BAB II KEBERAGAMAAN REMAJA
A. Remaja 1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yaitu “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”.1 Dalam Kamus Filsafat dan Psikologi, “remaja” adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa.2 Menurut Mahdiah, “Remaja” adalah pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan. Sedangkan menurut Islam, “Remaja” adalah anak laki-laki atau perempuan yang sudah mukallaf. Remaja putri yang dinyatakan mukallaf adalah yang sudah baligh, yaitu yang sudah haidh.3 “The advent of puberty in girls is generally dated at the first menstruation”.4 (Datangnya masa remaja pada gadis atau anak perempuan biasanya ditandai dengan haidh yang pertama). Sedangkan untuk anak laki-laki, balighnya yaitu apabila telah mimpi dan ketika suaranya sudah berubah. Remaja dalam Islam diharapkan menjadi dasar yang kuat bagi bangkitnya umat, seperti yang diucapkan oleh Mustafa Al-Gulayaini (Pengarang Mesir) sebagai berikut :
1 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Istiwidayanti dan Soedjarwo, (Jakarta : Erlangga, 1999), hlm. 206. 2 Sudarsono, Kamus Filsafat Dan Psikologi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 223. 3 Mahdiah, Remaja, Da’wah Islam dan Perjuangan, (Jakarta : Kalam Mulia, 1993) , hlm. 11. 4 James F. Adams, Understanding Adolescence : Current Developments In Adolescent Psychology, (Boston : Allyn and Bacon, Inc., t.t.), hlm. 461.
12
ﻓﺎذا ﺕﻌﻮدوا اﻻﺧﻼق.ان هﻮﻻء اﻻﻃﻔﺎل ﺳﻴﻜﻮﻧﻮن ﻓﻰ اﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ رﺟﺎﻻ آﺎﻧﻮا, وﺡﺼﻠﻮا ﻡﻦ اﻟﻌﻠﻮم ﻡﺎ یﻨﻔﻌﻮن ﺏﻪ وﻃﻨﻬﻢ,اﻟﺼﺎﻟﺤﺔ اﻟﺘﻰ ﺕﻌﻠﻲ ﺷﺎﻧﻬﻢ 5
.اﺳﺎﺳﺎ ﻡﻜﻴﻨﺎ ﻟﻨﻬﻀﺔ اﻻﻡﺔ
Sesungguhnya anak-anak di zaman yang akan datang akan menjadi para pemuda. Maka apabila mereka membiasakan akhlak yang baik yang dapat memuliakan tingkah laku mereka, dan mereka menghasilkan ilmu yang bermanfaat untuk negara mereka, maka mereka akan menjadi dasar yang kuat bagi bangkitnya umat. Dari beberapa definisi tentang remaja di atas, maka yang disebut remaja adalah seseorang yang sedang tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. 2. Batas Usia Remaja Jika kita berbicara tentang remaja, sering kali timbul pertanyaan, pada usia berapakah seseorang dikatakan remaja ?. Sebenarnya sampai sekarang belum ada kata sepakat antara para ahli ilmu pengetahuan tentang batas usia bagi remaja, karena hal itu bergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup, dan bergantung pula dari mana remaja itu ditinjau. Dalam buku “Psikologi Perkembangan” disebutkan bahwa awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 tahun atau 17 tahun sampai 18 tahun.6 Dalam bidang “agama”, para ahli jiwa menganggap bahwa kemantapan beragama biasanya tidak terjadi sebelum umur 24 tahun, maka dari itu batas usia remaja diperpanjang sampai umur 24 tahun.7 Western societies today recognize a phase of development called adolescence which begins with puberty at about twelve or thirteen years of age and continues until adulthood. The end of adolescence Mustafa Al-Gulayaini, ‘Idatunnasyiin, (Beirut : Al-Maktabah Al-‘Asriyah Littaba’ah wannasyri, 1953), hlm. 184. 6 Elizabeth B. Hurlock, op.cit., hlm. 206. 7 Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia , (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), Cet.3, hlm. 108-109. 5
13
is not easily pinpointed because it is determined by a combination of physical, cognitive, emotional, culture and legal factors.8 “Masyarakat barat saat ini mengenal sebuah fase perkembangan yang disebut adolesen yang mana diawali dengan masa remaja kira-kira umur 12 – 13 tahun dan berlanjut hingga dewasa. Akhir dari masa adolesen tidak mudah ditentukan karena itu ditentukan oleh kombinasi dari fisik, kognitif, emosional, budaya dan faktor-faktor yang lain”. Untuk masyarakat Indonesia, pedoman umum mengenai batas usia remaja yang biasa digunakan adalah usia 11 – 24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan - pertimbangan sebagai berikut : a. Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik). b. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). c. Pada
usia
tersebut
mulai
ada
tanda-tanda
penyempurnaan
perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg), (kriteria psikologik). d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yakni untuk memberi peluang
bagi
mereka
yang
sampai
batas
tersebut
masih
menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa.9 Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dapat dikatakan remaja tergantung dari
seseorang
berbagai kepentingan dan
ketentuan yang berlaku.10
8
Edward P. Sarafino and James W. Strong, Child And Adolescent Development, (United States Of America : Scott, Foresman and Company, 1980), hlm. 461. 9 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Cet.3, hlm. 14. 10 Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), hlm 38.
