PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411 - 4216
Integrasi Pertimbangan Lingkungan Pada Perancangan Sistem Proses Produksi Biodiesel dari Minyak-minyak Nabati Retno Gumilang Dewi dan Tatang H Soerawidjaja Departemen Teknik Kimia – Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha no. 10 Bandung – INDONESIA 40132 Ph/Fax: 022 250 0989/ 250 1438; email:
[email protected] Abstrak Biodiesel adalah senyawa ester alkil yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar, mengingat minyak nabati yang digunakan sebagai bahan bakunya merupakan sumberdaya terbarukan (‘renewable resources’) yang banyak tersedia dan mudah dikembangkan di Indonesia. Produksi biodiesel dari minyak-minyak nabati ini memerlukan sistem proses yang perancangannya dapat dikembangkan dan dirumuskan berdasarkan alur-alur proses yang telah ada. Agar pengembangan rancangan sistem produksi biodiesel ini sejalan dengan upaya perlindungan lingkungan dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan integrasi pertimbangan lingkungan ke dalam perancangan atau sintesis sistem proses produksinya sejak rancangan digagaskan sampai dengan dikembangkan. Pada makalah ini, disampaikan suatu metodologi pengintegrasian pertimbangan lingkungan ke dalam perancangan sistem proses pada tahap sintesis alur reaksi dan penyusunan pola aloksi komponen bahan (‘species allocation’) di dalam sistem untuk menjamin terwujudnya sistem proses yang memenuhi persyaratan lingkungan dengan tidak mengorbankan ‘economic benefit’ bagi penyelenggara sistem proses produksinya. Metodologi yang digagaskan terfokus pada tahap sintesis alur reaksi dan penyusunan pola aloksi komponen bahan yang merupakan inti ‘suatu sistem proses’ agar persoalan-persoalan lingkungan yang mungkin timbul pada proses pemisahan dan proses-proses pendukung dari sistem produksi biodiesel dapat dihindarkan. Kata kunci: perancangan sistem proses yang ‘environmentally compliant’; sintesis alur reaksi dan ‘species allocation’, integrasi pertimbangan lingkungan; biodiesel; renewable utilization
1.
Pendahuluan Sistem proses produksi biodiesel, pada dasarnya, dapat dikembangkan berdasarkan alur-alur proses yang ada pada saat ini. Alur-alur proses yang dapat digunakan sebagai rujukan pengembangan rancangan sistem produksi biodiesel, di antaranya adalah alur-alur yang melibatkan proses transesterifikasi trigliserida (komponen utama minyak nabati) menggunakan katalis basa (alkali KOH atau NaOH) dan proses esterifikasi asam lemak bebas (free fatty acid) yaitu komponen lain dari minyak nabati menggunakan katalis asam. Terdapat banyak alternatif rancangan sistem proses produksi biodiesel yang dapat dikembangkan dari kedua proses utama ini, di mana alternatif rancangan sistem proses yang terbaik dapat dipilih. Untuk tujuan pengembangan sistem proses produksi biodiesel yang sejalan dengan paradigma ‘Green Chemistry’ dalam mendukung upaya-upaya perlindungan lingkungan dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, maka rancangan sistem prosesnya dikembangkan dengan mempertimbangkan kriteria operability, keekonomian, dan implikasi lingkungan sejak tahap sintesis alur reaksi dan species allocation sampai dengan pembentukan rancangan teknologi proses (process engineering design). Paradigma Green Chemistry yang dipromosikan oleh US EPA adalah konsep pemikiran mengenai pengembangan industri proses kimia yang terfokus kepada pola penggunaan bahan kimia yang memiliki resiko terkecil terhadap mahluk hidup dan fungsi atau kualitas lingkungan dengan pengutamaan penggunaan bahan baku yang berasal dari renewable resources atau pengurangan, pemanfaatan kembali (recycling), dan eliminasi keberadaan bahan-bahan kimia yang berbahaya dan bersifat toksik dengan menciptakan cara-cara inovatif untuk meminimumkan dampak, dengan masih memberikan economic benefits bagi penyelenggara sistem proses. Pada paper ini disampaikan suatu pendekatan pengintegrasian pertimbangan lingkungan dan kriteria perancangan lainnya ke dalam perancangan sistem proses produksi biodiesel pada tahap sintesis alur reaksi dan species allocation untuk mewujudkan sistem proses produksi yang memenuhi persyaratan lingkungan dengan tidak mengorbankan economic benefit bagi penyelenggara sistem proses produksinya. Pemilihan tahap sintesis alur reaksi dan species allocation untuk pengintegrasian pertimbangan lingkungan dan kriteria perancangan lainnya di dasarkan kepada hirarki kedudukan komponen-komponen penyusun struktur sistem proses dan persoalan yang ditimbulkan oleh pemfungsian masing-masing komponen proses, di mana tahap sintesis reaksi atau konversi kimiawi dan species allocation mempunyai kedudukan hirarki tertinggi di dalam penyusunan komponen struktur sistem yang hendak dirancang. Penempatan pada kedudukan hirarki tertinggi ini didasari pertimbangan bahwa pada proses reaksi berlangsung pengubahan bahan menjadi produk yang menjadi tujuan utama pengoperasian sistem proses kimia. Perlu diketahui bahwa sistem proses kimia, pada
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
1 C-18-1
dasarnya terdiri atas proes-proses dasar (reaksi, pencampuran, dan pemisahan) dan proses-proses pendukung yang menciptakan iklim bagi berlangsungnya ketiga proses dasar tersebut. Merujuk kepada metodologi yang digagaskan, pada paper ini didiskusikan hal-hal pokok yang merupakan komponen dari metodologi atau pendekatan yang digagaskan tersebut, yaitu (i) rumusan permasalahan yang menjadi persoalan utama dalam melaksanakan sintesis alur reaksi dan species allocation, (ii) dasar penetapan biodiesel sebagai produk akhir yang hendak diwujudkan, (iii) dasar pertimbangan pemilihan bahan baku, (iv) sintesis alternatif alur-alur reaksi dan species allocation pada sistem proses produksi biodiesel yang dilakasanakan dengan merujuk kepada alur-alur proses yang telah ada pada saat ini, yang mencakup juga pelaksanaan analisis dan evaluasi alternatif alur-alur reaksi dan spesies allocation untuk memilih alur terbaik dengan memasukan pertimbangan lingkungan dan kriteria-kriteria perancangan lainnya. 2.
