INOVASI SOCIAL STUDIES DI SEKOLAH DASAR BERWAJAH INDONESIA Yumi Hartati Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Djuanda Bogor,
ABSTRAK Pendidikan IPS di Sekolah Dasar secara harfiah mengandung konsep bahwa pembelajaran IPS yang berwajahkan Indonesia yang secara nyata memiliki budaya yang beragam. Selain itu Indonesia merupakan salah satu negara yang demokrasi maka inovasi pembelajaran IPS di Sekolah Dasar idealnya berwawasan multikultural dan demokrasi. Kedua wawasan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar tersebut memiliki tujuan yaitu dapat menggembangkan konsep, prinsip serta nilai multukultural dan demokrasi yang dapat dipraktikkan melalui kegiatan pembelajaran di kelas yang memperhatikan pada penerapan, prinsip-prinsip demokrasi dan multicultural. Kegiatan pembelajaran dengan menerapakan wawasan multikultural dan demokrasi dibutuhkan studi pendahuluan terlebih dahulu mengenai pengembangan mengenai materi, model pembelajaran dan implementasi perangkat pembelajaran di sekolah dasar. Sehingga evaluasi pembelajran menjadi perlu untuk diperhatikan. Para praktisi pendidikan khususnya guru di sekolah dasar mempunyai upaya yang secara langsung dapat mengintegrasikan antara pengetahuan, sikap serta keterampilan yang berwawasan multikultural dan demokrasi ke dalam kegiatan pembelajaran di kelas sehingga interaliasasi pendidikan IPS yang berwawasan multikultural dan demokrasi dapat terwujud. Kata Kunci: inovasi, IPS, multikultural, demokrasi
531
PENDAHULUAN Tidak bisa dipungkiri bila demokrasi yang selama ini berlangsung dalam kehidupan masyarakat masih terdapat kelemahan-kelemahan. Misalnya saja dalam proses pemilu. Seringkali proses demokrasi ini dicap membuang-buang waktu dan anggaran. Namun, perlu dipahami bahwa proses demokrasi ini tetap menjadi pilihan yang baik dalam masyarakat yang penuh dengan keberagaman ini. Sebagaimana pendapat Ujan (2011: 45) bahwa demokrasi tetap dianggap sebagai budaya yang paling memadai dalam masyarakat multikultural karena menghargai kebebasan dan kesetaraan. Kelemahan-kelemahan dalam demokrasi sebenarnya bisa dihindari asalkan demokrasi dilakukan dengan akal yang sehat, untuk kepentingan bersama, dan atas pertimbangan yang matang dan mendalam. Pendapat Ujan diperkuat oleh Andrik (2003: 326) bahwa demokrasi juga telah memberi pedoman pengambilan keputusan yang tidak hanya mementingkan aspek legalitas dan formalitas semata, tetapi justru pengambilan keputusan itu dapat menyentuh dukungan dan pengakuan yang tulus dari masyarakatnya. Demokrasi mampu menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, seperti aspirasi, adat istiadat, seni, dan gagasan-gagasan yang berkembang di daerah. Selain praktek demokrasi yang telah berlangsung, praktek pendidikan yang saat ini belum memberikan hasil yang mengembirakan. Indikator yang dapat kita amati dan rasakan, antara lain adanya kebebasan mengeluarkan
pendapat yang cenderung anarkis dan kebablasan, pelanggaran HAM, terjadinya komunikasi sosial-politik yang cenderung asal menang sendiri, hukum yang terkalahkan dan kontol sosial yang sering lepas dari tata krama serta terdegradasinya kewibawaan para pejabat negara. Membangun masyarakat yang demokratis bagi Indonesia merupakan suatu tugas yang tidak ringan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis dan multikultural. Suatu masyarakat yang pluralistis dan multikultural tidak mungkin dibangun tanpa adanya manusia yang cerdas dan bermoral. Pertanyaan yang muncul kepada masyarakat ialah bagaimana membangun Indonesia yang cerdas dan bermoral di dalam masyarakat yang demokratis. Tugas ini hanya dapat dibangun melalui perubahan sikap dari setiap insan Indonesia. Perubahan sikap merupakan hasil dari suatu pembinaan, yaitu melalui pendidikan yang berdasarkan kepada asas-asas demokrasi dan multikultural. Oleh karena itu, dapat dipahami perlu adanya solusi untuk menangani permasalahan tersebut. Salah satu yang dapat diberikan yaitu praktek pendidikan IPS yang bernuansa Indonesia yaitu demokrasi dan multikultural. Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS). Indonesia sebagai negara majemuk baik dalam segi
