International Law in News
International Lawin NeWS
20.000 Orang Menanti Eksekusi Hukuman Mati di Seluruh Dunia http://web.amnesty.org/iibrary/!ndex/ENGACT50Q0920Q6?open&of=ENG-392 http://news.amnesty.org/index/ENGACT500l72Q05 http://web.amnesty.org/iibrary/index/ENG50QQ220Q6 http://w\vw. worldcoaiition. arg/bcoatjmQQ.httnl http://www.hrea.org/dsts/hr-keadfines/markup/msg03084.html
Amnesti Intemasional menemukan fakta bahwa terdapat 20.000 orang menanti untuk dieksekusi da lam hukuman mati di seluruh dunia. Dari analisa tahunannya, Amnesti Intemasional menemukan bahwa sepanjang tahun 2005, setidaknya 2.148 orang telah dieksekusi di 22 negara, 94% di RRC, Iran, Saudi Arabia dan Amerika Serikat, dan sekitar 5.186 orang divonis mati di 53 negara di seluruh dunia. Sekretaris J end era I Amnesti internasional, Ms. Irene Khan, mengatakan bahwa hukuman mati bukan merupakan cara yang efektif dan khusus untuk menghentikan tindak kejahatan. Menu rut pendapatnya, da ri pad a Pemerintah mengandalkan hukuman mati- yang hanya memberikan pengawasan semu, seharusnya pemerintah lebih fokus pada pengembangan usahaVokume 4 Nomor I Oklober 2096
usaha yang sebaiknya diainbil dalam mengurangi tindak kejahatan. Analisa tahunan Amnesti Intemasional menggunakan pendekatan statistik dikarenakan banyaknya negara yang sengaja menutupnutupi fakta data statistik hukuman mati warga negaranya, seperti Vietnam, yang menganggap data tersebut rnerupakan bagian dari rahasia negara. Di RRC, negara yang melaksanakan hampir 80% dari seluruh eksekusi hukuman mati, seseorang dapat dihukum mati dan dieksekusi untuk 68 jenis tindak kejahatan, termasuk kejahatan tanpa kekerasan seperti penipuan, penyelundupan dan kejahatan narkotika. Di Saudi Arabia, seseorang dapat saja diainbil dari selnya keniudian dihadapkan dengan hukuman yang ia sendiri tidak mengetahui bahwa eksekusi-
181
Jurnal Hukum Internasional
nya berupa hukuman mati, bahkan seseorang sering diadili daiain bahasa yang tidak dimengertinya. Sedangkan di Ainerika Serikat, hanya 2 orang yang dilepas dari hukuman mati setelah bukti ketidakbersalahannya ditemukan. Iran merupakan satu-satunya negara yang hingga kini masih menjalankan hukuman mati kepada narapidana dibawah umur. Sepanjang 2005, Iran setidaknya telah mengeksekusi 3 narapidana dibawah umur, dimana 2 diantaranya masih berada dibawah uniur pada saat eksekusi tersebut dilaksanakan. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang telah menghapuskan hukum-an mati terhadap narapidana dibawah uniur. Masih banyak negara yang mencampuradukkan hukuman mati dengan kepentingan-kepentingan ekonomi, seperti di RRC dimana transplantasi organ dari orang yang dihukum mati dapat mcrnberikan keuntungan yang begitu besar. Hukuman mati di Belarus dan Uzbekistan, seringkali diikuti dengan perlakuan tidak berperikemanusiaan, seperti ketika seseorang dieksekusi maka keluarganya tidak diberitahu tanggal eksekusinya, atau ketika telah diberitahu bahwa narapidana tersebut telah dieksekusi, keluarganya tidak diberitahu dimana ia dikubur. Daiam laporan yang sama, Amnesti Internasional juga mengetengahkan dampak fatal dari 182