Perumusan Masalah Persoalan utama dalam melaksanakan sintesis alur reaksi dan species allocation yang tepat dan sebaiknya ditempuh untuk mengkonversikan bahan baku menjadi produk akhir, pada dasarnya, dipengaruhi oleh keputusan-keputusan dalam memilih bahan baku dan produk akhir yang dihasilkan. Pada pengembangan sistem proses produksi biodiesel, biodiesel ditetapkan sebagai produk akhir yang hendak dihasilkan untuk memenuhi tingginya permintaan bahan bakar mesin diesel, dalam hal ini biodiesel berfungsi sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak solar. Dasar pertimbangan penetapan ini adalah bahwa biodiesel memiliki kesesuaian karakteristik dan sifat-sifat produk dengan minyak solar yang akan digantikan. Pada saat produk akhir telah ditentukan, persoalan perancangan sistem proses kemudian terarah kepada pemilihan bahan baku dan sintesis alur reaksi dan species allocation yang memiliki sruktur optimal untuk mewujudkan sistem proses yang environmentally compliant. Dengan demikian pertimbangan lingkungan dan kriteria-kriteria perancangan diintegrasikan ke dalam perancangan sistem proses produksi biodiesel pada tahap pemilihan bahan baku utama dan sintesis alur reaksi dan species allocation. Prosedur pemilihan bahan baku dan sintesis alur reaksi dan species allocation yang digagaskan dilakukan dengan mengikuti logika algoritma yang secara skematik disampaikan pada Gambar 1. Nampak bahwa persoalan penting pada pengintegrasian pertimbangan lingkungan dan kriteria-kriteria perancangan ke dalam sintesis sistem proses kimia adalah terletak pada bagaimana kriteria perancangan didefinisikan pada setiap tahap pelaksanaan perancangan atau sintesis sistem proses (DC-1 s/d DC-4) yang diwujudkan dalam beberapa heuristic untuk melaksanakan setiap tahap proses sebagaimana disampaikan pada Gambar 1. 3.
Dasar Penetapan Biodiesel Sebagai Produk Akhir yang Hendak Diwujudkan Kebutuhan minyak solar (bahan bakar mesin diesel) di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 24,2 milyar liter pada tahun 2002 dan diperkirakan akan terus meningkat dengan perkiraan volume kebutuhan sebesar 34,7 milyar liter pada tahun 2010. Pada saat ini, ketersediaan bahan baku minyak mentah di Indonesia dan kapasitas produksi kilang yang ada jumlahnya makin terbatas. Sebagai akibatnya, kebutuhan minyak solar di dalam negeri sebagian besar, yaitu sekitar 9,6 milyar liter atau 39,7% kebutuhan pada tahun 2002 dipenuhi dari impor minyak mentah maupun produk minyak solar [Sumber: Petroleum Report, 2004]. Berkaitan dengan hal ini, pencarian sumber-sumber alternatif untuk bahan baku minyak solar atau bahan bakar alternatif pengganti minyak solar dipandang penting untuk dilakukan dalam waktu dekat untuk memenuhi sebagian atau bila mungkin seluruh kebutuhan minyak solar di dalam negeri. Penyediaan minyak solar dari bahan baku selain minyak bumi saat ini telah banyak dikembangkan, di antaranya adalah pemanfaatan proses Fischer-Tropsch untuk menkonversi bahan baku gas bumi, batubara, dan biomasa menjadi Fischer-Tropsch Diesel melalui mekanisme CH4 ! CO + H2 ! FT-Diesel + Nafta. Terdapat banyak kelemahan pada sistem proses produksi minyak solar melalui mekanisme ini, meskipun gas sintesis pada proses produksi FT–Diesel dapat dihasilkan dari proses reforming gas bumi dan gasifikasi batubara atau biomassa yang banyak tersedia di Indonesia, di antaranya adalah (i) biaya produksi relatif tinggi, (ii) untuk bahan baku gas alam, sistem produksi hanya sesuai untuk lapangan gas yang memiliki potensi produksi tinggi, yaitu dengan cadangan > 7 tcf yang saat ini banyak dimanfaatkan untuk produksi LNG sedangkan lapangan gas yang belum dimanfaatkan umumnya memiliki potensi < 2 tcf, (iii) produksi minyak solar tidak efisien untuk sistem dengan bahan baku batubara atau biomassa, karena memerlukan alur konversi yang panjang sehingga tidak feasible jika dipandang dari segi keekonomian dan pertimbangan lingkungan meskipun biomassa merupakan renewable resources dan batubara banyak tersedia di Indonesia. Upaya-upaya lain yang dapat ditempuh adalah menyediakan alternatif bahan bakar pengganti minyak solar. Upaya ini akan menghadapi banyak kendala apabila produk bahan bakar alternatif yang dikembangkan tidak memiliki kesuaian kualitas dan sifat dengan minyak solar yang digantikan, yaitu ADO (automotif diesel oil) yang digunakan di sektor transportasi. Persyaratan kesesuaian produk dengan ADO dengan pertimbangan bahwa hampir 50% minyak solar di dalam negeri digunakan oleh sektor transportasi dalam bentuk ADO, yang memiliki tekonologi dan pola penyediaan bahan bakar yang telah mapan. Berkaitan dengan hal ini, JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2 C-18-2
biodiesel atau ester metil dipandang sangat potensial untuk digunakan sebagai alternatif bahan bakar pengganti minyak solar untuk memenuhi tingginya kebutuhan akan minyak solar mengingat biodiesel memiliki banyak kesesuaian dalam hal kualitas terhadap ADO yang digunakan di Indonesia. Selain itu, pemanfaatan biodesel sangat kompatibel dengan sistem peralatan yang menggunakan bahan bakar minyak solar, dalam hal ini biodiesel digunakan dalam bentuk campuran biodiesel-minyak solar dengan perbandingan 20% biodiesel (maksimum) dan 80% minyak solar dapat digunakan pada kendaraan dengan mesin diesel tanpa perlu dimodifikasi. Penetapan produk yang dihasilkan menggunakan Heuristic-1(Tabel 1). Perbandingan data kualitas produk FT-Diesel, biodiesel, dan ADO disampaikan pada Tabel 3. Dengan merujuk data-data yang disampaikan pada Tabel 3, nampak bahwa biodiesel memiliki banyak keunggulan yang terkait dengan sifat fisik dan sifat kimia biodiesel yang dihasilkan bila digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel dibandingkan dengan FT-diesel atau ADO (minyak solar) yang berasal dari minyak bumi yang memiliki rumus bangun C16H34 (n-hexadecane atau cetane), yaitu viskositas dan kandungan energi yang mirip dengan kualitas ADO, bilangan setana yang tinggi, dan sifat pelumasan yang tinggi yang tidak dimiliki oleh minyak solar. Selain itu, biodiesel memiliki efek lingkungan dari proses pembakaran pada mesin diesel yang lebih baik dibandingkan dengan minyak solar dan pengembangan sistem produksi biodiesel dari bahan baku minyak nabati dapat mendorong pemanfaatan renewable resource di Indonesia. 4.
