INFLUENCE OF ALTITUDE ON HTC (Heat Tolerance Coefficient) CROSSBREED CATTLE (LIMPO) HEIFER FEMALE BEFORE AND AFTER CONCENTRATE GIVEN Adhitya Susilawan Widada1), Woro Busono2) and Hary Nugroho2) 1) Graduate Student at Faculty of Animal Husbandry, University of Brawijaya, Malang. 2) Lecturer at Department of Animal Production, Faculty of Animal Husbandry, University of Brawijaya, Malang.
ABSTRACT
This research was conducted at beef cattle farming in Dandang Gendis Nguling, Pasuruan, as low-land areas (2-8 m above sea level), and Belung II Poncokusumo, Malang as high-land areas (600-800 m above sea level) for 3 months were started at October until December, 2012. The aim of this research was to compare response of HTC in low-land area and in high-land area before and after concentrate given. Research material in low-land area was 10 heads Limpo cattle 10-16 month and in high-land area 10 Limpo cattle 10-16 month. Research method used was trial and direct observation. The value of HTC response calculated by Benezra Coefficient formula. The result shows that a HTC of Limpo beef cattle in high-land area and low-land area with before and after concentrate given are same. Concentrate given for Limpo Cattle is more optimal in the highland area. Keywords : Heat Tolerance Coefficient, Altitude, Limpo Beef, Concentrate
PENGARUH KETINGGIAN TEMPAT TERHADAP NILAI HTC (Heat Tolerance Coefficient) PADA SAPI PERANAKAN LIMOUSIN (LIMPO) BETINA DARA SEBELUM DAN SESUDAH DIBERI KONSENTRAT Adhitya Susilawan Widada1), Woro Busono2) and Hary Nugroho2) 1) Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang. 2) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan rakyat desa Dandan Gendis, kecamatan Nguling, kabupaten Pasuruan sebagai lokasi penelitian pada daerah dataran rendah (2-8 m dpl), dan desa Belung II, kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang sebagai lokasi penelitian pada daerah dataran tinggi (600-800 m dpl), Provinsi Jawa Timur yang dimulai pada bulan Oktober sampai bulan Desember 2012. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan respon cekaman di ketinggian tempat yang berbeda pada sapi peranakan limousin (Limpo) betina dara sebelum dan sesudah diberi konsentrat di daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Materi yang digunakan dalam penelitian adalah sapi Limpo betina dara dengan umur 10-16 bulan sebanyak 10 ekor di dataran rendah dan 10 ekor di daerah dataran tinggi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan disertai pengamatan secara langsung. Nilai HTC dihitung dengan menggunakan rumus Benezra Coefficient. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa nilai HTC sapi Limpo betina dara di daerah dataran rendah dan di daerah dataran tinggi baik sebelum maupun sesudah diberi konsentrat adalah sama. Pemberian konsentrat pada sapi Limpo lebih optimal dilakukan pada dataran tinggi. Kata Kunci : Heat Tolerance Coefficient, Ketinggian Tempat, Sapi Limpo, Konsentrat
PENDAHULUAN Propinsi Jawa Timur merupakan wilayah dengan beragam topografi berupa pegunungan dan perbukitan, oleh karena itu daerah ini yang sebagian besar berada pada ketinggian antara 0-400 m di atas permukaan laut (dpl), dari ketinggian tempat tersebut terbagi menjadi dua dataran, yaitu dataran rendah seperti di daerah Nguling, kabupaten Pasuruan dan dataran tinggi seperti di daerah Poncokusumo, kabupaten Malang. Kedua daerah tersebut dipergunakan oleh masyarakat peternak untuk berternak sapi peranakan Limousin (Limpo) yang merupakan sapi persilangan antara Limousin (Bos taurus) yang berasal dari daerah di Perancis dengan sapi lokal yaitu sapi Peranakan Ongole (Bos indicus), dari dua daerah tersebut tentunya terdapat perbedaan suhu, kelembaban, dan ketersediaan pakan yang terdapat di daerah ini yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup dari ternak, diantaranya tingkah laku dan produktivitas ternak tersebut yang dipengaruhi oleh cekaman dan pakan. Iklim makro maupun iklim mikro pada suatu tempat dapat berpengaruh langsung terhadap penampilan produktivitas ternak. Pengaruh tidak langsung adalah ketersediaan hijauan pakan ternak yang cepat tua dan menyebabkan tingginya serat kasar, sedangkan pengaruh langsung misalnya terjadinya cekaman panas atau dingin, sehingga ternak menderita cekaman atau ternak merasa tidak nyaman yang berakibat terhadap penurunan konsumsi pakan, produksi (bobot badan) dan reproduksi ternak. Sapi potong pada umumnya harus dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman (comfort zone), dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembaban lingkungan berada pada thermoneutral zone agar berproduksi dengan optimal. Di luar kondisi ini sapi potong akan mengalami stress. Sapi tergolong ternak berdarah panas (homeoterm) yang berusaha
