INTERVENSI KELOMPOK UNTUK MENGEMBANGKAN RESILIENSI PADA PEREMPUAN PENYINTAS TRAFIKING Ratih Arruum Listiyandini Fakultas Psikologi Universitas YARSI Jakarta
[email protected] ABSTRAK Trafiking atau perdagangan manusia merupakan peristiwa yang menimbulkan distres psikologis jangka panjang. Belum lagi, kondisi kemiskinan dan lingkungan sosial mereka membuat para penyintas rentan untuk menjadi korban lagi. Oleh karena itu, mereka membutuhkan kemampuan untuk menghadapi, melewati, dan mengantisipasi peristiwa sulit dalam hidupnya, yang disebut resiliensi. Intervensi dalam jangka waktu sebulan dilakukan dalam bentuk kelompok, sebanyak delapan kali pertemuan, dan mencakup lima topik yang diharapkan bisa mengembangkan resiliensi, yaitu: 1) Trafiking dan dampak psikologisnya, 2) Coping stress melalui relaksasi dan restrukturisasi kognitif, 3) Pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah, 4) Asertivitas, dan 5) Penetapan tujuan. Partisipan berjumlah tiga orang yang dianggap memenuhi kriteria. Bentuk intervensi yang dilakukan mencakup komponen psikoedukasi, modeling, praktek, dan penugasan rumah. Dalam penelitian ini, peneliti menggali tentang sejauh mana efektivitas intervensi kelompok ini dalam mengembangkan resiliensi para penyintas trafiking. Desain penelitian yang digunakan adalah pre test-post test one group design. Wawancara mendalam, Skala Resiliensi, dan Beck Depression Inventory (BDI) digunakan untuk menilai efektivitas intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan dalam penelitian ini efektif untuk mengembangkan resiliensi dan menurunkan gejala depresi, khususnya untuk para penyintas dalam proses reintegrasi dan dengan kondisi psikologis yang sudah cukup stabil di rumah perlindungan. Kata kunci: trafiking, perdagangan manusia, resiliensi, intervensi kelompok PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan masalah yang tak habis dibicarakan di Negara berkembang, termasuk juga di Indonesia. Adanya penggunaan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan dari pertanian memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, penggunaan teknologi akan mempercepat produksi pangan sehingga mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain hal ini juga berpengaruh besar dalam menumbuhkan pengangguran dan memarjinalkan petani di pedesaan (Siswanadewi, 2001). Terlebih lagi, pembangunan yang terpusat di kota semakin membuat kesenjangan ekonomi antara perkotaan dan pedesaan. Adanya kesenjangan ekonomi antara pedesaan dan perkotaan membuat para warga desa mencari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Para warga desa yang umumnya hidup dalam kemiskinan pun ingin segera mendapatkan uang untuk bisa bertahan hidup. Dengan terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan, maka mereka berusaha mencari pekerjaan yang bisa menjanjikan upah tinggi. Salah satu jenis pekerjaan yang banyak menarik perhatian para warga di pedesaan itu adalah dengan menjadi pekerja migran di luar negeri. Data dari Pusat AKAN (Angkatan Kerja Antar Negara) menunjukkan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan pekerja migran mencapai sepuluh ribu setiap tahunnya (Data IOM Indonesia, 2010). Namun sayangnya, keinginan untuk memperoleh upah dan gaji tinggi itu tidak diikuti dengan keterampilan, pengetahuan, dan pendidikan yang memadai. Hal ini membuat para warga yang ingin mengubah nasib justru menjadi rentan untuk dimanfaatkan oleh segelintir oknum yang kemudian menjebak mereka pada jaringan perdagangan manusia (trafiking). Di Indonesia sendiri, isu trafiking semakin diperhatikan oleh pemerintah dan komunitas pembela hak azasi manusia (HAM). Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara pengirim, transit dan tujuan industri trafiking yang paling potensial (IOM,
2009). Keseriusan pemerintah dalam kasus trafiking salah satunya ditunjukkan dengan meratifikasi Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada tahun 2007. Sebagian besar penyintas adalah perempuan dan anak yang dieksploitasi untuk bekerja di rumah tinggal ataupun sebagai pekerja seks. Berdasarkan data terbaru dari laporan tahunan IOM, sekitar 3.700 orang di Indonesia menjadi penyintas trafiking, meliputi perempuan dan laki-laki maupun dewasa dan anak-anak (Laporan Tahunan IOM, 2009). Trafiking bisa terjadi pada berbagai konteks pekerjaan (Valevi, 2006). Trafiking yang paling umum biasanya terjadi dalam industri seks (sex trafficking). Namun pada kenyataannya, sebenarnya situasi trafiking juga bisa terjadi pada pekerja rumah tangga, buruh bangunan maupun pabrik yang terisolasi, serta buruh pertanian. IOM menyebut hal ini sebagai labor trafficking dan sering dianalogikan sebagai kerja paksa. Situasi eksploitasi yang terjadi seperti dalam bentuk jam kerja berlebihan bahkan tidak terbatas dan tidak jarang disertai pula dengan penyiksaan. Dengan adanya pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi dengan cara yang melibatkan penipuan dan kecurangan, trafiking dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan martabatnya sebagai manusia (Divine, 2010). Individu yang menjadi penyintas trafiking biasanya merasa malu dan bertanggung jawab terhadap viktimisasi yang terjadi pada mereka. Orang yang diperdagangkan dapat mengalami masalah kesehatan secara kronis ataupun akut, baik dalam masalah fisik maupun psikologis. Akibat eksploitasi yang mereka alami, sebagian besar dari mereka juga mengalami hilang kepercayaan terhadap orang lain dan tidak berdaya (Divine, 2010). Bukti yang persuasif menunjukkan bahwa orang yang menjadi penyintas trafiking membutuhkan waktu lama untuk pemulihan dari gejala stress fisik maupun psikologis akibat eksploitasi yang mereka rasakan. Laporan penelitian dari peneliti pada London School of Hygiene and Tropical Medicine menemukan bahwa dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk para penyintas agar kesehatan mental mereka membaik (Zimmerman, 2003). Di Indonesia, penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti sendiri menemukan bahwa para penyintas trafiking mengalami distress psikologis yang meliputi depresi dan kecemasan. Distres psikologis yang dialami partisipan juga tergantung dari jenis dan tingkat keparahan eksploitasi