Dasar Pertimbangan Pemilihan Bahan Baku Biodiesel atau ester metil memiliki struktur molekul yang terdiri dari gugus ester dan gugus alkil. Gugus ester yang dapat digunakan adalah trigliserida (asam lemak) yang merupakan komponen utama minyak nabati yang memiliki gugus hidrokarbon jenuh rantai lurus. Selain trigliserida, minyak nabati umumnya mengandung asam lemak bebas (free fatty acid), fosfolipid, sterol, air, dan odorants. Asam lemak bebas (10% dari minyak nabati) merupakan pengotor bagi reaksi transesterifikasi minyak nabati. Asam lemak bebas sebetulnya dapat dikonversi menjadi biodiesel melalui esterifikasi minyak nabati dengan menggunakan katalis asam. Gugus alkil dari senyawa ester metil (biodiesel) diperoleh dari alkohol (metanol, etanol, isopropanol, atau iso-butanol) yang digunakan sebagai bahan baku proses konversi minyak nabati menjadi biodiesel. Gugus ini mempengaruhi viskositas, pour point (titik tuang), dan cloud point biodiesel. Meskipun toksik, metanol banyak digunakan karena harganya murah, sedangkan etanol, isopropanol, dan isobutanol meskipun unggul dalam memperbaiki karakteristik bilangan setana dan viskositas, akan tetapi harganya relatif mahal dibandingkan metanol. Pemilihan minyak nabati dan alkohol (khusus etanol produk fermentasi) sebagai bahan baku adalah didasari oleh heurustic-2. Katalis digunakan untuk meningkatkan laju reaksi dan tingkat perolehan. Beberapa jenis katalis yang banyak digunakan, adalah katalis basa (alkali), katalis asam, bio-katalis atau enzym, dan katalis padat (strong ion exchange). Katalis alkali yang sering digunakan adalah NaOH, KOH, K2CO3, dan senyawa-senyawa sodium atau potassium alkoxides (sodium methoxide, sodium ethoxide, sodium propoxide, dan sodium butoxide). Katalis asam yang banyak digunakan adalah sulfuric acid, sulfonic acids, dan hydrochloric acids. Biokatalis (katalis enzyme) yang banyak digunakan adalah lipase. 5.
Sintesis Alur Reaksi dan Species allocation Pada Perancangan Sistem Proses Produksi Biodiesel Minyak nabati sebetulnya dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar mesin diesel, karena, apabila disemprotkan ke dalam ruang bakar mesin diesel, yang dibatasi oleh dinding silinder, kepala torak, dan kepala silinder, pada temperatur ± 550oC dan tekanan ± 30 kg/cm2 akan menyebabkan terjadinya pembakaran [Arismunandar, W dan Tsuda, K, 1986]. Fenomena ini mendasari dikembangkannya mesin diesel pertama kali oleh Rudolf Diesel pada tahun 1898. Akan tetapi, peranan minyak nabati sebagai bahan bakar mesin diesel kemudian tergeser dengan ditemukannya minyak solar yang diproduksi dari minyak bumi. Sejak itu, mesin diesel dirancang sesuai dengan kualitas dan sifat-sifat minyak solar. Penggunaan minyak nabati secara langsung sebagai bahan bakar mesin diesel memerlukan beberapa penyesuaian terkait dengan kelemahan minyak nabati sebagai bahan bakar dibandingkan minyak solar, yaitu tingginya viskositas, rendahnya volatility, dan rendahnya kualitas yang berhubungan dengan sifat-sifat aliran fluida dalam keadaan dingin yang mengakibatkan injector coking, piston ring sticking, dan terbentuknya deposit proses pembakaran [Korus, 1982]. Kelemahan-kelemahan tersebut diatasi dengan (i) pembentukan mikroemulsi dengan melarutkan minyak nabati ke dalam alkohol; (ii) pengilangan minyak nabati dengan katalis hidrogen untuk menghasilkan produk berupa propana dan CO2; (iii) pengkonversian minyak nabati menjadi molekul yang lebih kecil melalui thermal craking (pirolisis); dan (iv) konversi minyak nabati menjadi biodiesel melalui proses transesterifikasi (alkoholisis) menggunakan alkohol dan katalis asam atau basa [Perkins, et.al, (1991), Zhang, et.al, (1988), dan Ma, F., (1999)]. Produk biodiesel, yang dibuat dari minyak nabati melalui transesterifikasi trigliserida menggunakan alkohol dengan katalis asam atau basa dan/atau esterifikasi asam-asam lemak menggunakan katalis asam, memiliki kualitas mendekati kualitas minyak solar dan dalam beberapa hal lebih baik daripada kualitas minyak solar (Tabel 2). JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
3 C-18-3
Dengan demikian alur-alur proses yang melibatkan kedua reaksi tersebut merupakan alur terbaik yang dapat ditempuh untuk mengkonversi minyak nabati menjadi biodiesel. Terdapat banyak alternatif alur-alur proses yang dapat dikembangkan dari kedua reaksi utama ini, di mana alternatif yang terbaik dapat dipilih. Alternatif alur reaksi tersebut dikembangkan dengan membentuk initial structure, yaitu reaksi utama yang mengkonversikan bahan baku utama menjadi produk akhir yang diinginkan. Reaksi utama tersebut dalam hali ini adalah reaksi transesterifikasi dan esterifikasi. Reaksi-reaksi lainnya ditambahkan untuk melengkapi sistem proses tersebut. Mekanisme reaksi yang mungkin ditambahkan adalah sebagai disampaikan berikut ini. 1.
