Investigasi Derajad Presipitasi Karbida Krom pada Baja Tahan Karat Austenitik dengan Pengamatan Makro Suwarno, Abdullah Shahab Laboratorium Metalurgi Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS Kampus ITS Keputih Sukolilo Surabaya, Email:
[email protected]
Abstrak Presipitasi karbida pada batas butir baja tahan karat austenitik menurunkan kadar kromium disekitarnya, sehingga menyebabkan baja tahan karat terserang korosi batas butir. Setiap seri baja tahan karat mempunyai tendensi yang berbeda-beda terhadap presipitasi karbida tergantung dari komposisi kimia, serta parameter pengerjaan yang memberikan input panas seperti yang terjadi dalam proses pengelasan. Digunakan pengamatan makro untuk mendeteksi derajat presipitasi karbida, yaitu memberikan input panas dengan las TIG diam, dengan variasi arus pengelasan. Spesimen digrinding kemudian dietsa dengan waktu berlebih akan tampak presipitasi secara makro, berupa daerah berwarna kontras yang berbentuk seperti korona, dan dapat diukur jarak awal, jarak akhir, serta lebar presipitasinya. Pengamatan mikro memberikan validasi bahwa daerah korona tersebut adalah presipitasi karbida disekitar batas butir, sehingga pengamatan makro dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendeteksi tendensi suatu baja tahan karat mengalami presipitasi karbida. Dari data disimpulkan bahwa semakin tinggi arus, dan kadar karbon yang semakin tinggi akan menaikkan derajat presipitasi karbida. Kata kunci : pengamatan makro,derajat presipitasi, lebar presipitasi
Korosi batas butir telah lama menjadi obyek penelitian, dimulai oleh Hanfield pada tahun 1926 yang mengamati tangki yang mengandung sulfida tembaga, pada tahun 1950 Mahla dan Nielson melihat lebih teliti, bentuk, ukuran serta letak dari presipitasi karbida sebagai penyebab korosi batas butir. Kasus yang paling sering ditemui adalah korosi batas butir pada baja tahan karat austenitik (austenitic stainless steels), dimana terjadi presipitasi karbida (M23C6) pada batas butir, sehingga daerah sekitar batas butir mengalami chromium depletion, yaitu kurang dari 12 % yang merupakan syarat ketahanan baja terhadap korosi [3,7]. Korosi terjadi sebagai akibat tidak terjadinya lapisan tipis yang mampu melindungi baja karena kurangnya kromium pada paduan tersebut. Karbida terjadi sebagai akibat adanya unsur kimia yang membentuk senyawa, sebagai akibat energi yang mengaktifasi unsur paduan. Energi dapat terjadi sebagai akibat proses pengerjaan pada
baja tahan karat, seperti yang terjadi dalam proses pengelasan [2,4]. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap presipitasi karbida adalah unsur paduan dalam baja tahan karat dan kuantitasnya dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan kepadanya. Dalam aplikasinya baja tahan karat tidak selalu didesain untuk tahan terhadap korosi batas butir, sehingga golongan baja tahan karat tertentu, seperti beberapa seri baja tahan karat austenitik mempunyai kecenderungan terkorosi batas butir yang berbeda-beda. Metode pengamatan korosi sering digunakan untuk mengamati korosi batas butir dan menentukan tingkat kecenderungan baja tahan karat terserang korosi batas [12]. Percobaan ini memerlukan waktu yang relatif lama dengan rangkaian proses yang panjang yaitu pemberian spesimen dengan panas supaya terjadi temperatur sensitisasi, screeening secara mikrografi, percobaan 41
42 Jurnal Teknik Mesin, Volume 5, Nomor 2, Mei 2005