14
3. Ciri-ciri Masa Remaja Masa Remaja merupakan masa peralihan yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menjadi dewasa, atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.11 Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, maka masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :12 a. Masa remaja adalah masa yang penting. Dikatakan periode yang penting karena terjadi pertumbuhan phisik dan perkembangan mental secara cepat. b. Masa remaja adalah masa transisi atau periode peralihan. Maksudnya adalah periode perpindahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Perilaku kanak-kanaknya masih ada, perilaku dewasanya sudah mulai muncul. Bukan kanak-kanak lagi tetapi belum bisa disebut dewasa (terlalu kecil untuk disebut dewasa dan terlalu besar untuk disebut kanak-kanak). Pada usia ini sering terjadi keraguan dalam peran yang dilakukan. c. Masa remaja adalah masa perubahan atau usia perubahan (periode perubahan). Periode ini cukup banyak terjadi perubahan-perubahan. Ada lima perubahan yang terjadi dalam masa remaja, yaitu : 1) Perubahan
tingkat
emosionalitas.
Pada
masa
ini
tingkat
emosionalitas cukup tinggi. 2) Cepatnya perubahan kemasakan seks. 3) Perubahan badan, perubahan minat, perubahan-perubahan peranan sosial,
memunculkan
problem-problem
baru
yang
dipecahkan.
11 12
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang , 1970), hlm. 86. Elizabeth B. Hurlock, op.cit., hlm. 207-209.
15
perlu
4) Terjadi perubahan nilai. Misalnya semula kuantitas (popularitas atau kenalan yang banyak) dianggap jauh lebih penting kemudian berubah bahwa kualitas (sahabat intim) jauh lebih penting. Apa yang dianggap penting ketika kanak-kanak maka berubah menjadi tidak penting lagi ketika masa remaja. 5) Berubah menjadi ambivalen. Remaja ingin bebas tetapi takut bertanggung jawab, ia ingin tergantung pada orang lain tetapi juga ingin mandiri. d. Masa remaja adalah masa bermasalah atau usia bermasalah atau periode bermasalah. Masalah-masalah tersebut muncul akibat adanya perubahanperubahan phisik, perubahan sexual maupun perubahan psikis. e. Masa remaja adalah periode mencari identitas. Masih kanak-kanakkah ia ?, sudah dewasakah ia ?, lebih penting mana status simbol individual (seperti pakaian, mobil, menampakkan materi individual) atau identitas kelompok ?. Kadangkadang terjadi krisis identitas (masalah identitas diri). f. Masa remaja adalah usia yang ditakuti. Usia remaja kadang-kadang dihubungkan dengan perilaku yang distruktif (merusak), perilaku anti sosial dan hal-hal lain yang negatif. g. Masa remaja adalah masa ambang dewasa. Di samping berpakaian seperti orang dewasa maka remaja juga berperilaku yang dikaitkan dengan status simbol dewasa misalnya melakukan hubungan sex, merokok, minum alkohol, penggunaan obat. B. Keberagamaan 1. Pengertian Keberagamaan “Keberagamaan” dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perihal
beragama.13
Menurut
Quraish
Shihab,
beragama
berarti
mengadakan hubungan dengan sesuatu yang Adi kudrati, hubungan 13
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), hlm. 12.