yang dialami. Di samping itu, selain disebabkan oleh pengalaman trafiking mereka, kondisi psikologis seperti trauma dan keberhargaan diri yang rendah pada para penyintas tampaknya juga dipengaruhi kondisi lain yang mereka hadapi sebelum trafiking, seperti kemiskinan, lingkungan sosial, dan keluarga yang kurang harmonis (Listiyandini, 2013). Divine (2010) menyatakan bahwa masalah fisik dan psikologis pada penyintas akan bisa berkembang menjadi kronis dan mengganggu kualitas hidup jika dibiarkan dan tidak teratasi. Oleh karena itu, pelayanan dengan kualitas baik namun juga sensitif secara budaya dibutuhkan pada setiap fase pemulihan maupun reintegrasi. Pemulihan diperlukan bukan hanya secara fisik namun juga menyentuh aspek kesejahteraan mental dan psikologis dari para penyintas (Divine, 2010). Dengan demikian, eksplorasi mengenai intervensi psikologis yang tepat untuk para penyintas sangat penting dilakukan. Di Indonesia sendiri, beberapa lembaga membantu dalam pemulihan dan reintegrasi para penyintas trafiking. Para lembaga ini terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pemerintahan, maupun lembaga yang merupakan turunan dari lembaga internasional, yaitu International Organization of Migration (IOM). Sepanjang tahun, IOM membantu pemulihan medis dan psikososial ribuan penyintas melalui konseling oleh psikolog. Bantuan dan intervensi yang dilakukan bisa meliputi bantuan psikososial secara umum maupun konseling yang lebih spesifik mengatasi kesehatan mental. Namun demikian, dengan banyaknya penanganan kasus yang dilakukan oleh psikolog, sejauh ini peneliti belum menemukan hasil pemaparan penanganan yang memiliki bukti empirik secara ilmiah. Hal ini khususnya untuk penyintas trafiking di negara Asia Tenggara, seperti Indonesia (Divine, 2010). Di sisi lain, bukti penangangan secara ilmiah yang bisa dijakan rekomendasi untuk menangani masalah psikologis penyintas trafiking di tiap negara sangatlah dibutuhkan (Williamson, 2010). Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan bahwa perlu adanya penanganan yang evidence-based untuk penyintas trafiking di Indonesia, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang dapat menggambarkan sejauh mana intervensi akan dapat mengatasi permasalahan psikologis pada penyintas trafiking. Dalam proses pemulihan bagi para penyintas trafiking, Valevi (2006) menyatakan bahwa perlu diperhatikan pula mengenai latar belakang kehidupan para penyintas. Para penyintas trafiking pada umumnya berasal dari kondisi kemiskinan dan lingkungan sosial yang buruk. Mereka yang menjadi korban sebagian besar juga adalah mereka yang berusia muda dan dengan pendidikan yang rendah. Dengan banyakya faktor resiko yang mereka miliki, para penyintas akan rentan untuk menjadi korban lagi ketika mereka kembali ke rumah. Oleh karena itu, setelah kondisi mereka cukup stabil dan aman di rumah perlindungan, para penyintas membutuhkan pengembangan kemampuan yang dapat membuat mereka mengatasi masalah mereka sendiri, bukan hanya saat ini namun juga di masa depan ketika sudah kembali ke kampung halaman. Mereka membutuhkan kemampuan untuk bisa beradaptasi dalam berbagai situasi stres yang sedang atau akan mereka alami. Kemampuan atau kapasitas yang akan membantu mereka mengatasi tantangan yang sulit menuju pencapaian adaptasi yang positif pada individu disebut sebagai resiliensi (Wagnild dan Young, 1993). Penelitian ini akan berfokus pada pengembangan resiliensi para penyintas trafiking. Untuk mengembangkan resiliensi, Reivich dan Shatte (2002) berpendapat bahwa akan lebih baik bila dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelompok. Melalui pendekatan kelompok, masing-masing orang akan belajar satu sama lain dan saling menguatkan. Lebih lanjut, para korban yang akan menjadi klien dalam penelitian akan dispesifikkan pada perempuan. Hal ini didasarkan data dari IOM Indonesia (2009) bahwa 80% korban trafiking di Indonesia adalah mereka yang perempuan dengan rentang usia remaja akhir hingga dewasa. Selain itu, menurut Valevi (2006), perempuan dalam kultur Indonesia memiliki kerentanan lebih besar untuk dieksploitasi dan terjerat dalam trafiking karena adanya adat patriarki di kebanyakan budanya Indonesia memarjinalkan posisi mereka. Oleh karena itu, pengembangan resiliensi pada para perempuan yang mengalami peristiwa trafiking akan bermanfaat bagi mereka untuk bisa menjadi lebih tangguh dan kuat dalam menghadapi berbagai tantangan masyarakat di tempat mereka kembali. Bukan hanya saat ini, namun juga di masa depan.Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan mencari tahu sejauh mana efektivitas program intervensi kelompok dalam mengembangkan resiliensi perempuan yang mengalami peristiwa trafiking. Trafiking: Definisi, Dampak, dan Penanganan Psikologis Definisi dari trafiking yang akan digunakan dalam penelitian kali ini adalah definisi dari protokol PBB dan UU no 21 tentang TPPO. Hal ini karena definisi dari dua sumber hukum tersebut dapat dikatakan konsisten dan sudah dijadikan acuan dalam penentuan tindakan trafiking di Indonesia, termasuk oleh IOM (International Organization of Migrants) Indonesia dan instansi pemerintahan yang memberi perlindungan bagi penyintas trafiking. Dengan demikian, trafiking dalam penelitian ini didefinisikan sebagai: “ Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang dengan pemaksaan atau tindakan semacam pemaksaan melalui ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara ataupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”. Penelitian Zimmerman (2003) menyatakan bahwa orang yang diperdagangkan dapat mengalami masalah kesehatan secara kronis ataupun akut, baik dalam masalah fisik maupun psikologis. Tudorache dalam Psychososocial Notebook (2004) mengemukakan bahwa berdasarkan data WHO, gejala psikologis yang paling umum terjadi pada para penyintas meliputi reaksi stres akut, gangguan pasca trauma (PTSD), depresi, dan disosiasi. Konsisten dengan itu, IOM Indonesia yang melakukan asesmen psikologis pada 2.570 penyintas dari bulan Juni 2005-September 2009 menyatakan bahwa sebagian besar penyintas teridentifikasi mengalami gejala stres pasca trauma dan gejala depresi sedang hingga ringan (berdasarkan skala Hamilton).
