1001: Purnama Darmadji dkk.
PG-62
INOVASI PROTOTIPE PRODUK NANOENKAPSULASI BIOPRESERVATIF ASAP CAIR SEBAGAI PENGAWET PANGAN ALAMI Purnama Darmadji1 , Satrijo Saloko2 , Bambang Setiaji3 , dan Yudi Pranoto1 1
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram 3 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada 2
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Asap cair tempurung kelapa berpotensi sebagai pengawet makanan alami karena mengandung senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba. Enkapsulasi asap cair tempurung kelapa dengan kitosan-maltodekstrin berdimensi nanopartikel dapat mempertahankan sifat fungsional. Studi ini meneliti fenol total, karbonil dan asam dalam asap cair tempurung kelapa di berbagai formulasi. Chitosan-maltodekstrin (CS-MD) nanopartikel disiapkan dengan penambahan natrium tripolifosfat 1,0% (TPP) ke dalam larutan asap cair. Sampel yang terdiri dari CS-MD nanopartikel dalam asam asetat 1,0% tanpa asap cair digunakan sebagai kontrol. CS-MD nanopartikel juga dievaluasi pada temperatur tinggi (40 dan 50 ◦ C) selama 15 menit. CS-MD nanopartikel dengan asap cair menghasilkan kisaran kandungan total fenol 1,54%-1,85%, total berkisar karbonil dari 13,48%-19,32% dan total asam (% asam asetat) berkisar antara 9,29%-10,33%. Sedangkan, kontrol CS-MD nanoparicles tanpa asap cair tempurung kelapa menunjukkan karbonil fenol dan total jumlah terdeteksi, total asam (% asam asetat) 1,71%. Konsentrasi kitosan (1,5%) dalam asap cair memberikan nilai terendah diamati untuk semua parameter. Kerataan ukuran partikel terlihat menurun ketika suhu udara masuk meningkat. Kepadatan curah, kadar air dan aktivitas air dari bubuk cenderung menurun dengan kenaikan temperatur udara masuk. Namun, hasil bubuk meningkat dengan meningkatnya temperatur udara yang masuk. Selain itu, morfologi permukaan halus saat bola untuk semua bubuk tapi kenampakan permukaan yang lebih dalam dan partikel keriput untuk suhu udara masuk yang tinggi terutama dalam larutan kitosan asli. Kata Kunci: Asap cair tempurung kelapa, fenol, nanoenkapsulasi, chitosan, maltodekstrin, spray drying.
I.
PENDAHULUAN
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari pirolisis kayu.[1] Menurut Pszczola (1995)[2] destilat asap cair didefinisikan sebagai kondensat cair alami dari asap kayu yang telah mengalami aging dan filtrasi untuk memisahkan senyawa tar dan bahan-bahan tertentu. Foster dan Simpson[3] menjelaskan bahwa asap merupakan sistem yang kompleks yang mengandung fase dispersi cairan dengan diameter partikel dalam asap sekitar 0,1 m dan medium dispersi berupa gas (uap asap). Tranggono et al.[4] menyatakan sifat-sifat asap cair dari berbagai kayu dan tempurung kelapa mempunyai citarasa yang disukai. Mutu dan kualitas asap yang dihasilkan tergantung dari jenis kayu, kadar air dan suhu pembakaran dalam proses pengasapan. Asap cair tempurung kelapa secara fisik berwarna kecoklatan. Penggunaan asap cair mempunyai kelebihan khusus yaitu flavor produk lebih seragam, konsentrasi dapat diatur sesuai keinginan, senyawa yang berbahaya
dapat dipisahkan sebelum digunakan pada makanan, mengurangi pencemaran lingkungan dan komposisi asap cair lebih konsisten untuk pemakaian yang berulang-ulang. Di Indonesia keamanan produk ini telah masuk dalam SNI 01-7152-2006 tentang Bahan Tambahan Pangan Persyaratan Perisa dan Penggunan dalam Produk Pangan. Menurut FDA, penggunaan redistilat asap cair pada produk pangan dikategorikan sebagai GRAS yaitu produk yang aman untuk dikonsumsi (Hogan dan Hartson[5] ). Asap cair mengandung senyawa kelompok fenol, karbonil dan asam. Ketiga senyawa tersebut secara simultan dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikrobia serta memberikan pengaruh terhadap warna dan citarasa khas asap pada produk pangan (Maga[1] ). Girard[6] mengemukakan bahwa lebih dari 300 senyawa dapat diisolasi dari asap kayu secara keseluruhan yang jumlahnya lebih dari 1000,dan senyawa tersebut diidentifikasi dalam asap dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Senyawa fenol bertanggung jawab pada pembentukan flavor pada produk pengasapan dan juga memProsiding InSINas 2012
1001: Purnama Darmadji dkk.