16
makhluk dengan Khaliknya. Hal ini mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.14 Dengan demikian “Keberagamaan” merupakan perihal pengadaan hubungan atau perwujudan hubungan dengan sesuatu yang Adi kudrati, yaitu hubungan makhluk dengan Khaliknya yang terwujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya. 2. Dimensi-dimensi Keberagamaan Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas (ibadah) yang tampak dan dapat dilihat mata saja, tetapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Dengan demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.15 Menurut R. Stark & Glock, ada lima dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi. a. Dimensi Keyakinan Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.16 Dalam Islam, dimensi keyakinan menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik.17 Dimensi ini menyangkut
14
M. Quraisy Shihab, Membumikan Alqur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 210. 15 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 76. 16 R. Stark dan C.Y.Glock, “Dimensi-dimensi Keberagamaan”, dalam Roland Robertson (ed.), Agama : Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet.4, hlm. 295. 17 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, op.cit., hlm. 80.
17
keyakinan tentang Allah, para malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.18 b. Dimensi Praktik Agama Dimensi praktik agama mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. 19 Dalam Islam, dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dimensi peribadatan ini menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, do’a, zikir dan sebagainya.20 c. Dimensi Pengalaman Dimensi pengalaman atau penghayatan menunjuk seberapa jauh tingkat manusia dalam merasakan dan mengalami perasaanperasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam Islam, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdo’a, perasaan sabar ketika mendapat cobaan dari Allah, tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.21 Salah satu pengalaman agama adalah perasaan sabar ketika mendapat ujian dari Allah. Dalam kitab “Ihya ‘Ulumuddin” di jelaskan sebagai berikut :
ﻓﺎﻟﺼﺒﺮ ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ ﺛﺒﺎت ﺏﺎﻋﺚ اﻟﺪیﻦ ﻓﻰ ﻡﻘﺎﺏﻠﺔ ﺏﺎﻋﺚ اﻟﺸﻬﻮة “Maka sabar itu adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama menghadapi penggerak nafsu-syahwat”.22 18 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998 ), hlm.201. 19 R. Stark dan C.Y.Glock, op.cit., hlm. 296. 20 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, loc.cit. 21 Ibid., hlm. 82. 22 Imam Al-Gazali, Ihya ‘Ulumiddin, (t.tp. : Daru Ikhyail Kutubi Al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 62.
18
d. Dimensi Pengetahuan Agama Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisitradisi.23 Dalam Islam, dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan
dan
pemahaman
muslim
terhadap
ajaran-ajaran
agamanya, seperti : pengetahuan tentang isi al-qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun iman), hukum-hukum Islam dan sebagainya.24 e. Dimensi Konsekuensi-konsekuensi (Dimensi Pengamalan Agama). Dimensi Pengamalan Agama mengacu pada identifikasi akibatakibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.25 Dimensi pengamalan menunjuk pada seberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam Islam, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berlaku jujur, tidak mencuri, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.26 Menurut Dr. Jamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso dalam Psikologi Islami, ada tiga dimensi keberagamaan dalam Islam, yaitu : aqidah, syari’ah dan akhlak. 27 a. Aqidah Aqidah diartikan sebagai iman atau kepercayaan, dan sumbernya yang asasi adalah al-qur’an. Aqidah merupakan kerangka