Albert dan Santos (2004) mengemukakan bahwa dalam proses pemulihannya, para penyintas trafiking melalui beberapa tahapan sebelum reintegrasi ke masyarakat. Tahapan pemulihan ini didasarkan pada model yang dikemukakan oleh Hermann (dalam Albert dan Santos, 2004) meliputi pengamanan, pengembalian ke negara asal, duka cita dan mengingat, serta reintegrasi ke masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian di luar negeri, seperti halnya dalam penanganan kasus kekerasan dan penganiayaan pada umumnya, penanganan permasalahan para penyintas trafiking akan cukup efektif bila dilakukan dengan pendekatan kognitif tingkah laku (Williamson, dkk, 2010). Pendekatan kognitif tingkah laku ini dilakukan untuk mengatasi perasaan rendah diri, ketidakpercayaan, ataupun trauma. Melalui pendekatan kognitif tingkah laku, klien diajak untuk mengubah pemikiran yang maladaptif dan mempelajari teknik coping yang lebih efektif. Resiliensi: Definisi dan Faktor yang Mempengaruhinya Dalam penelitian ini, definisi resiliensi yang akan digunakan adalah dari Wagnild dan Young (1993) yang juga turut mengembangkan alat ukur dan komponen yang telah terbukti berdasarkan riset di lapangan, yaitu “a characteristic to enhance adaptation in the context of adversity” (Wagnild dan Young, 1993 dalam Montheit dan Gilbore, 2002). Resiliensi adalah karakteristik yang dapat membantu meningkatnya kemampuan adaptasi dalam konteks situasi yang sulit. Resiliensi melibatkan interaksi antara risiko dan aset. Individu, keluarga, lingkungan dan seting sosial mengandung risiko dan aset. Individu hanya dapat disebut resilien ketika mereka berada dalam situasi berisiko. Faktor risiko adalah segala bentuk tindakan, tingkah laku dan karakteristik yang mengurangi resiliensi. Faktor risiko dapat memperbesar peluang kemungkinan tingkah laku maladaptif, gangguan kesehatan dan mengurangi kesejahteraan psikologis akibat kesulitan dalam hidup (Clay & Silberberg, 2004). Kemiskinan termasuk faktor risiko dalam kehidupan seseorang (Benard, 1991; Reivich & Shatte, 2002; Isaacson, 2002; Anthony, 2008) Selain kemiskinan, faktor risiko yang berasal dari luar antara lain kurangnya dukungan sosial dari keluarga, teman, sekolah maupun komunitas; pola asuh yang kurang baik; konflik perkawinan yang kronis dan melibatkan kekerasan; perceraian orangtua; pengabaian; serta penyiksaan fisik, emosi, dan atau seksual (Clay & Silberberg, 2004). Grotberg (dalam Clay & Silberberg, 2004) mengkategorikan faktor risiko internal antara lain penyakit fisik dan atau mental yang kronis; toleransi yang rendah terhadap frustrasi; masalah tingkah laku agresi dan antisosial tahap awal; tingkah laku suka mencari sensasi; penggunaan alkohol dan atau narkoba; identitas gender yang tidak jelas; aktivitas seksual yang bebas (dengan siapa saja); rasa keberhargaan diri yang rendah; serta kurang orientasi masa depan (Clay & Silberberg, 2004). Faktor protektif adalah segala bentuk tindakan, tingkah laku dan karakteristik yang mendukung perkembangan resiliensi seseorang (Clay & Silberberg, 2004). Secara umum para peneliti membagi faktor protektif menjadi tiga, yakni disposisi pribadi, karakteristik keluarga, dan pengaruh lingkungan seperti teman sebaya, sekolah, dan komunitas (Frogge dalam Isaacson, 2002; Anthony, 2008). Dengan kata lain faktor protektif juga bersifat internal dan eksternal, sebagaimana pembagian yang dilakukan Grotberg (1997). Faktor protektif eksternal meliputi keluarga yang mendukung dan kondisi lingkungan yang melibatkan partisipasi individu, sedangkan faktor protektif internal meliputi kemampuan regulasi emosi, keyakinan diri dan optimisme, serta fleksibilitas kognitif dalam memandang situasi (Reivich dan Shatte, 2002). Dalam penelitian ini, faktor protektif yang akan menjadi fokus adalah dari Wagnild dan Young (1993) yang terdiri dari dua, yaitu kompetensi personal (adanya perasaan mampu akan diri sendiri dan mengatasi berbagai kesulitan, baik yang muncul dari dalam diri maupun dari luar) dan penerimaan terhadap hidup dan diri (individu menerima segala keunikan diri dan pengalamannya serta mampu menemukan makna dan tujuan dalam hidup). Dalam intervensi ini, peneliti akan berfokus pada pengembangan sumber daya internal individu. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa faktor protektif eksternal merupakan sesuatu yang terkait dengan sistem di luar individu dan melibatkan
lingkungan sosial yang lebih luas sehingga lebih sulit untuk didekati melalui intervensi yang berperspektif psikologis. Sebaliknya, faktor protektif internal berasal dari dalam individu itu sendiri dan meliputi berbagai komponen psikologis yang bisa dikembangkan melalui intervensi (Reivich dan Shatte, 2002). Berdasarkan penelitian Reivich dan Shatte (2002), terdapat beberapa keterampilan yang bisa dikembangkan dalam pelatihan resiliensi. Penn Resiliency Program (PRP) mengembangkan beberapa aspek regulasi dan kesadaran emosi; pengendalian impuls; fleksibilitas kognitif; optimisme yang realistis, yaitu berpikir secara optimis didasarkan pada kenyataan yang ada; self-efficacy; dan hubungan sosial yang kuat. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah one-group pretes-posttest design atau before-after design. Pada desain ini, di awal penelitian dilakukan pengukuran terhadap variabel terikat (resiliensi) yang dimiliki subjek. Setelah diberikan manipulasi (intervensi kelompok), dilakukan pengukuran kembali terhadap variabel terikat, dengan alat ukur yang sama. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling. Kriteria yang ditentukan untuk partisipan adalah: Terbukti sebagai penyintas perdagangan manusia (trafiking) berdasarkan kriteria dari IOM (International Organization of Migration). Perempuan remaja akhir hingga dewasa muda dengan rentang usia 15-25 tahun. Jangka waktu mengalami trafiking minimal selama setahun. Sudah berada di rumah perlindungan untuk pemulihan dan persiapan reintegrasi kembali ke masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara serta kuesioner dan tes untuk memperoleh data. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali mengenai latar belakang kehidupan partisipan, termasuk pula riwayat trafiking dan dampak psikologis yang dialami. Selain itu, peneliti juga menggali tentang hal-hal yang berkaitan dengan resiliensi dan gejala depresi yang partisipan miliki. Peneliti menggunakan Skala Resiliensi yang didasarkan pada teori Wagnild dan Young (1993) dan sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Alimi (2005). Hasil penelitian Alimi mengenai skala ini kepada para individu muda yang berasal dari kondisi rentan menunjukkan bahwa skala ini memiliki reliabilitas sebesar 0.76, yang artinya konsisten secara internal. Semua item merupakan pernyataan positif. Di dalam skala ini mengukur dua faktor, yaitu Kompetensi Personal sebanyak 17 item (contoh: saya mampu menemukan jalan keluar ketika dalam situasi sulit, orang lain dapat mengandalkan saya) dan Penerimaan terhadap Hidup dan Diri sebanyak 8 item (contoh: hidup saya sangat bermakna dan berharga, saya menyenangi diri saya yang sekarang). Semua item merupakan pernyataan positif. Partisipan diminta menilai pada derajat mana item yang ada mewakili diri mereka. Terdapat empat pilihan jawaban (1= Sangat Tidak