mempertahankan suhu tubuhnya antara 38-39 °C (Purwanto, 2004). Prinsip keseimbangan panas yang dilakukan oleh ternak homeoterm adalah panas yang diterima sama dengan panas yang hilang (Swenson, 1970). Pemberian pakan konsentrat diharapkan dapat mengurangi cekaman akibat lingkungan yang ekstrim sehingga mempengaruhi cekaman pada sapi yang dipelihara pada dataran rendah yang tidak mengalami cekaman. Suhu tubuh dan frekuensi pernafasan merupakan parameter dasar yang dipakai untuk menduga daya adaptasi ternak terhadap cekaman.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di peternakan rakyat desa Dandan Gendis, kecamatan Nguling, kabupaten Pasuruan sebagai lokasi penelitian pada daerah dataran rendah (2-8 m dpl), dan desa Belung II, kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang sebagai lokasi penelitian pada daerah dataran tinggi (600-800 m dpl), Provinsi Jawa Timur yang dimulai pada bulan Oktober sampai bulan Desember 2012. Penelitian ini mengunakan sapi Limpo betina dara dengan umur 10-16 bulan sebanyak 10 ekor di dataran rendah dan 10 ekor di daerah dataran tinggi. Bahan pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah konsentrat sebanyak 1,5 kg/ekor/hari. Pakan hijauan yang diberikan disesuaikan dengan pakan sehari-hari. Pemberian pakan pada dataran rendah adalah jerami padi, sedangkan pada dataran tinggi adalah rumput gajah dan pemberian minum secara ad libitum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode percobaan disertai pengamatan secara langsung. Penelitian dilakukan selama 3 minggu di daerah dataran rendah dan 3 minggu di daerah dataran tinggi. Variabel yang diukur meliputi : a) Suhu dan kelembaban lingkungan diukur setiap jam pada awal penelitian
Tb Fr HTC = + 38,3 23
Keterangan : HTC : Heat Tolerance Coefficient Tb : Rataan harian suhu tubuh sapi (°C) Fr : Rataan harian frekuensi pernafasan sapi selama 1 menit 38,3 : Angka standart suhu tubuh sapi (°C) 23 : Angka standart frekuensi pernafasan sapi selama 1 menit
Data dari penelitian ditabulasi menggunakan program microsoft excel untuk mengetahui rata-rata nilai HTC sapi Peranakan Limousin bertina dara, dan analisis data lapang mengunakan analisis statistik student-t (uji t).
Rumus student-t (uji t) yang digunakan sebagai berikut: t hitung A − X B| |X = nAS A + nBS B x 1 + 1 nA nB nA + nB
Keterangan : A : Rata-rata sampel A X B : Rata-rata sampel B X nA : Jumlah data sampel A nB : Jumlah data sampel B S A : Ragam sampel A S B : Ragam sampel B
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian di daerah dataran rendah berlokasi di kecamatan Nguling, yang terletak di bagian Utara kabupaten Pasuruan, terdiri dari dataran rendah pantai dengan tanah yang kurang subur dengan ketinggian antara 2-8 m dpl, kisaran suhu harian di kecamatan Nguling antara 24-32 °C dengan rata-rata 31 °C kelembaban 56% (Anonymous, 2010). 68 72 68 71 72 72 72 56 48 40
45
40 38 38 40
45
50
64 66 62 58 61 57 60
35 37 36 38 39 37 35 34 32 30 31 31 30 31 30 29 28 28 27 27 28 29 31 33 0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00
menggunakan termohigrometer, untuk mengetahui suhu dan kelembaban lingkungan minimum dan maksimum pada lokasi penelitian serta acuhan untuk pengambilan data suhu tubuh dan respirasi sapi. b) Suhu tubuh sapi diukur melalui suhu rektal dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam rektum selama 30-60 detik. Suhu tubuh diukur pada saat sapi Limpo betina tidak beraktivitas. c) Frekuensi pernafasan dihitung menggunakan hand tally counter dengan cara melihat kembang kempis perut atau suara dari pernafasan yang timbul pada sapi Limpo selama 1 menit. d) Heat Tolerance Coefficient (HTC) merupakan suatu penilaian untuk mengetahui apakah sapi Limpo betina mengalami cekaman. Frekuensi pernafasan dan suhu tubuh sapi Limpo merupakan parameter untuk perhitungan Heat Tolerance Coefficient (HTC) dengan menggunakan rumus Benezra (Benezra, 1954).