Reaksi Metoksida CH3OH + KOH metanol Reaksi Penyabunan
2.
⇔
CH3OK + K-metoksida
H2O air
O R
O
C
+
OH
R
KOH
free fatty acid Reaksi Transesterifikasi 3.
+
H 2O
air
O H2C
O
C O
H2C
R1
C O
R2
CH2 O
C
R3
H 2C
3 H3C O K
+
3 (K-metoksida)
+
3R
gliserin-K
3 H3C OH
OK
+
C
O C H3
OK
H2 C
OK
H 2C
OK
CH H2C
OK
CH
OK O
CH O
Trigliserida 4.
O K
C
sabun-K
CH H2 C
3 (metanol)
3 (ester metil) OH OH
+
3 H3C O K
OH
gliserin
3 (K-metoksida)
Reaksi Esterifikasi 5.
O R
C
O OH
free fatty acid 6.
H 3C
+
OK
metoksida
R
sabun
O R
C
OH
+
H3 C
R
OH
C
sabun
metanol C
metil ester
O C H3 +
H 2O
air O
O R
H3C OH
OK +
O
free fatty acid metanol Reaksi Pembentukan Garam (Fertilizer) 7.
C
O K
+
asam
R
H 3PO 4
metil ester
C
OH
+
K 3PO 4
K-phosphat
Terdapat sekitar 28 alternatif alur yang potensial (lihat Gambar 2) untuk menghasilkan biodesel dari bahan baku trigliserida maupun asam lemak bebas yang terdapat pada minyak nabati yang dibentuk atas dasar ke tujuh reaksi-reaksi utama yang disampaikan sebelumnya dengan menggunakan heuristic 3 s/d 6. Persoalan selanjutnya adalah mencari most feasible reaction path yang memiliki struktur optimal untuk mengkonversi bahan baku menjadi produk akhir secara efisien, memberi economic benefit maksimum, dan memenuhi kriteria lingkungan. Pertimbangan lingkungan diintegrasikan ke dalam sintesis alur-alur reaksi untuk merealisasikan zero avoidable pollution dengan mengeliminasi produk-produk yang tidak diinginkan di dalam sistem, yaitu sisa bahan baku, impurities, dan intermediate yang dieliminasi dengan menambahkan batasan-batasan saat melakukan optimisasi untuk mencari alur-alur reaksi terbaik. Batasan-batasan ini akan dijelaskan kemudian pada tata cara pelaksanaan optimisasi. Potensi ekonomi dinilai dari gross profit margin yang ditentukan berdasarkan perbedaan nilai produk dengan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku. Perbedaan nilai produk dengan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku ini dihitung dengan menggunakan neraca produksi–konsumsi bahan yang terlibat di dalam sistem reaksi. Analisis produksi-konsumsi bahan di dalam sistem dilakukan dengan menggunakan neraca produksi–konsumsi yang disusun secara proportional dengan stoikiometri reaksi sebagaimana disampaikan dalam persamaan matriks berikut ini.
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
4 C-18-4
0 0 − 1 − 1 0 0 0 0 1 0 1 0
−1 0 0 0 0 3 0 1 −3 0 0 0
0 −1 0 −1 0 0 0 0 0 1 1 0
0 0 −3 0 0 0 1 −1 3 0 0 0
0 −1 1 0 0 0 0 0 −1 1 0 0
0 1 0 0 − 0 . 33 0 0 0 0 −1 0 1
0 − 1 −1 0 0 1 0 0 0 0 0 . 33 0
x
α 1 α 2 α 3 α 4 α 5 α 6 α 7 α 8 α 9 α 10 α 11 b 12
=
b1 b2 b3 b4 b5 b6 b7 b8 b9 b 10 b 11 b 12
atau dapat dituliskan sebagai: µ I x j x α j = b … (persamaan 1)
di mana: µ I x j = stoichiometric matrix dengan I = species dan j = proses reaksi; α j = vektor dari multiplying factor yang mengatur jumlah bahan pada reaksi; b = vektor dari stoikhiometri species pada reaksi total Struktur yang optimal didapatkan dengan melakukan optimisasi, di mana objective function yang digunakan adalah memaksimalkan gross profit margin. Apabila produk utama memiliki nilai ekonomi paling tinggi di antara bahan-bahan yang terlibat di dalam sistem reaksi, maka optimisasi dapat juga dilakukan dengan objective function memaksimalkan produk utama. Max [α j µpu, j = 1]; untuk pu = produk utama
max [ GPM
(persamaan 2)
s
=∑ Vi ∑ α j µ ij i =1
]
(persamaan 3)
j
Di mana: Vi = harga komponen bahan I per mol, µij = koefisien stoikiometri komponen I pada reaksi j (input output coefficients), dan αj = multiplying factor untuk mengatur jumlah komponen yang terlibat pada masingmasing alur reaksi. Batasan-batasan yang digunakan pada optimisasi adalah sebagai berikut ini. (i) Menghindari penggunaan bahan baku utama non-renewable atau hazardous chemicals, dengan batasan:
∑ω
ji
µ nr , j = 0;
∑ω
ji
µ hz , j = 0;
ω = fraksi; nr∈ bahan non-renewable
(persamaan 4)
j
ω = fraksi; hz∈ hazardous chemicals;
(persamaan 5)
j
(ii) Menghindari terbentuknya spent resource sisa bahan baku, produk antara (intermediate), dan impurities, yang berupa katalis KOH, Asam H3PO4, Gliserin-K, KOCH3, dan Sabun-K, dengan batasan:
∑α
j
µ w, j = 0
∑α
j
µ m , j = 0 ; αj = multiplying factor ; m∈ intermediates;
; αj = multiplying factor; w∈ wastes
(persamaan 6)
j
(persamaan 7)
j
(iii)
Beberapa bahan kimia hanya berfungsi sebagai produk saja di tiap reaksi:
(iv)