Sesuai Berikut, 2=Tidak sesuai, 3=Sesuai, 4=Sangat sesuai). Rentang nilai untuk faktor Kompetensi Personal adalah 17-68, faktor Penerimaan Hidup dan Diri adalah 8-32, dan nilai total berkisar antara 25-100. Semakin tinggi nilai seseorang, maka semakin tinggi pula resiliensi yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah skor resiliensi yang diperoleh, maka semakin rendah pula resiliensi yang dimilikinya. Selain itu, peneliti juga menggunakan Beck Depression Inventory (BDI). BDI terdiri dari 21 item yang mengukur gejala depresi, yaitu: mood yang depresif hampir sepanjang hari, kehilangan minat pada berbagai hal, insomnia/hypersomnia, perubahan berat badan, agitasi psikomotor, kelelahan dan kehilangan energy,perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang tidak semestinya,hilangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, pemikiran yang berulang mengenai kematian. Di tiap-tiap item terdapat empat hingga lima pernyataan yang menggambarkan kondisi psikologis partisipan. Partisipan diminta memilih pernyataan yang paling dianggapnya menggambarkan keadaannya saat itu. Dari hasil penelitian yang
dilakukan Suwantara, Lubis, dan Rusli (2006) ditemukan bahwa BDI dapat secara bermakna membedakan kelompok populasi klinis dengan populasi normal (p<0.01). Namun demikian, hal yang perlu menjadi pertimbangan adalah alat ukur ini kurang bisa membedakan kelompok gangguan depresif mayor dengan kelompok gangguan yang lainnya (seperti skizofrenia, gangguan kepribadian, dan penyalahgunaan zat). Interpretasi skor BDI adalah sebagai berikut: 0-5 : hampir tidak ada tanda depresi; 6-14: depresi ringan hingga sedang; > 15: depresi berat. Tahapan pertama dalam penelitian adalah mendapatkan partisipan yang akan diberikan intervensi dan asesmen. Setelah mendapatkan partisipan, peneliti melakukan proses asesmen awal untuk mengetahui gambaran psikologis para partisipan, termasuk pula tingkat resiliensi dan gejala depresi yang mereka miliki. Setelah tahap asesmen selesai, peneliti mulai melakukan intervensi. Proses intervensi yang dilakukan meliputi tahap stabilisasi dan pemulihan para penyintas dahulu. Proses stabilisasi dan pemulihan meliputi: pembangunan kepercayaan, konseling individual, dan mendorong partisipan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Setelah partisipan tampak siap untuk masuk dalam intervensi, peneliti mulai melakukan intervensi sesuai rancangan intervensi. Program Intervensi Peneliti melakukan intervensi kelompok dalam rentang waktu sekitar satu bulan. Intervensi dilakukan dalam waktu delapan kali pertemuan dan mencakup lima tema yang disampaikan dalam bentuk kelompok. Bentuk intervensi yang dilakukan mencakup komponen psikoedukasi, modeling, praktek, dan penugasan rumah. Topik yang dibahas dalam intervensi ini meliputi: 1) Trafiking dan dampak psikologisnya, 2) Coping stress melalui relaksasi dan restrukturisasi kognitif, 3) Pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah, 4) Asertivitas, dan 5) Penetapan tujuan. Berikut merupakan gambaran umum program intervensi kelompok yang dilakukan peneliti. Tabel 1. Gambaran Program Intervensi Tema Kita Istimewa: Ketangguhan
Kita Mampu: Stres, trauma, dan cara mengatasinya
Kita Berharga: Keberhargaan dan keyakinan diri
Tujuan Mengetahui tentang cakupan trafiking dan dampak psikologis dari trafiking yang dialami oleh mereka sendiri Menyadari adanya resiliensi sebagai kekuatan diri Memahami tentang stres, khususnya stres pasca trauma sebagai salah satu dampak normal yang dialami pasca trafiking. Mengetahui dan mampu menerapkan teknik dasar untuk mengatasi reaksi stres pasca trauma
Menyadari tentang adanya pikiran atau pernyataan buruk tentang diri sendiri Mampu belajar memiliki pernyataan diri yang positif
Rangkaian Sesi Membangun rapport dan kedekatan sebagai anggota kelompok Berbagi tentang pengalaman diri Mengenali adanya ketangguhan dalam diri Pengetahuan tentang stress dan cara mengatasinya Mengajarkan teknik dasar mengatasi ketegangan fisik: relaksasi otot Variasi lainnya untuk mengatasi bayangan buruk: tempat aman, distraksi dan membangkitkan kesadaran diri Hubungan pikiran, emosi, dan perilaku kita Penugasan: latihan relaksasi otot dan rekaman pikiran Review dan Pembahasan Tugas Refleksi Kehidupan: membuat ‘sungai kehidupan’ Menyadari pikiran buruk tentang diri sendiri dan mengubahnya: teknik berpikir “meskipun…, namun”. Mengingat orang-orang yang mencintai kita
Kita Kuat: Mengatasi lingkungan dan tantangan
Mengetahui strategi yang bisa dilakukan untuk menghindari eksploitasi, yang meliputi: Kemampuan penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan Mengendalikan konflik melalui komunikasi asertif
Kita Yakin: Membangun harapan dan terminasi
Membentuk harapan yang positif dan rencana yang realistis tentang masa depan. Muncul optimisme mengenai masa depan yang lebih baik.
Penugasan: membaca kartu yang bertuliskan kata-kata positif tentang diri kita. Materi edukasi agar bisa bekerja dengan ‘aman’ di luar negeri Mengajarkan keterampilan penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan Mengendalikan konflik: komunikasi asertif dengan menggunakan “Pesan Saya” Penugasan: membuat rencana pasca pemulihan dan latihan menerapkan strategi yang diajarkan Membangun harapan: mengingat hal-hal yang bernilai untuk kita. Membagi harapan: membuat rencana masa depan Kesimpulan Terminasi
Gambaran Partisipan Partisipan terdiri dari tiga orang dengan rentang usia 15 hingga 21 tahun bernama Maya, Rini, dan Kamila (bukan nama sebenarnya). Berikut adalah gambaran umum partisipan: Tabel 2. Gambaran Umum Partisipan Nama Usia Asal Daerah Pendidikan Status Pernikahan
Rini 15 tahun Jawa Barat SD Belum Menikah
Kamila 21 tahun Jawa Barat SD Janda
Maya 23 tahun Jawa Barat SD Janda
Kategori Trafiking menurut IOM Ringkasan Pengalaman Kekerasan yang Dialami
Labor trafficking
Sex trafficking
Labor trafficking
Dipukul, disekap, dibentak, upah tidak dibayar
Dipukul, disekap, dibentak, kekerasan seksual, upah tidak dibayar
Dipukul, dipenjara, dibentak, upah tidak dibayar
HASIL INTERVENSI Asesmen dilakukan sebelum dan setelah intervensi dilakukan. Berikut hasil pemaparan perkembangan setiap kasus sebelum dan sesudah intervensi dilakukan berdasarkan hasil pengukuran skor pada skala Resiliensi dan BDI serta wawancara . Hasil Intervensi pada Kasus 1: Rini Secara umum, Rini mengikuti rangkaian intervensi dengan baik dan sesuai jadwal. Ia berpartisipasi aktif, bertanya bila ada materi yang tidak dimengertinya, dan mau saling berbagi dengan anggota kelompok yang lain. Bila dilihat dari hasilnya, tampak bahwa Rini telah mencapai hal yang diharapkan dari intervensi ini. Pada saat wawancara, Rini menyatakan bahwa intervensi kelompok yang peneliti berikan bermanfaat untuknya. Ia menyatakan bahwa dirinya senang karena bisa belajar dari teman-temannya yang memiliki pengalaman lebih banyak. Selain itu, ia merasa mendapat banyak pengetahuan baru, khususnya tentang mengatasi stres dan juga tentang trafiking. Ketika ditanya tentang teknik dan materi yang paling disukainya, Rini mengatakan bahwa ia
