga harus mengakses perkembangan kemampuan mahasiswa bernalar matematis, membuat jawab duga membuat justisi dan menyelesaikan masalah. Kecenderungan mahasiswa dan minat terhadap matemataka, dan menikmati matematika, dimensi-dimensi lain yang harus dimonitor dosen. Walaupun tes tertulis merupakan suatu cara untuk menilai aspek pengetahuan matematika mahasiswa tetapi tidak sepenuhnya menyediakan kebutuhan dosen untuk melihat pemahaman mahasiswa agar dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran. Dosen memerlukan informasi lain yang dapat dikumpulkan dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai sumber. Mengamati mahasiswa pada saat berdiskusi dalam kelompok kecil misalnya dapat melihat kemampuan mereka berkomunikasi secara
matematis. Mewancarai mahasiswa secara individual dapat juga menghasilkan informasi tentang pemahaman konsep dan prosedur matematika.jurnal yang dibuat oleh mahasiswa merupakan salah satu sumber untuk menilai perkembangan matematika mahasiswa. Ketika memonitor pemahaman tentang dan kecenderungan terhadap matematika dosen harus bertanya pada diri sendiri tentang hakikat lingkungan yang ia ciptakan, tentang tugas yang ia bangun, tentang wacana yang ia dukung. Dosen harus mengerti hubungan antara hal ini dengan apa yang terjadi dengan mahasiswa. Misalnya mahasiswa mengalami kesulitan memahami keliling bangun datar, apakah disebabkan oleh tugas yang mereka dapat, apakah bukan cara menggali dan berdiskusi yang dilakukan mahasiswa dalam kelompok tentang keliling bangun datar tersebut?, ataukah ada kemungkinan-kemungkinan penyebab lain yang tidak segera dapat dilihat oleh dosen. Dosen harus mencoba memperluas wawasan tentang penyebab kesulitan mahasiswa dengan berdiskusi dengan dan teman sejawatnya, membaca buku, mengikuti seminar dan lain sebagainya. Implementasinya Dalam Rangka Mempersiapkan Calon Dosen Yang SD Dalam Mengajar Matematika Yang Menyenangkan Berikut ini beberapa contoh bagian suatu rancangan pembelajaran matematika yang menggunakan model NCTM. materi: Geometri Kompetensi Dasar: Memahami komponen, menggambar, dan menghitung volum dari benda ruang. Indikator : 1. Menentukan kedudukan titik,garis, garis dalam ruang. 2. menentukan volum benda-benda ruang 3. menghitung perbandingan volum 2 benda dalam suatu benda ruang 4. menjelaskan bidang frontal, sudut susrut, perbandingan proyeksi dalam menggambar bangun ruang. Materi pokok : Ruang Dimensi Tiga Untuk butir 1 akan digunakan alat peraga: 2 potong kawat kaku masing-masing panjang kurang lebih dua meter untuk dosen dan 0,5 meter untuk setiap dua mahasiswa. Dosen mendemonstrasikan cara menggerak-gerak kedua batang itu. Satu batang ditaruh di meja,
63
yang lain dipegang oleh ibu jari dan telunjuk. Kemudian salah satu ujungnya digerakkan ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah. Dengan mengmahasiswaikan kawat sebagai garis mahasiswa diminta untuk menjawab pertanyaaan : a) ada berapa macam kedudukan (hubungan) kedua garis tersebut ; bilakah dua garis membentuk bidang, apa hubungan tiga titik yang tidak segaris dengan bidang sebagai tugas yang harus dilaksanakan. Mahasiswa diminta untuk mendukung jawabannya dengan peragaan. Dosen menumbuhkan wacana dengan mengaktifkan mahasiswa untuk berdiskusi mempertanyakan jawab mahasiswa lain, mempertahankan ide dengan tetap terbuka terhadap kritik dan saran teman tau dosen. Jika mahasiswa membuat kesalahan maka dosen harus berupaya untuk membantu mahasiswa memperabaiki jawaban tersebut. Salah cara adalah dosen menghadirkan suatu konflik kognitif . Dengan cara tersebut mahasiswa diharapkan dapat memperoleh jawaban yan benar. Materi: Lingkaran Kompetensi Dasar : Merumuskan persamaan lingkaran dan menggunakannya dalam pemecahan masalah
Indikator : 1. Merumuskan persamaan lingkaran berpusat di (0,0) dan (a,b) 2. menetukan pusat dan jari- jari lingkaran yang persamaannya diketahui. 3. menentukan persamaan lingkaran yang memenuhi criteria tertentu 4. menetukan posisi titik dan garis terhadap lingkaran Materi pokok : Lingkaran Mahasiswa telah mempelajari (belajar) apa yang dimaksud dengan lingkaran. Ada yang mau mengemukakan hal tersebut ? jika setelah diberi waktu ternayata tidak ada yang mau menjawab maka dosen menunjuk seorang mahasiswa untuk menjawab pertanyaan itu. Kemudian dosen mengundang mahasiswa lain untuk memberi tanggapan. Dengan cara ini dosen menumbuhkan wacana dalam kelas tentang lingkaran. Setelah dosen yakin mahasiswa telah mengingat kembali pengertian lingkaran dosen memberi tugas sebagai berikut. a) Gambar suatu system koordinat kartesius b) Buatlah sebuah lingkaran yang berpusat di sumbu {(0,0)} dan jari-jari 5 cm.
c) Ambil sebarang titik pada lingkaran beri nama P(x,y) d) Carilah hubungan antara x dan y Ingat bahwa panjang jarinya 5. e) Apakah hubungan tersebut berlaku bagi absis dan ordinat setiap titik pada lingkaran. f) Jadi kalau begitu setiap titik pada lingkaran itu mempunyai cirri apa? g) Dapatkah mahasiswa mendefinisikan lingkaran yang berbeda dengan definisi yang mahasiswa buat pada awal pelajaran tadi? h) Apakah definisi tadi menunjuk pada benda (geometri) yang sama? Setiap jawaban dapat menjadi sumber wacana tentang persamaan lingkaran, dosen harus dapat memanfaatkannya agar mahasiswa dapat membangun pemahaman tentang persamaan lingkaran berpusat di (0,0). Untuk memperoleh persamaan lingkaran berpusat di (a,b) diperlukan tugas lain. Salah satunya menggunakan translasi. Saya yakin pembaca dapat membuatnya sendiri atau berkelompok. PENUTUP Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika model NCTM terdiri atas a) tugas yang memberi kesempatan kepada mahasiswa melakukan aktivitas bermatematika, b) wacana yang melatih mahasiswa untuk mengemukakan ide, mempertanggungjawabkan ide, mendengar dan menghargai ide orang lain, mengkritisi ide orang lain, berdiskusi untuk menyelesaikan masalah dalam rangka membangun pengetahuan matematika mereka baik yang berupa fakta, konsep, prinsip, prosedur atau keterampilan, dan menumbuhkan kecenderungan positif mahasiswa terhadap matematika, c) lingkungan belajar yang mendukung terjadinya penyelesaian tugas dan berlangsungnya wacana dan analisis, dan d) analisis yang memungkinkan dosen merefleksi apa yang dilakukan mahasiswa sehingga dapat mengarahkan dan membantu mahasiswa dalam mengkontruk pengetahuan matematika dalam pikiran mereka. Mudah-mudahan tulisan singkat ini berguna bagi kita semua sebagai dosen matematika.
64
DAFTAR PUSTAKA
Cox, C. 1999. Teaching Language Arts: A Student and Response-Centered Classroom. Boston: Allyn and Bacon Depdiknas, 2005. Pedoman Penulisan Buku Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas. DDepdiknas, 2008. Pedoman Penilaian, Rancangan Penilaian, dan kriteria ketuntasan minimal. Jakarta:Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Hadi, 2005. Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip.
reformulation of Telling. Journal for Research in Mathematics Education, 36(3), 101-136 Marwiyanto. 2007. Matematika untuk SD dan MI kelas V. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia : The National Council of Teachers of Mathematics, Inc NCTM, 2003. Mathematics Assessment: A Practical Hand Book for Grade 3 – 5. Reston,Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. New York:Cassel
Kennedy, L.M. & Tipps, S.. 1994. Guiding Children Learning of Mathematics. California: Wadsworth Publishing Co.
Paterson, Kathy. 2007. 55 Teaching Dilemmas. Jakarta: Grasindo
Krulik, S., Rudnick, J., & Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle SchooI. Boiston:Allyn and Bacon
Van de Walle, J.A.. 1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally. New York: Longman.
Lie, A. 2002. Metode Pembelajaran Gotong Royong. Surabaya: Citra Media
Wakiman, T. 2005. Pembelajaran Model NCTM (National Council Of Teachers Of Mathematics) Untuk Materi Membagi Dengan Pecahan. Tesis tidak dipublikasikan. PPs UM Malang
Lobato, J., Clarke, D., Ellis, A. B. 2005. Initiating and Eliciting in Teaching: A
65
PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS KARAKTER DALAM KURIKULUM 2013 Erna Yayuk, M.Pd Staff Pengajar Prodi PGSD FKIP UMM
[email protected]
PENDAHULUAN Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud telah mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara bertahap mulai tahun pembelajaran baru bulan Juli 2013. Kurikulum 2013 merupakan kelanjutan dan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Pengembangan Kurikulum pada Kurikulum 2013 dilakukan seiring dengan tuntutan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan melaksanakan amanah Undangundang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Kurikulum di tingkat sekolah dasar paling tidak ada dua hal yang mengalami penyempurnaan yaitu dikuatkannya “karakter” dan diberlakukannya tematik-integratif untuk semua jenjang kelas (1-6) yang dulunya hanya kelas awal (1-3). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam berbagai kesempatan menegaskan perubahan dan pengembangan kurikulum 2013 merupakan persoalan yang penting dan genting. Alasan perubahan kurikulum, kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Karena zaman berubah, maka kurikulum harus lebih berbasis pada penguatan penalaran, bukan lagi hafalan semata. Perubahan ini diputuskan dengan merujuk hasil survei internasional tentang kemampuan siswa Indonesia. Salah satunya adalah survei "Trends in International Math and Science" oleh Global Institute pada tahun 2007. Menurut survei ini, hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal berkategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sebagai perbandingan, siswa Korea yang sanggup mengerjakannya mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen siswa Indonesia dapat mengerjakan soal berkategori rendah yang hanya memerlukan hafalan. Sementara itu, siswa Korea yang bisa mengerjakan soal
semacam itu hanya 10 persen. Indikator lain datang dari Programme for International Student Assessment(PISA) yang di tahun 2009 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar paling buncit dari 65 negara peserta PISA. Kriteria penilaian mencakup kemampuan kognitif dan keahlian siswa membaca, matematika, dan sains. Dan hampir semua siswa Indonesia ternyata cuma menguasai pelajaran sampai level 3 saja. Sementara banyak siswa negara maju maupun berkembang lainnya, menguasai pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6. Kesimpulan dari dua survei itu adalah: prestasi siswa Indonesia terkebelakang. Perubahan kurikulum meliputi empat elemen yaitu : pertama; standar kompetensi kelulusan, kedua standar isi, ketiga, standar proses dan keempat, standar penilaian. Mencermati draft bahan sosialisasi Kurikulum 2013, pengembangan kurikulum 2013 untuk meningkatkan capaian pendidikan dilakukan dengan dua strategi utama yaitu peningkatan efektivitas pembelajaran pada satuan pendidikan dan penambahan waktu pembelajaran di sekolah. Efektivitas pembelajaran dicapai melalui tiga tahapan yaitu efektivitas interaksi, efektivitas pemahaman, dan efektivitas penyerapan. (1) Efektivitas Interaksi akan terwujud dengan adanya harmonisasi iklim atau atmosfir akademik dan budaya sekolah . Iklim atau atmosfir akademik dan budaya sekolah sangat kental dipengaruhi oleh manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah beserta jajarannya. Efektivitas Interaksi dapat terjaga apabila kesinambungan manajemen dan kepemimpinan pada satuan pendidikan. Tantangan saat ini adalah sering dijumpai pergantian manajemen dan kepemimpinan sekolah secara cepat sebagai efek adanya otonomi pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh politik daerah. (2) Efektivitas pemahaman menjadi bagian penting dalam pencapaian efektivitas pembelajaran. Efektivitas pembelajaran dapat tercapai apabila pembelajaran yang mengedepankan
66
pengalaman personal siswa melalui observasi (menyimak, mengamati, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan dan mengomunikasikan. Oleh karena itu penilaian berdasarkan proses dan hasil pekerjaan serta kemampuan menilai sendiri. (3) Efektivitas penyerapan dapat tercipta ketika adanya kesinambungan pembelajaran secara horisontal dan vertikal. Sinergitas dari ketiga efektivitas pembelajaran tersebut akan menghasilkan sebuah transfomasi nilai yang bersifat universal, nasional dengan tetap menghayati kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang berkarakter mulia. Berbagai analisis tentang efektivitas pendidikan anak SD menunjukkan kesamaan pandangan banyak pakar, bahwa yang berkembang saat ini cenderung sarat dengan orientasi pada pencapaian prestasi (Santrock, 1994 : 252-253) dan mengutamakan pentingnya menjaga nama baik sekolah yang dibebankan terlalu dini pada anak-anak. Dijelaskan lebih jauh bahwa sebagian besar pendidikan SD lebih mengutamakan pembelajaran yang memacu anak untuk memiliki kemampuan baca tulis dan berhitung, sehingga materi pembelajaran, metode, dan model asesmen yang diakukan juga menyesuaikan dengan materi pembelajaran. Padahal dipahami bahwa program-program pembelajaran formal khususnya pembelajaran dan pelatihan membaca untuk anak-anak dengan disertai beban pengalaman dan harapan yang terlalu tinggi pada anak menjadikan suasana belajar yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi beban dan kewajiban yang berat. Anak bisa kehilangan kesempatan bermain dan bersosialisasi dengan teman, yang dapat berakibat tidak maksimalnya pengembangan pengetahuan, sikap dan perilaku berdasar nilai kebaikan, dalam kerangka pendidikan karakter. Karakter sering disamakan artinya dengan akhlak, adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu terkait dengan nilai benar-salah, dan nilai baik-buruk, sehingga karakter akan muncul menjadi kebiasaan yang termanifestasi dalam sikap dan perilaku untuk selalu melakukan hal yang baik secara terus menerus dalam semua lingkungan kehidupan. Karena karakter terkait dengan nilai-nilai kebaikan, maka pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan secara bertahap untuk menanamkan kebiasaan, agar anak selalu dapat berfikir, bersikap dan berperilaku
berdasar nilai-nilai kebaikan, sehingga pendidikan karakter selalu dikaitkan dengan pendidikan nilai. Untuk itu ketercapaian tujuan pendidikan karakter tercermin dalam pengetahuan, sikap dan perilaku anak berdasar nilai-nilai kebaikan, yaitu nilai-nilai moral yang bersifat universal berupa nilai yang dapat diterima pada semua lingkungan. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengetahuan, sikap dan perilaku anak berdasar nilai-nilai kebaikan diperlukan instrumen asesmen, instrumen asesmen yang akurat akan dapat memberikan informasi yang benar tentang perkembangan anak, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai landasan upaya pengembangannya melalui pembelajaran di sekolah. Menurut bahan uji publik Kurikulum 2013, perlunya menerapkan sistem pembelajaran integratif berbasis tema disebabkan karena banyak sekolah alternatif yang menerapkan sistem pembelajaran integratif berbasis tema yang menunjukkan hasil menggembirakan. Penulis juga pernah melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Tematik Terpadu dalam Kurikulum 2013 untuk Meningkatkan Kualitas dan Hasil Belajar pada Siswa SDN Pagentan I Kabupaten Malang. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan model yang sesuai, maka pembelajaran tematik dapat meningkatkan kompetensi siswa. Terbukti hasil peningkatan hasil belajar yang ditunjukkan dengan rata-rata nilai hasil tes individu pada siklus I dari 66,4 menjadi 88,5 pada siklus II dan ketuntasan belajar klasikal meningkat pada siklus I 52% menjadi 91% pada siklus II. Kondisi SDN Pagentan I Kabupaten Malang pada pra tindakan terlihat bahwa guru belum dapat menerapkan pembelajaran tematik dalam proses pembelajaran walaupun dalam rancangan proses pembelajarannya sudah dibuat secara tematik. Selama ini pelajaran di kelas I SDN Pagentan I masih berbasis mata pelajaran. Siswa belajar sesuai mata pelajaran yang diajarkan guru secara terpisah, hal ini mengakibatkan siswa tidak dapat berfikir secara utuh. Guru lebih memilih pembelajaran berbasis mata pelajaran karena dianggap guru lebih mudah pengaplikasiannya sehingga KKM juga dapat tercapai dengan baik. Guru pernah mencoba melakasanakan pembelajaran secara tematik, namun hasilnya tidak maksimal karena siswa tidak dapat mencapai KKM yang telah ditentukan. Kondisi
67
tersebut disebabkan antara lain (1) guru tidak mempunyai wawasan tentang apa, mengapa, dan bagaimana pembelajaran tematik pada tingkat pendidikan dasar (2) guru menganggap pembelajaran tematik merupakan hal yang baru sehingga guru kesulitan untuk memadukan beberapa disiplin ilmu dalam tema yang sama, memilih metode dan media yang sesuai (3) guru menganggap bahwa pembelajaran tematik menghambat siswa dalam mencapai KKM yang telah ditentukan. Menurut Farida Amelia (2012), 62,33% model pembelajaran tematik kurang terlaksana di Gugus I Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang. Faktor penghambat keterlaksanaan model pembelajaran tematik di Gugus I yaitu: (1) 73% guru kurang memahami konsep model pembelajaran tematik SD, (2) 40% guru mengalami kesulitan dalam membuat RPP tematik , (3) jarang diadakan Kelompok Kerja Guru (KKG) kelas rendah yang membahas tentang model pembelajaran tematik, (4) kurangnya sosialisasi dan monitoring dari Diknas setempat tentang model pembelajaran tematik. Apalagi buku-buku yang beredar di pasaran masih dalam bidang studi. Kurikulum sendiri tidak memberikan kompetensi per tema dalam pembelajaran terpadu/tematik, tetapi dipaparkan dalam bidang studi juga, sehingga guru harus mempunyai keterampilan dalam menggabungkan mata pelajaran dalam satu tema. Menurut materi Uji Publik Kurikulum 2013, pada kurikulum 2006 Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. Selain itu di kurikulum 2006 Satuan pendidikan mempunyai kebebasan dalam pengelolaan kurikulum, sedangkan di kurikulum 2013 Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki kendali kualitas dalam pelaksanaan kurikulum di tingkat satuan pendidikan dan Pemerintah menyiapkan semua komponen kurikulum sampai buku teks dan pedoman. Permasalahannya, apakah konsep pembelajaran tematik bisa diterapkan dengan adanya pemerintah sudah menyiapkan semua komponen kurikulum sampai buku teks dan panduannya? Solusi pembelajaran tematik berbasis karakter di kurikulum 2013 inilah yang akan kita bahas pada makalah ini.
RASIONAL PENGEMBANGAN KURIKULUM 2013 Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan yang dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal. Tantangan Internal Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan, standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan. Tantangan internal lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Terkait dengan tantangan internal pertama, berbagai kegiatan dilaksanakan untuk mengupayakan agar penyelenggaraan pendidikan dapat mencapai ke delapan standar yang telah ditetapkan. Terkait dengan perkembangan penduduk, SDM usia produktif yang melimpah apabila memiliki kompetensi dan keterampilan akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan menjadi beban pembangunan. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Tantangan Eksternal Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan antara lain berkaitan dengan tantangan masa depan, kompetensi yang diperlukan di masa depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai fenomena negatif yang mengemuka. Penyempurnaan Pola Pikir Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan hanya akan dapat terwujud apabila terjadi pergeseran atau perubahan pola pikir. Pergeseran itu meliputi proses pembelajaran sebagai berikut: a. Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa.
68
b. c. d. e.
Dari satu arah menuju interaktif. Dari isolasi menuju lingkungan jejaring. Dari pasif menuju aktif-menyelidiki. Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata. f. Dari pembelajaran pribadi menuju pembelajaran berbasis tim. g. Dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan. h. Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru. i. Dari alat tunggal menuju alat multimedia. j. Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif. k. Dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan. l. Dari usaha sadar tunggal menuju jamak. m. Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak. n. Dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan. o. Dari pemikiran faktual menuju kritis. p. Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan. Sejalan dengan itu, perlu dilakukan penyempurnaan pola pikir dan penggunaan pendekatan baru dalam perumusan Standar Kompetensi Lulusan. Perumusan SKL di dalam KBK 2004 dan KTSP 2006 yang diturunkan dari SI harus diubah menjadi perumusan yang diturunkan dari kebutuhan. Pendekatan dalam penyusunan SKL pada KBK 2004 dan KTSP 2006 dan penyempurnaan pola pikir perumusan kurikulum. Penguatan Tata Kelola Kurikulum Pada Kurikulum 2013, penyusunan kurikulum dimulai dengan menetapkan standar kompetensi lulusan berdasarkan kesiapan peserta didik, tujuan pendidikan nasional, dan kebutuhan. Setelah kompetensi ditetapkan kemudian ditentukan kurikulumnya yang terdiri dari kerangka dasar kurikulum dan struktur kurikulum. Satuan pendidikan dan guru tidak diberikan kewenangan menyusun silabus, tapi disusun pada tingkat nasional. Guru lebih diberikan kesempatan mengembangkan proses pembelajaran tanpa harus dibebani dengan tugas-tugas penyusunan silabus yang memakan waktu yang banyak dan memerlukan penguasaan teknis penyusunan yang sangat memberatkan guru. Hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang
dilakukan Balitbang pada tahun 2010 juga menunjukkan bahwa secara umum total waktu pembelajaran yang dialokasikan oleh banyak guru untuk beberapa mata pelajaran di SD, SMP, dan SMA lebih kecil dari total waktu pembelajaran yang dialokasikan menurut Standar Isi. Di samping itu, dikaitkan dengan kesulitan yang dihadapi guru dalam melaksanakan KTSP, ada kemungkinan waktu yang dialokasikan dalam Standar Isi tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Hasil monitoring dan evaluasi ini juga menunjukkan bahwa banyak kompetensi yang perumusannya sulit dipahami guru, dan kalau diajarkan kepada siswa sulit dicapai oleh siswa. Rumusan kompetensi juga sulit dijabarkan ke dalam indikator dengan akibat sulit dijabarkan ke pembelajaran, sulit dijabarkan ke penilaian, sulit diajarkan karena terlalu kompleks, dan sulit diajarkan karena keterbatasan sarana, media, dan sumber belajar. Untuk menjamin ketercapaian kompetensi sesuai dengan yang telah ditetapkan dan untuk memudahkan pemantauan dan supervisi pelaksanaan pengajaran, perlu diambil langkah penguatan tata kelola antara lain dengan menyiapkan pada tingkat pusat buku pegangan pembelajaran yang terdiri dari buku pegangan siswa dan buku pegangan guru. Karena guru merupakan faktor yang sangat penting di dalam pelaksanaan kurikulum, maka sangat penting untuk menyiapkan guru supaya memahami pemanfaatan sumber belajar yang telah disiapkan dan sumber lain yang dapat mereka manfaatkan. Untuk menjamin keterlaksanaan implementasi kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran, juga perlu diperkuat peran pendampingan dan pemantauan oleh pusat dan daerah. Pendalaman dan Perluasan Materi Hasil studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas IV SD juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil studi untuk tingkat SMP seperti yang dipaparkan terdahulu. Dalam hal membaca, lebih dari 95% peserta didik Indonesia di SD kelas IV juga hanya mampu mencapai level menengah, sementara lebih dari 50% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance. Hal ini juga menunjukkan bahwa apa yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan apa yang diujikan dan distandarkan pada tingkat internasional. Hasil analisis lebih jauh untuk studi TIMSS dan PIRLS menunjukkan bahwa soal-
69
soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik dibagi menjadi empat kategori, yaitu: - low mengukur kemampuan sampai level knowing - intermediate mengukur kemampuan sampai level applying - high mengukur kemampuan sampai level reasoning - advance mengukur kemampuan sampai level reasoning with incomplete information. Hal yang sama juga terjadi di kurikulum matematika kelas IV SD pada studi internasional di mana juga terdapat topik yang belum diajarkan pada kelas IV dan topik yang sama sekali tidak terdapat di dalam kurikulum saat ini. Dalam kaitan itu, perlu dilakukan langkah penguatan materi dengan mengevaluasi ulang ruang lingkup materi yang terdapat di dalam kurikulum dengan cara meniadakan materi yang tidak esensial atau tidak relevan bagi peserta didik, mempertahankan materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan menambahkan materi yang dianggap penting dalam perbandingan internasional. Di samping itu juga perlu dievaluasi ulang tingkat kedalaman materi sesuai dengan tuntutan perbandingan internasional dan menyusun kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan. PEMBELAJARAN TEMATIK Pengertian pembelajaran Tematik Terpadu Pembelajaran Tematik Terpadu dilaksanakan dengan menggunakan prinsip pembelajaran terpadu. Pembelajaran terpadu menggunakan tema sebagai pemersatu kegiatan pembelajaran yang memadukan beberapa mata pelajaran sekaligus dalam satu kali tatap muka, untuk memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik. Karena peserta didik dalam memahami berbagai konsep yang mereka pelajari selalu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dikuasainya. Pelaksanaan pembelajaran Tematik Terpadu berawal dari tema yang telah dipilih/dikembangkan oleh guru yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional pembelajaran tematik ini tampak lebih menekankan pada Tema sebagai
pemersatu berbagai mata pelajaran yang lebih diutamakan pada makna belajar, dan keterkaitan berbagai konsep mata pelajaran. Keterlibatan peserta didik dalam belajar lebih diprioritaskan dan pembelajaran yang bertujuan mengaktifkan peserta didik, memberikan pengalaman langsung serta tidak tampak adanya pemisahan antar mata pelajaran satu dengan lainnya. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran tematik terpadu berfungsi untuk memberikan kemudahan bagi peserta didik dalam memahami dan mendalami konsep materi yang tergabung dalam tema serta dapat menambah semangat belajar, karena materi yang dipelajari merupakan materi yang nyata (kontekstual) dan bermakna bagi peserta didik. Tujuan pembelajaran tematik terpadu adalah: a. Mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu b. Mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama c. Memiliki pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan d. Mengembangkan kompetensi berbahasa lebih baik dengan mengkaitkan berbagai mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi peserta didik e. Lebih bergairah belajar karena mereka dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, seperti: bercerita, bertanya, menulis sekaligus mempelajari pelajaran yang lain. f. Lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi yang disajikan dalam konteks tema yang jelas g. Guru dapat menghemat waktu, karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam 2 atau 3 pertemuan bahkan lebih dan atau pengayaan. h. Budi pekerti dan moral peserta didik dapat ditumbuh kembangkan dengan mengangkat sejumlah nilai budi pekerti sesuai dengan situasi dan kondisi. Ciri-ciri Pembelajaran Tematik Terpadu
a. Berpusat pada anak b. Memberikan pengalaman langsung pada anak
70
c. Pemisahan antara mata pelajaran tidak begitu jelas (menyatu dalam satu pemahaman dalam kegiatan) d. Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam satu proses pembelajaran (saling terkait antara mata pelajaran yang satu dengan lainnya) e. Bersifat luwes (keterpaduan berbagai mata pelajaran) f. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak (melalui penilaian proses dan hasil belajarnya) Kekuatan Tema dalam Proses Pembelajaran Anak pada usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret, mulai menunjukkan perilaku yang mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, mulai berpikir secara operasional, mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat. Oleh karena itu pembelajaran yang tepat adalah dengan mengaitkan konsep materi pelajarn dalam satu kesatuan yang dipusat pada tema adalah yang paling sesuai. Dan kegiatan pembelajaran akan bermakna jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman, bersifat individual dan kontekstual, anak mengalami langsung yang dipelajarinya, hal ini akan diperoleh melalui pembelajaran tematik. Pembelajaran yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Dari penjelasan diatas maka pembelajaran tematik memiliki beberapa kekuatan dan keuntungan antara lain:
a. Memberikan pengalaman dan kegiatan belajar mengajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak b. Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan anak c. Hasil belajar dapat bertahan lama karena lebih berkesan dan bermakna d. mengembangkan keterampilan berpikir anak sesuai dengan permasalah an yang dihadapi
e. Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerja sama f. Memiliki sikap toleransi, komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain, dalam arti respek terhadap gagasan orang lain. g. Menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalah an yang sering ditemui dalam lingkungan anak. Peran Tema dalam Proses Pembelajaran Tema berperan sebagai pemersatu kegiatan pembelajaran, dengan memadukan beberapa mata pelajaran sekaligus. Adapun mata pelajaran yang dipadukan adalah mata pelajaran Agama (Akhlak Mulia/Budi Pekerti/ tata krama), PPKn dan Kepribadian, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (terdiri atas: Bahasa Indonesia, IPS, IPA, Matematika,), Estetika (Seni Budaya-Keterampilan) dan Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan. Di dalam struktur Kurikulum Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah disebutkan bahwa untuk peserta didik kelas 1, sampai dengan kelas 6 penyajian pembelajarannya menggunakan pendekatan tematik. Penyajian pembelajaran dengan alokasi waktu komulatif 30 JP per minggu. Pembuatan tema diharapkan memperhatikan kondisi peserta didik, lingkungan sekitar dan kompetensi guru dengan prosentase penyajian disesuaikan dengan aloasi waktu yang tersedia. Guru dalam penyajian diharapkan tidak terkonsentrasi pada salah satu mata pelajaran, melainkan harus tetap memperhatikan prosentase penyajianya. Namun demikian penjadwalan dalam hal ini tidak terbagi secara kaku melainkan diatur secara luwes. Mata Pelajaran Agama yang disajikan secara terpadu adalah yang sifatnya budi pekerti luhur, akhlak mulia dan tata krama serta bagaimana bersopan santun dalam pergaulan di dalam keluarga dan masyarakat, keterkaitan dengan pendidikan karakter bangsa. Sedangkan untuk materi-materi yang sifatnya aqidah dan khusus keagamaannya sisajikan oleh guru agama sendiri. Demikian juga untuk Pendidikan Jasmani dan kesehatan, yang sifatnya gerakan ringan yang dapat disajikan di dalam kelas, bisa dilakukan oleh guru kelas. Sedangkan yang sifatnya gerakan olah raga yang memerlukan
71
fisik, gerakan bebas, tetap dilakukan oleh guru olah raga dan dilaksanakan di luar kelas/ lapangan olah raga. Pembelajaran tematik diawali dengan pembuatan tema selama satu tahun, kemudian dengan tema-tema yang telah dibuat tersebut, guru menganalisis semua standar kompetensi lulusan yang diturunkan ke dalam kompetensi inti dan selanjutnya mengalir ke kompetensi dasar dan membuat indikator dari masingmasing mata pelajaran yang ada di setiap kelas. Setelah itu dibuat hubungan antara KD dan indikator dengan tema yang telah disiapkan selama satu tahun. Berikutnya dari pemetaan hubungan tersebut dilanjutkan dengan membuat jaringan KD & indikator dari setiap tema yang telah dibuat. Setelah jadi semua jaringan selama satu tahun dilanjutkan dengan menyusun silabus tematik dan yang terakhir menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik. Model Pembelajaran Tematik Terpadu Model pembelajaran tematik integratif melalui beberapa tahapan yaitu pertama guru harus mengacu pada tema sebagai pemersatu berbagai mata pelajaran untuk satu tahun. Kedua guru melakukan analisis standar kompetensi lulusan, kompetensi inti, kompetensi dasar dan membuat indikator dengan tetap memperhatikan muatan materi dari Standar Isi, ketiga membuat hubungan antara kompetensi dasar, indikator dengan tema, keempat membuat jaringan KD, indikator, kelima menyusun silabus tematik dan keenam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran tematik dengan mengkondisikan pembelajaran yang menggunakan pendekatan scientific. Untuk lebih jelasnya akan dibahas di bawah ini. Kriteria Pemilihan Tema Beberapa tema telah disiapkan menyertai dokumen Kurikulum 2013, namun demikian penulisan daftar tema dimaksud bukanlah urutan penyajajian Guru diharapkan dapat dengan cerdas dan tepat melakukan pemilihan tema mana yang akan dibelajarkan terlebih dahulu, seyogyanya penetapan tema sesuai dengan kondisi daerah, sekolah, peserta didik, dan guru di wilayahnya. Penentuan dan pemilihan tema yang akan dikembangkan di sekolah dasar dapat mempertimbangkan kriteria pembuatan tema sebagai berikut : a. Tema tidak terlalu luas namun dapat dengan mudah dipergunakan untuk memadukan banyak mata pelajaran
b. Tema bermakna, artinya bahwa tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi peserta didik untuk belajar selanjutnya c. Harus sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis anak d. Tema yang dikembangkan harus mampu mewadahi sebagian besar minat anak di sekolah e. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar f. Mempertimbangkan dilanjutkan kan kurikulum yang berlaku dan harapan masyarakat terhadap hasil belajar peserta didik g. Mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar Perencanaan Model Pembelajaran Tematik Menurut Jihad (2008) dalam pelaksanaan pembelajaran tematik perlu dilakukan beberapa hal yang meliputi tahap kegiataan pemetaan kompetensi dasar, pengembangan jaringan tema, pengembangan silabus dan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran. Prabowo (dalam Trianto, 2007) menyatakan bahwa “dalam pelaksanaan pembelajaran tematik, perlu dilakukan tiga langkah pokok yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi”. Dalam perencanaan terdiri dari: 1. Menentukan Tema: Ada dua cara yang dapat ditempuh yaitu: a. Mempelajari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat dalam masing-masing mata pelajaran, dilanjutkan dengan menentukan tema yang sesuai. b. Menetapkan terlebih dahulu tema-tema pengait keterpaduan, dilanjutkan dengan mengidentifikasi kompetensi dasar dari berbagai mata pelajaran yang cocok dengan mata pelajaran lain,tema ditentukan oleh guru dan ditetapkan siswa”. Tema dapat ditentukan oleh: a. Guru: Apabila tema ditentukan oleh guru, maka tema biasanya diangkat dari kurikulum, buku bacaan siswa atau kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat. b. Siswa: Apabila tema dipilih oleh siswa bukan berarti siswa menentukan
72
segalanya tanpa keikut-sertaan guru. Guru tetap berperan untuk menyeleksi tema-tema yang dipilih oleh siswa. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan dan kesinambungan antara tema-tema yang akan dipelajari siswa pada kesempatan berikutnya. Prinsip Penentuan tema a. Memperhatikan lingkungan yang terdekat dengan siswa b. Dari yang termudah menuju yang sulit c. Dari yang sederhana menuju yang kompleks d. Dari yang konkret menuju ke yang abstrak. e. Tema yang dipilih harus memungkinkan terjadinya proses berpikir pada diri siswa f. Ruang lingkup tema disesuaikan dengan usia dan perkembangan siswa, termasuk minat, kebutuhan, dan kemampuannya 2. Memetakan Kompetensi Dasar: Kegiatan memetakan kompetensi dasar dilakukan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan utuh dari semua standar kompetensi dan kompetensi dasar dari berbagai mata pelajaran yang dipadukan dalam tema yang dipilih. Kegiatan yang dilakukan antara lain: a. Menjabarkan kompetensi dasar ke dalam indikator. b. Melakukan identifikasi dan analisis untuk setiap Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan indikator yang cocok untuk setiap tema sehingga semua standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator terbagi habis. 3. Menetapkan Jaringan Tema: Membuat jaringan tema yaitu menghubungkan kompetensi dasar dan indikator dengan tema pemersatu. Dengan jaringan tema tersebut akan terlihat kaitan antara tema, kompetensi dasar dan indikator dari setiap mata pelajaran. Jaringan tema ini dapat dikembangkan sesuai dengan alokasi waktu setiap tema. 4. Penyusunan Silabus: Hasil seluruh proses yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya dijadikan dasar dalam penyusunan silabus. Komponen silabus terdiri dari standar kompetensi, kompetensi
dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar/kegiatan belajar, alat/sumber/media, dan penilaian. a. Menentukan Materi Pokok Materi pokok dituliskan sesuai dengan Kompetensi dasar dan indikator di setiap matapelajaran yang masuk pada tema tersebut. Selain itu materi pokok juga harus dikaitkan dengan tema. b. Menentukan Kegiatan belajar Merupakan kegiatan menentukan langkah-langkah yang akan digunakan untuk menginvestigasi konsep-konsep yang terdaftar. Langkah kegiatan dilakukan secara tematik atau terintegrasi antar matapelajaran dalam sub tema dalam satu hari. Kegiatan pembelajaran mencerminkan metode yang dipakai. Diharapkan digunakan multimetode. Supaya kegiatan benarbenar menjamin pembelajaran tematik, dapat dilakukan satu kegiatan untuk 2 atau 3 mata pelajaran. Misalnya: kegiatan eksperimen untuk mencapai kompetensi/indikator IPA tetapi sekaligus untuk Bahasa Indonesia. Contohnya: Siswa melakukan percobaan tentang gerak dan melaporkan hasilnya dalam bentuk narasi. c. Menentukan Sumber belajar Dilakukan dengan pengorganisasian semua sumber untuk mempermudah distribusi dan penggunaannya, baik dalam kegiatan individual, berpasangan, kelompok kecil, ataupun kelompok besar. Sumber-sumber yang dimaksudkan misalnya berbagai bahan bacaan ataupun lingkungan sekitar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber. Diharapkan sumber belajar dipilih yang sesuai tema dan matapelajaran. Diupayakan penggunaan satu sumber belajar untuk bebberapa matapelajaran yang terikat dalam tema. Contoh: Tanaman: IPA untuk menyebutkan bagian-bagian tanaman, matematika untuk penjumlahan dan pengurangan dari bagian-bagian tanaman, Bahasa Indonesia untuk membuat puisi. d. Mengembangkan Alokasi Waktu Merupakan langkah penting yang harus dilakukan oleh seorang guru. “Ada guru yang menggunakan waktu seluruh hari, minggu atau bulan dan seluruh
73
kurikulum berkisar tema” (Anita dalam Ifrohah, 2006). Sedangkan “guru-guru yang lain mungkin lebih senang memilih perencanaan dengan satu tema untuk beberapa minggu, dan hanya mengikutsertakan dua jenis mata pelajaran seperti IPA dan Matematika sehingga hanya memerlukan waktu sedikit” (Meinbach dalam Ifrohah, 2006). Waktu sangat mempengaruhi dalam pemilihan kegiatan pembelajaran dan sumber belajar yang digunakan. e. Merencanakan Evaluasi Membuat “rencana evaluasi haruslah mengacu pada indikator dari masingmasing kompetensi dasar dan hasil belajar dari berbagai mata pelajaran” (Rozi, 2009). Untuk itu “hasil karya atau hasil kerja siswa nantinya dapat digunakan sebagai bahan masukan guru dalam mengambil keputusan” (Anita dalam Ifrohah, 2006). Dalam pembelajaran tematik, alat evaluasi diharapkan juga terintegrasi dari matapelajaran yang terjaring dari tema tersebut. Penyusunan Rencana Pembelajaran Untuk keperluan pelaksanaan pembelajaran guru perlu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana pembelajaran ini merupakan realisasi dari pengalaman belajar siswa yang telah ditetapkan dalam silabus pembelajaran. Komponen rencana pembelajaran tematik meliputi: a. Identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran yang akan dipadukan, kelas, semester, dan waktu/banyaknya jam pertemuan yang dialokasikan). b. Kompetensi dasar dan indikator yang akan dilaksanakan. c. Materi pokok beserta uraiannya yang perlu dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi dasar dan indikator. d. Strategi pembelajaran (kegiatan pembelajaran secara konkret yang harus dilakukan siswa dalam berinteraksi dengan materi pembelajaran dan sumber belajar untuk menguasai kompetensi dasar dan indikator, kegiatan ini tertuang dalam kegiatan pembukaan, inti dan penutup). Supaya strategi pembelajaran benar-benar mewadahi pembelajaran tematik, dapat
digunakan LKS yang terintegrasi, yaitu LKS yang mempunyai makna keutuhan, artinya memadukan dari beberapa matapelajaran menjadi satu kesatuan utuh dalam satu LKS.
Lembar kegiatan siswa (student worksheet) merupakan lembaran yang berisi pedoman bagi siswa untuk melakukan kegiatan terprogram (Depdikbud, 1995). Lembar kegiatan siswa merupakan alat belajar siswa yang memuat berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa secara aktif. e. Alat dan media yang digunakan untuk memperlancar pencapaian kompetensi dasar, serta sumber bahan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran tematik sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai. f. Penilaian dan tindak lanjut (prosedur dan instrumen yang akan digunakan untuk menilai pencapaian belajar peserta didik serta tindak lanjut hasil penilaian). KOMPARASI PEMBELAJARAN TEMATIK DALAM TEORI DAN KURIKULUM 2013 Dasar pemikiran pengembangan kurikulum 2013 adalah untuk mengatasi permasalahan yang ada pada kurikulum 2006, antara lain: 1. Adanya keluhan banyaknya buku yang harus dibawa oleh anak sekolah dasar sesuai dengan banyaknya mata pelajaran 2. Indonesia menerapkan sistem guru kelas dimana semua mata pelajaran [kecuali agama, seni budaya, dan pendidikan jasmani] diampu oleh satu orang guru Untuk mengatasi hal di atas, maka pada kurikulum 2013 ada perubahan, yaitu: 1. Perlunya penyederhanaan mata pelajaran 2. Perlunya membantu memudahkan tugas guru dalam menyampaikan pelajaran sebagai suatu keutuhan dengan meminimumkan jumlah mata pelajaran tanpa melanggar ketentuan konstitusi [idealnya tanpa mata pelajaran sama] Secara lengkap rancangan perubahan kurikulum 2013 untuk SD adalah sebagai berikut.
74
Rancangan Kurikulum 2013: No Komponen Rancangan 1 Berbasis tematik-integratif sampai kelas VI 2 Menggunakan kompetensi lulusan untuk merumuskan kompetensi inti pada tiap kelas 3 Menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata pelajara 4 Menggunakan IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua mata pelajara 5 Meminimumkan jumlah mata pelajaran dengan hasil dari 10 dapat dikurangai menjadi 6 melalui pengintegrasian beberapa mata pelajaran: -IPA menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia , Matematika, dll -IPS menjadi materi pembahasan pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, dll -Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan -Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran 6 Menempatkan IPA dan IPS pada posisi sewajarnya bagi anak SD yaitu bukan sebagai disiplin ilmu melainkan sebagai sumber kompetensi untuk membentuk sikap ilmuwan dan kepedulian dalam berinteraksi sosial dan dengan alam secara bertanggung jawab. 7 Perbedaan antara IPA/IPS dipisah atau diintegrasikan hanyalah pada apakah buku teksnya terpisah atau jadi satu. Tetapi bila dipisah dapat berakibat beratnya beban guru, kesulitan bagi bahasa Indonesia untuk mencari materi pembahasan yang kontekstual, berjalan sendiri melampaui kemampuan berbahasa peserta didiknya seperti yang terjadi saat ini, dll 8 Menambah 4 jam pelajaran per minggu akibat perubahan proses pembelajaran dan penilaian Banyaknya perubahan di atas, dan adanya ketidakterlaksanaan kurikulum 2006 di pembelajaran tematik, maka perlu disiapkan buku babon oleh pemerintah. Namun demikian, Teori Prinsip Penentuan tema 1. Memperhatikan lingkungan yang terdekat dengan siswa 2. Dari yang termudah menuju yang sulit 3. Dari yang sederhana menuju yang kompleks 4. Dari yang konkret menuju ke yang abstrak. 5. Tema yang dipilih harus memungkinkan terjadinya proses berpikir pada diri siswa 6. Ruang lingkup tema disesuaikan dengan usia dan perkembangan siswa, termasuk minat, kebutuhan, dan kemampuannya
adanya Pemerintah menyiapkan semua komponen kurikulum sampai buku teks dan pedoman pasti ada kendala. Untuk itu yang perlu adanya cara mengatasi masalah tersebut. Kurikulum 2013 1. Pemerintah menyiapkan semua komponen kurikulum sampai buku teks dan pedoman 2. Buku teks memuat materi dan proses pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan 3. Artinya: Tema sudah disiapkan perintah 4. Realisasi: a. Silabus b. Buku Guru c. Buku Siswa
Solusi 1. Tema yang dipilih adalah tema-tema umum yang memungkinkan semua tempat dapat menggunkannya. Contoh: Kelas 1: Diriku, dengan Sub Tema: Aku dan teman baru Tubuhku Aku merawat tubuhku Aku Istimewa 2. Di buku guru dilengkapi dengan pemetaan dan jaring-jaring tema 3. Kalau memang dirasa di sekolah perlu menambahkan atau mengurangi indikator, maka guru dapat melakukannya dan dituliskan di RPP 4. Perlu adanya pelatihan guru sebelum pemberlakuan kurikulum 2013.
75
Teori 1. Langkah kegiatan: Merupakan kegiatan menentukan langkah-langkah yang akan digunakan untuk menginvestigasi konsepkonsep yang terdaftar. Langkah kegiatan dilakukan secara tematik atau terintegrasi antar matapelajaran dalam sub tema dalam satu hari. Kegiatan pembelajaran mencerminkan metode yang dipakai. 2. Kriteria pemilihan media: a. Sesuaikan dengan tujuan/ kompetensi yg akan dicapai b. Ketepatgunaan c. Sesuaikan dengan keadaan dan karakteristik siswa d. Ketersediaan e. Mutu teknis f. Biaya
Kurikulum 2013 Buku Siswa: Berbasis aktivitas Contoh: 1. Tahukah kamu 2. Ayo mengamati 3. Ayo cari tahu 4. Ayo mengurutkan 5. Ayo membuat laporan 6. Ayo membandingkan 7. Ayo berkreasi 8. Ayo renungkan 9. Pengayaan 10. Remidial . Contoh lain: 1. Tahukah kamu? 2. Ayo lakukan! 3. Ayo berkreasi 4. Ayo renungkan 5. Pengayaan 6. Remidial
Solusi 1. Di buku guru dilengkapi dengan alternatif metode yang dipakai, artinya apabila dilakukan dengan langkah yang disiapkan di buku tidak dapat dilakukan, dan fasilitas tidak ada, maka guru dapat menggunakan metode alternatif. 2. Apabila ternyata alternatif metode yang ditawarkan juga belum dapat dilakukan karena ketidak ketersediaan sumber belajar, maka gu dapat menggunakan metode dan sumber belajar yang sesuai dengan daerah masing-masing. 3. Perlu pelatihan guru sebelum pemberlakuan kurikulum 2013.
KESIMPULAN 1. Adanya buku babon yang sudah disiapkan pemerintah, dapat membantu guru yang belum bisa merencanakan pembelajaran tematik. 2. Bagi guru yang belum dapat merencanakan pembelajaran tematik, dpat menggunakan langkah-langkah yang ada di buku babon dengan petunjuk yang ada di buku guru. 3. Bagi guru yang sudah terbiasa menggunakaan dan merencanakan pembelajaran tematik, dapat menginovasikan langkah-langkah yang sudah disiapkan oleh pemerintah. 4. Apabila tema dan langkah pembelajaran tidak sesuai dengan kondisi yang ada di sekolah diharapkan guru dapat memodifikasinya, untuk itu diperlukan pelatihan guru sebelum diberlakukannya kurikulum 2013.
5. Berkaitan
dengan guru masih dimungkinkan untuk memodifikasi kurikulum, maka guru benar-benar harus paham tentang konsep pembelajaran tematik. DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2005. Pembelajaran Tematik Kelas Awal Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan. Fogarty R, 1991. The Mindfull School: How to Integrate the Curricula. Palatine, Illinois: Skylight Publishing, inc. Puskur Balitbang Depdiknas. 2006. Model Pembelajaran Tematik.
76
Sukayati, “Pembelajaran Tematik di SD merupakan Terapan dari Pembelajaran Terpadu” Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SD Jenjang Lanjut pada 6 s.d. 19 Agustus 2004 di PPPG Matematika Yogyakarta.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sa’ud, Udin Syaefuddin, dkk. 2006. Pembelajaran Terpadu. Bandung: UPI Press
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta:Bumi Aksara.
Sugiyar, dkk. 2009. Pembelajaran Tematik. Surabaya:LAPIS-PGMI.
