PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Skripsi ANALISIS EKSPERIMENTAL EFEK AREA RATIO THROAT TERHADAP ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR REFRIGERATION SYSTEM
Untuk Memenuhi Salah Satu Persayaratan Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma
Oleh: GREGORIUS BRYAN HENDRIWAN RIYANTO 135214118
JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
EXPERIMENTAL ANALYSIS OF AREA RATIO THROAT EFFECT TO ENTRAINMENT RATIO OF STEAM EJECTOR REFRIGERATION SYSTEM FINAL PROJECT As practial fulfillment of the requirements to obtain the Bachelor Degree in Mechanical Engineering
By GREGORIUS BRYAN HENDRIWAN RIYANTO Student Number: 135214118
MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2016 ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi ini dengan judul “Analisis Eksperimental Efek Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio Steam Ejector Refrigeration System” tidak terdapat karya yang pernah diajukan disuatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya dan pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 8 Agustus 2016
Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini saya mahasiswa Universitas Sanatah Dharma : Nama
: Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto
Nomor Mahasiswa
: 135214118
Demi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:
ANALISIS EKSPERIMENTAL EFEK AREA RATIO THROAT TERHADAP ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR REFRIGERATION SYSTEM Beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya namun memberikan royalty kepada saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 8 Agustus 2016 Yang menyatakan,
Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Eksperimental Efek Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio Steam Ejector Refrigeration System”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar sarjana bagi mahasiswa program S1 pada program studi Program Studi Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Universtias Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Selesainya proposal ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung kepada: 1. Sudi Mungkasi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma. 2. Ir. P.K. Purwadi, M.T., selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma. 3. Stefan Mardikus, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dalam pengerjaan Skripsi dan Tugas Akhir ini. 4. Wibowo Kusbandono, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik, yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dalam pengerjaan Skripsi dan Tugas Akhir ini. 5. Seluruh dosen Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Univertas Sanata Dharma, yang telah memberikan pengetahuan selama kuliah. 6. Keluarga tercinta, F.X. Budhi Riyanto (Bapak), Theresia Maria Elly (Ibu), Vanessa Maria Angela (Adik), Theodatus Kurniawan (Paman), dan
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Valensia Mariana (Nenek), yang selalu mendukung, memberikan doa, semangat dan bantuan baik moril maupun materi kepada penulis. 7. Kelompok tugas akhir Aditia Pratama Abdi dan Gilang Arga Dyaksa yang telah membantu menyelesaikan tugas akhir dan memberikan dukungan kepada penulis. 8. Mas Ronny, Pak Intan, dan Pak Martono selaku laboran Teknik Mesin yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pembuatan Tugas Akhir. 9. Teman – teman seperjuangan: Oka, Vincent, Dede, David, dan Louis yang telah membantu selama pengerjaan tugas akhir. 10. Teman – teman teknik mesin Sanata Dharma: Willy, Retta, Teguh, Rio, Septian, Morgan, Daniel, Jepri, Karel, dan yang lain yang telah memberikan dukungan selama pengerjaan skripsi. 11. Teman – teman kost griya kanna: Yosep, Putri, Cindy, Novi, Malla, Tasya, Ningrum dan yang lain yang telah memberikan dukungan selama pengerjaan skripsi. 12. Berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan baik material maupun moril kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kesempuranaan penelitian dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Yogyakarta, 8 Agustus 2016
Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto (135214118) viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………..
i
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………..
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………..
iii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………...
iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………..
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……………………….. vi KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ix DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xi DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xvi NOMENKULATUR ………………………………………………………… xvii ABSTRAK …………………………………………………………………… xix ABSTRACT ………………………………………………………………….. xx BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1 1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………………... 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………… 5 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………. 5 1.4 Batasan Penelitian ………………………………………………… 6 1.5 Originalitas Penelitian …………………………………………….. 6 1.6 Manfaat Penelitian ………………………………………………... 7 BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………….. 9 2.1 Tinjauan Pustaka ………………………………………………….. 9 2.2 Aplikasi Steam Ejector …………………………………………..
10
2.3 Pengertian dan Prinsip Kerja Steam Ejector ……………………..
11
2.4 Bagian – bagian Steam Ejector …………………………………..
13
2.5 Tipe – tipe Steam Ejector Refrigeration System …………………
15
2.6 Definisi Fluida ……………………………………………………
18
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.7 Teori Dasar Fluida ………………………………………………..
19
2.8 Fenomena Aliran Pada Ejector …………………………………… 44 BAB III METODELOGI PENELITIAN ………………………………….
52
3.1 Diagram Alir Penelitian ………………………………………….. 52 3.2 Skema Alat Uji Penelitian ………………………………………..
53
3.3 Material Penelitian ……………………………………………….
56
3.4 Alat Penelitian ……………………………………………………
57
3.5 Variabel Penelitian ……………………………………………….
62
3.6 Prosedur Penelitian ……………………………………………….
63
3.7 Skematika Penulisan ……………………………………………... 65 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………… 66 4.1 Pengaruh Primary Pressure dan Secondary Temperature Terhadap Entrainment Ratio ……………………………………………….. 66 4.2 Pengaruh Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio ………. 69 4.3 Pengaruh Expansion Ratio Terhadap Entrainment Ratio ………… 73 4.4 Pengaruh Entrainment Ratio Terhadap Coefficient of Performance Steam Ejector Refrigeration System …………………………….. 78 BAB V PENUTUP …………………………………………………………..
87
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 87 5.2 Saran ……………………………………………………………...
88
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
89
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Sifat – sifat air pada tekanan atmosfer ……………………………... 22 Tabel 2.2 Klasifikasi bilangan mach ………………………………………….. 41 Tabel 2.3 Ringkasan dari karakteristik shock wave normal ………………….. 50 Tabel 3.1 Spesifikasi sifat – sifat fisik air pada temperatur 15 °C dan tekanan 1 atm ……………………………………………………………….. 56 Tabel 3.2 Spesifikasi sifat – sifat fisik air raksa pada 20 °C dan tekanan 1 atm 57 Tabel 3.3 Spesifikasi steam ejector …………………………………………... 58 Tabel 3.4 Spesifikasi water heater 2000 watt ………………………………… 59 Tabel 3.5 Spesifikasi water heater 1000 watt…………………………………. 59 Tabel 3.6 Spesifikasi thermocouple …………………………………………... 60 Tabel 3.7 Spesifikasi pressure gauge bourdon tube ………………………….. 62 Tabel 3.8 Spesifikasi temperature controller APPA …………………………. 62 Tabel 3.9 Tekanan dan temperatur kerja pada ejektor ………………...……… 63
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Skema ejektor konvensional …………………………………….
3
Gambar 2.1 Aplikasi liquid – gas ejektor pada proses klorinasi ……………..
10
Gambar 2.2 Aplikasi ejektor sebagai vacuum pump …………………………
11
Gambar 2.3 Profil tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector …….. 12 Gambar 2.4 Grafik performa ejektor berdasarkan operational modes ……….
13
Gambar 2.5 Skema ejektor konvensional …………………………………….
13
Gambar 2.6 Skema nozzle ……………………………………………………. 12 Gambar 2.7 Skema suction chamber …………………………………………. 12 Gambar 2.8 Skema mixing chamber …………………………………………. 15 Gambar 2.9 Skema diffuser …………………………………………………..
15
Gambar 2.10 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h diagram ……………………………………………………… 16 Gambar 2.11 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejektor; (b) Skema sistem; (c) P-h diagram …………………………………………. 17 Gambar 2.12 Combined Steam Ejector Refrigeration System …………………. 18 Gambar 2.13 Ilustrasi perbedaan molekul pada likuid dan gas ………………… 20 Gambar 2.14 Pengaruh temperatur terhadap rapat massa air ………………….. 21 Gambar 2.15 Deformasi zat cair ……………………………………………….. 24 Gambar 2.16 Hubungan antara tegangan geser dan gradient kecepatan ……….. 24 Gambar 2.17 Viskositas kinematik untuk fluida yang sering digunakan ………. 25 Gambar 2.18 Variasi tekanan dan pengaruh kavitasi pada pipa dengan variabel penampang ………………………………………………………. 27 Gambar 2.19 Tekanan mutlak dan tekanan pengukuran ……………………….. 28 Gambar 2.20 Pengukuran tekanan bourdon ……………………………………. 29 Gambar 2.21 Cara kerja tabung bourdon ………………………………………. 30 Gambar 2.22 Aliran viskos dengan kecepatan seragam ……………………….. 31 Gambar 2.23 Ilustrasi tipe aliran fluida viskos ………………………………… 33
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 2.24 Perbedaan aliran laminar dan turbulen pada pipa (a) laminar (b) turbulen ………………………………………………………….
34
Gambar 2.25 Tabung aliran untuk menurunkan persamaan kontinuitas ………
36
Gambar 2.26 Persamaan kontinuitas pada pipa bercabang ……………………. 37 Gambar 2.27 Garis tenaga dan tekanan pada zat cair ideal ……………………. 38 Gambar 2.28 Profil perubahan pola kecepatan aliran dan tekanan pada suatu sistem closed channel …………………………………………… 39 Gambar 2.29 Perubahan kecepatan dan tekanan melewati Bernoulli-type device 42 Gambar 2.30 Discharged coefficient pada plat orifis dengan sambungan D : 1/2 D ………………………………………………………………… 44 Gambar 2.31 Efek perubahan bilangan Mach pada perubahan properti fluida dengan perubahan luas penampang ……………………………… 46 Gambar 2.32 Rasio luas penampang versus bilangan Mach untuk aliran kompresibel dengan k = 1.4 ……………………………………... 47 Gambar 2.33 Fenomena aliran pada converging nozzle (a) geometri nozzle menunjukkan perubahan tekanan (b) distribusi tekanan disebabkan oleh back pressure (c) laju aliran massa versus back flow pressure …………………………………………………………. 48 Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ………………………………………….. 52 Gambar 3.2 Skema sistem alat uji ……………………………………………. 53 Gambar 3.3 Skema steam ejector …………………………………………….
54
Gambar 3.4 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 6.25 ………. 55 Gambar 3.5 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 12.5 ………. 55 Gambar 3.6 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 18.75 ……… 56 Gambar 3.7 Steam Ejector…………………………………………………….. 58 Gambar 3.8 Water heater daya 2000 Watt ……………………………………. 58 Gambar 3.9 Water heater daya 1000 Watt ……………………………………. 59 Gambar 3.10 Thermocouple tipe K ……………………………………………. 60 Gambar 3.11 Pressure gauge bourdon tube …………………………………… 60 Gambar 3.12 Orifice plate flowmeter ………………………………………….. 61 Gambar 3.13 Roll meter ……………………………………………………….. 61 xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 3.14 Temperature controller APPA ………………………………….. 62 Gambar 3.15 Stopwatch ……………………………………………………….. 63 Gambar 3.16 Skema prosedur pengujian ………………………………………. 64 Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 6.25 …. 67 Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 12.5 …. 68 Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 18.75 … 69 Gambar 4.4 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 50 °C ……………………………… 70 Gambar 4.5 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 60 °C ……………………………… 71 Gambar 4.6 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 70 °C ……………………………… 72 Gambar 4.7 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 80 °C ………………………………. 73 Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary pressure terhadap expansion ratio pada ketiga variasi area throat ratio 6.25, 12.5, dan 18.75 …………… 74 Gambar 4.9 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 100 kPa ……………………………………….. 75 Gambar 4.10 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 200 kPa ……………………………………….. 76 Gambar 4.11 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 300 kPa ……………………………………….. 77 Gambar 4.12 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 400 kPa ……………………………………….. 78 Gambar 4.13 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ………….. 79 Gambar 4.14 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 12.5 ………….. 80 xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 4.15 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………….. 80 Gambar 4.16 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 6.25 …………… 81 Gambar 4.17 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 12.5 ………….. 82 Gambar 4.18 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………….. 82 Gambar 4.19 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 6.25 …………… 83 Gambar 4.20 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 12.5 …………… 84 Gambar 4.21 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………….. 84 Gambar 4.22 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 6.25 …………… 85 Gambar 4.23 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 12.5 …………... 86 Gambar 4.24 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………... 86
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A.1 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 6.25............ 93 Lampiran A.2 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 12.5 ........... 94 Lampiran A.3 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 18.75 ……. 95 Lampiran B.1 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 6.25 ……. 96 Lampiran B.2 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 12.5 ……. 97 Lampiran B.3 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 18.75 …... 98 Lampiran C
Contoh Perhitungan …….…………………………………...
99
Lampiran D
Tabel Sifat Termodinamika Saturated Water ………………
105
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
NOMENKULATUR Lambang
Arti
Satuan
Halaman
a
Kecepatan suara
m/s
47, 70
A
Luas
m2
42, 52, 53, 54
β
Rasio diameter orifice
Dimensionless
49
COP
Coefficient of Performance Dimensionless
10, 11, 24, 58, 85-94
Cd
Discharged Coefficient
Dimensionless
49, 50
D
Diameter
m
40, 48, 49, 50
ER
Expansion Ratio
Dimensionless
57, 70, 80 – 85, 94
g
Gravitasi
m/s2
28, 34, 35,
h
Ketinggian
m
34
K
Modulus elastisitas
MN/m2
29
L
Panjang
m
16, 17
m
Laju aliran massa
kg/s
42, 54,
M
Modulus Bulk
N/m2
29, 64,
Ma
Bilangan Mach
Dimensionless
47, 48, 53, 54, 70
P
Tekanan
Pascal
30
R
Konstanta gas universal
J/kg K
29, 54, 63, 64
Re
Bilangan Reynold
Dimensionless
41
σ
Tegangan permukaan
N/m
29
τ
Tegangan geser
N/m2
30, 31
s
Waktu
Sekon
38, 39
T
Temperatur
K
13, 29, 32, 56, 58, 70
ρ
Massa jenis
kg/m3
63, 64, 70
S
Rapat jenis
Dimensionless
29
γ
Berat jenis
N/m3
28
µ
Viskositas Dinamik
Nd/m2
29, 32, 70
ν
Viskositas Kinematik
m2/s
29, 32
v
Kecepatan
m/s
31, 34, 35, 36, 42, 45
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Volume
m3
20
Q
Debit
3
m /s
42, 49, 71
ω
Entrainment Ratio
Dimensionless
70, 73 - 94
V
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Pemanfaatan kembali waste heat dan low grade thermal energy telah menjadi topik penelitian sejak energi jenis tersebut dapat diperoleh dari sisa proses – proses industri, kolektor surya, dan gas buang kendaraan. Sistem 0refrijerasi ejektor uap merupakan suatu perangkat yang ekonomis dan ramah lingkungan dimana sistem ini dapat beroperasi dari panas sisa dan refrijeran yang fenomena pencampuran aliran serta performa dari ejektor uap. Dengan memperbesar ruang pencampuran melalui throat yang dapat diubah – ubah, nilai optimum rasio luas penampang throat pada ruang pencampuran akan diteliti secara eksperimen. Sebuah sistem refrijerasi ejektor uap berskala kecil telah dirancang dan difabrikasi. Ejektor dirancang dalam suatu sistem terbuka dan boiler beroperasi pada tekanan 100 – 400 kPa. Fluida didalam sebuah evaporator bertemperatur antara 50 - 80°C, sedangkan temperatur kondenser dikondisikan pada 27°C. Ruang pencampuran dengan diameter 8 mm dan 3 konfigurasi panjang (50 mm, 100 mm, 150 mm) diuji pada kondisi posisi NXP 0 mm dan diameter nosel 2 mm. Dengan memvariasikan rasio luas throat pada ruang pencampuran, hasil percobaan menunjukkan nilai optimum dari entrainment ratio didapatkan dengan rasio luas throat 18.75 pada tekanan boiler 100 kPa dan temperatur evaporator 80°C dengan nilai ω = 1. Sedangkan, nilai rasio ekspansi optimum adalah 2.1 dan koefisien performa dari sistem refrijerasi ejektor uap adalah 0.98. Kata kunci: Waste heat, sistem refrijerasi ejektor uap, rasio luas penampang throat, entrainment ratio.