PG-63
G AMBAR 1: Profil GC-MS redistilat asap cair tempurung kelapa
punyai aktivitas antioksidan yang mempengaruhi daya simpan produk pangan (Girard[6] ) di samping itu fenol juga memberikan konstribusi dalam pewarnaan produk asapan (Ruiter[7] ). Senyawa fenol juga mempunyai arti penting yang menunjukkan aktivitas antimikrobia (Barylko dan Pikielna[8] ). Kadar fenol bervariasi antara 2,10-2,13% tergantung pada macam dan bentuk kayu (Tranggono et al.[4] ). Senyawa-senyawa karbonil yang terdapat di dalam asap cair meliputi formaldehid, glikoaldehid, metilglioksal, diasetil, furfural, aseton dan hidroksiaseton. Glikoaldehid dan metilglioksal merupakan bahan pencoklat yang aktif dengan gugus amin, tetapi aseton memiliki potensi pencoklatan yang lebih rendah. Formaldehid mudah bereaksi dengan gugus aminnya tanpa menaikkan intensitas warna coklat (Ruiter[7] ). Warna produk asapan disebabkan adanya interaksi antara karbonil dengan gugus amin (Girard[6] ). Kandungan senyawa karbonil dari berbagai jenis kayu bervariasi antara 8,56-15,23% (Tranggono et al.[4] ). Asam-asam yang ada di dalam distilat asap cair meliputi asam format, asetat, propionat, butirat, valerat dan isokaproat. Asam-asam yang berasal dari asap cair dapat mempengaruhi flavor, pH dan umur simpan makanan (Pszczola[2] ). Senyawa asam terutama asam asetat mempunyai aktivitas antimikrobia dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal. Asam asetat bersifat mampu menembus dinding sel dan secara efisien mampu menetralisir gradien pH transmembran. Keasaman (dihitung sebagai % asam asetat) asap cair dari berbagai kayu bervariasi antara 4,27-11,39% (Tranggono et al.[4] ). Peningkatan sifat-sifat fungsional asap cair perlu dikembangkan melalui teknologi yang dapat melindungi dengan cara mengenkapsulasi dalam suatu enkapsulan pada ukuran yang sangat kecil pada skala nano yaitu berkisar antara 0-1000 nm (Carva-
jal et al.;[9] Chaudhry et al.[10] ). Dibandingkan dengan teknik mikroenkapsulasi, maka nanoenkapsulasi produk pangan akan memberikan beberapa keunggulan diantaranya dalam hal peningkatan rasa, warna, tekstur, flavor, konsistensi produk, absorpsifitas dan ketersediaan komponen bioaktif (Greiner[11] ). Pemilihan enkapsulan untuk mendapatkan ukuran nano sangat menentukan keberhasilan nanoenkapsulasi, selain itu enkapsulan harus food grade dan GRAS (Anal, 2010). Diantara enkapsulan yang memenuhi kriteria tersebut adalah kitosan dan maltodekstrin (Wandrey et al.[13] ). Kitosan telah dikembangkan sebagai pengawet alami menggantikan formalin karena mampu menginaktifkan bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus (Darmadji dan Izumimoto;[14] Kanatt et al.; Pranoto dan Rakshit[15] ), di samping itu kitosan mempunyai sifat sebagai antioksidan (Feng et al.[16] ), dan memberikan perlindungan terhadap inti (Honarkar dan Barikani;[17] Kong et al.[18] ). Sedangkan maltodekstrin mempunyai kelarutan tinggi, tidak mempunyai rasa dan aroma. (Desobry et al.;[19] Tax et al.;[20] Righetto and Netto[21] ). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat meningkatkan kadar fenol dan antosianin selama pengolahan tepung ubi jalar ungu (Ahmed et al.[22] ). Kombinasi kitosan dan maltodekstrin pada proses enkapsulasi diharapkan akan menghasilkan enkapsulan yang berdimensi nano. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian tentang enkapsulasi asap cair tempurung kelapa berbasis teknologi nanopartikel. Diharapkan, nanokapsul yang dihasilkan dari kombinasi redistilat asap cair dan kitosan akan mempunyai daya pengawet yang tinggi dan memudahkan pilihan dalam pengawetan pangan yang aman dan alami.