Trianto. 2010. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
77
KEBIJAKAN KURIKULUM 2013 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGAJARAN BAHASA INGGRIS DI TINGKAT SEKOLAH DASAR Fauzia Staf Pengajar FKIP, Prodi PBI Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
[email protected] Abstrak Sejak diberlakukannya kurikulum 2013 pengajaran Bahasa Inggris mulai bergeser fungsinya tidak lagi menjadi mata pelajaran muatan lokal, namun menjadi salah satu program yang dimasukkan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Faktor penyebab dihilangkannya mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar ada beberapa hal, yaitu: 1) adanya pendapat bahwa Bahasa Inggris belum waktunya diajarkan di level paling awal pada jenjang pendidikan. Hal ini disebabkan karena anak-anak pada level ini masih pada tahap belajar bahasa pertama (first language) dan bahasa ibu mereka (native language), 2)pengembangan mata pelajaran yang tercakup dalam muatan lokal lebih pada pengembangan budaya dan jiwa kepemimpinan, 3)pembelajaran bahasa Inggris di tingkat dasar belum cukup mampu memberikan hasil yang signifikan terhadap penguasaan Bahasa Inggris. Implikasi pemberlakuan kebijakan kurikulum 2013 ini terlihat pada: 1) tenaga pendidik dan 2) institusi pencetak tenaga pendidik itu sendiri. Kata kunci: kebijakan, kurikulum 2013, implikasi, pengajaran, bahasa Inggris
PENDAHULUAN Latar Belakang Bahasa Inggris mempunyai dua kedudukan penting di Indonesia. Kedudukan yang pertama adalah sebagai bahasa asing. Sebagai bahasa asing ini artinya bahwa bahasa yang tidak digunakan oleh orang yang tinggal di sebuah tempat tertentu. Bahasa asing juga dapat dipahami sebagai sebuah bahasa yang tidak digunakan di tanah air/ negara asal seseorang. Sedangkan sebagai bahasa kedua, bahasa Inggris mempunyai pengertian yaitu bahwa bahasa ini digunakan oleh suatu negara sebagai bahasa pengantar kedua setelah bahasa yang dipakai di negara tersebut. Bahasa asing, khususnya bahasa Inggris diajarkan mulai tingkat sekolah dasar hingga tingkat yang lebih tinggi yaitu universitas. Pada kurikulum yang diberlakukan sebelum kurikulum 2013, pengajaran Bahasa Inggris mempunyai porsi cukup banyak khususnya di tingkat paling dasar, yaitu tingkat sekolah dasar. Pada level ini, awalnya Bahasa Inggris mempunyai fungsi sebagai muatan lokal. Pelajaran muatan lokal merupakan pelajaran wajib yang ditempuh oleh siswa. Hasil dari pembelajaran muatan lokal ini juga dituliskan dalam rapor yang diperoleh siswa saat
penerimaan rapor di tiap semester bersama dengan mata pelajaran wajib yang lainnya. Perumusan Masalah Wacana yang muncul sejak diberlakukannya kurikulum 2013 adalah pergeseran bahkan penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar. Di beberapa sekolah dasar, bahasa Inggris dihapuskan ataupun bergeser fungsinya menjadi mata pelajaran ekstrakurikuler. Kebijakan ini muncul bukannya tanpa alasan. Beberapa alasan yang disinyalir kuat melatar belakangi penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris adalah anggapan bahwa siswa pada tingkat sekolah dasar masih berusaha memahami bahasa pertama maupun bahasa ibu mereka, jika bahasa Inggris dimasukkan dalam mata pelajaran muatan lokal, maka dikhawatirkan kebingungan siswa dan kesulitan siswa tidak dapat dihindari. Alasan yang kedua adalah pengembangan materi pelajaran yang bersifat kultural lebih banyak dikembangkan, sehingga siswa di tingkat sekolah dasar lebih dapat mengenal lebih dulu budaya yang ada di sekeliling mereka. Alasan yang terakhir adalah bahwa hingga saat ini belum tampak hasil yang maksimal terhadap proses pembelajaran bahasa Inggris yang dilakukan di tingkat sekolah dasar.
78
Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari makalah ini adalah melihat sejauh mana implikasi kebiajakan kurikulum 2013 terhadap pengajaran bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar. Makalah ini tidak hanya akan melihat implikasi yang sudah sangat terlihat, yaitu penghapusan maupun pergeseran kedudukan Bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar, namun juga mengkaji sejauh mana kebijakan kurikulum 2013 tersebut berpengaruh bagi pengajaran Bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar, pengembanagan kurikulum dan materi di tingkat sekolah dasar, dan dalam lingkup yang lebih luas yaitu pada kemajuan pendidikan di Indonesia. KAJIAN LITERATURE DAN PEMBAHASAN SERTA PENGEMBANGAN TEORI/KONSEP. Pengertian bahasa dan Pemerolehan Bahasa (Dardjowidjojo: 2005) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanaya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Sistem pada definisi ini merujuk pada adanya elemen-elemen beserta hubungan satu sama lainnya yang akhirnya membentuk suatu konstituen yang sifatnya hierarkhis. Dalam bidang fonologi misalnya, elemen –elemen ini adalah bunyi-bunyi yang terdapat pada bahasa yang bersangkutan. Elemen bunyi ini tentunya
berbeda dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam bahasa Inggris, misalnya banyak bunyi yang ada juga ada dalam bahasa kita, tetapi ada pula bunyi yang tidak ada dalam bahasa kita. Bunyi-bunyi ini membentuk suatu sistem dalam arti bahwa perpaduan antara satu bunyi dengan bunyi yang lain tidak acak, namun mengikuti aturan tertentu. Dua bahasa bisa saja memiliki beberapa bunyi yang sama, misalnya bunyi [m], [b], [s], [k], [t], dan [a],tetapi bahasa A, Bahasa Jawa, mengijinkan [m] dan [b] untuk memulai suatu kata, seperti pada kata mbak, tetapi bahasa B, bahasa Inggris, tidak mengijinkannya. Tidak ada dalam bahasa ini kata yang dimulai dengan mb seperti, misalnya *mbear, mboating*. Sebaliknya, Bahasa Inggris menijinkan gugus konsonan /skt/ pada akhir kata seperti pada kata asked dan masked, sedangkan bahasa Jawa melarangnya. Secara hierarkis, sekelompok bunyi membentuk suku dan sekelompok suku membentuk kata. Dengan demikian, terjadilah kata-kata seperti bambu (Indonesia), playon (Jawa), dan happy (Inggris). Leonard Bloomfield menyatakan bahwa “Language learning is doubtless the greatest intellectual feat any of us is ever required to perform”. Ini artinya bahwa pembelajaran bahasa tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai proses pembelajaran yang tidak ada manfaatnya, karena pembelajaran bahasa merupakan proses pengembangan intelektual tersendiri bagi seseorang. Penguasaan bahasa dimulai sejak anak-anak berusia 3-5 bulan, seperti dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Stage Cooing Babbling One-word stage Two-word stage Telegraphic stage Later multiword stage
L1 ACQUISITION Typical age Description 3-5 months Vowel-like sounds 6-10 months Repetitive CV patterns 12-18 months Single open-class words or word stems 18-20 months “mini-sentences” with simple semantic relations 24-30 months Sentence structures of lexical words no functional or grammatical morphemes 30+ months Grammatical or functional structures emerge
Dari tabel diatas terlihat bahwa ada tahap pemerolehan bahasa yang dilakukan oleh anak. Terdapat karakteristik yang berbeda antara satu tahap dengan yang lainnya yang saling berkaitan satu sama lain, hingga pada tahap akhir terjadinya pemerolehan bahasa pertama.
Pemerolehan bahasa Inggris sebagai bahasa asing dimulai sejak anak-anak memasuki tingkat sekolah dasar. Pemberian subjek mata pelajaran Bahasa Inggris pada kurikulum sebelumnya didasarkan pada beberapa alasan, diantaranya adalah salah satu
79
teori yang dikembangkan oleh Vygotsky yang biasa disebut dengan „The Critical Period Hypothesis‟. Dalam teori ini diungkapkan bahwa anak-naka pada tingkat dasar atau tingkat sekolah dasar mempunyai kompetensi yang potensial dalam belajar bahasa. Lebih lanjut diungkapkan bahwa anak-anak akan lebih efektif belajar bahasa kedua mereka, karena dalam sistem otak mereka terdapat mekanisme yang mendampingi kemampuan penguasaan bahasa pertama (L1) sepeti dituliskan oleh
Vygotsy dalam (Cameron: 2001) sebagai berikut: Children might learn a second language more effectively because their brains are still able t use the mechanism that assist their first language acquisition.” Teori ini juga dikenal sebagai teori Natural Approach, dimana salah satu cara untuk menegmabnagkan penguasaan bahasa kedua melalui penguasaan bahasa kedua yaitu dengan menggunakan bahasa tersebut dalam proses komunikasi.
Perkembangan Kurikulum di Indonesia Tabel 2.
Perkembangan Kurikulum di Indonesia 1975 Kurikulum Sekolah Dasar
1947 Rencana Pelajaran → Dirinci dalam Rencana Pelajaran Terurai
1994 Kurikulum 1994
1968 Kurikulum Sekolah Dasar
1945
1955
1965
1964 Rencana Pendidikan Sekolah Dasar
1975
1973 Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
Kurikulum 2013 Berdasarkan Permendikbud no.67 tahun 2013 tentang kurikulum SD, beberapa hal
1985
1995
2004 Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
2013
‘Kurikulum 2013’
2005
1984 Kurikulum 1984
2015 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
1997 Revisi Kurikulum 1994
penting terkait dengan kurikulum 2013 dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 3. Mata Pelajaran SD/Madrasah Ibtidaiyah
Alokasi Watu Perminggu Mapel I Kelompok A 1 Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 4 2 Pend.Pancasila dan Kewarganegaraan 5 3 B.Indonesia 8 4 Matematika 5 5 IPA 6 IPS KELOMPOK B 1 Seni Budaya dan Prakarya 4 2 Pend.Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan 4 JUMLAH ALOKASI WAKTU PERMINGGU 30
II
III IV V
VI
4 5 9 6 -
4 6 10 6 -
4 5 7 6 3 3
4 5 7 6 3 3
4 5 7 6 3 3
4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 32 34 36 36 36
80
a. b.
c.
d.
Keterangan: Mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya dapat memuat Bahasa Daerah. Selain kegiatan intrakurikuler seperti yang tercantum di dalam struktur kurikulum diatas, terdapat pula kegiatan ekstrakurikuler Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah antara lain Pramuka (Wajib), Usaha Kesehatan Sekolah, dan Palang Merah Remaja. Kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka (terutama), Unit Kesehatan Sekolah, Palang Merah Remaja, dan yang lainnya adalah dalam rangka mendukung pembentukan kompetensi sikap sosial peserta didik, terutamanya adalah sikap peduli. Disamping itu juga dapat dipergunakan sebagai wadah dalam penguatan pembelajaran berbasis pengamatan maupun dalam usaha memperkuat kompetensi keterampilannya dalam ranah konkrit. Dengan demikian kegiatan ekstra kurikuler ini dapat dirancang sebagai pendukung kegiatan kurikuler. Mata pelajaran Kelompok A adalah kelompok matapelajaran yang kontennya dikembangkan oleh pusat. Matapelajaran Kelompok B yang terdiri atas matapelajaran Seni Budaya dan Prakarya
e.
f.
g.
h.
i.
serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan adalah kelompok matapelajaran yang kontennya dikembangkan oleh pusat dan dilengkapi dengan konten lokal yang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Bahasa Daerah sebagai muatan lokal dapat diajarkan secara terintegrasi dengan matapelajaran Seni Budaya dan Prakarya atau diajarkan secara terpisah apabila daerah merasa perlu untuk memisahkannya. Satuan pendidikan dapat menambah jam pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan tersebut. Sebagai pembelajaran tematik terpadu, angka jumlah jam pelajaran per minggu untuk tiap matapelajaran adalah relatif. Guru dapat menyesuaikannya sesuai kebutuhan peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan. Jumlah alokasi waktu jam pembelajaran setiap kelas merupakan jumlah minimal yang dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Khusus untuk matapelajaran Pendidikan Agama di Madrasah Ibtidaiyah dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan oleh Kementerian Agama. Pembelajaran Tematik-Terpadu.
Tabel 4.
Alasan Pengembangan Kurikulum Tantangan Masa Depan
Kompetensi Masa Depan
• • • • • • • • •
Globalisasi: WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA Masalah lingkungan hidup Kemajuan teknologi informasi Konvergensi ilmu dan teknologi Ekonomi berbasis pengetahuan Kebangkitan industri kreatif dan budaya Pergeseran kekuatan ekonomi dunia Pengaruh dan imbas teknosains Mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan • Hasil TIMSS dan PISA
• Kemampuan berkomunikasi • Kemampuan berpikir jernih dan kritis • Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan • Kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab • Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda • Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal • Memiliki minat luas dalam kehidupan • Memiliki kesiapan untuk bekerja • Memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya • Memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan
Fenomena Negatif yang Mengemuka
Persepsi Masyarakat
• Terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif • Beban siswa terlalu berat • Kurang bermuatan karakter
Perkelahian pelajar Narkoba Korupsi Plagiarisme Kecurangan dalam Ujian (Contek, Kerpek..) Gejolak masyarakat (social unrest)
12
81
Tabel 5.
PERUBAHAN KURIKULUM 2013 WUJUD PADA:
• Konstruski yang holistik • Didukung oleh Semua Materi atau Mapel • Terintegrasi secara Vertikal maupun Horizontal
• Berorientasi pada karakteristik kompetensi: • • •
• Dikembangkan Berbasis Kompetensi sehingga Memenuhi Aspek Kesesuaian dan Kecukupan • Mengakomodasi Content Lokal, Nasional dan Internasional (antara lain TIMMS, PISA, PIRLS)
Sikap (Krathwohl) : Menerima + Menjalankan + Menghargai + Menghayati + Mengamalkan Keterampilan (Dyers) : Mengamati + Menanya + Mencoba + Menalar + Menyaji + Mencipta Pengetahuan (Bloom & Anderson): Mengetahui + Memahami + Menerapkan + Menganalisa + Mengevaluasi +Mencipta
• Menggunakan Pendekatan Saintifik, Karakteristik Kompetensi sesuai Jenjang (SD: Tematik Terpadu, SMP: Tematik Terpadu-IPA & IPS- dan Mapel, SMA : Tematik dan Mapel • Mengutamakan Discovery Learning dan Project Based Learning
Kurikulum 2013 dan Implikasinya terhadap Pengajaran Bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar Kebijakan penghapusan dan pergeseran mata peajaran Bahasa Inggris serta merta memberikan implikasi yang signifikan pada pembelajaran Bahasa di tingkat dasar. Beberapa dampak tersebut dapat dilihat pada beberapa hal yaitu: 1) Penghapusan jam pelajaran Bahasa Inggris pada tingkat sekolah dasar. Jika sebelumnya Bahasa Inggris diberikan mulai kelas satu hingga kelas enam, maka sejak diberlakukannya kurikulum Bahasa Inggris, sekolah dasar kemudian tidak lagi meletakkan Bahasa Inggris dalam mata pelajaran wajib, yang minimal diberikan satu jam pelajaran dalam seminggu, namun mengesernya menjadi mata pelajaran ekstrakurikuler setelah jam mata pelajaran selesai. Di beberapa sekolah Muhammadiyah, pelajaran Bahasa Inggris masih tetap diadakan, diselipkan dalam jam pelajaran dikarenakan adanya ISMUBARIS (Islam, Kemuhammadiyahan, Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris) sebagai cirri khas karakter pendidikan di sekolah-sekolah dasar Muhammadiyah. Namun, ada beberapa sekolah juga meletakkannya jadwal pembelajaran Bahasa setelah jam pelajaran selesai. 2) Dampak yang kedua setelah pengurangan jam pelajaran Bahasa Inggris dan penghapusan mata pelajaran tersebut,
• Berbasis Tes dan Non Tes (porfolio) • Menilai Proses dan Output dengan menggunakan authentic assesment • Rapor memuat penilaian kuantitatif tentang pengetahuan dan deskripsi kualitatif tentang sikap dan keterampilan Kecukupan
menyebabkan sejumlah guru yang berasal dari latar belakang bahasa Inggris menjadi kekurangan jam mengajar. Beberapa guru kemudian memutuskan untuk berpindah ke jenjang yang lebih tinggi dari sekolah dasar, yaitu SMP maupun SMA, dimana jam pelajaran Bahasa Inggris mempunyai porsi jam mengajar yang lebih banyak. Selain itu, UN SMP dan SMA yang masih menempatkan Bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Peran bahasa Inggris pada level ini dianggap lebih mampu men-cover kemampuan pendidik di bidang pengajaran bahasa Inggris menjadi lebih maksimal. 3) Dampak yang ketiga, masih berkaitan dengan pendidik dengan latar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Banyak diantaranya yang kemudian memutuskan untuk menjadi guru kelas. Ini artinya bahwa, kemampuan Bahasa Inggris yang didapat saat kuliah menjadi tidak dapat digunakan dengan maksimal. Akibat beralih fungsinya Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran ekstrakurikuler dengan jam terbatas, guru kemudian memilih menjadi guru/wali kelas yang kemudian mempunyai kapasitas yang berbeda dengan pengajar Bahasa Inggris. Guru kelas/wali kelas lebih dituntut untuk dapat menguasai mata pelajaran yag diujikan dalam UN. Hal ini mengharuskan para guru untuk mempelajari dan menguasai beberapa mata pelajaran yang diujikan dalam UN tersebut dalam waktu yang relatif singkat.
82
4) Institusi keguruan pencetak tenaga pendidik dengan latar belakang pendidikan bahasa Inggris menjAdi lebih terbatas dalam menyalurkan sumberdayanya. Institusi keguruan yang secara langsung berkaitan langsung para stakeholder yaitu sekolah sekolah dalam menyediakan guru Bahasa Inggris setidaknya kemudian hanya akan dapat masuk pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi selain sekolah dasar, yaitu SMP, SMA, maupun tingkat perguruan tinggi. Implikasi kebijakan pelaksaan kurikulum 2013 juga berpengaruh pada kurikulum yang dikembangkan. Kurikulum yang kemudian dikembangkan oleh institusi keguruan pencetak tenaga keguruan juga harus didasari pada kebutuhan stakeholder yang berubah. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan yang sudah dikemukakan diatas, perlu diambil beberapa kesipulan bahwa kebijakan kurikulum 2013 yang serentak akan diberlakukan secara signifikan telah memberikan dampak dan implikasi yang besar terhadap pembelajaran Bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar. Pendidikan dasar sebagai wahana untuk
mentransfer ilmu pada tingkat paling awal kemudian juga terkena dampak dari pemberlakukan kurikulum 2013 ini. Beberapa faktor yang kemudian mempengaruhi kebijakan kurikulum 2013 terhadap penghapusan pembelajaran Bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar mungkin masih perlu dikaji dan dianalisis ulang. Hal ini tentunya tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Peran para pemangku kebijakan, stakeholder, pelaku di lapangan seperti pendidik dan siswa sendiri juga perlu dilibatkan. DAFTAR PUSTAKA
Dardjowijojo, Soenjono. (2005). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cameron, Lyne. (2001). Teaching Language to Young Learners. Cambridge: Cambridge University Press. ____________ (2013). Pengantar Uji Publik Kurikulum. Jakarta: Kemdikbud.
83
PENILAIAN OTENTIK DALAM RANGKA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 H.Sujati Prodi PGSD UNY
PENDAHULUAN Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor pembangunan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Makna manusia yang berkualitas, menurut UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan nasional harus berfungsi secara optimal sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa dan karakter. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, yang diyakini akan menjadi faktor determinan bagi tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang jaman. Dari sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah satu unsur yang bisa memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan teori pendidikan berbasis kompetensi, yakni kemampuan seseorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang bersangkutan berinteraksi. Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang
beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Untuk mengukur ketercapaian kompetensi-kompetensi tersebut perlu dilakukan penilaian atau penilaian. Satu diantara sekian banyak macam penilaian adalah penilaian otentik. MAKNA PENILAIAN OTENTIK Penilaian otentik dalam Kurikulum 2013 disarankan penggunaannya. Apakah model penilaian ini menyajikan hasil yang secara teoretis berbeda dengan model penilaian tradisional? Karena penilaian otentik menekankan capaian peserta didik untuk menunjukkan kinerja (do something), kesiapan peserta didik berunjuk kerja selepas mengikuti kegiatan pembelajaran tentu lebih signifikan.Selain itu, ada beberapa manfaat lain penggunaan penilaian otentik,sebagaimana dikemukakan Muller (Burhan Nurgiyantoro, 2010) sebagai berikut. Pertama, penggunaan penilaian otentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai indicator capain kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur capaian pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak langsung. Tetapi, penilaian otentik menuntut peserta didik untuk berunjuk kerja dalam situasi yang konkret dan sekaligus bermakna yang secara otomatis juga mencerminkan penguasaan dan keterampilan keilmuannnya. Unjuk kerja tersebut bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyat yang dapat diamati langssung. Kedua, penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksikan hasil belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar meminta peserta didik mengulang apa yang telah dipelajari karena hal demikian hanyala melatih mereka menghafal dan mengingat saja yang kurang bermakna Dengan penilaian otentik pembelajardiminta untuk mengkonstruksikan apa yang telah
84
diperoleh ketika mereka dihadapkan pada situasi konkret. Ketiga, penilaian otentik memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang terpadu.Dalam pembelajaran tradisional, juga model penilaian tradisional, antara kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau sengaja dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan model penilaian otentik. Ketiga hal tersebut, yaitu aktivitas guru membelajarkan, siswa belajar,dan guru menilai capaian hasilbelajar pembelajar, merupakan saturangkaian yang memang sengaja didesain demikian. Keempat, penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk menampilkan hasil belajarnya, unjuk kerjanya,dengan cara yang dianggap paling baik.Singkatnya, model ini memungkinkanpeserta didik untuk memilih sendiri cara, bentuk, atau tampilan yang menurutnya paling efektif. Hal itu berbeda dengan penilaian tradisional, misalnya
bentuk tes pilihan ganda, yang hanya member satu cara untuk menjawab dan tidak menawarkan kemungkinan lain yang dapat dipilih. Jawaban pembelajar dengan model ini memang seragam, dan itu memudahkan kita mengolahnya, tetapi itu menutup kreativitas peserta didik untuk mengkreasikan jawaban atau kinerjanya. Padahal, unsur kreativitas atau kemampuan berkreasi merupakan hal esensial yang harus diusahakan ketercapaiannya dalam tujuan pembelajaran. Menurut Marhaeni (2006) tiga alasan mendasar kenapa guru seyogyanya menggunakan penilaian otentik. Pertama, penilaian otentik adalah pengukuran langsung terhadap atribut siswa. Sesungguhnya, tujuan akhir pembelajaran bukan sekadar siswa menguasai konten materi yang diajarkan, namun, mereka harus bias menggunakan pengetahuan dan keterampilannya dalam menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sangatlah penting dilakukan penilaian secara langsung terhadap bagaimana siswa dapat melakukan tuntutan dunia nyata tersebut dalam situasi yang otentik. Dalam tes non otentik seperti pilihan ganda, hasil baik yang dicapai anak hanya dapat diasumsikan mewakili kompetensinya, namun ini hanya asumsi, alias bukti (evidence) tidak langsung. Maka, jika seorang guru mengajarkan tentang
cara membuat pisang goring, tidaklah mewakili jika siswa dites pemahamannya hanya dengan tes tulis tentang cara membuat pisang goreng. Siswa harus diases kemampuannya dalam membuat pisang goring untuk memastikan bahwa kemampuan tersebut telah terakuisisi. Kedua, penilaian otentik sesuai dengan perspektif belajar konstruktivis. Untuk membangun pengetahuannya, siswa tidak dapat hanya dengan mengulang informasi yang diperolehnya. Dengan menugaskan siswa melakukan kegiatan-kegiatan otentik seperti membuat pisang goreng berarti siswa menunjukkan atau mendemonstrasikan kemampuan yang telah dikuasainya. Siswa juga terlibat (engage) secara langsung dalam kegiatan penilaian. Dan hal ini merupakan proses belajar yang konstruktif. Ketiga, penilaian otentik memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan kemampuannya dengan cara-cara yang bervariasi, bukan dengan satu cara saja. Sangat penting bagi guru untuk member kesempatan ini karena sebagaimana kita tahu, setiap orang (siswa) memiliki kelebihan dan kekurangan, demikian pula setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam menunjukkan kemampuannya. Pada penilaian tradisional seperti tes pilihan ganda, samasekali tidak ada ruang variabilitas tersebut. Memang, tes-tes objektif dapat membandingkan siswa secara mudah karena apa yang diharapkan dilakukan siswa persis sama, namun, jika penilaian otentik seperti penilaian kinerja direncakan dan dilaksanakan secara baik, maka tetap saja antara siswa dapat dibandingkan karena unjuk kerja yang diharapkan sama, meskipun caranya mungkin berbeda. Dan yang juga penting diingat, dalam membangun kompetensi, siswa tidak dibandingkan dengan temannya, melainkan dibanding dengan suatu kriteria ketuntasan kompetensi atau KKM. Undang-Undang No 14 Tahun 2005 pasal 1 menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan menilai. Dengan memperhatikan pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kapabilitas seorang guru dalam melakukan penilaian menjadi salah satu indikator profesionalitasnya. Seorang guru yang profesional selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang dilakukannya. Hal tersebut dilakukan karena salah satu indikator keberhasilan pembelajaran ditentukan
85
oleh tingkat keberhasilan yang dicapai peserta didik. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Pasal 22 dinyatakan bahwa penilaian hasil pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan Kompetensi Dasar yang harus dikuasai. Teknik penilaian dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok. Sementara dalam Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 dinyatakan bahwa penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah. Menurut sumber hukum di atas, penilaian otentik merupakan salah satu pilihan yang bisa digunakan oleh guru dalam melaksanakan penilaian. Sementara menurut Kurikulum 2013, penilaian otentik menjadi salah satu icon unggulan yang harus dilaksanakan disamping icon-icon yang lain seperti pembelajaran tematik integratif, pembelajaran saintifik dan pembelajaran berbasis ICT. Selama ini penilaian otentik dimaknai secara berbeda-beda oleh berbagai ahli. Otentik sendiri berarti nyata, riil seperti yang terjadi dalam kehidupan. Dengan demikian, penilaian otentik adalah penilaian yang meminta siswa untuk melakukan tugas-tugas nyata yang mewakili atau menunjukkan aplikasi secara bermakna atas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Penilaian otentik merupakan suatu proses pengumpulan data siswa baik yang dilakukan selama proses pembelajaran, maupun terhadap hasil belajar (Marhaeni, 2006). Burhan Nurgiyantoro (2008) mengartikan penilaian otentik sebagai penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk in. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif, nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna. Penilaian otentik menekankan kemampuan pembelajar untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekedar menanyakan pengetahuan yang telah diketahui pembelajar, melainkan kinerja
secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai. Penilaian otentik menekankan kemampuan pembelajar untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Oleh karena itulah penilaian otentik sering disebut sebagai penilaian produk dan kinerja yang berhubungan dengan pengalaman kehidupan nyata peserta didik. Penilaian otentik sering dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunakan standar tes berbasis norma, pilihan ganda, benar–salah, menjodohkan, atau membuat jawaban singkat. Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak dilarang dalam proses pembelajaran, Penilaian otentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru bekerja sama dengan peserta didik. Dalam penilaian otentik, sering.kali pelibatan siswa sangat penting. Asumsinya, peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika mereka tahu bagaimana akan dinilai. Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam rangka meningkatkan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan pembelajaran serta mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi. Pada penilaian autentik guru menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari luar sekolah. Penilaian otentik mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan siswa belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar. Karena penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta didik berbagi pemahaman tentang kriteria kinerja. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk mendefinisikan harapan atas tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Penilaian otentik sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik, karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar tentang subjek. Penilaian otentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan sebagainya. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah layak dilanjutkan dan untuk materi
86
apa pula kegiatan remidial harus dilakukan. Oleh karena itulah penilaian otentik sering dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunkan standar tes berbasis norma, pilihan ganda, benar–salah, menjodohkan, atau membuat jawaban singkat. PENILAIAN OTENTIK UNJUK KERJA Hard dan Torrance seperti dikutip oleh Gulikers, Bastiaens, dan Kirschner (2004: 69) menyatakan bahwa authentic assessment merupakan sinonim dari performance assessment. Mueller seperti dikutip oleh Fook dan Sidhu (2010: 154), mendefinisikan penilaian otentik sebagai suatu cara dimana siswa diminta untuk melakukan sebuah aktivitas atau mengerjakan tugas untuk mengukur pengetahuan dan keahlian yang telah dicapai siswa melalui pendidikan formal. Aktivitas itu sendiri dikerjakan secara langsung dan bersifat otentik. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Meyer seperti dikutip oleh Gulikers (2004: 69). Meyer menegaskan bahwa semua authentic assessment merupakan performance assessment, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Lebih lanjut dinyatakan Meyer bahwa keaslian dari authentic assessment merupakan hal yang paling penting. Pendapat Meyer ini didukung oleh Herrington & Herrington (Gulikers, 2004: 69) yang menyatakan bahwa authentic assessment lebih menitikberatkan pada nilai realistis dari aktivitas yang dikerjakan. Inilah yang membedakan antara authentic assessment dengan performance assessment. Sebuah penelitian tindakan kelas dengan menerapkan penilaian otentik dilakukan oleh Azim dan Khan (2012:1) di sebuah kelas sains di Pakistan. Penelitian tersebut dilaksanakan dengan lima langkah authentic assessment yang dicetuskan oleh Gulikers yang dikutip oleh Azim dan Khan (2012: 315). Pertama, adalah kegiatan otentik. Pada fase ini, siswa diminta untuk menganalisa masalah yang ada pada lingkungan sekitar mereka. Kedua, yaitu konteks fisikal (physical context). Pada fase ini para siswa diperkenankan untuk berdiskusi guna merencanakan langkah yang akan mereka tempuh demi terpecahkannya solusi dari masalah yang mereka temukan tadi. Ketiga, konteks sosial (social context). Para siswa diperkenalkan beberapa metode pencarian solusi, antara lain dengan bertanya dengan narasumber di sekitar mereka, mencari informasi di internet, maupun dari buku.
Disinilah pokok dari penilaian otentik dimana siswa harus berhubungan dengan dunia nyata secara langsung. Keempat, para siswa diwajibkan untuk menunjukkan solusi dan membagikannya kepada komunitas di sekitar mereka. Pada fase ini pula guru akan menilai siswa dengan menggunakan rubrik penilaian seperti pada tabel sembari melihat hasil pemaparan mereka. Kelima, penilaian hasil kegiatan yang sudah diikuti siswa dari awal hingga akhir. Butir kriteria dan juga standar sudah terlebih dahulu dibagikan kepada siswa yang nantinya akan menjadi patokan di dalam mengukur pengetahuan, kemampuan berpikir secara kognitif dengan high order dan juga penampilan mereka di dalam suatu konteks. Mereka menemukan bahwa pemberlakuan authentic assessment mampu meningkatkan keaktifan siswa di dalam proses belajar mengajar. Peningkatan yang lain ada pada kemampuan high order, seperti menyusun ide (organizing), menyarikan (synthesizing), dan menggabungkan ide tersebut (integration). Selain itu, para siswa juga terbukti secara aktif lebih terlibat di dalam tahap perencanaan, pengumpulan informasi, dan pemaparan solusi kepada komunitas sekitarnya. Kecenderungan dewasa ini penilaian kinerja digunakan secara luas dalam lingkup pendidikan, berawal dari rasa tidak puas terhadap penggunaan penilaian tunggal berupa tes baku yang dianggap tidak mampu menampilkan kemampuan pebelajar secara holistik. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan penilaian tunggal adalah tes baku yang secara tradisional digunakan untuk mengukur perkembangan belajar yang pada umumnya berbentuk tes obyektif. Tes obyektif hanya memungkinkan peserta tes untuk memilih satu pilihan jawaban yang benar. Format tes baku biasanya berbentuk pilihan ganda, satu butir disediakan tiga atau lima pilihan kemungkinan jawaban. Sebelum digunakan, tes-tes ini distandardisasikan terlebih dahulu. Perkembangan selanjutnya tes baku telah merambah penggunaannya ke tingkat kelas, yang digunakan dengan tujuan untuk penilaian formatif yang bentuknya juga menggunakan format tes baku. Istilah tes baku sebagai penilaian tunggal karena memang tidak ada alternatif lain menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut tes-tes yang diterapkan di kelas sebagaimana dimaksud itu.
87
Karena penggunaan tes baku tidak mampu mengukur performansi seseorang maka banyak orang yang melengkapinya dengan menggunakan penilaian unjuk kerja, yakni proses mengumpulkan data dengan cara melakukan pengamatan secara sistematik untuk membuat keputusan tentang kinerja individu. Kinerja individu merupakan performasi maksimal yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar. Penilaian terhadap proses dan atau karya individu merupakan satu ciri dalam penilaian kinerja karena sifatnya yang sangat individual, setiap individu dapat menunjukkan kemampuan kinerjanya secara maksimal mungkin melalui keterlibatannya dalam proses ataupun pada produk yang dihasilkannya. Kinerja individual mengacu pada prestasi kerja individu yang diatur berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi. Kinerja individual yang tinggi dapat meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Penelitian Goodhue dan Thompson (Asmawi Zaenul dan Agus Mulyana, 2003) menyatakan bahwa pencapaian kinerja individual berkaitan dengan pencapaian serangkaian tugas-tugas individu. Kinerja yang lebih tinggi mengandung arti terjadinya peningkatan efisiensi, efektivitas atau kualitas yang lebih tinggi dari penyelesaian serangkaian tugas yang dibebankan kepada individu dalam perusahaan atau organisasi. Penilaian kinerja sangat terkait dengan teori belajar sebagai landasan psikologisnya. Teori belajar fleksibilitas kognitif dari R. Spiro (Asmawi Zainul dan Agus Mulyana, 2003) menegaskan belajar pada dasarnya sesuatu yang kompleks dan tidak terstruktur. Proses belajar berarti tak pernah berakhir, selalu ada proses adaptasi dan selalu berubah; oleh karenanya penilaian dibutuhkan untuk menyertai seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran. Bruner (Asmawi Zainul dan Agus Mulyana 2003) telah menegaskan bahwa belajar adalah proses aktif pebelajar yang mengkonstruksikan gagasan baru atau konsep baru atas dasar konsep, pengetahuan dan kemampuan yang telah dimiliki. Ada peluang pebelajar untuk bergerak lebih jauh melampaui informasi yang didapat, karena dia mampu menyusun hipotesis, membuat keputusan atas dasar struktur kognitifnya. Proses belajar berlangsung melalui tiga proses, yaitu perolehan, mentransfer dan mengolah kembali. Belajar membutuhkan dialog intensif antara
guru dan pebelajar. Dialog akan baik jika guru mampu masuk dalam struktur kognitif dan pada tingkat pemahaman pebelajar. Belajar merupakan suatu kegiatan pengolahan informasi yang menemukan kebutuhan untuk mengenal dan menjelaskan gejala yang terjadi di lingkungan pebelajar. Dalam belajar tercakup tiga hal yakni informasi tentang bagaimana kreativitas tumbuh di antara para pebelajar, belajar membantu menyusun pengetahuan, dan belajar membantu mengurutkan pengetahuan sedemikian rupa menjadi bermakna. Dalam konteks demikian maka assessment kinerja dibutuhkan untuk dikembangkan dalam praktik penilaian. Pada dimensi yang lain, Rogers (Asmawi Zainul dan Agus Mulyana, 2003) mengidentifikasi belajar menjadi dua jenis yakni cognitive learning dan experiental learning. Yang pertama berhubungan dengan pengetahuan yang sifatnya akademik, sedangkan experiental learning lebih ke pengetahuan yang sifatnya terapan. Jenis pengetahuan terapan merupakan landasan kuat untuk tumbuh dan berubahnya pribadi pebelajar, karena proses keterlibatan pribadi, inisiatif diri, evaluasi diri dan dampak langsung yang terjadi pada diri pebelajar. Implikasinya belajar harus dilakukan sendiri oleh pebelajar, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator yang tugas pokoknya menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Penilaian otentik dibutuhkan untuk mendeteksi aktivitas perolehan kompetensi pebelajar baik pada proses keterlibatan pribadi, inisiatif, evaluasi diri dan dampak yang dialaminya. Gardner (Paul Suparno, 2003) menyatakan bahwa belajar bukan hanya didominasi oleh aspek kognitif saja tetapi memiliki multi aspek, sehingga pembelajaran harus memperhatikan aspek-aspek yang lain. Teori lama hanya memperhatikan kemampuan verbal-linguistics sensitivity dan kemampuan logicalmathematical; sedangkan teori multipleabilities, talents, and skills melibatkan juga kemampuan (1)visual-spatial, (2)bodily-kinesthetic, (3)musical-rhythmical, (4)interpersonal, (5)intrapersonal, (6)naturalist. Pandangan Gardner memperjelas, bahwa penilaian hasil maupun proses belajar tidak cukup hanya mengukur salah satu atau beberapa aspek kemampuan pebelajar, tetapi harus mengukur seluruh aspek kemampuan pebelajar. Penggunaan penilaian hanya dengan tes formal
88
tidak cukup memenuhi kaidah penilaian kinerja yang menjadi acuan untuk memenuhi standar nasional pendidikan. Berdasarkan berbagai teori belajar sebagaimana dikemukakan di aas maka jelas bahwa penilaian otentik sangat dibutuhkan sebagai sarana untuk menghimpun dan melengkapi informasi tentang proses perolehan belajar dan hasil belajar yang digunakan untuk tujuan pengambilan keputusan dan untuk memberikan umpanbalik kepada pebelajar maupun pihak lain yang berkepentingan terhadap perlu tidaknya tindak lanjut atas proses dan hasil pembelajaran. Penilaian kinerja sebagai penilaian otentik dengan demikian memiliki basis pengembangan dari standard kompetensi. Penilaian otentik yang diselenggarakan dalam konteks kelas akan meliputi kegiatan-kegiatan penilaian yang bersifat formatif dan sumatif yang masingmasing menggunakan acuan kriteria. Implikasinya bagi setiap pengajar dalam menerapkan kriteria untuk mengacu standar kompetensi yang diajarkan harus melakukan pengembangan matriks kompetensi belajar yang menjamin pengalaman belajar yang terarah dan pengembangan penilaian outentik yang bersifat berkelanjutan sehingga menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi yang diharapkan. Untuk dapat mengembangkan kedua hal ini seorang pengajar harus mengetahui komponenkomponen pendukung dari penilaian tersebut. Demi terselenggaranya penilaian yang baik, Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013, telah mengatur lima prinsip penilaian yang harus harus dipenuhi, yakni (1) objektif, berarti penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai; (2) terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan; (3) ekonomis, berarti penilaian harus dilakukan dengan efisien, efektif dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporannya; (4) transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak; (4) akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada ihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya; dan (5) edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru. Sementara itu Djemari Mardapi (2004) mengemukakan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penilaian. Prinsip penilaian
yang penting adalah akurat, ekonomis, dan mendorong peningkatan kualitas pembelajaran; oleh sebab itu sistem penilaian yang digunakan di setiap lembaga pendidikan harus mampu: (1) memberi informasi yang akurat, (2) mendorong peserta didik belajar, (3) memotivasi tenaga pendidik mengajar, (4) meningkatkan kinerja lembaga, dan (5) meningkatkan kualitas pendidikan. RUBRIK PENILAIAN OTENTIK Penggunaan penilaian otentik tidak pernah bisa lepas dari rubrik. Mueller (Burhan Nurgiyantoro, 2010) mengemukakan sejumlah langkah yang perlu ditempuh dalam pengembangan penilaian otentik, satu diantaranya adalah pembuatan rubrik penilaian. Penilaian otentik menggunakan pendekatan penilaian acuan kriteria (criterion referenced measures) untuk menentukan nilai capaian subjek didik. Dengan demikian, nilai seorang pembelajar ditentukan seberapa tinggi kinerja ditampilkannya secara nyata yang menunjukkan tingkat capaian kompetensi yang dibelajarkan. Untuk menentukan tinggi rendahnya skor kinerja yang dimaksud, haruslah dipergunakan alat skala untuk memberikan skor tiap kriteria yang telah ditentukan. Alat yang dimaksud disebut rubrik. Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala penyekoran (scoring scale) yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap kriteria terhadap tugas-tugas tertentu. Dalam sebuah rubrik terdapat dua hal pokok yang harus dibuat, yaitu criteria dan tingkat capaian kinerja (level of performance) tiap kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial standar (kompetensi) yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara esensial dan konkret mewakili standar yang diukur capaiannya. Dengan membatasi criteria pada hal-hal esensial, dapat dihindari banyaknya kriteria yang dibuat yang menyebabkan penilaian menjadi kurang praktis. Selain itu, kriteria haruslah dirumuskan atau dinyatakan (jadi: berupa pernyataan dan bukan kalimat) singkat padat, komunikatif, dengan bahasa yang gramatikal, dan benarbenar mencerminkan halhal esensial (dari standar/kompetensi) yang diukur. Ada dua macam rubrik, yakni holistik rubrik dan analitik rubrik. Holistik rubrik adalah rubrik yang bersifat menyeluruh artinya satu rubrik dipakai untuk pedoman menilai semua aspek atau komponen hasil kerja
89
pebelajar; sedangkan rubrik analitik adalah rubrik yang disusun sesuai dengan tiap-tiap komponen yang bersesuaian antara pedoman penskoran dan dimensi kinerja yang diukur, sehingga dimungkinkan dalam satu unit pengajaran terdiri dari beberapa rubrik yang berbeda-beda panduan penskorannya. KESIMPULAN Untuk mengakhiri tulisan ini perlu penulis tekankan bahwa Kurikulum 2013 sebagai bentuk pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menghendaki penilaian secara bervariasi. Salah satu model penilaian yang disarankan penggunaannya adalah penilaian otentik. Penggunaan penilaian otentik dalam rangka implementasi Kurikulum 2013 tidak perlu dipertentangkan dengan sistem penilaian tradisional yang selama ini dilaksanakan oleh guru. Penilaian otentik semakin menyempurnakan penilaian tradisional yang selama ini hanya mampu menjangkau kompetensi ranah kogmitif. Agar penilaian otentik dapat terselenggara dengan baik, guru bukan saja dituntut memahami makna penilaian otentik, tetapi juga mampu mengembangkan rubrik penilaian, baik dalam bentuk rubrik holistik maupun analitik. Kemampuan-kemampuan tersebut menjadi petanda profesionalitas seorang guru dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. DAFTAR PUSTAKA Azim, Sher & Khan, Mohammad. 2012. Authentic Assessment: An Instructional Tool to Enhance Students Learning. Academic Research International. Vol.2, No.3. May, 2012. Retrieved from http://ecommons.aku.edu/cgi/viewconten
t.cgi?article=1008&context=pakistan_ied _pdcc on Feb 16,2014. Asmawi Zaenul dan Agus Mulyana. 2003. Tes dan Penilaian di SD. Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Burhan Nurgiyantoro. 2008. Penilaian Otentik. Cakrawala Pendidikan, November 2008, Th. XXVII, No. 3. Fook, Chan Yuen & Sidhu, Gurnam Kaur. 2010. Authentic Assessment and Pedagogical Strategies in Higher Education. Journal of Social Sciences 6 (2). Retrieved from http://thescipub.com/pdf/10.3844/jssp.20 10.153.161 on Feb 16,2014. Gulikers, Judith T. M., Bastiaens, Theo J., Kirschner, Paul A. 2004. FiveDimensional Framework for Authentic Assessment. Retrieved from https://racetothetopvolusia.wikispaces.co m/file/view/A+Five+Dimensional+Frame work+for+Authentic+Assessment.pdf on Feb 16,2014. Marhaeni. 2006. Menggunakan Asesmen Otentik dalam Pembelajaran. Makalah disampaikan dalam pelatihan pembelajaran bagi guru-guru SMA Negeri 1 Denpasar tanggal 19 Agustus 2006. Paul Suparno. 2003. Teori Intelegensi Ganda dan aplikasinya di asekolah. Yogyakarta: Kanisius. Pemendikbud Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Standar Penilaian. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
90
PEMBELAJARAN TEMATIK Kelas IV tema 1 sub tema 3 yang menyenangkan MENGGUNAKAN MEDIA BALON MISTERI Iisrohli Irawati, Tini, Suyanta SD N 2 Barenglor Klaten, SD N 2 Barenglor Klaten, SD N 2 Barenglor Klaten Email : iisrohli
[email protected], atmaja ira@gmail,
[email protected] Abstrak Menjadi guru kreatif adalah tuntutan professional bagi seorang guru. Pembelajara yang menyenangkan bagi anak harus didesain sedemikian rupa sehingga anak menjadi senag. Guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak bisa terlepas dari kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum yang terbaru saat ini adalah kurikulum 2013 yang memang belum sepenuhnya dapahami dan digunakan di semua Sekolah Dasar. Kata Kunci : Kurikulum 2013, pembelajaran tematik
PENDAHULUAN Peralihan sistim pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi telah menjadikan perubahan paradigma berbagai unsur penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pendidikan. Hal ini telah mendorong adanya perubahan dari berbagai aspek pendidikan termasuk kurikulum. Dalam kaitan ini kurikulum Sekolah Dasar pun menjadi perhatian dan pemikiran-pemikiran baru sehingga mengalami perubahan-perubahan kebijakan. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat (2) ditegaskan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Atas dasar pemikiran itu maka dikembangkanlah apa yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Namun dalam perkembangan terbaru yang muncul adalah kurikulum 2013. Kurikulum 2013 telah mulai diimplementasikan di beberapa sekolah sasaran atau sekolah-sekolah yang menyatakan kesiapan untuk melaksanakannya atas komitmen sendiri. Di jenjang Sekolah Dasar
(SD/MI), proses pembelajaran menggunakan pendekatan tematik. Makalah ini akan mencoba mendesain bagaimana pembelajaran tematik yang menyenagkan menggunakan media balon misteri. PEMBAHASAN Apakah Model Pembelajaran Tematik Terpadu (PTP) itu? Model pembelajaran tematik terpadu (PTP) yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai integrated thematic instruction (ITI) dikembangkan mula-mula di awal tahun 1970an. Akhir-akhir ini Pembelajaran Tematik Terpadu (PTP) dianggap sebagai salah satu model pembelajaran yang efektif (highly effective teaching model). Keefektifan model pembelajaran tematik terpadu dapat dilihat dari kemampuannya dalam mewadahi serta menyentuh secara terpadu ranah-ranah emosi (emotional), fisik (physical), dan akademik (academic) di dalam kelas atau di lingkungan sekolah. Pembelajaran Tematik Terpadu pada Kurikulum 2013 Ada sepuluh elemen yang terkait dengan hal ini dan perlu ditingkatkan oleh guru agar pembelajaran yang dilakukannya di kelas dapat sukses dan maksimal memanfaatkan potensipotensi yang ada, yaitu: 1. Guru harus mereduksi tingkat kealpaan atau bernilai tambah berpikir reflektif.
91
2.
