Inti permasalahan energi dunia adalah ketidakseimbangan permintaan (demand) dan penawaran (supply) serta akses terhadap sumber daya energi. Berbagai faktor yang menciptakan ketidakseimbangan tersebut antara lain adalah pesatnya laju pertambahan penduduk dan masifnya industrialisasi dunia. Hal ini meningkatkan konsumsi energi dunia secara drastis dan mengakibatkan tersedotnya cadangan energi khususnya energi fosil. Diperkirakan hingga tahun 2030 konsumsi energi dunia masih tergantung kepada energi minyak bumi yang tidak terbarukan. Dalam konteks kawasan, Asia Pasifik dengan pertumbuhan ekonominya yang dinamis hanya memiliki cadangan minyak yang sedikit dan menyebabkan kebutuhan minyak kawasan banyak tergantung pada kawasan lain. Dalam batas tertentu keadaan ini juga dialami Indonesia. Kondisi energi Indonesia saat ini masih mengandalkan pada migas sebagai penghasil devisa maupun untuk memasok kebutuhan dalam negeri. Cadangan minyak bumi dalam kondisi depleting, walaupun gas bumi cenderung meningkat. Untuk energi baru dan terbarukan, meskipun Indonesia memiliki potensi beragam, namun pengelolaan dan penggunaannya belum optimal. Berbagai potensi energi tersebut antara lain: sumber energi nabati, gas, panas bumi, energi nuklir, energi surya, energi angin dan energi laut. Di sisi lain, Indonesia yang dulu merupakan negara pengekspor minyak saat ini telah berubah menjadi negara pengimpor minyak (net-importing country). Tantangan Pemerintah ke depan adalah memperkuat ketahanan energi nasional melalui berbagai perangkat kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan guna mencapai energi bauran, meningkatkan efisiensi dan konservasi energi serta memperkuat peran Pemerintah sebagai regulator kebijakan energi. Dalam konteks penguatan ketahanan energi, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa aspek jaminan pasokan energi harus diimbangi dengan adanya akses (daya beli) masyarakat terhadap energi. Hal ini berarti bahwa
Universitas Sumatera Utara
penguatan ketahanan energi perlu diintegrasikan dengan pembangunan berkelanjutan khususnya yang terkait dengan penguatan daya dukung sosial-ekonomi masyarakat. Sementara itu, terkait dengan upaya pembaharuan kebijakan energi nasional, ke depan diharapkan bahwa potensi sumber-sumber energi Indonesia yang ada dapat dioptimalkan sehingga dapat menghasilkan output sumber energi yang produktif bagi pembangunan nasional. Untuk menyikapi ketergantungan minyak terhadap negara lain dan mengoptimalkan potensi sumber energi nasional, konsep ketahanan energi menjadi sangat penting bagi Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menempuh sejumlah kebijakan untuk memperkuat ketahanan energi nasional antara lain melalui: pengembangan kebijakan energi yang bertumpu pada kebutuhan (demand side management), menekan subsidi minyak bumi seminimal mungkin, pembaharuan kebijakan energi guna memperkuat good-governance di sektor energi nasional dan memperkuat kerangka legislasi dan kebijakan diversifikasi energi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan dan energi alternatif. Selain itu, Indonesia harus mengejar ketertinggalannya di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang terkait dengan pengelolaan sumber energi baru dan terbarukan dalam waktu yang relatif cepat melalui proses alih teknologi yang dapat dicapai dengan melakukan kerjasama strategis dengan mitra dari negara lain tanpa mengganggu kepentingan nasional. Krisis energi dunia yang semakin sering terdengar. Sudah te rasa dampaknya di tengahtengah masyarakat dunia. Krisis bahan bakar berbasis fosil ini telah berdampak pada melonjaknya harga bahan bakar. Tidak berhenti di situ saja, akibat melonjaknya harga bahan bakar dengan berbagai macam produk turunannaya harga sembako ikut melambung. Akhirnya beban masyarakat semakin berat. Nasib masyarakat semakin menderita, isu krisis energi ini telah mengundang banyak negara untuk ikut berperan aktif mencari solusi. Salah satu solusi yang
Universitas Sumatera Utara