Beberapa bahan kimia hanya berfungsi sebagai reaktan saja di tiap reaksi:
(v)
Koefisien stoikhiometri dari produk utama, di set 1
(vi)
Pada alur reaksi yang memiliki produk utama yang dihasilkan dari dua reaksi, maka perbandingan koefisien stoikhiometri reaktan (≈ dengan fraksi kedua reaktan di dalam sistem) dijadikan batasan;
α j µ p, j ≥ 0 ; untuk ∀j, p ∈ hanya produk (biodiesel dan gliserin) α j µ re, j ≥ 0 ; untuk ∀j, re ∈ hanya reaktan
α j µpu, j = 1 ; untuk pu = produk utama (biodiesel)
µI, j/µi-1, j-1 = fraksii,j/fraksii-1, j-1
(persamaan 8) (persamaan 9) (persamaan 10)
(persamaan 11)
Hasil optimisasi alur reaksi menggunakan objective function dengan memaksimumkan produk utama maupun gross profit margin disampaikan pada Tabel 4. Hasil optimisasi yang dilaksanakan dengan menggunakan batasan-batasan sebagaimana disampaikan sebelumnya pada butir (i) sampai dengan (vi), menunjukkan bahwa reaksi 1, 2, 5, dan 6 bukan merupakan reaksi yang dilibatkan pada sistem reaksi dengan stuktur optimal dari segi operability, keekonomian, dan persyaratan lingkungan. Dengan merujuk kemungkinan alur-alur yang dapat ditempuh pada Gambar 2, maka alur yang sesuai dengan hasil optimisasi adalah alur yang tidak melibatkan reaksi penyabunan (reaksi 2, 5, dan 6). Hal ini sesuai dengan penjelsan bahwa sabun akan mengganggu reaksi transesterfikasi. Apabila reaksi penyabunan (reaksi 2) diikutkan dalam sistem reaksi, maka reaksi pengolahan sabun (reaksi 5 dan 6) harus ada di dalam sistem reaksi. Reaksi 1 adalah reaksi penyiapan katalis metoksida yang digunakan pada transesterifikasi dan memang tidak ikut di dalam alur reaksi yang optimal karena katalis tidak ikut bereaksi di dalam sistem. Alur yang dimaksud dengan struktur optimal adalah alur D 1 s/d 5 (lihat Gambar 2), yaitu alur-alur yang tidak melibatkan proses penyabunan asam lemak bebas. JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
5 C-18-5
Pengembangan suatu alur reaksi menjadi suatu sistem proses produksi memerlukan pengaturan aliran bahan di dalam sistem reaksi dengan pola tertentu. Hal ini dimaksudkan agar dapat terbentuk tata aliran dengan pemilahan berbagai komponen bahan yang ada di tiap aliran proses dan pola pengalokasian komponen bahan ke berbagai bagian dari tata aliran proses. Pengaturan aliran dan penyusuan pola ini di dalam suatu sistem reaksi dengan maksud: (i) agar komposisi dan laju alir massa setiap aliran proses yang memasuki suatu tahap reaksi (atau suatu unsur proses), memenuhi persyaratan bagi berlangsungnya reaksi (unsur proes tersebut); dan (ii) mengefisienkan penggunaan bahan, melalui penciptaan berbagai alur-alur daur ulang (recycle streams). Terdapat banyak kemungkinan pola alokasi komponen bahan di dalam sistem untuk setiap alur-alur reaksi terbaik hasil screening alur-alur reaksi melalui optimisasi yang telah dilaksanakan sebelumnya yang disusun berdasarkan heuristic 7 s/d 11 (Tabel 1). Dari berbagai kemungkinan pola alokasi komponen bahan setiap alur reaksi hasil screening alur reaksi melalui optimisasi yang dilaksanakan sebelumnya, perlu dilakukan pemilihan untuk mendapatkan the most feasible reaction path. Pola yang terbaik dipilih berdasarkan (i) efisiensi penggunaan bahan persatuan produk yang dihasilkan; (ii) keekonomian yang ditinjau berdasarkan perbedaan nilai produk dan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan baku per ton produk utama, dan (iii) aspek lingkungan yang ditinjau berdasarkan potensi pencemaran lingkungan menggunakan indeks lingkungan. Hasil perhitungan ketiga parameter tersebut disampaikan pada Tabel 5. Merujuk data-data yang disampaikan pada Tabel 5, ditunjukkan bahwa alur proses D-3 (Gambar 3) merupakan alur terbaik yang memenuhi ketiga peryaratan screening untuk species allocation, yaitu minimal dalam pemakaian bahan baku per ton produk, minimal dampak lingkungan (yang diinterpertasikan sebagai indeks lingkungan), dan keekonomian yang dilihat sebagai GPM per ton produk. Alur proses D-3 adalah proses pembuatan biodiesel melalui esterifikasi asam-asam lemak bebas (free fatty acid) menggunakan katalis asam heterogen (padat) dan transesterifikasi dengan menggunakan kaalis basa alkali NaOH. Bila katalis KOH digunakan pada proses transesterifikasi untuk alur yang sama, maka GPM per ton produk yang dihasilkan akan lebih kecil bila dibandingkan dengan pemakaian katalis NaOH. 6.