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT The utilization of waste and low-grade thermal energy has been of interest to reaserchers ever since this type of energy is available from sources such as industrial process waste, solar collectors, and automobile exhaust. Steam ejector refrigeration system is an application, which is economically feasible and environment-friendly as it can operates with waste heat and a harmless refrigerant such as water. The aim of this paper is to investigate the entrainment behavior and performance of steam ejector. Through enlarging the designed mixing chamber by replaceable throats, optimum area ratio throat of mixing chamber is studied experimentally. A small scale steam ejector refrigeration system was designed and manufactured. This ejector setup consist of an open loop configuration and the boiler operated in the pressure range of Pp = 100 – 400 kPa. The typical evaporator liquid temperatures range from Ts = 50 - 80°C while the condenser temperature fixed at Tc = 27°C. The mixing chamber with 8 mm diameter and three length configurations (50 mm, 100 mm, 150 mm) were tested while the nozzle exit position remained unchanged at 0 mm and used 2 mm nozzle’s diameter. With variable area ratio throat of mixing chamber, experiments showed that the optimum entrainment ratio was obtained by throat area ratio 18.75 at 100 kPa primary pressure and 80°C secondary temperature with ω = 1. Meanwhile, the optimum expansion ratio was 2.1 and optimum coefficient of performance of steam ejector refrigeration system was 0.98. Keywords: waste heat, steam ejector refrigeration system, area ratio throat, entrainment ratio
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan
perkembangan jenis dan jumlah industri meningkat dalam satu dekade terakhir (Kementrian Keindustrian Republik Indonesia, 2015). Hal ini sebanding dengan peningkatan konsumsi listrik di Indonesia yang cukup signifikan. Berdasarkan data statistik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada tahun 2012, konsumsi listrik di Indonesia pada kurun waktu 2000 – 2012 mengalami peningkatan rata – rata 6,2% per tahun. Menurut Cullen (2012), meningkatnya konsumsi energi listrik berbanding lurus dengan peningkatan waste heat yang disebabkan oleh inefficiency proses pembakaran dan heat transfer pada power plant. Waste heat adalah satu bentuk energi yang dihasilkan oleh panas sisa dengan temperatur antara 80°C - 200°C (Chandra et. al., 2014). Menurut Clemens, et. al (2016), waste heat dapat dihasilkan dari proses industri manufaktur, power plant, dan gas buang kendaraan. Berdasarkan data U.S. Department of Energy, sebanyak 20 – 50% energy losses pada proses manufaktur merupakan waste heat dimana energi tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan kembali. Berdasarkan penelitian Richard Law (2015), pemanfaatan waste heat pada industri manufaktur di Amerika Serikat dapat menghasilkan 14 TWh yang setara dengan 100 juta poundsterling per tahun. Terkait potensi tersebut, waste heat dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi pada absorption chiller, electrical heat pump, absorption heat pump, dan non mechanical refrigeration system (Hongyou Lu, 2016 dan Chandra et. al., 2014). Steam ejector refrigeration system merupakan salah satu non-mechanical refrigeration system yang menjadi topik penelitian selama beberapa dekade terakhir. Sistem pendinginan ini pertama kali dikembangkan oleh Le Blanc dan Parson pada 1901. Steam ejector refrigeration system memiliki kesamaan dengan
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
sistem pendinginan konvensional yang menggunakan kompresor, namun pada steam ejector refrigeration system fungsi kompresor digantikan dengan boiler dan ejektor, Meyer (2008). Siklus refrijerasi ini menjadi menarik untuk diteliti karena sistem ini tidak memiliki komponen yang bergerak (kecuali pompa) sehingga low maintenance dan memiliki konstruksi yang sederhana. Keunggulan lainnya adalah sistem ini lebih ramah lingkungan karena menggunakan air sebagai refrijeran dan waste heat sebagai sumber energi utama (Chandra et. al., 2014). Ejektor merupakan bagian vital dari steam ejector refrigeration system oleh karena itu optimalisasi desain dan performa ejektor merupakan hal yang sangat penting. Ejektor yang juga dikenal sebagai vacuum jet, jet pump,atau thermo-compressor merupakan pumping device yang menggunakan efek venturi untuk mengubah energi tekanan dari fluida primer menjadi energi kinetik (Zhu, 2013). Gambar 1 menampilkan skema ejektor konvensional. Sebuah ejektor terdiri dari beberapa bagian antara lain: nozzle, suction chamber, mixing chamber dan diffuser. Menurut Sriveerakul (2006), prinsip kerja ejektor yaitu panas ditambahkan pada boiler sehingga menyebabkan air sebagai fluida kerja berubah menjadi uap bertekanan dan bertemperatur tinggi (primary fluid). Uap tersebut berekspansi melewati nozzle dan menghasilkan tekanan yang sangat rendah pada kecepatan tinggi (supersonic velocity). Perbedaan tekanan antara ujung nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap pada temperatur rendah dan menghasilkan refrigeration effect. Air (secondary fluid) yang terhisap kemudian bercampur dengan primary fluid pada mixing chamber ejektor pada tekanan konstan. Campuran fluida berekspansi melewati diffuser dan mengalami kenaikan tekanan serta penurunan kecepatan (subsonic velocity).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Gambar 1 Skema ejektor konvensional (Chen et. al., 2012).
Performa dari steam ejector refrigeration system bergantung pada proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid sehingga didapatkan nilai entrainment ratio yang tinggi (Sriveerakul et. al., 2009). Entraiment ratio (ER) adalah rasio pencampuran kedua fluida yang dinyatakan dalam perbandingan laju aliran massa secondary fluid terhadap primary fluid (Chandra et. al., 2014). Menurut Kong F. S., et. al., (2013), turbulensi pencampuran fluida, compressibility effect, dan ketidakstabilan aliran merupakan permasalahan – permasalahan yang sering terjadi pada ejektor. Terkait permasalahan tersebut, peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian terhadap parameter – parameter yang dapat meningkatkan ER sebuah ejektor. Parameter – parameter tersebut antara lain mass flow rate, critical back pressure, dan desain ejektor (Jia, 2011; Kong F. S., et. al., 2013; Chunnanond K., et. al., 2003; Chen et. al., 1997). Mass flow rate adalah laju aliran massa fluida kerja yang dipengaruhi oleh masa jenis fluida, kecepatan aliran, dan luas penampang (Zhu, 2013). Berdasarkan penelitian Chunnanond (2003), mass flow rate pada primary nozzle dipengaruhi oleh operating condition dari boiler. Penurunan saturated pressure pada boiler menyebabkan mass flow rate primary fluid menurun sehingga entrainment ratio ejector meningkat. Pada penelitian yang sama, ukuran dari nozzle dapat mempengaruhi mass flow rate primary fluid karena kecepatan primary fluid sangat dipengaruhi oleh diameter ujung nozzle. Critical back pressure pada ejektor dapat mempengaruhi COP dari steam ejector refrigeration system secara signifikan (Chandra et. al., 2014 dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Chunnanond K., et. al., 2003). Menurut Sriveerakul (2006), back pressure adalah tekanan balik yang dipengaruhi oleh tekanan kerja kondenser dan evaporator. Back pressure yang melebihi batas critical back pressure dapat menyebabkan malfunction pada ejektor karena campuran kedua fluida mengalir kembali menuju evaporator (Chunnanond K., et. al., 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sriveerakul, kenaikan pada tekanan evaporator dapat menaikkan nilai critical back pressure. Sedangkan kenaikan tekanan kondenser berbanding lurus dengan back pressure. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa back pressure ejektor dapat diatur dengan temperatur cooling-water pada kondenser (Chen, 1997). Parameter terakhir yang mempengaruhi performa dari ejektor adalah desain geometri ejektor (Jia, 2011; Yadav, et. al., 2008; dan Aphornratana, 1997). Menurut Aphornratana, jarak nozzle terhadap mixing chamber (NXP) memiliki pengaruh terhadap COP dari siklus refrijerasi ejektor. Hasil penelitian menunjukkan semakin dekat jarak nozzle dengan mixing chamber maka akan terjadi penurunan entrainment ratio. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yadav (2008) menunjukkan bahwa projection ratio pada suction chamber, diameter suction chamber, dan sudut konvergen pada suction chamber memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap entrainment ratio. Kenaikan projection ratio (PR) dapat meningkatkan driving force pada suction chamber yang disertai dengan kenaikan entrainment ratio. Namun apabila kenaikan PR melebihi 5, maka hal tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap performa ejektor karena terbentuknya radial flow pada suction chamber. Bentuk geometri dari suction chamber memiliki fenomena serupa dengan PR, dimana apabila bentuk dari suction chamber melebihi nilai optimumnya akan terbentuk radial flow yang menghambat driving force pada ujung primary nozzle. Mixing chamber pada ejektor merupakan bagian ejektor yang penting karena pada bagian konstan tersebut terdapat fenomena perubahan tekanan dan kecepatan seiring pencampuran kedua fluida (Zhu, 2013). Sedangkan berdasarkan studi literatur sebelumnya belum banyak peneliti yang membahas mengenai area ratio throat pada mixing chamber. Oleh sebab perlu untuk diteliti pengaruh area
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
ratio throat pada mixing chamber terhadap entrainment ratio serta fenomena aliran yang terjadi sepanjang ejektor. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan masalah pada penelitian
ini, antara lain: 1.
Bagaimanakah pengaruh tekanan dan temperatur kerja boiler dan evaporator terhadap entrainment ratio dari steam ejector?
2.
Bagaimanakah pengaruh area ratio throat pada mixing chamber terhadap entrainment ratio dari steam ejector?
3.
Bagaimanakah pengaruh expansion ratio dan area ratio throat pada mixing chamber terhadap entrainment ratio dari steam ejector?
4.
Bagaimanakah hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance dari steam ejector refrigeration system?
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka
tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi primary pressure dan secondary temperature steam ejector. 2. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi area ratio throat pada mixing chamber steam ejector. 3. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi area ratio throat pada mixing chamber dan expansion ratio steam ejector. 4. Mengetahui coefficient of performance maksimum dari variasi area ratio throat pada mixing chamber steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.4
Batasan Penelitian Batasan-batasan yang ditentukan dalam melakukan eksperimen steam
ejector adalah : 1. Menggunakan fluida kerja air (R718) baik di boiler sebagai fluida primer maupun evaporator sebagai fluida sekunder. 2. Primary fluid dikondisikan pada tekanan 100 kPa, 200 kPa, 300 kPa, dan 400 kPa. 3. Temperatur secondary fluid dikondisikan pada temperatur 50 °C, 60 °C, 70 °C, dan 80 °C. 4. Temperatur kerja kondensor dikondisikan pada temperatur 27oC. 5. Variasi
area
ratio
throat
pada
mixing
chamber
menggunakan
perbandingan ukuran 6.25, 12.5, dan 18.75. 6. Menggunakan geometri steam ejector yang sudah ditentukan 7. Tidak memperhitungkan rugi – rugi gesekan dinding. 8. Tidak memperhitungkan pressure losses pada sambungan dan belokan. 9. Peneliti menggunakan referensi jurnal dalam melihat dan menganalisa fenomena yang terjadi di dalam steam ejector. 1.5
Originalitas Penelitian Penelitian serupa telah dilakukan sebelumnya oleh Dirix (1990), Bando et.
al (1990), dan Li, C., et al. (2011) mengenai pengaruh rasio panjang dan diameter pada mixing chamber ejector. Penelitian ini memiliki originalitas penelitian bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Pada penelitian – penelitian sebelumnya, tipe ejektor yang digunakan adalah multi – phase ejector sedangkan pada penelitian ini digunakan ejektor tipe single phase ejector menggunakan fluida kerja air (R718). Selain jenis ejektor yang berbeda, penelitian ini menggunakan geometri ejektor yang berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1
Manfaat Teoritis
1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pemanfaatan gas buang terhadap efisiensi energi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
2.
Menambah kajian ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan waste heat.
3.
Mengetahui nilai efisiensi penggunaan steam ejector yang baik dengan mengacu perbandingan length / diameter dari mixing chamber dan model steam ejector yang sudah ditentukan oleh peneliti.
1.6.2
Manfaat Praktis Dalam manfaat praktis terdapat tiga hal yaitu: manfaat bagi Universitas,
manfaat bagi peneliti, dan manfaat bagi pembaca atau peneliti selanjutnya.
1.6.2.1 Bagi Universitas Sanata Dharma Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana dalam mendukung pencapaian visi dan misi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, antara lain : a.
Menjadi penggali kebenaran yang unggul dan humanis demi terwujudnya masyarakat yang semakin bermartabat.
b.
Menciptakan masyarakat akademik Universitas yang mampu menghargai kebebasan akademik serta otonomi keilmuan, mampu bekerja sama lintas ilmu, dan mampu mengedepankan kedalaman dari pada keluasan wawasan keilmuan dalam usaha menggali kebenaran lewat kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
c.
Menghadirkan pencerahan yang mencerdaskan bagi masyarakat melalui publikasi hasil kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, pengembangan kerjasama dengan berbagai mitra yang memiliki visi serta kepedulian sama, dan pemberdayaan para alumni dalam pengembangan keterlibatan nyata di tengah masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
1.6.2.2 Bagi Peneliti a.
Penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai pemanfaatan energi waste heat pembakaran terhadap efisiensi penggunakan energi untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitar.
b.
Menambah wawasan tentang efisiensi energi sehingga dalam penggunaan energi ketika di industri dapat mengimplementasikan ilmu pengetahuan tentang efisiensi energi untuk mengurangi biaya maupun bahan.
c.
Supaya peneliti dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik Mesin setelah melakukan penelitian ini.
1.6.2.3 Bagi Pembaca atau Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk dapat diteliti lebih lanjut sehingga hasil dari penelitiannya lebih baik dari peneliti terdahulu dan diharapkan penelitian ini dapat menjadi wawasan dan pengetahuan mengenai steam ejector refrigeration system.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1
Tinjauan Pustaka Mixing chamber memiliki efek yang signifikan pada pencampuran
primary fluid dan secondary fluid baik pada single phase ejector maupun gas – liquid ejector (Li, C., et al., 2010). Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa ejektor memiliki variasi bentuk geometri optimum berdasarkan operating condition dan tipe ejektor (Li, C., et al., 2010; Dirix et. al., 1990; Bando Y. et. al., 1990; dan Valle, J. G., et. al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Dirix (1990) mengenai “Mass transfer in jet loop Reactors” mempelajari tentang pencampuran oksigen dari air dengan gas nitrogen pada liquid – gas ejector. Hasil penelitian membuktikan bahwa penting untuk mendesain ejektor yang sesuai dengan operating condition pada kedua reaktor. Terkait dengan desain geometri, belum ditemukan perubahan entrainment ratio yang signifikan pada variasi area ratio throat pada mixing chamber antara nilai 2 sampai dengan 10. Pada penelitian lebih lanjut, Dirix menunjukkan bahwa mass transfer pada seluruh sistem reaktor tergantung pada pola aliran di dalam ejektor. Bando et al. (1990) dengan jurnal yang berjudul “The characteristics of a bubble column with a gas-suction type, simultaneous gas–liquid injection- nozzle” menunjukkan peningkatan entrainment rate dari liquid – gas ejector sebanding dengan peningkatan area ratio throat pada mixing chamber. Hasil penelitian menunjukkan nilai optimum dari area ratio throat adalah 20 sampai dengan 30, dimana entrainment rate mencapai niai maksimum dan akan turun pabila area ratio throat melebihi 30. Jurnal “Investigation of entrainment behavior and characteristics of gasliquid ejector based on CFD simulation” yang ditulis oleh Li, C., et al. (2010),menunjukkan bahwa tekanan fluida primer dan tekanan fluida sekunder mempengaruhi entrainment ratio pada gas – liquid ejektor. Selain tekanan optimum, rasio panjang dan diameter mixing chamber juga memiliki pengaruh
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
yang cukup signifikan pada entrainment rate ejektor. Li (2011) membandingkan nilai optimum area ratio throat pada single phase ejector dan double phase ejector. Pada double phase ejector area ratio throat mixing chamber memiliki nilai rasio optimum 1 sampai 2 sedangkan untuk single phase ejector 5 sampai 7. 2.2
Aplikasi Steam Ejector Steam ejector pertama kali ditemukan oleh Le Blanc dan Parson pada
tahun 1901 dengan nama vacuum augmentor. Vacuum augmentor digunakan sebagai perangkat untuk membuang gas - gas non-condensable dari kondenser pada steam machine. Kemudian pada tahun 1918, Le blanc mematenkan nama steam ejector sebagai perangkat sistem refrijerasi pada gedung – gedung besar dan kereta api (Cardemill, J.M., 2012). Steam ejector refrigeration system merupakan aplikasi dari ejektor yang paling sering ditemukan dan banyak menjadi bahan penelitian. Sistem refrijerasi ini banyak diteliti karena ramah lingkungan, low maintenance dan murah (Jia, Yan, et al., 2011). Seiring perkembangan industri, ejektor juga banyak dijumpai pada industri kimia sebagai pompa untuk fluida korosif dan debu. Selain itu ejektor dapat digunakan untuk mengektraksi likuid, absorbsi gas - gas, stripping, fermentasi, hydrogenation, chlorination, dll. (Yadav, et al., 2008).
Gambar 2.1 Aplikasi liquid – gas ejector pada proses klorinasi (http://www.ipt.com.my/products-instrumentation-hydro.php)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Gambar 2.2 Aplikasi ejektor sebagai vacuum pump
(http://www.gdnash.com/classic_pumps_compressors/)
2.3
Pengertian dan Prinsip Kerja Steam Ejector Ejektor merupakan pumping device yang menggunakan efek venturi untuk
mengubah energi tekanan dari primary fluid menjadi energi kinetik melewati nozzle (Zhu, 2013). Waste heat dimanfaatkan oleh boiler untuk menghasilkan uap bertekanan. Uap tersebut berekspansi melewati nozzle dan menghasilkan tekanan yang sangat rendah pada kecepatan tinggi (supersonic velocity). Perbedaan tekanan antara ujung nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap pada temperatur rendah dan menghasilkan refrigeration effect. Air (secondary fluid) yang terhisap kemudian bercampur dengan primary fluid pada mixing chamber ejektor pada tekanan konstan. Campuran fluida berekpansi melewati diffuser dan mengalami kenaikan tekanan serta penurunan kecepatan (subsonic velocity). Gambar 2.3 menampilkan profil tekanan dan kecepatan di dalam steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Gambar 2.3 Profil tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector (Chunnanond, 2003).
Menurut Zhu (2013), steam ejector memiliki tiga mode operasi berdasarkan karakteristik alirannya yaitu critical mode, subcritical mode, dan back flow mode. Performa ejektor menurun secara linear ketika bekerja pada kondisi subcritical dan back flow mode. Gambar 2.4 menampilkan grafik performa ejektor berdasarkan operational modes. Pada critical mode, aliran primary fluid berekspansi setelah melewati nozzle dan menghasilkan aliran bertekanan sangat rendah dengan kecepatan tinggi (supersonic velocity) pada suction chamber. Perbedaan tekanan antara ujung nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap ke suction chamber. Secondary fluid mengalami akselerasi aliran sampai pada sonic velocity. Kondisi ini disebut sebagai choking. Pencampuran primary fluid dan secondary fluid menyebabkan kecepatan aliran primary fluid melambat sedangkan kecepatan aliran secondary fluid terus meningkat hingga supersonic velocity. Pada saat campuran fluida memasuki area konstan (mixing chamber), aliran mengalami shock wave karena tekanan yang tinggi dan menyebabkan compression effect. Compression effect mengakibatkan aliran berubah dari supersonic velocity
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
menjadi subsonic velocity pada ujung mixing chamber. Perubahan kecepatan aliran ini disebut sebagai choking, karena melewati batas sonic velocity. Fenomena ini dikenal sebagai double choking, karena terjadi pada suction chamber dan mixing chamber (Cardemil, 2012). Pada subcritical mode, aliran tidak mencapai choking condition pada mixing chamber sehingga disebut single choking.