ditawarkan dunia adalah mencari sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar berbasis fosil. Tidak terkecuali dengan Indonesia. Negeri ini berupaya ikut berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah krisis energi, yakni dengan mengembangkan energi alternatif berbasis nonfosil. Berbagai seminar digalakkan serta dana pengembangan energi altenatif berbahan baku nabati pun digelontorkan. Salah satu programnya adalah pengembangan bahan bakar biofuel dari tanaman-tanaman potensial. Mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah di Indonesia, bagi pemerintah program ini dirasa layak untuk dikembangkan. Program konversi energi berbahan baku tanaman ini disambut baik oleh negara negara luar. Terutama negara-negara maju. Namun, program konversi energi berbahan baku nabati ini cukup mengundang banyak kontroversi di masyarakat Indonesia. Ancaman ketahanan pangan serta ancaman lingkungan hidup adalah beberapa alasannya. Proyek 2 juta hektar yang direncanakan di Kalimantan Tengah misalnya. Rencana ini yang dibiayai oleh Cina dan didukung oleh pemerintah Indonesia, telah dikritik oleh kelompok-kelompok peduli lingkungan hidup. Ketika muncul isu menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam Indonesia sebenarnya Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99 miliar barel yang diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun dan masih memiliki potensi cadangan sejumlah 4,41 miliar barel. Sedangkan stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik. Atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18,7 miliar ton lagi. Atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun. Berarti cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun (sumber: Kementerian ESDM, 14/03/2008). Pada tahun 2005 ditemukan sekitar 5.081 juta barel cadangan minyak dan gas bumi (migas) di Laut Timor. Data mengenai cadangan minyak di Laut Timor tersebut diperoleh dari jaringan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Darwin Australia Utara. Data tersebut diperoleh dari
Universitas Sumatera Utara
sejumlah perusahaan migas yang kini beroperasi di Laut Timor jauh sebelum Timor Timur merdeka. Jaringan YPTB juga memperoleh informasi dari sejumlah ahli minyak di Australia yang mengatakan bahwa total cadangan migas di Laut Timor sesungguhnya jauh lebih besar dari data awal yang dikemukakan pemerintah Australia sebelumnya. Angka produksi migasnya sekitar 250 ribu barel per hari. Jika harga minyak dunia saat ini US$ 67, maka tiap tahunnya Laut Timor akan menghasilkan US$1 miliar (US$ 7 juta setiap hari). Nah, bila angka itu dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 10,300/ Dolar Amerika, produksi migas di Laut Timor akan mencapai Rp 172 miliar/ hari. Namun, angka fantastis itu kini dikuasai Australia dan Timor Timur saja. Itu pun Timor Timur hanya mendapat bagian 20-30%. Sementara di Aceh ditemukan cadangan migas terbesar di dunia, yakni 320,79 miliar barel. Selain energi fosil Indonesia juga kaya akan sumber energi nonfosil. Seperti panas bumi (geotermal) dengan kapasitas mencapai 27000 megawatt, tenaga surya dengan potensi intensitas radiasi matahari rata-rata di seluruh wilayah Indonesia sekitar 4,8 kWh/ m2, angin, air, serta sumber potensial lain. Kalau dilihat dari potensi sumber energi yang begitu melimpah di Indonesia seharusnya Indonesia mampu memenuhi sumber energi bagi masyarakat. Baik energi fosil maupun nonfosil. Kemakmuran masyarakat seharusnya tercapai. Tapi, kenyataanya kondisi masyarakat Indonesia sungguh jauh dari kesejahteraan. Masyarakat harus menunggu berjam-jam untuk antri membeli minyak tanah, bensin, dan sebagainya. Di sisi lain, 4 "big boss" Freeeport menerima gaji Rp 126,3 M/ bulan. Namun, masyarakat Papua harus mengalami busung lapar. Sama seperti pihak ExxonMobil yang memperoleh keuntungan sebesar US$ 40.6 Billion atau setara dengan Rp 3,723,020,000 ,000,000 (dengan kurs rupiah 9,170) atau setiap detiknya. Chevron yang memperoleh keuntungan pada tahun 2007 sebesar US$ 18,7 billion atau Rp 171,479,000,000,000. Atau seperti Royal Ducth
Universitas Sumatera Utara
