INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL: DOMINASI ATAU KAUSALITAS? 1
ANGELINA IKA RAHUTAMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS, UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
LATAR BELAKANG Perekonomian selalu bergerak secara simultan, sehingga penerapan suatu kebijakan tidak dapat disetrilisasi dari penerepan kebijakan yang lain. Ketika kebijakan yang ada berinteraksi, maka akan muncul perdebatan, sebenarnya kebijakan apa yang menjadi pemimpin, pengikut atau terjadi interaksi kausalitas. Dua blok perekonomian yang kerap mendapat sorotan di Indonesia adalah Blok Moneter dan Blok Fiskal. Pengambilan kebijakan di salah satu blok akan mempengaruhi kinerja blok yang lain. Hasil akhir kebijakan moneter maupun fiskal sebenarnya tergantung pada dominasi yang ditimbulkan oleh masing-masing kebijakan. Sargent dan Wallace (1981) membedakan pola pelaksanaan kebijakan dengan istilah kebijakan moneter dominan dan kebijakan fiskal dominan 2. Kebijakan dikatakan kebijakan moneter dominan apabila otoritas moneter bersifat aktif dalam menentukan stok uang nominal atau suku bunga nominal, sedangkan kebijakan fiskal dominan ditandai dengan kebijakan moneter yang bersifat subordinat terhadap kebijakan fiskal dan dibebani pembiayaan defisit fiskal melalui pajak inflasi. Dalam analisis tradisional, koordinasi atau interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal tidak menimbulkan masalah apabila dikontrol oleh pembuat kebijakan yang sama. Analisis ini akan mengalami perubahan bila pembuat kebijakan moneter dan fiskal adalah institusi yang berbeda karena kemungkinan besar akan terjadi dominasi atau ketidaksinkronan dalam interaksi antar otoritas. Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa otoritas moneter dan fiskal berada di bawah institusi yang berbeda jauh lebih banyak dibandingkan dengan negara yang memiliki otoritas moneter dan fiskal dalam satu lembaga yang sama (Bohn, 2002). Di Indonesia, otoritas fiskal berbeda dengan otoritas moneter. Otoritas fiskal adalah Departemen Keuangan, sedangkan otoritas moneter adalah Bank Indonesia (BI). Salah satu tugas otoritas fiskal adalah menyusun Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang dilakukan pada awal tahun (ex-ante) dengan melihat perkembangan berbagai indikator ekonomi makro (Departemen Keuangan, 2002: 15) berupa pertumbuhan ekonomi, inflasi,
1
2
Merupakan pengembangan dari bagian disertasi S3 penulis Dalam konteks yang sama, Aiyagari-Gertler (1985) membedakan menjadi Rejim Ricardian dan NonRicardian, sedangkan Leeper (1991) menyebutnya dengan kebijakan moneter aktif (fiskal pasif) dan kebijakan fiskal aktif (moneter pasif)
1
nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak internasional dan produksi minyak Indonesia. Di lain pihak, karakteristik kebijakan sektor moneter di bawah otorisasi BI menunjukkan kecenderungan bahwa sektor moneter bukanlah sektor yang pasif 3. Kebijakan-kebijakan moneter yang diambil tidak hanya semata-mata ditujukan untuk mempertahankan kondisi anggaran pemerintah, namun juga untuk kepentingan stabilisasi sektor moneter dan perekonomian secara keseluruhan. Tabel 1 Periodisasi dan Evaluasi Kebijakan Moneter Evaluasi berdasarkan optimal policy rule Suku bunga Uang inti dan Cenderung ketat Cenderung ketat
Periode
Kebijakan moneter
1980-1982
Deregulasi liberalisasi finansial Penguatan perbankan dan Cukup optimal pertumbuhan ekonomi Diskresi akibat tekanan Cukup optimal BOP pada 85/86, tapi terlalu longgar pada 86/87 Kebijakan ekspansif Terlalu longgar
1983-1984 1985-1987
1988-1989
1990-1992
Kebijakan uang ketat, Terlalu ketat kebijakan perbankan
1993-1994
Kebijakan dalam kondisi Cukup optimal yang cukup stabil Diskresi akibat inflasi Terlalu longgar dan permintaan domestik
19951997.2
Cenderung ekspansioner Cukup optimal
Cukup optimal, tapi terlalu ketat pada 88.4/89.3 Terlalu longgar pada 90/91, terlalu ketat pada 91/92 Cukup optimal
Terlalu ketat pada 1995, Cukup optimal pada 1996 1997.3Kebijakan krisis ekonomi Terlalu ketat Terlalu longgar pada 1999 1998 2000-2003 Kebijakan jaga stabilitas Terlalu longgar Cukup optimal pada untuk pemulihan 2000/01, tapi cukup 2000/01, terlalu ketat ekonomi optimal pada pada 2002/03 2002/03 Sumber : Goeltom, 2005. Data evaluasi kebijakan moneter dan data awal perilaku variabel moneter menunjukkan bahwa Indonesia mengalami beberapa kali perubahan yang cukup tajam secara instrumen, tujuan maupun kelembagaan. Perubahan kebijakan yang paling menonjol adalah penggunaan kebijakan kaidah (policy rule) dan penargetan inflasi. Perubahan instrumen, tujuan maupun
3
Indikasi bahwa sektor moneter merupakan sektor yang aktif dapat dilihat dari hasil penelitian Goeltom (2005) mengenai kebijakan moneter.