Gambar 2.4 Grafik performa ejektor berdasarkan operational modes (Cardemil, 2012). 2.4
Bagian – bagian Steam Ejector Secara umum steam ejector terdiri dari 4 bagian utama: nozzle, suction
chamber, mixing chamber / throat, dan diffuser seperti yang ditampilkan pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Skema ejektor konvensional (Chandra, et al., 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
2.4.1
Nozzle Nozzle merupakan bagian terkecil pada ejektor yang berfungsi untuk
mengonversi energi tekanan pada primary fluid menjadi energi kinetik. Pada bagian ini, fluida akan mengalami shock wave sebagai akibat dari perubahan tekanan dan kecepatan secara mendadak (Yinhai Zhu, 2013).
Nozzle
Gambar 2.6 Skema nozzle (Chandra, et al., 2014). 2.4.2
Suction Chamber Suction chamber merupakan bagian inlet kedua fluida pada ejektor. Pada
bagian suction chamber, secondary fluid dari evaporator terhisap karena compression effect yang dihasilkan oleh shock wave dari primary fluid. Pada bagian ini, kedua fluida belum mengalami pencampuran (Yinhai Zhu 2013).
Gambar 2.7 Skema suction chamber (Chandra, et al., 2014). 2.4.3
Mixing Chamber Bagian ini memiliki luasan area yang konstan, dimana terjadi
pencampuran kedua fluida bertekanan konstan pada subsonic velocity (Yadav et.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
al., 2008). Dari beberapa penelitian sebelumnya, bagian mixing chamber mempengaruhi entrainment ratio sebuah sistem (Dirix et. al., 1990).
Gambar 2.8 Skema mixing chamber (Chandra, et al., 2014). 2.4.4
Diffuser Diffuser merupakan bagian outlet dari ejektor yang berfungsi untuk
meningkatkan tekanan. Fluida yang mengalir di bagian ini adalah aliran campuran dari energi kinetik diubah menjadi energi tekan, sehingga membuat kecepatan dari aliran akan berkurang dan tekanan akan bertambah (Sriveerakul T., et. al., 2006).
Gambar 2.9 Skema diffuser (Chandra, et al., 2014). 2.5
Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System Menurut Jianyong Chen et. al. (2015), steam ejector refrigeration system
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: conventional ejector refrigeration system (CERS), Advanced Ejector Refrigeration System, dan Combined Steam Ejector Refrigeration System.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2.5.1
Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) Gambar 2.10 menunjukan sistem refrijerasi konvensional dan diagram P-h
dengan dua model ejector yang digunakan dalam teknologi refrijerasi, yaitu: model konstan area pencampuran dan model konstan tekanan pencampuran. Secara umum sistem tersebut mempunyai penggunaan energi yang kecil (Qg) yang disalurkan di generator untuk penguapan. Tekanan tinggi yang dihasilkan oleh generator (primary flow) dan tekanan rendah dari evaporator (secondary flow) masuk ke ejector. Pencampuran dari kedua fluida mengalami perubahan tekanan dan kecepatan pada mixing chamber, kemudian masuk menuju ke kondensor untuk proses pelepasan panas ke lingkungan (Qc). Fluida yang terkondensasi akan dipompakan ke generator dan sisa uap akan masuk ke katub ekspansi lalu disalurkan ke evaporator (Jianyong, et. Al., 2015).
Gambar 2.10 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h Diagram (Chen J., et. Al., 2014). Conventional ejector refrigeration system (CERS) telah diteliti selama kurun waktu 100 tahun terakhir dan menjadi topik yang menarik sampai sekarang. Fenomena dari aliran yang ada di ejector juga belum terpecahkan dan desain dari geometri ejector juga tidak mudah untuk dipastikan. Hal ini disebabkan performa dari ejector mempunyai banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu fluida kerja, dimensi ejector, kondisi pengoperasian terutama temperatur. Meskipun CERS menkonsumsi listrik dalam jumlah yang sangat sedikit, CERS mempunyai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
kekurangan ketika dibandingkan dengan absorption refrigeration system yaitu mempunyai COP yang rendah dan sulit untuk digunakan di berbeda kondisi pengoperasian (Chen J., et. Al., 2014). 2.5.2
Advanced Ejector Refrigeration System Dalam menyikapi CERS yang mempunyai nilai COP yang rendah, banyak
peneliti mencoba untuk mencari Advanced Ejector Refrigeration System yang mempunyai nilai COP yang tinggi dalam simulasi dan eksperimen. Cara untuk memperoleh nilai COP yang tinggi dengan mengubah konfigurasi / struktur dari ejector, menggunakan multi-stage ejector, tidak menggunakan pompa mekanik dalam pengoperasian sistem, dan menggunakan regenerasi dan/atau pre-cooler (Chen J., et. al., 2014). Dalam Gambar 2.11 ditampilkan sistem refrijerasi pada multi stage ejector refrigeration system.
Gambar 2.11 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector; (b) Skema sistem; (c) P-h Diagram (Chen J., et. al., 2014). 2.5.3
Combined Steam Ejector Refrigeration System Ejector juga dapat di kombinasikan dengan tipe sistem refrijerasi yang lain
contohnya: vapor compression refrigeration system, absorption system dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
absorbtion system, heat pipe and power generation system. Dalam penggunaan combined
steam
ejector
refrigeration
system
digunakan
khusus
pada
kondisilingkungan tertentu agar tercapai efisiensi yang baik (Chen J., et. al., 2014).
Gambar 2.12 Combined Steam Ejector Refrigeration System (Chen J., et. al., 2014). 2.5 Definisi Fluida Fluida adalah zat – zat yang mampu mengalir dan yang menyesuaikan diri dengan bentuk wadah tempatnya. Bila berada dalam keseimbangan, fluida tidak dapat menahan gaya tangensial atau gaya geser. Semua fluida memiliki suatu derajat kompresibilitas dan memberikan tahanan kecil terhadap perubahan bentuk. (Ranald V. Giles, 1986). 2.6 Teori Dasar Fluida Dari sudut pandang mekanika fluida, semua zat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, padat dan fluida. Perbedaan teknis antara kedua zat terletak pada reaksinya terhadap gaya geser maupun tangensial yang diberikan. Zat padat dapat menahan tegangan geser dengan bentuk deformasi statis, sedangkan fluida
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
meneruskan gaya tersebut kedalam bentuk energi kinetik / gerak (Frank M. White, 1998). Fluida diklasifikasikan secara umum kedalam dua bentuk yaitu likuid dan gas. Perbedaan antara kedua bentuk fluida tersebut terletak pada reaksi setiap jenis terhadap gaya yang diberikan. Likuid tersusun dari molekul – molekul yang berikatan secara berdekatan serta memiliki gaya kohesif yang kuat. Gaya kohesif tersebut menyebabkan likuid cenderung mempertahankan volume dan bentuk yang mengikuti wadahnya. Sedangkan fluida gas memiliki jarak molekul yang renggang dan memiliki gaya kohesif yang sangat lemah, sehingga gas bebas untuk berekspansi. Sifat kedua jenis tersebut kemudian dikenal sebagai compressible and incompressible. Karena fluida tidak mampu menahan gaya geser maupun tangensial, maka gaya yang diberikan pada suatu fluida akan diteruskan pada dinding – dinding wadah / vessel ke segala arah. Kondisi ini dikenal dengan hydrostatic condition. Fluida merupakan kumpulan dari molekul – molekul, dimana gas memiliki jarak antar molekul yang sangat renggang, dan likuid memiliki jarak antar molekul yang lebih dekat. Jarak antar molekul jauh lebih besar daripada besar diameter molekul tersebut. Molekul - molekul pada fluida tidak diam pada satu kondisi namun cenderung bergerak satu sama lain. Gambar 2.13 menunjukkan ilustrasi bentuk molekul pada gas dan likuid.
Gambar 2.13 Ilustrasi perbedaan molekul pada likuid dan gas. [http://sciencelearn.org.nz/Science-Stories/Strange-Liquids/States-of-matter]
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
2.6.1
Sifat – sifat Fluida Likuid Menurut Triatmodjo (2014), secara umum fluida likuid memiliki beberapa
sifat – sifat utama antara lain: a. Apabila ruangan lebih besar dari volume zat cair, akan terbentuk permukaan bebas horizontal yang berhubungan dengan atmosfer. b. Mempunyai rapat massa dan berat jenis. c. Dapat dianggap tidak termampatkan (incompressible). d. Mempunyai viskositas (kekentalan). e. Mempunyai kohesi, adhesi, dan tegangan permukaan.
2.6.1.1 Rapat Massa Kerapatan sebuah fluida, dilambangkan dengan huruf Yunani ρ, didefinisikan sebagai massa fluida (m) per satuan volume (v) dan dapat dinyatakan dengan persamaan (1.1). Kerapatan biasanya digunakan untuk mengkarakteristikkan massa sebuah sistem fluida. Dalam sistem SI Unit (International System of Unit) kerapatan, ρ mempunyai satuan kg/m3 (White, 1998)
m V
(2.1)
Kerapatan dapat bervariasi cukup besar pada suatu fluida. Kerapatan gas sangat dipengaruhi tekanan dan temperaturnya, sementara pada zat cair variasi tekanan dan temperatur umumnya hanya memberikan pengaruh kecil terhadap nilai ρ (Harinaldi, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Gambar 2.14 Pengaruh temperatur terhadap rapat massa air (Munson et. al, 2009).
2.7.1.2 Berat Jenis dan Rapat Relatif Berat jenis yang diberi notasi γ (gamma) adalah berat benda tiap satuan volume pada temperatur dan tekanan tertentu. Berat suatu benda adalah hasil kali antara massa dan percepatan gravitasi. Terdapat hubungan antara berat dan rapat massa dalam persamaan berikut:
g
(2.2)
dengan: γ : berat jenis (N/m3 untuk satuan SI atau kgf/m3 untuk satuan MKS). ρ : rapat massa (kg/m3 untuk satuan SI atau kgm/m3 untuk satuan MKS). g : percepatan gravitasi, 9.801 (m/s2). Berat jenis air pada 4 °C dan pada tekanan atmosfer adalah 9,81 kN/m3 atau 1000 kgf/m3 atau 1 ton/m3. Rapat relatif didefinisikan sebagai perbandingan antara rapat massa suatu zat dan rapat massa air. Karena g maka rapat relative dapat juga didefinisikan sebagai perbandingan antara berat jenis suatu zat dan berat jenis air pada 4°C dan tekanan atmosfer. Bilangan ini tidak berdimensi dan diberi notasi S,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
S
zatcair zatcair air air
(2.3)
Perubahan rapat massa dan berat jenis zat cair terhadap temperatur dan tekanan adalah sangat kecil sehingga dalam praktek perubahan tersebut diabaikan. Pada Tabel 2.1 ditampilkan beberapa sifat air pada tekanan atmosfer dan pada beberapa temperatur (White, 1998). Tabel 2.1 Sifat – sifat air pada tekanan atmosfer (Triatmodjo, 2014). Suhu,
Rapat
Viskositas
Viskositas
Tegangan
Modulus
°C
massa, ρ
Dinamik, µ
Kinematik,
Permukaan,
Elastisitas,
(kg/m3)
(Nd/m2)
ν (m2/s)
σ (N/m)
K (MN/m2)
0
999,9
1,792 x 10-3
1,792 x 10-6
7,56 x 10-2
2040
5
1000
1,519
1,519
7,54
2060
10
999,7
1,308
1,308
7,48
2110
20
998,2
1,005
1,007
7,36
2200
30
995,7
0,801
0,804
7,18
2230
40
992,2
0,656
0,661
7,01
2270
50
988,1
0,549
0,556
6,82
2300
60
983,2
0,469
0,477
6,68
2280
70
977,8
0,406
0,415
6,50
2250
80
971,8
0,357
0,367
6,30
2210
90
965,3
0,317
0,328
6,12
2160
100
958,4
0,284 x 10-3
0,296 x 10-6
5,94
2070
2.7.1.3 Hukum Gas Ideal Gas – gas sangat mudah dimampatkan dibandingkan dengan zat cair, dimana perubahan kerapatan gas berhubungan langsung dengan perubahan tekanan dan temperatur melalui persamaan 2.4. p RT
(2.4)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
dimana p adalah tekanan mutlak, ρ kerapatan, T temperatur mutlak dan R adalah konstanta gas. Persamaan 2.4 biasanya disebut sebagai hukum gas ideal atau gas sempurna, atau persamaan keadaan gas ideal. Perilaku ini diketahui sangat mendekati perliaku gas – gas riil di bawah kondisi yang normal apabila gas – gas tersebut tidak mendekati keadaan pencairannya (Munson et. al, 2009). Tekanan dalam sebuah fluida dalam keadaan diam didefinisikan sebagai gaya normal per satuan luas yang diberikan pada sebuah permukaan bidang (nyata atau semu) yang terendam dalam fluida dan terbentuk dari tumbukan permukaan tersebut dengan molekul – molekul fluida. Tekanan mempunyai dimensi FL-2, dan dalam satuan BG dinyatakan sebagai lb/ft2 (psf) pascal, disingkat Pa dan tekanan biasanya dinyatakan dalam pascal. Tekanan dalam hukum gas ideal harus dinyatakan dalam mutlak, yang berarti bahwa tekanan tersebut diukur relatif terhadap tekanan nol mutlak. Tekanan atmosfer standar pada permukaan laut (menurut kesepakatan internasional) adalah 14,696 psi (abs) atau masing – masing menjadi 14,7 psi dan 101 kPa (Munson et. al, 2009).
2.7.1.4 Viskositas Kekentalan adalah sifat dari zat cair untuk melawan tegangan geser pada waktu bergerak / mengalir. Kekentalan disebabkan karena kohesi antara partikel fluida. Fluida ideal tidak mempunyai kekentalan. Fluida kental, seperti sirup atau oli, mempunyai nilai viskositas yang besar. Sedangkan pada fluida encer, seperti air, mempunyai nilai viskositas yang kecil (Munson et. al, 2009). Gambar 2.16 menunjukkan zat cair yang terletak diantara dua plat sejajar yang berjarak sangat kecil Y. Plat bagian bawah pada posisi diam sedangkan plat atas bergerak dengan kecepatan U. Partikel fluida yang bersinggungan dengan plat yang bergerak mempunyai kecepatan yang sama dengan plat tersebut. Tegangan geser antara dua lapis zat cair adalah sebanding dengan gradient kecepatan dalam arah tegak lurus dengan gerak (du/dy).
du dy
(2.5)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Gambar 2.15 Deformasi zat cair (www.princeton.edu) dengan µ (mu) adalah kekentalan dinamik (Nd/m2) dan τ (tau) adalah tegangan geser (N/m2). Zat cair yang mempunyai hubungan linier antara tegangan geser dan gradient kecepatan disebut dengan fluida Newtonian. Pada fluida ideal, tegangan geser adalah nol dan kurvanya berhimpit dengan absis. Untuk fluida nonnewtonian, tegangan geser tidak berbanding lurus dengan gradient kecepatan (Munson et. al, 2009).
Gambar 2.16 Hubungan antara tegangan geser dan gradien kecepatan (Munson et. al, 2009).
Sangat sering dalam persoalan aliran fluida, viskositas muncul dalam bentuk yang dikombinasikan dengan kerapatan sebagai:
(2.6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Perbandingan ini disebut sebagai viskositas kinematik dan dilambangkan dengan huruf Yunani ν (nu). Dimensi dari viskositas kinematik adalah L2/T, dan satuannya dalam sistem SI adalah m2/s. Nilai viskositas kinematik untuk beberapa zat cair dan gas yang umum diberikan dalam Tabel 2.1 dan grafik – grafik yang menunjukkan variasi viskositas dinamik dan kinematik terhadap temperatur untuk berbagai fluida juga diberikan pada Gambar 2.17.
Grafik 2.17 Viskositas kinematik untuk fluida yang sering digunakan (Munson et. al, 2009).
2.7.1.5 Tekanan Uap Dari ilmu termodinamika diketahui bahwa fludia dapat berubah fase dari cari menjadi gas yang dikenal sebagai proses penguapan. Peristiwa penguapan yang mudah diamati adalah jika cairan dalam sebuah bejana terbuka dipanaskan. Akibat tambahan energi dari pemanasan molekul cairan di permukaan mempunyai cukup momentum untuk mengatasi gaya kohesi antar molekul dan melepaskan diri ke atmosfer. Seandainya bejana ditutup dengan sedikit ruang di atas permukaannya dan ruang ini kemudian divakumkan, maka tekanan akan terbentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
di atas permukaannya dan ruangan ini kemudian divakumkan, maka molekul yang terus melepaskan diri sampai suatu kondisi kesetimbangan tercapai. Saat setimbang, jumlah molekul yang meninggalkan permukaan sama dengan jumlahnya yang masuk kembali ke dalam cairan. Uap tersebut dikatakan telah jenuh dan tekanan yang terbentuk disebut tekanan uap (dilambangkan pv). Karena pembentukan tekanan uap sangat berkaitan dengan aktivitas molekuler, nilai dari tekanan uap untuk suatu zat cair tertentu tergantung pada temperatur (Harinaldi, 2015). Alasan penting untuk meninjau tekanan uap adalah karena dari berbagai pengamatan di dalam fluida yang sedang mengalir kerap terbentuk gelembung uap di dalam massa fluida. Hal ini dapat terjadi ketika tekanan mutlak di dalam fluida mencapai tekanan uapnya. Misalnya fenomena ini mungkin terjadi pada aliran yang melalui saluran yang tidak menentu, mengecil (nozzle), pada sebuah katup atau pompa dimana tekanan yang terbentuk sangat rendah sampai mencapai tekanan uapnya. Apabila gelembung – gelembung tersebut terseret kedalam daerah yang bertekanan lebih tinggi, gelembung – gelembung tersebut akan pecah dengan intensitas yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan struktur. Pembentukan yang dilanjutkan dengan pecahnya gelembung uap di dalam fluida mengalir yang disebut kavitasi ini meruakan fenomena aliran fluida yang sangat penting dalam sistem fluida. Gambar 2.19 menampilkan profil tekanan dan kavitasi pada daerah yang memiliki variabel area (Munson et. al, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Gambar 2.18 Variasi tekanan dan pengaruh kavitasi pada pipa dengan variabel penampang (Munson et. al, 2009).