Prosiding InSINas 2012
1001: Purnama Darmadji dkk.
PG-64
II.
METODOLOGI
A. Bahan dan alat Tempurung kelapa diperoleh dari limbah hasil olahan kopra di beberapa sentra di Provinsi DIY yang diproses menjadi asap cair di PT. Tropica Nucifera Industry Sleman-Yogyakarta. Kitosan (DD 91,5%) dari PT. Biotech Surindo, Cirebon. Maltodekstrin (DE 10,8%) dari Grain Processing Corp. (Iowa, USA). Bahan kimia yang digunakan antara lain H2 SO4 72%, 1 N larutan fenol standar, Na2 CO3 jenuh, pereaksi Folin-Ciocalteu, asam asetat, Sodium tripolyphosphate (TPP) (Sigma Co., St. Louis), aseton, 2,4 dinitrofenilhidrazin, HCl pekat, KOH 1 N, asam oksalat, indikator PP (1% dalam methanol) dan NaOH 0,1 N. Alat-alat ekstraksi, pirolisator, destilator, penyaring vakum, sentrifius tipe Damon/IEC, spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 1601 dan ultra turrax homogenizer T50 IKA WERKE, Water bath merk Julanbo, buret dan statifnya, pH meter Schott, dan peralatan gelas untuk analisis. B.
Cara Penelitian Pembuatan redistilat asap cair dari tempurung kelapa melalui proses pirolisis dengan suhu 400 ◦ C, dan kondensasi hingga tidak terdapat lagi asap cair yang menetes. Pemisahan asap cair dari tar dilakukan melalui pengendapan selama 24 jam. Setelah itu, crude asap cair yang dihasilkan didistilasi menggunakan distilator pada suhu 98 ◦ C. Distilat asap cair yang dihasilkan dilakukan proses redistilasi pada suhu 98 ◦ C. Redistilat asap cair yang diperoleh diidentifikasi profil senyawa penyusun meliputi kadar fenol (Senter[23] ), total asam, pH (titrasi, AOAC, 2008), karbonil (Lappin dan Clark[24] ), dan profil senyawa asap cair (GC-MS) menggunakan metode Tonogai et al.[25] yang telah dimodifikasi. C.
Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan di Laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yaitu menggunakan perlakuan perbandingan enkapsulan (maltodekstrin dan kitosan) dengan redistilat asap cair (total padatan 10%). Adapun perbandingan tersebut terdiri 5 perlakuan yaitu: 1. F1 = Asam asetat 1,0%: kitosan (0,5%): maltodekstrin (9,5%) 2. F2 = Redistilat asap cair: kitosan (0%): maltodekstrin (10,0%) 3. F3 = Redistilat asap cair: kitosan (0,5 %): maltodekstrin (9,5%) 4. F4 = Redistilat asap cair: kitosan (1,0 %): maltodekstrin (9,0%) 5. F5 = Redistilat asap cair: kitosan (1,5 %): maltodekstrin (8,5%)
Dispersi nanopartikel kontrol dan asap cair tersebut ditambahkan TPP 1,0% kemudian dilakukan pemanasan menggunakan water bath (pada suhu T1 = 40 ◦ Cdan T2 = 50 ◦ C) selama 30 menit, perlakuan tanpa pemanasan digunakan sebagai kontrol, kemudian larutan dihomogenisasi menggunakan ultra thurax homogenizer pada kecepatan homogenisasi 4000 rpm selama 2,5 menit. Parameter yang dianalisis adalah total fenol, total karbonil, dan total asam. Setiap kombinasi perlakuan yang dicobakan diulang 3 (tiga) kali. Data parameter yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan MINITABS 16.0 dengan metoda One Way Anova dengan uji jarak Tukey dengan tingkat signifikansi 5% (Trihendradi, 2009).
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis komponen redistilat asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada TABEL 1. TABEL 1: Komposisi Redistilat Asap Cair Tempurung Kelapa
Komponen Benzopyrene (ppm) Fenol (%) Karbonil (%) Total Asam (%) pH
Kandungan Tidak terdeteksi 2,08 10,83 997 2,54
Dari TABEL 1 menunjukan bahwa redistilat asap cair yang digunakan komponen benzopyrene tidak terdeteksi dalam kadar ppm yang mengindikasikan bahwa redistilat asap cair tidak bersifat karsinogen. Sedangkan komponen lain seperti fenol, karbonil, asam dan pH kandungannya berada pada kisaran kandungan kayu keras seperti Jati, Mahoni, Kamper, Bengkirai (Tranggono et al., 1999) dan pada tempurung kelapa hibrida (Kadir et al., 2012). Sedangkan Profil komponen senyawa volatil dari redistilat asap cari tempurung kelapa yang dianalisis menggunakan GC-MS disajikan pada G AMBAR 1, dan hasil identifikasi GC-MS senyawa volatil redistilat asap cair tempurung kelapa disajikan pada TABEL 2. Hasil interpretasi komponen volatil dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis spektrometer massa setiap sampel dengan data base komputer yakni Wiley7Nist05 yang menyimpan sejumlah besar data spektra massa dari senyawa murni yang telah diketahui. Dari hasil terebut, senyawa yang menyusun komponen asap cair pada delapan menit pertama didominasi oleh metil asetat, metanol, hidroksi propan, hidroksi butan dan etil asetat. Hasil analisis komponen fenol, karbonil dan asam dari redistilat asap cair tempurung kelapa setelah diproses menggunakan teknologi nanopartikel yaitu Prosiding InSINas 2012
1001: Purnama Darmadji dkk.
PG-65
TABEL 2: Hasil Identifikasi GC-MS Senyawa Volatil Redistilat Asap Cair Tempurung Kelapa
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama senyawa
% Relatif komponen
Berat molekul
Rumus molekul
Metil asetat Metanol Nikel Karbonil 2,3-Pentanol 1,2-Hidroksi propan 1,2-Siklopentan 1,2-Hidroksi butan Etil asetat 2-furan karboksil aldehid 1,2-Furanil etanon Asam propanoat 2-Metoksi fenol 1,4,dimetoksi benzen Fenol 4-Etil-2-Metoksi fenol 4-Metil fenol 2-Metil fenol
5,00 16,22 0,15 0,47 1,80 0,75 1,82 49,78 1,47 0,21 1,44 2,15 0,53 17,11 0,16 0,61 0,33
74 32 170 86 74 82 88 60 96 110 74 124 138 94 152 108 108
C 3 H6 O 2 CH4 O C4 Ni8 O4 C5 H10 O C 3 H6 O 2 C 5 H6 O C 4 H8 O 2 C 2 H4 O 2 C 5 H4 O 2 C 6 H6 O 2 C 3 H6 O 2 C 7 H8 O 2 C8 H10 O2 C 6 H6 O C9 H12 O2 C 7 H8 O C 7 H8 O
G AMBAR 2: Nanopartikel asap cair.(a) chitosan (0.5% w/v) + maltodextrin (9.5% w/v) dalam asam asetat, (b) maltodextrin saja(10% w/v) dalam asap cair dan (c) chitosan (1.5% w/v) + maltodextrin (8.5% w/v) dalam asap cair.