23
R.Stark & C.Y.Glock., op.cit., hlm. 297. Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, op.cit., hlm. 81. 25 R.Stark & C.Y.Glock., loc.cit. 26 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, loc.cit. 27 Ibid. 24
19
dasar yang pertama dalam agama Islam yang meliputi Arkanul Iman, yaitu : iman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari akhir dan iman kepada qadha dan qadar.28 b. Syari’ah “Syari’ah” berasal dari bahasa arab dari kata syari’, secara harfiah berarti jalan yang lurus yang dilalui oleh setiap muslim. Menurut Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i), “syari’ah” adalah peraturanperaturan lahir yang bersumber dari wahyu mengenai tingkah laku manusia.29 Al-Qur’an dan sunnah rasul di samping merupakan sumber pokok ajaran Islam, juga merupakan sumber hukum dan perundangundangan Islam.30 Dalam doktrin Islam, syari’ah terdiri dari Mu’amalah dan Ibadah. “Mu’amalah” merupakan sistem-sistem sosial dalam Islam, seperti : hukum, pendidikan, politik, ekonomi, keluarga, sosial, budaya, filsafat dan sebagainya.31 Sedangkan “ibadah” merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah dengan mematuhi perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta beramal menurut yang dibenarkan oleh Allah SWT.32 Ibadah biasanya berkisar pada rukun Islam, yaitu syahadatain, sholat, zakat, puasa dan haji. 1) Syahadatain Syahadatain merupakan syarat mutlak yang menandai seseorang itu beragama Islam. Kesaksian tersebut amat penting untuk membedakan apakah seseorang itu beragama Islam atau bukan. Syahadatain juga merupakan perjanjian (faktum) yang dibuat manusia yang mengucapkan dengan Allah dengan 28
Nazaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1973), Cet.1, hlm. 153. M. Daud Ali, op.cit., hlm. 235. 30 T.A. Lathief Rousydiy, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Medan : Rimbow, 1986), Cet.1, hlm. 129. 31 Fakrur Rozi, “Pengajaran Ibadah”, dalam Chabib Thoha et.al. (eds.), Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1999), Cet.1, hlm. 169. 32 T.A. Lathief Rousydiy, op.cit., hlm. 128. 29
20
konsekuensi akan mengikuti ketetapan-ketetapan Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.33 2) Sholat Sholat merupakan rukun Islam yang kedua, dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan bahwa sholat secara istilah adalah :
ﺏﺸﺮاﺋﻂ
ﺏﺎﻟﺘﺴﻠﻴﻢ
ﺏﺎﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻡﺨﺘﺘﻤﺔ
اﻗﻮال واﻓﻌﺎل ﻡﻔﺘﺘﺤﺔ 34
ﻡﺨﺼﻮﺹﺔ
Segala perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan memperhatikan syaratsyarat dan rukun-rukun tertentu. Bagi orang yang dapat menjalankan sholat dengan khusu’, artinya menghayati serta mengerti apa yang diucapkan akan banyak memperoleh banyak manfaat, antara lain ketenangan hati, perasaan aman dan terlindung, serta berperilaku saleh dan menjauhkan dari perbuatan keji dan mungkar. 3) Zakat Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga. Kewajiban membayar zakat merupakan konsep Islam dalam mengentaskan kemiskinan, solidaritas dan kepedulian sosial. Dengan demikian kesenjangan dan kecemburuan sosial dapat dicegah. 4) Puasa Rukun Islam yang keempat adalah puasa selama bulan ramadhan. Orang yang benar-benar beriman serta menjalankan ibadah
puasa
dengan
sungguh-sungguh
akan
memperoleh
hikmahnya, yaitu kemampuan/kekuatan untuk menahan dan mengendalikan
diri
terhadap
godaan
dunia,
meningkatkan
kesehatan fisik, psikologik, serta meningkatkan kepekaan sosial. 33
Dadang Hawari, Al-Qur’an : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), hlm. 78 34 Al-Alamah Asy-syaih Muhammad bin Qosim Al-Gazi, Fathul Qarib, (Semarang : Pustaka Al-Alawiyyah, t.t.), hlm. 11.