2.7.2
Statika Fluida Konsep statika fluida mendasari banyak sistem fluida, terutama sistem
yang bekerja berdasarkan prinsip hidrostatik, misalnya pada peralatan – peralatan hidrolik. Menurut prinsip hidrostatik energi dipindahkan melalui fludia tertutup oleh tekanan yang diberikan oleh sebuah gaya pada fluida tersebut (Harinaldi, 2015). 2.7.2.1 Tekanan Hidrostatik Tekanan hidrostatik dapat didefinisikan sebagai tekanan yang terjadi pada massa fluida static (yang diam) akibat pengaruh gaya gravitasi. Dengan demikian tekanan hidrostatik dapat dianggap terjadi akibat bekerjanya gaya berat suatu kolom fluida. Tekanan hidrostatik fluida bergantung pada kedalaman (ketinggian) kolom fluida dari permukaan, kerapatan dan percepatan gravitasi yang dirumuskan dengan persamaan:
ph gh
(2.7)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
dimana ph adalah tekanan hidrostatik (N/m2 atau Pa), ρ adalah kerapatan fluida (kg/m3), g adalah percepatan gravitasi (m/s2), dan h adalah kedalaman fluida (m) (Munson et. al, 2009).
2.7.2.2 Tekanan Mutlak dan Tekanan Pengukuran Tekanan fluida merupakan suatu karakteristik penting dalam sebuah sistem fluida sehingga banyak sekali instrument dan teknik
- teknik yang
digunakan untuk mengukurnya. Tekanan pada sebuah titik dalam massa fluida dapat dinyatakan dengan tekanan mutlak (absolute pressure) atau tekanan pengukuran (gauge pressure) (Harinaldi, 2015). Tekanan mutlak selalu bernilai positif karena diukur relatif terhadap keadaan hampa udara sempurna tanpa tekanan (tekanan nol mutlak). Sedangkan tekanan pengukuran diukur relatif terhadap tekanan atmosfer setempat. Jadi, tekanan pengukuran nol sama dengan tekanan atmosfer setempat, sedangkan pengukuran bernilai positif jika besarnya diatas tekanan atmosfer dan negatif jika di bawah tekanan atmosfer (Harinaldi, 2015). Gambar 2.19 memperlihatkan representasi grafik konsep tekanan mutlak dan tekanan pengukuran.
Gambar 2.19 Tekanan mutlak dan tekanan pengukuran (Munson et. al, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2.7.2.3 Peralatan Pengukur Tekanan Mekanik Manometer sangat banyak digunakan, namun alat ukur tekanan ini tidak cocok untuk mengukur tekanan – tekanan yang sangat tinggi, atau tekanan – tekanan yang berubah sangat cepat menurut waktu. Tambahan lagi manometer memerlukan pengukuran satu atau lebih ketinggian kolom, yang meskipun tidak terlalu sulit, namun sangat memakan waktu. Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut banyak jenis lain instrumen pengukur tekanan telah dikembangkan. Kebanyakan alat ini memanfaatkan prinsip bahwa jika suatu tekanan bekerja pada sebuah struktur yang elastis, struktur itu akan berdeformasi, dan deformasi ini dapat dikaitkan dengan besarnya tekanan (Munson et. al, 2009). Tabung bourdon (bourdon gauge) merupakan alat ukur tekanan mekanik seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.20. Elemen mekanik yang paling penting pada alat ukur ini adalah tabung berongga lengkung elastis (tabung bourdon) yang dihubungkan dengan sumber tekanan. Dengan meningkatnya tekanan di dalam, maka tabung akan cenderung menjadi lurus, dan meskipun deformasinya kecil, hal tersebut dapat diubah menjadi gerakan dari sebuah penunjuk pada sebuah skala ukur seperti yang diilustrasikan. Karena yang menyebabkan pergerakan dari tabung adalah perbedaan tekanan antara tekanan di luar tabung (tekanan atmosfer) dengan tekanan di dalam, maka tekanan yang ditunjukkan adalah tekanan pengukuran (gauge pressure).
Gambar 2.20 Pengukur tekanan Bourdon (Munson et. al, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Gambar 2.21 Cara kerja tabung Bourdon (White, 1998). 2.7.3
Kinematika Fluida Dalam aplikasi bidang teknik yang berkaitan dengan sistem fluida,
umumnya fluida yang terlibat berada dalam keadaan bergerak atau lebih dikenal dengan istilah “mengalir”. Kinematika fluida mempelajari berbagai aspek gerakan fluida tanpa meninjau gaya – gaya yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan tersebut. Kajian kinematika dari gerakan tersebut meliputi kecepatan, percepatan medan aliran serta penggambaran dan visualisasi gerakan tersebut. Pemahaman tentang kinematika aliran fluida merupakan dasar penting untuk memahami dinamika fluida (Harinaldi, 2015). 2.7.3.1 Aliran Invisid dan Viskos Aliran invisid adalah aliran dimana kekentalan zat cair, µ, dianggap nol (zat cair ideal). Sebenarnya zat cair dengan kekentalan nol tidak ada di alam, tetapi dengan anggapan tersebut akan sangat menyederhanakan permasalahan yang sangat kompleks dalam hidarulika. Karena zat cair tidak mempunyai kekentalan maka tidak terjadi tegangan geser antara partikel zat cair dan antara zat cair dan bidang batas. Pada kondisi tertentu, anggapan bahwa µ = 0 dapat diterima untuk zat cair dengan kekentalan kecil seperti air (Bambang Triatmodjo, 2014). Aliran viskos adalah aliran di mana kekentalan diperhitungkan (zat cair riil). Keadaan ini menyebabkan timbulnya tegangan geser antara partikel zat cair yang bergerak dengan kecepatan berbeda. Apabila zat cair riil mengalir melalui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
bidang batas yang diam, zat cair yang berhubungan langsung dengan bidang batas tersebut akan mempunyai kecepatan nol. Kecepatan zat cair akan bertambah sesuai dengan jarak dari bidang tersebut. Apabila medan aliran sangat dalam/lebar, di luar suatu jarak tertentu dari bidang batas, aliran tidak lagi dipengaruhi oleh hambatan bidang batas. Pada daerah tersebut kecepatan aliran hampir seragam (fully developed velocity). Gambar 2.22 menampilkan aliran viskos dengan kecepatan seragam (fully developed velocity).
Gambar 2.22 Aliran viskos dengan kecepatan seragam (Munson et. al, 2009). 2.7.3.2 Aliran Tunak dan Tak-tunak Aliran tunak (steady flow) terjadi jika kecepatannya tidak terpengaruh oleh perubahan waktu. Dengan demikian jika ditinjau pada titik yang sama, kecepatan aliran selalu konstan dari waktu ke waktu. Secara matematika kondisi aliran tunak ini dapat dinyatakan dengan:
V 0 t
(2.8)
Sedangkan aliran tak-tunak (unsteady flow) terjadi jika kecepatannya terpengaruh oleh perubahan waktu. Dengan demikian jika ditinjau pada titik yang sama, kecepatan aliran berubah-ubah dari waktu ke waktu. Secara matematika kondisi aliran tunak ini dapat dinyatakan dengan:
V 0 t
(2.9)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
2.7.3.3 Aliran Seragam dan Tak Seragam Aliran seragam (uniform flow) terjadi jika kecepatannya tidak terpengaruhi oleh perubahan tempat. Dengan demikian jika ditinjau pada waktu yang sama, kecepatan aliran selalu sama di seluruh titik. Jika s mewakili koordinat aliran, secara matematika kondisi aliran seragam ini dapat dinyatakan dengan:
V 0 s
(2.10)
Aliran tak seragam (non-uniform flow) terjadi jika kecepatannya terpengaruhi oleh perubahan tempat. Dengan demikian jika ditinjau pada waktu yang sama, kecepatan aliran tidak selalu sama di seluruh titik. Secara matematika kondisi aliran tak seragam ini dapat dinyatakan dengan:
V 0 s
(2.11)
2.7.3.4 Aliran Kompresibel dan Tak Kompresibel Semua fluida (termasuk zat cair) adalah kompresibel sehingga rapat massanya berubah dengan perubahan tekanan. Pada aliran mantap dengan perubahan rapat massa kecil, sering dilakukan penyederhanaan dengan menganggap bawah zat cair adalah tak kompresibel dan rapat massa adalah konstan. Oleh karena zat cair mempunyai kemampatan yang sangat kecil, maka dalam analisis aliran mantap sering dilakukan anggapan zat cair tak kompresibel. Tetapi pada aliran tak mantap melalui pipa di mana bisa terjadi perubahan tekanan yang sangat besar, maka kompresibilitas zat cair harus diperhitungkan. 2.7.3.5 Aliran Laminer dan Turbulen Aliran viskos dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu aliran laminar dan turbulen. Dalam aliran laminar, partikel – partikel zat cair bergerak teratur mengikuti lintasan yang saling sejajar. Aliran ini terjadi apabila kecepatan kecil dan/atau kekentalan besar (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Kekentalan memiliki pengaruh yang singnifikan untuk meredam gangguan yang dapat menyebabkan aliran menjadi turbulen. Dengan berkurangnya kekentalan dan bertambahnya kecepatan aliran maka daya redam terhadap gangguan akan berkurang, yang sampai pada suatu batas tertentu akan menyebabkan terjadinya perubahan aliran dari laminar ke turbulen. Pada aliran turbulen, gerak partikel – partikel zat cair tidak teratur. Aliran ini terjadi apabila kecepatan besar dan kekentalan zat cair kecil. Dalam Gambar 2.23 ditampilkan profil aliran laminar dan turbulen suatu fluida berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Osborne Reynolds (Munson et. al, 2009).
Gambar 2.23 Ilustrasi tipe aliran fluida viskos (Munson et. al, 2009). Percobaan yang dilakukan oleh Osborne Reynolds menunjukkan sifat – sifat aliran laminar dan turbulen. Reynolds menunjukkan bahwa untuk kecepatan aliran yang kecil di dalam pipa kaca, zat warna akan mengalir dalam satu garis lurus seperti benang yang sejajar dengan sumbu pipa. Apabila kecepatan aliran bertambah besar, benang warna mulai bergelombang dan akhirnya pecah dan menyebar pada seluruh aliran di dalam pipa. Menurut Reynolds, ada tiga faktor yang mempengaruhi keadaan aliran yaitu kekentalan zat cair µ (mu), rapat massa zait cair ρ (rho), dan diameter pipa D. Hubungan antara µ, ρ, dan D yang mempunyai dimensi sama dengan kecepatan adalah µ / ρD (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Reynolds menunjukkan bahwa aliran dapat diklasifikasikan berdasarkan suatu angka tertentu. Angka tersebut diturunkan dengan membagi kecepatan aliran di dalam pipa dengan nilai µ / ρD, yang disebut dengan Reynolds Number (Re). Reynolds Number mempunyai bentuk: Re
VD
(2.12)
dengan ν (nu) adalah kekentalan kinematik. Dari percobaan yang dilakukan untuk aliran air melalui pipa, Reynolds menetapkan untuk angka Reynolds di bawah 2000, gangguan aliran dapat diredam oleh zat cair, dan aliran pada kondisi tersebut adalah laminar. Aliran akan turbulen apabila angka Reynolds lebih besar dari 4.000. Apabila angka Reynolds berada di antara kedua nilai tersebut (2000 < Re < 4000), maka aliran disebut transisi. Angka Reynolds pada kedua nilai diatas (Re = 2000 dan Re = 4000) disebut dengan batas kritis bawah dan atas. Gambar 2.25 menunjukkan perbandingan profil kecepatan aliran laminar dan turbulen di dalam sebuah pipa (Munson et. al, 2009).
Gambar 2.24 Perbedaan aliran laminar dan turbulen pada pipa (a) laminar (b) turbulen (White, 1998). 2.7.3.6 Debit Aliran Jumlah zat cair yang mengalir melalui tampang lintang aliran tiap satu satuan waktu disebut aliran dan diberi notasi Q. Debit aliran biasanya diukur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
dalam volume zat cair tiap satuan waktu, sehingga satuannya adalah meter kubik per detik (m3/s) (Triatmodjo, 2014). Di dalam zat cair ideal, dimana tidak terjadi gesekan, kecepatan aliran V adalah sama di setiap titik pada tampang lintang. Apabila tampang aliran tegak lurus dengan arah aliran, maka debit aliran dapat dirumuskan: Q=Av
(2.13)
dimana A adalah luas penampang bidang (m2) yang dilewati oleh aliran fluida, dan v adalah kecepatan aliran (m/s). 2.7.3.7 Laju Aliran Massa Laju aliran massa adalah jumlah massa suatu zat cair yang mengalir melalui tampang lintang aliran tiap satuan waktu. Laju aliran massa diberi notasi
m dengan satuan SI (kg/s) (Munson et. al, 2009). Laju aliran massa dari sebuah sisi keluar diberikan oleh debit aliran pada suatu nilai kerapatan fluida yang dinyatakan dengan persamaan: Q m
(2.14)
2.7.3.8 Tekanan Dinamik Tekanan dinamik adalah tekanan yang dihasilkan oleh energi kinetik per unit volume suatu fluida (Munson et. al, 2009) yang dapat dirumuskan sebagai:
Pd 2.7.4
v 2 2
(2.15)
Persamaan Kontinuitas (Hukum Konservasi Massa) Apabila zat cair tak kompresibel mengalir secara kontinyu melalui pipa
atau saluran terbuka, dengan tampang aliran konstan ataupun tidak konstan, maka volume zat cair yang lewat tiap satuan waktu adalah sama di semua tampang. Keadaan ini disebut dengan hukum kontinuitas aliran zat cair (Triatmodjo, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Tabung pada Gambar 2.26 menampilkan aliran satu dimensi dan steady, dengan kecepatan rata – rata v dan tampang aliran A. Aliran tersebut mengalir dari titik 1 pada v1 dan A1, ke titik 2 pada v2 dan A2.
Gambar 2.25 Tabung aliran untuk menurunkan persamaan kontinuitas (Triatmodjo, 2014). Volume zat cair yang masuk melalui tampang 1 tiap satuan waktu: V1 dA1 Volume zat cair yang keluar dari tampang 2 tiap satuan waktu: V2 dA2. Oleh karena tidak ada zat cair yang hilang di dalam tabung aliran, maka:
v1 dA1 v 2 dA2
(2.16)
atau
Q1 Q2 const.
(2.17)
atau
1 m 2 const. m
(2.18)
Persamaan 4.1 dan 4.2 disebut dengan persamaan kontinuitas untuk zat cair incompressible. Apabila pipa bercabang seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.26, berdasarkan persamaan kontinuitas, debit aliran yang menuju titik cabang harus sama dengan debit yang meninggalkan titik tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Gambar 2.26 Persamaan kontinuitas pada pipa bercabang (Triatmodjo, 2014). Q1 Q2 Q3
(2.19)
atau
1 m 2 m 3 m 2.7.5
(2.20)
Persamaan Bernoulli Penurunan persamaan Bernoulli untuk aliran sepanjang garis arus
didasarkan pada hukum II Newton tentang gerak ( F ma ). Persamaan ini diturunkan berdasarkan anggapan sebagai berikut: a.
Zat cair adalah ideal, jadi tidak mempunyai kekentalan (kehilangan energi akibat gesekan adalah nol).
b.
Zat cair adalah homogen dan tidak termampatkan (rapat massa zat cair adalah konstan).
c.
Aliran adalah kontinyu dan sepanjang garis arus.
d.
Kecepatan aliran merata dalam suatu penampang.
e.
Gaya yang bekerja hanya gaya berat dan tekanan.
Persamaan Bernoulli dapat dituliskan sebagai berikut:
p z
V2 C 2
(2.21)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Persamaan Bernoulli menyatakan bahwa jumlah dari tekanan piezometric (p+γz) dan tekanan kinetik (ρV2/2) konstan sepanjang streamline untuk aliran mantap dan incompressible (White, 1998). Konstanta integrasi C adalah tinggi energi total, yang merupakan jumlah dari tinggi tempat, tinggi tekanan, dan tinggi kecepatan, yang berbeda dari garis arus yang satu ke garis arus yang lain. Oleh karena itu persamaan tersebut hanya berlaku untuk titik – titik pada suatu garis arus. Gambar 2.27 menampilkan garis tenaga tekanan pada zat cair ideal, berdasarkan persamaan Bernoulli.
Gambar 2.27 Garis tenaga dan tekanan pada zat cair ideal (White, 1998). 2.7.6
Aliran Open Channel dan Closed Channel Baik aliran turbulen maupun laminar dapat ditemukan pada saluran
terbuka (open channel) maupun saluran tertutup (closed channel). Aliran pada closed channel atau dapat disebut internal flow, dibatasi oleh dinding – dinding dan efek kekentalan akan meluas ke seluruh aliran tersebut. Pada Gambar 2.28 menampilkan aliran closed channel pada saluran pipa panjang. Terdapat daerah masuk atau entrance region dimana aliran hulu yang berupa inviscid mengumpul dan memasuki pipa. Lapisan batas kekentalan terlihat di sisi hilir, memperlambat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
aliran aksial u (r,x) di dinding dan mempercepat aliran pada pusat untuk menjaga kontinuitas incompressible fluida (White, 1998). Q uDA const
(2.22)
Pada jarak tertentu dari sisi inlet, lapisan batas kekentalan terdispersi dan inti aliran yang berupa invisid menghilang. Aliran dalam pipa tersebut menjadi kental seluruhnya, dan kecepatan aksial menjadi stabil sampai pada x = Le. Fenomena ini disebut fully developed velocity (White, 1998).
