PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma
oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI 135214115
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma
oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI 135214115
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
EXPERIMENTAL INVESTIGATION OF THE EFFECT OF NOZZLE EXIT POSITION ON STEAM EJECTOR TO THE ENTRAINMENT RATIO AND EXPANSION RATIO PARAMETERS
FINAL PROJECT To Fulfill One of the Requirements to Obtain Strata 1 (S1) Bachelor Degree in the Department of Mechanical Engineering Sanata Dharma University
by :
ADITIA PRATAMA ABDI 135214115 DEPARTMENT OF MECHANICAL ENGINEERING FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2016
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO
Disusun oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI 135214115
Telah disetujui dan disahkan oleh Dosen Pembimbing Pada tanggal 24 Agustus 2016
Yogyakarta, 24 Agustus 2016 Mengetahui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Wibowo Kusbandono, S.T., M.T.
Stefan Mardikus, S.T., M.T.
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO Yang dipersiapkan dan disusun oleh :
ADITIA PRATAMA ABDI 135214115 Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Pada tanggal 24 Agustus 2016
Susunan Dewan Penguji
Nama Lengkap
Tanda Tangan
Ketua
:
Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T.
........................
Sekretaris
:
Doddy Purwadianto, S.T., M.T.
........................
Anggota
:
Wibowo Kusbandono, S.T., M.T.
........................
Stefan Mardikus, S.T., M.T.
........................
Yogyakarta, 24 Agustus 2016 Mengetahui, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma
Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
:
Aditia Pratama Abdi
NIM
:
135214115
menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul:
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO adalah hasil karya sendiri dan bukan jiplakan hasil karya orang lain.
Tidak pernah terdapat suatu karya yang sama diajukan pada Perguruan Tinggi lain. Dan sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya dan pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016 Penulis,
Aditia Pratama Abdi
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Saya yang bertanda tangan di bawah ini sebagai mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta: Nama
:
Aditia Pratama Abdi
NIM
:
135214115
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya dengan judul:
INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO Dengan demikian saya memberikan wewenang untuk Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, serta mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dan memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis karya ilmiah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016 Penulis,
Aditia Pratama Abdi
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Steam ejector merupakan sistem refrijerasi yang ramah lingkungan, dimana pengoperasiannya dapat memanfaatkan waste heat yang dihasilkan dari berbagai macam proses industri. Steam ejector mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan sistem refrijerasi yang lainnya, antara lain struktur desain yang praktis, hemat biaya produksi, dapat digunakan untuk berbagai macam jenis refrijeran, dan perawatan yang mudah. Dalam bidang industri, steam ejector biasanya digunakan untuk memompa cairan yang bersifat korosif dan berbagai macam gas yang sulit ditangani. Penelitian tentang steam ejector ini digunakan untuk mengetahui performa pada steam ejector berdasarkan nilai entrainment ratio dan nilai expansion ratio. Penelitian ini menggunakan variasi pada primary nozzle exit position (NXP), dimana NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm dilakukan pengujian terhadap primary pressure sebesar 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar, serta secondary temperature sebesar 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Variasi penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh posisi NXP terhadap besarnya nilai entrainment ratio dan nilai expansion ratio untuk kondisi pengoperasian steam ejector yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio yang optimal terletak pada NXP +5 mm untuk variasi secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, dan 70 ˚C, serta variasi primary pressure 1 bar. Sedangkan pada variasi primary pressure 2 bar, nilai entrainment ratio yang optimal terletak pada NXP -5 mm. Nilai expasion ratio maksimal untuk NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm terletak pada secondary temperature 50 ˚C dengan melakukan variasi pada primary pressure. Sedangkan pada variasi secondary temperature, nilai expansion ratio maksimal terletak pada primary pressure 4 bar untuk NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm.
Kata kunci: steam ejector, entrainment ratio, expansion ratio, NXP
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT Steam ejector was an environmentally friendly refrigeration system, wherein its operation could utilize waste heat that produced from many kinds of industrial processes. Steam ejector had many advantages over the other type of refrigeration system, such as structural design simplicity, low production cost, can be used for many types of refrigerant, and easy to maintain. In industrial sector, steam ejector usually used for pumping corrosive liquids and many kinds of gases which are difficult to handle. The study about this steam ejector system was used to discover the steam ejector performance based on the entrainment ratio value and the expansion ratio value. This study used variations of primary nozzle exit position (NXP), where NXP -5 mm, NXP 0 mm, and NXP +5 mm were experimentally tested for primary pressure 1 bar, 2 bar, 3 bar, and 4 bar, as well as experimentally tested for secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. These experimental variations on this study were used to discover the effect of NXP position toward the entrainment ratio value and the expansion ratio value for different steam ejector operating conditions. The result of this study founded that optimal entrainment ratio value was NXP +5 mm when the steam ejector experimentally tested for secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, and 70 ˚C, as well as for primary pressure 1 bar. While for the variation of primary pressure 2 bar, the optimal entraintment ratio value was NXP -5 mm. Maximum expansion ratio value for NXP -5 mm, NXP 0 mm, and NXP +5 mm was at secondary temperature 50 ˚C by variating the primary pressure. While for the variation of secondary temperature, the maximum expansion ratio value was at primary pressure 4 bar for NXP -5 mm, NXP 0 mm, and NXP +5 mm.
Keywords: steam ejector, entrainment ratio, expansion ratio, NXP
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat karunia-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya ilmiah yang telah penulis susun sejak lama sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2.
Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T. selaku Kepala Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3.
Wibowo Kusbandono, S.T., M.T. selaku Pembimbing I Skripsi dan Dosen Pembimbing Akademik yang terus memberikan semangat dan dukungan kepada penulis selama mengerjakan tugas akhir.
4.
Stefan Mardikus, S.T., M.T. selaku Pembimbing II Skripsi yang sangat penulis hormati sebagai panutan dan penyemangat bagi penulis selama menyusun hingga menyelesaikan skripsi.
5.
Doddy Purwadianto, S.T., M.T. selaku Kepala Laboratorium Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memfasilitasi berbagai macam sarana dan prasarana bagi penulis selama mengerjakan tugas akhir.
6.
Ag. Rony W., Intan Widanarko, dan Martono D. N. selaku Laboran Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah banyak
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membantu dan memberikan masukan serta nasehat yang berguna bagi penulis selama mengerjakan tugas akhir. 7.
Susilo selaku ayah dari penulis yang telah memberikan banyak dukungan, baik dukungan secara materi maupun moral. Beliau dengan sabar membimbing penulis selama menempuh proses belajar di Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
8.
Almh. Marlina selaku ibu dari penulis yang tetap menjadi penyemangat hidup bagi penulis untuk terus berjuang.
9.
Veronica Dwi Cahyani selaku adik perempuan penulis yang telah memberikan banyak dukungan dan semangat selama penulis menempuh proses belajar di Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
10.
Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto dan Gilang Argya Dyaksa selaku rekan satu tim penulis selama mengerjakan tugas akhir hingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
11.
Semua rekan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan banyak semangat dan dukungan bagi penulis selama proses mengerjakan tugas akhir dan menyelesaikannya dengan baik. Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang penulis sadari akan sangat berguna untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. Penulis sangat berharap bahwa skripsi yang telah disusun oleh penulis dapat berguna untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Penulis
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan penuh rasa bangga dan penuh dengan ucapan syukur Naskah ini penulis persembahkan untuk:
Ayahanda tercinta, Susilo Ibunda terkasih, (Almh.) Marlina Adik tersayang, Veronica Dwi Cahyani
Dosen Pembimbing terhormat, Stefan Mardikus, S.T., M.T. dan Wibowo Kusbandono, S.T., M.T.
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
v
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI .......................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
vii
ABSTRACT .....................................................................................................
viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxiv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG...................................................
xxv
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .....................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................
7
1.4. Batasan Masalah ..................................................................
7
1.5. Manfaat Penelitian ...............................................................
8
BAB II DASAR TEORI ..................................................................................
9
2.1. Steam Ejector .......................................................................
9
2.2. Tipe Steam Ejector ..............................................................
10
2.2.1.
Conventional
Ejector
Refrigeration
System
(CERS)................................................................... 2.2.2.
New Ejector Refrigeration System (NERS) - ERS With an Additional Jet Pump .................................
2.2.3.
10
Multi-stage
Ejector
Refrigeration
System
(MERS)..................................................................
xii
12
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.3. Aplikasi Steam Ejector ........................................................
16
2.3.1.
Steam Jet Ejector for Deodorizing Edible Oils .....
16
2.3.2.
Steam Ejector Refrigeration System in Thailand ..
17
2.4. Komponen Utama Steam Ejector ........................................
19
2.4.1.
Primary Nozzle ......................................................
19
2.4.2.
Mixing Chamber ....................................................
20
2.4.3.
Ejector Throat........................................................
20
2.4.4.
Subsonic Diffuser ...................................................
20
2.5. Kondisi Pengoperasian Steam Ejector .................................
21
2.6. Parameter Performa Steam Ejector ......................................
24
2.6.1.
Entrainment Ratio (ω) ...........................................
24
2.6.2.
Pressure Lift Ratio (PR) ........................................
25
2.6.3.
Expansion Ratio (ER) ............................................
25
2.7. Fenomena Aliran Steam Ejector ..........................................
26
2.7.1.
Compressible Flow ................................................
26
2.7.2.
Supersonic Nozzle dan Subsonic Diffuser .............
29
2.7.3.
Converging of Primary Nozzle ..............................
30
2.8. Mach Number (Ma) .............................................................
31
2.9. Reynolds Number (Re) .........................................................
32
2.10. Hukum Gas Ideal .................................................................
34
2.11. Kinematika Fluida ...............................................................
35
2.11.1. Aliran Invisid dan Viskos ......................................
35
2.11.2. Aliran Kompresibel dan Tak Kompresibel ............
36
2.11.3. Aliran Laminer dan Turbulen ................................
36
2.11.4. Aliran Mantap dan Tak Mantap.............................
38
2.11.5. Aliran Seragam dan Tidak Seragam ......................
38
2.12. Viskositas (Kekentalan) .......................................................
38
2.12.1. Hukum Newton Tentang Kekentalan Zat Cair ......
39
2.13. Pengukuran Debit Aliran .....................................................
40
2.13.1. Teori Hambatan Bernoulli (Bernoulli Obstraction Theory)...................................................................
xiii
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.13.2. Orifice Plate ..........................................................
41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................
44
3.1. Diagram Alir Penelitian .......................................................
44
3.2. Alat Penelitian .....................................................................
46
3.2.1.
Sistem Alat Penelitian ...........................................
46
3.2.2.
Sistem Steam Ejector .............................................
47
3.3. Variabel Penelitian...............................................................
49
3.3.1.
Variabel Bebas .......................................................
50
3.3.2.
Variabel Terikat .....................................................
50
3.4. Prosedur Penelitian ..............................................................
51
3.5. Alat Penelitian .....................................................................
56
3.5.1.
Fluida Kerja ...........................................................
3.5.2.
Boiler dengan Water Heater Element 2000 Watt ..............................................................
3.5.3.
57
57
Evaporator dengan Water Heater Element 1000 Watt ..............................................................
59
3.5.4.
Steam Ejector .........................................................
60
3.5.5.
Kondensor ..............................................................
61
3.5.6.
Alat Ukur Temperatur ...........................................
62
3.5.7.
Alat Ukur Tekanan ................................................
64
3.5.8.
Alat Ukur Debit Aliran ..........................................
64
3.5.9.
Roll Meter ..............................................................
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................
67
4.1. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada Setiap Secondary Temperature .................... 4.1.1.
67
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi
Primary
Pressure
Pada
Secondary
Temperature 50 ˚C.................................................
xiv
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.1.2.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi
Primary
Pressure
Pada
Secondary
Temperature 60 ˚C................................................. 4.1.3.
69
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi
Primary
Pressure
Pada
Secondary
Temperature 70 ˚C................................................. 4.1.4.
70
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi
Primary
Pressure
Pada
Secondary
Temperature 80 ˚C.................................................
71
4.2. Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment
Ratio
Dengan
Menggunakan
Variasi
Secondary Temperature Pada Setiap Primary Pressure ..... 4.2.1.
72
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 1 bar ........................................................
4.2.2.
73
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 2 bar ........................................................
4.2.3.
74
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 3 bar ........................................................
4.2.4.
75
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 4 bar ........................................................
xv
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.3. Pengaruh
Secondary
Temperature
Terhadap
Nilai
Expansion Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm .........................................................................
78
4.4. Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Expansion Ratio
Dengan
Menggunakan
Variasi
Secondary
Temperature Pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm ......................................................................... 4.5. Pengaruh
Primary
Nozzle
Exit
Position
79
Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Setiap Secondary Temperature .... 4.5.1.
80
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai
Entrainment
Ratio
Pada
Secondary
Temperature 50 ˚C................................................. 4.5.2.
81
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai
Entrainment
Ratio
Pada
Secondary
Temperature 60 ˚C................................................. 4.5.3.
82
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai
Entrainment
Ratio
Pada
Secondary
Temperature 70 ˚C................................................. 4.5.4.
83
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai
Entrainment
Ratio
Pada
Secondary
Temperature 80 ˚C................................................. 4.6. Pengaruh
Primary
Nozzle
Exit
Position
84
Terhadap
Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Setiap Primary Pressure ..............
xvi
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4.6.1.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 1 bar ..........................................................................
4.6.2.
86
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 2 bar ..........................................................................
4.6.3.
87
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 3 bar ..........................................................................
4.6.4.
89
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 4 bar ..........................................................................
90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
92
5.1. Kesimpulan ..........................................................................
92
5.2. Saran ....................................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
96
LAMPIRAN .....................................................................................................
99
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Grafik tingkat produksi dan penjualan batu bara tahun 2003 - 2013. .........................................................................
Gambar 1.2
Skema sistem pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga uap. ...........................................................................
Gambar 1.3
Skematik
sederhana
steam
ejector
sebagai
3
Constant-pressure Mixing Ejector dan Constant-area Mixing Ejector. ....................................................................
Gambar 2.1
2
sistem
pendinginan. ......................................................................... Gambar 1.4
1
4
Skematik kecepatan aliran dan tekanan pada setiap bagian steam ejector. .......................................................................
10
Gambar 2.2
Conventional Ejector Refrigeration System (CERS). ..........
11
Gambar 2.3
COP vs condenser pressure. ................................................
11
Gambar 2.4
Entrainment ratio vs ejector back pressure. ........................
12
Gambar 2.5
New Ejector Refrigeration System (NERS). ........................
13
Gambar 2.6
ERS with an additional ejector by Yu et al. (2006). ...........
13
Gambar 2.7
COP vs back pressure pada CERS dan NERS. ...................
14
Gambar 2.8
Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS). ............
15
Gambar 2.9
Three Parallel MERS. .........................................................
15
Gambar 2.10
Desain gambar 3D sistem vacuum dengan menggunakan steam ejector yang diproduksi oleh Eko Zora, Ltd (Bulgaria). ............................................................................
Gambar 2.11
16
Steam ejector refrigeration system saat digunakan sebagai air conditioning system. .......................................................
18
Gambar 2.12
Komponen utama steam ejector. .........................................
19
Gambar 2.13
Kondisi pengoperasian pada steam ejector. .........................
21
Gambar 2.14
Efek kondisi pengoperasian terhadap performa steam
Gambar 2.15
ejector. .................................................................................
22
Primary mass flow vs boiler temperature. ..........................
23
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 2.16
Critical condenser pressure (critical back pressure) vs evaporator temperature. ......................................................
Gambar 2.17
24
Perbandingan antara area ratio dan Mach number untuk compressible flow dengan nilai k = 1,4. ..............................
27
Gambar 2.18
Normal shock wave. .............................................................
28
Gambar 2.19
Perbedaan antara supersonic nozzle dan subsonic diffuser..
29
Gambar 2.20
Kondisi pengoperasian pada converging nozzle. .................
30
Gambar 2.21
Aliran laminer, transisi, dan turbulen. .................................
34
Gambar 2.22
Developing velocity profiles and pressure change. .............
36
Gambar 2.23
Aliran laminer - kecepatan aliran rendah. ............................
37
Gambar 2.24
Aliran laminer dalam pipa. ..................................................
37
Gambar 2.25
Aliran turbulen - kecepatan aliran tinggi. ............................
37
Gambar 2.26
Aliran turbulen dalam pipa. .................................................
37
Gambar 2.27
Newtonian shear distribution. .............................................
39
Gambar 2.28
Tegangan geser pada dua penampang paralel......................
39
Gambar 2.29
Perubahan
tekanan
dan
kecepatan
pada
Bernoulli
Obstruction Meter. ............................................................... Gambar 2.30
40
Grafik hubungan antara Red dan Cd untuk Thin Plate Orifice. .................................................................................
42
Gambar 3.1
Diagram alir penelitian. .......................................................
46
Gambar 3.2
Skema sistem alat penelitian. ...............................................
46
Gambar 3.3
Sistem steam ejector. ...........................................................
47
Gambar 3.4
Steam ejector yang digunakan pada penelitian. ...................
48
Gambar 3.5
Penampang aliran pada steam ejector. .................................
48
Gambar 3.6
Komponen steam ejector pada penelitian beserta dengan ukurannya. ...........................................................................
49
Gambar 3.7
Primary nozzle exit position (NXP) +5 mm. .......................
52
Gambar 3.8
Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP +5
Gambar 3.9
mm. ......................................................................................
52
Primary nozzle exit position (NXP) 0 mm. .........................
53
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 3.10
Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP 0 mm. ......................................................................................
53
Gambar 3.11
Primary nozzle exit position (NXP) -5 mm. ........................
54
Gambar 3.12
Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP -5 mm. ......................................................................................
54
Gambar 3.13
Diagram alir prosedur pelaksanaan penelitian. ....................
56
Gambar 3.14
Boiler. ..................................................................................
57
Gambar 3.15
Water heater element 2000 Watt. ........................................
58
Gambar 3.16
Evaporator. ...........................................................................
59
Gambar 3.17
Water heater element 1000 Watt. ........................................
59
Gambar 3.18
Steam ejector. ......................................................................