Guru semestinya memperkaya sensori pengalaman di bidang sikap, keterampilan, dan pengetahuan melalui berbagai aktivitas di kelasnya. 3. Penyajian isi atau substansi pembelajaran oleh guru haruslah dalam bentuk yang bermakna bagi siswa. 4. Lingkungan pembelajaran dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memperkaya pembelajaran yang dilaksanakan. 5. Guru senantiasa bergerak untuk memacu terjadi proses pembelajaran yang efektif (Movement to Enhance Learning). 6. Guru harus membuka pilihan-pilihan pembelajaran yang mungkin bagi seluruh siswa di kelasnya. 7. Karena sumberdaya waktu adalah hal yang sangat terbatas di dalam kelas, maka optimasi waktu secara tepat sangat diperlukan. 8. Guru harus melakukan kolaborasi dengan semua pihak yang mungkin untuk menjadikan pembelajaran yang lebih efektif. 9. Adalah hal yang harus dilakukan guru pada saat pembelajaran berlangsung, di mana setiap hal diberikan umpan balik yang segera. 10. Ketuntasan atau aplikasi menjadi aspek penting dalam pembelajaran tematik terpadu. Balon misteri dan cara menggunakannya dalam pembelajaran Balon misteri adalah balon yang didalamnya berisi potongan kertas yang berisi kata kunci pada suatu tema pembelajaran dan soal-soal latihan. Cara menggunakannya: 1. Balon ditiup berisi potongan kertas yang dibuat guru merupakan keyword sesuai KI dan pembelajarn yang akan diberikan 2. Balon digilir anak dengan bernyanyi mars SD 2 Barenglor 3. Anak yang mendapat balon diminta kedepan membuka potongan kertas 4. Guru lanjut menjelaskan dan melaksanakan pembelajaran 5. Guru melanjutkan menggilir balon misteri yang berisi soal evalusi setelah melaksanakan pembelajaran
6. Siswa menjawab pertanyaan yang diberikan guru PENUTUP Menjadi guru kreatif adalah tuntutan profesionalisme guru. Kurikulum 2013 sudah mulai diimplementasikan di beberapa sekolah sasaran atau sekolah-sekolah yang menyatakan kesiapan untuk melaksanakannya atas komitmen sendiri. Di jenjang Sekolah Dasar (SD/MI), proses pembelajaran menggunakan pendekatan tematik. Dalam pelaksanaan pembelajaran dapat di desain sedemikian rupa sehingga pembelajarannya menyenangkan bagi anak. DAFTAR PUSTAKA
Bernadib.1987. Filsafat Pendidikan/ Sistem dan Metode.IKIP Yogyakarta. Jalaluddin dan Abdullah, Idi. 2002. Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2006.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aanchoto. 2010.Filsafat Pendidikan dan Perspektif Islam. Diakses pada situs http://aanchoto.com/2010/06/filsafatpendidikan-dan-perspektif-islam/tanggal 4 Maret 2011. Massofa. 2008. Peranan Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan. Diakses pada situs http://massofa.wordpress.com/2008/01/1 5/peranan-filsafat-pendidikan-dalampengembangan-ilmu-pendidikan/ Diakses Tanggal 13 september 2013.
http://www.medukasi.web.id/2013/07/buku-smppegangan-guru-kurikulum-2013.html/ Diakses tanggal 20 september 2013 http://muminatus.blog.com/filsafat-dalamilmu-pendidikan/ Diakses tanggal 23 September 2013 http://waterfres.blogspot.com/2013/09/cont oh-makalah-tentang-pendidikan.html. Diakses 25 September 2013.
92
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan pendidikan Kelas / semester Tema Sub Tema Pembelajaran/ Pert. Alokasiwaktu
: SEKOLAH DASAR : IV/1 : 1Indahnya Kebersamaan : 1.3 Bersyukur atas Keberagaman : 1 : 1 Hari (6 jp X 35 menit)
A. KOMPETENSI INTI 2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalamberinteraksi dengan keluarga, teman, guru, dan tetangganya 3. Memahami pengetahuan factual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentangdirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah 4. Menyajikan pengetahuan factual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia B. KOMPETENSI DASAR ILMU PENGETAHUAN SOSIAL 3.2. Memahami manusia, perubahan dan keberlanjutan dalam waktu pada masapraaksara, Hindu-Buddha, Islam dalamaspek pemerintah, sosial, ekonomi,dan pendidikan 4.2. Merangkum hasil pengamatan danmenceritakan manusia, perubahan dankeberlanjutan dalam waktu pada masapraaksara, Hindu Buddha, Islam dalamaspek pemerintah, sosial, ekonomi,dan pendidikan SENI BUDAYA DAN PRAKARYA 3.6 .Memahami cerita terkait situs-situsbudaya baik benda maupun tak bendadi Indonesia dengan Menggunakan bahasa daerah 4.7. Menceritakan cerita terkait situs-situs budaya baik benda maupun tak benda di Indonesia dengan menggunakan bahasa daerah BAHASA INDONESIA 3.5. Menggali informasi dari teks ulasanbuku tentang nilai peninggalan sejarahdan perkembangan Hindu-Budha diIndonesia dengan bantuan guru danteman dalam bahasa Indonesia lisandan tulis dengan memilih dan memilahkosakata baku 4.5. Mengolah dan menyajikan teks ulasanbuku tentang nilai peninggalansejarah dan perkembangan Hindu-Budha di Indonesia secara mandiridalam bahasa Indonesia lisan dantulis dengan memilih dan memilahkosakata baku C. INDIKATOR ILMU PENGETAHUAN SOSIAL 1. Menemukan perbedaanpada masa praaksara dan masa aksara 2. Menuangkan fakta-fakta penting dari masa praaksara, masa Hindu-Buddha,dan masa Islam
93
SENI BUDAYA DAN PRAKARYA 1. Berkreasi membuat cerita sederhana tentang situs-situs budaya dengan menggunakan bahasa daerah BAHASA INDONESIA 1. Menuliskan kembali bahan bacaan dengan menggunakan kata-katasendiri dengan menemukan Informasipenting dalam setiap paragraf
IPS,SBdP Bahasa Indonesia Tujuan Pembelajaran: 1. Setelah membaca teks, siswa mampu menceritakan kembali isi bacaan dengan menggunakan kata-katanya sendiri dengan benar. 2. Dengan menggunakan bahasa daerah, siswa mampu menulis cerita sederhana tentang beberapa situs budaya dengan benar. 3. Dengan membaca teks, siswa mampu menemukan perbedaan antara masa praaksara,masa Hindu Buddha, dan masa Islam, kemudian menuliskan fakta-fakta pentingnyadalam bentuk tabel dengan benar.
D. MATERI BAHASA INDONESIA Zaman Praaksara Bacalah teks berikut! Indonesia memiliki peninggalansejarah yang beragam. Kita perlumensyukurinya. Ayo kita mengenalpeninggalan-peninggalan sejarahtersebut BJARANesyuratas Kberagaman Kehidupan Masyarakat Praaksara Manusia purba hidup dari
berburu
94
Manusia purba hidup dari berburu dan meramu. Berburu berart imencari dan menangkap binatang buruan, seperti banteng, kerbau liar,dan rusa. Meramu berarti mencaridan mengumpulkan makanan,yakni mencari bahan makananyang sekiranya enak dimakan,seperti umbi-umbian, keladi, danjuga daun-daunan.Kehidupan manusia purba padamasa itu sangat bergantung padaalam. Untuk menghindari bahaya dari binatang buas, mereka hidup bergerombol. Biasanya, mereka hidup bergeromboldi tempat-tempat yang menyediakan banyak bahan makanan dan sering dilalui binatang buruan, serta menyediakan air. Manusia purba tinggal di padang rumputdan hutan yang berdekatan dengan sungai. Lakilaki berburu, sedangkan perempuanbertugas mengasuh anak dan meramu makanan. Manusia purba belajar dari alam. Mereka menyadari bahwa bahan makanan pada suatu tempat akan habis. Oleh karena itu, mereka akan berpindah dari satutempat ke tempat lain yang masih menyediakan banyak bahan makanan. Biasanyamereka memilih tepi danau, tepi sungai, atau tepi pantai. Hidup berpindah-pindah tempat tinggal ini disebut nomaden. Manusia praaksara sudah bisa menggunakan alat bantu sederhana dalam berburudan mengumpulkan makanan. Alat bantu itu terbuat dari batu yang diasahsederhana, terbuat dari tulang atau kayu. Alat-alat kehidupan yang dibuat pada masa ini ada yang digunakan sebagai alat upacara keagamaan. Pada masa itukepercayaan yang berkembang adalah kepercayaan terhadap roh dan bendabendayang memiliki ekuatan gaib. Beberapa benda tersebut kini bisa dilihat di museum. SENI BUDAYA DAN PRAKARSA Candi di Indonesia Amati dan pelajari candi-candi di bawah ini! Candi Muaro Jambi terletak di Jambi. Bangunancandi tersebut adalah peninggalan kerajaan Melayu hingga kerajaan Sriwijaya, yang berlatar belakangkebudayaan Melayu Buddhis. Diperkirakan candicandidi lokasi situs sejarah Candi Muaro Jambimulai dibangun sejak abad ke-4 Masehi.Candi Borobudur merupakancandi Buddha, terletak didesa Borobudur, KabupatenMagelang, Jawa Tengah.Candi ini dibangun oleh RajaSamaratungga, salah saturaja kerajaan Mataram Kuno,keturunan Wangsa Syailendrapada abad ke-9. Candi Muaro Jambi terletak di Jambi. Bangunan candi tersebut adalah peninggalan kerajaan Melayu hingga kerajaan Sriwijaya, yang berlatar belakang kebudayaan Melayu Buddhis. Diperkirakan candi candidi lokasi situs sejarah Candi Muaro Jambi mulai dibangun sejak abad ke-4 Masehi.
95
Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yangterdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang,Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi ini jugayang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda danmerupakan satu-satunya candi Hindu di sana.Candi ini dibangun pada abad ke-8 oleh KerajaanPajajaran. Sekarang kita tahu bahwa candi merupakan warisan budaya yang sangat berharga karena keberadaannya dapat menceritakan kehidupan masa lalu. Warisan budaya lain yang perlu kita hargai dan syukuri adalah keberagaman bahasa daerah. Ayo, kita coba menggunakan bahasa daerah dalam menyampaikan cerita! SENI BUDAYA DAN PRAKARYA MENCERITAKAN TENTANG CANDI DI INDONESIA DENGAN BAHASA JAWA Candi Borobudur yaiku panggonan kanggo srana ibadah wong Budha.Panggonane ana ing tlatah Kabupaten Magelang. Candi Borobudur digawe saka watu kang ditumpuk-tumpuk, wektu jaman kerajaan Mataram Kono keturunan Wangsa Syailendra kurang lewih tahun abad kaping sanga. Kejaba kui ana Candi Muaro Jambi . Candi iku panggonane ana ing tlatah propinsi Jambi Sumatra Selatan.Candi Muaro Jambi iku tinggalane kerajaan Sriwijaya kanggo ibadah umat Budha, lan digawe abad kaping papat. Candi Cangkuang yaiku candi tinggalane agama Hindu.Ana ing tlatah Kabupaten Garut Jawa Barat. Dibangun abad kaping 8 neng kerajaan Pejajaran ILMU PENGETAHUAN SOSIAL Contoh beberapa fakta / peninggalan pada masing-masing masa dalam kehidupan masa Praaksara, Hindu Budha dan Kerajaan Islam No
Periode / Masa
Fakta-fakta Peninggalan yang ada
1
Pra Aksara
Peralatan rumah tangga dari batu
2
Hindu Budha
Candi-candi, adat Ngaben
3
Kerajaan Islam
Masjid, Batu Nisa
Keterangan
E. PENDEKATAN & METODE Pendekatan : Scientific Strategi : Cooperative Learning Teknik : Example Non Example Metode : Penugasan, Tanya Jawab, Kerja Kelompok dan Ceramah
96
F. KEGIATAN PEMBELAJARAN Kegiatan
DeskripsiKegiatan
Pendahulu an
1. Mengajak semua siswa berdo’a menurut agama dan keyakinan masing-masing (untuk mengawali kegiatan pembelajaran) 2. Melakukan komunikasi tentang kehadiran siswa 3. Guru mengaitkan materi yang sebelumnya dengan yang akan diberikan melalui gambar yang ditayangkan dalam papan tentang kehidupan manusia purba. 4. Siapa yang sudah pernah melihat, orang hutan ? 5. Mengapa dinamakan orang hutan ? 6. Guru mengaitkan materi yang sebelumnya dengan yang akan diberikan melalui gambar yang ditayangkan dalam papan tentang kehidupan manusia purba. 7. MenginformasikanTema yang akandibelajarkanyaitutentang Indahnya Kebersamaan / Bersyukur atas Keberagaman 1. Siswa melakukan pengamatan pada buku tentang gambar manusia purba dan salah satu siswa di suruh untuk membacakan cerita tersebut. 2. Siswa lain menyimak bacaan tersebut di atas. 3. Guru mengajak siswa untuk menemukan hal-hal yang menjelaskan kehidupan manusia purbadan menulisnya secara singkat dengan bahasa sendiri 4. Guru melakukan tanya jawab tentang bagaimana cara mencari makan manusia purba tersebut.Mengapa hidupnya bergerombol ? 5. Menyuruh beberapa siswa untuk menceritakan kembali dengan bahasa sendiri tentang cara mencari makan orang jaman pra aksara/ manusia purba tersebut.. 6. Hasil ringkasan diperlihatkan kepada teman sebelah untuk saling dikomentari (, apa yang kurang sesuai). ( Penilaian I ) 7. Siswa mengamati gambar dan membaca teks tentang tiga candi di Indonesia yang tertera padabuku siswa.ema 3 8. Guru membagi tugas kepada siswa secara kelompok untuk mengerjakan ringkasan sederhana dengan bahasa daerah tentang candi Borobudur, candi Muoro Jambi dan Candi Cangkuang . 9. Siswa menuliskan kembali bacaan tentang ketiga candi dalam bahasa daerah. Selanjutnya siswa membacakan hasilnya kepada teman dalamkelompok. (Penilaian no. 2)Bekerja SamaAyo BekerjaAyo BekerjaAyo B 10. kemudian menukarkan hasilnya dengan hasil pekerjaan kelompok lain. Siswa juga menjawab pertanyaan yang ada, tentang perbedaan yang ditulis siswa lain. 11. Guru memasang media pembelajaran / gambar dan cerita tentang kehidupan jaman praaksara/ jaman purba yang berkaitan dengan candi / masa Hindu Budha dan kerajaan
Inti
Alokasi Waktu 10 menit
150 Menit
97
Kegiatan
Penutup
G.
DeskripsiKegiatan jaman Islam 12. Siswa mengamati dan membaca keterangan cerita tersebut. 13. Siswa menjawab pertanyaan guru : a. Mengapa masa praaksara /jaman purba orang menggunakan peralatan kerja menggunakan batu ? b. Bagaimana orang jaman praaksara / jaman purba mencari makan ? 14. Siswa secara kelompok melaksanakan pengamatan pada gambar tersebut dan diajak untuk menemukan jenis-jenis peristiwa / peninggalan yang ada pada masa praaksara, Hindu Budha dan Kerajaan Islam 15. Menuliskan hasil pengamatan dalam bentuk tabel 16. Melaporkan masing-masing kelompok di depan kelas, dan yang lain memberi tanggapan. Penilaian proses: a. Guruberkelilingmengamatikerjasamaanakdalammengerj akantugas. b. Menilaikerjasamanya, tanggungjawabnya, kedisiplinannya, keaktifannya, mendominasiatautidak dsb) c. Menilaidenganlembarpengamatanperilaku. 1. Bersama-samasiswamembuatkesimpulan / rangkumanhasilbelajarselamasehari tentang : a. Cerita singkat dengan bahasa sendiri tentang bacaan sejarah manusia purba b. Bercerita tentang candi-candi dengan bahasa jawa 2. Bertanyajawabtentangmateri yang telahdipelajari (untukmengetahuihasilketercapaianmateri) dan merefleksi kegiatan pembelajaran 3. Melakukan penilaian hasil belajar 4. Memberi tugas/PR pada siswa 5. Menyampaikan kegiatan yang akan dilaksanakan pada pertemuan pembelajaran berikutnya
Alokasi Waktu
15 menit
SUMBER DAN MEDIA 1. Buku Pegangan Guru halaman 102 - 105 2. Buku Tematik kelas IV untuk anak hal 42 3. Gambar kehidupan manusia jaman praaksara, Hindu Buda dan Kerajaan Islam 4. Gambar candi di Indonesia
H. PENILAIAN 1. ProsedurPenilaian a. Penilain Proses Menggunakan format pengamatan dilakukan dalamkegiatan pembelajaran sejak dari kegiatan awal sampai dengan kegiatan akhir(instrumen terlampir) b. Penilaian Hasil Belajar Menggunakan instrument penilaian hasil belajar dengan tes tulis dan lisan (terlampir)
98
2. Instrumen Penilaian a. Penilaian Proses 1) Penilaian Kinerja 2) Penilaian Produk b. PenilaianHasilBelajar 1) Esai atau uraian Mengetahui: KepalaSekolah,
Guru KelasIV
Drs Suyanta
Iisrohli Iirawati S.Pd
Penilaian 1. Kegiatan membuat ringkasan kehidupan masyarakat praaksara dinilai dengan daftar periksa. (Bahasa Indonesia) No Kriteria Pengukuran Ya Tidak 1 Ringkasaku berisi informasi tentang bagaimana manusia Praaksara mendapat makanan. 2 Ringkasanku berisi informasi tentang cara hidup manusia praaksara. 3 Ringkasanku berisi informasi tentang tempat hidup Manusia praaksara. 4 Ringkasanku berisi informasi tentang alat bantu untuk Berburu dan mengumpulkan makanan.
2. Kegiatan menulis cerita dalam bahasa daerah dinilai dengan daftar periksa. (SBdP) No Kriteria Pengukuran Ya Tidak 1 Ceritaku berisi letak candi 2 Ceritaku berisi agama asal candi berada. 3 Ceritaku memuat kerajaan yang membangun candi. 4 Ceritaku berisi kapan candi tersebut dibangun. 3. Kegiatan membedakan masa praaksara, masa Hindu Buddha, dan masa Islam dinilai dengan daftar periksa. (IPS) No Kriteria Pengukuran Ya Tidak 1 Aku dapat menemukan perbedaan terkait kepercayaan/ Agama ketiga masa. 2 Aku dapat menemukan perbedaan terkait tempat tinggal Ketiga masa. 3 Aku dapat menemukan perbedaan terkait pemerintahan Ketiga masa. 4 Ceritaku berisi kapan candi tersebut dibangun.
99
4. Penilaian sikap (peduli, percaya diri, dan rasa ingin tahu). Contoh terlampir di halaman 151. No Kriteria Pengukuran 1 Sikap peduli anak dalam memperhatikan kesulitan teman tinngi 2 Dapat percaya diri dalam mengemukakan pendapat 3 Rasa ingin tahu dalam menanyakan sesuatu dalam proses pembelajaran tinggi
2.
Ya
Tidak
Tulislah secara singkat dengan bahasa sendiri tentang sejarah dan kehidupan orang jaman praaksara / jaman purba ! 3. Jawablah dengan jelas pertanyaan di bawah ini ! a. Mengapa kehidupan jaman praaksara peralatan dalam kehidupan yang digunakan dengan batu ? b. Sebutkan 3 nama candi pada masa Hindu Budha ! Sebutkan 3 jenis peristiwa / kejadian-kejadian pada masa praaksara, Hindhu Budha dan Kerajaan Islam !
100
PEMANTAPAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 MELALUI PENGEMBANGAN PROGRAM AFEKTIF DALAM BUDAYA SEKOLAH Kurotul Aeni Dosen FIP UNNES Abstrak Pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah bertujuan mengembangkan program afektif yakni program sekolah yang memuat nilai karakter Pancasila dalam perilaku kehidupan sehari-hari di sekolah, guna menguatkan pelaksanaan kurikulum 2013. Pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan upaya pengembangan kualitas pendidikan. Pendidikan yang berkualitas sangat ditentukan oleh pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan baik capaian akademis maupun capaian karakter peserta didik. Sekolah sebagai institusi yang mempersiapkan generasi muda guna mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat yang semakin berubah, harus memiliki gambaran yang jelas ke mana pendidikan harus diwujudkan. Pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah sangat dimungkinkan ikut serta dalam upaya membentuk warga negara yang memahami, menghayati, mengamalkan serta mengamankan nilai-nilai luhur bangsa. Hal ini bukanlah suatu upaya yang bersifat insidental atau sesaat. Akan tetapi lebih merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari berbagai dimensi yang terpola dalam suatu sistem. Untuk itu berbagai upaya harus terus dilakukan diantaranya dengan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran maupun program afektif di sekolah. Bagaimana implementasi kurikulum 2013? Bagaimana pengembangan program afektif dalam budaya sekolah? Bagaimana pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut akan menjadi kupasan dalam tulisan ini.
Kata kunci: implementasi kurikulum 2013, program afektif.
PENDAHULUAN Era globalisasi menuntut berbagai perubahan, termasuk perubahan dalam dunia pendidikan yang cukup mendasar dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan mendasar tersebut berkaitan dengan kurikulum, yang menuntut dan mempersyaratkan berbagai perubahan pada komponen-komponen pendidikan lainnya. Kurikulum yang menurut berbagai pihak sudah tidak efektif lagi, karena jika dilihat dari jumlah mata pelajaran yang diberikan dianggap kelebihan juga dikarenakan tidak mampu membekali peserta didik untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis karakter dan kompetensi, membekali peserta didik dengan berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan sesuai tuntutan perkembangan jaman. Kurikulum berbasis kompetensi sekaligus karakter diharapkan dapat menghadapi sekaligus menangani kompleksitas dalam masyarakat, bangsa dan negara
khususnya dalam bidang pendidikan yakni dengan mempersiapkan peserta didik melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan. Melalui implementasi kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus karakter, dengan pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji, menginternalisasi, serta berkepribadian sesuai nilai karakter Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pada implementasi kurikulum 2013, pendidikan karakter/pendidikan afektif diintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran/setiap bidang studi yang terdapat dalam kurikulum. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan nilai, moral, dan norma perlu dikembangkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan karakter/pendidikan afektif tidak hanya ada dalam tataran kognitif saja, akan
101
tetapi menyentuh pada aspek sikap yang diwujudkan dalam tingkah laku/perbuatan. Implementasi kurikulum 2013 sangat perlu dimantapkan melalui program afektif dalam budaya sekolah, yakni nilai-nilai karakter yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan seharihari, serta simbol-simbol yang dipraktikkan oleh sivitas akademika, dan masyarakat sekitarnya. Pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah bertujuan mengembangkan program afektif yakni nilai karakter Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, guna menguatkan pelaksanaan kurikulum 2013. Pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif di sekolah merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan upaya pengembangan kualitas pendidikan. Pendidikan yang berkualitas sangat ditentukan oleh pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan baik capaian akademis maupun capaian karakter peserta didik. Sekolah sebagai institusi yang mempersiapkan generasi muda guna mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat yang semakin berubah, harus memiliki gambaran yang jelas ke mana pendidikan harus diwujudkan. Pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah sangat dimungkinkan ikut serta dalam upaya membentuk warga negara yang memahami, menghayati, mengamalkan serta mengamankan nilai-nilai luhur bangsa. Hal ini bukanlah suatu upaya yang bersifat insidental atau sesaat. Akan tetapi lebih merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari berbagai dimensi yang terpola dalam suatu sistem. Untuk itu berbagai upaya harus terus dilakukan diantaranya dengan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran maupun program afektif di sekolah. Hal ini bukanlah tanggung jawab sekolah saja, akan tertapi merupakan tanggung jawab semua pihak, orang tua, pemerintah, juga masyarakat. PEMBAHASAN Implementasi kurikulum 2013 Implementasi kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan berbasis kompetensi pada setiap satuan pendidikan, haruslah melibatkan semua komponen sivitas akademika, seperti
peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, masyarakat, pemerintah, juga komponen lain/stakeholders, serta komponen yang ada dalam sistem pendidikan di setiap satuan pendidikan. Komponen tersebut seperti kurikulum, rencana pembelajaran, proses pembelajaran, mekanisme penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan pembelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan pengembangan diri peserta didik, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, serta etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (Mulyasa, 2013: 9). Implementasi kurikulum 2013 menuntut kerjasama yang optimal dari para guru, pembelajaran yang diperlukan berbentuk tim yang bekerjasama dengan kompak antar anggotanya. Keberhasilan kurikulum 2013 dalam membentuk kompetensi dan karakter di sekolah dapat diketahui dari berbagai perilaku seharihari yang tampak dalam setiap aktivitas peserta didik dan sivitas akademika yang lain. Adapun perilaku yang dimaksud menurut Mulyasa (2013: 11) adalah kesadaran, kejujuran, keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, kepedulian, kebebasan dalam bertindak, kecermatan, ketelitian, dan komitmen. Lebih lanjut dikatakan bahwa keberhasilan implementasi kurikulum 2013 juga dapat dilihat dari indikator perubahan sebagai berikut: a. Adanya lulusan yang berkualitas, produktif, kreatif, dan mandiri. b. Adanya peningkatan mutu pembelajaran. c. Adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan pendayagunaan sumber belajar. d. Adanya peningkatan perhatian serta partisipasi masyarakat. e. Adanya peningkatan tanggung jawab sekolah. f. Tumbuhnya sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara utuh di kalangan peserta didik. g. Terwujudnya pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Pakem). h. Terciptanya iklim yang aman, nyaman dan tertib sehingga pembelajaran berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (joyfull learning). i. Adanya proses evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan (continous quality improvement). Semua komponen implementasi kurikulum 2013 lebih diarahkan pada pembentukan
102
karakter dan kompetensi peserta didik yang diharapkan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, baik dalam real curriculum maupun hidden curriculum. Kurikulum 2013 diperlukan koordinasi, komunikasi, dan jalinan kerjasama antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasannya. Pengembangan budaya sekolah
program
afektif
dalam
Budaya sekolah 1) Pengertian budaya sekolah Sieber dan Gordon dalam Young Pai ( 1990: 25) menyatakan bahwa budaya sekolah sebagai in school, for example, the manifest organizational function is primarily instruction in the Three Rs, yet the experience of schooling exposes the child to much broader hidden curriculum of values, norms, and social skills. Lebih lanjut dikemukakan oleh Deal Terrence E & Kent D. Petersen (1992: 2) school have a culture that is definitely their own. There are in the scool, complex ritual of personal relationship, a set of folkways, mores, and irrational sunctions, a moral code based upon them. Senada dengan pendapat di atas, budaya sekolah atau kultur sekolah menurut Zamroni (2011: 226) merupakan nilai-nilai, keyakinankeyakinan, slogan-slogan atau motto, kebiasaan-kebiasaan, produk-produk, baik materi maupun in-materi, dan upacara-upacara yang dikembangkan telah lama dan dipegang teguh oleh seluruh warga sekolah dan diturunkan kepada generasi baru sebagai pegangan untuk mengelola dan menghadapi berbagai persoalan dalam perjalanan sekolah. Menurut Akhmad Sudrajat, budaya sekolah merupakan suatu sitem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diunduh 8 Maret, 2014). Dari berbagai pendapat tersebut di atas, maka budaya sekolah merupakan suatu keadaan kehidupan sekolah yang didasari oleh nilai-
nilai, moral, norma, keyakinan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan digunakan dalam berperilaku, berinteraksi yang diwujudkan oleh sivitas akademika dalam kehidupan di sekolah maupun di luar sekolah dalam menghadapi dan sekaligus menangani berbagai persoalan dalam kehidupan seharihari. 2) Sekolah sebagai sistem budaya Menurut Young Pai (1990: 131) bahwa sekolah tidak hanya suatu sistem sosial dan suatu sistem budaya tetapi sekolah juga sebagai suatu sistem tindakan, karena tindakan manusia diatur melalui dan dalam mempolakan makna dari objek dan orientasi dari objek dalam dunia pengalaman manusia. Ini berarti bahwa manusia bergerak dari satu sistem ke sistem lainnya perlu mempelajari suatu budaya baru jika ia ingin berfungsi efektif. Menurut Vembrianto dalam M. Rifa’I (2011: 170) menyatakan bahwa salah satu fungsi sekolah yang dikaitkan dengan realitasnya adalah sekolah sebagai alat transmisi kebudayaan. Lebih lanjut, dikatakan bahwa fungsi transmisi kebudayaan masyarakat kepada anak dibedakan menjadi: a) transmisi pengetahuan dan keterampilan; dan b) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Transmisi pengetahuan mencakup pengetahuan tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, serta penemuan-penemuan teknologi. Dari uraian di atas, maka sekolah sebagai sistem budaya dapat dimaknai sebagai: pertama, sekolah dapat membentuk dan membangun sistem budaya sendiri seperti yang ditunjukkan oleh output/lulusan yang menjadi karakteristik yang membedakan dengan lulusan/output dari seolah lain; kedua, sekolah merupakan bagian dari sistem budaya masyarakat, misalnya budaya masyarakat yag ada di sekitar sekolah diakomodir atau menjadi fokus perhatian sekolah dalam menciptakan budaya sekolah. Jadi pembentukan budaya sekolah dipengaruhi oleh budaya yang ada di masyarakat sekitar sekolah. 3) Prinsip-prinsip pengembangan budaya sekolah Akhmad Sudrajat (2010: 1-3) menyatakan bahwa prinsip pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip seperti: 1) berfokus pada visi, misi, dan tujuan sekolah; 2) penciptaan komunikasi formal dan informal; 3) inovatif dan bersedia menerima
103
resiko; 4) memiliki strategi yang jelas; 5) berorientasi kinerja; 6) sistem evaluasi yang jelas; 7) memiliki komitmen yang kuat; 8) keputusan berdasarkan consensus; 9) sistem imbalan yang jelas; 10) evaluasi diri. Young Pai (1990: 209) menjelaskan however an oversimplified use of culture and overgeneralization of cultural traits often lead to erroneous and even harmful judgments about individuals from other cultures. Culture represents a complex of patterns of behaviors, interpersonal relationship, attitudes, uses of language, and definitions of roles that reflect the fundamental worldviews of particular society. Hal ini dipertegas oleh Zamroni (2005: 31-32), bahwa strategi pengembangan kultur sekolah dapat dilakukan sebagai berikut: a) pengembangan pada tataran spirit dan nilainilai; b) pengembangan pada tataran teknis, dan c) pengembangan pada tataran sosial. Dari uraian tersebut, maka sekolah haruslah memperhatikan prinsip-prinsip dalam mengembangkan budaya sekolah. Dengan demikian, program afektif yang dikembangkan di sekolah akan tercapai sesuai harapan. Program afektif Undang-undang RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya ,masyarakat ,bangsa ,dan negara (Ps.1 butir 1). Konsep pendidikan ini selanjutnya diperkuat dengan prinsip bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan siswa serta berlangsung sepanjang hayat (Ps 4 dan 3). Perlu dipahami bahwa ranah afektif meliputi seluruh dorongan untuk bertindak yang berhubungan dengan perasaan dan emosi, termasuk di dalamnya sikap , minat , kesadaran akan harga diri, nilai dan semua aspek kepribadian dan kesehatan mental. Berbeda dengan kedua ranah yang lain, yaitu ranah kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan & kemampuan intelektual, sedangkan ranah psikomotor berhubungan dengan persepsi dan kreativitas seseorang. Patterson (1977:145) berpendapat, jika pendidikan diarahkan pada pembentukan
manusia seutuhnya, maka seharusnya tidak hanya menekankan perkembangan kognitif. Pendidikan harus dikaitkan dengan hubungan antar pribadi anak. Pendidikan afektif memiliki dua tujuan utama, yaitu: 1). mengembangkan keterampilan intrapersonal, dan 2). mengembangkan keterampilan interpersonal. Keterampilan intrapersonal berkaitan dengan pengembangan kemampuan mengelola diri sendiri , sedangkan keterampilan interpersonal berhubungan dengan pengembangan kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi. Program afektif, yakni pengembangan aspek afektif di Sekolah akan membawa pengaruh positif dalam kehidupan peserta didik selanjutnya, baik di rumah maupun di lingkungannya, baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Hal ini karena berbagai masalah yang menyangkut emosi, perasaan, moral, nilai-nilai kehidupan, tidak bisa terlepas dari kehidupan peserta didik di sekolah. Program afektif dalam budaya sekolah diberlakukan terhadap semua peserta didik. Guru di sekolah bertugas sebagai fasilitator dan observer. Adapun penaggung jawab program afektif di sekolah adalah kepala sekolah, guru dan komite sekolah. Metode yang dipakai dalam kegiatan program afektif antara lain : metode pemodelan (modeling), bermain peran (role playing), simulasi, balikan penampilan (performance feed back), alih ketrampilan (transfer of training), diskusi kasus. Metode-metode tersebut dapat dikembangkan lagi oleh guru sesuai dengan kebutuhan. Bentuk pelaksanaan kegiatan program afektif dapat dilakukan dengan cara: 1) Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilakukan secara regular baik di kelas maupun di sekolah dengan tujuan untuk membiasakan anak mengerjakan sesuatu dengan baik seperti : upacara, senam, sholat dhuhur berjamaah, pemeriksaan kesehatan, pergi ke perpustakaan, dll. 2) Kegiatan spontan adalah kegiatan yang tidak ditentukan tempat dan waktunya, bertujuan untuk menanamkan pembelajaran afektif pada saat itu terutama dalam kedisiplinan dan sopan santun misalnya memberi salam, berdo’a sebelum dan sesudah selesai pelajaran, membuang sampah pada tempatnya, membiasakan antri, melakukan senam pagi sebelum memulai pelajaran, membiasakan bernyanyi sesuai irama,
104
membiasakan mengatasi silang pendapat (pertengkaran) secara benar. 3) Kegiatan teladan adalah kegiatan yang mengutamakan pemberian contoh dari guru dan pengelola pendidikan yang lain kepada peserta didik, tujuannya memberikan contoh tentang pendidikan afektif yang baik seperti : berpakaian rapi, menghargai hasil kerja yang baik, datang tepat waktu, hidup sederhana, tata krama/santun berbicara. 4) Kegiatan terprogram adalah kegiatan yang direncanakan baik satu kelas maupun satu sekolah yang bertujuan memberi wawasan tambahan pada peserta didik tentang unsurunsur baru dalam kehidupan bermasyarakat yang penting untuk perkembangan anak, seperti: penyuluhan dan penerangan (tentang hemat energi, penghijauan, pencemaran lingkungan kesehatan), kunjungan ke panti asuhan (tempat orang yang terkena musibah, tempat-tempat penting lainnya). Dari uraian tersebut maka program afektif dalam budaya sekolah sebagai wujud pengembangan keterampilan afektif sangat diperlukan oleh peserta didik dalam pembentukan kepribadian yang berguna bagi kehidupannya baik masa kini maupun masa yang akan datang. Pembentukan kepribadian melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah perlu dukungan dari berbagai pihak, seperti komite sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dukungan dari berbagai pihak tersebut yakni berupa: 1) dukungan pada dimensi fisik, misalnya bantuan pengadaan sarana prasarana; 2) dukungan pada dimensi nilai, misalnya membantu sekolah membahas aturan dan tata tertib sekolah, kerjasama dengan aparat keamanan untuk selalu mengawasi peserta didik yang berada di luar sekolah pada saat jam sekolah, pengawasan oleh orang tua/keluarga saat di rumah, komunikasi orang tua dengan sekolah terhadap kemajuan belajar anak; 3) dukungan pada dimensi pesan-pesan, misalnya melibatkan komite, orang tua, dan masyarakat menjadi pembina upacara, memberikan nasehat kepada sivitas akademika pada acara tertentu seperti perpisahan, dsb. Pemantapan implementasi kurikulum 2013 melalui pengembangan program afektif dalam budaya sekolah sangat menentukan terbentuknya kepribadian peserta didik sebagai capaian akademis dan capaian karakter peserta didik. Dengan demikian program afektif dalam
budaya sekolah sangat perlu dikembangkan di setiap satuan pendidikan. SIMPULAN Program afektif dalam budaya sekolah merupakan aplikasi pendidikan afektif, yang selanjutnya sebagai pengembangan dari keterampilan afektif. Keterampilan afektif harus dikembangkan oleh guru di sekolah, agar pada diri peserta didik terdapat keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek afektif. Jika keterampilan afektif ini tidak dikembangkan maka peserta didik akan dirugikan baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, yakni peserta didik mengetahui banyak hal tentang sesuatu, tetapi mereka kurang memiliki minat, sikap, sistem nilai yang positif terhadap apa yang mereka ketahui. Kegiatan program afektif dalam budaya sekolah sekalipun bukan merupakan mata pelajaran tersendiri namun mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak, sikap, dan perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Agar program ini berjalan dengan baik, maka perlu direncanakan, dilaksanakan, dievaluasi, dan didokumentasikan secara sistematis. Program afektif dalam budaya sekolah harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial budaya peserta didik di sekolah, juga harus terpadu dengan pembelajaran, bimbingan konseling, serta kegiatan ekstra kurikuler. Dengan demikian peserta didik akan mengenal dan mencoba melakukan sendiri kegiatannya sehari-hari terutama yang dilihat dan biasa dilakukannya. Keberhasilan pengembangan program afektif dalam budaya sekolah perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti orang tua/keluarga, masyarakat serta tidak kalah pentingnya adalah keteladanan dari para guru. DAFTAR PUSTAKA Deal Terrence E & Kent D. Petersen. (1999). Shaping school culture. The heart of leadership. San Fransisco: Jossey Bass Publishers. Kemendikbud. (2013). Kurikulum 2013, Pedoman kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Kemendikbud.
105
Mulyasa. (2013). Pengembangan dan implementasi kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Nuril Furkan. (2013). Implementasi pendidikan karakter melalui budaya sekolah. Ringkasan disertasi. Young Pai (1990). Cultural foundations of education. London: University of Missaori at Kansas City. Undang-undang RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Zamroni. (2005). Mengembangkan kultur sekolah menuju pendidikan yang bermutu. Makalah disampaikan dalam seminar nasional peningkatan mutu pendidikan melalui pengembangan budaya sekolah, di Universitas Negeri Yogyakarta. Zamroni. (2011). Dinamika peningkatan mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diunduh 8 Maret, 2014
106
KURIKULUM 2013 DAN PENDIDIKAN KARAKTER Dr.Hj.Lue Sudiyono,MM. Kopertis Wilayah V. DPK pada IKIP PGRI Wates lue_mm@ yahoo.co.id Abstrak Education is an approprriate stretegic means to improve the qualty of aa ntion since the progress of a nation can be charaterized and measured from the progress of its education. Law No. 20 of 2003 on National education system works to develop the character and dignity of the civilized nation in order to better the intellectual life of the nation. This law aims at developing the potentiol of students to become a man possessing faith and fear of god the Almighty, noble charactter, health, knowledge, skill, creativity, independence, and democracy qualifications, and accountability. Education implementation requires system, purposes, and educational materials in the form of adequate curriculum which is in accordance with its time. Therefore, currculum also needs development. By implementing the curriculum 2013 at the levels of elemenyary and secondaryschools since July 2013, the government hopes that they can develop better the human character of the nation. There are various responses to its implementation. There are agrees and disagrees. Some others agree with certain conditions. There ought to be the same perceptions and human resource readines for the implementation. Keywords : Education, apppropriate strategic, adequate curriculum, human character
PENDAHULUAN Kehadiran kurikulum 2013 diharapkan dapat berfungsi secara optimal sebagai wahana utama dalam pembangunan karakter bangsa. Untuk itu diperlukan kesamaan persepsi, paradigma yang sama dari berbagai elemen untuk muatan kurikulum dan kesiapan sumber daya manusia pelaksana baik dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan guru sebagai ujung tombak pelaksanaan yang langsung berhubungan dengan peserta didik sebagai sasaran. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, kuat, hal ini didukung oleh geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keaneka ragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar Namun semangat nasionalisme dalam menegakkan dan membangun Negara Kesatuan Negara Repblik Indonesia (NKRI) seakan-akan tidak dapat diimbangi karena begitu banyaknya persoalan-persoalan bangsa ini. Hal ini terbukti dengan merosotnya moral sebagian anak bangsa yang terindikasi dari maraknya kasus kekerasan, korupsi, pornografi, memudarnya budaya sopan santun, jiwa gotong royong, dilain fihak penegakan hukum yang belum terwujud dengan baik, tepat dan cepat, dampak demokrasi yang tidak diinginkan dan salah jalan, karakter manusia yang semakin merosot.
Ini semua merupakan dampak sikap orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki rasa kebangsaan nilai-nilai budaya falsapah negara sudah kurang mau dipahami, tetapi masing-masing yang hanya bersikap mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum atau bangsa dan negara. Untuk ini semua strategi yang paling jitu adalah pendidikan, hal ini seirama dengan pendapat Maksum dan Rehendi 2004 mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana strategi jitu untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Sebab kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dan diukur dari kemajuan pendidikan. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreaktif , mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggng jawab.
107
PERMASALAHAN, TANTANGAN DAN HAMBATAN Berdasarkan realita diatas dalam pelaksanaan pendidikan tidak terlepas dari berbagai permasalahan, tantangan dan hambatan secara umum, seirama dengan pendapat Thomas Lickona (seorang Profesor pendidikan dari Cortland University) dalam Quari (2010:8) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda jaman yang kini terjadi, tetapi harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju jurang kehancuran,misal :(1)Rendahnya sumber daya pelaksana pendidikan; (2) Penggunaan bahasa dan katakata yang memburuk/tidak baku dan meningkatnya kekerasan di kalangan /masyarakat; (3) Pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan, menguat; (4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas; (5)Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6) Menurunnya etos kerja; (7) Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok; (9) Membudayanya kebohongan/ketidakjujuran; dan (10) Adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama. Dari identifikasi masalah diatas hkusus masalah untuk pelaksanaan kurikulum 2013 antara lain menyangkut persamaan persepsi, paradigma dari muatan kurikulum dan kesiapan dari pelaksana. UPAYA YANG DILAKUKAN Ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah antara lain ; 1. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. menyebutkan Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena turut menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa emas namun kritis bagi pembentukan karakter seseorang. 2. Permendiknas No. 23 tahun 2006, dalam pekasanaannya ada 22 poin Kompetensi ada 11 poin sangat dekat dengan pembentukan karakter seorang peserta didik.
Dalam pelaksanaanya diharapkan mengupayakan peserta didik dapat : a) Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangannya terutama pada remaja; b) Mengembangkan diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya c) Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya d) Berpartisipasi dalam penegakan aturanaturan sosial e) Menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosialekonomi dalam lingkup global f) Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif g) Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan h) Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri i) Menunjukkan sikap kompetitif & sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik j) Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah kompleks k) Menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan sosial l) Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia m) Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya n) Mengapresiasi karya seni dan budaya o) Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok p) Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan q) Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun r) Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat s) Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain t) Menunjukkan ketrampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis u) Menunjukkan ketrampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris
108
v) Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan tinggi. 3. Mengadakan perubaan kurikulum dengan
menghadirkan kurikulum 2013 diharapkan dapat berfungsi secara optimal sebagai wahana utama dalam pembangunan karakter bangsa dengan peningkatan SDM, pembinaan persamaan persepsi, paradigma antara tujuan dan sasaran dari kurikulum antaran pemerintah sebagai pembuat kebijakan serta guru sebagai pelaksanaan. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah ” usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, akhlak mulia, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pendidikan juga merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan ketrampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Untuk mengatasi hal- hal diatas maka diperlukan kurikulum yang memadai dan sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai dengan situasi perserta didik. Sebab Kurikulum Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah ;
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyalenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Undang – undang Republik Indonessia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan dalam kebijakan pengembangan pendidikan di Indonesia, yaitu perubahan paradigma pengelolaan pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi yang mengedepankan otonomi dan demokratisasi. Delegasi wewenang otorisasi pendidikan pada daerah diharapkan mampu mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, serta pelibatan masyarakat dalam pengembangan program – program sekolah baik yang bersifat intrakurikuler dan ekstrakurikuler maupun pembangunan fisik sekolah. Secara garis besar Sistem Pendidikan Nasional dapat digambarkan dibawah ini :
Gambar 1. Sistem pendidikan Nasional Untuk memperlancar pelaksanaan dan pengembangan sistem pendidikan , diperlukan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, ditinjau dari Undang-undang nomor 20 tahun
109
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang – undang Republik Indonessia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah/ Otonomi Daerah dapat digambarkan dibawah ini :
Gambar 2. Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi
HAKEKAT KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KARAKTER Hakekat Kurikulum Kurikulum merupakan seperangkat usaha yang terencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kerikulum diharapkan dapat berakar pada budaya bangsa, kehidupan masa kini dan kehidupan dimasa mendatang. Konsep kurikulum berdasarkan UndangUndang nomor 20 tahun 2003, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 dan Pereturan Pemerintah nomor 23 tahun 2006 tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi dan standar lulusan, Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi. Kurikulum dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggeraan pembelajaran didasarkan pada standar kompetensi pada kelulusan. Selengkapnya struktur beban belajar dinyatakan dengan jam belajar dalam 1 (satu) minggu, sebagai berikut :
Tabel 1. Struktur Kurikulum 2013 Untuk SD MATA PELAJARAN Kelompok A 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Matematika
ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU I II II IV V VI 4 5 8 5
4 6 8 6
Kelompok B Seni Budaya Dan Ketrampilan (termasuk 1. 4 4 muatan lokal) Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan 4 2. 4 (termasuk muatan lokal) 30 32 Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu Dokumen kurikulum 2013 Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Kurikulum 2013 mata pelajaran ada kelompok A adalah mata pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih kepada aspek intelektual dan afektif, sedangkan kelompok B mata pelajaran yang lebih menekakan pada aspek afektif dan psikimotor. Untuk mata pelajaran IPA dan IPS di SD
4 6 10 6
4 6 10 6
4 6 10 6
4 6 10 6
4
6
6
6
4
4
4
4
34
36
36
36
integrasi konten ke mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia dan Matematika berdasarkan makna materi. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan tematik yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mmata pelajaran ke dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan
110
menjadi suatu proses pembelajaran sebagai tugas utama guru sebagai tenaga kependidikan
dengan membuat rencana pembelajaran/ RPP.
Tabel 2. Struktur Kurikulum 2013 Untuk SMP MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU VII VIII IX
Kelompok A 1 Pendidikan Agama 3 2 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 3 3 Bahasa Indonesia 6 4 Matematika 5 5 Ilmu Pengetahuan Alam 5 6 Ilmu Pengetahuan Sosial 4 7 Bahasa Inggris 4 Kelompok B 1 Seni Budaya (termasuk muatan lokal) 3 Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 3 (termasuk Muatan Lokal) 3 Prakarya(termasuk muatan Lokal) 2 Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 38 Dokumen kurikulum 2013 Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Untuk kurikulum Pendidikan Menengah menerakan konsep kesamaan antara SMA dan SMK yang terdiri atas kelompok mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan yang sesuai
3 3 6 5 5 4 4
3 3 6 5 5 4 4
3
3
3
3
2 38
2 38
dengan minat peserta didik, beban belajar untuk tahun X, XI, dan XII, masing-masing 43 jam belajar perminggu, satu jam belajar adalah 45 menit, akan dijabarkan dibawah ini:
Tabel 3. Struktur Kurikulum 2013 Untuk Pendidikan Menengah Kelompok Mata Pelajaran Wajib MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BELAJAR PER MINGGU X XI XII
Kelompok Wajib 1 Pendidikan Agama 3 2 Pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan 2 3 Bahasa Indonesia 4 4 Matematika 4 5 Sejarah Indonesia 2 6 Bahasa inggris 2 7 Seni Budaya 2 8 Prakarya 2 9 Pendidian jasmani, Olahraga, dan kesehatan 2 Jumlah Jam Pelajaran Kelompok Wajib per Minggu 23 Kelompok Permintaan Mata Pelajaran Permintaan Akademik (SMA) 20 Mata Pelajaran Permintaan Akademik dan Vokasi (SMK) 28 Dokumen kurikulum 2013 Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan
3 2 4 4 2 2 2 2 2 23
3 2 4 4 2 2 2 2 2 23
20 28
20 28
111
Tabel 4. Struktur Kurikulum Mata Pelajaran Peminat dan Mata Pelajaran Pilihan (pendalaman minat dan lintas minat) MATA PELAJARAN Kelompok Wajib Perminatan Matematika dan Sains 1 Matematika I 2 Biologi 3 Fisika 4 Kimia Permintaan Sosial 1 Geografi II 2 Sejarah 3 Sosiologi dan Antropologi 4 Ekonomi Permintaan Bahasa 1 Bahasa dan Sastra Indonesia III 2 Bahasa dab Sastra Inggris 3 Bahasa dan Sastra Asing lainnya 4 Sosiologi dan Antropologi Mata Pelajaran Pilihan Pilihan Pendalaman Minat atau Lintas Minat Jumlah Jam Pelajaran Yang Tersedia Jumlah Jam Pelajaran Uang Harus Ditempuh Dokumen kurikulum 2013 Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Hakekat Pendidikan Karakter Pendidikan karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi „positif‟, bukan netral. Jadi, „orang berkarakter‟ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) dalam sikap positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Peterson dan Seligman dalam Guari (2010: 16) yang mengaitkan secara langsung ‟character strength‟ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari „character strength‟ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya.