korosi, dan kemudian persiapan untuk pengamatan mikrografi sebagai validasi laju korosi, baru kemudian dapat diketahui hasilnya yaitu weight lost. Metode yang lain dengan pengukuran potensial korosi dari spesimen yang telah disensitisasi yaitu dengan electrochemical potentiokinetic reactivation (EPR) test [13]. Metode ini mengukur banyaknya arus yang terjadi saaat berlangsungnya korosi batas butir, sehingga dapat diketahui kecenderungan korosi pada stainless steel. Kedua metode tersebut tentu saja mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun keduanya tidak menunjukkan angka kuantitas yang berkaitan langsung dengan presipitasi karbida. Dalam tulisan ini akan dicoba sebuah alternatif yang baru yang bisa dikembangkan untuk mendeteksi tendensi baja tahan karat mengalami korosi batas butir. Pengamatan makro dipakai yaitu dengan memberikan input panas pada spesimen dengan pengelasan TIG diam (stationer), dengan variasi arus 60, 75, dan 90 dengan lama waktu penyalaan busur 15 detik. Kemudian spesimen dipoles, dietsa elekrolitik, dan diukur jarak awal, jarak akhir, dan lebar presipitasinya secara makro. Baja tahan karat yang mempunyai, jarak awal, jarak akhir dan lebar presipitasi yang lebih besar dikatakan mempunyai derajad presipitasi yang lebih tinggi, kondisi tersebut ditunjukkan pada spesimen yang mempunyai kadar C tinggi dalam hal ini SS 304 dan arus yang tertinggi. Metodologi Faktor yang berpengaruh terhadap presipitasi karbida adalah komposisi kimia baja tahan karat sebagai base potential serta adanya input panas seperti pengelasan sebagai pengaktif potensial tersebut. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor kadar karbon dan besarnya energi yang direpresentasikan sebagai arus mempunyai pengaruh yang besar terhadap jumlah chromium depletion [1,4,9,11]. Besarnya pengaruh variabel–variabel tersebut akan diselidiki dengan metode makro oleh karena itu akan dilakukan serangkain percobaan yang digambarkan dengan flowchart gambar 1.
Tabel 1. Komposisi kimia spesimen material 1 2
C 304L 304
Cr 0,018 0,044
Ni 19,09 19,29
Mo 11,79 12,55
TI 0,177 0,12
Si 0,052 0,082
0,209 0,3
Langkah-langkah percobaan adalah sebagai berikut : 1. Persiapan spesimen, spesimen adalah baja tahan karat austenitik 304 & 304L dengan dimensi 40x40x5 mm dengan komposisi kimia seperti pada tabel 1, jumlah spesimen 6 buah.
Gambar 1. Diagram alir rangkaian penelitian 2.
3.
Persiapan pengelasan, menggunakan Las TIG diam DCSP high frekuensi gas pelindung argon, dengan kapasistas 15 liter/menit, elektroda yang digunakan tungten dengan kadar thorium 2 %, jarak tip dengan spesimen 4 mm. Pelaksanaan pemberian panas, dilakukan dengan penyalaan busur las TIG diam dengan memberikan variasi heat input. Variasi heat input didapatkan dari variasi arus pengelasan dan lama waktu penyalaan tertentu, dalam percobaan ini digunakan arus sebesar 60A, 75 A, 90A, dengan variasi waktu penyalaan 15 detik.
Suwarno, Investigasi Derajad Presipitasi Karbida Krom 43
4.
5.
6.
7.
Pemberian input panas dilakukan dengan meletakkan spesimen dibawah torch las TIG, tepat pada tengah-tengah spesimen, kemudian baru dinyalakan dengan waktu sesuai desain eksperimen yaitu 15 detik. Setelah dilakukan pengelasan, spesimen digrinding dengan kertas gosok dari yang paling kasar, grid 120 sampai grid 2000. Electrolytic etching, dilakukan dengan spesimen sebagai anoda, sedangkan sebagai katoda adalah bahan dengan jenis dan dimensi yang sama. Jarak katoda anoda adalah 25 mm dengan larutan asam oksalat 10 %. Arus yang digunakan adalah 5 A dengan Voltase 12 V lama waktu etsa yang digunakan adalah 15 menit. Setelah itu tampak seperti korona disekitar weld metal, sehingga dapat dilakukan pengukuran seperti pada gambar 2, Diamater lingkaran korona yang dalam (D2) dibagi 2 sebagai jarak awal, Diamater lingkaran yang terluar (D3) dibagai 2 sebagai jarak akhir, dan lebar presipitasi adalah jarak akhir dikurangi jarak awal (Lb).