paling suka relaksasi sambil membayangkan tempat aman. Oleh karena itu, ia ingin mempraktekkan teknik itu lebih banyak di kemudian hari. Sebelum intervensi diberikan, Rini merasa bahwa dirinya tidak pernah berhasil melalui masa sulit dengan baik. Ia merasa bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan apa pun, merasa tidak berguna, dan tidak yakin dengan masa depannya. Ia sulit menemukan hal-hal yang bisa membuatnya bahagia dan tertawa. Ketika bangun dari tidur, Rini juga merasa bahwa badannya tidak enak dan kakinya tegang. Namun, setelah intervensi, Rini menemukan ada hal-hal yang berdampak pada dirinya. Untuk masalah tidur, Rini sekarang sudah bisa menghadapinya dengan teknik relaksasi otot yang diajarkan. Ketika bangun tidur kakinya merasa tegang, ia akan melakukan relaksasi otot di bagian kaki. Menurut pengakuannya, ini membuat badannya menjadi lebih enak dan tidak tegang. Berbeda dengan sebelumnya dimana Rini menganggap dirinya tidak memiliki kelebihan apa pun, saat ini merasa bahwa dirinya sebenarnya adalah orang yang pekerja keras dan pantang menyerah untuk terus maju. Rini sadar bahwa selama ini hal yang penting baginya adalah menjadi sosok yan berguna untuk orangtuanya. Rini juga paham bahwa pengalaman sulit yang dilaluinya justru menunjukkan bahwa ia sebenarnya mampu menghadapi semua masalah dalam kehidupannya. Hal ini berarti bahwa ia bukanlah orang yang gagal total. Ia semakin merasa bahwa kehidupan sangatlah berarti untuk dijalani. Rini saat ini sudah mulai memandang masa depan secara optimis. Hal yang paling diinginkan Rini di masa depan adalah ia ingin tetap bisa bekerja keras dan dan membantu adik-adiknya untuk bersekolah. Ia juga berencana untuk bisa berkeluarga dan membangun masa depan yang lebih baik bersama keluarganya. Ia juga merasa mulai bisa menikmati kegiatan keterampilan yang diikutinya. Rini berharap bahwa dirinya bisa menggunakan keterampilannya itu setelah kembali ke rumah untuk membuka usaha. Berdasarkan pengukuran melalui skala Resiliensi dan BDI, ditemukan adanya kenaikan pada skor Resiliensi pad aspek Penerimaan Diri maupun Kompetensi Personal dan penurunan pada skor BDI Rini. Berikut tabel yang menggambarkan ringkasan hasil intervensi pada Rini: Tabel 3. Gambaran Hasil Intervensi pada Rini Komponen Resiliensi: Penerimaan terhadap Hidup dan Diri
Kondisi Pra Intervensi Merasa tidak memiliki kelebihan apa pun
Skor Skala Resiliensi Aspek Kompetensi Personal: 36
Kondisi Pasca Intervensi Menyadari bahwa dirinya adalah orang yang pekerja keras dan pantang menyerah untuk bisa berguna bagi keluarga. Memahami bahwa keluarga adalah hal yang penting baginya. Ia bertekad untuk tetap bekerja keras di masa depan, menggunakan keterampilan yang ada, dan membantu sekolah adikadiknya. Peningkatan skor Skala Penerimaan Diri menjadi: 27 Menyadari bahwa dirinya ternyata memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai masalah dalam hidupnya. Ia yakin bahwa di masa depan ia pun bisa melalui pengalaman sulit. Peningkatan skor Kompetensi Personal menjadi: 63
Sering bersedih dan sulit menemukan hal yang bisa membuat bahagia dan tertawa
Mulai menikmati hal yang dilakukan sambil menunggu kepulangan, bisa tertawa bersama
Tidak yakin dan pesimis akan masa depan
Resiliensi: Personal
Kompetensi
Gejala Distress: Depresi
Skor Skala Resiliensi Aspek Penerimaan Diri: 23 Tidak yakin apakah bisa melalui pengalaman sulit lagi
Sulit tidur dan badan terasa tegang setelah bangun tidur
Skor BDI: 26
dengan teman-teman. Menerapkan relaksasi otot, khususnya di bagian kaki bila merasa tegang. Hal ini menurutnya membuat badan menjadi lebih enak dan segar. Penurunan skor BDI menjadi: 23
Hasil Intervensi pada Kasus 2: Kamila Kamila mengikuti rangkaian intervensi dengan cukup baik dan sesuai jadwal. Ia termasuk yang berinisiatif lebih dulu untuk berbagi, sering mengemukakan pendapatnya mengenai materi yang diberikan, dan mau memberi saran dan mendorong teman-temannya yang lain. Pada saat wawancara, Kamila menyatakan bahwa intervensi kelompok yang peneliti berikan bermanfaat untuknya. Ia menyatakan bahwa dirinya senang karena bisa belajar bersama teman-temannya dan saling berbagi mengenai berbagai hal. Dengan intervensi kelompok, ia menjadi tahu bahwa dirinya tidak sendiri dan ada orang lain juga mengalami masalah serupa. Selain itu, ia merasa mendapat banyak pengetahuan baru, khususnya tentang mengatasi stres dan hubungan antara perilaku, pikiran, dan emosi. Ia menjadi lebih paham bahwa suatu peritiwa yang sama bisa menimbulkan dampak yang berbeda karena pemikiran setiap orang berbeda. Ketika ditanya tentang teknik dan materi yang paling disukainya, Kamila mengatakan bahwa ia paling suka materi tentang menghadapi stres, hubungan antara perilaku-pikiran-emosi, serta masa depan. Oleh karena itu, ia ingin mempraktekkan teknik mengatasi stres, khususnya relaksasi beserta tempat aman. Sebelum intervensi dilakukan, Kamila menyatakan bahwa ia merasa sulit dan ragu dalam menjalani kehidupan. Ia tidak yakin apakah dirinya bisa meraih apa yang diinginkan. Selain itu, Kamila merasa tidak menyenangi dirinya karena telah gagal melakukan banyak hal dan menjadi orang yang gagal total. Ia sering menangis sendirian mempertanyakan hal-hal yang tidak bisa dilakukannya dan menimpa dirinya. Kamila juga tidak yakin apakah di masa depan ia bisa melalui pengalaman sulit. Sempat beberapa kali terlintas di dalam pikirannya untuk bunuh diri namun untungnya hal itu berusaha dihilangkannya dengan berpikir tentang anaknya. Ia juga merasa lemah dan kurang bertenaga untuk melakukan aktivitas. Ketika ditanya mengenai pendapatnya tentang dirinya sendiri saat ini, Kamila dengan yakin menjawab bahwa ia merasa dirinya sebagai orang yang pantang menyerah dan tahan banting. Saat ini, Kamila merasa bahwa kehidupan sangatlah berharga untuk dijalani. Peristiwa buruk yang masih sering muncul di dalam pikirannya, mulai dapat diatasi dengan membayangkan tempat aman. Ia juga berpikir bahwa kehidupan akan ada naik dan turun sehingga tidak masalah bila ia akan menemui pengalaman sulit. Dengan berbagai hal yang telah dilaluinya, Kamila yakin bahwa ia bisa menaklukkan pengalaman sulit lagi di masa depannya. Ia saat ini jarang bertanya-tanya dan memikirkan tentang hal-hal buruk yang dialaminya karena ingin fokus pada masa depan. Hal ini membuatnya menjadi lebih jarang bersedih dan menangis dibandingkan sebelumnya. Saat ini ia merasa sudah bersemangat dan bisa bekerja dengan baik. Selain itu, ia juga merasa bahwa nafsu makannya sudah membaik. Bila sebelumnya ia merasa masih bingung dengan masa depannya, ia kini merasa mulai memiliki pandangan yang optimis bahwa masih banyak hal bernilai yang bisa dilakukannya di masa depan. Ia ingin meningkatkan pemahaman keagamaannya. Selain itu, Kamila juga menyatakan bahwa ia ingin membahagiakan anaknya, mencari pendamping yang tepat, dan bila memang mendapat modal ia ingin bisa membuka usaha sesuai keterampilan yang dipelajarinya. Berikut rangkuman hasil intervensi pada Kamila baik secara kualitatif maupun berdasarkan pengukuran skala BDI dan Resiliensi yang terdiri dari Kompetensi Personal dan Penerimaan Diri:
Tabel 4. Gambaran Hasil Intervensi pada Kamila Komponen Resiliensi: Penerimaan terhadap Hidup dan Diri
Kondisi Pra Intervensi Merasa sebagai orang gagal total secara pribadi
yang
Pesimis dengan masa depan. Bingung dan kecil hati tentang apa yang akan dilakukannya untuk masa depan.