Kesimpulan Pengintegrasian pertimbangan lingkungan ke dalam perancangan sistem proses kimia merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan industri kimia yang “environmentally compliant”. Metodologi yang digagaskan dapat digunakan untuk melaksanaakan pengintegrasian pertimbangan lingkungan ke dalam perancangan sistem proses produksi biodiesel pada tahap sintesis alur reaksi dan penyusunan pola aloksi komponen bahan (species allocation) di dalam sistem untuk mewujudkan sistem proses yang memenuhi persyaratan lingkungan tanpa mengorbankan economic benefit bagi penyelenggara sistem proses produksinya. Mengingat pada perancangan suatu sistem proses kimia, di samping proses reaksi yang merupakan inti dari suatu sistem proses, terdapat sub-sistem lain yang merupakan bagian dari sistem proses keseluruhan, yaitu proses pemisahan, dan proses-proses pendukung seperti penukar panas dan heat integration, penyeragaman ukuran, dan lain-lain, maka untuk mewujudkan sistem proses kimia yang environmentally compliant, proses pemisahan dan proses-proses pendukung tersebut juga harus dirancang memenuhi persyaratan lingkungan. Tersedianya metodologi perancangan yang dihasilkan dari penelitian ini, diharapkan akan mendorong munculnya inisiatif dan alur-alur baru yang mengarah kepada upaya pengembangan metodologi perancangan sub-sistem proses dan metodologi pengintegrasian sub-sistem proses dengan proses utamanya, yang didasarkan pada keinginan untuk mewujudkan sistem-sistem proses kimia yang ‘environmentally compliant’ secara keseluruhan. Di samping itu, metodologi yang digagaskan ini juga memasukkan renewability bahan baku sebagai salah satu kriteria perancangan sehingga industri-industri proses kimia yang akan dibangun sedapat mungkin menggunakan bahan baku yang renewable. Penggunaan renewability bahan baku sebagai kriteria perancangan sistem proses kimia diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi dikembangkan dan diaplikasikannya kriteria ini pada perancangan sistem-sistem lain, yaitu pada perancangan suatu sistem penyediaan tenaga listrik atau sistemsistem energi lainnya. Penekanan penggunaan bahan baku renewable akan mendorong dilakukannya riset-riset yang mengarah kepada pencarian sumberdaya berikut teknologi penyediaan yang diperlukan oleh industri-industri kimia berbasis renewable. Perlu dicatat bahwa sumberdaya renewable yang diperlukan tersebut dapat berupa sumberdaya yang secara alami bersifat renewable atau sumberdaya renewable yang dihasilkan dari bahan non-regeneratif yang dengan teknologi tertentu dapat dikonversi menjadi sumberdaya renewable. 7.
Rujukan
[1] [2] [3]
Ahn, E. et al. (1995), A Low-Waste Process for the Production of Biodiesel, Separation Science and Technology, 30 (7-9) A., C.W. Allen, et al. (1999), Predicting the viscosity of biodiesel fuel from their fatty acid ester composition, Elsevier Allen, DT dan Shonnard, DR (2002), Green Engineering: Environmentally Conscious Design of Chemical Processes, Prentice Hall PTR, Upper Saddle River, USA. Buxton, A., et al (1997), Reaction Path Synthesis for Environmental Impact Minimization, Computer Chemical Engineering, Vol. 21, Pergamon, PII:S0098-1354-00173-7.
[4]
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
6 C-18-6
[5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14]
Canackci M., J. Van Gerpen (1999), Biodiesel Production via Acid Catalysts, Transaction of the ASAE, American Society of Agricultural Engineers 0001-2351/99/4205-1203, Vol. 42 (5): 1203-1210. Cano–Ruiz, J.A. and McRae, G.J. (1998), Environmentally Conscious Chemical Process Design, Annual Review of Energy and Environment, Vol. 23, page 499 – 536. D. Frank Gunstone and J. Richard Hamilton, Oleochemical Manufacture and Applications, Biofuels From Vegetable Oils and Fats, Sheffield Academic Press, 107-163. Dewi, R.G (1999), The Synthesis of ‘Environmentally Compliant’ Chemical Reaction Path With Multi Objective Optimization. Fornari, T., and Stephanopoulos, G. (1994), Synthesis of Chemical Reaction Paths : Economic and Specification Constraints, Chemical Eng. Comm., Vol. 129 pp. 159-182. Li, M., Hu, S., Li, Y., dan Shen, J. (2000), “Reaction Path Synthesis for A Mass Closed-cycle System”, Comp. Chemical Eng., 24 Li, Mingheng, et. al (2000), Reaction path synthesis for a mass closed-cycle system, Comp. Chemical Eng., 24 Li, Mingheng, (2000), A Hierachical Optimization Method for Reaction Path Synthesis, Ind. Eng. Chem. Res, American Chem.Soc. Sasmojo, S., Dewi, R.G, dan Puspita, N.F, “Mapping ‘Environmentally Compliant’ Chemical Process System Synthesis”, Proceeding of Chemical Engineering Seminar ‘Soehadi Reksowardoyo’, ISSN 0854 – 7769 Soerawidjaja, TH (2002), “Perbandingan Bahan Bakar Cair Alternatif Pengganti Solar”. Diskusi Khusus Ditjen Migas, 18 Oktober
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
7 C-18-7
LAMPIRAN Pendefinisian Produk (Meta Design) ?
DC - 1
Pemilihan Bahan Baku ?