Shell yang menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai US$ 31 miliar. Atau setara dengan Rp 284,270,000,000,000. Keuntungan yang diperoleh korporasikorporasi negara imperialis ini sebenarnya berada jauh di atas Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bahkan belum sanggup menembus Rp 4,000 triliun. Untuk triwulan ke-3 tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2,901 triliun. Untuk negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola hanya 44,033 juta US$, Qatar hanya 42, 463US$, Bolivia hanya 11.163 juta US$, dan lain-lain. Mengapa Indonesia yang kaya akan sumber daya energi harus menghadapi krisis energi dan tetap dengan title "Negara Dunia Ketiga"-nya? UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga hilir. UU Migas ini telah mengebiri peran negara atas migas. Hampir 90% produksi minyak bumi di Indonesia dikuasai korporasi asing, yakni Total, ExxonMobil, Vico ,ConocoPhillips, BP, Petrochina, Chevron, dan korporasi lainnya. Kesalahan pandangan pemerintah tentang kepemilikan menyebabkan negara ini kian terpuruk dengan kebijakan-kebijakannya yang pro swasta/ asing. Pemerintah memahami bahwa kekayaan alam Indonesia tak terkecuali migas adalah komoditas yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang mampu (memiliki modal) untuk mengelolanya. Padahal, kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Termasuk barang tambang yang melimpah adalah milik rakyat. Di sisi lain, 4 "big boss" Freeeport menerima gaji Rp 126,3 M/ bulan. Namun, masyarakat Papua harus mengalami busung lapar. Sama seperti pihak ExxonMobil yang memperoleh keuntungan sebesar US$ 40.6 Billion atau setara dengan Rp 3,723,020,000 ,000,000 (dengan kurs rupiah 9,170) atau setiap detiknya. Chevron yang memperoleh keuntungan pada
Universitas Sumatera Utara
tahun 2007 sebesar US$ 18,7 billion atau Rp 171,479,000,000,000. Atau seperti Royal Ducth Shell yang menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai US$ 31 miliar. Atau setara dengan Rp 284,270,000,000,000. Keuntungan yang diperoleh korporasikorporasi negara imperialis ini sebenarnya berada jauh di atas Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bahkan belum sanggup menembus Rp 4,000 triliun. Untuk triwulan ke-3 tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2,901 triliun. Untuk negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola hanya 44,033 juta US$, Qatar hanya 42, 463US$, Bolivia hanya 11.163 juta US$, dan lain-lain. Mengapa Indonesia yang kaya akan sumber daya energi harus menghadapi krisis energi dan tetap dengan title "Negara Dunia Ketiga"-nya? UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga hilir. UU Migas ini telah mengebiri peran negara atas migas. Hampir 90% produksi minyak bumi di Indonesia dikuasai korporasi asing, yakni Total, ExxonMobil, Vico ,ConocoPhillips, BP, Petrochina, Chevron, dan korporasi lainnya. Kesalahan pandangan pemerintah tentang kepemilikan menyebabkan negara ini kian terpuruk dengan kebijakan-kebijakannya yang pro swasta/ asing. Pemerintah memahami bahwa kekayaan alam Indonesia tak terkecuali migas adalah komoditas yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang mampu (memiliki modal) untuk mengelolanya. Padahal, kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Termasuk barang tambang yang melimpah adalah milik rakyat. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Universitas Sumatera Utara
Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti. Mulai dari ribut-ribut tender kompor gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giatgiatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis. Belum habis berbagai kontroveri tersebut, muncul pula masalah lain dalam proses tender kompor gas. Yaitu adanya aturan baru dimana kompor gas harus memiliki dua tungku. Padahal peserta tender sebelumnya telah mengantisipasi dan diminta menyiapkan penawaran hanya satu tungku sesuai aturan dari Departemen Perindustrian. Sejak adanya kebijakan konversi itu, minyak tanah menghilang dari pasar. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi, sehingga mereka tak sanggup membelinya. Sementara itu, kalau mau beli gas, mereka harus membeli 3 kg atau satu tabung yang harganya berkisar Rp 15 ribu. Kondisi ini tampaknya belum diperhatikan pemerintah. Bagi rakyat kecil, membeli bahan bakar Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang. Ini berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun. Dari aspek ini, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji akan menimbulkan masalah seperti yang disebutkan di atas. Pemerintah kurang peka melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar. penghasilannya pas-pasan. Mestinya, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan secara selektif. Masyarakat kecil tetap dibiarkan memilih untuk sementara waktu, apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-