Tidak menyenangi diri yang sekarang dan merasa hidup kurang ada artinya
Resiliensi: Personal
Kompetensi
Gejala Distress: Depresi
Skor Resiliensi Aspek Penerimaan Diri: 21 Tidak yakin apakah bisa melalui pengalaman sulit
Skor Resiliensi Aspek Kompetensi Personal: 39 Beberapa kali terlintas pikiran untuk bunuh diri
Sering sedih dan bertanya-tanya serta terbayang tentang berbagai hal yang telah menimpa dirinya
Skor BDI: 39
Kondisi Pasca Intervensi Merasa bahwa kehidupan ada naik dan turun. Menurutnya, mengalami kegagalan adalah bagian dari kehidupannya yang memang dialami. Namun saat ini ia merasa bukan lagi sebagai orang yang gagal total karena ada hal-hal baik yang sudah berhasil dilaluinya. Masih ada kekhawatiran tentang masa depan. Namun, ia menyatakan bahwa dirinya sudah mulai tahu tentang hal apa yang menurutnya berharga untuk masa depannya. Rini ingat untuk terus membahagiakan dan bekerja keras untuk anaknya. Selain itu, ia juga ingin mendapatkan pendamping hidup dan membuka usaha di kampungnya. Merasa bahwa masih banyak hal bernilai yang bisa dilakukannya untuk hidup. Ia memandang bahwa dirinya adalah orang yang pantang menyerah dan ingin terus memperbaiki diri secara agama. Peningkatan skor Penerimaan Diri menjadi: 24 Menyadari bahwa ia adalah orang yang tahan banting dan mampu melalui berbagai pengalaman sulit dalam hidupnya. Peningkatan skor Kompetensi Personal menjadi: 50 Tidak lagi terpikir untuk bunuh diri dan tidak akan melakukan hal yang akan merusak dirinya meskipun terlintas dalam pikiran. Hal ini dicegahnya dengan terus mengingat bahwa masa depannya masih panjang, khususnya untuk anaknya. Ketika teringat hal buruk, berusaha menerapkan teknik membayangkan tempat aman. Ia juga mulai mengalihkan kesedihannya dengan berkumpul bersama teman di panti dan mengikuti keterampilan. Penurunan skor BDI menjadi: 16
Hasil Intervensi pada Kasus 3: Kasus Maya Dapat dikatakan bahwa Maya merupakan yang paling pasif dibandingkan rekanrekannya selama rangkaian intervensi dilakukan. Ia harus didorong untuk mau berbagi,
cenderung diam bila tidak ditanya, dan tampak masih malu untuk mengungkapkan perasaannya. Peningkatan performa Maya dalam kelompok baru terlihat pada saat intervensi memasuki tahap akhir, yaitu pada topic berkomunikasi secara asertif dan membuat tujuan di masa depan. Pengukuran melalui skala Resiliensi dan BDI menunjukkan bahwa Maya tidak mengalami perubahan positif yang signifikan, kecuali pada aspek penerimaan terhadap hidup dan diri. Meskipun demikian, Maya menyatakan bahwa intervensi kelompok yang peneliti berikan bermanfaat untuknya. Ia menyatakan bahwa dirinya senang mempelajari tentang pengetahuan mengenai trafiking dan saat mulai merancang masa depan. Ketika ditanya tentang teknik dan materi yang paling disukainya, Maya mengatakan bahwa ia paling suka relaksasi sambil membayangkan tempat aman serta berkomunikasi secara asertif. Selama ini ia belum mencoba untuk mempraktekkannya, namun Maya menyatakan bahwa ia mungkin akan mempraktekkan teknik itu suatu hari. Sebelum intervensi, Maya merasa bahwa ia tidak menyenangi dirinya yang sekarang. Ia merasa sebagai orang yang gagal total dan merasa tidak berhasil menyelesaikan apa pun dalam hidup. Selain itu, Maya juga sering merasa sedih dan sulit untuk menemukan hal-hal yang membuatnya tertawa. Lebih lanjut, Maya juga merasa pesimis dengan masa depannya dan akan menjalani hidup apa adanya saja. Ia sempat merasa sangat bersalah dan mengecewakan kedua orangtuanya sehingga tidak ingin kembali ke kampungnya karena malu. Setelah intervensi dilakukan, Maya merasa bahwa dirinya saat ini lebih yakin tentang masa depan. Bila sebelumnya Maya tidak menyenangi dirinya saat ini, ia sekarang menyadari bahwa dirinya sebenarnya memiliki banyak kelebihan, seperti pekerja keras dan memiliki keinginan untuk membantu orang lain. Ia juga menyatakan bahwa masa depannya masih panjang dan ia masih ingin mencoba untuk melakukan hal-hal yang bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Maya masih berpikir bahwa ia ingin mencoba lagi bekerja ke luar negeri dengan pengetahuan yang sudah peneliti berikan. Ia merasa masih penasaran karena menurutnya tidak semua orang mengalami hal buruk di luar negeri. Ia berharap bila dirinya mencoba lagi dengan menerapkan strategi yang diberikan, dirinya bisa meraih hal yang lebih baik. Meskipun demikian, Maya mengaku bahwa ia masih sering merasa sedih bila ingat keluarganya di kampung dan masih sering memikirkan kegagalan yang dialaminya. Ia juga masih merasa tidak yakin dengan masa depannya. Hanya saja, Maya sudah mulai bisa mengalihkan kesedihannya dengan berkumpul bersama teman-temannya dan mengikuti kegiatan keterampilan yang diberikan oleh panti. Berikut ringkasan perkembangan pada Maya secara kualitatif maupun berdasarkan Skala Resiliensi dan BDI: Tabel 5. Gambaran Hasil Intervensi pada Maya Komponen Resiliensi: Penerimaan terhadap Hidup dan Diri
Kondisi Pra Intervensi Tidak menyenangi dirinya yang sekarang dan merasa sebagai orang yang mengecewakan banyak orang. Merasa tidak berhasil menyelesaikan apa pun dalam hidup.
Resiliensi: Personal
Kompetensi
Skor Resiliensi Aspek Penerimaan Diri: 20 Pesimis dan kecil hati akan masa depan. Tidak tahu dan bingung tentang hal yang akan dilakukan.
Kondisi Pasca Intervensi Merasa bahwa dirinya cukup berharga dan memiliki kelebihan, seperti mau bekerja keras dan memiliki kepedulian pada orang lain. Merasa bahwa dirinya memang memiliki banyak kegagalan dalam hidup, namun ada beberapa hal yang sudah berhasil dilakukannya. Peningkatan skor Penerimaan Diri menjadi: 22 Masih merasa khawatir dengan masa depan dan belum yakin bahwa ia sepenuhnya bisa mengendalikan pengalaman sulit.