Gambar 2.28 Profil perubahan pola kecepatan aliran dan tekanan pada suatu sistem closed channel (White, 1998).
2.7.7
Kecepatan Suara dan Bilangan Mach (Mach Number) Akibat kemampu-mampatan fluida, sebuah gangguan yang diberikan di
suatu titik dalam fluida akan menjalar dengan kecepatan tertentu. Sebagai contoh, jika air yang sedang mengalir dalam pipa tiba – tiba katup keluarannya mendadak ditutup sehingga menimbulkan gangguan lokal. Maka pengaruh penutupan katup tidak segera langsung terasa di hulunya. Diperlukan waktu beberapa saat tertentu bagi peningkatan tekanan akibat penutupan katup untuk menjalar ke lokasi di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
hulu. Ini sama halnya, saat diafragma sebuah pengeras suara menyebabkan gangguan setempat saat bergetar dan perubahan kecil tekanan yang ditimbulkan oleh gerakan diafragma tersebut menjalar melalui udara dengan kecepatan tertentu. Kecepatan menjalarnya gangguan kecil ini disebut sebagai kecepatan akustik atau kecepatan suara, a. Kecepatan suara tersebut berhubungan dengan perubahan tekanan dan tempertur (White, 1998)
a RT
(2.23)
untuk udara (γ= 1.4 dan massa molekul = 38.966 kg/kg-mol), persamaan (2.23) dapat disederhanakan menjadi:
a 20.046 T m/s (T dalam K)
(2.24)
Bilangan Mach (Mach Number) merupakan bilangan tak berdimensi yang ditemukan oleh Ernst Mach pada tahun 1870. Bilangan Mach merupakan satuan kecepatan yang umum digunakan untuk mengekspresikan kecepatan aliran relatif terhadap kecepatan suara. Rasio tersebut dinyatakan dalam persamaan: Ma
v a
(2.25)
Bilangan Mach merupakan parameter yang dominan dalam analisis aliran compressible, dengan pengaruh yang berbeda tergantung pada besarannya. Para ahli aerodinamik secara khusus membuat perbedaan di antara berbagai rentang bilangan Mach. Klasifikasi bilangan Mach secara detil dapat dilihat pada Tabel 2.2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Tabel 2.2 Klasifikasi Bilangan Mach (White, 1998) Bilangan Ma
Keterangan Aliran incompressible, pengaruh kerapatan dapat diabaikan
Ma < 0,3 0,3 < Ma < 0,8
Aliran subsonic, pengaruh kerapatan adalah penting tetapi tidak ada gelombang kejut yang muncul
0,8 < Ma < 1,2
Aliran transonic, terdapat adalah gelombang kejut (shock wave) pada sisi hulu. Aliran transonic merupakan pemisahan daerah aliran supersonic dan subsonic.
1,2 < Ma < 3,0
Aliran supersonic, terdapat gelombang kejut (shock wave) tetapi tidak ada daerah subsonic
3,0 < Ma
Aliran hypersonic, gelombang kejut (shock wave) dan aliran lainnya berubah secara sangat kuat.
2.7.8
Pengukuran Debit Aliran Pada analisis fluida, sering dijumpai pengukuran yang mengintegrasi
antara massa dan laju volume (debit) yang melewati suatu pipa. Ada dua jenis alat ukur yang memanfaatkan fenomena hambatan aliran pada pipa sehingga menyebabkan penurunan tekanan. Fenomena ini dapat dimanfaatkan untuk mengukur fluks aliran (White, 1998). Jenis – jenis alat ukur tersebut antara lain: a.
b.
Bernoulli-type devices: 1.
Plat orifis
2.
Nozzle
3.
Tabung venturi
Friction-loss devices: 1.
Tabung kapiler
2.
Porous plug
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
2.7.8.1 Teori Hambatan Bernoulli (Bernoulli Obstruction Theory) Gambar 2.29 menampilkan skema aliran yang dihambat pada sebuah pipa. Aliran pada pipa berdiameter D bergerak melewati sebuah hambatan dengan diameter d, dimana β merupakan rasio geometri yang merupakan parameter kunci pada alat ukur debit (White, 1998).
Gambar 2.29 Perubahan kecepatan dan tekanan melewati Bernoulli-type device (Frank M. White, 1998).
d D
(2.26)
Setelah melewati hambatan, aliran menyempit kembali melalui vena contracta dengan diameter D2
1/ 2
(2.27)
dimana subskrip t menotasikan throat dari hambatan. Koefisien tanpa dimensi, Cd (discarged coefficient) memiliki fungsi terhadap nilai β dan ReD. Nilai Cd bergantung pada jenis Bernoulli-type device (White, 1998). C d f ( , Re D )
dimana
Re D
V1 D
(2.28)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2.7.8.2 Plat Orifis Plat orifis dapat dibentuk dengan nilai β antara 0,2 sampai 0,8, dengan catatan diameter d > 12,5 mm. Plat orfis menggunakan tiga konfigurasi sambungan yang umum digunakan: a.
Sambungan menyudut, dimana plat orifis menyambung langsung dengan dinding pipa.
b.
Sambungan D : ½D, dimana plat orifis menyambung dengan jarak D pada pipa hulu, dan ½D pada pipa hilir.
c.
Sambungan flens. Untuk plat orifis dengan sambungan D : ½D, nilai Cd dapat didapatkan
dari Gambar 2.30. Namun nilai Cd dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan yang disepakati oleh ISO:
C d f ( ) 91,71
dimana:
2.5
Re D
0.75
0,09 4 F1 0,0337 3 F2 4 1
f ( ) 0,5959 0,0312 2.1 0,184 8
(2.30)
untuk sambungan menyudut, nilai F1 dan F2 adalah: F1 = 0
F2 = 0
untuk sambungan D : ½ D, nilai F1 dan F2 adalah: F1 = 0,4333
F2 = 0,47
untuk sambungan flens, nilai F1 dan F2 adalah: F2
1 D(in )
F1
D > 2,3 in 0.4333 2,0
D
(2.29)
2,3 in
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Gambar 2.30 Discharged coefficient pada plat orifis dengan sambungan D : ½D (White, 1998). 2.8
Fenomena Aliran Pada Ejektor Pada ejektor terdapat fenomena – fenomena aliran, dimana primary fluid
mengalami ekspansi tekanan dan kenaikan kecepatan menjadi supersonic velocity dengan melewati nozzle. Primary fluid dalam penelitian ini merupakan gas bertekanan tinggi yang dikategorikan sebagai aliran compressible. Secondary fluid disisi lain merupakan air (incompressible fluid) yang terhisap kedalam suction chamber akibat fenomena perbedaan tekanan. Proses entrainment, pencampuran fluida, perubahan tekanan dan kecepatan akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab ini. 2.8.1
Compressible Flow Ketika sebuah fluida bergerak pada kecepatan suara, kerapatan (density)
fluida dapat berubah secara signifikan dan aliran dapat dikategorikan sebagai compressible. Aliran compressible sulit untuk diperoleh pada likuid, dimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dibutuhkan tekanan yang sangat tinggi (1000 atm) untuk menghasilkan kecepatan suaran (sonic velocity). Sebaliknya, gas hanya membutuhkan rasio tekanan 2 : 1 untuk menghasilkan sonic velocity. Terdapat dua efek yang sangat penting dan khas pada aliran compressible antara lain: 1.
Chocking, dimana laju aliran pada sebuah pipa sangat dibatasi oleh kondisi kecepatan suara (sonic condition).
2.
Shock wave, merupakan suatu properti yang selalu berubah – ubah pada aliran supersonic.
2.8.2
Pengaruh dari Variasi Luas Penampang Aliran Compressible Ketika fluida mengalir secara tunak melalui sebuah saluran yang
mempunyai luas penampang aliran yang berubah sepanjang jarak aksial, persamaan kekekalan massa (kontinuitas) Av const. m
(2.31)
dapat digunakan untuk menghubungkan laju aliran pada berbagai bagian yang berbeda. Untuk aliran incompressible, kerapatan fluida tetap konstan dan kecepatan aliran dari satu bagian ke bagian lainnya bervariasi secara terbalik dengan luas penampangnya. Namun demikian, apabila fluidanya compressible, maka kerapatan, luas penampang, dan kecepatan aliran semuanya dapat bervariasi dari satu bagian ke bagian lain (White, 1998). Aliran compressible yang memiliki kecepatan subsonic (Ma < 1), akan mengalami perubahan kecepatan saat luas penampang diperkecil (Subsonic Nozzle) dan berlaku sebaliknya untuk perbesaran luas penampang akan disertai dengan penurunan kecepatan aliran (Subsonic diffuser). Namun apabila aliran compressible memiliki kecepatan supersonic (Ma > 1), perbesaran luas penampang akan disertai dengan kenaikan kecepatan (supersonic nozzle) dan berlaku juga sebaliknya untuk pengecilan luas penampang akan disertai dengan penurunan kecepatan (supersonic diffuser). Fenomena ini dijelaskan pada Gambar 2.31 dan persamaan (2.32) (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
dV dA 1 V A (1 Ma 2 )
(2.32)
Gambar 2.31 Efek perubahan bilangan Mach pada perubahan properti fluida dengan perubahan luas penampang (White, 1998). 2.8.3
Fenomena Choking Pada Gambar 2.32 menampilkan pengaruh rasio luas penampang pada
suatu saluran / duct terhadap bilangan Mach. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa rasio luas penampang naik dari nol pada Ma = 0 sampai mencapai keseimbangan (A/A* = 1) saat Ma = 1. Kemudian nilai rasio luas penampang akan kembali ke nol saat nilai Ma lebih besar. Maka untuk kondisi stagnasi yang telah ditentukan, laju aliran massa maksimal yang dapat melewati pipa terjadi ketika kondisi kritis atau sonic condition. Pipa disebut pada kondisi choked dan tidak dapat membawa laju aliran massa lebih banyak, kecuali luasan throat diperlebar. Jika panjang throat dibatasi, maka laju aliran massa yang memasuki throat harus dikurangi (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Gambar 2.32 Rasio luas penampang versus bilangan Mach untuk aliran kompressible dengan k = 1.4 (White, 1998)
Laju aliran massa maksimum yang dapat melewati suatu pipa / duct pada k = 1.4 (ideal gas) dapat dirumuskan dalam persamaan:
m max
0.6847 0 A * ( RT0 )1 / 2
(2.33)
dengan ρ0 adalah kerapatan stagnasi fluida (kg/m3), A* adalah luas penampang kritis (m2), R adalah konstanta gas universal = 287, dan T0 adalah temperatur stagnasi. Dari persamaan (2.33), laju aliran massa maksimum diperoleh dengan memperbesar luas penampang throat dan menurunkan temperatur stagnasi (operating condition) (White, 1998). 2.8.4
Fenomena Aliran Pada Converging dan Diverging Nozzle Pada Gambar 2.33 ditampilkan skema converging nozzle dimana aliran
hulu dengan kondisi tekanan stagnasi (P0) mengalir melewati saluran yang mengalami pengecilan penampang. Pada hilir, tekanan aliran mengalami penurunan akibat back pressure (Pb) yang besarnya lebih kecil dari tekanan stagnasi (Pb< P0). Penurunan tekanan pada sisi hilir terjadi pada kondisi – kondisi dari a sampai e seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.33a. Profil perubahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
tekanan dan penampang ditampilkan pada Gambar 2.33b, sedangkan profil perubahan laju aliran massa ditampilkan pada Gambar 2.33c (White, 1998).
Gambar 2.33 Fenomena aliran pada converging nozzle (a) geometri nozzle menunjukkan perubahan tekanan (b) distribusi tekanan disebabkan oleh back pressure (c) laju aliran massa versus back flow pressure (White, 1998). Pada penurunan back pressure secara moderat untuk kondisi a dan b, tekanan pada throat lebih tinggi dari tekanan kritis (P*), dimana hal tersebut menyebabkan aliran didalam nozzle subsonic dan aliran sisi outlet (Pe) sama dengan back pressure (Pb). Pada kondisi c, nilai back pressure sama dengan tekanan kritis (P*) pada throat. Aliran didalam nozzle menjadi sonic (Ma = 1), aliran outlet sama dengan back pressure (Pe = Pb) Jika tekanan Pb menurun lebih jauh dibawah tekanan kritis (P*) untuk kondisi d dan e, aliran pada nozzle tidak dapat mengalami perubahan lebih lanjut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
karena nozzle mengalami choking. Kecepatan aliran pada throat nozzle tetap pada sonic dengan Pe = P* dan distribusi tekanan pada nozzle sama dengan kondisi c. Aliran sisi outlet berekspansi secara supersonic sehingga outlet jet pressure dapat turun dari P* ke Pb (White, 1998). 2.8.4 Fenomena Shock Wave Normal Shock wave normal adalah gelombang kejut dengan bidang tegak lurus terhadap garis – garis arus aliran. Gelombang kejut normal dapat terjadi dalam aliran supersonik melalui saluran konvergen – divergen dan penampang konstan. Shock wave dapat menyebabkan perlambatan aliran dari supersonik menjadi aliran subsonik, kenaikan tekanan, dan kenaikan entropi. Pada aliran sonik dan subsonik, shock wave tidak dapat terbentuk karena perubahan tekanan dan temperatur sangat kecil. Perubahan kecepatan akibat shock wave dapat dirumuskan melalui persamaan (2.34):
(k 1) M x 2 2
My 2
(2.34)
2kM x (k 1) 2
dimana notasi x menunjukkan posisi inlet dan y menunjukkan posisi outlet pada sebuah saluran / duct (Crowe, Clayton T., et. al., 2010). Selain kecepatan, shock wave juga dapat mempengaruhi beberapa parameter fluida lainnya antara lain yaitu tekanan, kerapatan, dan temperatur. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui persamaan (2.35), (2.36), dan (2.37) (Munson et. al, 2009).
Py Px
Ty Tx
2k k 1 2 Ma x k 1 k 1
(2.35)
1 [(k 1) / 2]Ma x
2
1 [(k 1) / 2]Ma y
2
2 y (k 1) Ma x V x 2 x (k 1) Ma x 2 V y
(2.36)
(2.37)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Tabel 2.3 menampilkan ringkasan karakteristik dari Shock Wave Normal pada beberapa parameter penting suatu aliran. Fenomena ini hanya dapat terwujud ketika bilangan Mach pada sisi inlet berupa supersonic dan subsonic pada sisi outlet (Munson et. al, 2009).
Tabel 2.3 Ringkasan dari Karakteristik Shock Wave Normal (Munson et. al, 2009). Parameter
Perubahan Melintasi Gelombang Kejut Normal
Bilangan Mach
Berkurang
Tekanan statik
Meningkat
Tekanan stagnasi
Berkurang
Temperatur static
Meningkat
Temperatur stagnasi
Konstan
Kerapatan
Meningkat
Kecepatan
Berkurang
2.8.5
Entrainment Ratio Entraiment ratio (ω) adalah rasio pencampuran kedua fluida yang
dinyatakan dalam perbandingan laju aliran massa secondary fluid terhadap primary fluid (Chandra et al., 2014).
2.8.6
m s m p
(2.38)
Expansion Ratio Expansion ratio (ER) didefinisikan sebagai rasio tekanan pada boiler
(primary fluid) dengan tekanan pada evaporator (secondary fluid) (Chandra et. al., 2014).
ER
Pp Ps
(2.39)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
2.8.7
Back Pressure Back pressure didefinisikan sebagai tekanan balik pada ejektor yang
disebabkan oleh tekanan pada kondser (Alexis, G.K., Katsanis, J.S., 2004). Selain itu, back pressure juga dipengaruhi oleh temperatur cooling-water pada kondenser (Chen, et al., 1997). Hubungan antara tekanan dan temperatur pada kondenser dengan back pressure dapat dirumuskan melalui persamaan (2.40).
Pb f ( pc , tc ) 2.8.8
(2.40)
Coefficient of Performance (COP) Coefficient of performance dari steam ejector refrigeration system
ditunjukkan oleh rasio dari jumlah beban pendinginan evaporator dengan jumlah energi yang ditambahkan ke boiler. Pesamaan COP dapat dirumuskan melalui persamaan (2.41)
COP
hg evap h f cond hg boiler h f cond
(2.41)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Diagram Alir Penelitian Pada penelitian ini langkah – langkah penelitian mengacu pada diagram
alir pada Gambar 3.1 berikut: START
Studi pustaka dan membuat desain ejektor Konsultasi desain ejektor dengan pembimbing
Persiapan alat dan bahan
Pembuatan alat: 1. Boiler 2. Evaporator 3. Ejektor 4. Kondenser 5. Bed mesin
Pengambilan data dengan variasi area ratio throat
No
Tendensi hasil pengujian sesuai referensi jurnal?
A 52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
A
Yes
Analisa hasil dan pembahasan
Kesimpulan
END Gambar 3.1 Diagram alir penelitian. 3.2
Skema Alat Uji Penelitian
3.2.1
Skema Sistem Skema sistem yang digunakan untuk mengetahui performa steam ejector
yang dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Skema sistem alat uji. Keterangan: 1. Boiler 2. Evaporator
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
3. Ejector 4. Kondenser 5. Reservoir 6. Pompa 7. Pressure gauge 8. Orifice flow meter 9. Elemen pemanas
3.2.2
Skema Steam Ejector Penelitian ini menggunakan tipe ejector conventional dengan variasi
konfigurasi vertikal. Design steam ejector menggunakan program SolidWork 2014 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3. 3
1
Primary Fluid dari Boiler
4
2
Secondary Fluid dari Evaporator
Gambar 3.3 Skema steam ejector. 1. Primary Nozzle 2. Suction chamber 3. Convergence area 4. Mixing chamber 5. Diffuser
5
Mixed Fluid menuju Kondenser
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
3.2.2.1 Mixing chamber a.
Area Ratio Throat (L/D) = 6,25
Gambar 3.4 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 6,25. b. Area Ratio Throat (L/D) = 12,5
Gambar 3.5 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
c. Area Ratio Throat (L/D) = 18,75
Gambar 3.6 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 18,75.
