Introduksi Minyak Lemuru Tersabun, Minyak Zaitun serta Pasta Temulawak pada Ransum terhadap Produksi dan Komposisi Kolesterol Serum Darah Sapi Bali (Siwitri Kadarsih) 1 – 10 Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap Kadar Kalsium dan Sifat Organoleptik Stik Keju (Yenni Okfrianti, Kamsiah, Yusma Hartati) 11 – 18 Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka Peningkatan Produksi Madu dan Biji Kopi (R. Saepudin, A. M. Fuah, C. Sumantri, L. Abdullah, S. Hadisoesilo) 19 – 32 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera Pada Tepung Gaplek Sebagai Sumber Energi Pengganti Jagung Kuning Dalam Ransum Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Terhadap Produksi dan Warna Kuning Telur (Tris Akbarillah, Kususiyah, Hidayat) 33 – 40 Penggunaan Ekstrak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Mutu Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur (Urip Santoso dan Suharyanto) 41 – 46 Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan Deposisi Lemak pada Ayam Broiler (Farahdiba, Urip Santoso dan Kususiyah) 47– 54 Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Tiga Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur (Desia Kaharuddin and Kususiyah) 55 – 60 Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina) , Kricket (Brachytrypes membranaceus) and Diet Combinations on Live Performance of Young Edible –Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) (B. Brata, R. Saepudin, Sutriyono and Lindya) 61 – 66 Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin (Niasin Dan FeSO 4) dalam Ransum Berbasis Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru terhadap Perlemakan Darah Ayam Broiler (Yosi Fenita) 67 – 75
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) Dewan Redaksi Ketua
Suharyanto, S.Pt., M.Si.
Anggota
Drh. Tatik Suteky, M.Sc. Ir. Warnoto, M.P. Ir. Desia Kaharuddin, M.P. Ir. Hidayat, M.Sc. Ir. Kususiyah, M.S. Nurmeiliasari, S.Pt., M.Agr.Sc.
Penyunting
Prof. Ir. Urip Santoso, M.Sc, Ph.D. Ir. Dwatmadji, M.Sc., Ph.D. Heri Dwi Putranto, S.Pt., M.Sc., Ph.D. Ir. Endang Sulistyowati, M.Sc. Ir. Siwitri Kadarsih, M.S. Dr. Ir. Yosi Fenita, M.P.
Administrasi dan Distribusi
Olfa Mega, S.Pt., M.Si. Gema Pertiwi, S.E.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia adalah majalah ilmiah resmi yang dikeluarkan Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sebagai sumbangannya kepada pengembangan ilmu Peternakan yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris yang memuat hasil-hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang atau gagasan dalam bidang peternakan. Jurnal Sain Peternakan Indonesia (ISSN 1978 – 3000) dalam satu tahun terbit dua kali (Januari-Juni dan Juli -Desember). Edisi khusus dalam Bahasa Inggris dapat diterbitkan apabila perlu. Redaksi menerima tulisan di bidang peternakan yang belum pernah dipublikasikan. Indonesia Animal Science Journal (ISSN 1978 - 3000) is published 2 x per year (January-June and July - December). We receive original papers in Animal Husbandry which are not published in other journals. Alamat Redaksi
: Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNIB. Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A. Telp (0736) 21170 pst 219. e-mail :
[email protected] dan
[email protected] Terbit Pertama Kali : Juni 2006 Harga langganan Rp. 200.000,- per tahun belum termasuk ongkos kirim
EDITORIAL Salam Redaksi Edisi kalo ini, JSPI menerbitkan kembali 9 (sembilan) artikel ilmiah hasil penelitian. Kategori artikel dalam jurnal ini meliputi aspek produksi, teknologi hasil, pakan dan nutrisi, aneka ternak, dan fisiologi nutrisi. Artikel yang termasuk ke dalam kategori produksi diantaranya adalah pemanfaatan minyak ikan lemuru tersabun untuk produksi sapi Bali, pengaruh indigofera terhadap produksi puyuh dan kualitas telur, dan penggunaan ekstrak daun katuk untuk produksi telur ayam arab. Aspek teknologi hasil menampilkan artikel Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap Kadar Kalsium dan Sifat Organoleptik Stik Keju. Aspek pakan dan nutrisi menampilkan Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan Deposisi Lemak pada Ayam Broiler dan Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin (Niasin Dan FeSO4) dalam Ransum Berbasis Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru terhadap Perlemakan Darah Ayam Broiler. Aspek aneka ternak menampilkan artikel Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka Peningkatan Produksi Madu dan Biji Kopi dan Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina) , Kricket (Brachytrypes membranaceus) and Diet Combinations on Live Performance of Young Edible –Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga). Sedangkan aspek genetik menampilkan artikel dengan judul Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Tiga Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur. Demikianlah, semoga dapat menambah khazanah perbendaharaan ilmiah di dunia peternakan Indonesia. Selamat membaca
Redaksi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (Indonesia Animal Science Journal)
Volume 6 No 1. Januari – Juni 2011
ISSN 1978 - 3000
DAFTAR ISI
Introduksi Minyak Lemuru Tersabun, Minyak Zaitun serta Pasta Temulawak pada Ransum terhadap Produksi dan Komposisi Kolesterol Serum Darah Sapi Bali (Siwitri Kadarsih) 1 – 10 Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap Kadar Kalsium dan Sifat Organoleptik Stik Keju (Yenni Okfrianti, Kamsiah, Yusma Hartati) 11 – 18 Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka Peningkatan Produksi Madu dan Biji Kopi (R. Saepudin, A. M. Fuah, C. Sumantri, L. Abdullah, S. Hadisoesilo) 19 – 32 Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera Pada Tepung Gaplek Sebagai Sumber Energi Pengganti Jagung Kuning Dalam Ransum Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Terhadap Produksi dan Warna Kuning Telur (Tris Akbarillah, Kususiyah, Hidayat) 33 – 40 Penggunaan Ekstrak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Mutu Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur (Urip Santoso dan Suharyanto) 41 – 46 Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan Deposisi Lemak pada Ayam Broiler (Farahdiba, Urip Santoso dan Kususiyah) 47– 54 Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Tiga Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur (Desia Kaharuddin and Kususiyah) 55 – 60 Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina) , Kricket (Brachytrypes membranaceus) and Diet Combinations on Live Performance of Young Edible –Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) (B. Brata, R. Saepudin, Sutriyono and Lindya) 61 – 66 Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin (Niasin Dan FeSO 4) dalam Ransum Berbasis Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru terhadap Perlemakan Darah Ayam Broiler (Yosi Fenita) 67 – 75
ISSN 1978 - 3000
Introduksi Minyak Lemuru Tersabun, Minyak Zaitun serta Pasta Temulawak pada Ransum terhadap Produksi dan Komposisi Kolesterol Serum Darah Sapi Bali Introduction of Lemuru Oil Saponification, Olive Oil and Temulawak Ginger Paste in Rations on Production and Composition of Bali Cattle Blood Serum Siwitri Kadarsih Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jalan WR Supratman, Kandang Limun, Bengkulu
ABSTRACT The research was aimed to reduce blood cholesterol. The research design used was completely randomized design with three treatment groups with four Bali cows in each treatment. The research was conducted for eight weeks. Temulawak paste was mixed into concentrate. The treatments were P0 (control group), P1 (6% lemuru fish oil, 1% olive oil, 37.3% rice brand, 62.7% corn meal, 7% layer concentrate, 200 grams temulawak paste) and P2 (8% lemuru fish oil, 2% olive oil, 37.3% rice brand, 62.7% corn meal, 7% layer concentrate, 200 grams temulawak paste). The concentrate was given 1% and 10% grass of body weight. Variables observed were production performance and blood cholesterol level. The collected data were statistically analysed by using Least Significance Different (LSD). Results showed that concentrate intake, water intake and pasture consumption were insignificantly different (P<0.05). However, there was a significant increase on body weight gain (P2, 0.270 kg/day/cow and P3, 0.258 kg/day/cow). Moreover, blood cholesterol level decreased significantly from 106.25±2.61 mg/dl to 70.25±1.835 mg/dl and gradually decreased to 58.50±3.293 mg/dl (P<0.05). Similarly, blood triglyceride level was also decreased significantly by 1.322 mg/dl (P<0.05). In contrast, HDL level increased significantly from 31.00±0.95 mg/dl to 58.50±1.393 mg/dl (P<0.05). LDL level decreased from 36.00±1.408 mg/dl to 20.50±1.558 mg/dl (P<0.05). Key words : temulawak paste, lemuru fish oil, olive oil, Bali cow, cholesterol composition.
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mendapatkan sapi yang mempunyai komposisi kolesterol darah yang rendah. Rancangan penelitian menggunakan RAL dengan menggunakan 3 perlakuan, masing-masing perlakuan digunakan 4 ekor sapi Bali umur lebih kurang 2 tahun. Pengamatan dilakukan 8 minggu. Pasta temulawak disediakan dicampur dengan konsentrat. Po (tanpa minyak lemuru dan temulawak); P1 (minyak lemuru tersabun 6%, minyak zaitun 1%; dedak padi: 37,30%; Jagung: 62,70%; KLK: 7%, pasta temulawak:100 g) ; P2 (lemuru tersabun 8 %, minyak zaitun 2 %; dedak; 37,30; jagung: 62,70%; KLK: 7%, pasta temulawak: 200 g). Konsentrat diberikan pada pagi hari sebanyak 1 % dari berat ternak berdasarkan bahan kering, sedangkan rumput diberikan minimal 10 % dari bobot ternak Variabel pengamatan meliputi: Performans produksi, komposisi kolesterol serum darah. Data yang diperoleh dianalisis varian dengan menggunakan LSD pada tingkat kepercayaan 5 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi konsentrat, konsumsi minum dan konsumsi hijauan menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05). Namun demikian pertambahan berat badan perhari menunjukkan adanya pengaruh perlakuan secara nyata (P<0,05) yaitu pada P2 sebesar 0,270 kg/hr/ekor dan P3 sebesar 0,258 kg/hari/ekor. Kolesterol serum darah sapi Bali menunjukkan adanya penurunan secara nyata (P<0,05) dari 106,25 ± 2,61 mg/dl menjadi 70,25 ± 1,835 mg/dl dengan ditingkatkannya dosis perlakuan kandungan kolesterol serum darah menjadi 58,50 ± 3,293. mg/dl. Demikian juga kandungan trigliserida serum darah mengalami penurunan secara nyata (P<0,05) dari 33 ± 0,934 mg/dl menjadi 25,35 ± 2,02 mg/dl dan turun lagi menjadi 17,50 ± 1,322 mg/dl. Sedangkan kandungan HDL menunjukkan peningkatan secara nyata (P<0,05) dari 31,00 ± 0,95 mg/dl menjadi 48,50 ± 4,061 mg/dl dan 58,50 ± 1,393 mg/dl. Selanjutnya untuk kandungan LDL serum darah menunjukkan penurunan secara nyata (P<0,05) dari 36,00 ± 1,408 mg/dl menjadi 27,87 ± 1,558 mg/dl dan 20,50 ± 1,835 mg/d. Kata kunci : pasta temulawak, minyak lemuru, minyak zaitun, sapi bali, komposisi kolesterol.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
1
ISSN 1978 - 3000
PENDAHULUAN Sampai saat ini kecukupan konsumsi pangan hewani rakyat Indonesia masih jauh dari konsumsi negara berkembang lainnya. Berdasarkan data dari Badan Pangan Dunia (FAO) (2007), konsumsi daging rakyat Indonesia/ tahun hanya 11,9 kg, sementara konsumsi daging rakyat Thailand sudah mencapai 23, 3 kg dan china 59,8 kg. Hal ini seakan memperkuat keterpurukan kualitas pembangunan manusia (human development index) Indonesia yang hanya di urutan 107 dibawah Vietnam dan angka melek huruf pada urutan 56 dibawah Sri Lanka (UNDP, 2007). Sejatinya bahan pangan hewani sangat berperan dalam menopang kesehatan, kecerdasan dan pembangunan sumberdaya manusia. Fakta tersebut menunjukkan kualitas konsumsi pangan yang masih jauh dari kondisi ideal. Lagipula rendahnya konsumsi pangan bergizi ini semakin diperparah dengan tekanan ekonomi .Dalam upaya peningkatan kualitas bahan pangan, diversifikasi produk olahan pertanian dan peternakan sudah menjadi keharusan. Kelemahan ketrampilan selama ini yang menjadi penghambat peningkatan kualitas bahan pangan sudah seharusnya mendorong bagi pemerintah melalui lembaga penelitian Universitas, departemen terkait dan pemerintah daerah untuk bersatu padu dalam penyebarluasan informasi dan implementasi teknologi. Namun demikian disisi lain dari hasil survey Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat dan diikuti dengan peningkatan jumlah kematian.
2
| Studi Minyak Lemuru Tersabun
Peningkatan tersebut banyak terjadi di Negara maju maupun Negara- Negara berkembang, antara lain oleh peningkatan taraf hidup yang langsung maupun tidak langsung mengubah gaya hidup maupun pola makan. Bahkan menurut penilaian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Departemen Kesehatan saat ini mungkin tinggal 50 % penduduk Indonesia yang masih mengkonsumsi basic four food group seperti buah dan sayuran, padi-padian dan kacang-kacangan. Namun demikian saat ini mengalami kecenderungan mengkonsumsi golongan refined food, atau popular disebut fast food yang berlemak, namun gizinya kurang seimbang serta rendah serat. Peningkatan kadar lemak dalam darah pada tubuh manusia pada akhirakhir ini mendapat perhatian luas dikalangan masyarakat, terutama pada orang-orang yang asupan lemak baik melalui makan maupun minum cukup tinggi. Berdasarkan penelitian di berbagai Negara didapatkan hasil bahwa dengan meningkatnya asupan lemak menyebabkan meningkatnya kadar kolesterol darah dan penelitian lain membuktikan adanya hubungan antara meningkatnya asupan lemak dengan penyakit jantung koroner (PJK). Lemak jenuh merupakan penyebab utama meningkatnya kolesterol total dan kolesterol LDL (kolesterol “jahat”) darah, yang akhirnya menyebabkan arterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Sebagai contoh lemak jenuh antara lain: minyak goreng (minyak kelapa), minyak kelapa yang telah dipakai (jelantah), lemak yang terhidrogenasi yang banyak terdapat pada mentega dan margarine yang berperan dalam meningkatkan kolesterol LDL dan menurunkan kolesterol HDL
ISSN 1978 - 3000 (kolesterol baik) yang melindungi jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan penelitian di berbagai Negara didapatkan hasil bahwa dengan meningkatnya asupan lemak menyebabkan meningkatnya kadar kolesterol darah dan penelitian lain membuktikan adanya hubungan antara meningkatnya asupan lemak dengan penyakit jantung koroner (PJK). Lemak jenuh merupakan penyebab utama meningkatnya kolesterol total dan kolesterol LDL (kolesterol “jahat”) darah, yang akhirnya menyebabkan arterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Sebagai contoh lemak jenuh antara lain: minyak goreng (minyak kelapa), minyak kelapa yang telah dipakai (jelantah), lemak yang terhidrogenasi yang banyak terdapat pada mentega dan margarine yang berperan dalam meningkatkan kolesterol LDL dan menurunkan kolesterol HDL (kolesterol baik) yang melindungi jantung dan pembuluh darah. Omega 3 terdapat pada minyak ikan dan minyak ikan ini telah lama digunakan serta dikenal luas diseluruh dunia. Namun dimasa lalu belum dikenal adanya omega 3, khasiat serta mekanismenya dalam meningkatkan kesehatan, tetapi secara empiris dapat menyehatkan tubuh.Sebagai contoh di Scotlandia minyak ikan digunakan untuk membantu pertumbuhan tulang belakang dan perkembangan syaraf pusat. Di Inggris, Anonimous (2005) Kolesterol merupakan bagian dari lemak yang sangat sulit larut dalam air maupun dalam darah kecuali lemak tersebut berikatan dengan protein tertentu sehingga lemak (lipid) dapat melayanglayang didalam darah. Lemak sangat dibutuhkan dalam tubuh dalam proses pembuatan hormon dan dalam pemeliharaan jaringan syaraf, akan tetapi
apabila kadar lemak dalam tubuh tinggi maka dapat menyebabkan terjadinya berbagai macam penyakit. Elemen lemak terdiri dari kolesterol, trigliserida, fosfolopid dan asam lemak bebas. Didalam hati kolesterol, trigliserida bergabung dengan protein tertentu akan membentuk lemak HDL(High Density Lipoprotein) dan LDL (Low Density Lipoprotein).Sebagai gambaran bahwa kadar normal lemak dalam darah manusia adalah: kolesterol: < 200 mg/dl; HDL > 50 mg/dl; LDL: < 150 mg/dl dan trigliserida < 150 mg/dl. HDL dikenal dengan sebagai kolesterol baik dan sering disebut dengan KHDL dan LDL sebagai kolesterol jahat atau sering disingkat dengan K-LDL. Sudah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kolesterol merupakan unsur terpenting yang sangat mendasar pada proses pengapuran dinding pembuluh darah coroner (jantung) seperti pada penelitian Framingham Heart Study, sebuah study yang disponsori oleh Nasional Heart, Lung and Blood Institute di Amerika Serikat. Produk akhir dari proses lipolisis dan biohidrogenasi, sebagian ada yang diserap melalui dinding rumen. Benerjee (1978) menyebutkan bahwa seluruh asam lemak rantai pendek dan VFA hasil hidrolisis dan fermented lipid, diserap melalui dinding rumen, sedangkan asam lemak rantai panjang terus mengalir ke abomasum. Bouchat (1993) menyatakan bahwa didalam omasum digesti lipid pasca rumen yang sebesar 70 % terdiri asam lemak jenuh dan dari sintesa lemak “de no vo” serta 10 % fosfolipid microorganisme akan bergabung dengan benda padat lainnya. Setelah dari abomasum campuran digesta akan mengalir ke usus halus. Linder (1993) menyebutkan bahwa didalam usus halus maka garam-
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
3
ISSN 1978 - 3000 garam empedu akan mengemulsi lemak dan diikuti dengan masuknya lipase. Selanjutnya Linder (1993 ) menyatakan bahwa lipase membawa zat-zat yang diperlukan untuk mencerna lemak. Lemak yang sebagian sudah dicerna, terutama dalam bentuk yang larut dalam air membentuk mixel-mixel yang stabil (asam lemak rantai panjang, monoglycerol dan asam-asam empedu) yang berdifusi ke permukaan sel mukosa usus halus dan melepaskan materi untuk diserap. Minyak zaitun, mengurangi resiko kematian akibat penyakit jantung dan kanker. Penelitian menunjukkan serangan jantung di daerah Mediterania, yang mengkonsumsi minyak zaitun, hanya separuh dibanding di tempat lain. Berdasarkan Studi epidemiologis pada penduduk Mediterania yang banyak mengkonsumsi asam oleat dari minyak zaitun menyimpulkan efek positip oleat bagi kesehatan jantung. Temulawak (Curcuma xanthorhiza) merupakan bahan obatobatan tradisional yang selama ini dipergunakan manusia untuk menjaga kesehatan, terutama untuk menambah nafsu makan, obat panas dalam,menjaga kesehatan fungsi hati. Hariana (2006) menyebutkan bahwa kandungan kimia temulawak sudah diketahui antara lain: minyak atsiri, curcuma, amilum, dammar, lemak, tannin, zat pahit, saponin dan flavonoid.Tanaman ini relative mudah, perlu cukup air dan
banyak tersedia di pedesaan atau perkampungan. Bagian tanaman sangat bermanfaat sebagai obat adalah rimpangnya. Menurut Hadi (1985), Nurjanah et al. (1994) dan Rukmana (1995) yang menyebutkan bahwa temulawak dipergunakan sebagai tonikum, mengobati gangguan saluran pencernaan, liver dan nafsu makan. Selanjutnya Hadi (1985) menyatakan bahwa kurkumin yang terkandung didalam temulawak mempunyai fungsi medis, farmakologis dan bersifat antiseptik. Pada hewan percobaan ternyata dosis kurkumin 30 mg/kg sama dengan fenilbutazon 100 mg/kg sebagai obat antiinflamasi, tidak toksik dan tidak menyebabakan gangguan sel-sel darah. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengevaluasi minyak lemuru tersabun, minyak zaitun serta pasta temulawak terhadap produksi ternak serta komposisi kolesterol serum darah sapi.
MATERI DAN METODE Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan menggunakan 3 perlakuan (tabel 1) dengan masing-masing perlakuan diulang 4 ekor sapi Bali dengan rata-rata umur 2 tahun. Pengamatan dilakukan selama 8 minggu dengan variabel yang diambil antara pertambahan bobot ternak,
Tabel 1. Komposisi Ransum percobaan yang diberikan /kg No 1, 2, 3, 4, 5 6
Nama Bahan Minyak ikan lemuru tersabun Minyak zaitun Dedak padi Jagung giling KLK Pasta Temulawak Kandungan CP Rumput Lapangan
Keterangan: BB: Berat Badan
4
| Studi Minyak Lemuru Tersabun
Kontrol 0 % 0 % 37,30 % 62,70% 7,00 % 14 % 10 % BB
Perlakuan I 6 % 1 % 37,30 % 62,70 % 7,00 % 100 g 14 % 10 % BB
Perlakuan II 8 % 2 % 37,30 % 62,70 % 7,00 % 200 g 14 % 10 % BB
ISSN 1978 - 3000 konsumsi pakan, konsumsi minum, komposisi kolesterol dalam serum darah. Hasil pengamatan dianalisis varian dan untuk antar perlakuan diuji dengan LSD (least Significant Different) dengan tingkat kepercayaan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan konsentrat Konsumsi pakan konsentrat yang dihabiskan sapi selama penelitian dapat diperhatikan pada tabel 2. Tingkat konsumsi (voluntary feed intake) atau jumlah pakan yang terkonsumsi oleh sapi bali selama percobaan mendapatkan rata- rata konsumsi pakan konsentrat pada perlakuan satu (P1) menunjukkan 1,370
kg/hari dan 1,395 kg/hari pada P2 dan 1,225 kg/hari pada P3. Hasil analisis variansi menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) antara ketiga perlakuan tersebut. Hal ini berarti bahwa dengan adanya perlakuan palatabelitas sapi masih cukup baik meskipun menunjukkan angka lebih rendah dibanding P1 tetapi belum cukup untuk menunjukkan berbeda nyata. Konsumsi pakan ini penting diketahui dan diperhatikan karena merupakan faktor essensial sebagai dasar untuk hidup dan menentukan produksi dan ternak yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi yang lebih tinggi, produksinya pun akan relatip lebih tinggi dibanding dengan ternak dengan kapasitas atau sifat konsumsinya rendah. Hal ini selaras dengan pendapat Kleiber, 1936 dalam
Tabel 2. Konsumsi pakan konsentrat sapi Bali selama penelitian Keterangan Juni Juli Agustus September Total Rata-rata/bln Rata-rata/hari/ekor Rata-rata/perlakuan
Perlakuan 1 (P1) P11 P12 38,20 39,95 41,60 40,00 42,50 41,80 41,50 42,50 163,80 164, 25 40,95 41, 56 1,36 1,38 1,370 a
Perlakuan 2 (P2) P21 P22 38,85 35,50 43,40 44,00 43,80 43,90 43,20 42,50 169,25 165,90 42,312 41,47 1,410 1,38 1,395a
Perlakuan 3 (P3) P31 P32 38,50 35,50 38,40 33,50 38,60 34,60 39,50 35,80 155,00 139,40 38,75 34,85 1,29 1,16 1,225a
Keterangan: Subcript yang sama pada lajur yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) P1 : Konsentrat dan r, lapangan P2: Konsentrat + lemuru tersabun 6% + minyak zaitun 1%+ t,lawak 100 g + r,lapangan P3: Konsentrat + lemuru tersabun 8% + minyak zaitun 2% + t,lawak 200 g + r, lapangan
Tabel 3. Konsumsi minum sapi Bali selama penelitian Keterangan Bulan Juni Juli Agustus September Total Rata-rata/hr/ekor (cc) Rata-rata/hr/ekor/plk (cc)
Perlakuan 1 (P1) P11 P1 2 15,00 16,00 16,00 18,00 14,00 17,00 15,00 14,50 60,00 65,50 0,50 0,545 0,522
Perlakuan 2 (P2) P2 1 P22 17,00 16,00 16,50 15,00 15,00 17,00 14,50 14,00 63,00 62,00 0,525 0,516 0,520
Perlakuan 3 (P3) P31 P32 14,00 15,00 16,00 15,00 14,50 15,00 15,50 16,00 60,00 61,00 0,500 0,508 0,504
Keterangan: Subcript yang sama pada lajur yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) P1 : Konsentrat dan r. lapangan P2: Konsentrat + lemuru tersabun 6% + minyak zaitun 1%+ t,lawak 100 g + r. lapangan P3: Konsentrat + lemuru tersabun 8% + minyak zaitun 2% + t,lawak 200 g + r. lapangan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
5
ISSN 1978 - 3000 Parakkasi (1999). Selanjutnya disebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi seekor sapi adalah cukup komplek karena tergantung: kondisi hewan itu sendiri, makanan yang diberikan serta lingkungan tempat ternak tersebut dipelihara. Konsumsi minum Konsumsi minum sapi Bali selama penelitian dapat diperhatikan pada tabel 3. Konsumsi minum sapi Bali antara perlakuan satu, dua dan tiga tidak terjadi perbedaan secara nyata (P>0,05), hal ini berarti bahwa kesanggupan minum sapi Bali tidak mengalami perubahan dengan adanya perlakuan yang diberikan. Konsumsi hijauan pakan Hijauan pakan yang diberikan berupa rumput lapangan yang diambil dari pematang sawah, ladang pangonan maupun di daerah rawa-rawa. Adapun konsumsi sapi Bali selama penelitian dapat diperhatikan pada tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata /hari/ekor konsumsi hijauan sapi Bali untuk perlakuan satu (P1) sebesar 8,382 kg dan untuk P2 sebesar 8,717 kg dan P3 sebesar 8,501 kg. Bedasarkan analisis varian menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), antara P1
dan P3 dan secara nyata (P<0,05) antara P1 dan P2 .Dengan perlakuan dua (P2) konsumsi hijauan mengalami peningkatan sebesar 0,335 kg/hari/ekor. Akan tetapi dengan semakin ditingkatkannya dosis lemuru dan temulawak konsumsi hijauan cenderung menurun, namun jika dibandingkan dengan kontrol menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05). Hal ini berarti bahwa dengan perlakuan dua (P2) mempengaruhi dalam mengkonsumsi hijauan atau mengkonsumsi rumput lapangan. Dengan kata lain secara umum menunjukkan dengan semakin ditingkatkan perlakuan maka palatabelitas sapi terhadap hijauan pakan tidak terpengaruh. Namun demikian konsumsi hijauan kurang dari 10% dari bobot badannya. Hal ini kemungkinan disebabkan ada beberapa faktor selain rumput yang diberikan kurang disukai oleh ternak dapat juga terjadi karena faktor adaptasi dari ternak tersebut, mengingat ternak sapi yang dipergunakan adalah sapi-sapi yang biasanya dilepas, meskipun sudah diadaptasikan selama kurang lebih satu bulan, tetapi dirasa masih kurang. Namun yang terpenting adalah antara perlakuan satu dan perlakuan tiga tidak terjadi perbedaan sehingga dengan perlakuan pemberian minyak lemuru
Tabel 4. Konsumsi hijauan Sapi Bali selama penelitian Keterangan
Juni Juli Agustus September Total Rata-rata/bln Rata-rata/hr/ekor Rata-rata/hr/plk
Perlakuan 1 (P1) (kg) P11 P1 2 250,40 249,00 253,90 248,90 255,30 249,80 254,20 249,30 1013,80 999,00 253,45 249,750 8,44 8,325 8,382a
Perlakuan 2 (P2) (kg) P2 1 P22 259,50 258,60 259,90 259,20 262,80 265,40 268,20 259,50 1050,40 1042,70 262,60 258,925 8,746 8,689 8,717b
Perlakuan 3 (P3) (kg) P31 P32 257,00 253,20 254,80 252,50 252,00 252,20 252,00 251,60 1018,80 1021,50 254,70 255,375 8,49 8,512 8,501a
Keterangan: Subcript yang sama pada lajur yang tidak sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P<0,05) P1 : Konsentrat dan rumput lapangan P2: Konsentrat + lemuru tersabun 6% + minyak zaitun 1%+ t,lawak 100 g + rmp lapangan P3: Konsentrat + lemuru tersabun 8% + minyak zaitun 2% + t,lawak 200 g + rmp lapangan
6
| Studi Minyak Lemuru Tersabun
ISSN 1978 - 3000 tersabun, minyak zaitun dan pasta temulawak tidak mempengaruhi palatabelitas pakan hijauan. Pertambahan berat badan Pertambahan berat badan ternak sapi selama penelitian dapat diperhatikan pada tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa pertambahan berat badan sapi Bali antara perlakuan satu (P1) dan perlakuan dua (P2) menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), dimana P2 lebih berat dari pada P1 hal ini berarti bahwa
dengan pemberian minyak lemuru tersabun, minyak zaitun dan temulawak memberikan efek pada pertambahan berat badan, hanya pada P3 menunjukkan penurunan berat badan dibanding P2, namun secara statistik menunjukkan berbeda tidak nyata(P>0,05) dengan P1. Pada perlakuan P2 dan P3 menunjukkan kenaikan berat badan dibanding P1, hal ini kemungkinan disebabkan adanya temu lawak yang mempengaruhi didalam pencernaan dan nafsu makan ternak. Jika dilihat dari konsumsi hijauan
Tabel 5. Rata-rata pertambahan bobot badan Sapi Bali Keterangan Perlakuan Kontrol (P1) Peningkatan Berat Badan Perlakuan 2 (P2) Peningkatan Berat badan Perlakuan 3 (P3) Peningkatan berat badan Keterangan
:
Sapi 1 92,00 99,00 7,00 90,50 99,00 8,50 91,50 99,00 7,50
Sapi 2 98 ,00 106,00 8,00 97,50 108,50 8,50 96,50 104,50 8,00
Sapi 3 107,00 113,50 6,50 106,00 114,00 8,00 105,00 113,00 8,00
Sapi 4 113,00 118,50 5,50 114,50 122,00 7,50 113,00 121,50 7,50
Rata-rata PBBH (kg/hr)
0,216 a
0,270 b
0,258b
Subscript yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) dan yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), P1: konsentrat + r. lapangan P2: konsentrat + r.lapangan + 1 % m,zaitun+ 6 % m,lemuru tersabun + 100 g t. lawak P3: konsentrat + r. lapangan + 1% m,zaitun + 6 % m, Lemuru tersabun + 200 g t.lawak PBBH: Pertambahan Bobot Badan Harian
Tabel 6. Kandungan kolesterol serum darah sapi Bali selama perlakuan Perlakuan P1
Rata-rata P2
Rata-rata P3
Rata-rata
Sampel darah Sapi 1 Sapi 2 Sapi 3 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 2 Sapi 3 Sapi 4 Sapi 1 Sapi 2 Sapi 3 Sapi 4
Kolesterol Total ( mg/dl) 112 105 110 102 115 98 112 96 106,25 ± 2,610a 76 70 72 74 74 59 73 61 70,25 ± 1,835b 60 59 57 57 59 49 58 52 58,50 ± 3.293c
Trigliserida (mg/dl) 36 32 35 30 33 31 32 32 33 ± 0,934 d 29 23 30 24 31 20 28 18 25,35 ± 2,021e 23 13 22 14 21 11 24 12 17,50 ± 1.322f
HDL (mg/dl) 32 32 30 32 30 31 31 32 31,00 ± 0,957g 43 45 49 48 45 55 47 56 48,50 ± 4,061 h 56 60 55 59 58 62 54 64 58,50 ± 1,393 i
LDL (mg/dl) 38 35 39 36 36 33 37 34 36,00 ± 1,408j 30 28 32 24 31 23 30 25 27,87 ± 1,558k 28 16 26 17 25 13 27 12 20,50 ± 1,835 l
Keterangan: HDL: Hight Density lipoprotein; LDL: Low Dencity Lipoprotein Subcript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
7
ISSN 1978 - 3000 menunjukkan pada P2 cenderung meningkat dibandingkan kontrol dan P3 Kandungan Kolesterol serum darah Sapi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kandungan kolesterol darah sapi pada pemberian kolesterol dengan perlakuan selama satu bulan menunjukkan data seperti tabel 6. Kandungan kolesterol serum darah total sapi Bali selama percobaan menunjukkan rata-rata 106,25 ± 2,610 mg/dl pada perlakuan P1; 70,25.00 ± 1,835 ml/dl pada perlakuan P2 dan 58,50 ± 3,293 mg/dl pada P3. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa faktor perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan kolesterol serum darah total sapi Bali . P1 berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi kandungan kolesterol dibanding dengan P2, dan P2 berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi kandungan kolesterol total serum darah dibanding dengan P3. Sedangkan P3 berbeda sangat nyata (P<0,01) dari P1. Hal ini berarti bahwa semakin ditingkatkan komposisi minyak zaitun, minyak lemuru tersabun dan pasta temulawak maka semakin menurun kandungan kolesterol total serum darah sapi Bali dan tingkat penurunannya dapat mencapai: 33,88 % dan 44,94 % dari perlakuan kontrol.Jika dibandingkan dengan kandungan kolesterol total pada domba, hasil penelitian Kadarsih (2008) menunjukkan bahwa dengan perlakuan minyak lemuru 6 % dan niasin 800 ppm kandungan kolesterol sebesar 98,291 mg/dl, maka pada perlakuan P2 dan P3 pada penelitian ini menunjukkan kandungan kolesterol serum darah jauh lebih rendah. Kandungan triglyceride dalam serum darah sapi Bali menunjukkan bahwa pada P1: 33 ± 0,934 mg/dl; P2:
8
| Studi Minyak Lemuru Tersabun
25,35 ± 2,020 mg/dl dan P3 sebesar: 17,50 ± 1,322 mg/dl. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa Komposisi ini menunjukkan kandungan triglyceride dalam darah mengalami penurunan secara nyata (P<0,05) setelah adanya perlakuan. Kandungan trigliserida P3 lebih rendah dari P2 dan P2 lebih rendah dari P1. Namun demikian jika dibandingkan penelitian Kadarsih dkk (2007) sebelumnya pada ternak domba bahwa dengan pemberian lemuru 6 % saja mampu menurunkan kandungan trigliserida sebesar 117,17 ml/dl, pada penelitian ini mampu lebih mampu menurunkan kadar trigliserida darah lebih banyak, jika dibandingkan dengan kandungan trigliserida pada sapi Bali. Kandungan HDL dalam darah sapi Bali pada P1 adalah 31,00 ± 0,957 mg/dl; P2 sebanyak 48,50 ± 4,061 mg/dl dan P3 sebanyak 58,50 ± 1,393 mg/dl. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan HDL serum darah sapi. Pada uji lanjut dengan LSD menunjukkan bahwa P3 berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi kandungan HDL dibanding P2 dan P1 dan P2 berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibanding P1.Dengan kata lain bahwa dengan pemberian minyak zaitun, minyak lemuru tersabun dan pasta temulawak mampu meningkatkan kandungan HDL dalam serum darah sapi Bali. Hasil ini bila dibandingkan dengan kandungan HDL pada domba, hasil penelitian Kadarsih dkk, (2007) menunjukkan bahwa dengan perlakuan 6 % lemuru dan niasin 800 ppm mampu meningkatkan kandungan HDL sebesar 51,98 ml/dl dan hasil ini lebih tinggi dari P2, namun masih lebih rendah dari P3. Adapun kandungan LDL serum darah sapi Bali menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kandungan LDL. Pada
ISSN 1978 - 3000 P1 kandungan LDL adalah 36,00 ± 1,408 mg/dl dan P2 kandungan LDL sebesar 27,87 ± 1,558 mg/dl dan P3 sebesar 20,50 ± 1,835 mg/dl. Antara P1 menunjukkan kandungan LDL serum darah lebih tinggi berbeda nyata (P<0,05) dibanding P2 dan P1 dengan P3 menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01) hal ini berarti bahwa dengan pemberian minyak zaitun , minyak lemuru tersabun dan pasta temulawak mampu menurunkan kadar LDL dalam serum darah sebanyak 27,53 % pada P2 dan 57,97 % pada P3 dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Bila dibandingkan dengan ternak domba, hasil penelitian Kadarsih dkk, (2007) bahwa kandungan LDL kolesterol darah sebesar 72,699 mg/dl pada pemberian lemuru 3 % dan 67,780 mg/dl pada pemberian lemuru 6%. Dengan demikian dengan perlakuan P2 (minyak lemuru tersabun 6 %, minyak zaitun 1% dan pasta temulawak 100 g) dan perlakuan P3 (minyak lemuru tersabun 8%, minyak zaitun 2 % dan pasta temulawak 200 g) mampu menurunkan kandungan kolesterol LDL serum darah sapi Bali jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ternak domba.