persidangan yang tidak adil, seperti di Jepang, Uzbekistan, Belarus dan Amerika (Guantanamo). Tindakan penyiksaan terhadap tersangka, banyak terjadi di keempat negara tersebut, sehingga para tersangka terpaksa mengaku telah melakukan suatu tindak kejahatan yang tidak diperbuatnya. Ditengah tingginya angka hukuman mati selarna tahun 2005, jumlah negara yang menghapus hukuman mati dari si stem penghukuniannnya (abolisi) justru meningkat. Dalam kurun waktu 20 tahun, jumlah negara yang melaksanakan hukuman mati menjadi setengahnya, dan terus menunm pada einpat tahun berikutnya. Pada 1977, hanya 16 negara yang telah mengabolisi hukuman mati, dan angka tersebut mdonjak hingga 86 negara pada saat ini. Irene Khan mengatakan bahwa pencapaian ini tidak terlepas dari karnpanye global penghapusan hukuman mati yang dtlakukan oleh Amnesti Internasional di seluruh dunia. Kampanye ini anlara lain disampaikan dalam perayaan Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober. Pada perayaan sebelumnya, pada 2005, diusung tema "Ajrica-towards abolition" dengan diadakannya kampanyc di 46 negara, antara lain: di Maroko, Burundi, Republik Kongo, Rwanda, Togo, Indonesian Journal of International Law
International Law in Ne\vs
Amerika Serikat, Brazil, Jepaog, India, Filipina, Selandia Bani, Perancis, Jennan, Italia, dan Swiss. Sebanyak 260 acara sepeiti penyebaran petisi, demonstrasi, konser rnusik dan debat di media elektronik mengenai hukunian mati. Dilakukannya kampanye tersebut telah berhasii membawa sejuoilah negara seperti Senegal, Kenya, Liberia, Mexico, untuk menghapuskan hukunian mati dan sistem penghukuman mereka. Selain negara-negara tersebut, Maroko dan Benin tengah nienibahas kemungkinan abolisi hukuman mati dalain parlcmen mereka, mengingat hukuman mati benipa moratorium narapidana masih berlaku dalam sistem penghukuman mereka. Perayaan Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia 10 Oktober 2006 lalu, diusung tcma "The Death Penalty: a Failure of Justice", yang rnengetengahkan kegagalan-kegagalan dalam sistem penghukuman di negara-negara di seluruh dunia dengan contoh eksekusi orang-orang yang tak bersalah, serta persidangan yang tidak adil dan diskriminatif. Pada perayaan kali ini, World Coalition Against Death Penalty bekerja sama dengan Amnesti Internasional, menekankan kegagalan
Vokume 4 Nomor I Qfaober 2006
sistem penghukuman di 5 negara yaitu RRC, Amerika Serikat, Iran, Nigeria dan Saudi Arabia. Sama halnya dengan perayaan sebelurnnya, kampanye dilandai dengan penyebaran petisi, demonstrasi, dan pagelaran konser musik, namun pada kesenipatan kali ini, diresmikan pembentukan AntiDeath Penalty Asia Network (ADPAN), yang memfokuskan penghapusan penghukuman mati di negara-negara Asia, khususnya Asia-Pasifik. Negara Asia yang sudah menghapus hukuman mati adalah Filipina pada Juni lalu. Sedangkan Seoul, Korea Selatan, dalam hal penghapusan hukuman mati, masih berupa wacana di parleinen. Amnesti Internasional berharap pembentukan ADPAN kali ini dapat mem bantu kampanye dalam menghapuskan hukuman mati di negara-negara AsiaPasifik, serta mcnghormati hak asasi manusia dengan melindungi hak yang paling dasar, yaitu hak untuk hid up. Mengutip ucapan Ms. Khan, bahwa pada dasarnya hak asasi manusia mcaipakan hak bagi mereka yang bersalah, hak pula bagi mereka yang tidak bersalah. Oleh karena itu, menurut beliau, hukuman mati hams segera dihapuskan di seluruh dunia. (Sindy Fathan, S.H.)