532
agama, suku-bangsa, golongan maupun budaya lokal. Hal inilah yang harus diperhatikan dalam menyusun atau memilih konsep pendidikan IPS yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Pendidikan IPS mempunyai tujuan menanamkan nilai yang harus dikuasai oleh peserta didik sebagai calon warga negara, agar memiliki memiliki persepsi dan sikap yang bisa hidup dalam keragaman kultur, agama, bahasa, ras serta dapat menghormati hak setiap warga negara. Kini saatnya bagi dunia pendidikan di Indonesia untuk mempersiapkan diri mengembangkan pendidikan IPS yang berwajah Indonesia, yang tumbuh dan lahir dari masyarakat itu sendiri, sehingga betul-betul mencerminkan kondisi keadaan masyarakat yang ada. Bagaimana mengembangkan pendidikan IPS berwajah Indonesia? Untuk itu, paper ini akan dibahas mengenai format pendidikan IPS yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. PEMBAHASAN Secara konseptual yang dimaksud dengan pembelajaran IPS berwawasan demokrasi dan multikultural adalah (1) pembelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan nilai, konsep dan prinsip demokrasi dan mulikultural, (2) pembelajaran pada umumnya yang ada di dalam praktiknya memperhatikan penerapan nilai, konsep, dan prinsip demokrasi dan multicultural. Kedua dimensi itu sangat penting untuk dikembangkan karena diyakini bahwa democracy cannot teach it self; … democracy is not inherited – it is learned through
life it is a life-long learning process (Gandal & Finn dalam Winataputra, 2001: 51) artinya demokrasi tidaklah bisa mengajarkan dirinya sendiri – demokrasi tidaklah diwariskan, dipelajari dalam kehidupan sebagai suatu proses belajar sepanjang hayat. Sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945, pembelajaran yang berwawasan demokrasi dan multikultural terasa sangat penting sebagai wahana pedagogis untuk memfasilitasi individu warga negara memperoleh pengalaman belajar dalam hidup berdemokrasi dan multikultural sebagai sarana dalam belajar hidup bersama sehingga tercipta suasana belajar dan iklim belajar yang demokratis dan mencerdaskan. Karekteristik Pendidikan IPS adalah upaya untuk mengembangkan kompetensi sebagai warga negara yang baik. Hal ini dapat dibangun apabila dalam diri setiap orang terbentuk perasaan yang menghargai terhadap segala perbedaan, baik berupa pendapat, etnik agama, kelompok, budaya dan sebagainya. Oleh karena itu pendidikan IPS memiliki tanggung jawab untuk dapat melatih peserta didik dalam membangun sikap yang demikian. Konteks perkembangan pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “Pendidikan IPS” untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Inovasi dan reorientasi pembelajaran IPS perlu dilakukan memberikan kotribusi dalam proses pembangunan demokrasi dan multikultural. Pembelajaran IPS perlu diubah
533
secara total dan berkesinambungan sesuai dengan konteks dan perubahan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga konsep pendidikan IPS benar-benar berwajah Indonesia. Perlu banyak perubahan dalam pendidikan IPS seperti perubahan pembelajaran IPS itu sendiri. Peembelajaran IPS bukan hanya sekedar transfer pengetahuan, melainkan dapat menjadikan sebagai kekuatan pembebas pada setiap kehidupan individu warga bangsa. Pembelajaran IPS seyogyanya merupakan satu instrumen utama di dalamnya memperkuat dan mendorong proses transisi menunju masyarakat demokratis karena masyarakat Indonesia yang beranekaragaman dan pluralistik merupakan ancaman bagi desintegrasi bangsa. Oleh karena itu inovasi dan reorientasi pembelajaran IPS sangat diperlukan agar pembelajaran yang dilakukan memberikan kotribusi maksimal dalam proses membangun demokrasi. Zamroni (2002: 10) menyatakan bahwa pendidikan demokrasi senantiasa harus mendasarkan diri pada prinsipprinsip kemanusiaan, dan menitik beratkan pada tujuan untuk mengembangkan pada diri peserta didik sehingga peserta didik memiliki pandangan sebagai warga bangsa dan warga masyarakat global. Hal ini dapat dilakukan apabila sekolah dapat mentransfer pembelajaran yang bersifat akademis sempit ke dalam realitas yang amat luas di masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki
pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif (Naim dan Sauqi, 2011: 8). Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam dunia pendidikan adalah multikultural atau keragaman budaya. Pendidikan multikultural harus selalu ditanamkan pada setiap satuan pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Aly (2011: 105) menyatakan bahwa pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya para peserta didik. Definisi ini mendeskripsikan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan dalam implementasi pendidikan multikultural adalah keragaman budaya peserta didik, karena peserta didik memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Pendidikan demokrasi diperlukan adanya pengembangan kemampuan berpikir kritis, analitis dan jernih disertai dengan pengedalian diri. Menurut Zamroni (2002:10 ), secara singkat pendidikan demokrasi memiliki tiga tujuan yakni: a) Mengembangkan kepribadian peserta didik sehingga memiliki sifat empati, respek, toleransi dan percaya pada orang lain. b) Mengembangkan kesadaran selaku warga suatu bangsa dan warga dunia. c) Meningkatkan kemampuan mengambil keputusan secara rasional. Dengan demikian, dalam mendukung proses demokratisasi perlu adanya pendidikan multikultural yang relevan dilaksanakan, dimana pada pendidikan multikultural terdapat beberapa hal terkait mengenai:
534
pengakuan hak asasi manusia, tidak adanya diskriminasi dan diupayakannya keadilan sosial. Selain itu, dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, di dalam penelitian etnologis misalnya: diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbedabeda. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Hal tersebut didukung oleh Gandhi yang menunjukkan bahwa budaya sebagai alat pemersatu bangsa. Lantas bagaimanakah menciptakan kerukunan agar terjadinya kedamaian dimana-mana salah satunya yaitu dengan pendidikan yang multikultur. Adanya perang suku, antar kampung dan lain-lain rupanya penyebabnya adalah kurang adanya kesadaran saling memahami antara kultur satu dengan kultur yan lainya. Begitu juga runtuhnya moral saat ini juga diakibatkan kurang adanya pemahaman untuk bertoleransi dengan lingkunganya. Maka pendidikan multikultural salah satu cara yang sangat vital untuk menciptakan bangsa yang berperadaban dan mempunyai adab. Berdasarkan konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif,
sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Sifat warga negara yang baik akan lebih mudah ditumbuhkan pada peserta didik apabila guru mendidik mereka dengan jalan menempatkannya dalam konteks kebudayaan. Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan mengharuskan adanya pendidikan yang multikultural, yaitu pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. selain itu adapula yang berpendapat, bahwa pendidikan multikultural dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk mencapai kehidupan bersama dari umat manusia didalam era globalisasi yang perlu dengan tantangan-tantangan baru. Pendidikan multikultural dalam Pendidikan IPS paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu: Pertama, Kesadaran peserta didik akan nilai penting terhadap keragaman budaya. Perlu adanya peningkatan kesadaran bahwa semua peserta didik memiliki karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masingmasing. Pendidikan multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua peserta didik tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Kedua, Pendidikan multikultural yang direncanakan untuk merespon
535
tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai kelompok. Ketiga, proses pendidikan. Pendidikan multikultural adalah proses menjadi, proses yang berlangsung terus menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung tercapai. Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor. Zamroni (2011: 140) menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu bentuk reformasi pendidikan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang setara bagi peserta didik tanpa memandang latar belakangnya sehingga peserta didik dapat meningkatkan kemampuan secara optimal sesuai dengan ketertarikan, minat, dan bakat yang dimiliki. Sejalan dengan hal itu, Banks (2002: 14) juga menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas dan cara berpikir tentang adanya keberagaman kelompok, etnis, ras, dan budaya. Suatu konsep pendidikan yang memberikan kesempatan secara adil kepada semua peserta didik dengan tanpa memandang adanya perbedaan etnik, ras, agama, kelas sosial, dan karakteristik kultural mereka. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kebersamaan, serta mengakui, menerima, menghargai. Berdasarkan praktek di sekolah semua peserta didik memperoleh hak dan perlakuan yang sama meskipun mereka berasal
dari latar belakang yang berbedabeda. Kembali pada konsep pendidikan multikultural, Banks (2010: 23) menjelaskan adanya lima dimensi dalam implementasi pendidikan multikultural, yakni: conten integration, knowledge construction, equity pedagogy, prejudice reduction, and empowering school culture. Dalam hal ini bentuk pengembangan pendidikan multikultural di setiap negara berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masingmasing negara. Kami berusaha mengembangkan pendidikan IPS berwajah Indonesia dengan mengimplementasikan lima dimensi yang diungkapkan oleh Banks yang saling berkaitan satu dengan yang lain dengan harapan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program IPS yang mampu merespons terhadap perbedaan peserta didik, yaitu: Pertama, Content Integration (integrasi isi atau materi) adalah penggunaan contoh, data dan informasi dari berbagai budaya oleh guru. Inilah yang kebanyakan orang dianggap sebagai pendidikan multikultural: mengajarkan budayabudaya yang berbeda dan sumbangan yang diberikan oleh orang-orang dari budaya yang bermacam-macam, penyertaan ke dalam kurikulum karya anggota-anggota kelompok yang kurang terwakili, seperti etnis Tionghoa. Berdasarkan buku teks pelajaran, sesungguhnya banyak sekali tokoh-tokoh dari etnis Tioghoa yang belum dibahas. Peran tokohtokoh yang berasal dari etnis Tioghoa ikut andil dalam usaha
536
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia antara lain: Djiaw Kie Song (pemilik rumah dalam peristiwa Rengasdengklok), Lie Eng Hok (pemimpin pemberontakan 1926 di Banten melawan penjajah), Yap Thian Hien (pengacara yang secara konsisten memperjuangkan hak asasi manusia pada zamannya) dll. Selain itu, dalam buku IPS harus menampilkan budaya yang ada di Indonesia seperti bacaan tentang budaya dari daerah Solo, tentang kehidupan masyarakat Solo yang sangat dipengaruhi oleh tatanan budaya keraton yang menjadi pusat kebudayaan dan kesenian Jawa, tempat-tempat yang ada di Solo, seperti Pasar Klewer, hingga ciri khas Solo sebagai Kota Batik. Ditampilkan pula budaya Madura, tentang ciri khas Madura yakni Karapan Sapi. Selain itu, ditampilkan pula budaya Semarang berupa kesenian wayang orang. Jangan lupa bahwa materi mengenai kebudayaan tidak hanya terpusat pada Jawa saja namun harus menyeluruh dari kebudayaan dari P. Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dan Papua. Dimensi ini juga berkaitan dengan upaya untuk menghadirkan aspek kultur dari berbagai kultur yang ada ke ruang-ruang kelas. Seperti pakaian, tarian, kebiasaan, sastra, bahasa, dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan akan mampu mengembangkan kesadaran pada diri siswa akan kultur milik kelompok lain. Menurut Banks (Mahfud, 2011: 177), konsep-konsep atau nilai-nilai tersebut bisa diintegrasikan ke dalam materimateri, metode pembelajaran tugas/latihan, maupun evaluasi yang ada dalam buku pelajaran.