60
Gambar 3.19
Kondensor. ...........................................................................
61
Gambar 3.20
Thermocouple type K. ..........................................................
62
Gambar 3.21
Thermo display APPA. ........................................................
63
Gambar 3.22
Bourdon tube pressure gauge. .............................................
64
Gambar 3.23
Orifice plate. ........................................................................
65
Gambar 3.24
Air raksa. ..............................................................................
65
Gambar 3.25
Roll meter.............................................................................
66
Gambar 3.26
Aplikasi roll meter pada Manometer Pipa U Air Raksa. .....
66
Gambar 4.1
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 50 ˚C. ........
Gambar 4.2
68
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 60 ˚C. ........
Gambar 4.3
69
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 70 ˚C. ........
Gambar 4.4
70
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 80 ˚C. ........
xx
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.5
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 1 bar. .........
Gambar 4.6
73
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 2 bar. .........
Gambar 4.7
74
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 3 bar. .........
Gambar 4.8
76
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 4 bar. .........
Gambar 4.9
77
Grafik pengaruh secondary temperature terhadap nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm. ........................................................................
Gambar 4.10
Grafik
pengaruh
primary
pressure
terhadap
78
nilai
expansion ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm. ........................................................................ Gambar 4.11
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 50 ˚C. ........ Gambar 4.12
81
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 60 ˚C. ........ Gambar 4.13
80
82
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 70 ˚C. ........
xxi
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.14
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada secondary temperature 80 ˚C. ........ Gambar 4.15
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada primary pressure 1 bar. .................. Gambar 4.16
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada primary pressure 2 bar. ..................
88
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada primary pressure 3 bar. .................. Gambar 4.18
86
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
Gambar 4.17
85
89
Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan
antara
nilai
expansion
ratio
dan
nilai
entrainment ratio pada primary pressure 4 bar. ..................
xxii
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Sifat aliran berdasarkan nilai Mach number (Ma). ..............
31
Tabel 3.1
Keterangan simbol pada skema sistem alat penelitian. .......
47
Tabel 3.2
Variabel bebas pada penelitian. ...........................................
50
Tabel 3.3
Variabel terikat pada penelitian. ..........................................
50
Tabel 3.4
Tekanan dan temperatur pada boiler dan evaporator, beserta dengan ukuran NXP yang digunakan pada penelitian..............................................................................
51
Tabel 3.5
Properti air pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 ˚C. .......
57
Tabel 3.6
Spesifikasi teknis water heater element 2000 Watt. ............
58
Tabel 3.7
Spesifikasi teknis water heater element 1000 Watt. ............
60
Tabel 3.8
Spesifikasi teknis steam ejector. ..........................................
61
Tabel 3.9
Spesifikasi teknis thermocouple type K. ..............................
62
Tabel 3.10
Spesifikasi teknis thermo display APPA. ............................
63
Tabel 3.11
Spesifikasi teknis bourdon tube pressure gauge. ................
64
Tabel 3.12
Properti air raksa pada tekanan 1 atm dan temperatur 20˚C. ....................................................................................
xxiii
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A.1
Gambar Keseluruhan Sistem Steam Ejector ........................
Lampiran A.2
Gambar Penampang Aliran Pada Steam Ejector ................. 100
Lampiran B.1
Gambar Teknik Primary Nozzle ..........................................
Lampiran B.2
Gambar Teknik Suction Chamber ....................................... 102
Lampiran B.3
Gambar Teknik Mixing Chamber ........................................ 104
Lampiran B.4
Gambar Teknik Ejector Throat ........................................... 105
Lampiran B.5
Gambar Teknik Subsonic Diffuser....................................... 106
Lampiran C.1
Data Pengamatan Untuk NXP -5 mm ..................................
Lampiran C.2
Data Pengamatan Untuk NXP 0 mm ................................... 108
Lampiran C.3
Data Pengamatan Untuk NXP +5 mm ................................. 109
Lampiran D.1
Data Hasil Analisis Untuk NXP -5 mm ...............................
Lampiran D.2
Data Hasil Analisis Untuk NXP 0 mm ................................ 111
Lampiran D.3
Data Hasil Analisis Untuk NXP +5 mm .............................. 112
xxiv
99
101
107
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG Pemakaian Singkatan
Nama
Pertama kali Pada halaman
AC
Alternating Current
55
CERS
Conventional Ejector Refrigeration System
10
CFD
Computational Fluid Dynamics
22
COP
Coefficient of Performance
11
ERS
Ejector Refrigeration System
10
ESDM
Energi dan Sumber Daya Mineral
1
LPG
Liquefied Petroleum Gas
18
MERS
Multi-stage Ejector Refrigeration System
14
NERS
New Ejector Refrigeration System
12
PLTGU
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap
2
Pemakaian Lambang
Nama
Satuan
Pertama kali Pada halaman
A
Luas penampang saluran
m2
36
A*
Luas penampang saluran
m2
27
m/s
31
kritis
a
Kecepatan suara
Cd
Discharge coefficient
Tidak ada satuan
42
D
Diameter pipa saluran
m
33
D2
Diameter vena contracta
m
41
d
Diameter orifice plate
m
41
du dy
Gradien kecepatan aliran
m/s
40
xxv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ER
Expansion ratio
Tidak ada satuan
25
k
Specific heat ratio
Tidak ada satuan
28
Ma
Mach number
26
Ma1
Mach number
Tidak ada satuan Tidak ada satuan
Tidak ada satuan
28
mm
5
28
pada saluran inlet Ma2
Mach number pada saluran outlet
NXP
Primary
Nozzle
Exit
Position P*
Tekanan kritis
Pa atau N/m2
31
P0
Tekanan stagnasi
Pa atau N/m2
30
Pb
Tekanan back pressure
Pa atau N/m2
31
Pb*
Critical back pressure
kPa
16
Pb1
Back
pada
kPa
15
pada
kPa
15
pada
kPa
15
kPa
14
Pa atau N/m2
31
bar
50
pressure
ejector 1 Pb2
Back
pressure
ejector 2 Pb3
Back
pressure
ejector 3 Pc
Condenser pressure
Pe
Tekanan pada primary nozzle outlet
Po
Tekanan
pada
outlet
ejector Pp
Primary pressure
bar
26
Ps
Secondary pressure
bar
25
PR
Pressure lift ratio
Tidak ada satuan
25
p
Tekanan
Pa atau N/m2
29
Q
Debit aliran
m3/s
36
R
Konstanta gas ideal
m2/s2 . K
27
Re
Reynolds number
Tidak ada satuan
32
xxvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
T0
Temperatur pada kondisi
K
27
stagnasi T
Temperatur
K
32
To
Temperatur pada outlet
K
49
ejector Ts
Secondary temperature
˚C
49
V
Kecepatan aliran
m/s
29
ṁmax
Laju aliran massa kritis
kg/s
27
ṁs
Secondary mass flow rate
kg/s
25
ṁp
Primary mass flow rate
kg/s
25
Δh
Selisih ketinggian ukuran
mm
50
Pa atau N/m2
50
Tidak ada satuan
41
pada Manometer Pipa U ΔP
Perbedaan tekanan pada Manometer Pipa U
β
Rasio geometri diameter pipa saluran dan diameter orifice plate
μ
Viskositas dinamik
N.s/m2
33
ρ
Rapat massa
kg/m3
29
ρ0
Rapat
pada
kg/m3
27
pada
N/m2
40
m2/s
33
Tidak ada satuan
12
massa
kondisi stagnasi τ
Tegangan
geser
hukum Newton tentang kekentalan zat cair ν
Viskositas kinematik
ω
Entrainment ratio
xxvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Eksploitasi energi fosil berupa penambangan batu bara yang dilakukan
secara berlebihan akan mengakibatkan berbagai macam permasalahan. Dampak negatif dari penambangan batu bara antara lain tanah menjadi rusak dan tidak dapat diperbaharui, sumber air yang tercemar, terjadi polusi udara, serta kesehatan masyarakat di sekitar area tambang batu bara akan terancam [Fiyanto et al., 2010]. Di sisi lain, produksi batu bara meningkat setiap tahunnya akibat konsumsi batu bara yang terus meningkat.
Gambar 1.1 Grafik tingkat produksi dan penjualan batu bara tahun 2003 - 2013 [Zed et al., 2014].
Menurut data statistik dari Kementerian ESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral), produksi batu bara dari tahun 2003 sampai tahun 2013 terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsumsi batu bara [Zed et al., 2014]. Gambar 1.1 menunjukkan bahwa total produksi batu bara pada tahun 2003 sebesar 114 juta ton meningkat menjadi 449 juta ton pada tahun 2013.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Produksi batu bara meningkat akibat konsumsi batu bara untuk komoditi ekspor juga meningkat sebesar 85 juta ton pada tahun 2003 menjadi 431 juta ton pada tahun 2013. Batu bara menjadi kebutuhan energi primer untuk beberapa negara di dunia. Batu bara digunakan sebagai bahan bakar utama generator uap (steam generator) pada industri pembangkit listrik tenaga uap (power plant). Terdapat 4 (empat) bagian utama pada sistem power plant, yaitu boiler atau generator uap (steam generator), turbin uap yang terhubung pada generator listrik, kondensor, dan pompa, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Skema sistem pembangkit listrik dengan menggunakan tenaga uap [Moran dan Saphiro, 2006]. Pada sistem power plant, kondensor merupakan bagian yang mempunyai nilai efisiensi exergy paling rendah. Berdasarkan hasil pengamatan oleh Agustian Pratamahendra Ismantoro di PLTGU PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan Semarang (2016) melaporkan bahwa nilai efisiensi exergy terendah terletak pada bagian kondensor. Hal tersebut diakibatkan karena banyaknya kalor yang dipindahkan dari dalam sistem menuju ke lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya laju kerusakan exergy yang besar pada kondensor. Laju kerusakan exergy yang besar pada kondensor diakibatkan oleh sistem pendinginan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
kondensor yang tidak optimal. Kondensor digunakan secara rutin untuk proses pendinginan uap panas dengan temperatur tinggi, sehingga mengakibatkan kinerja kondensor akan berkurang. Oleh karena itu, diperlukan suatu inovasi yang dapat digunakan untuk sistem pendinginan pada power plant, sehingga dapat meningkatkan kinerja kondensor. Steam ejector merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk sistem pendinginan pada power plant. Steam ejector dapat digunakan untuk proses pendinginan uap panas yang berasal dari turbin uap sebelum didinginkan kembali oleh kondensor. Proses pendinginan uap panas yang pertama kali dilakukan oleh steam ejector dapat meringankan kerja kondensor. Skematik sederhana dari steam ejector yang digunakan untuk sistem pendinginan pada power plant ditunjukkan pada Gambar 1.3.
Gambar 1.3 Skematik sederhana steam ejector sebagai sistem pendinginan [Petrenko V. O., 2014].
Steam ejector merupakan suatu aplikasi sistem refrijerasi yang ramah lingkungan dan dapat digunakan untuk sistem refrijerasi dengan skala besar [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Dari sisi efisiensi energi, steam ejector lebih unggul daripada sistem refrijerasi yang lainnya. Steam ejector tidak membutuhkan listrik untuk mengoperasikannya, karena sistem refrijerasi pada steam ejector dapat memanfaatkan panas sisa (waste heat) yang dihasilkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berbagai macam proses industri menjadi media pendingin yang berguna [Ruangtrakoon et al., 2013]. Beberapa kelebihan pada steam ejector yaitu struktur desain yang praktis, tingkat umur pakai yang lama, hemat biaya (baik dari biaya produksi maupun biaya operasi), dapat digunakan untuk berbagai macam jenis refrijeran sebagai fluida kerja, serta perawatan sistem yang mudah [Chandra dan Ahmed, 2014]. Steam ejector juga telah digunakan dalam berbagai bidang. Dalam bidang Aerospace Engineering, steam ejector digunakan untuk daya dorongan tambahan pada pesawat luar angkasa. Sedangkan dalam bidang industri, steam ejector banyak digunakan untuk memompa cairan yang bersifat korosif dan berbagai macam tipe gas yang sulit untuk ditangani [Chandra dan Ahmed, 2014].
Gambar 1.4 Constant-pressure Mixing Ejector (kiri) dan Constant-area Mixing Ejector (kanan) [Tashtoush et al., 2015].
Ejector merupakan bagian terpenting dari sistem refrijerasi pada steam ejector, sehingga optimalisasi pada desain ejector dan prediksi performa pada ejector sangat diperlukan [Cardemil dan Colle, 2012]. Ejector diklasifikasikan menjadi 2 (dua) tipe berdasarkan posisi nozzle, yaitu constant-pressure mixing ejector dan constant-area mixing ejector seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.4. Sedangkan untuk mengetahui performa pada ejector terdapat 3 (tiga) parameter penting, yaitu entrainment ratio, pressure lift ratio, dan expansion ratio. Entrainment ratio adalah rasio antara secondary mass flow rate dengan primary mass flow rate, pressure lift ratio (compression ratio) adalah rasio antara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
tekanan kondensor (condenser back pressure) dengan tekanan evaporator (secondary pressure), dan expansion ratio adalah rasio antara tekanan boiler (primary pressure) dengan tekanan evaporator (secondary pressure) [Chandra dan Ahmed, 2014]. Bourhan Tashtoush et al. (2015) melakukan penelitian tentang hubungan antara entrainment ratio dan back pressure untuk temperatur boiler yang berbeda dengan menggunakan constant-pressure mixing ejector dan constant-area mixing ejector. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya temperatur boiler dan tekanan saturasi akan mengakibatkan entrainment ratio menurun dan back pressure semakin meningkat. Semakin meningkatnya temperatur dan tekanan saturasi pada boiler mengakibatkan rasio antara primary mass flow rate lebih besar daripada secondary mass flow rate, sehingga entrainment ratio mempunyai nilai yang rendah. Semakin rendah nilai entrainment ratio mengakibatkan nilai compression ratio meningkat [Ma et al., 2012]. Dari kedua tipe ejector, constantpressure mixing ejector memiliki nilai compression ratio yang lebih besar daripada constant-area mixing ejector [Tashtoush et al., 2015]. Semakin tinggi nilai compression ratio mengakibatkan meningkatnya nilai critical point. Di sisi lain, dengan semakin meningkatnya nilai compression ratio dapat menyebabkan nilai back pressure meningkat akibat tekanan pada kondensor lebih besar daripada tekanan pada evaporator. Hal inilah yang menyebabkan constant-pressure mixing ejector dapat menerima back pressure lebih besar daripada constant-area mixing ejector [Tashtoush et al., 2015]. Dapat diketahui dari hasil penelitian Bourhan Tashtoush et al. (2015) bahwa besarnya nilai back pressure dipengaruhi oleh besarnya nilai generator temperature (primary temperature) dan nilai entrainment ratio. Sedangkan besarnya nilai entrainment ratio dipengaruhi oleh 2 (dua) tipe ejector yang digunakan. Perbedaan kedua tipe ejector terletak pada posisi primary nozzle exit position (NXP). Constant-pressure mixing ejector mempunyai NXP yang terletak di area suction chamber, sedangkan constant-area mixing ejector mempunyai NXP yang terletak di constant-area suction inlet. Oleh karena itu diperlukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
penelitian tentang variasi ukuran NXP dengan menggunakan variasi pada primary pressure dan secondary temperature yang mempunyai pengaruh terhadap performa pada steam ejector.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dilakukan pembahasan pada penelitian ini. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: a.
Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada setiap secondary temperature.
b.
Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada setiap primary pressure.
c.
Pengaruh secondary temperature terhadap nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada setiap primary nozzle exit position (NXP).
d.
Pengaruh primary pressure terhadap nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada setiap primary nozzle exit position (NXP).
e.
Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada setiap secondary temperature.
f.
Pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada setiap primary pressure.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.3.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini, maka
terdapat beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai. Tujuan penelitian tersebut antara lain: a.
Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada setiap secondary temperature.
b.
Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada setiap primary pressure.
c.
Mengetahui pengaruh secondary temperature terhadap nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada setiap primary nozzle exit position (NXP).
d.
Mengetahui pengaruh primary pressure terhadap nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada setiap primary nozzle exit position (NXP).
e.
Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada setiap secondary temperature.
f.
Mengetahui pengaruh primary nozzle exit position (NXP) terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada setiap primary pressure.
1.4.
Batasan Masalah Terdapat beberapa batasan permasalahan yang digunakan pada penelitian
ini. Beberapa batasan permasalahan tersebut antara lain: a.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan fluida kerja air.
b.
Tidak diteliti kondisi fase uap panas pada primary fluid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
c.
Eksperimen dilakukan dengan menggunakan variasi primary nozzle exit position (NXP) +5 mm, 0 mm, dan -5 mm.
d.
Eksperimen dilakukan dengan melakukan variasi primary pressure pada tekanan 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar.
e.
Eksperimen dilakukan dengan melakukan variasi secondary temperature pada temperatur 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C.
f.
Tidak memperhitungkan nilai kerugian yang diakibatkan oleh belokan pada pipa.
g.
Tidak memperhitungkan nilai kerugian yang diakibatkan oleh gesekan pada dinding pipa.
1.5.
Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang diperoleh setelah melakukan penelitian ini antara
lain: a.
Menambah ilmu dan wawasan tentang pemanfaatan waste heat yang dapat digunakan untuk melakukan efisiensi energi sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan.
b.
Menambah pengetahuan dan wawasan tentang berbagai macam fenomena aliran fluida dan mekanisme aliran fluida yang terjadi pada steam ejector.
c.
Mengetahui performa kerja dari sistem steam ejector terhadap variasi yang dilakukan pada primary pressure dan secondary temperature untuk setiap primary nozzle exit position (NXP).
d.
Dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian tentang steam ejector selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II DASAR TEORI 2.1.