penambahan kitosan dan maltodekstrin pada berbagai formulasi disajikan pada TABEL 3. Senyawa fenol di samping memiliki peranan dalam pembentukan warna dan aroma juga menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri dan antioksidan. Pada formulasi perlakuan F1 kandungan fenol tidak terdeteksi, TABEL 3: Kandungan total fenol, karbonil dan asam pada formulasi bahan Formulasi Fenol Karbonil Asam (%) Bahan (%) (%) (asam asetat) F1 0.00 a 0.00 a 1.71 ±0.09 a F2 1.70 ±0.11 b 18.53 ±0.56 b 10.33 ±0.57 b F3 1.67 ±0.11 c 16.50 ±0.49 c 10.11 ±0.53 b F4 1.64 ±0.11 d 15.22 ±0.59 d 9.73 ±0.20 c F5 1.63 ±0.11 d 13.87 ±0.29 e 9.29 ±0.33 d a,b,c,d,e Menunjukan nilai pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (p <0.05).
Indeks kemiripan 96 98 90 85 97 91 89 99 97 90 88 94 89 95 86 89 85
karena pada perlakuan ini kitosan dengan konsentrasi 0,5% dari total padatan 10% dilarutkan dalam larutan asam asetat 1% sehingga di dalam larutan nanopartikel tersebut tidak mengandung fenol. Demikian juga pada kandungan karbonilnya. Sedangkan kandungan asam (sebagai % asam asetat) mengandung jumlah yang sedikit dibandingkan perlakuan yang lain. Sebaliknya, pada perlakuan F2 (redistilat asap cair) mengandung fenol lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lain karena pada F2 tidak terdapat penambahan kitosan, hanya penambahan maltodektrin sebanyak 10%. Kandungan fenol untuk semua formulasi perlakuan lebih rendah dari asap cair karena asap cair merupakan total dari fenol. Secara keseluruhan, semakin tinggi konsentrasi kitosan terjadi kecenderungan penurunan fenol maupun karbonil. Hal ini disebabkan kitosan mempunyai sifat sebagai adsorber yang dapat menyerap komponen bioaktif sperti fenol dan karbonil yang larut dalam air (Billmeyer[27] ). Selain itu dengan adanya senyawa asam akan mempengaruhi kandungan dari fenol. Asam dapat mengkatalisa fenol. Kelarutan fenol akan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan asam. Jika kadar asam tidak cukup tinggi maka ada kemungkinan fenol yang terkatalisa akan sedikit sehingga akan mempengaruhi kadar fenol. Senyawa karbonil (aldehid dan keton) berperan dalam pembentukan warna dan aroma pada asap sedangkan efeknya pada cita rasa kurang menonjol. Warna produk asapan disebabkan adanya interaksi antara karbonil dengan gugus amino (Girard[6] ). Kandungan senyawa karbonil dari furmulasi F2 mempun-
Prosiding InSINas 2012
PG-66 yai nilai yang lebih tinggi dibandingan perlakuan yang lain yaitu sebesar 18.53%. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Tranggono et al.[4] pada tempurung kelapa sebesar 13,28%. Asam merupakan senyawa yang berperan sebagai antibakteri dan juga memberi citarasa produk asapan secara keseluruhan. Kadar asam tertinggi diperoleh dari formulasi F2 (asap cair, tanpa kitosan dan maltodekstrin 10%) diikuti perlakuan lain dimana persentase penambahan kitosan semakin tinggi. Kandungan asam didominasi asam organik dengan 1 sampai 10 atom karbon merupakan penyusun asap secara keseluruhan. Hanya asam beratom karbon satu sampai empat saja yang banyak dijumpai pada fase uap dalam asap, sedang yang berantai 5 sampai 10 berada di fase partikel asap (Porter et al.