2
kelembagaan otoritas moneter diduga akan mengakibatkan perubahan struktural pada variabel-variabel ekonomi lain yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kondisi anggaran pemerintah. Kondisi ini tentunya akan membawa perubahan dalam interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini bermaksud untuk menelusuri posisi kebijakan moneter dalam interaksi kebijakan secara teoritis dan melihat dan menganalisis indikatorindikator yang terkait dengan interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia. POSISI KEBIJAKAN MONETER DALAM INTERAKSI KEBIJAKAN DALAM PEMIKIRAN KEYNESIAN BARU Konsep Keynesian Baru 4 merupakan konsep yang mewakili fenomena ketidakseimbangan ekonomi Indonesia dan kebijakan moneter yang dipilih oleh Bank Indonesia. Ketidakseimbangan ekonomi Indonesia ditunjukkan antara lain oleh penelitian Harmanta dan Ekananda (2005) tentang pasar kredit, Siregar dan Ward (2002) mengenai efek dominan kejutan sisi permintaan agregat terhadap fluktuasi ekonomi, dan penelitian Solikin (2004) mengenai fenomena kurva Phillips New Keynesian di Indonesia. Sedangkan penargetan inflasi seperti tertuang dalam UU No. 23 tahun 1999 merupakan kebijakan yang membutuhkan fungsi reaksi suku bunga (Taylor Rule) yang bersifat forward looking. Kondisi ini sesungguhnya mencerminkan penggunaan konsep Keynesian Baru dalam mengelola ekonomi. Pemikiran Keynesian Baru dengan jelas menunjukkan bahwa kebijakan moneter memegang peran penting dalam menstabilkan ekonomi. Dalam dunia nyata penerapan kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan dari penerapan kebijakan ekonomi makro lainnya terutama kebijakan fiskal. Keterkaitan antar kebijakan memiliki implikasi bahwa kebijakan satu dengan yang lain dapat saling mendukung atau justru saling memperlemah. Secara tradisional interaksi kebijakan moneter dan fiskal dapat dibedakan menjadi dua kategori utama yaitu perilaku kebijakan aktif dan pasif. Sebetulnya penyebutan istilah kebijakan aktif dan pasif telah dimulai dari tahun 1981, dengan definisi yang berbeda. Sargent dan Wallace (1981) membagi jenis kebijakan menjadi moneter dominan dan fiskal dominan. Aiyagari dan Gertler (1985) lebih menggunakan terminologi rejim Ricardian dan Non-Ricardian, sedangkan Leeper (1991) cenderung menggunakan istilah kebijakan aktif dan pasif.
4
Konsep Keynesian Baru secara ringkas berbicara mengenai pasar yang tidak sempurna, kondisi ketidakseimbangan (disequilibrium), kekakuan upah dan harga, serta perlunya intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan kaidah.