SIMPULAN Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa produktivitas ternak masih baik dan kandungan kolesterol darah sapi menurun selaras dengan peningkatan dosis perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2005. Fish oil. http//www.ironmagazine.com/re view 44 html 6 April 2005.
Benerjee.C.C., 1978. A Texbook of Animal Nutrition. Oxford dan OBH Publishing Co, New Delhi Bouchat ,1993. Fats, their positional isomer and Platelete Function. J. Med, Tech. 3(1) :24-27. Hinds, A. and T.A.B. Sanders., l993. The Effect of increasing level of dietary fish oil rich In eicosapentaenoic and dokosaheksaenoic acid on lymphocyte pospholipid fatty Acid composition and cell mediated immunity in the mouse. Br. J. Nutr, 69: 423-429. Horst, R.L; A. Timothi dan P.G. Jesse; 1989. Recent Progres on Mineral Nutrition dan Mineral Requierement in Ruminant. Proceding International Meeting on Mineral Nutrition and Mineral Requirement in Ruminant. Kyoto, Japan, hlm: 3. Jenkins, T.C. 1993. Lipids Metabolisme inb the Rumen. In: Symposium Advance Ruminasnt. Lipid Metabolism. J. Dairy Sci, 76: 3851–3863. Kunsman,J. and M. Keeney, 1964. Journal Dairy Sci, 23: 682. Kadarsih. 2005. Suplementasi minyak ikan lemuru dan niasin pada ransum terhadap Kandungan kolesterol asam lemak daging kambing lokal. (dalam proses publikasi ke Jurnal Ilmu ilmu Pertanian UNIB, tahun 2006) Kadarsih., S; T. Suteky., Kuswady.E. 2006. Suplementasi minyak ikan lemuru dan niasin Pada ransum terhadap kandungan kolesterol dan komposisi asam lemak serta imunitas selular ternak domba.(Hibah Bersaing XIV/ tahun 1).
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
9
ISSN 1978 - 3000 Kadarsih, S. T. Suteky; Kuswady E. 2007. Suplementasi minyak ikan lemuru dan niasin pada ransum terhadap kandubngan kolesterol dan komposisi asam lemak serta
10 | Studi Minyak Lemuru Tersabun
imunitas selluler ternak domba (Hibah Bersaing XV/tahun II). Linder, M.C., 1993. Biokimia Nutrisi dan Metabolism. Universitas Indonesia. Press Jakarta.
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap Kadar Kalsium dan Sifat Organoleptik Stik Keju Effect of Addition of Wheat Cartilage of Broiler Levels of Calcium and Organoleptic Properties Cheese Stick Yenni Okfrianti, Kamsiah, Yusma Hartati Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu Jalan Indragiri No 3 Padang Harapan, Bengkulu, Telp (0736) 341212
ABSTRACT This study aims were to determine the effect of adding bone meal broiler prone to calcium levels and organoleptic properties (taste, color, texture) cheese sticks. This study used a complete randomized design with limited treatment which includes: Cheese sticks with the addition of chicken cartilage powder 5, 10, and 15%. The results showed that increased concentrations of cartilage flour has also increased the levels of calcium cheese stick (p <0.05). In the organoleptic characteristics of the addition of flour cartilage broiler does not significantly affect the organoleptic characteristics of taste and color (p> 0.05) but significantly affect the texture (p <0.05). Key words: wheat cartilage bone meal, cheese sticks, taste, colour, and texture.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging terhadap kadar kalsium dan sifat organoleptik (rasa, warna, tekstur) stik keju. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan terbatas yakni meliputi: Stik Keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam 5, 10, dan 15 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi tepung tulang rawan meningkatkan pula kadar kalsium stik keju (p< 0,05). Pada karakteristik organoleptik penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging tidak nyata berpengaruh terhadap karakteristik organoleptik rasa dan warna (p >0,05) namun berpengaruh nyata terhadap tekstur (p<0,05). Kata kunci: tepung tulang rawan, stik keju, rasa, teksture dan warna
PENDAHULUAN Kalsium merupakan mineral yang penting bagi manusia antara lain untuk metabolisme tubuh, pembentukan tulang dan gigi, penghubung antar syaraf, kerja jantung, pergerakan otot, serta pembekuan darah (Sandjaja dkk, 2009). Kalsium merupakan mineral yang banyak terdapat didalam tubuh, yaitu 1,5 % - 2% dari berat orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Peningkatan kebutuhan kalsium terjadi pada masa
pertumbuhan, kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang meningkatkan densitas tulang (Almatsier, 2003). Kebutuhan kalsium berdasarkan umur yaitu pada bayi (300-400 mg), anak-anak (500 mg), remaja (600-700 mg), dewasa (500-800 mg), ibu menyusui dan menyusui (+ 400 mg) (Almatsier, 2003). Asupan kalsium yang dianjurkan adalah 1200 mg /hari bagi wanita hamil yang berusia 25 tahun ke atas. Sumber utama kalsium adalah susu dan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
11
ISSN 1978 - 3000 olahannya seperti whole milk, yoghurt dan keju (Arisman, 2002). Keju adalah makanan padat yang dibuat dari susu sapi, kambing, dan mamalia lainnya. Keju dapat bertahan lama dan memiliki kandungan lemak, protein, fosfor dan kalsium yang tinggi (Sandjaja dkk, 2009). Pemanfaatan keju dapat dibuat dalam makanan ringan. Makanan ringan adalah makanan yang bukan merupakan menu utama (makan pagi, makan siang atau makan malam). Makanan ringan adalah sesuatu yang dimakan untuk menghilangkan rasa lapar untuk sementara waktu. Salah satu makanan ringan yang sering dikonsumsi adalah stik keju. Stik keju adalah makanan yang mempunyai rasa gurih dan memiliki warna putih agak kecoklatan dan tekstur yang renyah. Komposisi bahan stik keju adalah tepung terigu, tepung tapioka, baking powder, telur ayam, minyak dan keju. Stik keju merupakan makanan ringan yang sering dikonsumsi oleh ibu hamil selain rasanya yang gurih juga memiliki nilai gizi. Kandungan nilai gizi per 100 g stik keju adalah kalori (371,17 kal), protein (13,45 g), lemak (10 g), karbohidrat (52 g), kalsium (217 mg) (DKBM, 2005). Berdasarkan sumbangan kalsium pada 100 g stik keju masih kurang untuk kebutuhan kalsium pada ibu hamil yaitu 1200 mg per hari. Salah satu alternatif untuk menambah kandungan gizi terutama kandungan kalsium pada stik keju yaitu dengan jalan memodifikasi bahan baku dalam pembuatannya. Bahan baku yang ditambahkan dalam pembuatan stik keju adalah penambahan tepung yang terbuat dari tulang rawan ayam pedaging (Agustin, 2003). Tulang ayam pedaging adalah bahan sisa pangan dari ayam yang biasanya terbuang. Tulang rawan ayam pedaging dengan umur potong yang 12 | Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan
singkat berkisar 6 sampai dengan 8 minggu. Tulang rawan ayam pedaging dari bagian paha diperoleh dari bagian ujung tulang yang banyak mengandung mineral dan protein. Pengolahan tulang rawan menjadi tepung dapat mempertahankan kandungan gizi di dalamnya. Dalam 1 g tepung tulang ayam mengandung kalsium sebesar 62,79 mg (Budhiarty, 2005). Tepung tulang rawan dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk pengolahan pangan lain dengan harapan dapat meningkatkan nilai gizi dari suatu produk pangan (Agustin, 2003). Tujuan penelitian ini adalah pengaruh penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging terhadap kadar kalsium dan sifat organoleptik stik keju.
MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kimia dan Ilmu Teknologi Pangan Poltekkes Kemenkes Bengkulu, dari bulan April sampai Juni 2010. Penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu pada tahap satu pembuatan tepung tulang rawan ayam pedaging dan tahap kedua pembuatan stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging dan tahap ketiga uji kalsium dan uji organoleptik. Tahap 1. Pembuatan tepung tulang rawan ayam pedaging. Mula-mula tepung tulang rawan direbus pada suhu 800 C selama 60 menit agar protein tidak terdenaturasi.. Kemudian dilakukan pelunakan pada suhu 120º C dengan tekanan 2 atm selama 2 jam untuk melunakan tulang rawan ayam pedaging lalu penggilingan tulang dengan menggunakan blender lalu dikeringkan dengan Hot Air Oven dengan suhu 60 º C selama 18 jam dan
ISSN 1978 - 3000 400 gr tulang rawan ayam pedaging
Air
Pencucian
Bahan Kej 150 ml Air
Perebusan Suhu 60 °C selama 60 menit
Pelunakan dengan presto Suhu 120 °C selama 120 menit
Penggilingan dengan blender
Pengeringan dengan hot air oven Suhu 60 °C selama 18 jam
Pengayakan dengan ayakan 60 mesh
Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging
1. Proses Pembuatan TepungTulang Tulang Rawan Ayam pedaging Gambar Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Rawan Ayam Pedaging diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga didapatkan tepung tulang rawan ayam pedaging (Gambar 1). Tahap 2. Pembuatan stik keju. Dalam proses pembuatan stik keju diawali dengan pencampuran tepung terigu, tepung sagu, garam, baking powder
dan telur aduk hingga homogen kemudian tambahkan tepung tulang rawan ayam pedaging sesuai perlakuan yaitu penambahan sebanyak 5% (10 gr), 10% (20 gr) dan 15% (30 g) lalu aduk kembali. Adonan dicetak dengan mesin penggiling mi, lalu digoreng hingga matang lalu dinginkan dan simpan pada
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
13
ging
ISSN 1978 - 3000
Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging 5 %, 10 %, 15 %
Bahan Stik Keju
Pencampuran, pengadukan hingga homogen
Pencetakan dengan mesin penggilingan mie dengan ketebalan 2 – 4 mm
Pencetakan dengan panjang 7 cm
Pengorengan Suhu 80 – 90 selama 7 menit Uji Kalsium
Stik Keju
Uji Organoleptik Rasa, Warna, Tekstur Gambar 2. Alir Proses pembuatan Stik keju
Gambar 2 Alir ProsesTahap Pembuatan Stik Keju wadah tertutup (Gambar 2). Adapun 3 komposisi bahan stik keju dapat dilihat Analisa kadar kalsium pada Tabel 1. berikut ini. menggunakan bahan : larutan amonium oksalat jenuh 10 ml, indikator merah Tabel 1. Bahan Stik Keju metil 2 tetes, amonia encer, asam asetat, aquadest, H2SO4, KmnO4.dan mutu Komposisi Stik Keju P1 P2 P3 organoleptik (rasa, warna, tekstur). Tepung tulang rawan (gr)
10
20
30
Tepung Terigu (gr)
190
180
170
Tepung Tapioka (gr)
50
50
50
Keju (gr)
100
100
100
Baking Powder (gr)
0.5
0.5
0.5
1
1
1
Garam (gr)
14 | Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan
Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) tiga perlakuan. RAL dipilih karena bahan percobaan yang akan dipakai sebagai
ISSN 1978 - 3000 unit percobaan homogen dan jumlah perlakuan terbatas yakni meliputi: P1 : Stik Keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam(5% ) P2 : Stik Keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam (10 P3 : Stik Keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam (15%)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Kalsium Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung tulang rawan ayam berpengaruh nyata (ρ<0,05) terhadap kadar kalsium stik keju. Hasil uji lanjut LSD antar masing–masing perlakuan berbeda nyata (ρ<0,05). Stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 15 % memiliki skor rata-rata Kadar Kalsium paling tinggi yaitu 0,698 gr (Tabel 2). Tabel 2.
rawan ayam pedaging pada mie kering maka nilai kadar kalsium semakin tinggi. Karakteristik Organoleptik Rasa Adapun hasil uji organoleptik atribut rasa pada stik keju dengan metode uji kesukaan dengan 35 orang panelis dapat dilihat pada Tabel 3. Rasa stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 5 %, 21 panelis (60 %) mengatakan suka. Untuk rasa stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 10 % diketahui bahwa 20 panelis (57,1 %) mengatakan suka dan untuk rasa stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 15% diketahui 21 panelis (60%) mengatakan suka. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging tidak nyata berpengaruh terhadap rasa stik keju yang ditunjukkan (ρ>0,05) dapat dilihat pada Tabel 3.
Rata-rata Kadar Kalsium Stik Keju
Konsentrasi Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging 5% 10 % 15 % Keterangan:
Kadar Kalsium dalam 100 gr 0,445a 0,575b 0,667c
Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan rata-rata yang signifikan (ρ< 0,05) menurut Uji LSD.
Menurut penelitian Hardianto (2002) tepung tulang rawan ayam pedaging mempunyai kandungan protein 71,93 % BK, mineral khususnya kalsium 3,14 % dan fosfor 1,86 %. Tepung tulang rawan dapat dimanfaatkan lebih lanjut dengan harapan dapat meningkatkan nilai gizi dari suatu produk pangan. Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian Agustin (2003) semakin banyak penambahan tepung tulang
Tabel 3. Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Terhadap Mutu Organoleptik (Rasa) Stik Keju Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging 5% 10 % 15 % Keterangan:
Presentase Tingkat Kesukaan 54,46 % 50,09 % 54,46 %
UjiKruskall Wallis (ρ) 0,735
Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata taraf 5 % menurut Uji Kruskall Wallis (ρ)
Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Menurut Wijayanti (2003), rasa adalah karakteristik dari suatu zat yang disebabkan oleh adanya bagian zat tersebut yang larut dalam air atau lemak dan bersentuhan dengan indera pencicipan (lidah dan rongga mulut),
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
15
ISSN 1978 - 3000 sehingga memberikan kesan tertentu. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain. Pengaruh antara satu macam rasa dengan macam rasa yang lain tergantung pada konsentrasinya. Bila salah satu komponen mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dari pada komponen yang lain maka ada kemungkinan timbul rasa gabungan atau komponen tersebut dapat dirasakan kesemuanya secara berurutan (Kartika, 1998). Warna Tabel 4. menunjukkan bahwa hasil uji organoleptik atribut warna pada stik keju dengan metode uji kesukaan dengan 35 orang panelis diketahui bahwa untuk warna stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 5 %, 18 panelis (51,4 % ) mengatakan suka. Untuk warna stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 10 % diketahui bahwa 18 panelis (51,4%) mengatakan suka dan untuk rasa stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 15 % diketahui 16 panelis (45,7 %) mengatakan suka. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging tidak nyata berpengaruh terhadap rasa stik keju yang ditunjukkan (ρ>0,05) dapat dilihat pada Tabel 4. Hal ini dikarenakan intensitas warna yang hampir sama antar produk. Menurut Setiawan (1988), nilai warna Tabel 4.
yang objektif dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yaitu warna awal penyusunan. Warna awal tepung tulang rawan coklat dan tepung terigu agak bewarna krem, proses pencampuran antara tepung terigu dengan tepung tulang rawan ayam pedaging akan membuat adonan bewarna kecoklatan dan semakin bewarna coklat ketika proses penggorengan. Pada saat pencampuran adonan tepung terigu dengan tepung tulang rawan ayam pedaging akan bewarna kecoklatan begitu juga saat penggorengan. Proses penggorengan yaitu suhu, cara dan penggorengan akan mempengaruhi rasa, warna dan tekstur produk yang dihasilkan serta penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging yang digunakan tidak berselisih jauh membuat panelis memberikan penilaian yang sama. Menurut Wijanti (2003) warna adalah kesan yang dihasilkan oleh indra mata terhadap cahaya yang dipantulkan oleh benda tersebut. Jika dilihat dari penerimaan panelis terhadap hasil uji organoleptik atribut warna pada stik keju bahwa warna stik keju dengan konsentrasi penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 5 % dan 10 % paling disukai panelis. Menurut Mudjayanto dan Yulianti (2007) proses pencampuran yang tidak homogen akan menghasilkan adonan yang tidak homogen sehingga akan mempengaruhi keseragaman rasa, tekstur dan rasa.
Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Terhadap Mutu organoleptik (Warna) Stik Keju
Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging 5% 10 % 15 % Keterangan :
Presentase Tingkat Kesukaan 57.49 % 53,93 % 47,49 %
Uji Kruskall Wallis (ρ) 0,323
Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata taraf 5 % menurut Uji Kruskall Wallis (ρ)
16 | Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan
ISSN 1978 - 3000 Tekstur Adapun hasil uji organoleptik atribut tekstur pada stik keju dengan metode uji kesukaan dengan 35 orang panelis dapat dilihat pada Tabel 5. Diketahui bahwa untuk tekstur stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 5 %, 19 panelis (54,3 %) mengatakan suka. Untuk tekstur stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 10 % diketahui bahwa 20 panelis (57,1 %) mengatakan suka dan untuk rasa stik keju dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 15 % diketahui 20 panelis (57,1 %) mengatakan suka. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging tidak nyata berpengaruh terhadap rasa stik keju yang ditunjukkan (ρ< 0,05) dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil uji lanjut Mann Whitney maka dapat dilihat perbandingan antar produk yang dihasilkan panelis tidak dapat membedakan tekstur antar produk dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 15 % dan 10 % dengan nilai ρ= 0,746 karena nilai ρ >0,05. akan tetapi panelis dapat membedakan tekstur antar produk dengan penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging 5 % dan 10 % dengan nilai ρ= 0,008 karena nilai ρ< 0,05 dan panelis dapat membedakan tekstur antar produk dengan penambahan 5 % dan 15 %
dengan nilai ρ= 0,018 karena nilai ρ< 0,05. Tekstur merupakan salah satu parameter mutu yang penting karena tekstur juga menentukan tingkat penerimaan konsumen terhdap produk yang dihasilkan. Tekstur merupakan sifat penting dalam produk pengorengan. Tingkat kehalusan tepung tulang ayam pedaging merupakan faktor penentu terhadap proses pengembangan stik keju. Semakin tinggi tingkat konsentrasi penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging semakin bertambah kesukaan panelis terhadap tekstur stik keju. Hal ini terjadi karena kandungan kolagen yang terdapat dalam tepung tulang rawan ayam pedaging yang berfungsi sebagai bahan pengikat , sehingga adonan lebih kohesif, kuat dan tidak mudah putus (Agustin, 2003), sehingga tekstur yang dihasilkan lebih renyah.
SIMPULAN 1. Penambahan tepung tulang ayam pedaging berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium stik keju. 2. Penambahan tepung tulang ayam pedaging tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik organoleptik rasa dan warna, namun berpenaruh nyata terhadap tekstur.
Tabel 5. Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Terhadap Mutu organoleptik (Tekstur) Stik Keju Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging 5% 10 % 15 % Keterangan :
Presentase Tingkat Kesukaan 42,07b% 59,46a% 57,47a%
Uji Kruskall Wallis (ρ) 0,014
Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata taraf 5 % menurut Uji Kruskall Wallis (ρ). Huruf yang berbeda (ab) pada keterangan menunjukkan ada perbedaan nyata pada taraf 5 % menurut Uji Mann Whiney (ρ)
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
17
ISSN 1978 - 3000 DAFTAR PUSTAKA Agustin, L, S. 2003. Pembuatan Mie Kering Dengan Fortifikasi Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ariesi, W.2007. Kalsium. Dunia Wida, Surabaya Arisman, 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan, PT Buku Kedokteran egc. Jakarta Budhiarty, Pujiani, 2005. Fortifikasi Kalsium Pada Susu Kedelai Dengan Pemanfaatan Tulang Ayam Yang Telah Mengalami Deproteinasi . Diakses dari http://digilib.upi.edu/pasca/avalia ble/etd-1223105-143348/ Hanum, Y.1998. Diktat Penilaian Indrawi. Fakultas Pertanian. Http://Smartsains..
18 | Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan
Blogspot.com/2008/06/PetunjukPengujian-Organoleptik.Html . Hardianto, V. 2002. Pembuatan Tepung Tulang Rawan Ayam pedaging menggunakan pengering drum (drum dryer) dengan penambahan bahan pemutih (bleaching agent). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kristianto, Yohanes. 2005. Panduan Penelitian Pangan Dan Gizi. Politeknik Kesehatan Malang. Malang. PERSAGI. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Jakarta Pudjirahaju, A. 2001. Diktat ITP, Penilaian Kualitas Makanan Secara Organoleptik. Malang Suwarjono, 2008. Kalsium Si Beton Dalam Tulang.Viva News Tejasari, 2005. Nilai Gizi Pangan. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta ______,2008. Resep Tepung Terigu, diakses dari : http://id.Wikibooks.org ______, 2008. Resep Stik Keju, diakses dari: http://id.sedapsekejap.blogspot.com
ISSN 1978 - 3000
Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka Peningkatan Produksi Madu dan Biji Kopi The Analisys of Honeybee-Coffee Plantation Integration Model on Improving the Honey and Coffee Bean Product 1 R. Saepudin2, A. M. Fuah3, C. Sumantri4 , L. Abdullah5 , S. Hadisoesilo6 1. Bagian Disertasi di Sekolah Pasca Sarjana IPB Mahasiswa Program Doktor pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, SPs.IPB 3. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. Ketua Komisi Pembimbing 4. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. Anggota Komisi Pembimbing 5. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. Anggota Komisi Pembimbing 6. Badan Litbang Kehutanan Bogor Anggota Komisi Pembimbing
2.