Gejala Distress: Depresi
Skor Resiliensi Aspek Kompetensi: 42 Sering merasa sedih dan sulit menemukan hal yang bisa membuat tertawa
Skor BDI: 35
Namun demikian, Maya sudah memiliki harapan tentang hal-hal yang akan dilakukan di masa depannya dan merasa masa depannya masih panjang. Penurunan skor Kompetensi menjadi: 33 Mulai berusaha mengalihkan kesedihan dengan tertawa bersama teman-teman, beraktivitas di panti, dan mengikuti kegiatan yang diberikan pengasuh. Skor BDI menjadi: 36
Kesimpulan Hasil Intervensi Kelompok Berikut adalah ringkasan hasil intervensi secara keseluruhan: Tabel 6. Ringkasan Hasil Intervensi Seluruh Kasus Komponen Resiliensi: Penerimaan Hidup dan Diri
Resiliensi: Kompetensi Personal
Gejala Depresi
Perubahan Kualitatif Tampak adanya pandangan yang lebih seimbang dan positif mengenai kehidupan. Mereka memandang bahwa diri mereka memiliki kegegalan dan keberhasilan. Mereka merasa hidup dan diri mereka sebagai sesuatu yang berharga dan tetap berusaha memandang masa depan dengan lebih optimis. Pada dua partisipan, terdapat keyakinan yang baik bahwa mereka bisa menghadapi berbagai masalah sulit dengan usaha mereka. Namun, Maya masih merasakan adanya keraguan akan kemampuannya.
Seluruh partisipan sudah mulai bisa beraktivitas dan terlibat dalam berbagai kegiatan. Terkadang perasaan sedih dan pikiran buruk masih muncul. Namun, Rini dan Kamila berhasil mengatasinya dengan teknik yang diajarkan, sedangkan Maya berusaha mengatasinya dengan mulai berkumpul bersama teman-teman.
Perubahan Skor Skala Resiliensi dan BDI Rini mengalami peningkatan skor dari 23 menjadi 27. Kamila mengalami peningkatan skor dari 21 menjadi 24. Maya mengalami peningkatan skor dari 20 menjadi 22.
Rini mengalami peningkatan skor dari 36 menjadi 63. Kamila mengalami peningkatan skor dari 39 menjadi 50. Maya mengalami penurunan skor dari 42 menjadi 33. Rini mengalami penurunan skor BDI dari 26 menjadi 23. Kamila mengalami penurunan skor BDI dari 39 menjadi 16. Maya tidak mengalami perubahan skor BDI yang signifikan dan justru bergerak naik dari 35 menjadi 36.
Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner ditemukan bahwa teknik dan materi yang dianggap bermanfaat adalah relaksasi dengan tempat aman, coping terhadap stress, tujuan hidup, serta pengetahuan tentang trafiking. Di samping itu, partisipan juga tertarik untuk lebih banyak menerapkan teknik menyelesaikan masalah, menetapkan tujuan, mengatasi stres melalui relaksasi dan berpikir positif, serta berkomunikasi secara asertif. PEMBAHASAN DAN DISKUSI Dalam menilai keberhasilan intervensi, terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan, khususnya mengenai indikator keberhasilan intervensi. Bila diperhatikan lebih lanjut, tampak bahwa perubahan skor pada skala Resiliensi dan BDI sebelum dan sesudah
intervensi tidak terlalu signifikan. Bahkan pada kasus Maya, hasil evaluasi secara kualitatif dan kuantitatif tampak kurang konsisten. Berdasarkan perubahan skor Skala Resiliensi dan BDI, Maya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi, dan justru mengalami penurunan. Namun sebaliknya, hasil evaluasi kualitatif menemukan bahwa Maya merasakan adanya manfaat dari intervensi. Tidak signifikannya perubahan skor dan inkonsistensi dengan hasil wawancara bisa disebabkan karena alat ukur yang digunakan. Alat ukur yang berbentuk skala lapor diri memiliki keterbatasan dalam hal respon terhadap item bisa sangat tergantung dari daya tangkap subjek. Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa skala yang digunakan kurang mampu menggambarkan penghayatan yang lebih dalam dari partisipan dibandingkan bila melalui wawancara. Resiliensi sendiri adalah hal yang bersifat unik dan sangat tergantung pada penghayatan tiap individu. Dengan demikian, peneliti memutuskan untuk lebih mengandalkan hasil wawancara mendalam yang bisa disesuaikan dengan karakteristik subjek untuk mengevaluasi keberhasilan intervensi. Berdasarkan hasil evaluasi keberhasilan secara keseluruhan, peneliti menyimpulkan bahwa sesuai dengan pendapat Reivich dan Shatte (2000), resiliensi dapat dikembangkan melalui pemberian intervensi kelompok. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa partisipan yang merupakan penyintas trafiking mampu mengembangkan penerimaan diri dan kompetensi personal yang secara kualitatif lebih baik dibandingkan dengan sebelum intervensi dilakukan. Mereka menjadi merasa lebih mampu untuk menghadapi permasalahan sulitnya, munculnya pandangan yang lebih positif mengenai diri dan kehidupan, dan juga memiliki tujuan dalam hidup. Selain mampu mengembangkan resiliensi, melalui intervensi yang diberikan, ditemukan adanya penurunan terhadap gejala distress, khususnya dalam depresi. Hal ini sesuai dengan pendapat Wagnild dan Young (1993) bahwa semakin seseorang resilien, maka ia semakian mengatasi permasalahan dan stres yang dialaminya. Hal ini tampaknya berasal dari psikoedukasi mengenai cara menghadapi stres. Dengan psikoedukasi yang ada, peserta menjadi lebih dapat memahami masalah mereka dan menemukan bagaimana cara untuk mengatasinya. Intervensi untuk mengembangkan resiliensi ini pada dasarnya merupakan intervensi yang bersifat penguatan. Di dalamnya terdapat banyak komponen psikoedukasi yang berfungsi untuk memberdayakan. Albert dan Santos (2004) yang mengemukakan bahwa terdapat beberapa tahapan untuk para penyintas sebelum mereka kembali masyarakat. Sebelum persiapan reintegrasi, para penyintas sewajarnya memasuki tahap yang disebut duka cita dan mengingat. Pada tahapan ini, posisi penyintas sudah dalam tempat yang aman namun masih membutuhkan ventilasi emosi. Ketika peneliti datang, tampak bahwa kondisi partisipan masih belum stabil dan berada pada tahap duka cita dan mengingat. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk melakukan proses yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan stabilisasi partisipan. Peneliti melakukannya dengan cara konseling, membangun kepercayaan lewat terlibat dalam kegiatan mereka, dan mendorong mereka untuk lebih aktif dalam berbagai kegiatan yang bermakna. Peneliti melakukan proses ini dalam jangka waktu kurang lebih sebulan. Ketika mulai, sudah terdapat beberapa perubahan pada partisipan sehingga mereka sudah bisa berpartisipasi. Namun demikian, hal ini hanya didasarkan pada pengamatan subjektif sehingga ada kemungkinan bahwa partisipan mengikuti kegiatan intervensi dengan kondisi distress yang masih cukup tinggi. Hal ini paling terlihat pada Maya yang tampak masih belum kuat untuk bisa belajar dan menerima edukasi yang ada. Ia masih sering memilih untuk tidur dan menyendiri di kamar. Stabilitas kondisi psikologis ini dapat mempengaruhi efektivitas intervensi pada partisipan. Oleh karena itu, untuk ke depannya, sebaiknya intervensi yang fungsinya penguatan seperti dalam penelitian ini dilakukan pada mereka dengan kondisi psikologis yang sudah cukup stabil sehingga hasil lebih optimal. KESIMPULAN Berdasarkan hasil evaluasi dapat disimpulkan bahwa intervensi kelompok efektif dalam mengembangkan resiliensi perempuan yang mengalami peristiwa trafiking, khususnya jika kondisi psikologis partisipan sudah cukup stabil dan dilakukan dalam rangka persiapan reintegrasi ke masyarakat. Melalui intervensi ini, partisipan mendapat pemahaman dan