Steam Ejector Steam ejector pertama kali dikembangkan oleh Le Blance dan Charles
Parsons pada tahun 1901. Pada awal tahun 1930, steam ejector menjadi lebih dikenal sebagai alat yang digunakan untuk sistem pendinginan udara (air conditioning system) pada gedung-gedung bertingkat [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Saat ini steam ejector semakin banyak dikenal dalam dunia engineering yang banyak digunakan untuk berbagai macam kepentingan [Chandra dan Ahmed, 2014]. Steam ejector bekerja dengan cara melakukan pencampuran dua fluida dengan temperatur dan tekanan yang berbeda. Fluida dengan temperatur dan tekanan yang tinggi dari boiler dengan nama primary fluid akan melewati primary nozzle. Primary fluid akan menghasilkan kecepatan aliran supersonic dengan tekanan yang sangat rendah saat keluar dari primary nozzle exit plane dan masuk ke dalam area mixing chamber. Akibat tekanan primary fluid yang sangat rendah, fluida dari evaporator dengan nama secondary fluid dapat terhisap ke dalam area mixing chamber. Aliran primary fluid akan membentuk converging duct di dalam mixing chamber. Di sepanjang wilayah converging duct, kecepatan aliran secondary fluid yang terhisap ke dalam mixing chamber berubah menjadi kecepatan aliran sonic dan alirannya akan terhambat. Proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid akan terjadi setelah aliran pada secondary fluid terhambat di dalam mixing chamber. Pada bagian akhir area mixing chamber, kedua aliran akan tercampur dengan sempurna dengan nilai dari static pressure cenderung konstan sampai pada bagian throat. Setelah melewati bagian throat dan masuk pada bagian subsonic diffuser, kecepatan aliran di dalam ejector akan berkurang dengan sangat cepat dari kecepatan aliran supersonic menjadi kecepatan aliran sonic [Sriveerakul et al., 2007]. Skematik kecepatan aliran dan
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
tekanan yang terjadi pada setiap bagian dari steam ejector dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Skematik kecepatan aliran dan tekanan pada setiap bagian steam ejector [Sriveerakul et al., 2007].
2.2.
Tipe Steam Ejector Terdapat berbagai macam tipe steam ejector yang berfungsi sebagai
sistem refrijerasi dengan nama Ejector Refrigeration System (ERS). Berbagai macam tipe ERS tersebut antara lain:
2.2.1.
Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) Gambar 2.2 menunjukkan skematik dari siklus dasar Conventional
Ejector Refrigeration System (CERS). Terdapat 6 (enam) komponen utama yang terdapat pada CERS, yaitu generator, evaporator, kondensor, expansion device, ejector, dan circulating pump. Pada sistem CERS ini, primary fluid dengan tekanan yang tinggi mengalir melewati nozzle pada ejector dan akan menghisap secondary fluid dengan tekanan yang rendah. Primary fluid dan secondary fluid akan tercampur di dalam mixing chamber dan akan memperoleh tekanan pencampuran yang berbeda pada saat keluar dari bagian diffuser. Setelah melewati bagian diffuser, aliran fluida campuran antara primary fluid dan secondary fluid akan mengalir menuju kondensor dan akan terkondensasi. Fluida yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
terkondensasi akan dibagi menjadi 2 (dua) bagian aliran, aliran pertama akan dialirkan kembali masuk ke dalam generator, sedangkan aliran kedua akan dialirkan kembali masuk ke dalam evaporator. Kedua bagian aliran tersebut disirkulasikan menuju boiler dan evaporator dengan menggunakan pompa (circulating pump) [Yu et al., 2006].
Gambar 2.2 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) [Yu et al., 2006].
d Gambar 2.3 COP vs condenser pressure [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Coefficient of Performance (COP) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui performa pada CERS. COP pada CERS sangat bergantung pada nilai entrainment ratio (ω) yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu primary flow inlet state (temperature and pressure of primary fluid), secondary flow inlet state (temperature and pressure of secondary fluid), dan back pressure (condenser pressure) [Yu et al., 2006]. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa meningkatnya nilai back pressure (condenser pressure) ketika primary pressure meningkat dengan secondary pressure yang konstan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Entrainment ratio vs ejector back pressure [Sriveerakul et al., 2007].
2.2.2.
New Ejector Refrigeration System (NERS) - ERS With an Additional Jet Pump New Ejector Refrigeration System (NERS) merupakan salah satu tipe
ERS yang dikembangkan setelah CERS, dimana terdapat jet pump (liquid jet ejector) pada siklus kerjanya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Gambar 2.5 New Ejector Refrigeration System (NERS) [Yu et al., 2006].
Gambar 2.6 ERS with an additional ejector by Yu et al. (2006) [Besagni et al., 2016].
Pada NERS, jet pump diletakkan di antara ejector dan condenser yang aplikasinya menggunakan secondary fluid berupa fluida campuran yang dihasilkan oleh ejector, yaitu fluida campuran antara primary fluid dan secondary fluid setelah keluar dari bagian diffuser pada ejector. Aplikasi jet pump yang digunakan pada NERS mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan menggunakan compressor. Jet pump mempunyai konstruksi yang lebih sederhana dan biaya produksinya yang lebih rendah daripada menggunakan compressor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Selain itu, jet pump merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai COP pada NERS [Yu et al., 2006] dan dapat meningkatkan nilai entrainment ratio (ω) pada NERS [Besagni et al., 2016]. Dibandingkan dengan CERS, NERS mempunyai nilai COP yang lebih tinggi seperti yang ditunjukkan pada grafik hasil penelitian oleh Yu et al. (2006) pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 COP vs back pressure pada CERS dan NERS [Yu et al., 2006].
2.2.3.
Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS) Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS) merupakan salah satu
tipe ERS dengan menggunakan beberapa buah ejector yang disusun secara paralel dan ditempatkan sebelum kondensor seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. MERS merupakan suatu sistem yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan utama yang terjadi pada ERS, di mana terjadi kesulitan pada ERS dalam menangani pengoperasian pada sistemnya akibat terjadi perubahan pada kondisi pengoperasiannya. Setiap ejector yang digunakan dalam MERS beroperasi pada setiap batasan condenser pressure (Pc) yang berbeda [Besagni et al., 2016].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Gambar 2.8 Multi-stage Ejector Refrigeration System (MERS) [Besagni et al., 2016].
Gambar 2.9 Three Parallel MERS [Chen et al., 2015].
Gambar 2.9 menunjukkan MERS dengan 3 (tiga) ejector yang disusun secara paralel dengan setiap ejector yang beroperasi pada batasan condenser pressure (Pc) tertentu beserta dengan grafik hubungan antara entrainment ratio (ω) dengan condenser pressure (Pc) pada setiap ejector. Ejector 1 beroperasi dengan nilai condenser pressure (Pc) di bawah nilai back pressure pada ejector 1 (Pb1) (Pc < Pb1). Ejector 2 akan beroperasi ketika nilai condenser pressure (Pc) berada di antara nilai back pressure pada ejector 1 (Pb1) dan back pressure pada ejector 2 (Pb2) (Pb1 < Pc < Pb2). Sedangkan ejector 3 akan beroperasi pada nilai condenser pressure
(Pc) yang lebih besar daripada nilai back pressure pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
ejector 2 (Pb2). Pada MERS tidak terdapat nilai critical back pressure (Pb*) sehingga
dapat
menghindari
sudden
performance
drop
pada
sistem
pengoperasiannya [Chen et al., 2015].
2.3.
Aplikasi Steam Ejector Terdapat berbagai macam fungsi steam ejector yang dapat diaplikasikan
dalam berbagai macam bidang. Berbagai macam aplikasi steam ejector tersebut antara lain:
2.3.1.
Steam Jet Ejector for Deodorizing Edible Oils
Gambar 2.10 Desain gambar 3D sistem vacuum dengan menggunakan steam ejector yang diproduksi oleh Eko Zora, Ltd (Bulgaria) [Akterian, 2011].
keterangan: 1.
First Ejector
3.
Barometric Condenser
2.
Second Ejector
4.
Third Ejector
Sistem vacuum yang menjadi prinsip kerja pada steam ejector dimanfaatkan sebagai proses deodorizing pada edible oils. Sistem vacuum ini dikomersialkan oleh 2 (dua) perusahaan mechanical engineering yang berasal dari negara Bulgaria, yaitu Eko Zora, Ltd yang berada di kota Aksakovo dan Gea-06
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
yang terletak di kota Varna. Sampai pada tahun 2011, kedua perusahaan tersebut telah memproduksi 12 (dua belas) sistem vacuum [Akterian, 2011]. Salah satu sistem vacuum yang didesain dan diproduksi oleh Eko Zora, Ltd dapat dilihat pada Gambar 2.10. Aliran yang dihisap (secondary fluid) pada sistem vacuum ini terdiri atas beberapa unsur, yaitu 93 % uap panas, 3 % uap yang dihasilkan dari asam lemak, dan 4 % udara bersih dengan tekanan 0,3 kPa. Sedangkan untuk tekanan pada motive steam (primary fluid) divariasikan menurut kapasitas hisap yang akan dilakukan. Untuk sistem dengan kapasitas hisap yang kecil menggunakan tekanan sebesar 0,6 MPa, sedangkan untuk sistem dengan kapasitas hisap yang lebih besar menggunakan tekanan sebesar 1 MPa. Sistem ini juga menggunakan air pendingin dengan temperatur sebesar 30 ˚C yang dialirkan melalui cooling tower [Akterian, 2011]. Dari ke-12 sistem vacuum yang telah diproduksi oleh Eko Zora, Ltd dan Gea-06, masing-masing mempunyai kemampuan hisap yang berbeda. 1 (satu) sistem mempunyai kemampuan hisap sebesar 10 kg/jam, 4 (empat) sistem mempunyai kemampuan hisap sebesar 15 kg/jam, 3 (tiga) sistem mempunyai kemampuan hisap sebesar 25 kg/jam, dan 4 (empat) sistem mempunyai kemampuan hisap sampai 35 kg/jam [Akterian, 2011]. Selain dapat digunakan sebagai proses deodorizing pada edible oils, sistem vacuum pada steam jet ejector juaga dapat digunakan dalam berbagai macam proses lainnya, antara lain steam refining, bleching, drying, winterizing, degumming and solvent extraction of vegetable oils, dan berbagai macam proses lainnya [Akterian, 2011].
2.3.2.
Steam Ejector Refrigeration System in Thailand Steam ejector mempunyai fungsi sebagai sistem refrijerasi di Thailand
yang mempunyai cuaca panas dan lembab pada saat musim kemarau. Pada saat musim kemarau, Thailand mempunyai temperatur lingkungan hingga 40 ˚C dengan tingkat kelembaban hingga 70 %. Oleh karena itu, di Thailand steam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
ejector sangat berfungsi sebagai sebagai sistem refrijerasi yang digunakan sebagai sistem pendinginan udara (air conditioning system) di dalam suatu ruangan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Steam ejector refrigeration system saat digunakan sebagai air conditioning system [Ruangtrakoon dan Aphornratana, 2014].
Sistem refrijerasi steam ejector yang digunakan sebagai sistem pendinginan udara (air conditioning system) ini menggunakan kapasitas pendinginan sebesar 3 kW dengan menggunakan electric heater yang diletakkan di dalam insulated chilled water box. Proses pemanasan di dalam boiler pada sistem steam ejector ini menggunakan sumber energi panas yang berasal dari LPG (Liquefied Petroleum Gas), di mana pemanasan fluida kerja dilakukan dengan menggunakan LPG burner yang akan menghasilkan uap panas dengan temperatur 100 ˚C - 130 ˚C. Sedangkan pada bagian evaporator menggunakan fluida kerja dengan temperatur 10 ˚C. Sistem steam ejector menggunakan air pendinginan dengan temperatur 30 ˚C - 35 ˚C yang disirkulasikan pada bagian kondensor. Sistem refrijerasi steam ejector berupa sistem pendingin ruangan (air conditioning system) yang diaplikasikan di Thailand ini dapat menghasilkan temperatur ruangan sebesar 13 ˚C - 23 ˚C untuk ruangan dengan ukuran panjang 4 meter, lebar 3 meter, dan tinggi 2,5 meter [Ruangtrakoon dan Aphornratana, 2014].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2.4.
Komponen Utama Steam Ejector Pada dasarnya terdapat 4 (empat) komponen utama pada steam ejector,
yaitu primary nozzle, mixing chamber, ejector throat, dan subsonic diffuser [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Posisi dari komponen utama pada steam ejector tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.12.
1
2
3
4
Gambar 2.12 Komponen utama steam ejector [Zhu dan Jiang, 2014].
keterangan:
2.4.1.
1.
Primary Nozzle
3.
Ejector Throat
2.
Mixing Chamber
4.
Subsonic Diffuser
Primary Nozzle Primary nozzle terbagi menjadi 2 (dua) bagian pada struktur desainnya,
yaitu converging section dan diverging section. Converging section merupakan bagian dari primary nozzle yang terletak di antara nozzle inlet dan nozzle throat. Sedangkan diverging section merupakan bagian nozzle exit plane sebagai bagian untuk keluarnya primary fluid. Primary nozzle dibuat dalam bentuk converging section dan diverging section dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dari kecepatan aliran primary fluid. Pada saat primary fluid melewati bagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
converging section pada primary nozzle, primary fluid akan mempunyai kecepatan aliran subsonic. Setelah melewati bagian diverging section pada primary nozzle dan keluar melalui nozzle exit plane, maka kecepatan aliran primary fluid akan meningkat dari subsonic menjadi supersonic [Cardemil dan Colle, 2012] [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. 2.4.2.
Mixing Chamber Mixing chamber merupakan bagian dari ejector yang digunakan untuk
melakukan proses pencampuran antara primary fluid dengan secondary fluid. Proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid yang terjadi di dalam mixing chamber dapat digunakan untuk menghitung besarnya nilai entrainment ratio. Entrainment ratio merupakan rasio antara laju aliran massa secondary fluid (secondary mass flow rate) dengan laju aliran massa primary fluid (primary mass flow rate) [Chandra dan Ahmed, 2014]. 2.4.3.
Ejector Throat Ejector Throat merupakan bagian dari steam ejector yang mempunyai
ukuran panjang dan diameter yang sama. Pada bagian ejector throat akan terjadi compression effect yang menyebabkan terjadinya normal shock. Normal shock dapat mengakibatkan sudden drop pada kecepatan aliran fluida yang melewati bagian ejector throat, sehingga kecepatan aliran fluida akan menurun dari kecepatan aliran supersonic menjadi kecepatan aliran subsonic [Sriveerakul et al., 2007]. 2.4.4.
Subsonic Diffuser Subsonic diffuser merupakan bagian yang digunakan sebagai outlet pada
steam ejector. Fluida yang mengalir melewati bagian subsonic diffuser akan memiliki kecepatan aliran subsonic yang terjadi setelah melewati bagian ejector throat. Akibat menurunnya kecepatan aliran fluida yang melewati bagian subsonic diffuser akan menyebabkan subsonic diffuser menghasilkan tekanan yang tinggi [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
2.5.
Kondisi Pengoperasian Steam Ejector Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Kanjanapon
Chunnanond dan Satha Aphornratana (2004) dalam jurnal ilmiah dengan judul ”An Experimental Investigation of a Steam Ejector Refrigerator: The Analysis of the Pressure Profile Along the Ejector” melaporkan bahwa kondisi pengoperasian pada steam ejector dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu choked flow, unchoked flow, dan reversed flow yang dibedakan berdasarkan nilai dari critical break pressure (critical condenser pressure) dan break down pressure. Ketiga bagian kondisi pengoperasian pada steam ejector dapat dilihat pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Kondisi pengoperasian pada steam ejector [Sriveerakul et al., 2007].
Pada bagian choked flow, ejector beroperasi di bawah nilai critical back pressure (critical condenser pressure), di mana rasio antara secondary flow yang terhisap ke dalam mixing chamber sama besarnya dengan primary flow sehingga bagian choked flow mempunyai nilai entrainment ratio yang tetap konstan. Pada bagian unchoked flow, nilai dari back pressure (condenser pressure) akan lebih besar daripada nilai critical back pressure (critical condenser pressure). Transverse shock akan terjadi akibat meningkatnya tekanan kondensor sampai melewati batas critical point. Transverse shock akan mengganggu proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid di dalam mixing chamber, sehingga mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun dengan sangat cepat. Sedangkan pada bagian reversed flow (break down pressure), tekanan kondensor akan terus meningkat melewati batas critical point dan mencapai titik break down pressure, di mana ejector akan kehilangan fungsinya akibat laju aliran yang mengalir balik menuju secondary flow inlet dan masuk ke dalam evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004] [Sriveerakul et al., 2007].
Gambar 2.14 Efek kondisi pengoperasian terhadap performa steam ejector [Sriveerakul et al., 2007].
Penelitian yang dilakukan oleh Sriveerakul et al. (2007) dalam jurnal ilmiah dengan judul “Performance Prediction of Steam Ejector Using Computational Fluid Dynamics: Part 1. Validation of the CFD Results” melaporkan bahwa back pressure pada kondisi pengoperasian steam ejector dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan saturasi pada boiler (primary fluid temperature and primary fluid saturated pressure) serta temperatur dan tekanan pada evaporator (secondary fluid temperature and secondary fluid pressure). Fenomena back pressure pada steam ejector dapat ditunjukkan melalui Gambar 2.14.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Semakin berkurangnya temperatur dan tekanan saturasi pada primary fluid, maka akan mengakibatkan laju aliran massa primary fluid (primary mass flow rate) akan semakin menurun. Hal ini akan meningkatkan nilai entrainment ratio pada steam ejector seiring dengan meningkatnya nilai laju aliran massa secondary fluid (secondary mass flow rate). Semakin meningkatnya nilai entrainment ratio pada steam ejector, maka nilai dari critical back pressure akan semakin menurun dan dapat menyebabkan terjadinya back pressure. Di sisi lain, apabila tekanan pada secondary fluid semakin meningkat maka akan mengakibatkan laju aliran massa secondary fluid yang masuk ke dalam area mixing chamber akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan nilai critical back pressure dan menghindari terjadinya back pressure pada steam ejector [Sriveerakul et al., 2007].
Gambar 2.15 Primary mass flow vs boiler temperature [Ma et al., 2010].