ABSTRACT The study of relationship between the honey productivity and honey bee-coffee plantation integration was conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of this study was to evaluate the integration model on improving the honey and coffee bean product as well. The experiment was arranged in a completely randomized design with two treatments and ten replications where as the model was analysed with SWOT. The result showed that honey production was higher by 114% than that outside the plantation. Similar to the honey productionn, coffee been production at honeybee-coffee plantation integration was significantly higher by 10,55 % than that was unpollinated by Apis cerana, The honeybee colonies that were placed on coffee plantation spreadly produced honey significantly higher than those were placed with concentrated way. Other result was that based on SWOT analyses, the honeybee and coffee plantation integration are able to be developed agresively due to its higher strengths and higher opportunities than its weakensses and threats respectively. Key words: Honey, cerana, coffee, integration production
ABSTRAK Penelitian tentang hubungan antara produksi madu pada integrasi lebah madu dan kebun kopi telah dilaksanakan di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu. Tujuan penelitian adalah menganalisa model integrasi kaitannya dengan penelingkatan produksi madu dan biji kopi. Metoda penelitian dirancang berdasarkan RAL dan model dianaalisis dengan menggunakan SWOT. Hasil penelitian menunjukan bahwa peroduksi lebah 114 % dan biji kopi 10,55 % lebih tinggi pada siatem integrasi dari pada di luar sistem integrasi. Setiap satu hektar kebun kopi di Kabupaten Kepahiang dapat mendukung 100 koloni lebah A cerana. Berdasarkan analisis SWOT integrasi lebah madu kebun kopi berada pada kuadran ke I, yang berarti pengembangan Siskolema dapat dilaksanakan secara progresif karena kekuatan dapat mengatasi kelemahan dan peluang lebih besar dari pada ancaman yang dihadapi. Kata kunci: madu, cerana, kopi, integrasi. Produks
PENDAHULUAN Masalah utama peternakan lebah madu yang berhasil diidentifikasi adalah produksi dan kualitas madu yang rendah (sekitar 1-3 kg/koloni/tahun lebih rendah dari produksi ideal yaitu 5-10
kg/koloni/tahun), Untuk menjaga kesinambungan usaha perlebahan dapat dilakukan dengan mencari tanaman sumber pakan yang memiliki hubungan mutualisme dengan lebah madu. Tanaman yang punya potensi di Kepahiang adalah kopi dengan luasan 29
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
19
ISSN 1978 - 3000 ribu ha dari 35 ribu ha perkebunan (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang, 2009). Tanaman kopi menyediakan nektar dan polen sebagai pakan lebah Apis cerana untuk menghasilkan jumlah dan madu yang lebih tinggi. Department of Agriculture and Food Western Australia (2009) melaporkan bahwa Madu yang dihasilkan lebah yang diberi pakan nektar kopi memiliki frukrosa tinggi (38%), berwarna amber dan aroma khas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan tanaman kopi yang sudah berkembang dengan lebah madu dan memiliki hubungan mutualisme satu sama lain yang selanjutnya disebut sinkolema. Lebah madu yang mampu menghasilkan madu pada saat kopi belum dipanen dan membantu penyerbukan untuk meningkatkan produksi kopi. Disisi lain kopi mampu menyediakan nektar dan pollen sebagai pakan dari lebah madu. Integrasi lebah kopi, disampaing untuk mengatasi permasalahan produktivitas madu juga untuk mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas kopi yang relatif rendah (0,970 ton/ha) (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang, 2009) dibandingkan dengan produksi ideal sebesar 1,540 ton/ha Penelitian integrasi lebah dengan tanaman telah dilakukan oleh Kazuhiro (2004) dan Biesmeijer dan Slaa (2004) yang mengintegrasikan Stingless bee dengan tanaman kacang-kacangan. Penelitian yang serupa telah dilaksanakan oleh Klein et al. (2003) pada kopi, Kremen et al. (2002) pada pada daerah pertanian hortikultura, Kakutani et al. (1993), Maeta et al. (1992) dan Katayama (1987) pada tanaman strowberry. Namun demikian penelitian masih difokuskan pada jasa lebah sebagai polinator, sedangkan peranan tanaman sebagai sumber penghasil 20 | Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi
pakan lebah masih sangat sulit didapatkan. Pola integrasi kebun kopi lebah madu (yang selanjutnya disebut Sinkolema) belum banyak diterapkan di Indonesia padahal potensinya terutama di luar Jawa sangat tinggi dan peran masing-masing sangat penting, diantaranya adalah; 1. Lebah sebagai penyerbuk pada tanaman kopi, sehingga diharapkan produksi kopi semakin tinggi dan kopi sebagai penghasil pakan yang diharapkan mampu meningkatkan produksi madu yang berkualitas sehingga produktivitas dan efisiensi lahan meningkat, pada gilirannya kesejahteraan petani juga meningkat. 2. Madu sebagai sumber pendapatan tambahan petani sehingga pada saat usaha pertanian tidak berproduksi, lebah madu mampu memberikan penghasilan, sehingga biaya hidup sehari-hari dan biaya untuk usaha pertanian saat kopi tidak berproduksi tetap terjamin. Adanya hubungan saling menguntungkan antara lebah madu dan kopi maka diharapkan akan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus melestarikan lebah madu asli Indonesia. Untuk keperluan itu diperlukan kajian budidaya, desain Sinkolema berbasis wawasan. Langkah-langkah yang harus dirumuskan dalam pelaksanaan Sinkolema untuk meningkatkan perekonomian petani membutuhkan kajian keberlanjutan sehingga kebijakan dalam mengatasi permasalahan yang diambil akan lebih tepat dan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya dukung integrasi lebah-kebun kopi, produktivitas lebah madu kebun kopi (Sinkolema) dan pengembangan budidaya lebah madu
ISSN 1978 - 3000 berbasis potensi dan sumberdaya lokal untuk peningkatan ekonomi peternak lebah.
MATERI DAN METODE Penelitianini yang dilaksanakan pada bulan Januari s/d desember 2010 berlokasi di Kabupaten Kepahyang Propinsi Bengkulu ini merupakan bagian dari penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya yaitu 1. Identifikasi daya dukung dan Potensi dan 2. Menganalisis Keberlanjutan sinkolema. Jadi penelitian tahap ini dilandasi oleh hasil penelitian tahap I untuk menghasilkan model budidaya lebah yang diintegrasikan dengan tanaman kopi. Untuk dapat menganalisis sinkolema dibutuhkan atribut penentu keberhasilan berdasarkan koefisien teknis peternakan lebah. Model didesain dengan didasarkan pada hal-hal berikut ini: 1. Perhitungan jumlah stup yang dipelihara sesuai dengan daya dukung wilayah. 2. Produksi madu per stup per tahun 3. Penerapan tata letak stup 4. Perhitungan produksi kopi/ ha/ tahun 5. Penyusunan strategi penerapan sinkolema Prosedur Data lain yang akan dikumpulkan adalah data sekunder dan primer dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara dan pengisian kuesioner yaitu: 1. Menghitung jumlah stup yang dipelihara sesuai dengan daya dukung wilayah. 2. Produksi madu dihitung berdasarkan kali panen dan dikonversikan ke produksi per stup per tahun, dan akan
dibandingkan antara produksi madu dengan sistem integrasi dan tanpa integrasi. Sebagai sampel akan dipilih secara acak sebanyak masing-masing 10 stup lebah yang dibudidayakan padan sistem integrasi dan 10 stup lainnya dari lebah yang dibudidayakan bukan dengan sistem integrasi. 3. Menentukan tata letak stup didasarkan pada faktor lokasi, pengelolaan, keamanan dan pemanenan. 4. Produksi kopi per ha per tahun dihitung berdasarkan hasil bobot kering per tahun per ha dan akan dibandingkan produksi kopi madu dengan sistem integrasi dan tanpa integrasi 5. Menyusun rekomendasi pengembangan disusun berdasarkan hasil analisis SWOT berdasarkan data skunder dan data primer yang diperoleh. Penelitian tahapan ini selanjutnya adalah membandingkan produksi madu A. cerana yang dipelihara melalui (1) sistem integrasi dengan kopi dan (2) tanpa integrasi. Sedangkan produksi kopi akan dibandingkan dengan dan tanpa integrasi serta menganalisis produksi madu dengan penempatan tanpa stup.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagian besar Kabupaten Kepahyang (sekitar 75%) terletak pada wilayah dengan ketinggian 500 – 1000 m dpl, dan 12% terletak pada wilayah > 1000 m dpl. Curah hujan rata-rata bulanan untuk sepuluh tahunan di wilayah Kepahyang yaitu > 200 mm. Suhu udara rata-rata 24,00C, dengan suhu udara maksimum sebesar 29,90C
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
21
ISSN 1978 - 3000 dan suhu udara minimum sebesar 19,90C. Kelembaban nisbi rata-rata bulanan > 80%. Ditinjau dari geografis dan agroklimat Kabupaten Kepahyang, komoditi tanaman hortikultura dan perkebunan (terutama kopi dan teh) sangat mungkin untuk dikembangkan.Disamping itu potensi pengembangan tanaman perkebunan didukung juga oleh kedalaman dan jenis tanah yang mendominasi wilayah ini (tanah Andosol, Aluvial, Latosol, Asosiasi Andosol-Latosol-Podsolik Coklat-Podsolik Merah Kuning) yang sangat baik untuk pengembangan tanaman kopi (BPS, 2007). Berdasarkan kondisi wilayah Kabupaten Kepahyang maka salah satu usaha peternakan yang potensial dikembangkan adalah lebah yang mampu menghasilkan madu pada saat hasil pertanian belum dipanen dan membantu penyerbukan untuk meningkatkan produksi. Disisi lain tumbuhan/tanaman mampu menyediakan nektar dan polen sebagai pakan lebah madu A. cerana yang menjadi salah satu dari lebah komersil lokal. A. cerana merupakan lebah asli tropis Asia (termasuk Indonesia) yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungan Indonesia termasuk Kabupaten Kepahyang Propinsi Bengkulu. Walaupun produksinya tidak setinggi A. mellifera, A. cerana memeiliki keunggulan yaitu tahan terhadap hama utama lebah (varroa spp dan vespa spp.) (Sihombing, 2005). Oleh karena itu, A. cerana memungkinkan untuk dibudidayakan sebagai penghasil madu kopi secara organik. Penelitian tentang pemanfaatan perkebunan kopi untuk budidaya madu A. Cerana sangat diperlukan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan lahan untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas lebah.
22 | Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi
Daya Dukung Budidaya Lebah Pakan lebah yang penting adalah nektar dan polen. Nektar adalah cairan manis yang dihasilkan oleh bunga tanaman pangan, tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura (buah dan sayuran), tanaman hias, rumput dan semak belukar (Pusbahnas. 2008). Nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjer nektar yang merupakan hasil sekresi yang manis dalam bentuk larutan gula dari tanaman. Nektar terdapat pada bagian petal, sepal, stamen dan stigma. Nektar mengandung 15-50% larutan gula dengan konsentrasi bervariasi antara satu bunga tanaman dengan bunga tanaman lain (Crane, 1990). Husaeni (1986) menyatakan bahwa nektar adalah pakan utama lebah sehingga ketersediaannya sangat mempengaruhi produksi madu. Selanjutnya Husaeni (1986) menganalisis tentang masalah utama budidaya lebah yaitu ketersedian nektar secara berkesinambungan. Department of Agriculture and Food Western Australia (2009) melaporkan bahwa kopi adalah penghasil polen dannektar yang tinggi kadar sukrosanya (28%) sehingga menghasilkan madu yang memiliki kejernihan baik, bau dan rasa yang khas. Data jumlah kuntum bunga per tangkai dan jumlah tangkai bunga per pohon selama delapan bulan, diolah untuk mendapatan data produksi kuntum bunga per pohon per hari. Hasil pengumpulan dan pengolahan data disajikan pada Tabel 1. Produksi nektar diperoleh data 0,64 ml per 25 kuntum per hari, berarti produksi nektar kebun kopi adalah 18,14 ml/pohon/hari. Selama petani menanam kopi dengan kepadatan 2000 batang/ha maka produksi nektar pada saat kopi
ISSN 1978 - 3000 Tabel 1. Produksi Nektar Kopi di Kabupaten Kepahiang No 1
Jan 17,22
Feb 14,31
Mar -
Apr -
Mei 18,48
Jun 26,60
Jul 35,89
Agst 25,20
2
21,80
25,90
-
-
23,60
32,40
38,60
35,70
3
375,40
370,60
-
-
436,10
861,90
1.385,50
4
9,61
9,49
-
-
11,16
22,06
35,47
5
Rata-rata Produksi Nektar kopi per pohon per hari
Sep -
Okt -
Nop 16,84
Des 25,38
-
-
28,50
33,90
899,80
-
-
480,00
860,40
23,03
-
-
12,29
22,03
18,14 ml/pohon/hari
Keterangan 1. Rata-rata kuntum buna per tangkai 2. Rata-rata tangkai bunga per pohon 3. Produksi kuntum bunga per pohon 4. Produksi nektar per pohon (ml)
berbungan adalah 36,27 l/ha/hari. Tabel 1 menunjukan perkembangan produksi nektar kopi yang berfluktuasi dan ratarata tertinggi terjadi pada Bulan Juli. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Perhutani (1994) bahwa puncak pembungaan kopi di Indonesia terjadi pada bulan Juli. Produksi nektar kebun kopi ratarata per hari adalah 18,14 ml/pohon/hari, berarti dengan kepadatan pohon kopi 2000 bohon/ha, rata-rata produksi per hektar kopi adalah 36.286,08 ml/ha/hari. Bila kebutuhan nektar lebah madu 145 ml/stup/hari (Husaini, 1986) maka daya dukung kebun kopi adalah 250 koloni. Ini artinya kalau tidak ada predator lainnya (grazers), maka kebun kopi di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu mampu mencukupi peternakan lebah dengan skala usaha 250 koloni. Untuk mengantisipasi adanya predator lain pengisap nektar kopi dan cuaca yang buruk yang menyebabkan bunga kopi menurun, yang dijadikan patokan dalam menentukan jumlah koloni adalah produksi nektar terendah yaitu sekitar 9,49 liter/ha/hari, bila 25% nektar diperkirakan dikonsumsi serangga lain, berarti pada saat produksi nektar minimal, kebun kopi diperkirakan mampu mencukupi maka disarankan untuk menyebarkan lebah sebanyak sembilah puluh delapan koloni dibulatkan keatas menjadi 100 stup/koloni per satu hektar kebun kopi.
Blesmeijer dan Slaa (2006) menyatakan bahwa penerapan sistem integrasi lebah madu dengan tanaman perlu diperhatikan konsep-konsep kompetisi baik interspesific competition (kompetisi antar spesies) maupun intraspesific competition (kompetisi dalam satu spesies), sehingga tidak berdampak pada kerusakan sumberdaya dan habitatnya. Blesmeijer & Slaa (2006) membagi lebah menjadi dua kelompok yaitu (1) medium size non-aggressive forager, contohnya A. mellifera dan (2) super generalis aggressive forager, contohnya A. trigona. Mencermati dua kelompok lebah ini tergambar bahwa kelompok medium size non-aggressive forager tidak bias digabungkan dengan kelompok super generalis aggressive forager. Nasution (2009) menyatakan bahwa tidak seperti serangga lain (misalnya kupu-kupu dan semut) lebah menjalankan penyerbukan bunga dengan tidak menimbulkan akibat samping yang merugikan tanaman. Oleh karena itu lebah bukan hama tanaman, tapi malah membantu menaikkan produksi. Menurut Sumoprastowo dan Suprapto (1993), bahwa dengan bantuan penyerbukan oleh lebah, produksi kebun kapas, kebun buah-buahan, kebun bunga matahari, dan kebun mentimun mencapai kenaikan produksi berturutturut sebesar 25%, 25-50%, 50-60%, dan 62,5%.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
23
ISSN 1978 - 3000 Lebah merupakan serangga yang berperan penting baik secara ekologis (penyerbuk) maupun ekonomis (penghargaan secara financial terhadap jasanya sebagai penyerbuk (Byrne & Fitzpatrick, 2009). Slaa et al. (2006) membuktikan bahwa lebah berhasil meningkatkan produksi pertanian dua kali lipat. Hampir semua tanaman pertanian/perkebunan yang tidak melakukan penyerbukan sendiri memerlukan bantuan serangga agar menghasilkan biji/buah Polinasi adalah proses kompleks dan sangat vital dalam siklus hidup tanaman, terutama bagi terjadinya fertilisasi, pembentukan buah dan pembentukan biji (Slaa et al. 2006). Lebah berperan sebagai polinator yang lebih efektif dan efisien bagi tanaman/perkebunan (O’toole, 1993, Frietas and Faxton 1998, Heard, 1999; Richards, 2001 dan Krement et al, 2002). Memperhatikan hal tersebut maka terlihat bahwa lebah menjadi pollinator penting yang memindahkan tepung sari ke kepala putik dalam jumlah cukup.Aktivitas lebah tersebut dilakukan secara tidak sengaja pada saat pencarian nektar dan tepung sari sebagai pakan untuk koloninya, bagian kaki lebah madu yang penuh rambut tersebut disebut pollen basket. Lebah memiliki organ khusus untuk mengambil nektar, yang disebut proboscis yang bentuknya seperti belalai pada gajah dan berfungsi untuk mengisap cairan nektar pada bunga. Lebih lanjut. Nasution (2009) menyatakan beberapa faktor yang harus dipertimbangakan dalam menggunakan lebah madu untuk tujuan membantu penyerbukan tanaman, diantaranya jumlah lebah per stup (strength of colony), jumlah stup lebah (number of bee hives), ketersediaan stup yang bias dimanfaatkan (availability of bee hives) dan penempatan stup (timing of the introduction of hives). 24 | Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi
Department of Agriculture and Food Western Australia (2009) melaporkan bahwa penyebaran koloni lebah di areal pertanian tanaman pangan di Australia dan di Brazil dapat meningkatkan produksi pertaniannya dan jumlah lebah yang disebarkan bervariasi tergantung pada jenis tanaman, tempat (lokasi), dan jenis lebah. Oleh karena itu Department of Agriculture and Food Western Australia (2009) merekombinasikan bahwa untuk meningkatkan proses polinasi tanaman kopi (Coffea arabica, C. canephora, C. liberica ) dapat ditempatkan 100 juta lebah pekerja pada saat musim berbunga. Dengan cara ini produksi kopi dapat meningkat sekitar 22%. Selanjutnya Nasution (2009) menjelaskan juga bahwa lebah merupakan serangga penyerbuk (polinator) tanaman yang paling penting di alam dibandingkan angin, air, dan serangga lainnya, dimana lebah dapat meningkatkan produksi apel sebesar 30-60%, jeruk 300-400%, dan anggur 60-100%. Madu yang dihasilkan dari lebah yang diberi pakan nektar kopi memiliki sukrosa (28%) dan berwarna amber muda (light amber) dan aroma yang khas (Department of Agriculture and Food Western Australia, 2009). Pusbahnas (2008) melaporkan bahwa madu kopi (madu yang berasal dari lebah yang diberi pakan nektar kopi) berkhasiat dalam meningkatkan daya tahan tubuh, membuat nyenyak tidur, memperlancar fungsi otak dan dapat menyembuhkan luka bakar. Pengaruh Integrasi Terhadap Produksi Madu dan Kopi Produksi madu selama satu tahun yang dipelihara dengan dan tanpa integrasi dengan kebun kopi dapat dilihat pada Gambar 1. Produksi madu dari lebah yang dipelihara dengan sistem
ISSN 1978 - 3000
Gambar 1. Grafik produksi madu yang di pelihara dengan dan tanpa integrasi
integrasi mencapai 3,335 kg/koloni/tahun. Produksi ini secara signifikan lebih tinggi dari produksi madu dari lebah yang dipelihara di luar kawasan integrasi yang hanya mencapai rata-rata 1,560 kg/koloni/tahun, artinya bahwa produktivitas lebah madu dapat ditingkatkan sekitar 114% melalui sistem integrasi dengan kebun kopi. Produksi madu dari peternakan lebah dengan integrasi lebih tinggi sejalan dengan perkembangan populasi lebah dan ketersediaan nektar. Hasil ini menunjukan bahwa produksi madu sangat erat kaitannya dengan ketersediaan nektar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penemuan Hidayat (1986) yang melakukan penelitian tentang hubungan kegiatan mencari makan lebah madu (Apis cerana Fabr.) dengan volume nektar dan perkembangan jumlah bunga kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.) di desa Pager Wangi, Bandung pada bulan Januari hingga Maret, 1986 dengan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kegiatan lebah dengan ketersediaan nektar di sekitar koloni. Ada kondisi yang sangat menarik adalah pada saat kopi tidak berbunga pada bulan Maret, April, September dan Oktober, produksi madu dan populasi lebah menunjukan angka yang masih tinggi di daerah Sinkolema, Hal ini kemungkinan besar kebutuhan nektar
dan polen untuk keperluan tersebut masih mampu disediakan pohon pelindung (lamtoro), pohon lain seperti kayu masis (pada Bulan Mei didapatkan madu yang beraroma kayu manis), semak-semak dan remput-rumputan yang menutupi lahan di luar kebun kopi. Rendahnya produksi madu dari lebah di luar kebun kopi sebagai akibat dari hijrahnya koloni lebah sebanyak 4 koloni atau 40%, sedangkan lebah di di daerah kopi yang hijrah lebih sedikit yaitu 2 koloni atau 20%. Teidentifikasi ada dua penyebab utama hijrahnya koloni lebah yaitu, 1. Kurang pakan terlihat tidak ada madu pada sarangnya dan 2. Kondisi stup/kotak yang kotor karena tidak sempat dibersihkan peternak. Keberhasilan peternakan lebah sangat ditentukan dengan ketersedian sumber protein (pollen) dan nektar pada suatu lokasi yang erat kaitannya dengan tata letak koloni. Dalam menentukan tata letak perlu dilakukan pendataan untuk mengetahui jenis-jenis tanaman penghasil nektar dan pollen, umur tanaman kepadatan tanaman serta kesuburannya. Dalam penelitian yang telah dilakukan tampak bahwa cara penempatan koloni lebah (terpusat atau tersebar) secara signifikan mepengaruhi produksi madu. Dari hasil perhitungan,
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
25
ISSN 1978 - 3000 produksi madu dari koloni lebah yang ditempatkan secara menyebar di dalam kebun kopi (4,08 kg/koloni/tahun) secara nyata lebih tinggi dari koloni lebah yang ditempatkan terpusat di tengah-tengah kebun kopi (2,60 kg/koloni/tahun). Hal ini terjadi akibat dari kompetisi (intraspesific competition) berat baik pakan maupun tempat terutama tempat terjadinya perkawinan dan pakan. Kompetisi yang terjadi menybabkan 2 koloni yang ditempatkan terpusat hijrah. Hidayat (1986) menyatakan bahwa lebah memanfaatkan nektar yang berda paling dekat dengan koloninya, artinya semakin padat pupulasi lebah pada suatu tempat maka akan terjadi persaingan yang semakin berat. Hal ini tentunya akan menyebabkan turunnya produksi atau terganggunya keseimbangan populasi lebah dan akibat yang paling tinggi akan terjadinya hijrah (absconding). Gambar 2 menunjukan perkembangan produksi lebah berdasarkan tata letak. Rataan produksi kopi di perkebunan yang diintegrasikan dengan lebah sebesar 1,31 ton/ha, sedangkan rataan produksi kopi di luar wilayah integrasi 1,18 ton/ha. Hal ini menujukan bahwa sinkolema mampu meningkatkan produksi kopi di Kabupaten Kepahiang
setinggi 10,55%. Lebah dalam melakukan polinasi lebih efektif karena probostisnya yang panjang lancip dilengkapi dengan rambut tempat menempel tepungsari dan pindah ke kepala putik kopi. Analisis Swot Setelah melakukan pengambilan data dari lapangan dan dilanjutkan dengan FGD (Focus Group Discussion) maka dapat dirumskan bahwa kekuatan dan kelemahan (faktor internal), peluang dan ancaman (faktor eksternal) sebagai berikut; Kekuatan: a. Ketersediaan lahan dan kebun kopi dan tanaman perkebunan lainnya yang luas (35.000 ha) b. Budaya masyarakat yang sudah biasa bertani berbagai macam tanaman (perkrbunan dan hortikultura). c. Penyederhanaan penguasaan dan penerapan inovasi dan teknologi untuk pengembangan kopi dan beternak lebah d. Visi Pemda untuk menjadikan Kabupaten Kepahiang sebagai tujuan agrowisata e. Letak geografis yang cocok untuk untuk pengembangan perkrbuan
Gambar 2. Grafik perkembangan produksi madu berdasarkan tata letak
26 | Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi
ISSN 1978 - 3000 kopi dan ternak lebah madu (ktinggian tempat). f. Aroklimat yang mendukung baik terhadap budidaya tanaman perkebunan kopi maupun beternak lebah. g. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti air bersih, pasar, jalan yang layak dll. h. Terdapatnya kelompok masyarakat pengelola lebah madu (KUP) i. Lokasi mudah dijangkau Kelemahan: a. Produksi lebah madu yang maih rendah akibat dari kurangnya nektar yang dikonsumsi lebah. b. Masyarakat belum menguasai budidaya lebah madu terutama pemanfaatan potensi local untuk meningkatkan produksi lebah. c. Terbatasnya dukungan finansial d. Sarana budidaya lebah yang masih ninim e. Kelembagaan di tingkat petani yang masih tidak/kurang berfungsi f. Belum ada program yang disusun pemda mengenai pengembangan ternak lebah madu. g. Beternak lebah yang masih kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha lainnya. h. Belum ada peraturan daerah mengenai lebah madu Peluang: a. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap madu terus meningkat tergambar dari permitaan madu dan kebiasaan minum madu terus meningkat b. Madu adalah komoditi yang dikonsumsi semua lapisan
masyarakat baik dalam maupun luar negeri. c. Adanya kepercayaan bahwa minum madu secara rutin dapat meningkatkan kebugaran dan memperpanjang umur. d. Terdapatnya lembaga perguruan tinggi yang memiliki kopetensi penerapan siskolema e. Meningkatnya kebutuhan pendidikan yang berwawasan aplikatif seperti kebutuhan SMK pertanian. f. Jumlah penduduk terus meningkat Ancaman: a. Tersebarnya produk madu yang diproduksi dan diolah di daerah lain. b. Belum adanya peraturan yang dapat melindungi peternak madu c. Lembaga keuangan yang belum memperhatikan petani kecil d. Beberapa infrastruktur jalan dan transportasi umum menuju lokasi perlu ditingkatkan e. Adanya alternatif tempat lokasi lain di Luar Bengkulu Posisi Strategi Berdasarkan data faktor-faktor internal dan eksternal didapatkan skor pembobotan untuk faktor kekuatan = 1,93; faktor kelemahan = 0,86; faktor peluang = 2,13 dan faktor ancaman = 0,58. Dari skor pembobotan di atas selanjutnya diplotkan pada gambar analisa diagram SWOT yang terdiri dari 4 kuadran yaitu : kuadran I (Agresif), kuadran II (Investasi), kuadran III (defensif) dan kuadran IV (Diversifikasi). Adapun perhitungannya sebagai berikut:
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
27
ISSN 1978 - 3000 Skor pembobotan - Faktor KEKUATAN - Faktor KELEMAHAN
-
P
: 1,70 : 1,08 ---------: 0,62 (sumbu x)
Q
: 1,55 : 1,05 ---------: 0,50 (sumbu Y)
Faktor PELUANG Faktor ANCAMAN
b. Merealisasikan Visi dan Misi dengan member bekal pengetahan murid SMK c. Peningkatan mutu dan produksi madu untuk memenuhi kebutuhan konsumen. d. Pembenahan sarana dan prasarana produksi untuk memberikan layanan kebutuhan madu dengan cepat dan bermutu.
Dari perpotongan keempat garis faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka didapatkan koordinat (0,62 ; 0,50 ) yang mana koordinat ini masuk pada kuadran I, yakni Strategi AGRESIF. Dari perhitungan ordinat maka skor-skor pembobotan terdapat pada kuadran I ((Gambar 3) dimana termasuk kuadran Agresif bukan kuadran II (Investasi), kuadran III (defensif) dan kuadran IV (Diversifikasi).
Menanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang) a. Mendapat bimbingan PTN dalam mendapatkan modal dari sumber keuangan dan membentuk kelembagaan yang kuat b. Optimalisasi transfer teknologi dari PT/PTN c. Mengurangi mpenggunaan pestisida untuk menghasilkan madu yang aman dikinsumsi Dibuat program pengembangan ternal lebah bekerjasama engan SMK
Penyusunan Strategi Analisa SWOT ditujukan untuk mengidentifikasi berbagai faktor untuk merumuskan strategi. Dari berbagai faktor internal dan eksternal terpilih, disusun strategi untuk pengembangan siskolema
Memakai kekuatan untuk Mengantisipasi tantangan/ancaman) a. Memanfaatkan fasilitas dan akses yang yang dimiliki PEMDA untuk ajang promosi b. Pembenahan infrastruktur (jalan) dan akselerasi pelaksanaan terwujudnya Kabupaten Kepahiang sebagai Kota tujuan Arowisata
Memanfaatkan peluang mengoptimalkan Kekuatan a. Optimalisasi pemanfaatan SDA bekerjasama dengan Perguruan Tinggi
Peluang
I. AGRESIF
II. INVESTASI INVESTASI Kelemahan
Kekuatan III. DEFENSIF
IV. DIVERSIFIKASI Ancaman
Gambar 3. Kuadran analisa SWOT Siskolema
28 | Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi
ISSN 1978 - 3000 Memperkecil kelemahan dan mengatasi tantangan/ancaman) : a. Menggalang kerjasama dengan berbagai pihak untuk kegiatan promosi b. Pemanfaatan secara optimal sumberdaya Pemda yang dimiliki c. Kerjasama dengan berbagai pihak (yang satu Misi) untuk perbaikan dan penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan Siskolema Rencana Aksi (Action Plan) Siskolema Rencana aksi yang disusun dalam tataran operasional perlu didasarkan pada hasil analisisn SWOT di atas. Dilihat dari kekuatan dan peluang yang mendominasi maka rencana aksi ini disusun agresif dan dibagi berdasarkan jangka pendek, menengah dan panjang. Aksi jangka pendek 1. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan wawasan petani kopi melalui penyuluhan, pelatihan dan magang. 2. Pembentukan dan penataan kelompok-kelompok tani dan lembaga lain yang tekait 3. Pengadaan lebah madu yang berkualitas. 4. Perbaikan sarana dan prasarana produksi untuk memberikan layanan kebutuhan madu dengan cepat dan bermutu. 5. Meningkatkan skala pemeliharaan budidaya kopi dan lebah madu untuk memenuhi kebutuhan konsumen 6. Menjalin kerjasama terstruktur dengan instansi terkait. 7. Melengkapi sarana edukasi (brosur, juknis, poster, dll) untuk diterapkan di SMK 8. Membuat daftar kegiatan (Utama maupun pendukung)
berdasarkan skala prioritas dan dilaporkan kepada decision maker (Rektorat) untuk memperoleh dukungan program Aksi jangka menengah 1. Melakukan ajang promosi pada tingkat regional, nasional bahkan Internasional. 2. Didirikan beberapa rumah Siskolema yang berfungsi memasarkan dan sekaligus tempat pusat informasi permaduan dan perkopian di Kepahiang 3. Mendidik kader-kader yang memenuhi syarat untuk dididik menjadi ahli madu 4. Melengkapi sarana edukasi dari aspek budidaya satwa secara keseluruhan dan aspek prosesingnya (media elektronik, tulisan dan perlengkapan praktek) 5. Alokasi anggaran dari DIPA IPB untuk membantu pembenahan jalan menuju lokasi 6. Penyediaan sarana transportasi yang ada dari IPB ketika ada event kunjungan Aksi jangka panjang a. Menjadikan Kepahiang sebagai kota kopi dan madu b. Menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang tertarik di untuk menanamkan investasi di bidang kopi dan madu c. Terciptanya beberapa kawasan SISKOLEMA di Kabupaten Kepahiang
SIMPULAN 1. Komoditas unggulan yang menjadi fokus pengembangan kawasan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
29
ISSN 1978 - 3000
2. 3.