183
Jurnal Huhim fnternasional
Sesi ke-45 Kelompok Kerja PBB Mengenai Fenahanan Sewenang-wenang di Jenewa http://web/amnesty.orgfweb/web.nsj?print/2FQOBEC23F9A63EE802571E3 005IC28F http://www. wnhchr. ck/hnricane/huricane. nsj?viewQl/4BC86IB3C72 7CBA 9CI257168QQ3QB5CC?opendocument Harian Kompas, 30 September 20Q6
Pada 8 Mei 2006, Kelompok Kerja PBB mengenai Penahanan Sewenang-wenang menibuka sesi ke-45nya di Palais Des Nations, Jenewa. Perteniuan yang berlangsung hingga 12 Mei 2006 ini, meinbahas 29 kasus penahanan di 20 negara yang berbeda. Dalarn sesi ini, juga diketengahkan pembahasan mengenai penahanan i mi gran i legal dan pencari suaka, perlindungan hak asasi nianusia dalam konteks perlawanan terhadap terorisme, penahanan terhadap pi hak lawan (seseorang yang berkeberatan secara konstan), pertanyaan terhadap penahanan pra-persidangan dan tindakan diskritninatif serta penahanan yang melampaui jangka waktu, penjara rahasia serta pengurangan kebebasan para pengguna internet. Sesi ini juga menibahas laporan mengenai kunjungan res mi Kelompok Kerja pada Februari lalu ke Republik Ekuador, Kelompok Kerja yang dibentuk oleh Komisi Hak Asasi Manusia {Commission on Human Rights) pada 1991, antara lain bertungsi untuk rnenyeiidiki kasus-kasus
184
atau keadaan yang diduga terjadi penahanan dan pengurangan kebebasan secara sewenang-wenang. Pada sesi ini salah satu rekomendasi Kelompok Kerja yang paling penting adalah rekomendasi kepada setiap negara agar berusaha mengliindarkan diri dari penahanan secara berlebihan dan mengurangi jurnlah kelompok minoritas dan kelompok-kelompok lain yang lemah di dalam populasi penjara. Kelompok Kerja ini juga menghimbau penierintah untuk mempertimbangkan tindakan-tindakan terbaik dalani menangani masalah ini, juga untuk mengambil langkah-langkah alteraatif dalam rangka penahanan yang terbukti efektif. Rekomendasi dalam kaitannya dengan penahanan imigran ilegal dan pencari suaka, antara lain menghimbau negaranegara untuk me nj am in hak-hak mereka seita menjamin para tahanan asing rnenurut hukum imigrasi. Pada waktu yang tidak jauh berselang, Pemerintah Arnerika Serikat melalui pidato Presiden George W. Bush, mengakui bahwa
Indonesian Journal of International Law
International Law in News
dalam usaha mereka terhadap perang inelawan teror (war on terror), telah dibentuk suatu teinpat penahanan (penjara) rahasia oleh CIA dan dilakukan penculikan terhadap orang-orang yang dituduh rnelakukan teror. Menanggapi pidato tersebut, CIA mengatakan bahwa setidaknya terdapat 14 orang yang ditahan dalani penjara rahasia tersebut, dan telah dipindahkan ke Guantananio, dengan jaminan dari Presiden Bush bahwa keempatbelas orang tersebut akan diadili secara adil. Sekretaris Jenderal Amnesti Internasional, Ms. Irene Khan, mengatakan bahwa segala bentuk penahanan sewenang-wenang, terutama penjara rahasia, serta penculikan terhadap tertuduh mem pa k an kejahatan berdasarkan hukum internasional. September lalu, Kongres Amerika Serikat niengesahkan Undang-undang Interogasi yang didesak oleh Presiden Bush. Pengesahan Undang-undang kontroversial ini memicu pertentangan dari berbagai pihak, karena hak-hak tahanan sebagaimana terkandung dalani Konvensi Jenewa Pasal 3, banyak yang diabaikan dan dilanggar. Dengan hasil pengesahan 65 suara berbanding 44, Undang-undang ini menyebabkan hak seseorang untuk diselidiki dihadapan hakim, apakah yang bersangkutan telah ditahan secara tidak sah {habeas corpus), nienjadi hilang. Dalam UndangVokume4 Nomor I Qhober2QQ6