21
5) Haji Menunaikan haji bagi orang Islam menjadi wajib hukumnya bagi mereka yang mampu, sekali seumur hidupnya. Haji merupakan konferensi internasional, manusia dari seluruh dunia berkumpul saling bersilaturrahmi, tidak ada perbedaan ras, semuanya makhluk Allah.35 c. Akhlak “Akhlak” berasal dari bahasa arab, jamak dari Khuluqun, ﺧﻠﻖ yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. “Akhlak Islam” adalah akhlak yang berdasarkan ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan al-hadits.36 Dalam Islam, akhlak mencakup beberapa aspek, yaitu : 1) Akhlak terhadap Allah Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. 2) Akhlak terhadap sesama manusia Dalam Al-Qur’an petunjuk mengenai akhlak terhadap sesama manusia bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti menyakiti badan, akan tetapi juga larangan menyakiti hati. 3) Akhlak terhadap lingkungan Lingkungan di sini adalah sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuhhan maupun benda tak bernyawa. Akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan diantaranya adalah pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.37
35
Dadang Hawari, 0p.cit., hlm. 77-95. Djasuri, “Pengajaran Akhlak” dalam Chabib Thoha et.al. (eds.), Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1999), Cet.1, hlm. 109-118. 37 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 261-270. 36
22
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberagamaan Secara
garis
besar
ada
dua
faktor
yang
mempengaruhi
keberagamaan seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal Faktor internal atau faktor yang berasal dari diri
seseorang
terdiri dari pengalaman pribadi dan pengaruh emosi.38 1) Pengalaman Pribadi Pengalaman pribadi merupakan setiap peristiwa yang dialami seseorang dalam kehidupannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya sejak lahir.39 Sebelum seseorang mengenal berbagai lingkungan dalam hidupnya, telah banyak pengalaman yang diterimanya dalam keluarga. Oleh karena itu, kepribadian anak tergantung kepada pengalamannya dalam keluarga, termasuk sikap mereka terhadap agama,
ketekunan
menjalankan
nilai-nilai
agama
dalam
hidupnya.40 Pengalaman pribadi dalam hal ini adalah pengalaman keagamaan. Pengalaman keagamaan yang dilalui seseorang di masa kecilnya akan sangat mempengaruhi sikapnya terhadap agama (keberagamaannya) di masa remaja.41 Pengalaman
keagamaan
dapat
mempengaruhi
keberagamaan remaja, karena kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama karena sejak kecil telah melihat orang-orang terdekat dalam hidupnya, baik orang tua, saudara, teman, maupun masyarakat di sekitarnya rajin beribadah, sehingga mereka akan ikut percaya dan melaksanakan ibadah serta
38
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), hlm. 114. 39 Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, op.cit., hlm. 87 40 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), hlm. 11 41 Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, op.cit., hlm 81.
23
ajaran-ajaran agama untuk mengikuti suasana lingkungan di mana remaja tersebut hidup. Pengalaman keagamaan juga sangat diperlukan bagi pembentukan jiwa agama remaja. Semua pengalaman keagamaan yang dialalui seseorang sejak lahirnya merupakan
pendidikan
agama yang diterimanya secara tidak langsung, baik melalui penglihatan, pendengaran maupun perlakuan yang diterimanya. Seorang anak yang sering menyaksikan orang tuanya beribadah, maka hal tersebut merupakan pengalaman yang akan menjadi bagian dari pribadinya, serta akan masuklah unsur agama dalam pembinaan pribadinya. Apabila dalam usia remaja, seorang remaja menghadapi peristiwa-peristiwa atau hal yang menggoncangkan jiwanya, bahkan menyebabkan jauh dari Tuhan dan agamanya, maka remaja tersebut
akan
meneliti
kembali
pengalaman-pengalaman
keagamaannya pada waktu kecil, sehingga kesadaran beragamanya akan timbul dan menjadi bersemangat dalam menjalankan aktivitas-aktivitas tanpa ragu-ragu, bahkan anti agama. 42 Dari uraian tersebut, dapat simpulkan bahwa pengalaman keagamaan dapat mempengaruhi keberagamaan seseorang, karena selain diperlukan dalam pembentukan jiwa agama, juga dapat menimbulkan seseorang
kembali
apabila
kesadaran
mengalami
dan
semangat
kegoncangan
beragama
jiwa
yang
menyebabkan jauh dari Tuhan maupun agama. 2) Pengaruh Emosi Emosi merupakan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan dan keberanian.43 Emosi dapat mempengaruhi keberagamaan remaja, karena masa remaja merupakan masa tidak 42
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, op.cit., hlm. 87. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, op.cit., hlm. 228. 43
24
stabilnya emosi, di mana perasaan sering tidak tenteram, sehingga keyakinan dan pandangannya terhadap Tuhan dan agama akan berubah-ubah sesuai dengan kondisi emosi pada waktu tertentu.44 Kebutuhan remaja terhadap Tuhan dan agama kadangkadang tidak terasa, apabila jiwa mereka dalam keadaan aman, tenteram. Akan tetapi sebaliknya, Tuhan dan agama sangat dibutuhkan apabila dalam keadaan gelisah, karena menghadapi bahaya yang mengancam, takut mengalami kegagalan, dan mungkin juga karena merasa berdosa. Dalam hal ini remaja merasa bahwa sholat, membaca Al-Qur’an dan kegiatan agama lainnya dapat mengurangi kesedihan, ketakutan dan rasa penyesalan.45 b. Faktor Eksternal Faktor eksternal berupa faktor di luar dari individu, yaitu pengaruh lingkungan yang diterima.46 Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. 1) Lingkungan Keluarga Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal yaitu keluarga yang merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua.47 Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam kehidupan anak. Cara hidup mereka merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.48
44
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op.cit., hlm. 80-81. Ibid., hlm. 82. 46 Jalaluddin dan RamaYulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998), Cet.4, hlm. 132. 47 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 201. 48 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op.cit., hlm. 56. 45
25
Ali Fikry menekankan bahwa heriditas (keturunan) bapak ibu sangat menentukan keberagamaan anak.49 Hal tersebut sesuai dengan hadits rasulullah saw.