X 23
Kelas XI 23
XII 23
3 3 3 3
4 4 4 4
4 4 4 4
3 3 3 3
4 4 4 4
4 4 4 4
3 3 3 3
4 4 4 4
4 4 4 4
6 73 41
4 75 43
4 75 43
Menurut Simon Philips dalam Quari (2010: 10), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema dalam Quari (2010:12) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Sementara Winnie dalam quari memahami bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan „personality‟. Seseorang baru bisa disebut „orang yang berkarakter‟ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
112
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tumbuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita.( Dalifati Ziliwu.2011) Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram. Untuk menunjang pelaksanaan dari beberapa hal diatas bahwa pendidikan karakter sudah saatnya untuk pengembangan pelaksanaan bisa berjalan dengan baik agar dapat mengurangi dampak-dampak negatif dari perilaku yang cendrung mengabaikan sikap budaya dan ciri-ciri has falsapah negara. Ini semua diperlukan sumber daya manusia yang memadai agar peserta didik menjadi berhasil diiringi dengan pengembangan kurikulum.
karakter yang dimiliki oleh peserta didik yang diharapkan berguna untuk kebutuhan kehidupan masa depan. Untuk pelaksanaan agar bisa sampai pada tujuan yang diharapkan, maka diperlukan sosialisasi dan pembinaan yang bisa menjangkau semua elemen pelaksana terutama guru- guru agar pemaknaan dalam penyampaian untuk peserta didik bisa tercapai pada sarasaran dan makna kompetensi dari konsep misalnya: bagaimana hal yang menyangkut kemampuan seseorang untuk bersikap inovatif, kreaktif, positif, jujur, adil dan bisa menggunakan pengetahuan dan ketrampilanya untuk melaksanakan tugas kehidupan baik disekolah, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
PENUTUP Penerapan kurikulum 2013 sepintas kasat mata dilihat lebih simpel dari kurikulum sebelumnya, sebab secara nyata ada beberapa mata pelajaran yang hilang terutama untuk Sekolah Dasar, seperti mata pelajaran IPA dan IPS. Dapat dipahami lebih simpel sehingga tidak terlalu membuat beban bagi siswa dan orang tua. Namun dalam pelaksanaan dalam konsep teori pendekatan yang digunakan yaitu pedekatan pembelajaran tematik yaitu mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran berupa, sikap, pengetahuan, ketrampilan berfikir dan ketrampilan psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran akhirnya menjadi
Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2006. Tentang Standar Lulusan. Kompetensi
DAFTAR PUSTAKA
Neneng Lina, 2011. Perencanaan Pendidikan, Pustaka Setia Bandung. Majelis Luhur persatuan Taman siswa, 1961. Karja Ki Hadjar Dewantoro. Yogyakarta: Pertjetakan Taman Siswa. Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, Dokumen Kurikulum 2013 Prayitno, 2009. Dasar Teori dan Praktis Pendidikan. Jakarta: Grasindo Gramedia Prayitno, 2010. Pendidikan karakter Dalam Membangun Bangsa Medan. Pasca Sarjana Unimed.
Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional. Tilaar, H.A.R, 2010. Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Quari, 2010. Agama Nilai Utama Dalam Membangun Karakter Bangsa. Medan: Pasca sarjana Unimed. Zainal, 2009. Menjadi Guru Profesional Berstandar Nasional. Bandung: Yrama Widya.
113
MENUJU PENDIDIKAN RAMAH ANAK (Mencari Format Ideal Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada Tingkat Pendidikan Dasar) Minsih Dosen PGSD Universitas Muhammadiyah Surakarta
PENDAHULUAN Sejarah membuktikan bahwa kebesaran sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Pendidikan menjadi menjadi modal utama dalam membangun negara dan memenangi persaingan global. Pendidikan merupakan gerbang utama melahirkan sumber daya manusia yang berpengetahuan tinggi, berwawasan luas, dan memiliki karakter unggul. Masa depan bangsa terletak pada kualitas generasi mudanya yang dihasilkan melalui proses pendidikan yang terstruktur dan terukur (Nasution, 2001:1). Kesadaran sejarah inilah yang kiranya menggugah penyelenggara negara untuk lebih serius mengelola sektor pendidikan yang disinyalir menjadi salah satu penyebab keterpurukan bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, utamanya pendidikan dasar yang menjadi pondasi awal dalam membangun sumber daya manusia Indonesia (Diknas, 2001: 1). Di tengah upaya bangsa memperbaiki sektor pendidikan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tanggal 8 November 2013 meluncurkan Kurikulum Baru yang diberi nama Kurikulum 2013. Kurikulum tersebut menjadi penyempurna kurikulum sebelumnya yang disesuaikan dengan kebutuhan bangsa dan perkembangan global yang sangat dinamis Secara teoritis apa yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013 mendekati ideal, paling tidak dalam menjawab kebutuhan bangsa dan perkembangan global saat ini. Diharapkan melalui kurikulum 2013 ini sasaran dan tujuan pendidikan yang dicita-citakan dapat tercapai secara maksimal. Tentunya sesuatu yang ideal ini akan menjadi maksimal hasilnya manakala didukung dengan pelaksanaan yang sesuai dengan konsep yang ada pada kurikulum 2013, meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi
(Hamalik, 2007:238). Untuk itu diperlukan pemahaman stakeholders pendidikan yang komprehenship tentang Kurikulum 2013 sampai pada tataran teknis pelaksanaannya yang dalam prakteknya tidak mudah menerjemahkannya pada satuan pendidikan. Upaya untuk menerjemahkan konsep Kurikulum 2013 terlihat dari penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang mengklaim telah melaksanakan Kurikulum 2013 secara konsisten dengan menawarkan berbagai keunggulan. Kesemua keunggulan yang ditawarkan sekolah sepintas mengarah kepada kepentingan peserta didik, namun apabila kita perhatikan lebih mendalam dalam kenyataannya lebih didominasi oleh prestise orang tua dan kepentingan sekolah yang bersifat instan, serta seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan peserta didik yang sesungguhnya. Tampak di permukaan target yang dicanangkan sekolah mengarah pada pencapaian prestasi akademik semata. Tentunya hal ini bertentangan dengan kemajemukan potensi, karakteristik, dan keunikan yang dimiliki oleh setiap siswa. MEMBANGUN MANUSIA HOLISTIK Upaya membangun manusia Indonesia yang berkualitas haruslah melibatkan dan mengembangkan seluruh aspek manusia secara utuh (holistik) sehingga ke depan mampu mengarungi kehidupan secara cerdas dan arif. Membangun manusia holistik dimulai dari menyiapkan siswa sejak dini pada tingkat dasar untuk menjadi manusia pembelajar sejati (lifelong learners). Pembelajar sejati menjadikan dirinya mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis, kreatif, senantiasa mencari solusi, dan memiliki motivasi kuat mempelajari hal-hal yang baru. Karakter yang mencirikan seseorang menjadi pembelajar sejati adalah Megawangi et all (2008:10): Selalu ingin tahu dan bertanya (Inquirer) Sifat alami manusia yang selalu ingin tahu dan bertanya tumbuh subur pada dirinya, sehingga kecintaan untuk terus belajar menjadi
114
sifat alaminya yang terbawa sampai tua. Ironisnya pada kenyataan seringkali sifat ini justru dimatikan di sekolah melalui pembelajaran yang tidak mendidik. Berpikir kritis dan kreatif (Critical and Creative Thinkers) Mampu untuk melihat masalah dari berbagai suut pandang, sehingga dapat mengambil keputusan dengan bijak dan menyelesaikan masalah yang sangat kompleks. Berpengetahuan Luas (Knowledgeable) Mempunyai ketertarikan yang besar pada masalah-masalah global yang relevan dan penting, sehingga selalu meluangkan waktu untuk membaca dan mengeksplorasi bidangbidang yang diminatinya. Pengetahuann tentang sesuatu menjadi solid dan membumi. Komunikator yang Efektif (Effective Communicator) Mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan efektif, baik secara verbal maupun tertulis. Dengan bekal pengetahuan yang luas, segala informasi dapat dikomunikasikan dengan percaya diri dan meyakinkan. Berani Mengambil Resiko (Risk Taker) Segala tantangan dihadapi dengan penuh percaya diri dan optimis, serta berani mencoba menggunakan ide dan strategi baru dalam menjawab tantangan dan rintangan yang ada. KONSEP PENDIDIKAN RAMAH ANAK Sudah saatnya sekolah-sekolah merubah paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada upaya memfasilitasi dan memberdayakan potensi siswa agar terus tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan yang mendidik, bukan memaksakan pencapaian target tertentu yang pada prosesnya justru mematikan potensi aktual dan karakter unggul yang dimiliki siswa. Untuk itu sekolah harus mewujudkan lingkungan yang ramah anak guna mendukung upaya pengembangan potensi dan pembentukan karakter unggul. Senang tidak senang, saat ini sistem pendidikan yang dikembangkan di Indonesia masih menitikberatkan pada wilayah otak kiri yaitu pada aspek bahasa dan logis matematis. Mata pelajaran yang dikembangkan di sekolah cenderung bersifat subject matter yang dapat menimbulkan permasalahan, dimana siswa tidak melihat keterkaitan antara mata pelajaran,
serta tidak relevan dengan kehidupan nyata. Sistem pendidikan seperti ini membuat siswa berfikir secara parsial, terkotak-kotak, dan tidak dapat menangkap makna secara cerdas. Akibatnya ke depan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan didekati secara fragmented, sehingga tidak mampu menemukan solusi secara tepat, bahkan semakin memperburuknya (Mujahid, 2011). Sekolah sebagai salah satu tempat strategis dalam upaya melahirkan generasi berkualitas harus didesain sedemikian rupa menjadi tempat yang ideal dan nyaman bagi siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Lingkungan sekolah harus didesain secara terencana mengarah pada kepentingan yang terbaik bagi siswa. Salah satu konsep pendidikan yang sesuai dengan implementasi Kurikulum 2013 adalah pendidikan ramah anak. Pendidikan yang menjadikan anak atau siswa sebagai subyek bukan obyek pendidikan yang selama ini masih sering kita temui. Konsep ini dirasa cocok untuk dikembangkan di sekolah mendasarkan pada filosofi pendidikan yang mengedepankan rasa kasih sayang, bukan kekerasan; mengedepankan asah, asih, dan asuh, bukan tekanan; serta mengedepankan pujian, bukan umpatan atau celaan. Konsep pendidikan yang memiliki visi terwujudnya anak yang cerdas, sehat, terampil, dan berkualitas ini dirasa cocok di kembangkan di sekolah di tengah maraknya komersialisasi pendidikan yang mengabaikan hak-hak anak. Konsep ini memandang siswa sebagai individu holistic dengan segala keunikannya, bukan menjadi obyek pendidikan yang tidak memiliki kuasa akan dirinya. Implementasi pendidikan ramah anak di sekolah tidaklah membutuhkan biaya yang besar, namun membutuhkan komitmen seluruh stakeholders sekolah untuk mewujudkannya. Dalam prakteknya, pendidikan ramah anak lebih menitikberatkan pada aspek kepentingan siswa. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai kepada evaluasi melibatkan siswa di dalamnya. Sehingga siswa merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Proses pembelajaran yang dikembangkan pada pendidikan ramah anak adalah konsep pendidikan yang menyenangkan. Menyenangkan disini bukan berarti segalanya dilakukan secara asal-asalan sesuai kehendak siswa semata tanpa tujuan yang jelas, namun
115
pendidikan yang diselenggarakan secara inspiratif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi siswa yang disesuaikan dengan gaya belajar siswa yang memiliki keunikan tersendiri. Sehingga memancing siswa untuk terus mencari tahu secara sukarela, mandiri, dan kreatif yang pada akhirnya membentuk siswa menjadi pembelajar sejati (long life learners). Konsep belajar menyenangkan secara teoritis dekat dengan konsep Developmentally Appropriate Practices (DAP) yang secara bebas diterjemahkan sebagai konsep pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Konsep DAP terbagi menjadi tiga dimensi (Megawangi et all, 2005: 5-6) Patut Menurut Umur Disini pendidik dituntut untuk mengetahui tahapan perkembangan anak dalam setiap rentang usianya, terkait dengan aktifitas, pengalaman, materi dan interaksi sosial yang sesuai, menarik, mendidik, aman, dan menantang bagi siswa. Patut Menurut Lingkungan Sosial dan Budaya Tujuannya adalah mempersiapkan siswa menjadi individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosialnya. Disini pendidik harus mengetahui latar belakang sosial dan budaya siswa sebagai bahan acuan dalam mempersiapkan materi yang berarti dan relevan bagi kehidupan siswa. Patut Menurut Anak sebagai Individu yang Unik Setiap siswa merupakan individu yang unik, memiliki bakat, minat, kelebihan, kekurangan, dan pengalaman yang berbedabeda. Setiap keunikan tersebut harus diapresiasi menjadi sebuah kelebihan yang harus dikembangkan. Selanjutnya pendidikan ramah anak mensyaratkan kondisi kondusif dalam proses pembelajaran. Disini sekolah dtuntut untuk mendesain lingkungan yang nyaman, aman, sehat, memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan, baik yang bersifat fisik, maupun psikis, serta pemenuhan hak anak seperti hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi dalam lingkungan sekolah. Dalam proses pembelajarannya suasana kondusif yang dibangun mendukung terhadap kegiatan belajar mandiri dan ekploratif. Selain pengkondisian yang bersifat fisik, sekolah dituntut pula mengembangkan budaya
akademik yang humanis dan mengembangkan keteladanan inspiratif. Budaya akademik yang dikembangkan di sekolah adalah budaya yang mendukung pada pengembangan perilaku positif. Selama ini masih sering kita temui di sekolah perilaku-perilaku yang tidak sejalan dengan prinsip pendidikan, seperti pendidikan yang mengekang kreatifitas, membosankan, dan mengarah pada kekerasan dengan dalih kedisiplinan. Selanjutnya keteladanan inspiratif adalah menghadirkan diri guru melalui relasi yang hangat dalam proses pembelajaran secara bermakna sehingga menginspirasikan siswa untuk melakukan hal besar. Hal lain yang menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan pendidikan ramah anak adalah sejauhmana guru mampu melaksanakan perannya secara baik. Sejalan dengan kurikulum 2013, pendidikan ramah anak memposisikan guru lebih sebagai fasilitator, baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotor, maupun konatif. Disini pola pembelajaran partisipatif diterapkan, dimana pendidik secara maksimal berupaya mengikutsertakan siswa dalam kegiatan pembelajaran (Sudjana, 2000: 155). Pada dasarnya peran guru adalah membantu siswa menemukan potensi dirinya dan mengembangkannya secara optimal. Bahwa pada diri setiap individu memiliki potensi talenta yang tersembunyi dalam dirinya (selfhidden potential excellence). Menyadur pernyataan Ciptono seorang praktisi pendidikan yang telah berhasil mengangkat potensi anak berkebutuhan khusus bahwasanya Tuhan tidak pernah menciptakan manusia produk gagal, namun seringkali manusianyalah yang tidak bisa menemukan dan mengembangkannya secara optimal. Oleh karenanya kita tidak boleh memvonis siswa yang memiliki prestasi akademik rendah atau siswa yang berperilaku kurang baik adalah mereka yang tidak memiliki masa depan. Dibalik kekurangan yang dimiliki terdapat potensi luar biasa. Menjadi tugas guru untuk menggali, menemukan dan melejitkannya. PENUTUP Akhirnya, ketika seluruh stake holders pendidikan telah memahami makna pendidikan yang sesungguhnya dan mampu mengimpletasikan secara baik melalui pendidikan yang memanusiakan manusia, maka harapan akan lahirnya sumber daya manusia holistic semakin mendekati kenyataan, yaitu
116
sumber daya manusia yang berdaya sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan memiliki watak yang luhur. Bukan sumber daya manusia cerdas, namun gersang dari prinsip humanis. Kiranya melalui pendidikan ramah anak semuanya dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional. (2001) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Imam Mujahid, (2011). Menuju Pendidikan Holistik. Artikel Kolom Opini Harian Joglosemar, Senin, 08 Juli 2011.
Nasition. (2001). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. Oemar Hamalik. (2007). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosda Karya. Ratna Megawangi, Rahma Dona, Florence Yulisinta, & Wahyu Farrah Dina. (2005). Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. Ratna Megawangi, Melly Latifah, dan Wahyu Farrah Dina. (2008). Pendidikan Holistik. (Jakarta: Indonesia Heritage Foundation) Sudjana. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production
117
PENTINGNYA MODEL VALUE CLARIVICATION TECHNIQUE TIPE PERISAI KEPRIBADIAN DALAM PEMBELAJARAN PKn DI SEKOLAH DASAR Muhamad Afandi, M.Pd Dosen PGSD FKIP Universitas Islam Sultan Agung e-mail:
[email protected] Abstrak Model pembelajaran Value Clarivication Technique (VCT merupakan teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan melakukan penanaman nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa, yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti “tujuan dari Model Klarifikasi Nilai adalah untuk membantu siswa memperkenalkan tingkat kepercayaan nilai dan mengembangkan sistem nilai yang konsisten yang di atasnya untuk membuat pilihan”. model pembelajaran VCT tipe perisai kepribadian sudah cenderung bersifat permainan dan sangat ampuh sebagai alat tidak lanjut yang mengajak siswa bermawas diri. Hasil lembar jawaban siswa yang akan diperiksa guru atau dibahas di depan kelas maka sebaiknya siswa mengisi alat penilaian ini dengan jujur. Item yang diminta harus satu kategori atau satu tema. Hal ini penting supaya siswa tidak bingung. Petunjuk isian sangat penting diberikan pada siswa. pendidikan kewarganegaraan menurut peneliti dapat didefinisikan sebagai proses pengembangan dan perbaikan diri bagi setiap warga Negara dengan usaha sadar dan terencana melalui pengajaran dan pelatihan sehingga terjadi peningkatan potensi diri pada warga Negara tersebut dalam hal pengetahuan, sikap dan keterampilan Kata kunci : VCT, Perisai Kepribadian dan PKn
PENDAHULUAN Pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam hal ini pengertian pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Pendidikan sebagai salah satu sarana utama di dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tanpa pendidikan akan sulit diperoleh hasil dari kualitas sumber daya manusia yang maksimal. Hal ini berkaitan dengan upaya mengaktualisasikan pada kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mandiri, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam dunia pendidikan belajar tidak hanya terjadi di sekolah saja, tetapi juga di tiga pusat yang lazim disebut dengan Tri Pusat Pendidikan. Tri Pusat Pendidikan adalah tempat anak mendapatkan pengajaran baik secara langsung maupun tidak langsung, baik formal maupun non formal, yang terdiri atas: (1) pendidikan dari dalam keluarga (informal), (2) pendidikan di sekolah (formal), dan (3) pendidikan dalam masyarakat (non formal). Dalam pendidikan informal, peran anggota keluarga sangat besar, terutama orang tua karena orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama. Sedangkan dalam pendidikan formal atau pendidikan yang diselenggarakan melalui aturan dan ketentuan-ketentuan tertentu di sekolah-sekolah pada umumnya, guru memiliki peran ganda yakni sebagai pendidik dan pengajar dalam perannya di sekolah. Kita ketahui bahwa di Indonesia telah diberlakukan pendidikan dasar wajib selama 9 tahun untuk warga masyarakat Indonesia. Dalam hal ini penulis mengadakan sebuah observasi berkaitan dengan pendidikan formal yaitu kegiatan
118
belajar mengajar mata pelajaran PKn di Sekolah Dasar dalam upaya memperbaiki proses pembelajaran agar lebih baik dan diharapkan akan dapat meningkatkan prestasi belajar dan perilaku disiplindalam diri siswa. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, bangsa Indonesia sangat memerlukan sumber daya manusia yang besar dan bermutu untuk mendukung terlaksananya program pembangunan yang baik. Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilainilai karakter pada siswa, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan berpancasila. PKn merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik. Oleh karena itu, mata pelajaran PKn dapat dipergunakan untuk membantu menanamkan pendidikan nilai, moral, dan norma secara terus menerus, sehingga warga negara yang baik lekas terwujud sedini mungkin. Sejalan dengan adanya tatanan baru di Indonesia maka konsep nilai, moral, dan norma sudah selayaknya menjadi karakteristik utama PKn. Terlebih jika mengingat kenyataan bahwa bangsa Indonesia sekarang sedang mengalami krisis jati diri, sehingga nilai moral dan norma menjadi hal yang penting untuk membentengi kekrisisan jati diri bangsa ini. PKn diajarkan sejak sekolah dasar dan dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tapi pada kenyataannya di dalam proses pembelajaran PKn masih banyak yang mengalami kendala dalam pelaksanaannya. PKn dianggap mata pelajaran yang sulit dan membosankan karena merupakan mata pelajaran yang non eksak, sehingga guru merasa lebih sulit mengajarkannya dibandingkan dengan mata pelajaran eksak. Pendidikan formal atau pendidikan di sekolah, guru harus dapat berperan aktif dan mampu menciptakan kolaborasi dan interaksi intelektual antara guru dan siswa agar tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan melalui proses belajar mengajar. Sehingga guru sebagai fasilitator dan motivator harus dapat memberikan perhatian kepada siswa dengan semaksimal mungkin. Karena dalam setiap proses pembelajaran, dikedapati siswa yang memerlukan bantuan lebih, baik dalam menerima materi pembelajaran maupun untuk mengatasi kesulitan cara belajar mereka. Oleh
karena itu, diperlukan adanya inovasi perbaikan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran yang inovatif pada mata pelajaran PKn yang digunakan oleh guru, sehingga dapat berpengaruh pada terciptanya keberhasilan belajar yang diharapkan. Siswa dapat belajar bersama dengan kondusif, aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan dan diharapkan semua siswa mampu mencapai nilai ketuntasan minimal. Semakin banyak macam model pembelajaran yang dikembangkan, model pembelajaran yang membuat proses pembelajaran lebih kondusif, aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan serta dapat digunakan hampir di semua mata pelajaran khususnya mata pelajaran PKn, salah satu model pembelajaran tersebut adalah Value Clarification Technique (VCT)tipe Perisai Kepribadian. Siswa sekolah dasar kelas tinggi mata pelajaran PKn dengan menggunakan model pembelajaran VCT tipe Perisai Kepribadian tersebut menekankan pada upaya meningkatkan prestasi belajar siswa menjadi lebih maksimal dan membantu mengarahkan pembentukan karakter perilaku disiplin siswa sejak dini pada siswa sebagai bekal dalam lingkungan seharihari baik di sekolah atau di lingkungan masyarakat. Melalui model VCT tipe Perisai Kepribadian ini diharapkan siswa dapat mengalami peningkatan ranah kognitif dan afektif. Ranah kognitif dan afektif dikembangkan melalui pembelajaran model VCT, karena model VCT merupakan model pembelajaran yang mengutamakan pembinaan dan menanamkan nilai dan moral pada ranah pembentukan kepribadian. PEMBAHASAN Model Pembelajaran VCT Pengertian Value Clarification Technique menurut Sanjaya (2006) dalam Taniredja (2011: 87-88), mengemukakan teknik mengklarifikasi nilai (Value Clarification Technique) atau sering disingkat VCT merupakan teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan melakukan penanaman nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa, yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti “tujuan dari Model Klarifikasi Nilai adalah untuk membantu siswa memperkenalkan
119
tingkat kepercayaan nilai dan mengembangkan sistem nilai yang konsisten yang di atasnya untuk membuat pilihan”. Karakteristik model pembelajaran VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai yang dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak di tanamkan, karena model pembelajaran ini menekankan pada pembentukan pendidikan karakter. Menurut Gutsman dalam Benninga (1991: 4) menyatakan bahwa, “moral education is a conscious effort shared by parents, society, and professional education to help shape the character of less well educated people”, yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti bahwa “pendidikan moral adalah usaha sadar bersama oleh orang tua, masyarakat, dan pendidikan profesional untuk membantu membentuk karakter orang yang kurang berpendidikan”, sehingga model pembelajaran VCT tepat dalam membantu mewujudkan hal tersebut. VCT tidak bertujuan untuk mengajarkan pada siswa cara menerima sesuatu nilai-nilai tertentu sesuai dengan yang diinginkan oleh guru, melainkan berusaha untuk menolong atau membantu siswa untuk memilih nilai yang diyakininya secara bebas dari sejumlah alternatif nilai dengan melalui langkah-langkah proses penerimaan nilai. Tugas guru adalah untuk menyadarkan siswa akan nilai dan perilaku yang benar, luhur, atau yang patut dihargai, dengan jalan memberikan rangsangan sejumlah nilai alternatif kepada siswa untuk dipilihnya, dengan cara ini siswa akan meneliti, membandingkan, mempertimbangkan, dan kemudian dapat mengemukakan alasan-alasan mengapa ia memilih nilai pilihannya dengan keyakinan yang kokoh, tidak sekedar menerima nilai-nilai tersebut. Tujuan Menggunakan Value Clarification Technique dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan: Mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijak menentukan target nilai yang akan dicapai. Menanamkan kesadaran siswa tentang nilainilai yang dimiliki baik tingkat maupun sifat yang positif maupun yang negatif untuk selanjutnya ditanamkan ke arah peningkatan dan pencapaian target nilai. Menanamkan nilainilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada
akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa sebagai proses kesadaran moral bukan kewajiban moral. Melatih siswa dalam menerima – menilai dirinya dan posisi nilai orang lain. Menerima serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan yang berhubungan dengan pergaulannya dan kehidupan sehari-hari. (Taniredja, dkk, 2011: 88). Prinsip-prinsip Value Clarification Technique: Penanaman nilai dan pengubahan sikap dipengaruhi banyak faktor potensi diri, kepekaan emosi, intelektual, faktor lingkungan, norma nilai masyarakat dan sistem pendidikan. Sikap dan perubahan sikap dipengaruhi oleh stimulus yang diterima siswa dan kekuatan nilai yang telah tertanam atau dimiliki pada diri siswa. Nilai, moral dan norma dipengaruhi oleh faktor perkembangan, sehingga guru harus mempertimbangkan tingkat perkembangan moral (moral development) dari setiap siswa. Tingkat perkembangan moral untuk siswa dipengaruhi oleh usia dan pengaruh lingkungan terutama lingkungan sosial. Pengubahan sikap dan nilai memerlukan keterampilan mengklarifikasi nilai atau sikap secara rasional, sehingga dalam diri siswa muncul kesadaran diri bukan karena rasa kewajiban bersikap tertentu atau berbuat tertentu. Pengubahan nilai merupakan keterbukaan, karena itu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui VCT menuntut keterbukaan antara guru dengan siswa. (Taniredja, dkk, 2011: 88). Pembelajaran VCT Tipe Perisai Kepribadian Menurut Djahiri (1985: 72), model pembelajaran VCT tipe perisai kepribadian sudah cenderung bersifat permainan dan sangat ampuh sebagai alat tidak lanjut yang mengajak siswa bermawas diri. Hasil lembar jawaban siswa yang akan diperiksa guru atau dibahas di depan kelas maka sebaiknya siswa mengisi alat penilaian ini dengan jujur. Item yang diminta harus satu kategori atau satu tema. Hal ini penting supaya siswa tidak bingung. Petunjuk isian sangat penting diberikan pada siswa. Petunjuk dan tugas bagi siswa : Perhatikan keterangan tabel perisai di bawah ini dan petunjuk atau perintah yang ada di setiap kotak atau lembar perisai. Buatlah gambar perisai pada kertas folio atau karton dan nomorin kotak sesuai nomor gambar ini. Contoh Perisai Kepribadian: (1). 1Tuliskan hal yang menurutmu TER- baik dan ingin memilikinya.
120
(2) Tuliskan satu hal yang paling mengikatmu serta telah menjadi keyakinan keluargamu. (3) Tuliskan satu hal yang menurutmu sudah mendarah daging pada dirimu. (4) Tuliskan satu hal yang paling anda ingin laksanakan apabila segala cita-citamu bisa terwujudkan. (5) Tuliskan satu hal yang sangat kau harapan ditiru atau diikuti teman atau orang lain. (6) Tuliskan tiga buah hal-hal yang menurutmu akan menjadi pergunjingan orang lain mengenai dirimu. Berdasarkan perintah yang ada dalam setiap kotak isilah lembar perisai dengan pernyataan yang mengacu pada hal tersebut atau sesuaikan dengan tema (pernyataan dapat diubah sesuai dengan tema). Petunjuk untuk guru: Supaya merasakan bagaimana sukarnya untuk bersikap jujur berkaitan dengan diri sendiri dalam perisai ini. Apa saja yang di rasakan kelak perlu dipertanyakan kepada para siswa. Misalnya : Apakah kalian jujur mengisi hal itu ?., Bagaimana, apakah lebih mudah mengisi ini atau menilai orang lain ?. Semua pertanyaan itu dilontarkan dengan tempo waktu berpikir. Biarkan mereka berproses dan berdialog sendiri atau dengan temannya. Langkah Kegiatan Belajar Mengajar: Fase persiapan: Tentukan masalah-masalah yang ingin dipecahkan sesuai target dan tema atau topik dari materi pelajaran. Siapkan contoh format yang akan digunakan serta contoh isiannya. Proses Belajar Mengajar: Penjelasan tujuan pengajaran dan kegiatan belajar mengajar yang akan dilaksanakan. Pengantar pokok materi atau permasalahan secara singkat. Tahapan kegiatan belajar siswa ber-VCT. Guru membacakan pernyataan satu per satu dari pernyataan dalam lembar perisai. Catatan untuk guru: Monitor seluruh kegiatan siswa, Jenis lembar perisai bersifat individual, Kemudahan, bantuan atau kelancaran (fasilitating) kegiatan belajar mereka bila diperlukan, jangan membiarkan kesalahan siswa berkumulasi sampai akhir pelajaran. Tahap klarifikasi masalah dan pengajuan alasan (sesuaikan dengan langkah atau nomor dalam item kartu). Tahap penyimpulan dan pengarahan. Tindak lanjut pengajaran. Kelebihan VCT menurut Djahiri dalam (Taniredja, dkk, 2011: 88), VCT memiliki keunggulan untuk pembelajaran afektif karena: Mampu membina dan menanamkan nilai dan moral pada ranah internal side; Mampu mengklarifikasi atau menggali dan mengungkapkan isi pesan materi yang
disampaikan selanjutnya akan memudahkan bagi guru untuk menyampaikan makna/ pesan nilai/ moral; Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa, melihat nilai yang ada pada orang lain dan memahami nilai moral yang ada pada kehidupan nyata; Mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama mengembangkan potensi sikap; Mampu memberikan sejumlah pengalaman belajar dari berbagai kehidupan; Mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan memadukan berbagai nilai moral dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang; Memberi gambaran nilai moral yang patut diterima dan menuntun serta memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi. Kelemahan-kelemahan VCT: Apabila guru tidak memiliki kemampuan melibatkan siswa dengan keterbukaan, saling pengertian dan penuh kehangatan maka siswa akan memunculkan sikap semu atau palsu. Siswa akan bersikap menjadi siswa yang sangat baik, patuh dan penurut namun hanya bertujuan untuk menyenangkan guru atau memperoleh nilai yang baik. Sistem nilai yang dimiliki dan tertanam pada guru, siswa dan masyarakat yang kurang atau tidak baku dapat mengganggu tercapainya target nilai baku yang ingin dicapai atau nilai etik. Sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengajar terutama memerlukan kemampuan atau keterampilan bertanya tingkat tinggi yang mampu mengungkap dan menggali nilai yang ada dalam diri siswa. Memerlukan kreatifitas guru dalam menggunakan media yang tersedia di lingkungan terutama yang aktual dan faktual sehingga dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. (Taniredja, dkk, 2011: 89). Cara Mengatasi Kelemahan VCT: Guru berlatih dan memiliki keterampilan mengajar sesuai dengan standar kompetensi guru. Pengalaman guru yang berulang kali menggunakan VCT akan memberikan pengalaman yang sangat berharga karena memunculkan model-model VCT yang merupakan modifikasi sesuai kemampuan dan kreatifitas guru. Setiap pembelajaran yang menggunakan tematik atau pendekatan kontekstual, antara lain dengan mengambil topik yang sedang terjadi dan ada di sekitar siswa, menyesuaikan dengan hari besar nasional, atau mengaitkan dengan program yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. (Taniredja, dkk, 2011: 89)
121
Hakikat Pembelajaran Menurut Sadiman, Arief S. dkk (2011: 2), belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat nanti. Kemudian menurut Slameto (2010: 2), belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya, sedangkan menurut Sagala (2010: 13), belajar merupakan komponen kegiatan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Berdasarkan pengertian-pengertian belajar dari para ahli di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh hasil dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak tahu menjadi tahu, sehingga mencapai perubahan tingkah laku yang diharapkan yang dilakukan secara berkesinambungan. Faktor yang Mempengaruhi Belajar Slameto (2010: 54) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi belajar, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar individu (eksternal). Faktor internal dikelompokan menjadi 3 antara lain: Faktor jasmaniah yang meliputi kesehatan dan cacat tubuh; Faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan; Faktor yang terakhir adalah faktor kelelahan. Untuk faktor eksternal yang mempengaruhi belajar dikelompokan menjadi 3 faktor yaitu: Faktor keluarga meliputi cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang kebudayaan; Faktor sekolah meliputi metode mengajar yang dilakukan oleh guru, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah; Faktor masyarakat, yang mempengaruhi belajar siswa antara lain kegiatan siswa di masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, dapat menyimpulkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi belajar yaitu faktor dari dalam diri siswa (internal) dan faktor dari luar diri
siswa (eksternal) serta aspek-aspek yang terkait di dalamnya sehingga mempengaruhi proses belajar yang dilakukannya. Tujuan Belajar dalam Taksonomi Bloom disebutkan bahwa tujuan belajar diarahkan pada tiga kawasan taksonomi yaitu kawasan kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut Uno, B. Hamzah (2011: 35), kawasan kognitif membahas tujuan pembelajaran berkenaan dengan proses mental yang berawal dari tingkat pengetahuan sampai tingkat yang lebih tinggi yakni evaluasi, kawasan afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, apresiasi (penghargaan) dan penyesuaian perasaan sosial, sedangkan kawasan psikomotor berkaitan dengan keterampilan (skill) yang bersifat manual atau motorik. Menurut Sagala (2010: 34), belajar adalah perubahan kualitas kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk meningkatkan taraf hidupnya sebagai pribadi, sebagai masyarakat, maupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian di atas tujuan belajar menurut peneliti adalah membentuk dan membekali seseorang agar memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan, mengingat bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang seutuhnya dan berpancasila. Pengertian Prestasi Belajar menurut Hamdani (2011: 137), prestasi belajar adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok, menurut (KBBI: 895), prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dilambangkan melalui mata pelajaran atau lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru, kemudian menurut Arifin (2011: 12), prestasi belajar merupakan suatu masalah yang bersifat perennial dalam sejarah kehidupan manusia, karena sepanjang rentang kehidupannya manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing, sedangkan menurut Algarabel (2001: 46) menyatakan bahwa “achievement is the competence of a person in relation to a domain of knowledge”, yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti “prestasi adalah kompetensi seseorang dalam kaitannya dengan domain pengetahuan”. Berdasarkan pengertianpengertian dari para ahli di atas dapat menyimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar dalam kurun waktu tertentu. Prestasi belajar di
122
sekolah sebagian besar merupakan hasil dari pengukuran kemampuan belajar siswa yang mencakup aspek kognitif setelah mengikuti proses pembelajaran, yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Peneliti dapat menyimpulkan kembali bahwa prestasi belajar juga merupakan hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menyimpulkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa pada periode tertentu. Cronbach (dalam Arifin, 2011: 13), mengemukakan bahwa kegunaan prestasi belajar banyak ragamnya, antara lain: Sebagai umpan balik bagi guru dalam mengajar; Untuk keperluan diagnostic; Untuk keperluan bimbingan dan penyuluhan; Untuk keperluan seleksi; Untuk keperluan penempatan atau penjurusan; Menentukan isi kurikulum; Menentukan kebijakan sekolah. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar menurut Ahmadi, A. dan Supriyono, W. (2004: 138), prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Tergolong faktor internal adalah: Faktor jasmaniah (fisiologi), misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya. Faktor psikologis meliputi kecerdasan, bakat, sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, dan penyesuaian diri. Faktor kematangan fisik maupun psikis. Tergolong faktor eksternal diantaranya ialah: Faktor sosial terdiri atas: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, lingkungan kelompok. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, dan iklim. Menurut Arifin (2011: 12), fungsi utama prestasi belajar adalah sebagai berikut: Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai siswa. Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. Para ahli psikologi biasanya menyebut hal ini sebagai “tendensi keingintahuan (couriosty) dan merupakan kebutuhan umum manusia”. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. Asumsinya adalah prestasi belajar dapat dijadikan pendorong siswa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berperan sebagai umpan balik (feedback)
dalam meningkatkan mutu pendidikan. Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan. Indikator intern dalam arti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktivitas suatu institusi pendidikan. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan siswa. Indikator ekstern dalam arti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat kesuksesan siswa di masyarakat. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan relevan pula dengan kebutuhan masyarakat. Prestasi belajar dapat dijadikan indikator daya serap (kecerdasan) siswa, dalam proses pembelajaran siswa menjadi fokus utama yang harus diperhatikan, karena siswalah yang diharapkan dapat menyerap seluruh materi pelajaran. Batas Minimal Prestasi Belajar menurut Hamdani (2011: 146), mengemukakan bahwa menetapkan batas minimal keberhasilan belajar siswa berkaitan dengan upaya peningkatan prestasi belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar, yaitu : Norma skala angka dari 0-10, Norma skala angka dari 0-100 Angka terendah menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya, jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Batas minimal prestasi belajar juga dapat ditentukan dari kebijakan masing-masing sekolah atau institusi pendidikan berdasarkan pertimbanganpertimbangan dan ketentuan tertentu. Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dapat dijelaskan melalui ringkasan pengertian Pendidikan dan Kewarganegaraan. Menurut Sutoyo (2011: 2), pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar dan berencana untuk mewujudkan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kewarganegaraan merupakan segala sesuatu yang berkaitam dengan warga Negara di suatu negara. Menurut Jarolimek, J. (1981:
123
5) menyatakan bahwa, “citizenship education was to take place through the formal study of such subjects as history, government (civics), and through the indoctrination of such values as freedom, human dignity, responsibility, independence, individualism, democracy, respect for others, love of country, and so on”, yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti “pendidikan kewarganegaraan adalah untuk mengambil tempat melalui studi formal mata pelajaran seperti sejarah, pemerintah (kewarganegaraan), dan melalui indoktrinasi nilai-nilai seperti kebebasan, martabat manusia, tanggung jawab, kemandirian, individualisme, demokrasi, menghargai orang lain, cinta negara, dan sebagainya” Menurut Zamoni (2003: 10) dalam Taniredja (2009), Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Berdasarkan definisi pengertian para ahli di atas pendidikan kewarganegaraan menurut peneliti dapat didefinisikan sebagai proses pengembangan dan perbaikan diri bagi setiap warga Negara dengan usaha sadar dan terencana melalui pengajaran dan pelatihan sehingga terjadi peningkatan potensi diri pada warga Negara tersebut dalam hal pengetahuan, sikap dan keterampilan. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Fathurrohman dan Wuryandari (2011: 7), tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk memberikan kompetensi-kompetensi sebagai berikut: Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsabangsa lainnya. Berinteraksi dengan bangsabangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan menurut Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP), ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut: Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan Negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan. Norma, hukum dan peraturan meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, normanorma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrument nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Kebutuhan warga Negara meliputi: hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga Negara. Konstitusi Negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar Negara dengan konstitusi. Kekuasaan dan politik meliputi: pemerintahan desa dan kecamatan. pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi. Pancasila meliputi: kedudukan pancasila, sebagai dasar Negara dan ideologi Negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar Negara, pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka. Globalisasi meliputi: globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, serta mengevaluasi globalisasi. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Pembelajaran PKn kelas dengan menggunakan model pembelajaran VCT tipe perisai kepribadian dapat membantu meningkatkan hasil belajar dan pembentukan perilaku disiplin sejak dini dan ditanamkan dari
124
lingkup yang terkecil yaitu lingkungan kelas sampai pada lingkungan sekolah dan masyarakat.Model pembelajaran VCT tipe perisai kepribadian dapat memberikan inovasi pembelajaran yang inovatif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga dapat meningkatkan semangat belajar dan ketertarikan siswa dalam mengikuti pelajaran. Rekomendasi saat kegiatan ber-VCT menggunakan lembar perisai kepribadian, tabel pernyataan perisai guru berisi pernyataan-pernyataan sesuai tema yang mengandung nilai-nilai sosial lebih dalam.Saat pembelajaran dengan menggunakan model VCT tipe Perisai Kepribadian siswa diajak untuk mengungkapkan pendapatnya di depan kelas sesuai dengan jawaban yang ditulisnya dalam lembar perisai. DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. dan Supriono, W. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arifin, Z. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Algarabel, S. and Cermen, D. (2001). Seccion De Metodologia. Spain: http://www.uv.es/psicologica/articulos1.0 1/dasi Benninga, J. S. (1991). Moral, Character, and Civic Education in the Elementary School. America: Columbia University.
Djahiri, K. (1985). Strategi Pengajaran AfektifNilai-Moral VCT Dan Games Dalam VCT. Bandung: Granesia. Fathurrohman danWuryandari, W. (2011). Pembelajaran PKn Di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Nuha Litera. Hamdani. (2011). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia. Jarolimek, J. (1981). Teaching and Learning in the Elementary School. New York : Macmillan Publishing Co., Inc. Sadiman, Arief S. (dkk). (2011). Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sagala, S. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sutoyo. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Taniredja, T. (2009). Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Bandung: Alfabeta. Uno, H. B. (2011). Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
125
GURU SEBAGAI KUNCI PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 Muhammad Nur Wangid Dosen PPB FIP Uiversitas Negeri Yogyakarta Abstrak Implementing a curriculum requires the involvement of many different people. Each is a „key player‟ in the change process. Without the good coordinating involvement of these individuals the implementation of the curriculum programme will encounter many problems. Among the key players identified are: teachers, students, principals, district education officers, state education officers, academics, parents, and so on. The most important person in the curriculum implementation process is the teacher. With their knowledge, experience and competencies, teachers are central to any curriculum improvement effort. The key to getting teachers committed to an innovation is to enhance their knowledge of the programme. This means teachers need be trained and workshops have to be organised for professional development. In a centralized system, the national curriculum is developed at the national level and passed on to the individual districts and schools to be implemented.
PENDAHULUAN Mulai bulan Juli tahun 2013 pendidikan di Indonesia dihadapkan pada perubahan kurikulum. Sebelumnya sejak tahun 2006 pendidikan di Indonesia khususnya para guru telah mulai familiar dan nyaman dengan pelaksanaan kurikulum 2006 tersebut atau yang sering disebut dengan Kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pergantian kurikulum ini tentu saja tidak serta merta berjalan mulus tanpa hambatan. Sejak munculnya kurikulum 2013 telah ramai mulai ditanggapi oleh berbagai pihak. Pada prinsipnya ada dua kutub yang berseberangan satu pihak setuju dengan pergantian kurikulum di pihak lain sangat kuat nuansa penolakan pergantian kurikulum tersebut dengan berbagai dalih dan alasan yang diajukan. Mempertimbangkan kondisi tersebut maka tentunya pelaksanaan kurikulum 2013 akan mengalami pasang surut atau bahkan resistensi yang sangat kuat.
Menyadari kondisi tersebut pemerintah tentu tidak akan tinggal diam. Berbagai upaya dan antisipasi dipikirkan dan dilaksanakan untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Mulai dari mempertimbangkan setiap masukan yang disampaikan berbagai pihak sampai dengan mempersiapkan pelaksanaan atau penerapan kurikulum 2013 dengan sebaikbaiknya, termasuk dengan menginvestasikan dana yang sangat besar untuk menjamin terlaksananya kurikulum 2013. Meskipun sejumlah besar uang yang
dihabiskan untuk menerapkan kurikulum baru, namun tidak semuanya berjalan seperti yang diharapkan. Menurut Sarason (1990), alasan utama kegagalan adalah kurangnya pemahaman tentang budaya sekolah oleh para ahli di luar sistem sekolah dan pendidik (guru) itu sendiri sebagai pelaku/pelaksana dalam sistem. Keberhasilan implementasi kurikulum memerlukan pemahaman hubungan kekuasaan, tradisi, peran dan tanggung jawab individu dalam sistem sekolah. Pelaksana (apakah mereka menjadi guru, kepala sekolah, pejabat pendidikan kabupaten) harus memiliki pemahaman yang baik tentang isi kurikulum, dan berusaha mengamalkan atau
mengimplementasikan isi kurikulum dengan sebaik-baiknya. Para pelaksana tersebut harus memahami sejelas-jelasnya tentang tujuan, sifat, dan manfaat nyata dari potensi inovasi yang digulirkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Fullan dan Pomfret (1977) "Pelaksanaan yang efektif dari inovasi membutuhkan waktu, interaksi pribadi dan kontak, pelatihan in-service dan bentuk lain dukungan dari pelaksana utama". Dalam konteks inovasi kurikulum maka guru menjadi ujung tombak pelaksana. Dengan demikian, implementasi kurikulum membutuhkan perlakuan yang dapat memenangkan hati pelaku utama, dan itu
membutuhkan waktu. Guru perlu merasa dihargai dan upaya mereka diakui.