Universitas Sumatera Utara
duanya disubsidi. Sementara itu, masyarakat yang mampu diharuskan memakai elpiji. Untuk itu, perlu ada pendataan penduduk miskin yang akurat di tiap-tiap wilayah agar pemberian subsidi tersebut tepat sasaran. Tidak semua rencana baik bisa berjalan mulus. Apalagi dalam era demokrasi yang penuh transisi. Berbagai niat dan semangat untuk mengukir sejarah tidak cukup hanya dibekali upaya biasa, tapi juga menuntut perjuangan ekstra dan kerjasama. Itulah salah satu kaedah proses perencanaan saat ini. Karena itu demi kelangsungan program konversi yang bertujuan baik, maka proses perencanaan dan program pelaksanaannya sebaiknya dibenahi dari sekarang sebelum mengalami kegagalan atau menciptakan dampak yang lebih buruk. Ada dua masalah utama yang perlu pemikiran ulang. Apabila pemerintah masih akan terus melakukan konversi minyak tanah dengan berbagai kondisi makro seperti di atas, maka pelaksanaannya menuntut pembenahan. Koordinasi menjadi kata kunci. Demikian pula, harus jelas institusi penanggung jawab program utama (executing agency) dan institusi pelaksana untuk setiap sub program (implementing agency). Saat ini peran, fungsi dan tugas masingmasing institusi yang terlibat masih rancu. Setidaknya ada beberapa institusi yang terlibat, antara lain: Departemen ESDM, PT. Pertamina, BPH Migas, Depertemen Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Usaha (swasta), LSM, dan Pemerintah Daerah. Menjadi penting untuk meluruskan peran dan tugas masing-masing agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling tuding. Untuk mewujudkan kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi sudah sepantasnya dibetuk Tim Terpadu untuk melaksanakan program konversi ini. Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran konversi ini. Untuk skala nasional tentu saja tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala uji
Universitas Sumatera Utara
coba yang sekarang sedang dilaksa nakan di beberapa kecamatan di wilayah DKI Jaya dan Tangerang. Konversi
penggunaan
minyak
tanah
memang
harus
dilaksanakan
secara
berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap BBM. Program ini harus berkelanjutan dan tidak bisa sporadis mengingat pemerintah masih kesulitan menaikkan produksi minyak ketingkat 1,3 juta barel per hari, sementara penggunaan bahan bakar gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur. Penggantian jutaan kompor minyak tanah menjadi kompor gas tentu memerlukan biaya cukup besar. Apalagi jika itu akan diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan mutlak harus dipikirkan. Diusulkan agar biaya konversi pemakaian minyak tanah ini bisa diambilkan dari berbagai retribusi dan pendapatan negara bukan pajak lainnya (PNBP) yang jumlahnya cukup besar di sektor Migas. Sedangkan pengelolaanya dalam jangka panjang bisa saja di embankan kepada badan usaha tertentu atau dikembalikan ke Pertamina dengan menggunakan pola Public Service Obligation sehingga mengurangi rantai birokrasi dan dapat meringankan beban pemerintah ditengah keterbatasan sumber daya manusia yang ada saat ini. Untuk mensuseskan program ini maka harusi. Karena itu ukuran tabung gas dan kepastian rancangan kompor hendaklah dibuat sedemikian rupa sehingga memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khusus untuk ukuran tabung gas, kiranya perlu dipikirkan ulang secara seksama, hingga tidak terjadi salah persepsi nantinya bagi sebagian masyarakat miskin yang tentu juga memiliki tingkat pendidikan yang agak terbatas dibandingkan dengan masyarakat luas lainnya. Kedua hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindarkan berbagai masalah sosial yang belum diantisipasi pemerintah pada saat ini.