3.3
Material Penelitian Pada penelitian ini akan digunakan air (R718) sebagai refrijeran pada
steam ejector refrigeration system. Sifat – sifat fisik air sebagai refrijeran dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Spesifikasi sifat – sifat fisik refrijeran air (R718) pada temperatur 15 °C dan tekanan 1 atm (Crowe, Clayton T., et. al., 2010). No
Parameter
Nilai
Satuan
1
Massa jenis
1,22
kg / m3
2
Viskositas kinematic
1,46 x 10-5
m2/s
3
Konstanta gas, R
287
J / kg K
4
Cp
1004
J / kg K
Material yang digunakan dalam menkonstruksi boiler dan evaporator adalah besi baja dengan ketebalan pipa 10 mm. Sedangkan untuk kondenser, material yang digunakan adalah stainless steel dengan ketebalan 2 mm. Ejector dikonstruksikan menggunakan material baja lunak (mild steel) dengan diameter raw material 3 inchi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Sedangkan untuk material yang digunakan pada pipa – U untuk mengukur debit aliran melalui orifice meter adalah mercury atau air raksa. Sifat – sifat fisik air raksa dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Spesifikasi sifat – sifat fisik air raksa pada 20 °C dan tekanan 1 atm (White, 1998).
3.4
No
Parameter
Nilai
Satuan
1
Massa jenis
13,550
kg / m3
2
Viskositas kinematic
1,56 x 10-5
m2/s
3
Konstanta gas, R
287
J / kg K
4
Bulk Modulus
2,55 x 1010
N/m2
Alat Penelitian Alat – alat yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:
1.
Steam ejector single phase dengan konfigurasi vertikal.
2.
Water heater dengan daya 2000 watt pada boiler dan 1000 watt pada evaporator.
3.
Alat ukur temperatur (thermocoupel) dipasang pada boiler, pada evaporator, pada input dan output kondenser.
4.
Alat pengukur tekanan manometer tabung bourdon (pressure gauge) pada boiler, pada evaporator, pada ejektor, dan pada kondenser.
5.
Alat pengukur debit aliran dengan plat orifis pada boiler dan pada evaporator.
6.
Roll meter untuk orifice boiler dan orifice evaporator.
7.
Temperature controller APPA.
8.
Stopwatch.
3.4.1
Steam Ejector Steam ejector yang digunakan pada penelitian ini berjenis single phase
ejector dengan konfigurasi vertikal, dapat dilihat pada Gambar 3.7. Spesifikasi steam ejector dapat dilihat pada Tabel 3.3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Gambar 3.7 Steam ejector. Tabel 3.3 Spesifikasi steam ejector. Parameter
Ukuran
Diameter nozzle
2 mm
Jarak NXP
0 mm
Diameter pipa secondary
33 mm
Diameter suction chamber
26,5 mm
Sudut konvergen suction chamber
18º
Diameter mixing chamber
8 mm
Sudut divergen diffuser
18,5º
Diameter diffuser
24 mm
Panjang steam ejector (tanpa
218,8 mm
mixing chamber) Panjang mixing chamber
a.
50 mm
b.
100 mm
c.
150 mm
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
3.4.2
Water Heater Water heater yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar
3.8 dan 3.9. Spesifikasi alat dapat dilihat pada Tabel 3.4 dan 3.5.
Gambar 3.8 Water heater daya 2000 watt. Tabel 3.4 Spesifikasi water heater 2000 watt. Product Name
Water Heater Element
Main Material
Stainless Steel
Rated Voltage
AC 220 V
Power
2 kW
Tube Diameter
10 mm / 0.39"
Overall Size(Approx.)
28 x 8,5 x 2.3 cm/ 11" x 3,3" x 0.9"(L*D*H)
Screw Dia
4 mm / 0,16"
Male Thread Diameter
16 mm / 0,6"
Color
Silver Tone
Weight
252 g
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Gambar 3.9 Water heater daya 1000 watt. Tabel 3.5 Spesifikasi water heater 1000 watt. Product Name
Electric Heating Tube
Design
U Shape
Material
Stainless steel
Rated voltage
AC 220 V
Power
1 kW
Bar Diameter
10 mm/0.39”
Heater Size
22 x 8 cm / 8.7” x 3,1” (L*W)
Thread diameter
15 mm / 0,59”, 4 mm / 0,16
Weight
212 g
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
3.4.3
Thermocouple Thermocouple yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar
3.10 dan spesifikasi alat pada Tabel 3.6.
Gambar 3.10 Thermocouple tipe K. Tabel 3.6 Spesifikasi Thermocouple. Specification
Value
Thermocouple Type
K
Overall Range, °C
-270 to 1370
0,1 °C resolution
-270 to 1370
0,025 °C resolution
270 to 1370
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
3.4.4
Pressure Gauge Bourdon Tube Pressure Gauge yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar
3.11 dan spesifikasi alat pada Tabel 3.7.
Gambar 3.11 Pressure gauge bourdon tube. Tabel 3.7 Spesifikasi pressure gauge bourdon tube.
3.4.5
Specification
Value
Bourdon Tube Type
Tekiro AU PG100C
Overall range, Bar
0 to 6
Overall range, psi
0 to 80
Resolution, Bar
0,25
Resolution psi
2,5
Orifice Plate Flowmeter Orifice plate adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur
laju aliran masa dari aliran, prinsip kerjanya aliran melewati orifice plate kemudian akan mengecil dan membentuk suatu daerah yang disebut vena contracta selanjutnya akan terjadi perbedaan tekanan aliran antara sebelum dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
setelah melewati orifice plate dan setelah itu laju aliran massa dari aliran dihitung menggunakan persamaan Bernoulli dan persamaan kontinuitas. Orifice plate dapat dilihat pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12 Orifice plate flowmeter. 3.4.6
Roll Meter Roll meter yang digunakan sebagai alat bantu ukur flowmeter dapat dilihat
pada Gambar 3.13
Gambar 3.13 Roll meter.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
3.4.6
Temperature Controller Temperature controller yang digunakan pada penelitian adalah digital
termometer APPA dapat dilihat pada Gambar 3.14 dengan spesifikasi temperature controller pada Tabel 3.8.
Gambar 3.14 Temperature controller APPA. Tabel 3.8 Spesifikasi temperature controller APPA. Type APPA 53II
Measurement Resolution Range -200ºC to 1372ºC
0.1ºC ≤ 1000ºC
K-type Accuracy ±0.3% + 1.1ºC at 210ºC to -100ºC; ±0.1% + 0.8ºC at -99ºC to -999.9ºC; ±0.3% + 1ºC at -1000ºC to -1200ºC
Temperature Coefficient 0.1 x (Spec Acc.) / ºC, < 18ºC or >ºC
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
3.4.8
Stopwatch Alat pencatat waktu disini digunakan untuk mengukur debit cooling water
pada kondenser yang dapat dilihat pada Gambar 3.15.
Gambar 3.15 Stopwatch. 3.5
Variabel Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memilih variabel bebas dan variabel terikat
sesuai dengan referensi penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meyer, A.J. et. al., 2008 dan Bando, et. al., 1990. Variabel bebas: a.
Tekanan pada primary flow 100 kPa, 200 kPa, 300 kPa, dan 400 kPa.
b. Suhu pada secondary flow adalah 50 °C, 60 °C, 70 °C dan 80 °C. c.
Panjang mixing chamber 50 mm, 100 mm, dan 150 mm.
Variabel terikat a.
Viskositas dinamik (dynamic viscosity)
b. Massa jenis (density) c.
Kecepatan (v)
d. Bilangan Renolds (Re)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
e.
) Laju aliran massa ( m
f.
Expansion ratio (ER)
g. Entrainment ratio (ω) 3.6
Prosedur Penelitian Prosedur pengujian ditampilkan melalui diagram alur pada Gambar 3.16.
Tekanan dan temperatur kerja pada ejektor mengacu pada penelitian Meyer, A.J. et. Al., 2008 dan Bando, et. Al., 1990, seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.9 Tabel 3.9 Tekanan dan temperatur kerja pada ejektor. Tekanan Boiler
Temperatur Evaporator
400 kPa
80 °C
300 kPa
70 °C
200 kPa
60 °C
100 kPa
50 °C
Temperatur Kondenser
27 °C
Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga bagian penting, yaitu persiapan sistem, pengambilan data, dan rekondisi dan sirkulasi sistem. Persiapan sistem penelitian berupa proses input air ke dalam boiler, evaporator, dan kondenser; proses pemanasan boiler dan evaporator; dan setting nol alat ukur. Kemudian dimulai proses pengambilan data, dimana laju aliran massa primary fluid dan secondary fluid diukur dengan melihat perbedaan tekanan pada manometer pipa U. Selain itu temperatur pada boiler, evaporator, kondenser, dan ejektor diukur menggunakan thermocouple dan tekanan boiler diukur menggunakan pressure gauge. Prosedur pengambilan data ditampilkan pada Gambar 3.16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
START
Input air pada boiler, evaporator, dan kondenser. Konfigurasi area ratio throat: 6,25 Heater boiler dan evaporator dihidupkan
Setting hingga tekanan boiler, temperatur evaporator, dan temperatur kondenser sesuai Tabel 3.9
No
Tekanan boiler dan temperatur evaporator sesuai?
Yes
Primary valve dibuka, selisih ketinggian merkuri pada pipa U diukur untuk menghitung debit (Q). Primary temperature diukur dengan temperature controller.
Secondary valve dibuka, selisih ketinggian merkuri pada pipa U diukur untuk menghitung debit (Q). Perubahan temperatur secondary diukur dengan temperature controller.
Tekanan pada outlet ejektor diukur dengan manometer pipa U. Temperatur pada outlet ejektor diukur dengan temperature controller
A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
A
Mengganti konfigurasi tekanan dan temperatur kerja ejektor sesuai dengan variasi pada Tabel 3.9
Mengganti mixing chamber dengan area ratio throat: 12,5 dan 18,75
Setting ulang tekanan dan temperatur boiler, evaporator, dan kondenser. Kemudian mengulang langkah percobaan dari awal untuk setiap variasi throat.
END Gambar 3.16 Skema prosedur pengujian.
3.7
Skematika Penulisan Penulisan laporan penelitian ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu
pendahuluan, landasan teori, metodologi penelitian, hasil dan pembahasan, kesimpulan, daftar pustaka, dan lampiran. Pendahuluan berisi mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, originalitas penelitian, dan manfaat penelitian. Landasan teori mengenai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan informasi penelitian terdahulu steam ejector dan efek variasi mixing chamber pada ejector. Metodologi penelitian berisi tentang persiapan pengujian dan proses pengujian. Hasi dan pembahasan berisikan data – data hasil pengujian dan analisa data berdasarkan teori yang ada dari berbagai sumber. Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran yang diambil dari hasil analisis pada bagian hasil dan pembahasan. Daftar pustaka berisi semua referensi yang digunakan atau diacu dalam pembuatan penelitian. Lampiran memuat hal – hal yang perlu disertakan untuk lebih memperjelas isi penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Pengaruh Primary Pressure dan Secondary Temperature Terhadap Entrainment Ratio Pengaruh primary pressure dan secondary temperature pada steam ejector
dengan area ratio throat 6,25 ditunjukkan pada Gambar 4.1. Hasil percobaan menunjukkan terjadi kenaikan entrainment ratio pada tekanan 200 kPa untuk semua kondisi secondary temperature, kemudian terjadi penurunan entrainment ratio seiring bertambahnya primary pressure. Peningkatan primary pressure yang melewati nozzle menyebabkan penurunan entrainment ratio dari steam ejector pada semua kondisi secondary temperature. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi primary pressure maka sudut ekspansi dari aliran primary fluid yang keluar dari ujung nozzle akan semakin besar. Sudut ekspansi yang semakin besar menyebabkan entrainment region pada suction chamber semakin kecil, sehingga secondary fluid lebih sedikit terhisap (Chandra, et al., 2014). Selain itu kenaikan primary pressure secara langsung menyebabkan mass flow rate dari primary fluid meningkat sehingga nilai entrainment ratio menurun. Ejektor memiliki nilai optimum entrainment ratio pada primary pressure 200 kPa dan secondary temperature 70 °C dengan nilai ω = 0,62. Fenomena ini terjadi disebabkan karena aliran primary fluid pada tekanan 100 kPa belum memiliki sudut ekspansi yang memadai untuk mengasilkan entrainment region (Chunnanond, K., 2004). Hal tersebut juga menyebabkan entrainment ratio pada tekanan 100 kPa bernilai negatif, karena aliran primary fluid masuk ke dalam evaporator. Nilai secondary temperature pada percobaan dengan variasi area ratio throat 6,25 tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan entrainment ratio. Hal tersebut disebabkan karena panjang throat terlalu pendek
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
sehingga perpindahan momentum antara kedua aliran primary dan secondary tidak terjadi secara sempurna (Li, C, et al., 2011).
0.8
Entraintment Ratio
0.4 0.0 -0.4 -0.8
Secondary temp. (°C) 80 Secondary temp. (°C) 70 Secondary temp. (°C) 60 Secondary temp. (°C) 50
-1.2 0
100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature terhadap entrainmenmet ratio pada variasi area ratio throat 6,25.
Hasil percobaan untuk variasi area ratio throat 12,5 ditunjukkan pada Gambar 4.2. Nilai entrainment ratio steam ejector menurun seiring dengan kenaikan primary pressure. Kenaikan primary pressure secara langsung menyebabkan mass flow rate dari primary fluid meningkat sehingga nilai entrainment ratio menurun. Selain itu fenomena tersebut terjadi karena semakin tinggi primary pressure maka sudut ekspansi dari primary fluid yang keluar dari ujung nozzle semakin besar. Sudut ekspansi yang semakin besar menyebabkan entrainment region pada suction chamber semakin kecil, sehingga secondary fluid lebih sedikit terhisap (Chandra, et al., 2014). Hal tersebut juga terjadi untuk hasil percobaan pada variasi area ratio throat 18,75. Nilai entrainment ratio maksimum pada variasi area ratio throat 12,5 diperoleh pada primary pressure 100 kPa dan secondary temperature 80 °C dengan nilai ω = 0.97. Fenomena ini terjadi karena throat lebih panjang dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
variasi sebelumnya sehingga aliran primary fluid memasuki daerah fully developed flow region. Selain itu aliran primary fluid memiliki sudut ekspansi yang optimum sehingga menghasilkan entrainment region yang cukup besar untuk menghisap secondary fluid. Secondary temperature memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap nilai entrainment ratio pada percobaan dengan variasi area ratio throat 12,5. Kenaikan secondary temperature menyebabkan nilai critical back pressure semakin meningkat, sehingga back pressure yang terjadi tidak sampai melebihi batas critical back pressure dari ejektor (Chandra, et al., 2014). Namun terjadi fenomena dimana pada secondary temperature 50 °C, nilai entrainment ratio tetap berada diatas nilai 0. Hal tersebut dapat disebabkan oleh back pressure yang terjadi didalam mixing chamber tidak melebihi nilai critical back pressure pada kondisi temperatur 50 °C.
Secondary temp. (°C) 80 Secondary temp. (°C) 70 Secondary temp. (°C) 60 Secondary temp. (°C) 50
1.2
Entrainment Ratio
0.8 0.4 0.0 -0.4 -0.8 0
100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 12,5.
Gambar 4.3 menunjukkan pengaruh primary pressure dan secondary temperature terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 18,75. Sama seperti variasi sebelumnya, terjadi penurunan nilai entrainment ratio seiring
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dengan kenaikan primary pressure. Secondary temperature memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai entrainment ratio seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.3. Hal tersebut disebabkan karena kenaikan secondary temperature juga meningkatkan nilai critical back pressure pada ejektor (Chandra, et al., 2014). Nilai optimum ejektor dengan variasi area ratio throat 18,75 terjadi pada primary pressure 100 kPa dan secondary temperature 80 °C dengan nilai ω = 1.
Secondary Temp. C) 80 Secondary Temp. C) 70 Secondary Temp. C) 60 Secondary Temp. C) 50
Entrainment Ratio
1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
0 100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 18,75. 4.2
Pengaruh Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio Pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio ditunjukkan pada
Gambar 4.4 untuk kondisi secondary temperature 50 °C. Hasil percobaan menunjukkan peningkatan entrainment ratio yang signifikan untuk variasi area ratio throat 12,5 dan 18,75. Fenomena ini disebabkan karena pada variasi area ratio throat 6,25 panjang throat terlalu pendek sehingga perpindahan momentum antara kedua aliran primary dan secondary tidak terjadi secara sempurna (Li, C., et al., 2011). Sedangkan untuk variasi lain, perpindahan momentum terjadi lebih baik karena memiliki throat yang lebih panjang sehingga menghasilkan nilai entrainment ratio yang lebih tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Nilai entrainment ratio optimum pada variasi secondary temperature 50 °C terjadi pada primary pressure 100 kPa dan pada variasi area ratio throat 12,5 dengan nilai ω = 0,71. Fenomena ini terjadi karena panjang throat pada variasi area ratio throat 18,75 menyebabkan penurunan tekanan mixed fluid yang diakibatkan oleh gesekan yang cukup besar pada daerah sebelum terjadinya pseudo shock. Pseudo shock adalah gelombang kejut atau shock wave yang dihasilkan oleh penurunan tekanan secara tiba – tiba yang diakibatkan oleh pengecilan penampang pada ujung nozzle (Li, C., et al., 2011). Sedangkan untuk variasi area ratio throat 12,5 tidak terjadi gesekan yang terlalu besar sehingga transfer momentum terjadi secara sempurna (Dirix, et al., 1990).