3
Kebijakan moneter aktif I Kebijakan fiskal aktif Tidak ada ekuilibrium IV Kebijakan fiskal pasif Ekuilibrium unik Ricardian
Kebijakan moneter pasif II Ekuilibrium unik Non-Ricardian III Tidak ada ekuilibrium
Gambar 1 Kuadran Kombinasi Kebijakan Moneter-Fiskal Model Leeper Pada dasarnya kebijakan aktif dan pasif berkaitan dengan kendala yang dihadapi oleh pembuat kebijakan. Otoritas aktif tidak memberikan perhatian pada utang pemerintah dan bebas untuk menetapkan variabel kontrol, sedangkan otoritas pasif memberikan respons terhadap kejutan utang pemerintah. Salah satu implikasi dari konsep Keynesian Baru adalah kebijakan moneter lebih mampu menstabilkan ekonomi dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Ketika kebijakan moneter digunakan sebagai kebijakan yang akan menstabilkan fluktuasi ekonomi, maka hal yang penting untuk dipahami adalah mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah suatu proses bagaimana kebijakan moneter untuk merubah GDP riil dan inflasi. Keynesian Baru lebih banyak menggunakan pendekatan paradigma uang pasif. Paradigma uang pasif menggunakan suku bunga sebagai instrumen moneter, sasaran operasional berupa suku bunga jangka pendek dan nilai tukar, dan target akhir stabilitas harga. Kesenjangan output merupakan kausal dalam mekanisme transmisi. Perkembangan likuiditas dari waktu ke waktu hanya menyesuaikan diri secara pasif terhadap besaran permintaan dan inflasi. Keynesian Baru juga menyatakan bahwa penggunaan kebijakan yang bersifat kaidah jauh lebih baik dibandingkan dengan kebijakan yang bersifat diskresi. Salah satu implikasi kebijakan moneter Keynesian Baru dan sistem dominasi moneter menghendaki adanya independensi bank sentral. Independensi kebijakan menunjukkan adanya ruang gerak bank sentral yang bebas dari pertimbangan politik dan campur tangan orang lain dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan moneter (Mustacelli dkk, 2000). Kondisi ini mengakibatkan, semakin independen bank sentral, semakin terbatas kemampuan pemerintah untuk memanipulasi kebijakan moneter bagi tujuan jangka pendek mereka, serta membatasi fleksibilitas kebijakan pemerintah atau kemampuan untuk bereaksi terhadap kondisi yang tidak diantisipasi atau tidak diinginkan (Bernhard, 1998). INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL Sebagian besar masalah mendasar dalam interaksi kebijakan moneter dan fiskal berkaitan dengan perbedaan aktivitas fiskal dan moneter, karena secara alami otoritas fiskal dan moneter merupakan entitas yang berbeda dengan instrumen, tujuan dan preferensi yang berbeda, (Fry, 1995:399). Interaksi tidak dapat terjadi dengan sendirinya, namun dibutuhkan koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal. Masalah ketidakjelasan penugasan, kedudukan bank sentral, perbedaan persepsi pimpinan, perbedaan instrumen yang digunakan, serta perbedaan otoritas menjadi sumber inkoordinasi moneter dan fiskal (Marszalek, 2003, Djojosubroto, 2004). Penelitian terdahulu mengenai interaksi kebijakan moneter dan fiskal dapat dibedakan menjadi 3 hasil utama. Sekelompok peneliti melihat bahwa interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal tidak pernah bersifat satu arah atau bersifat kausalitas Kebijakan moneter memiliki efek terhadap kondisi fiskal dan demikian juga sebaliknya karena pemerintah bertindak seperti agen swasta, yang menghadapi kendala anggaran. Aghevli dan Khan (1978) 4
dan Adji (1995) menunjukkan bahwa arah hubungan antara defisit anggaran dan variabel moneter adalah timbal balik. Secara lebih spesifik Bhattacharya dan Haslag (1999) mengatakan bahwa kebijakan moneter memiliki efek terhadap kondisi fiskal dan demikian juga sebaliknya, karena pemerintah bertindak seperti agen swasta yang menghadapi kendala anggaran. Tindakan moneter dan fiskal berinteraksi dalam satu kendala anggaran pemerintah yang sama. Hasil penelitian Maryatmo (2004) menunjukkan bahwa tidak seluruh variabel moneter memiliki hubungan timbal balik dengan defisit anggaran. Suku bunga tidak mempengaruhi defisit anggaran, tetapi kurs dan harga mempengaruhi defisit anggaran. Di lain pihak defisit anggaran tidak mempengaruhi kurs dan tingkat harga, namun mempengaruhi suku bunga. Kelompok peneliti yang melihat bahwa sebetulnya kebijakan moneterlah yang akan mempengaruhi kondisi fiskal juga cukup banyak. Pergeseran kebijakan moneter memiliki efek yang penting bagi pemerintah dan tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini bank sentral memiliki komitmen baru terhadap inflasi yang rendah (Shapiro, 2004). Fenomena ini akan mempengaruhi pendapatan dari penciptaan uang (seigniorage) sehingga perlu dilakukan penyesuaian kesimbangan fiskal pada masa yang akan datang melalui kenaikan pajak atau penurunan pengeluaran (Nikitin dan Russell, 2004). Penelitian Farhadian dan Dunn (1986), Bennett dan Loayza (2000), serta Gros (2003) juga menunjukkan bahwa kenaikan preferensi anti-inflasi bank sentral mendorong defisit publik primer yang lebih tinggi. Hasil simulasi stokastik Hostland (2001) menunjukkan bahwa semakin agresif kebijakan moneter akan menaikkan variabilitas suku bunga jangka pendek, tetapi akan menurunkan variabilitas output, inflasi dan biaya utang. Penelitian Dellas dan Slayer (2003) menemukan bahwa kebijakan moneter kaidah yang kontra siklis menyebabkan suku bunga riil yang lebih tinggi, tingkat pajak rata-rata yang lebih tinggi, output yang lebih rendah, variabilitas tingkat pajak dan konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan yang pro siklis. Penelitian interaksi moneter-fiskal yang dilakukan oleh Sargent dan Wallace (1975) menyatakan bahwa defisit anggaran yang didanai melalui sistem perbankan (bank sentral), akan mengakibatkan peningkatan jumlah uang beredar, dan selanjutnya akan mempengaruhi peningkatan harga, yang berarti, pembiayaann defisit anggaran akan memiliki konsekuensi negatif ke tingkat harga (Marszalek, 2003, Moreno,2003). Kebijakan fiskal dapat mempengaruhi kebijakan moneter dalam berbagai cara, baik melalui dampak atas kredibilitas kebijakan moneter, efek jangka pendek pada permintaan, maupun melalui perubahan kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi jangka panjang (Fialho dan Savino, 2002).