Universitas Sumatera Utara
Krisis energi saat ini sekali lagi mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa usaha serius dan sistematis untuk mengembangkan dan menerapkan sumber energi terbarukan guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil perlu segera dilakukan. Penggunaan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga berarti menyelamatkan lingkungan hidup dari berbagai dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan BBM. Terdapat beberapa sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan yang bisa diterapkan segera di tanah air, seperti bioethanol, biodiesel, tenaga panas bumi, tenaga surya, mikrohidro, tenaga angin, dan sampah/limbah. Penggunaan Bio fuel secara berkesinambungan akan lebih efisien untuk menghemat pemakaian BBM. Produk-produk bio fuel diantaranya adalah : 1. Biodiesel, untuk menggantikan minyak solar, dipakai pada kendaraan dengan mesin diesel. Bisa dihasilkan oleh CPO, minyak jarak pagar, dll. 2. Bioethanol, untuk menggantikan bensin. Bisa dihasilkan oleh tebu, ubi kayu, shorgum dll 3.
Biokerosin, untuk menggantikan minyak tanah.
Bisa dihasilkan oleh jarak pagar Produk-produk Bio fuel komersial yang sudah ada diantaranya adalah : B-10 (10 % biodiesel dan 90 % solar ), B-5 (5 % biodiesel ), B-20, E-10 (10 % bioethanol dan 90 % premium ), E-5 (5 % bioethanol) dll. Mendorong pemerintah untuk mengembangkan Gasified Petroleum Condensat (GPC). Sumber energi alternatif hasil penelitian PT Pertamina ini dapat digunakan masyarakat sebagai bahan bakar untuk menggantikan minyak tanah (kerosin) dan LPG (liquid petroleum gas). Dalam rangka diversifikasi energi dan penghematan BBM, GPC baik untuk dikembangkan. Selain lebih murah, nantinya pemerintah pun tidak perlu mengimpor LPG untuk menggantikan kerosin. Secara teknis, GPC memiliki keunggulan lebih dari bahan bakar lainnya. Di samping nilai kalori
Universitas Sumatera Utara
yang tidak kalah besarnya dengan LPG (10.000 – 12.000 cal/gram), kualitas api pembakarannya juga sama dengan kualitas api LPG biru. Dan tingkat efisiensi pemakaian GPC lebih tinggi dari bahan bakar lainnya. Untuk memanaskan air sampai mendidih dalam volume yang sama, dibutuhkan jumlah berat GPC yang lebih sedikit dibandingkan LPG atau kerosin. Selain menghemat BBM, pemanfaatan GPC yang berbahan baku kondensat ini juga akan menghemat devisa negara. Karena dapat mengurangi impor BBM untuk konsumsi dalam negeri. Jika kita mengimpor kerosin sebanyak 30MBCD dengan selisih harga kerosin terhadap harga crude oil di pasar luar negeri sebesar US$ 10/bbl dan harga kondensat sama dengan crude oil yaitu sekitar US$ 70/bbl, maka akan dihemat devisa sebesar US$ 108 juta per tahun. Karenanya, rencana pemerintah untuk mensubstitusi kerosin dengan LPG patut untuk ditinjau ulang. Subsidi kerosin yang diberikan pemerintah sebaiknya dialihkan untuk subsidi kompor GPC. Dengan demikian subsidi ke masyarakat hanya sekali saja, tidak terus menerus. Bila pemakaian GPC sudah dibudayakan untuk keperluan rumah tangga, penggunaan kerosin otomatis akan semakin berkurang. Kerosin untuk selanjutnya bisa dialihkan sebagai bahan bakar pabrik. Tentunya dengan harga yang mengikuti pasar. Konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu baru, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara. Di sejumlah pameran, misalnya, kreativitas masyarakat membuat tungku batu bara sudah mulai bermunculan guna menyambut era konversi minyak tanah ke batu bara itu. Beberapa peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan perguruan tinggi, seperti di Universitas Sriwijaya, Palembang, telah berhasil membuat alat sederhana untuk mencairkan batu
Universitas Sumatera Utara
bara. Batu bara cair ini harganya lebih murah daripada minyak tanah dan sangat mudah pemakaiannya, sama seperti pemakaian minyak tanah. Baiknya lagi, semua jenis batu bara–baik yang muda (kadar karbonnya rendah) maupun yang tua (kadar karbon tinggi), bisa dicairkan. Dan batu cair ini ternyata tidak hanya bisa dengan sedikit treatment kimia, batu bara cair pun bisa diubah jadi premium. Seandainya saja saat itu kebijakan konversi minyak tanah ke batu bara terus berjalan, maka masyarakat akan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Kompor-kompor batu bara, misalnya, tidak hanya bisa dipakai untuk membakar briket batu baru, tapi juga membakar briket arang kayu-kayuan, arang batok, dan lain-lain. Tapi sayang, suasana yang sudah tepat itu tiba-tiba dibatalkan secara mendadak. Apa motif di balik pembatalan konversi minyak tanah ke batu bara memang perlu diselidiki untuk mengetahui kenapa kebijakan yang sudah positif itu dibatalkan. Konversi menimbulkan banyak masalah. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pemerintah berperan aktif untuk menanggulangi masalah harga minyak yang makin meningkat dan cadangan yang makin menipis. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan biofuel dengan membentu tim nasional pengembangan bahan bakar nabati (BBN) sebagai upaya untuk mendukung pengembangan bahan bakar nabati dengan menerbitkan blue print dan road map untuk mewujudkan pengembangan BBN tersebut.Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Ditambah dengan penerbitan Instruksi Presiden No 1 tahun 2006 tertanggal
Universitas Sumatera Utara
25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternative. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefield Petroleum Gas (LPG) Tabung Tiga Kilogram pada 28 November. Demikian salinan Peraturan Presiden yang diterima Tempo, Rabu (12/12).