Waktu Pengukuran Suhu (°C)
Kelembaban (%)
Gambar 1. Suhu dan Kelembaban Lingkungan di Daerah Dataran Rendah. Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa rata-rata suhu lingkungan di daerah Nguling mencapai 31,9 °C dengan suhu tertinggi pada pukul 12.00-13.00 WIB yang mencapai suhu 39 °C, sedangkan rata-rata kelembaban lingkungan yaitu 56,8%, hal tersebut merupakan suhu yang sangat ekstrim untuk memelihara ternak sapi khususnya sapi
persilangan dari Bos taurus,, yang dapat menyebabkan sapi tercekam. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan oleh Busono (2007) menyatakan bahwa bangsa sapi Eropa (Bos ( taurus)) dapat berproduksi baik pada temperatur 4-24 °C. Kurihara and Shioya (2003) menyatakan pada suhu 28 °C dan kelembaban lingkungan 40–80% 80% suhu tubuh dan frekuensi pernafasan masih normal, namun lebih dari itu akan berpengaruh terhadap konsumsi pakan, produksi susu, komposisi susu, produksi dan pelepasan panas tubuh. Penelitian selanjutnya dilakukan pada daerah dataran rendah, yaitu di kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang. Malang Geografis kawasan ini memiliki kondisi lahan berupa hamparan lahan yang cenderung berbukitberbukit bukit karena berada di sebelah barat lereng gunung Semeru, berada pada ketinggian antara 600 sampai dengan 1200 m dpl dengan de curah hujan rata-rata antara 2.300 300 mm sampai dengan 2.500 mm/tahun tahun dan suhu rata-rata rata 21,7 °C serta berjarak tempuh sejauh ±24 km dari ibu kota kabupaten (Anonymous, 2013). 68 68 70 70 70 65 65 66 64 50
65 65 65 68 60 62 62 54 56 58
56 48
42 44
Kusnadi, Sabrani, Winugroho, Iskandar, Nuschati dan Sugandi (1992) menyatakan bahwa kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pemeliharaan sapi di Indonesia antara 18–28 °C. Johnson (2005) menyatakan menyata bahwa tinggi rendahnya suhu dan kelembaban udara sangat dipengaruhi oleh perubahan musim. Pada saat cuaca panas, sinar matahari yang sampai ke bumi jumlahnya meningkat (panas) sehingga dapat menaikkan suhu lingkungan sedangkan pada cuaca hujan kondisi lingkungan akan cenderung lebih lembab. Suhu di daerah dataran tinggi lebih rendah dibanding dengan di daerah dataran rendah dikarenakan adanya perbedaan ketinggian tempat yang berbeda. Rendahnya suhu di daerah dataran tinggi diharapkan dapat mengoptimalkann pertumbuhan sapi Limpo betina yang dipengaruhi oleh pemberian pakan tambahan. tambahan
2. Suhu Tubuh Sapi Limpo Betina Dara di Daerah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Sebelum diberi Konsentrat Hasil pengamatan suhu tubuh sapi Limpo betina dara di daerah dataran rendah dan di daerah dataran tinggi sebelum diberi konsentrat dapat dilihat pada Gambar 3.