4.
5.
6.
peternakan adalah ternak lebah madu dan tanaman kopi. Kegiatan agribisnis lebih ditekankan kepada komoditas madu selain kopi. Model pendekatan kegiatan usahatani adalah intensifikasi diversifikasi dan dilakukan secara terpadu (terintegrasi) antara beberapa kegiatan sub sistem produksi dengan sentuhan inovasi teknologi. Perkebunan kopi di Kepahiang mampu mendukung 100 koloni per hektar. Integrasi lebah madu perkebunan kopi meningkatkan baik produktivitas madu sampai dengan 114% maupun produksi biji kopi hingga 10,55%. Produktivitas lebah sangat tergantung dari ketersedian nektar dan polen secara alami maka pengelolaan lebah perlu didisain dalam kawasan yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2005. Aspek teknis dalam strategi pemuliaan bibit lebah madu A. cerana. Departemen Kehutanan. Biesmeijer, J. C. & E. J. Slaa. 2006. The structure of eusocial bee assemblages in Brazil. Apidologie 37: 240-258. BPS. 2007. Kepahyang Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Kepahyang, Bengkulu. Byrne, A. & Ú. Fitzpatrick. 2009. Bee conservation policy at the global, regional & national levels Apidologie 40 :194-210 Crane E. 1990. Bees & Beekeping. Science, Practice & World Resources. Comstock Publishing Associates a division of
30 | Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi
Cornell University Press. Ithaca, New York. Pp 364 Department of Agriculture & Food Western Australia. 2009. Bee pollination benefits for other crops. http://wwwtest.agric.wa. gov.au/PC_91812. html?s=0 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahyang. 2009. Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahyang. Bengkulu Erwan. 2006. Pemanfaatan nira aren dan nira kelapa serta polen aren sebagai pakan lebah madu untuk meningkatkan produksi madu A. cerana di Kabupaten Lombok Barat. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. FAO. 1989. Forestry & Food Security.FAO Forestry Paper 90, FAO, Rome. Freitas, B. M., & R. J. Paxton. 1998. A comparison of two pollinators: the introduced honey bee (Apis mellifera) & an indigenous bee (Centris tarsata) on cashew (Anacardium occidentale) in its native range of NE Brazil, J. Appl. Ecol. 35: 109–121. Gojmerac, W. L. 1983. Bees, Beekeeping, Honey & Pollination. AVI Publishing Company, Inc. WestPort, Connecticut. Hadisoesilo, S., R. Raffiudin, W. Susanti, T. Atmowidi, C.Hepburn, S. E. Radloff, S. Fuchs, & H. Hepburn. 2008. Morphometric analysis & biogeography of Apis koschevnikovi Enderlein. Apidologie 39 : 495–503 Heard, T.A. 1999. The role of stingless bees in crop pollination, Annu. Rev. Entomol 44: 183–206. Herdiawan , I., A. Fanindi dan A. Semali. 2007. Karakteristik dan Pemanfaatan Kali&ra (Callidra calothyrsus). Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
ISSN 1978 - 3000 Ternak Balai Penelitian Ternak, PO. Box 221, Bogor 16002 Proceeding no. 1 : 141-148. Husaeni, E. A. 1986. Potensi Produksi Nektar dari Tegakan Kali&ra Bunga Merah (Calli&ra calothyrsusMeissn). Prosiding Lokakarya Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Perum Perhutani, Jakarta Kakutani T., T. Inoue, T. Tezuka. & Y. Maeta. 1993. Pollination of strawberry by the stingless bee, Trigona minangkabau, & the honey bee, Apis mellifera: an experimental study of fertilization efficiency, Res. Popul. Ecol. 35, 95–111. Katayama E. 1987. Utilization of honeybees as pollinators for strawberries in plastic greenhouses, Honeybee Sci. 8, 147–150 (in Japanese). Kazuhiro, A. 2004. Attempts to Introduce Stingless Bees for the Pollination of Crops under Greenhouse Conditions in Japan. Laboratory of ApicultureNational Institute of Livestock & Grassl& Science Tsukuba, Ibaraki 305-0901 Klein A.M., Steffan-Dewenter I., Tscharntke T. (2003) Fruit set of highl& coffee increases with the diversity of pollinating bees, Proc. R. Soc. Lond. B 270, 955–961. Kremen C., N. M. Williams & R.W. Thorp. 2002. Crop pollination from native bees at risk from agricultural intensification, Proc. Natl Acad. Sci. 99, 16812–16816. Maeta Y., T. Tezuka, H. Nadano, & K. Suzuki. 1992. Utilization of the Brazilian stingless bee, Nannotrigona testaceicornis, as a pollinator of strawberries, Honeybee Sci. 13, 71– 78
Mersyah, R. 2005. Disain System Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan Untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi Program Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB. Nasution, A. S. 2009. Lebah madu untuk penyerbukan tanaman. http://www.wordPress.com. Paterson, R.T., R.L Roothaert, O.Z. Nyaata, E. Akyeampong & Hove. 1996. Experience with Calli&ra calothyrsus as a feed for livestock in Africa. In: D.O. Evans (ed). Proceedings of International Workshop in the Genus Calliandra. Forest, Farm & Community Tree Research Reports (Special Issue). Winrock International, Morrilton Arkansas USA.p 195-209. Pemda Kalteng. 2005. Visi dan Misi Gubernur Kalimantan Tengah. Palangka Raya Porter, Michael, The Competitive Advantage of Nations, Cambridge, 1998. Pusbahnas. 2008. Lebah Madu Cara beternak dan Pemenfaatannya. PS. Jakarta Radloff, S. E., H. R. Hepburn, S. Fuchs, G. W. Otis, S.Hadisoesilo, C. Hepburna, & T. Ken. 2005. Multivariate morphometric analysis of the Apis cerana populations of oceanic Asia. Apidologie 36: 475–492 Raffiudin, R., S. Hadisoesilo & T. Atmowidi. 2004. Studi keragaman Genetik dan Morfologi Lebah A. koschevnicovi di Kalimantan Selatan. Laporan Hibah Bersaing XII. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Richards, A. J. 2001. Does low biodiversity resulting from modern agricultural practice affect crop pollination & yield? Ann. Bot. 88:165–172.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
31
ISSN 1978 - 3000 Ruttner F., L. Tassencourt & J. Louveaux. 1978. Biometrical-statistical analysis of the geographical variability of Apis mellifera L. Apidologie 9: 363– 381. Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Cetakan ke 2. Gajah Maja Univrsity Press. Jogjakarta. Slaa, E, J., L. A. Shansezchaves, K. S. Malagodi_Baraga & F. E. Hofstede. 2006. Stingless bees in applied pollination: practice & perspectives. Apidologie 37: 293–315 293 Soenarno. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah, Desertasi, Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
32 | Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi
Soesilohadi R. C. H. 2008. Hubungan Kegiatan Mencari Makan Lebah Madu (Apis cerana Fabr.) Dengan Jumlah Bunga Dan Nektar Kaliandra (Calliandra Callothyrsus MEISSN.) Thesis. ITB. Bandung. Tilde, A. C., S. Fuchs, N. Koeniger & C. R. Cervancia. 2000. Morphometric diversity of A. carana Fabr. Within the Philippines. Apidologie 31: 249263. Umaly, R. C. 2003. Sustainable development, concept, paradigms & strategies. Training Of Trainers Community Leadership & Entrepreneurship For Young AgriGraduates Of Asean. Bogor. Winston, M. L. 1991. The Biology of the Honey Bee. 3rd Ed. Harvard University Press. Cambridge
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera Pada Tepung Gaplek Sebagai Sumber Energi Pengganti Jagung Kuning Dalam Ransum Puyuh (CoturnixCoturnix Japonica) Terhadap Produksi dan Warna Kuning Telur The Effect of Cassava Meal Supplemented by Indigofera Leaf Meal as Source of Energy to Replace Maize of Quail Ration on Egg Production and Yolk Color Tris Akbarillah, Kususiyah, Hidayat Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jalan WR Supratman, Kandang Limun Bengkulu Email:
[email protected]
ABSTRACT This research was conducted to evaluate cassava meal added indigofera leaf meal as replacement of maize in quail diet. Three hundred female quail (42 days old) were assigned in a completely randomized design in 6 treatments and 10 replicates. Energy feed resources were maize (M) and (or) cassava meal (C) added Indigofera leaf meal (ILM). The treatments were: T1 = 27.5% M + 0% C + 0% ILM, T2 = 27.5% M + 0% C + 10% ILM, T3 = 14% M + 13.5% C + 0% ILM, T4 = 14% M + 13.5% C + 10% ILM, T5 = 0% M + 27.5% C + 0% ILM, and T6 = 0% M + 27.5% C + 10% ILM, in each diet. Variables measured were feed consumption, egg production, egg weight, feed conversion, and yolk color. The average of egg production was significantly different (P<0.05). On the other hand, the average of egg weight and feed consumption were not significantly different. The quality of yolk as measured by Roche Yolk Color Fan were different (P<0.05) between treatment, the score were, T5 (1.56), T3 (2.97), T1 (4.58), T6 (6.82), T4 (7.44), and T2 (8.26) Key words: Feed of energy resources, indigofera, quail
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tepung gaplek yang ditambah dengan tepung daun Indigo sebagai pengganti jagung kuning dalam pakan puyuh. Tiga ratus puyuh betina umur 42 hari dibagi secara acak menjadi 6 perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri 10 ulangan dalam rancangan acak lengkap. Pakan sumber energi yang digunakan adalah jagung kuning giling (J) dan (atau) tepung gaplek (G) dengan atau tanpa suplementasi tepung daun indigofera (TDI). Perlakuan tersebut adalah: P1 = 27,5% J + 0% G + 0% TDI, P2 = 27,5% J + 0% G + 10% TDI, P3 = 14% J + 13,5% G + 0% TDI, P4 = 14% J + 13,5% G + 10% TDI, P5 = 0% J + 27,5% G + 0% TDI, dan P6 = 0% J + 27,5% G + 10% TDI, masing-masing dari total pakan. Variabel yang diukur adalah konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, konversi pakan, dan warna kuning telur. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata produksi telur antar perlakuan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Sebaliknya, ratarata berat telur dan konversi pakan antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Kualitas kuning telur berdasarkan nilai Roche Yolk Colour Fan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), dengan nilai rata-rata , P5 (1,56) ; P3 (2,97) ; P1 (4,58) ; P6 (6,82) ; P4 (7,44) ; dan P2 (8,26) Kata kunci: pakan sumber energi, indigofera, puyuh
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays) merupakan bahan pakan sumber energi yang paling umum digunakan untuk pakan unggas.
Hal ini dikarenakan jagung sangat palatable dan sangat besar kandungan energinya. Nilai energi yang dapat dimetabolis (metabolizable energy, ME) yang terkandung dalam jagung
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
33
ISSN 1978 - 3000 digunakan sebagai standard terhadap bahan pakan sumber energi lain. (Ravindran and Blair, 1991). Kandungan nutrisi jagung giling adalah 8,9% PK, 4,0% EE, 2,2 % SK, 1,7% Abu, dan 68,6% BETN (Hartadi et al., 1997) serta ME 3,45 kkal/g (Ravindran and Blair, 1991). Jagung kuning mempunyai kelebihan adanya xanthophil yang memberikan warna kuning pada produk-produk ternak. Gaplek atau ubi kayu kering (Manihot esculenta) merupakan bahan pakan sumber energi non-tradisional. Gaplek merupakan bahan pakan yang rendah kandungan serat kasarnya namun tinggi kandungan patinya. Pati gaplek dapat dicerna baik oleh unggas, dengan kecernaannya sekitar 99%. (Vogt, 1966 disitasi oleh Ravindran and Blair, 1991). Nilai energi metabolisnya dilaporkan sangat tinggi, sekitar 95-106 %, dibandingkan dengan energi metabolis yang ada pada jagung (Ravindran and Rajaguru, 1985 disitasi oleh Ravindran and Blair, 1991). Kendala yang paling utama penggunaan gaplek sebagai bahan pakan adalah kandungan cyanogenic glucosides yang melepaskan asam cyanida (HCN) apabila dihidrolisa oleh glucisidase yang didapat dari dalam jaringan akar itu sendiri. Pencacahan yang diikuti dengan pengeringan ubi gaplek dapat menekan kandungan HCN sampai 85%. Penggunaan tepung gaplek untuk pakan unggas dapat digunakan sampai batas 10-20%. Beberapa faktor yang membatasi penggunaan tepung gaplek selain kandungan HCN adalah kandungan protein yang rendah (tidak lebih dari 3%), feed intake menjadi rendah karena bersifat bulky dan berdebu (tepung) dan tidak mengandung pigmen. Untuk dapat digunakan sebagai pakan seperti halnya jagung (menggantikannya), maka perlu langkah-langkah yaitu: suplementasi 34 | Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera
methionin, menyeimbangkan kandungan protein, pembentukan pellet, dan penambahan pigment (Ravindran and Blair, 1991). Tepung gaplek telah dicoba untuk menggantikan jagung tanpa suplementasi apapun untuk burung puyuh dengan aras 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100% yang hasil produksi telur hariannya berturut-turut adalah 84,14%, 81,35%, 76,47%, 70,14%, dan 62,00% (Astuti, 1994). Daun legum Indigofera seperti legum yang lainnya mengandung protein yang tinggi dan juga merupakan sumber -caroten .dan xantophyl. Tepung daun legum seperti lamtoro (Leucaena leucocephala), glirisida (Glirisidae sepium) dan kacang gude (Cajanus cajan) yang diberikan pada ayam dengan dosis yang meningkat ternyata mempengaruhi Score Roche Yolk Colour Fan (angka penunjuk pigmentasi pada yolk) pada telur-telur yang dihasilkan. Score Roche Yolk Colour Fan telur semakin meningkat pada penggunaan tepung daun leguminosa yang meningkat (D’Mello,1995). Tepung daun lamtoro yang digunakan sebagai suplemen mencapai 15%, tepung daun kacang merpati digunakan 10% dan tepung daun Glirisida sebesar 7,5%. Penggunaan tepung daun indigofera dengan aras 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10% dalam ransum puyuh telah meningkatkan rata-rata skala warna kuning telur secara nyata berdasarkan Score Roche Yolk Colour Fan berturut turut adalah 6,35; 7,15; 7,73; 7,90; dan 8,31, sedangkan produksi telur kumulatif tidak menunjukkan perbedaan (Akbarillah et al., 2008). Kebutuhan nutrisi puyuh (Coturnix coturnix japonica) fase starter sampai grower ialah Protein Kasar (PK) 24%, energi metabolik (ME) sebesar 2900 kkal/kg pakan, lemak 1,8 %, Puyuh pada
ISSN 1978 - 3000 masa bertelur membutuhkan nutrisi seperti Protein kasar sebesar 20% dan energi metabolik (ME) sebesar 2900 kkal/kg pakan, lemak 1% (NRC, 1994). Konsumsi pakan ialah jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakannya. Konsumsi pakan dapat ditampilkan dalam satuan waktu hari, minggu, bulan . Setiap jenis ternak mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang tidak sama. Konsumsi pakan puyuh dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain umur dan kondisi fisiologis seperti pertumbuhan, reproduksi dan produksi. Berdasarkan hal ini beberapa ahli nutrisi membagi kebutuhan pakan berdasarkan umur, fase pertumbuhan, reproduksi dan produksi (Tillman et al..,1991). Konsumsi pakan puyuh umur 7-10 minggu ialah 127-143 gram (Sabela, 2002). Produksi telur sangat dipengaruhi oleh fase produksi. Pada awal fase produksi jumlah telur yang dihasilkan masih rendah, kemudian sejalan dengan waktu, produksi telur meningkat dan sampai ke puncak produksi dan akhirnya menurun. Puyuh (Coturnix coturnix japonica) mampu menghasilkan telur 250-300 butir/ekor/tahun. Puyuh betina mulai bertelur pertama kali pada umur 35 hari. (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Produksi telur pada puyuh umur 7-10 minggu ialah rata-rata 5 butir/minggu atau 20 butir/bulan dan berat telur puyuh pada umur 7-10 minggu berkisar 8,83-10,04 gram/butir (Sabela, 2002). Kebutuhan nutrisi puyuh (Coturnix coturnix japonica) fase starter sampai grower ialah PK sebesar 24% dan ME sebesar 2900 kkal/kg, dan puyuh pada masa bertelur membutuhkan nutrisi PK sebesar 20% dan ME sebesar 2900 kkal/kg pakan (NRC, 1994). Pigmentasi kuning telur ditunjukkan dengan score warna kuning
telur. Tepung daun legum merupakan sumber xantophyl, beta caroten dan carophyl kuning yang berfungsi dalam pigmentasi kuning telur. Tepung daun legum seperti lamtoro (Leucaena leucocephala, glirisida (Glirisidae sepium) dan kacang gude (Cajanus cajan) yang diberikan pada ayam dengan dosis meningkat ternyata menaikkan Roche Fan Score (angka penunjuk pigmentasi) kuning telur (Yolk) pada telur-telur yang dihasilkan (D’Mello,1995). Penggunaan tepung daun lamtoro sampai dengan 15% dapat menaikkan RFS (Rooche Fan Score) sampai dengan 12,2, tepung daun kacang gude (Cajanus cajan) 10% menaikkan SFC menjadfi 8. Penggunaan tepung daun Indigofera diharapkan dapat menaikkan SFC
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di kandang Laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Rancangan percobaan yang digunakan ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berdasarkan Gomez & Gomez (1983). Tiga ratus ekor puyuh betina umur 35 hari dibagi secara acak ke dalam 6 perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari 10 ulangan, masing-masing ulangan (unit percobaan) terdiri dari 5 ekor puyuh. Perlakuan pakan yang digunakan adalah bahan pakan sumber energi jagung kuning (J) dan atau gaplek (G) dengan atau tanpa suplementasi tepung daun Indigofera (TDI). Perlakuan tersebut adalah: P1 = 27,5% J + 0% G + 0% TDI, P2 = 27,5% J + 0% G + 10% TDI, P3 = 14% J + 13,5% G + 0% TDI, P4 = 14% J + 13,5% G + 10% TDI, P5 = 0% J + 27,5% G + 0% TDI, dan P6 = 0% J + 27,5% G + 10% TDI, masing-masing dari total pakan. Susunan bahan pakan untuk masing-
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
35
ISSN 1978 - 3000 masing ransum perlakuan secara lengkap tersaji dalam Tabel 2. Tiga ratus ekor puyuh betina umur 42 hari diperoleh dengan cara penetasan dari sekitar 900 butir telur tetas dengan asumsi sex rasio 50%:50%, daya tetas 67%, dan mortalitas 15%. Puyuh tersebut pada saat umur 1-42 hari mendapatkan diet dengan kandungan PK 24% dan ME 2900 kkal/kg (NRC, 1994).
sayur, sumber mineral, suplemen Top Mix. Komposisi kimia dari beberapa bahan pakan yang digunakan tersaji dalam Tabel 1. Bahan pakan tersebut diformulasikan untuk mendapatkan susunan ransum dengan kandungan PK sebesar 20% dan ME sebesar 2900 kkal.kg (NRC, 1994). Formulasi ransum tersebut menggunakan perangkat lunak LINDO, dengan hasil seperti tarcantum dalam Tabel 2. Pakan diberikan secara ad libitum. Pakan dan sisa pakan ditimbang setiap hari. Air minum yang diberikan dan sisanya juga ditimbang (g). Setiap hari dilakukan pengamatan suhu kandang (oC) dan kelembaban kandang (%). Pengukuran dilakukan pagi, siang dan sore hari. Masing-masing menggunakan termometer dan higrometer. Penghitungan produksi telur setiap hari, yang diamati setiap petak
Ransum/pakan Tepung Indigofera diperoleh dengan cara membuatnya yaitu panen yang dilanjutkan dengan pengeringan secara kering udara dan menggilingnya dengan grinder. Kemudian tepung daun Indigofera yang dihasilkan dimasukkan kekantung agar tidak terjadi kerusakan. Gaplek dibeli dari pasar, kemudian digiling dan dikemas sebelum digunakan. Bahan pakan yang lain adalah jagung giling. dedak, minyak
Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa bahan pakan yang digunakan Bahan Pakan Jagung kuning gilinga Tepung Gaplek a Dedak a Konsentrat petelur komersial b Tepung daun indigofera c
PK (%) 8,5 2,0 11,0 33,0 27,0
EE %) 4,0 0,7 3,7 7,9 9,96
SK (%) 2,2 3,7 11,6 2,6 19,94
ME (kkal/kg) 3500 3500 1630 2900 1600
Sumber: a. Hartadi et al (1997) b. Label Konsentrat Komersial c. Hasil Analisis Laboratorium
1
Tabel 2. Susunan bahan pakan untuk masing-masing perlakuan Bahan Bakan Jagung kuning giling Dedak
P1
P2
P4
P5
P6
27,5 25
14 23,5
14 20
0 18,5
0 16
45 0
37,5 0
48,5 13,5
42 13,5
53 27,5
45,5 27,5
0
10
0 0,5
10 0,5
0 1
10 1
Konsentrat petelur komersial Tepung gaplek Tepung daun Indigofera Top Mix Total Protein
P3
27,5 27,5
100
100
100
100
100
100
20,2125
20,1625
20,05
20,22
20,075
20,025
36 | Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera
ISSN 1978 - 3000 (unit pecobaan). Produksi telur dalam kurun waktu 24 jam (satu hari) dihitung pada pukul 09.00 pagi. Berat telur ditimbang setiap minggu yang diikuti dengan pengamatan warna yolk berdasarkan nilai yang ada dalam Roche Yolk Colour Fan Puyuh dipilih yang sehat. Namun demikian untuk mengantisipasi serangan penyakit disediakan obatobatan dan Vitamin. Variabel utama yang diamati meliputi konsumsi pakan, konsumsi air minum, konsumsi protein kasar, konsumsi energi, waktu bertelur pertama, produksi telur, berat telur dan warna yolk. Variabel pendukung yaitu suhu lingkungan kandang dan kelembabannya. Variabel konsumsi pakan ialah jumlah pakan yang disediakan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa. Konsumsi protein ialah protein tersedia dalam ransum dikurangi dengan protein tersisa didalam sisa pakan. Konsumsi energi dihitung dengan mengurangi jumlah energi yang tersedia dalam pakan dikurangi energi yang tersisa dalam sisa pakan. Waktu bertelur pertama yaitu, waktu pertama puyuh bertelur (waktu dan jumlah ternak yang bertelur pertama). Produksi telur dihitung jumlah telur selama 6 minggu pertama. Variabel berat telur yang dihasilkan didapatkan dengan menimbang, sedangkan warna yolk (kuning telur) menggunakan Roche
Yolk Colour Fan Data yang diperoleh dianalisis variansi dengan menggunakan perangkat lunak Systat for Windows dan apabila terdapat perbedaan dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Gomez and Gomez ,1983)
HASIL DAN PEMBAHASAN Seperti dikemukakan dalam materi metoda, setiap satu flok (unit percobaan) terdiri dari 5 ekor burung puyuh betina dengan lama pengamatan 6 minggu. Data disajikan dalam nilai rata-rata per unit percobaan atau dikonversikan menjadi per ekor atau per butir. Hasil penelitian ini meliputi berat puyuh sebelum penelitian, produksi telur, konsumsi pakan, efisiensi pakan dan warna yolk dapat dilihat pada Tabel 3. Berat burung puyuh. Materi penelitian ini menggunakan 300 ekor burung puyuh yang terbagi secara acak menjadi 6 perlakuan dan 10 ulangan. Rata-rata berat burung puyuh per unit percobaan sesaat sebelum penelitian dimulai menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kisaran berat antara 636,40–678,00 g. Hal ini menunjukkan bahwa materi penelitian yang dipersiapkan mempunyai berat awal yang tidak berbeda.
Tabel 3. Rata-rata hasil penelitian selama 6 minggu pengamatan Variabel Berat puyuh (g/ 5ekor) Produksi telur (butir/5 ek/6 mgg) Berat telur total (g/6 minggu) Berat telur (g/butir) Konsumsi Pakan Total (g/5 ek/6 mgg) Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) Konversi pakan Efisiensi Pakan Warna Yolk/e
P1 636,40 151,00a 1558,21a 10,23 5557,53 26,46 3,66a 0,28e 4,58f
P2 665,50 150,00a 1571,25a 10,44 5587,55 27,32 3,60a 0,28e 8,26e
P3 678,00 172,10b 1740,68ab 10,15 5736,41 27,32 3,32ab 0,30de 2,97d
P4 669,70 145,10a 1480,15ac 10,20 5670,98 27,01 3,87acde 0,26ce 7,44c
P5 636,60 158,50ab 1601,63ab 10,10 5608,47 26,72 3,55abde 0,29bcde 1,56b
P6 665,90 139,80ac 1392,25ac 9,96 5557,34 26,46 4,05cde 0,25ac 6,82a
SE 15,52 5,84 69,42 0,20 81,81 0,39 0,14 0,01 0,08
Ket ns * * ns ns ns * * *
Keterangan Ns: tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) pada antar perlakuan * : ada perbedaan yang nyata (P<0,05) pada antar perlakuan, subscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
37
ISSN 1978 - 3000 Produksi telur puyuh Penelitian ini menggunakan burung puyuh betina umur 42 hari yang kemudian diberi perlakuan pada umur 49 hari. Pada umur ini (awal penelitian) burung puyuh sudah mulai bertelur, walau masih dalam tahap belajar. Selama 6 minggu penelitian tercatat bahwa ratarata jumlah telur burung puyuh per unit pecobaan dari P3 (172,1 butir) nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan lainnya. Produksi telur untuk perlakuan kontrol (P1) sebesar 151,8 butir menunjukkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (150,0 butir), P4 (145,1 butir) P5 (158,5 butir), dan P6 (139,8 butir). Artinya, dari semua perlakuan (kecuali P3) dapat memberikan tampilan seperti pakan kontrol. Penggunaan tepung indigofera untuk setiap level penggunaan jagung dan casava, terlihat bahwa pada penambahan indigofera sebanyak 10% pada level penggunaan jagung 100% menunjukkan tidak berbeda, sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Akbarillah et al (2002). Sementara Astuti (1994) melaporkan bahwa penggunaan tepung gaplek untuk menggantikan jagung sampai 50% dan 100% tanpa suplementasi menurunkan produksi dari 84,14% menjadi 76,47%, dan 62,00%. Dengan demikian, penggunaan tepung gaplek sebagai sumber energi dapat dilakukan dengan penambahan methionin. Penambahan indigofera sebagai sumber protein dan carotinoid menunjukkan penurunan yang nyata (P<0,05) baik pada penggunaan tepung gaplek sebanyak 50% maupun 100%. Produksi telur diukur dari total berat telur yang dihasilkan selama penelitian (6 minggu) mirip seperti produksi telur dalam butir, hanya perlakuan P3 yang nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya dalam butir, hanya menunujukkan perbedaan dengan perlakuan P4 dan P6. Namun, 38 | Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera
rata-rata berat telur per butir yang dihasilkan dari populasi burung puyuh yang digunakan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) untuk setiap perlakuan. Konsumsi pakan Konsumsi pakan, baik yang diukur konsumsi total selama penelitian atau yang telah dikonversikan menjadi konsumsi per ekor per hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan kisaran 5557,34 g – 5736,41 g per flok selama 6 minggu percobaan atau setara 26,46 – 27,32 g/ekor/hari. Rata-rata konsumsi pakan per ekor per hari terlihat jumlah konsumsi harian yang relatif tinggi dibandingkan dengan yang disampaikan oleh Sabela (2002) yaitu 20,43 g/ekor/hari. Konsumsi pakan yang relatif tinggi ini mungkin disebabkan kandungan energi dalam pakan yang relatif rendah. Konversi dan Efisiensi Pakan Konversi pakan dan efisiensi pakan sering digunakan untuk pedoman kasar dalam perhitungan ekonomis usaha peternakan. Konversi pakan merupakan gambaran jumlah pakan yang dibutuhkan (dihabiskan) untuk menghasilkan 1 unit (kg) produk ternak (misalnya telur), atau efisiensi pakan untuk mencerminkan berapa banyak produk ternak yang dihasilkan dari 1 kg pakan. Sehingga konversi pakan dan efisiensi pakan adalah dua hal yang sama yang diekspresikan dengan cara yang berbeda. Percobaan menunjukkan bahwa konversi pakan diantara 6 perlakuan, perlakuan kontrol (P1) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali dengan P6 (P<0,05) yang menggunakan 100% tepung gaplek dan 10% tepung daun indigofera. Membandingkan
ISSN 1978 - 3000 masing-masing perlakuan dengan level sumber energi tepung gaplek 50% dan 100% tanpa tepung daun indigofera dengan suplementasi tepung daun indigofera menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada P3 (tepung gaplek 50%) menunjukkan konversi pakan sebesar 3,32 yang secara nyata lebih rendah dibandingkan P4 (tepung gaplek 50% + tepung daun indigofera 10%) sebesar 3,87. Demikian juga P5 (tepung gaplek 100%) menunjukkan konversi pakan sebesar 3,55 yang secara nyata lebih rendah dibandingkan P6 (tepung gaplek 100% + tepung daun indigofera 10%) sebesar 4,05. Dengan demikian, dapat diduga bahwa penggunaan tepung daun indigofera sampai batas 10% untuk suplementasi protein dan carotenoid mengarah pada kenaikan konversi pakan atau penurunan efisiensi pakan. Fenomena ini mungkin dikarenakan tepung daun indigofera mengandung sejumlah serat dan jumlah serat dalam pakan secara akumulatif manakala tepung daun indigofera tersebut ditambahkan kedalam pakan yang menggunakan tepung gaplek sebagai bahan penyusunnya. Warna Yolk (Kuning Telur) Warna kuning telur biasanya memberikan pengaruh terhadap tampilan sehingga konsumen yang memperhatikan tampilan telur akan cenderung memilih telur yang warna
Gambar 1. Warna kuning telur untuk masing-masing perlakuan
kuning telurnya tidak pucat. Untuk mengukur tingkat kekuningan yolk digunakan pembanding warna kuning telur, yaitu Score Roche Yolk Colour Fan (angka penunjuk pigmentasi pada yolk). Rata-rata warna kuning telur ternyata berbeda nyata (P<0,05) untuk setiap antar perlakuan. Data menunjukkan bahwa nilai terendah ke nilai yang tinggi, berturut-turut adalah P5 (1,57), P3 (2,97), P1 (4,58), P6 (6,82), P4 (7,44), dan P2 (8,26) (Gambar 1). Hasil ini sangat jelas sekali bahwa tepung daun indigofera memberikan kontribusi pewarnaan kuning telur yang sangat baik. Dari keenam perlakuan yang ada, kontribusi pewarnaan kuning telur sebagian besar berasal dari jagung kuning dan tepung daun indigofera. Superioritas tepung daun indigofera dalam pewarnaan kuning telur ditunjukkan dengan pemakaian sampai batas 10% dari total pakan (P6) menghasilkan nilai yang lebih tinggi di bandingkan pakan kontrol yang menggunakan jagung kuning (P1). Sehingga akumulasi pemakaian tepung daun indigofera dan jagung kuning akan mengarah pada peningkatan nilai warna kuning telur.
SIMPULAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung
Gambar 2. Roche Yolk Color Fan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
39
ISSN 1978 - 3000 gaplek sebagai sumber energi pengganti jagung dapat dilakukan dengan penambahan atau koreksi pada kandungan protein dan methionin yang rendah. Sementara tepung daun indigofera mempunyai superioritas dalam kontribusi pewarnaan kuning telur. Namun, sebagai bahan pakan yang berasal dari hijauan yang kandungan seratnya cukup tinggi, penggunaan sampai batas 10% pada bahan pakan yang mengandung tepung gaplek yang juga mengandung serat yang tinggi berdampak pada penurunan produksi dan peningkatan konversi pakan.
DAFTAR PUSTAKA Akbarillah, T., Kususiyah, D. Kaharuddin, dan Hidayat. 2008. Tepung Daun Indigofera Sebagai Suplementasi Pakan Terhadap Produksi dan Warna Yolk Puyuh (Coturnix coturnix japonica). Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Vol. 3 No. 1. Astuti. 1994. Pemanfaatan Tepung Ketela Pohon Dalam Ransum Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica). Jurnal Kependidikan. No. 3. Tahun XXIV. D’Mello. J.P.F., 1995. Leguminous leaf meals in non ruminant nutrition. In: J.P.F D’Mello. and C. Devendra (eds.): Tropical Legumes in Animal Nutrition. CAB International. UK
40 | Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera
Gomez K.A. and A.A.Gomez. 1983. Statistical Procedures for nd Agricultural Research. 2 Edition John Wiley & Sons. New York. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, and A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. 4th Edition. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Listiyowati, E dan K. Roospitasari. 2000. Puyuh . Tatalaksana Budidaya Secara Komersial. Penebar Swadaya. Cetakan ke 11. Jakarta. NRC. 1994 Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Prees. Washington, D.C. Ravindran, V. And R. Blair. 1991. Feed resources for poultry production in Asia and the Pacific region. I. Energy sources. World’s Poultry Science Journal, Vol 47, pp 213-231 Sabela, R. 2002. Pengaruh Pemberian Tepung Ampas Tahu Dalam Pakan Terhadap Produktifitas Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Pada Tiga Bulan Awal Produksi. Skripsi. Jurusan Peternakan Universitas Bengkulu. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, S. Lebdosoekojo. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1991
ISSN 1978 - 3000
Penggunaan Ekstrak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Mutu Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur Usage of Sauropus androgynus Extract to Increase of Egg Production and Quality Efficiency on Arab Chicken Layers Urip Santoso dan Suharyanto Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu Telpon (0736) 21170, eks. 219; e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study was to evaluate the effect of Sauropus androgynus extract (SAE) on production、egg quality and cholesterol content in Arab chickens. Three level of extract supplementation was evaluated. One group of layers was fed diet without SAE (control), other groups were fed diet with 4.5 g SAE/kg diet or 9 g SAE/kg diet. Each group contained 8 birds which was kept in individual cage. Experimental results showed that the SAE supplementation increased egg production. Yolk colour was increased in layer fed SAE. Egg cholesterol content tended to be increased by SAE supplementation. In conclusion, SAE supplementation improved egg production and quality. Key words: Sauropus androgynus, egg production, egg quality, cholesterol
ABSTRAK Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk (EDK) untuk meningkatkan produksi dan mutu telur. Dua puluh empat ayam Arab didistrbusikan ke dalam 3 perlakuan. Satu kelompok tidak diberi EDK (kontrol), sedangkan kelompok lainna diberi 4,5 g EDK/kg pakan atau 9 g EDK/kg pakan. Setiap kelompok terdiri atas 8 ekor ayam Arab petelur yang dipelihara dalam kandang kawat individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam petelur yang diberi ekstrak daun katuk (4,5 g maupun 9 g/kg pakan) meningkatkan produksi telur. Warna kuning telur juga meningkat, dimana untuk kontrol nilainya 4,38, untuk yang diberi 4,5 g ekstrak 4,75 dan yang diberi 9 g ekstrak 5,75. Sementara variabel kualitas telur lain seperti tebal kerabang, indeks kuning telur, indeks putih telur dan HU tidak banyak perubahan. Hasil analisis kolesterol menunjukkan bahwa pemberian EDK cenderung menurunkan kadar kolesterol telur. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi EDK memperbaiki produksi dan mutu telur. Kata kunci: Katuk, mutu telur, produksi telur, kolesterol
PENDAHULUAN Upaya peningkatan mutu sumber daya manusia untuk menghadapi era globalisasi tidak lepas dari upaya peningkatan gizi masyarakat. Untuk memenuhi target tersebut, diperlukan peningkatan produksi protein hewani seperti telur. Produksi telur di Propinsi Bengkulu khususnya masih sangat
kurang jika dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan telur di Propinsi Bengkulu sangat strategis bagi peningkatan gizi masyarakat. Hal ini dikarenakan harga telur lebih murah jika dibandingkan dengan produk ternak lainnya seperti daging dan susu. Untuk memenuhi kebutuhan akan telur, maka peternakan ayam
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
41
ISSN 1978 - 3000 petelur di Propinsi Bengkulu harus ditingkatkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peternakan ayam petelur di Bengkulu dalam kondisi yang tidak menguntungkan, karena biaya produksi yang tidak sebanding dengan harga telur. Salah satu sebab utama tingginya biaya produksi adalah tingginya harga pakan. Harga pakan yang tinggi ini menjadi masalah utama karena pada ayam petelur biaya pakan menempati 60-80% dari biaya produksi. Masalah lainnya yang tidak dapat diabaikan adalah rendahnya efisiensi produksi, produksi telur dan tingginya angka kematian. Disisi lain, konsumen dewasa ini sudah mulai memperhatikan mutu telur yang dikonsumsinya. Ada kecenderungan bahwa konsumen lebih suka mengkonsumsi telur rendah kolesterol, bebas residu obat, bebas mikrobia patogen dan bergizi tinggi. Rasa, warna dan bau telur juga merupakan kriteria yang tidak dapat diabaikan. Kecenderungan ini sangat beralasan, mengingat tingginya kadar kolesterol dalam telur dan kontaminasi mikrobia patogen akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Selain itu, dalam kaitannya dengan lingkungan sekitar, maka peternakan ayam petelur dituntut untuk mengurangi polusi udara sebagai akibat tingginya produksi feses dan gas-gas seperti amoniak. Untuk memenuhi semua tuntutan tersebut di atas, diperlukan aplikasi teknologi tepat guna, murah, mudah dan efisien. Penggunaan daun katuk pada ayam petelur telah terbukti mampu menurunkan kadar kolesterol telur sebesar 40% (Santoso et al., 2005) dan meningkatkan efisiensi produksi sebanyak 20%. Santoso et al. (2002) menemukan bahwa pemberian ekstrak katuk sebanyak 9 g/kg pakan mampu 42 | Penggunaan Ekstrak Katuk pada Ayam Arab Petelur
meningkatkan mutu telur seperti meningkatkan HU, tebal kerabang dan warna kuning telur, menurunkan kontaminasi mikrobia patogen seperti Escherichia coli, Salmonella sp. dan Staphylococcus sp. Selanjutnya dinyatakan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk menurunkan produksi feses dan kadar nitrogen feses. Ini berarti bahwa ekstrak daun katuk berpotensi untuk menurunkan polusi udara. Hasil penelitian Subekti (2003) pada ayam kampung juga menunjukan bahwa pemberian tepung daun katuk meningkatkan mutu telur, kadar karotin telur serta menurunkan kadar kolesterol telur. Selanjutnya Santoso et al. (2003) menemukan bahwa pemberian partisi alkaloid dari daun katuk sebanyak 30 mg/kg pakan mampu menurunkan kadar kolesterol telur sebesar 26%, meningkatkan mutu telur serta meningkatkan efisiensi produksi pada ayam petelur. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka logislah jika daun katuk dan ekstraknya sangat baik untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mutu telur, menurunkan kadar kolesterol. Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitiaan ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk terhadap produksi dan mutu telur serta kadar kolesterolnya pada ayam Arab petelur.
MATERI DAN METODE Daun katuk diekstraksi menurut metode Santoso et al. (2002), yang kemudian disimpan dalam kulkas dengan suhu 4oC sebelum digunakan. Sebanyak 24 ekor ayam Arab petelur dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Satu kelompok diberi pakan tanpa penambahan ekstrak katuk sebagai kontrol, dan dua kelompok perlakuan
ISSN 1978 - 3000 lainnya diberikan pakan yang ditambahkan ekstrak katuk sebanyak 4,5 g/kg atau 9 g/kg pakan. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri dari 8 ekor ayam yang dipelihara dalam kandang kawat individu. Adapun susunan ransum penelitian tertera pada Tabel 1. Ayam Arab dipelihara selama 28 hari menurut standard pemeliharaan yang berlaku. Konsumsi pakan diberikan sebanyak 90 g/ekor/hari, sementara air minum diberikan ad libitum. Berat telur dikoleksi setiap hari dan kemudian ditimbang. Produksi telur, konsumsi pakan dan konversi pakan dihitung pada akhir penelitian. Pada akhir penelitian, 4 butir telur untuk setiap kelompok perlakuan dikoleksi, dan kemudian dianallisis kadar kolesterol pada kuning telur. Kadar kolesterol diukur dengan menggunakan metode LiebermannBurchad yang dimodifikasi oleh Fenita (2002). Untuk mengukur mutu telur maka 4 butir telur untuk setiap perlakuan dikoleksi pula. Variabel yang diukur untuk mutu telur adalah berat telur, HU, warna kuning telur, tebal
1 2 3
4 5 1 2 3
4
kerabang, indeks kuning telur dan tinggi albumen. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian selama 28 hari menunjukkan bahwa produksi telur pada kontrol 14 butir, kelompok 4,5 g sebanyak 19 butir dan kelompok 9 g/kg pakan sebanyak 18 butir (Tabel 2). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ayam petelur yang diberi EDK sebanyak4,5 g menghasilkan telur lebih banyak dari kontrol sebanyak 36,4% dan pada kelompok 9 g/kg pakan sebanyak 31,8%. Konversi pakan juga lebih baik pada kelompok ayam petelur yang diberi EDK. Konversi pakan adalah sebesar 4,08, 3,03 dan 3,18 untuk kelompok kontrol, 4,5 g EDK dan 9 g EDK. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Santoso et al. (2005). Putranto et al. (2010) menemukan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk meningkatkan konsentrasi hormon
Tabel 1. Susunan ransum untuk penelitian (g/kg pakan) Bahan pakan Jagung kuning Bungkil kedelai Dedak Tepung ikan Minyak Kalsium karbonat Ekstrak katuk Mineral mix Premix Jumlah EDK = ekstrak daun katuk
0 g EDK 510 140 200 70 10 35 0 30 5 1.000
4,5 g EDK 501 140 204,5 70 10 35 4,5 30 5 1.000
9 g EDK 501 140 200 70 10 35 9 30 5 1.000
Tabel 2. Pengaruh ekstrak daun katuk terhadap performans Variabel Produksi telur (butir/ekor) Produksi telur (%) Produksi telur (g/ekor) Konsumsi pakan (gram) Konversi pakan EDK= ekstrak daun katuk
0 g EDK 14 50 617,4 2520 4,08
4,5 g EDK 19 67,9 830,6 2520 3,03
9 g EDK 18 64,3 792,1 2520 3,18
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
43
ISSN 1978 - 3000 estradiol-17β (E2) dalam serum pada ayam Burgo. Suprayogi (2000) dan Suprayogi et al. (2001) menemukan bahwa daun katuk mengandung androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha, yang dapat dikonversikan menjadi estradiol. Sementara Santoso et al (2005) menyebutkan bahwa daun katuk kaya akan asam benzoate dimana asam tersebut dapat dikonversikan menjadi estradiol benzoat yang mempunyai peranan memperbaiki performans alat reproduksi. Subekti et al. (2006) menemukan bahwa turunnya kadar kolesterol pada telur puyuh disebabkan antara lain oleh fitosterol yang banyak terdapat dalam daun katuk. Suprayogi et al. (2007) menyatakan bahwa 3,4dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid yang banyak terdapat dalam daun katuk dapat dihidrolisis menjadi asetat dan berperan dalam siklus asam sitra untuk menghasilkan ATP. Ini dapat menjelaskan tentang fenomena membaiknya konversi pakan pada ayam Arab petelur yang disuplementasi ekstrak daun katuk. Warna kuning telur juga meningkat, dimana untuk kontrol nilainya 4,38, untuk yang diberi 4,5 g ekstrak 4,75 dan yang diberi 9 g ekstrak 5,75 (Tabel 3). Sementara variabel kualitas telur lain seperti tebal kerabang, indeks kuning telur, indeks putih telur dan HU tidak banyak perubahan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Santoso et al. (2002, 2003, 2005) yang menemukan bahwa pemberian ekstrak daun katuk meningkatkan warna kuning telur (Subekti, 2003). Meningkatnya warna kuning telur disebabkan oleh karena daun katuk dan ekstraknya kaya akan β-karotin (Subekti, 2003). Hasil analisis kolesterol menunjukkan bahwa pemberian EDK cenderung menurunkan kadar kolesterol 44 | Penggunaan Ekstrak Katuk pada Ayam Arab Petelur
telur (Tabel 4). Ayam petelur yang diberi EDK 4,5 g/kg pakan mempunyai kadar kolesterol telur lebih rendah sebanyak 8,4% jika dibandingkan dengan kontrol. Sementara ayam petelur yang diberi EDK 9 g/kg pakan mempunyai kadar kolesterol telur lebih rendah sebanyak 9,4% jika dibandingkan dengan kontrol. Analisis kolesterol ini dilakukan pada 15 hari perlakuan. Oleh karena itu diprediksi bahwa kadar kolesterol telur akan lebih menurun jika EDK diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Santoso et al. (2002, 2003, 2005, 2010; Subekti, 2003) yang menemukan bahwa pemberian ekstrak daun katuk menurunkan kadar kolesterol dalam telur. Senyawa aktif yang berperan dalam daun katuk telah ditemukan oleh Agusta et al. (1997) dan Suprayogi (2000). Santoso et al. (2003) menemukan bahwa baik partisi non-alkaloid maupun alkaloid dari daun katuk cukup efektif dalam menurunkan kadar kolesterol telur. Ini berarti bahwa senyawa aktif yang berperan dalam penurunan kolesterol telur lebih dari satu senyawa aktif. Ada kelemahan bahwa ayam petelur yang diberi EDK cenderung mempunyai putih telur yang kurang kental. Hal ini ditandai oleh lebih rendahnya indeks putih telur pada ayam Arab yang diberi pakan yang disuplementasi dengan 4,5 g EDK (Tabel 3). Akan tetapi ada kelebihannya yaitu kuning telurnya mudah dipisahkan, yang berarti mempunyai indikasi bahwa kuning telurnya lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA). Santoso et al. (2010) menemukan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk meningkatkan kadar asam linoleat, asam arakhidonat, EPA dan DHA. Encernya putih telur menurut Millis (Komunikasi pribadi, 2009) dapat
ISSN 1978 - 3000
1 2 3
Tabel 3. Pengaruh pemberian ekstrak daun katuk terhadap mutu telur Variabel Berat telur (g) Tebal kerabang (mm) Tinggi putih telur (mm) Lebar putih telur (cm) Panjang putih telur (cm) Tinggi kuning telur (mm) Diameter kuning telur (mm) Berat kerabang (g) Warna kuning telur Indeks kuning telur Indeks putih telur H. U.
4
1 2 3
4,5 g EDK 44,3 0,58 0,67 9,658 8,958 1,833 3,933 5,70 4,75 0,466 0,072 12,312
9 g EDK 43,7 0,59 0,805 6,485 8,248 1,79 3,893 5,975 5,75 0,460 0,109 17,538
EDK= ekstrak daun katuk
Tabel 4. Pengaruh pemberian ekstrak daun katuk terhadap kolesterol telur (mg/100 mg) Ulangan 1 2 3 4 Rerata
4 5
0 g EDK 44,9 0,58 0,813 6,435 9,023 1,75 4,04 5,625 4,38 0,433 0,105 15,719
0 g EDK 148,92 169,48 193,28 156,92 167,13
4,5 g EDK 177,36 135,68 157,72 141,4 153,04
9 g EDK 180,92 124,92 149,48 138,24 148,39
EDK= ekstrak daun katuk
diatasi dengan mengkombinasikan EDK dengan daun kayu manis, sebab ia telah membuktikan bahwa pemberian daun kayu manis dapat memperkental putih telur.
Harapan Makmur menyediakan tempat ayam Arab.
yang telah penelitian dan
DAFTAR PUSTAKA SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk meningkatkan produksi telur dan warna kuning telur serta menurunkan kadar kolesterol dalam telur.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dikti yang telah memberikan dana pengabdian pada masyarakat dengan nomor kontrak 010/SP2H/PPM/DP2M/2009 tertanggal 1 April 2009. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kelompok Peternak
Agusta, A., M. Harapini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3 (3) : 31-33. Fenita, Y. 2002. Suplementasi Lisin dan Metionin serta Minyak Lemuru ke dalam Ransum Berbasis Hidrolisat Bulu Ayam terhadap Perlemakan dan Pertumbuhan Ayam Ras Pedaging. Program Pasca SarjanaIPB, Bogor. Putranto, H. D., U. Santoso, Warnoto dan Nurmeiliasari. 2010. Kajian Konservasi: Populasi, Tampilan Reproduksi dan Potensi Domestifikasi Ayam Burgo Plasma
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
45
ISSN 1978 - 3000 Nutfah Endemik Bengkulu. Laporan Penelitian HKPSN Tahun 2. Jakarta. Santoso, U., Kususiyah dan Y. Fenita. 2010. The effect of Sauropus androgynus extract and lemuru oil on fat deposition and fafty acid composition of meat in broiler chickens. J. Indonesian Trop. Anim. Agric., 35: 48-54. Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky. 2002. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Kualitas Telur yang Ramah Lingkungan pada Ayam Petelur. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun 1. Jakarta. Santoso, U., Y. J. Setianto, T. Suteky dan Y. Fenita. 2003. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Kualitas Telur yang Ramah Lingkungan pada Ayam Petelur. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2. Jakarta. Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky. 2005. Effect of Sauropus androgynus (katuk) extract on egg production and lipid metabolism in layers. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18: 364369. Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi
46 | Penggunaan Ekstrak Katuk pada Ayam Arab Petelur
tepung daun katuk dalam ransum. Program Pasca sarjana IPB. Bogor. Subekti, S. ; W. G. Piliang, W. ;Manulu, B. T. Murdiati. 2006. Penggunaan tepung daun katuk dan ekstark daun katuk (Sauropus adrogynus L. merr) sebagai subsitusi ransum yang dapat menghasilkan produk puyuh Jepang rendah kolesterol. JITV, 11: 254-259. Suprayogi, A. 2000. Studies on the Biological Effets of Sauropus androgynus (L.) Merr: Effects on Milk Production and the Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. Cuviller Verlag Gottingen. Suprayogi, A., A. S. Satyaningtijas, N. Kusumorini dan E. E. Pantina. 2007. The influence of fermented and non-fermented Sauropus androgynus (L.) merr. leaves extract on the hematopoiesis in the postnatal mice. the SixUniversityInternasional Symposium, IPB, IICC-Bogor, 4-6 September 2007. Suprayogi, A., U. ter Meulen, T. Ungerer, and W. Manalu. 2001. Population of secretory cells and synthetic activities in mammary gland of lactating sheep after consuming Sauropus androgynus (L.) Merr. leaves. Indon. J. Trop. Agric. 10(1):1-3.
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan Deposisi Lemak pada Ayam Broiler Effect of Protein and Saccharomyces cereviciae culture Levels on Carcass Quality and Fat Deposition in Broiler Chickens Farahdiba, Urip Santoso dan Kususiyah Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan Raya W. R. Supratman, Bengkulu 38371 A e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The present study was conducted to evaluate effect of level of protein and Saccharomyces cereviciae culture on carcass quality and fat deposition. One hundred and thirty three broilers were distributed to 9 treatment groups of 3 replicates each. Factorial Completely Randomized Experimental Design was used. Two factors used n the present study were three level of protein (15%, 18% and 21%) and three level of Saccharomyces cereviciae culture (0%, 0.5% and 1%). Expermental results showed that protein level of diet significantly affected Fatty Liver Score (P<0.05), leg, breast and abdominal fat weights (P<0.01), but it had no effect (P>0.05) on carcass, wing and back weight. Level of Saccharomyces cereviciae culture had no effect (P>0.05) on carcass, leg, wing weghts and Fatty Lver Score, but it significantly affected on breast, back and neck fat weight (P<0.05) abdominal fat weight (P<0.01). No interaction was found. In conclusion, higher protein level improved carcass quality and reduced fat deposition. In addition, supplementation of 0.5% Saccharomyces cereviciae culture was effective to improve carcass quality and to reduce fat deposition. Supplementation of Saccharomyces cereviciae culture to low protein diet did not improve carcass quality and fat deposition. Key words: Saccharomyces cereviciae, protein, carcass quality, fat deposition
ABSTRAK Peneltian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh aras protein dan ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler. Sebanyak 135 ekor broiler dikelompokkan menjadi 9 kelompok perlakuan dengan 3 ulangan berupa kandang litter. Masing-masing ulangan berisi 5 ekor broiler. Racangan Acak Lengkap dengan 2 faktor digunakan dalam penelitian ini, yaitu tiga aras protein (15%, 18% dan 21%) dan tiga aras ragi (0%, 0,5% dan 1%). Hasil penelitan menunjukkan bahwa aras protein berpengaruh nyata terhadap Fatty Liver Score (P<0,05), paha, dada dan lemak abdomen (P<0,01), tetapi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap karkas, sayap dan punggung. Hasil peneltian menunjukkan bahwa aras ragi tape berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap karkas, paha, sayap dan Fatty Lver Score, tetapi berpengaruh nyata terhadap dada, punggung dan lemak leher (P<0,05) dan sangat nyata terhadap lemak abdominal (P<0,01). tdak terdapat interaksi antara aras protein dan aras ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak. Dapat disimpulkan bahwa level protein yang lebih tinggi memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape sebesar 0,5% efektif dalam memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape ke dalam pakan berprotein rendah tidak memperbaiki mutu karkas dan tidak menurunkan deposisi lemak pada broiler. Kata kunci: Ragi tape, protein, mutu karkas, deposisi lemak
Surat menyurat ditujukan kepada Urip Santoso
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
47
ISSN 1978 - 3000 PENDAHULUAN Akhir-akhir ini ahli nutrisi unggas banyak tertarik perhatiannya untuk menurunkan kadar protein dalam pakan broiler. Ada beberapa alasan, yaitu: 1) pemberian pakan berprotein rendah akan menurunkan biaya pakan karena protein merupakan zat nutrisi yang termahal dalam pakan broiler; 2) pemberian pakan berprotein rendah akan menurunkan tingkat pencemaran akibat ekskresi nitrogen yang berlebihan (El-Hakim et al., 2009). Ekskresi nitrogen yang berlebihan akan dikonversikan antara lain menjadi asam nitrat dan asam nitrit serta gas amonia. Asam nitrat dan asam nitrit dapat menurunkan pH tanah dan air, sehingga merupakan bahan pencemar tanah dan air. Gas amonia dapat mencemari udara sekitar yang dapat mengganggu kesehatan baik ternak maupun manusia terutama menyebabkan gangguan saluran pernafasan. Keuntungan lain bahwa terdapat bukti bahwa pemberian protein rendah memberikan sumbangan terhadap perbaikan toleransi panas pada broiler (Furlan et al., 2004). Namun demikian pemberian protein rendah dalam pakan menimbulkan beberapa kerugian. Pakan berprotein rendah pada broiler dapat meningkatkan deposisi lemak (Labussiere et al., 2008; Wood et al., 2004), menurunkan performans broiler, konsumsi pakan dan efisiensi penggunaan pakan (Bregendahl et al., 2002; Djouvinov dan Mihaillov, 2005; Jiang et al., 2005; Pearl, 2002; Pescatore dan Gates, 2003), dan menurunkan hasil karkas (Bregendahl et al, 2002). Swennen et al. (2007a) menemukan bahwa pemberian pakan berprotein rendah menurunkan retensi protein pada broiler. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitianTesseraud et al. 48 | Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape
(2003). Zhao et al. (2010) menemukan bahwa pemberian pakan berprotein tinggi menurunkan deposisi lemak yang terutama dsebabkan oleh penurunan ekspresi gen lipogenik. Broiler yang diberi pakan berprotein rendah menunjukkan retensi energi dalam bentuk lemak sehingga menghasilkan deposisi lemak abdominal meningkat pula (Collin et al., 2003; Swennen et al. (2004, 2006, 2007b). Yeh dan Leveille (1969) menunjukkan bahwa pemberian pakan berprotein rendah meningkatkan sintesis asam lemak dalam liver dan aktivitas malic enzyme. Tanaka et al. (1983) menemukan bahwa peningkatan level protein dalam pakan menurunkan lipogenesis in vitro dalam liver yang dibarengi oleh perubahan aktivitas enzim lipogenik. Donaldson (1985) menunjukkan bahwa lipogenesis in vitro dan aktivitas enzim acetyl coenzyme A carboxylase meningkat dengan pemberian pakan dengan rasio energi dan protein yang lebih tinggi (yang artinya pakan rendah protein). Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya pembesaran liver disebabkan pemberian pakan berprotein rendah (Suthama et al., 1991; Collin et al., 2003; Swennen et al., 2005, 2006), yang diduga merefleksikan deposisi lemak yang tinggi dalam liver, sebagai organ utama sintesis asam lemak pada ayam (Leveille et al., 1975). Oleh sebab itu, pemberian pakan berprotein rendah pada broiler perlu diimbangi oleh bahan pakan lain untuk menghambat laju pertumbuhan lemak. Santoso et al. (1995, 2001) menemukan bahwa suplementasi mkroorganisme efektf mampu menurunkan deposisi lemak pada broler. Onifade et al. (1999) menemukan bahwa suplementasi Saccharomyces cereviciae (ragi tape) memperbaiki performans, mutu karkas dan lemak abdomnal. Penelitian ini
ISSN 1978 - 3000 bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh ragi tape dan level protein terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler. Sahin dan Yardimci (2009) menemukan bahwa suplementasi kefr memperbaiki karakteristik karkas angsa.