5
INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL: INTERAKSI YANG KAUSALITAS 5 Kajian yang dilakukan oleh Rahutami (2007) menunjukkan bahwa interkasi kebijakan moneter dan fiskal bersifat kausalitas. Hasil estimasi blok moneter menunjukkan bahwa dalam jangka pendek jumlah uang beredar riil dipengaruhi secara positif oleh pendapatan nasional riil dan suku bunga. Depresiasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam jangka pendek, namun memberikan pengaruh yang negatif dalam jangka panjang. Hal ini memberikan indikasi bahwa masyarakat tidak memiliki kepercayaan yang cukup kuat terhadap Rupiah. Kebijakan moneter kaidah yang menjadi fokus dari penelitian ini juga menunjukkan berbagai hal menarik. Variabel inflasi, suku bunga periode sebelumnya maupun uang primer merupakan variabel yang mempengaruhi pembentukan suku bunga, dengan pengaruh yang lebih kuat pada informasi inflasi. Secara empiris dalam jangka pendek inflasi Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh ekspektasi inflasi, inflasi periode sebelumnya, kesenjangan output, nilai tukar, ekspektasi pertumbuhan ekonomi riil dan perubahan struktur inflasi pada tahun 1998 akibat perubahan jangkar moneter. Sedangkan dalam jangka panjang, inflasi dipengaruhi secara signifikan oleh kesenjangan output dan nilai tukar. Bila melihat seluruh variabel yang dihipotesiskan akan mempengaruhi pembentukan inflasi ternyata memiliki pengaruh yang signifikan, maka pengelolaan inflasi membutuhkan kehati-hatian dan kredibilitas BI. Dengan kondisi ini, maka BI perlu lebih transparan, cermat dan kredibel dalam menyampaikan perkiraan inflasinya. Atau dengan kata lain kredibilitas BI dalam menyampaikan target inflasi menjadi suatu informasi penting yang akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan inflasi. Dengan model penargetan inflasi yang diterapkan oleh BI pada saat ini diharapkan kesalahan ekspektasi inflasi akan menjadi semakin kecil, sehingga masyarakat pun tidak mengalami kesalahan ekspektasi. Di sisi lain persamaan blok fiskal menunjukkan bahwa penerimaan pemerintah dipengaruhi secara signifikan oleh pendapatan nasional, harga minyak dunia dan obligasi luar negeri. Temuan ini mengindikasikan bahwa masih ada ketergantungan terhadap penerimaan minyak dan gas, serta utang luar negeri. Dalam persamaan pengeluaran pemerintah diperoleh hasil bahwa depresiasi akan meningkatkan pengeluaran pemerintah, di samping pengaruh yang signifikan dari penerimaan pajak riil dan pendapatan nasional riil. Interaksi antara blok moneter dan fiskal terlihat pada signifikansi variabel kejutan. Bila dalam perilaku suku bunga terlihat bahwa kejutan pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh yang signifikan, maka kejutan uang primer juga akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pemerintah. Kejutan pengeluaran pemerintah terhadap pembentukan suku bunga jangka pendek mengindikasikan bahwa perilaku BI belum sepenuhnya independen dan masih harus
5
Diambil dari penelitian Rahutami (2007) yang menggunakan data sekunder triwulanan, mulai dari tahun 1980.1 sampai dengan tahun 2006.4. Model yang digunakan adalah model simultan dinamik yang dipecahkan dengan menggunakan metode Two Stages Least Square (TSLS). Perilaku dinamik diamati dengan menggunakan model Error Correction Model (ECM) dua tahap Engel-Granger. Model penuh yang digunakan dalam penelitian Rahutami (2007) menggunakan lima (5) blok yaitu blok moneter, blok harga, blok fiskal, blok riil, dan blok eksternal.