Ditambahkannya pula bahwa materimateri tersebut bisa berupa penyajian dan pengenalan berbagai budaya dan kelompok yang beragam. Dalam jurnal hasil penelitiannya, Novera (2004: 475) juga menyatakan bahwa isu-isu budaya dalam proses penyesuaian siswa sangat penting untuk diberikan,terutama dalam kaitannya dengan interaksi kelas antara guru dengan murid. Sedangkan dalam pengintegrasian materi yang berkaitan dengan bahasa yang beragam, Yaqin (2005: 104) menjelaskan bahwa siswa harus dididik untuk mempunyai sikap dan perilaku yang mampu menghargai orang lain yang mempunyai bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi adanya diskriminasi bahasa di sekolah. Kedua, Knowledge Contruction (konstruksi pengetahuan), merujuk pada guru yang membantu peserta didik memahami bagaimana pengetahuan diciptakan dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh kedudukan ras, etnis dan kelas sosial individu dan kelompok. Hal ini membantu peserta didik memahamai bagaimana pengetahuan yang peserta didik terima dipengaruhi oleh asal-usul dan sudut pandang peserta didik. Misalnya peserta didik diminta menuliskan sejarah kedatangan bangsa Cina dari perspektif warga Indonesia Pribumi untuk mempelajari bagaimana pengetahuan yang peserta didik terima sebagaimana adanya dalam kenyataannnya dipengaruhi oleh asal-usul dan sudut pandang peserta didik sendiri dan akhirnya membawa peserta didik untuk memahami
537
implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran IPS. Selain itu peserta didik dapat diberikan pembelajaran berkaitan dengan berbagai keragaman yang terjadi dalam dunia remaja. Hal-hal yang berkaitan dengan persahabatan, pertikaian antarsahabat, hingga pada akhirnya diberikan pemahaman akan arti pentingnya menjaga persahabatan. Ketiga, Prejudice Reduction (pengurangan prasangka) merupakan sasaran penting pendidikan multikultural. Pengurangan prasangka meliputi pengembanan hubungan positif di kalangan peserta didik dari latar belakang etnis yang berbeda dan perkembangan sikap yang lebih demokratis dan toleran terhadap orang lain. Hal yang dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik ras peserta didik dan menentukan model pembelajaran mereka. Dalam kegiatan diskusi yang dilaksanaan pada saat pembelajaran IPS, guru dapat memfasilitasi agar peserta didik dalam mengungkapkan persetujuan, sanggahan, dan penolakan pendapat disertai dengan bukti atau alasan. Peserta didik diberikan pemahaman agar dapat menghargai dan menghormati perbedaan pendapat dalam diskusi serta memberikan sanggahan dengan bahasa yang sopan dan cara yang santun. Peserta didik diberikan pemahaman bahwa tidak harus mengartikan ada yang salah dan ada yang benar dalam perbedaan pendapat. Harus dipahami bahwa dalam setiap perbedaan pendapat, pasti ada alasan yang mendasarinya. Dalam proses diskusi, boleh saja menerima satu pendapat dan boleh
pula menolaknya. Namun, yang harus dipahami bahwa semua itu harus dilakukan dengan cara-cara yang santun. Jangan sampai menimbulkan hal-hal yang justru akan mampu memecah belah kebersamaan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehubungan dengan laporan jurnal hasil penelitian yang dilakukan, Winch (2004: 102) menyatakan bahwa proses dan praktik pembelajaran yang menargetkan pengakuan, nilai dan berbagai pandangan dunia dalam proses belajar mengajar perlu dilakukan sebagai upaya belajar bagi peserta didik untuk bisa hidup bersama dalam sebuah kelas multikultural. Dijelaskan pula bahwa pendidikan untuk masa depan harus diatur sebagaimana prinsip empat pilar dalam proses belajar, yaitu belajar untuk menjadi, belajar untuk melakukan, belajar untuk mengetahui, dan belajar untuk hidup bersama. Dengan cara demikian, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok, dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik. Keempat, Equitable Pedagogy (pedagogi keadilan) yang merujuk pada penggunaan teknik pengajaran yang mempermudah keberhasilan akademis peserta didik dari kelompok etnis dan kelas sosial yang berbeda. Misalnya penyesuaian metode pembelajaran dengan cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik peserta didik yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial, antara lain dengan bentuk kerja sama
538
(cooperative learning) dan bukan hanya dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Guru dalam membuat soal cerita yang dapat menyelipkan pesan moral tentang persamaan hak antara pria dan wanita. Dalam soal latihan tersebut dapat diketahui bahwa peserta didik diharapkan memiliki suatu pemahaman bahwa keadilan berhak dan wajib diberikan kepada siapa saja, termasuk pula kepada para kaum wanita. Dalam petikan soal itu, kaum wanita diharapkan mampu mengangkat derajat mereka masingmasing. Kelima, Empowering School Culture And Sosial Structure (Pemberdayaan budaya Sekolah dan Struktur Sosial) adalah budaya yang membuat organisasi dan praktik sekolah bersifat kondusif bagi pertumbuhan akademis dan emosional semua peserta didik. Sekolah dengan budaya seperti itu dapat, misalnya menghilangkan jalur khusus atau pengelompokan kemampuan, meningkatkan penyatuan dan mengurangi pemberian cap peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus, mencoba untuk menempatkan semua peserta didik dalam jalur menuju pendidikan yang lebih tinggi dan terus menerus memperlihatkan harapan yang tinggi. Selain itu, peserta didik diberikan pemahaman agar mampu bersikap sopan dalam menyampaikan saran/kritikan kepada guru-guru atau kepala sekolah mereka. Peserta didik diberikan pemahaman bagaimana cara menyampaikan aspirasi dengan baik. Jangan sampai menimbulkan konflik atau perseteruan antara peserta didik dengan guru/kepala sekolah.
PENUTUP Pendidikan IPS yang berwajah multicultural dan demokrasi, yaitu penghargaan akan kebudayaan dari masing-masing kelompok etnis dipengarui oleh perubahan didalam konsep mengenai arti budaya di dalam kehidupan masyarakat yang demokrasi. Proses demokratisasi tersebut dipicu oleh adanya peningkatan terhadap pengakuan akan hak asasi manusia yang tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, status sosial, pekerjaan, dan lain sebagainya. Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Sikap ini harus dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam mata pelajaran IPS. Seorang guru tidak hanya dituntut menguasai dan mampu secara profesional mengajar mata pelajaran IPS, lebih dari pada itu, seorang guru harus mampu menanamkan nilai-nilai multikultutal untuk tercapainya bangsa Indonesia yang demokratis dan humanis. Penyelenggaraan pendidikan IPS yang berwajah Indonesia yaitu multikultural dan demokrasi di dunia pendidikan dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat saat ini. Dengan kata lain pendidikan IPS yang berwajah Indonesia yaitu multicultural dan demokrasi menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial budaya. Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik pendidikan IPS juga signifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercabut dari akar budaya yang dimiliki
539
sebelumnya ketika berhadapan dengan realitas sosial budaya di era globalisasi. Pendidikan IPS yang berwajah multikultural dan demokrasi harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design perencanaan dan melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya. Dan terakhir pendidikan IPS hasil dan pencapaian pendidikan multicultural dan demokrasi harus dapat diukur melalui evaluasi yang relevan yang sesuai dengan kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan di sekolah. DAFTAR PUSTAKA Aly, Abdullah. 2011. Pendidikan Islam multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Banks, J.A. (2002). Anintroduction to multicultural education. Boston: Allyn and Bacon Press. Banks, J.A. (2010). Multicultural education: issues and perspectives. Needham Heights, Massachusetts : Allyn and Bacon Mahfud, Choirul. (2011). Pendidikan multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Naim, Ngainun & Achmad Sauqi. (2011). Pendidikan multikultural konsep dan aplikasi. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Novera, Ivet Amri. 2004. “Indonesian Postgradute Students Studying in Australia: An Examination of their Academic, Social and Cultural Experiences”. Internatioanl Education Journal. Vol. 5. no. 4. hal. 475-487. Purwasito, Andrik,. (2003). Komunikasi multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Ujan, Andre Ata, dkk.. (2011). Multikulturalisme: belajar hidup bersama dalam perbedaan. Jakarta: PT Indeks. Winataputra. (2001). Pembaruan dalam pembelajaran. Jakarta; Universitas Terbuka. Winch, Carlene and Dummett. 2004. “Teaching Processes and Practices for an Australian Multicultural Classroom: Two Complementary Models. International Education Journal. Vol. 4. No. 4. Hal. 102-113. Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan multikultural; cross-cultur understanding untuk demokrasi dan keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. Zamroni. (2002). Paradigma pendidikan masa depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Zamroni. (2011). Pendidikan demokrasi pada masyarakat multikultural. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.
540