0.8
Entrainment Ratio
0.4 0.0 -0.4 -0.8 Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
-1.2 0 100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.4 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 50 °C. Hasil percobaan untuk variasi secondary temperature 60 °C ditunjukkan oleh Gambar 4.5. Secara keseluruhan hasil percobaan menunjukkan fenomena yang serupa seperti variasi secondary temperature 50 °C, dengan nilai entrainment ratio optimum pada ω = 0,77 untuk variasi area ratio throat 12,5. Namun terlihat nilai entrainment ratio yang selalu positif untuk variasi area ratio throat 18,75. Hal tersebut terjadi karena aliran mixed fluid yang memasuki throat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
mixing chamber merupakan fully developed flow. Aliran fully developed dapat dicapai jika panjang throat memadai sesuai dengan Gambar 2.29 yang menjelaskan teori aliran dalam pipa. Aliran yang berupa fully developed menyebabkan shock wave yang terjadi di dalam mixing chamber lebih kecil, sehingga nilai entrainment ratio lebih tinggi daripada variasi yang lain (Li, C, et al., 2011).
1.2
Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
Entrainment Ratio
0.8 0.4 0.0 -0.4 -0.8 0 100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.5 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 60 °C. Hasil percobaan untuk variasi secondary temperature 70 °C dan 80 °C ditunjukkan oleh Gambar 4.6 dan 4.7. Kedua hasil percobaan menunjukkan fenomena yang hampir sama, dimana entrainment ratio untuk semua variasi primary pressure selalu menunjukkan nilai positif untuk area ratio throat 18,75. Pada variasi secondary temperature 70 °C, nilai optimum entrainment ratio terjadi pada variasi area ratio throat 12,5 pada tekanan 100 kPa dengan nilai ω = 0,91. Sedangkan untuk kondisi secondary temperature 80 °C nilai optimum entrainment ratio terjadi pada area ratio throat 18,75 dan tekanan 100 kPa dengan nilai ω = 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
1.0
Entrainment Ratio
0.5 0.0 -0.5 -1.0
Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
-1.5 0 100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.6 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 70 °C.
1.0
Entrainment Ratio
0.5 0.0 -0.5 -1.0
Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
-1.5 0 100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.7 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada secondary temperature 80 °C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
4.3
Pengaruh Expansion Ratio Terhadap Entrainment Ratio Expansion ratio merupakan rasio perbandingan antara primary pressure
terhadap secondary pressure, dimana hubungan kedua kondisi tersebut ditampilkan pada Gambar 4.8. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semakin tinggi primary pressure maka nilai expansion ratio akan semakin naik. Nilai secondary pressure sangat ditentukan oleh temperaturnya, karena tekanan dan temperatur berbanding lurus (White, 1998). Semakin rendah secondary temperature maka semakin tinggi nilai expansion ratio karena memiliki hubungan perbandingan terbalik.
35
Secondary temp. (°C) 80 Secondary temp. (°C) 70 Secondary temp. (°C) 60 Secondary temp. (°C) 50
Expansion Ratio
28
21
14
7
0
0 100
200
300
400
Primary Pressure (kPa)
Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary pressure terhadap expansion ratio pada ketiga variasi area throat ratio 6,25, 12,5, dan 18,75. Pengaruh expansion ratio pada ketiga jenis variasi area ratio throat pada tekanan 100 kPa ditampilkan pada Gambar 4.9. Nilai entraiment ratio optimum terjadi pada variasi area ratio throat 18,75 dengan nilai ω = 1. Pada tekanan 100 kPa, nilai entrainment ratio untuk variasi area ratio throat 6,25 selalu berada pada nilai negatif, hal ini disebabkan panjang throat terlalu pendek sehingga perpindahan momentum antara kedua aliran primary dan secondary tidak terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
secara sempurna (Li, C, et al., 2011). Namun pada kedua variasi yang lain, perpindahan momentum terjadi dengan baik dan menghasilkan nilai entrainment ratio yang selalu positif. Kenaikan nilai expansion ratio menyebabkan penurunan entrainment ratio. Fenomena ini terjadi karena turunnya nilai critical back pressure yang berbanding lurus dengan secondary temperature (Li, C, et al., 2011). Nilai entrainment ratio optimum diperoleh pada nilai expansion ratio (ER) 2,1 dengan variasi area ratio throat 18,75. Fenomena ini terjadi karena pada expansion ratio tersebut kondisi secondary temperature yang paling tinggi (high critical back pressure) dan mixing chamber memiliki throat yang paling panjang sehingga aliran berupa fully developed (White, 1998). Aliran yang melewati throat memiliki shock wave yang lebih kecil sehingga memperbesar momentum transfer antara kedua fluida sehingga meningkatkan entrainment ratio (Li, C, et al., 2011).
Entrainment Ratio
1.2 0.6 Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
0.0 -0.6 -1.2 -1.8 0.0
2
4
6
8
Expansion Ratio
Gambar 4.9 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 100 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada tekanan 200 kPa untuk ketiga jenis variasi area ratio throat ditunjukkan pada Gambar 4.10. Nilai optimum entrainment ratio untuk tekanan 200 kPa adalah 0,68 dengan variasi area ratio throat 12,5 dan expansion ratio 4,2. Hasil percobaan secara keseluruhan menunjukkan fenomena yang serupa seperti pada variasi tekanan 100 kPa, dimana terjadi penurunan entrainment ratio seiring peningkatan nilai expansion ratio. Namun pada variasi area ratio throat 6,25 nilai entrainment ratio telah menunjukkan nilai positif. Hal ini disebabkan karena ejektor telah memiliki compression effect pada tekanan 200 kPa walaupun throat memiliki panjang yang paling pendek (Chandra, et al., 2014).
Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
Entrainment Ratio
0.77 0.70 0.63 0.56 0.49 0.42 0.0
0
4
8
12
16
Expansion Ratio
Gambar 4.10 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 200 kPa. Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada tekanan 300 kPa ditampilkan pada Gambar 4.11. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketiga jenis variasi throat memiliki fenomena yang berbeda seiring dengan kenaikan expansion ratio. Hasil percobaan menunjukkan nilai optimum entrainment ratio pada tekanan 300 kPa dihasilkan oleh variasi area ratio throat 18,75 dan ER 6,3 dengan nilai ω = 0,59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Variasi area ratio throat 18,75 memiliki fenomena yang serupa dengan variasi tekanan 100 kPa dan 200 kPa, dimana terjadi penurunan nilai entrainment ratio dengan kenaikan expansion ratio. Namun pada variasi area ratio throat 12,5, terjadi peningkatan entrainment ratio seiring dengan kenaikan expansion ratio. Fenomena ini dapat terjadi karena pada range ER 5 sampai 15 terjadi back pressure yang melebihi nilai critical back pressure. Back pressure dapat disebabkan oleh kenaikan suhu kondenser (Chandra, et al., 2014). Sedangkan saat ER berada diatas 20, back pressure tidak melebihi nilai critical back pressure karena air pada kondenser kembali disirkulasi dengan baik. Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 6,25 dengan tekanan 300 kPa memiliki fenomena yang berbeda dengan variasi area ratio throat yang lain. Pada range ER 5 sampai 7, nilai entrainment ratio menunjukkan nilai negatif. Hal ini dapat disebabkan karena back pressure yang terjadi pada ejektor melebihi nilai critical back pressure. Back pressure yang tinggi disebabkan oleh naiknya suhu kondenser karena terjadi perpindahan kalor di dalam tangki kondenser. Sedangkan untuk range ER 10 sampai 25, nilai entrainment ratio bertanda positif karena nilai critical back pressure yang lebih tinggi. Selain itu terjadi fenomena penurunan nilai entrainment ratio yang serupa dengan variasi area ratio throat 18,75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
0.9
Entraiment Ratio
0.6 0.3 0.0 -0.3 Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
-0.6 -0.9 0
7
14
21
28
Expansion Ratio
Gambar 4.11 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 300 kPa. Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada tekanan 400 kPa dengan tiga variasi area throat ratio ditunjukkan oleh Gambar 4.12. Nilai entrainment ratio optimum diperoleh pada nilai 0,43 dengan ER 8,4 pada variasi area ratio throat 18,75. Hasil percobaan pada variasi area ratio throat menunjukkan fenomena yang serupa dengan variasi tekanan 100 kPa, 200 kPa, dan 300 kPa. Sedangkan hasil percobaan dengan variasi area ratio throat pada tekanan 400 kPa menunjukkan peningkatan entrainment ratio saat expansion ratio melebihi 25. Hal tersebut dapat terjadi karena terjadi back pressure yang melebihi nilai critical back pressure ejektor. Back pressure dipengaruhi oleh suhu air kondenser yang meningkat karena perpindahan kalor (Chandra, et al., 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
0.9
Area Ratio Throat 6.25 Area Ratio Throat 12.50 Area Ratio Throat 18.75
Entrainment Ratio
0.6 0.3 0.0 -0.3 -0.6 0
8
16
24
32
Expansion Ratio
Gambar 4.12 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 400 kPa 4.4
Pengaruh Entrainment Ratio Terhadap Coefficient of Performance Steam Ejector Refrigeration System Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP)
steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 50 °C ditunjukkan pada Gambar 4.13 sampai 4.15 untuk ketiga variasi area ratio throat. Hasil percobaan menunjukkan peningkatan COP seiring dengan kenaikan nilai entrainment ratio. Hal tersebut disebabkan karena besar laju aliran massa pada evaporator dan laju aliran massa boiler sangat berpengaruh terhadap nilai kalor (Q) evaporator dan boiler. Nilai COP dan entrainment ratio yang hampir sama ini menyebabkan grafik berbentuk garis lurus dengan sudut kemiringan 45°. Nilai COP tertinggi dari ketiga variasi area ratio throat pada secondary temperature 50°C diperoleh pada variasi area ratio throat 12,5 dengan nilai COP 0,68. Hasil ini disebabkan karena aliran fluida yang melewati throat berupa fully developed sehingga shock wave yang terjadi lebih kecil, sehingga menghasilkan nilai entrainment ratio yang maksimum (Li, C, et al., 2011).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
0.9
Entrainment Ratio
Area Ratio Throat 6.25
0.6 0.3 0.0 -0.3 -0.6 -0.8
-0.4
0.0
0.4
COP
Gambar 4.13 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
Entrainment Ratio
0.77 Area Ratio Throat 12.5
0.66 0.55 0.44 0.33 0.22 0.0 0.0
0.28
0.42
0.56
0.70
COP
Gambar 4.14 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
0.8 Area Ratio Throat 18.75
Entrainment Ratio
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.0 0.0
0.33
0.44
0.55
0.66
COP
Gambar 4.15 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP) steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 60 °C ditunjukkan pada Gambar 4.20 sampai 4.22 untuk ketiga variasi area ratio throat. Fenomena kenaikan COP disertai dengan peningkatan nilai entrainment ratio terjadi serupa dengan percobaan sebelumnya pada kondisi secondary temperature 50 °C. Nilai COP tertinggi diperoleh pada variasi area ratio throat 12,5 dengan nilai COP 0,74. Fenomena ini disebabkan karena aliran fluida yang melewati throat berupa fully developed sehingga shock wave yang terjadi lebih kecil, sehingga menghasilkan nilai entrainment ratio yang maksimum (Li, C, et al., 2011). Hasil percobaan juga menunjukkan peningkatan COP dari variasi secondary temperature sebelumnya 50 °C. Menurut Chandra, et al., (2014), hal ini disebabkan oleh kenaikan critical back pressure seiring dengan naiknya secondary temperature sehingga back pressure yang terjadi di dalam ejektor tidak mempengaruhi entainment ratio.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Entrainment Ratio
0.50
Area Ratio Throat 6.25
0.25 0.00 -0.25 -0.50 -0.75 -0.8
-0.4
0.0
0.4
COP
Gambar 4.16 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
0.84
Entrainment Ratio
Area Ratio Throat 12.5
0.56 0.28 0.00 -0.28 -0.56 -0.5
0.0
0.5
1.0
COP
Gambar 4.17 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
0.8 Area Ratio Throat 18.75
Entrainment Ratio
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.0 0.0 0.26
0.39
0.52
0.65
COP
Gambar 4.18 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP) steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 70 °C ditunjukkan pada Gambar 4.23 sampai 4.25 untuk ketiga variasi area ratio throat. Fenomena kenaikan COP disertai dengan peningkatan nilai entrainment ratio terjadi serupa dengan percobaan sebelumnya pada kondisi secondary temperature 50 °C dan 60 °C. Nilai COP tertinggi diperoleh pada variasi area ratio throat 12,5 dengan nilai COP 0,88. Fenomena tersebut sama seperti pada variasi secondary temperature sebelumnya, dimana throat mampu menghasilkan aliran fully developed sehingga dicapai nilai entrainment ratio maksimum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
1.0
Entrainment Ratio
Area Ratio Throat 6.25
0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -1.6
-0.8
0.0
0.8
COP
Gambar 4.19 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
0.9
Entrainment Ratio
Area Ratio Throat 12.5
0.6 0.3 0.0 -0.3 -0.6 -0.5
0.0
0.5
1.0
COP
Gambar 4.20 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
0.84
Entrainment Ratio
Area Throat Ratio 18.75
0.70
0.56
0.42 0.00 0.0
0.39
0.52
0.65
0.78
COP
Gambar 4.21 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP) steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 80 °C ditunjukkan pada Gambar 4.26 sampai 4.28 untuk ketiga variasi area ratio throat. Fenomena kenaikan COP disertai dengan peningkatan nilai entrainment ratio terjadi serupa dengan percobaan sebelumnya pada kondisi secondary temperature 50 °C, 60 °C, dan 70 °C. Nilai COP tertinggi diperoleh pada variasi area ratio throat 18,75 dengan nilai COP 0,98. Fenomena yang terjadi berbeda dengan ketiga variasi secondary temperature sebelumnya, dimana throat dengan area ratio throat 18,75 mampu menghasilkan aliran fully developed pada temperatur yang tinggi. Menurut Dirix, et al., (1990), kenaikan temperatur secondary fluid menyebabkan perpindahan momentum yang lebih besar sehingga memerlukan throat yang lebih panjang sehingga mixed flow mencapai fully developed pada mixing chamber.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
0.8 Area Throat Ratio 6.25
Entrainment Ratio
0.4 0.0 -0.4 -0.8 -1.2 -1.2
-0.6
0.0
0.6
COP
Gambar 4.22 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
0.9
Entrainment Ratio
Area Ratio Throat 12.5
0.6 0.3 0.0 -0.3 -0.6 -0.5
0.0
0.5
1.0
COP
Gambar 4.23 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
1.04 Area Ratio Throat 18.75
Entrainment Ratio
0.91 0.78 0.65 0.52 0.39 0.0 0.0
0.4
0.6
0.8
1.0
COP
Gambar 4.24 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh area
ratio throat pada mixing chamber steam ejector refrigeration system, maka dapat disimpulkan sesuai dengan tujuan dari penelitian: 1.
Variasi peningkatan primary pressure secara umum menyebabkan menurunnya nilai entrainment ratio secara signifikan, hal ini disebabkan karena semakin tinggi primary pressure maka mass flow rate primary fluid akan semakin meningkat. Sedangkan peningkatan secondary temperature secara umum menyebabkan kenaikan nilai entrainment ratio, fenomena ini terjadi karena meningkatnya secondary temperature menyebabkan nilai critical back pressure naik sehingga back pressure yang terjadi pada ejektor tidak melebihi nilai critical. Hasil percobaan menunjukkan nilai optimum entrainment ratio diperoleh pada variasi primary pressure 100 kPa dengan secondary temperature 80°C dengan nilai ω = 1,00.
2.
Variasi peningkatan area ratio throat pada mixing chamber menyebabkan peningkatan nilai entrainment ratio steam ejector secara signifikan. Nilai entrainment ratio optimal steam ejector diperoleh pada variasi area ratio throat 18.75 yang bekerja pada primary pressure 100 kPa dan secondary temperature 80°C dengan nilai ω = 1,00. Fenomena ini terjadi diakibatkan panjang throat pada area ratio throat 18,75 mampu menghasilkan fully developed flow sehingga shock waves yang terjadi lebih sedikit dan transfer momentum antara kedua fluida terjadi secara lebih sempurna.
3.
Variasi peningkatan nilai expansion ratio menyebabkan penurunan nilai entrainment ratio. Nilai entrainment ratio optimum tercapai pada nilai expansion ratio / ER = 2,1 variasi area ratio throat 18.5 dengan nilai ω = 1,00.
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
4.
Kenaikan entrainment ratio mempengaruhi peningkatan coefficient of performance dari steam ejector refrigeration system. Nilai entrainment ratio pada semua variasi primary pressure, secondary pressure, dan area ratio throat hampir sama dengan nilai COP semua variasi, dimana nilai COP maksimum dari steam ejector refrigeration system adalah 0,98.
5.2
Saran Dari penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang perlu dicermati
dan diperbaiki yaitu sebagai berikut: 1.
Hasil penelitian akan lebih maksimal bila menggunakan alat ukur digital flowmeter dan thermodisplay yang sesuai, sehingga hasil pengukuran lebih akurat bila dibandingkan dengan menggunakan orifice plate flowmeter karena rugi – rugi gesekan sangat besar.
2.
Konstruksi pipa evaporator akan lebih baik juga ujung pipa sampai pada dasar evaporator, sehingga air bisa terhisap dan memasuki ejektor.
3.
Electric heater yang digunakan pada evaporator dan boiler dapat ditingkatkan lagi dayanya sehingga mempercepat proses pre – heating.
4.
Perlu diteliti lebih lanjut kontur tekanan dan kecepatan didalam ejector karena dapat membantu proses analisis.
5.
Penelitian dapat dikembangkan lagi untuk jenis refrigerant lain dan menambah variasi area ratio throat.
6.
Penelitian dapat dikembangkan lagi untuk meneliti pengaruh temperatur kondenser terhadap entrainment ratio steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Alexis, G.K., Katsanis, J.S., 2004, Performance characteristics of a methanol ejector refrigeration unit, Energy Conversion and Management, 45, 2729 – 2744.