pandangan yang lebih positif dan realistis mengenai diri, memiliki optimisme akan masa depan, dan memiliki keyakinan yang lebih baik bahwa mereka mampu menghadapi berbagai peristiwa sulit lain di dalam kehidupan. Seiring dengan meningkatnya resiliensi, gejala depresi juga menurun. Namun demikian, intervensi akan menjadi kurang efektif jika diberikan pada partisipan dengan kondisi distress yang masih sangat tinggi dan masih dalam fase pemulihan. Oleh karena itu, kepekaan terhadap kebutuhan klien sangat diperlukan untuk menentukan intervensi yang tepat. SARAN DAN IMPLIKASI Saran Metodologis 1. Pelaksanaan intervensi kelompok sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan dan memastikan bahwa kondisi psikologis partisipan sudah lebih stabil. Proses stabilisasi dan pemulihan sebaiknya lebih lama. Apabila perlu, stabilisasi bisa dilakukan melalui berbagai teknik lain di samping konseling, seperti Eye Movement Desensitization Reprocessing, Emotional Freedom Techinque, Hypnosis, dan lain sebagainya. 2. Jangka waktu pelaksanaan intervensi sebaiknya lebih dari sebulan, dengan penyampaian materi mengenai faktor resiliensi yang lebih dari satu sesi dan materi yang lebih mendalam. 3. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas ulang terhadap alat ukur yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan. Pengukuran juga sebaiknya melibatkan evaluasi terhadap pengetahuan aktual dalam keterampilan dan kemampuan yang diberikan dalam intervensi, seperti coping terhadap stres, regulasi emosi, asertivitas, dan kemampuan penyelesaian masalah. 4. Melibatkan peserta dengan jenis trafiking yang lebih setara, yaitu sesama labor trafficking atau sex trafficiking, sehingga rasa kesamaan menjadi lebih kuat. 5. Dilakukan pengukuran follow-up mengenai tingkat distress dan resiliensi secara berkala. 6. Menggunakan desain penelitian yang lebih terkontrol, seperti randomized control trial sehingga justifikasi mengenai efektivitas bisa lebih kuat. Implikasi Penelitian Dalam penelitian ini tampak bahwa para peserta merasakan adanya manfaat dan perubahan dalam diri, khususnya tentang bertambahnya pengetahuan dan merasa lebih positif serta optimis dalam memandang diri mereka di masa depan. Dengan demikian, pihak-pihak yang memiliki kepedulian pada perempuan penyintas trafiking dapat mencoba menerapkan berbagai teknik yang diberikan dalam intervensi pada populasi trafiking lainnya di wilayah Indonesia, seperti para pria ataupun anak-anak dengan beberapa penyesuaian. Penanganan yang ada sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan para penyintas. Selain itu, resiliensi yang dikembangkan hanya meliputi faktor protektif internal saja. Faktor protektif eksternal yang lebih berkaitan dengan sistem masyarakat, seperti pengetahuan, pemberian dukungan komunitas bagi penyintas, juga diperlukan bagi para penyintas. Untuk itu, dukungan dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan LSM untuk memberi pencerdasan pada masyarakat juga penting untuk diterapkan. DAFTAR PUSTAKA Alimi, R. M. (2005). Resiliensi Individu High Risk Dijinjau dari Faktor Protektif (Study di kelurahan Tanah Tinggi Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat). Tugas Akhir S2. Depok: Universitas Indonesia. Albert & Santos. (2004) dalam Psychosocial Supports to Groups of Victims Human Trafficking. Psychosocial Notebook. Intenational Organization of Migrations. Anthony, Elizabeth K. (2008). Cluster Profiles of Youths Living in Urban Poverty: Factors Affecting Risk and Resilience. Social Work Research. Vol. 32, Iss. 1; pg. 6, 12 pgs diunduh dari www.proquest.com/pqdauto
Benard, B. (1991). Fostering Resiliency in Kids: Protective Factors in the Family, School, and Community. San Francisco: Far West Laboratory for Educational Research and Development Buku Panduan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pencegahan dan pemenuhan hak untuk penyintas. 2007. Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta. Clay, V. & Silberberg, S. (2004). Resilience Identification Resource. Faculty of Health University of Newcastle. . Divine. (2010). Psychososial support for Human Trafficking Survivor at Mekong Area. IOM International. www.iom.org Grotberg, E. H. (1997). The International Resilience Project. diunduh dari ResilienceNet Virtual Library http://resilnet.uiuc.edu/ pada tanggal 18 Mei 2011 Isaacson, Bonnie. (2002). Characteristics and Enhancement of Resiliency In Young People. Research Paper. University of Wisconsin-Stout Krovetz, Martin L. 1999. Fostering Resiliency. California: Corwin Press. Laporan Tahunan Intenational Organization of Migration (IOM) Indonesia. (2009). www.iom-indonesia.org Laporan Tahunan Intenational Organization of Migration (IOM) Indonesia. (2010). www.iom-indonesia.org Listiyandini, R.A. (2013). Gambaran Distres Psikologis pada Perempuan Penyintas Trafiking. Makalah penelitian –dalam proses publikasi. Reivich, K. & Shatte, A. 2002. The Resilience Factors. New York: Broadway Books. Siswanadewi, Tri. (2001). Proses pendampingan bagi pekerja migrant perempuan. Tesis. FISIP UI. Tidak diterbitkan. Suwantara, J. R., Lubis, D. U. & Rusli, E. (2005). Evaluasi Beck Depression Inventory sebagai sarana untuk mendeteksi depresi. Jurnal Psikologi Sosial, 12, 69-77 Tudorache. (2004) dalam Psychosocial Supports to Groups of Victims Human Trafficking. Psychosocial Notebook. Intenational Organization of Migrations. Valevi. (2006). Perdagangan Perempuan dan Anak di Daerah Kalimantan Barat. Tesis. Program Pascasarjana Kajian Ketahanan Nasional. Tidak Diterbitkan. Wagnild, G. M. & Young, H. M. (1993). The Development and Evaluation of The Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement. Springer Publication. Williamson, dkk. (2010). Evidence Based Mental Health Treatment for Victims of Human Trafficking. Study of HHS Programs Serving of Human Trafficking. Zimmerman. (2003). The Health Risk and Consequences of Trafficking in Woman and Adolescent. London: London School of Hygiene and Tropical Medicine. www.lsthm.ac.uk.