Waktu Pengukuran Suhu (°C)
Kelembaban (%)
Suhu tubuh (°C)
0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00
31 30 29 29 29 29 29 28 2828,5 27 26 25 24 24 24 25 25 2626,5 27 30 30 30
39 38.5 38 37.5 37 36.5 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10
Gambar 2. Suhu dan Kelembaban Lingkungan di Daerah Dataran Tinggi. Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa suhu dan kelembaban lingkungan di daerah Poncokusumo. Rata-rata rata kelembaban lingkungan adalah 60,9%, %, sedangkan suhu lingkungan tertinggi 31 °C pada pukul 13.00 WIB, dengan rata-rata rata adalah 27,5 °C, pada rata-rata suhu lingkungan tersebut sapi dapat berkembang biak dan hidup secara normal. normal
X
Nomor sapi Limpo betina dara Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Gambar 3. Suhu Tubuh Sapi Limpo Betina Dara di Sebelum diberi Konsentrat. Berdasarkan Gambar 3 diatas diketahui bahwa rata-rata suhu tubuh sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat pada daerah
Suhu tubuh (°C)
3. Suhu Tubuh Sapi Limpo Betina Dara di Daerah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Sesudah diberi Konsentrat Hasil pengamatan suhu tubuh pada daerah dataran rendah dan daerah dataran datar tinggi sesudah diberi konsentrat dapat dilihat pada Gambar 4.
39 38.5 38 37.5 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10
X
Nomor sapi Limpo betina dara Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Gambar 4. Suhu Tubuh Sapi Limpo Betina Sesudah diberi Konsentrat. Konsentrat Berdasarkan Gambar 3 diatas diketahui bahwa rata-rata suhu tubuh sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat pada daerah dataran rendah adalah 38,27 °C, °C suhu tubuh
tertinggi menunjukkan angka 39 3 °C dan terendah menunjukkan angka 38 3 °C, sedangkan rata-rata suhu tubuh sapi Limpo betina dara pada daerah dataran tinggi adalah 38,77 °C, suhu tubuh tertinggi t menunjukkan angka 39 °C, dan terendah menunjukkan angka 38,5 °C. Hasil analisis student-t student menunjukkan bahwa suhu tubuh sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat di daerah dataran tinggi lebih tinggi dibanding dengan sapi Limpo betina dara di daerah dataran rendah. Frandson (1992), menambahakan semakin tinggi level pakan yang diberikan, maka energi yang dikonsumsi semakin tinggi, yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh.
4. Frekuensi Pernafasan Sapi Limpo Betina Dara di Daerah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Sebelum diberi Konsentrat Hasil pengukuran frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat di dataran rendah dan dataran tinggi dapat dilihat pada Gambar 5. 5
Frekuensi pernafasan (kali/menit)
dataran rendah adalah 37,88 °C, °C suhu tubuh tertinggi menunjukkan angka 38,5 38, °C dan terendah menunjukkan angka 37,2 °C, sedangkan rata-rata suhu tubuh sapi Limpo betina dara pada daerah dataran tinggi adalah 38,2 °C, suhu tubuh tertinggi menunjukkan angka 38,6 °C, dan terendah menunjukkan angka 38,2 °C. Hasil analisis student-t menunjukkan bahwa suhu tubuh sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat di daerah dataran tinggi lebih tinggi dibanding dengan sapi Limpo betina dara di daerah dataran rendah. Duke’s (1995) temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, pakan, minuman, dan pencernaan produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung tergantung pada makanan makan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.
30 29 28 27 26 25 24 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10
X
Nomor sapi Limpo betina dara Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Gambar 5. Frekuensi Pernafasan Sapi Limpo Betina Dara Sebelum diberi Konsentrat. Berdasarkan Gambar 5 diatas diketahui bahwa rata-rata frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat
pada daerah dataran rendah adalah 27,4 kali/menit, frekuensi pernafasan tertinggi sebanyak 29 kali/menit dan terendah sebanyak 26 kali/menit, sedangkan rata-rata rata frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara pada daerah dataran tinggi adalah 27,5 kali/menit, frekuensi pernafasan tertinggi sebanyak 30 kali/menit, dan terendah sebanyak 26 kali/menit. Hasil analisis student-t menunjukkan artinya frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat di daerah dataran rendah dan sapi Limpo betina dara di daerah dataran tinggi adalah sama. Mariyono, Ma’sum, Umiyasih, dan Yusran, (1993) menyatakan bahwa jumlah frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh aktifitas, umur, pakan, ukuran tubuh dan temperatur lingkungan..
pada daerah dataran rendah adalah 28,2 kali/menit, frekuensi pernafasan tertinggi sebanyak 30 kali/menit dan terendah sebanyak 26 kali/menit, sedangkan rata-rata frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara pada daerah dataran tinggi adalah 28,6 kali/menit, frekuensi pernafasan tertinggi sebanyak 30 3 kali/menit, dan terendah erendah sebanyak 26 kali/menit. Hasil analisis student-t student menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat di daerah dataran rendah dan sapi Limpo betina dara di daerah dataran tinggi adalah sama. Mariyono, Ma’sum, Umiyasih, dan Yusran, (1993) menyatakan bahwa jumlah frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh aktifitas, umur, pakan, ukuran tubuh dan temperatur lingkungan.