Aphornratana, S., Eames, I. W., 1997, A small capacity steam – ejectorrefrigerator: experimental investigation of a system using ejector with movable primay nozzle, International Journal Refrigeration. 20(5), 352 –358. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014, Outlook Energi Indonesia, 2014, Pengembangan Energi dalam Mendukung Program Substitusi BBM, Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi (PTPSE), Jakarta. Bando, Y., Kuraishi, M., Nishimura, M., Takeshita, I., 1990, The characteristics of a bubble column with a gas-suction type, simultaneous gas–liquid injection- nozzle. International Chemical Engineering, 30, 729 -737. Cardemil, J.M., Colle, S., 2012, A general model for evaluation of vapor ejectors performance for application in refrigeration, Energy Conversion and Management, 64, 79 – 86. Chandra, Vineet V., Ahmed, M.R., 2014, Experimental and computational studies on a steam jet refrigeration system with constant area and variable area ejectors, Energy Conversion and Management, 79, 377 – 386. Chen, J., Havtun, H., Palm, B., 2014, Parametic Analysis of ejector working characteristics in the refrigeration system, Applied Thermal Engineering, 69, 130 – 142. Chen, Y.M., Sun, C.Y., 1997, Experimental study of the performance characteristics of a steam-ejector refrigeration system, Experimental Thermal and Fluid Science, 15, 384 – 394. Chunnanond, K., Aphornratana, S., 2003, An experimental investigation of a steam ejector: the analysis of the pressure profile along the ejector, Applied Thermal Engineering, 24, 311 – 322. Crowe, Clayton T., et. al., 2010, Engineering Fluids Mechanics, John Wiley & Sons, Danvers, 412 – 415. Cullen, J.M., Allwood, J.M., 2010, Theoretical efficiency limits for energy conservation devices, Energy, 35, 2059 – 2069
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Dirix, C.A.M.C., van der Wiele, K., 1990, Mass transfer in jet loop Reactors, Chemical Engineering Science, 45, 2333–2340. Forman,C., Muritala, I. K., Pardemann, R., Meyer, B., 2016, Estimating the global waste heat potential, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 57, 1568 – 1579. Harinaldi, Budiarso, 2015, Sistem Fluida, Penerbit Erlangga, Jakarta, 7 – 19. Hodge, B.K., Koening, Keith, 1995, Compressible Fluid Dynamics, Prentice Hall International Editions, New Jersey, 29 – 30. Jia, Yan, Wenjian, Cai, 2011, Area ratio effects to the performance of air cooled ejector refrigeration cycle with R134a refrigerant, Energy Conversion and Management, 53, 240-246. Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2015, Laporan Kinerja Kementrian Perindustrian Tahun 2014, Biro Perencaan, Jakarta. Kong, F.S., et. al., 2013, Application of Chevron nozzle to a supersonic ejector diffuser system, Procedia Engineering, 56, 193 – 200. Lu, Hongyou, Price, Lynn, Zhang, Qi, 2015, Capturing the invisible resource: Analysis of waste heat potential in Chinese industry, Applied Energy, 16, 497 – 511. Li,C.,Li, Y.Z., 2010, Investigation of entrainment behavior and characteristics of gas liquid ejectors based on CFD simulation, Chemical Engineering Science, 66, 405-416. Meyer, A.J., Harms, T.M., Dobson, R.T., 2008, Steam jet ejector cooling powered by waste or solar heat, Renewable Energy, 34, 297 – 306. Munson, Bruce R., Young, Donald F., Okiishi, Theodore H., 2003, Mekanika Fluida, Penerbit Erlangga, Jakarta. Moran, Michael J., Shapiro, Howard N., 2006, Fundamental of Engineering Thermodynamics, John Wiley & Sons, Inc.,West Susex, 720 – 721. Olson, Reuben M., Wright, Steven J., 1998, Dasar – dasar Mekanika Fluida Teknik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 422 - 423 Pereira, P.R., et. al., 2014, Experimental result with a variable geometry ejector using R600a as working fluid, International Journal of Refrigeration, 46, 77 – 85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Sharifi, N., Sharifi M., 2014, Reducing energy consumption of a steam ejector through experimental optimization of the nozzle geometry, Energy, 66, 860 – 867. Sriveerakul, T., Aphornratana, S., Chunnanond, K., 2006, Performance predicton of steam ejector using computational fluid dynamics: Part 1. Validation of the CFD results, International Journal of Thermal Sciences,46, 812 – 822. Triatmodjo, Bambang, 2014, Hidraulika, Beta Offset, Yogyakarta. U.S. Department of Energy, 2008, Waste heat recovery: technology and opportunities in the U.S. Industry, Industrial Technologies Program. Valle, J. G., et. al., 2011, A one dimensional model for the determination of an ejector entrainment ratio, International Journal of Refrigeration, 35,772 – 784 White, Frank M., 1998, Fluid Mechanics, WCB McGraw-Hill, Boston. Yadav, R.L., Patwardhan, A.W., 2008, Design aspects of ejectors: Effects of suction chamber geometry, Chemical Engineering Science,63, 3886 – 3897 Zhu, Yinhai, Jiang, Peixue, 2013, Experimental and numerical investigation of the effect of shock wave characteristics on the ejectorperformance, International Journal of Refrigeration, 40, 31 - 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93
Lampiran A.1 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 6.25 Boiler
Evaporator
Outlet Ejector
P
T
Δh
T₁
T₂
Δh
T
(kPa)
(°C)
(mm)
(°C)
(°C)
(mm)
(°C)
110.1
4.0
80.0
79.8
-0.1
96.9
0.4
112.6
3.0
70.0
69.4
-0.4
96.4
0.3
111.5
6.0
60.0
59.6
-0.3
96.5
0.2
113.2
5.0
50.0
49.5
-0.2
97.1
-0.1
120.5
13.0
80.0
79.8
0.0
93.4
0.8
118.3
11.0
70.0
69.9
0.1
95.1
0.6
122.0
14.0
60.0
59.6
0.1
94.7
0.4
123.0
12.0
50.0
49.8
0.2
96.8
0.2
130.4
20.0
80.0
79.5
-0.4
91.9
0.6
130.8
20.6
70.0
69.8
0.2
94.3
1.0
130.1
23.0
60.0
59.9
0.6
90.9
-0.4
129.5
20.0
50.0
49.6
0.4
90.3
-1.0
139.2
34.0
80.0
79.9
-1.0
91.6
0.5
140.8
31.0
70.0
69.3
-0.8
96.3
-0.2
141.6
35.0
60.0
59.6
-0.6
95.5
0.6
140.6
35.4
50.0
49.2
0.5
90.2
1.0
100.0
200.0
300.0
400.0
Δh (mm)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94
Lampiran A.2 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 12.5 Boiler P (kPa)
100.0
200.0
300.0
400.0
Evaporator
Outlet Ejector
T
Δh
T₁
T₂
Δh
T
Δh (mm)
(°C)
(mm)
(°C)
(°C)
(mm)
(°C)
110.5
8.8
80.0
79.8
0.6
97.7
-0.6
109.8
8.0
70.0
69.7
0.7
96.6
-0.2
109.5
7.0
60.0
59.8
0.4
96.7
-0.2
110.0
7.2
50.0
49.5
0.7
97.2
-0.4
123.5
13.2
80.0
79.6
0.2
94.0
-0.5
123.1
14.6
70.0
69.6
0.3
93.9
-0.2
122.7
15.0
60.0
59.5
0.2
95.1
0.4
122.5
14.0
50.0
49.7
0.3
95.6
-0.5
131.1
20.0
80.0
79.8
-0.1
92.1
1.4
130.7
22.0
70.0
69.4
-0.3
96.5
0.4
131.5
20.6
60.0
59.6
-0.2
92.4
1.8
131.0
21.0
50.0
49.7
0.2
91.5
0.6
140.2
33.6
80.0
79.8
-0.2
89.6
2.0
140.5
34.8
70.0
69.7
-0.2
86.3
-0.5
139.3
34.2
60.0
59.8
-0.1
88.6
1.0
140.1
33.0
50.0
49.9
0.2
89.4
-0.5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95
Lampiran A.3 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 18.75 Boiler
Evaporator
Outlet Ejector
P
T
Δh
T₁
T₂
Δh
T
Δh
(kPa)
(°C)
(mm)
(°C)
(°C)
(mm)
(°C)
(mm)
109.8
8.2
80.0
79.6
0.6
96.1
-0.5
110.4
7.2
70.0
69.6
0.2
98.3
-0.6
110.1
8.8
60.0
59.7
0.3
98.4
-0.4
110.0
8.0
50.0
47.8
0.6
97.4
-0.4
122.8
15.0
80.0
78.8
0.3
95.5
-0.8
122.5
14.0
70.0
69.2
0.4
98.2
-0.5
123.0
12.6
60.0
59.8
0.6
98.1
-0.5
122.7
14.2
50.0
49.5
0.3
95.1
-0.5
130.9
21.6
80.0
78.6
0.4
94.1
1.6
130.8
21.0
70.0
69.4
0.5
93.4
1.8
131.4
21.4
60.0
59.8
0.2
94.0
0.8
131.1
22.0
50.0
49.8
0.6
88.4
2.6
140.5
33.8
80.0
79.6
0.2
92.4
6.8
140.3
34.0
70.0
69.7
0.4
87.2
6.4
140.2
35.2
60.0
59.8
0.1
88.7
3.9
139.5
34.6
50.0
49.9
0.4
85.8
4.1
100.0
200.0
300.0
400.0
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96
Lampiran B.1 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 6.25 Boiler
Evaporator
P (kPa)
T₁ (°C)
Ratio
Ratio
80.00
-1.10
2.11
-1.08
70.00
-1.34
3.21
-1.31
60.00
-0.79
5.02
-0.77
50.00
-0.70
8.10
-0.67
80.00
0.57
4.22
0.55
70.00
0.62
6.41
0.60
60.00
0.45
10.03
0.43
50.00
0.46
16.19
0.44
80.00
-0.62
6.33
-0.60
70.00
0.49
9.62
0.47
60.00
0.46
15.05
0.44
50.00
0.40
24.29
0.38
80.00
-0.55
8.44
-0.53
70.00
-0.48
12.82
-0.46
60.00
-0.38
20.06
-0.36
50.00
-0.31
32.39
-0.30
100.00
200.00
300.00
400.00
Entrainment Expansion
COP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97
Lampiran B.2 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 12.5 Boiler
Evaporator
P (kPa)
T₁ (°C)
Ratio
Ratio
80.00
0.97
2.11
0.95
70.00
0.91
3.21
0.89
60.00
0.77
5.02
0.75
50.00
0.72
8.10
0.69
80.00
0.68
4.22
0.66
70.00
0.60
6.41
0.58
60.00
0.48
10.03
0.46
50.00
0.45
16.19
0.43
80.00
-0.50
6.33
-0.49
70.00
-0.50
9.62
-0.48
60.00
-0.41
15.05
-0.40
50.00
0.35
24.29
0.33
80.00
-0.43
8.44
-0.42
70.00
-0.37
12.82
-0.35
60.00
-0.29
20.06
-0.28
50.00
0.28
32.39
0.27
100.00
200.00
300.00
400.00
Entrainment Expansion
COP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98
Lampiran B.3 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 18.75 Boiler
Evaporator
P (kPa)
T₁ (°C)
Ratio
Ratio
80.00
1.00
2.11
0.99
70.00
0.79
3.21
0.77
60.00
0.66
5.02
0.64
50.00
0.66
8.10
0.64
80.00
0.68
4.22
0.66
70.00
0.64
6.41
0.62
60.00
0.62
10.03
0.60
50.00
0.45
16.19
0.43
80.00
0.59
6.33
0.58
70.00
0.55
9.62
0.53
60.00
0.41
15.05
0.39
50.00
0.41
24.29
0.39
80.00
0.43
8.44
0.42
70.00
0.41
12.82
0.40
60.00
0.29
20.06
0.27
50.00
0.31
32.39
0.29
100.00
200.00
300.00
400.00
Entrainment Expansion
COP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99
Lampiran C. Contoh Perhitungan Diketahui: Diameter pipa (D1) = 0,026 m Diameter orifice (D2) = 0,0125 m Konstanta gas universal, Λ = 8314 m2/s2.K Massa molekul H2O M = 18,016 Tekanan boiler (Pb) = 100 kPa Temperatur boiler (Tb) = 383.1 K µ fluida primer @ 383.1 K = 1.26 x 10-4 Pa.s ΔH manometer pipa U – fluida primer = 82 mm Tekanan evaporator (Pe) = 47.39 kPa Temperatur evaporator (Te) = 353 K µ fluida sekunder @ 353 K = 1.16 x 10-4 Pa.s ΔH manometer pipa U – fluida sekunder = 6 mm ρ coolant = 1130 kg/m3 ρ air raksa = 13.600 kg/m3 Ditanya: ρp, ρs, νp, νs, V2p, V2s, V1p, V1s, Rep, Res, Cdp, Cds, Qp, Qs, ̇ p, ̇ s, h1p, h2p, h1s, h2s, Qb, Qe, ω, ER, COP.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100
Jawab: Perhitungan properti untuk fluida primer (Boiler) Massa jenis fluida primer p
Dimana, R
p
Pb (Rumus gas ideal) R Tb
8314 461,47 m 2 / s 2 .K M 18,016
Pb 100000 0,565 kg / m 3 R Tb 461,47 383,1
Viskositas kinematik fluida primer,
p
p 1,26 10 4 2,222 10 4 m 2 / s p 0,5653
ΔH air raksa = ΔP fluida primer = 82 mmHg = 10,93 kPa Dengan menggunakan persamaan kontinuitas: A1V1 A2V2 2
A D V1 2 V2 22 V2 0,23V2 A1 D1 Persamaan Bernoulli:
P1 Z1 1
P1 P2
10930
1 2g
2
2
V1 V P2 Z 2 1 2 2g 2g
V
2 2
V1
2
0,5653 2 V2 (0,23V2 ) 2 2 9,81
Kecepatan fluida primer, V2p = 201,94 m/s & V1p = 46,44 m/s
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101
Re P
V1 D
p
46,44 0,026 5453,99 2,222 10 4
Rumus Coefficient Discharge pada orifice =
Cd p f ( ) 91,71 2,5 Re P
0, 75
0,09 4 F1 0,0337 3 F2 1 4
dimana untuk nilai f ( ), , F1 & F2 adalah sebagai berikut:
D2 0,0125 0,48 D1 0,026
f ( ) 0,5959 0,0312 2,1 0,184 8 0,602 F1 = 0,433 & F2 = 0,47
Cd p 0,602 91,71(0,48) 2,5 (5453,99) 0,75
0,09(0,48) 4 (0,433) 1 (0,48) 4
0,0337(0,48) 3 (0,47)
Cdp = 0,6257 Rumus menentukan debit pada orifice:
2P / p Q p Cd p A2 4 1
1/ 2
2 10930 / 0,565 0.6257 (0,0125) 4 1 0,48 4
1/ 2
2
= 0,01 m3/s p Q p p 0,01 0,565 0,00565 kg / s m
Nilai entalpi fluida primer diinterpolasi dari tabel properti Saturated Water Moran, Tabel A-2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102
(383,1 383) K (2706,3 2691,5) kJ / kg 2691,5 kJ / kg 2691.6 kJ / kg (393 383) K h2p = hf condenser @ 27°C = 117,25 kJ/kg h1 p
Perhitungan properti untuk fluida sekunder (Evaporator) Massa jenis fluida primer s
Dimana, R
s
Ps (Rumus gas ideal) R Ts
8314 461,47 m 2 / s 2 .K M 18,016
PE 47390 1,61 10 5 kg / m 3 R TE 461,47 353
Viskositas kinematik fluida sekunder,
s
s 1,16 10 4 7,17 m 2 / s s 1,61 10 5
ΔH air coolant = ΔP fluida sekunder = 6 mmAirCoolant = 66,486 Pa Dengan menggunakan persamaan kontinuitas: A1V1 A2V2 2
A D V1 2 V2 22 V2 0,23V2 A1 D1 Persamaan Bernoulli:
P1 Z1 1
P1 P2
66,468
1 2g
2
2
V1 V P2 Z 2 1 2 2g 2g
V
2 2
V1
2
1,61 10 5 2 V2 (0,23V2 ) 2 2 9,81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103
Kecepatan fluida sekunder, V2s = 2950,11 m/s & V1s = 681,8 m/s
Re S
V1 D
S
681,8 0,026 2,47 7,17
Rumus Coefficient Discharge pada orifice =
Cd p f ( ) 91,71 2,5 Re S
0, 75
0,09 4 F1 0,0337 3 F2 4 1
dimana untuk nilai f ( ), , F1 & F2 adalah sebagai berikut:
D2 0,0125 0,48 D1 0,026
f ( ) 0,5959 0,0312 2,1 0,184 8 0,602 F1 = 0,433 & F2 = 0,47
Cd S 0,602 91,71(0,48) 2,5 (2,47) 0,75
0,09(0,48) 4 (0,433) 1 (0,48) 4
0,0337(0,48) 3 (0,47)
CdS = 8,03 Rumus menentukan debit pada orifice:
2P / p QS Cd A2 4 1
1/ 2
2 66,487 / 1,61 10 5 8,03 (0,0125) 4 1 0,48 4 2
= 2,91 m3/s S QS S 2,91 1,61 10 5 4,68 10 5 kg / s m
h1s = hg evaporator @ 353 K = 2643,7 kJ/kg h2s = hf condenser @ 27°C = 117,25 kJ/kg
1/ 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104
Menentukan parameter Ejektor; ω, ER, dan COP
m S 4,68 10 5 8,28 10 3 m P 0,00565
ER
Pb 100000 2,11 Pe 47390
COP
h1s h2 s 2643,7 117,25 8,28 10 3 0,005 h1 p h2 p 2691,6 117,25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105
Lampiran D. Tabel Sifat Termodinamika Saturated Water (Moran, 2006)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 106