ﻋﻦ, ﻋﻦ هﻤﺎم, اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻡﻌﻤﺮ, اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق,ﺡﺪﺛﻨﻲ اﺳﺤﺎق ﻡﺎ ﻡﻦ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺹﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: اﺏﻰ هﺮیﺮة ﻗﺎل .…. ﻓﺎﺏﻮاﻩ یﻬﻮداﻧﻪ ویﻨﺼﺮاﻧﻪ,یﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻄﺮة 50
ﻡﻮﻟﻮد اﻻ
()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري
.اﻟﺤﺪیﺚ
Telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah mengabarkan pada kami Abdur Razak, telah mengabarkan kepada kami Ma’mar, dari Hamam, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : Tidak ada sesuatu yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani….. Al-Hadits. (HR. Bukhori) Lingkungan keluarga dapat mempengaruhi keberagamaan seseorang, karena keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, di mana pendidiknya adalah kedua orang tuanya. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan (pendidikan keagamaan).51 Yang dimaksud pendidikan agama dalam keluarga adalah bukan hanya pemberian pelajaran agama kepada anak, akan tetapi juga pembinaan jiwa agama pada anak sejak lahir, dengan kata lain pembinaan pribadi anak, sehingga segala tingkah lakunya dalam hidup sesuai dengan ajaran agama.52 Pendidikan agama dalam keluarga dapat dilakukan melalui kebiasaan dan pengalaman hidup yang ditanamkan sejak lahir oleh orang tua dengan jalan memberi contoh (keteladanan), misalnya 49
Jalaluddin dan RamaYulis, op.cit., hlm. 73. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhori, Soheh Bukhori, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-‘ilmiyah, 1992), hlm. 269. 51 Jalaluddin, op.cit., hlm. 204. 52 Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, op.cit., hlm. 87. 50
26
orang tua selalu melaksanakan sholat, puasa dan ibadah lainnya, serta mengajak anak untuk meneladani sikap tersebut.53 Pendidikan agama dalam keluarga yang diberikan sejak kecil sangat diperlukan, karena dalam usia meningkat remaja, seorang anak mengalami perasaan dan kecenderungan yang kadang-kadang menggelisahkannya, karena bertentangan dengan nilai moral yang terdapat dalam masyarakat, maka dalam keadaan seperti itu, seorang anak memerlukan suatu kekuatan luar untuk menolong dirinya dalam mengatasi kesulitan tersebut. Di sinilah keuntungan anak yang telah mendapat didikan agama, seseorang yang sejak kecil telah tertanam jiwa agama dan kebiasaan hidup sesuai dengan aturan agama akan sanggup menjaga dirinya dari rongrongan usia remaja, yang goncang itu dan akan menjadikan Tuhan sebagai penolongnya. Akan tetapi bagi anak yang belum mengenal Tuhan dan agama, mungkin kegoncangan jiwa yang dialami akan diselesaikan dengan cara mengganggu ketenteraman orang lain dan melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama.54 Apabila seorang remaja yang meskipun sudah mendapat pendidikan agama sejak kecil dan sudah berusaha dengan keras untuk bertahan, serta sudah mencoba melawan segala dorongan yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh masyarakat, akan tetapi tetap dapat dikalahkan oleh dorongan dan bujukan dari luar, maka hal tersebut tidak akan berlangsung lama, karena benteng keimanan yang ditanamkan sejak kecil, sehingga setelah dikalahkan oleh dorongan yang salah, akan timbul sesudah itu rasa berdosa dan penyesalan serta akan berusaha memohon
53 54
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op.cit., hlm. 83. Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, op.cit., hlm. 88.