5. Frekuensi Pernafasan Sapi Limpo Betina Dara di Daerah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Sesudah diberi Konsentrat Hasil pengukuran frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat di dataran rendah dan dataran tinggi dapat dilihat pada Gambar 6.
6. Nilai HTC Sapi Limpo Betina Dara di Daerah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Sebelum diberi iberi Konsentrat Hasil perhitungan nilai HTC pada sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat di daerah dataran rendah dan daerah dataran tinggi dapat dilihat pada Gambar 7.
Nilai HTC
Frekuensi pernafasan (kali/menit)
2.40 30 29 28 27 26 25 24
2.30 2.20 2.10 2.00 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10
L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10
X
X
Nomor sapi Limpo betina dara
Nomor sapi Limpo betina dara Dataran Rendah Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Dataran Tinggi
Gambar 6. Frekuensi Pernafasan Sapi Limpo Betina Dara Sesudah diberi Konsentrat. Berdasarkan Gambar 6 diatas diketahui bahwa rata-rata frekuensi pernafasan sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat
Gambar 7. Nilai HTC Sapi Limpo Betina Dara Sebelum diberi Konsentrat. Berdasarkan Gambar 7 diatas diketahui bahwa rata-rata rata nilai HTC sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat pada daerah dataran rendah adalah 2,18, nilai HTC tertinggi adalah 2,26 dan terendah adalah
7. Nilai HTC Sapi Limpo Betina Dara di Daerah Dataran rendah dan Dataran Tinggi Ternak Sesudah diberi Konsentrat Hasil Perhitungan HTC pada sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat di daerah dataran rendah dan daerah dataran tinggi dapat dilihat pada Gambar 8.
Nilai HTC
2,1, sedangkan rata-rata nilai HTC sapi Limpo betina dara pada daerah dataran tinggi adalah 2,20, nilai HTC tertinggi adalah 2,31, 2,31 dan terendah adalah 2,14. Nilaii HTC sapi Limpo sebelum diberi konsentrat pada kedua dataran menandakan bahwa ternak mengalami cekaman panas terhadap lingkungannya. lingkungannya Hasil analisis student-t menunjukkan bahwa nilai HTC sapi Limpo betina dara sebelum diberi konsentrat di daerah dataran rendah dan sapi Limpo betina dara di daerah dataran tinggi adalah sama. Amakiri and Funs ho (1979) menyatakan bahwa nilai HTC tiap kelompok umurr ternak berbeda-beda, berbeda karena dipengaruhi oleh perbedaan kemampuan adaptasi dari masing-masing masing individu. Putra (1994) menyatakan bahwa produksi panas metabolisme basal berkaitan erat dengan luas permukaan tubuh, yang makin besar dengan bertambah kecilnya ukuran kuran ternak. Oleh karena itu makin kecil ukuran tubuh ternak makin besar beban panas dan cekaman panas yang diterima oleh tubuh ternak selama berada dalam lingkungan yang panas. Selain itu faktor pakan juga mempengaruhi karena pakan yang diberikan pada ternak rnak dengan akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak (McDowell, 1972).