undang ini pula, jaksa penuntut diperbolehkan nieng-gunakan bukti-bukti yang dipero-leh berdasarkan desas-desus dan diperoleh dengan cara kekerasan/ paksaan. Undang-undang ini mengesahkan penibentukan Komisi Militer yang digunakan untuk menyidangkan para tahanan, dirnana persidangan tersebut dapat diiakukan hanya kepada tahanan as ing. sedangkan untuk warga negara Amerika Serikat sendiri digunakan pengadilan biasa. Hal terpenting dalani Undang-undang ini ada!ah diberikannya imunitas bagi pejabat dan mi liter Amerika Serikat yang terbukti telah melakukan penahanan secara sewenang-wenang maupun memberikan perlakuan merendahkan marfabat dan tidak berprikeinanusiaan dalani menginterogasi para tahanan. Dengan disahkan Undang-undang ini, Amerika Serikat dapat menahan seseorang yang dinilai berniat melakukan tindakan teror, dimana ukuran niat tersebut nierupakan ukuran yang amat subyektif, Undang-undang yang ditandatangani oleh Bush pada 18 Oktober 2006 ini mcnibcrikan definisi hanya pada apa yang disebui sebagai "unlawful enemy combatant", istilah ini diberlakukan kepada niereka yang diduga sebagai pelaku teror dan ditahan di kamp Guantanamo, tanpa diberlakukan batas waktu penahanan. Pemberlakuan Undang-undang ini menuai
185
Jurnal Hukum Internasionat
kritik dan kccaman dari berbagai pi hak, antara lain dari Dekan Fakultas Hukuni Universitas Yale, Harold Koh, niengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Kongres merupakan hal yang mengguncang, dan tidak jelas apakah anggota Kongres mengerti apa yang telah mereka lakukan. KJritikan Iain datang dari Professor Neal Katyal, Universitas Georgetown., mengatakan bahwa diskriminasi persidangan antara warga negara AS dengan warga negara asing, sebagaunana diterapkan dalam Undang-undang, mempakan bentuk pelanggaran Aniandeinen ke-14 Konstitusi. Ainerika Serikat memiliki hak dan kewajiban untuk niengadili setiap orang yang
bertanggung jawab atas tindakan kejahatan yang dilakukannya, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada 11 September 2001. Akan tetapi, segala hak dan kewajiban tersebut harus dilaksanakan dengan menghormati hak asasi manusia dan ketentuan hukum internasional. Menambahkan tanggapan sebeiumnya, Irene Khan mengatakan seharusnya dibentuk suatu badan penyelidik khusus yang menangani dan meyelidiki segala tindaktanduk (badan mi liter dan badan CIA) Amerika Serikat, termasuk pejabat pemerintahan, terhadap orang-orang yang diduga terlibat tindak kejahatan dalani war on terrorjSw&y Fathan, S.H.)
Keanggotaan Indonesia dalani Dewan HAM PBB http://www. wikipedia. org
Pada tanggal 9 Mei 2006 yang lalu, Indonesia telah terpilih menjadi salah satu dari 47 negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsabangsa (United Nations Human Rights Cottncil), Indonesia terpilih setelah tnemperoleh dukungan sebanyak 165 suara, jauh melebihi persyaratan minimum sebuah negara untuk dapat terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB yaitu 96 suara anggota PBB. 186
Dewan HAM PBB sendiri adalah sebuah lembaga yang berada di bawah Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly). Dewan HAM PBB dibentuk 15 Maret 2006 dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 60/251 yang didukung oleh 170 suara anggota PBB dengan hanya 4 negara yang menentang. Dewan HAM PBB didirikan dengan tujuan untuk menggantikan Komi si HAM PBB (United Nations Indonesian Journal of International Law
International Lave in News
Commission on Human Rights) yang teiah ada sejak 1946 dan berada di bawah Dewan Sosial Ekonomi PBB (United Nations Economic and Social Council). Penggantian ini dilakukan sebagai wujud refonnasi rnenyeluruh PBB seita untuk meningkatkan kemajuan dan perlindungan HAM dalam skala internasional. Terpilihnya Indonesia untuk duduk sebagai anggota Dewan HAM PBB merupakan bukti nyata komitmen Indonesia dalam hal pemajuan dan perlindungan HAM baik dalam lingkup nasionat rnaupun lingkup internasional serta merupakan pengakuan terhadap kepemimpinan Indonesia sewaktu Indonesia menjadi Ketua Komisi HAM PBB pada sesinya yang ke~ 61 pada 2005 yang lalu. Dalam Dewan HAM PBB, Indonesia duduk bersatna 12 negara Asia lainnya, serta perwakilan dari 13 Negara Afrika, 6 Negara Eropa Timur, 8 Negara Amerika Latin dan Karibia, dan 7 Negara