MATERI DAN METODE Dua ratus ekor ayam broiler (strain Arbor Acres) umur satu dipelihara selama 1 minggu pada kandang litter. Suhu kandang diatur + 32,5oC. Ketika broiler baru tiba, mereka diberi air gula untuk mencegah stress. Pada umur 8 hari, semua broiler ditimbang dan diseleksi. Sebanyak 135 ekor broiler dikelompokkan menjadi 9 kelompok perlakuan dengan 3 ulangan berupa kandang litter. Masing-masing ulangan berisi 5 ekor broiler. Racangan Acak Lengkap dengan 2 faktor digunakan dalam penelitian ini, yaitu tiga aras protein (15%, 18% dan 21%) dan tiga aras ragi (0%, 0,5% dan 1%). Adapun ke sembilan kelompok perlakuan tersebut adalah sebagai berikut: 1) broiler diberi pakan berprotein 15% dan ragi tape 0% 2) broiler diberi pakan berprotein 15% dan ragi 0,5% 3) broiler diberi pakan berprotein 15% dan ragi 1% 4) broiler diberi pakan berprotein 18% dan ragi tape 0% 5) broiler diberi pakan berprotein 1 2 3
18% dan ragi tape 0,5% 6) broiler diberi pakan berprotein 18% dan ragi tape 1% 7) broiler diberi pakan berprotein 21% dan ragi tape 0% 8) broiler diberi pakan berprotein 21% dan ragi tape 0,5% 9) broiler diberi pakan berprotein 21% dan ragi tape 1% Komposisi pakan yang digunakan tertera dalam Tabel 1. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pada umur 42 hari, 6 ekor broiler untuk masing-masing kelompok perlakuan diseleksi dan disembelih. Karkas dan bagiannya dipisahkan dan ditimbang. Selain itu, lemak leher dan lemak abdominal dipisahkan dan ditimbang. Fatty Liver Score dinilai dengan membandingkan warna hati dengan warna standard menurut Santoso et al. (2004). Semua data dianalisis varians dan jika berbeda nyata diuji lanjut dengan DMRT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh aras protein terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada ayam broiler tertera pada Tabel 2. Hasil penelitan menunjukkan bahwa aras protein berpengaruh nyata terhadap Fatty Liver Score (P<0,05), paha, dada dan lemak abdomen (P<0,01), tetapi berpengaruh tidak nyata (P>0,05)
Tabel 1. Komposisi Pakan Percobaa n Bahan Pakan Jagung, % Dedak halus, % Tepung ikan, % Bungkil kedelai , % Tepung tulang, % Komposisi Gizi Pakan Protein, % ME (kkal/kg)
15% 59,44 22,87 10,00 7,19 0,50 15 2882,93
Aras Protein 18% 55,69 18,12 10,00 15,69 0,50 18 2883,05
21% 52,00 13,30 10,00 24,20 0,50 21 2884,24
4 Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
49
ISSN 1978 - 3000 Tabel 2. Pengaruh aras proten terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler Variabel Karkas , % Paha, % Dada, % Sayap, % Punggung, % Lemak abdomen, % Lemak leher, % Fatty Liver Score
15% 55,79 35,25b 24,77a 27,38 27,38 1,91c 0,59 2,47b
18% 60,12 33,87ab 25,81a 27,25 27,25 1,65b 0,33 2,25b
21% 61,05 31,79a 30,25b 25,53 25,53 1,59a 0,44 1,09a
P ns ** ** ns ns ** ns *
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata; *= P<0,05, **= P<0,01, ns= non significant, P = probabilitas
terhadap karkas, sayap dan punggung. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa aras proten 15% mempunyai paha lebih berat dari pada aras protein 21% (P<0,01). Aras proten 21% mempunyai dada yang lebh berat darpada aras protein 15% atau 18% (P<0,01). Aras protein 21% mempunyai lemak abdominal (P<0,01) dan Fatty Liver Score (P<0,05) yang lebih rendah jika dibandingkan dengan aras proten 15% ataupun 18%. Hasil penelitian ini didukung oleh Labussiere et al., 2008 danWood et al., 2004 yang menemukan pakan berprotein rendah pada broiler meningkatkan deposisi lemak. dan menurunkan hasil karkas (Bregendahl et al., 2002). Swennen et al. (2007a) menemukan bahwa pemberian pakan berprotein rendah menurunkan retensi protein pada broiler. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitianTesseraud et al. (2003). Nguyen et al. (2010) juga menemukan bahwa pemberian pakan berprotein lebih tinggi memperbaiki mutu karkas pada ayam periode tumbuh. Broiler yang diberi pakan berprotein rendah menunjukkan retensi energi dalam bentuk lemak sehingga menghasilkan deposisi lemak abdominal meningkat pula (Collin et al., 2003; Swennen et al. (2004, 2006, 2007b). Yeh dan Leveille (1969) menunjukkan bahwa pemberian pakan berprotein rendah meningkatkan sintesis asam lemak dalam liver dan aktivitas malic enzyme. Tanaka et al. (1983) menemukan bahwa
50 | Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape
peningkatan level protein dalam pakan menurunkan lipogenesis in vitro dalam liver yang dibarengi oleh perubahan aktivitas enzim lipogenik. Donaldson (1985) menunjukkan bahwa lipogenesis in vitro dan aktivitas enzim acetyl coenzyme A carboxylase yang merupakan enzim pembatas bagi sintesis asam lemak, meningkat dengan pemberian pakan dengan rasio energi dan protein yang lebih tinggi (yang artinya pakan rendah protein). Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya pembesaran liver disebabkan pemberian pakan berprotein rendah (Suthama et al., 1991; Collin et al., 2003; Swennen et al., 2005, 2006), yang diduga merefleksikan deposisi lemak yang tinggi dalam liver, sebagai organ utama sintesis asam lemak pada ayam. Nawaz et al. (2006) melaporkan bahwa tidak terdapat pengaruh level protein dan/atau energy terhadap lemak abdominal pada broiler. Namun, Jianlin et al. (2004) melaporkan terdapatnya peningkatan lemak abdominal sejalan dengan penurunan level protein pakan. Pengaruh aras ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak tertera pada Tabel 3. Hasil peneltian menunjukkan bahwa aras rag tape berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap karkas, paha, sayap dan Fatty Lver Score, tetapi berpengaruh nyata terhadap dada, punggung dan lemak leher (P<0,05) dan sangat nyata terhadap lemak abdominal (P<0,01). Uji lanjut menunjukkan bahwa aras ragi 0%
ISSN 1978 - 3000 Tabel 3. Pengaruh aras ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler Variabel Karkas , % Paha, % Dada, % Sayap, % Punggung, % Lemak abdomen, % Lemak leher, % Fatty Liver Score
0% Ragi 57,16 33,90 25,20a 12,63 28,26b 1,90b 0,69b 2,44
0,5% Ragi 58,59 33,87 27,84b 26,29 26,29ab 1,88b 0,36a 2,14
1% Ragi 59,76 33,69 27,84b 25,62 25,62a 1,62a 0,38a 2,06
P ns ns * ns * ** * ns
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata; *= P<0,05, **= P<0,01, ns= non significant, P = probabilitas
mempunyai dada yang lebih rendah (P<0,05) dan lemak leher yang lebih tinggi (P<0,05) jika dbandngkan dengan 0,5% atau 1% rag tape. Aras ragi tape 1% mempunyai punggung (P<0,05) dan lemak abdominal (P<0,01) yang lebh rendah daripada aras 0% atau 0,5% ragi tape. Bidura et al. (2002) menemukan bahwa ragi tape menurunkan lemak abdominal dan kolesterol dalam daging itik. Karaglu dan Durdag (2005) menemukan bahwa suplementasi ragi tape tidak memperbaiki mutu karkas pada ayam broiler. Paryad dan Mahmoudi (2008) menemukan bahwa suplementasi ragi tape memperbaiki mutu karkas pada ayam broiler. Suplementasi Saccharomyces cerevisiae meningkatkan pertumbuhan dan berat karkas serta menuurunkan lemak abdominal pada ayam broiler (Onifade et al., 1999). Turunnya deposisi lemak oleh ragi tape diduga disebabkan oleh turunnya sintesis asam lemak. Santoso et al. (1995, 2001) menunjukkan bahwa turunnya deposisi lemak oleh kultur
Bacillus subtilis disebabkan antara lain oleh turunnya aktivitas enzim AcetylCoA carboxylase di hati, suatu enzim pembatas pada sintesis asam lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara aras protein dan aras ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak (Tabel 4). Ini menunjukkan bahwa suplementasi ragi tape ke dalam pakan berprotein rendah tidak memperbaiki mutu karkas dan tidak menurunkan deposisi lemak pada ayam broiler.
SIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa level protein yang lebih tinggi memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape sebesar 0,5% efektif dalam memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape ke dalam pakan berprotein rendah tidak memperbaiki mutu karkas dan tidak menurunkan deposisi lemak pada broiler.
Tabel 4. Pengaruh aras protein dan ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada ayam broiler Variabel 0% Ragi Karkas, % Paha, % Dada, % Sayap, % Punggung, % Lemak abdomen, % Lemak leher, % FLS
55,24 35,10 21,29 12,14 29,36 2,81
15% Protein 0,5% 1% Ragi Ragi 58,33 59,13 34,65 35,99 25,57 26,81 12,32 12,12 27,62 25,17 2,07 2,06
0,85 2,69
0,51 2,33
0,42 2,38
0% Ragi 60,03 34,23 24,63 12,75 28,38 1,93 0,51 2,50
18% Protein 0,5% 1% Ragi Ragi 58,50 61,48 36,01 32,23 26,01 26,81 11,59 15,77 26,26 27,04 1,79 1,81 0,17 2,12
0,30 2,13
0% Ragi 59,71 31,72 28,95 13,14 27,03 1,99 0,49 2,13
21% Protein 0,5% 1% Ragi Ragi 58,94 58,67 30,95 32,72 29,87 29,87 12,77 12,77 24,91 24,65 1,01 1,76 0,41 1,98
0,43 1,68
P
ns ns ns ns ns ns ns ns
ns = non signfcant; FLS = fatty liver score
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
51
ISSN 1978 - 3000 DAFTAR PUSTAKA Bidura, . G. N. G. dan . I. G. P. B. Suastina. 2002. Pengaruh suplementas ragi tape dalam ransum terhadap efisiensi penggunaan ransum. Majalah Ilmiah Peternakan, 5: 6-11. Bregendahl, K. J., J. L. Sell and D. R. Zimmersnan. 2002. Effect of low protein diets on growth performance and body composition of broiler chicks. Poultry Sci., 81: 1156-1167. Collin, A., R. D. Malheiros, V. M. B. Moraes, P. Van As, V. M. Darras, M. Tauois, E. Decuypere and J. Buyse. 2003. Effects of dietary macronutrient content on energy metabolism and uncoupling protein mRNA expression in broiler chickens. Bri. J. Nutr., 90: 261-269. Djouvinov, D. and R. Mihailov. 2005. Effect of low protein level on performnace of growing and laying Japanese quails (Coturnix coturnix Japonica). Bulgarian J. Vet. Med., 8 (2) : 91-98. Donaldson, W. E. 1985. Lipogenesis and body fat in chicks: Effects of calorie-protein ratio and dietary fat. Poultry Sci., 64: 1191-1204. El-Hakim, Abd A. S., G. Cherian and M. N. Ali. 2009. Use of organic acid, herbs and their combination to improve the utilization of commercial low protein broiler diets. Int. J,. Poultry Sci., 8 (1) : 1420. Furlan, R. L., F. Fiko De de, P. S. Rosa and M. Macari. 2004. Does lowprotein diet improve broiler performance under heat stress condition? Brazilian J. Poultry Sci., 6 (2) : 71-79.
52 | Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape
Jiang, Q., P. W. Waldroup and C. A. Fritts. 2005. Improving the utilization of diets low in crude protein for broiler chickens. 1. Evaluation of special amino acid supplementation to diets low in crude protein. Int. J. Poultry Sci. 4 (3) : 115-122. Jianlin, S.F., C.A. Fritts, D.J. Burnham and P.W. Waldroup, 2004. Extent to which crude protein may be reduced in corn-soybean meal broiler diets through amino acid supplementation. Int. J. Poult. Sci., 3: 46-50. Karaglu, M. dan H. Durdag. 2005. The influence of probiotic (Saccharomyces cereviciae) supplementation and different slaughter age on the performance, slaughter and carcass properties of broilers. Int. J. Poult. Sci., 4: 309316. Labussiere, E., S. Dubois, J. Van Milgen, G. Bertrand and J. Noblet. 2008. Effects of dietary crude protein on protein and fat deposition in milkfed vel calces. J. dairy Sci., 91: 47414754. Nawaz, H., T. Mushtaq and M. Yaqoob, 2006. Effect of varying levels of energy and protein on live performance and carcass characteristics of broiler chicks. J. Poult. Sci., 43: 388-393. Nguyen, T. V., C. Bunchasak, dan S. Chantsavang. 2010. Effects of dietary protein and energy on growth performance and carcass characteristics of Betong chickens during growing period. Int. J. Poult. Sci., 9: 468-472. Onifade AA, Odunsi AA, Babatunde GM, Olorede BR, Muma E. 1999. Comparison of the supplemental effects of Saccharomyces cerevisiae and antibiotics in low-protein and
ISSN 1978 - 3000 high-fibre diets fed to broiler chickens. Arch Tierernahr. 1999;52(1) :29-39 Paryad, A dan M. Mahmoudi. 2008. Effect of different level of supplemental yeast (Saccharomyces cereviciae) on performance, blood constituents and carcass characteristics of broiler chicks. African J. Agric. Res., 3: 835-845. Pearl, G. G. 2002. The future of animal protein in poultry diets. Multi-State Poultry Meeting. May 14-16, 2002. Pescatore, A and R. gates. 2003. Reducing the nitrogen load and emissions in poultry houses. Multi-State Meeting. May 20-23, 2003. Sahin, E. H. dan M. Yardimci. 2009. Effects of kefir as a probiotic on growth performance and carcass characteristics in geese (Anser anser). J. Anim. Vet. Adv., 8: 562567 DOI: 10.3923/javaa.2009.562.567. Santoso, U., K. Tanaka dan S. Ohtani. 1995. Effect of dried Bacillus subtilis culture on growth, body composition and hepatc lipogenic enzyme activity in female broiler chicks. Bri. J. Nutr., 74: 523-529. Santoso, U., K. Tanaka, S. Ohtani dan M. Sakaida. 2001. Effect of fermented product from Bacillus subtlis on feed conversion efficiency, lipid accumulation and ammonia production in broiler chicks. AsianAust. J. anim. Sci., 14: 333-337. Santoso, U., Y. Fenita dan W. Piliang. 2004. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk sebagai Feed Additive untuk Memproduksi Meat Designer. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Bengkulu. Bengkulu. Suthama, N., K. Hayashi, M. Toyomizu and Y. Tomita. 1991. Interactions of exogenous thyroxine and dietary
protein levels on growth, and muscle protein metabolism in broiler chcikens. Jpn. Poultry Sci. 28: 1-10. Swennen, Q., G. P. J. Janssens, A. Collin, E. Le Bihan-Duval, K. Verbeke, E. Decuypere and J. Byuse. 2006. Dietinduced thermogenesis and glucose oxidation in broiler chickens: Influence genotype and diet composition. Poultry Sci., 85: 731-742. Swennen, Q., G. P. J. Janssens, E. Decuypere and J. Buyse. 2004. Effects of substitution between fat and protein on feed intake and its regulatory mechanisms in broiler chickens: energy and protein metaboleism and diet-induced thermogenesis. Poultry Sci., 83: 1997-2004. Swennen, Q., G. P. J. Janssens, S. Millet, G. Vansant, E. Decuypere and J. Buyse. 2005. Effect of substitution between fat and protein on food intake and its regulatory mechanism in broiler chickens: Endocrine functioning and intermediary metabolism. Poultry Sci., 84: 1051-1057. Swennen, Q., E. Decuypere and J. Buyse. 2007a. Implications of dietary macronutrients for growth and metabilsm in broiler chickens. World’s Poultry Sci. 63: 541-556. Swennen, Q., C. Laroye, G. P. J. Janssens, K. Verbeke, E. Decuypere and J. Buyse. 2007b. Rate of metabolic decarboxylation of leucine as assessed by a L[1-13C1] leusine breath test combined with indirect calorimetry of broiler chickens fed isocaloric diets with different protein:fat ratio. J. Anim. Physiol. Anim. Nutr., 91 (7-8) : 347-354. Tanaka, K., S. Ohtani and K. Shigeno. 1983. Effect of increasing dietary
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
53
ISSN 1978 - 3000 energy on hepatic lipogenesis in growing chickens. II. Increasing energy by fat or protein supplementation. Poultry Sci., 62: 452-458. Tesseraud, S., R. A. E. Pym, E. Le BihanDuval and M. J. Duclos.. 2003. Respone of broilers selected on carcass quality to dietary protein supply: live performance, muscle development and circulating insuline-like growth factors (IGF-I and –II). Poultry Sci., 82: 1011-1016. Wood, J. D., G. R. Nute, R. I. Richardson, F. M. Whittington, O. Southwood, G. Plastow, R. Monsbridge, N. da
54 | Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape
Costa and K. C. Chang. 2004. Effects of breed, diet and muscle on fat deposition and eating quality in pigs. Meat Sci., 67 (4) : 651-667. Yeh, Y. Y. and G. A. Leveille. 1969. Effect of dietary protein on hepatic lipogenesis in the growing chick. J. Nutr., 98: 356-366. Zhao, S., J. Wang, X. Song, X. Zhang, C. Ge dan S. Gao. 2010. Impact of dietary protein on lipid metabolism-related gene expression in porcine adipose tissue. Nutrition & Metabolism 2010, 7:6doi:10.1186/1743-7075-7-6.
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Tiga Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur The Effect of Quail (Coturnix-coturnix japonica) Genetic Composition as a Result of Crossbreeding from Three Regions on Egg Production Desia Kaharuddin dan Kususiyah Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jalan WR Supratman, kandang Limun Bengkulu ABSTRACT Inbreeding has been suggested as the cause of low egg production of quail in Bengkulu; hence crossing local quail with those from other provinces might be sustainable way to gain heterosis and improve egg productivity. An experiment was conducted to evaluate the effect of genetic composition obtained from crossings of quail originated from Bengkulu (BB), Padang (PP) and Yogyakarta (YY) on their egg production from sex maturity to unproductive stage. Treatments were six genetic compositions, i.e. (G1) 50%B 25 %P 25%Y, (G2) 25%B 50%P 25%Y, (G3) 25%B 25%P 50%Y, (G4) 100%B, (G5) 100%P, and (G6) 100%Y. Treatments were arranged in a Complete Randomized Design with seven replications of four quails. The results demonstrated that crossings from three provinces (G1, G2 and G3) improved (P<0.05) feed consumption, egg number, single egg weight, and total egg weight, but did not affect time to sex maturity and feed conversion as compared with those inbreeds, especially (G4 and G5). G1, G2 and G3 produced an average of 400 eggs per quail, being greater than G4 and G5 (316 eggs per quail) with production period of 72 weeks, longer than those from G4 and G5 (57 weeks). We conclude that crossing is important for improving egg production of quail. Key words: genetic composition, quail, egg production.
ABSTRAK Penyediaan bibit sendiri yang dilakukan oleh peternak puyuh disinyalir telah meningkatkan terjadinya inbreeding yang diketahui berdampak negatif. Penyilangan puyuh dengan memasukkan bibit dari luar atau mempunyai hubungan kekerabatan lebih jauh merupakan cara yang dapat menekan inbreeding akibat menurunnya gen-gen homozigot resesif serta menimbulkan dampak heterositas yang menguntungkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh komposisi genetik hasil persilangan puyuh tiga daerah asal yaitu puyuh asal Bengkulu (BB), puyuh asal Padang (PP), dan puyuh asal Yogyakarta (YY) terhadap performans produksi telur puyuh sejak dewasa kelamin sampai masa afkir. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap enam perlakuan dan tujuh ulangan, masing-masing ulangan terdiri empat ekor. Enam perlakuan komposisi genetik yang digunakan adalah : (G1 ) 50%B 25%P 25%Y; (G2) 25%B 50%P 25%Y; (G3 ) 25%B 25%P 50%Y; (G4) 100%B; (G5) 100%P; dan (G6) 100%Y. Variabel yang diukur adalah : umur dewasa kelamin , lama masa produksi, berat telur per butir, jumlah telur , total berat telur, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Data yang diperoleh dianalisis keragamannya. Bila perlakuan berpengaruh nyata, dilakukan uji Duncans Multiple Range Test pada taraf 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi genetik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum, jumlah telur, berat per butir telur, dan berat total telur, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap umur dewasa kelamin dan konversi ransum. Performans produksi telur puyuh persilangan tiga daerah asal lebih baik dibanding puyuh murni. Puyuh dengan komposisi genetik (G1) 50%B 25%P25%Y unggul pada lama masa produksi telur (73 minggu) sehingga menghasilkan jumlah telur lebih banyak (407 butir ekor -1), sedangkan puyuh dengan komposisi genetik (G3) 25%B 25%P 50%Y unggul dalam menghasilkan berat telur per butir (11,49 g butir -1), berat total telur (4531 g ekor-1), dan konversi ransum (2,6). Kata kunci : komposisi genetik, puyuh, produksi telur.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
55
ISSN 1978 - 3000 PENDAHULUAN Berbeda dengan ayam ras, ketersediaan bibit puyuh di pasar kurang mendapat perhatian. Hal ini membuat peternak puyuh melakukan peremajaan dengan menggunakan bibit puyuh yang mereka miliki. Pada umumnya pembibitan yang dilakukan oleh peternak puyuh ini tidak dilandasi oleh teori dan penanganan yang tepat sehingga bibit yang dihasilkan tidak terjamin kualitasnya. Hal ini terbukti dengan munculnya cacat kaki pengkor, fertilitas dan daya tetas yang rendah. Promono (2004) melaporkan bahwa kejadian cacat kaki pengkor pada peternakan puyuh rakyat kota Bengkulu mencapai 20 % dengan rataan fertilitas dan daya tetas relative rendah, masingmasing 61 % dan 67,2 %. Jeleknya hasil penetasan ini disinyalir telah terjadi perkawinan antara puyuh sekerabat (inbreeding), disebabkan peternak puyuh pada umumnya tidak pernah mendatangkan puyuh dari luar. Menurut Astuti et al. (1985) kaki pengkor merupakan salah satu indikator akibat dari tekanan silang dalam (inbreeding depression). Pengaruh buruk pada inbreeding tersebut merupakan akibat bergabungnya gen-gen resesif yang homozigot karena terjadi perkawinan sekerabat pada kelompok ternak yang digunakan sebagai bibit (Noor, 1996 dan Warwick et al., 1990). Inbreeding pada ayam dapat menyebabkan turunnya fertilitas, meningkatnya mortalitas dan menimbulkan terjadinya abnormalitas kaki lemah, cripper, dan jari-jari mencengkeram (crooked) sehingga ayam sulit bertengger dan tidak dapat berjalan secara normal (Rokimoto, 2002) Menurut Sheridan (1986) dan Warwick et al. (1990) persilangan adalah satu alternative untuk membentuk keturunan yang diharapkan akan
memunculkan efek komplementer (pengaruh saling melengkapi). Selain efek komplementer, persilangan akan membentuk efek heterosis untuk meningkatkan produktivitas (Falconer, 1981). Kaharuddin dan Kususiyah a (2005 ) telah melakukan persilangan resiprokal (persilangan jantan betina bolak balik) antar puyuh dari dua daerah asal; yaitu antara puyuh asal Bengkulu dengan Padang (BP), Bengkulu dengan Yogyakarta (BY), dan Padang dengan Yogyakarta (PY) dan menunjukkan semua keturunan hasil persilangan tersebut tidak ditemukan kaki pengkor dan pertumbuhan hasil resiprokal nyata lebih baik dibandingkan dengan puyuh asli masing-masing daerah (Puyuh asal Bengkulu (BB),Puyuh asal Padang (PP), dan Puyuh asal Yogyakarta (YY). Demikian juga produksi telur hasil persilangan puyuh dari dua daerah asal nyata lebih tinggi (P<0,05) dari produksi telur puyuh asal daerah Bengkulu (BB), Padang (PP) dan Yogyakarta (YY) (Kaharuddin dan Kususiyah, 2005b). Lebih lanjut Kaharuddin dan Kususiyah (2006) melaporkan bahwa fertilitas (86,33%) dan daya tetas telur (81,36%) puyuh persilangan lebih baik dari puyuh asli masing-masing daerah dengan rataan fertilitas (79,87%) dan daya tetas (75,71%). Berdasar uraian tersebut di atas, untuk mengevaluasi potensi genetik puyuh-puyuh persilangan tersebut , maka penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan genetik puyuh persilangan tiga daerah asal dengan cara mengawinkan puyuh-puyuh hasil persilangan (F1), yaitu BY (persilangan puyuh Bengkulu dengan puyuh Yogyakarta, PB (persilangan puyuh Padang dengan puyuh Bengkulu, dan PY (persilangan puyuh Padang dengan puyuh Yogyakarta) untuk mengetahui
56 | Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh
ISSN 1978 - 3000 performans produksi telur keturunan mereka sejak dewasa kelamin hingga afkir.
MATERI DAN METODE Parent stock (tetua) pada penelitian ini digunakan 90 ekor puyuh pejantan yang terdiri dari puyuh asal Bengkulu (BB), puyuh asal Padang (PP), dan puyuh asal Yogyakarta (YY) masingmasing 30 ekor dan 270 ekor puyuh betina terdiri dari puyuh hasil persilangan dari dua daerah yaitu PY, BY, PB, dan puyuh BB, PP, dan YY masing-masing 45 ekor. Hasil keturunan persilangan parent stock yang diterapkan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. digunakan sebagai materi penelitian ini. Penelitian ini menggunakan Tabel 1.
Genotipe G1 G2 G3 G4 G5 G6
rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tujuh ulangan, masingmasing ulangan terdiri empat ekor. Berdasarkan persilangan parent stock pada Tabel 1. tersebut di atas maka komposisi genetik keturunan dijadikan perlakuan, sehingga didapat 6 macam komposisi genetik sebagai berikut: (G1 ) 50%B 25%P 25%Y; (G2) 25%B 50%P 25%Y; (G3 ) 25%B 25%P 50%Y; (G4) 100%B; (G5) 100%P; dan (G6) 100%Y. Variabel yang diukur adalah : umur dewasa kelamin , lama masa produksi, berat telur per butir, jumlah telur , total berat telur, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Data yang diperoleh dianalisis keragamannya. Bila perlakuan berpengaruh nyata, dilakukan uji Duncans Multiple Range Test pada taraf 0,05.
Genotipe Puyuh Hasil Persilangan Puyuh Asal Bengkulu (B), Padang (P), Yogyakarta (Y) yang Digunakan dalam Penelitian Asal Tetua*) Jantan Betina BB PY PP BY YY PB BB BB PP PP YY YY
Komposisi Genetik Genotipe Keturunan yang Digunakan**) Bengkulu (B) Padang (P) Yogyakarta (Y) 50% 25% 25% 25% 50% 25% 25% 25% 50% 100% 100% 100%
Keterangan: *) Tetua, setiap huruf mewakili 50% genotipe asal daerah **) untuk genotype keturunan yang digunakan, setiap huruf mewakili 25% genotipe asal daerah BB = Puyuh asal Bengkulu PP = Puyuh asal Padang YY = Puyuh asal Yogyakarta PY = Persilangan Puyuh asal Padang dengan Puyuh asal Yogyakarta BY = Persilangan Puyuh asal Bengkulu dengan Puyuh asal Yogyakarta PB = Persilangan Puyuh asal Padang dengan Puyuh asal Bengkulu
Tabel 2. Umur dewasa kelamin dan lama masa produksi puyuh pada perlakuan komposisi genetik Komposisi Genetik G1 (50%B 25%P 25%Y) G2 (25%B 50%P25%Y) G3(25%B 25%P 50%Y) G4 (100%B) G5(100%P) G6(100%Y)
Umur dewasa kelamin (hari) 43,17± 0,76 43,00 ± 1,41 42,29 ± 1,25 42,57 ± 0,53 43,13 ± 0,90 43,43 ± 0,79
Lama masa produksi (minggu) 73 72 72 57 57 71
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
57
ISSN 1978 - 3000 HASIL DAN PEMBAHASAN Umur dewasa kelamin dan lama masa produksi pada masing-masing perlakuan komposisi genetik disajikan pada Tabel 2. Umur dewasa kelamin adalah hari dimana puyuh dalam satu petak kandang telah ada yang bertelur. Sedangkan lama produksi adalah lamanya puyuh berproduksi dihitung sejak puyuh pertama kali bertelur hingga afkir (produksi telur sudah turun hingga dibawah 45% selama 2 minggu berturutturut). Umur dewasa kelamin Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi genetik tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap umur dewasa kelamin. Hal ini menunjukkankan bahwa umur dewasa kelamin tidak dipengaruhi komposisi genetik. Secara umum dewasa kelamin berkisar antara 42,29- 43,43 hari, adalah tidak jauh berbeda dengan pernyataan Listiyowati dan Roospitasari (2001) bahwa dewasa kelamin puyuh adalah umur 6 minggu (42 hari). Berbagai informasi menunjukkan bahwa, pada umumnya bila puyuh telah mulai bertelur, persentase produksi akan meningkat terus sampai mencapai puncak produksi; setelah mencapai puncak produksi, persentase produksi akan turun secara perlahan hingga memasuki masa afkir.