DC - 2
Sinte sis Alur Re aksi PENGEM BANGAN ALTERNATIF Data Kine tika dan Te rmodinamik a Reak si
M EM ILIH RUTE TERBAIK Analisis Produksi - Konsumsi, Optimisasi MILP Be rdasark an Pote nsi Kete rse diaan Bahan Bak u, Minimum Spe nt Resource s, dan Maksimal Gross Profit Margin
?
DC - 3
Spec ie s Alloc ation PENGEM BANGAN ALTERNATIF Data Kinetika Re ak si dan Prope rtie s Bahan
Me milih Pola Ter baik
?
DC - 4
Rancangan Proses Reaksi yang Environmentally Compliant
Gambar 1 Skema gagasan prosedur sintesis alur reaksi dan species allocation Tabel 1. Heuristic-heuristic yang digunakan pada pengintegrasian pertimbangan lingkungan
No 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9. 10. 11.
Heuristic “Apabila ingin dihasilkan produk yang berfungsi untuk menggantikan produk tertentu, maka produk yang dihasilkan harus memiliki kesesuaian sifat-sifat dan karakteristik produk yang akan digantikan”. “bahan baku yang dipilih yang pemanfaatannya tidak mengganggu fungsi dan kualitas lingkungan dan tersedia dalam jumlah cukup, di mana bahan yang dapat diregenerasi secara alami (‘renewable resources’) lebih diutamakan. Dalam hal produk akhir yang ingin dihasilkan berupa produk bahan kimia, maka bahan baku renewable yang sesuai adalah biomassa” Pengutamaan renewable-based reaction path: “Pilih alternatif alur-alur reaksi yang mengutamakan pemanfaatan bahan baku yang penggunaannya tidak mengganggu fungsi dan kualitas lingkungan dan tersedia dalam jumlah cukup, di mana bahan yang dapat diregenerasi secara alami (renewable resources) lebih diutamakan” Alur-alur reaksi harus memenuhi persyaratan termodinamika reaksi: “Pilih alternatif alur-alur reaksi yang memenuhi persyaratan termodinamika reaksi, di mana alur-alur yang dikatakan feasible jika tidak ada reaksi yang memiliki ∆G > 0 atau acceptable bila tidak ada reaksi yang memiliki ∆G > 10 kcal/g-mol” Pengutamaan alur-alur yang memudahkan proses pada tahap lainnya: “Pilih alternatif alur-alur reaksi yang dapat mengurangi atau menghindari persoalan-persoalan yang mungkin muncul berkaitan dengan sistem penanganan bahan-bahan berbahaya dan beracun sebagai bahan baku maupun sebagai ‘spent resource’ yang muncul dari proses reaksi dan proses-proses pada tahap berikutnya, seperti pemisahan dan proses-proses pendukung” Pencegahan terbentuknya spent resources dan intermediate product:“Untuk merealisasikan ‘zero aviodable pollution’, dilakukan eliminasi produk-produk yang tidak diinginkan di dalam sistem reaksi dengan (i) mengkonsumsi produk-produk antara (intermediate) sebagai bahan baku reaksi lain di dalam sistem dan mengatur jumlah komponen bahan (species)yang telibat pada masing-masing alur reaksi dengan menggunakan faktor pengali (multiplying factor) tertentu, dan (ii) memisahkan pengotor bahan baku (impurities) terlebih dahulu dan bila mungkin memanfaatkannya” Eliminasi sisa reaktan dari bahan baku yang bernilai tinggi atau bersifat racun dan berbahaya: “Gunakan salah satu reaktan dalam jumlah yang berlebih untuk mengkonsumsi sebanyak mungkin reaktan yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau yang memiliki sifat racun dan berbahaya” Penanganan Inert species atau Impurities: “Apabila diinginkan produk dengan kemurnian tinggi atau reaksi terpengaruh dengan adanya impurities atau komponen inert, maka impurities atau komponen inert tersebut harus dipisahkan terlebih dahulu, terutama bila proses pemisahan dapat dilakukan dengan mudah menggunakan separator atau mekanisme reaksi” Recycle streams untuk mengefisienkan pemakaian bahan baku: “Lakukan recycle sisa reaktan untuk bahan baku pada suatu alur reaksi untuk meningkatkan derajad konversi atau yield sistem reaksi” Purge streams untuk pengeluaran bahan: “Sediakan‘purging stream’ untuk pengeluaran species yang merupakan ‘impurities’, sisa reaktan atau intermediate yang tidak dikehendaki sebelum proses reaksi untuk menghindari gangguan pada proses reaksi” Recovery bahan yang toksik atau masih memiliki nilai ekonomi: “Gunakan separator atau reaktor untuk memfasilitasi ‘recovery’ species yang merupakan bahan toksik atau masih memiliki nilai ekonomi”
Tabel 2. Kualitas beberapa produk pengolahan minyak nabati (soybean) Karakteristik Viskositas, cp Bilangan Setana HHV, MJ/Kg Pour Point, oC
Minyak Nabati Mikroemulsi Minyak Nabati Cracking Minyak Nabati 32,6 6,31 10,2 37,9 34,7 43 39,6 41,26 40,3 - 12,2 n.a 7,2
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
Biodiesel 4,5 45 37,3 -7