dari kawasan Eropa Barat dan negara-negara dari kawasan lainnya. Keanggotaan Indonesia dalam suatu iembaga internasional yang bergerak di bidang HAM sendiri bukanlah suatu hal yang bam. Sebelumnya Indonesia pernah duduk sebagai anggota Komisi HAM PBB pada periode 1991-2006, kecuali pada 2003 yang lalu. Bahkan seperti telah disinggung di atas. Indonesia juga pernah menjadi Ketua Komisi HAM PBB pada 2005. Dengan duduknya Indonesia dalam Dewan HAM PBB maka Indonesia menipunyai peluang untuk dapat berpartisipasi aktif dalam usaha-usaha peniajuan dan perlindungan HAM dalam skala nasional dan internasional serta berperan secara strategis dalam penibahasan isu HAM bag! penguatan si stem dan niekanisme HAM PBB. (Adrianus A. V. Ramon)
Perkeftibangan Kastis dalam International Criminal Court http://en.wikipedia/cases_before_the_internationai_crimmai_court http://www. amnestyusa. org/anmtalrepart/africa. html
Semenjak dibentuk pada 1 Juli 2002 yang lalu, International
Vokume 4 Nomor I Oteober 2006
Criminal Cowl (ICC) hingga saat ini telah menangani 4 kasus yang
187
Jurnal Hokum Internasional
teiraasuk dalam yurisdiksi ICC sebagaimana tertera dalam Siatuta Roma. Kasus yang Pertama adalah kasus di Republik Demokratik Congo (dahulu Zaire) dengan tersangka Thomas Lubanga Dyilo (Case 01/04 - 01/06), seorang warga negara Republik Demokratik Congo mantan pe mini pin Milisi Union of Congolese Patriots. Thomas Lubanga Dyilo dituduh rnelakukan Kejahatan Perang oleh penuntut (Chief Prosecutor) ICC karena merekrut dan menggunakan prajurit anak-anak dalam konflik bersenjata. Sebuah kejahatan yang diatur dalam Pasal 8 Statuta Roma. Kasus ini dimulai pada tanggal 19 April 2004 setelah Pemerintah Republik Demokratik Congo sebagai sebuah negara pihak dari ICC menundukan dirinya ke dalam yurisdiksi ICC. Penyelidikan terhadap kasus ini dimulai pada tanggal 23 Juni 2004 dan pada tanggal 4 Juli 2004 kasus ini dialokasikan kepada Pre-Trial Chamber I 'dari ICC. 1 Pre-Trial Chamber of the ICC adalah sebuah panel yang akan melaksanakan pemeriksaan pandahuluan terhadap seorang terdakwa sebelum terdakwa tersebut dihadapkan pada persidangan ICC. Pre-Trial Chamber ini juga memeriksa apakah proses pemeriksaan yaag dilakukan oleh penuntut ICC telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
188
Pada 10 Februari 2006 ICC menerbitkan surat perintah penahanan rahasia atas nania tersangka. Pada 17 Maret 2006, tersangka menjadi orang pertania yang ditahan oleh ICC. Proses penahanan tersangka sendiri dilakukan sesuai dengan Pasal 59 Statuta Roma sehingga tersangka terlebih dahulu hams dihadapkan kepada institusi yudisial nasional Republik Demokratik Congo baru kemudian tersangka akan diserahkan kepada yurisdiksi ICC. Hingga kini (September 2006), kasus ini sudah dalam tahap persiapan untuk masuk ke dalam tahap persidangan. Apabila kasus ini sudah mencapai ke tahap persidangan niaka Thomas Lubanga Dyilo akan menjadi orang pertania yang disidangkan oleh ICC. Kasus kedua adalah kasus pelanggaran HAM di Uganda (Case 02/04-01/05) dengan lima orang tersangka yaitu Joseph Kony, Vincent Otti, Raska Lukwiya, Okot Odhiambo and Dominic Ongwen. Kelinia tersangka tersebut adalah pimpinan dari Lord's Resistance Army (LRA), sebuah kelonipok bersenjata yang memberontak terhadap pemerintah Uganda. Kelinia tersangka tersebut disangka telah melakukan kejahatan terhadap kernanusiaan dan kejahatan perang sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan pasal 8 Statuta Roma.