6
memberikan dana talangan bagi defisit anggaran. Implikasi dari kondisi ini adalah perilaku sektor fiskal tetap merupakan suatu tanda yang perlu direspon oleh BI sebagai otoritas moneter. Sedangkan kejutan uang primer juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pemerintah. Hal ini menunjukkan masih adanya keterkaitan antara sektor fiskal dengan sektor moneter meskipun sejak tahun 1999 telah terjadi perubahan hubungan, dan menjadi lebih independen DESKRIPSI INDIKATOR MONETER DAN KETERKAITANNYA DENGAN BLOK FISKAL Blok moneter merupakan aktivitas perekonomian dari sisi moneter dengan otoritas tertinggi di Bank Indonesia, sedangkan blok fiskal dalam suatu perekonomian lebih menggambarkan peran pemerintah dalam mengelola keuangan. Blok moneter di Indonesia merupakan blok ekonomi yang relatif banyak mengalami perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan moneter di Indonesia terjadi baik dari sisi instrumen, target operasional, tujuan dan kelembagaan Bank Indonesia. Undang-undang Pokok Bank Indonesia pertama disahkan pada tanggal 19 Mei 1953 berisikan pembentukan BI yang pada awalnya berfungsi sebagai bank sirkulasi dan pada akhirnya menjadi bank sentral penuh. Tugas BI yang tercantum dalam UU Pokok Bank Indonesia No. 11 tahun 1953 adalah (i) menjaga stabilitas mata uang, (ii) menyelenggarakan peredaran mata uang, (iii) memajukan sistem perbankan, dan (iv) mengawasi kegiatan perbankan dan perkreditan. UU ini berlaku dari tahun 1953 sampai dengan 1967, dengan peran utama BI sebagai pencetak uang untuk kepentingan pemerintah (seignorage) yang pada akhirnya mendorong terjadinya inflasi yang sangat tinggi. Perkembangan berikutnya adalah dikeluarkannya UU Bank Indonesia No.13 tahun 1968. BI memiliki peran sebagai stabilisator perekonomian melalui stabilisasi nilai tukar dan inflasi. Di samping itu selama tahun 1968 sampai dengan 1998, BI juga diberi tugas sebagai agen pembangunan dan memiliki peran penting dalam kredit sektor riil. Perubahan yang cukup besar dilakukan dengan disahkannya UU Bank Indonesia No. 23 tahun 1999. Berdasarkan UU ini, tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Kestabilan nilai rupiah tersebut mencakup kestabilan terhadap barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi dan kestabilan terhadap mata uang negara lain yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Pada awalnya BI diberikan independensi penuh dalam menentukan sasaran inflasi, sehingga dapat berbeda dengan asumsi yang digunakan pemerintah dalam menyusun anggaran. Menurut UU BI No.23 tahun 1999, BI merupakan entitas publik yang independen yang memiliki otoritas penuh, dan bebas dari intervensi pemerintah. Perubahan kembali terjadi dengan dilakukannya amandemen terhadap UU BI tahun 1999 pada tahun 2004. Dalam amandemen UU BI ini, penetapan target inflasi dilakukan oleh pemerintah dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan BI. Perubahan ini menunjukkan bahwa BI hanya memiliki independensi instrumen dan tidak lagi memiliki independensi tujuan. Kebijakan moneter yang terkait dengan stabilisasi harga memiliki jangkar nominal yang berbeda-beda. Pada awalnya nilai tukar dan besaran moneter digunakan sebagai jangkar nominal kebijakan moneter. Namun mulai tahun 1999 jangkar nominal diganti dengan suku bunga. Penargetan inflasi sendiri telah dilakukan sejak tahun 2000 walaupun belum dijangkarkan secara resmi, dan masih dalam proses pembelajaran. Sedangkan secara resmi untuk mendukung pelaksanaan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru, maka pada Juli 2005 BI mengimplementasikan Inflation Targeting Framework (ITF), yang mencakup empat elemen dasar yaitu (i) penggunaan suku bunga BI Rate, (ii) proses perumusan kebijakan 7