126
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa mereka harus diberi imbalan keuangan tetapi ada bukti yang menunjukkan bahwa motivasi eksternal memberikan kontribusi minimal untuk usaha itu. Masih banyak guru berkontribusi secara intrinsik dengan mengerahkan bakat dan kemampuan terbaik mereka. Tugas menjadi guru adalah panggilan hati, sehingga para guru ikut terlibat melaksanakan inovasi kurikulum secara ikhlas, sehingga para guru termotivasi secara internal dan memperoleh perasaan yang baik dari keterlibatan mereka. Setiap perubahan memerlukan adaptasi, aksi, dan konsistensi pelaksana kegiatan. Adaptasi secara sosial bermakna perubahan yang mengakibatkan seseorang dalam suatu kelompok sosial dapat hidup dan berfungsi lebih baik di lingkungannya. Dalam konteks tugas seorang guru maka perubahan bentuk tugas yang harus dilaksanakan terkait dengan perubahan kurikulum yang harus dilaksanakan merupakan suatu keniscayaan bentuk adaptasi yang harus dilakukan oleh guru Aksi bermakna tindakan. Perhatian utama filosufi tindakan adalah untuk menganalisis sifat tindakan dan membedakan mereka dari fenomena serupa. Artinya bahwa tindakan individu memang secara khas adalah khusus ditujukan untuk sesuatu yang khas bagi pelaku tersebut. Dalam praktek perubahan kurikulum maka tindakan yang dilakukan guru memang khas dalam rangka untuk memenuhi tuntutan perubahan atau adaptasi dari kurikulum yang baru. Serentetan tindakan baru pelaku (guru) maka seharusnya tindakan-tindakan pelaku tersebut akan mampu menjelaskan hubungan antara tindakan dan efeknya, menjelaskan bagaimana tindakan berkaitan dengan keyakinan dan keinginan yang menyebabkan dan / atau membenarkan hal itu (melihat alasan praktis). Satu hal yang patut menjadi perhatian utama adalah sifat kehendak bebas dan apakah tindakan tersebut ditentukan oleh kondisi mental yang mendasari tindakan pelaku tersebut. Oleh karena itu tindakan guru sebagai pelaksana kurikulum akan nampak secara khas berupa berbagai perubahan-perubahan yang jelas secara berbeda dengan berbagai tindakan yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, pada hakekatnya inti dari perubahan atau reformasi kurikulum ada pada tataran aksi ini. Jika perubahan tersebut tidak mampu
ditampilkan oleh guru maka bisa dipastikan perubahan kurikulum tersebut tidak bermakna, sebaliknya jika perubahan-perubahan tindakan guru nampak dalam keseharian perilakunya menjalankan tugas terkait melaksankan perubahan kurikulum yang baru maka bisa dipastikan kurikulum telah berhasil dirubah dalam aksi yang baru. Konsistensi bermakana tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek; selaras; sesuai. Kata konsisten sering dicontohkan dengan “perbuatan hendaknya konsisten dengan ucapan”. Maksudnya adalah hendaknya tidak terjadi perbedaan antara apa yang dikatakan dengan perbuatan yang dilakukan. Demikian pula dalam logika deduktif klasik, sebuah
teori yang konsisten adalah teori yang tidak mengandung kontradiksi. Oleh karena itu dalam pelaksanaan perubahan kurikulum tindakan akhir yang diperlukan adalah adanya keajegan untuk tetap melaksanakan inovasi tersebut. Melalui keajegan tindakan yang baru tersebut maka diharapkan implementasi perubahan kurikulum akan dapat terlaksana nyata. Dalam redaksi yang sedikit berbeda menurut Fullan (2001) model proses perubahan itu, ada tiga fase yang harus dilalui sebagai suatu proses dari perubahan. Tahap I sering disebut inisiasi, yang terdiri dari proses yang mengarah ke dan termasuk keputusan untuk mengadopsi atau melanjutkan dengan perubahan. Tahap II adalah tahap implementasi yang melibatkan pengalaman pertama mencoba untuk menempatkan ide atau reformasi dalam praktek. Tahap III mengacu pada kelanjutan di mana perubahan akan dibangun sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem atau menghilang dengan cara disengaja atau tidak. Kesengajaan membuang bisa terjadi jika ada keputusan untuk membuang perubahan tersebut. Ketidaksengajaan membuang terjadi secara berangsur-angsur mengabaikan inovasi yang terjadi atau melalui gesekan-gesekan yang dianggap merugikan atau tidak berguna. Kurikulum dan Dinamikanya Di Indonesia Perubahan kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Sebuah keniscayaan karena tidaklah mungkin sebuah kurikulum bersifat statis, tidak mengikuti perubahan dinamika masyarakat pemakainya. Berbagai pihak menginginkan perlunya reformasi kurikum untuk menyesuaikan terhadap berbagai
127
perubahan masyarakat dan dinamika dunia pada umumnya. Seperti yang disampaikan oleh Cheung dan Wong (2012) “To meet the needs of an increasingly globalized world, educators, politicians, parents, and corporations across the globe have called for major school reforms by restructuring the curriculum and imposing stronger standards”. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan yang sekarang 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara, seperti yang disampaikan oleh Cheung dan Wong (2012) di atas. Dalam perspektif kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaan diantara kurikulum yang satu dengan lainnya adalah pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional Indonesia. Ada beberapa perspektif yang mendorong perubahan kurikulum. Pertama, dinamika paradigma yang berasumsi bahwa kurikulum merupakan alat (tool) untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, perubahan tujuan pendidikan mendorong terjadinya perubahan kurikulum sebagai alat untuk mencapainya. Kedua, perspektif dinamika masyarakat yang senantiasa bersifat dinamis maka memerlukan penyesuaian terhadap berbagai perubahan masyarakat. Pendidikan dipandang merupakan cara terbaik untuk memelihara dan mentransmisikan nilainilai masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya. Kurikulum dipandang sebagai seperangkat media yang berisi substansi nilainilai masyarakat. Oleh karena itu, untuk pelestarian nilai-nilai masyarakat kurikulum perlu juga disesuaikan dalam sistem perubahan masyarakat tersebut. Termasuk dalam pemikiran ini adalah berbagai tantangan dan hambatan yang mungkin akan dihadapi oleh
suatu masyarakat. Ketiga, perspektif terhadap peserta didik. Perbedaan pandangan pada peserta didik mengimplikasikan perlunya perubahan kurikulum yang dilaksanakan. Hal ini sering dikaitkan dengan cara guru menyampaikan materi pelajaran. Ketika siswa dianggap sebagai obyek maka guru akan bertindak seolah-olah sebagai “pengisi” ilmu atau informasi semata. Guru tidak perlu banyak tidak mempedulikan kondisi siswa, tidak terlalu penting untuk memahami peserta didik karena dalam perspektif ini peserta didik adalah obyek yang pasif. Berbeda sama sekali dengan perspektif yang meletakkan bahwa siswa sebagai subyek belajar yang sedang dalam taraf berkembang. Dalam pandangan ini tentu akan berbeda sama sekali dengan pandangan sebelumnya tadi. Guru akan berlaku sebagai seorang yang bertugas untuk memfasilitasi peserta didik agar dapat belajar sesuai dengan taraf perkembangannya. Dalam konteks ini maka guru harus memahami peserta didik sebaik mungkin. Dengan demikian, pelaksanaan perubahan kurikulum yang bertanggung jawab menjadi sangat penting bahwa para pihak yang terlibat pelaksanaan harus memahami sifat perubahan, khususnya guru yang berada digarda terdepan harus mapan dengan langkah-langkah perubahannya. Memahami proses perubahan dapat menjadi proses yang menantang dan menarik. Konsekuensinya jika guru tidak memahami kompleksitas perubahan maka guru cenderung untuk memperkenalkan ide-ide dan tindakan yang dapat mengakibatkan kebingungan dan ketegangan di dalam sekolah masing-masing. Perubahan kurikulum adalah proses yang kompleks dan sulit serta membutuhkan perencanaan yang matang, waktu yang cukup, pendanaan, dukungan dan peluang untuk keterlibatan guru. Jones et all. (2001) mengkategorikan perubahan kurikulum sebagai berikut : a. Pergantian: Salah satu unsur dapat menggantikan unsur lain yang sudah ada. Sebagai contoh, penggantian dari buku teks baru untuk buku teks yang lama. Pada kurikulum 2013 banyak terjadi perubahan penggantian buku teks, hal ini karena kurikulum 2013 pembelajarannya menggunakan tematik. b. Perubahan: ini terjadi ketika perubahan diperkenalkan ke dalam bahan yang ada dengan harapan bahwa akan muncul wawaasan baru dan dengan demikian
128
dengan mudah diadopsi. Misalnya, memperkenalkan konten baru seperti keselamatan jalan di kurikulum sekolah dasar; penggunaan bahan baru seperti kalkulator grafik dalam mengajar matematika. Banyak konten baru yang dikemas secara tematik di dalam kurikulum 2013 sehingga banyak perubahan terjadi. c. Perturbasi : Ini adalah perubahan yang mengganggu tetapi guru menyesuaikan diri dengan mereka dalam waktu yang cukup singkat. Sebagai contoh, wakil kepala sekolah mengubah jadwal atau jadwal untuk memungkinkan waktu mengajar lagi. d. Restrukturisasi : Ini adalah perubahan yang mengarah pada modifikasi dari sistem sekolah secara keseluruhan. Misalnya, pengenalan kurikulum terintegrasi membutuhkan team teaching, atau melibatkan masyarakat setempat dalam menentukan apa yang akan diajarkan. Kategori perubahan ini terjadi juga dalam kurikulum 2013, dengan model pembelajaran yang tematik integratif maka mendorong semua pihak yang bisa dilibatkan untuk bersinergi mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum baru. e. Nilai Orientasi : Ini adalah pergeseran dalam orientasi nilai fundamental personil sekolah . Sebagai contoh, jika guru-guru baru yang bergabung sekolah lebih menekankan pada pertumbuhan pribadi siswa dari prestasi akademik, maka orientasi nilai atau filosofi dasar perubahan sekolah. Demikian pula dalam kurikulum 2013 yang sudah mulai mengekspansi tujuan pembelajaran bukan sekedar kognitif lagi namun juga afektif sehingga seluruh potensi siswa harus dikembangkan. Bahkan pengembangan pembelajaran yang menekankan scientific approach menjadikan pergeseran nilai-nilai fundamental dalam pembelajaran guru. Mengapa Guru menjadi Kunci Penerapan Kurikulum
Menerapkan kurikulum membutuhkan keterlibatan banyak orang yang berbedabeda peran, tugas, dan kepentingannya. Masing-masing pihak pada hakekatnya adalah 'pemain kunci' dalam proses perubahan kurikulum tersebut. Tanpa keterlibatan berbagai pihak yang terkoordinasi dengan baik oleh pejabat yang
berwenang atau orang yang melaksanakan tugas koordinasi perubahan kurikulum maka program kurikulum yang dicanangkan akan menghadapi banyak masalah. Di antara para pemain utama yang diidentifikasi adalah: guru, siswa, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pejabat pendidikan kabupaten, pejabat pendidikan negara, pengembang kurikulum, akademisi, orang tua, pejabat politik tertarik dan warga masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Dalam sistem terpusat, kurikulum nasional dikembangkan di tingkat nasional dan diteruskan ke masing-masing kabupaten dan sekolah untuk dilaksanakan. Dari banyak pihak yang terlibat dalam penerapan kurikulum tersebut guru memegang peran yang paling utama. Roehrig dan Kruse (2005) menyatakan bahwa nilai, keyakinan dan pengetahuan guru menjadi kunci dalam reformasi kurikulum. Demikian pula Fullan (2001: 48) menjelaskan bahwa yang paling membuat perubahan secara komprehensif dalam implementasi kurikulum adalah guru. Implementasi adalah suatu interaksi antara orang-orang yang telah menciptakan program dan mereka yang dibebankan untuk menyampaikan hal itu. Artinya implementasi mestilah terjadi interaksi antara para pembuat kebijakan dengan orang yang harus menjalankan perubahan tersebut. Dengan demikian implementasi kurikulum tidak dapat terjadi dengan sendirinya tanpa adanya fasilitasi. Untuk itu, menurut Ornstein dan Hunkins (1998) implementasi perlu dipahami beberapa aspek sebagai berikut; 1. Implementasi memerlukan pendidik untuk beralih dari program saat ini yang mereka kenal dengan ke program baru atau diubah. Hal ini berarti bahwa untuk dapat terlaksananya kurikulum 2013 memerlukan pendamping yang mampu menuntun guru memahami perubahan yang terjadi dan menjadikan perubahan tersebut mampu dilaksanakan oleh guru. 2. Implementasi melibatkan perubahan dalam pengetahuan, tindakan dan sikap orang. Agar perubahan yang diinginkan dapat terwujud dalam perilaku tugas guru seharihari maka guru harus pengetahuan guru harus ditingkatkan, sikap guru harus diubah agar sesuai dengan semangat perubahan, dan diwujudkan dalam
129
tindakan pelaksanaan tugas keseharian yang sudah berubah. 3. Implementasi dapat dilihat sebagai proses pengembangan profesional dan pertumbuhan yang melibatkan interaksi yang berkelanjutan, umpan balik dan bantuan. Adanya upaya meningkatkan pengetahuan guru, mengubah sikap dan perbutannya pada dasarnya adalah upaya untuk meningkatkan profesionalitas guru untuk dapat sesuai atau memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat. Untuk menjamin keterlaksanaan profesionalitas tersebut maka harus dilakukan secara berkelanjutan, memberikan masukan untuk perbaikan tugas guru, dan mengembangkan ketrampilan guru dengan bantuan bertahap. 4. Implementasi adalah proses klarifikasi di mana individu dan kelompok datang untuk memahami dan mempraktekkan perubahan sikap dan perilaku; sering melibatkan menggunakan sumber daya baru. Pelaksanaan suatu program yang baru berarti akan melibatkan banyak pihak baik individu maupun kelompok. Sebagai sesuatu program yang baru tentulah para pelaksana yang terlibat memerlukan pemahaman yang baik terlebih dahulu sebelum melaksanakan program kegiatan tersebut. Terlebih kurikulum yang mensyaratkan perubahan sikap dan perilaku sebagai tugas keseharian guru. Inti implementasi kurikulum yang baru sebenarnya pada tataran pengubahan sikap perilaku lama menjadi sikap dan perilaku yang baru yang sesuai dengan kurikulum baru. Tidak jarang dalam pelaksanaan tugas memerlukan media atau sumber daya yang baru yang sama sekali sebelumnya belum pernah dipergunakan. Untuk itu maka sangat diperlukan upaya klarifikasi tentang prosedur dan manual pemanfaatan piranti dan sumber daya tersebut. 5. Implementasi melibatkan perubahan yang membutuhkan usaha dan akan menimbulkan sejumlah kecemasan dan sekaligus perubahan tersebut untuk meminimalkan kecemasan ini, hal ini berguna agar implementasi dapat diatur pelaksanaannya ke dalam kegiatan yang dapat dikelola dan menetapkan tujuan dicapai.
Kurikulum 2013 sebagai sesuatu yang baru implementasinya memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, di samping itu sebagai sesuatu yang “asing” (baru) sering juga menimbulkan kecemasan bagi pelaksananya. Upaya pelaksanaanya dapat dimaknai juga sebagai upaya untuk meminimalisir kecemasan yang timbul sebagai akibat kurikulum yang baru. Untuk itu implementasi kurikulum 2013 perlu dikelola dalam suatu proses kegiatan yang memungkinkan pelaksanaannya dan sekaligus akan dapat mencapai tujuan dari kurikulum tersebut. 6. Implementasi memerlukan suasana yang mendukung di mana ada kepercayaan dan komunikasi terbuka antara administrator dan guru/pendidik, serta sangat mungkin pengambilan resiko diperlukan. Pelaksanaan kurikulum yang baru memerlukan suasana yang saling mendukung dan saling percaya antara pelaksana dan administrator. Ketidakpercayaan diantara pelaksana dan pejabat administrator akan menimbulkan masalah baru di samping masalah pelaksanaan kurikulum baru yang harus segera dan tetap berjalan. Dalam suasana pelaksanaan kurikulum yang baru sangat mungkin ditemui hal-hal yang tidak terduga dan diluar skenario pelaksanaan, untuk itu sangat mungkin diperlukan keputusan yang cepat walaupun beresiko. Keputusan diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program yang baru yang memerlukan dukungan suasana maupun hubungan kerja yang sehat. Tugas Guru dalam Implementasi Kurikulum 2013 Tanpa diragukan lagi, orang yang paling penting dalam proses pelaksanaan kurikulum adalah guru. Dengan pengetahuan, pengalaman dan kompetensi, guru adalah pusat untuk upaya perbaikan kurikulum. Terlepas dari keyakinan filosofis sistem pendidikan yang mendasarinya, tidak dapat disangkal bahwa guru mempengaruhi belajar siswa. Ada hubungan yang sangat signifikan pengalaman dan kemampuan guru dalam pembelajaran pada proses belajar siswa. Dengan demikian guru yang baik mendorong pembelajaran yang lebih baik. Dalam hubungan dengan implementasi kurikulum maka guru yang paling berpengalaman tentang praktek mengajar
130
menggunakan kurikulum yang berbeda-beda layak bertanggung jawab untuk memperkenalkan kurikulum di kelas. Kunci untuk mendapatkan guru berkomitmen untuk inovasi adalah untuk meningkatkan pengetahuan para guru tentang program ini. Ini berarti guru perlu dilatih dan mengikuti workshop yang harus diselenggarakan untuk pengembangan profesional. Sayangnya, dalam proses implementasi kurikulum tidak semua guru akan mendapatkan manfaat dari eksposur tersebut. Ada terlalu banyak guru dan tidak punya dana yang cukup untuk pergi mengikuti kegiatankegiatan tersebut. Pendekatan yang paling umum yang dipilih adalah menyelenggarakan workshop satu hari yang diberikan oleh para ahli dengan metode ceramah menjadi strategi pedagogis dominan. Oleh karena itu, pengembangan profesional guru adalah sebagai faktor penting yang berkontribusi bagi keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Sehubungan dengan kurikulum 2013, perubahan peran apakah yang harus dilakukan guru untuk ikut melaksanakan perubahan kurikulum ini? Secara umum terdapat beberapa pergeseran peran guru dalam pelaksanaan Kurikulum 2013. Perubahan peran tersebut terjadi karena perbedaan asumsi dan teori yang dipergunakan dalam memahami dan memperlakukan peserta didik, serta memahami makna dan proses pendidikan. Peserta didik yang sebelumnya belum diperlakukan sebagai pusat pembelajaran secara mutlak dalm kurikulum 2013 siswa mengambil peran yang lebih besar karena tugas siswa adalah belajar, sehingga tugas uatama guru adalah membelajarkan. Pergeseran tersebut dapat dipahami dengan membandingkan antara kondisi peran guru dalam kurikulum sebelumnya dengan peran guru yang harus dilakukan dalam kurikulum 2013. Dalam kurikulum sebelumnya (KTSP) guru berperan sebagai instruktur. Implikasinya adalah maka guru bertindak sebagai 1) penyampai pengetahuan, sumber utama informasi, ahli materi, sumber segala jawaban. 2) mengendalikan dan mengarahkan semua aspek pembelajaran; 3) dengan tugas utama “mengajar” (teaching). Sedangkan dalam kurikulum 2013 guru bertindak sebagai fasilitator: Dengan peran sebagai fasilitator maka guru bertindak 1) Sebagai Fasilitator Pembelajaran, Pelatih, Kolaborator, Navigator Pengetahuan, Mitra belajar,
Pembimbing/Konselor; 2) Memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam proses pembelajaran; 3) tugas utama guru adalah “membelajarkan” (learning how to learn). Memahami pergeseran peran guru yang harus dilakukan ini berarti merubah sikap dan kebiasaan guru yang sudah mendarah daging harus diubah mulai dari persepsi tentang tugas guru dan tindakan yang harus dilakukannya. PENUTUP Tidak diragukan lagi bahwa guru adalah ujung tombak pelaksanaan kurikulum 2013. Namun tanpa peningkatan kemampuan profesionalitasnya dipastikan banyak guru tidak mampu mengikuti tuntutan perkembangan tersebut. Dua hal berikut disarankan dalam kegiatan pengembangan profesionalitas guru.
Pertama, terkait landasan filosofi; hal ini penting bagi guru untuk memahami latar belakang filosofi di balik program, manfaat, serta bagaimana program baru dapat mempengaruhi siswa, orang tua, administrator dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan kata lainpemahaman tentang latar belakang dan kebermanfaatan bagi guru menjadi kunci implementasi kurikulum. Kedua, isi (Content): Para guru mungkin akan menemukan isi kurikulum yang masih asing (belum terbiasa), karena mereka belum pernah diajarkan sebelumnya, atau sudah familiar tetapi disajikan dengan cara yang berbeda. Misalnya, penggunaan pendekatan pemecahan masalah (probem solving)
daripada pendekatan topikal (topic). Untuk mengatasi hal ini maka diperlukan sosialisasi kepada guru tentang jenis dan bentuk konten kurikulum yang baru sehingga guru akan merasa lebih familiar. DAFTAR PUSTAKA Cheung, ACK. and Wong, PM. (2012). Factors affecting the implementation of curriculum reform in Hong Kong. International Journal of Educational Management. Vol. 26 No. 1, 2012. pp. 39-54. Fullan, M. (2001). The New Meaning of Educational Change. Third edition. London: RoutledgeFalmer.
131
Fullan, M. and Pomfret, A. (1977) Research on curriculum and instruction implementation. Review of Educational Research, 47(1), 335-397. Jones, R., Higgs, R., de Angelis, C., Prideaux, D. (2001). Changing face of medical curricula. The Lancet; Mar 3, 2001; 357, pages. 699-703. Ornstein, A. and Hunkins, F. (1998). Curriculum: Foundations, principle and issues. Boston: Allyn & Bacon.
Roehrig, G. H and Kruse, R. A. (2005). The Role of Teachers' Beliefs and Knowledge in the Adoption of a Reform-Based Curriculum. School Science and Mathematics; December 2005; 105, 8; page. 412-422. Sarason, SB. (1990). The predictable failure of educational reform : can we change course before it's too late? San Francisco: Jossey-Bass.
.
132
ANALISIS KONTRIBUSI KTSP & KURIKULUM 2013 DI SD DALAM PENDIDIKAN MITIGASI BENCANA GUNUNG API Pujianto1, Prabowo2, Wasis3 1 UNY, 2,3 PPs Unesa Surabaya
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Makalah ini berusaha mengkaji substansi KTSP dan Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar (SD) dalam tinjauan pendidikan mitigasi bencana gunung api. Analisis ini dimaksudkan entuk mendapatkan gambaran sejauh mana pendidikan dasar mempersiapkan peserta didik untuk memahami karakteristik gunung api, potensi dan resiko bencana erupsi gunung api yang kemungkinan ditimbulkannya. Peserta didik di SD memegang peranan penting dalam upaya pendidikan mitigasi bencana sebab pengetahuan mengenai dampak dan resiko tinggal di sekitar gunung api harus diberikan sejak dini. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang manfaat dan resiko tinggal di sekitar gunung api sangat membantu upaya menumbuhkan sikap kesiapsiagaan bencana erupsi gunung api. UNESCO/UNICEF (2012) telah menyusun lima dimensi dalam upaya mereduksi bahaya bencana alam. Salah satu dimensi tersebut adalah pemahaman ilmiah dan mekanisme terjadinya bencana alam. Hasil analisis dan kajian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam peninjauan kembali muatan materi resiko bencana dalam pengembangan kurikulum di masa mendatang maupun upaya penyusunan muatan lokal bagipembelajaran di jenjang SD. Pentingnya pemetaan substansi materi ini dilatarbelakangi oleh kondisi geografis Indonesia yang sangat rentan terhadap terjadinya bencana alam khususnya bencana geologi. Analisis dilakukan terhadap Kurikulum 2013 untuk jenjang Sekolah Dasar (SD). Kata kunci: mitigasi, gunung api, kurikulum
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang terkaya di dunia dalam jumlah gunung api aktif yang dimilikinya. Kondisi demikian ini membawa konsekuensi atau dampak positif maupun negatif bagi masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di sekitar gunung api. Dampak positifnya adalah potensi sumber daya alam (tanah subur, pemandangan indah, banyak kandungan mineral logam, non logam dan migas) yang diakibatkan keberadaan gunung api dan dampak negatifnya adalah bahaya atau rawan bencana geologi seperti gempa bumi, letusan gunung api, dan tanah longsor. Gunung api di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam tipe letusan dan dampak yang ditimbulkannya. Beberapa gunung api yang akhir-akhir ini aktif yaitu gunung Sinabung dan gunung Kelud yang mengalami erupsi bulan Februari 2014. Adanya peningkatan jumlah korban di setiap peristiwa erupsi gunung api lebih banyak diakibatkan oleh lemahnya sistem siaga bencana dan pemahaman yang masih rendah tentang resiko bencana erupsi gunung api pada masyarakat di sekitarnya. Indonesia merupakan negara ke-5 yang memiliki jumlah penduduk terbesar di
dunia namun jumlah tersebut belum diimbangi dengan besarnya jumlah penduduk yang siap siaga bencana alam (Deny Hidayati, 2012). Keadaan ini diperparah oleh adanya budaya lokal atau mitos yang lebih dipercayai masyarakat dibandingkan pengetahuan ilmiah yang disosialisasikan oleh pihak terkait. Situasi ini jelas kurang menguntungkan bagi sistem mitigasi bencana dan upaya menanamkan sikap kesiapsiagaan bencana gunung api. Hal ini mendasari diperlukannya integrasi antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan budaya lokal dalam mengurangi resiko bencana alam ( D. Cadag, J. & Gaillard, JC., 2012). Pemerintah telah berupaya melakukan beberapa usaha untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana gunung api khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah terdampak erupsi gunung api. Sosialisasi, simulasi, pembentukan Taruna Siaga Bencana (Tagana), pembuatan kebijakan mengenai peta kawasan rawan bencana erupsi gunung api dan masih banyak pendekatan lainnya yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan maupun pemahaman masyarakat terhadap potensi serta resiko bencana erupsi gunung api. Namun demikian, beberapa cara ini
133
belum efektif dalam menanamkan sikap kesiapsiagaan terhadap bencana erupsi gunung api. Salah satu cara untuk menanamkan sikap kesiapsiagaan bencana adalah melalui jalur pendidikan yang dapat dimulai sejak dini di jenjang Sekolah Dasar (SD). Materi kegunungapian atau pengetahuan bumi antariksa dapat disisipkan pada mata pelajaran yang sesuai sehingga peserta didik diperkenalkan karakteristik gunung api dan tanda-tanda erupsi gunung api sejak mereka menempuh pendidikan dasar di SD. Pemahaman dan pengetahuan mengenai kegunungapian dan resiko bencana erupsi yang ditimbulkannya akan selalu ditambah substansi muatannya di jenjang pendidikan berikutnya. Pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia salah satunya dilakukan dengan cara melakukan pengembangan kurikulum. Penyempurnaan kurikulum dimaksudkan agar sistem pendidikan selalu mengikuti perkembangan kemajuan teknologi maupun kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya melalui pemecahan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun 2013 telah disusun dan dikembangkan Kurikulum 2013 untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK. Salah satu ciri khas Kurikulum 2013 yaitu digunakannya pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini sesuai untuk menanamkan pengetahuan, pemahaman dan sikap ilmiah bagi peserta didik. Penggunaan pendekatan saintifik ini juga sesuai untuk menanamkan karakter dan sikap siaga bencana khususnya bencana gunung api. Namun demikian diperlukan analisis mendalam mengenai substansi materi ajar yang tertuang dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Kurikulum 2013 terkait dengan pemahaman peserta didik terhadap wawasan kegunungapian. Oleh karena itu berikut ini akan dikaji substansi materi ajar dalam Kurikulum 2013 khususnya di SD terkait dengan materi kegunungapian (bumi antariksa) dan karakter siaga bencana. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Proporsi Materi Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) di SD Sebelum pemerintah menyusun Kurikulum 2013 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, telah disusun dan
diterapkan KTSP di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK. Pemahaman peserta didik mengenai materi kegunungapian disajikan dalam materi ajar IPBA yang diintegrasikan dalam mata pelajaran IPA pada KTSP di SD. Materi kegunungapian dan IPBA termasuk dalam rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Keseluruhan keterampilan yang harus dikuasai peserta didik tertuang dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI dan SMP/MTs merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Substansi IPBA untuk SD terintegrasi dalam mata pelajaran IPA dengan porsi 23,53 % dari jumlah keseluruhan materi IPA yang diberikan, untuk SMP diberikan pada mata pelajaran IPA dan IPS dengan porsi IPA 6,94% dan IPS 5,26%, untuk SMA diberikan pada mata pelajaran fisika dan geografi dengan porsi fisika 2,70% dan geografi 55,56% dari keseluruhan materi dikelas X atau 19,23% untuk program IPS (Pujianto, 2011). Substansi materi IPBA pada jenjang pendidikan dasar diberikan dalam matapelajaran IPA dan IPS. Adapun secara lebih rinci dapat dilihat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar pada silabus matapelajaran yang diberikan di sekolah.
134
Tabel 1. Sebaran Materi IPBA dalam Mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar Standar Kompetensi Bumi dan Alam Semesta 5. Mengenal berbagai benda langit dan peristiwa alam (cuaca dan musim) serta pengaruhnya terhadap kegiatan manusia.
Bumi dan Alam Semesta 4. Memahami peristiwa alam dan pengaruh matahari dalam kehidupan sehari-hari
Bumi dan Alam Semesta 6. Memahami kenampakan permukaan bumi, cuaca dan pengaruhnya bagi manusia, serta hubungannya dengan cara manusia memelihara dan melestarikan alam
Kompetensi Dasar 5.1 Mengenal berbagai benda langit melalui pengamatan
Jenjang Pendidikan dan Kelas SD kelas I semester 2
5.2 Mengenal keadaan cuaca di sekitar kita 5.3 Membedakan pengaruh musim kemarau dengan musim hujan terhadap kegiatan manusia 4.1 Mengidentifikasi kenampakan matahari pada pagi, siang dan sore hari
SD kelas II semester 2
4.2 Mendeskripsikan kegunaan panas dan cahaya matahari dalam kehidupan sehari-hari 6.1 Mendeskripsikan kenampakan permukaan bumi di lingkungan sekitar
SD
kelas
semester 2
6.2 Menjelaskan hubungan antara keadaan awan dan cuaca 6.3 Mendeskripsikan pengaruh cuaca bagi kegiatan manusia 6.4 Mengidentifikasi cara manusia dalam memelihara dan melestarikan alam di lingkungan sekitar
Bumi dan Alam Semesta 9. Memahami perubahan kenampakan permukaan bumi dan benda langit 10. Memahami perubahan lingkungan fisik dan pengaruhnya terhadap daratan
9.1 Mendeskripsikan perubahan kenampakan bumi
SD kelas IV semester 2
9.2 Mendeskripsikan posisi bulan dan kenampakan bumi dari hari ke hari 10.1 Mendeskripsikan berbagai penyebab perubahan lingkungan fisik (angin, hujan, cahaya matahari, dan gelombang air laut)
SD kelas IV semester 2
10.2 Menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan fisik terhadap daratan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor) 10.3 Mendeskripsikan cara pencegahan kerusakan lingkungan (erosi, abrasi, banjir, dan longsor) 11. Memahami hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat
11.1 Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan 11.2 Menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dengan teknologi yang digunakan 11.3 Menjelaskan dampak pengambilan bahan alam terhadap pelestarian lingkungan
SD kelas IV semester 2
III
135
Standar Kompetensi Bumi dan Alam Semesta 7. Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan sumber daya alam
Kompetensi Dasar 7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan
Jenjang Pendidikan dan Kelas SD kelas V semester 2
7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah 7.3 Mendeskripsikan struktur bumi 7.4 Mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya 7.5 Mendeskripsikan perlunya penghematan air 7.6 Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan 7.7 Mengidentifikasi beberapa kegiatan manusia yang dapat mengubah permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb)
Bumi dan Alam Semesta 9. Memahami matahari sebagai pusat tata surya dan interaksi bumi dalam tata surya
9.1 Mendeskripsikan sistem tata surya dan posisi penyusun tata surya
SD kelas VI semester 2
9.2 Mendeskripsikan peristiwa rotasi bumi, revolusi bumi dan revolusi bulan 9.3 Menjelaskan terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari 9.4 Menjelaskan perhitungan kalender Masehi dan kalender Hijriah
Tabel 2. Sebaran Materi IPBA dalam Mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar Standar Kompetensi 1. Memahami lingkungan dan melaksanakan kerjasama di sekitar rumah dan sekolah
Kompetensi Dasar 1.1 Menceritakan lingkungan alam dan buatan di sekitar rumah dan sekolah 1.2 Memelihara lingkungan alam dan buatan di sekitar rumah
Jenjang Pendidikan dan Kelas SD kelas III semester 1
1.3 Membuat denah dan peta lingkungan rumah dan sekolah 1.4 Melakukan kerjasama di lingkungan rumah, sekolah, dan kelurahan/desa 1.
Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi
1.1 Membaca peta lingkungan setempat (kabupaten/kota, provinsi) dengan menggunakan skala sederhana 1.3 Menunjukkan jenis dan persebaran sumber daya alam serta pemanfaatannya untuk kegiatan ekonomi di lingkungan setempat
SD kelas IV semester 1
136
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1. Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Budha dan Islam, keragaman kenampakan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia
1.3. Mengenal keragaman kenampakan alam dan buatan serta pembagian wilayah waktu di Indonesia dengan menggunakan peta/atlas/globe dan media lainnya
2. Memahami gejala alam yang terjadi di Indonesia dan sekitarnya
2.1 Mendeskripsikan gejala (peristiwa) alam yang terjadi di Indonesia dan negara tetangga
Jenjang Pendidikan dan Kelas SD kelas V semester 1
SD kelas VI semester 2
2.2 Mengenal cara-cara menghadapi bencana alam
Substansi pengetahuan bumi dan antariksa dalam KTSP sangat membantu proses sosialisasi pemahaman fenomena alam dan mitigasi bencana dalam rangka mengurangi resiko akibat bencana sejak dini. Masyarakat yang memahami gejala alam dan tanda-tanda fenomena alam dengan baik akan memiliki pola pikir bahwa suatu proses gejala alam dapat diidentifikasi berdasarkan indikator-indikator yang ditunjukkannya. Pola pikir yang demikian akan mengurangi rasa panik ketika peristiwa alam atau bencana alam terjadi di suatu wilayah. Kurikulum 2013 di SD dan Sebaran Kompetensinya yang Mendukung Sikap Siaga Bencana Kurikulum 2013 tidak mengenal istilah Standar Kompetensi (SK) seperti dalam KTSP. Kompetensi yang diperkenalkan dalam Kurikulum 2013 yaitu Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Mata Pelajaran yang diselenggarakan di jenjang SD tidak sebanyak mata pelajaran dalam KTSP. Namun sajiannya dalam format tematik integratif dengan harapan pengetahuan peserta didik lebih luas dan melingkupi beberapa mata pelajaran lainnya. Penyederhanaan mata pelajaran ini disajikan dalam format tematik dan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach). Mata pelajaran IPA mulai disajikan di kelas tinggi untuk jenjang SD, dan disajikan secara tematik untuk kelas rendah. Beberapa mata pelajaran yang diselenggarakan di jenjang SD dalam Kurikulum 2013 yaitu: matematika, IPA, IPS, PJOK, PPKn, dan SBdP. Berikut diuraikan beberapa kompetensi dasar yang dimungkinkan dapat digunakan dalam pembiasaan sikap siaga bencana dalam rangka
penanaman karakter tanggap bencana gunung api: a. Mata Pelajaran IPA : 1) Kompetensi Dasar 1.1 Bertambah keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam jagad raya terhadap kebesaran Tuhan yang menciptakannya serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya. 2) Kompetensi Dasar 2.1 Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu, obyektif, jujur, teliti, cermat, tekun, hatihati, bertanggung jawab, terbuka, dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukan inkuiri ilmiah dan berdiskusi. 3) Kompetensi Dasar 3.7 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat. 4) Kompetensi Dasar 4.6 Menyajikan laporan tentang sumber daya alam dan pemanfaatannya oleh masyarakat. b. Mata Pelajaran SBdP : 1) Kompetensi dasar 1.1 Mengagumi ciri khas keindahan karya seni dan karya kreatif masing-masing daerah sebagai anugrah tuhan. 2) Kompetensi Dasar 2.3 Menunjukkan perilaku mengenal sikap disiplin, tanggung jawab dan kepedulian terhadap alam sekitar melalui berkarya seni. 3) Kompetensi Dasar 3.2 Mengenal gambar alam benda dan kolase 4) Kompetensi Dasar 4.2 membuat karya seni kolase dengan berbagai bahan
137
5) Kompetensi Dasar 4.7 Menyajikan solmisasi lagu wajib dan lagu daerah yang harus dikenal. c. Mata Pelajaran PPKn : 1) Kompetensi Dasar 1.1 Menghargai kebhinnekatunggalika-an dan keragaman agama, suku bangsa, pakaian tradisional, bahasa, rumah adat, makanan khas, upacara adat, sosial, dan ekonomidi lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat sekitar 2) Kompetensi Dasar 2.3 Menunjukkan perilaku sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga dalam kehidupan sehari-hari di rumah, sekolah, dan masyarakat sekitar. 3) Kompetensi dasar 3.2 Memahami hak dan kewajiban sebagai warga dalam kehidupan sehari-hari di rumah, sekolah dan masyarakat. 4) Kompetensi Dasar 4.1 Mengamati dan menceritakan perilaku di sekitar rumah dan sekolah dari sudut pandang kelima simbol pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh. d. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia 1) Kompetensi Dasar 1.2 Mengakui dan mensyukuri anugerah Tuhan yang Maha Esa atas keberadaan lingkungan dan sumber daya alam, alat teknologi modern dan tradisional, perkembangan teknologi, sosialserta permasalahan sosial. 2) Kompetensi Dasar 2.4 Memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan sumber daya alam melalui pemanfaatan bahasa indonesia e. Mata pelajaran PJOK 1) Kompetensi Dasar 1.2 Tumbuhnya kesadaran bahwa tubuh harus dipelihara dan dibina, sebagai wujud syukur kepada sang Pencipta 2) Menunjukkan disiplin, kerja sama, toleransi, belajar menerima kekalahan
dan kemenangan, sportif dan tanggungjawab, menghargai perbedaan f. Mata Pelajaran Matematika Kompetensi Dasar 2.1 Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti prosedur dalam melakukan operasi hitung campuran g. Mata Pelajaran IPS 1) Kompetensi Dasar 1.3 Menerima karunia Tuhan YME yang telah menciptakan manusia dan lingkungannya 2) Kompetensi Dasar 2.3 Menunjukkan perilaku santun, toleran dan peduli dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan dan teman sebaya Keseluruhan KD pada beberapa mata pelajaran di atas dapat disajikan dalam tema tertentu. Salah satunya tema ‘Ayo Cintai Lingkungan’ . DISKUSI DAN PEMBAHASAN Erupsi gunung Merapi pada tahun 2006 dan tahun 2010, erupsi gunung Sinabung dan Kelud tahun 2014 merupakan contoh yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan perlunya upaya sosialisasi pemahaman bencana dan resiko yang ditimbulkannya. Timbulnya korban di erupsi gunung sinabung yang sebagian korbannya adalah peserta didik SMA menunjukkan bahwa pemahamannya terhadap resiko bahaya erupsi gunung api masih rendah dan informasi dari pihak-pihak terkait belum mampu diterimanya sebagai suatu informasi ilmiah yang sangat penting. Diakui ataupun tidak, salah satu faktor yang menyebabkan besarnya jumlah korban jiwa ini adalah lemahnya pemahaman masyarakat tentang resiko gunungapi. Informasi yang diberikan oleh pihak terkait (dalam hal ini BPPTK) masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang diperhatikan dibandingkan dengan kepercayaan atau budaya setempat yang telah dipercayainya selama bertahun-tahun.
138
Gambar 1. Peta tataan tektonik Indonesia Sumber: PVMBG dalam Surono (2011) Informasi merupakan salah satu aspek terpenting dalam sistem kesiapsiagaan bencana ( Nishi, Y. & Yamamoto, H., 2012). Salah satu contohnya adalah ketika terjadi gempa Bantul di Yogyakarta tahun 2006 berkembang informasi bahwa gempa tersebut disebabkan oleh erupsi Merapi. Informasi yang salah tersebut mengakibatkan timbulnya kegelisahan masyarakat sekitar Merapi yang akhirnya mencoba mengungsi ke daerah perkotaan dan bergabung dengan pengungsi dari daerah Bantul sehingga timbul kemacetan yang luar biasa di kota Yogyakarta. Kondisi demikian ini menunjukkan pentingnya kerangka kerja yang jelas untuk mengintegrasikan pengetahuan budaya lokal dan pengetahuan ilmiah dalam mengurangi resiko bencana alam (Jessica Mercer et al., 2010). Pendidikan mitigasi bencana atau kesiapsiagaan bencana didefinisikan sebagai perilaku pencegahan yang dilakukan oleh suatu individu. Pendidikan mitigasi merupakan mediasi antara kesiapsiagaan dan kegelisahan masyarakat terhadap suatu bencana alam (Mishra, S. & Suar, D., 2011). Education for Sustainable Development (EFSD) merupakan dasar pijakan dalam kerangka pendidikan mitigasi bencana. Ada lima prioritas/lima dimensi aksi penyelamatan bencana yaitu: a. Dimensi-1 : Pemahaman sains dan mekanisme terjadinya bencana alam. b. Dimensi-2 : Pembelajaran dan praktik tindakan prosedur penyelamatan. c. Dimensi-3 : Pemahaman resiko bencana dan jenis bahaya yang dapat menjadi sumber bencana alam d. Dimensi-4 : Pembentukan komunitas peduli terhadap pengurangan resiko bencana
e. Dimensi-5 : Pembentukan budaya institusi untuk pencegahan dan penyelamatan bencana alam (UNICEF & UNESCO, 2012) Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai resiko bencana gunung api akan mempersulit pemerintah dalam upaya sosialisasi pendidikan mitigasi bencana. Apalagi kondisi ini belum didukung oleh materi ajar tentang resiko bencana yang diberikan di sekolah yang pernah ditempuh masyarakat selama menempuh pembelajaran di sekolah. Pengetahuan terhadap bahaya dan dampak bencana merupakan salah satu parameter untuk mengukur kesiapsiagaan masyarakat terhadap timbulnya bencana. Komunitas sekolah merupakan stakeholder yang berhubungan erat dengan kesiapsiagaan bencana (Deny Hidayati, 2012). Negara seperti Indonesia yang memiliki kerawanan bencana sangat tinggi, kesiapsiagaan terhadap bencana belum ditempatkan sebagai subyek pembelajaran penting di sekolahsekolah. Meskipun beberapa program terkait dengan pendidikan kesiapsiagaan bencana sudah dilakukan oleh lembaga pendidikan, organisasi non pemerintah, dan badan-badan PBB, namun program-program itu tidak berkelanjutan. Padahal pengurangan resiko bencana melalui penciptaan ketahanan sekolah terhadap bencana harus dilakukan secara terusmenerus. Agar kegiatan pengurangan risiko bencana di sekolah-sekolah bisa berjalan secara berkesinambungan, maka perlu dukungan pemerintah (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) dan para pemangku kepentingan lainnya di bidang penanganan bencana. Pemerintah Indonesia telah melakukan
139
kerjasama dengan Jepang dalam bentuk sosialisasi pendidikan mitigasi bencana dan pengembangan program pendidikan yang melibatkan guru dan pemerintah daerah (Satake, K. & Hery Harjono, 2012). Upaya menambahkan muatan pengurangan resiko bencana ke dalam kurikulum merupakan sarana potensial untuk memahami pengurangan resiko bencana secara tidak langsung. Ilustrasiilustrasi fenomena bencana alam dapat diwujudkan dalam bentuk simulasi atau animasi yang disisipkan dalam mata pelajaran yang sesuai. Hasil sebaran angket ke sejumlah siswa sekolah dasar, sekolah mengah pertama dan sekolah menengah atas menunjukkan bahwa penggunaan simulasi evakuasi bencana alam lebih memudahkan siswa dalam memahami mitigasi bencana (Goto, Y. Et al., 2012). Oleh karena pengurangan risiko bencana didasarkan pada suatu strategi pengkajian kerentanan dan risiko yang terus menerus dilakukan, maka banyak aktor yang perlu dilibatkan, yang berasal dari pemerintah, insitusi teknis dan pendidikan, dari profesiprofesi, kepentingan dunia usaha, dan komunitas lokal. Aktivitas-aktivitas mereka akan perlu dipadukan ke dalam strategi-strategi perencanaan dan pembangunan yang memungkinkan sekaligus mendorong pertukaran informasi secara luas. Hubungan multi-disipliner yang baru merupakan hal yang sangat mendasar agar pengurangan risiko bencana bisa menyeluruh dan berkelanjutan. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis porsi materi kegunungapian atau IPBA dalam Kurikulum 2013 di SD menunjukkan bahwa jumlah porsi materi kegunungapian (IPBA) masih sangat relatif kecil. Peran Kelompok Kerja Guru (KKG) di SD untuk menyusun tematik terkait pendidikan nitigasi bencana erupsi gunung api sangat diperlukan agar dapat disusun muatan lokal sebagai komponen pelengkap pelaksanaan Kurikulum 2013 di SD. Pemerintah (dalam hal ini Dinas Kependidikan) khususnya untuk daerah di sekitar gunung api diharapkan mampu lebih pro aktif dalam membuat kebijakan terkait pendidikan mitigasi bencana erupsi gunung api dan sosialisasinya dalam bentuk muatan lokal. DAFTAR PUSTAKA
D.
Cadag, J. & Gaillard, JC., (2012). Integrating Knowledge and Actions in Disaster Risk Reduction: The
Contribution of Participatory Mapping. AREA. Royal Geographical Society Vol. 44 No. 1, pp. 100-109, 2012. Deny Hidayati. (2012). Striving to Reduce Disaster Risk: Vulnerable Communities with Low Levels of Preparedness in Indonesia. Journal of Disaster Research Vol. 7 No. 1, 2012 Goto, Y. Et al. (2012). Tsunami Evacuation Simulation for Disaster Education and City Planning. Journal of Disater research Vo. 7 No. 1, 2012 Jessica Mercer et al. (2010). Framework for Integrating Indigenous and Scientific Knowledge for Disaster Risk reduction. Journal Compilation, Disaters 2010, (34) (1): 214-239 Mishra, S. & Suar, D. (2011). Effects of Anxiety, Disaster Education, and Resources on Disaster Preparedness Behavior. Journal of Applied Social Psychology, 2011. Nishi, Y. & Yamamoto, H. (2012). Social Flux and Disaster management: An Essay on The Construction of an Indonesian Model for Disaster Management and Reconstruction. Journal of Disaster Research Vol. 7 No. 1, 2012 Pujianto. (2011). Analisis Proporsi Materi IPBA Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sebagai Dasar Pengembangan dan Pemahaman Materi Siaga Bencana di Sekolah. Prosiding, Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan MIPA yang diselenggarakan oleh FMIPA UNY, 2011. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Satake, K. & Hery Harjono. (2012). MultiDisciplinary Hazard Reduction from Earthquakes and Volcanoes in Indonesia. Journal of Disaster Research Vol. 7 No. 1, 2012 Surono, (2010). Peran PVMBG dalam Mitigasi Bencana Geologi di Indonesia. Makalah Sambutan ketua PVMBG disampaikan dalam Kolokium Hasil Penelitian di PVMBG Bandung 2011 UNICEF & UNESCO. (2012). Towards a Learning Culture of Safety and Relience: Technical Guidance for Integrating Disaster Risk Reduction in The School Curriculum Pilot Version. Paris: UNICEF & UNESCO Publisher
140
IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR BRUNER SEBAGAI PENDUKUNG PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAHASISWA S-1 PGSD TENTANG KONSEP OPERASI BILANGAN Sebuah Pendekatan Pelaksanaan Kurikulum 2013 Rahayu Condro Murti
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa S-1 PGSD tentang konsep Operasi Bilangan pada mata kuliah Matematika SD 2 melalui implementasi teori belajar Bruner sebagai pendukung pembelajaran matematika realistik. Jenis Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan menggunakan model Kemmis dan Mc. Taggart. Subyek penelitian adalah mahasiswa S1 PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta semester II tahun akademik 2012/2013 tepatnya kelas 2A sebanyak 43 orang dan dilaksanakan dalam waktu ± 5 bulan. Teknik analisa data adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian yang dilaksanakan dalam dua siklus ini adalah Implementasi teori belajar Bruner sebagai pendukung pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa S-1 PGSD tentang konsep operasi bilangan pada mata kuliah Matematika SD 2. Hal ini terbukti dari hasil belajar mahasiswa yang meningkat pada tiap siklusnya, yaitu dari rata-rata 36,46 pada pre test menjadi 76,13 pada akhir siklus I dan 93,02 pada akhir siklus II serta peningkatan persentase mahasiswa yang tuntas dalam pembelajarannya, yaitu dari 42% mahasiswa pada akhir siklus I menjadi 96% pada akhir siklus II. Implementasi teori belajar Bruner ini memperhatikan ukuran dan banyaknya benda konkret yang dijadikan alat peraga sehingga setiap mahasiswa dapat melihat dengan jelas saat dosen mendemonstrasikan dan mahasiswa dapat mempraktikkannya sendiri. Hal ini tentunya sejalan dengan pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan kurikulum 2013 dimana siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. kata kunci: teori belajar bruner, pembelajaran matematika realistik, konsep operasi bilangan, kurikulum 2013
PENDAHULUAN Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia saat ini (menjadi kurikulum 2013) membutuhkan kesiapan semua pihak yang terkait, salah satunya adalah guru. Guru sebagai pelaksana pembelajaran di kelas tidak hanya dilihat dari kesiapan dalam menerapkan pendekatan saintifiknya saja, tetapi juga penting baginya untuk menguasai materi pelajaran. Namun, fenomena kurangnya penguasaan guru dalam materi terkait dengan konsep operasi bilangan terutama pada bilangan bulat dan pecahan, tampak pada saat peneliti memberikan pelatihan pada PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) SD dalam lima tahun terakhir (2008-2012). Hampir seluruh peserta pelatihan tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan dasar tentang operasi bilangan seperti “mengapa penjumlahan dua pecahan, harus menyamakan dulu penyebut?”, lalu “mengapa yang dijumlahkan hanya pembilang sedang
penyebutnya dituliskan tetap?”, “bagaimana dengan operasi perkalian dan pembagian pada pecahan?”. Kejadian ini memicu peneliti yang merupakan dosen matematika SD untuk dapat mempersiapkan calon guru yang memenuhi kriteria guru profesional yang salah satu kompetensinya adalah menguasai materi keSDan. Pada kenyataannya, berdasarkan pengalaman dosen dalam menguji skripsi beberapa mahasiswa yang terkait konsep operasi bilangan, masih ada kesalahan tentang konsep yang dipahami mahasiswa tersebut. Padahal seharusnya mahasiswa tersebut telah menguasai materi yang ditelitinya karena mereka telah melalui beberapa mata kuliah yang membahas tentang konsep operasi bilangan. Kenyataan yang lain yang mendukung perlunya mengadakan pembaharuan dalam pembelajaran teori bilangan di kampus adalah mahasiswa yang
141
telah mengambil mata kuliah “Teori Bilangan” di SD tidak dapat menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan pretes lisan terkait pembelajaran konsep operasi bilangan yang dilakukan dosen pada pertemuan awal perkuliahan. Pretes lisan ini penting untuk dilaksanakan terskait penyesuaian materi yang akan dipelajari selama satu semester ke depan. Mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Teori Bilangan saja tidak bisa, bagaimana dengan mahasiswa yang memang belum mengambil mata kuliah tersebut. Berdasarkan perubahan kurikulum S1 PGSD FIP UNY tahun 2011, mata kuliah Teori Bilangan diganti namanya dengan “Matematika SD 2” agar lebih memperlihatkan matematika ke-SD-annya. Mata kuliah dengan nama baru ini berisi teori bilangan dan pembelajarannya di SD ditempuh mahasiswa S1 PGSD pada semester II. Pengalaman peneliti sebagai dosen matematika di semester I tahun akademik 2012/2013 memperlihatkan para mahasiswa memang belum menguasai konsep operasi bilangan, walaupun mereka termasuk mahasiswa yang pintar-pintar karena telah dapat mengalahkan pesaingnya untuk menjadi mahasiswa S1 PGSD FIP UNY, yaitu dengan perbandingan 1:20. Jadi merupakan langkah yang bijak apabila dosen pengampu pada mata kuliah “Matematika SD 2” benar-benar mempersiapkan perkuliahannya dengan sebaikbaiknya agar mahasiswa ini dapat memahami konsep operasi bilangan dengan baik pula. Latar belakang inilah yang memicu dosen untuk segera mengambil langkah nyata dalam memperbaiki keadaan tersebut. Pembelajaran yang mampu membuat mahasiswa dapat memahami konsep operasi bilangan dengan baik. Pembelajaran matematika realistik (PMR) merupakan pembelajaran matematika yang memperhatikan kebermaknaan dalam belajar. Selain karena selalu mengaitkan matematika dengan dunia nyata, PMR juga memperhatikan alat peraga yang digunakan. Salah satu teori belajar matematika ke-SD-an yang mendukung adanya alat peraga dalam pembelajaran matematika adalah teori belajar Bruner. Bruner memberikan tahap-tahap pembelajaran matematika di kelas rendah dan kelas tinggi dengan seksama. Oleh karena itu teori belajar Bruner mendukung pembelajaran matematika realistik. Dengan kata lain teori belajar Bruner yang mendukung PMR tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
mahasiswa S-1 PGSD tentang konsep operasi bilangan. Penelitian ini dipusatkan pada masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan pokok, yaitu:“Bagaimanakah implementasi teori belajar Bruner sebagai pendukung pembelajaran matematika realistik yang dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa S-1 pgsd tentang konsep operasi bilangan pada mata kuliah matematika SD 2 ?” Penelitian ini bertujuan untuk untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa S-1 PGSD tentang konsep Operasi Bilangan pada mata kuliah Matematika SD 2 melalui implementasi teori belajar Bruner sebagai pendukung pembelajaran matematika realistik. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah (1) meningkatkan pemahaman mahasiswa S-1 PGSD tentang konsep Operasi Bilangan pada mata kuliah Matematika SD 2, (2) menambah wawasan peneliti tentang bagaimana cara meningkatkan kebermaknaan dalam belajar matematika dengan menggunakan matematika realistik yang didukung dengan teori belajar Bruner. METODE PENELITIAN Jenis dan Model Penelitian Jenis penelitian yang akan dilaksanakan adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Pelaksanakaan penelitian ini dengan menggunakan model yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc. Taggart (1990), melalui tahapan berikut ini: Siklus I: 1. Perencanaan I 2. Tindakan dan Observasi I 3. Refleksi I Siklus II: 4. Revisi Rencana I dan Perencanaan II 5. Tindakan dan Observasi II 6. Refleksi II dan seterusnya. seperti pada bagan berikut:
Gambar 1.