D2
D3
Lb
Gambar 2. metode pengukuran makro, jarak awal, jarak akhir, dan lebar presipitasi 8.
Untuk memvalidasi apakah benar yang tampak putih tersebut adalah presipitasi karbida, maka dilakukan pengujian dengan pengamatan mikro. Pengamatan mikro dilakukan dengan jalan mengrinding ulang spesimen, sampai grid 2000 atau sampai tahap polishing, kemudian dilakukan electrolytic etching dengan metode yang sama seperti pada
pengamatan makro, hanya waktu yang digunakan adalah 3 menit. Hasil Percobaan Hasil electrolytic etching selama 15 menit, ditunjukkan pada gambar 3, terlihat bahwa terjadi daerah putih berbentuk korona mengelilingi weld metal. Terlihat semakin tinggi arus yang digunakan akan semakin besar diameter dan lebar presipitasi yang dihasilkan. Jika dibandingkan antara dua material dalam hal ini SS 304 dan SS 304 L maka SS 304 mempunyai lebar presipitasi yang makin besar pada arus yang sama, dan juga mempunyai kekontrasan warna yang berbeda terlihat SS 304 lebih menghasilkan warna yang kontras dibanding dengan SS 304L. Kemudian pengukuran dilakukan dengan alat bantu jangka sorong, dihasilkan jarak awal, jarak akhir, dan lebar presipitasi karbida krom, Jika hasil tersebut digrafikkan maka akan terlihat grafik seperti pada gambar 4, terlihat semakin tinggi arus maka akan semakin tinggi jarak awal, jarak akhir serta tebal presipitasi karbida krom. Dan jika dibandingkan kedua jenis SS mempunyai maka jarak awal, jarak akhir, lebar presipitasi yang berbeda. Hasil percobaan berikutnya adalah sebagai validasi bahwa daerah putih kontras pada spesimen adalah merupakan presipitasi karbida. Pengamatan mikro dilakukan dengan melakukan grinding dan polishing ulang pada spesimen yang telah diukur secara makro. Kemudian di etsa secara electrolytic hanya saja waktu yang digunakan lebih pendek yaitu 3 menit. Hasilnya secara makro terlihat bentuk yang mirip sama seperti jika dilakukan dengan waktu etsa yang lebih lama, namun tidak begitu kontras. Pada titik-titik tertentu dilakukan pengambilan gambar struktur mikro yaitu pada daerah tidak terkena pengaruh panas lebih (base metal), tepat garis korona yang disebut sebagai daerah antara, dan pada daerah yang terlihat putih yang disebut sebagai daerah HAZ, hasilnya terlihat pada gambar 5. Pada gambar 5 terlihat struktur mikro spesimen pada arus pengelasan 75 A, dimana pada base metal, gambar 5a dan d tidak terlihat presipitasi dengan tidak ada warna hitam-hitam disekitar batas butir, Sedangkan
44 Jurnal Teknik Mesin, Volume 5, Nomor 2, Mei 2005
pada gambar 5 b dan e terlihat sebagaian yang terdapat presipitasi sebagian lagi tidak, karena merupakan batasan daerah HAZ dengan base metal. Sedangkan pada daerah HAZ terlihat banyak sekali presipitasi karbida, sebagaimana terlihat pada gambar 5 c dan f. Bila dibandingkan antara material SS 304 dengan SS 304 L maka lebar presipitasi karbida akan lebih lebar SS 304. kondisi ini dipengaruhi karena kadar karbon SS 304 yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan SS 304 L.
spesimen terlihat bentuk korona disekitar weld metal. Pada gambar 3 dan digrafikkan pada gambar 4, memperlihatkan diameter korona dan lebar korona yang berbeda-beda pada masing-masing kondisi dan parameter pemberian input panas. Input panas dalam hal ini dibedakan dengan variasi arus pada pengelasan, terlihat semakin besar arus maka akan semakin besar diameter korona yang terjadi, dan semakin lebar daerah korona yang dihasilkan, dimana pada kedua jenis spesimen memperlihatkan trend yang sama. Arus 90 A memberikan jarak awal, jarak akhir, dan lebar presipitasi yang terbesar. kondisi tersebut dijelaskan karena terbentuknya karbida dipengaruhi oleh heat input yang diberikan dan lama waktu spesimen berada pada temperatur sensitisasi.