moneter yang antisipatif, (iii) strategi komunikasi yang lebih transparan, dan (iv) penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah. Walaupun ITF lebih memberikan fokus ke stabilitas harga, namun pada dasarnya BI tetap berupaya untuk menjaga keseimbangan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Perubahan kebijakan, jangkar nominal dan juga sifat kelembagaan tercermin juga pada pergerakan variabel-variabel seperti suku bunga, dan inflasi. Di Indonesia terdapat beberapa jenis suku bunga nominal yaitu PUAB, deposito berjangka 1 bulan sampai dengan 2 tahun, suku bunga kredit modal kerja, dan suku bunga kredit investasi. Suku bunga Indonesia selalu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga asing. Bahkan pada tahun 1997-1999 memiliki jarak yang relatif lebar dengan suku bunga asing. Kondisi ini dapat menyebabkan suku bunga Indonesia tidak menarik bagi investor asing untuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Perkembangan suku bunga dalam negeri ditandai dengan beberapa hal penting. Pada tahun 1987, pemerintah menaikkan suku bunga SBI untuk mencegah terjadinya spekulasi. Kenaikan suku bunga SBI tertinggi tercapai pada tahun 1997, sehingga mencapai 70 persen. Kenaikan suku bunga SBI ini dimaksudkan untuk membatasi ekspansi kredit perbankan dan menarik uang beredar dari sistem perbankan yang dikonversikan ke dalam SBI di BI. Akibat terjadinya bank run pada tahun 1997, maka pada 1998 kuartal 4 BI menaikkan suku bunga deposito tertinggi menjadi 52,32 persen dengan tujuan untuk menaikkan tingkat likuiditas bank. 90.00 80.00 70.00 60.00
ID
50.00
IF
40.00
IK
30.00 20.00
ISBI
10.00
INF_Y
-10.00
1990.1 1991.1 1992.1 1993.1 1994.1 1995.1 1996.1 1997.1 1998.1 1999.1 2000.1 2001.1 2002.1 2003.1 2004.1 2005.1 2006.1 2007.1 2008.1 2009.1 2010.1 2011.1
0.00
Keterangan : id = suku bunga deposito, ik = suku bunga kredit, isbi= suku bunga sbi, if= suku bunga LIBOR, INF_Y = inflasi year on year Sumber: Bank Indonesia Gambar 2 Suku Bunga Domestik, Suku Bunga Luar Negeri, dan Inflasi 1990.1-2011.2 Tahun 1998-2000, semua suku bunga mengalami penurunan. Pada tahun 2001, suku bunga deposito naik lebih tinggi dibandingkan kenaikan suku bunga lain, sehingga menyebabkan pergeseran preferensi masyarakat dalam menempatkan dana. Kondisi ini dirasa tidak memperbaiki kondisi sektor perbankan, maka suku bunga ditekan agar menjadi semakin rendah, sehingga jarak dengan suku bunga luar negeri tidak terlalu tinggi. Suku bunga mengalami kenaikan lagi pada periode 2005-2006, dan mulai 2009 berhasil ditekan di bawah 10 persen. Gambar tersebut juga menunjukkan adanya pola yang sama antara inflasi dengan suku bunga SBI. Kenaikan inflasi akan diikuti oleh kenaikan suku bunga yang merupakan bentuk 8
kebijakan moneter agar tidak terjadi ekspansi kredit yang berlebihan. Apabila tidak terjadi ekspansi kredit maka perekonomian diharapkan akan lebih stabil sehingga menekan terjadinya inflasi. Kebijakan uang ketat dengan cara menaikkan suku bunga di satu sisi dapat meredam terjadinya inflasi, namun di sisi lain, kebijakan ini dapat mengorbankan sektor riil. Tingginya suku bunga kredit akan menyebabkan sektor riil tidak dapat mengembangkan usaha, tidak terjadi investasi baru, sehingga dunia usaha akan melemah. Blok kedua adalah blok fiskal. Perilaku blok fiskal ini dicerminkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan realisasinya. Pada rejim Orde Baru, kebijakan APBN menganut sistem berimbang (balanced budget), namun sejak tahun anggaran 2000, kebijakan APBN menganut sistem defisit (deficit budget) yang biasanya ditetapkan sekian persen dari PDB. Untuk menutup defisit anggaran tersebut pemerintah mengupayakan program pembiayaan baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Perubahan sistem anggaran pada tahun 2000 berkaitan erat dengan perubahan kebijakan fiskal. Perubahan yang terjadi pada tahun 2000 tersebut dimulai dengan perubahan tahun anggaran menjadi tahun kalender, sehingga pada tahun 2000, jangka waktu anggaran adalah 1 April-31 Desember, dan untuk tahun-tahun berikutnya adalah 1 Januari-31 Desember. Perubahan berikutnya adalah cara penyajian APBN yang mengikuti standar internasional (Government finance statistics), dan penyusunan APBN yang dipengaruhi oleh semangat otonomi daerah.