142
Subyek dan Obyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah mahasiswa PGSD semester II tahun akademik 2012/2013, dengan menentukan salah satu kelas dan dilaksanakan dalam waktu ± 5 bulan. Sedangkan obyek penelitiannya adalah peningkatan pemahaman konsep operasi bilangan mahasiswa S1 PGSD FIP UNY. Pengumpulan dan Analisis Data Data dikumpulkan melalui observasi oleh peneliti dan juga diperoleh dari hasil tes mahasiswa. Selanjutnya data dianalisis dengan pendekatan statistik deskriptif kualitatif dan kuantatif. Indikator Keberhasilan Penelitian ini dinyatakan Berhasil apabila 75% mahasiswa mendapat nilai minimal 75.
teori belajar Bruner yang mendukung pendekatan matematika realistik. Kedua, Tim peneliti membuat SAP serta teknik dan prosedur pelaksanaan perkuliahan tentang penerapan teori belajar Bruner yang mendukungpendekatan matematika realistik pada perkuliahan operasi hitung (penjumlahan dan pengurangan) bilangan bulat. Pembuatan SAP ini mengacu pada kurikulum S1 PGSD FIP UNY dengan sumber belajar yang biasa digunakan oleh dosen. Ketiga, peneliti menyiapkan / merancang cara pembagian kelompok mahasiswa dan prosedur perkuliahan yang akan berlaku selama perkuliahan Matematika SD 2. Keempat, mahasiswa melaksanakan pretest sesuai pokok bahasan yang akan dipelajarinya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tahap Pelaksanaan Tindakan 1 Tindakan 1 dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan, yaitu pada hari Rabu 1 dan 8 Mei 2013, Secara rinci pelaksanaan tindakan untuk masing-masing pertemuan adalah sebagai berikut: i. Pertemuan pertama siklus 1 (Rabu, 1 Mei 2013) Kegiatan awal (20menit) - Tanya jawab dosen dengan mahasiswa tentang bilangan bulat dan bagaimana pembelajaran operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat di sekolah dasar dengan menerapkan teori belajar Bruner. - Mengaitkan manfaat mempelajari bilangan bilat dan operasinya bagi calon guru. - Memberi penjelasan teknik perkuliahan kepada mahasiswa untuk mendiskusikan tentang bilangan bilat dan operasinya yang meliputi: o Penjumlahan bilangan bulat menggunakan media konkret berupa kancing hitam putih (enaktif) o Penjumlahan bilangan bulat menggunakan gambar kancing (ikonik) o Menuliskan notasi penjumlahan bilangan bulat (simbolik) - Mempersiapkan kancing hitam putih yang sudah ditugaskan minggu lalu. Kegiatan inti (150 menit) - Para mahasiswa dibagi menjadi 9 kelompok. - Masing-masing kelompok mendiskusikan, bagaimana mengajarkan bilangan bulat di sekolah dasar dengan menggunakan media
Hasil penelitian Penelitian tindakan/ Siklus 1, yaitu penerapan penelitian berupa proses perkuliahan matematika SD 2 yang menggunakan teori belajar Bruner yang mendukung pendekatan matematika realistik. Pada penelitian tindakan 1 ini, materi yang dipelajari adalah operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan waktu 2 kali tatap muka atau 2 x (4 x 50 menit). Dosen dalam hal ini melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik sesuai dengan SAP yang telah dibuat bersama dengan peneliti. Peneliti lain bertindak sebagai pengamat, mencatat proses pembelajaran secara detail terkait dengan dosen dan mahasiswa, serta perangkat perkuliahan yang digunakannya. Tahap Persiapan Tindakan 1 Pada tahap persiapan untuk memberikan pembelajaran dengan menerapkan teori belajar Bruner yang mendukungpendekatan matematika realistik kepada mahasiswa, peneliti melakukan kegiatan sebagai berikut : Pertama, peneliti mencari informasi tentang kondisi perkuliahan matematika SD 2 di kelas yang akan diteliti, yaitu kelas 2A pada semester genap tahun akademik 2012/2013. Peneliti juga berdiskusi dengan mahasiswa untuk mengetahui sejauh mana perkembangan mahasiswa dan karakteristik mahasiswa dalam perkuliahan matematika yang selama ini terjadi. Informasi yang didapat ini berguna untuk merancang pembelajaran dengan menggunakan
143
-
-
-
-
-
-
-
konkret (enaktif), semi konkret (ikonik) dan abstrak (simbolik) Dua kelompok memaparkan hasil diskusinya kepada teman kelompok lain dan kelompok lainnya memberi tanggapan dan menanyakan hal-hal yang kurang jelas. Beberapa kelompok berpendapat bahwa operasi penjumlahan dan pengurangan dapat mengaitkan dengan cerita pinjam meminjam (hutang). Ada pula yang menjelaskan dengan garis bilangan. Mahasiswa diberi stimulus untuk mencoba menggunakan kancing hitam putih yang telah dibawa masing-masing kelompok sebanyak 20 buah kancing hitam dan 20 buah kancing putih untuk dijadikan media konkret dalam menghitung operasi penjumlahan bilangan bulat (enaktif). Membuat kesepakatan untuk menentukan kancing putih dan hitam dengan pendekatan budaya setempat yang dikenal dengan baik oleh siswa. Pendekatan ilmu hitam dan putih kiranya tepat digunakan, karena ilmu hitam biasanya jahat, konotasi negatif, sehingga kancing hitam menunjukkan nilai bilangan bulat negatif. Sedangkan ilmu putih, biasanya baik sehingga kancing putih menunjukkan nilai bilangan bulat positif. Mahasiswa mencoba untuk mempraktikkan penjumlahan bilangan bulat dalam kelompoknya masing-masing Lima soal penjumlahan bilangan bulat diberikan oleh kelompok sebelumnya, misalnya, kelompok 2 memperoleh soal dari kelompok 1, kelompok 3 dari kelompok 2, dan seterusnya. Mahasiswa menjawab soal tersebut dengan menggambar kancing hitam putih (ikonik). Misal jika soalnya adalah 5+(-3), maka yang digambar adalah :
- Mahasiswa mengerjakan latihan dan mencoba membuat soal cerita terkait penjumlahan bilangan bulat positif dengan positif, positif dengan negatif dan sebaliknya, serta negatif dengan negatif. Kegiatan akhir (30 menit) Menyimpulkan bersama tentang penjumlahan bilangan bulat positif dengan positif, positif dengan negatif dan sebaliknya, serta negatif dengan negatif.
ii. Pertemuan kedua siklus 1 (Rabu, 8 Mei 2013) Kegiatan awal (20 menit) - Tanya jawab dosen dengan mahasiswa tentang bilangan bulat dan bagaimana pembelajaran operasi pengurangan bilangan bulat di sekolah dasar dengan menerapkan teori belajar Bruner. - Mengaitkan manfaat mempelajari bilangan bulat dan operasinya bagi calon guru khususnya pada operasi pengurangan bilangan bulat. - Memberi penjelasan teknik perkuliahan kepada mahasiswa untuk mendiskusikan tentang bilangan bilat dan operasinya yang meliputi: o Pengurangan bilangan bulat menggunakan media konkret berupa kancing hitam putih (enaktif) o Pengurangan bilangan bulat menggunakan gambar kancing (ikonik) o Menuliskan notasi pengurangan bilangan bulat (simbolik) o Mempersiapkan kancing hitam putih yang sudah ditugaskan minggu lalu pada masing-masing kelompok. Kegiatan inti (150 menit) - Para mahasiswa duduk berdekatan dengan kelompoknya masing-masing dan secara klasikal tempat duduknya membentuk huruf U. - Masing-masing kelompok mendiskusikan, bagaimana mengajarkan pengurangan bilangan bulat di sekolah dasar dengan menggunakan media konkret (enaktif), semi konkret (ikonik) dan abstrak (simbolik) - Dua kelompok memaparkan hasil diskusinya kepada teman kelompok lain dan kelompok lainnya memberi tanggapan dan menanyakan hal-hal yang kurang jelas. - Mahasiswa diberi stimulus untuk mencoba menggunakan kancing hitam putih yang telah dibawa masing-masing kelompok sebanyak 20 buah kancing hitam dan 20 buah kancing putih untuk dijadikan media konkret dalam menghitung operasi pengurangan bilangan bulat (enaktif). - Tetap menentukan kancing putih dan hitam dengan pendekatan budaya setempat yang dikenal dengan baik oleh siswa. Pendekatan ilmu hitam dan putih tetap digunakan, kancing hitam menunjukkan nilai bilangan bulat negatif, kancing putih menunjukkan nilai bilangan bulat positif.
144
- Mahasiswa mencoba untuk mempraktikkan penjumlahan bilangan bulat dalam kelompoknya masing-masing - Lima soal penjumlahan bilangan bulat diberikan oleh kelompok sesudahnya (tidak seperti pada pertemuan 1 yaitu kelompok sebelumnya), misalnya, kelompok 2 memperoleh soal dari kelompok 3, kelompok 3 dari kelompok 4, dan seterusnya. - Mahasiswa menjawab soal tersebut dengan menggambar kancing hitam putih (ikonik). Adapun pembelajaran pengurangan bilangan bulat secara ikonik meliputi : Untuk pengurangan dua bilangan bulat positif Siswa diminta untuk menyebutkan penjumlahan dua bilangan bulat positif yang diinginkan (misalnya 7 - 5), guru mengambil 7 kancing putih dan disusun di atas meja (sambil menjelaskan bahwa pengambilan kancing putih karena 7 benilai positif). Dikarenakan operasinya adalah pengurangan yang berarti pengambilan dari benda yang sudah ada, maka ambillah 5 kancing putih dari 7 kancing putih yang sudah ada tadi. Hasil penjumlahan 7 - 5 = 2 diketahui dengan menghitung berapa banyak kancing yang tersisa,
Untuk pengurangan dua bilangan bulat negatif Siswa diminta untuk menyebutkan pengurangan dua bilangan bulat negatif yang diinginkan (misalnya -2 – (-5)), guru membuat angka (-2) dengan memperhatikan angka pengurang, yaitu (5). Karena yang mau diambil adalah sebanyak 5 kancing hitam, maka guru membentuk angka (-2) yang memiliki sekurang-kurangnya 5 kancing hitam sebagai berikut:
-2 Soal: 2 – (-5) berarti mengambil kancing berwarna hitam sebanyak (5) dari susunan kancing di atas, sehingga menjadi:
2-(-5)
-
Setelah 5 kancing hitam diambil, kancing yang tersisa adalah 3 kancing putih; berarti hasil dari -2 – (-5) adalah 3 (kancing putih bernilai positif). Untuk pengurangan bilangan bulat positif yang dikurangi bilangan bulat negatif Siswa diminta untuk menyebutkan pengurangan dua bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif yang diinginkan misalnya: 4 – (-3). Pertama-tama, guru membuat angka (4) dengan memperhatikan angka pengurang, yaitu (-3). Karena yang mau diambil adalah 3 kancing hitam (yang bernilai negatif), maka guru membentuk angka (4) yang memiliki sekurangkurangnya 3 kancing hitam sebagai berikut:
4 Penjelasan: bentuk kancing di atas menunjukkan nilai (4) karena kancing yang tidak mempunyai pasangan adalah sebanyak 4 kancing putih (positif). Soal: 4 – (-3) berarti dari susunan kancing yang bernilai 4, ambillah kancing berwarna hitam sebanyak 3 (dikurangi -3), sehingga menjadi:
4 – (-3)
Setelah 3 kancing hitam diambil, tersisa 7 kancing putih; berarti hasil dari 4 - (-3) adalah 7 (kancing putih bernilai positif). - Mahasiswa mengerjakan latihan dan mencoba membuat soal cerita terkait pengurangan bilangan bulat positif dengan positif, positif dengan negatif dan sebaliknya, serta negatif dengan negatif. Kegiatan akhir (30 menit)
145
Menyimpulkan bersama tentang penjumlahan bilangan bulat positif dengan positif, positif dengan negatif dan sebaliknya, serta negatif dengan negatif. a. Observasi siklus 1 Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh mahasiswa anggota tim penelitian, diperoleh hasilnya bahwa seluruh aspek dari instrumen observasi telah dilaksanakan oleh peneliti sesuai dengan lembar observasi pelaksanaan perkuliahan dengan teori belajar Bruner. Hasil rata-rata pre-test adalah 36,46, sedangkan rata-rata post-test adalah 76,13. Selain pre-test dan post-test, kegiatan kerja kelompok mahasiswa pada siklus 1 juga diadakan penilaian oleh observer (salah satu tim peneliti) . b. Analisis dan Refleksi Tindakan I Dari penilaian pre-test dan post-test, mahasiswa, menggambarkan adanya peningkatan yang cukup signifikan pada prestasi belajar mahasiswa, yaitu dari 36 menjadi 76. Walaupun hasil tindakan 1 sudah memberikan perubahan yang cukup signifikan baik terhadap dalam prestasi belajar mahasiswa, namun masih banyak (26) mahasiswa yang belum melewati batas minimal tuntas yaitu 75. Dari hasil pengamatan peneliti dan tanya jawab dengan dosen, kemungkinan ada beberapa hal penyebabnya, antara lain adalah (1) mahasiswa tersebut kurang aktif dalam kerja kelompok, (2) ukuran alat peraga dirasakan mahasiswa kurang besar (tidak bisa dilihat dengan jelas saat dosen mendemonstrasikannya), (3) dosen belum melakukan pembimbingan secara intensif kepada masing-masing kelompok. 1. Pelaksanaan Tindakan II Penelitian tindakan/ Siklus II, yaitu penerapan penelitian berupa proses perkuliahan matematika SD 2. Pada penelitian tindakan 2 ini, materi yang dipelajari adalah operasi bilangan pecahan dengan waktu 2 kali tatap muka atau 2 x (4 x 50 menit). Dosen dalam hal ini melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik sesuai dengan SAP dan refleksi dari siklus 1 yang telah dibuat bersama dengan peneliti. Peneliti lain bertindak sebagai pengamat,
mencatat proses pembelajaran secara detail terkait dengan dosen dan mahasiswa, serta perangkat perkuliahan yang digunakannya. Kegiatan pada pertemuan pertama siklus II ini didominasi dengan kegiatan melaksanakan tahap teori belajar Bruner (enaktif, ikonik, dan simbolik) pada operasi bilangan pecahan. Adapun kegiatan pembelajarannya adalah sebagai berikut : a. Pertemuan pertama siklus II (22 Mei 2013) Pembelajaran dimulai dengan mahasiswa diminta untuk mengeluarkan media yang sudah ditugaskan minggu yang lalu. Media tersebut adalah daun pisang. Selanjutnya dosen memberikan penjelasan mengenai operasi bilangan pecahan dengan media daun pisang tersebut. Dengan daun pisang tersebut dosen mendemonstrasikan bagaimana melakukan operasi hitung bilangan pecahan yang dicontohkan. Mahasiswa ikut terlibat dalam menyelesaikan operasi bilangan pecahan. Dalam pertemuan pertama ini dosen baru memberikan penjelasan tentang operasi hitung penjumlahan dan pengurangan. Setelah mahasiswa diberi penjelasan, mereka diminta untuk membuat soal dalam kelompoknya dan menjawab sendiri di dalam kelompoknya masing-masing dengan menggunakan media daun pisang. Selain mahasiswa diminta untuk menggunakan daun pisang, mahasiswa diminta juga untuk menggambarkan cara mengerjakannya. Dalam melakukan diskusi, mahasiswa dibimbing oleh dosen. Setelah kelompok membuat soal sendiri dan dijawab sendiri, mahasiswa disuruh membuat soal dan yang mengerjakan adalah kelompok sebelahnya. Setelah kelompok mengerjakan soal, dosen meminta untuk kunjung karya. Mahasiswa berkunjung dari kelompok satu ke kelompok satunya. Tapi dalam kelompok ada anggota yang tinggal. Mahasiswa yang berkunjung selain melihat produk kelompok temannya, juga harus memberikan nilai. Hasil nilai yang telah dilakukan, dikumpulkan ke dosen nantinya akan dicari rata-rata nilainya. Media semi konkret dengan menggunakan karton dan mika. Dalam mika dan karton sudah ada arsirannya. Setiap kelompok mendapatkan media tersebut dari dosen dan diminta untuk menuliskan soal dan jawaban sesuai dengan
146
yang dikarton dan di mika. Dosen membimbing mahasiswa dengan berkeliling dari kelompok satu ke kelompok lainnya. Setelah selesai, hasil kelompok di geser ke sebelah kirinya kelompok tersebut untuk dinilai benar salahnya. Selanjutnya ice breaking. Ice breaking dari kelompok mahasiswa yang ditunjuk oleh dosen. Dosen menanyakan materi yang belum dimengerti mahasiswa, lalu dosen menjelaskan kemali kepada mahasiswa yang belum mengerti. Pembelajaran ditutup dengan berdoa dipimpin oleh ketua kelas. b. Pertemuan kedua siklus II (29 Mei 2013) Pembelajaran dimulai dengan berdoa. Dosen mengecek kehadiran mahasiswa. Setiap kelompok mengambil media dari dosen berupa mika dan karton. Lalu dosen memberikan soal, mahasiswa diminta untuk mengerjakan soal tersebut dengan menggunakan media yang sudah dibagikan. Selanjutnya dosen menjelaskan cara memecahkan masalah pecahan perkalian dan pembagian. Mahasiswa diminta untuk mengerjakan soal pecahan pembagian dengan menggunakan media karton dan mika. Dosen membimbing mahasiswa dengan berkeliling dari satu kelompok ke kelompok lain untuk mengecek pemahaman mahasiswa. Setelah itu, perwakilan kelompok maju ke depan untuk menjelaskan kepada temannya. Dosen menyebutkan benda konkret yang bisa digunakan untuk media pembelajaran pecahan antara lain adalah kue tart, Sterofoam, jeli, dan lain sebagainya. Mahasiswa dalam setiap kelompok diminta untuk membuat soal pecahan perkalian dan pembagian selanjutnya mereka diminta menjawabnya sendiri. Setiap anak menggambarkan cara pengerjaannya dengan menggunakan media yang telah disediakan oleh dosen. Jawaban yang sudah selesai, dikumpulkan jadi satu lalu dikumpulkan oleh dosen yang nantinya akan dicek kebenarannya oleh dosen. Setiap mahasiswa diminta untuk membuat soal berjumlah 8 yang terdiri dari 4 soal pecahan perkalian dan 4 soal pecahan pembagian. Dalam satu kelompok soal dipuat dalam dua kali putaran lalu yang mendapatkan soal tersebut langsung diminta untuk menjawab soal dari temannya dengan cara menggambar cara pengerjaannya dan jawabannya.
c. Deskripsi Hasil Tindakan II Nilai post test siklus II mahasiswa adalah sebagai berikut : No.
NIM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
7108248276 12108241002 12108241004 12108241011 12108241013 12108241027 12108241032 12108241038 12108241039 12108241040 12108241043 12108241044 12108241046 12108241047 12108241053 12108241065 12108241068 12108241070 12108241072 12108241074 12108241078 12108241089 12108241102 12108241104 12108241106 12108241107 12108241119 12108241120 12108241121 12108241128 12108241132 12108241133 12108241135 12108241136 12108241137 12108241144 12108241151 12108241164 12108241169 12108241195 12108244016 12108244028 12108244029 12108244055 12108244136 Rata-rata tuntas
Postes S-I 36 100 100 84 84 49 100 52 100 68 64 84 100 36 100 68 64 80 84 81 64 84 84 84 50 100 81 100 81 50 100 50 100 27 84 68 28 85 100 68 100 84 65 100 55 76.13 19
Postes S-II 50 84 100 100 92 100 100 100 84 94 100 84 84 76 84 100 100 100 90 92 100 100 98 100 56 100 96 94 100 86 84 94 100 100 100 100 100 100 100 88 100 84 100 100 92 93,02 43
KET belum sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah belum sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah sudah
Data di atas telah menujukkan hasil yang cukup memuaskan, yaitu rata-rata nilai post test siklus II mencapai 93,02 dengan 96% mahasiswa telah mencapai nilai lebih dari 75. Hal ini berarti
147
penelitian dapat dihentikan karena mencapai indikator keberhasilan.
telah
B. Pembahasan Pembelajaran matematika yang mengimplementasikan teori belajar menekankan pada jenis alat peraga, mulai dari alat peraga konkret (enaktif), alat peraga semi konkret (ikonik), dan simbolik. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget dalam Nyimas (2007) yang menyatakan bahwa siswa SD berada pada tahap operasional konkret, yang berarti seorang anak bisa memeahami suatu konsep melalui benda nyata (konkret), sehingga dalam pembelajaran matematika memang mengharuskan adanya alat peraga. Hal ini juga sesuai pendapat Steven Rusmussen (1980) bahwa dalam pembelajaran pecahan di sekolah Dasar sebaiknya menggunakan benda nyata yang ada di sekitar siswa dan berdasarkan pengalaman siswa. Penggunaan tahap belajar Bruner dalam perkuliahan matematika, khususnya pada operasi bilangan bulat dan pecahan membuat mahasiswa memahami konsep-konsep operasi hitung bilangan, selain membuat mahasiswa menjadi lebih aktif dalam belajar. Sejalan dengan kesimpulan pada penelitian peneliti pada tahun 2009 yaitu PMRI dapat meningkatkan keaktifan siswa. Pada operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, mahasiswa dapat menghitung dengan benar soal-soal penjumlahan dan pengurangan antar bilangan bulat, terutama yang berkaitan dengan bilangan bulat negatif. Mahasiswa juga mengetahui alasannya, mengapa soal ”2-(-3)” sama jawabannya dengan ”2+3”. Hal ini karena penggunaan media konkret berupa kancing hitam putih sangat mudah digunakan untuk membantu perhitungan penjumlahan dan penguangan dua bilangan bulat. Pada operasi bilangan pecahan, pada awal pembelajaran tidak satupun mahasiswa yang dapat menjawab ”mengapa perhitungan operasi bilangan pecahan seperti itu, mengapa berbeda cara untuk penjumlahan, perkalian dan pembagian bilangan pecahan?. Namun setelah mahasiswa memperagakan operasi bilangan pecahan mulai dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dengan media konkret (enaktif) maupun semi konkret (ikonik), mereka mulai memahami maknanya. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana untuk nilainilai pecahan yang besar, perlukah seorang guru menggunakan media yang sama?. Dosen
(peneliti) melemparkan pertanyaan tersebut kembali ke forum, dan dari hasil diskusi akhirnya mahasiswa menyadari bahwa pembelajaran dengan media merupakan pembelajaran pengenalan konsep. Apabila siswa telah mengetahui konsepnya maka untuk berlatih mulailah mereka menggunakan bilangan-bilangan yang lebih besar. Implementasi tahap teori belajar Bruner pada perkuliahan mendukung pelaksanaan pembelajaran matematika realistik, sesuai dengan karakteristiknya, yaitu melaksanakan pembelajaran menggunakan alat peraga untuk memecahkan masalah yang kontekstual. Penggunaan alat peraga juga memperhatikan jenisnya, selain murah dan aman juga berbasis budaya setempat sehingga kelak mahasiswa sebagai calon guru dapat menerapkannya. Hal ini memperlihatkan bahwa implementasi teori belajar Bruner sejalan dengan pendekatan yang digunakan pada kurikulum 2013, yang mengutamakan keaktifan siswa dalam belajar dan menemukan konsep yang dipelajarinya sendiri. Berkaitan dengan kurikulum 2013, Boris Handal dan Janette Bobis (2004) dalam jurnal penelitian pendidikan matematika yang berjudul “Teaching Mathematics Thematically” menyatakan ”Teaching mathematics through themes has been praised for relatingmathematics to real-life situations. However, research shows that theimplementation of teaching mathematics thematically has not been widelyadopted “. Dijelaskannya bahwa pembelajaran matematika secara tematik telah mendapatkan apresiasi karena menghubungkan matematika dengan kehidupan nyata, namun sayang, penelitian menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran tersebut belum dilaksanakan secara luas. Selanjutnya beliau katakan pembelajaran matematika secara tematik selain akan membawa siswa untuk memiliki pengalaman belajar dari dunia nyata, juga akan meningkatkan kemampuan siswa pada aspek kognitif dan afektif. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dalam dua siklus ini, dapat disimpulkan bahwa implementasi teori belajar Bruner sebagai pendukung pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa S-1 PGSD tentang
148
konsep operasi bilangan pada mata kuliah Matematika SD 2. Hal ini terbukti dari hasil belajar mahasiswa yang meningkat pada tiap siklusnya, yaitu dari rata-rata 36,46 pada pre test menjadi 76,13 pada akhir siklus I dan 93,02 pada akhir siklus II serta peningkatan persentase mahasiswa yang tuntas dalam pembelajarannya, yaitu dari 42% mahasiswa pada akhir siklus I menjadi 96% pada akhir siklus II. Implementasi teori belajar Bruner ini memperhatikan ukuran dan banyaknya benda konkret yang dijadikan alat peraga sehingga setiap mahasiswa dapat melihat dengan jelas saat dosen mendemonstrasikan dan mahasiswa dapat mempraktikkannya sendiri. Hal ini juga melatih mahasiswa sebagai calon guru untuk dapat melaksanakan pendekatan dalam kurikulum 2013 yang menekankan pada keaktifan siswa. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka dapat peneliti dapat menyarankan kepada: 1. Dosen matematika di PGSD Sebaiknya dosen matematika PGSD menggunakan teori belajar Bruner untuk menunjang perkuliahan dalam operasi bilangan. 2. Mahasiswa sebagai calon guru SD
Hendaknya mahasiswa dapat melaksanakan pembelajaran matematika di sekolah dasar dengan menggunakan teori belajar Bruner sebagai pendukung pembelajaran matematika realistik. DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/Fractions Kemmis, S & Taggart, R. (1990), The Action Research Planner, Deakin
University. Mangatur Sinaga,dkk. 2007. Terampil Berhitung Matematika untuk SD kelas IV. Jakarta : Erlangga Nyimas Aisyah,dkk (2007), Pengembangan Pembelajaran Matematika SD, Dirjen Dikti, Jakarta;Depdiknas PMRI (2003), BULETIN PMRI EDISI II Rahayu Condro Murti, 2009. Upaya meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar siswa dalam pokok bahasan pecahan melalui pendekatan matematika realistik di kelas V SD Muhammadiyah Ambarketawang 3, Gamping. Steven Rusmussen. 1980. Key to fraction. USA: Key Curriculum Press.
149
KESIAPAN GURU SEKOLAH DASAR SECARA PROFESIONAL DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN KURIKULUM 2013 Sekar Purbarini Kawuryan
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data empiris tentang: (1) kesiapan guru secara profesional dalam menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, (2) mendeskripsikan penguasaan SKKD mata pelajaran yang diampu, (3) mendeskripsikan pengembangan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, (4) mendeskripsikan pengembangan profesionalitas yang dilakukan oleh para guru, dan (5) mengidentifikasi cara guru dalam memanfaatkan TIK untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Responden penelitian berjumlah 37 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan angket dan wawancara, dianalisis dengan statistik deskriptif, dan disajikan dalam bentuk tabel dan pie chart. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua indikator kompetensi profesional yang menunjukkan kesiapan guru, seperti yang sudah diuraikan dalam tujuan penelitian di atas, berkategori baik. Dengan demikian, para guru dinyatakan sudah siap dalam mengimplementasikan kurikulum 2013. Kata kunci: kesiapan, guru sekolah dasar, implementasi kurikulum 2013
PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri bahwa guru SD, merupakan salah satu subjek penentu dalam pendidikan di sekolah dasar. Segala harapan dan tujuan pendidikan sebagian besar ditumpukan pada guru. Oleh karena itu, perubahan di organisasi sekolah, atau secara luas perubahan pendidikan, mau tidak mau harus melibatkan peran aktif guru. Begitu juga dengan perubahan kurikulum. Kurikukulum 2013 mengharapkan para guru untuk memiliki kemampuan merancang pembelajaran tematik yang menarik sehingga tujuan utuh pendidikan mampu untuk diwujudkan. Pembelajaran tematik sebenarnya telah dianjurkan dalam pelaksanaan Kurikulum 2006 yaitu dilaksanakan pada kelas rendah (I, II, dan III). Namun demikian, berdasarkan amatan peneliti ketika berinteraksi dengan guru-guru SD melalui forum ilmiah, banyak sekolah yang belum membelajarkan materi dengan cara tematik. Beberapa alasan dikemukakan oleh para guru, antara lain penentuan jadwal pelajaran yang membingungkan, kurangnya kemampuan dalam merancang pembelajaran tematik, dan komplain dari orang tua yang bingung untuk mengidentifikasi topik ke dalam buku pelajaran yang digunakan. Penelitian ini telah melakukan survey untuk mengetahui kesiapan guru dalam mengimplementasikan kurikulum 2013.
Kesiapan dalam konteks ini dimaknai sebagai kemampuan guru sebagai seorang pendidik dalam menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan atau dengan kata lain, sesuai dengan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan disebut dengan kompetensi profesional. Tanpa mengabaikan kompetensi yang lainnya, kompetensi profesional merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yang profesional. Kompetensi tersebut harus dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran di sekolah. Kompetensi profesional dipandang penting untuk dikembangkan oleh para guru karena kompetensi profesional mencakup kemampuan guru dalam penguasaan terhadap materi pelajaran dan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran. Suharsimi Arikunto (1993: 239) menjelaskan bahwa kompetensi profesional berarti “Guru harus memiliki pengetahuan yang luas serta dalam tentang subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan, serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoritik, mampu memilih metode yang tepat, serta mampu menggunakan dalam proses belajar mengajar”. Oleh karena itu, penguasaan guru terhadap materi pelajaran sangat penting guna menunjang keberhasilan pengajaran. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh A.
150
Samana (1994: 61) yang menekankan pentingnya penguasaan bahan ajar oleh seorang guru untuk mencapai keberhasilan pengajaran. Guru harus membantu siswa dalam akalnya (bidang ilmu pengetahuan) dan membantu agar siswa menguasai kecakapan kerja tertentu (selaras dengan tuntutan teknologi), sehingga mutu penguasaan bahan ajar para guru sangat menentukan keberhasilan pengajaran yang dilakukan. Guru hendaknya juga mampu menjabarkan serta mengorganisasikan bahan ajar secara sistematis (berpola), relevan dengan tujuan, selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (mutakhir), dan dengan memperhatikan kondisi serta fasilitas yang ada di sekolah dan atau yang ada di lingkungan sekitar sekolah. Soediarto dalam Hamzah B. Uno (2007: 64) menjelaskan bahwa guru yang memiliki kompetensi profesional perlu menguasai beberapa kemampuan yaitu disiplin ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan pelajaran, bahan ajar yang diajarkan, pengetahuan tentang karakteristik siswa, pengetahuan tentang filsafat dan tujuan pendidikan, pengetahuan serta penguasaan metode dan model mengajar, penguasaan terhadap prinsip-prinsip teknologi pembelajaran, dan pengetahuan terhadap penilaian, serta mampu merencanakan, memimpin guna kelancaran proses pendidikan. Hampir sama dengan pendapat sebelumnya, Uzer Usman (2006: 19) menyatakan bahwa kompetensi profesional secara spesifik dapat dilihat dari indikatorindikator sebagai berikut: (1) menguasai landasan pendidikan, yaitu mengenal tujuan pendidikan, mengenal fungsi sekolah dan masyarakat, serta mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, yaitu menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menguasai bahan penghayatan; (3) menyusun program pengajaran, yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, memilih dan mengembangkan bahan pengajaran, memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar, memilih media pembelajaran yang sesuai, memilih dan memanfaatkan sumber belajar, melaksanakan program pengaja-ran, menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, mengatur ruangan belajar, mengelola interaksi belajar mengajar; dan (4) menilai hasil dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kompetensi profesional guru dapat diartikan
sebagai kemampuan yang harus dimiliki sebagai dasar dalam melaksanakan tugas profesional yang bersumber dari pendidikan dan pengalaman yang diperoleh. Kompetensi profesional dalam penelitian ini difokuskan pada lima aspek, yaitu: (1) kesiapan guru secara profesional dalam menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu; (2) penguasaan SKKD mata pelajaran yang diampu; (3) pengembangan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif; (4) pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan; dan (5) pemanfaatan TIK untuk berkomunikasi dan pengembangan diri. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan variabel kesiapan guru yang diukur berdasarkan lima indikator esensial kompetensi profesional, yaitu (1) menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, (2) menguasai SK dan KD lima bidang studi, (3) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, (4) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, dan (5) memanfaatkan TI dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Responden penelitian yaitu guru SD di Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta yang berjumlah 37 orang. Data dikumpulkan menggunakan angket dan wawancara. Instrumen divalidasi secara internal, dengan cara mengkaji teori tentang kompetensi profesional yang dilanjutkan dengan penyusunan indikator dan pengembangan pernyataan dalam bentuk angket. Setelah itu, butir-butir pernyataan dalam angket divalidasi oleh beberapa dosen dengan bidang keahlian yang relevan. Untuk indikator 1, 2, 3, dan 4 validasi dilakukan oleh dosen bidang studi keSDan, sedangkan indikator yang ke-5, dilakukan oleh dosen Teknologi Pembelajaran. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan pie chart. Masing-masing pernyataan untuk tiap indikator dicari reratanya, selanjutnya
151
dihitung rerata keseluruhan dan dimaknai berdasarkan kategori penskoran yang sudah ditentukan. HASIL PENELITIAN Penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mapel yang diampu Aspek ini diukur menggunakan 15 pernyataan, dengan rincian 3 pernyataan untuk masing-masing bidang studi keSDan. Tabel 1. Skor Aspek Penguasaan Materi Nomo r Item
Jumlah Skor 3 2 1
4
1 18 17 2 2 14 21 2 3 16 21 0 4 7 22 7 5 2 14 15 6 7 15 12 7 6 17 14 8 5 21 11 9 8 12 14 10 4 20 13 11 7 22 8 12 6 22 8 13 4 26 7 14 8 20 9 15 6 15 16 Rata-rata skor per aspek Kategori
Rerata Skor Per Item 3,43 3,32 3,43 2,95 2,32 2,70 2,78 2,84 2,68 2,76 2,97 2,89 2,92 2,97 2,73 2,91 Baik
0 0 0 1 6 3 0 0 3 0 0 1 0 0 0
Pengembangan Materi Pembelajaran secara Kreatif
Aspek ini diukur menggunakan 5 pernyataan, yaitu nomor 21-25. Tabel 3. Skor Aspek Pengembangan Materi
Nomor Item
21 3 23 11 22 2 15 19 23 18 18 1 24 10 17 9 25 2 21 14 Rata-rata skor per aspek Kategori
Tabel 2. Skor Aspek Penguasaan SKKD Nomor Item
4
Jumlah Skor 3 2 1
16 2 18 16 17 6 25 5 18 7 27 3 19 8 27 2 20 8 25 4 Rata-rata skor per aspek Kategori
1 1 0 0 0
Rerata Skor 2,57 2,97 3,11 3,16 3,11 2,98 Baik
0 1 0 1 0
Rerata Skor Per Item 2,78 2,49 3,46 2,97 2,68 2,88 Baik
Pengembangan Profesionalitas secara Berkelanjutan untuk Melakukan Tindakan Reflektif
Aspek keempat dari kompetensi profesional yang diukur dalam penelitian ini yaitu pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan untuk melakukan tindakan reflektif. Untuk mendapatkan data tentang ini, peneliti mengembangkan 4 pernyataan angket, yaitu nomor 26 sampai nomor 29. Tabel 4. Skor Pengembangan Profesionalitas secara Berkelanjutan
Nomor Item
Penguasaan SKKD Mata Pelajaran
Untuk aspek penguasaan SKKD mata pelajaran yang diampu, diukur dengan 5 pernyataan angket, yaitu nomor 16-20.
4
Jumlah Skor 3 2 1
26 27 28 29
Jumlah Skor 4 3 2 1 0 11 5 0
16 24 20 1
19 2 12 20
Rata-rata skor per aspek Kategori
2 0 0 1 6
Rata-Rata Skor Per Item 2,38 3,24 2,81 3,41 2,96 Baik
Pemanfaatan TIK untuk Berkomunikasi dan Pengembangan Diri Aspek terakhir dari kompetensi profesional yang diukur dalam penelitian ini yaitu pemanfaatan TIK untuk berkomunikasi dan pengembangan diri yang diukur dengan empat pernyataan nomor 30 sampai nomor 33.
152
Tabel 5. Skor Pemanfaatan TIK untuk Berkomunikasi dan Pengembangan Diri Nomor Item
Jumlah Skor 4 3 2 1
30 1 16 17 31 3 15 19 32 4 13 12 33 6 15 10 Rata-rata skor per aspek Kategori
3 11 8 6
Rerata Skor Per Item 2,41 2,86 2,35 2,57 2,55 Baik
PEMBAHASAN Salah satu fungsi kurikulum adalah mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui pengetahuan, keterampilan, sikap dan keahlian untuk mampu beradapatasi serta bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah. Dalam konteks ini, guru berperan sebagai ujung tombak dan garda terdepan dalam mengimplementasikan kurikulum di sekolah. Oleh karena itu, betapa pentingnya kesiapan guru. Supaya hasilnya bisa optimal, kesiapan tersebut selain harus didukung oleh kompetensi, juga memerlukan komitmen dan tanggung jawab yang tinggi. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28 (3) menyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagai agen pembelajaran ada empat, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada kesiapan guru apabila dilihat dari kompetensi profesionalnya, yang dimaknai sebagai kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Kompetensi tersebut diukur berdasarkan 5 indikator esensial. Sajian data untuk masingmasing indikator nampak dalam tabel-tabel di atas. Berdasarkan tabel tersebut, setelah dilakukan analisis data, kelima indikator yang diukur termasuk dalam kategori “baik”. Aspek pertama yaitu penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu oleh guru memperoleh skor rerata 2,91. Untuk aspek penguasaan SKKD mata pelajaran yang diampu
skor reratanya 2,98. Aspek pengembangan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif dengan skor rerata 2,88. Aspek pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan untuk melakukan tindakan reflektif memiliki skor rerata 2,96. Sementara aspek yang terakhir, yaitu pemanfaatan TIK untuk berkomunikasi dan pengembangan diri memiliki skor rerata 2,55. Hasil ini cukup menggembirakan apabila dikaitkan dengan identitas responden, khususnya berdasarkan tingkat pendidikan dan status sertifikasinya. Apabila dilihat dari tingkat pendidikannya, sebanyak 23 orang atau 62% responden berpendidikan S1. Sementara itu, 18 responden (49%) juga sudah tersertifikasi. Artinya, tingkat pendidikan dan status sertifikasi responden berkorelasi positif dengan skor kompetensi profesionalnya. Seorang guru yang profesional diharapkan mampu untuk selalu meningkatkan wawasan dan pengetahuannya di bidang pendidikan secara umum, khususnya proses belajar mengajar. Guru memiliki tugas yang tidak mudah. Tugasnya tidak hanya sekedar mengajar, tetapi juga mendidik siswa agar menghasilkan lulusan yang cerdas dan berkarakter positif. Penguasaan guru terhadap materi pelajaran sangat penting guna menunjang keberhasilan pengajaran. Guru harus membantu siswa dalam akalnya (bidang ilmu pengetahuan) dan membantu agar siswa menguasai kecakapan kerja tertentu (selaras dengan tuntutan teknologi), sehingga mutu penguasaan bahan ajar para guru sangat menentukan keberhasilan pengajaran yang dilakukan. Seperti yang diungkapkan A. Samana (1994: 61) bahwa guru hendaknya mampu menjabarkan serta mengorganisasikan bahan ajar secara sistematis (berpola), relevan dengan tujuan, selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (mutakhir), dan dengan memperhatikan kondisi serta fasilitas yang ada di sekolah dan atau yang ada di lingkungan sekitar sekolah. Dengan demikian, apabila dilihat dari kesiapannya, para guru pada KKG Gugus II Kecamatan Pakem dinyatakan sudah siap dalam mengimplementasikan pendidikan karakter menyongsong kurikulum 2013. Oleh karena kompetensi pendidik, khususnya kompetensi profesional menduduki posisi strategis dalam menentukan kualitas pendidikan, maka pengembangan dan peningkatan kompetensi ini menjadi sesuatu yang harus terus diupayakan, seiring dengan dinamika tuntutan masyarakat
153
yang dinamis dan memiliki keinginan untuk berubah. KESIMPULAN Uraian hasil penelitian dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran, penguasaan SKKD mata pelajaran yang diampu, pengembangan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan, dan pemanfaatan TIK untuk berkomunikasi dan pengembangan diri para guru berkategori baik. Dengan demikian, para guru dinyatakan sudah siap dalam mengimplementasikan kurikulum 2013. Saran 1. Bagi guru Hendaknya terus mengembangkan dan meningkatkan kompetensinya sebagai agen pembelajaran, khususnya kompetensi profesional. 2. Bagi kepala sekolah Hendaknya terus mendorong dan memfasilitasi para guru untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang menunjang bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
3.
4.
Bagi dinas pendidikan Hendaknya selalu berkoordinasi dengan sekolah untuk terus mengupayakan berbagai kegiatan pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan. Bagi LPTK Hendaknya selalu berkoordinasi dengan dinas pendidikan setempat untuk menyelenggarakan kegiatan yang secara teoretis dan teknis membantu para guru untuk meningkatkan profesionalitasnya. DAFTAR PUSTAKA
Samana. (1994). Profesionalisme keguruan. Yogyakarta: Kanisius. Hamzah B. Uno. (2007). Profesi kependidikan. Jakarta:Bumi Aksara. Suharsimi Arikunto. (1993). Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Uzer Usman. (2006). Menjadi guru profesional. Bandung: Rosda Karya. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
154
MANAJEMEN KELAS BERBASIS SOFT SKILL PADA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI SEKOLAH DASAR Sri Utaminingsih PGSD FKIP Universitas Muria Kudus
[email protected] Abstarct The implementation of the curriculum 2013 required teachers ' ability to optimize teaching learning process. This article aims to implement the teaching and learning process in the concept management class for curriculum 2013 at primary school. Using management class based on soft skill the process learning and teaching will be optimize to attain the purpose of curriculum. The class management have to notice the management function as planning, organizing, actuatin and controlling. The collaboration between scientific approach and Pakem as the standard of achievement. The class management also will be success if there is collaboration with the parent, social community, teachers and stake holders. Keywords: Classroom Management, Soft Skills, Curriculum 2013, Scientific Approach
PENDAHULUAN Keberhasilan implementasi kurikulum 2013 disekolah dasar tidak lepas dari keberhasilan guru dalam mengelola pembelajaran. Tuntutan kurikulum yang menginginkan pembelajaran berpusat pada siswa (stundent orented) menuntut kemampuan guru dalam mengelola atau memanage pembelajaran secara optimal. Salah satunya adalah kemampuan guru dalam menciptakan kelas yang efektif. Manajemen kelas merupakan usaha sadar untuk mengatur kegiatan proses pembelajaran secara sistematis. Manajemen kelas yang efektif disebut sebagai kunci belajar siswa yang efektif. ( Shin, Stone, & Walker, 2000 dalam Jones, 2012:4). Dalam manajemen kelas ada beberapa hal yang harus dikuasai guru antara lain yaitu guru harus memahami konsep manajemen kelas, pengaturan pelajaran, pemahaman latar belakang siswa. Hasil observasi dibeberapa sekolah di Kudus yang dilakuakn mahasiswa PGSD UMK yang melakukan PTK Bulan Agustus 2013 – Pebruari 2014 menunjukan bahwa rendahnya hasil belajar siswa sekolah dasar karena pembelajaran yang dilakukan guru secara konvensional atau ceramah, siswa menjadi pasif, lingkungan kelas menjadi monoton. Selain itu pembelajaran kebanyakan terfokus pada materi dan menekanan pada nilai ujian. Keterbatasan pengetahuan guru dan kemampuan guru menjadi salah satu alasan guru belum optimal dalam pengelolaan kelas,
selain alasan klasik waktu dan dana. Pemahaman guru terhadap latar belakang siswa pada akhirnya terkendala juga masalah kemampuan dan komitmen. Kurikulum 2013 menuntut siswa memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain, (Aspek afektif). Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain (Aspek pengetahuan). Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya. (Aspek ketrampilan) Merujuk Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang standar proses menyatakan bahwa Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didikuntuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagiprakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan
155
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Prinsip pembelajaran yang digunakan:1.dari pesertadidik diberi tahu menuju pesertadidik mencari tahu; 2.dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar; 3.dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah; 4.dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi; 5.dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu; 6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;7. Daripembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif; 8. Peningkatan dan keseimbanganan keterampilan fisikal (hardskill) dan keterampilan mental (softskill);9. pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjanghayat;10. pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyomangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);11. Pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan dimasyarakat;12. pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru,siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas.13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkanefisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya pesertadidik. Empat belas prinsip tersebut berkaitan implementasi kurikulum 2013 menuntut guru memakai pendekatan, metode dan sumber belajar secara integratif dan komperhenshif sesuai dengan karakteristik siswa dan tujuan pembelajaran. Selama ini pendekatan guru dalam manajemen kelas disekolah dasar masih terbatas pada pengaturan tempat duduk. Untuk itu kedepan dalam rangka menunjang kesuksesa implimintasi kurikulum 2013 guru harus mempunyai kemampuan dalam manajemen kelas yang dapat menunjang pencapaian tujuan pembelajaran.
Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini, bagaimana konsep manajemen kelas dalam pembelajaran kurikulum 2013 disekolah dasar. Mengapa dalam manajemen kelas kurikulum 2013 penting berbasis soft skill? Tujuan artikel ini untuk menemukan konsep manajemen kelas berbasis soft skill dalam implementasi kurikulum 2013. Manajemen adalah rangakain segala kegiatan yang menunjuk kepada usaha kerjasama antara dua orang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (Arikunto, 2008: 3). Menurut Parker (Stoner & Freeman, 2000) manajemen adalah seni melaksanakan pekerjaan melalui orang-orang untuk mencapai tujuan. Dalam pembelajaran di kelas maka
manajemen diperlukan untuk menata mulai perencanaan sampai pengendalian agar pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat berjalan lancar.Menurut Rukmana dan Suryana (2011:106) manajemen kelas merupakan segala usaha yang diarahkan mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik sesuai denagn kemampuan. Pengaturan tidak hanya terbatas fasilitas fisik tetapi juga menyiapkan kondisi kelas disesuaikan dengan karakteritik peserta didik, kondisi lingkungan, strategi dan model pembelajaran yang dipakai. Dalam implementasi kurikulum 2013 kelas merupakan tempat belajar yang harus dikembangkan. Mengacu standart proses bahwa proses pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik yang didalamnya ada kegiatan mengamati, menanya, mencoba, mengumpulkan dan mengasosiasikan serta mengkomunikasikan maka guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang dapat mengembangkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang sehingga dapat membentuk karakter atau soft skill anak sesuai tuntutan perubahan kurikulum. Soft skill merupakan kemampuan yang bersifat psikis antara lain kemmapuan dalam berkomunikasi, kemampuan dalam bekerjasama, kemampuan dalam berpikir dan memecahkan masalah (Utaminingsih, 2011). definitive softskillmengacupadaa cluster of personal
qualities, habits, attitudes and social graces that make someone a good employee and compatible to society (http://jobs.aol.com/articles/2009/01/26).
156
Merujuk dari konsep di atas maka manajemen kelas untuk membelajarkan soft kill merupakan hal yang urgen, karena dewasa ini konsep – konsep penanaman soft skill lebih banyak berbicara tentang metode pembelajarannya belum memperhatika npengaruh lingkungan kelas terhadap proses keberhasilan pembelajaran. Model yang akan ditawarkan didasarkan pada studi pustaka dan analisa kepustakaan dengan menggunakan pendekatan fenomenologis pengamatan, dan dikembangkan menjadi sebuah model. Karena model ini diterapkan pada tingkat sekolah dasar, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pendidikan ini adalah prinsip pengelolaan yang harus memiliki semangat joyfull class, PEMBAHASAN KonsepManajemenKelas
Dalam pembelajaran kurikulum 2013 dikembangkan standart proses yang mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran. Untuk menunjang pencapaian tujuan pembelajaran perlu manajemen kelas dengan menerapkan fungsi manajemen. Menurut Garcia (2005: 38) ada tiga fungsi manajemen yaitu: perencanaan (planning); pelaksanaan (implementing); dan pengendalian/ evaluasi (controlling/ evaluating). Kosep manajemen kelas dalam implimintasi kurikulum 2013 dapat dijabarkan dari prinsip pembelajaran kurikulum dan tugas guru. Dalam kurikulum 2013 disebutkan tugas guru dalam pengelolaan kelas antara lain: a. Guru menyesuaikan pengaturan tempat duduk peserta didik sesuaidengan tujuan dan karakteristik proses pembelajaran.b. Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harusdapat didengar dengan baik oleh peserta didik, c. Guru wajib menggunakan kata-kata santun, lugas dan mudahdimengerti oleh peserta didik.d. Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dankemampuan belajar peserta didik.e. Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan,
dankeselamatan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran, f. Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons danhasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.g. Guru mendorong dan menghargai peserta didik untuk bertanya danmengemukakan pendapat.h. Guru berpakaian sopan, bersih, dan rapi, i. Pada tiap awal semester, guru menjelaskan kepada peserta didiksilabus mata pelajaran; danj. Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai denganwaktu yang dijadwalkan. (Permindikbud No. 65 Tahun 2013). Tugas guru dalam pengelolan kelas pada kurikulum 2013 perlu dianalisis secara mendalam. Pernyataan: guru menyesuaikan pengaturan tempat duduk peserta didik sesuai dengan tujuan dan karakteritik siswa, merupakan pernyataan terlalu sempit, tepatnya guru menyesuaikan pengaturan kelas pembelajaran bukan hanya tempat duduk. Hal ini karena sesuai prinsip kurikulum 2013 belajar tidak harus di kelas bisa dimana saja. Selanjutnya volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik, ini mengandung makna salah satunya pembelajaran menggunakan ceramah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan prinsip kurikulum 2013 Dalam pengelolaan kelas pada kurikulum 2013 diperlukan pemahamann konsep manajemen kelas secara komperhenshif oleh guru. Menurut Jones (2012:17), manajemen kelas harus berdasarkan pada pemahaman yang kuat atas penelitian dan teori mutakir dalam manajemen kelas serta kebutuah personal dan psikologis. Ini menjadi kendala guru sekolah dasar di Indonesia yang terbatas dalam hal penelitian dan rendah dalam membaca. Kebutuhan siswa belum dipahami guru mempunyai hubungan yang erat dengan prilaku, maka kedepan guru dituntut harus memahami kebutuhan siswanya agar dapat mengelola dengan baik. Selain itu masih menurut Jones manajemen kelas yang komperhensif tergantung pada penciptaan iklim kelas yang positif. Iklim kelas tercipta karena ada hubungan yang baik antara guru dan siswa. Guru dalam mengajar memakai metode bervariasi sehingga siswa tidak mengalami kejenuhuan. Dalam implimintasi kurikulum 2013 guru juga dituntut kemampuan dalam mengelola materi atau komptensi pembelajaran yang pada
157
kahirnya berpengaruh pada pengelolaan kelas. Tujuan pendidikan kurikulum 2013 yang mengacu Taksonomi Bloom menuntut Proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan ketiga ranah tersebut secara holistik, artinya pengembangan ranah yang satu tidak bisa dipisahkan dengan ranah lainnya. Hal tersebut menuntut dalam proses pembelajaran yang menekankan pendekatan ilmiah (scientific) dan tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran dan dalam suatu mata pelajaran) diperlukan kemampuan guru yang tinggi. Guru harus dapat mensetting kelas sedemikian rupa sehingga mampu membuat siswa aktif dan tujuan tercapai Komponen pengelolan kelas komprehenshif menuntut pelibatan guru, siswa dan orang tua. Maka sebelum pembelajaran dimulai guru perlu merancang pembelajaran selama satu semester, selanjutnya dikomunikasikan dengan orang tua dan siswa dan ahli sehingga memperoleh masukan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran. Dalam manajemen kelas tidak hanya aspek fisik dalam arti pengaturan tempat duduk dan alat-alat yang lain dalam kelas tapi yang lebih penting adalah aspek psikis seperti bagaimana menciptakan prilaku siswa dikelas lebih aktif, kritis, dan semangat. Dengan begitu pada perencanaan pembelajaran guru benar-benar sudah berpikir bagaimana mengelola kelas yang dapat membuat siswa aktif, kratif dan menyenangkan serta bermakna, maka dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran (RPP) sintak pertemuan harus jelas tahapannnya. Pada pelaksanaan pembelajaran guru lebih banyak sebagai fasilitator dan inspirasi. Untuk menciptakan kelas yang aktif guru sejak awal pertemuan sudah melibatkan siswa, sehingga konsep kelas yang aktif dan dinamis juga dipahami siswa. Selama ini yang terjadi guru sering menganggap siswa adalah anak kecil yang belum sampai berpikir konsep. Menurut Jones (2012: 120) bahwa dalam rangka menciptakan aktivitas siswa sekolah dasar dapat dilakukan antara lain: siswa diminta menulis gagasan tentang kelas yang baik, menyusun rencana kelas, menciptakan semangat kelas, membuat sejarah kelas, memajang album foto,
memberikan pertanyaan tertutup dan terbuka, membuat hari-hari khusus dan membuat program layanan kelas Manajemen Kelas Berbasis Soft Skill Dalam manajemen kelas penting mengembangkan soft skill karena siswa pada akhirnya akan berada dalam masyarakat yang dinamis, kompetitif dan kooperatif. Sangat tepat kalau sekolah dasar sejak awal memberikan bekal pengalaman hidup bermasyarakat dengan pembelajaran yang inovatif dan berkelompok. Sesuai dengan pendapat John Dewey bahwa kondisi kelas merupakan cerminan dari proses siswa yang akan berada di masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Joyce dan Well (2000), bahwa proses pembelajaran tidak hanya memiliki makna deskriptif dan kekinian akan tetapi juga bermakna prospektif dan berorentasi masa depan. Kurikulum 2013 merupakan perwujudan tuntutan dunia global dalam pendidikan yang harus menghasilkan outcome sesuai dunia kerja atau masyarakat diantaranya sott skill seperti berpikir kritis, mampu bekerjasama, mampu berkomunikasi dan memecahkan masalah secara cepat dan tepat serta mendalam. Soft skill akan tercapai bila anak dibiasakan sejak sekolah dasar mengembangkan kemampuan soft skill dalam proses pembelajaran, oleh karena itu manajemen kelas menciptakan kondisi yang harmonis, menyenangkan, terkelola sesuai dengan fungsi manajemen sehingga tercipta collaborative learning yang melibatkan siswa, guru, orangtua serta masyarakat. Dalam manajemen kelas juga memperhatikan proses pembelajaran yang sekaligus didalamnya melakukan Authentic Assessment atau evaluasi outentik sesuai kemampuan anak. Manajemen kelas berbasis soft skill menurut implimintasi kurikulum 2013 di sekolah dasar dengan kegiatan saintifik (mengamati, menanya, mencoba, menalar dan mengkomunikasikan) maka kelas harus didesain agar siswa dapat aktif, kreatif, efektif dan senang, skema pengembangan model manajemen kelas dapat dilihat pada gambar 1.
158
Gambar 1. Manajemen Kelas Berbasis Soft Skill di Sekolah Dasar Pengembangan soft skill sangat berkorelasi dengan siswa pada saat terjun di masyarakat, yaitu pada saat memasuki dunia kerja dan dunia sosial, selaras dengan hasil penelitian Utaminingsih (2011), dimana pengembangan soft skill mampu meningkatkan mutu lulusan secara efektif sehingga memuaskan pengguna dan siswa itu sendiri. Dengan demikian maka upaya untuk meningkatkan kemampuan soft skill harus diupayakan melalui berbagai cara salah satunya dalam hal mengelola kelas yaitu dengan menggunakan manajemen kelas berbasis soft skill. Soft skill adalah The character traits and
interpersonal skills that characterize a person's relationships with other people(http://www.investopedia.com/terms/ s/soft-skills.asp).Merujuk pada pendapat ini maka soft skill merupakan bentuk perilaku yang akan dimunculkan oleh seseorang pada saat mereka bersentuhan dengan lingkungannya. Oleh karena itu pengelolaan kelas sebaiknya didasarkan pada soft skill yang akan diharapkan muncul pada siswa didik setelah mereka lulus.Hal ini sangat penting sekali karena muatan softskil lharus merupakan hal dominan dalam perilaku siswa didik. Pengelolaan atau manajemen kelas dengan basis soft skill tentunya harus dimulai dengan identifikasi standarkompetensi soft skill yang akan diharapkan dimiliki oleh siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran.Selanjutnya perencanaan situasi dan kondisi atau iklim
dan lingkungan kelas yang sesuai dengan kompetensi softskill harapan, Metode yang pembelajaran yang interaktif dan Pakem sehingga siswa lebih semangat misalnya softskill tentang etika maka kelas di seting sebagai tempat formal penuh etika, dan ada perilaku yang dibuat aturan untuk dilaksankan misalnya orang yang masuk kelas harus ketuk pintu dan member salam, kemudian dalam perencanaa juga perlu didukung dengan kesepakatan aturan yang dibuat untuk dilaksanakan, secara manajemen maka pengendalian (control) dilaksanakanoleh guru, dan siswa. Soft skill menjadi penting dalam ukuran kelulusan siswa karena selama ini dunia kerja dan masyarakat masih menyukai pada orang yang memiliki soft skill bagus. Selanjutnya dengan proses pengembangan soft skill dalam pembelajaran melalui manajemen kelas diharapkan implementasi kurikulum 2013 semakin berkualitas selanjutnya mampu meningkatkan kualitas pendidikan sesuai harapan. PENUTUP Manajemen kelas dalam implementasi kurikulum 2013 sangat penting dalam rangka keberhasilan tujuan pembelajaran. Pengaturan kelas sekolah dasar mencakup pengaturan secara fisik dan psikis melibatkan guru, siswa, orang tua dan masyarakat dengan kegiatan pembelajaran mengamati, menanya, mencoba, menalar dan mengkomunikasikan. Manajemen
159
kelas berbasis soft skill berarti adalah menyiapkan kelas sesuai dengan kompetensi dasar soft skill yang harus dimiliki siswa sesuai dengan tuntutan masyarakat secara saintifik dan Pakem.
Utaminingsih, Sri, 2011. Model Pengembangan Manajemen Berbasis Sot Skill Pada Sekolah Menengah Kejuruan Program Keahlian Pariwisata Di Kota Semarang. Disertasi, Unnes, Semarang
DAFTAR PUSTAKA
Jones Louise, Jones Vern, 2012. Manajemen Kelas Komperhensif. Kencana, Prenada Media Grup, Jakarta
Arikunto S, Yuliana A, 2008. Manajemen Pendidikan. Aditya Media Yogyakarta ______ 2013. Kurikulum 2013. Depdiknas, Jakarta ______ 2013. Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Permindikbud, Jakarta. Garcia, T , 2005. Organization and Management. Stanfilco. Philippines: Stanfilco, C
Joyce, Bruce dan Weil, Marha, 2000. Models of Teaching. London: Allyn and Bacon. Rukmana Ade, Suryana Asep, 2011. Manajemen Kelas, dalam Manajemen Pendidikan, Alfabeta, Bandung.
160
MEMPERSIAPKAN KREATIVITAS CALON GURU SEKOLAH DASAR DALAM MERANCANG PRODUK PEMBELAJARAN MELALUI BRAIN BASED LEARNING UNTUK IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 Unik Ambar Wati, M.Pd PGSD FIP UNY
[email protected] Abstrak Kurikulum 2013 menekankan pada pemerolehan kemampuan kreatif siswa yang dapat dicapai melalui proses pembelajaran. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji kreativitas calon guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta dalam merancang produk pembelajaran Sekolah Dasar dengan menggunakan model pembelajaran Brain Based Learning pada mata kuliah Inovasi Pendidikan. Metode dalam penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Subjek penelitian ini adalah Mahasiswa PGSD kelas VI D semester 6 yang berjumlah 42 orang. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan angket, observasi, dokumentasi, dan wawancara. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rancangan inovasi pembelajaran mahasiswa pada: (a) aspek orisinalitas dalam kategori baik dengan rerata 3,5, (b) aspek kebermaknaan dalam kategori baik dengan rerata 3,65, (c) aspek kebaruan dalam kategori baik dengan rerata 3,5, (d) aspek pemecahan dalam kategori baik dengan rerata 3,5, (e) aspek elaborasi dan sintesis dalam kategori baik dengan rerata 3,5 Kata kunci: Kreativitas, Brain Based Learning, kurikulum
PENDAHULUAN Perubahan kurikulum 2013 merupakan inovasi dalam pendidikan mempunyai implikasi terhadap komponen yang melingkupinya salah satunya adalah strategi pembelajaran. Membekali peserta didik agar mempunyai sikap kreatif diperlukan pada jenjang pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi. Pembentukan sikap tersebut dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang variatif dan bermakna. Program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP UNY juga memilki misi agar dapat menghasilkan mahasiswa yang memiliki kreatifitas dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran di Sekolah Dasar dengan memberikan bekal pada salah satu mata kuliah yaitu Inovasi Pendidikan. Mata kuliah ini memiliki kompetensi agar mahasiswa mampu merancang sesuatu hal yang baru misalnya model pembelajaran atau media pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya Sekolah Dasar. Pencapaian kompetensi tersebut harus didukung oleh kemampuan dasar yaitu kreatifitas.
Kemampuan mahasiswa dalam hal berpikir orisinal belum optimal. Hal ini didasarkan pada contoh-contoh produk yang mereka hasilkan misalnya Rencana Pembelajaran atau media pembelajaran , sebagian besar mirip dengan contoh yang sudah ada. Untuk mengembangkan aspek ini, ketrampilan dasar yang harus dimiliki adalah berpikir kritis, selalu mempertanyakan suatu fenomena, berani berpikir berbeda dengan teman-temanya. Fakta yang sering kita lihat pada pembelajaran dikelas, mahasiswa kurang kritis dalam merespon permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pendidikan dasar bahkan frekuensi bertanya pada diskusi-diskusi kelas tentang teori yang sedang dibahas masih tergolong rendah. Berdasarkan pada kondisi tersebut maka hendaknya perkuliahan memberikan stimulasi kegiatan otak yang menantang. Pembelajaran secara fisik dapat mengubah otak. Meskipun para ilmuwan tidak begitu yakin bagaimana hal ini bisa terjadi, tapi kita tahu bahwa ketika otak menerima stimulus dalam bentuk apapun, proses komunikasi dari sel ke sel diaktifan. Semakin baru dan
161
menantang stimulasinya akan semakin baik otak mengaktivasi jalur barunya. Namun, stimuli ini mempertimbangkan sebagai sesuatu yang tidak berarti bagi otak , maka informasi tersebut akan mendapatkan prioritas rendah dan hanya menyisakan jejak yang lemah. Jika otak merasakan sesuatu yang cukup penting untuk ditempatkan dalam memori jangka panjang, maka potensi memori pun terjadi. Sebagai suatu yang mengundang potensiasi jangka panjang, proses pensinyalan elektrokimiawi ini adalah apa yang disebut oleh para ilmuwan sebagai potensi yang terbentuk. Model perkuliahan yang selama ini dilakukan sudah berupaya untuk membuat mahasiswa aktif dengan menggunakan strategi diskusi atau pembelajaran yang menekankan pada proyek/tugas. Strategi tersebut memiliki kelemahan kurang mengakomodasi mahasiswa yang tidak aktif. Mahasiswa kurang adanya tantangan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Pembelajaran berbasis otak menekankan pada aspek kemampuan potensi otak individu yang harus dikembangkan. Jika mata kuliah ini menuntut adanya kreativitas maka proses perkuliahan yang sebaiknya dikembangkan adalah bagaimana menantang otak mahasiswa agar bisa memunculkan ide atau gagasan dalam rangka menghasilkan produk-produk pembelajaran untuk pendidikan dasar. METODE PENELITIAN Penelitian ini memfokuskan pada situasi kelas yang lebih dikenal dengan Penelitian Tindakan Kelas. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa PGSD FIP UNY semester 6. Penelitian ini diawali dengan observasi pada kreativitas mahasiswa yang masih rendah, kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan tindakan kelas dengan 2 siklus melalui penggunaan model Brain Based Learning. Data penelitian ini berupa kuantitatif, diambil dari rancangan produk pembelajaran yang dihasilkan oleh mahasiswa. Observasi pembelajaran dengan model brain based learning. Angket yang dikembangkan untuk mengetahui kreativitas mahasiswa meliputi
orisinalitas, kebermaknaan, kebaruan, pemecahan, elaborasi dan sintesis. Analisis data dilakukan selama proses pembelajaran, dan dari hasil angket kreativitas mahasiswa. Pada setiap siklus diberikan evaluasi dan refleksi, kemudian menyusun persiapan untuk siklus kedua. Pada siklus kedua dilakukan analisis data yang sama dengan siklus pertama. Bila hasil rancangan produk pembelajaran belum pada kategori baik maka bisa ditambah siklus berikutnya. Jika, hasil siklus kedua sudah baik maka tidak perlu dilanjutkan siklus selanjutnya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengamatan awal dilakukan sebagai suatu studi kelayakan untuk mengetahui apakah permasalahan yang akan diteliti merupakan masalah yang menuntut untuk segera diselesaikan. Permasalahan tersebut adalah kreativitas mahasiswa dalam merancang produk pembelajaran SD masih pada kategori cukup. Contoh produk pembelajaran yang diobservasi awal peneliti adalah dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dibuat mahasiswa masih mirip dengan contoh-contoh yang sudah ada, belum ada keberanian dalam mengembangkan dengan variasi model pembelajaran yang lain.
Selain melakukan pengamatan awal, untuk memudahkan dalam pelaksanaan tindakan maka dibuatlah suatu perencanaan. Perencanaan pembelajaran yang dibuat tertuang dalam bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) meliputi: menentukan kompetensi dasar yang akan dicapai, menentukan indikator atau tujuan pembelajaran yang akan dicapai, pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, materi pelajaran yang akan disampaikan, memilih strategi atau metode pembelajaran yang efektif serta menentukan media atau sumber belajar yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dalam hal ini penggunaan model Brain Based Learning .
162
Siklus Pertama
a. Pelaksanaan Tindakan Siklus Pertama Pertemuan Pertama
Materi Karakteristik, model proses keputusan inovasi, tipe keputusan inovasi, faktor-faktor yang mempengaruhi proses inovasi.
Kedua
Elemen difusi dan desiminasi inovasi, strategi fasilitatif, strategi pendidikan,strategi bujukan,dan strategi paksaan
Ketiga
Model pembelajaran kooperatif
Tindakan Pra pembelajaran Mahasiswa melakukan brain gym Persiapan Memberikan konteks dengan memberi pengait materi tentang contoh inovasi Inisiasi dan Akuisisi Mahasiswa diminta menemukan kata kunci dengan menjawab kertas yang dilempar oleh temanya secara acak. Elaborasi Mahasiswa secara berpasangan melakukan tanya jawab Inkubasi Mendiskusikan secara kelompok konsep baru yang mereka temukan Verifikasi Mahasiswa menyampaikan apa yang telah dipelajari Perayaan Memberikan gambaran pembelajaran berikutnya. Memberi stempel prestasi bagi yang aktif Pra pembelajaran Mahasiswa melakukan brain gym Persiapan Memberikan konteks dengan memberi pengait materi tentang tantangan inovasi Inisiasi dan Akuisisi Mahasiswa diminta menemukan konsep dengan mengokspolari bahan bacaan dari berbagai sumber. Elaborasi Mahasiswa melihat tayangan video d’ron clark story tentang contoh strategi dalam difusi inovasi serta membuat peta pikiran Inkubasi Mendiskusikan antar kelompok konsep baru yang mereka temukan dengan cara ‘shoping ideas’ Verifikasi Mahasiswa menuliskan apa yang telah dipelajari Perayaan Memberikan gambaran pembelajaran berikutnya. Memberi stempel prestasi bagi yang aktif Pra pembelajaran Mahasiswa melakukan brain gym Persiapan Memberikan konteks dengan meminta mereka memilih karakter yang dijadikan kelompok Akuisisi Mahasiswa diminta menemukan kata kunci dengan mencari kartu yang sudah disebar Elaborasi Mahasiswa melihat tayangan video nemo Inkubasi Mendiskusikan antar kelompok konsep baru yang mereka temukan Verifikasi Mahasiswa menuliskan rancangan pembelajaran kooperatif dan mensimulasikan Perayaan Memberikan gambaran pembelajaran berikutnya Memberi stempel prestasi bagi yang aktif
163
Keempat
Pra pembelajaran Mahasiswa melakukan brain gym Persiapan Memberikan konteks dengan meminta mereka memberi sugesti pada diri sendiri dengan contoh mematahkan pensil dengan jari Akuisisi Masing-masing mahasiswa diberi satu kata kunci dan meminta mereka memaknai Elaborasi Mahasiswa menemukan konsep lain yang berhubungan sehingga membentuk bagian utuh dalam quantum teaching Inkubasi Mendiskusikan antar kelompok konsep baru yang mereka temukan dengan diiringi musik Verifikasi Mahasiswa menuliskan rancangan pembelajaran quantum dan mensimulasikan Perayaan Memberikan gambaran pembelajaran berikutnya Memberi stempel prestasi bagi yang aktif
Model quantum teaching
b. Observasi dan Hasilnya Berdasarkan hasil pengamatan pada pelaksanaan tindakan siklus kedua menunjukkan bahwa mengalami kenaikan kreativitas mahasiswa sebagai berikut:
3) Rancangan produk pembelajaran mahasiswa sudah bervariatif. Dari kedua kriteria yang digunakan untuk menentukan keberhasilan tindakan, pada siklus dua ini telah terpenuhi.
Tabel 1.
Indikator
Rerata skor
Orisinalitas
3,6
Kebermaknaan
3,65
Kebaruan
3,5
Pemecahan
3,5
Elaborasi dan sintesis
3,5
c. Refleksi Pelaksanaan Tindakan Siklus Kedua Kesesuaian dengan kriteria ketercapaian tindakan yang telah ditentukan maka dapat ditemukan sebagai berikut selama penelitian tindakan siklus kedua ini dilakukan:
1) Kenaikan tingkat kreativitas mahasiswa pada siklus 1 pada kategori cukup menjadi kategori baik pada siklus 2. 2) Hasil produk pembelajaran yang bernuansa keSDan pada kategori baik.
PEMBAHASAN Berdasarkan dari hasil penilaian rancangan produk pembelajaran mahasiswa dan pengamatan pembelajaran. Maka dapat dilihat bahwa semakin tinggi aktivitas yang menantang otak maka semakin baik produk yang dihasilkan.Berikut ini akan dibahas beberapa hal terkait dengan penerapan model brain based learning untuk meningkatkan kreativitas mahasiswa PGSD 1. Kreativitas mahasiswa Kreativitas merupakan kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (memperkaya, mengembangkan, dan memerinci) suatu gagasan. Rancangan produk yang dihasilkan oleh mahasiswa berupa RPP dan media pembelajaran untuk Sekolah Dasar sudah menunjukkan variasi misalnya mereka menggabungkan beberapa unsur dari model pembelajaran kemudian dimunculkan model pembelajaran yang berbeda misalnya treasure clues yang menggabungkan model cooperatif dan active learning. Media yang dihasilkanpun sudah merupakan hasil pengembangan media sebelumnya misalnya peta yang dimodifikasi
164
dengan teka-teki agar memudahkan anak menghafal letak-letak wilayah di Indonesia. Memunculkan produk yang kreatif memerlukan pendekatan 3P (Press,Proccess, Product). Pendorong (press) berarti lingkungan memiliki andil dalam memberikan rangsangan agar kreativitas dapat terwujud. Proses adalah sesuatu yang diperlukan, untuk melihat bagaimana suatu hasil kreatif dapat dicapai. Produk menunjukkan bahwa setiap hasil kreatif seseorang diharapkan dapat dinikmati oleh lingkungan, dan yang paling penting bahwa hasil kreatif seseorang juga harus bermakna bagi yang bersangkutan (Utami Munandar, 1999 dan Rosemini, 2000). Lingkungan pembelajaran yang dimaksud dalam hal ini adalah saat proses perkuliahan dengan menggunakan brain based leraning yang memicu mahasiswa untuk bereksplorasi dengan ide-ide baru tanpa rasa takut jika salah atau berbeda dengan teman. Tahapan proses disini saat mahasiswa menghasilkan produk dan mengujicobakan ke sekolah bahkan ke lembaga pendidikan misalnya PGSD di kampus lain yaitu ; PGSD UAD, UMP, dan IKIP PGRI dengan respon yang sangat baik dari mereka. Hal ini sekaligus memberikan tantangan tersendiri bagi mereka untuk terus memperbaiki rancangan produk berdasar masukan-masukan dari audiens. 2. Hasil rancangan produk pembelajaran mahasiswa Perbandingan kreativitas mahasiswa pada siklus 1 dan 2 bisa dilihat pada tabel berikut Tabel 2. Aspek Orisinalitas Kebermaknaan Kebaruan Pemecahan Elaborasi dan sintesis
Siklus 1 3,1 3,1 3,2 3,2 3,1
Siklus 2 3,5 3,65 3,5 3,5 3,5
Kemampuan mahasiswa dalam merancang produk sesuai dengan tabel diatas dengan pedoman penilaian berada pada rentang kategori baik. Hal yang paling menonjol dari 5 aspek (orisinalitas, kebermaknaan, kebaruan, pemecahan, elaborasi dan sintesis) adalah pada aspek kebermaknaan. Kebermaknaan merupakan proses belajar melalui proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran
individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks sosialnya. dalam hal ini mahasiswa melakukan kegiatan uji coba tidak hanya di Sekolah Dasar tempat mahasiswa melakukan PPL-KKN tapi juga beberapa lembaga pendidikan. Keaslian atau orisinalitas membuat seseorang mampu mengajukan usulan yang tidak biasa atau unik dan mampu melakukan pemecahan masalah yang baru atau khusus. Aspek orisinalitas masih masih perlu diasah dengan penelusuran referensi yang mendukung, rancangan karya mahasiswa masih banyak yang mengacu pada 4 model yang diajarkan pada mata kuliah sebelumnya yaitu cooperatif learning, active learning, quantum learning, dan multiple intelegence. Contoh produk mahasiswa misalnya team competition learning yang sangat dominan mengacu pada cooperatif learning, karya lain misalnya foreshadow teaching yang merujuk pada quantum teaching, dan hasil rancangan mahasiswa yang mengacu pada active learning misalnya jelajah ilmu, class random , chit-chat club, run ring respone. Elaborasi adalah kemampuan untuk melakukan hal yang detail. Untuk melihat gagasan atau detail yang nampak pada objek (respon) disamping gagasan pokok yang muncul, kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada aspek kebaruan dan elaborasi sintesis karya mahasiswa masih harus terus dieksplorasi hal ini terlihat bahwa langkah-langkah pada model pembelajaran masih pada tataran teoritis belum dijabarkan secara operasional dalam pembelajaran. Catatan lain tentang produk mahasiswa adalah bahwa mereka masih banyak menggunakan bahasa asing dan belum menonjolkan tentang kekhasan budaya masingmasing. 3. Kemampuan kreatif dan implementasi kurikulum 2013 Kurikulum 2013 merupakan salah satu unsur yang bisa memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Pengembangan dengan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
165
berubah. Peran guru dalam mendukung tujuan tersebut sangat signifikan. Kreatifitas guru diperlukan saat proses pembelajaran untuk mendorong peserta didik memperoleh kemampuan tersebut. Jika kemampuan kreatif guru baik maka tentu akan berimplikasi pada keberhasilan tujuan pembelajaran. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti dapat menarik kesimpulan hasil rancangan inovasi pembelajaran mahasiswa menunjukkan bahwa: (a) aspek orisinalitas dalam kategori baik dengan rerata 3,5, (b) aspek kebermaknaan dalam kategori baik dengan rerata 3,65, (c) aspek kebaruan dalam kategori baik dengan rerata 3,5, (d) aspek pemecahan dalam kategori baik dengan rerata 3,5, (e) aspek elaborasi dan sintesis dalam kategori baik dengan rerata 3,5. Dalam hal ini aspek kreativitas yang paling tinggi dari hasil rancangan produk pembelajaran mahasiswa adalah kebermaknaan. Proses pembelajaran mendorong mahasiswa untuk menantang otaknya sehingga mereka akan terbiasa berpikir kreatif. Saran untuk mendukung impelementasi kurikulum 2013 adalah jika calon guru SD telah memiliki kemampuan kreatif yang baik maka kelak jika menjadi guru dia akan mereplikasi apa yang telah didapatkan di kampus untuk merancang proses pembelajaran yang bermakna dan variatif. Penerapan model brain based learning bisa diterapkan pada materi Sekolah
Dasar yang berkait dengan penugasan kreatif bukan konsep. Untuk mengembangkan kemampuan yang lebih advance maka diperlukan keesuaian dalam teknik penilaian dalam rancangan produk pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA
Dave
Meirer. (2001). The Learning. Bandung : Kaifa
Accelerated
Elizabeth . B. Hurlock. (2001). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga. Eric Jensen. (2007). Brain Based Learning. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Jordan E. Ayan. (2002) Bengkel Krativitas. Bandung : Kaifa. Mochtar Buchori. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta : Kanisius. Suharsimi Arikunto. (1993). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Suwarsih Madya.(2009). Teori dan Praktik Penelitian Tindakan. Bandung : Alfabeta. Udin Syaefudin. (2009). Inovasi Pendidikan. Bandung : Alfabeta Utami
Munandar. (1995). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta.
_______.(1999). Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia.
166
LESSON STUDY SEBUAH USAHA UNTUK PERBAIKAN PEMBELAJARAN DI KELAS Widarto Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected], HP: 08122736727
PENDAHULUAN Lesson Study merupakan kegiatan pembelajaran yang bersifat kolegialitas untuk saling memberikan di antara siswa dan guru. Tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di negara Jepang, Lesson Study dilaksanakan secara serius pada beberapa sekolah. Namun, pada praktiknya ada sekolah yang sukses dan ada pula yang gagal. Di negara lain pun mungkin juga terjadi hal seperti itu, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, dalam buku Lesson Study untuk Reformasi Sekolah juga dipertanyakan apakah Lesson Study sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa di suatu sekolah? Sangat mungkin pelaksanaan Leson Study juga terhambat berbagai masalah. Sekarang di Jepang sedang dikembangkan Lesson Study paradigm baru, yang memiliki ciri-ciri sbb: (1) Guru mengamati cara belajar siswa secara seksama; (2) Guru harus menguasai keterampilan mengajar yang kreatif, artinya jika jalannya pelajaran tidak lagi mengikuti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru segera mencari alternatif lain; (3) Guru dan siswa berkolaborasi saling belajar; (4) Guru mendesain pembelajaran sesuai kondisi siswa; (5) Belajar dikondisikan berangkat dari fakta dan selanjutnya dibawa ke dalam kelas; dan (6) Guru dan siswa saling menghargai interpretasi terhadap sesuatu yang didiskusikan pada saat pembelajaran. FILOSOFI LESSON STUDY Di negeri Jepang, filosofi yang diterapkan dalam Lesson Study digambarkan seperti MENUJU KE PUNCAK GUNUNG FUJI. Artinya, seolah-olah siswa diarahkan agar mereka yang penting berusaha menuju ke puncak gunung. Andaikan pada akhirnya tidak semua siswa dapat menggapai sampai puncak gunung tidak masalah. Bila perlu, siswa yang sudah mencapai puncak, diminta turun kembali untuk mendampingi temannya. Dan yang sangat penting juga, pada prinsipnya
diharapkan siswa berusaha mencapai puncak dengan jalannya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, di dalam praktik pembelajaran Lesson Study di kelas, siswa mampu mengungkapkan sesuai dengan bahasanya sendiri menjadi hal yang sangat ditekankan. Sistem pendidikan di Jepang, sampai dengan tingkat SMP, tidak ada standar kompetensi tertentu yang harus dikuasai oleh siswa. Tetapi semua siswa diarahkan untuk menuju kepada kompetensi tertentu. Contohnya, jika di dalam belajar pokok bahasan tertentu ada siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran, siswa itu oleh guru dilewatkan saja, yang penting dia mau belajar. Secara singkat, langkah-langkah Lesson Study meliputi urutan Plan, Do, and See. Plan adalah langkah pada saat guru membuat rencana pembelajaran, atau biasa dikenal dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pada langkah ini, guru boleh berkolaborasi dengan guru lain. Guru yunior disarankan kolaborasi dengan guru yang sudah senior atau berpengalaman. Do adalah langkah pelaksanaan pembelajaran. Pada langkah ini, secara berkala guru yang bersangkutan boleh mengundang guru lain sebagai observer pada kegiatan yang disebut open class. Sedangkan See adalah kegiatan refleksi, yakni me-review atau melihat kembali pelaksanaan pembelajaran yang sudah berlangsung. Untuk itu, kegiatan open class (open lesson) merupakan bagian penting Lesson Study. Pada kegiatan open class, dapat dilaksanakan dalam bentuk open class berbasis kelas atau open class berbasis sekolah. Jika guru melaksanakan open class berbasis kelas, artinya pada saat open class yang menjadi observer adalah guru lain, pada sekolah tersebut yang mengajar kelas yang sama. Contohnya, jika guru modelnya adalah guru kelas 3 SD, maka observernya juga guru kelas 3 SD juga. Contoh lain, pada kasus di tingkat SMP, jika guru modelnya guru mata pelajaran Matematika, maka yang menjadi observer juga guru Matematika. Open class berbasis sekolah
167
maksudnya adalah pada saat kegiatan open class yang menjadi observer semua guru di sekolah tersebut, bahkan boleh dihadiri oleh guru dari sekolah lain. Misi mulia dari pelaksanaan Lesson Study sesungguhnya adalah terbangunnya Learning Community (masyarakat pembelajar). Komponen Learning Community adalah GuruSiswa-Masyarakat. Di antara ketiga komponen itu, diharapkan terjadi interaksi-mutualisme yakni Guru-Siswa-Masyarakat yang ketiganya secara kolegialitas membangun komunitas belajar. Artinya, secara ideal, antara ketiga komponen terjadi proses saling belajar. Oleh karena itu, di dalam Lesson Study tidak perlu buru-buru mentargetkan kemampuan akademik (kompetensi) tertentu yang harus dikuasai oleh siswa. Diperlukan kesabaran, karena prosesnya memang lama dan jalannya pelan-pelan. Sehingga, sebenarnya hasil proses pembelajaran yang tampak dalam waktu singkat bukanlah kemampuan akademik (kompetensi) siswa. Jika siswa memperoleh kompetensi tertentu sesaat setelah proses pembelajaran, sebetulnya itu hanyalah akibat saja, bukan sasaran utama. Tetapi, yang lebih penting adalah mereka (tiga komponen tersebut) bersedia belajar dan merasa senang belajar. DESAIN PEMBELAJARAN DALAM LESSON STUDY Desain pembelajaran dalam Lesson Study sebaiknya menggunakan tipe SPIRAL. Artinya, setiap kali tatap muka selalu diawali dengan mengulang resume (beberapa kata kunci) pelajaran yang telah dibahas sebelumnya. Sehingga pemahaman siswa dibangun dengan desain spiral, yang mewujudkan saling keterkaitan antartopik bahasan. Tujuannya, agar siswa terbiasa mengkonfirmasi dengan pelajaran sebelumnya sebagai referensi. Bahkan, bilamana dipandang perlu topik pelajaran sebelumnya yang digunakan sebagai referensi tersebut boleh dikritisi. Dengan desain yang seperti ini, antartopik pelajaran yang akan dibahas hari ini selalu terkait dengan topic yang sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya. Di samping itu, desain pembelajaran dalam Lesson Study perlu memadukan antara DOING and THINKING. Strategi ini menggiring siswa aktif belajar. Sebagai contoh, ketika siswa belajar tentang topic rambatan bunyi, pada mulanya siswa diminta untuk melakuan eksperimen kecil-kecilan dengan bermain telepon-teleponan dengan alat yang sederhana
(gelas plastic dan benang). Setelah itu, siswa diminta untuk berdiskusi bagaimana proses rambatan bunyi atau suara tersebut bias terjadi. Oleh karena itu, agar desain pembelajaran ini sukses, maka guru harus mempersiapkannya dengan baik disertai penggunaan media yang tepat. Skenario pembelajaran dan penggunaan media yang tepat akan mampu membuat suasana belajar lebih semangat. COLLABORATIVE LEARNING VS COOPERATIVE LEARNING Strategi pembelajaran Collaborative Learning dan Cooperative Learning, keduanya berpandangan bahwa belajar jika dilaksanakan secara kelompok akan lebih produktif. Kedua strategi pembelajaran tersebut memiliki pandangan bahwa belajar sesuatu itu lebih baik bekerjasama dari pada bersaing antarsiwa. Dalam sejarah perkembangannya, Collaborative Learning banyak diterapkan di Jepang, sedangkan Cooperative Learning banyak diterapkan di AS. Kedua strategi pembelajaran itu menggunakan pendekatan teori perilaku sosial John Dewey dan teori perkembangan sosial Vygotsky. Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Menurut Vygotsky manusia adalah makhluk sosial dan tanpa interaksi dengan masyarakat dia tidak dapat mengembangkan kemampuan-kemampuannya. Konsep ini diperoleh sebagai hasil dari perkembangan historis umat manusia. Fungsi psikis yang lebih tinggi muncul terutama sebagai bentuk dari perilaku kolektif seorang anak, yaitu perilaku dalam bekerja sama dengan orang lain. Namun, dalam implementasinya kedua strategi pembelajaran tersebut sebetulnya memiliki beberapa perbedaan. Pada
168
Collaborative Learning, meskipun belajar dilakukan secara berkelompok, namun tidak dikenal adanya leader. Semua siswa kedudukannya sama. Di sini, siswa yang belum paham didorong untuk bertanya dan belajar kepada temannya yang sudah paham. Sehingga, siswa yang sudah paham akan mengulang lebih paham, sementara yang belum paham menjadi paham. Karena, sesungguhnya yang memiliki masalah adalah siswa yang belum paham, bukan siswa yang sudah paham. Dalam Collaborative Learning, hasil belajar bersama tetap menjadi “milik pribadi” atau belajar bersama dengan hasil masingmasing individu. Jadi, hasil belajar berupa pemahaman sendiri-sendiri, bukan hasil kesepakatan kelompok. Collaborative Learning menekankan agar dalam diskusi kelompok terjadi interaksi siswa yang mampu dengan
siswa yang kurang mampu. Oleh karena itu, media belajar harus diciptakan agar terjadi interaksi antarsiswa. Pada strategi Cooperative Learning, dalam bekerja secara berkelompok umumnya menuntut adanya leader atau ketua kelompok. Oleh karena itu, biasanya hasil belajar bersama menjadi “milik kelompok”, atau kesimpulan kelompok tersebut. Strategi ini memang didesain dengan tujuan agar kerjasama menjadi tujuan belajar. Strategi ini juga menekankan siswa yang sudah paham diminta menjelaskan kepada temannya yang belum paham. Sehingga tidak terjadi terjadi prinsip belajar, di mana sesungguhnya yang harus lebih banyak belajar adalah siswa yang belum bisa, bukan siswa yang sudah bisa diberi beban menjelaskan kepada temannya.
Tabel 1. Persamaan dan perbedaan antara Cooperative Learning dengan Collaborative Learning
Persamaan
Perbedaan
Cooperative Learning Kerja kelompok Berdiskusi Kerjasama adalah tujuan belajar Ada ketua kelompok Ada ranking anggota kelompok Mencari kesepakatan Hasil diskusi merupakan pendapat kelompok Bagi yang sudah paham, menjelaskan kepada yang belum paham.
Jelaslah bahwa Collaborative Learning lebih daripada sekadar Cooperative Learning. Jika Cooperative Learning merupakan teknik untuk mencapai hasil tertentu secara lebih cepat, lebih baik, setiap orang mengerjakan bagian yang lebih sedikit dibandingkan jika semua dikerjakannya sendiri, maka Cooperative Learning mencakup keseluruhan proses pembelajaran, siswa saling mengajar sesamanya. Bahkan bukan tidak mungkin, ada kalanya siswa mengajar gurunya juga. Collaborative Learning memudahkan para siswa belajar dan bekerja bersama, saling menyumbangkan pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, tekanan utama Collaborative Learning maupun Cooperative
Collaborative Learning Kerja kelompok Berdikusi Kerjasama adalah sarana belajar Tidak ada ketua kelompok Tidak ada ranking anggota kelompok Tidak mencari kesepakatan Hasil diskusi merupakan pendapat pribadi Bagi yang belum paham, bertanya kepada yang sudah paham. Learning adalah “belajar bersama”. Tetapi, dalam perspektif ini tidak semua “belajar bersama” dapat digolongkan sebagai Cooperative Learning, apalagi Collaborative Learning. Bila para siswa di dalam suatu kelompok tidak saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok Collaborative Learning kolaboratif. Kelompok itu mungkin merupakan kelompok Cooperative Learning atau bahkan sekadar belajar bersama-sama. Inti Collaborative Learning adalah bahwa para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Antaranggota kelompok saling belajar dan membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan individu dan demikian pula sebaliknya.
169
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Format RPP yang perlu dibuat oleh guru sebelum pelaksanaan pembelajaran dalam Lesson Study tidak terlalu mengikat, bahkan cenderung bebas, sesuai kreativitas guru yang bersangkutan. Desain pembelajaran harus dibuat dengan orientasi bagaimana siswa belajar. Jadi tidak perlu desain baku. Sekali lagi, TIDAK PERLU format RPP yang baku. Dalam konteks seperti ini, sangat dianjurkan guru yunior berkonsultasi kepada guru senior dalam menyusun RPP. CONTOH OPEN CLASS Mata Pelajaran Bahasa Guru membaca puisi, formasi duduk siswa bentuk klasikal. Semua siswa diminta menyimak. Selanjutnya siswa diminta diskusi tentang isi puisi tersebut. Selama diskusi tempat duduk siswa diatur tiap kelompok 4 anak, dengan formasi LP/PL, saling berhadaphadapan. Guru mengamati kegiatan belajar siswa, sambil mendatangi tiap kelompok. Selanjutya, siswa diminta menyampaikan pendapatnya dengan argumen masing-masing. Setelah itu, tempat duduk siswa diatur kembali klasikal. Siswa menyampaikan hasil diskusi. Beberapa siswa ditunjuk guru untuk menyampaikan pendapatnya. Tanggapan yang dilontarkan siswa bermacam-macam. Interpretasi tergantung siswa masing-masing siswa dan guru tidak menyalahkan apapun yang disampaikan siswa. Guru juga tidak perlu menggiring siswa ke satu interpretasi tertentu. Guru hanya perlu mengarahkan kalau interpretasi menyimpang terlalu jauh. Mata Pelajaran Matematika Guru menggunakan strategi pembelajaran Otentik. Tempat duduk siswa diatur berkelompok masing-masing 4 anak, dalam formasi LP/PL saling berhadapan.Siswa diberi contoh soal matematika, kemudian diminta mengerjakan menurut caranya masing-masing tetap dalam kelompoknya. Yang terjadi adalah, tiap-tiap kelompok, bahkan bias jadi tiap anak akan mengerjakan dengan:
Cara 1 --------- Cara 2 --------- Mengarah kepada jawaban/hasil yang sama. Cara 3 --------- Dst.