Pembahasan Hasil percobaan dengan memberikan input panas dengan las TIG diam memperlihatkan hasil yang bisa diamati dengan pengamatan makro. Pengamatan makro dihasilkan dari electrolytic etching yang diperlama waktunya (over-etch), sehingga pada
A
B
C
SS 304, I = 60 A
SS 304, I = 75 A
D
E
F
SS 304L, I = 60 A
SS 304L, I = 75 A
SS 304L, I = 90 A
SS 304, I = 90 A
Gambar 3. Hasil pengamatan presipitasi karbida secara makro pada SS 304 dan SS 304L
Suwarno, Investigasi Derajad Presipitasi Karbida Krom 45
Pengaruh arus terhadap Jarak awal, Jarak akhir, serta lebar presipitasi pada 304 dan 304L dengan t =15 detik 14 13
Jarak awal, akhir, lebar (mm)
12 11
lebar presipitasi 304
10
Jarak akhir304
9 8
Jarak awal 304
7
lebar Presipitasi 304L
6 5
Jarak awal 304L
4 3
Jarak akhir 304L
2 1 0 50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
Arus ( ampere)
Gambar 4. Grafik hubungan arus pengelasan dengan presipitasi karbida
Lama waktu suatu spesimen dalam temeperatur sensitisasi dapat dijelaskan dengan siklus termal las untuk masing-masing kondisi pengelasan. Heat input yang tinggi dalam hal ini arus yang besar akan mempercepat spesimen berada pada daerah sensitisasi tetapi dengan laju pendinginan yang lambat sehingga specimen berada pada range temperatur sensitisasi antara 450-800 oC yang lebih lama dibandingkan dengan arus yang lebih rendah. Jika dibandingkan antara SS 304 dengan 304 L, pada arus yang sama maka terjadi perbedaan lebar, jarak awal, serta jarak akhir presipitasinya. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh komposisi kimia masing-masing material terhadap kemampuan merambatkan panas sehingga, mempunyai perbedaan letak suatu daerah mengalami presipitasi karbida. Presipitai karbida juga dipengaruhi oleh kadar karbon spesimen, dalam hal ini kadar karbon yang tinggi akan mempunyai kuantitas karbida yabg lebih banyak dalam waktu yang sama dapat dikatakan juga laju pembentukan karbida akan lebih tinggi pada stainless steel yang mempunyai kadar karbon yang tinggi. Sehingga SS 304 mempunyai lebar presipitasi yang lebih besar dibanding dengan SS 304L, kondisi tersebut sejalan dengan diagram presipitasi pada gambar 5. Kuantitas karbida tersebut ditunjukkan juga dengan warna korona
yang lebih kontras pada SS 304 dibanding pada 304 L.
Gambar 5. Temperature precipitation diagram stainless steel dengan kadar karbon yang berbeda Hasil tersebut dikonfirmasikan dengan pengamatan mikro dibeberapa titik tertentu dalam spesimen yang hasilnya digambarkan pada gambar 6. Pada base metal tidak ditemukan adanya presipitasi karbida, karena logam induk belum mendapatkan input panas yang memadai. Sedangkan pada daerah HAZ ditemukan presipitasi karbida krom disekitar batas butir, karena daerah tersebut menerima pengaruh temperatur yang cukup. Terlihat pada arus 90 A akan mempunyai presipitasi karbida yang lebih banyak dibanding pada Arus 75 A dan 60 A. Kuantitas karbida pada arus 90 A
46 Jurnal Teknik Mesin, Volume 5, Nomor 2, Mei 2005
berbeda pada SS 304 dan SS 304L karena pengaruh kadar karbon. Hasil ini memberikan alternatif, selain percobaan korosi [12,13], untuk mengetahui tendensi suatu baja tahan karat terserang korosi batas butir dengan melihat kuantitas presipitasi karbida. Dimana lebar korona dan warna memberikan informasi derajad
(tendensi) suatu baja tahan karat terserang korosi batas butir. Lebar yang besar dan warna yang makin terang berarti tendensi yang semakin besar. Selain itu pengamatan makro memberikan informasi letak (lokasi) awal dan berakhirnya korosi batas butir pada baja tahan karat di lingkungan korosif.