40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
50000 40000 30000 20000 10000 1990.1 1991.4 1993.3 1995.2 1997.1 1998.4 2000.3 2002.2 2004.1 2005.4 2007.3 2009.2
0
penerimaan riil
rev/gdp
60000
40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
50000 40000 %
30000 20000 10000 0 1990.1 1991.3 1993.1 1994.3 1996.1 1997.3 1999.1 2000.3 2002.1 2003.3 2005.1 2006.3 2008.1 2009.3
60000
pengeluaran riil
spend/gdp
Sumber : Departemen Keuangan RI Gambar 3 Nilai Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah dan Proporsinya terhadap PDB, 1990.1-2010.4 Dari sisi penerimaan, mulai tahun 2000 terjadi kecenderungan peningkatan penerimaan negara dengan kontributor utama berasal dari penerimaan dalam negeri yaitu penerimaan pajak dan bukan pajak, serta penerimaan hibah. Meskipun terjadi kenaikan penerimaan, namun proporsi penerimaan pemerintah terhadap PDB cenderung mengalami penurunan. Dari sisi pengeluaran pemerintah, terlihat bahwa dari tahun ke tahun, pengeluaran pemerintah menunjukkan kenaikan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan penerimaan pemerintah. Hal ini menyebabkan defisit anggaran yang semakin besar. Demikian juga dengan proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB, dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. 9
%
Interaksi antara kebijakan moneter dengan kondisi anggaran terlihat jelas pada gambar 6 berikut. Ketika inflasi tinggi, maka defisit anggaran akan semakin besar. Fenomena pada tahun 1998 sampai dengan 2000 merupakan pembuktian yang cukup kuat, ketika inflasi dapat ditekan akibat kebijakan moneter yang tepat, maka anggaran akan menjadi surplus. Namun tampaknya pergerakan inflasi dari tahun 2003.4 sampai 2010.4 yang cenderung stabil di bawah 10%, tidak dapat memperbaiki kondisi defisit anggaran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak cukup mampu untuk memperbaiki kondisi defisit anggaran pemerintah 7000
70.00
5000
50.00
3000
30.00
1000
-3000
10.00 1990.1 1991.2 1992.3 1993.4 1995.1 1996.2 1997.3 1998.4 2000.1 2001.2 2002.3 2003.4 2005.1 2006.2 2007.3 2008.4 2010.1
-1000
-10.00
%
-5000
-30.00
-7000
-50.00
-9000
-70.00
-11000
-90.00
-13000
-110.00 defisit riil
INF_Y
Sumber : Departemen Keuangan RI Keterangan: Defisit dalam grafik ini diperoleh dari penerimaan-pengeluaran Gambar 4 Nilai Defisit APBN Riil Dan Inflasi 1990.1-2010.4 Perubahan-perubahan yang terjadi pada variabel moneter juga membawa dampak pada perubahan indikator ekonomi makro yang lain. Gambar 7 berikut menunjukkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto riil dengan inflasi (y-o-y). Penurunan PDB riil yang cukup tajam terjadi pada tahun 1998-1999. 90.00
350,000.00
80.00
300,000.00
70.00
250,000.00
60.00
200,000.00
50.00
150,000.00
40.00
%
30.00
100,000.00
20.00
50,000.00
10.00 1990.1 1991.1 1992.1 1993.1 1994.1 1995.1 1996.1 1997.1 1998.1 1999.1 2000.1 2001.1 2002.1 2003.1 2004.1 2005.1 2006.1 2007.1 2008.1 2009.1 2010.1
-
GDP riil
INF_Y
10
Sumber : Bank Indonesia Gambar 5 PDB Riil Dan Pergerakan Inflasi 1990.1-2010.4 Pada tahun 1998 PDB riil mengalami penurunan sebesar 13,7 persen akibat lesunya kegiatan investasi dan konsumsi swasta. Penurunan kegiatan investasi ini berkaitan dengan memburuknya kondisi perbankan, rendahnya kepercayaan investor asing dan lemahnya permintaan konsumsi domestik. Penurunan konsumsi domestik terjadi akibat lemahnya daya beli masyarakat akibat terjadinya inflasi yang sangat tinggi. Pola yang terlihat ketika inflasi mengalami kenaikan maka PDB riil akan cenderung mengalami penurunan atau bahkan pertumbuhan yang negatif akibat tekanan harga dan lemahnya daya beli. Ketika inflasi dapat dikelola dengan baik, maka terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi pun akan berjalan cenderung lebih stabil. Bila dibandingkan dengan kondisi anggaran pemerintah, maka terdapat indikasi bahwa kebijakan moneter lebih banyak memberikan pengaruh kepada PDB dibandingkan kepada anggaran pemerintah. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian empiris, dan indikasi data yang ada di Indonesia, maka terlihat bahwa interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal bersifat kausalitas. Suku bunga dan uang primer merupakan dua variabel yang harus mendapat perhatian lebih dari Bank Indonesia karena berinteraksi secara kuat dengan anggaran pemerintah. Bank Indonesia juga harus tetap menjaga independensinya, dan tetap harus meningkatkan kredibilitas serta transparansinya, karena kebijakan moneter memiliki pengaruh yang kuat terhadap anggaran pemerintah dan indikator makro yang lain. DAFTAR PUSTAKA ___________ (2002), Bunga Rampai Kebijakan Fiskal, Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan RI, Japan International Coorperation Agency, Jakarta, Agustus . ___________, Statistik Ekonomi dan Keuangan, Bank Indonesia, berbagai edisi. Adji, Arti (1995), “Is Public Debt Neutral? Evidence For Indonesia,” Journal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia (JEBI): 21-32, September. Aghevli, Bijan B., dan Mohsin S. Khan (1978), “Government Deficits And The Inflationary Process In Developing Countries,” IMF Staff Paper, Vol.25, No.3: 383-416, September. Aiyagari, S. Rao, dan Mark Gertler (1985), “The Backing of Government Bonds and Monetarism,” Journal of Monetary Economics 16: 19–44, July. Benett, Herman, dan Loayza N. (2000), “Policy Biases when The Monetary and Fiscal Authorities Have Different Objectives,” Central Bank of Chile Working Papers, No. 66: 1–41. Bhattacharya, Joydeep, dan Joseph H. Haslag (1999), “Monetary Policy Arithmetic: Some Recent Contributions,” Federal Reserve Bank Of Dallas Economic And Financial Review, Third Quarter: 26-36 Bohn, Frank (2002), “Public Finance Under Political Instability And Debt Conditionality,” University of Essex, Department of Economics Discussion Papers 540. Dellas, Harris, dan Kevin D Slayer (2003), “Some Fiscal Implications Of Monetary Policy,” Bulletin Of Economic Research 55:1: 21-36
11
Djojosubroto, Dono Iskandar (2004), “Koordinasi Kebijakan Fiskal Dan Moneter Di Indonesia”, Dalam Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan Implementasi, Eds. Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat, Penerbit Buku Kompas, Jakarta Farhadian Z, Dunn R.M.Jr (1986), “Fiscal Policy And Financial Deepening In A Monetarist Model Of The BOP,” Kyklos Working Paper, 39: 66-84. Fialho, Marcelo Ladeira, dan Marcelo Savino (2002), “Monetary And Fiscal Policy Interactions In Brazil: An Application Of The Fiscal Theory Of The Price Level,” Portugalî Working Paper: 1-20. Fry, Maxwell J (1995), Money, Interest And Banking In Economic Development, 2nd Ed., The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Goeltom, Miranda S. (2005), Perspectives On Implementing Time Consistency And Credibility In Monetary Policy: The Case Of Indonesia, Paper Presented At The International Conference On Marrying Time Consistence In Monetary Policy With Financial Stability: Strengthening Economic Growth”, Organized By Bank Indonesia, Denpasar-Bali, December 1-3. Gros, Daniel (2003), “Financial Aspects Of Central Bank Independence and Price Stability The Case of Turkey” CEPS-EDP project: 1-20. Harmanta, dan Ekananda, Mahyus (2005). “Disintermediasi Fungsi Perbankan Pasca Krisis 1997: Faktor Permintaan atau Penawaran Kredit, Sebuah Pendekatan dengan Model Disequilibrium”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan: 51-78, Juni. Hostland, Doug (2001), “Monetary Policy And Medium-Term Fiscal Planning”, Department Of Finance Working Paper, 20. Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria Under ‘Active’ And ‘Passive’ Monetary And Fiscal Policies”, Journal Of Monetary Economics, 27: 129-147 Marszałek, Paweł (2003), “Coordination Of Monetary And Fiscal Policy”, The Poznań University Of Economics Proceeding Paper, Volume 3 Number 2: 41-52. Maryatmo, Rogatianus (2004), “Dampak Moneter Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah Dan Peranan Asa Nalar Dalam Simulasi Model Makroekonomi Indonesia (1983:12002:4)”, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak dipublikasikan). Moreno, Ramon (2003), “Fiscal Issues And Central Banking In Emerging Economies: An Overview “, BIS Papers No 20:1-9, October. Nikitin, Maxim, dan Steven Russell (2004), “Monetary Policy Arithmetic: Reconciling Theory With Evidence”, Working Paper : 2:85,August. Rahutami, Angelina Ika (2007), “Interaksi Kebijakan Moneter Kaidah Dengan Anggaran Pemerintah Di Indonesia Tahun 1980.1-2006.4: Pendekatan Sistem Ekonomi Simultan”, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak dipublikasikan). Sargent, Thomas J., dan Neil Wallace (1981), “Some unpleasant monetarist arithmetic”, Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5: 1–17, Fall. Shapiro, Matthew D. (2004), “Discussion Of Engen And Hubbard: Federal Government Debt And Interest Rates”, Artikel Dalam NBER Macroeconomics Annual Conference, April Siregar, Hermanto, dan Ward, Bert D (2002). ”Were Aggregate Demand Shocks Important in Explaining Indonesian Macroeconomic Fluctuations?”. Journal of the Asia Pacific Economy. Vol 7: 35-60. Solikin (2004). ”Kurva Philips dan Perubahan Struktural di Indonesia : Keberadaan, Pola Pembentukan Ekspektasi, dan Linieritas”. Buletin Ekonomi dan Perbankan: 41-75, Maret. 12