Hubungan antara laju aliran massa primary fluid (primary mass flow rate) dengan temperatur pada boiler (boiler temperature) dan hubungan antara temperatur pada evaporator (evaporator temperature) dengan critical back pressure telah dilaporkan oleh Ma et al. (2010) dalam hasil penelitiannya yang dituliskan ke dalam jurnal ilmiah dengan judul “Experimental Investigation of a Novel Steam Ejector Refrigerator Suitable Solar Energy Applications”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Ma et al. (2010) melaporkan bahwa semakin meningkatnya temperatur pada boiler (boiler temperature) akan mengakibatkan laju aliran massa primary fluid (primary mass flow rate) akan semakin meningkat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.15. Sedangkan semakin meningkatnya temperatur pada evaporator (evaporator temperature) akan meningkatkan nilai critical condenser pressure (critical back pressure) [Ma et al., 2010] seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Critical condenser pressure (critical back pressure) vs evaporator temperature [Ma et al., 2010].
2.6.
Parameter Performa Steam Ejector Terdapat 3 (tiga) parameter penting yang dapat digunakan untuk
menentukan performa pada steam ejector, yaitu entrainment ratio (ω), expansion ratio (ER), dan pressure lift ratio (PR). Pengertian beserta dengan persamaan yang digunakan untuk menghitung entrainment ratio (ω), expansion ratio (ER), dan pressure lift ratio (PR) dapat dilihat pada penjelasan berikut.
2.6.1.
Entrainment Ratio (ω) Entrainment ratio merupakan perbandingan antara laju aliran massa pada
secondary fluid (secondary mass flow rate) dengan laju aliran massa pada primary
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
fluid (primary mass flow rate) [Chandra dan Ahmed, 2014] yang dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.1).
m s m p
(2.1)
dengan ω adalah entrainment ratio yang tidak mempunyai satuan, m s adalah secondary mass flow rate yang dinyatakan dalam satuan kilogram per detik (kg/s), dan m p adalah primary mass flow rate yang dinyatakan dalam satuan kilogram per detik (kg/s).
2.6.2.
Expansion Ratio (ER) Expansion ratio adalah perbandingan antara tekanan pada boiler
(primary pressure) dengan tekanan pada evaporator (secondary pressure) [Chandra dan Ahmed, 2014] yang dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.3).
ER
Pp
(2.3)
Ps dengan ER adalah expansion ratio yang tidak mempunyai satuan, P p adalah tekanan pada boiler (primary pressure) yang dinyatakan dalam satuan bar, dan P s adalah tekanan pada evaporator (secondary pressure) yang dinyatakan dalam
satuan bar.
2.6.3.
Pressure Lift Ratio (PR) Pressure lift ratio adalah perbandingan antara tekanan pada kondensor
(condenser back pressure) dengan tekanan pada evaporator (secondary pressure) [Chandra dan Ahmed, 2014] yang dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.2). PR
Pc Ps
(2.2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dengan PR adalah pressure lift ratio yang tidak mempunyai satuan, P c adalah tekanan kondensor (condenser back pressure) yang dinyatakan dalam satuan bar, dan P s adalah tekanan pada evaporator (secondary pressure) yang dinyatakan dalam satuan bar.
2.7.
Fenomena Aliran Steam Ejector
2.7.1.
Compressible Flow Compressible flow terjadi ketika fluida bergerak dengan kecepatan suara,
rapat massa (density) yang dapat berubah sangat signifikan. Akan tetapi, compressible flow sulit dicapai pada fluida dengan bentuk cairan (liquid) karena dibutuhkan tekanan yang tinggi mencapai 1000 atm untuk menghasilkan kecepatan aliran sonic. Sebaliknya, fluida dengan bentuk gas hanya membutuhkan rasio tekanan 2:1 untuk menghasilkan kecepatan aliran sonic [White, 2011]. Terdapat dua efek yang sangat penting pada aliran compressible flow, yaitu: a.
Chocking, dimana laju aliran pada sebuah saluran sangat dibatasi oleh kondisi kecepatan aliran (sonic condition).
b.
Shock Wave, merupakan suatu properti yang selalu berubah pada aliran supersonic.
2.7.1.1. Choking Gambar 2.17 menunjukkan hubungan antara rasio luas penampang (area ratio) pada suatu saluran dengan nilai Mach number, di mana mencapai kesetimbangan pada saat Ma = 1 dan nilai area ratio akan kembali ke nol apabila nilai Ma semakin besar. Kondisi inilah yang disebut dengan stagnation condition yang terjadi apabila laju aliran massa yang melewati saluran telah mencapai kondisi kritis (sonic condition). Saluran tersebut dapat disebut dengan choked, dimana saluran tidak dapat membawa laju aliran massa yang lebih banyak kecuali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
dengan memperluas area throat. Apabila dimensi pada throat dibatasi, maka laju aliran massa yang akan melewati throat juga harus dikurangi [White, 2011].
Gambar 2.17 Perbandingan antara area ratio dan Mach number untuk compressible flow dengan nilai k = 1,4 [White, 2011].
Untuk memperhitungkan laju aliran massa yang akan melewati throat, maka dapat dihitung dengan persamaan laju aliran massa kritis yang dapat dituliskan pada persamaan (2.4).
m
0,6847 A * ( RT )1 / 2 max 0 0
0.6847 A * 0 ( RT )1 / 2 0
(2.4)
dengan m adalah laju aliran massa kritis yang dinyatakan dalam satuan max kilogram per detik (kg/s), A* adalah luas penampang saluran kritis yang dinyatakan dalam satuan meter kuadrat (m2),
0
adalah rapat massa fluida pada
stagnation condition yang dinyatakan dalam satuan kilogram per meter kubik (kg/m3), R adalah konstanta gas ideal yang dinyatakan dalam satuan meter kuadrat per detik kuadrat Kelvin (m2/s2.K), dan T adalah temperatur pada stagnation 0 condition yang dinyatakan dalam satuan Kelvin (K).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
2.7.1.2. Shock Wave (Normal Shock Wave) Normal shock wave terjadi apabila terdapat perubahan pada kecepatan aliran supersonic dengan nilai Ma lebih dari satu (Ma > 1) menjadi kecepatan aliran subsonic dengan nilai Ma kurang dari 1 (Ma < 1). Kecepatan aliran supersonic dihasilkan karena efek dari converging dan diverging pada suatu penampang aliran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.18.
Gambar 2.18 Normal shock wave [White, 2011].
Persamaan yang digunakan untuk melakukan perhitungan normal shock wave dapat dituliskan ke dalam persamaan (2.5).
(k 1) Ma1 2 2
Ma2 2
2 k Ma1 (k 1) 2
(2.5)
dengan Ma1 adalah nilai Mach number pada saluran inlet dengan kecepatan aliran supersonic, Ma 2 adalah nilai Mach number pada saluran outlet dengan kecepatan aliran subsonic, dan k adalah nilai dari specific heat ratio pada gas yang mempunyai nilai sebesar 1,4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2.7.2.
Supersonic Nozzle dan Subsonic Diffuser Terdapat 2 (dua) jenis perbedaan penampang pada saluran, yaitu
supersonic nozzle dan subsonic diffuser. Supersonic nozzle dapat diartikan sebagai penampang saluran yang mempunyai kecepatan aliran yang tinggi dengan nilai Ma lebih dari 1 (Ma > 1) yang disebut dengan kecepatan aliran supersonic. Sedangkan subsonic diffuser diartikan sebagai penampang yang mempunyai kecepatan aliran yang rendah dengan nilai Ma kurang dari 1 (Ma < 1) yang disebut dengan kecepatan aliran subsonic. Karena kecepatan aliran pada subsonic diffuser lebih rendah daripada supersonic nozzle, maka subsonic diffuser akan menghasilkan tekanan yang lebih tinggi daripada supersonic nozzle [White, 2011]. Perbedaan antara subsonic diffuser dan supersonic nozzle dapat dilihat pada Gambar 2.19.
Gambar 2.19 Perbedaan antara supersonic nozzle dan subsonic diffuser [White, 2011].
Persamaan yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan fenomena pada supersonic nozzle dan subsonic diffuser dituliskan ke dalam persamaan (2.6). dV dA 1 dp 2 V A Ma 1 V 2
(2.6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
2.7.3.
Converging of Primary Nozzle
Gambar 2.20 Kondisi pengoperasian pada converging nozzle [White, 2011]. a)
Geometri nozzle dan karakteristik tekanan
b)
Distribusi tekanan akibat back pressure
c)
Mass flow vs back pressure
Gambar 2.20 (a) menunjukkan skema aliran yang terjadi di dalam bagian converging pada primary nozzle. Aliran dengan tekanan stagnasi (P0) akan mengalir melewati primary nozzle outlet yang mengalami pengecilan penampang. Akibat adanya pengecilan penampang, maka tekanan aliran akan menurun pada bagian primary nozzle outlet (-Pe) sehingga akan keluar sebagai aliran dengan tekanan back pressure (Pb), di mana nilai tekanan back pressure lebih rendah daripada nilai tekanan stagnasi (Pb < P0). Gambar 2.20 (b) menunjukkan distribusi tekanan yang terjadi pada bagian converging primary nozzle. Pada kondisi pada titik a dan b, tekanan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
primary nozzle throat lebih besar daripada tekanan kritis (P*) yang menyebabkan aliran pada primary nozzle mempunyai kecepatan aliran subsonic dan tekanan pada primary nozzle outlet (Pe) mempunyai nilai yang sama besar dengan tekanan back pressure (Pb). Pada kondisi di titik c tekanan back pressure (Pb) mempunyai nilai yang sama besar dengan tekanan pada primary nozzle outlet (Pe). Sedangkan pada kondisi di titik d dan e, primary nozzle tidak dapat beroperasi lebih lanjut karena terjadi proses chocking dengan laju aliran massa yang besar pada bagian primary nozzle throat sehingga mengakibatkan tekanan akan menurun dari tekanan kritis (P*) menuju tekanan back pressure (Pb) dan aliran akan berekspansi dengan kecepatan aliran supersonic.
2.8.
Mach Number (Ma) Mach number (Ma) merupakan parameter yang paling dominan dalam
melakukan analisa pada compressible flow [White, 2011]. Besarnya nilai Mach number (Ma) dapat dituliskan ke dalam persamaan (2.7). Ma
V a
(2.7)
dengan Ma adalah Mach number yang tidak mempunyai satuan, V adalah kecepatan aliran yang dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s), dan
a
adalah kecepatan suara yang dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s). Adapun interval dari besarnya nilai Mach number (Ma) dapat digunakan untuk mengetahui sifat aliran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sifat aliran berdasarkan nilai Mach number (Ma) [White, 2011]. Bilangan Ma Ma < 0,3
0,3 < Ma < 0,8
Keterangan Aliran incompressible, di mana pengaruh pada nilai density dapat diabaikan. Aliran subsonic, di mana pengaruh pada nilai density penting tetapi tidak ada shock wave yang muncul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Aliran transonic, di mana terdapat shock wave pada aliran. 0,8 < Ma < 1,2 Aliran transonic merupakan pemisah daerah aliran supersonic dan subsonic. 1,2 < Ma < 3,0
3,0 < Ma
Aliran supersonic, di mana terdapat shock wave tetapi tidak ada daerah subsonic. Aliran hypersonic, di mana shock wave dan aliran lainnya berubah dengan sangat kuat.
Kecepatan suara yang digunakan dalam persamaan Mach Number (Ma) dapat dinyatakan ke dalam persamaan (2.8) [White, 2011]. a ( k R T )1 / 2
(2.8)
dengan a adalah kecepatan suara yang dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s), k adalah specific heat ratio yang tidak mempunyai satuan, R adalah specific heat yang dinyatakan dalam satuan meter kuadrat per detik kuadrat Kelvin (m2/s2.K), dan T adalah temperatur yang dinyatakan dalam satuan Kelvin (K). Karena nilai specific heat ratio (k) untuk gas ideal diasumsikan mempunyai nilai 1,4 dan specific heat (R) untuk gas ideal mempunyai nilai 287 m2/s2.K, maka persamaan (2.8) dapat disederhanakan ke dalam bentuk persamaan lain yang dinyatakan dalam persamaan (2.9). a 20 T
2.9.
(2.9)
Reynolds Number (Re) Menurut Osborne Reynolds (1884), terdapat 3 (tiga) faktor utama yang
dapat mempengaruhi keadaan aliran, yaitu kekentalan zat cair (viskositas) (μ mu), rapat massa zat cair (ρ - rho), dan diameter pipa saluran (D). Perhitungan pada Reynolds number (Re) dituliskan ke dalam persamaan (2.10) [Triatmodjo, 2013].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Re
D V
(2.10)
dengan Re adalah Reynolds number yang tidak mempunyai satuan, (rho) adalah rapat massa yang dinyatakan dalam satuan kilogram per meter kubik (kg/m3), D adalah diameter pipa saluran yang dinyatakan dalam satuan meter (m),
V adalah kecepatan aliran yang dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s), dan adalah viskositas dinamik yang dinyatakan dalam satuan Newton detik per meter kuadrat (N.s/m2). karena,
(2.11)
dengan adalah viskositas kinematik yang dinyatakan dalam satuan meter persegi per detik (m2/s), maka persamaan (2.11) dapat dimasukkan ke dalam persamaan (2.10) sehingga kedua persamaan tersebut akan menjadi: Re
V D
(2.12)
Berdasarkan percobaan aliran dalam pipa yang telah dilakukan oleh Osborne Reynolds, ditetapkan rentang nilai Reynolds number (Re) yang dapat digunakan untuk membedakan antara aliran laminer, transisi, dan turbulen. Rentang nilai tersebut yaitu: a.
Apabila Re< 2000, maka termasuk jenis aliran laminer.
b.
Apabila 2000
c.
Apabila Re> 4000, maka termasuk jenis aliran turbulen.
d.
Nilai Re = 2000 dan nilai Re = 4000 disebut dengan batas kritis bawah dan batas kritis atas. Aliran transisi merupakan aliran yang terjadi akibat perubahan jenis
aliran dari laminer menjadi turbulen. Aliran transisi terjadi pada saat aliran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
laminer melewati nilai Reynolds number (Re) pada batas kritis bawah (Re> 2000) dan berada di bawah nilai Reynolds number (Re) pada batas kritis atas (Re< 4000). Perubahan aliran tersebut diakibatkan oleh berkurangnya viskositas pada aliran laminer sehingga menyebabkan kecepatan aliran semakin meningkat. Untuk memberikan gambaran tentang perbedaan antara jenis aliran laminer, transisi, dan turbulen dapat dilihat pada Gambar 2.21.
Gambar 2.21 Aliran laminer, transisi, dan turbulen [Munson et al., 2009].
2.10.
Hukum Gas Ideal Gas mempunyai sifat yang lebih mudah untuk dimampatkan daripada
cairan. Kerapatan gas semakin meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan dan temperatur. Hubungan antara kerapatan massa gas (ρ), tekanan (p), dan temperatur (T) dapat dilihat melalui persamaan Hukum Gas Ideal yang dituliskan ke dalam persamaan (2.13).
p R T
(2.13)
dengan rapat massa gas (ρ) dinyatakan dalam satuan kilogram per meter kubik (kg/m3), tekanan (p) dinyatakan dalam satuan Pascal (Pa atau N/m2), temperatur dinyatakan dalam satuan Kelvin (K), dan specific heat (R) dinyatakan dalam satuan meter kuadrat per detik kuadrat Kelvin (m2/s2.K).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.11.
Kinematika Fluida Aliran zat cair dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam
[Triatmodjo, 2013], antara lain: a.
Aliran invisid dan viskos
b.
Aliran kompresibel dan tak kompresibel
c.
Aliran laminer dan turbulen
d.
Aliran mantap (steady flow) dan tak mantap (unsteady flow)
e.
Aliran seragam dan tak seragam
2.11.1. Aliran Invisid dan Viskos Aliran invisid adalah aliran yang mempunyai nilai kekentalan zat cair (μ) dianggap nol (μ = 0). Akan tetapi, zat cair dengan nilai μ = 0 tidak ada di alam. Hal ini hanya dijadikan sebagai anggapan untuk menyederhanakan permasalahan yang sangat kompleks dalam hidraulika. Akibat nilai μ = 0, maka tidak terjadi tegangan geser antara partikel zat cair dengan partikel yang lainnya. Sehingga pada kondisi tertentu asumsi bahwa nilai μ = 0 dapat diterima untuk zat cair dengan nilai μ yang kecil seperti air [Triatmodjo, 2014]. Aliran viskos adalah aliran yang memperhitungkan nilai kekentalan (μ). Keadaan ini akan menyebabkan timbulnya tegangan geser antara partikel zat cair yang bergerak dengan kecepatan yang berbeda. Apabila zat cair mengalir melalui bidang batas yang diam, zat cair yang berhubungan langsung dengan bidang batas tersebut akan mempunyai kecepatan nol (diam). Kecepatan zat cair akan bertambah sesuai dengan jarak dari bidang tersebut. Apabila medan aliran sangat dalam atau lebar, aliran tidak lagi dipengaruhi oleh hambatan bidang batas. Pada daerah tersebut kecepatan aliran hampir seragam (fully developed velocity) [Triatmodjo, 2014]. Untuk dapat mengetahui proses terjadinya fully developed velocity dapat dilihat pada Gambar 2.22.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Gambar 2.22 Developing velocity profiles and pressure change [White, 2011].
Terdapat suatu persamaan yang terdapat pada kondisi fully developed velocity. Persamaan tersebut dituliskan ke dalam persamaan (2.14). Q u dA const .
(2.14)
2.11.2. Aliran Kompresibel dan Tak Kompresibel Semua jenis fluida (termasuk zat cair) termasuk jenis aliran kompresibel. Aliran kompresibel merupakan aliran yang nilai rapat massanya akan berubah sesuai dengan perubahan nilai tekanan. Akan tetapi pada aliran mantap dengan perubahan rapat massa yang kecil sering dilakukan penyederhanaan dengan menganggap bahwa zat cair merupakan aliran tidak kompresibel dan mempunyai nilai rapat massa yang konstan. Penyederhanaan ini tidak dapat dilakukan pada aliran tak mantap melalui pipa di mana dapat terjadi perubahan tekanan yang sangat besar [Triatmodjo, 2014].