27
ampun dan mencoba lebih tekun beribadah agar tidak terkalahkan sekali lagi.55 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberagamaan remaja tergantung dari pendidikan agama yang diterimanya sejak kecil, dalam hal ini oleh orang tua mereka melalui contoh atau keteladanan dan pembiasaan. 2) Lingkungan Sekolah Sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga.56 Pendidikan agama di sekolah bukanlah pendidikan yang diberikan tiap-tiap guru, tetapi segala peraturan yang berlaku di sekolah dan seluruh suasana dan tindakan yang tercermin dalam tindakan semua staf pendidikan, pegawai dan alat yang dipakai.57 Pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan sangat
mempengaruhi
keberagamaan
seseorang,
karena
pengetahuan tentang ajaran agama Islam berfungsi sebagai stimulus terhadap perkembangan jiwa keagamaannya.58 Oleh karena itu, pendidikan yang diberikan oleh guru hendaknya sesuai dengan perkembangan jiwa anak, dengan cara yang membawa kepada berkembangnya kecintaan anak kepada Tuhan dan keinginan untuk menggunakan agama dalam setiap liku-liku hidupnya. Di samping itu hendaknya kepribadian, sikap, dan caranya menghadapai setiap masalah, harus mencerminkan ajaran agama yang dianutnya, sehingga anak itu terdorong untuk meneladaninya
di
samping
mencintai
pelajaran
yang
59
diberikannya.
55
Ibid., hlm. 115. Jalaluddin, op.cit., hlm. 205. 57 Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, op.cit., hlm. 90. 58 Ibnu Hadjar, “Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Agama Islam”, dalam Chabib Thoha et.al. (eds.), Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar dengan IAIN Walisongo Semarang, 1999), Cet.1, hlm. 17. 59 Loc.cit. 56
28
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa sekolah, dalam hal ini pendidikan agama yang diberikan di sekolah akan mempengaruhi keberagamaan seseorang. 3) Lingkungan Masyarakat Setelah pembinaan jiwa agama dimulai di rumah dan dilanjutkan di sekolah, harus diteruskan dan dikembangkan dalam masyarakat. Masyarakat adalah lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah yang mempengaruhi keberagamaan seseorang, karena lingkungan masyarakat yang agamis akan menciptakan jiwa keagamaan atau memperkuat keagamaan seseorang, sedangkan lingkungan masyarakat non agamis akan dapat menghilangkan jiwa keagamaan dalam dirinya.60 Dalam pertumbuhan dan perkembangan pribadinya banyak terpengaruh oleh lingkungan teman-temannya.61 Hal itu karena Remaja
merupakan
golongan
masyarakat
yang
sangat
memperhatikan status sosial dari teman-teman sebayanya. Remaja akan sedih, apabila dalam kehidupannya tidak mendapat tempat atau
kurang
diperdulikan
oleh
teman-temannya,
sehingga
mendorong mereka untuk meniru apa yang dipakai, dibuat dan dilakukan oleh teman-temannya. Begitu
juga
dengan
keberagamaan
remaja,
dalam
menjalankan aktivitas-aktivitas agama, biasanya remaja sangat dipengaruhi oleh teman-temannya. Misalnya remaja ikut dalam kelompok yang tidak sholat atau tidak perduli akan ajaran agama, akan bersedia mengorbankan sebagian dari keyakinannya, demi mengikuti kebiasaan teman-teman sebayanya. 62 Bagi remaja, teman akrab sangat penting, yaitu yang dapat memupuk pribadinya, serta mengurangi ketegangan batinnya, hal tersebut
karena
mereka
60
sama-sama
sedang
Jalaluddin,op.cit., hlm. 209. Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, op.cit., hlm. 90. 62 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op.cit., hlm. 88. 61
29
mengalami