Minyak Solar (ADO) 1,9 – 4 40 45,5 -6,7 (max)
8 C-18-8
Sumber: Ma (1999) Tabel 3. Kualitas produk dan keekonomian ADO, FT-diesel, dan Biodiesel PARAMETER Kualitas Produk Bilangan Setana Titik tuang, oC Nilai kalor, MJ/kg Viskositas, cP (40oC) Densitas Titik kilat Kadar air, % Dampak Lingkungan Emisi CO, ppm Emisi SO2, ppm Potensi Ekonomi Kapasitas produksi Investasi, US$ Biaya operasi Harga pokok produk, Rp/liter (US$/liter) Bahan baku Hambatan teknologi
ADO
FT-Diesel
Biodiesel
50 – 53 < 18,3 41,6 3,2 – 4 0,82 – 0,87 155 – 176 0,05 – 0,3
70 – 75 41,6 0,78 – 0,79 ≈ 170 -
58 – 63 15 39,3 3–5 0,8474 178 0,1
78 40
Rendah <5
10 0
100 ribu ton/th (14,5 bbl/hr) 100 ribu ton/th (14,5 bbl/hr) 80 ribu ribu ton/th (1970bbl/hr) n.a 814 11 juta n.a n.a 0,018 US$/lt produk 1650 pada harga crude oil 223071 (0,37)pada harga gas 2,4 3250 (0,391) dengan CPO 3000 (0.361) atau 1700 28 US$/bbl US$/mmbtu (20 tahun operasi) (0,201) dengan bahan baku Jatropha Curcas(*) Non renewable impor Non renewable bergantung gas (> 7 tscf) renewable dikembangkan di dalam negeri Local content rendah Local content rendah Local content tinggi
Sumber: Tatang H Soerawidjaja [2003] dan (*) laporan studi INDAG, 2003 Tabel 4. Hasil optimasi neraca produksi-konsumsi bahan pada alur reaksi optimal biodiesel dari minyak nabati (*) Reaksi 1 2 3 4 5 6 7 Net
Multiplying Tri Free fatty Metanol Gliserida acid (ffa) CH3OH factor, α 0 -1 0 -1 3 -1 3 -3 0 -1 1 0 1 1 -1 -1 -3 -1 -10
KOH
Asam Ester Metil (ME) H3PO4
Gliserin Gliserin-K KOCH3 Sabun
-1 -1
1
Garam K3PO4
1 1
3 1
1 -1
-3 3 -1
-0.33 0
H2O
0
1 10
3
0
0
1 -1 0
0.33 1 1
0
(*) alur reaksi optimal hasil optimisasi Tabel 5. Karakteristik sistem produksi biodiesel pada berbagai alur proses Ton Bahan Baku/Ton Produk Utama
ALUR A-1 A-2 B-1 B-2 B-3 B-4 C-1 C-2 C-3 C-4 D-1 D-2 D-3 D-4 E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 E-8 F-1 F-2 F-3 F-4 F-5
MN 1.024 1.024 1.138 1.138 1.138 1.138 1.138 1.138 1.138 1.138 1.022 1.022 1.022 1.022 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021 1.021
FFA 0.051 0.051 0.057 0.057 0.057 0.057 0.057 0.057 0.057 0.057 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051 0.051
MeOH 0.122 0.127 0.128 0.128 0.128 0.128 0.128 0.128 0.128 0.128 0.121 0.121 0.122 0.122 0.123 0.123 0.123 0.123 0.123 0.123 0.123 0.123 0.123 0.122 0.123 0.125 0.124
NaOH 0.021
KOH
0.021 0.008 0.013 0.021 0.008 0.030 0.022 0.009 0.013
0.025 0.013 0.011 0.025 0.013 0.011 0.013 0.013
0.020 0.008 0.013 0.001 0.019 0.007 0.012 0.007 0.001 0.007 0.013
0.012 0.010 0.022 0.012 0.010 0.022 0.012 0.022 0.012 0.022 0.010
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
H2SO4 0.026 0.016 0.012 0.012 0.016 0.026 0.022 0.022 0.010 0.027 0.022 0.016 0.011 0.025 0.021 0.025 0.021 0.024 0.019 0.024 0.019 0.010 0.001 0.009 0.016
H3PO4
0.007 0.013 0.007 0.013 0.006
Environmental Index 1/LD50 1/TLV 0.0011 8.0425 0.0011 8.0505 0.0001 1.1295 0.0001 1.1298 0.0001 1.1298 0.0001 1.1295 0.0001 1.1297 0.0001 1.1297 0.0001 1.1300 0.0001 1.1295 0.0002 1.2195 0.0002 1.2199 0.0002 1.2083 0.0002 1.2087 0.0005 3.5012 0.0005 3.5005 0.0005 3.4991 0.0005 3.5022 0.0004 3.3304 0.0004 3.3280 0.0004 3.3310 0.0004 3.3313 0.0005 3.5005 0.0005 3.6700 0.0004 3.3280 0.0004 3.2134 0.0005 4.1330
GPM/produk US$/ton 95.54 125.11 88.63 76.74 84.43 80.88 103.60 91.79 99.45 77.17 97.28 93.15 109.88 105.77 98.19 94.28 90.97 86.99 99.93 96.05 92.65 88.73 95.17 86.15 95.42 87.24 90.26
9 C-18-9
F-6
1.021
0.051
0.124
0.012
0.010
0.015
0.006
0.0005
3.7917
92.03
Katalis (basa) metanol
Basa
Penyabunan
9
Trans-esterifikasi
14
Trigliserida Katalis cair (asam)
Asam 10
As. lemak
Pengasaman
11
Basa
Esterifikasi
Penetralan
Biodiesel (metil ester)
Sabun
Gliserin
13
metanol Garam
Katalis padat (asam)
Esterifikasi Katalis cair (asam)
Minyak Nabati
12
metanol
Basa
15
1
Esterifikasi
Penetralan
7
Katalis (basa)
Biodiesel
metanol
Trans-esterifikasi
Katalis padat (asam)
Gliserin
Esterifikasi
2
3
2
4
15
14
15
14
15
B1,B2,B3,B4
1
C1,C2,C3,C4
1
9 10 9
D1,D2 1
10 5
6
metanol Katalis cair (asam)
Trans-esterifikasi 2
A1 1 A2 1
Garam
metanol 5
metanol
Basa
Penetralan Gliserin
metanol
11 7 15
4
D3,D4
1
5
E1,E2,E3,E4, F1,F2,F5
1
9
6
15
Garam
Katalis padat (asam)
Trans-esterifikasi
15
3
Gliserin
E5,E6,E7,E8, F3,F4,F6
1
14
15
10
11
13
9 10
11
14 15 12
Gambar 2 Alur-alur reaksi yang dapat ditempuh pada proses produksi biodiesel
Gambar 3 The most feasible reaction path
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
10 C-18-10