2.11.3. Aliran Laminer dan Turbulen Aliran zat cair yang mempunyai nilai kekentalan (viskositas) disebut dengan aliran viskos. Aliran viskos dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe, yaitu aliran laminer dan turbulen [Triatmodjo, 2013].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
2.11.3.1. Aliran Laminer Pada aliran laminer, partikel-partikel zat cair bergerak teratur mengikuti lintasan yang saling sejajar. Aliran laminer terjadi apabila aliran mempunyai kecepatan aliran yang rendah dan viskostas yang tinggi [Triatmodjo, 2013].
Gambar 2.23 Aliran laminer - kecepatan aliran rendah [White, 2011].
Gambar 2.24 Aliran laminer dalam pipa [White, 2011].
2.11.3.2. Aliran Turbulen Pada aliran turbulen, gerak partikel-partikel zat cair tidak teratur. Aliran turbulen terjadi apabila aliran mempunyai kecepatan aliran yang tinggi dan viskositas yang rendah [Triatmodjo, 2013].
Gambar 2.25 Aliran turbulen - kecepatan aliran tinggi [White, 2011].
Gambar 2.26 Aliran turbulen dalam pipa [White, 2011].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2.11.4. Aliran Mantap dan Tak Mantap Aliran mantap (steady flow) terjadi apabila variabel pada aliran seperti kecepatan aliran (V), tekanan (p), rapat massa (ρ), luas penampang aliran (A), debit aliran (Q), dan lain sebagainya tidak berubah terhadap waktu. Keadaan yang terjadi pada aliran mantap dapat dituliskan dalam persamaan (2.15) [Triatmodjo, 2014]. V p A Q 0; 0; 0; 0; 0 t t t t t
(2.15)
Sedangkan aliran tidak mantap (unsteady flow) terjadi apabila variabel pada aliran berubah terhadap waktu. Keadaan yang terjadi pada aliran tidak mantap dapat dituliskan dalam persamaan (2.16) [Triatmodjo, 2014]. V p A Q 0; 0; 0; 0; 0 t t t t t
(2.16)
2.11.5. Aliran Seragam dan Tidak Seragam Suatu aliran disebut seragam (uniform flow) apabila tidak ada perubahan variabel aliran terhadap besar dan arah dari kecepatan aliran. Keadaan yang terjadi pada aliran seragam dapat dituliskan dalam persamaan (2.17) [Triatmodjo, 2014]. V p A Q 0; 0; 0; 0; 0 s s s s s
(2.17)
Sedangkan aliran tak seragam (non uniform flow) terjadi apabila semua variabel aliran berubah terhadap besar dan arah kecepatan aliran. Keadaan yang terjadi pada aliran tidak seragam dapat dituliskan dalam persamaan (2.18) [Triatmodjo, 2014]. V p A Q 0; 0; 0; 0; 0 s s s s s
2.12.
(2.18)
Viskositas (Kekentalan) Kekentalan adalah sifat zat cair yang dapat menyebabkan terjadinya
tegangan geser pada waktu bergerak. Tegangan geser ini akan mengubah sebagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
energi aliran menjadi bentuk energi lain seperti panas, suara, dan sebagainya. Perubahan bentuk energi tersebut akan menyebabkan aliran akan kehilangan tenaga [Triatmodjo, 2013].
2.12.1. Hukum Newton Tentang Kekentalan Zat Cair
Gambar 2.27 Newtonian shear distribution [White, 2011].
Gambar 2.28 Tegangan geser pada dua penampang paralel [Munson et al., 2009].
Hukum Newton tentang kekentalan zat cair menyatakan bahwa tegangan geser yang terjadi antara dua partikel zat cair yang berdampingan adalah sebanding dengan perbedaan kecepatan dari partikel yang bergerak [Triatmodjo,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
2013]. Pernyataan tersebut dapat dituliskan ke dalam persamaan (2.19) serta ditunjukkan pada Gambar 2.27 dan Gambar 2.28.
d u
(2.19)
dy
dengan µ (mu) adalah viskositas dinamik yang dinyatakan dalam satuan Newton detik per meter kuadrat (N.s/m2) dan τ (tau) adalah tegangan geser yang dinyatakan dalam satuan Newton per meter persegi (N/m2). Seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.19), Gambar 2.27, dan Gambar 2.28 dapat diketahui bahwa pelat bagian bawah diam dan pelat bagian atas bergerak. Partikel fluida yang bersinggungan dengan plat yang bergerak mempunyai kecepatan yang sama dengan plat tersebut. Tegangan geser (τ) antara dua lapis zat cair adalah sebanding dengan gradien kecepatan dalam arah tegak lurus dengan gerak (du/dy).
2.13.
Pengukuran Debit Aliran
2.13.1. Teori Hambatan Bernoulli (Bernoulli Obstraction Theory)
Gambar 2.29 Perubahan tekanan dan kecepatan pada Bernoulli Obstruction Meter [White, 2011].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Suatu aliran melewati pipa yang mempunyai penampang dengan diameter mayor (D) akan mengalami desakan akibat terjadinya penyempitan penampang dengan ukuran diameter minor (d) sehingga menghasilkan rasio geometri (β) di antara kedua penampang tersebut.
d D
(2.20)
Penampang aliran akan menyempit ketika melewati vena contracta yang mempunyai nilai diameter D2 < d. Dengan menggunakan persamaan Bernoulli dan kontunyuitas, maka dapat diketahui besarnya debit aliran (Q) yang dituliskan dalam persamaan (2.21) [White, 2011]. 2( p1 p 2 ) / Q At Vt C d At 1 4
1/ 2
(2.21)
dengan t merupakan notasi dari throat pada hambatan aliran, Cd merupakan discharge coefficient yang tidak mempunyai satuan, dimana Cd didapatkan dari fungsi dari nilai β dan ReD. Nilai Cd akan dipengaruhi oleh jenis alat pada Bernoulli Obstruction Meter yang digunakan. C d f ( , Re D )
(2.22)
di mana,
Re D
V1 D
2.13.2. Orifice Plate Orifice plate merupakan alat pada Bernoulli Obstruction Meter yang digunakan pada penelitian ini. Orifice plate yang digunakan merupakan jenis Thin Plate Orifice yang mempunyai hubungan antara nilai ReD dan Cd seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.30 [White, 2011].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Gambar 2.30 Grafik hubungan antara Red dan Cd untuk Thin Plate Orifice [White, 2011].
Thin Plate Orifice dapat dibuat dengan nilai β antara 0,2 sampai 0,8, dengan aturan bahwa ukuran d > 12.5 mm. Untuk mengukur besarnya tekanan pada p1 dan p2, biasanya digunakan 3 (tiga) tipe sambungan, yaitu: a.
Sambungan menyudut, dimana orifice plate menyambung langsung dengan dinding pipa.
b.
Sambungan D : ½ D, dimana orifice plate menyambung dengan jarak D pada pipa hulu, dan ½ D pada pipa hilir.
c.
Sambungan flens. Besarnya nilai Cd selain dapat diketahui melalui grafik pada Gambar 2.30
juga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.23). C d f ( ) 91,71
2,5
Re D
0 , 75
0,09 4 F1 0,0337 3 F2 4 1
(2.23)
di mana, f ( ) 0,5959 0,0312 2,1 0,184 8
(2.24)
sedangkan besarnya nilai F1 dan F2 untuk setiap tipe pada ketiga jenis sambungan orifice plate yaitu:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
a.
Untuk sambungan menyudut F1 = 0
b.
Untuk sambungan D : ½ D F1 = 0.4333
c.
F2 = 0
F2 = 0.47
Untuk sambungan flens 1 D(in) F2
1 D(in)
D 2,3
F1 0,4333
2,0 D 2,3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Diagram Alir Penelitian Penelitian tentang performa pada steam ejector terhadap ukuran primary
nozzle exit position (NXP) terdiri atas berbagai macam proses dari awal hingga akhir yang dapat digambarkan melalui diagram alir pada Gambar 3.1. Mulai
Studi Pustaka Tentang Steam Ejector
Pembuatan Desain Steam Ejector
Konsultasi Desain Steam Ejector Dengan Dosen Pembimbing
Persiapan Alat dan Bahan Pembuatan Komponen Steam Ejector
Proses Pembuatan Komponen Steam Ejector: 1.
Boiler
2.
Evaporator
3.
Bed Mesin
4.
Ejector
5.
Condenser
A
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
A
Pengambilan Data Penelitian Pada Steam Ejector Dengan Menggunakan Variasi Pada Primary Nozzle Exit Position (NXP)
Tidak Data Penelitian yang Dibutuhkan Sudah Lengkap?
Ya
Analisis Data Penelitian
Hasil Analisis Data Penelitian Sudah Benar?
Ya
B
Tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
B
Pembahasan Hasil Analisis Data Penelitian
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.
3.2.
Alat Penelitian
3.2.1.
Sistem Alat Penelitian
Ejector Boiler
Evaporator
Kondensor
Reservoir
Gambar 3.2 Skema sistem alat penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Tabel 3.1 Keterangan simbol pada skema sistem alat penelitian. No.
Simbol
Keterangan
1
Water Heater Element
2
Pressure Gauge
3
Thermocouple
4
Expansion Valve
5
Drain Valve
6
Manometer Pipa U
7
Circulating Pump
3.2.2.
Sistem Steam Ejector Penelitian ini menggunakan sistem steam ejector seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Sistem steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Gambar 3.4 dan Gambar 3.5 menunjukkan skema dari steam ejector dan penampang aliran pada steam ejector yang digunakan pada penelitian ini. Sedangkan pada Gambar 3.6 menunjukkan komponen pada steam ejector beserta dengan ukuran komponennya. Skema steam ejector dirancang dan didesain dengan menggunakan program Solidworks 2013.
Gambar 3.4 Steam ejector yang digunakan pada penelitian.
Gambar 3.5 Penampang aliran pada steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
A
2
3
4
5
1
B Gambar 3.6 Komponen steam ejector pada penelitian beserta dengan ukurannya.
keterangan: A.
Primary fluid from boiler
B.
Secondary fluid from evaporator
1.
Suction chamber
2.
Primary nozzle
3.
Mixing Chamber
4.
Ejector throat
5.
Subsonic diffuser
3.3.
Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan 2 (dua) macam variabel penelitian, yaitu
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dan variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Aphornratana dan Eames (1997), Sriveerakul et al. (2007), Chandra dan Ahmed (2014), dan Tashtoush et al. (2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
3.3.1.
Variabel Bebas Terdapat beberapa macam variabel bebas yang digunakan pada penelitian
ini, di mana variabel bebas penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Variabel bebas pada penelitian. No. 1 2
3
3.3.2.
Nama Variabel Tekanan kerja pada fluida primer (primary pressure). Temperatur kerja pada fluida sekunder (secondary temperature). Jarak primary nozzle exit position yang terdapat di dalam ejector.
Simbol Pp Ts
NXP
Variabel Terikat Beberapa macam variabel terikat yang digunakan pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Variabel terikat pada penelitian. No. 1 2
Nama Variabel Laju aliran massa fluida primer (primary mass flow rate) Laju aliran massa fluida sekunder (secondary mass flow rate)
Simbol ṁp ṁs
3
Tekanan kerja fluida sekunder (secondary pressure)
Ps
4
Temperatur kerja saat keluar ejector
To
5
Tekanan kerja saat keluar ejector
Po
6
Selisih ketinggian ukuran pada Manometer Pipa U
Δh
7
Perbedaan tekanan yang terbaca pada Manometer Pipa U
ΔP
8
Rapat massa fluida (density)
ρ
9
Viskositas dinamik (dynamic viscosity)
μ
10
Viskositas kinematik (kinematic viscosity)
ν
11
Kecepatan aliran fluida (velocity)
V
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
12
Reynolds number
Re
13
Debit aliran
Q
2 (dua) parameter performa steam ejector : 14
3.4.
a.
Entrainment Ratio
ω
b.
Expansion Ratio
ER
Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa macam variasi dalam pelaksanaan
pengujian. Variasi penelitian tersebut antara lain primary pressure, secondary temperature, dan ukuran primary nozzle exit position (NXP) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Tekanan dan temperatur pada boiler dan evaporator, beserta dengan ukuran NXP yang digunakan pada penelitian. Primary Pressure
Secondary Temperature
Primary Nozzle Exit Position
(bar)
(˚C)
(mm)
1
50
2
60
3
70
4
80
-5
0
+5
Variasi yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian tentang steam ejector yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa referensi penelitian tersebut merupakan penelitian yang telah dilakukan oleh Aphornratana dan Eames (1997), Sriveerakul et al. (2007), Chandra dan Ahmed (2014), dan Tashtoush et al. (2015). Untuk mengetahui secara jelas posisi dari variasi primary nozzle exit position (NXP) yang dilakukan pada penelitian ini, maka dapat dilihat pada gambar berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Gambar 3.7 Primary nozzle exit position (NXP) +5 mm.
Gambar 3.8 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP +5 mm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Gambar 3.9 Primary nozzle exit position (NXP) 0 mm.
Gambar 3.10 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP 0 mm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Gambar 3.11 Primary nozzle exit position (NXP) -5 mm.
Gambar 3.12 Variasi pada steam ejector dengan menggunakan NXP -5 mm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Prosedur pelaksanaan penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan dari awal hingga akhir yang dapat dijelaskan melalui diagram alir seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.13. Mulai
Input Air Pada Boiler dan Evaporator Variasi Penelitian Awal Menggunakan Ukuran NXP 0 mm Heater Pada Boiler dan Evaporator Dihidupkan
Setting Tekanan Boiler (Primary Pressure) dan Temperatur Evaporator (Secondary Temperature) Sesuai Dengan Tabel 3.4 Tidak Primary Pressure dan Secondary Temperature Sudah Sesuai?
Ya
Primary Expansion Valve Dibuka Selisih ketinggian merkuri (air raksa) pada Manometer Pipa U diukur untuk menghitung debit aliran (Q). Primary temperature diukur denggan temperature controller (Thermocouple Type K dan Thermo Display APPA), sedangkan primary pressure diukur dengan menggunakan Bourdon Tube Pressure Gauge.
A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
A
Secondary Expansion Valve Dibuka Selisih ketinggian merkuri (air raksa) pada Manometer Pipa U diukur untuk menghitung debit aliran (Q). Secondary temperature diukur dengan temperature controller (Thermocouple Type K dan Thermo Display APPA).
Mengganti Variasi Penelitian Pada Primary Pressure dan Secondary Temperature
Mengganti Variasi Penelitian Dengan NXP -5 mm dan NXP +5 mm Lakukan Prosedur Penelitian Dari Awal
Selesai Gambar 3.13 Diagram alir prosedur pelaksanaan penelitian.
3.5.
Alat Penelitian Terdapat berbagai macam alat yang digunakan pada penelitian ini.
Berbagai macam alat tersebut antara lain: 1.
Fluida kerja
2.
Boiler dengan water heater element 2000 Watt
3.
Evaporator dengan water heater element 1000 Watt
4.
Steam ejector
5.
Kondensor
6.
Alat ukur temperatur
7.
Alat ukur tekanan
8.
Alat ukur debit aliran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
9.
Roll meter
10.
Stopwatch
3.5.1.
Fluida Kerja Penelitian ini akan menggunakan fluida kerja berupa air, di mana air
merupakan fluida kerja yang paling ramah lingkungan [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Properti air sebagai fluida kerja pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 ˚C ditunjukkan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Properti air pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 ˚C [White, 2011]. No.
Properti
Nilai
Satuan
1
Temperatur (T)
20
˚C
2
Rapat massa (ρ)
998
kg/m3
3
Viskositas dinamik (μ)
1,80 x 10-5
N.s/m2
4
Viskositas kinematik (ν)
1,50 x 10-5
m2/s
3.5.2.
Boiler dengan Water Heater Element 2000 Watt
Gambar 3.14 Boiler.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Gambar 3.14 menunjukkan bagian boiler yang digunakan pada penelitian ini. Boiler dibuat dengan menggunakan material besi dengan ukuran diameter luar sebesar 220 mm, tinggi 500 mm, dan mempunyai ketebalan dinding sebesar 10 mm. Pada bagian dalam boiler terdapat water heater element dengan daya 2000 Watt seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.15, di mana spesifikasi teknisnya dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Gambar 3.15 Water heater element 2000 Watt.
Tabel 3.6 Spesifikasi teknis water heater element 2000 Watt. Nama Produk
Water Heater Element
Material
Stainless Steel
Tegangan
220 Volt AC
Daya
2000 Watt
Tube Diameter
10 mm (0,39 inchi)
Screw Diameter
4 mm (0,16 inchi)
Male Thread Diameter
16 mm (0,6 inchi)
Warna
Silver Tone
Ukuran
280 mm x 85 mm x 23 mm
(L*D*H)
(11 inchi x 3,3 inchi x 0,9 inchi)
Berat
252 gram
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
3.5.3.
Evaporator dengan Water Heater Element 1000 Watt
Gambar 3.16 Evaporator.
Bagian evaporator yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.16. Sama halnya dengan boiler, evaporator juga dibuat dengan jenis material besi dengan ukuran diameter luar sebesar 220 mm, tinggi 500 mm, dan mempunyai ketebalan dinding sebesar 10 mm. Pada bagian dalam evaporator terdapat water heater element dengan daya 1000 Watt seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.17, di mana spesifikasi teknisnya dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Gambar 3.17 Water heater element 1000 Watt.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Tabel 3.7 Spesifikasi teknis water heater element 1000 Watt.
3.5.4.
Nama Produk
Water Heater Element
Material
Stainless Steel
Tegangan
220 Volt AC
Daya
1000 Watt
Tube Diameter
10 mm (0,39 inchi)
Screw Diameter
-
Thread Diameter
15 mm (0,59 inchi)
Warna
Black-Grey
Ukuran
220 mm x 80 mm
(L*W)
(8,7 inchi x 3,1 inchi)
Berat
212 gram
Steam Ejector Penelitian ini menggunakan steam ejector seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3.18 dan mempunyai data teknis yang ditunjukkan pada Tabel 3.8. Steam ejector dibuat dengan jenis material baja lunak (mild steel).