[28] ). Jadi asam-asam format, asetat, propionat, butirat dan isobutirat terdapat pada fase uap asap, sedang asamasam valerat, isovalerat, kaproat, heptilat, nonilat dan kaprat berada di fase partikel asap. Menurut Tilgner et al.[28] dalam Girard,[6] jumlah asam merupakan 40% dari distilat kondensat asap. Asam-asam yang ada di dalam distilat asap cair meliputi asam format, asetat, propionat, butirat, valerat dan isokaproat. Asam-asam yang berasal dari asap cair dapat mempengaruhi flavor, pH dan umur simpan makanan (Pszczola[2] ). Senyawa asam terutama asam asetat mempunyai aktivitas antimikrobia dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal. Dari G AMBAR 3 menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam ukuran dan bentuk. Nanocapsules dari kitosan menunjukkan penyusutan dan berlesung pipit, sementara asap cair asli menunjukkan bentuk bulat, permukaan halus tanpa penyok yang jelas, dan campuran bubuk asap cair menunjukkan bentuk bola dengan luas permukaan penyok. Pembentukan permukaan penyok semprot-kering partikel ini disebabkan oleh penyusutan partikel selama proses pengeringan (Chin et al.[30] ). Yang luas penyok permukaan kitosan asli dalam larutan asam asetat itu mungkin disebabkan granula maltodexrtin terganggu mengakibatkan lebih rentan terhadap penyusutan selama tahap pengeringan. Patel et al.[31] menyarankan bahwa partikel semprot kering dalam bentuk bola memiliki rasio tinggi permukaan/volume menunjukkan karakter yang tepat dari produk kering semprot. Reineccius[32] merekomendasikan bahwa partikel dalam bentuk bola dapat mempertahankan jumlah tertinggi bahan terkapsul. Dalam penelitian ini, dapat disarankan dari mempertimbangkan bentuk bubuk yang kitosan dan maltodekstrin adalah bahan dinding yang tepat. Distribusi ukuran partikel bubuk CS dan MD nanopartikel ditunjukkan pada G AMBAR 4. Rata-rata ukuran partikel yang terbentuk dari CS (0,5% b/v) + MD (9,5% b/v) dalam asam asetat adalah 16.21 nm,
1001: Purnama Darmadji dkk.
G AMBAR 3: Hasil SEM nanopartikel asap cair. (a) chitosan (0.5% w/v) + maltodextrin (9.5% w/v) dalam asam asetat, (b) maltodextrin saja(10% w/v) dalam asap cair dan (c) chitosan (1.5% w/v) + maltodextrin (8.5% w/v) dalam asap cair.
hanya MD (10% b/v) dalam asap cair tempurung kelapa diamati 14,87 nm, dan CS (1,5% b/v) + MD (8,5% b/v) dalam asap cair tempurung kelapa diamati 13,43 nm. Dalam proses ionik pembentukan nanopartikel CS adalah pH responsif, memberikan kesempatan untuk memodulasi sifat nanopartikel CS. Perbedaan potensial zeta dengan perubahan pH menunjukkan, pada pH yang lebih tinggi partikel lebih cross-linked dibandingkan dengan pH rendah. Zhang et al.,[33] mengamati, ketika komersial chitosan berat molekul rendah digunakan untuk menyiapkan nanopartikel CS pada konsentrasi 0,1% (b/b) dari CS dan TPP (berat rasio 5:1) Prosiding InSINas 2012
1001: Purnama Darmadji dkk.