Di sini, peran guru hanya mendorong agar siswa berpikir bebas dengan banyak cara untuk mencapai atau mengarah kepada jawaban yang sama. Guru tidak buru-buru memberi jawaban yang benar kepada siswa tertentu. Kelas Olah Raga Kegiatan releksi (see) dilaksanakan setelah open class. Pada open class, kegiatan yang terjadi adalah guru mengajar, siswa belajar, dan sejumlah observer mengamati bagaimana siswa belajar. Pada kegiatan ini materi yang dibahas utamanya tentang aktivitas siswa belajar dan interaksi antarsiswa. Pada contoh ini, refleksi setelah open class pada mata pelajaran Olah Raga, dengan materi pelajaran tentang senam. Isi bahasannya antara lain seperti ini. Si A biasanya pendiam, hari ini tampak aktif. Si B gerakannya sangat lincah sekali. Si C bisa mengajari siswa yang lain. Gerakan-gerakan yang diperagakan siswa D tampak serius. Gerakan siswa lama-lama berubah menjadi lebih kompak. Siswa E masih ragu-ragu gerakannya. Siswa F gerakannya juga masih ragu-ragu. Siswa G yang kelihatan susah bergerak. Siswa H dalam memperagakan senam masih tampak kaku. Si O betul-betul menguasai gerakkan senam. Dan lain sebagainya. Ketika refleksi, umumnya guru observer dikumpulkan dalam beberapa kelompok dalam 4 orang tiap kelompok, formasi LP/PL, saling berhadapan. Pada saat presentasi hasil diskusi kelompok, topic yang dibahas misalnya dari Kelompok observer A: (1) Guru model tepat menggunakan pendekatan dan media ajar; (2) Observer menyampaikan isi pembicaraan anakanak pada saat diskusi berlangsung; (3) Tugas sesuai dengan target. Pada kelompok observer B: (1) Komunikasi antarsiswa berjalan baik; (2) Bisa dimanfaatkan kelas lain; (3) Penjelasan oleh guru model sangat baik; (4) Strategi belajar yang duterapkan guru tadi, bisa dilanjutkan untuk kelas yang lain; (5) Siswa susah memahami peran sebagai nelayan; (6) Ada siswa susah mengikuti gerakan; dan (7) Ekspresi wajah siswa tampak senang. Kelompok observer C: (1) Video pembelajaran itu dapat ditiru kelas lain; (2) Di kelompok 4, laki-laki dan perempuan tidak ada komunikasi; Dan lain-lain. JEBAKAN LESSON STUDY Terdapat beberapa jebakan atau kekeliruan dalam pelaksanaan Lesson Study. Namun,
170
utamanya ada dua hal. Jebakan pertama, pada saat kegaiatan open class observer hanya fokus pada guru model, dan kurang memperhatikan siswa. Kedua, pada saat mengajar di depan kelas, guru model fokus pada keseluruhan kelas, tidak memperhatikan setiap siswa. Padahal, semestinya Lesson Study lebih menekankan bagaimana siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar. Sehingga, seharusnya yang diamati adalah bagaimana situasi siswa belajar. Hal lain yang penting dalam pelaksanaan Lesson Study adalah guru harus memperhatikan setiap siswa, bukan melihat kondisi kelas secara umum. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang penting bahwa guru harus tahu nama-nama siswa dan harus mampu mendiskripsikan dengan jelas bagaimana siswa belajar, apa yang dia pelajari, dsb. Jebakan atau kekeliruan lain dalam pelaksaan Lesson Study adalah observer menilai siswa, apalagi menilai guru model. Padahal, tidak demikian seharusnya. Mestinya observer mengamati bagaimana siswa belajar. Demikian pula pada saat Collaborative Learning, yang banyak terjadi siswa hanya sebatas saling diskusi. Hal ini juga tidak dibenarkan. Seharusnya antarsiswa saling belajar. Kesalahan lain yang sangat mendasar adalah menganggap bahwa Lesson Study adalah metode mengajar. Padahal sesungguhnya Lesson Study merupakan suatu visi, filosofi, dan sistem. PENUTUP Keberhasilan Lesson Study kuncinya tergantung komitmen Kepala Sekolah. Sebagai gambaran, misalnya Kepala Sekolah menetapkan kebijakan bahwa setiap tahun minimal 1 kali guru open class. Kegiatan Lesson Study diawali dengan komitmen bahwa tiap tahun guru harus open class. Dan untuk itu, paling lama dua minggu sebelum open class, materi pelajaran yang akan disampaikan untuk mengajar harus sudah diberikan kepada semua observer. Lesson Study tidak tergantung dana pemerintah, tergantung komitmen guru yang bersangkutan. Dalam implementasi di kelas,
Lesson Study bisa menggunakan pendekatan Collaborative Learning atau Cooperative Learning, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam Lesson Study seharusnya semua siswa mendapat perhatian yang sama dari guru pengajar. Tidak ada kriteria tertentu sekolah yang seperti apa yang perlu melaksanakan Lesson Study, dan semua itu tergantung komitmen Kepala Sekolah. Oleh karena itu, praktik Lesson Study tidak ada kata berhenti, jadi harus berjalan terus. Demikian juga tidak ada kriteria tertentu untuk keberhasilan Lesson Study di suatu sekolah. Namun, kriteria ini mungkin bisa menjadi indikator: (1) Sikap dan wajah siswa dan guru yang ceria; (2) Guru bisa membentuk Learning Community di sekolah; (3) Semangat belajar siswa meningkat; (4) Motivasi guru meningkat; dan (5) Terjadi ASAH, ASIH, ASUH antara guru-guru; guru-siswa; siswasiswa. PUSTAKA Sato, Manabu (2013). Mereformasi Sekolah: Konsep dan Praktek Komunitas Belajar. Penterjemah: Fatmawati Djafri. Tokyo: Iwanami Shoten. (PELITA: Program untuk Peningkatan Qualitas SMP/MTs.) Sato,
Masaaki (2012). Dialog dan Kolaborasi di Sekolah Menengah Pertama. Praktek “Learning Community”. Penterjemah: Okamoto Shacie. Tokyo: Gyosei. (PELITA: Program untuk Peningkatan Kualitas SMP/MTs.)
Slavin, R.E. (2005). Cooperative learning: theory, research and practice. London: Allymand Bacon. ___________Collaborative Learning. https://otl.curtin.edu.au/teaching_learning _practice/ student_centred/collaborative.cfm. (Diakses 03 April 2014).
171
PENINGKATAN HOTS CALON GURU SD MELALUI PENGGUNAAN DISCREPANT EVENTS PADA AKTIVITAS SAINTIFIK PEMBELAJARAN IPA UNTUK KESIAPAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 Woro Sri Hastuti PGSD FIP UNY
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan higher order thinking skills (HOTS) mahasiswa kelas IIA PGSD FIP UNY melalui penggunaan discrepant events pada aktivitas saintifik dalam pembelajaran IPA. Penelitian ini berjenis penelitian tindakan kelas partisipatif, dengan prosedur plan, act & observe, dan reflect. Penelitian dilakukan di kampus 2 FIP UNY dengan subjek mahasiswa kelas IIA. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dilakukannya tindakan penelitian berupa penggunaan discrepant events pada aktivitas saintifik pada pembelajaran IPA ternyata dapat meningkatkan higher order thinking skills mahasiswa kelas IIA PGSD FIP UNY pada tingkat evaluasi. Cara meningkatkannya yaitu melalui tahapan: set up a discrepant event, pupils investigate to solve the discrepancy, dan resolve the discrepancy. Mahasiswa dalam hal ini menyusun Lembar Kegiatan (LK) yang diuji coba sendiri di luar jam perkuliahan sebelum digunakan sebagai petunjuk kerja pada aktivitas saintifik. Beberapa kelompok ditunjuk sebagai pemandu. Kewajiban pemandu adalah melakukan aktivitas saintifik di luar jam perkuliahan, lalu pada saat perkuliahan memandu kelompok dengan topik yang sama. Kata Kunci: HOTS, Calon Guru SD, Discrepant Events, Aktivitas Saintifik
PENDAHULUAN Pemerintah mulai tahun 2013 telah mendiseminasikan kurikulum baru dan mengujicobakannya pada beberapa sekolah di Indonesia. Kurikulum baru ini disebut sebagai kurikulum 2013. Dalam kurikulum ini khususnya untuk jenjang sekolah dasar (SD), kegiatan pembelajaran diarahkan agar menerapkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran tematik terpadu (Permendikbud, 2013). Pendekatan saintifik biasanya hanya digunakan dalam membelajarkan sains atau IPA saja. Namun dengan diberlakukannya kurikulum baru ini, pendekatan ini digunakan untuk membelajarkan beberapa mata pelajaran secara terpadu. Guru perlu memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk mampu mengembangkan perangkat pembelajarannya, agar mampu mengantarkan peserta didiknya mencapai kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini sesuai dengan kelebihan dilakukannya pembelajaran tematik terpadu, salah satunya yaitu memandu peserta peserta didik mencapai kemampuan berpikir tingkat tinggi (Kemdikbud, 2013: 184).
Kemampuan berpikir adalah kemampuan olah pikir peserta didik dalam melakukan keterampilan-keterampilan proses melalui aktivitas ilmiah. Kemampuan berpikir yang tercermin dari aktivitas ilmiah adalah kemampuan dalam membuat perbandingan, membuat inferensi, mengkritisi, membuat asumsi, berimajinasi, membuat keputusan, dan mengaplikasikan (Carin, 1993: 79). Kemampuan berpikir, menurut Bloom yang telah direvisi, terbagi kedalam beberapa tingkatan Tingkatan berpikir yang dimaksud mulai dari yang terendah sampai tertinggi yaitu remembering, understanding, applying, analysing, evaluating, dan creating (Krathwohl, 2002:215). Lulusan PGSD sebagai calon guru SD yang akan mengimplementasikan kurikulum 2013 dalam pembelajarannya, seyogianya dalam perkuliahan perlu dilatih kemampuan berpikirnya agar berada pada tingkat higher order. Penelitian ini dilakukan berdasarkan persoalan yang terjadi pada mahasiswa PGSD FIP UNY kelas IIA. Berdasarkan amatan peneliti dan hasil wawancara tidak terstruktur dengan pengampu perkuliahan Ilmu Alamiah
172
Dasar yang diselenggarakan pada semester sebelumnya, mereka kurang terbiasa berpikir tingkat tinggi. Understanding merupakan tingkat berpikir yang dimiliki sekitar 40% mahasiswa. Selebihnya baru pada tahap remembering. Pada semester berikutnya yaitu semester genap tahun akademik 2012/ 2013, mahasiswa kelas tersebut menempuh mata kuliah Konsep Dasar IPA. Salah satu tujuan akhir setelah mengikuti perkuliahan mata kuliah tersebut adalah terampil melakukan berbagai proses IPA. Pencapaian keterampilan ini akan berdampak pada kemampuan berpikir mahasiswa yang akan dapat berada pada tingkat tinggi yaitu lebih dari C2 menurut taksonomi Bloom. Apabila kemampuan berpikir seseorang sudah tinggi, maka orang tersebut akan lebih terampil melakukan berbagai proses IPA. Aktivitas saintifik pernah dilakukan di kelas tersebut, namun hasilnya kurang maksimal. Maka dari itu, penelitian ini akan memodifikasi aktivitas saintifik dengan menggunakan discrepant events dalam penerapannya. Discrepant events, merupakan events are presented to gain attention, increase motivation, and encourage pupils to seek ways of solving the discrepancy (Friedl, A.E., 1991: 4). Artinya adalah discrepant events merupakan peristiwa yang diberikan untuk mendapatkan perhatian, meningkatkan motivasi, dan menarik perhatian peserta didik untuk menemukan cara memecahkan ketidakcocokan tersebut. Maknanya yaitu ada peristiwa alam yang seolah-olah bertolak belakang dengan teori yang ada. Mahasiswa harus mencari reasoningnya terhadap peristiwa ini. Penggunaan discrepant events dalam pembelajaran, akan lebih efektif jika mengikuti prosedur yang diungkapkan oleh Friedl, A.E. (1991: 4) yaitu (a) Set up a discrepant event, (b) Pupils investigate to solve the discrepancy, dan (c) Resolve the discrepancy. Atas dasar itu, dalam usaha meningkatkan higher order thinking skills mahasiswa, dilakukan classroom action research dengan tindakan berupa penggunaan discrepant events pada aktivitas saintifik dalam perkuliahan IPA. Penelitian yang terkait dengan tema penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Reni Dewi Mailani, dkk (2008) yang berjudul “peningkatan aktivitas dan hasil belajar fisika siswa melalui pembelajaran inkuiri”. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yaitu terjadinya peningkatan aktivitas siswa SMP dan hasil belajar fisika siswa. Artinya bahwa melalui
pembelajaran inkuiri yang kaya akan kegiatan saintifik, aktivitas ilmiah siswa meningkat dan hasil belajarnyapun meningkat. Aktivitas siswa yang dimaksudkan adalah berbagai kegiatan ilmiah yaitu diskusi dalam kelompok, membuat hipotesis, merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan mengambil kesimpulan. Hasil penelitian tersebut ditindaklanjuti untuk dikembangkan dalam penelitian ini pada subjek mahasiswa PGSD yang mengalami permasalahan sejenis tetapi akan lebih difokuskan pada kemampuan kognitif yang lebih khusus berupa kemampuan berpikir tingkat tinggi. Tindakan yang akan diterapkan dalam penelitian inipun tidak sekedar menerapkan inkuiri, tetapi aktivitas saintifik yang dilakukan mahasiswa dimodifikasi dengan penggunaan discrepant events yang diyakini akan lebih meningkatkan kemampuan berpikir. Aktivitas saintifik atau aktivitas ilmiah adalah sebuah aktivitas melakukan prosedurprosedur seperti apa yang dilakukan ilmuwan. Prosedur-prosedur yang dilakukan ilmuwan pada dasarnya terdiri dari observing (observasi), classifying (mengklasifikasi), communicating (mengkomunikasikan perolehan), measuring (melakukan pengukuran), inferring and predicting (membuat simpulan sementara dan prediksi), dan experimenting (melakukan eksperimen) (Gega, 1994: 11). Aktivitas ilmiah memberikan manfaat bagi peserta didik. Seperti yang diungkapkan oleh Gabel & Lunetta (melalui Sweeney & Paradis, 2004: 2) bahwa ”Laboratory activities can be effective in promoting intellectual development, scientific inquiry, and the development of Problem Solving skill”. Selain itu, menurut Sweeney & Paradis (2004: 2) aktivitas ilmiah dalam hal ini aktivitas laboratorium memiliki manfaat yaitu ”...have the potential to assist in the development of observational and manipulative skills and in understanding key science concepts.” Dengan demikian hasil penelitian ini memberikan manfaat bagi calon guru SD yaitu terjadi peningkatan kemampuan berpikir, peka terhadap peristiwa alam, dan memiliki pengalaman mengembangkan aktivitas saintifik, sehingga siap mengimplementasikan kurikulum 2013. METODE Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) berjenis partisipan, yaitu
173
bahwa orang yang akan melakukan tindakan harus juga terlibat dalam proses penelitian dari awal (Suwarsih Madya, 1994: 27). Orang yang melakukan tindakan dalam penelitian ini adalah pengampu mata kuliah Konsep Dasar IPA yang sekaligus sebagai peneliti. Prosedur penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan kelas yang dikembangkan oleh Kemmis & Taggart (1988: 11) yaitu plan, act & observe, dan reflect dalam bentuk siklus. Penelitian dilakukan di Kampus 2 FIP UNY semester genap. Subjek penelitian adalah mahasiswa kelas IIA. Variabel yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah peningkatan higher order thinking skills mahasiswa kelas IIA PGSD FIP UNY. Rencana tindakan yang akan dilakukan adalah menerapkan discrepant events dalam aktivitas ilmiah pada pembelajaran Konsep Dasar IPA. Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi, observasi dan FGD (Focus Group Discussion). Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan teknik statistik deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dan kualitatif dilakukan dalam setiap tahapan implementasi discrepant events dalam pelaksanaan pembelajaran IPA. Tingkat ketercapaian minimal yang ditargetkan dalam penelitian ini yaitu apabila minimal 75% mahasiswa meningkat HOTSnya dengan indikator mampu melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini dengan benar: (a) mampu menyusun discrepant event (de) dengan arahan pengampu berupa pemberian pertanyaan pancingan. Kriteria de yang benar adalah apabila ada fenomena alam yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan seolah-olah bertolak belakang dengan teori yang ada. Penyusunan ini dibutuhkan kemampuan berpikir kreatif untuk dapat melihat fenomena dari kacamata ilmiah; (b) menemukan persoalan yang harus dicari reasoningnya secara ilmiah; (c) mampu menganalisis, dan menyimpulkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian dan Analisis Deskripsi Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil karya mahasiswa berupa LK dan laboratory report dan hasil evaluasi unjuk kerja pemecahan masalah yang diperoleh melalui observasi dan monitoring. Selain itu juga dijaring data
hasil refleksi mahasiswa selama proses pembelajaran dengan menerapkan discrepant events dalam pelaksanaan pembelajaran bermetode inquiry pada pembelajaran Konsep Dasar IPA. Berdasarkan hasil analisis data, pencapaian indikator keberhasilan diperoleh setelah pelaksanaan tindakan pada siklus II. Dengan demikian penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus dengan prosedur: perencanaan, pelaksanaan & observasi, dan refleksi. Adapun deskripsi hasil penelitian pada masing-masing siklus dijabarkan sebagai berikut. Siklus I
a. Perencanaan Perencanaan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menyusun SAP sesuai tahapan de. Selanjutnya peneliti membuat pembagian kelompok. Peneliti juga menyusun unit plan yang akan disampaikan dalam perkuliahan.
b. Pelaksanaan Siklus pertama dilaksanakan selama 4 kali pertemuan yaitu mulai tanggal 15 April 2013 sampai 6 Mei 2013. Dalam hal ini akan disebutkan sebagai pertemuan 1, 2, 3, dan 4. Pada pertemuan 1, dosen membentuk kelas menjadi 11 kelompok. Dengan demikian setiap kelompok terdiri dari 4 orang, karena jumlah keseluruhan mahasiswa kelas IIA adalah 44. Selanjutnya dosen menyajikan 3 topik, yaitu fluida (tegangan permukaan zat cair), air & minyak, dan sifat zat padat. Setiap topik disediakan pertanyaan pancingan sebagai bahan mahasiswa menyusun discrepamt events (de). Pelaksanaan tindakan pada siklus I dijabarkan berdasar tahapan de sebagai berikut.
1. Pemberian discrepant events Pada tahap ini dosen memancing mahasiswa dengan menyajikan fenomena alam yang seolah-olah berbeda dengan teori fisis. Dosen memulai dengan menanyakan kepada mahasiswa mengenai sifat zat cair. Pertanyaan yang diajukan adalah “apa saja sifat-sifat zat cair?”. Semua mahasiswa mampu menjawabnya dengan benar. Salah satu jawaban mahasiswa adalah air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.
174
Dosen menanyakan dengan kata “mengapa?” Jawaban mahasiswa adalah tempat tinggi memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada tempat rendah. Selanjutnya dosen menyajikan peristiwa yaitu ada air yang justru mengalir dari tempat rendah ke tempat yang lebih tinggi seperti air sumur ke bak penampungan air, air mancur meskipun akhirnya akan ke bawah. Bagaimana penjelasan saudara dengan peristiwa ini? Diskusi berlangsung antar mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen, sampai akhirnya diperoleh jawabannya. Dosen menjelaskan bahwa hal ini adalah discrepant events. Selanjutnya melalui tanya jawab, diperoleh pemahaman apa yang disebut dengan de. Selanjutnya dosen memberikan tiga topik yang ditentukan dosen sesuai dengan silabus. Mahasiswa secara berkelompok menyusun de dengan bimbingan dari dosen. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk tahap ini, dosen menggali pengetahuan mahasiswa melalui berbagai pancingan sehingga menemukan sendiri pengertian de dan menyusunnya sendiri. Hal ini meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa untuk mampu membaca dan menganalisis peristiwa, sehingga pemahaman terhadap konsep fisis semakin meningkat. 2. Aktivitas saintifik oleh peserta didik secara berkelompok Pada kegiatan ini, mahasiswa melakukan aktivitas saintifik untuk menjawab persoalan dari de. Sebelumnya mahasiswa telah menyusun LK. Melalui kegiatan ini, mahasiswa mengetahui LK yang disusun sudah benar atau belum. Dalam hal ini mahasiswa sekaligus membenahi LK yang keliru khususnya pada langkah kegiatan. Berdasarkan hasil observasi ada 7 dari 11 kelompok yang LKnya perlu
3.
4.
5.
6.
dibenahi. Pembenahan dilakukan dibawah bimbingan dosen. Tahap ini menghasilkan data hasil kegiatan inkuirnya sebagai jawaban atas pertanyaan dari de yang disusun. Menjawab persoalan yang diajukan dari discrepant events Berdasarkan data hasil aktivitas saintifik, mahasiswa secara berkelompok menjawab persoalan dari de. Berdasarkan amatan observer, dari 11 kelompok hanya 4 kelompok yang mengkaitkan data dengan teori yang ada. Dosen memberikan bimbingan cara menjawab persoalan, dan semua kelompok dalam menganalis data telah mengkaitkan teori yang mereka tulis dan ada pula yang menambahkan teori karena masih dirasa terlalu dangkal. Menyusun laporan hasil kerja Laporan yang dikumpulkan setelah aktivitas saintifik adalah laporan sementara. Laporan ini dikonsutasikan dosen, lalu dibawa pulang mahasiswa sebagai dasar menyusun laporan lengkap hasil kerja. Mempresentasikan laporan di kelas Secara bergiliran mahasiswa melaporkan hasil kerjanya. Laporan kerja dilakukan secara bervariasi, yaitu dalam bentuk oral presentation, simulasi, dan gambar. Setiap topik hanya diwakili oleh satu kelompok yang ditentukan secara undian. Kelompok dengan topik yang sama memberikan tanggapan apabila terjadi perbedaan pendapat, perbedaan analisis, maupun perbedaan hasil. Topik 1 dilakukan oleh 4 kelompok, topik 2 oleh 4 kelompok, dan topik 3 oleh 3 kelompok. Mengumpulkan laporan kepada pengampu Masukan selama kegiatan presentasi hasil kerja, ditindaklanjuti mahasiswa sebagai bahan revisi sebelum laporan dikumpulkan ke pengampu. Pada pertemuan berikutnya, laporan
175
dikumpulkan kepada pengampu untuk dinilai. c. Hasil Observasi Observasi pelaksanaan tindakan diakukan oleh pengampu mata kuliah, dan melibatkan 2 mahasiswa. Kegiatan ini menggunakan instrumen berupa lembar observasi aktivitas
mahasiswa dan dosen untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan penerapan discrepant events dalam pelaksanaan aktivitas saintifik pada pembelajaran Konsep Dasar IPA. Tingkat kemampuan berpikir mahasiswa berdasarkan hasil penilaian LK dan laporan kerja, diperoleh data berikut ini.
Tabel 1. Hasil Analisis Data Siklus I Kemampuan Kelom- mahasiswa pok menyusun discrepant event (de) 1. Tidak tepat
HOTS Kemampuan mahasiswa melakukan melakukan kajian literatur, merencanakan aktivitas saintifik, dan melaksanakannya dalam usaha menemukan solusi dari ketidakcocokan tersebut. Kajian literatur: tata tulis kurang sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah. Konsep 60% benar. Perencanaan aktivitas saintifik: Kurang komunikatif, dan langkah-langkahnya kurang lengkap, atau kurang sesuai dengan pelaksanaan. Pelaksanaan atau kegiatan investigasi: benar. kajian literatur: 95% benar. Perencanaan: runtut. Pelaksanaan: benar.
2.
Benar
3.
Benar
kajian literatur: Pelaksanaan: benar.
4.
Tidak tepat
5.
Benar
6.
Tidak tepat
7.
Benar
8.
Benar
9.
Benar
10.
Benar
11.
Benar
kajian literatur: tidak ada. Perencanaan: runtut. Pelaksanaan: benar. kajian literatur: 0 (salah) Perencanaan: runtut. Pelaksanaan: benar. Kajian literatur: 100 Perencanaan: kurang lengkap 70. Pelaksanaan: benar. kajian literatur: 100 Perencanaan: runtut. Pelaksanaan: benar. kajian literatur: 90 Perencanaan: runtut. Pelaksanaan: benar. kajian literatur: 100 Perencanaan: runtut. Pelaksanaan: benar. kajian literatur: 90 Perencanaan: runtut. Pelaksanaan: benar. kajian literatur: 80 Perencanaan: kurang runtut 60 Pelaksanaan: benar.
100.
Jumlah
d. Hasil Refleksi Rangkuman hasil refleksi dan rencana tindak lanjut yang tersaji dalam tabel berikut ini.
Perencanaan:
runtut.
Kesimpulan Kemampuan mahasiswa menganalisis, dan menyimpulkan. Analisisnya benar, namun kesimpulannya kurang tepat.
Tidak tercapai
Analisis dan kesimpulan benar 100 Analisis dan kesimpulan benar 100 Analisis dan kesimpulan: 70 Analisis dan kesimpulan: 50 Analisis dan kesimpulan: 90
Tercapai
Analisis dan kesimpulan: 90 Analisis dan kesimpulan: 90 Analisis dan kesimpulan: 100 Analisis dan kesimpulan: 70 Analisis dan kesimpulan: 60
Tercapai
Tercapai
Tidak tercapai Tidak tercapai Tidak tercapai
Tercapai Tercapai Tidak tercapai Tidak tercapai 6 kelompok tercapai. Belum memenuhi target penelitian.
176
Tabel 2. Hasil Refleksi Siklus I
No Hasil Refleksi 1. Pada pelaksanaan tindakan di siklus I, lembar kerja (LK) tidak dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dosen. Harapannya apabila terjadi kesalahan, mereka dapat menemukan sendiri pada aktivitas saintifik. Namun, ternyata hal ini membuat aktivitas saintifik berjalan lama, dan terjadi banyak kesalahan sehingga kurang efektif.
Rencana Tindak Lanjut Sebelum LK digunakan, agar penemuan sendiri tetap dapat dilatihkan kepada mahasiswa, LK diuji coba sendiri oleh mahasiswa di luar jam perkuliahan. Mahasiswa merevisi sendiri, lalu menggunakannya dalam aktivitas saintifik pada jam perkuliahan. Jika ada beberapa kelompok yang mengalami kesulitan, dosen menyediakan waktu di luar jam perkuliahan untuk konsultasi LK. Dengan demikian, waktu aktivitas saintifik pada jam perkuliahan tidak tersita. Sebelum aktivitas saintifik, pada pertemuan sebelumnya, dosen menunjuk kelompok dengan jumlah sesuai topik yang dibahas sebagai pemandu.
2. Setelah para mahasiswa melakukan aktivitas saintifik, mereka menuliskan hasil laporan sementara. Mereka nampak mengalami kebingungan, sehingga dosen harus satu-satu menuju ke kelompok yang membutuhkan. Hal ini membuat kelompok lain yang ingin meminta bantuan harus menunggu kedatangan dosen di kelompoknya tanpa melakukan aktivitas. 3. Kegiatan presentasi kurang Kewajiban pemandu adalah melakukan mendalam. aktivitas saintifik di luar jam perkuliahan, lalu pada saat perkuliahan memandu kelompok dengan topik yang sama.
Siklus II a. Perencanaan Hasil refleksi menunjukkan adanya ketidaktercapaian dari target yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, diperoleh keputusan untuk melanjutkan tindakan pada siklus berikutnya. Uraian yang tersaji pada Tabel 2 tersebut, dijadikan rujukan dalam menentukan perencanaan tindakan pada siklus II ini. Hal-hal yang dilakukan seperti halnya pada perencanaan siklus I, yaitu menyusun SAP, unit plan, pembagian kelompok, dan tambahannya yaitu penentuan kelompok pemandu. b. Pelaksanaan Siklus kedua dilaksanakan selama 4 kali pertemuan yaitu mulai tanggal 13 - 31 Mei 2013. Dalam hal ini akan disebutkan sebagai
pertemuan 1, 2, 3, dan 4. Pada pertemuan 1, hal-hal yang dilakukan yaitu sebagai berikut.
1. Dosen membentuk kelas menjadi 11 kelompok. 2. Dosen menyajikan 2 topik: perambatan panas secara radiasi dan gravitasi bumi. 3. Dosen menentukan 2 kelompok sebagai pemandu dengan cara undian. 4. Dosen menjelaskan tugas pemandu. Pemandu melaksanakan langkahlangkah seperti kelompok lainnya namun mereka melakukannya lebih awal. Pengalaman yang mereka peroleh dijadikan modal memandu kelompok lainnya. Semua kelompok berkesempatan menjadi pemandu.
177
5. Dosen memberikan pertanyaan pancingan sebagai bahan mahasiswa menyusun discrepant events (de). Pancingan yang diberikan dosen untuk topik perambatan panas secara radiasi sebagai berikut. Ketika kita lebih dekat dengan sumber panas seperti api unggun, maka badan kita akan terasa lebih panas, tapi ketika kita naik ke dataran tinggi yaitu ke gunung, badan kita justru merasa lebih dingin dibandingkan ketika berada di dataran lebih rendah, padahal lebih dekat dengan matahari. Mengapa demikian? Untuk topik gravitasi bumi, pancingan yang diberikan dosen sebagai berikut. Semua benda ketika dilepaskan/ tidak ada penopang akan jatuh ke permukaan bumi, tetapi mengapa balon udara tidak? 6. Mahasiswa menyusun de Dengan pancingan dari dosen, mahasiswa menyusun de secara sistematis. Pertemuan ke-2, Mahasiswa mengkonsultasikan de kepada dosen lalu memperbaikinya apabila keliru. Pada pertemuan ke-3, hal-hal yang dilakukan sebagai berikut. 1. Mahasiswa menyusun LK berdasarkan topik yang diterima 2. Mahasiswa mengujicobakan LK dengan melakukan aktivitas saintifik di luar jam perkuliahan 3. Mahasiswa memperbaiki LK, bila perlu dengan bantuan dosen di luar jam perkuliahan. 4. Mahasiswa melaksanakan aktivitas saintifik yaitu menemukan jawaban dari de melalui eksperimen dengan petunjuk dari LK. 5. Berdasarkan aktivitas saintifik yang dilakukan, mahasiswa menuliskan jawaban atas pertanyaan dari de 6. Mahasiswa menyusun laporan lengkap. Laporan sementara dikumpulkan dan dicek oleh dosen pengampu, selanjutnya laporan
lengkap menjadi tugas rumah bagi mahasiswa. Pertemuan terakhir atau ke-4, mahasiswa mempresentasikan laporan di kelas. Pada tahap ini topik yang sama hanya diwakili oleh satu kelompok. Kelompok lain dengan topik yang sama jika ada perbedaan baru mengkomunikasikan hasilnya secara lisan. Kegiatan ini dipandu oleh kelompok pemandu, dan direview oleh dosen. Selanjutnya, apabila ada masukan selama presentasi, dijadikan dasar bagi mahasiswa untuk merevisi laporanenar oleh mahasiswa, laporan dikumpulkan kepada dosen. c. Hasil Observasi
Tindakan pada siklus II mengalami perubahan dibandingkan dengan siklus I. Perubahan-perubahan yang dilakukan yaitu beberapa kelompok mahasiswa bertugas menjadi pemandu. Penentuan kelompok pemandu dilakukan dengan cara undian. Dosen menjelaskan tugas pemandu. Tugas pemandu antara lain melaksanakan langkah-langkah seperti kelompok lainnya namun mereka melakukannya lebih awal. Pengalaman yang mereka peroleh dijadikan modal memandu kelompok lainnya. Semua kelompok berkesempatan menjadi pemandu. Selain itu, LK yang disusun mahasiswa wajib diujicobakan dengan melakukan aktivitas saintifik di luar jam perkuliahan. Apabila mahasiswa mengalami kesulitan, dapat meminta bantuan dosen di luar jam perkuliahan. Ketika kegiatan investigasi berlangsung, mahasiswa dipandu oleh kelompok pemandu, dan hasilnya direview bersama dosen. Adapun tingkat kemampuan berpikir mahasiswa berdasarkan hasil penilaian LK dan laporan kerja, diperoleh data berikut ini.
178
Tabel 3. Hasil Analisis Data Siklus II HOTS
Kelompok
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
kesimp ulan
Kemampuan mahasiswa Kemampuan melakukan melakukan kajian mahasiswa literatur, merencanakan menganalisis, dan aktivitas saintifik, dan menyimpulkan. melaksanakannya dalam usaha menemukan solusi dari ketidakcocokan tersebut. benar Kajian literatur: tata tulis Analisisnya 80% sudah mengalami perubahan benar, namun namun masih kurang sesuai kesimpulannyatep dengan kaidah penulisan at. ilmiah. Konsep 80% benar. Perencanaan aktivitas saintifik: langkah-langkahnya lengkap, atau sesuai dengan pelaksanaan. Pelaksanaan atau kegiatan investigasi: benar. Benar kajian literatur: 100% benar. Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan benar Pelaksanaan: benar. 100 Benar kajian literatur: 100. Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan benar Pelaksanaan: benar. 100 benar kajian literatur: 60% benar. Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan: 60 Pelaksanaan: benar. Benar kajian literatur: 100% benar. Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan: 100 Pelaksanaan: benar. benar Kajian literatur: 100 Analisis dan Perencanaan: kurang lengkap kesimpulan: 100 100. Pelaksanaan: benar. Benar kajian literatur: 100 Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan: 100 Pelaksanaan: benar. Benar kajian literatur: 90 Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan: 90 Pelaksanaan: benar. Benar kajian literatur: 100 Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan: 100 Pelaksanaan: benar. Benar kajian literatur: 100 Analisis dan Perencanaan: runtut. kesimpulan: 100 Pelaksanaan: benar. Benar kajian literatur: 90 Analisis dan Perencanaan: kurang runtut kesimpulan: 80 100 Pelaksanaan: benar. 10 kelompok tercapai. Kesimpulan: telah memenuhi target penelitian.
Kesimpulan
Kemampuan mahasiswa menyusun discrepant event (de)
Tercapai
Tercapai
Tercapai
Tidak tercapai tercapai
Tercapai
Tercapai
Tercapai
Tercapai
Tercapai
Tercapai
179
d. Hasil Refleksi dan Rencana Tindak Lanjut Refleksi dilakukan setelah tindakan pada siklus II selesai dilakukan. Seperti halnya pada siklus I, refleksi ini melibatkan 2 mahasiswa non subjek penelitian. Hal-hal yang dilakukan sama seperti ketika refleksi siklus I, yaitu
mendiskusikan masukan dari mahasiswa, dan membahas jalannya proses pembelajaran pada siklus I. Dari kegiatan ini diperoleh rangkuman hasil refleksi dan rencana tindak lanjut yang tersaji dalam tabel berikut ini.
Tabel 4. Hasil Refleksi Siklus II
No 1.
2.
3.
Hasil Refleksi Dengan perubahan yang dilakukan pada siklus II ini yaitu melakukan uji coba LK sebelum digunakan untuk mengambil data, hasilnya pada proses pengambilan data, mahasiswa mengalami kelancaran, dan mereka lebih fokus pada pengamatan yang dilakukan. Dengan adanya pemandu, pengontrolan jalannya aktivitas saintifik lebih tertata. Bimbingan yang diberikan kepada kelompok lebih intensif, hasilnya ternyata dapat meminimalisir jumlah kesalahan. Presentasi dilakukan oleh kelompok yang melakukan praktikum, dan dilanjutkan pemantapan “penemuan” oleh kelompok pemandu. Hasilnya esensi “aktivitas saintifik” lebih nampak, karena penekanan konsep dari hasil aktivitas saintifik dilakukan sendiri oleh mahasiswa. Tidak ada dominasi dari dosen.
Berdasarkan Tabel 4 di atas, hasilnya sudah baik. Dari 11 kelompok, masih ada 1 kelompok yang belum berhasil. Jadi ada 10 kelompok atau sekitar 40 dari 44 (91%) mahasiswa yang berhasil. Dengan demikian, diputuskan oleh tim peneliti untuk tidak melanjutkan tindakan, dikarenakan sudah mencapai target penelitian ini. PEMBAHASAN Penelitian ini difokuskan untuk meningkatkan HOTS mahasiswa PGSD kelas IIA. Tindakan yang dilakukan yaitu menerapkan penggunakan discrepant events (de) pada aktivitas saintifik dalam pembelajaran Konsep Dasar IPA. Penelitian ini dilakukan atas dasar persoalan yang dialami oleh mahasiswa kelas tersebut. Persoalan ini dapat dikatakan sebagai masalah urgent yang harus segera teratasi, karena merupakan modal calon guru dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 kelak ketika menjadi pendidik di SD. Dengan tercapainya tujuan yang diharapkan dari penelitian ini, maka calon guru SD memiliki kesiapan. Esensi kurikulum 2013 jenjang SD
Rencana Tindak Lanjut Berhasil baik, dapat dilakukan hal serupa.
Berhasil baik, dilakukan hal serupa.
dapat
Berhasil baik, dilakukan hal serupa.
dapat
yaitu guru dapat memfasilitasi peserta didiknya untuk menerapkan pendekatan saintifik dalam semua materi ajar menggunakan pendekatan tematik terpadu. Penelitian ini melatihkan mahasiswa merancang dan melakukan berbagai aktivitas saintifik. Melalui hal ini, terjadi peningkatan HOTS pada mahasiswa. Ketercapaian target penelitian ini menjadi modal mahasiswa nantinya menjadi guru SD yang memiliki inovasi dan kreativitas dalam menerapkan kurikulum 2013 yang diberlakukan. Berbicara mengenai modal mendidik, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan seorang pendidik seperti yang diungkapkan oleh Martin, D.J., (2009: 339) sebagai berikut. “there are three sides to the education triangle: what to teach, how to teach it, and how to measure the results.”. Hal yang ditingkatkan dalam penelitian ini yaitu HOTS. Membahas mengenai how to measure the results, dalam merancang suatu penilaian, harus mengikuti prinsip dasar perancangan agar menjadi instrumen yang tepat digunakan. Menurut Brookhart, S.M., (2010: 17), merancang
180
penilaian pada umunya selalu melibatkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: a. Merumuskan dengan jelas apa yang akan dinilai. b. Mendesain tugas atau item tes yang mampu digunakan peserta didik dalam mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan. c. Menentukan apa yang akan dipakai sebagai bukti tingkat pencapaian peserta didik yang menunjukkan pengetahuan atau keterampilan. Namun demikian, hal itu belum cukup untuk menilai HOTS. Untuk menilai ini, dari sumber yang sama menyarankan bahwa masih diperlukan tiga prinsip tambahan yaitu: a. Memberikan sesuatu kepada peserta untuk berpikir tentang, biasanya dalam bentuk teks pengantar, visual, skenario, bahan materi, atau persoalan-persoalan singkat. b. Menggunakan material novel, yaitu bahan materi baru bagi peserta didik, bukan materi yang sudah diperolehnya di kelas, dalam arti peserta didik hanya mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya. c. Membedakan tingkat kesulitan, antara mudah dan sulit, tingkat berpikir (tingkat berpikir rendah dan tinggi) dan mengontrol masing-masing secara terpisah. Membahas tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini, keseluruhan prinsip tersebut telah dilakukan. Ketiga prinsip umum tentu telah sesuai. Berikut ini dijelaskan khususnya untuk ketiga prinsip tambahan yang secara khusus digunakan dalam menilai HOTS. Secara garis besar, tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu: pemberian de, aktivitas ilmiah oleh peserta didik secara berkelompok, menjawab persoalan yang diajukan dari de, menyusun laporan hasil kerja, mempresentasikan laporan di kelas, dan mengumpulkan laporan kepada pengampu. Pada tindakan ini, dosen memancing mahasiswa dengan menyajikan fenomena alam yang seolah-olah berbeda dengan teori fisis. Tanya jawab berlangsung dalam usaha menyusun hipotesis. Hal ini berarti telah diterapkan prinsip tambahan yang pertama yaitu memberikan sesuatu kepada mahasiswa untuk berpikir tentang suatu fenomena, dalam bentuk visual fenomena dan persoalan. Persoalan yang dipecahkan dalam aktivitas ini bukanlah persoalan yang telah mereka pelajari pada perkuliahan sebelumnya. Dengan demikian hal ini telah menggunakan prinsip
tambahan kedua. Adapun prinsip tambahan yang ketiga, dalam tindakan ini, mahasiswa melakukan berbagai olah pikir mulai yang rendah sampai tinggi. Mahasiswa mengingat kembali konsep dasar yang mereka kuasai, menggunakannya untuk menyusun hipotesis, dan melaksanakan uji coba, serta membahasnya menggunakan critical thinkingnya. Keseluruhan aktivitas tersebut dinilai dalam rangka mengetahui ketercapaian HOTS. Dengan demikian, penilaian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah authentic assesment. Kaitannya dengan kurikulum 2013, mahasiswa telah belajar atau menjadi model untuk dinilai secara otentik. Harapannya calon guru SD ini kelak mampu melakukan penilaian otentik seperti asesmen yang diwajibkan dalam kurikulum 2013 di SD. Membahas data hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, setelah dilakukan perbaikan tindakan pada siklus II yaitu adanya pemandu dari kelompok mahasiswa sendiri yang membantu jalannya aktivitas saintifik, ternyata dapat mencapai indikator yang ditargetkan. Indikator ketercapaian dalam penelitian ini telah diuraikan pada bab metode. King, F.J., Goodson, L., dan Rohani, F. (-: 20) menyatakan HOTS sebagai involves breaking down complex material into parts, detecting relationships, combining new and familiar information creatively within limits set by the context, and combining and using all previous levels in evaluating or making judgments. Selanjutnya lebih jauh diperjelas perbedaan keterampilan berpikir antara lower dan higher disajikan dalam tabel berikut ini (King, F.J., Goodson, L., dan Rohani, F.: -: 37). Tabel 5. Perbedaan keterampilan berpikir antara lower dan higner order thinking.
Lower order Higher order thinking thinking skills skills
181
Berikut ini dibahas HOTS yang telah dicapai mahasiswa setelah dilakukannya tindakan pada siklus II dengan mengacu pada taksonomi Bloom dan Tabel 5 di atas. Prosedur yang dilakukan mahasiswa yaitu sesuai tahapan penggunaan de, yang diungkapkan oleh Friedl, A.E. (1991: 4) sebagai berikut. Langkah pertama yaitu set up a de. Melalui pancingan dari dosen, mahasiswa menyusun de. Dalam kegiatan ini mahasiswa dilatih untuk peka terhadap fenomena alam yang terjadi disekitar mereka, dan menghubungkannya dengan teori fisis yang mereka ketahui, sehingga diperoleh kesimpulan mentara bahwa ada fenomena yang (seolah-olah) bertolak belakang dengan teori yang ada. Olah mental yang mereka lakukan sesuai dengan Taksonomi Bloom yaitu understand. Selain itu, mahasiswa juga dilatih untuk berpikir pada tingkatan evaluate. Hal ini dikarenakan sesuai dengan jabaran pada tabel 5, mahasiswa telah belajar untuk mengkritisi (critiquing) suatu fenomena yang sebelumnya tidak pernah mereka pikirkan. Hal ini sejalan dengan Brookhart, S.M., (2010: 5) yang menyatakan bahwa HOTS sebagai berpikir kritis. Ungkapan didasarkan daria sumber yang dikutipnya sebagai berikut. “Critical thinking, in the sense of reasonable, reflective thinking focused on deciding what to believe or do (Norris & Ennis, 1989) is another general ability that is sometimes described as the goal of teaching. Lebih lanjut dijelaskan bahwa In this case, “being able to think” means students can apply wise judgment or produce a reasoned critique. Langkah kedua yaitu pupils investigate to solve the discrepancy. Dalam tahap ini, mahasiswa melalui aktivitas saintifik, melakukan investigasi untuk menemukan jawaban atas ketidakcocokan tersebut. Sesuai dengan pendapat Gega (1994:11), mereka aktif dalam kegiatan observing, recording data, classifying, predicting, experimenting, dan melakukan tugas apapun yang diperlukan untuk mencari solusinya. Dalam hal ini sesuai dengan keterampilan tingkat higher yang disajikan pada Tabel 5 di atas, berarti mahasiswa telah melakukan olah mental pada tingkatan tinggi yaitu problem solving, scientific experiment, dan scientific inquiry. Langkah terakhir yaitu resolve the discrepancy. Dalam tahap ini mahasiswa melakukan kegiatan menjawab persoalan yang diajukan dalam de, memaknai hasil investigasinya melalui pembuatan laporan hasil
kerja dan presentasi. Olah mental berpikir yang dilakukan mahasiswa yaitu analysis, evaluation, logical thinking, synthesis, dan decision making. Melalui serangkaian kegiatan ini dapat dinyatakan bahwa mahasiswa telah belajar memecahkan peristiwa dengan mandiri sebagai hasil investigasi mereka. Melalui aktivitas dan pengalamannya sendiri, mereka menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan dari de. Dengan begitu, mereka telah mempelajari sesuatu tentang bagaimana mengobservasi, bereksperimen, megumpulkan data, dan melakukan berbagai proses sains lainnya. Dengan demikian, olah mental yang telah dilakukan mahasiswa yaitu understand, evaluate, mengkritisi (critiquing), observing, recording data, classifying, predicting, experimenting, Dalam hal ini berarti mahasiswa telah melakukan olah mental pada tingkatan tinggi yaitu problem solving, scientific experiment, dan scientific inquiry, analysis, evaluation, logical thinking, synthesis, dan decision making. Higher order skills, oleh McDavitt dalam King, F.J., Goodson, L., dan Rohani, F. (-: 20) dalam pembahasannya mengenai taksonomi Bloom, meliputi analysis, synthesis, and evaluation and require mastery of previous levels, such as applying routine rules to familiar or novel problems. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa higher order skills dimulai dari analisis. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini mahasiswa telah meningkat kemampuan berpikirnya pada tingkat analisis, dan evaluasi. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data kelompok, yang diasumsikan semua anggota kelompok aktif bekerjasama untuk melakukan berbagai kegiatan kelompok. Dalam arti kata hasil HOTS kelompok merupakan hasil dari setiap pencapaian anggota kelompok. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data dan pembahasan, diperoleh kesimpulan yaitu setelah dilakukannya tindakan penelitian berupa penerapan penggunaan de pada aktivitas saintifik dalam pembelajaran Konsep Dasar IPA ternyata dapat meningkatkan higher order thinking skills mahasiswa kelas IIA pada tingkat analisis dan evaluasi. Cara meningkatkannya yaitu melalui tahapan: set up
182
a discrepant event, pupils investigate to solve the discrepancy, dan resolve the discrepancy. Dalam penerapannya, mahasiswa menyusun Lembar Kerja (LK). Sebelum LK digunakan, agar penemuan sendiri tetap dapat dilatihkan kepada mahasiswa, LK diuji coba sendiri oleh mahasiswa di luar jam perkuliahan. Jika diperlukan, LK direvisi oleh mahasiswa dengan arahan dari dosen. Sebelum aktivitas saintifik dilaksanakan, pada pertemuan sebelumnya, dosen menunjuk kelompok dengan jumlah sesuai topik yang dibahas sebagai pemandu. Kewajiban pemandu adalah melakukan aktivitas saintifik di luar jam perkuliahan, lalu pada saat perkuliahan memandu kelompok dengan topik yang sama.
Gega, P.C. (1994). How To Teach Elementary School Science. New York: Macmillan Publ. Co.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan kepada: 1. Rekan sejawat pengampu mata kuliah IPA yang akan meningkatkan HOTS melalui inquiry, agar ada peran mahasiswa sebagai “pemandu” dengan tugas seperti yang diuraikan sebelumnya. 2. Mahasiswa, agar selalu mengembangkan berbagai keterampilan sains yang akan mengasah kemampuan berpikirnya. Pencapaian yang diperolehnya selalu diasah karena menjadi modal dalam menerapkan kurikulum 2013 ketika menjadi guru SD.
Martin, D.J. (2009). Elementary Science methods. A Constructivist Approach. Wadsworth cangage learning: USA.
DAFTAR PUSTAKA
Brookhart, S.M. (2010). How To Assess Higher Order Thinking Skills In Your Classroom. ASCD: USA Carin, A.A. (1993). Teaching science through discovery (7th ed.). New York: Macmillan Publ. Co. Friedl, A.E., (1991). Teaching Science to Children. An Integrated Approach. New York: McGraw-Hill,Inc.
Kemdikbud. (2013). Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Kemmis & Taggart. (1988). The Action Research Planner. Victoria: Deakin University Press. King, F.J., Goodson, L., dan Rohani, F. (-). Higher Order Thinking Skills. www.cala.fsu.edu Krathwohl, D R. (2002). Revising Bloom’s Taxonomy. H.W. Wilson Company: http://coe.ohio-state.edu
Permendikbud. (2013). Salinan Permendikbud No. 67 tahun 2013 tentang Kurikulum SD Reni Dewi Mailani, dkk. (2008). Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Fisika Siswa Melalui Pembelajaran Inkuiri. Laporan Hasil Penelitian. FKIP UNILA Suwarsih Madya. (1994). Panduan Penelitian Tindakan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Sweeney, A. E. & Paradis, J. A. (2004). Developing a laboratory model for the professional preparation of future science teachers: a situated cognition perspective [Versi elektronik]. Journal of Research in Science Education, 00, 1-25. Diambil pada tanggal 5 Mei 2007 di http://www.springerlink.com/content/v01 lu32515761q68/.