Gambar 3.18 Steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Tabel 3.8 Spesifikasi teknis steam ejector. 2 mm
Diameter Nozzle
a. -5 mm b. 0 mm
Jarak NXP
c. 5 mm Diameter Pipa Secondary
33 mm
Diameter Suction Chamber
26,5 mm
Sudut Konvergen Suction Chamber Diameter Mixing Chamber
8 mm
Sudut Divergen Diffuser
18,5º
Diameter Diffuser
24 mm
Panjang Steam Ejector (Tanpa Mixing Chamber) Panjang Mixing Chamber
3.5.5.
18º
218,8 mm 50 mm
Kondensor Penelitian ini menggunakan kondensor yang dibuat dengan menggunakan
jenis material stainless steel dengan tebal dinding sebesar 2 mm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.19.
Gambar 3.19 Kondensor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
3.5.6.
Alat Ukur Temperatur Alat ukur temperatur yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 2
(dua) bagian. Bagian yang pertama yaitu thermocouple type K seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.20 dan mempunyai spesifikasi teknis yang ditunjukkan pada Tabel 3.9. Thermocouple type K digunakan sebagai alat untuk melakukan pengukuran temperatur yang digunakan pada penelitian ini.
Gambar 3.20 Thermocouple type K.
Tabel 3.9 Spesifikasi teknis thermocouple type K. Thermocouple
Overall Range
0,1 °C
0,025 °C
Type
(°C)
Resolution
Resolution
K
-270 to 1370
-270 to 1370
-250 to 1370
Sedangkan bagian yang kedua adalah thermo display APPA seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.21 dan mempunyai spesifikasi teknis yang ditunjukkan pada Tabel 3.10. thermo display APPA digunakan sebagai layar yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
menunjukkan besarnya nilai temperatur yang dihasilkan dari proses pembacaan ukuran. Dalam aplikasinya, thermo display APPA disambungkan dengan thermocouple type K.
Gambar 3.21 Thermo display APPA.
Tabel 3.10 Spesifikasi teknis thermo display APPA. APPA
Measurement
K-Type
Temperature
Accuracy
Coefficient
Resolution Type
Range
3. ±0,3% + 1,1 ºC at -210 ºC to -100 ºC -200 ºC 0.1 ºC ≤ 53II
to 1000 ºC 1372 ºC
4. ±0,1% + 0,8 ºC at
0,1 x (Spec Acc.)/ ºC
-99 ºC to -999,9 ºC; 5. ±0,3% + 1 ºC at -1000 ºC to -1200 ºC
< 18 ºC or > ºC
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
3.5.7.
Alat Ukur Tekanan
Gambar 3.22 Bourdon tube pressure gauge.
Penelitian ini menggunakan alat ukur tekanan berupa bourdon tube pressure gauge seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.22 dan mempunyai spesifikasi teknis yang ditunjukkan pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11 Spesifikasi teknis bourdon tube pressure gauge. Bourdon Tube Type Tekiro AU PG100C
3.5.8.
Overall
Overall
Range
Range
(bar)
(psi)
0 to 6
0 to 80
Resolution
Resolution
(bar)
(psi)
0,25
2,5
Alat Ukur Debit Aliran Penelitian ini menggunakan alat ukur debit aliran berupa orifice plate
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.23. orifice plate digunakan untuk mengukur laju aliran massa dari suatu aliran. Karena orifice plate memiliki perbedaan penampang pada kedua sisinya, maka akan menghasilkan perbedaan tekanan yang dihasilkan oleh suatu aliran. Perbedaan tekanan aliran yang dihasilkan akan dilakukan pembacaan ukuran melalui alat ukur Manometer Pipa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
U Air Raksa sehingga dapat digunakan untuk melakukan perhitungan terhadap besarnya laju aliran massa suatu aliran. Air raksa yang digunakan pada Manometer Pipa U dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.24 beserta dengan propertinya yang ditunjukkan pada Tabel 3.12.
Gambar 3.23 Orifice plate.
Gambar 3.24 Air raksa.
Tabel 3.12 Properti air raksa pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 ˚C [White, 2011]. No.
Properti
Nilai
Satuan
1
Temperatur (T)
20
˚C
2
Rapat massa (ρ)
13.550
kg/m3
3
Viskositas dinamik (μ)
1,56 x 10-3
N.s/m2
4
Viskositas kinematik (ν)
1,15 x 10-7
m2/s
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
3.5.9.
Roll Meter Pada penelitian ini roll meter digunakan sebagai alat bantu pembacaan
ukuran pada Manometer Pipa U Air Raksa. Bentuk dari roll meter yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.25, sedangkan aplikasi roll meter pada Manometer Pipa U Air Raksa dapat dilihat pada Gambar 3.26.
Gambar 3.25 Roll meter.
Gambar 3.26 Aplikasi roll meter pada Manometer Pipa U Air Raksa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui performa steam ejector berdasarkan nilai entrainment ratio (ω) dan expansion ratio (ER). Penelitian ini menggunakan variasi tekanan kerja pada boiler (primary pressure), temperatur kerja pada evaporator (secondary temperature), dan primary nozzle exit position (NXP). Primary pressure (Pp) menggunakan 4 (empat) variasi tekanan, yaitu 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar. Secondary temperature (Ts) menggunakan 4 (empat) variasi temperatur, yaitu 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Sedangkan primary nozzle exit position (NXP) menggunakan 3 (tiga) variasi ukuran, yaitu -5 mm, 0 mm, dan +5 mm. Berbagai macam variasi yang dilakukan pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui besarnya nilai entrainment ratio (ω) dan expansion ratio (ER) beserta dengan hubungan antara kedua nilai tersebut terhadap performa steam ejector. Besarnya nilai entrainment ratio (ω) dan expansion ratio (ER) dapat diketahui melalui grafik hasil penelitian beserta dengan pembahasan yang disajikan pada pembahasan hasil penelitian berikut ini.
4.1.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada Setiap Secondary Temperature Entrainment ratio dapat diartikan sebagai perbandingan antara laju aliran
massa fluida sekunder (secondary mass flow rate) dengan laju aliran massa fluida primer (primary mass flow rate) [Chandra dan Ahmed, 2014]. Primary mass flow rate dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan kerja primary fluid. Primary mass flow rate meningkat apabila primary temperature dan primary pressure meningkat. Akan tetapi, kedua hal inilah yang dapat mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun [Ma et al., 2010].
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
4.1.1.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada Secondary Temperature 50 ˚C
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,6 1
2
3
4
Primary Pressure (bar)
Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 50 ˚C.
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio menurun seiring dengan meningkatnya primary pressure. Primary pressure mempunyai nilai tekanan yang sangat rendah saat melewati primary nozzle yang diakibatkan karena efek penyempitan penampang aliran (converging section). Perbedaan signifikan antara tekanan fluida primer (primary pressure) dan tekanan fluida sekunder (secondary pressure) mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid meningkat dan terhisap ke dalam area mixing chamber [Sriveerakul et al., 2007]. Apabila primary pressure terus meningkat dan mengakibatkan primary pressure lebih besar daripada secondary pressure saat melewati primary nozzle, maka akan terjadi back pressure. Back pressure terjadi karena area penghisapan (entrained duct) pada area mixing chamber semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak terhisap ke dalam area mixing chamber dan mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator karena besarnya tekanan pada primary fluid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
[Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. NXP +5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal daripada NXP 0 mm dan NXP -5 mm. Sedangkan back pressure tejadi pada NXP 0 mm dengan nilai entrainment ratio 0,3652 pada primary pressure 1 bar, dan pada NXP -5 mm dengan nilai entrainment ratio -0,1072 dan -0,0800 pada primary pressure 3 bar dan 4 bar.
4.1.2.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada Secondary Temperature 60 ˚C
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,6 1
2
3
4
Primary Pressure (bar)
Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 60 ˚C.
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio menurun apabila primary pressure meningkat. Primary pressure mempunyai nilai tekanan yang sangat rendah saat melewati primary nozzle yang diakibatkan karena efek penyempitan penampang aliran (converging section). Perbedaan signifikan antara tekanan fluida primer (primary pressure) dan tekanan fluida sekunder (secondary pressure) mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid meningkat dan terhisap ke dalam area mixing chamber [Sriveerakul et al., 2007]. Primary pressure yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
terus meningkat melebihi secondary pressure saat melewati primary nozzle akan mengakibatkan terjadinya back pressure. Back pressure terjadi karena area penghisapan (entrained duct) semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator karena besarnya tekanan pada primary fluid [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. NXP +5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal daripada NXP 0 mm dan NXP -5 mm, dimana terjadi back pressure dengan nilai entrainment ratio -0,0625 pada primary pressure 4 bar. Untuk NXP 0 mm, back pressure terjadi pada primary pressure 1 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,4049 dan -0,1957. Sedangkan pada NXP -5 mm, back pressure terjadi pada primary pressure 3 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,1071 dan -0,0904.
4.1.3.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada Secondary Temperature 70 ˚C
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,6 1
2
3
4
Primary Pressure (bar)
Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 70 ˚C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa meningkatnya primary pressure mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun. Primary pressure mempunyai nilai tekanan yang sangat rendah saat melewati primary nozzle karena efek penyempitan penampang aliran (converging section). Perbedaan signifikan antara tekanan fluida primer (primary pressure) dan tekanan fluida sekunder (secondary pressure) mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid meningkat dan terhisap ke dalam area mixing chamber [Sriveerakul et al., 2007]. Primary pressure yang terus meningkat melebihi secondary pressure saat melewati primary nozzle akan mengakibatkan terjadinya back pressure. Back pressure terjadi karena area penghisapan (entrained duct) semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator karena besarnya tekanan pada primary fluid [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. NXP +5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal daripada NXP 0 mm dan NXP -5 mm, dimana terjadi back pressure pada primary pressure 3 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,1159 dan -0,0756. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada primary pressure 1 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,5307 dan -0,2320. Sedangkan pada NXP -5 mm, back pressure terjadi pada primary pressure 1 bar, 3 bar, dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,1802, -0,1217, dan -0,0800.
4.1.4.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada Secondary Temperature 80 ˚C Gambar 4.4 menunjukkan bahwa back pressure sering terjadi pada
secondary temperature 80 ˚C. Back pressure terjadi karena area penghisapan (entrained duct) semakin sempit, sehingga secondary fluid tidak terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator karena besarnya tekanan pada primary fluid [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Pada NXP -5 mm, back pressure terjadi pada primary pressure 3 bar dan 4 bar dengan nilai entrainment
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
ratio -0,1265 dan -0,0835. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada primary pressure 1 bar, 3 bar, dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,4430, -0,2798, dan -0,2545. Sedangkan pada NXP +5 mm, back pressure terjadi pada primary pressure 2 bar, 3 bar, dan 4 bar dengan nilai entrainment ratio -0,1618, -0,1022, dan -0,0792. Dari grafik analisis pada secondary temperature 80 ˚C, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat NXP yang mempunyai nilai entrainment ratio optimal.
Entrainment Ratio
0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 1
2
3
4
Primary Pressure (bar)
Gambar 4.4 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada secondary temperature 80 ˚C.
4.2.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Setiap Primary Pressure Nilai entrainment ratio dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu laju
aliran massa fluida sekunder (secondary mass flow rate) dan laju aliran massa fluida primer (primary mass flow rate). Primary mass flow rate dipengaruhi oleh primary temperature dan primary pressure, sedangkan secondary mass flow rate dipengaruhi oleh secondary temperature dan secondary pressure. Kecepatan aliran pada secondary fluid akan meningkat apabila secondary pressure pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
saluran evaporator lebih besar daripada tekanan pada primary fluid yang melewati primary nozzle. Hal ini mengakibatkan semakin banyaknya secondary fluid yang terhisap oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, sehingga secondary mass flow rate dan nilai entrainment ratio semakin meningkat [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
4.2.1.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 1 bar
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,2 -0,4 -0,6 0
50
60
70
80
Secondary Temperature (C)
Gambar 4.5 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 1 bar.
Gambar 4.5 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio semakin meningkat seiring dengan meningkatnya secondary temperature. Secondary temperature yang semakin meningkat akan mengakibatkan secondary pressure meningkat dan mempunyai tekanan yang lebih besar daripada primary pressure yang telah melewati primary nozzle. Hal inilah yang mengakibatkan secondary fluid banyak terhisap oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber dan mengakibatkan kecepatan aliran secondary fluid semakin meningkat. Kecepatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
aliran secondary fluid meningkat akan mengakibatkan secondary mass flow rate meningkat, sehingga nilai entrainment ratio semakin meningkat [Zhu dan Jiang, 2014]. NXP +5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP -5 mm. Sedangkan pada NXP 0 mm, back pressure terjadi untuk semua secondary temperature dengan nilai entrainment ratio -0,3652, 0,4049, -0,5307, dan -0,4430 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Back pressure yang terjadi diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada secondary fluid, sehingga mengakibatkan aliran primary fluid mengalir masuk ke dalam saluran evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
4.2.2.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 2 bar
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,4 -0,6 0
50
60
70
80
Secondary Temperature (C)
Gambar 4.6 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 2 bar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa secondary temperature yang semakin meningkat mengakibatkan nilai entrainment ratio semakin meningkat. Nilai entrainment ratio meningkat diakibatkan oleh besarnya secondary mass flow rate, dimana secondary mass flow rate yang semakin meningkat dipengaruhi oleh banyaknya secondary fluid yang terhisap oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber. Banyaknya secondary fluid yang terhisap ke dalam area mixing chamber dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antara secondary fluid pada saluran evaporator dengan tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle, di mana tekanan secondary fluid pada saluran evaporator lebih besar daripada tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle [Zhu dan Jiang, 2014]. NXP -5 mm mempunyai nilai entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP +5 mm, walaupun nilai entrainment ratio sempat menurun dengan nilai 0,1271 pada primary pressure 2 bar. Sedangkan back pressure hanya terjadi satu kali dengan nilai entrainment ratio -0,1618 pada primary pressure 4 bar untuk NXP +5 mm. Back pressure terjadi diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada secondary fluid. Hal ini mengakibatkan aliran primary fluid akan mengalir masuk ke dalam saluran evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
4.2.3.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 3 bar Gambar 4.7 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai entrainment ratio
yang optimal untuk variasi secondary temperature pada primary pressure 3 bar, dimana back pressure sering terjadi pada kondisi pengoperasian ini. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada secondary temperature 80 ˚C dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,2798. Pada NXP +5 mm, back pressure terjadi pada secondary temperature 70 ˚C dan 80 ˚C dengan nilai entrainment ratio -0,1159 dan -0,1022. Sedangkan pada NXP -5 mm, back pressure terjadi pada semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
secondary temperature dengan nilai entrainment ratio -0,1072, -0,1071, -0,1217, dan -0,1265 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C.
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,4 -0,6 0
50
60
70
80
Secondary Temperature (C)
Gambar 4.7 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 3 bar.
Terjadinya back pressure diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber menjadi sempit karena pengaruh meningkatnya primary pressure. Hal ini akan mengakibatkan proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid tidak berlangsung dengan optimal [Sriveerakul et al., 2007]. Back pressure juga dipengaruhi oleh tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada secondary fluid, sehingga mengakibatkan aliran primary fluid mengalir masuk ke dalam saluran evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
4.2.4.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada Primary Pressure 4 bar
Entrainment Ratio
0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 0
50
60
70
80
Secondary Temperature (C)
Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap nilai entrainment ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada primary pressure 4 bar.
Gambar 4.8 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai optimal pada entrainment ratio, dimana nilai entrainment ratio cenderung tidak stabil untuk meningkatnya secondary temperature dan banyaknya back pressure yang terjadi. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada secondary temperature 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C dengan nilai entrainment ratio -0,1957, -0,2320, dan -0,2545. Pada NXP +5 mm, back pressure juga terjadi pada secondary temperature 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C dengan nilai entrainment ratio -0,0625, -0,0756, dan -0,0792. Sedangkan pada NXP -5 mm, back pressure terjadi untuk semua secondary temperature dengan nilai entrainment ratio -0,0800, -0,0904, -0,0800, dan 0,0835 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Back pressure yang terjadi diakibatkan oleh secondary fluid yang tidak terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber menjadi sempit karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
pengaruh meningkatnya primary pressure. Hal ini akan mengakibatkan proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid tidak berlangsung dengan optimal [Sriveerakul et al., 2007]. Selain itu, back pressure juga dipengaruhi oleh tekanan primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada secondary fluid, sehingga mengakibatkan aliran primary fluid mengalir masuk ke dalam saluran evaporator [Chunnanond dan Aphornratana, 2004].
4.3.
Pengaruh Secondary Temperature Terhadap Nilai Expansion Ratio Dengan Menggunakan Variasi Primary Pressure Pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm
Secondary Temperature 50 C
30
Secondary Temperature 60 C
Expansion Ratio
Secondary Temperature 70 C
24
Secondary Temperature 80 C
18 12 6
1
2
3
4
Primary Pressure (bar)
Gambar 4.9 Grafik pengaruh secondary temperature terhadap nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm.
Gambar 4.9 menunjukkan bahwa nilai expansion ratio semakin meningkat seiring dengan meningkatnya primary pressure untuk semua primary nozzle exit position (NXP). Expansion ratio merupakan perbandingan antara tekanan pada fluida primer (primary pressure) dengan tekanan pada fluida sekunder (secondary pressure) [Chandra dan Ahmed, 2014]. Oleh karena itu, nilai expansion ratio mempunyai nilai yang tinggi pada saat nilai secondary
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
temperature paling rendah. Hal ini dapat dibuktikan melalui grafik pada Gambar 4.9, dimana nilai expansion ratio paling tinggi terletak pada secondary temperature 50 ˚C dan terus meningkat seiring dengan meningkatnya primary pressure dengan nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan 32,3887 pada primary pressure 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar. Sedangkan nilai expansion ratio paling rendah akan dihasilkan pada saat nilai secondary temperature paling tinggi, dimana pada secondary temperature 80 ˚C menghasilkan nilai expansion ratio paling rendah dan terus meningkat seiring dengan meningkatnya primary pressure dengan nilai expansion ratio sebesar 2,1101, 4,2203, 6,3304, dan 8,4406 pada primary pressure 1 bar, 2 bar, 3 bar, dan 4 bar.