PG-67
[5]
[6] [7] [8]
[9]
[10] G AMBAR 4: Particle size distribution by intensity of (a) chitosan (0.5% w/v) + maltodextrin (9.5% w/v) in acetic acid, (b) only maltodextrin (10% w/v) in liquid smoke, and (c) chitosan (1.5% w/v) + maltodextrin (8.5% w/v) in liquid smoke.
menghasilkan distribusi ukuran partikel bimodal dari kisaran 153 dan 500 nm. Interaksi antara kelompok fenolik asap cair dan kelompok amino dari CS (lebih gugus fosfat dari TPP) dapat menyebabkan penurunan kepadatan silang (Hu et al.[34]
IV.
[11]
[12]
[13]
KESIMPULAN
Kandungan fenol, karbonil dan asam cenderung semakin menurun dengan semakin tingginya prosentase penambahan kitosan, namun enkapsulasi redistilat asap cair tempurung kelapa berbasis teknologi nanopartikel masih menghasilkan kisaran komponen bioaktif dari redistilat asap cair semula.
DAFTAR PUSTAKA [1] Maga, J., 1987. Smoke and Food Processing. CRC Press Inc., Florida. [2] Pszczola, D.E., 1995, Tour Highlight Production and Uses of Smoke Based Flavors, Food Tech, 49 (1): 70-74. [3] Foster, W.W. and T. H. Simpson, 1961. Studies of The Smoking Process For Foods I: The Importance of Vapours. J. Sci. Food Agric.. Vol. 12 (5): 363-374. [4] Tranggono; Suhardi; B. Setiadji; P. Darmadji;
[14]
[15]
[16]
[17]
Supranto dan Sudarmanto, 1999. Identifikasi Asap Cair dari Berbagai Jenis Kayu dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol 1 No. 2. Hogan dan Hartson, 1999. Office of Premarket Approval Center for Food Safety and Applied Nutrition Food and Drug Administration 200 C Street SW Washington, D.C. 20204 Girard, J.P., 1992. Technology of Meat and Meat Products, Ellis Horwood, New York. Ruiter, A., 1979. Color of Smoke Food. Food Tech., 33 (5): 54-63 Barylko, N., and Pikielna, 1978. Contribution of Smoke Compunds to Sensory Bacteriostatic and Antioxidative Effect in Smoked Foods. Pure And Appl.Chem.,49: 1667-1671, Pergamon Press, Oxford Carvajal-Quintanilla, M.X.; B. H Camacho-Diaz; L.S Meraz-Torres; J.J. Chanona-Perez; L. AlamillaBeltran; A. Jimenez-Aparicio; G.F. GutierrezLopez. 2010. Nanoencapsulation: A New Trend in Food Engineering Processing. Food Eng Rev 2: 39 -50 Chaudhry, Q.; L. Castle and R. Watkins, 2010. Nanotechnologies in Food. The Food and Environment Research Agency. The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science Park, Milton Road, Cambridge CB4 0WF, UK Greiner, R., 2009. Current and projected applications of nanotechnology in the food sector. Nutrire: rev. Soc. Bras. Alim. Nutr. = J. Brazilian Soc. Food Nutr., So Paulo, SP, v. 34, n. 1, p. 243-260. Anal, A. K., 2010. Microencapsulation And Application In Delivery Of Bioactives In Foods. Innovative Science: Agriculture And Food Edition: 34-40. ISSN 2009-3314 Wandrey, C.; A. Bartkowiak and S. E. Harding., 2010. Materials for Encapsulation. In Encapsulation Technologies for Active Food Ingredients and Food Processing. Zuidam, N. J. and V. A. Nedovic (Eds.). Springer New York Dordrecht Heidelberg London. pp. 31-100 Darmadji, P., and Izumimoto, M., 1994. Effect of Chitosan in Meat Preservation. Meat Sctenee 38: 243-254 Pranoto, Y. dan S.K. Rakshit, 2008. Effect of Chitosan Coating Containing Active Agent on Microbial Growth, Rancidity and Moisture Loss of Meatball During Storage. Agritech, Vol. 28 (4): 167-173. Feng, T.; Y. Du; J. Li; Y. Wei, 2007. Antioxidant activity of half N-acetylated water-soluble chitosan in vitro. Eur Food Res Technol 225:133-138 Honarkar, H. and M. Barikani, 2009. Applications of biopolymers I: chitosan. Monatsh Chem 140: 1403-1420 Prosiding InSINas 2012
PG-68 [18] Kong, M; X. G. Chen; K. Xing and H. J. Park. 2010. Antimicrobial properties of chitosan and mode of action: A state of the art review. International Journal of Food Microbiology 144: 51-63. [19] Desobry, S. A., Netto, F.M. and Labuza, T. 1997. Comparison of spray drying, drum drying, and freeze drying for beta carotene encapsulation and preservation. Journal of Food Science 62: 11581162. [20] Tax, D.C.M.A., De Menezes, H.C., Santos, A.B. and Grosso, C.R.F. 2003. Study of the microcapsulation of camu-camu (Myrciaria dubia) juice. Journal of Microcapsulation 20: 443-448. [21] Righetto, A.M. and Netto, F.M. 2005. Effect of encapsulation materials on water sorption, glass transition, and stability of juice from immature acerole. International Journal of Food Properties 8: 337-346. [22] Ahmed, M.; M. S. Akter; J. Lee, and J. Eun, 2010. Encapsulation by spray drying of bioactive components, physicochemical and morphological properties from purple sweet potato. Food Science and Technology 43:1307-1312 [23] Senter, S.D.; J.A Robertson and F.I. Meredith, 1989. Phenolic Compound of The Mesocarp of Cresthauen Peaches During Storage and Ripening. J. Food Sci. 54: 1259-1268 [24] Lappin, G.R. and L.C. Clark, 1951. Colorimetric methods for Determination of Trace Carbonyl Compound. Analytical Chemistry, 23: 541-542 [25] Trihendradi C., 2009. Step by Step SPSS 17 Analisis Data Statistik. Andi Offset, Yogyakarta. [26] Kadir, S., Darmadji, P., Hidayat, C. and Supriyadi. 2012. Profile liquid smoke aroma of coconut shell product at various temperatures using multistages distilation vessel. Agritech 32: 105-109. [27] Billmeyer, Jr. F. W. 1994. Book of Polymer Science, John Willey and Sons, Inc, Singapore. [28] Porter, R.W., L.J. Bratzler and A.M. Pearson.1965. Fractionation and Study of Compounds in Wood Smoke. J. Food Sci., (30): 615-619 [29] Tonogai, Y.; S. Ogawa; M. Toyoda; Y. Ito and M. Iwaida, 1982. Rapid Flourometric Determination of Benzo(a)pyrene in Food. J. of Food Prot. Vol 45 (2): 139-142. [30] Chin S, Nazimah SAH, Quek S, Man YBC. 2010. Effect of thermal processing and storage condition on the flavour stability of spray-dried durian powder. LWT-Food Science and Technology 43: 856-861 doi:10.1016/j.lwt.2010.01.001 [31] Patel RP, Patel MP, Suthar AM. 2009. Spray drying technology: an overview. Indian J. Sci Tech 2 (10): 44-47 [32] Reineccius GA. 1988. Spray-drying of food flavors. In Risch SJ, Reineccius GS. (Eds.), Flavor encapsulation. ACS Symposium Series, 370. P.55-66. Wash-
1001: Purnama Darmadji dkk. ington, DC: American Chemical Society. [33] Zhang H, Oh M, Allen C, Kumacheva E. 2004. Monodisperse chitosan nanoparticles for mucosal drug delivery. Biomacromolecules 5(6):2461-2468. doi: 10.1021/bm0496211 [34] Hu B, Pan C, Sun Y, Hou Z, Ye H, Zeng X. 2008. Optimization of fabrication parameters to produce chitosan-tripolyphosphate nanoparticles for delivery of tea catechins. J Agric Food Chem 56(16):7451-7458. doi: 10.1021/jf801111c
Prosiding InSINas 2012