Lama Masa Produksi Lama masa produksi dihitung sejak puyuh dewasa kelamin sampai masa afkir. Pada penelitian ini, puyuh diafkir bila persentase produksi setiap perlakuan telah menurun hingga produksi telah menjadi di bawah 45 % selama 2 minggu berturut-turut. Terlihat dari Tabel 2. bahwa lama masa produksi puyuh persilangan (G1, G2, G3) lebih lama dibanding puyuh murni (G4, G5, G6). Lebih lamanya masa produksi puyuh persilangan dibanding puyuh murni ini mengindikasikan adanya perbaikan mutu genetik dengan meningkatnya heterozigositas dan mengurangi gen homozigot yang tidak menguntungkan. Puyuh G1 dengan Komposisi genetik 50% Bengkulu 25% Padang 25% Yogyakarta adalah yang paling lama masa produksinya (73 minggu), sedangkan yang paling singkat lama masa produksinya adalah puyuh Bengkulu murni (G4) 57 minggu dan puyuh Padang murni (G5) 57 minggu . Diantara puyuh murni, lama masa produksi puyuh murni Yogyakarta (G6) 71 minggu adalah jauh lebih baik, namun masih lebih rendah dibanding puyuh persilangan (G1, G2, G3 ). Rataan konsumsi ransum, berat telur per butir, jumlah telur, berat total telur dan konversi ransum puyuh ditunjukkan pada Tabel 3. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum dihitung mulai puyuh umur 6 minggu sampai afkir.
Tabel 3. Konsumsi ransum, berat per butir telur, jumlah telur, berat total telur ,dan konversi ransum puyuh Komposisi genetik G1 (50%B 25%G25%Y) G2 (25%B 50%G25%Y) G3(25%B 25%P 50%Y) G4 (100% B) G5(100% P) G6(100% Y)
Konsumsi ransum (g) 11966± 70,11a 11643 ±154,91b 11742 ±133,16ab 9386 ±50,69c 9558± 37,22c 11639±100,95b
Berat per butir telur (g butir-1) 11,09± 0,05c 11,10± 0,07c 11,49± 0,10a 11,21 ±0,09bc 11,45± 0,10ab 11,17± 0,12c
58 | Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh
Jumlah telur (butir ekor-1) 407,64 ±10,20a 400,69±9,7a 394,27± 5,87ab 316,56 ±4,86c 315,92 ±3,96c 377,82±10,46b
Berat total telur (g) 4519 ±111a 4447± 91a 4531± 65a 3549 ±50c 3616 ±52c 4217 ±86b
Konversi ransum 2,66 ±0,06 2,62 ±0,07 2,60 ±0,06 2,65± 0,04 2,65 ±0,03 2,76±0,05
ISSN 1978 - 3000 Terlihat dari Tabel 3. bahwa komposisi genetik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum . Perbedaan konsumsi ransum ini disebabkan oleh perbedaan lama masa produksi. Konsumsi ransum G1 nyata lebih tinggi dibanding puyuh G2, tetapi tidak berbeda nyata dibanding puyuh G3. Selanjutnya konsumsi ransum puyuh G4 dan G5 merupakan yang terendah karena lama masa produksinya yang paling singkat. Secara umum bila dilihat konsumsi hariannya, konsumsi ransum persilangan (G1 23,40 g ekor -1hari-1, G2 23,1 g ekor -1hari-1, dan G3 23,30 g ekor 1hari-1) relatif lebih rendah dibanding puyuh murni (G4 23,52 g ekor -1hari-1, G5 23,96 g ekor -1hari-1, dan G6 23,42 g ekor 1hari-1). Berat per butir telur Berat per butir telur diukur untuk mengetahui ukuran telur. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi genetik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap ukuran telur. Ukuran telur puyuh G3 (11,49 g butir-1) dengan komposisi genetik 25%B 25%P50%Y nyata lebih besar dibanding komposisi genetik G1 (11,09 g butir-1), G3 (11,10 g butir-1) maupun puyuh murni G4 (11,21 g butir-1 ), G5 (11,45 g butir-1),G6 (11,17 g butir-1). Jumlah Telur Jumlah telur perlu diketahui karena di sejumlah daerah penjualan telur puyuh dengan satuan butir masih laz pada umim digunakan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi genetik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah telur yang dihasilkan. Secara umum jumlah telur puyuh persilangan (G1 407,64 butir, G2 400,69 butir dan G3 394,27 butir) lebih banyak dibanding puyuh murni (G4 316,56 butir, G5 315,92 butir , G6 377,82 butir). Lebih
banyaknya jumlah telur yang dihasilkan puyuh persilangan ini disebabkan puyuh persilangan memiliki masa produksi lebih lama dibanding puyuh murni. Jumlah telur puyuh Bengkulu murni dan puyuh Padang murni relatif lebih rendah dibanding puyuh Yogyakarta murni. Berat Total Telur Komposisi genetik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berat total telur. Sebagaimana jumlah telur yang dihasilkan, maka berat total telur puyuh persilangan juga lebih tinggi dibanding puyuh murni. Selanjutnya, meskipun tidak berbeda nyata diantara puyuh persilangan, berat total telur puyuh G3 (4531 g) meskipun lama masa produksinya lebih singkat dibanding G1 (4519 g) dan G2 (4447g ) adalah yang paling tinggi, hal ini disebabkan oleh ukuran telur yang dihasilkan paling besar. Selanjutnya berat total telur puyuh murni Bengkulu dan telur puyuh murni Padang adalah yang paling rendah, dan telur puyuh murni Yogyakarta paling tinggi karena jumlah telur yang dihasilkan lebih banyak sebagai akibat lebih lamanya masa produksi. Konversi ransum Konversi ransum tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh komposisi genetik. Namun demikian rataan konversi ransum puyuh G3 adalah yang paling rendah dan hal ini menunjukkan bahwa G3 adalah relatif lebih efisien dalam menggunakan ransum disbanding perlakuan lain.
SIMPULAN Performans produksi telur puyuh persilangan tiga daerah asal lebih baik dibanding puyuh murni. Puyuh dengan komposisi genetik (G1) 50%B 25%P25%Y
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
59
ISSN 1978 - 3000 unggul pada lama masa produksi telur sehingga menghasilkan jumlah telurlebih banyak, sedangkan puyuh dengan komposisi genetik (G3) 25%B 25%P 50%Y unggul dalam menghasilkan berat telur per butir, berat total telur dan konversi ransum.
UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Sdr. Alex Cheris Rakawa, Sdr. Kusnan Hadi, Sdr. Ahmad Mukhlis, serta Sdr. Edwar Yusup atas partisipasinya selama penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA Astuti, M., T. A. Sucahyono, dan D. T. Sulistiowati. Pengaruh silang dalam terhadap daya tunas, daya tetas, dan bobot badan pada burung puyuh. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Falconer, D. S. 1981. Introduction Quantitative Genetics. 2nd Ed. Longmans Group Ltd. London and New York. Kaharuddin, D., dan Kususiyah. 2005a. Performans fenotipe dan genotype hasil persilangan antara puyuh asal Bengkulu, Padang dan Yogyakarta. Laporan Penelitian. Hibah Penelitian SP4 Batch 1 Jurusan Peternakan Faperta UNIB.
Kaharuddin, D., dan Kususiyah. 2005b. Pengaruh jantan dan betina terhadap produksi, fertilisitas dan daya tetas telur pada persilangan antara puyuh asal Bengkulu, Padang, dan Yogyakarta. Laporan Penelitian Universitas Bengkulu. Bengkulu. Kaharuddin, D. , dan Kususiyah. 2006. Fertilitas dan daya tetas telur hasil persilangan antara puyuh, Bengkulu, Padang dan Yogyakarta. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Uiversitas Bengkulu. (8) 1: 56-60. Noor, R. R. 1996. Genetika Ternak. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta. Pramono, R. 2004. Performans reproduksi dan munculnya kaki pengkor pada puyuh di beberapa peternakan puyuh Kota Bengkulu. Skripsi Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Rokimoto. July3. 2002. Poultry breeding/Genetics: inbreed Quail. www.the.coop.org/wwwboard/dis cuss/messages/15/6437/html-11k. Sheridan, A.K. 1986. Selection for heterosis from reciprocal cross population: Estimation of the F1 heterosis and its mode of inheritance. British Poultry Sci. 27: 541-550. Warwick, E. J., Astuti J. M. dan W. Hardjosubroto. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
60 | Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh
ISSN 1978 - 3000
Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina), Kricket (Brachytrypes membranaceus) and Diet Combinations on Live Performance of Young Edible – Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) B. Brata, R. Saepudin, Sutriyono and Lindya Animal Science Department, Faculty of Agriculture, Bengkulu University Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu 38371A-Indonesia Corresponding E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research was to investigate the performance of young Edible-nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) fed (Aerophylla smaragdina), cricket (Brachytrypes membranaceus) and diet combinations of 33% cricket, 34% kroto and 33% of commercial diet/BR1. The observation was started from the bird hatches until it fledges. Experiment design used was completely randomized design with three treatments and four replications; each of the replications consists of ten young Edible-nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga). The treatments were 100% kroto, 100% cricket and diet combinations of of 33% cricket (Brachytrypes membranaceus), 34% kroto and 33% of commercial diet/BR1. The variables measured were feed consumption, body weight, feed conversion and total loss. Results showed that, there were insignificant effects of feeding kroto, cricket and diet combinations of 33% cricket, 34% kroto and 33% of commercial diet/BR1 on live performance of young Edible-nest Swiftlet, observed from the bird hatches until it fledges. By the end of the observation, one young Edible-nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) survived. Keywords: young edible-nest swiftlet (Collocalia fuciphaga) , kroto and cricket.
INTRODUCTION
Indonesia is one of the biggest producers for Edible-nest swiftlet (Collocalia fuciphaga) with the total production of approximately 105 tones. Two out of twelve species of swiftlets are widely used; Collocalia fuciphaga and Collocalia maxima (Sawitri and Garsetiasih, 2000). The farming of the Edible-nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) for their nests is an important industry for a number of people all around Indonesia. Mardiastuti et al. (1999), mentioned that those species whose nests are 'white' shallow cups and made almost purely of saliva are produced by Collocalia fuciphaga. In Bengkulu, nests of Ediblenest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) is
one of primary incomes in the society as Edible-nest swiftlet (Collocalia fuciphaga) annual production is 1.5 tones (Saepudin, 2007a) ; as well as source of district own revenue through tax collection. Moreover, Saepudin (2006) mentioned that Bengkulu is a potential area to develop Edible Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) industry for its environment factors. There are some problems in developing Edible Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) farming such as inhabited buildings, a decrease of young Edible Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) population and unavailability of natural food. According to Wibowo (1995), the chicks are fed with food balls
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
61
ISSN 1978 - 3000
regurgitated by mist-netted adults. After hatching, the chicks are most likely to have low live percentage; even though there are numerous researches on swiftlet diets. In the wild life, the nestling period lasts 45 days. Once they have fledged, the young swiftlets are fully independent and are no longer fed by their parents. Furthermore, Wibowo (1995) mentioned that swiftlets food is mostly pests for the farmers. Food for young swiftlets, which is called Kroto (Aerophylla smaragdina), is available at pet shop. According to Widyaningrum et al. (2000), cricket (Brachytrypes membranaceus) a domesticated animal is a type of food for singing birds. The finding of Mardiastuti (1999) showed that feeding diet combination of insect and kroto showed a better weight gain than single diet feeding. Saepudin (2007b) revealed that feeding edible-Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) nests given (15%) on diet had better liveperformance compared to 10% and 5% Edible Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) nests on diet. The aim of the research was to find out the performance of young Edible Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) fed kroto (Aerophylla
smaragdina), cricket (Brachytrypes membranaceus) and diet combinations. It was hypothesized that the feeding treatments would be able to improve live performance as well as survival of the bird after hatching until it fledges.
MATERIAL AND METHODS
The research was conducted in bird nest building at Sukamerindu of Sungai Serut district, Bengkulu and Animal Science Laboratory started from December, 2007 to January, 2008. The young edible – Nest Swiftlet and the diet were weighed by using Oertling analytical balance to the nearest 0.01 g. Artificial nests were used to nestle young edibleNest Swiftlet. A modified humidifier was made of fan and plastic. Foam was used to put the hatched chicks, forceps were to select and place feed inside the mouth of the bird. Termohygrometer was used to measure the air temperature and humidity. There were also lamps and three units of electric hen hatch used. Materials used were 120 young edible-nest Swiftlet, kroto, cricket and diet combinations of 33% cricket, 34%
Table 1. Nutritional value of the diet Nutrient Protein Energy Crude fiber Calcium Phosphor Crude fat
Kroto (100%) 11.09* 3059.10* 2.06* 0.26 0.29 0.71*
Cricket (100%) 60.47** 6172.88** 7.30** 2.20 0.62 8.20**
Combination Cricket (33%) Kroto (34%) 30.99 4073.74 4.76 1.94 0.94 6.20
Sources: * Mardiastuti (1999) ** Farida et al (2008)
62 | Feeding of Young Edible – Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga)
BRI(33%)
ISSN 1978 - 3000
kroto and 33% of commercial diet/BR1. Stimulant perfume made 1 g of edible-nest Swiftlets nests and 1 litter.of water. Besides this, another of the material was 96% alcohol (Rasemut and Rafiko (pesticides). The electric hatch machine was set up a day before the research to stabilize the temperature. The ideal temperature was maintained at 370C and 70% of humidity, then the machine is ready to use. The birds were transferred from the electric hen hatch to a suitable sized box. . The rearing room was sterilized by using pesticides (Arcoa and Rasemut) and sprayed by using 96% of alcohol. Rearing room was then spayed with stimulant perfume. The room was equipped with brooder and the temperature was set from 26 to 290C and 80 to 90% of humidity. After two weeks, the young edible-nest Swiftlet was transferred to artificial nests attached to the wall of the bird nest building. Nutritional value of diet is presented in Table 1. The young edible-nest Swiftlets were fed with kroto, cricket and diet combinations of 33% cricket, 34% kroto and 33% of commercial diet/BR1. Kroto was sorted to separate the old ones and made free of dirt, and then boiled for fifteen minutes. The crickets were removed for legs and heads and then put under warm water and grinded finely. The diets were then mixed. Experiment design used was completely randomized design with three treatments and four replications; each of the replications consists of ten young Edible-nest
Swiftlet. The treatments were 100% kroto, 100% cricket and diet combinations of of 33% cricket, 34% kroto and 33% of commercial diet/BR1. Collected data were analyzed by using Analysis of variance (ANOVA). Any significant difference among treatments was tested by using Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). There were thirteen times of feeding or whenever there was a sign of hunger and feeding was stopped when the young Edible-nest Swiftlet closed its mouth. Feed consumption of young Edible-nest Swiftlet was the total feed given minus the feed available at the end of the day. The average feed consumption was measured weekly (gram/bird). Feed conversion was measured as total feed consumption divided by weight gain.
RESULTS AND DISCUSSION Feed Consumption The average of feed st consumption on day 1 to 21st is shown in Table 2. The results showed that the feeding treatments did not significantly affect feed consumption (P>0.05). However, the Table 2 showed that treatment of feeding diet combinations gave the highest feed consumption (25.65 g/bird) compared to cricket (23.22 g/bird) and kroto (20.68 g/bird). The feed consumption of diet combinations is the highest among treatments. It indicated that the
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
63
ISSN 1978 - 3000 Table 2. The average of feed consumption, weight gain, and feed conversion on day 1st to 21 st Variable Feed Consumption Weight gain Feed conversion
Kroto 20.68 ±2.57a 2.45 ±0.26a 8.43 ±0.30a
Average Cricket 23.22±1.04a 2.64±0.16a 8.81±0.44a
Diet Combination 25.65±3.78a ns 2.72±0.15a ns 9.45±1.40a ns
Figures with different letters indicate the group mean is significantly different (P<0.005) The data are show as mean ±SEM
variations of feed given affected the amount of feed intake. Therefore, diet combinations can be an alternative method of feeding for young Ediblenest Swiftlet. Moreover, the highest feed consumption on combination diet treatment group was due to a balance energy and protein content (Table 1) Yangesa (1997) revealed that young Edible-nest Swiftlet in wild life obtains feed of feed balls regurgitated by mist-netted adults, on average, contained 1500 to 2000 tiny insects. As insects, they have chitin which is indigestible, it is digested by adult saliva; which is not well developed in young bird (Mardiastuti, 1999). Body Weight Gain of Edible-nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) The average of weight gain on st day 1 to 21st is shown in Table 2. The results of statistical analysis showed that the feeding treatments did not significantly affected average of weight gain (P>0.05). Insignificance of weight gain among feeding treatments may be due to the diet combinations. Saepudin (2007b) revealed that feeding edible-Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) nests (15%), which was mixed in diet gave better live performance of young edible Nest Swiftlet. The combination of diet treatment perform the highest body
weight gain (2.72g/bird), compared to that of in cricket group (2.64 g/bird) and kroto treatment group (2.45g/bird) The highest weight gain on combination diet treatment group was due to a balance energy and protein content (see Table 1). Compare to energy and protein contents in kroto and cricket, it is clear that combination of kroto, cricket and BR1 had more balance energy and protein content. Moreover, the balance calcium and phosphor in combination diet treatment (Table 1) might cause the body weight gain compared to the one in calcium and phosphor in kroto and cricket. Saepudin (2007c) stated feeding diet combination of kroto (50%) and feeding edible-Nest Swiftlet (Collacalia fuchiphaga) (50%) might cause body weight gain better compared to kroto (100%) and feeding edible-Nest Swiflet (Collacalia fuchiphaga) (100%). Feed Conversion The average of feed conversion is shown in Table 2. The results of statistical analysis showed that the feeding treatments did not significantly affect feed conversion (P>0.05). Insignificance of feed conversion among feeding treatments indicated that the diets may have similar efficiency values. It is worth
64 | Feeding of Young Edible – Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga)
ISSN 1978 - 3000
noting that kroto had a lower feed conversion (8.83) compared to cricket (9.81). Feed conversion indicates the level of food utilization efficiency. Kroto seemed to be the most efficient diet for young edible-Nest Swiftlet among the treatments groups. The high efficiency of kroto was due to the lowest feed consumption contributed to better weight gain (Table 2). This means that the combination of low protein (11.09%) and low energy (3059.10 kcal) made this diet being the most efficient with feed conversion was 8.43. Live young edible-Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) that fledges The number of live edible-nest swiftlet that fledges is shown in Table 3. In the Table 3, showed that, there are different numbers of live ediblenest swiftlet until [fourth] week. In kroto treatment group, there were 7 birds, in cricket treatment group were 4 birds and combination treatment group were 6 birds. In the end of the research period (week-8), there was only one young edible-Nest Swiftlet fledges; which was in cricket feeding treatment group. Survival and livability of young edible nest swiftlet
on cricket treatment group was the best of all treatments at the end of the research period. This might be caused of the level of protein in cricket was the most suitable to support live (60.90%). According to Nugroho and Sukma (2003), young Edible-nest Swiftlet requires 55-60% protein to grow well. As a matter of fact, swifts are insectivores. Adriana (1999) reported that swifts frequently feed on Hymenoptera, Dyptera, Hemiptera and Hymenoptera. In Penang Malaysia, 40.8% of 100-1200 insects eaten by swifts are Hymenoptera. Moreover, Nugroho et al. (1991) revealed that edible-nest swiftlet (Collocalia fuciphaga) requires 1000 to 5000 insects per day.
CONCLUSION
In conclusion, kroto, cricket and combinations diet had a non significant effect on feed consumption, body weight gain, feed consumption and the number of live edible-nest swiftlet that fledges. However, there was one live ediblenest swiftlet that fledges in cricket treatment group.
Table 3. The number of live edible-nest swiftlet that fledges Week 1 2 3 4 5 6 7 8
Kroto 25 17 11 7
Number of edible-nest swiftlet that fledges Cricket Diet combinations 21 21 10 15 7 11 4 6 1 1 1 1*
*= live edible-nest swiftlet that fledges
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
65
ISSN 1978 - 3000 ACKNOWLEDGEMENT The author greatest thank to Higher Education that has funded the research through A2 Research Grant 2007 of Animal Science Department, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu with contract No: 03/A2/JPT/2007
REFERENCES Andriana, B. B. 1999. Makanan burung wallet (Collocalia fuciphaga) rumahan di Kragilan Media Konservasi. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. VI(2) :5153 Farida, W. R., K. K. Wardani., A. S. Tjakradidjaja, and D. Diapari. 2008. Konsumsi dan penggunaan pakan pada Tarsius (Tarsius bancanus) Betina di Pengakaran. Biodiversitas. 9(2) : 148-151 Mardiastuti, A. 1999. An attempt artificially incubate and raise chicks of edible-nest swiftlets. Media Konservasi. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. VI(2) : 45-49 Mardiastuti., A. Djanglot, Y. A. Mulyani, and A. Nugraha.1999. Pengelolaan pasca panen sarang burung wallet. Media Konsevasi. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. VI(2) : 69-72 Nugroho, E. W. I., S.S Whendrato, and I.M. Madyana. 1991. Budidaya Walet di Malaysia. Eka Offset, Semarang. Nugroho, H. K. and E. S. Sukma. 2003 Sarana Budidaya Walet. Penebar Swadaya, Jakarta.
Saepudin, R. 2006. Studi habitat makro burung walet (Collocalia sp) di Kota Bengkulu. Jurnal Peternakan Indonesia. 1(1) : 8-16 Saepudin, R. 2007a. Pengaruh kosentrasi larutan hidrogen peroksida (H2O2) terhadap derejat putih dan nilai gizi sarang burung walet sarang hitam (Collocalia maxima). Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 2 (1) : 40-44. Saepudin, R. 2007b. Kajian tentang penetasan telur walet (Collocalia fuciphaga). Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 2 (2) : 73-78 Saepudin, R. 2007c. Penggunaan kroto dengan sarang walet sebagai pakan untuk meningkatkan daya tahan hidup anak walet (Collocalia fuciphaga). Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian. Edisi Khusus (2) : 235240 Sawitri, R and R. Garsetiasih 2000. Studi populasi, habitat serta produktivitas burung walet putih (Collocalia fuciphaga) di Gombong Selatan Jawa Tengah. Buletin Penelitian Hutan Visi dan Misi P3H & KA. (620) : 37-49 Wibowo, S. 1995. Budidaya Sarang Walet. Penebar Swadaya, Jakarta. Widiyaningrum, P., A. M. Fuah , D T H. Sihombing and A. Djuhara. 2000. Pengaruh sex Rasio dan jenis pakan terhadap produksi dan daya tetas telur tiga jenis jangjrik lokal. Gryllus miratus Burn, Gryllus bimaculatus De Geer, dan Gryllus testaceus Walk (Orthoptera: Gryllide). Jurnal Ilmiah. Ilmu Perternakan, 24 (2) : 75-80. Yangesa, I. 1997. Penetasan telur dan pemeliharaan anakan burung walet sarang putih (Collocolia fuchiphaga). Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
66 | Feeding of Young Edible – Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga)
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin (Niasin Dan FeSO4) dalam Ransum Berbasis Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru terhadap Perlemakan Darah Ayam Broiler Effect of Supplementation of Carnitine Precursor (Niasin and FeSO4) into Rations as A Lemuru Fish Oil Encapsulation on Broiler Blood Serum Yosi Fenita Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jl WR Supratman Kandang Limun Bengkulu Telp 21170 ext 219 email:
[email protected]
ABSTRACT The aims of study was to evaluate the effect of supplementation of carnitine precursor (Niasin and FeSO4) into rations as a lemuru fish oil encapsulation to broiler blood serum. The experiment was using Random completely design with 6 treatment and 3 replicatin, each consist of 10 broiler. A level that used in the experiment was PO ; commerial ration, P1 : basal ration + 2% of lemuru fish oil encapsulation. P2 : basal ration + 2% lemuru fish oil encapsulation + 35 mg of niasin + 80 mg of FeSO4 , P3 : basal ration +2% of lemuru fish oil encapsulation + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg, P4 : ransum basal + 2% of lemuru fish oil encapsulation + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg. P5 : ransum basal + 2% of lemuru fish oil encapsulation + niasin 70 mg + FeSO4 160 mg. Blood serum broiler was taken from vena brachialis . The data that analyzed of variance (Anova), if there is a significant effect, it was tested by orthogonal contrast (Steel and torrie, 1993) some variable that observed were cholesterol. Trigliserida, LDL (Low density lipoprotein) and HDL (Hgh density lipoprotein) of broiler blood serum. The result shown that significant (P<0.01) to decrease cholesterol of blood serum but no significant (P>0.05) in decreasing triglyserida and LDL and also no significant (P>0.05) in increasing HDL of broiler blood serum. The conclution, supplementation of carnitine precursor can dereasing of blood serum but does not decreasing triglyserida and LDL of blood serum and also can not increasing HDL of broiler blood serum. Key word : precursor carnitine,cholesterol, triglyseride, LDL dan HDL blood serum broiler
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian prekusor karnitin (Niasin dan FeSO 4) dalam ransum yang berbasis enkapsulasi minyak ikan lemuru terhadap perlemakan darah ayam broiler.. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Masingmasing ulangan terdiri dari 10 ekor ayam. Level yang digunakan pada penelitian ini adalah P0: ransum komersial, P1: ransum basal + 2% enkapsulasi minyak ikan lemuru , P2: ransum basal +2% enkapsulasi minyak ikan lemuru + Niasin 35mg + FeSO4 80 mg, P3 : ransum basal +2% enkapsulasi minyak ikan lemuru + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg, P4 : ransum basal +2% enkapsulasi minyak ikan lemuru + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg. P5 : ransum basal +2% enkapsulasi minyak ikan lemuru + niasin 70 mg + FeSO4 160 mg Sampel darah diambil melalui vena brachialis pada akhir penelitian. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat pengaruh yang nyata diuji dengan kontras orthogonal (Steel and Torrie, 1993). Variabel yang diamati adalah kolesterol, trigliserida, LDL (Low Density Lipoprotein ) dan HDL (High Desity Lipoprotein) serum darah ayam broiler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi prekusor karnitin (Niasin dan FeSO4) secara nyata (P<0,01) dapat menurunkan kolesterol serum darah broiler, tetapi berbeda tidak nyata (P>0,05) menurunkan trigliserida dan LDL dan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05) untuk meningkatkan HDL serum darah ayam broiler. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa suplementasi prekusor karnitin (Niasin dan FeSO4) dapat menurunkan kolesterol serum darah tetapi tidak menurun trigliserida dan LDL serum darah dan tidak dapat meningkatkan HDL serum darah ayam broiler. Kata kunci ; prekursor karnitin, Kolesterol, trigliserida, LDL dan HDL serum broiler
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
67
ISSN 1978 - 3000
PENDAHULUAN Meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi menyebabkan semakin meningkatnya permintaan akan produk daging dengan kualitas karkas yang baik yaitu dengan kadar lemak rendah, kadar kolesterol rendah, dan kandungan asam lemak yang tinggi serta kadar protein yang tinggi. Untuk memenuhi permintaan akan daging yang berkualitas dapat dilakukan dengan cara memodifikasi pakan yang diberikan pada ayam broiler. Minyak merupakan salah satu sumber energi pendukung pakan unggas. Suplementasi minyak dalam pakan merupakan suatu metode yang paling cocok untuk memenuhi kebutuhan energi yang tinggi pada pakan unggas. Minyak yang dapat diberikan pada unggas berasal dari minyak nabati (minyak kelapa, minyak sawit, minyak jagung) dan minyak ikan (diantaranya minyak ikan lemuru). Pemberian minyak ikan lemuru dalam ransum ayam broiler dapat meningkatkan kandungan asam lemak Omega-3 yaitu EPA (Eioksapentaenoat) dan DHA (Dokosaheksaenoat) karena minyak ikan lemuru kaya akan asam lemak Omega-3 (Fenita et al 2005, Fenita et al 2010, dan Fenita et al 2011 ; Sudibya, 1998). Hasil penelitian Supadmo (1997) menunjukkan bahwa minyak ikan lemuru mengandung EPA sebesar 23, 72 g/100g asam lemak dan DHA sebesar 6,09 g/100g asam lemak, sedangkan Fenita (2010) memperoleh kisaran yang hampir sama yaitu 24,05 g/100 g asam lemak untuk EPA dan 8,46/100 g asam lemak untuk EPA dan 8,46 g/100g asam lemak untuk DHA. Supadmo (1997) menyatakan bahwa pemberian minyak ikan lemuru pada taraf 4% akan meningkatkan asam lemak Omega-3 daging terutama EPA dan DHA
68 | Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin
dibanding yang tidak diberikan, sementara Fenita (2002) dengan pemberian 3% ternyata mampu meningkatan kadar EPA dan DHA Enkapsulasi minyak ikan merupakan metode yang tepat digunakan untuk efisiensi pemanfaatan minyak ikan karena sifat fisik minyak ikan yang encer dan sulit tercampur dengan pakan. Enkapsulasi bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan lemak akibat proses oksidasi (Permadi et al,.2002 ; Fenita et al 2010 dan Fenita et al, 2011). Pada ayam broiler kelebihan energi karena konsumsi energi yang lebih akan diubah menjadi lemak tubuh (Wahyu, 1992). Untuk mengurangi kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi dapat dilakukan dengan menggunakan prekusor karnitin, sehingga lemak dapat diubah menjadi energi dan menurunkan kadar kolesterol (Fenita, 2002). Karnitin (β hidroksi –γ- Ntrimetil butirat) (CH3) 3N+ - CH2- CH(OH) - CH2 - COO- merupakan senyawa yang tersebar luas dan banyak dijumpai dengan jumlah yang melimpah terutama dalam otot, berperan sebagai zat penghantar dalam transport asam lemak jenuh berantai panjang dan menengah ke dalam mitokondria, dioksidasi untuk menghasilkan energi (Michalak dan Qureshi, 1990). Tersedianya karnitin dalam tubuh dapat disintesis dengan menggunakan prekusor karnitin seperti lisin, metionin, niasin, piridoksin dan FeSO4. Feller dan Rudman (1998), menyatakan bahwa sintesis karnitin membutuhkan 4 atom karbon dari lisin dan gugus metilnya berasal dari metionin, juga mmbutuhkan ko-faktor untuk aktifitas enzim yaitu Vitamin C, folasin dan mineral Fe. Kolesterol di dalam darah terdapat bersama dengan trigliserida,
ISSN 1978 - 3000 fosfogliserida, fosfolipid dan apoprotein membentuk lipoprotein. Menurut Piliang dan Djojosebagio (1990) lemak dibawa melalui plasma dalam bentuk lipoprotein. Oleh karena plasma merupakan media bersifat cair (aqueous), maka lemak tidak dapat diangkut tanpa adanya suatu zat perantara yaitu kelompok protein yang mempunyai kemampuan untuk mengikat lemak seperti : chylomicrom, lipoprotein dengan desintas sangat rendah (Very Low Density Lipoprotein, VLDL), lipoprotein dengan densitas tinggi (High Density Lipoprotein, HDL). Suplementasi metionin 0,08% dan lisin 0,20 % ke dalam ransum ayam broiler dapat menurunkan trigliserida dan kolesterol serum darah (Supadmo, 1997). Fenita (2005) memperlihatkan bahwa suplementasi metionin sebesar 0,75% dan lisin sebesar 2,2% dapat menurunkan total lipid, kolesterol, LDL trigliserida dan dapat meningkatkan HDL serum darah ayam ras pedaging. Suteky dan Fenita (2010) memperlihatkan bahwa pemberian niasin pada taraf 1000 mg pada ternak puyuh dapat menurunkan trigliserida sebesar 26,87%, kadar kolesterol sebesar 40,16%, LDL sebesar 45% dan dapat meningkatkan HDL serum darah puyuh sebesar 37,77%. Level lisin 2,2 % dan metionin 0,75 % yang digunakan adalah berdasarkan hasil penelitian Fenita (2002), sedangkan untuk vitamin C sebesar 250 mg adalah berdasarkan hasil penelitian Supadmo (1997) menyatakan bahwa pemberian vitamin C sebesar 250 mg dapat menurunkan trigliserida dan kolesterol serum darah ayam ras pedaging. Pada penelitian ini level niasin dan FeSO4 yang digunakan berdasarkan rekomendasi NRC (1994). Diharapkan dalam penelitian ini diketemukan level Niasin dan FeSO4 yang paling baik
sebagai prekusor karnitin untuk mengoptimumkan oksidasi lemak sehingga dapat menrunkan kadar lemak dan kolesterol ayam pedaging. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian prekusor karnitin (Niasin dan FeSO4) dalam ransum yang berbasis enkapsulasi minyak ikan lemuru terhadap perlemakan darah ayam broiler. Suplementasi prekusor karnitin (Niasin dan FeSO4) pada level 1x NRC (35mg, 80 mg) sampai 2x NRC (70 mg, 160 mg) diharapkan dapat menurunkan trigliserida, kolesterol dan LDL (Low Density Lipoprotein) dan dapat meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein ) serum darah ayam broiler.
MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di kandang Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : tempat pakan, tempat minum, ember, brooding, kandang dengan lantai litter, plastic, jarum suntik , label dan termos es. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 180 ekor ayam broiler, jagung tepung ikan, bungkil kedelai, dedak padi, polard, mineral mix, enkapsulasi minyak ikan lemuru, metionin, lisin, vitamin C, Niasin dan FeSO4. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan ulangan, setiap unit perlakuan menggunakan 10 ekor ayam. Keenam perlakuan pakan tersebut, yaitu: P0 = Ransum komersial (kontrol) P1 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% P2 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan2% + niasin 35 mg + FeSO4 80 mg
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
69
ISSN 1978 - 3000 P3 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg P4 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 70 mg + FeSO4 80 mg P5 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 70 mg + FeSO4 160 mg Sebelum penelitian dimulai, kandang dibersihkan terlebih dahulu dan disanitasi dengan desinfektan. Sebelum DOC datang dilakukan pengapuran dan tempat pakan dan tempat minum dibersihkan dengan menggunakan disinfektan. Pembuatan enkapsulasi menggunakan minyak ikan lemuru sebagai bahan utama yang didapatkan dari PT Bali Manyu Desa Nagara Bali dan sebagai penyalut digunakan pollard, dan pengelmulsi digunakan gelatin dan tween 80. Pembuatan enkapsulasi dilakukan dengan cara sebagai berikut : bahan penyalut pollard 75% dan gelatin 25% dicampur dan diaduk sampai merata, kemudian masukkan minyak ikan sebanyak 25% aduk sampai homogen. Kemudian tambahkan tween 80 sebanyak 10% dan minyak ikan dan aduk sampai homogen. Setelah itu dikeringkan dengan menggunakan hair dryer. Ransum disusun dengan imbangan protein 20-21% dan energi metabolis 3000-3200 kkal/kg (Wahyu, 1992). Sumber minyak yang digunakan adalah minyak ikan lemuru, 3% enkapsulasi. Ayam yang digunakan adalah broiler sebanyak 180 ekor. Pada
umur 1-3 minggu menggunakan pakan komersial dan pada umur 3-6 minggu menggunakan pakan perlakuan, yang diberikan ad libitum. Enkapsulasi minyak ikan lemuru dicampurkan kedalam ransum basal dengan level 2 %. Pengambilan sampel darah dilakukan pada ayam berumur enam minggu. Pengambilan sampel darah lewat vena brachialis selanjutnya dianalisis kadar kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL serum darah ayam. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) bila berpengaruh nyata diuji lanjut dengan kontras Ortogonal (Steel dan Torrie, 1993). Penentuan kadar kolesterol darah dilakukan dengan prosedur Enzymatic Endpoint Method, dengan satuan mg/dl. Kadar trigliserida serum darah ayam broiler Penentuan kadar trigliserida dengan menggunakan GPO-PAP satuan mg/dl. Kadar HDL (High Density Lipoprotein) serum darah ayam broiler Prosedur analasis HDL-Kolesterol juga menggunakan metode CHODPAP (Cholesterol axidase-paminophezone), satuan mg/dl. Kadar LDL (Low Density lipoprotein) serum darah ayam broiler Prosedur analisis LDL-Kolesterol menggunakan metode Fully Enzymatic, Calorimetric test, dengan satuan mg/dl.
Tabel 1. Komposisi nutrisi bahan penyusun ransum Bahan pakan
Protein (%)
Energi (Kkal/kg)
SK (%)
Jagung 1) Dedak1) Tepung ikan 1) B kedelai 1) Min. supl2) Enkapsulasi 3)
9,27 13,81 58,88 40,55 0 14,87
3340 1630 2728 2843 0 5273
2,82 5,49 3,15 5,65 0 0
sumber
1)Fenita
(2005)
2)Label
mineral suplemen
3)
70 | Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin
Fenita ( 2010)
Lemak (%) 3,90 4,85 8,15 1,92 0 22,475
Ca (%)
P (%)
0,06 0,1 3,1 0,21 32,50 0
0,29 0,94 2,15 0,11 10 0
ISSN 1978 - 3000 Tabel 2. Susunan ransum dan kandungan nutrisi ransum penelitian Komposisi
P0 R. Komersil BR
Jagung Dedak Tepung ikan B kedelai Min. supl Enkapsulasi Total Suplementasi Lisin (%) Metionin (%) Vit C (mg) Niasin (mg) FeSO4 (mg) Protein (%) EM (kkal/kg) Serat kasar (%) Kalsium Phospor Lemak
P1
P2
P3
P4
P5
-
67 3 14 12 2 2 100
67 3 14 12 2 2 100
67 3 14 12 2 2 100
67 3 14 12 2 2 100
67 3 14 12 2 2 100
-
-
21,5 3100 3 0,9 0,7 4
20,031 3115,24 3,173 1,152 0,73 4,727
2,2 0,75 250 35 80 20,031 3115,24 3,173 1,152 0,736 4,727
2,2 0,75 250 35 80 20,031 3115,24 3,173 1,152 0,736 4,727
2,2 0,75 250 35 80 20,031 3115,24 3,173 1,152 0,736 4,727
2,2 0,75 250 35 80 20,031 3115,24 3,173 1,152 0,736 4,727
HASIL DAN PEMBAHASAN
yang mempunyai peran sebagai zat penghantar dalam transport asam lemak jenuh berantai panjang dan menengah ke dalam mitokondria, dioksidasi guna menghasilkan energy (Michalak dan Qureshi, 1990). Hasil penelitian Suteky dan Fenita (2010) menunjukkan bahwa pemberian Niasin selama 14 minggu dengan level 100mg/kg dapat menurunkan kolesterol serum darah ayam puyuh sebesar 39,83 mg/dl atau 34,05%. Pada P1 (ransum basal +enkspsulasi 2%) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan P2,P3,P4 dan P5 yang diberikan suplementasi Niasin dan FeSO4. Menurut Harper (1995) kerja Niasin akan menghambat proses perubahan asam asetat dalam bentuk KoA menjadi asam mevalonat sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol. Hal
Rata-rata kadar kolesterol darah ayam broiler pada setiap perlakuan akhir penelitian disajikan pada Tabel 3. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa suplementasi Niasin dan FeSO4 dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kolesterol serum darah ayam broiler. Berdasarkan uji lanjut kontras orthogonal didapatkan bahwa kolesterol serum darah P0 (ransum komersial) sebagai control sangat nyata (P>0,01) lebih tinggi perlakuan yang diberikan enkapsulasi minyak ikan lemuru. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi prekusor karnitin yang berbasis enkapsulasi minyak ikan lemuru dapat menurunkan kadar kolesterol serum darah ayam broiler. Hal ini disebabkan oleh prekusor karnitin
Tabel 3. Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDl dan LDL darah ayam broiler pada akhir Penelitian Peubah Kolesterol
P0 157,51a
P1 130,77b
P2 130,69b
P3 130,67b
P4
P5
ket
122,89b
117,45b
**
Trigliserida 156,21 147,96 147,44 143,85 140,50 141,98 ns HDL 38,38 37,45 37,71 35,73 37,32 37,17 ns LDL 76,87 67,41 62,85 60,27 63,37 57,93 ns Keterangan P0 = Ransum komersial (kontrol), P1 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2%, P2 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan2% + niasin 35 mg + FeSO4 80 mg, P3 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg, P4 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 70 mg + FeSO4 80 mg, P5 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 70 mg + FeSO4 160 mg, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
71
ISSN 1978 - 3000 yang sama disampaikan oleh Bhagavan (1992), niasin mampu menurunkan kadar kolesterol melalui penghambatan proses VLDL dari hati dan menekan mobilisasi sinergis dan asam empedu atau HMG-CoA. Demikian pula menurut Linder (1992) bahwa salah satu fungsi niasin adalah sebagai flushing (menurrunkan kadar kolesterol serum). Fungsi sentral zat besi dalam tubuh adalah mengangkut oksigen pada tingkat hemoglobin, myoglobin, system cytochrome dan secara pasti dari enzimenzim oksidatif (Abbas, 2009). Sedangkan Feller dan Rudman (1998), menyatakan bahwa sintesis karnitin membutuhkan 4 atom karbon dari lisin dan gugus metilnya berasal dari metionin, juga membutuhkan ko-faktor untuk aktivitas enzim yaitu Vitamin C, niasin, folasin dan mineral Fe. Kadar Trigliserida Serum Darah ayam Broiler Rata-rata kadar trigliserida serum darah ayam broiler pada setiap perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi Niasin dan FeSO4 dalam ransum tidak nyata (P>0,05) menurunkan trigliserida serum darah ayam broiler. Secara kuantitatif menunjukkan bahwa suplementasi niasin dengan level 30mg sampai 70 mg dan FeSO4 dengan level 80mg sa,pai 160mg cenderung menurunkan kadar trigliserida serum darah ayam broiler. Menurut Butler (1971) dalam Abbas (2009) besi bertanggung jawab untuk mengikat 02 pada hemoglobin dan myoglobin, diintegrasikan dari enzim dan koenzim yang terdapat pada krista mitokondria, dan bertanggug jawab pada tahap akhir dari oksidasi asam lemak, karbohidrat, asam amino dan menghasilkan energy yang dibutuhkan
72 | Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin
oleh tubuh hewan dalam bentuk ATP. Capuzzi et al. (2004) dan Morgan et al. (2004) menyatakan pemberian niasin pada dosis tertentu dapat menurunkan kadar trigliserida sebesar 20-50%. Sedangkan hasil penelitian Apriani (2005) menujukkan bahwa pemberian niasin selama 14 minggu pada level 100mg/kg dapat menurunkan kadar trigliserida serum darah puyuh sebesar 40,17 mg/dl, sedangkan pada penelitian ini walaupun secara statistik tidak berbeda nyata tetapi pemberian niasin dengan level 70 mg dan FeSO4 dengan level 160 mg dapat menurunkan kadar trigliserida serum darah ayam broiler sebesar 15,17 mg/dl atau 11,18%. Kadar HDL (high density lipoprotein) serum darah ayam broiler Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian niasin dan FeSO4 dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap HDL kolesterol serum darah. Hasil rata-rata HDL menunjukkan bahwa pemberian prekusor karnitin yaitu niasin dan FeSO4 tidak meningkatkan kadar HDL, ini dilihat pada Tabel 3. Bahwa hasil rataan pada settiap perlakuan relative sama. Hasil penelitian Wink et al. (2002), menunjukkan bahwa pemberian niasin sebanyak 790 mg/hari – 1500 mg/hari pada ayam broiler dapat meningkatkan kadar HDL sebesar 18%29%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Apriani (2005) menunjukkan bahwa pemberian niasin 1000mg/kg pada puyuh selama 14 minggu mampu meningkatkan kadar HDL sebesar 13,97 mg/dl atau 37,77%. Niasin dapat menimbulkan efek terapeutik yang berasal dari inhibisi terhadap pluksus asam lemak bebas dari jaringan adipose, yang mengurangi pembentuk lipoprotein pembawa kolesterol, VLDL, IDL, LDL (Murray et
ISSN 1978 - 3000 al. 2003). Menurut Morgan et al. (2004) adanya perbedaan formulasi niasin akan mempengaruhhi penyebaran partikel HDL, dimana partikel HDL akan mengurangi konsentrasi kolesterol bebas, kolesterol ester dan phospolipid. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suplementasi niasin dengan level 35 mg sampai 70 mg dan FeSO4 dengan level 80 mg samapi 160 mg cenderung menurunkan kadar HDL serum darah ayam broiler. LDL (low density lipoprotein) serum darah ayam Broiler Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian niasin dan FeSO4 dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap LDL kolesterol serum darah yam broiler. Konsentrasi LDL yang paling rendah terdapat pada P5 (Niasin 70 mg + FeSO4 160 mg) yaitu 57,93 mg/dl kemudian diikuti oleh P3 (Niasin 70mg + FeSO4 80mg) sebesar 60,27 mg/dl, P2 (Niasin 35 mg + FeSO4 80 mg) sebesar 62, 85 mg/dl , P4 (Niasin 35 mg + FeSO4 160 mg) sebesar 63,37 mg/dl, P1 (Ransum basal + enkapsulasi 2%) sebesar 67,41 mg/dl dan P0 (control) sebesar 76,87 mg/dl yang secara statistic tidak berbeda nyata. Meskipun secara statistic tidak berbeda nyata namun suplementasi niasin dengan level 30mg samapi 70 mg dan FeSO4 dengan level 80mg sampai 160 mg cenderung menurunkan kadar LDL serum darah ayam broiler. Penelitian Sudibya (1998) yang menunjukkan bahwa pemberian minyak ikan lemuru 4% pada ransum basal ayam petelur dapat menurunkan kadar LDL – kolesterol darah dari 49,75 mg/dl menjadi 32,15 mg/dl. Pada penelitian ini walaupun secara statistic tidak berbeda nyata tetapi pemberian prekusor karnitin yaitu niasin 70 mg dan FeSO4 160 mg
dapat menurunkan LDL-kolesterol darah sebesar 18,94 mg/dl atau 32,69%. Hasil penelitian Wink et al. (2002), menunjukkan bahwa pemberian niasin 1500 mg/kg dapat mengurangi LDL kolesterol. Demikian pula hasil penelitian Suteky dan apriani (2009) menunjukkan bahwa pemberian niasin 1000 mg/kg pada puyuh selama 14 minggu dapat menurunkan kadar LDL serum darah puyuh sebesar 38,95 mg/dl. FeSO4 dalam tubuh manusia dan hewan terdapat dalalm sel darah merah sebagai komponen Hb (Hemoglobin) yakni sebesar 2,0-2,5 gram. FeSO4 merupakan mikromineral yang paling banyak daklam tubuh baik manusia atau hewan (Linder, 1992). Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa peranan niasin dan FeSO4 sebagai prekusor karnitin yang dapat mengaktifkan enzim-enzim pembentuk karnitin belum berfungsi dengan optimal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian niasin dan FeSO4 pada lelevel 1x NRC (Niasin 35 mg, FeSO4 80 mg) dan 2x NRC (Niasin dan FeSO4 160 mg) cenderung menurunkan kadar LDL serum darah ayam broiler.
SIMPULAN Bedasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa suplementasi niasin 35 mg, 70 mg dan FeSO4 80 mh, 160 mg dapat menurunkan kadar kolesterol darah tetapi tidak menurunkan trigliserida, LDL dan tidak meningkatkan kadar HDL serum darah ayam broiler. Dan disarankan untuk dilakukan lanjutan dengan meningkatkan pemberian level niasin dan FeSo4 untuk optimalisasi pemberian prekursor karnitin terhadap perlemakkan darah.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
73
ISSN 1978 - 3000 DAFTAR PUSTAKA Abbas, H. M. 2009. Fisiologi Pertumbuhan Ternak. Andalas University Press. Cetakan I Padang Capuzzi D.M.,J.M. Morgan, C.M. Carey, c. Intenzo, T.Tulendo, D.kearney, K.Walker, M.D.Creeman. 2004. Resuvastation alone or with extended-release niacin ; a new therapeutic option for patients with combined hyperlipidemia. Prev Cardiol 7 (4) ; 176-181. Feller A.G and d. Rudman. 1998. Role of carnitin in human nutrition, J.Nutr.118 ; 541-547 Fenita, Y. 2002. suplementasi lisin dan metionin serta minyak ikan lemuru ke dalam ransum berbasis hidrolisat bulu ayam terhadap perlemakkan dan pertumbuhan ayam ras pedaging. Disertasi Institut Pertanian Bogor, Bogor Fenita, Y., I. Badarina dan E tamsar. 2005. Uji kerusakkan ransum ayam petelur yang menggunakan minyak ikan lemuru (sardinella longiceps) dengan penambahan bawang putih sebagai antioksidan alami selama penyimpanan. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 8(4) : 279290. Fenita, Y., U. Santoso, S. Winarsih, D. Bahtiar, D. Silvia. 2010. Pemanfaatan lumpur sawit fermntasi tinggi b karaten dengan suplementasi asam amino kritis dan ankapsulasi minyak lemuru terhadap performans produksi dan kualitas telur. Laporan Penelitian strategis nasional Universitas Bengkulu. Bengkulu Fenita, Y., B. Brata dan R. Dennis. 2011. Pengaruh enkapsulasi minyak Ikan lemuru dalam ransum berbasis Lumpur sawit fermentasi Terhadap upaya pengurangan
74 | Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin
pencemaran lingkungan pada usaha ayam petelur. Proseding Seminar nasional dan rapat tahunan dekan. Bidang ilmu-ilmu Pertanian Badan Kerjasama Perguruan tingi Negeri (BKS-PTN) Wilayah Barat. Harper. 2002. Biokimia (harpers Review of biochemistry). Edisi 23 (Terjemahan I Darmawan). Penerbit Buku kedokteraan. EGC. Jakarta, Linder, C. M. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan pemakaian secara klinis. Penerjemah A prakasi. UI Press, Jakarta. Michalak, A. And I.A.Qureshi. 1990. Plasma and uninary levels of hyperammonemia and the effect of sodium benzoat treatmant. Biochemical medicine and Metabolic Biology 43 ; 163-174 Morgan, JM., C.M Carey, D.M.Capuzzi. 2004. The effect of niacin on lipoprotein subclass distribution. Prev cardiol 7 (94) : 182-187 Murray, R.K., K.G. darly, A.M. Peter and W.R.Victor.2003. Biokimia Harper (Harpers Review of Biochemistry) Edisi 25. Penerbit buku kedoktereran EGC, Jakarta NRC. 1994. Nutrient Requirments of Poultry 9 th. Rev. Edn. National Academy Press. Washington, D.C. Pilliang, W.G. dan S. Djojosoebagio 1990. Fisiologi Nutrisi. Vol I. Departement pendidikan dan kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor Permadi. A. Suwatjo, D.m Rasyid, M.H.A., Suyana, I.N., Djazuli, N., Jatmiko, Y.A. B. 2002. Stabilitas emulsi dan efesiensi enkapsulasi minyak ikan lemuru (sardinellla
ISSN 1978 - 3000 longiceps) http://rudyet tripod.com/sem 1 023/group b 123. Htm 29 November 2002. Steel, T.Y and Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Pt Gramedia Pustaka Utama,Jjakarta. Sudibya. 1998. Manipulasi kadar kolesterol dan asam lemak omega3 telur ayam melalui penggunaan kepala udang dan minyak ikan lemuru. Disertasi program Pasca sarjana. IPB. Bogor Sudibya. 2002. Penggunaan kepala udang terhidrolisis dan minyak ikan lemuru dalam ransum terhadap kadar asam lemak omega-3 dan kolesterol daging ayam broiler. Majalah ilmiah UNSoed.1 (28) : 35-46 Supadmo. 1997. Pengaruh sumber chitin dan prekursor karnitin serta minyak ikan lemuru terhadap
kadar lemak dan kolesterol serta asam lemak omega-3 ayam broiler. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suteky dan Y. Fenita. 2010. Thr effect of niacin on egg production, egg yolk cholesterol and color of janpanese quail. Proceeding international seminar on prospet and chalengges of animal production in developing Countries in the 21 st Century. Malang, 23-25 March 2010. U Press Malang. Indonesia. Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah mada university Press, Yogyakarta. Wink J., G. Giacoppe and J. King. 2002. Effect of very low dose niasin on high density lipoprotein in patient under going long term statin therapy. Am. Heart J 143 (3) ; 514518
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 |
75
INDEKS PENULIS VOLUME 6 NO 1, JANUARI – JUNI 2011
A. M. Fuah, 19 B. Brata, 61 C. Sumantri, 19 Desia Kaharuddin, 55 Farahdiba, 47 Hidayat, 33 Kamsiah, 11 Kususiyah, 33, 47, 55 L. Abdullah, 19 Lindya, 61 R. Saepudin, 19, 61 S. Hadisoesilo, 19 Siwitri Kadarsih, 1 Suharyanto, 41 Sutriyono, 61 Tris Akbarillah, 33 Urip Santoso, 41, 47 Yenni Okfrianti, 11 Yosi Fenita, 67 Yusma Hartati, 11
INDEKS SUBJEK VOLUME 6 NO 1, JANUARI – JUNI 2011
cerana, 19 deposisi lemak, 47 indigofera, 33 integrasi, 19 Katuk, 41 kolesterol, 41 Kolesterol, 67 komposisi genetik, 55 komposisi kolesterol, 1 kopi, 19 kroto and cricket, 61 madu, 19 minyak lemuru, 1 minyak zaitun, 1 mutu karkas, 47 mutu telur, 41 pakan sumber energi, 33 pasta temulawak, 1 prekursor karnitin, 67 produksi telur, 41 produksi telur., 55 protein, 47 puyuh, 33, 55 Ragi tape, 47 rasa, 11 sapi bali, 1 stik keju, 11 teksture dan warna, 11 tepung tulang rawan, 11 trigliserida, 67 young edible-nest swiftlet (Collocalia fuciphaga), 61
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) ISSN 1978 – 3000
Yang Bertanda Tangan dibawah ini: Nama Lembaga/Perguruan Tinggi Alamat Kabupaten/Kodia
: ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... :……………………………………………………...... : ……………………………………………………..... : …………………………………………………….....
Propinsi Kode Pos e- mail Telepon/HP Fax
: ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... : ………………………………………………………. : ……………………………………………………….
Menyatakan untuk membeli/memesan/ berlangganan Jurnal Sain Peternakan Indonesia: Volume
: ………………………………………………………
Nomor
: ………………………………………………………
Sebanyak
: ………………………………………………………
Biaya Pembelian/pemesanan (ditambah ongkos kirim) sebesar …………………………… Dibayar secara (a) Langsung (b) Transfer ke BNI 46 Cabang Bengkulu No Rek. 0121959902 a.n. Gema Pertiwi, S.E.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kirimkan formulir ini ke Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia, Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371 A Telp. (0736) 21170 psw. 219. Atau melalui Email:
[email protected] atau
[email protected].
PETUNJUK PENULISAN NASKAH/ARTIKEL JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) 1.
2.
3.
4.
5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia, memuat tulisan/karya ilmiah dalam bidang Ilmu Peternakan. Manuskrip dapat berupa hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang dan gagasan. Naskah harus asli (belum pernah diterbitkan) menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jurnal ini terbit 2 kali dalam setahun yaitu Januari – Juni dan Juli – Desember. Naskah atau artikel dikirim bersama soft copy dan cetakan lengkap sebanyak 3 (tiga) eksemplar atau melalui E-mail dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word, ataupun Open Office diketik menggunakan kertas A4, fonta Times New Roman berukuran 11 kecuali abstrak dan tabel dengan ukuran fonta 9, margin kiri dan kanan 2,5 cm, margin atas dan bawah 2,5 cm. Ditulis dalam spasi 2 dan jumlah halaman seluruhnya tidak lebih dari 15 halaman. Naskah Asli/Artikel asli harus diselaraskan dalam judul (dalam bahasa Indonesia dan Inggris, pendahuluan, materi dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka) JUDUL ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (jika artikel berbahasa Indonesia, jika naskah dalam bahasa Inggris maka tidak perlu judul bahasa Indonesia), jumlah kata tidak melebihi dari 15 (lima belas) kata. Nama penulis dan alamat, termasuk email penulis ditulis dibawah judul. ABSTRACT, ditulis dalam bahasa Inggris, singkat dan padat serta dibawahnya dituliskan Key words atau Kata kunci tidak lebih dari 5 9lima0 kata. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata. ABSTRAK, ditulis dalam bahasa Indonesia, singkat dan padat serta di bawahnya ditulis kata kunci. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata. PENDAHULUAN, memuat latar belakang penelitian berdasarkan bahan pustaka yang relevan, tujuan dan hipotesis penelitian (hipotesis tidak diperlukan dalam telaah/ tinjauan pustaka). MATERI DAN METODE, memuat materi dan metode yang digunakan dalam kajian secara rinci dan singkat serta analisis statistik yang digunakan. HASIL DAN PEMBAHASAN, memuat hasil penelitian yang berupa ulasan, tabel atau grafik. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian yang dirujuk dengan bahan pustaka yang relevan dan telah termuat dalam pendahuluan. SIMPULAN, memuat kesimpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat dan padat dan tidak boleh lebih dari satu alenia. SARAN, memuat saran - saran atau masukan yang perlu disampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. DAFTAR PUSTAKA, disusun dengan memuat nama berdasarkan abjad, tahun, judul, Penerbit, Kota, halaman tanpa nomor urut. Memuat minimal 7 (tujuh) buah jurnal ilmiah. Contoh penulisaan daftar pustaka: Antalikova, J., M. Baranovska, I. Mravcova, V. Sabo dan P. Skrobanek. 2001. Different Influence of Hypodynamy on Calcium and Phosphorus Levels in Bones of Male and Female Japanese Quails. http://www.biomed.cas.cz/physiolres. 20 April 2001. Fenita, Y., I. Badarina, dan E. Tamsar. 2005. Uji kerusakan lemak ransum ayam petelur yang menggunakan minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps) dengan penambahan bawang putih sebagai antioksidan alami selama penyimpanan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, 8 (4) :45-48.
CATATAN: Tabel, Gambar, Grafik dan sejenisnya diletakkan di lembar terpisah (tidak masuk di dalam teks), yaitu setelah Daftar Pustaka.
INFORMASI TAMBAHAN: Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (periode januari-Juni dan Juli – Desember). Naskah dapat dikirim melalui email:
[email protected] dan
[email protected].