4.4.
Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Expansion Ratio Dengan Menggunakan Variasi Secondary Temperature Pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm Gambar 4.10 menunjukkan bahwa nilai expansion ratio semakin
menurun seiring dengan meningkatnya secondary temperature. Expansion ratio dapat diartikan sebagai perbandingan antara primary pressure dengan secondary pressure [Chandra dan Ahmed, 2014], dimana nilai expansion ratio meningkat apabila primary pressure meningkat dan secondary temperature menurun, sedangkan nilai expansion ratio menurun apabila primary pressure menurun dan secondary temperature meningkat. Hal ini dapat dibuktikan melalui grafik pada Gambar 4.10, dimana nilai expansion ratio paling tinggi dihasilkan saat primary pressure 4 bar dan terus menurun seiring dengan meningkatnya secondary temperature dengan nilai expansion ratio sebesar 32,3887, 20,5761, 12,8246, dan 8,4406 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C. Sedangkan nilai expansion ratio paling rendah dihasilkan saat primary pressure 1 bar, dimana nilainya terus menurun seiring dengan meningkatnya secondary temperature dengan nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 5,1440, 3,2062, dan 2,1101 pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, 70 ˚C, dan 80 ˚C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Primary Pressure 1 bar Primary Pressure 2 bar Primary Pressure 3 bar Primary Pressure 4 bar
Expansion Ratio
30 24 18 12 6
0
50
60
70
80
Secondary Temperature (C)
Gambar 4.10 Grafik pengaruh primary pressure terhadap nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm.
4.5.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Setiap Secondary Temperature Expansion ratio merupakan perbandingan antara primary pressure
dengan
secondary
pressure,
sedangkan
entrainment
ratio
merupakan
perbandingan antara secondary mass flow rate dengan primary mass flow rate [Chandra dan Ahmed, 2014]. Nilai entrainment ratio akan meningkat apabila secondary mass flow rate meningkat, dimana meningkatnya secondary mass flow rate diakibatkan oleh secondary temperature yang meningkat. Secondary temperature yang terus meningkat akan mengakibatkan secondary pressure meningkat, sehingga nilai expansion ratio semakin menurun. Oleh karena itu, terjadi hubungan yang berbanding terbalik antara nilai expansion ratio dengan nilai entrainment ratio.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
4.5.1.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary Temperature 50 ˚C
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,6 0
8
12
16
20
24
28
32
Expansion Ratio
Gambar 4.11 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary temperature 50 ˚C.
Gambar 4.11 menunjukkan bahwa semakin meningkatnya nilai expansion ratio akan mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun. Nilai expansion ratio meningkat diakibatkan oleh semakin meningkatnya primary pressure. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya primary pressure akan mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun, dimana primary pressure yang semakin meningkat akan mengakibatkan kecepatan aliran primary fluid semakin meningkat yang mengakibatkan primary mass flow rate meningkat [Ma et al., 2010]. Tingginya nilai expansion ratio juga dapat mengakibatkan terjadinya back pressure, dimana tekanan primary fluid yang melewati primary nozzle masih lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap ke dalam area mixing chamber karena area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit, sehingga dapat mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
et al., 2007]. NXP +5 mm mempunyai hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP -5 mm dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,2100, 0,1151, 0,0829, dan 0,0644 pada nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan 32,3887.
4.5.2.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary Temperature 60 ˚C
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,6 0
4
8
12
16
20
Expansion Ratio
Gambar 4.12 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary temperature 60 ˚C.
Gambar 4.12 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai expansion ratio. Menurunnya nilai entrainment ratio diakibatkan oleh primary pressure yang terus meningkat sehingga mengakibatkan kecepatan aliran primary fluid akan meningkat dan meningkatkan primary mass flow rate [Ma et al., 2010]. Akan tetapi, hal inilah yang mengakibatkan nilai expansion ratio meningkat, dimana primary pressure terus meningkat melebihi secondary pressure yang dihasilkan oleh meningkatnya secondary temperature. Dengan semakin meningkatnya nilai expansion ratio
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
dapat mengakibatkan terjadinya back pressure. Back pressure diakibatkan oleh tekanan primary fluid yang melewati primary nozzle masih lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap ke dalam area mixing chamber karena area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit, sehingga dapat mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul et al., 2007]. NXP +5 mm mempunyai hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP -5 mm, dimana nilai entrainment ratio yang dihasilkan sebesar 0,2136, 0,1175, dan 0,0842 pada nilai expansion ratio sebesar 5,1440, 10,2881, dan 15,4321, kemudian terjadi back pressure dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,0625 pada nilai expansion ratio sebesar 20,5761.
4.5.3.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary Temperature 70 ˚C
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,6 0
2
4
6
8
10
12
14
Expansion Ratio
Gambar 4.13 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary temperature 70 ˚C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Gambar 4.13 menunjukkan bahwa terjadi banyak back pressure seiring dengan meningkatnya nilai expansion ratio untuk semua primary nozzle exit position (NXP). Back pressure ditandai dengan terus menurunnya nilai entrainment ratio, sehingga entrainment ratio mempunyai nilai negatif. Back pressure sering terjadi pada NXP -5 mm dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,1802, -0,1217, dan -0,0800 pada nilai expansion ratio 3,2062, 9,6185, dan 12,8246. Back pressure terjadi karena tekanan primary fluid yang melewati primary nozzle masih lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap ke dalam area mixing chamber karena area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit. Hal tersebut mengakibatkan fluida campuran antara primary fluid dan secondary fluid tidak mengalir menuju area ejector throat, melainkan dapat mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul et al., 2007].
4.5.4.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Secondary Temperature 80 ˚C Gambar 4.14 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai optimal pada
hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary temperature 80 ˚C untuk semua primary nozzle exit position (NXP). Back pressure ditandai dengan terus menurunnya nilai entrainment ratio, sehingga entrainment ratio mempunyai nilai negatif. Back pressure terjadi diakibatkan oleh tekanan primary fluid yang melewati primary nozzle masih lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap ke dalam area mixing chamber karena area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit. Hal tersebut mengakibatkan fluida campuran antara primary fluid dan secondary fluid tidak mengalir menuju area ejector throat, melainkan dapat mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul et al., 2007].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Entrainment Ratio
0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 0
2
4
6
8
Expansion Ratio
Gambar 4.14 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada secondary temperature 80 ˚C.
Back pressure sering terjadi pada NXP 0 mm dan NXP +5 mm. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada nilai expansion ratio 2,1101, 6,3304, dan 8,4406 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,4430, -0,2798, dan -0,2545. Sedangkan pada NXP +5 mm, back pressure terjadi pada nilai expansion ratio 4,2203, 6,3304, dan 8,4406 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1618, 0,1022, dan -0,0792.
4.6.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Setiap Primary Pressure Semakin meningkatnya primary pressure akan mengakibatkan nilai
expansion ratio semakin meningkat. Di sisi lain, dengan semakin meningkatnya primary pressure akan mengakibatkan kecepatan aliran primary fluid semakin meningkat dan akan meningkatkan primary mass flow rate, sehingga nilai entrainment ratio akan menurun [Ma et al., 2010]. Nilai expansion ratio yang terus meningkat dapat mengakibatkan terjadinya back pressure, dimana tekanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
primary fluid yang melewati primary nozzle lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna ke dalam area mixing chamber, melainkan primary fluid dapat mengalir ke dalam saluran evaporator [Sriveerakul et al., 2007].
4.6.1.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 1 bar
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,2 -0,4 -0,6 0,0
2
4
6
8
Expansion Ratio
Gambar 4.15 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 1 bar. Gambar 4.15 menunjukkan bahwa nilai entrainment ratio semakin menurun seiring dengan meningkatnya nilai expansion ratio. Menurunnya nilai entrainment ratio diakibatkan karena primary pressure yang terus meningkat, sehingga kecepatan aliran pada primary fluid semakin meningkat dan mengakibatkan primary mass flow rate semakin meningkat [Ma et al., 2010]. Primary mass flow rate yang meningkat saat keluar dari primary nozzle merupakan tanda bahwa tekanan pada primary fluid saat keluar dari primary nozzle masih tinggi, dimana tekanan primary fluid saat keluar dari primary nozzle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
lebih tinggi daripada tekanan pada secondary fluid. Hal inilah yang mengakibatkan nilai entrainment ratio sangat rendah dan dapat terjadi back pressure, dimana primary fluid yang mengalir masuk ke dalam area mixing chamber melalui primary nozzle mempunyai tekanan yang tinggi dan secondary fluid mempunyai tekanan dan kecepatan aliran yang rendah. Kecepatan aliran yang rendah pada secondary fluid mengakibatkan secondary mass flow rate sangat rendah, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, melainkan primary fluid dapat mengalir ke dalam saluran evaporator karena tekanan pada primary fluid saat melewati primary nozzle lebih besar daripada tekanan pada secondary fluid [Sriveerakul et al., 2007]. Di sisi lain, primary pressure yang semakin meningkat akan mengkibatkan nilai
expansion ratio
semakin meningkat,
dimana
perbandingan antara primary pressure lebih besar daripada seondary pressure [Chandra dan Ahmed, 2014]. Oleh karena itu, seiring dengan meningkatnya nilai expansion ratio akan mengakibatkan nilai entrainment ratio semakin menurun. NXP +5 mm mempunyai hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio paling optimal di antara NXP 0 mm dan NXP -5 mm dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,2571, 0,2336, 0,2136, dan 0,2100 pada nilai expansion ratio 2,1101, 3,2062, 5,1440, dan 8,9072. Sedangkan pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada untuk semua hubungan yang terjadi antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,4430, -0,5307, -0,4049, dan -0,3652 pada nilai expansion ratio 2,1101, 3,2062, 5,1440, dan 8,0972.
4.6.2.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 2 bar Gambar 4.16 menunjukkan bahwa semakin meningkat nilai expansion
ratio akan mengakibatkan nilai entrainment ratio semakin menurun. Hal ini diakibatkan karena semakin meningkatnya primary pressure akan meningkatkan nilai expansion ratio, dimana perbandingan antara primary pressure lebih besar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
daripada secondary pressure yang dipengaruhi oleh secondary temperature [Chandra dan Ahmed, 2014]. Akan tetapi, primary pressure yang terus meningkat akan mengakibatkan nilai entrainment ratio menurun, dimana laju aliran pada primary fluid saat melewati primary nozzle yang tinggi sehingga mengakibatkan tingginya tekanan primary fluid pada ujung nozzle. Hal ini akan mengakibatkan secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit. Akibat adanya perbedaan tekanan primary fluid pada ujung nozzle dan secondary fluid pada saluran evaporator, dimana tekanan primary fluid lebih tinggi daripada secondary fluid, maka primary fluid tidak akan mengalir menuju bagian ejector throat dan menghisap secondary fluid, melainkan primary fluid akan mengalir masuk ke dalam saluran evaporator. Di sinilah terjadinya back pressure [Ma et al., 2010] [Sriveerakul et al., 2007].
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,6 0
4
6
8
10
12
14
16
Expansion Ratio
Gambar 4.16 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 2 bar.
Nilai optimal pada hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio terletak pada NXP -5 mm dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,1390, 0,1324, 0,1271, dan 0,1293 pada nilai expansion ratio sebesar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
4,2203, 6,4123, 10,2881, dan 16,1943. Sedangkan back pressure terjadi pada NXP +5 mm dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1618 pada nilai expansion ratio sebesar 4,2203.
4.6.3.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 3 bar
Entrainment Ratio
0,4 0,2 0,0 -0,2 NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
-0,4 -0,6 0
5
10
15
20
25
Expansion Ratio
Gambar 4.17 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 3 bar.
Gambar 4.17 menunjukkan bahwa tidak ada nilai optimal pada hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 3 bar, dimana terjadi banyak back pressure. Pada NXP -5 mm, back pressure terjadi pada semua nilai pada hubungan antara nilai expansion ratio dengan nilai entrainment ratio dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1265, -0,1217, 0,1071, dan -0,1072 pada nilai expansion ratio sebesar 6,3304, 9,6185, 15,4321, dan 24,2915. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi saat nilai expansion ratio sebesar 6,3304 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,2798. Sedangkan pada NXP +5 mm, back pressure terjadi saat nilai expansion ratio sebesar 6,3304 dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
9,6185 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,1022 dan -0,1159. Back pressure terjadi diakibatkan oleh primary fluid yang mengalir masuk ke dalam area mixing chamber melalui primary nozzle mempunyai tekanan yang tinggi, sedangkan secondary fluid mempunyai tekanan dan kecepatan aliran yang rendah. Kecepatan aliran yang rendah pada secondary fluid mengakibatkan secondary mass flow rate sangat rendah, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, dimana area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit. Perbedaan tekanan primary fluid pada ujung nozzle dengan tekanan secondary fluid pada saluran evaporator, dimana tekanan primary fluid lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid, dapat mengakibatkan aliran primary fluid mengalir menuju saluran evaporator dan menyebabkan terjadinya back pressure [Sriveerakul et al., 2007].
4.6.4.
Pengaruh Primary Nozzle Exit Position Terhadap Hubungan Antara Nilai Expansion Ratio dan Nilai Entrainment Ratio Pada Primary Pressure 4 bar Gambar 4.18 menunjukkan bahwa hubungan antara nilai expansion ratio
dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 4 bar tidak mempunyai nilai optimal yang diakibatkan karena back pressure yang sering terjadi. Back pressure terjadi diakibatkan oleh primary fluid yang mengalir masuk ke dalam area mixing chamber melalui primary nozzle mempunyai kecepaan aliran dan tekanan yang tinggi, sedangkan secondary fluid yang mengalir melalui saluran evaporator mempunyai kecepatan aliran dan tekanan yang rendah. Kecepatan aliran yang rendah pada secondary fluid mengakibatkan secondary mass flow rate sangat rendah, sehingga secondary fluid tidak dapat terhisap sempurna oleh primary fluid ke dalam area mixing chamber, karena area penghisapan (entrained duct) yang terbentuk di dalam area mixing chamber semakin sempit. Sedangkan perbedaan tekanan antara primary fluid dan secondary fluid yang terjadi pada ujung nozzle dan saluran evaporator dapat mengakibatkan primary fluid mengalir ke dalam saluran evaporator yang diakibatkan oleh tekanan primary fluid pada ujung nozzle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
lebih tinggi daripada tekanan secondary fluid pada saluran evaporator [Sriveerakul et al., 2007].
Entrainment Ratio
0,4
NXP -5 mm NXP 0 mm NXP +5 mm
0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 0
8
12
16
20
24
28
32
Expansion Ratio
Gambar 4.18 Grafik pengaruh primary nozzle exit position terhadap hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio pada primary pressure 4 bar.
Pada NXP -5 mm, back pressure terjadi untuk semua hubungan yang terjadi antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio, dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,0835, -0,0800, -0,0904, dan -0,0800 pada nilai expansion ratio sebesar 8,4406, 12,8246, 20,5761, dan 32,3887. Pada NXP 0 mm, back pressure terjadi pada nilai expansion ratio sebesar 8,4406, 12,8246, dan 20,5761 dengan nilai entrainment ratio sebesar -0,2545, -0,2320, dan -0,1957. Sedangkan pada NXP +5 mm, back pressure terjadi saat nilai expansion ratio sebesar 8,4406, 12,8246, dan 20,5761 dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,0792, -0,0756, dan -0,0625.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis tentang performa steam ejector
berdasarkan nilai entrainment ratio dan expansion ratio untuk variasi primary pressure dan secondary temperature terhadap pengaruh primary nozzle exit position (NXP), maka dapat diambil beberapa kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai sebagai berikut: 1.
Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada nilai entrainment
ratio
untuk
setiap
secondary
temperature
dengan
menggunakan variasi pada primary pressure. Nilai entrainment ratio semakin menurun seiring dengan meningkatnya primary pressure. Dari variasi NXP yang dilakukan, yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm, nilai entrainment ratio yang optimal dihasilkan NXP +5 mm pada secondary temperature 50 ˚C, 60 ˚C, dan 70 ˚C dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,2100, 0,1151, 0,0829, dan 0,0644 untuk secondary temperature 50 ˚C; 0,2136, 0,1175, 0,0842, dan -0,0625 untuk secondary temperature 60 ˚C; 0,2336, 0,1099, -0,1159, dan -0,0756 untuk secondary temperature 70 ˚C. 2.
Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada nilai entrainment ratio untuk setiap primary pressure dengan menggunakan variasi pada secondary temperature. Nilai entrainment ratio semakin meningkat seiring dengan meningkatnya secondary temperature. Dari variasi NXP yang dilakukan, yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm, nilai entrainment ratio yang optimal dihasilkan NXP +5 mm pada primary pressure 1 bar dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,2100, 0,2136, 0,2336, dan 0,2571, serta NXP -5 mm pada primary pressure 2 bar dengan nilai entrainment ratio sebesar 0,1293, 0,1271, 0,1324, dan 0,1390.
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
3.
Secondary temperature mempunyai pengaruh pada nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi primary pressure pada semua primary nozzle exit position (NXP), yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm. Semakin rendah secondary temperature menghasilkan nilai expansion ratio yang tinggi dan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya primary pressure. Nilai expansion ratio paling tinggi dihasilkan pada secondary temperature 50 ˚C dengan nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan 32,3887, sedangkan nilai expansion ratio paling rendah dihasilkan pada secondary temperature 80 ˚C dengan nilai expansion ratio sebesar 2,1101, 4,2203, 6,3304, dan 8,4406.
4.
Primary pressure mempunyai pengaruh pada nilai expansion ratio dengan menggunakan variasi secondary temperature pada semua primary nozzle exit position (NXP), yaitu NXP -5 mm, NXP 0 mm, dan NXP +5 mm. Semakin tinggi primary pressure akan menghasilkan nilai expansion ratio yang tinggi dan akan menurun seiring dengan meningkatnya secondary temperature. Nilai expansion ratio paling tinggi dihasilkan pada primary pressure 4 bar dengan nilai expansion ratio sebesar 32,3887, 20,5761, 12,8246, dan 8,4406, sedangkan nilai expansion ratio paling rendah dihasilkan pada primary pressure 1 bar dengan nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 5,1440, 3,2062, dan 2,1101.