Dalam peraturan tersebut disebutkan pemerintah perlu
melakukan substitusi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji tiga kilogram. Konversi tersebut akan mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Rumah tangga dan usaha mikro menerima gratis tabung dan kompor gas. Harga patokan dan harga eceran ditentukan menteri dengan pertimbangan Menteri Keuangan. Badan usaha yang ditunjuk boleh melakukan impor gas elpiji namun dilarang ekspor gas ukuran tiga kilogram. Gubernur Sumatera Utara, H Syamsul Arifin meminta agar sosialisasi program konversi minyak tanah ke gas elpiji di Sumut dimaksimalkan. Dia tak ingin, akibat kurang maksimalnya sosialisasi, kordinasi dan komunikasi, program pengurangan subsisidi minyak tanah tidak berjalan baik karena tidak diterima masyarakat. “Proses konversi perlu dimantapkan lagi. Harus ada sosialisasi, koordinasi dan komunikasi. Mengingat akibat mis komunikasi karena tak maksimalnya sosialisasi membuat pangkalan, pengecer minyak tanah, pengusaha dan warga tak paham dan resah,” kata Gubsu Syamsul Arifin seperti dijelaskan Kadis Komunikasi Informasi Propsu Drs Eddy Syofian, MAP usai menerima kunjungan Tim Konversi Minyak ke Gas yang dipimpin langsung pejabat Direktorat Jenderal Migas Taryono Hadi Widjojo di Gubernuran, Jln Sudirman Medan, kemarin. Mantan Bupati Langkat itu juga minta agar penerapan program konversi minyak tanah ke gas di Sumut tidak dilakukan terburu-buru. Katanya, pihak-pihak yang menerima program itu mesti paham dulu tentang manfaat dan keuntungan pengalihan minyak
Universitas Sumatera Utara
tanah ke gas elpiji. Begitu juga halnya dengan para pengusaha pangkalan dan pengecer minyak tanah yang tersebar di Sumut. “Mesti diberi pemahaman dulu. Kita tidak ingin karena sosialisasi, kordinasi dan komunikasi tak maksimal, program konversi minyak tanah itu tidak diterima masyarakat. Padahal, program itu sangat positif tujuannya,” sebutnya lagi. Gubsu tak ingin, gara-gara sosialisasi tak maksimal, masyarakat sebagai pengguna gas elpiji, dunia usaha dan pengecer minyak tanah menjadi resah. Terlebih lagi, jika ketersedian pasokan minyak tanah dan gas tidak stabil. Di pertemuan itu, kata Eddy, Gubsu juga menyarankan, agar sosialisasi melibatkan pemerintah daerah di tingkat bawah. Karena berdasarkan masukan yang diterimanya, masyarakat butuh penjelasan aparat kecamatan, lurah dan kepling. “Sosialisasi tidak cukup hanya dilakukan tim konsultan dari Jakarta . Karena tak semua tim konsultan dari Jakarta itu paham dengan karakter masyarakat Sumut,” paparnya. Pihak yang tidak boleh dilupahkan untuk dilibatkan disosialisasi program itu, sebut Gubsu, adalah anggota Hiswanamigas Sumut. Karena merekalah yang lebih paham akan kondisi dan nasib para pengecer minyak tanah dengan diterapkannya program konversi minyak tanah ke gas. Harapan Gubsu, sebut Eddy lagi, program konversi minyak tanah ke gas di Sumut dapat berjalan baik dan sesuai harapan. Karena katanya, program tersebut diyakini akan mampu mengurangi subsidi minyak tanah yang jumlahnya cukup besar. “JIka program ini berhasil, anggaran untuk subsidi minyak tanah bisa dialihkan membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pembangunan bidang pertanian dan lainnya,” sebutnya. Karenanya, Pemerintah propinsi Sumut sangat mendukung program yang mestinya sudah diterapkan di sejumlah daerah di Sumut pada awal Mei 2009. “Gubsu mengatakan, pemerintah propinsi Sumut menyambut baik dan memberi dukungan terhadap program konversi minyak tanah itu. Dia juga sangat berharap, program ini berjalan sukses,” ujar Eddy.