kegoncangan dan mudah mengidentifikasikan dari satu sama lain. Sedang terhadap orang tua dan guru kadang-kadang menentang, merasa jauh dan antipati.63 Adanya anak dari keluarga baik-baik, yang tadinya suka mengaji, belajar agama dan patuh kepada orang tua, menjadi pemalas, nakal dan keras kepala, hal tersebut tidak lain karena teman akrab dan pergaulan yang salah. Akan tetapi sebaliknya, seorang anak dari keluarga yang kurang memperhatikan agama, akan berubah menjadi anak yang baik, taat kepada ajaran agama karena berteman atau bergaul dengan orang yang baik-baik dan taat pada ajaran agama. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya teman bergaul bagi remaja karena dapat mempengaruhi kepribadian dan keberagamaannya.64 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh masyarakat terhadap keberagamaan seseorang sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri. 4. Sikap Remaja Terhadap Agama Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kegoncangan jiwa, masa berada dalam peralihan yang menghubungkan masa kanak-kanak yang penuh kebergantungan, dengan masa dewasa yang matang dan berdiri sendiri. Dalam kondisi jiwa yang demikian, agama mempunyai peranan penting dalam kehidupan remaja.65 Sikap remaja terhadap agama, sangat ditentukan oleh pengalaman keagamaan yang dilaluinya sejak kecil. Prof. Dr. Zakiyah Daradjat dalam bukunya Ilmu Jiwa Agama menjelaskan bahwa sikap remaja terhadap agama adalah sebagai berikut :
63
Zakiyah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, op.cit., hlm. 112. Ibid., hlm. 91. 65 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op.cit., hlm. 89. 64
30
a. Percaya turut-turutan Kebanyakan sikap remaja terhadap Tuhan dan agama, hanya mengikuti apa yang dialaminya dalam keluarga dan lingkungannya. Dia tidak perlu meninjau kembali caranya beragama.66 Percaya turutturutan ini banyak terjadi pada masa remaja pertama (umur 13-16 tahun). Sesudah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan lebih sadar. b. Percaya dengan kesadaran Kesadaran agama atau semangat agama pada remaja itu mulai dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya beragama di masa kecil. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterima waktu kecil serta patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak memuaskan lagi. Biasanya hal itu tidak terjadi sebelum umur 17 atau 18 tahun. c. Sikap Ambevalensi terhadap agama Ambivalence (bimbang) yang dimaksud adalah bahwa remaja di satu sisi ingin tetap dalam kepercayaannya, akan tetapi di lain pihak timbul pertanyaan-pertanyaan di sekitar agama yang tidak terjawab olehnya. Kebimbangan beragama biasanya terjadi antara umur 17-20 tahun. d. Tidak percaya kepada Tuhan Salah satu perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah mengingkari wujud Tuhan dan menggantinya dengan keyakinan lain. Ketidakpercayaan yang sungguh-sungguh itu tidak terjadi sebelum umur 20 tahun. 67 Dalam pembagian tahap perkembangan manusia,
remaja
menduduki tahap progresif. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada remaja turut dipengaruhi oleh perkembangan itu. Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor 66 67
Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, op.cit., hlm. 81. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, op.cit., hlm. 111-122.
31
perkembangan rohani dan jasmaninya, yaitu pertumbuhan pikiran dan mental, perkembangan perasaan, pertimbangan sosial, perkembangan moral, sikap dan minat serta konflik dan keraguan. Kemampuan dasar untuk beragama seseorang intinya terletak pada keimanan, dan para ahli psikologi menganggapnya sebagai suatu naluri. Naluri ini dapat dikembangkan melalui pendidikan atau pengajaran. Demikian halnya dengan remaja, kemampuan beragama pada remaja dapat dikembangkan melalui pendidikan atau bimbingan agama yang diberikan sejak mereka kecil. Sehingga dapat dikatakan bahwa “Keberagamaan remaja” merupakan proses kelanjutan dari pengaruh pendidikan yang diterima pada kanak-kanak. Potensi keberagamaan dalam pribadi remaja yang dikembangkan melalui pendidikan atau bimbingan agama merupakan tenaga pengontrol, tenaga motivatif untuk bertingkah laku positif, yang mampu mengerem nafsu negatif, serta bagi mereka yang terlibat kenakalan, nilai-nilai agama dalam pribadinya sanggup mendorongnya untuk kembali kepada kebenaran. 68
68
M. Arifin, op.cit., hlm. 215-218.
32