2.35 2.30 2.25 2.20 2.15 2.10 2.05 2.00 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L10
X
Nomor sapi Limpo betina dara Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Gambar 8. Nilai HTC Sapi Limpo Betina Dara Sesudah diberi Konsentrat. Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa rata-rata nilai HTC sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat pada daerah dataran rendah adalah 2,23, nilai HTC tertinggi adalah 2,3 dan terendah adalah 2,21, sedangkan rata-rata nilai HTC sapi Limpo betina dara pada daerah dataran tinggi adalah 2,26, nilai HTC tertinggi adalah 2,32, dan terendah adalah 2,15. Nilai HTC pada kedua dataran berkisar antara 2,1-2,4 2,1 yang menandakan bahwa ternak mengalami cekaman panas terhadap lingkungannya. lingkungannya Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai HTC sapi Limpo betina dara sesudah diberi konsentrat di daerah dataran rendah rend dan sapi Limpo betina dara di daerah dataran tinggi adalah sama. McDowell (1972) menyatakan bahwa pakan yang diberikan pada ternak dengan level yang berbeda akan menyebabkan kondisi fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh), denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda akibat perbedaan proses fermentasi atau metabolisme yang terjadi dalam tubuh, perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap respon produksi suatu ternak. ternak Frandson (1992) menyatakan semakin tinggi level pakan yang diberikan, maka energi yang ya dikonsumsi semakin tinggi, yang berakibat pada meningkatnya panas yang diproduksi dari dalam tubuh, akibat tingginya proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan ditambah lagi pengaruh panas lingkungan, hal ini dapat menyebabkan ternak mudah
mengalami stres. Monstma (1984) menyatakan bahwa semakin besar kenaikan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan maka Heat Tolerance Coeffisient (HTC) semakin tinggi. Ternak dengan peningkatan suhu tubuh rendah pada hari yang panas mempunyai keseimbangan panas yang terbaik dan akan memberikan produksi yang terbaik pula.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ketinggian tempat mempengaruhi suhu tubuh sapi Limpo betina dara, akan tetapi tidak mempengaruhi frekuensi pernafasan dan nilai HTC. Pemeliharaan sapi Limpo betina dara lebih baik dipelihara pada daerah dataran tinggi dengan penambahan konsentrat sebagai tambahan nutrisi. Saran Manipulasi lingkungan dan peningkatan kualitas pakan masih perlu dilakukan agar ternak tidak mengalami cekaman panas yang lebih tinggi sehingga produktivitas ternak dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Amakiri, S.P and O.N Funsho. 1979. Studies of Rectal Temperature, Respiratory Rates and Heat Tolerance in Cattle in Humit Tropics. Journal Animal Production.. Departement of Veterinary Anatomy. University of Ibadan. Vol 1. Nigeria. Anonymous. 2010. Pemerintah Kabupaten Pasuruan Gambaran Umum. http://www.scribd.com/doc/44727470/ profil-pasuruan. Anonymous. 2013. Kecamatan Poncokusumo Situs Pemerintah Kabupaten Malang. http://poncokusumo. malangkab.go.id.
Busono, W. 2007. Keseimbangan Fisiologis untuk Optimasi Produksi Ternak. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Fisiologi Produksi Ternak. 3 Desember 2007. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang. Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing. New York University Collage. Amerika. Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Diterjemahkan oleh: Srigandono, B. dan K. Praseno. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kurihara, M. and S. Shioya. 2003. Dairy Cattle Management In Hot Environment. http//www.fffc.agent.org/library/abstra ct/eb529.html. Kusnadi, U., M. Sabrani, M. Winugroho, S. Iskandar, U. Nuschati dan D. Sugandi, 1992. Usaha Penggemukan Sapi Potong di Dataran Tinggi Wonosobo. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ruminansia Besar. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. Hal: 24-28. Johnson. H.D. 2005. The Lactating Cow In The Various Ecosystems: Environmental Effects On Its Productivity. Australian Journal of Agricultural Research. Australia. 24(5)775-782. Mariyono, Ma’sum, Umiyasih dan Yusran. 1993. Eksistensi Sapi Perah Induk Berkemampuan Produksi Tinggi dalam Usaha Peternakan Rakyat. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Jurnal Balas Penelitian Ternak Grati. Pasuruan. Vol 3 Hal 2. McDowell, R.E. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates.W.H. Freeman and Co. San Francisco. USA Monstma, G. 1984. Tropical Animal Production I (Climats and Housing). T20 D Lecture Notes E400-103.
Purwanto, B. 2004. Biometeorologi Ternak. http//www.gfm-ipb.net/kuliah/biomet/ Biometeorologi_ Ternak.htm. Putra, H.I.D.K. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis (Alih bahasa dari Goat Production in the Tropic, 1983. Devendra and Burns). Penerbit ITB. Swenson, M.J. 1970. Dukes’ Physiologis of Domestic Animals. Vail-Ballou Press. United States. Amerika.