a. 304 base metal
b. 304 antara
c. 304 HAZ
d. 304L base metal
e. 304L antara
f. 304 L HAZ
Gambar 6. Struktur mikro pada masing-masing daerah pengamatan
Kesimpulan Eksperimen pemberian input panas dengan pengelasan TIG diam pada baja tahan karat austenitik, memberikan alternatif mendeteksi derajat suatu baja tahan karat terserang korosi batas butir dengan melihat presipitasi karbida yang terjadi secara makro. Dengan metode tersebut dapat diukur derajad presipitasi, yaitu dengan mengukur jarak awal, jarak akhir, lebar presipitasi, serta kekontrasan warna. Arus yang tinggi dan kadar karbon yang tinggi akan memberikan lebar yang besar, dan warna yang lebih kontras, yang dikatakan mempunyai derajad presipitasi yang besar. Pengamatan mikro memberikan validasi bahwa daerah korona yang terbentuk disekitar weld metal adalah karbida krom. Semakin kontras warna dan semakin lebar korona akan semakin banyak kromium dan karbon yang
membentuk karbida, yang berarti akan semakin sensitif terhadap korosi batas butir. Daftar Pustaka [1] AWS, 1987, “Welding Stainless Steels”, Welding Handbook Vol IV: Material and Aplications, AWS, New York. [2] Farouq, Achmad, 1996, ”Analisa Derajad Presipitasi Karbida Pada Baja Tahan Karat Type 304 Akibat Pendinginan dan Perlakuan Panas”, Tugas akhir, Jurusan Teknik Mesin FTI, ITS Surabaya. [3] Fontana, Mars. Guy, 1987, Corrosion Engineering, 2nd edition, Mc-Graw Hill, New York. [4] Kuncoro, Kukuh, R. 1994, ”Analisa Pengaruh Parameter Las terhadap Derajat Presipitasi karbida pada Baja tahan Karat
Suwarno, Investigasi Derajad Presipitasi Karbida Krom 47
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
Type 304. 316L, 317, 321”. Tugas Akhir, Jurusan Teknik Mesin FTI, ITS Surabaya. Lincoln Electric, 1973, “Weldability of Stainless Steel”, The Procedure of Arc Welding, London. Messler.Jr, Robert W, 1999, Principle of Welding: Process, Physics, Chemistry, and Metallurgy, John willey & Sons, New York. Packer, Donald, Berstain, 1979, Handbook of Stainless Steels, McGrawHill, New York. Smith, William. F, 1999, Struktur and Properties of Engineering Alloys, McGrawHill, Singapore Sulistijono. Suharto, 1993, “Korosi Batas Butir Pada Stainless Steel”, Seminar Teknologi Industri, ITS, Surabaya:1993. Korostelev, AB, Abramov VY, 1996, Belous VN, “Evaluation of stainless steel for their resistance to intergranular corrosion”, Journal of Nuclear Materials 233-237, 1996: 1361-1363 Matula, M,Hyspecka, L, Svoboda M, Vodarek V, Dagbert C, Galland J, Stonawska Z, Tuma L, 2001, ”Intergranular corrosion of 316L steel”, Materials Characterization 46, 2001: 203-210.
[12] ASTM A 262-90, “Standard practices for detecting susceptibility to intergranular attack in austenitic stainless steels”, Annual Book of ASTM Standards 1990: Section 3. Metals test methods and analytical procedures: vol. 03.02. Wear and erosion. Metal corrosion. Philadelpia, PA: ASTM, 1992. [13] ASTM G 108-92. “Standard test method for electrochemical reactivation (EPR) for detecting sensitization of AISI 304 and 304L stainless steels”. Annual Book of ASTM Standards 1999: Section 3. Metals test methods and analytical procedures: vol. 03.02.Wear and erosion. Metal corrosion. Philadelpia, PA:ASTM, 2002. [14] Padilha A F, Rios, PR, 2002, “Decomposition of Austenite in Austenitic Stainless Steels”, ISIJ International, Vol. 42 (2002), No. 4, pp. 325–337.