5.
Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio untuk setiap secondary temperature. Nilai entrainment ratio semakin menurun seiring dengan meningkatnya nilai expansion ratio, dimana hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio yang optimal terletak pada NXP +5 mm pada secondary temperature 50 ˚C dan 60 ˚C. Untuk secondary temperature 50 ˚C, nilai entrainment ratio yang dihasilkan sebesar 0,2100, 0,1151, 0,0829, dan 0,0644 pada nilai expansion ratio sebesar 8,0972, 16,1943, 24,2915, dan 32,3887. Sedangkan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
secondary temperature 60 ˚C, nilai entrainment ratio yang dihasilkan sebesar 0,2136, 0,1175, 0,0842, dan -0,0625 pada nilai expansion ratio sebesar 5,1440, 10,2881, 15,4321, dan 20,5761. 6.
Primary nozzle exit position (NXP) mempunyai pengaruh pada hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio untuk setiap primary pressure. Nilai entrainment ratio semakin menurun seiring dengan meningkatnya expansion ratio. Hubungan antara nilai expansion ratio dan nilai entrainment ratio yang optimal terletak pada NXP +5 mm pada primary pressure 1 bar dan NXP -5 mm pada primary pressure 2 bar. Untuk NXP +5 mm pada primary pressure 1 bar, nilai entrainment ratio yang dihasilkan sebesar 0,2571, 0,2336, 0,2136, dan 0,2100 pada nilai expansion ratio sebesar 2,1101, 3,2062, 5,1440, dan 8,9072. Sedangkan untuk NXP -5 mm pada primary pressure 2 bar, nilai entrainment ratio yang dihasilkan sebesar 0,1310, 0,1324, 0,1271, dan 0,1293 pada nilai expansion ratio sebesar 4,2203, 6,4123, 10,2881, dan 16,1943.
5.2.
Saran Setelah melakukan penelitian dan analisis tentang performa steam
ejector, terdapat beberapa macam hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan perbaikan, antara lain: 1.
Pipa saluran pada evaporator dipasang hingga dasar tabung evaporator, sehingga fenomena pada steam ejector terlihat lebih jelas dan dapat menghasilkan grafik analisis penelitian yang lebih baik.
2.
Pada bagian ejector dan ejector throat dipasang pressure manifold untuk jarak tertentu. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui pressure drop dan fenomena aliran fluida yang melewati seluruh bagian steam ejector.
3.
Mengoptimalkan kinerja pada bagian kondensor.
4.
Sistem grounding pada kelistrikan steam ejector perlu diperhatikan dengan lebih cermat. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya daya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
listrik yang dibutuhkan sebagai sumber tenaga pada water heater element pada bagian boiler maupun evaporator. 5.
Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang steam ejector, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui dan menentukan performa pada steam ejector yang paling baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Akterian, S. (2011) : Improving the Energy Efficiency of Traditional Multi Stage Steam Jet Ejector Vacuum Systems for Deodorizing Edible Oils, 11th International Congress on Engineering and Food (ICEF11), 1, 17851791. Aphornratana, S., Eames, I. W. (1997) : A Small Capacity Steam Ejector Refrigerator: Experimental Investigation of a System Using Ejector With Moveable Primary Nozzle, International Journal of Refrigeration, 20, 352-358. Besagni, G., Mereu, R., Inzoli, F. (2016) : Ejector Refrigeration: A Comprehensive Review, Journal of Renewable and Sustainable Energy Review, 53, 373-407. Cardemil, J. M., Colle, S. (2012) : A General Model for Evaluation of Vapor Ejectors Performance for Application in Refrigeration, Journal of Energy Conversion and Management, 64, 79-86. Chandra, V. V., Ahmed, M. R. (2014) : Experimental and Computational Studies on a Steam Jet Refrigeration System With Constant Area and Variable Area Ejectors, Journal of Energy Conversion and Management, 79, 377386. Chen, J., Jarall, S., Havtun, H., Palm, B. (2015) : A Review on Versatile Ejector Applications in Refrigeration System, Journal of Renewable and Sustainable Energy Review, 49, 67-90. Chunnanond, K., Aphornratana, S. (2004) : An Experimental Investigation of a Steam Ejector Refrigerator: The Analysis of the Pressure Profile Along the Ejector, Journal of Applied Thermal Engineering, 24, 311-322. Fiyanto, A., Mulaika, H., Hidayati, N., Shahab, N., Guerrero, L. (2010). “Batubara Mematikan - Bagaimana Rakyat Indonesia Membayar Mahal Untuk Bahan Bakar Terkotor di Dunia”. Walhi: Greenpeace Asia Tenggara. Ismantoro, A. P. (2016). “Analisis Laju Kerusakan Exergy dan Efisiensi Exergy Mesin PLTGU PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan Semarang”, Tugas Akhir, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ma, X., Zhang, W., Omer, S. A., Riffat, S. B. (2010) : Experimental Investigation of a novel Steam Ejector Refrigerator Suitable for Solar Energy Applications, Journal of Applied Thermal Engineering, 30, 1320-1325.
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Meyer, A. J., Harms, T. M., Dobson, R. T. (2009) : Steam Jet Ejector Cooling Powered by Waste or Solar Heat, Journal of Renewable Energy, 34, 297306. Moran, M. J., Shapiro, H. N. (2004). “Termodinamika Teknik Jilid 1”. Edisi ke-4. (Terjemahan: Ir. Yulianto Sulistyo Nugroho, M.Sc., Ph.D.; Editor: Wayan Santika, S.T., M.M., Wibi Hardani, S.T., M.M.). Jakarta: Penerbit Erlangga. Moran, M. J., Shapiro, H. N. (2006). “Fundamentals of Engineering Thermodynamics: SI Version”. 5th Edition. Chichester, England: John Wiley & Sons, Ltd. Munson, B. R., Young, D. F., Okiishi, T. H., Huebsch, W. W. (2009). “Fundamentals of Fluid Mechanics”. 6th Edition. United States of America: John Willey & Sons, Inc. Petrenko, V. O. (2014). “Ejector Refrigeration Technologies Center”. Ukraina: Odessa National Academy of Food Technologies (ONAFT). Ruangtrakoon, N., Thongtip, T., Aphornratana, S., Sriveerakul, T. (2013) : CFD Simulation on the Effect of Primary Nozzle Geometries for a Steam Ejector in Refrigeration Cycle, International Journal of Thermal Sciences, 63, 133-145. Ruangtrakoon, N., Aphornratana, S. (2014) : Development and Performance of Steam Ejector Refrigeration System Operated in Real Application in Thailand, International Journal of Refrigeration, 48, 142-152. Sriveerakul, T., Aphornratana, S., Chunnanond, K. (2007) : Performance Prediction of Steam Ejector Using Computational Fluid Dynamics: Part 1. Validation of the CFD Results, International Journal of Thermal Sciences, 46, 812-822. Tashtoush, B., Alshare, A., Al-Rifai, S. (2015) : Performance Study of Ejector Cooling Cycle at Critical Mode Under Superheated Primary Flow, Journal of Energy Conversion and Management, 94, 300-310. Triatmodjo, B. (2014). “Hidraulika 1”. Cetakan ke-14. Yogyakarta: Beta Offset. Triatmodjo, B. (2013). “Hidraulika 2”. Cetakan ke-9. Yogyakarta: Beta Offset. White, F. M. (2011). “Fluid Mechanics”. 7th Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Yu, J., Chen, H., Ren, Y., Li, Y. (2006) : A New Ejector Refrigeration System with an Additional Jet Pump, Journal of Applied Thermal Engineering, 26, 312-319.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Zed, F., Suharyani, Y. D., Rasyid, A., Hayati, D., Rosdiana, D., Mohi, E., Santhani, F., Pambudi, S. H., Malik, C., Santosa, J., Nurohim, A. (2014). “Outlook Energi Indonesia 2014”. Jakarta: Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan - Direktorat Jenderal Dewan Energi Nasional. Zhu, Y., Jiang, P. (2014) : Experimental and Numerical Investigation of the Effect of Shock Wave Characteristics on the Ejector Performance, International Journal of Refrigeration, 40, 31-42.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN Lampiran A: Sistem Steam Ejector Lampiran A.1. Gambar Keseluruhan Sistem Steam Ejector
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Lampiran A.2. Gambar Penampang Aliran Pada Steam Ejector
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Lampiran B: Gambar Teknik Komponen Utama Steam Ejector Lampiran B.1. Gambar Teknik Primary Nozzle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Lampiran B.2. Gambar Teknik Suction Chamber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Lampiran B.3. Gambar Teknik Mixing Chamber
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Lampiran B.4. Gambar Teknik Ejector Throat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Lampiran B.5. Gambar Teknik Subsonic Diffuser
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Lampiran C: Data Pengamatan Lampiran C.1. Data Pengamatan Untuk NXP -5 mm
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Boiler (Primary Fluid) Pp Tp Δh (bar) (˚C) (mm Hg) 110,3 60 109,6 40 1 109,8 70 110,0 52 123,1 150 122,6 140 2 123,0 142 123,4 130 131,1 214 130,5 200 3 131,0 202 130,6 206 140,1 340 139,6 348 4 139,5 358 140,4 336
Evaporator (Secondary Fluid) Ts 1 Ts 2 Δh (˚C) (˚C) (mm Coolant) 50 49,6 2 60 59,6 1 70 69,8 -1 80 79,5 1 50 49,6 9 60 58,9 4 70 69,7 3 80 79,6 2 50 49,5 -16 60 58,7 -8 70 68,9 -10 80 78,1 -8 50 49,5 -16 60 59,7 -20 70 69,6 -6 80 79,6 -4
To (˚C) 95,3 96,9 96,4 97,6 92,9 95,7 97,7 97,3 91,5 86,3 93,6 88,5 89,5 93,5 90,3 87,4
Outlet Ejector Δh (mm Coolant) 30 40 8 10 22 10 4 34 6 -6 6 8 -20 -16 -12 -10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Lampiran C.2. Data Pengamatan Untuk NXP 0 mm
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Boiler (Primary Fluid) Pp Tp Δh (bar) (˚C) (mm Hg) 113,2 50 111,5 60 1 112,6 30 110,1 40 123,0 120 122,0 140 2 118,3 110 120,5 130 129,5 200 130,1 230 3 130,8 206 130,4 200 140,6 354 141,6 350 4 140,8 310 139,2 340
Evaporator (Secondary Fluid) Ts 1 Ts 2 Δh (˚C) (˚C) (mm Coolant) 50 49,5 -2 60 59,6 -3 70 69,4 -4 80 79,8 -1 50 49,8 2 60 59,6 1 70 69,9 1,5 80 79,8 0,5 50 49,6 4 60 59,9 6 70 69,8 2 80 79,5 -4 50 49,2 5 60 59,6 -6 70 69,3 -8 80 79,9 -10
To (˚C) 97,1 96,5 96,4 96,9 96,8 94,7 95,1 93,4 90,3 90,9 94,3 91,9 90,2 95,5 96,3 91,6
Outlet Ejector Δh (mm Coolant) 1 -2 -3 -4 -2 -4 -6 -8 10 4 -10 -6 -10 -6 2 -5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Lampiran C.3. Data Pengamatan Untuk NXP +5 mm
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Boiler (Primary Fluid) Pp Tp Δh (bar) (˚C) (mm Hg) 109,8 48 109,6 52 1 110,0 60 109,7 40 123,0 146 122,7 130 2 122,5 150 122,3 140 130,9 210 131,0 214 3 130,5 220 130,8 200 139,9 336 140,1 346 4 139,7 350 140,0 340
Evaporator (Secondary Fluid) Ts 1 Ts 2 Δh (˚C) (˚C) (mm Coolant) 50 49,8 4 60 59,9 3 70 69,6 4 80 79,9 2 50 49,7 4 60 59,5 2 70 69,6 1 80 79,6 -6 50 49,6 3 60 59,5 2 70 69,9 -9 80 79,6 -2 50 49,5 4 60 59,7 -2 70 69,6 -4 80 79,4 -3
To (˚C) 96,1 94,7 95,6 97,4 92,3 93,9 96,1 96,7 92,4 92,2 87,6 94,3 85,7 85,8 89,8 86,6
Outlet Ejector Δh (mm Coolant) 6 20 15 6 30 24 18 4 -6 -4 -5 -10 12 14 14 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Lampiran D: Data Hasil Analisis Lampiran D.1. Data Hasil Analisis Untuk NXP -5 mm
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Boiler (Primary Fluid ) Pp Tp Δh (bar) (˚C) (mm Hg) 110,3 60 109,6 40 1 109,8 70 110,0 52 123,1 150 122,6 140 2 123,0 142 123,4 130 131,1 214 130,5 200 3 131,0 202 130,6 206 140,1 340 139,6 348 4 139,5 358 140,4 336
Evaporator (Secondary Fluid ) Ts 1 Ts 2 Δh (˚C) (˚C) (mm Coolant ) 50 49,6 2 60 59,6 1 70 69,8 -1 80 79,5 1 50 49,6 9 60 58,9 4 70 69,7 3 80 79,6 2 50 49,5 -16 60 58,7 -8 70 68,9 -10 80 78,1 -8 50 49,5 -16 60 59,7 -20 70 69,6 -6 80 79,6 -4
Outlet Ejector To (˚C) 95,3 96,9 96,4 97,6 92,9 95,7 97,7 97,3 91,5 86,3 93,6 88,5 89,5 93,5 90,3 87,4
Δh (mm Coolant ) 30 40 8 10 22 10 4 34 6 -6 6 8 -20 -16 -12 -10
Entrainment Ratio
Pressure Lift Ratio
Expansion Ratio
0,1768 0,1964 -0,1802 0,2136 0,1293 0,1271 0,1324 0,1390 -0,1072 -0,1071 -0,1217 -0,1265 -0,0800 -0,0904 -0,0800 -0,0835
0,0269 0,0228 0,0028 0,0023 0,0197 0,0057 0,0014 0,0080 0,0054 -0,0034 0,0021 0,0019 -0,0179 -0,0091 -0,0043 -0,0023
8,0972 5,1440 3,2062 2,1101 16,1943 10,2881 6,4123 4,2203 24,2915 15,4321 9,6185 6,3304 32,3887 20,5761 12,8246 8,4406
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Lampiran D.2. Data Hasil Analisis Untuk NXP 0 mm
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Boiler (Primary Fluid ) Pp Tp Δh (bar) (˚C) (mm Hg) 113,2 50 111,5 60 1 112,6 30 110,1 40 123,0 120 122,0 140 2 118,3 110 120,5 130 129,5 200 130,1 230 3 130,8 206 130,4 200 140,6 354 141,6 350 4 140,8 310 139,2 340
Evaporator (Secondary Fluid ) Ts 1 Ts 2 Δh (˚C) (˚C) (mm Coolant ) 50 49,5 -2 60 59,6 -3 70 69,4 -4 80 79,8 -1 50 49,8 2 60 59,6 1 70 69,9 1,5 80 79,8 0,5 50 49,6 4 60 59,9 6 70 69,8 2 80 79,5 -4 50 49,2 5 60 59,6 -6 70 69,3 -8 80 79,9 -10
Outlet Ejector To (˚C) 97,1 96,5 96,4 96,9 96,8 94,7 95,1 93,4 90,3 90,9 94,3 91,9 90,2 95,5 96,3 91,6
Δh (mm Coolant ) 1 -2 -3 -4 -2 -4 -6 -8 10 4 -10 -6 -10 -6 2 -5
Entrainment Ratio
Pressure Lift Ratio
Expansion Ratio
-0,3652 -0,4049 -0,5307 -0,4430 0,2529 0,2392 0,2937 0,2596 0,2181 0,2422 0,2312 -0,2798 0,1744 -0,1957 -0,2320 -0,2545
0,0009 -0,0011 -0,0011 -0,0009 -0,0018 -0,0023 -0,0021 -0,0019 0,0090 0,0023 -0,0036 -0,0014 -0,0090 -0,0034 0,0007 -0,0012
8,0972 5,1440 3,2062 2,1101 16,1943 10,2881 6,4123 4,2203 24,2915 15,4321 9,6185 6,3304 32,3887 20,5761 12,8246 8,4406
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Lampiran D.3. Data Hasil Analisis Untuk NXP +5 mm
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Boiler (Primary Fluid ) Pp Tp Δh (bar) (˚C) (mm Hg) 109,8 48 109,6 52 1 110,0 60 109,7 40 123,0 146 122,7 130 2 122,5 150 122,3 140 130,9 210 131,0 214 3 130,5 220 130,8 200 139,9 336 140,1 346 4 139,7 350 140,0 340
Evaporator (Secondary Fluid ) Ts 1 Ts 2 Δh (˚C) (˚C) (mm Coolant ) 50 49,8 4 60 59,9 3 70 69,6 4 80 79,9 2 50 49,7 4 60 59,5 2 70 69,6 1 80 79,6 -6 50 49,6 3 60 59,5 2 70 69,9 -9 80 79,6 -2 50 49,5 4 60 59,7 -2 70 69,6 -4 80 79,4 -3
Outlet Ejector To (˚C) 96,1 94,7 95,6 97,4 92,3 93,9 96,1 96,7 92,4 92,2 87,6 94,3 85,7 85,8 89,8 86,6
Δh (mm Coolant ) 6 20 15 6 30 24 18 4 -6 -4 -5 -10 12 14 14 26
Entrainment Ratio
Pressure Lift Ratio
Expansion Ratio
0,2100 0,2136 0,2336 0,2571 0,1151 0,1175 0,1099 -0,1618 0,0829 0,0842 -0,1159 -0,1022 0,0644 -0,0625 -0,0756 -0,0792
0,0054 0,0114 0,0053 0,0014 0,0269 0,0137 0,0064 0,0009 -0,0054 -0,0023 -0,0018 -0,0023 0,0108 0,0080 0,0050 0,0061
8,0972 5,1440 3,2062 2,1101 16,1943 10,2881 6,4123 4,2203 24,2915 15,4321 9,6185 6,3304 32,3887 20,5761 12,8246 8,4406