Universitas Sumatera Utara
Pertamina dan Hiswana Migas Nasional menjelaskan, tujuan kedatangannya ke Sumut adalah mengecek langsung kesiapan Sumut menjalankan program konversi minyak tanah ke gas. Dia berharap, program tersebut dapat diterapkan sesuai harapan. “Kita berharap, program ini dapat berjalan baik di Sumut,” kata Taryono. Perbedaan pendapat antara pemerintah daerah dan pusat juga menjadi polemik,selain itu perbedaan kebiasa’an masyarakat juga menyebabkan sulit y memuluskan program konversi minyak tanah ke gas. Selain itu penduduk kota medan sendiri rebagian besar adalah kaum urban atau pendatang baik itu dari luar Sumatra utara seperi Sumatra barat,riau,Sumatra selatan,Aceh atau daerah luar pulau sumatra sndiri yang mayoritas bekerja di sector perdagangan baik itu sekala besar atau pun kecil. A.
Perumusan Masalah. Perumusan masalah adalah langkah paling penting dalam membatasi masalah yang di
teliti.masalah adalah pokok kegiatan peneliti(Arikunto,1998).Berdasarkan uraian yg telah di jelas kan di latar belakang masalah,maka penulis merumuskan permasalah yang di bahas dalam penelitian ini adalah “pengaruh program konversi minyak tanah ke gas terhadap pedagang kecil di daerah kecamatan padang bulam Medan”.
C.Tujuan penelitian. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas,maka penelitian ini bertujuan untuk melihat dan membuktikan apakah ada
pengaruh progran konversi minyak tanah ke gas terhadap
pedagang kecil di daerah kecamatan padang bulan Medan.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian D.1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis di harapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan, khususya ilmu kesejahtraan social hingga dapat berman faat sebagai bahan referensi bagi penelitian masalah yang di hadapi oleh pedagang kecil atau di sebut juga pedagang kaki lima.
D.2. Manfaat praktis
a. bagi mahasiswa ilmu kesejahtraan social
hasil penelitian ini dapat menjadi suatu
referensi dan acuan dalam mengenal dan melihat permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh pedagang kecil yang sebenarnya menjadi salah satu basis penggerak roda perekonomian daerah dan bangsa ini. b. bagi para Mahasiswa ilmu kesejahtraan social hasil penelitian ini menjadi contoh agar mahasiswa peka terhadap program-program pemerintah yang menyangkut nasib para pedagang kecil. c. Bagi para pengajar agar hasil penelitian ini di harapkan member informasi dan masukan kepada para mahasiswa ilmu kesejahtraan social tentang pentingnya peran dan fungsi pedagang kecil.
E.sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah BAB I
: PENDAHULUAN
Universitas Sumatera Utara
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian masalah dan sistematika menulisan. BAB I
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan teori yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ,terdapat pula kerangka pemikiran, defenisi konsep, dan defenisi operasional
BAB II
: METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sample, metode pengumpulan data serta teknik analisa data
BAB IV
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisi gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan objek yang di teliti.
BAB V
: ANALISA DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang di peroleh dari hasil penelitian beserta analisis nya.
BAB VI
: PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara