INKLUSIVITAS KEBERAGAMAAN _________
_________
Taslim HM Yasin Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
ABSTRAK
Munculnya pandangan yang menganggap bahwa semua agama itu sama bukanlah pikiran yang baru. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang tampak kelihatan kehadirannnya yang seolah-olah terasa secara mendadak dan mengejutkan. Pada hal, bagi umat Islam, sejak dahulu sampai dengan saat ini telah terbiasa hidup di tengahtengah pluralitas agama dan menerimanya sebagai sebuah realitas kehidupan sosial. Sekadar untuk contoh dapat dikemukakan bahwa Piagam Madinah dengan jelas sekali telah mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama-pun telah menjelaskan duduk persoalannya. Kata Kunci: Pluralitas Agama, Insiklusivitas
A. Pendahuluan Benarkah
agama
mengajarkan
inklusivisme
dalam
kehidupan beragama? Jika agama berperan menyumbang untuk selalu hidup rukun dan toleran, maka tentu penganutnya dituntut untuk belajar menghilangkan sekat-sekat eksklusivisme. Seseorang boleh saja melihat agama sebagai hal yang
absolut, karena
SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008 119
Taslim HM Yasin
mungkin ini merupakan penganutan kepada suatu agama yang telah dia pegang teguh selama ini.
Namun demikian, adanya
pemahaman baik secara individual maupun kelompok, melalui pikiran yang jernih, ternyata menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Oleh karena itu klaim kebenaran secara absolut akan semakin menambah ketertutupan sikap keagamaan. Pada hal dalam kitab suci setiap agama telah dicantumkan azas keterbukaan. Sikap eksklusif muncul disebabkan, antara lain, karena kehadiran pusat-pusat kota dan menguatnya arus urbanisasi yang telah memungkinkan sekelompok penganut agama tertentu bertemu dengan penganut agama yang lain, sehingga pada ujungnya mendorong munculnya pluralisme keberagamaan yang ditandai oleh konflik dan kompetisi antarpemeluk agama. Tetapi harus diakui pula, bahwa perjumpaan dengan pemeluk agama lain tersebut, tidak selalu melahirkan sikap resistensi dan eksklusif dalam melihat agama lain, melainkan sebaliknya, yaitu melahirkan pandangan yang inklusif dan toleran. Sepertinya, konsep inklusivisme beragama lebih mudah diterima dibandingkan dengan konsep-konsep yang lain. Hal ini disebabkan dalam pandangan inklusivisme seseorang masih tetap meyakini dengan sepenuhnya bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang paling sempurna. Namun dalam waktu yang bersamaan, mereka juga memiliki sikap yang toleran, bersahabat dan bisa hidup berdampingan dalam satu komunitas dengan pemeluk-pemeluk agama yang lain. Setiap agama membawa misi perdamaian dan harus hidup toleran antar sesama. Persoalannya, dalam aras historis, para
120 SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008
Inklusivitas Keberagamaan
penganut agama tidak selamanya artikulatif. Agama selain sebagai alat pemersatu sosial, terkadang menjadi alat munculnya konflik. Bahkan, menurut Schimmel, dua unsur ini sering menyatu dalam agama.1
Kelihatannya pandangan Schimmel agak berlebihan.
Tetapi melihat realitas yang ada, pandangan itu menemukan historisnya. Kondisi ini hendaknya dapat memicu para pemeluk agama, kapan dan dimanapun untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah semakin mentradisi dalam kehidupannya. Tesis di atas dikemukakan karena adanya asumsi bahwa agama sering tidak berfungsi dalam kehidupan dan membuat sesoarang semakin eksklusivisme. Sebabnya tentu bukan karena agama itu datang built-in dengan konflik. Seperti telah ditegaskan sebelumnya bahwa agama datang membawa kedamaian dan terbuka terhadap pandangan lain, tetapi karena para pemeluknya telah mengekspresikan kebenaran agama secara eksklusif. Dengan kata lain bahwa subjektifitas kebenaran yang diyakininya seringkali menafikan kebenaran yang diyakini oleh orang lain.
B. Menyelami Teologi Pluralisme Pluralisme adalah keniscayaan. Adanya keragaman isi alam serta respon dan refleksi manusia atas lingkungannya telah melahirkan
keragaman
budaya,
peradaban
bahkan
agama.
Kesadaran untuk mengakui realitas plural menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing manusia dapat hidup bebas untuk menjadi dirinya sendiri, sesuai dengan
SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008 121
Taslim HM Yasin
pencarian dan pilihannya, serta dapat menghargai dan menghormati kehadiran orang lain. Kesadaran tentang pluralitas, akan membawa orang lebih mudah memahami kebebasan pilihan yang diambil orang lain. Agama merupakan salah satu fenomena pluralitas yang harus disadari oleh setiap orang.2 Akar pluralisme seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan umat Islam yang sangat fanatik dengan paham ini, berupaya mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam. Dari pencarian itu, akhirnya menganggap bahwa realitas kemajemukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama dipandang sama saja. Pada hal kalau ditelusuri akar keduanya berbeda.
Pluralitas agama adalah kondisi di mana
berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu kelompok masyarakat atau negara. Sedangkan pluralisme agama adalah suatu paham yang menjadi suatu tema
penting yang
dibicarakan dalam disiplin ilmu sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan merupakan agenda penting pada saat membicarakan globalisasi.3 Munculnya pandangan yang menganggap
bahwa semua
agama itu sama bukanlah pikiran yang baru. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang tampak kelihatan kehadirannnya yang seolah-olah terasa secara mendadak dan mengejutkan. Pada hal, bagi umat Islam, sejak dahulu sampai dengan saat ini telah terbiasa hidup di tengahtengah pluralitas agama dan menerimanya sebagai sebuah realitas kehidupan sosial. Sekadar untuk contoh dapat dikemukakan bahwa
122 SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008
Inklusivitas Keberagamaan
Piagam Madinah dengan jelas sekali telah mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama-pun telah menjelaskan duduk persoalannya. Adanya pandangan bahwa agama-agama itu sama, seperti dijelaskan di atas, telah ditolak oleh Sayed Muhammad Naquib alAttas. Mereka yang mendukung teori kesatuan agama-agama didasarkan pada asumsi bahwa, semua agama, yakni semua agama besar yang dianut oleh umat manusia, adalah agama wahyu. Pandangan ini berawal
dari universalitas dan esoterisme
transenden membenarkan teori tersebut. Suatu teori yang mereka temukan setelah berkenalan dengan metafisika Islam. Mereka untuk selanjutnya berasumsi bahwa pemahaman mereka terhadapa metafisika
kesatuan transenden eksitensi telah mengandung
implikasi kesatuan transenden agama-agama. Ternyata ada kesalahan fatal dari seluruh rangkaian asumsi tersebut. Bahkan istilah kesatuan agama itu sendiri telah menyesatkan. Istilah ini boleh
jadi
merupakan
suatu
terselubung,
ketimbang
keyakinan
kebenarannya.Adanya klaim
motif
untuk
yang
agenda-agenda
mereka
percayai
kepercayaan yang ada mengenai
kesatuan agama-agama sebenarnya merupakan hasil rekaan imajinasi induktif, dan hal ini semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual dan sama sekali bukan didasarkan pada pengalaman kongkrit.4 Komaruddin Hidayat
membedakan lima
tipologi
kecenderungan sikap keberagamaan seseorang. Pertama, sikap eksklusivisme yaitu akan melahirkan pandangan bahwa ajaran agama yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, dan
SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008 123
Taslim HM Yasin
agama yang lain adalah ajaran yang sesat. Kedua, sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, miskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Ketiga, pluralisme, lebih moderat lagi, yaitu berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah tidak relevan untuk dilakukan.
Keempat,
eklektivisme
adalah
suatu
sikap
keberagamaan yang berusaha memilih mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersifat eklektik. Kelima, univesalisme yang beranggapan bahwa agama pada dasarnya adalah satu dan sama. Hanya saja karena faktor historis-antropologis, kemudian agama tampil dalam format plural.5 Selanjutanya,
kajian
mengenai
keharmonisan
dan
kedamaian umat beragama menjadi menarik untuk diketengahkan, karena akhir-akhir ini merebak sentimen keagamaan, baik di Indonesia maupun di belahan bumi lainnya seperti di India antara kaum Sikh, Hindu dan Islam; di Yugoslavia anatara MuslimBusnia dengan Kristen-Serbia; di Filipina Selatan antara kelompok Muslim-Moro dengan kelompok Kristen dan juga kerusuhan yang terjadi di Libanon. Perlu ditegaskan bahwa pertentangan antar agama muncul kepermukaan tidak selalu disebabkan oleh sentimen agama, akan tetapi sering dipicu oleh kepentingan politik-ekonomi, di mana agama dijadikan alat pengesahannya sehingga seolah-olah sedang terjadi konflik anatar agama.6
124 SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008
Inklusivitas Keberagamaan
Untuk kasus Indonesia pemicu kerusuhan dan kekerasan sering dikaitkan dengan isu-isu keagamaan. Ambil saja contoh kasus Poso dan kasus Maluku. Memang tidak boleh diabaikan, meski faktor sosial-budaya, mewarnai kerusuhan,
politik, ekonomi cukup kental
namun agama tidak bisa dirimehkan
perannya dalam konflik sosial tersebut. Hal ini terutama terkait karena kurang toleran terhadap pemeluk agama, meskipun dalam pesan-peasan agama sikap toleransi itu sangat dianjurkan. Dalam kehidupan sehari-hari sering kali ditemukan klaim kebenaran yang seharusnya dihindari.15 Melihat keadaan demikian, maka perlu diupayakan jalan yang tepat dan dapat digunakan untuk memperbaiki hubungan harmonisasi antar umat beragama. Untuk menghindari
disharmonisasi
antar
umat
beragama
tersebut
membutuhkan berbagai upaya salah satu diantaranya adalah dialog yang dikuti dengan sikap saling menghargai dan ketulusan, dengan begitu kedamaian di tengah-tengah masyarakat dapat terwujud.7 Selanjutnya banyak solusi yang ditawarkan oleh para ahli yang peduli terhadap keharmonisan
umat beragama guna
memecahkan persoalan sosial keagamaan tersebut, baik secara teoritis maupun praktis. Salah satu diantaranya adalah upaya menciptakan dialog antar umat beragama. Sebab sudah saatnya umat beragama meninggalkan era monolog untuk beranjak menuju ke era dialog. Dengan dialog, umat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup yang dihadapi bersama. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling menimba pengetahuan baru tentang mitra dialog. Dialog tersebut dengan
SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008 125
Taslim HM Yasin
sendirinya akan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk hidup rukun dan damai dalam masyarakat. Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh para pelaku dialog. Pertama, toleransi, dan kedua, pluralisme. Dirasakan sulit bagi pelaku-pelaku dialog antar agama untuk mencapai saling pengertian dan respek apabila salah satu pihak tidak bersikap toleran. Karena toleransi pada dasarnya adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Namun, dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Untuk itulah secara garis besar pengertian pluralisme dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah
keterlibatan
aktif
terhadap
kemajemukan
tersebut.
Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor, di sekolah, dan di pasar. Tapi seseorang baru dapat dikatakan pluralis apabila sifat tersebut ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukannya. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dan kedamaian. Kedua,
pluralisme
harus
dibedakan
dengan
konsep
kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita kehidupan di mana aneka agama, ras, budaya dan suku
126 SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008
Inklusivitas Keberagamaan
bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Ambil saja contoh kota Jakarta.. Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di dalamya terdapat orang Kristen, Muslim, Hindu, Budha, Kong Fu Tzu bahkan orang-orang yang beraliran kepercayaan. Seakan seluruh penduduk dunia dan penganut agama berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk dan umat beragama belum berjalan maksimal. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Konsekwensinya, doktrin agama apa-pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya”semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan yang lainya, tetap harus diterima. Untuk itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memasukkan unrsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru. Dalam sejarah didapati sekian banyak agama sinkretik. Fenomena ini tidak terbatas pada masa lalu, sampai sekarang hal itu masih kita jumpai. Mani, salah satu pencetus agama Manichaeisme abad ketiga, dengan cermat mempersatukan unsur-unsur tertentu dari ajaran Zoroaster, Budha, dan Kristen. Bahkan apa yang dikenal sebagai New Age Religion (agama masa kini), adalah wujud nyata dari perpaduan antara yoga-
SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008 127
Taslim HM Yasin
Hindu, meditasi-Budha, tasawuf-Islam, dan mistik- Kristen. Demikian pula Bahaisme, yang didirikan pada pertengahan abad ke-19 sebagai Baha Ullah. Sebagian elemen agama baru yang didirikan di Iran ini diambil dari agama Yahudi, Kristen dan Islam. Yang perlu dicermati dan ditegaskan di sini adalah apabila konsep pluralisme agama di atas hendak diterapkan maka ia harus bersyaratkan satu hal, yaitu komitmen yang kokoh dan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap agama masing-masing (istiqamah dalam istilah Islam). Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam sosial-budaya dan agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus commite terhadap agama yang dianutnya. Adakah jalan keluar dan dapatkah keanekaragaman agama memunculkan keserasian, keindahan dan kedamaian? Jawabanya ada pada semua doktrin agama. Sebab, prinsip-prinsip dasar semua agama mengajakarkan pola-pola hubungan yang positif antar sesama umat manusia. Tinggal bagaimana umat beragama menggali sumber-sumber tersebut dan mengusahakan terciptanya hubungan yang harmonis antar umat beragama, apapun agamanya. Perlu segera dicari titik temu agama-agama yang dipeluk oleh manusia dan hasilnya menjadi acuan dasar dalam membina hubungan antar umat beragama yang diwarnai dengan kedamaian dan kebahagiaan. Pluralitas dan keanekaragaman merupakan tantangan bagi semua manusia yang mengaku beragama. Bila mereka tidak sanggup menjawab tantangan tersebut, tidak dapat mencari jalan keluar dari permasalahan yang berkaitan dengan pluralitas agama
128 SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008
Inklusivitas Keberagamaan
(termasuk konflik antar umat beragama), siapa lagi
yang akan
melakukannya? Haruskah umat beragama bergantung pada pemerintah atau kepada penganut non-agama
untuk menjawab
tantangan ini? Jelas tidak mungkin. Tidak ada pilihan lain kecuali setiap umat beragama harus menjawab tantangan dan mencari jalan keluar terhadap permasalahan itu, terutama sekali Islam, sebagai agama
rahmatan lil ‘alamin harus tampil kedepan untuk
mencarikan jalan keluar dari berbagai permasalahan tersebut. Untuk mengakhiri pembahsan ini perlu kiranya dipertegas kembali bahwa ada tiga syarat yang menunjukan maknanya sendiri dengan ketundukan dan kedamaian: damai dengan Allah, yaitu melalui ketaatan dan kepatuhan terhadap segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, damai dengan umat manusia yaitu melalui usaha keras bahwa manusia memiliki jati diri dan dapat diselamatkan dari lisan dan perbuatannya, dan damai bersama dunia yaitu berusaha keras untuk menghindari dari segala bentuk yang dapat merusak kestabilan dunia. Ketiga syarat ini sejalan dengan pesan Allah dalam al-Quran surat al-A’raf ayat 56 yang artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Di samping tiga syarat utama di atas, ada tiga hal yang perlu ditampilkan kepermukaan oleh setiap umat beragama, kapan-pun dan di mana-pun berada, sehingga agama tidak terkesan sebagai
SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008 129
Taslim HM Yasin
sumber kekerasan, yaitu: menghadirkan agama yang lebih bersifat inklusif; menawarkan dan membumikan ajaran agama tentang kearifan, keadilan, dan kedamaian; dan dilakukan sosialisasi secara berencana bahwa agama mendorong umatnya untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai etika kemanusiaan.
C. P e n u t u p Akhirnya, dari berbagai pandangan seperti yang telah dijelaskan di atas, kita bisa melihat ternyata bagaimanapun baiknya ajaran agama, pada tataran praksis, ia akan selalu berhubungan dengan agama, pemikiran atau ideologi lain di luar dirinya. Untuk itulah sikap inklusivisme dari setiap penganut agama harus selalu ada. Sikap ini menjadi penting karena akan mengantarkan manusia kepada kedamaian dan hidup toleran antar sesama. Dari aspek Islam, al-Quran telah memberikan petunjuk bahwa jalan yang baik dihimpun oleh suatu ciri yang dimilikinya, yakni kedamaian dan keselamatan. Semua jalan yang mencirikan hal tersebut bermuara pada jalan yang lurus, yang dinamai dengan ash-shirath al-mustaqim. Jalan ini akan menerima atau menampung semua pejalan, aliran, pendapat, ideologi dan mazhab selama hal itu masih dalam bingkai as-salam.
Catatan Akhir 1. Andito, ed, Atas Nama Agama, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal.120 2. 2 Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Istiqra, Jurnal, Vol.04, Thn.2005, hal.204
130 SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008
Inklusivitas Keberagamaan
3. Sayyed Hossein Nasr, Islamika, Majalah, September 2004, Jakarta, hal.8 4. Sayed Muhammad Naquib al-Attas, Islamika, Majalah, September 2004, Jakarta, hal.45 5. T.H.Sumartana, Dialog, Kritik, Identitas Agama, Dian Interfide, Yogyakarta, t.t. hal.222 6. T.B.Simatupang, Peranan Agama-agama Dalam Negara Pancasila, Gunung Mulia, Jakarta, t.t., hal.131 7. Alfons S.Soehardi, Dialog Antar Agama, Jakarta, Thn.1992, hal.263
SUBSTANTIA, Vol. 10 Nomor 2, Oktober 2008 131