Indonesian Journal of International Law
International Law in News
Kasus ini dibawa ke ICC oieh penierintah Uganda sebagai Negara Pihak dari ICC yang meratifikasi Statula Roma pada 29 Januari 2004. Penuntut ICC memulai penyelidikan untuk masalah ini pada 29 Juli 2004, sebelumnya pada 5 Juli 2004 permasalahan ini diserahkan kepada Pre-Trial Chamber II ICC. Pada 14 Oktober 2005, ICC rnenerbitkan surat perintah penahanan secara terbuka untuk pertama kalinya terhadap kelinia tersangka. Namun hingga saat ini bel urn dapat dilakukan penahanan terhadap kelima tersangka. Saat ini para tersangka dicurigai berada di kawasan Sudan Selatan atau Kongo Utara. Kelinia tersangka juga masih aktif da I am kegiatan bersenjata, bahkan saiah seorang tersangka, Raska Lukwiya, dtlaporkan tewas dalam kontak scnjata pada 12 Agustus 2006 lalu. Perkembangan kasus ini dalam ICC sarnpai saat ini (September 2006), masih dalam tahap penyidikan dan eksekusi dari surat perintah penahanan yang sampai saat ini belum dapat dilakukan. Kasus ketiga adalah berkaitan dengan situasi di Darfur, Sudan. Kasus ini dibawa ke ICC oleh Dewan Keamanan PBB pada 31 Maret 2005 dan pada 6 Juni 2005, dialokastkan kepada PreTrial Chamber I ICC. Da lam kasus ini pihak penuntut ICC belum
Vokume4 Nomor I 0bober2Q06
menentukan tersangka dan masih dalam tahap penyelidikan lebih lanjut Kasus keempat adalah mengenai situasi di Republik Afrika Tengah. Kasus ini dibawa kepada ICC oieh Penierintah Repubiik Afrika Tengah dan diserahkan kepada Pre-Trial Chamber HI ICC. Walaupun teiah diterima secara resrni oleh ICC, tetapi pihak penuntut ICC belum mernulai penyelidikan secara resmi. Disamping keempat kasus yang secara resrni teiah diierima oleh ICC, masih ada beberapa kasus iagi yang diajukan kepada ICC *valau belum diterima secara resmi. Salah satu penyebabnya adalah karena pengajuan tersebut belum mernenuhi syarat pengajuan suatu kasus, rnisalnya untuk negara yang bukan negara pihak ICC maka pengajuan kasus harustah dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB. Kasus-kasus tersebut misalnya terjadi di Pantai Gading (Cote D'lvoire) dan Burundi. Dalam kasus Pantai Gading, ICC belum mcnerima pengajuan kasus dari pemerintah, dikarenakan sebagai Negara bukan anggota, hai tersebut menjadt salah satu persyaratan penerapan yrisdiksi ICC. Sedangkan daiam kasus Burundi, belum ada perintah dari 1C untuk membuka penyelidikan. (Adrian us A. V. Ramon)
189
Jttmal Hukum Intemasianal
Peran dan Perkembangan European Convention on Human Rights http://www.bbc.co.uk/crime/lavf/echr.shtml
European Convention on Human Rights (ECHR) ditandatangani di kota Strasbourg, Peraneis pada 4 November 1950. Konvensi ini mulai berlaku pada 3 September 1953. dan hingga saat ini telah mempunyai 45 negara pihak. Sampai saat ini ECHR juga telah dilengkapi dengan 13 Protokoi tainbahan dengan protokol no. 1, 4, 6, 7, 12 (mernerlukan ratifikasi dan 10 dan 13 menambah daftar hak-hak yang dijamin di dalam ECHR. Protokol No. 2 memberikan kewenangan bagi Pengadilan HAM Eropa, sebagai pengadilan tempat kasuskasus ECHR, untuk mengeluarkan Advisory Opinion. Protokol 9 memberikan hak kepada individu untuk dapat membawa kasusnya ke hadapan Pengadilan HAM Eropa (European Court of human Rights) apabila Negara dan invidu yang bersangkutan telah meratifikasi protokol ini. Protokol-protokol lainnnya mengatur mcngenai prosedur dan stniktur dari pelaksanaan ECHR. Tujuan utama pembentukannya adalah sebagai dasar hukum untuk penienuhan hak-hak asasi warga negara dari negaranegara pihak ECHR yaitu hak hidup, bebas dari penyiksaan dan
190
perlakuan yang tidak manusiawi, bebas dari pekerjaan paksa atau perbudakan, hak untuk niendapatkan pengadilan yang bebas dan adil, hak privasi, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, hak untuk menikaii dan membentuk keiuarga, kebebasan dari diskriminasi serta untuk menyediakan tempat untuk rnengadu apabila terjadi pelanggaran HAM. Guna memenuhi tujuan penibentukannya, maka ECHR dilengkapi dengan dengan 3 buah lembaga yaitu Koniisi HAM Eropa yang dibentuk pada 1954, Pengadilan HAM Eropa yang dibentuk pada 1959 dan berkedudukan di kota Strasbourg, Peraneis, serta Komite Menteri dari Dewan Eropa {Cowncil of Europe). ECHR ini juga sering disebut sebagai "Magna Charta to Humanity" karena berisi jaminanjaminan pemenuhan hak seseorang (individu) khususnya dalani hakhak seseorang dalani hal peradilan. Seseorang yang merasa dirugikan hak-haknya oleh Negara Pihak ECHR dapat secara langsung mengajukan aduan kepada Pengadilan HAM Eropa, sebagai Pengadilan yang berwenang Indonesian Journal of International Lena